analisis administrasi dan kebijakan vol_ 3 no_1 2006

Upload: rudi-hartono-lubis

Post on 10-Jul-2015

179 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Nasution, dkk., Strategi Peningkatan PAD

KATA PENGANTAR

Implementasi otonomi daerah melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai perubahan ke arah yang lebih baik di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam praktiknya, di sana-sini masih terdapat banyak kekurangan sehingga menimbulkan ketidakpuasan bagi masyarakat. Hal inilah yang menggugah para praktisi dan akademisi dalam bidang Administrasi Publik untuk menyampaikan pemikirannya sehubungan dengan pokok-pokok masalah yang dikritisi. Pemikiran ini dituangkan dalam bentuk artikel dan dihimpun dalam jurnal terbitan 2006 ini. Alwi Hasyim Batubara membahas konsep good governance dalam otonomi daerah sebagai suatu syarat mutlak untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang dapat mengikuti tuntutan perubahan sesuai dengan kondisi masyarakat. Beti Nasution melihat perlunya pelatihan sumber daya manusia berbasis kompetensi, dilanjutkan tentang perlunya perhatian perdagangan ekspor dan impor oleh Dahlia Hafni Lubis. Di sisi lain, Erika Revida melihat munculnya perilaku kekerasan sehingga manajemen konflik perlu dikembangkan untuk menjawab persoalan tersebut. M. Arifin Nasution lebih operasional dalam pengembangan otonomi daerah melalui konsep pemberdayaan kelurahan, diikuti tulisan mengenai pentingnya pengembangan kawasan melalui paradigma perencanaan partisipatif oleh Marlon Sihombing. Selanjutnya Antonius Sitepu mengkaji secara teoretis pendekatan realisme politik, ditutup dengan paparan Rasudyn Ginting tentang struktur pemerintahan negara Republik Indonesia pasca-amandemen UUD 1945. Untuk memahami alur pikir mereka kami persilakan Anda membaca artikel-artikel mereka dalam jurnal ini. Selamat membaca!

Nasution, dkk., Strategi Peningkatan PAD

Jurnal

ANALISISADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN

ISSN 1412-7377 Volume 3, Nomor 1, Januari - April 2006 Halaman 1 66

DAFTAR IISII DAFTAR SKONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH Alwi Hashim Batubara............................................................................................................................ 1- 6 PELATIHAN SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS KOMPETENSI Beti Nasution ....................................................................................................................................... 7 - 14

SEKILAS TENTANG PEMBUKAAN LETTER OF CREDIT (LC) DALAM PERDAGANGAN EKSPOR DAN IMPOR Dahlia Hafni Lubis............................................................................................................................ 15 - 22

PERILAKU KEKERASAN DAN MANAJEMEN KONFLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Erika Revida....................................................................................................................................... 23 - 28

KONSEP PEMBERDAYAAN KELURAHAN DI KOTA MEDAN (Studi tentang Implementasi Konsep Pemberdayaan Kelurahan di Kota Medan) M. Arifin Nasution.............................................................................................................................29 37

PENGEMBANGAN KAWASAN MELALUI PARADIGMA PERENCAAN PARTISIPATIF Marlon Sihombing ............................................................................................................................. 38 - 47 TEORI REALISME POLITIK HANS J. MORGENTHAU DALAM STUDI POLITIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL P. Anthonius Sitepu............................................................................................................................ 48 - 56 STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PASCA-AMANDEMEN Rasudyn Ginting ................................................................................................................................57 66 Jurnal ANALISIS Administrasi dan Kebijakan Medan, Januari April 2006 ISSN 1412 7377

Vol. 3

No. 1

Hlm. 1 66

2

Alwi Hasyim Batubara, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah

KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM KONSEP OTONOMI DAERAH Alwi Hasyim Batubara Abstract: Good governance is connection with local government implementation. Bureaucracy development is one of a pact instrument to realize good governance concept in local government. But, the concept is depend on political will from government, legislative, and society. Keywords: good governance, local autonomy 1. PENDAHULUAN Good governance dalam konteks otonomi daerah merupakan bahasa strategi karena, pertama, erat relevansinya dengan berkembangnya operasionalisasi manajemen dan administrasi publik, selaras dengan berbagai perubahan kemasyarakatan, baik pada skala domestik maupun skala internasional. Pertimbangan kedua adalah relevansinya yang nyata dengan upaya kita untuk membangun sistem nasional yang berdaya saing tinggi dan adaptif dalam memasuki era globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Pertimbangan ketiga adalah relevansinya dengan organisasi sektor publik saat ini tengah menghadapi tekanan untuk lebih efisien, memperhitungkan biaya ekonomi dan biaya sosial, serta dampak negatif atas aktivitas yang dilakukan. Pertimbangan keempat relevansinya dengan perubahan paradigma pembangunan, yakni dari paradigma rule governance menjadi paradigma good governance. Dalam good governance peran serta aktif masyarakat sangat mendominasi pembangunan. Pertimbangan kelima, dalam revansinya dengan bentuk organisasi birokrasi pada masa-masa sekarang sudah saatnya untuk ditinjau kembali dan diarahkan kepada bentuk organisasi yang terbuka atau fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisien dan rasional, serta terdesentralisasi. Atau dengan kata lain, penyelenggaraan urusan pemerintahan hendaknya lebih dititikberatkan kepada kapasitas dan peran serta masyarakat di tingkat daerah atau wilayah. Kelima latar belakang tersebut terkait erat dengan permasalahan pokok yang dihadapi manajemen publik di antaranya: 1. Bagaimana mewujudkan good governance dalam konteks otonomi daerah. 2. Bagaimana mengupayakan sistem pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. 2. PEMBAHASAN Konsep Good Governance Jika mengacu pada program World Bank dan United Nation Development Program (UNDP), orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Gunawan Sumodiningrat (1999: 251) menyatakan good governance adalah upaya pemerintahan yang amanah dan untuk menciptakan good governance pemerintahan perlu didesentralisasi dan sejalan dengan kaidah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara itu, World Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Mardiasmo, 2002: 18). Selanjutnya, UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance, meliputi: a) Participation. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. b) Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. c) Transparency. Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.

1

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

d) Responsiveness. Lembaga-lembaga publik harus cepat tanggap dalam melayani stakeholder. e) Consensus orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. f) Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan. g) Efficiency and Effectiviness. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). h) Accountability. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. i) Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. Desentralisasi dan Otonomi Desentralisasi dari sudut asal usul kata berasal dari bahasa Latin, yaitu de atau lepas dan centrum atau pusat, jadi desentralisasi dapat berarti lepas dari pusat. Handoko (2003: 229) mengartikan desentralisasi sebagai penyebaran atau pelimpahan secara meluas kekuasaan dan pembuatan keputusan kepada tingkatan-tingkatan organisasi yang lebih rendah. Desentralisasi menurut Rondinelli (1981) merupakan: the transfer or delegation of legal and authority to plan, make decisions and manage public functions from the central governmental its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government, semi autonomous public corporation, area wide or regional development authorities, functional authorities, autonomous local government, or non-governmental organizations (desentralisasi adalah pemindahan wewenang perencanaan, pembuatan keputusan, dan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi lapangannya, unit-unit pemerintah daerah, organisasi-organisasi setengah swantantra-otorita, pemerintah daerah, dan nonpemerintah daerah (Koirudin, 2005: 3). Sejalan dengan pengertian/definisi desentralisasi di atas, dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos dan nomos yang berarti

perundangan sendiri. Dengan diberikannya hak kekuasaan dan pemerintahan kepada badan otonomi, seperti provinsi, kabupaten, dan kota maka dengan inisiatifnya sendiri dapat mengurus rumah tangganya dengan membuat/mengadakan peraturan-peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan pemerintah serta mampu menjalankan kepentingan umum. Otonomi adalah derivat dari desentralisasi. Dalam UndangUndang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara prinsipil terdapat dua hal yang tercantum dalam otonomi yaitu hak dan wewenang untuk memanajemeni daerah serta tanggung jawab untuk kegagalan dalam memanajemeni daerah. Sementara daerah dalam arti local state government adalah pemerintah di daerah yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sumodiningrat (1999: 255) mengemukakan bahwa hakikat otonomi adalah meletakkan landasan pembangunan yang tumbuh berkembang dari rakyat, diselenggarakan secara sadar dan mandiri oleh rakyat. Dewasa ini isu otonomi daerah dan demokratisasi menjadi salah satu agenda reformasi yang utama. Tema sentral kebijaksanaan pembangunan di era reformasi adalah mengedepankan paradigma pembangunan manusia yang menempatkan warga negara atau rakyat sebagai pelaku pembangunan dan yang menempatkan otonomi daerah sebagai wahana mewujudkan kesejahteraan rakyat. Banyak pendapat yang mengungkapkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia saat ini diyakini bisa menjamin segera terwujudnya good local governance. Apalagi jika dibandingkan secara dikotomis dengan praktik sentralistik di masa lalu yang meminggirkan sebagian besar komponen masyarakat, pelaksanaan otonomi daerah memiliki legitimasi/justifikasi politik dan moral yang sangat kuat. Permasalahannya bukan terletak pada perlu atau tidaknya otonomi, melainkan otonomi yang bagaimanakah yang bisa kita andalkan untuk mewujudkan good governance? (Wibawa, 2005). Dengan adanya otonomi daerah yang landasan berpikirnya mengacu pada good governance maka pembangunan daerah dan strategi apapun

2

Alwi Hasyim Batubara, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah

yang ingin ditempuh daerah untuk mewujudkannya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab elite politik, elite birokrasi, dan eksponen penting dari masyarakat daerah itu sendiri (Koirudin, 2005: 181). Manajemen Publik yang Bercirikan Good Governance Salah satu harapan terhadap reformasi adalah menuntun kembali fungsi pemerintah dan aparatnya untuk menjadi pelayan publik, dalam arti tugas pemerintah adalah melayani masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat yang melayani pemerintah. Birokrasi merupakan lembaga formal pemerintah dalam menjalankan proses pemerintahan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat umum. Pengembangan budaya baru yang sesuai dengan visi dan misi birokrasi sebagai agen pelayanan publik tentu harus dilakukan (Dwiyanto, 2005). Dalam hal ini pemerintah memiliki kekuasaan, fungsi, kewenangan, serta tugas yang harus dijalankan dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan negara. Kekuasaan pemerintah ini dapat terbagi atas beberapa lembaga negara dan pemerintah. Lembaga negara dan pemerintah inilah yang selanjutnya dikatakan sebagai birokrasi. Birokrasi memiliki sistem tersendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Sistem pertama yang diciptakan adalah bagaimana mengatur hubungan antarpemerintahan; kedua jika telah tercipta sistem tersebut maka pemerintah harus mengatur bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, katakanlah desentralisasi dan otonomi. Organisasi birokrasi merupakan salah satu konsep organisasi yang cukup tua. Konsep organisasi birokrasi bukan merupakan konsep yang buruk, oleh karena itu organisasi birokrasi banyak dipakai oleh pemerintahan di seluruh dunia, dan selalu berkutat dengan berbagai peraturan. Dalam perjalanan waktu pelaksanaannya menimbulkan keruwetan dan perasaan enggan untuk berurusan dengan birokrasi yang tercermin dari istilah birokratis, yang identik dengan urusan berbelitbelit. Sebagai penguasa mereka sering kali justru membutuhkan pelayanan dari warga. Karena itu, upaya untuk mengembangkan orientasi dan tradisi pelayanan kepada warga dalam birokrasi pemerintah selalu mengalami kesulitan. Orientasi pelayanan hanya akan dapat dikembangkan apabila budaya kekuasaan yang selama ini

berkembang di dalam birokrasi digusur dengan budaya pelayanan (Dwiyanto, 2005). Tidak dapat dipungkiri, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang, birokrasi pemerintah masih mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peran yang dimainkan oleh birokrasi pemerintah, mulai dari peran mengatur kehidupan masyarakat (regulative), melindungi masyarakat (protective), mendistribusikan sumber daya yang terbatas dari kelompok yang mampu ke kelompok yang kurang mampu (redistributive), memberikan subsidi agar masyarakat mau melakukan yang diinginkan pemerintah (distributive), sampai pemberian pelayanan publik (public service). Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ada pameo sebagaimana yang dikatakan oleh Stiglitz (1988) dalam Purwanto (2005): from birth to death, our lives are affected in countless ways by the activities of government yang artinya kurang lebih adalah sejak lahir sampai mati seorang warga negara tidak akan dapat melepaskan diri dari jangkauan birokrasi pemerintah. Dari uraian sebelumnya jelas teridentifikasi betapa pentingnya good governance dalam penyelenggaraan negara. Berikut ini akan dikemukakan beberapa butir pendapat tentang bagaimana membangun manajemen publik yang bercirikan good governance, antara lain: 1. Organisasi sektor publik agar memperhatikan value for money dalam menjalankan aktivitasnya. Value for money merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu: ekonomi, efisiensi, dan efektivitas (Mardiasmo,2002: 4). Value for money dapat tercapai apabila organisasi telah menggunakan biaya input paling kecil untuk mencapai output yang optimum dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kampanye implementasi konsep value for money pada organisasi sektor publik gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya tuntutan akuntabilitas publik dan good governance. Implementasi konsep value for money diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor publik dan kinerja sektor publik. Manfaat implementasi konsep value for money pada organisasi sektor publik antara lain: a) Meningkatkan efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran; b) Meningkatkan mutu pelayanan publik; c) Menurunkan biaya

3

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

pelayanan publik karena hilangnya inefisiensi dan terjadinya penghematan dalam penggunaan input; d) Alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; e) Meningkatkan kesadaran akan uang publik (publik costs awareness) sebagai akar pelaksanaan akuntabilitas publik. 2. Mengadopsi pendekatan New Public Management (NPM) dan Reinventing Government (Osborne & Gaebler,1992). Di banyak negara terutama negara Anglo-Saxon berbagai perubahan dilakukan dengan mengadopsi pendekatan NPM dan reinventing government. NPM berakar dari teori manajemen yang pada dasarnya beranggapan bahwa praktik bisnis komersial dan manajemen sektor swasta adalah lebih baik dibandingkan dengan praktik dan manajemen sektor publik. Untuk memperbaiki kinerja sektor publik, perlu diadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di sektor swasta ke dalam sektor publik, seperti pengadopsian mekanisme pasar, kompetisi tender (Compulsory Competitive Tendering-CCT), dan privatisasi perusahaan-perusahaan publik. Keinginan untuk mewirausahakan pemerintah bukan berarti mempertentangkan antara administrasi publik dengan administrasi privat, tetapi mengusahakan agar segala sesuatu yang diwirausahakan tidak hanya dimonopoli oleh pihak pengusaha tertentu yang dekat dengan pemerintah, tetapi menumbuhkan persaingan yang sehat antarpengusaha yang berkualitas (Syafiie dkk., 1999: 117-118). 3. Enterprising the government; ketika kehidupan tentang demokrasi makin merasuk dalam kehidupan masyarakat, khalayak pun semakin kritis dan punya daya tawar menawar dengan birokrat. Di sinilah tuntutan terhadap layanan publik semakin kencang, dan salah satu pilihannya adalah swastanisasi lembaga-lembaga pemerintahan dalam artian peningkatan kualitas layanannya kepada publik sebagai konsumennya. Enterprising the government pada intinya adalah memompa efisiensi dan efektivitas organisasi bisnis ke organisasi pemerintahan. Walaupun terdapat beberapa perbedaan, tetapi layanan publik dapat meniru layanan konsumen dalam dunia bisnis. Tujuan akhir dari pegawai pemerintah adalah membuat pelanggan merasa puas, dengan memenuhi kebutuhan dan harapannya terhadap layanan publik. Salah satu

cara adalah menerapkan konsep customers oriented dalam masalah-masalah kepegawaian. Customers oriented pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk masyarakat, (Utomo, 2003: 42). 4. Gray dalam tulisannya menyimpulkan bahwa institusi pasar adalah salah satu lembaga yang dalam praktiknya membolehkan adanya otonomi dan kebebasan individu. Salah satu klaim dari pendapatnya adalah agar pemerintah mengendalikan bahkan menghentikan kecenderungan sentralisasi dan mengembalikan kekuasaan serta inisiatif sosial-ekonomi kepada masyarakat. Meskipun pemerintah telah begitu besar beban kerja dan aktivitasnya, yang dibutuhkan bukanlah pemerintahan minimum, melainkan suatu kerangka yang terbatas dengan agenda tanggung jawab yang positif atau disebut dengan a limited or framework of government with significant positive responsibilities (Gray 1989) dalam Kristiadi (1998). Dari pendapat Gray tersebut, dapat diringkas beberapa peranan administrasi publik dalam masyarakat. Pertama, administrasi publik berperan menjamin pemerataan distribusi pendapatan nasional kepada kelompok masyarakat miskin secara berkeadilan. Kedua, administrasi publik berperan melindungi hak-hak pribadi masyarakat atas pemilikan kekayaan, serta menjamin kebebasan bagi masyarakat untuk melaksanakan tanggung jawab atas diri mereka sendiri dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan pelayanan bagi kelompok masyarakat lanjut usia. Ketiga, administrasi publik berperan melestarikan nilai-nilai tradisi masyarakat yang sangat bervariasi itu dari satu generasi ke generasi berikutnya, serta memberikan jaminan dan dukungan sumber-sumber sehingga nilai-nilai tersebut mampu tumbuh dan berkembang sesuai tuntutan perubahan zaman, serta dapat terus hidup secara damai, serasi dan selaras dengan budaya lain di lingkungannya. Pemikiran Gray ini tampaknya masih cukup relevan dengan kondisi perkembangan paradigma pembangunan di negara-negara dunia ketiga, tidak terkecuali Indonesia. 5. Kebutuhan untuk mengoptimalkan peranan mekanisme pasar dan peranan administrasi publik. Atau dengan kata lain bagaimana mewujudkan keseimbangan baru (newly and dynamic equilibrium) antara peranan pemerintah yang

4

Alwi Hasyim Batubara, Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah

tepat dengan peranan masyarakat yang partisipatif sekaligus mengindahkan kaidahkaidah internasional (Kristiadi, 1998). Meminjam istilah Oliver Wiliamson (1975, 1980, 1992) dan Barney and Oucky (1986): good governance dapat dicapai melalui pengaturan yang tepat fungsi pasar dengan fungsi organisasi termasuk organisasi publik sehingga dicapai transaksitransaksi dengan biaya paling rendah. Pilihan yang tepat transaksi baik melalui pasar, organisasi atau campuran (mixed mode) akan memungkinkan terwujudnya transaksi yang berbiaya rendah (economizing). Hal ini dilakukan agar: a. Dapat mengembangkan berbagai macam alternatif organisasi dan manajerial yang semakin banyak memberikan kesempatan kepada masyarakat dan swasta untuk berperan dalam memproduksi dan distribusi barangbarang dan jasa-jasa. Kata kunci masalah ini adalah pengembangan public-private partnership. b. Dapat mengembangkan administrasi keuangan dan anggaran yang berorientasi pada visi dan misi organisasi dan dapat menjamin terlaksananya manajemen sumber daya anggaran yang efektif, efisien, dan akuntabel. Kata kunci masalah ini adalah budgeting reform. c. Dapat membangun organisasi dan sistem administrasi publik yang berorientasi pada permintaan kebutuhan dan kepuasan costumer, sekaligus dapat menjamin kompetisi antarindustri, antar-perusahaan, dan usahawan itu sendiri. d. Dapat mengembangkan daya saing nasional (national competitiveness) yang tangguh dalam menghadapi ekonomi global (global economy). Daya saing nasional (national competitiveness) adalah tingkat sampai sejauh mana suatu negara dapat memenuhi permintaan pasar internasional dalam memproduksi barang dan jasa, sementara itu juga mempertahankan atau meningkatkan

pendapatan riil penduduknya (Hiit dkk,1999: 8). 6. Mempersiapkan unsur-unsur organisasi yang mendukung terwujudnya administrasi publik yang memenuhi kriteria good governance dan menjamin keseimbangan baru. Refleksi pemikiran McKinsey, unsur-unsur organisasi yang harus dibangun adalah system, strategy, structure, staff, skill, style, dan share value. Unsur-unsur yang berkaitan dengan soft structure, yakni staff, skill, style, dan share value (Hampden and Turner, 1994; Gibson, 1977). Untuk mewujudkan administrasi publik yang berciri modern dapat ditempuh melalui sistem pendidikan dan pelatihan pegawai negeri yang sistematis. 3. KESIMPULAN Untuk mewujudkan good governance dalam konteks otonomi daerah sekaligus bagaimana upaya sistem pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan serta kesejahteraan masyarakat, diperlukan adanya reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah baik struktur maupun infrastrukturnya dan yang menyangkut reformasi manajemen publik, organisasi sektor publik perlu mengadopsi beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan sektor swasta. Selain reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen publik, untuk mendukung terciptanya good governance, maka diperlukan serangkaian reformasi lanjutan terutama yang terkait dengan sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan dengan mendasarkan konsep value for money sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability) yang pada akhirnya dapat menciptakan kesejahteraan pada masyarakat.

5

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto, Agus. 2005. Mengapa Pelayanan Publik? Yogyakarta: Gajah Mada university Press. Gibson, Rowan et al. 1977. Rethinkng the Future. Niholas Brealey Publishing. Hampden, Charles and Turner. 1994. Corporate Culture. Judy Piatkus Publishers. Handoko, T.Hani. 2003. Manajemen. Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA. Hiit, Michael A, dkk. 1999. Manajemen Strategis Menyongsong Era Persaingan dan Globalisasi (terjemahan). Jakarta: Erlangga. Koirudin. 2005. Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di Indonesia Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah. Malang: Averroes Press. Kristiadi, J.B. 1998. Perspektif Administrasi Publik Menghadapi Abad XXI. Jakarta: Penebar Swadaya. Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi. Osborne, David, and Gaebler, Ted. 1992. Reinventing Government (How the Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector). Addison-Wesley Publishing Company Inc. Purwanto, Erwan Agus. 2005. Pelayanan Publik Partisipatif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat & JPS. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Syafiie, Inu Kencana dkk. 1999. Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Utomo, Warsito. 2003. Dinamika Administrasi Publik Anlisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer Dalam Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wibawa, Samodra. 2005. Good Governance Dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. UNDANG-UNDANG Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

6

PELATIHAN SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS KOMPETENSI Beti Nasution Abstract: There are three basic weakness on Indonesian labours, they are: lack of skill, narrow minded, and low ability in handling the working problems. Besides, nowadays the job market is faced the new trends which are caused by the advance of science and technology and globalization. The trends that can be written in the job market are the tend of service jobs and human capital based on knowledge. The problem and the trend of job market must be responsed well otherwise it will cause our labours become the decayed/coarsed labours meanwhile the strategic positions are held by the foreign countries labours, such as China, The Philipines, Kore, and Thailand. One of the steps in order to develop through establishing the human resources based on competency. The establishing efforts based on competency of a labour can be done by creating an integrated system between the individual needs (in organizational interests) and the training programme. This system is known as Competency-Based Training (CBT). CBT is an approach in training which is based on Behavior Learning Theory which is directed to knowledge skill and working ability improvement (SKA), flexibly, according to standard criteria creation and can be applied as soon as the training over. There are five steps which are necessary to be done to implement the CBT Program, they are: Organizational Scanning, Strategic Planning, and Competency Profiling, Competency Gap Analysis, and Competency Development. Keywords: human resources training, competency 1. PENDAHULUAN Ada tiga kelemahan mendasar yang melekat pada kemampuan pekerja Indonesia. Pertama adalah skill atau penguasaan keahlian spesifik sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Kedua, sempitnya pengetahuan dan wawasan yang membuat para pekerja kurang adaptif dengan perubahan di tempat kerja. Ketiga adalah lemahnya tingkat kemampuan (ability) dalam mengatasi masalah pekerjaan. Di samping masalah-masalah di atas, dunia kerja saat ini dihadapkan pada suatu trend baru yang disebabkan oleh adanya kemajuan iptek dan globalisasi. Trend yang paling bisa dicatat dalam dunia kerja adalah adanya kecenderungan terhadap pekerjaan jasa dan pekerjaan dengan tekanan pada modal manusia yang berbasis pengetahuan. Permasalahan serta trend dunia kerja itu harus segera disikapi dengan cara yang tepat, karena kalau tidak akan menyebabkan tenaga kerja kita hanya menjadi tenaga kasar sedangkan posisi-posisi strategis diduduki oleh pekerja dari negara lain, seperti Cina, Filipina, Korea, dan Thailand. Pekerjaan jasa dan proses kerja berbasis pengetahuan memerlukan pengelolaan yang berbasis pengetahuan pula. Organisasi tidak lagi semata-mata mengejar pencapaian produktivitas yang tinggi, tetapi lebih memperhatikan kinerja dalam proses pencapaiannya. Kinerja bagi setiap kegiatan dan individu adalah kunci pencapaian produktivitas. Kinerja adalah suatu hasil, di mana organisasi dan pekerja secara bersamasama membawa hasil akhir yang didasarkan pada tingkat mutu dan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perusahaan atau organisasi yang ingin tetap sukses dalam kompetisi globalisasi harus mampu mengintegrasikan kebutuhan perusahaan dengan keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan SDM serta mengaitkan tujuan perusahaan dengan perencanaan bisnis dan pembinaan SDM-nya. 2. PENGERTIAN KOMPETENSI Menurut Boyatzis (1982) dalam Mitrani (1995) kompetensi atau kemampuan adalah sifat dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan secara efektif atau sangat berhasil (an underlying characteristics of an individual wich is causally related to criterion referenced effective and or superior performance in a job or situation). Berdasarkan definisi tersebut underlying characteristic mengandung makna kompetensi yaitu bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas

7

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

pekerjaan. Sedangkan kata causally related berarti kompetensi adalah sesuatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Dan kata criterion-referenced mengandung makna kompetensi sebenarnya memprediksi siapa yang berkinerja baik, diukur dari kriteria atau standar yang digunakan. Misalnya volume penjualan yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja. Menurut Covey, Roger, dan Rebeca Merrill (1994) dalam Kirana (1997), kompetensi mencakup: a. kompetensi teknis yakni pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil-hasil yang telah disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif baru; b. Kompetensi konseptual yakni kemampuan untuk melihat gambar besar, untuk menguji berbagai pengandaian, dan mengubah perspektif; c. kompetensi untuk hidup dalam kesalingtergantungan yakni kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk mendengar, berkomunikasi, menciptakan kesepakatan menang-menang, dan kemampuan untuk melihat dan beroperasi secara efektif dalam organisasi atau sistem yang utuh. Dengan demikian kompetensi merupakan faktor mendasar yang dimiliki seseorang yang mempunyai kemampuan lebih, yang membuatnya berbeda dengan orang lain yang mempunyai kemampuan rata-rata atau biasa-biasa. Oleh sebab itu di sini kita tidak menggunakan istilah kecakapan tetapi kompetensi karena kecakapan sering kali dipahami sebatas keterampilan dan pengetahuan seseorang, sedang kompetensi memiliki cakupan yang lebih komprehensif, yang terdiri dari: 1. Motif; adalah kebutuhan atau pola pemikiran dasar seseorang yang mendorong, mengarahkan, dan menentukan perilaku seseorang, misalnya kebutuhan untuk berprestasi, kekuasaan, sosialisasi, dll. 2. Sifat-sifat dasar (trait) atau perangai yakni yang menentukan cara seseorang bertindak/ bertingkah laku misalnya dengan rasa percaya diri, pengendalian diri, daya tahan terhadap ketegangan atau kebandelan.

3. Citra pribadi (self image) yakni pandangan seseorang terhadap identitas dan kepribadiannya sendiri atau inner-self misalnya sebagai guru, sebagai pebisnis, dan sebagainya. 4. Peran kemasyarakatan (sosial-role) yakni bagaimana seseorang melihat dirinya dalam interaksinya dengan orang lain atau outer-self misalnya bapak-anak, pimpinan-bawahan, dan lain-lain. 5. Pengetahuan (knowledge) yakni yang dapat dimanfaatkan dalam tugas/pekerjaan tertentu 6. Keterampilan (skill) yakni kemampuan teknis untuk melakukan sesuatu dengan baik. Kompetensi keterampilan (skill competencies) dan kompetensi pengetahuan (knowledge competencies) cenderung lebih nyata (visible) dan relatif berada di permukaan sehingga kompetensi ini merupakan kompetensi yang paling mudah diubah dan dikembangkan melalui pelatihan. Sedangkan peran kemasyarakatan, citra pribadi sifat-sifat dasar atau perangai dan motif merupakan kompetensi yang lebih mendasar dan lebih sukar dikenali tetapi lebih berperan sebagai pengatur perilaku manusia. Kompetensi-kompetensi ini merupakan kompetensi yang sulit untuk diubah, memerlukan waktu yang lama, dan mungkin dengan biaya yang mahal pula. Oleh karena itu kriteria utama dalam proses rekruitmen seleksi pekerja (baik untuk karyawan ataupun pejabat baru) semestinya diarahkan pada motif dan sifat seseorang. 3. HUBUNGAN SEBAB AKIBAT Kompetensi-kompetensi tersebut dapat dihubungkan dengan kinerja dalam sebuah model aliran sebab akibat. Bahwa motif, perangai, konsep diri, dan kompetensi pengetahuan serta keterampilan yang dibangkitkan oleh suatu keadaan, dapat memperkirakan perilaku -perilaku yang cakap kemudian memperkirakan kinerja. Misalnya motivasi untuk berprestasi, keinginan kuat untuk berbuat lebih baik daripada ukuran baku yang berlaku, dan untuk mencapai hasil yang istimewa. Hal tersebut menunjukkan adanya kemungkinan perilaku kewiraswastaan; penentuan tujuan, bertanggung jawab atas hasil akhir, dan pengambilan risiko yang diperhitungkan. Dalam organisasi perilaku-perilaku pekerja yang menunjukkan adanya motivasi yang tinggi akan menyebabkan peningkatan mutu yang

8

Beti Nasution, Pelatihan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi

sinambung, kinerja, penjualan, dan hasil-hasil ekonomi yang lain serta inovasi dalam pengembangan produk atau jasa. Model di atas dapat membantu manajer dalam memperkirakan orang yang cocok dipekerjakan untuk suatu pekerjaan. Bahaya mempekerjakan orang yang tidak memiliki motivasi untuk berprestasi ialah bahwa mereka kurang memperlihatkan peningkatan kinerja, kurang berjiwa wiraswasta, dan tidak banyak memberikan gagasan untuk produk atau jasa baru. Oleh karena itu ditinjau dari sudut efektivitas biaya sebaiknya dipilih orang yang mempunyai motivasi utama dan karakteristik perangai yang baik, baru kemudian meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Selama ini kebanyakan organisasi perusahaan bertindak sebaliknya, yakni mereka mengambil orang berdasarkan mutu pendidikan (lulusan sekolah dan universitas terkenal) dan menganggap bahwa para calon mempunyai atau dapat dijejali dengan motif dan perangai yang dikehendaki. Jadi agar efektif pilihlah orang yang mempunyai kemampuan yang tepat (kompetensi) dan kemudian melengkapi mereka dengan pemgetahuan dan keterampilan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dilakukan dengan cara pemberian pendidikan dan pelatihan. Secara kontemporer proses ini didesain agar pesertanya mampu meningkatkan skill dan perilaku yang dimilikinya agar sesuai dengan tuntutan tugas masingmasing. Moto; kita dapat mengajarkan kalkun untuk memanjat pohon, tetapi lebih mudah lagi menyuruh tupai memanjat (Mitrani 1995). 4. ALASAN MENGGUNAKAN MODEL KOMPETENSI Mengapa kita menggunakan model kompetensi dalam pembinaan sumber daya manusia atau para pekerja ? Dengan adanya perubahan atau trend baru dunia kerja saat ini tentunya akan membawa perubahan pada skill, knowledge, dan ability (SKA) yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam organisasi baik itu para pekerja maupun para manajer. Karena sifat pekerjaan saat ini mengalami perubahan. Sifat pekerjaan tradisional kurang membutuhkan penguasaan skill khusus dan umumnya semua proses pekerjaan dilakukan secara repetitif, tidak perlu adanya kerjasama,

dan peran manajer sangat dominan sehingga melemahkan peran pekerja. Sedangkan sifat pekerjaan modern yang dipengaruhi oleh kemajuan iptek dan globalisasi menuntut syarat penguasaan pengetahuan karena kebanyakan proses kerja berbasis pengetahuan (knowledge based work). Pekerja tidak dapat lagi mengandalkan rutinitas karena yang dituntut adalah imajinasi atas segala kemungkinan perubahan yang akan terjadi dari pekerjaan dan diperlukan kerja sama dalam kelompok atau team work. Di samping itu ada juga perspektif lain dalam pengembangan organisasi yakni pelayanan yang memuaskan bagi konsumen. Dengan adanya perubahan itu maka perlu dipahami bahwa arah perubahan pekerjaan dalam globalisasi adalah pekerja membutuhkan proses pembelajaran (learning process) dengan bentuk dan cara terbaru yakni pelatihan pekerja berbasis kompetensi. Selanjutnya dengan menggunakan model kompetensi kita mudah menyesuaikan orang dengan tuntutan atau persyaratan pekerjaan sehingga penempatan pekerja menjadi tepat atau sesuai dengan prinsip the right man on the right place. Di samping itu mudah mengembangkan jalur karir seorang pekerja. Contoh, peralihan dari wiraniaga menjadi seorang manajer pemasaran; apakah seorang wiraniaga langsung bisa dipromosikan menjadi manajer pemasaran? Belum tentu karena perilaku yang harus ditampilkan seorang wiraniaga sama sekali berbeda dengan perilaku yang harus ditampilkan oleh seorang manajer pemasaran. Seorang wiraniaga dapat sukses jika ia pandai meyakinkan konsumen akan mutu barang, untuk itu keterampilan yang dituntut darinya adalah komunikasi dan pelayanan yang memuaskan pelanggan. Tetapi seorang manajer pemasaran harus punya konsep dalam strategi pemasaran yang unggul, harus mampu merencanakan dan mengorganisir, dan mempunyai pandangan bisnis yang luas. 5. MODEL COMPETENCY BASED TRAINING Menurut Michel D. Tovey (1997) dalam Irianto (2001) upaya membina kompetensi seseorang dapat dilakukan melalui penciptaan sebuah sistem yang mengintegrasikan antara kebutuhan individu (dalam kerangka kepentingan organisasional) dengan program pelatihan.

9

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

Sistem ini dikenal dengan CompetencyBased Training (CBT). Menurut Tovey CBT is a system of training wich is greated towards spesific outcomes. Produk yang dihasilkan CBT diarahkan pada peningkatan skill dan kinerja sesuai dengan standar sistem yang telah ditetapkan. Menurut Tovey CBT hanya sebuah pendekatan dalam pelatihan namun mendasarkan dirinya pada teori pembelajaran perilaku yang menggunakan tujuan. Pelatihan itu sendiri sebagai acuan serta dapat diukur hasilnya pada saat pelatihan itu selesai. Dari pendapat Tovey tersebut di atas dapat dipahami bahwa program CBT adalah sebuah program yang memiliki karakteristik dan arah pokok yang tersendiri. Karakteristik CBT adalah memfokuskan diri pada skill yang dapat diaplikasikan, fleksibel, orientasi individual, merujuk pada pencapaian kriteria standar, dapat diaplikasikan ketika pelatihan selesai. Sedangkan arah pokoknya diarahkan pada persoalanpersoalan pokok yang selama ini menjadi perbincangan hangat dalam program pelatihan yakni mengintegrasikan skill, knowledge, dan ability (SKA) dengan kepentingan organisasi. Makna skill di sini tidak hanya dipandang sebagai sekadar keahlian kasat mata dan bersifat fisik atau tidak hanya berkaitan dengan keahlian seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang bersifat tangibel. Selain physical makna skill pada program CBT juga mengacu pada persoalan mental, manual, persepsual, dan bahkan social abilities. Dengan demikian, skill harus dipahami secara komprehensif sebagai kombinasi dari beberapa kemampuan kerja fisik dan non-fisik dalam kaitannya dengan aplikasi perolehan pengetahuan baru. Di samping karakteristik dan arah pokok tersebut di atas, menurut Tovey konsep kompetensi meliputi tiga persoalan yaitu; 1. Sebuah kerangka acuan dasar di mana kompetensi dikonstruksikan dengan melibatkan pengukuran standar yang diakui oleh kalangan industri yang relevan. Hal ini mengindikasikan terjadinya kesepadanan antara kemampuan individu dengan standar kompetensi yang ditetapkan oleh kalangan industri sebagai user. 2. Sebuah kompetensi tidak hanya sekadar dapat ditunjukkan kepada pihak lainnya, namun lebih dari itu juga harus dapat dibuktikan

dalam menjalankan fungsi-fungsi kerja yang diberikan. Tidaklah cukup bagi pekerja untuk menguasai pengetahuan tertentu yang diperoleh lewat pelatihan tanpa dibuktikan secara aktif. Mereka harus menyadari bahwa pengetahuan tersebut adalah sebagai nilai tambah untuk memperkuat organisasi lewat peran-peran nyata dalam bekerja. 3. Kompetensi merupakan sebuah nilai yang merujuk pada satisfactory performance of individual. Dengan demikian, kompetensi bukanlah lembaga yang memberikan sertifikat sebagaimana suatu sekolah memberikan ijazah kepada lulusannya tanpa tahu kelanjutannya; apakah dapat digunakan atau tidak dalam menunjang pekerjaan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kompetensi memiliki kaitan erat dengan kemampuan melaksanakan tugas-tugas yang merefleksikan adanya persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan demikian kompetensi itu mempunyai satandar kinerja yang harus dicapai, dapat membantu mengembangkan keahlian pengetahuan dan kemampuan pekerja sehingga pekerja dapat meningkatkan kinerjanya setelah memperoleh pelatihan yang berbasis kompetensi. 6. MODEL STRATEGIS CBT Sebuah model strategis yang telah diciptakan untuk mengimplementasikan CBT bagi organisasi, Narkevis, Campton, Mc. Carthy (1993) dalam Irianto (2001) menawarkan sebuah model strategis yang dapat diadopsi organisasi dalam melaksanakan program CBT. Model strategis ini meliputi lima tahap yakni; 1. Organizational Scanning. Persoalan pokok yang harus dikaji sebelum program pelatihan disusun adalah bagaimana organisasi dapat mencapai arah masa depannya. Analisis strategis dapat menggunakan berbagai cara, misalnya analisis SWOT atau metode lainnya yang sesuai. Substansinya adalah situasi di mana organisasi mampu memahami secara sempurna tentang apa yang dapat dilakukan dan ke mana arah tindakan yang akan diambil. 2. Strategic planning. Masalah selanjutnya adalah upaya organisasi untuk mampu menjawab pertanyaan tentang bagaimana semua tujuan dapat dicapai dan strategi manajerial apa yang dapat diaplikasikan.

10

Beti Nasution, Pelatihan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi

3. Competency proviling. Setelah semua pertanyaan tersebut terjawab, kini saatnya organisasi menganalisis bagaimana sesungguhnya situasi kinerja internal human resources yang ada untuk dapat melaksanakan gagasan pencapaian tujuan organisasi tersebut. Kompetensi apa yang sudah dipenuhi dan yang belum? Kebutuhan apa yang terasa mendesak bagi pekerja? Analisis ini akan menuntun organisasi pada persoalan inti yang dihadapi pekerja. 4. Competency gap analysis. Segera setelah melewati competency proviling, organisasi akan dapat memahami celah apa yang dapat dilihat antara kompetensi aktual (yang ada pada saat ini) dengan kompetensi ideal (yang diharapkan) untuk mencapai tujuan organisasional. 5. Competency development. Kini saatnya organisasi menutup setiap celah perbedaan kompetensi aktual dengan kompetensi ideal disertai upaya menjawab pertanyaan strategis, misalnya apakah perlu organisasi merekrut tenaga baru yang memiliki kompetensi ideal dengan segala konsekuensinya, ataukah menyusun program pelatihan bagi pekerja yang ada. Jawaban terakhir inilah yang memandu organisasi memasuki arena CBT. Menurut Narkevis dan kawan-kawan, setiap tahapan strategis tersebut harus berkaitan dengan arah strategi organisasi secara keseluruhan. Konsekuensinya, manajer yang bertanggung jawab dalam manajemen SDM diminta untuk menjustifikasi penyusunan setiap program pelatihan dalam kaitannya dengan kontribusi riil yang dapat diberikan kepada kepentingan organisasi. 7. FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH Untuk mencapai hasil yang optimal pada program CBT perlu memperhatikan faktor- faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Faktorfaktor ini antara lain; keselarasan tujuan program dengan kebutuhan pekerja dan kebijakan organisasi, dukungan dan anggaran dari manajemen, kurikulum peserta didik, instruktur, metode dan teknik penyampaian, sarana dan prasarana, manajemen dan administrasi, litbang, dan evaluasi program.

8. KOMPETENSI-KOMPETENSI UNTUK MASA DEPAN Menurut Spenc dalam (Mitrani, 1995) kita dapat memperoleh pemahaman-pemahaman berikut mengenai ciri-ciri yang kita cari pada orang-orang yang bekerja dalam organisasiorganisasi baru sebagai berikut: Para Eksekutif 1. Pemikiran strategis untuk memahami kecenderungan (trend) lingkungan yang cepat berubah, peluang pasar, ancaman persaingan, dan kekuatan serta kelemahan organisasi mereka sendiri, supaya dapat menemukan tanggapan strategis yang terbaik. 2. Kepemimpinan perubahan (change leadership) untuk mengkomunikasikan pandangan mengenai strategi perusahaan yang akan memaksa mengubah karyawan menjadi pemegang saham, membangkitkan motivasi dan komitmen mereka yang tulus, bertindak sebagai pendukung inovasi dan kewiraswastaan, serta memanfaatkan sumbersumber daya perusahaan sebaik-baiknya untuk melaksanakan perubahan-perubahan yang sering terjadi. 3. Manajemen hubungan (relationship management) untuk membina hubungan dengan dan mempengaruhi jaringanjaringan baik pihak lain yang rumit di berbagai negara yang kerja samanya diperlukan demi keberhasilan organisasi, namun terhadapnya kita tidak punya wewenang formal. Pihakpihak itu antara lain; pemilik produk unggul, pelanggan, pemegang saham, perwakilan karyawan, (lokal, wilayah, dan pusat), pembuat undang-undang serta kelompok kepentingan. Para Manajer 1. Keluwesan untuk mengubah struktur dan proses-proses manajerial bila diperlukan, untuk melaksanakan strategi perubahan organisasi. 2. Pelaksanaan perubahan untuk mengkomunikasikan kebutuhan perubahan organisasi kepada sesama karyawan, dan keterampilanketerampilan manajemen perubahan seperti komunikasi, bantuan untuk pelatihan, dan proses kelompok, ynag diperlukan untuk

11

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

3. 4.

5.

6.

melaksanakan perubahan di dalam kelompokkelompok kerjanya. Saling pengertian antarpribadi untuk memahami dan menghargai masukanmasukan dari orang-orang yang berlainan. Memberikan wewenang dengan saling berbagi informasi, minta pendapat dari sesama karyawan, mengupayakan pengembangan karyawan, mendelegasikan tanggung jawab yang berarti, memberikan umpan balik pelatihan, mengungkapkan harapan-harapan perbaikan dari bawahan (tanpa memandang perbedaan), dan memberi imbalan atas peningkatan kinerja. Semua hal ini akan membuat karyawan termotivasi untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar. Bantuan kelompok agar kelompok yang berlainan dapat bekerja sama secara efektif untuk mencapai tujuan bersama, misalnya menjelaskan tujuan dan peran, memberi kesempatan kepada semua orang untuk berperan serta dalam menyelesaikan perselisihan. Portabilitas agar cepat menyesuaikan diri dan berfungsi secara efektif di lingkunganlingkungan asing -seorang manajer harus mudah dipindahkan ke kedudukan manapun dan di manapun di dunia.

3. Motivasi untuk berprestasi merupakan pendorong bagi inovasi, yaitu peningkatan mutu dan produktivitas terus menerus yang membutuhkan untuk menghadapi (lebih baik, memimpin) persaingan yang terus meningkat. 4. Motivasi kerja di bawah tekanan waktu merupakan gabungan antara keluwesan, motivasi untuk berprestasi, daya tahan terhadap tekanan, dan komitmen terhadap organisasi yang memungkinkan seseorang bekerja di bawah tuntutan akan produk atau jasa-jasa (baru) dalam jangka waktu yang lebih singkat. 5. Kesediaan untuk bekerja sama (collaborativeness) dalam kelompokkelompok multidisipliner dengan rekan kerja yang berbeda-beda: pengharapan yang positif terhadap orang lain, saling pengertian antarpribadi, dan komitmen terhadap organisasi. 6. Orientasi pelayanan pelanggan (customer

Para Karyawan 1. Keluwesan untuk memandang perubahan sebagai peluang yang menarik ketimbang suatu ancaman. Misalnya penerapan teknologi baru harus dilihat sebagai bermain dengan alat-alat baru, paling mutakhir, dan paling baik. 2. Selalu mencari informasi, motivasi, dan kemampuan belajar merupakan keinginan yang tulus terhadap peluang-peluang untuk mencari keterampilan-keterampilan teknis dan hubungan antarpribadi baru. Misalnya seorang sekretaris diminta untuk belajar menggunakan program komputer yang terbaru dan menangani akunting di suatu bagian, hendaknya menerima baik dan tidak menganggap hal baru tersebut sebagai beban tambahan. Hal ini merupakan pendorong untuk selalu menuntut ilmu dan mempelajari setiap pengetahuan dan keterampilan baru yang dituntut oleh persyaratan kerja yang berubah-ubah.

service orientation) merupakan keinginan yang tulus untuk membantu orang lain, saling pengertian antarpribadi yang memadai untuk mengetahui kebutuhan dan suasana emosional pelanggan, dan cukup inisiatif untuk mengatasi rintanganrintangan dalam organisasi sendiri guna memecahkan masalah-masalah pelanggan.9. KESIMPULAN Dalam upaya meningkatkan keahlian, pengetahuan dan kemampuan pekerja, serta menghadapi trend baru dalam dunia kerja yang disebabkan oleh adanya pengaruh kemajuan iptek dan globalisasi perlu kiranya diadakan pengembangan bagi pekerja. Pengembangan yang dimaksud di sini bukan hanya sekadar meningkatkan keahlian kasat mata atau sekadar memberi sertifikat pada para pekerja tapi lebih dari itu yakni pengembangan kompetensi bagi pekerja. Salah satu langkah yang diambil adalah pengembangan melalui pembinaan SDM berbasis kompetensi. Kompetensi adalah suatu sifat dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan secara efektif atau sangat berhasil sehingga membuat seorang pekerja mempunyai kemampuan yang berbeda

12

Beti Nasution, Pelatihan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi

dengan pekerja yang mempunyai kemampuan rata-rata. Salah satu upaya pembinaan berbasis kompetensi seseorang dapat dilakukan dengan menciptakan sebuah sistem yang mengintegrasikan antara kebutuhan individu (dalam kerangka kepentingan organisasional) dengan program pelatihan. Sistem ini dikenal dengan Competency Based Training (CBT). CBT adalah sebuah pendekatan dalam pelatihan yang mendasarkan dirinya pada teori

pembelajaran perilaku yang diarahkan pada peningkatan skill pengetahuan dan kemampuan pekerja (SKA), bersifat fleksibel, merujuk pada penciptaan kriteria standar, dan dapat diaplikasikan segera setelah pelatihan selesai. Ada lima tahap yang perlu dilakukan untuk melaksanakan program CBT yakni; Organizational Scanning, Strategic Planning, Competency Proviling, Competency Gap Analysis, dan Competency Development.

13

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

DAFTAR PUSTAKA Budi, W. Soetjipto dan kawan-kawan, Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, editor: A. Usmara, Penerbit Amara Books, 2002. Baso, H.M.Moerad, Manajemen Usahawan Indonesia, 2003. Dessler, Gary, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jilid 1, PT, Prenhallindo, Jakarta, 1997. Irianto, Jusuf, Isu-Isu Strategis Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penerbit Insan Cendekia, 2001. Kirana, Andi, Etika Manajemen: Ancangan Bisnis Abad 21, Penerbit Andi Yogyakarta, 1997 Mitrani, Alain, et al., Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan Kompetensi, Percetakan PT. Intermasa, Jakarta, 1992 James, Stoner, AF, Manajemen, Jilid I, PT, Prenhallindo, Jakarta, 1996.

14

SEKILAS TENTANG PEMBUKAAN LETTER OF CREDIT (LC) DALAM PERDAGANGAN EKSPOR DAN IMPOR Dahlia Hafni Lubis Abstract: Export and import trade which involve either domestic side or foreign side is not as simple as local/domestic trading transaction because both sides do the transaction in which each side is in the different rules/law and area, and each of them is limited by legal rules of law of their own countries. In national development is needed the policies and steps which support the way of Indonesian export and import payment transaction by publishing letter of credit (LC). Letter of credit is the favorite way in Indonesian export and import payment transaction which is the standard contract and valid internationally. Letter of credit is implemented separately from purchasing contract. LC will be paid if the applied documents are appropriate with the LC requirement. Keywords: letter of credit (LC), bank, export and import trade 1. PENDAHULUAN Seperti kita ketahui, setiap transaksi, seperti juga halnya dengan jual beli atau perdagangan dalam negeri, akan menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yaitu pihak pembeli dan pihak penjual. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 1457 KUH Perdata yang berbunyi: Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayarnya dengan harga yang telah diperjanjikan (R. Subekti, R. Tjitro Sudibyo, 1981). Bila peristiwa jual beli itu dalam wujud perdagangan dalam negeri, pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak tidaklah sesulit jual beli dengan pihak luar negeri (ekspor-impor), sebab dalam perdagangan dalam negeri kedua belah pihak yang mengadakan transaksi pada umumnya berada dalam satu tempat dan sistem hukum yang sama. Lain halnya dalam perdagangan dengan pihak luar negeri, yang di antara satu pihak dengan pihak lainnya dibatasi oleh ketentuan undang-undang yang berbeda. Dalam tulisan ini akan dibahas secara singkat mengenai kedudukan bank dan hubungan tentang pembukaan letter of credit (LC). Dalam perdagangan ekspor impor dikenal suatu jenis transaksi letter of credit. Pembukaan letter of credit yaitu suatu perbuatan perjanjian pembayaran dalam perdagangan impor ekspor antara bank yang membuka letter of credit dengan nasabahnya. 2. PEMBAHASAN Tugas dan Fungsi Bank Menurut pendapat beberapa sarjana pengertian bank antara lain adalah: a. Bank adalah suatu perusahaan kredit (bank is a shop for the sale of credit [Mac leod]). b. Bankers are merely dealers in credit; (Hawtrey). c. Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan akan kredit, baik dengan alat pembayaran sendiri dan dengan uang yang diperoleh dari orang lain untuk maksud itu, maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pertukaran baru uang giral (GM Verrijn). d. Undang-Undang No.14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan dalam Pasal 1 sub a merumuskan Bank adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang (CST. Kansil, 1979). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga keuangan adalah semua badan yang melalui kegiatannya di bidang keuangan, menarik uang dari, dan mengeluarkan ke dalam masyarakat Tugas Bank Tugas bank antara lain adalah: Memberi kredit (pinjaman) kepada orang atau badan usaha yang membutuhkan uang. 15

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

Pemberian kredit ini ditujukan pada kegiatankegiatan produksi. Pemberian kredit (pinjaman) oleh bank dapat berbentuk: a. Kredit Jangka Pendek: kredit yang berjangka waktu 1 (satu) tahun. Kredit ini untuk tanaman yang berjangka lebih dari 1 (satu) tahun. b. Kredit Jangka Menengah: Kredit yang berjangka waktu 1 (satu) tahun. Kredit ini untuk tanaman yang berjangka lebih dari 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun. c. Kredit Jangka Panjang: kredit yang berjangka waktu 1 (satu) tahun. Kredit ini untuk tanaman yang berjangka lebih dari 3 (tiga) tahun. Menarik uang dari masyarakat, maksudnya masyarakat dapat menyimpan uang yang tidak atau belum dipergunakan misalnya menabung: Tabanas, Taska, Deposito berjangka. Memberi jasa-jasa dalam bidang lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Kegiatan lain-lain misalnya memberikan pinjaman bank, menyewakan tempat untuk menyimpan barang-barang berharga. Fungsi Bank. Antara tugas dan fungsi pokok perbankan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh karena itu perbankan adalah suatu lembaga yang berfungsi vital dalam kehidupan negara dan bangsa (Achmad Anwari, 1980). Fungsi vital itu tidak hanya berperan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Perannya di dalam negeri adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dalam arti semua kegiatan yang dilakukan oleh bank itu menyangkut soal uang. Kegiatan-kegiatan itu meliputi administrasi keuangan, penggunaan uang, penampungan (penyedotan) uang, perdagangan dan penukaran, perkreditan, kiriman uang (transfer), dan pengawasannya. Peranannya di luar negeri adalah merupakan jembatan antara dunia international dalam lalu lintas devisa (uang), hubungan moneter dan perdagangan, hubungan antara bank-bank di dalam dan di luar negeri, memungkinkan berlangsungnya ekspor impor, kiriman uang, kepariwisataan, dll.

Kedudukan Bank dalam Pembukaan LC Dalam praktiknya sehari-hari bank dalam melakukan transaksi luar negeri yaitu hubungan jual beli antara eksportir dan importir harus ada suatu persetujuan bersama di antara mereka yang dituangkan dalam suatu kontrak jual beli (sale contract). Berdasarkan sale contract atau kontrak jual beli itu importir mengajukan permohonan permintaan pembukaan LC kepada bank dan bank tersebut menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengikat si importir untuk menaati semua ketentuan yang dituangkan dalam syarat - syarat umum pembukan LC. Bank dalam pembukaan letter of credit (LC) hanya mengikuti ketentuan-ketentuan dari importir sepanjang ketentuan-ketentuan itu tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah di bidang perdagangan. Di dalam praktiknya, pembukaan LC di bank-bank devisa, misalnya: Bank Dagang Negara, Bank Export Import, di samping ditentukan syarat-syarat umum pembukaan LC, juga ditentukan jangka waktu berlakunya. Jangka waktu berlakunya LC tergantung pada lamanya waktu yang diperlukan eksportir untuk menyiapkan pengiriman barang-barang dan penyelesaian shipping documents, serta waktu yang diperlukan menegotir (menguangkan) shipping documents (dokumen pengapalan) dengan negotiating bank (bank yang disepakati) ditambah dengan waktu yang diperlukan negotiating bank menyelesaikan administrasi internalnya. Importir perlu memperhatikan jangka waktu berlakunya LC sehingga cukup aman untuk menghindarkan kemungkinan perpanjangan berlakunya LC atau extension LC, di mana pengalaman menunjukan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya bahkan tidak jarang mengakibatkan tertundanya pengiriman barang karena sulitnya prosedur yang harus ditempuh untuk melakukan perpanjangan. Jangka waktu berlakunya LC untuk negara yang letaknya jauh dari negara kita misalnya: Amerika Serikat dan Jepang memakan waktu 3 (tiga) bulan dan untuk negara yang dekat misalnya Malaysia atau Singapura memakan waktu 70 (tujuh puluh) hari dalam pengiriman barang. Apabila terjadi satu dan lain hal, eksportir di luar negeri menemui halangan, misalnya: gudang barangnya terbakar, shipping document-nya

16

Dahlia Hafni L., Sekilas tentang Pembukaan Letter of Credit (LC) dalam Perdagangan

belum selesai, kapal pembawa barang-barang yang dipesan tenggelam di laut, dll. yang mengakibatkan tertundanya pengiriman barang kepada importir sedangkan jangka waktu berlaku LC sudah hampir berakhir, maka dapat diadakan perpanjangan waktu yang dilakukan oleh bank pembuka LC dengan syarat importir harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada banknya. Ini dilakukan importir setelah ia mendapat kabar dari pihak eksportir, bahwa ia menemui halangan dalam pengiriman barangbarang yang dipesan si importir terikat, untuk perpanjangan waktu LC nya. Pembebasan Tanggung Jawab dalam LC Bank di dalam dunia perdagangan baik bank pemerintah maupun bank swasta, sebagaimana layaknya badan usaha lainnya, tetap mengejar keuntungan. Untuk itu bank selalu menghindar dari segala risiko yang tidak diinginkan yang dapat merugikannya dengan cara membuat klausul-klausul pembebasan tanggung jawab. Di dalam pembukaan LC pembebasan tanggung jawab ini disebut dengan exemption clauses. Seperti di dalam formulir permintaan pembukaan LC dan formulir syarat-syarat umum, pembukaan LC yang telah ditetapkan oleh bank mengandung pembebasan tanggung jawab dan hak-hak dari opening bank itu sendiri yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila memang dikehendaki oleh bank itu untuk menghindari kerugian yang tidak diinginkan terjadi. Di dalam pasal 3 dari syarat-syarat umum pembukaan LC dinyatakan bahwa bank tidak akan bertanggung jawab atas segala risiko kerugian dalam valuta asing. Misalnya devaluasi dan sebagainya, atau kelalaian barang-barang yang bersangkutan baik karena barang tersebut tidak sampai, barang cacat, barang rusak, ataupun karena sebab-sebab lain yang timbul karenanya. Jadi jelas bahwa dalam pasal tersebut mengandung exemption clauses atau pembebasan tanggung jawab dari bank. Kemudian dalam Pasal 2 jo Pasal 1 terdapat syarat-syarat umum pembukaan LC yang mengatur tentang dokumen-dokumen dan barang-barang yang bersangkutan menjadi jaminan bagi bank agar importir memenuhinya, maka sesuai dengan Pasal 1 jo Pasal 4, bank selaku pemegang kuasa dan menurut Pasal 6

syarat-syarat umum pembukaan LC dapat bertindak untuk dan atas nama importir untuk: a. Meminta dan menerima penyerahan barangbarang dalam LC dari maskapai pelayaran dan mengeluarkannya dari pelabuhan. b. Melakukan penyimpanan barang-barang sebelum barang tersebut terlaksana penjualannya. c. Melakukan penjualan barang-barang yang diimpor itu dengan cara yang ditentukan sendiri oleh bank. d. Melakukan penandatanganan KPP (Keterangan Pemasukan Pabean) untuk dan atas nama importir dan menghadap instansi yang dianggap perlu serta mengadakan perjanjian menurut hukum, menanda tangani dokumen dan surat surat lainnya, dan melakukan pembayaran atas barang-barang yang diimpor tersebut demi terselenggaranya dengan baik pelaksanaan kekuasaan tersebut. e. Membebankan segala perongkosan yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka pelaksanaan kekuasaan itu atas rekening si importir yang ada pada bank tersebut dan hasil penjualan barang-barang itu dipergunakan untuk pembayaran dari sisa pembukaan LC pada bank yang harus diselesaikan importir. Ketentuan kuasa itu diberikan sebagai sarana bagi bank agar dapat melaksanakan haknya atas barang yang dipergunakan sebagai jaminan utang yang pelaksanaanya tidak diwajibkan sama sekali. Jadi jelas di sini bank mempunyai hak fakultatif atau hak tidak mutlak. Selain formulir yang disebutkan di atas, masih ada formulir lain dalam pembukaan kredit per dokumen LC yaitu formulir pemberitahuan ekspor barang (PEB) dan formulir ini mempunyai ruang yang selalu diisi oleh importir/konsinyalir, diisi oleh bank untuk pabean. Ketentuan pelaksanaan ekspor impor yang dikeluarkan oleh Direksi Bank Bumi Daya dalam surat edarannya No.006/82/Luar Negeri tanggal 15 Februari 1982 perihal Tata Cara Pelaksanaan ekspor Impor berdasarkan Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1982 ditegaskan bahwa semua transaksi ekspor baik atas dasar LC maupun tanpa LC dimulai dengan mengajukan formulir pemberitahuan barang ekspor oleh importir kepada bank devisa. Keharusan ini berlaku pada tanggal 1 April 1982 (Alferd Hutauruk, 1983). Formulir PAB yang diisi oleh eksportir untuk diajukan kepada bank adalah sbb.:

17

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

APE (S) angka pengenal ekspor (sementara). Harga patokan barang (nilai FOB-nya) dalam barang yang bersangkutan dibuktikan dengan invoice penjualan. Besar persentase (%) pajak ekspor (PET/ PES). Pembatasan ekspor yang mengangkut barang ataupun negara tujuan. Cara pembayaran, apakah atas dasar LC atau tanpa LC.

Pihak-pihak yang Terkait dalam Letter of Credit Dari tata cara pelaksanaan LC, maka pihakpihak yang bersangkutan dalam pembukaan LC itu adalah: pihak importir (pembeli), pihak ekportir (penjual), pihak bank (dalam hal ini mungkin terlibat lebih dari satu bank. Ini merupakan kerja sama antarbank). Jika salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya pada waktu yang telah ditentukan seperti yang tertera dalam LC, maka pada waktu itulah pihak tersebut melakukan wanprestasi dan pihak lawan dalam perjanjian dapat melakukan penuntutan antara lain: dipenuhinya perjanjian, dibatalkannya ikatan yang bersangkutan dan apabila ada alasan yang sah dapat sekaligus dituntut ganti rugi, pembayaran biaya, dan bunga. Untuk menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab atas wanprestasi yang dilakukan oleh pihak yang mungkir janji tersebut dapat dilihat dari kepentingan hukum mana yang terganggu. Dari pihak-pihak yang berhubungan dalam persetujuan pembukaan LC, maka terciptalah hubungan hukum para pihak dalam pembukaan LC tersebut, sehingga tercapai perjanjian yang diinginkan. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Letter of Credit Hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum dan undangundang. Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih. (R.Surbakti, R. Tjitro Sudibyo, 1979). Akibat dari suatu perikatan adalah salah satu pihak menuntut suatu hal dari pihak lainnya dan pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang menuntut suatu prestasi dari pihak lainnya dalam suatu persetujuan dinamakan kreditor sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitor dan perikatan adalah merupakan akibat dari suatu perjanjian.

Formulir PEB yang diisi oleh eksportir dalam rangkap 7 (tujuh) diteliti kebenarannya oleh bank dan setelah benar diteruskan kepada Kantor Bea Cukai untuk diperiksa kebenaran barang - barang tersebut dan dicocokkan dengan isi PEB yang diisi oleh eksportir dan 1 (satu) lembar PEB itu oleh Kantor Bea Cukai diserahkan kepada bank devisa (bank pembuka LC) dan formulir lainnya dibagikan kepada: BPS (Biro Pusat Stastistik). Bank Indonesia bagian pengolah data. Kantor Wilayah Departeman Perdagangan. Eksportis yang bersangkutan. Arsip bank. Oleh eksportir formulir PEB itu dipergunakan untuk melengkapi dokumen dalam menarik wesel-wesel atas LC sebagai pembayaran barang yang telah diekspor, sedangkan bank dalam melakukan pembayaran wesel yang ditarik atas LC importir hanya melihat keaslian dan kebenaran dari dokumendokumen dan tidak perlu mencocokkan dengan dokumen barang. Dapat dikatakan bahwa bank berdagang dengan dokumen sedangkan importir eksportir berdagang dengan barang. Untuk itu importir harus berhati-hati dalam menyelenggarakan ekspor dan harus pula mempunyai pengalaman yang luas guna menentukan setiap surat yang diberikan kepadanya, karena ketidakaslian dokumen dan ketidakbenaran dapat dijadikan alasan oleh bank untuk menolak mengakseptir wesel-wesel yang ditarik atas importir dan begitu pula importir harus mempunyai pengalaman seperti eksportir, sebab bank tidak dapat melindungi importir dari perbuatan eksportir yang tidak jujur.

18

Dahlia Hafni L., Sekilas tentang Pembukaan Letter of Credit (LC) dalam Perdagangan

Di dalam pembukaan LC telah terjalin suatu perjanjian antara bank pembuka LC dengan importir (si pemohon) sehingga di antara keduanya terdapat suatu hubungan hukum. Ini berarti hak importir sebagai debitor dijamin oleh hukum dan undang - undang. Dari pihak-pihak yang tersangkut dalam pembukaan LC, maka terdapat hubungan hukum yang mengikat yaitu: a. Hubungan hukum yang mengatur antara penjual dan pembeli yang ditentukan dalam Contract of Sale Contract of sale atau perjanjian jual beli adalah hasil persetujuan antara importir dengan eksportir yang isinya segala sesuatu mengenai keadaan barang yang dipesan untuk dikirim dan dibutuhkan oleh importir. Umpamanya mengenai penentuan harga satuan, jumlah barang, waktu pengiriman, merek, cap, pengepakan, quality, dan sebagainya. Pokoknya memuat segala isi kontrak, sehingga pada kontrak tersebut dapat ditentukan apakah barang yang dikirim sesuai dengan yang disepakati oleh importir dan eksportir. Pada kontrak itu juga dapat dilihat apakah masingmasing pihak telah melaksanakan prestasi seperti apa yang dibebankan oleh hukum jual beli kepadanya dan apabila salah satu pihak tidak berbuat seperti yang telah diwajibkan oleh hukum jual beli sedangkan hal itu mengakibatkan kerugian pada pihak lawannya, maka pihak yang melakukan harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut dan pihak bank bukan merupakan pihak dalam persetujuan. Hubungan hukum antara bank pembuka LC dengan importir Bank yang membuka LC adalah bank devisa di mana importir mengajukan permohonan pembukaan LC. Bank pembuka LC haruslah terpandang sebagai bank bonafide (bank yang mempunyai nama baik) di kalangan pedagang internasional dan bank itu dapat dipercaya dengan disetujuinya permohonan/permintaan pembukaan LC yang diajukan importir kepada bank. Dengan demikian terbentuklah hubungan hukum antara mereka yang terikat dengan suatu persetujuan yang diberikan hak dan kewajiban secara timbal balik dan apabila importir lalai untuk memenuhi segala kewajibannya yang tercantum dalam perjanjian LC, maka bank berhak memberitahu kepada importir tentang

kelalaiannya untuk memenuhi segala perjanjian yang telah dituangkan dalam LC tersebut. Sebagai pengusaha yang bonafide (terpercaya) dan diakui biasanya importir berusaha agar kredibilitasnya tetap diakui baik oleh bank. Karena itu importir berusaha untuk memenuhi segala kewajibannya dengan baik dan menutup kontrak valuta pada waktunya. Penutupan kontrak valuta ini pada dasarnya sama dengan membayar kembali kepada bank atas wesel yang ditarik oleh eksportir ditambah dengan kewajiban yang timbul karenanya. Bank pembayar adalah bank atas siapa wesel ditarik. Bank pembayar ini adalah bank pembuka LC itu sendiri dan biasanya dapat juga bank lain yang ditunjuk oleh bank pembuka LC di kota mana si eksportir berdomisili. Apabila bank koresponden ditunjuk sebagai bank pembayar, maka bank itu membayar kepada eksportir dan segera mendebit rekening atas bank yang dibuka LC-nya dan jika bank yang dibuka LC-nya tidak mempunyai rekening atas bank yang dibayar, maka apa yang telah dibayar kepada eksportir itu pada waktunya akan diganti oleh bank pembuka LC. Hal ini merupakan bagian administrasi antara bank yaitu bank yang dibuka LC-nya dengan bank korespondennya. b. Hubungan antara bank di luar negeri dengan importir Hal ini ditentukan dalam LC itu sendiri yang merupakan sumber hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Dalam LC dapat ditentukan bahwa yang merupakan hak eksportir adalah mendapatkan pembayaran atas wesel yang ditarik atas bank yang ditunjuk dan merupakan tugas terakhir dari eksportir itu adalah: a. Menguangkan shipping document/dokumen pengapalan kepada negotiating bank. b. Memberitahukan importir dengan kawat atau telepon bahwa barang telah dikirim dan mengirimkan shipping document (dokumen pengapalan) sebagai yang diisyaratkan dalam pesanan (order) yang bersangkutan. Menguangkan dokumen pengapalan berarti eksportir menarik wesel atas bank yang ditunjuk dalam LC atau bank koresponden. Bank pembayar sebelum menghonorir berhak memeriksa dan meneliti apakah dokumendokuman yang diajukan kepadanya sesuai dan memenuhi syarat - syarat yang ditentukan dalam 19

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

LC dan bank tersebut berhak menolak pembayaran jika shipping document (dokumen pengapalan) yang diajukan kepadanya ternyata tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat. Sebaliknya, jika syarat-syarat yang tercantum dalam LC dapat dipenuhi oleh eksportir sudah tentu bank tersebut wajib membayar wesel yang ditarik oleh eksportir. Bank yang tersangkut dalam pembukuan LC mungkin lebih dari satu bank, antara lain: 1. Bank yang membuka LC (opening bank) Bank ini adalah bank devisa yang terpandang di kalangan pedagang internasional, karena tidak ada eksportir (supplier/penjual) di luar negeri yang bersedia menjual barangbarangnya dengan pembayaran atas dasar LC kalau tidak dibuka terlebih dahulu melalui bank seperti yang tersebut di atas. Sebab pembayaran dengan cara pembukaan LC pada suatu bank yang kuat akan terjamin kepastian pembayaran atas transaksi yang terjadi. 2. Bank yang membeli (men-discount) wesel Dengan membeli wesel-wesel yang ditarik oleh eksportir atau beneficiair atas Bank yang membuka LC, maka pembeli tersebut menjadi endorser dan bonafide holder (pemegang yang dipercaya) dari wesel tersebut dan oleh karena itu dilindungi oleh ketentuanketentuan yang tercantum dalam LC. Ia juga dilindungi oleh tanda tangan yang menarik wesel (the drawer). Karena menurut hukum tanggung jawab penarik wesel baru berakhir pada saat wesel itu dibayar oleh tertarik (the draawee), dalam hal ini bank yang membuka LC. Hak regres yang dimiliki oleh setiap pemegang wesel yang sah. 3. Bank pembayar (the paying bank) Bank pembayar adalah bank atas siapa wesel ditarik. Bank ini biasanya bank pembuka LC atau bank cabang ataupun bank koresponden di kota eksportir. Bank ini akan segera mendebit rekening bank yang membuka LC dengan jumlah seperti terarah dalam LC. Hal ini merupakan perintah atau instruksi kepada bank di luar negeri atau negotiating bank. Sehubungan masalah negoisasi ini, LC mengandung 3 (tiga) macam instruksi kepada negotiating bank :

a. Perintah untuk membayar (authorise to pay): bila negotiating bank diberi kuasa untuk membayar pada saat pengambilalihan dokumen ekspor. b. Perintah untuk negosiasi (authorise to negotiate): bila negotiating bank hanya dikuasakan untuk negotiate atau mengambil alih dokumen ekspor saja tanpa melaksanakan pembayaran. Pembayaran baru bisa dilaksanakan setelah diterimanya credit advance sebagai bukti bahwa dokumen yang dikirim telah dibayar oleh bank yang membuka LC atau opening bank. c. Perintah untuk mengaksep (authorise to accept): bila negotiating bank dikuasakan untuk mengaksep wesel berjangka yang ditarik dan mengirimkanya kepada opening bank. Dengan demikian jika negotiating bank hanya melaksanakan negosiasi, maka pada saat negosiasi itulah bank mengambil alih dokumen ekspor dan mengirimkannya kepada opening bank, dan selanjutnya menunggu credit advance dari koresponden sebagai dasar untuk melakukan pembayaran kepada ekspotir. Perintah seperti ini merupakan suatu kewajiban atas bank yang ditunjuk. Jika bank itu tidak melaksanakan perintah membayar tersebut, maka bank yang ditunjuk sebagai tertarik dapat diminta pertanggungjawabannya atau dapat digugat untuk membayar ganti kerugian ditambah dengan bunga, sesuai dengan bunyi Pasal 127 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang yang berbunyi: Barang siapa telah memegang dan secukupnya, khusus diperuntukkan guna membayar suatu surat wesel yang telah ditarik atasnya, iapun atas ancaman hukuman akan ganti biaya rugi dan bunga terhadap si penarik wajib melaksanakan akseptasinya (R.Subekti, R.Tjitro Sudibyo, 1983). Letter of credit (LC) merupakan primadona dalam pembayaran transaksi ekspor impor Indonesia. Pada hakikatnya letter of credit (LC) adalah alat pembayaran dan oleh karena itu keseimbangan hak dan kewajiban para pihak harus dipertimbangkan secara hakiki. Keadilan dan keterbukaan dalam pelaksanaan LC merupakan suatu keharusan karena inti dari LC adalah perwujudan pembayaran sejumlah uang (Ramlan Ginting, 2000).

20

Dahlia Hafni L., Sekilas tentang Pembukaan Letter of Credit (LC) dalam Perdagangan

KESIMPULAN 1. Pembukaan letter of credit (LC) oleh importir hanya dapat dilakukan pada bank devisa. 2. Untuk menghindari segala risiko yang dapat merugikan bank, biasanya bank menetapkan klausul-klausul pembebasan tanggung jawab pembukaan letter of credit.

3. Bank menetapkan persyaratan yang mengikat para pihak dengan mengacu kepada peraturan pemerintah di bidang perdagangan. 4. Pembukaan letter of credit menciptakan hubungan hukum para pihak dan bila terjadi wanprestasi, maka untuk menentukan pihak mana yang bertanggung jawab ditinjau dari kepentingan hukum mana yang terganggu.

21

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

DAFTAR PUSTAKA Achmad, Anwari, Bank Rekan Terpercaya dalam Usaha Anda, Balai Aksara Bara, 1980. Alfred, Hutahuruk, Sistem dan Pelaksanaan Eskpor, Impor & Lalulintas Devisa di Indonesia, Erlangga, 1983. CST, Kansil, Pokok - Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Aksara Bara, 1983. R. Subekti, Tjitro Subdibyo, Kitab Undang - Undang Hukum Dagang & Kepailitan, Pradnya Paramita, 1989. R. Subekti, Tjitro Subdibyo, Perjanjian, PT Intermasa, 1979. Ramlan, Ginting, Letter of credit Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, Salemba Empat, Jakarta, 2000.

22

Jurnal Analisis Administrasi jakan, Volume 1, Nomor 1, Januari 2006

PERILAKU KEKERASAN DAN MANAJEMEN KONFLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Erika Revida Abstract: Violence has been a symptom in social life especially in local autonomy era. When the people havent got the justice, when their rights are annoyed, spontaneously they can do the violence, physically and psychologically. The people cant manage themselves to be able to receive the different argument/opinion. On the other side, the local government as if could not handle the violence. It is caused by the local government has lack of strong commitment in giving the good quality and humanity public service. To prevent the violence, the local government should apply the conflict management, either in general way and participative and also apply the win-win solutions in order to avoid the parties that felt they have lost or won so that it will grow the solidarity and social peace among the society. The Curative way which is necessary to be done by the government is by applying the strict law enforcement for the violence especially the physical violence. Besides, the improvement of education in the family, either religious education or moral need to be more intensive, in order to form the public attitude that want and can receive the different argument/opinion, and also has the solidarity and social peace among the society. Keywords: violence, conflict management, law enforcement 1. PENDAHULUAN Salah satu persoalan pembangunan yang mengemuka saat ini terutama sejak otonomi daerah digulirkan adalah menguatnya gejala konflik, baik konflik yang bersifat horizontal maupun konflik yang bersifat vertikal. Konflik yang muncul mengakibatkan kekerasan di berbagai tempat di Indonesia. Banyak penyalahgunaan peralatan, sarana dan prasarana, bahkan senjata yang mengakibatkan cedera bahkan kehilangan nyawa di kalangan masyarakat. Ada banyak caci maki serta hujatan yang mewarnai kegiatan-kegiatan demonstrasi yang dilakukan masyarakat, sehingga mengarah pada tindakan kekerasan/kerusuhan. Kekerasan-kekerasan dan kerusuhan terjadi bak gelombang hampir tanpa jeda sepanjang tahun (Fatah, 1998). Salusu (2000) menyatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang saat ini paling tidak menikmati perdamaian. Selain itu Kleden (dalam CSIS No.2, 2002) menyatakan keadaan sosial politik di Indonesia semenjak reformasi ditandai oleh dua gejala yang sangat mencolok dalam tingkah laku politik yaitu kebebasan di satu pihak dan kekerasan di pihak lainnya. Kekerasan itu memperlihatkan diri dalam berbagai ekspresi yang berbeda-beda, tapi pada dasarnya menyembunyikan suatu struktur yang kurang lebih sama. Kekerasan yang terjadi sejak kerusuhan Mei 1998 terkait dengan berbagai konteks politik yang gagal dikomunikasikan kepada masyarakat. Kekerasan dan kerusuhan telah merebak menjadi sebuah fenomena yang terjadi di mana-mana. Menurut catatan Litbang Republika sekurangkurangnya telah terjadi 64 kasus kekerasan dalam masyarakat. Di antaranya, yaitu 49 kasus (76%), terjadi di tengah suasana politik dan kampanye pemilu 1997, sisanya 14 kasus (21%) terjadi di luar prosesi pemilu. Apapun bentuknya, kekerasan adalah realitas multidemensi yang tidak dapat dipisahkan antara kekerasan yang satu dengan kekerasan lainnya (Camara, 2000). Mengapa perilaku kekerasan semakin marak terjadi dalam masyarakat ketika pembangunan daerah semakin gencar dilakukan? Apakah kekerasan sudah membudaya di negara kita ini? 2. PEMBAHASAN Dampak Kekerasan Terhadap Pembangunan Kekerasan (violence) adalah salah satu bentuk perilaku agresif. Kekerasan merupakan tindakan, meskipun seringkali orang mengidentikkan kekerasan dengan kemarahan yang memuncak, sehingga frustrasi identik dengan agresi. Meskipun sebenarnya kemarahan tidak selalu diekspresikan dengan tindakan agresi. 23

Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari April 2006

Jika ditinjau dari sudut pandang psikologi, ada beberapa teori yang mendasari pemikiran agresi, antara lain teori instinct, teori survival, dan teori learning. Teori instinct mengasumsikan bahwa perilaku agresif merupakan instinct yang melekat dalam diri individu. Freud memandang perilaku agresif sebagai hal yang intrinsik dan merupakan instinct yang melekat dalam diri manusia. Untuk mempertahankan dirinya manusia secara instinct dapat bersifat agresif. Teori survival menyatakan untuk dapat mempertahankan hidupnya manusia berusaha agresif agar dapat menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya. Tanpa agresif kita akan punah atau dipunahkan orang lain. Sedangkan teori learning menyatakan bahwa agresi merupakan hasil perolehan belajar, agresi dipelajari sejak kecil, dan dijadikan sebagai pola respons. Dalam perkembangannya kemudian, teori learning ini mendapat tambahan bahwa kebiasaan atau pola respons agresi yang dimiliki seseorang apabila mendapat simultan barulah menjadi tindakan agresif. Dengan perkataan lain stimulus yang sama tidak selalu menimbulkan tindakan agresi yang sama pada setiap orang. Munculnya tindakan agresif tergantung dari potensial habitat agresif yang sudah ada lebih dulu dan telah tertanam sejak lama dalam diri individu tersebut. Jika seorang anak sejak kecil mendapatkan kekerasan dalam keluarga, maka akan terbentuk habitat kekerasan. Sebaliknya jika dalam keluarga ditumbuhkan iklim kemerdekaan, keterbukaan, keutuhan, serta mau menerima perbedaan maka akan terbentuk habitat yang demokratis dan terbuka. Hal ini dapat dipahami sesuai dengan pendapat bangsa Inggris yang menyatakan bahwa good manners begin at home. Dengan demikian, secara holistik dapat dikatakan bahwa tingkah laku agresif didorong oleh sesuatu dari dalam individu dan dipicu oleh sesuatu yang berasal dari luar individu dalam konteks tertentu. Agresif dapat dibedakan dalam 3 kategori yaitu hostile aggression, instrumental aggression, dan mass aggression (Suryabrata, 1983). Agresi hostile merupakan tindakan tak terkendali akibat perasaan marah yang membludak keluar sebagai pengumbaran emosi. Instrumental aggression adalah tindakan agresif yang dipakai secara sengaja sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan yang bisa saja bukan merupakan suatu agresi (misalnya untuk mencapai tujuan politik tertentu). Sedangkan

mass aggression adalah tindakan agresif yang dilakukan oleh massa sebagai akibat kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat berkumpul, selalu terjadi kecenderungan kehilangan individualitas dari orang-orang yang membentuk massa tersebut. Ketika massa telah solid, maka bila ada seseorang membawa kekerasan dan mulai melakukan kekerasan yang semakin meninggi dan saling membangkitkan, akan mengakibatkan tindakan kekerasan massa. Oleh karena itu, jika kita berbicara kekerasan, maka seyogyanya kita mencermati ketiga kategori kekerasan di atas. Hal ini penting untuk tindakan preventif. Tindakan kekerasan muncul diakibatkan konflik yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Konflik adalah suatu keadaan di mana terjadi ketidakharmonisan hubungan antara beberapa orang dalam suatu organisasi atau kehidupan masyarakat. Selain itu konflik juga dapat didefinisikan dengan adanya pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompokkelompok, atau organisasi-organisasi. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara lain: (1) terdapat perbedaan pendapat antara dua orang atau lebih, (2) mempertahankan egonya masing-masing sehingga tidak terdapat kata sepakat, (3) ketidakpercayaan masingmasing pihak terhadap pihak lain, (4) terjadi kesalahpahaman antara kedua pihak, (5) penyelesaian masalah dilakukan secara sepihak tidak berdasarkan musyawarah mufakat. Kekerasan muncul diakibatkan ketidakmampuan melihat sisi yang lain dari masyarakat. Setiap masyarakat/kelompok harus menyadari bahwa perbedaan pendapat atau pandangan dengan masyarakat/kelompok lain adalah soal biasa, karena tidak ada seorang manusia/kelompok pun yang memiliki pendapat yang persis sama dengan orang/kelompok lain. Perbedaan pandangan/pendapat tidak perlu diakhiri dengan tindakan kekerasan. Setiap kelompok/masyarakat perlu menggeser sudut pandang, sehingga dapat saling diperkaya sebelum mengambil suatu keputusan/sikap tertentu. Kekerasan yang kita lihat akhir-akhir ini dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap pembangunan, baik dampak sosial budaya, psikologis, ekonomi, maupun bidang lainnya. Selain mengakibatkan kerugian di berbagai bidang pembangunan, juga merusak sarana dan prasarana fisik yang ada dan telah tertata dengan baik. Dampak psikologis dalam

24

Erika Revida, Perilaku Kekerasan dan Manajemen Konflik di Era Otonomi Daerah

masyarakat akan mengakibatkan trauma yang berkepanjangan, ketakutan, dan sebagainya. Dampak di bidang ekonomi antara lain lumpuhnya untuk sementara waktu kegiatan ekonomi akibat ketakutan akan muncul kekerasan secara berulang. Perilaku Kekerasan dan Manajemen Konflik di Era Otonomi Daerah Otonomi daerah yang diberikan kepada kabupaten/kota pada dasarnya adalah untuk lebih memberdayakan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas, dan peningkatan peran serta masyarakat. Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan otonomi daerah tidak serta merta diikuti peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, malah yang tampak di permukaan semakin banyaknya konflik yang muncul di tengah masyarakat. Salah satu masalah yang tampak sebagai akibat konflik adalah perilaku kekerasan di dalam masyarakat baik itu kekerasan di dalam penyampaian pesan-pesan maupun kekerasan psikologis sampai pada kekerasan. Kekerasan seharusnya tidak perlu terjadi jika setiap kelompok masyarakat dapat mengendalikan diri dan menyadari bahwa selalu saja ada perbedaan pendapat dan pandangan di dalam kelompok masyarakat yang dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat dan dengan kepala dingin. Kekerasan muncul disebabkan pandangan bahwa dirinya dan pendapat/pandangannyalah yang paling benar sedangkan yang lain tidak benar. Kekerasan diawali dari adanya konflik dalam masyarakat. Konflik adalah adanya pertentangan pendapat/ pandangan dari satu orang/kelompok dengan orang/kelompok lainnya. Sumber utama konflik dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan sosial, diskriminasi terhadap hak-hak individu dan kelompok, serta tidak adanya penghargaan terhadap keberagaman. Perilaku kekerasan dalam masyarakat terjadi sebenarnya diakibatkan oleh tidak adanya keadilan dalam masyarakat. Camara (2000) menyatakan: Kasus-kasus ketidakadilan itu adalah sebentuk kekerasan. Dapat dan harus dikatakan bahwa, ketidakadilan adalah sebuah kekerasan mendasar yang merupakan kekerasan nomor satu: kekerasan memancing kekerasan, tanpa rasa takut dan tanpa henti-hentinya.

Ketidakadilan menimbulkan pemberontakan, baik dari kaum tertindas maupun dari kaum muda yang bertekad untuk memenangkan dunia yang lebih adil dan lebih manusiawi...ketika konflik sampai ke jalan-jalan, ketika kekerasan mencoba melawan kekerasan para penguasa memandang mereka wajib menjaga ketertiban umum sekalipun itu berarti dipakainya kekuatan. Ini berarti kekuatan lagi...kemudian penguasa bertindak lebih jauh lagi, menjadi semakin umum seolah untuk memperoleh informasi, menjaga keamanan publik. Logika kekerasan menyebabkan mereka memakai penyiksaan moral dan fisik dan ini kekerasan lagi. Kekerasan sesungguhnya merupakan any avoidable impediment to self realization (Galtung, 1980). Perilaku kekerasan merupakan penghalang bagi orang/masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya terutama di era otonomi daerah yang seharusnya lebih memberdayakan masyarakat, meningkatkan potensi dan partisipasi masyarakat dalam berbagai kehidupan. Oleh karena itu, mencermati maraknya perilaku kekerasan dalam masyarakat pemerintah daerah harus lebih cerdas dan intensif menanggapinya, karena masyarakat sudah tidak sabar menunggu keputusan atas ketidakadilan yang berlama-lama. Perilaku kekerasan tidak saja dilakukan oleh masyarakat awam, politisi sekalipun melakukan kekerasan baik kekerasan psikologis maupun fisik. Jika dibandingkan dengan masa orde baru, maka sejak otonomi daerah digulirkan peran legislatif berubah dan memiliki kekuasaan yang lebih dari eksekutif. Kepala daerah dengan mudah dapat diberhentikan oleh legislatif. Bahkan pemberhentian Abdurrahman Wahid adalah sebuah contoh besarnya kekuasaan legislatif. Akibatnya, masyarakat pendukung Abdurrahman Wahid pun melakukan demo yang mengarah ke perilaku kekerasan. Dengan demikian terjadi konflik dalam masyarakat. Pada hakikatnya, konflik tidak dapat dihindari dan tidak perlu dihindari. Konflik adalah hal yang wajar dilakukan. Konflik dapat bersifat positif hasilnya jika dihadapi dengan pikiran yang jernih dan membangun kerja sama, saling