analisi mui terhadap enzim babi

42
4 4 BAB IV ANALISIS TERHADAP FATWA MUI TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN YANG MENGANDUNG ENZIM BABI UNTUK IMUNISASI POLIO A. Analisis Fatwa MUI Tentang Penggunaan Vaksin Yang Mengandung Enzim Babi Untuk Imunisasi Polio. Polio adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus poliomielitis yang berupa infeksi atau peradangan pada sumsum tulang belakang, yang dapat menyebabkan penyakit yang berjalan akut. Infeksi virus tersebut dapat menjulur ke arah paralysis muskular, terutama pada anggota badan dan otot-otot pernafasan. Sehingga penderita dapat mengalami kelumpuhan, bahkan dapat juga mengalami kematian jika yang diserang adalah sistem pernafasannya. 1 Vaksin polio yang digunakan khusus bagi penderita immunocompromise ( kelainan sistem kekebalan tubuh) adalah vaksin polio khusus jenis suntik, vaksin polio tersebut adalah vaksin IPV. IPV adalah vaksin yang dihasilkan dengan cara

Upload: gayakiri-kazuto

Post on 04-Dec-2015

17 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

das

TRANSCRIPT

Page 1: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

44

BAB IV

ANALISIS TERHADAP FATWA MUI TENTANG PENGGUNAAN

VAKSIN YANG MENGANDUNG ENZIM BABI UNTUK IMUNISASI

POLIO

A. Analisis Fatwa MUI Tentang Penggunaan Vaksin Yang Mengandung

Enzim Babi Untuk Imunisasi Polio.

Polio adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus

poliomielitis yang berupa infeksi atau peradangan pada sumsum tulang

belakang, yang dapat menyebabkan penyakit yang berjalan akut. Infeksi

virus tersebut dapat menjulur ke arah paralysis muskular, terutama pada

anggota badan dan otot-otot pernafasan. Sehingga penderita dapat

mengalami kelumpuhan, bahkan dapat juga mengalami kematian jika yang

diserang adalah sistem pernafasannya.1

Vaksin polio yang digunakan khusus bagi penderita

immunocompromise ( kelainan sistem kekebalan tubuh) adalah vaksin polio

khusus jenis suntik, vaksin polio tersebut adalah vaksin IPV. IPV adalah

vaksin yang dihasilkan dengan cara membiakkan virus polio dalam kultur

jaringan kemudian dibuat tidak aktif (dimatikan) melalui pemanasan dengan

zat kimia yaitu formalin.2

Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama' Indonesia tentang

penggunaan vaksin polio khusus ( jenis suntik IPV) berdasarkan laporan

1 Soedarto , Penyakit-penyakit Infeksi di Indonesia, (Jakarta : Widya Medika, cet II, 1992) hlm

1272 Imunisasi Polio, W W W . I P V . ht m , 4 juli 2005, hlm 3

Page 2: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

45

dari Dinas Kesehatan melalui Surat Menteri Kesehatan RI No:

1192/MENKES/IX/2002, tgl 24 September 2002, serta penjelasan Direktur

Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan

Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP

POM MUI, bahwa terdapat sejumlah balita yang menderita

immunocompromise (kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan

vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik IPV),

dimana jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak

diimunisasi mereka akan menderita polio serta dikhawatirkan pula mereka

akan menjadi sumber penyebaran virus. Namun dalam penggunaannya IPV

mengalami kesulitan karena vaksin tersebut (IPV) dalam proses

pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi).3

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis peroleh dari Sekretaris

MUI Jawa Tengah, beliau mengatakan bahwa MUI mengkaji vaksin dari

segi hukum Islamnya saja, sedangkan hasil laboratorium yang menunjukkan

terdeteksinya enzim babi pada vaksin tersebut MUI berdasarkan laporan

Menteri Kesehatan No 1192/MENKES/IX/2002. Beliau juga mengatakan

bahwa proses pembuatan vaksin yang menggunakan enzim (porcine) babi

tersebut melalui persenyawaan atau percampuran yang tidak dilakukan

penyucian, sehingga vaksin IPV menjadi najis. Beliau mengatakan juga

bahwa keputusan MUI ini didasarkan pada Hadis-hadis Nabi serta kaidah-

kaidah fiqiyah dan pendapat para ulama sertas ahli kesehatan sebagaimana

3Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, ( Jakarta : Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji serta Departemen Agama RI, 2003 ) hlm 368

Page 3: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

46

yang tercantum pada keputusan fatwa MUI tentang vaksin polio khusus

(jenis suntik; IPV). 4

Menurut dokter spesialis anak dr.Asri Purwati, beliau mengatakan

bahwa tidak tahu menahu tentang vaksin IPV, beliau hanya sebagai

pengguna, sehingga beliau tidak tahu apakah vaksin tersebut menggunakan

enzim (porcine) babi atau tidak.5

Sedangkan menurut Pegawai Dinas Kesehatan Jawa Tengah,

Bapak Handoko bagian vaksin polio, beliau mengatakan bahwa Dinas

Kesehatan Jawa Tengah tidak memiliki vaksin polio jenis (IPV) tetapi hanya

memiliki vaksin polio jenis (OPV) yang biasa dipakai PIN di puskesmas,

beliau juga mengatakan bahwa vaksin IPV belum beredar secara umum,

karena vaksin ini khusus digunakan bagi penderita immunocompromise

seperti yang tertuang dalam Fatwa MUI tersebut, sedangkan bagi dokter

swasta yang menggunakannya, beliau mengatakan dokter tersebut mungkin

mendatangkan khusus dari produsen vaksin tersebut dan vaksin IPV sampai

sekarang masih terus diuji coba di Yogjakarta dan Sulawesi.6 Oleh karena

itu penelitian ini hanya berdasar pada Keputusan Fatwa MUI tentang vaksin

IPV berdasar Surat Menteri Kesehatan RI No : 1192/MENKES/IX/2002, tgl

24 September 2002, bahwa dalam proses pembuatan vaksin tersebut

menggunakan porcine babi.

4 Sumber, Hasil wawancara Sekretaris MUI Jawa Tengah Drs.H.Muhyiddi, M.Si5 Sumber, hasil wawancara dokter spesialis anak dokter Asri Purwati6 Sumber, hasil wawancara Pegawai Dinas Kesehatan Jawa Tengah bagian vaksin polio

Bapak Handoko

Page 4: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

47

Vaksin IPV dibuat dengan menggunakan enzim yang berasal dari

porcine (babi), Enzim adalah setiap protein kompleks yang dihasilkan dari

sel-sel hidup yang berfungsi menggerakkan dan mempercepat reaksi kimia

pada substansi lain tanpa dirinya berubah dalam proses tersebut.7 Enzim

merupakan protein yang khusus disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalis

reaksi yang berlangsung didalamnya.8

Oleh karena itu fungsi khusus enzim antara lain adalah pertama

merendahkan energi aktivasi, kedua mempercepat reaksi pada suhu dan

tekanan tetap tanpa mengubah besarnya tetapan seimbangnya, dan yang

ketiga mengendalikan reaksi.9

Enzim digunakan dalam pembuatan vaksin (IPV) dengan bertujuan

sebagai persenyawaan dengan media yang digunakan untuk pembiakan

virus bahan vaksin, enzim yang berasal dari porcine babi tersebut berfungsi

untuk mempercepat reaksi kimia dalam persenyawaan virus bahan vaksin

dengan media pembiakannya,dan dari persenyawaan tersebut antara porcine

(babi) yaitu (enzim) dengan media pembiakan bahan vaksin, tidak

dilakukannya penyucian sebagaimana yang dibenarkan syari'ah, bahkan

memakan-makanan yang beasal dari babi dengan tegas dilarang oleh Allah,

sebagaimana firman Allah dalam surat al- Maidah : 3

ر..... زي خلان م لح و مدال و

ة تيامل

كم يعل

تم

رح

7 Van Nostrand Rein Hold Company, a Popular Guide to Medical Language, terj.RM.SoelarkoSoemohatmoko, Istilah Populer Kedokteran, (Bandung : Angsa, cet X, 1984) hlm 112

8 Soeharsono Matoharsono, Biokimia, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, cet 14,1994) hlm 81

9 Ibid, hlm 93

Page 5: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

Artinya : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi"10

Menurut nash ayat, yang diharamkan yaitu dagingnya, maka

sebagian golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa yang diharamkan itu

hanya dagingnya saja, tidak termasuk gajihnya karena Allah berfirman " dan

daging babi". Sedangkan Jumhur berpendapat bahwa gajihnya juga haram

karena daging itu meliputi gajih. Allah menyebut "daging" secara khusus itu

untuk menunjukkan bahwa yang diharamkan itu dzatiyah babi itu sendiri.11

Menurut Al-Qurtubi yang telah dinukil oleh Ash-shabuni, berkata

bahwa " tidak diperselisihkan seluruh anggota badan babi adalah haram

kecuali bulunya yang boleh dimanfaatkan oleh tukang jahit kulit, sebab cara

seperti itu telah berlangsung sejak zaman Nabi dan sesudahnya, sedang

kami tidak mengetahui Nabi mengingkarinya, demikian juga Ulama'

sesudahnya".12

Dengan demikian sangat jelas bahwa babi adalah haram

tidak saja hanya dagingnya saja melainkan apa saja yang terkandung dalam

babi, baik dagingnya maupun zat-zat yang terkandung didalamnya. Allah

melarang hal-hal yang diharamkan untuk dijauhi apalagi untuk dikonsumsi,

selain itu Allah juga melarang kita untuk mendekati hal-hal yang najis.

Dengan demikian barang najis merupakan benda yang harus dijahui dan

apabila mendapatkannya maka harus disucikan dari benda tersebut.

10 Depag RI ,Al-Quran dan Terjemahannya, (Semarang : PT. Toha Putra,1989) hlm 15711 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir al-Bayan, terj.Muhammad Hamidi dan Imran A.Manan,

Terjemahan Tafsir Ash-Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, cet I, 1983) hlm 11712 Ibid

Page 6: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

Bahwa benda-benda najis secara analogi otomatis suatu barang

najis akan menjadi najis ini dilarang oleh syara' selama masih terdapat

pengobatan-pengobatan yang baik serta tidak dilarang oleh syara'.

Menurut A. Hassan : " Adapun babi menurut ayat Al-Quran haram

dimakan, tetapi tidak ada keterangan yang mengatakan najisnya".13 Namun

disisi lain salah satu faktor diharamkannya daging babi adalah kotornya

yang menurut para dokter telah diketemukan, bahwa daging babi

mengandung bakteri-bakteri yang sangat ganas, disamping itu babi memiliki

tabiat-tabiat jelek yang dapat berpengaruh kepada orang yang memakan

dagingnya. 14

Disisi lain agama Islam telah mensyari'atkan untuk setiap muslim

agar bersuci dan menjauhkan diri (taharah) dari segala najis. Bahwa

membersihkan dan menghilangkan najis sewaktu akan menjalankan suatu

ibadah adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi, karena resiko

atau dampak dari adanya najis tersebut adalah tidak sahnya ibadah.

Adapun vaksin ini digunakan sebagai pencegahan terhadap suatu

penyakit masuk dalam maslahah hajiyah (kebutuhan).15 Menurut Ibnu

Taimiyah bahwa: kebutuhan diartikan sebagai keterdesakan atau

keterpaksaan yang dialami oleh seseorang berdasar dari situasi dan kondisi ,

13 A. Hassan , et.al., Soal – Jawab : Tentang berbagai Masalah Agama (Bandung : C.V. Diponegoro, 1984) hlm 33

14 Muhammad Hamidy dan Imran A.Manan, op.cit., hlm 12015 Yusuf Qardhawi, Halal wa Haram fi Islam, terj.Mua'amal Hamidy, Halal dan Haram dalam

Islam,(Surabaya : PT. Bina Ilmu Offset, 1993) hlm 53

Page 7: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

sehingga kebolehan diberikan atas dasar kebutuhan dan kedaruratan.16

Kebutuhan akan seorang manusia untuk mendapatkan kesehatan,

menghindarkan diri dari kesempitan dan kesulitan.17 Apabila mengalami

kesulitan dalam masalah hajiyah maka jalan keluarnya adalah rukhsoh.

Sebagaiman vaksin IPV ini sangat dibutuhkan bagi mereka yang memiliki

ketahanan tubuh yang menurun, hal ini merupakan kebutuhan yang harus

dipenuhi.

Sedangkan bahaya yang akan terjadi jika seseorang tidak diberikan

vaksin polio pertama; anak-anak yang tidak memiliki kekebalan (tidak

divaksin) maka dapat dengan mudah terinfeksi polio, kedua; akibat anak

yang terinfeksi polio akan lumpuh atau meninggal dunia, ketiga; untuk

setiap anak yang terinfeksi polio akan tetapi tidak lumpuh maka akan tetap

menjadi sumber penyebab penyebaran virus polio terhadap anak yang lain,

dan yang keempat; anak-anak yang telah terinfeksi polio tidak dapat

disembuhkan karena hingga sekarang belum ditemukan pengobatannya. 18

Lebih lanjut Yusuf Qardhowi menerangkan ada syarat-syarat

rukhsoh (keringanan) dalam menggunakan barang yang diharamkan oleh

syari'at (vaksin IPV) untuk menjadi pengobatan.19 Syarat pertama, yaitu

bahwa adanya suatu bahaya yang mengancam terhadap kesehatan seseorang

bila tidak menggunakan obat (vaksin IPV) tersebut. Bahwa penyakit yang

16 M. Maslehuddin, Islamic Yurisprudence And The Rule Of Necessity And Need, terj. A. Tafsir, (Bandung : Pustaka, cet I, 1985) hlm 50

17 Sarmin Syukur, Ilmu Ushul Fiqh Perbandingan Sumber-sumber Hukum Islam, (Surabaya :Al-Ikhlas) hlm 81

18 Buku Petunjuk Pekan Imunisasi Nasional, hlm 4 B19 Yusuf Qardhawy, op.cit., hlm 53

Page 8: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

diderita oleh seseorang tersebut haruslah telah sampai pada batas-batas akut

dari standaritas penyakit, sehingga orang tersebut harus diobati atau

diberikan pengobatan dengan menggunakan barang yang diharamkan oleh

syara' atau dengan kata lain bahwa pada batasan-batasan tertentu seorang

harus menggunakan vaksin IPV untuk mencegah terkena terhadap bahaya

suatu penyakit. Syarat kedua, tidak didapatkan lagi pengobatan yang halal

atau kedudukannya sama atau lebih dari pengobatan yang menggunakan

barang haram. Dalam pemilihan pengobatan ini hendaklah diutamakan

memilih pengobatan yang oleh syara' tidak dilarang. Yang ketiga bahwa

yang menyuruh menggunakan pengobatan dengan barang haram adalah

seorang dokter muslim yang terpercaya (dokter ahli) dalam bidang

kedokteran maupun agama, etika ini disebut adab yang berarti suatu cara

yang layak atau tatacara yang benar.20

Dalam etika pengobatan, seorang dokterlah yang lebih diutamakan

dalam mengobati suatu penyakit. Sebagaimana ketika ada salah seorang

sahabat terluka dan luka itu banyak sekali mengeluarkan darah. Lalu

Rasulullah memanggil dua orang dari Bani Anmar, kemudian Rasulullah

bertanya :

الذي �وءآ ل الد ز ل اهللا: ان سو ا ر ي

ريخ

ب الط

في

وا

فقالا : ،ا أطب كم

أي

رواه كلم ) ) اء و ل األد ز أن

20 Fazlul Rahman, Health and Medicine in the Islamic Tradition : change and Identity, terj.

Page 9: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

Jaziar Radianti, Etika Pengobatan Islam : Penjelajah Seorang Neo Modernis, (Bandung : 1999) hlm 127

Page 10: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

Artinya :" Siapa diantara kalian yang paling pandai dalam ilmu pengobatan? Salah seorang dari mereka bertanya : 'Apakah ilmu pengobatan (kedokteran) ada manfaatnya wahai Rasulullah?'Rasulullah menjawab : 'Dzat yang menurunkan penyakit telahpula menurunkan obatnya'. "

Ibnu Al- Qayyim berpendapat bahwa "hadis tersebut menunjukan

dibolehkannya meminta bantuan, baik dalam bidang ilmu maupun

tehnologi, kepada orang yang paling berpengalaman. Karena hasilnya akan

lebih dipercaya". 21

Berdasarkan hadis diatas bahwa Rasulullah menyuruh untuk pergi

kedokter dan untuk meminta pengobatan. Hendaklah diikuti serta menuruti

seluruh nasehatnya. Dalam memilih seorang dokter As-suyuti menganjurkan

untuk memilih seorang yang mengetahui kedokteran dan terampil di dalam

seni ini.22 Maksud dari terampil dalam seni ini adalah doketr yang ahli

dalam bidangnya, dengan memilih dokter yang ahli dalam bidangnya

(dokter spesialis) tersebut maka kemungkinan kecil diagnosa yang dibuat

adalah salah, karena berdasarkan ilmu yang dia miliki serta berpengalaman

dalam bidangnya tersebut. Serta diutamakan juga dalam memilih dokter

tersebut adalah seorang dokter yang muslim, karena sedikit banyak ia akan

mengetahui hukum Islam, sehingga akan terhindar dari pemilihan obat yang

diharamkan oleh agama.

Ahmad berkata, " Adalah diperbolehkan menarik kebaikan dari

saran dokter dzimmi (non muslim) bila ia menjelaskan pengobatan yang

21 Yusuf Al- Qardhawy, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban, terj. SetiawanBudi Utomo (Jakarta : Pustaka Al- Kautsar, 1998) hlm 206

22 Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, as-Suyuti's Medicine of The Propet, terj Luqman Hakim dan Ahsin Muhammad, Pengobatan Cara Nabi SAW, (Bandung : Pustaka Hidayah, cet I, 1997) hlm 176

Page 11: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

halal, akan tetapi, sarannya jangan diikuti manakala ia memberiskan resep

obat yang haram, semisal alkohol dan sebagainya.23

Maka berdasarkan pendapat para ulama diatas bahwa, upaya

pencegahan maupun mendapatkan pengobatan dari suatu penyakit

(mendapatkan keadan sehat) merupakan suatu hak asasi manusia yang harus

didapatkan oleh setiap manusia, tetapi yang dilarang disini adalah caranya

dalam mendapatkan kesehatan yaitu dengan menggunakan barang yang

oleh syara' dilarang penggunaannya (harus dijauhi), selagi masih ada yang

menggunakan barang yang tidak melanggar syara'. Apabila pengobatan

dengan usaha yang halal masih tidak didapatkan atau tidak kunjung sembuh

malah akan bertambah parah maka baru diperbolehkan (rukhsoh)

menggunakan barang yang dilarang oleh agama dengan catatan bahwa

rekomendasi penggunaan barang tersebut dari dokter muslim yang ahli

dibidangnya serta ahli dibidang agama.

B. Analisis Metodologi Istimbat Hukum MUI Tentang

Kebolehan Menggunakan Vaksin Yang Mengandung Enzim Babi

Untuk Imunisasi Polio.

MUI dalam menetapkan fatwanya berdasarkan kepada ketentuan

pasal 2, 3, tentang Dasar-Dasar Umum Penetapan Fatwa dan Prosedur

Penetapan Fatwa serta berdasarkan pada Dasar Umum dan Sifat Fatwa

serta berdasar pada Metode Penetapan Fatwa MUI, yang kesemuanya

bertitik tolak kepada kemaslahatan umat.

23 Ibid

Page 12: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

Istimbat menurut bahasa adalah mengeluarkan, sedangkan menurut

istilah istimbat adalah upaya oleh seorang ahli fiqh dalam menggali hukum

Islam dari sumber-sumbernya.24

Metodologi istimbath dalam menetapkan fatwa tentang vaksin

polio khusus yang mengandung enzim babi berdasar pada :

1. Fatwa MUI tentang penggunaan vaksin ini berdasar pada Hadis-hadis

Nabi tentang perintah berobat, larangan menggunakan pengobatan

dengan menggunakan barang haram, serta hadis Nabi tentang najis.

2. Fatwa MUI berdasar juga pada Kaidah-kaidah fiqh.

3. Fatwa Juga berdasar pada Pedoman dasar dan pedoman rumah tangga

MUI periode 2000-2005

4. Fatwa MUI tentang vaksin ini berdasar pada pedoman penetapan

fatwa MUI

5. Serta berpedoman pada pendapat para ulama' dan para ahli dibidang

kesehatan, seperti menteri kesehatan, badan pengawas obat dan

makanan, bio farma, juga berdasar pada LP-POM MUI.

Pedoman MUI tersebut berorientasi pada kepentingan

kesejahteraan umum yang istilah Islamnya disebut Maslahah Mursalah.

Maslahah Mursalah adalah memperoleh suatu hukum yang sesuai menurut

akal pandang dari kebaikannya sedangkan tidak diperoleh alasannya, seperti

seseorang menghukum terhadap sesuatu yang belum ada ketentuanya oleh

agama. Apakah perbuatan itu haram atau boleh, maka hendaklah dipandang

24 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad As-Syaukani, ( Jakarta : Logos, cet I, 1999 ) hlm 45

Page 13: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

kemadharatannya dan kemanfaatannya.25 Menurut Ibnu Qayyim "

kepentingan umum adalah dimaksudkan dengan kebutuhan masysrakat".26

Sebagian Ulama' Ushul menamakannya dengan Istishlah (Hanabilah) dan

sebagian lagi menyebutnya ' berbuat atas dasar Maslahat Mursalah

(Malikiyah). 27

Bahwa pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan, kecuali

merealisir kemaslahatan umat manusia, artinya mendatangkan keuntungan

bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan dari

padanya.28

Bila kemadharatannya lebih banyak dari kemanfaatannya berarti

perbuatanya itu terlarang, sebaliknya bila kemanfaatannya lebih banyak dari

kemandharatannya berarti perbuatan itu dibolehkan oleh agama. Karena

agama membawa kepada kebaikan, seperti yang dikatakan oleh Ibnu

Taimiyah yang dinukil oleh Nazar Bakri dalam bukunya fiqh dan ushul fiqh:

� ته صلح مو

�هت

دفس

م الى

رطين

فل

اح

بم

وا امرح

وها

يئ لش ا كم ح

"Hukum sesuatu adalah dia haram atau mubah, maka dilihat dari segi kebiasaan dan kebaikannya".29

Berpegang ketentuan hukum yang dibina atas dasar maslahat,

diperselisihkan oleh para ulama' : menurut Imam Malik dan Imam Ahmad

25 Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, cet IV, 2003) hlm64

26 M. Maslehuddin,op.cit., hlm 5027 Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam : Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta

: Sinar Grafika, cet I, 1995) hlm 141

Page 14: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

28 Abdullah Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cet VIII, 2002) hlm 123

29 Nazar Bakry, op.cit., hlm 64-65

Page 15: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

beserta pengikut keduanya berpendapat bahwa maslahat mursalah (maslahat

yang tidak ditemui petunjuk diakuinya atau ditolaknya dari syari') adalah

maslahat yang patut atau boleh dijadikan landasan istimbat hukum.

Sedangkan menurut Imam Syafi'I dan pengikutnya dinukil Sulaiman

Abdullah, berpendapat bahwa boleh beristimbat hukum yang Istishlah dan

mereka tidak mengakuinya sebagai dalil syara', namun menurut Ath Tufy

dari kalangan Hanabilah berpendapat bahwa istishlah adalah dalil syara'

yang asasi dalam masalah mu'amalah dan segala ketentuan hukum yang

ditetapkan untuk mewujudkan maslahat dan menolak mafsadah.30

Masing-masing kelompok mempunyai argumentasi atau alasan

untuk memperkuat pendapat mereka. Bagi mereka yang menerima memiliki

alasan sebagai berikut pertama bahwa hukum-hukum syara' itu hanya

ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Kedua bahwa

peristiwa hukum baru terus terjadi sejalan dengan perubahan sosial budaya

dan kebutuhan (dharury) dan kepentingan (hajj) selalu menuntut yang tidak

pernah ditemui oleh yang terdahulu. Ketiga bahwa kemaslahatan yang

menjadi landasan hukum syariat adalah kemaslahatan yang rasional bahwa

yang dilarang adalah yang buruk dan diperintahkan adalah baik yang dapat

diterima akal dan yang keempat bahwa sahabat Nabi saw, ketika menemui

beberapa peristiwa hukum baru setelah Nabi saw wafat. Mereka menetapkan

30 Sulaiman Abdullah, op.cit., hlm 145-146

Page 16: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

hukumnya menurut pendapat mereka. Ketntuan hukum itulah yang akan

mewujudkan keamslahatan.31

Argumentasi dari kelompok yang menolak dengan alasan pertama

bahwa hukum-hukum syara' tidak di bina atas landasan illat, karena akal

akan berarti mendapatkanya. Kedua hukum-hukum yang telah ditentukan

Allah SWT tidak memerlukan sesuatu yang menyempurnakannya karena

telah sempurna.

Sedangkan alasan penolakan oleh Imam Syafi'i dengan alasan

bahwa berpegang dengan maslahat mursalah dalam menetapkan hukum

akan membuka pintu bagi para hakim dan fuqaha mengikuti hawa nafsu

untuk imemasukkan sesuatu yang bukan hukum syariat ke dalam hukum

syariat yang membawa kerusakan manusia. Selain itu bahwa berpegang

dengan maslahat dalam menetapkan hukum akan membawa perbedaan

hukum menuntut perbedaan waktu dan tempat yang akan meniadakan

kesatuan hukum syariat universal dan efernalitasnya (abadi).32

Para ulama' menjadikan hujjah maslahah mursalah, mereka berhati-

hati dalam hal itu, sehingga tidak menjadi pintu bagi pembentukan hukum

syari'at menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan. Karena itu mereka

mensyaratkan dalam maslahah mursalah yang dijadikan dasar pembentukan

hukum.

Imam malik, memberikan persyarata sebagai berikut : pertama

bahwa kasus hukum yang ditetapkan termasuk bidang bukan dibidang

31 Ibid, hlm 146-14732 Ibid, hlm 148-149

Page 17: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

ibadah. Kedua maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan salah satu

sumber hukum syariah. Ketiga, maslahat tersebut harus haruslah berupa hal-

hal yang pokok dan darurat bukan yang bersifat penyempurnaan

(kemewahan).33

Sementara itu, al-Ghazali menetapkan beberapa syarat agar

maslahat dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Adapun syarat-syarat

tersebut adalah sebagai beikut : pertama, kemaslahatan itu masuk kategori

peringkat daruriyat. Artinya, bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan,

tingkat keperluan harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam

eksistensi lima unsur pokok maslahat atau belum sampai batas tersebut.

Kedua kemaslahatan itu bersifat qath'i. Artinya yang dimaksud dengan

maslahat tesebut benar-benar telah diyakini sebagai maslahat, tidak di

dasarkan pada dugaan (dzan) semata-mata. Ketiga kemaslahatan itu bersifat

hulli, artinya kemaslahatan itu berlaku secara umum atau kolektif, tidak

bersifat individual. Kata al- Gazali, syarat lain yang harus dipenuhi adalah

bahwa maslahat tersebut harus sesuai dengan maqasid al-syari'ah.

Berdasarkan persyaratan maslahat yang dikemukakan oleh para

ahli ushul figh di atas, dapat di pahami betapa eratnya hubungan antara

metode maslahah mursalah dan maqasid al-syari'ah. Ungkapan Imam

Malik bahwa maslahat harus sesuai dengan tujuan yang disyari'atkan hukum

dan diarahkan pada upaya menghilangkan kesulitan, jelas memperkuat

asumsi ini. Begitu pula dengan syarat yang pertama yang dikemukakan Al-

33M. Maslehuddin,op.cit., hlm 48

Page 18: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

Gazali, baginya yang dimaksud memelihara aspek daruriyah tiada lain

adalah untuk memelihara lima unsur pokok maslahat yaitu : agama, jiwa,

akal, keturunan dan harta.

Berdasarkan syarat-syarat yang dikemukakan oleh para ahli ushul

fiqh diatas, maka dapat diambil kesimpulan syarat-syarat yang menjadi

hujjah maslahah mursalah adalah sebagai berikut :

1. Berupa masalah yang pasti atau sebenarnya, bukan masalah yang

bersifat dugaan semata

2. Berupa maslahat yang umum bukan maslahat pribadi atau

perorangan

3. Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan

hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash, qiyas dan ijma'

Hal ini selaras dengan yang tertera dalam pedoman tata cara

penetapan fatwa MUI bahwa dasar-dasar untuk mengeluarkan fatwa

menurut urutan tingkat adalah, al-Qur'an, as-Sunnah, ijma', dan qiyas. Hal

itu harus disusuli dengan penelitian pendapat para imam mazhab yang ada

dan fuqoha yang mengemukakan penelaahan mendalam tentang masalah

serupa.

Dari sinilah kemudian kemaslahatan dapat dijadikan batu pijakan

dan pedoman pokok MUI dalam memecahkan berbagai permasalahan

hukum yang tidak ada ketegasannya dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, serta

belum pernah diijtihadkan oleh ulama'-ulama' fiqh masa lalu.

Page 19: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja, rajin, selalu

melakukan aktivitas, bekerja keras dan melarang mereka bersikap lamban,

bermalas-malasan dan suka menunda-nunda. Islam juga memperhatikan

kesehatan tubuh diantaranya taharah (bersuci), yakni kebersihan dan juga

melarang dan mengharamkan segala yang memabukkan dan melemahkan

kekuatan tubuh.34

Sebagaimana perhatiannya terhadap kesehatan, maka Islam juga

memperhatikan masalah kedokteran (pengobatan), baik yang bersifat

represif maupun preventif (pencegahan). Dalam hal ini perhatian Islam

terhadap usaha preventif tampak lebih menonjol karena dalam

mengeluarkan uang untuk pecegahan (sebelum tertimpa penyakit) lebih

kecil dari pada biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya pengobatan.35

Namun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa dalam

bidang kesehatan maupun kedokteran juga terdapat masalah-masalah yang

harus dihadapi umat Islam terutama pada masalah-masalah yang

berhubungan dengan status hukum. Sebuah produk yang dihasilkan dari

temuan atau hasil pengembangan atau penelitian dari bidang tehnologi

kadang-kadang atau terang-terangan menyimpang dari ajaran Islam.

Apalagi pada saat sekarang ini di era globalisasi dimana jarak

komunikasi dan transportasi tidak berarti lagi dan lancarnya arus informasi

menjadikan sekat wilayah dan budaya menjadi kabur disebabkan kemajuan

34 Yusuf Qardhawi,Hadyul Islam Fatawi Mu'ashirah, terj.As'ad Yasin, penyunting M. SholihatSubhan, Fatwa-Fatwa Kontemporer,jilid I (Jakarta : Gema Insani, Cet I, 1995) hlm 853

35 Ibid, hlm 855

Page 20: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

iptek.36 Kemajuan iptek tersebut menuntut pembangunan diseluruh aspek

kehidupan, dimana akan membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan

namun disisi lain dapat menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-

persoalan baru, baik persoalan yang belum pernah dikenal, bahkan tidak

pernah terbayangkan, yang kini hal tersebut menjadi nyata. Oleh karena itu

setiap timbul persoalan, maka umat perlu mendapatkan jawaban yang tepat

dari pandangan ajaran Islam.

Atas dasar itu Allah telah memberikan hak kepada orang-orang

yang memiliki kemampuan melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah

yang tidak shahih atau ditetapkan secara tidak jelas dan tidak pasti (qath'i)

didalam Al-Quran. Kata ijtihad digunakan oleh para fuqaha untuk beberapa

persoalan yang rumit dan sulit yang membutuhkan banyak energi.

Menurut Imam Al-Syaukani ijtihad adalah mencurahkan

kemampuan guna mendapatkan hukum syara' yang bersifat operasional

dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan hukum). Dengan melakukan

ijtihad dalam beberapa persoalan yang belum jelas, syari'at islam harus

mampu menghadapi dan menjawab masalah baru yang lain seiring dengan

kemajuan budaya manusia.37

Dalam menghadapi persoalan, dan membiarkan tanpa ada jawaban

dan membiarkan umat dalam kebingungan tidak dibenarkan. Oleh karena itu

para alim ulama' atau para faqih atau mufti yang bisa melakukan penalaran

36 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad : Isu-isu Penting Hukum Islam KontemporerDi Indonesia, ed.,Abdul Halim, (Jakarta : Ciputat Pers, Cet I, 2002) hlm 8

37 Ahmad Syahid, Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia : Sekilas Tentang Ijtihad, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet II, 1993) hlm 5

Page 21: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

hukum yang disebut mujtahid, yakni orang yang menggunakan segala

usahanya untuk mendapatkan hukum dari objek wahyu sambil mengikuti

prinsip-prinsip dan prosedur yang telah dibangun dalam ushul fiqih.38

Mereka harus mencurahkan segala kemampuannya untuk mendapatkan

hukum terhadap persoalan tersebut. Kajian tentang ijtihad dan ushul fiqih

pada umumnya tidak terlepas dari kajian tentang dalil dan sumber hukum,

sebagai dasar tempat untuk melakukan penggalian hukum (istimbath al-

ahkam), tanpa lebih dahulu mengkaji dalil dan sumber hukum maka kajian

tentang ijtihad menjadi tidak utuh karena tidak berangkat dari fondasi

hukum yang akan menjadi acuan dalam setiap aktifitas ijtihad.39

Imam Syafi'I mengemukakan bahwa seorang mujtahid tidak boleh

mengatakan "aku tahu" atau "tidak tahu" terhadap suatu permasalahan

sebelum terlebih dahulu berusaha mengerahkan segala kemampuannya

meneliti permasalahan tersebut sampai ia menemukan hukumnya.

Imam Al-Syaukani dan Imam Amidi memberikan gambaran agar

tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan sehingga membuat hukum

seenaknya tanpa terlebih dahulu memeras kemampuan, mengadakan

penelitian terhadap dalil-dalilnya, memahaminya secara mendalam, dan

mengambil kesimpulan dari dalil-dalil tersebut serta mengadakan

perbandingan dengan dalil-dalil yang bertentangan.40

38 Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, tej.E. Kusnadiningrat, Abdul Haris binWalid, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet II, 2001) hlm 17239 Nasrun Rusli,op.cit., hlm 1940 Ahmad Syahid, op.cit., hlm 6

Page 22: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

Ada beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang

mujtahid yang berkaitan dengan akumulasi keaslian dalam banyak bidang.

Yang pertama ia harus memiliki pemahaman yang memadahi atas ayat-ayat

hukum dalam Al-Quran, ia tidak mesti harus hafal tetapi tahu bagaimana ia

dapat menggunakan ayat-ayat tersebut secara efisien dan cepat ketika ia

membutuhkannya. Kedua ia harus benar-benar mengetahui koleksi hadis-

hadis yang relevan dengan hukum, dan harus menguasai teknis kritisisme

hadis hingga ia bisa menguji otensisitas dan nilai istemik dari hadis dimana

hadis-hadis tersebut sudah diteliti dan diterima oleh sebagian besar faqih

yang mendahuluinya sebagai hadis yang kredibel. Ketiga ia harus

menguasai bahas arab, sehingga ia memahami kompleksitas permasalahan

yang dikandungnya, diantaranya pemakaian metaforis umum dan khas,

pernyataan tegas dan samar-samar. Keempat ia harus menguasai

pengetahuan tentang nasakh, hingga ia tidak berpikiran atas dasar ayat atau

hadis yang dinasakh. Kelima ia harus betul-betul menguasai semua

tingkatan prosedur dari penarikan kesimpulan. Keenam ia harus mengetahui

semua kasus yang telah menjadi kesepakatan, akan tetapi ia tidak

diharuskan mengetahui semua kasus hukum substantif.41

Berdasarkan syarat-syarat diatas maka, MUI harus memenuhi

kriteria tersebut, karena menetapkan fatwa bukan merupakan hal yang

mudah, dan harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.

41 Wael B. Hallaq, op.cit., hlm 173-174

Page 23: Analisi MUI Terhadap Enzim BABI

Begitulah nyatanya atas dasar kemaslahatan dan dengan tujuan

memudahkan, maka persyari'atan hukum Islam pada awalnya dilakukan

secara bertahap. Karena itu mengingat pentingnya maslahat atau

kemaslahatan sebagai tujuan inti persyariatan hukum Islam, para ahli ilmu

ushul atau pelaku hukum harus mempunyai pendirian dimana ditemukan

(dicapai) kemaslahatan, maka disitulah syari'at hukum Allah SWT. Oleh

karena itu, tidak patut kita berbuat kaku pada nash-nash (teks al-Qur'an dan

Hadist) dan fatwa-fatwa terdahulu, dan tidak patut pula kita menutup diri

dari perkembangan zaman dan kemaslahatan kekinian.

Tujuan syara' menurut yang diisyaratkan tersebut adalah

tercapainya kemaslahatan dalam kehidupan manusia. Kemaslahatan yang

dimaksud adalah bersifat dinamis dan fleksibel, artinya pertimbangan

maslahat itu seiring dengan perkembangan zaman. Konsekwensinya bisa

jadi yang dianggap maslahat pada waktu lalu belum tentu dianggap maslahat

pada masa sekarang.

Oleh karena itu, ijtihad terhadap tatbiq (pelaksanaan) hukum

dengan pertimbangan kemaslahatan ini dilakukan secara terus menerus, baik

terhadap masalah-masalah yang mendahului ijtihad maupun masalah-

masalah yang secara prospektif diduga pasti terjadi. Jadi, tujuan hukum

Islam itu adalah prinsip dan keprinsipan maslahat sebagai tujuan hukum

Islam telah disepakati oleh ahli-ahli hukum Islam.