analisis artikel sosiologi hukum

5
Nama : Azzam Gilas Tirani Jurusan/ Semester/ Kelas : Sosiologi/ V/ A Mata Kuliah : Sosiologi Hukum 1. Artikel Pakar Sosiologi Hukum Prof.DR. Satjipto Raharjo, dalam bukunya “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Penerbit Kompas, 2003”, secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak bersalah, sekalipun putusan Judex Factie ( PN dan PT) telah menyatakan yang bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini”. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam mengenai perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan. Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum di dalam masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi prilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang- undang atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama. Namun kalau dilihat secara materiil, sungguh sulit membangun budaya hukum di negeri ini.

Upload: azzam-gilas-tirani

Post on 31-Jan-2016

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Isi dari dokumen ini merupakan analisis dari sebuah artikel yang didalamnya terdapat teori Anomie Emile Durkheim

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Artikel Sosiologi Hukum

Nama : Azzam Gilas Tirani

Jurusan/ Semester/ Kelas : Sosiologi/ V/ A

Mata Kuliah : Sosiologi Hukum

1. Artikel

Pakar Sosiologi Hukum Prof.DR. Satjipto Raharjo, dalam bukunya “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Penerbit Kompas, 2003”, secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak bersalah, sekalipun putusan Judex Factie ( PN dan PT) telah menyatakan yang bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini”. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam mengenai perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan.

Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum di dalam masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi prilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama. Namun kalau dilihat secara materiil, sungguh sulit membangun budaya hukum di negeri ini.

Sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku. Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu?

Perlu Penulis tegaskan lagi, bahwa kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesetiaan masyarakat atau subyek hukum itu terhadap hukum yang kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang nyata patuh pada hukum. Secara a contra-rio masyarakat tidak patuh pada hukum karena masyarakat tersebut dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara kesetiaan yang satu bertentangan dengan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada kesetiaan terhadap hukum atau kesetiaan

Page 2: Analisis Artikel Sosiologi Hukum

terhadap “kepentingan pribadinya” yang bertentangan dengan hukum, seperti banyaknya pelanggaran lalu-lintas, korupsi, perbuatan anarkisme, dll. Apalagi masyarakat menjadi berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik. Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.

Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Jika kita sudah konsisten membangun negara ini menjadi negara hukum, siapapun harus tunduk kepada hukum. Hukum tidak dapat diberlakukan secara diskriminatif, tidak memihak kepada siapapun dan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak keadilan hukum. Namun jika hukum diberlakukan diskriminatif, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui hukum rimba atau kekerasan fisik. Oleh karenanya hukum harus memiliki kewibawaannya dalam menegakkan supremasi hukum agar masyarakat dapat menghormatinya dalam wujud kepatuhannya terhadap hukum itu sendiri. Dengan demikian perlunya membangun budaya hukum merupakan suatu hal yang hakiki dalam negara hukum, dimana hukum harus dapat merubah masyarakat untuk menjadi lebih baik, lebih teratur, lebih bisa dipercaya untuk memperjuangkan hak dan keadilan, lebih bisa menciptakan rasa aman. Semoga..!!.

2. Analisis Teori & Argumentasi Pribadi

Dalam artikel yang telah dipaparkan diatas ada beberapa kata yang perlu diperhatikan yaitu Kepatuhan hukum dan Kesadaran Hukum. Dalam hal ini saya pribadi menganalisis bahwa artikel ini dapat dikorelasikan menggunakan teori Anomie dari Durkheim maupun Robert K Merton.

Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Emile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “tanpa”, dan nomos: “hukum” atau “peraturan”. Dalam buku the division of labor in society Emile Durkheim mempergunakan istilah Anomi untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation” di dalam masyarakat yang di artikan sebagai tidak di taatinya aturan-aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang di harapkan dari orang lain dan keadaan ini menyebabkan deviasi.

Konsep Merton tentang Anomie berbeda dengan apa yang digunakan oleh Durkheim, yang memberi batasan Anomie sebagai suatu keadaan tanpa norma atau tanpa harapan (Normless). Tipologi Merton tentang adaptasi pada Anomie dikenal sebagai teori ketegangan. Teori ini menganggap bahwa kejahatan muncul sebagai akibat apabila individu tidak dapat mencapai tujuan-tujuan mereka.melalui saluran legal atau menarik diri dari pergaulan sosial karena kemarahannya.

Page 3: Analisis Artikel Sosiologi Hukum

Dari uraian teori kedua tokoh mengenai teori tentang anomi, saya memiliki argumen pada artikel bahwa kesadaran serta kepatuhan akan hukum dalam masyarakat di negeri tercinta masih dibilang jauh dari kata ideal. Dengan demikian akan muncul pertanyaan kenapa masyarakat negeri tercinta ini belum patuh terhadap hukum yang berlaku? Di dalam artikel telah menyebutkan bahwa kepatuhan akan hukum diukur dalam kesetiaan seseorang tersebut akan hukum bukan terhadap kesetiaan terhadap “kepentingan pribadi”, yang artinya bahwa terbentuknya prilaku nyata patuh terhadap hukum yang berlaku bukan dengan patuh akan kepentingan pribadi dimana seseorang akan bersikap ambisi untuk mencapai tujuan dari kepentingan pribadi diatas dan mengesampingkan kepatuhan akan hukum yang berakibat dengan banyaknya perlilaku yang bertentangan dengan hukum. Didalam artikel juga menyebutkan bahwa ketika kesetiaan lebih condong kepada kepentingan pribadi ketimbang dengan hukum maka pemerintah akan memecahkan solusi dengan cara membuat takut masyarakat karena ketakutan dapat membuat seseorang patuh terhadap sesuatu hal yang telah dirumuskan atau ditentukan. Akan tetapi dalam artikel menyebutkan bahwa ketika seseorang sadar akan hukum belum tentu dia akan patuh terhadap hukum dikarenakan faktor kesetiaan yang telah dijabarkan sebelumnya. Saya secara pribadi ingin menambahkan bahwa kesadaran adalah hal yang paling penting ketika kita melakukan segala sesuatu, mungkin dalam artikel tersebut kesadaran yang dipaparkan hanya dalam ruang lingkup yang sederhana. Saya berpendapat ketika seseorang sadar akan ajaran agama (Islam) yang dianutnya maka dengan otomatis kepatuhan akan hukum (baik hukum yang Tuhan buat dengan hukum yang dibuat manusia) seseorang akan terbangun dengan baik karena di agama (Islam) telah mengajarkan tentang kebaikan yang BENAR. Maka dari itu mari kita refleksikan bersama ketika kita tidak patuh terhadap hukum apakah kita telah sadar sepenuhnya terhadap ajaran agama?

Sumber Penulisan:

1. http://artikel.kantorhukum-lhs.com/kebudayaan-hukum-antara-kesadaran- kepatuhan/

2. https://www.academia.edu/9022377/Teori_Anomi