analisis impor beras serta pengaruhnya terhadap harga ... · ilmu-ilmu sosial ekonomi pertanian,...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI
Oleh :
Arif Abdul Azziz
A14102047
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006

RINGKASAN ARIF ABDUL AZZIZ. Analisis Impor Beras serta Pengaruhnya terhadap Harga Beras dalam Negeri. Di bawah Bimbingan HARMINI. Komoditi pangan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia adalah beras, terutama karena: (1) beras merupakan bahan pangan dan sumber kalori yang utama bagi sebagian besar bangsa Indonesia, yakni lebih dari 90 persen dari total penduduk di Indonesia; (2) usahatani padi menyediakan lapangan kerja bagi 21 juta keluarga petani dan: (3) sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin dipergunakan untuk membeli beras (Bustaman, 2003). Selain itu, pangsa beras dalam konsumsi kalori total adalah 54,3 persen dan berkontribusi sebesar 40 persen dalam asupan protein (Harianto, 2000).
Meskipun pemenuhan kebutuhan beras nasional diupayakan lewat produksi padi domestik, tetapi jika terjadi kekurangan pasokan beras maka impor harus dilakukan. Namun, impor beras diupayakan tidak terlalu besar mengingat ada hal-hal yang patut diperhatikan. Pertama, pasar beras internasional merupakan pasar yang tipis sehingga cenderung berfluktuasi dalam hal harga dan kuantitas yang diperdagangkan. Impor yang terlalu besar juga dapat mengakibatkan munculnya pemaksaan politis dari negara eksportir.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh impor terhadap harga beras dalam negeri dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras dalam negeri, termasuk kebijakan pemerintah. Penelitian ini juga menganalisis kecenderungan impor beras ke depannya melalui analisis pola data yang ditunjukkan impor beras Indonesia, pemilihan metode peramalan yang terbaik dalam menduga impor beras Indonesia serta meramalkan impor beras Indonesia dalam lima periode mendatang.
Berdasarkan model ekonometrika yang terbentuk, diketahui bahwa ternyata impor beras secara nyata mempengaruhi harga beras dalam negeri dengan tingkat kepercayaan 15 persen. Pengaruh tersebut adalah negatif dimana jika impor beras meningkat maka harga beras dalam negeri akan menurun, tetapi responnya inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras secara nyata adalah kebijakan perdagangan (penetapan tarif impor), harga terigu, harga beras impor dan harga beras dalam negeri (taraf nyata 1 persen); nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (taraf nyata 5 persen) dan produksi beras nasional (15 persen). Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras secara negatif adalah variabel produksi beras nasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, harga beras impor dan harga terigu. Sedangkan faktor yang mempengaruhi impor beras secara positif adalah harga beras dalam negeri dan kebijakan impor beras dimana ketika impor beras dapat dilakukan tanpa dikenakan tarif impor, impor beras lebih besar daripada ketika tarif impor beras sudah diterapkan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dengan menerapkan tarif untuk impor beras sudah efektif dalam upaya ngurangi volume beras impor yang masuk ke Indonesia.
Penelitian ini menerapkan berbagai teknik dalam metode peramalan time series, yaitu model peramalan naive, analisis tren, rata-rata sederhana, rata-rata bergerak sederhana, single exponential smoothing, double exponential smoothing satu parameter dari Brown, double exponential smoothing dua parameter dari

Holt, model Winters’, model dekomposisi dan ARIMA yang ditrapkan pada data time series impor beras periode 2000 hingga 2005. Selain menggunakan metode peramalan time series, penelitian ini juga menggunakan model regresi berganda dalam menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras serta menganalisis pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri.
Hasil penelitian ini antara lain bahwa pola yang ditunjukkan impor beras pada periode 1999 hingga 2005 menunjukkan pola yang stasioner dimana impor beras pada awalnya menurun dan pada tahun 2002 – 2003 impor beras kembali meningkat. Volume impor beras pada tahun 2004 - 2005 kemudian menunjukkan besaran yang kecil dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Model peramalan time series yang paling baik dalam meramalkan impor beras berdasarkan kriteria RMSE adalah model analisis tren kuadratik. Tiga model peramalan dengan besaran RMSE terkecil berturut-turut adalah model tren kuadratik dengan dummy musiman (RMSE = 124.3873), model tren kuadratik tanpa dummy musiman (134.109) dan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 0, 1)4(134.3137).
Hasil ramalan menggunakan model peramalan terbaik memperlihatkan tren yang menurun dan volume impor beras yang masuk menunjukkan besaran yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dalam lima periode ke depan tidak melakukan impor beras.

ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Arif Abdul Azziz
A14102047
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Judul Skripsi : ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI
Nama : ARIF ABDUL AZZIZ
NRP : A14102047
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Harmini, M.Si
NIP. 131 688 732
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr
NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus :

PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL ”ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA
TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI” BENAR-BENAR HASIL
KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
TULISAN KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2006
ARIF ABDUL AZZIZ

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 23 Juli 1984 sebagai
anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Bapak Nono Mulyono dan Ibu Eri
Nuraeni.
Pendidikan formal dimulai di SD Negeri IV Kampung Melati Cirebon dan
lulus pada tahun 1996. Selanjutnya jenjang pendidikan dilanjutkan di SLTP
Negeri 4 Cirebon dan kemudian berlanjut di SMU Negeri 1 Cirebon. Pada tahun
2002 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Jurusan
Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Manajemen Agribisnis
melalui jalur USMI.
Selama kuliah penulis pernah menjadi Asisten Luar Biasa Mata Kuliah
Ekonomi Umum selama empat semester berturut-turut dari tahun 2004–2006.
Penulis juga ikut aktif di Ikatan Kekeluargaan Cirebon (IKC) dan sempat aktif di
DKM Al-Hurriyah IPB pada tahun 2004.

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Analisis Impor Beras Serta Pengaruhnya Terhadap Harga
Beras Dalam Negeri”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan Sarjana
Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis efek impor beras
terhadap harga beras dalam negeri dan kemudian menganalisis faktor- faktor yang
mempengaruhi impor beras, termasuk kebijakan pemerintah. Tujuan lainnya
adalah menganalisis perilaku pola yang dimiliki oleh data impor beras Indonesia
dan model peramalan yang paling baik dalam melakukan peramalan untuk data
tersebut beserta hasil ramalannya untuk beberapa periode ke depan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu harapan adanya kritik dan masukan yang konstruktif
dari para pembaca. Diharapkan melalui hasil penelitian ini, diperoleh informasi
tambahan bagi pengambil kebijakan khususnya yang berkaitan dengan masalah
perberasan nasional.
Bogor, Juni 2005
Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan
bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu:
1. Ir. Harmini, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan
bimbingan, dorongan, saran dan perhatiannya yang sangat membantu penulis
dalam melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. M. Firdaus, SP, MS atas kesediannya menjadi Dosen Penguji utama dalam
ujian sidang.
3. Ir. Nindyantoro, MS selaku Dosen Penguji wakil departemen dalam ujian
sidang.
4. Dr.Ir. Harianto, M.S sebagai Dosen Pembimbing Akademik atas perhatiannya
selama penulis menjalani kuliah.
5. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan doa, perhatian dan kasih
sayang yang tak pernah putus. Kakak dan adik, Aimbong dan Gugun yang
telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis.
6. Ibu Epi Sulandari dari Divisi Harga Dasar Badan Urusan Logistik yang telah
banyak membantu dalam penelitian ini.
7. Irfandy Aznur, Vid i Vernando, Rizki Firbani, Herry Masdirwan, Yuninda
Ulan, Mia Widhi dan Andi Astarina, yang telah membantu menyiapkan
keperluan seminar dan ujian sidang penulis.
8. Edi Iskandar yang telah bersedia menjadi pembahas seminar, Renato yang
telah meminjamkan laptopnya untuk seminar dan Andrie yang meminjamkan
laptop untuk sidang penulis.
9. Zakiah Arifin atas kertas, tinta printer dan pinjaman komputernya yang
banyak membantu penulis.
10. Teman-temanku AGB’39 dan rekan-rekan kost Pondok Sahabat, kontrakan
Colonist dan Asrama C2 yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi
I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 4
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................. 7
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 9
2.1 Beras ....................................................................................................... 9
2.2 Produksi Beras ........................................................................................ 9
2.3 Permintaan Beras .................................................................................. 12
2.4 Impor Beras .......................................................................................... 14
2.5 Sejarah Kebijakan Perberasan Nasional ............................................... 15
2.6 Kebijakan Perberasan Nasional Saat Ini ............................................... 17
2.7 Hasil Penelitian Terdahulu ................................................................... 19
2.7.1 Penelitian Tentang Beras......................................................... 19
2.7.2 Penelitian Tentang Peramalan ................................................. 24
2.7.3 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu ................ 26
III. KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................ 27
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................ 27
3.1.1 Perdagangan Internasional ....................................................... 27
3.1.2 Peramalan ................................................................................. 28
3.1.3 Jenis Peramalan ........................................................................ 29
3.1.4 Metode Peramalan Time Series ................................................ 30
3.1.5 Memilih Metode Peramalan Time Series ................................. 32
3.1.6 Model Ekonometrika ................................................................ 33
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ......................................................... 34
IV. METODE PENELITIAN ............................................................................. 38

4.1 Jenis dan Sumber Data........................................................................... 38
4.2 Pengolahan Data .................................................................................... 39
4.3 Analisis dan Interpretasi Data................................................................ 39
4.3.1 Model Ekonometrika.................................................................... 39
4.3.2 Identifikasi Pola Data................................................................... 45
4.3.3 Metode Peramalan Time Series.................................................... 47
4.3.4 Memilih Metode Peramalan Time Series .................................... 61
4.4 Definisi Operasional .............................................................................. 61
4.5 Hipotesis ................................................................................................ 62
V. ANALISIS IMPOR BERAS INDONESIA .................................................. 63
5.1 Pengaruh Impor Beras Terhadap Harga Beras Domestik ...................... 63
5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Beras Indonesia ................... 67
5.3 Eksplorasi Pola Data Impor Beras Indonesia ......................................... 74
5.4 Metode Peramalan Time Series Impor Beras Indonesia ........................ 76
5.5 Memilih Metode Peramalan Impor Beras Indonesia .............................. 84
5.6 Meramalkan Impor Beras Indonesia ...................................................... 85
5.7 Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Perberasan Indonesia .................... 87
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 89
6.1 Kesimpulan............................................................................................. 89
6.2 Saran ....................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 91
LAMPIRAN ......................................................................................................... 94

DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. PDB Atas Harga Konstan Tahun 1993 (Milyar Rupiah) .................................... 2
2. Jumlah Tenaga Kerja Subsektor Pangan, Kebun dan Hortikultura di Indonesia
Tahun 2000 – 2001 (orang) ................................................................................. 2
3. Produksi Padi (GKG) Menurut Pulau di Indonesia, 2001 – 2005
(000 ton) ........................................................................................................... 10
4. Luasan Panen Padi di Berbagai Pulau di Indonesia, 1996 – 2001
(000 Ha) ............................................................................................................ 11
5. Model ARIMA Terbaik untuk Meramal Masing-Masing Variabel .................. 25
6. Model Box-Jenkins Berdasarkan ACF dan PACF ............................................ 59
7. Nilai Dugaan Model Harga Beras Indonesia ..................................................... 65
8. Nilai Elastisitas Harga Beras Domestik terhadap Impor Beras......................... 66
9. Nilai Dugaan Model Impor Beras Indonesia ..................................................... 70
10. Perbandingan RMSE Model Analisis Tren ..................................................... 77
11. Perbandingan RMSE untuk Berbagai Tingkat Ordo (T) Moving Average ..... 79
12. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Multiplikatif ......... 82
13. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Aditif.................... 82
14. Perbandingan RMSE pada Model ARIMA..................................................... 84
15. Nilai RMSE Masing-masing Metode Time Series .......................................... 85
16. Ramalan Volume Impor Beras Indonesia (000 ton) dengan Model Tren Kuadratik Musiman ......................................................................................... 86

DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Mekanisme Perdagangan Internasional.............................................................27
2. Kerangka Pemikiran Operasional......................................................................37
3. Tahapan dalam Metode Box Jenkins ................................................................57
4. Plot Data Impor Beras Indonesia 2000 – 2005 .................................................75

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Output Minitab 14, Model Harga Beras Domestik ........................................ 95
2. Statistik Durbin-h Model Harga Beras Domestik .......................................... 95
3. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Harga Beras Domestik ......... 96
4. Output Minitab 14, Model Dugaan Awal Impor Beras Indonesia ................. 97
5. Output Minitab 14, Model Akhir Impor Beras Indonesia .............................. 98
6. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Impor Beras Indonesia ......... 99
7. Output Minitab 14, Uji Autokorelasi Model Impor Beras Indonesia .......... 100
8. Plot ACF dan PACF Impor Beras Indonesia ............................................... 101
9. Plot ACF dan PACF Ln Impor Beras Indonesia .......................................... 101
10. Output Minitab 14, Model Tentative ARIMA ........................................... 102

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Shortage of food can lead to a civil war (David Nelson dalam Amang dan
Sawit, 1999). Pernyataan tersebut hampir menjadi kenyataan di Indonesia pada
tahun 1998. Terpuruknya perekonomian nasional, lemahnya daya beli masyarakat
dan membumbungnya harga pangan merupakan isu yang disalahkan atas kejadian
tersebut. Peristiwa-peristiwa tersebut menegaskan bahwa pangan terkait dengan
politik dan stabilitas (Amang dan Sawit,1999).
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejak dulu dan hingga nanti pun
manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Pangan telah menjadi
kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan
hidup lainnya seperti sandang, papan dan pendidikan. Menurut Timmer dalam
Amang dan Sawit (1999), tidak ada negara yang dapat mempertahankan
pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan
pangan (food security).
Kebutuhan pangan manusia terutama dipenuhi lewat bahan makanan yang
pokok, yang dihasilkan melalui pertanian dan mengandung banyak karbohidrat
serta menempati porsi terbesar dalam diet manusia, seperti padi, jagung, umbi-
umbian dan gandum. Komoditi tersebut di dalam perekonomian Indonesia
termasuk ke dalam subsektor pangan. Kontribusi subsektor pangan terhadap
produk domestik bruto (PDB) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. PDB Atas Harga Konstan Tahun 2000 (Milyar Rupiah)
Sektor dan Subsektor 2001 2002 2003x) 2004xx)
Pangan 113 019.6 115 925.5 120 139.3 124 578.9
Perkebunan 34 485.2 36 585.6 38 191.6 39 920.2
Peternakan 27 770.1 29 393.5 30 726.9 32 157.6
Perikanan 32 441.0 33 082.3 35 900.1 37 900.0
Kehutanan 17 609.8 17 986.5 18 118.2 18 396.2
Pertanian*) 225 685.7 232 973.4 243 067.1 252 952.9
GDP 1 442 984.6 1 506 124.4 1 579 559.0 1 660 578.7
Keterangan: Sumber : Statistik Indonesia, 2004 Pertanian*) : termasuk Perikanan, Peternakan dan Kehutanan x) : angka sementara xx) : angka sangat sementara
Selain kontribusi terhadap PDB, peran subsektor pangan terhadap
perekonomian nasional juga bisa dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserap
oleh subsektor tersebut. Dalam Tabel 2 diperlihatkan bahwa total tenaga kerja di
subsektor pangan, kebun dan hortikultura pada tahun 2001 adalah sekitar 33 juta
jiwa.
Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Subsektor Pangan, Kebun dan Hortikultura di
Indonesia Tahun 2000 – 2001 (orang)
Jenis Kelamin 2000 2001 Pertumbuhan (2000-2001) Laki-Laki
21 277 996 20 575 737 -0.03 % 59.06 % 60.88 %
Wanita
14 747 255 13 220 336 -10.35 % 40.94 % 39.12 %
Total 36 025 251 33 796 073 -6.19 % Sumber: Statistik Indonesia, 2004 (diolah)
Komoditi pangan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia adalah beras,
terutama karena: (1) beras merupakan bahan pangan dan sumber kalori yang
utama bagi sebagian besar bangsa Indonesia, yakni lebih dari 90 persen dari total

penduduk di Indonesia; (2) usahatani padi menyediakan lapangan kerja bagi 21
juta keluarga petani dan: (3) sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga
miskin dipergunakan untuk membeli beras (Bustaman, 2003). Selain itu, pangsa
beras dalam konsumsi kalori total adalah 54,3 persen dan berkontribusi sebesar 40
persen dalam asupan protein (Harianto, 2001).
Hidup layak dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan
merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, setiap warga negara berhak atas
terpenuhinya pangan yang cukup dengan harga murah (Amang dan Sawit, 1999).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka menjadi tugas pemerintah dalam
menetapkan kebijakan yang akan menjamin ketahanan pangan dan kebijakan
swasembada beras merupakan kunci bagi pencapaian ketahanan pangan/food
security (Kasryno dalam Mulyana, 1998).
Mengingat hal di atas, mencapai swasembada beras selalu menjadi
prioritas pemerintah dalam kebijakan pembangunan pertaniannya. Kebijakan
swasembada beras merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian
dan dinilai telah berhasil meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani.
Konteks ketahanan pangan tidak hanya menyangkut masalah ketersediaan
bahan pangan pokok bagi rakyat saja, tetapi meliputi pula bagaimana kepemilikan
dan akses terhadap pangan itu oleh setiap anggota masyarakat (Pakpahan dan
Pasandaran; Soetrisno dalam Mulyana 1998). Dalam hal keterjangkauan beras
ini, pemerintah menghadapi dilema. Dari sisi konsumen, mereka mengharapkan
harga beras yang murah. Terlebih lagi dengan proporsi pengeluaran beras
terhadap pendapatan yang cukup tinggi dan tingkat konsumsi yang merata dengan

jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, kenaikan harga pangan (beras)
dipandang sebagai komponen utama penyebab inflasi (Mulyana, 1998).
Di lain pihak, petani sebagai produsen beras mengharapkan agar harga
beras cukup tinggi sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan yang layak.
Tingkat keuntungan yang wajar bagi petani sangat diperlukan karena hal tersebut
akan menjadi insentif bagi petani untuk terus melakukan usahatani padi dan
mendukung kebijakan swasembada beras.
1.2 Rumusan Masalah
Pemenuhan kebutuhan akan beras bisa dipenuhi lewat dua cara, yakni
melalui produksi domestik dan impor. Berbagai pihak di dalam negeri berharap
beras bisa dipenuhi lewat produksi domestik (swasembada), dan impor hanya
dilakukan jika produksi padi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan
konsumsi beras. Menurut Rosegrant et. al. dalam Amang dan Sawit (1999),
produksi padi di Indonesia dengan tujuan untuk substitusi impor adalah cukup
efisien berdasarkan konsep comparative advantage.
Pemenuhan kebutuhan beras dari produksi padi domestik dewasa ini
menemui banyak tantangan. Pertama, produktivitas padi secara nasional telah
mengalami levelling-off (pelandaian). Kedua, tingginya tingkat konversi lahan
mengurangi secara signifikan lahan potensial untuk produksi padi. Ketiga,
berbagai macam subsidi yang tadinya diberikan oleh pemerintah saat ini telah
dicabut sebagian. Keempat, liberalisasi perdagangan mengharuskan pemerintah
untuk lebih membuka pasar beras domestik dan mengurangi hambatan-hambatan
perdagangan internasional.

Meskipun, pemenuhan kebutuhan beras nasional diupayakan lewat
produksi padi domestik, tetapi jika terjadi kekurangan pasokan beras maka impor
harus dilakukan. Dalam kesepakatan GATT, Indonesia harus melakukan impor
minimum 70.000 ton jika harga domestik lebih tinggi 90 persen dari harga dunia,
dan mengimpor dalam jumlah yang cukup agar harga domestik tidak lebih tinggi
180 persen dari harga dunia (Dawe dalam Mulyana, 1998). Namun, impor beras
diupayakan tidak terlalu besar mengingat ada hal-hal yang patut diperhatikan.
Pertama, pasar beras internasional merupakan pasar yang tipis (thin
market ) dimana volume beras yang diperdagangkan antar negara sangat sedikit
bila dibandingkan dengan total produksinya sehingga ketersediaan beras dan
harga yang terjadi sangat fluktuatif (Amang dan Sawit, 1999). Kedua,
ketergantungan terhadap impor beras memungkinkan munculnya pemaksaan
politis dari negara pemasok beras, terutama jika impor beras tersebut bersifat
bantuan dari negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Jepang (Mulyana,
1998). Ketiga, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan beras bukan dari impor
memberikan kebanggaan sebagai bangsa yang mandiri dan memberikan efek yang
baik bagi ketahanan pangan nasional1.
Hal yang lebih penting adalah bahwa ketergantungan yang terus menerus
kepada negara-negara pengekspor utama beras akan merugikan posisi ekonomi
Indonesia sendiri.. Impor beras diduga akan membuat petani merugi karena akan
membuat harga beras turun. Penurunan harga tersebut dikhawatirkan pada
akhirnya akan membuat petani menghentikan produksi beras dan mengalihkan
sumber daya yang dimilikinya untuk produksi komoditi lain. Impor beras yang
1 Siswono Yudo Husodo 2005, Swasembada Versus Impor Beras, Kompas 1 Desember

terlalu besar dalam waktu lama pada akhirnya akan membuat potensi produksi
beras nasional menurun drastis dan mengancam ketahanan pangan nasional.
Terlebih lagi beras di Indonesia sudah menjadi komoditas politik yang dapat
menggoyahkan stabilitas nasional jika ketersediaan atau pasokannya terganggu
(Mulyana, 1998)
Dengan dugaan bahwa impor beras akan menurunkan harga beras dalam
negeri, maka perlu dikaji apakah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pada
saat ini sudah efektif dalam memberikan insentif bagi petani untuk memproduksi
beras dan mengurangi impor. Perlu dikaji juga faktor- faktor lain yang
mempengaruhi impor beras sehingga dapat dilakukan antisipasi oleh pemerintah
dengan melihat kecenderungan faktor-faktor tersebut ke depannya. Hal ini penting
di dalam memperkirakan efek dari perubahan faktor- faktor tersebut terhadap
impor beras. Dengan mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut, diharapkan
pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang lebih efektif dalam mengurangi
impor beras Indonesia.
Kecenderungan impor beras Indonesia ke depannya juga patut
diperhatikan. Hal tersebut dapat menjadi indikator efektivitas kebijakan yang
ditetapkan pemerintah dalam mengurangi impor beras. Peramalan juga
memberikan informasi yang berharga bagi pemerintah sehingga dapat dilakukan
antisipasi berdasarkan ramalan yang dihasilkan.
Pertanyaan pene litian yang bisa dirumuskan berdasarkan uraian di atas
yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi volume impor beras Indonesia?

3. Bagaimana pola yang ditunjukkan oleh volume impor beras nasional?
4. Metode peramalan apa yang terbaik dalam menduga volume impor beras
nasional?
5. Bagaimana peramalan dari jumlah impor beras nasional dalam lima periode
mendatang?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor beras Indonesia
3. Menganalisis pola yang ditunjukkan oleh volume impor beras nasional
4. Memperoleh metode peramalan yang terbaik dalam menduga volume impor
beras nasional
5. Meramal jumlah impor beras nasional dalam lima periode mendatang
Adapun kegunaan penelitian ini antara lain:
1. Bagi pemerintah sebagai informasi tambahan guna melaksanakan kebijakan
perberasan nasional, terutama mengenai kebijakan impor beras, stok beras,
harga dasar gabah dan harga beras nasional.
2. Sebagai sumber informasi dan referensi untuk menambah pengetahuan bagi
mahasiswa dan pembaca.
3. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.

1.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini tidak membahas faktor- faktor penentu impor beras secara
mendalam. Misalnya, jika volume impor beras dipengaruhi oleh besarnya
produksi beras nasional, penelitian ini tidak membahas variabel apa saja yang
mempengaruhi produksi beras nasional, begitu pun dengan faktor-faktor lainnya.
Penelitian ini juga tidak membahas secara mendalam interaksi antara
faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras tersebut. Padahal, interaksi antara
permintaan dan penawaran beras akan menentukan harga beras dalam negeri dan
harga beras keseimbangan tersebut akan menentukan jumlah beras yang
ditawarkan serta jumlah beras yang diminta.
Selain itu perlu disadari bahwa data beras yang sesungguhnya diminta
untuk konsumsi, benih, pakan maupun yang susut juga tidak tersedia. Data
konsumsi beras oleh BPSS didekati dengan menggunakan ketersediaan beras
untuk konsumsi (apparent consumption) yang dihitung melalui produksi beras
ditambah impor, dikurangi ekspor, perubahan persediaan beras nasional, dan
proporsi dari produksi yang tidak digunakan untuk konsumsi (SUSENAS, 2002).
Penelitian ini juga tidak memisahkan beras menurut jenis dan kualitasnya.
Harga beras domestik yang dipakai adalah harga beras kualitas medium dengan
asumsi beras tersebut paling banyak dikonsumsi masyarakat dan perubahan dalam
harga beras kualitas medium menjadi indikator perubahan semua harga beras.
Karena masalah ketersediaan data, impor beras yang dianalisis dalam
penelitian ini hanya beras impor yang terdaftar saja, sedangkan beras impor ilegal
tidak diperhitungkan. Padahal, jumlah beras impor ilegal diperkirakan tidak
sedikit dan cukupmempengaruhi harga beras eceran di pasar domestik.

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Padi
Padi yang bernama latin Oryza Sativa, berdasarkan klasifikasi Gould,
dikelompokkan ke dalam sub-famili Oryzoidae, suku Oryzae, genus Oryza.
Genus Oryza memiliki 20 spesies, tetapi yang paling banyak dibudidayakan
adalah Oryza Sativa L dan O. Glaberrima Steund di Afrika. Berdasarkan
penelitian Lu dan Chang (Lu dan Chang dalam Manurung dan Ismunadji, 1988),
proses evolusi dari Oryza Sativa berkembang menjadi tiga ras ecogeographic,
yakni Sinica (dulu dikenal sebagai Japonica), Indica dan Javanica.
Daerah yang cocok untuk tanaman padi bervariasi, mulai dari 53° Lintang
Utara hingga 35° – 40° Lintang Selatan, mulai dari daerah pantai hingga
ketinggian 2400 meter dari permukaan laut. Di Indonesia, padi ditanam hampir di
semua altitude, mulai dari dekat pantai hingga ke dataran tinggi dan pegunungan.
Tanaman padi dapat tumbuh subur pada daerah yang beriklim kering, panas dan
matahari cerah pada tempat terbuka serta daerah yang bebas naungan dan tidak
terlindungi oleh tanaman lain (Taslim dan Fagi, 1988). Umumnya padi yang
diusahakan adalah padi sawah (85 – 90 persen) dan sisanya adalah padi gogo.
2.2 Produksi Beras
Produksi padi tergantung kepada dua variabel, yakni luas areal dan
produktivitas per satuan luas. Produksi padi dalam negeri sampai saat ini masih
bergantung pada produksi di Pulau Jawa yang masih memproduksi sekitar 55.06
persen dari total produksi nusantara. Secara lengkap perbandingan produksi padi
(gabah kering giling) menurut pulau dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi Padi (GKG) Menurut Pulau di Indonesia, 2001 – 2005 (000 ton)
DAERAH 2000 2001 2002 2003 2004 2005+) Sumatera 11 819 11 286 11 542 12 136 12 665 12 620
(22.77) (22.37) (22.42) (23.28) (23.42) (23.35) Jawa 29 120 28 312 28 607 28 167 29 635 29 763
(56.11) (56.11) (55.56) (54.03) (54.79) (55.06) Bali dan Nusa Tenggara 2 776 2 695 2 647 2 725 2 807 2 590
(5.35) (5.34) (5.14) (5.23) (5.19) (4.79) Kalimantan 3 000 3 074 3 169 3 357 3 656 3 604
(5.78) (6.09) (6.16) (6.44) (6.76) (6.67) Sulawesi 5 065 4 982 5 438 5 602 5 171 5 296
(9.76) (9.87) (10.56) (10.74) (9.56) (9.80) Maluku dan Irian Jaya 117 108 85 149 151 180
(0.23) (0.22) (0.17) (0.29) (0.28) (0.33) Luar Jawa 22778 22148 22 881 23 970 24 452 24 292
(43.89) (43.89) (44.44) (45.97) (45.21) (44.94) Indonesia 51 898 50 460 51 489 52 137 54 088 54 056
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000 – 2005 Keterangan: +) : angka sementara
Angka di dalam kurung menyatakan persentase terhadap produksi nasional
Kedua faktor yang berperan dalam produksi beras (luas areal dan
produktivitas) sama-sama mengalami kondisi yang mengancam pertumbuhan
produksi yang tinggi. Dalam hal luas areal, tidak dimungkiri lagi bahwa luas areal
usahatani padi di Pulau Jawa selaku produsen utama beras menghadapi tingkat
persaingan yang tinggi. Luasan areal lahan yang digunakan untuk usahatani padi
di Jawa menunjukkan kecenderungan menurun sebesar 0.31 persen per tahun,
sementara luas lahan sawah di luar Jawa menunjukkan kecenderungan naik,
meskipun rendah, yakni sebesar 0.65 persen per tahun (Mardianto, 2001).
Perbandingan luasan lahan sawah di berbagai pulau di Indonesia disajikan dalam
Tabel 4.

Tabel 4. Luasan Panen Padi di Berbagai pulau di Indonesia, 1996 – 2001 (000 Ha) Pulau 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Jawa 5 488 5 380 5 752 5 768 5 748 5 663 Sumatera 3 068 2 897 3 162 2 980 3 021 2 909 Bali dan Nusa Tenggara 648 632 651 642 650 668 Kalimantan 1 083 1 070 1 081 1 134 1 075 1 013 Sulawesi 1 248 1 137 1 175 1 191 1 054 1 153 Maluku dan Irian Jaya 32 22 39 53 40 44 Indonesia 11 569 11 140 11 730 11963 11608 11 424
Sumber : Badan Pusat Statistik, 1996 – 2001
Menurut Irawan (2005), konversi lahan sawah yang terjadi bersifat
kumulatif dan progresif. Konversi lahan bersifat kumulatif berarti bahwa jika
terjadi konversi lahan yang menyebabkan hilangnya potensi produksi padi sebesar
X1 dan X2 pada dua tahun berturut-turut, maka total potensi produksi yang hilang
adalah sebesar X1 ditambah X2. Sedangkan konversi lahan yang bersifat progresif
mengandung arti bahwa konversi lahan akan semakin besar setiap tahunnya.
Kendala utama dalam produksi beras yaitu sempitnya skala usaha yang
dikelola petani. Setidaknya terdapat empat ciri utama yang berkaitan dengan hal
tersebut, yakni: (1) rata-rata penguasaan lahan oleh petani padi hanya 0.3 hektar;
(2) sekitar 70 persen petani padi termasuk golongan masyarakat miskin atau
berpendapatan rendah; (3) sekitar 60 persen petani padi adalah net consumer beras
dan; (4) rata-rata pendapatan rumah tangga petani padi dari usahatani padi hanya
sekitar 30 persen dari total pendapatan keluarga (Bustaman, 2003).
Sementara itu, berkaitan dengan produktivitas padi, adanya fenomena
penurunan rendemen beras patut menjadi perhatian. Berdasarkan data yang
dikutip Amang dan Sawit (2001) rendemen beras telah turun dari 70 persen pada
awal tahun 1950-an menjadi hanya sekitar 62 persen pada akhir tahun 1990-an.
Penurunan rendemen tersebut harus diperhatikan karena dalam setiap penurunan

rendemen sebesar 1 persen, potensi produksi beras yang hilang mencapai 0.5 juta
ton. Penurunan angka rendemen tersebut disebabkan umur mesin yang sudah tua,
kehilangan penanganan pascapanen dan penyusutan yang mencapai 2.5 persen.
Berita yang menggembirakan sebenarnya, pada tahun 2004 Indonesia bisa
kembali berswasembada beras, bahkan produksi beras mencapai 33 juta ton beras
yang merupakan pencapaian tertinggi selama Republik ini berdiri. Swasembada
tersebut erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang melarang impor beras2.
2.3 Permintaan Beras
Beras merupakan bahan pangan pokok mayoritas penduduk Indonesia
sejak dahulu. Bahkan penduduk di beberapa daerah yang secara tradisional
makanan pokoknya jagung atau sagu sebagian telah beralih mengkonsumsi beras.
Hal ini dikarenakan penyaluran beras ke daerah-daerah yang pada awalnya
ditujukan untuk kelompok target anggaran (pegawai negeri sipil dan ABRI),
namun kemudian dijual pula oleh para pedagang swasta antar daerah dan antar
pulau kepada masyarakat setempat. Penyebaran sistem usahatani padi yang
menyertai program transmigrasi dan kemudian hasilnya dipasarkan secara lokal
diperkirakan berpengaruh pula dalam mengubah selera masyarakat yang awalnya
bukan konsumen beras tersebut.
Dari 11 jenis pola pangan pokok rumah tangga di Indonesia, pola pangan
pokok beras adalah yang dominan di setiap propinsi. Perubahan jenis pangan
pokok hanya terjadi pada komoditas bukan beras, seperti antara jagung dengan
umbi-umbian dan sebaliknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa preferensi rumah
2 loc.cit.

tangga terhadap beras sangat besar dan sulit diubah (Ariani,2004). Secara agregat
tingkat konsumsi beras hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir semua
rumah tangga mengkonsumsi beras.
Secara inheren beras mempunyai kelebihan dibandingkan pangan sumber
karbohidrat lainnya. Beras mempunyai cita rasa yang lebih enak, lebih mudah
diolah dan komposisi zat gizinya lebih baik dibandingkan pangan karbohidrat
lainnya. Kelebihan sifat-sifat tersebut, beras juga didukung kemudahan eksternal,
antara lain Revolusi Hijau dan berbagai kebijakan untuk memacu peningkatan
produksi padi. Pembangunan sarana dan prasarana jalan menyebabkan beras
mudah diperoleh di wilayah terpencil sekalipun. Belum lagi dukungan
pemerintah melalui kebijakan harga dasar dan operasi pasar (kebijakan harga
beras murah). Selain itu, terbentuk persepsi bahwa beras memiliki prestise yang
lebih tinggi dibandingkan jenis pangan sumber karbohidrat lainnya (Ariani, 2004).
Menurut Ariani (2004), kebijakan pangan pemerintah yang kurang
memperhatikan budaya masing-masing wilayah telah merusak budaya makan
setempat. Pemerintah telah menggiring budaya makan lokal ke budaya makan
nasional melalui “berasisasi”, kemudian juga memberi kesempatan untuk
terciptanya budaya makan global berupa aneka mi melalui kebijakan gandum dan
olahannya.
Berdasarkan data Susenas 1993 – 1999, konsumsi beras per kapita di
wilayah pedesaan turun dari 125.6 kg pada tahun 1990 menjadi 111.8 kg pada
tahun 1999. Sementara penurunan yang lebih nyata terjadi di wilayah perkotaan,
dari 120.7 kg tahun 1990 menjadi 96 kg pada tahun 1999. Penurunan ini terjadi
hampir di semua propinsi, terutama yang tingkat konsumsi berasnya tinggi.

Diperkirakan secara nasional tingkat konsumsi beras per kapita di masa
mendatang akan terus menurun (Erwidodo dan Pribadi, 2004). Menurut Hukum
Bennet, semakin tinggi pendapatan, maka proporsi bahan pangan pokok berpati
dalam rumah tangga akan semakin berkurang dan beralih ke pangan yang
berkalori lebih mahal.
Dalam Erwidodo dan Pribadi (2004), meskipun volumenya kecil,
penggunaan beras untuk bahan baku industri pengolahan terus meningkat.
Permintaan beras untuk bahan baku industri meningkat pesat dalam kurun waktu
1990-1995, yaitu dari 7.8 persen tahun 1990 menjadi 15.6 persen pada tahun
1995. Tepung beras dan produk olahannya seperti bihun merupakan produk
olahan beras yang mempunyai prospek permintaan pasar yang cukup cerah.
2.4 Impor beras
Indonesia merupakan negara pengimpor beras yang pada tahun 1998
mengimpor sekitar 31% dari total beras yang terdapat dalam perdagangan dunia
(Dawe, 1997 dan Tsuiji, 1998 dalam Amang dan Sawit, 1999).
Pasar beras internasional memiliki keunikan dibandingkan pasar
internasional untuk komoditas pertanian lainnya. Karakteristik unik dalam pasar
beras internasional antara lain:
1. Sembilan puluh persen produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia,
berbeda dengan tanaman pangan lain seperti jagung dan gandum yang
diproduksi oleh banyak negara di dunia.
2. Pasar beras internasional sangat tipis, yakni hanya sekitar empat persen dari
total produksi, berbeda dengan gandum, jagung dan kedelai yang masing-

masing mencapai 20 persen, 15 persen dan 30 persen dari total produksi
dunia.
3. Pasar yang tipis menyebabkan harga beras dunia relatif tidak stabil, terutama
jika Indonesia sebagai negara besar melakukan impor beras, maka harga beras
internasional akan meningkat. Data antara tahun 1954 – 1994 menunjukkan
bahwa harga beras tertinggi mencapai US$ 600/ton dan terendah mencapai
US$ 200/ton.
4. Sebanyak 80 persen perdagangan beras dunia dikuasai oleh enam negara,
yakni Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, Cina dan Myanmar.
5. Indonesia merupakan net importir beras. Pada tahun 1998 Indonesia
mengimpor 31 persen dari total beras dalam pasar internasional.
6. Di sebagian negara Asia, beras merupakan wage goods dan political goods.
Pemerintahan akan labil jika harga beras tidak stabil dan sulit diperoleh.
Saat ini, terjadi distorsi pada pasar beras dunia. Hal itu diakibatkan
kebijakan protektif negara-negara importir dan kebijakan subsidi domestik di
negara-negara importir. Dengan kata lain, harga beras di pasar dunia “terdepresi”,
tidak mencerminkan biaya produksi dan nilai ekonomis yang sebenarnya
(Erwidodo, 2004).
2.5 Sejarah Kebijakan Perberasan Nasional
Pemerintah pada zaman Orde Baru menyediakan kredit dengan bunga
rendah serta pupuk kimia, bibit unggul dan pestisida dengan harga yang disubsidi
oleh pemerintah. Harga gabah/padi petani juga dilindungi melalui penerapan
harga dasar gabah dan Bulog diberi tugas untuk membeli gabah petani sesuai

dengan harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Setiap tahun sebelum masa
tanam musim hujan, pemerintah menetapkan harga pupuk kimia, pestisida, bibit
unggul dan harga dasar gabah untuk memberikan insentif bagi petani menerapkan
teknologi maju (SBP Bimas, 1997).
Melalui kebijakan HDG tersebut, kelebihan produksi pada saat panen
dibeli oleh Bulog pada tingkat harga yang telah ditetapkan untuk stok gudang
Bulog sehingga bisa dipakai pada saat harga beras melonjak. Di sisi lain, untuk
melindungi konsumen beras, terutama masyarakat miskin di perkotaan, ketika
harga yang terjadi di pasar terlalu tinggi maka diadakan operasi pasar. Dengan
operasi pasar tersebut, pemerintah sebenarnya menambah penawaran sehingga
peningkatan harga yang terjadi tidak sampai memberatkan konsumen.
Semenjak tahun 1999 kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) sudah tidak
lagi efektif. Hal ini dikarenakan unsur-unsur penopang kebijakan tersebut
dihilangkan satu per satu (Amang dan Sawit, 1999). Unsur-unsur penopang
kebijakan HDG antara lain:
1. Insulasi pasar beras domestik dari pasar internasional dihilangkan dengan
dicabutnya monopoli beras yang selama itu dimiliki Bulog, disubstitusi oleh
kebijakan tarif impor beras sebesar 30 persen yang tidak efektif karena adanya
penyelundupan atau under invoice dokumen impor.
2. Captive market bagi beras Bulog, yang berupa catu beras bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) sudah dihilangkan, sehingga outlet bagi beras Bulog menjadi
terbatas. Hal ini menyebabkan kemampuan Bulog untuk menyerap kelebihan
pasar menjadi terbatas.

3. Dana KLBI yang dapat dimanfaatkan Bulog dan koperasi untuk pembelian
gabah/beras petani dihapuskan sehingga Bulog harus mendanai operasinya
dengan dana komersial. Hal tersebut membatasi kemampuan kedua institusi
dalam melaksanakan pengadaan pangan dari produksi domestik
4. Berbagai subsidi input dihilangkan. Kebijakan ini meningkatkan biaya
usahatani, sehingga petani mengharapkan harga gabah yang tinggi.
Hal yang membuat kebijakan HDG semakin sulit diterapkan dengan baik
adalah bahwa tingkat HDG yang ditetapkan tidak berdasarkan rasionalitas
ekonomi dan tidak mempertimbangkan dinamika pasar internasional, padahal
ekonomi beras sudah diliberalisasikan.
Pada tahun 1999, pemerintah membuka ekonomi perberasan Indonesia
terhadap pasar global. Impor beras yang sebelumnya dimonopoli Bulog dapat
dilakukan oleh pihak swasta secara bebas. Bahkan selama tahun 1999 – 2000
beras tidak dikenai bea masuk. Kebijakan ini dapat diterima karena pada saat itu
Indonesia sedang mengalami masa krisis yang kebetulan bersamaan dengan
penurunan produksi beras nasional yang nyata karena dampak kemarau panjang
(El Nino) dan devaluasi mata uang sehingga harga beras dalam negeri pada saat
itu naik hingga 2 – 3 kali lipat.
2.6 Kebijakan Perberasan Nasional Saat Ini
Kebijakan pembangunan ekonomi beras terakhir dituangkan dalam Inpres
No. 9 tahun 2002. Isi kebijakan tersebut antara lain:
1. Memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan
produksi beras nasional.

2. Memberikan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam
rangka meningkatkan pendapatan petani.
3. Melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh
pemerintah.
4. Menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan
kepada petani dan konsumen.
5. Memberikan jaminan bagi persediaan dan penyaluran beras dan atau bahan
pangan lain bagi kelompok masyarakat miskin atau rawan pangan.
Terdapat perubahan paradigma dalam Inpres No. 9 tahun 2002 bila
dibandingkan dengan berbagai Inpres yang terkait dengan ekonomi beras yang
dikeluarkan sebelumnya. Secara rinci perubahan paradigma tersebut adalah:
1. Sistem ekonomi beras nasional dilihat sebagai suatu sistem agribisnis beras
sehingga kebijakan harga beras hanyalah merupakan salah satu komponen dari
paket kebijakan ekonomi beras secara komprehens if.
2. Kebijakan harga dasar gabah (HDG, floor price policy) diganti dengan
kebijakan harga dasar pembelian pemerintah (HPP, procurement price policy).
Dalam kebijakan ini, ditetapkan harga gabah yang dibeli oleh pemerintah pada
titik pengadaan (gudang Bulog) dengan kualitas tertentu.
3. Kebijakan perberasan dikembangkan dengan menganut pendekatan ekonomi
pasar terkelola (managed market mechanism), dalam upaya melindungi
kepentingan produsen dan konsumen. Artinya, selama pasar dapat berfungsi
dengan baik dan efisien, maka pengembangan sistem dan usaha agribisnis
perberasan mengacu pada ekonomi pasar, tetapi jika terjadi sebaliknya, maka
pemerintah akan melakukan intervensi.

Kebijakan perberasan nasional ini pada dasarnya mencakup lima
instrumen kebijakan, yakni peningkatan produksi, diversifikasi, kebijakan harga,
kebijakan impor dan distribusi beras untuk keluarga miskin (Raskin).
2.7 Hasil Penelitian Terdahulu
2.7.1 Penelitian Tentang Beras
Bustaman (2003) melakukan analisis mengenai integrasi pasar beras di
Indonesia. Bustaman (2003) mengungkapkan bahwa pasar beras antar propinsi di
Indonesia saling terintegrasi satu sama lain, artinya perubahan yang terjadi pada
suatu pasar propinsi tertentu akan ditrasnmisikan ke pasar beras di propinsi
lainnya. Dalam penelitian tersebut juga diungkapkan bahwa kinerja pemasaran
komoditi beras domestik secara keseluruhan efisien. Selain menganalisis integrasi
pasar secara horizontal, Bustaman (2003) juga melakukan analisis integrasi pasar
secara vertikal pada masing-masing pasar beras tersebut. Hasilnya adalah bahwa
dalam jangka panjang, pasar produsen dan pasar konsumen seluruhnya
terintegrasi dengan baik sedangkan dalam jangka pendek hanya pasar beras di
propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat serta Provinsi Sulawesi
Selatan yang tidak terintegrasi dengan baik.
Dalam penelitian tersebut, Bustaman (2003) menemukan bahwa besaran
transmisi perubahan harga di produsen terhadap harga konsumen lebih tinggi
dibandingkan sebaliknya. Petani cenderung kurang memiliki informasi sehingga
posisi tawar petani rendah.
Bustaman (2003) juga menganalisis mengenai integrasi pasar beras
domestik terhadap pasar beras internasional. Dia mengungkapkan bahwa setelah

tahun 1998, pasar beras domestik terintegrasi dengan pasar beras internasional.
Hal tersebut dikarenakan mulai tahun 1998, atas desakan IMF pemerintah
menghapuskan monopoli impor beras yang sebelumnya dimiliki Bulog. Namun
derajat integrasi tersebut masih lemah karena meskipun liberalisasi perdagangan
beras telah diberlakukan, pemerintah masih menerapkan tarif dan ijin impor beras.
Menurut Simbolon (2005) yang menganalisis integrasi pasar domestik
beras dengan pasar beras dunia dan adanya pengaruh tarif impor, tarif impor akan
meningkatkan harga beras domestik, tetapi peningkatan harga tersebut tidak
mampu menurunkan volume impor beras yang masuk ke Indonesia. Tidak adanya
tarif impor akan berpengaruh terhadap pembentukan harga beras dimana hal
tersebut akan menurunkan harga beras domestik.
Dampak kebijakan perdagangan dan liberalisasi perdagangan terhadap
permintaaan dan penawaran beras di Indonesia dianalisis oleh Sitepu (2002).
Sitepu (2002) menggunakan model ekonometrika dengan persamaan simultan.
Kesimpulan akhir yang didapatnya adalah bahwa kebijakan perdagangan dan
liberalisasi perdagangan tersebut tidak efisien dan tidak tepat untuk dilaksanakan
karena keuntungan yang diterima konsumen lebih kecil dibandingkan kerugian
yang diterima produsen sehingga total net surplus menurun. Kebijakan tersebut
merugikan petani kecil dan memperburuk distribusi pendapatan.
Jumlah impor beras Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh harga impor
(taraf nyata 10 persen), produksi beras Indonesia (taraf nyata 20 persen), stok
beras awal tahun (taraf nyata 5 persen), jumlah penduduk (taraf nyata 10 persen)
dan tren waktu (taraf nyata 20 persen). Sedangkan pengaruh dari GDP dan impor
beras tahun lalu tidak berbeda nyata dari nol.

Penelitian sebelumnya tentang permintaan dan penawaran beras dilakukan
oleh Hutauruk (1996), yang menganalisis mengenai dampak kebijakan harga
dasar padi dan subsidi pupuk terhadap permintaan dan penawaran beras di
Indonesia. Model yang digunakan adalah model ekonometrika untuk permintaan,
penawaran dan harga. Metode yang digunakan oleh Hutauruk (1996) untuk
mendapatkan model tersebut adalah 3SLS (three stages least squares).
Berdasarkan hasil analisis, impor beras tidak responsif terhadap perubahan
harga beras impor ataupun nilai tukar, tetapi responsif terhadap perubahan harga
beras, produksi dan permintaan beras dalam negeri. Berdasarkan hasil simulasi,
peningkatan harga dasar gabah, baik secara individu maupun serentak dengan
harga pupuk akan berdampak pada peningkatan produksi beras total, penurunan
permintaan beras domestik, penurunan impor, dan peningkatan stok yang dilepas.
Sedang kebijakan peningkatan harga pupuk akan mengurangi produksi tanpa
mempengaruhi permintaan beras domestik.
Selain Sitepu (2002) dan Hutauruk (1996), Andy Mulyana (1998) juga
merumuskan model ekonometrika mengenai pasar beras domestik dalam
disertasinya yang berjudul “Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras
Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu
Analisis Simulasi.” Dalam analisisnya, produksi domestik disegregasikan ke
dalam lima wilayah, yaitu Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan
sisa Wilayah Indonesia sedangkan analisis permintaan dilakukan secara agregat
nasional.
Model impor beras yang digunakan Mulyana (1998) menyertakan variabel
harga beras domestik, harga beras impor, total produksi beras, stok beras awal

tahun, nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS, bunga pinjaman Bulog dan impor
beras tahun lalu sebagai variabel independen. Berdasarkan model impor yang
terbentuk, diperoleh hasil bahwa impor beras responsif terhadap perubahan stok
beras awal tahun, produksi beras, tren waktu dan impor beras tahun lalu, tetapi
tidak responsif terhadap harga beras dan harga impor.
Mulyana (1998) menyimpulkan bahwa Bulog telah berhasil melakukan
stabilisasi lewat mekanisme pengelolaan stok, pengadaan dan operasi pasar beras,
disertai dengan elastisnya intervensi harga konsumen terhadap harga impor dan
produksi, serta relatif stabilnya harga gabah dan beras di pasar domestik
menunjukkan bahwa pasar beras diproteksi secara ketat. Selain itu, pada
kenyataannya negara-negara importir dan eksportir beras utama sangat protektif
terhadap pasar beras domestik masing-masing negara dan peran Indonesia sebagai
stabilisator dan destabilisator pasar beras dunia relatif lebih besar.
Ketidakstabilan pasar beras dunia, biaya impor yang besar pada krisis ekonomi
dan potensi peningkatan produksi di luar Jawa dan Bali melalui pengembangan
teknologi produksi dan pasca panen merupakan justifikasi bagi upaya
swasembada beras pada masa mendatang.
Berdasarkan hasil simulasi, kebijakan yang sama tidak selalu direspon
dengan arah yang sama di tiap-tiap wilayah. Kombinasi antara liberalisasi
perdagangan dan penghapusan peran Bulog akan lebih menurunkan produksi dan
konsumsi beras dan swasembada beras tidak tercapai dalam jangka pendek. Hal
ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum siap dalam meliberalisasikan pasar
berasnya. Dengan adanya liberalisasi perdagangan tersebut, Indonesia tidak bisa

lagi mencapai swasembada absolut, tetapi akan menjadi net eksportir beras pada
tahun 2013.
Farihah (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Peramalan
Produksi dan Konsumsi Beras serta Implikasinya terhadap Pencapaian
Swasembada Beras di Indonesia”. Farihah (2005) menggunakan data BPS dan
data modifikasi. Data produksi modifikasi didapat dengan mengurangkan jumlah
impor dari jumlah konsumsi, sedangkan data konsumsi modifikasi didapat dengan
menjumlahkan produksi dan impor
Dari hasil plot data diketahui bahwa dalam data produksi dan konsumsi
beras terdapat unsur trend yang menunjukkan kecenderungan meningkat. Untuk
kedua variabel tersebut, metode peramalan yang paling akurat adalah ARIMA.
Dalam hasil peramalannya, Farihah (2005) menduga bahwa selama enam tahun ke
depan, produksi dan konsumsi beras nasional sama-sama mengalami peningkatan.
Berdasarkan peramalan menggunakan data BPS, Indonesia dapat kembali
mencapai swasembada beras dan akan terjadi surplus produksi. Namun, jika
menggunakan data produksi dan konsumsi modifikasi, sawasembada beras masih
belum dapat tercapai.
Tiga skenario yang disimulasikan sebagai upaya pencapaian swasembada
beras yaitu:
1. Peningkatan Produktivitas. Rata-rata peningkatan produktivitas yang harus
dicapai yaitu sebesar 0,1678 ton/ha/tahun.
2. Peningkatan Luas Panen. Rata-rata peningkatan luas panen yang harus dicapai
yaitu sebesar 492 854,5 ha/tahun.

3. Peningkatan produktivitas yang diikuti peningkatan luas areal. Diperlukan
rata-rata peningkatan produktivitas sebesar 0,081 ton/ha/tahun dan rata-rata
peningkatan luas panen seluas 201 503,67 ha/tahun untuk dapat mencapai
swasembada.
2.7.2 Penelitian Tentang Peramalan
Penelitian yang memakai metode yang sama dengan penelitian yang akan
dilakukan, yaitu peramalan diambil tiga buah sebagai pembanding, yaitu
penelitian Suhendratmo (2004), Purwanto (2004), dan Mutiarani (2005)
Suhendratmo (2004) menganalisis fluktuasi volume gula impor dan harga
gula impor serta memprediksi volume impor gula pasir dan harga gula pasir
domestik pada masa yang akan datang. Melalui plot data diperoleh bahwa volume
gula impor menunjukkan kecenderungan menurun, sebaliknya harga gula impor
memiliki trend meningkat. Model terbaik dalam analisisnya (dengan kriteria
MSE) yaitu ARIMA (1,1,1) untuk volume gula pasir impor dan ARIMA (1,1,2)
untuk harga gula pasir domestik.
Purwanto melakukan analisis peramalan produksi dan produktivitas
tanaman pangan utama (padi, jagung dan kedelai) di Sumatera dan Jawa. Metode
peramalan yang dipakainya adalah ARIMA, dengan kriteria penetapan model
dengan menggunakan kriteria MSE terkecil.
Penelitian Purwanto (2004) menemukan bahwa pola data yang
ditunjukkan, baik produksi maupun produktivitas, di Jawa maupun di Sumatera,
untuk ketiga komoditi tersebut tidak stasioner, melainkan memperlihatkan adanya
unsur trend meningkat, kecuali trend kedelai pada tahun 1999 – 2002 (Jawa) dan

pada tahun 1995 – 2002 (Sumatera) yang memperlihatkan trend menurun. Model
peramalan yang terbaik untuk meramalkan masing-masing variabel diperlihatkan
dalam Tabel 5.
Tabel 5. Model ARIMA Terbaik untuk Meramal Masing-Masing Variabel
Variabel Jawa Sumatera Produksi Padi ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (1, 1, 1,) Produksi Jagung ARIMA (1, 2, 1,) ARIMA (1, 1, 2,) Produksi Kedelai ARIMA (0, 2, 1,) ARIMA (0, 2, 1,) Produktivitas Padi ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (1, 1, 1,) Produktivitas Jagung ARIMA (0, 2, 1,) ARIMA (1, 1, 1,) Produktivitas Kedelai ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (0, 2, 1,)
Penelitian yang dilakukan oleh Mutiaratri (2005) membahas mengenai
peramalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi impor gandum di Indonesia.
Volume impor gandum Indonesia diketahui memiliki tren yang semakin
meningkat. Metode peramalan yang paling akurat di dalam menduga volume
impor gandum adalah dengan metode Box-Jenkins, yaitu dengan model ARIMA
(1,2,0). Model tersebut kemudian digunakan untuk meramalkan impor gandum
untuk lima periode (tahun) ke depan. Hasil ramalan menunjukkan bahwa selama
lima tahun ke depan, impor gandum di Indonesia mengalami peningkatan yang
signifikan. Hal tersebut terlihat dari nilai ramalan impor gandum pada tahun 2008
yang mencapai 6.7691 juta ton, yang bila dibandingkan dengan nilai impor pada
tahun 2003 yang berada pada angka 3,48 juta ton meningkat hampir dua kali lipat.
Selain melakukan peramalan volume impor gandum, Mutiaratri (2005)
juga menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi impor gandum. Model yang
paling baik dalam memenuhi kriteria ekonometrika (tidak terdapat multikolinier,
autokorelasi dan heteroskedastisitas) adalah sebagai berikut:

Variabel yang berpengaruh nyata terhadap volume impor gandum adalah
produksi terigu dan dummy kebijakan impor gandum (a = 15 persen) dimana
dengan semakin meningkatnya produksi terigu, maka impor gandum semakin
besar. Kebijakan perdagangan gandum dan terigu yang ditetapkan pemerintah,
yaitu peningkatan tarif terigu dan penurunan tarif impor gandum terbukti akan
meningkatkan impor gandum.
2.7.3 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengaitkan antara
pengaruh impor beras terhadap harga beras domestik untuk kemudian dikaji
faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras (termasuk kebijakan pemerintah)
dan peramalan impor beras dalam lima periode ke depan. Penelitian yang
dilakukan oleh Hutauruk (1996), Mulyana (1998), dan Sitepu (2002) lebih banyak
menggambarkan tentang keragaan penawaran dan permintaan beras di Indonesia.
Penelitian Simbolon (2005) juga hanya mengkaji efek penetapan kebijakan tarif
terhadap harga beras domestik dan impor beras. Penelitian ini berfokus pada
impor beras, bukan pada keragaan permintaan-penawaran beras nasional, dan
kebijakan tarif ditambah dengan proyeksi impor dalam beberapa periode
mendatang.
Selain itu, analisis efek impor beras terhadap harga beras dalam negeri
serta faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras dikaji dengan menggunakan
model regresi berganda dengan persamaan tunggal. Sementara penelitian
Hutauruk (1996), Mulyana (1998), dan Sitepu (2002) menggunakan persamaan
simultan.

III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Perdagangan Internasional
Ball dan McCulloch (2000) menyatakan bahwa perdagangan internasional
muncul karena adanya perbedaan harga relatif antar negara. Perbedaan ini berasal
dari perbedaan biaya produksi, yang diakibatkan oleh:
1. Perbedaan atas karunia Tuhan pada faktor produksi
2. Perbedaan dalam teknologi yang digunakan, yang dapat menentukan intensitas
faktor produksi yang diperlukan.
3. Perbedaan dalam efisiensi permintaan faktor produksi
4. Nilai tukar mata uang suatu negara terhadap negara lain
Mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada gambar 1:
Kurva pada Gambar 1 memperlihatkan adanya perdagangan internasional,
negara A akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik K’ berdasarkan harga
relatif komoditi (Px/Py) sebesar P3, sedangkan negara B akan berproduksi dan
berkonsumsi di titik K pada harga relatif komoditi X di P1. Setelah hubungan
P1
P2
P3
Gambar 1. Mekanisme Perdagangan Internasional Sumber: Salvatore (1994)
Dx
Sx Sx
Dx
S
D Impor
L M
K
Px/Py Px/Py Px/Py
X X X
M’
K’
L’
Negara B Negara A Perdagangan
Ekspor

perdagangan berlangsung di antara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi
X akan berada di antara P1 dan P3. Apabila harga relatif di negara A lebih besar
dari P3, maka negara A akan memasok lebih banyak daripada tingkat permintaan
(konsumsi) domestiknya. Kelebihan produksi tersebut akan diekspor ke negara B.
Di lain pihak jika harga relatif yang berlaku di negara B lebih kecil dari P1, maka
negara B akan mengalami peningkatan permintaan, sehingga tingkat permintaan
akan melebihi penawaran domestiknya. Hal ini mendorong negara B untuk
mengimpor komoditi X dari negara A.
Impor adalah aliran masuk barang dan jasa ke pasar sebuah negara untuk
dipakai (Smith dan Blakeslee dalam Mahardika, 2003). Adapun faktor- faktor
yang mempengaruhi suatu negara untuk mengimpor suatu komoditi antara lain
harga internasional, harga domestik, jumlah permintaan domestik, harga komoditi
substitusi serta Produk Domestik Bruto negara tersebut. Selain itu secara tidak
langsung impor ditentukan pula oleh perubahan nilai tukar uang (exchange rate)
mata uang suatu negara terhadap negara lain. Selain faktor- faktor tersebut, fungsi
impor juga dipengaruhi oleh faktor- faktor dari dalam negeri seperti biaya
transportasi, tarif dan selera konsumen
3.1.2 Peramalan
Peramalan adalah kegiatan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi
pada masa yang akan datang (Assauri, 1984). Peramalan terutama diperlukan
karena peramalan merupakan alat bantu yang penting dalam perencanaan
(Makridakis, McGee dan Wheelwright,1999). Dapat dikatakan bahwa peramalan
merupakan dasar untuk penyusunan rencana. Efektif tidaknya suatu rencana yang

disusun sangat ditentukan oleh kemampuan para penyusunnya untuk meramalkan
situasi dan kondisi pada saat rencana tersebut dilaksanakan (Assauri,1984).
Keputusan yang baik adalah keputusan yang didasarkan atas pertimbangan apa
yang akan terjadi pada masa yang akan terjadi pada saat keputusan tersebut
dilaksanakan. Apabila ramalan yang dibuat kurang tepat maka keputusan yang
diambil menjadi tidak tepat (Assauri,1984).
3.1.3 Jenis Peramalan
Menurut Assauri (1984), umumnya peramalan dapat dibedakan dari
beberapa segi tergantung dari cara melihatnya. Jika dilihat dari jangka waktu
ramalan yang disusun, maka peramalan dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:
1. Peramalan jangka panjang, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan
hasil ramalan yang jangka waktunya lebih dari satu setengah tahun.
2. Peramalan jangka pendek, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan
hasil ramalan dalam jangka waktu kurang dari satu setengah tahun.
Berdasarkan sifat ramalan yang telah disusun, maka peramalan dibedakan
atas dua macam, yaitu:
1. Peramalan kualitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data kualitatif pada
masa lalu. Hasil peramalan tersebut ditentukan berdasarkan pemikiran yang
bersifat intuisi, judgement atau pendapat, dan pengetahuan serta pengalaman
dari penyusunnya. Biasanya peramalan secara kualitatif ini didasarkan atas
hasil penyelidikan, seperti Delphi, analogi dan pene litian morfologis, atau
didasarkan atas ciri-ciri normatif seperti decision trees.

2. Peramalan kuantitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data kuantitatif
masa lalu. Dengan metode yang berbeda akan diperoleh hasil peramalan yang
berbeda, adapun yang perlu diperhatikan dari penggunaan metode-metode
tersebut, adalah baik tidaknya metode yang dipergunakan. Metode yang baik
adalah metode yang memberikan nilai-nilai perbedaan atau penyimpangan
yang sekecil mungkin.
Menurut Makridakis, McGee dan Wheelwright (1999), peramalan
kuantitatif hanya dapat digunakan apabila terdapat tiga kondisi sebagai berikut:
a. Adanya informasi tentang keadaan yang lain;
b. Informasi tersebut dapat dikuantifikasikan dalam bentuk data;
c. Dapat diasumsikan bahwa pola yang lalu akan berkelanjutan pada masa
yang akan datang.
Selanjutnya metode peramalan kuantitatif dapat dibedakan atas metode
peramalan time series dan metode kausal. Metode peramalan time series
merupakan metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola
hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan variabel waktu, yang
merupakan deret waktu. Sedangkan metode kausal yaitu metode peramalan yang
didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan antara variabel yang akan
diperkirakan dengan variabel lain yang mempengaruhinya.
3.1.4 Metode Peramalan Time Series
Metode peramalan time series tidak berusaha menemukan hubungan sebab
akibat ataupun faktor yang berpengaruh pada perilaku suatu sistem. Alasannya
adalah bahwa sistem tersebut mungkin tidak dimengerti, sulit diukur dan tujuan

utamanya bukanlah mengetahui bagaimana suatu hal terjadi, melainkan untuk
meramalkan apa yang akan terjadi (Makridakis, McGee dan Wheelwright, 1999).
Metode peramalan dengan menggunakan analisa deret waktu terdiri atas:
1. Metode tren.
Metode proyeksi tren berusaha menemukan persamaan garis dasar melalui
metode regresi dengan waktu sebagai variabel eksogennya, sehingga dengan dasar
persamaan tersebut dapat diproyeksikan hal-hal yang diteliti untuk untuk masa
depan. Untuk peramalan jangka pendek maupun peramalan jangka panjang,
ketepatan metode peramalan ini sangat baik.
2. Metode smoothing.
Metode smoothing digunakan untuk mengurangi ketidakteraturan
musiman dari data yang lalu, dengan membuat rata-rata tertimbang dari sederetan
data yang lalu. Ketepatan dari peramalan dengan metode ini akan terdapat pada
peramalan jangka pendek, sedangkan ketepatannya untuk peramalan jangka
panjang sangat kurang.
3. Metode Box-Jenkins (ARIMA).
Metode ini menggunakan dasar deret waktu dengan model matematis, agar
kesalahan yang terjadi dapat sekecil mungkin. Oleh karena itu penggunaan model
ini membutuhkan identifikasi model dan estimasi parameternya. Metode ini
sangat baik ketepatannya dalam peramalan jangka pendek, sedangkan untuk
peramalan jangka panjang ketepatannya kurang baik.

3.1.5 Memilih Metode Peramalan Time Series
Ada enam faktor utama yang dijadikan pertimbangan dalam memilih
metode peramalan yang akan digunakan, yaitu:
1. Horizon waktu
Aspek dalam horizon waktu yang penting untuk dijadikan pertimbangan
adalah cakupan waktu di masa yang akan datang. Terdapat perbedaan dari
masing-masing metode peramalan dalam ketepatannya memproyeksi suatu
variabel. Suatu metode mungkin ketepatannya tinggi untuk jangka pendek, tetapi
kurang dalam jangka panjang.
2. Pola data
Masing-masing metode peramalan berbeda kemampuannya untuk
mengidentifikasi pola-pola data, maka perlu ada penyesuaian antara pola data
yang telah diperkirakan terlebih dahulu dengan teknik dan metode peramalan
yang akan digunakan.
3. Jenis dari model
Banyak metode peramalan telah menganggap adanya beberapa model dari
keadaan yang diramalkan. Model-model ini merupakan suatu deret dimana waktu
digambarkan sebagai unsur yang penting untuk menentukan perubahan-perubahan
dalam pola, yang mungkin secara sistematik dapat dijelaskan dengan analisa
regresi atau korelasi. Model yang lain adalah model kausal, yang
menggambarkan bahwa ramalan yang dilakukan sangat tergantung pada
terjadinya sejumlah peristiwa lain, atau sifatnya merupakan campuran dari model-
model yang telah disebutkan di atas. Masing-masing model memiliki kemampuan
yang berbeda dalam analisa keadaan untuk pengambilan keputusan.

4. Biaya
Umumnya ada empat unsur biaya yang tercakup dalam penggunaan suatu
prosedur ramalan, yaitu biaya pengembangan, biaya penyimpanan data, biaya
operasi pelaksanaan dan kesempatan dalam penggunaan teknik-teknik dan metode
lainnya. Adanya perbedaan yang nyata dalam jumlah biaya, mempunyai
pengaruh atas dapat menarik atau tidaknya penggunaan metode tertentu untuk
suatu keadaan yang dihadapi.
5. Ketepatan.
Tingkat ketepatan yang dibutuhkan sangat erat kaitannya dengan tingkat
perincian yang dibutuhkan dalam suatu peramalan. Dalam beberapa kasus,
penyimpangan 20 persen masih dapat diterima sedangkan dalam kasus yang lain,
penyimpangan 5 persen sudah cukup berbahaya.
6. Kemudahan dalam Penerapan
Satu prinsip umum dalam penggunaan metode ilmiah dari peramalan
untuk manajemen dan analisis adalah metode-metode tersebut dapat dimengerti
dan mudah diterapkan dalam pengambilan keputusan dan analisa. Seorang
pengambil keputusan akan cenderung menggunakan metode yang dia ketahui dan
mudah untuk dipergunakan.
3.1.6 Model Ekonometrika
Model merupakan suatu penjelasan dan penyederhanaan dari fenomena
aktual. Sebuah model ekonomi merupakan penjelasan dari keseluruhan atau
sebagian fenomena ekonomi dengan mengabaikan sebagian aspek yang dianggap
kurang penting (Koutsouyiannis, 1977).

Model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing
variabel penjelas terhadap peubah endogen khususnya yang menyangkut tanda
dan besaran dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori.
Model yang baik haruslah memenuhi kriteria secara ekonomi, kriteri statistika
yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan
koefisien determinasi (R2) serta nyata secara statistik sedangkan kriteria
ekonometrika menetapkan apakah suatu taksiran memiliki sifat-sifat yang
dibutuhkan seperti unbiasedness, consistency, sufficiency, efficiency
(Koutsouyiannis, 1977).
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Beras memiliki peran yang besar bagi bangsa Indonesia, utamanya adalah
sebagai bahan pangan utama, sumber utama karbohidrat dan protein serta sebagai
mata pencaharian bagi sebagian besar warga Indonesia. Besarnya peran beras
menggambarkan bahwa beras merupakan komoditas strategis sekaligus komoditas
politis.
Pertumbuhan penduduk (sebagai salah satu penyebab peningkatan
permintaan terhadap beras) yang tinggi di Indonesia menyebabkan permintaan
beras tumbuh dengan laju yang cukup tinggi. Di lain pihak, pertumbuhan
produksi beras hanya sebesar 0.67 persen per tahun. Selain itu, banyak hambatan
yang dihadapi produksi beras nasional, di antaranya adalah tingkat rendemen yang
terus berkurang dan kompetisi dalam penggunaan lahan.
Laju pertumbuhan permintaan akan beras yang tidak diimbangi dengan
laju pertumbuhan produksi beras yang cukup, akan menyebabkan terjadinya

kekurangan pasokan beras dalam negeri dan untuk mengatasi hal tersebut maka
dilakukan impor beras. Sejak September 1998, impor beras tidak lagi menjadi
monopoli Bulog, meskipun pada tahun 2000 kemudian ditetapkan tarif impor
beras sebesar 30 persen. Dengan demikian, keran impor beras semakin terbuka
lebar.
Permasalahan yang dihadapi dalam mengimpor beras yakni adanya efek
negatif dimana impor beras diduga akan menurunkan harga beras dalam negeri
dan akhirnya akan menurunkan produksi beras nasional. Kuat dugaan adanya
korelasi langsung antara impor beras, harga gabah dan produksi gabah. Makin
banyak impor, harga gabah menurun dan produksi menurun3. Selain itu perlu
dilihat apakah kebijakan yang diterapkan pemerintah sudah efektif dalam
menurunkan impor beras serta melihat kecenderungan impor beras dalam
beberapa periode mendatang.
Berdasarkan hal di atas, penelitian ini bertujuan: (1) menguji pengaruh
impor beras terhadap harga beras dalam negeri; (2) menganalisis faktor- faktor
yang mempengaruhi volume impor beras Indonesia; (3) mengetahui pola yang
ditunjukkan oleh volume impor beras nasional; (4) memilih metode peramalan
yang terbaik dalam menduga volume impor beras nasional; dan (5) meramal
jumlah impor beras nasional dalam lima periode mendatang.
Dalam penelitian ini akan diuji hipotesa yang menyatakan bahwa harga
beras/gabah dalam negeri akan mengalami penurunan jika dilakukan impor beras.
Hipotesa tersebut diuji dengan membuat model regresi. Variabel yang
3 loc.cit

dimasukkan ke dalam model harga beras adalah impor beras dan harga beras
periode sebelumnya.
Menurut Smith dan Blakeslee dalam Mahardika (2003), faktor-faktor yang
mempengaruhi suatu negara untuk mengimpor suatu komoditi antara lain harga
internasional, harga domestik, jumlah permintaan domestik, harga komoditi
substitusi serta Produk Domestik Bruto negara tersebut. Selain itu secara tidak
langsung impor ditentukan pula oleh perubahan nilai tukar uang (exchange rate)
mata uang suatu negara terhadap negara lain. Model dugaan awalnya adalah
impor beras dipengaruhi oleh produksi beras periode sebelumnya, kebijakan
pemerintah, harga beras dalam negeri, stok beras Bulog awal periode, harga beras
impor, nilai tukar rupiah, harga terigu dan konsumsi beras nasional.
Pendugaan pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap impor beras
dilakukan dengan membentuk model ekonometrika dan dilakukan estimasi
parameter dengan OLS (Ordinary Least Squares). Setelah diduga, model diuji
dengan uji-F, uji t-hitung, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji
multikolinier.
Dalam usaha mengetahui pola yang ditunjukkan oleh volume impor beras
nasional, data volume impor digambar ke dalam grafik menurut waktu. Sebagai
tambahan, dilakukan pula identifikasi pola data dengan menggunakan
korrelogram. Hasil dari identifikasi pola data kemudian akan digunakan untuk
membantu menjawab tujuan penelitian yang kedua. Metode peramalan yang akan
dicoba akan ditetapkan berdasarkan pola data yang terlihat. Selanjutnya, metode
peramalan yang terbaik akan digunakan untuk meramalkan volume impor beras
dalam lima kuartal mendatang.

Diharapkan melalui penelitian ini, pembuat kebijakan impor beras
mendapatkan masukan yang berarti mengenai jumlah impor yang diperlukan
dalam beberapa periode mendatang dan faktor- faktor yang mempengaruhi impor
dan beras untuk kemudian dapat menentukan kebijakan yang akan diambil.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
Impor Beras Harga Beras Domestik
Identifikasi Pola Data Impor Beras
Peramalan Impor Beras
Model Ekonometrika
Pengaruh Volume Impor Beras terhadap Harga Beras Dalam
Negeri
Memilih Metode Peramalan Time Series Terakurat
Efek Negatif Impor Beras Efektivitas Kebijakan Pemerintah
Kesenderungan Impor Beras
Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras: Produksi beras domestik Konsumsi beras domestik Harga beras domestik Harga beras dunia Nilai tukar rupiah Kebijakan pemerintah Harga terigu Stok beras Bulog GDP
Model ekonometrika
Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Perberasan
Indonesia

IV. METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005.
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi terkait, yaitu
Biro Pusat Statistik, Badan Urusan Logistik, dan Bank Indonesia.
Data yang diperlukan antara lain volume impor beras (baik oleh Bulog
maupun oleh importir lainnya), produksi beras dalam negeri, harga beras dalam
negeri, harga terigu, harga beras dunia, jumlah stok beras yang dimiliki Bulog,
dan nilai tukar rupiah. Sebagai tambahan, diperlukan pula data mengenai
kebijakan pemerintah mengenai impor beras, indeks harga konsumen dan indeks
harga perdagangan besar.
Untuk menduga pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri,
digunakan data triwulan dari tahun 1999 – 2005. Sedangkan untuk menganalisis
faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras digunakan data empat bulanan dari
tahun 1999 – 2004 dan dalam meramalkan impor beras, data yang digunakan yaitu
data tiga bulanan dari tahun 2000 – 2005.
Pada model impor beras, digunakan data empat bulanan karena data
produksi beras (sebagai faktor yang dianggap paling mempengaruhi impor beras)
yang digunakan adalah data empat bulanan. Sebenarnya data produksi bulanan
juga bisa diperoleh, tetapi kurang menggambarkan efek musiman dalam produksi
beras mengingat beras dapat dipanen tiga kali setahun sehingga yang diambil
adalah data empat bulanan.

Peramalan impor beras menggunakan data tiga bulanan periode 2000 –
2005 karena data tahun 1999 tidak relevan untuk dipakai dalam peramalan. Hal
ini dikarenakan kebijakan yang diterapkan pada tahun 1999 dan tahun-tahun
berikutnya berbeda.
4.2 Pengolahan Data
Data yang diperoleh yaitu berupa data kuantitatif. Data kuantitatif yang
telah didapatkan kemudian diolah menggunakan program QSB+3.0, Microsoft
Excel, dan MINITAB 14 . Sedangkan data yang bersifat kualitatif akan dijelaskan
secara deskriptif.
4.3 Analisis dan Interpretasi Data
4.3.1 Model Ekonometrika
4.3.1.1 Spesifikasi Model
Spesifikasi model meliputi penentuan peubah penjelas yang terkandung
dalam model, tanda, dan besar koefisien parameter fungsi dan bentuk matematis
model. Spesifikasi model dilakukan untuk menjelaskan hubungan antar variabel
dalam bentuk matematika sehingga fenomena ekonomi dapat dieksplorasi secara
empiris.
Analisis pengaruh volume impor beras terhadap harga beras dalam negeri
dilakukan dengan membentuk model sebagai berikut:
LnHBRt = a0 + a1LnQIMt-1 + a2LnHBRt-1
Besaran pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri,
dianalisis dengan menggunakan konsep elastisitas untuk mengetahui seberapa

jauh perubahan harga beras dalam negeri akibat adanya perubahan dalam jumlah
beras yang diimpor (dalam persen), baik dalam jangka panjang maupun jangka
pendek. Elastisitas jangka pendek diukur dengan koefisien regresi yang didapat
ada model dugaan, sedangkan elastisitas jangka panjang diukur dengan
menggunakan rumus a1/ (1 – a2).
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap volume impor beras
adalah poduksi beras dalam negeri, konsumsi beras dalam negeri, stok beras
Bulog pada awal periode, harga beras dalam negeri periode yang lalu, nilai tukar
riil, harga terigu, harga beras impor dan kebijakan pemerintah. Kebijakan
pemerintah diikutsertakan dalam model sebagai dummy variable, dimana
kebijakan bernilai satu ketika tarif impor tidak dikenakan (tahun 1999) dan
bernilai nol ketika impor beras sudah dikenakan tarif impor (tahun 2000 – 2004).
Variabel GDP dikeluarkan dari model karena data yang tidak tersedia (GDP hanya
ada dalam triwulan) sehingga model dugaan awalnya diformulasikan sebagai
berikut:
QIMt = ß0 + ß1QBRt-1 + ß2KBJt + ß3HBRt + ß4STKt-1 + ß5HIMt + ß6NTRt +
ß7HTRt + ß8QDTt
Dimana: QIMt = impor beras Indonesia (ribu ton)
QBRt-1 = produksi beras Indonesia periode sebelumnya (juta ton)
KBJt = kebijakan tarif impor beras
HBRt = harga beras (Rp/kg)
STKt-1 = stok beras Bulog awal periode (juta ton)
HIMt = harga beras impor (US $/ton)
NTRt = nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Rp/$)

HTRt = harga terigu (Rp/kg)
QDTt = konsumsi beras (juta ton)
Model yang dibentuk harus dinilai kelayakannya baik secara statistik
maupun secara ekonometrik. Secara statistik, model dinilai dengan uji-F, uji t-
hitung, serta koefisien determinasi (R2). Secara ekonometrik, dilakukan pengujian
apakah model yang dibentuk melanggar asumsi dasar seperti multikolinieritas,
homoskedastisitas dan autokorelasi.
4.3.1.2 Uji Statistik terhadap Model
1. Uji F
Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-
sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, maka pada model dilakukan
uji F. Mekanisme yang digunakan untuk pengujian:
Hipotesis: H0 : ß1 = ß2 = … = ßi = 0 (tidak ada pengaruh nyata variabel-
variabel dalam persamaan)
H1 : Minimal ada satu nilai parameter dugaan (ßi) yang signifikan
Untuk i = 1,2,3,…,k
ß = dugaan parameter
Statistik uji :
F hitung = SSR / (k-1) , dengan derajat bebas = (k-1), (n-k) SSE/ (n-k)
Dimana: SSR = jumlah kuadrat regresi
SSE = jumlah kuadrat error
k = jumlah parameter
n = jumlah pengamatan

Kriteria uji:
§ F-hitung < F-tabel : terima H0, artinya variabel eksogen secara bersama-sama
tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada tingkat kepercayaan
tertentu.
§ F-hitung > F-tabel : tolak H0, artinya variabel eksogen secara bersama-sama
berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada tingkat kepercayaan
tertentu.
2. Uji t
Selain dilakukan uji variabel eksogen secara bersama-sama, dilakukan
pula uji parsial (uji t). Uji t bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen
yang terdapat dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel
endogen. Mekanisme uji statistik t adalah sebagai berikut:
Hipotesis: H0 = perubahan suatu variabel eksogen secara individu tidak
berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen.
H1 = perubahan suatu variabel secara individu berpengaruh nyata
terhadap perubahan variabel endogen.
Statistik uji: t-hitung = ßi / S (ßi), dengan derajat bebas = n – k
Dimana: ß i = koefisien parameter dugaan
S(ßi) = standar deviasi parameter dugaan
k = jumlah parameter
n = jumlah pengamatan
Kriteria uji:
§ |t-hitung| < t-tabel : terima Ho, artinya variabel eksogen yang diuji tidak
berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya pada taraf nyata a.

§ |t-hitung| > t-tabel : tolak Ho, artinya variabel eksogen yang diuji berpengaruh
nyata terhadap variabel endogennya pada taraf nyata a.
3. Uji Goodness of Fit
Derajat ketepatan (goodness of fit) diukur dari besarnya nilai koefisien
determinasi (R2), yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman
impor beras dapat diterangkan oleh variabel penjelas yang telah terpilih.
Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
SSTSSE
R −= 12
Keterangan:
SSE = jumlah kuadrat error
SST = jumlah kuadrat total
Apabila nilai dari R2 semakin mendekati 1, berarti semakin besar
keragaman impor beras yang dapat diterangkan oleh model yang telah dibentuk.
4.3.1.3 Pengujian terhadap Asumsi
1. Uji Autokorelasi
Penelitian ini menggunakan uji Lagrange Multiplier karena metode ini
menghasilkan kesimpulan yang pasti sedangkan pada metode uji Durbin Watson
terdapat daerah dimana tidak ada kesimpulan yang bisa diambil. Langkah- langkah
dalam uji Lagrange Multiplier:
Hipotesis: H0: ? = 0, tidak terdapat autokorelasi dalam model
H1; ? ? 0, terdapat autokorelasi di dalam model
Statistik uji:
Regresikan µt terhadap intersep, seluruh Xi dan µt-1, hitung: 2)1( RnLM −=

Kriteria uji:
§ Tolak H0 jika LM > ?21(a), artinya terdapat autokorelasi di dalam model
§ Terima H0 jika LM < ?21(a), yang menunjukkan bahwa di dalam model tidak
terdapat autokorelasi
Untuk menguji model yang menggunakan lag variabel dependent dipakai
uji durbin-h. Langkah- langkah dalam menerapkan uji tersebut adalah:
Hipotesis: H0: ? = 0, tidak terdapat autokorelasi dalam model
H1; ? ? 0, terdapat autokorelasi di dalam model
Statistik uji: ∑
∑ −=2
1
ˆ
ˆˆˆ
t
tt
µ
µµρ atau 2)2(ˆ d−=ρ
Kemudian hitung 2/1
2'1'
ˆ
−=
β
ρsn
nh
Dimana n’= n – 1 dan 2βs adalah ragam dari ß lag dependent variabel
Kriteria uji:
Tolak H0 jika h < -z* atau h > z*, artinya terdapat autokorelasi di dalam
model, dimana z* adalah titik pada distribusi normal sedemikian rupa sehingga
area di sebelah kanan z* adalah seluas a/2 pada tabel distribusi normal.
2. Uji Multikolinier
Multikolinieritas dalam model dapat diidentifikasi dengan melihat nilai
Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF variabel independennya lebih
besar dari 10, maka terdapat masalah multikolinieritas. Nilai VIF dapat dihitung
dengan rumus: i
XiR
VIFχ21
1−
=

Dimana: iR χ2 = koefisien determinasi dari model dimana Xi adalah fungsi dari
variabel lainnya.
3. Uji Heteroskedastisitas
Uji terhadap ada tidaknya heteroskedastisitas yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah uji Breusch-Pagan. Langkah-langkah dalam uji:
Hipotesis:
H0 : a2 = a3 = a4 = a5 = a6 = a7 a8 = a9 = 0, tidak terdapat
heteroskedastisitas dalam model
H1 : salah satu a ? 0, terdapat heteroskedastisitas di dalam model
Statistik uji:
Persamaan bantu dibentuk dengan meregresikan error terhadap variabel X
yang diperkirakan memiliki hubungan yang erat dengan error:
2tε = a1 + a2X2 + a3X3 + ... apXp
Hitung LM = nR2,
Dimana: n = jumlah observasi persamaan bantu
R2= unadjusted R2 persamaan bantu
Kriteria uji:
§ Tolak H0 jika LM > ?2p-1(a), maka di dalam model terdapat heteroskedastisitas
§ Terima H0 jika LM < ?2p-1(a), yang menunjukkan bahwa residualnya
homoskedastis
4.3.2 Identifikasi Pola Data
Terdapat empat komponen pola data, yakni tren, musiman, siklus dan
iregular. Tren yaitu merupakan komponen jangka panjang yang mendasari

penurunan atau peningkatan data time series. Musiman (season) merupakan
fluktuasi nilai yang terjadi kurang dari satu tahun dan berulang pada tahun-tahun
berikutnya. Siklus (cycle) merupakan komponen pola data berupa fluktuasi yang
terjadi lebih dari satu tahun di sekitar garis tren. Sedangkan iregular (random)
merupakan komponen yang polanya acak dan tidak terdefinisi.
Pengidentifikasian pola data dilakukan dengan menelaah plot/grafik
variabel tersebut terhadap waktu dan korrelogram. Dengan memplot data historis
terhadap waktu dalam grafik, maka pola data bisa diidentifikasi dengan jelas.
Cara lain adalah menggunakan korrelogram. Korrelogram merupakan peta
autokorelasi dari variabel yang diamati. Autokorelasi merupakan korelasi di
antara variabel itu sendiri dengan selang satu atau beberapa periode ke belakang
(lag). Autokorelasi lag ke-k didefinisikan sebagai berikut:
rk =
∑ −
∑ −−
=
+=−
nYY
nYYYY
tt
ktktt
1
2
1
)(
))((
§ Jika didapat rk untuk setiap selang mendekati nol, berarti tidak ada komponen
tren.
§ Jika didapat rk yang berbeda nyata dari nol pada selang awal dan secara
bertahap menurun mendekati nol maka data tersebut memiliki pola tren.
§ Jika didapat rk yang berbeda nyata dari nol pada selang waktu musiman atau
kelipatan selang waktu musiman maka data tersebut memiliki pola musiman.

4.3.3 Metode Peramalan Time Series
4.3.3.1 Model Naive
Model ini menggunakan nilai periode saat ini untuk meramalkan nilai dari
variabel tersebut pada periode berikutnya. Model yang dipakai adalah
Yt+1 = Yt
Dimana: Yt+1 = nilai ramalan Y satu periode ke depan
Yt = nilai aktual Y pada periode t
Peramalan menggunakan model naive berguna jika nilai variabel
cenderung konstan dari waktu ke waktu. Model ini kurang baik digunakan dalam
meramal variabel yang diramal memiliki komponen tren dalam pola datanya.
4.3.3.2 Model Tren
Peramalan model tren menggambarkan hubungan dari variabel yang
diramalkan terhadap waktu. Bentuk fungsional model tersebut bergantung
terhadap pola data yang dimiliki variabel yang diamati. Model tren linier
mengasumsikan adanya perubahan yang konstan dari volume impor beras di
setiap periodenya. Apabila impor beras di Indonesia mengalami fluktuasi yang
meningkat, maka analisis tren yang sesuai adalah tren kuadratik. Tipe exponential
growth sesuai digunakan jika impor beras meningkat dengan laju yang semakin
bertambah. Persamaan yang akan dibentuk adalah sebagai berikut:
a. Bentuk linier, btaYt +=ˆ
b. Bentuk kuadratik, 21ˆ bttbaYt ++=
c. Bentuk eksponensial, btt aeY =ˆ yang dilinierkan menjadi btaYt += lnˆln

Dimana: tY = nilai dugaan Y pada periode ke-t
a = intersep
b = dugaan tren
t = periode ke-t
4.3.3.3 Model Smoothing
Metode peramalan kuantitatif dengan menggunakan model pemulusan
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Model Rata-rata Sederhana
Model rata-rata sederhana adalah mengambil rata-rata dari semua data
dalam kelompok data masa lalu sebagai ramalan untuk periode berikutnya:
nYYYn
t
tt
== ∑
=
+
1
1ˆ
Dimana: Yt+1 = nilai ramalan Y satu periode ke depan
Y = rata-rata Y
Yt = nilai aktual Y pada periode t
n = jumlah data
Model perataan sederhana akan menghasilkan ramalan yang baik hanya
jika proses yang mendasari nilai pengamatan bersifat stasioner.
2. Metode Rata-rata Bergerak Sederhana
Dalam metode ini, digunakan nilai ordo (T) yang menyatakan banyaknya
observasi pada setiap proses perata-rataan. Menurut Gaynor dan Kirkpatrick
(1994), dalam memilih tongkat ordo T, digunakan metode coba-coba (trial and

error) dan ordo yang dipilih adalah tingkat ordo yang memberikan residual yang
paling kecil. Model yang digunakan adalah:
T
YYYY
Ttttt
111
...ˆ +−−+
+++=
Dimana: Yt+1 = nilai ramalan Y satu periode ke depan
Yt = nilai aktual Y pada periode t
T = ordo moving average
3. Model Penghalusan Eksponensial Tunggal
Model ini memberikan bobot yang menurun secara eksponensial terhadap
nilai pengamatan yang lebih tua. Model pemulusan eksponensial tunggal cocok
untuk data yang stasioner, termasuk data volume impor beras di dalam penelitian
ini. Bentuk umum yang digunakan adalah:
ttt YYY ˆ)1(ˆ 1 αα −+=+
Dimana: Yt+1 = nilai ramalan Y satu periode ke depan
Yt = nilai aktual Y pada periode t
a = konstanta pemulusan (ditentukan dengan cara coba-coba)
tY = nilai dugaan Y pada periode ke-t
4. Model Penghalusan Eksponensial Ganda
Ada dua versi pemulusan eksponensial ganda yang sering digunakan,
yaitu pemulusan eksponensial ganda dengan satu parameter (metode Brown) dan
pemulusan eksponensial ganda dengan dua parameter (metode Holt).
Model Linier Satu Parameter dari Brown
Pendekatan ini juga memberikan bobot yang semakin menurun pada
observasi masa lalu. Persamaan yang digunakan adalah:

)(1
2)()1(
)1()(
1
1
ttt
tttttt
tt
tt
ttmt
SSb
SSSSSSSS
SYSmbaY
′′−′−
=
′′−′=′′−′+′=′′−+′=′′
′−+=′+=
−
−
+
αα
ααα
αα
Dimana: Yt+m = nilai ramalan Y m periode ke depan
Yt = nilai aktual Y pada periode t
a = konstanta pemulusan
S’ = pemulusan pertama periode ke-t
S” = pemulusan kedua periode ke-t
at = dugaan intersep
bt = dugaan tren
Model Dua Parameter dari Holt
Holt memuluskan nilai tren dengan parameter yang berbeda dari
parameter yang digunakan pada deret asli. Ramalan dari pemulusan eksponensial
linear Holt didapat dengan menggunakan dua konstanta pemulusan dan tiga
persamaan:
mbSYbSSbbSYS
ttmt
tttt
tttt
+=−+−=
+−+=
+
−−
−−
,)1()(),)(1(11
11
γγαα
Dimana: Yt+m = nilai ramalan Y m periode ke depan
Yt = nilai aktual Y pada periode t
St = nilai pemulusan
bt = dugaan tren
a = konstanta pemulusan
γ = konstanta pemulusan untuk dugaan tren

5. Model Winters Multiplikatif
Model Winters didasarkan atas tiga persamaan pemulusan, yaitu satu
untuk unsur stasioner, satu untuk tren dan satu untuk musiman sehingga model ini
dapat digunakan terhadap data yang memiliki pola data musiman. Persamaan
dasar untuk model Winters adalah sebagai berikut:
a. Pemulusan Keseluruhan: ))(1( 11 −−−
+−+= ttlt
tt ba
SY
a αα
b. Pemulusan Trend: 11 )1()( −− −+−= tttt baab ββ
c. Pemulusan Musiman: ltt
tt Sn
aY
Sn −−+= )1( γγ
d. Ramalan: mltttmt SnmbaY +−+ += )(ˆ
Dimana: Yt+m = nilai ramalan Y m periode ke depan
Yt = nilai aktual Y pada periode t
at = nilai pemulusan
bt = dugaan tren
Snt = dugaan musiman pada periode t
a = konstanta pemulusan
ß = konstanta pemulusan untuk dugaan tren
γ = konstanta pemulusan untuk dugaan musiman
l = ordo musiman
m = jumlah periode ke depan yang akan diramalkan.
6. Model Winters Aditif
Model ini digunakan jika variasi dari komponen musiman tetap.
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Pemulusan Keseluruhan: ))(1(( 11 −−− +−+−= ttlttt baSnYa αα

b. Pemulusan Tren: 11 )1()( −− −+−= tttt baab ββ
c. Pemulusan Musiman: ltttt SnaYSn −−+−= )1()( γγ
d. Ramalan: mltttmt SnmbaY +−+ ++= )(ˆ
Dimana: Yt+m = nilai ramalan Y m periode ke depan
Yt = nilai aktual Y pada periode t
at = nilai pemulusan
bt = dugaan tren
Snt = dugaan musiman pada periode t
a = konstanta pemulusan
ß = konstanta pemulusan untuk dugaan tren
γ = konstanta pemulusan untuk dugaan musiman
l = ordo musiman
m = jumlah periode ke depan yang akan diramalkan.
4.3.3.4 Model Dekomposisi
Model dekomposisi memungkinkan kita memisahkan berbagai pola yang
ada dalam data time series yang dimiliki. Bentuk fungsional yang dapat digunakan
ada dua, yakni bentuk aditif dan multiplikatif. Bentuk aditif digunakan jika
variasi komponen musiman tetap sedangkan bentuk multiplikatif digunakan jika
variasi komponen musiman membesar secara proporsional terhadap tren.
1. Model Dekomposisi Multiplikatif
Yt = Trt * Clt * Snt * Et
Prosedur pemisahan masing-masing komponen pola data dilakukan
sebagai berikut:

a. Dapatkan indeks musiman
• Hitung centre moving average, dengan panjang average = L (L =
banyaknya periode dalam satu tahun)
• Jika letaknya tidak tepat pada periode tertentu, centre-kan dengan
panjang average dua
• Hasilnya berupa Trx * Clx (data time series yang sudah hilang
komponen musiman dan error)
• Dapatkan kembali komponen Snx * Ex, yakni:
Snx * Ex = xx
x
ClTrY*
• Hitung indeks musiman dengan menghilangkan error dari Snx * Ex,
yaitu dengan cara menghitung rata-rata tiap musim
• Seharusnya, jumlah indeks musiman = L, jika tidak, lakukan koreksi,
yakni dengan mengalikan masing-masing indeks tersebut dengan
L/jumlah indeks musiman
• Hasilnya disebut indeks musiman terkoreksi, yakni Sn1, Sn2, … SnL
b. Dapatkan dugaan tren
• Hitung deseasonalized data (Dx), yakni x
xx
SnY
D =
• Dapatkan model tren yang sesuai, dengan menggunakan
deseasonalized data (Dx) tersebut sebagai peubah tidak bebas (Y)
• Model tren yang didapat digunakan untuk menghitung dugaan tren
untuk setiap periode x (Trx)

2. Model Dekomposisi Aditif
Yt = Trt + Clt + Snt + Et
Prosedur pemisahan masing-masing komponen pola data dilakukan
sebagai berikut:
a. Dapatkan indeks musiman
• Hitung centre moving average, dengan panjang average = L (L =
banyaknya periode dalam satu tahun)
• Jika letaknya tidak tepat pada periode tertentu, centre-kan
• Hasilnya berupa Trx + Clx (data time series yang sudah hilang
komponen musiman dan error)
• Dapatkan kembali komponen Snx + Ex, yakni:
Snx + Ex = Yx – (Trx + Clx)
• Hitung indeks musiman dengan menghilangkan error dari Snx + Ex,
yaitu dengan cara menghitung rata-rata tiap musim
• Seharusnya jumlah indeks musiman = 0, jika tidak, hitung Faktor
Koreksi (FK) = L
Snjumlahmean )(, kemudian indeks musiman
terkoreksi adalah Mean – FK
b. Dapatkan dugaan tren
• Hitung deseasonalized data (Dx), yakni Dx = Yx – Snx
• Dapatkan model tren yang sesuai, dengan menggunakan
deseasonalized data (Dx) tersebut sebagai peubah tidak bebas (Y)
• Model tren yang didapat digunakan untuk menghitung dugaan trend
untuk setiap periode x (Trx)

4.3.3.5 Metode Box-Jenkins ARIMA
Assauri (1984) menyebutkan bahwa metode ini mengasumsikan bahwa
nilai deret data dihasilkan oleh proses stochastic (random) dengan bentuk yang
dapat dijelaskan. Model ARIMA dalam banyak kasus memberikan model
peramalan yang paling akurat untuk set data manapun. Metode ini menawarkan
pendekatan yang lebih sistematis dalam membangun, menganalisa dan meramal
model time series. Hanya saja, tidak ada prosedur otomatis dalam meng-update
model ketika data baru dimasukkan-modelnya harus diduga dari awal lagi.
Model ARIMA terdiri atas autoregressive model, moving average model
dan Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) model.
1. Model Autoregressive (AR)
Model AR adalah persamaan dimana jika series stasioner adalah fungsi
linier dari nilai-nilai lampaunya yang berurutan. Secara umum model ini dapat
ditulis sebagai berikut:
Yt = b0 + b1Yt-1 + b2 Yt-2 + … + bp Yt-p + e1
Yt = series yang stasioner
Yt-1, Yt-2 … Yt-p = nilai lampau series yang bersangkutan
bo, b1, … bp = konstanta dan koefisien model
et = kesalahan peramalan yang dihasilkan proses random
(whitenoise), diasumsikan mengikuti sebaran bebas
dan normal dengan rata-rata nol
Tingkat dari model (nilai p) ditunjukkan oleh banyaknya nilai lampau
yang diikutsertakan dalam model. Sebagai contoh, AR (1) merupakan model

Autoregressive tingkat satu yang menggunakan satu nilai lampau terakhir dalam
model.
2. Model Moving Average (MA)
Jika series yang stasioner merupakan fungsi linier dari kesalahan
peramalan sekarang dan masa lalu yang berurutan maka persamaan itu dinamakan
moving average model (MA). Bentuk umum model ini dapat ditulis sebagai
berikut:
Yt = a0 + et – a1et-1 – a2et-2 - … - aqet-q
Yt = nilai series yang stasioner
et = kesalahan peramalan yang dihasilkan oleh proses random
(whitenoise) yang diasumsikan mengikuti sebaran bebas
dan normal dengan rata-rata nol.
et-1, et-2, … et-q = kesalahan peramalan masa lalu
a0, a1, a2, … aq = konstanta dan koefisien model, mengikuti konvensi
diberikan tanda negatif
Tingkat model MA ini (nilai q) ditunjukkan dengan banyaknya kesalahan
masa lampau yang digunakan dalam model. Jika dalam model digunakan dua
kesalahan peramalan pada masa lampau maka dinamakan model moving average
tingkat dua, ditulis MA (2).
3. Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)
Model ARIMA adalah gabungan dari model AR dan model MA. Pada
model ini series stasioner adalah fungsi dari nilai lampaunya dan nilai sekarang
seta kesalahan lampaunya. Bentuk umum model ini adalah:
Yt = b0 + b1Yt-1 + … + bp Yt-p + et – a1et-1 – … - aqet-q

Secara umum notasi model ARIMA yang diperluas dengan
memperhatikan unsur musiman adalah sebagai berikut:
ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)L dimana L adalah banyaknya periode dalam setahun
Tahapan dalam Metode Box-Jenkins (ARIMA)
Metode ARIMA dapat digunakan melalui tiga tahap yang dapat
digambarkan melalui skema berikut ini:
Gambar 3. Tahapan dalam Metode Box Jenkins Keterangan : Garis putus-putus membatasi antara satu tahap dan tahap berikutnya. Sumber :.Makridakis,McGee dan Wheelwrigth, 1999.
1. Tahap Identifikasi
Pada tahap identifikasi, variabel yang akan diramalkan terlebih dahulu
diuji kestasioneran datanya. Kestasioneran data dapat diuji dengan cara plot data
dan menghitung autocorrelation function (ACF). Melalui plot data, dilihat secara
visual apakah data memiliki kecenderungan semakin meningkat, semakin
menurun, atau terdapat fluktuasi musiman. Sedangkan dari nilai ACF, jika nilai
Rumuskan kelompok model-model yang umum
Gunakan model untuk peramalan
Penetapan model untuk sementara
Penaksiran parameter pada model sementara
Pemeriksaan diagnostik (Apakah model memadai?)
Tahap 1 Identifikasi Model
Tahap 2 Estimasi dan
Pengujian Model
Tahap 3 Penerapan Model
Tidak Memadai
Ya

ACF mendekati nol pada lag kedua atau ketiga, maka data tersebut stasioner. Jika
data yang diamati memiliki pola musiman, pada plot ACF akan terlihat nilai ACF
yang signifikan pada kelipatan musimannya.
Dalam prakteknya, banyak deret data Yt merupakan data non-stasioner.
Deret data tersebut dapat dijadikan stasioner dengan melakukan proses
differencing. Jumlah berapa kali dilakukan proses differencing (d) menunjukkan
tingkat diferensiasi model. Misalkan Yt non-stasioner, setelah kemudian dibuat
diferensiasi tingkat satu. Zt = ? Yt = Yt – Yt-1, ternyata diperoleh nilai Zt
stasioner, maka Zt dapat dikatakan first order homogenous dan Yt dikatakan non-
stasioner tingkat satu.
Untuk pola data yang mengandung unsur musiman, secara khusus dapat
digunakan model seasonal ARIMA. Unsur musiman dapat dihilangkan dengan
seasonal differencing. Jika datanya merupakan data tiga bulanan maka bentuk
seasonal difference-nya adalah:
Zt = Yt – Yt-4 = (1 – B)4Yt
Setelah data menjadi stasioner, langkah yang selanjutnya dilakukan adalah
menentukan model tentative. Untuk menentukan model tentative, diperlukan
analisis perilaku dari ACF dan PACF. Pola perilaku ACF dan PACF bisa berpola
cut off dan dies down.
Pertama, ACF dan PACF dari data time series bisa berpola cut off. Pola
cut off adalah pola ketika garis ACF dan PACF signifikan pada lag pertama
dan/atau kedua tetapi kemudian tidak ada garis ACF dan PACF yang signifikan
pada lag berikutnya. Untuk pola cut off, perbedaan antar AC dan PAC yang

signifikan dengan AC dan PAC yang tidak signifikan adalah besar sehingga garis
AC dan PAC terlihat terpotong (cut off).
Kedua, ACF dan PACF dikatakan memiliki perilaku dies down jika kedua
fungsi tersebut tidak terpotong, melainkan menurun secara bertahap. Bentuk
penurunannya bisa tanpa ataupun dengan osilasi ataupun berbentuk gelombang
sinus.
Penentuan apakah suatu data time series dimodelkan dengan AR, MA atau
ARIMA tergantung pola ACF dan PACF. Model AR digunakan jika plot ACF-
nya dies down sementara PACF-nya cut off. Model MA digunakan jika plot ACF-
nya cut off dan plot PACF-nya dies down. Sedangkan jika kedua plot ACF dan
PACF sama-sama dies down, maka model yang digunakan adalah model ARIMA.
Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Model Box-Jenkins Berdasarkan ACF dan PACF
Model ACF PACF Autoregressive Yt = b0 + b1Yt-1 + b2 Yt-2 + … +bp Yt-p + e1
Dies down Cut off pada lag p
Moving Average Yt = a0 + et – a1et-1 – a2et-2 - … - aqet-q
Cut off pada lag q Dies down
ARIMA Yt=b0+b1Yt-1+…+bpYt-p+et–a1et-1–…-aqet-q
Dies down Dies down
Sumber: Bowerman dan O’Connell (1993) 2. Tahap Estimasi dan Pengujian Model
Dalam melakukan estimasi, penelitian ini menggunakan bantuan
komputer, yakni software MINITAB versi 14. Setelah dilakukan estimasi
koefisien, baik koefisien autoregressive maupun moving average masing-masing
diuji signifikansinya dengan menggunakan uji t.

Selain signifikansi koefisien, terdapat beberapa hal lainnya yang diuji
dalam tahapan diagnostic checking, antara lain:
1. Kondisi stationarity, bisa dilihat dari jumlah seluruh koefisien
autoregressive. Jumlah koefisien autoregressive harus kurang dari |1|.
Jika model yang digunakan adalah model moving average, maka tidak ada
kondisi stationarity yang harus dipenuhi.
2. Kondisi invertibility, yang menyatakan bahwa jumlah dari koefisien
moving average harus kurang dari |1|. Jika model yang digunakan adalah
autoregressive, maka tidak ada kondisi invertibility yang harus dipenuhi.
3. Iterasi harus konvergen, artinya estimasi yang dilakukan efisien dan tidak
ada lagi estimator yang menghasilkan SSE yang lebih kecil. Hal ini
ditunjukkan dalam output MINITAB 14 dengan kata-kata ”relative change
in each estimate less than 0.001”.
4. Error dari model harus bersifat random. Hal ini terlihat dari modified Box
Pierce (Ljung-Box-Pierce) Q statistic. Jika Q > ?2 dengan m = p-q derajat
bebas maka model tidak akurat. Statistik Q dapat dihitung dengan
menggunakan rumus ∑= −
+=m
k
km kn
rnnQ
1
2
)2( atau dengan melihat p-value
dari statistik Q dimana jika p-value kurang dari a (5 persen) maka error
yang dihasilkan berarti tidak bersifat acak dan model tidak cukup baik.
3. Tahap Penerapan Model
Model yang telah memenuhi semua syarat pada diagnostic checking dapat
digunakan untuk meramalkan variabel, tentu saja jika menurut kriteria pemilihan
model, model ARIMA lebih baik dibandingkan dengan model lainnya. Selain
model tentative, model ARIMA yang lain juga patut untuk dicoba. Jika ternyata

model ARIMA selain model tentative memiliki RMSE lebih kecil, maka model
itulah yang akan dipilih.
4.3.4 Memilih Metode Peramalan Time Series
Penelitian ini menggunakan Root Mean Square Error (RMSE) sebagai
kriteria dalam membandingkan ketepatan dari moetode peramalan yang
digunakan, dimana RMSE dirumuskan sebagai : n
eRMSE
t∑=2
Pendekatan ini memberikan bobot yang lebih besar untuk error yang besar
dengan mengkuadratkan masng-masing error. Hal ini penting karena model yang
memberikan error yang moderat lebih disukai dibandingkan dengan model yang
memberikan error yang kecil, tetapi pada beberapa periode t memberikan error
yang sangat besar (Hanke dan Reitsch, 1992). RMSE lebih dipilih daripada MSE
karena satuan RMSE lebih bisa dibaca secara intuitif dibandingkan dengan MSE.
4.4 Definisi Operasional
Beberapa variabel yang perlu didefinisikan secara operasional dalam
penelitian ini antara lain:
§ Beras impor, adalah beras yang didatangkan dari luar negeri secara legal yang
termasuk ke dalam klasifikasi SITC 042 (ribu ton)
§ Harga beras dalam negeri yang diambil merupakan harga beras eceran kualitas
medium di kota-kota besar di Indonesia (Rp/kg)
§ Harga beras impor yang diambil merupakan rata-rata empat bulan dari nilai
impor beras (CIF) dibagi dengan jumlah impor beras (US$/ton)

§ Produksi beras, didapat dari produksi padi nasional (GKG) yang dikalikan
dengan suatu faktor konversi (0.625) (juta ton)
§ Permintaan beras jumlah total beras yang diminta baik untuk industri maupun
untuk kebutuhan rumah tangga (juta ton)
§ Nilai tukar rupiah yang diambil adalah rata-rata empat bulanan dari nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang telah dideflasi (Rp/US$)
§ Dummy kebijakan, KBJ bernilai 1 ketika impor beras dilakukan secara bebas
tanpa tarif (tahun 1999), 0: ketika tarif diterapkan (tahun 2000 – 2004)
§ Harga terigu yang diambil merupakan rata-rata harga terigu empat bulanan
yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)
§ Stok beras Bulog awal periode merupakan stok beras Bulog pada akhir
periode sebelumnya (juta ton)
4.5 Hipotesis
1. Lag volume impor beras berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik
dan semakin besar volume impor beras pada suatu periode maka harga beras
domestik pada periode berikutnya akan semakin rendah.
2. Volume impor beras dipengaruhi oleh harga beras impor, harga beras
domestik, produksi domestik, permintaan beras domestik, nilai tukar rupiah,
PDB Indonesia, stok beras Bulog dan kebijakan pemerintah dengan tanda
yang diharapkan untuk variabel harga terigu, harga beras domestik,
permintaan beras domestik, dan dummy kebijakan pemerintah adalah positif
sementara untuk variabel harga beras impor, produksi domestik, nilai tukar riil
dan stok beras Bulog diharapkan bertanda negatif

V. ANALISIS IMPOR BERAS INDONESIA
5.1 Pengaruh Impor Beras Terhadap Harga Beras Domestik
5.1.1 Spesifikasi Model
Model yang dirumuskan dalam upaya menerangkan pengaruh volume
impor beras terhadap harga beras dalam negeri adalah model regresi berganda,
dengan metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Model dibentuk
dengan memasukkan dua variabel, yakni impor beras periode sebelumnya serta
harga beras periode sebelumnya. Model hasil dugaan diperoleh sebagai berikut:
LnHBR = 0.424 – 0.0102 LnLagQIM + 0.963 LnLagHBR
Dimana: HBR = harga beras domestik (Rp/kg)
lagQIM = volume impor beras periode sebelumnya (ribu ton)
lagHBR = harga beras periode sebelumnya (Rp/kg)
5.1.2 Pengujian Asumsi OLS
1. Uji Autokorelasi
Pengujian terhadap ada tidaknya autokorelasi tidak bisa dilakukan dengan
uji Lagrange Multiplier karena pada model terdapat lag dependent variable, yaitu
lag HBR. Uji dilakukan dengan statistik Durbin-h dan menghasilkan nilai h
sebesar -0,79242 (Lampiran 2). Nilai mutlak statistik Durbin-h lebih kecil bila
dibandingkan dengan nilai kritisnya yaitu sebesar 1.645 untuk taraf nyata 5
persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada model dugaan tidak
terdapat masalah autokorelasi.

2. Uji Multikolinier
Multikolinieritas dalam model dapat diidentifikasi dengan melihat nilai
Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF variabel independennya lebih
besar dari 10, maka terdapat masalah multikolinieritas. Dengan berpedoman pada
hasil output regresi dengan MINITAB 14 (Lampiran 1), terlihat bahwa ternyata
nilai VIF dari kedua variabel (impor beras periode sebelumnya dan harga beras
periode sebelumnya) lebih kecil dari 10 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat
masalah multikolinieritas di dalam model dugaan.
3. Uji Heteroskedastisitas
Asumsi homoskedastisitas yang menyatakan bahwa variasi dari setiap
residual adalah sama (konstan) atau menyebar secara homogen, diuji
menggunakan uji Breusch-Pagan. Uji ini menggunakan auxiliary regression
dimana variabel independen diregresikan terhadap kuadrat dari residual.
Dengan menghitung statistik LM = nR2, didapat besaran LM (Lampiran 3)
adalah 2.295. Nilai tersebut adalah lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai
distribusi chi-square untuk derajat bebas 2 pada taraf nyata 5 persen yaitu sebesar
5.99146. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa di dalam model tidak terdapat
heteroskedastisitas.
5.1.3 Uji Statistik Terhadap Model
1. Uji F
Uji F digunakan untuk menguji apakah variabel penjelas secara bersama-
sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Dari hasil output MINITAB
14 diperoleh nilai F hitung sebesar 118.10. Terlihat dari nilai p-value pada tabel

ANOVA yang bernilai 0.000 (Lampiran 1) atau lebih kecil dibandingkan a 5
persen yang berarti bahwa nilai F hitung yang didapat adalah signifikan bahkan
untuk a = 5 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan, variabel impor beras periode sebelumnya dan harga beras periode
sebelumnya secara signifikan berpengaruh terhadap harga beras domestik.
2. Uji t
Uji t digunakan dalam menguji apakah variabel volume impor beras
periode sebelumnya serta variabel harga beras periode sebelumnya secara individu
mempengaruhi harga beras domestik. Statistik uji t dan p-value kedua variabel
tersebut ditunjukkan dalam Tabel 7. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa
variabel impor beras periode sebelumnya signifikan pada taraf nyata 15 persen
sedangkan variabel harga beras periode sebelumnya signifikan pada taraf nyata 1
persen.
Tabel 7. Nilai Dugaan Model Harga Beras Indonesia
Variabel Koefisien SE Koefisien T P
Konstanta 0.4235 0.4325 0.98 0.337
Lag Impor Beras -0.010167 0.008443 -1.20 0.240
Lag Harga Beras 0.96295 0.08371 11.50 0.000
3. Goodness of Fit
Goodness of fit bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman
harga beras domestik dapat diterangkan oleh variabel impor beras periode
sebelumnya serta harga beras periode sebelumnya. Koefisien determinasi sebesar
88.6 persen menunjukkan bahwa variabel independen yang digunakan dalam
model dugaan dapat menerangkan variasi/keragaman harga beras sebesar 88.6

persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 11.4 persen dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak terdapat dalam model (Lampiran 1).
5.1.4 Interpretasi Model Dugaan Harga Beras Indonesia
Pada model dugaan harga beras domestik, ternyata diketahui bahwa
variabel impor beras periode sebelumnya secara nyata mempengaruhi harga beras
domestik dengan taraf kepercayaan 85 persen. Pengaruh impor beras periode
sebelumnya terhadap harga beras dalam negeri adalah negatif, yang berarti bahwa
dengan semakin meningkatnya impor beras Indonesia periode sebelumnya, maka
harga beras dalam negeri akan semakin menurun. Berdasarkan penelitian
terdahulu, penawaran beras Indonesia berasal dari produksi beras, perubahan stok
beras Bulog dan impor. Dengan demikian, peningkatan jumlah impor berarti
meningkatkan penawaran. Jika diasumsikan permintaan tetap, maka peningkatan
penawaran tersebut menyebabkan jumlah keseimbangan meningkat dan harga
keseimbangan turun.
Tabel 8. Nilai Elastisitas Harga Beras Domestik terhadap Impor Beras
Elastisitas Besaran
Jangka Pendek -0.010167
Jangka Panjang - 0.274413
Nilai elastisitas harga terhadap impor jangka pendek adalah sebesar –
0.010167 sedangkan elastisitas jangka panjangnya adalah sebesar – 0.2744. Nilai
kedua elastisitas tersebut menunjukkan bahwa jika impor beras periode
sebelumnya meningkat sebesar 10 persen, maka dalam jangka pendek harga beras

dalam negeri rata-rata akan turun sebesar 0.10167 persen sedangkan dalam jangka
panjang harga beras dalam negeri akan turun sebesar 2.744 persen.
Berdasarkan hasil yang didapat melalui model harga beras yang terbentuk,
diketahui bahwa adanya impor beras memang akan menurunkan harga beras
domestik. Penurunan harga beras tersebut menyebabkan harga gabah juga ikut
menurun sehingga keuntungan yang didapat dari usahatani padi menurun.
Penurunan keuntungan tersebut dalam jangka panjang dapat menyebabkan petani
meninggalkan usahatani padi sehingga produksi beras dikhawatirkan semakin
menurun. Karena itu, diusahakan agar impor beras tidak terlalu besar dengan
menerapkan kebijakan perdagangan yang akan menurunkan impor beras.
5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Beras Indonesia
Efektivitas kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah dianalisis
dengan membentuk model ekonometrika. Selain kebijakan perdagangan, faktor-
faktor lain yang mempengaruhi besaran impor beras juga perlu diketahui sehingga
bisa diupayakan antisipasi jika kemudian faktor-faktor tersebut nantinya akan
menyebabkan peningkatan impor beras.
5.2.1 Spesifikasi Model
Model yang dirumuskan dalam upaya menerangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi impor beras adalah model regresi berganda, dengan metode
pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Faktor- faktor yang diduga
mempengaruhi impor beras yaitu nilai tukar riil, harga komoditas substitusi
(dalam hal ini terigu), harga beras impor, harga beras domestik, kebijakan

pemerintah, stok beras Bulog awal periode, konsumsi beras dan produksi beras
domestik periode sebelumnya. Model hasil dugaan diperoleh sebagai berikut:
QIM = 12528 – 0.567 NTR – 3.70 HTR – 2.88 HIM + 1453 KBJ + 1.97 HBR
– 96 STK – 1024 QDT – 11.0 LQBR
Ternyata pada model dugaan awal, terdapat multikolinier sehingga model
perlu diduga ulang (Lampiran 4). Dengan penyesuaian variabel independennya
dimana variabel stok beras Bulog dan konsumsi beras Indonesia dihilangkan,
diperoleh model yang memenuhi semua asumsi OLS. Model tersebut adalah:
QIM = 2749 – 4.19 HTR + 1364 KBJ + 3.50 HBR – 11.1 QBRt-1 – 0.410 NTR
– 3.23 HIM
Dimana: QIMt = impor beras Indonesia (ribu ton)
HIMt = harga beras impor (US $/ton)
NTRt = nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Rp/$)
HTRt = harga terigu (Rp/kg)
HBRt = harga beras (Rp/kg)
KBJt = kebijakan tarif impor beras (1 ketika tanpa tarif, 0 lainnya)
QBRt-1 = produksi beras Indonesia periode sebelumnya (juta ton)
5.2.2 Uji Terhadap Asumsi OLS
Model akhir yang didapat telah memenuhi asumsi-asumsi OLS sebagai
berikut:
1. Uji Autokorelasi
Uji untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dalam model dugaan
dilakukan dengan menggunakan uji LM. Berdasarkan hasil uji LM pada

Lampiran 7, didapat bahwa besaran LM adalah 1.785. Nilai tersebut lebih kecil
jika dibandingkan dengan nilai chi-square dengan derajat bebas 1 dan taraf nyata
5 persen, yaitu sebesar 3.84146. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam model akhir
yang didapat, asumsi serial indepedence dapat dipenuhi.
2. Variabel independen yang saling bebas
Penelitian ini menggunakan indikator VIF dalam melakukan uji terhadap
ada tidaknya multikolinier pada model. Berdasarkan hasil output Minitab 14 pada
Lampiran 5, terlihat bahwa nilai VIF dari semua variabel lebih kecil dari 10,
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada model akhir yang didapat, tidak
terdapat masalah multikolinieritas yang berarti bahwa variabel independen yang
ada saling bebas satu sama lain.
3. Homoskedastisitas
Asumsi homoskedastisitas dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan
uji Breusch-Pagan. Uji tersebut menggunakan LM sebagai statistik ujinya. Nilai
LM yang diperoleh adalah sebesar 7.686 (Lampiran 6). Nilai statistik uji tersebut
lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai chi-square dengan derajat bebas 6 dan
taraf nyata 5 persen yaitu sebesar 12.5916. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa pada model akhir yang diperoleh asumsi homoskedastisitas dapat dipenuhi.
5.2.3 Uji Statistik Terhadap Model
4. Uji F
Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-
sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, maka pada model dilakukan
uji statistik F. Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan di atas adalah

variabel eksogen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Dari hasil
output MINITAB 14 pada Lampiran 5, diperoleh nilai F hitung sebesar 41.5.
Pada Tabel ANOVA di Lampiran 5 terlihat bahwa p-value dari F-hitung adalah
sebesar 0.000 yang berarti lebih kecil dari a 5 persen sehingga dapat disimpulkan
bahwa secara keseluruhan, variabel-variabel independen yang terdapat di dalam
model secara signifikan berpengaruh terhadap jumlah beras yang akan diimpor
oleh Indonesia.
5. Uji t
Variabel-variabel independent yang disertakan dalam model selain diuji
secara bersama-sama, juga diuji secara terpisah dengan menggunakan uji t. Uji t
bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen yang terdapat dalam model
secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Hasil t-hitung dan
p-value yang didapat melalui software Minitab 14 ditampilkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai Dugaan Model Impor Beras Indonesia
Variabel Koefisien SE Koefisien T P
Konstanta 2 749 1090 2.52 0.028
Harga Terigu - 4.189 1.502 -2.79 0.018
Dummy Kebijakan Pemerintah 1 363.6 223.4 6.10 0.000
Harga Beras Dalam Negeri 3.504 1.157 3.03 0.011
Produksi Beras Periode Sebelumnya -11.066 8.663 -1.28 0.228
Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar -0.4102 0.1589 -2.58 0.026
Harga Beras Impor Indonesia -3.231 1.141 -2.83 0.016
Berdasarkan Tabel 9, variabel harga terigu, kebijakan pemerintah, harga
beras dalam negeri dan harga beras impor Indonesia signifikan pada taraf nyata 1
persen. Sementara variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar AS signifikan pada

taraf nyata 5 persen dan variabel produksi beras periode sebelumnya signifikan
pada taraf nyata 15 persen.
6. Goodness of Fit
Derajat ketepatan (goodness of fit) diukur dari besarnya nilai koefisien
determinasi (R2), yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman
impor beras dapat diterangkan oleh variabel penjelas yang telah terpilih.
Koefisien determinasi sebesar 93.5 persen (Lampiran 5) menunjukkan bahwa
variabel independen yang digunakan dalam model dugaan dapat menerangkan
variasi/keragaman impor beras sebesar 93.5 persen, sedangkan sisanya yaitu
sebesar 6.5 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model.
5.2.4 Interpretasi Model Dugaan Impor Beras Indonesia
Model impor beras yang telah diperoleh cukup layak untuk digunakan
dalam menjelaskan perilaku impor beras Indonesia. Karena nilai t-hitung dari
masing-masing variabel lebih besar dari nilai kritisnya, berarti seluruh variabel
yang digunakan berpengaruh secara nyata terhadap variabel impor beras
Indonesia. Nilai R-square adjusted sebesar 93.5 persen juga menunjukkan bahwa
model yang dibentuk secara memuaskan dapat menjelaskan keragaman dalam
data. Interpretasi terhadap model dugaan adalah sebagai berikut:
1. Impor beras Indonesia juga secara signifikan dipengaruhi oleh produksi beras
nasional periode sebelumnya dengan taraf nyata 15 persen. Hasil yang
didapat dalam penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan
hubungan negatif antara produksi dan impor beras. Model akhir impor beras
Indonesia menunjukkan adanya hubungan negatif antara produksi beras

nasional dengan impor beras dimana dengan peningkatan produksi sebesar
satu juta ton, maka impor beras akan menurun sebesar 11 ribu ton.
2. Volume impor beras Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh perubahan
kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah. Dummy kebijakan yang
digunakan dalam model adalah dummy dua kategori dimana variabel tersebut
bernilai 1 ketika impor beras tidak dikenakan tarif (tahun 1999) dan bernilai 0
ketika tarif impor beras sudah diberlakukan (tahun 2000 – 2004). Dengan
ditetapkannya tarif impor beras, maka impor beras rata-rata menurun sebesar 1
363.6 ribu ton dibandingkan jika impor beras dapat dilakukan tanpa dikenakan
tarif impor. Dengan dikenakannya tarif, harga beras impor akan menjadi
semakin mahal sehingga importir beras (impor sudah bukan monopoli Bulog)
mengurangi impor yang dilakukannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa kebijakan tarif impor cukup efektif di dalam upaya menurunkan imor
beras.
3. Hubungan antara harga beras dalam negeri dan impor beras Indonesia,
berdasarkan data time series 1999 – 2004 merupakan hubungan positif dan
pengaruh harga beras dalam negeri tersebut nyata pengaruhnya terhadap impor
beras Indonesia (a 1 persen). Hal tersebut sesuai dengan hipotesis awal
dimana dengan semakin tingginya harga beras domestik, maka impor beras
akan semakin meningkat. Jika harga beras meningkat sebesar Rp 100,-/kg
maka impor beras akan meningkat rata-rata sebesar 350.4 ribu ton. Kebijakan
pemerintah mengenai harga beras adalah menjaga agar harga beras tidak
terlalu tinggi dan memberatkan masyarakat. Ketika harga beras menjadi
terlalu tinggi, pemerintah melakukan operasi pasar dengan mengeluarkan stok

berasnya yang disimpan di gudang Bulog. Bila stok beras pemerintah dirasa
kurang pemerintah lebih memilih untuk melakukan impor beras dalam
memenuhi stok berasnya 4. Apalagi sejak tahun 1998 harga beras domestik
selalu berada di atas paritas impornya sehingga menjadikan pemenuhan stok
melalui impor menjadi pilihan yang lebih murah dibandingkan mencukupi
stok dari dalam negeri (Kasryno, 2004).
4. Impor beras Indonesia juga dipengaruhi secara nyata oleh harga beras impor
dengan tanda koefisien negatif (a 1 persen). Tanda koefisien yang negatif
menunjukkan bahwa dengan semakin tingginya harga beras impor, maka
impor beras Indonesia akan mengalami penurunan. Jika harga beras impor
meningkat sebesar US $ 1/ton maka impor beras rata-rata turun sebesar 3.231
ribu ton. Hasil tersebut sesuai dengan dugaan awal dimana hubungan yang
diharapkan antara harga dan volume beras impor adalah negatif. Importir
beras mendapat keuntungan dengan mengambil margin antara harga beras
impor dan harga beras dalam negeri. Harga beras impor yang ringgi membuat
margin yang bisa dinikmati importir beras berkurang sehingga volume impor
beras Indonesia menurun.
5. Harga terigu sebagai komoditas substitusi untuk beras juga berpengaruh nyata
(a 1 persen) terhadap impor beras Indonesia dan keduanya memiliki hubungan
negatif. Hasil yang didapat berlawanan dengan hipotesis awal bahwa jika
terigu merupakan komoditas substitusi beras, maka dengan semakin
meningkatnya harga terigu, maka konsumsi akan beras akan naik dan hal ini
mendorong peningkatan impor. Hubungan yang negatif tersebut berarti terigu
4 Jonathan Lassa.2005. Ketahanan Pangan Indonesia, Kompas 29 November

bukanlah komoditas substitusi bagi beras. Hal tersebut juga bisa berarti
bahwa beras sebagai bahan pangan pokok masyarakat Indonesia tidak
memiliki komoditas substitusi (Ariani, 2004). Walaupun sudah
mengkonsumsi mie ataupun roti (produk olahan terigu), masyarakat di
Indonesia tetap memakan nasi (produk olahan beras) dan posisi mie dan roti
adalah sebagai pelengkap (komoditas komplemen) nasi/beras. Jika harga
terigu naik sebesar Rp 100,-/kg maka impor beras akan turun sebesar 418 ribu
ton.
6. Faktor lain yang juga mempengaruhi impor beras adalah nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS dengan taraf nyata 5 persen. Jika nilai tukar melemah (naik
Rp 1,-/US $), maka impor beras Indonesia akan menurun sebesar 0.4102 ribu
ton. Hal ini sesuai dengan teori makroekonomi dimana nilai tukar yang
melemah menyebabkan harga barang impor menjadi relatif lebih mahal
sehingga jumlah barang yang diimpor berkurang. Nilai tukar yang melemah
membuat pembiayaan yang harus dilakukan dalam mengimpor beras (baik
oleh pemerintah maupun swasta) semakin besar.
5.3 Eksplorasi Pola Data Impor Beras Indonesia
Setelah mengetahui efek impor beras terhadap harga beras dalam negeri
dan faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras Indonesia, perlu dilakukan
upaya untuk mengetahui kecenderungan impor beras Indonesia ke depannya.
Upaya tersebut dilakukan salah satunya adalah dengan peramalan time series.
Langkah pertama dalam peramalan time series adalah dengan menganalisis pola
data yang ditunjukkan impor beras Indonesia pada periode-periode sebelumnya.

Untuk mengetahui pola data impor beras, dapat dilakukan dengan
memplotkan data impor beras terhadap waktu/periode. Data yang digunakan
adalah data impor beras tiga bulanan dari tahun 2000 hingga 2005. Berdasarkan
Gambar 4, terlihat bahwa data impor beras Indonesia pada periode 2000 – 2005
memperlihatkan fluktuasi yang cukup besar dan tidak memiliki pola tren,
melainkan berubah di sekitar nilai tengahnya (stasioner). Stasioneritas data juga
terlihat dari nilai ACF yang tidak signifikan dari lag ketiga (Lampiran 8).
Impor Beras Indonesia 2000 - 2005
0100200300
400500600700
2000
a20
00c
2001
a20
01c
2002
a20
02c
2003
a20
03c
2004
a20
04c
2005
a20
05c
Periode
ribu
ton
Gambar 4. Plot Data Impor Beras Indonesia 2000 – 2005 Sumber: Buletin Statistik Impor, 2000 – 2005 (diolah)
Mulai tahun 2000, impor beras dikenakan tarif impor sebesar Rp 430,-/kg
dan pada tahun–tahun berikutnya, bentuk tarif yang dikenakan adalah tarif
progresif sebesar 30 persen dimana besaran tarif impor mengikuti harga beras
impor. Impor beras sejak tahun 1999 sudah tidak dimonopoli oleh pemerintah
(Bulog).
Pada awalnya, impor beras masih besar terpengaruh produksi pada periode
sbelumnya dan mencapai angka 1 juta ton. Kemudian pada tahun 2001 impor

beras menurun. Namun impor beras pada tahun 2002 dan 2003, meningkat lagi.
Hal ini berkenaan dengan kekeringan yang melanda pada tahun 2002.
Sejak tahun 2004, impor beras kembali mengalami penurunan. Hal ini
berkaitan dengan produksi beras yang sudah membaik, juga karena harga beras
impor mengalami peningkatan karena turunnya produksi beras dunia pada periode
sebelumnya (Kasryno, 2004; Husodo, 2005). Selain itu, penurunan tersebut juga
berkaitan dengan adanya pelarangan impor beras selama satu bulan menjelang
panen raya, selama panen raya dan dua bulan setelah panen raya oleh pemerintah
melalui SK No 9/MPP/Kep/1/2004.
Selain fluktuasi tahunan, impor beras juga memiliki fluktuasi musiman.
Hampir setiap tahun, pada kuartal ketiga impor beras mengalami penurunan. Hal
ini dikarenakan produksi beras yang mencapai puncaknya pada musim tanam
pertama. Karena efek produksi terhadap impor beras tidak berlangsung dalam
periode yang sama, penurunan impor beras sebagai akibat peningkatan produksi
baru terjadi pada kuartal ketiga setiap tahunnya. Peningkatan impor pada kuartal
pertama dan kedua juga disebabkan oleh fluktuasi musiman produksi beras.
5.4 Metode Peramalan Time Series Impor Beras Indonesia
Berdasarkan identifikasi pola di atas, diketahui bahwa impor beras
memiliki pola data yang stasioner. Dengan demikian, metode peramalan yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain model naive, analisis trend, rata-rata
bergerak sederhana, pemulusan eksponensial tunggal, pemulusan eksponensial
ganda satu parameter dari Brown dan model pemulusan eksponensial ganda dua
parameter dari Holt, model Winter’s, model dekomposisi, serta model ARIMA.

5.4.1 Model Naive
Model naive mengasumsikan bahwa nilai suatu variabel pada periode
mendatang sama dengan nilai variabel tersebut pada periode saat ini Model
peramalan model naive adalah sebagai berikut:
Yt+1 = Yt
RMSE yang didapat dari peramalan menggunakan model naive adalah
sebesar 187.5988.
5.4.2 Model Analisis Tren
Model analisis tren yang digunakan meliputi beberapa tipe fungsional,
yaitu tren linier, kuadratik dan exponential growth. Dengan menggunakan
software MINITAB 14, didapatkan bentuk model untuk setiap tipe dalam
menganalisis tren impor beras di Indonesia (Tabel 10). Model analisis tren yang
memiliki RMSE terkecil adalah model tren kuadratik. Model inilah yang nanti
akan dibandingkan dengan model peramalan yang lain.
Tabel 10. Perbandingan RMSE Model Analisis Tren
Tipe Fungsional Model RMSE Linier Yt = 393.176 – 13.6025t 143.405 Kuadratik Yt = 263.745 + 17.4609t – 1.29431t2 134.109 Logaritma Natural Yt = 6,48 - 0,631 Lnt 176.594 Linier Musiman Yt = 360 + 72,1 D1 + 64,6 D2 - 41,1 D3 -
12,9 t 135.3542
Kuadratik Musiman Yt = 206 + 93,7 D1 + 84,9 D2 - 19,5 D3 + 20,2 t - 1,38 t2 124.3783
Ln Musiman Yt = 6,60 - 0,124 D1 - 0,016 D2 - 0,388 D3 - 0,621 Lnt 171.2753

5.4.3 Model Rata-Rata Sederhana
Model rata-rata sederhana adalah mengambil rata-rata dari semua data
dalam kelompok data masa lalu sebagai ramalan untuk periode berikutnya. Model
ini lebih cocok digunakan jika data yang digunakan bersifat stasioner.
∑=
+==T
i
TYTYiY1
1
RMSE yang dihasilkan lewat model ini (berdasarkan output dari QSB dan
Microsoft Excel) adalah sebesar 184.1199.
5.4.4 Model Rata-Rata Bergerak Sederhana
Model ini menentukan sejak awal berapa jumlah nilai pengamatan masa
lalu yang akan dimasukkan untuk menghitung nilai tengah. Nilai ordo (T) yang
digunakan dalam penelitian ini adalah empat, berdasarkan bahwa data impor beras
yang dianalisis adalah data tiga bulanan. Selain empat, ordo yang diterapkan
adalah dua, tiga, lima, enam, tujuh dan delapan.
Dari output hasil pengolahan dengan software Minitab 14, Tabel 11
menampilkan RMSE dari masing-masing ordo yang dipilih. Dari ketujuh tingkat
ordo tersebut, yang memiliki paling kecil adalah tingkat ordo tiga. Dengan
demikian, model rata-rata bergerak dengan tingkat ordo tiga yang akan
dibandingkan dengan model peramalan lainnya. Model akhir yang didapat
adalah:
TYYY
Y 21222324ˆ ++
=

Tabel 11. Perbandingan RMSE untuk Berbagai Tingkat Ordo (T) Moving Average
Tingkat Ordo yang Digunakan RMSE
2 158.3411
3 147.0378
4 156.4903
5 168.166
6 176.2827
7 181.3279
8 187.5988
5.4.5 Model Pemulusan Eksponensial Tunggal
Model pemulusan eksponensial adalah model yang secara terus-menerus
merevisi/meng-up-date estimasi atau peramalan dengan memperhitungkan
perubahan terkini atau fluktuasi di dalam data. Berdasarkan software MINITAB
14, model yang dibentuk lewat metode ini adalah:
Y24 = 0.524040 Y23 + 0.47596 Y23
dengan RMSE yang dihasilkan lewat model ini adalah sebesar 147.1095,
pembobot a sebesar 0.524040 dengan nilai Y23 adalah sebesar 40.466 ribu ton.
5.4.6 Model Pemulusan Eksponensial Ganda
Model ini digunakan ketika parameter regresi ß (dalam analisis tren)
berubah secara perlahan seiring berjalannya waktu, dimana dalam keadaan
tersebut, persamaan regresi biasa (yang tidak direvisi) kurang cocok untuk
digunakan.

1. Satu Parameter dari Brown
Model ini menggunakan satu konstanta pemulusan. Melalui software QSB
+ 3.0, diperoleh model sebagai berikut:
Y23+m = 18.60866 – 21.3768 (m)
dengan konstanta pemulusan a sebesar 0.21965, S23 sebesar 94.55388, S23(2)
sebesar 170.4991 dan RMSE sebesar 156.7127.
2. Dua Parameter dari Holt
Pemulusan eksponensial ganda (dua parameter dari Holt) adalah sebuah
pendekatan pemulusan untuk peramalan time series yang menggunakan dua
konstanta pemulusan. Model peramalan impor beras yang didapat dengan
software MINITAB 14 adalah:
Y23+m = 28.503 – 25.7105 (m)
dengan konstanta pemulusan a sebesar 0.560250, ? sebesar 0.007995 dan RMSE
sebesar 150.6244.
5.4.7 Model Winters’
Model Winters’ adalah pendekatan pemulusan eksponensial untuk
menangani data yang memiliki pola musiman.
1. Multiplikatif
Dalam model Winter’s multiplikatif, diasumsikan bahwa terdapat
perubahan tren linier secara perlahan dan perubahan pola musiman secara
perlahan yang menunjukkan variasi musiman yang semakin meningkat.
Model yang didapat dengan software MINITAB 14 adalah sebagai
berikut: Y23 +m = [44.296 – 39.5180 (m)] Snt-L+m

Dimana: Sn20 = 0.90034
Sn21 = 1.25832
Sn22 = 1.17372
Sn23 = 0.66762
dengan nilai a adalah 0.64 dan nilai ß serta ? bernilai 0. RMSE yang dihasilkan
metode Winters’ multiplikatif yaitu sebesar 138.0388.
2. Aditif
Dalam model Winter’s multiplikatif, diasumsikan bahwa terdapat
perubahan tren linier secara perlahan dan perubahan pola musiman secara
perlahan yang menunjukkan variasi musiman yang konstan sepanjang waktu.
Model yang didapat dengan software MINITAB 14 adalah sebagai
berikut: Y23+m = [57.671 – 39.5180 (m)] Snt-L+m
Dimana: Sn20 = -24.9273
Sn21 = 46.4559
Sn22 = 39.7053
Sn23 = -65.3884
dengan nilai a adalah 0.64 dan nilai ß serta ? bernilai 0. RMSE yang didapat
menggunakan metode Winter’s aditif adalah sebesar 138.223.
5.4.8 Model Dekomposisi
Model dekomposisi memungkinkan kita memisahkan berbagai pola yang
terdapat dalam data time series. Model dekomposisi multiplikatif digunakan jika
data time series menunjukkan variasi musiman yang semakin meningkat atau

semakin menurun. Sedangkan model dekomposisi aditif digunakan dalam
memodelkan data time series yang memiliki variasi musiman konstan.
1. Multiplikatif
Bentuk fungsional yang diperoleh melalui pemodelan dekomposisi dari
data ln impor beras adalah sebagai berikut:
Yt = 389.685 – 12.7337t
Tabel 12. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Multiplikatif
Periode Index 1 1.24711 2 0.99882 3 0.58078 4 1.17329
dengan RMSE yang didapatkan adalah sebesar 139.5235.
2. Aditif
Dari pengolahan MINITAB 14 diperoleh hasil sebagai berikut:
Yt = 383,525 – 12.7752t
dengan RMSE yang diperoleh melalui metode ini adalah sebesar 136.8448.
Tabel 13. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Aditif
Periode Index 1 56.2751 2 20.6247 3 -83.2667 4 6.3669
5.4.10 ARIMA
Metode ARIMA di dalam penggunaannya memerlukan data yang bersifat
stasioner. Pada tahap identifikasi pola data sebelumnya, diketahui bahwa data
impor beras yang telah ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural bersifat

stasioner. Dengan data yang sudah bersifat stasioner, proses meramalkan impor
beras dengan metode ARIMA dimulai dengan menentukan model tentative.
Model tentative ditentukan berdasarkan plot ACF dan PACF (Lampiran 9).
Berdasarkan plot ACF, terlihat bahwa plot ACF menurun secara perlahan
mendekati nol (dies down) dimana nilai autocorrelation yang signifikan adalah
pada lag pertama saja. Sedangkan pada plot PACF, terlihat bahwa plot PACF
terpotong (cut off) pada lag kedua. Dengan demikian, model tentative mempunyai
nilai ordo p sebesar 1, ordo q sebesar 0 dan ordo d sebesar 0 (data tidak di-
differencing) sehingga didapatkan model tentative ARIMA (1,0,0).
Model tentative yang diperoleh (Lampiran 10) kemudian diperiksa
kelayakannya dengan menggunakan proses diagnostic checking sebagai berikut:
1. Hasil output menunjukkan pada proses iterasi ke-8 kondisi konvergensi
sudah tercapai. Hal ini terlihat dari pernyataan ”relative change in each
estimate less than 0.001”.
2. Berdasarkan hasil output, terlihat bahwa koefisien Autoregressive (AR)
adalah sebesar 0.7751 (kurang dari 1), begitu juga dengan koefisien
Moving average (tidak ada koefisien MA). Hal ini menunjukkan bahwa
model memenuhi syarat stasioneritas dan invertibilitas.
3. Dari plot ACF dan PACF residual, terlihat bahwa nilai AC dan PAC dari
residual tidak ada yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa proses
ARIMA menghasilkan error random/tidak berpola. Hal tersebut juga
terlihat dari nilai P-value Chi Square Statistic pada lag ke-12 yang lebih
besar dari a.

4. Dari hasil output ARIMA (1,0,0), terlihat bahwa nilai p-value koefisien
kurang dari a.
5. RMSE yang dihasilkan oleh model tentative adalah sebesar 144.4209 .
Model tentative yang didapat sudah memenuhi semua kriteria kelayakan
model, tetapi agar model yang didapat benar-benar merupakan model yang
memiliki ketepatan paling baik (RMSE paling rendah) maka model ARIMA yang
lain tetap harus diduga harus diduga. Dari hasil pendugaan, model ARIMA yang
juga memenuhi kriteria diagnostic checking adalah ARIMA (0, 0, 2) dan ARIMA
(1, 0, 0)(0, 0, 1)4. Besaran RMSE dari model ARIMA yang memenuhi kriteria
diagnostic checking ditampilkan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, maka
model ARIMA yang paling tepat dalam menduga impor beras adalah ARIMA (1,
0, 0)(0, 0, 1)4
Tabel 14. Perbandingan RMSE pada Model ARIMA
Model ARIMA RMSE
(1, 0, 0) 144.4209
(0, 0, 2) 144.2299
(1, 0, 0)(0, 0,1)4 134.3137
(0, 0, 1)(0, 0, 1)4 137.9383
5.5 Memilih Metode Peramalan Impor Beras Indonesia
Untuk memperoleh hasil peramalan yang akurat, maka dilakukan
perbandingan terhadap nilai Root Mean Squared Error (RMSE) masing-masing
model time series. Dengan menggunakan software Microsoft Excel diperoleh
nilai RMSE setiap model seperti ditampilkan pada Tabel 15.

Tabel 15. Nilai RMSE Masing-masing Metode Time Series
No METODE PERAMALAN RMSE
1 Naive 187.5988
2 Analisis Tren (Kuadratik Musiman) 124.3783
3 Simple Average 184.1199
4 Simple Moving Average (Ordo = 3) 145.8084
5 Pemulusan Eksponensial Tunggal 147.1095
6 Metode Brown 156.7127
7 Metode Holt 150.6244
8 Winters’ Multiplikatif 138.0388
9 Winters’ Aditif 138.223
10 Dekomposisi Multiplikatif 139.5235
11 Dekomposisi Aditif 136.8448
12 ARIMA (1, 0, 0)(0, 0,1)4 134.3137
Dari Tabel 15 diketahui bahwa model yang memberikan RMSE terkecil
adalah analisis tren kuadratik. Analisis tren kuadratik ternyata paling cocok untuk
data impor beras, padahal data impor beras bersifat stasioner. Hal ini dikarenakan
tren meningkat dari variabel t kemudian diimbangi dengan variabel t2 sehingga
walaupun namanya adalah analisis tren, analisis tersebut cocok untuk data yang
stasioner.
5.4 Meramalkan Impor Beras Indonesia
Model umum yang digunakan dalam meramalkan impor beras Indonesia
adalah:
Yt = 206 + 93,7 D1 + 84,9 D2 - 19,5 D3 + 20,2 t - 1,38 t2
Nilai peramalan impor beras Indonesia untuk sembilan periode ke depan
(dua tahun) ditunjukkan dalam Tabel 16.

Tabel 16. Ramalan Volume Impor Beras Indonesia (000 ton) dengan Model Tren Kuadratik Musiman
Periode Nilai Ramalan Oktober-Desember 2005 -104.491 Januari-Maret 2006 -58.238 April-Juni 2006 -117.191 Juli-September 2006 -274.482 Oktober-Desember 2006 -310.621
Berdasarkan hasil ramalan model tren kuadratik musiman, diketahui
bahwa impor beras Indonesia dalam lima periode ke depan memperlihatkan tren
yang terus menurun dan besarannya bahkan menunjukkan angka negatif. Hasil
ramalan tersebut menunjukkan bahwa impor beras dalam lima periode mendatang
cenderung menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa kebijakan pemerintah, yakni
tarif impor beras serta kebijakan pelarangan impor pada saat panen raya terbukti
efektif dalam menurunkan impor beras yang masuk ke Indonesia.
Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Farihah (2005) dimana menurut
hasil ramalannya berdasarkan data BPS, dalam enam tahun ke depan Indonesia
sudah bisa mencapai swasembada beras. Menurut Husodo (2005), juga dikatakan,
bahwa produksi beras Indonesia pada tahun 2004 sudah mencukupi kebutuhan
konsumsi Indonesia dan terdapat surplus produksi sebesar 2.6 juta ton beras.
Berdasarkan data yang diambil dari BPS, pada tahun 2005 produksi beras juga
masih lebih besar dibandingkan konsumsi beras sehingga sebenarnya impor beras
tidak diperlukan karena tidak ada kekurangan pasokan beras di masyarakat.

5.5 Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Perberasan Indonesia
Berdasarkan kedua model serta ramalan yang dihasilkan dalam penelitian
ini, dapat disimpulkan bahwa impor beras sangat dipengaruhi oleh kebijakan
pemerintah, produksi beras dalam negeri dan harga beras dalam negeri. Dalam
upaya pemerintah untuk menurunkan impor beras, harus diupayakan seperangkat
kebijakan perberasan dalam hal harga dan produksi beras sedemikian sehingga
dapat menurunkan impor beras.
Kebijakan tarif impor, masih dapat diterapkan mengingat beras termasuk
dalam kategori barang yang sensitif . Kebijakan tersebut terbukti efektif dalam
mengurangi impor beras. Hasil tersebut didapat berbeda dengan hasil yang
diperoleh Simbolon (2005) dimana tarif impor beras akhirnya hanya akan
meningkatkan harga beras dalam negeri tetapi tidak mampu menurunkan impor
beras.
Perbedaan tersebut bisa terjadi, salah satunya dikarenakan adanya
perbedaan metode analisis yang digunakan. Simbolon (2005) menganalisis
pengaruh tarif impor tersebut terhadap harga beras dalam negeri dimana hasilnya
adalah tarif impor tersebut akhirnya meningkatkan harga beras dalam negeri.
Peningkatan harga beras dalam negeri ini tidak mampu menurunkan impor beras.
Penelitian ini memang tidak menganalisis pengaruh tarif terhadap harga
beras dalam negeri. Namun model yang didapat menyatakan bahwa kenaikan
dalam harga beras dalam negeri akhirnya akan meningkatkan impor beras dan hal
ini konsisten dengan hasil Simbolon (2005). Persoalan perbedaan hasil adalah
bahwa Simbolon (2005) mengaitkan tarif impor dan harga beras domestik lebih
dahulu, baru kemudian dihubungkan dengan impor beras.

Seperti didapat dalam hasil eksplorasi pola data impor beras dan model
impor beras yang dibentuk, produksi beras akan mempengaruhi impor beras dan
fluktuasi musiman dari produksi beras juga berakibat pada fluktuasi musiman
impor beras. Hanya saja terdapat tenggang waktu pengaruh produksi beras
terhadap impor beras tersebut.
Karena impor beras sangat dipengaruhi oleh produksi beras domestik,
pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan yang akan mendukung peningkatan
produksi beras domestik, terutama dengan prioritas pemenuhan kebutuhan beras
dari produksi dalam negeri. Selama ini, pemerintah/Bulog lebih banyak
mengandalkan pemenuhan stok berasnya dari impor, karena beras impor lebih
murah5. Peningkatan produksi beras, akan meningkatkan penawaran beras
nasional sehingga harga yang terjadi di pasar tidak terlalu tinggi dan dengan
demikian impor juga akan menurun. Berdasarkan hasil penelitian Farihah (2005),
produksi beras Indonesia diperkirakan terus meningkat dan swasembada beras
akan dapat tercapai dalam enam tahun ke depan.
Berkaitan dengan harga beras dalam negeri, diupayakan agar harga yang
terjadi di pasar tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. Harga beras yang
tinggi akan memberatkan masyarakat miskin di perkotaan dan menyebabkan
impor beras meningkat. Sementara harga beras yang terlalu rendah menyebabkan
insentif petani untuk berproduksi menurun dan dalam jangka panjang akan
berdampak kepada penurunan produksi beras.
5 loc.cit

VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Impor beras Indonesia periode sebelumnya berpengaruh nyata terhadap
harga beras dalam negeri dengan pengaruh negatif. Artinya semakin besar
volume beras impor yang masuk, maka harga beras dalam negeri akan semakin
turun. Respon harga beras terhadap impor beras periode sebelumnya adalah
inelastis, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Impor beras Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh variabel harga terigu,
kebijakan pemerintah, harga beras dalam negeri dan harga beras impor Indonesia
pada taraf nyata 1 persen; variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada taraf
nyata 5 persen dan variabel produksi beras periode sebelumnya pada taraf nyata
15 persen. Pengaruh variabel harga terigu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
dan harga beras impor terhadap impor beras Indonesia adalah negatif sedangkan
kebijakan perdagangan dan harga beras dalam negeri berpengaruh positif terhadap
impor beras Indonesia.
Penerapan tarif impor beras sejak tahun 2000 efektif dalam menurunkan
besaran impor beras Indonesia. Impor beras pada saat impor beras dapat
dilakukan tanda dikenakan tarif (1999) rata-rata lebih besar 1 453 ribu ton
daripada ketika impor beras sudah dikenakan tarif impor (2000 – 2005).
Berdasarkan plot data impor beras Indonesia, diketahui bahwa data impor
beras Indonesia periode 2000 – 2005 tidak memiliki komponen tren dan bervariasi
di sekitar nilai tengahnya (stasioner). Impor beras juga memiliki fluktuasi
musiman yang mengikuti fluktuasi musiman produksi beras dalam negeri.

Kriteria yang digunakan dalam memilih model peramalan time series
terbaik adalah dengan Root Mean Square Error (RMSE). Model peramalan time
series yang terbaik dalam meramalkan impor beras Indonesia berturut-turut adalah
model tren kuadratik dengan dummy musiman, model tren kuadratik tanpa dummy
musiman, dan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 0, 1)4.
Hasil ramalan impor beras Indonesia dengan model tren kuadratik dengan
dummy musiman menunjukkan bahwa dalam lima periode mendatang, beras
impor yang masuk cenderung menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa kebijakan
pemerintah, yakni tarif impor beras serta kebijakan pelarangan impor pada saat
panen raya terbukti efektif dalam menurunkan impor beras yang masuk ke
Indonesia.
6.2 Saran
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan tarif impor beras sebesar 30
persen sudah efektif dalam menurunkan impor beras Indonesia. Kebijakan
tersebut sebaiknya tidak dihapuskan mengingat efek negatif impor terhadap
pencapaian swasembada beras Indonesia.
Pemerintah sebaiknya tidak menerapkan kebijakan yang akan
meningkatkan harga beras dalam negeri dan lebih berfokus kepada upaya
peningkatan produksi beras nasional.
Meskipun model regresi yang dibentuk sudah cukup baik, namun masih
sederhana di dalam menerangkan perilaku impor beras Indonesia. Analisis faktor-
faktor yang mempengaruhi impor serta pengaruh impor terhadap harga beras
dalam negeri lebih baik dilakukan dengan menggunakan satu model saja.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S.1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Setdal Bimas, Departemen Pertanian Indonesia
Amang, B. dan M. H. Sawit.1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. Penerbit Institut pertanian Bogor: Bogor
Ariani, M.2004. Dinamika Konsumsi Beras Rumah Tangga dan Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta
Assauri, S.1984.Teknik dan Metoda Peramalan, Penerapannya dalam Ekonomi dan Dunia Usaha. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta
Badan Pusat Statistik.2004. Statistik Indonesia 2004. Jakarta
Ball, D. A. dan W. McCulloch.1998.Bisnis Internasional, Buku Satu (Terjemahan). Salemba Empat: Jakarta
Bowerman, Bruce L. dan Richard T. O;Connell.1993. Forecasting and Time Series: An Applied Aproach. Third Edition. Duxbury Press, California
Bustaman, A. D.2003. Analisis Integrasi Pasar Beras di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Erwidodo.2004. Analisis Harga Dasar Pembelian Gabah dan Tarif Impor Beras. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta
Erwidodo dan Ning Pribadi.2004. Permintaan dan Produksi Beras nasional: Surplus atau Defisit? Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta
Farihah, S. S.2005. Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi Beras Serta Implikasinya terhadap Pencapaian Swasembada Beras di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Gaynor, P. E. dan R. C. Kirckpatrick.1994. Introduction to Time-series Modelling and Forecasting in Business and Economics. McGraw-Hill, Inc.: Singapura.
Hanke, J. E. dan A. G. Reitsch. 1992. Business Forecasting, Fourth Edition. Allyn And Bacon, Washington.
Harianto.2001. Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga

Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta
Hutauruk, J.1996.Analisis Dampak kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor
Kasryno, F.2004. Dinamika Ekonomi Beras Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta
Koutsoyiannis, A.1977. Theory of Econometrics Methods. Second Edition. Mcmillan Education Ltd, london
Lipsey, R. G. et. al.1995.Pengantar Mikroekonomi, Edisi Kesepuluh Jilid Satu (Terjemahan). Binarupa Aksara: Jakarta
Mahardhika, P. Y.2003. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Gula di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian, Bogor.
Makridakis, S. et. al.1999.Metode dan Aplikasi Peramalan, Edisi Kedua Jilid Satu (Terjemahan). Binarupa Aksara: Jakarta
Manurung, S.O. dan M. Ismunadji.1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Di dalam Ismunadji, M., editor. Padi. Buku 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor
Mulyana, A.1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor
Natawidjaja, R. S.2001. Dinamika Pasar Beras Domestik. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta
Nicholson, Walter.2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya, Edisi Kedelapan (Terjemahan). Penerbit Erlangga: Jakarta
Pakpahan, A dan E. Pasandaran.1990. Keamanan Pangan: Tantangan dan Peluangnya. Majalah Prisma, 2: 60 – 74
Pappas, J. L. dan M. Hirschey.1995.Ekonomi Manajerial,Edisi Keenam (Terjemahan). Binarupa Aksara: Jakarta
Rachman, B. dan S. K. Dermoredjo.2004. Dinamika Harga dan Perdagangan Beras. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta
Rosegran, M. W. Et al.1987. Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crops. International Food Policy Research and Centre for Agroeconomic Research, Bogor

Salvatore, D.1997.Ekonomi Internasional, Edisi kelima (Terjemahan).Penerbit Erlangga: Jakarta
Sawit, M. H.1998. Risiko Ketahanan Pangan dalam Masa Krisis. Harian Republika, 20 Juli 1998: hal. 4.
Simatupang, P. dan N. Syafaat.1999. Analisis Anjloknya Harga Komoditas Pertanian Selama Semester I-1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor
Simbolon, J. S. C.2005. Analisis Integrasi Pasar Beras Domestik dengan Pasar Beras Dunia dan Pengaruh Adanya Tarif Impor. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Sitepu, R. K.2002.Dampak Kebijakan Ekonomidan Liberalisasi Perdagangan terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor
Soetrisno, N.1993. Anatomi Persoalan dan Sistem Pangan. Antisipasi terhadap PJPT-II. Majalah Prisma, 5: 3 – 12
Sudaryanto, T.2001. Perkembangan Industri Pupuk, Investasi Irigasi dan Konversi Lahan. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta
Suhendratmo.2004. Analisis Peramalan dan Hubungan antara Impor dan Harga Gula Pasir di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Suprapto, Ato.1994.Menyimak Hasil Sensus Pertanian 1993: Implikasinya terhadap Pembangunan Pertanian. Warta Pertanian, X (123): 17 – 20
Surono, Sulastri.2001. Perkembangan produksi dan Kebutuhan Impor Beras serta Kebijakan Pemerintah untuk Melindungi Petani. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta
Taslim, Haerudin dan A. M. Fagi.1988. Ragam Budidaya Padi. Di dalam Ismunadji, M., editor. Padi. Buku 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor
Tsuiji, Hiroshi.1995. Characteristics of and the Conflicts in the International Rice Market: A Case Against the Free Trade Postulate. Offprint the National Resource Economic Review No. 1


Lampiran 1. Output Minitab 14, Model Harga Beras Indonesia
Regression Analysis: ln Harga versus ln Lag Harga; ln Lag Impor The regression equation is ln Harga = 0,424 + 0,963 ln Lag Harga - 0,0102 ln Lag Impor Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0,4235 0,4325 0,98 0,337 ln Lag Impor -0,010167 0,008443 -1,20 0,240 2,1 ln Lag Harga 0,96295 0,08371 11,50 0,000 2,1 S = 0,0355670 R-Sq = 90,4% R-Sq(adj) = 89,7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 0,29879 0,14939 118,10 0,000 Residual Error 25 0,03163 0,00127 Total 27 0,33041 Source DF Seq SS ln Lag Harga 1 0,29695 ln Lag Impor 1 0,00183 Unusual Observations ln Lag Obs Harga ln Harga Fit SE Fit Residual St Resid 26 6,25 6,36920 6,26253 0,01172 0,10667 3,18R 27 6,37 6,34155 6,38543 0,02087 -0,04387 -1,52 X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 2,06866 Lampiran 2. Statistik Durbin-h Model Harga Beras Domestik
2*)2(ˆ d−=ρ = (2 – 2.06866)* 2 = - 0. 13732
2/1
007007.0*26126
13732.0
−−=h = - 0.79242

Lampiran 3. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Harga Beras
Domestik
Regression Analysis: ErrorSquared versus ln Lag Harga; ln Lag Impor
The regression equation is ErrorSquared = - 2478 + 1181 ln Lag Harga - 242 ln Lag Impor Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -2478 8577 -0,29 0,775 ln Lag Harga 1181 1660 0,71 0,483 2,1 ln Lag Impor -242,0 167,4 -1,45 0,161 2,1 S = 705,275 R-Sq = 8,5% R-Sq(adj) = 1,1% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 1150511 575255 1,16 0,331 Residual Error 25 12435313 497413 Total 27 13585824 Source DF Seq SS ln Lag Harga 1 111467 ln Lag Impor 1 1039043 Unusual Observations ln Lag Obs Harga ErrorSquared Fit SE Fit Residual St Resid 26 6,25 3487 615 232 2871 4,31R 27 6,37 648 966 414 -318 -0,56 X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 2,30285 Statistik Uji Lagrange Multiplier: nR2 = 27*(0.085) = 2.295

Lampiran 4. Output Minitab 14, Model Dugaan Awal Impor Beras Indonesia
Regression Analysis: impor versus ntr; htr; ... The regression equation is impor = 12528 - 0,567 ntr - 3,70 htr - 2,88 cif + 1453 kbj2 + 1,97 HBR - 96 STK - 1024 QDT - 11,0 lagprod Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 12528 13130 0,95 0,365 ntr -0,5665 0,2719 -2,08 0,067 5,5 htr -3,703 1,745 -2,12 0,063 4,3 cif -2,879 1,328 -2,17 0,058 2,4 kbj2 1452,6 365,1 3,98 0,003 16,4 HBR 1,965 2,521 0,78 0,456 23,8 STK -96,3 206,8 -0,47 0,652 8,1 QDT -1024 1383 -0,74 0,478 12,9 lagprod -10,982 9,679 -1,13 0,286 1,2 S = 142,405 R-Sq = 96,0% R-Sq(adj) = 92,5% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 8 4401447 550181 27,13 0,000 Residual Error 9 182513 20279 Total 17 4583960 Source DF Seq SS ntr 1 78440 htr 1 1517994 cif 1 3153 kbj2 1 2566962 HBR 1 194715 STK 1 4077 QDT 1 10000 lagprod 1 26106 Unusual Observations Obs ntr impor Fit SE Fit Residual St Resid 16 1575 106,4 339,7 89,9 -233,3 -2,11R R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,54410

Lampiran 5. Output Minitab 14, Model Akhir Impor Beras Indonesia
Regression Analysis: impor versus htr; kbj2; HBR; lagprod; ntr; cif
The regression equation is impor = 2749 - 4,19 htr + 1364 kbj2 + 3,50 HBR - 11,1 lagprod - 0,410 ntr - 3,23 cif Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2749 1090 2,52 0,028 htr -4,189 1,502 -2,79 0,018 3,7 kbj2 1363,6 223,4 6,10 0,000 7,1 HBR 3,504 1,157 3,03 0,011 5,8 lagprod -11,066 8,663 -1,28 0,228 1,1 ntr -0,4102 0,1589 -2,58 0,026 2,1 cif -3,231 1,141 -2,83 0,016 2,1 S = 132,778 R-Sq = 95,8% R-Sq(adj) = 93,5% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 6 4390029 731672 41,50 0,000 Residual Error 11 193931 17630 Total 17 4583960 Source DF Seq SS htr 1 1596327 kbj2 1 2442804 HBR 1 119967 lagprod 1 11564 ntr 1 78046 cif 1 141322 Unusual Observations Obs htr impor Fit SE Fit Residual St Resid 13 665 728,6 487,9 74,9 240,7 2,19R 16 646 106,4 356,5 73,8 -250,1 -2,27R R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,35781

Lampiran 6. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Impor Beras
Indonesia
Regression Analysis: SquaredE versus htr; kbj2; HBR; lagprod; ntr; cif The regression equation is SquaredE = 111939 + 99 htr + 8343 kbj2 - 114 HBR - 2807 lagprod - 14,6 ntr - 182 cif Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 111939 153657 0,73 0,482 htr 98,8 211,9 0,47 0,650 3,7 kbj2 8343 31505 0,26 0,796 7,1 HBR -114,5 163,1 -0,70 0,498 5,8 lagprod -2807 1222 -2,30 0,042 1,1 ntr -14,61 22,41 -0,65 0,528 2,1 cif -181,7 160,9 -1,13 0,283 2,1 S = 18725,4 R-Sq = 42,7% R-Sq(adj) = 11,4% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 6 2868997659 478166276 1,36 0,310 Residual Error 11 3857053213 350641201 Total 17 6726050871 Source DF Seq SS htr 1 203825778 kbj2 1 231384279 HBR 1 316341708 lagprod 1 1597976899 ntr 1 72646406 cif 1 446822589 Unusual Observations Obs htr SquaredE Fit SE Fit Residual St Resid 16 646 62542 29300 10409 33242 2,14R R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 2,76490
Statistik Uji Lagrange Multiplier: nR2 = 18*(0.427) = 7.686

Lampiran 7. Output Minitab 14, Uji Autokorelasi Model Impor Beras
Indonesia
Regression Analysis: RESI2 versus htr; kbj2; HBR; lagprod; ntr; cif; lag The regression equation is RESI2 = 57 - 0,31 htr - 18 kbj2 + 0,17 HBR + 0,35 lagprod - 0,009 ntr + 0,29 cif + 0,343 lag Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 57 1644 0,03 0,973 htr -0,307 2,321 -0,13 0,898 2,7 kbj2 -17,8 246,1 -0,07 0,944 5,5 HBR 0,169 1,221 0,14 0,893 4,4 lagprod 0,351 9,323 0,04 0,971 1,1 ntr -0,0086 0,1673 -0,05 0,960 2,0 cif 0,286 1,248 0,23 0,824 1,5 lag 0,3431 0,3331 1,03 0,330 1,1 S = 138,835 R-Sq = 10,5% R-Sq(adj) = 0,0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 7 20453 2922 0,15 0,989 Residual Error 9 173477 19275 Total 16 193930 Source DF Seq SS htr 1 2 kbj2 1 0 HBR 1 0 lagprod 1 0 ntr 1 0 cif 1 0 lag 1 20451 Unusual Observations Obs htr RESI2 Fit SE Fit Residual St Resid 12 665 240,7 15,3 81,3 225,4 2,00R 15 646 -250,1 -15,5 78,9 -234,6 -2,05R R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,71960 Statistik Uji Lagrange Multiplier: (n – 1)R2 = 17*(0.105) = 1.785

Lampiran 8. ACF dan PACF Impor Beras Indonesia
La g
Au
toco
rre
lati
on
2 01 81 61 41 21 08642
1 , 0
0 , 8
0 , 6
0 , 4
0 , 2
0 , 0
- 0 , 2
- 0 , 4
- 0 , 6
- 0 , 8
- 1 , 0
A u t o c o r r e l a t i o n F u n c t i o n fo r i m p o r ( t r i w u l a n)(w i th 5 % s ig n i f i c a n ce lim it s f o r t h e a u to c o r r e la tio n s )
La g
Part
ial A
uto
corr
ela
tio
n
1 51 41 31 21 11 0987654321
1 , 0
0 , 8
0 , 6
0 , 4
0 , 2
0 , 0
- 0 , 2
- 0 , 4
- 0 , 6
- 0 , 8
- 1 , 0
P a r t i a l A u t o c o r r e l a t i o n F u n c t i o n f o r i m p o r ( t r i w u l a n )(w i th 5 % s ig n i f i c a n c e l im i ts fo r t h e p a r t ia l a u to c o r r e la tio n s )
Lampiran 9. ACF dan PACF Ln Impor Beras Indonesia
La g
Aut
ocor
rela
tion
2018161 41 21 08642
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0, 2
-0, 4
-0, 6
-0, 8
-1, 0
Auto cor r el atio n F unctio n fo r l ni mpo r(w ith 5 % s ig nif ican ce lim its fo r th e au to corr ela tio ns )
La g
Part
ial A
utoc
orre
lati
on
2018161 41 21 08642
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
-1,0
P ar tia l Autocorr el ati on F unction for l nimpor(w ith 5% s ig nif ican ce lim its fo r th e pa rt ia l au to corr ela tio ns )

Lampiran 10. Output Minitab 14, Model Tentative ARIMA
ARIMA Model: lnimpor Estimates at each iteration Iteration SSE Parameters 0 18,1145 0,100 17,086 1 14,6142 0,250 14,226 2 11,9968 0,400 11,368 3 10,2595 0,550 8,512 4 9,3971 0,700 5,661 5 9,2932 0,764 4,453 6 9,2902 0,772 4,290 7 9,2900 0,775 4,252 8 9,2900 0,775 4,242 Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type Coef SE Coef T P AR 1 0,7751 0,1478 5,25 0,000 Constant 4,2421 0,1381 30,71 0,000 Mean 18,8600 0,6141 Number of observations: 23 Residuals: SS = 9,11825 (backforecasts excluded) MS = 0,43420 DF = 21 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 8,1 * * * DF 10 * * * P-Value 0,624 * * *