analisi framing tgs etika fil kom
TRANSCRIPT
1
ANALISIS TEKS MEDIA: ANALISIS FRAMING
A. Pendahuluan
Meski pendekatan ilmiah positivis dalam kajian ilmu komunikasi di
Indonesia masih cukup dominan, tetapi lambat laut pendekatan alternatif terhadap
ilmu komunikasi semakin memiliki tempat di Indonesia. Adalah pendekatan
seperti fenomenologi, etnometodologi, interaksionisme simbolik, dramaturgi,
hermeneutika, semiotika, teori feminis, marxisme satrian, teori kritis,
pascastrukturalisme, dekonstruktivisme, teori pascakolonialis dan sebagainya.
Paradigma positivis melihat komunikasi sebagai bentuk pengiriman pesan
(transmisi pesan). Komunikasi di sini dilihat sebagai suatu proses bagaimana
pesan terkirim dari pengirim ke penerima dan proses yang terjadi dalam
pengiriman tersebut. Proses tersebut dilihat secara linier dari pengirim ke
penerima melalui saluran. Model transmisi memetakan/melihat komunikasi
sebagai sebuah jalan dan mengasumsikan bahwa informasi, pengertian dan pikiran
dikirimkan.
Contoh paling baik untuk menggambarkan fenomena tersebut adalah
model Shannon and Weaver (1949). Model ini melukiskan suatu sumber yang
menyandi atau menciptakan pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran
kepada seorang penerima yang menyandi balik atau mencipta ulang pesan
tersebut. Model ini bersifat statis dan linier, karena melihat komunikasi mengalir
dari komunikator kepada komunikan. Komunikator dilihat sebagai pihak yang
2
aktif, sementara komunikan adalah pihak yang pasif menerima begitu saja apa
yang disampaikan komunikator.
Menurut Lewin dan Slade, penggambaran proses komunikasi semacam itu
terlihat mekanistis dan simplifistik. Ketika berkomunikasi, seseorang mengrimkan
sandi (code) dan proses komunikasi pada dasarnya adalah proses penyandi pesan
agar dapat diterima dan dipahami oleh penerima. Sedangkan proses menerima
pesan pada dasarnya adalah proses mengurai sandi (decode) dan menyandi ulang
agar dapat diterima sesuai dengan yang dimaksud pengirim.
Apa pun bentuk dan modelnya, paradigma positivis/transmisi ini
mempunyai beberapa asumsi. Model tersebut menggambarkan sebuah proses.
Yang menjadi titik tolak dari paradigma ini adalah bagaimana pesan diproduksi,
bagaimana prosesnya, dan bagaimana pesan itu disebarkan kepada penerima.
Komunikasi dilihat sebagai sebuah seri, transmisi di mana ada yang mengirimkan
pesan kepada penerima, kemudian penerima akan merespon balik dan diterima
kembali oleh pengirim dan begitu seterusnya. Asumsi dari pendekatan ini adalah
Information Source
Transmitter Receiver Destination
Noise Source
Message Signal ReceivedSignal
Message
Information Source
Transmitter Receiver Destination
Noise Source
Message Signal ReceivedSignal
Message
Model Matematika Shannon-WeaverSumber: Claude E. Shannon dan Warren Weaver, The Mathematical Theory of
Communication, University of Illinois Press, Urbana, Illinois, 1949. h. 9.
3
adanya hubungan satu arah dari media kepada khalayak. Adapun faktor umpan
balik hanyalah penyempurnaan model yang tampak linier tersebut, tetapi tetap
saja dasarnya adalah sebuah proses, sebuah tahapan dari satu bagian ke bagian
lain.
Berbeda dengan paradigma transmisi adalah konstruksionistis (produksi
dan pertukaran makna). Apabila asumsi transmisi melihat komunikasi sebagai
penyebaran (pengiriman dan penerimaan pesan), maka paradigma
konstruksionistis melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna.
Jadi yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirimkan pesan,
tetapi bagaimana masing-masing pihak pihak dalam lalu-lintas komunikasi saling
memproduksi dan mempertukarkan makna. Di sini diandaikan tidak ada pesan
dalam arti statis yang saling dipertukarkan dan disebarkan. Pesan itu sendiri
dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang
berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana mereka berada.
Fokus dari pendekatan ini adalah bagaimana pesan dibuat/diciptakan oleh
komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif ditafsirkan oleh individu
sebagai penerima.
Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama,
pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses
bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah
sesuatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Kedua,
pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikai sebagai proses yang
dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan
4
dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana
konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan
sebagai mirror reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam
menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan
tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator
dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan,
memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks
pengalaman, pengetahuannya sendiri.
Ada perbedaan mendasar antara paradigma yang melihat komunikasi
sebagai transmisi dengan paradigma yang melihat komunikasi sebagai produksi
dan pertukaran makna. Namun untuk kepentingan makalah ini kita akan melihat
salah satu perbedaan tersebut dalam hal konsep “pesan”. Paradigma transmisi
(proses) melihat pesan sebagai apa yang dikirimkan atau disebarkan oleh
seseorang dalam suatu proses komunikasi. Penerima bisa sadar atau tidak sadar,
mengerti atau tidak mengerti, tetapi pesan adalah apa yang dikirimkan oleh
seseorang dalam proses komunikasi tersebut. Dalam pandangan konstruksionis,
pesan adalah konstruksi melalui interkasi dengan penerima (receiver). Pesan di
sini bukan apa yang dikirimkan, tetapi apa yang dikonstruksi dan apa yang dibaca.
Makna bukan sesuatu yang fisik dan statis seperti pandang transmisi, tetapi justru
adalah produk konstruksi dan interaksi antara pengirim dengan penerima.
Membaca sendiri adalah suatu proses menemukan makna yang terjadi ketika
pembaca berinterkasi (negosiasi) dengan teks.
5
Menurut pandangan konstruksionis, makna pada dasarnya bukan
ditransmisikan/dikirimkan dari pengirim (sender) ke penerima (receiver),
melainkan dinegosiasikan antara teks, pengirim, dan penerima pesan. Dalam
model komunikasi ini, makna tidaklah inheren ada dalam setiap isi. Karena itu
ketika seseorang pengirim menyebarkan pesan dan isi komunikasi kepada
penerima, ia pada dasarnya hanya mengiriman isi. Bagaimana isi tersebut
dipahami dan dimaknai bergantung pada proses pemaknaan penerima. Makna
yang dimaksud oleh pengirim bisa jadi lain ketika diterima oleh penerima, dan ini
tidak dianggap sebagai kegagalan dalam berkomunikasi. Pengirim akan
menekankan arti dan makna dari isi pesan yang disampaikannya, dan sebaliknya,
penerima mempunyai pemaknaan tertentu atas pesan komunikasi tersebut. Hasil
akhirnya bergantung pada bagaimana negosiasi tersebut terjadi antara pengirim
dengan penerima. Pandangan semacam ini pula menolak seakan ada realitas yang
objektif, yang benar, yang harus ditemukan. Kebenaran haruslah dimengerti dari
bagaimana ia dibuat, untuk siapa, dan kapan ia dibentuk/diciptakan.
Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama,
pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses
bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah
sesuatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Kedua,
pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikai sebagai proses yang
dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan
dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana
konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan
6
sebagai mirror reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam
menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan
tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator
dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan,
memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks
pengalaman, pengetahuannya sendiri.
Ada perbedaan mendasar antara paradigma yang melihat komunikasi
sebagai transmisi dengan paradigma yang melihat komunikasi sebagai produksi
dan pertukaran makna. Namun untuk kepentingan makalah ini kita akan melihat
salah satu perbedaan tersebut dalam hal konsep “pesan”. Paradigma transmisi
(proses) melihat pesan sebagai apa yang dikirimkan atau disebarkan oleh
seseorang dalam suatu proses komunikasi. Penerima bisa sadar atau tidak sadar,
mengerti atau tidak mengerti, tetapi pesan adalah apa yang dikirimkan oleh
seseorang dalam proses komunikasi tersebut. Dalam pandangan konstruksionis,
pesan adalah konstruksi melalui interkasi dengan penerima (receiver). Pesan di
sini bukan apa yang dikirimkan, tetapi apa yang dikonstruksi dan apa yang dibaca.
Makna bukan sesuatu yang fisik dan statis seperti pandang transmisi, tetapi justru
adalah produk konstruksi dan interaksi antara pengirim dengan penerima.
Membaca sendiri adalah suatu proses menemukan makna yang terjadi ketika
pembaca berinterkasi (negosiasi) dengan teks.
Menurut pandangan konstruksionis, makna pada dasarnya bukan
ditransmisikan/dikirimkan dari pengirim (sender) ke penerima (receiver),
melainkan dinegosiasikan antara teks, pengirim, dan penerima pesan. Dalam
7
model komunikasi ini, makna tidaklah inheren ada dalam setiap isi. Karena itu
ketika seseorang pengirim menyebarkan pesan dan isi komunikasi kepada
penerima, ia pada dasarnya hanya mengiriman isi. Bagaimana isi tersebut
dipahami dan dimaknai bergantung pada proses pemaknaan penerima. Makna
yang dimaksud oleh pengirim bisa jadi lain ketika diterima oleh penerima, dan ini
tidak dianggap sebagai kegagalan dalam berkomunikasi. Pengirim akan
menekankan arti dan makna dari isi pesan yang disampaikannya, dan sebaliknya,
penerima mempunyai pemaknaan tertentu atas pesan komunikasi tersebut. Hasil
akhirnya bergantung pada bagaimana negosiasi tersebut terjadi antara pengirim
dengan penerima. Pandangan semacam ini pula menolak seakan ada realitas yang
objektif, yang benar, yang harus ditemukan. Kebenaran haruslah dimengerti dari
bagaimana ia dibuat, untuk siapa, dan kapan ia dibentuk/diciptakan.
Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam
tradisi penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan
sosial bukanlah realitas yang natural tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya,
konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana
peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu
dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali
disebut sebagi produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan
paradigma positivis (paradigma transmisi) (Eriyanto, 2002:37).
B. Analisis Isi vs Analisis Framing
8
Analisis framing merupakan salah satu alternatif model analisis yang dapat
mengungkap rahasia di balik semua perbedaan (bahkan pertentangan) media
dalam mengungkapkan fakta. Analisis framing dipakai untuk mengetahui
bagaimana realitas dibingkai oleh media. Dengan demikian, realitas sosial
dipahami, dimaknai dan dikonstruksi dengan bentukan makna tertentu. Elemen-
elemen tersebut bukan hanya bagian dari teknis jurnalistik, melainkan
menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan oleh media, serta
bagaimana media membangun, menyuguhkan, mempertahankan dan
mereproduksi suatu peristiwa kepada khalayaknya.
Melalui analisis framing, kita dapat mengetahui siapa mengendalikan
siapa, siapa lawan siapa, mana kawan mana lawan, mana patron dan mana klien,
siapa diuntungkan siapa dirugikan, siapa menindas siapa tertindas, dan seterusnya.
Kesimpulan-kesimpulan seperti itu sangat dimungkinkan diperoleh karena analisis
framing merupakan seni kreativitas yang memiliki kebebasan dalam menafsirkan
realitas dengan mengguakan teori dan metodologi tertentu.
Independen dan objektif, merupakan dua kata kunci yang menjadi kiblat
dan klaim sejumlah jurnalis di seluruh dunia. Seorang jurnalis selalu menyatakan
dirinya telah bertindak objektif, seimbang dan tidak berpihak kepada kepentingan
apa pun kecuali keprihatinan atas hak masyarakat untuk mengetahui kebenaran.
Meskipun sikap independen dan objektif menjadi kiblat segenap jurnalus,
pada kenyataannya kita seringkali mendapatkan suguhan berita yang beraneka
warna dari sebuah peristiwa yang sama, media tertentu mewartakannya dengan
9
menonjolkan sisi atau aspek tertentu, sedangkan media lainnya meminimalisir,
memelintir, bahkan menutup sisi/aspek tersebut, dan sebagainya. Ini semua
menunjukan bahwa di balik jubah kebesaran independensi dan objektivitas,
seorang jurnalis menyimpan paradoks, dan bahkan ironi.
Dengan membandingkan beberapa pemberitaan di media, sangat mungkin
kita menemukan kesimpulan yang setara, bahwa media apa pun tidak bisa lepas
dari bas-bias, baik yang berkaitan dengan ideologi, politik,ekonomi, sosial,
budaya, bahkan agama. Tidak ada satu pun media yang memiliki sikap
independensi dan objektivitas yang absolut. Tanpa adanya kesadaran seperti ini,
mungkin saja kita menjadi bingung, merasa terombang-ambing, dan dipermainkan
oleh penyajian media.
Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis
untuk mengetahui realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai
oleh media. Pembingkaan tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Di sini
realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna-makna tertentu. Hasilnya,
pemberitaan media pada sisis tertentu atau wawancara dengan orang-orang
tertentu. Semua elemen tersebut tidak hanya bagian dari teknis tertentu atau
wawancara dengan orang-orang tertentu.
Hal yang menjadi perhatian analisis framing adalah bagaimana media
memahami dan memaknai realitas, dengan dengan cara apa realitas itu
ditandakan, hal inilah yang menjadi pusat perhatian analisis framing. Singkatnya,
analisi framing digunakan untuk melihat bagaimana aspek tertentu ditonjolkan
10
atau ditekankan oleh media. Penonjolan atau penekanan pada aspek tertentu dari
realitas tersebut haruslah dicermati lebih jauh. Karena penonjolan atau penekanan
aspek tertentu dari realitas tersebut akan membuat (hanya) bagian tertentu yang
lebih bermakna, lebih mudah diingat diingat, dan lebih mengena dalam pikiran
khalayak. Ia juga diikuti oleh akibat yang lain, kita juga kemudian melupakan
aspek yang lain yang bisa jadi lebih berarti dan berguna dalam menggambarkan
realitas.
Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story
telling) media atas peristiwa. Cara bercerita ini tergambar pada “cara melihat”
terhadap realitas yang dijadikan berita. “Cara melihat” ini berpengaruh pada hasil
akhir dari konstruksi realitas. Analisis framing dipakai untuk melihat bagaimana
media merekonstruksi realitas. Analisis framing juga dipakai untuk melihat
bagaimana peristiwa dipahami dan dipakai oleh media.
Analisis semacam ini tentu saja menggeser paradigma dalam penelitian
analisis isi (content analysis) kuantitatif seperti yang didefinisikn oleh Kerlinger
dan Kripendorf. Dalam analisis kuantitatif, pertanyaan yang sering diajukan,
seperti apa saja yang diberitakan oleh media dalam suatu peristiwa. Tetapi dalam
analisis framing, yang ditekankan adalah bagaimana sebuah peristiwa dibingkai?
Sisi mana yang ditekankan dan sisi mana yang dilupakan?
Sebagai sebuah metode analisis teks, analisis framing mempunyai
karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan analisi isi kuantitatif. Dalam
analisis isi kuantitatif yang ditekankan adalah isi (content) dari suatu pesan/teks
komunikasi. Sementara dalam analisis framing, yang menjadi pusat perhatian
11
adalah pembentukan pesan dari teks. Framing, melihat bagaimana pesan/peristiwa
dikonstruksikan oleh media. Bagaimana wartawan mengkonstruksikan peristiwa
dan menyajikannya kepada pembaca?
Dr. Deddy Mulyana, M.A ketika memberi kata pengantar dalam buku
Analisis Framing karangan Eriyanto (2002) mengutip paradigma Peter D. Moss
(1999), wacana media massa termasuk berita suratkabar, merupakan konstruksi
kultural yang dihasilkan yang dihasilkan ideologi tertentu karena, sebagai produk
media massa, berita suratkabar menggunakan kerangka tertentu untuk memahami
realitas sosial. Lewat narasinya, suratkabar menawarkan definisi-definisi tertentu
mengenai kehidupan manusia: siapa pahlawan dan siapa penjahat; apa yang baik
dan apa yang buruk bagi rakyat; apa yang layak dan yang tidak layak untuk
dilakukan oleh seorang pemimpin; tindakan apa yang disebut perjuangan (demi
membela kebenaran dan keadilan) dan pemberontakan atau terorisme; isu apa
yang relevan dan tidak; alasan apa yang masuk akal dan tidak; dan solusi apa yang
harus diambil dan ditinggalkan.
Seperti diungkapkan Woollacott (dalam Sobur, 2002:5) analisis isi
memiliki keterbatasan dalam menganalisis makna pesan media. Kata Woolacott,
“Analisis isi dioperasikan oleh seperangkat kategori konseptual yang berkaitan
dengan isi media dan secara kuantitatif menghitung ada atau tidak ada kategori-
kategori tersebut dengan tingkat-tingkat kesulitan yang berbeda-beda.”
Menurutnya, analisis isi kuantitatif tidak cukup untuk menekankan keberadaan isi
pesan sebagai area terpenting untuk analisis isi ilmu sosial.
12
Dengan perkataan lain, analisis isi memiliki keterbatasan untuk
menganalisis isi pesan, apalagi sampai ke tingkat yang ideologis. Padahal pesan di
media, apa pun bentuknya, terlebih media massa selalu dibangun atas struktur
bahasa yang terdiri dari lambang-lambang (sign). Sedangkan lambang, seperti
dikemukakan Volosinov (dalam Sobur.2002:4), “Wherever a sign is present,
ideology is present too. Everything ideological possesses a semiotic value’.
Lambang selalu menghadirkan ideologi di dalamnya serta memiliki nilai semiotis.
Ideologi, seperti dinyatakan Francisco Budi Hardiman (dalam Sobur.2002:4)
dapat meliputi segala bidang, baik di bidang praxis politisi maupun bidang teoritis
ilmiah.
C. Analisis Teks Media: Analisis Wacana dan Analisis Semiotika
Berbicara mengenai kajian analisis isi media, tidak terbatas pada analisis
isi kuantitatif atau analisis framing saja. Dalam khasanah penelitian komunikasi
yang bersifat konstruksionistik dikenal juga analisis wacana dan analisis
semiotika. Analisis wacana atau discourse analysis mencoba menjelaskan
terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan.
Oleh karena itu, ia dinamakan analisis wacana (Heryanto dalam Sobur.2002:46).
Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun
belakangan ini (Sobur. 2002:47). Lantas apa yang disebut sebagai analisis
wacana? Jika kita coba rumuskan, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka
fungsi (pragmatik) bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambunga
untaian wacana. Kata Tarigan (dalam Sobur. 2002:48), tanpa konteks, tanpa
13
hubungan-hubungan wacana yang bersifat antar kalimat dan suprakalimat maka
kita sukar berkomunikasi dengan tepat satu sama lain. Dalam upaya menganalisis
unit bahasa yang lebih besar dari kalimat tersebut, analisis wacana tidak lepas dari
pemakaian kaidah berbagai cabang ilmu bahasa, seperti semantik, sintaksis,
morfolofi dan fonologi.
Tesis analisis wacana, sebuah kalima bisa terungkap bukan hanya karena
ada yang orang yang membentuknya dengan motivasi atau kepentingan subjektif
tertentu (rasional atau irasional). Terlepas dari apa pun motivasi atau kepentingan
orang tersebut, kalimat yang dituturkannya tidak dapat dimanipulasi semau-
maunya oleh yang bersangkutan. Kalimat itu hanya dibentuk, hanya akan
bermakna, selama tunduk pada “aturan” gramatika yang berada diluar kemauan
atau kendali si pembuat kalimat. Aturan kebahasaan tidak dibuat secara individual
oleh penutur yang bagaimana pun pintarnya. Bahasa selalu menjadi milik bersama
di ruang publik. Dalam pandangan Littlejohn, analisis wacana tidak
memperlakukan penyusunan sebagai suatu tujuan itu sendiri, tetapi bertujuan
menemukan fungsi-fungsi. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai
suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
Wacana adalah suatu upaya untuk pengungkapan maksud tersembunyi dari suatu
subjek yag mengemukakan suatu pernyataan (Eriyanto. 2001: 5).
Dari segi analisisnya, ciri dan sifat wacana itu dapat dikemukakan sebagai
berikut (Syamsudin dalam Sobur. 2002:49):
a. Analisis wacana membahas kaidah memakaibahasa di dalam
masyarakat (rule of use-menurut Widdowason).
14
b. Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam
konteks, teks dan situasi (Firth).
c. Analisis Wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui
interprestasi semanti (Beller).
d. Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak
berbahasa (what is said from what is done –menurut Labov).
e. Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara
fungsional (functional use of language –menurut Coulthad).
Menurut van Dijk, sebuah wacana adalah juga bentuk interaksi. Sebuah
wacana dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan
(question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat
digunakan untuk mendiskriminisasi atau mempersuasi orang lan untuk
melakukaan diskriminasi. Dalam wicara atau percakapan (conversation), bentuk-
bentuk wacana interaksional juga relevan untuk dianalisis. Misalnya bagaimana
orang mengganti giliran bicara dan bagaimana mereka menyusun sketsa
pembicaraan dalam urutan tertentu.
Analisis wacana terutama menyerap sumbangan dari studi linguistik –studi
untuk menganalisis bahasa seperti pada aspek leksikal, gramatikal, sintaksi,
semantik dan sebagainya. Berbeda dengan analisis linguistik, analisis wacana
tidak berhenti pada aspek tekstual, tetapi juga konteks dan proses produksi dan
konsumsi dari suatu teks.
15
D. Konsep Framing
Ada beberapa definisi mengenai framing. Berbagai definisi itu dapat
diringkat dalam tabel berikut (Eriyanto, 2002:67):
Robert N. Entman Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari suatu peristiwa yang lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada yang lain.
Willian A. Gamson Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna-makna yang ia terima.
Todd Gitlin Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.
David E. Snow and Robert Benford
Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi dan kalimat tertentu.
Amy Binder Skema interprestasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengindentifikasikan, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisasi peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna.
Zhongdang Pan and Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat
16
Gerald M. Kosicki kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau
cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis
berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang
diambil dan bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak ke mana
berita tersebut. Framing, seperti dikatakan Todd Gitlin adalah sebuah strategi
bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk
ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian
khalayak pembaca. Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan, presentasi dari
realitas (Frames are principles of selection, emphasis, and presentation composed
of little tacit theories about what exist, what happens, dan what matters).
Dalam ranah studi komunikasi, analisi framing mewakili tradisi yang
mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisis
fenomena atau aktivitas komunikasi. Analisis framing membuka peluang bagi
implementasi konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural untuk menganalisis
fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat dapat diapresiasi dan
dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang
melingkupinya (Sudibyo dalam Sobur 2002:162).
Erving Goffman menjelaskan bagaimana frame media tersebut terbentuk.
Kita setiap hari membingkai dan membungkus realitas dalam aturan tertentu,
kemasan tertentu dan menyederhanakannya, serta memilih apa yang tersedia
17
dalam pikiran dan tindakan. Menurut Gitlin, frame media pada dasarnya tidak
berbeda jauh dengan pengertian frame sehari-hari yang seringkali kita lakukan.
Setiap hari jurnalis berhadapan dengan beragam peristiwa dengan berbagai
pandangan dan kompleksitasnya. Lewat frame, jurnalis mengemas peristiwa yang
kompleks itu menjadi peristiwa yang dapat dipahami, dengan perspektif tertentu
dan lebih menarik perhatian khalayak. Laporan yang ditulis oleh wartawan pada
akhirnya menampilkan apa yang dianggap penting, apa yang perlu ditonjolkan
dan apa yang perlu disampaikan wartawan kepada khalayak.
Frame media dengan demikian adalah bentuk yang muncul dari pikiran
(kognisi), penafsiran, dan penyajian, dari seleksi, penekanan, dan pengucilan
dengan menggunakan simbol-simbol yang dilakukan secara teratur dalam wacana
yang terorganisir, baik dalam bentuk verbal maupun visual (Media frame are
persistent patterns of cognition, intrepretation and presentation, of selection
emphasis, and exclusion, by which symbol-handlers routinely organize discourse,
whether verbal or visual (Gitlin dalam Eriyanto, 2002:69). Menurut Gitlin, frame
adalah bagian yang pasti hadir dalam praktek jurnalistik. Dengan frame jurnalis
memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya
sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada
khalayak. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan di dalamnya
konsepsi dan skema interprestasi wartawan. Pesan secara simbolik menyertakan
sikap dan nilai. Ia hidup, membentuk dan mengintepretasikan makna di dalamnya.
(Ana Gamer dkk., dalam Eriyanto 2002:69).
18
Dalam pandangan Goffman, ketika seseorang menafsirkan realitas tidak
dengan konsepsi yang hampa, Seseorang selalu mengorganisasikan peristiwa
setiap hari. Pengalaman dan realitas yang diorganisasikan tersebut menjadi
realitas yang dialami oleh seseorang. Karenanya, apa yang nyata bagi seseorang
pada dasarnya adalah proses pendefinsian situasi (dalam Eriyanto, 2002:81).
Dalam perspektif Goffman, frame mengklasifikasi, mengorganisasi dan
menginterprestasi secara aktif pengalaman hidup kita supaya kita bisa
memahaminya.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Aditjondro (dalam Siahaan et. Al.,
2001:9-10), proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses
penyuntingan yang melibatan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak.
Reporter di lapangan menentukan siapa yang diwawancarainya. Redaktur, dengan
atau tanpa berkonsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan
si reporter akan dimuat ataukah tidak, dan menentukan judul apa yang akan
diberikan. Petugas tata-muka, dengan atau tanpa berkonsultasi dengan para
redaktur tersebut, menentukan apakah teks berita itu perlu diberi aksentuasi foto,
karikatur atau bahkan ilustrasi lain atau tidak, serta foto, karikatur atau bahkan
ilustrasi mana yang dipilih. Bahkan menurut Aditjondro, proses framing tidak
hanya melibatkan para pekerja pers, tapi juga pihak-pihak yang bersengketa dalam
kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi-sisi
informasi yang ingin ditonjolkannya (sambil menyembunyikan sisi-sisi lain),
sambil mengaksentuasikan kesahihan pandangan dengan mengacu kepada
pengetahuan, ketidaktahuan dan perasaan para pembaca. Proses framing
19
menyediakan media massa sebagai arena di mana informasi tentang masalah
tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang
sama-sama menginginkan pandangannya didukung oleh pembaca.
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses
memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat
peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua
kemungknan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded).
Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian mana dari realitas yang
diberitakan dan bagian mana yang tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu
dilakukan dengan memilih sudut pandang (angle) tertentu, dan melupakan fakta
yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek yang lainnya.
Intinya, peristiwa dilihat dari aspek tertentu. Akibatnya, pemahaman dan
konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan media
lainnya. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu untuk
menghasilkan, memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi
berbeda kalau media menekankan aspek dan peristiwa yang lain.
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta
yang dipilih disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata,
kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan
sebagainya. Bagaimana fakta yang dipilih tersebut ditekankan dengan perangkat
tertentu: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau
bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan
memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan
20
orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi,
simplifikasi dan pemakaian kata-kata yang mencolok, gambar dan sebagainya.
Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas.
Pemakaian kata, kalimat atau foto tersebut merupakan implikasi dari memilih
aspek tertentu dari realitas. Akibat aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi
menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang lebih dibanding aspek
lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi
berita menjadi bermakna dan diingat dan diingat oleh khalayak. Realitas yang
disajikan secara menonjol dan mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.
E. Frame dan Realitas
Framing pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di
hadapan pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya
bergantung pada bagaimana kita melakukan framing atas peristiwa tersebut yang
Memilih
Fakta
Menulis Fakt
aMedia menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu untuk menghasilkan,
memilih fakta tertentu dan akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan aspek dan peristiwa yang lain.
21
memberikan pemahaman dan pemaknaan atas suatu peristiwa. Framing dapat
mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara
radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika memilih
peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita.
Pemberitaan peristiwa tertentu.
Mengapa peristiwa itu diberitakan? Kenapa peristiwa lain tidak diberitakan? Kenapa peristiwa yang sama di tempat/pihak yang berbeda tidak diberitakan?
Pendefinisian realitas tertentu.
Mengapa realitas didefinisikan seperti itu?
Penyajian sisi tertentu yang lain?
Mengapa fakta itu yang ditonjolkan? Kenapa bukan fakta yang lain?
Pemilihan narasumber tertentu.
Kenapa narasumber itu yang diwawancara? Kenapa bukan yang lain?
Apa yang dilaporkan oleh media seringkali merupakan hasil dari
pandangan mereka (predisposisi perseptuil) wartawan ketika melihat dan meliputi
peristiwa. Analisis framing membantu kita untuk mengetahui bagaimana realitas
peristiwa yang sama itu dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga
menghasilkan berita yang secara radikal berbeda pula.
F. Efek Framing
Framing berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai dan disajikan
kepada khalayak. Dari Definisi yang sederhana ini saja sudah tergambar apa efek
framing. Sebuah realitas bisa jadi bingkai dan dimaknai secara berbeda oleh
media. Apa saja efek framing tersebut? Framing berhubungan dengan
pendefinisian realitas. Bagaimana peristiwa dipahami, sumber siapa yang
22
diwawancarai. Semua elemen tersebut tidak dimaknai semata berbagai teknis
jurnalistik, tetapi sebuah praktik. Berbagai praktik tersebut bisa mengakibatkan
pendefinisian realitas.
Mendefinsikan realitas tertentu Melupakan definisi atas realitasPenonjolan aspek tertentu Pengaburan aspek lainPenyajian sisi tertentup Penghilangan sisi lainPemilihan fakta tertentu Pengabaian fakta lainMenampilkan aktor tertentu Menyembunyikan aktor lainnya
Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang
kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai
sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Framing
menyediakan alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam teori yang
dikenal khalayak. Karena itu, framing menolong khalayak untuk memproses
informasi dalam kategori yang dikenal, kata-kata kunci dan citra tertentu.
Khalayak bukan disediakan informasi yang rumit, melainkan informasi yang
tinggal ambil, kontekstual, berarti bagi dirinya dan dikenal dalam benak mereka.
Karena media melihat peristiwa dari kacamata tertentu maka realitas setelah
dilihat oleh khalayak adalah realitas yang yang sudah terbentuk oleh media. Di
sini media cenderung melihat realitas secara sederhana. Media cenderung
mendefinisikan realitas tertentu sambil melupakan definisi atas realitas;
penonjolan aspek tertentu sambil mengaburkan aspek lain; penyajian sisi tertentu-
menghilangkan sisi lain, memilih fakta tertentu dan mengabaikan fakta lain serta
menampilkan aktor tertentu-menyembunyikan aktor lainnya.
23
Semakin besar media massa memberikan tempat pada sebuah peristiwa,
maka peristiwa akan memperoleh perhatian dari masyarakat. Semakin besar
tempat yang diberikan semakin besar pula perhatian yang diberikan khalayak.
Pada konteks ini media massa memiliki fungsi sebagai agenda setter sebagaimana
yang dikenal dengan Teori Agenda Setting. Tesis utama teori ini adalah besarnya
perhatian masyarakat terhadap suatu isu amat bergantung pada seberapa besar
media memberikan perhatian terhadap isu tersebut. Bila satu media apalagi
sejumlah media, menaruh sebuah kasus sebagai headline, diasumsikan kasus itu
pasti memperoleh perhatian besar dari khalayak. Ini tertentu berbeda jika,
misalnya, kasus tersebut dimuat di halaman dalam, bahkan di pojok bawah pula.
Faktanya, khalayak media jarang memperbincangkan kasus yang tidak
dimuat/ditayangkan oleh media, yang boleh jadi kasus itu justru sangat penting
bagi masyarakat.
G. Penutup
Analisis framing adalah salah satu alternatif dari analisis isi selain analisis
isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Jika analisis isi kuantitatif lebih
menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis framing lebih melihat pada
“bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Praktik analisis isi
“tradisional” atau disebut juga analisis isi kuantitatif yang beranjak dari
spesivikasi Berelson meskipun berkembang sistematis, kuantitatif dan deskriptif
dianggap kurang mampu menampilkan isi yang “nyata” dan lebih luwes dalam hal
objektivitas.
24
Jika analisis isi konvensional secara tipikal difokuskan pada muatan isi
teks komunikasi yang manifes, analisis framing lebih difokuskan pada komentar-
komentar interpretatif di sekitar isi manifes itu. Dengan perkataan lain, analisis
framing lebih berpretensi untuk menganalisi muatan-muatan tekstual yang bersifat
laten.
Mirip dengan analisis framing kita juga mengenal analisis wacana. Secara
teoritis analisis wacara melakukan pendekatan terhadap isi media tidak hanya
terhadap kata-kata atau aspek lainnya yang dapat dikodekan dan dihitung, tetapi
struktur wacana yang kompleks pun dapat dianalisis pada berbagai tataran
deskripsi.
Sementara kelebihan semiotik dibanding analisis lain yang interpretatif
dalam khazanah linguistik-komunikasi, seperti discourse atau framing, adalah
kemampuan menelisik lekuk liku teks secara detail dan merasakan getaran-getaran
halus dari sinyal-sinyal yang tersembunyi.
Bandung, 7 Desember 2010
25
Daftar Pustaka
Eriyanto, 2001. Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKIS.
Eriyanto, 2002. Analisis Framing; Konstruksi, Idiologi dan Politik Media.
Yogyakarta: LKIS.
Fisher, B. Aubrey, 1986. Teori-teori Komunikasi. Bandung: Remadja Karya.
Fiske, John. 2005. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Hardt, Hanno. 2008. Critical Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra.
Littlejohn, Stephen W., Karen A. Moss. 2009. Teori Komunikasi, Jakarta:
Salemba Humanika.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Severin Werner K, James W. Tankard, Jr. 2008. Teori Komunikasi: Sejarah,
Metode dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Pranada Media
Group.
Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Suganda, Dadang. 2004. “Beberapa Model Pendekatan Analisis
Wacana: Selayang Pandang” Makalah dalam Seminar
Linguistik Nasional 30 September 2004. Universitas
Padjdajaran : Bandung
Wiryanto. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia.
26
ANALISIS TEKS MEDIA: ANALISIS FRAMING
Mata Kuliah Etika dan Filsafat Komunikasi
Dosen Pembimbing :
Prof. Dr. Deddy Mulyana M.A
Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiati, M.Si.
Disusun Oleh :
Yeddy Hendrawan S 20080009020
Nurahmah Diniyanti 20080009021
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
27
2010