analisis biaya-manfaat perusahaan pengelola … · limbah dengan jumlah 11781280 kg/ hari dan lebih...
TRANSCRIPT
ANALISIS BIAYA-MANFAAT PERUSAHAAN PENGELOLA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) DAN SKENARIO PENGELOLAAN YANG EFEKTIF
SHARA SANTA YOLENE LUMBANTOBING
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Biaya-
Manfaat Perusahaan Pengelola Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan
Skenario Pengelolaan yang Efektif adalah benar karya penulis dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini
penulis melimpahkan hak cipta dari karya tulis penulis kepada Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, Juli 2014
Shara Santa Yolene Lumbantobing NIM H44100029
ABSTRAK
SHARA SANTA YOLENE LUMBANTOBING. Analisis Biaya dan Manfaat Perusahaan Pengelola Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Skenario Pengelolaan yang Efektif. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan KASTANA SAPANLI.
Penundaan penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) akibat besarnya biaya yang harus dikeluarkan, melahirkan industri jasa pengolahan dan pemanfaatan limbah B3. Jumlah industri jasa pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 ini tergolong kecil di Indonesia, sehingga penelitian ini berusaha untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kelayakan usaha jasa pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 melalui analisis biaya dan manfaat dan seberapa jauh usaha ini akan bertahan apabila terjadi perubahan seperti perubahan skala ekonomi, sehingga dapat diketahui apakah usaha ini dapat terus dikembangkan. Berdasarkan analisis biaya manfaat, keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan dalam jangka waktu yang telah direncanakan akan bernilai positif dengan tingkat pengembalian yang cukup besar (Net B/C=3 dan IRR=17%) dengan NPV sebesar Rp 110 997 445 852 dan pengembalian investasi (pay back period) pada tahun ke 8. Usaha ini menjadi tidak layak ketika terjadi penurunan input lebih dari 30%. Hadirnya perusahaan pengolah dan pemanfaat limbah B3 menjadi alternatif pemecahan masalah penanganan limbah B3. Keputusan penanganan limbah apakah dengan menyerahkan ke perusahaan pengolah atau dengan menangani sendiri dapat dipertimbangkan dengan pendekatan efektifitas biaya. Dalam kondisi anggaran terbatas, penanganan fly ash apabila dikelola secara mandiri untuk dimanfaatkan menjadi paving block akan lebih efektif dibandingkan jika mengelola secara mandiri karena dari segi biaya pengolahan limbah secara mandiri lebih besar 2,14 kali dibandingkan apabila diserahkan ke pihak ketiga. Apabila berada pada kondisi anggaran tak terbatas, maka mengelola secara mandiri akan menguntungkan karena ada manfaat yang diterima dari penjualan paving block. Rasio biaya penanganan sludge IPAL kertas apabila menyerahkan ke pihak ketiga akan 8.85 kali lebih besar jika dibandingkan menangani sendiri yang artinya, akan lebih efektif jika sludge diolah sendiri dengan memanfaatkannya menjadi low grade paper. Apabila jumlah limbah solvent kurang dari 60 liter maka rasio biaya apabila mengolah sendiri dengan investasi alat penjernih akan 1.022 kali lebih besar jika dibandingkan jika menyerahkan ke pihak ketiga. Sedangkan apabila solvent lebih dari 60 liter, rasio biaya apabila menyerahkan ke pihak ketiga akan 3.26 kali lebih besar jika dibandingkan menangani secara mandiri. Limbah medis akan lebih efektif diserahkan ke pihak ketiga jika limbah berjumlah 1-1177 kg/ hari dan 1281-4007 kg/hari, sedangkan limbah dengan jumlah 1178-1280 kg/ hari dan lebih dari 4007 kg/hari akan lebih efektif jika mengolah sendiri dengan investasi incinerator. Kata kunci : efektivitas biaya, fly ash, limbah medis, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), sludge, solvent.
ABSTRACT
SHARA SANTA YOLENE LUMBANTOBING. Cost-Benfit Analysis of Hazardous Wastes Management Companies and The Effective Wastes Management Scenario. Supervised by AKHMAD FAUZI and KASTANA SAPANLI.
The deferment of hazardous wastes management caused by its huge costs become an opportunity for the growth of hazardous wastes utilization and processing services industry. The number of this industry is quite small in Indonesia, therefore this research is trying to know further about the economic feasibility of these wastes management services activities by using benefit and cost analysis, and evaluating its response by changing the possiblity on quantity of wastes changes. It is obtained that these activities would be returned in the 8th year since it is started, with the number of NPV to be Rp 110 997 445 852, IRR to be 17% and Net B/C to be 3 by benefit and cost analysis, so it is feasible to be developed further. It needs to be considered when there is a decrease in number of entry wastes which are more than 30%. The existance of this industry become an alternatif to solve hazardous management problems. By using cost effectiveness analysis, it can be decided which one is the best sollution, wheter wastes should be handled autunomusly/being utilized or by using these services. In limited budgeting condition of fly ash wastes management, handled by these services is more effective because when it is utilized to be paving block its cost is 2,14 times bigger, but in unlimited budgetting condition, utilizing those to be paving block is profitable. Cost ratio for paper sludges which are handled by these services is 8.85 bigger than handled autonomously by utilized to be low grade paper. Handling the number of solvent wastes which are less than 60 liters/day by these services is more effective than investing an purifier machine because its investing cost is 1.022 times bigger, but when it is more than 60 liters/days, the cost ratio for handled by these services is 3,26 times bigger. It is costly more effective to use these services for about 1-1177 kg/day and 1281-4007 kg/day while investing an incinerator is cheaper for 1178-1280kg/day and for more than 4007 kg/day medical wastes management.
Keywords: cost effectiveness, fly ash, hazardous wastes management, medical waste, paper sludge treatment, solvent,
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
ANALISIS BIAYA-MANFAAT PERUSAHAAN PENGELOLA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) DAN SKENARIO PENGELOLAAN YANG EFEKTIF
SHARA SANTA YOLENE LUMBANTOBING
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Biaya-Manfaat Perusahaan Pengelola Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Skenario Pengelolaan yang Efektif
Nama : Shara Santa Yolene Lumbantobing NIM : H44100029
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi,M.Sc Pembimbing I
Diketahui oleh
Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si Pembimbing II
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
rahmat dan hikmat yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
berjudul Analisis Biaya dan Manfaat Perusahaan Pengelola Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) dan Skenario Pengelolaan yang Efektif.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari
dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc dan Pak Kastana Sapanli,S.Pi,
M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu,
tenaga, dukungan dan ilmu dengan penuh kesabaran dan perhatian sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Ir. Ujang Sehabudin sebagai dosen penguji utama, dan Ibu Asti
Istiqomah, S.P, M.Si sebagai dosen penguji perwakilan departemen.
3. Among (Emile Lumbantobing, S.H) dan Inong (Osda Situmorang, S.Pd) ,
Ayu Melinda Tobing, Julio Tobing, Jules Tobing, dan Jordy Tobing, atas
motivasi, dukungan, doa, dan semangat yang selalu diberikan tiada henti
kepada penulis.
4. Paktua (S.Sihotang) dan Maktua (Arta Situmorang) atas dukungan, doa,
serta perannya menjadi orangtua penulis selama menempuh studi di IPB ini,
dan kepada abang-abang sepupu Erik Sihotang, Franky sihotang, dan Kevin
Sihotang, serta keluarga besar Op. Prima Situmorang yang telah
mengajarkan serta membagikan ilmu dan pengalaman yang sangat
memotivasi penulis.
5. PT. X, Pak Ipeh, Bu Susi, dan Bu Eli yang telah bersedia memberi
kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian, serta informasi dan
kerjasamanya.
6. Yayasan Karya Salemba Empat, sebagai donatur beasiswa selama 2012-
2014, serta bantuan biaya skripsi.
7. Teman-teman sebimbingan (Daeng Tidar, Amalia R, Amalia E, Bayu, Gita,
Cahyono, Raisa), sahabat penulis : Entin, Shiraz, Rival, Viola, Anggrek,
Andreas, Rahmat, Ebes, Tasya, Try, Friska, Dian, Lasria, Fikry, Javit, Lina,
Taufiq, Adi, Nana Uswatun, Ayu Amalia, Dea, Fibrianis, Tika, Dila, dan
teman-teman seperjuangan ESL 47 yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
8. Bang Tutur, Bang Immanuel Sibarani, Bang Freedmay, Poltak Marpaung,
Bang Charly, Bang Gunawan dan Kak Artha, Santa Maria, Naniek, Vina,
Olga, Anastasya, Richardo, Mansur dan Goklas, Kak Aldha, Bang Jastri,
Aptyan, Saefihim, Aci, Kiky, dan Radi.
9. Sahabat-sahabat di Keluarga PARTARU : Kak Tiur, kak Ocy, Bang Agung,
Bang Sintong, Bang Riko, Kak Rina, Kak Eva, Kak Sry Bonasi, Kak Vivin,
Kak Rya, Kak Getha, Kak Ratna, Kak Saima, Bang Noldy, Bang Jaya, Bang
Jise, Bang Murdhanai, dan Bang May, Loly, Artha, Yenni, Afriany, Efris,
Dian, Jelita, Badia, Henry, Haposan, Evelyn, Pesta, David, Goklas, Erig,
Lasmaria, Hotsetia, April, Erwin, Rijen, Tomy, dan Valentino, Wahyu,
Ribkha, Averin, Naomi, Winda, Yemima, dan Aisyah yang selalu memberi
dukungan dan motivasi.
10. Teman-teman di IAAS LC IPB khususnya departemen STD : Utari, Dickky,
Kiki, Iqbal, Lusi, Yosephine, Niken, Tachur, PP/Remaja GKPI Tarutung,
Komisi Pelayanan Anak, dan PMK IPB.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu
proses persiapan hingga selesai penyusunan skripsi ini. Semoga Tuhan
membalas kebaikan yang telah diberikan.
Bogor, Juli 2014
Shara Santa Yolene Lumbantobing
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL.................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................viii
I. PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah...............................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian......................................................................7
II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................8
2.1 Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.................................................8
2.2 Landasan Hukum yang Mengatur Pengelolaan Limbah......................13
2.3 Pendekatan Ekonomi (Economic Approach) dalam Lingkungan........14
2.4 Analisis Biaya dan Manfaat Proyek.....................................................20
2.5 Alternatif Pemilihan Keputusan Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan.................................................................................................21
III. KERANGKA PEMIKIRAN............................................................................23
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis...............................................................23
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional........................................................26
IV. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................28
4.1 Metode Pemilihan Lokasi Penelitian dan Waktu.................................28
4.2 Jenis dan Sumber Data ....................................................................28
4.3 Metode Analisis data............................................................................28
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN..............................................33
5.1 Gambaran Umum PT. X......................................................................33
5.2 Visi Misi PT.X ................................................................................34
5.3 Keragaan Pengelolaan Limbah B3 di PT.X.........................................35
VI. KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN
LIMBAH B3 PT.X.................................................................................................40
6.1 Aspek Pasar..........................................................................................40
6.2 Aspek Teknis........................................................................................44
6.3 Aspek Hukum.......................................................................................49
6.4 Aspek Sosial dan Lingkungan ........................................................52
6.5 Aspek Finansial....................................................................................48
6.6 Analisis Switching value ....................................................................57
6.7 Pertimbangan dalam Pengembangan Usaha Pengelolaan dan
Pemanfaatan B3.........................................................................................57 VII. SKENARIO PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA
DAN BERACUN YANG EFEKTIF.....................................................................60
7.1 Pertimbangan dalam Pengelolaan Limbah Batu Bara ....................60
7.2 Pertimbangan dalam Pengelolaan Limbah Sludge IPAL Kertas ........65
7.3 Pertimbangan dalam Pengolahan Solvent ............................................70
7.4 Pertimbangan dalam Pengolahan Limbah Medis ................................72
VIII. SIMPULAN DAN SARAN..........................................................................77
8.1 Simpulan ............................................................................................77
8.2 Saran.....................................................................................................78
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................80
LAMPIRAN ..........................................................................................................84
RIWAYAT HIDUP................................................................................................86
DAFTAR TABEL Tabel 1 Jenis industri dan limbahnya.................................................................9
Tabel 2 Komponen Biya...................................................................................29
Tabel 3 Alternatif-alternatif pengelolaan limbah B3........................................31
Tabel 4 Matriks perbandingan alternatif-alternatif pengelolaan Limbah
B3 dengan Cost effectiveness Analysis ..............................................32
Tabel 5 Jenis-jenis limbah yang diolah oleh PT.X..........................................36
Tabel 6 Komposisi penggunaan limbah untuk paving block ...........................38
Tabel 7 Komposisi bahan baku untuk pembuatan low grade paper ................39
Tabel 8 Investasi Lahan PT. X .........................................................................44
Tabel 9 Investasi Pengolahan Limbah B3 PT. X .............................................45
Tabel 10 Investasi alat pemanfaatan limbah menjadi paving block PT. X ........46
Tabel 11 Investasi alat pemanfaatan limbah menjadi low grade paper
PT.X ...................................................................................................46
Tabel 12 Biaya investasi pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT.X .........49
Tabel 13 Biaya tetap pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT.X ...............50
Tabel 14 Biaya operasional pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT.X .....50
Tabel 15 Hasil kriteria investasi pengolahan dan pemanfaatan limbah B3
PT.X ....................................................................................................53
Tabel 16 Perubahan kriteria kelayakan ketika terjadi perubahan input.........
Tabel 17 Biaya pengelolaan limbah fly ash oleh pihak ketiga ...........................55
Tabel 18 Biaya investasi pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi
paving block ........................................................................................56
Tabel 19 Biaya operasional pemanfaatan limbah batu bara (fly ash)
menjadi paving block ..........................................................................57
Tabel 20 Biaya pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving
block berdasarkan jumlah limbah yang dihasilkan .............................58
Tabel 21 Biaya pengelolaan limbah sludge IPAL kertas oleh pihak ketiga .....59
Tabel 22 Biaya investasi pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas
menjadi low grade paper ....................................................................60
Tabel 23 Biaya operasional pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas
menjadi low grade paper ....................................................................61
Tabel 24 Biaya pemanfaatan sludge IPAL kertas menjadi low grade paper
berdasarkan jumlah limbah yang dihasilkan........................................62
Tabel 25 Biaya pengolahan solvent oleh pihak ketiga .......................................62
Tabel 26 Biaya investasi pengolahan solvent .....................................................63
Tabel 27 Jumlah limbah medis yang dihasilkan berdasarkan jumlah kamar
RS .......................................................................................................64
Tabel 28 Biaya pengolahan limbah medis oleh pihak ketiga .............................64
Tabel 29 Tipe incinerator berdasarkan jumlah limbah medis ............................65
Tabel 30 Investasi untuk limbah <160 ...............................................................65
Tabel 31 Investasi untuk limbah 160-800 kg .....................................................65
Tabel 32 Investasi untuk limbah 800-1280 kg .................................................66
Tabel 33 Investasi untuk limbah >1280 kg ......................................................66
Tabel 34 Perbandingan biaya pengolahan limbah medis .................................66
Tabel 35 Keputusan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun .........67
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 World greenhouse gas emissions by sector ......................................10
Gambar 2 Kurva Marginal Abatement Cost .....................................................12
Gambar 3 Teknik pelaksanaan produksi bersih ................................................16
Gambar 4 Hubungan antara penambahan fly ash terhadap kuat tekan
paving block ......................................................................................37
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi Penelitian.....................................................................85
Lampiran 2 Arus biaya-manfaat pengolahan dan pemanfaatan B3......................86
Lampiran 3 Analisis switching value : pengaruh perubahan jumlah limbah yang masuk terhadap aktivitas dan pemanfaatan B3................................................................................88
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan produksi selain menghasilkan produk utama juga dapat
menghasilkan produk sampingan (by-product) yang tidak diinginkan. Produk
sampingan ini dikenal dengan limbah, yang dapat berwujud padat, cair, maupun
gas. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan produksi bersifat organik dan
anorganik. Limbah anorganik dapat didegradasi oleh mikroorganisme menjadi
bahan yang mudah menyatu kembali dengan alam, sedangkan limbah anorganik
adalah limbah yang tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme yang jika tidak
diolah atau ditangani akan terakumulasi sehingga menimbulkan masalah, baik
bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar. Limbah yang tidak berbahaya dapat
ditunda penanganannya (misalnya ditimbun atau disimpan) meski dapat
menyebabkan polusi dan gangguan kesehatan. Berbeda halnya dengan limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah yang dikatakan sebagai B3 adalah
bahan yang jumlahnya relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak sumberdaya
dan lingkungan hidup. Limbah B3 ini dihasilkan dari pabrik maupun industri
karena banyak digunakan sebagai bahan baku dan dalam kegiatan penunjang
industri. B3 ini cukup mengkhawatirkan karena kriterianya yang mudah terbakar,
mudah meledak, korosif, bersifat sebagai oksidator dan reduktor yang kuat, serta
mudah membusuk, sehingga penanganannya tidak dapat ditunda
(PP No. 19 tahun 1994).
Produksi limbah B3 cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring
dengan pertumbuhan sektor industri. Timbulan limbah B3 pada tahun 2012 yang
telah dihasilkan dan dikelola dari kegiatan industri pada sektor manufaktur dan
jasa, agroindustri, pertambangan dan gas bumi adalah 65 970 612, 24 ton dan
akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Semenjak ditetapkannya Master Plan
Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3I), dimana proyeksi Indonesia
akan menjadi tujuh besar raksasa ekonomi dunia pada tahun 2050 dengan rata-
rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,3% hingga 8,0%, selain
memberikan dampak positif bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, juga
2
berdampak negatif pada timbulan limbah B3.1
Sifat berbahaya pada limbah B3 ini berdampak negatif bagi
keberlangsungan lingkungan hidup maupun masyarakat sekitar. Berdasarkan
penelitian di Amerika Serikat pada 1980 kematian akibat pencemaran udara
(dimana sumber pencemaran udara akibat industri, pembakaran, dan limbah padat
sebesar 61,8%) mencapai 51.000 orang dan pada tahun 2000an kematian akibat
pencemaran udara akan mencapai 57.000 orang per tahunnya dengan total
kerugian materi mencapai 12-16 juta US dollar per tahun. Menurut Bank Dunia,
pada 1990 saja, kerugian ekonomi akibat pencemaran lingkungan hidup baik
karena pencemaran udara dan air mencapai 500 juta US dollar, sehingga bisa
meningkat 2-3 kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Sedangkan penyakit yang
diakibatkan oleh pencemaran berbagai zat kimia yang termasuk dalam kategori
limbah B3 seperti kanker, katarak, gangguan darah, dan kolestrol
Peningkatan limbah B3 ini adalah
implikasi dari peningkatan pertumbuhan sektor industri dan perekonomian,
karena pertumbuhan industri berbanding lurus dengan penggunaan bahan baku,
yang artinya juga berbanding lurus dengan peningkatan jumlah B3, karena
menurut EPA (Environmental Protection Agency) limbah yang dihasilkan dari
aktivitas industri sebanyak 10-15% adalah limbah yang berbahaya (Polprasert dan
Liyanage, 1996).
2
Perhatian pada masalah kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam
khususnya akibat limbah dan pencemaran tersebut menuntut para pelaku usaha
untuk mengambil keputusan yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan
jangka pendek semata, namun juga pada keberlanjutan di masa mendatang, bukan
saja dari sisi profit (keuntungan), tetapi juga people (manusia) dan planet (bumi)
atau yang dikenal dengan triple bottom line
.
3
1 Kementerian Lingkungan Hidup, 2013 : Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Batam, pada tanggal 18-20 Juni 2013- See more at : http://www.menlh.go.id/bimbingan-teknis-pengelolaan-limbah-b3/#sthash.KvMsizZC.dpuf 2 Pencemaran udara selain akibat oleh aktivitas industri juga disebakan oleh sampah dan kebakaran hutan. Sedangkan pencemaran air selain karena pembuangan limbah termasuk limbah B3, juga terjadi akibat erosi dan pendangkalan sungai dan danau (Keraf, A. Sony. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Hal 38-40 dan hal.67. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.) 3 Dipopulerkan oleh John Elkington, 1997 dalam “Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line Of 21st Century Business” dalam Yusuf Wibisono. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR –Corporate Social Responsibility. Fascho Publishing, Gresik.
. Perusahaan sebagai pelaku ekonomi
berorientasi pada peningkatan profit yang maksimal sebagai bentuk tanggung
3
jawab atas tuntutan para stakeholder. Tetapi di satu sisi para pelaku usaha juga
harus memperhatikan orang-orang yang ada disekitarnya, baik itu sumberdaya
manusianya maupun masyarakat yang ada disekitarnya, serta menjaga kelestarian
lingkungan karena keberlanjutan sistem di sekitar perusahaan juga adalah
merupakan keberlanjutan bagi perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu limbah yang
dihasilkan dari aktivitas usaha pun harus ditangani agar tidak mengganggu
keseimbangan sistem.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang diakibatkan oleh limbah B3 ini,
diperlukan serangkaian tindakan penanganan limbah mulai dari pengangkutan,
pengolahan, maupun pemanfaatan. Namun, pengelolaan limbah B3 ini masih
sering diabaikan karena terkendala pada biaya-biaya investasi yang besar.
Pembangunan sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan penggunaan
incinerator sebagai pemusnah limbah misalnya, selain membutuhkan lahan yang
luas, juga membutuhkan teknologi yang canggih. Biaya-biaya investasi ini
memiliki resiko pengembalian yang tidak pasti. Tidak hanya biaya investasi, biaya
operasional pengelolaan limbah juga cukup besar karena tingginya biaya
transaksi (pengurusan ijin), uji laboratorium apakah limbah dapat dilepas ke
lingkungan, biaya maintanance (perawatan), serta pengontrolan kadar limbah.
Laporan “The Cost of Clean Wastes” oleh Department of the Interior U.S 10
Januari 1968 menjelaskan bahwa pengeluaran-pengeluaran seperti biaya investasi
dan operasional per satuan limbahnya untuk mengolah limbah- limbah industri
hingga berada pada level secondary treatment saja berkisar 2,6-4,6 milliar US
dollar selama 1969-1973 (meliputi 1,8-3,6 milliar US dollar untuk pengerjaan
pengelolaan limbah yang baru, dan 0,8-10 milliar US dollar untuk mengganti
peralatan). Sedangkan untuk biaya pengelolaan dan operasi membutuhkan 3,0-4,4
milliar US dollar, dan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang (Nemerow
dan Dasgupta, 1991). Data yang ditunjukkan tersebut menggambarkan besarnya
biaya yang dikeluarkan, baik untuk investasi modal maupun biaya operasional
untuk mengelola permasalahan limbah.
Pengelolaan limbah B3 sebenarnya tidak hanya membebani perusahaan
atas biaya-biaya yang dikeluarkan. Jika ditangani secara tepat, pengolahan limbah
justru akan memberikan manfaat bagi perusahaan itu sendiri maupun masyarakat.
4
Beberapa limbah dapat dimanfaatkan kembali sehingga menjadi bernilai tambah
apakah dengan penggunaan kembali (reused) ataupun dimanfatkan menjadi bahan
baku pembuatan produk baru (recycling). Selain itu, penanganan limbah dapat
meningkatkan efisiensi sumberdaya dan input sehingga dapat menghemat biaya-
biaya atau meningkatkan penerimaan bersih bagi perusahaan. Tindakan-tindakan
ini juga mencegah terjadinya eksternalitas negatif, sehingga dapat menghindari
biaya sosial seperti biaya penanggulangan bencana dan kerusakan serta biaya
sengketa akibat pencemaran. Namun seperti yang dijelaskan sebelumnya, masalah
penanganan limbah ini sering terkendala pada biaya-biaya.
Atas dasar pertimbangan biaya-biaya penanganan limbah B3 tersebut,
perlakuan pada limbah B3 memerlukan keputusan-keputusan penanganan pada B3
agar alokasi penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang sifatnya terbatas dapat
mencapai tujuan dengan tepat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
keputusan, biaya, dan manfaat dari pengelolaan limbah. Penelitian ini berfokus
pada pendekatan ekonomi dari pengolahan dan pemanfaatan limbah B3, yaitu
pada keuntungan ekonomis jika melakukan serangkaian tindakan tersebut.
Pendekatan ekonomis ini diharapkan dapat menjadi insentif bagi para pelaku
usaha untuk mempertanggungjawabkan limbah dan lingkungannya secara
sukarela tanpa adanya paksaan.
1.2 Perumusan Masalah
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sifat dan karakteristik B3, dampak
eksternalitas negatif yang dapat ditimbulkan, dan kemungkinan peningkatan
jumlahnya di masa-masa mendatang menyebabkan perlunya dilakukan
penanganan secara tepat dan sesegera mungkin. Namun, penanganan limbah B3
masih sering diabaikan karena terkendala pada biaya, seperti biaya investasi dan
operasional. Selain itu, perusahaan sebagai unit yang berorientasi pada
keuntungan, tentu perlu memperhatikan segala aktivitasnya agar tidak
meningkatkan pengeluaran (termasuk pengelolaaan limbah) yang memberatkan
perusahaan, tetapi justru mengharapkan meningkatkan benefit bagi perusahaan,
khususnya secara finansial.
5
Adanya berbagai keterbatasan dalam pengelolaan limbah khususnya B3,
menjadikan peluang tumbuhnya industri yang bergerak di bidang pengelolaan B3.
Pengelola inilah yang akan melakukan serangkaian perlakuan terhadap limbah,
mulai dari pengangkutan, pengolahan, hingga pemanfaatan B3. Perusahaan
pengelola B3 memperoleh bayaran atas jasa pengolahan limbah dari para
pelanggan yakni perusahaan-perusahaan penghasil limbah B3, dan jika limbah-
limbah tersebut dimanfaatkan kembali akan ada penerimaan tambahan yang lebih
besar dari sekedar mengangkut dan mengolah B3. Kehadiran industri pengelola
B3 ini tidak hanya menguntungkan bagi pemerintah maupun perusahaan-
perusahaan penghasil limbah karena membantu mengatasi permasalahan B3 yang
menjadi selama ini menjadi beban, tetapi juga bagi pengelola limbah itu sendiri
karena adanya keuntungan dari pembayaran atas jasa-jasa pengelolaan limbah B3
tersebut. Jumlah industri pengelola limbah B3 masih tergolong baru dan sedikit di
Indonesia, sehinga perlu dilakukan penelitian lebih jauh tentang usaha dan
peluang pengelolaan B3 ini serta aliran biaya dan manfaatnya, sehingga dapat
menjadi pertimbangan baik bagi industri pengelola limbah B3 maupun pemerintah
untuk mendorong tumbuhnya industri pengelolaan limbah B3 di Indonesia.
Kehadiran industri pengelola B3 menjadi alternatif dalam pengelolaan B3
selain dengan mengelola secara mandiri. Jika B3 diolah dan/atau dimanfaatkan
secara mandiri (baik untuk dimanfaatkan menjadi bahan baku produk turunan,
digunakan kembali, maupun untuk menghasilkan produk baru) maka selain
mengurangi dampak negatif limbah yang sifatnya berbahaya dan merugikan,
pengelolaan B3 ini juga dapat memberikan tambahan penerimaan bagi perusahaan.
Tetapi, alternatif ini akan membutuhkan biaya-biaya investasi dan operasional
yang mungkin saja melebihi biaya yang dikeluarkan jika B3 diserahkan ke pihak
ketiga. Sebaliknya, jika B3 diserahkan ke pihak ketiga, manfaat yang seharusnya
bisa diterima dari pemanfaatan limbah menjadi hilang karena pengelolaannya
diserahkan ke pihak ketiga.
Setiap alternatif pengelolaan limbah B3 tersebut memiliki kelemahan dan
keunggulan masing-masing. Untuk itu, perlu juga dilakukan penelitian efektivitas
biaya dalam penilaian skenario pengelolaan limbah B3 yang efektif. Penelitian ini
6
dilakukan di PT. X, salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang
pengangkutan, pengolahan, dan pemanfaatan limbah B3.
Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan-permasalahan
diatas yang tertuang dalam rumusan masalah berikut ini :
1. Dengan pendekatan analisis biaya-manfaat, bagaimana kelayakan usaha
pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X?
2. Bagaimana efektifitas pemilihan keputusan dalam skenario pengelolaan
limbah B3; apakah mengelola secara mandiri atau dengan menyerahkan ke
pihak ketiga?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Melakukan penilaian atas kelayakan usaha pengolahan dan pemanfaatan
limbah B3 oleh PT. X dengan analisis biaya dan manfaat.
2. Menilai efektivitas pemilihan keputusan dalam skenario pengelolaan
limbah B3; apakah dengan mengelola secara mandiri atau dengan
menyerahkan ke pihak ketiga.
1.4 Manfaat Penelitian
1 Dengan dilakukannya penelitian mengenai analisis biaya dan manfaat
ekonomi pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahaan dalam mengambil
keputusan dan tindakan dalam keberlanjutan usaha ini.
2 Sebagai bahan referensi bagi perusahan-perusahaan lainnya, khususnya
perusahaan yang menghasilkan limbah B3 untuk mengambil keputusan
dalam mengelola limbahnya, apakah mengelola secara mandiri atau
dengan menyerahkan ke perusahaan pengelola B3.
3 Bagi pemerintah, sebagai referensi dalam membuat kebijakan khususnya
kebijakan mengenai pengolahan limbah B3 bagi perusahaan/industri dalam
sehingga memberikan insentif bagi perusahaan penghasil limbah B3 untuk
mengelola limbahnya.
7
4 Bagi penulis penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
dalam analisis kebijakan ekonomi dan lingkungan dan menerapkan
pembelajaran selama di bangku kuliah di kehidupan nyata.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terbatas pada empat jenis pengelolaan limbah B3 yaitu
pemanfaatan limbah pembakaran batu bara (fly ash) menjadi paving block, limbah
sludge IPAL kertas menjadi low grade paper, pengolahan limbah solvent dan
limbah medis. Pengelolaan limbah lain diluar ini tidak menjadi cakupan penelitian
penulis. Selain itu keputusan pengelolaan limbah B3 didasarkan pada pendekatan
biaya, sehingga faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan perusahan dalam
mengelola limbah B3 ini juga tidak dibahas dalam penelitian ini.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Limbah yang mengandung bahan yang memiliki sifat racun dan berbahaya
di sebut dengan limbah B3. Menurut PP No. 19 tahun 1994 karakteristik limbah
yang tergolong dalam limbah bahan berbahaya dan beracun yang disingkat
dengan limbah B3 adalah mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif,
beracun, menyebabkan infeksi, korosif, bersifat sebagai oksidator dan reduktor
yang kuat, serta mudah membusuk. Limbah ini pada umumnya dihasilkan dari
aktivitas pabrik dan industri. Menurut EPA (US Environmental Protection
Agency), dari limbah-limbah yang dihasilkan oleh aktivitas industri sebanyak 10-
15% adalah limbah yang berbahaya (Polprasert dan Liyanage, 1996). Meskipun
limbah B3 hanya sebagian kecil dari jumlah limbah, tapi berpotensi lebih besar
untuk membahayakan manusia, sehingga penanganannya tidak dapat ditunda.
2.1.1 Klasifikasi Limbah dan karakteristiknya.
Berdasarkan nilai ekonominya, limbah dibagi menjadi limbah yang
bernilai ekonomis dan yang tidak bernilai ekonomis. Limbah yang bernilai
ekonomis akan memiliki nilai tambah jika diolah kembali, sedangkan limbah non
ekonomis adalah limbah yang tidak akan memberi nilai tambah meskipun telah
diproses.Sementara itu, berdasarkan karakteristiknya, limbah dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu limbah padat, cair, dan gas (Kristanto, 2004).
2.1.1.1 Limbah Cair
Pada dasarnya, limbah air tidak memberi efek pencemaran sepanjang
kandungannya tidak membahayakan. Persoalan penting dalam pengelolaan ini
adalah bagaimana agar bagaimana mengolah limbah sebelum dibuang dan kemana
dibuangnya (Ginting, 2007).
Limbah cair dihasilkan dari proses pengolahan karena menggunkan air
sebagai bahan baku produksinya, dari bahan baku yang mengandung air, maupun
air ikutan seperti proses pencucian, pendinginan mesin, maupun pengecoran.
Sehingga air ini harus dibuang dalam volume yang cukup besar. Air buangan ini
membawa sejumlah padatan dan partikel baik yang terlarut maupun mengendap,
sehingga membuat air menjadi terkontamnasi oleh B3. Jenis industri yang
9
menghasilkan limbah cair di antaranya adalah industri pulp dan rayon, pengolahan
crumb rubber, besi dan baja, kertas, minyak goreng, tekstil, elektroplating,
plywood dan lain lain. (Kristanto, 2004).
Karena limbah cair berpotensi merugikan makhluk hidup dan lingkungan,
permasalahan pencemaran air akibat limbah cair harus ditanggulangi dan para
penanggung jawab usaha yang melakukan pencemaran wajib melakukan
pemulihan. Jika pencemaran ini dibiarkan, maka akan dikenakan ancaman pidana
(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air).
2.1.1.2 Limbah Gas dan Partikel
Limbah gas dan partikel adalah limbah yang dibuang ke udara, yang
terbawa angin sehingga memperluas jangkauan pemaparannya. Bahan-bahan
tersebut bercampur dengan udara basah sehingga massa partikel bertambah dan
pada malam hari turun ke tanah bersama-sam embun. Ketika bahan-bahan ini
dilepas, maka terjadi penambahan unsur gas udara yang melapaui batasnya
sehingga kualitasnya menurun. Limbah yang terjadi dapat disebabakan oleh reaksi
kimia, kebocoran gas, maupun penghancuran bahan. Jenis industri yang menjadi
sumber pencemaran udara adalah industri besi dan baja, semen, kendaraan
bermotor, pupuk, aluminium, pembangkit tenaga listrik, kertas, kilang minyak,
dan pertambangan. Beberapa jenis industri yang menghasilkan limbah gas dan
partikel dapat dilihat pada Tabel 1 (Kristanto,2004).
Tabel 1 Jenis industri dan limbahnya No Jenis Industri Jenis Limbah 1. Industri Pupuk Uap asam, NH3, bau
partikel 2. Industri Pangan (ikan, daging, bir,
minyak) Hidrokarbon, bau, partikel, CO, H2S, dan Uap Asam
3. Industri pertambangan (mineral), semen, aspal, kapur, batu bara, karbida, serat gelas
NOx, SOx, CO, hidrokarbon, bau, partikel
4. Industri metalurgi (tembaga, baja, seng, timah hitam, aluminium)
NOx, SOx, CO, hidrokarbon, H2S, klor, bau, dan partikel
5. Industri kimia (sulfat, serat rayon, PVC, amonia, cat dan lain-lain)
CO, hidrokarbon, NH3, bau, dan partikel
6. Industri pulp SOx, CO, NH3, H2S, dan bau
Sumber: Kristanto (2004)
10
Beberapa senyawa yang dihasilkan dari kegiatan industri di atas
bertanggung jawab pada pemanasan global, yaitu karbondioksida (CO2), metana
(CH4), dan Nitrousoksida (N2). Akumulasi senyawa-senyawa ini mengakibatkan
penebalan gas di permukaan bumi, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu di
bumi dan menyebabkan kekacauan iklim di permukaan bumi. Pada gambar di
bawah ini, dijelaskan bahwa kontribusi limbah industri, proses industri, dan
limbah mencapai 17,4% terhadap pemanasan global.
Gambar 1 World greenhouse gas emissions by sector.4
4 World Greenhouse Gas Emissions by Sector. Diunduh di : http://maps.gri da.no/go/grap
hic/world- greenhouse- gas-emission s-by-sector2, pada 12 Februari 2014
Dampak pencemaran lingkungan sebenarnya tidak semata-mata
disebabkan oleh aktivitas industri dan teknologi, namun juga faktor lain yang
menunjang kegiatan produksi tersebut seperti faktor penyedia listrik, yang
merupakan salah satu faktor penyerap terbesar pemakaian bahan bakar fosil
seperti batu bara dan minyak bumi. Dari bentuk-bentuk pencemar udara, sekitar
75%-nya adalah berasal dari pemakaian bahan bakar fosil (Wardhana,1995).
11
2.1.1.3 Limbah Padat
Limbah padat adalah hasil buangan industri yang berupa potongan kayu,
serpihan logam, lumpur, kerak kotoran, kertas, serta debu yang sukar dihindari
karena sifat alami bahan baku tersebut yang tidak dapat diolah seratus persen
menjadi produk jadi. Sumber-sumber limbah padat adalah pabrik plywood yang
menghasilkan limbah kayu, abu pembakaran dari ruang boiler, lumpur dari
treatment pulp dan rayon, serta kemasan-kemasan pembungkus. (Ginting, 2007).
Menurut Kristanto (2004), secara garis besar limbah padat dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
• Limbah padat yang mudah terbakar
• Limbah padat yang sukar terbakar
• Limbah padat yang mudah membusuk
• Debu
• Lumpur
• Limbah yang dapat didaur ulang
Sedangkan berdasarkan klasifikasi limbah padat serta akibat-akibat yang
ditimbulkannya dibedakan menjadi :
• Limbah padat yang dapat ditimbun tanpa membahayakan
• Limbah padat yang dapat ditimbun tetapi membahayakan
• Limbah padat yang tidak dapat ditimbun
2.1.2 Biaya Pengendalian dan Penanggulangan Pencemaran
Untuk proyek-proyek yang menyangkut pengolahan dan pemanfaatan
limbah, terdapat biaya pengendalian dan penanggulangan pecemaran. Oleh karena
pencemaran merupakan fenomena yang akan tetap ada sebagai akibat aktivitas
ekonomi, maka dari prinsip ekonomi sumberdaya jalan terbaik adalah bagaimana
mengendalikan pencemaran ke tingkat yang paling efisien. Efisien yang dimaksud
adalah Pareto improvement yang mengharuskan tidak ada pihak yang
memperoleh keuntungan dari pencemaran tersebut (Fauzi, 2006).
Biaya penanggulangan pencemaran merupakan biaya-biaya untuk
mengurangi volume limbah yang dibuang kedalam lingkungan, atau untuk
memperkecil konsentrasi ambien. Biaya kegiatan pengolahan limbah dan
12
manajemennya disebut dengan biaya penanggulangan limbah (abatement cost).
Hubungan antara volume limbah dengan biaya dijelaskan pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 dijelaskan bahwa sumbu horisontal menunjukkan volume
limbah yang dibuang dan sumbu vertikal menunjukkan besarnya biaya yang
dikeluarkan untuk menanggulangi dampak pencemaran. Pada sumbu horisontal
kurva biaya dimulai dari tingkat emisi yang tidak terkendalikan yaitu sebelum
adanya upaya penanggulangan pencemaran sama sekali. Itu sebabnya kurva
miring dari kanan bawah ke kiri atas,yang menggambarkan peningkatan biaya
marjinal penanggulangan biaya pencemaran. Pada titik F pada BPM0 dengan
biaya pencemaran setinggi OB0 volume limbah yang dibuang sebanyak OE0 dan
dengan biaya penanggulangan yang lebih rendah dari OB1 volume limbah yang
terbuang menjadi OE1. Tinggi rendahnya biaya dipengaruhi oleh jenis limbah
yang terbuang, teknologi, dan kemampuan manajerial. Misalnya untuk
menanggulangi pencemaran hingga berada pada tingkat E1 memerlukan biaya
yang lebih tinggi yaitu setinggi E1 H atau OB11 pada kurva BPM1 (Suparmoko,
2000).
Menurut Kristanto 2004, biaya pengendalian dan penanggulangan
pencemaran terdiri dari:
• Biaya pengadaan lokasi
• Biaya pengadaan peralatan
• Biaya tenaga listrik dan tenaga kerja
13
• Biaya bahan penolong (bahan kimia, bakteri, dan lain-lain)
• Biaya pemeliharaan
• Biaya instalasi, bangunan, dan transportasi.
2.2 Landasan Hukum yang Mengatur Pengelolaan Limbah B3
Pelaksanaan pengelolaan limbah B3 harus dilakukan sesuai dengan dasar
peraturan yang berlaku. Berikut ini adalah peraturan-peraturan yang mengatur
pengelolaan B3 :
1. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, rancangan peraturan pemerintah
mengenai Limbah B3, Pengelolaan Limbah B3, dan Dumping B3
dilakukan berdasarkan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:
a. PP tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun seperti yang
diamanatkan dalam Pasal 58 ayat (2) UU 32/2009.
b. PP tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
seperti yang diamanatkan dalam Pasal 59 ayat (7) UU 32/2009.
c. PP Dumping Limbah seperti yang diamanatkan dalam Pasal 60
ayat (3) UU 32/20095
2. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun:
.
- Pasal 47 ayat (1) menjelaskan bahwa pengawasan pengelolaan
limbah B3 dilakukan oleh Menteri dan pelaksanaannya diserahkan
pada insatansi yang bertanggunga jawab (Bapedal).
- Pasal 47 ayat (2) menjelaskan bahwa pengawasan di ayat (1)
meliputi pemantauan terhadap penataan persyaratan serta ketentuan
teknis dan administratif oleh penghasil, pemanfaat, pengumpul,
pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3.
- Pasal 47 ayat (3) dan (4) menjelaskan bahwa tata laksana
ditetapkan oleh Bapedal dan pengawas bertanggung jawab pada
Kepala Daerahtingkat I dan/atau Tingkat II.
5See more at: http://www.menlh.go.id/rancangan-peraturan-pemerintah-rpp-tentang-pengelolaan-bahan-berbahaya-dan-beracun-b3-limbah-b3-dan-dumping-limbah-b3/#sthash.zg4RZhPt.dpuf
14
3. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor:
Kep-01/Bapeda/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Penyimpanan dan pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
4. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor:
Kep-02/Bapeda/09/1995 tentang Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun.
5. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor:
Kep-03/Bapeda/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis
Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
1204/MENKES/SK/X/2004 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit.
7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.18 Tahun 2009 tentang
Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
9. Keputusan Bapedal No.03 Tahun 1995, tentang Standar Emisi Buangan
Incinerator.
10. Peraturan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2007
tentang Jenis-jenis Bahan Berbahaya dan Beracun.
2.3 Pendekatan Ekonomi (Economic Approach) dalam Penataan dalam Hukum Lingkungan
Menurut Husin 2009, pendekatan ekonomis adalah suatu pendekatan yang
menekankan kepada keuntungan ekonomis yang akan diperoleh oleh pemilik
kegiatan bila memenuhi persyaratan lingkungan. Pendekatan ini adalah faktor
perangsang, karena pemilik kegiatan akan :
a. terhindar dari biaya penalti
b. terhindar dari biaya ganti rugi yang mungkin harus ditanggungnya di masa
yang akan datang; dan
c. menghemat pengeluaran karena menggunakan praktik efisiensi biaya yang
bersahabat dengan lingkungan.
15
Instrumen-instrumen pendekatan ekonomi adalah sebagai berikut:
2.3.1 Insentif ekonomi
Dari sudut pandang ekonomi, instrumen ini sangat efektif dalam mencapai
penataan. Insentif ekonomi dapat berupa pembebasan pajak, subsidi, dan
sebagainya, atau sebaliknya berupa pungutan bagi pelaku yang tidak taat. (Husin,
2009). Penetapan pajak adalah salah satu instrumen yang dilakukan pemerintah
untuk mendorong perilaku ekonomi swasta dalam meperbaiki kualitas lingkungan
sehingga menghemat biaya pencegahan dan pengawasan. Penetapan pajak atau
yang dikenal dengan istilah polluter pays-principle ini (PPP) pertama kali
diperkenalkan pada 1970an, yang mengharuskan para polluter menanggung biaya-
biaya pengurangan pencemaran seperti biaya pengadaan teknologi dan
infrastruktur pengendali pencemaran (Luken, 2009). Sedangkan subsidi
merupakan otoritas publik membayar sejumlah uang sebagai imbalan upaya
pengurangan emisi oleh polluter (Field, 1994). Insentif ekonomi merupakan
instrumen yang lebih efektif dari segi biaya jika dibandingkan dengan kebijakan
command and control (CAC) karena mengurangi biaya sosial (Blackman, 2009).
Blackman juga menjelaskan bahwa menurut Panayatou (1993), insentif ekonomi
lebih menguntungkan dibandingkan dengan CAC di negara-negara berkembang
karena dapat merasakan manfaat dengan biaya paling kecil, yang menjadi vital
bagi negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumberdaya.
2.3.2 Produksi Bersih (Cleaner Production)
Produksi bersih atau cleaner production (CP) pertama kali diperkenalkan
oleh UNEP (United Nations environment Programme) pada 1994. Produksi
bersih adalah usaha perlindungan lingkungan terintegrasi yang kontinu mulai dari
strategi proses, produk dan jasa, peningkatan efisiensi, dan pengurangan resiko
pada manusia dan lingkungan. CP adalah “win-win sollution” bagi perusahaan
untuk mengurangi biaya operasional dan melaksanakan tanggung jawab
lingkungan seperti minimisasi penggunaan energi, air, dan material, serta
penanganan masalah limbah dan pencemaran (Berkel, 2010).
16
Di Indonesia produksi bersih diperkenalkan oleh Bappedal. Produksi
bersih ini merupakan upaya preventif secara terus menerus pada proses produksi
dengan prinsip peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan bahan baku,
energi, dan sumberdaya lainnya. Produksi bersih tidak harus pemanfaatan semua
sisa produksi hingga limbah mencapai nol, karena tidak ada sistem yang 100%
efisien. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, teknik-teknik pelaksanaan
produksi bersih dapat dilakukan dengan berbagi cara, seperti yang di tunjukkkan
pada Gambar 2 :
Gambar 2 Teknik pelaksanaan produksi bersih
Penerapan produksi ini akan memberikan keuntungan, berupa :
a. Penggunaan sumberdaya alam secara lebih efektif dan efisien, sehingga
lebih menghemat biaya
b. Mengurangi dan mencegah terbentuknya bahan pencemar
c. Mencegah berpindahnya pencemar dari satu media ke media lain
d. Mengurangi terjadinya resiko terhadap kesehatan dan lingkungan
e. Mendorong dikembangkannnya teknologi pengurangan limbah pada
sumbernya
f. Mengurangi biaya penataan hukum
g. Terhindar dari biaya pembersihan lingkungan (clean-up)
h. Produk dapat bersaing di pasar internasional
i. Bersifat fleksibel dan sukarela
17
Penggunaan kembali limbah B3 baik yang digunakan oleh penghasil
limbah baik untuk dijadikan produk baru, maupun digunakan untuk kegiatan
produksi yang sama, adalah satu bentuk dari produksi bersih, yang selain
meningkatkan efisensi penggunaan sumberdaya dan input, juga mengurangi
limbah termasuk limbah B3 serta menjadi nilai tambah bagi perusahaan6
2.3.3 Tradeable Permits
.
Pemanfaatan limbah B3 seperti pemanfaatan fly ash menjadi paving block
dan limbah sludge menjadi low grade paper adalah salah satu bentuk penerapan
produksi bersih yang memberikan nilai tambah ekonomis bagi perusahaan.
Tradeable Permits adalah bentuk instrumen yang memungkinkan pelaku
usaha yang telah lebih baik dari persyaratan lingkungan yang harus dicapai, dapat
membeli ijin pencemar dari industri lain, sehingga dapat menaikkan produksinya
keuntungan ekonomis yang lebih besar karena kepatuhannya. Mekanisme ini
dilakukan dengan penetapan jenis kegiatan dan alokasi ijin oleh pemerintah, lalu
pelaksanaan penukaran diserahkan pada pasar (Husin,2009).
2.3.4 Performance Bond
Bentuk dari instrumen ini adalah adanya uang jaminan yang diserakan
oleh pemilik usaha pada pemerintah, yang akan dikembalikan jika perusahaan
mengeola lingkungan dengan baik. Contohnya adalah dana reklamasi di sektor
kehutanan (Husin, 2009).
2.3.5 Dana Dedikasi Lingkungan
Dana dedikasi lingkungan adalah dana yang harus dibayar oleh pemilik
usaha kepada pemerintah atas jasa lingkungannya, sehingga dapat digunakan
untuk perbaikan/peningkatan mutu lingkungan seperti reboisasi (Husin,2009).
2.3.6 Pendanaan Lingkungan7
Pendanaan lingkungan adalah salah satu bentuk program yang dilakukan
untuk mendorong para pelaku usaha penghasil limbah untuk melakukan
serangkaian tindakan yang bertujuan untuk pengendalaian pencemaran dan
menciptakan liingkungan yang lebih baik. Di Indonesia, bentuk pendanaan
6 Kementerian Lingkungan Hidup. Produksi Bersih. Buletin 7 Kementerian Lingkungan Hidup. Insentif dan Pendanaan Lingkungan. Buletin
18
lingkungan yang telah ada misalnya pinjaman lunak dan pembebasan bea masuk
alat-alat yang digunakan untuk mengendalikan pencemaran. Upaya-upaya ini
diharpakan dapat mendorong baik usaha kecil, menengah, dan besar untuk
melakukan tindakan-tindakan pencegahan pencemaran.
Pembebasan bea masuk atas impor peralatan dan bahan yang digunakan
untuk mencegah pencemarag lingkungan adalah program kerja sama dengan
Departemen Keuangan cq. Ditjen Bea Cukai untuk membebaskan bea masuk
seperti pengendalian pencemaran limbah cair (aerator, belt press, chemical pump,
chemical tank, return sludge pump, submersible pump, pH control, decanter, air
blower, biocoal, dan screen), pengendalian pencemaran udara (electrostatic
precipitator, continuous electromagnetic).
Program pinjaman lunak lingkungan telah dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup bekerja sama dengan
pemerintah Jepang dan Jerman. Bentuk-bentuk pinjaman lunak yang saat ini
ditawarkan adalah JBIC-PAE, IEPC-KfW I, IEPC-KfW II,dan Debt for Nature
Swap.
1. JBIC-PAE (Japan Bank for International Cooperation Pollution Abatement equipment)
Program ini adalah bantuan dari pemerintah Jepang yang memberikan
bantuan pinjaman lunak bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam investasi
bidang pencegahan dan pengendalian pencemaran, serta efisiensi produksi.
Bentuk investasi misalnya IPAL untuk mengolah limbah tekstil, peralatan
produksi bersih utnuk industri tekstil, ataupun peralatan daur ulang limbah.
Bentuk pinjamannya : dana tidak dibatasi, suku bunga pinjaman SBI, masa
pengembalian 3-20 tahun, masa tenggang waktu pembayaran bunga dan pokok 0-
3 tahun.
2 IEPC-KfW I (Industrial Efficiency and Pollution Control-Kreditandstalt fur Wiederaufbau)
Program ini adalah bantuan dari pemerintah Jerman yang memberikan
bantuan pinjaman lunak bagi usaha kecil dan menengah (UKM) nasional yang
memiliki aset kurang dari 8 milyar dalam investasi bidang pencegahan dan
pengendalian pencemaran, efisiensi produksi, serta bantuan teknis. Bentuk
19
pinjamannya : jumlah maksimum pinjaman 3 milyar, suku bunga pinjaman 9-14%,
masa pengembalian 3-10 tahun, masa tenggang waktu pembayaran bunga dan
pokok 0-3 tahun.
3 IEPC-KfW II (Industrial Efficiency and Pollution Control-Kreditandstalt fur Wiederaufbau tahap II)
Program ini adalah bantuan dari pemerintah Jerman yang memberikan
bantuan pinjaman lunak bagi usaha kecil dan menengah (UKM) nasional yang
memiliki aset kurang dari 10 milyar dalam investasi bidang pencegahan dan
pengendalian pencemaran seperti bahan kimia dan suku cadang , efisiensi
produksi, serta bantuan teknis. Bentuk pinjamannya : jumlah maksimum pinjaman
5 milyar, suku bunga pinjaman tergantung pada bank penyalur masa
pengembalian 3-10 tahun, masa tenggang waktu pembayaran bunga dan pokok 0-
1 tahun.
4 IEPC-KfW II (Industrial Efficiency and Pollution Control-Kreditandstalt fur Wiederaufbau tahap II)
Program ini adalah bantuan dari pemerintah Jerman yang memberikan
bantuan pinjaman lunak bagi usaha kecil dan menengah (UKM) nasional yang
memiliki aset kurang dari 10 milyar dalam investasi bidang pencegahan dan
pengendalian pencemaran seperti bahan kimia dan suku cadang , efisiensi
produksi, serta bantuan teknis. Bentuk pinjamannya : jumlah maksimum pinjaman
5 milyar, suku bunga pinjaman tergantung pada bank penyalur masa
pengembalian 3-10 tahun, masa tenggang waktu pembayaran bunga dan pokok 0-
1 tahun.
5 Debt for Nature Swap.
Program ini adalah bantuan dari pemerintah Jerman yang memberikan
bantuan pinjaman lunak bagi usaha kecil dan mikro dalam investasi bidang
pencegahan dan pengendalian pencemaran seperti bahan kimia dan suku cadang ,
efisiensi produksi, serta bantuan teknis. Bentuk pinjamannya : jumlah maksimum
pinjaman 500 juta dengan sistem bagi hasil, suku bunga pinjaman tergantung pada
bank pelaksana. Masa pengembalian 3-7 tahun, masa tenggang waktu pembayaran
bunga dan pokok 0-1 tahun.
20
2.4 Analisis Biaya dan Manfaat Proyek
Proyek adalah suatu kegiatan yang mengeluarkan uang/ biaya-biaya
dengan harapan memperoleh hasil. Analisa proyek baik dari segi biaya maupun
manfaat perlu dilakukan karena pelaksanaan proyek melibatkan pengunaan
sumberdaya yang jumlahnya terbatas, sehingga perlu keputusan pengeloaan yang
tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan di masa mendatang
(Gittinger, 1986). Analisis biaya dan manfaat adalah suatu metode yang
digunakan untuk membandingkan keuntungan dan kerugian ekonomi dari
beberapa alternatif proyek. Untuk menjalankan proyek, perlu mempertimbangkan
beberapa hal karena pelaksanaan proyek melibatkan penggunaan sumberdaya
yang terbatas, dan mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang tidak singkat.
Pertimbangan-pertimbangan dalam pelaksanaan proyek adalah :
a) Discounting
Dalam perencanaan proyek, perlu diidentifikasi semua untung dan ruginya
selama masa hidup proyek. Artinya, jika proyek direncanakan eksis untuk jangka
waktu yang cukup lama, maka perlu mempertimbangkan berapa nilai masa kini
jika dihitung di masa depan, atau berapa nilai di masa mendatang jika dinilai di
masa kini. Untuk hal itu, penting menentukan tingkat suku bunga yang digunakan
untuk menghitung. Konsekuensi dengan adanya teknik discounting ini adalah
menurunnya nilai-nilai keuntungan di masa mendatang menjadi berkurang di
masa kini, sehingga meningkatkan perspektif jangka pendek yakni tidak
memberikan banyak insentif bagi para penganalisis untuk emmpertimbangkan
keadilan lintas generasi. (Mitchell et al, 2010)
Agar dapat memanfaatkan discounting, perlu dua persyaratan yaitu semua
variabel memiliki satuan yang sama, dan asumsi bahwa biaya dan manfaat
sekarang lebih tinggi daripada di waktu yang akan datang. (Dixon dan Maynard,
1991) Tingkat diskonto adalah biaya marjinal perusahaan, yaitu ukuran tingkat
kemampuan perusahaan untuk dapat meminjam uang (Gittinger, 1986).
21
b) Tingkat suku bunga
Pilihan tingkat suku bunga sangat penting, karena tingkat suku bunga yang
rendah akan menurunkan nilai saat ini dari keuntungan di masa depan, dan
sebaliknya jika suku bunga tinggi, maka nilai saat ini menjadi lebih rendah dan
berkurang (Mitchell et al, 2010).
c) Tidak Terukur
Dalam pelaksanaan proyek tidak semua biaya dan mnfaat yang dihasilkan
akibat adanya proyek tersebut dapat dikuantifikasikan, seperti kepuasan dan
kesenangan masyarakat akibat adanya proyek atau keuntungan kesehatan dari
hutan tropis. (Mitchell et al, 2010).
d) Sunk Cost
Sunk cost atau biaya-biaya yang tidak diperhitungkan adalah biaya-biaya
yang dikeluarkan pada waktu yang lampau yang didasarkan pada suatu usulan
investasi baru (Gittinger, 1986). Biaya ini tidak diperhitungkan dalam proyek dan
tidak mempengaruhi pilihan proyek.
2.5 Alternatif Pemilihan Keputusan Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan, muncul banyak alternatif pilihan yang diakibatkan oleh kondisi,
kebutuhan, nilai, asumsi, dan kriteria. Salah satu cara yang digunakan untuk
membandingkan alternatif-alternatif adalah dengan menganalisis untung dan
ruginya. Analisis ini tidak menghasilkan keunggulan absolut dari pemilihan
alternatif, namun menilai sisi yang paling efisien (Mitchel et al, 2010).
Pengambilan keputusan terhadap alternatif-alternatif pengelolaan limbah
menjadi penting karena menyangkut sumberdaya yang terbatas, yang jika
digunakan untuk kegiatan lain mungkin akan memberikan manfaat dan
pengembalian yang menjadi hilang akibat adanya kegiatan itu. Sehingga berbagai
faktor menjadi bahan pertimbangan untuk memutuskan alternatif mana yang
paling tepat digunakan khususnya dalam masalah pengelolaan limbah. Menurut
Alumur (2007), permasalahan dalam penanganan limbah B3 adalah bagaimana
memastikan keselamatan, efisiensi dan efektifitas biaya, pengangkutan, dan
22
perawatan. Dari perspektif pelaku usaha, penanganan limbah B3 yang terbaik
adalah dengan pendekatan biaya yang terkecil, sedangkan dari pemerintah adalah
dengan alternatif dengan resiko terkecil.
Untuk menentukan pilihan atas alternatif-alternatif dalam pengeleloaan
limbah, faktor yang paling sering diperhitungkan selain efisiensi dan manfaat,
perlu mempertimbangkan biaya. Bila biaya akibat penggunaan limbah melebihi
keuntungannya, maka penting untuk mempertimbangkan apakah tindakan lebih
murah dan memadai, atau tidak usah menggunakan limbah sama sekali (Mara dan
Cairncross, 1994). Dalam hal pengelolaan limbah, perlu mempertimbangkan
apakah limbah memiliki peluang untuk didaur ulang atau digunakan kembali,
karena dari pertimbangan tersebut dapat diambil keputusan penanganan limbah,
manakah yang paling efektif baik dari segi nilai maupun biaya (Rubinstein, 2012).
Salah satu alat yang digunakan dalam menilai alternatif keputusan
pengelolaan sumberdaya dan lingkungan adalah Cost of Effectiveness Analysis
(CEA). CEA mirip dengan anlasis biaya dan manfaat proyek, namun CEA
digunakan dalam kondisi-kondisi dengan keterbatasan untuk menganalisis output
yang dihasilkan dari berbagai kombinasi input sehingga bisa menghasilkan biaya
terendah atau dengan sejumlah biaya tertentu dapat menghasilkan output terbaik.
Menurut Dixon dan Suherman dalam Haqq (2009), CEA berfokus pada konsep
least cost dalam proyek sosial dan lingkungan, karena pada proyek-proyek
tersebut manfaat dalam mencapai tujuan sulit untuk dinilai. Dengan kata lain,
proyek-proyek yang tidak memberikan manfaat yang dapat dikuantifikasikan
secara moneter –seperti proyek kesehatan, pendidikan, dan lingkungan—dapat
dipertimbangkan dengan prinsip biaya terendah.
23
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka teoritis berisi tentang teori-teori yang dapat digunakan untuk
membantu perhitungan dan pemecahan masalah. Teori-teori yang mendukung
dalam penelitian ini adalah :
3.1.1 Perhitungan Kelayakan Proyek
Perencanaan dan pelaksanaan proyek melibatkan sumberdaya-sumberdaya
yang jika dimanfaatkan untuk kegiatan lain akan menghasilkan manfaat yang
berbeda yang mungkin diterima, sehingga perlu dilakukan perhitungan kelayakan
agar menghindari pengorbanan sumberdaya yang tidak berguna. Selain itu, proyek
pada umumnya dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga perlu
dilakukan penilaian agar mengetahui keberlangsungan proyek dimasa kini hingga
di masa mendatang, termasuk dampak perubahan-perubahan di luar proyek
terhadap keberlangsungan proyek. Kriteria pengukuran kelayakan investasi
meliputi Net Present Value (NPV), Rasio Manfaat-Biaya (B/C), Internal Rate
Return (IRR).
1 Net Present Value
Proyek yang efisien adalah proyek yang manfaat yang akan diterima lebih
besar dari pada biaya yang diperlukan. Nilai bersih dikenal juga dengan harga
sekarang bersih, sehingga NPV menentukan nilai sekarang manfaat bersih dengan
mendiskontokan aliran dan biaya kembali padaa awal tahun dasar (Dixon dan
Maynard, 1991) . Rumus perhitungannya adalah :
NPV= ∑ 𝐵𝐵𝐵𝐵−𝐶𝐶𝐵𝐵(1+𝑟𝑟)𝐵𝐵
𝑛𝑛𝐵𝐵=1
atau
NPV= ∑ 𝐵𝐵𝐵𝐵(1+𝑟𝑟)𝐵𝐵
𝑛𝑛𝐵𝐵=1 -∑ 𝐶𝐶𝐵𝐵
(1+𝑟𝑟)𝐵𝐵𝑛𝑛𝐵𝐵=1
dengan :
NPV = nilai bersih sekarang
r = tingkat diskonto dan bunga
n = banyaknya tahun yang terlibat dalam jangka waktu ekonomi
24
t = tahun yang bertalian dengan kegiatan, yang ditulis dalam bentuk
0,1,2,…,n
Bt = manfaat dalam tahun
Ct =biaya dalam tahun
Proyek akan layak untuk dilaksanakan jika nilai NPV≥0 artinya, nilai
manfaat yang diterima lebih besar dari biaya. Semakin besar NPV nya, maka
proyek semakin baik.
2 Rasio Manfaat-Biaya (B/C)
Rasio manfaat-biaya membandingkan manfaat yang didiskontokan dengan
biaya yang didiskontokan. Bila rasio B/C sama dengan 1, proyek akan
menghasilkan manfaat bersih sebesar nol sepanjang masa proyek, dan bila kurang
dari 1 maka proyek rugi dari perspektif ekonomi. (Dixon dan Maynard, 1991)
B/C = ∑ 𝐵𝐵𝐵𝐵
(1+𝑟𝑟)𝐵𝐵𝑛𝑛𝐵𝐵=1
∑ 𝐶𝐶𝐵𝐵(1+𝑟𝑟)𝐵𝐵
𝑛𝑛𝐵𝐵=1
dengan :
B/C = rasio manfaat-biaya
r = tingkat diskonto dan bunga
n = banyaknya tahun yang terlibat dalam jangka waktu ekonomi
t = tahun yang bertalian dengan kegiatan, yang ditulis dalam bentuk
0,1,2,…,n
Bt = manfaat dalam tahun
Ct =biaya dalam tahun
3 Internal Rate Return (IRR)
Tingkat hasil Intern (IRR) didefinisikan sebagai tingkat hasil investasi
yang menyamakan nilai sekarang manfaat dan biaya. Persamaan IRR ditunjukkan
dengan :
IRR= ∑ 𝐵𝐵𝐵𝐵+𝐶𝐶𝐵𝐵(1+𝑟𝑟)𝐵𝐵
𝑛𝑛𝐵𝐵=1 = 0
atau
IRR= ∑ 𝐵𝐵𝐵𝐵(1+𝑟𝑟)𝐵𝐵
𝑛𝑛𝐵𝐵=1 = ∑ 𝐶𝐶𝐵𝐵
(1+𝑟𝑟)𝐵𝐵𝑛𝑛𝐵𝐵=1
25
dengan :
IRR = nilai bersih sekarang
r = tingkat diskonto dan bunga
n = banyaknya tahun yang terlibat dlam cakrawala waktu ekonomi
t = tahun yang bertalian dengan kegiatan, yang ditulis dalam bentuk
0,1,2,…,n
Bt = manfaat dalam tahun
Ct =biaya dalam tahun
IRR adalah tingkat diskonto yang menghasilkan nilai sekarang bersih
suatu proyek sama dengan nol. Apabila IRR yang dihitung 15 persen dan biaya
dana 10 % (IRR > r) maka proyek layak dijalankan, dan sebaliknya. IRR semata-
mata menemukan nilai r yang memenuhi persyaratan nilai bersih sekarang sama
dengan nol (Dixon dan Maynard, 1991).
4 Payback Period
Payback period adalah analisa yang digunakan untuk mengetahui kapan
investasi akan kembali. Karena pengelolaan dan pemanfaatan limbah melibatkan
biaya-biaya yang cukup besar khususnya pada biaya investasi, perlu dikaji
kapankah proyek pengelolaan dan pemanfaatan limbah tersebut akan memberikan
manfaat yang dapat mentupi semua biaya investasinya. Proyek yang memilki nilai
payback period yang kecil maka akan semakin cepat pengembaliannya. Rumus
perhitungannya adalah :
PP = 𝐼𝐼𝐴𝐴𝐴𝐴
dengan :
PP = Payback Period
I = Biaya Investasi
Ab = manfaat bersih yang diperoleh setiap tahunnya.
26
5 Analisis Switching Value
Dalam melaksanakan proyek, sering terjadi hal-hal yang berada di luar
perkiraan, sehingga dapat mengancam keberlangsungan proyek. Hal-hal yang
dapat mempengaruhi jalannya suatu proyek adalah ketidak akuratan identifikasi
biaya-biaya, perkiraan yang terlalu jauh (over estimate), serta banyaknya asumsi
yang digunakan saat perencanaan proyek seperti jumlah output konstan, harga
tidak berubah, suku bunga konstan, dan lain sebagainya. Untuk mencegah
terjadinya kegagalan proyek akibat faktor-faktor tersebut, perlu menganalisis
tingkat switching value proyek. Metode yang paling sederhana dalam switching
value adalah mengganti salah satu nilai parameter dan membiarkan yang lainnya
tetap. Parameter-parameter yang diubah misalnya, kenaikan suku bunga, atau
kenaikan biaya produksi (Gittingger, 1986).
3.1.2 Cost of Effectiveness Analysis (CEA)
CEA pada dasarnya memiliki kemiripan dengan Analisis Biaya dan
Manfaat (ABM). CEA pada dasarnya digunakan untuk menilai program kesehatan,
yaitu mengevaluasi bagaimana manfaat yang diperoleh dari program klinis sesuai
dengan biaya-biayanya, sehingga dapat ditentukan pilihan program yang paling
efektif (Cantor dan Ganiats, 1999). Dalam metode ABM, manfaat dari pengolahan
dan pemanfaatan limbah diidentifikasi sehingga dapat diketahui total jumlah
manfaatnya. Manfaat yang diperolah baik secara finansial maupun non finansial
dinyatakan sebagai output. Sama halnya dengan perhitungan biaya. Biaya-biaya
dari pengolahan dan pemanfaatan limbah diidentifikasi untuk mengetahui berapa
jumlah total biaya. Dalam perhitungan dengan CEA, manfaat-manfaat yang
diperoleh akibat proyek tidak terkuantifikasi, sehingga pertimbangan dalam
pemilihan keputusan adalah total biaya terkecil dari biaya-biaya yang dikeluarkan
untuk proyek tersebut.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Dampak kerusakan sumberdaya dan lingkungan serta gangguan kesehatan
manusia yang diakibatkan oleh limbah khususnya B3 mengharuskan perlunya
penanganan limbah B3 sesuai dengan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan.
Namun pengelolaan masalah limbah masih sering diabaikan karena tingginya
27
biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengolah limbah, sementara di sisi lain
biaya-biaya tersebut dapat digunakan untuk kegiatan lain yang menghasilkan
penerimaan (opportunity cost) yang terpaksa dikorbankan jika dialokasikan untuk
pengolahan limbah. Selain itu, biaya-biaya investasi yang dikeluarkan untuk
pengolahan dan pemanfaatan limbah cukup besar sementara resiko pengembalian
di masa depan tidak pasti. Padahal jika limbah ditangani secara tepat, maka akan
menguntungkan bagi perusahaan. Alasan inilah yang mendorong bertumbuhnya
industri penanganan limbah seperti B3. Pemikiran inilah yang memulai perlunya
dilakukan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di PT. X karena perusahaan ini
bergerak sebagi pengangkut dan pengolah limbah, yang artinya ada aliran manfaat
yang diperoleh akibat pengelolaan limbah yaitu satuan rupiah yang harus
dibayarkan oleh perusahaan penghasil limbah ke PT. X untuk menangani setiap
satuan ukuran limbahnya, serta aliran biaya berupa investasi dan operasional. Atas
pertimbangan biaya-biaya yang dikeluarkan ini, perlu dilakukan analisis biaya dan
manfaat untuk mengetahui pada saat kapan perusahaan menerima pengembalian
atas biaya yang dikeluarkan. PT. X juga memanfaaatkan limbah yang diperoleh
dari limbah perusahaan lain, sehingga memberikan nilai tambah ekonomis
perusahaan. Jika memang usaha pengelolaan ini layak dikembangkan, maka
keberadaan industri ini perlu didorong agar berkembang di Indonesia sehingga
dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan B3.
Meskipun penanganan dan pemanfaatan limbah dapat memberikan
manfaat bagi perusahaan, masih banyak perusahaan yang tidak mengolah
limbahnya, sehingga membutuhkan pihak ketiga (dalam kasus ini adalah PT. X)
untuk mengolah limbahnya. Hal itu berarti ada manfaat yang seharusnya diterima
oleh perusahaan jika limbah dimanfaatkan kembali, namun menjadi hilang karena
ditangani oleh pihak ketiga. Berdasarkan pemikiran ini, perlu dilakukan penilaian-
penilaian terhadap alternatif-alternatif pengolahan dan pemanfaatan limbah,
sehingga dapat diketahui alternatif mana yang paling efektif bagi perusahaan-
perusahaan yang menghasilkan limbah. Secara grafis, alur pemikiran dalam
penelitian ditampilkan pada Lampiran 1.
28
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Metode Pemilihan Lokasi Penelitian dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di PT. X yang berlokasi di Karawang, Provinsi
Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive),
dengan dasar pertimbangan bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan
pengumpul limbah B3 yang tidak hanya mengolah limbah namun juga
memanfaatkan limbah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Selain itu
perusahaan berlokasi di tengah pusat kegiatan industri sehingga aktivitas
pengolahan limbah berlangsung secara kontinu karena sumber limbah yang
dikumpulkan berasal dari perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar kawasan
industri dimana PT. X berada. Pengambilan data dimulai pada pertengahan
Desember 2013 hingga Maret 2014.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pihak terkait
berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan, serta pengamatan langsung di
lapangan. Data sekunder diperoleh dari perusahaan seperti laporan harian dan
mingguan, tulisan-tulisan, dan literatur yang berkaitan dengan pengolahan limbah
B3, serta referensi penelitian-penelitian terdahulu yang dapat digunakan sebagai
rujukan.
4.3 Metode Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan dua cara yaitu secara
kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif diolah dan disajikan dalam bentuk table,
gambar, atau bentuk representatif lainnya, sedangkan data kualitatif dipaparkan
dalam bentuk uraian deskriptif guna mendukung data kuantitatif. Analisis
kualitatif digunakan untuk permasalahan bentuk-bentuk pengolahan dan
pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X. Penjelasan deskriptif ini meliputi bentuk-
bentuk pengolahan serta data-data yang menyangkut hasil pengolahan limbah B3,
sedangkan analisa kuantitatif digunakan untuk menjawab permasalahan pertama
yaitu perhitungan analisis biaya dan manfaat pengolahan limbah B3. Untuk
permasalahan kedua atau analisis efektifitas pemilihan keputusan dalam
29
pengelolaan limbah; apakah dengan pemanfaataan kembali oleh perusahaan
dibandingkan dengan menyerahkan ke perusahaan pengumpul dengan analisis
kualitatif yang didukung dengan analisa kuantitatif.
4.3.1 Analisis Biaya dan Manfaat Proyek Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Sebelum mengetahui biaya dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan
pengolahan dan pemanfaatan limbah B3, perlu diketahui terlebih dahulu bentuk
dan deskripsi aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan sehingga dapat diketahui
input, pemrosesan, serta outputnya. Aktivitas yang perlu diketahui adalah
transportasi/ pengangkutan limbah, bentuk-bentuk pengolahan limbah, serta
keputusan akhir atas limbah, apakah diolah, diserahkan ke pihak yang memiliki
wewenang atau dimanfaatkan kembali. Identifikasi rangkaian aktivitas ini
dilakukan dengan analisis deskriptif (kualitatif).
Setelah mengetahui rangkaian aktivitas pengolahan limbah, maka dapat
diketahui komponen-komponen input yang dibutuhkan untuk memproses limbah.
Dari komponen-komponen input yang telah diidentifikasi, selanjutnya dapat
diketahui biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan akan input ini.
Selain dari komponen input, biaya juga diperoleh dari pengeluaran atas alat
maupun media yang digunakan dalam proses pengolahan. Komponen biaya dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komponen biaya No Komponen Biaya Satuan 1 Biaya Investasi :
- Bangunan - Lahan - Alat transportasi - Alat/mesin
m2 m2 unit unit
2 Biaya Tetap : - Biaya Tenaga Kerja - Abodemen Listrik - Pajak - Cicilan Pinjaman per Periode - Biaya Maintanance
Rp/orang Rp/kwh Rp Rp/periode Rp/Periode
3 Biaya Variabel : - Bahan tambahan dalam mengolah limbah - BBM - Listrik - Air - Tenaga Kerja
Rp/unit Rp/ltr Rp/kwh Rp/kwh Rp/orang
30
Setelah mengidentifikasi biaya-biaya yang dikeluarkan, maka langkah
selanjutnya adalah mengidentifikasi manfaat. Manfaat dapat diestimasi dari
penerimaan hasil penjualan output dan penjualan jasa yang diperoleh sebagai
akibat adanya pengolahan limbah.
Adapun asumsi yang digunakan dalam analisis biaya dan manfaat adalah
sebagai berikut :
1. Tahun dasar untuk menilai proyek adalah tahun 2014 karena penelitian
dilakukan pada tahun ini, sehingga biaya dan manfaat semenjak 2010
hingga 2013 akan di-compounding, dan biaya dan manfaat 2014 hingga
tahun 2028 akan di-discounting
2. Proyek diasumsikan selama 20 tahun, karena didasarkan pada ketahanan
plant dan incinerator
3. Sumber pendanaan berasal dari bank, sehingga suku bunga yang
digunakan adalah suku bunga bank BUMN pada tahun 2014 yaitu sebesar
10,5%
4. Penerimaan dari jumlah limbah yang masuk telah dirata-ratakan
berdasarkan kapasitas alat/mesin, sehingga diasumsikan nilainya konstan
setiap tahun
5. Biaya operasional juga telah dirata-ratakan sehingga diasumsikan nilainya
konstan setiap bulan/ setiap periode
6. Jumlah hari kerja adalah 26 hari
7. Upah tenaga kerja berdasarkan Upah Minimum Kabupaten (UMK)
Karawang yaitu sebesar Rp 2 447 450/orang
Jika komponen biaya dan manfaat telah dianalisis dan dihitung, maka
dapat diketahui bagaimana kelanjutan proyek, apakah layak atau tidak untuk tetap
dilanjutkan. Penentuan kriteria kelayakan adalah sebagai berikut :
• Jika NPV > 0, maka proyek layak karena memberikan pengembalian yang
positif
• Jika Net B/C > 1, maka proyek layak karena memberikan manfaat bersih
yang lebih besar dari pada biaya
• Jika IRR > suku bunga pinjaman, maka proyek layak dilanjutkan
31
Hal yang perlu dianalisis selanjutnya adalah analisis switching value, yaitu
melihat bagaimana keberlangsungan kegiatan produksi jika terjadi perubahan-
perubahan di lingkungan perusahaan seperti jumlah limbah yang masuk.
4.3.2 Pengambilan Keputusan Alternatif-alternatif Pengolahan Limbah
Untuk mengambil keputusan pengolahan limbah maka perlu diciptakan
skenario keputusan pengolahan limbah, yaitu: apakah limbah B3 diolah dan
dimanfaatkan secara mandiri atau diserahkan ke pengumpul limbah/pihak ketiga.
Untuk melihat keputusan terbaik, maka perlu dianalisis baik manfaat maupun
biaya yang akan dihasilkan dari setiap alternatif. Hal yang perlu diperhatikan,
setiap alternatif memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, sehigga
dengan analisis ini, diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan
keputusan pengolahan limbah. Pendekatan ini dilakukan dengan metode Cost
Effectiveness Analysis (CEA).
Untuk memudahkan penyusunan alternatif, perlu dibatasi jenis-jenis
limbah dan pengolahannya terlebih dahulu. Pengelompokan limbah dan bentuk
pengolahannya yang akan diteliti adalah :
1. Pengelolaan limbah abu batu bara (fly ash, bottom ash, sand foundry)
2. Pengolahan limbah kertas (sludge IPAL)
3. Pengolahan limbah solvent
4. Pemusnahan limbah medis dengan incinerator
Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi bentuk-bentuk pengelolaan
limbah tersebut, yang digambarkan pada Tabel 3
Tabel 3 Alternatif-alternatif pengelolaan limbah B3
No Jenis Limbah Alternatif Pengelolaan A Alternatif Pengelolan B 1 Limbah abu batu bara
(fly ash ) Diserahkan ke pihak ketiga ( ke PT. X)
dimanfaatkan kembali menjadi paving block
2 Limbah sludge IPAL kertas
Diserahkan ke pihak ketiga ( ke PT. X)
dimanfaatkan menjadi low grade paper
3. Limbah solvent
Diserahkan ke pihak ketiga ( ke PT. X)
Mengelola sendiri dengan investasi alat penjernih
4. Limbah medis Diserahkan ke pihak ketiga ( ke PT. X)
Mengelola sendiri dengan investasi incinerator
32
Setelah identifikasi alternatif-alternatif pengelolaan limbah di atas, maka
perlu diidentifikasi biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap proyek
(termasuk manfaat bagi limbah-limbah yang dapat dimanfaatkan kembali). Biaya-
biaya yang diidentifikasi disusun dalam matriks sehingga dapat dipilih proyek
yang paling efektif dari segi biaya. Matriks penilaian skenario pengelolaan
limbahnya digambarkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Matriks Perbandingan Alternatif-alternatif pengelolaan Limbah B3 dengan Cost Effectiveness Analysis
No Jenis Limbah Alternatif Pengelolaan A
Alternatif Pengelolaan B Keputusan
1 Pemanfaatan limbah abu batu bara (fly ash, bottom ash, sand foundry)
Biaya 1-A Biaya 1-B
2 Pemanfaatan limbah kertas Biaya 2-A Biaya 2-B 3. Pengolahan limbah solvent Biaya 3-A Biaya 3-B 4. Pemusnahan limbah medis
dengan incinerator Biaya 4-A Biaya 4-B
Apabila matriks skenario pengelolaan keempat jenis limbah telah disusun,
maka dapat diperoleh gambaran perbandingan biaya, sehingga dapat dilakukan
pengambilan keputusan pengelolaan limbah B3. Penentuan keputusan berdasarkan
biaya efektif adalah dengan rasio biaya yang dikeluarkan terhadap satuan limbah
yang ditangani. Rasio yang terkecil akan menjadi alternatif yang paling efektif.
Perhitungan rasio berdasarkan Boardman et al (2006) adalah sebagai berikut:
𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 =𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶𝐶𝐶Ei − Ej
dengan :
- C= biaya (cost)
- E= effectiveness (number of wastes handled)
Yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bentuk pengelolaan limbah B3
tersebut adalah skenario yang ditawarkan dalam penelitian hanya berdasarkan
penilaian biaya yang paling efektif, sementara banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan pengelolaan limbah B3 tersebut. Selain itu,
setiap bentuk pengelolaan limbah memiliki kelemahan dan keunggulan masing-
masing, sehingga hasil penelitian efektivitas biaya ini hanya menjadi salah satu
alat pertimbangan dalam keputusan pengelolaan limbah B3.
33
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum PT. X
PT. X berlokasi di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. PT. X memiliki dua
unit usaha yang terpisah, yaitu pemasaran atau kantor dan unit produksi. Unit
pemasaran menyangkut urusan pemasaran produk dan jasa sera urusan
administrasi. Unit produksi sendiri terdiri dari laboratorium untuk menunjang
kontrol proses pengolahan dan analisa limbah B3 dan tiga plant yaitu batako, low
grade paper, dan pabrik untuk pemusnahan dan pengolahan limbah B3.
PT. X berdiri berlokasi di kawasan industri sehingga menguntungkan baik
bagi PT. X maupun perusahaan-perusahaan pelanggan, karena bagi PT. X hal ini
menjadi pemasukan bagi PT. X, sedangkan bagi perusahaan-perusahaan
pelanggan, hal ini menghemat biaya transportasi karena dekat dengan PT. X. Unit
produksi tidak terlalu dekat dengan pemukiman penduduk, sehingga tidak
mengganggu masyarakat (akibat bau dan kebisingan pengolahan limbah).
PT. X adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengangkutan,
pengolahan, pemanfaatan, dan pemusnahan limbah, khususnya limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3). PT. X berdiri sejak tahun 2008, dan telah memiliki
ijin resmi dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk beroperasi,
termasuk pengangkutan, pengolahan dan pemanfaatan B3. PT. X berdiri untuk
membantu kalangan industri dan pemerintah dalam upaya mengelola lingkungan
yang lebih baik. Jasa yang disediakan meliputi :
1. Pengangkutan limbah B3.
2. Penyimpanan dan pengumpulan limbah B3.
3. Pemanfaatan limbah B3 padat.
4. Pengolahan limbah B3 cair.
5. Pengolahan limbah B3 cair dengan sistem distilasi.
6. Pemusnahan produk offspec atau kadaluarsa.
7. Pemusnahan limbah dengan sitem incinerator.
8. Pembersihan dan pengurasan IPAL dan tangki.
34
Pada awalnya, PT. X hanya bergerak di bidang jasa pengangkutan limbah.
Kemudian setelah mendapat ijin resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup pada
tahun 2011, PT. X telah mengolah dan memanfaatkan limbah dari perusahaan-
perusahaan pelanggan baik dari sekitar perusahaan di dalam provinsi maupun luar
provinsi. Selanjutnya pada tahun 2012, Kementerian Lingkungan Hidup telah
mengijinkan PT. X untuk mengoperasikan incinerator tipe reciprocating grate
state incinerator untuk menghancurkan/ membakar limbah-limbah B3. Limbah
yang diolah terdiri dari waste waster treatment sludge, paper sludge, paint sludge,
silica sludge, resin, spin earth, thinner bekas, grease, polimer bekas, minyak
kotor, oil sludge, oli bekas, coolant, slope oil, oil filter, buffing dust, scrap/
timming shaving, carbon active, saw dust terkontaminasi B3, majun yang
terkontaminasi B3, tinta bekas, limbah medis, contaminated material, solvent,
drilling mud, limbah karbit, dye waste, larutan bekas pickling, larutan bekas
elektroplating, limbah B3 cair dari laboratorium, contaminated liquid waste, dan
larutan asam/ alkali bekas. Sedangkan limbah yang dimanfaatkan meliputi fly
ash/bottom ash, casting/foundry, sludge dan limbah batako karbit menjadi paving
block/ batako, dan sludge IPAL industri kertas untuk bahan baku low grade paper.
Sedangkan limbah-limbah solvent diolah dengan sistem distilasi sampai jernih
untuk dimanfaatkan kembali.
Hingga saat ini, usaha PT. X berkembang hingga menerima layanan jasa
pengangkutan dan pengolahan limbah dari berbagai daerah hingga luar pulau jawa.
Dengan lebih dari 200 armada pengangkutan yang mendukung operasi usaha ini,
PT. X juga memperluas usahanya ke bidang jasa logistic dan ekspedisi.
5.2 Visi Misi PT. X
PT. X berdiri untuk membantu kalangan industri dan pemerintah dalam
upaya mengelola lingkungan yang lebih baik, khususnya di bidang pengolahan
limbah B3. PT. X berharap dapat memberikan sumbangsih yang terbaik buat
bangsa dan Negara Indonesia.Adapun visi dan misi PT. X adalah:
• Membuka lapangan pekerjaan dengan sistem padat karya.
• Memberikan bantuan untuk anak yatim dan memberikan beasiswa untuk
anak yang kurang mampu.
35
• Mensukseskan program pemerintah yang melalui Kementerian
Lingkungan Hidup yaitu 3R (Reuse, Reduce dan Recycle)
5.3 Keragaan Pengelolaan Limbah B3 di PT. X
PT. X adalah perusahaan yang bergerak khusus di bidang pengolahan dan
pemanfaaatan limbah B3, sehingga penerimaan perusahaan hanya dari jasa
pengangkutan dan pengolahan limbah B3, serta penjualan produk dari
pemanfaatan limbah B3 yakni paving block dan low grade paper. Untuk
membatasi penelitian, bentuk pengolahan limbah yang diteliti adalah pengolahan
limbah dengan incinerator, pengolahan limbah solvent untuk dimanfaatkan
kembali, pemanfaatan limbah menjadi paving block, dan pemanfaatan sludge
limbah kertas menjadi low grade paper.
5.3.1 Pengolahan Limbah dengan Incinerator
Incinerator adalah alat yang digunakan untuk membakar limbah-limbah
seperti limbah B3 padat maupun cair, termasuk limbah medis/rumah sakit,
rejected product material, maupun barang kadaluarsa. Limbah-limbah yang telah
diangkut dicampur dengan memperhatikan sifat dan karakteristik limbah,
sehingga tidak menimbulkan sifat kimia maupun sifat fisika yang berbahaya.
Berbeda dengan limbah medis/klinis, tidak boleh dicampur dengan limbah B3
lainnya. Setelah pencampuran, limbah diumpan ke incinerator melalui chamber
(ruang bakar) pertama melalui pintu feeding double gate. Pengumpulan limbah
awal ke ruang bakar setelah pproses pemanasan incinerator pada ruang bakar
pertama mencapai temeratu paling rendah 700°C, dan pada ruang bakar kedua
maksimal 1.100°C. Selama pengoperasian incinerator, pengendali pencemaran
harus diaktifkan yakni penyaring, sehingga asap hasil pembakaran yang dilepas ke
udara tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun. Setelah proses
pembakaran, sisa abu bakar atau residu pembakaran disimpan (dalam waktu
kurang dari 24 jam, lalu diserahkan ke perusahaan yang telah mendapat izin untuk
menangani abu hasil pembakaran. Adapun jenis limbah yang dibakar dengan
incinerator oleh PT. X dijelaskan pada Tabel 5.
36
Tabel 5 Jenis-jenis limbah yang diolah oleh PT. X
No. Jenis Limbah Karakteristik Umum Keterangan
1. WWT Sludge Toksik atau non toksik
Penimbunan abu sisa pembakaran, sebagai bahan bakar alternatif
2. Paper Sludge Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran, sebagai bahan bakar alternatif
3. Paint Sludge Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran, sebagai bahan bakar alternatif
4. Silica Gel Iritasi Penimbunan abu sisa pembakaran 5. Resin Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran 6. Spent Earth Toksik atau
non toksik Penimbunan abu sisa pembakaran
7. Thinner bekas Mudah terbakar
Sebagai bahan bakar alternatif
8. Grease Toksik 9. Polymer bekas Toksik Tidak boleh mengandung korin
(contoh PVC) 10. Minyak kotor Toksik Sebagai bahan bakar alternatif 11. Oil sludge Toksik Sebagai bahan bakar alternatif 12. Oli bekas Toksik Sebagai bahan bakar alternatif 13. Coolant Iritasi 14. Slope Oil Toksik Sebagai bahan bakar alternatif 15. Oil Filter Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran 16. Buffing Dust Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran 17. Scrap/Trimming shaving Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran 18. Carbon active Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran 19. Saw dust terkontaminasi B3 Toksik Sebagai bahan bakar alternatif 20. Majun terkontaminasi B3 Toksik 21. Tinta bekas Toksik 22. Kemasan bekas Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran 23. Limbah Medis Penyebab
infeksi Penimbunan abu sisa pembakaran
24. Contaminated material Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran 25. Solvent Mudah
terbakar, toksik
Sebagai bahan bakar alternatif
26. Drilling Mud Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran Sumber : PT. X (2014)
5.3.2 Pengolahan Limbah Solvent untuk Dimanfaatkan Kembali
Solvent pada umumnya digunakan sebagai bahan pelarut. Limbah solvent
pada umumnya berasal dari kegiatan percetakan. Limbah ini dapat digunakan
kembali setelah melalui proses penjernihan. PT. X menyediakan mesin penjernih
solvent di pabrik, yaitu solvent recovery machine (ETA-RS 10, kapasitas 25
L/jam). Suhu destilasi diatur sesuai titik uap solvent yaitu ±710C. Setelah solvent
dijernihkan, maka solvent ditampung pada wadah penampung seperti jerigen.
37
Jika para pelanggan hendak mengolah solvent, maka solvent harus di
bawa ke pabrik dan kemudian diolah sendiri oleh pelanggan tetapi didampingi
oleh pengawas. Jadi PT. X hanya memperoleh penerimaan dari penyewaan alat.
Sisa hasil penjernihan solvent kemudian ditampung dalam drum untuk diserahkan
ke pihak ketiga yang telah memiliki izin.
5.3.3 Pemanfaatan Limbah Menjadi Paving Block
Batu bara adalah salah satu bahan bakar yang banyak digunakan oleh
industri saat ini, terutama setelah kenaikan bahan bakar minyak di Indonesia.
Peningkatan penggunaan batu bara ini berakibat pada peningkatan limbah batu
bara yang berupa fly ash/ bottom ash dan sands foundry. Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH) dalam Safitri dan Djumari 2009 menyebutkan bahwa dari
pembakaran satu ton batu bara akan menghasilkan 15-17% abu batu bara (fly ash).
Semakin banyak limbah yang dihasilkan, maka akan semakin banyak lahan yang
dibutuhkan untuk penampungan sementara. Hal ini berimplikasi perlunya
penanganan pada limbah batu bara, yang salah satunya adalah pilihan
pemanfaatan limbah menjadi bahan baku pembuatan paving block.
Penggunaan limbah batu bara sebagai bahan baku pembuatan
batako/paving block telah diteliti dan dikembangkan belakangan ini. Penelitian
mengenai pengaruh komposisi fly ash terhadap daya kuat tekan paving block di
tunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Hubungan antara penambahan fly ash terhadap kuat tekan paving block (Safitri dan Djumari, 2009)
38
Penelitian oleh Safitri dan Djumari (2009) mengenai penambahan fly ash
sebanyak 10%, 20%, 30% akan meningkatkan kuat tekan paving block, dan mulai
menurun pada tingkat 40%, 50%, hingga 60%. PT. X memanfaatkan limbah-
limbah hasil pembakaran dengan batu bara seprti fly ash/ bottom ash dan sands
foundry untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan batu bara. Untuk PT. X
sendiri, penggunaan fly ash/bottom ash dalam komposisi paving block sebanyak
35%, dan sisanya terdiri dari altras, semen, sand foundry, dan limbah karbit, yang
ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Komposisi penggunaan limbah untuk paving block
No Bahan Komposisi 1 Altras 25% 2 Semen 5% 3 Fly ash/bottom ash 35% 4 Sand foundry 15% 5 Limbah Karbit 20%
Sumber : PT. X (2014)
Bahan-bahan diatas dicampur dengan air dalam mesin mixer, dan setelah
merata, selanjutnya dicetak dengan mesin press menjadi paving block.
Pemanfaatan limbah menjadi paving block ini menjadikan penerimaan ganda bagi
perusahaan, yaitu bayaran atas penanganan limbah batu bara dari pelanggan, serta
penjualan produk batako yang pada umumnya dijual pada pada pengembang.
5.3.4 Pemanfaatan Limbah Menjadi Low Grade Paper
Dalam pengolahan kertas, dihasilkan limbah hasil produksi yang
tercampur dengan senyawa kimia sehingga tidak dapat dilepas begitu saja ke
lingkungan. Limbah cair hasil dari pengolahan kertas dan pulp ini harus disaring
agar airnya dapat dibuang ataupun digunakan kembali, sedangkan endapan hasil
penyaringan yang berupa sludge dipisahkan dari larutannya. Perlakuan pada
sludge ini pada umumnya adalah dengan dibuang pada landfill atau dibakar
dengan incinerator. Limbah sludge juga sudah diteliti agar dapat dimanfaatkan.
Pemanfaatan sludge dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk kompos karena
mengandung unsur hara makro dan mikro, sebagai media tanam, atau sebagai
bahan baku pembuatan kertas dengan kualitas rendah. Pemanfaatan sludge untuk
pembuatan kertas dengan kualitas rendah (low grade paper) ini lah yang
39
dilakukan oleh PT. X untuk dengan campuran scrap shaving dan trimming
shaving (bubuk kulit) serta karbit untuk diolah menjadi low grade paper.
Komposisi bahan baku untuk pembuatan low grade paper ditunjukkan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Komposisi bahan baku untuk pembuatan low grade paper No. Bahan Baku Komposisi Karakteristik Umum 1 Paper sludge dan kemasan
(kertas/karton) bekas 70% +5% sludge dari pabrik
kertas 2 Scrap shaving dan trimming
shaving 2.5% + 2.5% Beberapa bubuk kulit
3 Karbit 20% Dalam bentuk lumpur karbit
Sumber : PT.X (2014)
Bahan-bahan tersebut dicampur terlebih dahulu dan diaduk (mixing)
sampai berbentuk bubur kertas. Bubur kertas kemudian dipompa ke dalam mesin
pencetak kertas, dan setelah lembaran kertas terbentuk, kertas dipotong-potong
dengan ukuran tertentu, dikeringkan dan dipress, dan siap untuk dijual. Low grade
paper biasanya dijual untuk pabrik sepatu untuk digunakan sebagai sol.
40
VI. KELAYAKAN PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH B3 PT. X
Pelaksanaan proyek tidak hanya menyangkut biaya-biaya, tapi juga aspek-
aspek lain yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang
diperoleh dari penanaman investasi. Seluruh aspek-aspek ini saling berhubungan.
Penilaian kelayakan usaha pengolahan dan pemanfaataan limbah B3 dilakukan
dengan penilaian-penilaian pada aspek pasar, teknis, hukum, sosial-lingkungan,
dan aspek finansial (melalui analisis biaya dan manfaat).
6.1 Aspek Pasar
Dari sudut pandang output, analisa pasar untuk hasil proyek adalah sangat
penting untuk meyakinkan bahwa terdapat suatu permintaan yang efektif pada
suatu harga yang menguntungkan, termasuk kemana produk akan dipasarkan, dan
tingkat harga dan pengaruhnya (Gittingger, 1986). Untuk penilaian aspek pasar
pengelolaan limbah B3 oleh PT.X ini dibagi menjadi dua yakni jasa pengelolaan
limbah dan pemasaran produk hasil pemanfaatan B3.
6.1.1 Jasa Pengelolaan Limbah
Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan
industri di Indonesia menyebabkan meningkatnya jumlah limbah yang dihasilkan.
Limbah-limbah industri pada umumnya merupakan limbah yang berbahaya dan
beracun sehingga harus dikelola sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Selain itu, pengawasan dari pemerintah yang semakin ketat terhadap aktivitas
industri—seperti misalnya PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup)—mengakibatkan
meningkatnya upaya kesadaran masyarakat industri dalam pengelolaan
lingkungan khususnya mengenai limbah. Masalah pengelolaan limbah juga
terkendala pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam pengelolaan limbah
maupun kemampuan teknis sumberdaya manusia, sehingga penanganan B3 ini
menjadi sering ditunda sehingga menyebabkan masalah-masalah pencemaran dan
kerusakan lingkungan, serta kerugian pada masyarakat sekitar pelaku usaha.
41
Faktor-faktor yang telah dibahas di atas mendorong bertumbuhnya
industri dengan basis jasa pengelolaan limbah. Selain untuk membantu
pemerintah dan pelaku usaha untuk menjaga kelestarian lingkungan, jasa
pengelolaan limbah ini juga menjadi bisnis yang berpeluang besar untuk
dijalankan. Kehadiran industri dengan jasa khusus pengelolaan limbah B3 ini
pertama kali ditandai dengan lahirnya PT.PPLI (Prasadha Pamunah Limbah
Indonesia) pada 1993, yang kini mengubah pandangan bahwa limbah yang
tadinya dianggap tidak berguna justru menjadi prospek bisnis yang menjanjikan. 8
8 Kementerian Lingkungan Hidup. 2007.Hanya Limbah..?? Bulletin Pengelolaan B3 dan Limbah B3 Edisi III/IV/2007. Diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan hidup
6.1.1.1 Struktur Pasar Jasa Pengelolaan Limbah B3
Permintaan untuk jasa pengelolaan limbah ini sangat besar mengingat
masih banyak perusahaan yang belum mampu mengelola limbahnya sendiri.
Permintaan akan jasa ini juga akan meningkat seiring dengan peningkatan
aktivitas industri di tahun-tahun mendatang. Selama aktivitas industri masih
berlangsung, maka produksi limbah B3 pun tidak akan pernah berhenti sehingga
permintaan untuk jasa ini akan tetap ada dan bahkan akan mengalami peningkatan
jika memang pertumbuhan industri didorong sebagai respon dari Master Plan
Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3I). Dan jika pengawasan
pemerintah terhadap aktivitas industri semakin ditingkatkan, maka usaha ini
secara tidak langsung akan semakin menguntungkan.
Sementara untuk sisi supply, jumlah industri pengelola limbah B3 masih
sedikit dan terpusat hanya di beberapa daerah di Indonesia. Jika dilihat dari
struktur pasarnya, maka industri pengelolaan jasa B3 ini tergolong dalam pasar
monopolistik. Ciri-ciri struktur pasar monopolistik adalah produk yang dijual
bersifat unik/terdiferensiasi (Nicholson, 2002). Jasa pengelolaan limbah B3 ini
bersifat unik karena yang ditawarkan adalah hanya jasa pengelolaan B3 yang
berbeda dengan yang ditawarkan perusahaaan pengelola B3 lainnya. Selain itu,
jasa pelayanan bergantung pada jenis limbah B3 nya. Hal ini memungkinkan
perusahaan untuk menetapkan harga (price maker), yang memungkinkan
perusahaan memperoleh keuntungan dari aktivitas usaha pengelolaan B3 ini.
42
Kondisi supply/struktur pasar industri seperti ini menjadikan besarnya
peluang dikembangkannya usaha ini, terlebih karena permintaan datang dari
seluruh penjuru Indonesia bahkan dari luar negeri (hanya saja tidak diperbolehkan
sesuai UU No.32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup). Peluang-peluang inilah yang dilihat dan dimanfaatkan oleh PT. X untuk
bergerak dalam bidang pengelolaan limbah B3.
6.1.1.2 Penetapan Harga Jasa Pengelolaan Limbah B3
Karena sifat produk (jasa) yang ditawarkan oleh industri pengelolaan B3
ini bersifat unik dan jumlah pemainnya sedikit, maka harga yang harus dibayar
oleh pelanggan untuk penanganan B3 ini dapat ditentukan sendiri oleh produsen
agar dapat memperoleh keuntungan yang diharapkan. Karakteristik B3 yang
sifatnya tidak dapat ditunda penanganannya mencirikan sifat permintaan nya yang
inelastis (nilai elastisitas kurang dari 1). Sifat barang yang inelastis adalah ketika
terjadi perubahan harga produk, maka kuantitas permintaannya akan berubah
tidak sebanyak perubahan harga. (Mankiw, 2001). Dengan demikian, meskipun
produsen mengambil keputusan untuk menetapkan/mengubah harga jasa
pengelolaan B3 ini, namun permintaannya tidak sebanyak perubahan harga. Hal
ini menjadi keuntungan bagi perusahaan, karena dengan demikian, pengelola
dapat menetapka harga yang diharapkan mampu memberikan keuntungan.
Adapun harga yang ditetapkan untuk penyimpanan limbah fly ash adalah
Rp.200/kg, limbah sludge IPAL kertas sebesar Rp. 600/kg, limbah solvent sebesar
1500/kg, dan limbah yang akan dimusnahkan dengan incinerator sebesar Rp. 1700
untuk setiap kilogram limbah padat dan Rp. 1500 untuk setiap kilogram limbah
cair.
Ada beberapa hal yang turut mendorong berkembangnya usaha PT. X ini.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jumlah industri pengelolaah limbah B3
di Indonesia masih sedikit. Semenjak dikeluarkannya izin resmi oleh Kementerian
Lingkungan Hidup, permintaan pada jasa PT. X meningkat dari tahun ke tahun,
karena izin yang dikeluarkan akan meningkatkan kepercayaan pelanggan untuk
memastikan limbah B3 yang diserahkan ke PT. X ditangani dengan baik. Faktor
lokasi juga mendukung berjalannya aktivitas ini. Keberadaannya di Kabupaten
Karawang yang merupakan salah satu sentra industri di Indonesia menjadikan
43
permintaan yang cukup besar dan akses yang lebih gampang (meskipun
permintaannya tak hanya dari dalam kabupaten tetapi juga bahkan dari luar pulau).
Jasa yang ditawarkan oleh PT. X pun tak hanya untuk mengolah, tetapi juga
mengangkut dan memanfaatkan limbah, sehingga pelanggan dapat memilih
bentuk penanganan yang sesuai untuk jenis dan karakteristik limbah, ditambah
fasilitas pengangkutan jika pelanggan terkendala pada alat transportasi. Jika
bisnis ini dikembangkan dengan skala yang lebih besar maka akan
menguntungkan pebisnis. Berdasarkan aspek pasar, jasa pengelolaan limbah B3
ini layak untuk dijalankan.
6.1.2 Penjualan Poduk Hasil Pemanfaatan Limbah
Selain menyediakan jasa pengolahan limbah B3, PT. X juga memanfaatan
limbah untuk menghasilkan produk yaitu paving block dan low grade paper.
paving block pada umumnya dijual kepada pengembang dengan harga distributor,
yaitu Rp 1500/pcs. Peluang pasar paving block cukup besar karena pembangunan
di sektor properti di Indonesia khususnya di kota-kota besar cenderung meningkat.
Berdasarkan keterangan dari PT. X, setiap hari PT. X mencetak sekitar 3000 pcs
untuk setiap mesin dalam memenuhi permintaan, dan hasil yang diperoleh hanya
dalam waktu 3 tahun dapat digunakan untuk investasi alat transportasi yang
semakin memudahkan proses pemasaran. Pemasaran yang dilakukan oleh PT. X
adalah dengan pemasangan iklan baik dengan promosi ke pelanggan jasa
pengelolaan limbah dan pengembang maupun secara online. Izin resmi yang
dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup atas pemanfaatan limbah untuk
menjadi paving block ini juga meningkatkan permintaan dan kepercayaan pada
kualitas produk meskipun berbahan dasar limbah. Penjualan low grade paper
juga merupakan andalan PT. X, karena permintaan low grade paper ini cukup
tinggi khususnya oleh industri-industri pembuatan sepatu. Produksi low grade
paper mencapai 6 ton kertas per hari per mesin dengan harga sebesar Rp 1000/kg.
Untuk pemasaran, PT. X juga melakukan hal yang sama dengan pemasaran
paving block.
Penjualan produk baik low grade paper maupun paving block selain
didukung oleh harga yang relatif murah dan promosi pemasaran, juga didukung
oleh lokasi perusahaan yang strategis dan kemudahan akses. Selain itu, PT. X juga
44
menyediakan jasa pengangkutan produk jika pelanggan menginginkannya,
sehingga mendorong penjualan produk. Berdasarkan aspek pasar yang meliputi
harga produk dan permintaan pasar, penjualan produk low grade paper maupun
paving block layak untuk dijalankan.
6.2 Aspek Teknis
Aspek teknis berhubungan dengan input-output proyek; bagaimana secara
teknis mengubah input-input menjadi output, sehingga dapat diidentifikasi
alat/fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan. Selain itu,
pertimbangan/penilaian lokasi dimana proyek akan didirikan juga menjadi penting,
karena lokasi mempengaruhi akses, baik akses terhadap penyediaan input maupun
pemasaran output.
6.2.1 Lokasi Usaha
Lokasi usaha PT. X dibagi menjadi dua yaitu unit pemasaran (kantor) dan
unit produksi (plant). Kantor terletak cukup dekat dengan kota Karawang
sehingga dapat dijangkau dengan mudah dan memudahkan kegiatan pemasaran.
Kantor yang digunakan untuk pemasaran adalah bangunan yang disewa setiap
tahunnya. Plant sendiri berlokasi cukup jauh dari kantor, karena plant merupakan
pusat kegiatan pengolahan dan pemanfaatan limbah, sehingga diusahakan sejauh
mungkin dengan aktivitas masyarakat.
Plant merupakan gabungan dari tiga bagian produksi yang terpisah, yaitu
untuk pengolahan limbah (incinerator dan penjernihan solvent), batako 1
(pemanfaatan abu batu bara sebagai bahan baku pembuatan paving block) dan
batako 2 (pemanfaatan sludge sebagai bahan baku low grade paper), Berdasarkan
tinjauan ke lapangan, plant telah memenuhi syarat untuk menyimpan bahan
berbahaya dan beracun sesuai panduan penyimpanan B3 yang diterbitkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup. Meskipun jauh dari lingkungan masyarakat,
akses ke plant cukup mudah dan lancar sehingga mempermudah aktivitas
pengangkutan limbah ke PT. X, pembelian produk, maupun jika sewaktu-waktu
terjadi keadaan darurat. Plant berada di tepi jalan dan sungai, dan untuk
melindungi plant dari luapan air sungai, didirikan tembok yang mengelilingi plant
yang juga berfungsi untuk menghindari kontaminasi B3 yang disimpan di dalam
45
dengan lingkungan sekitatr ketika terjadi banjir atau kebakaran. Tempat
penyimpanan B3 berada pada lahan bebas, atau tidak ada bangunan lain yang
berada di sekitar plant sehingga tidak menyebabkan efek domino jika terjadi
kebakaran, gempa, ataupun longsor. Tempat B3 berada di bagian terluar dari
keseluruhan plant sehingga akses untuk menjangkau bagian ini tidak sulit.
Pembangunan plant juga mempertimbangkan faktor pencahayaan dan aliran udara
di dalam plant. Pada umumnya, keseluruhan plant memiliki atap yang melindungi
dari hujan, tetapi untuk pencahayaan, bagian pengelolaan limbah memiliki celah
pencahayaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan Batako 1 dan Batako 2,
karena bagian ini merupakan tempat penyimpanan limbah B3 baik yang cair
maupun padat. Batako 1 memiliki aliran udara dan cahaya yang cukup luas,
karena fly ash yang masuk ke Batako 1 pada umumnya bersifat panas karena
merupakan sisa dari pembakaran. Faktor-faktor lain yang juga turut diperhatikan
dalam pembangunan plant adalah pintu darurat (terbuat dari baja), lantai yang
kedap air (kecuali Batako 1 tidak memiliki lantai), perlindungan petir, kelistrikan,
rambu dan penandaan, serta sistem kesiagaan dan tanggap darurat. Untuk ukuran
plant, dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Investasi lahan PT. X
No. Bahan Baku yang Disimpan Kapasitas/Luas 1 Sludge kertas untuk mesin kertas (Batako 2) 620 m2 2 Fly Ash/ Bottom ash/ Sands Foundry untuk
pembuatan Paving block (Batako 1) 472 m2
3 Oil sludge (pengelolaan) 828 m2 4. Limbah B3 campuran (pengelolaan) 360 m2 5. Limbah B3 beracun (pengelolaan) 217 m2 6. Limbah B3 cair (pengelolaan) 474 m3 7. Limbah B3 cair untuk Waste Waster Treatment
(pengelolaan) 288 m2
Sumber : PT. X (2014)
6.2.2 Pengolahan Limbah B3
Bentuk pengolahan limbah B3 yang disediakan oleh PT. X sebenarnya ada
tiga, yakni pemusnahan limbah dengan incinerator, pengolahan limbah B3 cair
dengan WWTP (IPAL), dan pengolahan limbah B3 cair dengan cara destilasi
(pengolahan limbah solvent), namun yang menjadi ruang lingkup penelitian ini
adalah pengolahan limbah dengan cara incinerator dan destilasi.
46
Penggunaan incinerator untuk memusnahkan berbagai macam limbah B3
mengikuti kaidah yang telah ditetapkan. Pada umumnya, jenis limbah yang
dimusnahkan adalah waste waster treatment sludge, paper sludge, paint sludge,
silica sludge, resin, spin earth, thinner bekas, grease, polimer bekas, minyak
kotor, oil sludge, oli bekas, coolant, slope oil, oil filter, buffing dust, scrap/
timming shaving, carbon active, saw dust terkontaminasi B3, majun yang
terkontaminasi B3, tinta bekas, limbah medis, contaminated material, solvent,
drilling mud, limbah karbit, dye waste, larutan bekas pickling, larutan bekas
elektroplating, limbah B3 cair dari laboratorium, contaminated liquid waste, dan
larutan asam/ alkali bekas. Limbah-limbah ini dipisah berdasarkan
karakteristiknya yakni berdasarkan sifat dan karakteristik limbah, sehingga tidak
menimbulkan sifat kimia maupun sifat fisika yang berbahaya, tetapi limbah-
limbah yang dapat dicampur proses pembakarannya seperti kemasan produk,
produk yang telah kadaluarsa, atau produk gagal (rejected product), dapat dibakar
bersam-sama. Sedangkan untuk limbah medis/klinis tidak boleh dicampur dengan
limbah B3 lainnya.
Setelah limbah-limbah dipisahkan, limbah-limbah tersebut kemudian di
masukkan ke dalam incinerator melalui chamber (ruang bakar) pertama melalui
pintu feeding double gate. Pengumpulan limbah awal ke ruang bakar setelah
pproses pemanasan incinerator pada ruang bakar pertama mencapai temperatur
paling rendah 700°C, dan pada ruang bakar kedua maksimal 1.100°C. Selama
proses pembakaran, pengendali pencemaran harus diaktifkan, sehingga asap dari
sisa pembakaran adalah asap yang dapat dilepas ke udara. Dan karena tidak ada
sistem yang 100% efisien, maka proses pembakaran ini pun menghasilkan sisaan
berupa abu, yang harus ditangani secara khusus karena karakteristiknya yang
berbahaya. Abu sisa pembakaran ini disimpan pada wadah sebelum akhirnya di
serahkan ke pihak ke tiga yang memiliki kapasitas dalam penanganan abu ini
dalam waktu tidak lebih dari 24 jam.
Solvent adalah larutan yang digunakan sebagai pelarut, yang umumnya
digunakan untuk tinta (dalam industri percetakan). Karena solvent dapat
digunakan berkali-kali maka solvent dapat di-recycle dengan sistem destilasi,
sehingga diperoleh solvent yang jernih dan dapat digunakan kembali. Untuk me-
47
recycle sovent dibutuhkan alat yang disebut dengan mesin penjernih solvent.
Ketika perusahaan pelanggan ingin mengolah solvent, tenaga kerjanya haruslah
dari perusahaan pelanggan sendiri, sehingga PT. X hanya menyediakan tenaga
pengawas saja. Solvent yang sudah selesai dijernihkan dimasukkan ke dalam
jerigen/wadah yang juga disediakan oleh pelanggan sendiri, sedangkan abu sisa
penjernihan yang telah dipisahkan diperlakukan sama seperti abu sisa pembakaran,
yakni diserahkan ke pihak ketiga.
Untuk mendukung kegiatan pengolahan limbah-limbah tersebut, alat-alat
yang dibutuhkan dijelaskan pada Tabel 9.
Tabel 9 Investasi Pengolahan Limbah B3 PT. X
No. Nama/Tipe Spesifikasi Umur Teknis Jumlah 1 Incinerator Reciprocating Grate State
Incinerator kapasitas limbah padat 300 kg/jam dan limbah cair 100 liter/jam
10 tahun 1 unit
2 Mesin Penjernih Solvent
solvent recovery machine (ETA-RS 10, kapasitas 25L/jam)
8 tahun 1 unit
Sumber : PT. X (2014)
6.2.3 Pemanfaatan B3
Limbah yang diterima oleh PT. X dapat dimanfaatkan menjadi produk,
sehingga menjadi nilai tambah bagi perusahaan. Limbah-limbah hasil pembakaran
dengan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar berupa fly ash, bottom ash,
dan sands foundry dimanfaatkan oleh PT. X menjadi paving block. Saat limbah ini
diterima dari perusahaan pelanggan, limbah ditempatkan pada sejumlah luas
ruang lahan secara terpisah. Kemudian limbah-limbah tersebut dicampur dengan
menggunakan mesin pengaduk (mixer) bersama-sama dengan altras dan semen.
Setelah pencampuran, adonan kemudian dimasukkan ke dalam mesin cetak batako
(mesin press) yang memiliki kapasitas pencetakan 3000-4000 pcs setiap produksi
nya. Setelah paving block dicetak, paving block kemudian dijemur di bawah sinar
matahari, dan jika sudah kering paving block siap dipasarkan. Jika ternyata ada
paving block yang rusak atau gagal dalam proses pembuatannya, paving block
dihancurkan dengan crusher agar dapat digunakan kembali sebagai bahan
campuran baru.
48
Untuk mengawasi proses produksi ini, dibutuhkan dua orang mekanik
yang bertugas untuk mengawas dan mengambil keputusan-keputusan produksi,
sedangkan untuk pengerjaan paving block dibutuhkan tiga sampai empat orang
tenaga kerja yang dibayar dengan sistem borongan. Untuk mendukung proses
pemanfaatan limbah menjadi paving block, PT. X juga mengeluarkan biaya-biaya
investasi untuk pembelian peralatan seperti pada Tabel 10.
Tabel 10 Investasi alat pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving block PT. X
No. Nama/Tipe Umur Teknis Jumlah 1 Mesin press batako 5 tahun 5 unit 2 Crusher 5 tahun 1 unit 3 Mixer 5 tahun 1 unit
Sumber PT. X (2014)
Pemanfaatan limbah sludge menjadi low grade paper dijelaskan sebagai
berikut Limbah-limbah yang dibutuhkan untuk pembuatan low grade paper ini
disimpan pada sejumlah ruang setelah limbah diangkuat dari perusahaan-
perusahaan pelanggan. Kemudian limbah-limbah tersebut seperti sludge, scrap
shaving, trimming shaving, dan karbit dicampur pada bak-bak pencampuran atau
yang disebut dengan kempu sampai berbentuk bubur kertas dan diaduk dengan
mesin pembuburan. Bubur kertas kemudian dipompa ke dalam mesin pencetak
kertas, dan setelah lembaran kertas terbentuk, kertas dipotong-potong dengan
ukuran tertentu, dikeringkan dan dipress, dan siap untuk dijual. Low grade paper
biasanya dijual untuk pabrik sepatu untuk digunakan sebagai sol. Peralatan yang
dibutuhkan untuk pembuatan low grade paper dijelaskan pada Tabel 11.
Tabel 11 Investasi alat pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper PT.X
No. Nama/Tipe Umur Teknis (tahun)
Jumlah (unit)
1 Bak Pembuburan (kempu) 1 4 2 Mesin cetak kertas 8 14
Sumber: PT. X (2014)
49
6.3 Aspek Hukum
Penilaian kelayakan aktivitas pengangkutan, pengolahan, dan pemanfaatan
limbah B3 perlu dinilai dari aspek hukum, karena hal ini bukanlah bidang yang
mudah untuk dijalankan terutama karena karakteristiknya. Aktivitas perlakuan
pada limbah harus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar tidak
merugikan baik masyarakat luar, lingkungan, atau bahkan perusahaan itu
tersendiri. PT. X tidak dapat beroperasi jika tidak mendapat ijin resmi dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan untuk mendapatkan ijin, maka segala
aktivitas yang dilakukan harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Perizinan untuk kegiatan pengolahan dan pemanfaaatan B3 dijelaskan pada
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.18 Tahun 2009 tentang Tata
Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Untuk
pembangunan gedung/bangunan tempat penyimpanan bahan berbahaya dan
beracun di PT. X sejalan dengan yang diatur dalam UU No.28 tahun 2002 tentang
bangunan gedung seperti jarak plant yang sejauh mungkin dengan aktivitas
manusia, berada pada daerah bebas banjir sehingga mencegah terjadinya
bercampurnya B3 dengan air dan terbawa keluar lingkungan. PT. X memang
dekat dengan badan air tetapi memiliki perlindungan yang memadai. Selain itu,
PT. X juga memenuhi syarat akses yang dapat dijangkau dengan mudah jika
terjadi keadaan darurat seperti kemudahan pemadaman kebakaran, ambulans, atau
keadaan tanggap darurat. Untuk pengangkutan limbah, telah ditetapkan bahwa
limbah B3 hanya dapat diangkut oleh badan yang telah disetujui oleh Kementerian
Perhubungan yang direkomendasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup
sehingga PT. X telah memenuhi persyaratan tersebut.
Untuk kegiatan pengolahan limbah B3, sebelum diangkut limbah harus
dipisahkan untuk mencegah reaksi yang kemungkinan terjadi jika bercampur
tanpa memperhatikan sifatnya. Pemisahan limbah berdasarkan karakteristiknya,
pewadahan, pemberian label pada kemasan seperti yang diatur dalam Keputusan
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-05/BAPEDAL/09/1995
tentang Simbol dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun, yang juga mencakup
pencataan segala limbah yang masuk dan keluar dari PT. X pada dokumen neraca
limbah.
50
Pengoperasian alat yang digunakan baik untuk mengolah seperti
incinerator dan penjernih solvent juga diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Untuk pengolahan limbah dengan menggunakan incinerator, maka hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah spesifikasinya yang sesuai dengan karakteristik dan
jumlah limbah yang diolah, memenuhi efisisensi minimal 99,99%, memenuhi
standar efisiensi udara, dan residu wajib dikelola sesuai ketentuan. Untuk
pemanfaatan limbah B3 seperti pemanfaatan limbah menjadi paving block harus
sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor : 03-0348-1989. Selain
itu, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan
hidup wajib memiliki amdal, sehingga dalam pelaksanaan pengelolaan dan
pemanfaatan B3 oleh PT.X ini pun harus memiliki amdal. Setiap perde tertentu,
segala kegiatan harus dilaporkan dan dilakukan uji kesesuaian dengan standar
lingkungan yang ditetapkan.
6.4 Aspek Sosial dan Lingkungan
6.4.1 Aspek Sosial
Penilaian aspek sosial dari suatu proyek adalah bagimana proyek
berimplikasi sosial secara luas, seperti kesempatan kerja dan kualitas hidup
masyarakat dimana proyek bediri. Keberadaan usaha pengangkutan, pengolahan,
dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X ini telah memberikan dampak positif dan
berperan penting bagi kehidupan sosial masyarakat yang berada disekitar PT. X.
Keberadaan PT. X sebagai badan usaha yang berorientasi pada profit berarti
menjadi pemasukan bagi pemerintah melalui pajak yang dibayarkan. Hal ini juga
membuka kesempatan kerja bagi masyarakat. Jumlah tenaga kerja yang ada di PT.
X adalah sebanyak 335 orang (dengan jumlah tenaga kerja yang khusus pada
pengelolaan limbah 160 orang, sisanya pada pengangkutan dan ekspedisi). Itu
artinya, aktivitas usaha PT. X berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat sekitar, terutama karena sebagian besar pekerja adalah masyarakat
sekitar yang tidak terdidik. Selain itu, PT. X juga melakukan bentuk kepedulian
bagi kegiatan sosial bagi masyarakat sekitar seperti peningkatan kualitas tempat
ibadah, beasiswa, dan perbaikan jalan melalui pemberian paving block.
51
6.4.2 Aspek Lingkungan
Selain menjadi bisnis yang memberikan keuntungan bagi para manajemen
dan pemilik usaha, bentuk pengelolaan limbah B3 ini juga berperan dalam
perbaikan kualitas lingkungan karena membantu pemerintah dan masyarakat
pelaku bisnis untuk mengelola limbahnya, sehingga dapat mencegah kerusakan
lingkungan atau kerugian jika limbah tidak diolah. Keberadaan industri seperti ini
juga membantu mengatasi permasalahan lahan yang terbatas jika digunakan untuk
mendumping limbah-limbah (seperti fly ash) yang jumlahnya semakin meningkat
dari tahun ke tahun.
Pemanfaatan B3 menjadi produk baru adalah salah bentuk teknik produksi
bersih yang juga memberikan manfaat karena dengan demikian, maka dapat
meningkatkan penggunaan sumberdaya yang efisien, mengurangi resiko dan
dampak pencemaran (sludge akan lebih “ramah lingkungan” jika dimanfaatkan
menjadi kertas dibandingkan harus dibakar dengan incinerator misalnya) selain
memberikan keuntungan ekonomi. Selain itu, pemanfaatan B3 adalah salah satu
bentuk kegiatan yang efisien karena hampir seluruhnya dapat dimanfaatkan,
berbeda dengan pengelolaan sebatas pengolahan saja yang menyisakan residu
( yang masih bersifat berbahaya dan beracun).
Meskipun demikian, pengelolaan B3 bisa saja justru berdampak negatif
jika pelaksanaan pengelolaannya tidak memperhatikan kaida-kaidah yang telah
ditetapkan. Jika limbah tidak ditangani dengan tepat misalnya, bisa saja aktivitas
ini justru membahayakan karena kuantitasnya yang besar dan jenisnya yang
beragam, sehingga jika bercampur dan bereaksi akan meningkatkan resiko B3
yang lebih besar. Hal yang perlu diperhatikan adalah masalah alokasi sumberdaya
dan keputusan kapan limbah harus masuk dan keluar, pembatasan jumlah
timbunan B3, kapasitas dan daya tampung alat pengolah limbah, tidak hanya
berfokus pada keuntungan/ profit saja agar keberlangsungan usaha dan
keberlanjutan ditiga aspek tersebut (profit, people, dan planet) dapat dicapai.
52
6.5 Aspek Finansial
Aspek finansial merupakan penilaian kelayakan usaha apakah secara biaya
dan manfaat akan menguntungkan selama umur proyek. Selai itu, aspek finansial
juga menilai kapan proyek akan mengembalikan biaya investasi yang telah
dikeluarkan, dan sampai seberapa jauh proyek dapat memberikan keuntungan jika
terjadi perubahan-perubahan pada proses produksi.
6.5.1 Komponen Biaya
Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh PT. X mencakup biaya investasi dan
biaya operasional, dimana biaya operasional dibagi menjadi biaya tetap dan biaya
variabel.
6.5.1.1 Biaya Investasi
Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan peralatan
maupun lahan untuk mendukung kegiatan produksi. Biaya investasi meliputi
investasi lahan, bangunan, laboratorium, pembelian alat/mesin dan kendaraan.
Selain itu, karena kegiatan yang berkaitan dengan limbah harus memenuhi syarat
kesehatan dan keselamatan kerja (K3), PT. X juga mengeluarkan biaya-biaya
untuk perlengkapan keselamatan (safety tools) seperti rompi, helm, sepatu boots,
masker, dan kacamata pelindung. Biaya-biaya investasi diperlihatkan pada
Tabel 12.
Tabel 12 Biaya investasi pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT. X
No Komponen Harga Satuan (Rp) Jumlah Total (Rp) Umur teknis 1 Lahan dan
bangunan 2 150 000 3.259 m2 7 000 000 000 20 tahun
2 Laboratorium 2 unit 135 000 000 10 tahun 3 Incinerator 7 800 000 000 1 unit 7 800 000 000 20 tahun 4. Mesin penjernih
solvent 150 000 000 1 unit 150 000 000 15 tahun
5. Mesin press batako
35 000 000 5 unit 175 000 000 5 tahun
6. Mixer 5 500 000 1 unit 9 000 000 5 tahun 7. Crusher 9 000 000 1 unit 9 000 000 5 tahun 8. Mesin cetak
kertas 225 000 000 14 unit 3 150 000 000 8 tahun
9. Alat berat 1 500 000 000 1 unit 1 500 000 000 20 tahun 10. Alat transportasi
(Colt Diesel) 250 000 000 175 unit 43 750 000 000 20 tahun
11. Bak kempu 2 000 000 4 unit 8 000 000 1 tahun 12. safety tools dan
perlengkapan lain 8 950 000 1 set 8 950 000 1 tahun
Sumber: PT. X (2014)
53
6.5.1.2 Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha, yang
dikeluarkan secara berkala, bersifat tetap, dan tidak dipengaruhi oleh jumlah
produksi yang dihasilkan.Untuk kegiatan pengolahan limbah dan pemanfaatan
menjadi produk, biaya tetap meliputi tenaga kerja/karyawan tetap, pajak, cicilan
hutang, sewa kantor pemasaran, dan biaya maintanance. Biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan operasional yang bersifat tetap ini dijelaskan pada
Tabel 13.
Tabel 13 Biaya tetap pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT. X No Komponen Harga Satuan (Rp) Jumlah Total (Rp) 1. Upah karyawan tetap 2 447 450 250 orang 611 862 500 2. Sewa Kantor Pemasaran 115 000 000 1 tahun 115 000 000 3. Cicilan Hutang 3 650 162 899 1 tahun 3 650 162 899 4. Biaya maintanance:
a. incinerator b.mesin penjernih solvent c. pencetak kertas d. mesin press batako
200 000 000
11 350 000 10 000 000
800 000
1 x 1 tahun 1 x 1 tahun 1 x 1 tahun 1 x 3 bulan
200 000 000
11 350 000 10 000 000 3 200 000
Sumber: PT. X (2014)
6.5.1.3 Biaya Operasional
Biaya operasional adalah biaya yang berubah-ubah karena dipengaruhi
oleh jumlah produksi yang dihasilkan, Untuk pengolahan limbah dengan
incinerator, biaya operasional ini meliputi pemakaian listrik serta pemakaian solar
sebagai bahan bakar incinerator. Untuk pembuatan paving block, biaya
operasionalnya meliputi altras, semen, tenaga kerja dengan sistem borongan,
sedangkan biaya operasional pembuatan produk low grade paper adalah biaya
upah karyawan pencetak kertas.Biaya-biaya tersebut ditampilkan pada Tabel 14.
Tabel 14 Biaya operasional pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT. X No Komponen Harga Satuan (Rp) Jumlah per tahun Total (Rp) 1. Listrik untuk Plant 5 337 500/bulan 12 bulan 64 050 000 2. Listrik untuk kantor
pemasaran 3 837 885/bulan 12 bulan 46 054 620
Pengolahan Limbah dengan Incinerator 3. Solar 6500/liter 1.123.200 liter 7 300 800 000
Pemanfaatan Limbah Batu Bara (fly ash) menjadi Paving Block 4. Semen 60 000/sak 93600 sak 5 616 000 000 5. Altras 800 000/7m3 15.288 m3 Rp1.248.000.000 6. Karyawan Borongan 175/pcs 4.680.000 pcs 819 000 000
Pemanfaatan Limbah sludge menjadi Low grade paper 7. Karyawan 2 000 000/orang/bulan 6 orang 144 000 000
Sumber : PT. X (2014)
54
6.5.2 Komponen Manfaat
Komponen arus penerimaan (inflow) yang diperoleh adalah merupakan
penjumlahan manfaat-manfaat yang diterima oleh PT. X. Manfaat-manfaat
tersebut adalah dengan biaya pemusnahan produk dengan incinerator, pembayaran
jasa untuk penyimpanan limbah fly ash/bottom ash, dan sands foundry,
pembayaran jasa penyimpanan limbah sludge dan karbit, pengolahan limbah
solvent, penjualan produk paving block, dan penjualan produk low grade paper.
6.5.2.1 Pemusnahan produk dengan incinerator
Setiap limbah yang diangkut untuk dimusnahkan dengan incinerator
dibayar dengan harga Rp 1700/kg limbah padat dengan jumlah limbah yang
masuk sebanyak 3600 kg, dan Rp 1500/liter limbah cair dengan jumlah limbah
cair sebanyak 1200 liter per harinya. Sehingga total penerimaan dari pemusnahan
produk dengan incinerator adalah jumlah limbah yang masuk dikalikan dengan
harga jasanya. Total penerimaan dari pengolahan limbah cair dan padat ini adalah
sebesar Rp 7 920 000 per harinya, atau sebesar Rp 2 471 040 000 setiap tahunnya.
6.5.2.2 Jasa penyimpanan limbah fly ash/bottom ash dan sands foundry
Setiap limbah fly ash/bottom ash, dan sands foundry yang diangkut
dibayar dengan harga Rp 200/kg. Sehingga total penerimaan dari pemusnahan
produk dengan penyimpanan fly ash/bottom ash adalah jumlah limbah yang
masuk setiap harinya sebanyak 210 ton, dikalikan dengan harga jasanya yaitu
sebesar Rp 13 104 000 000 pertahunnya.
6.5.2.3 Penyimpanan limbah sludge IPAL kertas, scrap shaving, trimming shaving,dan karbit Setiap limbah sludge dan karbit yang diangkut dan disimpan dibayar
dengan harga Rp 600/kg. Sehingga total penerimaan dari penyimpanan sludge
dan karbit adalah jumlah limbah yang masuk yaitu berkisar 75 ton per hari
dikalikan dengan harga jasanya, yakni sebesar Rp 45 000 000 setiap harinya, atau
Rp 14 040 000 000 setiap tahunnya.
55
6.5.2.4 Pengolahan limbah solvent
Setiap limbah solvent yang diolah dengan mesin destilasi/penjernih
dibayar dengan harga Rp 1500/L. Setiap harinya, jumlah limbah yang masuk
untuk diolah dengan mesin penjernih adalah 200 L. Sehingga total penerimaan
pengolahan limbah solvent adalah jumlah limbah yang masuk dikalikan dengan
harga jasanya yaitu Rp 300 000 per harinya, atau sebesar Rp 93 600 000 per
tahun.
6.5.2.5 Penjualan produk paving block
Limbah fly ash/bottom ash dan sands foundry yang diangkut oleh PT. X
dari perusahaan-perusahaan pelanggan adalah menjadi milik PT. X dan PT. X
berhak melakukan serangkaian tindakan atas limbah tersebut, termasuk
pemanfaatan menjadi paving block. Hal ini menguntungkan bagi PT. X karena
selain menerima pembayaran atas jasa pengangkutan, limbah juga dapat
dimanfaatkan. Artinya, dapat menghemat bahan baku seperti pasir/altras, jika
pembuatan paving block dibuat tanpa limbah-limbah tersebut. Paving block dijual
dengan harga maksimal Rp 1500/pcs. Total produksi paving block dalam sehari
mencapai 30 000 pcs setiap harinya. Sehingga total penerimaan dari penjualan
paving block adalah sebesar Rp 45 000 000 setiap harinya, atau sebesar
Rp14.040.000.000 setiap tahunnya
6.5.2.6 Penjualan produk low grade paper
Sama halnya dengan limbah fly ash/bottom ash, PT. X juga
memanfaatkan limbah sludge IPAL untuk dijadikan kertas, sehingga menjadi
tambahan pemasukan bagi perusahaan. Low grade paper dijual dengan harga Rp
500/kg, dan hari mampu menghasilkan 33 ton kertas. Sehingga total penerimaan
dari penjualan low grade paper adalah Rp 33 000 000 per harinya atau Rp10 296
000 000 setiap tahunnya.
Berdasarkan identifikasi komponen-komponen manfaat pengolahan dan
pemanfaatan B3 oleh PT X, maka diperolehlah penerimaan total PT. X sbesar Rp
54 044 640 000 setiap tahunnya.
56
6.5.3 Arus Biaya-Manfaat
Arus biaya manfaat diperlukan untuk mengetahui seberapa layak investasi
usaha pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 ini. Karena proyek ini dinilai pada
2014 sementara sudah mulai berjalan pada 2008, maka penilaian analisis finansial
ini bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana kelayakan investasi dalam empat
tahun terakhir dan bagaimana perkembangannya untuk beberapa tahun ke depan.
Berdasarkan hasil pengolahan data perhitungan kelayakan investasi selama 20
tahun yang terlampir pada Lampiran 1, maka didapatkan hasil pada Tabel 15.
Tabel 15 Hasil kriteria investasi pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT. X
No. Kriteria Hasil 1. Net Present Value Rp 110 997 445 852 2. Net Benefit Cost Ratio 3 3. Internal Rate of Return 17% 4. Payback Period 8
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Berdasarkan tabel di atas, dengan pertimbangan suku bunga 10,5%
diperoleh nilai NPV sebesar Rp 110 997 445 852 yang artinya proyek layak
dijalankan, karena nilai NPV yang positif menjelaskan bahwa proyek akan
memberikan pengembalian bersih positif Rp 110 997 445 852 selama jangka
waktu proyek.
Nilai Net B/C sebesar 3 menunjukkan bahwa setiap Rp 1,00 biaya yang
dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 3. Artinya dengan
kriteria Net B/C, proyek ini layak untuk dilanjutkan.
Nilai IRR yang diperoleh adalah sebesar 17%. karena IRR lebih besar dari
discout rate yang ditetapkan (10,5%), maka proyek dinilai layak, karena IRR
mencerminkan kemampuan usaha untuk memberikan pengembalian modal. Jika
IRR lebih besar dari discout rate, artinya IRR akan membuat nilai NPV yang
lebih besar dari nol, atau berati proyek akan memberikan manfaat bersih positif
selama masa pelaksanaan proyek.
Investasi usaha pengelolaan dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X akan
kembali pada tahun yang dicerminkan dari nilai pay back periode sebesar 8, atau
akan memberikan pengembalian atas biaya-biaya investasi pada tahun ke delapan.
57
Sehingga, berdasarkan keempat kriteria penilaian tersebut, pengelolaan dan
pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X layak untuk tetap dijalankan.
6.6 Analisis Switching Value
Analisis switching value digunakan untuk mengetahui bagaimana
keberlanjutan proyek ketika ada perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan
proyek yang mempengaruhi masa depan proyek. Dalam penilaian kelayakan
usaha pengolahan dan pemanfaatan B3 ini, skenario yang diberlakukan adalah
perubahan jumlah B3 yang masuk ke perusahaan. Hal ini tidak saja
mempengaruhi jumlah penerimaan dari pengolahan limbah, tapi juga jumlah
produk hasil pemanfaatan yang bisa dijual, karena jumlah limbah yang masuk
akan mempengaruhi pemanfaatannya. Dengan menggunakan analisis switching
value (hasil perhitungan pada Lampiran 2), usaha pengolahan dan pemanfaatan
B3 ini akan hanya akan layak jika penurunan jumlah input/ masukan limbah B3
tidak kurang dari 30%. Dengan kata lain jumlah masukan limbah haruslah
minimal sama dengan 70% dari kapasitas alat pengolah, karena jika jumlah
limbah kurang dari itu, usaha ini menjadi tidak layak dijalankan, baik dari sisi
penilaian NPV yang tidak lebih dari satu, dan nilai IRR yang tidak lebih dari
10,5%, seperti yang dijelaskan pada Tabel 16.
Tabel 16 Perubahan kriteria kelayakan ketika terjadi penurunan jumlah masukan B3
No. Perubahan Penurunan Jumlah
B3
Kriteria Kelayakan NPV (Rp)
Net B/C IRR (IRR)
1. 25% Rp50.358.807.116 2 12% 2. 30% Rp36.732.426.077 2 11% 3. 35% Rp23.106.045.038 1 10%
Hasil Analisis Data (2014)
58
6.7 Pertimbangan dalam Pengembangan Usaha Pengelolaan dan Pemanfaatan B3
Kehadiran perusahaan-perusahaan yang mengolah dan memanfaatkan B3
membantu mengatasi permasalahan penanganan B3 yang selama ini menjadi
beban, baik bagi pemerintah maupun para pelaku usaha. Berdasarkan penilaian
dari berbagai aspek di atas, usaha pengelolaan dan pemanfaatan B3 seperti ini
layak untuk dikembangkan, apakah itu oleh PT.X sendiri maupun oleh pelaku
usaha lainnya, mengingat jumlah usaha ini masih kecil sementara peluang
pasarnya besar dan keuntungan ekonomisnya cukup besar disamping untuk
membantu masalah lingkungan akibat B3 tersebut. Tetapi ada beberapa hal yang
menjadi perhatian jika akan mengembangkan usaha dengan basis jasa pengelolaan
B3 ini. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.
1. Biaya-biaya yang diperhitungkan dalam perencanaan proyek ini adalah
biaya-biaya yang berkaitan secara langsung, sehingga ada biaya-biaya yang
tidak dipertimbangkan seperti biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum proyek
dijalankan. Biaya-biaya yang dikeluarkan di awal pelaksanaan proyek
misalnya adalah biaya memperoleh izin dan rekomendasi pengelolaan B3
yang dibebankan ke pemohon izin, meliputi biaya studi kelayakan teknis
untuk proses perizinan. Perijinan agar pengolahan dan pemanfaatan proyek
bisa saja memakan waktu yang lama dan biaya yang besar karena selain
masalah administrasi, setiap aktivitas usaha harus sesuai dengan syarat-
syarat yang ditetapkan seperti penilaian analisis dampak lingkungan (amdal),
uji coba hasil pengolahan dan pemanfaatan, serta kontrol hasil pengolahan
dan pemanfaatan secara berkala.Perizinan untuk usaha ini dijelaskan pada
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.18 Tahun 2009 tentang
Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
2. Masalah penanganan limbah B3 ini adalah masalah yang serius karena
karakteristiknya yang berbahaya dan beracun, sehingga dibutuhkan
pengetahuan dan keterampilan teknis masalah B3, dan ketaatan pada
prosedur/hukum yang ditetetapkan. Hal penting yang perlu diperhatikan
adalah masalah alokasi sumberdaya dan keputusan kapan limbah harus
masuk dan keluar, pembatasan jumlah timbunan B3, kapasitas dan daya
59
tampung alat pengolah limbah, sehingga tidak hanya berfokus pada
keuntungan/ profit saja.
3. Dengan perhitungan analisis switching value, usaha ini hanya akan
menguntungkan pada skala ekonomis dimana jumlah limbah yang dikelola
minimal sama dengan 70% dari kapasitas alat pengolah karena apabila
jumlah limbah B3 kurang dari itu, usaha ini menjadi tidak layak dijalankan.
4. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada aspek pasar, karakteristik
produk jasa pengolahan dan pemanfaatan B3 yang unik ini menjelaskan
bahwa industri berbasis jasa pengolahan dan pemanfaatan B3 ini bersifat
monopolistik. Perusahaan dapat menentukan harga sendiri (price maker)
yang diharapkan untuk memberikan keuntungan, sehingga hal ini menjadi
insentif dikembangkannya usaha ini. Namun dalam jangka panjang, hal ini
akan menjadi insentif masuknya perusahaan-perusahan baru dalam industri
ini sehingga jika jumlah perusahaan yang masuk kedalam industri
bertambah, hal ini akan menggeser permintaan pada suatu perusahaan
pengolah jasa tertentu, sehingga labanya akan berkurang bahkan akan
mencapai ekuilibrium sama dengan nol.
60
VII. SKENARIO PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN YANG EFEKTIF
7.1 Pertimbangan dalam Pengelolaan Limbah Batu Bara (fly ash)
Peningkatan penggunaan jumlah batu bara sebagai bahan bakar tentu akan
mengakibatkan peningkatan jumlah sisa/limbah pembakaran yang biasa disebut
dengan fly ash. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Pada tahun 2010 di Provinsi
jawa Barat saja, penggunaan batu bara sebagai bahan bakar mencapai 1 140 984
266 kg dan meningkat terutama sejak kenaikan BBM pada 2013. Dan seperti yang
dijelaskan sebelumnya, menurut Kementerian Lingkungan Hidup, setiap
pembakaran 1 ton batu bara akan menghasilkan sebanyak 15-17% abu batu bara
(fly ash). Itu artinya, dari pembakaran 1 140 984 266 kg batu bara maka akan
menghasilkan sekitar 182 557,5 ton abu batu bara untuk provinsi Jawa Barat saja.
Jika abu batu bara ini didumping di landfill maka, membutuhkan luas lahan yang
sangat besar. Oleh sebab itu diperlukan tindakan untuk mengatasi permasalahan
ini. Alternatif pemecahan permasalahan limbah batu bara ini adalah apakah
dengan menyerahkan ke pihak ke tiga, atau dengan memanfaatkan limbah ini
sehingga memberikan nilai tambah.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PT. X, setiap perusahaan harus
menyerahkan limbah batu bara minimal 10 ton setiap harinya. Sehingga untuk
membatasi penelitian ini, setiap perusahaan diasumsikan memiliki limbah
setidaknya 10 ton per hari.
7.1.1 Perhitungan Ekonomi Jika Menyerahkan ke Pihak Ketiga
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PT. X (PT. X dalam hal ini
adalah sebagai pihak ketiga), biaya yang harus dibayarkan oleh pelanggan (tipping
fee) untuk menangani abu batu bara adalah Rp 200/kg. Jika limbah yang
dihasilkan adalah sebesar 10 ton setiap harinya, maka biaya total pengolahan
limbah ini dijelaskan pada Tabel 17.
Tabel 17 Biaya pengelolaan limbah fly ash oleh pihak ketiga
Alternatif Pengangkutan
Tipping Fee per kg/ material Material Total Cost
Jasa Pihak ketiga Rp 200/kg 10 ton Rp 2.000.000 Sumber : Hasil Analsisis Data (2014)
61
7.1.2 Perhitungan Ekonomi Jika Memanfaatkan Limbah Menjadi Paving Block Jika limbah batu bara dimanfaatkan untuk menjadi paving block, maka
keuntungan yang diperoleh adalah biaya pengangkutan ke pihak ketiga yang dapat
dihemat, serta penjualan produk. Tetapi yang menjadi pertimbangan adalah
adanya biaya investasi dan operasional untuk proses pembuatan paving block.
Informasi mengenai biaya-biaya dan jumlah pemasukan berikut ini diperoleh dari
PT. X.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, setiap perusahaan pelanggan rata-rata
menghasilkan limbah fly ash sebanyak 10 ton per hari. Jika 10 ton limbah ini
dimanfaatkan untuk paving block, maka akan dihasilkan sebanyak 2900 pcs
paving block. Itu artinya membutuhkan sebuah mesin press batako tahun dengan
kapasitas 3000 pcs per mesinnya. Biaya investasi untuk memanfaatkan limbah
batu bara (fly ash) menjadi paving block dijelaskan pada Tabel 18.
Tabel 18 Biaya investasi pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving block
No.
Komponen Investasi Jumlah
Umur Teknis (tahun)
Harga Satuan (Rp)
Biaya Investasi Total (Rp)
Biaya Investasi
Total Harian (Rp)
1. Lahan dan bangunan 472m2 20 2 150 000 1 013 807 917 162 469
2. Mesin Press*) 1 5 35 000 000 35 000 000 22 436
3. Crusher*) 1 5 9 000 000 9 000 000 5 769 4. Mixer*) 1 5 5 500 000 5 500 000 3 526 5. Safety tools
(helmet, boots,dll)
1 set 1 1 950 000 1 950 000 6 250
6. Peralatan lain (sekop, ember, cangkul,
1set 1 575 000 575 000 1 843
Total Biaya Investasi 202 293 *) Umur teknis 5 tahun Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
62
Biaya Operasional :
1. Tenaga kerja mekanik adalah tenaga kerja yang mengawasi kegiatan agar
berjalan sesuai dengan prosedur dan kaidah-kaidah keselamatan dan
kesehatan kerja (K3), melakukan transaksi, dan mengambil keputusan. Upah
tenaga kerja berdasarkan UMK Kabupaten karawang adalah Rp 2 447 450
sehingga biaya upah harian adalah Rp 188 265,38.
2. Buruh bertugas untuk produksi paving block mulai dari pencampuran bahan,
pencetakan, penjemuran, hingga pengangkutan ke alat angkut. Upah yang
dibayarkan adalah Rp 175/pcs, dengan asumsi jumlah paving block yang
dihasilkan adalah sebanyak 2900 pcs per per hari, maka upah harian adalah
Rp 507 500/borongan setiap harinya.
3. Altras digunakan sebagai bahan campuran paving block. Komposisi altras
yang digunakan oleh PT. X adalah sebesar 25%, namun karena satu
perusahaan biasanya hanya menghasilkan 1 jenis limbah batu bara saja,
untuk memenuhi komposisi paving block, kebutuhan altras mencapai 60%,
yaitu sekitar 17,4 ton atau 12,42 kubik. sehingga kebutuhan altras setiap
harinya sebesar Rp 1 600 000.
4. Semen digunakan sebagai bahan campuran paving block dengan komposisi
semen adalah sebesar 5%, sehingga setiap produksi membutuhkan semen
sebanyak 29 sak, dengan harga 1 sak semen adalah Rp 60 000, sehingga
biaya semen per hariannya adalah 1 740 000.
5. Biaya maintanance berupa penggulungan mesin press 1x dalam tiga bulan
yaitu sebesar Rp 800 000 sehingga biaya rataan adalah Rp 10 256,41/hari.
Biaya-biaya operasional pemanfaatan limbah menjadi paving block
dijelaskan pada Tabel 19.
63
Tabel 19 Biaya operasional pemanfaatan limbah menjadi paving block No Komponen Jumlah/
bulan) Biaya
Satuan (Rp) Biaya Variabel Total (Rp)
Biaya Variabel Total Harian (Rp)
1. Tenaga kerja mekanik (UMK)
2 orang 2 447 450 4 894 900/bulan 188 265
2. Buruh borongan 175/pcs 507 500/hari 507 500 3. Listrik
(operasional mesin)
800 000 800 000/bulan 30 769
4. Altras 12,42m3 800 000/7m3 1 600 000/hari 1 600 000 5. Semen (50kg) 29 sak 60 000 1 740 000/hari 1 740 000 6. Biaya
maintenance 1x3 bulan 800 000 800 000/3 bulan
10 256 Total Biaya Operasional 4 076 791
Sumber : Hasil Analsis Data (2014)
Berdasarkan identifikasi biaya-biaya tersebut maka diperoleh total biaya
(investasi dan operasional) yang harus dikeluarkan setiap harinya untuk
menangani limbah batu bara adalah sebesar Rp 4 279 084 .
7.1.3 Efektivitas Biaya Kedua Alternatif Penanganan Limbah Fly Ash
Setelah kedua alternatif pengelolaan limbah fly ash diidentifikasi dan
dirumuskan, maka selanjutnya adalah memutuskan alternatif mana yang akan
dipilih dengan kriteria biaya efektif. Cost (biaya) menunjukkan jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk menangani fly ash, sedangkan effectiveness (efektivitas)
menyatakan jumlah fly ash yang ditangani (wastes handled). Karena jumlah
limbah yang dihasilkan sama namun biaya berbeda, maka pendekatan yang
dilakukan adalah dengan menggunakan cost-effectiveness ratio with fixed
effectiveness. Sehingga, apabila kedua alternatif penanganan limbah fly ash
dibandingkan (alternatif A adalah apabila limbah diserahkan ke pihak ke tiga dan
alternatif B adalah apabila limbah ditangani secara mandiri), maka hasilnya
terlihat pada Tabel 20.
Tabel 20 Cost-Effectiveness with Fixed (Identical) Effectiveness for Fly ash Treatment
Cost and Effectiveness Alternatives A B
Cost measure Rp 2 000 000 Rp 4 279 084 Effectiveness measure (number of wastes handled)
10 tons 10 tons
CE ratio (cost per wastes handled) Rp 200/kg Rp 427,91/kg EC ratio (wastes handled per thousand rupiah)
5 kg 2, 3 kg
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
64
Berdasarkan Tabel 20, perbandingan Alternatif A terhadap B adalah sebagai
berikut: 𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝐵𝐵𝐶𝐶𝑟𝑟 𝐴𝐴𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝐵𝐵𝐶𝐶𝑟𝑟 𝐵𝐵
= Rp 1500 /𝑙𝑙𝐵𝐵𝑟𝑟 Rp 1533 /𝑙𝑙𝐵𝐵𝑟𝑟
= 1 : 2.14
Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan untuk menangani per satuan
kilogram limbah fly ash akan lebih besar jika ditangani secara mandiri
dibandingkan jika diserahkan ke pihak ketiga (alternatif A), karena dari segi biaya,
alternatif B lebih besar 2,14 kali dibandingkan alternatif A. Apabila anggaran
biaya menjadi satu-satunya pertimbangan keputusan pengolahan limbah fly ash,
maka penanganan oleh pihak ke tiga akan lebih efektif dibandingkan jika
mengelola secara mandiri, karena setiap seribu rupiah biaya yang dikeluarkan
akan menangani jumlah limbah yang lebih banyak. Dengan demikian alternatif A
lebih efektif secara biaya dibandingkan dengan alternatif B. Pemilihan keputusan
berdasarkan biaya ini akan tepat pada kondisi dimana ketersediaan anggaran
dalam penanganan limbah fly ash terbatas.
Apabila berada pada kondisi anggaran tak terbatas, maka alternatif B akan
lebih menguntungkan, sebab meskipun biaya persatuan limbah lebih besar, namun
karena pada alternatif B limbah fly ash dimanfaatkan menjadi paving block maka
akan ada manfaat yang diterima jika memilih alternatif tersebut. Manfaat yang
diperoleh adalah penjualan jumlah paving block yang dihasilkan yaitu sebanyak
2900 pcs dikalikan dengan harga yaitu Rp 1500/pcs (harga maksimal yang
disarankan ditingkat distributor). Total manfaat yang diperoleh adalah sebesar Rp
4 350 000 per hari. Sehingga manfaat bersih (selisih biaya dan manfaat) jika
mengolah limbah batu bara adalah Rp 70 916 artinya jika limbah batu bara dijual
dengan harga Rp 1500/pcs, pemanfaatan limbah batu bara menjadi paving block
akan menguntungkan.
Setiap perusahaan menghasilkan limbah dalam jumlah yang berbeda, maka
apabila memutuskan untuk memanfaatkan fly ash agar memperoleh keuntungan
dari hasil penjualan produk, maka perlu diketahui sampai titik mana penggunaan
input limbah batu bara akan memberikan pengembalian yang positif.
65
Dengan menggunakan analisis switching value pada jumlah input
diperoleh bahwa pemanfaatan limbah batu bara akan memberikan pengembalian
yang positif hanya jika jumlah input limbah batu bara lebih dari sepuluh ton, yang
dijelasakan pada Tabel 21.
Tabel 21 Biaya pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving block berdasarkan jumlah limbah yang lihasilkan
Jumlah Limbah (ton)
Produksi Paving block (pcs)
Total Penerimaan (Rp)
Total Biaya (Rp)
Keuntungan (Rp)
9 2320 3 480 000 3 920 069 (5 069) 10 2900 4 350 000 4 279 084 70 916 20 5510 8 700 000 8 149 020 550 980 30 5800 13 050 000 12 018 956 1 031 044
Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
Pertimbangan lainnya:
1. Untuk memanfaatkan limbah B3, maka harus mendapatkan izin dari
Kementerian Lingkungan Hidup. Izin pemanfaatan ini mencakup panduan
teknis pengelolaan dan pemanfaatan limbah, analisis mengenai dampak
lingkungan, serta uji kelayakan produk agar sesuai dengan SNI. Karena fly
ash mengandung bahan berbahaya dan beracun yang berupa kimia, perlu
diuji terlebih dahulu kandungan senyawa kimia, sehingga berpengaruh
pada sifat dan karakter paving block atau jenis semen yang digunakan
sebagai bahan pencampur.
2. Pertimbangan (1) dan (2) mungkin akan berimplikasi pada bertambahnya
biaya-biaya yang harus dikeluarkan pada awal pelaksanaan proyek.
3. Pemanfaatan fly ash juga berggantung pada kelas fly ash, karena
peruntukan fly ash bisa berbeda jika kelas/penggolongan fly ash berbeda,
sehingga perlu mengetahui jenis fly ash yang dihasilkan dan peruntukan
yang diharapkan dari pemanfaatan fly ash tersebut.
7.2 Pertimbangan dalam Pengelolaan Limbah Sludge IPAL Kertas
Industri pulp dan kertas adalah salah satu industri yang berkembang di
Indonesia dan menjadi komoditas unggulan ekspor Indonesia. Selain
menghasilkan produk utama, kegiatan ini juga menghasilkan limbah sludge yang
dihasilkan dari endapan hasil pengolahan air limbah IPAL. Satu industri pulp dan
kertas dapat meproduki sludge berkisar 30-40 ton setiap harinya, sementara yang
66
dimanfaatkan hanya berkisar 12 ton (Aritonang dalam Komaryati et al, 2009).
Itu artinya ada sekitar 18-28 ton limbah sludge yang belum dimanfaatkan. Jika
limbah ini dibakar maka harus dibakar dengan incinerator (yang berarti
membutuhkan biaya investasi yang tinggi), karena jika dibakar dengan cara biasa
akan menyebabkan pencemaran udara. Sedangkan bentuk lain adalah dengan
dumping, namun juga beresiko karena limbah sludge umumnya berbau sehingga
mengganggu kehidupan sosial di sekitar perusahaan. Selain itu, jumlah luas lahan
yang dibutuhkanpun akan sangat besar. Limbah sludge ini menjadi beban bagi
perusahaan terutama karena karakteristiknya yang merupakan B3 karena
mengandung logam berat dan sianida, sehingga harus segera ditangani sesuai
dengan peraturan yang ditetapkan. Pilihan penanganan limbah B3 ini adalah
bagaimana jika diserahkan ke pihak ketiga atau dimanfaatkan oleh para
perusahaan penghasil limbah untuk pembuatan low grade paper.
7.2.1 Perhitungan Ekonomi Jika menyerahkan ke Pihak Ketiga
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PT. X (PT. X dalam hal ini
adalah sebagai pihak ketiga), biaya yang harus dibayarkan oleh pelanggan untuk
menangani limbah sludge IPAL kertas (tipping fee) adalah Rp 600/kg. Jika
diasumsikan limbah yang dihasilkan setiap perusahaan adalah 23 ton per harinya,
maka biaya pengolahan limbah ditampilkan pada Tabel 22.
Tabel 22 Biaya pengelolaan limbah sludge IPAL kertas oleh pihak ketiga
Sumber : Hasil Analsisis Data (2014)
7.2.2 Perhitungan Ekonomi Jika Memanfaatkan Limbah Menjadi Low Grade Paper Sama halnya dengan pemanfaatan limbah batu bara, jika limbah sludge
dimanfaatkan untuk menjadi low grade paper, maka keuntungan yang diperoleh
adalah biaya pengangkutan ke pihak ketiga yang dapat dihemat, serta penjualan
produk. Low grade paper ini sendiri dapat dijual untuk berbagai kegunaan, seperti
pembuatan sol sepatu dan kemasan kardus (packaging). Tetapi konsekuensinya
adalah adanya biaya investasi dan operasional untuk proses pembuatan low grade
Alternatif Pengangkutan
Tipping Fee per kg/ material
Material Total Cost
Jasa Pihak ketiga Rp 600/kg 18 ton Rp 10 800 000
67
paper. Jika setiap industri pulp dan kertas menghasilkan rata-rata limbah sludge
sebanyak 18 ton perhari (dari jumlah sludge yang belum dimanfaatkan) maka
akan menghasilkan low grade paper sebanyak 5,4 ton perhari, karena untuk
mengubah sludge menjadi low grade paper kandungan airnya hanya sampai 30%.
Itu artinya ada pengurangan berat sludge ke kertas hingga 70%. Jumlah mesin
kertas yang dibutuhkan adalah minimal empat unit karena kapasitas sebuah mesin
cetak adalah 6 ton (dengan umur teknis 8 tahun). Biaya-biaya dan jumlah
pemasukan pada Tabel 23 ini diperoleh dari PT. X.
Tabel 23 Biaya investasi pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper
No
Komponen Investasi
Jumlah Umur Teknis
(teknis)
Harga Satuan (Rp)
Biaya Investasi Total (Rp)
Biaya Investasi
Harian (Rp) 1. Lahan dan
bangunan 620m2 20 2 150 000 1 333 000 000 213 621,8
2. Bak Pembuburan
4 unit 1 500 000 2 000 000 10 416,6
4. Mesin cetak dan potong kertas
4 unit 8 550 000 000 550 000 000 220 352,5
5. Safety tools (helm, boots,dll)
1 set 1 1 950 000 1 950 000 6 250
6. Peralatan lain (ember, gayung)
1 set 1 575 000 575 000 1 843
Total Biaya Investasi Rp 592 708 Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Biaya Operasional :
1. Jumlah tenaga kerja yang membantu proses produksi pemanfaatan limbah
sludge menjadi low grade paper adalah sebanyak enam orang dengan upah
sebesar Rp 2 000 000 per orang setiap bulannya. Keenam tenaga kerja ini
bertanggung jawab pada pengawas yang berjumlah dua orang dengan upah
tenaga kerja berdasarkan UMK Kabupaten Karawang Rp 2 447 450. Total
biaya tenaga kerja adalah sebesar Rp 16 894 900 perbulan atau Rp 838 068,
769 perhari.
2. Biaya maintanance berupa penggulungan mesin sebesar Rp 10 000
000/mesin dalam setahun.
3. Kebutuhan listrik untuk kegiatan ini adalah sebesar Rp 1 000 000/bulan.
Biaya operasional pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade
paper dijelaskan pada Tabel 24.
68
Tabel 24 Biaya operasional pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper
No Komponen Jumlah (perbulan)
Biaya Satuan (Rp)
Total Biaya Operasional
(Rp)
Biaya Operasional Harian (Rp)
1. Tenaga kerja Pengawas
2 orang 2 447 450 4 894 900 376 530,769
2. Tenaga kerja 6 orang 2 000 000 12 000 000 461 538 3. Listrik
(operasional) 1 bulan 1 000 000 1 000 000 38 462
6. Biaya maintenance
1tahun 10 000 000 40 000 000 128 205 Total Biaya Operasional 628 205 Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Berdasarkan identifikasi biaya-biaya di tersebut, diperoleh total biaya
(penjumlahan dari biaya investasi dan operasional) yang harus dikeluarkan setiap
harinya adalah sebesar Rp1 220 913.
7.2.3 Efektivitas Biaya Kedua Alternatif Penanganan Limbah Sludge IPAL Kertas Sama halnya dengan penanganan limbah fly ash, setelah kedua alternatif
pengelolaan limbah sludge diidentifikasi dan dirumuskan, maka selanjutnya
adalah memuskan alternatif mana yang akan dipilih dengan kriteria biaya efektif.
Cost (biaya) menunjukkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menangani
sludge, sedangkan effectiveness (efektivitas) menyatakan jumlah sludge yang
ditangani. Karena jumlah limbah yang dihasilkan sama namun biaya berbeda,
maka pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan cost-effectiveness
ratio with fixed effectivenes. Sehingga, apabila kedua alternatif penanganan
limbah sludge dibandingkan (alternatif A adalah apabila limbah diserahkan ke
pihak ke tiga dan alternatif B adalah apabila limbah ditangani secara mandiri),
maka hasilnya terlihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Cost-Effectiveness with Fixed (Identical) Effectiveness for Sludge Treatment
Cost and Effectiveness Alternatives A B
Cost measure Rp 13 800 000 Rp 1 220 913 Effectiveness measure (number of wastes handled)
18 tons 18 tons
CE ratio (cost per wastes handled) Rp 600/kg Rp 67,8/kg EC ratio (wastes handled per thousand rupiah)
1,6 kg 14, 7 kg
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
69
Berdasarkan Tabel 25, perbandingan Alternatif A terhadap B adalah sebagai
berikut: 𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝐵𝐵𝐶𝐶𝑟𝑟 𝐴𝐴𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝐵𝐵𝐶𝐶𝑟𝑟 𝐵𝐵
= Rp 600 /𝑘𝑘𝑘𝑘 Rp 67,8/𝑘𝑘𝑘𝑘
= 8.85 : 1
Dengan demikian, rasio efektivitas-biaya yang dikeluarkan untuk menangani per
satuan kilogram limbah sludge dengan alternatif A akan lebih besar jika
dibandingkan dengan alternatif B, karena rasio biaya apabila menyerahkan ke
pihak ketiga akan 8.85 kali lebih besar jika dibandingkan menangani sendiri.
Artinya, akan lebih efektif jika sludge diolah sendiri dengan memanfaatkannya
menjadi low grade paper. Dengan demikian alternatif B lebih efektif secara biaya
dibandingkan dengan alternatif A.
Karena pada alternatif B limbah sludge dimanfaatkan menjadi low grade
paper maka akan ada manfaat yang diterima jika memilih alternatif tersebut.
Manfaat yang diperoleh adalah penjualan jumlah low grade paper yang
dihasilkan yaitu sebanyak 5.4 ton dikalikan dengan harga yaitu Rp 1000/kg
(harga maksimal yang disarankan ditingkat distributor). Total penerimaan yang
diperoleh adalah sebesar Rp 5 400 000 per hari. Sehingga manfaat bersih (selisih
biaya dan manfaat) jika mengolah limbah sludge adalah Rp 4 179 087, artinya jika
pemanfaatan limbah sludge menjadi low grade paper akan menguntungkan.
Jika mengharapkan manfaat dari penjualan low grade paper dari
pemanfaatan sludge menjadi low grade paper, maka perlu mengetahui jumlah
limbah yang akan memberikan keuntungan positif apabila dimanfaatkan karena
setiap industri kertas pada kenyataanya menghasilkan limbah sludge dalam jumlah
yang berbeda-beda, bergantung pada jumlah produksi dan skala usaha setiap
perusahaan. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 26, pemanfaatan limbah ini
hanya akan bernilai positif jika limbah sludge yang dihasilkan minimal 2 ton
limbah setiap harinya.
70
Tabel 26 Biaya pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper berdasarkan jumlah limbah yang dihasilkan
Jumlah Limbah Sludge yang dihasilkan (ton)
Produksi Low Grade Paper (ton)
Total Penerimaan
(Rp)
Total Biaya (Rp)
Keuntungan (Rp)
2 0,6 600000 854 327 (254 327) 4 1,2 1 200 000 854 327 45 673
10 3,33 3 300 000 976 522 2 323 478 18 5,4 5 400 000 1 220 913 4 179 087 20 6,6 6 600 000 1 220 913 5 379 087
Sumber: Hasil Analsis Data (2014)
7.3 Pertimbangan dalam Pengolahan Solvent
Pertimbangan dalam pengolahan solvent adalah dengan menggunakan jasa
pihak ketiga (berupa pembayaran atas pemakaian mesin penjernih) atau dengan
investasi pembelian alat penjernih solvent. Kedua alternatif ini sama-sama
membutuhkan seorang tenaga kerja, karena jika melibatkan pihak ketiga jasa yang
disediakan hanyalah pemakaian alat, sementara proses pengolahannya itu sendiri
dilakukan oleh pelanggan, sedangkan jika investasi alat sendiri, perlu seorang
tenaga kerja untuk mengawasi atau pelaksana pengolahan solvent ini, sehingga
diasumsikan biaya tenaga kerja sama dan tidak perlu dipertimbangkan.
Perbedaannya adalah, jika melibatkan pihak ketiga, residu hasil olahan (abu B3)
adalah menjadi tanggung jawab pihak ketiga. Tetapi jika memutuskan untuk
mengolah sendiri dengan investasi mesin, maka abu menjadi tanggung jawab
pemilik, dan harus diserahkan ke badan yang berwewenang dalam mengolah
sisaan ini. Karena kapasitas maksimum pengolahan solvent ini adalah 200 liter
setiap harinya, maka diasumsikan jumlah limbah yang ditangani adalah 200 liter.
Biaya jika menggunakan jasa pihak ke tiga ditunjukkan pada Tabel 27.
Tabel 27 Biaya pengolahan solvent oleh pihak ketiga
Pengolahan Tipping Fee per kg/ material Material Total Cost Menggunakan jasa pihak ketiga
Rp 1500/liter 200 liter Rp 300 000
Sumber: Hasil Analisis data (2014)
Sedangkan jika memutuskan untuk mengolah sendiri yaitu dengan
investasi mesin penjernih (umur teknis sekitar 15 tahun), maka biaya-biaya yang
dikeluarkan ditampilkan pada Tabel 28.
71
Tabel 28 Biaya investasi pengolahan solvent
Apabila kedua alternatif penanganan limbah solvent dibandingkan
(alternatif A adalah apabila limbah diserahkan ke pihak ke tiga dan alternatif B
adalah apabila limbah ditangani secara mandiri), maka hasilnya terlihat pada
Tabel 29.
Tabel 29. Cost-Effectiveness with Fixed (Identical) Effectiveness for Solvent Treatment
Cost and Effectiveness Alternatives A B
Cost measure Rp 300 000 Rp 91 975 Effectiveness measure (number of wastes handled)
200 liters 200 liters
CE ratio (cost per wastes handled) Rp. 1500/liter Rp 459,875/liter EC ratio (wastes handled per thousand rupiah)
0,6 liters 2,17 liters
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Berdasarkan rasio biaya efektivitas biaya pada Table, perbandingan Alternatif A
terhadap B adalah sebagai berikut: 𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝐵𝐵𝐶𝐶𝑟𝑟 𝐴𝐴𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝐵𝐵𝐶𝐶𝑟𝑟 𝐵𝐵
= Rp 1500 /𝑙𝑙𝐵𝐵𝑟𝑟 Rp 1533 /𝑙𝑙𝐵𝐵𝑟𝑟
= 3.26 : 1
Berdasarkan perbadingan tersebut, dapat disimpulkan bahwa alternatif B lebih
efektif dibandingkan alternatif A (dengan asumsi jumlah limbah sebesar 200
liter/hari) karena biaya /liter pengolahan solvent akan lebih kecil jika investasi alat
dibandingkan jika diserahkan ke pihak ketiga. Rasio biaya apabila menyerahkan
ke pihak ketiga akan 3.26 kali lebih besar jika dibandingkan menangani sendiri.
No Komponen Jumlah Biaya Satuan (Rp)
Total Biaya Harian (Rp)
1. Lahan dan bangunan 12 m2 2 150 000 4 134, 62 2. Mesin Penjernih 1 unit 150 000 000 32 051,282 3. Listrik
(operasional mesin) 1 bulan 500 000 19 230,769
4. Biaya maintanance (per tahun)
1 tahun 11 350 000
36 378,205
Total Biaya Rp 91 975
72
Karena jumlah limbah solvent yang dihasilkan oleh setiap perusahaan mungkin
saja berbeda, maka perlu diperhatikan alternatif mana yang efektif berdasarkan
tingkatan jumlah limbah solvent setiap harinya. Berdasarkan Tabel 30, apabila
jumlah limbah kurang dari 60 liter, maka cost ratio lebih kecil jika meilih
alternatif A dibandingkan dengan alternatif B.
Tabel 30. Cost-effectiveness with fixed (identical) effectiveness for Solvent treatment less than 60 liters.
Cost and Effectiveness Alternatives A B
Cost measure Rp 90 000 Rp 91 975 Effectiveness measure (number of wastes handled)
60 liters 60 liters
CE ratio (cost per wastes handled) Rp 1500/liter Rp 1 533/liter EC ratio (wastes handled per thousand rupiah)
0,66 liters 0, 65 liters
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 30 , perbandingan Alternatif A
terhadap B adalah sebagai berikut : 𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝐵𝐵𝐶𝐶𝑟𝑟 𝐴𝐴𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝐵𝐵𝐶𝐶𝑟𝑟 𝐵𝐵
= Rp 1500 /𝑙𝑙𝐵𝐵𝑟𝑟 Rp 1533 /𝑙𝑙𝐵𝐵𝑟𝑟
= 1 : 1.022
Dengan perbandingan tersebut, rasio biaya apabila mengolah sendiri dengan
investasi alat penjernih akan 1.022 kali lebih besar jika dibandingkan jika
menyerahkan ke pihak ketiga. Dengan demikian, apabila jumlah limbah solvent
kurang dari 60 liter maka alternatif A lebih efektif dibandingkan alternatif B, dan
sebaliknya apabila jumlah limbahnya lebih dari itu, maka alternatif B lebih efektif
dibandingkan alternatif A.
7.4 Pertimbangan dalam Penanganan Limbah Medis
Limbah Medis adalah merupakan limbah B3 juga, terutama karena sifatnya
yang kimiawi, sehingga jika dibuang begitu saja akan membahayakan
keselamatan makhluk hidup dan lingkungan. Oleh karena itu, limbah ini harus
ditangani segera. Limbah medis terbagi menjadi dua yaitu limbah cair dan padat.
Limbah padat seperti obat-obatan, pembalut, botol infus dan suntik masih sering
dibuang begitu saja sehingga bercampur dengan sampah-sampah di TPA. Padahal
limbah ini harus ditangani secara khusus agar tidak bercampur dan justru
73
menyebarkan patogen ke lingkungan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan pada 100 RS, setiap limbah yang dihasilkan mencapai 3,2
kg/tempat tidur/hari9
Jumlah Kamar Tidur (kamar)
. Limbah medis ini dapat diserahkan ke pihak ketiga jika
terkendala dalam pengadaan alat incinerator. Sehingga alternatif penangan limbah
medis ini adalah apakah dengan membangun fasilitas incinerator, atau dengan
menyerahkan ke pihak ketiga.
Jika diklasifikasikan, jumlah limbah yang dihasilkan setiap RS berdasarkan
kamar tidur setiap harinya adalah seperti pada Tabel 31.
Tabel 31 Jumlah limbah medis yang dihasilkan berdasarkan jumlah kamar RS
Jumlah Limbah Padat (kg) <50 >160
50-250 160-800 250-400 800-1.280
>400 >1.280 Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Sehingga jika diserahkan ke pihak ketiga maka biaya pengelolaan limbah medis
setiap harinya dijelaskan pada Tabel 32.
Tabel 32 Biaya pengolahan limbah medis oleh pihak ketiga
Alternatif Pengangkutan
Tipping Fee per kg/ material Material (kg) Biaya Total (Rp)
Jasa Pihak ketiga Rp 1700/kg
<160 < 272 000 160-800 272 000- 1 360 000
800-1.280 1 360 000 – 2 176 000 >1.280 >2 176 000
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 1204 Tahun
2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit, cara dan teknologi
pengolahan dan pemusnahan limbah medis padat disesuaikan dengan kemampuan
rumah sakit dan jenis limbah padat yang dihasilkan (Ersa, 2012).
Dengan demikian setiap rumah sakit dapat memilih cara menangani limbah
padatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing rumah sakit. Jika rumah sakit
memilih untuk menangani limbahnya sendiri, maka diperlukan alat penghangus
9 Penangan dan Pengolahan Limbah Rumah Sakit. Di unduh melalui http://shantybio.transdigit.com/?Biology_Dasar_Pengolahan_Limbah:Penanganan_dan_Pengolahan_Limbah_Rumah_Sakit, Kamis, 03 April 2014, pukul 10:15
74
limbah atau yang dikenal dengan incinerator. Jika memilih untuk investasi
incinerator, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : suhu minimal
1100 C, memiliki pengendali pencemaran, memiliki sejumlah luas lahan dan
bangunan untuk mencegah incinerator dari panas dan hujan. Emisi gas buang
yang dihasilkan dari proses insinerasi pun harus memenuhi syarat Kep
03/Bapedal/9/1995 atau Kep.13 MENLH/1995 10
Jumlah Kamar Tidur (kamar)
Karena incinerator dirancang khusus berdasarkan jenis dan jumlah limbah,
maka tipe yang berbeda memiliki kapasitas yang berbeda pula dan harga yang
juga berbeda. Oleh sebab itu, perlu diklasifikasikan terlebih dahulu jumlah limbah
yang dihasilkan oleh masing-masing RS setiap harinya, seperti yang dijelaskan
pada Tabel 33.
Tabel 33 Tipe incinerator berdasarkan jumlah limbah medis Jumlah Limbah
(kg) Tipe Incinerator Harga Incinerator *)
(Rp) <50 <160 02 205 992 000
50-250 160-800 05 459 840 000 250-400 800-.280 10 642 734 400
>400 >1.280 20 1 102 171 200 *) Harga Incinerator diperoleh dari wawancara dengan salah satu perusahaan supplier incinerator Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
Keputusan mengelola sendiri limbah medis dengan investasi isinerator
(asumsi umur teknis incinerator adalah 20-25 tahun) maka biaya yang akan
dikeluarkan untuk pemusnahan limbah ini dijelaskan sebagai berikut.
Tabel 34 Investasi untuk limbah <160 kg
No Komponen Jumlah Biaya Satuan (Rp)
Biaya Total (Rp)
Total Biaya Harian (Rp)
1. Lahan dan bangunan 50 m2 2 150 000 107 500 000 17 228
2. Incinerator Tipe 02 1 unit 220 592 400 220 592 400 35 351,346
4. Kebutuhan solar sebagai bahan bakar 12 ltr/jam 8 000 768 000 768 000
5. Tenaga kerja pengawas 3 orang 2 447 450 7 342 350 282 398,077
Total Biaya Operasional 1 102 977 Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
10Pedoman Pengelolaan bahan berbahaya dan Beracun dengan Incinerator. Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Surabaya. http://lh.surabaya.go.id/weblh/?c=main&m=detail&id=52
75
Tabel 35 Investasi untuk limbah 160-800 kg
No Komponen Jumlah Biaya Satuan (Rp)
Biaya Total (Rp)
Biaya Total harian (Rp)
1.
Lahan dan bangunan 50 2 150
000/m2 107 500 000 17 228
2. Incinerator Tipe 05 1 unit 459 840 000/
unit 459 840 000 73 692,3077
4. Kebutuhan solar sebagai bahan bakar
20 ltr/jam 8 000/ltr 1 280 000 1 280 000
5. Tenaga kerja pengawas 3 orang 2 447
450/orang 7 342 350 282 398,077
Total Biaya Operasional 1 653 318 Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
Tabel 36 Investasi untuk limbah 800-1280 kg
No Komponen Jumlah Biaya Satuan (Rp)
Biaya Total (Rp)
Biaya Total Harian (Rp)
1. Lahan dan bangunan 50 2 150 000/
m2 107 500 000 17 228
2. Incinerator Tipe 10 1 unit 642 734 400/
unit 642 734 400 103 002,308
4. Kebutuhan solar sebagai bahan bakar
25 ltr/jam 8 000/ltr 1 600 000 1 600 000
5. Tenaga kerja pengawas 3 orang 2 447 450/
orang 7 342 350 282 398,077
Total Biaya Operasional 2 002 628 Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
Tabel 37 Investasi untuk limbah >1280 kg
No Komponen Jumlah Biaya Satuan (Rp)
Biaya Total (Rp)
Biaya Total Harian (Rp)
1. Lahan dan bangunan 50 2 150 000 107 500 000 17 228
2. Incinerator Tipe 20 1 unit 1 102 171 200 1 102 171 200 4 592 380
4. Kebutuhan solar sebagai bahan bakar
30 ltr/jam 8 000 1 920 000 1 920 000
5. Tenaga kerja pengawas 3 orang 2 447 450 7 342 350 282 398,077
Total Biaya Operasional 6 812 006 Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
76
Jika biaya investasi pengolahan limbah medis dibandingkan dengan biaya
penyerahan limbah jika diolah oleh pihak ketiga, maka hasilnya adalah seperti
pada Tabel 38.
Tabel 38 Cost-effectiveness with fixed (identical) effectiveness for medical wastes treatment
Effetiveness (kg of medical
wastes handled)
Alternatif A Alternatif B
Cost C/E ratio Cost maximal C/E ratio
<160 < 272 000 1 700 1 102 977 6 893,61 160-800 272 000- 1 360 000 1 700 1 653 318 2 066, 65
800-1178 1 360 000-2 002 628 1 700 2 002 628 2 503, 29 1178-1280 2 004 300 – 2 176 000 1 700 2 002 628 1 700 1281-4007 2 177 700- 6 811 900 1 700 6 812 006 5 371,73
>4008 >6 813 600 1 700 6 812 006 1700 Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
Berdasarkan tabel di atas, jika membandingkan kedua biaya alternatif
pengolahan limbah medis, rasio efektivitas biaya akan lebih kecil jika diserahkan
ke pihak ketiga (alternatif A) ketika jumlah limbah sebanyak 1-1178 kg dan
berada diantara selang 1281-4007 kg. Sedangkan apabila jumlah limbah medis
berada diantara selang 1178-1280 kg dan lebih dari 4008 kg, maka alternatif B
(pengolahan limbah secara mandiri dengan investasi incinerator) akan lebih
efektif jika dibandingkan dengan penyerahan ke pihak ketiga karena rasio
efektivitas biaya maksimalnya lebih kecil dibandingkan dengan alternatif A.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan limbah
medis dengan incinerator. Pembakaran tidak akan menghanguskan material
hingga 100%. Biasanya hasil pembakaran akan menyisakan abu 2% hingga 5%
dari total pembakaran. Abu ini bersifat berbahaya dan beracun, sehingga harus
diserahkan ke pengelola yang telah dipercaya. Konsekuensinya adalah adanya
biaya tambahan yang akan dikeluarkan jika menyerahkan abu ke pihak lain.
Selain itu, incinerator membutuhkan perawatan secara periodik, sehingga ada
biaya-biaya tambahan yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk
mengolah sendiri limbah medis tersebut.
77
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Hadirnya perusahaan pengolah dan pemanfaat limbah B3 menunjukkan
bahwa limbah B3 dapat bernilai ekonomi baik itu dari segi pembayaran jasa
atas pengolahan maupun penjualan produk hasil pemanfaatan B3, serta
membantu pemerintah dan penghasil limbah dalam mengatasi permasalahan
pengelolaan B3 nya. Berdasarkan aspek-aspek penilaian seperti aspek pasar,
sosial-ekonomi, hukum, teknis, perusahaan-perusahaan seperti ini layak
dikembangkan. Dan berdasarkan aspek finasial, keuntungan yang diperoleh
oleh perusahaan dalam jangka waktu yang telah direncanakan akan bernilai
positif dengan tingkat pengembalian yang cukup besar (Net B/C=3) dengan
NPV sebesar Rp 118 490 712 312 dan IRR sebesar 17% dan pengembalian
investasi (pay back period) pada tahun ke 8. Hal yang perlu
dipertimbangkan dalam perencanaan pengelolaan B3 ini adalah skala
ekonominya, yakni ketika terjadinya perubahan jumlah masukan limbah B3
dimana jumlah masukan limbah tidak mencapai 70% dari kapasitas alat
pengolah limbah, kondisi tersebut mengakibatkan usaha ini menjadi tidak
layak untuk dijalankan.
2. Dalam kondisi anggaran terbatas, penanganan fly ash oleh pihak ketiga
akan lebih efektif dibandingkan jika mengelola secara mandiri karena dari
segi biayasedangkan apabila berada pada kondisi anggaran tak terbatas,
maka memanfaatkan fly ash menjadi paving block akan lebih
menguntungkan. Limbah sludge akan lebih efektif apabila dimanfaatkan
menjadi low grade paper dibandingkan apabila diserahkan ke perusahaan
pengolah B3. Apabila jumlah limbah solvent kurang dari 60 liter lebih
efektif jika diserahkan ke pihak ketiga sebaliknya, apabila solvent lebih
dari 60 liter, rasio biaya apabila menyerahkan ke pihak ketiga akan 3.26
kali lebih besar jika dibandingkan menangani sendiri. Limbah medis akan
lebih efektif diserahkan ke pihak ketiga jika limbah berjumlah 1-1177 kg/
hari dan 1281-4007 kg/hari, sedangkan limbah dengan jumlah 1178-1280
kg/ hari dan lebih dari 4007 kg/hari akan lebih efektif jika mengolah
sendiri dengan investasi incinerator.
78
Saran
1. Usaha pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 ini selain membantu
mengatasi permasalahan limbah B3 ternyata memberikan keuntungan dan
pengembalian yang besar bagi pelaku usaha, sehingga jasa pengolahan dan
pemanfaatan B3 layak jika terus dikembangkan dan bahkan untuk skala
yang lebih besar mengingat jumlahnya di Indonesia masih sedikit,
sementara permintaan cukup besar. Namun yang perlu diperhatikan adalah
skala usahanya karena jika ukuran masukan limbah kecil, pengeluaran atas
biaya-biaya tidak dapat ditutupi oleh penerimaan, baik dari pengolahan
maupun penjualan produk hasil pemanfaatan.
2. Bagi PT.X, usaha pengelolaan limbah B3 ini memang menguntungkan secar
finansial bagi perusahaan dan layak untuk dikembangkan lebih jauh, namun
perlu untuk tetap memperhatikan bagaimana agar limbah B3 ditangani
dengan tepat dan sesuai kaidah-kaidah yang berlaku sehingga tidak
merugikan lingkungan sekitar dan bahkan perusahaan sendiri nantinya
sehingga aktivitas pengelolaan B3 ini dapat bertahan lama.
3. Bagi para pelaku usaha yang menghasilkan limbah B3 dapat
mempertimbangkan keputusan terbaiknya, apakah dengan mengelola sendiri
atau menyerahkan ke pihak ketiga untuk mengolah limbah B3nya sehingga
permasalahan limbah B3 tidak menjadi beban lagi bagi perusahaan, apalagi
saat ini telah ada berbagai bentuk pendanaan lingkungan di Indonesia
sehingga usaha pengendalian pencemaran limbah tidak lagi memberatkan.
4. Pendekatan pemilihan keputusan terbaik penanganan masalah limbah B3
dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan cost effectiveness analysis
atau dengan biaya terkecil, namun ada pertimbangan-pertimbangan lain
diluar biaya yang menjadi dasar pengambilan keputusan pengolahan limbah
B3. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keputusan
pengolahan limbah B3 ini, seperti faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan/ mengapa menyerahkan ke pihak ketiga, serta persepsi dan
pengetahuan perusahaan tentang pengolahan dan pemanfaatan limbah B3
5. Aktivitas usaha pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 seperti ini adalah
salah satu pengelolaan limbah B3 sehingga pemerintah sebaiknya
79
mendorong pengelolaan B3 apakah dengan mekanisme insentif ekonomi
seperti subsidi maupun penetapan tarif pajak sehingga mendorong industri
ini berkembang di Indonesia. Selain itu, resiko aktivitas industri ini cukup
besar mengingat karakteristik B3 itu sendiri, sehingga program asuransi
lingkungan sebaiknya dikembangkan lebih jauh agar aktivitas-aktivitas
pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan ini dapat berkembang tanpa
adanya rasa kekahwatiran akan biaya recovery ketika terjadinya kecelakaan
akibat aktivitas usaha ini.
80
DAFTAR PUSTAKA Alumur, Sibel dan Bahar Y. K. 2007. A new Model for the hazardous waste
location-routing problem. Jurnal. Elsevier : Computer and Operating Research 34 (2007) 1406-1423.
Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Industri Besar dan sedang Jawa Barat 2010. Buku 1 hal. 43-52. Penerbit : Badan Pusat Statistik.
Berkel, Rene Van. 2010. Evolution and diversification of National Cleaner Production Centres (NCPCs). Jurnal. Elsevier : Journal of Environmental Management 91 (2010) 1556-1565.
Blackman, Allen. 2009. Colombia’s discharge fee program : Incentives for polluters or regulators? Jurnal. Elsevier : Journal of Environmental Management 90 (2009) 101-119.
Boardman E.Anthony, Greenberg H. David, Vining R.Aidan, Weimer L. David. 2006. Cost-Benefit Analysis. Third Edition. New Jersey: Pearson Education Inc.
Cantor, Scott. B dan Ganiats, T.G. 1999. Incremental cost effectiveness analysis : the optimal strategy depends on the strategy set. Jurnal. Elsevier : J Clin Epidemiol Vol. 52, No.6, pp. 517-522.
Dixon, J.A dan Maynard M. H. 1991. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 2014. Upah Minimum Sektoral Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia tahun 2011 s.d 2014. Penerbit : Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Ersa, Nanda Savira.2012.Evaluasi Pengelolaan Limbah Padat Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Rumah sakit. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Field, B.C. 1994. Environmental Economics : An Introductory. Singapore: McGraw-Hill, Inc.
Ginting, Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Bandung: Yrama Widya.
Gittingger, J. Price. 2008. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Hamid, H dan B. Pramudyanto. 2007. Pengawasan Industri dalam Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Jakarta : Penerbit Granit.
Haqq, Kamila. 2009. Analisis Efektivitas Biaya dan Penilaian Masyarakat Terhadap Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Telogorejo Semarang. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta.: Penerbit Sinar Grafika.
81
Kementerian Lingkungan Hidup, 2013 : Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Batam, pada tanggal 18-20 Juni 2013- See more at : http://www.menlh.go.id/bimbingan-teknis-pengelolaan-limbah-b3/#sthash.KvMsizZC.dpuf dan http://www.menlh.go.id/rancangan-peraturan-pemerintah-rpp-tentang-pengelolaan-bahan-berbahaya-dan-beracun-b3-limbah-b3-dan-dumping-limbah-b3/#sthash.zg4RZhPt.dpuf. Diakses pada : 11 Februari 2014.
Kementerian Lingkungan Hidup. Insentif dan Pendanaan Lingkungan. Buletin. Kementerian Lingkungan Hidup. Produksi Bersih. Buletin
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-01/Bapeda/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-01/Bapeda/09/1995 tentang Tata Cara dan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-02/Bapeda/09/1995 tentang Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-03/Bapeda/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit
Keraf, A. Sony. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Komarayati S, Gusmailina, Saepuloh. 2009. Prospek dan Kualitas Pupuk Organik dari Limbah Padat Industri Pulp dan Kertas. Jurnal.
Kristanto, Philip. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta : Penerbit Andi. Luken, Ralph. A. 2009. Equivocating on the polluter-pays principle: The
consequence for Pakistan. Jurnal. Elsevier : Jurnal of Environmental Management 90 (2009) 3479-3484
Mara, D dan S. Cairncross.1994. Pemanfaatan Air Limbah dan Eksreta. Bandung : Penerbit ITB
Mankiw, N. Gregory. 2000. Pengantar Ekonomi. Jakarta : Penerbit Erlangga Mitchell.B, B. Setiawan, D.H. Rahmi. 2010. Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Nemerow, L. Nelson dan Dasgupta Avijit. 1991. Industrial and Hazardous Waste
Treatment. New York :Wiley & Sons, Incorporated. Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate. Jakarta : Penerbit Erlangga.
82
Pedoman Pengelolaan bahan berbahaya dan Beracun dengan Incinerator. Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Surabaya. http://lh.surabaya.go.id/weblh/?c=main&m=detail&id=52. Kamis, 03 April 2014, pukul 12:35.
Penangan dan Pengolahan Limbah Rumah Sakit. Di unduh melalui http://shantybio.transdigit.com/?Biology_Dasar_Pengolahan_Limbah:Penanganan_dan_Pengolahan_Limbah_Rumah_Sakit. Kamis, 03 April 2014, pukul 10:15.
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2007 Tentang Jenis-jenis Bahan Berbahaya dan Beracun.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.30 Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perizinan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta pengawasan Pemulihan akibat Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun oleh Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285).
Phillips, Ceri dan Thompson, Guy. 2001. What is Cost-effectiveness? Jurnal. Volume 1 No. 3. Hayward Medical Communications, Hayward Group plc.( www.evidence-based-medicine.co.uk)
Polprasert, Chongrak dan L.R.J Liyanage. 1996. Hazardous wate generation and processing.Jurnal. Elsevier: Resources, Conservation and Recycling 16 (1996) 213-226.
Rubinstein, Lynn. 2012. Moving towards Zero Waste & Cost Savings – A Roadmap for Builders & Contractors for Construction & Demolition Projects. Northeast Recycling Council, Inc. With funding from the U.S. Environmental Protection Agency.
Safitri E dan Djumari. 2009. Kajian Teknis dan Ekonomis Pemanfaatan Limbah Batu Bara (Fly Ash) pada Produksi Paving Block. Jurnal. Media Teknik Sipil, Volume IX, Januari 2009.
Saltelli, A., Ratto,M., Andreas, T., Compolongo, F., Cariboni,J., Gatelli, D., Saisana, M.,Tarantola, S. 2008. Global Sensitivity Analysis: The Primer. Wiley Online Library.
Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor : 03-0348-1989. Suparmoko, M dan Suparmoko Maria. Ekonomika Lingkungan. Yogyakarta :
Penerbit BPFE.
83
Tim Pengajar MK. Ekonomi Lingkungan. 2010. Ekonomi Lingkungan. Modul Kuliah. Departemen ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.
Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Tabel 13, Bab IV Hal 59. Yogyakarta : Penerbit Andi.
Wibisono, Y. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR –Corporate Social Responsibility. Gresik : Fascho Publishing
World green house emissions by sector (http://maps.grida.no/go/graphic/world-greenhouse-gas-emissions-by-sector2). Diakses pada : 12 Februari 2014
Zero Waste New Zealand Trust. 2001. The End of Waste. Zero Waste by 2020 (www.zerowaste.co.nz).
84
LAMPIRAN
85
Dokumentasi Penelitian
Gambar 1 Insinerator PT.X dan Perlengkapan laboratorium untuk menhuji limbah
Gambar 2. Fly Ash. Mesin Cetak Paving Block, dan Paving Block
Gambar 3. Sludge, Mesin Cetak Kertas, dan Low grade paper
86
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 12 Juli 1992 dari pasangan
Emile Lumbantobing dan Osda Situmorang. Penulis adalah putri pertama dari
lima bersaudara. Penulis lulus dari SMA N.1 Tarutung pada tahun 2010 dan
diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan melalui jalur USMI.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata
kuliah Ekonomi Umum tahun ajaran 2011/2012, 2012/2013, dan 2013/2014.
Penulis juga aktif di berbagai organisasi baik di dalam maupun luar kampus
seperti sekretaris pada Departemen Science and Technology IAAS LC IPB, ketua
organisasi mahasiswa asal daerah PARTARU, Komisi Pelayanan Anak PMK IPB,
dan DPM FEM IPB. Penulis juga menerima beasiswa BBM pada 2011/2012 dan
Karya Salemba Empat 2012/2013-2013/2014. Pada Juni-Agustus 2014, Penulis
berkesempatan mengikuti program Kuliah Kerja Praktek (KKP) bekerjasama
dengan PT.Arutmin Kintap Coal Mine, di desa Sungai Cuka, Kalimantan Selatan.