unud-291-1009483473-bab i, ii, iii, iv
Post on 16-Jan-2016
13 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker leher rahim adalah suatu neoplasma yang berawal dari jaringan
baru/neoplasma pada servik. Kanker leher rahim termasuk salah satu penyakit
paling mematikan yang menghantui kehidupan perempuan, sering menyerang
perempuan yang hidup di negara berkembang. Angka kejadian kanker leher rahim
terus mengalami peningkatan dan menjadi salah satu penyebab kematian usia
reproduktif. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
proporsi penyebab kematian karena kanker semakin meningkat. Kanker leher
rahim di Indonesia pada tahun 1976 sebesar 1,3%, pada tahun1980 menjadi 3,4%,
pada tahun 1986 meningkat menjadi 4,3 % dan pada tahun 1992 meningkat
menjadi 4,8 % (Nuranna, 1992). Menurut WHO setiap tahun jumlah penderita
kanker leher rahim terus bertambah. Diperkirakan ditemukan kasus baru kanker
leher rahim sekitar 6,25 juta per tahun. Rata-rata setiap 11 menit ada satu orang
perempuan meninggal karena kanker leher rahim dan setiap 3 menit ada satu
penderita baru. Diperkirakan pula 9 juta orang meninggal setiap tahun akibat
kanker leher rahim. Dua pertiga dari penderita kanker tersebut berada di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia (Bustan, 1997 ; Ratna, 2004). Menurut
Hacker & Moore (2001), di Asia pada tahun 2000 angka kejadian kanker leher
rahim ditemukan 510/100 000 wanita, dengan Case Fatality Rate (CFR) 39,8 %.
1
2
23
Data Kementrian Kesehatan menunjukkan di Indonesia saat ini ada 200 000
kanker leher rahim setiap tahunnya atau 100 kasus per 100 000 wanita. Dari data
tersebut 70 % kasus yang datang ke Rumah sakit ditemukan sudah dalam stadium
lanjut. Data yang ada di 13 pusat patologi di Indonesia menunjukkan bahwa 27 %
(3684) adalah kanker leher rahim (Azis, 1996).
Kanker leher rahim terdiri dari 4 stadium, dimana pada stadium displasia,
masih dapat dilakukan upaya pencegahan, agar tidak terjadi kanker invasif. Untuk
itu diperlukan upaya-upaya deteksi dini baik melalui pap smear, IVA (inspeksi
visual dengan asam asetat) maupun dengan ginoskop. Pada keadaan dimana
tenaga profesional masih terbatas, maka metode dengan memakai asam asetat 4%
tampaknya lebih feasible. Karena bisa dikerjakan oleh tenaga-tenaga para medis
(bidan) yang telah terlatih, hasilnya bisa langsung diberitahukan kepada pasien
dan biayanya lebih murah. Dengan metode ini dilaporkan bahwa dari 100
penderita yang dinyatakan positif, 98 orang (98%) juga dinyatakan positif dengan
pemeriksaan kolposkopi (Van Le, dkk., 1993; Ficsor, dkk., 1990). Kanker leher
rahim disebabkan oleh adanya infeksi Human Papiloma Virus (HPV). Beberapa
faktor lain yang berpengaruh adalah umur pertama kali melakukan hubungan
seksual, kawin usia dini, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan,
jumlah kehamilan, kontrasepsi hormonal, jumlah perkawinan, sosial ekonomi
yang rendah berkaitan dengan pendidikan yang rendah, higiene dan sirkumsisi,
serta kebiasaan merokok (Andrijono, 2010).
3
23
Penelitian ini akan menggali hubungan perkawinan usia dini, paparan rokok
dan kontrasepsi hormonal terhadap kejadian lesi prakanker leher rahim. Pada
tahun 2010, dilakukan skrining kanker leher rahim dengan metode IVA di
Kecamatan Payangan terhadap 545 orang PUS didapatkan 184 orang yang positif
yaitu sebesar 33 %. Diantara ibu-ibu yang test IVA positif sebagian besar menikah
dibawah umur 20 tahun dan menggunakan kontrasepsi hormonal. Jumlah ibu
hamil usia kurang dari 20 tahun di Pukesmas Payangan dalam tiga tahun terakhir
mengalami peningkatan. Data cakupan program KIA yaitu KI (kunjungan
pertama ibu hamil) tahun 2008 sebesar 6,05 %, tahun 2009 sebesar 6,48 % dan
tahun 2010 sebesar 7,32 %. Cakupan peserta KB aktif di Kecamatan Payangan,
menunjukkan bahwa peserta KB IUD semakin menurun dan peserta KB hormonal
semakin meningkat. Pada tahun 2008 akseptor KB hormonal sebesar 30,67%,
tahun 2009 sebesar 35,11% dan pada tahun 2010 sebesar 36,4 %.
Tingginya angka case fatality rate (CFR) kanker leher rahim dan tingginya
angka kejadian IVA positif di Kecamatan Payangan, membuat peneliti tertarik
untuk mengetahui hubungan perkawinan usia dini, paparan rokok dan pemakaian
kontrasepsi hormonal terhadap kejadian lesi prakanker leher rahim.
1.2 Rumusan Masalah :
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah yang dijelaskan diatas, dalam
penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
4
23
1.2.1 Apakah risiko terjadinya lesi prakanker leher rahim pada perkawinan di
bawah umur 20 tahun lebih besar dibandingkan dengan perkawinan diatas
umur 20 tahun?
1.2.2 Apakah risiko terjadinya lesi prakanker leher rahim pada perempuan yang
mendapat paparan rokok lebih besar dibandingkan perempuan yang tidak
mendapat paparan rokok?
1.2.3 Apakah risiko terjadinya lesi prakanker leher rahim meningkat pada
pemakaian kontrasepsi hormonal dibandingkan pemakaian kontrasepsi
bukan hormonal?
1.3 Tujuan :
1.3.1 Tujuan Umum :
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui risiko perkawinan
usia dini, paparan rokok, dan pemakaian kontrasepsi hormonal terhadap kejadian
lesi prakanker leher rahim.
1.3.2 Tujuan Khusus :
1.3.2.1 Untuk mengetahui risiko terjadinya lesi prakanker leher rahim pada
perkawinan di bawah umur 20 tahun.
1.3.2.2 Untuk mengetahui risiko terjadinya lesi prakanker leher rahim pada
perempuan yang mendapat paparan rokok.
5
23
1.3.2.3 Untuk mengetahui risiko terjadinya lesi prakanker leher rahim pada
pemakaian kontrasepsi hormonal.
1.4 Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat penellitian antara lain :
1. Manfaat Teoritis yaitu menambah pengetahuan peneliti tentang peran faktor
risiko terhadap kejadian lesi prakanker leher rahim.
2. Manfaat praktis yaitu untuk program pencegahan atau deteksi dini lesi pra
kanker leher rahim.
6
23
7
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lesi Prakanker Leher Rahim
Istilah lesi prakanker leher rahim (displasia serviks) telah di kenal luas di
seluruh dunia, lesi prakanker disebut juga lesi intraepithel servik (cervical
intraepithelial neoplasia). Keadaan ini merupakan awal dari perubahan menuju
karsinoma leher rahim. Diawali dengan NIS I (CIN I) karsinoma yang secara
klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi NIS II, dan kemudian menjadi NIS
III dan selanjutnya berkembang menjadi karsinoma leher rahim. Konsep regresi
yang spontan serta lesi yang persistent menyatakan bahwa tidak semua lesi
prakanker akan berkembang menjadi lesi invasif, sehingga diakui bahwa masih
cukup banyak faktor yang berpengaruh (Andrijono, 2010). Hal ini mengisyaratkan
bahwa perempuan yang memiliki displasia yang rendah dan ringan, tidak selalu
berkembang menjadi kanker leher rahim, karena dapat hilang dan lenyap dengan
sendirinya tergantung pada sistem kekebalan tubuh (Suhemi, 2010). Kondisi lesi
prakanker diklasifikasikan menjadi : NIS I adalah displasia ringan, NIS II adalah
displasia moderat dan NIS III adalah displasia parah ( Suhemi, 2010).
Perjalanan lesi prakanker leher rahim sebagai berikut : NIS I, 57 % regresi, 32
% persistent, 11 % progres ke NIS III, dan 1 % progres ke karsinoma. NIS II, 43
% regresi, 35 % persistent, 22 % progres ke NIS III dan 5 % progres ke
8
23
karsinoma. NIS III, 32 % regresi, 56 % persistent, dan lebih dari 12 % progres ke
karsinoma.
Infeksi HPV merupakan faktor inisiator dari kanker leher rahim. Integrasi
DNA virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses yang mengarah
transformasi. Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi
menyebabkan E2 tidak berfungsi dan menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7
yang akan menghambat p53 dan pRB. Hambatan p53 dan pRB menyebabkan
siklus sel tidak terkontrol. Protein E6 akan berikatan dengan p53, dengan
demikian fungsi p53 (tumor suppressor gene / menghentikan siklus sel) akan
hilang sehingga pertumbuhan sel tidak terkontrol. Penghentian siklus sel bertujuan
untuk memberi kesempatan kepada sel untuk memperbaiki kerusakan yang
timbul.
2.2 Definisi Kanker Leher Rahim
Kanker leher rahim adalah kanker yang tumbuh di dalam leher rahim
(serviks) yaitu suatu daerah yang terdapat pada organ reproduksi wanita, yang
merupakan pintu masuk kearah rahim (uterus), dengan vagina (Marjikoen, 2007).
Diantara berbagai jenis keganasan pada genetalia wanita hanya kanker leher
rahim yang dapat dicegah dengan suatu teknik skrining yang cukup efektif, murah
dan dapat mendeteksi terhadap keadaan prakanker yang dikenal dengan nama
IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat). Walaupun sudah banyak dikenal
9
23
masyarakat, namun belum seluruh wanita diatas 30 tahun dan sudah menikah
melaksanakan pemeriksaan ini secara rutin. Keterlambatan diagnosa
menyebabkan keterlambatan pasien mendapat pengobatan. Pengobatan kanker
leher rahim menurut beberapa penulis belum memberikan hasil yang memuaskan.
Terutama di Negara berkembang, pasien pada umumnya datang dalam keadaan
stadium klinis yang telah lanjut. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya lesi
prakanker cukup panjang. Periode laten dari fase pra invasif menjadi invasif
memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Kanker leher rahim sering terjadi pada
wanita berusia antara 45-50 tahun dengan puncaknya pada usia 35-39 tahun dan
60-64 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun ( Saefudin, 1999).
2.3 Epidemi Kanker Leher Rahim
Berdasarkan laporan, kanker leher rahim ditemukan paling banyak pada usia
setelah 40 tahun dan lesi derajat tinggi pada umumnya dapat dideteksi sepuluh
tahun sebelum terjadi kanker dengan puncak terjadinya displasia leher rahim pada
usia 35 tahun (WHO, 1992). Di Indonesia terjadi peningkatan kejadian kanker
dalam jangka waktu 10 tahun. Peringkat kanker sebagai penyebab kematian naik
dari peringkat 12 menjadi peringkat 6. Diperkirakan terdapat 190.000 penderita
baru dan 1/5 akan meninggal akibat penyakit kanker. Namun akibat kanker bisa
dikurangi 3-35 % bila dilakukan tindakan preventif, skrining dan deteksi dini
(Dalimartha, 2004).
10
23
Kawin Muda berpengaruh terhadap kejadian kanker leher rahim, (Sandra Van
Loon, 1992). Faktor risiko usia menikah pada usia dini berhubungan dengan
kejadian kanker leher rahim. Semakin dini seorang perempuan melakukan
hubungan seksual semakin tinggi risiko terjadinya lesi prakanker pada leher
rahim. Sehingga dengan demikian semakin besar pula kemungkinan
ditemukannya kanker leher rahim. Hal ini disebabkan pada usia tersebut terjadi
perubahan lokasi sambungan skuamo-kolumner sehingga relatif lebih peka
terhadap stimulasi onkogen (Jacobs, N, 2003).
Di Kabupaten Wonosobo pada pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan
Asam Asetat) dari bulan Oktober 2008 sampai dengan bulan April tahun 2009
telah terdeteksi kasus IVA positif sejumlah 209 kasus (Lestari, 2009). Dari kasus
IVA positif tersebut terdapat beberapa faktor yang menonjol yaitu umur pertama
kali melakukan hubungan seksual, jumlah kehamilan dan partus, jumlah
perkawinan, sosial ekonomi, higiene dan sirkumsisi, serta kebiasaan merokok.
2.4 Faktor Risiko Kanker Leher Rahim
Faktor risiko adalah faktor yang memudahkan terjadinya infeksi virus HPV
dan faktor lain yang memudahkan terjadinya kanker leher rahim atau
meningkatkan risiko menderita kanker leher rahim. Menurut American Cancer
Society (Suheimi, 2010) faktor-faktor tersebut antara lain : Infeksi Human
Papilloma Virus adalah virus yang tersebar luas menular melalui hubungan
seksual. Faktor risiko lain meliputi : multi partner, aktivitas seks dini (sebelum
11
23
usia 18 tahun), berhubungan seks dengan laki-laki yang tidak disunat, IMS lain
(HIV/AIDS, GO), riwayat keluarga kanker leher rahim, umur lebih dari 40 tahun,
kontrasepsi oral (pil KB), merokok, status sosial ekonomi rendah, Ras, diet yang
tidak sehat, anak perempuan dari ibu yang minum obat DES (dietilstilbesterol),
sering hamil dll. Menurut Andrijono, (2007), faktor penyerta kanker leher rahim
antara lain multi paritas, merokok, kontrasepsi hormonal, penyakit hubungan
seksual,dan faktor nutrisi.
2.4.1 Usia pertama kali kawin / melakukan hubungan seksual
Umur pertama kali melakukan hubungan seksual merupakan salah satu faktor
yang penting. Semakin muda seorang perempuan melakukan hubungan seksual
pertama kali, semakin besar risiko untuk terjadinya kanker leher rahim.
Hubungan seksual pertama dianggap sebagai awal mulanya proses kanker leher
rahim pada wanita (Yakub, 1993).
Menurut Riono, (1999), Edward (2001), Aziz (2002), (Melva, 2007) wanita
menikah di bawah usia 16 tahun biasanya 10-12 kali lebih besar kemungkinan
terjadi kanker leher rahim dibandingkan dengan mereka yang menikah diatas
usia 20 tahun. Pada usia tersebut rahim seorang remaja putri sangat sensitif.
Serviks remaja lebih rentan terhadap stimulus karsinogenik karena terdapat proses
metaplasia yang aktif, yang terjadi dalam zona transformasi selama periode
perkembangan. Metaplasia epitel skuamosa biasanya merupakan proses
12
23
fisiologis. Tetapi di bawah pengaruh karsinogen, perubahan sel dapat terjadi
sehingga mengakibatkan suatu zona transformasi yang patologik. Perubahan
yang tidak khas ini menginisiasi suatu proses yang disebut neoplasma intraepitil
serviks (Cervical intraepithelial Neoplasia (CIN) yang merupakan fase
prainvasif dari kanker leher rahim.
2.4.2 Berganti-ganti pasangan
Perilaku seksual yang berganti-ganti pasangan atau multi partner
meningkatkan risiko kanker leher rahim meningkat 10 kali lebih besar bila
bermitra seks lebih dari 6. Risiko juga meningkat bila melakukan hubungan
seksual dengan laki-laki yang bermitra seks multi patner atau mengidap
kondiloma akuminata (Aziz, 2002). Wanita yang berganti-ganti pasangan seksual
dan melakukan hubungan seks pada usia kurang dari 20 tahun lebih berisiko untuk
terjadi kanker leher rahim, karena memperbesar kemungkinan terinfeksi virus
HPV (Aziz, 2002).
2.4.3 Multi Paritas
Kanker leher rahim sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan. Hal
ini dapat terjadi karena perlukaan dan trauma akibat proses melahirkan. Kategori
paritas yang berisiko tinggi belum ada keseragaman. Pada umumnya para ahli
memberikan batasan antara 3-5 kali melahirkan (Tambunan, G.W., 1995).
2.4.4 Kontrasepsi
13
23
Pemakaian kontrasepsi oral dalam waktu lama lebih dari 4 sampai 5 tahun
dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker leher rahim sebesar 1,5-2,5 kali
(Hidayati, 2001). Kontrasepsi oral menyebabkan wanita sensitif terhadap HPV
yang menyebabkan adanya peradangan pada genetalia, sehingga berisiko terkena
kanker leher rahim (Hidayati, 2001). Pil kontrasepsi oral diduga akan
menyebabkan defisiensi asam folat, yang mengurangi metabolisme mutagen
sedangkan estrogen kemungkinan menjadi salah satu ko-faktor yang dapat
membuat replikasi DNA HPV. Menurut Andrijono, 2007, penggunaan kontrasepsi
hormonal meningkatkan risiko menderita kanker leher rahim. Penggunaan
kontasepsi hormonal 10 tahun meningkatkan risiko sampai dua kali.
2.4.5 Merokok
Tembakau mengandung bahan karsinogen, baik yang diisap sebagai rokok
atau yang dikunyah. Asap rokok mengandung nikotin. Wanita perokok,
konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam
serum. Efek langsung bahan tersebut pada leher rahim akan menurunkan status
imun lokal, sehingga dapat menjadi ko-karsinogen. Hasil penelitian, bila merokok
20 batang setiap hari resiko untuk terkena kanker leher rahim adalah tujuh kali
dibanding orang yang tidak merokok. Bila merokok 40 batang setiap hari risiko
untuk terkena kanker leher rahim adalah 14 kali dibanding orang yang tidak
merokok. Penelitian menyimpulkan bahwa semakin banyak dan lama wanita
14
23
merokok maka semakin tinggi risiko terkena kanker leher rahim (Hidayati,2001,
Melva, 2008).
2.4.6 Sosial Ekonomi Rendah
Banyaknya penderita kanker leher rahim dari keluarga dengan status kurang
berkaitan dengan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi.
Kurangnya konsumsi sayur dan buah-buahan meningkatkan risiko kanker leher
rahim, karena kurangnya pasokan vitamin A, C, E dan beta carotin yang berfungsi
sebagai anti oksidan. Penurunan anti oksidan mengakibatkan penurunan PH
serviks, sehingga menimbulkan neoplasma sel dan infeksi human papiloma virus
(elwinzai, 2007, Tara.E, 2001)
2.5 Inflamasi Leher Rahim
Leher rahim pada wanita yang sudah menikah sering mengalami infeksi,
dengan gejala keputihan. Sebagian proses infeksi dapat sembuh sendiri, dan
kadang-kadang ada hubungan dengan keganasan leher rahim. Penyebab infeksi
leher rahim antara lain : infeksi (protozoa, kuman, jamur dan virus), mekanis
(IUD, tampon, pesarium trauma selama senggama), perubahan hormonal
(pemakaian kontrasepsi pil/suntik), anatomis (polip), bahan kimia (cairan pencuci
vagina), keganasan (kanker leher rahim).
Oleh karena itu dianjurkan kepada semua wanita yang telah menikah atau
wanita dengan kegiatan seksual aktif, untuk melaksanakan deteksi dini lesi
15
23
prakanker leher rahim baik dengan Pap Smear maupun dengan metode IVA
(Suheimi, 2010).
2.6 Infeksi Virus HPV
Virus HPV dikenal sebagai Human Papilloma virus yang menyerang pada
bagian kulit dan lapisan lembab sepanjang tubuh kita seperti : selaput di dalam
mulut dan tenggorokan, serviks dan anus. Sejak tahun 1980 banyak peneliti
dalam bidang biologi molekuler telah menunjukkan identitas karakteristik dari
virus HPV dan peranannya sebagai agens onkogenik. Diperkirakan saat ini
jumlah wanita berusia hingga 50 tahun yang terinfeksi HPV sebanyak 70-80 %
(Mortakis, Alexandros, 2007). Menurut Prof. DR. Harald Zur Hausen penemu
virus HPV : bahwa saat ini ada 150 jenis HPV dan di masa depan jumlah ini akan
bertambah. Ada 20 jenis HPV di samping jenis HPV 16 dan HPV 18 yang
menyebabkan kanker. Jenis yang lain ini mempengaruhi 30% dari jumlah kasus
kanker leher rahim secara global. Human Papiloma Virus adalah faktor utama
penyebab kanker leher rahim. Virus ini tidak langsung membentuk kanker leher
rahim, melainkan HPV bereaksi dengan faktor-faktor lainnya sehingga
menyebabkan mutasi genetik. Kegagalan sistem pertahanan dan kekebalan tubuh
sehingga terjadilah sel abnormal yang berkembang menjadi kanker.
2.7 Patogenesis
Kanker leher rahim 95 % terdiri dari karsinoma skoamosa dan sisanya
merupakan adenoma karsinima dan jenis kanker lain. Hamper semua kanker leher
16
23
rahim di dahului derajat pertumbuhan prakarsinoma yaitu displasia dan karsinoma
in-situ. Proses perubahan dimulai didaerah sambungan skuamosa-kolumner (SSK)
dari selaput lendir porsiogan. Perubahan mula-mula ditandai dengan atipik dengan
mitosis aktif, susunan sel teratur meliputi sepertiga basal lanjut, maka perubahan
disebut displasia ringan. Bila perubahan berlanjut maka perubahan akan
melibatkan dua pertiga atau seluruh lapisan epidermis, dan masing-masing disebut
displasia sedang, berat, kanker in-situ yang sangat potensial menjadi kanker
invasif.
2.8 Sitologi Displasia
Secara histologi, spektrum perubahan epitel yang meliputi neoplasia intra
epithelial cervical diklasifikasikan secara kuantitatif berdasarkan jumlah sel
abnormal yang tidak berdiferensiasi yang menempati seluruh ketebalan epitel
serviks. Pada displasia terdapat proliferasi sel-sel basal atipik yang mempunyai
rasio inti sitoplasma yang meningkat. Apabila proliferasi sel-sel yang abnormal
mengenai kurang dari sepertiga bagian bawah tebalnya lapisan epitel serviks, lesi
disebut displasia ringan (NIS I). Apabila proliferasi sel abnormal mengenai
sepertiga sampai dua pertiga bagian bawah tebalnya lapisan sel epitel serviks, lesi
disebut displasia sedang (NIS II). Apabila proliferasi sel abnormal mengenai lebih
dari duapertiga bagian bawah tebalnya lapisan sel epitel serviks, lesi disebut
displasia berat (NIS III). Apabila sel-sel abnormal mengenai seluruh tebalnya
lapisan epitel serviks disertai hilangnya polaritas sel-sel yang normal, inti
17
23
menjadi pleiomorfik, hiperkromatik dan mitosis meningkat disebut sebagai
karsinoma insitu. World Health Organization (1973), telah mengembangkan
sistem klasifikasi sitologi standar yaitu displasia ringan, sedang, berat dan
karsinoma insitu. Richart (1973) memperkenalkan cervical intraepithelial
neoplasia (CIN) atau neoplasma intraepitel serviks (NIS), mencakup semua lesi
prakanker dari epitel serviks uteri.
2.9 Sambungan Skuamo-Kolumner dan Zona Transformasi
Selama masa anak-anak dan perimenarche sambungan skuamo-kolumner
sangat dekat dengan osteum uteri eksterna. Setelah masa pubertas dan selama
masa reproduksi organ wanita berkembang karena pengaruh estrogen. Serviks
menjadi sembab dan membesar serta kanalis endoserviks memanjang. Hal ini
akan mengakibatkan SSK menuju ektoserviks. Karena suasana asam vagina,
epitel kolumner mengalami pergantian oleh epitel skuamosa metaplastik. Proses
metaplasia berawal dari sambungan skuamo-kolumner berjalan menuju osteum
uteri eksterna. Zona transformasi disebut normal bila mengandung sel-sel
skuamosa metaplasia imatur dan atau matur dengan diselingi sel-sel epitel
kolumner, tanpa tanda-tanda karsinogenik. Zona trasformasi abnormal atau
atipikal bila ditemukan tanda-tanda karsinogenik seperti perubahan displasia
ditemukan pada zona transformasi.
2.10 Stadium Kanker Leher Rahim
18
23
Berdasarkan FIGO 1992, (Andrijono, 2005) stadium klinis karsinoma
serviks adalah :
1. Karsinoma pre invasif
Stadium 0 : karsinoma insitu, karsinoma intra-epithelial (selaput basal utuh)
2. Karsinoman invasif
Stadium 1 : karsinoma terbatas pada serviks
A : karsinoma mikroinvasif dini, diagnose dengan mikroskopis.
B : invasi stoma minimal.
A2 : lesi secara mikroskopik dapat diukur, dalamnya kurang dari 7 mm.
B : lesi lebih dari IA2
Stadium 2 : karsinoma keluar dari serviks, mengenai vagina tetapi 1/3 distal
masih bebas atau infiltrasi ke parametrium tetapi belum mencapai
dinding panggul.
IIA : mengenai vagina parametrium masih bebas.
IIB : parametrium sudah terkena.
III : karsinoma mengenai dinding panggul, 1/3 distal vagina.
IIIA : belum mengenai dinding panggul
IIIB : mencapai dinding panggul atau hidronefrosisi atau ginjal non
fungsi ( kecuali diketahui penyebab lain)
IV : sudah meluas ke luar panggul (true pelvis)
IVA : menyebar ke organ sekitar (buli-buli,rectum)
19
23
IVB : menyebar ke organ jauh.
2.11 Pencegahan Kanker Leher Rahim
Ada 2 pencegahan antara lain :
1. Pencegahan primer adalah pencegahan faktor penyebab kanker leher rahim
yaitu mencegah terjadinya infeksi HPV baik dengan cara menghindari faktor-
faktor yang menyebabkan infeksi HPV dan melakukan vaksinasi HPV
(Suwiyoga, 2010). Cara mencegah infeksi HPV yaitu : menghindari kontak
dengan yang menderita infeksi HPV, memakai kondom, setia dengan
pasangan, membatasi jumlah pasangan seks, memilih pasangan yang tidak
memiliki atau sedikit pasangan seks sebelumnya ( Faizah, 2010).
2. Pencegahan sekunder dapat dilakukan skrining baik dengan metode IVA
maupun pap smear (Misha Datta, 2010).
2.12 Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
Pemeriksaan IVA adalah pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter, bidan,
paramedis) mengamati serviks yang telah diolesi asam asetat/asam cuka 3-5%
secara inspekulo dan dilihat dengan pengamatan mata langsung (Sjamsudin, S,
2000). Sebagai suatu pemeriksaan skrining alternatif. Pemeriksaan IVA
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan uji yang sudah ada. Kelebihan
yang dimaksud yaitu efektif (tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar),
lebih mudah dan murah, peralatan yang dibutuhkan lebih sederhana. Hasilnya
20
23
segera diperoleh sehingga tidak memerlukan kunjungan ulang, cakupannya lebih
luas, dan pada saat penapisan tidak dibutuhkan tenaga skrinner untuk memeriksa
sediaan sitologi (Budiana, 2009). Pemberian asam asetat akan mempengaruhi
epitel abnormal bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler.
Cairan ektraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari
intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin
dekat. Sebagai akibatnya jika permukaan sel mendapat sinar, maka sinar tersebut
tidak akan diteruskan ke dalam stroma tetapi dipantulkan keluar sehingga
permukaan epitel abnormal akan berwarna putih atau disebut juga epitel putih.
Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan histologiknya.
Efek asam asetat akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan
pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran serviks yang normal
(merah homogen) atau bercak putih (mencurigai displasia). Pada epitel yang
abnormal (atipik), didapatkan ketebalan yang bertambah dan perubahan struktur
epitel akan menyebabkan cahaya yang dipantulkan tampak opak, gambaran opak
tampil sebagai bercak putih. Hasil pemeriksaan IVA di kategorikan sebagai
berikut :
1. Negatif : licin, merah muda, bentuk porsio normal
2. Positif : plak putih, epitel acetowhite (bercak putih), indikasi lesi prakanker
leher rahim (Hartono P, 2001).
21
23
2.13 Pengobatan Kanker Leher Rahim
Kanker Leher Rahim dapat disembuhkan, kemungkinan keberhasilan terapi
kanker leher rahim stadium I adalah 85%, stadium II adalah 60%, stadium III
adalah 40%. Pengobatan kanker leher rahim tergantung stadium penyakit. Pada
stadium IB-IIA dapat diobati dengan pembedahan, radiasi (penyinaran) dan
kemoterapi. Sedangkan stadium IIB ke atas diobati dengan radiasi saja atau
kombinasi radiasi dengan kemoterapi (kemoradiasi). Pembedahan dilakukan
dengan mengambil daerah yang terserang kanker, biasanya uterus beserta leher
rahimnya. Bentuk pembedahan antara lain :
1. Cryosurgery yaitu pengobatan dengan cara membekukan dan menghancurkan
jaringan abnormal (biasanya untuk stadium pra-kanker leher rahim).
2. Bedah laser : untuk memotong jaringan atau permukaan lesi pada kanker
leher rahim.
3. Loop electrosurgical excision procedure (LEEP) : menggunakan arus listrik
yang dilewati pada kawat tipis untuk memotong jaringan yang abnormal
kanker leher rahim.
4. Total histerektomi yaitu pengangkatan seluruh rahim dan serviks.
5. Radikal histerektomi yaitu pengangkatan seluruh rahim dan serviks, indung
telur, tuba falopii maupun kelenjar getah bening di dekatnya (Julisar L, 2010).
22
23
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Penyebab lesi pra kanker adalah infeksi human papilloma virus (HPV)
kelompok onkogenik risiko tinggi, terutama HPV-16 dan HPV-18. Pada
perjalanan alamiah infeksi HPV, reseptornya terdapat pada lapisan basal epitel
23
23
serviks. Perubahan epitel dimulai pada regio transisional antara epitel skuamosa
dengan epitel silindris mukosa serviks. Dalam mekanisme patogenesisnya,
peranan respon imun dan antionkogen adalah besar. Respon imun terkait dengan
status gizi dan umur. Selain itu, diduga struktur dan fungsi epitel serviks yang
belum sempurna seperti pada kawin usia muda dan paparan rokok dapat
menurunkan respon imun seluler.
Sementara servisitis dapat memudahkan terjadinya infeksi HPV. Sedangkan
kerusakan serviks akibat persalinan berulang pada multiparitas juga berperan
sebagai faktor predisposisi. Multiparner seksual juga berperan dalam hal
memudahkan terjadinya servisitis.
Beberapa faktor risiko minor berperan pada mekanisme terjadinya lesi
serviks. Perkawinan usia muda memudahkan terjadinya infeski terkait dengan
struktur dan fungsi epitel serviks yang belum sepenuhnya matur dan risiko
multipartner lebih besar atau lebih terbuka terkait kesempatan dan biologis.
Paparan rokok yang konsisten diduga berperan dalam menurunkan respon imun
seluler pada mukosa serviks itu sendiri. Selain itu, nikotin terakumulasi pada
mukosa serviks yang dapat menggangu fungsi imunologiknya. Kontrasepsi
hormonal lama juga mungkin berperan terkait pematngan epitel serviks dan
respon imun humoral.
24
23
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka kerangka konsep yang dipakai dalam
penelitian ini adalah :
Bagan 3.2 Kerangka Konsep
Variabel yang akan diteliti adalah perkawinan usia dini, paparan rokok dan
pemakaian kontrasepsi hormonal hubungannya dengan kejadian lesi prakanker
leher rahim.
3.3 Hipotesis Penelitian
1 Risiko terjadinya lesi pra kanker leher rahim pada perkawin usia muda lebih
besar dibandingkan dengan bukan kawin usia muda.
Lesi
Prakanker
Leher Rahim
Perkawinan usia dini
Paparan rokok
Kontrasepsi hormonal
Sosial ekonomi rendah
Umur > 40 tahun
Multi partner
Multi paritas
Servisitis
Respon Imun
Human Papilloma
virus
25
23
2 Risiko terjadinya lesi pra kanker leher rahim pada pajanan rokok lebih besar
dibandingkan tanpa paparan rokok.
3 Risiko terjadinya lesi pra kanker leher rahim pada akseptor kontrasepsi
hormonal lebih besar dibandingkan dengan bukan akseptor kontrasepsi
hormonal.
BAB IV
METODA PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
26
23
Penelitian observasional analitik dengan desain kasus control tidak berpasangan,
dimana penelitian di mulai dengan mengidentifikasi dan mengumpulkan kasus
dari ibu-ibu yang mengikuti test IVA (test IVA positif) kemudian dicarikan
pembanding sebagai kontrol (test IVA negatif). Pajanan faktor risiko pada kedua
kelompok ditelusuri ke belakang.
faktor risiko Kasus
faktor risiko Kontrol
Lesi prakanker leher rahim (IVA Positif)
Kawin usia dini
Memakai kontrasepsi hormonal
ya
ya
tidak
tidak
ya
Kawin usia dini
Paparan rokok
tidak
ya
tidak
27
23
4.2 Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar
pada tahun 2011.
4.3 Sumber data
Sumber data adalah hospital base yaitu dengan menggunakan catatan
kuesioner MFS See and Treat Secreening Cervical Cancer terhadap ibu-ibu yang
telah melakukan test IVA di UPT Kesehatan Masyarakat Payangan pada tahun
2010/2011.
4.3.1 Besar Sampel
Sampel akan diambil dari ibu-ibu yang melakukan test IVA di UPT
Kesehatan Masyarakat Payangan tahun 2010/2011.
Rumus besar sampel pada studi kasus kontrol tidak berpasangan dengan
menggunakan OR adalah (Dahlan, Sopiyudin, 2009. Danim, Sudarwan, 2003)
n1 = n2 = [Zα √ 2PQ + Zβ √(P1Q1 + P2Q2) ]2
leher rahim normal (IVA Negatif
Memakai kontrasepsi hormonal
ya
tidak
Paparan rokok ya
tidak
28
23
(P1 –P2)2
n1 = n2 = [1,96 √ 2 x 0,35 x 0,65 + 0,90 √(0,43 x 0,57 + 0,27 x 0,73) ]2
(0,43 – 0,27)2
= 144
Jadi sampel untuk setiap kelompok adalah 144 (kelompok kasus sebanyak
144, kelompok kontrol sebanyak 144).
4.4 Kriteria Subjek :
4.4.1 Kriteria Inklusi : subjek dengan data kuesioner terisi dengan lengkap.
4.4.2 Kriteria Inklusi : subjek dengan data kuesioner tidak terisi dengan lengkap.
4.5 Variabel Penelitian :
4.5.1 Variabel tergantung : lesi prakanker leher rahim
4.5.2 Variabel bebas : perkawinan usia dini
: paparan rokok
: pemakaian kontrasepsi hormonal
4.5.3 Variabel perancu : Multi partner, menderita IMS, riwayat keluarga,
personal hygiene, multi paritas, umur lebih dari 40 tahun, status ekonomi.
Variabel perancu akan dikontrol by design
29
23
4.6 Definisi operasional variabel
Dari variabel yang akan diteliti maka dapat didefinisikan sebagai berikut:
4.6.1 Kasus adalah ibu-ibu dengan hasil IVA positif.
4.6.2 Kontrol adalah ibu-ibu dengan hasil IVA negatif.
4.6.3 Perkawinan usia dini adalah umur saat menikah kurang dari umur 20 tahun
4.6.4 Paparan rokok adalah ibu yang suaminya merokok
4.6.5 Pemakaian kontrasepsi hormonal adalah PUS yang pernah atau sedang
menggunakan kontrasepsi pil, kontrasepsi suntik dan kontrasepsi susuk
(implant).
4.6.6 IVA positif adalah lesi putih cuka pada leher rahim (Acetowhite), indikasi
lesi prakanker leher rahim.
4.6.7 IVA negatif adalah gambaran leher rahim normal.
4.6.8 Lesi prakanker leher rahim adalah NIS I, NIS II dan NIS III
4.7 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian secara murni menggunakan Kuesioner MFS See and
Treat Screening Cervical Cancer, dimana kuesioner tersebut sudah teruji
reliabilitas dan validitasnya pada beberapa penelitian kanker leher rahim.
30
23
Kasus akan di dapat dari data sekunder yaitu register pemeriksaan atau test
kesehatan dengan IVA tahun 2010/2011 di Kecamatan Payangan yang hasil IVA-
nya positif.
Pembanding/kontrol akan diambil pula dari register pemeriksaan atau test
kesehatan dengan IVA di Kecamatan Payangan tahun 2010/2011 yang hasil
IVA-nya negatif.
Kasus dan kontrol didapatkan dari ibu-ibu yang mendaftarkan diri untuk
melakukan test IVA di UPT Kesehatan Masyarakat Payangan. Sebelum
mendaftarkan diri untuk periksa, ibu-ibu telah mendapatkan sosialisai tentang
kanker leher rahim
4.7 Alur Penelitian
4.7.1 Penelitian dimulai dengan melakukan listing data ibu-ibu yang melakukan
test IVA di UPT Kesehatan Masyarakat Kecamatan Payangan.
4.7.2 Melakukan listing ibu-ibu yang test IVA-nya positif.
4.7.3 Melakukan listing ibu-ibu yang test IVA-nya negatif.
4.7.4 Memilih sampel secara sistematik random sampling dari ibu-ibu yang test
IVA-nya positif sejumlah sampel sebagai kasus.
4.7.5 Memilih sampel secara sistematik random sampling dari ibu-ibu yang test
IVA-nya negatif sejumlah sampel sebagai kontrol.
4.7.6 Melakukan pengumpulan data.
4.7.7 Melakukan analisis data dengan computer program SPSS 13,5.
31
23
4.7.8 Melakukan penyajian data.
4.8 Rencana Analisis
Data di analisis dengan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan dua
variabel yaitu variabel independen (expose) dan variabel independen yang
dilakukan secara statistik dengan menggunakan uji t test independen dan test X2
(chi square) sehingga didapatkan rasio odds (RO).
32
23
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2005. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta,
Jakarta.
Andrijono, 2005. Sinopsis Kanker Gynekologi, Divisi Onkologi Departemen
Obstetri dan Gynecologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Andrijono, 2007, Kanker Serviks, Divisi Onkologi Departemen Obstetri dan
Gynecologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Bustan M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, PT Rineka Cipta,
Jakarta.
Budiana, Single Visite Approach Sebagai Upaya Pencegahan Kanker Serviks,
Divisi Onkologi Departemen Obstetri dan Gynecologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar.
Danim, Sudarwan. 2003, Metode Penelitian Kebidanan, Prosedur, Kebijakan &
Etik, EGC, Jakarta .
Dahlan, Sopiyudin, 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta.
Datta, Misha., at al. 2009. Rujukan Cepat Obstetri & Ginekologi, EGC, Jakarta.
33
23
Fasiah, SA. 2010. Waspada Kanker Serviks, Lintang Aksara, Jakarta.
Hartono P., 2001 VIA (VISUAL INSPECTION with ACETC ACID), pengamatan
serviks secara langsung setelah asam asetat, sebagai alternative
penapisan dan deteksi dini kanker serviks. Surabaya; Lab/SMF Obstetri
Genekologi FK Unair/RSUD Dr. Sutomo.
Hacker & Moore, 2001. Essential of Obstetri and Gynaecology, alih bahasa Edi
Nugroho, Penerbit J. George Hypopcrates ; 637.
Lestadi, Julisar., 2009. Sitologi Pap Smear Alat Pencegah & Deteksi Dini Kanker
Leher Rahim, EGC, Jakarta.
Melva, 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kanker Leher Rahim
Pada Penderita yang Datang Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan.
Nuranna,L. 2001. Skrining Kanker Serviks Dengan Metode Skrining Alternatif :
IVA, Cermin Dunia kedokteran No. 133.
Notoatmojo, Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta.
Sarwono, 2006. Oncology Ginekologi, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirodihardjo, Jakarta.
Suwiyoga, 2006. Buku Ajar Keluarga Berencana, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana : BKKBN, Propinsi Bali.
Suwiyoga, Beberapa Masalah Pap Smear Sebagai Alat diagnosis Dini Kanker
Serviks di Indonesia, Lab. Obstetri dan Genekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Denpasar.
Sjamsudin S., 2000, Inspeksi visual dengan aplikasi asam asetat (IVA), suatu
metode alternatif skrining kanker serviks, Subbagian Onkologi Bagian
Obstentri dan Genekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Rumahsakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Tambunan, G.W., 1995, Diagnosa dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker
Terbanyak di Indonesia, cetakan 2, EGC, Jakarta.
Tara, E, 2001, Kanker Pada Wanita, Ladang Pustaka dan Intimedia, Jakarta.
34
23
WHO, 2006. Cervical Cancer Screening in Developing Countries : Report of
WHOconsultation.Geneva26-31.
available:httod/www.nccc.online.ora./world cancer. html.
top related