analisis kebijakan tiongkok sebagai inisiator...

145
ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR KERJA SAMA LANCANG-MEKONG COOPERATION (LMC) PADA TAHUN 2015 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) oleh Afriliani 1113113000032 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M / 1439 H

Upload: voanh

Post on 16-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI

INISIATOR KERJA SAMA LANCANG-MEKONG

COOPERATION (LMC) PADA TAHUN 2015

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

oleh

Afriliani

1113113000032

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M / 1439 H

Page 2: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional
Page 3: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional
Page 4: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional
Page 5: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

iv

ABSTRAK

Skipsi ini menganalisa kerja sama Lancang Mekong Cooperation (LMC)

pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

Mekong yang pertama kalinya diinisiasi oleh Tiongkok. Analisis terhadap

kebijakan Tiongkok tersebut dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Teori

yang digunakan yaitu konstruktivisme sebagai landasan pemikiran utama penelitian

ini. Konsep identitas dalam konstruktivis digunakan untuk menjelaskan kebijakan

Tiongkok, karena identitas merupakan preferensi dari kepentingan yang menjadi

penentu arah dan motivasi bagi sebuah tindakan atau kebijakan Tiongkok

khususnya, dalam menginisiasi mekanisme kerja sama LMC. Selain itu, analisis

penelitian ini juga semakin lengkap untuk menjelaskan alasan-alasan yang

melatarbelakangi kebijakan Tiongkok dalam menginisiasi kerja sama LMC dengan

kerangka pemikiran dari konsep geopolitik dan konsep kepentingan nasional.

Berdasarkan analisis asumsi-asumsi teori konstruktivis, konsep geopolitik, dan

konsep kepentingan nasional, penelitian ini menemukan bahwa tiga alasan yang

menjadi dorongan kebijakan Tiongkok menginisiasi LMC pada tahun 2015.

Pertama, logika identitas sosial Tiongkok, pemahaman terhadap peranan dan posisi

nya sebagai the rising power, the regional power, dan persepsi Tiongkok terhadap

kehadiran Jepang dalam kerja sama-kerja sama Subregional Mekong, menjadi dasar

logika identitas sosial Tiongkok terhadap ‘self’ dan ‘other’ yang terbentuk akibat

interaksi sosialnya. Kedua, situasi geopolitik di Subregional Mekong. Ketiga,

Collective Self-esteem (harga diri kolektif) sebagai kepentingan nasional Tiongkok.

Kata Kunci : Tiongkok, Lancang Mekong Cooperation (LMC), identitas,

Geopolitik, Collective Self-estem

Page 6: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT atas berkah Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Analisis Kebijakan Tiongkok sebagai Inisiator Kerja sama

Lancang-Mekong Cooperation (LMC) pada Tahun 2015 ini. Shalawat serta

salam juga penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW

beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk yang teristimewa kedua orang tua

penulis, Almarhum Serma (Purn) Rizal M. Nur dan almarhumah Ibu Murtiyani

terima kasih kepada Papa dan Mama yang telah melimpahkan kasih sayang, doa,

dan dukungan serta telah menanamkan semangat berjuang kepada penulis untuk

menggapai cita-cita. Juga kepada saudara kandung penulis uni Devi, abang Rudi,

uni Rina, dan abang Romi, yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada

penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.

Selama masa studi hingga penyusunan dan selesainya skripsi ini, penulis

mendapatkan banyak bantuan dan dukungan baik secara spiritual, moral maupun

materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan segenap

hati penulis mengucapkan terima kasih kepada yang penulis hormati dan

banggakan:

1. Ketua Prodi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, Bapak Ahmad Alfajri, M.A, dan sekretaris program studi,

Ibu Eva Mushoffa, MHSPS.

2. Bapak Irfan R. Hutagalung, LL.M, selaku dosen pembimbing skripsi dan

proposal skripsi yang dengan sabar telah mendedikasikan waktu dan pikiran

ditengah-tengah kesibukannya untuk membimbing, memberikan arahan,

motivasi, dukungan dan ilmu kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Rahmi Fitriyanti, M.si dan Bapak Ahmad Syaifuddin Zuhri, S.IP, LM selaku

dosen penguji dan seluruh jajaran staff dan pengajar di Prodi Hubungan

Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

vi

4. Seluruh keluarga besar, Uni Hera, Pak etek Ivan, Etek nani, Etek nina, sepupu-

sepupu ka Natasya, dan Ikshan yang telah menjaga dan menjadi suporter penulis

selama masa kuliah.

5. Teman lebih dari saudara, Shabrina, Arini, Aly, Oji, Arip, Bimo, Ina, Ghifar, dan

Vanny. Terima kasih atas segala dukungan, motivasi, doa, canda tawa dan

pengalaman berharga kepada penulis yang membuat masa perkuliahan semakin

menyenangkan dan terima kasih selalu mengingatkan penulis untuk

menyelesaikan skripsi.

6. Teman-teman seperjuangan, Suci, Nadya, Hilda. Terima kasih telah

mendengarkan setiap keluh kesah dan membantu penulis dalam keadaan apapun.

Kalian terhebat.

7. Keluarga CBB, Zhafira, Indaha, Alfira, Riri, Sakinah, Cahyo, Fenin, Hendri,

Zahra, Aden, Abyan, dan Tami. Terima kasih atas dukungan dan doanya, serta

telah berbagi keseruan dan pengalaman berharga kepada penulis.

9. Teman-teman, HI UIN Jakarta angkatan 2013, Zida, Yusi, Vita, Revy, Auzan,

Zhafir, Iqbal, Andre, Melati, Etika, dan teman-teman lainya yang tidak bisa

disebutkan satu-persatu. Terimakasih atas pengalaman berjuang bersama selama

masa perkuliahan dan dukunganya dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Keluarga besar HMI Komfisip, Kohati Komfisip, KPU UIN Jakarta 2016,

SEMA-U 2016, dan DEMA-U 2017, DEMA-FISIP 2015, Terima kasih telah

memberikan ruang bagi aktualisasi peran penulis di lingkungan UIN Jakarta

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan masih banyak

kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan masukan serta kritikan yang

membangun untuk menjadikan skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.

Jakarta, 20 Februari 2018

Afriliani

Page 8: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

vii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ...................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. x

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii

DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah ........................................................................... 1

B. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 9

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ......................................... 9

D. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 10

E. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 17

1. Konstruktivisme ............................................................................. 17

2. Konsep Geopolitik ......................................................................... 24

3. Konsep Kepentingan Nasional....................................................... 28

F. Metode Penelitian ............................................................................ 32

G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 34

BAB II DINAMIKA KEBIJAKAN TIONGKOK TERHADAP

SUBREGIONAL MEKONG

A. Sungai Mekong ................................................................................ 36

1. Karasteristik Fisik Sungai Mekong................................................ 36

2. Karakteristik Sosial Sungai Mekong ............................................. 37

3. Isu Paling Berpengaruh di Sungai Mekong : Hydropower ............ 39

B. Kerja Sama Multilateral di Subregional Mekong ............................ 41

Page 9: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

viii

1. Mekong River Commission (MRC) .............................................. 41

2. The Greater Mekong Sub-region (GMS) ....................................... 43

3. Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) ......................... 43

4. Agreement on Commercial Navigation on Lancang-Mekong River

...................................................................................................... 44

5. The Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic Cooperation

Strategy (ACMECS) ..................................................................... 44

6. Japan – Mekong Cooperation ........................................................ 45

7. Amerika Serikat –Mekong (Lower Mekong Initiative atau LMI) . 47

8. Kerja sama Republic of Korea (ROK) –Mekong .......................... 48

C. Kebijakan Tiongkok Terhadap Kawasan Subregional Mekong ...... 49

1. Dimensi Domestik : Western China Development strategy ......... 50

2. Dimensi Bilateral ........................................................................... 52

3. Dimensi Regional dan Internasional .............................................. 54

BAB III KERJA SAMA MULTILATERAL LANCANG-MEKONG

COOPERATION (LMC) TAHUN 2015

A. Latar Belakang Pembentukan Kerja Sama Multilateral Lancang

Mekong Cooperation (LMC) Tahun 2015 ....................................... 63

B. Mekanisme Lancang Mekong Cooperation (LMC) ......................... 69

C. Peran Tiongkok dalam Lancang Mekong Cooperation (LMC) ...... 70

BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK DALAM MENGINISIASI

KERJA SAMA LANCANG-MEKONG COOPERATION (LMC)

TAHUN 2015

A. Logika Identitas Sosial Tiongkok .................................................... 78

1. Tiongkok sebagai ‘The Rising Power’ ........................................... 80

2. Tiongkok sebagai ‘The Regional Power’ ...................................... 88

3. Persepsi Tiongkok terhadap Kehadiran Jepang dalam Kerja sama-

Kerja sama Subregional Mekong, terkait Logika Identitas Sosial

Tiongkok ....................................................................................... 95

B. Situasi Geopolitik di Kawasan Subregional Mekong .................... 102

C. Collective Self-esteem (Harga Diri Kolektif) sebagai Kepentingan

Nasional Tiongkok ......................................................................... 106

Page 10: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

ix

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 109

B. Saran .............................................................................................. 112

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... xvi

LAMPIRAN ........................................................................................................ xxv

Page 11: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

x

DAFTAR TABEL

Tabel II.A.1 Pekerjaan Terkait Air dan Non-Air di Zona 15 KM sepanjang

Arus Utama Mekong...........................................................37

Tabel II.C.1 Dam atau Mega Bendungan di Sungai Lancang

Tiongkok.............................................................................56

Page 12: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar. II. A.1.1 Peta aliran Sungai Mekong..................................................36

Gambar III.A.1 Pertemuan Pertama Pimpinan Negara Anggota LMC, pada

23 Maret 2016 di Sanya, Tiongkok......................................67

Page 13: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation

(LMC) Leaders' Meeting --For a Community of Shared

Future of Peace and Prosperity among Lancang-Mekong

Countries 2016/03/23........................................................xxv

Lampiran 2 Joint Press Communiqué of the First Lancang-Mekong

Cooperation Foreign Ministers’ Meeting 12 November 12,

2015 Jinghong, Yunnan, China.........................................xxx

Lampiran 3 Naskah Wawancara dengan Bapak Sandy Nur Ikhfal

Raharjo...........................................................................xxxii

Page 14: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xiii

DAFTAR SINGKATAN

ACMECS : Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic Cooperation

Strategy

ADB : Asian Development Bank

AIIB : Asian Infrastructure Investment Bank

AMBDC : ASEAN-Mekong Basin Development Cooperation

AMEICC : AEM-METI Economic and Industrial Cooperation Committee

APT : ASEAN Plus Three

ARF : ASEAN Regional Forum

ASEAN : Association of Southeast Asia Nations

BIMP-EAGA : Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia- East ASEAN Growt Area

CAFTA : China-ASEAN Free Trade Area

CCP : China Communist Party

CCTV : China Central Television

CHINCOLD : Chinese National Committee on Large Dams

CLMV : Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam

CNCP : China National Compehensive Power

DAS : Daerah Aliran Sungai

ECAFE : Economic Commission for Asia and the Far East

FCDI : Forum for Comprehensive Development of Indochina

FDI : Foreign Direct Investment

FLM : Friends of the Lower Mekong

FTA : Free Trade Area

GMS : Greater Mekong Subregion

GMS-ECP : The Greater Mekong Subregion Economic Cooperation Program

LMC : Lancang Mekong Cooperation

LMI : Lower Mekong Initiative

LTS : Laut Tiongkok Selatan

MRC : Mekong River Commision

Page 15: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xiv

OBOR : One Belt One Road

ODA : Official Development Assistance

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PDB : Produk Domestik Bruto

PLTA : Pembangkit Listrik Tenaga Air

ROK : Repubic Of Korea

SCO : Shanghai Cooperation Organization

SDM : Sumber Daya Manusia

SKRL : Singapore-Kunming Rail Link

Page 16: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Penelitian ini akan menganalisis alasan kebijakan Tiongkok dalam

menginisasi kerja sama Lancang-Mekong Cooperation (LMC) di tahun 2015,

bersama lima negara Daerah Aliran Sungai (DAS) Mekong lainnya yaitu, Thailand,

Myanmar, Laos, Kamboja, dan Vietnam.

Sungai Mekong atau di Tiongkok dikenal dengan nama Sungai Lancang,

merupakan sungai terbesar ke-10 di dunia, dengan panjang 4909 km dan mengaliri

enam negara yaitu, tiga provinsi Tiongkok, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja,

dan Vietnam.1 Keberadaan sungai Mekong sangatlah vital bagi negara-negara yang

dialirinya, sungai ini telah menjadi penopang bagi kehidupan 80 juta orang atau

sekitar 90% dari total populasi penduduk negara-negara hilir.2

Sungai Mekong adalah salah satu dari banyaknya sungai-sungai yang

merupakan sungai utama internasional yang berhulu di wilayah Tiongkok,

terutama yang mengalir dari daratan tinggi Tibet ke daratan Asia bagian selatan dan

tenggara.3 Tiongkok setidaknya berbagi 110 sungai dan danau dengan 18 negara

1 Marko Keskinen, “Water Resources Development and Impact Assessment in the Mekong

Basin: Which Way to Go?” Ambio, Vol. 37, No. 3, Mekong at the Crossroads dipublikasi oleh

Springer on behalf of Royal Swedish Academy of Sciences, (Mei 2008), H.193 2 Evelyn Goh, “China In The Mekong River Basin: The Regional Security Implications Of

Resource Development On The Lancang Jiang”, Institute of Defence and Strategic Studies

Singapore, 2004, h. 1 3 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics : Lesson from

the Mekong”, Contemporary Southeast Asia, Vol.29, No.1 di pubilkasi oleh ISEAS- Yusof Ishak

Institute, (April 2007), h.101

Page 17: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

2

Asia lainya.4 Posisi Tiongkok sebagai negara hulu menjadikannya negara yang

paling berpengaruh sehingga disebut sebagai “upstream superpower” dalam

hidropolitik.5

Posisi sebagai upstream superpower sangat menguntungkan Tiongkok

dalam pemanfaatan terhadap sumber daya air untuk memenuhi kepentingan

nasionalnya secara leluasa. Terlebih lagi Tiongkok adalah salah satu dari tiga

negara bersama Turki dan Burundi yang menentang draft “Konvensi tentang

Penggunaan Non-Navigasi dari Aliran Air Internasional” yang diadopsi oleh

Majelis Umum PBB pada tahun 1997.6 Pasal 5 dan 7 dalam konvensi ini mejadi

perdebatan antara negara-negara hulu dan hilir, yang menekankan pada kedaulatan

nasional, yaitu pertama hak untuk memanfaatkan potensi sumber daya nasional,

yang kedua menekankan pada prinsip integritas nasional, yaitu hak untuk tidak

terpengaruh secara merugikan dalam potensi pembangunan oleh aktivitas negara-

negara hulu, yang intinya mewajibkan negara-negara hulu untuk tidak

menyebabkan kerugian yang berarti.7

Menurut perwakilan Tiongkok dalam konvensi tersebut yaitu Gao Feng,

draft Konvensi yang diadopsi PBB tidak mencerminkan prinsip kedaulatan

teritorial sebuah negara dalam memanfaatkan aliran sumber air yang berada di

4 Daming He, “China's transboundary waters: new paradigms for water and ecological

security through applied ecology”, tersedia di

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4278448/ diakses pada 21 Oktober 2017 pukul

21.27 wib 5 Sebastian Biba, “China Drives Water Cooperation with Mekong Countries”, (1 Februari

2016) tersedia di https://www.chinadialogue.net/article/show/single/en/8577-China-drives-water-

cooperation-with-Mekong-countries dikses pada 24 Oktober 2017, pukul 21.49 wib 6 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics, h.102 7 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics, h.102

Page 18: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

3

wilayahnya sendiri.8 Selain itu, Tiongkok juga menarik komisarisnya yang

ditugaskan di Komisi Dunia untuk Bendungan atau World Commision on Dams,

karena dianggap dapat membahayakan pembangunan proyek Bendungan Tiga

Ngarai ( Three Gorges Dam).9

Pembangunan dam atau mega bendungan menjadi proyek yang sangat

penting bagi Tiongkok dalam memenuhi kebutuhan terhadap energi nasional yang

semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan industri Tiongkok

yang semakin maju. Topografi di hulu sungai sangat menguntungkan bagi

Tiongkok karena memiliki potensi selain sumber air juga sebagai sumber energi

listrik.10 Hal ini menyebabkan stereotip negatif terhadap Tiongkok, yaitu sebagai

negara hulu yang mengeruk sebesar-besarnya keuntungan dari transboundary

water rescource (sumber air lintas batas), dan mengekspor kerusakan yang

merugikan ke negara-negara hilir.11

Aktivitas hulu yang merugikan bagi negara hilir tentunya mempengaruhi

hubungan Tiongkok dengan negara-negara DAS Mekong lainya. Menurut Peter

Gleick, salah satu alasan sangat pentingnya menjaga keberlangsungan sumber air,

karena air adalah zat yang tidak bisa digantikan oleh zat lain.12 Oleh karenanya, air

8Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise" and Dam Building on

the Mekong”, Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 2, dipublikasi oleh ISEAS- Yusof Ishak

Institute, (Agustus 2005), h.295 9Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics : Lesson from

the Mekong”, Contemporary Southeast Asia, Vol.29, No.1 di pubilkasi oleh ISEAS- Yusof Ishak

Institute, (April 2007), h.102 10Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.101 11 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, .h.101 12Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise" and Dam Building

on the Mekong”, Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 2, dipublikasi oleh ISEAS- Yusof

Ishak Institute, (Agustus 2005), h.287

Page 19: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

4

menjadi aspek yang sangat penting dalam menjaga keamanan suatu negara,

terutama yang sangat berdampak terhadap kemanan ekonomi dimana hampir

seluruh aktivitas ekonomi memerlukan air.13 Ia juga mengungkapkan, negara-

negara tidak akan segan untuk mengancam negara-negara lain bahkan

mendeklarasikan perang jika wilayah hulu sungai mereka terganggu.14

Upaya menghindari konflik terhadap pengelolaan air dan dalam upaya

menjaga keberlangsungan Sungai Mekong memerlukan kerja sama antar negara-

negara DAS. Kerangka kerja sama telah ada di wilayah Subregional Mekong sejak

lama. Pada tahun 1957, Kerja sama pertama dilakukan empat negara aliran Sungai

Mekong yaitu Kamboja, Laos, Vietnam, dan Thailand.15 Kerja sama ini

membentuk Mekong Committe yang didukung oleh PBB.16 Pada tahun 1995,

pemerintah Kamboja, Thailand, Laos, dan Vietnam sepakat untuk menjalin kerja

sama dalam pengelolaan air dan pembangunan Sungai Mekong yang bekelanjutan

dengan menandatangani perjanjian Mekong Agreement dan pembentukan Komisi

Sungai Mekong atau Mekong River Commission (MRC).17

Tiongkok dan Myanmar tidak bergabung dalam kerja sama tersebut,

keduanya hanya menjadi mitra dialog saja, padahal Tiongkok dan Myanmar adalah

negara hulu yang sangat penting menjadi bagian dari kerja sama tersebut.18 Hal ini

13 Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise", h.287 14 Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise", h.287 15 Jeffrey W. Jacobs, “Mekong Committee History and Lessons for River Basin

Development” The Geographical Journal, Vol. 161, No. 2, dipublikasi oleh Geographicalj, (Juli

1995), h.135 16 “The Story of Mekong cooperation” tersedia di http://www.mrcmekong.org/about-

mrc/history/ diakses pada 22 Oktober pukul 00.29 wib 17 “About MRC”, http://www.mrcmekong.org/about-mrc/ diakses pada 22 Oktober 2017

pukul 00.17 wib 18 “The Story of Mekong cooperation”

Page 20: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

5

dikarenakan oleh posisi sebagai negara hulu yang tidak hanya kuat secara geofisika,

tapi juga kelebihan Tiongkok yang memiliki kapasitas politik, militer, dan ekonomi

yang jauh lebih kuat dibandingkan negara-negara DAS Mekong lainya, sehingga

menyebabkan kerja sama tidak diperlukan oleh Tiongkok untuk mencapai

kepentinganya di Sungai Mekong.19

Upaya negara hilir melakukan dialog lainya bersama Tiongkok yaitu

melalui kerja sama regional ASEAN dimana kelima negara subregional Mekong

merupakan anggota Association of Southeast Asia Nations (ASEAN), Asian

Development Bank (ADB) dan MRC. Hingga tahun 2013 tercatat negara-negara

Subregional Mekong telah ikut menjalin kerangka kerja sama di bidang ekonomi,

pembangunan, dan strategic partnership bersama Tiongkok melalui ASEAN, pada

tahun 1996 ASEAN-led Initiaves with China, dan tahun 2000 Agreement on

Commercial Navigation on Lancang-Mekong River yang diikuti tiga negara

ASEAN yaitu Laos, Myanmar, Thailand dengan Tiongkok.20

Kerja sama-kerja sama yang dilakukan Tiongkok bersama negara-negara

Subregional Mekong melalui ASEAN dikatakan oleh Hidetaka Yoshimatsu sebagai

kerja sama yang retorik dan bukan subtantantif.21 Kerja sama tersebut termasuk

banyak kerja sama lainya yaitu Initiative for ASEAN Integration (IAI), ASEAN-

Mekong Basin Development Cooperation (AMBDC), Brunei Darussalam-

Indonesia-Malaysia-Philippines-East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA), dan

19 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics, h.102 20 Apichai Sunchindah, “Policy Brief Lancang-Mekong River Basin Reflections on

Cooperation Mechanisms Pertaining to A Shared Watercourse”, S Rajaratnam School of

Internasional Studies, (2013), h.3 21 Apichai Sunchindah, “Policy Brief Lancang-Mekong River Basin Reflection”, hal 4

Page 21: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

6

Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic Cooperation Strategy (ACMECS),

dan Tiongkok menjadi penyumbang terkecil dibandingkan Jepang, India, dan Korea

Selatan, yaitu hanya US$ 0,2 juta dalam satu proyek kepada IAI yaitu pembangunan

jalur air di CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam).22

Satu-satunya kerja sama dimana Tiongkok terlibat secara subtansional

bersama negara-negara Subregional Mekong yaitu kerja sama Greater Mekong

Subregion (GMS) program sejak 1992 yang didukung oleh ADB.23 GMS

merupakan program infrastruktur terbesar di kawasan Mekong dengan

mengintegrasikan kawasan melalui pembangunan, transportasi, dan komunikasi.24

Dalam program tersebut Tiongkok melibatkan dua provinsinya yaitu Provinsi

Yunnan dan Daerah Otonomi Guangzi Zhuang.25

Tiongkok ikut serta dalam kerja sama ini karena keuntungan yang didapat

akan sangat besar terutama program tersebut sejalan dengan upaya Tiongkok

menstransformasikan Yunnan menjadi pintu gerbang menuju Asia Tenggara.26

Meskipun melalui mekanisme kerja sama GMS tersebut, negara-negara hilir tidak

ada yang bisa bernegosiasi dengan Tiongkok terkait ambisi pembangunannya di

wilayah Lancang dan akan mengekspor dampak negatif terkait isu air, human

security, dan masalah lingkungan. Kegagalan dialog mencerminkan hubungan yang

22Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration, And Political Rivalry

Among ASEAN”, China and Japan Asian Perspective Vol. 34, No. 3, , dipublikasi oleh Lynne

Rienner Publishers, (2010), h.88 23 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.111 24 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.111 25 “Overview of the Greater Mekong Subregion”

https://www.adb.org/countries/gms/overview diakses pada 22 Oktober 2017 pukul 13:22 wib 26 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.111

Page 22: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

7

tidak setara antara Tiongkok dan negara-negara hilir dari segi power dan tidak

kondusifnya geopolitik di Subregional Mekong.27

Hal ini menyebabkan kebijakan Tiongkok di kawasan Subregional Mekong

mencerminkan aktor yang sangat realis, hanya berfokus pada keuntungan domestik,

kekuasaan, skeptisisme dan keuntungan timbal balik.28 Alex Liebman mengkritik

sikap Tiongkok yang sangat jauh dari “peaceful rise” seperti propaganda yang

dicitrakan selama ini, karena kebijakannya di Sungai Mekong hanyalah mencari

keuntungan bagi diri sendiri, kepentingan domestik adalah yang utama, tidak

mempratikan konsep “win-win” atau saling menguntungkan melalui kebijakanya

di Sungai Mekong.29

Kebijakan Tiongkok terhadap Subregional Mekong mulai berubah, pada

November 2015, untuk pertama kalinya Tiongkok menginisiasi mekanisme kerja

sama Lancang Mekong atau Lancang Mekong Cooperation (LMC) dengan lima

negara Subregional Mekong lainya, yaitu Myanmar, Laos, Thailad, Kamboja, dan

Vietnam, yang sebelumnya telah diajukan pada KTT ASEAN 2014 di Myanmar.30

Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi, menyampaikan makanisme kerja sama

baru tersebut akan mencakup lima bidang prioritas, interconnectivity, kapasitas

produksi, ekonomi lintas batas, sumber daya air, dan kerja sama dalam pertanian,

dan pengentasan kemiskinan.31

27 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.112 28 Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.102 29 Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise", .h.299 30 Sebastian Biba, “China Drives Water Cooperation with Mekong Countries” 31 “Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for Regional

Cooperation by six countries in the Mekong River Basin” tersedia dalam

http://www.mrcmekong.org/news-and events/news/lancang-mekong-cooperation-mrc-welcomes-

Page 23: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

8

Pertemuan pertama pada November 2015, antar para Menteri Luar Negeri

dari enam negara LMC yang secara resmi mendukung Concept Paper LMC dan

meluncurkan kerangka kerja sama.32 Pertemuan kedua kerja sama LMC, dihadiri

pemimpin Tiongkok, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand dan Vietnam di

Vientiane Laos pada 31 Maret 2016, dan para pemimpin tersebut sepakat untuk

memperkuat dialog dan kerja sama regional dalam tiga bidang utama yaitu politik

dan keamanan, pembangunan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, dan

pertukaran sosial-budaya.33

Terbentuknya kerja sama LMC tersebut memperlihatkan peran Tiongkok

semakin aktif dan positif dalam kerja sama dengan negara-negara DAS Mekong

lainya terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air.34 Padahal

sebelumnya, Kebijakan Tiongkok terhadap Subregional Mekong sangat realis dan

tidak kooperatif, hingga kemudian kebijakan Tiongkok berubah menjadi aktor

penggerak atau inisiator dari kerja sama LMC dengan negara-negara DAS Mekong

lainya. Hal ini menjadi penting untuk diteliti, melihat adanya perubahan peran

Tiongkok yang semakin signifikan terhadap kawasan Subregional Mekong dengan

hadir tidak hanya sebagai mitra dialog melainkan menjadi inisiator dalam kerangka

kerja sama baru yaitu Lancang Mekong Cooperation pada tahun 2015.

the-new-initiative-for-regional-cooperation-by-six-countries-in-the-mekong-river-basin/ diakses

pada 24 Oktober 2017, pukul 22.46 WIB 32 “Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for Regional

Cooperation..... 33 “Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for Regional

Cooperation..... 34 Sebastian Biba, “China Drives Water Cooperation with Mekong Countries”

Page 24: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

9

B. Pertanyaan Penelitian

Berangkat dari peryataan masalah, sehingga memunculkan pertanyaan dan

akan dijawab oleh penelitian ini yaitu, mengapa Tiongkok menginisiasi kerja

sama Lancang Mekong Cooperation (LMC) pada tahun 2015?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui kepentingan Tiongkok terhadap Sungai Mekong terkait

pembangunan dan pengembangan ekonomi dan strategi “Develop the

West”

2. Mengetahui kebijakan Tiongkok sebagai negara hulu Sungai Mekong

terhadap isu air, human security, dan lingkungan

3. Mengetahui strategi dan pendekatan Tiongkok terhadap negara-negara

Subregional Mekong

4. Mengetahui alasan-alasan Tiongkok menginisiasi kerja sama Lancang

Mekong Cooperation (LMC) bersama negara-negara Subregional

Mekong.

Adapun manfaat penelitian ini:

1. Menguji teori dan konsep terkait analisa kepentingan Tiongkok dalam

menginisiasi kerja sama Lancang Mekong Cooperation (LMC)

bersama lima negara DAS Mekong lainya pada tahun 2015.

Page 25: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

10

2. Memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya terkait kepentingan Tiongkok dalam menginisiasi kerja

sama LMC pada tahun 2015.

3. Dapat menjadi salah satu sumber rujukan penelitian selanjutnya

terkait dengan kepentingan Tiongkok dalam menginisiasi kerja sama

LMC pada tahun 2015.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian dan kajian mengenai kebijakan Tiongkok terhadap negara-negara

Subregional Mekong telah dilakukan banyak peneliti melalui sudut pandang dan

metodologi yang berebeda-beda. Tinjauan pustaka ini akan melihat bagaimana

penelitian-penelitian terdahulu membahas penelitianya serta perbedaanya dengan

penelitian ini, sehingga dapat dijadikan acuan serta memperlihatkan signifikansi

dari penelitian ini.

Penelitian pertama adalah sebuah artikel jurnal yang dimuat dalam Journal

of Mekong Societies, Vol.12 No.3 yang diterbitkan pada September-Desember

2016, artikel tersebut berjudul The Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Viewed

in Light of the Potential Regional Leader Theory yang ditulis oleh Poowin

Bunyavejchewin seorang peneliti dari Institute of East Asian Studies, Thammasat

University. Artikel tersebut menganalisa kerja sama LMC dengan melihat formasi

keanggotaan dimana Tiongkok dan Thailand sebagai insiator dari kerja sama LMC

namun, Tiongkok yang kemudian memfasilitasi sepenuhnya LMC menjadi kerja

sama yang nyata. Posisi Tiongkok dianalisis menggunakan teori Potential Regional

Leader yang diadopsi dari Shintaro Hamanaka.

Page 26: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

11

Artikel tersebut menganalisis strategi Tiongkok yang tidak memasukan

negara-negara asing sekaligus rival Tiongkok yang selama ini telah menjadi aktor

lama dalam kerja sama di kawasan Subregional Mekong seperti Jepang dan

Amerika Serikat kedalam kerja sama. Menurut Poowin Tiongkok merupakan aktor

baru dalam kerja sama di kawasan tersebut namun, dengan strategi formasi

keanggotaan tersebut akan efektif bagi Tiongkok untuk menjadi pemimpin dalam

sebuah kelompok regional yang diciptakanya.

Pembahasan dalam artikel tersebut juga menjelaskan alasan-alasan strategi

Tiongkok untuk tidak mengikutsertakan Jepang dan sedikit memberikan gambaran

terkait kepentingan Tiongkok terhadap pembentukan kerja sama LMC. Artikel

tersebut berbeda dengan penilitian ini, karena dari penggunaan teorinya bersifat

prediktif dengan formasi anggota kerja sama akan memberikan kemungkinan

kepada Tiongkok menjadi pemimpin dalam kerja sama LMC, hal ini merupakan

sedikit gambaran terhadap motif Tiongkok terhadap LMC. Sedangkan penelitian

ini akan menganalisis kepentingan Tiongkok lebih komprehensif yang menjelaskan

latar belakang atau alasan yang menjadi sebab utama Tiongkok menginisiasi kerja

sama tersebut, sehingga lebih menjelaskan keadaan yang terjadi di internal dan

eksternal dan tidak memprediksi keadaan selanjutnya yang akan terjadi, melalui

teori konstruktivisme, konsep geopolitik, dan konsep kepentingan nasional.

Sumber pustaka kedua yaitu, artikel jurnal yang berjudul China’s

Perfomance in International Resource Politics: Lessons from the Mekong yang

dimuat dalam jurnal Contemporary Southeast Asia, Vol.29, No. 1, dipublikasikan

oleh ISEAS – Yusof Ishak Institute pada April 2007. Artikel jurnal yang ditulis oleh

Page 27: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

12

Timo Menniken tersebut meneliti kebijakan-kebijakan Tiongkok terhadap Sungai

Mekong yang memperlihatkan performa Tiongkok yang semakin eksploitatif.

Kebijakan Tiongkok yang eksploitatif tersebut adalah upaya Tiongkok

untuk memenuhi kebutuhan domestik terhadap sumber air dalam konteks ini adalah

Sungai Mekong yang dampaknya dirasakan secara internasional atau lintas batas

negara. Artikel ini memberikan penjelasan tentang kondisi sumber daya air

Tiongkok dan faktor-faktor yang mendorong kebijakan yang eksploitatif tersebut.

Diantaranya yaitu, sumber-sumber air yang mulai mengering seperti Sungai

Yangtze atau Sungai Kuning yang mengering, di tengah laju pertumbuhan ekonomi

yang semakin pesat, urbanisasi, pertambahan jumlah penduduk, yang menyebabkan

dampak spillover terhadap kebutuhan energi.

Kebutuhan dalam negeri yang meningkat tersebut menyebabkan Tiongkok

semakin bergantung terhadap sungai-sungai yang masih berfungsi seperti Sungai

Mekong. Dengan penjelasan keadaan domestik yang demikian, penelitian tersebut

memberi gambaran bahwa performa Tiongkok terhadap kawasan Mekong tidak

akan jauh berubah dari kebijakan-kebijakan Tiongkok sebelumnya.

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa kebijakan Tiongkok hingga

tahun 2007, terhadap kerja sama internasional mengenai air dengan komitmen

normatif, sangat dihindari. Tiongkok lebih memilih berkomitmen dalam kerja sama

di kawasan Mekong yang bersifat strategis. Penelitian tersebut menganalisis

Tiongkok sebagai aktor dalam politik air internasional menggunakan game theory.

Melalui teori tersebut penulis menggambarkan hubungan upstream-downstream

Page 28: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

13

country secara umum seperti “Rambo-situations”, situasi yang dapat dilihat dari

perilaku Tiongkok dimana sebagai negara hulu Tiongkok tidak bergantung pada

kerja sama untuk mencapai kepentinganya. Selain kapasitas sebagai negara hulu

atau kelebihan secara geofisika, Tiongkok juga memiliki kapasitas politik, militer,

dan ekonomi yang jauh lebih kuat daripada negara-negara DAS Mekong lainya.

Situasi demikian, menurut penulis yang menyebabkan kerja sama tidak mungkin

terjadi.

Penelitian tersebut juga memberikan penjelasan bagaimana sikap Tiongkok

terhadap kerja sama-kerja sama kawasan Mekong yang dibentuk negara-negara

DAS lainya. Melalui kerja sama-kerja sama tersebut juga digunakan untuk

bernegosiasi dengan Tiongkok. Hal ini diungkapkan oleh penulis jika negara-

negara DAS tersebut menyatukan kekuatan dalam kerangka kerja sama seperti

MRC dan ASEAN akan sedikit dapat menekan Tiongkok, terbukti dengan akhirnya

Tiongkok memberikan data hidrologi dam miliknya di Sungai Mekong pada tahun

2002 yang kemudian digunakan untuk dapat medeteksi banjir.

Sejalan dengan pendapat Timo Meinneken, peneliti sebelumnya Alex

Liebman, sekaligus menjadi sumber pustaka ketiga yaitu artikel jurnalnya yang

berjudul “Trickle-down Hegemony? China’s ‘Peaceful Rise’ and Dam Building on

Mekong”, dimuat dalam jurnal Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 2 yang

dipublikasikan oleh ISEAS- Yusof Ishak Institute pada Agustus 2005, melalui

artikel tersbeut Alex Liebman mengkritik propaganda Tingkok sebagai negara yang

bangkit secara damai atau “Peaceful Rise”. Menurutnya kebijakan Tiongkok

terhadap Sungai Mekong yang merupakan sumber air yang harus dibagi

Page 29: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

14

penggunaannya dengan negara-negara tetangga yang dialirinya, namun Tiongkok

seringkali bertindak sesuka hati tanpa memperhatikan dampaknya bagi negara

aliran sungai lainya, ditandai dengan pembangunan dam yang terus dilakukan

hingga tahun 2019. Sedangkan dalam propaganda tersebut, para akademisi besar

Tiongkok mengatakan, Tiongkok akan bersikap kooperatif, menciptakan peluang

dan keuntungan, bukan tantangan dan ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara.

Pembangunan dam Tiongkok di Sungai Mekong, kemudian menjadi

pertanyaan besar penulis terhadap Tiongkok terkait propaganda yang

dicanangkannya. Melalui artikel tersebut penulis memberikan gambaran bahwa

kebijakan Tiongkok tidaklah kooperatif apalagi memberikan keuntungan bagi

negara-negara Asia Tenggara khususnya negara-negara DAS Mekong dengan

pembangunan dam tersebut, yang justru hanya mendatangkan bencana dan

kerugian bagi mereka.

Tiongkok hanya berfokus pada kepentingan pribadi tanpa memperhatikan

dampaknya yang mempengaruhi negara-negara DAS Mekong lainya. Liebman

mengatakan bahwa kerja sama adalah suatu hal yang dihindari Tiongkok di

kawasan Sungai Mekong karena akan menyebabkan Tiongkok harus mengeluarkan

cost untuk bekerja sama, tentu saja cost tersebut adalah pembatalan pembangunan

dam. Tiongkok sangat memerlukan dam, untuk membangun dan mengembangkan

daerah terbarat Tiongkok atau dikenal dengan program“Develop the West”. Oleh

karenanya, menurut Tiongkok kerja sama dengan negara-negara DAS Mekong

hanya akan berjalan “zero-sum” dan merugikan Tiongkok.

Page 30: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

15

Artikel ini juga memberikan penjelasan bagaimana kebijakan-kebijakan

Tiongkok di Sungai Mekong dan terhadap kerja sama-kerja sama yang berjalan di

kawasan, serta peranan Tiongkok di kawasan tersebut. Kedua artikel tersebut sangat

bermanfaat dalam memberikan gambaran bagaimana sikap Tiongkok sebelumnya,

yang memperlihatkan bahwa Tiongkok cukup tidak kooperatif, hingga akhirnya

menjadi inisiator kerja sama baru di kawasan Subregional Mekong pada tahun

2015. Kehadiran kerja sama yang diinisasi Tiongkok menjadi fokus penelitian

skripsi ini akan memberikan pembaruan penemuan bagi artikel-artikel jurnal

tersebut.

Sumber pustaka keempat adalah sebuah Policy Report dengan judul “China

Seeks to Improve Mekong Subregional Cooperation: Causes and Policies” yang

dipublikasikan oleh Rajaratnam School of Internasional Studies yang terbit pada

Februari 2016 dan ditulis oleh Lu Guangsheng. Dalam laporan tersebut, dijelaskan

bahwa Tiongkok melakukan peningkatan kerja sama strategis di regional melalui

upgrading program kerja sama ekonomi Subregional GMS atau The Greater

Mekong Subregion Economic Cooperation Program (GMS-ECP) dan meluncurkan

kerja sama LMC pada 12 November 2015.

Laporan tersebut menganalisis penyebab Tiongkok meningkatan kerja sama

dan kebijakan terkait, dengan memberikan tiga alasan utama. Pertama, kerja sama

ekonomi Subregional telah mencapai tingkat yang lebih tinggi. Kedua, ada

kebutuhan mendesak bagi Subregional dalam kerja sama ekonomi untuk mencakup

bidang keamanan, politik, dan sosial, Tiongkok memiliki motivasi dalam

Page 31: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

16

memainkan peranan yang lebih lengkap dan dominan dalam kerangka kerja sama

Subregional.

Ketiga, dalam uprading kerja sama GMS-ECP Tiongkok juga

mempertahankan strategi inisiatif “Belt and Road”, fokus kerja sama dengan Laos,

Thailand, dan Kamboja. Kemudian, Tiongkok aktif mempromosikan pembangunan

LMC, mekanisme kerja sama Subregional baru. Dalam kerja sama Tiongkok juga

mempercepat pembangunan infrastruktur perkeretaapian lintas batas dan berusaha

untuk mempromosikan pengembangan lebih lanjut kerja sama mengenai hukum

dan keamanan.

Faktor-faktor yang dijelaskan dalam laporan tersebut, dapat membantu

penulis dalam menjawab pertanyaan penelitian dalam skripsi ini. Penjabaran

mengenai kerja sama-kerja sama negara-negara DAS Mekong sebelumnya dengan

negara-negara di luar kawasan seperti Jepang yang medukung kerja sama GMS

melalui ADB dan Amerika Serikat membantu melaui kerja sama the Lower

Mekong Initiative (LMI). Sedikit memberikan gambaran bagi penulis tentang

situasi geopolitik kawasan bagi Tiongkok dan juga dampak dari visi Silk Road

Economic Belt and the 21st Century Maritime Silk Road terhadap perubahan

kebijakan Tiongkok terhadap kerja sama Subregional Mekong.

Laporan tersebut tidak secara komprehensif dan khusus mengungkapkan

alasan Tiongkok membentuk LMC, namun membahasnya secara lebih umum tanpa

analisa menggunakan teori Ilmu Hubungan Internasional. Oleh karenanya, laporan

tersebut berbeda dengan penelitian ini karena penelitian ini menggunakan teori HI

Page 32: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

17

yaitu konstruktivisme, konsep geopolitik, dan konsep kepetingan nasional untuk

menjelaskan kepentingan Tiongkok secara lebih khusus dan ilmiah dalam

membentuk kerja sama baru yaitu LMC.

E. Kerangka Pemikiran

Pertanyaan penelitian ini akan dianilisis dan dipahami menggunakan salah

satu grand teori dalam Ilmu Hubungan Internasional yaitu konstruktivisme, konsep

geopolitik, dan konsep kepentingan nasional. Penelitian ini menggunakan teori

konstruktivisme dalam menganalisis penyebab Tiongkok bertindak sebagai

inisiator dalam kerangka kerja sama LMC pada tahun 2015 dengan analisa terhadap

identitas Tiongkok sebagai dasar sebuah kepentingan.

Konsep geopolitik untuk menganalisis kepentingan tiongkok dengan

melihat variabel geografi yang mempengaruhi kebijakan Tiongkok terhadap LMC.

Konsep kepentingan nasional menganalisis kepentingan yang menjadi motivasi

Tiongkok untuk membentuk LMC.

1. Konstruktivisme

Kegagalan dua teori mainstream HI dalam menjelaskan dan memprediksi akhir

dari Perang Dingin, dianggap telah memfasilitasi konstruktivisme masuk dalam

disiplin ilmu Hubungan Internasional.35 Kritik konstruktivis terhadap teori

mainstream HI dengan pandangan rasionalis hanya berfokus pada distribusi power

35 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” dimuat dalam Tim Dunne, Steve

Smith, dan Amelia Hadfield, “Foreign Policy: Theories, Actors, Cases”, (Oxford University Press,

2012), h. 80

Page 33: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

18

yang bersumber dari kemampuan material berupa ekonomi dan militer. Sementara

itu, menurut konstrutivis selain distribusi power, sesungguhnya realitas dalam

hubungan internasional juga dibentuk oleh interaksi sosial.36

Interaksi sosial yang terjadi merupakan proses konstruksi struktur internasional,

karena konstruktivis berpendapat bahwa struktur internasional adalah bagian dari

struktur sosial, dan dunia sosial bukanlah sesuatu yang given, yang terjadi begitu

saja, namun sebaliknya, merupakan sebuah tatanan yang dikonstruksi melalui

interaksi sosial.37 Terdapat tiga hal penting menurut Alexander Wendt, yang terjadi

dalam interaksi sehingga membentuk struktur sosial yaitu, shared knowledge

(pengetahuan bersama), material resources (sumber materil), dan practices

(praktek).38

Unsur pertama yaitu shared knowledge berupa pemahaman, harapan,

pengetahuan ataupun struktur ide, dan norma yang dibangun bersama membentuk

struktur sosial, dan menentukan posisi aktor dalam situasi dan sifat hubungan antar

aktor, apakah kerja sama atau konflik. Misalnya, dilema keamanan, yang

merupakan struktur sosial akibat pemahaman bersama terhadap situasi dimana

negara-negara saling curiga, sehingga masing-masing aktor berasumsi paling buruk

terhadap perilaku dan kebijakan aktor lain, situasi demikian menyebabkan perilaku

36 Alexander Wendt, “Constructing International Politics”, International Security, Vol. 2,

No. 1 (Summer, 1995), h. 73. 37 Robert Jackson dan Georg Sorensen terj. Dadan Suryadipura, “Pengantar Studi, h. 307 38 Alexander Wendt, “Constructing International Politics”, International Security, Vol. 2,

No. 1 (Summer, 1995), h. 73.

Page 34: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

19

aktor yang cenderung untuk tidak bergantung dengan siapapun dan berdaya sendiri

(self-help).

Unsur kedua yaitu, struktur sosial meliputi sumber daya material seperti

emas, nuklir, minyak dan sebagainya, menurut konstruktivis hanya memperoleh

makna terhadap tindakan aktor melalui struktur pengetahuan bersama yang

ditanamkan pada sumber material tersebut.39 Misalnya yaitu, lima senjata nuklir

yang dimiliki oleh Rusia jauh lebih mengancam Amerika Serikat daripada 500

senjata nuklir yang dimiliki Perancis. Hal ini disebabkan oleh adanya pemahaman

bersama yang ditanamkan oleh AS, dimana Rusia merupakan musuh dan Perancis

adalah teman.

Unsur ketiga yaitu, practice (praktik), struktur sosial tersebut ada dalam

praktik. Praktik sangatlah penting, karena melalui praktik struktur sosial tebentuk

dan eksis, sehingga aktor atau agen (subjek) adalah yang berkuasa mempengaruhi

dan membentuk struktur melalui praktik dan interaksi antar subjek, dan setelah

eksis struktur akan berbalik mempengaruhi subjek.40

Adapun proposisi dan konsep penting konstruktivis dalam menjelaskan

struktur internasional dirangkum oleh Trine Flockhart menjadi empat bagian,

yaitu,41 pertama, keyakinan akan konstruksi realitas sosial dan pentingnya fakta

39 Alexander Wendt, “Constructing International Politics”, International Security, Vol. 2,

No. 1 (Summer, 1995), h.73. 40 Cecep Zakarias El Bilad, “Konstruktivisme Hubungan Internasional: Meretas Jalan

Damai Perdebatan Antar Paradigma”, Jurnal Studi Hubungan Internasional, Vol. 1 No 2, (2011),

h.71 41 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” dimuat dalam Tim Dunne, Steve

Smith, dan Amelia Hadfield, “Foreign Policy: Theories, Actors, Cases”, (Oxford University Press,

2012), h. 82

Page 35: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

20

sosial, proposisi utama dalam konstruktivis bahwa realitas berasal dari pengetahuan

subyektif dan sifat alami realitas untuk ditafsirkan, selanjutnya melalui interaksi

sosial pengetahuan tersebar luas dan menjadi pengetahuan atau pemahaman

bersama (intersubjective meaning) tentang dunia. Hal ini berdasarkan pandangan

Wendt, yaitu tentang unsur shared knowledge yang terjadi dalam interaksi sosial.

Adapun kemudian fakta sosial dan intersubjective meaning memiliki makna

yang berbeda namun, keduanya tidak bisa dipisahkan Flockhart berpandangan

bahwa sebuah fakta sosial hanya ada melalui kesepakatan manusia dan pengetahuan

bersama, selanjutnya diperteguh melalui praktik. Fakta-fakta sosial menjadi nyata

melalui hubungan sosial, peraturan, dan praktik rutin sehingga muncul sebagai

realitas obyektif dengan eksistensi independen dari mereka yang membangun fakta

sosial.42

Contohnya, pemahaman terhadap uang, yang dianalogikan oleh Searle (1995)

dikutip dalam artikel Stefano Guzinni (2000), pemahaman bersama terhadap uang

yang dalam bentuk fisik hanya selembar kertas dan logam, akan tidak bermakna

lagi ketika semua orang berhenti untuk meyakini dan tidak melakukan atau

mempratikkan tukar menukar dengan kertas dan logam tersebut.43

Kedua, konstruktivis berfokus pada struktur ideasional dan material serta

pentingnya norma dan peraturan. Pentingnya pengetahuan bersama terhadap faktor

ideasional seperti peraturan, simbol, dan bahasa, sama pentingnya terhadap faktor

42 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy”, h. 83 43 Stefano Guzzini, “A Reconstruction of Constructivism in International Relations.

European Journal of International Relations”, European Journal of International Relations Vol.6(2),

147‐182 SAGE Publications, (2000), h.160

Page 36: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

21

material. Hal ini berangkat dari pandangan Wendt dalam unsur material resource

bahwa struktur internasional sebagian terdiri dari faktor material, namun tidak akan

bermakna tanpa pemahaman terhadap konsteks sosial, pengetahuan bersama, dan

praktik.

Ketiga, konstruktivis berfokus pada peran identitas dalam membentuk tindakan

politik dan pentingnya ‘logics of action’. Identitas adalah pemahaman aktor dalam

mempersepsikan dirinya sendiri, dan persepsi tersebut akan memberikan

pengetahuan bagaimana aktor dapat memandang aktor lain, dan bagaimana aktor

lain memandang dirinya, sehingga dapat mengetahui kepentingan aktor lain

terhadapnya, singkatnya identitas dibentuk oleh struktur internal dan eksternal dari

aktor, dan identitas tidak hanya sebatas khayalan, karena dipahami oleh aktor lain

dengan cara yang sama.44

Identitas diyakini sangat menyiratkan serangkaian kepentingan atau preferensi

tertentu bagi sebuah tindakan maupun kebijakan aktor. Identitas aktor, diakui oleh

konstruktisvis dibangun oleh sejarah, budaya, politik, konteks sosial dan norma,

untuk itu konstruktivisme mengasumsikan bahwa tindakan aktor tidaklah

ditentukan oleh perhitungan cost-benefit semata yang menjadi ciri khas teori

rasionalis, namun pilihan tindakan aktor secara spontan berdasarkan pertimbangan

kesesuaian tindakan dengan identitasnya.45 ‘logics of action’ dalam perumusan

kebijakan luar negeri tidak selalu berjalan sesuai logika rasionalis, namun dalam

44 Ted Hopf, “The Promise of Constructivism in International Relations Theory”,

International Security, Vol. 23, No. 1 (Summer 1998), h. 175 45 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” h. 87

Page 37: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

22

hal ini logics of action dipahami sebagai ‘logic of appropriateness’ atau ‘logika

kesesuaian’.46

Identitas nasional berperan dalam membentuk wacana keamanan dan

perilaku startegis aktor dan kaitanya dengan kebijakan luar negeri.47 Selain itu,

konteks historis, budaya, politik, dan konteks sosial dari aktor merupakan faktor

yang turut membangun dan mengkonseptualisasikan identitas aktor tersebut dalam

politik internasional.48 Identitas aktor tidaklah terbentuk begitu saja secara alami

(given) melainkan ditempa melalui pendidikan dan penanaman, sehingga harus

dipahami bahwa identitas sebagai proses yang berkelanjutan, dan bukanlah

seperangkat batas yang tetap, yang memiliki hubungan dengan berbagai hal dan

bukan entitas atau atribut yang berdiri bebas.49 Identitas aktor dapat berubah seiring

waktu dan lintas konteks, identitas diproduksi melalui interaksi sosial dengan aktor

lain, dan lebih dari sekedar kepentingan.50 Alexander Wendt menggambarkan

bahwa tanpa identitas kepentingan tidak memiliki kekuatan motivasional dan tanpa

kepentingan identitas tidak memiliki arah.51

Identitas dapat diidentifikasi dengan dua cara yaitu, pertama aktor akan

mencari tindakan yang menjadi kebiasaan dan sesuai interpretasinya terhadap

46 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” h. 88 47 Rex Li, “China’s Sea Power Aspirations and Strategic Behaviour in the South China Sea

from the Theoretical Perspective of Identity Construction”, dimuat dalam Enrico Fels dan Truong-

Minh Vu, “Power Politics in Asia’s Contested Waters Territorial Disputes in the South China Sea”,

(Switzerland : Springer International Publishing), 2016, h.119 48 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” dimuat dalam Tim Dunne, Steve

Smith, dan Amelia Hadfield, “Foreign Policy: Theories, Actors, Cases”, (Oxford University Press,

2012), h. 80 49 Rex Li, “China’s Sea Power Aspirations and Strategic Behaviour in the South”, h. 120 50Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th Edition”, (New

York: Pearson Education, Inc), 2012, h. 287 51 Rex Li, “China’s Sea Power Aspirations and Strategic Behaviour in the South”, h. 119

Page 38: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

23

identitasnya yang disimpulkan sebagai praktik, seperti usaha AS selama Perang

Dingin untuk membendung pengaruh Uni Soviet terhadap negara dunia ketiga dan

Eropa Barat. Kedua, aktor akan memantau wacana atau kombinasi bahasa dan

teknik yang digunakan untuk mempertahankan praktiknya seperti bahasa

diplomatik yang menekankan keterlibatan konstruktif, keseimbangan kekuasaan,

memanfaatkan kekuatan, dan pencegahan.52 Praktik yang dilakukan dalam

berinteraksi juga akan dapat mengubah identitas menjadi positif atau negatif yang

akan menentukan sebuah hubungan apakah teman, rival, atau musuh.53

Keempat, keyakinan akan adanya pembentukan timbal balik aktor dan struktur

dan fokus pada praktik serta tindakan, seperti yang dijelaskan Wendt dalam unsur

praktik, bahwa aktor dan stuktur saling mempengaruhi. Konstruktivis berasumsi

bahwa sistem internasional adalah anarki yang dinamis, sehingga kebijakan luar

negeri berperan dalam menentukan perubahan, baik yang disebabkan oleh struktur

maupun yang berasal dari aktor itu sendiri. Oleh karena itu konstruktivis sangat

relevan sebagai kerangka analisis kebijakan luar negeri khususnya analisis terhadap

aktor yang dapat menjangkau pengaruh psikologis dan kognitif pada pengambil

keputusan.

Adapun dalam penelitian ini yang berfokus pada analisa kebjakan luar negeri

Tiongkok membentuk LMC dalam pandangan konstruktivis perlu dikategorikan

apakah kebijakan luar negeri yang bersifat kebijakan pratik rutinitas atau kebijakan

luar negeri sebagai tindakan, karena kebijakan luar negeri merupakan tindakan yang

52 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th Edition”, h. 287 53 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th Edition” h. 287

Page 39: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

24

dirancang untuk mencapai tujuan tertentu yang mungkin merupakan perubahan dari

status quo.54 Kebijakan luar negeri Tiongkok tersebut dapat dikategorikan sebagai

kebijakan luar negeri sebagai tindakan yang merubah status quo, karena kerja sama

LMC merupakan kerja sama regional yang diinisiasi oleh Tiongkok di kawasan

Subregional Mekong, yang mengindikasikan perubahan dari praktik Tiongkok

yang sebelumnya tidak kooperatif kearah yang lebih kooperatif.

Perubahan tersebut akan dianalisis melalui konsep identitas dalam konstruktivis

yang dapat menyiratkan serangkaian kepentingan atau preferensi tertentu yang

melatar belakangi pilihan tindakan atau kebijakan luar negeri aktor, yang dalam hal

ini yaitu tindakan Tiongkok untuk membentuk LMC. Selain itu, penjelasan dalam

konstruktivis dalam memandang kondisi dan peristiwa yang mempengaruhi

struktur dan intersubjective meaning yang ada khususnya di kawasan Subregional

Mekong yang turut menjadi alasan bagi Tiongkok dalam merumuskan kebijakanya

terkait pembentukan LMC pada tahun 2015.

2. Konsep Geopolitik

Istilah geopolitik diciptakan Rudolf Kjellen seorang pemikir Swedia, ia

mendefinisikan geopolitik sebagai sebuah ilmu yang mempelajari perilaku negara

berdasarkan faktor demografi, ekonomi, politik, sosial dan geografis.55 Alan J.

Grygiel menegaskan “geopolitic is the human factor within geography” adanya

54 Trine Flockhart, “Constructivism and Foreign Policy” h. 88 55 Soren Scholvin, “Geopolitics: An Overview of Concepts and Empirical Examples from

International Relations”, FIIA Working Paper, (2016), h.8

Page 40: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

25

faktor manusia dalam ilmu geografi, karena geografi merupakan suatu hal yang

terkait distribusi terhadap pusat sumber daya dan jalur komunikasi, sehingga

memberikan nilai terhadap wilayah tertentu dan menyebabkan kepentingan-

kepentingan negara akan tumbuh terhadap wilayah tersebut.56

Pengaruh geopolitik terhadap kehidupan negara telah sejak lama menjadi

salah satu alat analisa penting dalam Ilmu Hubungan Internasional. Graham Evans

dan Jeffrey Newnham mendefinisikan geopolitik sebagai instrumen analitis

kebiijakan luar negeri suatu negara yang berupaya memahami, menjelaskan dan

memperkirakan perilaku aktor yang dipengaruhi oleh variabel geografi yang

mencakup letak geografis, topografi wilayah, sumber daya alam, serta

perkembangan teknologi.57

Hasil interaksi teknologi meciptakan situasi geopolitik yang mengubah

kepentingan ekonomi, politik, dan strategi setiap negara. Misalnya, penemuan atas

rute baru yang didapatkan dari hasil memahat penggunungan atas kemajuan

teknologi, sehingga akan mengubah distribusi perdagangan yang berdampak pada

distribusi kekuatan ekonomi dunia, kemudian pengenalan teknologi produksi baru,

juga mengubah kebutuhan akan sumber daya alam.58 Jakub J. Grygiel

menyimpulkan bahwa geopolitik bukanlah konstanta namun variabel yang

menggambarkan distribusi geografis rute perdagangan, ekonomi dan sumber daya

56 Jakub J. Grygiel, “Great Powers and Geopolitic Change”, Baltimore : The Johns

Hopkins University Press, h. 21 57 Graham Evans dan Jeffrey Newnham, “The Penguin Dictonary of International

Relations”, London: Penguin Book, (1998) 58 Jakub J. Grygiel, “Great Powers and Geopolitic Change”, h. 21

Page 41: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

26

alam.59 Pentingnya variabel geografi dalam hubungan internasional, menyebabkan

geografi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi politik global maupun politik

lokal.60

Konsep geopolitik dalam penelitian ini mengacu pada pandangan

konstruktivis yang melihat geopolitik sebagai security environments, dimana

negara tersebut berada dan diakui tidak hanya secara materil, namun juga diakui

peran dan budayanya.61 Geopolitik menjelaskan budaya yang kompleks, dimana

identitas dirumuskan, dipresentasikan, dan ditekan dalam wacana politik

kotemporer, selain itu geopolitik juga membangun pemahaman bersama tentang

ancaman, sehingga dapat menentukan tindakan dalam konteks menghadapi

ancaman sehingga tidak membahayakan eksistensi negara.62

Ancaman dalam kontstruktivis berkaitan erat dengan identitas nasional, dan

identitas nasional itu sendiri tidak hanya dibangun secara sosiologi dan sejarah,

namun juga dibetuk oleh perbatasan wilayah. Hal yang berada di dalam wilayah

negara seperti tanah, sungai, danau, gunung, laut, dan udara merupakan bagian

integral dari identitas nasional. Oleh karenanya, wilayah perbatasan menjadi sangat

59 Jakub J. Grygiel, “Great Powers and Geopolitic Change”, h. 21 60 Alan K. Henrikson, “Distance and Foreign Policy : a Political Geography approach”,

International Political Science Review, di publikasi oleh Sage Publications Ltd, (Oktober 2002), h.

1 61 Young Chul Cho, ”Conventional and Critical Constructivist Approaches to National

Security: An Analitycal Survey”, The Korean Journal of International Relations, Vol. 49, No. 3,

2009, h.79 62 Simon Dalby, “Geopolitics and Global Security : Culture, Identity, and the ‘Pogo’

Syndrome”, dimuat dalam Gearoid O Tuathail dan Simon Dalby, “Rethingking Geopolitics”,

(Routledge, 2002), h. 295

Page 42: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

27

penting bagi suatu negara dan gangguan terhadapnya adalah ancaman terhadap

identitas negara.

Keberadaan sumber air lintas batas menjadi salah satu dilema besar bagi

identitas negara, geopolitik melihatnya sebagai sumber konflik sekaligus sumber

peluang kerja sama. dalam konstruktivis konflik dan kerja sama dalam hubungan

antar negara yang dilalui transboundary water resource (sumber air lintas batas)

ditentukan oleh peran identitas didalamnya, seperti yang dikutip dari Alloche dalam

artikel Julien bahwa konflik dan kerja sama terbentuk bukanlah didasarkan atas

kelangkaan akibat salah satu pihak memanfaatkan sungai lebih banyak dari yang

lain, melainkan adanya manifestasi masyarakat yang saling mengenal satu sama

lain sebagai musuh atau sebagai teman, seperti dalam hubungan Turki dan Suriah

terkait sungai Efrat.63

Geopolitik dalam penelitian ini menempatkan sumber air lintas batas yaitu

Sungai Mekong sebagai materil, namun dalam geopolitik dengan pandangan

konstruktivis analisa terhadap sumber materil tidak hanya direduksi dengan

perhitungan ekonomi atau rasio power antar negara, tentunya faktor budaya,

sejarah, ideologi, identitas, dan norma menjadi perhitungan penting64 sehingga

konsep geopolitik akan digunakan untuk melihat keamanan lingkungan di kawasan

Subregional Mekong terhadap identitas Tiongkok sehingga memutuskan untuk

menginisiasi kerja sama LMC pada tahun 2015.

63 Frédéric Julien, “Hydropolitics is What Societies Make of It (or Why We Need a

Constructivist Approach to the Geopolitics of Water),” International Journal of Sustainable Society

4, no.1-2 (2012), h. 62 64 Frédéric Julien, “Hydropolitics is What Societies Make of It”, h. 62

Page 43: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

28

3. Konsep Kepentingan Nasional

Kepentingan nasional adalah kategori yang diterapkan oleh pengambil

kebijakan sebagai arah dan tujuan tindakanya, oleh karena itu dalam realis konsep

kepentingan nasional digunakan untuk menjelaskan kebijakan luar negeri,

kepentingan nasional menjadi motivasi yang mendorong tindakan negara, dalam

realis kepentingan nasional dipengaruhi oleh kekuasaan, posisi geografis, sumber

daya alam, dan faktor lainya yang merupakan properti objektif dari sebuah negara.65

Adapun dalam penelitian ini, konsep kepentingan nasional mengacu pada

pandangan konstruktivisme. Martha Finnemore melihat kepentingan nasional

bukanlah hal yang given melainkan sebuah konstruksi sosial, berbeda dengan realis

yang memandang bahwa kepentingan nasional dengan kombinasi kekuatan,

keamanan, dan kekayaan adalah hal yang terjadi begitu saja.66

Dalam pandangan Alexander Wendt, negara adalah aktor yang setiap

perilakunya dimotivasi oleh berbagai kepentingan yang bersumber pada identitas

negara, identitas mengacu pada siapa dan apa aktor tersebut, sedangkan

kepentingan mengacu pada apa yang diinginkan aktor, yang merujuk pada motivasi

yang membantu menjelaskan perilaku aktor. Dengan kata lain, identitas dan

kepentingan tidak dapat dilepaskan karena untuk menjelaskan perilaku aktor

diperlukan identitas dan kepentingan, karena seorang aktor tidak dapat mengetahui

65 Jill Steans, Lloyd Pettiford, Thomas Diez and Imad El-Anis, “An Introduction to

International Relations Theory Perspectives and Themes Third edition”, (London: Pearson

Education Limited) 2010, h. 192 66 Steven Holloway, Review dari Martha Finnemore, “National Interests in International

Society”, Cornell University Press, 1996, pp. xi, 154, dipublikasi oleh Canadian Journal of Political

Science/Revue canadienne de science politique, h.155

Page 44: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

29

apa yang diinginkanya tanpa mengetahui siapa dia.67 Tanpa identitas, kepentingan

tidak memiliki arah, karena identitas termasuk dalam sisi kepercayaan diri, Wendt

menjelaskanya dengan persamaan desire + belief = action, desire (keinginan dan

kepentingan) harus di dasari oleh keyakinan untuk kemudian aktor dapat

mengetahui apa yang harus dilakukan.68

Teori sosial membedakan kepentingan menjadi dua jenis yaitu, objektif dan

subjektif, kepentingan objektif adalah kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi

jika sebuah identitas direkonstruksi ulang, seperti Amerika Serikat tidak dapat

menjadi negara monopoli atas kekerasan teroganisir melalui korporasi yang

dilakukanya, sebuah negara kapitalis tanpa menegakan hak kepemilikan pribadi,

hegemon tanpa kliennya, dan negara Barat tanpa solidaritas dengan negara Barat

lainya, jika kepentingan objektif ini tidak disadari oleh AS maka identitas negara

seperti negara monopoli, negara kapitalis, negara hegemon, atau negara Barat tidak

akan bertahan.69

Kepentingan Subjektif mengacu pada keyakinan yang dimiliki aktor

tentang cara pemenuhan kebutuhan identitas mereka, yang menjadi motivasi

langsung untuk bertindak. Tindakan atau perilaku tidak hanya didasari oleh

keinginan (desire), tetapi juga oleh apa yang dia pikir mungkin untuk dapat

67Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics” (Australia: Cambridge

University Press, 1999), h. 231 68 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics”, h. 231 69 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics”,h.232

Page 45: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

30

mencapai tujuannya (keyakinan atau belief) sehingga dapat disimpulkan sebab

tindakan sebuah negara.70

Wendt mengindentifikasi kepentingan nasional dengan empat kategori yaitu

physical survival, otonomi, kesejahteraan ekonomi, dan Collective self-esteem

(harga diri kolektif).71 Physical survival merujuk pada keberlangsungan sebuah

negara yang didasari kedaulatan wilayah dari tantangan keberagaman identitas

karena negara adalah tatanan masyarakat kompleks yang dibentuk oleh individu-

individu. Otonomi, merujuk pada kebebasan negara untuk mengontrol alokasi

sumber daya dan kebebasan bagi pilihan pemerintahnya, untuk memproduksi

identitas negara tidak hanya bertahan, namun juga harus bebas untuk dapat

memenuhi tuntutan internal atau berperan dilingkungan eksternalnya.

Kesejahteraan ekonomi mengacu pada pemeliharaan mode produksi dalam

masyarakat dengan perluasan basis sumber daya negara, kepentingan nasional akan

kesejahteraan sangat penting karena diperlukan mencapai pertumbuhan negara,

namun setiap negara memiliki definisi berbeda terkait pertumbuhan dan

hubunganya dengan kesejahteraan yang disesuaikan dengan identitasnya.

Selanjutnya, Collective self-esteem atau harga diri kolektif mengacu pada

kebutuhan negara untuk merasa nyaman dengan dirinya sendiri, untuk dapat saling

menghormati dan juga status, harga diri adalah dasar kebutuhan manusia, sebagai

pengakuan atas keberadaanya dan merupakan kebutuhan yang wajib dipenuhi.

Faktor kunci dalam menjelaskan harga diri kolektif adalah terkait citra diri kolektif

70 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics”, h.232 71 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics”, h. 235

Page 46: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

31

apakah positif atau negatif, yang mana akan bergantung pada hubungan dengan

orang lain yang signifikan, sehingga aktor dapat melihat dirinya sendiri. Citra diri

negatif muncul dari ketidak pedulian atau penghinaan yang dirasakan oleh negara

lain, yang sering terjadi dilingkungan internasional yang kompetitif, seperti yang

dialami Jerman pasca Perang Dunia II dan Rusia saat ini.

Namun, setiap negara cenderung tidak akan menolerir citra negatif yang

dilekatkan padanya, untuk itu negara harus memenuhi kebutuhan terhadap harga

dirinya dalam pergaulan internasional, negara dapat memberi kompensasi,

devaluasi, bahkan agresi terhadap yang lain. Untuk itu kerja sama dan saling

menghormati dibutuhkan negara untuk mampu mendapatkan citra positif, hal ini

menjadi penting bagi kedaulatan negara karena dengan begitu negara secara formal

akan memiliki status yang sama di dunia internasional. Dengan kata lain,

pengakuan status yang sama atas kedaulatan suatu negara akan membantu

menenangkan negara, hal ini menunjukan bahwa negara membutuhkan keamanan

psikis tidak hanya keamanan fisik.

Adapun dalam penelitian ini konsep kepentingan nasional dalam pandangan

konstruktivis membantu analisa terhadap kebijakan Tiongkok membentuk LMC,

berdasarkan kepentingan terhadap harga diri kolektif seperti yang dikemukakan

Alexander Wendt. Konsep tersebut paling signifikan karena secara fisik dan

otonomi telah terpenuhi dan tidak menjadi persoalan penting dalam pembentukan

LMC. Sedangkan kesejahteraan ekonomi dapat dicapai Tiongkok tidak hanya

melalui LMC namun, Tiongkok telah melakukan berbagai kerja sama dengan

negara-negara Subregional Mekong baik bilateral maupun multilateral, seperti FTA

Page 47: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

32

China-ASEAN, dan infrastruktur melalui GMS, dan banyak kerja sama lainya. Oleh

karena itu, penelitian ini melihat alasan penting Tiongkok menginisiasi LMC untuk

pertama kalinya dalam sejarah kerja sama di kawasan Subregional Mekong adalah

terkait pemenuhan kebutuhan terhadap pengakuan harga dirinya.

F. Metode Penelitian

Peneltian ini menggunakan metode kualitatif, yang memiliki karakteristik

yaitu mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya, dengan memperhatikan

proses peristiwa, dan otentisitas atau kualitas data.72 Hal ini menjadikan metode

kualitatif sangat memenuhi kriteria dalam membangun perspektif konstruktivisme

(yaitu, multiple meanings dari pengalaman individu, makna secara sosial dan

historis yang dibangun).73 Prosedur dalam penelitian ini menggunakan prosedur

penulusuran proses atau process tracing. Prosedur ini adalah teknik yang penting

dalam menjelaskan dan menangkap mekanisme sebab-akibat (kausal) dalam sebuah

tindakan.74

Oleh karenanya, process tracing sangat berguna untuk dapat menjelaskan

kondisi yang menyebabkan dikeluarkannya sebuah kebijakan yang berkaitan

dengan kepercayaan dan tindakan.75 Process tracing dapat dilakukan dengan

72 Gumilar Rusliwa Somantri, “Memahami Metode Kualitatif”, MAKARA Sosial

Humaniora, Vol. 9, No. 2, Desember 2005, h. 58 73 John W. Creswell, Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods

Approaches Third Edition, London : SAGE Publications, Inc, 2009, h.18 74 Andrew Bennet dan Jeffrey T. Checkel, “Process Tracing : From Philosophical Roots

to Best Practices”, dimuat dalam Andrew Bennet dan Jeffrey T. Checkel, “Process Tracing : From

Metaphor to Analytic Tool”, Cambridge : Cambridge University Press, 2015, h. 9 75 Pascal Venneson, “Case Studies and Process Tracing : Theories and Practices”, dimuat

dalam Donatella Della Porta dan Michael Keating, “Approaches and Methodologies in Social

Sciences : A Pluralist Perspective”, Cambridge : Cambridge University Press, 2008, h.224

Page 48: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

33

kombinasi proses induksi dan deduksi.76 Selain itu, prosedur ini sering melibatkan

eksplorasi tentang apa yang diketahui aktor, kapan, dan bagaimana mereka

berperilaku, adakah risiko pengabaian terhadap konteks struktural normatif atau

faktor material.77

Pertanyaan penelitian akan dijawab dengan metode kualitatif secara

deskriptif analitis, yang dilakukan dengan mendeskripsikan, menggambarkan, dan

menganalisa data-data yang diperoleh dari proses penelitian. Penelitian ini

menggunakan teknik pengumpulan data berupa dokumen yang bersifat data primer

dan data sekunder dilakukan yakni melalui wawancara pihak-pihak yang relevan

dengan pertanyaan penelitian baik melalui media ataupun dengan melakukan

review hasil wawancara yang dilakukan oleh jurnalis berita, serta dokumentasi,

dengan tujuan mendapatkan data sekunder. Tunjangan data primer melalui studi

pustaka (Library Research) yang mendalam, dengan mencari berbagai informasi

yang relevan baik yang dimuat dalam buku, jurnal, artikel, berita, karya tulis ilmiah,

maupun internet. Informasi-informasi tersebut adalah data yang akan menjadi

bahan analisis bagi penulis.

Tunjangan data sekunder melalui wawancara langsung dilakukan peneliti

dengan Sandy Nur Ikhfal seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) Bidang Perkembangan Politik Internasional, yang menulis artikel tentang

LMC dengan judul China Challenging Subregionalism in Southeast Asia pada

76 Andrew Bennet dan Jeffrey T. Checkel, “Process Tracing : From Philosophical”, h.18 77 Andrew Bennet dan Jeffrey T. Checkel, “Process Tracing : From Philosophical”, h.23

Page 49: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

34

tahun 2016 dan dipublikasi oleh http://www.politik.lipi.go.id yang relevan dengan

skripsi ini. Selain wawacara langsung, peneliti juga mengumpulkan data melalui

naskah wawancara yang dilakukan pihak lain yang tersedia di internet yaitu naskah

wawancara Prof. Zhiqun Zhu, PhD (Professor of Political science and international

Relations at Bucknell University, Bucknell Inaugural director of the China Institute)

dengan pihak Foreign Policy Journal.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Pembahasan dalam bab pendahuluan mencakup penjelasan awal yang

menjadi dasar penelitian. Bab pendahuluan terdiri atas peryataan masalah,

pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan pustaka, kerangka

teoritis, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Dinamika Kebijakan Tiongkok terhadap Subregional Mekong

Dalam bab ini menjelaskan dinamika kebijakan dan performa Tiongkok

terhadap Kawasan Sungai Mekong sebelum Tiongkok menginisiasi kerja sama

LMC pada tahun 2015. Bab ini juga menjelaskan secara lebih mendalam kerja

sama-kerja sama multilateral yang telah terjalin antara negara-negara DAS Mekong

dan juga negara-negara non-kawasan, serta peranan lembaga-lembaga internasional

dalam kawasan tersebut.

BAB III Kerja sama Multilateral Lancang Mekong Cooperation (LMC)

Page 50: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

35

Pada Bab ini penulis akan menjelaskan secara lebih rinci latar belakang dan

proses pembentukan kerja sama LMC pada tahun 2015, tujuan, mekanisme dan

keanggotaan kerja sama. Dalam bab ini juga akan menjelaskan bagaimana posisi

Tiongkok dalam kerja sama tersebut. Serta juga akan membahas mengenai

kebijakan Xi Jinping termasuk keputusan untuk menginisiasi LMC.

BAB IV Analisis Kebijakan Tiongkok dalam Menginisiasi Kerja Sama

Lancang Mekong Cooperation (LMC) Tahun 2015

Dalam bab ini menganalisis alasan yang melatar belakangi Tiongkok dalam

menginisiasi kerja sama LMC pada tahun 2015. Teori konstruktivisme, konsep

geopolitik, dan konsep kepentingan nasional digunakan untuk menganalisis alasan

Tiongkok dalam menginisiasi kerja sama LMC pada tahun 2015.

BAB V Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan pada

pembahasan sebelumnya bab ini juga merupakan jawaban dari pertanyaan

penelitian. Bab ini sekaligus menjadi penutup dan bagian akhir penelitian.

Page 51: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

36

BAB II

DINAMIKA KEBIJAKAN TIONGKOK TERHADAP

SUBREGIONAL MEKONG

Bab ini menjelaskan kebijakan Tiongkok terhadap kawasan Subregional

Mekong sebelum dibentuknya kerangka kerja sama baru LMC pada tahun 2015.

Pembahasan akan dimulai dengan pengenalan karakteristik Sungai Mekong,

dinamika isu di kawasan, sejarah singkat terbentuknya kerja sama-kerja sama yang

pernah terbentuk baik antar negara-negara DAS Mekong, maupun yang terjalin

dengan negara-negara non-kawasan Mekong, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan

Korea Selatan,

Kemudian, dalam pembahasan ini juga menjelaskan kebijakan Tiongkok

terhadap kawasan terkait kerja sama-kerja sama tersebut. Adapun tujuan dari bab

ini adalah melihat kebijakan Tiongkok yang mencerminkan sikap dan kepentingan

Tiongkok terhadap Sungai Mekong sebelum kerangka kerja sama LMC disahkan.

A. Sungai Mekong

1. Karasteristik Fisik Sungai Mekong

Sungai Mekong memiliki DAS seluas 795.000 km2 dan terdiri dari enam

negara, Sungai Mekong berasal atau berhulu dari dataran tinggi Tibet, di Tiongkok,

kemudian membentuk perbatasan antara Myanmar dan Laos, serta Thailand dan

Laos, mengalir ke Kamboja, berakhir di Vietnam sebagai Delta Mekong dan

Page 52: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

37

bermuara di Laut Tiongkok Selatan (LTS).78 Aliran Sungai Mekong mencakup

berbagai wilayah dengan tujuh fisiografis yang luas dan iklim yang mengakibatkan

melimpahnya sumber daya alam.79

Gambar II.A.1.1 Peta aliran Sungai Mekong

Sumber : www.mekongriver.info, 2017

2. Karakteristik Sosial Sungai Mekong

Aliran Sungai Mekong telah menjadi “rumah” bagi lebih dari 80 juta orang,

yang bergantung terhadap sumber daya air minum, sumber protein (ikan),

78 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin: Explaining

Water Cooperation”, Radboud University, (2012), h. 20 79 “Physiography”, tersedia di http://www.mrcmekong.org/mekong-basin/physiography/

diakses pada 20 November 2017 pukul 14.21 WIB

Page 53: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

38

transportasi, dan air untuk irigasi pertanian.80 Berdasarkan hasil survei terhadap 25

juta orang yang tinggal dalam 15 km dari arus utama Mekong, menunjukan 63%

dari populasi produktif secara ekonomi memiliki pekerjaan yang terkait dengan

Sungai Mekong sebagai sumber daya air.81

Tabel II.A.1 : Pekerjaan terkait air dan non-air di zona 15 km di

sepanjang arus utama Mekong

Economically active population Economically non-

active population Water related

occupations (%)

Non-water related

occupation (%)

Main occupation 62.6 12.7 24.7

Secondary

occupation

38.3 7.5 54.2

Sumber :Judith, Nijenhuis, (2012)

Dapat disimpulkan bahwa pentingnya Sungai Mekong bagi masyarakat yang

hidup di alirannya, dari makanan dan sumber air hingga mata pencaharian.

Masyarakat aliran Mekong masih banyak hidup dalam kemiskinan, selain itu

perubahan populasi yang semakin meningkat, urbanisasi, perekonomian negara-

negara DAS yang berkembang secara pesat menyebabkan disparitas yang

mencolok, antara daerah maju (perkotaan) dan daerah terbelakang (pedesaan),

sehingga keberadaan sumber air dan sumber daya lainya akan menjadi sumber

ketegangan akibat tingginya permintaan atas keduanya bagi pemenuhan kebutuhan

80 Evelyn Goh, “China in the Mekong River Basin : the Regional Security Implications of

Resource Development on the Lancang Jiang” , Institute of Defense and Strategic Studies

Singapore, (2004), tersedia di https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/rsis-pubs/WP69.pdf ,

diakses pada 17 November 2017 pukul 15.33 WIB, h.1 81 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin”, h.23

Page 54: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

39

masyarakat.82 Keadaan yang demikian menyebabkan Mekong mejadi salah satu

sungai besar yang paling tidak berkembang di dunia.83

3. Isu Paling Berpengaruh di Sungai Mekong : Hydropower

Pembangunan hydropower atau Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)

merupakan isu yang sangat penting di kawasan DAS Mekong. Sungai Mekong

memiliki potensi tinggi untuk PLTA dengan total potensi mencapai 53.000 MW,

dimana 23.000 MW dapat dihasilkan oleh hulu dan di hilir sekitar 30,000 MW.84

Pembangunan PLTA sangat populer bagi pemerintah negara-negara DAS

Mekong dan lembaga pembangunan swasta karena dianggap sebagai sumber energi

yang bersih dan metode yang sangat baik untuk pembangunan ekonomi. PLTA

diharapkan dapat mengembangkan negara-negara DAS Mekong dan mengurangi

ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk 80% pembangkit listrik dimana

seperempat dari jumlah tersebut harus diimpor.85 Hal ini juga didorong oleh harga

listrik yang tidak stabil di pasar energi internasional dan kekhawatiran atas emisi

karbon.86

Namun, proyek pembangunan PLTA menjadi perdebatan yang emosional,

tujuan negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan potensi

82Marko Keskinen, “Water Resources Development and Impact Assessment in the Mekong

Basin: Which Way toGo?”, Ambio, Vol. 37, No. 3, Mekong at the Crossroads, dipublikasi oleh

Springer on behalf of Royal Swedish Academy of Sciences, (2008), h. 193 83 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin: Explaining

Water Cooperation”, Radboud University, (2012), h.23 84 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin”, h.25 85 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin: Explaining

Water Cooperation”, Radboud University, (2012), h.24 86 “Sustainable Hydropower” tersedia di http://www.mrcmekong.org/topics/sustainable-

hydropower/ di akses pada 17 November 2017, pukul 14.46 wib

Page 55: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

40

keuntungan ekonomi dan energi yang besar, sejalan dengan menigkatnya potensi

dampak kumulatif terhadap lingkungan, perikanan, dan mata pencaharian

masyarakat terutama di wilayah hilir Sungai Mekong.87 Dampak negatif yang

menyeluruh bagi berbagai aspek kehidupan dan bersifat lintas batas, menyebabkan

isu ini selalu menjadi topik dalam dialog-dialog multilateral antar negara DAS

Mekong.

Selain itu, sumber air bersama melambangkan dilema bersama dalam

pemanfaatan sumber daya bersama, yang mana penggunaanya oleh satu pihak

mengurangi potensi manfaatnya bagi orang lain.88 Konflik muncul akibat transfer

polusi, kerusakan kualitas dan ekosistem, serta kuantitas air bagi wilayah hilir,

permasalahan ketidak cocokan antara batas-batas hidro-ekologi dan politik juga

menyebabkan konflik antara prinsip kedaulatan yang bertentangan dengan masalah

sumber daya umum mengenai kepemilikan, alokasi, keamanan, dan degradasi

lingkungan.89

Seiring dengan semakin meningkatnya air menjadi sumber daya yang

penting, hal ini salah satu penyebab air sebagai sumber utama konflik akibat

transfer kerusakan yang dapat mendorong terjadinya peperangan namun, air juga

dapat mendorong terjalinya kerja sama. Keinginan negara-negara DAS Mekong

untuk menghindari konflik yang berkepanjangan dan ancaman perang, mereka

memilih melakukan kerja sama untuk meningkatkan perekonomian masing-masing

87 “Sustainable Hydropower” 88 Evelyn Goh, “China in the Mekong River Basin”, h.1 89 Evelyn Goh, “China in the Mekong River Basin, h.1

Page 56: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

41

negara. Hal ini ditandai oleh banyaknya kerja sama yang terbentuk di kawasan

tersebut.

B. Kerja Sama Multilateral di Subregional Mekong

Sejak tahun 1957, negara-negara Sungai Mekong telah berupaya untuk

memaksimalkan pengembangan dan pembangunan demi mencapai kemakmuran,

hal ini ditandai dengan munculnya kerangka kerja sama dengan rencana

pembangunan yaitu pembentukan Komite Mekong yang terdiri dari Kamboja, Laos,

Thailand, dan Vietnam. Namun, ketegangan dan konflik terus berlanjut dalam skala

besar di seluruh wilayah, kemudian dibuatlah kesepakatan damai Kamboja pada

awal 1990-an yang mengizinkan proyek-proyek besar untuk dilanjutkan, hal ini

mendorong bermunculanya kerangka kerja sama pembangunan di Subregional

tersebut.90

1. Mekong River Commission (MRC)

MRC atau dahulu bernama Committee for Coordination of Investigations on the

Lower Mekong Basin (the Mekong Committee) dibentuk berdasarkan undang-

undang yang disahkan oleh PBB, merupakan kerja sama regional antara Kamboja,

Laos dan Vietnam yang didirikan pada tahun 1957, era pasca-kolonial di wilayah

Indocina.91 Kerja sama ini sepenuhnya didukung PBB melalui badan Economic

90 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections on Cooperation

Mechanisms Pertaining to a Shared Watercours”, di publikasi oleh S. Rajaratnam School of

International Studies, (2013), h.3 91 “Mekong River Commission 20th Years of Cooperation”, tersedia di

www.mrcmekong.org diakses pada 20 November 2017, pukul 00.28 WIB, h. 13

Page 57: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

42

Commission for Asia and the Far East, atau ECAFE (sekarang di kenal dengan

ESCAP) yang memiliki kantor sekretariat di Bangkok, Thailand.92

Kemudian, perang sipil Kamboja menyebabkan penarikan mundur dari kerja

sama, akibatnya pada 1978, Komite Sementara Mekong didirikan PBB dengan

anggota tersisa Laos, Thailand, dan Vietnam.93 Kamboja meminta kembali masuk

Komite Mekong pada tahun 1991, dan keempat negara mulai berfokus untuk

memperbarui kerja sama regional tersebut, yang puncaknya pada 5 April 1995,

dilaksanakan penandatanganan kerja sama untuk pembangunan berkelanjutan di

Sungai Mekong (Mekong Agreement) dan menciptakan MRC.

MRC adalah platform untuk diplomasi air dan kerja sama regional, dalam

platform ini negara-negara saling berbagi manfaat sumber daya air dan informasi

pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya air.94 MRC juga sekaligus menjadi

badan penasehat dan fasilitator dialog antar pemerintah di bawah naungan menteri

lingkungan di empat negara tersebut.95

Setelah 21 tahun terbentuk MRC telah mengadopsi serangkaian prosedur,

diantaranya Prosedur untuk Mutu Air, Prosedur Pertukaran Data dan berbagi

Informasi, Prosedur Pemantuan Penggunaan Air, dan Prosedur Pemberitahuan.96

Tiongkok dan Myanmar sepakat untuk menjadi mitra dialog MRC, dan pada tahun

92 Jeffrey W Jacobs, “Mekong Committee History and Lessons for River Basin

Development”, The Geographical Journal, Vol. 161, No. 2, dipubilkasi oleh Geographicalj, (1995),

h.138 93 “Mekong River Commission 20th Years of Cooperation”, h. 14 94“The Story of Mekong cooperation” 95 “Mekong River Commission 20th Years of Cooperation” 96 “The Story of Mekong cooperation”

Page 58: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

43

2002, Tiongkok menandatangani kesepakatan penting mengenai pembagian data

hidrologi.97

2. The Greater Mekong Sub-region (GMS)

Kerangka kerja sama dengan nama resmi GSM yang beranggotakan Tiongkok

(khususnya Provinsi Yunnan dan daerah otonomi Guangxi Zhuang), Laos,

Myanmar, Thailand, dan Vietnam.98 Kerja sama ini didirikan pada tahun 1992

dengan bantuan ADB, dan bertujuan untuk meningkatkan hubungan ekonomi antar

negara-negara tersebut.99

Program GMS berfokus pada bantuan pelaksanaan proyek Subregional di

bidang transportasi, energi, telekomunikasi, lingkungan, pengembangan sumber

daya manusia, pariwisata, perdagangan, investasi, sektor swasta, dan pertanian

dengan dukungan dana ADB dan donor lainya.100 Kemajuan substansial yang telah

dicapai dalam hal pelaksanaan proyek GMS sejak berdirinya adalah proyek

infrastruktur prioritas senilai US$ 11 miliar yaitu peningkatan jalan raya Phnom

Penh (Kamboja) – kota Ho Chi Minh (Vietnam) dan the East-West Economic

Corridor yang terbentang dari Laut Andaman hingga Da Nang.101

3. Association of Southeast Asia Nations (ASEAN)

ASEAN dibentuk pada tahun 1967 merupakan kerja sama regional yang

berfokus pada integrasi regional dan perdagangan, yang terdiri dari sebelas negara

97 Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin”, h. 28 98“Overview of the Greater Mekong Subregion” 99“Overview of the Greater Mekong Subregion” 100“Overview of the Greater Mekong Subregion” 101“Overview of the Greater Mekong Subregion”

Page 59: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

44

anggota.102 Anggota ASEAN mencakup lima negara Subregional Mekong yaitu

Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand dan Vietnam. Negara-negara DAS Mekong

menjadi pemain penting yang kemudian mendorong berbagai mekanisme dan

inisiatif terkait isu kawasan di Subregional Mekong.103 Melalui ASEAN negara-

negara DAS Mekong membentuk forum dengan Tiongkok, dan pada tahun 1996

membentuk kerja sama pengembangan Sungai Mekong, China-ASEAN Free Trade

Area (CAFTA), serta berbagai rencana tindakan untuk memperkuat kemitraan

strategis ASEAN-Tiongkok.104

4. Agreement on Commercial Navigation on Lancang-Mekong River

Merupakan kesepakatan yang disepakati pada tahun 2000, antara negara-negara

yang berada di wilayah hulu Sungai Mekong yaitu Tiongkok, Laos, Myanmar, dan

Thailand.105 Kesepakatan ini bertujuan untuk mengembangkan sungai bersama

dalam bidang transportasi penumpang dan kargo internasional, yang dimaksudkan

untuk mempromosikan dan memfasilitasi perdagangan dan pariwisata serta untuk

memperkuat kerja sama navigasi komersial.106

5. The Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic Cooperation

Strategy (ACMECS)

ACMECS merupakan kerja sama strategi antara Kamboja, Laos, Myanmar,

Thailand, dan Vietnam untuk memanfaatkan kekuatan beragam dari negara anggota

102 Mutiara Pertiwi, “Pengenalan Dasar Hubungan Internasional di Asia Tenggara”, UIN

Jakarta Press, (2013), h.75 103 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections”, h.4 104 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections “,h.4 105 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections”, h.4 106 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections”, h.4

Page 60: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

45

dan untuk mempromosikan pembangunan seimbang di Subregional Mekong.107

Kerja sama ini prakarsai oleh Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra pada

April 2003, dengan bidang kerja sama meliputi transportasi, serta memfasilitasi

perdagangan dan investasi.108 ACMECS bertindak sebagai katalisator untuk

membangun program kerja sama regional yang ada dan melengkapi kerja sama

bilateral, dan tidak hanya menguntungkan negara-negara yang berpartisipasi

namun, juga memberi nilai tambah dan meningkatkan solidaritas bagi ASEAN.109

6. Japan – Mekong Cooperation

Jepang telah menjadi pemodal terbesar bersama Amerika Serikat dalam ADB,

hal ini didasarkan pada keinginan Jepang untuk membantu pembangunan ekonomi

non-komunis di kawasan Asia Tenggara.110 Mekong telah menjadi wilayah penting

bagi diplomasi Jepang, yang ditandai oleh peluncuran sebuah program untuk

membantu pengembangan kawasan tersebut oleh Jepang yaitu Forum for

Comprehensive Development of Indochina (FCDI).111 Forum tersebut dihadiri oleh

24 negara dan tujuh organisasi internasional yang diadakan pada tahun 1995,

tujuannya adalah untuk menjadi kesempatan dalam bertukar informasi dan

pandangan mengenai perkembangan kawasan yang seimbang dan untuk

107 “Cross-border Infrastructure Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic Cooperation

Strategy (ACMECS)”, tersedia di https://aric.adb.org/initiative/ayeyawady-chao-phraya-mekong-

economic-cooperation-strategy di akses pada 21 November 2011 pukul 12.52 WIB. 108 “Cross-border Infrastructure Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong” 109 Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections”, h.4 110 Maya Shiraishi, “Japan Toward the Indochina Sub-Region”, Journal of Asia-Pacific

Studies (Waseda University GSPAS) No. 13, (2009), h.17 111Hidetaka Yoshimatsu, “ The Mekong Region, Regional Integration, and Political

Rivalry Among ASEAN, China and Japan”, Asian Perspective, Vol. 34, No. 3, dipublikasi oleh

Lynne Rienner Publishers, (2010), h.96

Page 61: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

46

memperkuat kemampuan pejabat yang terlibat dalam perumusan proyek

pembangunan.112

Krisis keuangan pada tahun 1997-1998, menyebabkan kerangka kerja sama

regional yang mendorong pengembangan Indocina, direvitalisasi dan melahirkan

kerja sama baru.113 Diantaranya terdapat proyek-proyek baru yang dibantu oleh

Jepang, seperti Inisiatif IAI, AEM-METI Economic and Industrial Cooperation

Committee (AMEICC), ACMECS, serta pembaruan kerja sama pembangunan

GMS yang diprakarsai ADB dengan menciptakan koridor ekonomi di wilayah

tersebut.114

Jepang kemudian kembali membangun kerja sama, pada tahun 2004, Perdana

Menteri Jepang Koizumi Junchiro mengadakan pertemuan dengan Kamboja, Laos,

dan Vietnam membahas program koperasi beton. Kemudian pada pertemuan

selanjutnya pada tahun 2007, Jepang mengusulkan Program Kemitraan Kawasan

Jepang-Mekong, dengan tiga pilar panduan yaitu promosi integrasi dan keterkaitan

regional, perluasan perdagangan, dan investasi antara Jepang dan kawasan Mekong,

sekaligus memperkuat komitmen utama untuk perluasan bantuan Jepang Official

Development Assistance (ODA), Jepang berjanji memberikan sebesar US$ 40 juta

untuk CLMV.115

Pada tahun 2008, pertemuan Menteri Luar Negeri Jepang dan negara CLMV

dan Thailand kembali diselenggarakan untuk pertama kalinya di Tokyo, dalam

112Hidetaka Yoshimatsu, “ The Mekong Region, Regional Integration”, h. 96 113Maya Shiraishi, “Japan Toward the Indochina Sub-Region”, h.16 114 Maya Shiraishi, “Japan Toward the Indochina Sub-Region”, h. 16 115Hidetaka Yoshimatsu, “ The Mekong Region, Regional Integration”, h.97

Page 62: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

47

pertemuan ini Jepang berkomitmen untuk memberikan bantuan sebesar US$ 20 juta

untuk proyek logistik dan distribusi East-West Economic Corridor dan Second

East-West Economic Corridor in the Mekong region.116

Pertemuan para menteri tersebut juga mendukung 23 proyek spesifik untuk the

CLV Development Triangle, kemudian juga membahas isu-isu global terutama

yaitu isu keamanan terkait Korea Utara dan denuklirisasi, untuk menjaga

perdamaian dunia dan stabilitas Asia Timur dan Asia Pasifik, dan pihak Jepang

melalui pertemuan tersebut juga menyampaikan penghargaan kepada negara-

negara kawasan Mekong atas dukungan terus-menerus terhadap Jepang untuk

menjadi anggota tetap DK PBB. 117

7. Amerika Serikat –Mekong (Lower Mekong Initiative atau LMI)

LMI didirikan pada tahun 2009 yang merupakan kemitraan multinasional antara

negara-negara CLMV dan Amerika Serikat, dengan tujuan untuk menciptakan kerja

sama Subregional yang terintegrasi antara lima negara tersebut.118 LMI berfungsi

sebagai platform untuk mengatasi tantangan pembangunan dan kebijakan

transnasional yang kompleks di Subregional Sungai Bawah (Lower Basin).119 LMI

sekaligus menandai reengagement kerja sama AS di Asia Tenggara.120

116Hidetaka Yoshimatsu, “ The Mekong Region, Regional Integration”, h. 98 117Hidetaka Yoshimatsu, “ The Mekong Region, Regional Integration”, h.98 118“Lower Mekong Initiative”, tersedia di https://www.usaid.gov/vietnam/lower-mekong-

initiative-lmi diakses pada 17 November 2017, pukul 01.34 WIB 119“Lower Mekong Initiative” 120“ The US Lower Mekong Initiative”, tesedia di https://www.stimson.org/the-us-lower-

mekong-initiative diakses pada 21 November 2017 pukul 15.09 WIB.

Page 63: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

48

Melalui LMI anggota kerja sama mengembangkan tanggapan bersama terhadap

tantangan lintas batas di sembilan pilar yaitu, pertanian dan ketahanan pangan,

konektivitas, pendidikan, kemanan, energi, lingkungan dan air, kesehatan, dan di

bidang lintas sektoral seperti isu gender.121Anggota LMI juga merupakan anggota

Friends of the Lower Mekong (FLM), yang merupakan sebuah platform pertemuan

penting tuntuk meningkatkan koordinasi dengan pendonor dalam bantuan program

pengembangan Subregional Lower Mekong, dan untuk mempromosikan dialog

mengenai kebijakan, koordinasi LMI menyintesis dan memperbaiki peluang akses

terhadap informasi untuk mengidentifikasi area tumpang tindih, jendela peluang,

dan potensi kolaborasi.122

FLM telah memasukan perwakilan negara-negara lain non-Lower Mekong

seperti Australia, Uni Eropa (UE), Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, ADB dan

Bank Dunia.123 Sedangkan Tiongkok menjadi satu-satunya negara DAS Mekong

yang tidak berpartisipasi dalam FLM tersebut.

8. Kerja sama Republic of Korea (ROK) –Mekong

Kerangka kerja sama antara Korea Selatan (ROK) dan Mekong telah terjalin

sejak tahun 2011. Tujuan dari kerja sama ini adalah upaya Korea Selatan untuk

berbagi pengalaman dan kebijakan pembangunan dengan kawasan Subregional

Mekong, karena Korea Selatan memiliki ambisi untuk berkonstribusi dalam usaha

internasional dan untuk mempersempit kesenjangan pembangunan tidak hanya

121Lower Mekong Initiative” 122“Lower Mekong Initiative” 123Apichai Sunchindah, “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections”, h.4

Page 64: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

49

dengan bantuan hibah dan bantuan kredit, tetapi juga dengan memanfaatkan the

Mekong-ROK Cooperation Fund yang didirikan pada tahun 2013.124

Kemitraan komprehensif untuk kemakmuran Korea Selatan–Mekong,

menekankan pada konektivitas pembangunan berkelanjutan, dan pembangunan

yang berorientasi pada Sumber Daya Manusia (SDM).125 Kerja sama ini membuat

Rencana Kerja sama Pembangunan atau Mekong-Korea Plan of Action (2014-2017)

yang memprioritaskan enam bidang yaitu, infrastruktur, teknologi informasi,

pertumbuhan hijau, pengembangan sumber daya air, pertanian, pembangunan

pedesaan, dan pengembangan.126

C. Kebijakan Tiongkok Terhadap Kawasan Subregional Mekong

Kebijakan Luar Negeri Tiongkok terhadap Subregional Mekong sebelum

menjadi inisiator kerja sama baru LMC pada tahun 2015, dapat dijelaskan melalui

tiga dimensi, yaitu dimensi domestik yang menjadi sumber bagi kepentingan

Tiongkok, kemudian peran dan posisi Tiongkok di kawasan Subregional Mekong

yang tergambar dari dinamika hubungan bilateral dan multilateral yang juga

mempengaruhi kebijakan Tiongkok.

124 Kang Hyo Sung, “Mekong-ROK Cooperation”, dimuat dalam Mekong Forum 2016

Sharing Responsibility For Common Prosperity, dipublikasi oleh Mekong Institute, (2016), h. 16

125 Chheang Vannarith, “The Mekong Region: From A Divided To A Connected Region”,

Konrad-adenauer-stiftung (KAS) Cambodia, 2016, tersedia di

http://www.kas.de/kambodscha/en/publications/48018/ diakses pada 21 November 2017, pukul

22.51 wib, h.4 126Chheang Vannarith, “The Mekong Region: From A Divided To A Connected”, h.4

Page 65: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

50

1. Dimensi Domestik : Western China Development Strategy

Sungai Mekong dikenal di Tiongkok dengan nama Sungai Lancang, hulunya

terletak di kabupaten Zaduo, Prefektur Otonomi Yushi Tibet di Provinsi Qinghai,

barat laut Tiongkok merupakan daratan tinggi dengan ketinggian 5.200 m diatas

permukaan laut.127 Dengan panjang sungai yakni 4.909 km, 2198 km diantaranya

mengaliri wilayah Tiongkok dan 1247 km berada di Provinsi Yunnan.128 Provinsi

Yunnan merupakan wilayah terbarat Tiongkok yang berbatasan langsung dengan

negara-negara Asia Tenggara.

Sejak tahun 1985, pemerintah Tiongkok berupaya untuk mengembangkan

provinsi barat daratan Tiongkok termasuk Yunnan dengan strategi membuka

pembangunan perbatasan barat daya Tiongkok yang dilanda kemiskinan.129

Terdapat rencana ganda dalam pengembangan wilayah barat yaitu mengarahkan

sumber daya domestik ke daerah tersebut khususnya infrastruktur yang luas, dan

untuk menciptakan hubungan lintas batas dengaan negara-negara yang berbatasan

dengan Yunnan.130

Pada tahun 1999 program ekonomi untuk pengembangan wilayah barat dimulai.

Potensi yang cukup besar dimiliki oleh wilayah barat adalah listrik tenaga air

sungai, karena di wilayah tersebut terdapat sungai-sungai besar yaitu Nu, Mekong,

127 Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation in the

Greater Mekong Subregion Cooperation”, Ritsumeikan International Affairs Vol.8, (2010), h. 2 128 Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h.2 129 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic Interest in the Mekong

River Basin” tersedia di www.chathamhouse.org.uk , (2009), diakses pada 21 November 2017 pukul

15.01 WIB, h.3 130 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h.3

Page 66: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

51

Jinsha dan Changjiang (Yangtze), menurut Chinese National Committee on Large

Dams (CHINCOLD) potensi listrik dari sungai-sungai tersebut diantaranya yaitu,

Yangtze 332 GW, Jinsha 586 GW, Nu 214 GW, dan Mekong 256 GW yang akan

terus dimaksimalkan dan dikembangkan hingga tahun 2020.131

Potensi yang sangat besar dihasilkan oleh sungai-sungai tersebut dapat

memenuhi kebutuhan akan energi bagi wilayah-wilayah terbarat Tiongkok untuk

mengangkat perekonomiannya. Kemudian dorongan untuk memenuhi kelangkaan

listrik di Tiongkok dan menstransformasikan listrik sebagai komoditas industri

untuk diekspor.132 Oleh karenanya, pembangunan dam yang masif tidak dapat

dihindari Tiongkok, setidaknya terdapat 13 rancangan proyek pembangunan dam

di Sungai Lancang (Mekong) dan Sungai Nu.133

Strategi selanjutnya untuk pengembangan wilayah terbarat Tiongkok, adalah

integrasi lintas batas. Tiongkok membutuhkan kerja sama internasional yang akan

menguntungkkan bagi program pembangunan tersebut. terutama wilayah Yunnan

yang berbatasan langsung dengan daratan Asia Tenggara, terdapat peluang sebagai

pasar ekspor bagi Tiongkok khususnya barang-barang manufaktur dari Provinsi

Yunnan, Guangxi, dan Sichuan.134

131 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h.5 132 Darrin Magee, “Yunnan Hydropower under Great Western Development”, The China

Quarterly No. 185, dipublikasi oleh Cambridge University Press on behalf of the School of Oriental

and AfricanStudies, (2006), h.24 133 Darrin Magee, “Yunnan Hydropower under Great Western Development”, h.24 134 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h.6

Page 67: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

52

2. Dimensi Bilateral

Hubungan bilateral Tiongkok dengan negara-negara Asia Tenggara,

khususnya negara-negara Subregional Mekong dan Asia Tenggara pada umumnya,

mengalami permusuhan yang saling menguntuntungkan. Pada saat Perang Dingin,

hanya Myanmar (Burma) yang tidak memiliki ketegangan dengan Tiongkok.

Meskipun berdekatan secara geografis, negara-negara tersebut tidak memiliki

persepsi yang seragam terhadap Tiongkok.135 Masing-masing negara memiliki

urusan sendiri-sendiri dengan Tiongkok, mendapatkan keuntungan dan

menghadapi kesulitanya masing-masing.

Kamboja dan Laos, dua negara Subregional Mekong ini telah menjalin kerja

sama bilateral dengan Tiongkok, periode 1994-2006 Tiongkok telah berinvestasi

US$ 925 juta untuk pembangunan di Kamboja.136 Tiongkok telah mendominasi

investasi dan juga menjadi investor paling di terima oleh Kamboja dibandingkan

negara-negara lain.137 Demikian juga dengan Laos, Tiongkok juga berinvestasi di

Laos, terutama di salah satu sektor yang terpenting adalah investasi di sektor

PLTA.138

Kerja sama Tiongkok dengan Kamboja dan Laos, membantu pembangunan

insfrastruktur seperti jalan, jembatan dan sekolah, dan investasi lainya dalam

mengembangkan perekonomian kedua negara, memberi keuntungan bagi Tiongkok

135Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h. 6 136 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h. 6 137 Sigfrido Burgos and Sophal Ear, “China's Strategic Interests in Cambodia: Influence

and Resources”, Asian Survey, Vol. 50, No. 3, dipublikasi oleh University of California Press,

(2010), h.625 138Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h. 6

Page 68: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

53

untuk menyediakan infrastruktur bagi ekspor-impor sumber daya alam ke Tiongkok

dan impor barang-barang manufaktur dari Tiongkok khususnya dari Yunnan,

Guangxi, dan Sichuan.139

Hubungan Myanmar dan Tiongkok sangat dekat dan terjalin sejak lama. Hal

ini disebabkan keduanya menghadapi kemarahan internasional selama periode

1989-1990 atas penindasan brutal yang dilakukan Tiongkok terhadap demonstrasi

Tiananmen dan Myanmar penindasan terhadap Liga Nasional untuk Demokrasi.

Kebijakan yang paling mencolok dari Myanmar dalam membantu Tiongkok adalah

mengizinkan akses militer Tiongkok ke Samudera Hindia, yang menjadi wilayah

sangat ketat di pantau oleh India, dan imbalanya Tiongkok menyediakan berbagai

bahan baku untuk Myanmar.140

Berbeda dengan negara-negara sebelumnya, hubungan politik dan ekonomi

Tiongkok dan Vietnam berjalan konfliktual. Selama 67 tahun hubungan diplomatik

keduanya, hanya memiliki hubungan normal pada tahun 1991, setelah permusuhan

yang terjadi sejak 1978 dimana pemerintah Vietnam menindas dan mengusir

banyak etnis Tionghoa dari Vietnam Selatan.141 Vietnam sangat kritis terhadap

Tiongkok dan berperan melawan kepentingan Tiongkok. Namun, kedekatan

geografis, ketergantungan ekonomi dan ditambah lagi dengan lingkungan strategis

regional yang berubah mengharuskan Vietnam menjaga hubungan yang damai

dengan Tiongkok. Sejak tahun 2013 Vietnam telah menjadikan Tiongkok sebagai

139Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h. 7 140Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic”, h. 7 141 Murray Hiebert, “China & Southeast Asia Relations Testimony to USCC : China’s

Relations with Burma, Malaysia, and Vietnam”, dipublikasi oleh Center for Strategic and

International Studies”, (2015), h.2

Page 69: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

54

mitra ideologis dan ekonomi namun, konflik Laut Tiongkok Selatan atau LTS

(klaim Vietnam atas Kepulauan Paracel), tetap menjadi hambatan terbesar dalam

hubungan keduanya.142

Hubungan Tiongkok dengan Thailand pun sangat penuh dinamika, sejak

penandatanganan pakta normalisasi diplomatik pada tahun 1975, Tiongkok dan

Thailand mengalami kemajuan dalam hubungan bilateral terutama dalam

mengahadapi isu Kamboja.143 Hubungan keduanya diperkuat ketika Tiongkok

menarik dukunganya terhadap gerakan komunis di Thailand, dengan begitu

ancaman dari dalam dan luar negeri Thailand terhapuskan.144 Tiongkok bukanlah

negara yang paling penting dan paling dekat bagi Thailand dalam hal pertahanan,

ekonomi ataupun pembangunan.145

3. Dimensi Regional dan Internasional

Kebangkitan Tiongkok dalam kapabilitas ekonomi dan militer, menjadi

keresahan global terutama negara-negara Asia. Keresahan tersebut tentunya akan

menghambat Tiongkok dalam mencapai kepentinganya. Tiongkok berpendapat

bahwa kebangkitanya akan menciptakan distribusi “win-win” atau saling

menguntungkan, oleh karenanya para scholars Tiongkok mengeluarkan teori

142 Murray Hiebert, “China & Southeast Asia Relations Testimony to, h.2 143 Yong Deng, “Sino –Thai Relations : From Strategic Co-opertaion to Economic

Diplomacy”, Contemporary Southeast Asia, Vol. 13, No. 4, di publikasi oleh ISEAS - Yusof Ishak

Institute, (1992), h.360 144 Sasiwan Chingchit, “The Curious Case of Thai-Chinese Relations: Best Friends

Forever?”, tersedia di https://asiafoundation.org/2016/03/30/the-curious-case-of-thai-chinese-

relations-best-friends-forever/ diakses pada 18 November 2017, pukul 22.11 WIB 145Sasiwan Chingchit, “The Curious Case of Thai-Chinese Relations”

Page 70: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

55

kebangkitan Tiongkok sebagai “Peaceful Rise”, yang dimaksudkan bahwa

kebangkitan Tiongkok tidak akan agresif.146

Namun, evaluasi dari kebijakan Tiongkok terkait dengan kebangkitanya

secara damai, bertentangan dengan kebijakan yang dicerminkan Tiongkok terhadap

kawasan Subregional Mekong. Hal ini dapat dilihat dari kerja sama di kawasan,

yaitu setidaknya terdapat enam kerja sama multilateral dengan anggota yang

bervariasi, dimana Tiongkok hanya terlibat dalam satu kerja sama saja yaitu

GMS.147

Kerja sama tingkat regional lainya di kawasan Subregional Mekong, telah

ada sejak 1957, yaitu Mekong Agreement yang diprakarsai oleh PBB dan Amerika

Serikat, Tiongkok belum menjadi anggota PBB pada saat itu oleh karenanya

Tiongkok tidak ikut serta dalam kerja sama tersebut. Namun, pada tahun 1995,

setelah kerja sama Mekong Agreement diperbarui, Tiongkok diundang secara

eksplisit untuk bergabung, tapi Tiongkok hanya memilih menjadi mitra dialog

saja.148 Selama menjadi mitra dialog MRC hal yang paling signifikan Tiongkok

lakukan adalah pertukaran data hidrologi dengan negara hilir pada tahun 2002, yang

berguna bagi negara hilir untuk meramalkan aliran air, namun mereka tetap tidak

tahu sebab tingkat air menurun dan meningkat.149

Tiongkok memperlihatkan secara jelas bahwa pendekatan regulasi isu air

lintas batas di tingkat multilateral adalah hal yang dihindari Tiongkok. Dengan

146 Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise", h.284 147 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic, h. 9 148Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.105 149Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.109

Page 71: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

56

begitu Tiongkok menggunakan strategi hulu, dimana Tiongkok juga melakukan

penolakan dalam perumusan konvensi PBB yaitu “Convention on the Law of the

Non-Navigational Use of International Watercourses” pada tahun 1998.150

Konvensi ini sangat mencerminkan perselisihan antara negara hulu dan hilir

terutama pada pasal 5 dan 7 dari konvensi tersebut, pasal 5 menekankan kedaulatan

nasional yaitu hak untuk memanfaatkan potensi sumber daya nasional, dan pasal 7

menekankan prinsip integritas nasional, yaitu hak untuk tidak terpengaruh secara

merugikan dalam potensi pembangunan dengan aktivitas negara hulu (mewajibkan

negara hulu untuk tidak menimbulkan kerugian yang berarti).

Selain itu, Tiongkok juga menarik perwakilanya di Komisi Dunia untuk

Bendungan (World Commission on Dams), sebuah badan internasional yang

ditugaskan untuk mengevaluasi peluang dan batasan bangunan bendungan besar.

Meskipun, Tiongkok merupakan negara terbanyak yang memiliki bendungan besar

yaitu 50% bendungan besar dunia, keputusan untuk menarik perwakilanya karena

kekhawatiran Tiongkok terhadap badan tersebut akan membahayakan pelaksanaan

pembangunan dam Tiga Ngarai (Three George Dams).151

Pembangunan dam adalah strategi nasional Tiongkok dalam meningkatkan

perekonomian terutama di wilayah Yunnan, sekaligus menjadi isu yang paling

dikritisi. Sejak 1993, proyek eksploitasi skala besar di Sungai Lancang/Mekong

telah dilaksanakan, ditandai dengan telah terselesaikannya dua dam dari delapan

150Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.102 151Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h. 102

Page 72: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

57

stasiun PLTA yang dirancang untuk memaksimalkan hingga 60% aliran sungai.152

Dam-dam tersebut akan menghasilkan 15.000 MW listrik, jumlah ini setara dengan

80% potensi Dam Tiga Ngarai, potensi tersebut juga akan dimaksimalkan menjadi

komoditas ekspor terutama ke wilayah Laos dan Thailand.153

Tabel II. C.1 : Dam atau mega bendungan di Sungai Lancang Tiongkok

Elevation

(Matres above

sea level)

Storage

(Million

m2)

Power

(Megawatts)

Height

(m)

Status

Gongguoqiao 1,319 510 710 130 Design

Xiaowan 1,240 150 4,200 292 Under construction

(to be completed

2012-2017)

Manwan 994 9,2 1,500 126 Completed (1995)

Dachaoshan 899 8,9 1,350 110 Completed (2003)

Nuozhadu 812 227,4 3,500 254 Under construction

Jinghong 602 12,3 1,500 118 Design

Ganlanba 533 n.a 150 n.a Design

Mengsong 519 n.a 600 n.a Design

n.a : not available Sumber : Meinneken, 2007

Strategi hulu Tiongkok untuk terus maju dengan proyek pembangunan

bendunganya yang tentunya disebabkan oleh kemampuan untuk mengekspor

kerusakan kenegara-negara hilir, dengan kata lain Tiongkok tidak akan merasakan

dampak negatifnya sehingga, Tiongkok tidak terpengaruh oleh masalah human

security dan lingkungan akibat eksploitasi Sungai Mekong, karena dampak

negatifnya akan terekspor ke wilayah hilir.

Posisi sebagai negara hulu menguntungkan secara geografis, dimana

Tiongkok juga memiliki kendali penuh atas penggunaan air, selain itu Tiongkok

memiliki kapabilitas militer dan ekonomi yang jauh lebih kuat dari negara-negara

152 Evelyn Goh, “China in the Mekong River Basin”, h.2 153Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.106

Page 73: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

58

hilir, yang menyebabkan kerja sama tidak dibutuhkan Tiongkok untuk mencapai

kepentinganya.154 Tiongkok juga beranggapan bahwa kerja sama dengan negara-

negara hilir hanya akan menghalangi Tiongkok untuk memanfaatkan Sungai

Mekong secara maksimal.

Kebijakan Tiongkok terhadap Subregional Mekong mencerminkan aktor

yang realis, dimana akan mengutamakan keuntungan pribadi sebesar-besarnya, dan

skeptis terhadap kerja sama.155 Posisinya yang kuat secara geopolitik, menyebabkan

Tiongkok mensyaratkan insentif untuk berkomitmen dalam sebuah kerangka kerja

sama dengan negara-negara hilir.156 Hal ini tercermin dari keikutsertaan Tiongkok

dengan kerjsama GMS yang diprakarsai oleh ADB. Forum kerja sama tersebut

sangat strategis bagi Tiongkok untuk mengurangi kemiskinan khususnya wilayah

barat dan sangat menunjang program ekonomi Tiongkok yaitu “develop the

west”.157

GMS yang merupakan dampak globalisasi dan ekonomi regional, telah

meluncurkan 100 proyek kerja sama sejak terbentuk pada 1992, yang mencakup

infrastruktur, sumber energi, perdagangan dan investasi, telekomunikasi,

lingkungan, pariwisata, pertanian dan pengembangan sumber daya alam.158

Tiongkok memperlihatkan posisi dan sikap yang sangat mendukung kerangka kerja

sama GMS tersebut, dan bersedia memperkuat kerja sama dengan negara lain untuk

pembangunan bersama. Hal ini disampaikan pada Konferensi Para Menteri dalam

154Alex Liebman, “Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise", h. 290 155Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.113 156Timo Menniken, “China’s Performance in Intenational Resource Politics”, h.113 157 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China”, h. 3 158Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s(Yunnan) Participation”, h. 2

Page 74: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

59

rangka pertemuan GMS ke-6 yang diadakan di Kunming, Tiongkok menyatakan

pemerintah Tiongkok menekankan pentingnya kerja sama ekonomi dengan negara-

negara Subregional Mekong dan akan berpartisipasi secara positif.159

Partisipasi Tiongkok dalam GMS memiliki tujuan utama yaitu kerja sama

tersebut dapat menghubungkan jalur darat Tiongkok dengan semenanjung

Indocina, mewujudkan hubungan pasar antara Tiongkok khususnya wilayah barat

dan Asia Tenggara, memperkuat pertukaran dan membangun ikatan ekonomi,

mewujudkan pembangunan berkelanjutan, mendorong ekonomi dan teknologi,

multilevel, multiform, dan multiaspek.160 GMS juga sekaligus berfokus untuk

mewujudkan pembangunan berkelanjutan, menghapus kemiskinan, menyediakan

kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan, mempromosikan kemajuan sosial

dan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat.

Tingginya insentif yang didapatkan Tiongkok dalam kerja sama GMS

sangatlah berdampak positif bagi pembangunan nasional Tiongkok, khususnya

Provinsi Yunnan dan Daerah Otonomi Guangxi Zhuang. Oleh karenanya,

memasukan Provinsi Yunnan dan Daerah Otonomi Guangxi Zhuang sebagai bagian

dari Tiongkok menjadi anggota kerangka kerja sama GMS tersebut adalah sangat

strategis bagi Tiongkok. Keterlibatan Daerah Otonomi Guangzi Zhuang, sempat

menjadi kritik karena bukanlah DAS Mekong. Hal ini sangat memperlihatkan

pengaruh Tiongkok yang semakin meningkat dalam kerja sama tersebut, sehingga

159Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h.5 160Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h.6

Page 75: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

60

menyebabkan ketidak nyamanan lima anggota lainya.161 Namun, Tiongkok

mendapat dukungan dari Vietnam yang memiliki perbatasan nasional dengan

Guangzhi Zhuang.162

Terdapat empat alasan Tiongkok dalam menyertakan kedua wilayah

baratnya dalam kerja sama GMS yaitu : 163 pertama, Yunnan merupakan wilayah

aliran Sungai Mekong. Kedua, Provinsi Yunnan dan daerah otonomi Guangzi

Zhuang adalah wilayah barat yang tekurung daratan dan terbelakang sehingga perlu

membuka jalan menuju Asia Tenggara dan Asia Selatan, terutama sebagai sarana

transportasi yang menjadi kendala dalam pembangunan kedua wilayah tersebut.

Ketiga, keikutsertaan dalam GMS akan lebih mudah mengakses pasar internasional

dan memperkuat pertumbuhan ekonomi. Keempat, wilayah terbarat perlu

mempertahankan hubungan yang damai dan stabilitas di perbatasan barat daya

Tiongkok , dan Yunnan Khususnya memiliki perbatasan dengan tiga negara.

Dampak positif selanjutnya bagi geopolitik Tiongkok khususnya hubungan

dengan ASEAN yang semakin komprehensif. Pada tahun 1997, Presiden Jiang

Zemin dan para pemimpin ASEAN mendatangani Pernyataan Bersama (joint

statement) yang menunjukan bahwa Tiongkok dan ASEAN menganggap

pengembangan kemitraan akan membangun kebaikan dan rasa saling percaya

antara Tiongkok dan negara-negara anggota ASEAN sangat penting.164 Salah satu

upaya kemitraan dengan ASEAN, yaitu melalui pengembangan Sungai Mekong

161Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration”, h.88 162Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration”, h.89 163 Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h. 11 164Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h.5

Page 76: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

61

secara bersama-sama antar negara DAS dengan mempromosikan kegiatan di bidang

perdagangan, pariwisata dan transportasi.165 Tiongkok menjadi partner dialog

ASEAN sejak tahun 1996 dan Tiongkok telah mendorong berbagai program

pembangunan dan integrasi ASEAN. Diantaranya IAI, BIMP-EAGA, dan

berpartisipasi dalam ACMECS.166

Namun, kerja sama Tiongkok dan ASEAN tersebut hanyalah kerja sama

retorik dan bukan subtantif.167 Berdasarkan pernyataan ketua KTT ASEAN-

Tiongkok kesembilan, dimana data pada proyek IAI menunjukan bahwa Tiongkok

menyumbangkan US$ 0,2 juta, hanya satu proyek untuk pengembangan proyek

jalur air CLMV. Hal ini menunjukann kontribusi sangat kecil dibandingkan dengan

sumbangan Jepang US$ 6,89 juta untuk 35 proyek, India senilai US$ 3,1 juta untuk

empat proyek, dan Korea Selatan senilai US$ 5 juta untuk lima proyek. Pada kerja

sama AMBDC pun, Tiongkok merupakan penerima manfaat paling besar dari

pengembangan program Singapore-Kunming Rail Link (SKRL) pada tahun 2002,

yang merupakan salah satu strategi Tiongkok dalam mengembangkan wilayah

barat.168

Sikap Tiongkok yang diperlihatkan selama ini di kawasan Subregional

Mekong cukup tidak kooperatif terutama terhadap isu air, hal ini diperngaruhi oleh

kepentingan nasional Tiongkok yang tinggi terhadap Sungai Mekong dan juga

dipengaruhi oleh situasi regional yang tidak kondusif untuk menekan Tiongkok.

165Zhu Zhenming, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h. 5 166Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration And Political”, h.88 167Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration, And Political”, h. 88 168Hidetaka Yoshimatsu, “The Mekong Region, Regional Integration, And Political”, h.88

Page 77: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

62

Namun, sikap Tiongkok yang tidak kooperatif mulai mengindikasikan perubahan

yang signifikan pasca Tiongkok menjadi insiator LMC pada tahun 2015. Kerangka

kerja sama LMC dan peran Tiongkok akan lebih dalam dijelaskan pada bab

selanjutnya.

Page 78: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

63

BAB III

KERJA SAMA MULTILATERAL LANCANG-MEKONG

COOPERATION (LMC) TAHUN 2015

Bab ini menjelaskan kerja sama LMC yang merupakan kerja sama pertama

kali diinisiasi oleh Tiongkok di wilayah Subregional Mekong. Penjelasan dimulai

dengan memaparkan pembentukan kerja sama LMC, tujuan, kerangka kerja sama,

dan formasi anggota. Serta dalam bab ini juga dijelaskan peran dan posisi Tiongkok

dalam kerja sama LMC tersebut, dan respon negara-negara Subregional Mekong

terhadap kerja sama LMC. Tujuanya adalah untuk mengidentifikasi kerja sama

LMC sebagai kerja sama baru serta peran dan posisi Tiongkok di dalamnya, serta

reaksi negara-negara Subregional Mekong dengan adanya kerja sama ini.

A. Latar Belakang Pembentukan Kerja Sama Multilateral Lancang

Mekong Cooperation (LMC) Tahun 2015

Kerja sama LMC merupakan inisiatif kerangka kerja sama baru yang

dibentuk pada 12 November 2015. Kerangka kerja sama LMC pertama kali

diajukan oleh Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang satu tahun sebelumnya, pada

bulan 13 November 2014 pada KTT ASEAN-Tiongkok ke-17, yang diadakan di

Nay Pyu Taw, Myanmar.169 Pengajuan tersebut berasal dari usulan Thailand pada

Conference on Sustainable Development in the Lancang-Mekong subregion,

dengan tujuan untuk mempererat hubungan negara-negara Subregional Mekong

169 “Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for Regional

Cooperation by six countries in the Mekong River Basin”, (31 Maret 2016),

http://www.mrcmekong.org/news-and-events/news/lancang-mekong-cooperation-mrc-welcomes-

the-new-initiative-for-regional-cooperation-by-six-countries-in-the-mekong-river-basin/ diakses

pada 24 Oktober 2017, pukul 22.46 WIB

Page 79: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

64

agar terbangunya sebuah komunitas di masa depan dengan terus mengeksplorasi

kemungkinan kerja sama untuk pembangunan berkelanjutan sehingga menciptakan

kedamaian dan kemakmuran bersama.170

Hal tersebut semakin memperlihatkan tumbuhnya kesadaran keenam negara

yaitu Tiongkok, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar, atas

keterhubungan mereka dari segi geografis terutama sungai, kesamaan budaya,

persahabatan yang kuat, kepentingan keamanan dan pembangunan yang saling

terkait erat, mendorong pembentukan kerja sama strategis baik bilateral maupun

multilateral yang komprehensif, dalam upaya meningkatkan perdamaian, stabilitas

serta pembangunan kawasan dan dunia pada umumnya.171

Selain itu, Subregional Mekong mengakui adanya tugas bersama dalam

mengembangkan ekonomi dan memperbaiki taraf hidup masyarakat, dimana pada

saat yang sama menghadapi tantangan bersama yaitu, tren ekonomi global dan

regional yang terus mengalami penurunan, ancaman keamanan non-tradisional

seperti terorisme, bencana alam, perubahan iklim dan pandemik.172

Berangkat dari alasan-alasan tersebut yang kemudian menjadi visi dari

terbentuknya LMC. Melalui kerangka kerja sama tersebut, anggota LMC akan

berkonstribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial di negara-negara

170Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Viewed in Light

of the Potential Regional Leader Theory”, Journal of Mekong Societies Vol.12 No.3, (2016), h. 55 171“Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Leaders'

Meeting--For a Community of Shared Future of Peace and Prosperity among Lancang-Mekong

Countries” tersedia di

http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_665393/t1350039.shtml diakses pada 24

November 2017, pukul 15.22 WIB. 172“Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”

Page 80: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

65

Subregional Mekong, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempersempit

kesenjangan pembangunan dan mendukung pembangunan Komunitas ASEAN

serta mempromosikan pelaksanaan Agenda Pembangunan Berkelanjutan PBB

2030 dan memajukan “south-south cooperation”.173

Kemudian, setelah mendapatkan respon yang positif dari negara-negara

Mekong, maka diadakanlah Pertemuan Pejabat Tinggi dalam Lancang Mekong

Cooperation Dialogue yang pertama di Beijing pada tanggal 6 April 2015, yang

diketuai oleh Tiongkok dan Thailand. Pertemuan tersebut membahas Concept

Paper untuk menciptakan kerangka kerja, termasuk tujuan, arahan, dan bidang

prioritas, dalam pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Tiongkok Chang Wang

Yi mengajukan komunitas bersama, negara-negara Mekong harus berkomitmen

untuk membangun tiga komunitas, yaitu komunitas tanggung jawab bersama,

komunitas yang memiliki kepentingan bersama, dan komunitas pertukaran people-

to-people.174

Pada tanggal 21 Agustus 2015, diadakan Pertemuan Pejabat Tinggi LMC

kedua di Chiang Rai, Thailand, yang dipimpin oleh Tiongkok dan Thailand.

Pembahasan dalam pertemuan tersebut melanjutkan pembahasan Concept Paper

LMC, selain itu membahas Early Harvest Project (merupakan pengaturan

perdagangan bebas di bawah kerangka Tiongkok-ASEAN Free Trade Area yaitu

khususnya pengurangan tarif produk pertanian),175 pengaturan Pertemuan Menteri

173“Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC)” 174Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 56 175“Is the Early Harvest good for RP?” Tersedia di http://ph.china-

embassy.org/eng/sgdt/t171568.htm diakses pada 27 November 2017, pukul 08.21 WIB

Page 81: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

66

Luar Negeri pertama, dan kemudian dalam kesempatan tersebut Wakil Menteri

Luar Negeri Tiongkok mengemukakan tiga poin proposal LMC, secara singkat

yaitu176 :

1. Untuk memperkuat rasa memiliki masyarakat, menjaga perdamaian dan

stabilitas jangka panjang di kawasan, mempromosikan pembangunan

berkelanjutan semua negara, mendukung terciptannya masyarakat ASEAN,

dan mendorong perkembangan hubugan Tiongkok-ASEAN.

2. Untuk meningkatkan keseluruhan desain dan perencanan jangka panjang,

membangun struktur kerja sama dan mekanisme lainya yang berlapis-lapis,

dan saat ini, terutama membahas kerja sama praktis

3. Mengikuti filosofi keterbukaan atau inklusif, dan untuk melengkapi,

mengkoordinasikan pembangunan, dan mengintensifkan pertukaran

pengalaman dengan mekanisme yang ada pada kerja sama Subregional

Proposal ini selanjutnya yang akan disahkan dalam Pertemuan Pertama

tingkat Menteri Luar Negeri LMC. Pertemuan tersebut meluncurkan kerangka

kerja sama LMC setelah satu tahun mempersiapkan, tepat pada 12 November 2015

di Jinghong, prefektur Xishuangbanna, Provinsi Yunnan, Tiongkok.177 Pertemuan

tersebut juga secara resmi mendukung Concept Paper LMC, yang dapat dijelaskan

secara ringkas dalam lima poin utama yaitu178:

1. Mengumumkan pembentukan resmi LMC

176Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 56 177 Lu Guangsheng, “China Seeks To Improve Mekong Subregional Cooperation Causes

and Policies”, Policy Report Rajaratnam School of International Studies, (2016), h.9 178Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 57

Page 82: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

67

2. Mengadopsi Concept Paper LMC, yang menentukan tujuan, prinsip,

mekanisme kerangka kerja dan bidang kerja sama utama

3. Setuju untuk melaksanakan Early Harvest Project LMC sesegera

mungkin sehingga proyek dapat memberikan manfaat bagi masyarakat

di Subregional

4. Setuju untuk membangun struktur LMC multi-layer dan mengadakan

Pertemuan Pemimpin LMC Pertama tahun 2016 pada waktu yang tepat

yang disetujui oleh negara-negara LMC

5. Menerbitkan press communiqué gabungan dari Pertemuan Menteri Luar

Negeri LMC Pertama, yang menunjukkan konsensus dan hasil yang

dicapai dalam pertemuan tersebut

Selain itu, dalam pertemuan tersebut juga disampaikan, LMC akan

mematuhi semangat keterbukaan atau inklusif dan saling melengkapi, serta bekerja

bersamaan dengan kerangka kerja Subregional lainnya seperti Program GMS,

AMBDC dan MRC untuk bersama-sama mempromosikan proses integrasi

regional.179 Selain itu, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi, juga

menyampaikan mekanisme kerja sama baru tersebut akan mencakup lima bidang

prioritas, interconnectivity, kapasitas produksi, ekonomi lintas batas, sumber daya

air, dan kerja sama dalam pertanian, dan pengentasan kemiskinan.180

Pertemuan kerja sama LMC selanjutnya, merupakan pertemuan pertama

para Pemimpin dari keenam negara anggota di Sanya, Tiongkok pada 31 Maret

179“Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for “ 180 “Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for”

Page 83: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

68

2016, yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Tiongkok Li Keqiang dan Perdana

Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, dengan tema "Shared River, Shared

Future."181 Para pemimpin tersebut membuat kesepakatan “Sanya Declaration”

untuk memperkuat dialog dan kerja sama regional di tiga bidang utama yaitu

politik, keamanan, pembangunan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, dan

pertukaran sosial-budaya .182

Gambar. III.A.1 Pertemuan Pertama Pimpinan Negara Anggota LMC, pada

23 Maret 2016 di Sanya, Tiongkok

Hal ini merupakan, inovasi dan kelebihan yang dimiliki oleh LMC

dibandingkan dengan platform kerja sama lainya yang ada di Subregional Mekong.

Prinsip-prinsip yang tercermin dalam LMC menghubungkan dengan tiga pilar

Komunitas ASEAN, hal ini menjadi peluang penting untuk mendapatkan manfaat

181Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 58 182“Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for”

Page 84: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

69

bersama dengan mempromosikan kolaborasi dan aksi bersama.183 Selain itu, dalam

pertemuan tersebut Tiongkok juga berencana memberikan pinjaman lunak sebesar

10 miliar yuan dan batas kredit hingga US$ 10 miliar untuk mendanai insfrastruktur

dan memperbaiki konektivitas negara-negara di sepanjang Sungai Lancang-

Mekong.184

B. Mekanisme Lancang Mekong Cooperation (LMC)

Adapun kerja sama LMC memiliki prinsip-prinsip diantaranya konsensus,

kesetaraan, konsultasi bersama dan koordinasi, volunterisme, konstribusi bersama

dan keuntungan bersama, penghormatan terhadap Piagam PBB dan Undang-

undang internasional.185 Berbagi pandagan dalam LMC akan dilakukan dalam

kerangka kerja sama multilevel termasuk pertemuan pemimpin, pertemuan menteri

luar negeri, pertemuan pejabat senior, dan pertemuan kelompok kerja departemen

terkait dan wajib melakukan pertemuan sekali dalam dua tahun.186

Tindakan negara-negara diatur dalam kerangka kerja sama LMC tercermin

dari hasil kesepakatan LMC yaitu “Sanya Declaration” yang memiliki 26 poin

kesepakatan yang mengacakup bidang politik, keamanan, sosio-ekonomi,

keuangan, lingkungan, teknis, dan budaya. Diantara 26 poin tersebut terdapat

183 Lu Guangsheng, “China Seeks To Improve Mekong Subregional”, h.9 184Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 58 185“Lancang-Mekong Cooperation Mechanism”, tersedia di

http://www.chinaaseanenv.org/lmecc/strategy_and_mechanism/cooperation_mechanism/201711/t

20171107_425953.html diakses pada 21 November 2017, pada pukul 15.37 WIB. 186 “Lancang-Mekong Cooperation Mechanism”

Page 85: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

70

tindakan yang unik dari LMC dan merupakan inovasi baru bagi kerja sama yang

pernah ada di Subergional Mekong, yaitu :187

1. Mendukung dan memfasilitasi pembentukan lembaga kerja sama

penegakan hukum dan semacamnya.

2. Meningkatkan kerja sama melawan ancaman keamanan non-tradisional,

seperti terorisme, kejahatan transnasional, dan bencana alam, serta

mempromosikan kerja sama dalam menangani dampak perubahan iklim dan

bantuan kemanusian, memastikan kemanan makanan, air, dan keamanan

energi.

3. Memajukan kemitraan strategis Tiongkok-ASEAN, dan memperkuat kerja

sama dibawah kerangka ASEAN + 3, KTT Asia Timur, ASEAN Regional

Forum, dan mekanisme kerja sama regional lainya.

4. Menekankan pentingnya pasar keuangan yang stabil dan keuangan yang

baik dari struktur, pengawasan, peraturan keuangan, penggunaan swap mata

uang bilateral, settlement mata uang lokal, dan kerja sama antar lembaga

keuangan.

C. Peran Tiongkok dalam Lancang Mekong Cooperation (LMC)

187Tuyet L. CosslettPatrick D. Cosslett, “Sustainable Development of Rice and Water

Resources in Mainland Southeast Asia and Mekong River Basin”, dipublikasi oleh Singapore:

Springer, 2017, h. 137

Page 86: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

71

Tiongkok memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk kerja sama

LMC tahun 2015 yaitu sebagai inisiator. Sebelumnya, klaim kepemilikan inisiatif

tersebut memperlihatkan persaingan antara Tiongkok dan Thailand.188 Thailand

merupakan inisiator asli dari kerja sama LMC, namun hal ini disangkal oleh

Tiongkok, karena Tiongkok yang membuat LMC menjadi nyata dan secara terbuka

mengklaim atas kepemilikan insiatif, dan Thailand hampir tidak menentang,

Thailand mengakui kerja sama LMC diprakarsai oleh Thailand dan disahkan oleh

Tiongkok.189

Tiongkok sebagai negara hulu dan negara paling kuat, tidak segan untuk

menandatangani kerja sama air, perjanjian air, dan mendirikan organisasi wilayah

aliran sungai. Dengan begitu, Tiongkok semakin memperlihatkan keseriusan dan

komitmennya dalam kerja sama LMC terutama dalam isu air yang menjadi suatu

hal yang mengganjal dalam hubungan Tiongkok dengan negara-negara Subregional

Mekong sebelumnya. Komitmen Tiongkok tersebut memperlihatkan bahwa LMC

merupakan strategi diplomasi Tiongkok dalam membangun kepercayaan negara-

negara Subregional Mekong terhadap Tiongkok.

Negara-negara Subregional Mekong sangat menyambut posistif terhadap

komitmen Tiongkok tersebut. Hal ini disampaikan Trinh Le Nguyen, direktur

eksekutif People and Nature Reconciliation, merupakan sebuah organisasi nirlaba

dari Vietnam, yang mana ia melihat sikap pro-aktif Tiongkok melalui LMC dapat

mendorong adanya forum diskusi lebih luas mengenai pembagian keuntungan,

188Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 55 189Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 55

Page 87: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

72

pengelolaan bersama, dan pemerintahan bersama air Sungai Mekong, dan

penggunaan air yang setara di kawasan tersebut.190

Respon positif, juga ditunjukan Kamboja melalui Menteri Luar Negerinya

yang menyampaikan, bahwa melalui lima bidang prioritas dalam kerja sama LMC

dan sinergisitas bersama ASEAN, akan memberikan keuntungan bagi Kamboja,

karena mekanisme kerja sama LMC akan membantu Kamboja meningkatkan

pembangunan ekonomi dan sosial, mendukung Kebijakan Pembangunan Industri

Kamboja 2015-2025, meningkatkan konektivitas, kapasitas produksi, kerja sama

ekonomi lintas sektoral, sumber daya air, pertanian, pengurangan kemiskinan, dan

membantu dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.191

Sambutan positif dari negara-negara Subregional Mekong dan harapan yang

besar terhadap peran Tiongkok, semakin meyakinkan Tiongkok untuk leluasa

dalam mengembangkan kerangka kerja LMC yang semakin komprehensif tanpa

adanya pertentangan dari negara-negara anggota. Terbukti sejak pertemuan-

pertemuan dari awal pembentukan dan setelah diluncurkannya kerja sama LMC,

Tiongkok menjadi negara yang sangat aktif, ditandai dengan pengajuan proposal

mekanisme kerja sama yang kemudian disepakati oleh negara-negara anggota dan

menjadi perjanjian bersama dalam kerangka LMC yaitu “Sanya Declaration”.

190Zhang Jianfeng,“China to play vital role in development of Lancang-Mekong

cooperation framework: Vietnamese expert”, tersedia di http://english.cntv.cn/2016/03/15/

ARTIGyawPwCe8mQa71TvPsp2160315.shtml diakses pada 27 November 2017 pukul 23.48 WIB 191 Xinhua, “LancangMekong Cooperation vital to regional stability, boosting economic

development: Cambodia”, tersedia di

http://www.chinadaily.com.cn/bizchina/201603/19/content_23964710.htm, diakses pada 28

November 2017, pukul 02.00 WIB

Page 88: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

73

Dalam “Sanya Declaration”, poin ke-14 negara-negara anggota sepakat

“mendukung operasi AIIB yang efisien sebagai anggota AIIB dan mencari

dukungan dari AIIB dalam mengatasi kesenjangan pembiayaan dalam

pembangunan infrastruktur”.192 Secara impilisit, melalui poin tersebut, Tiongkok

yang merupakan pendonor utama dalam AIIB (Asian Infrastructure Investment

Bank), ingin memberikan lebih banyak dukungan finansial dan teknis untuk

mendorong pembangunan ekonomi dan sosial negara-negara Subregional

Mekong.193 Tidak hanya melalui AIIB, Tiongkok juga berinvestasi di kawasan

Subregional Mekong melalui Silk Road Fund, seperti yang disampaikan Chen

Fengying, seorang peneliti senior dari China Institute of Contemporary

International Relations, LMC membuka peluang kerja sama antara lembaga

pembangunan multilateral lainya termasuk dua lembaga seperti AIIB dan Silk Road

Fund yang pendukung atau pendonor utamanya adalah Tiongkok.194

Hal ini menjadikan Tiongkok sebagai investor terbesar dalam kerja sama

LMC melalui AIIB dan Silk Road Fund. Meskipun, Tiongkok merupakan

pendatang yang relatif baru di kawasan Subregional Mekong namun, hal tersebut

memperlihatkan Tiongkok telah memainkan peran yang lebih aktif dan

komprehensif yaitu memproyeksikan inisiatif, agenda, dan kekuasaan pembuat

peraturan dalam LMC.195 Selain itu, Tiongkok semakin memperlihatkan peran

192 “Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC)” 193 Lu Guangsheng, “China Seeks To Improve Mekong Subregional”, h.8 194 Huaxia, “China Focus: China says Lancang-Mekong Cooperation to bridge

development gaps within ASEAN”, tersedia di http://news.xinhuanet.com/english/2016-

03/17/c_135198837.htm diakses pada 28 November 2017, pukul 00.51 WIB. 195Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)”, h. 60

Page 89: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

74

penting lainya yaitu, menjadi donatur utama dalam mendukung kerangka kerja

sama LMC tersebut melalui AIIB dan Silk Road Fund.

Adapun peran-peran Tiongkok yang dicerminkannya melalui LMC

memberikan indikasi perubahan yang drastis dari sikap Tiongkok terhadap kawasan

Subregional Mekong yang sangat tidak kooperatif sebelumnya, hingga memainkan

peran yang sangat penting pada kerja sama LMC yaitu sebagai inisiator dan juga

donatur utama. Perubahan tersebut juga memperlihatkan bahwa isu air dalam kerja

sama di kawasan, tidak lagi menjadi hal yang dihindari Tiongkok. Perubahan-

perubahan sikap dan pandangan Tiongkok terhadap Subregional Mekong, tentu

terjadi tanpa alasan. Adapun alasan-alasan dan tujuan Tiongkok meningkatkan

performanya dan membangun eksistensi yang positif di kawasan Subregional

Mekong akan dibahas dalam bab selanjutnya.

Page 90: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

75

BAB IV

ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK DALAM MENGINISIASI KERJA

SAMA LANCANG-MEKONG COOPERATION (LMC) TAHUN 2015

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan peran Tiongkok dalam kerja sama

LMC yaitu sebagai inisiator, hal ini menunjukan perubahan sikap Tiongkok

terhadap negara-negara Subregional Mekong yang sebelumnya cukup tidak

kooperatif. Anomali tersebut menjadi alasan yang mendasari perlunya dilakukan

analisis sebagai upaya untuk menemukan latar belakang dan alasan-alasan yang

menjadi dasar perumusan kebijakan Tiongkok tersebut.

Sebelum melakukan analisis alasan Tiongkok menginisiasi kerja sama LMC

pada tahun 2015, perlu digaris bawahi, bahwa secara eksplisit kebijakan Tiongkok

membentuk LMC adalah terkait proyek ‘One Belt One Road’ (OBOR) yang

sebelumnya dikenal sebagai ‘Belt and Road Iniative’ dan pengoptimalan peran

AIIB, hal ini tercantum dalam Sanya Declaration sebagai kesepakatan bersama

dalam kerja sama LMC pada poin 6. Fakta ini menyebabkan dalam berbagai

literatur menyebutkan kepentingan Tiongkok dalam LMC terkait dengan proyek

OBOR dan AIIB.

OBOR merupakan kumpulan transaksi perdagangan dan proyek

infrastrukur antar wilayah Eurasia dan Pasifik.196 Merupakan salah satu kebijakan

luar negeri pemerintahan Presiden Xi Jinping pada tahun 2013, dengan visi sebagai

196 James Griffiths,”Just what is this One Belt, One Road thing anyway?” dipublikasi oleh

CNN, (12 Mei 2017), tersedia di http://edition.cnn.com/2017/05/11/asia/china-one-belt-one-road-

explainer/index.html diakses pada 27 Desember 2017 pukul 23.00 WIB.

Page 91: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

76

program pembangunan insfrastruktur menghubungkan daerah perbatasan Tiongkok

yang kurang berkembang dengan negara-negara tetangga,197 dan adanya over-

produksi dalam bidang industri dalam negeri.198 OBOR terdiri dari dua rencana

utama yaitu pertama, menghubungkan daerah pedalaman Tiongkok yang

terbelakang menuju Eropa melalui Asia Tengah, kedua, membangun 21st Century

Maritime Silk Road yang menghubungkan wilayah Asia Tenggara yang bekembang

pesat ke provinsi-provinsi Selatan dan Barat Tiongkok melalui pelabuhan dan jalur

kereta api.199

Namun, dalam analisis penelitian ini melihat bahwa alasan Tiongkok yang

utama dalam membentuk LMC bukanlah terkait proyek OBOR dan peningkatan

peran AIIB. Hal ini dibuktikan dengan membandingkan LMC dan kerja sama

sebelumnya yang diikuti Tiongkok secara substansial yaitu GMS. Pada bab

sebelumnya telah dijelaskan terdapat berbagai kerja sama yang telah terbentuk di

kawasan Subregional Mekong sejak tahun 1957. Tiongkok hanya mengikuti salah

satu di antara kerja sama tersebut yaitu GMS pada tahun 1992. GMS kerja sama

yang berdiri atas inisiasi dan bantuan ADB dan merupakan kerja sama yang

bertujuan untuk menghadapi globalisasi dan integrasi ekonomi regional.200 Sejak

197 Peter Cai, “Undestanding China’s Belt and Road Initiative”, dipublikasi oleh Lowy

Institute for International Policy, (Maret 2017), tersedia di

https://www.lowyinstitute.org/sites/default/files/documents/Understanding%20China%E2%80%9

9s%20Belt%20and%20Road%20Initiative_WEB_1.pdf diakses pada 17 Desember 2017, pukul

12.22 WIB, h.1. 198 James Griffiths,”Just what is this One Belt, One Road thing anyway?” 199 Peter Cai, “Undestanding China’s Belt and Road Initiative”, h.2. 200 Zhenming Zhu, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation in the

Greater Mekong Subregion Cooperation”, Ritsmueikan International Affairs Vol.8 (2010),

dipublikasi oleh Institute of International Relations and Area Studies Ritsumeikan University, h. 4

Page 92: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

77

berdiri GMS telah meluncurkan sekitar 100 proyek kerja sama yang mencakup

berbagai bidang.201

Program prioritas utama GMS diantaranya bidang transportasi, energi,

telekomunikasi, lingkungan, pengembangan sumber daya manusia, pariwisata,

perdagangan, investasi, dan pertanian.202 Sedangkan, lima bidang prioritas utama

LMC yaitu konektivitas, kapasitas produksi, kerja sama ekonomi lintas batas,

sumber daya air, pertanian dan pengurangan kemiskinan.203

Terdapat beberapa kesamaan bidang prioritas yaitu salah satunya

konektivitas atau keterhubungan yang relevan dengan proyek OBOR, juga terdapat

dalam bidang prioritas GMS yaitu transportasi melaui pengembangan insfrastruktur

untuk meningkatkan konektivitas antar negara, dan telah mencapai kemajuan yang

substansial baik yang telah selesai maupun yang sedang telaksana, diantaranya

yaitu peningkatan jalan raya Phnom Penh di Kamboja menuju Ho Chi Minh City di

Vietnam, dan Koridor Ekonomi Timur-Barat yang pada akhirnya akan terbentang

dari Laut Andaman ke Da Nang,204 yaitu Mawlamyine Myanmar di Barat dan

201 Zhenming Zhu, “Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation”, h.4 202“Overview of the Greater Mekong Subregion” tersedia di

https://www.adb.org/countries/gms/overview diakses pada 16 November 2017, pukul 17.14 wib 203 “Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Leaders'

Meeting --For a Community of Shared Future of Peace and Prosperity among Lancang-Mekong

Countries” terdapat di

http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_665393/t1350039.shtml diakses pada 04

Januari 2018, pukul 23.36 WIB. 204 “Overview of the Greater Mekong Subregion”

Page 93: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

78

pelabuhan Da Nang, di Vietnam Timur, serta koridor ekonomi Utara-Selatan yang

menghubungkan Tiongkok di Utara dan Bangkok di Selatan205.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa, jika OBOR menjadi

alasan utama Tiongkok membentuk LMC, tentu hal ini sangat tidak rasional, sangat

besar cost untuk membangun sebuah kerja sama yang baru dan tentu sangat tidak

efisien, dan menyebabkan overlapping, karena sesuai dengan teori rasionalis,

sejatinya Tiongkok telah dapat memenuhi kepentingan terkait OBOR melalui kerja

sama GMS.206 Berangkat dari hal tersebut, alasan terkait OBOR dan AIIB tidak

relevan sebagai alasan utama dalam kebijakan Tiongkok menginisasi LMC,

melainkan melihat OBOR dan AIIB sebagai strategi dalam mencapai kepentingan

yang lebih besar.

Berangkat dari dasar tersebut penelitian ini melihat alasan Tiongkok dalam

membentuk LMC di latar belakangi oleh faktor non-material atau ideational factor

dalam pandangan konstruktivis yaitu konsep identitas, serta konsep geopolitik, dan

konsep kepentingan nasional. Hasil analisis dari penelitian ini, tentunya akan

menjadi jawaban atas pertanyaan dalam penelitian ini.

A. Logika Identitas Sosial Tiongkok

Konstruktivis sangat menekankan pentingnya konsep identitas dalam

menjelaskan struktur internasional. Dalam pandangan konstruktivis struktur

205Khanisa Krisman dan Sandy Raharjo, “China Challenging Subregionalism in Southeast

Asia”, tersedia di http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-internasional/1081-china-

challenging-Subregionalism-in-southeast-asia diakses pada 14 Januari 2018, pukup 16.03 wib. 206 Hasil wawancara dengan Sandy Nur Ikfal Raharjo

Page 94: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

79

internasional adalah konstruksi sosial akibat adanya interaksi sosial dan terjadinya

pemahaman bersama (shared meaning), melalui faktor ideasional seperti aturan,

norma, prinsip kepercayaan, pengetahuan bersama, praktik dan juga unsur

material.207 Interaksi sosial telah menciptakan struktur yang kompetitif terutama di

kawasan Subregional Mekong, ditandai dengan berbagai kerja sama yang hadir atas

dorongan negara-negara asing yang bukan merupakan bagian dari kawasan dan

juga merupakan musuh tradisional Tiongkok yaitu Jepang dan AS, serta aliansi

Barat lainya. Faktor ideasional dalam interaksi tersebut telah mempengaruhi

Tiongkok untuk bertindak sesuai logika identitas sosialnya.

Melalui interaksi sosial yang terjadi di dalam struktur internasional akan

timbul pemahaman dan harapan spesifik dari peran tentang diri aktor dan definisi

diri dalam kaitanya dengan yang aktor lain (other) yang merupakan faktor eksternal

pembentuk identitas.208 Selain itu, identitas nasional adalah identitas kolektif,

sebuah negara yang merupakan kumpulan dari beberapa identitas kelompok

maupun individu yang mendefinisikan dan dibentuk oleh faktor internalnya, dan

kombinasi dari faktor eksternal dan juga faktor internalnya dapat disimpulkan

sebagai identitas nasional.209

Identitas nasional yang dimiliki Tiongkok tentu beragam, sebagaimana

yang telah dijelaskan bahwa identitas sangat dinamis, bukan sesuatu yang berdiri

207Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th Edition”, (New

York: Pearson Education, Inc), 2012, h. 284 208 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th ”, h. 287 209 Rex Li, “China’s Sea Power Aspirations and Strategic Behaviour in the South China

Sea from the Theoretical Perspective of Identity”, dimuat dalam Enrico Fels dan Truong-Minh Vu,

“Power Politics in Asia’s Contested Waters Territorial Disputes in the South China Sea

Construction”, (Switzerland : Springer Internasional Publishin), 2006, h. 119

Page 95: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

80

sendiri, dan identitas aktor dapat berubah seiring waktu dan lintas konteks, identitas

diproduksi melalui interaksi sosial dengan aktor lain, dan lebih dari sekedar

kepentingan.210 Alexander Wendt menggambarkan bahwa tanpa identitas

kepentingan tidak memiliki kekuatan motivasional dan tanpa kepentingan identitas

tidak memiliki arah.211

Adapun dalam skripsi ini analisa terhadap latar belakang kebijakan

Tiongkok menginisiasi kerja sama LMC pada tahun 2015 layak untuk dilihat dari

sudut pandang konstruktivis disebabkan oleh logika identitas Tiongkok memahami

peranannya dalam struktur internasional di kawasan Subregional Mekong.

Berdasarkan pandangan Flockhart bahwa kategori kebijakan Tiongkok tersebut

merupakan kebijakan yang merubah status quo, yang mengindikasikan adanya

perubahan terhadap identitas Tiongkok. Hal ini disebabkan oleh peningkatan

kapasitas Tiongkok yang telah memproduksi identitas sosial baru, yaitu sebagai

‘rising power’ dan ‘regional power’, yang turut merubah pemahaman Tiongkok

terhadap dirinya dan apa yang diinginkanya dalam struktur internasional yang ada.

1. Tiongkok sebagai ‘The Rising Power’

Tiongkok telah mengalami transformasi yang komprehensif sejak tahun

1970 yang diperkenalkan oleh Deng Xiaoping dengan melakukan reformasi

ekonomi dan politik. Dalam kurun waktu yang sangat cepat ekonomi Tiongkok

telah berhasil menduduki posisi kedua terbesar di dunia pada tahun 2010 menurut

IMF, dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai US$ 10. 380 miliar dengan

210Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, “Internasional Relations Theory 5th”, h. 287 211Rex Li, “China’s Sea Power Aspirations and Strategic Behaviour in the South”, h. 119

Page 96: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

81

PDB AS di tahun yang sama mencapai US$ 17.418 miliar.212 Mencakup 15 persen

pertumbuhan global pada tahun 2014, tidak hanya itu Tiongkok saat ini menjadi

negara pemegang devisa terbesar di dunia (US$ 3,7 triliun), terbesar konsumen

energi, memiliki tingkat pertumbuhan tahunan tertinggi di dunia selama tiga

dekade yaitu 8,4 persen.213 Memiliki anggaran militer terbesar kedua di dunia dan

anggaran keamanan internal terbesar, pada tahun 2015, Tiongkok memiliki

anggaran militer mencapai US$ 145,8 miliar peringkat kedua dengan posisi pertama

yaitu AS mencapai US$ 597,5 miliar.214

Transformasi komprehensif yang dilakukan Tiongkok, turut mengubah

pandanganya terhadap dunia, dan Tiongkok tidak lagi memandang dirinya sebagai

negara dunia ketiga melainkan the rising power dengan peningkatan signifikan baik

secara ekonomi dan militer. Hal tersebut merupakan dorongan dari kepemimpinan

China Communist Party (CCP), yang melihat kekuatan ekonomi yang kuat akan

mendukung kekuatan militernya, selanjutnya akan menjadi penentu penting bagi

status Tiongkok dalam politik internasional.215

Setelah menjalani keterisolasian dari masyarakat internasional selama 40

tahun, dalam masa kepemimpinan Mao Zedong, menjadi catatan kelam karena

membuat Tiongkok tidak makmur dan terpuruk secara ekonomi. Oleh karena itu,

setelah Mao Zedong meninggal dunia dan diambil alih oleh kepemimpinan Deng

212 Paul SN Lee, “The rise of China and its contest for discursive power”, Global Media

and China 2016, Vol. 1(1–2) 102-120, dipublikasi oleh SAGE Publication, 2016, h. 102 213 David Sambaugh, “The Complexities of a Rising China”, dimuat dalam David

Shambaugh, “The China Reader Rising Power Sixth Edition”, United Kingdom: Oxford University

Press, 2016, h. 2 214 Paul SN Lee, “The rise of China and its contest for discursive power”,h. 102 215 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h.93

Page 97: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

82

Xiaoping, Tiongkok mengubah arah kebijakan yaitu reformasi dan keterbukaan

sebagai hasil dari keputusan Third Plenum of the Eleventh Central Committee of

the Chinese Communist. Kertebukaan Tiongkok sangat penting dalam membuka

peluang bagi peningkatan ekonomi yang stabil, yang juga akan berdampak pada

peningkatan di bidang lain yaitu militer dan politik.

Seiring dengan peningkatan kapabilitas ekonomi dan politik, di bidang

diplomasi Tiongkok juga ikut meningkat. Tercatat hingga 2015, Tiongkok sedang

menjalani hubungan diplomatik dengan 175 negara, menjadi anggota 150

organisasi internasional, dan menjalani 300 perjanjian multilateral.216 Menerima

sejumlah besar pejabat asing yang berkunjung setiap tahun, dan pemimpin

Tiongkok rutin berkeliling dunia dalam agenda diplomasi, menjadi anggota tetap

DK PBB dan peserta dalam semua pertemuan besar internasional, meskipun masih

seringkali pendiam akibat pengaruh diplomatiknya yang masih terbatas.217

Meski pada awal topik kebangkitan Tiongkok menghadapi kesulitan,

sebagian pejabat sangat berhati-hati dalam membicarakan hal tersebut, karena

pemerintah tidak ingin dunia melihat kebangkitanya sebagai ancaman, namun sejak

kepemimpinan Hu Jiantao pada tahun 2002, kebangkitan Tiongkok bukan lagi

menjadi sesuatu yang disembunyikan dan kepercayaan diri Tiongkok pun terus

meningkat. Hu Jiantao telah memasukan agenda mempromosikan Tiongkok ke

dunia internasional, kesadaran akan kekuatanya yang meningkat menjadi

pembahasan pada kongres CCP ke-17 pada tahun 2007, yang menekankan

216 David Sambaugh, “The Complexities of a Rising China”, h. 2 217 David Sambaugh, “The Complexities of a Rising China”, h. 2

Page 98: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

83

pentingnya strategi “soft-power” yaitu penekanan budaya sebagai sebuah “source

of national cohesion and creativity and a factor of growing significance in the

competition in overall national strength” untuk meredakan kekhawatiran

tetangganya dan Barat atas kebangkitan Tiongkok (the rising power) dengan

berkonstribusi pada lingkungan eksternal yang ramah terhadap pembangunan

ekonomi dan pemerintahannya.218

Hal tersebut mengindikasikan keadaan psikologis negara yang semakin

memiliki ambisi dalam mewujudkan impian, termasuk pemimpin Tiongkok

selanjutnya yaitu, Presiden Xi Jinping yang telah memproklamirkan “China’s

Dream” (rejuvenation).219 China’s Dream mencakup empat hal yaitu,220 pertama,

meningkatkan kekuatan Tiongkok dalam bidang ekonomi, politik, diplomatik, ilmu

pengetahuan, dan militer. Kedua, meningkatkan peradaban Tiongkok yang

mencakup kesetaraan dan keadilan, kekayaan budaya, dan bermoral tinggi. Ketiga,

keharmonisan Tiongkok yaitu persahabatan antar kelas sosial. Keempat, keindahan

Tiongkok dari kualitas lingkungan yang sehat dan rendah polusi.

Ambisi untuk memperkuat dan kembali membangun Tiongkok menjadi

sebuah kekuatan besar salah satunya tergambar melalui pidato pertama Presiden

Xi Jinping ketika menjabat sebagai umum CCP pada November tahun 2012,

“Our responsibility is to united and lead people of the entire party and of all

ethnic groups around the country while accepting the baton of history and

218 Paul SN Lee, “The rise of China and its contest for discursive power”, Global Media

and China 2016, Vol. 1(1–2) 102-120, dipublikasi oleh SAGE Publication, 2016, h. 104 219 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 90 220 Lidya C. Sinaga, “China's Assertive Foreign Policy in South China Sea Under Xi

Jinping: Its Impact on United States and Australian Foreign Policy”, dimuat dalam Journal of

ASEAN Studies 3 (2015), 2, pp. 133-149. Tersedia di http://dx.doi.org/10.21512/jas.v3i2.770

diakes pada 22 Maret 2018 pukul 15.04 WIB, h. 136

Page 99: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

84

continuing to work for realizing the great revival of the Chinese nation in

order to let the Chinese nation stand more firmly and powerfully among all

nations around the world and make a greater contribution to mankind.”

“Tanggung jawab kita adalah untuk menyatukan dan memimpin rakyat dari

seluruh partai dan semua kelompok etnis di seluruh negeri sambil menerima

tongkat sejarah dan terus bekerja untuk mewujudkan kebangkitan besar

bangsa Tiongkok agar terus berdiri teguh dan kuat di antara bangsa di seluruh

dunia dan memberi konstribusi besar kepada umat manusia”.221

Hal tersebut memperlihatkan ambisinya untuk mengembalikan Tiongkok

kepada masa kejayaannya di masa lalu. Tom Miller dalam bukunya “China Asian

Dream: Empire Building Along the New Silk Road”, menilai bahwa kebijakan Xi

Jinping terkait OBOR-pun merupakan salah satu dari rencana Tiongkok yang

berfokus pada “memulihkan” status historisnya sebagai kekuatan dominan Asia.222

Hal ini seperti yang digambarkan Presiden Xi Jinping dalam pidato berikutnya

setelah ia resmi menjadi pemimpin CCP,

“We have led the people to advance and struggle tenaciously, trans-

forming the impoverished and Old China into the New China that has become

prosperous and strong gradually. The great revival of the Chinese nation has

demonstrated unprecedented bright prospects.”

“Kami telah membuat rakyat maju dan berjuang dengan gigih,

mentransformasikan Tiongkok yang miskin dan tua menuju Tiongkok yang baru

yang telah makmur dan kuat secara bertahap. Kebangkitan besar bangsa Tiongkok

telah menunjukan prospek cerah yang belum pernah terjadi sebelumnya”.223

221 Andreas Bøje Forsby, “The Logic of Social Identity in IR: China’s Identity and Grand

Strategy in the 21st Century”, (Disertasi) Departement of Political Science University of

Copenhagen, 2015, tersedia di https://www.diis.dk/files/media/documents/activities/

phd_dissertation.pdf diakses pada 19 Februari 2018, pukul 09.23 WIB , h. 261

222 James Griffiths,”Just what is this One Belt, One Road thing anyway?” 223Andreas Bøje Forsby, “The Logic of Social Identity in IR: China’s Identity”, h. 263

Page 100: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

85

Setiap pemimpin Tiongkok memimiliki tujuan untuk mempertahankan

legitimasi pemulihan status Tiongkok sebagai bangsa yang kuat, begitu juga dengan

‘China’s dream’ memiliki fungsi politik yang penting dalam memobilisasi

dukungan domestik.224 ‘China’ dream’ adalah bentuk pengakuan pemerintah

Tiongkok atas kebangkitanya atau yang dikenal dengan istilah the rising power

dalam bahasa mandarin jueqi guo.225 Hal yang ditutupi oleh pemerintah Tiongkok

sebelumnya. Pemerintah Tiongkok secara eksplisit mengakui statusnya sebagai the

rising power pada tahun 2013 dan 2014, dengan menyoroti Thucydides Trap

sebagai analogi dengan tantangan hubungan Sino-Amerika, dimana Presiden Xi

Jinping mengusulkan membangun sebuah ‘New Type of Great Power Relations’

dengan AS, yang disimpulkan sebagai upaya atas desakan posisi Tiongkok sebagai

kekuatan nomor dua di dunia setelah AS.226

Identitas sebagai ‘the rising power’ tentu tidak terbentuk begitu saja, selain

dari peningkatan kapabilitas materi, terdapat konstruksi sosial bedasarkan interaksi

sosial pada abad penghinaan (century of humiliation) dan juga faktor sejarah

tentang kehebatan masa lalu Tiongkok, sehingga ‘the rising power’ dinarasikan

sebagai kisah yang menceritakan kenaikan Tiongkok merebut kembali posisi

historisnya setelah menjalani masa kelam sebagai negara status rendah.227 Rasa

bangga atas pencapaian Tiongkok dari identitas sebagai ‘the rising power’ semakin

meningkat pada masa kepemimpinan pemerintah Presiden Xi Jinping melalui

224 Pu Xiaoyu, “Controversial Identity of a Rising China”, dimuat dalam The Chinese

Journal of International Politics, 2017, Vol. 10, No. 2, pp. 131–149, dipublikasi oleh Oxford

University Press, 2017, h. 132 225 Pu Xiaoyu, “Controversial Identity of a Rising China”, h. 139 226 Pu Xiaoyu, “Controversial Identity of a Rising China”, h. 139 227Andreas Bøje Forsby, “The Logic of Social Identity in IR: China’s Identity”, h. 263

Page 101: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

86

kebijakan ‘China’s dream’ yang menyiratkan pengakuan pemerintah Tiongkok

akan kenaikanya. dimana pemerintah dalam konstruktivis mewakili konsensus ide-

ide masyarakat yang disatukan dalam sebuah negara, hal ini menandai bahwa

identitas sebagai ‘the rising power’ dibentuk secara internal dan eksternal.

Selanjutnya, melalui pemahaman terhadap identitas Tiongkok sebagai ‘the

rising power’ akan menyiratkan serangkaian kepentingan Tiongkok, terutama di

Subregional Mekong dengan struktur kompetitif. Eksistensi Tiongkok di kawasan

Mekong yang dihadapkan pada musuh-musuh tradisionalnya telah membuat

Tiongkok sulit dalam mencapai cita-citanya (China’s Dream) untuk

mengembalikan posisi historisnya tersebut. Pembentukan LMC adalah strategi

Tiongkok untuk menjalin kemitraan yang lebih komprehensif dengan negara-

negara Subregional Mekong yang sulit dicapai selama ini akibat posisi Tiongkok

yang lemah dikawasan dan dianggap sebagai ancaman, dengan identitas barunya

sebagai ‘the rising power’.

Oleh karenanya, dalam upaya untuk meningkatkan kepercayaan negara-negara

DAS Mekong terhadap Tiongkok adalah dengan terlibat aktif dalam kerja sama

yang berkaitan dengan Sungai Mekong, sekaligus menghapus stigma negatif atas

kenaikan Tiongkok yang erat dengan kehausan untuk memanfaatkan sumber daya

alam sebesar-besarnya ditandai dengan pembangunan dam-dam di wilayah tersebut

yang telah dianggap sebagai penyebab bencana kekeringan di Vietnam, para ahli

pun menyatakan Tiongkok bertanggung jawab atas bencana tersebut.228 Isu tersebut

228 Laura Zhou, “Five things to know about the Lancang-Mekong Cooperation summit

Page 102: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

87

selama ini yang telah menyudutkan posisi dan sekaligus semakin menguatkan

ancaman kenaikan Tiongkok dalam pandangan negara-negara Asia Tenggara.

Perubahan sikap Tiongkok dengan membentuk LMC adalah implementasi

strategi Tiongkok yaitu assertive diplomacy yang dirumuskan oleh Xi Jinping

dalam menjaga low profile Tiongkok dengan menjalankan diplomasi yang lebih

proaktif. Prinsip low profile dalam urusan internasional sangat ditekankan oleh

Tiongkok.229 Hal ini tercermin dalam tujuan utama pemikiran politik Tiongkok

kontemporer dalam memaksimalkan China National Compehensive Power

(CNCP), konsep kekuatan yang sesuai dengan pemahaman kekuasaan tradisional

Tiongkok yaitu “Wang dao (王道)” didefinisikan sebagai “kingcraft” atau seni

dalam memerintah lebih bernilai tinggi daripada “ba dao (霸道)” yaitu memerintah

dengan paksa atau memerintah dengan kekuatan, oleh sebab itu, saat ini pemerintah

Tiongkok menekankan dan mempromosikan soft power Tiongkok dengan

semangat yang besar.230

Tiongkok telah mendirikan Institut Konfisius di berbagai negara untuk

mengajar bahasa Mandarin, kemudian mendirikan Saluran berita global setara CNN

dengan berbahasa Tiongkok yaitu China Central Television (CCTV) CCTV-9 guna

menyuarakan lebih banyak perspektif dari Tiongkok.231 Pada tahun 2009 dan 2010,

Five-year development plan, including construction of hydropower dams, is expected to top agenda

at Mekong River nations’ conference in Cambodia”, tersedia di

http://www.scmp.com/news/china/diplomacy-defence/article/2127387/five-things-know-about-

lancang-mekong-cooperation, diakses pada 3 Januari 2018, pukul 18.51 WIB 229 Kourosh Ziabari,”China’s Role in International Affairs: an Interview with Prof. Zhiqun

Zhu”, tersedia di https://www.foreignpolicyjournal.com/2012/05/31/chinas-role-in-international-

affairs-an-interview-with-prof-zhiqun-zhu/ diakses pada 3 Januari 2018, pukul 19.00 WIB 230 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96 231 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96

Page 103: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

88

Tiongkok menginvestasikan US$ 8,7 miliar dalam pekerjaan publisitas eksternal

yang dilakukan oleh CCTV, China Radio International (CRI), Kantor Berita

Xinhua, dan China Daily.232 Dalam hal ini, kerangka kerja sama LMC juga

merupakan salah satu upaya Tiongkok untuk menyediakan wadah shared

knowledge bagi Tiongkok dalam meningkatkan “soft power”-nya untuk meredam

serangan diplomatik di Asia Tenggara, khususnya negara-negara Subregional

Mekong sebagai upaya untuk meningkatkan pengaruhnya dan peranannya di

kawasan yang didorong oleh persepsinya sebagai ‘the rising power’.

2. Tiongkok sebagai ‘the Regional Power’

Telah menjadi pemahaman bersama, bahwa Tiongkok mendominasi Asia

secara fisik, hal ini disebabkan wilayah teritorial Tiongkok yang sangat luas dan

berlokasi tepat di sentral benua Asia, sehingga menyebabkan Tiongkok berbatasan

dengan negara-negara di Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Timur Laut, dan Asia

Tengah, sehingga Tiongkok dapat memberi pengaruh pada semua Subregional yang

ada di Asia.233 Termasuk Subregional Mekong, yang tidak hanya memiliki

hubungan sebagai negara tetangga namun, juga berbagi bersama sumber air yaitu

Sungai Mekong. Tiongkok merupakan negara hulu yang perannya sangat penting

dalam kawasan tersebut.

Posisi Tiongkok sebagai negara dominan di Asia telah berlangsung sejak

masa kekaisaran. Hal ini disebabkan oleh pengaruh terhadap negara-negara perifer

secara budaya maupun dengan sistem upeti telah menarik mereka masuk dalam

232 Paul SN Lee, “The rise of China and its contest for discursive power”, h. 107 233Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96

Page 104: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

89

sistem internasional yang Sino-sentris, namun posisi dominannya sebagai kekuatan

regional berakhir pada abad ke-19 oleh konfrontasi milter Tiongkok dengan Barat

dan seiring dengan munculnya kekaisaran Jepang sebagai kekuatan dominan di

Asia, dan mempromosikan kepentingannya dalam konsep “Greater East Asia Co-

Prosperity Sphere”, pada tahun 1930-an sampai akhir Perang Dunia II dan selama

Perang Dingin dilanjutkan dengan aliansi militer AS dan Jepang, kemudian AS

menetapkan hegemoninya secara de facto terhadap wilayah Asia.234

Akibatnya, pengaruh Tiongkok menjadi tidak terlalu signifikan di Asia.235

Hal ini tentu saja sangat mengancam bagi wacana historis dan geopolitik Tiongkok.

Situasi kawasan yang demikian mengkhawatirkan para pemimpin Tiongkok.

Mereka melihat negara-negara Asia telah dimanfaatkan oleh kekuataan besar

lainnya untuk bertindak melawan kepentingan Tiongkok, misalnya masyarakat

Tiongkok percaya bahwa teori “ancaman Tiongkok” (China’s threat) yang

berkembang di Asia Tenggara dihasilkan oleh AS dan Jepang untuk memunculkan

kecurigaan negara-negara tetangga terhadap Tiongkok.236

Situasi demikian sangat merugikan Tiongkok dalam fokus mencapai

pembangunan ekonominya, karena memerlukan dukungan dari lingkungan yang

stabil. Seiring dengan reformasi terhadap arah kebijakan dan keterbukaan pada

masa Deng Xiaoping, Tiongkok menerapkan kebijakan regional baru untuk

mendapat posisi strategis dalam pergaulan dengan tetangganya, yaitu menggunakan

234 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity, h. 96 235 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96 236 Rex li, “A Rising China and Security inEast Asia Identity construction and security

discourses” di muat dalam Michael Leifer, “Politics in Asia series”, (London School of Economic :

New York), 2008, h.185

Page 105: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

90

regionalisme yang terbukti berhasil meningkatkan kepentingan ekonomi, politik,

kemanan Tiongkok di kawasan.237 Sehingga, Tiongkok kini telah menjadi aktor

regional yang aktif dan penting.

Tiongkok telah memulai peran aktif dengan strategi regionalisme dan

kebijakan ‘good neighbourly policy’, Tiongkok menjalankan langkah pertama yang

ditandai dengan keikutsertaannya dalam APEC di awal tahun 1990, APEC

dianggap dapat memenuhi agenda pembangunan ekonomi Tiongkok, dan

pembentukan APEC juga membantu mengembangkan identitas regional Tiongkok

di Asia Pasifik. Kemudian Tiongkok juga terlibat dalam ASEAN Regional Forum

(ARF) pada tahun 1994, yang merupakan mekanisme dengan tujuan untuk

mempromosikan kerja sama keamanan regional. Tindakan penting lainya yaitu

pada Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, Tiongkok secara bertanggung

jawab untuk tidak mendevaluasi mata uangnya serta menawarkan paket bantuan

dan pinjaman berbunga rendah ke beberapa negara Asia Tenggara.238

Penerapan kebijakan ‘good neighbourly policy’ oleh Tiongkok yang

bertujuan untuk membangun dan memperbaiki hubungan dengan negara-negara

tetanganya mampu mengubah citra Tiongkok.239 Tahun-tahun berikutnya peran

aktif Tiongkok semakin meningkat ditandai dengan keterlibatan aktif dalam ASEAN

Plus Three (APT) dan mekanisme ASEAN Plus China, Tiongkok juga mulai

mendirikan kerja sama regional seperti Shanghai Cooperation Organization (SCO)

237 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96 238 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 96 239 Rex li, “A Rising China and Security inEast Asia Identity”, h. 185

Page 106: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

91

pada tahun 2001, sebagai alat untuk memerangi terorisme dan memperluas

pengaruhnya di Asia Tengah.240 Termasuk kerja sama Subregional di kawasan

Sungai Mekong yaitu LMC, untuk mendukung pembangunan kawasan negara-

negara Mekong dan memperkuat pengaruhnya di kawasan Subregional Mekong

khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya.

Subregional Mekong merupakan wilayah penting bagi Tiongkok saat ini,

ketegangan hubungan yang terjadi akibat perselisihan terkait LTS telah

menyebabkan kehadiran Tiongkok menjadi ancaman bagi negara-negara Asia

Tenggara, dan khususnya negara-negara Subregional Mekong. Tiongkok sebagai

negara hulu dengan kapabilitas yang jauh lebih tinggi dari negara DAS Mekong

lainya baik secara ekonomi dan militer, sekaligus pertumbuhan diberbagai aspek

menjadikan Tiongkok negara yang haus akan energi, termasuk juga dalam

mengembangkan potensi air sungai, Tiongkok juga mendukung peningkatan daya

navigasi sungai yang penting bagi ekspor Tiongkok, yang mendapat kritik negara-

negara DAS lainya karena akan merusak keberlangsungan sungai dengan dampak

paling mengerikan yang akan dirasakan oleh negara hilir.241

Oleh karenanya, posisi Tiongkok sangat tidak menguntungkan dan semakin

kuatnya wacana “ancaman Tiongkok” di kawasan, untuk itu LMC dimaksudkan

untuk mendapatkan kepercayaan negara-negara DAS Mekong kepada Tiongkok,

dan merupakan tindakan Tiongkok yang meyakinkan bahwa Tiongkok bukanlah

240 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 97 241Judith, Nijenhuis, “Complex Interdependencies In the Mekong River Basin: Explaining

Water Cooperation”, Radboud University, (2012), h. 26

Page 107: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

92

negara yang ekspansionis, perusak, dan tidak kooperatif. Tema dalam pertemuan

pertama para pimpinan LMC “we share river, we share future” memperkuat

pembuktian bahwa melalui kerja sama LMC Tiongkok ingin memperlihatkan

sikapnya yang kooperatif dan tidak ekspansionis dengan berkembang bersama demi

mencapai masa depan yang lebih baik. LMC juga sebagai pembuktian bahwa

Tiongkok dapat menginiasi kerja sama dikawasan Subregional Mekong sehingga

Tiongkok akan kembali mendapatkan kepercayaan dan meningkatkan pengaruhnya

dikawasan dan menjaga identitasnya sebagai ‘the regional power’.

Selain aktif dalam organisasi multilateral regional, Tiongkok juga

melakukan tidakan nyata untuk mengurangi ketidakpercayaan dan kecemasan di

bidang keamanan, Tiongkok aktif dalam misi penjagaan perdamaian PBB, dan

partisipasi masalah keamanan tradisional dan non-tradsional, seperti telibat dalam

pembuatan mekanisme keamanan multilateral, memainkan peran utama dalam

SCO dan perundingan Six-Party Talks mengenai krisis nuklir Korea Utara, dan

melakukan latihan militer gabungan dengan negara-negara tetangga.242

Dalam bidang ekonomi Tiongkok semakin memperluas Foreign Direct

Investment (FDI) di Asia. Seperti menyepakati perdagangan bebas regional dan

bilateral yaitu FTA China-ASEAN, FTA China-Pakistan, FTA China-Singapore,

dan beberapa kesepakatan lainya yang sedang dalam pembahasan, dengan demikian

hubungan ekonomi Tiongkok dengan negara-negara di kawasan Asia semakin

dalam.243

242 Rex li, “A Rising China and Security inEast Asia Identity”, h. 185 243 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 98

Page 108: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

93

Perubahan arah kebijakan Tiongkok telah mampu membuat Tiongkok

kembali menjadi kekuatan regional meskipun bukanlah satu-satunya. Tiongkok

berbagi pengaruh dengan AS, Jepang, Rusia, ASEAN, dan India, namun Tiongkok

dan AS adalah dua kekuatan terbesar di kawasan Asia. Kehadiran AS dan aliansinya

di Asia Pasifik ( AS, Australia, Jepang, Filipina, Korea Selatan, dan Thailand)

masih menjadi ketidak nyamanan Tiongkok namun, banyak negara Asia Selatan

yang cenderung bekerja sama dengan Tiongkok, dan menjadikan Tiongkok sebagai

penyeimbang pengaruh AS sehingga dapat mempertahankan stabilitas regional.

Situasi demikian mendorong Tiongkok untuk tetap melaksanakan strateginya

terhadap lingkungan eksternal agar dapat berkonsentrasi pada pertumbuhan

ekonomi dan mengumpulkan kekuatan relatif tanpa memprovokasi AS sehingga

menyebabkan ketidak stabilan kawasan yang dapat merugikan negara-negara di

kawasan Asia.244

Kehadiran Tiongkok sebagai penyeimbang regional telah memperlihatkan

praktik yang terus-menerus dilakukan Tiongkok khususnya di kawasan Asia

termasuk di kawasan Subregional Mekong. Adapun pembentukan LMC juga

merupakan upaya Tiongkok untuk memelihara identitasnya sebagai “the regional

power” dan menstabilkan keseimbangan kekuasaan di kawasan Subregional

Mekong. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa AS dan aliansinya terutama Jepang,

telah hadir terlebih dahulu di Subregional Mekong dan membentuk berbagai kerja

sama di kawasan tersebut.

244Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”,h.99

Page 109: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

94

Sehingga, dapat dikatakan LMC sebagai praktik balance of power Tiongkok

terhadap kerja sama-kerja sama sebelumnya yang ada di Subregional Mekong dan

didominasi oleh AS dan aliansinya, hal ini didasarkan pada interpretasi Tiongkok

terhadap identitasnya yang kemudian mempengaruhi struktur internasional, dan

dipengaruhi oleh interaksi sosialnya dengan aktor lain dalam hal ini terutama

dengan AS dan aliansinya Jepang. Pemahaman identitas sosialnya membentuk

persepsi Tiongkok terhadap aktor lain (others) dan bagaimana aktor lain

memandang dirinya sehingga akan mempengaruhi hubugan Tiongkok dengan

aktor lain tersebut apakah teman, rival, ataupun musuh. Persepsi Tiongkok terhadap

aktor lain sangat mempengaruhi kebijakan Tiongkok dalam hal ini yaitu

menginisiasi LMC dan tidak memaksimalkan kerja sama yang telah diikuti

sebelumnya yaitu GMS dimana memiliki bidang prioritas yang mirip dengan LMC.

Adapun GMS adalah kerja sama yang didukung oleh ADB, dan terdapat

peran dominan Jepang sebagai donor terbesar sekaligus menjadi pimpinan ADB.245

Kehadiran Jepang sebagai aktor lain, tentu menjadi pengaruh penting bagi

Tiongkok untuk memaksimalkan peranya dalam GMS. Hal ini terkait dengan

persepsi Tiongkok terhadap dirinya (self) dan orang lain (other) dalam hal ini yaitu

Jepang.

245 Min Wan, “Japan and the Asian Development Bank”, Pacific Affairs, Vol. 68, No,

dipublikasi oleh Pacific Affairs, University of British Columbia, 1995-1996 , h. 509

Page 110: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

95

3. Persepsi Tiongkok terhadap Kehadiran Jepang dalam Kerja sama-

Kerja sama Subregional Mekong, terkait Logika Identitas Sosial

Tiongkok

Jepang telah hadir dan terlibat aktif dalam kerangka kerja sama di kawasan

Subregional Mekong dan Indocina sejak tahun 1980-an, di antaranya yaitu GMS

yang difasilitasi dan didorong oleh ADB dan didominasi oleh Jepang, selain itu

MRC juga didominasi oleh Jepang dan negara-negara Barat lainya.246

Adapun dominasi Jepang dalam kerja sama-kerja sama Subregional

Mekong dalam persepsi Tiongkok sangat dipengaruhi oleh konsep identitas yang

menentukan hubungan antara Tiongkok dan Jepang. Hubungan Tiongkok dan

Jepang mengalami beragam dinamika yang kompleks dan seringkali terjadi

pertentangan. Sebagai dua negara dengan status great power di Asia, hubungan

Tiongkok dan Jepang sangatlah penting karena memiliki dampak global.

Secara historis, Jepang telah menorehkan peran negatif terhadap Tiongkok

pada masa imperialisme di Abad ke-20, yaitu disebabkan kekejaman yang

dilakukan oleh tentara Kekaisaran Jepang, yang menjadi penghinaan dan kebencian

bagi masyarakat Tiongkok. Selama periode tersebut terdapat dua perang yaitu

pertama, Perang Opium, Tiongkok dikalahkan dan dipaksa memberi konsesi

kepada imperealis Barat, kedua, Perang Sino-Jepang ketika sebagian Tiongkok

diserang dan dikenai penjajahan secara brutal, peristiwa ini menyebabkan

246 Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Viewed in Light

of the Potential Regional Leader Theory”, Journal of Mekong Societies, Vol.12 No.3, 2016, h. 61

Page 111: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

96

Tiongkok kehilangan posisinya sebagai negara dominan Asia.247 Kaufmann,

menyebut peristiwa tersebut sebagai the Century of Humiliation yang berfungsi

sebagai “a historical touchstone for China’s aspirations” dan terus mempengaruhi

hubungan luar negeri Tiongkok sampai saat ini.248

Hal tersebut menjadi pukulan psikologis yang sangat pahit bagi Tiongkok,

karena Tiongkok menganggap dirinya lebih unggul dari Jepang, terdapat dua alasan

untuk menjelaskan persepsi Tiongkok tersebut,249 pertama, segala peradaban

manusia diperkenalkan Tiongkok ke Jepang baik kultural dan agama. Modernisasi

yang terjadi di Jepang dalam kurun waktu yang cepat pada abad ke-19 mampu

menggantikan Tiongkok sebagai kekuatan terbesar di Asia. Kedua, ketidak setaraan

dan kebrutalan Jepang terhadap Tiongkok, khususnya setelah Perang Sino-Jepang

dan perjanjian Shimonoseki, sejak saat itu Jepang mulai secara sistematis

mengeksploitasi Tiongkok, selain itu kebrutalan tentara Jepang selama perang

dengan melakukan pembantaian terhadap penduduk sipil adalah contoh nyata

kekejaman Jepang terhadap Tiongkok.

Perasaan sentimen Tiongkok terhadap Jepang sangat tinggi, Jepang menjadi

musuh terburuk, hingga orang-orang Tiongkok menyebut Jepang sebagai setan

(guizi) dengan tertanamnya rasa permusuhan dan dendam. Meski akhir-akhir ini,

247 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity and policy towards

Diaoyu/Senkaku islands”, (Master thesis, Lingnan University, Hong Kong), 2013, Tersedia di

http://dx.doi.org/10.14793/pol_etd.11, diakses pad 14 Januari 2013, pukul 23.20 WIB, h. 31 248 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity and policy, h.31 249 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity and policy, h.35

Page 112: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

97

secara resmi hubungan Tiongkok dan Jepang mulai meningkat, tapi bagi orang-

orang Tiongkok, kesalahan Jepang tidak bisa dilupakan.250

Berangkat dari peristiwa besar Perang Opium dan Sino-Jepang tidak hanya

mempengaruhi persepsi Tiongkok kepada Jepang sebagai musuh namun juga

terjadi evolusi monumental terhadap identitas Tiongkok. Kekalahan pada Perang

Opium menyebabkan penghapusan terhadap sistem pemerintahan Kekaisaran

Tiongkok dan mulai dipimpin oleh pemerintahan modern dengan konsep negara

Barat pada tahun 1949 dengan ideologi komunisme yang terbentuk dari

pengalaman pahit dua Perang Opium yang menimbulkan semangat nasionalime

anti-imperalisme yang menjadi ciri pemerintahan Mao-Zedong.251

Anti-imperalisme telah menyebabkan Tiongkok menjadi negara yang

terisolasi dari sistem internasional selama Perang Dingin akibat dominasi negara-

negara kapitalis saat itu. Keterkurungan dan kebijakan menutup diri (isolasionis),

semakin membuat Tiongkok mengalami keterbelakangan dan kemiskinan, pada

saat bersamaan ekonomi negara-negara kapitalis barat sedang mengalami

pembangunan yang sangat cepat.252 Meskipun mengalami masa sulit, kebijakan

Tiongkok tidak berubah hal ini karena pada masa Perang Dingin tersebut, kebijakan

Tiongkok ditentukan oleh identitas sosialisnya.

250 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity”, h. 36 251 Edward Friedman, “Reconstructing China’s National Identity: A Southern Alternative

to Mao-Era Anti-Imperialist Nationalism.” The Journal of Asian Studies Vol.53, no. 1 (February,

1994), h. 67 252 Edward Friedman, “Reconstructing China’s National Identity:”, h. 67

Page 113: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

98

Identitas sosialis Tiongkok turut menyumbangkan hubungan permusuhan

dengan Jepang, hal ini karena aliansi Jepang dan AS pada masa itu. Pada tahun

1950, Tiongkok menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Aliansi Sino-Soviet

serta pecahnya perang Korea, menandai dimulainya masa konflik antara komunis

Uni Soviet dengan kapitalisme AS dan sekutunya termasuk Jepang.253 Pada tahun

1959, hubungan Sino-Soviet pun mulai berubah akibat kematian Stalin dan identitas

Uni Soviet ikut berubah, berdasarkan hal tersebut Tiongkok mulai berjalan sendiri

ke arah yang berlawanan dengan Uni Soviet, dengan reformasi ekonomi dan

keterbukaan setelah tahun 1970-an dan kemudian bergabung mejadi anggota

PBB.254

Namun, reformasi yang dilakukan Tiongkok belum mampu merubah stigma

masyarakat internasional pada pasca Perang Dingin, kekuatan pengaruh Barat telah

menjadikan Tiongkok ‘Pihak lain’ (other) yang negatif, Tiongkok dianggap sebagai

“the last bastion of communism” atau “the last Leninist state”, selain itu kritik

terhadap Tiongkok atas catatan hak asasi manusia yang buruk, pemerintahan

otokrasi, dan ‘the rising power’ yang berpotensi menjadi ancaman karena dianggap

sulit untuk berintegrasi dengan peraturan masyarakat internasional. 255 oleh karena

itu, identitas demokrasi Barat kemudian memposisikan diri mereka melawan

Tiongkok, dan melahirkan perasaan tidak adil dan penindasan bagi Tiongkok

sendiri.

253 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity, h. 38 254 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity, h. 40 255 Shogo Suzuki,“The Importance of ‘Othering’ in China’s National Identity: Sino-

Japanese Relations as a Stage of Identity Conflicts.” The Pacific Review 20 (March, 2007), h. 34

Page 114: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

99

Posisi Tiongkok yang demikian kemudian menimbulkan “The narrative of

victimhood”, yang terdapat dalam laporan Jiang Zemin pada Kongres Nasional

Partai Komunis Tiongkok yang ke-15 pada tahun 1997, dalam pidatonya ia

menyampaikan tugas masa depan CCP dan Tiongkok adalah membangun negara

yang kuat dan makmur untuk mencegah korban selanjutnya dari wacana Barat, hal

ini di latar belakangi oleh sejarah Tiongkok modern yang menderita dengan

penghinaan Barat dan aliansinya Jepang, hal serupa juga disampaikan oleh Hu

Jiantao, bahwa aliansi Barat belum melepaskan ambisi untuk menaklukan

Tiongkok, kemudian Xi Jinping pada tahun 2009, melihat keterlibatan asing dalam

urusan kawasan Asia dengan komentar "Some foreigners with full bellies and

nothing better to do engage in finger-pointing at us [China]"256

Jepang sebagai aliansi Barat, turut menjadi tema penting bagi

kepemimpinan CCP, bahkan sejak 1921, Jepang selalu menjadi pembahasan dalam

pertemuan-pertemuan penting, namun perlawanan terhadap Jepang semakin

mencuat sejak era reformasi, pemahaman bersama masyarakat Tiongkok telah

membentuk sentimen nasional yang menumbuhkan ‘othering’ terhadap Jepang dan

citra yang semakin negatif sejak berakhirnya Perang Dingin. Jepang sendiri telah

menjadi aktor aktif dalam memperkuat ‘othering’ Jepang di Tiongkok, sebuah surat

kabar berjudul “Japan’s military ambition” mengkritik penyalahgunaan teori

“ancaman Tiongkok” oleh Jepang untuk meningkatkan pembangunan militernya,

wacana tersebut memperlihatkan posisi antagonisme Jepang terhadap Tiongkok

256 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity”, h. 49

Page 115: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

100

sebagai target kambing hitam untuk agresi Jepang, hal ini semakin memperkuat

identitas Tiongkok dalam hubungan internasional sebagai korban.257

Hal itu akan menyebabkan semakin besarnya potensi Jepang untuk lebih

tidak manusiawi terhadap Tiongkok, seiring dengan itu tingkat kepercayaan

Tiongkok akan semakin menurun terhadap Jepang, dan persepsi ancaman semakin

meningkat, sehingga hubungan antara Jepang dan Tiongkok dilihat berjalan sebagai

musuh dan bertindak seakan-akan didorong oleh ketakutan.258

Adapun hubungan Tiongkok dan Jepang tersebut reflektif dari identitas

yang kemudian menjadi preferensi terhadap tindakan dan kebijakan Tiongkok

termasuk membentuk kerja sama LMC. Hubungan keduanya yang berjalan secara

konfliktual telah membentuk persepsi Tiongkok akan identitas Jepang, hubungan

yang memandang satu sama lain sebagai musuh yang dibentuk identitas

menyebabkan Tiongkok tidak ingin melaksanakan proyek OBOR dengan kerja

sama GMS. Peran dominan Jepang di dalam GMS menjadi alasan utama Tiongkok,

karena adanya ketidakpercayaan pada Jepang yang dianggap sebagai musuh.

Sejak berakhirnya Perang Dingin, Tiongkok telah melirik wilayah Mekong

karena kebutuhan dan kesempatan, kerja sama telah menjadi pilihan strategis bagi

Tiongkok, hubungan bilateral tidaklah cukup untuk menjamin kepentingan

nasionalnnya dan juga merupakan zona yang dapat dimanfaatkan Tiongkok untuk

meningkatkan pengaruhnya karena hubungannya dengan negara-negara hilir yang

bebas dari konflik kecuali Vietnam, dan kawasan tersebut juga merupakan pintu

257Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity”, h. 52 258 Filip Viskupic, “Japan as China's 'other': China's identity”, h. 53

Page 116: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

101

gerbang Asia Tenggara dan merupakan pasar penting bagi ekspor barang-barang

manufaktur Tiongkok.259 Namun, kerja sama LMC lebih kepada upaya diplomatik

Tiongkok untuk memenangkan pengaruh sesuai dengan identitasnya terhadap

negara-negara DAS Mekong, daripada keuntungan ekonomi yang absolut.

Adapun LMC selain bentuk pemenuhan terhadap kebutuhan Tiongkok akan

kerja sama multilateral, LMC juga adalah bentuk pembuktian kepada semua pihak

bahwa Tiongkok mampu untuk membuat sebuah kerja sama multilateral di kawasan

Subregional Mekong tanpa melibatkan negara-negara yang telah terlebih dahulu

memainkan peran penting dalam kerja sama di kawasan tersebut terutama Jepang.

Hal ini dapat dilihat dari nomenklatur yang digunakan dalam nama LMC yaitu

“Lancang-Mekong” yang merupakan strategi Tiongkok menggunakan label

geografi sungai Lancang di Tiongkok dan Mekong bagi lima negara hilir lainya,

yang sangat jelas siapa yang harus diikutsertakan dan yang dikecualikan, dan sangat

efektif mencegah permintaan Jepang dan negara asing lainya dalam keanggotaan

kerja sama LMC tersebut.260

Selain itu, dalam kerja sama LMC juga dimanfaatkan sebagai mekanisme

bagi pengoptimalan fungsi AIIB. Merupakan sebuah bank pembangunan

multilateral yang memiliki misi untuk meningkatkan pendapatan ekonomi dan

tatanan sosial di Asia dan sekitarnya, diprakarsai oleh Tiongkok dan memiliki

259 Oliver Hensengerth, “Money and Security : China Strategic Interest in the Mekong

River Basin” tersedia di www.chathamhouse.org.uk , (2009), h. 11 260Poowin Bunyavejchewin, “The Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Viewed in Light

of the Potential Regional Leader Theory”, Journal of Mekong Societies, Vol.12 No.3, 2016, h. 61

Page 117: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

102

kantor pusat di Beijing, dan beroperasi sejak Januari 2016. 261 Pengoptimalan AIIB

dimaksudkan untuk dapat membatasi pengaruh Jepang dan AS masuk dalam kerja

sama LMC melalui ADB, sebagaimana telah dijelaskan bahwa Jepang merupakan

pendonor terbesar dalam ADB.

B. Situasi Geopolitik di Kawasan Subregional Mekong

Kebijakan Tiongkok untuk menginsiasi kerja sama LMC dalam pandangan

geopolitik dipengaruhi oleh adanya situasi politik di kawasan, atau dalam istilah

konstruktivis dikatakan sebagai security envorinment yang terjadi di Subregional

Mekong dan didefinisikan oleh Tiongkok sesuai dengan identitasnya. Tiongkok

sebagai the rising power yang dipahami bersama sebagai identitas baru Tiongkok

secara geopolitik, menyebabkan keresahan bagi tetangganya, kecerugiaan besar

terhadap niat strategisnya, masih melekat dalam ingatan hubungan Tiongkok

dengan negara-negara Asia Tenggara yang cukup buruk dalam akhir-akhir ini

akibat kasus sengketa wilayah perairan LTS. Adapun dampak signifikan dari kasus

tersebut sangat mengkhawatirkan Tiongkok, sehingga mampu menjadi ancaman

bagi wacana keamanan Tiongkok dan eksistensinya di kawasan.

Dampak tersebut akan memberikan hal negatif dan ketidak percayaan

negara-negara Subregional Mekong yang notabene adalah negara-negara kawasan

Asia Tenggara terhadap Tiongkok. Hal ini akan dimanfaatkan oleh negara-negara

great power lainya untuk bertindak melawan kepentingan Tiongkok, terutama

keberadaan pengaruh ‘other’ yaitu AS dan Jepang yang dalam persepsi Tiongkok

261 “introduction AIIB”, terdapat di https://www.aiib.org/en/about-aiib/index.html, diakses

pada 04 Januari 2018, pukul 13.45 WIB

Page 118: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

103

adalah musuh tradisionalnya. Tiongkok percaya bahwa teori ‘ancaman Tiongkok’

telah dikembangkan oleh AS dan Jepang di kawasan Asia Tenggara untuk

memunculkan kecurigaan di antara tetangga Tiongkok sehingga hal ini akan

memberikan dampak buruk bagi Tiongkok dalam mencapai kepentingannya.262

Selama 20 tahun terakhir, Tiongkok telah memainkan peran sebagai peserta

penting di Subregional Mekong sebagai negara hulu. Namun, Tiongkok memiliki

kekurangan terkait peranya tersebut dalam memproyeksikan dominasi, kemampuan

membuat keputusan dan kemampuan mengembangkan wacana. Hal ini sebagai

dampak kekuatan ekonomi Tiongkok di masa lalu yang masih relatif lemah dan

juga keterisolasian Tiongkok. Untuk itu, strategi yang digunakan Tiongkok

menekankan pada pembangunan ekonomi dan diplomasi untuk mendorong

lingkungan eksternal yang paling menguntungkan bagi pembangunan dalam

negeri.263

Namun, secara rasional asumsi bahwa pembangunan dan kerja sama

ekonomi mungkin tidak dapat menyelesaikan masalah politik dan keamanan.

Perkembangan pesat Tiongkok tidak dapat dihindari oleh negara-negara DAS

Mekong untuk terus-menerus merasa cemas dan curiga. Hal ini semakin

berkembang seiring dengan posisi Tiongkok menjadi ekonomi terbesar kedua di

dunia, masalah dan konflik selama ini akan terakumulasi dan muncul. Ditambah

262 Rex li, “A Rising China and Security in East Asia Identity construction and security

discourses” di muat dalam Michael Leifer, “Politics in Asia series”, (London School of Economic :

New York), 2008, h. 185 263 Lu Guangsheng, “China Seeks to Improve Mekong Subregional Cooperation: Causes

and Policies”, China Seek to improve”, dipublikasi oleh Rajaratnam School of Internasional

Studies, 2016, h. 6

Page 119: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

104

lagi adanya kehadiran campur tangan asing dalam Subregional Mekong yang

menjadi gangguan, dan mulai mengembangkan wacana yang merugikan Tiongkok,

salah satu dampaknya dapat dilihat dari kecaman terhadap investasi Tiongkok di

Myanmar melalui LSM, sehingga Tiongkok mengalami kesulitan menuju kerja

sama yang lebih dalam antara Tiongkok dan negara-negara Suregional Mekong

lainya.264

Kembali diliriknya kawasan Asia Tenggara dan Subregional Mekong

khususnya oleh AS, ditandai oleh kebijakan ‘pivot to Asia’ dan mendirikan kerja

sama di kawasan Mekong yaitu LMI dan Jepang sebagai aktor lama dalam kerja

sama di kawasan Subregional Mekong, semakin komprehensif menjalin kemitraan

di kawasan ditandai dengan Japan-Mekong Summit yang rutin diadakan sejak tahun

2008.

Hal tersebut menjadi indikasi bahwa strategi kerja sama ekonomi yang

dilakukan Tiongkok secara bilateral maupun regional melalui ASEAN dengan

negara-negara Subregional Mekong khususnya dan Asia Tenggara umumnya, tidak

lagi efektif, karena tidak seimbangnya biaya ekonomi dan keuntungan politik yang

didapat Tiongkok.265 Terbukti AS dan Jepang dapat terus meningkatkan hubungan

dengan negara-negara di kawasan sehingga dapat mengembangkan wacana yang

merugikan Tiongkok, disisi lain Tiongkok juga terus melakukan kemitraan strategis

264Lu Guangsheng, “China Seeks to Improve Mekong Subregional Cooperation: Causes

and Policies”, China Seek to improve”, dipublikasi oleh Rajaratnam School of Internasional

Studies, 2016, h. 7

Page 120: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

105

di kawasan namun, sulit untuk mencapai kerja sama yang lebih dalam. Hal tersebut

menjadi gangguan penting dalam security enviroment Tiongkok.

Tiongkok perlu menggeser pendekatan kooperatifnya untuk

menyeimbangkan tuntutan terhadap security invorenment-nya yang sesuai dengan

identitas dan kepentingan Tiongkok dalam aspek ekonomi, politik, dan keamanan

di Subregional Mekong dan memainkan peran yang lebih konstruktif dan aktif

secara lebih komprehensif. Inilah sebabnya mengapa Tiongkok perlu memiliki

strategi regional dengan membentuk LMC yang efektif untuk meningkatkan

security environment-nya. Jika Tiongkok tidak dapat mengamankan wilayahnya,

khususnya untuk terus dapat memanfaatan sungai tanpa gangguan yang berarti, dan

juga tidak dapat memberikan pengaruh besar di kawasan Subregional Mekong, hal

tersebut benar-benar akan melemahkan identitas Tiongkok sebagai regional power

yang akan berdampak negatif untuk mencapai kepentingan Tiongkok di kawasan.

Untuk mencapai kepentinganya, Tiongkok membentuk LMC sebagai

bagian dari penerapan kebijakan ‘good neighbourly policy’ yang bertujuan untuk

membangun dan memperbaiki hubungan dengan negara-negara Subregional

Mekong sebagai tetangga tradisional Asia bagi Tiongkok yang sangat bernilai

strategis dan politis.

Tiongkok, dalam LMC meletakan dasar yang baik dengan nilai-nilai yang

sesuai dengan kultur di Asia Tenggara. LMC didominasi dan dikoordinasi bersama

oleh enam negara, LMC lebih terbuka dan infklusif, dengan adanya kerja sama

praktis dalam tiga bidang utama yaitu keamanan, politik, pembangunan

Page 121: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

106

berkelanjutan, dan sosial budaya yang secara komprehensif dihubungkan dengan

tiga pilar ASEAN.266 Hal tersebut merupakan inovasi terhadap platform kerja sama

yang belum pernah ada di Subregional Mekong sebelumnya yang menjadi nilai

tambah bagi LMC.

C. Collective Self-esteem (Harga Diri Kolektif) sebagai Kepentingan

Nasional Tiongkok

Berdasarkan konstruktivis, kepentingan nasional terbentuk berdasarkan

identitas. Merujuk pada konsep kepentingan nasional Alexander Wendt yang sangat

mempengaruhi kebijakan Tiongkok dalam membentuk LMC adalah terkait

Collective self-esteem sesuai dengan identitas Tiongkok yaitu ‘the rising power’

dan ‘the regional power’ serta persepsi terhadap ‘other’ terkait hubunganya dengan

Aliansi AS dan Jepang di Subregional Mekong.

Beradasarkan penjelasan Wendt harga diri adalah kebutuhan dasar manusia,

dan salah satu hal yang dicari individu atau negara dalam keberadaanya sebagai

aktor dalam tatanan sistem internasional.267 Positif atau negatif citra diri seseorang

atau negara bergantung pada hubungan yang dibangunya dengan orang lain,

melalui perspektif orang lain maka seorang aktor akan dapat melihat dirinya

sendiri.268

266 Lu Guangsheng, “China Seeks to Improve Mekong Subregional Cooperation: Causes

and Policies”, China Seek to improve”, dipublikasi oleh Rajaratnam School of Internasional

Studies, 2016 , h.10 267 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics” (Australia: Cambridge

University Press, 1999), h.236 268 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics”, h.236

Page 122: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

107

Identitasnya sebagai the rising power sejak reformasi ekonomi yang

dilakukan di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping di akhir tahun 1970-an, dengan

pertumbuhan kapabilitas Tiongkok, baik dalam bidang ekonomi dan militer, serta

keterlibatanya dalam tatanan sistem internasional yang mulai diperhitungkan telah

membuat kepercayaan diri Tiongkok semakin meningkat. Elit politik Tiongkok

percaya kekuatan komprehensif Tiongkok akan terus meningkat dan mereka belum

puas dengan status internasional Tiongkok saat ini.269

Namun, identitasnya sebagai the rising power, sebagaimana yang telah

dijelaskan, menantang kekuatan besar lainya di dunia khususnya AS dan Jepang,

mereka mempersepsikan Tiongkok sebagai ancaman dan mengembangkan wacana

“ancaman Tiongkok” dengan negara-negara tetangganya di kawasan Asia,

termasuk Asia Tenggara. Dominasi Barat telah menjadikan Tiongkok selalu

tersisihkan dalam sistem internasional, meskipun secara kapabilitas materinya

termasuk yang perhitungkan. Ditambah lagi tidak adanya kesesuaian identitas yang

dibangun dari norma dan nilai-nilai Tiongkok dengan negara-negara Barat

mengakibatkan Tiongkok melekat dengan status out-group yang tidak

menguntungkan sama sekali bagi Tiongkok dalam hal kepentingan secara

keseluruhan.270

Seperti yang dipahami oleh Wendt, kepentingan nasional tentang harga diri

secara kolektif terdiri dari positif atau negatif, adanya wacana “ancaman Tiongkok”

yang dikembangkan oleh AS dan Jepang terhadap Tiongkok menjadi citra negatif

269 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 103 270 Yang Lu, “Dynamics of National Interest and National Identity”, h. 103

Page 123: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

108

sehingga merugikan Tiongkok. Wendt juga melihat negara akan cenderung tidak

akan menolerir citra negatif semacam itu, negara membutuhkan kepememilikan

akan citra yang positif agar mendapatkan status yang sama di mata dunia

internasional yang muncul dari rasa saling menghormati dan kerja sama.271

Oleh karena itu, untuk mencapai kepentinganya terkait citra positif di mata

internasional, Tiongkok beralih untuk aktif, bertanggung jawab, dan kooperatif di

masyarakat global dan regional, salah satunya membentuk kerja sama multilateral

LMC di wilayah Subregional Mekong. Tiongkok hadir sebagai inisiator dalam kerja

sama LMC untuk mematahkan wacana yang berkembang di kawasan tersebut

sebelumnya, bahwa Tiongkok adalah aktor realis yang mementingkan

keuntungannya sendiri, tidak kooperatif, dan agresif. Melalui pembentukan kerja

sama LMC Tiongkok bermaksud untuk memperbaiki citra sosialnya di masyarakat

internasional dengan mempromosikan citra bertanggung jawab dan tidak

mengancam, sehingga dapat menciptakan kawasan Subregional Mekong yang

dapat mendukung perkembangan dan peremajaan (rejuvenation) nasionalnya.

271 Alexander Wendt, “Social Theory of International Politics” , h. 104

Page 124: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

109

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada November 2015, Tiongkok menginsiasi sebuah kerja sama regional di

Subregional Mekong yaitu LMC. Kerja sama LMC menjadi kerja sama multilateral

pertama kali yang diinisasi oleh Tiongkok di kawasan tersebut, hal ini

memperlihatkan perubahan peran Tiongkok yang lebih aktif dan kooperatif dari

sebelumnya. Indikasi perubahan sikap Tiongkok tersebut menjadi dasar penelitian

ini, untuk mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan Tiongkok menginiasi kerja

sama LMC tersebut.

Teori konstruktivisme yang disertai dengan konsep geopolitik dan konsep

kepentingan nasional mampu menjelaskan alasan yang mendorong Tiongkok untuk

membentuk kerja sama LMC, yang menjadi pertanyaan penelitian, sebagaimana

yang telah dijelaskan di atas. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat beberapa

alasan yang berkaitan dan menjadi latar belakang Tiongkok menginisiasi kerja

sama LMC di Subregional Mekong, adapun alasan-alasan Tiongkok yaitu:

Pertama, persepsi Tiongkok akan identitas barunya sebagai ‘the rising

power’ dan ‘the regional power’, sebagaimana dasar asumsi teori konstruktivis,

identitas adalah preferensi dari kepentingan. Adapun ‘the rising power’ adalah

identitas yang melekat kepada Tiongkok akibat kapabilitas materilnya yang terus

meningkat. ‘The regional power’adalah identitas Tiongkok yang merujuk pada

Page 125: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

110

posisi Tiongkok di kawasan Asia yang memiliki pengaruh di setiap Subregional

yang ada di Asia, termasuk wilayah Subregional Mekong.

Oleh karena itu, kedua identitas barunya tersebut memberikan kepercayaan

diri bagi Tiongkok untuk membuat kerja sama Subregional Mekong dalam upaya

mempertahankan statusnya sebagai negara yang dominan di kawasan Asia, dan juga

merupakan pembuktian kepada masyarakat internasional bahwa Tiongkok mampu

membuat sebuah kerja sama multilateral, yang sekaligus mematahkan wacana

ancaman terhadap kenaikan Tiongkok yang diasumsikan akan sulit untuk

kooperatif dan sulit melebur dalam regulasi internasional akibat identitasnya di

masa lalu yang terisolasi atau out of the group.

Pemahaman Tiongkok terhadap siapa dirinya tersebut turut dipengaruhi

oleh pandagannya terhadap ‘other’, dalam hal ini kehadiran Jepang dan AS yang

menjadi ancaman bagi identitas Tiongkok di wilayah Subregional Mekong. Hal ini

memberikan jawaban mengapa Tiongkok harus membuat kerja sama yang baru.

Karena salah satunya adanya pengaruh kehadiran orang lain atau other yaitu Jepang

dan AS dalam kerja sama yang telah ada dikawasan sebelumnya seperti GMS, LMI,

dan MRC.

Oleh karena itu, Tiongkok tidak ingin memaksimalkan peranya dalam kerja

sama yang telah ada karena hubungannya dengan Jepang sebagai musuh tradisional

dan ditambah lagi dengan bergabungnya Jepang dengan aliansi AS yang telah

mengucilkan Tiongkok dari masyarakat internasional pasca Perang Dingin.

Tiongkok membuat kerja sama LMC dan mengeluarkan cost yang tidak sedikit

Page 126: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

111

untuk itu karena berkaitan pemahaman ‘othering’ Jepang tersebut sebagai musuh,

sehingga hal ini akan memberikan logika tindakan sesuai identitas Tiongkok,

bahwa kehadiran Jepang dan Aliansinya akan senantiasa menentang kepentingan

Tiongkok.

Kedua, kondisi geopolitik Subregional Mekong dengan kehadiran Jepang

dan AS yang dipersepsikan Tiongkok sebagai musuh akan memberikan ancaman

bagi security environment Tiongkok, sehingga akan mengganggu Tiongkok dalam

mencapai kepentingannya di kawasan tersebut. Seperti pengembangan wacana

“ancaman Tiongkok” yang telah menyebabkan kesulitan bagi Tiongkok mencapai

kerja sama yang lebih dalam dengan negara-negara DAS Mekong lainya.

Untuk itu Tiongkok membuat kerja sama LMC untuk dapat membuktikan

kepada negara-negara Subregional Mekong bahwa Tiongkok sebagai ‘rising

power’ dan ‘regional power’ tidaklah mengancam, namun sebaliknya sangat

kooperatif dan mengutamakan keuntungan bersama, hal ini dapat dilihat dari tema

pertemuan pertama para pemimpin negara DAS Mekong di kota Sanya Tiongkok,

yaitu “Shared River, Shared Future”, Tiongkok ingin membangun komitmen yang

lebih besar tidak hanya kedekatan secara geografi namun, hubungan yang lebih

dalam dengan kebersamaan memanfaatkan sungai untuk mendapatkan kejayaan

bersama dimasa depan.

Ketiga, konsep kepentingan nasional yang didasarkan pada identitas

Tiongkok dan persepsinya terhadap orang lain yaitu Jepang dan AS telah

menyebabkan Tiongkok tidak nyaman dengan dirinya akibat wacana “ancaman

Page 127: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

112

Tiongkok” yang dikembangkan oleh musuhnya yaitu Jepang dan AS di wilayah

DAS Mekong. Hal tersebut sangat merugikan Tiongkok sehingga, Tiongkok

membutuhkan pengembalian citra positifnya khususnya di wilayah Subregional

Mekong sebagai upaya untuk mempertahankan identitasnya sebagai sebagai harga

diri kolektif yang harus dicapai untuk mendapatkan kenyamanan dirinya sendiri dan

terbebas dari ancaman. LMC dimaksudkan untuk memperlihatkan citra positif

Tiongkok untuk dapat mencapai harga diri kolektifnya.

B. Saran

Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat strategi Tiongkok untuk lebih

kooperatif dan aktif secara komperehensif di kawasan Subregional Mekong, secara

otomatis akan meningkatkan pengaruhnya di wilayah tersebut. Dengan kapabilitas

yang dimilikinya melalui LMC, yang merupakan platform kerja sama bagi

koordinasi negara-negara DAS Mekong dan memiliki prioritas-prioritas kerja sama

yang didasari pada prinsip-prinsip ASEAN, hal ini tentu bukan tidak mungkin

kemudian dengan kapabilitas Tiongkok melalui LMC untuk dapat memenuhi

kepentingan-kepentingan negara-negara DAS Mekong. Sehingga negara-negara

DAS Mekong lainya yang notabene adalah negara-negara penting di ASEAN akan

memiliki ketergantungan yang besar terhadap Tiongkok. Hal ini dapat menjadi

ancaman bagi ASEAN. Oleh karenanya, menjadi hal penting untuk ada penelitian

selanjutnya tentang bagaimana pengaruh kerja sama LMC tersebut terhadap

ASEAN.

Page 128: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xvi

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Bennet, Andrew dan Jeffrey T. Checkel. 2015. “Process Tracing : From Metaphor

to Analytic Tool”, Cambridge : Cambridge University Press

Boas, Marten and Desmon McNeill. 2004. Global Institusions and Development

Framing the World. London: Routledge

Clad, James and Sean M. McDonald, and Bruce Vaughn. 2011. The Borderlands of

Southeast Asia: Geopolitics, Terrorism, and Globalization. Washington D.C:

National Defense University Press

Creswell, John W. 2009. “Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed

Methods Approaches Third Edition, London : SAGE Publications, Inc.

Dunne, Tim, Milja Kurki , and Steve Smith. 2007. International Relations Theories

Discipline and Diversity Third Edition. United Kingdom: Oxford University

Press

Dunne, Tim. Steve Smith, dan Amelia Hadfield. 2012. Foreign Policy: Theories,

Actors, Cases. United Kingdom: Oxford University Press

Evan, G. dan J. Newnham. The Penguin Dictionary of International Relations.

London: Penguin Books.

Fels, Enrico, dan Truong-Minh Vu. 2016. Power Politics in Asia’s Contested

Waters Territorial Disputes in the South China Sea Construction.

Switzerland : Springer International Publishing

Goh, Evelyn and Sheldon W. Simon. 2008. China, the United States, and Southeast

Asia Contending perspectives on politics, security, and economics. London:

Routledge

Grygiel, Jakub J. 1972. Great Powers and Geopolitic Change. Baltimore : The

Johns Hopkins University Press

Jackson, Robert dan Georg Sorensen terj. Dadan Suryadipura. 2009. Pengantar

Studi Hubungan Internasional. Yogyakata: Pustaka Pelajar.

Kang, David C. 2007. China rising : peace, power, and order in East Asia. New

York: Columbia University Press

Porta, Donatella Della dan Michael Keating. 2008.“Approaches and

Methodologies in Social Sciences : A Pluralist Perspective”, Cambridge :

Cambridge University Press

Shambaugh, David. 2016. The China Reader Rising Power Sixth Edition. United

Kingdom: Oxford University Press

Page 129: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xvii

Steans, Jill, Lloyd Pettiford, dan Thomas Diez and Imad El-Anis. 2010. An

Introduction to International Relations Theory Perspectives and Themes

Third edition. London Pearson Education Limited

Tuathail, Gearóid Ó and Simon Dalby. 1998. Rethinking Geopolitics. London:

Routledge

Viotti, Paul R dan Mark V. Kauppi. 2012. Internasional Relations Theory 5th

Edition. New York : Pearson Education Inc.

Viotti, Paul R, dan Mark V. Kauppi. 2012. Internasional Relations Theory 5th

Edition. New York : Pearson Education Inc

Wendt, Alexander. 1999. Social Theory of International Politics. Cambridge:

Cambridge University Press

Zehfuss, Maja. 2004. Constructivism in International Relations: The Politics of

Reality. Cambridge: Cambridge University Press

Jurnal dan Artikel Jurnal:

Alexandrov, Maxym . 2003. The Concept of State Identity in International

Relations: A Theoretical Analysis. Journal of International Development and

Cooperation, Vol.10, No.1. Hiroshima University Japan

Bunyavejchewin, Poowin. 2016. The Lancang-Mekong Cooperation (LMC)

Viewed in Light of the Potential Regional Leader Theory. Journal of Mekong

Societies Vol.12 No.3

Burgos, Sigfrido and Sophal Ear. 2010. China's Strategic Interests in Cambodia:

Influence and Resources. Asian Survey, Vol. 50, No. 3. University of

California Press

Chul Cho, Young. 2009. Conventional and Critical Constructivist Approaches to

National Security: An Analitycal Survey. The Korean Journal of International

Relations, Vol. 49, No. 3

Cosslett, Tuyet L,dan Patrick D. Cosslett. 2017. Sustainable Development of Rice

and Water Resources in Mainland Southeast Asia and Mekong River Basin.

Dipublikasi oleh Singapore: Springer

Deng, Yong. 1992. Sino –Thai Relations : From Strategic Co-opertaion to

Economic Diplomacy, Contemporary Southeast Asia, Vol. 13, No. 4, di

publikasi oleh ISEAS - Yusof Ishak Institute

Deng, Yong. 1992. Sino –Thai Relations : From Strategic Co-opertaion to

Economic Diplomacy. Contemporary Southeast Asia, Vol. 13, No. 4. oleh

ISEAS - Yusof Ishak Institute

Dessler, David. 1997. Review of National Interests in International Society by

Martha Finnemore. American Journal of Sociology, Vol. 103, No. 3. The

University of Chicago Press

Page 130: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xviii

El Bilad, Cecep Zakarias. 2011. Konstruktivisme Hubungan Internasional: Meretas

Jalan Damai Perdebatan Antar Paradigma. Jurnal Studi Hubungan

Internasional, Vol. 1 No 2

Friedman, Edward. 1994. Reconstructing China’s National Identity: A Southern

Alternative to Mao-Era Anti-Imperialist Nationalism. The Journal of Asian

Studies Vol. 53, no. 1

Goh, Evelyn. 2004. China In The Mekong River Basin: The Regional Security

Implications Of Resource Development On The Lancang Jiang. Institute of

Defence and Strategic Studies Singapore

Guzzini, Stefano. 2000. “A Reconstruction of Constructivism in International Relations.

European Journal of International Relations”. European Journal of International

Relations Vol.6(2) p.147‐182. SAGE Publications.

Henrikson, Alan K. 2002. Distance and Foreign Policy : a Political Geography

approach”, International Political Science Review. Sage Publications

Hiebert, Murray. 2015.“China & Southeast Asia Relations Testimony to USCC :

China’s Relations with Burma, Malaysia, and Vietnam”, dipublikasi oleh

Center for Strategic and International Studies

Holloway, Steven. 1996. Review dari Martha Finnemore, National Interests in

International Society. Cornell University Press, 1996, pp. xi, 154. Canadian

Journal of Political Science/Revue canadienne de science politique

Hopf, Ted. 1998. The Promise of Constructivism in International Relations Theory.

International Security Vol. 23, No. 1. President and Fellows of Harvard

College and the Massachusetts Institute of Technology

Jacobs, Jeffrey W. 1995. Mekong Committee History and Lessons for River Basin

Development. The Geographical Journal, Vol. 161, No. 2. Geographicalj

Julien, Frédéric. 2012. “Hydropolitics is What Societies Make of It (or Why We

Need a Constructivist Approach to the Geopolitics of Water)”. International

Journal of Sustainable Society 4, no.1-2. Inderscience Enterprises Ltd

Keskinen, Marko. 2008. Water Resources Development and Impact Assessment in

the Mekong Basin: Which Way to Go?. Ambio, Vol. 37 No. 3. Mekong at the

Crossroads. Springer on behalf of Royal Swedish Academy of Sciences

Lee, Paul SN. 2016.“The rise of China and its contest for discursive power”, Global

Media and China 2016, Vol. 1(1–2) 102-120, dipublikasi oleh SAGE

Publication.

Liebman, Alex. 2005. Trickle-down Hegemony? China's "Peaceful Rise" and Dam

Building on the Mekong. Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 2.

ISEAS- Yusof Ishak Institute

Magee, Darrin. 2006. “Yunnan Hydropower under Great Western Development”,

dimuat dalam The China Quarterly No. 185, dipublikasi oleh Cambridge

University Press on behalf of the School of Oriental and AfricanStudies

Page 131: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xix

Magee, Darrin. 2006. Yunnan Hydropower under Great Western Development, The

China Quarterly No. 185. Cambridge University Press on behalf of the School

of Oriental and AfricanStudies

Shiraishi, Maya. 2009. Japan Toward the Indochina Sub-Region. Journal of Asia-

Pacific Studies No. 13. Waseda University GSPAS

Sinaga, Lidya C. 2015. “China's Assertive Foreign Policy in South China Sea

Under Xi Jinping: Its Impact on United States and Australian Foreign

Policy”, dimuat dalam Journal of ASEAN Studies 3, 2, pp. 133-149. Tersedia

di http://dx.doi.org/10.21512/jas.v3i2.770 diakes pada 22 Maret 2018 pukul

15.04 WIB

Somantri, Gumilar Rusliwa. 2005. Memahami Metode Kualitatif. MAKARA Sosial

Humaniora, Vol. 9, No. 2

Sunchindah, Apichai. 2013. “The Lancang-Mekong River Basin: Reflections on

Cooperation Mechanisms Pertaining to a Shared Watercours”, di publikasi

oleh S. Rajaratnam School of International Studies

Sunchindah, Apichai. 2013. Policy Brief Lancang-Mekong River Basin Reflections

on Cooperation Mechanisms Pertaining to A Shared Watercourse. S

Rajaratnam School of Internasional Studies

Sung, Kang Hyo. 2016. “Mekong-ROK Cooperation”, dimuat dalam Mekong

Forum 2016 Sharing Responsibility For Common Prosperity, dipublikasi

oleh Mekong Institute

Suzuki, Shogo. 2007. “The Importance of ‘Othering’ in China’s National Identity:

Sino-Japanese Relations as a Stage of Identity Conflicts.” Dipublikasi oleh

The Pacific Review 20, h. 34

Wan, Min. 1995-1196. “Japan and the Asian Development Bank”, Pacific Affairs,

Vol. 68, No, dipublikasi oleh Pacific Affairs, University of British Columbia

Wan, Min. 1995-1996. “Japan and the Asian Development Bank”. Pacific Affairs,

Vol. 68, No, Pacific Affairs University of British Columbia

Wendt, Alexander. 1992. “Anarchy is what states make of it”. International

Organisation, Vol. 46, No. 2. The MIT Press

Wendt, Alexander. 1994. Collective Identity Formation and the International State.

The American Political Science Review Vol. 88, No. 2. American Political

Science Association

Wendt, Alexander. 1995. Constructing International Politics. International

Security, Vol. 2, No. 1. MIT Press

Wouters,Patricia dan Huiping Chen. China’s ‘Soft-Path’ to Transboundary Water

Cooperation Examined in The Light of Two UN Global Water Conventions

– Eploring The ‘Chinese Way’. The Journal of Water Law. Lawtext

Publishing Limited

Page 132: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xx

Xiaoyu, Pu. 2017. “Controversial Identity of a Rising China”. dimuat dalam The

Chinese Journal of International Politics, 2017, Vol. 10, No. 2, pp. 131–149.

dipublikasi oleh Oxford University Press.

Yoshimatsu, Hidetaka. 2010. The Mekong Region, Regional Integration, And

Political Rivalry Among ASEAN. China and Japan Asian Perspective Vol. 34,

No. 3. Lynne Rienner Publishers

Zhenming, Zhu, 2010. Mekong Development and China’s (Yunnan) Participation

in the Greater Mekong Subregion Cooperation, Ritsumeikan International

Affairs Vol.8

Tesis dan Disertasi :

Forsby, Andreas Bøje. 2015. “The Logic of Social Identity in IR: China’s Identity

and Grand Strategy in the 21st Century” (Disertasi Departement of Political

Science University of Copenhagen) tersedia di

https://www.diis.dk/files/media/documents/activities/phd_dissertation.pdf

diakses pada 19 Februari 2018, pukul 09.23 WIB

Lu, Yang, 2013, “Dynamics of National Interest and National Identity : A

Constructivist Approach to the India-China Relations (2003-2012)”,

dipublikasi oleh Fakultät für Wirtschafts- und Sozialwissenschaften der

Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg, terdapat di http://archiv.ub.uni-

heidelberg.de/volltextserver/17000/ diakses pada 8 Januari 2017, pukul

Artikel dari Website Internet:

“About MRC”, tersedia dalam http://www.mrcmekong.org/about-mrc/ diakses

pada 22 Oktober 2017 pukul 00.17 WIB

“China's Initiation of the Five Principles of Peaceful Co-Existence” tersedia di

http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/ziliao_665539/3602_665543/3604_6655

47/t18053.shtml diakses pada 13 November 2017, pukul 10.01 WIB

“Cross-border Infrastructure Ayeyawady-Chao Phraya-Mekong Economic

Cooperation Strategy (ACMECS)”, tersedia dalam

https://aric.adb.org/initiative/ayeyawady-chao-phraya-mekong-economic-

cooperation-strategy di akses pada 21 November 2011 pukul 12.52 WIB

“introduction AIIB”, terdapat di https://www.aiib.org/en/about-aiib/index.html

diakses pada 04 Januari 2018, pukul 13.45 WIB

“Is the Early Harvest good for RP?” Tersedia di http://ph.china-

embassy.org/eng/sgdt/t171568.html diakses pada 27 November 2017, pukul

08.21 WIB

“Lancang – Mekong Cooperation: MRC welcomes the New Initiative for Regional

Cooperation by six countries in the Mekong River Basin”, tersedia dalam

http://www.mrcmekong.org/news-and events/news/lancang-mekong-

Page 133: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxi

cooperation-mrc-welcomes-the-new-initiative-for-regional-cooperation-by-

six-countries-in-the-mekong-river-basin/ diakses pada 24 Oktober 2017,

pukul 22.46 WIB.

“Lancang-Mekong Cooperation Mechanism”, tersedia dalam

http://www.chinaaseanenv.org/lmecc/strategy_and_mechanism/cooperation

_mechanism/201711/t20171107_425953.html diakses pada 21 November

2017, pada pukul 15.37 WIB

“Lower Mekong Initiative”, tersedia dalam https://www.usaid.gov/vietnam/lower-

mekong-initiative-lmi diakses pada 17 November 2017, pukul 01.34 WIB

“Mekong Mainstream Dams”, tersedia dalam

https://www.internationalrivers.org/campaigns /mekong-mainstream-dams

diakses pada 23 oktober 2017, pukul 21.34 WIB

“Mekong River Commission 20th Years of Cooperation”, tersedia dalam

www.mrcmekong.org diakses pada 20 November 2017 pukul 00.28 WIB

“Overview of the Greater Mekong Subregion”, tersedia dalam

https://www.adb.org/countries/gms/overview diakses pada 22 Oktober 2017

pukul 13:22 WIB.

“Physiography”, tersedia dalam http://www.mrcmekong.org/mekong-

basin/physiography/ diakses pada 20 November 2017 pukul 14.21 WIB.

“President Xi Jinping Delivers Important Speech and Proposes to Build a Silk Road

Economic Belt with Central Asian Countries” tersedia di

http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/topics_665678/xjpfwzysiesgjtfhshzzfh_6

65686/t1076334.shtml diakses pada 11 Januari 2018, pukul 18.28 WIB

“Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Leaders'

Meeting--For a Community of Shared Future of Peace and Prosperity among

Lancang-Mekong Countries” tersedia di

http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_665393/t1350039.sh

tml diakses pada 24 November 2017, pukul 15.22 WIB.

“Sustainable Hydropower”, tersedia dalam

http://www.mrcmekong.org/topics/sustainable-hydropower/ di akses pada 17

November 2017, pukul 14.46 WIB

“The Story of Mekong cooperation”, tersedia dalam

http://www.mrcmekong.org/about-mrc/history/ diakses pada 22 Oktober

pukul 00.29 WIB

“The US Lower Mekong Initiative” tersedia di https://www.stimson.org/the-us-

lower-mekong-initiative diakses pada 17 November 2017, pukul. 21 54 WIB

Biba, Sebastian. 2016. “China Drives Water Cooperation with Mekong Countries”,

tersedia dalam https://www.chinadialogue.net/article/show/single/en/8577-

China-drives-water-cooperation-with-Mekong-countries dikses pada 24

Oktober 2017, pukul 21.49 WIB

Page 134: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxii

Cai, Peter. 2017.“Undestanding China’s Belt and Road Initiative”, dipublikasi

oleh Lowy Institute for International Policy, tersedia dalam

https://www.lowyinstitute.org/sites/default/files/documents/Understanding

%20China%E2%80%99s%20Belt%20and%20Road%20Initiative_WEB_1.

pdf diakses pada 17 Desember 2017, pukul 12.22 WIB

Chingchit, Sasiwan, “The Curious Case of Thai-Chinese Relations: Best Friends

Forever?”, tersedia dalam https://asiafoundation.org/2016/03/30/the-

curious-case-of-thai-chinese-relations-best-friends-forever/ diakses pada 18

November 2017, pukul 22.11 WIB

Curtis, Lisa. 2008. “China's Expanding Global Influence: Foreign Policy Goals,

Practices, and Tools” tersedia di https://www.heritage.org/testimony/chinas-

expanding-global-influence-foreign-policy-goals-practices-and-tools diakses

pada 23 November 2017, pukul 16.34 WIB

French, Howard W, dkk. 2017. “How China’s History Shapes, and Warps, its

Policies Today For Beijing, the past is exceptionally useful, and usefully

exceptional” tersedia dalam http://foreignpolicy.com/2017/03/22/how-

chinas-history-shapes-its-foreign-policy-empire-humiliation/ diakses pada

11 Desember 2017, pukul 22.52 WIB

French, Howard W. 2017. “How China’s History Shapes, and Warps, its Policies

Today For Beijing, the past is exceptionally useful, and usefully exceptional”

tersedia di http://foreignpolicy.com/2017/03/22/how-chinas-history-shapes-

its-foreign-policy-empire-humiliation/ diakses pada 16 Januari 2018 pukul

21.55 WIB

Gitter, David. 2017. “China Sells Socialism to the Developing World Expect China

to become more assertive in pushing its alternative development model to

other countries”. Tersedia di https://thediplomat.com/2017/10/china-sells-

socialism-to-the-developing-world/ diakses pada 20 November 2017, pukul

10.12 WIB

Goh, Brenda dan Andrew R.C. Marshall. 2017. “China's Silk Road push in Thailand

may founder on Mekong River row”, tersedia di

https://www.reuters.com/article/us-china-silkroad-mekong/chinas-silk-road-

push-in-thailand-may-founder-on-mekong-river-row-idUSKBN17Y2N9

diakses pada 2 Desember 2017, pukul 13.22 WIB

Goh, Evelyn. 2004. “China in the Mekong River Basin : the Regional Security

Implications of Resource Development on the Lancang Jiang”, Institute of

Defense and Strategic Studies Singapore, tersedia dalam

https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/rsis-pubs/WP69.pdf diakses

pada 17 November 2017 pukul 15.33 WIB, h.1

Griffiths, James. 2017. ”Just what is this One Belt, One Road thing anyway?”

dipublikasi oleh CNN, tersedia dalam

http://edition.cnn.com/2017/05/11/asia/china-one-belt-one-

roadexplainer/index.html diakses pada 27 Desember 2017 pukul 23.00 WIB.

Page 135: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxiii

He, Daming. 2014. “China's transboundary waters: new paradigms for water and

ecological security through applied ecology”, tersedia dalam

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4278448/ diakses pada 13

November 2017, pukul 15.02 WIB

Hensengerth, Oliver. 2009. “Money and Security : China Strategic Interest in the

Mekong River Basin” tersedia dalam www.chathamhouse.org.uk diakses

pada 21 November 2017 pukul 15.01 WIB

Huaxia, “China Focus: China says Lancang-Mekong Cooperation to bridge

development gaps within ASEAN”, tersedia di

http://news.xinhuanet.com/english/2016-03/17/c_135198837.htm diakses

pada 28 November 2017, pukul 00.51 WIB

Jianfeng, Zhang,“China to play vital role in development of Lancang-Mekong

cooperation framework: Vietnamese expert”, tersedia dalam

http://english.cntv.cn/2016/03/15/ARTIGyawPwCe8mQa71TvPsp2160315.

shtml diakses pada 27 November 2017 pukul 23.48 WIB

Krisman, Khanisa dan Sandy Raharjo. 2016. “China Challenging Subregionalism

in Southeast Asia”, tersedia di http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-

1/politik-internasional/1081-china-challenging-Subregionalism-in-

southeast-asia diakses pada 14 Januari 2018, pukup 16.03 WIB

Li, Xue dan Li Yongke. 2017. “The Belt and Road Initiative and China's Southeast

Asia Diplomacy Ranking China’s potential BRI partners in Southeast Asia.”

Tersedia di https://thediplomat.com/2017/11/the-belt-and-road-initiative-

and-chinas-southeast-asia-diplomacy/ diakses pada 17 Desember 2017, pukul

15.12 WIB

Neugebauer , Max. 2016. “China’s Cooperation on the Mekong River in the Realm

of Complex Interdependence” tersedia di http://www.e-

ir.info/2016/12/04/chinas-cooperation-on-the-mekong-river-in-the-realm-of-

complex-interdependence/ di akses 23 November 2017, pukul 23.35 WIB

Neusner, Gabriella. 2016. “Why the Mekong River Commission Matters Despite

its limitations, the body is key to ongoing efforts to save one of the world’s

largest and longest rivers” tersedia dalam

https://thediplomat.com/2016/12/why-the-mekong-river-commission-

matters/ diakses pada 17 Desember 2017, pukul 13.41 WIB

Son, Johanna. “Mekong Cooperation, China-style” tersedia dalam

http://www.aseannews.net/mekong-cooperation-china-style/ diakses pada 28

Desember 2017, pukul 23.35 WIB

Son, Johanna. “Mekong Cooperation, China-style” tersedia di

http://www.aseannews.net/mekong-cooperation-china-style/ diakses pada 20

Januari 2018 pukul 15.45 WIB

Tolentino, JR, Amado S. 2013. “Asean and China: Cooperation in the Mekong

River?”, tersedia di http://www.manilatimes.net/asean-and-china-

Page 136: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxiv

cooperation-in-the-mekong-river/45892/ diakses pada 24 November 2017,

pukul 09.47 WIB

Vannarith, Chheang. 2016. “The Mekong Region: From A Divided To A Connected

Region”, dipublikasi oleh Konrad-adenauer-stiftung (KAS) Cambodia,

tersedia dalam http://www.kas.de/kambodscha/en/publications/48018/

diakses pada 21 November 2017, pukul 22.51 WIB

Xinhua, “LancangMekong Cooperation vital to regional stability, boosting

economic development: Cambodia”, tersedia dalam

http://www.chinadaily.com.cn/bizchina/201603/19/content_23964710.htm

diakses pada 28 November 2017, pukul 02.00 WIB

Yee, Tan Hui. 2016. “Beijing sweetens ground for China-led regional initiative Its

offer to hasten water flow from Yunnan dam eases concerns of drought-hit

Mekong River nations” tersedia dalam http://www.straitstimes.com/asia/se-

asia/beijing-sweetens-ground-for-china-led-regional-initiative diakses pada

12 Desember 2017, pukul 15.05 WIB

Yi, Yang. “China on the Lancang/Mekong: ‘We Share the Water, We Share the

River”, tersedia dalam http://www.aseannews.net/china-lancangmekong-

share-water-share-river/ diakses pada 28 Desember 2017, pukul 23.22 WIB

Zhen, Liu. 2016. “China pledges billions to Mekong River countries in bid to boost

influence and repair reputation amid tensions in South China Sea” tersedia di

http://www.scmp.com/news/china/diplomacy-

defence/article/1929881/china-pledges-billions-mekong-river-countries-bid-

boost diakses pada 20 November 2017, pukul 14.17 WIB

Zhou, Laura. 2018. “Five things to know about the Lancang-Mekong Cooperation

summit Five-year development plan, including construction of hydropower

dams, is expected to top agenda at Mekong River nations’ conference in

Cambodia”, tersedia di http://www.scmp.com/news/china/diplomacy-

defence/article/2127387/five-things-know-about-lancang-mekong-

cooperation , diakses pada 3 Januari 2018, pukul 18.51 WIB

Ziabari, Kourosh. 2012. ”China’s Role in International Affairs: an Interview with

Prof. Zhiqun Zhu”, tersedia di

https://www.foreignpolicyjournal.com/2012/05/31/chinas-role-in-

international-affairs-an-interview-with-prof-zhiqun-zhu/ diakses pada 3

Januari 2018, pukul 19.00 WIB

Page 137: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxv

LAMPIRAN

Lampiran 1

Sanya Declaration of the First Lancang-Mekong Cooperation (LMC)

Leaders' Meeting

--For a Community of Shared Future of Peace and Prosperity among

Lancang-Mekong Countries

2016/03/23

We, the Heads of State/Government of the Kingdom of Cambodia, the People's

Republic of China, Lao People's Democratic Republic, the Republic of the Union

of Myanmar, the Kingdom of Thailand, and the Socialist Republic of Viet Nam, on

the occasion of the First Lancang Mekong Cooperation (LMC) Leaders' Meeting in

Sanya, China on 23 March 2016;

Recognizing that our six countries are linked by mountains and rivers, share cultural

similarities and enjoy good neighborliness and strong friendship, and that our

security and development interests are closely inter-connected;

Noting with pleasure that our six countries enjoy deepening political trust and sound

cooperation through establishment of bilateral comprehensive strategic

partnerships, and multilateral coordination in regional and international

frameworks in boosting peace, stability and development of the region and the

world at large;

Acknowledging that our six countries, all located in the Lancang-Mekong area, face

common tasks of developing the economy and improving people's living standards

while, at the same time, face common challenges such as the increasing downward

trend of the global and regional economy and non-traditional security threats such

as terrorism, natural disasters, climate change, environmental problems, and

pandemics;

Recalling that, H.E. Li Keqiang, Premier of the State Council of the People's

Republic of China, proposed the establishment of the Lancang-Mekong

Cooperation Framework at the 17th China – ASEAN Summit, echoing Thailand's

initiative on sustainable development of the Lancang–Mekong Sub-region;

Affirming the shared vision of the six member countries that the LMC would

contribute to the economic and social development of Subregional countries,

enhance well-being of our people, narrow the development gap among regional

countries and support ASEAN Community building as well as promoting the

Page 138: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxvi

implementation of the UN 2030 Agenda for Sustainable Development and

advancing South - South cooperation;

Welcoming the successful convening of the First LMC Foreign Ministers' Meeting

on 12 November 2015 in Jinghong, Yunnan Province, China, which issued the

Concept Paper on the Framework of the Lancang-Mekong Cooperation and the

Joint Press Communique of the First Lancang-Mekong Cooperation Foreign

Ministers' Meeting;

Reaffirming our commitment to peace, stability, sustainable development and

prosperity of the sub-region and our resolve to strengthen mutual trust and

understanding and join forces in addressing economic, social and environmental

challenges faced by the sub-region to realize its enormous potentials for

development;

Stressing that LMC shall follow the spirit of openness and inclusiveness, tally with

the priority areas of ASEAN Community building and ASEAN – China

cooperation, and complement and develop in synergy with existing Subregional

cooperation mechanisms;

Further Stressing that LMC will be based on the principles of consensus, equality,

mutual consultation and coordination, voluntarism, common contribution and

shared benefits, and respect for the United Nations Charter and international laws;

Sharing the view that LMC will be conducted within a framework featuring leaders'

guidance, all-round cooperation and broad participation, and follow a government-

guided, multiple-participation, and project-oriented model and that the LMC is

aimed at building a community of shared future of peace and prosperity and

establishing the LMC as an example of a new type of international relations,

featuring win–win cooperation;

Agreeing that LMC practical cooperation will be carried out through the three

cooperation pillars, namely (1) political and security issues, (2) economic and

sustainable development, and (3) social, cultural and people -to-people exchanges;

Endorsing the view that practical cooperation will start with five key priority areas

during the initial stage of the LMC, namely connectivity, production capacity,

cross-border economic cooperation, water resources, agriculture and poverty

reduction, as agreed upon at the First LMC Foreign Ministers' Meeting;

Hereby agree to take the following measures:

1. Promote high-level exchanges, dialogue and cooperation to enhance trust and

understanding in the sub-region with a view to strengthening sustainable security;

Page 139: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxvii

2. Encourage parliaments, government officials, defense and law enforcement

personnel, political parties and civil societies to enhance exchanges and cooperation

and increase mutual trust and understanding. Support activities such as LMC policy

dialogue and officials' exchange programs;

3. Deepen law enforcement and security cooperation through information

exchange, capacity building and coordination of joint operations, in accordance

with rules, regulations and procedures of each member country; support the

establishment of a law enforcement cooperation institution to facilitate such

cooperation;

4. Enhance cooperation against non–traditional security threats, including

terrorism, transnational crimes, and natural disasters; promote cooperation in

addressing climate change impacts, humanitarian assistance, ensuring food, water

and energy security;

5. Advance the China–ASEAN strategic partnership, and strengthen cooperation

under the framework of ASEAN+3, East Asia Summit, ASEAN Regional Forum

and other regional cooperation mechanisms;

6. Encourage synergy between China's Belt and Road initiative and LMC activities

and projects, as well as relevant development programs of the Mekong countries,

including the Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC);

7. Step up both hardware and software connectivity among the LMC countries.

Improve the Lancang-Mekong rivers, roads and railways network, push forward

key infrastructure projects to build a comprehensive connectivity network of

highway, railway, waterway, ports and air linkages in the Lancang-Mekong region;

expedite the construction of network of power grids, telecommunication and the

Internet; implement trade facilitation measures, promote trade and investment and

facilitate business travel;

8. Expand production capacity cooperation in areas such as engineering, production

of the building materials, supporting industries, machinery and equipment, power,

renewable energy to build a Subregional comprehensive industrial link in a joint

endeavor to tackle challenges faced by members' economies, as reflected in the

Joint Statement on Production Capacity Cooperation among Lancang-Mekong

Countries adopted at this Meeting;

9. Support enhanced economic and technological cooperation and the development

of economic zones in border areas, industrial zones and sci-tech parks;

10. Enhance cooperation among LMC countries in sustainable water resources

management and utilization through activities such as the establishment of a center

in China for Lancang-Mekong water resources cooperation to serve as a platform

for LMC countries to strengthen comprehensive cooperation in technical

Page 140: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxviii

exchanges, capacity building, drought and flood management, data and information

sharing, conducting joint research and analysis related to Lancang-Mekong river

resources;

11. Carry out technical exchanges and capacity building cooperation in agriculture,

establish more agricultural technology centers and high-quality, high-yield

demonstration stations (bases) in Mekong countries, strengthen cooperation in

fishery and animal husbandry, and food security and elevate the level of agricultural

development;

12. Implement the "Cooperation Initiative on Poverty Reduction in East Asia",

establish poverty reduction model bases in the Mekong countries, enhance

experience sharing and implement relevant projects;

13. Emphasize the importance of a stable financial market and sound financial

structure to the development of real economy; support efforts to enhance capacity

for and coordination on financial supervision and regulations; continue studies and

exchange experiences in order to facilitate the use of bilateral currency swap, local

currency settlement and cooperation among financial institutions;

14. Support efficient operation of AIIB as members of AIIB and seek support from

AIIB in addressing the financing gap in infrastructure development;

15. Encourage sustainable and green development, enhance environmental

protection and natural resources management; develop and utilize sustainably and

efficiently clean energy sources, develop regional power market, and enhance

exchange and transfer of clean energy technologies;

16. Work together to push forward the Regional Comprehensive Economic

Partnership (RCEP) negotiations and look forward to the conclusion of the

negotiations in 2016, and promote trade and investment facilitation in East Asia;

17. Strengthen cultural exchanges among member countries, support exchanges and

cooperation among cultural organizations and artists, explore the possibility of

building a Lancang-Mekong cultural exchange platform, give full play to the role

of cultural centers set up by governments and carry out various forms of cultural

exchanges;

18. Advance cooperation and experience sharing in science and technology; deepen

cooperation in human resource development, educational policy and professional

training, exchanges among educational authorities, universities and colleges;

19. Expand cooperation in public health, particularly the areas of epidemic

monitoring, joint prevention and control, technology and equipment, and personnel

training, work for the establishment of a Lancang-Mekong tropical disease

Page 141: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxix

monitoring and early warning platform. Promote cooperation in traditional

medicine;

20. Increase tourism exchanges and cooperation, improve tourism environment,

enhance regional tourism facilitation, and strive to establish a Lancang-Mekong

tourist cities cooperation alliance;

21. Encourage exchanges among the mass media, think tanks, women and youth,

build a think tank network and media forum of the six countries, and continue to

carry out Lancang-Mekong youth exchange events;

22. Hold LMC Leaders' Meeting once every two years, and ad hoc or informal

leaders meetings as needed, to map out strategic planning for long-term LMC

development; hold LMC Foreign Ministers' Meeting once a year to conduct policy

planning and coordination for cooperation; hold senior diplomatic officials'

meetings and working group meetings as necessary to discuss cooperation in

specific fields; improve LMC institutional building in accordance with future

cooperation needs;

23. Welcome China's commitment to establish a LMC Fund, provide concessional

loans and special loans, and provide 18,000 person-year scholarships and 5,000

training opportunities to candidates from Mekong countries in the next 3 years to

support closer cooperation among Lancang-Mekong countries;

24. Endorse the joint list of "early harvest" projects, and look forward to their early

implementation for the benefits of all member countries. Joint working groups shall

be established by the line agencies of member countries to develop and implement

LMC projects;

25. Strengthen cooperation in personnel training in various fields to improve

capacity building of the Lancang-Mekong countries, and provide intellectual

support to the long-term development of LMC;

26. Encourage closer exchanges among government agencies, local provinces and

districts, business associations and non-governmental organizations of our six

countries to discuss and carry out relevant cooperation.

Diunduh di :

http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/2649_665393/t1350039.shtml

Page 142: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxx

Lampiran 2

Joint Press Communiqué of the First Lancang-Mekong Cooperation Foreign

Ministers’ Meeting 12 November 12, 2015 Jinghong, Yunnan, China

1. The First Lancang-Mekong Cooperation (LMC) Foreign Ministers’ Meeting was

held in Jing Hong City, Yunan Province of China on 12 November 2015. H.E.

Wang Yi, Minister of Foreign Affairs of the People’s Republic of China, H.E. Don

Pramudwinai, Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of Thailand, H.E. Hor

Namhong, Deputy Prime Minister and Minister of Foreign Affairs and International

Cooperation of the Kingdom of Cambodia, H.E. Thongloun Sisoulith, Deputy

Prime Minister and Minister of Foreign Affairs of the Lao People’s Democratic

Republic, H.E. U Wunna Maung Lwin, Union Minister for Foreign Affairs of the

Republic of the Union of Myanmar and H.E. Pham Binh Minh, Deputy Prime

Minister and Minister of Foreign Affairs of the Socialist Republic of Viet Nam

attended the meeting. The Ministers had an in-depth exchange of views on

promoting cooperation under the framework of the LMC and reached extensive

consensus.

2. The Ministers noted that the six countries along the Lancang-Mekong River are

closely linked geographically, socially and culturally and are endowed with

abundant natural and human resources with huge potentials for development and

immense prospects for cooperation. Closer cooperation among the six countries will

help promote economic and social development, enhance sustainable development,

narrow development gaps among countries in the Mekong sub-region which will

contribute to ASEAN community building and regional integration and enhance the

well-being of the people in this region.

3. The Ministers noted with satisfaction that, as a follow-up to the initiative put

forward at the 17th China-ASEAN Summit, the First and Second LMC Senior

Officials’ Meetings were held in April and August 2015 respectively with fruitful

discussions on establishing the LMC framework.

4. The Ministers expressed commitment to deepening mutual trust and good-

neighborliness, promoting economic and sustainable development, and advancing

social, cultural and people-to-people Final 2 exchanges, including expanding trade

and investment, improving connectivity and enhancing water resources cooperation

of the sub-region and developing the LMC framework into a platform of

Subregional cooperation featuring extensive consultation, joint contribution and

shared benefits based on the principles of consensus, equality, coordination, mutual

benefits, and respect for the United Nations Charter and international laws.

5. The Ministers agreed that LMC will adhere to the spirit of openness and

inclusiveness and complement and work in tandem with other Subregional

frameworks such as the Greater Mekong Subregion (GMS) Economic Cooperation

Page 143: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxxi

Program, ASEAN Mekong Basin Development Cooperation (AMBDC) and the

Mekong River Commission (MRC) to jointly promote regional integration process.

6. The Ministers welcomed the LMC Concept Paper and decided to carry out

practical cooperation in the three priority areas, namely, (1) Political and Security

Issues, (2) Economic and Sustainable Development, and (3) Social, Cultural, and

People-to-People Exchanges, so as to build a closer Lancang-Mekong Community

of mutually beneficial cooperation.

7. The Ministers suggested the establishment of a multi-layer LMC structure in the

future and suggested that the First LMC Leaders’ meeting be held in 2016 at an

appropriate time as will be agreed upon by the six LMC countries.

8. The Ministers discussed the LMC Early Harvest Projects proposed by China and

the Mekong countries, which covers cooperation projects in such areas as water

resources management, poverty alleviation, public health, infrastructure, science

and technology and personnel exchanges and expected to see an early

implementation of these projects so as to deliver benefits to the people in the region.

9. The Ministers agreed that projects within the LMC framework and their funding

shall be agreed upon by the Governments concerned through consultation, without

prejudice to support by other financial mechanisms and international institutions.

10. The Ministers were pleased with the launching of the LMC framework. Mekong

countries’ Ministers expressed their sincere thanks to the People’s Republic of

China for the warm hospitality extended to the Mekong countries’ delegations and

for the excellent arrangements for the Meeting.

Diunduh di :

http://www.mfa.go.th/main/contents/files/media-center-20151117-123745-

981913.pdf.

Page 144: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxxii

Lampiran 3 : Naskah Wawancara dengan Bapak Sandy Nur Ikhfal Raharjo

Interviewee : Shandy Nur Ikhfal

Raharjo272

Interviewer : Afriliani

Date : 20-12-2017 Source : Wawancara langsung di

Gedung Wanabhakti LIPI (direkam)

Mengapa Tiongkok menginisiasi LMC?, Apakah terkait dengan proyek

OBOR dan pengoptimalan AIIB? Atau sebenarnya Tiongkok memiliki

kepentingan yang lain?

Ini juga menjadi pertanyaan kami ketika meneliti tentang LMC yang establishment

pada tahun 2015 akhir di Tiongkok, pertanyaan kamu sama dengan pertanyaan saya

yang sampai sekarang masih bikin penasaran kenapa Tiongkok mau membuat kerja

sama Subregional yang baru, kenapa tidak memaksimalkan GMS atau MRC.

Menurut saya satu sih yang paling kentara dari kepentingan Tiongkok, salah

satunya BRI yang berubah lagi menjadi OBOR pada tahun 2017 dalam kongres

PKC, terkait dengan OBOR yang merupakan sektor utama dalam OBOR adalah

interconnectivity, sektor itu sendiri di LMC menjadi salah satu sektor yang

diprioritaskan kalau kita liat dia GMS juga mereka fokus terhadap konektivitas.

Coba kamu perhatikan, dalam GMS itu ada program North-South Corridor ya,

North-South Corridor itu bahkan menghubungkan Tiongkok di bagian selatan

provinsinya itu sampai ke Bangkok, jadi masalahnya kalau hanya konektivitas

sepertinya tanpa membuat LMC pun Tiongkok sudah mendapatkan kepentinganya

terkait pembangunan konektivitas bukan hanya menghubungkan dengan Bangkok

di Thailand, tapi juga bahkan di sisi yang Vietnam itu juga ada, kemudian

Myanmar, bahkan nanti ujungnya itu kalo disambungkan bisa sampai ke Kamboja

dan Vietnam di bagian bawah di Ho Chi min City. Jadi oke, kepentingan OBOR itu

ada tetapi apakah itu jadi faktor yang paling menentukan untuk Tiongkok membuat

LMC, menurut saya tidak karena kepentingan pembuatan konektivitas itu sudah ada

di GMS. Selain itu, dalam konteks kerja sama Subregional LMC pertama kalinya

272 Sandy Nur Ikhfal Raharjo merupakan Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI) beliau pernah menulis artikel tentang Tiongkok dan LMC di website LIPI.

Page 145: ANALISIS KEBIJAKAN TIONGKOK SEBAGAI INISIATOR …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42696/2/... · pada tahun 2015, merupakan kerja sama multilateral di kawasan Subregional

xxxiii

Tiongkok membentuk kerja sama meskipun sebelumnya sudah ada SCO, tapi untuk

konteks subregional ini pertama kalinya. LMC adalah signature nya Tiongkok, oh

saya bisa menginisiasi dan bisa membiayai satu kerja sama subregional dalam

rangka menunjukan apa dan kepada siapa, itu yang mungkin yang harus jadi analisis

skripsi mu gitu, buat apasih Tiongkok show of bahwa dia juga bisa bangun sendiri.

Terkait dengan AIIB, ini sebenarnya salah satu jawaban saya, setelah memabanding

kan LMC dengan GMS. GMS sekretariatnya dipegang oleh ADB, ADB itu investor

utamanya adalah Jepang. Nah, sementara ada saingan juga dari ADB yang sekarang

di bentuk Tiongkok yaitu AIIB yang mana investor utamanya adalah Tiongkok.

Jadi, dari situ saja kelihatan bahwa kenapa Tiongkok membentuk LMC,

kemungkinan besar adalah dalam rangka untuk menyaingi atau memenangkan

kompetisi dengan Jepang, yang sama-sama menjadi negara yang berpengaruh di

kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Jadi, persaingan diantara dua negara itu,

mungkin menjadi faktor utama mengapa LMC itu dibentuk Tiongkok. Dan ketika

bicara kompetisi kepentingan antara Tiongkok dan Jepang pasti kita harus

mengaitkanya dengan dukungan yang besar dari AS terhadap Jepang dalam rangka

menghadapi Tiongkok. Itu juga faktor yang perlu kamu pertimbangkan. Misalnya

persaingan itu juga tidak hanya kentara di LMC dan GMS saja tetapi kamu juga

bisa lihat dikasus-kasus lain, misalnya di investasi kedua negara tersebut di

Indonesia antara kereta cepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya, itu juga

menunjukan dan semakin menguatkan bahwa persaingan itu terjadi seperti itu.

Mungkin itu menurut saya jawaban utamanya.