tugas jiwa sindrom post trauma
Post on 14-Feb-2015
249 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua manusia akan menghadapi stress dalam kehidupan, termasuk anak dan remaja. Sumber stress yang ada disekitar kita setiap saat terjadi, dari menghadapi lingkungan yang baru, kehilangan uang,kekerasan dalam rumah tangga, termasuk pada anak dan remaja. Ada juga anak yang melihat seseorang menembak, ini membuat trauma tersendiri dan lain-lain. Terkadang stressor dalam kehidupan kita sangat kuat dan shock secara emisional, termasuk kehilangan rumah, banjir dan bencana alam yang lain.Kita menggunakan kata trauma dalam kehidupan kita yang berarti bahwa orang yang mempunyai stress yang sangat tinggi. Seorang remaja yang tidak mampu bicara dengan orang tuanya karena trauma di bentak orang tuanya. Seorang anak yang takut melihat air mengalir, setelah bencana banjir, seorang remaja yang takut menikah karena trauma dengan laki-laki. Seorang ibu yang sangat stress karena ada truma dalam hidupnya dan sangat berpengaruhi dalam kehidupan rumah tangganya. Kemampuan menghadapi stress adalah kemampuan seseorang untuk beradapatasi dengan kondisi yang sangat stress. Kondisi ini dapat menghancurkan hidup seseorang atau membuat seseorang bertambah kuat, dalam menghadapi segala bentuk stress. PTSD sangat penting untuk diketahui, selain karena banyaknya kejadian “bencana” yang telah menimpa kita, PTSD juga dapat menyerang siapapun yang telah mengalami kejadian traumatik dengan tidak memandang usia dan jenis kelamin.
B. Tujuan Umum dan Khusus1. Tujuan Umum
Mahasiswa keperawatan mampu memahami PTSD dan mampu membuat asuhan keperawatan pada klien dengan PTSD.
2. Tujuan Khususa. Mahasiswa keperawatan mampu menjelaskan definisi PTSDb. Mahasiswa keperawatan mampu menjelaskan Epidemiologi PTSDc. Mahasiswa keperawatan mampu menjelaskan Etiologi PTSDd. Mahasiswa keperawatan mampu menjelaskan Manifestasi Klinis PTSDe. Mahasiswa keperawatan mampu menjelaskan Patofisiologi PTSDf. Mahasiswa keperawatan mampu menjelaskan Pemeriksaan Penunjang
PTSDg. Mahasiswa keperawatan mampu menjelaskan Komplikasi PTSDh. Mahasiswa keperawatan mampu menjelaskan Penatalaksanaan Medis
Dan Keperawatan PTSDi. Mahasiswa keperawatan mampu membuat asuhan keperawatan pada
klien PTSD
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi
Sindroma Post Concussion adalah kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri kepala, pusing (dizziness), iritabilitas, mudah lelah, ansietas, gangguan memori, menurunnya konsentrasi dan imsomnia, yang merupakan sekuele setelah cidera kepala ringan tertutup. Istilah lain yang digunakan untuk keadaan ini adalah Post Traumatic Instability, Post Traumatic Headache, traumatic neurashtenia, traumatic psychasthenia, Post Traumatic Sindrom. (Japardi, 2002)
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwa orang tersebut. (Nursing Student 05 FIK UNPAD, 2008)
Post traumatic stress disorder (PTSD) adalah gangguan kejiwaan yang pada seseorang yang dialami dan berkembang setelah pengalaman traumatik, atau menyaksikan suatu keadaan yang mengacam jiwa, mencederai, luka, atau ancaman terhadap integritas dari tubuh, biasanya diiringi dengan ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi. ( Ilmu Kesehatan.com)
Pengertian lain dari PTSD (Post Trauma Stress Disorder) adalah kecemasan patologis yang umum terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik jiwa orang tersebut. Pengalaman traumatic ini dapat berupa:
1. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi, banjir, topan), kecelakaan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh diri, kematian anggta keluarga atau sahabat secara mendadak.
2. Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interpersonal attack seperti : korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual, penyerangan atau menyiksaan fisik, pristiwa kriminal(perampokan dengan kekerasan), penculikan menyaksikan peristiwa penembakan atau tertembak oleh orang lain.
3. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang atau yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau mengalami kekerasan.
4. Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti kanker, rheumatoid arthiritis, jantung, diabetes, renal failure, multiple sclerosis, AIDS dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderita. (Pratiwi, 2010)
PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan, 1998).
B. EpidemiologiPTSD memiliki prevalesi seumur hidup antara 8 – 10 %, dan diikuti dengan
ketidakmampuan berfungsi dalam sosial. Dalam situasi perang prevalensi individu yang mengalami PTSD meningkat hingga 30 persen. Perempuan memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan laki-laik, karena pelecehan seksual lebih banyak dialami oleh wanita.
C. Etiologi
1. Psikodinamika Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk prilaku simtomatik. Karena ego menjadi rentan, super ego dapat menghukum dan menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut. Id dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsif tidak terkendali.
2. Biologis Dari hasil penelitian, dalam penyimpanan, pelepasa, dan eliminasi katekolamin yang mempengaruhi fungsi otak didaerah lokus seruleus amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak dapat belajar. Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang. Hiperaktifitas dalam amigdala dapat menghambat otak membuat hubungan perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan dalam bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.
3. Dinamika KeluargaTipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan pikiran yang siknifikanterjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang dibawah rata-rata, perilaku orang tua yang negative, dan kemiskinan orang tua merupakan prediktor perkembangan PTSD.
D. Manifestasi KlinisKlien dengan PTSD dapat saja tidak menunjukan gejala-gejala khas PTSD
secara kontinu dan dalam kurun waktu tentu. Gejala dapat timpul sewaktu-waktu bergantung pada stimuli yang diterima klien. Gejala PTSD, meskipun tidak spesifik, meliputi indikasi yang khas. Terdapat 3 tipe gejala, flight, fight dan freeze. Ansietas dan penghindaran merupakan gejala flight. Menyingkatnya amarah dan prilaku kekerasan merupakan gejala fight, sedangkan kebebasan, disasosiasi, dan alterasi dalam persepsi diri merupakan karakteristik freeze (APA, 2000). Tiga tipe gejala yang sering terjadi dalam PTSD adalah
1. Pengulangan pengalaman trauma ditunjukan dengan a. Selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami.b. Flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali)c. Nighmares (mimpi buruk tntang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih)d. Reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan
peristiwa yang menyedihkan.2. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan :
a. Menghindari aktivitas, tempat berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan truma.
b. Kehilangan minat terhadap semua hal.c. Perasaan terasing dari orang lain.d. Emosi yang dangkal.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan :a. Susah tidurb. Mudah marah/ atau tidak dapat mengendalikan marahc. Susah berkonsentrasid. Kewaspadaan yang berlebihane. Respon yang berlebihan atas segala sesuatu.
Gangguan stres paska traumatis ternyata dapat mengakibatakan sejumlah gangguan fisik, kognitif, emosi, behavior (perilaku), dan sosial.1. Gejala gangguan fisik:
a. Pusing, b. Gangguan pencernaan c. Sesak nafasd. Tidak bisa tidur e. Kehilangan selera makanf. Impotensi dan sejenisnya.
2. Gangguan kognitif :a. Gangguan pikiran seperti disorentasib. Mengingkari kenyataan c. Linglung d. Melamun berkepanjangan e. Lupa f. Terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkang. Tidak fokus dan tidak kosentrasi h. Tidak mampu mempu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana i. Tidak mampu mengambil kepetusan.
3. Gangguan emosi :a. Halusinasi dan defresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya, dan
memerlukan perawatan aktif yang dini)b. Mimpi burukc. Marahd. Merasa bersalahe. Malu
f. Kesedihan yang berlarut-larutg. Kecemasan dan ketakutan.
4. Gangguan perilaku
Menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal. Contoh, duduk berjam-jam dan perilaku repetitif ( berulang-ulang ).
5. Gangguan sosial a. Memisahkan diri ari lingkungan b. Menyepi c. Agresif d. Prasangkae. Konflik dengan lingkungan f. Merasa ditoloak atau sebaliknya sangat dominan
E. PatofisiologiBeberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci
dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus, mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Untuk menegakkan diagnosa PCS, tidak ada pemeriksaan laboratorium
yang spesifik. Adapun pemeriksaan laboratrium yang dilakukan lebih kepada
pencarian underlying disease yang lain yang mungkin sebagai penyebab
munculnya gejala yang menyerupai PCS. Beberapa kondisi yang mungkin dapat
memberikan gejala yang mirip PCS yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
laboratorium antara laian adalah adanya toksisitas dan penyakit metabolik. Selain
itu pemeriksaan laboratorium juga dilakukan bila ada kecurigaan adanya penyakit
lain yang menyertai adanya PCS.
2. Imaging
Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan pada pasien PCS adalah CT
scanning dan MRI, namun harus dengan indikasi yang jelas. CT Scanning
digunakan untuk mengetahui adanya kelainan intrakranial dan adanya fraktur
tulang tengkorak. Pada pasien yang tidak disertai adanya episode pingsan (LOC)
dan dari pemeriksaan neurologinya dalam batas normal, hasil CT Scan biasanya
tidak didapatkan gambaran yang patologis.
Bila pemeriksaan CT Scan telah dilakukan segera setelah cedera kepala
terjadi, maka CT scan ulang sudah tidak diperlukan pada pasien yang tidak ada
defisit neurologi, kecuali pasien yang memiliki risiko perdarahan yang tertunda
(lucid interval). Pasien dengan riwayat pingsan (LOC) dan memiliki kesadaran
yang baik (GCS 15) sebagian besar akan memberikan gambaran CT scan yang
normal, meskipun terdapat sejumlah kecil yang didapatkan adanya lesi struktural
yang membutuhkan ntervensi bedah. Legome (2006) menyatakan bahwa secara
umum pemeriksaan CT Scan tunggal (sekali) masih bisa diterima (reasonable),
cepat dan merupakan alat skrinning yang efektif yang dapat dilakukan pada
pasien trauma kepala dengan gejala klinis yang nyata.
Tidak adanya pingsan dan atau hasil CT scan yang normal tidak serta
merta menyatakan bahwa tidak ada kerusakan pada otak. Adanya puntiran atau
peregangan akson dan neuron yang akan menyebabkan diffuse axonal injury
dapat muncul tanpa kelainan yang nyata pada gambaran CT scan kepala. Hal ini
diduga oleh adanya penguatan (strained) dari jaringa lunak sekitar leher yang
melindungi batang otak dan mencegah terjadinya pingsan (LOC).
Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan pada kasus cedera
kepala ringan atau kasus PCS. Lesi di daerah frontotemporal adalah lesi yang
paling sering ditemui dan nampaknya berhubungan dengan defisit yang ditemui
pada pemeriksaan neuropsykologi. MRI yang dilakukan 24 jam setelah terjadinya
cedera kepala dapat melihat adanya bekas kontusi yang lama, kaburnya batas
antara white matter dan gray matter, dan adanya kontur otak yang irreguler. MRI
yang dilakukan pada fase akut (segera setelah terjadinya cedera kepala) hanya
memiliki sedikit manfaat saja, sehingga disarankan dilakukan observasi terlebih
dahulu sampai paling tidak 24 jam dan dilakukan follow up untuk melihat adanya
defisit neurologis ataupun adanya gejala klinis yang menetap atau bahkan
memberat sebagai salah satu indikasinya.
3. Test Yang Lain
Pemeriksaa lain yang sangat penting pada kasus cedera kepala dan PCS adalah
pemeriksaan neuropsykologi. Pemeriksaan ini sangat jarang dilakukan ada fase
akut, meskipun sebenarnya pemeriksaan ini dapat sebagai prediktor
perkembangan simptom yang ada. Suatu seri pemeriksaan standart dan pertanyaan
kuesioner digunakan untuk memeriksa atensi, bahasa, memori, fungsi emosional,
dan beberapa parameter neurobehavioral lainnya. Untuk pasien PCS, gejalanya
dapat dikuantifikasi dengan alat The Rivermead Postconcussional symptoms
Quesionaire. Selain itu dapat pula digunakan asesment neuropsykologikal yang
lain, misalnya: Wechsler Adult Intellegence Scale dan subset spesifik (digit span
dan vocabulary), Trail making test, menggambar gambar yang kompleks, copy
trial dan memory trial, kategori tes, Hopkins Verbal Learning Test, dan lain-lain.
Untuk melihat personalitinya dapat digunakan MMPI-2 (Minnesota Multiphasic
Personality Inventory, second edition). Juga penggunaan TOAG (Galveston
Orientation and Amnesia Test) dapat digunakan untuk menentukan prognosis dan
kemungkinan adanya persisten dari PCS.
Pemeriksaan neuropsykologi dan dikombinasian dengan pemeriksaan scanning (
CT Scan, MRI, PET, SPECT) dapat digunakan untuk mendeteksi penyebab
organik yang berkaitan dengan adanya gejala PCS. Temuan pada pemeriksaan
neuropsykologi dapat menunjukkan severitas dari simptom yang sering tidak
disertai adanya defisit neurologi yang muncul segera setelah cedera kepala
terjadi. Menurut beberapa serial kasus, lamanya pingsan (LOC) atau adanya post
traumatic amnesia berhubungan dengan probabilitas terjadinya PCS.
Adanya perbedaan antara bukti kelainan organik dan simptom tersebut
menyebabkan timbul pertanyaan. Manifestasi klinik paling sering muncul pada
minggu-minggu awal dan akan membaik selama 3 bulan setelah cedera kepala,
namun terdapat pula yang gejalanya menetap pada sepertiga pasien cedera kepala
ringan. Beberapa ahli menyatakan bahwa adanya PCS yang muncul awal akan
menunjukkan adanya lesi organik, sedangkan PCS yang persisten sampai 3 bulan
menunjukkan lesi nonorganik atau dapat disebut berbasis psikologikal. Rekoveri
dari PCS sangat tergantung dari severitas injuri, usia, pendidikan, kemampuan
kerja, kemampuan psikososial, fungsi kognitif dan faktor personality.
G. KomplikasiGangguan stres pasca-trauma dapat mengganggu seluruh hidup Anda:
pekerjaan Anda, hubungan Anda dan bahkan menikmati kegiatan sehari-hari Anda. PTSD juga dapat menempatkan Anda pada risiko yang lebih tinggi lainnya masalah kesehatan mental, termasuk:
Depresi Penyalahgunaan obat Penyalahgunaan alkohol Gangguan makan Bunuh diri pikiran dan tindakan
Selain itu, studi para veteran perang telah menunjukkan hubungan antara PTSD dan perkembangan penyakit medis, termasuk:
Penyakit kardiovaskular Sakit kronis Penyakit autoimun, seperti rheumatoid arthritis dan penyakit tiroid Kondisi otot
H. Penatalaksanaan Medis Dan Keperawatan
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu
dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat
berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal.
Terapi anti depresiva pada gangguan stres pasca traumatik ini masih kontroversial.
Obat yang biasa digunakan adalah benzodiazepin, litium, camcolit dan zat pemblok
beta seperti propranolol, klonidin, dan karbamazepin. Obat tersebut biasanya
diresepkan sebagai obat yang sudah diberikan sejak lama dan kini dilanjutkan sesuai
yang diprogramkan, dengan kekecualian, yaitu benzodiazepin contoh, estazolam 0,5-1
mg per os, Oksanazepam10-30 mg per os, Diazepam (valium) 5-10 mg per os,
Klonaz-epam 0,25-0,5 mg per os, atau Lorazepam 1-2 mg per os atau IM juga dapat
digunakan dalam UGD atau kamar praktek terhadap ansietas yang gawat dan agitasi
yang timbul bersama gangguan stres pasca traumatik tersebut (Kaplan et al,1997).
Pengobatan psikoterapi. Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah PTSD
percaya bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk
penanganan PTSD, yaitu: anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy .
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui: 1) relaxation training,
yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot-otot utama, 2) breathing retraining, yaitu belajar
bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan menghindari bernafas dengan
tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang
tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala, 3) positive thinking dan self-talk,
yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran
positif ketika menghadapi hal–hal yang membuat stress (stresor), 4) assertiveness
training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa
menyalahkan atau menyakiti orang lain, 5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana
mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress
(Anonim, 2005b). Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah
kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -
kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri
karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran
yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk
melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik
untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang (Anonim, 2005b). Sementara
itu, dalam exposure therapy para terapis membantu menghadapi situasi yang khusus,
orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan
menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya. Terapi dapat
berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita
untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan
menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang
sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat
(misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah
kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya.
Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari
situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi (Anonim,
2005b). Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain ( play therapy) mungkin
berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk
menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang
tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nya -
man dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya (Anonim, 2005b). Terapi
debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak
kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam
debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya
merekomendasikan perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban-korban
trauma (Rose et al, 2002). Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan
secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000). Meski begitu, Boyce dan Condon
merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang
berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon,
2000). Selain itu, didapatkan pula support group therapy dan terapi bicara. Dalam
support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai
pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana
dalam proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis
mereka, kemdian mereka saling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005).
Sementara itu dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi
penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma,
mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi, bisa memperingan
beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib,
bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk
bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan (A nonim, 2005b).
Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan upaya lain untuk mengobati
PTSD. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan
keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan bermacam treatment (terapi dan
pengobatan) yang cocok untuk PTSD. Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD
dalam waktu lama, langkah pertama yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah
mengenali gejala dan permasalahannya sehingga dia mengerti apa yang dapat
dilakukan untuk mengatasinya (Anonim, 2005b). Di lain pihak, sampai saat ini masih
didapatkan pula beberapa tipe psikoterapi yang lain. Misalnya, eye movement
desensitization reprocessing (EMDR), hypnotherapy dan psikodinamik psikoterapi,
yang seringkali digunakan untuk terapi PTSD dan kadang sangat membantu bagi
sebagian penderita (Anonim, 2005b).
I. Pengkajian1. Aktivitas atau istirahat
gangguan tidur. mimpi buruk. Hipersomnia. mudah letih. keletihan kronis.
2. Sirkulasi
denyut jantung meningkat. Palpitasi. tekanan darah meningkat. terasa panas.
3. Integritas ego
derajat ansietas bervariasi dengan gejal yang berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan.
gangguan stres akut terjadi 2 hari – 4 minggu dalam 4 minggu peristiwa traumatik.
PTSD akut gejala kurang dari 3 bulan. PTSD kronik gejala lebih dari 3 bulan. Melambat awitan sedikitnya 6 bulan setelah peristiwa traumatik. Kesulitan mencari bantuan atau menggerakkan sumber personal (menceritakan
pengalaman pada anggota keluarga/teman). Perasaan bersalah, tidak berdaya, isolasi. Perasaan malu terhadap ketidakberdayaan sendiri; demoralisasi. Perasaan tentang masa depan yang suram atau memendek.
4. Neurosensori
gangguan kognitif sulit berkonsentrasi. kewaspadaan tinggi. ketakutan berlebihan. ingatan persisten atau berbicara terus tentang suatu kejadian. pengendalian keinginan yang buruk dengan ledakan perilaku yang agresif
tidak dapat diprediksi atau memunculkan perasaan (marah, dendam,benci, sakit hati).
perubahan perilaku (murung, pesimistik, berpikir yang menyedihkan, iritabel), tidak mempunyai kepercayaan diri, afek depresi, merasa tidak nyata, kehidupan bisnis tidak dipedulikan lagi.
ketegangan otot, gemetar, kegelisahan motorik.
5. Nyeri atau ketidaknyamanan
nyeri fisik karena cedera mungkin diperberat melebihi keparahan cedera.
6. Pernapasan
frekuensi pernapasan meningkat. dispneu.
7. Keamanan
marah yang meledak-ledak. perilaku kekerasan terhadap lingkungan atau individu lain. gagasan bunuh diri.
8. Seksualitas
hilangnya gairah. impotensi. ketidakmampuan mencapai orgasme.
9. Interaksi sosial
menghindari oarang/tempat/kegiatan yang menimbulakan ingatan tentang trauma, penurunan responsif, mati rasa secara psikis, pemisahan emosi/mengasingkan diri dari orang lain.
hilangnya minat secara nyata pada kegiatan yang signifikan, termasuk pekerjaan.
pembatasan rentang afek, tidak ada respon emosi.
10. Pengajaran atau pembelajaran
terjadinya PTSD sering kali didahului atau disertai adanya. penyakit/penganiyayan fisik.
penyalahgunaan alkohol atau obat-obat lain.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Kasus
Ny. A usia 30 tahun datang ke RSJ Magelang pada tanggal 7
Desember 2011 diantar oleh suami dan kakanya dengan keluhan selalu
terkenang anaknya yang meninggal akibat bencana banjir, ia tidak mau
melihat foto anaknya, selalu terbangun di malam hari, nafsu makan menurun
dan malas beraktivitas. Berdasarkan pengkajian perawat klien terlihat sering
menangis, kadang berteriak (“air, air, air”), dan sering melamun. Suami klien
mengatakan klien pernah berusaha membunuh diri dengan menjatuhkan diri
dari lantai dua rumahnya, untungnya klien cepat ditolong oleh pembantunya
sehingga klien dapat selamat dari kejadian itu.
B. Pengkajian
Tanggal masuk RS : 7 Desember 2011
Bangsal dirawat : R. Menur
No. Rekam medik : 0913002011
Tanggal pengkajian : 7 Desember 2011
1. Identitas
Nama klien : Ny.A
2. Alasan masuk RS
Suami klien mengatakan klien terpaksa dibawah ke RSJ Magelang karena
takut klien mencoba bunuh diri lagi. Suami klien mengatakan klien sering
berteriak dan berbicara sendiri tanpa ada orang yang mengajaknya
berbicara, klien sering menangis, gelisah dan tidak mau makan.
3. Faktor predisposisi dan presipitasi
a. Faktor predisposisi
Suami klien mengatakan tidak ada keluarga klien yang
mengalami gangguan seperti yang dialami klien.
kakak klien mengatakan dari kecil klien diasuh oleh kedua orang
tuanya dan mereka sangat menyayangi klien, sehingga klien tidak
mengalami gangguan di tahap perkembangannya. Klien seorang guru
SMA sehingga tuntutan klien untuk mengajar tinggi dank lien sering
mengeluh tidak bisa membagi waktu di rumah dan di sekolah.
b. Faktor presipitasi
Suami klien mengatakan klien terlihat murung dan mulai
berbicara sendiri sejak enam bulan yang lalu pasca kematian anak mereka.
Suami klien mengatakan keluarga klien kurang memberikan dukungan
dan menghibur klien saat anaknya meninggal dunia, mereka malah sibuk
dengan urusan pribadi mereka sendiri.
4. Fisik
TD : 140/90, N : 120x/menit, S : 380C, RR : 30x/menit.
5. Psikososial
a. Genogram
b. Konsep diri
1) Gambaran diri atau citra tubuh
Klien mengatakan tubuhnya langsing, wajahnya cantik, rambutnya
keriting tetapi klien puas dengan keadaan dirinya.
2) Identitas diri
Klien mengatakan dia adalah seorang wanita namanya Ny A, umur
30 tahun. Klien mengatakan klien sudah menikah tiga tahun yang
lalu dan klien mengatakan dia tinggal di jl. Pakel No. 345,
Yogyakarta. Klien mengatakan identitasnya tetapi tidak melihat
kearah perawat yang mengajaknya berbicara.
3) Peran diri
Klien mengatakan dia adalah seorang ibu rumah tangga dan seorang
guru SMA. Klien mengatakan dia malas mengajar murid-muridnya
dan dia juga malas mengurus suaminya di rumah. Suami klien
mengatakan sebelum mengalami gangguan seperti ini klien adalah
seorang ibu rumah tangga yang rajin dan periang.
4) Ideal diri
Klien mengatakan ia ingin bertemu dengan anaknya yang telah
meninggal sambil menangis terseduh-seduh.
5) Harga diri
Klien mengatakan ia adalah seorang ibu yang tidak berguna karena
tidak bisa menjaga anaknya sendiri. Klien mengatakan dia malu
dengan suaminya dan tetangganya. Klien mengatakan dia tidak
berdaya dan hanya bisa membuat orang lain susah. Klien menangis
terseduh-seduh.
c. Hubungan sosial
Suami klien mengatakan sebelum klien sakit klien selalu mengikuti
kegiatan di lingkungannya dan klien sangat sopan dengan orang lain.
Suami klien mengatakan semenjak anak mereka meninggal klien selalu
gelisah, sedih, termenung sendiri dan tidak menaruh perhatian
terhadap lingkungannya
d. Spiritual
1) Nilai dan keyakinan
Klien mengatakan klien beragama islam, klien juga mengatakan
sering mengikuti pengajian di lingkungannya.
2) Kegiatan ibadah
Suami klien mengatakan walaupun klien mengalami ganggan jiwa
tetapi klien selalu berdoa dan menangis setiap kali mendengar suara
adzan.
e. Status mental
1) Penampilan
Penampilan klien rapi, dan tidak mengalami masalah deficit
perawatan diri. Klien mengatakan setiap pagi dan sore dia selalu
mandi dan menggosok gigi. Kancing baju klien rapi dan klien
tidak salah memasukkan kancing bajunya.
2) Pembicaraan
Klien menunduk saat berbicara dengan perawat dan tidak mau
melihat kearah perawat. Klien menjawab pertanyaan perawat
seperlunya saja. Klien tidak gagap dan bisa menjawab pertanyaan
perawat walaupun suaranya agak pelan dan terdengar lirih.
3) Aktivitas motorik
Klien tidak mengalami tremor, klien juga tidak mengalami
aktivitas motorik yang berlebihan dan diulang-ulang.
4) Alam perasaan
Klien mengatakan ia sangat sedih dan rindu kepada anaknya yang
telah meninggal. Klien mengatakan ia ingin sekali bertemu
dengan anaknya.
5) Afek
Afek klien tumpul yaitu klien berbicara jika ditanya oleh perawat
dan menjawab pertanyaan perawat seperlunya saja.
6) Interaksi selama wawancara
Klien tampak tidak kooperatif saat berbicara dengan perawat, klien
menunduk dan tidak mempertahankan kontak mata.
7) Persepsi
Klien mengatakan “air..air..air” sambil menunjuk ke arah luar
padahal disekelilingnya tidak ada air maupun banjir.
8) Proses pikir
Klien mengatakan dia sedih dan menangis karena memikirkan
anaknya yang meninggal. Klien masih bisa menilai kenyataan.
9) Isi pikir
Klien tidak mengalami gangguan daya pikir dan klien tidak
memiliki waham pada saat berinteraksi dengan perawat, tidak ada
tanda-tanda menuju kea rah waham.
10) Tingkat kesadaran dan orientasi
Saat berbicara klien sadar ia sekarang berada di rumah sakit dan
mengatakan ia datang ke rumah sakit diantar oleh suaminya, klien
juga tidak mengalami disorientasi waktu maupun orang.
11) Memori
a) Memori jangka panjang
Klien mengatakan sebulan yang lalu klien diajak oleh
suaminya pergi ke rumah mertuanya. Klien tidak
mengalami gangguan memori jangka panjang.
b) Memori jangka pendek
Klien mengatakan hari minggu kemarin klien berziarah
ke makam anaknya, klien mengatakan hal ini sambil
menangis.
c) Memori saat ini
Klien bisa mengulangi pembicaraan perawat.
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Klien bisa berhitung sederhana 1-10, klien juga dapat menjumlah
1000+2000= 3000 dan klien pada saat diberi pertanyaan oleh
perawat sering meminta pertanyaan diulang atau tidak mampu
berkonsentrasi. klien menjawab pertanyaan matematika yang
ditanyakan perawat dengan benar karena klien adalah seorang
guru matematika SMA.
13) Kemampuan penilaian
Pada saat ditanya perawat antara mandi pagi dulu atau sarapan
pagi dulu, klien mengatakan mandi pagi dulu. Hal ini
menunjukkan bahwa klien mampu mengambil keputusan.
14) Daya tilik diri
Klien menyadari bahwa ia berada di rumah sakit jiwa Magelang.
Klien mengatakan dia tidak tahu sakit apa yang ia derita sekarang
sampai harus dibawa ke rumah sakit jiwa, dia mengatakan dia
sangat cemas dan sedih.
f. Masalah psikososial dan lingkungan
Sebelum klien mengalami gangguan jiwa klien pernah mengikuti kegiatan
seperti pengajian dan arisan. Namun setelah mengalami gangguan ini klien
jarang berkumpul dengan teman-temannya, klien hanya berdoa dan menangis
sendiri di rumahnya. Klien mengatakan ia seorang guru SMA dan gajihnya
cukup untuk memenuhi kebutuhannya, klien juga mengatakan jika sakit klien
langsung dibawa ke RS oleh suaminya, klien mengatakan suaminya sangat
menyayangi dirinya.
g. Pengetahuan
Klien mengatakan ia tidak tau apa yang derita sekarang.
h. Aspek medik
Diagnosa medis : sindrom post traumatic disolder.
Program terapi obat yang diberikan
1. Estazolam 0,5-1 mg per os,
2. Oksanazepam10-30 mg per os
3. Diazepam (valium) 5-10 mg per os
4. Klonaz-epam 0,25-0,5 mg per os
5. Lorazepam 1-2 mg per os atau IM
C. Implementasi
DAFTAR PUSTAKA
Pratiwi, Anggi. 2010. PTSD (Post Traumatic Stress Disolder). Diundu di www. Scribd.
Com/doc/41221173/askep-PTSD. Pada tanggal 1 Desember 2011
Japardi, Iskandar.2002.Sindroma Post Concussion. Diundu di www.
Nursing Student 05 FIK UNPAD. 2008. PTSD (Post Traumatic Stress Disolder). Diundu di http://bingkisanjiwa4fikunpad.blogspot.com/. Pada tanggal 1 Desember 2011.
Anonim.
top related