analisis perpres nomor 36 tahun 2005

13

Click here to load reader

Upload: jx33boy607

Post on 18-Jun-2015

1.331 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

analisis perpres 36 2005

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Perpres Nomor 36 Tahun 2005

Analisis Perpres Nomor 36 Tahun 2005

Jo. Perpres Nomor 65 Tahun 2006

Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Hal paling penting dari sekian banyak kontroversi mengenai substansi Perpres

Nomor 36 Tahun 2005 Jo. Perpres Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Umum yakni:

a. Kaburnya makna kepentingan umum Pasal 1 angka 5

b. Kaburnya ganti rugi fisik dan non fisik Pasal 1 angka 11

c. Apakah pemerintah subyek hak atas tanah atau bukan Pasal 2 Ayat (2)

d. List provision 21 macam kegiatan kepentingan umum Pasal 5 sangat rancu dengan

kepentingan swasta

e. Komposisi panitia pengadaan tanah Pasal 6

f. Penggunaan lembaga penitipan/ konsinyasi Pasal 10 Ayat (2)

Perubahan yang berpotensi tidak menimbulkan masalah adalah penghapusan kata

"pencabutan hak atas tanah" dalam Pasal 1 Angka 3, Pasal 2, dan Pasal 3 karena meluruskan

kerancuan antara konsep penyerahan/pelepasan hak atas tanah dengan pencabutan hak atas

tanah.

Perubahan lain, koreksi tugas Panitia Pengadaan Tanah (PPT) dalam Pasal 7 Huruf c,

penambahan unsur BPN dalam susunan keanggotaan PPT (Pasal 6 Ayat (5)), penambahan

tentang biaya PPT (Pasal 7A), dan penambahan Pasal 18A yang hanya bersifat menegaskan

proses yang telah diatur dalam PP No 39/1973 jika masyarakat yang dicabut hak atas

tanahnya tetap keberatan dengan ganti rugi yang ditetapkan dalam Keppres tentang

Pencabutan Hak atas Tanah yang bersangkutan. Perubahan bentuk ganti kerugian dalam Pasal

13 Huruf e selain tidak konsisten dengan Pasal 1 Angka 11, juga tidak berhasil menjabarkan

bentuk ganti kerugian yang bersifat nonfisik.

Di luar itu, ada dua hal yang diubah, namun berpotensi menimbulkan masalah.

Pertama, pembatasan kepentingan umum dalam dua hal, pembangunan itu dilaksanakan

pemerintah/pemda, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki pemerintah/pemda. Perpres

terdahulu tidak memberi pembatasan sama sekali. Dibandingkan Keppres No 55/1993,

perpres ini memperluas pembatasan kepentingan umum dengan memuat kata "atau akan"

dimiliki oleh pemerintah/pemda, serta menghapus kata "tidak digunakan untuk mencari

keuntungan". Mudah ditebak, perpres ini utamanya dimaksudkan untuk menjadi landasan

hukum kemitraan antara pemerintah dan swasta, khususnya dalam proyek- proyek

Page 2: Analisis Perpres Nomor 36 Tahun 2005

pembangunan infrastruktur yang pendanaannya sulit dipenuhi pemerintah sendiri.

Keikutsertaan swasta dapat berupa dana pengadaan tanah maupun pengusahaannya, misalnya

melalui BOT atau KSO. Pemilikannya baru dapat dinikmati pemerintah setelah berakhirnya

perjanjian kerja sama operasi, umumnya setelah 30 tahun.

Pengurangan pembangunan untuk kepentingan umum dari 21 menjadi 7 jenis

menimbulkan pertanyaan, apakah yang menjadi dasar pengurangan itu? Bagaimana jika

pemerintah/pemda akan membangun puskesmas/ rumah sakit umum, tempat pendidikan atau

sekolah, lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, kantor pemerintah/pemda, pasar

umum/tradisional? Apakah pemerintah/pemda harus memperoleh tanah dengan cara jual

beli? Perlu direnungkan, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan

kesehatan adalah hak dasar yang dijamin UUD 1945 dan merupakan kewajiban pemerintah

untuk memenuhinya.

Kedua, masalah penitipan uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri (PN) bila

lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, namun musyawarah tidak mencapai hasil

setelah berlangsung 120 hari kalender (sebelumnya 90 hari) dalam Pasal 10. Perlu ditegaskan,

penerapan lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan pada PN yang

diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata keliru diterapkan dalam perpres ini.

Pengadaan tanah adalah perbuatan pemerintah/pemda yang termasuk dalam ranah

hukum administrasi, sedangkan lembaga penawaran pembayaran dalam Pasal 1404 KUH

Perdata mengatur hubungan hukum keperdataan di antara para pihak. Selain keliru

menerapkan konsep dan terkesan memaksakan kehendak sepihak, Pasal 10 ini tidak final.

Sepanjang masyarakat tetap keberatan dengan ganti kerugian, meski ganti kerugian sudah

dititipkan kepada PN, tetap terbuka kemungkinan proses pengusulan pencabutan hak atas

tanah melalui Pasal 18 perpres ini, sesuai UU No 20/1961 tentang Pencabutan Hak atas

Tanah yang merupakan pelaksanaan amanat Pasal 18 UUPA. Pencabutan hak baru dapat

ditempuh jika semua upaya musyawarah gagal dan merupakan upaya terakhir yang

dimungkinkan oleh hukum. Mungkin dengan penetapan jangka waktu 120 hari diharapkan

dapat dicegah berlarutnya proses musyawarah sekaligus menimbulkan tekanan psikis pada

masyarakat yang enggan berhubungan dengan lembaga peradilan. Secara hukum, Pasal 10

perpres ini tidak relevan karena tanpa menitipkan ganti kerugian pada PN, sudah ada jalan

keluar yang diatur dalam UU No 20/1961.

Keluhan pihak-pihak yang terkait dengan pengadaan tanah umumnya berkenaan

dengan keberadaan calo tanah dan tingginya harga tanah yang diminta masyarakat.

Keberadaan calo tanah dapat diminimalkan jika RT/RW transparan dan mudah diakses

masyarakat serta prosesnya melibatkan masyarakat. Selama RT/RW tak transparan, akan jadi

Page 3: Analisis Perpres Nomor 36 Tahun 2005

komoditas yang hanya dapat dimanfaatkan kalangan tertentu. Di balik tuntutan ganti kerugian

yang dinilai terlalu tinggi, seyogianya dipahami, masyarakat mengharapkan ganti kerugian

yang adil, yang memungkinkan membangun kembali kehidupannya di tempat yang baru.

Merupakan tugas Tim Penilai Harga Tanah untuk memberi taksiran nilai ganti

kerugian, berdasarkan NJOP atau harga nyata atau faktor lain, yang hasil akhirnya dapat

dimanfaatkan masyarakat untuk memperoleh penggantian yang setara dengan hak atas tanah

yang dilepaskan. Jika proses pengadaan tanah bersih dari unsur KKN dan masyarakat

dihargai haknya dengan memberikan ganti kerugian yang adil, hal itu akan berdampak

terhadap kepastian hukum dalam perolehan tanah untuk kegiatan pembangunan.

Ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam masalah prinsip menghormati hak-hak

sah atas tanah. Pertama, faktor sosiologi, yaitu faktor emosional kedekatan dan keterikatan

rakyat Indonesia, khususnya kaum-tani dengan tanah. Tanah sumber penghidupan dan

kepemilikan turun-temurun, kata pri-bahasa Jawa, kembali, sadumuk batuk, senyari bumi, �dibela sampai mati. Kedua, faktor hukum, yaitu hak kepemilikan atas tanah yang diakomodir

dalam UU No.51/tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak

Atau Kuasanya. Inilah hak-hak yang harus dihormati. Pencabutan hak atas tanah dengan cara

tergesa-gesa dan arogan, jelas sangat merugikan rakyat dan memicu kerusuhan.

Pertimbangan kedua dalam menetap kan Perpres ini dikatakan, Keputusan Presiden

No. 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan

pembangunan untuk kepentingan umum. Kepres 55/1993 acuannya Repelita, meskipun

Repelita Suharto hanya penipuan belaka (acuan dapat dibaca dalam Instruksi Presiden

Nomor 9 tahun 1993). Sedangkan acuan Perpres 36/2005 SBY hanya UU No.25 tahun 1992

tentang Penataan Ruang. Rancang bangun Kepres 55 dan Perpres 36 sesungguhnya sama

saja, namun Perpres SBY lebih busuk, lebih reaksioner.

Salah satu pasal yang mengancam petani ialah pasal 19, dimana pembebasan tanah di

bawah 1 ha tidak perlu dinegosiasikan dengan panitia ganti-rugi yang ditunjuk pemerintah

tetapi cukup diselesaikan oleh pejabat lokal, Camat, Bupati, dlsbnya. Yang ini bisa

menimbulkan kerugian bagi petani-petani kecil. Maria SW Sumardjono, gurubesar hukum

agraria UGM, menilai, Perpres itu merupakan langkah pragmatis untuk melancarkan proyek

infrastruktur. Ia menganggap substansi Perpres merugikan masyarakat karena pemerintah

bertindak sepihak dalam proses pembebasan tanah (Harian Republika 30 Juni 2005). Juga

Ketua Pokja Pertanahan Komisi II DPR, Nasir Jamil menyebutkan, ada pasal-pasal yang

merugikan rakyat dan lebih menguntungkan kaum pemodal (Republika, 30 Juni 2005).

Menurut pernyataan Koalisi Rakyat Gotong Royong Tolak Penggusuran: Tidak ada �

satupun Undang-Undang (UU) dan Peraturan-Peraturan (PP) yang menugaskan Presiden

Page 4: Analisis Perpres Nomor 36 Tahun 2005

untuk menerbitkan Perpres ini. Padahal menurut UUD 1945, Perpres hanya boleh diterbitkan

jika diperintahkan UU atau PP. Jikapun akan diterbitkan peraturan atau kebijakan yang

mengatur pencabutan hak rakyat atas tanah, mestilah dituangkan dalam bentuk UU dan

sedemikian rupa dipastikan adanya perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak rakyat. �Jadi tidaklah keliru asumsi yang menyatakan bahwa Perpres itu cacat hukum.

Ada 3 masalah penting dalam Perpres tersebut yang berpotensi memicu berbagai

konflik, yaitu definisi kepentingan umum, pelaksanaan musyawarah dan

pelaksanaan/prosedur pembayaran ganti rugi, termasuk cara perhitungan dan harga ganti rugi.

Apa yang dimaksud dengan kepentingan umum itu ? Dalam pasal 1 ayat 5 Perpres 36

itu dinyatakan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat. �Mengapa hanya sebagian besar masyarakat, dan siapa yang dimaksud dengan dengan

sebagian besar masyarakat ? Untuk pertanyaan pertama, menurut Jubir Kepresidenan, dalam

alam demokrasi tidak mungkin mencakup kepentingan seluruh masyarakat. Mengenai ini

lebih lanjut bisa kita diskusikan. Pertanyaan yang kedua tidak ada penjelasan sama sekali.

Jika yang dimaksud sebagian besar masyarakat itu adalah rakyat Indonesia, tidak bisa

lain seharusnya adalah kaum buruh dan kaum tani, hanya mereka yang menempati posisi

sebagian besar masyarakat Indonesia. Apakah itu yang dimaksud oleh Perpres? Indikasinya

tidak demikian, justru sebaliknya. Contoh pembangunan jalan tol. Siapa pengguna jalan tol

itu ? Sebagian besar pengguna jalan tol adalah orang yang berduit, kaum pemodal dan

lainnya sejenis itu. Demikian juga dalam pelaksanaan musyawarah dan ganti rugi, banyak hal

yang dibiarkan samar-samar. Mengapa? Anda dapat menjawab sendiri.

Dalam Perpres no.36/2005, Presiden mempunyai keleluasaan untuk mencabut hak

atas tanah apabila tidak tercapai kesepakatan antara pemilik tanah dengan panitia pengadaan

tanah tersebut dalam jangka waktu 90 hari untuk menyelesaikan prosesnya. Dengan adanya

pasal mengenai pencabutan hak tersebut dikhawatirkan akan menjadi legitimasi bagi

pemerintah untuk lebih represif dalam proses pembebasan tanah. Sehingga potensi adanya

konflik agraria akan semakin terbuka. Keluarnya Perpres no.36/2005 sebagai salah satu

tindak lanjut dari KTT Infrastruktur.

Berdasarkan pasal 15, perhitungan besar ganti rugi pada tanah yang bersangkutan

didasarkan atas nilai jual objek pajak atau nilai nyata sebenarnya dengan memperhatikan nilai

jual objek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga tanah yang

ditunjuk panitia.Perlu disampaikan ada satu poin penting dalam Perpres, bahwa sengketa

tentang pengambilalihan hak atas tanah ternyata tidak bisa diselesaikan melalui jalur hukum

karena Presiden mempunyai kewenangan untuk mencabut hak atas tanah, mau tidak mau.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa permasalahan yang berkembang saat ini, contoh di

Page 5: Analisis Perpres Nomor 36 Tahun 2005

antaranya kasus Kedungombo, kasus pembangunan dam di Kuto Panjang, pembangunan

jalan tol Solo-Semarang (bagi lahan mereka yang mau di bebaskan oleh pemerintah untuk

membangun tol sepanjang 76,6 kilometer), kasus pembangunan dam di tempat-tempat lain

yang nyatanya tidak pernah selesai dan menimbulkan konflik berkepanjangan. Kontan saja,

pelbagai protes dilayangkan seiring terbitnya Perpres ini. Protes ini bukan tanpa alasan.

Mereka beranggapan bahwa peraturan Presiden ini mencerminkan sikap pemerintah

yang represif dan otoriter. Bayangkan, secara paksa, pemerintah dapat mencabut hak atas

tanah milik rakyat, dengan mengatasnamakan kepentingan umum, tertera dalam Perpres No.

36 Tahun 2005, Bab II Pengadaan Tanah, Pasal 2, bagian b. Selain itu, latar belakang

ditetapkannya Perpres ini, karena pemerintah sudah terlanjur membuat komitmen pada

Infrastructur Summit 2005, yang lebih berpihak pada kaum pemodal (investor) ketimbang

kepentingan umum (rakyat). Sejumlah kalangan bahkan menyebut Pemerintahan sekarang ini

lebih buruk daripada Rezim Orde Baru yang ditumbangkan rakyat dan mahasiswa tahun

1998.

Indikatornya sangat jelas bahwa Pemerintah ingin memuluskan sejumlah proyek

Infrastruktur seperti pembangunan Jalan Tol bagi kepentingan menggerakkan roda

perekonomian nasional tetapi banyak kalangan akademisi dan praktisi menilai arah kebijakan

reformasi agraria yang dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudoyono saat kampanye telah

lenyap dan yang tinggal hanyalah janji kosong semata Pemberian ganti kerugian seperti yang

termuat dalam Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana diubah

dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 bila kita teliti secara prosedural masih

terdapat banyak kesalahan dan belum final, sebagai contoh adalah penetapan jangka waktu

musyawarah dari 90 hari yang diubah menjadi 120 hari, dan apabila dalam waktu yang telah

ditentukan tersebut belum tercapai suatu kesepakatan, maka pemohon (Instansi

Pemerintahan/pihak swasta) dapat melakukan penitipan sejumlah uang Ganti Rugi ke

Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Hal ini

terkesan memaksa dan secara nyata merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap hak atas

tanah yang dimiliki oleh pemegang hak seperti yang telah dimuat pada Pasal 6 Undang-

undang Pokok Agraria. kegiatan penitipan bentuk dan besar Ganti Rugi pada Pengadilan

Negeri ini, tidak perlu dilaksanakan mengingat didalam ketentuan Pasal 18 Peraturan

Presiden ini telah mengatur upaya pencabutan hak atas tanah, apabila terjadi satu kegagalan

dalam proses musyawarah.

Makna kepentingan umum yang terdapat pada Pasal 18 Undang-undang Pokok

Agraria, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun

2005 sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, secara garis

Page 6: Analisis Perpres Nomor 36 Tahun 2005

besar memiliki makna yang sama, dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut

kepentingan umum lebih dimaknai secara luas, yaitu kepentingan umum sebagai kepentingan

bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat. Yang membedakan adalah cara

pendekatan dan pengaturannya, dalam Pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria, Undang-

undang Nomor 20 Tahun 1961, cara pendekatan dan pengaturan kepentingan umum, hanya

sebatas pada general guidelines. Sedangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 cara yang digunakan

adalah general guidelines ditambah dengan list provisionis, dengan penggunaan kedua

konsep pengaturan ini maka, kepentingan umum sebagai kepentingan seluruh warga

masyarakat dapat ditafsirkan lebih luas dan umum, sehingga menimbulkan ketidak pastian

hukum.

Dengan kebijakannya itu, SBY telah menuai gelombang protes penolakan dan

tuntutan pencabutan dari berbagai pihak, termasuk DPR yang menuntut atau mengusulkan

agar Perpres itu paling tidak di revisi. Tetapi SBY dengan bersikeras menginstruksikan

kepada menteri-menterinya agar Perpres itu terus disosialisasikan dengan membuat berbagai

peraturan dan pedoman pelaksanaannya. Perpres itu untuk kepentingan umum, bukan untuk

kepentingan SBY-JK, dan bukan untuk kepentingan investor, itu untuk kepentingan umum, �ujarnya. Pemerintah akan mengadakan musyawarah. Pemerintah tidak akan datang lalu

mengambil alih secara sepihak hak rakyat akan tanah.

Tetapi sebagaimana kita semua tahu persis bahwa Perpres tersebut dibuat atas

pesanan, pesanan majikan, dan sebagai tindak lanjut dari pertemuan tingkat tinggi antara

pemerintah dengan pemodal asing, yang disebut Pertemuan Infrastruktur (Infrastructure

Summit) yang digelar pada Januari 2005 yang lalu. Demi investor asing, demi pertumbuhan

ekonomi, nasib dan hak rakyat dikorbankan. Jadi dapat diprediksikan bahwa Perpres

tersebut tidak mungkin dicabut, dan tidak tertutup kemungkinan tindakan-tindakan yang lebih

represif akan menjadi solusinya. Ini suatu canang yang menantang, yang dalam alam

demokrasi ini harus dihadapi dengan persatuan dan kekuatan yang lebih besar lagi.

Adapun Perpres yang baru ini juga menyimpan potensi masalah yang cukup

mengkhawatirkan yaitu :

1. Definisi Kepentingan Umum yang belum juga tuntas. Pembatasan kepentingan umum

dalam dua hal, pembangunan itu dilaksanakan pemerintah/pemda, yang selanjutnya

dimiliki atau akan dimiliki pemerintah/pemda. Perpres terdahulu tidak memberi

pembatasan sama sekali. Dibandingkan Keppres No 55/1993, perpres ini memperluas

pembatasan kepentingan umum dengan memuat kata "atau akan" dimiliki oleh

pemerintah/pemda, serta menghapus kata "tidak digunakan untuk mencari

Page 7: Analisis Perpres Nomor 36 Tahun 2005

keuntungan". Mudah ditebak, perpres ini utamanya dimaksudkan untuk menjadi

landasan hukum kemitraan antara pemerintah dan swasta, khususnya dalam proyek-

proyek pembangunan infrastruktur yang pendanaannya sulit dipenuhi pemerintah

sendiri. Keikutsertaan swasta dapat berupa dana pengadaan tanah maupun

pengusahaannya, misalnya melalui BOT atau KSO. Pemilikannya baru dapat

dinikmati pemerintah setelah berakhirnya perjanjian kerja sama operasi, umumnya

setelah 30 tahun.

Pengurangan pembangunan untuk kepentingan umum dari 21 menjadi 7 jenis

menimbulkan pertanyaan, apakah yang menjadi dasar pengurangan itu? Bagaimana jika

pemerintah/pemda akan membangun puskesmas/ rumah sakit umum, tempat pendidikan atau

sekolah, lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, kantor pemerintah/pemda, pasar

umum/tradisional? Apakah pemerintah/pemda harus memperoleh tanah dengan cara jual

beli? Perlu direnungkan, khususnya hak untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan

kesehatan adalah hak dasar yang dijamin UUD 1945 dan merupakan kewajiban pemerintah

untuk memenuhinya.

2. Penitipan Ganti rugi ke Pengadilan Negeri bila proses musyawarah mengenai harga

tanah tidak selesai. Masalah utamanya adalah mekanisme penitipan ganti rugi kepada

Pengadilan Negeri, permasalahan penitipan uang ganti kerugian kepada Pengadilan

Negeri (PN) bila lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, namun musyawarah

tidak mencapai hasil setelah berlangsung 120 hari kalender (sebelumnya 90 hari)

dalam Pasal 10. Perlu ditegaskan, penerapan lembaga penawaran pembayaran yang

diikuti dengan penitipan pada PN yang diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata keliru

diterapkan dalam perpres ini.

Pengadaan tanah adalah perbuatan pemerintah/pemda yang termasuk dalam ranah

hukum administrasi, sedangkan lembaga penawaran pembayaran dalam Pasal 1404 KUH

Perdata mengatur hubungan hukum keperdataan di antara para pihak.

Selain keliru menerapkan konsep dan terkesan memaksakan kehendak sepihak, Pasal 10 ini

tidak final. Sepanjang masyarakat tetap keberatan dengan ganti kerugian, meski ganti

kerugian sudah dititipkan kepada Pengadilan Negeri, tetap terbuka kemungkinan proses

pengusulan pencabutan hak atas tanah melalui Pasal 18 perpres ini, sesuai UU No 20/1961

tentang Pencabutan Hak atas Tanah yang merupakan pelaksanaan amanat Pasal 18 UUPA.

Pencabutan hak baru dapat ditempuh jika semua upaya musyawarah gagal dan merupakan

upaya terakhir yang dimungkinkan oleh hukum.

Mungkin dengan penetapan jangka waktu 120 hari diharapkan dapat dicegah

berlarutnya proses musyawarah sekaligus menimbulkan tekanan psikis pada masyarakat yang

Page 8: Analisis Perpres Nomor 36 Tahun 2005

enggan berhubungan dengan lembaga peradilan. Secara hukum, Pasal 10 perpres ini tidak

relevan karena tanpa menitipkan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri, sudah ada jalan

keluar yang diatur dalam UU No 20/1961.

Dari analisa tersebut di atas dapat diperhitungkan dampak yang dapat timbul,

antara lain :

- Atas nama “kepentingan umum”, Perpres itu mewenangkan Presiden untuk mencabut

hak rakyat atas tanah, implementasi di lapangan dapat berbentuk sewenang-wenang,

memicu peng gusuran dan pengusiran, mening katkan semakin tinggi lagi tindak

kekerasan yang dilakukan aparat negara baik di kota apalagi di desa-desa dan pedalaman,

sehing ga memicu konflik yang lebih hebat lagi.

- Akan memperkokoh cakar penghisapan dan pengurasan atas tanah dan kekayaan alam

yang berdampak kepada krisis cadangan kekayaan alam (seperti cadangan minyak

sekarang ini) dan krisis lingkungan hidup, meningkatkan posisi tanah sebagai barang

dagangan, mempercepat proses pemesutan kepemilikan atas tanah ke tangan para tuan-

tanah berdasi yang dekat dengan kekuasaan politik dan ekonomi, dan akan melipat-

gandakan percepatan alih fungsi lahan produktif pertanian yang dapat mengancam

keamanan dan kedaulatan pangan.

- Mempercepat proses pembangkrutan/pemelaratan rakyat, khususnya kaum tani, karena

mereka harus melepaskan haknya atas tanah, berarti mereka terlepas dari produksi yang

bisa mensejahtera kan hidup keluarganya, berarti akan memperparah kemiskinan yang

sekarang sudah mencapai separuh lebih dari jumlah seluruh penduduk Indonesia, berarti

menambah jumlah barisan penganggur dan juga berarti memicu meningkatkan

kerawanan.Praktek di lapangan membuktikan kebenaran analisa tersebut.