terapi non hormonal pada pua
Post on 28-Oct-2015
85 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TERAPI NON HORMONAL PADA KONTRASEPSI HORMONAL DAN NON HORMONAL YANG MENGALAMI PENDARAHAN UTERUS ABNORMAL
Perdarahan uterus abnormal meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun
lamanya. Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang
memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti dengan perdarahan
haid banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB) sedangkan perdarahan uterus abnormal
yang disebabkan faktor koagulopati, gangguan hemostasis lokal endometrium dan gangguan
ovulasi merupakan kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional
(PUD).(1)
1. Perdarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai perdarahan haid yang banyak
sehingga perlu dilakukan penanganan yang cepat untuk mencegah kehilangan darah. Perdarahan
uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi PUA kronik atau tanpa riwayat sebelumnya.(2)
2. Perdarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk perdarahan uterus
abnormal yang telah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan
penanganan yang cepat dibandingkan PUA akut.(2)
3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan perdarahan haid yangterjadi di
antara 2 siklus haid yang teratur. Perdarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di
waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan untuk menggantikan terminologi metroragia.(2)
Salah satu penyebab wanita memilih untuk berhenti menggunakan kontrasepsi hormonal
adalah akibat dari pendarahan uterus abnormal. Bentuk pendarahan yang terjadi berupa
pendarahan tiba-tiba dan spot merupakan yang paling mengganggu. Hal ini dapat terjadi pada
semua metode kontrasepsi hormonal dan alat kontrasepsi dalam rahim. Pendarahan uterus tiba-
tiba sering kali terjadi padda bula pertama pemakaian dan berangsur-angsur berhenti. Intervensi
berupa pencegahan atau pengobatan untuk mengatasi pendarahan ini dapat meningkatkan
penerimaan metode kontrasepsi yang bersangkutan bahkan meningkatkan kepatuhan
penggunaanya.(3)
Patogenesis dari pendarahan akibat penggunaan kontrasepsi belum diketahui secara pasti.
Saat penggunaan awal metode ini, kemungkinan pendarahan disebabkan oleh perubahan dari
dinding endometrium yang tebal menjadi tipis akibat kandungan progestin pada metode
kontrasepsi hormonal. Seiring lamanya penggunaan, paparan hormon steroid eksogen, progestin,
akan membuat pembuluh darah endometrium menjadi kecil, berdinding tipis, dilatasi, sehingga
rentan untuk terjadinya pendarahan. Hal ini terjadi dikarenakan perubahan dari basal membran
dan berkurangnya jaringan penyangga dari stroma dan kelenjar endometrium.Perubahan dari
perfusi endometrium, hemostasis pembuluh darah lokal, aktivasi matriks metaloproteinase,
proses pro dan anti oksidan, serta migrasi sel juga berperan akan terjadinya perubahan tersebut.(3)
Oleh karena itu saat memulai suatu kontrasepsi, seorang wanita sebaiknya diberikan
konseling yang baik mengenai kemungkinan bentuk pendarahan yang mungkin terjadi pada
masing-masing metode kontrasepsi. Sehingga dengan pemahanan terlebih dahulu pengguna
kontrasepsi dapat mengantisipasi dari metode yang mereka pilih , dengan demikian kontrasepsi
yang digunakan menjadi efektif dan mampu menurunkan resiko untuk mengalami suatu
kehamilan yang tidak diinginkan. Pendarahan uterus yang tiba-tiba ini sering kali ditemukan
pada pengguna metode kontrasepsi (seperti implan, pil progestin only, DMPA, dan AKDR
hormonal dan non hormonal).Pemeriksaan lanjutan tidaklah diperlukan kecuali terdapat riwayat
pendarahan abnormal sebelum penggunaan metode kontrasepsi, terdapat gejala berupa
menoraghia, nyeri, keputihan, atau pendarahan yang terjadi berlangsung berkepanjangan selama
pengunaan kontrasepsi. Penderita dengan gejala berupa nyeri pelvis atau keputihan lebih baik
menjalani pemeriksaan lanjutan tergantung dari temuan dan gejala yang timbul. Pemeriksaan
sonografi pelvis dapat membantu mendeteksi adanya suatu konsis patologis pada uterus.
Pemeriksaan skrining kanker serviks juga dapat dilakukan. Suatu biopsi endometrium juga dapat
dilakukan pada wanita berusia diatas 35 tahun dengan pendarahan uterus abnormal lebih dari 3
bulan sebelum penggunaan kontrasepsi. Penatalaksanaan dengan obat-obatan dapat digunakan
untuk mencegah atau mengobati pendarahan ini.(3)
Kontrasepsi Hormonal Kombinasi
Pada pil kombinasi , pendarahan uterus yang tiba-tiba terjadi pada lebih dari 30% pada awal
penggunaannya, dan menurun menjadi 10% setelah 3 bulan penggunaan. Penggunaan pil
kombinasi ini secara kontinyu dapat menghindari terjadinya pendarahan . Bila dibandingkan
Perdarahan bercak Amenore
menyingkirkan adanya kehamilan
setelah 3 bulan penggunaan kontrasepsi pil
Selama 3 bulan pertama penggunaan
pil kontrasepsi
dengan pengunaan secara interval bulanan maka penggunaan secara kontinyu ini dapat
menurunkan jumlah hari pendarahan menstruasi akan tetapi akan semakin sering timbul
pendarahan yang tiba-tiba dan spotting. Pada pengguna jenis koyo atau ring, frekusnsi
pendarahan uterus yang tiba-tiba saat awal pemakaian ditemukan hampir menyerupai angka
kejadian pada pil. Walaupun pengunaan koyo dan ring tidaklah bisa digunakan pada jangka
lama, akan tetapi penggunaan metode ini dalam interval waktu tertentu akan meningkatkan
kemungkinan pendarahan uterus yang tiba-tiba.(3)
Pada pengguna metode hormonal kombinasi seperti pil,koyo,ring, penekanan terhadap
pengguna dengan mengharuskan penggunaan metode kontrasepsi secara konsisten( mengurangi
kejadian lupa meminum obat, dan meminum obat pada waktu yang sama setiap harinya) dapat
menurunkan bentuk pendarahan yang terjadi. Konsumsi obat yang tidak konsisten 60-70%
meningkatkan resiko terjadinya pendarahan yang tiba-tiba. Pengguna yang merokok juga akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya pendarahan. Wanita yang mengalami pendarahan
presisten selama 6 bulan sebaiknya dilakukan evaluasi lanjutan.(3)
Gambar 1. Contoh penatalaksanaan pendarahan uterus abnormal akibat metode kontrasepsi hormonal
kombinasi(5)
Kontrasepsi Hormonal Progestin Only
Perubahan siklus menstruasi yang terjadi pada pengguna DMPA dapat berupa, amenorea
(12%) pada penggunaan 3 bulan pertama dan 46 % setelah penggunaan 1 tahun. Apabila terjadi
pendarahan jarang sekali bersifat berat, akan tetapi hal inilah yang sering kali menyebabkan
penggunaan metode ini tidak berlanjut. Penyebab pendarahan abnormal pada DMPA ini tidaklah
diketahui secara pasti, berdasarkan penelitian, diduga penyebabnya ialah endometritis kronis atau
ya
ya
atropi. Bahkan dari hasil biopsi endometrium menunjukan bahwa Endometritis yang terjadi
adalah akibat dari atropi endometrium, bukan disebabkan oleh infeksi. Pendarahan yang terjadi
akan menurun dan berkurang seiring waktu pemakaian. Pendarahan ini kemungkinan juga
disebabkan oleh paparan kontinyu progesteron dengan dosis menetap pada endometrium, hal ini
akan menyebabkan endometrium kurang menerima paparan dari estrogen. Hal ini akan
menyebabkan perubahan histopatologi endometrium, yang tidak mengalami fase sekresi,
menjadi tipis.Perubahan pada permukaan endometrium menyebabkan permukaan endometrium
tidak rata karena proses ini tidaklah terjadi pada seluruh permukaan.(4,21)
Gambar 2. Contoh Penatalaksanaan pendarahan uterus abnormal akibat metode kontrasepsi hormonal
porgestin-only(5)
tidak
biopsy endometrium
diskusikan metode kontrasepsi yang lain
pemberian estrogen jangka pendek (mis, Premarin 1,25 mg selama 7 hari,dapat diulang jika timbul perdarahan abnormal.dipertimbangkan metode
kontrasepsi lain
perdarahan abnormal yang mengganggu
Perdarahan Uterus Abnormal Amennore Atau Perdarahan Yang Sedikit dan Jarang
usia > 35 tahun atau resiko tinggi karsinoma endometrium ? konsul pasien sesuai yang diharapkan
Usaha pemberian secara kontinyu,atau jika tidak ada kontraindikasi atau peningkatan frekuensi
injeksi sementara (tiap 2 bulan)
penggunaan 4-6 bulan pertama ?
perdarahan abnormal yang berlanjut setelah 6 bulan
Implanon merupakan implan dengan tabung tunggal berisi etonogestrel, sebanyak 22%
pengguna tidak akan mengalami pendarahan abnormal sama sekali, akan tetapi kemungkinan
mengalami pendarahan secara tiba-tiba masih ada. Sedangkan pada Norplant, implan 6 tabung,
sekitar 25% penggunaan pada tahun pertama akan menyebabkan pendarahan menstruasi yang
memanjang.Pada pengguna Norplant yang dilakukan pemeriksaan histeroskopi didapatkan
perubahan ireguler pada permukaan endometrium. Hal ini menunjukan adanya proses abnormal
angiogenesis dengan neovaskularisasi pada permukaan endometrium. Pembuluh darah yang
terbentuk ini memiliki diameter lebih lebar dan dinding yang lebih tipis. Pembuluh darah ini juga
lebih rapuh dan mudah mengalami pendarahan.Terdapat juga gangguan aliran dan elastisitas
pembuluh darah. Penyebab dari rapuhnya pembuluh darah masih belumlah dimengerti, akan
tetapi ditemukan adanya penurunan sel perisit endometrium dan komposisi basal membran.
Untuk terjadinya suatu pendarahan , permukaan epitel haruslah dapat dilewati,akan tetapi sedikit
bukti yang menemukan bahwa paparan progesteronlah yang menyebabkan hal ini. Oleh sebab itu
dengan bukti-bukti yang ada menunjukan bahwa terdapat gangguan pada fungsi molekul dan
seluler endometrium pada wanita yang terpapar progesteron kontinyu, hal ini akan menyebabkan
gangguan proses angiogenesis, peningkatan pengerusakan jaringan secara spontan, dan
menghalangi proses penyembuhan dengan meningkatkan ekspresi matriks
metaloproteinase,disfungsi endotel, Vascular endothelial growth factor(VEGF), penurunan
ekspresi cytokeratin epitel, peningkatan ekspresi tissue factor, perubahan konsentrasi dan migrasi
leukosit endometrial, dan perubahan faktor angiogenik lainnya. (3)
Sedangkan diantara pengguna pil progestin only, sekitar 40-50% akan mengalami siklus
menstruasi normal, 40% mengalami siklus yang tidak teratur, dan 10% nya akan mengalami
amenorea. Penanganan menggunakan estrogen endogen dapat diberikan, akan tetapi pendarahan
dapat saja kembali terjadi setelah pemberiannya dihentikan. Pencegahan dengan estrogen
eksogen juga dapat dilakukan pada pengguna pertama metode ini, akan tetapi hal ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.(3)
Kontrasepsi AKDR Hormonal dan Non Hormonal
Pendarahan uterus kerap kali terjadi pada penggunaan kontrasepsi AKDR hormonal dan
non hormonal.Pendarahan abnormal ini biasanya terjadi pada penggunaan 3-6 bulan pertama
AKDR hormonal, dan pendarahan abnormal yang tidak teratur, banyak kerap dialami oleh
pengguna AKDR non hormonal.Akan tetapi pada pengguna AKDR hormonal , 50% pengguna
akan mengalami amenorea setelah 2 tahun penggunaan. Pada pengguna AKDR non hormonal,
didapatkan peningkatan jumlah darah menstruasi sebanyak 40%, sedangkan pada pengguna
AKDR hormonal akan mengalami penurunan drastis sebanyak 95%. Kemungkinan penyebab
pendarahan uterus abnormal setelah pengunaan lama, karena lokasi AKDR yang bergeser,
kehamilan (intrauterin atau ektopik), infeksi, atau adanya kelainan ginekologi pada serviks atau
uterus (polip,mioma,kanker endometrium).Endometritis kronis sering kali ditemukan dari hasil
biopsi endometrium pada pengguna AKDR non hormonal dalam jangka waktu lebih dari 5
tahun.(5)
Peningkatan jumlah pendarahan pada pengguna AKDR non hormonal kemungkinan
dikarenakan adanya peningkatan produksi sitokin dari leukosit endometrium, peningkatan
aktifitas fibrinolitik lokal, dan erosi permukaan epitel yang disebabkan kontak alat dengan
jaringan endometrium. Pelepasan prostaglandin dan aktivasi dari sel mast makrofag mungkin
berperan dalam terjadinya pendarahan ini. Penurunan jumlah pendarahan pada pengguna AKDR
hormonal dikarenakan sejumlah mekanisme komplek seluler.(5)
Apabila pendarahan yang terjadi disertai dengan nyeri, maka terdapat beberap
kemungkinan, lokasi AKDR sebaiknya dievaluasi, dan tidak menutup kemungkinan AKDR yang
tertanam di dalam miometrium dapat juga berhubungan dengan pendarahan uterus abnormal
yang terjadi. Pendarahan uterus abnormal yang presisten, memerlukan evaluasi lanjutan akan
adanya kemungkinan infeksi.(5)
Nyeri uterus ?
Doksisiklin 100mg – selama 10 hariPertimbangkan
untuk pengangkatan
Penggunaan 4-6 bulan pertama ?
Pertimbangkan konsumsi pil kontrasepsi selama 1 siklus atau pada pasien dengan IUD copper (Paragard), Provera 10 mg per
hari selama 7 hari
Dianjurkan untuk melanjutkan penggunaan jika gejala ringan. Bisa ditambahkan NSAID (mis. Ibuprofen 400mg selama 4 hari, dimulai pada
hari pertama menstruasi)
Perdarahan abnormal masih berlanjut setelah 6 bulan atau pasien ingin intervensi sekarang
Perdarahan abnormal masih menetap
Lepaskan IUD. Jika perdarahan abnormal menetap dan pasien berumur diatas 35 tahun
lakukan biopsi endometrium
Gambar 3. Contoh Penatalaksanaan pendarahan uterus abnormal akibat metode kontrasepsi AKDR (5)
Pemahaman dan Motivasi yang baik merupakan menajemen jangka panjang terbaik dalam
menangani pendarahan abnormal akibat kontrasepsi. Pendarahan akibat kontrasepsi biasanya
akan berhenti setelah 3 siklus, intervensi yang dapat diberikan berupa penanganan hormonal,
pengalihan metode kontrasepsi, atau penanganan non hormonal. Penanganan non hormonal
pendarahan abnormal akibat pemakaian kontrasepsi dapat menggunakan:
1. Anti Inflamasi Non Steroid ( AINS)
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan meningkat.
AINS ditujukan untuk menekan pembentukan siklooksigenase, dan akan
menurunkan sintesis prostaglandin. AINS dapat mengurangi jumlah darah haid
hingga 20-50 persen. Pemberian AINS dapat dimulai sejak haid hari pertama dan
dapat diberikan untuk 5 hari atau hingga haid berhenti. Obat yang dapat
digunakan antara lain Naproxen 500 mg dua kali sehari, Asam Mefenamat tiga
kali sehari, atau ethamsylate 500 mg empat kali sehari. Apabila perdarahan sudah
terkontrol, obat-obat ini hanya digunakan pada saat menstruasi. Efek sampingnya
antara lain gangguan pencernaan, diare, perburukan asma pada penderita yang
sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan perdarahan dan peritonitis.
Pemberian Golongan Cox-2 inhibitor, Valdecoxib 40mg sekali oral perhari
selama 5 hari juga dapat menurunkan durasi pendarahan yang terjadi. (6,7)
COX-1 memiliki fungsi fisiologis, mengaktivasi produksi prostasiklin,
dimana saat prostasiklin dilepaskan oleh endotel vaskular, maka berfungsi sebagai
anti trombogenik, dan jika dilepaskan oleh mukosa lambung bersifat sitoprotektif.
COX-1 di trombosit, yang dapat menginduksi produksi tromboksan A2,
menyebabkan agregasi trombosit yang mencegah terjadinya perdarahan yang
semestinya tidak terjadi. COX-1 berfungsi dalam menginduksi sintesis
prostaglandin yang berperan dalam mengatur aktivitas sel normal. Konsentrasinya
stabil, dan hanya sedikit meningkat sebagai respon terhadap stimulasi hormon
atau faktor pertumbuhan. Normalnya, sedikit atau bahkan tidak ditemukan COX-2
pada sel istirahat, akan tetapi bisa meningkat drastis setelah terpajan oleh bakteri
lipopolisakarida, sitokin atau faktor pertumbuhan. meskipun COX-2 dapat
ditemukan juga di otak dan ginjal. Induksi COX-2 menghasilkan PGF2 yang
menyebabkan terjadinya kontraksi uterus pada akhir kehamilan sebagai awal
terjadinya persalinan. (22)
2. Anti Fibrinolitik
Pemberian Asam Traneksamat sebanyak 250 mg 4 kali oral perhari selama
5 hari dapat menghentikan pendarahan abnormal sebesar 88% pada minggu
pertama penggunaan. Merupakan obat hemostatik yang merupakan penghambat
bersaing dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Oleh karena itu
dapat membantu mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis yang berlebihan.(9)
Obat ini menpunyai indikasi dan mekanisme kerja ya ng sama dengan
asam aminokoproat tetapi 10 kali lebih poten dengan efek sampning yang
lebih ringan. Asam tranesamat cepat diabsorsi dari saluran cerna,
sampai 40% dari 1 dosis oral dan 90% dari 1 dosis IV diekresi melalui
urin dalam 24 jam. Obat ini dapat melalui sawar uri. (9)
3. Anti Progestin
Pemberian Mifepristone dosis rendah ,50mg sekali oral perhari setiap 2 minggu
dapat menurunkan jumlah hari pendarahan abnormal pada pengguna awal DMPA.
Pemberian Mifepristone ini tidak akan menyebabkan terjadinya ovulasi pada
pengguna DMPA sehingga tidak akan menurunkan efektifitas metode tersebut.(10)
4. Antibiotik
Pemberian Doksiklin 100 mg 2 kali oral selama 7-14 hari pada pengguna AKDR
yang diduga mengalami endometritis.Pemberian antibiotik ini dapat menghambat
matrks metaloproteinase, diduga berperanan pada degradasi endometrium akibat
paparan progestin kontrasepsi. Pemberian antibiotik doksisiklin tidaklah efektif
dalam menurunkan kejadian pendarahan akibat penggunaan kontrasepsi hormonal
kombinasi kontinyu.(6)
5. Disiplin dalam konsumsi Pil Progestin Only
Konsumsi pil tepat pada waktu yang sama setiap hari nya dan mengurangi
kejadian lupa meminum obat dapat menurunkan frekuensi (11)
6. Memperpendek jarak penyuntikan DMPA
Penyuntikan DMPA yang lebih sering merupakan penanganan pendarahan
abnormal akibat kontrasepsi, walaupun penggunaanya kerap kali ditemukan, akan
tetapi belum ada bukti mengenai efektifitas terapi ini.
Gambar 4. Cara kerja Cox-2 Inhibitor(18)
Apabila pasien dikontraindikasikan untuk menerima dengan regimen mengandung
estrogen dan regimen progestin only tidak berhasil mengontrol pendarahan dapat digunakan
asam aminocaproic dan desmopressin. Pada pendarahan yang hebat dan tidak berespon setelah
pemberian terapi hormonal atau pada penderita dengan gangguan pembekuan darah maka
pemberian antihemostatik atau antifibrinolitik dapat diberikan. Obat golongan anti fibrinolitik
bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen. Plasminogen akan diubah menjadi
plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin menjadi fibrin degradation products (FDP). Oleh
karena itu obat ini berfungsi sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktor-
faktor yang memicu terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan menimbulkan kejadian
trombosis. Efek sampingnya adalah gangguan pencernaan, diare dan sakit kepala.(12)
Gambar 5. Cara kerja obat golongan Antifibrinolitik dalam menangani pendarahan uterus
abnormal(13)
Pemberian Asam aminocaproic dapat diberikan secara oral dengan tatacara pemberian
sebagai berikut, 5 gram peroral (10 tab 500mg atau 4 sendok teh (20 mL) syrup-12,5g/5mL pada
satu jam pertama dilanjutkan dengan 1-1,25 g (2 tab 500 mg atau 1 sendok teh (5 mL) diberikan
setiap jam. Tatacara pemberian secara intravena juga dapat diberikan, 4-5g IV (16-20mL dari
250 mg/mL solusi dalam 250 mL pelarut) diberikan selama 1 jam pertama, dilanjutkan dengan
pemberian melalui infus dengan laju 1g/jam (4 mL dari 250 mg/mL dalam 50 mL pelarut).
Pemberian ini dilanjutkan hingga 8 jam atau hingga pendarahan terkontrol.(13,14)
Pemberian Desmopressin diberikan secara intravena dengan tatacara sebagai berikut,
0,3mcg/kg IV selama 15-30 menit, pemberiannya dapat diulang dalam 48 jam. Apabila dengan
pemberian antihemostatik pendarahan tidak juga teratasi maka tindakan pembedahan diperlukan.
Penghentian penggunaan metode kontrasepsi tersebut diatas maka siklus pendarahan yang terjadi
akan kembali seperti pertama kali sebelum menggunakan kontrasepsi. Pemulihan kembali
menjadi normal dapat terjadi dengan menunggu atau dengan proaktif melalui pengaturan siklus
menstruasi kembali. Pada pengguna DMPA siklus pendarahan akan kembali seperti sebelum
menggunakan kontrasepsi dalam waktu 3 bulan.(12,13,14)
Evidence Based Medicine(5,15) Rekomendasi
Pendarahan ireguler yang terjadi pada wanita berusia 35 tahun
sebaiknya dilakukan biopsi endometrial
B
Pemeriksaan Transvaginal sonografi atau Saline-infused
sonohysterogram(SIS) sebaiknya dilakukan pada wanita
perimenopause yang mengalami pendarahan uterus abnormal
C
Obat golongan Anti Inflamasi Non Steroid sebaiknya digunakan
sebagai penanganan pertama pada wanita dengan menoragia
B
Terapi non hormonal seperti AINS dan Anti fibrinolitik dapat
digunakan secara efektif dalam menangani pendarahan uterus
abnormal yang berat, yang bersifat siklik atau yang dapat
diprediksi
I-A
Penggunaan Estrogen dosis tinggi dan asam traneksamat dapat
mengurangi atau menghentikan pendarahan uterus abnormal akut
berat.
III-C
Kualitas Penilaian Bukti
I : Bukti yang didapatkan dari setidaknya satu RCT
II-1 : Bukti dari penelitian terkontrol yang baik tanpa adanya pengacakan
II-2: Bukti dari penelitian kohort yang baik (prospektif,retrospektif) atau studi kasus control, sebaiknya lebih dari satu pusat penelitian atau kelompok riset
II-3: Bukti yang didapatkan dariperbandingan antara waktu atau tempat dengan atau tanpa intervensi. hasil dramatis pada penelitian tanpa control (seperti penatalaksanaan dengan menggunakan penisilin pada tahun 1940 an) dapat juga dimasukkan dalam kategori ini.
III : Opini dari otoritas yang berhubungan, berdasarkan pengalaman klinis, studi deskriptif, atau laporan para ahli(15)
Klasifikasi Rekomendasi
A: Ada bukti yang baik untuk merekomendasikan tindakan pencegahan klinis.
B: Ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan tindakan pencegahan klinis.
C: bukti yang ada berlawanan dan tidak bisa dipakai sebagai rekomendasi untuk atau menentang pemakaian pada tindakan pencegahan klinis, bagaimanapun faktor lain dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
D: Ada bukti yang cukup untuk tidak merekomendasikan tindakan pencegahan klinis.
E: Ada bukti yang baik untuk tidak merekomendasikan tindakan pencegahan klinis.
L: Tidak ada bukti yang cukup (baik dalam kuantitas ataupun kualitas) untuk merekomendasikan; bagaimanapun,faktor lain bisa mempengaruhi pengambilan keputusan.(15)
Tindakan Pembedahan yang dapat dilakukan untuk menangani pendarahan uterus
abnormal yang tidak teratasi antara lain:
1. Dilatasi dan Kuretase
Dilatasi dan kuretase selain dapat memperbaiki gejala PUA dan mengurangi keluhan
perdarahan, juga sekaligus dapat digunakan untuk mendiagnosa kemungkinan displasia
atau keganasan. Namun demikian tindakan berulang dapat menyebabkan adhesi
intrauterin.(4)
2. Ablasi endometrial laser dengan Neodymium:yttrium-aluminium-garnet (Nd:YAG)
Metode ini adalah metode yang lebih baru. Tingkat keberhasilannya mencapai 85% dan
lebih efektif pada pasien berumur lebih dari 35 tahun. Amenore dapat terjadi pada 29%
pasien. Muncul kekhawatiran bahwa dengan metode ini keganasan tidak dapat dideteksi
karena tidak ada jaringan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan patologi. Risiko
yang mungkin terjadi meliputi kelebihan cairan, endometritis dan perforasi uterus.
Peralatan laser butuh biaya mahal dan membutuhkan kehatia-hatian khusus.(6,9,15)
3. Hysteroscopic transcervical resection of endometrium (TCRE)
metode yang dilakukan dengan koagulasi dengan memakai elektrokauter untuk
menghentikan perdarahan. Dengan melakukan tindakan ini kebutuhan akan histerektomi
dapat dikurangi hingga 90%. Metode ini juga diketahui lebih murah dari segi biaya
dibanding histerektomi. Tujuan dari metode ini adalah ablasi dan adhesi endometrium
yang menyebabkan hipomenore atau amenore. Histeroskopi paling efektif dilakukan
pada wanita berumur diatas 35 tahun.(15,16)
4. Thermal uterine balloon
Ablasi endometrium dengan histeroskopi juga dapat dilakukan dengan memasukkan
thermal uterine balloon . Sistem ini terdiri atas sebuah kontrol sistem yang
disambungkan ke kateter yang panjangnya 16 cm dengan balon latex pada tepi ujung
dengan elemen pemanas. Kemudian larutan dextrose 5% dimasukkan hingga tekanan
mencapai 160 – 180 mmHg. Larutan ini dipanaskan sampai 870 C selama 8 menit,
kemudian alat dilepas. Cara ini sama efektifnya dengan metode ablasi yang lain namun
dengan lebih sedikit komplikasi.(15)
5. Histerektomi
Histerektomi tetap merupakan pengobatan absolut untuk PUA. Histerektomi elektif
memiliki angka mortalitas 6 per 10.000 operasi. Sebuah studi mengungkapkan bahwa
histerektomi menyebabkan morbiditas dan waktu penyembuhan lebih lama dibanding
ablasi endometrium. Metode ini tetap menjadi metode yang populer untuk pengobatan
PUA terutama di negara berkembang.(4,17)
DAFTAR PUSTAKA
1. Hestiantoro A,Wiweko A. Panduan Tatalaksana perdarahan Uterus Disfungsional.Himpunan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas Indonesia.2007:1-32
2. Munro MG, Hilary O.D,Michael S. FIGO classification system (PALM-COEIN) for causes of abnormal uterine bleeding in nongravid women of reproductive age. International Journal of Gynecology and Obstetrics.2011;113:3-13
3. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Management of Unscheduled
Bleeding in Women Using Hormonal Contraception. Faculty of Sexual &
Reproductive Healthcare Clinical Guidance. 2009 :1-9
4. George A.Vilos,Guylaine L,Gillian R,Halifax. Guidelines For The Management Of abnormal Uterine Bleeding.SOGC.2001;106:1-6
5. John W. Ely,Colleen M. Kennedy, Elizabeth C,Noelle C. Abnormal Uterine Bleeding: A Management Algorithm. J Am Board Fam Med. 2006;19(6):590-602.
6. Yovanni C. Management of Dysfunctional Uterine Bleeding. Obstet Gynecol Clin N Am. 2008;35: 219–34.
7. Nathirojanakun P,Taneepanichskul S,sappakitkumjorn N,Efficacy of a selective COX-2 inhibitor for controlling irregular uterine bleeding in DMPA users.Contraception 2006;73.584
9. Bertha H. Chen,linda C, Giudice. Dysfunctional Uterine Bleeding. West J Med. 1998; 169:280-284.
10. Jain JK,Nicosia AF,Nucatola DL,et al. Mifepristone for the prevention of breakthrough bleeding in a new starters of depo-medroxyprogesterone acetate.Steroid 2003;68:1115.
11. Schrager S. Abnormal Uterine Bleeding Associated with Hormonal Contraception. Wisconsin Am Fam Physician. 2002;65(10):2073-2081.
12. Rimsza M. Dysfunctional Uterine Bleeding. Pediatrics in Review 2002;23;227
13. Manucci PM, Hemostatic drug. N Engl J Med 1998;339:245.
14. Manucci PM. Treatment of von Willebrand’s Disease. N Engl J Med 2004;351:683.
15. Singh S, Best C, Dunn S, Leyland N, Lynn W. Abnormal Uterine Bleeding in Pre-Menopausal Women. J Obstet Gynaecol Can 2013;35(5):473–75
16. Welsh A. Heavy menstrual bleeding. National Collaborating Centre for Women’s and Children’s Health. 2007;1-164
17. Wheeler T,Matteson K,Balk E,Murphy M,Abed H. Clinical Practice Guidelines for Abnormal Uterine Bleeding: Hysterectomy Versus Non-Hysterectomy. Society of Gynecologic Surgeons . 2005: 1-29.
18. http:// daum.net/shchang425/17043750. Selective Inhibitors Of Cyclooxygenase-2. N Engl J Med. 2001;345: 433-42.
19. Indah N . Obat anti pendarahan. Farmakologi Dian husada. http://nurindahs4ri.com
20. Bridgman S, Dunn K. Has endometrial ablation replaced hysterectomy for the treatment of dysfunctional uterine bleeding? National figures. Br J Obstet Gynaecol. 2000;107(53):1-534.
21. Marret H, Fauconnier A, Buffet C, Cravello L, Golfier J, Gondry A. Agostini M, Bazot, Brailly S. Brun J,DeRaucourt E, Gervaise A. Gompel O. Graesslin C. Huchon J. Lucot G.Bureau P,Roman H, Fernandez H. Clinical practice guidelines on menorrhagia: management of abnormal uterine bleeding before menopause. EURO-7035.2010:1-5
22. Desi D. Farmakologi Dasar Obat Golongan NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs).http://www.doktermuslimah.com. 2013
top related