analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

25
ANALISA TEGANGAN SISA DAN DISTORSI PADA PENGELASAN FILLET T-JOINT DENGAN METODE ELEMEN HINGGA Yudhistira Perdana Putra, Sungging Pintowantoro, Sadino Jurusan Teknik Material & Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, ITS, Surabaya Kampus ITS, Keputih Sukolilo, Surabaya, 60111 Telp/Fax (031)5943645 [email protected] [email protected] [email protected] Abstrak Pengelasan fillet tipe-T banyak digunakan dalam dunia industri perkapalan, struktur jembatan, dan industri – industri yang lain. Permasalahan utama proses pengelasan adalah terjadinya tegangan sisa dan distorsi. Tegangan sisa dan distorsi merupakan fenomena yang terjadi pada material, apabila diabaikan dapat mengakibatkan material hasil proses pengelasan tersebut mengalami kegagalan pada saat beroperasi.Proses pengelasan fillet tipe-T dilakukan pada spesimen dengan ukuran panjang fillet, lebar flange, dan tinggi web adalah 500 x 200 x 100 mm. Tebal web adalah 10 mm. Sedangkan tebal flange divariasikan yaitu 10 dan 16 mm. Simulasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yaitu ANSYS 8.0 berdasarkan metode elemen hingga model 3

Upload: aprabawaningtyas

Post on 16-Apr-2015

111 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

Page 1: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

ANALISA TEGANGAN SISA DAN DISTORSI PADA PENGELASAN FILLET T-JOINT

DENGAN METODE ELEMEN HINGGA

Yudhistira Perdana Putra, Sungging Pintowantoro, Sadino

Jurusan Teknik Material & Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, ITS, Surabaya

Kampus ITS, Keputih Sukolilo, Surabaya, 60111

Telp/Fax (031)5943645

[email protected]

[email protected]

[email protected]

Abstrak

Pengelasan fillet tipe-T banyak digunakan dalam dunia industri perkapalan, struktur

jembatan, dan industri – industri yang lain. Permasalahan utama proses pengelasan adalah

terjadinya tegangan sisa dan distorsi. Tegangan sisa dan distorsi merupakan fenomena yang terjadi

pada material, apabila diabaikan dapat mengakibatkan material hasil proses pengelasan tersebut

mengalami kegagalan pada saat beroperasi.Proses pengelasan fillet tipe-T dilakukan pada spesimen

dengan ukuran panjang fillet, lebar flange, dan tinggi web adalah 500 x 200 x 100 mm. Tebal web

adalah 10 mm. Sedangkan tebal flange divariasikan yaitu 10 dan 16 mm. Simulasi dilakukan dengan

menggunakan perangkat lunak yaitu ANSYS 8.0 berdasarkan metode elemen hingga model 3

dimensi. Kajian ini dititik beratkan pada perhitungan tegangan sisa dan distorsi. Tegangan sisa

dihitung berdasarkan iterasi regangan yang timbul akibat distribusi temperatur selama pendinginan

dari temperatur pengelasan menuju temperatur ruang.Dari hasil permodelan dan simulasi diketahui

bahwa distribusi tegangan menunjukkan distribusi tegangan terbesar terjadi pada daerah weld

metal. Dari hasil analisa didapatkan bahwa dengan meningkatnya tebal pelat (flange) maka tegangan

yang terjadi juga meningkat akan tetapi distorsi yang terjadi menjadi lebih kecil. Tegangan

longitudinal pada lasan lebih besar dibandingkan dengan tegangan transversal.

Page 2: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

Kata Kunci : Distribusi temperatur, tegangan sisa, distorsi, GTAW, metode elemen hingga.

I. PENDAHULUAN

Penyambungan logam dengan sambungan

las banyak digunakan dalam berbagai bidang

manufaktur dan industri. Salah satu tipe

sambungan yang banyak digunakan adalah

sambungan tipe T, terutama dalam bidang

perkapalan dan konstruksi struktur jembatan. Pada

saat pengelasan, sumber panas berjalan terus dan

menyebabkan perbedaan distribusi temperatur

pada logam sehingga terjadi pemuaian dan

penyusutan yang tidak merata. Akibatnya

tegangan sisa dan distorsi akan timbul pada logam

yang dilas.

Tegangan sisa timbul karena adanya

perbedaan temperatur yang besar sedangkan

distorsi terjadi jika logam las dibiarkan bergerak

leluasa selama proses pendinginan. Tegangan sisa

yang terjadi pada kampuh las ini dapat

menyebabkan kegagalan (fatigue) yang mana

dapat mengurangi kekuatan dari struktur dan

komponen. Oleh karena itu tegangan sisa dalam

pengelasan harus dikurangi sampai sekecil

mungkin untuk mencegah kegagalan desain suatu

komponen. Dengan mengerti mekanisme

Page 3: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

terjadinya tegangan sisa dapat dipelajari untuk

mengambil langkah – langkah

meminimalisasikan tegangan sisa yang terjadi

pada saat pengelasan.

II. Dasar Teori

2.1 Metode Elemen Hingga

Metode elemen hingga adalah prosedur

numerik untuk memecahkan masalah

mekanika kontinum . Pada dasarnya elemen

hingga merupakan bagian – bagian kecil dari

struktur yang aktual akan tetapi dalam

pembentukan elemen – elemen tersebut harus

memperhatikan nodal forces sehingga

didapatkan berbagai ragam deformasi elemen.

Keunggulan dari metode elemen hingga adalah

jaringan elemen – elemen yang terbentuk

sangat dekat dengan struktur aktual yang akan

dikaji. Disamping keunggulan metode elemen

hingga juga memiliki kelemahan yaitu hasil

dari analisa yang ada berupa numerik bukan

suatu persamaan bentuk tertutup yang dapat

dipakai dalam memecahkan berbagai kasus.2.2 Gas Tungsten Arc Welding

Gas tungsten arc welding (GTAW) adalah

termasuk las listrik yang menggunakan gas inert

sebagai pelindung daerah las terhadap pengaruh

Page 4: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

udara luar. Gas tungsten arc welding (GTAW)

sering disebut juga dengan istilah Tungsten Innert

Gas (TIG), dimana menggunakan tungsten sebagai

elektode.

Pada dasarnya busur listrik timbul diantara

elektode tungsten dengan logam induk, dimana

elektode tungsten hanya berfungsi sebagai tempat

terjadinya busur listrik, elektode tidak ikut meleleh

(non consumable electrode).

Pada GTAW ini, menggunakan gas inert

yaitu Argon atau Helium atau campuran dari

keduanya. Fungsi gas pelindung untuk melindungi

busur listrik manik las dari kontaminasi udara luar

disamping sebagai fluida pendingin elektode

tungsten.

Sumber tenaga yang digunakan pada

GTAW ini dapat berasal dari generator DC (direct

current) maupun AC (alternating current). Dalam

hal listrik DC, rangkaian listriknya dapat dengan

straight polarity ( DCSP ) maupun reverse

polarity ( DCRP ).

Pada gambar 1, ditunjukkan proses

GTAW yang berlangsung, dimana proses

pengelasannya ini dilindungi oleh gas inert dari

udara sehingga tidak ada kontaminasi dengan

Page 5: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

udara. Pada gambar tersebut, juga terdapat

elektode tungsten yang digunakan untuk

membangkitkan busur listrik dan filler metal

diumpankan pada busur listrik sehingga terjadi

proses pencairan logam.

Gambar 1 Skema proses pengelasan dengan

GTAW (AWS vol II, 1996)

2.3 Distribusi Temperatur

Sumber panas pada proses pengelasan

berasal dari panas elektrode yang ada. Dimana

panas ini secara matematis dapat dihitung

dengan persamaan empiris (AWS vol I, 1996):

v

IEf

Hnet

..

1

=

dimana :

netH : Energi input bersih ( J/mm).

E : Tegangan (Volt).

I : Arus (Ampere).

1

f : Efisiensi pemindahan panas

V: Kecepatan pengelasan (mm/s )

Page 6: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

Tidak semua energi panas yang

terbentuk dari perubahan energi listrik diserap

100 % oleh logam lasan, akan tetapi hanya

sebagian besar saja. Sehingga energi busur las

dapat ditulis sebagai berikut (Pilipenko, 2001):

UIQ h= ;

dimana :

Q = net heat input (Watt)

h = Koefisien effisiensi (-)

U = Tegangan Busur (Volt)

I = Arus listrik (Ampere)

Pada pengelasan GTAW nilai effisiensi

pemindahan panas berkisar antara 25% - 75%.

Distribusi panas yang terjadi selama proses

pengelasan ialah distribusi panas secara

konduksi dan konveksi. Konduksi terjadi pada

bidang – bidang benda kerja yang menerima

panas secara langsung dari elektroda dan

transfer panas secara konveksi terjadi pada

permukaan yang berkontak langsung dengan

udara. Secara matematis persamaan dasar

konduksi panas pada benda pejal adalah (

Frank Kreith ,1999 ) :

ú

û

Page 7: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

ù

ê

ë

é

+

ú

û

ù

ê

ë

é

+

ú

û

ù

ê

ë

Page 8: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

é

+=

z

T

zy

T

yx

T

x

Q

t

T

c

G lllr

Dimana:

r : massa jenis ( kg/m

3

)

C : spesific heat ( J/kg.K )

Page 9: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

l : konduktivitas termal ( W/m.K )

GQ : debit perubahan temperatur

( W/ m

3

)

2.4 Tegangan Termal Selama Pengelasan

Selama proses pemanasan dalam

pengelasan akan mengakibatkan suatutegangan. Tegangan akibat pemanasan ini dapat

didiskripsikan dengan membagi daerah lasan

menjadi beberapa buah potongan melintang

sebagai berikut :

A-A : Daerah yang belum tersentuh panas, B-B

: Daerah yang mencair tepat pada busur

las, C-C : Daerah terjadinya deformasi

plastis selama proses pengelasan, D-D : Dearah

yang sudah mengalami pendinginan

Bila pengelasan berjalan dari potongan DD ke potongan B-B maka akan terjadi distribusi

panas sepanjang pengelasan. Sesaat pengelasan

sampai dititik O maka setiap potongan pada alur

pengelasan dapat dianalisa distribusi teganganya.

Besarnya tegangan yang terjadi karena adanya

perubahan temperatur selama proses pengelasan

ditunjukkan oleh gambar 2.3.

Gambar 2 Distribusi temperatur dan tegangan

selama proses pengelasan (AWS vol I, 1996)

Page 10: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

Pada daerah A-A, dimana ¨T § 0 maka

disini tidak terjadi tegangan, sedangkan pada

daerah B-B yaitu daerah yang mencair (terjadi

suhu maksimum) tepat pada garis lasan akan

terjadi tegangan tekan ( compression ) sedangkan

disisi kanan dan sisi kiri dari garis lasan akan

terjadi tegangan tarik ( tension ). Pada daerah C-C,

dimana suhu sudah mulai turun, pada daerah garis

lasan akan terjadi tegangan tarik dan pada daerah

sisi kanan dan kirinya akan terjadi tegangan tekan.

Demikian pula pada daerah D-D yaitu pada daerah

yang sudah terjadi pendinginan (¨T § 0 ) maka

pada garis lasan akan terjadi tegangan tarik dan

pada sisi kanan dan kiri dari garis lasan akan

mengalami tegangan tekan. Tegangan tarik yang

terjadi pada daerah D-D akan sifatnya tetap tinggal

pada material tersebut dan lebih sering disebut

tegangan sisa. (AWS vol I, 1996)

Sedangkan tegangan sisa karena

pengaruh pemanasan dapat dihitung dengan

menggunakan hubungan antara tegangan

regangan yang disebabkan oleh panas :

tll D=D 0 a

0

l

Page 11: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

lD

=e

E

s

e =

EtD= as

dimana :

s = Tegangan sisa ( Pa )

E = Modulus elastisitas ( Pa )

0

l = Panjang mula – mula ( m )

lD = Perubahan panjang ( m )

tD = Perubahan temperatur ( K )

a = Koefisien muai panjang (K

-1

)

2.5 Terjadinya Distorsi

Pada proses pengelasan, tegangan sisa

dan distorsi merupakan kejadian yang saling

berhubungan. Ketika siklus pemanasan dan

pendinginan yang berlangsung dalam proses

pengelasan, regangan panas muncul di antara

weld metal dan base metal pada daerah yang

dekat dengan weld bead. Peregangan ini

menimbulkan suatu tegangan dalam yang

Page 12: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

terdapat di dalam material dan bisa

menyebabkan terjadinya bending, buckling,

dan rotasi. Deformasi inilah yang disebut

distorsi.

Distorsi terjadi jika logam las

dibiarkan bergerak leluasa selama proses

pendinginan. Jadi distorsi terjadi karena

adanya pemuaian dan penyusutan yang bebas

akibat siklus termal las.

Jadi, ada dua alternatif :

a. Kalau benda kerja tidak boleh

mengalami distorsi setelah proses

pengelasan, maka diadaka fixturing

yang konsekuensinya timbul internal

stress,

b. Kalau benda kerja boleh mengalami

distorsi setelah proses pengelasan,

maka internal stress minim tetapi akan

terjadi perubahan bentuk.

Distorsi akan menyebabkan :

a. Bentuk akhir tidak memenuhi syarat

baik keindahan maupun letak

b. Terjadi misalignmentc. Dapat menjadi bagian terlemah

d. Mengganggu distribusi gaya

Macam-macam distorsi yang terjadi pada

Page 13: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

pengelasan (lihat gambar 2.4) :

a. Transverse shrinkage.

Penyusutan yang terjadi tegak lurus

terhadap arah garis las.

b. Angular change.

Distribusi panas yang tidak merata pada

kedalaman menyebabkan distorsi

(perubahan sudut).

c. Rotational distortion.

Distorsi sudut dalam bidang plat yang

berkaitan dengan perluasan thermal.

d. Longitudinal shrinkage.

Penyusutan yang terjadi searah garis las.

e. Longitudinal bending distortion.

Distorsi dalam bidang yang melalui garis

las dan tegak lurus terhadap plat.

f. Buckling distortion.

Kompresi yang berkenaan dengan panas

menyebabkan ketidakstabilan ketika

platnya tipis.

Gambar 4 Macam – macam distorsi yang terjadi

pada pengelasan

III. Metode Penelitian

3.1 Spesimen

Pada penelitian ini material yang

Page 14: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

digunakan adalah AISI/SAE 1020. Pengelasan

dilakukan pada ketebalan flange yang berbeda.

Tebal yang digunakan adalah 10 mm dan 16 mm.

Detail gambar dapat dilihat pada gambar

dibawah ini.

Gambar 5 Geometri spesimen permodelan

3.2 Kondisi Pengelasan

Metode yang digunakan pada

penelitian ini adalah pengelasan single pass

GTAW dengan arus yang digunakan 250 A,

voltase 20 V, kecepatan pengelasan

4 mm/s,dandiameter elektroda 3,2 mm.

IV. Hasil dan Diskusi

4.1 Tegangan Sisa

Pada pengelasan bentuk fillet dikenal

ada dua macam bentuk tegangan sisa yaitu

tegangan sisa transversal dan tegangan sisa

longitudinal. Tegangan sisa transversal adalah

tegangan yang terjadi pada arah arah melintang

dari weld bead. Biasanya dinotasikan dengan

simbol

Xs . Sedangkan tegangan sisa yang

terjadi searah weld bead disebut tegangan sisa

longitudinal. Tegangan sisa longitudinal

dinotasikan dengan

Page 15: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

Zs .

-20

0

20

40

60

80

100

-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100

Jarak (mm)

Tegangan Sisa (MPa)

16 mm 10 mm

Gambar 6 Distribusi tegangan sisa transversal

(

Xs ) pada ketebalan flange yang berbeda

pada arah melintang.Dari data – data yang tersaji di atas terlihat

bahwa tegangan sisa untuk pelat dengan tebal 16

mm lebih besar dibandingkan degan tebal 10 mm.

Tegangan maksimum pada flange 10 mm sebesar

186,17 MPa sedangkan pada flange 16 mm

sebesar 224,65 MPa. Tegangan sisa terbesar tejadi

pada daerah weld metal.

-20

0

20

Page 16: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

40

60

80

100

-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100

Jarak (mm)

Tegangan Sisa (MPa)

16 mm 10 mm

Gambar 7 Distribusi tegangan sisa longitudinal

(

Zs ) pada ketebalan flange yang berbeda pada

arah melintang

Tegangan sisa longitudinal untuk pelat

dengan tebal 16 mm lebih besar dibandingkan

degan tebal 10 mm. Tegangan maksimum pada

pelat dengan tebal 10 mm sebesar 299,47 MPa

sedangkan pada pelat dengan tebal 16 mm sebesar

317,72 MPa. Pada daerah batas antara weld metal

dan base metal memiliki tegangan maksimum

kemudian semakin ke ujung base metal tegangan

yang terjadi semakin kecil.

Pada data diatas daerah pertemuan weld

metal dan batas material pelat flange maupun web

(fusion line) mengalami tegangan tarik

maksimum. Hal ini bisa terjadi karena pada saat

Page 17: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

pengelasan, daerah ini mengalami pemanasan

lokal yang cukup besar. Pada saat pemanasan

daerah ini mengalami tegangan tekan karena pada

saat mengalami ekspansi termal, weld metal

tertahan oleh pelat baik web maupun flange. Pada

saat proses pengelasan selesai, terjadilah proses

pendinginan di mana bagian weld metal

menyusut cukup besar. Di samping karena

pendinginan juga karena adanya tegangan

tekan. Penyusutan ini ditahan oleh daerah base

metal, karena itu pada daerah weld metal akan

terjadi tegangan tarik yang diimbangi oleh

tegangan tekan pada daerah base metal.

Tegangan sisa arah melintang (transversal)

lebih kecil dibandingkan tegangan sisa arah

memanjang (longitudinal). Hal ini disebabkan

penyusutan ke arah memanjang lebih kecil

dibandingkan terhadap penyusutan melintang.

Hal ini bisa terjadi dikarenakan oleh adanya

perlawanan dari logam induk. Karena

penyusutan juga merupakan bentuk distorsi

maka dapat dikatakan bahwa distorsi arah

memanjang lebih kecil dibandingkan terhadap

distorsi arah melintang. Selain itu perlawanan

dari logam induk merupakan salah satu bentuk

Page 18: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

kekangan internal material. Oleh karena itu

pada arah memanjang memiliki distorsi yang

kecil dan memiliki kekangan internal

akibatnya tegangan sisa yang terjadi pun lebih

besar bila dibandingkan dengan arah melintang

4.2 Pengurangan Tegangan Sisa

-20

0

20

40

60

80

100

-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100

Jarak (mm)

Tegangan Sisa (MPa)

Gambar 8 Distribusi tegangan sisa transversal

(

Xs ) pada pengelasan urut loncat pada arah

melintang

-20

0

20

40

60

Page 19: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

80

100

-100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100

Jarak (mm)

Tegangan Sisa (MPa)

Gambar 9 Distribusi tegangan sisa longitudinal

(

Zs ) pada pengelasan urut loncat

4.3 Distorsi

Pada penelitian ini besar distorsi

ditandai dengan adanya pergerakan flange ke

arah sumbu Y. Pada pelat dengan tebal flange

10 mm distorsi yang terjadi sebesar 5,04 mm

(0.05 rad) dan pada pelat dengan tebal flange

16 mm distorsinya sebesar 2, 84 mm (0.028rad). Jadi pelat yang lebih tipis memiliki distorsi

lebih besar.

Gambar 10 Distorsi sudut yang terjadi pada pelat

dengan tebal flange 10 mm.

Gambar11 Distorsi sudut yang terjadi pada pelat

dengan tebal flange 16 mm

Pada flange 10 mm, transfer panas

konduksi lebih kecil sehingga waktu

pendinginannya juga lebih lama akibatnya

temperatur yang terjadi cukup besar dibandingkan

dengan flange 16 mm sehingga mengakibatkan

Page 20: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

regangan termal yang besar pula. Regangan termal

meningkat maka makin besar volume penyusutan

lasan yang terjadi. Ditambah lebih rendahnya

kekakuan flange sehingga distorsi pada flange 10

mm relatif lebih besar.

4.4 Efek Tebal Pelat terhadap

Tegangan Sisa dan Distorsi

Berdasarkan beberapa referensi, sifat

tegangan sisa dan distorsi adalah berkebalikan.

Jika tegangan sisa material besar maka distorsi

yang terjadi kecil begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan teori ini maka data – data

permodelan sudah sesuai teori dimana pelat

dengan tebal flange 10 mm memiliki tegangan

sisa lebih kecil dibandingkan dengan pelat

dengan tebal flange 16 mm tetapi memiliki

distorsi yang lebih besar. Hal ini bisa terjadi

dikarenakan antara lain:

1. Pada tebal flange yang lebih tipis,

maka temperatur pemanasan lokal

lebih tinggi menyebabkan ekspansi

termal dan penyusutan material lebih

besar sehingga akibatnya distorsi juga

lebih besar.

2. Dengan flange lebih tebal maka efek

Page 21: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

dari kekuatan pengekangan internal

meningkat akibatnya tegangan sisa

akan meningkat.

Pada saat pengelasan, kecepatan

pendinginan pada pelat tipis lebih lambat

dibandingkan dengan pelat yang lebih tebal

sehingga konduktivitas termal, modulus

elastisitas, dan kekuatan luluh berkurang

sedangkan koefisien ekspansi termal

meningkat. Efeknya, pada pelat yang lebih

tipis distorsi yang terjadi lebih besar

dibandingkan pelat yang lebih tebal. Sehingga

tegangan sisa yang terjadi pada pelat yang

lebih tipis lebih kecil dibandingkan pelat yang

lebih tebal.

5. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan dan analisa data yang telah dibuat,

maka dapat disimpulkan bahwa

1. Metode elemen hingga dapat

digunakan untuk memprediksi

besarnya tegangan sisa dan distorsi.

2. Flange yang tipis memiliki tegangan

sisa lebih kecil dibandingkan dengan

flange yang tebal.

Page 22: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

3. Flange yang tipis memiliki distorsi

lebih besar dibandingkan dengan

flange yang tebal.DAFTAR PUSTAKA

Anggono, Juliana. 1999. “Pengaruh Besar Input

Panas Pengelasan SMAW Terhadap Distorsi

Sambungan T Baja Lunak SS 400“. Jurnal

Teknik Mesin 1: 45 – 54.

Ma, N.X., Ueda, Y., Murakawa, H., Maeda, H.

1995. “FEM Analysis of 3D Welding Residual

Stress and Angular Distortions in T-type Fillet

Welds. Transaction of JWRI 24(2): 115 –

122.

Moaveni, Saeed. 2003. ”Finite Element Analysis:

Theory and Application with ANSYS”. New

Jersey: Pearson Education, Inc.

Musaikan. 2002. “Teknik Las“. Surabaya: Teknik

Mesin FTI ITS.

Pilipenko, Artem, 2001. Computer Simulation of

Residual Stress and Distortion of Thick

Plates in Multi-Electrode Submerged Arc

Welding Department of Machine Design and

Material Technology, Norway.

Shim, Y., Feng, Z., Lee, S., Kim, D., Jaeger, J.,

Prapitan, J.C., Tsai, C.L. 1992.

”Determination of Residual Stresses in Thick

Page 23: analisa tegangan sisa dan distorsi pada pengelasan fillet

Section Weldments. Welding Journal 305:12.

Sorensen, Martin B, 1999. Simulation of Welding

Distortions in Ship Section. Departement of

Naval Architecture and Offshore Engineering,

Technical University of Denmark.

Teng, T.L., Fung, C.P., dan Yang, W.C. 2001.“

Analysis of Residual Stresses and Distortion

in T-joint Fillet Weld“. International Journal

of Pressure Vessel and Piping 78: 523 – 538.

Wiryosumarto, H dan Okumura, T. (1996).

Teknologi Pengelasan Logam. Jakarta:

Pradnya Paramita.

________, 1991. Welding Handbook vol. I & II.

Miami : American Welding Society