analisis impor beras serta pengaruhnya terhadap harga ... · ilmu-ilmu sosial ekonomi pertanian,...

116
ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI Oleh : Arif Abdul Azziz A14102047 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Upload: truongduong

Post on 15-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI

Oleh :

Arif Abdul Azziz

A14102047

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

RINGKASAN ARIF ABDUL AZZIZ. Analisis Impor Beras serta Pengaruhnya terhadap Harga Beras dalam Negeri. Di bawah Bimbingan HARMINI. Komoditi pangan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia adalah beras, terutama karena: (1) beras merupakan bahan pangan dan sumber kalori yang utama bagi sebagian besar bangsa Indonesia, yakni lebih dari 90 persen dari total penduduk di Indonesia; (2) usahatani padi menyediakan lapangan kerja bagi 21 juta keluarga petani dan: (3) sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin dipergunakan untuk membeli beras (Bustaman, 2003). Selain itu, pangsa beras dalam konsumsi kalori total adalah 54,3 persen dan berkontribusi sebesar 40 persen dalam asupan protein (Harianto, 2000).

Meskipun pemenuhan kebutuhan beras nasional diupayakan lewat produksi padi domestik, tetapi jika terjadi kekurangan pasokan beras maka impor harus dilakukan. Namun, impor beras diupayakan tidak terlalu besar mengingat ada hal-hal yang patut diperhatikan. Pertama, pasar beras internasional merupakan pasar yang tipis sehingga cenderung berfluktuasi dalam hal harga dan kuantitas yang diperdagangkan. Impor yang terlalu besar juga dapat mengakibatkan munculnya pemaksaan politis dari negara eksportir.

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh impor terhadap harga beras dalam negeri dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras dalam negeri, termasuk kebijakan pemerintah. Penelitian ini juga menganalisis kecenderungan impor beras ke depannya melalui analisis pola data yang ditunjukkan impor beras Indonesia, pemilihan metode peramalan yang terbaik dalam menduga impor beras Indonesia serta meramalkan impor beras Indonesia dalam lima periode mendatang.

Berdasarkan model ekonometrika yang terbentuk, diketahui bahwa ternyata impor beras secara nyata mempengaruhi harga beras dalam negeri dengan tingkat kepercayaan 15 persen. Pengaruh tersebut adalah negatif dimana jika impor beras meningkat maka harga beras dalam negeri akan menurun, tetapi responnya inelastis baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras secara nyata adalah kebijakan perdagangan (penetapan tarif impor), harga terigu, harga beras impor dan harga beras dalam negeri (taraf nyata 1 persen); nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (taraf nyata 5 persen) dan produksi beras nasional (15 persen). Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras secara negatif adalah variabel produksi beras nasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, harga beras impor dan harga terigu. Sedangkan faktor yang mempengaruhi impor beras secara positif adalah harga beras dalam negeri dan kebijakan impor beras dimana ketika impor beras dapat dilakukan tanpa dikenakan tarif impor, impor beras lebih besar daripada ketika tarif impor beras sudah diterapkan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dengan menerapkan tarif untuk impor beras sudah efektif dalam upaya ngurangi volume beras impor yang masuk ke Indonesia.

Penelitian ini menerapkan berbagai teknik dalam metode peramalan time series, yaitu model peramalan naive, analisis tren, rata-rata sederhana, rata-rata bergerak sederhana, single exponential smoothing, double exponential smoothing satu parameter dari Brown, double exponential smoothing dua parameter dari

Holt, model Winters’, model dekomposisi dan ARIMA yang ditrapkan pada data time series impor beras periode 2000 hingga 2005. Selain menggunakan metode peramalan time series, penelitian ini juga menggunakan model regresi berganda dalam menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras serta menganalisis pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri.

Hasil penelitian ini antara lain bahwa pola yang ditunjukkan impor beras pada periode 1999 hingga 2005 menunjukkan pola yang stasioner dimana impor beras pada awalnya menurun dan pada tahun 2002 – 2003 impor beras kembali meningkat. Volume impor beras pada tahun 2004 - 2005 kemudian menunjukkan besaran yang kecil dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.

Model peramalan time series yang paling baik dalam meramalkan impor beras berdasarkan kriteria RMSE adalah model analisis tren kuadratik. Tiga model peramalan dengan besaran RMSE terkecil berturut-turut adalah model tren kuadratik dengan dummy musiman (RMSE = 124.3873), model tren kuadratik tanpa dummy musiman (134.109) dan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 0, 1)4(134.3137).

Hasil ramalan menggunakan model peramalan terbaik memperlihatkan tren yang menurun dan volume impor beras yang masuk menunjukkan besaran yang negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dalam lima periode ke depan tidak melakukan impor beras.

ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Arif Abdul Azziz

A14102047

PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Judul Skripsi : ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI

Nama : ARIF ABDUL AZZIZ

NRP : A14102047

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Ir. Harmini, M.Si

NIP. 131 688 732

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr

NIP. 130 422 698

Tanggal Lulus :

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL ”ANALISIS IMPOR BERAS SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP HARGA BERAS DALAM NEGERI” BENAR-BENAR HASIL

KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI

TULISAN KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU

LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Mei 2006

ARIF ABDUL AZZIZ

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 23 Juli 1984 sebagai

anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Bapak Nono Mulyono dan Ibu Eri

Nuraeni.

Pendidikan formal dimulai di SD Negeri IV Kampung Melati Cirebon dan

lulus pada tahun 1996. Selanjutnya jenjang pendidikan dilanjutkan di SLTP

Negeri 4 Cirebon dan kemudian berlanjut di SMU Negeri 1 Cirebon. Pada tahun

2002 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor sebagai mahasiswa Jurusan

Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Manajemen Agribisnis

melalui jalur USMI.

Selama kuliah penulis pernah menjadi Asisten Luar Biasa Mata Kuliah

Ekonomi Umum selama empat semester berturut-turut dari tahun 2004–2006.

Penulis juga ikut aktif di Ikatan Kekeluargaan Cirebon (IKC) dan sempat aktif di

DKM Al-Hurriyah IPB pada tahun 2004.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Analisis Impor Beras Serta Pengaruhnya Terhadap Harga

Beras Dalam Negeri”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan Sarjana

Pertanian pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menganalisis efek impor beras

terhadap harga beras dalam negeri dan kemudian menganalisis faktor- faktor yang

mempengaruhi impor beras, termasuk kebijakan pemerintah. Tujuan lainnya

adalah menganalisis perilaku pola yang dimiliki oleh data impor beras Indonesia

dan model peramalan yang paling baik dalam melakukan peramalan untuk data

tersebut beserta hasil ramalannya untuk beberapa periode ke depan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna, oleh karena itu harapan adanya kritik dan masukan yang konstruktif

dari para pembaca. Diharapkan melalui hasil penelitian ini, diperoleh informasi

tambahan bagi pengambil kebijakan khususnya yang berkaitan dengan masalah

perberasan nasional.

Bogor, Juni 2005

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan dan

bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1. Ir. Harmini, M.Si sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan

bimbingan, dorongan, saran dan perhatiannya yang sangat membantu penulis

dalam melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. M. Firdaus, SP, MS atas kesediannya menjadi Dosen Penguji utama dalam

ujian sidang.

3. Ir. Nindyantoro, MS selaku Dosen Penguji wakil departemen dalam ujian

sidang.

4. Dr.Ir. Harianto, M.S sebagai Dosen Pembimbing Akademik atas perhatiannya

selama penulis menjalani kuliah.

5. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan doa, perhatian dan kasih

sayang yang tak pernah putus. Kakak dan adik, Aimbong dan Gugun yang

telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis.

6. Ibu Epi Sulandari dari Divisi Harga Dasar Badan Urusan Logistik yang telah

banyak membantu dalam penelitian ini.

7. Irfandy Aznur, Vid i Vernando, Rizki Firbani, Herry Masdirwan, Yuninda

Ulan, Mia Widhi dan Andi Astarina, yang telah membantu menyiapkan

keperluan seminar dan ujian sidang penulis.

8. Edi Iskandar yang telah bersedia menjadi pembahas seminar, Renato yang

telah meminjamkan laptopnya untuk seminar dan Andrie yang meminjamkan

laptop untuk sidang penulis.

9. Zakiah Arifin atas kertas, tinta printer dan pinjaman komputernya yang

banyak membantu penulis.

10. Teman-temanku AGB’39 dan rekan-rekan kost Pondok Sahabat, kontrakan

Colonist dan Asrama C2 yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

DAFTAR TABEL................................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi

I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

1.1 Latar belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 4

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................. 7

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 9

2.1 Beras ....................................................................................................... 9

2.2 Produksi Beras ........................................................................................ 9

2.3 Permintaan Beras .................................................................................. 12

2.4 Impor Beras .......................................................................................... 14

2.5 Sejarah Kebijakan Perberasan Nasional ............................................... 15

2.6 Kebijakan Perberasan Nasional Saat Ini ............................................... 17

2.7 Hasil Penelitian Terdahulu ................................................................... 19

2.7.1 Penelitian Tentang Beras......................................................... 19

2.7.2 Penelitian Tentang Peramalan ................................................. 24

2.7.3 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu ................ 26

III. KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................ 27

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................ 27

3.1.1 Perdagangan Internasional ....................................................... 27

3.1.2 Peramalan ................................................................................. 28

3.1.3 Jenis Peramalan ........................................................................ 29

3.1.4 Metode Peramalan Time Series ................................................ 30

3.1.5 Memilih Metode Peramalan Time Series ................................. 32

3.1.6 Model Ekonometrika ................................................................ 33

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ......................................................... 34

IV. METODE PENELITIAN ............................................................................. 38

4.1 Jenis dan Sumber Data........................................................................... 38

4.2 Pengolahan Data .................................................................................... 39

4.3 Analisis dan Interpretasi Data................................................................ 39

4.3.1 Model Ekonometrika.................................................................... 39

4.3.2 Identifikasi Pola Data................................................................... 45

4.3.3 Metode Peramalan Time Series.................................................... 47

4.3.4 Memilih Metode Peramalan Time Series .................................... 61

4.4 Definisi Operasional .............................................................................. 61

4.5 Hipotesis ................................................................................................ 62

V. ANALISIS IMPOR BERAS INDONESIA .................................................. 63

5.1 Pengaruh Impor Beras Terhadap Harga Beras Domestik ...................... 63

5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Beras Indonesia ................... 67

5.3 Eksplorasi Pola Data Impor Beras Indonesia ......................................... 74

5.4 Metode Peramalan Time Series Impor Beras Indonesia ........................ 76

5.5 Memilih Metode Peramalan Impor Beras Indonesia .............................. 84

5.6 Meramalkan Impor Beras Indonesia ...................................................... 85

5.7 Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Perberasan Indonesia .................... 87

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 89

6.1 Kesimpulan............................................................................................. 89

6.2 Saran ....................................................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 91

LAMPIRAN ......................................................................................................... 94

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. PDB Atas Harga Konstan Tahun 1993 (Milyar Rupiah) .................................... 2

2. Jumlah Tenaga Kerja Subsektor Pangan, Kebun dan Hortikultura di Indonesia

Tahun 2000 – 2001 (orang) ................................................................................. 2

3. Produksi Padi (GKG) Menurut Pulau di Indonesia, 2001 – 2005

(000 ton) ........................................................................................................... 10

4. Luasan Panen Padi di Berbagai Pulau di Indonesia, 1996 – 2001

(000 Ha) ............................................................................................................ 11

5. Model ARIMA Terbaik untuk Meramal Masing-Masing Variabel .................. 25

6. Model Box-Jenkins Berdasarkan ACF dan PACF ............................................ 59

7. Nilai Dugaan Model Harga Beras Indonesia ..................................................... 65

8. Nilai Elastisitas Harga Beras Domestik terhadap Impor Beras......................... 66

9. Nilai Dugaan Model Impor Beras Indonesia ..................................................... 70

10. Perbandingan RMSE Model Analisis Tren ..................................................... 77

11. Perbandingan RMSE untuk Berbagai Tingkat Ordo (T) Moving Average ..... 79

12. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Multiplikatif ......... 82

13. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Aditif.................... 82

14. Perbandingan RMSE pada Model ARIMA..................................................... 84

15. Nilai RMSE Masing-masing Metode Time Series .......................................... 85

16. Ramalan Volume Impor Beras Indonesia (000 ton) dengan Model Tren Kuadratik Musiman ......................................................................................... 86

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Mekanisme Perdagangan Internasional.............................................................27

2. Kerangka Pemikiran Operasional......................................................................37

3. Tahapan dalam Metode Box Jenkins ................................................................57

4. Plot Data Impor Beras Indonesia 2000 – 2005 .................................................75

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Output Minitab 14, Model Harga Beras Domestik ........................................ 95

2. Statistik Durbin-h Model Harga Beras Domestik .......................................... 95

3. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Harga Beras Domestik ......... 96

4. Output Minitab 14, Model Dugaan Awal Impor Beras Indonesia ................. 97

5. Output Minitab 14, Model Akhir Impor Beras Indonesia .............................. 98

6. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Impor Beras Indonesia ......... 99

7. Output Minitab 14, Uji Autokorelasi Model Impor Beras Indonesia .......... 100

8. Plot ACF dan PACF Impor Beras Indonesia ............................................... 101

9. Plot ACF dan PACF Ln Impor Beras Indonesia .......................................... 101

10. Output Minitab 14, Model Tentative ARIMA ........................................... 102

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Shortage of food can lead to a civil war (David Nelson dalam Amang dan

Sawit, 1999). Pernyataan tersebut hampir menjadi kenyataan di Indonesia pada

tahun 1998. Terpuruknya perekonomian nasional, lemahnya daya beli masyarakat

dan membumbungnya harga pangan merupakan isu yang disalahkan atas kejadian

tersebut. Peristiwa-peristiwa tersebut menegaskan bahwa pangan terkait dengan

politik dan stabilitas (Amang dan Sawit,1999).

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejak dulu dan hingga nanti pun

manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Pangan telah menjadi

kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan

hidup lainnya seperti sandang, papan dan pendidikan. Menurut Timmer dalam

Amang dan Sawit (1999), tidak ada negara yang dapat mempertahankan

pertumbuhan ekonomi tanpa terlebih dahulu memecahkan masalah ketahanan

pangan (food security).

Kebutuhan pangan manusia terutama dipenuhi lewat bahan makanan yang

pokok, yang dihasilkan melalui pertanian dan mengandung banyak karbohidrat

serta menempati porsi terbesar dalam diet manusia, seperti padi, jagung, umbi-

umbian dan gandum. Komoditi tersebut di dalam perekonomian Indonesia

termasuk ke dalam subsektor pangan. Kontribusi subsektor pangan terhadap

produk domestik bruto (PDB) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. PDB Atas Harga Konstan Tahun 2000 (Milyar Rupiah)

Sektor dan Subsektor 2001 2002 2003x) 2004xx)

Pangan 113 019.6 115 925.5 120 139.3 124 578.9

Perkebunan 34 485.2 36 585.6 38 191.6 39 920.2

Peternakan 27 770.1 29 393.5 30 726.9 32 157.6

Perikanan 32 441.0 33 082.3 35 900.1 37 900.0

Kehutanan 17 609.8 17 986.5 18 118.2 18 396.2

Pertanian*) 225 685.7 232 973.4 243 067.1 252 952.9

GDP 1 442 984.6 1 506 124.4 1 579 559.0 1 660 578.7

Keterangan: Sumber : Statistik Indonesia, 2004 Pertanian*) : termasuk Perikanan, Peternakan dan Kehutanan x) : angka sementara xx) : angka sangat sementara

Selain kontribusi terhadap PDB, peran subsektor pangan terhadap

perekonomian nasional juga bisa dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserap

oleh subsektor tersebut. Dalam Tabel 2 diperlihatkan bahwa total tenaga kerja di

subsektor pangan, kebun dan hortikultura pada tahun 2001 adalah sekitar 33 juta

jiwa.

Tabel 2. Jumlah Tenaga Kerja Subsektor Pangan, Kebun dan Hortikultura di

Indonesia Tahun 2000 – 2001 (orang)

Jenis Kelamin 2000 2001 Pertumbuhan (2000-2001) Laki-Laki

21 277 996 20 575 737 -0.03 % 59.06 % 60.88 %

Wanita

14 747 255 13 220 336 -10.35 % 40.94 % 39.12 %

Total 36 025 251 33 796 073 -6.19 % Sumber: Statistik Indonesia, 2004 (diolah)

Komoditi pangan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia adalah beras,

terutama karena: (1) beras merupakan bahan pangan dan sumber kalori yang

utama bagi sebagian besar bangsa Indonesia, yakni lebih dari 90 persen dari total

penduduk di Indonesia; (2) usahatani padi menyediakan lapangan kerja bagi 21

juta keluarga petani dan: (3) sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga

miskin dipergunakan untuk membeli beras (Bustaman, 2003). Selain itu, pangsa

beras dalam konsumsi kalori total adalah 54,3 persen dan berkontribusi sebesar 40

persen dalam asupan protein (Harianto, 2001).

Hidup layak dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan

merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, setiap warga negara berhak atas

terpenuhinya pangan yang cukup dengan harga murah (Amang dan Sawit, 1999).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka menjadi tugas pemerintah dalam

menetapkan kebijakan yang akan menjamin ketahanan pangan dan kebijakan

swasembada beras merupakan kunci bagi pencapaian ketahanan pangan/food

security (Kasryno dalam Mulyana, 1998).

Mengingat hal di atas, mencapai swasembada beras selalu menjadi

prioritas pemerintah dalam kebijakan pembangunan pertaniannya. Kebijakan

swasembada beras merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian

dan dinilai telah berhasil meningkatkan produksi beras dan pendapatan petani.

Konteks ketahanan pangan tidak hanya menyangkut masalah ketersediaan

bahan pangan pokok bagi rakyat saja, tetapi meliputi pula bagaimana kepemilikan

dan akses terhadap pangan itu oleh setiap anggota masyarakat (Pakpahan dan

Pasandaran; Soetrisno dalam Mulyana 1998). Dalam hal keterjangkauan beras

ini, pemerintah menghadapi dilema. Dari sisi konsumen, mereka mengharapkan

harga beras yang murah. Terlebih lagi dengan proporsi pengeluaran beras

terhadap pendapatan yang cukup tinggi dan tingkat konsumsi yang merata dengan

jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, kenaikan harga pangan (beras)

dipandang sebagai komponen utama penyebab inflasi (Mulyana, 1998).

Di lain pihak, petani sebagai produsen beras mengharapkan agar harga

beras cukup tinggi sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan yang layak.

Tingkat keuntungan yang wajar bagi petani sangat diperlukan karena hal tersebut

akan menjadi insentif bagi petani untuk terus melakukan usahatani padi dan

mendukung kebijakan swasembada beras.

1.2 Rumusan Masalah

Pemenuhan kebutuhan akan beras bisa dipenuhi lewat dua cara, yakni

melalui produksi domestik dan impor. Berbagai pihak di dalam negeri berharap

beras bisa dipenuhi lewat produksi domestik (swasembada), dan impor hanya

dilakukan jika produksi padi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan

konsumsi beras. Menurut Rosegrant et. al. dalam Amang dan Sawit (1999),

produksi padi di Indonesia dengan tujuan untuk substitusi impor adalah cukup

efisien berdasarkan konsep comparative advantage.

Pemenuhan kebutuhan beras dari produksi padi domestik dewasa ini

menemui banyak tantangan. Pertama, produktivitas padi secara nasional telah

mengalami levelling-off (pelandaian). Kedua, tingginya tingkat konversi lahan

mengurangi secara signifikan lahan potensial untuk produksi padi. Ketiga,

berbagai macam subsidi yang tadinya diberikan oleh pemerintah saat ini telah

dicabut sebagian. Keempat, liberalisasi perdagangan mengharuskan pemerintah

untuk lebih membuka pasar beras domestik dan mengurangi hambatan-hambatan

perdagangan internasional.

Meskipun, pemenuhan kebutuhan beras nasional diupayakan lewat

produksi padi domestik, tetapi jika terjadi kekurangan pasokan beras maka impor

harus dilakukan. Dalam kesepakatan GATT, Indonesia harus melakukan impor

minimum 70.000 ton jika harga domestik lebih tinggi 90 persen dari harga dunia,

dan mengimpor dalam jumlah yang cukup agar harga domestik tidak lebih tinggi

180 persen dari harga dunia (Dawe dalam Mulyana, 1998). Namun, impor beras

diupayakan tidak terlalu besar mengingat ada hal-hal yang patut diperhatikan.

Pertama, pasar beras internasional merupakan pasar yang tipis (thin

market ) dimana volume beras yang diperdagangkan antar negara sangat sedikit

bila dibandingkan dengan total produksinya sehingga ketersediaan beras dan

harga yang terjadi sangat fluktuatif (Amang dan Sawit, 1999). Kedua,

ketergantungan terhadap impor beras memungkinkan munculnya pemaksaan

politis dari negara pemasok beras, terutama jika impor beras tersebut bersifat

bantuan dari negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Jepang (Mulyana,

1998). Ketiga, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan beras bukan dari impor

memberikan kebanggaan sebagai bangsa yang mandiri dan memberikan efek yang

baik bagi ketahanan pangan nasional1.

Hal yang lebih penting adalah bahwa ketergantungan yang terus menerus

kepada negara-negara pengekspor utama beras akan merugikan posisi ekonomi

Indonesia sendiri.. Impor beras diduga akan membuat petani merugi karena akan

membuat harga beras turun. Penurunan harga tersebut dikhawatirkan pada

akhirnya akan membuat petani menghentikan produksi beras dan mengalihkan

sumber daya yang dimilikinya untuk produksi komoditi lain. Impor beras yang

1 Siswono Yudo Husodo 2005, Swasembada Versus Impor Beras, Kompas 1 Desember

terlalu besar dalam waktu lama pada akhirnya akan membuat potensi produksi

beras nasional menurun drastis dan mengancam ketahanan pangan nasional.

Terlebih lagi beras di Indonesia sudah menjadi komoditas politik yang dapat

menggoyahkan stabilitas nasional jika ketersediaan atau pasokannya terganggu

(Mulyana, 1998)

Dengan dugaan bahwa impor beras akan menurunkan harga beras dalam

negeri, maka perlu dikaji apakah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pada

saat ini sudah efektif dalam memberikan insentif bagi petani untuk memproduksi

beras dan mengurangi impor. Perlu dikaji juga faktor- faktor lain yang

mempengaruhi impor beras sehingga dapat dilakukan antisipasi oleh pemerintah

dengan melihat kecenderungan faktor-faktor tersebut ke depannya. Hal ini penting

di dalam memperkirakan efek dari perubahan faktor- faktor tersebut terhadap

impor beras. Dengan mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut, diharapkan

pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang lebih efektif dalam mengurangi

impor beras Indonesia.

Kecenderungan impor beras Indonesia ke depannya juga patut

diperhatikan. Hal tersebut dapat menjadi indikator efektivitas kebijakan yang

ditetapkan pemerintah dalam mengurangi impor beras. Peramalan juga

memberikan informasi yang berharga bagi pemerintah sehingga dapat dilakukan

antisipasi berdasarkan ramalan yang dihasilkan.

Pertanyaan pene litian yang bisa dirumuskan berdasarkan uraian di atas

yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi volume impor beras Indonesia?

3. Bagaimana pola yang ditunjukkan oleh volume impor beras nasional?

4. Metode peramalan apa yang terbaik dalam menduga volume impor beras

nasional?

5. Bagaimana peramalan dari jumlah impor beras nasional dalam lima periode

mendatang?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor beras Indonesia

3. Menganalisis pola yang ditunjukkan oleh volume impor beras nasional

4. Memperoleh metode peramalan yang terbaik dalam menduga volume impor

beras nasional

5. Meramal jumlah impor beras nasional dalam lima periode mendatang

Adapun kegunaan penelitian ini antara lain:

1. Bagi pemerintah sebagai informasi tambahan guna melaksanakan kebijakan

perberasan nasional, terutama mengenai kebijakan impor beras, stok beras,

harga dasar gabah dan harga beras nasional.

2. Sebagai sumber informasi dan referensi untuk menambah pengetahuan bagi

mahasiswa dan pembaca.

3. Sebagai bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.

1.4 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tidak membahas faktor- faktor penentu impor beras secara

mendalam. Misalnya, jika volume impor beras dipengaruhi oleh besarnya

produksi beras nasional, penelitian ini tidak membahas variabel apa saja yang

mempengaruhi produksi beras nasional, begitu pun dengan faktor-faktor lainnya.

Penelitian ini juga tidak membahas secara mendalam interaksi antara

faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras tersebut. Padahal, interaksi antara

permintaan dan penawaran beras akan menentukan harga beras dalam negeri dan

harga beras keseimbangan tersebut akan menentukan jumlah beras yang

ditawarkan serta jumlah beras yang diminta.

Selain itu perlu disadari bahwa data beras yang sesungguhnya diminta

untuk konsumsi, benih, pakan maupun yang susut juga tidak tersedia. Data

konsumsi beras oleh BPSS didekati dengan menggunakan ketersediaan beras

untuk konsumsi (apparent consumption) yang dihitung melalui produksi beras

ditambah impor, dikurangi ekspor, perubahan persediaan beras nasional, dan

proporsi dari produksi yang tidak digunakan untuk konsumsi (SUSENAS, 2002).

Penelitian ini juga tidak memisahkan beras menurut jenis dan kualitasnya.

Harga beras domestik yang dipakai adalah harga beras kualitas medium dengan

asumsi beras tersebut paling banyak dikonsumsi masyarakat dan perubahan dalam

harga beras kualitas medium menjadi indikator perubahan semua harga beras.

Karena masalah ketersediaan data, impor beras yang dianalisis dalam

penelitian ini hanya beras impor yang terdaftar saja, sedangkan beras impor ilegal

tidak diperhitungkan. Padahal, jumlah beras impor ilegal diperkirakan tidak

sedikit dan cukupmempengaruhi harga beras eceran di pasar domestik.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Padi

Padi yang bernama latin Oryza Sativa, berdasarkan klasifikasi Gould,

dikelompokkan ke dalam sub-famili Oryzoidae, suku Oryzae, genus Oryza.

Genus Oryza memiliki 20 spesies, tetapi yang paling banyak dibudidayakan

adalah Oryza Sativa L dan O. Glaberrima Steund di Afrika. Berdasarkan

penelitian Lu dan Chang (Lu dan Chang dalam Manurung dan Ismunadji, 1988),

proses evolusi dari Oryza Sativa berkembang menjadi tiga ras ecogeographic,

yakni Sinica (dulu dikenal sebagai Japonica), Indica dan Javanica.

Daerah yang cocok untuk tanaman padi bervariasi, mulai dari 53° Lintang

Utara hingga 35° – 40° Lintang Selatan, mulai dari daerah pantai hingga

ketinggian 2400 meter dari permukaan laut. Di Indonesia, padi ditanam hampir di

semua altitude, mulai dari dekat pantai hingga ke dataran tinggi dan pegunungan.

Tanaman padi dapat tumbuh subur pada daerah yang beriklim kering, panas dan

matahari cerah pada tempat terbuka serta daerah yang bebas naungan dan tidak

terlindungi oleh tanaman lain (Taslim dan Fagi, 1988). Umumnya padi yang

diusahakan adalah padi sawah (85 – 90 persen) dan sisanya adalah padi gogo.

2.2 Produksi Beras

Produksi padi tergantung kepada dua variabel, yakni luas areal dan

produktivitas per satuan luas. Produksi padi dalam negeri sampai saat ini masih

bergantung pada produksi di Pulau Jawa yang masih memproduksi sekitar 55.06

persen dari total produksi nusantara. Secara lengkap perbandingan produksi padi

(gabah kering giling) menurut pulau dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi Padi (GKG) Menurut Pulau di Indonesia, 2001 – 2005 (000 ton)

DAERAH 2000 2001 2002 2003 2004 2005+) Sumatera 11 819 11 286 11 542 12 136 12 665 12 620

(22.77) (22.37) (22.42) (23.28) (23.42) (23.35) Jawa 29 120 28 312 28 607 28 167 29 635 29 763

(56.11) (56.11) (55.56) (54.03) (54.79) (55.06) Bali dan Nusa Tenggara 2 776 2 695 2 647 2 725 2 807 2 590

(5.35) (5.34) (5.14) (5.23) (5.19) (4.79) Kalimantan 3 000 3 074 3 169 3 357 3 656 3 604

(5.78) (6.09) (6.16) (6.44) (6.76) (6.67) Sulawesi 5 065 4 982 5 438 5 602 5 171 5 296

(9.76) (9.87) (10.56) (10.74) (9.56) (9.80) Maluku dan Irian Jaya 117 108 85 149 151 180

(0.23) (0.22) (0.17) (0.29) (0.28) (0.33) Luar Jawa 22778 22148 22 881 23 970 24 452 24 292

(43.89) (43.89) (44.44) (45.97) (45.21) (44.94) Indonesia 51 898 50 460 51 489 52 137 54 088 54 056

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2000 – 2005 Keterangan: +) : angka sementara

Angka di dalam kurung menyatakan persentase terhadap produksi nasional

Kedua faktor yang berperan dalam produksi beras (luas areal dan

produktivitas) sama-sama mengalami kondisi yang mengancam pertumbuhan

produksi yang tinggi. Dalam hal luas areal, tidak dimungkiri lagi bahwa luas areal

usahatani padi di Pulau Jawa selaku produsen utama beras menghadapi tingkat

persaingan yang tinggi. Luasan areal lahan yang digunakan untuk usahatani padi

di Jawa menunjukkan kecenderungan menurun sebesar 0.31 persen per tahun,

sementara luas lahan sawah di luar Jawa menunjukkan kecenderungan naik,

meskipun rendah, yakni sebesar 0.65 persen per tahun (Mardianto, 2001).

Perbandingan luasan lahan sawah di berbagai pulau di Indonesia disajikan dalam

Tabel 4.

Tabel 4. Luasan Panen Padi di Berbagai pulau di Indonesia, 1996 – 2001 (000 Ha) Pulau 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Jawa 5 488 5 380 5 752 5 768 5 748 5 663 Sumatera 3 068 2 897 3 162 2 980 3 021 2 909 Bali dan Nusa Tenggara 648 632 651 642 650 668 Kalimantan 1 083 1 070 1 081 1 134 1 075 1 013 Sulawesi 1 248 1 137 1 175 1 191 1 054 1 153 Maluku dan Irian Jaya 32 22 39 53 40 44 Indonesia 11 569 11 140 11 730 11963 11608 11 424

Sumber : Badan Pusat Statistik, 1996 – 2001

Menurut Irawan (2005), konversi lahan sawah yang terjadi bersifat

kumulatif dan progresif. Konversi lahan bersifat kumulatif berarti bahwa jika

terjadi konversi lahan yang menyebabkan hilangnya potensi produksi padi sebesar

X1 dan X2 pada dua tahun berturut-turut, maka total potensi produksi yang hilang

adalah sebesar X1 ditambah X2. Sedangkan konversi lahan yang bersifat progresif

mengandung arti bahwa konversi lahan akan semakin besar setiap tahunnya.

Kendala utama dalam produksi beras yaitu sempitnya skala usaha yang

dikelola petani. Setidaknya terdapat empat ciri utama yang berkaitan dengan hal

tersebut, yakni: (1) rata-rata penguasaan lahan oleh petani padi hanya 0.3 hektar;

(2) sekitar 70 persen petani padi termasuk golongan masyarakat miskin atau

berpendapatan rendah; (3) sekitar 60 persen petani padi adalah net consumer beras

dan; (4) rata-rata pendapatan rumah tangga petani padi dari usahatani padi hanya

sekitar 30 persen dari total pendapatan keluarga (Bustaman, 2003).

Sementara itu, berkaitan dengan produktivitas padi, adanya fenomena

penurunan rendemen beras patut menjadi perhatian. Berdasarkan data yang

dikutip Amang dan Sawit (2001) rendemen beras telah turun dari 70 persen pada

awal tahun 1950-an menjadi hanya sekitar 62 persen pada akhir tahun 1990-an.

Penurunan rendemen tersebut harus diperhatikan karena dalam setiap penurunan

rendemen sebesar 1 persen, potensi produksi beras yang hilang mencapai 0.5 juta

ton. Penurunan angka rendemen tersebut disebabkan umur mesin yang sudah tua,

kehilangan penanganan pascapanen dan penyusutan yang mencapai 2.5 persen.

Berita yang menggembirakan sebenarnya, pada tahun 2004 Indonesia bisa

kembali berswasembada beras, bahkan produksi beras mencapai 33 juta ton beras

yang merupakan pencapaian tertinggi selama Republik ini berdiri. Swasembada

tersebut erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah yang melarang impor beras2.

2.3 Permintaan Beras

Beras merupakan bahan pangan pokok mayoritas penduduk Indonesia

sejak dahulu. Bahkan penduduk di beberapa daerah yang secara tradisional

makanan pokoknya jagung atau sagu sebagian telah beralih mengkonsumsi beras.

Hal ini dikarenakan penyaluran beras ke daerah-daerah yang pada awalnya

ditujukan untuk kelompok target anggaran (pegawai negeri sipil dan ABRI),

namun kemudian dijual pula oleh para pedagang swasta antar daerah dan antar

pulau kepada masyarakat setempat. Penyebaran sistem usahatani padi yang

menyertai program transmigrasi dan kemudian hasilnya dipasarkan secara lokal

diperkirakan berpengaruh pula dalam mengubah selera masyarakat yang awalnya

bukan konsumen beras tersebut.

Dari 11 jenis pola pangan pokok rumah tangga di Indonesia, pola pangan

pokok beras adalah yang dominan di setiap propinsi. Perubahan jenis pangan

pokok hanya terjadi pada komoditas bukan beras, seperti antara jagung dengan

umbi-umbian dan sebaliknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa preferensi rumah

2 loc.cit.

tangga terhadap beras sangat besar dan sulit diubah (Ariani,2004). Secara agregat

tingkat konsumsi beras hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir semua

rumah tangga mengkonsumsi beras.

Secara inheren beras mempunyai kelebihan dibandingkan pangan sumber

karbohidrat lainnya. Beras mempunyai cita rasa yang lebih enak, lebih mudah

diolah dan komposisi zat gizinya lebih baik dibandingkan pangan karbohidrat

lainnya. Kelebihan sifat-sifat tersebut, beras juga didukung kemudahan eksternal,

antara lain Revolusi Hijau dan berbagai kebijakan untuk memacu peningkatan

produksi padi. Pembangunan sarana dan prasarana jalan menyebabkan beras

mudah diperoleh di wilayah terpencil sekalipun. Belum lagi dukungan

pemerintah melalui kebijakan harga dasar dan operasi pasar (kebijakan harga

beras murah). Selain itu, terbentuk persepsi bahwa beras memiliki prestise yang

lebih tinggi dibandingkan jenis pangan sumber karbohidrat lainnya (Ariani, 2004).

Menurut Ariani (2004), kebijakan pangan pemerintah yang kurang

memperhatikan budaya masing-masing wilayah telah merusak budaya makan

setempat. Pemerintah telah menggiring budaya makan lokal ke budaya makan

nasional melalui “berasisasi”, kemudian juga memberi kesempatan untuk

terciptanya budaya makan global berupa aneka mi melalui kebijakan gandum dan

olahannya.

Berdasarkan data Susenas 1993 – 1999, konsumsi beras per kapita di

wilayah pedesaan turun dari 125.6 kg pada tahun 1990 menjadi 111.8 kg pada

tahun 1999. Sementara penurunan yang lebih nyata terjadi di wilayah perkotaan,

dari 120.7 kg tahun 1990 menjadi 96 kg pada tahun 1999. Penurunan ini terjadi

hampir di semua propinsi, terutama yang tingkat konsumsi berasnya tinggi.

Diperkirakan secara nasional tingkat konsumsi beras per kapita di masa

mendatang akan terus menurun (Erwidodo dan Pribadi, 2004). Menurut Hukum

Bennet, semakin tinggi pendapatan, maka proporsi bahan pangan pokok berpati

dalam rumah tangga akan semakin berkurang dan beralih ke pangan yang

berkalori lebih mahal.

Dalam Erwidodo dan Pribadi (2004), meskipun volumenya kecil,

penggunaan beras untuk bahan baku industri pengolahan terus meningkat.

Permintaan beras untuk bahan baku industri meningkat pesat dalam kurun waktu

1990-1995, yaitu dari 7.8 persen tahun 1990 menjadi 15.6 persen pada tahun

1995. Tepung beras dan produk olahannya seperti bihun merupakan produk

olahan beras yang mempunyai prospek permintaan pasar yang cukup cerah.

2.4 Impor beras

Indonesia merupakan negara pengimpor beras yang pada tahun 1998

mengimpor sekitar 31% dari total beras yang terdapat dalam perdagangan dunia

(Dawe, 1997 dan Tsuiji, 1998 dalam Amang dan Sawit, 1999).

Pasar beras internasional memiliki keunikan dibandingkan pasar

internasional untuk komoditas pertanian lainnya. Karakteristik unik dalam pasar

beras internasional antara lain:

1. Sembilan puluh persen produksi dan konsumsi beras dilakukan di Asia,

berbeda dengan tanaman pangan lain seperti jagung dan gandum yang

diproduksi oleh banyak negara di dunia.

2. Pasar beras internasional sangat tipis, yakni hanya sekitar empat persen dari

total produksi, berbeda dengan gandum, jagung dan kedelai yang masing-

masing mencapai 20 persen, 15 persen dan 30 persen dari total produksi

dunia.

3. Pasar yang tipis menyebabkan harga beras dunia relatif tidak stabil, terutama

jika Indonesia sebagai negara besar melakukan impor beras, maka harga beras

internasional akan meningkat. Data antara tahun 1954 – 1994 menunjukkan

bahwa harga beras tertinggi mencapai US$ 600/ton dan terendah mencapai

US$ 200/ton.

4. Sebanyak 80 persen perdagangan beras dunia dikuasai oleh enam negara,

yakni Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, Cina dan Myanmar.

5. Indonesia merupakan net importir beras. Pada tahun 1998 Indonesia

mengimpor 31 persen dari total beras dalam pasar internasional.

6. Di sebagian negara Asia, beras merupakan wage goods dan political goods.

Pemerintahan akan labil jika harga beras tidak stabil dan sulit diperoleh.

Saat ini, terjadi distorsi pada pasar beras dunia. Hal itu diakibatkan

kebijakan protektif negara-negara importir dan kebijakan subsidi domestik di

negara-negara importir. Dengan kata lain, harga beras di pasar dunia “terdepresi”,

tidak mencerminkan biaya produksi dan nilai ekonomis yang sebenarnya

(Erwidodo, 2004).

2.5 Sejarah Kebijakan Perberasan Nasional

Pemerintah pada zaman Orde Baru menyediakan kredit dengan bunga

rendah serta pupuk kimia, bibit unggul dan pestisida dengan harga yang disubsidi

oleh pemerintah. Harga gabah/padi petani juga dilindungi melalui penerapan

harga dasar gabah dan Bulog diberi tugas untuk membeli gabah petani sesuai

dengan harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Setiap tahun sebelum masa

tanam musim hujan, pemerintah menetapkan harga pupuk kimia, pestisida, bibit

unggul dan harga dasar gabah untuk memberikan insentif bagi petani menerapkan

teknologi maju (SBP Bimas, 1997).

Melalui kebijakan HDG tersebut, kelebihan produksi pada saat panen

dibeli oleh Bulog pada tingkat harga yang telah ditetapkan untuk stok gudang

Bulog sehingga bisa dipakai pada saat harga beras melonjak. Di sisi lain, untuk

melindungi konsumen beras, terutama masyarakat miskin di perkotaan, ketika

harga yang terjadi di pasar terlalu tinggi maka diadakan operasi pasar. Dengan

operasi pasar tersebut, pemerintah sebenarnya menambah penawaran sehingga

peningkatan harga yang terjadi tidak sampai memberatkan konsumen.

Semenjak tahun 1999 kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG) sudah tidak

lagi efektif. Hal ini dikarenakan unsur-unsur penopang kebijakan tersebut

dihilangkan satu per satu (Amang dan Sawit, 1999). Unsur-unsur penopang

kebijakan HDG antara lain:

1. Insulasi pasar beras domestik dari pasar internasional dihilangkan dengan

dicabutnya monopoli beras yang selama itu dimiliki Bulog, disubstitusi oleh

kebijakan tarif impor beras sebesar 30 persen yang tidak efektif karena adanya

penyelundupan atau under invoice dokumen impor.

2. Captive market bagi beras Bulog, yang berupa catu beras bagi Pegawai Negeri

Sipil (PNS) sudah dihilangkan, sehingga outlet bagi beras Bulog menjadi

terbatas. Hal ini menyebabkan kemampuan Bulog untuk menyerap kelebihan

pasar menjadi terbatas.

3. Dana KLBI yang dapat dimanfaatkan Bulog dan koperasi untuk pembelian

gabah/beras petani dihapuskan sehingga Bulog harus mendanai operasinya

dengan dana komersial. Hal tersebut membatasi kemampuan kedua institusi

dalam melaksanakan pengadaan pangan dari produksi domestik

4. Berbagai subsidi input dihilangkan. Kebijakan ini meningkatkan biaya

usahatani, sehingga petani mengharapkan harga gabah yang tinggi.

Hal yang membuat kebijakan HDG semakin sulit diterapkan dengan baik

adalah bahwa tingkat HDG yang ditetapkan tidak berdasarkan rasionalitas

ekonomi dan tidak mempertimbangkan dinamika pasar internasional, padahal

ekonomi beras sudah diliberalisasikan.

Pada tahun 1999, pemerintah membuka ekonomi perberasan Indonesia

terhadap pasar global. Impor beras yang sebelumnya dimonopoli Bulog dapat

dilakukan oleh pihak swasta secara bebas. Bahkan selama tahun 1999 – 2000

beras tidak dikenai bea masuk. Kebijakan ini dapat diterima karena pada saat itu

Indonesia sedang mengalami masa krisis yang kebetulan bersamaan dengan

penurunan produksi beras nasional yang nyata karena dampak kemarau panjang

(El Nino) dan devaluasi mata uang sehingga harga beras dalam negeri pada saat

itu naik hingga 2 – 3 kali lipat.

2.6 Kebijakan Perberasan Nasional Saat Ini

Kebijakan pembangunan ekonomi beras terakhir dituangkan dalam Inpres

No. 9 tahun 2002. Isi kebijakan tersebut antara lain:

1. Memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan

produksi beras nasional.

2. Memberikan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam

rangka meningkatkan pendapatan petani.

3. Melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh

pemerintah.

4. Menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan

kepada petani dan konsumen.

5. Memberikan jaminan bagi persediaan dan penyaluran beras dan atau bahan

pangan lain bagi kelompok masyarakat miskin atau rawan pangan.

Terdapat perubahan paradigma dalam Inpres No. 9 tahun 2002 bila

dibandingkan dengan berbagai Inpres yang terkait dengan ekonomi beras yang

dikeluarkan sebelumnya. Secara rinci perubahan paradigma tersebut adalah:

1. Sistem ekonomi beras nasional dilihat sebagai suatu sistem agribisnis beras

sehingga kebijakan harga beras hanyalah merupakan salah satu komponen dari

paket kebijakan ekonomi beras secara komprehens if.

2. Kebijakan harga dasar gabah (HDG, floor price policy) diganti dengan

kebijakan harga dasar pembelian pemerintah (HPP, procurement price policy).

Dalam kebijakan ini, ditetapkan harga gabah yang dibeli oleh pemerintah pada

titik pengadaan (gudang Bulog) dengan kualitas tertentu.

3. Kebijakan perberasan dikembangkan dengan menganut pendekatan ekonomi

pasar terkelola (managed market mechanism), dalam upaya melindungi

kepentingan produsen dan konsumen. Artinya, selama pasar dapat berfungsi

dengan baik dan efisien, maka pengembangan sistem dan usaha agribisnis

perberasan mengacu pada ekonomi pasar, tetapi jika terjadi sebaliknya, maka

pemerintah akan melakukan intervensi.

Kebijakan perberasan nasional ini pada dasarnya mencakup lima

instrumen kebijakan, yakni peningkatan produksi, diversifikasi, kebijakan harga,

kebijakan impor dan distribusi beras untuk keluarga miskin (Raskin).

2.7 Hasil Penelitian Terdahulu

2.7.1 Penelitian Tentang Beras

Bustaman (2003) melakukan analisis mengenai integrasi pasar beras di

Indonesia. Bustaman (2003) mengungkapkan bahwa pasar beras antar propinsi di

Indonesia saling terintegrasi satu sama lain, artinya perubahan yang terjadi pada

suatu pasar propinsi tertentu akan ditrasnmisikan ke pasar beras di propinsi

lainnya. Dalam penelitian tersebut juga diungkapkan bahwa kinerja pemasaran

komoditi beras domestik secara keseluruhan efisien. Selain menganalisis integrasi

pasar secara horizontal, Bustaman (2003) juga melakukan analisis integrasi pasar

secara vertikal pada masing-masing pasar beras tersebut. Hasilnya adalah bahwa

dalam jangka panjang, pasar produsen dan pasar konsumen seluruhnya

terintegrasi dengan baik sedangkan dalam jangka pendek hanya pasar beras di

propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat serta Provinsi Sulawesi

Selatan yang tidak terintegrasi dengan baik.

Dalam penelitian tersebut, Bustaman (2003) menemukan bahwa besaran

transmisi perubahan harga di produsen terhadap harga konsumen lebih tinggi

dibandingkan sebaliknya. Petani cenderung kurang memiliki informasi sehingga

posisi tawar petani rendah.

Bustaman (2003) juga menganalisis mengenai integrasi pasar beras

domestik terhadap pasar beras internasional. Dia mengungkapkan bahwa setelah

tahun 1998, pasar beras domestik terintegrasi dengan pasar beras internasional.

Hal tersebut dikarenakan mulai tahun 1998, atas desakan IMF pemerintah

menghapuskan monopoli impor beras yang sebelumnya dimiliki Bulog. Namun

derajat integrasi tersebut masih lemah karena meskipun liberalisasi perdagangan

beras telah diberlakukan, pemerintah masih menerapkan tarif dan ijin impor beras.

Menurut Simbolon (2005) yang menganalisis integrasi pasar domestik

beras dengan pasar beras dunia dan adanya pengaruh tarif impor, tarif impor akan

meningkatkan harga beras domestik, tetapi peningkatan harga tersebut tidak

mampu menurunkan volume impor beras yang masuk ke Indonesia. Tidak adanya

tarif impor akan berpengaruh terhadap pembentukan harga beras dimana hal

tersebut akan menurunkan harga beras domestik.

Dampak kebijakan perdagangan dan liberalisasi perdagangan terhadap

permintaaan dan penawaran beras di Indonesia dianalisis oleh Sitepu (2002).

Sitepu (2002) menggunakan model ekonometrika dengan persamaan simultan.

Kesimpulan akhir yang didapatnya adalah bahwa kebijakan perdagangan dan

liberalisasi perdagangan tersebut tidak efisien dan tidak tepat untuk dilaksanakan

karena keuntungan yang diterima konsumen lebih kecil dibandingkan kerugian

yang diterima produsen sehingga total net surplus menurun. Kebijakan tersebut

merugikan petani kecil dan memperburuk distribusi pendapatan.

Jumlah impor beras Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh harga impor

(taraf nyata 10 persen), produksi beras Indonesia (taraf nyata 20 persen), stok

beras awal tahun (taraf nyata 5 persen), jumlah penduduk (taraf nyata 10 persen)

dan tren waktu (taraf nyata 20 persen). Sedangkan pengaruh dari GDP dan impor

beras tahun lalu tidak berbeda nyata dari nol.

Penelitian sebelumnya tentang permintaan dan penawaran beras dilakukan

oleh Hutauruk (1996), yang menganalisis mengenai dampak kebijakan harga

dasar padi dan subsidi pupuk terhadap permintaan dan penawaran beras di

Indonesia. Model yang digunakan adalah model ekonometrika untuk permintaan,

penawaran dan harga. Metode yang digunakan oleh Hutauruk (1996) untuk

mendapatkan model tersebut adalah 3SLS (three stages least squares).

Berdasarkan hasil analisis, impor beras tidak responsif terhadap perubahan

harga beras impor ataupun nilai tukar, tetapi responsif terhadap perubahan harga

beras, produksi dan permintaan beras dalam negeri. Berdasarkan hasil simulasi,

peningkatan harga dasar gabah, baik secara individu maupun serentak dengan

harga pupuk akan berdampak pada peningkatan produksi beras total, penurunan

permintaan beras domestik, penurunan impor, dan peningkatan stok yang dilepas.

Sedang kebijakan peningkatan harga pupuk akan mengurangi produksi tanpa

mempengaruhi permintaan beras domestik.

Selain Sitepu (2002) dan Hutauruk (1996), Andy Mulyana (1998) juga

merumuskan model ekonometrika mengenai pasar beras domestik dalam

disertasinya yang berjudul “Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras

Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu

Analisis Simulasi.” Dalam analisisnya, produksi domestik disegregasikan ke

dalam lima wilayah, yaitu Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan

sisa Wilayah Indonesia sedangkan analisis permintaan dilakukan secara agregat

nasional.

Model impor beras yang digunakan Mulyana (1998) menyertakan variabel

harga beras domestik, harga beras impor, total produksi beras, stok beras awal

tahun, nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS, bunga pinjaman Bulog dan impor

beras tahun lalu sebagai variabel independen. Berdasarkan model impor yang

terbentuk, diperoleh hasil bahwa impor beras responsif terhadap perubahan stok

beras awal tahun, produksi beras, tren waktu dan impor beras tahun lalu, tetapi

tidak responsif terhadap harga beras dan harga impor.

Mulyana (1998) menyimpulkan bahwa Bulog telah berhasil melakukan

stabilisasi lewat mekanisme pengelolaan stok, pengadaan dan operasi pasar beras,

disertai dengan elastisnya intervensi harga konsumen terhadap harga impor dan

produksi, serta relatif stabilnya harga gabah dan beras di pasar domestik

menunjukkan bahwa pasar beras diproteksi secara ketat. Selain itu, pada

kenyataannya negara-negara importir dan eksportir beras utama sangat protektif

terhadap pasar beras domestik masing-masing negara dan peran Indonesia sebagai

stabilisator dan destabilisator pasar beras dunia relatif lebih besar.

Ketidakstabilan pasar beras dunia, biaya impor yang besar pada krisis ekonomi

dan potensi peningkatan produksi di luar Jawa dan Bali melalui pengembangan

teknologi produksi dan pasca panen merupakan justifikasi bagi upaya

swasembada beras pada masa mendatang.

Berdasarkan hasil simulasi, kebijakan yang sama tidak selalu direspon

dengan arah yang sama di tiap-tiap wilayah. Kombinasi antara liberalisasi

perdagangan dan penghapusan peran Bulog akan lebih menurunkan produksi dan

konsumsi beras dan swasembada beras tidak tercapai dalam jangka pendek. Hal

ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum siap dalam meliberalisasikan pasar

berasnya. Dengan adanya liberalisasi perdagangan tersebut, Indonesia tidak bisa

lagi mencapai swasembada absolut, tetapi akan menjadi net eksportir beras pada

tahun 2013.

Farihah (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Peramalan

Produksi dan Konsumsi Beras serta Implikasinya terhadap Pencapaian

Swasembada Beras di Indonesia”. Farihah (2005) menggunakan data BPS dan

data modifikasi. Data produksi modifikasi didapat dengan mengurangkan jumlah

impor dari jumlah konsumsi, sedangkan data konsumsi modifikasi didapat dengan

menjumlahkan produksi dan impor

Dari hasil plot data diketahui bahwa dalam data produksi dan konsumsi

beras terdapat unsur trend yang menunjukkan kecenderungan meningkat. Untuk

kedua variabel tersebut, metode peramalan yang paling akurat adalah ARIMA.

Dalam hasil peramalannya, Farihah (2005) menduga bahwa selama enam tahun ke

depan, produksi dan konsumsi beras nasional sama-sama mengalami peningkatan.

Berdasarkan peramalan menggunakan data BPS, Indonesia dapat kembali

mencapai swasembada beras dan akan terjadi surplus produksi. Namun, jika

menggunakan data produksi dan konsumsi modifikasi, sawasembada beras masih

belum dapat tercapai.

Tiga skenario yang disimulasikan sebagai upaya pencapaian swasembada

beras yaitu:

1. Peningkatan Produktivitas. Rata-rata peningkatan produktivitas yang harus

dicapai yaitu sebesar 0,1678 ton/ha/tahun.

2. Peningkatan Luas Panen. Rata-rata peningkatan luas panen yang harus dicapai

yaitu sebesar 492 854,5 ha/tahun.

3. Peningkatan produktivitas yang diikuti peningkatan luas areal. Diperlukan

rata-rata peningkatan produktivitas sebesar 0,081 ton/ha/tahun dan rata-rata

peningkatan luas panen seluas 201 503,67 ha/tahun untuk dapat mencapai

swasembada.

2.7.2 Penelitian Tentang Peramalan

Penelitian yang memakai metode yang sama dengan penelitian yang akan

dilakukan, yaitu peramalan diambil tiga buah sebagai pembanding, yaitu

penelitian Suhendratmo (2004), Purwanto (2004), dan Mutiarani (2005)

Suhendratmo (2004) menganalisis fluktuasi volume gula impor dan harga

gula impor serta memprediksi volume impor gula pasir dan harga gula pasir

domestik pada masa yang akan datang. Melalui plot data diperoleh bahwa volume

gula impor menunjukkan kecenderungan menurun, sebaliknya harga gula impor

memiliki trend meningkat. Model terbaik dalam analisisnya (dengan kriteria

MSE) yaitu ARIMA (1,1,1) untuk volume gula pasir impor dan ARIMA (1,1,2)

untuk harga gula pasir domestik.

Purwanto melakukan analisis peramalan produksi dan produktivitas

tanaman pangan utama (padi, jagung dan kedelai) di Sumatera dan Jawa. Metode

peramalan yang dipakainya adalah ARIMA, dengan kriteria penetapan model

dengan menggunakan kriteria MSE terkecil.

Penelitian Purwanto (2004) menemukan bahwa pola data yang

ditunjukkan, baik produksi maupun produktivitas, di Jawa maupun di Sumatera,

untuk ketiga komoditi tersebut tidak stasioner, melainkan memperlihatkan adanya

unsur trend meningkat, kecuali trend kedelai pada tahun 1999 – 2002 (Jawa) dan

pada tahun 1995 – 2002 (Sumatera) yang memperlihatkan trend menurun. Model

peramalan yang terbaik untuk meramalkan masing-masing variabel diperlihatkan

dalam Tabel 5.

Tabel 5. Model ARIMA Terbaik untuk Meramal Masing-Masing Variabel

Variabel Jawa Sumatera Produksi Padi ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (1, 1, 1,) Produksi Jagung ARIMA (1, 2, 1,) ARIMA (1, 1, 2,) Produksi Kedelai ARIMA (0, 2, 1,) ARIMA (0, 2, 1,) Produktivitas Padi ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (1, 1, 1,) Produktivitas Jagung ARIMA (0, 2, 1,) ARIMA (1, 1, 1,) Produktivitas Kedelai ARIMA (1, 1, 1,) ARIMA (0, 2, 1,)

Penelitian yang dilakukan oleh Mutiaratri (2005) membahas mengenai

peramalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi impor gandum di Indonesia.

Volume impor gandum Indonesia diketahui memiliki tren yang semakin

meningkat. Metode peramalan yang paling akurat di dalam menduga volume

impor gandum adalah dengan metode Box-Jenkins, yaitu dengan model ARIMA

(1,2,0). Model tersebut kemudian digunakan untuk meramalkan impor gandum

untuk lima periode (tahun) ke depan. Hasil ramalan menunjukkan bahwa selama

lima tahun ke depan, impor gandum di Indonesia mengalami peningkatan yang

signifikan. Hal tersebut terlihat dari nilai ramalan impor gandum pada tahun 2008

yang mencapai 6.7691 juta ton, yang bila dibandingkan dengan nilai impor pada

tahun 2003 yang berada pada angka 3,48 juta ton meningkat hampir dua kali lipat.

Selain melakukan peramalan volume impor gandum, Mutiaratri (2005)

juga menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi impor gandum. Model yang

paling baik dalam memenuhi kriteria ekonometrika (tidak terdapat multikolinier,

autokorelasi dan heteroskedastisitas) adalah sebagai berikut:

Variabel yang berpengaruh nyata terhadap volume impor gandum adalah

produksi terigu dan dummy kebijakan impor gandum (a = 15 persen) dimana

dengan semakin meningkatnya produksi terigu, maka impor gandum semakin

besar. Kebijakan perdagangan gandum dan terigu yang ditetapkan pemerintah,

yaitu peningkatan tarif terigu dan penurunan tarif impor gandum terbukti akan

meningkatkan impor gandum.

2.7.3 Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mengaitkan antara

pengaruh impor beras terhadap harga beras domestik untuk kemudian dikaji

faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras (termasuk kebijakan pemerintah)

dan peramalan impor beras dalam lima periode ke depan. Penelitian yang

dilakukan oleh Hutauruk (1996), Mulyana (1998), dan Sitepu (2002) lebih banyak

menggambarkan tentang keragaan penawaran dan permintaan beras di Indonesia.

Penelitian Simbolon (2005) juga hanya mengkaji efek penetapan kebijakan tarif

terhadap harga beras domestik dan impor beras. Penelitian ini berfokus pada

impor beras, bukan pada keragaan permintaan-penawaran beras nasional, dan

kebijakan tarif ditambah dengan proyeksi impor dalam beberapa periode

mendatang.

Selain itu, analisis efek impor beras terhadap harga beras dalam negeri

serta faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras dikaji dengan menggunakan

model regresi berganda dengan persamaan tunggal. Sementara penelitian

Hutauruk (1996), Mulyana (1998), dan Sitepu (2002) menggunakan persamaan

simultan.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Perdagangan Internasional

Ball dan McCulloch (2000) menyatakan bahwa perdagangan internasional

muncul karena adanya perbedaan harga relatif antar negara. Perbedaan ini berasal

dari perbedaan biaya produksi, yang diakibatkan oleh:

1. Perbedaan atas karunia Tuhan pada faktor produksi

2. Perbedaan dalam teknologi yang digunakan, yang dapat menentukan intensitas

faktor produksi yang diperlukan.

3. Perbedaan dalam efisiensi permintaan faktor produksi

4. Nilai tukar mata uang suatu negara terhadap negara lain

Mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada gambar 1:

Kurva pada Gambar 1 memperlihatkan adanya perdagangan internasional,

negara A akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik K’ berdasarkan harga

relatif komoditi (Px/Py) sebesar P3, sedangkan negara B akan berproduksi dan

berkonsumsi di titik K pada harga relatif komoditi X di P1. Setelah hubungan

P1

P2

P3

Gambar 1. Mekanisme Perdagangan Internasional Sumber: Salvatore (1994)

Dx

Sx Sx

Dx

S

D Impor

L M

K

Px/Py Px/Py Px/Py

X X X

M’

K’

L’

Negara B Negara A Perdagangan

Ekspor

perdagangan berlangsung di antara kedua negara tersebut, harga relatif komoditi

X akan berada di antara P1 dan P3. Apabila harga relatif di negara A lebih besar

dari P3, maka negara A akan memasok lebih banyak daripada tingkat permintaan

(konsumsi) domestiknya. Kelebihan produksi tersebut akan diekspor ke negara B.

Di lain pihak jika harga relatif yang berlaku di negara B lebih kecil dari P1, maka

negara B akan mengalami peningkatan permintaan, sehingga tingkat permintaan

akan melebihi penawaran domestiknya. Hal ini mendorong negara B untuk

mengimpor komoditi X dari negara A.

Impor adalah aliran masuk barang dan jasa ke pasar sebuah negara untuk

dipakai (Smith dan Blakeslee dalam Mahardika, 2003). Adapun faktor- faktor

yang mempengaruhi suatu negara untuk mengimpor suatu komoditi antara lain

harga internasional, harga domestik, jumlah permintaan domestik, harga komoditi

substitusi serta Produk Domestik Bruto negara tersebut. Selain itu secara tidak

langsung impor ditentukan pula oleh perubahan nilai tukar uang (exchange rate)

mata uang suatu negara terhadap negara lain. Selain faktor- faktor tersebut, fungsi

impor juga dipengaruhi oleh faktor- faktor dari dalam negeri seperti biaya

transportasi, tarif dan selera konsumen

3.1.2 Peramalan

Peramalan adalah kegiatan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi

pada masa yang akan datang (Assauri, 1984). Peramalan terutama diperlukan

karena peramalan merupakan alat bantu yang penting dalam perencanaan

(Makridakis, McGee dan Wheelwright,1999). Dapat dikatakan bahwa peramalan

merupakan dasar untuk penyusunan rencana. Efektif tidaknya suatu rencana yang

disusun sangat ditentukan oleh kemampuan para penyusunnya untuk meramalkan

situasi dan kondisi pada saat rencana tersebut dilaksanakan (Assauri,1984).

Keputusan yang baik adalah keputusan yang didasarkan atas pertimbangan apa

yang akan terjadi pada masa yang akan terjadi pada saat keputusan tersebut

dilaksanakan. Apabila ramalan yang dibuat kurang tepat maka keputusan yang

diambil menjadi tidak tepat (Assauri,1984).

3.1.3 Jenis Peramalan

Menurut Assauri (1984), umumnya peramalan dapat dibedakan dari

beberapa segi tergantung dari cara melihatnya. Jika dilihat dari jangka waktu

ramalan yang disusun, maka peramalan dapat dibedakan menjadi dua macam,

yaitu:

1. Peramalan jangka panjang, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan

hasil ramalan yang jangka waktunya lebih dari satu setengah tahun.

2. Peramalan jangka pendek, yaitu peramalan yang dilakukan untuk penyusunan

hasil ramalan dalam jangka waktu kurang dari satu setengah tahun.

Berdasarkan sifat ramalan yang telah disusun, maka peramalan dibedakan

atas dua macam, yaitu:

1. Peramalan kualitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data kualitatif pada

masa lalu. Hasil peramalan tersebut ditentukan berdasarkan pemikiran yang

bersifat intuisi, judgement atau pendapat, dan pengetahuan serta pengalaman

dari penyusunnya. Biasanya peramalan secara kualitatif ini didasarkan atas

hasil penyelidikan, seperti Delphi, analogi dan pene litian morfologis, atau

didasarkan atas ciri-ciri normatif seperti decision trees.

2. Peramalan kuantitatif, yaitu peramalan yang didasarkan atas data kuantitatif

masa lalu. Dengan metode yang berbeda akan diperoleh hasil peramalan yang

berbeda, adapun yang perlu diperhatikan dari penggunaan metode-metode

tersebut, adalah baik tidaknya metode yang dipergunakan. Metode yang baik

adalah metode yang memberikan nilai-nilai perbedaan atau penyimpangan

yang sekecil mungkin.

Menurut Makridakis, McGee dan Wheelwright (1999), peramalan

kuantitatif hanya dapat digunakan apabila terdapat tiga kondisi sebagai berikut:

a. Adanya informasi tentang keadaan yang lain;

b. Informasi tersebut dapat dikuantifikasikan dalam bentuk data;

c. Dapat diasumsikan bahwa pola yang lalu akan berkelanjutan pada masa

yang akan datang.

Selanjutnya metode peramalan kuantitatif dapat dibedakan atas metode

peramalan time series dan metode kausal. Metode peramalan time series

merupakan metode peramalan yang didasarkan atas penggunaan analisa pola

hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan variabel waktu, yang

merupakan deret waktu. Sedangkan metode kausal yaitu metode peramalan yang

didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan antara variabel yang akan

diperkirakan dengan variabel lain yang mempengaruhinya.

3.1.4 Metode Peramalan Time Series

Metode peramalan time series tidak berusaha menemukan hubungan sebab

akibat ataupun faktor yang berpengaruh pada perilaku suatu sistem. Alasannya

adalah bahwa sistem tersebut mungkin tidak dimengerti, sulit diukur dan tujuan

utamanya bukanlah mengetahui bagaimana suatu hal terjadi, melainkan untuk

meramalkan apa yang akan terjadi (Makridakis, McGee dan Wheelwright, 1999).

Metode peramalan dengan menggunakan analisa deret waktu terdiri atas:

1. Metode tren.

Metode proyeksi tren berusaha menemukan persamaan garis dasar melalui

metode regresi dengan waktu sebagai variabel eksogennya, sehingga dengan dasar

persamaan tersebut dapat diproyeksikan hal-hal yang diteliti untuk untuk masa

depan. Untuk peramalan jangka pendek maupun peramalan jangka panjang,

ketepatan metode peramalan ini sangat baik.

2. Metode smoothing.

Metode smoothing digunakan untuk mengurangi ketidakteraturan

musiman dari data yang lalu, dengan membuat rata-rata tertimbang dari sederetan

data yang lalu. Ketepatan dari peramalan dengan metode ini akan terdapat pada

peramalan jangka pendek, sedangkan ketepatannya untuk peramalan jangka

panjang sangat kurang.

3. Metode Box-Jenkins (ARIMA).

Metode ini menggunakan dasar deret waktu dengan model matematis, agar

kesalahan yang terjadi dapat sekecil mungkin. Oleh karena itu penggunaan model

ini membutuhkan identifikasi model dan estimasi parameternya. Metode ini

sangat baik ketepatannya dalam peramalan jangka pendek, sedangkan untuk

peramalan jangka panjang ketepatannya kurang baik.

3.1.5 Memilih Metode Peramalan Time Series

Ada enam faktor utama yang dijadikan pertimbangan dalam memilih

metode peramalan yang akan digunakan, yaitu:

1. Horizon waktu

Aspek dalam horizon waktu yang penting untuk dijadikan pertimbangan

adalah cakupan waktu di masa yang akan datang. Terdapat perbedaan dari

masing-masing metode peramalan dalam ketepatannya memproyeksi suatu

variabel. Suatu metode mungkin ketepatannya tinggi untuk jangka pendek, tetapi

kurang dalam jangka panjang.

2. Pola data

Masing-masing metode peramalan berbeda kemampuannya untuk

mengidentifikasi pola-pola data, maka perlu ada penyesuaian antara pola data

yang telah diperkirakan terlebih dahulu dengan teknik dan metode peramalan

yang akan digunakan.

3. Jenis dari model

Banyak metode peramalan telah menganggap adanya beberapa model dari

keadaan yang diramalkan. Model-model ini merupakan suatu deret dimana waktu

digambarkan sebagai unsur yang penting untuk menentukan perubahan-perubahan

dalam pola, yang mungkin secara sistematik dapat dijelaskan dengan analisa

regresi atau korelasi. Model yang lain adalah model kausal, yang

menggambarkan bahwa ramalan yang dilakukan sangat tergantung pada

terjadinya sejumlah peristiwa lain, atau sifatnya merupakan campuran dari model-

model yang telah disebutkan di atas. Masing-masing model memiliki kemampuan

yang berbeda dalam analisa keadaan untuk pengambilan keputusan.

4. Biaya

Umumnya ada empat unsur biaya yang tercakup dalam penggunaan suatu

prosedur ramalan, yaitu biaya pengembangan, biaya penyimpanan data, biaya

operasi pelaksanaan dan kesempatan dalam penggunaan teknik-teknik dan metode

lainnya. Adanya perbedaan yang nyata dalam jumlah biaya, mempunyai

pengaruh atas dapat menarik atau tidaknya penggunaan metode tertentu untuk

suatu keadaan yang dihadapi.

5. Ketepatan.

Tingkat ketepatan yang dibutuhkan sangat erat kaitannya dengan tingkat

perincian yang dibutuhkan dalam suatu peramalan. Dalam beberapa kasus,

penyimpangan 20 persen masih dapat diterima sedangkan dalam kasus yang lain,

penyimpangan 5 persen sudah cukup berbahaya.

6. Kemudahan dalam Penerapan

Satu prinsip umum dalam penggunaan metode ilmiah dari peramalan

untuk manajemen dan analisis adalah metode-metode tersebut dapat dimengerti

dan mudah diterapkan dalam pengambilan keputusan dan analisa. Seorang

pengambil keputusan akan cenderung menggunakan metode yang dia ketahui dan

mudah untuk dipergunakan.

3.1.6 Model Ekonometrika

Model merupakan suatu penjelasan dan penyederhanaan dari fenomena

aktual. Sebuah model ekonomi merupakan penjelasan dari keseluruhan atau

sebagian fenomena ekonomi dengan mengabaikan sebagian aspek yang dianggap

kurang penting (Koutsouyiannis, 1977).

Model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing

variabel penjelas terhadap peubah endogen khususnya yang menyangkut tanda

dan besaran dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori.

Model yang baik haruslah memenuhi kriteria secara ekonomi, kriteri statistika

yang dilihat dari suatu derajat ketepatan (goodness of fit) yang dikenal dengan

koefisien determinasi (R2) serta nyata secara statistik sedangkan kriteria

ekonometrika menetapkan apakah suatu taksiran memiliki sifat-sifat yang

dibutuhkan seperti unbiasedness, consistency, sufficiency, efficiency

(Koutsouyiannis, 1977).

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Beras memiliki peran yang besar bagi bangsa Indonesia, utamanya adalah

sebagai bahan pangan utama, sumber utama karbohidrat dan protein serta sebagai

mata pencaharian bagi sebagian besar warga Indonesia. Besarnya peran beras

menggambarkan bahwa beras merupakan komoditas strategis sekaligus komoditas

politis.

Pertumbuhan penduduk (sebagai salah satu penyebab peningkatan

permintaan terhadap beras) yang tinggi di Indonesia menyebabkan permintaan

beras tumbuh dengan laju yang cukup tinggi. Di lain pihak, pertumbuhan

produksi beras hanya sebesar 0.67 persen per tahun. Selain itu, banyak hambatan

yang dihadapi produksi beras nasional, di antaranya adalah tingkat rendemen yang

terus berkurang dan kompetisi dalam penggunaan lahan.

Laju pertumbuhan permintaan akan beras yang tidak diimbangi dengan

laju pertumbuhan produksi beras yang cukup, akan menyebabkan terjadinya

kekurangan pasokan beras dalam negeri dan untuk mengatasi hal tersebut maka

dilakukan impor beras. Sejak September 1998, impor beras tidak lagi menjadi

monopoli Bulog, meskipun pada tahun 2000 kemudian ditetapkan tarif impor

beras sebesar 30 persen. Dengan demikian, keran impor beras semakin terbuka

lebar.

Permasalahan yang dihadapi dalam mengimpor beras yakni adanya efek

negatif dimana impor beras diduga akan menurunkan harga beras dalam negeri

dan akhirnya akan menurunkan produksi beras nasional. Kuat dugaan adanya

korelasi langsung antara impor beras, harga gabah dan produksi gabah. Makin

banyak impor, harga gabah menurun dan produksi menurun3. Selain itu perlu

dilihat apakah kebijakan yang diterapkan pemerintah sudah efektif dalam

menurunkan impor beras serta melihat kecenderungan impor beras dalam

beberapa periode mendatang.

Berdasarkan hal di atas, penelitian ini bertujuan: (1) menguji pengaruh

impor beras terhadap harga beras dalam negeri; (2) menganalisis faktor- faktor

yang mempengaruhi volume impor beras Indonesia; (3) mengetahui pola yang

ditunjukkan oleh volume impor beras nasional; (4) memilih metode peramalan

yang terbaik dalam menduga volume impor beras nasional; dan (5) meramal

jumlah impor beras nasional dalam lima periode mendatang.

Dalam penelitian ini akan diuji hipotesa yang menyatakan bahwa harga

beras/gabah dalam negeri akan mengalami penurunan jika dilakukan impor beras.

Hipotesa tersebut diuji dengan membuat model regresi. Variabel yang

3 loc.cit

dimasukkan ke dalam model harga beras adalah impor beras dan harga beras

periode sebelumnya.

Menurut Smith dan Blakeslee dalam Mahardika (2003), faktor-faktor yang

mempengaruhi suatu negara untuk mengimpor suatu komoditi antara lain harga

internasional, harga domestik, jumlah permintaan domestik, harga komoditi

substitusi serta Produk Domestik Bruto negara tersebut. Selain itu secara tidak

langsung impor ditentukan pula oleh perubahan nilai tukar uang (exchange rate)

mata uang suatu negara terhadap negara lain. Model dugaan awalnya adalah

impor beras dipengaruhi oleh produksi beras periode sebelumnya, kebijakan

pemerintah, harga beras dalam negeri, stok beras Bulog awal periode, harga beras

impor, nilai tukar rupiah, harga terigu dan konsumsi beras nasional.

Pendugaan pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap impor beras

dilakukan dengan membentuk model ekonometrika dan dilakukan estimasi

parameter dengan OLS (Ordinary Least Squares). Setelah diduga, model diuji

dengan uji-F, uji t-hitung, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi dan uji

multikolinier.

Dalam usaha mengetahui pola yang ditunjukkan oleh volume impor beras

nasional, data volume impor digambar ke dalam grafik menurut waktu. Sebagai

tambahan, dilakukan pula identifikasi pola data dengan menggunakan

korrelogram. Hasil dari identifikasi pola data kemudian akan digunakan untuk

membantu menjawab tujuan penelitian yang kedua. Metode peramalan yang akan

dicoba akan ditetapkan berdasarkan pola data yang terlihat. Selanjutnya, metode

peramalan yang terbaik akan digunakan untuk meramalkan volume impor beras

dalam lima kuartal mendatang.

Diharapkan melalui penelitian ini, pembuat kebijakan impor beras

mendapatkan masukan yang berarti mengenai jumlah impor yang diperlukan

dalam beberapa periode mendatang dan faktor- faktor yang mempengaruhi impor

dan beras untuk kemudian dapat menentukan kebijakan yang akan diambil.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional

Impor Beras Harga Beras Domestik

Identifikasi Pola Data Impor Beras

Peramalan Impor Beras

Model Ekonometrika

Pengaruh Volume Impor Beras terhadap Harga Beras Dalam

Negeri

Memilih Metode Peramalan Time Series Terakurat

Efek Negatif Impor Beras Efektivitas Kebijakan Pemerintah

Kesenderungan Impor Beras

Faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras: Produksi beras domestik Konsumsi beras domestik Harga beras domestik Harga beras dunia Nilai tukar rupiah Kebijakan pemerintah Harga terigu Stok beras Bulog GDP

Model ekonometrika

Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Perberasan

Indonesia

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder

dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005.

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari beberapa instansi terkait, yaitu

Biro Pusat Statistik, Badan Urusan Logistik, dan Bank Indonesia.

Data yang diperlukan antara lain volume impor beras (baik oleh Bulog

maupun oleh importir lainnya), produksi beras dalam negeri, harga beras dalam

negeri, harga terigu, harga beras dunia, jumlah stok beras yang dimiliki Bulog,

dan nilai tukar rupiah. Sebagai tambahan, diperlukan pula data mengenai

kebijakan pemerintah mengenai impor beras, indeks harga konsumen dan indeks

harga perdagangan besar.

Untuk menduga pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri,

digunakan data triwulan dari tahun 1999 – 2005. Sedangkan untuk menganalisis

faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras digunakan data empat bulanan dari

tahun 1999 – 2004 dan dalam meramalkan impor beras, data yang digunakan yaitu

data tiga bulanan dari tahun 2000 – 2005.

Pada model impor beras, digunakan data empat bulanan karena data

produksi beras (sebagai faktor yang dianggap paling mempengaruhi impor beras)

yang digunakan adalah data empat bulanan. Sebenarnya data produksi bulanan

juga bisa diperoleh, tetapi kurang menggambarkan efek musiman dalam produksi

beras mengingat beras dapat dipanen tiga kali setahun sehingga yang diambil

adalah data empat bulanan.

Peramalan impor beras menggunakan data tiga bulanan periode 2000 –

2005 karena data tahun 1999 tidak relevan untuk dipakai dalam peramalan. Hal

ini dikarenakan kebijakan yang diterapkan pada tahun 1999 dan tahun-tahun

berikutnya berbeda.

4.2 Pengolahan Data

Data yang diperoleh yaitu berupa data kuantitatif. Data kuantitatif yang

telah didapatkan kemudian diolah menggunakan program QSB+3.0, Microsoft

Excel, dan MINITAB 14 . Sedangkan data yang bersifat kualitatif akan dijelaskan

secara deskriptif.

4.3 Analisis dan Interpretasi Data

4.3.1 Model Ekonometrika

4.3.1.1 Spesifikasi Model

Spesifikasi model meliputi penentuan peubah penjelas yang terkandung

dalam model, tanda, dan besar koefisien parameter fungsi dan bentuk matematis

model. Spesifikasi model dilakukan untuk menjelaskan hubungan antar variabel

dalam bentuk matematika sehingga fenomena ekonomi dapat dieksplorasi secara

empiris.

Analisis pengaruh volume impor beras terhadap harga beras dalam negeri

dilakukan dengan membentuk model sebagai berikut:

LnHBRt = a0 + a1LnQIMt-1 + a2LnHBRt-1

Besaran pengaruh impor beras terhadap harga beras dalam negeri,

dianalisis dengan menggunakan konsep elastisitas untuk mengetahui seberapa

jauh perubahan harga beras dalam negeri akibat adanya perubahan dalam jumlah

beras yang diimpor (dalam persen), baik dalam jangka panjang maupun jangka

pendek. Elastisitas jangka pendek diukur dengan koefisien regresi yang didapat

ada model dugaan, sedangkan elastisitas jangka panjang diukur dengan

menggunakan rumus a1/ (1 – a2).

Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap volume impor beras

adalah poduksi beras dalam negeri, konsumsi beras dalam negeri, stok beras

Bulog pada awal periode, harga beras dalam negeri periode yang lalu, nilai tukar

riil, harga terigu, harga beras impor dan kebijakan pemerintah. Kebijakan

pemerintah diikutsertakan dalam model sebagai dummy variable, dimana

kebijakan bernilai satu ketika tarif impor tidak dikenakan (tahun 1999) dan

bernilai nol ketika impor beras sudah dikenakan tarif impor (tahun 2000 – 2004).

Variabel GDP dikeluarkan dari model karena data yang tidak tersedia (GDP hanya

ada dalam triwulan) sehingga model dugaan awalnya diformulasikan sebagai

berikut:

QIMt = ß0 + ß1QBRt-1 + ß2KBJt + ß3HBRt + ß4STKt-1 + ß5HIMt + ß6NTRt +

ß7HTRt + ß8QDTt

Dimana: QIMt = impor beras Indonesia (ribu ton)

QBRt-1 = produksi beras Indonesia periode sebelumnya (juta ton)

KBJt = kebijakan tarif impor beras

HBRt = harga beras (Rp/kg)

STKt-1 = stok beras Bulog awal periode (juta ton)

HIMt = harga beras impor (US $/ton)

NTRt = nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Rp/$)

HTRt = harga terigu (Rp/kg)

QDTt = konsumsi beras (juta ton)

Model yang dibentuk harus dinilai kelayakannya baik secara statistik

maupun secara ekonometrik. Secara statistik, model dinilai dengan uji-F, uji t-

hitung, serta koefisien determinasi (R2). Secara ekonometrik, dilakukan pengujian

apakah model yang dibentuk melanggar asumsi dasar seperti multikolinieritas,

homoskedastisitas dan autokorelasi.

4.3.1.2 Uji Statistik terhadap Model

1. Uji F

Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-

sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, maka pada model dilakukan

uji F. Mekanisme yang digunakan untuk pengujian:

Hipotesis: H0 : ß1 = ß2 = … = ßi = 0 (tidak ada pengaruh nyata variabel-

variabel dalam persamaan)

H1 : Minimal ada satu nilai parameter dugaan (ßi) yang signifikan

Untuk i = 1,2,3,…,k

ß = dugaan parameter

Statistik uji :

F hitung = SSR / (k-1) , dengan derajat bebas = (k-1), (n-k) SSE/ (n-k)

Dimana: SSR = jumlah kuadrat regresi

SSE = jumlah kuadrat error

k = jumlah parameter

n = jumlah pengamatan

Kriteria uji:

§ F-hitung < F-tabel : terima H0, artinya variabel eksogen secara bersama-sama

tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada tingkat kepercayaan

tertentu.

§ F-hitung > F-tabel : tolak H0, artinya variabel eksogen secara bersama-sama

berpengaruh nyata terhadap variabel endogen pada tingkat kepercayaan

tertentu.

2. Uji t

Selain dilakukan uji variabel eksogen secara bersama-sama, dilakukan

pula uji parsial (uji t). Uji t bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen

yang terdapat dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel

endogen. Mekanisme uji statistik t adalah sebagai berikut:

Hipotesis: H0 = perubahan suatu variabel eksogen secara individu tidak

berpengaruh nyata terhadap perubahan variabel endogen.

H1 = perubahan suatu variabel secara individu berpengaruh nyata

terhadap perubahan variabel endogen.

Statistik uji: t-hitung = ßi / S (ßi), dengan derajat bebas = n – k

Dimana: ß i = koefisien parameter dugaan

S(ßi) = standar deviasi parameter dugaan

k = jumlah parameter

n = jumlah pengamatan

Kriteria uji:

§ |t-hitung| < t-tabel : terima Ho, artinya variabel eksogen yang diuji tidak

berpengaruh nyata terhadap variabel endogennya pada taraf nyata a.

§ |t-hitung| > t-tabel : tolak Ho, artinya variabel eksogen yang diuji berpengaruh

nyata terhadap variabel endogennya pada taraf nyata a.

3. Uji Goodness of Fit

Derajat ketepatan (goodness of fit) diukur dari besarnya nilai koefisien

determinasi (R2), yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman

impor beras dapat diterangkan oleh variabel penjelas yang telah terpilih.

Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

SSTSSE

R −= 12

Keterangan:

SSE = jumlah kuadrat error

SST = jumlah kuadrat total

Apabila nilai dari R2 semakin mendekati 1, berarti semakin besar

keragaman impor beras yang dapat diterangkan oleh model yang telah dibentuk.

4.3.1.3 Pengujian terhadap Asumsi

1. Uji Autokorelasi

Penelitian ini menggunakan uji Lagrange Multiplier karena metode ini

menghasilkan kesimpulan yang pasti sedangkan pada metode uji Durbin Watson

terdapat daerah dimana tidak ada kesimpulan yang bisa diambil. Langkah- langkah

dalam uji Lagrange Multiplier:

Hipotesis: H0: ? = 0, tidak terdapat autokorelasi dalam model

H1; ? ? 0, terdapat autokorelasi di dalam model

Statistik uji:

Regresikan µt terhadap intersep, seluruh Xi dan µt-1, hitung: 2)1( RnLM −=

Kriteria uji:

§ Tolak H0 jika LM > ?21(a), artinya terdapat autokorelasi di dalam model

§ Terima H0 jika LM < ?21(a), yang menunjukkan bahwa di dalam model tidak

terdapat autokorelasi

Untuk menguji model yang menggunakan lag variabel dependent dipakai

uji durbin-h. Langkah- langkah dalam menerapkan uji tersebut adalah:

Hipotesis: H0: ? = 0, tidak terdapat autokorelasi dalam model

H1; ? ? 0, terdapat autokorelasi di dalam model

Statistik uji: ∑

∑ −=2

1

ˆ

ˆˆˆ

t

tt

µ

µµρ atau 2)2(ˆ d−=ρ

Kemudian hitung 2/1

2'1'

ˆ

−=

β

ρsn

nh

Dimana n’= n – 1 dan 2βs adalah ragam dari ß lag dependent variabel

Kriteria uji:

Tolak H0 jika h < -z* atau h > z*, artinya terdapat autokorelasi di dalam

model, dimana z* adalah titik pada distribusi normal sedemikian rupa sehingga

area di sebelah kanan z* adalah seluas a/2 pada tabel distribusi normal.

2. Uji Multikolinier

Multikolinieritas dalam model dapat diidentifikasi dengan melihat nilai

Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF variabel independennya lebih

besar dari 10, maka terdapat masalah multikolinieritas. Nilai VIF dapat dihitung

dengan rumus: i

XiR

VIFχ21

1−

=

Dimana: iR χ2 = koefisien determinasi dari model dimana Xi adalah fungsi dari

variabel lainnya.

3. Uji Heteroskedastisitas

Uji terhadap ada tidaknya heteroskedastisitas yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah uji Breusch-Pagan. Langkah-langkah dalam uji:

Hipotesis:

H0 : a2 = a3 = a4 = a5 = a6 = a7 a8 = a9 = 0, tidak terdapat

heteroskedastisitas dalam model

H1 : salah satu a ? 0, terdapat heteroskedastisitas di dalam model

Statistik uji:

Persamaan bantu dibentuk dengan meregresikan error terhadap variabel X

yang diperkirakan memiliki hubungan yang erat dengan error:

2tε = a1 + a2X2 + a3X3 + ... apXp

Hitung LM = nR2,

Dimana: n = jumlah observasi persamaan bantu

R2= unadjusted R2 persamaan bantu

Kriteria uji:

§ Tolak H0 jika LM > ?2p-1(a), maka di dalam model terdapat heteroskedastisitas

§ Terima H0 jika LM < ?2p-1(a), yang menunjukkan bahwa residualnya

homoskedastis

4.3.2 Identifikasi Pola Data

Terdapat empat komponen pola data, yakni tren, musiman, siklus dan

iregular. Tren yaitu merupakan komponen jangka panjang yang mendasari

penurunan atau peningkatan data time series. Musiman (season) merupakan

fluktuasi nilai yang terjadi kurang dari satu tahun dan berulang pada tahun-tahun

berikutnya. Siklus (cycle) merupakan komponen pola data berupa fluktuasi yang

terjadi lebih dari satu tahun di sekitar garis tren. Sedangkan iregular (random)

merupakan komponen yang polanya acak dan tidak terdefinisi.

Pengidentifikasian pola data dilakukan dengan menelaah plot/grafik

variabel tersebut terhadap waktu dan korrelogram. Dengan memplot data historis

terhadap waktu dalam grafik, maka pola data bisa diidentifikasi dengan jelas.

Cara lain adalah menggunakan korrelogram. Korrelogram merupakan peta

autokorelasi dari variabel yang diamati. Autokorelasi merupakan korelasi di

antara variabel itu sendiri dengan selang satu atau beberapa periode ke belakang

(lag). Autokorelasi lag ke-k didefinisikan sebagai berikut:

rk =

∑ −

∑ −−

=

+=−

nYY

nYYYY

tt

ktktt

1

2

1

)(

))((

§ Jika didapat rk untuk setiap selang mendekati nol, berarti tidak ada komponen

tren.

§ Jika didapat rk yang berbeda nyata dari nol pada selang awal dan secara

bertahap menurun mendekati nol maka data tersebut memiliki pola tren.

§ Jika didapat rk yang berbeda nyata dari nol pada selang waktu musiman atau

kelipatan selang waktu musiman maka data tersebut memiliki pola musiman.

4.3.3 Metode Peramalan Time Series

4.3.3.1 Model Naive

Model ini menggunakan nilai periode saat ini untuk meramalkan nilai dari

variabel tersebut pada periode berikutnya. Model yang dipakai adalah

Yt+1 = Yt

Dimana: Yt+1 = nilai ramalan Y satu periode ke depan

Yt = nilai aktual Y pada periode t

Peramalan menggunakan model naive berguna jika nilai variabel

cenderung konstan dari waktu ke waktu. Model ini kurang baik digunakan dalam

meramal variabel yang diramal memiliki komponen tren dalam pola datanya.

4.3.3.2 Model Tren

Peramalan model tren menggambarkan hubungan dari variabel yang

diramalkan terhadap waktu. Bentuk fungsional model tersebut bergantung

terhadap pola data yang dimiliki variabel yang diamati. Model tren linier

mengasumsikan adanya perubahan yang konstan dari volume impor beras di

setiap periodenya. Apabila impor beras di Indonesia mengalami fluktuasi yang

meningkat, maka analisis tren yang sesuai adalah tren kuadratik. Tipe exponential

growth sesuai digunakan jika impor beras meningkat dengan laju yang semakin

bertambah. Persamaan yang akan dibentuk adalah sebagai berikut:

a. Bentuk linier, btaYt +=ˆ

b. Bentuk kuadratik, 21ˆ bttbaYt ++=

c. Bentuk eksponensial, btt aeY =ˆ yang dilinierkan menjadi btaYt += lnˆln

Dimana: tY = nilai dugaan Y pada periode ke-t

a = intersep

b = dugaan tren

t = periode ke-t

4.3.3.3 Model Smoothing

Metode peramalan kuantitatif dengan menggunakan model pemulusan

yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Model Rata-rata Sederhana

Model rata-rata sederhana adalah mengambil rata-rata dari semua data

dalam kelompok data masa lalu sebagai ramalan untuk periode berikutnya:

nYYYn

t

tt

== ∑

=

+

1

Dimana: Yt+1 = nilai ramalan Y satu periode ke depan

Y = rata-rata Y

Yt = nilai aktual Y pada periode t

n = jumlah data

Model perataan sederhana akan menghasilkan ramalan yang baik hanya

jika proses yang mendasari nilai pengamatan bersifat stasioner.

2. Metode Rata-rata Bergerak Sederhana

Dalam metode ini, digunakan nilai ordo (T) yang menyatakan banyaknya

observasi pada setiap proses perata-rataan. Menurut Gaynor dan Kirkpatrick

(1994), dalam memilih tongkat ordo T, digunakan metode coba-coba (trial and

error) dan ordo yang dipilih adalah tingkat ordo yang memberikan residual yang

paling kecil. Model yang digunakan adalah:

T

YYYY

Ttttt

111

...ˆ +−−+

+++=

Dimana: Yt+1 = nilai ramalan Y satu periode ke depan

Yt = nilai aktual Y pada periode t

T = ordo moving average

3. Model Penghalusan Eksponensial Tunggal

Model ini memberikan bobot yang menurun secara eksponensial terhadap

nilai pengamatan yang lebih tua. Model pemulusan eksponensial tunggal cocok

untuk data yang stasioner, termasuk data volume impor beras di dalam penelitian

ini. Bentuk umum yang digunakan adalah:

ttt YYY ˆ)1(ˆ 1 αα −+=+

Dimana: Yt+1 = nilai ramalan Y satu periode ke depan

Yt = nilai aktual Y pada periode t

a = konstanta pemulusan (ditentukan dengan cara coba-coba)

tY = nilai dugaan Y pada periode ke-t

4. Model Penghalusan Eksponensial Ganda

Ada dua versi pemulusan eksponensial ganda yang sering digunakan,

yaitu pemulusan eksponensial ganda dengan satu parameter (metode Brown) dan

pemulusan eksponensial ganda dengan dua parameter (metode Holt).

Model Linier Satu Parameter dari Brown

Pendekatan ini juga memberikan bobot yang semakin menurun pada

observasi masa lalu. Persamaan yang digunakan adalah:

)(1

2)()1(

)1()(

1

1

ttt

tttttt

tt

tt

ttmt

SSb

SSSSSSSS

SYSmbaY

′′−′−

=

′′−′=′′−′+′=′′−+′=′′

′−+=′+=

+

αα

ααα

αα

Dimana: Yt+m = nilai ramalan Y m periode ke depan

Yt = nilai aktual Y pada periode t

a = konstanta pemulusan

S’ = pemulusan pertama periode ke-t

S” = pemulusan kedua periode ke-t

at = dugaan intersep

bt = dugaan tren

Model Dua Parameter dari Holt

Holt memuluskan nilai tren dengan parameter yang berbeda dari

parameter yang digunakan pada deret asli. Ramalan dari pemulusan eksponensial

linear Holt didapat dengan menggunakan dua konstanta pemulusan dan tiga

persamaan:

mbSYbSSbbSYS

ttmt

tttt

tttt

+=−+−=

+−+=

+

−−

−−

,)1()(),)(1(11

11

γγαα

Dimana: Yt+m = nilai ramalan Y m periode ke depan

Yt = nilai aktual Y pada periode t

St = nilai pemulusan

bt = dugaan tren

a = konstanta pemulusan

γ = konstanta pemulusan untuk dugaan tren

5. Model Winters Multiplikatif

Model Winters didasarkan atas tiga persamaan pemulusan, yaitu satu

untuk unsur stasioner, satu untuk tren dan satu untuk musiman sehingga model ini

dapat digunakan terhadap data yang memiliki pola data musiman. Persamaan

dasar untuk model Winters adalah sebagai berikut:

a. Pemulusan Keseluruhan: ))(1( 11 −−−

+−+= ttlt

tt ba

SY

a αα

b. Pemulusan Trend: 11 )1()( −− −+−= tttt baab ββ

c. Pemulusan Musiman: ltt

tt Sn

aY

Sn −−+= )1( γγ

d. Ramalan: mltttmt SnmbaY +−+ += )(ˆ

Dimana: Yt+m = nilai ramalan Y m periode ke depan

Yt = nilai aktual Y pada periode t

at = nilai pemulusan

bt = dugaan tren

Snt = dugaan musiman pada periode t

a = konstanta pemulusan

ß = konstanta pemulusan untuk dugaan tren

γ = konstanta pemulusan untuk dugaan musiman

l = ordo musiman

m = jumlah periode ke depan yang akan diramalkan.

6. Model Winters Aditif

Model ini digunakan jika variasi dari komponen musiman tetap.

Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Pemulusan Keseluruhan: ))(1(( 11 −−− +−+−= ttlttt baSnYa αα

b. Pemulusan Tren: 11 )1()( −− −+−= tttt baab ββ

c. Pemulusan Musiman: ltttt SnaYSn −−+−= )1()( γγ

d. Ramalan: mltttmt SnmbaY +−+ ++= )(ˆ

Dimana: Yt+m = nilai ramalan Y m periode ke depan

Yt = nilai aktual Y pada periode t

at = nilai pemulusan

bt = dugaan tren

Snt = dugaan musiman pada periode t

a = konstanta pemulusan

ß = konstanta pemulusan untuk dugaan tren

γ = konstanta pemulusan untuk dugaan musiman

l = ordo musiman

m = jumlah periode ke depan yang akan diramalkan.

4.3.3.4 Model Dekomposisi

Model dekomposisi memungkinkan kita memisahkan berbagai pola yang

ada dalam data time series yang dimiliki. Bentuk fungsional yang dapat digunakan

ada dua, yakni bentuk aditif dan multiplikatif. Bentuk aditif digunakan jika

variasi komponen musiman tetap sedangkan bentuk multiplikatif digunakan jika

variasi komponen musiman membesar secara proporsional terhadap tren.

1. Model Dekomposisi Multiplikatif

Yt = Trt * Clt * Snt * Et

Prosedur pemisahan masing-masing komponen pola data dilakukan

sebagai berikut:

a. Dapatkan indeks musiman

• Hitung centre moving average, dengan panjang average = L (L =

banyaknya periode dalam satu tahun)

• Jika letaknya tidak tepat pada periode tertentu, centre-kan dengan

panjang average dua

• Hasilnya berupa Trx * Clx (data time series yang sudah hilang

komponen musiman dan error)

• Dapatkan kembali komponen Snx * Ex, yakni:

Snx * Ex = xx

x

ClTrY*

• Hitung indeks musiman dengan menghilangkan error dari Snx * Ex,

yaitu dengan cara menghitung rata-rata tiap musim

• Seharusnya, jumlah indeks musiman = L, jika tidak, lakukan koreksi,

yakni dengan mengalikan masing-masing indeks tersebut dengan

L/jumlah indeks musiman

• Hasilnya disebut indeks musiman terkoreksi, yakni Sn1, Sn2, … SnL

b. Dapatkan dugaan tren

• Hitung deseasonalized data (Dx), yakni x

xx

SnY

D =

• Dapatkan model tren yang sesuai, dengan menggunakan

deseasonalized data (Dx) tersebut sebagai peubah tidak bebas (Y)

• Model tren yang didapat digunakan untuk menghitung dugaan tren

untuk setiap periode x (Trx)

2. Model Dekomposisi Aditif

Yt = Trt + Clt + Snt + Et

Prosedur pemisahan masing-masing komponen pola data dilakukan

sebagai berikut:

a. Dapatkan indeks musiman

• Hitung centre moving average, dengan panjang average = L (L =

banyaknya periode dalam satu tahun)

• Jika letaknya tidak tepat pada periode tertentu, centre-kan

• Hasilnya berupa Trx + Clx (data time series yang sudah hilang

komponen musiman dan error)

• Dapatkan kembali komponen Snx + Ex, yakni:

Snx + Ex = Yx – (Trx + Clx)

• Hitung indeks musiman dengan menghilangkan error dari Snx + Ex,

yaitu dengan cara menghitung rata-rata tiap musim

• Seharusnya jumlah indeks musiman = 0, jika tidak, hitung Faktor

Koreksi (FK) = L

Snjumlahmean )(, kemudian indeks musiman

terkoreksi adalah Mean – FK

b. Dapatkan dugaan tren

• Hitung deseasonalized data (Dx), yakni Dx = Yx – Snx

• Dapatkan model tren yang sesuai, dengan menggunakan

deseasonalized data (Dx) tersebut sebagai peubah tidak bebas (Y)

• Model tren yang didapat digunakan untuk menghitung dugaan trend

untuk setiap periode x (Trx)

4.3.3.5 Metode Box-Jenkins ARIMA

Assauri (1984) menyebutkan bahwa metode ini mengasumsikan bahwa

nilai deret data dihasilkan oleh proses stochastic (random) dengan bentuk yang

dapat dijelaskan. Model ARIMA dalam banyak kasus memberikan model

peramalan yang paling akurat untuk set data manapun. Metode ini menawarkan

pendekatan yang lebih sistematis dalam membangun, menganalisa dan meramal

model time series. Hanya saja, tidak ada prosedur otomatis dalam meng-update

model ketika data baru dimasukkan-modelnya harus diduga dari awal lagi.

Model ARIMA terdiri atas autoregressive model, moving average model

dan Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) model.

1. Model Autoregressive (AR)

Model AR adalah persamaan dimana jika series stasioner adalah fungsi

linier dari nilai-nilai lampaunya yang berurutan. Secara umum model ini dapat

ditulis sebagai berikut:

Yt = b0 + b1Yt-1 + b2 Yt-2 + … + bp Yt-p + e1

Yt = series yang stasioner

Yt-1, Yt-2 … Yt-p = nilai lampau series yang bersangkutan

bo, b1, … bp = konstanta dan koefisien model

et = kesalahan peramalan yang dihasilkan proses random

(whitenoise), diasumsikan mengikuti sebaran bebas

dan normal dengan rata-rata nol

Tingkat dari model (nilai p) ditunjukkan oleh banyaknya nilai lampau

yang diikutsertakan dalam model. Sebagai contoh, AR (1) merupakan model

Autoregressive tingkat satu yang menggunakan satu nilai lampau terakhir dalam

model.

2. Model Moving Average (MA)

Jika series yang stasioner merupakan fungsi linier dari kesalahan

peramalan sekarang dan masa lalu yang berurutan maka persamaan itu dinamakan

moving average model (MA). Bentuk umum model ini dapat ditulis sebagai

berikut:

Yt = a0 + et – a1et-1 – a2et-2 - … - aqet-q

Yt = nilai series yang stasioner

et = kesalahan peramalan yang dihasilkan oleh proses random

(whitenoise) yang diasumsikan mengikuti sebaran bebas

dan normal dengan rata-rata nol.

et-1, et-2, … et-q = kesalahan peramalan masa lalu

a0, a1, a2, … aq = konstanta dan koefisien model, mengikuti konvensi

diberikan tanda negatif

Tingkat model MA ini (nilai q) ditunjukkan dengan banyaknya kesalahan

masa lampau yang digunakan dalam model. Jika dalam model digunakan dua

kesalahan peramalan pada masa lampau maka dinamakan model moving average

tingkat dua, ditulis MA (2).

3. Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA)

Model ARIMA adalah gabungan dari model AR dan model MA. Pada

model ini series stasioner adalah fungsi dari nilai lampaunya dan nilai sekarang

seta kesalahan lampaunya. Bentuk umum model ini adalah:

Yt = b0 + b1Yt-1 + … + bp Yt-p + et – a1et-1 – … - aqet-q

Secara umum notasi model ARIMA yang diperluas dengan

memperhatikan unsur musiman adalah sebagai berikut:

ARIMA (p,d,q) (P,D,Q)L dimana L adalah banyaknya periode dalam setahun

Tahapan dalam Metode Box-Jenkins (ARIMA)

Metode ARIMA dapat digunakan melalui tiga tahap yang dapat

digambarkan melalui skema berikut ini:

Gambar 3. Tahapan dalam Metode Box Jenkins Keterangan : Garis putus-putus membatasi antara satu tahap dan tahap berikutnya. Sumber :.Makridakis,McGee dan Wheelwrigth, 1999.

1. Tahap Identifikasi

Pada tahap identifikasi, variabel yang akan diramalkan terlebih dahulu

diuji kestasioneran datanya. Kestasioneran data dapat diuji dengan cara plot data

dan menghitung autocorrelation function (ACF). Melalui plot data, dilihat secara

visual apakah data memiliki kecenderungan semakin meningkat, semakin

menurun, atau terdapat fluktuasi musiman. Sedangkan dari nilai ACF, jika nilai

Rumuskan kelompok model-model yang umum

Gunakan model untuk peramalan

Penetapan model untuk sementara

Penaksiran parameter pada model sementara

Pemeriksaan diagnostik (Apakah model memadai?)

Tahap 1 Identifikasi Model

Tahap 2 Estimasi dan

Pengujian Model

Tahap 3 Penerapan Model

Tidak Memadai

Ya

ACF mendekati nol pada lag kedua atau ketiga, maka data tersebut stasioner. Jika

data yang diamati memiliki pola musiman, pada plot ACF akan terlihat nilai ACF

yang signifikan pada kelipatan musimannya.

Dalam prakteknya, banyak deret data Yt merupakan data non-stasioner.

Deret data tersebut dapat dijadikan stasioner dengan melakukan proses

differencing. Jumlah berapa kali dilakukan proses differencing (d) menunjukkan

tingkat diferensiasi model. Misalkan Yt non-stasioner, setelah kemudian dibuat

diferensiasi tingkat satu. Zt = ? Yt = Yt – Yt-1, ternyata diperoleh nilai Zt

stasioner, maka Zt dapat dikatakan first order homogenous dan Yt dikatakan non-

stasioner tingkat satu.

Untuk pola data yang mengandung unsur musiman, secara khusus dapat

digunakan model seasonal ARIMA. Unsur musiman dapat dihilangkan dengan

seasonal differencing. Jika datanya merupakan data tiga bulanan maka bentuk

seasonal difference-nya adalah:

Zt = Yt – Yt-4 = (1 – B)4Yt

Setelah data menjadi stasioner, langkah yang selanjutnya dilakukan adalah

menentukan model tentative. Untuk menentukan model tentative, diperlukan

analisis perilaku dari ACF dan PACF. Pola perilaku ACF dan PACF bisa berpola

cut off dan dies down.

Pertama, ACF dan PACF dari data time series bisa berpola cut off. Pola

cut off adalah pola ketika garis ACF dan PACF signifikan pada lag pertama

dan/atau kedua tetapi kemudian tidak ada garis ACF dan PACF yang signifikan

pada lag berikutnya. Untuk pola cut off, perbedaan antar AC dan PAC yang

signifikan dengan AC dan PAC yang tidak signifikan adalah besar sehingga garis

AC dan PAC terlihat terpotong (cut off).

Kedua, ACF dan PACF dikatakan memiliki perilaku dies down jika kedua

fungsi tersebut tidak terpotong, melainkan menurun secara bertahap. Bentuk

penurunannya bisa tanpa ataupun dengan osilasi ataupun berbentuk gelombang

sinus.

Penentuan apakah suatu data time series dimodelkan dengan AR, MA atau

ARIMA tergantung pola ACF dan PACF. Model AR digunakan jika plot ACF-

nya dies down sementara PACF-nya cut off. Model MA digunakan jika plot ACF-

nya cut off dan plot PACF-nya dies down. Sedangkan jika kedua plot ACF dan

PACF sama-sama dies down, maka model yang digunakan adalah model ARIMA.

Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Model Box-Jenkins Berdasarkan ACF dan PACF

Model ACF PACF Autoregressive Yt = b0 + b1Yt-1 + b2 Yt-2 + … +bp Yt-p + e1

Dies down Cut off pada lag p

Moving Average Yt = a0 + et – a1et-1 – a2et-2 - … - aqet-q

Cut off pada lag q Dies down

ARIMA Yt=b0+b1Yt-1+…+bpYt-p+et–a1et-1–…-aqet-q

Dies down Dies down

Sumber: Bowerman dan O’Connell (1993) 2. Tahap Estimasi dan Pengujian Model

Dalam melakukan estimasi, penelitian ini menggunakan bantuan

komputer, yakni software MINITAB versi 14. Setelah dilakukan estimasi

koefisien, baik koefisien autoregressive maupun moving average masing-masing

diuji signifikansinya dengan menggunakan uji t.

Selain signifikansi koefisien, terdapat beberapa hal lainnya yang diuji

dalam tahapan diagnostic checking, antara lain:

1. Kondisi stationarity, bisa dilihat dari jumlah seluruh koefisien

autoregressive. Jumlah koefisien autoregressive harus kurang dari |1|.

Jika model yang digunakan adalah model moving average, maka tidak ada

kondisi stationarity yang harus dipenuhi.

2. Kondisi invertibility, yang menyatakan bahwa jumlah dari koefisien

moving average harus kurang dari |1|. Jika model yang digunakan adalah

autoregressive, maka tidak ada kondisi invertibility yang harus dipenuhi.

3. Iterasi harus konvergen, artinya estimasi yang dilakukan efisien dan tidak

ada lagi estimator yang menghasilkan SSE yang lebih kecil. Hal ini

ditunjukkan dalam output MINITAB 14 dengan kata-kata ”relative change

in each estimate less than 0.001”.

4. Error dari model harus bersifat random. Hal ini terlihat dari modified Box

Pierce (Ljung-Box-Pierce) Q statistic. Jika Q > ?2 dengan m = p-q derajat

bebas maka model tidak akurat. Statistik Q dapat dihitung dengan

menggunakan rumus ∑= −

+=m

k

km kn

rnnQ

1

2

)2( atau dengan melihat p-value

dari statistik Q dimana jika p-value kurang dari a (5 persen) maka error

yang dihasilkan berarti tidak bersifat acak dan model tidak cukup baik.

3. Tahap Penerapan Model

Model yang telah memenuhi semua syarat pada diagnostic checking dapat

digunakan untuk meramalkan variabel, tentu saja jika menurut kriteria pemilihan

model, model ARIMA lebih baik dibandingkan dengan model lainnya. Selain

model tentative, model ARIMA yang lain juga patut untuk dicoba. Jika ternyata

model ARIMA selain model tentative memiliki RMSE lebih kecil, maka model

itulah yang akan dipilih.

4.3.4 Memilih Metode Peramalan Time Series

Penelitian ini menggunakan Root Mean Square Error (RMSE) sebagai

kriteria dalam membandingkan ketepatan dari moetode peramalan yang

digunakan, dimana RMSE dirumuskan sebagai : n

eRMSE

t∑=2

Pendekatan ini memberikan bobot yang lebih besar untuk error yang besar

dengan mengkuadratkan masng-masing error. Hal ini penting karena model yang

memberikan error yang moderat lebih disukai dibandingkan dengan model yang

memberikan error yang kecil, tetapi pada beberapa periode t memberikan error

yang sangat besar (Hanke dan Reitsch, 1992). RMSE lebih dipilih daripada MSE

karena satuan RMSE lebih bisa dibaca secara intuitif dibandingkan dengan MSE.

4.4 Definisi Operasional

Beberapa variabel yang perlu didefinisikan secara operasional dalam

penelitian ini antara lain:

§ Beras impor, adalah beras yang didatangkan dari luar negeri secara legal yang

termasuk ke dalam klasifikasi SITC 042 (ribu ton)

§ Harga beras dalam negeri yang diambil merupakan harga beras eceran kualitas

medium di kota-kota besar di Indonesia (Rp/kg)

§ Harga beras impor yang diambil merupakan rata-rata empat bulan dari nilai

impor beras (CIF) dibagi dengan jumlah impor beras (US$/ton)

§ Produksi beras, didapat dari produksi padi nasional (GKG) yang dikalikan

dengan suatu faktor konversi (0.625) (juta ton)

§ Permintaan beras jumlah total beras yang diminta baik untuk industri maupun

untuk kebutuhan rumah tangga (juta ton)

§ Nilai tukar rupiah yang diambil adalah rata-rata empat bulanan dari nilai tukar

rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang telah dideflasi (Rp/US$)

§ Dummy kebijakan, KBJ bernilai 1 ketika impor beras dilakukan secara bebas

tanpa tarif (tahun 1999), 0: ketika tarif diterapkan (tahun 2000 – 2004)

§ Harga terigu yang diambil merupakan rata-rata harga terigu empat bulanan

yang telah dideflasi dengan indeks harga konsumen Indonesia (Rp/kg)

§ Stok beras Bulog awal periode merupakan stok beras Bulog pada akhir

periode sebelumnya (juta ton)

4.5 Hipotesis

1. Lag volume impor beras berpengaruh nyata terhadap harga beras domestik

dan semakin besar volume impor beras pada suatu periode maka harga beras

domestik pada periode berikutnya akan semakin rendah.

2. Volume impor beras dipengaruhi oleh harga beras impor, harga beras

domestik, produksi domestik, permintaan beras domestik, nilai tukar rupiah,

PDB Indonesia, stok beras Bulog dan kebijakan pemerintah dengan tanda

yang diharapkan untuk variabel harga terigu, harga beras domestik,

permintaan beras domestik, dan dummy kebijakan pemerintah adalah positif

sementara untuk variabel harga beras impor, produksi domestik, nilai tukar riil

dan stok beras Bulog diharapkan bertanda negatif

V. ANALISIS IMPOR BERAS INDONESIA

5.1 Pengaruh Impor Beras Terhadap Harga Beras Domestik

5.1.1 Spesifikasi Model

Model yang dirumuskan dalam upaya menerangkan pengaruh volume

impor beras terhadap harga beras dalam negeri adalah model regresi berganda,

dengan metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Model dibentuk

dengan memasukkan dua variabel, yakni impor beras periode sebelumnya serta

harga beras periode sebelumnya. Model hasil dugaan diperoleh sebagai berikut:

LnHBR = 0.424 – 0.0102 LnLagQIM + 0.963 LnLagHBR

Dimana: HBR = harga beras domestik (Rp/kg)

lagQIM = volume impor beras periode sebelumnya (ribu ton)

lagHBR = harga beras periode sebelumnya (Rp/kg)

5.1.2 Pengujian Asumsi OLS

1. Uji Autokorelasi

Pengujian terhadap ada tidaknya autokorelasi tidak bisa dilakukan dengan

uji Lagrange Multiplier karena pada model terdapat lag dependent variable, yaitu

lag HBR. Uji dilakukan dengan statistik Durbin-h dan menghasilkan nilai h

sebesar -0,79242 (Lampiran 2). Nilai mutlak statistik Durbin-h lebih kecil bila

dibandingkan dengan nilai kritisnya yaitu sebesar 1.645 untuk taraf nyata 5

persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada model dugaan tidak

terdapat masalah autokorelasi.

2. Uji Multikolinier

Multikolinieritas dalam model dapat diidentifikasi dengan melihat nilai

Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF variabel independennya lebih

besar dari 10, maka terdapat masalah multikolinieritas. Dengan berpedoman pada

hasil output regresi dengan MINITAB 14 (Lampiran 1), terlihat bahwa ternyata

nilai VIF dari kedua variabel (impor beras periode sebelumnya dan harga beras

periode sebelumnya) lebih kecil dari 10 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat

masalah multikolinieritas di dalam model dugaan.

3. Uji Heteroskedastisitas

Asumsi homoskedastisitas yang menyatakan bahwa variasi dari setiap

residual adalah sama (konstan) atau menyebar secara homogen, diuji

menggunakan uji Breusch-Pagan. Uji ini menggunakan auxiliary regression

dimana variabel independen diregresikan terhadap kuadrat dari residual.

Dengan menghitung statistik LM = nR2, didapat besaran LM (Lampiran 3)

adalah 2.295. Nilai tersebut adalah lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai

distribusi chi-square untuk derajat bebas 2 pada taraf nyata 5 persen yaitu sebesar

5.99146. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa di dalam model tidak terdapat

heteroskedastisitas.

5.1.3 Uji Statistik Terhadap Model

1. Uji F

Uji F digunakan untuk menguji apakah variabel penjelas secara bersama-

sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Dari hasil output MINITAB

14 diperoleh nilai F hitung sebesar 118.10. Terlihat dari nilai p-value pada tabel

ANOVA yang bernilai 0.000 (Lampiran 1) atau lebih kecil dibandingkan a 5

persen yang berarti bahwa nilai F hitung yang didapat adalah signifikan bahkan

untuk a = 5 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara

keseluruhan, variabel impor beras periode sebelumnya dan harga beras periode

sebelumnya secara signifikan berpengaruh terhadap harga beras domestik.

2. Uji t

Uji t digunakan dalam menguji apakah variabel volume impor beras

periode sebelumnya serta variabel harga beras periode sebelumnya secara individu

mempengaruhi harga beras domestik. Statistik uji t dan p-value kedua variabel

tersebut ditunjukkan dalam Tabel 7. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa

variabel impor beras periode sebelumnya signifikan pada taraf nyata 15 persen

sedangkan variabel harga beras periode sebelumnya signifikan pada taraf nyata 1

persen.

Tabel 7. Nilai Dugaan Model Harga Beras Indonesia

Variabel Koefisien SE Koefisien T P

Konstanta 0.4235 0.4325 0.98 0.337

Lag Impor Beras -0.010167 0.008443 -1.20 0.240

Lag Harga Beras 0.96295 0.08371 11.50 0.000

3. Goodness of Fit

Goodness of fit bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman

harga beras domestik dapat diterangkan oleh variabel impor beras periode

sebelumnya serta harga beras periode sebelumnya. Koefisien determinasi sebesar

88.6 persen menunjukkan bahwa variabel independen yang digunakan dalam

model dugaan dapat menerangkan variasi/keragaman harga beras sebesar 88.6

persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 11.4 persen dijelaskan oleh variabel lain

yang tidak terdapat dalam model (Lampiran 1).

5.1.4 Interpretasi Model Dugaan Harga Beras Indonesia

Pada model dugaan harga beras domestik, ternyata diketahui bahwa

variabel impor beras periode sebelumnya secara nyata mempengaruhi harga beras

domestik dengan taraf kepercayaan 85 persen. Pengaruh impor beras periode

sebelumnya terhadap harga beras dalam negeri adalah negatif, yang berarti bahwa

dengan semakin meningkatnya impor beras Indonesia periode sebelumnya, maka

harga beras dalam negeri akan semakin menurun. Berdasarkan penelitian

terdahulu, penawaran beras Indonesia berasal dari produksi beras, perubahan stok

beras Bulog dan impor. Dengan demikian, peningkatan jumlah impor berarti

meningkatkan penawaran. Jika diasumsikan permintaan tetap, maka peningkatan

penawaran tersebut menyebabkan jumlah keseimbangan meningkat dan harga

keseimbangan turun.

Tabel 8. Nilai Elastisitas Harga Beras Domestik terhadap Impor Beras

Elastisitas Besaran

Jangka Pendek -0.010167

Jangka Panjang - 0.274413

Nilai elastisitas harga terhadap impor jangka pendek adalah sebesar –

0.010167 sedangkan elastisitas jangka panjangnya adalah sebesar – 0.2744. Nilai

kedua elastisitas tersebut menunjukkan bahwa jika impor beras periode

sebelumnya meningkat sebesar 10 persen, maka dalam jangka pendek harga beras

dalam negeri rata-rata akan turun sebesar 0.10167 persen sedangkan dalam jangka

panjang harga beras dalam negeri akan turun sebesar 2.744 persen.

Berdasarkan hasil yang didapat melalui model harga beras yang terbentuk,

diketahui bahwa adanya impor beras memang akan menurunkan harga beras

domestik. Penurunan harga beras tersebut menyebabkan harga gabah juga ikut

menurun sehingga keuntungan yang didapat dari usahatani padi menurun.

Penurunan keuntungan tersebut dalam jangka panjang dapat menyebabkan petani

meninggalkan usahatani padi sehingga produksi beras dikhawatirkan semakin

menurun. Karena itu, diusahakan agar impor beras tidak terlalu besar dengan

menerapkan kebijakan perdagangan yang akan menurunkan impor beras.

5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor Beras Indonesia

Efektivitas kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah dianalisis

dengan membentuk model ekonometrika. Selain kebijakan perdagangan, faktor-

faktor lain yang mempengaruhi besaran impor beras juga perlu diketahui sehingga

bisa diupayakan antisipasi jika kemudian faktor-faktor tersebut nantinya akan

menyebabkan peningkatan impor beras.

5.2.1 Spesifikasi Model

Model yang dirumuskan dalam upaya menerangkan faktor-faktor yang

mempengaruhi impor beras adalah model regresi berganda, dengan metode

pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Faktor- faktor yang diduga

mempengaruhi impor beras yaitu nilai tukar riil, harga komoditas substitusi

(dalam hal ini terigu), harga beras impor, harga beras domestik, kebijakan

pemerintah, stok beras Bulog awal periode, konsumsi beras dan produksi beras

domestik periode sebelumnya. Model hasil dugaan diperoleh sebagai berikut:

QIM = 12528 – 0.567 NTR – 3.70 HTR – 2.88 HIM + 1453 KBJ + 1.97 HBR

– 96 STK – 1024 QDT – 11.0 LQBR

Ternyata pada model dugaan awal, terdapat multikolinier sehingga model

perlu diduga ulang (Lampiran 4). Dengan penyesuaian variabel independennya

dimana variabel stok beras Bulog dan konsumsi beras Indonesia dihilangkan,

diperoleh model yang memenuhi semua asumsi OLS. Model tersebut adalah:

QIM = 2749 – 4.19 HTR + 1364 KBJ + 3.50 HBR – 11.1 QBRt-1 – 0.410 NTR

– 3.23 HIM

Dimana: QIMt = impor beras Indonesia (ribu ton)

HIMt = harga beras impor (US $/ton)

NTRt = nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (Rp/$)

HTRt = harga terigu (Rp/kg)

HBRt = harga beras (Rp/kg)

KBJt = kebijakan tarif impor beras (1 ketika tanpa tarif, 0 lainnya)

QBRt-1 = produksi beras Indonesia periode sebelumnya (juta ton)

5.2.2 Uji Terhadap Asumsi OLS

Model akhir yang didapat telah memenuhi asumsi-asumsi OLS sebagai

berikut:

1. Uji Autokorelasi

Uji untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dalam model dugaan

dilakukan dengan menggunakan uji LM. Berdasarkan hasil uji LM pada

Lampiran 7, didapat bahwa besaran LM adalah 1.785. Nilai tersebut lebih kecil

jika dibandingkan dengan nilai chi-square dengan derajat bebas 1 dan taraf nyata

5 persen, yaitu sebesar 3.84146. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam model akhir

yang didapat, asumsi serial indepedence dapat dipenuhi.

2. Variabel independen yang saling bebas

Penelitian ini menggunakan indikator VIF dalam melakukan uji terhadap

ada tidaknya multikolinier pada model. Berdasarkan hasil output Minitab 14 pada

Lampiran 5, terlihat bahwa nilai VIF dari semua variabel lebih kecil dari 10,

dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada model akhir yang didapat, tidak

terdapat masalah multikolinieritas yang berarti bahwa variabel independen yang

ada saling bebas satu sama lain.

3. Homoskedastisitas

Asumsi homoskedastisitas dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan

uji Breusch-Pagan. Uji tersebut menggunakan LM sebagai statistik ujinya. Nilai

LM yang diperoleh adalah sebesar 7.686 (Lampiran 6). Nilai statistik uji tersebut

lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai chi-square dengan derajat bebas 6 dan

taraf nyata 5 persen yaitu sebesar 12.5916. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa pada model akhir yang diperoleh asumsi homoskedastisitas dapat dipenuhi.

5.2.3 Uji Statistik Terhadap Model

4. Uji F

Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-

sama berpengaruh nyata terhadap variabel endogen, maka pada model dilakukan

uji statistik F. Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan di atas adalah

variabel eksogen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Dari hasil

output MINITAB 14 pada Lampiran 5, diperoleh nilai F hitung sebesar 41.5.

Pada Tabel ANOVA di Lampiran 5 terlihat bahwa p-value dari F-hitung adalah

sebesar 0.000 yang berarti lebih kecil dari a 5 persen sehingga dapat disimpulkan

bahwa secara keseluruhan, variabel-variabel independen yang terdapat di dalam

model secara signifikan berpengaruh terhadap jumlah beras yang akan diimpor

oleh Indonesia.

5. Uji t

Variabel-variabel independent yang disertakan dalam model selain diuji

secara bersama-sama, juga diuji secara terpisah dengan menggunakan uji t. Uji t

bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen yang terdapat dalam model

secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Hasil t-hitung dan

p-value yang didapat melalui software Minitab 14 ditampilkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Dugaan Model Impor Beras Indonesia

Variabel Koefisien SE Koefisien T P

Konstanta 2 749 1090 2.52 0.028

Harga Terigu - 4.189 1.502 -2.79 0.018

Dummy Kebijakan Pemerintah 1 363.6 223.4 6.10 0.000

Harga Beras Dalam Negeri 3.504 1.157 3.03 0.011

Produksi Beras Periode Sebelumnya -11.066 8.663 -1.28 0.228

Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar -0.4102 0.1589 -2.58 0.026

Harga Beras Impor Indonesia -3.231 1.141 -2.83 0.016

Berdasarkan Tabel 9, variabel harga terigu, kebijakan pemerintah, harga

beras dalam negeri dan harga beras impor Indonesia signifikan pada taraf nyata 1

persen. Sementara variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar AS signifikan pada

taraf nyata 5 persen dan variabel produksi beras periode sebelumnya signifikan

pada taraf nyata 15 persen.

6. Goodness of Fit

Derajat ketepatan (goodness of fit) diukur dari besarnya nilai koefisien

determinasi (R2), yang bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh keragaman

impor beras dapat diterangkan oleh variabel penjelas yang telah terpilih.

Koefisien determinasi sebesar 93.5 persen (Lampiran 5) menunjukkan bahwa

variabel independen yang digunakan dalam model dugaan dapat menerangkan

variasi/keragaman impor beras sebesar 93.5 persen, sedangkan sisanya yaitu

sebesar 6.5 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam model.

5.2.4 Interpretasi Model Dugaan Impor Beras Indonesia

Model impor beras yang telah diperoleh cukup layak untuk digunakan

dalam menjelaskan perilaku impor beras Indonesia. Karena nilai t-hitung dari

masing-masing variabel lebih besar dari nilai kritisnya, berarti seluruh variabel

yang digunakan berpengaruh secara nyata terhadap variabel impor beras

Indonesia. Nilai R-square adjusted sebesar 93.5 persen juga menunjukkan bahwa

model yang dibentuk secara memuaskan dapat menjelaskan keragaman dalam

data. Interpretasi terhadap model dugaan adalah sebagai berikut:

1. Impor beras Indonesia juga secara signifikan dipengaruhi oleh produksi beras

nasional periode sebelumnya dengan taraf nyata 15 persen. Hasil yang

didapat dalam penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan

hubungan negatif antara produksi dan impor beras. Model akhir impor beras

Indonesia menunjukkan adanya hubungan negatif antara produksi beras

nasional dengan impor beras dimana dengan peningkatan produksi sebesar

satu juta ton, maka impor beras akan menurun sebesar 11 ribu ton.

2. Volume impor beras Indonesia secara nyata dipengaruhi oleh perubahan

kebijakan perdagangan yang diterapkan pemerintah. Dummy kebijakan yang

digunakan dalam model adalah dummy dua kategori dimana variabel tersebut

bernilai 1 ketika impor beras tidak dikenakan tarif (tahun 1999) dan bernilai 0

ketika tarif impor beras sudah diberlakukan (tahun 2000 – 2004). Dengan

ditetapkannya tarif impor beras, maka impor beras rata-rata menurun sebesar 1

363.6 ribu ton dibandingkan jika impor beras dapat dilakukan tanpa dikenakan

tarif impor. Dengan dikenakannya tarif, harga beras impor akan menjadi

semakin mahal sehingga importir beras (impor sudah bukan monopoli Bulog)

mengurangi impor yang dilakukannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa kebijakan tarif impor cukup efektif di dalam upaya menurunkan imor

beras.

3. Hubungan antara harga beras dalam negeri dan impor beras Indonesia,

berdasarkan data time series 1999 – 2004 merupakan hubungan positif dan

pengaruh harga beras dalam negeri tersebut nyata pengaruhnya terhadap impor

beras Indonesia (a 1 persen). Hal tersebut sesuai dengan hipotesis awal

dimana dengan semakin tingginya harga beras domestik, maka impor beras

akan semakin meningkat. Jika harga beras meningkat sebesar Rp 100,-/kg

maka impor beras akan meningkat rata-rata sebesar 350.4 ribu ton. Kebijakan

pemerintah mengenai harga beras adalah menjaga agar harga beras tidak

terlalu tinggi dan memberatkan masyarakat. Ketika harga beras menjadi

terlalu tinggi, pemerintah melakukan operasi pasar dengan mengeluarkan stok

berasnya yang disimpan di gudang Bulog. Bila stok beras pemerintah dirasa

kurang pemerintah lebih memilih untuk melakukan impor beras dalam

memenuhi stok berasnya 4. Apalagi sejak tahun 1998 harga beras domestik

selalu berada di atas paritas impornya sehingga menjadikan pemenuhan stok

melalui impor menjadi pilihan yang lebih murah dibandingkan mencukupi

stok dari dalam negeri (Kasryno, 2004).

4. Impor beras Indonesia juga dipengaruhi secara nyata oleh harga beras impor

dengan tanda koefisien negatif (a 1 persen). Tanda koefisien yang negatif

menunjukkan bahwa dengan semakin tingginya harga beras impor, maka

impor beras Indonesia akan mengalami penurunan. Jika harga beras impor

meningkat sebesar US $ 1/ton maka impor beras rata-rata turun sebesar 3.231

ribu ton. Hasil tersebut sesuai dengan dugaan awal dimana hubungan yang

diharapkan antara harga dan volume beras impor adalah negatif. Importir

beras mendapat keuntungan dengan mengambil margin antara harga beras

impor dan harga beras dalam negeri. Harga beras impor yang ringgi membuat

margin yang bisa dinikmati importir beras berkurang sehingga volume impor

beras Indonesia menurun.

5. Harga terigu sebagai komoditas substitusi untuk beras juga berpengaruh nyata

(a 1 persen) terhadap impor beras Indonesia dan keduanya memiliki hubungan

negatif. Hasil yang didapat berlawanan dengan hipotesis awal bahwa jika

terigu merupakan komoditas substitusi beras, maka dengan semakin

meningkatnya harga terigu, maka konsumsi akan beras akan naik dan hal ini

mendorong peningkatan impor. Hubungan yang negatif tersebut berarti terigu

4 Jonathan Lassa.2005. Ketahanan Pangan Indonesia, Kompas 29 November

bukanlah komoditas substitusi bagi beras. Hal tersebut juga bisa berarti

bahwa beras sebagai bahan pangan pokok masyarakat Indonesia tidak

memiliki komoditas substitusi (Ariani, 2004). Walaupun sudah

mengkonsumsi mie ataupun roti (produk olahan terigu), masyarakat di

Indonesia tetap memakan nasi (produk olahan beras) dan posisi mie dan roti

adalah sebagai pelengkap (komoditas komplemen) nasi/beras. Jika harga

terigu naik sebesar Rp 100,-/kg maka impor beras akan turun sebesar 418 ribu

ton.

6. Faktor lain yang juga mempengaruhi impor beras adalah nilai tukar rupiah

terhadap dolar AS dengan taraf nyata 5 persen. Jika nilai tukar melemah (naik

Rp 1,-/US $), maka impor beras Indonesia akan menurun sebesar 0.4102 ribu

ton. Hal ini sesuai dengan teori makroekonomi dimana nilai tukar yang

melemah menyebabkan harga barang impor menjadi relatif lebih mahal

sehingga jumlah barang yang diimpor berkurang. Nilai tukar yang melemah

membuat pembiayaan yang harus dilakukan dalam mengimpor beras (baik

oleh pemerintah maupun swasta) semakin besar.

5.3 Eksplorasi Pola Data Impor Beras Indonesia

Setelah mengetahui efek impor beras terhadap harga beras dalam negeri

dan faktor- faktor yang mempengaruhi impor beras Indonesia, perlu dilakukan

upaya untuk mengetahui kecenderungan impor beras Indonesia ke depannya.

Upaya tersebut dilakukan salah satunya adalah dengan peramalan time series.

Langkah pertama dalam peramalan time series adalah dengan menganalisis pola

data yang ditunjukkan impor beras Indonesia pada periode-periode sebelumnya.

Untuk mengetahui pola data impor beras, dapat dilakukan dengan

memplotkan data impor beras terhadap waktu/periode. Data yang digunakan

adalah data impor beras tiga bulanan dari tahun 2000 hingga 2005. Berdasarkan

Gambar 4, terlihat bahwa data impor beras Indonesia pada periode 2000 – 2005

memperlihatkan fluktuasi yang cukup besar dan tidak memiliki pola tren,

melainkan berubah di sekitar nilai tengahnya (stasioner). Stasioneritas data juga

terlihat dari nilai ACF yang tidak signifikan dari lag ketiga (Lampiran 8).

Impor Beras Indonesia 2000 - 2005

0100200300

400500600700

2000

a20

00c

2001

a20

01c

2002

a20

02c

2003

a20

03c

2004

a20

04c

2005

a20

05c

Periode

ribu

ton

Gambar 4. Plot Data Impor Beras Indonesia 2000 – 2005 Sumber: Buletin Statistik Impor, 2000 – 2005 (diolah)

Mulai tahun 2000, impor beras dikenakan tarif impor sebesar Rp 430,-/kg

dan pada tahun–tahun berikutnya, bentuk tarif yang dikenakan adalah tarif

progresif sebesar 30 persen dimana besaran tarif impor mengikuti harga beras

impor. Impor beras sejak tahun 1999 sudah tidak dimonopoli oleh pemerintah

(Bulog).

Pada awalnya, impor beras masih besar terpengaruh produksi pada periode

sbelumnya dan mencapai angka 1 juta ton. Kemudian pada tahun 2001 impor

beras menurun. Namun impor beras pada tahun 2002 dan 2003, meningkat lagi.

Hal ini berkenaan dengan kekeringan yang melanda pada tahun 2002.

Sejak tahun 2004, impor beras kembali mengalami penurunan. Hal ini

berkaitan dengan produksi beras yang sudah membaik, juga karena harga beras

impor mengalami peningkatan karena turunnya produksi beras dunia pada periode

sebelumnya (Kasryno, 2004; Husodo, 2005). Selain itu, penurunan tersebut juga

berkaitan dengan adanya pelarangan impor beras selama satu bulan menjelang

panen raya, selama panen raya dan dua bulan setelah panen raya oleh pemerintah

melalui SK No 9/MPP/Kep/1/2004.

Selain fluktuasi tahunan, impor beras juga memiliki fluktuasi musiman.

Hampir setiap tahun, pada kuartal ketiga impor beras mengalami penurunan. Hal

ini dikarenakan produksi beras yang mencapai puncaknya pada musim tanam

pertama. Karena efek produksi terhadap impor beras tidak berlangsung dalam

periode yang sama, penurunan impor beras sebagai akibat peningkatan produksi

baru terjadi pada kuartal ketiga setiap tahunnya. Peningkatan impor pada kuartal

pertama dan kedua juga disebabkan oleh fluktuasi musiman produksi beras.

5.4 Metode Peramalan Time Series Impor Beras Indonesia

Berdasarkan identifikasi pola di atas, diketahui bahwa impor beras

memiliki pola data yang stasioner. Dengan demikian, metode peramalan yang

digunakan dalam penelitian ini antara lain model naive, analisis trend, rata-rata

bergerak sederhana, pemulusan eksponensial tunggal, pemulusan eksponensial

ganda satu parameter dari Brown dan model pemulusan eksponensial ganda dua

parameter dari Holt, model Winter’s, model dekomposisi, serta model ARIMA.

5.4.1 Model Naive

Model naive mengasumsikan bahwa nilai suatu variabel pada periode

mendatang sama dengan nilai variabel tersebut pada periode saat ini Model

peramalan model naive adalah sebagai berikut:

Yt+1 = Yt

RMSE yang didapat dari peramalan menggunakan model naive adalah

sebesar 187.5988.

5.4.2 Model Analisis Tren

Model analisis tren yang digunakan meliputi beberapa tipe fungsional,

yaitu tren linier, kuadratik dan exponential growth. Dengan menggunakan

software MINITAB 14, didapatkan bentuk model untuk setiap tipe dalam

menganalisis tren impor beras di Indonesia (Tabel 10). Model analisis tren yang

memiliki RMSE terkecil adalah model tren kuadratik. Model inilah yang nanti

akan dibandingkan dengan model peramalan yang lain.

Tabel 10. Perbandingan RMSE Model Analisis Tren

Tipe Fungsional Model RMSE Linier Yt = 393.176 – 13.6025t 143.405 Kuadratik Yt = 263.745 + 17.4609t – 1.29431t2 134.109 Logaritma Natural Yt = 6,48 - 0,631 Lnt 176.594 Linier Musiman Yt = 360 + 72,1 D1 + 64,6 D2 - 41,1 D3 -

12,9 t 135.3542

Kuadratik Musiman Yt = 206 + 93,7 D1 + 84,9 D2 - 19,5 D3 + 20,2 t - 1,38 t2 124.3783

Ln Musiman Yt = 6,60 - 0,124 D1 - 0,016 D2 - 0,388 D3 - 0,621 Lnt 171.2753

5.4.3 Model Rata-Rata Sederhana

Model rata-rata sederhana adalah mengambil rata-rata dari semua data

dalam kelompok data masa lalu sebagai ramalan untuk periode berikutnya. Model

ini lebih cocok digunakan jika data yang digunakan bersifat stasioner.

∑=

+==T

i

TYTYiY1

1

RMSE yang dihasilkan lewat model ini (berdasarkan output dari QSB dan

Microsoft Excel) adalah sebesar 184.1199.

5.4.4 Model Rata-Rata Bergerak Sederhana

Model ini menentukan sejak awal berapa jumlah nilai pengamatan masa

lalu yang akan dimasukkan untuk menghitung nilai tengah. Nilai ordo (T) yang

digunakan dalam penelitian ini adalah empat, berdasarkan bahwa data impor beras

yang dianalisis adalah data tiga bulanan. Selain empat, ordo yang diterapkan

adalah dua, tiga, lima, enam, tujuh dan delapan.

Dari output hasil pengolahan dengan software Minitab 14, Tabel 11

menampilkan RMSE dari masing-masing ordo yang dipilih. Dari ketujuh tingkat

ordo tersebut, yang memiliki paling kecil adalah tingkat ordo tiga. Dengan

demikian, model rata-rata bergerak dengan tingkat ordo tiga yang akan

dibandingkan dengan model peramalan lainnya. Model akhir yang didapat

adalah:

TYYY

Y 21222324ˆ ++

=

Tabel 11. Perbandingan RMSE untuk Berbagai Tingkat Ordo (T) Moving Average

Tingkat Ordo yang Digunakan RMSE

2 158.3411

3 147.0378

4 156.4903

5 168.166

6 176.2827

7 181.3279

8 187.5988

5.4.5 Model Pemulusan Eksponensial Tunggal

Model pemulusan eksponensial adalah model yang secara terus-menerus

merevisi/meng-up-date estimasi atau peramalan dengan memperhitungkan

perubahan terkini atau fluktuasi di dalam data. Berdasarkan software MINITAB

14, model yang dibentuk lewat metode ini adalah:

Y24 = 0.524040 Y23 + 0.47596 Y23

dengan RMSE yang dihasilkan lewat model ini adalah sebesar 147.1095,

pembobot a sebesar 0.524040 dengan nilai Y23 adalah sebesar 40.466 ribu ton.

5.4.6 Model Pemulusan Eksponensial Ganda

Model ini digunakan ketika parameter regresi ß (dalam analisis tren)

berubah secara perlahan seiring berjalannya waktu, dimana dalam keadaan

tersebut, persamaan regresi biasa (yang tidak direvisi) kurang cocok untuk

digunakan.

1. Satu Parameter dari Brown

Model ini menggunakan satu konstanta pemulusan. Melalui software QSB

+ 3.0, diperoleh model sebagai berikut:

Y23+m = 18.60866 – 21.3768 (m)

dengan konstanta pemulusan a sebesar 0.21965, S23 sebesar 94.55388, S23(2)

sebesar 170.4991 dan RMSE sebesar 156.7127.

2. Dua Parameter dari Holt

Pemulusan eksponensial ganda (dua parameter dari Holt) adalah sebuah

pendekatan pemulusan untuk peramalan time series yang menggunakan dua

konstanta pemulusan. Model peramalan impor beras yang didapat dengan

software MINITAB 14 adalah:

Y23+m = 28.503 – 25.7105 (m)

dengan konstanta pemulusan a sebesar 0.560250, ? sebesar 0.007995 dan RMSE

sebesar 150.6244.

5.4.7 Model Winters’

Model Winters’ adalah pendekatan pemulusan eksponensial untuk

menangani data yang memiliki pola musiman.

1. Multiplikatif

Dalam model Winter’s multiplikatif, diasumsikan bahwa terdapat

perubahan tren linier secara perlahan dan perubahan pola musiman secara

perlahan yang menunjukkan variasi musiman yang semakin meningkat.

Model yang didapat dengan software MINITAB 14 adalah sebagai

berikut: Y23 +m = [44.296 – 39.5180 (m)] Snt-L+m

Dimana: Sn20 = 0.90034

Sn21 = 1.25832

Sn22 = 1.17372

Sn23 = 0.66762

dengan nilai a adalah 0.64 dan nilai ß serta ? bernilai 0. RMSE yang dihasilkan

metode Winters’ multiplikatif yaitu sebesar 138.0388.

2. Aditif

Dalam model Winter’s multiplikatif, diasumsikan bahwa terdapat

perubahan tren linier secara perlahan dan perubahan pola musiman secara

perlahan yang menunjukkan variasi musiman yang konstan sepanjang waktu.

Model yang didapat dengan software MINITAB 14 adalah sebagai

berikut: Y23+m = [57.671 – 39.5180 (m)] Snt-L+m

Dimana: Sn20 = -24.9273

Sn21 = 46.4559

Sn22 = 39.7053

Sn23 = -65.3884

dengan nilai a adalah 0.64 dan nilai ß serta ? bernilai 0. RMSE yang didapat

menggunakan metode Winter’s aditif adalah sebesar 138.223.

5.4.8 Model Dekomposisi

Model dekomposisi memungkinkan kita memisahkan berbagai pola yang

terdapat dalam data time series. Model dekomposisi multiplikatif digunakan jika

data time series menunjukkan variasi musiman yang semakin meningkat atau

semakin menurun. Sedangkan model dekomposisi aditif digunakan dalam

memodelkan data time series yang memiliki variasi musiman konstan.

1. Multiplikatif

Bentuk fungsional yang diperoleh melalui pemodelan dekomposisi dari

data ln impor beras adalah sebagai berikut:

Yt = 389.685 – 12.7337t

Tabel 12. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Multiplikatif

Periode Index 1 1.24711 2 0.99882 3 0.58078 4 1.17329

dengan RMSE yang didapatkan adalah sebesar 139.5235.

2. Aditif

Dari pengolahan MINITAB 14 diperoleh hasil sebagai berikut:

Yt = 383,525 – 12.7752t

dengan RMSE yang diperoleh melalui metode ini adalah sebesar 136.8448.

Tabel 13. Indeks Musiman Terkoreksi untuk Metode Dekomposisi Aditif

Periode Index 1 56.2751 2 20.6247 3 -83.2667 4 6.3669

5.4.10 ARIMA

Metode ARIMA di dalam penggunaannya memerlukan data yang bersifat

stasioner. Pada tahap identifikasi pola data sebelumnya, diketahui bahwa data

impor beras yang telah ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural bersifat

stasioner. Dengan data yang sudah bersifat stasioner, proses meramalkan impor

beras dengan metode ARIMA dimulai dengan menentukan model tentative.

Model tentative ditentukan berdasarkan plot ACF dan PACF (Lampiran 9).

Berdasarkan plot ACF, terlihat bahwa plot ACF menurun secara perlahan

mendekati nol (dies down) dimana nilai autocorrelation yang signifikan adalah

pada lag pertama saja. Sedangkan pada plot PACF, terlihat bahwa plot PACF

terpotong (cut off) pada lag kedua. Dengan demikian, model tentative mempunyai

nilai ordo p sebesar 1, ordo q sebesar 0 dan ordo d sebesar 0 (data tidak di-

differencing) sehingga didapatkan model tentative ARIMA (1,0,0).

Model tentative yang diperoleh (Lampiran 10) kemudian diperiksa

kelayakannya dengan menggunakan proses diagnostic checking sebagai berikut:

1. Hasil output menunjukkan pada proses iterasi ke-8 kondisi konvergensi

sudah tercapai. Hal ini terlihat dari pernyataan ”relative change in each

estimate less than 0.001”.

2. Berdasarkan hasil output, terlihat bahwa koefisien Autoregressive (AR)

adalah sebesar 0.7751 (kurang dari 1), begitu juga dengan koefisien

Moving average (tidak ada koefisien MA). Hal ini menunjukkan bahwa

model memenuhi syarat stasioneritas dan invertibilitas.

3. Dari plot ACF dan PACF residual, terlihat bahwa nilai AC dan PAC dari

residual tidak ada yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa proses

ARIMA menghasilkan error random/tidak berpola. Hal tersebut juga

terlihat dari nilai P-value Chi Square Statistic pada lag ke-12 yang lebih

besar dari a.

4. Dari hasil output ARIMA (1,0,0), terlihat bahwa nilai p-value koefisien

kurang dari a.

5. RMSE yang dihasilkan oleh model tentative adalah sebesar 144.4209 .

Model tentative yang didapat sudah memenuhi semua kriteria kelayakan

model, tetapi agar model yang didapat benar-benar merupakan model yang

memiliki ketepatan paling baik (RMSE paling rendah) maka model ARIMA yang

lain tetap harus diduga harus diduga. Dari hasil pendugaan, model ARIMA yang

juga memenuhi kriteria diagnostic checking adalah ARIMA (0, 0, 2) dan ARIMA

(1, 0, 0)(0, 0, 1)4. Besaran RMSE dari model ARIMA yang memenuhi kriteria

diagnostic checking ditampilkan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, maka

model ARIMA yang paling tepat dalam menduga impor beras adalah ARIMA (1,

0, 0)(0, 0, 1)4

Tabel 14. Perbandingan RMSE pada Model ARIMA

Model ARIMA RMSE

(1, 0, 0) 144.4209

(0, 0, 2) 144.2299

(1, 0, 0)(0, 0,1)4 134.3137

(0, 0, 1)(0, 0, 1)4 137.9383

5.5 Memilih Metode Peramalan Impor Beras Indonesia

Untuk memperoleh hasil peramalan yang akurat, maka dilakukan

perbandingan terhadap nilai Root Mean Squared Error (RMSE) masing-masing

model time series. Dengan menggunakan software Microsoft Excel diperoleh

nilai RMSE setiap model seperti ditampilkan pada Tabel 15.

Tabel 15. Nilai RMSE Masing-masing Metode Time Series

No METODE PERAMALAN RMSE

1 Naive 187.5988

2 Analisis Tren (Kuadratik Musiman) 124.3783

3 Simple Average 184.1199

4 Simple Moving Average (Ordo = 3) 145.8084

5 Pemulusan Eksponensial Tunggal 147.1095

6 Metode Brown 156.7127

7 Metode Holt 150.6244

8 Winters’ Multiplikatif 138.0388

9 Winters’ Aditif 138.223

10 Dekomposisi Multiplikatif 139.5235

11 Dekomposisi Aditif 136.8448

12 ARIMA (1, 0, 0)(0, 0,1)4 134.3137

Dari Tabel 15 diketahui bahwa model yang memberikan RMSE terkecil

adalah analisis tren kuadratik. Analisis tren kuadratik ternyata paling cocok untuk

data impor beras, padahal data impor beras bersifat stasioner. Hal ini dikarenakan

tren meningkat dari variabel t kemudian diimbangi dengan variabel t2 sehingga

walaupun namanya adalah analisis tren, analisis tersebut cocok untuk data yang

stasioner.

5.4 Meramalkan Impor Beras Indonesia

Model umum yang digunakan dalam meramalkan impor beras Indonesia

adalah:

Yt = 206 + 93,7 D1 + 84,9 D2 - 19,5 D3 + 20,2 t - 1,38 t2

Nilai peramalan impor beras Indonesia untuk sembilan periode ke depan

(dua tahun) ditunjukkan dalam Tabel 16.

Tabel 16. Ramalan Volume Impor Beras Indonesia (000 ton) dengan Model Tren Kuadratik Musiman

Periode Nilai Ramalan Oktober-Desember 2005 -104.491 Januari-Maret 2006 -58.238 April-Juni 2006 -117.191 Juli-September 2006 -274.482 Oktober-Desember 2006 -310.621

Berdasarkan hasil ramalan model tren kuadratik musiman, diketahui

bahwa impor beras Indonesia dalam lima periode ke depan memperlihatkan tren

yang terus menurun dan besarannya bahkan menunjukkan angka negatif. Hasil

ramalan tersebut menunjukkan bahwa impor beras dalam lima periode mendatang

cenderung menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa kebijakan pemerintah, yakni

tarif impor beras serta kebijakan pelarangan impor pada saat panen raya terbukti

efektif dalam menurunkan impor beras yang masuk ke Indonesia.

Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Farihah (2005) dimana menurut

hasil ramalannya berdasarkan data BPS, dalam enam tahun ke depan Indonesia

sudah bisa mencapai swasembada beras. Menurut Husodo (2005), juga dikatakan,

bahwa produksi beras Indonesia pada tahun 2004 sudah mencukupi kebutuhan

konsumsi Indonesia dan terdapat surplus produksi sebesar 2.6 juta ton beras.

Berdasarkan data yang diambil dari BPS, pada tahun 2005 produksi beras juga

masih lebih besar dibandingkan konsumsi beras sehingga sebenarnya impor beras

tidak diperlukan karena tidak ada kekurangan pasokan beras di masyarakat.

5.5 Implikasi Hasil terhadap Kebijakan Perberasan Indonesia

Berdasarkan kedua model serta ramalan yang dihasilkan dalam penelitian

ini, dapat disimpulkan bahwa impor beras sangat dipengaruhi oleh kebijakan

pemerintah, produksi beras dalam negeri dan harga beras dalam negeri. Dalam

upaya pemerintah untuk menurunkan impor beras, harus diupayakan seperangkat

kebijakan perberasan dalam hal harga dan produksi beras sedemikian sehingga

dapat menurunkan impor beras.

Kebijakan tarif impor, masih dapat diterapkan mengingat beras termasuk

dalam kategori barang yang sensitif . Kebijakan tersebut terbukti efektif dalam

mengurangi impor beras. Hasil tersebut didapat berbeda dengan hasil yang

diperoleh Simbolon (2005) dimana tarif impor beras akhirnya hanya akan

meningkatkan harga beras dalam negeri tetapi tidak mampu menurunkan impor

beras.

Perbedaan tersebut bisa terjadi, salah satunya dikarenakan adanya

perbedaan metode analisis yang digunakan. Simbolon (2005) menganalisis

pengaruh tarif impor tersebut terhadap harga beras dalam negeri dimana hasilnya

adalah tarif impor tersebut akhirnya meningkatkan harga beras dalam negeri.

Peningkatan harga beras dalam negeri ini tidak mampu menurunkan impor beras.

Penelitian ini memang tidak menganalisis pengaruh tarif terhadap harga

beras dalam negeri. Namun model yang didapat menyatakan bahwa kenaikan

dalam harga beras dalam negeri akhirnya akan meningkatkan impor beras dan hal

ini konsisten dengan hasil Simbolon (2005). Persoalan perbedaan hasil adalah

bahwa Simbolon (2005) mengaitkan tarif impor dan harga beras domestik lebih

dahulu, baru kemudian dihubungkan dengan impor beras.

Seperti didapat dalam hasil eksplorasi pola data impor beras dan model

impor beras yang dibentuk, produksi beras akan mempengaruhi impor beras dan

fluktuasi musiman dari produksi beras juga berakibat pada fluktuasi musiman

impor beras. Hanya saja terdapat tenggang waktu pengaruh produksi beras

terhadap impor beras tersebut.

Karena impor beras sangat dipengaruhi oleh produksi beras domestik,

pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan yang akan mendukung peningkatan

produksi beras domestik, terutama dengan prioritas pemenuhan kebutuhan beras

dari produksi dalam negeri. Selama ini, pemerintah/Bulog lebih banyak

mengandalkan pemenuhan stok berasnya dari impor, karena beras impor lebih

murah5. Peningkatan produksi beras, akan meningkatkan penawaran beras

nasional sehingga harga yang terjadi di pasar tidak terlalu tinggi dan dengan

demikian impor juga akan menurun. Berdasarkan hasil penelitian Farihah (2005),

produksi beras Indonesia diperkirakan terus meningkat dan swasembada beras

akan dapat tercapai dalam enam tahun ke depan.

Berkaitan dengan harga beras dalam negeri, diupayakan agar harga yang

terjadi di pasar tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. Harga beras yang

tinggi akan memberatkan masyarakat miskin di perkotaan dan menyebabkan

impor beras meningkat. Sementara harga beras yang terlalu rendah menyebabkan

insentif petani untuk berproduksi menurun dan dalam jangka panjang akan

berdampak kepada penurunan produksi beras.

5 loc.cit

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Impor beras Indonesia periode sebelumnya berpengaruh nyata terhadap

harga beras dalam negeri dengan pengaruh negatif. Artinya semakin besar

volume beras impor yang masuk, maka harga beras dalam negeri akan semakin

turun. Respon harga beras terhadap impor beras periode sebelumnya adalah

inelastis, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Impor beras Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh variabel harga terigu,

kebijakan pemerintah, harga beras dalam negeri dan harga beras impor Indonesia

pada taraf nyata 1 persen; variabel nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada taraf

nyata 5 persen dan variabel produksi beras periode sebelumnya pada taraf nyata

15 persen. Pengaruh variabel harga terigu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS

dan harga beras impor terhadap impor beras Indonesia adalah negatif sedangkan

kebijakan perdagangan dan harga beras dalam negeri berpengaruh positif terhadap

impor beras Indonesia.

Penerapan tarif impor beras sejak tahun 2000 efektif dalam menurunkan

besaran impor beras Indonesia. Impor beras pada saat impor beras dapat

dilakukan tanda dikenakan tarif (1999) rata-rata lebih besar 1 453 ribu ton

daripada ketika impor beras sudah dikenakan tarif impor (2000 – 2005).

Berdasarkan plot data impor beras Indonesia, diketahui bahwa data impor

beras Indonesia periode 2000 – 2005 tidak memiliki komponen tren dan bervariasi

di sekitar nilai tengahnya (stasioner). Impor beras juga memiliki fluktuasi

musiman yang mengikuti fluktuasi musiman produksi beras dalam negeri.

Kriteria yang digunakan dalam memilih model peramalan time series

terbaik adalah dengan Root Mean Square Error (RMSE). Model peramalan time

series yang terbaik dalam meramalkan impor beras Indonesia berturut-turut adalah

model tren kuadratik dengan dummy musiman, model tren kuadratik tanpa dummy

musiman, dan model ARIMA (1, 0, 0)(0, 0, 1)4.

Hasil ramalan impor beras Indonesia dengan model tren kuadratik dengan

dummy musiman menunjukkan bahwa dalam lima periode mendatang, beras

impor yang masuk cenderung menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa kebijakan

pemerintah, yakni tarif impor beras serta kebijakan pelarangan impor pada saat

panen raya terbukti efektif dalam menurunkan impor beras yang masuk ke

Indonesia.

6.2 Saran

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan tarif impor beras sebesar 30

persen sudah efektif dalam menurunkan impor beras Indonesia. Kebijakan

tersebut sebaiknya tidak dihapuskan mengingat efek negatif impor terhadap

pencapaian swasembada beras Indonesia.

Pemerintah sebaiknya tidak menerapkan kebijakan yang akan

meningkatkan harga beras dalam negeri dan lebih berfokus kepada upaya

peningkatan produksi beras nasional.

Meskipun model regresi yang dibentuk sudah cukup baik, namun masih

sederhana di dalam menerangkan perilaku impor beras Indonesia. Analisis faktor-

faktor yang mempengaruhi impor serta pengaruh impor terhadap harga beras

dalam negeri lebih baik dilakukan dengan menggunakan satu model saja.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, S.1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Setdal Bimas, Departemen Pertanian Indonesia

Amang, B. dan M. H. Sawit.1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. Penerbit Institut pertanian Bogor: Bogor

Ariani, M.2004. Dinamika Konsumsi Beras Rumah Tangga dan Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta

Assauri, S.1984.Teknik dan Metoda Peramalan, Penerapannya dalam Ekonomi dan Dunia Usaha. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta

Badan Pusat Statistik.2004. Statistik Indonesia 2004. Jakarta

Ball, D. A. dan W. McCulloch.1998.Bisnis Internasional, Buku Satu (Terjemahan). Salemba Empat: Jakarta

Bowerman, Bruce L. dan Richard T. O;Connell.1993. Forecasting and Time Series: An Applied Aproach. Third Edition. Duxbury Press, California

Bustaman, A. D.2003. Analisis Integrasi Pasar Beras di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor

Erwidodo.2004. Analisis Harga Dasar Pembelian Gabah dan Tarif Impor Beras. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta

Erwidodo dan Ning Pribadi.2004. Permintaan dan Produksi Beras nasional: Surplus atau Defisit? Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta

Farihah, S. S.2005. Analisis Peramalan Produksi dan Konsumsi Beras Serta Implikasinya terhadap Pencapaian Swasembada Beras di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor

Gaynor, P. E. dan R. C. Kirckpatrick.1994. Introduction to Time-series Modelling and Forecasting in Business and Economics. McGraw-Hill, Inc.: Singapura.

Hanke, J. E. dan A. G. Reitsch. 1992. Business Forecasting, Fourth Edition. Allyn And Bacon, Washington.

Harianto.2001. Pendapatan, Harga dan Konsumsi Beras. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga

Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta

Hutauruk, J.1996.Analisis Dampak kebijakan Harga Dasar Padi dan Subsidi Pupuk terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor

Kasryno, F.2004. Dinamika Ekonomi Beras Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta

Koutsoyiannis, A.1977. Theory of Econometrics Methods. Second Edition. Mcmillan Education Ltd, london

Lipsey, R. G. et. al.1995.Pengantar Mikroekonomi, Edisi Kesepuluh Jilid Satu (Terjemahan). Binarupa Aksara: Jakarta

Mahardhika, P. Y.2003. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Gula di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian, Bogor.

Makridakis, S. et. al.1999.Metode dan Aplikasi Peramalan, Edisi Kedua Jilid Satu (Terjemahan). Binarupa Aksara: Jakarta

Manurung, S.O. dan M. Ismunadji.1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Di dalam Ismunadji, M., editor. Padi. Buku 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor

Mulyana, A.1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi. Institut Pertanian Bogor

Natawidjaja, R. S.2001. Dinamika Pasar Beras Domestik. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta

Nicholson, Walter.2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya, Edisi Kedelapan (Terjemahan). Penerbit Erlangga: Jakarta

Pakpahan, A dan E. Pasandaran.1990. Keamanan Pangan: Tantangan dan Peluangnya. Majalah Prisma, 2: 60 – 74

Pappas, J. L. dan M. Hirschey.1995.Ekonomi Manajerial,Edisi Keenam (Terjemahan). Binarupa Aksara: Jakarta

Rachman, B. dan S. K. Dermoredjo.2004. Dinamika Harga dan Perdagangan Beras. Di dalam Kasryno, Faisal, Efendi Pasandaran dan Achmad M. Fagi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta

Rosegran, M. W. Et al.1987. Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crops. International Food Policy Research and Centre for Agroeconomic Research, Bogor

Salvatore, D.1997.Ekonomi Internasional, Edisi kelima (Terjemahan).Penerbit Erlangga: Jakarta

Sawit, M. H.1998. Risiko Ketahanan Pangan dalam Masa Krisis. Harian Republika, 20 Juli 1998: hal. 4.

Simatupang, P. dan N. Syafaat.1999. Analisis Anjloknya Harga Komoditas Pertanian Selama Semester I-1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

Simbolon, J. S. C.2005. Analisis Integrasi Pasar Beras Domestik dengan Pasar Beras Dunia dan Pengaruh Adanya Tarif Impor. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor

Sitepu, R. K.2002.Dampak Kebijakan Ekonomidan Liberalisasi Perdagangan terhadap Permintaan dan Penawaran Beras di Indonesia. Tesis. Institut Pertanian Bogor

Soetrisno, N.1993. Anatomi Persoalan dan Sistem Pangan. Antisipasi terhadap PJPT-II. Majalah Prisma, 5: 3 – 12

Sudaryanto, T.2001. Perkembangan Industri Pupuk, Investasi Irigasi dan Konversi Lahan. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta

Suhendratmo.2004. Analisis Peramalan dan Hubungan antara Impor dan Harga Gula Pasir di Indonesia. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor

Suprapto, Ato.1994.Menyimak Hasil Sensus Pertanian 1993: Implikasinya terhadap Pembangunan Pertanian. Warta Pertanian, X (123): 17 – 20

Surono, Sulastri.2001. Perkembangan produksi dan Kebutuhan Impor Beras serta Kebijakan Pemerintah untuk Melindungi Petani. Di dalam Suryana, Achmad dan Sudi Maridanto Bunga Rampai Ekonomi Beras. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta

Taslim, Haerudin dan A. M. Fagi.1988. Ragam Budidaya Padi. Di dalam Ismunadji, M., editor. Padi. Buku 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor

Tsuiji, Hiroshi.1995. Characteristics of and the Conflicts in the International Rice Market: A Case Against the Free Trade Postulate. Offprint the National Resource Economic Review No. 1

Lampiran 1. Output Minitab 14, Model Harga Beras Indonesia

Regression Analysis: ln Harga versus ln Lag Harga; ln Lag Impor The regression equation is ln Harga = 0,424 + 0,963 ln Lag Harga - 0,0102 ln Lag Impor Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0,4235 0,4325 0,98 0,337 ln Lag Impor -0,010167 0,008443 -1,20 0,240 2,1 ln Lag Harga 0,96295 0,08371 11,50 0,000 2,1 S = 0,0355670 R-Sq = 90,4% R-Sq(adj) = 89,7% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 0,29879 0,14939 118,10 0,000 Residual Error 25 0,03163 0,00127 Total 27 0,33041 Source DF Seq SS ln Lag Harga 1 0,29695 ln Lag Impor 1 0,00183 Unusual Observations ln Lag Obs Harga ln Harga Fit SE Fit Residual St Resid 26 6,25 6,36920 6,26253 0,01172 0,10667 3,18R 27 6,37 6,34155 6,38543 0,02087 -0,04387 -1,52 X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 2,06866 Lampiran 2. Statistik Durbin-h Model Harga Beras Domestik

2*)2(ˆ d−=ρ = (2 – 2.06866)* 2 = - 0. 13732

2/1

007007.0*26126

13732.0

−−=h = - 0.79242

Lampiran 3. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Harga Beras

Domestik

Regression Analysis: ErrorSquared versus ln Lag Harga; ln Lag Impor

The regression equation is ErrorSquared = - 2478 + 1181 ln Lag Harga - 242 ln Lag Impor Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -2478 8577 -0,29 0,775 ln Lag Harga 1181 1660 0,71 0,483 2,1 ln Lag Impor -242,0 167,4 -1,45 0,161 2,1 S = 705,275 R-Sq = 8,5% R-Sq(adj) = 1,1% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 1150511 575255 1,16 0,331 Residual Error 25 12435313 497413 Total 27 13585824 Source DF Seq SS ln Lag Harga 1 111467 ln Lag Impor 1 1039043 Unusual Observations ln Lag Obs Harga ErrorSquared Fit SE Fit Residual St Resid 26 6,25 3487 615 232 2871 4,31R 27 6,37 648 966 414 -318 -0,56 X R denotes an observation with a large standardized residual. X denotes an observation whose X value gives it large influence. Durbin-Watson statistic = 2,30285 Statistik Uji Lagrange Multiplier: nR2 = 27*(0.085) = 2.295

Lampiran 4. Output Minitab 14, Model Dugaan Awal Impor Beras Indonesia

Regression Analysis: impor versus ntr; htr; ... The regression equation is impor = 12528 - 0,567 ntr - 3,70 htr - 2,88 cif + 1453 kbj2 + 1,97 HBR - 96 STK - 1024 QDT - 11,0 lagprod Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 12528 13130 0,95 0,365 ntr -0,5665 0,2719 -2,08 0,067 5,5 htr -3,703 1,745 -2,12 0,063 4,3 cif -2,879 1,328 -2,17 0,058 2,4 kbj2 1452,6 365,1 3,98 0,003 16,4 HBR 1,965 2,521 0,78 0,456 23,8 STK -96,3 206,8 -0,47 0,652 8,1 QDT -1024 1383 -0,74 0,478 12,9 lagprod -10,982 9,679 -1,13 0,286 1,2 S = 142,405 R-Sq = 96,0% R-Sq(adj) = 92,5% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 8 4401447 550181 27,13 0,000 Residual Error 9 182513 20279 Total 17 4583960 Source DF Seq SS ntr 1 78440 htr 1 1517994 cif 1 3153 kbj2 1 2566962 HBR 1 194715 STK 1 4077 QDT 1 10000 lagprod 1 26106 Unusual Observations Obs ntr impor Fit SE Fit Residual St Resid 16 1575 106,4 339,7 89,9 -233,3 -2,11R R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,54410

Lampiran 5. Output Minitab 14, Model Akhir Impor Beras Indonesia

Regression Analysis: impor versus htr; kbj2; HBR; lagprod; ntr; cif

The regression equation is impor = 2749 - 4,19 htr + 1364 kbj2 + 3,50 HBR - 11,1 lagprod - 0,410 ntr - 3,23 cif Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2749 1090 2,52 0,028 htr -4,189 1,502 -2,79 0,018 3,7 kbj2 1363,6 223,4 6,10 0,000 7,1 HBR 3,504 1,157 3,03 0,011 5,8 lagprod -11,066 8,663 -1,28 0,228 1,1 ntr -0,4102 0,1589 -2,58 0,026 2,1 cif -3,231 1,141 -2,83 0,016 2,1 S = 132,778 R-Sq = 95,8% R-Sq(adj) = 93,5% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 6 4390029 731672 41,50 0,000 Residual Error 11 193931 17630 Total 17 4583960 Source DF Seq SS htr 1 1596327 kbj2 1 2442804 HBR 1 119967 lagprod 1 11564 ntr 1 78046 cif 1 141322 Unusual Observations Obs htr impor Fit SE Fit Residual St Resid 13 665 728,6 487,9 74,9 240,7 2,19R 16 646 106,4 356,5 73,8 -250,1 -2,27R R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,35781

Lampiran 6. Output Minitab 14, Uji Breusch-Pagan Model Impor Beras

Indonesia

Regression Analysis: SquaredE versus htr; kbj2; HBR; lagprod; ntr; cif The regression equation is SquaredE = 111939 + 99 htr + 8343 kbj2 - 114 HBR - 2807 lagprod - 14,6 ntr - 182 cif Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 111939 153657 0,73 0,482 htr 98,8 211,9 0,47 0,650 3,7 kbj2 8343 31505 0,26 0,796 7,1 HBR -114,5 163,1 -0,70 0,498 5,8 lagprod -2807 1222 -2,30 0,042 1,1 ntr -14,61 22,41 -0,65 0,528 2,1 cif -181,7 160,9 -1,13 0,283 2,1 S = 18725,4 R-Sq = 42,7% R-Sq(adj) = 11,4% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 6 2868997659 478166276 1,36 0,310 Residual Error 11 3857053213 350641201 Total 17 6726050871 Source DF Seq SS htr 1 203825778 kbj2 1 231384279 HBR 1 316341708 lagprod 1 1597976899 ntr 1 72646406 cif 1 446822589 Unusual Observations Obs htr SquaredE Fit SE Fit Residual St Resid 16 646 62542 29300 10409 33242 2,14R R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 2,76490

Statistik Uji Lagrange Multiplier: nR2 = 18*(0.427) = 7.686

Lampiran 7. Output Minitab 14, Uji Autokorelasi Model Impor Beras

Indonesia

Regression Analysis: RESI2 versus htr; kbj2; HBR; lagprod; ntr; cif; lag The regression equation is RESI2 = 57 - 0,31 htr - 18 kbj2 + 0,17 HBR + 0,35 lagprod - 0,009 ntr + 0,29 cif + 0,343 lag Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 57 1644 0,03 0,973 htr -0,307 2,321 -0,13 0,898 2,7 kbj2 -17,8 246,1 -0,07 0,944 5,5 HBR 0,169 1,221 0,14 0,893 4,4 lagprod 0,351 9,323 0,04 0,971 1,1 ntr -0,0086 0,1673 -0,05 0,960 2,0 cif 0,286 1,248 0,23 0,824 1,5 lag 0,3431 0,3331 1,03 0,330 1,1 S = 138,835 R-Sq = 10,5% R-Sq(adj) = 0,0% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 7 20453 2922 0,15 0,989 Residual Error 9 173477 19275 Total 16 193930 Source DF Seq SS htr 1 2 kbj2 1 0 HBR 1 0 lagprod 1 0 ntr 1 0 cif 1 0 lag 1 20451 Unusual Observations Obs htr RESI2 Fit SE Fit Residual St Resid 12 665 240,7 15,3 81,3 225,4 2,00R 15 646 -250,1 -15,5 78,9 -234,6 -2,05R R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 1,71960 Statistik Uji Lagrange Multiplier: (n – 1)R2 = 17*(0.105) = 1.785

Lampiran 8. ACF dan PACF Impor Beras Indonesia

La g

Au

toco

rre

lati

on

2 01 81 61 41 21 08642

1 , 0

0 , 8

0 , 6

0 , 4

0 , 2

0 , 0

- 0 , 2

- 0 , 4

- 0 , 6

- 0 , 8

- 1 , 0

A u t o c o r r e l a t i o n F u n c t i o n fo r i m p o r ( t r i w u l a n)(w i th 5 % s ig n i f i c a n ce lim it s f o r t h e a u to c o r r e la tio n s )

La g

Part

ial A

uto

corr

ela

tio

n

1 51 41 31 21 11 0987654321

1 , 0

0 , 8

0 , 6

0 , 4

0 , 2

0 , 0

- 0 , 2

- 0 , 4

- 0 , 6

- 0 , 8

- 1 , 0

P a r t i a l A u t o c o r r e l a t i o n F u n c t i o n f o r i m p o r ( t r i w u l a n )(w i th 5 % s ig n i f i c a n c e l im i ts fo r t h e p a r t ia l a u to c o r r e la tio n s )

Lampiran 9. ACF dan PACF Ln Impor Beras Indonesia

La g

Aut

ocor

rela

tion

2018161 41 21 08642

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0, 2

-0, 4

-0, 6

-0, 8

-1, 0

Auto cor r el atio n F unctio n fo r l ni mpo r(w ith 5 % s ig nif ican ce lim its fo r th e au to corr ela tio ns )

La g

Part

ial A

utoc

orre

lati

on

2018161 41 21 08642

1,0

0,8

0,6

0,4

0,2

0,0

-0,2

-0,4

-0,6

-0,8

-1,0

P ar tia l Autocorr el ati on F unction for l nimpor(w ith 5% s ig nif ican ce lim its fo r th e pa rt ia l au to corr ela tio ns )

Lampiran 10. Output Minitab 14, Model Tentative ARIMA

ARIMA Model: lnimpor Estimates at each iteration Iteration SSE Parameters 0 18,1145 0,100 17,086 1 14,6142 0,250 14,226 2 11,9968 0,400 11,368 3 10,2595 0,550 8,512 4 9,3971 0,700 5,661 5 9,2932 0,764 4,453 6 9,2902 0,772 4,290 7 9,2900 0,775 4,252 8 9,2900 0,775 4,242 Relative change in each estimate less than 0,0010 Final Estimates of Parameters Type Coef SE Coef T P AR 1 0,7751 0,1478 5,25 0,000 Constant 4,2421 0,1381 30,71 0,000 Mean 18,8600 0,6141 Number of observations: 23 Residuals: SS = 9,11825 (backforecasts excluded) MS = 0,43420 DF = 21 Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic Lag 12 24 36 48 Chi-Square 8,1 * * * DF 10 * * * P-Value 0,624 * * *