analisis kasus pengaduan negara-negara anggota...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS KASUS PENGADUAN NEGARA-NEGARA
ANGGOTA WORLD TRADE ORGANIZATION (WTO)
TERHADAP AMERIKA SERIKAT KEPADA DISPUTE
SETTLEMENT BODY (DSB) WTO (1995-2018)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Farihah Nishfah Lailah
11141130000006
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
ANALISIS KASUS PENGADUAN NEGARA-NEGARA ANGGOTA WORLD TRADE
ORGANIZATION (WTO) TERHADAP AMERIKA SERIKAT KEPADA DISPUTE
SETTLEMENT BODY (DSB) WTO (1995-2018)
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tangerang, 4 Juli 2018
Farihah Nishfah Lailah
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Farihah Nishfah Lailah
NIM : 11141130000006
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul :
ANALISIS KASUS PENGADUAN NEGARA-NEGARA ANGGOTA WORLD TRADE
ORGANIZATION (WTO) TERHADAP AMERIKA SERIKAT KEPADA DISPUTE
SETTLEMENT BODY (DSB) WTO (1995-2018)
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Tangerang, 4 Juli 2018
Mengetahui Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Ahmad Alfajri, MA. Irfan R Hutagalung, SH, L.LM.
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
ANALISIS KASUS PENGADUAN NEGARA-NEGARA ANGGOTA WORLD TRADE
ORGANIZATION (WTO) TERHADAP AMERIKA SERIKAT KEPADA DISPUTE
SETTLEMENT BODY (DSB) WTO (1995-2018)
oleh:
Farihah Nishfah Lailah
11141130000006
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2018. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
Ahmad Alfajri, MA. Eva Mushoffa, MHSPS.
Penguji I, Penguji II,
M. Adian Firnas, SIP, M.Si. Febri Dirgantara Hasibuan, SE, MM.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 9 Agustus 2018.
Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UIN Jakarta
Ahmad Alfajri, MA.
iv
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang alasan mengapa Amerika Serikat menjadi
negara yang paling banyak diadukan oleh negara-negara anggota lain di WTO kepada
DSB WTO. Sedangkan, Amerika Serikat merupakan penggagas GATT/WTO yang
pada dasarnya mengetahui dengan baik aturan main mengenai perdagangan bebas
yang dibuatnya pada saat pendirian GATT/WTO. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisis faktor apa yang melatarbelakangi banyaknya pengaduan negara
terhadap Amerika Serikat kepada DSB WTO.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Adapun cara
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Kerangka
teori yang digunakan adalah konsep kepentingan nasional dan teori kepatuhan. Dapat
disimpulkan bahwa diadukannya Amerika Serikat oleh negara-negara anggota WTO
kepada DSB WTO dilatarbelakangi oleh ketidakpatuhan Amerika Serikat terhadap
peraturan WTO. Ketidakpatuhan ini dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan
nasional Amerika Serikat dibidang ekonomi. Selain itu, untuk meraih kepentingan
nasionalnya Amerika Serikat menggunakan instrumen yang secara detail dijelaskan
melalui teori kepatuhan, diantaranya berkaitan dengan faktor ambiguitas hukum,
kapabilitas negara, dan dimensi temporal. Adanya kepentingan nasional yang
didukung oleh faktor-faktor tersebut, menjadikan Amerika Serikat sebagai negara
yang tidak patuh terhadap peraturan WTO yang menimbulkan banyaknya pengaduan
dari negara anggota WTO lainnya.
Kata kunci : World Trade Organization, kepentingan nasional, kepatuhan, ambiguitas
hukum, kapabilitas negara, dimensi temporal.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah wa syukurillah, atas kemurahan dan kasih sayang-Nya yang tak
terhingga, sehingga skripsi berjudul “Analisis Kasus Pengaduan Negara-negara Anggota
World Trade Organization terhadap Amerika Serikat kepada Dispute Settlement Body (DSB)
WTO (1995-2018)” ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa
tercurah bagi teladan umat manusia, Rasulullah SAW.
Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Banyak pihak yang turut berkontrubusi dan memberikan
bantuan yang tak ternilai demi terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Irfan R Hutagalung, SH, L.LM selaku dosen pembimbing yang dengan penuh
kesabaran memberikan masukan bagi hasil skripsi yang lebih baik. Kesabaran,
dedikasi, kecermatan, dan nasihat-nasihat yang Bapak sampaikan selama proses
penulisan skripsi akan menjadi bekal hidup bagi penulis untuk menghadapi tantangan-
tantangan dunia akademis di masa yang akan datang. Selama proses penulisan skripsi
ini, Bapak telah memberi saya banyak inspirasi untuk menjadi individu yang baik,
senantiasa mempermudah urusan orang lain, berdedikasi, dan pantang menyerah.
Selalu menyenangkan untuk berdiskusi banyak hal dengan Bapak. Jika guru adalah
orang tua disekolah, maka bagi saya Bapak adalah orang tua di kampus. Hanya
ucapan terimakasih sebanyak-banyaknya yang dapat saya berikan, dan doa yang
senantiasa saya panjatkan untuk kebaikan-kebaikan Bapak, dunia-akhirat.
vi
2. Bapak Ahmad Alfajri, MA, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UIN. Beliau merupakan sosok pemimpin yang sangat bijak dan inspiratif.
Terimakasih atas semua ilmu dan bantuan yang telah diberikan. Semoga Allah SWT
membalas semua kebaikan Bapak.
3. Tim penguji, Bapak M. Adian Firnas, SIP, M.Si dan Bapak Febri Dirgantara
Hasibuan, SE, MM yang telah memberikan masukan-masukan bagi skripsi yang saya
tulis serta seluruh dosen HI UIN Jakarta untuk semua ilmu yang telah diberikan.
4. Kedua orang tua saya, Bapak Deden Sobar (Alm) dan Ibu Paulina Purlina. Ayah dan
Ibu adalah segalanya. Doa ayah dan ibu selalu menjadi cahaya bagi setiap jalan yang
saya lewati. Kasih sayang dan perjuangan ayah dan ibu tak terbalaskan. Namun,
izinkan saya untuk selalu melakukan yang terbaik untuk ayah dan ibu. Terimakasih
banyak, semoga Teteh bisa menjadi anak solehah sebagai jariyah bagi ayah dan ibu
di akhirat kelak.
5. Suami dan anak saya, Fajar Iqbal Mirza dan Farras Muhammad Mirza. Terimakasih
karena telah menemani keseharian saya dan tiap langkah perjuangan dalam
menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita bersama sampai ke surga.
6. Adik saya, Avicena Farhan Ramadhan. Semoga apa yang telah saya lewati ini bisa
memotivasi Kamu untuk terus berjuang menggapai cita.
7. Bapak, Bunda, Oliv, Kak Nina, Bang Ozan, Sulaiman, terimakasih atas dukungan
yang telah diberikan.
8. Seluruh dosen dan civitas akademik HI UIN yang telah membuat fase kuliah ini
begitu menyenangkan dan mengesankan.
vii
9. Saudara-saudaraku TST 1830, yang telah banyak menginspirasi untuk terus
meningkatkan kualitas diri dan menebar manfaat bagi sesama.
10. Saudara-saudaraku HI UIN 2014, yang telah menjadi teman kelas yang sangat baik,
teman diskusi yang asik, dan teman mengejar cita yang inspiratif.
11. Safira, Fitri, Fani, terimakasih karena telah menjadi teman seasrama yang sangat baik.
Prakoso, Haikal, Ade Rohman, Acep, terimakasih telah menjadi teman diskusi yang
brilliant. Ani, Allyn, Darma, Vina, Bella, Azmi, Fikri, Jaka, Hanin, Ola, Zahra dan
Rizki terimakasih untuk bantuan dan perhatian lebihnya selama masa studi. Serta
teman-teman HI A lain yang kalau kesan terhadapnya dituliskan satu persatu maka
tidak akan selesai dalam beberapa lembar kata pengantar ini.
12. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah turut membantu
dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Semoga apa-apa yang telah dituliskan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan. Penulis menyadari luasnya ilmu yang masih harus
dipelajari sehingga skripsi ini mungkin masih memiliki banyak kekurangan. Meskipun
demikian, semoga kekurangan yang ada tidak mengurangi kebermanfaatan yang bisa diambil
melalui skripsi ini.
Tangerang, 4 Juli 2018
Farihah Nishfah Lailah
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ............................................................................................................ i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................................. iv
ABSTRAK ..................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN................................................................................................ xii
BAB I .............................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
A. PERNYATAAN MASALAH ................................................................................ 1
B. PERTANYAAN PENELITIAN ............................................................................ 6
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .......................................................... 7
D. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 7
E. KERANGKA TEORI ......................................................................................... 12
1. Konsep Kepentingan Nasional ....................................................................................... 13
2. Teori Kepatuhan............................................................................................................ 14
F. METODE PENELITIAN ....................................................................................... 16
G. SISTEMATIKA PENULISAN ............................................................................... 18
BAB II ........................................................................................................................... 20
WORLD TRADE ORGANIZATION ........................................................................... 20
A. SEJARAH WTO ................................................................................................. 20
B. KEANGGOTAAN WTO .................................................................................... 23
C. ATURAN YANG BERLAKU DALAM WTO .................................................... 25
D. DISPUTE SETTLEMENT BODY ........................................................................ 28
BAB III ......................................................................................................................... 35
ANATOMI KASUS-KASUS PENGADUAN NEGARA TERHADAP .......................... 35
AMERIKA SERIKAT KEPADA DSB WTO ................................................................ 35
ix
BAB IV .......................................................................................................................... 62
KEPENTINGAN NASIONAL AMERIKA SERIKAT SEBAGAI FAKTOR
KETIDAKPATUHAN TERHADAP PERATURAN WTO ........................................... 62
A. KONSEP KEPENTINGAN NASIONAL ............................................................ 62
B. TEORI KEPATUHAN ........................................................................................ 70
1. AMBIGUITAS HUKUM .................................................................................... 71
2. KAPABILITAS NEGARA .................................................................................. 75
3. DIMENSI TEMPORAL...................................................................................... 79
BAB V ........................................................................................................................... 87
KESIMPULAN ............................................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 91
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.1 Jumlah Kasus pada Tiap Tahapan Penyelesaian Sengketa
Gambar IV.1 Bentuk-bentuk Proteksionisme Amerika Serikat
Gambar IV.2 Nilai Impor Pasca Penerapan Anti Dumping Duties
Gambar IV. 3 Neraca Perdagangan Amerika Serikat terhadap Korea Selatan
Gambar IV. 4 Neraca Perdagangan Amerika Serikat dalam Ekonomi Global
(1960-2016)
Gambar IV. 5 Real Gross Domestic Product (GDP) Amerika Serikat
Gambar IV.6 Pertumbuhan Ekonomi Amerika Serikat
xi
DAFTAR TABEL
Tabel III.1 Anatomi Kasus di Tiap Tahapan Penyelesaian Sengketa
Tabel III.2 Pemetaan Kasus
xii
DAFTAR SINGKATAN
ASEAN Association of South East Asian Nations
CFR Council on Foreign Relations
COOL Country of Origin Labelling
CPA Common Policy Agriculture
DSB Dispute Settlement Body
DSU Dispute Settlement Understanding
EU European Union
GATT General Agreement on Tariff and Trade
GDP Gross Domestic Product
IBRD International Bank of Reconstruction and Development
ICJ International Court of Justice
IMF International Monetary Fund
ITO International Trade Commision
KORUS United States-South Korea Free Trade Agreement
MFN Most Favor Nations
OCTG Oil Country Tubular Goods
PBB Perserikatan Bangsa-bangsa
SOE State Owned Enterprises
URAA Uruguay Round Agreement on Agriculture
WTO World Trade Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. PERNYATAAN MASALAH
Perdagangan internasional yang terjadi pasca perang dunia kedua
merupakan perdagangan antar negara yang berkembang sangat pesat.1 Bahkan,
selama satu dekade terakhir perdagangan sektor barang dan jasa masih
menunjukkan tren peningkatan secara signifikan.2 Perdagangan sektor barang dari
tahun 2006-2016 meningkat sebesar 32% hingga mencapai angka 16 triliun USD.
Begitupun dengan sektor jasa yang meningkat sebesar 64% hingga mencapai
angka 4,77 triliun USD.3 Angka ini merupakan jumlah yang besar dibandingkan
dengan angka perdagangan sektor barang pada tahun 1995-2010 yang jumlahnya
peningkatannya hanya mencapai 14%.4 Besarnya jumlah angka peningkatan
tersebut menunjukkan bahwa perdagangan internasional telah menjadi aktivitas
yang lazim dilakukan oleh negara-negara yang ada didunia.
Perdagangan internasional yang kini dilakukan oleh banyak negara pada
dasarnya berawal dari kebutuhan negara akan perbaikan ekonomi pasca perang
1 Thomas Oatley, International Political Economy: Interests and Institutions in the Global
Economy (New York: Pearson, 2008), 18. 2 WTO, World Trade Statistical Review (laporan tahunan), (WTO, 2016, diunduh pada 16
Desember 2017) tersedia di https://www.wto.org/english/res_e/statis_e/wts2017_e/wts2017_e.pdf 3 WTO, World Trade Statistical Review, 5. 4 WTO, World Trade Statistical Review (laporan tahunan), (WTO, 2016, diunduh pada 13 Agustus
2018) tersedia di https://www.wto.org/english/res_e/statis_e/its2015_e/its15_highlights_e.pdf,
2016.
2
dunia kedua.5 Untuk menciptakan perdagangan yang efektif dan menguntungkan
bagi pihak-pihak yang terlibat didalamnya, maka perlu diciptakan sistem yang
mendukung pengurangan hambatan serta penghapusan diskriminasi dalam
perdagangan internasional.6 Oleh karena itu, pemenang perang pada saat itu yakni
Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya bersama-sama dengan PBB (Perserikatan
Bangsa-bangsa) mulai membahas tentang perlunya dibentuk suatu sistem
perdagangan internasional.7 Pada tahun 1947 barulah muncul General Agreement
on Tariff and Trade (GATT) yang mengatur banyak hal tentang mekanisme
perdagangan internasional.8 Setelah itu negara akan membutuhkan GATT (atau
yang kemudian menjadi WTO) sebagai payung perlindungan hukum dan akses
yang memudahkan dalam melakukan praktik perdangan bebas.
GATT pada dasarnya merupakan perjanjian sementara (interim) mengenai
perdagangan bebas yang mengandung prinsip-prinsip yang ditetapkan bersama
untuk menjalankan perdagangan internasional. Namun dalam perjalanannya,
GATT dianggap kurang representatif dalam menjembatani permasalahan-
permasalahan yang muncul antar anggotanya dalam perdagangan. Maka,
berdasarkan pertimbangan pada putaran Uruguay dari tahun 1986-1994,
5 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Perdagangan Internasional (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1994), 108. 6 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Perdagangan Internasional, 108. 7 H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO (Jakarta: Universitas Indonesia Press (UI Press), 1996), 64. 8 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), 102.
3
ditetapkan World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi pengganti
GATT.9
WTO merupakan organisasi dengan status sebagai organisasi internasional
seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), World Bank, maupun Internasional
Monetary Fund (IMF). WTO memiliki fungsi untuk menjadi forum negosiasi
perdagangan internasional, mengatur perjanjian perdagangan yang dibuat negara-
negara, dan menciptakan regulasi yang dapat dijadikan rujukan oleh negara jika
ada sengketa bidang ekonomi. Hingga hari ini, regulasi yang dikeluarkan oleh
WTO masih berpijak pada keputusan yang dibuat di GATT, meskipun telah
dilakukan amandemen berkali-kali untuk menyesuaikan dengan perubahan
keadaan.10
WTO dengan statusnya sebagai organisasi internasional memiliki dispute
settlement mechanism yang lebih jelas dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi
antara anggotanya.11 Dengan adanya mekanisme tersebut, diharapkan WTO dapat
menjadi problem solver bagi sengketa-sengketa perdagangan yang terjadi demi
mewujudkan iklim perdagangan yang ‘fair’ dan sehat. Perdagangan bebas
diharapkan tidak hanya berpihak pada negara-negara maju yang punya
9 Meredith A Crowley, An Introduction to GATT and WTO, (Chicago: Federal Reserve Bank of Chicago,
2003) 10 Thomas Oatley. 2008. International Political Economy: Interests and Institutions in the Global
Economy, 19 11 Paul B Stephan, “Sheriff or Prisoner? The United States and the World Trade Organization,”
Chicago Journal of International Law: Vol. 1: No. 1, Article 7 (2000).
4
‘bargaining power’ yang lebih besar melainkan bisa memberi manfaat juga bagi
negara-negara berkembang.12
Semenjak WTO berdiri tahun 1995 hingga tahun 2016, terdapat sekitar
520 kasus yang dilaporkan terkait pelanggaran terhadap asas-asas perdagangan
bebas yang dirumuskan melalui WTO.13 Pelanggaran-pelanggaran tersebut
misalnya yang terkait dengan penerapan tariff yang tinggi, munculnya hambatan
dalam perdagangan, dumping, pelarangan suatu produk masuk ke negara, dll.14
Padahal, harapan dari dibuatnya GATT (yang kemudian jadi WTO) adalah
negara bisa saling menjual produknya keluar negeri dengan berbagai kemudahan
dan keleluasaan. Namun faktanya masih terdapat berbagai upaya yang dilakukan
negara untuk melindungi negaranya dari produk-produk negara lain.
Salah satu negara yang tercatat banyak diadukan oleh mitra dagangnya ke
WTO adalah Amerika Serikat. Menurut laporan tahunan aktifitas dispute
settlement body tahun 2017 dan data yang dipublikasikan di laman WTO,
Amerika Serikat diadukan oleh mitra dagangnya sebanyak 150 kali. Amerika
Serikat berada diurutan pertama sebagai negara paling banyak diadukan atau
paling banyak terlibat dalam sengketa semenjak tahun 1995-2018.15 Jika
12 Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada., Retaliasi Silang bagi Negara
Berkembang dalam Dispute Settlement Mechanism WTO (laporan mingguan), (UGM, 2013,
diunduh pada 19 Desember 2017) tersedia di http://cwts.ugm.ac.id/retaliasi-silang-bagi-negara-
berkembang-dalam-dispute-settlement-mechanism-wto/ 13 WTO, Annual Report 2017 (laporan tahunan), (WTO, 2017, diunduh pada 31 Oktober 2017)
tersedia di https://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/anrep_e/anrep17_e.pdf 14 WTO, Annual Report of Dispute Settlement Body (laporan tahunan), (WTO, 2015, diunduh pada
31 Oktober 2017) tersedia di
https://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/anrep_e/anrep16_chap6_e.pdf 15 WTO, Annual Report of Dispute Settlement Body, 104.
5
dipersentasekan, maka 28% dari jumlah total aduan tertuju kepada Amerika
Serikat, padahal Uni Eropa yang berada di urutan kedua sebagai responden jumlah
pengaduannya hanya 16%. Artinya, angka tersebut merupakan angka yang besar
dan menunjukkan signifikansi banyaknya pengaduan yang ditujukan kepada
Amerika Serikat.
Amerika Serikat diadukan oleh mitra dagangnya karena berbagai hal.
Biasanya, pengaduan-pengaduan yang dilakukan oleh negara kepada negara lain
terjadi karena adanya ketidaksesuaian praktik perdagangan bebas dengan prinsip
yang ada. Amerika Serikat dapat dikatakan bermasalah karena terdapat fakta
bahwa 30 dari 164 negara anggota WTO mengadukan Amerika Serikat ke WTO.
Negara-negara tersebut antara lain Antigua dan Barbuda (1 kasus), Argentina (5
kasus), Australia (2 kasus), Brazil (11kasus) , Kanada (19 kasus), Cili (2 kasus),
Tiongkok (12 kasus), Kolombia (1 kasus), Kosta Rika (1 kasus), Ekuador (1
kasus) , Uni Eropa (33 kasus), India (10 kasus), Indonesia (3 kasus), Jepang (8
kasus), Korea Selatan (12 kasus), Malaysia (1 kasus), Meksiko (9 kasus), Selandia
Baru (2 kasus), Norwegia (1 kasus), Pakistan (2 kasus), Filipina (1 kasus), Swis (1
kasus), CinaTaipei (1 kasus), Thailand (5 kasus), Turki (1 kasus), Venezuela (1
kasus), dan Vietnam (4 kasus).16
30 negara pengadu dari 164 negara anggota WTO adalah jumlah yang
banyak, karena jika dibandingkan dengan pengaduan terhadap negara lain,
Amerika Serikat tetap mendapat pengaduan yang paling banyak. Misalnya, Uni
16 WTO, Dispute by Member-Dispute by Respondent (database online), (WTO, diunduh pada 4
November 2017) tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_by_country_e.htm
6
Eropa yang berada diurutan kedua sebagai negara responden diadukan oleh 25
negara, Australia diadukan oleh 11 negara, India diadukan oleh 9 negara, dan
Brazil diadukan oleh 8 negara. Penyebutan negara-negara pembanding tersebut
didasarkan pada urutan jumlah negara yang menjadi complainant terhadap kasus-
kasus yang menimpa negara-negara tersebut.17
Banyaknya pengaduan atas Amerika Serikat yang dilayangkan kepada
WTO merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut disebabkan
oleh adanya fakta bahwa Amerika Serikat yang merupakan salah satu pengusung
pasar bebas dan pelopor GATT/WTO justru menjadi negara yang banyak
melakukan ‘kekeliruan’ dalam perdagangan bebas sehingga diadukan oleh banyak
negara sebagai mitra dagangnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diteliti
mengapa Amerika Serikat menjadi pihak yang paling banyak diadukan padahal
statusnya sebagai pelopor dari GATT (nama sebelum WTO), karena secara umum
penggagas merupakan pihak yang paling memahami hakikat dari aturan yang
dibuatnya sendiri.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Mengapa Amerika Serikat sebagai penggagas GATT/WTO menjadi pihak yang
paling banyak diadukan oleh mitra dagangnya ke dispute settlement body (DSB)
WTO dalam praktik perdagangan bebas?
17 WTO, Dispute by Member-Dispute by Respondent.
7
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis sebab-sebab mengapa
Amerika Serikat yang merupakan penggagas GATT/WTO bisa menjadi pihak
yang paling banyak diadukan oleh mitra dagangnya. Adapun manfaat dari
penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan terkait penyebab mengapa
Amerika Serikat banyak diadukan mitra dagangnya padahal ia adalah penggagas
GATT/WTO.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam meneliti isu ini akan digunakan tiga referensi sebagai bahan
tinjauan pustaka. Pertama, ada sebuah jurnal yang berjudul “Sherrif or Prisoner?
The United States and The World Trade Organization” yang ditulis oleh Paul B
Stephen. Jurnal ini dikeluarkan oleh Chicago Journal of International Law.
Secara umum, jurnal ini membahas tentang hegemoni Amerika Serikat dalam
perekonomian dunia yang direpresentasikan oleh tiga institusi besar yakni World
Bank, Internasional Monetary Fund (IMF), dan World Trade Organization
(WTO).18
Menurut Paul, institusi-institusi tersebut merupakan institusi yang
kebijakannya akan searah dengan Amerika Serikat untuk menguatkan hegemoni
Amerika Serikat dan dolar. Namun, seiring dengan perkembangan institusi
internasional khususnya WTO, hegemoni Amerika Serikat dalam ekonomi global
18 Paul B Stephan, Sheriff or Prisoner? The United States and the World Trade Organization, 50.
8
justru menjadi terancam. Paul berpendapat bahwa ancaman terhadap hegemoni
Amerika Serikat tampak lebih nyata pasca berubahnya GATT menjadi WTO
dimana WTO memiliki mekanisme khusus terkait proses penyelesaian sengketa
yang memungkinkan bagi negara anggota untuk meminta bantuan WTO untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi padanya.19
Jurnal ini digunakan sebagai tinjauan pustaka karena terdapat persamaan
dengan hal yang ingin diteliti. Persamaannya terletak pada objek penelitian yakni
Amerika Serikat. Hal yang ingin diketahui ialah sikap atau aktifitas Amerika
Serikat dalam kancah ekonomi global khususnya melalui institusi WTO. Selain
itu, dalam jurnal ini pun berbicara mengenai posisi Amerika Serikat diantara
negara-negara anggota WTO dengan statusnya sebagai negara hegemon dan
penggagas GATT/WTO.
Adapun yang membedakan penelitian yang akan dilakukan dengan jurnal
tersebut adalah penelitian jurnal tersebut fokus pada isu tentang efektifitas
institusi WTO sebagai ‘alat’ untuk mempertahankan hegemoni Amerika Serikat.
Sedangkan, penelitian yang akan dilakukan membahas masalah mengapa Amerika
Serikat banyak diadukan oleh mitra dagangnya (bahkan berada diposisi pertama
yang paling banyak diadukan) padahal ia adalah penggagas dari WTO itu sendiri.
Oleh karena itu, penelitian yang akan dilakukan menjadi lebih signifikan dari
jurnal tersebut karena jika hanya membahas relasi WTO dan Amerika Serikat
19 Paul B Stephan, Sheriff or Prisoner? The United States and the World Trade Organization, 51.
9
untuk mendukung kepentingan Amerika Serikat, maka hal tersebut sudah dikaji
oleh banyak scholars.
Tinjauan pustaka yang kedua adalah tesis yang berjudul “Sengketa
Perdagangan Amerika Serikat dan Tiongkok di WTO Tahun 2009-2010 (Studi
Terhadap Kenaikan Tarif Impor Ban Asal Tiongkok). Tesis ini ditulis oleh Fanny
Fajarianti, mahasiswi magister hubungan internasional Universitas Indonesia.
Tesis ini membahas pengajuan Tiongkok terhadap Amerika Serikat ke WTO
terkait kenaikan tariff produk ban dari Tiongkok.20
Menurut Fanny, hubungan perdagangan yang terjadi antara Amerika
Serikat dan Tiongkok sarat akan tarik menarik kepentingan. Hal tersebut
tercermin dari kasus kenaikan tariff impor ban dari Tiongkok. Pada awalnya,
jumlah ekspor ban Tiongkok meningkat sangat drastis sehingga mempengaruhi
industri ban domestik Amerika Serikat. Untuk melindungi industri domestiknya,
maka Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan kenaikan tariff impor terhadap
produk ban Tiongkok agar harga ban produksi Amerika Serikat bisa bersaing
dengan produksi Tiongkok. Selanjutnya, Tiongkok mengajukan tindakan Amerika
Serikat tersebut ke WTO karena Tiongkok merasa dirugikan.21
Alasan digunakannya tesis tersebut sebagai tinjauan pustaka adalah adanya
kesamaan mengenai analisis terhadap tindakan Amerika Serikat dalam
20 Fanny Fajarianti, Sengketa Perdagangan Amerika Serikat dan Tiongkok di WTO Tahun 2009-
2010 (Studi Terhadap Kenaikan Tarif Impor Ban Asal Tiongkok (Tesis, Universitas Indonesia,
2011) 21 Fanny Fajarianti, Sengketa Perdagangan Amerika Serikat dan Tiongkok di WTO Tahun 2009-
2010.
10
perdagangan bebas. Tindakan yang dimaksud adalah penerapan tariff impor
terhadap industri ban dari Tiongkok. Tindakan yang dilakukan Amerika Serikat
tersebut memicu pengaduan negara lain (dalam hal ini Tiongkok) kepada WTO.
Tesis tersebut berhasil menjelaskan motif Amerika Serikat menerapkan tariff
impor yang kemudian mampu memicu pengaduan dari Tiongkok terhadap
Amerika Serikat.
Adapun yang membedakan tesis tersebut dengan penelitian yang akan
dilakukan adalah tesis tersebut hanya meneliti motif Amerika Serikat menaikkan
tariff impor terhadap produk ban Tiongkok dan penyelesaian sengketa yang
terjadi pada dua negara tersebut. Artinya, tesis tersebut fokus pada tiga objek
utama yakni Amerika Serikat, Tiongkok, dan Dispute Settlement Body WTO.
Sedangkan penelitian yang akan dilakukan ingin mencari tahu mengenai alasan
dibalik tindakan Amerika Serikat yang pada akhirnya memicu pengaduan dari
banyak negara. Sehingga, penelitian yang dilakukan hanya akan fokus pada
Amerika Serikat dan WTO saja. Adapun aktor-aktor lain seperti negara-negara
yang mengadukan Amerika Serikat hanya akan menjadi pendukung dalam
melakukan analisis terkait isu ini.
Tinjauan pustaka yang ketiga adalah sebuah jurnal yang berjudul
“Developing Countries and GATT/WTO Rules : Dynamic Transformations in
Trade Policy Behavior and Performance”. Jurnal ini ditulis oleh Chiedu Osakwe,
yang merupakan direktur penerimaan keanggotaan WTO. Osakwe menjelaskan
bahwa yang dimaksud developing country adalah:
11
“developing countries are defined as all countries and separate customs
territories minus “developed countries,” which include Australia, Canada,
EU27, Iceland, Japan, New Zealand, Norway, Switzerland, and the United
States” (Osakwe 2011: 365)
yang dimaksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa negara berkembang
itu merupakan negara-negara selain Australia, Kanada, EU27, Islandia, Jepang,
Selandia Baru, Norwegia, Swiss, dan Amerika Serikat.22
Jurnal ini membahas tentang hubungan negara maju dan negara
berkembang dalam keanggotaan WTO. Negara-negara anggota WTO melakukan
berbagai reformasi ekonomi domestik agar dapat ikut serta dalam liberalisasi
perdagangan multilateral. Meskipun negara berkembang turut terhadap aturan
yang ditetapkan WTO, namun negara berkembang sempat meminta pengecualian-
pengecualian dibanding negara maju yang membuat hubungan negara maju dan
berkembang ini semakin dinamis dan kompleks.23
Jurnal ini dijadikan tinjauan pustaka karena terdapat irisan dengan
penelitian yang akan dilakukan yakni mengenai relasi negara maju dan
berkembang dalam keanggotaan WTO. Dalam penelitian yang akan dilakukan,
telah diketahui bahwa Amerika Serikat diadukan oleh berbagai negara termasuk
negara berkembang. Dari 30 negara pengadu, 21 negara merupakan negara
22 Chiedu Osakwe, ”Developing Countries and GATT/WTO Rules : Dynamic Transformations in
Trade Policy Behavior and Performance” Minnesota Journal of International Law Vol 20:2
(Minnesota: Minnesota Law School, 2011, diunduh pada 4 November 2017) tersedia di
http://www.minnjil.org/wp-content/uploads/2011/10/Osakwe-Final-Version.pdf. Hal 365 23 Chiedu Osakwe, Developing Countries and GATT/WTO Rules : Dynamic Transformations in
Trade Policy Behavior and Performance.
12
berkembang diantaranya : Antigua dan Barbuda, Brazil, Cili, Tiongkok,
Kolombia, Kosta Rika, Ekuador, Uni Eropa, India, Indonesia, Korea Selatan,
Malaysia, Meksiko, Pakistan, Filipina, Tiongkok Taipei, Thailand, Turki,
Venezuela, dan Vietnam.24 Ini menunjukkan bahwa antara jurnal dan penelitian
yang akan dilakukan sama-sama memperlihatkan kompleksitas hubungan negara
maju dan negara berkembang dalam keanggotaan WTO.
Adapun yang membedakan antara jurnal tersebut dengan penelitian yang
akan dilakukan adalah jurnal tersebut fokus pada isu dinamika hubungan negara
maju dan berkembang serta reformasi ekonomi domestik. Adapun penelitian yang
akan dilakukan lebih fokus pada analisis kasus-kasus pengaduan negara terhadap
Amerika Serikat yang dapat menunjukkan sebab banyaknya pengaduan negara
terhadap Amerika Serikat.
E. KERANGKA TEORI
Dalam penelitian ini akan digunakan satu konsep dan satu teori untuk
membantu menjelaskan analisis terhadap kasus banyaknya negara yang
mengadukan Amerika Serikat ke WTO. Konsep yang akan digunakan adalah
konsep kepentingan nasional. Adapun teori yang juga akan digunakan untuk
menguraikan analisis tersebut adalah teori kepatuhan. Berikut ini adalah
penjelasannya :
24 WTO, Dispute by Member-Dispute by Respondent.
13
1. Konsep Kepentingan Nasional
Menurut Hans J Morgenthau kepentingan nasional merupakan kapabilitas
paling minimal negara dalam melindungi dan membela negaranya dari negara lain
baik dalam hal identitas, fisik, politik, dan budaya. Kepentingan nasional menjadi
acuan bagi pemimpin negara, dalam menentukan kebijakannya dalam
berhubungan negara lain. Hubungan tersebut dapat berupa konflik maupun
kerjasama, berdasarkan pertimbangan yang lebih menguntungkan bagi
kepentingan nasionalnya.25
Kepentingan nasional merupakan hal yang krusial bagi suatu negara.
Sebagaimana yang dinyatakan Mohtar Mas’oed dalam bukunya, bahwa
kepentingan nasional berkaitan dengan keberlangsungan hidup suatu negara.26
Sehingga, sangat bisa dipahami jika negara melakukan berbagai upaya untuk
memperoleh kepentingannya meskipun tidak jarang harus bertentangan dengan
nilai yang telah disepakati bersama.
Menurut Holsti, kepentingan nasional dapat dipahami berdasarkan
tingkatan kepentingannya dan dampak yang akan ditimbulkan dari perolehan
kepentingan nasional tersebut. Kepentingan nasional menurut Holsti terbagi
kepada tiga kategori diantaranya core values yang berkaitan dengan eksistensi
negara, middle range objectives yang berkaitan dengan peningkatan derajat
perekonomian, dan long range objectives misalnya kepentinga negara untuk
25 Theodore A Couloumbis dan James H Wolfe, International Relation: Power and Justice”
(Prentice-Hall, 1978) 115. 26 Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (Jakarta: PT. Pustaka
LP3ES, 1994) 34.
14
memperjuangkan perdamaian dunia.27 Dalam penelitian ini, yang akan digunakan
sebagai kerangka konseptual adalah kepentingan nasional pada kategori middle
range objectives yang berkaitan dengan peningkatan derajat perekonomian
negara.
Konsep kepentingan nasional ini akan digunakan dalam menganalisis
jawaban pertanyaan penelitian. Konsep ini menjadi relevan karena semua
tindakan yang dilakukan negara dalam percaturan WTO, baik Amerika Serikat
sebagai negara yang diadukan maupun negara lain sebagai pihak yang
mengadukan, pasti dilatarbelakangi oleh kepentingan nasionalnya masing-masing.
Kepentingan nasional dalam dimensi ekonomi menjadi hal yang penting karena
berkaitan erat dengan berjalannya sebuah negara. Oleh karena itu, konsep ini akan
membantu peneliti dalam menjelaskan dan membuktikan mengenai setiap
tindakan yang diambil oleh negara dibawah regulasi WTO.
2. Teori Kepatuhan
Merupakan sebuah bahasan yang muncul dalam diskursus mengenai
relevansi antara hubungan internasional dan hukum internasional. Teori ini
digagas oleh Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes. Bahasan ini pertama
kali dituliskan dalam pembahasan mengenai organisasi internasional yakni untuk
melihat alasan dibalik ketidakpatuhan negara dalam sebuah organisasi
internasional.28
27 KJ Holsti. Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis. (Bandung: Bina Cipta, 1987) 20.
28 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes. “On Compliance” dalam International
Organization, Vol. 47, No. 2 (1993), 175-205.
15
Menurut Chayes dan Chayes, penyebab ketidakpatuhan negara dalam
sebuah organisasi internasional adalah karena adanya ambiguitas hukum,
kapabilitas negara, dan dimensi temporal.29 Ambiguitas hukum merupakan aspek
yang dilihat dari sisi intrepetasi negara terhadap suatu teks hukum yang ada.
Ketidakjelasan atau pasal-pasal yang multitafsir dalam sebuah teks hukum
memungkinkan untuk diintrepertasikan oleh negara dalam mendukung
kepentingan nasionalnya.30
Adapun yang dimaksud kapabilitas negara adalah kemampuan negara
dalam mematuhi sebuah peraturan yang ada dalam organisasi internasional.
Kemampuan ini bisa ditinjau dari kemampuan yang berkaitan dengan adanya
perangkat hukum domestik yang mendukung negara untuk patuh terhadap
peraturan dalam organisasi internasional. Selain itu, kapabilitas negara juga bisa
ditinjau dari kemampuan finansial dan birokrasi negara untuk menjalankan
peraturan tersebut di atas.31
Adapun yang dimaksud dimensi temporal adalah berkaitan dengan situasi
sosial politik ekonomi yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Beberapa
organisasi internasional (termasuk GATT/WTO) telah dibentuk lebih dari satu
dekade yang lalu dan pembuatan kebijakan didalamnya didasarkan pada kondisi
sosial politik ekonomi pada masa itu. Padahal kondisi sosial politik ekonomi
dunia internasional hari ini telah banyak berubah. Namun, peraturan-peraturan
29 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, On Compliance.
30 Jacob Katz Cogan, Noncompliance and The International Rule of Law, Yale Journal of
International Law Vol 31 artikel 4 (2006), 194.
31 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, On Compliance.
16
yang telah dibentuk sejak awal pendiriannya masih diberlakukan hingga hari
sehingga tidak jarang menimbulkan ketidakpatuhan negara dalam organisasi
internasional. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh faktor karakteristik dasar negara
yang sangat rasional dan harus tetap dinamis dalam memijakkan kebijakan yang
dikeluarkannya untuk kepentingan nasional.32
Teori ini relevan untuk membahas isu mengenai banyaknya pengaduan
yang dilayangkan terhadap Amerika Serikat ini. Hal tersebut disebabkan karena
kasus-kasus yang diadukan negara anggota WTO kepada Amerika Serikat
menunjukkan ketidakpatuhan Amerika Serikat terhadap peraturan-peraturan di
WTO. Dengan demikian, teori ini merupakan teori yang tepat untuk melihat
alasan dibalik ketidakpatuhan Amerika Serikat yang membuatnya banyak
diadukan oleh negara-negara angota WTO yang lain.
F. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Menurut Jane Richie
dalam buku “Metode Penelitian Kualitatif”, metode kualitatif dapat
didefinisikan sebagai upaya untuk memaparkan fenomena yang terjadi
terhadap objek yang diteliti baik dalam hal perilaku, motivasi, tindakan
maupun persepsi.33 Selanjutnya, metode kualitatif menghasilkan data atau
informasi yang dijabarkan dalam bentuk deskripsi kata-kata.34 Metode
32 Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, On Compliance.
33 Lexy J Moleong. Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta : Rosda Karya, 2005) 69. 34 Robert C Bogdan dan Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education: An Introduction
to Theory and Methods (Boston : Allyn and Bacon Inc, 1982) 53.
17
penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena peneliti ingin
menganalisis tindakan negara-negara dalam ruang lingkup WTO yang hasil
penelitiannya nanti akan disajikan dalam bentuk penjabaran yang deskriptif
analitis.
Sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data tersebut
diperoleh dari website resmi WTO, website resmi kementerian perdagangan
negara-negara anggota WTO, artikel media, jurnal, buku, tesis, dan disertasi.
Sumber-sumber tersebut akan digunakan untuk membangun argumen dan
membuktikan validitas analisis dalam penelitian ini.
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Dengan demikian, ada beberapa perpustakaan yang akan
dikunjungi untuk menghimpun informasi diantaranya perpustakaan pusat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan perpustakaan
berbasis online dari berbagai perguruan tinggi dunia. Selanjutnya, data dan
informasi yang telah diperoleh akan digunakan untuk menganalisis kasus
pengaduan anggota-anggota WTO terhadap Amerika Serikat pasca WTO
berdiri dan memiliki mekanisme dispute settlement nya sendiri.
18
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I berisi tentang gambaran umum mengenai penelitian yang akan
dilakukan. Di dalam bab ini mengandung pemaparan mengenai latar belakang
masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan kerangka teori. Secara umum, bab ini
bertujuan untuk menginformasikan tentang hal yang berkaitan dengan
penelitian secara singkat dan jelas.
Bab II berisi informasi tentang GATT/WTO. Informasi-informasi
tersebut meliputi sejarah pembentukan GATT sampai menjadi WTO,
keanggotaan WTO, prinsip-prinsip dasar yang ada didalamnya, dan uraian
singkat mengenai dispute settlement body yang akan mendukung analisis
tentang banyaknya pengaduan yang dilayangkan terhadap Amerika Serikat
kepada DSB WTO.
Bab III berisi tentang anatomi kasus. Anatomi kasus yang dimaksud
adalah pemaparan tentang kasus-kasus atau sengketa yang terjadi antara
Amerika Serikat dengan negara lain. Informasi yang ada di bab ini meliputi
dengan negara mana saja Amerika Serikat bersengketa, dalam kasus apa saja
mereka bersengketa, sektor-sektor yang disengketakan, tahapan tiap kasus dan
waktu terjadinya sengketa. Informasi-informasi tersebut bermanfaat untuk
menganalisis jawaban pertanyaan yang akan dipaparkan pada bab selanjutnya.
Bab IV merupakan analisis tentang mengapa Amerika Serikat sebagai
negara penggagas GATT/WTO justru malah menjadi negara yang paling
19
banyak diadukan oleh mitra dagangnya. Dalam kata lain, bab ini merupakan
jawaban atas pertanyaan penelitian yang dikaji dengan menggunakan teori.
Bab V merupakan kesimpulan. Dalam bab ini akan dipaparkan
mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan .
20
BAB II
WORLD TRADE ORGANIZATION
Bab ini membahas pengetahuan umum tentang World Trade
Organization (WTO) yang meliputi sejarah terbentuknya GATT hingga
bertransisi menjadi WTO, keanggotaan WTO, aturan-aturan yang berlaku
dalam WTO khususnya prinsip dasar, dan penjelasan singkat mengenai
Dispute Settlement Body (DSB). Tujuan penulisan materi dalam bab ini adalah
untuk memperkenalkan institusi WTO secara umum agar selanjutnya pembaca
dapat memahami penjelasan tentang mengapa Amerika Serikat yang
merupakan penggagas GATT/WTO menjadi negara yang paling banyak
diadukan oleh negara-negara anggota WTO.
A. SEJARAH WTO
Berakhirnya perang dunia kedua menjadi awal dari kemunculan
perdagangan internasional yang diinstitusionalisasikan.35 Hal tersebut terjadi
karena pada saat itu negara-negara mengalami keterpurukan ekonomi dan
memerlukan perbaikan untuk membangkitkan kembali perekonomiannya.
Oleh karena itu, Amerika Serikat dan negara aliansinya menginisiasikan
1 Gilbert R Winham, The Evolution of The Global Trade Regime dalam John Ravenhill “Global
Political Economy”, (Oxford : Oxford University Press, 2008), 138.
21
sebuah pertemuan di Breton Woods yang nantinya akan menghasilkan
beberapa kesepakatan.36
Kesepakatan yang dihasilkan dari Bretton Woods diantaranya:
pembentukan International Monetary Funds (IMF) untuk mengatasi
permasalahan hutang negara-negara, International Trade Organization (ITO)
untuk mengakomodasi masalah perdagangan internasional, dan International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD) untuk permasalahan
rekonstruksi pasca perang dunia kedua. IMF masih eksis hingga hari ini,
meskipun dalam hal tugas dan fungsinya telah mengalami beberapa
penyesuaian dengan kebutuhan. Adapun IBRD telah berubah nama menjadi
World Bank.37 Namun lain halnya dengan ITO yang pada saat itu gagal
dibentuk. Salah satu alasan gagalnya pembentukan ITO adalah adanya
penolakan dari Amerika Serikat untuk meratifikasi isi dari Havana charter
mengenai pembentukan ITO, karena kongres mengkhawatirkan ITO ini akan
mengurangi wewenang Amerika Serikat dalam menentukan kebijakan.38
Meskipun ITO gagal dibentuk, dunia mendasarkan praktik
perdagangan internasionalnya kepada General Agreement on Tariff and Trade
(GATT). GATT pada awal pembentukannya merupakan sebuah perjanjian
sementara (interim) melalui sebuah Protocol of Provisional Application.
36 Richard Peet, Bretton Woods : Emergence of a Global Economic Regime dalam “Unholy Trinity
: The IMF, World Bank, and WTO” (London: Zedbooks, 28) 37 Richard Peet, Bretton Woods : Emergence of a Global Economic Regime dalam “Unholy Trinity
: The IMF, World Bank, and WTO”, 28 38 Gilbert R Winham, The Evolution of The Global Trade Regime dalam John Ravenhill “Global
Political Economy”, 144.
22
GATT lahir dari salah satu isi Havana charter khususnya yang berkaitan
dengan trade policy. Sejak tahun 1947-1986, GATT menjadi instrument
penting dalam pengaturan perdagangan internasional.39
GATT melaksanakan beberapa kali putaran untuk menegosiasikan
kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan kepada negara anggotnya.40 Salah
satu putaran yang paling penting dalam sejarah GATT adalah putaran
Uruguay. Putaran Uruguay yang dilaksanakan pada tahun 1986-1994 memuat
isu mengenai peningkatan fungsi GATT.41 Meskipun sejak tahun 1947 GATT
telah menjadi pedoman bagi negara-negara dalam melakukan perdagangan
internasional, namun GATT hanya merupakan perjanjian sementara yang
tidak memiliki mekanisme khusus terkait pengaduan dan banding bagi negara-
negara yang terlibat dalam sengketa perdangan. Oleh karena itu, salah satu
hasil dari putaran Uruguay adalah mengganti GATT menjadi World Trade
Organization (WTO).42
WTO adalah organisasi internasional yang memiliki status yang
serupa dengan organisasi-organisasi seperti World Bank, IMF dan PBB. WTO
merupakan wadah negosiasi negara-negara anggotanya dalam hal-hal yang
39 WTO, The GATT Years: From Havana to Marakesh (WTO, diakses pada 6 Maret 2018) tersedia
di https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact4_e.htm 40 WTO, Glossary : Uruguay Round (WTO, diakses pada 20 Maret 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/glossary_e/uruguay_round_e.htm
Putaran/round dalam WTO adalah pertemuan untuk negosiasi perdagangan multilateral
41 Gilbert R Winham, The Evolution of The Global Trade Regime dalam John Ravenhill “Global
Political Economy”, 152-155.
42 Thomas J Dillon Jr, The World Trade Organization: A New Legal Order for World Trade,
(University of Michigan Law School, 1995) 12.
23
berkaitan dengan perdagangan internasional.43 WTO merupakan
institusionalisasi perdagangan internasional yang memiliki status lebih kuat
dibanding GATT. Terdapat salah satu ciri khas yang dimiliki WTO dan tidak
ada pada GATT. Ciri khas tersebut adalah bahwa WTO memiliki Dispute
Settlement Body (DSB) yang memungkinkan setiap anggota WTO untuk
mengadukan kasus-kasus dalam perdagangan internasional serta mengajukan
banding atas kasus yang menimpanya.44
B. KEANGGOTAAN WTO
Dalam WTO, ada dua istilah yang digunakan untuk menggambarkan
keikutsertaan negara dalam WTO. Pertama, negara anggota WTO yang artinya
negara-negara yang memperoleh hak dan wajib menjalankan kewajiban serta
terikat untuk memenuhi segala aturan main yang ditetapkan WTO. Kedua,
observer yakni mereka yang sedang dalam pertimbangan untuk bergabung
bersama WTO. Sebagai hasil dari integrasi ekonomi, negara-negara berkoalisi
untuk membentuk kelompok atau aliansi yang menyuarakan kesamaan
kepentingannya terkait isu tertentu di WTO. Aliansi ini biasanya diwakili oleh
seorang juru bicara yang akan menegosiasikan isu bersama. Contoh dari
aliansi tersebut misalnya ASEAN, MERCOSUR, dll. 45
43 WTO, Who We Are (WTO, 2016, diunduh pada 12 Februari 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/who_we_are_e.htm
44 John H Jackson, Restructuring The GATT System (London, The Royal Institute of International
Affairs, 1990), 126.
45 WTO, Membership, Alliances, Bureaucracy (WTO, 2018, diunduh pada 19 Februari 2018)
tersedia di https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org3_e.htm
24
Adapun Uni Eropa, meskipun statusnya sebagai sebuah organisasi
regional namun ia diakui sebagai anggota WTO pada 1 Januari 1995
bersamaan dengan terbentuknya WTO. Dengan demikian, Uni Eropa
menambah deretan anggota WTO dari 28 anggota menjadi 29 anggota pada
masanya. Tidak semua organisasi regional yang ada di dunia ini termasuk
kedalam keanggotaan WTO, meskipun mereka tetap bisa menegosiasikan isu
tertentu. Misalnya ASEAN yang memiliki juru bicara yang dikirim ke WTO
untuk menegosiasikan masalah agrikultur.46
Pada awal pendiriannya, ada 23 negara yang turut menandatangani
perjanjian GATT.47 Diakhir periode GATT tahun 1994, jumlah negara yang
telah menjadi anggota GATT adalah 128 negara.48 Pada 29 Juli 2016, jumlah
46 WTO, Membership, Alliances, Bureaucracy.
47 WTO. Press Brief Fiftieth Anniversary of The mUltilateral Trading System (WTO, diunduh
pada 22 Februari 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/min96_e/chrono.htm
23 negara yang menandatangani GATT antara lain : Australia, Belgia, Brazil, Burma, Kanada,
Srilanka, Chili, China, Kuba, Cekoslowakia, Perancis, India, Lebanon, Luxembourg, Belanda,
Selandia Baru, Norwegia, Pakistan, Rhodesia Selatan, Suriah, Afrika Selatan, United Kingdom
dan Amerika Serikat. 48 WTO. The 128 Country That Had Signed GATT by 1994 (WTO, diunduh pada 22 Februari
2018) tersedia di https://www.wto.org/english/thewto_e/gattmem_e.htm
128 negara tersebut antara lain : Negara-negara tersebut antara lain : Angola, Antigua dan
Barbuda, Argentina, Austria, Australia, Bahrain, Banglades, Barbados, Belgia, Belize, Benin,
Bolivia, Botswana , Brazil, Brunei Darussalam , Burkina Faso, Burundi, Kamerun, Kanada,
Republik Afrika Tengah, Chad, Chile, Kolombia, Republik Kongo, Kosta Rika, Côted
'Ivoire, Siprus, Republik Ceko, Denmark, Djibouti, Republik Dominika, Mesir, El Salvador, Fiji,
Finlandia, Perancis, Gabon, Gambia, Germany, Ghana, Yunani, Grenada, Guatemala, Guinea,
Guinea Bissau,
Guyana, Haiti, Honduras, HongKong, Hungaria,Islandia, India, Indonesia, Irlandia, IsraelItalia, Ja
maika, Jepang, Kenya, RepublikKorea, Kuwait, Lesotho, Liechtenstein,
Luxembourg, Macao, Madagaskar, Malawi, Malaysia, Maldives, Mali, Malta, Mauritania,Mauritiu
s, Meksiko, Maroko, Mozambique, Myanmar, Namibia, Belanda, Selandia Baru, Nikaragua,
25
negara anggota WTO semakin bertambah hingga mencapai 164 negara.
Adapun negara-negara yang kini masih menjadi observer di WTO diantaranya
: Aljazair, Andora, Ajerbaizan, Bahamas, Belarus, Butan, Bosnia dan
Herzegovina, Komoro, Guinea Equatorial, Etiopia, Tahta Suci, Iran, Irak,
Republik Lebanon, Libya, Sao Tome dan Principe, Serbia, Somalia, Sudan
Selatan, Sudan, Republik Arab Suriah, Timor Leste, dan Uzbekistan.49
C. ATURAN YANG BERLAKU DALAM WTO
WTO sebagai sebuah organisasi internasional menetapkan hak dan
kewajiban bagi segenap anggotanya. Dengan menjadi anggota WTO, negara
telah setuju untuk memperoleh hak dan menjalankan kewajiban-kewajiban
yang diatur dalam WTO agreements. Dalam bahasa lain, negara telah sepakat
untuk mengikatkan dirinya terhadap perjanjian-perjanjian yang ada di WTO
dan harus menerima setiap konsekuensi logis dari perbuatan yang
dilakukannya apabila ada yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.50
Niger, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Papua Nugini, Paraguay, Peru, Filipina,
Polandia, Portugal, Qatar, Romania, Rwanda, Senegal, Sierra Leone,
Singapura, RepublikSlovakia, Slovenia, Kepulauan Solomon, Afrika Selatan, Spanyol
SriLanka, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent dan the
Grenadines, Suriname Kerajaan Swaziland, Swedia, Swiss, Tanzania, Thailand, Togo,
Trinidad dan Tobago, Tunisia, Turki, Uganda, Uni Emirat Arab, United Kingdom
Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia, Zaire (sekarang Rebuplik Demokratik
Kongo) Zambia, Zimbabwe.
49 WTO. Members and Observers (WTO, diunduh pada 23 Februari 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm
50 WTO, WTO Accesion (WTO, diunduh pada 20 Maret 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/acc_e/acc_e.htm
26
Secara umum, GATT/WTO memiliki tiga prinsip dasar yang dimuat
dalam WTO agreement yang harus dilaksanakan oleh negara anggotanya. Prinsip-
prinsip tersebut antara lain :
1. Non diskriminasi. Prinsip non diskriminasi artinya bahwa negara
harus menghapuskan segala bentuk diskriminasi atau pembedaan pemberlakuan
aturan maupun pajak kepada negara-negara tertentu. Prinsip ini dijabarkan
kembali kepada dua jenis prinsip yang lebih spesifik, yakni The Most Favor
Nations (MFN) treatment obligation dan national treatment obligation.51
Prinsip MFN artinya negara anggota WTO diwajibkan untuk menerapkan
kebijakan yang sama terhadap mitra dagangnya tanpa mengecualikan atau
memberlakukan kebijakan yang berbeda terhadap negara anggota WTO tertentu.52
Berikut adalah analogi dari penerapan prinsip MFN, misalnya negara A
menetapkan bea masuk untuk kentang sebesar 10%, dan ini berlaku terhadap
seluruh negara anggota WTO yang mengekspor kentangnya ke negara A. Lalu,
negara B berinisiatif untuk melakukan negosiasi terkait pengurangan bea masuk
kentang ke negara A. Kemudian negara A memutuskan untuk menurunkan pajak
hingga 0%. Maka bea masuk 0% ini harus diberlakukan kepada seluruh anggota
WTO yang hendak mengekspor kentangnya ke negara A. Jika negara A hanya
memberlakukan pajak 0% itu terhadap negara B, maka negara A tidak
51 WTO. Introduction to WTO Basic Principle and Rules (WTO, diunduh pada 23 Februari 2018)
tersedia di https://ecampus.wto.org/admin/files/Course_385/Module_1562/ModuleDocuments/BP-
L1-R1-E.pdf
52 WTO. Principle of Trading System (WTO, diunduh pada 23 Februari 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact2_e.htm
27
menjalankan prinsip MFN.53 Sebenarnya, dalam prinsip MFN ini ada juga
pengecualian untuk menetapkan kebijakan yang berbeda. Namun, aturan yang
dibuat WTO terkait pengecualian ini sangat ketat dan harus berada dibawah
pengawasan WTO agar tidak terjadi penyalahgunaan atas pengecualian yang
dibenarkan oleh WTO.54
Adapun prinsip national treatment obligation adalah bahwa barang yang
masuk ke suatu negara dari luar negeri harus diberi perlakuan yang sama dengan
barang hasil produksi dalam negeri, baik dari segi penerapan pajak, peraturan
dalam undang-undangnya, maupun dalam hal persyaratan hukum untuk penjualan,
pembelian, dan distribusi barang. Prinsip ini secara lebih spesifik melindungi
perdagangan multilateral dari praktik-praktik proteksionisme yang mungkin
terjadi.55
2. Transparansi dan prediktabilitas. Dalam hal ini, yang dimaksud
transparansi adalah adanya keterbukaan mengenai hambatan dalam perdagangan.
Dalam kata lain, negara tidak boleh menyembunyikan informasi terkait kebijakan
yang ditetapkan dalam melakukan perdagangan internasional.56 Transparansi ini
harus dibarengi dengan komitmen yang tinggi dari negara untuk secara berangsur-
53 WTO. Introduction to WTO Basic Principle and Rules.
54 Japan Ministry Economy, Trade, and Industry (METI). Chapter I : Most Favor Nation Principle
(METI, diunduh pada 23 Februari 2018) tersedia di
http://www.meti.go.jp/english/report/data/g400011e.html
55 Ratya Anindita & Michael R.Reed, Bisnis dan Perdagangan Internasional (Yogyakarta: CV.
Andi Offset) 67
56 Ratya Anindita, Bisnis Perdagangan Internasional.
28
angsur menurunkan pajak dan hambatan sehingga dapat terwujud perdagangan
internasional yang lebih bebas. Selain itu, negara-negara juga perlu menerapkan
tariff binding yakni komitmen untuk tidak menaikkan tarif dimasa yang akan
datang atau dalam bahasa yang lebih sederhana disebut kepastian tarif.57
3. Adanya persaingan yang adil. WTO bekerja untuk menciptakan pasar
yang lebih bebas namun tetap adil bagi segenap partisipannya. Dengan demikian,
peraturan yang ada dalam WTO memuat hal-hal yang dikategorikan adil atau
tidak adil, misalnya dalam hal praktik pemberian subsidi.58
4. Membantu pertumbuhan dan pembaharuan ekonomi bagi negara
maju dan berkembang. Sistem yang dibentuk dalam WTO memberikan
penyesuaian bagi negara berkembang agar siap menghadapi pasar bebas. WTO
memberikan kesempatan serta perlakuan khusus agar negara berkembang yang
tergabung dalam WTO mendapat kemudahan dalam fase transisinya menuju pasar
yang lebih liberal.59
D. DISPUTE SETTLEMENT BODY
Dispute Settlement Body (DSB) WTO merupakan badan yang dibentuk
untuk membantu penyelesaian sengketa yang terjadi antar negara terkait isu
perdagangan internasional. Setiap negara anggota WTO memiliki hak untuk
57 WTO, Principle of The Trading System.
58 WTO, Principle of The Trading System.
59 WTO, Principle of The Trading System.
29
melaporkan kasus perdagangan yang terjadi kepada DSB WTO. Secara umum,
negara akan melaporkan negara terlapor jika dirasa terdapat praktik-praktik
yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan WTO.60
Fungsi dari DSB WTO termaktub dalam pasal 3 Dispute Settlement
Understanding (DSU). Fungsi DSB WTO antara lain61 :
1. Memeriksa kembali ketentuan yang terdapat dalam perjanjian
WTO dan mengkajinya berdasarkan hukum kebiasaan
internasional publik.
2. Memastikan bahwa hasil dari penyelesaian sengketa tidak
mereduksi maupun menambah hak dan kewajiban negara
sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan WTO.
3. Memastikan bahwa solusi bersifat positif dan dapat diterima oleh
pihak-pihak terkait serta sejalan dengan perjanjian dalam WTO.
4. Menghentikan tindakan negara pelanggar jika terbukti melanggar
ketentuan perjanjian. Adapun upaya pembalasan atau retaliasi bisa
dilakukan sebagai upaya terakhir.
60 WTO, Dispute Settlement (WTO, diunduh pada 5 Maret 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_e.htm
61 Ade Maman Suherman. “Dispute Settlement Body WTO dalam Penyelesaian Sengketa
Perdagangan Internasional” Jurnal/ Hukum dan Pembangunan Tahun ke-42 No.1 Januari- Maret
2012, 5.
30
Pihak yang bisa menjadi partisipan dalam DSB WTO adalah
negara anggota WTO. Adapun aktor non pemerintah seperti perusahaan-
perusahaan yang biasanya terkena dampak langsung dari pelanggaran
perdagangan internasional tidak bisa melaporkan kasusnya secara
langsung ke WTO. Meskipun demikian, biasanya terdapat kebijakan
dalam negara terkait mekanisme pengajuan petisi oleh perusahaan kepada
negara untuk melaporkan kasus pelanggaran dalam perdagangan
internasional ke WTO.62
Secara umum, ada lima tahapan dalam DSB WTO yang dapat
ditempuh oleh negara dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya63 :
1. Konsultasi. Ini merupakan tahap pertama dalam mekanisme
penyelesaian sengketa melalui DSB WTO. Negara yang merasa terjadi
pelanggaran yang menyebabkan terhambatnya atau berkurangnya
keuntungan dalam perdagangan dapat mengajukan kasusnya ke DSB
WTO. Kemudian negara terlapor harus memberikan respon dalam
jangka waktu 10 hari. Apabila dalam jangka waktu 30 hari belum
tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak, maka negara pelapor
memiliki hak untuk meminta DSB WTO membentuk panel. Dalam
62 WTO, Introduction to the WTO Dispute Settlement System (WTO, diunduh pada 5 Maret 2018)
tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/disp_settlement_cbt_e/c1s4p1_e.htm#parties
63 Ade Maman Suherman, Dispute Settlement Body WTO dalam Penyelesaian Sengketa
Perdagangan Internasional, 6-12.
31
tahap konsultasi, negara diberi waktu 60 hari untuk menyelesaikan
sengketa yang terjadi.
2. Pembentukan panel. Tahapan ini akan dilaksanakan manakala tahap
konsultasi gagal dalam mencapai kesepakatan. Panel dibentuk oleh
DSB dengan mempertimbangkan nominasi nama-nama yang diajukan
sekretariat WTO. Pemilihan panelis didasarkan pada berbagai syarat
seperti bahwa panelis harus indepeden, orang dari latar belakang yang
berbeda-beda, dan memiliki pengalaman yang banyak. Apabila dalam
waktu 20 hari DSB tidak mampu menetapkan panelis, maka penetapan
tersebut bisa diserahkan kepada dirjen WTO. Selanjutnya, jika panelis
sudah terpilih, maka mereka harus mengacu pada term of reference
dalam menetapkan perkara yang disengketakan. Tugas utama dari
panel ini adalah melakukan penilaian terhadap sengketa dengan
objektif dan menganalisis apakah ada atau tidak pelanggaran terhadap
perjanjian WTO. Selain itu, tugas panel ini juga adalah menyusun serta
melampirkan hasil temuannya agar dapat dijadikan bahan oleh DSB
dalam membuat putusan dan rekomendasi.
3. Lembaga Banding (Appellate Body). Tahapan ini akan dilaksanakan
jika terdapat penolakan terhadap putusan panel oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang bersengketa. Lembaga ini memiliki wewenang
untuk memperkuat atau melakukan perubahan terhadap temuan hukum
dan kesimpulan yang disusun oleh panel. Meskipun demikian, dalam
tahap ini appellate body tidak dapat menerima bukti-bukti baru.
32
Appellate body terdiri dari 7 orang yang merepresentasikan regional
yang ada didunia : Amerika, Amerika Selatan, Asia, Afrika Utara, dan
Afrika Selatan. Mereka menjabat selama empat tahun, dan hanya boleh
dipilih kembali untuk satu periode lainnya.
Dalam penyusunan laporan appellate body, DSB dan dirjen WTO turut
dilibatkan sebagai konsultan. Semua draft yang dihasilkan oleh
appellate body ini bersifat rahasia dan selama perumusannya tidak
boleh diketahui oleh pihak yang terlibat dalam sengketa. Oleh karena
itu, setelah laporan ini selesai, keputusan yang ada didalamnya harus
diterima tanpa syarat oleh pihak bersengketa.
4. Rekomendasi panel dan appellate body. Secara umum, panel dan
appellate body akan merekomendasikan kepada negara yang
bersengketa untuk memijakkan sengketa yang terjadi kepada perjanjian
WTO agar sesuai dengan perjanjian tersebut yang telah disepakati
bersama. Selain itu, rekomendasi dari mereka berisi upaya-upaya yang
disarankan yang dapat dilakukan negara agar mampu
mengimplementasikan rekomendasi yang telah dibuat. Kemudian,
dapat dipastikan bahwa rekomendasi yang dibuat panel dan appellate
body tidak akan mengurangi maupun menambah hak dan kewajiban
negara, sehingga akan lebih memudahkan dalam hal implementasi.
5. Surveillance of Implementation. Tahap ini merupakan tahap akhir yang
merupakan pemantauan terhadap implementasi rekomendasi. Semua
33
negara diharapkan dapat melaksanakan rekomendasi untuk melakukan
penyesuaian sikap dengan perjanjian yang ada di WTO. Implementasi
harus dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari sejak pengadopsian
laporan panel dan appellate body oleh WTO. Jika negara terlapor tidak
mampu melakukannya, maka boleh mengajukan reasonable time atau
perpajangan waktu yang bisa diterima yang tidak melebihi 15 bulan.
Jika negara termohon tidak mengimplementasikan rekomendasinya
sesuai tenggat waktu yang ditetapkan, maka WTO memberi wewenang
kepada negara pelapor untuk melakukan tindakan pembalasan dengan
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Serangkaian prosedur dalam DSB WTO tersebut telah mampu
menghantarkan DSB WTO menjadi salah satu pengadilan terbaik yang
sejajar dengan International Court of Justice (ICJ).64 Dasar penyematan
status tersebut didasarkan pada kemampuan DSB WTO untuk menarik
minat negara-negara dalam membawa kasusnya ke DSB WTO hingga
mencapai angka 520 kasus di tahun 2017.65 Jika dibandingkan dengan
International Criminal Court (ICC) yang telah berdiri selama 15 tahun,
ICC hanya mampu menyelesaikan 23 kasus. Begitu pula dengan The
64 Mitsuo Matsushita, The WTO Dispute Settlement System dalam “The Oxford Handbook on The
World Trade Organization” (buku online, diunduh pada 6 Maret 2018) tersedia di
https://books.google.co.id/books?id=yrwqIcrTn2gC&pg=PA510&lpg=PA510&dq=is+DSB+WTO
+more+effective+than+ICJ?&source=bl&ots=m83_1mCJt0&sig=LUa4bTttRaNz40YwqWAYjR2
i9iw&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiex-
iE29XZAhWKtI8KHc5jBz4Q6AEIWjAH#v=onepage&q=is%20DSB%20WTO%20more%20effe
ctive%20than%20ICJ%3F&f=false
65 WTO, Annual Report 2017.
34
International Tribunal for the Law of the Sea yang masa berdirinya sama
dengan WTO namun hanya mampu menyelesaikan 25 kasus.66 Dengan
demikian, eksistensi DSB WTO menjadi penting dalam menunjang
efektifitas dan kredibilitas institusi WTO, khususnya dalam penyelesaian
sengketa perdagangan internasional.
Oleh karena itu, status WTO yang merupakan organisasi
internasional dengan jumlah negara anggota yang banyak memiliki
berbagai aturan berlaku yang mesti dilaksanakan. Pelanggaran terhadap
aturan dapat diproses ke DSB WTO. Dalam WTO, setiap anggota
memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa memandang kapabilitas
ekonomi negara. Dengan demikian, sekalipun negara maju seperti
Amerika Serikat memiliki potensi untuk dilaporkan ke WTO oleh negara
anggota lain. Maka, pada bab selanjutnya akan dibahas masalah kasus-
kasus yang pernah terjadi terhadap Amerika Serikat di WTO dalam
kaitannya dengan pengaduan dari negara lain.
66 Arie Reich, “The Effectiveness of The WTO Dispute Settlement System : A Statistical
Analysis”, European University Institute Working Papers (online); tersedia di
http://cadmus.eui.eu/bitstream/handle/1814/47045/LAW_2017_11.pdf?sequence=1 diunduh pada
6 Maret 2018.
35
BAB III
ANATOMI KASUS-KASUS PENGADUAN NEGARA TERHADAP
AMERIKA SERIKAT KEPADA DSB WTO
Bab ini akan menjelaskan mengenai anatomi kasus pengaduan yang
dilayangkan oleh negara-negara terhadap Amerika Serikat kepada DSB WTO.
Didalamnya memuat tentang penjelasan mengenai negara mana saja yang pernah
terlibat kasus pengaduan dengan Amerika Serikat, industri apa saja yang
seringkali disengketakan, dan bagaimana implementasi Amerika Serikat terhadap
gugatan-gugatan yang ditujukan kepadanya. Bab ini bertujuan untuk memberikan
informasi mengenai keterlibatan Amerika Serikat dalam mengimplementasikan
aturan perdagangan bebas yang ada di WTO sejak tahun 1995 sampai dengan
tahun 2018.
Sebagaimana yang pernah disinggung dalam bab-bab sebelumnya, bahwa
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang banyak melakukan
perdagangan internasional. Amerika Serikat berada diurutan pertama sebagai
negara eksportir dibidang jasa dan urutan kedua terbesar dalam ekspor barang.
Jumlah ekspornya di tahun 2016 mencapai 2,21 triliun USD.67 Adapun dalam
bidang impor, Amerika Serikat merupakan importer terbesar didunia (menguasai
67 Department of Commerce United States of America, US Trade Overview 2016 (International
Trade Administration, April 2017, diakses pada 21 April 2018) tersedia di
https://www.trade.gov/mas/ian/build/groups/public/@tg_ian/documents/webcontent/tg_ian_00553
7.pdf
36
18% dari total impor dunia) dengan angka impor mencapai 2,71 triliun USD.68
Dengan banyaknya perdagangan yang dilakukan, Amerika Serikat berpotensi
memiliki berbagai permasalahan dengan anggota WTO yang lain.69 Banyaknya
permasalahan yang dihadapi Amerika Serikat dalam perdagangan internasional
menjadikannya sebagai negara diurutan pertama yang paling banyak mengadukan
kasus (complainant) dan diadukan (respondent) oleh negara lain ke DSB WTO.70
Status Amerika Serikat sebagai negara yang paling sering menjadi
complainant dan respondent di WTO sebenarnya memiliki interpretasi yang lain.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan European University Institute
menunjukkan bahwa Amerika Serikat telah memenangkan gugatan kasus di WTO
sebanyak 42% (atau tidak memenangkan gugatan kasus sebanyak 58%) dari total
persentase pengaduan.71 Artinya, Amerika Serikat dapat dikatakan sebagai negara
yang banyak melanggar karena gugatan-gugatan yang dilayangkan kepadanya di
DSB WTO lebih banyak dimenangkan oleh negara penggugatnya.
68 Eurostat, USA-EU International Trade in Goods Statistics (Eurostats, 2018, diakses pada 21
April 2018) tersedia di http://ec.europa.eu/eurostat/statistics-explained/index.php/USA-EU_-
_international_trade_in_goods_statistics#EU_and_United_States_in_world_trade_in_goods
69 Raymond J Ahearn, Trade Conflict and The US-European Union Economic Relationship
(Congressional Research Service Report for Congress, 2007, diakses pada 13 April 2018) tersedia
di http://www.nationalaglawcenter.org/wp-content/uploads/assets/crs/RL30732.pdf
70 WTO, United States of America and The WTO (WTO, diakses pada 13 April 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/countries_e/usa_e.htm
71 John Brinkley, Trumph Is Quietly Trying to Vandalize WTO (Forbes, 2017, diakses pada 13
April 2018) tersedia di https://www.forbes.com/sites/johnbrinkley/2017/11/27/trump-quietly-
trying-to-vandalize-the-wto/#1fc479b4263f
37
Lima negara diurutan teratas sebagai negara yang paling banyak
mengadukan kasusnya dengan Amerika Serikat ke DSB WTO diantaranya Uni
Eropa (33 kasus), Kanada (19 kasus), China (12 kasus), Korea Selatan (12 kasus),
dan Brazil (11 kasus).72 Secara umum, permasalahan yang terjadi antara negara-
negara tersebut dengan Amerika Serikat berkaitan dengan kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan Amerika Serikat untuk memperoleh keuntungan dan
mendukung kemajuan industri domestiknya seperti dumping, export credit,
pemberian subsidi, penetapan tariff, dan pelanggaran-pelanggaran terhadap
aturan-aturan lain yang ditetapkan dalam covered agreement WTO.73
Secara spresifik, Uni Eropa banyak bersengketa dengan Amerika Serikat
dalam sektor agrikultur, industri dirgantara, dan industri baja. Permasalahan
agrikultur mulai muncul pasca Uruguay Round karena pada Uruguay Round
ditetapkan aturan-aturan terkait agrikultur salah satunya terkait izin pemberian
subsidi dengan jumlah tertentu. Namun, Common Agricultural Policy (CPA) yang
selama ini menjadi pedoman bagi Uni Eropa dalam menjalankan kebijakan yang
72 WTO, Dispute by Respondent (WTO, diakses pada 13 April 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_by_country_e.htm
73 WTO, Dispute by Respondent.
The Economist, Dumping, Export Credit (The Economist, diakses pada 21 April 2018) tersedia di
https://www.economist.com/economics-a-to-z/
Dumping= menjual barang dengan harga yang lebih murah diluar negeri daripada di negara tempat
barang diproduksi.
Export credit = pinjaman untuk meningkatkan ekspor. Biasanya negara memberi bantuan berupa
pinjaman ini kepada pelaku bisnis domestik untuk memenangkan dan membesarkan sektor
domestiknya.
38
berkiatan dengan agrikultur cenderung memberi subsidi dalam jumlah yang besar
untuk meningkatkan pendapatan petani dalam negerinya.74
Adapun dalam industri dirgantara, kedua belah pihak merasa bahwa baik
Amerika Serikat maupun Uni Eropa memberikan subsidi yang banyak kepada
produsennya untuk memajukan industri tersebut. Uni Eropa mensinyalir bahwa
Amerika Serikat memberi subsidi illegal agar produksi industri dirgantara bisa
bersaing di pasar internasional. Selain itu, Uni Eropa juga menyatakan bahwa
Amerika Serikat memberikan pendanaan yang besar untuk penelitian bagi
pengembangan produk di perusahaan dirgantara yang ada di Amerika Serikat
demi memperoleh keuntungan yang besar.75
Begitu pula dengan industri baja, Uni Eropa merasa bahwa Amerika
Serikat memberi subsidi yang besar dan memberlakukan dumping untuk
memperoleh keuntungan. Masalah industri baja antara Amerika Serikat dan Uni
Eropa telah terjadi secara masif selama dua dekade ini. Puncaknya terjadi pada
pemerintahan Presiden Bush (tahun 2001) ketika ia melalui pertimbangan yang
diberikan International Trade Commision akhirnya membelakukan peningkatan
tariff terhadap sektor baja dari Uni Eropa. Tindakan tersebut dianggap tidak ‘fair’
sehingga memicu dilayangkannya gugatan oleh Uni Eropa kepada Amerika
Serikat. Namun, pada 2003 WTO menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak
mampu menunjukkan bahwa peningkatan tariff tersebut dilatarbelakangi oleh
74 Raymond J Ahean, Trade Conflict and The US-European Union Economic Relationship.
75 Raymond J Ahean, Trade Conflict and The US-European Union Economic Relationship.
39
alasan yang dibenarkan (misalnya karena dapat mengancam stabilitas atau bahkan
menghancurkan industri yang ada di Amerika Serikat).76
Kanada sebagai negara kedua complainant terhadap Amerika Serikat
bersengketa dalam 19 kasus, diantaranya yang berkaitan dengan subsidi
agrikultur, COOL (Country of Origin Labelling), export restraint, offset act (byrd
amandement), section 129 (c) (1), Uruguay Round Agreement on Agriculture
(URAA), kayu halus, dan supercalender paper. Ketiga, China 12 kasus yang
berkaitan dengan anti dumping methodologies, anti dumping and countervailing
duties, unggas, udang dan sawblades, steel safeguards, dan industri ban.
Keempat, Korea Selatan 12 kasus yang berkaitan dengan carbon steel,
countervailing duty investigation on DRAMs, jalur pipa, Oil Country tubular
Goods (OCTG), stainless steel, steel safeguards, mesin cuci, dan zeroing. Kelima,
Brazil 11 kasus yang berkaitan dengan subsidi agrikultur, florida excise tax,
gasoline, orange juice, steel safeguards, dan upland cotton.77
Kasus-kasus yang dilayangkan kepada Amerika Serikat sampai di tahapan
yang berbeda-beda. Sebagaimana yang sempat disinggung di bab dua, bahwa
dalam DSB WTO terdapat beberapa tahap dalam penyelesaian sengketa. Adapun
bagi Amerika Serikat sebagai negara respondent, terdapat 36 kasus yang sampai
ditahap konsultasi, 8 kasus sampai pada tahap pembentukan panel (dengan panelis
yang belum terpilih), 3 kasus sampai pada tahap panel (dengan panelis yang sudah
76 Raymond J Ahean, Trade Conflict and The US-European Union Economic Relationship.
77 WTO, Dispute by Short Title (WTO, diakses pada 13 April 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_by_short_title_e.htm
40
terpilih), 19 kasus sampai pada tahap adopsi report (tanpa perlu tindak lanjut dari
respondent), 11 kasus sampai pada tahap adopsi report (dengan adanya
rekomendasi untuk tindak lanjut), 23 kasus sampai pada tahap implementasi
rekomendasi DSB WTO, 9 kasus sampai pada tahap penerimaan solusi oleh
pihak-pihak yang bersengketa, 3 kasus sampai pada tahap pengajuan retaliasi oleh
complainant, 6 kasus sampai pada tahap penerapan retaliasi, dan 14 kasus sampai
pada tahap penyelesaian akhir dengan ditariknya gugatan atau dihentikannya
tindakan oleh negara respondent (dibawah pasal 3.6 Dispute Settlement
Understanding/DSU).78
78 WTO, Current Status of Dispute (WTO, diakses pada 14 April 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_current_status_e.htm
Pasal 3.6 DSU = dalam bagian ketentuan umum yang menyatakan tentang kesepakatan bersama
antara pihak-pihak yang bersengketa harus diinformasikan kepada DSB WTO
41
Gambar III.1 : Jumlah kasus pada tiap tahap penyelesaian sengketa
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terkait jenis kasus yang
cukup problematis dalam proses penyelesaiannya, maka akan dipaparkan kasus-
kasus secara detail dari tahap adopsi report (dengan adanya tindak lanjut dari
negara respondent) sampai tahap akhir (withdrawn or terminated solution). 11
kasus yang sampai pada tahap adopsi report (dengan adanya tindak lanjut negara
respondent) diantaranya upaya perlindungan dengan membatasi kuantitas gandum
yang datang dari Uni Eropa (agrikultur), permasalahan merk dagang kendaraan
bis (Intelectual Property Rights/IPR) yang diadukan oleh Uni Eropa, tuduhan dan
investigasi atas dumping yang dilakukan Jepang dalam industri besi baja
gulungan, pengaduan regulasi zeroing (metodologi dalam menghitung dumping
margin) oleh Jepang, pengaduan regulasi zeroing oleh Uni Eropa, tuduhan dan
investigasi atas dumping yang dilakukan India dalam industri besi baja gulungan,
42
pelarangan produk olahan hewan dari Argentina atas tuduhan adanya penyakit
kaki dan mulut pada hewan, countervailing measure (upaya menyeimbangkan
subsidi ekspor) dan anti dumping produk dari Tiongkok (terjadi dua kali), dan anti
dumping OCTG (Oil Country Tubular Goods) yang diadukan oleh Korea Selatan.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Amerika Serikat
bersengketa hingga tahap ini untuk 1 kasus dalam sektor agrikultur, 1 kasus hak
kekayaan intelektual, 1 kasus dalam sektor peternakan, dan 9 kasus dalam
masalah regulasi dumping (termasuk zeroing). Dari kasus tersebut, Amerika
Serikat dinyatakan telah mematuhi putusan yang dikeluarkan DSB WTO dalam
semua kasus meskipun dalam implementasi putusannya membutuhkan waktu
yang berbeda-beda.79
Pada tahap implementasi, mayoritas kasus yang sampai pada tahap ini
adalah industri baja yakni ada 5 kasus. Selanjutnya, dalam sektor minyak bumi
dan gas ada 3 kasus, sektor tekstil 3 kasus, sektor perikanan 3 kasus, dan sektor
ternak 2 kasus. Selain itu, negara complainant juga menyasar Amerika Serikat
dengan pengaduan terkait hukum yang ada di Amerika Serikat. Misalnya dalam
regulasi anti dumping dan zeroing terdapat 3 kasus, dan dalam regulasi
countervailing measure juga terdapat 3 kasus.80
Pada tahap penerimaan solusi oleh pihak-pihak yang bersengketa, ada 9
kasus yang berhasil terselesaikan. Kasus-kasus tersebut antara lain dalam sektor
79 WTO, Current Status of Dispute.
80 WTO, Current Status of Dispute.
43
tekstil 1 kasus, sektor telekomunikasi 1 kasus, sektor jasa 1 kasus, sektor kayu 3
kasus (dengan Argentina) 1 kasus (dengan Kanada), sektor pertanian 1 kasus, dan
sektor industry rokok 1 kasus. 9 kasus ini berhasil diselesaikan dengan
tercapainya kesepakatan antara negara yang bersengketa dengan Amerika Serikat.
Bentuk kesepakatannya antara lain perubahan kebijakan dari Amerika Serikat
misalnya menghentikan pemberlakuan countervailing duty dan pembebanan pajak
tambahan dan pembuatan agreement khusus terkait sektor tertentu misalnya dalam
sektor softwood lumber (kayu lunak).81
Pada tahap pengajuan retaliasi oleh complainant terdapat 3 kasus yang
terjadi diantaranya pertama, terkait US-Section 110 (5) Copyright Act. Undang-
undang ini memberikan izin untuk memutar musik ataupun siaran televisi yang
telah memiliki hak ekslusif atau hak cipta khusus dimuka publik seperti restoran,
bar dan tempat umum lainnya tanpa memperoleh royalti. Kebijakan ini dianggap
merugikan produsen musik Uni Eropa. Selanjutnya, ditetapkanlah periode
implementasi putusan bagi Amerika Serikat yakni selama 12 bulan dan ganti rugi
sejumlah 1,219,900 euro. Namun, hingga batas waktu yang ditentukan Amerika
Serikat tidak memenuhinya sehingga Uni Eropa mengajukan permohonan to
suspend concession (sebagai tahap awal dari retaliasi). Setelah itu, Amerika
Serikat merasa keberatan karena ada prinsip dan prosedur yang juga tidak
dijalankan oleh Uni Eropa. Sehingga, akhir dari kasus ini adalah kedua belah
81 WTO, Current Status of Dispute.
44
pihak sepakat untuk mencari solusi bersama dan menetapkan perjanjian sementara
terkait kasus ini.82
Kedua, kasus US- Sunset Reviews of Anti Dumping Measures On Oil
Country Tubular Goods (OCTG). Dalam kasus ini, Argentina mengadukan
Amerika Serikat karena hukum yang terdapat di Amerika Serikat terkait sunset
review dianggap inkonsisten dengan pasal 1,2,3,5,6,11,12, dan 18 Anti Dumping
Agreement (ADA). Setelah ditetapkan putusan dan periode waktu untuk
implementasi putusan oleh DSB WTO, selanjutnya Amerika Serikat melaporkan
bahwa ia telah mengimplementasikan putusan yang ditetapkan. Namun, Argentina
meragukan jika Amerika Serikat telah mengimplementasikan putusannya secara
penuh. Sehingga, Argentina mengajukan permohonan to suspend concession.83
Ketiga, kasus US-Anti Dumping and Countervailing Measures on Large
Residential Washers from Korea . Sebagaimana yang juga terjadi pada dua
kasus sebelumnya, Amerika Serikat gagal mengimplementasikan rekomendasi
DSB WTO pada periode waktu yang telah ditentukan sehingga memicu negara
complainant untuk mengajukan suspension concessions.84
82 WTO, US-Section 110 (5) Copyright Act (WTO, 2018, diakses pada 22 April 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds160_e.htm
83 WTO, US- Sunset Reviews of Anti Dumping Measures On Oil Country Tubular Goods (OCTG),
(WTO, 2018, diakses pada 22 April 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds268_e.htm
84 WTO, US-Anti Dumping and Countervailing Measures on Large Residential Washers from
Korea (WTO, 2018, diakses pada 22 April 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds464_e.htm
45
Selanjutnya, 6 kasus yang sampai pada tahap retaliasi adalah 2 kasus yang
berkaitan dengan Anti Dumping and Subsidy Offset Act of 2000, 2 kasus tentang
Certain Country of Origin Labelling (COOL), 1 kasus di sektor jasa dan 1 kasus
di sektor perikanan. DSB WTO mengabulkan suspension request dari negara
complainant untuk kasus-kasus tersebut karena Amerika Serikat terbukti
melakukan pelanggaran dan merugikan atau menghilangkan keuntungan yang bisa
diperoleh mitra dagangnya akibat kebijakan yang dikeluarkannya. Selain itu,
Amerika Serikat juga tidak dapat memenuhi apa yang direkomendasikan DSB
WTO. Maka, penerapan retaliasi diberlakukan.
Yang paling terakhir, di tahap penyelesaian dengan penarikan gugatan atau
pemberhentian tindakan yang menjadi sumber gugatan terdapat 14 kasus. 14 kasus
tersebut antara lain 3 kasus di sektor tekstil (dengan India dan Uni Eropa), 2 kasus
di sektor agrikultur (dengan Brazil), 2 kasus di sektor kayu (dengan Kanada), 2
kasus di sektor perikanan (dengan Vietnam), 1 kasus di sektor permobilan dengan
Jepang, 1 kasus di sektor alat elektronik dengan Korea Selatan, 1 kasus di sektor
baja dengan Meksiko, I kasus di industry semen dengan Meksiko, dan 1 kasus
terkait kenaikan tariff untuk produk dari Uni Eropa.85
Berikut ini merupakan bentuk tabel dari penjelasan deskriptif mengenai
kasus-kasus ditiap tahap penyelesaian sengketa. Infomasi yang termuat
didalamnya antara lain tahapan penyelesaian sengketa, judul kasus, negara yang
85 WTO, Current Status of Disputes.
46
mengadukan/complainant,jenis perjanjian yang dilanggar, dan sektor yang
dilanggar.
Tabel III.1 : Anatomi Kasus di Tiap Tahapan Penyelesaian Sengketa
Tahap
Penyelesaian
Sengketa
Short Title Complainant Agreement Cited Sector
Adopsi
Report
(Dengan
Tindak
Lanjut)
1. US-Wheat
Gluten
(2001)
EU -Agriculture Art 4.2
- GATT 1994 Art I,
XIX
-Safeguards Art 2,
2.1, 4,5,8,12
Agrikultur
2. US-Section
211
Appropriatio
ns Act
(2002)
EU Intellectual Property
(TRIPS)
Kendaraan
Bis
3. US- Hot
Rolled Steel
(2001)
Jepang -Anti Dumping (Art
VI of GATT 1994)
-Agreement
establishing WTO
(Art XVI)
Baja
4. US- Zeroing
(EC) (2012)
EU -Anti Dumping (Art
VI of GATT 1994)
-Agreement
establishing WTO
(Art XVI : 4)
Regulasi
Metodologi
Zeroing
5. US-
Continued
Zeroing
(2009)
EU -Anti Dumping (Art
VI of GATT 1994)
-Agreement
establishing WTO
(Art XVI : 4)
Regulasi
Metodologi
Zeroing
6. US- Zeroing
Japan (2012)
Jepang -Anti Dumping (Art
VI of GATT 1994)
-Agreement
establishing WTO
Regulasi
Metodologi
Zeroing
47
(Art XVI : 4)
7. US-Carbon
Steel India
(2014)
India -GATT 1994: Art. I,
VI
-Subsidies and
Countervailing
Measures
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
Baja
8. US-Animals
(2015)
Argentina -GATT 1994: Art.
I:1, III:4, XI:1
-Sanitary and
Phytosanitary
Measures (SPS)
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
Peternakan
9. US-
Countervaili
ng and Anti
Dumping
Measures
(China)
(2014)
China -GATT 1994: Art.
X, VI
-Subsidies and
Countervailing
Measures: Art. 10,
15, 19, 21, 32
-Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994)
Regulasi
dalam
Undang-
undang
10. US-Anti
Dumping
Methodologi
es (China)
(2017)
China -GATT 1994: Art.
VI:2
-Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994)
Regulasi
Metodologi
Investigasi
Anti
Dumping
11. US-OCTG
(Korea)
(2018)
Korea Selatan -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994
-GATT 1994: Art. I,
X:3
-Agreement
Establishing the
OCTG
48
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
Implementasi
Rekomendasi
1. US- Gasoline
(1997)
Venezuela dan
Brazil
-GATT 1994: Art. I,
III, XXII:1
-Technical Barriers
to Trade (TBT): Art.
2, 14.1
Migas
2. US-
Underware
(1997)
Costa Rica Textiles and
Clothing: Art. 2, 6, 8
Tekstil
3. US-1916 Act
(EC) (2004)
EU dan Jepang -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994)
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
Undang-
undang anti
dumping
4. US-Lead and
Bismuth II
(2000)
EU Subsidies and
Countervailing
Measures: Art.
1.1(b), 10, 14, 19.4
Baja
5. US-Lamb
(2001)
New Zealand
dan Australia
-GATT 1994: Art. I,
II, XIX
-Safeguards: Art. 2,
3, 4, 5, 11, 12
Peternakan
6. US-Stainless
Steel (2001)
Korea Selatan -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994)
-GATT 1994: Art.
VI, X:3
Baja
7. US-Cotton
Yarn (2001)
Pakistan Textiles and
Clothing: Art. 2.4,
6.2, 6.3, 6.4, 6.7
Tekstil
8. US-Line Pipe
(2003)
Korea Selatan -GATT 1994: Art. I,
XIII, XIX
-Safeguards: Art. 2,
3, 4, 5, 7.1, 8, 9.1,
11, 12
Migas
9. US-Steel
Plate (2003)
India -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994)
Baja
49
-GATT 1994: Art.
VI, VI:1, VI:2(a), X
-Subsidies and
Countervailing
Measures: Art. 10,
11, 15, 22, 27
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI, XVI:4
10. US-Shrimp
(Thailand)
(2006&2009)
and
(Ecuador)
(2007)
Thailand and
Ecuador
-Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994
-GATT 1994: Art.
I:1, II, II:1, III, VI,
XI:1, XIII:1, XX,
X:3(a), VI:2
Perikanan
11. US-Custom
Bond
Directive
(2009)
India -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994
-GATT 1994: Art. I,
II, II:1, VI, VI:3, X,
X:1, X:2, XI, XIII,
VI:2
-Subsidies and
Countervailing
Measures
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
Regulasi
Anti
Dumping
dan
Countervaili
ng Duties
12. US-
Countervaili
ng Measures
on Certain
EC Products
(2006)
EU -GATT 1994: Art.
VI:3
-Subsidies and
Countervailing
Measures
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
Regulasi
Countervaili
ng Measures
13. US-Carbon
Steel (2004)
EU -Subsidies and
Countervailing
Measures: Art. 10,
Baja
50
11.9, 21, 32.5
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
14. US-
Countervaili
ng Duty
Investigation
on DRAMS
(2006)
Korea Selatan -GATT 1994: Art.
VI:3, X:3
-Subsidies and
Countervailing
Measures: Art. 1, 2,
10, 11, 12, 14, 15,
17, 19, 22, 32, 32.1
Telekomuni
kasi
15. US-Anti
Dumping
Measures on
Pet Bags
(2010)
Thailand -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994): Art. 2.4.2
-GATT 1994: Art.
VI
Tekstil
16. US-Zeroing
(Korea)
(2011)
Korea Selatan -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994): Art. 1, 2.1,
2.4, 2.4.2, 5.8
-GATT 1994: Art.
VI
Regulasi
Metodologi
Zeroing
17. US- Anti
Dumping and
Countervaili
ng Duties
(China)
(2012)
China -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994): Art. 1, 2, 6, 9,
18, Annex II
GATT 1994: Art. I,
VI
-Subsidies and
Countervailing
Measures
-Protocol of
Accession: Art. 15
Regulasi
Anti
Dumping
18. US-Shrimp
and
Sawblades
(2013)
China -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994): Art. 1, 2.1,
2.4, 2.4.2, 5.8, 9.2,
9.3, 9.4, 11.3
-GATT 1994: Art.
VI:1, VI:2(a),
VI:2(b)
Perikanan
51
Penerimaan
Solusi
1. US- Wool
Shirts and
Blouses
(1997)
India Textiles and
Clothing: Art. 2, 6, 8
Tekstil
2. US-DRAMS Korea Selatan -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994): Art. 2, 3, 5.8,
6, 11, 17, 17.6(i)
-GATT 1994: Art. I,
VI, X
Telekomuni
kasi
3. US-FSC
(2006)
EU -Agriculture: Art. 1,
3, 8, 9, 10
-GATT 1994: Art.
III:4, XVI
-Subsidies and
Countervailing
Measures: Art.
3.1(a), 3.1(b)
Regulasi
Tax
Treatment
4. US-
Softwood
Lumber III,
IV, V, VI
(2006)
Kanada -GATT 1994: Art.
VI:3
-Subsidies and
Countervailing
Measures
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
Kayu
5. US-Upland
Cotton
(2014)
Brazil -Agriculture: Art.
3.3, 7.1, 8, 9.1, 10.1
-GATT 1994: Art.
III:4, XVI
-Subsidies and
Countervailing
Measures: Art. 3, 5,
6
Tekstil
52
6. US-Clove
Cigarettes
(2014)
Indonesia -GATT 1994: Art.
III:4, XX,
XXIII:1(a)
-Sanitary and
Phytosanitary
Measures (SPS):
Art. 2, 3, 5, 7
-Technical Barriers
to Trade (TBT): Art.
2, 2.1, 2.2, 2.3, 2.5,
2.8, 2.9, 2.10, 2.12,
12
Rokok
Pengajuan
Retaliasi
1. US-Section
110 (5)
Copyright
Act (2002)
EU Intellectual Property
(TRIPS): Art. 9.1
Regulasi
Hak
Kekayaan
Intelektual
2. US-OCTG
Sunset
Reviews
(2007)
Argentina -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994): Art. 1, 2, 3, 5,
6, 11, 12, 18, Annex
II
-GATT 1994: Art.
VI, X
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
Regulasi
Sunset
Reviews
3. US-Washing
Machines
(2018)
Korea Selatan -Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994)
-GATT 1994: Art.
VI:1, VI:2, VI, VI:3
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
-Subsidies and
Countervailing
Measures
Residential
Washing
Machines
53
Penerapan
Retaliasi
1. US-Offset
Act (Byrd
Agreement)
(2004)
Australia;
Brazil; Chile;
European
Communities;
India;
Indonesia;
Japan; Korea,
Republic of;
Thailand
-Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994): Art. 1, 5.4, 8,
18.1, 18.4
-GATT 1994: Art.
VI:3, X:3, XXIII:1,
VI:2
-Subsidies and
Countervailing
Measures
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
Regulasi
Tarif
2. US-Offset
Act (Byrd
Agreement)
(2004)
Kanada dan
Meksiko
Anti-dumping
(Article VI of GATT
1994): Art. 1, 5.4, 8,
18.1, 18.4
-GATT 1994: Art.
VI:3, X:3, XXIII:1,
VI:2
-Subsidies and
Countervailing
Measures
-Agreement
Establishing the
World Trade
Organization: Art.
XVI:4
Regulasi
Tarif
3. US-
Gambling
(2013)
Antigua dan
Barbuda
Services (GATS):
Art. II, VI, VIII, XI,
XVI, XVII
Jasa
54
4. US-Tuna II
Mexico
(2017)
Meksiko -GATT 1994: Art. I,
III
-Technical Barriers
to Trade (TBT): Art.
2, 5, 6, 8
Perikanan
5. US-COOL
(2015)
Kanada dan
Meksiko
-GATT 1994: Art.
III:4, IX, IX:2, X:3,
XXIII:1(b), X:3(a)
-Rules of Origin:
Art. 2, 2(b), 2(c),
2(e), 2(j)
-Sanitary and
Phytosanitary
Measures (SPS):
Art. 2, 5, 7
-Technical Barriers
to Trade (TBT): Art.
2, 2.1, 2.2, 2.4
Regulasi
Country of
Origin
Labelling
Untuk memudahkan pemahaman akan kasus-kasus tersebut, maka akan
ditunjukkan melalui tabel pemetaan berdasarkan jenis sektor dan regulasi yang
dilanggar oleh Amerika Serikat. Adapun pemetaan kasus dalam bentuk tabel
tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut:
55
Tabel III.2 : pemetaan kasus
No Jenis
Sektor/Regulasi
yang dilanggar
Complainant Keterangan
1 Agrikultur Uni Eropa Upaya perlindungan dan
pembatasan kuantitas impor
gandum
2 Hak Cipta
Uni Eropa Merk dagang kendaraan (bis)
Uni Eropa Undang-undang “US-Section 110
(5) Copyright Act” memberi izin
untuk pemutaran music atau siaran
televisi yang memiliki hak cipta
tanpa pemberian royalty
3 Anti dumping Jepang Tuduhan dan investigasi dumping
Jepang pada sektor baja gulungan
India Tuduhan dan investigasi dumping
Jepang pada sektor baja gulungan
Tiongkok Penerapan bea anti dumping
terhadap produk tertentu dari
Tiongkok
Korea Selatan Anti dumping terhadap Oil Country
Tubular Goods (OCTG)
Tiongkok Penggunaan metodologi
investigasi anti dumping
Jepang Anti Dumping Act 1916
Uni Eropa Anti Dumping Act 1916
Korea Selatan Anti dumping produk piring
stainless steel
India Anti dumping steel plate
Ekuador Penerapan bea anti dumping untuk
56
produk udang
Thailand Penerapan bea anti dumping untuk
produk udang
Tiongkok Definitive anti dumping
Thailand Anti dumping produk tas berbahan
Tiongkok Penerapan bea anti dumping untuk
produk udang
Korea Selatan Anti dumping DRAMS (Dynamic
Random Access Memory
Semiconductors)
Kanada Anti dumping produk kayu halus
Argentina Anti dumping OCTG
Korea Selatan Anti dumping produk mesin cuci
Australia,
Brazil, Cili, Uni
Eropa, India,
Indonesia,
Jepang, Korea
Selatan,
Thailand
Regulasi tentang “Continued
Dumping and Subsidy Offset Act
of 2000”
Kanada dan
Brazil
Regulasi tentang “Continued
Dumping and Subsidy Offset Act
of 2000”
4 Zeroing Jepang Perselisihan dalam metodologi
perhitungan margin dumping
Uni Eropa Perselisihan dalam metodologi
perhitungan margin dumping
Korea Selatan Perselisihan dalam metodologi
perhitungan margin dumping
57
5 Peternakan Argentina pelarangan impor produk olahan
hewan atas tuduhan adanya
penyakit kaki dan mulut pada
hewan
Selandia Baru Safeguard measures produk daging
kambing olahan
Australia Safeguard measures produk daging
kambing olahan
Kanada Certain Country Of Origin
Labelling (COOL) produk daging
sapi dan babi
Meksiko Certain Country Of Origin
Labelling (COOL) produk daging
sapi dan babi
6 Countervailing
measure
Tiongkok Penerapan bea terhadap produk
dari non market economy yang
bersumber pada Tariff Act 1930
India Steel plate
Uni Eropa Produk tertentu dari Uni Eropa
Uni Eropa Produk baja anti korosi dari
Jerman
7 Bensin Venezuela Standarisasi jenis bensin
reformulated dan conventional
Brazil Standarisasi jenis bensin
reformulated dan conventional
8 Garmen Kosta Rika Larangan impor produk katun dan
underwear pria
Pakistan Safeguard measures bahan katun
combed
India Larangan impor produk pakaian
berbahan wol
58
Brazil Subsidi bahan katun
9 Baja Uni Eropa Pembebanan pajak terhadap
produk bismuth karbon baja dari
United Kingdom
10 Larangan impor Indonesia Pelarangan masuk produk rokok
kretek dari Indonesia karena alasan
kesehatan
Meksiko Pelarangan masuk produk ikan
tuna apabila tidak bisa
menunjukkan label keamanan
penangkapan ikan tuna terhadap
eksistensi ikan lumba-lumba
11 Permobilan Jepang Pembebanan bea impor dibawah
undang-undang Trade Act 1974
Data-data tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya Amerika Serikat
berpartisipasi aktif dalam DSB WTO. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah
total aduan (150 kasus) data tersebut belum bisa menunjukkan komitmen yang
cukup kuat dari Amerika Serikat untuk mematuhi ketentuan atau rekomendasi
yang disarankan DSB WTO.86 Dalam data yang lain dari penelitian yang
dilakukan oleh European University Institute dinyatakan bahwa Amerika Serikat
86 WTO, Dispute by Respondent.
59
merupakan negara diurutan pertama yang tingkat kepatuhannya terhadap putusan
DSB paling rendah.87
Hal tersebut dapat disimpulkan dengan melihat kepada angka suspension
request yang dilakukan complainant terhadap Amerika Serikat.88 Dari jumlah
total suspension request yang pernah diajukan di DSB WTO, Amerika Serikat
menjadi target sebanyak 68,42% yang mana angka tersebut adalah jumlah yang
besar, karena selisihnya dengan anggota WTO lain cukup banyak (Uni Eropa
diurutan kedua hanya 15, 78%). Menurut sudut pandang lain, dari 75 complainant
yang menang melawan Amerika Serikat, 26 darinya mengajukan suspension
request. Artinya 1/3 dari mereka menuntut kepatuhan Amerika Serikat terhadap
apa yang telah diputuskan oleh DSB WTO. 89
Suspension request sebagai rangkaian dari upaya retaliasi bagi negara yang
tidak mau patuh terhadap putusan DSB WTO merupakan proses akhir dan
konsekuensi yang sangat serius. Tujuan utama dari dilakukannya retaliasi ini
adalah untuk mendorong negara agar mau mematuhi atau mengimplementasikan
87 87 Arie Reich, “The Effectiveness of The WTO Dispute Settlement System : A Statistical
Analysis”, European University Institute Working Papers (online); tersedia di
http://cadmus.eui.eu/bitstream/handle/1814/47045/LAW_2017_11.pdf?sequence=1 diunduh pada
6 Maret 2018.
88 WTO, Suspension of Concessions or Other Obligation (WTO, diakses pada 14 April 2018)
tersedia di https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/repertory_e/s9_e.htm
Suspension request = salah satu tahap akhir dalam penyelesaian sengketa yang mana negara yang
memenangkan gugatan dapat mengajukan permohonan penerapan kebijakan yang dikecualikan
(tidak sesuai dengan aturan umum WTO) untuk memberikan tindakan balasan atau memastikan
respondent nya mendapat sanksi agar negara bersangkutan mau patuh terhadap putusan DSB
WTO
89 Arie Reich, The Effectiveness of The WTO Dispute Settlement System : A Statistical Analysis.
60
apa yang telah diputuskan oleh DSB WTO.90 Meskipun retaliasi ini menimbulkan
pro dan kontra, seperti menjadikan aturan WTO tampak inkonsisten dan retaliasi
dianggap tidak punya kekuatan bagi negara yang ekonominya tidak kuat, namun
dalam banyak kasus retaliasi dapat dikatakan cukup berhasil.91
Efektivitas retaliasi dapat ditinjau dari sudut pandang yang lain. Menurut
sebuah penelitian yang dilakukan Michelle Engel Limenta dalam disertasinya
dikatakan bahwa retaliasi memiliki berbagai tujuan. Sebenarnya, tujuan retaliasi
itu tidak hanya mendorong negara untuk patuh saja, melainkan menciptakan
kondisi ‘balancing’ atau penyeimbangan terhadap apa yang telah dilakukan oleh
negara pelanggar. Selain itu, Michelle dalam penelitiannya menemukan bahwa
retaliasi mampu mengubah sikap negara-negara yang bersengketa misalnya
dengan memutuskan untuk mencapai kesepakatan bersama dibandingkan
melakukan tindakan balasan.92
Dengan demikian, dari data-data yang dipaparkan di atas dapat dikatakan
bahwa terdapat banyak negara yang mengadukan kasusnya melawan Amerika
90 WTO, The Process – Stages in a Typical WTO Dispute Settlement Case (WTO, diakses pada 14
April 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/disp_settlement_cbt_e/c6s10p1_e.htm
91 Maslihati Nur Hidayati, “Analisis Tentang Sistem Penyelesaian Sengketa WTO: Suatu Tinjauan
Yuridis Formal” Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2 (Jakarta : Pusat Pengelola Jurnal Universitas
Esa Unggul, Agustus 2014, diunduh pada 14 April 2017) tersedia di
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=314557&val=4569&title=Analisis%20Tentan
g%20Sistem%20Penyelesaian%20Sengketa%20WTO%20:%20Suatu%20Tinjauan%20Yuridis%2
0Formal
92 Michelle Engel Limenta, Non Compliance in WTO Dispute Settlement : Assesing The
Effectiveness of WTO Retaliation From Its Purposes (Disertasi, 2012, Victoria University of
Wellington) diakses pada 14 April 2018 tersedia di
http://researcharchive.vuw.ac.nz/xmlui/bitstream/handle/10063/2071/thesis.pdf?sequence=2
61
Serikat ke DSB WTO. Kasus-kasus yang terjadi tersebut sampai ditahapan yang
berbeda-beda dalam tahapan penyelesaian sengketa WTO. Kasus yang banyak
disengketakan antara lain berkaitan dengan kebijakan Amerika Serikat dalam
sektor agrikultur, industri dirgantara, industri baja, tekstil, peternakan, dll.
Permasalahan pada sektor tersebut dipicu oleh adanya kebijakan yang dikeluarkan
Amerika Serikat terkait praktik dumping, pemberian subsidi, penetapan tariff dan
bentuk-bentuk dukungan lain terhadap sektor domestik. Setelah mengetahui
anatomi kasus pengaduan negara terhadap Amerika Serikat di DSB WTO, maka
pada bab selanjutnya akan dijelaskan mengenai alasan ketidakpatuhan Amerika
Serikat terhadap rekomendasi yang disampaikan oleh DSB WTO.
62
BAB IV
KEPENTINGAN NASIONAL AMERIKA SERIKAT SEBAGAI FAKTOR
KETIDAKPATUHAN TERHADAP PERATURAN WTO
Pada bab ini dijelaskan alasan mengapa Amerika Serikat tidak mematuhi
beberapa peraturan yang ada di WTO. Ketidakpatuhan Amerika Serikat pada
akhirnya memicu banyaknya pengaduan oleh negara-negara anggota WTO ke
DSB WTO. Untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini akan digunakan
kerangka konsep kepentingan nasional dan teori kepatuhan (compliance theory).
Pada bagian awal di bab ini akan dijelaskan mengenai konsep kepentingan
nasional dalam studi hubungan internasional untuk memahami ketidakpatuhan
Amerika Serikat di WTO. Selanjutnya, untuk memahami ketidakpatuhan dalam
hal yang lebih teknis, akan digunakan teori kepatuhan Chayes dan Chayes. Selain
itu, setiap poin nya akan dikuatkan dengan data-data pendukung lain seperti
temuan fakta dan pendapat ahli.
A. KONSEP KEPENTINGAN NASIONAL
Morgenthou sebagai pemikir awal konsep kepentingan nasional
mendefinisikan konsep kepentingan nasional sebagai “kemampuan minimum
negara untuk melindungi dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur
dari gangguan negara lain”.93 Selanjutnya, Holsti mengklasifikasikan kepentingan
nasional pada tiga kaegori yakni core values, middle range objectives, dan long
93 Hans J Morgenthou, In Defense of the National Interest: A Critical Examination of American
Foreign Policy (New York: University Press of America, 1951)
63
range objectives94. Untuk menjelaskan masalah ketidakpatuhan Amerika Serikat
terhadap peraturan WTO ini, akan digunakan konsep kepentingan nasional di
level middle range objectives yang berkaitan dengan kepentingan negara dalam
peningkatan taraf perekonomian.
Negara mendasarkan kebijakannya atas kepentingan nasional yang ingin
dicapai.95 Dengan demikian, kepentingan nasional erat kaitannya juga dengan
kepatuhan negara terhadap suatu perjanjian internasional, karena negara bisa
patuh atau tidak patuh tergantung kepada tindakan mana yang akan membawanya
pada perolehan kepentingan nasional yang ingin dicapai. Selain itu,
ketidakpatuhan Amerika Serikat merupakan pengejawantahan dari karakter
naluriah negara yakni aktor yang rasional dan profit seeking yang dalam konteks
kepentingan nasional akan selalu mendasarkan pertimbangan untung rugi dari
sebuah tindakan yang diambilnya. Dalam hal ini, bisa dipastikan bahwa
ketidakpatuhan Amerika Serikat terhadap aturan WTO dilatarbelakangi oleh
adanya kepentingan nasional yang terganggu. Berikut ini akan dipaparkan berbagi
kondisi yang bisa menjelaskan adanya kepentingan nasional Amerika Serikat yang
terganggu yang mendorong ketidakpatuhan terhadap peraturan yang ada di WTO.
Sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya,
bahwa Amerika Serikat banyak menggunakan instrument anti dumping maupun
bentuk-bentuk proteksionisme lain untuk melindungi industri domestiknya
94 KJ Holsti. Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis. (Bandung: Bina Cipta, 1987) 20.
95 T May Rudi, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin
(Bandung: Refika Aditama, 2002) 116.
64
meskipun hal tersebut bertentangan dengan aturan WTO. Ketidakpatuhan
Amerika Serikat dalam aturan WTO dapat tercermin dari grafik di bawah ini :
Gambar IV.1. Bentuk-bentuk Proteksionisme Amerika Serikat
Sumber : Global Trade Alert96
Pada dasarnya, hal tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi
Amerika Serikat yang terancam oleh kemajuan ekonomi negara lain yang
berdampak pula pada perekonomiannya. Misalnya dalam kasus relasi dagang
antara Amerika Serikat dan China. China menjadi salah satu partner dagang
strategis dan terbesar bagi Amerika Serikat. Perdagangan barang dan jasa
96 Global Trade Alert, The USA Imposes Highest Number of Protectionist Measures (GTA, 2016,
diakses pada 21 Mei 2018) dari https://www.globaltradealert.org/
65
Amerika Serikat dengan China berjumlah $648 triliun dengan angka ekspor
$169.8 triliun dan angka impor $478.8 triliun (tahun 2016).97
Angka tersebut menunjukkan tingkat ketergantungan kedua negara
terhadap satu sama lain yang sangat tinggi. China membutuhkan Amerika Serikat
sebagai pasar bagi produk-produknya karena Amerika Serikat merupakan negara
tujuan ekspor pertama bagi China. Sedangkan Amerika Serikat membutuhkan
China untuk memperoleh harga barang yang lebih murah.98
Meskipun demikian, sebenarnya keuntungan yang diperoleh oleh kedua
negara tidaklah berimbang. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya defisit
perdagangan yang cukup tinggi yang dialami oleh Amerika Serikat. Defisit
perdagangan Amerika Serikat dengan China jumlahnya $309 triliun.99 Defisit ini
terjadi karena jumlah impor Amerika Serikat jauh melampaui ekspornya terhadap
China. Salah satu alasan banyaknya impor yang dilakukan Amerika Serikat
terhadap barang-barang China adalah karena harganya yang lebih murah.
Murahnya harga barang dari China berkaitan dengan rendahnya biaya standar
hidup di China yang memungkinkan produsen di China membayar tenaga kerja
dengan harga yang murah untuk menekan biaya produksi. Oleh karena itu, produk
Amerika Serikat tidak bisa bersaing di pasar dengan produk China karena
97 United States Trade Representative, US-China Trade Facts (Washington DC: USTR, 2018)
[database online] tersedia di https://ustr.gov/countries-regions/china-mongolia-taiwan/peoples-
republic-china , diakses pada 18 Mei 2018.
98 United States Trade Representative, US-China Trade Facts.
99 United States Trade Representative, US-China Trade Facts
66
preferensi konsumen Amerika Serikat sendiri adalah produk-produk lebih murah
dari China.100
Padahal, maraknya impor produk buatan China telah menyebabkan
banyaknya warga Amerika Serikat yang bekerja di perusahaan manufaktur
kehilangan pekerjaannya. Misalnya, menurut data yang dirilis oleh Jurnal of
Labor Economics, dikisaran yahun 1999-2011 setidaknya terdapat dua juta
pekerjaan di Amerika Serikat yang tutup. Hal tersebut terjadi karena perusahaan
tidak lagi berproduksi akibat ketidakmampuan bersaing untuk memproduksi
barang dengan harga yang sama rendah atau lebih rendah dari China.101
Selanjutnya, tindakan-tindakan tersebut yang merupakan bentuk
ketidakpatuhan terhadap aturan WTO terbukti mendatangkan keuntungan bagi
Amerika Serikat sebagai bagian dari pertahanannya terhadap kepentingan nasional
dalam bidang ekonomi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thomas J Prusa,
dinyatakan bahwa anti dumping memiliki pengaruh terhadap nilai impor dari
negara yang dikenakan pajak anti dumping. Penerapan pajak anti dumping,
apalagi yang jumlahnya tinggi dapat menghambat atau mengurangi nilai impor
dari negara yang dinyatakan melakukan dumping terhadap produknya.102 Berikut
100 Kimberly Amadeo, US Trade to China And Why It’s So High (The Balance, 2018, diakses pada
19 Mei 2018) dari http s://www.thebalance.com/u-s-china-trade-deficit-causes-effects-and-
solutions-3306277
101 Michael Schuman, Is China Stealing Jobs? It May be Losing Them Instead (Nytimes, 2016,
diakses pada 19 Mei 2018) dari
https://www.nytimes.com/2016/07/23/business/international/china-jobs-donald-trump.html
102 Thomas J Prusa, The Trade Effect of Anti Dumping Actions (NBER Working Paper No 5440
Januari 1996) diakses pada 21 Mei 2018 dari http://www.nber.org/papers/w5440
67
ini merupakan grafik yang menunjukkan adanya korelasi antara penerapan pajak
anti dumping dengan nilai impor dari suatu negara
Gambar IV.2. Nilai Impor Pasca Penerapan Anti Dumping Duties
Sumber : Thomas J Prusa, The Trade Effect of Anti Dumping
Actions.103
Grafik tersebut dapat memberi gambaran mengenai nilai impor negara
pasca diberlakukan pajak anti dumping. Pada tahun pertama (t1) nilai impor
berkurang sebanyak 9% dari sebelumnya. Dengan demikian, angka-angka tersebut
103 Thomas J Prusa, The Trade Effect of Anti Dumping Actions (NBER Working Paper No 5440
Januari 1996) diakses pada 21 Mei 2018 dari http://www.nber.org/papers/w5440
68
menunjukkan pengaruh yang signifikan dari penerapan pajak anti dumping
terhadap nilai impor dari negara yang dikenakan pajak anti dumping. Meskipun
dalam keterangannya Thomas J Prusa menyatakan bahwa pengaruhnya tersebut
hanya berlaku dalam jangka waktu pendek.104
Selain China, ketidakpatuhan Amerika Serikat terhadap aturan WTO
banyak bersinggungan dengan hubungan perdagangannya dengan Korea Selatan.
Hal tersebut bisa dipahami juga sebagai gangguan akan kepentingan nasional
Amerika Serikat dibidang ekonomi karena perdagangan yang dilakukan kedua
negara ini pun ada pada tahap ketergantungan yang tidak seimbang khususnya
dalam perdagangan jasa.105
104 Thomas J Prusa, The Trade Effect of Anti Dumping Actions.
105 United States Census Bureau, Trade in Goods with Korea, South (USCB, 2018, diakses pada 19
Mei 2018) dari https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c5800.html
69
Gambar IV.3. Neraca Perdagangan Amerika Serikat dengan Korea
Sumber : United States Census Bureau106
Data-data tersebut menunjukkan defisit perdagangan Amerika Serikat dan
Korea Selatan yang terjadi sepanjang tahun di tahun 2017. Defisit yang terjadi
terhadap Amerika Serikat dengan Korea Selatan, menurut pemerintahan Trump
salah satunya disebabkan oleh perjanjian perdagangan dengan Korea Selatan
yakni KORUS. Perjanjian dalam KORUS dianggap hanya menguntungkan Korea
Selatan. Apalagi, menurut Edward Alden, anggota senior Council on Foreign
Relations (CFR) Korea Selatan lebih tertutup ekonominya dibandingkan Amerika
106 United States Census Bureau, Trade in Goods with Korea.
70
Serikat.107 Selain itu, pemerintahan Trump juga mengklaim bahwa defisit
perdagangan Amerika Serikat dengan Korea Selatan yang meningkat dua kali
lipat pasca adanya perjanjian KORUS telah menyebabkan hilangnya banyak
pekerjaan di Amerika Serikat.108
Dengan demikian, tindakan yang diambil Amerika Serikat termasuk
ketidakpatuhan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap peraturan WTO dapat
dipahami sebagai upaya mempertahankan kepentingan nasionalnya. Upaya
pertahanan tersebut dapat datang dari adanya kebutuhan Amerika Serikat akan
kesejahteraan maupun akibat ancaman dari negara lain yang bisa meniadakan atau
mengurangi perolehan kepentingan nasional yang ingin dicapai.109
B. TEORI KEPATUHAN
Masalah kepentingan nasional Amerika Serikat yang menjadi sebab
ketidakpatuhan Amerika Serikat terhadap peraturan WTO secara lebih detail dapat
dijelaskan dengan teori kepatuhan. Dalam teori ini, terdapat tiga aspek penyebab
ketidakpatuhan yakni ambiguitas hukum, kapabilitas negara, dan dimensi
temporal. Ketiga aspek ini, dalam kasus ketidakpatuhan Amerika Serikat terhadap
107 James McBride, The US Trade Deficit: How Much Does It Matter (CFR, 2017, diakses pada 19
Mei 2018) dari https://www.cfr.org/backgrounder/us-trade-deficit-how-much-does-it-matter
108 Phil Eskeland, Improvementsto The US Korea Trade Balance (Korea Economy Institute of
America, 2018, diakses pada 19 Mei 2018) dari http://keia.org/improvements-us-korea-trade-
balance
109 T May Rudi, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin.
71
WTO, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Amerika Serikat
yang ingin dicapainya. Berikut penjelasannya:
1. AMBIGUITAS HUKUM
Chayes menjelaskan bahwa dalam suatu naskah perjanjian terdapat
kemungkinan adanya ketidakjelasan atau bahasa-bahasa yang ambigu khususnya
dalam hal-hal yang bersifat spesifik sehingga memungkinkan negara untuk
menginterpretasikan isi perjanjian berdasarkan kepentingan yang mereka miliki.
Dalam kasus Amerika Serikat ini, hal tersebut terjadi dalam kaitannya dengan
pasal VI GATT mengenai anti dumping.
Pasal VI GATT terbagi kepada empat bagian besar yaitu penentuan
dumping (the determination of dumping), penentuan kerugian (the determination
of injury), procedure dan circumvention. Keempat bagian besar tersebut
terjabarkan dalam 18 pasal yang memuat tentang penentuan dumping, penentuan
kerugian, industri dalam negeri, investigasi awal dan lanjutan, pembuktian,
tindakan sementara, penyesuaian harga, pengenaan dan pengumpulan bea anti
dumping, pemberitahuan publik dan penjelasan penentuan, tinjauan peradilan,
tindakan anti dumping atas nama negara ketiga, anggota-anggota negara
72
berkembang, komite praktik anti dumping, serta konsultasi dan penyelesaian
sengketa.110
Kasus anti dumping merupakan kasus yang paling banyak dilanggar oleh
Amerika Serikat yang memicu pengaduan dari negara lain. Menurut data yang
diperbarui tahun 2018, sebanyak 20 kasus dari 43 kasus pada tahap adopsi report
dengan tindak lanjut sampai tahap retaliasi, merupakan kasus anti dumping.
Amerika Serikat bersengketa dalam kasus-kasus anti dumping dengan Uni Eropa,
Jepang, China, Indonesia, India, Argentina, Korea Selatan, Australia, Brazil, Cili,
Thailand, Kanada, dan Meksiko.111
Salah satu kasus ketidakpatuhan terhadap aturan anti dumping yang
melibatkan banyak negara adalah kasus DS217. Dalam kasus ini Amerika Serikat
diadukan oleh Uni Eropa, Jepang, India, Korea Selatan, Australia, Brazil, Cili,
Thailand, dan Indonesia.112 Negara-negara tersebut tidak dapat menerima tindakan
yang dilakukan Amerika Serikat yakni mendistribusikan hasil bea anti dumping
nya kepada industri domestik yang terkena dampak dumping. Atas pengaduan
yang dilayangkan negara-negara tersebut, Amerika Serikat memberikan respon
pertamanya kepada WTO dengan pernyataan sebagai berikut :
110 WTO, Article VI GATT (GATT, 1994) [database online) tersedia di
https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/19-adp.pdf , diakses pada 5 Juni 2018.
111 WTO, Current Status of Dispute (WTO, diakses pada 5 Juni 2018) tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_current_status_e.htm
112 WTO, United States-Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000 (WTO, 2018, diakses
pada 15 Mei 2018) dari https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds217_e.htm
73
Complaining parties are essentially arguing that WTO members cannot
enact a law which permits the distribution of revenues generated from
AD/CVD duties to any recipient other than the national treasury. No
word, phrase, or paragraph in the entire WTO Agreement, however,
supports their argument. A review of the negotiating history since
1947confirms that a specific restriction on how Members can spend or
distribute moneys received as AD/CVD duties was not raised or
addressed during negotiations. As the Appellate Body cautioned in India
– Patents, the panel’s role is limited to the words and concepts used in
the treaty.Under the WTO Agreement, Members retain the right to
control their treasury, allocate their resources, and disburse funds for a
wide range of purposes. A Member’s sovereign right to appropriate
lawfully assessed and collected duties cannot be restricted by this
Panelex aequo et bono113
. Pernyataan Amerika Serikat tersebut menjelaskan bahwa keberatan yang
dirasakan oleh negara-negara respondent tidak bisa dibenarkan karena tidak
memiliki dasar hukum yang kuat. Pertama, karena tidak ada aturan yang jelas
mengenai aturan distribusi hasil bea anti dumping. Aturan yang terdapat di WTO
hanyalah terkait hak yang dimiliki anggota WTO untuk mengatur keuangannya
untuk berbagai tujuan. Hak tersebut diperoleh dari kedaulatannya sebagai sebuah
negara. Kedua, sekalipun dalam negosiasi yang dilakukan pada tahun 1947 terkait
isu ini, tidak ada ketentuan jelas mengenai destinasi aliran dana yang
diperkenankan dari bea anti dumping tersebut.
Pada akhirnya, ketetapan untuk kasus DS217 ini, Amerika Serikat
dinyatakan inkonsisten dengan aturan WTO pasal 18.1 yakni : “No specific action
against dumping of exports from another Member can be taken except in
accordance with the provisions of GATT 1994, as interpreted by this Agreement”.
113 USTR, Executive Summary fof The First Written Submission of The United States (USTR,
2002) [database online] tersedia di
https://ustr.gov/archive/assets/Trade_Agreements/Monitoring_Enforcement/Dispute_Settlement/W
TO/Dispute_Settlement_Listings/asset_upload_file453_6484.pdf diakses pada 3 Juni 2018.
74
Artinya, Amerika Serikat dianggap telah mengambil tindakan spesifik yang tidak
sejalan dengan aturan WTO. Amerika Serikat mendasarkan tindakannya
(mendistribusikan hasil bea anti dumping nya kepada produsen domestik)
berdasarkan undang-undang nasionalnya yakni Continued Dumping and Subsidy
Offset Agreement (CDSOA) yang merupakan amandemen dari Tariff Act 1930.114
Masalah ambiguitas sebagai salah satu faktor ketidakpatuhan negara dalam
hukum internasional juga dibenarkan oleh Jacob Katz Cogan. Dalam tulisannya
yang berjudul Noncompliance and The International Rule of Law yang dirilis oleh
Yale Journal of International Law, Cogan menyatakan bahwa sebab
ketidakpatuhan negara terhadap hukum internasional karena terdapat ambiguitas
dalam hukum itu sendiri. Sehingga mengarah pada ketidakpatuhan yang
disengaja.115
Ketidakpatuhan yang disengaja ini dilatarbelakangi oleh adanya
kepentingan nasional Amerika Serikat dalam perdagangan bebas. Sehingga
Amerika Serikat menggunakan instrumen ambiguitas hukum ini sebagai alasan
terhadap pilihannya untuk tidak patuh terhadap peraturan WTO. Dengan
demikian, sekalipun ambiguitas hukum menyebabkan adanya ketidakjelasan
dalam hukum, namun pada dasarnya Amerika Serikat memiliki pilihan untuk
mengambil tindakan lain. Dan dalam hal ini Amerika Serikat mengambil tindakan
114 Paul B Stephan dan Julie A Roin, International Business and Economics : Law and Policy
(Lexis Nexis: New York, 2010) 987.
115 Jacob Katz Cogan, Noncompliance and The International Rule of Law, Yale Journal of
International Law Vol 31 artikel 4 (2006), 194.
75
yang bertentangan dengan interpretasi kebanyakan negara terhadap hukum yang
ambigu itu, yang menyebabkan Amerika Serikat dinyatakan tidak patuh terhadap
peraturan WTO.
2. KAPABILITAS NEGARA
Dalam penjelasan Chayes, yang dimaksud kapabilitas adalah kemampuan
negara untuk patuh terhadap peraturan. Dengan demikian, apabila terdapat hal-hal
yang menjadikannya tidak mampu untuk mematuhi peraturan yang ada maka
negara bisa saja tidak mematuhi peraturan yang dimaksud. Untuk mencapai pada
tingkat kepatuhan, menurut Chayes negara harus mampu memenuhi kemampuan
dasar seperti kemampuan birokratis dan finansial.116
Dalam kasus ini, ketidakmampuan Amerika Serikat dapat ditinjau dari
kemampuan dasarnya dalam sisi finansial yang ditunjukkan oleh kondisi ekonomi
Amerika Serikat dalam ekonomi global. Perdagangan Amerika Serikat telah
mengalami defisit khususnya pasca menjamurnya perdagangan bebas di dunia
internasional. Meskipun dinyatakan oleh Phil Eskeland, direktur eksekutif
operation and policy Korea Economic Institute of America bahwa defisit
perdagangan tidak selamanya menunjukkan kemunduran ekonomi karena negara
mungkin saja defisit dengan suatu negara tapi surplus dengan negara lainnya.117
116 Beth A Simmons dan Richard H Steinberg, ed., International Law and International Relations
(New York: Cambridge University Press, 2007), 81.
117 Phil Eskeland, Improvementsto The US Korea Trade Balance.
76
Namun, jika defisit perdagangan tersebut telah membawa dampak
signifikan, misalnya karena terlalu banyak impor sehingga industri domestik
terkena dampak besar (tutup dan menyebabkan hilangnya pekerjaan) maka defisit
menjadi suatu hal yang serius. Apalagi jika defisit perdagangan itu merangkum
defisit perdagangan secara global seperti yang ditunjukkan dalam grafik dibawah
ini. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat memang
mengalami defisit dalam perdagangan internasional khususnya pasca China
bergabung dengan WTO pada tahun 2001.
Gambar IV.4. Neraca Perdagangan Amerika Serikat dalam Ekonomi Global
1960-2016.
Sumber : Council of Foreign Relations118
118 James McBride, The US Trade Deficit: How Much Does It Matter (CFR, 2017, diakses pada 19
Mei 2018) dari https://www.cfr.org/backgrounder/us-trade-deficit-how-much-does-it-matter
77
Selain defisit dalam perdagangan, Amerika Serikat pun mengalami
instabilitas ekonomi karena banyak perusahaan yang memindahkan proses
produksinya ke negara lain seperti Meksiko dan China. Diakhir tahun 2016,
dilaporkan terdapat tiga perusahaan besar yang memindahkan proses produksi ke
Meksiko. Perusahaan yang selama puluhan tahun telah beroperasi di Amerika
Serikat kemudian mengambil kebijakan untuk pindah ke Meksiko maupun China
dilatarbelakangi oleh alasan penghematan biaya produksi, karena di Meksiko dan
China mereka bisa membayar buruh dengan harga lebih murah. Contoh-contoh
perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang memindahkan produksinya ke
Meksiko antara lain Brake Parts Inc yang pindah ke Nuevo Laredo, Mondelez
International Inc, dan Rexnord Corp.119
Ada implikasi langsung yang dirasakan Amerika Serikat dari pindahnya
perusahaan-perusahaan ke negara lain (Meksiko dan China). Dampak tersebut
yakni banyaknya pekerja Amerika Serikat yang kehilangan pekerjaannya. Dengan
demikian, beban negara bertambah dan secara otomatis negara harus menerapkan
kebijakan-kebijakan yang dapat menyelamatkan perekonomiannya. Misalnya,
dalam kasus perpindahan produksi perusahaan ini, Trump berencana menaikkan
tariff masuk barang-barang yang dihasilkan dari perusahaan tersebut sebagai
upaya balancing.120 Sedangkan, dalam peraturan WTO pengurangan maupun
119 Jim Puzzanghera, These Three US Com. panies Moved Jobs to Mexico. Here’s Why (Latimes,
2016, diakses pada 27 Juni 2018) dari http://www.latimes.com/business/la-fi-mexico-jobs-
20161212-story.html
120 Jim Puzzanghera, These Three US Companies Moved Jobs to Mexico. Here’s Why.
78
penghapusan tariff merupakan hal yang ingin dicapai bersama dalam perdagangan
bebas.
Kondisi ekonomi Amerika Serikat yang telah disebutkan diatas
mendorong Amerika Serikat melakukan upaya-upaya agar aktivitas perekonomian
seperti perpindahan produksi ke negara lain bisa direduksi. Salah satu upaya yang
dimaksud adalah dengan memberikan subsidi. Salah satu jenis perusahaan yang
paling banyak mendapat subsidi dari pemerintah federal Amerika Serikat adalah
perusahaan dalam bidang kendaraan.121 Meskipun perusahaan dibidang kendaraan
menjadi salah satu fokus bagi pemberian subsidi oleh Amerika Serikat, namun
faktanya masih ada perusahaan kendaraan yang tetap memindahkan produksinya
ke negara lain misalnya Ford yang akan memulai produksi di China pada tahun
2019 mendatang.122
Subsidi merupakan jenis pelanggaran yang berada diurutan kedua sebagai
pelanggaran yang banyak dilakukan oleh Amerika Serikat.123 Dengan demikian,
maka dapat dipahami bahwa ketidakmampuan Amerika Serikat dalam hal
finansial yang ditunjukkan melalui kondisi ekonomi negaranya menjadi salah satu
penyebab dari ketidakpatuhan Amerika Serikat terhadap peraturan di WTO.
121 Kimberly Amadeo, Government Subsidies (Farm, Oil, Export, Etc) (The Balance, 2018, diakses
pada 27 Juni 2018) dari https://www.thebalance.com/government-subsidies-definition-farm-oil-
export-etc-3305788
122 Bill Vlasic, Ford Chooses China, Not Mexico, To Build Its New Focus (NYtimes, 2017, diakses
pada 27 Juni 2018) dari https://www.nytimes.com/2017/06/20/business/ford-focus-china-
production.html
123 WTO, Dispute by Current Status.
79
Ketidakmampuan Amerika Serikat untuk mematuhi peraturan WTO atas
dasar kapabilitas finansialnya lagi-lagi dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional
negaranya. Pemenuhan akan kepentingan nasional menjadikan Amerika Serikat
melakukan berbagai upaya atau tindakan pemulihan ekonomi yang
menyebabkannya tidak memiliki kemampuan untuk patuh terhadap peraturan
WTO.
3. DIMENSI TEMPORAL
Pada poin ini, Chayes menjelaskan bahwa ketidakpatuhan negara terhadap
suatu peraturan dapat dilatarbelakangi oleh adanya tuntutan bagi negara untuk
mengimplementasikan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam periode waktu
yang lama. Sedangkan, situasi sosial ekonomi negara senantiasa berubah dari
waktu ke waktu. Misalnya dalam WTO, berbagai peraturan dibuat sejak awal
berdirinya (fase GATT) hingga sekarang, dan negara harus senantiasa tunduk
padanya. Padahal, keadaan ekonomi negara pada saat GATT terbentuk hingga
hari ini dapat berubah.
Salah satu contoh perubahan kondisi negara seiring berjalannya waktu
adalah dalam kasus Amerika Serikat. Angka GDP (Gross Domestic Product)
Amerika Serikat terhadap GDP global pada tahun 1960 an sebesar $543 triliun
dan GDP global sebesar $1367 triliun (40% dari GDP global). Sedangkan GDP
80
Amerika Serikat hari ini hanya dikisaran 22% dari GDP global.124 Angka tersebut
menunjukkan perubahan yang signifikan yang akan memiliki implikasi terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil negara.
GDP merupakan indikator ekonomi yang digunakan untuk melihat standar
kehidupan disuatu negara. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, GDP
menjadi salah satu instrument yang digunakan sebagai pertimbangan untuk
mengambil kebijakan disuatu negara. Hal ini berlaku bagi Amerika Serikat,
karena pengambilan kebijakan ekonominya salah satunya didasarkan pada angka
GDP nya.125
Contoh kasus adanya pengaruh GDP terhadap pengambilan kebijakan
ekonomi di Amerika Serikat secara spesifik terjadi pada tahun 2009 yang
dianggap sebagai waktu puncak resesi. Periode ini merupakan resesi terparah
pasca perang dunia II yang mengakibatkan menurunnya angka GDP Amerika
Serikat hingga 5%.126 Kondisi ini berbarengan pula dengan melemahnya
pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Berikut ini merupakan grafik yang
menunjukkan kondisi ekonomi yang dijelaskan diatas:
124 Mike Patton, US Role in Global Economoy Declines Nearly 50% (Forbes, 2016, diakses pada
21 Mei 2018) dari https://www.forbes.com/sites/mikepatton/2016/02/29/u-s-role-in-global-
economy-declines-nearly-50/#403d12c5e9e7
125 Roya Wolverson, GDP and Economic Policy (Council on Foreign Relations, 2013, diakses
pada 28 Juni 2018) dari https://www.cfr.org/article/gdp-and-economic-policy
126 Nouriel Roubini, A Global Breakdownof The Recession in 2009 (Forbes, 2009, diakses pada 28
Juni 2018) dari https://www.forbes.com/2009/01/14/global-recession-2009-oped-
cx_nr_0115roubini.html#3465226a185f
81
Gambar IV. 5. Real GDP Amerika Serikat
Sumber : Economic Helps127
Gambar IV. 6. Pertumbuhan Ekonomi Amerika Serikat
Sumber : Economics Help128
127 Tejvan Pettinger, US Economy Under Obama 2009-2017 (Economics Help, 2017, diakses pada
28 Juni 2018) dari https://www.economicshelp.org/blog/25420/economics/us-economy-under-
obama-2009-2017/
82
Pada periode ini, dibawa kepemimpinan Presiden Obama, Amerika Serikat
mengeluarkan kebijakan yang diharapkan mampu mengembalikan kejatuhan
ekonomi Amerika Serikat pada level yang lebih baik. Kebijakan yang dimaksud
adalah American Recovery and Reinvestment Act of 2009 yang didalamnya
memuat aturan tentang stimulus ekonomi diantaranya pemotongan pajak, bantuan
terhadap pengangguran, dan belanja infrastruktur.129
Masa ini merupakan salah satu periode dimana Amerika Serikat banyak
tidak mematuhi peraturan di WTO khususnya dalam hubungan dagang dengan
China. Pada tahun 2009, pemerintahan Presiden Obama menerapkan pajak anti
dumping terhadap industri ban China sebesar 35%, 30%, dan 25% (dalam jangka
waktu tiga tahun berturut turut). Tindakan Amerika Serikat ini kemudian diikuti
oleh negara-negara lain diantaranya Brazil, Argentina, dan India. Besarnya nilai
pajak yang diterapkan ditambah banyaknya negara yang turut memberlakukan
penerapan pajak anti dumping tersebut menjadikan perusahaan ban China harus
menghadapi periode tersulit sepanjang sejarahnya bergelut dalam perdagangan
internasional.130
Dampak terbesar salah satunya dirasakan oleh Triangle Group. Dengan
diberlakukannya pajak anti dumping di Amerika Serikat, ia kehilangan 35%
keuntungan yang biasa dapat diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya. Penerapan
128 Tejvan Pettinger, US Economy Under Obama 2009-2017.
129 Tejvan Pettinger, US Economy Under Obama 2009-2017.
130 Qian Kewei, “The Impact of USA Anti Dumping Measures Againts China With a Case Study”
(Tesis Universitas Bodo Graduate School of Business, 2010), 1.
83
pajak Amerika Serikat punya dampak yang signifikan karena 40% dari total impor
produk impor ban China, 30% nya dipasarkan di Amerika Serikat. Atau dengan
kata lain, Amerika Serikat merupakan pasar terbesar bagi industry ban di China.131
Triangle Group merupakan salah satu State Owned Enterprises (SOE) atau
badan usaha milik negara China. Dikatakan dalam The Role of State Owned
Enterprises in The Chinese Economy yang ditulis oleh Fan Gang dan Nicholas C
Hope, bahwa salah satu peran SOE China adalah membuka lapangan pekerjaan
bagi warga China.132 Selain itu, keuntungan yang diberikan oleh SOE khususnya
pasca reformasi SOE dengan meningkat sebanyak 26.5% tahun 2017. Oleh karena
itu, posisi SOE menjadi penting dan sesuatu yang terjadi kepadanya akan turut
mengundang respon China.133
Salah satu contoh respon China terhadap tindakan yang mempengaruhi
salah satu SOE nya (Triangle Group) adalah tindakan balasan untuk Amerika
Serikat pasca diberlakukannya pajak anti dumping yang tinggi. Setelah Obama
memberlakukan pajak 35% terhadap industri ban China, China memberlakukan
penerapan tariff terhadap produk otomotif dan daging ayam dari Amerika Serikat.
Jumlah ekspor ban China adalah $1.3 triliun, sedangkan jumlah ekspor produk
otomotif Amerika Serikat $800 milyar dan jumlah ekspor daging ayam $376
131 Qian Kewei, “The Impact of USA Anti Dumping Measures Againts China With a Case Study”
132 Fan Gang dan Nicholas C Hope, The Role of State Owned Enterprises in The Chinese
Economy (The Fung Business Intelligence Center, diakses pada 20 mei 2018) dari
https://www.chinausfocus.com/2022/wp-content/uploads/Part+02-Chapter+16.pdf
133 Keith Bradsher, China Moves to Retaliate Againts US Tire Tariff (Nytimes, 2009, diakses pada
22 Mei 2018) dari https://www.nytimes.com/2009/09/14/business/global/14trade.html
84
milyar. Sehingga keduanya berada pada situasi yang sengit dalam konteks saling
berbalas kebijakan terhadap barang yang diekspor dari negara masing-masing.134
Keadaan tersebut merupakan gambaran mengenai pengaruh kondisi
ekonomi suatu negara yang ditunjukkan melalui GDP terhadap kepatuhan negara
dalam WTO. Perubahan ekonomi dan sosial disuatu negara seiring berjalannya
waktu, punya pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan negara yang seringkali
tidak sejalan dengan peraturan yang ada di WTO.
Selain itu, secara lebih spesifik dimensi temporal dalam konteks aturan
WTO berkaitan dengan tenggang waktu yang ditetapkan WTO dalam
menyelesaikan sengketa. DSB WTO menetapkan batas waktu tertentu bagi negara
untuk dapat mengimplementasikan putusan yang ditetapkan kepadanya. Pada
kasus-kasus yang sampai ditahap penerapan retaliasi Amerika Serikat terbukti
tidak mampu mematuhi ketetapan WTO dalam periode waktu yang ditentukan.
Empat dari lima kasus yang sampai pada tahap retaliasi, rekomendasi DSB
WTO nya gagal diimplementasikan Amerika Serikat pada waktu yang ditetapkan
diawal. Untuk kasus US-Gambling dan US-Offset Act (Byrd Amendment) waktu
yang ditetapkan bersama untuk implementasi rekomendasi adalah 11 bulan.
Sedangkan untuk kasus US-Tuna II periode waktunya adalah 13 bulan. Hingga
sampai pada batas waktu yang ditentukan, Amerika Serikat tidak mampu
134 Keith Bradsher, China Moves to Retaliate Againts US Tire Tariff.
85
mengimplementasikan rekomendasi atau dalam bahasa lain, dia tidak mematuhi
ketentuan yang telah ditetapkan.135
Gagalnya Amerika Serikat dalam memenuhi rekomendasi WTO dalam
batas waktu yang ditentukan berkaitan pula dengan poin kedua mengenai masalah
kapabilitas. Ketidakmampuan Amerika Serikat untuk mematuhi peraturan yang
ada di WTO erat kaitannya dengan proses pengambilan kebijakan yang ada dalam
negerinya. Menurut Adam S Chilton dan Rachel Brewster dalam “Supplying
Compliance: Why and When The US Complies with WTO Rulings”, dinyatakan
bahwa tingkat kepatuhan negara terhadap perjanjian internasional dipengaruhi
oleh aktor-aktor yang bermain dalam negerinya. Aktor-aktor tersebut diantaranya
eksekutif (presiden) dan kongres. Menurut Chilton dan Brewster, dalam kasus-
kasus yang melibatkan kongres dalam proses implementasi
kebijakan/rekomendasi WTO, maka akan memerlukan waktu yang lebih lama.
Hal tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya tarik menarik kepentingan dalam
kongres. Selain itu, untuk kebijakan yang ditetapkan oleh presiden (misalnya
masalah safeguard), akan lebih mudah untuk dipatuhi atau diimplementasikan
karena berkaitan dengan isu reputasi presiden dalam hubungan internasional.136
Contoh kasus-kasus yang sampai pada tahap retaliasi diatas menunjukkan
kesesuaian dengan argumentasi Chilton dan Brewster. Keempat kasus tersebut
(dengan US-Offset Act terjadi dua kali) merupakan kasus-kasus yang melibatkan
135 WTO, Current Status of Disputes.
136 Chilton dan Rachel Brewster, Supplying Compliance: Why and When The US Complies with
WTO Rulings (39 Yale Journal of International Law 201 (2014), 217-218.
86
kongres dalam proses implementasi rekomendasinya, sehingga perlu waktu lebih
lama untuk dapat mematuhi kebijakan yang telah ditetapkan oleh DSB WTO
kepada Amerika Serikat tersebut.
Kesimpulannya, Amerika Serikat menjadi negara yang paling banyak
diadukan oleh mitra dagangnya ke DSB WTO dilatarbelakangi oleh
ketidakpatuhannya atau inkonsistensi kebijakannya dengan peraturan yang ada di
WTO. Ketidakpatuhan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan nasional
Amerika Serikat khususnya dalam bidang ekonomi. Selanjutnya, dalam hal-hal
yang lebih spesifik, ketidakpatuhan Amerika Serikat akibat kepentingan
nasionalnya dijabarkan dengan teori kepatuhan yang terdiri dari adanya
ambiguitas hukum, kapabilitas negara, dan dimensi temporal. Ketiga aspek dalam
teori kepatuhan tersebut merupakan alat yang digunakan Amerika Serikat untuk
melegitimasi ketidakpatuhannya terhadap peraturan WTO.
87
BAB V
KESIMPULAN
Amerika Serikat merupakan negara yang berada diurutan pertama sebagai
negara yang paling banyak diadukan oleh negara-negara anggota WTO lain ke
DSB WTO. Padahal, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menjadi
pelopor atau penggagas berdirinya GATT yang kemudian menjadi WTO. Selain
itu, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang mengusung berjalannya
pasar bebas di dunia internasional. Namun dalam perjalanannya, semenjak WTO
berdiri tahun 1995, Amerika Serikat menunjukkan sikap yang cenderung
berlainan dengan peraturan yang telah ditetapkan dalam WTO. Hal tersebut
memicu negara lain untuk mengadukan tindakan Amerika Serikat kepada DSB
WTO.
Dari total 546 kasus yang terjadi di WTO sepanjang tahun 1995-2018,
Amerika Serikat bersengketa dengan negara lain sebanyak 150 kasus. Dari 150
kasus tersebut, Amerika Serikat dinyatakan bersalah untuk 57 kasus. Angka ini
menunjukkan signifikansi bahwa Amerika Serikat adalah negara pelanggar,
karena meskipun angka kepatuhannya pun cukup tinggi, namun jika dibandingkan
dengan negara lain maka Amerika Serikat tetap dianggap sebagai negara yang
paling tidak patuh. Selain itu, pada dasarnya dalam hukum internasional berlaku
bahwa manakala sebuah negara sudah menetapkan untuk menyetujui dan
menandatangani sebuah peraturan dalam organisasi internasional, maka mau tidak
patuh ia harus tunduk dan patuh padanya. Dengan demikian, meskipun suatu
88
negara hanya melanggar satu peraturan saja, maka ia sudah bisa dikatakan sebagai
negara pelanggar.
Selanjutnya, alasan banyaknya pengaduan dari negara lain kepada
Amerika Serikat dilatarbelakangi oleh tingginya tingkat ketidakpatuhan Amerika
Serikat terhadap peraturan di WTO. Hal tersebut dijelaskan oleh konsep
kepentingan nasional dan teori kepatuhan. Menurut konsep kepentingan nasional,
Amerika Serikat tidak patuh terhadap peraturan WTO karena Amerika Serikat
memiliki kepentingan nasional dibidang ekonomi yang mengharuskannya
mengambil tindakan-tindakan tertentu meskipun berlawanan dengan WTO
misalnya penerapan pajak anti dumping yang tinggi, dan pemberian subsidi diluar
jumlah yang diizinkan WTO.
Kepentingan nasional dibidang ekonomi ini muncul dari adanya dorongan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Amerika Serikat serta adanya
ancaman dari kemajuan ekonomi negara lain seperti China yang membuat posisi
Amerika Serikat dalam perdagangan internasional menjadi terancam. Dengan
demikian, untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya Amerika Serikat harus
mengambil tindakan dengan memanfaatkan situasi yang ada. Untuk lebih
detailnya mengenai bagaimana Amerika Serikat beroperasi dalam meraih
kepentingan nasional dibidang ekonomi sehingga ia tidak patuh terhadap
peraturan WTO, maka ini dijelaskan degan teori kepatuhan.
Menurut teori kepatuhan, ketidakpatuhan negara didirorong oleh tiga
faktor; ambiguitas hukum, kapabilitas negara dan dimensi temporal. Ambiguitas
89
hukum digunakan oleh Amerika Serikat sebagai legitimasi atas ketidakpatuhannya
terhadap peraturan WTO. Ketidakjelasan dan perbedaan intrepretasi terhadap
pasal IV WTO tentang anti dumping dimanfaatkan Amerika Serikat untuk
memenuhi kepentingan nasionalnya. Dalam pasal ini tidak dijelaskan mengenai
kemana saja dana hasil pajak anti dumping dapat dialirkan. Sehingga Amerika
Serikat menggunakannya untuk menstimulus produsen domestik dalam
berproduksi. Hal ini tidak dapat diterima oleh banyak negara karena mekanisme
seperti itu tidak ada dalam pasal IV WTO dan menimbulkan persaingan tidak
sehat karena terdapat intervensi yang terlalu berlebihan dari pemerintah.
Selanjutnya, faktor kapabilitas negara berkaitan dengan kemampuan
negara dalam hal finansial dan birokrasi. Amerika Serikat mengalami krisis
ekonomi yang cukup parah selama dekade terakhir yang menyebabkan jatuhnya
perekonomian dan lemahnya pertumbuhan ekonomi di negaranya. Dengan
demikian, untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya, Amerika Serikat
melakukan berbagai hal sebagai upaya untuk pemulihan ekonomi negaranya yang
terpuruk akibat krisis.
Adapun faktor dimensi temporal berkaitan dengan eksistensi GATT/WTO
yang sudah lama berdiri namun mayoritas peraturannya masih diberlakukan
meskipun kondisi ekonomi banyak negara era ini sudah banyak berubah drastis.
Dalam konteks yang lebih spesifik di WTO, dimensi temporal yang dimaksud
berkaitan dengan tenggang waktu yang disediakan WTO untuk negara untuk
menjalankan rekomendasi yang diajukan WTO atau untuk patuh padanya. Namun
4 dari 5 kasus yang sampai pada tahap retaliasi menunjukkan bahwa Amerika
90
Serikat tidak mampu memenuhi rekomendasi yang ditetapkan. Hal ini salah
satunya dilatarbelakangi oleh kompleksitas tarik menarik kepentingan dalam
kongres. Sehingga untuk kasus-kasus yang memerlukan persetujuan kongres
dalam implementasinya, Amerika Serikat cenderung kesulitan bahkan tidak
mematuhi peraturan yang telah di tetapkan. Dengan demikian, karena
ketidakpatuhan Amerika Serikat yang dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional
yang harus diperjuangkan, maka Amerika Serikat menjadi negara yang paling
banyak diadukan oleh negara-negara anggota WTO lain.
91
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. Hal 102, 2005.
Anindita, Ratya & Michael R.Reed. Bisnis dan Perdagangan Internasional.
Yogyakarta: CV. Andi Offset. Hal 67.
Bogdan, Robert C dan Sari Knopp Biklen. Qualitative Research for Education:
An Introduction to Theory and Methods. Boston : Allyn and Bacon Inc.
Hal 53, 1982.
Couloumbis, Theodore A dan James H Wolfe, International Relation: Power and
Justice. New Jersey: Prentice-Hall. Hal 115, 1978.
Crowley, Meredith A. An Introduction to GATT and WTO. Chicago: Federal
Reserve Bank of Chicago. 2003.
Dillon Jr, Thomas J. The World Trade Organization: A New Legal Order for
World Trade. University of Michigan Law School. Hal 12: 1995.
Gautama, Sudargo. Segi-segi Hukum Perdagangan Internasional. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti. Hal 108, 1994.
Griffiths, Martin dan Terry O’callaghan. International Relations: The Key
Concepts. Oxon: Routledge. Hal 62, 2002.
Holsti, KJ. Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis. Bandung: Bina Cipta.
Hal 20, 1987.
Jackson, John H. Restructuring The GATT System . London, The Royal Institute
of International Affairs. Hal 126, 1990.
92
Jemadu, Aleksius. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha
Ilmu. Hal 68, 2008.
Kartadjoemena, H. S. GATT dan WTO. Jakarta: Universitas Indonesia Press (UI
Press). Hal 64, 1996.
Mas’oed, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: PT. Pustaka LP3ES. Hal 34, 1994.
Michalak, Wieslaw dan Gibb, Richard. Trading Blocs and Multilateralism in The
World Economy. Malden: Blackwell Publishers. Hal 267, 1997.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif . Jakarta : Rosda Karya. Hal 44,
2005.
Morgenthou, Hans J . In Defense of the National Interest: A Critical Examination
of American Foreign Policy New York: University Press of America. Hal
88, 1951.
Oatley, Thomas. International Political Economy: Interests and Institutions in
the Global Economy . New York: Pearson. Hal 18-19, 2008.
Peet, Richard. “Bretton Woods : Emergence of a Global Economic Regime”
dalam Unholy Trinity : The IMF, World Bank, and WTO. London: Zedbooks. Hal
2.
Rudi, T May .Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca
Perang Dingin. Bandung: Refika Aditama. Hal 116, 2002.
93
Simmons, Beth A dan Richard H Steinberg, ed., International Law and
International Relations. New York: Cambridge University Press. Hal 81,
2007.
Stephan, Paul B dan Julie A Roin. International Business and Economics : Law
and Policy. Lexis Nexis: New York. Hal 987, 2010.
Winham, Gilbert R. “The Evolution of The Global Trade Regime” dalam John
Ravenhill Global Political Economy. Oxford : Oxford University Press.
Hal 138, 2008.
Jurnal dan Artikel Jurnal
Chayes, Abram dan Antonia Handler Chayes. “On Compliance” International
Organization, Vol. 47, No. 2 (1993), 175-205.
Chilton dan Rachel Brewster. “Supplying Compliance: Why and When The US
Complies with WTO Rulings”. Yale Journal of International Law 201
(2014), 217-218.
Cogan, Jacob Katz . “Noncompliance and The International Rule of Law”. Yale
Journal of International Law Vol 31 artikel 4 (2006), 194.
Hidayati, Maslihati Nur. “Analisis Tentang Sistem Penyelesaian Sengketa WTO:
Suatu Tinjauan Yuridis Formal” . Lex Jurnalica Volume 11 Nomor 2.
Tersedia di
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=314557&val=4569&t
itle=Analisis%20Tentang%20Sistem%20Penyelesaian%20Sengketa%20
WTO%20:%20Suatu%20Tinjauan%20Yuridis%20Formal; Internet;
diunduh pada 14 April 2017.
Osakwe, Chiedu. ”Developing Countries and GATT/WTO Rules : Dynamic
Transformations in Trade Policy Behavior and Performance”. Minnesota
Journal of International Law Vol 20:2 (2011).
94
Simmons, Beth A. “Compliance with International Agreement” Political Science
Vol 1:75 (1998); 93.
Stephan, Paul B. "Sheriff or Prisoner? The United States and the World Trade
Organization" Chicago Journal of International Law: Vol. 1: No. 1,
Article 7 (2000): 50-51.
Suherman, Ade Maman. “Dispute Settlement Body WTO dalam Penyelesaian
Sengketa Perdagangan Internasional” Jurnal/ Hukum dan Pembangunan
Tahun ke-42 No.1 Januari- Maret (2012:, 5.
Laporan dan Dokumen
Global Trade Alert, The USA Imposes Highest Number of Protectionist Measures.
Database on-line. Tersedia di https://www.globaltradealert.org/; Internet;
diakses pada 21 Mei 2018.
Matsushita, Mitsuo. The WTO Dispute Settlement System dalam “The Oxford
Handbook on The World Trade Organization”. Buku on-line. Tersedia di
https://books.google.co.id/books?id=yrwqIcrTn2gC&pg=PA510&lpg=PA
510&dq=is+DSB+WTO+more+effective+than+ICJ?&source=bl&ots=m8
3_1mCJt0&sig=LUa4bTttRaNz40YwqWAYjR2i9iw&hl=id&sa=X&ved=
0ahUKEwiex-
iE29XZAhWKtI8KHc5jBz4Q6AEIWjAH#v=onepage&q=is%20DSB%20
WTO%20more%20effective%20than%20ICJ%3F&f=false; Internet;
diunduh pada 6 Maret 2018.
Prusa, Thomas J. The Trade Effect of Anti Dumping Actions. NBER Working
Paper No 5440 Januari 1996. Tersedia di
http://www.nber.org/papers/w5440; Internet; diakses pada 21 Mei 2018.
95
Pusat Studi Perdagangan Dunia Universitas Gadjah Mada., Retaliasi Silang bagi
Negara Berkembang dalam Dispute Settlement Mechanism WTO.
Database on-line. Tersedia di http://cwts.ugm.ac.id/retaliasi-silang-bagi-
negara-berkembang-dalam-dispute-settlement-mechanism-wto/; Internet;
diunduh 2013, diunduh pada 19 Desember 2017)
Reich, Arie. The Effectiveness of The WTO Dispute Settlement System : A
Statistical Analysis. European University Institute Working Papers.
Tersedia di
http://cadmus.eui.eu/bitstream/handle/1814/47045/LAW_2017_11.pdf?seq
uence=1; Internet; diunduh pada 6 Maret 2018.
United States Trade Representative. US-China Trade Facts. Database on-line.
Tersedia di https://ustr.gov/countries-regions/china-mongolia-
taiwan/peoples-republic-china; Internet; diakses pada 18 Mei 2018.
WTO. Annual Report of Dispute Settlement Body 2017. Database on-line.
Tersedia di
https://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/anrep_e/anrep17_e.pdf;
Internet; diunduh pada 31 Oktober 2017.
------. Annual Report of Dispute Settlement Body 2015. Database on-line. Tersedia
di
https://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/anrep_e/anrep16_chap6_e.pd
f; Internet; diunduh pada 31 Oktober 2017.
------. Article VI GATT. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/19-adp.pdf ; Internet; diakses
pada 5 Juni 2018.
------. Current Status of Dispute. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_current_status_e.htm;
Internet; diakses pada 14 April 2018.
96
------. Dispute by Respondent. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_by_country_e.htm;
Internet; diakses pada 13 April 2018.
------. Dispute by Short Title. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_by_short_title_e.htm
; Internet; diakses pada 13 April 2018.
------. Glossary : Uruguay Round. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/glossary_e/uruguay_round_e.htm;
Internet; diunduh pada 20 Maret 2018.
------. Introduction to WTO Basic Principle and Rules. Databaseon-line. Tersedia
di
https://ecampus.wto.org/admin/files/Course_385/Module_1562/ModuleDo
cuments/BP-L1-R1-E.pdf ; Internet; diunduh pada 23 Februari 2018.
------. Members and Observers. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm;
Internet; diunduh pada 23 Februari 2018.
------. Membership, Alliances, Bureaucracy. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org3_e.htm’
Internet; diunduh pada 19 Februari 2018.
------. Press Brief Fiftieth Anniversary of The mUltilateral Trading System.
Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/min96_e/chrono.htm;
Internet; diunduh pada 22 Februari 2018.
------. Principle of Trading System. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact2_e.htm;
Internet; diunduh pada 23 Februari 2018.
97
------. Suspension of Concessions or Other Obligation. Database on-line. Tersedia
di https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/repertory_e/s9_e.htm;
Internet; diakses pada 14 April 2018.
------. The GATT Years: From Havana to Marakesh. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact4_e.htm;
Internet; diunduh pada 6 Maret 2018.
------. The Process – Stages in a Typical WTO Dispute Settlement Case. Dokumen
on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/disp_settlement_cbt_e/c6s1
0p1_e.htm; Internet; diakses pada 14 April 2018.
------. United States of America and The WTO. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/countries_e/usa_e.htm ; Internet;
diakses pada 13 April 2018
------. United States-Continued Dumping and Subsidy Offset Act of 2000. Database
on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds217_e.htm;
Internet; diakses pada 15 Mei 2018.
------. US-Anti Dumping and Countervailing Measures on Large Residential
Washers from Korea. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds464_e.htm ;
Internet; diakses pada 22 April 2018.
98
------. US-Section 110 (5) Copyright Act. Dokumen on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds160_e.htm ;
Internet; diakses pada 22 April 2018.
------. US- Sunset Reviews of Anti Dumping Measures On Oil Country Tubular
Goods (OCTG). Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds268_e.htm ;
Internet; diakses pada 22 April 2018.
------. Who We Are. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/who_we_are_e.htm;
Internet; Diunduh pada 12 Februari 2018.
------, World Trade Statistical Review. Tersedia di
https://www.wto.org/english/res_e/statis_e/wts2017_e/wts2017_e.pdf;
Internet; diunduh pada 16 Desember 2017.
------. WTO Accesion. Database on-line. Tersedia di
https://www.wto.org/english/thewto_e/acc_e/acc_e.htm; Internet; diunduh
pada 20 Maret 2018.
Situs Pemerintah
Ahearn, Raymond J. Trade Conflict and The US-European Union Economic
Relationship. Congressional Research Service Report for Congress.
Tersedia di http://www.nationalaglawcenter.org/wp-
content/uploads/assets/crs/RL30732.pdf ; Internet; diakses pada 13 April
2018.
Department of Commerce United States of America. US Trade Overview 2016.
Database on-line. Tersedia di
99
https://www.trade.gov/mas/ian/build/groups/public/@tg_ian/documents/w
ebcontent/tg_ian_005537.pdf ;Internet; diunduh pada 21 April 2018.
Korea Economy Institute of America. Improvementsto The US Korea Trade
Balance. Database on-line. Tersedia di http://keia.org/improvements-us-
korea-trade-balance; Internet; diakses pada 19 Mei 2018.
Eurostat, USA-EU International Trade in Goods Statistics. Database on-line.
Tersedia di http://ec.europa.eu/eurostat/statistics-
explained/index.php/USA-EU_-
_international_trade_in_goods_statistics#EU_and_United_States_in_worl
d_trade_in_goods; Internet; diakses pada 21 April 2018.
Japan Ministry Economy, Trade, and Industry (METI). Chapter I : Most Favor
Nation Principle. Database on-line. Tersedia di
http://www.meti.go.jp/english/report/data/g400011e.html ; Internet;
diunduh pada 23 Februari 2018.
United States Census Bureau, Trade in Goods with Korea, South. Tersedai di
https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c5800.html; Internet;
diakses pada 19 Mei 2018.
United States Trade of Representative. Executive Summary fof The First Written
Submission of The United States. Database online. Tersedia di
https://ustr.gov/archive/assets/Trade_Agreements/Monitoring_Enforcemen
t/Dispute_Settlement/WTO/Dispute_Settlement_Listings/asset_upload_fil
e453_6484.pdf; Internet; diakses pada 3 Juni 2018.
Tesis dan Disertasi
Fajarianti, Fanny. Sengketa Perdagangan Amerika Serikat dan China di WTO
Tahun 2009-2010 (Studi Terhadap Kenaikan Tarif Impor Ban Asal China,.
Tesis Universitas Indonesia, 2011.
100
Kewei, Qian. The Impact of USA Anti Dumping Measures Againts China With a
Case Study. Tesis Universitas Bodo Graduate School of Business. Hal 1,
2010.
Limenta, Michelle Engel. Non Compliance in WTO Dispute Settlement : Assesing The
Effectiveness of WTO Retaliation From Its Purposes. Disertasi Victoria
University of Wellington. Tersedia di
http://researcharchive.vuw.ac.nz/xmlui/bitstream/handle/10063/2071/thesis.pdf?s
equence=2; Internet; diunduh pada 14 April 2018.
Artikel Media
Amadeo, Kimberly. “US Trade to China And Why It’s So High”. The Balance, 14
Juni 2018. Tersedia di http s://www.thebalance.com/u-s-china-trade-
deficit-causes-effects-and-solutions-3306277; Internet; diakses pada 19
Mei 2018.
------. “Government Subsidies (Farm, Oil, Export, Etc)”. The Balance, 5
Maret2018. Tersedia di https://www.thebalance.com/government-
subsidies-definition-farm-oil-export-etc-3305788; Internet; diakses pada
27 Juni 2018.
Bradsher, Keith. “China Moves to Retaliate Againts US Tire Tariff” . Nytimes, 14
Juni 2009. Tersedia di
https://www.nytimes.com/2009/09/14/business/global/14trade.html;
Internet; diakses pada 22 Mei 2018.
Brinkley, John. “Trumph Is Quietly Trying to Vandalize WTO”. Forbes, 27
November 2017. Tersedia di
https://www.forbes.com/sites/johnbrinkley/2017/11/27/trump-quietly-
trying-to-vandalize-the-wto/#1fc479b4263f ; Internet; diakses pada 13
April 2018.
101
Patton, Mike. “US Role in Global Economoy Declines Nearly 50%”. Forbes, 29
Februari 2016. Tersedia di
https://www.forbes.com/sites/mikepatton/2016/02/29/u-s-role-in-global-
economy-declines-nearly-50/#403d12c5e9e7 ; Internet; diakses pada 21
Mei 2018.
Puzzanghera, Jim. “These Three US Companies Moved Jobs to Mexico. Here’s
Why”. Latimes, 2 Desember 2016. Tersedia di
http://www.latimes.com/business/la-fi-mexico-jobs-20161212-story.html;
Internet; diakses pada 27 Juni 2018.
Roubini, Nouriel. “A Global Breakdownof The Recession in 2009 “ Forbes, 15
Januari 2009. Tersedia di https://www.forbes.com/2009/01/14/global-
recession-2009-oped-cx_nr_0115roubini.html#3465226a185f; Internet;
diakses pada 28 Juni 2018.
Schuman, Michael. “Is China Stealing Jobs? It May be Losing Them Instead”.
Nytimes, 22 Juli 2016. Tersedia di
https://www.nytimes.com/2016/07/23/business/international/china-jobs-
donald-trump.html; Internet; diakses pada 19 Mei 2018.
Vlasic, Bill. “Ford Chooses China, Not Mexico, To Build Its New Focus”.
Nytimes, 20 Juni 2017. Tersedia di
https://www.nytimes.com/2017/06/20/business/ford-focus-china-
production.html; Internet; diakses pada 27 Juni 2018.
Internet
Economic Help. US Economy Under Obama 2009-2017. Tersedia di
https://www.economicshelp.org/blog/25420/economics/us-economy-
under-obama-2009-2017/; diakses pada 28 Juni 2018.
102
Council for Foreign Relations. GDP and Economic Policy. Tersedia di
https://www.cfr.org/article/gdp-and-economic-policy; diakses pada 28 Juni
2018.
------. The US Trade Deficit: How Much Does It Matter. Tersedia di
https://www.cfr.org/backgrounder/us-trade-deficit-how-much-does-it-
matter; diakses
The Fung Business Intelligence Center. The Role of State Owned Enterprises in
The Chinese Economy Tersedia di
https://www.chinausfocus.com/2022/wp-content/uploads/Part+02-
Chapter+16.pdf ; diakses pada 19 Mei 2018.
The Economist. Dumping, Export Credit. Tersedia di
https://www.economist.com/economics-a-to-z/; diakses pada 21 April
2018.