analisa perbandingan hukum kewarisan adat...
TRANSCRIPT
ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Aep Saifullah NIM: 103044128018
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUD I AKHWAL SY AKHSHIYY AH
F AKUL T AS SY ARIAH DAN HUKUM UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDA YA TULAH
JAKARTA 1428 H/2007 M
ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA DEN GAN HUKUM KEW ARISAN ISLAM
SKRIP SI Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Aep Saifullah 103044128018
Di Bawah Bimbingan :
~;i~ Drs, H. Husni Thoyyar, M.Ag
NIP 150 050 919
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUD I AHW AL SY AKHSHIYY AH
FAKULTAS SYARIAHDANHUKUM UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDAY ATULAH
JAKARTA 1428 H/2007 M
PENGESAHAN PANITJA 'd.lL\;\I
Skripsi yang be1judul: "ANALISA PERBANDINGAN IHTI(Uf',1 KEVVARISAN ADAT SUNDA DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAlVl" telah diujikan dalam
Sidang Munaqasyah Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakmia pada tanggal 6 Desember 2007.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Islam pada Jurusan Ahwal Syakhshiyyah
Jakarta, 6 Dcscrnber 2007 ... Mengesahkan
··' 'Deka
PANITIA UJIAN
Ketua Drs. H. A. Basiq Dj 1lil, SH, MA NIP. 150 169 102
Sekretaris : Kamarusdiana, MH NIP. 150 268 783
Pembimbing Drs, H. Husni Thoyyar, M.'1g NIP. 150 o:o 919
Penguji I : Drs. H. Odjo Kusnara Nursidik, l\;1.Ag NIP. 150 268 783
Penguji II : Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 150 290 159
KATA PENGANTAR
~)I <.J-.)\ .i3ll ~
Alhamdulillah, penulis memanjatkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT.
karena atas ridla-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam
semoga dicurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAVl., karena atas suri
tauladannya, penulis dapat melewati masa-masa tersulit dalam penulisan skripsi ini.
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak
pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Oleh karena itu,
dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syari'ah dan Hukum.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Jalil, SH, MA. dan Bapak Kamarusdiana, MH., selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah yang senantiasa
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Drs, H. Husni Thoyyar, M.Ag., selaku Dasen Pembimbing skripsi, penulis
menghaturkan banyak terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan memotivasi penulis.
4. Ayahanda H. Mukhtarudin dan Ibunda Hj. Nurohmah (Sri Sumiati), kedua orang
tua tercinta yang telah berkorban tak kenal lelah dalarn menyelesaikan studi
kuliah, hingga ananda dapat meraih ilmu yang bermanfaat. Kasihmu tak lupa
sepanjang hayat.
5. Kakanda Yunan Abdul Haris dan adinda Ainun Jariah beserta keluarga besar di
rumah kediaman di Cibingbin, Kuningan yang senantiasa memberikan dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan proses penyelesaian skripsi.
6. Bapak Ir. Herman Khoeron, M.Si., selaku Tokoh Muda Cirebon yang peduli
terhadap kaum muda, atas dorongan dan spiritnya telah banyak membantu
penulis dalam membantu proses studi sampai akhir kuliah.
7. Keluarga Besar Forum Masyarakat Peduli Daerah (FOR.Iv!ALIDA) Wilayah III
Cirebon yang selalu memberikan doa dan menaruh harapan kepada penulis
sehingga memotivasi penulis untuk dapat memberikan yang terbaik.
8. Teman-teman satu angkatan 2003 Konsentrasi Peradilar1 Agama kelas A dan
kelas B yang telah banyak membantu serta bertukar pikiran, baik selama belajar
maupun hingga detik-detik pelaksanaan wisuda.
9. Tak terlupakan, terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam
kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT sebagai
investasi amal untuk bekal di hari akhir nanti. Amin
Jakarta, 26 Dzulqa'dah 1428 H 06 Desember 2007 M
Penulis
DAFTARISI
KAT A PEN GANT AR ...................................................................................... .
DAFT AR 181...................................................................................................... iii
BABI PENDAHULUAN ......................................................................... ..
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ .
1
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... .. ..... .. .. ... .... .. ...... ........ .... 1 O
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................... ........................ 11
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan.................................... 12
E. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN
ISLAM............................................................................................. 15
A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam .......................................... 15
B. Sejarah Kewarisan Islam............................................................. 20
C. Sumber Hukum Kewarisan Islam............................................... 25
D. Rukun dan Syarat Kewarisan...................................................... 31
E. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan........................................... 32
F. Ahli Waris dan Bagiannya.......................................................... 33
G. Asas-asas Kewarisan Dalam Hukum Kewarisan Islam.............. 38
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ADAT
SUND A............................................................................................. 44
A. Pengertian Hukum Kewarisan Adat Sunda................................. 44
B. Sumber Hukum Kewarisan Adat Sunda ..................................... 45
C. Rukun dan Syarat Kewarisan...................................................... 46
D. Sebab-sebab Penghalang Kewarisan........... ............ ..... .. ........ ..... 4 7
E. Ahli Waris dan Bagiannya ................................. .... .. ........ ........... 48
F. Asas-asas Kewarisan Dalam Hukum Kewarisan Adat Sunda ... 54
BAB IV ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT
SUNDA DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM................. 58
A. Persamaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum
Kewarisan Islam.......................................................................... 58
B. Perbedaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan
Islam............................................................................................ 62
C. Analisis Hukum Antara Teori dan Praktek ................................. 67
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 88
A. Kesimpulan .. .. . ... .... .... ... . .................................. ... ... .... ....... ... .. . ... . 88
B. Rekomendasi dan Saran-saran.................................................... 90
DAFT AR PUST AKA........................................................................................ 92
LAMP IRAN
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan
membicarakan Islam sebagai sebuah agama. Menmut Joseph Sacht, tidak
mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukan
bahwa sebagai sebuah institusi agama memiliki kedudukan yang sangat
. "fik I s1gm 1 an .
Hukum Islam mencakup berbagai dimensi. Dimensi abstrak dalam
wujud segala perintah dan larangan Allah dan Rasul·-Nya. Selain itu dimensi
konkrit dalam wujud perilaku membangun apa yang menjadi titah tersebut yang
bermnara pada perilaku manusia (amaliah) baik individual maupun kolektif.
Hukum Islam juga mencakup substansi yang terintemalisasi ke dalam berbagai
. 12 pranata sosia .
Hukum Islam dan pranata sosial sebagai unsur normatif dalam
penataan kehidupan manusia berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap
sumber ajaran Islam sepe1ii yang temmktub dalam Al-·Quran dan hadis. Kedua
sumber ini lalu dijadikan rujukan dalam menata hubungan antara manusia dengan
1 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No l/1974 sampai KHI. (Jakarta, Prenada Media, 2004). h.2
2 Cik Hasan Bisri. Pilar-pi/ar Hukum Islam dan Pranata Sosial. (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004) h. 38
2
makhluk lainnya. Hukum dideduksi secara preskriptif dari sumbemya (mashadir
al-ahkam), sedangkan pranata diindukasi dari prapenataan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia yang spesifik3.
Keduanya menjadi unsur penata tentang berbagai kehidupan dalam
suatu sistem sosial yang bersifat otonom, seperti umat Islam atau masyarakat
bangsa. Secara sosiologis hukum dan pranata dipandang sebagai pola interaksi
yang menjadi salah satu struktur dalam sistem sosial. Adapun secara antropologis,
hukum dan pranata dipandang sebagai sistem norma atau kelakuan yang dijadikan
pedoman perilaku dalam sistem sosial itu4.
Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan itu bervariasi baik gradual
maupun teritorial. Ada hukum yang memiliki daya atur dan daya ikat yang
longgar dan ada pula yang ketat, di samping itu ada yang memiliki daya paksa
walaupun dalam batas-batas tertentu. Hukum Islam sebagai suatu pranata sosial
memiliki dua fungsi pertama, sebagai kontrol sosial (social of control) dan kedua
sebagai nilai baru proses perubahan sosial (social of change)5•
Maka dari itu hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persolan umat
tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, kemungkinan besar
3 Amin Abdulah. Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas? (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996). Cet. Pertama. h. 65
4 Ahmad Syafi'i Ma'arif. Islam dan lv!asa!ah Kenegaraan, (Jakarta, LP3S, 1996) Cet. Pertama. h. 45
5 Mochtar Kusumaatmadja. Pembinaan H11k11m Dalam Rangka Pembangunan Nasional (Bandung, Binacipta, 1986), h. 25
3
Islam akan mengalami kemandulan fungsi-meminjam istilah Abdurrahman
Wahid (Gus Dur)- fosilisasi bagi kepentingan umat Islam.
Bila formulasi hukum Islam out of date itu tetap clipaksakan
penerapannya, dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak-gejolak dari
masyarakat, sehingga akan memunculkan konflik internal dan ekstemal yang
mengganggu stabilitas sosial. Berdasarkan elaborasi tersebut, maka upaya
pembaharuan hukum melalui ijitihad mutlak cliperlukan7• Hukum aclalah norma
masyarakat juga, yang ditelaah dari suatu sudut tertentu yang selanjutnya disebut
sebagai sistem sosial.
157
Hukum itu timbul sebagai tingkah laku anggota masyarakat dalam
hubungan satu sama lain yang didorong dengan motif untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum itu tidak
timbul karena terjadinya konflik mengenai hak-hak orang, untuk kemuclian
diselesaikan oleh suatu lembaga perwasitan tertinggi di wilayah bersangkutan,
melainkan timbul dari praktek-praktek berdasarkan pertimbangan sosial dan
individual bagaimana ha! terse but dilakukan 8
Untuk melihat hukum itu bekerja sebagai sebagai suatu pranata di
masyarakat, perlu kiranya memasukkan satu faktor yang menentukan bagi
penerapan norma-norma hukum yakni manusia. Karena itu manusia atau orang
7 Mun'im A Sirry. Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengamar (Surabaya, Risalah Gusti, 1995). h.
8 C.K Allen. law in the Making. (Oxford, The Clanrendon Press, 1957). h. 67-68
4
bisa menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan hubungan dalam
menimbulkan hak dan kewajiban hukum8. Masuknya faktor manusia dalam
hubungan proses hukum, maka dapat dikatakan hukum sebagai karya atau produk
manusia yang berlaku di masyarakat. Menurut Chambliss dan Seidman, model
masyarakat dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, masyarakat non konflik yakni
masyarakat yang berdasarkan pada basis nilai-nilai dan kesepakatan. Kedua,
masyarakat konflik.9
Sekalipun hukum merupakan sarana pengatur kehidupan sosial, namun
yang menarik adalah justru hukum senantiasa tertinggal di belakang objek yang
diatumya. Karena tak dapat dipungkiri bahwa hukum selalu erat kaitannya dengan
perubahan sosial masyarakat. Dengan bahasa Sinzhemer, perubahan pada hukum
akan terjadi apabila dua unsurnya bertemu pada satu titik singgung. Unsur
tersebut adalah (I) keadaan atau kondisi barn yang timbul. (2) kesadaran
masyarakat '0
Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat selalu berimplikasi terhadap
hukum yang berlaku. Hukum bagi masyarakat perkotaan dan hukum bagi
masyarakat pedesaan tidak sama dalam ha! penerapannya. Produk hukumnya
sama, tetapi antusias dan minat masyarakat dalam eksekusi di lapangan jauh
8 Hardjawijaya J. Hukum Perdata (Buku Kesatu Tentang Perorangan dan Hukum Keluarga) (Malang, PHPM Unibraw, 1979). h. 25
9 Chambliss dan Seidman. law. Order, and Power Reading. (Massachusetts, AddisaonWesley Publishing Company, 1971) h. 17
10 Hugo Sinzhemer. De Taak der Rechtssocio/ogie. (Haarlem, tp. 1935) h. 8
5
berbeda. Hal ini dapat terjadi mengingat antara kota dan desa sangat berbeda
kondisi dan sifat masyarakatnya.
Hal ini selaras dengan teori Marx Weber tentang tipe-tipe ideal dari sistem
hukum yang terbentuk oleh masyarakat yaitu irrasional dan rasional 11. Seperti
yang diketahui bersama bahwa dalam masyarakat selain terdapat hukum Islam,
hukum positif juga terdapat hukum adat atau tradisi yang berkembang di
masyarakat. Terlebih dengan perkembangan hukum Islam di daerah pedesaan,
sangat tergantung kepada tokoh atau ulan1a (kyai) setempat, masyarakat desa
yang nota-benenya kurang pengetahuan baik agama maupun umum.
Kata adat berasal dari bahasa Arab yang berarti custom, kebiasaan.
Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta,
a (berarti "bukan") dan data (yang miinya"sifat"). Dengan demikian maka adat
sebenarnya bermii sifat immaterial, artinya adat menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan sistem kepercayaan.
Hukum adat sebelumnya tidak dikenal di Indonesia, baru setelah ilmuwan
Belanda Prof. Snouck Hourgronye (1857-1936) yakni orang yang ahli dalam
11 Menurut Weber ada beberapa tipe ideal dalam pembentukan hukum yang kemudian dipakai oleh masyarakat sebagai acuan, yakni :
a. 1-lukum irrasional dan material, yaitu dimana pembentukan hukum didasarkan semata mata alas nilai emosional tanpa menunjuk suatu kaidah apapun.
b. 1-lukum irrasional dan fom1al, yakni pembentukan hukum yang berpedoman pada kaidahkaidah di luar aka!, oleh karena berdasarkan pada wahyu atau ramalan.
c. Hukum rasional dan material yakni dimana pembentukan hukum merujuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan penguasa atau ideology.
d. Hukum rasional dan formal, yakni dimana hukum dibentuk atas dasar konsep abstrak dan ilmu hukum. (Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakat1a, Raja Grafindo Persada, 2003) h. 56
6
agama dan hukum Islam dalam bukunya The Atjeh yang selanjutnya
dikembangkan dan disistemisasikan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Harr
Bznu Jadi istilah hukum adat dikenal di Indonesia pasca terbitnya buku tersebut.
Salah satu dari konsepnya adalah tentang Teori Receptie yang berbunyi "Hukum
is/am tidak ada, baru ada apabila sudah diterima oleh masyarakat adat dan
muncul wujud baru yaitu hukum adat"
Hukum adalah gejala masyarakat yang universal, ubi sociotes ibi ius
(dimana ada masyarakat disitu pula terdapat hukum). Namun karena suasana dan
lingkungan serta cara hidup masing-masing daerah yang berbeda, misalnya kota
dan desa. Tentu tiap daerah tersebut memiliki corak dan khas berbeda yang tidak
sama dengan lainnya.
Bila dilihat dari kaca mata hukum Islam dan hukum positif sangat
berbeda, pembagian warisan contoh kecilnya, dalam hukum Islam disebutkan
antara laki-laki dan perempuan mendapat 2: 1 juga sama dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) tertera demikian. Namun ini tidak berlaku bagi masyarakat di daerah
khususnya adat Sunda, pembagian tersebut dianggap oleh mereka tidak sesuai
dengan prinsip keadilan serta tidak mencerminkan pembagian rata. Asumsi
mereka pembagian harus dibagi imbang yakni I : I sehingga antar satu sama
lainnya saling merata.
13 Muhammad Daud Ali. Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam, Hukum Islam Di Indonesia; Pemikiran dan Praktik (Bandung, Rosdakarya, 1991 ). h. 69
7
Kewarisan merupakan permasalahan yang sensitif, karena berkaitan
dengan pembagian harta kekayaan orang yang meninggal dnnia kepada ahli
warisnya. Bahkan seringkali terjadi perselisihan antara para ahli waris dalam
pembagiannya. Hal ini disebabkan fitrah manusia yang lebih cenderung serakah,
matrelistis, dan rela mengorbankan hak-hak orang lain demi kepentingan dan
ambisi pribadinya. Oleh karena itu perlu ada sebuah sistem hukum untuk
mengatur pembagian tersebut guna mencegah perselisihan dan ketidak-adilan.
Salah satu dari sistem hukum itu adalah hukum kewarisan yang dalam Islam
dikenal dengan istilah Fiqh Jvfawarits (faraid).
Berkenaan dengan penyelesaian masalah kewarisan, di Indonesia terdapat
beraneka ragan1 sistem kewarisan yang berlaku yakni : Sistem Hukum Kewarisan
Perdata Baral (Eropa) yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-
undang Hukum Perdata) disingkat KUHPer, sistem hukum Kewarisan Adat yang
beraneka ragam pula sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai
daerah lingkungan hukum adat, dan sistem hukum Kewarisan Islam yang terdiri
dari pluralisme ajaran bersifat religi 13.
Masyarakat biasanya memiliki kewenangan untuk menggunakan hukum
yang mana yang akan dipilih dipakai (hak opsi). Pelaksanaan hak opsi dalam
perkara waris dilandasi dengan UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pada penjelasan umum dari butir ke-dua alinea ke-enam berbunyi :
1J M. Idris Ramulyo, 11ukun1 Ke..,varisan !sla111, Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi'i (patrilinial) dan Hazairin (bilateral) praktek di PA dan KUHPer (BW), (Jakarta, Ind. Hill, 1987) h. I
8
"Sehubungan dengan ha! tersebut para pihak yang berperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum mana yang akan dipergunakan dalam
pembagian waris"
Hak opsi merupakan hak untuk memilih sistem hukum apa yang akan
dipergunakan dalam pembagian waris. Hak opsi hanya dapat digunakan apabila
diantara ahli waTis terdapat ketidaksepakatan dalam penyelesaiannya. Menurut M.
Yahya Harahap pemberlakuan hak opsi dalam perkara waris tersebut dianggap
pelarian diri dari kekurangberanian para pembuat undang-undang dalam
menentukan ketetapan yang memberikan bagian yang sama besar antara laki-laki
dan perempuan.14
Senada dengan itu Abdul Gani Abdullah berpendapat, bahwa asas pilih
hukum kewarisan yang akan digunakan untuk menentukan pengadilan yang
berwenang, tergantung kepada hukum yang dikehendaki oleh masing-masing
pihak akibat ketidaksepakatan menentukan hukum, dan tidak bergantung kepada
agama masing-masing. Dengan kata lain, asas pilihan hukum ini keluar atau
menghindari dari hukum yang ditentukan agama. 15
Di Indonesia hukum kewarisan adat sangat dipengaruhi oleh prinsip garis
keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Menurut Purwoto S
14 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No 7 Tahun 1989), (Jakarta, Pustaka Kartini, 1997), h. 32
15 Abdul Gani Abdulllah, Dalam Sepuluh Tahun Undang-undang Peradilan Agama (Jakarta, Ditbinpera, 1999), h. 52
9
Gandasubrata, ada tiga sistem kemasyaraktan yang mempengaruhi coraknya
yaitu17 :
1. Sistem kemasyaraktan kebapakan (patrilineal)
2. Sistem kemasyarakatan keibuan (matrilineal)
3. Sistem kebapak-keibuan (parental/bilateral)
Hukum kewarisan adat Sunda contohnya, lebih kental nuansa adatnya,
coraknya lebih sama dengan sistem parental/bilateral yalmi pembagian warisan
yang ditarik menurut garis orang tua (bapak-ibu) dimana kedudukan pria dan
wanita tidak ada perbedaan dalam pewarisan. Dalam pembagiannya tidak ada
pemilahan secara beda, sistem ini lebih menitik beratkan atas asas kekeluargaan
(musyawarah) di mana antara laki-laki dan perempuan mendapat sama rata.
Sedangkan dalam hukum kewarisan Islam, sudah ada aturan dan
pembagian klmsus terhadap harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli
warisnya. Yang menjadi patokan adalah pembagian antara lald-laki dan
perempuan dua berbanding satu. Tentu ha! ini sangat berbeda bila dibandingkan
dengan hukum kewarisan adat Sunda.
Pada umumnya keberadaan hukum kewarisan Islam tidak berlaku,
masyarakat Sunda lebih memakai hukum kewarisan adatnya dibanding Hukum
Kewarisan Islam, bahkan lebih sering digunakan dengan musyawarah (badami)
secara kekeluargaan. Karena kebiasaan ini sering dilakukan, maka lambat laun
17 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung, Binacipta, 1976) h. 72
10
menjadi jurisprudensi dan ketetapan hukum setempat kemudian menjadi adat atau
tradisi yang berlaku.
Dari pembahasan di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih
lanjut dan mencoba mengabadikannya dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi
dengan judul "Analisa Perbandingan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan
Hukum Kewarisan Islam".
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis di atas dan
mengingat pembahasan yang begitu luas mengenai hukum kewarisan adat Sunda
dengan hukum kewarisan Islam khususnya, maka perlu dibatasi ruang lingkupnya
agar lebihjelas dan rinci bahasannya. Hukum adat Sunda yang merupakan bagian
dari kebudayaan Jawa Barat, memiliki daerah yang cukup luas, dan sunda sendiri
dibagi kepada beberapa bagian yaitu: Sunda Priangan (Bandung, Tasilanalaya,
Ciamis, Garut di!), Sunda Banten (Pandeglang, Lebak di!), Sunda Bogar (Bogar,
Sukabumi, Cianjur di!) dan Sunda Cikuning Maja Ayu ( Cirebon, Kuningan,
Majalengka, dan lndramayu).
Dalam ha! ini agar lebih jelas pembahasannya, hukum kewarisan adat
Sunda yang dimaksud pembahasan ini adalah Sunda di daerah desa Cibingbin
Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Maka pada bahasan
skripsi ini, penulis membatasi mengenai hukum kewarisan adat Sunda yang ada di
11
daerah Kuningan Jawa Barat. Adapun rumusan dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut :
I. Apa perbedaan dan persamaan yang mendasar antara Hukum Kewarisan Adat
Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam ?
2. Bagaimana eksistensi Hukum Kewarisan Adat Sunda dan Hukum Kewarisan
Islam dalam praktiknya di masyarakat ?
3. Sejauh mana pemakaian hak opsi (pilih) dalam menyelesaikan pembagian
waris antara kedua hukum kewarisan tersebut ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
I. Mengetahui perbedaan dan persamaan antara Hukum Kewarisan Islam dengan
Hukum Kewarisan Adat Sunda.
2. Dapat mengetahui keberadaan atau eksistensi hukum kewarisan adat Sunda
dan hukum kewarisan Islam dalam praktiknya di masyarakat.
3. Mengetahui penggunaan hak opsi dalam menyelesaikan pembagian waris.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini yaitu :
I. Tersedia data tentang penyelesaian perkara waris secara hukum Islam atau
menggunakan hukum adat Sunda.
2. Sebagai sumbangsih dalam pengambilan keputusan dan yurisprudensi hukum
terutama mengenai kewarisan.
12
3. Untuk memberikan kontribusi positif dari akademisi dalam rangka sebagai
sosialiasi hukum Islam dan hukum adat Sunda yang berkaitan dengan
kewarisan.
4. Sebagai bentuk khazanah keilmuan dan pengembangan keislaman serta
wawasan bagi siapa saja yang membaca hasil penelitian ini.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Pembahasan skripsi ini dilakukan secara deskriptif analisis dengan
melalui pendekatan sejarah (analisis histories)17• Penulis menggunakan studi
kepustakaan (Library research) dengan menelusuri buku-buku, majalah-majalah,
artikel dan karya ilimah lainnya yang berkenaan dengan tema bahasan ini.
Data yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis lalu
dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian dalam kaiya ilmiah
ini adalah penelitian kualitatif18. Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan
buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari 'ah dan Hukum UJN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2007 ".
17 Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta, Rajawali Pers, 2003). Cet. Ke-5. h. 102
18 Burhan Ashshofa. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004). Cet. Ke-4. h. 21
13
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Ada pun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab Pertama
Bab Kedua
Bab Ketiga
Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan teknik penulisan, serta sistematika penulisan.
Berisi tentang tinjauan umum tentang hukum kewarisan Islam
yang meliputi : pengertian hukum kewarisan Islam, sejarah
kewarisan Islam, sumber hukum kewarisan Islam, rukun dan
syarat kewarisan, sebab-sebab penghalang kewarisan, ahli waris
dan bagiannya, serta asas-asas kewarisan dalam hukum
kewarisan Islam.
Berisi tentang tinjauan umum tentang hukum kewarisan adat
Sunda yang meliputi : penge1iian hukum kewarisan adat Sunda,
sumber lmkum kewarisan adat Sunda, rukun dan syarat
kewarisan, sebab-sebab penghalang kewarisan, ahli waris dan
bagiannya, serta asas-asas kewarisan dalam hukum kewarisan
adat sunda.
Bab Keempat Pada bab ini membahas tentang analisa perbandingan terhadap
hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat Sunda,
selain itu juga diuraikan mengenai persamaan dan perbedaan
hukum kewarisan adat Sunda dengan hukum kewarisan Islam,
Bab Kelima
14
serta analisis hukum antara teori dan praktek dalam hukum
kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Sunda
Bab ini merupakan bab penutup, clalmn bab ini berisikan
kesimpulan hasil penelitian clan rekomendasi atau saran-saran,
selain itu juga dilengkapi dengan daftar pustaka.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian Kewarisan Islam
Hukum kewarisan dalam Islam dikenal dengan nama "fiqh mawarits".
Mawarits dalam pengertian etimologi adalah bentuk jamak dari kata tunggal
"mirats" yang artinya harta pusaka atau warisan 1• Agar lebih jelas lagi
pembahasannya, baik kiranya dijelaskan terlebih dahulu tentang definisi atau
pengertian dari kewarisan tersebut.
Secara etimologi (bahasa) kata "kewarisan" berasal dari yakni waratsa
"'oJ yang memiliki beberapa pengertian antara lain :
Pertama, Mengganti. Seperti yang tertera dalam QS. al··Naml (27): 16
( \i :\'VI J,Jll)
Artinya: Dan Sulaifnan telah me1varisi Daud, dan dia berkata: uHai rnanusia, kami telah diberi
pengerlian tentang suara burung dan katni diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (sen1ua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata".
Pada terjemahan Al-Qur'an terdapat catatan kaki no 593 kata
"mewarisi" diberikan penjelasan yaitu: "Nabi Sulaiman AS menggantikan
kenabian dan kerajaan Nabi Daud AS. serta mewarisi ilmu pengetahuan dan
1 Mahmud Yunus, Ka1nus Arab Indonesia, (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjernah Penlafsir Al-Qur'an, IJ?3), Cet ke-J, h. 496
16
kitab Zabur yang diturunkan kepadanya"2• Melihat dari susunan kata tersebut
532
secara bahasa mewarisi mempunyai arti menggantikan.
Kedua, "Memberi" seperti yang tercantum dalam QS. al-Zumar (39): 74
b<
(Vi : r~ I y)\) ~I ;..f r~:i {Ui~.:;.. Artinya: Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya
kepada kami dan tel ah (memberi) kepada kami tempat (bumi) ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat da/am syurga di mana saja yang kami kehendaki; Maka syurga ilu/ah sebaik-baik ba/asan bagi orang-orang yang bera1na/11
,
Pada kalimat di atas terdapat kata (GJ..'.,,) yang bila disesuaikan dengan
susunan katanya memiliki arti memberi, yakni pemberian Allah kepada
manusia berupa segala kenikmatan dunia dan kenikmatan akhirat yaitu surga
yang dijanjikan kepada orang-orang yang beramal baik.
Ketiga, "Mewarisi" yang terdapat dalam QS. Maryam (19): 6
Artinya: Yang akan niewarisi Aku dan 1ne1varisi sebahagian keluarga Ya'qub; danjadikanlah fa,
Ya Tuhanku, seorangyang diridhai".
Dari tiga pengertian waris secara bahasa di atas ada tiga macam arti
yaitu menggantikan, memberikan, dan mewarisi. Antara satu arti dengan
lainnya bagian yang tidak terpisahkan melainkan memiliki kesamaan maksud,
2 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Te1jemahannya, (Surabaya, Mekar Jaya, 2004), h.
17
mengingat tiga arti terse but selaras dengan pengertian waris a tau kewarisan. 3
Selain itu warisan mempunyai arti yaitu pindahnya sesuatu dari orang lain atau
dari suatu kaum kepada kaum yang lain 4
Adapun menurut tinjauan terminologi, sebagaimana halnya dalarn
Karnus al-Munjid fi al-Lughah wa al-'Alarn adalah :
Yaitu : " Harta seseorang berpindah kepadanya setelah ia meninggal dunia"
Secara definitif, banyak dari tokoh dan ulama yang memberikan
pengertian tentang kewarisan itu sendiri, menurut Muhammad Ali As-Sabuni,
arti warisan adalah pindahnya hak milik orang lain yang meninggal, baik yang
ditinggalkannya itu berupa benda bergerak atau tidak begerak.
Menurut Muhammad Syarbini Al-Khatib yang dikutip oleh Drs. Ahmad
Rofiq, MA dalarn bukunya "Hukum Islam di Indonesia" mengatakan bahwa
kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan dan mengetahui
bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak.
Selain itu M.Idris Ramulyo, SH mendefinisikan kewarisan berupa himpunan
3 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 3556
4 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Warisan Dalam Syariat Islam (terjemah) (Bandung, CV. Diponegoro, 1988), h. 40
5 Luwis Ma'luf, Al-Munjid fl al-Luhah wa al-'Alam, (Beirut, Dar al-Masyrik, 1984), Cet-27 h. 895
59
18
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban dari harta yang
ditinggalkannya. 6
Berbicara tentang pengertian hukum kewarisan, seperti dikemukakan di
atas bahwa banyak definisi dan istilah kewarisan yang diutarakan oleh para
ulama secara hakikat adalah sama namun hanya berbeda pada redaksi. Dalam
Islam terdapat istilah-istilah yang berkenaan dengan kewarisan antara lain : 7
I. Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia.
2. Warits (ahli waris), yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan orang
yang meninggal dunia, maka ia berhak menerima bagian dari warisan.
3. Mauruts, yaitu hmia warisan (pusaka).
4. Ashabu al-Furudl (dzawi al:furud), yaitu ahli wans yang mempunyai
bagian tertentu dari harta peninggalan si mayit yang ditetapkan oleh nash
dan ijma'.
5. 'Ashabah, yaitu kelompok ahli wans yang berhak menenma dari s1sa
bagian.
6. Dzawil Arham (ulu al-arham), yaitu kerabat pewaris yang tidak termasuk
dzawil furud dan ashabah8.
6 M. Idris Ramu Iyo, Hukwn Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill, I 998), h. I
7 Hasbi Ash Shiddiqy, Fiqhul Mmvaris, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973), Cet ke-1, h. 18
8 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan di Indonesia, (Jakarta, Bina Aksara, J 981), Cet ke-I, h.
19
7. Mawali, yakni ahli waris karena penggantian yaitu orang yang menjadi ahli
waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan pewaris, ini
hasil ijtihad dari Prof. Hazairin.9
Hukum kewarisan dikenal juga dengan istilah ilmu faraid 10. Dalam
bahasa Arab perkataan faraid menunjukkan bentuk jamak, sedangkan bentuk
tunggalnya faridah yang berarti suatu ketentuan atau bagian-bagian tertentu
dari ahli waris yang diatur secara rinci dalam al-Quran 11. Dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dapat disimpulkan pula bahwa hukum kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing. 12
Berdasarkan pengertian kewarisan dalam Islam tersebut, telah
mengisyaratkan hal-hal yang berhubungan dengan kewarisan yaitu : adanya
orang yang meninggal dunia (pewaris), harta yang ditinggalkan (warisan) dan
orang yang mengurusi harta peninggalan dan berhak a1as harta peninggalan
tersebut (ahli waris). 13 Hukum waris juga termasuk hukum benda, seperti
9 1-Iazairin, Hukunz Kei.11arisan Bilateral Menurut al-Qur'an dan Hadits, (Jakarta, Tinta Mas. 1967), cet ke-4, h. 28
'° Sayyid Sabiq, Fiqh a/-Sunnah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1983), cet ke-4, h. 424
11 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 1995), cet ke-2, h. I
12 Kompilasi Hukum Islam (KH!) lnpres No 1Tahun1991 Pasal 171 (a)
13 Menurut M. Idris Ramu Iyo yang dimaksud harta warisan atau hai1a peninggalan ialah haita kekayaan dari seseorang yang meningal dunia berupa :
20
dalam KUH Perdata dijelaskan bahwa salah satu cara untuk mendapatkan hak
kebendaan adalah warisan.
B. Sejarah Tentang Kewarisan
Islam yang turun dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari, dalam
upaya merevisi atau memperbaharui tatanan hukum dalam wilayah Arab pada
masa sebelum Islam dilakukan dengan bertahap serta bijaksana tanpa
membebani penganutnya. Demikian pula yang terjadi dalam proses legislasi
hukum kewarisan Islam. Islam turun pada saat yang tepat baik membawa
informasi baru maupun menyempurnakan keberadaan hukum sebelumnya.
Dalam hal sejarah kewarisan Islan1 pun turut mewarnai kehidupan ketika itu.
I. Hukurn Kewarisan Masa Sebelurn Islam
Sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Arab sebelum Islam
datang diwarnai penuh oleh kultur Badui yang sering disebut dengan istilah
"Nomad Society". Keberadan atau eksistensi seseorang pada waktu itu
diukur dari kekuatan fisik atau tenaga yang hanya dimiliki oleh kaum laki-
laki saja. Sistem seperti ini sangat memberikan pengaruh cukup kuat dalam
hukum kewarisan mereka. Konsekwensi tersebut mempunyai dampak yang
buruk terhadap anak-anak laki-laki terlebih lagi bagi perempuan yang
I. Harta kekayaan yang terwujud yang dapat dinilai dengan uang tennasuk di dalamnya piutang yang hendak ditagih
2. Harta kekayaan yang merupakan hutang-hutang yang harus dibayar pada saat meningal dunia 3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing suami isteri (lihat
M. Idris Ramulyo, ibid, h. I 06
21
senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif. Realitas demikian yang
direvisi bahkan dihapus oleh Islam.
Praktek demikian telah mendarah daging dalan1 masyarakat Arab
ketika itu. Bahkan hingga masa awal-awal Islam, kebiasaan tersebut masih
berlanjut. Satu ha! yang aneh bahwa yang diwariskan itu tidak hanya dalam
ha! harta peninggalan saja, melainkan juga istrinya asalkan istrinya itu
bukan ibu kandung dari anak yang mewarisi. Mereka juga memberi warisan
kepada anak yang lahir di luar pernikahan. 14
Pada saat itu ada seorang laki-laki bernama Mihsan Ibn Qais al-
Aslat ditinggal mati ayahnya, mendiang ayalmya meninggalkan istri yang
cantik yang secara otomatis menjadi janda. Dalarn pembagian warisan
janda tersebut tidak mendapat apa pun. Kemudian Mihsan pun berhasrat
untuk mengawini janda ayahnya itu, namun ibunya tidak segera memberi
jawaban lalu menghadap Rasulullah SAW untuk meminta izin agar
diperkenankan kawin dengan Mihsan. Rasul tidak segera memberi
jawaban, kemudian turunlah firman Allah SWT dalam QS. al-Nisa (4): 19
14 Ismuha, Penggantian Ten1pat Da!a1n Hukun1 Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat, dan Hukum Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), Cet ke-1, h. 27
22
,,, /
( \ ~ : £ /.,WI)~
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa15 dan jangan/ah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecua/i bi/a mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bi/a kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Tentu saja ayat di alas tidak dimaksudkan bahwa mengawini janda-
janda tersebut tidak dengan paksaan diperbolehkan Allah SWT dalam
ayatnya yang lain ditegaskan : 16
/ (. ) )
~ Lb ,~I JL li L: ~I ,w\ --: , •ti; .:,_.('~ G i :_ <.~ ~u ; ;- - ~FJ · c- ~ J
( rr : z ;.w1) ~..:, ;L..j 1~·a:j W Artinya: Dan janganlah ka111u kalvini 1-vanita-lvanita yang telah dikawini o/eh ayahn1u,
terkecuali pada masa yang telah iampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-burukjalan (yang ditempuh).
2. Hukum Kewarisan Masa Awai Islam
Hukum kewarisan pada masa awal Islam belum mengalami
pernbahan. Hal ini dapat dimengerti mengingat pada masa-masa awal Islam
prioritas utama ajaran-ajarannya yakni membina akidah atau keyakinan
15 Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.
16 Ibid, h. 361
23
bagi pemeluknya yaitu mentauhidkan Allah SWT Yang Maha Esa, Ini
dimaksudkan untuk mengoreksi keyakinan mereka (orang-orang Arab
Jahiliyyah) yang terseret ke dalam kepercayaan syirik atau menyutukan
Allah. Melihat realitas masyarakat yang belum siap itu, ayat-ayat yang
mengatur tentang kewarisan belum cukup kuat dan tepat untuk diterapkan.
Salah satu strategi Islam tidak sekaligus dalam mengadakan
perubahan sosial masyarakat Arab Jahiliyyah, karena demikian sangat
menggoncangkan masyarakat, adapun dengan secara berangsur-angsur
(tadriji) saja Nabi Muhammad SAW masih banyak sekali mendapat
halangan dan rintangan.
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber dari firman
Tuhan dalam bentuk Al-Quran dan hadis nabi yang terdiri dari ucapan,
perbuatan, dan hal-hal yang didiamkannya. Dasar kewarisan itu ada yang
secara tegas mengatur, dan ada yang tersirat bahkan hanya berisi pokok
pokoknya saja.
Dengan demikian dasar-dasar yang dijadikan sebab dan faktor
mewarisi pada masa awal Islam adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
Al- Qarabah
Al-HilfWal Mu'aqqadah
At-Tabanny
Hijrah
Muakhah
(Pertalian Kerabat)
(Janji Selia)
(Adopsi atau Pengangkatan Anak)
(dari Makkah ke Madinah)
(Ikatan Persaudaraan antara golongan
Muhajirin dan Anshor)
24
Sebelum turunnya ayat Al-Quran yang mengatur pembagian
warisan, di Madinah telah meninggal seorang sahabat nabi dari golongan
Anshor, bernama Aus Bin Tsabit dan meninggalkan seorang isteri, empat
orang anak perempuan dan dua orang anak pamannya. Lalu anak pamannya
datang mengambil seluruh harta peninggalan Aus sebagai warisan, sesuai
hukum adat yang berlaku sebelum Islan1 datang.
Istri Aus merasa bahwa hukum tersebut tidak sesuai dengan prinsip
keadilan, maka kemudian dia datang menghadap Nabi Muhammad SAW
untuk mengadukan perihal tersebut. Lalu ia menjelaskan: "Ya Rasulullah !
suami saya bernama Aus telah meninggal dunia dan meninggalkan harta
warisan yang cukup banyak pula. Kemudian datanglah kedua anak
pamannya bernama Qatadah dan Afathah untuk mengambil seluruh harta
peninggalan dan ke empat anak perempuannya sama sekali tidak diberi
sedikit pun, sedangkan mereka masih tetap dalam pemeliharaan saya.
Kemudian Nabi bersabda: "Pulanglah dahulu, saya menunggu
sampai Allah memberi ketentuan mengenai mereka." Tak lama kemudian
turunlah firman Allah SWT dalam ayat QS al-Nisa ( 4 ): 7
Artinya: Bagi orang /aki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibubapak dan kerabatnya, baik sedikit a/au banyak menurut bahagian yang te/ah ditetapkan.
25
Dengan turunnya ayat tersebut, maka Islam telab mengubab hukum
waris yang berlaku pada sebelumnya yang menetapkan bahwa wanita dan
anak laki-laki yang masih kecil tidak menerima warisan. Kemudian pada
ayat-ayat berikutnya secara tadriji Allah menjelaskan dan menentukan
bagian-bagian serta keputusan lainnya.
Ketentuan tersebut merupakan landasan utama yang menunjukkan
bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama
. hak . 17 mempunym wans . Juga merupakan pengakuan Islam babwa
perempuan sebagai subyek lmkum yang mempunyai hak dan kewajiban.
Tidak demikian halnya, pada masa jabiliyab di mana wanita dipandang
sebagai obyek bagaikan benda biasa yang dapat diwm·iskan.
C. Sumber atau Dasar Hukum Kewarisan Islam
Ruang lingkup kewarisan Islam sangat jelas dasar hukumnya, maka
kemudian penulis merasa sangat perlu untuk mengupasnya. Dasar kewarisan
dalam Islam adalah :
1. Al-Qur'an
Al-Qur'an adalah sumber hukum Islam pertama dan utama. Ia
menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan secara jelas dan rinci.
17 Anwar Sitompul, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam, (Bandung, Armico, 1984), h. 15
26
Adapun ayat-ayat yang dijadikan sebagai dasar dari hukum kewarisan
dalam Islam, seperti QS al-Nisa (4): 11
c.,,,.,,_. J,- ,,"'t J}t,,, .,,,, ,,.... JJ ___ t }J-,.. & "',,.,,'?- J
ltl:,•<10_g\' '\· '..U':J"-<''Ll\'".<'•L:,\; ·.:i 11· -~, ..-"'" · ..r ("+.! 0 -'.J r-' ·-' r-' · ;,i· -' '-1; L¢' Y- ~-'
( ' ': £ ;.w1) ~ 1:.:c 0t?:&l01 "¥i ::._; ~.;,1} Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
yaitu : bahagian seorang anak lelaki sa1na dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-n1asingnya seperenarn dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi o/eh ibu··bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di alas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang ruamu dan anakanakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekar (banyak) manfaatnya bagimu. lni ada/ah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Kemudian dijelaskan pula dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 12
27
Artinya: Dan baghnu (suan1i-suan1i) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri
isterilnu, jika 1nereka tidak n1en1punyai anak. jika Jsteri-isterilnu itu 1nempunyai anak, Maka kan1u 1nendapat seperempal dari harta yang ditingga/kannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperen1pat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak 1nernpunyai anak. jika katnu niernpunyai anak, Maka para isteri me1nperoleh seperdelapan dari harta yang kan1u tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. jika seseorang mati, baik !aki-!aki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara !aki-/aki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu !ebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat {kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
Kemudian dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 33 menerangkan:
11.ft~' } } .... .,t
.. f-=, ... ,\ I -
Artinya: Bagi tiap-tiap harta peningga!an dari harta yang ditingga/kan ibu bapak dan
karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan Oika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
28
Kemudian dalam ayat lain QS al-Nisa (4): 176
( \Vi
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang ka/a/ah 18). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak tnen1punyai anak dan me1npunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (se/uruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu duo orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan o/eh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudarasaudara laki don perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian duo orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
2. Sunnah atau Hadis
Imam al-Bukhari menghimpun hadis tentang kewarisan tidak
kurang dari empat puluh enam hadits dan Imam Muslim menyebut hadits-
hadits kewarisan kurang lebih dua puluh hadis. Namun pada bahasan kali
ini perincian hadits tersebut tidak akan dikutip semua, hanya yang pokok
18 Kala/ah ialah : seseorang mati yang ticlak meninggalkan ayah dan anak
29
saja yang akan dikemukakan, seperti hadis mengenai kewarisan yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas RA 19:
,.. ... ,, ,.. ,, ,.. ,.. ,.. ,.. J l>
(4.).y ~) _?~ ~) J'/j..__j ~ :;~t.:._; ~~ ~\~llJ.kl-1 "' "' ,.. ,, ... ,, ,.. ,,
Artinya: "Berikan hart a pusaka kepada pemiliknya (orang yang menerima fardlu}. Sisa
dari hartanya diberikan kepada orang laki-laki yang paling dekat kepada orang yang meninggal." (Muuafaq A/aihi}
Dali! di alas merupakan hadis shahih dan tidak diragukan
kedudukannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu 'Ala Ibnu Muhammad
dengan sanad dari Uhaib Ibnu Thowus dari bapaknya.
Artinya: Dari Usamah bin Zaid r.a bahwa nabi SAW bersabda: "Orang is/am tidak
rneivarisi orang kafir, den1ikian juga orang kajir tidak me1varisi orang isla1n. 11 (Muttafaq Alaihi}20
" (~). . .U\) ~L:J\ o\JJ) ~~ ~\~\ Artinya: Dari 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dari nabi Muhammad SAW
telah bersabda: "Pen1bunuh itu tidak dapat 1neivarisi sesuatu pun dari yang terbunuh". (HR. Nasai dan Daruquthni}21
19 Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nail al-Author, (Azhar, Maktabatul Iman, t.th) Ji lid Ke-5, h. 60
20 Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajr Al-Asqalani, Bulug/111/ Maram, (Mesir, Dar al-Hadis, t.th) h. 162
21 Ibid, h. 163
30
Dari pengertian hadis pertarna dan kedua di atas, dapat dipaharni
bahwa pembagian warisan diserahkan terlebih dahulu kepada orang yang
berhak yaitu yang tergolong dalam Ashabul Furudh, sisanya kemudian
untuk Ashabah. Diketahui pula bahwa perbuatan waris mewarisi hanya
diperbolehkan bagi yang satu agarna (Islam), dan terakhir juga menjelaskan
tentang ahli waris yang tidak mendapatkan harta pusaka karena membunuh.
3. Ijma'
Yaitu kesepakatan para ularna atau para sahabat sepeninggal
Rasulullah SAW tentang ketentuan warisan yang dalam Al-Quran. Karena
telah disepakati oleh para sahabat dan ularna maka ijma' dijadikan sebagai
sumber dan referensi hukum. 22
4. Ijtihad
Y aitu pemikiran para sahabat atau ulama dalam menyelesaikan ha!-
hal pembagian warisan yang belum atau tidak disepakati. Yang dimaksud
di sini adalah ijtihad dalam menerapkan istinbath hukum, bukan untuk
mengubah pemaharnan atau ketentuan yang sudah ada. Misalnya terhadap
masalah raad atau 'aul, di dalarnnya terdapat perbedaan pendapat yang
sejalan dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabi'in atsu ularna.
22 Tengku Muhammad Hasby Ash-Shidiqy, Fiqh Mawarits (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999), Cet ke-1, h. 303
31
D. Rukun, Syarat Dan Sebab-sebab Kewarisan
Agar pembagian warisan menjadi sah secara hukum maka harus
terdapat rukun dan syarat mewarisi. Rukun mewarisi adalah :
1. Muwarits, yaitu orang yang meninggal, atau disebut juga dengan pewaris.
2. Warits ( ahli waris ), yaitu orang yang memiliki hubungan dengan pewaris
dengan suatu sebab menerima pusaka, seperti kekerabatan (hubungan
darah) dan perkawinan.
3. Muruts (harta atau pusaka) yakni harta dari orang yang meninggal.
Adapun syarat-syaratnya adalah :
I. Matinya Muwaris, Para ulama membedakan kepada tiga macam :
a. Mali Haqiqi, yaitu kematian yang nyata disaksikan oleh panca indera.
b. Mali Hukmy, yaitu kematian berdasarkan vonis hakim karena alasan
kuat.
c. Mali Taqdiri, yaitu kematian yang berdasarkan dugaan keras seperti
kematian bayi dalam pemt ibunya karena minum racun atau pemukulan
terhadap ibunya.
2. Hidupnya ahli waris di saat kematian muwaris, ahli waris yang telah mati
disaat kematian muwaris tidak berhak menerima warisan. Karena dari segi
kecakapan hukum, orang yang mati tidak lagi menerima warisan tetapi
masih memiliki kewajiban seperti membayar hutang dari harta
peninggalannya.
32
3. Tidak ada penghalang untuk mewarisi.23
Sedangkan yang menjadi penyebab terjadinya kewarisan antara lain :
I. Perkawinan yang sah.
2. Kekerabatan, yakni hubungan darah yang mengikat ahli warts dengan
muwar1s.
3. Wala' yaitu kekerabatan yang timbul karena membebaskan (memberikan)
hak budak.
E. Sebab-Sebab Atau Penghalang Tidak Menerima Warisan
Yang dimaksud penghalang di sini adalah suatu tindakan atau hal-hal
yang menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta pusaka. Adapun yang
menjadi penghalang untuk mendapat warisan yaitu :
I. Pembunuhan yang dilakukan seseorang terhadap bapalmya sendiri.
Perbuatan anak tersebut merupakan suatu tindakan makar pembunuhan
yang dapat menggugurkan haknya untuk mewarisi harta peninggalan
ayahnya, sekalipun telah memenuhi rukun dan syarat mewarisi.
2. Berlainan agama, yang menjadi penghalang adalah apabila antara ahli waris
dan muwarits berbeda agarna atau keyakinan.
23 Fatchur Rahman, I/mu Waris, (Bandung, PT Al Ma'arif, 1987), h. 50
33
F. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya
72
Seperti yang telah dibahas sebelumnya di antara salah satu faktor-faktor
yang dapat waris-mewarisi adalah ahli waris. Ahli waris yaitu orang yang
mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal dunia, dan berhak
menerima bagian dari warisan. Mengenai berapa besar ketentuan bagiannya
sudah ditetapkan dalam Al-Quran24• Antara lain:
1. Yang Mendapat Seperdua (112)
a. Anak perempuan tunggal, seperti dalam firman Allah SWT,
Artinya: Jika anak peren1puan itu seorang saja, Maka ia me1nperoleh separo dari
hart a.
b. Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki ( diqiyaskan kepada anak
perempuan)
c. Saudara perempuan :
I) Saudara perempuan tunggal yang sekandung
2) Saudara perempuan tunggal yang sebapak, apabila saudara
perempuan yang sekandung tidak ada. Finnan Allah :
Artinya: Dan bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya
24 !kin Sadikin, Tanya Jawab Hukum Ke/uarga dan Waris, (Bandung, Armico, 1982), h.
34
d. Suami (duda)
Suami mendapat seperdua (setengah) apabila isterinya tidak
mempunyai anak atau cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-
laki. Firman Allah SWT,
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditingga/kan o/eh
isteri-isterimu, sjika 1nereka tidak 1nempunyai anak
2. Yang Mendapat Seperempat (1/4)
a. Suami, apabila isterinya ada dan terdapat anak atau cucu dari anak laki-
laki. Firman Allah,
-~ , ~ ~ ~; L__,< k. »t1\ ~ ~\~ ".I- ~ ~I~ Lb · ~ }.:-r'-' , . ~ u--J , c;..r r-- ...\JJ ~ (.) (.);
(\Y :i/ ~WI) ... ___ j._~jf~ ~~ ; ,
Artinya: Jika isteri-isterin1u itu 1netnpunyai anak, Maka kamu 1nendapat seperempat
dari harta yang ditingga/kannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat a/au ( dan) seduah dibayar hutangnya
b. Isteri (seorang atau lebih), apabila suammya tidak mempunyai anak
atau cucu dari anak laki-laki. Finnan Allah,
Artinya: "Para isteri memperoieh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak 1ne111punyai anak 11
35
3. Yang Mendapat Seperdelapan (118)
Isteri (seorang atau lebih), apabila suaminya mempunyai anak atau
cucu dari anak laki-laki. Firman Allah dalam QS al-Nisa 4:12,
Artinya: ".Jika kamu rnempunya; anak, Maka para isteri 1nen1peroleh seperdelapan dari
harta yang kan1u tinggalkan 11
4. Yang Mendapat Dua Pertiga (2/3)
a. Dua orang anak perempuan atau lebih, apabila ticlak acla anak laki-laki.
Finnan Allah clalam QS al-Nisa 4: 11,
Artinya: " Maka jika anak itu semuanya perempuan !ebih dari dua, Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditingga!kan" b. Dua orang cucu perempuan atau lebih clari anak laki-laki, apabila anak
perempuan ticlak acla (cliqiyaskan kepacla anak perempuan)
c. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang seibu sebapak
(sekanclung). Firman Allah QS. al-Nisa 4: 176) :
Artinya: "Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditingga!kan o/eh yang meninggal.
cl. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak (Surat. An Nisa
4: 176)
36
5. Yang Mendapat Sepertiga (1/3)
a. Ibu, apabila anak yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu
(dari laki-laki) atau dia tidak mempunyai saudara (laki-laki atau
perempuan) yang sebapak atau seibu (sekandung). Firman Allah QS. al-
Nisa (4):11:
Artinya: "Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi a/eh ibu
bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenan1
b. Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) yang seibu.
Firman Allah SWT QS al-Nisa (4):12:
~ # - / J ? J." _, ,- ? t G } / ,-
~I J :lb:._r:., ~ Jll·~ ~ J.-f=I lylb:. 0~
(f: \~\.WI) Artinya: Tetapi jika saudara-saudara seibu itu /ebih dari seorang, Maka mereka
bersekutu da/a111 yang seperliga itu
Di dalam ayat tersebut tidak disebutkan saudara seibu, akan tetapi
maksudnya untuk saudara seibu, sebab mengenai saudara sekandung dan
sebapak telah dijelaskan pembagiannya pada ayat lain.
37
6. Yang Mendapat Seperenam (1/6)
a. Ibu, apabila anaknya meningal itu tidak mempunyai anak atau cucu
(laki-laki) atau saudara (laki-laki dan perempuan) yang sebapak dan
seibu (sekandung). Firman Allah SWT QS. al-Nisa 4: 11,
»"' J." .... ~ ",,." -t J J, tt'"" "'.,,,. "'1<1 .,. ,,.1. :.Uj ,4.J (JD ul 2.J_; ~ l.)"'..._.:....i 4:? ~J U"-;'. ~Y.~J - , ,
(f:\ \/~WI) Artinya:
"Dan untuk dua orang ibu bapak bagi rnasing-rnasingnya seperenam dari hart a yang dili11ggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
b. Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu
(laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki
c. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), apabila ibu tidak ada, ha! ini
karena berdasarkan kepada hadits yang diriwayatkan dari Zaid, beliau
berkata:
Artinya: "Sesungguhnya Nabi saw re/ah menetapkan bagian nenek seperenam (116)
bagian dari harta warisan." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi kecua/i anNasai).
d. Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki, apabila orang
yang meninggal mempunyai anak tunggal, akan tetapi apabila anak
perempuannya lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak
mendapat apa-apa. Nabi bersabda :
38
Artinya: 11Nabi telah men-1berikan seperenan1 bagian unruk cucu perernpuan dari anak
/aki-laki, serta ( ada) anak perempuan." (HR. Bukhari)
e. Kakek (datuk), apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau
cucu ( dari anak laki-laki) sedang bapaknya tidak ada.
f. Saudara (laki-laki atau perempuan) yang seibu.
g. Saudara perempuan yang sebapak (seorang atau lebih), apabila
saudaranya yang meninggal mempunyai seorang saudara.
G. Asas-asas dan Prinsip Kewarisan Dalam Islam
Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu
yang berkenaan dengan peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.25
Asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Quran dan
hadits, antara lain :
1. Asas Ijbari
Asas ini dalam kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan
harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan
sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak
pewaris atau ahli waris. Unsur keharusan (ijbari: compulsory) dalam
25 Keputusan Seminar Hukum Waris Islam yang diselenggarakan oleh Proyek Pembinaan Sadan Peradilan Agama, tanggal 5-8 April 1982, di Cisarua Bogor, (Jakarta, Depag RI, t.th)
39
hukum kewarisan Islam terutama terlihat dari segi ahli waris harus (tidal
boleh tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai
deanganjumlah yang telah ditentukan oleh Allah.26
Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari:
a. Segi peralihan harta
b. Segi jumlah pembagian
c. Segi kepada siapa harta itu beralih
Asas ijbari ini dapat dilihat pada Kompilasi Hukum Islam (KI-II)
dalam Bab I tentang ketentuan umum pasal 171 huruf a sampai f, Bab II
tentang ahli waris pasal 172 sampai 175 dan Bab III tentang besarnya
bagian pasal 17 6 sampai 179.
2. Asas Bilateral
Asas ini yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua
belah pihak baik keturunan laki-laki maupun perempuan. Asas ini dapat
dilihat dalam surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176. Dalam ayat 7 surat
tersebut ditegaskan bahwa seorang laki-laki dan perempuan berhak
mendapat warisan dari orang tuanya secara bilateral. Asas bilateral dapat
dilihat dalam KHI pada pasal 174, Bab III tentang besamya bagian, pasal
176-191, dan bab IV tentang Aul dan Rad pasal 192 dan 193.
26 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar !/mu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004) Cet ke-4, h. 14 I
40
3. Asas Individual
Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada
masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam
pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalan1 nilai tertentu yang
kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak sesuai kadar
masing-masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian yang
diperolehnya tanpa terikat kepada ahli waris lain, karena bagian-bagiarmya
sudah ditentukan.
4. Asas Keadila~ng Berimbang
Asas ini beraiti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak
dan kewajiban, baik hak yang diperoleh dengan kewajiban yai1g harus
ditunaikarmya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yai1g
sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya (kelak) dalm keluarga dan
masyarakat. Dalfilll sistem kewarisan Islfilll, haita peninggalan yang
diterima oleh ahli waris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab
pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu, perbedaan bagian yang
diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan
tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga.
KHI merumuskannya dalam pas al 183, yaitu : para ahli waris dapat
bersepakat melakukan perdamaian dalan1 pembagian ha1ta warisan setelah
masing-masing menyadari bagiannya.
41
5. Asas Akibat Kematian
Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat kematian
seseorang. Menurut ketentuan hukum Islam, peralihan harta seseorang
kepada orang lain disebut dengan kewarisan, terjadi setelah orang yang
mempunyai harta meninggal dunia. Ini berarti harta seseorang tidak dapat
beralih kepada orang lain selama ia masih hidup sedangkan dalam KHI
merumuskannya dalam pasal 211, yaitu : peralihan harta dengan jalan hibah
dapat diperhitungkan sebagai warisan.
6. Asas Hajib Mahjub
Hajib dan Mahjub berarti orang yang menjadi penghalang dan
terhalangi. Dalam hukum kewarisan Islam, tidak semua ahli waris
mendapat bagian dari harta peninggalan, karena penentuannya berdasarkan
orang lebih dekat kekerabatannya dengan pewaris. Dalam KHI pasal 174
ayat (2) disebutkan : apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak
mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Yang dimaksud semua ahli waris yaitu pertarna, golongan laki-laki
terdiri dari : ayah, anak dan saudara laki-laki, paman dan kakek. Kedua,
golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak dan saudara perempuan dan
nenek. Dari golongan laki-laki, saudara terhalang oleh ayah. Dari golongan
perempuan saudara perempuan terhalang oleh anak dan ayah, nenek
terhalang oleh ibu
42
7. Asas Kesamaan Agama
Beragama Islam merupakan dasar yang menjadikan seseorang dapat
saling waris mewarisi. Dalam KHI dirumuskan pada pasal 171 huruf b :
"Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan
pengadilan beragama Islam, meninggalkan al1li waris, dan harta
peninggalan". Huruf c : "ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi
ahli waris".
Ditinjau dari sudut ekonomi pembagian warisan mempunyai fungsi
guna menyalurkan hmta kekayaan dari penumpukkan pada diri seseorang.
Menurut Muhammad Najatullah Siddiqi sebagaimana dikutip oleh Abdul
Qadir Jaelani menyatakan perbedaan zakat dengan warisan yang
menyatakan:27
"Apabila pada zakat terjadi pembagian kernbali kekayaan antm·a
generasi sekarang, maka pada harta warisan pembagian kembali kekayaan
antara generasi yang pergi dengan yang ada sekarang"
Ketentuan kewarisan dalam Islam tidak dibatasi pada kelompok
kecil saja, menurut Mustafa Husni as-Siba'i tujuan Islam dalam
memperbanyak ahli waris agar harta warisan itu tidak te1timbun oleh
27 Abdul Qadir Jaelani, Keluarga Sakinah (Surabaya, Bina Ilmu, I 995) h. 277
43
beberapa tangan saja, melainkan terpencar-pencar dan terbagi secara
merata28. Dengan demikian Islam menentukan beberapa prinsip pembagian
warisan (pusaka) seperti halnya yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut:29
a. Adanya hubungan kekeluargaan dan perkawinan. Hubungan
kekeluaraaan mencakup hubungan karena kelahiran, dan hubungan
persaudaraan yang mencakup aspek yaitu saudara sebapak dan seibu,
saudara sebapak saja dan saudara seibu saja, sedangkan hubungan
perkawinan mencakup suan1i dan isteri.
b. Meniadakan pembedaan sifat laki-laki dan wanita se11a besar kecilnya
dalam ahli waris.
c. Bapak dan anak tidak terhalang oleh siapa pw1 dalam pembagian
warisan, meski jumlah bagian yang bakal diperolehnya sangat
tergantung oleh ahli waris yang lain.
d. Saudara laki-laki dan perempuan tidak memperoleh bagian (hak)
selama masih ada bapak dan ibu.
e. Jika ahli waris itu terdiri atas laki-laki dan perempuan, maka golongan
laki-laki menerima dua kali bagian wanita.
28 Mustafa Husni as-Siba'i, Kehidupan Sosial Menurut Islam (Bandung, Diponegoro, 1981), h. 161
29 Mahmud Syaltut, Islam, Aqidah Dan Syari'ah (Jakarta, Pustaka Amani, 1986), h. 353
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA
A. Pengertian Hokum Kewarisau Adat Sunda
Daerah Kuningan merupakan salah satu dari wilayah Jawa Barat yang
hingga kini masih kental nuansa agamis khususnya dalam masalah kewarisan.
Hal ini mengingat adat atau tradisi di daerah ini sudah terpatri sejak sebelum
Islam masuk ke wilayah tersebut tepatnya 3500 SM. 1
Sebelum Islam datang, masyarakat Kuningan menganut agama Hindu
dan merupakan daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang
terkenal dengan nama "Padjadjaran". Seluruh Jawa Barnt termasuk Cirebon
pada tahun 1389 M masuk bagian dari kerajaan Pajajaran. Kata sunda sendiri
memiliki arti aneka ragam, antara lain jamal, indah, atau elok. Lambat laun
kata ini selain itu sebagai salah satu suku atau bahasa di Jawa Barat.2
Mengingat hampir seluruh warga Kuningan adalah mayoritas islam
yang sangat taat pada ajaran agamanya. Sehingga hal ini membuat kuatnya
pengaruh islam yang ditunjukkan dengan kentalnya pengaruh Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Berbagai ritual agama penting menjadi kewajiban yang
1• Sejarah Ringkas Kabupalen Daerah TK. fl Kuningan, (Kuningan, Dinas Pariwisata Daerah, 2000), h. 1
2• Ajip Rosyidi, Kesusaslraan Sunda Dewasa lni, (Cirebon, t.p, 1966), h. 107
45
tidak dilepaskan dan ditinggalkan oleh masyarakat setempat, seperti selametan,
muharraman, mauludan dan sebagainya.3
Dalam hal kewarisan pun yang mana berkenaan dengan harta
peninggalan, secara adat masih berlaku hingga kini. Menurut istilah adat sunda
yang dikemukakan oleh Saini KM, hukum waris ialah peraturan hukurn yang
mengatur pemindahan hak milik barang-barang, harta benda dari generasi yang
berangsur mati (generasi tua) kepada generasi muda (ahli waris) yang masih
hidup, baik dari bapak kepada anak, dari anak kepada cu cu dan seterusnya. 4
B. Sumber Hukum Kewarisan Adat Sunda
Untuk mengetahui sumber hukum kewarisan adat Sunda, berarti tidak
lepas dari kehidupan keagamaan orang Sunda. Mayoritas agama yang dipeluk
masyarakat Sunda adalah agama Islam, sehingga kepercayaan, sejarah dan
ajarannya tidak bisa dilepaskan antara keduanya.
Dalam pengertian antropologi, agama sebagai bagian dari kebudayaan.
Kehidupan agama tersebut juga tampak amat kuat bagi orang Sunda. Apabila
kita pelajari tahap-tahap lingkaran hidupnya dari sejak masa kelahiran,
memotong rambut, perkawinannya, sampai meninggalnya tentu saja masih
dalam bingkai-bingkai agama. Hal ini sangat tidak mengherankan mengingat
3. Adaby Darhan dan Abdul Wahid, Antara Saung, Warung, dan Tajug: Transformasi
Ekonomi dan Prilaku Agama Komunitas Pedagang Di Cibingbin, Jawa Baral. (Jogjakarta, Lembaga Penelitian UGM) 2004, h. 26
4• Saini K.M, Adat !stiadat Daerah Jawa Baral, (t.t, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), h. 147
46
nilai-nilai agama memainkan peranan yang amat besar dalam kehidupan
manusia dan masyarakat5•
C. Rukuu dan Syarat Kewarisan
Mengenai rukun dan syarat kewarisan adat Sunda, penulis mengambil
kesimpulan dari karangan RD Soepomo tentang kewarisan Hukum Perdata
Adat Jawa Barat yang menjelaskan sebagai berikut :
Rukun kewarisan adat Sunda ada tiga :
I. Pewaris, adalah orang yang meninggalkan harta kekayaan.
2. Ahli waris, adalah orang yang ada hubungannya dengan orang yang telah
meninggal, seperti kekerabatan dan perkawinan.
3. Warisan, adalah harta yang menjadi pusaka pewaris atau barang-barang
dari harta benda pewaris.
Adapun syarat-syarat kewarisan adat Sunda, pada prinsipnya sama
dengan syarat-syarat kewarisan Islam, hanya perbedaan istilah saja yang beda
antara lain :
I. Pewaris, artinya orang yang mewariskan. Dalam ha! ini pewarisan baru
terjadi apabila si pewaris sudah meninggal dunia. Meninggal disini, baik
hakiki maupun tahkim (berdasarkan keputusan hakim). Tanggal kematian
itu dihitung seperti yang dinyatakan oleh keputusan hakim, bukan tanggal
5• Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 1979),
Cet ke-4, h. 311
47
ketika keputusan itu dikeluarkan. Hal tersebut menyangkut mati secara
hukmi atau ada keraguan kapan matinya seseorang
2. Ahli waris, artinya anggota keluarga benar-benar hidup ketika pewaris
meninggal dunia, dan ahli waris tersebut berhak memperoleh harta pusaka
3. Tidak adanya penghalang-penghalang untuk mewarisinya
Walaupun dua syarat telah dipenuhi yakni syarat (1) dan (2), namun
salah seorang dari mereka tidak dapat mewarisi harta peninggalannya kepada
yang lain jika terdapat salah satu dari macam penghalang yang mewarisi.
D. Sebab-sebab dan Penghalang Kewarisan
1. Sebab-sebab waris-mewarisi adalah6 :
a. Sedarah dan tidak sedarah, ahli waris yang sedarah terdiri dari anak
kandung, orang tua, saudara dan cucu. Sedangkan ahli waris tidak
sedarah ialah anak angkat, janda atau duda.
b. Hubungan perkawinan, bila seseorang laki-laki telah melangsungkan
akad nikah yang sah dengan perempuan, maka di antara keduanya telah
terdapat hubungan kewarisan. Artinya istri menjadi ahli waris bagi
suaminya yang telah mati begitupun sebaliknya.
c. Kepunahan atau Nunggul Pinang, yakni jika pewaris tidak memiliki
ahli waris sama sekali maka harta kekayaannya tersebut diserahkan
'. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung, Alumni, 1983), Cet ke-2, h. 109
48
kepada desa atau Baitul Mal atau kepada orang yang tidak mampu atau
dibagikan di antara ketiganya.
2. Penghalang atau sebab-sebab tidak mewarisi adalah :
Hak waris seseorang juga dapat hilang dikarenakan perbuatan salah
yang dilakukan ahli waris yang bertentangan dengan hukum adat.
Perbuatan salah dapat dibatalkan apabila ahli waris memaafkan, memberi
ampunan secara nyata dalam ucapan atau prilakusebelum atau ketika proses
pembagian warisan. Perbuatan tersebut antara lain :
a. Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota
keluarga pewaris.
b. Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidupan pewaris.
c. Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewads atau
nama kerabat pewaris disebabkan perbuatan tercela.
d. Murtad dari agama atau berpindah agama dari kepercayaan.
E. Ahli Waris dan Bagiannya
I. Ahli Waris
Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang
diteruskan secara turun-temurun. Karena agama Islam telah lama dipeluk
oleh masyarakat Sunda, maka sangatlah sulit kiranya untuk memisahkan
mana adat dan mana agama. Biasanya kedua unsur ini terjalin erat menjadi
adat kebiasaan dan kebudayaan setempat.
49
Adat memang memegang peranan meskipun tak selalu dapat
disesuaikan dengan syariah. Mengenai warisan menurut syariah anak laki-
laki dengan anak perempuan ialah dua berbanding satu (2; I). Di adat
Sunda, Jawa Barat ha! itu berlainan, karena menurut adat baik anak laki-
laki maupun perempuan memperoleh warisan yang sama besarnya7•
Mengenai prinsip garis keturunan, dapat dikatakan bahwa sistem
kekerabatan di Sunda adalah bersifat bilateral. Yang dimaksudkan dengan
bilateral adalah gar1s keturunan yang menghitungkan hubungan
kekerabatan melalui orang laki-laki maupun wanita.
Adapun sistem silsilah kekerabatan pada orang Sunda menunjukkan
ciri-ciri bilateral dan generasional. Dilihat dari sudut ego, orang sunda
mengenal istilah tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah, yakni :
Ke Atas KeBawah
a. Ko lot a. Anak
b. Embah b. In cu
c. Buyut c. Buyut
d. Bao d. Bao
e. Janggawareng e. Janggawareng
f. Udeg-udeg f. Udeg-udeg
g. Gantung siwur g. Gantung siwur
7• Kosoh S, dkk, Sejarah Daerah Jawa Baral, (Jakarta, Proyek Inventarisasi dan
dokumentasi Sejarah nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Depdikbud, 1994), eel ke-2, h. 127
50
Bagi orang Sunda sebutan kekerabatan bagi kekerabatan pihak laki
laki tidak berbeda dengan sebutan kekerabatan bagi kerabat pihak wanita.
Apabila kita melihat istilah kekerabatan orang Sunda, maka tampak istilah
yang dipergunakan untuk kedua generasi ke atas dan ke bawah dilihat dari
sudut ego seperti: ayah dengan sebutan apa, bapa, pa. Ibu dengan sebutan
ema, ma. Kakak laki-laki dengan sebutan kakang, kaka, akang, atau kang.
Kakak perempuan dengan sebutan ceuceu, euceu, ceu. Kakak laki-laki ayah
atau ibu dengan sebutan uwa. Adik laki-laki ayah atau ibu dengan sebutan
mamang, emang, atau mang. Adik perempuan ayah atau ibu dengan
sebutan bibi, ibi, embi atau bi.
Adalah berbeda, sedangkan sejak generasi ketiga ke atas maupun ke
bawah istilahnya sama yakni prinsip polarity ( diabaikan). Ada benamya
anggapan bahwa dua generasi keatas dan kebawah itu masih mempunyai
hubungan yang fungsionil dalam hubungan kekerabatan, sedangkan tiga
generasi ke atas dan ke bawah hanya mempunyai fungsi tradisional dalam
hubungan kekerabatan. Dari kajian antropologi di alas tentang sistem
kekerabatan adat Sunda bisa dijadikan piranti untuk analisis mengenai
hukum adat Sunda tentang sistem kewarisan.
Seperti dalam tertib parental (susunan pertalian menurut garis ayah
maupun ibu) yang umum di daerah adat Sunda, semua harta benda
kepunyaan kedua orang tua yang meninggal diwariskan kepada beberapa
51
ahli waris yang mendapatkan, dan ha! itu dapat dikelompokkan kepada
beberapa ahli waris, antara lain :
Generasi pertama
Generasi kedua
Generasi ketiga
Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan
kepada semua anak-anaknya.
Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan
kepada orang tua, j ika yang berpulang itu tak
meninggalkan anak-anak.
Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan
kepada ahli waris dari kedua orang tuanya, dalam ha!
ini adalah ke tangan kerabatnya sendiri dari pihak
keluarga suami yang masih hidup. Syaratnya yakni
jika orang tua tersebut telah meninggal dunia.
Semua harta benda kepunyaan kedua orang tua tersebut diwariskan
sama rata kepada ahli waris yang mendapatkan, baik itu anak-anaknya,
orang tuanya, maupun saudara-saudaranya dari pihak keluarga suami isteri
yang masih hidup. Harta pusaka dalam aturan tertib ini senantiasa terdiri
dari harta milik sendiri dari yang meninggal ditambah dengan harta
bersama dalam perkawinan.
2. Harta Bagian Yang Diperoleh oleh Ahli Waris
Mengenai pembagian warisan menurnt adat sunda pada umumnya
terbagi pada 2 macam cara yang dibagi kepada generasi muda yaitu :
52
a. Pembagian sebelum generasi tua meninggal
Yang dimaksud generasi tua disini ialah bapak dan ibu dari
generasi muda tersebut. Pembagian sebelum generasi tua meninggal
dilakukan atas persetujuan antara suami dan istri. Bisa juga suami
melakukan itu tanpa persetujuan isterinya. Pihak generasi muda (anak
anaknya) hanya menerima saja pembagian yang dikehendaki oleh ayah
bunda mereka. Cara demikian hanya dilakukan dalam lingkungan
keluarga mereka sendiri, tanpa dihadiri dari pihak luar manapun baik
dari petugas KUA maupun dari pihak Desa.
Harta kekayaan warisan tersebut dibagikan sama rata kepada
anak-anaknya, pembagian ini tidak melihat jenis kelamin misalnya anak
laki-laki mendapat satu sedangkan perempuan mendapat setengahnya.
Bila pembagian tersebut sudah ditentukan jumlah besar dan banyaknya
harta warisan, maka kemudian dibuatkan dan diuruskan surat-suratnya
yang sah pada pamong desa atau depan notaris.
Apabila terdapat dari generasi muda (salah satu anaknya)
meninggal, maka pembagian anak-anak lainnya tetap disesuaikan atas
keputusan orang tua. Lalu ketentuan tersebut diuruskan surat-suratnya
yang sah pada pamong desa atau depan notaris.
b. Pembagian sesudah generasi tua meninggal
Pembagian warisan sesudah generasi tua meninggal, dilakukan
apabila kedua orang tua ibu dan bapak dari waris setelah meninggal.
53
Kalau ibu saja yang meninggal, pembagian belum bisa dilakukan.
Apabila bapak saja yang meninggal sedangkan ibu masih hidup, hak
kekuasaan atas semua hmta jatuh kepada ibu (istrinya), dan ini yang
mengatur segala sesuatunya mengenai harta kekayaan suaminya yang
meninggal itu.
Sang ibu selanjutnya mengurus untuk keperluan bagi anak
anaknya san1pai ada ketentuan pembagimmya, apakah warisan
suaminya tersebut akan dibagikan kepada anak-anaknya menurut cara
pertama diatas, apabila tidak demikian maka pembagimmya dilakukan
dengan cara kedua.
Cara kedua dilakukm1, melihat silsalah keturunan keluarga
(turun reki), apakah termasuk anak sulung, bungsu atau bontot. Anak
sulung atau pertama mendapatkan bagian warisan lebih besm· dari adik
adiknya, selmtjutnya anak ke-dua mendapatkan lebih kecil dari sulung
begitupun selanjutnya. Pembagian sepe1ti ini tidak melihat jenis apakah
laki-laki atau perempuan. Namun lebih ditekankan kepada aspek strata
keluarga.
Dalam ha! kedua orang tua meninggal dari ahli warisnya, maka
tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
dalam proses pembagian warisan. Tidak mustahil diantara mereka ada
yang serakah dalam mengambil bagiannya, tentu saja ingin mendapat
jatah lebih banyak dan besar dari yang lain.
54
Pada umumnya di adat Sunda, pembagian warisan dilaksanakan
secara damai dan musyawarah yang menghasilkan mufakat antara ahli
wai·is, setelah segala tanggungan dai·i orang yang meninggal, selesai
ditunaikan seperti melunasi hutang-hutangnya, biaya penguburan,
melaksanakan wasiatnya dan lain-lain. Biasanya pembagian tersebut
diatur oleh laki-laki yang tertua dari ahli waris sa111pai mendapatkan
persesuaian dai·i mereka. Tetapi bila tidak tercapai kesepakatan dala111
pembagian, maka dimintakan pertimbangan dan saran dari saudara
saudara pihak bapak a tau i bu.
Kalau dengan cara ini masih belum juga selesai, maka
dimintakan pertimbangan dan penyelesaian dari pihak KUA (Kantor
Urusan Aga111a) setempat. Di sm1 segala pertimbangan dan
penyelesaian dilakukan berdasarkan hukum Isla111 sesuai ketentuan
kitab faroid.
F. Asas-asas Hukum Kewarisan Adat Sunda
Pada prinsipnya hukum waris adat sunda memiliki asas yang
berpangkal dari sila-sila Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia
(way of life). Tetapi bukan semata-mata terdapat asas kerukunan dan asas
kesa111aan hak dalam pewarisan, na111un terdapat pula asas-asas hukum yang
terdiri dari :
55
1. Asas Ketuhanan
Asas ketuhanan ini adalah sila ketuhanan yang maha esa dengan
artian setiap orang, tiap anggota keluarga yang percaya dan taqwa kepada
Tuhan Maha Pencipta menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Bahwa rejeki dan kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimilikinya
adalah karunia tuhan.
Dalam pembagian warisan, menurut adat Sunda asas ketuhanan
sangat diutamakan mengingat, bahwa sesuatu yang ada di muka bumi ini
adalah milik Tuhan. Sebelum harta pusaka dibagikan kepada ahli waris,
hendaknya berlandaskan kepada ajaran-ajaran agama yang dianut olehnya
agar terhindar dari ·sifat keserakahan dan ingin menguasai harta.
2. Asas Kesamaan dan Kebersamaan Hak
Asas kesamaan hak dan kebersamaan hak disini adalah
kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan artian hak atas warisan yang
diperlukan secara adil dan bersifaat kemanusiaan baik dalam acara
pembagian maupun dalam cara pemanfaatannya dengan selalu
memperhatikan para waris yang hidupnya kekurangan.
Dengan asas tersebut, diharapkan dalam pembagian harta
peninggalan ( warisan) dapat sesuai po rs in ya. Dan tidak ada yang merasa
diuntungkan maupun dirugikan. Contoh, pada pembagian warisan sebelum
generasi tua meninggal, anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan
bagian yang setara atau sama rata. Sedangkan dalam pembagian warisan
56
setelah generasi tua meninggal, anak laki-laki dan anak perempuan
mendapatkan bagian sesuai dengan cara tersebut yakni melihat garis silsilah
keturunan.
3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan
Dengan sila persatuan ini dalam ruang lingkup yang kecil seperi
keluarga atau kerabat menetapkan kepentingan kekeluargan dan
kebersamaan sebagai kesatuan masyarakat kecil yang hidup rukun.
Kepentingan mempertahankan kerukunan kekeluargaan atau kekerabatan
selalu ditetapkan diatas kepentingan kebendaan perseorangan.
Demi persatuan dan kesatuan keluarga maka apabila seorang
pewaris wafat bukanlah tuntutan atas harta warisan yang harus segera
diselesaikan, melainkan bagaimana memelihara persatuan itu supaya tetap
rukun dan damai dengan adanya hruia warisan itu. Diharapkan dengan asas
kerukunan dan kekeluargaaan, berfungsi bagi proses pembagian waris agar
tidak memecah belah antar keluarga. Seperti anak laki-laki mgm
mendapatkan bagian lebih besar dari perempuan atau sebaliknya.
4. Asas Musyawru·ah dan Mufakat
Asas musyawarah dan mufakat menurut hukum waris adat
manisfestasinya berarti kesanak saudaraan pewaris yang terpelihara atas
dasar musyawarah mufakat para anggota keluarga. Artinya dalam mengatur
atau menyclesaikan harta warisan setiap anggota waris mempunyai rasa
tanggung jawab yang sama dan atau hak dan kewajiban yru1g sama
berdasarkan musyawarah mufakat bersama.
57
Asas tersebut berfungsi, mentolerir terjadinya kesenjangan antar
ahli waris dalam pembagian tirkah dari pewaris. Pada umumnya dalam adat
Sunda, kebanyakan lebih banyak memakai cara demikian yang diterima
masyarakat. Ketika cara pembagian sebelum dan sesudah generasi tua
meninggal, maka asas ini menjadi solusi akhir bagi tercapainya ahli waris
dalam mendapatkan bagiannya.
5. Asas Keadilan dan Parimirma
Dengan adanya rasa keadilan ini maka dalam hukum waris adat
tidak berarti membagi pemilikan atau pemakaian hmia warisan yang sama
jumlahnya atau nilainya, tetapi yang selaras dan sebanding dengan
kepentingan pemerataanya. Dan asas parimirma, di dalam hukum wm·is
adat, yaitu asas welas kasih terhadap para ahli waris, yang dikarenakan
keadaan, kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya, sehingga mendapatkan
hak dan bagian dari harta pusaka. 8
Asas keadilan ini mewakili dari tujuan adanya bagi waris. Antara
anak laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian sesuai hak dan
bagiannya. Seperti pembagian waris sebelum generasi tua meninggal,
generasi muda (anak-anak) menerima bagian yang dikehendak oleh orang
tua mereka. Begitu juga dalam pembagian setelah generasi tua meninggal,
anak laki-laki dan perempuan mendapatkan bagian yang ditetapkan oleh
orang tua mereka.
8. Ter Haar BZN, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Penerjemah K. Ng. Soebakti
Peosponoto (Jakarta, Pradnya Paramita, 1999), Cet. Ke-12, h.10.
BAB IV
ANALISA PERBANDINGAN HUKUM KEWARISAN ADAT SUNDA
DENGAN HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Persamaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan
Islam
1. Pengertian dan Istilah-istilah
a. Pengertian Hukum Kewarisan
Dalam pengertian hukum kewarisan baik hukum kewarisan adat
Sunda maupun hukum kewarisan Islam, secara umum sama, yakni
menerangkan bahwa kewarisan terjadi karena ada peristiwa hukum yang
sama, yaitu ada kematian seseorang yang meninggalkan harta waris dan
ahli waiis. Pembagian harta peninggalan tersebut kepada ahli warisnya,
dilakukan setelah ditunaikan kewajiban berupa penguburan mayat dan
penyelesaian hutang-hutangnya.
b. Istilah-istilah dalam Hukum Kewarisan
Istilah-istilah yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam dan
hukum adat Sunda pada dasarnya mempunyai arti yang sama, misalnya
pewaris, harta warisan, ahli waris, dan sebagainya.
, Istilah-istilah yang terdapat pada hukum kewarisan adat Sunda dan
hukum kewai'isan Islam yang membedakan adalah asal kata dari hukum
kewarisan Islam berasal dari bahasa Arab, sedangkan hukum kewarisan
59
adat sunda berasal dari bahasa Sunda. Dalam kewarisan Islam seperti
bapak (i.,il), kakek (4), bapaknya kakek (:i..,JI i.,il), kakeknya kakek (:i..,JI 4)
dll. Adapun dalam kewarisan adat Sunda terdapat istilah kolot (bapak),
embah (kakek) buyut (bapaknya kakek), beo (kakeknya kakek) di!.
2. Harta Warisan
a. Harta warisan
Dalam kewarisan Islam, pembagian harta warisan baru dapat
dilakukan kepada ahli waris setelah terlebih dahulu dilaksanakan empat
jenis pembayaran (kewajiban), yaitu :
1) Biaya-biaya pengurusan jenazah.
2) Hak-hak yang berkaitan dengan harta wans (zakat yang belum
dikeluarkan).
3) Hutang-hutang si pewaris ketika hidupnya.
4) Wasiat si pewaris.
Pengurusan jenazah sejak dimandikan sampai dimakamkan,
biayanya diambil dari harta peninggalan si pewaris dengan ketentuan tidak
berlebih-lebihan yang sesuai dengan ajaran Islam. Apabila dilakukan
karena tradisi atau adat setempat, maka tidak dibiayai dari harta
peninggalan pewaris. Setelah diambil untuk pengurusan jenazah dan
pembayaran zakat, sisa harta peninggalan dian1bil lagi untuk melunasi
hutang-hutang si mayat.
60
Apabila jumlab hutang melebihi dari jumlab harta peninggalan
maka pembayarannya dicukupkan dengan harta warisan yang ada.
Menurut Hadi Ramulyo, ahli waris tidak dibebani kewajiban menutup
kekurangannya dari harta mereka. Namun, jika abli waris menyanggupi
untuk menutupi kekurangannya, ha! demikian dipandang sebagai kebaikan
abli waris bukan merupakan kewajiban hukum.
Dalam hukum kewarisan adat Sunda berlaku suatu asas babwa
apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan
kewajiban hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hak
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang beralih kepada abli warisnya.
Dengan demikian, harta peninggalan si pewaris harus secepat mungkin
dibagi-bagikan kepada ahli warisnya. Kalau henclak dibiarkan untuk tidak
segera dibagikan, harus terlebih dahulu dengan persetujuan seluruh abli
waris. Dalam hukum kewarisan adat Sunda dijelaskan babwa biaya
penguburan mayat merupakan hutang preferent, yaitu dapat diclabulukan
pembayarannya dari harta warisan sebelum hutang-hutang lain clibayar.
3. Rukun, dan Syarat Mewarisi
a. Rukun atau unsur yang mewarisi
Dalam hukum kewarisan Islam maupun hukum kewarisan adat
Sunda keduanya memberikan penjelasan sama mengenai rukun atau unsur
mewarisi, yaitu :
61
I) Ada pewans, yaitu orang yang meninggalkan harta pusaka ketika
meningal dunia.
2) Ada ahli waris, yaitu orang yang berhak menerima warisan yakni
mereka yru1g mempunyai hubungan darah atau perkawinill1.
3) Ada harta warisan, yaitu harta peninggalan dari si pewaris.
b. Syarat mewarisi
Dalam hukum kewarisan adat Sunda ada dua ha! yang menjadi
syarat dalam mewarisi yakni : Pertama, pewru·is yang sudah meninggal
dunia. Kedua, ahli waris yang hendak mewarisi masih hidup atau ada saat
kematian si pewaris. Sedangkan menurut hukum kewarisan Islam, selain
dua syarat di atas ditan1bah lagi tidak ada penghalang untuk menerima
warisan.
4. Penghalang Atau Schab Tidak Menerima Warisan
Mengenai ha! ini pada prinsipnya sama, yaitu menurut hukum
kewarisan adat Sunda yang menjadi penghalang dalam mencrima warisan
adalah ahli waris yang dipersalahkill1 karena telah membunuh atau mencoba
membunuh, kemudian ahli waris yill1g telah menggelapkill1, memusnahkill1
atau memalsukan surat wasiat atau dengill1 memakai kekerasru1 atau ill1Camill1
telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat sesuai
kehendaknya. Selain itu juga ahli waris yang berpaling dari agama Islam
(murtad).
62
Sedangkan menurut hukum Islam yang menjadi penghalang atau sebab
tidak menerima warisan adalah ahli waris yang telah membunuh pewaris, ahli
waris yang berlainan agama dengan si pewaris, ahli waris yang keluar dari
agama Islam (murtad).
Titik persamaan dari kedua hukum kewarisan tersebut mengenai ahli
waris, adalah bersifat imparsial yang tidak membedakan dari pada asas
kesetaraan. Adapun hukum adat Minangkabau bersifat matrilineal, hukum
adat Batak bersifat patrilinial, sedangkan hukum adat Sunda dipakai kedua
duanya. Hal tersebut selaras dengan Islam, yakni kalau seseorang meninggal
dunia, maka ahli warisnya baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan
wansan.
B. Perbedaan Hukum Kewarisan Adat Sunda Dengan Hukum Kewarisan Islam
1. yumber Hukum Kewarisan
Sumber hukum kewarisan Islam adalah Quran dan Hadis yang
kebenarannya dijamin oleh Allah SWT, dan siapa pun tidak bisa meragukan
kedua hukum itu. Adapun hukum kewarisan adat Sunda juga bersumber dari
sumber kedua tersebut, yang nota bene mayoritas masyarakat Sunda
menganut agama Islam. Selain itu terdapat aturan yang sudah menjadi tradisi
setempat seperti pembagian turun reki {pembagian yang ditinjau dari silsilah
keluarga). Namun ha! terakhir ini merupakan buatan manusia yang amat
rentan sekali, sehingga terdapat kekurangan dan kesalahan. Menurut hukum
63
kewarisan adat Sunda, bahwa Islam adalah sebuah kepercayaan orang Sunda
yang dijadikan sebagai tradisi turun temurun.
2. Ahli Waris
Dalam hukum kewarisan Islam, seorang ahli waris dapat dan berhak
menerima warisan, apabila ia :
I) Sebagai ahli waris
2) Sudah ada dan hidup ketika pewaris meninggal dunia
3) Tidak terdapat penghalang kewarisan seperti membunuh
4) Tidak terhijab
Menerima dan menolak war1san menurut hukum kewarisan Islam
tidak terdapat aturan tentang tersebut, baik menerima secara murni atau pun
dengan syarat. Dalam kewarisan Islam, ahli waris yang dinyatakan
mendapatkan warisan dibedakan dalam tiga golongan, yaitu :
I) Ahli waris "Asha bu/ Furudh", yaitu ahli waris yang menerima bagian
yang besar kecilnya telah ditentukan dalam al-Qur'an seperti 1/2, 1/3 atau
116.
2) Ahli waris "Ashabah", yaitu bagian sisa setelah diberikan kepada ahli
waris ashabul furudh. Dengan kata lain, ashabah juga berarti mereka yang
berhak atas semua peninggalan bila tidak didapatkan seorang pun di antara
ashabul furud.
3) Ahli waris "Dzawil Arham", yaitu kekerabatan secara mutlak baik dari
pihak bapak maupun pihak ibu.
64
Sedangkan menurut kewarisan adat Sunda, ahli war1s yang
mendapatkan warisan di antaranya :
Generasi pertama : Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada
semua anak-anaknya.
Generasi kedua : Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada
orang tua, j ika yang meninggal itu tak meninggalkan
anak-anak.
Generasi ketiga : Semua harta benda kepunyaan pewaris diwariskan kepada
ahli waris kepada familinya sendiri jika orang tuanya
telah meninggal dunia.
Menurut hukum kewarisan adat Sunda terdapat dua bentuk sikap
dalam menerima warisan, yaitu menerima secara mumi dan menerima secara
bersyarat.
Ahli waris yang menerima dengan secara mumi berarti ahli war1s
tersebut menanggung kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan seperti
membayar hutang-hutang pewaris, melaksanakan wasiat. Karena ahli waris
telah menggantikan posisinya.
Sedangkan dalam penerimaan secara bersyarat yaitu seorang ahli waris
menerima harta warisan dengan mengajukan syarat, artinya ahli waris tersebut
hanya dapat melunasi hutang-hutang pewaris. Jadi, dalam menerima harta
warisan seseorang ahli waris mempunyai kebebasan untuk menentukan
sikapnya asal tidak akan merugikan dirinya.
65
3. Sebab Mewarisi
Menurut hukum kewarisan adat Sunda ada dua sebab menerima
warisan yaitu hubungan kerabat yang sedarah (semenda) dan hubw1gan
perkawinan. Sedangkan dalam hukum kewarisan Islam ada satu ha! lagi yang
menjadi sebab mewarisi, yakni yaitu al-wala, yakni kekerabatan yang timbul
karena membebaskan (memberikan) hak budak. Namun ha! tersebut pada saat
ini tidak ada karena sudah tidak relevan dalam konteks sekarang. Apabila
pewaris tersebut tidak meninggalkan ahli waris, maka harta peninggalannya
dimasukkan kedalam Baitulmal, kalau dalam adat SWldanya dinamakan
nunggul pinang atau kepunahan.
4. Bagian-bagian Ahli Waris
Dalam hal pembagian harta warisan, banyak perbedaan yang prinsipil
antara hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat Sunda. Menurut
hukW11 kewarisan Islam, laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari
perempuan (2; I), sedangkan menurut hukum kewarisan adat sunda, antara
laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan, semuanya mendapat sama rata
dalam pembagiannya (I; 1 ).
Kedudukan janda menurut hukum Islam berbeda dengan kedudukan
duda, sebab janda sebagai ahli waris dari mendiang suaminya memperoleh
seperdelapan (1/8) bagian dari harta pusaka jika terdapat anak. Apabila tidak
terdapat anak maka bagian janda mendapat seperempat (1/4) bagian dari harta
peninggalan.
66
Bagian suami, jika terdapat anak ia mendapat seperempat (1/4) dari
warisan, jika tidak terdapat anak ia mendapat setengah (1/2) bagian. Berbeda
dengan hukum kewarisan adat sunda yang menempatkan kedudukan janda
dan duda dalam posisi sama sebagai ahli waris dari yang meninggal.
Kedudukan datuk (kakek) dan nenek dengan saudara, menurut hukum
kewarisan adat Sunda bahwa kakek baik dari pihak ibu maupun dari pihak
bapak tersingkir oleh saudara, karena saudara termasuk golongan ke-II,
sedangkan kakek termasuk golongan ke-III. Selagi ada golongan ke-II, maka
golongan ke-III ( dalam hal ini kakek), tidak dapat tampil mewarisi harta
peninggalan.
Adapun menurut hukum kewarisan Islam, kalcek dan nenek sebagai
ahli waris berhak menerima warisan yang dibedakan menjadi :
a. Kakek dari pihak bapak (bapak dari bapalc dan seterusnya ).
b. Kakek dari pihak ibu (bapak dari ibu dan seterusnya).
c. Nenek baik pihak ibu maupun bapak.
Kakek dari pihak ibu dikategorikan sebagai dzawil arham yaitu,
keturunan keluarga perempuan yang tidak berhak mewarisi kecuali tidak ada
sama sekali dzawil furudh dan ashabah. Sedangkan nenek dapat mewarisi
menggantikan ibu seperenam (116) , dan berbagi sanm rata atas seperenam
(1/6) bila dua orang atau lebih dengan tidak membedakan nenek dari pihak
bapak atau dari pihak ibu.
67
C. Analisis Hulmm Antara Teori Dan Praktek
1. Pembahasan Teori
Di Indonesia dewasa ini terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang
berlaku bagi masyarakat yakni :
a. Sistem hukum kewarisan perdata barat ( eropa) yang tertuang dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW).
b. Sistem hukum kewarisan adat yang beraneka ragam yang dipengaruhi oleh
bentuk etnis.
c. Sistem hukum kewarisan Islam yang juga terdiri dari pluralisme ajaran dan
pemahaman.
Hukum kewarisan ini berlaku bagi orang-orang Indonesia yang beragama
Islam berdasarkan staatsblad 1854 nomor 129 yang diundangkan di negeri
Belanda dengan staatsblad 1855 no 2 di Indonesia. Dengan staatsblad 1929 nomor
221 yang telah diubah berdasarkan pasal 29 undang-undang dasar 1945 jo
ketetapan MPR nomor II/MPR/1983 Bab IV.
Menurut Hazairin di samping hukum perkawinan, hukum kewarisan
merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memiliki peranan sangat
penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang
berlaku dalam masyarakat tersebut1.
1 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qir'an dan Hadits, (Jakarta: Tinta mas, 198 l) h. l
69
2. Aspek Sosiologis
Di berbagai daerah, masyarakat menghendaki agar soal-soal
perkawinan dan harta kewarisan mereka diatur menurut hukum Islam.
Penghulu mengetuai suatu kelompok dalam masyarakatnya yang besuku-
suku, yang dalam ha! ini kedudukan adat sangat kuat. Namun walaupun
demikian masih terdapat ketentuan dan peraturan yang tegas bahwa adat dapat
berlaku bila bersandar kepada agama.
Dengan demikian ini merupakan kebalikan dari teori Receptie Snouck
Hurgronye tentang hubungan hukum adat dengan hukum Islam, yang ada
Receptio a contrario hukum adat berlaku kalau tidak betentangan dengan
hukum Islam4.
3. Aspek filosofis
Dalam Al Quran banyak menjelaskan mengenai filosofi makna-malma
dari kehidupan ini, begitu pula dengan hukum kewarisan yang sudah diatur
didalamnya. Secara ideal itulah suatu ketentuan Allah yang merupakan
keharusan (<las so lien) untuk ditaati yang kemudian dalam praktek kehidupan
masyarakat ( das sain).
4. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario (hubungan-hubungan hukum adat dengan hukum
Islam) (Jakarta, Academika, 1980) h, 7
70
2. Contoh Kasus Pembagian Warisan di Masyarakat
Untuk mengetahui bagaimana proses kasus atau contoh pembagian harta
warisan, dalam ha! ini lebih dikonsentrasikan di daerah Cibingbin, Kuningan,
Jawa Baral, penulis mengambil data dari sejumlah ahli waris yang telah
melakukan pembagian harta pusaka yang terdapat di Desa Cibingbin, Kuningan
mulai dari bulan Januari sampai Oktober 2007. Yang menjadi catatan di sini
yaitu data yang diambil adalah perkara bagi waris yang dapat terdeteksi dan
teridentifikasi. Artinya, yang akan dianalisis sebagai data dalam penelitian ini
adalah proses, dan hasil keputusan pembagiannya dalam praktik di masyarakat.
Apakah lebih cenderung memakai hukum kewarisan Islam ataukah adat Sunda
ketika menggunakan pilihan ( opsi) hukum tersebnt.
Alasan penulis mengambil analisa pembagian warisan adalah karena
pada umumnya praktek pembagian warisan pada keluarga sangat tertutup dan
ekslusif, para ahli waris tidak mau dipublikasikan karena bersifat private dan
internal keluarga, sehingga proses pencarian datanya memerlukan waktu untuk
dikaji. Di samping itu, mengingat sangat jarangnya orang meninggal yang
meajadi pewaris, sehingga akan sulit mencari data yang diharapkan. Mengenai
banyaknya kematian yang terjadi di Desa Cibingbin, Kecamatan Cibingbin
Kabupaten Kuningan dalam rentang waktu dari bulan Januari hingga Oktober
tahun 2007 dapat dilihat tabel berikut ini.
71
Nama Keterangan No Bulan Alam at Pembagian
Almarhum/ah Bagi Waris
I Januari - - - -2 Februari Rustam Efendi Blok Manis
Tidak Tertutup
Diketahui
3 Maret Juju Junaedi Blok Pahing Tidak
Tertutup Diketahui
4 April - - - -5 Mei - - - -
6 Juni Eddi Ruhaedi Blok
Diketahui Musyawarah
Kliwon Keluarga
7 Juli - - - -8 Agustus Y ayat Hidayat Blok Manis Diketahui
Musyawarah Keluarga
9 September - - - -10 Oktober - - - -
Jumlah 4 orang
Sumber: Laporan Bulanan Bagian Data/Arsip Desa Cibingbin, Kuningan Diambil Tanggal 15 Oktober 2007
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa perkara bagi waris yang diambil
jadi sample selama tahun 2007, tetapi karena dalam penelitian ini tidak
diprioritaskan melihat data per tahun, maka penulis tidak menyamaratakan
jumlah perkara dalam setiap tahunnya untuk dijadikan sampel. Penulis hanya
mengambil data yang ditemukan saja dan yang dapat mewakili perkara bagi
waris selan1a periode bulan Januari sampai Oktober tahun 2007.
Dalam label di atas, penulis membuat kolom "bulan" sebagai bukti
bahwa perkara-perkara tersebut terjadi di waktu itu. Kolom "nama
almarhum/ah" menerangkan tentang siapa yang menjadi pelaku pewaris. Kolom
72
"alamat" sebagai identitas dari mana yang meninggal berasal. Adapun kolom
"keterangan bagi waris" isinya berupa hasil observasi penulis dalam mencari
data dari ahli waris . Sedangkan kolom "pembagian" isinya adalah hasil final
putusan keluarga dalam upaya penyelesaian yang berkenaan dengan pembagian
harta warisan antara ahli waris.
Dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa sekalipun orang yang
meninggal bervariatif, terlihat dari subjek pewaris bukan hanya dari pihak laki
laki tetapi juga terdapat pihak perempuan. Sehingga dalam kajian hukumnya
dapat diselesaikan menurut cara yang disepakati dari ahli waris, selain jalur
yang ditetapkan dalam hukum kewarisan Islam yang tertuang dalam Al-Qur' an,
hukum positif (KHI), ahli waris kadang lebih leluasa memakai hukum adat
Sunda yang menjadi tradisi.
Meskipun pada kenyataannya dari 4 kasus hanya terdapat 2 kasus yang
dapat di ketahui dan diselesaikan prosesnya, tetapi ha! ini membuktikan bahwa
tidak setiap perkara bagi haiia wai·isai1 dapat diselesaikan dengan ketentuan
pembagiannya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 176-191 KHI, tetapi ada
alternatif pembagian lain dari ahli waris yakni melalui jalur musyawarah
mufakat keluarga.
Untuk lebih mengoptimalkan penelitian ini, selain menyuguhkan data
melalui label, penulis juga akan menganalisis beberapa hasil pembagian waris
yang sudah ditetapkan, untuk mengetahui sejauh mana implementasi di
73
masyarakat dalam pembagian harta pusaka. Apakah diselesaikan secara adat
atau memakai aturan Islam.
Untuk mempermudah dalam menganalisis hasil bagi warisan, maka dari
sejumlah data yang diperoleh dalam penelitian ini, penulis mengklasifikasikan
kasus pembagian warisan yang dapat diketahui prosesnya. Adapun klasifikasi
yang di maksud adalah sebagai berikut :
a. Kasus I
Dari beberapa kasus proses bagi war1s yang disebabkan
meninggalnya seseorang apakah laki-laki atau perempuan. Penulis
mengambil contoh dari almarhum laki-laki yang meninggal.
Bapak Eddy Ruhaedi bin Mahmud, umur 39, pekerjaan wiraswasta
meninggal pada hari Minggu tanggal 10 Juni 2007 akibat serangan jantung
yang dialaminya sejak dua tahun terakhir. Setelah menjalani beberapa kali
pengobatan, akhirnya ajal menjemputnya hingga jasad almarhum
dikebumikan di Taman Pemakaman Umum di daerah setempat.
Almarhum suami tinggal bersama keluarga di Blok Kaliwon, Desa
Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan. Ia telah menikah
dengan istri yang bernama Nunung Nmjannah pada bulan November tahun
1989. Selama perkawinan almarhum telah dikaruniai dua orang anak (satu
anak perempuan dan laki-laki) yang bernama : Lili Maulidatul Hasanah
berusia 16 tahun (lahir 17 Juni 1991), dan Fadli Bayyinusysyafaat berusia
enam tahun ( 15 Mei 1999). Selain itu, almarhum juga meninggalkan sanak
74
kerabatnya berjumlah empat saudara ( dua laki-laki dan perempuan).
Mereka itu adalah Bapak Warto, Ibu Ina, Ibu Hj Uni dan Bapak Waryo.
Selama 18 tahun perkawinan dengan Nunung Nurjannah, almarhum
memiliki dan meninggalkan harta peninggalan yang kalau dijumlahkan
totalnya Rp 40.000.000,-. Antara lain berupa :
I) Satu buah rumah berukuran 8x10 M2 No. 39 yang terletak di Blok
Kaliwon Rt. 0031002, Desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten
Kuningan. Rumah ini kalau ditaksir harganya sekitar Rp 20.000.000,-
2) Satu buah kios warung alat-alat besi berukuran 3x5 No. 55 yang terletak
di Pasar Poncol, Kelurahan Bungur Kecamatan Senen, Jakarta Pusat
yang kalau dihaTgakan senilai Rp 20.000.000,-
Pembagian warisan dilakukan setelah hutang-hutang si mayyit dan
seluruh perkara yang berkenaan dengan biaya pemakaman diberesin. Lalu
sisa harta peninggalannya yang kemudian menjadi duduk perkaranya
langsung dibagikan. Pembagian warisannya diselesaikan dengan
menggunakan cara adat atau tradisi keluarga yakni dengan sistem
musyawarah mufakat antar ahli waris/keluarga.
Dari hasil mufakat tersebut, disepakati dan diputuskan, sisa dari
harta peninggalan al mar hum berupa I buah rumah bernkuran 8x I 0 M2 dan
1 buah kios warung besi yang terletak di Jakarta, diberikan semua kepada 2
anak keturunannya yakni Lili Malulidatul Hasanah dan Fadli
Bayyinusysyafaat.
75
Harta pusaka tersebut berhak dimiliki kedua anak yang dibagi
keseluruhan sanm rata. Sedangkan ibu Nunung Nurjannah kedudukannya
sebagai janda (istri almarhum) dan ke 4 saudaranya, tidak mendapatkan apa
apa. Semua haiia warisan dilimpahkan untuk 2 anak untuk di jaga dan
dikelola.
Namun berhubung posisi 2 anaknya sedang dalam masa
pertumbuhan yakni yakni Lili Malulidatul Hasanah, berusia 16 tahun yang
sedang dalam tahap pendidikan di SMA dan Fadli Bayyinusysyafaat masih
berusia 6 tahun yang baru duduk di kelas 2 SD. Sementara posisi janda
mendiang hanya numpang sementara atau ikut sama ke-2 anaknya sampai
merawat mereka hingga dewasa. Bahkan kalau istri alamai·hum menikah
lagi dengan orang lain, dia tetap harus tinggal dengan mereka dan tetap
merawat rumah dan usaha kiosnya sampai posisi anak-anak dewasa atau
berkeluarga.
Pembagian harta wansan dengan cara tersebut sudah menjadi
kesepakatan keluarga, dan yang paling utama ha! demikian pula sudah
menjadi ketetapan tradisi dan keumuman setempat. Seperti dalam tertib
parental ( susunan pertalian menurut garis ayah maupun ibu) yang berlaku di
adat Sunda, kedua anak tersebut termasuk kategori generasi pertama yang
berhak mendapatkan warisan.
Dari hasil pembagian tersebut, menurut ibu Nunung Nurjannah
(selaku istri almarhum) dianggap tidak adil, karena kalau memakai cara
76
pembagian hukum Islan1 atau syariah tentu ia dapat bagian dari warisan.
Tetapi, akhirnya bagaimanapun dia harus terima dan ikhlas dengan hasil
kesepakatan keluarga. Hal ini dicapai untuk menghindari agar tidak
terjadinya keributan dan sengketa/konflik keluarga khususnya dari pihak
keluarga almarhum. Makanya diambil jalan tengah seperti pembagian
menggunakan cara di alas.
Namun kalau pembagian waris tersebut menggunakan hukum Islam
(faroidl) atau yang sesuai dengan aturan KHI, tentu sangat berbeda bahkan
j auh dari hasil apa yang disebut diatas. Seperti dalarn Pasal 17 6-191 KHI
tentang pembagian masing-masing ahli waris, posisi ibu Nunung sebagai
janda (istri almarhum) mendapatkan seperdelapan (1/8) dari harta
peninggalan, Fadli Bayyinusysyafaat sebagai anak laki-laki mendapat
duapertiga (2/3) dan Lili MH yang merupakan anak perempuan mendapat
sepertiga (1/3) dari harta. Adapun saudara-saudara seibu-sebapak dari
almarhum tidak mendapatkan harta karena terhalang (mahjub) dengan
adanya anak.
Istri = 1/8 = 3/24
Anak (lk) = } 2/3 2;1=3<
1/3
- 16/24
Anak (pr) = 8/24
27/24
2 sdr (lk)
2 sdr (lk) : } Mahjub/terhalang
77
Untuk menghindari seperti ini maka secara adil ditempuh memaki
sistem "aul" yakni menyamakan antara jumlah pembilang (24) dengan
penyebut (27) menjadi 27, berarti menjadi 27 /27. maka pembagian warisan
tersebut adalah :
Istri = 1/8 = 3/27 x Rp. 40.000.000,- = Rp. 4.400.000,-
Anak (lk) =} 2/3 16/27 x Rp. 40.000.000,- = Rp. 23.700.000,-2·I=3 \
Anak (pr) = ' 1/3 = 8/27 x Rp. 40.000.000,- = Rp. 11.800.000,-
Analisis Praktek
Dalam kasus ini, penulis melihat bahwa pe1masalahan harta warisan
berbeda dengan harta bersama atau gono gini yang diperebutkan bila terjadi
perceraian. Harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh almarhum
yang dibagikan dan diperuntukkan kepada ahli waris.
Dalam prosesnya, penulis menilai bahwa pembagian yang dilakukan
oleh keluarga melalui kesepakatan secara mufakat tanpa dihadiri oleh
kyai/tokoh dan aparat desa . Selain sudah menjadi adat dan tradisi setempat,
musyawarah ini dipakai untuk menghindari keributan atau konflik keluarga
akibat warisan.
Dari pengamatan penulis, pelaksanaan mufakat ini dilakukan
sepihak, tidak dipertanyakan kepada salah satu ahli waris yakni sang janda
(istri almarhum) cara atau hukum apa yang akan digunakan. I-Ianya dari
pihak keluarga almarhumlah yang paling ngotot untuk memakai cara
78
mufakat. Karena pada dasarnya, sang janda pun dalam kenyataannya ingin
mendapatkan bagian dari harta peninggalan almaThum.
Memang haiia peninggalan tersebut tidak begitu banyak tapi ha! ini
bukan tanpa alasan, mengingat semasa hidupnya almarhum, sang istri telah
bekerja sama dalam mengumpulkan dan merawat haiia. Hingga pada
akhirnya hak bagian istri harus terhapus dengan hasil keputusai1 mufakat
keluarga.
Penulis mencatat ada beberapa catatan dari proses pembagian
terse but, pertama, hak janda (isteri almarhum) tergadaikan dengan memakai
hukum secara adat yang otomatis tidak mendapatkan hak bagiannya. Kedua,
-tidak ada istilah bekas anak- dalam ha! ini posisi janda kalau memang
mengedepankan ego dan kepentingan pribadi, bisa saja tidak mau mengurus
ke-2 anaknya yang masih dalam tahap pe1iumbuhan, mengingat tidak
mendapatkan harta warisan. Tapi ibu Nunung Jebih mengutamakan
kepentingan masa depan anak-anaknya, sehingga menerima apapun
keputusan dari hasil mufakat keluarga, ia juga bersedia merawat dan
mengelola harta warisan almarhum, meskipun dengan bahasa kasarnya -
menumpang- pada ke-2 anaknya.
Penulis membllildingkan, kalau saja perkara tersebut diselesaikan
menurut ilmu Faroidl (hukum Islam) otomatis akan berbeda jauh hasilnya.
Karena kedudukan istri masuk pada kategori Furudl Al- Muqaddaroh sesuai
yang ditentukan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Pasal 176-191 KHI juga
79
disebutkan, posisi isteri mendapat seperdelapan (1/8) dari harta pusaka
apabila terdapat anak.
Hemat penulis, ini menandakan hak pilih ( opsi) dalam pengambilan
hukum dalam pembagian waris diatas tidak diprioritaskan. Hak opsi hukum
akan dilakukan bila keputusan hasil mufakat keluarga tersebut tidak
diterima dan dijalankan oleh para ahli waris. Dengan kata lain hukwn Islam
menjadi "second line" atau pilihan kedua oleh masyarakat dalam
menentukan bagi waris memakai hukum Islam.
Dengan demikian dari perkara diatas, penulis menilai pembagian
yang berlangsung tersebut lebih mengedepankan aspek prinsip-prinsip
keadilan demi menjaga keutuhan ikatan keluarga. Mungkin dengan cara
seperti itu diyakini mengandung maslahat lebih baik.
b. Kasus II
Almarhum yang bemama Yayat Hidayat bin Abdul Hakim, usia 55
tahun, pekerjaan wiraswasta wafat pada hari Kamis, 20 Agustus 2007 di
rumah kediaman akibat gejala penyakit tipes yang barn dideritanya selama 6
bulan terakhir. Beliau tinggal bersarna keluarga di Blok Manis, Desa
Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan. Ia telah menikah
dengan istri yang bernama Ida Nuraida pada bulan April tahun 1969.
Selama perkawinan almarhum telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak (1
anak laki-laki dan 2 anak perempuan) yang bernama : Anang Rohmana
berusia 37 tahun (lahir I 0 Mei 1970), Dewi Rahmawati berusia 27 tahun
80
(lahir 15 September 1980), dan Ita Purnamasari yang berusia 20 tahun (lahir
13 Maret 1990). Selain itu, almarhum juga meninggalkan isteri tercinta Ida
Nuraida se1ia seorang kakek berusia 70 tahun bemama Abdul Hakim.
Selama 38 tahun perkawinan, almarhum bekerja mencari nafkah
hingga akhirnya memiliki dan meninggalkan harta pusaka yang kalau
dijumlahkan totalnya Rp 72.000.000,-. Antara lain berupa :
I. Satu buah rumah berukuran I Ox 10 M2 No. 21 yang terletak di Blok
manis Rt. 005/002, Desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten
Kuningan. Rumah ini kalau ditaksir harganya sekitar Rp 35.000.000,-
2. Satu bidang tanah berukuran 400 M2 yang terletak persis di samping
rumah kediaman almarhum. Apabila dinilai sebanding dengan harga Rp
15.000.000,-
3. Satu buah kios warung nasi berukuran 5xl0 No. 06 yang terletak di
Pasar Cibingbin, Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan yang kalau
dihitung sejumlah Rp 10.000.000,-
4. Satu unit motor merk Honda Supra tahun 2005 wama hitam No. Pol. E
5158 YD atas nama Yayat Hidayat No. Rangka : MHl-KEV 414 K
359622, No Mesin KEV 41360075. Kalau dinominalkan senilai dengan
Rp 12.000.000,-
Pembagian warisan tidak langsung dilakukan, ada jeda <lulu untuk
masa berkabung selama 2 bulan. Barn kemudian setelah biaya pemakaman
dan hutang-hutang almarhum heres lalu sisa harta peninggalan langsung
81
dibagikan. Seluruh keluarga sepakat dalam cara dan proses pembagiannya
diselesaikan dengan menggunakan adat Sunda atau tradisi keluarga yakni
dengan sistem musyawarah mufakat antar ahli waris/keluarga.
Dari hasil mufakat tersebut, telah disepakati keputusan, sisa dari
harta peninggalan almarhum berupa I buah rumah berukuran 8x!O M2, I
bidang tanah kosong (kebun) berukuran 400 M2 yang terletak persis di
samping rumah kediaman almarhum, I buah wanmg nasi berukuran Sx!O
yang terletak di pasar, dan I unit sepeda motor merk Honda tahun 2005
diberikan semua kepada 3 anak ketunmannya yakni Anang Rohmana, Dewi
Rahmawati dan lta Purnamasari.
Harta pusaka tersebut berhak dimiliki ke-3 anak yang dibagi
keseluruhan san1a rata. Antara lain, Anang Rohmana mendapat 1 buah
warung nasi dan sepeda motor, Dewi Rahmawati mendapat 1 bidang tanah
kosong (kebun) berukuran 400 M2 dan !ta Purnamasari mendapat rumah.
_ Ibu Ida Nuraida yang kedudukannya sebagai janda (istri almarhum)
dan bapak Abdul Hakim selaku kakek, tidak mendapatkan apa-apa dari
bagian harta warisan. Semua harta warisan dilimpahkan untuk 3 anak untuk
di jaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. kemudian posisi janda
(isteri almarhum) dan kakek menjadi tanggungan ke 3 anak tersebut. _
Pembagian harta warisan dengan cara tersebut sudah menjadi
kesepakatan keluarga, ha! demikian dipakai lagi-lagi karena sudah menjadi
kebiasaan adat di Sunda dan tradisi disanai Sama seperti kasus pertama,
82
dalam tertib parental (susunan pertalian menurut garis ayah maupun ibu)
yang berlaku di adat Sunda, kedua anak tersebut termasuk kategori generasi
pertama yang berhak mendapatkan warisan. Hal ini dicapai untuk
menghindari agar tidak terjadinya keributan dan sengketa/konflik keluarga
antar ahli waris. Makanya diambil jalan tengah seperti pembagian
menggunakan cara diatas.
/ Kesepakatan tersebut hampir disetujui oleh semua ahli waris, tidak
ada yang mempermasalahkan, sehingga kedepan tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan seperti iri dengki, gugatan harta warisan di!. Musyawarah
ini berjalan lancar walau tidak melibatkan kyai, tokoh atau aparat desa. -
- Berbeda hasilnya kalau pembagian waris tersebut menggunakan
hukum Islam (faroidl), atau yang sesuai dengan aturan KHI, tentu sangat
tidak sama bahkan jauh dari basil apa yang disebut diatas. Seperti dalam
Bab III Pasal 176-191 KHI tentang pembagian masing-masing ahli waris,
posisi ibu Aida sebagai janda (istri almarhum) mendapatkan seperdelapan
(1/8) dari haiia peninggalan, bapak Abdul Hakim kedudukan sebagai kakek
mendapat seperenam (1/6) harta, Anang Rohmana sebagai anak kandung
laki-laki pertama mendapat duaperempat (2/4) dan masing-masing Dewi dan
!ta yang merupakan anak pererl).puan mendapat seperempat (1/4) dari harta
pus aka.
Adapun perincian berapa bagian masing-masing, seperti diuraikan
berikut:
83
Istri = 1/8 = 3/24 x 72.000.000 = Rp. 9.000.000,-
Kakek = 1/6 = 4/24 x 72.000.000 = Rp. 12.000.000,-+ Rp. 21.000.000,-
Karena bagian istri dan kakek sudah ditemukan, lain jumlah harta
peninggalan dikurangi jumlah dari istri dan kakek. Maka sisa Rp.
72.000.000 - Rp. 21.000.000,- = Rp. 51.000.000,-. Melihat posisi laki laki
(2;1), maka bagian 1 anak laki-laki dan 2 anak perempuan adalah (2; 1+1)=
4. Maka:
I Anak (lk) = 2/4 x 51.000.000 = Rp. 25.500.000
2 Anak (pr) = 2/4 x 51.000.000 = Rp. 25.500.000: 2 =@Rp. 12.750.000
Dengan demikian bila memakai ilmu faroidl dari tiap ahli waris
mendapatkan bagiannya. Janda mendapat Rp. 9.000.000,- Kakek mendapat
Rp. 12.000.000,- Anang mendapat Rp. 25.500.000 Dewi dan Ita masing-
masing mendapat Rp. 12.750.000.- -
Analisis Praktek
Pada perkara tersebut, penulis melihat bahwa proses pembagian
warisan yang dilakukan benar-benar sudah disiapkan sejak almarhum
meninggal, maksudnya jangan sampai ketika musyawarah berlangsung
terjadi emosi atau pikiran tak terkendali gara gara berebut harta
peninggalan.
Melihat kasus ini, penulis sedikit Jega karena dari proses
pembagiannya tidak ada unsur-unsur keterpaksaan dari ahli waris tentang
hukum mana yang dipakai. Maksudnya tidak ada pihak yang merasa
84
dirugikan baik dari istri almarhum, kakek bahkan anak-anaknya. Semua abli
waris legowo dan menerima dengan keputusan mufakat tersebut. Hal ini
memang dalan1 keluarga almarhum sangat mengutarnakan kerukunan
keluarga, ibarat kata berapapun harta pasti kan dibeli demi terjaganya
harmonisasi keluarga.
Dari pengamatan penulis, musyawarab tersebut dihadiri oleh semua
kerabat keluarga dan tidak mendatangkan dari kyai/ularna atau aparat desa.
Namun pelaksanaan ini berjalan lancar dalam suasana akrab keluarga.
Sehingga gejolak-gejolak yang timbul kedepan akibat pembagian waris
dapat diantisipasi gejalanya.
Pada dasarnya, tiap abli war1s mengetahui bagian-bagiannya
terutarna laki-laki, mengingat porsinya setengab lebih besar dari perempuan
(2;1). Walaupun harta peninggalannya tidak begitu banyak, tapi namanya
fitrah manusia tetap saja ingin meguasai bagiannya dan mendapatkan paling
besar. Tapi ha! tersebut tidak terdetik di pikiran ahli waris, dan prosesnya
dilakukan sesuai kebersarnaan.
Apabila dilihat dalam pasal 176-191 KHI, posisi isteri, kakek dan
anak-anaknya mendapat bagian dari harta pusaka, mengingat semua abli
waris tersebut dalam hukum Islam pun sudah jelas ketentuannya masuk
dalam kategori Furud\ Al- Muqaddaroh.
Hemat penulis, ini menandakan hak pilih ( opsi) dalam pengambilan
hukum dalam pembagian waris di atas tidak diutamakan. Hak opsi akan
85
dilakukan bila keputusan basil mufakat kelauarga tersebut tidak dapat
dijalankan.
Dari contoh 2 perkara di atas, penulis melihat bahwa masalah harta
warisan yang terjadi di masyarakat tidak terlalu bergejolak. Masyarakat
sendiri sudah mampu menyelesaikan urusannya tanpa dibantu oleh orang
lain yang dalam hal ini kyai/ulama, tokoh atau aparat pemerintah.
Tentang hak pilihan ( opsi) hukum yang digunakan, penulis
mnyimpulkan sebetulnya semua ahli waris mengetahui dan paham tentang
pembagian yang tertulis dalam Faroidl, namun masyarakat lebih cenderung
memakai musyawarah mufakat keluarga yang sudah menjadi tradisi atau ·
sering kali disebut sebagai adat.
Hampir dari seluruh pennasalahan bagi waris, dapat diselesaikan
dengan jalan damai. Tidak ada perkara yang sampai ke pengadilan,
semuanya dapat diselesaikan di tingkatan keluarga. Paling kalaupun sampai
berlarut-larut tidak kunjung selesai, kyai/ulama, tokoh dan aparat
pemerintah mampu mencarikan solusi akhir dari sengeketa warisan tersebut.
3. Analisa Perbandingan Hukum dalam Teori dan Praktek
Apabila ditarik benang merah antara kajian hukum secara teoritis (law in
book) dengan kajian hukum dalam tataran praktis (law in action) mengenai
permasalahan pembagian harta warisan, banyak hal yang harus dicatat untuk
dapat menjawab rumusan masalah bagaimana tinjauan atau perspektif hukum
kewarisan Islam terhadap hukum yang berlaku di adat Sunda.
86
Dalam Bab terdahulu telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan dan
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan kepada setiap
yang berhak. Dalam Islam istilah ini sering disebut Fiqh Mawarits atau Faroidl.
Dalam KHI Pasal 171 ayat a juga dijelaskan hukum kewarisan yaitu : "Hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa siapa yang berhak dan berapa bagiannya msing
masmg.
Adapun dari pengertian adat Sunda, hukum kewarisan hampir tidak jauh
beda pengertiannya dengan menurut Islam dan KHI, yaitu peraturan hukum
yang mengatur pemindahan hak milik barang-barang atau harta benda dari
generasi tua (mayit/almarhum) kepada generasi muda (ahli waris) yang masih
hidup baik dari bapak kepada anak, anak kepada cucu dan seterusnya.
Berbicara kewarisan tidak lepas dari faktor-faktor yang berkenaan dengan
warisan, seperti rukun, syarat, sebab, asas dan bagiannya. Semuanya sudah
tersurat dan tersirat secara jelas dalam hukum waris Islam dan adat Sunda.
Dalan1 prakteknya di masyarakat, ketentuan dari kedua cara pembagian
warisan masih digunakan dalam penyelesaiannya oleh ahli waris. Dari beberapa
perkara yang disajikan sebagai contoh, dapat diketalrni bahwa memang
keberadaan dan eksistensi antara hukum kewarisan Islam clan hukum kewarisan
aclat Sunda khususnya claerah Kuningan masih berjalan beriringan, namun
87
dalam pemakaian hukum lebih dikedepankan secara musyawarab keluarga yang
dijadikan tradisi dan adat setempat walau pun tidak sesuai dengan hukum Islam.
Hal ini menurut penulis bukan suatu problem, karena antar keduanya
terdapat asas dan prinsip yang sama, meskipun dalam pembagiannya sangat
mencolok, yakni dalam Islam pembagiannya 2;1 sedangkan di adat Sunda
sebaliknya I; I. Masyarakat melihat aspek maslabat dan kepentingan kedepan,
agar keluarga tidak terpecah dan terjadinya sengketa keluarga akibat warisan.
Hal ini didukung dari hasil wawancara dengan para ahli waris, tokoh/ulama dan
aparat pemerintahan yang mengemukakan bahwa pembagian harta warisan
bersifat fleksibel. Dalam sistem kewarisan yang berlaku di Indonesia, memang
ha! demikian dilegalkan selama memang tidak menyimpang dari jalur hukum
dan agama. Pada pasal 183 KHI menyebutkan "para abli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing
menyadari bagiannya".
Dengan demikian, ketentuan pembagian harta warisan bukan merupakan
sesuatu yang tetap dan baku, masyarakat khususnya adat sunda dapat memilab
dan memilih cara bagaimana dalam penyelesaian pembagiannya.
A. KESIMPULAN
BABV
PENUTUP
Setelah melakukan penelitian dengan kajian dari berbagai sumber, penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hukum kewarisan Adat Sunda dan hukum kewaristm Islam pada prinsipnya
sama. Persamaaan dan perbedaan yang mendasar dari kedua sistem hukum
tersebut terletak pada pengertian, proses terjadinya kewa.risan, sumber, rukun,
syarat, sebab-sebab dan penghalang yang mewarisi serta asas-asas terjadinya
kewarisan.
2. Pada prakteknya di masyarakat, hukum kewarisan Islam dan kewarisan adat
Sunda tetap dilestarikan dan masih dipakai bahkan berlangsw1g hingga kini.
Bagi setiap orang Islam hendaknya berpegang teguh kepada prinsip hukum
kewarisan Islam, karena sudah merupakan komitmen bagi setiap pemeluk
agama Islam yang berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Adapun bagi
masyarakat Sunda yang tetap memakai ketentuan sesuai adatnya dalam ha!
pembagian warisan, diperkenankan. Mengingat pada prinsip dan substansinya
terdapat kesamaan yang tidak jauh berbeda.
3. Mengenai pemakaian hak opsi (memilih) dalam pembagian kewarisan, tidak
ada aturan yang mengharuskan seseorang memakai sistem hukum mana dalam
penyelesaian perkara warisan. Pada umumnya di adat Sunda, pembagian
89
warisan dilaksanakan secara damai dan musyawarah yang menghasilkan
mufakat antara ahli waris, setelah segala tanggungan dari orang yang
meninggal, selesai ditunaikan seperti melunasi hutang-hutangnya, biaya
penguburan, melaksanakan wasiatnya dan lain-lain.
Kesimpulan di alas merupakan jawaban dari rumusan permasalahan
yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini. Sekalipun dalam prosesnya
banyak kendala yang dihadapi. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan
dalam bentuk skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis, umumnya
bagi siapa saja yang haus akan ilmu pengetahuan.
B. REKOMENDASIATAUSARAN
Dengan penulisan skripsi ini, penulis dapat mengetahui perbandingan
antara Hukum Kewarisan Adat Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam di Desa
Cibingbin Kecamatan Cibingbin Kabupaten Kuningan, Jawa Baral. Adapun saran
untuk kedepan dari penelitian ini adalah :
I. Hendaknya setiap orang Islam berpegang teguh kepada prms1p hukum
kewarisan Islam, karena sudah merupakan komitmen bagi setiap pemeluk
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits.
2. Hendaknya para hakim Pengadilan Agama dan Negeri maupun para tokoh
masyarakat (kyai) yang memiliki interpretasi, harus sejalan dalam penerapan
suatu aturan hukum mengenai ketentuan hukum kewarisan dalam KHI dan
hukum adat. Sehingga dalam menangani kasus pembagian warisan, tidak
90
terjadi perbedaan di antara tafsiran masyarakat yang berakibat pada timbul
ketidakpastian hukum.
3. Kepada pemerintah Indonesia hendaknya segera membentuk dan melegitimasi
undang-undang pokok mengenai kewarisan yang berlaku untuk seluruh rakyat
Indonesia seperti ha! Undang-undang No I tahun J 974 tentang perkawinan.
Agar penetapan hukum bersumber kepada satu sumber hukum yang tertata
rapi dan tidak terkotak-kotakan oleh aliran lainnya.
4. Hendaknya ketentuan mengenai harta warisan dalam KHI dapat
disosialisasikai1 oleh para praktisi hukum Islam dan para ulama kepada
masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengetahui pembagian harta warisan
tersebut. Bagi yang ingin melaksanakan peraturan dan ketentuan sesuai adat,
hendaknya dilestarikan sebaik mungkin yang tetap dalam koridor tatanan
hukum nasional, mengingat ini merupakan bagian dari keanekaragaman
budaya bangsa Indonesia.
5. Hendaknya masyarakat memahami bahwa masalah harta warisan dalain
perkawinan sebaiknya dituai1gkan dalam bentuk surat perjanjian dan
dibuatkan bukti kepemilikannya, agar ketika terjadi proses kematian di
kemudian hari, masalah harta harta pusaka ini dapat diselesaikan dengan
segera yang tidak menimbulkan konflik.
DAFT AR PUST AKA
Al-Quran al-Karim.
Abdulllah, Abdul Gani, Dalam Sepuluh Tahun Undang-undang Peradilan Agama, Jakarta, Ditbinpera, 1999.
91
Abdulah, Amin, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, Cet. Ke-I.
Al-Bukhari, Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, Beirut, Dami Fikr, 1981,juz 8.
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam : Pengantar llmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-4.
________ , Hukum Islam Peradilan Agama dan Masalahnya, dalam, Hukum Islam Di Indonesia; Pemikiran dan Praktik, Bandung; Rosdakarya, 1991.
Allen, C.K, Law in the Making, Oxford, The Clanrendon Press, 1957.
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Hukum Warisan Dalam Syariat Islam (terjemah), Bandung, CV. Diponegoro, 1988.
Al-Siba'i, Mustafa Husni, Kehidupan Sosial Menurut Islam, Bandung, Diponegoro, 1981.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Fiqhul Mawaris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973), Cet. Ke- I.
-----, Tengku Muhammad Hasby, Fiqh Mawarit, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999, Cet. Ke- I.
Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004, Cet. Ke-4.
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Binacipta, 1976.
Bisri, Cik Hasan, Pilar-pilar Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakai1a, Raja Grafindo Persada, 2004.
92
Chambliss dan Seidman. Law, Order, and Power Reading, Massachusetts, AddisaonWesley Publishing Company, 1971.
Darhan, Adaby dan Wahid, Abdul, Antara Saung, Warung, dan Tajug: Transformasi Ekonomi dan Prilaku Agama Komunitas Pedagang Di Cibingbin, Jawa Barat, Jogjakarta, Lembaga Penelitian UGM, 2004.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, Surabaya, Mekar Jaya, 2004.
Dinas Pariwisata Daerah, Sejarah Ringkas Kabupaten Daerah TK. II Kuningan, Kuningan, 2000.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1991, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Inpres No 1Tahun1991Pasal171 (a).
Hadikusuma, Hilman, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi: Hukum Kekeluargaan, Perkawinan, dan Pewarisan, Bandung, PT Citra Adtya Bhakti, 1993.
________ ,, Hukum Waris Adat, Bandung, Alumni, 1983, Cet. Ke-2.
Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No 7 Tahun 1989, Jakarta, Pustaka Kartini, 1997.
Hardjawijaya J Prof, SH. Hukum Perdata, Buku kesatu tentang perorangan dan hukum keluarga, Malang, PHPM Unibraw, 1979.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur'an dan Hadits, Jakarta, Tinta Mas, 1967, Cet. Ke-4.
, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur'an dan Hadits, Jakarta, Tinta ---· Mas, 1981.
lbnu Hajjaj, Al-Imam Abi Husain Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Darul Fikr, Juz II, t.th.
Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat, dan Hukum Islam (Jakatia, Bulan Bintang, 1978), Cet.Ke-1.
Jaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya, Bina Ilmu, 1995.
K.M, Saini, Adat lstiadat Daerah Jawa Barat, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980.
93
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakatia, Djan1batan, 1979, Cet. Ke-4.
Kosoh S, dkk, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta, Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Sejarah nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Dirjen Kebudayaan, Depdikbud, 1994, Cet. Ke-2.
Kusumaatmadja, Mochtar, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung, Binacipta, 1986.
Ma'arif, Ahmad Syafi'i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3S, 1996, Cet. Ke-I.
Ma'luf, Luwis, Al-Murifidfi al Lughoti Wa al'Alam, Beirut, Darul Masyriq, 1984, Cet. Ke-27.
M. Zain, Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyyah, Jakarta, Kencana, 2004, Cet. Ke-1.
Nuruddin, Amiur, dan Akmal Tarigan, Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 111974 sampai KHl, Jakarta, Prenada Media, 2004.
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat, Jakarta, Depdikbud, 1979.
Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, Keputusan Seminar Hukum Waris Islam, tanggal 5-8 April 1982, Cisarua, Bogor, Jakarta, Depag RI.
Qamaruddin, dkk, Saleh, Asbabun Nuzul, Bandung, Diponegoro, 1975.
Rafiq, Alunad, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT Raja Grafindo, 1995, Cet. Ke-2.
_____ , Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Rahardjo, Satjipto, !!mu Hukum, Bandung, Alumni, 1981.
Ralunan, Fatchur, !!mu Waris, Bandung, PT. Al Ma'arif, 1987.
94
Ramulyo, M. Idris, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Ind. Hill, 1998.
------, Hukum Kewarisan Islam, Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi'i (patrilinial) dan Hazairin (bilateral) praktek di PA dan KUHPer (BW), Jakarta, Ind. Hill, 1987.
______ , Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Di Pengadilan Agama Dan Kewarisan Menurut KUHPer (BW) di Pengadilan Negeri (suatu studi kasus), Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1992, Cet. Ke-I.
Rosyidi, Ajip, Kesusastraan Sunda Dewasa lni, Cirebon, 1966, t.p.
Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah, Beirnt, Darul Fikr, 1983, Cet. Ke-4.
Sadikin, !kin, Tanya Jawab Hukum Keluarga dan Waris, Bandung, Armico, 1982.
Sinzhemer, Hugo, De Taak der Rechtssociologie, Haarlem, 1935, t.p.
Sirry, Abdul Mun'im, Sejarah Fiqh Islam; Sebuah Pengantar, Surabaya; Risalah Gusti, 1995.
Sitompul, Anwar, Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam, Bandung, Armico, 1984.
Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2003, Cet. Ke-5.
Syaltut, Mahmud, Islam, Aqidah Dan Syariah, Jakarta, Pustaka Amani, 1986.
Thalib, Sayuti, Receptio a Contrario (Hubungan-Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam), Jakarta, Academika, 1980.
Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 1981, Cet. Ke!.
Ter Haar BZN, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Te1j. K. Ng, Soebakti Poesponoto Jakarta, Pradnya Paramita, 1999, Cet. Ke-12.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Qur'an, 1973, Cet. Ke-1.
HASIL WAWANCARA
Hari/Tangal : Minggu, 12 Agustus 2007
Waktu : Pukul 16.45-17.15 WIB
Tempat : Rumah kediaman ahli waris
Tujuan Wawancara : Sebagai data Japangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi : Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara : Ny. Nunung Nmjannah (Istri Almarhum)
Keterangan : T =Tanya J = Jawab
I. T : Kapan Ibu menikah dan berapa lama usia pcrnikahan anda dengan
almarhum?
J : Saya menikah dengan Bapak Eddy Ruhaedi (almarhum) bulan November
1989, tanggalnya saya agak lupa. Berarti usia pernikahan saya dengan beliau ada
sekitar 18 tahun
2. T : Kapan dan apa faktor yang dapat menyebabkan meninggalnya
almarhum?
J : Almarhum meninggal pada hari Minggu, 10 Juni 2007 di Cibingbin karena
sakit jantung yang dialaminya sejak 2 tahun silam.
3. T : Siapa saja ahli waris yang ditinggalkannya ?
J : Dari hasil perkawinan dengan almarhum, alhamdulillah dikarunia 2 anak. Satu
perempuan bernama Lili Malulidatul Hasanah yang berusia 16 tahun. Dan satu
lagi anak laki-laki bernama Fadli Bayyinusysyafaat bernsia 5 tahun. Adapun dari
pihak almarhum meninggalkan ahli waris sebanyak 4 saudara (3 kakak laki-laki
dan perempuan serta 1 adik laki-Jaki). Mereka itu adalah Bapak Warto, !bu Ina,
!bu HJ Uni dan Bapak Waryo.
4. T : Apa saja atau berapa banyak harta warisan yang ditinggalkan oleh
almarhum?
J : Selama kurun 18 tahun menikah dengan beliau terdapat harta peninggalan
yang sampai sekarang masih dijaga dan dipelihara yakni I buah rumah ukuran
8x l Om yang kalau ditaksir harganya sekitar Rp. 20.000.000,- dan l buah kios
(warung) alat-alat besi di Jakarta yang juga kalau dihargakan senilai Rp.
20.000.000,-. Jadi total harta peninggalan warisan tersebut berjumlah Rp.
40.000.000,-
5. T : Bagaimana proses pembagian harta pusaka dari almarhum terhadap
pihak ahli waris?
J : Pembagian warisan dalam keluarga kami menggunakan cara adat atau tradisi
keluarga yakni dengan sistem musyawarah mufakat. antar keluarga. Setelah
perkara/urusan almarhum seperti biaya pemakaman, hutang-hutang dll diberesi,
maka sisa dari harta peninggalan tersebut diberikan kepada 2 anak keturnnan
kami yakni Lili Malulidatul Hasanah dan Fadli Bayyinusysyafaat. Harta pusaka
tersebut berhak dimiliki ke-2 anak kami. Sedangkan saya sebagai janda (istri
almarhum) dan saudara-saudaranya, tidak mendapatkan apa-apa. Semua harta
warisan dilimpahkan untuk 2 anak kami, biar nanti mereka berdua yang mengolah
dan menggunakan warisan.
Dan posisi saya cuman numpang sementara atau ikut sama ke-2 anak sampai
merawat mereka hingga dewasa. Bahkan kalau saya menikah lagi dengan orang
lain, saya hams tinggal dengan mereka dan tetap merawat rumah dan usaha
kiosnya sampai posisi anak-anak dewasa atau berkeluarga.
6. T : Apakah dengan cara seperti itu sudab dianggap adil ?
J : Pembagian dengan cara tersebut sudah menjadi kesepakatan keluarga, dan
yang paling utama ha! demikian pula sudah menjadi ketetapan tradisi dan
keumuman setempat. Bagi saya (selaku istri almarhum) ya dianggap adi! tidal<:
adil, karena kalau memakai cara pembagian hukum islam atau syariat tentu saya
dapat bagian dari warisan. Tetapi ya sudab, akhimya pun saya terima dan ikhlas
dengan hasil kesepakatan keluarga. Hal ini untuk menghindari agar tidak
terjadinya keributan dan sengketa!konflik keluarga khususnya dari pihak keluarga
almarhum. Makanya diambil jalan tengab seperti pembagian menggunakan cara
diatas.
7. T : Kalau tidak ada yang sctuju dengan proses pembagiannya yang sudah
dilakukan, bagaimana antisipasi ha! terscbut ?
J : lnsya Allah tidak ada yang dirugikan, karena kami memutuskan dengan cara
mufakat keluarga dengan saling menerima masing-masing demi kemaslabatan
keluarga terutama ke-2 anak kami. Bilamana terjadi ketidak-puasan yang
akhimya dapat menyebabkan sengketa, kan1i berusaba meminimalisimya dengan
cara dimusyawarabkan kembali antar keluarga. Mungkin juga dengan diberikan
penjelasan dan pemahaman oleh sepuh keluarga bahkan tokoh masyarakat.
8. T : Sejauh mana pemahaman ibu sebagai istri almairhum, terhadap hukum
kewarisan, apakah di jalani sesuai ketcntuan hukum Islam atau Iebih
mcngutamakan adat dan tradisi?
J : Yang saya tabu kalau dalam hukum Islamkan, istri dapat bagian ya ...
pengennya sesuai syariat tapi gimana lagi karena sudah menjadi keumuman atau
tradisi disini, pembagian warisannya pun memakai mufakat keluarga
Kuningan, Minggu 12 Agustus 2007
Mengetalmi,
Respond en
( Nunung Nurjan ah )
5. T : Apa perbedaan dan persamaan yang mendasar antara Hukum
Kewarisan Adat Sunda dengan Hukum Kewarisan Islam ?
J : Keduanya sama sama membagi harta warisan kepada ahli waris. Perbedaanya
hanya kepada cara dan porsi bagian yang ditentukan masing-masing. Hukum
Islam sudah menentukan bagiannya (Furudl Al- Muqaddarah) yang ditetapkan
dalam Al-Quran dan Hadits. Adapun Hukum Adat Sunda pembagiannya
disesuaikan dengan keputusan musyawarah mufakat keluarga. Kedua hukum ini
mengandung prinsip-prinsip yang sepadan antara lain prinsip keadilan, individual,
kesamaan agama dll.
6. T : Bagaimana eksistensi Hukum Kewarisan Adat Sunda dan Hukum
Kewarisan Islam dalam praktiknya di masyarakat ?
J : Di masyarakat kedua hukum tersebut beriringan dan sampai saat ini masih
berlaku keberadaannya. Mana yang dipakai tergantung masyarakat selama
mengandung kemaslahatan. Kalau dengan cara adat lebih mengandung efek
negatif yang menimbulkan perseteruan, ya harus kembali dengan cara syariat.
Dalam hal ini tergantung kesadarannya, ketika orang sadar maka akan menerima
hasil pembagiannya. Karena kalau sudah masuk wilayah hukum Islam, biasanya
bukan maslahat atau tidak maslahat lagi. Sebab hukum islam pasti sudah maslahat
lho. Soal taslim apakah dirinya menerima atau tidak ... ya mungkin diawali dirinya
tidak menerima . Dalam hukum Islam ada pepatah mengatakan likulli syain
manfa' a tun. "Setiap segala sesuatu ada manfaatnya"
7. T : Sejauh mana pemakaian hak opsi (pilih) dalam menyelesaikan
pembagian waris antara kedua hukum kewarisan tersebut ?
J : Memang dalam warisan tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang
memakai aturan hukum mana. Hak pilih ( opsi) itu dikembalikan kepada
masyarakat langsung. Konteks daerah sini biasanya langsung menentukan dengan
cara kekeluargaan, untuk hal-hal berkenaan dengan hukum positif seperti UU,
KHI jarang sekali masyarakat mengetahui aturan-aturan atau undang-undang
negara itu, jangankan orang awam, yang bekerja di Dinas, Kantor pun belwn
mengetahuinya. Baik petani, pedagang sangat jauh pemahamannya ke arah sana.
8. T : Dilihat dari kuantitas, lebih banyak mana keluarga ahli waris yang
memakai sistem kewarisan Islam atau adat ?
J : Sepanjang saya ketahui masyarakat condong dominan memakai tradisi. Ya ..
saya lebih cenderung memakai kata mufakat keluarga bukan adat, biasanya bagi
orang yang mengerti lebih condong tidak memakai hukum adat tetapi hukwn
' islam yang nota bene 2 banding I
Kuningan, Senin, 11 September 2007
Mengetahui,
( KH Asep Syarifuddin )
HASIL WA WANCARA
Hari/Tangal : Senin, 11 September 2007
Waktu : Pukul 20.00-21.00 WIB
Tempat : Rumah kediaman
Tujuan Wawancara : Sebagai data lapangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi : Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara : KH. Asep Syarifuddin (Kyai dan Tokoh Masyarakat)
Keterangan : T =Tanya J = Jawab
I. T : Apakah ada dikotomi (perbedaan) pemahaman agama dalam
masyarakat, terutama dengan banyak aneka ragam pemahaman konsep
islam (NU-Muhammadiyyah) ?
J : Saya menilai selama ini tidak ada perbedaan pemahaman yang cukup tajam
antara kedua ormas tersebut, mungkin hanya seputar yang furu'2 saja. Memang
dalam skup Cibingbin perbedaan pemahaman tersebut mencolok mengingat disini
yakni mayoritas kaum Nahdliyyin (NU) sehinga apapun konsep diluar itu sedikit
menjadi asing. Namun saya tekaakan memang kita perlu bertoleransi dalam
perbedaaan pendapat, selama dalam koridor agama mari kita junjung sifat
tasamuh dalam Islam.
2. T : Bagaimana bapak menyikapinya bila terjadi pertentangan antar kedua
kubu terscbut ?
J : Dalam konteks Cibingbin, kebetulan masih sangat jarang Kyai atau ulama
yang menguasai Ilmu Faraidl. Oleh kaema itu bilamana ada permasalahan tentang
kewarisan langsung menanyakan ke saya. Tidak ada perbedaan yang mencolok
dalam pendapat, karena memang soal keilmuan tidak ada yang tinggi, khususnya
tentang Faroidl.
3. T : Dalam perkara warisan, sejauh mana pemahaman masyarakat tentang
hukum kewarisan ?
J : Karena ini masalah sensitif, masyarakat menilai warisan tidak perlu
dipublikasikan. Sehingga bilamana terjadi kematian, urusan ini langsung
diselesaikan secara kekeluargaan. Prosesnya lebih dominan diselesaikan dengan
mufakat keluarga, jarang menggunakan pedoman Faroidl. Faroidl digunakan
ketika musyawarah yang dilakukan tidak kunjung selesai, barulah keberadaannya
menjadi solusi akhir.
4. T : Sejauh mana peran tokoh masyarakat dalam melaksanakan hukum
kewarisan tersebut mengenai prakteknya di masyarakat ?
J : Pertama, yang harus kita sadari bahwa pe1masalahan warisan adalah masalah
sensitif, artinya cepat mengandung reaksi. Oleh karena sensitif, yang saya tahu di
Cibingbin tidak ada yang langsung menanyakan warisan. Karena nanti
dikhawatirkan ada anggapan dari ahli waris ada maksucl tertentu dari tokoh atau
ulama ketika mempertanyakan perihal tersebut. Kemudian ada juga di daerah ini,
setelah meninggal ada warisan yang tidak dibagikan kepada ahli warisnya. Hal
seperti ini masih banyak terjadi yang sesungguhnya akan menjadi born waktu bagi
mereka. Justru nanti ketika sebagian ahli waris mempertanyakan bagiannya. Maka
kan menjadi problem dan sengketa di kemudian hari.
Jadi yang saya rasakan peran ulama dalam kewarisan tidak begitu dominan.
Artinya ada 2 kemungkinan, karena soal warisan masyarakat berpikir yang
penting ada unsur keadilan dan merata. Oleh karena itu peran kyai tidak
diperlukan lagi. Masyarakat kebanyakan berpikiran seperti ini. Tetapi tatkala ada
permasalahan yang tidak kunjung selesai, baru sang kyai dihubungi.
HASIL WA WANCARA
Hari/Tangal : Minggu, 21 Oktober 2007
Waktu : Pukul 20.00-21.00 WIB
Tempat : Rumah kediaman ahli waris
Tujuan Wawancara : Sebagai data lapangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi : Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara : Bapak Anang (Ahli Waris/Putra Almarhumah)
Keterangan : T =Tanya J = Jawab
1 T : Kapan orang tua menikah dan berapa lama usia pernikahan almarhum ?
J : Orang tua saya menikah bulan April tahun 1969, tanggalnya saya kurang ingat
persis. Berarti usia pernikahan mereka sekitar 3 8 tahun
2. T : Kapan dan apa faktor yang dapat menyebabkan meninggalnya
almarhum?
J : Beliau almarhum meninggal pada hari Kamis, 20 Agustus 2007 di Cibingbin
karena darah tinggi yang dideritanya sudah lama. Hampir semua obat dan rumah
sakit disini didatangi tapi tidak kunjung sembuh, sampai akhirnya ajal
menjemputnya.
3. T : Siapa saja ahli waris yang ditinggalkannya ?
J : Selama pernikahan, rumah tangga berjalan harmonis, almarhum meninggalkan
sanak kerabatnya. Dikarunia 3 anak. Satu anak laki-laki bemama Anang Rohmana
yang berusia 3 7 tahun. Dan dua anak perempuan bernama Dewi Rahmawati
berusia 20 tahun dan !ta Purnamasari yang berusia 17 tahun. Adapun dari pihak
keluarga almarhum meninggalkan masing-masing seorang Istri dan Kakek
tercinta.
4. T : Apa saja atau berapa banyak harta warisan yang ditinggalkan oleh
almarhum?
J : Dal am waktu 3 8 tahun berkeluarga, tidak ban yak harta warisan yang
ditinggalkan. Harta peninggalan yang sampai sekarang masih dipelihara dan
dirawat yakni 1 buah rumah ukuran 1Ox1 Om yang kalau ditaksir harganya sekitar
Rp. 35.000.000,-. 1 buah kebun (tanah kosong) berukuran 7x!O, dengan nilai
rupiahnya Rp. 15.000.000,- selain itu 1 buah warung Nasi berukuran 5x10 yang
terletak di Pasar dengan harga Rp. 10.000.000,- clan sebuah Motor Honda
keluaran 2005 yang juga kalau dihargakan senilai Rp. 12.000.000,-. Jadi total
harta peninggalan warisan tersebut be1jumlah Rp. 72.000.000,-
5. T : Bagaimana proses pembagian harta pusaka dari almarhum terhadap
pihak ahli waris?
J : Prosesnya diselesaikan secara hukum adat, ga pake hukum islam, ribet
caranya. Kalau dengan musyawarah keluarga kan bisa diselesaikan secara cepat.
Maksudnya pembagian warisan dalam keluarga kami menggunakan cara adat atau
tradisi keluarga yakni dengan sistem musyawarah mufakat antar keluarga. Setelah
perkara/urusan almarhum seperti biaya administrasi pemakaman, hutang-hutang
dll diberesi, maka sisa dari harta peninggalan tersebut diberikan kepada 3 anak
keturunan almarhum yakni Anang Rohmana, Dewi Rahmawati dan !ta
Purnamasari. Harta pusaka tersebut berhak dimiliki oleh kami bertiga selaku
keturunannya.
Dari basil mufakat tersebut, disepakatilah bagian-bagiannya. Saya Anang
Rohmana selaku putra sulung mendapat sebuah warung nasi dan motor Honda,
Dewi Rahmawati anak ke-2 mendapat Tanah Kosong (Kebun) dan terakhir si
bungsu !ta Purnamasari mendapat rumah yang sekarang ditempati oleh keluarga.
Sedangkan ibu kami sebagai janda (istri almarhum) dan kakek, tidak
mendapatkan apa-apa. Semua harta warisan dilimpahkan untuk anak
keturunannya, mereka biar kami yang mengurusinya.
6. T : Apakah dengan cara seperti itn sudah dianggap adil ?
J : Ya tentu. Cara sepe1ti itu sudah kesepakatan kami Pembagian dengan cara
tersebut sudah menjadi kesepakatan keluarga, dan yang paling utama ha!
demikian pula sudah menjadi ketetapan tradisi dan keumuman setempat. Bagi
saya (selaku anak tertua) ya dianggap adil, walaupun katanya ... kalau cara
pembagiaru1ya memakai hukum Islam (Faroidl) tentu saya dapat bagian warisan
lebih besar dari ke-2 adik perempuan saya. Tetapi ya sudah, akhimya pun saya
terima denngan legowo hasil kesepakatan keluarga. Mengingat adik-adik saya
memang lebih banyak keringatnya membantu orang tua semasa hidupnya. Hal ini
untuk menghindari agar tidak terjadinya keributan dan sengketa/konflik keluarga.
Kan malu kalau sampai bertengjkar, masa gara-gara warisan keluarga jadi pecah
Makanya diambil jalan tengah seperti pembagian menggunakan cara tersebut.
7. T : Kalan tidak ada yang setuju dengan proses pembagiannya yang sudah
dilakukan, bagaimana antisipasi ha! tersebut ?
J : Saat pembagiannya kami sudah sepakat. Kayaknya enggak deh, itu udah
diantisipasi. Kedepan Insya Allah tidak ada yang dirngikan, karena kami
memutuskan dengan cara musyawarah keluarga dengan sating menerima masing
masing demi kemaslahatan keluarga kami. Kalaupun terjadi iri dengki atau
ketidak-puasan yang ujungnya menyebabkan keretakan, kami bernsaha
meminimalisimya dengan cara dimusyawarahkan kembali antar keluarga.
Mungkin juga dengan diberikan penjelasan dan pemahaman oleh sepuh keluarga
bahkan tokoh masyarakat. Dan memang ketika musyawarah, tidak ada dari pihak
luar (Kyai atau aparat pemerintah) yang hadir. Cukup keluarga kami aja yang
rembuginnya.
8. T : Sejauh mana pemahaman bapak sebagai ahli waris almarhum, terhadap
hukum kewarisan, apakah di jalani sesuai ketentuan Hukum Islam atau
lebih mengutamakan adat dan tradisi?
J : Sedikit-sedikit Insya Allah saya tahu kalau dalam hukum Islamkan, antara
lakilaki dan perempuan bagiannya 2 berbanding 1, juga kerabat dari yang
meninggal pun mendapatkan bagian. Tapi karena sudah menjadi tradisi disini,
pembagian warisannya pun memakai mufakat keluarga
Kuningan, Minggu 21 Oktober 2007
Mengetahui,
Responden
d~ ( Anang Rohmana )
HASIL WA WANCARA
Hari/Tangal : Senin, 22 Oktober 2007
Waktu : Pukul 16.00-17.30 WIB
Tempat : Rumah kediaman
Tujuan Wawancara : Sebagai data lapangan dalam penyusunan skripsi
Judul Skripsi : Hukum Kewarisan Adat Sunda Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Kewarisan Islam
Objek Wawancara : H. Choeruddin (Aparat Pemerintah Desa)
Keterangan : T =Tanya J = .Jawab
I. T : Bagaimana menurut Bapak kebiasaan masyarakat disini tentang
masalah kewarisan?
J : Kalau disini biasanya memakai hukum adat dengan cara musyawarah antar
keluarga, seperti nanti malam ada pembagian warisan, aparat dari desa diundang
untuk menghadiri, kalo tidak Pak Kuwu (kepala desa) ya sekdesnya atau yang
mewakili. Dan rapat keluarga itu juga dihadiri oleh ahli waris pihak keluarga.
2. T : Dalam pembagiannya lebih cenderung kemana, memakai hukum Islam
atau dengan mufakat keluarga (adat)?
J : Ya pada intinya ada yang lebih suka nyerahin pada kyai gimana dia aja, ga ada
yang bertentangan, kecuali ada yang emosi dari pihak keluarga maka bisa jadi
bubar forum keluarga. Ada yang gini, kita kan kumpul nanti malam dengan
dihadiri oleh kyai, terns si A dapat bagian sawah, si B dapat bagian rumah, atau
kadang si B ga mau dapat rumah karena udah punya. Cara demikian dilakukan
dengan mufakat keluarga yang menghasilkan pembagian jatah sama rata. Dalam
islamkan contoh si istri 50 dan laki-laki I 00.
3. T : Berapa lama proses waktu bagi warisan dari kematian almarhum?
J : Waktu bagi warisan tergantnng kesadaran dari ahli waris, bahkan ada yang
bertahun-tahnn harta peninggalan yang belnm dibagikan kepada ahli warisnya. ·
Seperti ada kelnarga yang meninggal snaminya, sampai sekarang belnm ada
kejelasan pembagiannya. Seharusnya disegerakan snpaya tidak berlarut-larnt, tapi
belnm ada yang jelas. Kadang ada yang jelas pembagiannya oleh kyai diatur, tapi
dari perwakilan desa tidak dipanggil.
4. T : Selaku aparat desa, bagaimana mensikapi keinginan dari perbedaan ahli
waris dalam pembagiannya?
J : Kalan pemerintah mengikuti kepntnsan kyai, biasanya dalam kelnarga
pembagian sudah dilakukan dari sekarang sebelnm almarhnm meninggal. Warga
lebih cendernng memakai mufakat keluarga dari pada hnknm syariat (Faroidl),
karena nntnk menjaga kentnban keluarga agar tidak pecah gara gara rebntan harta.
Bilamana tidak dapat disepakati, maka penyelesaiannya kembali sesuai dengan
hnknm Islam yang diyakini menjadi solusi. Kadang jnga kyai membiarkan
pembagian tersebnt dengan cara bagi rata namun tidak lnpa memberikan arahan
arahan.
5. T : Apakah masyarakat mengetahui adanya Hukum Positif (UU atau KHI) ?
J : Sangat jarang ..... paling yang tahu hanya kalangan senior atau yang tna-tna.
Sebab masalah warisan yang diatur dalam huknm positif (UU dan KHI) dan di
dalam ilmn Faroid jarang diajarkan, kecnali di sekolah itnpnn jarang yang hapal
bahkan mengnasai.
6. T : Seberapa knat ketetapan hukum dari basil mufakat keluarga?
J : Hnknm tersebut berkepntnsan tetap dan mengikat antar ahli waris, karena
sudah menjadi kesepakatan kelnarga. Bagi yang mengingkarinya maka ia akan
disebut pembeli, tidak mentaati hasil mnsyawarah keluarga, secara otomatis akan
dijauhi oleh sanak famili lainnya. Hal ini yang menjadi aturan umum atau
konvensi. Tapi biasanya putra bungsu yang selalu ingin menang. Ahli waris yang
lain sudah dibagi. Contoh, putra sulung mendapatkan sawah sedangkan yang
bungsu dapat rumah. Yang bungsu ini juga ingin mendapat bagian sawah.
7. T : Apakah tiap ada pembagian warisan, aparat pemerintah barns tahu dan
dilibatin?
J : Seyogyanya demikian, dan yang sudah-sudah, aparat desa kan hadir bila
dibutuhkan oleh pihak keluarga. Kalau tidak ada ya ... cukup dari ulama/kayi saja
yang memberesinya. Soalnya kalau ada dari pihak pemerintah, takut pihak
keluarga menjadi malu.
8. T: Pada kesimpulannya, masyarakat disini Jebih banyak memakai mufakat
keluarga dari pada hukum Islam?
J : Ya, lebih sering memakai cara demikian, kalau masalahnya tidak kunjung
heres, baru dibawa ke pemerintah desa. Begitulah kondisi masyarakat disini
(sambil mengisap rokoknya)
Kuningan, Senin 22 Oktober 2007
Mengetahui,
Responden
( H Choeruddin )