· web viewistilah ‘manak salah’ ini, menurut sudiana, termuat dalam lontar dewa...
Post on 16-Mar-2018
237 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH
TRADISI BUDAYA MANAK SALAH
MATA KULIAH BUDAYA LOKAL
OLEH:
Luh Sri Martini / 16.1.1.3.3.167Desak Komang Suryaningsih / 16.1.1.3.1.340Ni Putu Sukadesi / 16.1.1.3.3.29Kadek Widiasa / 16.1.1.3.3.18I G N Ketut Dwija Prastika / 16.1.1.3.3.28
PROGRAM STUDI PGSD
JURUSAN DHARMA ACARYA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI
MPU KUTURAN SINGARAJA
PROVINSI BALI
2016/ 2017
KATA PENGANTAR
Atas asung kerta waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas berkat
dan karunianya, makalah Kasus “Manakan Salah” Di Bali ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Pada kesempatan ini pula, saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung yang membantu
dalam penyelesaian makalah ini. Berhubungan dengan masalah di dalam kehidupan
masyarakat bali yang mempercayai bahwa manakan salah atau sepasang suami-isteri
yang melahirkan anak kembar buncing laki-perempuan) yang di asingkan dari desa
tempat tinggalnya dan di bebani upacara-upacara tertentu karena dianggap ngeletehin
gumi. Tradisi semacam itu sudah saatnya ditinggalkan karena tidak sesuai dengan ajaran
agama. Maka dari itu saya memilih untuk membuat makalah yang berhubungan dengan
hal tersebut.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi perbaikan makalah ini. Harapan penulis dengan selesainya makalah ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan mengenai kasus yang berkaitan dengan
manakan salah di bali, khususnya kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan
manakan salah, bagaimana cara yang seharusnya dan selakyaknya di terapkan pada
pasangan suami-istri yang mengalami kasus seperti ini di masyarakat.
Singaraja, 26 April 2017
Penulis
PAGE \* MERGEFORMAT 12
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................. 1
1.3 Tujuan Pembahasan............................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................... 2
2.1 Sejarah Manak Salah............................................................. 2
2.2 Pengertian Manak Salah........................................................ 3
2.3 Contoh Kasus Manak Salah................................................... 4
2.4 Manak Slah Tradisi atau Agama........................................... 9
BAB III PENUTUP.................................................................................. 11
3.1 Kesimpulan............................................................................ 11
3.2 Saran...................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA
PAGE \* MERGEFORMAT 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Di Bali ada sebuah adat yang unik, bila ada penduduk desa melahirkan anak
kembar yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut oleh penduduk
setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang tua dan bayi kembar buncing ini
menurut adat di Bali harus di dipindahkan dari rumah asalnya ke sebuah rumah darurat
di Matas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan.
Tidak itu saja, sang orang tua ini pun masih harus menjalani beberapa prosesi adat
lainnya demi membendung murka dari sang ratu. Lantas prosesi seperti apa saja yang
harus dilalui oleh orang tua sang bayi kembar buncing ini sebelum akhirnya
diperbolehkan kembali ke rumah miliknya.
dan, kembar (laki-perempuan) yang diasingkan dari desanya, disebabkan oleh
karena pada zaman dahulu ada raja yang mempunyai anak kembar (laki-perempuan)
atau buncing dah hal tersebut membawa keberuntungan bagi ia dan rakyatnya, Maka
dari itu rakyat biasa yang melahirkan sama sepertinya harus di asingkan karena ia tidak
mau disamakan kelahiran anaknya dengan rakyat biasa.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana Sejarah dari kasus manakan salah di Bali ?
2. Apa yang dimaksud dengan manakan salah ?
3. Bagaimana tradisi yang di lakukan untuk kasus manakan salah ?
4. Apakah manakan salah merupakan tradisi atau agama ?
1.3. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini yaitu :
1. Menjelaskan tentang pengertian dari manakan salah yang ada di bali.
2. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang peraturan atau awig-awig
yang mengatur tentang manakan salah
3. Memberikan pengetahuan tentang hal yang berkaitan dengan kasus manakan
salah yang ada di bali dan contoh kasus manakan salah yang pernah terjadi di
beberapa desa di bali.
PAGE \* MERGEFORMAT 12
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Manakan salah
Tentang manak salah, menurut wiana, tradisi membuang atau mengasingkan ke
setra dan membalikan coblong (tempat tirta) oleh masyarakat adalah tradisi lama. Istilah
Manak Salah muncul dari adanya mitos pada jaman kerajaan dahulu kala. Pada saat itu
permaisuri raja melahirkan anak kembar, laki dan perempuan. Sesuai dengan saran
penasehat kerajaan, kedua bayi itu dipisahkan dan dibesarkan pada tempat berbeda.
Kelak, setelah dewasa, keduanya akan dikawinkan dan dinobatkan sebagai raja serta
permaisuri. Menurut penasehat kerajaan, peristiwa ini merupakan peristiwa langka dan
dipercaya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat kerajaan tersebut. Anaknya yang
kembar ini dinikahkan, dan didudukan di singasana, namanya Sri Masula-Masuli. Sejak
pemerintahan sejoli ini, kerajaan bali mendapatkan kemakmuran. Karena itu dia
mengatakan, kelahiran beliau tidak boleh disamakan dengan rakyat biasa. Jadi sejak itu,
bila ada dari rakyat biasa yang melahirkan anak kembar buncing, ayah ibunya dan
anaknya dibuang atau di asingkan ke setra untuk jangka waktu yang ditentukan atau
sementara. Sedangkan bila dari golongan bangsawan yang melahirkan anak kembar
buncing, itu pertanda kesuburan. Maka masyarakat diharuskan secara bergembira
menyambutnya dengan memukul kentongan.
Makna dari Manak Salah yaitu bahwa rakyat jelata tidak berhak mengikuti
fenomena yang dialami oleh sang raja beserta permaisurinya. Rakyat jelata yang Manak
Salah wajib dikenai sanksi berupa dikucilkan atau diusir dari lingkungan kerajaan.
Mitos inilah yang akhirnya menyababkan beberapa daerah di Bali masih mengenal dan
menerapkan sanksi bagi masyarakat yang Manak Salah.
Kondisi zaman kerajaan memberikan ruang dan waktu menerapkan sanksi kepada
Manak Salah.
Sekarang, tradisi seperti itu sudah tidak sesuai lagi. Karena keadaan sosial
kemasyarakatan yang sudah jauh berbeda. Menurut agama hindu sudah tidak bisa lagi di
golongkan sebagai golongan bangsawan maupun golongan rakyat biasa “semuanya
sama saja”. Perbedaanya hanya pada gunakarmanya masing-masing “jadi sesuai dengan
desa kalapatra”.
PAGE \* MERGEFORMAT 12
Prihal masih banyaknya desa adat yang masih melaksanakan tradisi itu maka akan tetap
diadakan pembinaan-pembinaan menuju pelaksanaan adat yang sesuai dengan sastra
agama. Sebagai pembinaan yang akan di lakukan Melalui wakil-wakilnya dalam DPRD
Bali tahun 1951 telah menetapkan Paswara No.10/DPRD tertanggal 12 juli 1951 yang
menghapus adat manak salah dan buncing, yang ditandatangani Ketua Dewan waktu itu
I Gusti Putu Merta.
2.2. Pengertian Kasus Manakan Salah
Kasus Manak Salah di beberapa daerah di Bali, masih ditemukan. Bahkan,
beberapa daerah menuliskan konsep Manak Salah ini ke dalam awig-awig desa atau
peraturan desa. Di dalam awig-awig desa, dinyatakan bahwa masyarakat yang
melahirkan bayi kembar laki dan perempuan atau Manak Salah, dinyatakan telah
mencemari lingkungan desa. Pencemaran dimaksud berkaitan dengan kesucian
lingkungan desa secara adat. Seseorang dan atau keluarga yang Manak Salah wajib
dikenakan sanksi adat. Salah satu sanksi yang dialami oleh keluarga Manak Salah yaitu
Kasepekang atau dikucilkan. Kesepekang artinya disingkirkan, yaitu menyingkirkan
seseorang yang bersalah dengan maksud agar kesalahan tersebut tidak menular kepada
masyarakat sekitarnya. Dalam ajaran agama Hindu, orang yang bersalah wajib di
hukum, tetapi hukuman harus adil dengan tujuan orang sadar akan kebenaran, bukan
membuat orang dendam.
Beberapa daerah di Bali, ternyata masih menerapkan sanksi Kasepekang. Salah
satu sanksi Kasepekang tersebut, dialami oleh keluarga yang Manak Salah. Pelaksanaan
sanksi Kasepekang bagi yang Manak Salah dilakukan dengan cara mengharuskan
keluarga itu mengungsi ke kuburan desa selama satu bulan tujuh hari (abulan pitung
dina). Sanksi ini tentu tidak sesuai dengan konsep ajaran agama Hindu, karena sanksi
ini bukan menyebabkan orang menjadi sadar, akan tetapi justru menimbulkan dendam
kesumat. Oleh karena itu, sanksi Kasepekang ini sangat tidak sesuai dengan norma-
norma atau nilai-nilai ajaran agama Hindu. Di lain pihak sanksi Kasepekang bagi
keluarga Manak Salah juga melanggar hukum positif di Negara Republik Indonesia. Hal
ini karena tidak ada satu pun perundang-undangan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang menyatakan bahwa seseorang yang melahirkan bayi kembar laki dan
perempuan adalah melanggar hukum.
PAGE \* MERGEFORMAT 12
Banyak faktor yang mempengaruhi hadirnya konsep atau istilah Manak Salah,
baik politik, ekonomi, maupun hukum. Saat ini, konsep Manak Salah merupakan fakta
yang patut dikaji dari sudut hak asasi manusia (HAM). Ditinjau dari adat-istiadat dan
budaya lokal, konsep Manak Salah diterima oleh masyarakat sebagai konsekuensi logis
dari warisan budaya leluhur. Kepercayaan yang turun-temurun nyaris tidak ada yang
berani mengubahnya dan diterima apa adanya. Akibatnya, sampai saat ini penerapan
sanksi kepada masyarakat yang Manak Salah masih diberlakukan. Di lain pihak, dari
kajian hak-hak manusia, konsep Manak Salah bertentangan dengan HAM.
2.2.1. Manak salah menurut PHDI Bali
Sudiana menjelaskan,tidak semua kelahiran bayi kembar laki-perempuan disebut
‘manak salah’.
“Sebenarnya yang disebut manak salah jika pada saat kelahiran yang lahir duluan
adalah yang perempuan, sedangkan jika laki laki yang lahir duluan itu disebut buncing.”
Sesuai dengan aturan adat yang berlaku, orangtua si kembar buncing tersebut
akan diisolasi selama tiga tilem (bulan) di muara desa atau dekat setra (kuburan) desa
pekraman setempat.
Istilah ‘manak salah’ ini, menurut Sudiana, termuat dalam lontar Dewa Tatwa
dan Brahma Tatwa yang menyebutkan bahwa manusia yang lahir dengan
ketidakwajaran dianggap sebagai “manak salah”, salah satunya disebutkan adalah
kelahiran buncing dimana bayi perempuan lahir terlebih dahulu.
Selain itu dalam lontar Dewa Tatwa juga disebutkan jika terjadi kelahiran
buncing maka seluruh parahyangan atau pura akan tercemari karena Ida Bhatara yang
beristana di tempat tersebut di katakana ‘mur’ atau pergi. Karena Ida Bhatara yang
berstana di parahyangan tersebut telah ‘mur’ maka cuntaka (kotor) lah desa pekraman
tersebut.Selama tiga tilem, di lingkungan desa adat tersebut dilarang mengadakan
upacara yadnya. Namun pengecualian bagi upacara kematian.
2.3. Kasus Manakan Salah
2.3.1. Kasus Manak salah di Desa Pekraman Ketewel
Menurut ‘awig’ (aturan)-nya, Desa Pekraman Ketewel, Kecamatan Sukawati,
Kabupaten Gianyar, Bali, manakan salah merupakan kelahiran yang dianggap
ngeletehin gumi dengan hal itu pasangan suami-istri yang mempunyai anak kembar
PAGE \* MERGEFORMAT 12
buncing akan di haruskan untuk ‘masengker’ atau dilarang menggelar ritual keagamaan
selama 42 hari, lantaran salah seorang warganya ‘manak salah’, yakni melahirkan anak
kembar laki-perempuan—dimana bayi perempuannya yang lahir terlebih dahulu.
“Larangan ini berlaku sejak warga kami melahirkan bayi kembar karena dia dianggap
`cuntaka` (tidak bersih) sehingga tidak boleh ke pura.”
Larangan menggelar ritual atau ‘masengker’ yang diterapkan, menurut Wayan Loci,
telah sesuai dengan ‘Awing-awig Desa Pakraman` (peraturan desa adat) setempat. “Hal
ini sudah diatur dalam Pawos (pasal) 70 `Awing-awig Desa Pakraman` Ketewel.”
Sesuai awig-awig tersebut, jika ada warga yang melahirkan bayi kembar laki-laki
dan perempuan atau “kembar buncing” yang mana bayi perempuan lahir lebih dulu
(disebut ‘manak salah’) maka warga desa adat itu diwajibkan ‘masengker’. Setelah
masa 42 hari terlewati, tutur Wayan Loci, warga Desa Adat Ketewel diperbolehkan
menggelar ritual keagamaan sebagaimana biasanya. Namun harus didahului dengan
ritual ‘Gumi Suda’ di ‘catus pata’ Desa Pakraman Ketewel. Selain itu warga Desa Adat
Ketewel juga diwajibkan menggelar ritual “pemendak” di Pura Kahyangan Pelinggih
Ida Bhatara Ratu Mas Murub dan Mas Maketel.
2.3.1. Di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali
Sebagai Pelestarian Budaya Bali
Budaya Adat ”Manak Salah”
Budaya Manak Salah merupakan budaya yang telah lama di yakini dan dilaksanakan
oleh masyarakat Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Budaya
ini menyalahkan tentang adanya kelahiran bayi kembar buncing, yaitu kelahiran bayi
kembar yang berbeda jenis kelamin. Kebudayaan Adat Kembar Buncing atau Manak
Salah yang berlaku di desa Padangbulia merupakan salah satu perlakuan khusus bagi
desa tersebut. Menurut penuturan Kelian Adat Desa Padangbulia dan beberapa
masyarakat sekitar pelaksanaan Budaya Adat ”Manak Salah” atau “Kembar Buncing” di
Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali menyangkut hal-
hal berikut :
Lokasi
Lokasi pengucilan yakni di tepi sebuah tempat khusus yang terletak di antara pertemuan
dua sungai yang oleh masyarakat di sana sering di sebut campuhan, sekitar 10 kilometer
PAGE \* MERGEFORMAT 12
selatan Singaraja, kota Kabupaten Buleleng. Kedua orang tua bayi beserta bayinya
dipindahkan dari rumah asalnya kesebuah rumah darurat diatas tanah Banjar Adat yang
terletak 800 meter sebelum kuburan. Campuhan merupakan pertemuan antara 2 anak
sungai, dimana merupakan simbol dari bertemunya laki-laki dan perempuan. Dalam
pelaksanaannya, masyarakat desa secara bergiliran di masing- masing banjar akan
menjaga keluarga manak salah tersebut. Segala keperluannya akan di sediakan oleh
masyarakat desa. Namun, rumah tinggal asal tidak dirusak’. Lokasi yang sangat jauh
tidak menjadi alasan bagi warga desa untuk tidak mengunjungi keluarga tersebut. Malah
sebaiknya, jauhnya jarak harusnya menjadikan warga untuk lebih mengerti bahwa ada
warga desa yang harus mendapat perhatian lebih.
Rentang Waktu
Lamanya pengungsian terhadap keluarga yang harus menjalankan adat ini berdasarkan
Tilem, yakni kurang lebih selama 68 hari atau sampai menemukan tiga kali Tilem.
Dalam hal ini Tilem dijadikan dasar karena Tilem memiliki makna dimana Tilem
merupakan bulan mati yang merupakan suatu kepercayaan untuk menghilangkan segala
‘kotoran-kotoran’ yang dapat menyebabkan kehancuran jagat Bali.
Kebutuhan Sehari-hari
Selama dalam pengungsian, kebutuhan sehari-hari makan dan minum dibantu oleh
penduduk Desa, dan setiap hari selalu ada penduduk Desa yang membantu menjaga
bayi dan menghibur kedua orang tua bayi.
Dalam hal ini desa adatlah yang sepenuhnya membiayai semua kebutuhan dari keluarga
tersebut, meskipun dalam hal ini ada beberapa donatur dari berbagai pihak yang simpati
terhadap masalah tersebut. Kelahiran bayi kembar buncing memang merupakan
kejadian langka, tetapi tetap saja adat ini memerlukan banyak biaya untuk kebutuhan
sehari-hari dan sebagainya.
Kegiatan
Selama dalam pengungsian, kedua orang tua bayi tidak melakukan perjalanan keluar
Desa maupun mencari nafkah Hal ini didasarkan pada cerita awal munculnya budaya
ini, dimana bagi keluarga yang diungsikan memiliki artian disucikan (bertapa), sehingga
keluarga tersebut dilarang melakukan aktivitas apapun. Aktivitas aktivitas yang
PAGE \* MERGEFORMAT 12
menyangkut kebutuhan dari keluarga tersebut dilakukan oleh warga desa lain yang
bertugas.
Selain itu, bagi keluarga yang memiliki lahan pertanian yang dalam kesehariannya
selalu digarapnya sendiri maka saat ditinggalkan untuk menjalani adat ini dan pada saat
selesai pengasingan, keluarga tersebut harus memulainya dari awal lagi. Tetapi
dengan tidak adanya aktivitas yang boleh dilakukan menyebabkan keluarga ini memiliki
waktu luang yang lebih untuk berkumpul dan mempererat hubungan diantara anggota
keluarga tersebut. Dan ada lebih banyak waktu untuk mengurusi kedua bayi tersebut,
apalagi jika anaknya tidak hanya dua.
Upacara
Setelah tiga kali tilem dilaksanakan berbagai macam upacara. Yang pertama, upacara
dilakukan di campuhan, kemudian dilaksanakan pecaruan di jaba Pura Desa. Setelah itu,
upacara dilanjutkan dihalaman rumah dari keluarga yang bersangkutan, tepatnya di
Sanggah keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan diadakan upacara melasti ke segara
yang dilaksanakan sehari sebelum Tilem. Dan upacara terakhir adalah Upacara
Pengenteg Widhi (upacara penyucian akhir).
Selama tiga hari berturut-turut kedua orang tua bayi dan anaknya
bersembahyang di tiga Pura Desa yang mempunyai Bale Agung Pegat ( suatu bangunan
yang dalam Agama Hindu dikenal dengan Bale yang beratap satu tapi terputus dibagian
tengahnya). Bale Agung Pegat yang harus dilewati ini, berlokasi berbeda-beda yakni :
Di Desa Padangbulia, Tenaon, dan Buleleng tepatnya di Panji.
Dalam hal ini, ketiga Pura Desa yang harus dilewati memiliki makna Bhur, Bwah, Swah
(3 tingkatan lapisan bumi dalam Agama Hindu). Persembahyangan di ketiga pura
tersebut bertujuan agar kehidupan lalu, sekarang dan mendatang tidak mendapat akibat
yang disebabkan oleh adanya kelahiran kembar buncing ini, sehingga sesuai dengan
keyakinan Agama Hindu, jagat (dunia)
Munculnya dan Berkembangnya Budaya
Berdasarkan cerita dari Kelian Desa Adat Padangbulia, Gusti Kopang Supartha yang
didasarkan atas beberapa lontar-lontar tua yang pernah dibaca dan penurunan dari
pendahulu-pendahulu sebelumnya serta penuturan dari beliau, dapat kami tangkap
informasi sebagai berikut.
PAGE \* MERGEFORMAT 12
Cerita ini berawal dari adanya Dewa Brahma Sapa yang mempunyai anak laki-laki.
Anak ini mempunyai seorang istri. Pada suatu hari, keduanya sedang melaksanakan
perjalan yang melewati pegunungan. Setelah beberapa lama melaksanakan perjalanan,
mereka merasa lelah dan akhirnya memutuskan untuk beristirahat di goa Gunung
Indrakila. Mereka menginap semalam dan secara tidak sengaja mereka bersenggama di
dalam goa tersebut. Mengetahui hal tersebut, Dewa Brahma datang dan mengutuk anak
dan menantunya. Mereka akan mempunyai anak kembar yang berjenis kelamin berbeda
(laki-laki dan perempuan). Akhirnya anak dan menantu dari Dewa Brahma mempunyai
anak kembar yang berjenis kelamin berbeda (kembar buncing). Mereka diberi nama
Dewa Jroti Srana dan Dewi Gayatri.
Karena menurut Dewa Brahma Sapa kelahiran dari Dewa Jroti Srana dan Dewi Gayatri
merupakan hal yang tidak pantas atau disalahkan, maka mereka harus dipisahkan
dengan cara menyuruh Dewa Jriti Srana ngemban tugas (sebagai penanggung jawab) di
Pura Desa. Sedangkan Dewi Gayatri yang dikenal juga sebagai Dewi Durga harus
ngemban setra di Pura Dalem. Pengembanan tugas Dewa Jriti Srana ini merupakan cikal
bakal dari Pura Desa yang terletak di Desa Padangbulia.
Duatu hari Dewi Gayatri ingin bertemu dengan Dewa Jroti Srana. Untuk dapat bertemu
kakaknya, ia harus melakukan ritual khusus yang dinamakan Ilmu Leak. Ilmu ini dapat
dinetralkan dengan melaksanakan upacara yang dinamakan Upacara Peneduh Jagat
yang bertujuan untuk menyempurnakan jagat (dunia) dan menghindari jagat dari hal-hal
yang tidak diinginkan.
Dari cerita tersebut, masyarakat setempat menganggap bahwa kelahiran bayi kembar
buncing merupakan kutukan dari Dewa Brahma. Tempat kelahiran dan keluarga
bersangkutan akan mengalami cuntaka (dalam keadaan kotor). Maka untuk menyucikan
kembali tempat atau desa beserta keluarga yang dilanda cuntaka, maka masyarakat
setempat harus mengadakan upacara penyucian, baik dari segi Desa ataupun keluarga,
agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dari sinilah dikenal istilah ”Budaya
Manak Salah” yang masih dilaksanakan di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada,
Kabupaten Buleleng dari turun temurun.
PAGE \* MERGEFORMAT 12
2.4. Manak Salah, Tradisi Atau Agama?
Hindu tak Mengenal Istilah Lahir Salah dalam tradisi lokal, di masa lalu adanya ibu
yang melahirkan kembar buncing (laki-perempuan) bisa bermakna ganda. Jika keluarga
raja yang memiliki putra buncing, hal itu bisa berarti berkah atau keberuntungan.
Sebaliknya, bagi masyarakat kebanyakan hal itu bisa dikatakan bencana atau aib.
Bagaimana sebenarnya Hindu memaknai suatu kelahiran salah atau tidak salah? semua
kelahiran merupakan berkah. Tidak ada istilah lahir salah (manak salah) yang kemudian
dianggap ngeletehin (menodai) desa sehingga perlu diupacarai. Terlebih ada pembenar
bahwa jika raja melahirkan kembar buncing dianggap berkah, sementara rakyat
dianggap bersalah sehingga perlu diberikan sanksi. Akan merupakan kemunduran jika
pada era sekarang masih ada pengenaan sanksi adat kepada pasangan suami-istri yang
melahirkan anak kembar buncing, sebab pemerintah Bali sejak tahun 1951 telah
mengeluarkan keputusan tentang pelarangan pengenaan sanksi semacam itu. Oleh
karenanya, tradisi kerajaan yang berlaku dulu itu sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih
dalam konsep religius dipandang bahwa tiap kelahiran adalah menebus dosa yang
tertinggal pada kelahiran masa lampau.
Dalam agama Hindu tidak ada istilah manakan salah. ''Dalam sastra agama tidak
ada disebutkan kembar buncing itu merupakan manak salah sehingga perlu diupacarai
karena dianggap leteh,'' katanya. Jangankan pada diri manusia, tegasnya, jiwatman yang
ada pada butha saja mesti di-ruwat agar derajatnya bisa meningkat. Dikatakan,
munculnya tradisi manakan salah semata-mata karena prestise orang-orang tertentu
pada zaman dulu. Terutama ketika Belanda menerapkan politik pemecah belah, raja
tidak boleh disamakan dengan rakyat dan rakya tidak boleh menyamai (memada) raja.
Tradisi itu kemudian dikaitkan dengan keagamaan sehingga terkesan sangat sakral.
Oleh karena dikaitkan pada agama jelas hal itu merasuk tulang sumsum spiritual umat.
Akibatnya, begitu kembar buncing dicap ngeletehin desa, maka hal itu tidak bisa
diganggu gugat dan mesti diterima. Terlebih hal itu didukung oleh raja dan purahita
(penguasa politik).
''Mau tidak mau masyarakat menerima, dan ikut larut pada tradisi seperti itu.
Masyarakat yang melahirkan anak kembar semacam itu lalu menjadi trauma, dan
mengangap dirinya orang-orang berdosa atau orang-orang yang ngeletehin,'' Jadi
ditinjau dari segi agama, , jelas tidak benar dan tradisi itu melanggar hak asasi manusia.
Belum terhapusnya tradisi semacam itu dia menilai karena masih ada dualisme
PAGE \* MERGEFORMAT 12
pemahaman di masyarakat. Terutama bagi mereka yang percaya terhadap hal itu, jelas
tidak berani meninggalkan tradisi tersebut. ''Ini yang masih terjadi di masyarakat
sehingga tidak ada keberanian untuk meninggalkan tradisi semacam itu, kecuali secara
perlahan-lahan.'' Oleh karena itu, lanjutnya, peraturan yang pernah dikeluarkan
Pemerintah Daerah Bali tahun 1951 itu perlu dimasyarakatkan terus, baik melalui aparat
desa, desa pekraman, maupun pemerintah yakni melalui Departement Agama.
Bahkan dia menegaskan, kembar buncing dianggap manak salah sudah
merupakan penghakiman, karena dalam konsep relegius memandang tiap kelahiran
adalah menebus dosa yang tertinggal pada kelahiran terdahulu. Di samping pemahaman
masyarakat perlu diubah, semua pihak harus berani mengatakan bahwa kembar buncing
itu tidak salah karena jelas-jelas dalam sastra agama tidak ada disebutkan hal itu. Drs.
Ketut Wiana sepakat dengan Rudia Adiputra bahwa manak salah itu merupakan tradisi
kerajaan. ''Itu jelas tradisi kerajaan dan bukan tradisi agama. Jeleknya lagi, masih
banyak pemimpin umat kita memegang tradisi itu.'' Padahal, kata Wiana yang Ketua III
PHDI Pusat, tradisi itu sudah dihapus sejak 1951 sekaligus sanksi adat lainnya yang
sudah tidak cocok lagi.
PAGE \* MERGEFORMAT 12
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Beberapa simpulan yang bisa penulis peroleh adalah :
1. Kesimpulan yang di peroleh mengenai pengertian dari manakan salah itu sendiri
ialah pasangan suami istri yang mempunyai kelahiran anak kembar namun
berbeda kelamin (laki-perempuan) atau yang di kenal dengan kembar buncing,
namun di nyatakan bahwa kelahiran itu salah atau manakan salah apabila dari
kelahiran si kembar buncing (laki-perempuan) yang terlahir pertama ialah
perempuan.
2. Mengenai peraturan yang mengatur kasus manakan salah sudah di keluarkan
sejak tahun 1951 yang ditetapkan pada Paswara No.10/DPRD tertanggal 12 juli
1951 yang menghapus adat manak salah dan buncing
3. Kasus manakan salah merupakan tradisi dari zaman kerajaan yang menyatakan
bahwa sanksi yang diberikan kepada pasangan suami istri yang mempunyai
kelahiran kembar buncing dimana yang terlahir lebih awal itu perempuan
dikatakan manakan salah jika sebaliknya dikatakan buncing dan sanksi yang
dibebankan kepadanya dikarenakan oleh kelahiran dari raja tidak dapat di
samkan dengan rakyat biasa.
3.2. SARAN
Sebagai masyarakat yang hidup pada zaman modern seperti ini ada bainya
meninggalkan tradisi yang melanggar HAM seperti pemberian sanksi kepada pasangan
suami istri yang mempunyai kelahiran kembar berbeda kelamin (laki-perempuan)yang
di bebani sanksi adat berupa kasepekang atau pengasingan karena tidak sesuai dengan
ajaran agama hindu dan itupun melanggar HAM.
Jadi saran yang dapat saya berikan, bagi desa-desa yang masih menerapkan tradisi
seperti ini dapat mengubah awig-awig atau peraturan adatnya atau menghapuskan
sanksi adat tersebut. Karena setiap kelahiran merupakan berkah bagi setiap orang.
PAGE \* MERGEFORMAT 12
DAFTAR PUSTAKA
Made Susena, Y. 1995. Kisah Kasih Anak Kembar Se-Dunia dan Kasus “Manakan
Salah” di Bali. Denpasar : PT. BP
Antara, Bali Post, Tempo, PHDI Provinsi Bali, Universitas Udayana. Ilustrasi
Gambar Utama:ryogustyamaya.wordpress.com
(1) Artika, I Wayan. 2005. Incest. Yogyakarta : Pinus.
(2) www.wikipedia.com
(3) http://www.google.co.id/search?hl=id&q=budaya+adat+desa+padangbulia+
%27bali%27&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=&aq=f&oq=
PAGE \* MERGEFORMAT 12
top related