teardrops in my guitar
Post on 24-Dec-2015
256 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Teardrops on My Guitar
Oleh : Indria Persittamaia
Music become my bestfriend when nobody understands me. – Sean Kingston
**-**
Semua mata tertuju pada gadis itu, ekspresi wajah tak suka tercetak di wajah – wajah
mereka. Sedangkan, yang diperhatikan hanya diam memasang wajah angkuhnya. Wajah
gadis berdagu tirus itu datar, tanpa ekspresi. Bahkan, untuk tersenyum semilipun rasanya
terlihat enggan.
Tiffany Jazella Saswito atau Sella, siswi kelas XII IPA 5. Seorang pewaris utama dari
perusahaan emas ternama di Indonesia dan Eropa, termasuk dalam lima besar orang terkaya
di dunia versi majalah Forbes tiga tahun berturut - turut. Kekayaan dan ketenarannya
membuat seluruh pihak sekolah tunduk kepadanya, karena dialah donatur terbesar di sekolah
swasta ini. Sinclair International School, atau disingkat SIS.
Sesungguhnya semua orang ingin sekali berteman dengannya. Siapa, sih, orang yang
enggan berteman dengannya? Gadis itu orang kaya, serba punya, bahkan ia meraih peringkat
satu paralel selama sekolahnya. Tapi, pada faktanya, banyak orang yang tidak mau berteman
dengannya. Karena satu hal, sikapnya.
Gadis itu memang berwajah datar tanpa ekspresi. Jarang sekali orang yang pernah
melihatnya tertawa, atau lebih mudahnya tersenyum. Bahkan, semuanya menyangka dia
memiliki kelainan yang membuatnya tidak bisa tersenyum. Hal tersebut adalah salah satu dari
puluhan alasan mengapa tidak ada orang yang mau berteman dengannya.
“Tiffany Jazella, membawa gitar lagi, ya?”sebuah suara berat membuat seluruh
keadaan koridor yang tadinya ramai penuh desas – desus menjadi hening. Dia memang guru
BK terkiller di sekolah ini, mendengar suaranya saja sudah mampu membuat bulu kuduk
merinding ketakutan.
Sella hanya menatap pria berumur setengah abad itu dengan wajah datarnya. Kedua
alisnya bertaut sedikit, terlihat berpikir. “Ada yang salah, Pak Herman?”
Pak Herman membulatkan kedua matanya, lagi – lagi gadis ini mampu melawannya.
“Ini sekolahan! Dan anak sekolahan itu wajib membawa tas yang berisi buku – buku
pelajaran, bukan gitar!”
“Adakah bukti yang harus saya buktikan lagi ke Bapak, kalau saya mampu sekolah
disini tanpa membawa buku – buku tebal yang membosankan itu, Pak? Bapak masih mau
mengetes saya apa lagi?”
Pak Herman terlihat diam. Seluruh memorinya berputar pada saat itu juga. Memang
benar, gadis cantik dihadapannya ini sudah menghadapi seluruh tes dari guru. Dan semuanya
nilai sempurna! Tak ada kesalahan sedikitpun. Entahlah, terbuat dari apa otak gadis ini.
“Sella,”Herman menghela nafas berat. “Bapak cuma mau kamu mengikuti apa yang
ada di sekolahan ini. Bapak ingin kamu bersikap normal.”
Sella menarik tali tas gitarnya, wajahnya masih menunjukkan tak ketertarikkannya
pada topik ini. “Saya merasa baik – baik saja bersikap seperti ini. Lagipula, mereka saja yang
menganggap saya tak normal. Omong – omong, thanks a lot for your attention to me. I really
aprreciated that. Muchas gracias, Mister!”Sella langsung berlalu meninggalkan Pak Herman
yang masih mengatur kadar kesabarannya. Dan lagi, ia diabaikan ‘sesopan’ ini oleh muridnya
sendiri di depan umum.
“Gila! Sella keren, ya? Berani bikin Pak Herman bungkam!”
“Dia bukan manusia, kali! Alien bisa jadi.”
“Aduh! Tuh, anak nyalinya segede samudra apa, sih? Sama Pak Herman aja berani.”
“Kalo aku yang ngomong kayak gitu ke Pak Herman, bisa – bisa besok udah ganti
seragam identitas, kali!”
“Pak Herman kasihan, dicuekin terus tiap hari sama dia.”
Pak Herman menarik nafasnya panjang. Dan lagi, seluruh murid yang menyaksikan
insiden ini berkomentar tentang keberanian Sella dan kegagalannya untuk menaklukan sikap
ajaibnya.
**-**
Pelangkah Sella telah sampai pada kelasnya. Matanya menyipit saat mendapati
sebuah bayangan yang muncul dari cermin yang tertempel di tembok kelas dekat dengan
pintu. Kemudian ia mendecak kesal, entah mengapa ia tak suka bercermin. Baginya, itu
hanya membuatnya bingung.
Seluruh teman sekelasnya pun sudah menganggap kebiasaannya itu adalah hal biasa.
Karena setiap pagi, saat ia memasuki kelas, pasti ia akan bercermin lalu menatap kesal pada
cermin tersebut. Beberapa dari mereka menganggap dia gila. Sebagiannya lagi menganggap
itu wajar—karena dia seorang perempuan yang selalu identik dengan kesempurnaan
penampilan.
Sella selama dua tahun selalu duduk sendiri. Sikapnya yang sudah ajaib dari awal
MOS sampai saat ini, membuat semua temannya tak mau untuk dekat dengannya. Tas gitar
yang sedari tadi berada di bahunya ia letakkan di meja, ia tak peduli dengan komentar –
komentar pedas yang bermunculan menghinanya. Ia tak peduli, dan sama sekali tak mau
peduli.
Tiba – tiba, seorang gadis berambut panjang dengan dandannya yang selalu in dan up
to date datang menghampiri Sella. Bibirnya mulai tergerak untuk menghinanya. “Eh, kamu
nggak belajar? Nanti ulangan Matik, loh! Bab Integral. Udah belajar, nyonya? Haha.”
Kepala Sella terangkat, bola mata besar dan hitamnya menatap gadis ini dengan
tatapan acuhnya. “Ada masalah, ya?”
Mendapat ekspresi acuh Sella, ia merengut kesal karena tak dapat memancing emosi
Sella. Mata Sella kini terarah pada tag name gadis itu. Bibirnya membulat kecil, namanya
Alfira Keinan ternyata.
“Aku baru tau ada nama Alfira di kelas ini.”gumam Sella kemudian. Gumaman Sella
terdengar sampai di telinga Fira. Membuat emosi gadis itu membludak.
“What?! Hello! Kita udah sekelas selama setahun, dan ini adalah tahun kedua! Kamu
nggak kenal aku? How pathetic you are!”
Suara decitan kursi membuat Fira makin marah. Sella terlihat tak menghiraukan
dirinya, bahkan kini ia terlihat ingin membolos—kebiasaan lain yang sudah dianggap biasa
oleh seluruh teman sekelasnya. “Haha. Aku ngerti. Kamu mesti belum siap ulangan, kan?
Makanya langsung pulang? Dasar loser.”
Sella mengalungkan tali tasnya pada bahunya kembali, matanya menatap datar Fira.
Kemudian berlalu pergi meninggalkan kelas dan orang – orang pembenci dirinya itu. Orang –
orang itu tak mengerti, dan sekalinya dimengerti pasti tetap tak mengerti. Sella menggerutu
lirih, “Cih! Ada tidaknya ulangan matematik tak membuat hidupku berakhir, kan?”
Kakinya terus melangkah menuruni anak tangga yang langsung terhubung dengan
koridor utama SIS. Keadaan koridor di jam pertama kali ini benar – benar lengang. Semuanya
pasti sudah mulai berkutat dengan buku – buku tebal itu. Sella mendecak, rasanya ia ingin
marah kepada orang – orang yang selalu mengusik hidupnya. Orang – orang sok tahu yang
selalu menghujaminya dengan hinaan mereka. Sebenarnya apa susahnya mengabaikannya
yang ‘katanya’ aneh, gila dan ajaib ini?
Akhirnya kakinya terhenti di sebuah pintu besar ruangan yang dapat menenangkan
pikirannya. Ruang musik. Tangannya kemudian mendorong pintu besar berwarna cokelat
tanah itu sekuat tenaga. Pintu besar itu sangat berat, suara gesekannya pun terdengar begitu
memekakkan telinga.
Matanya lalu menatap sekeliling ruangan yang luasnya seluas lapangan sepak bola. Ia
menghela nafas pasrah. “Kenapa ya, nggak pernah ada yang ngerti?”tanya Sella entah kepada
siapa. “Apa harus aku jelasin ke mereka? Aku aja nggak ngerti, bagaimana bisa menjelaskan
kepada mereka?”
Lalu ia tergerak untuk membuka resleting tas gitarnya, hingga akhirnya munculah
sebuah gitar akustik berwarna putih polos. Gitar itu begitu mengkilap, membuat siapapun
yang melihatnya pasti terpukau dengan gitar tersebut. Gitar itu memang istimewa, limited
edition, dan yang paling dicari oleh seluruh pecinta gitar di dunia.
“Mereka semua bodoh! Belajar tidak harus dengan kertas, alat tulis dan buku, kan?
Kamu juga media belajar. Nada – nada adalah media belajar yang lebih hidup daripada
buku.”curhatnya pada gitarnya sendiri. Kemudian tangannya sudah memetik dawai demi
dawai gitarnya. Memunculkan nada – nada yang nyaring nan indah.
Sella begitu menikmati permainannya, suaranya yang sopran dan merdu menemani
permainan gitarnya. Hingga membuat lagu Simphony yang Indah milik Once terdengar
begitu sempurna.
“… Syair dan melodi, kau bagai aroma penghapus pilu. Gelora di hati, bak mentari
yang sejukkan hatiku…”
Sella menghentikan permainannya saat mendengar ada suara lain yang mengikuti
nyanyiannya. Bahkan suara lelaki yang begitu merdu itu masih melanjutkan lagunya.
“…Hatiku mekar kembali. Terhibur simphony. Pasti hidupku kan bahagia.”
Ternyata ada seorang lelaki di ambang pintu ruang musik. Sella menatap tak suka
pada sosok lelaki jakung tersebut yang kini sedang tersenyum miring ke arahnya. “Permainan
yang bagus Tiffany Jazella.”
Sella membuang muka, tak peduli dengan kehadiran lelaki tersebut. Tanpa sadar,
tubuh lelaki itu sudah duduk bersila di sebelahnya. “Haha. Kenapa mbolos lagi?”
Sella diam. “Ck! Aku lupa kalau aku ngomong sama tembok yang datarnya
ngelebihin ponsel touch screen.”Sella menoleh sejenak. Lelaki itu terkekeh, tangannya ia
sodorkan ke hadapan Sella. “Siswa XII IPA 5, Gabriel Putra Ardiansyah, atau panggilan
singkatnya Iyel. Ketua OSIS SIS.”kepala Sella kembali tertoleh. “Aku ngerti sebenernya
kamu tertarik sama aku. Iya, kan?”tanyanya penuh percaya diri. Sella kembali membuang
muka.
Keadaan ruang musik menghening. Sepertinya si ketua OSIS mulai kehabisan kata –
kata untuk membuat bibir teman sekelasnya ini terbuka. “Kamu kenapa? Ada masalah?”
Sella menghela nafas, sebenarnya ia sedikit jengkel untuk meladeninya. Apalagi,
pikirannya belum sepenuhnya tenang. “Nggak.”
Mendengar jawaban singkat Sella. Iyel sontak bertepuk tangan, wajahnya seketika
berubah menjadi cerah. Alis Sella menukik ke bawah. “Seneng. Bisa ndenger kamu bicara!
Ayo, bicara yang banyak lagi. Suara kamu nggak jelek, kok!”
Sella terperangah, baru kali ini ia menemukan ada orang yang menyuruhnya untuk
berbicara. Biasanya, ketika mereka mengajak dirinya bicara dan ia mengacuhkannya, mereka
sudah menyerah duluan dan pergi menjauhinya. “C’mon lagian cuma kita berdua, kok! Yang
ada disini.”Iyel tersenyum lebar, membuat kedua lesung pipinya terbentuk di kedua pipinya.
Sella menghirup udara sebanyak mungkin, membuatnya tersadar dengan aroma musk
milik Iyel telah memasuki indra pembaunya. Membuatnya mengingat khas lelaki ini. Aroma
tubuhnya sangat wangi dan menenangkan. “Aku mau pulang dulu.”
Tubuh Sella bangkit berdiri, meninggalkan Iyel yang masih duduk bersila di lantai.
Tangannya bergerak untuk memasukkan gitarnya kembali pada tasnya. Ia tak memperdulikan
Iyel yang sedang berusaha mengajaknya bicara.
“Sell! Ayolah, aku udah rela, loh! Nggak ikut pelajaran cuma buat ngajak kamu
bicara.”ucapnya begitu jujur. Sella menghentikan aktivitasnya, hatinya sedikit gembira saat
mengetahui ada orang yang begitu seperhatian dan peduli kepadanya seperti ini. Namun, ia
tetap pada pendiriannya untuk pergi.
“Oke, oke. Mungkin lain kali. Bye, Sella. See you later!”kemudian Iyel beranjak dari
duduknya, dan pergi mendahului Sella yang masih sibuk dengan gitarnya. Setelah yakin
tubuh Iyel sudah keluar dari ruangan ini, Sella mengangkat bibirnya sedikit. Ada satu hal
yang membuatnya tak defensif kepada Iyel, lelaki itu membuatnya nyaman dan tenang
dengan aroma tubuhnya.
**-**
Lagi – lagi, topik pembicaraan para murid SIS adalah; Sella Saswito. Gadis yang
menjadi bahan pembicaraan itu hanya tetap acuh tak peduli. Pelangkahnya terus melangkah
membawanya ke kelasnya. Tatapan tak suka mereka tak digubrisnya sama sekali. Hingga
akhirnya sebuah sapaan membuatnya peduli.
“Pagi, Sella!”itu Iyel. Dengan aroma tubuh yang ia kenal dan sukai. “Semoga pagimu
indah, ya!”lalu Iyel pun berlalu mendahuluinya, meninggalkan tepukan di bahunya
sebelumnya.
Kini, tatapan – tatapan tak suka itu berubah menjadi tatapan terkejut dan iri. Semua
murid benar – benar tak mengerti apa yang sang ketua OSIS lakukan kepada Sella. Ini sebuah
berita besar, gosip terpanas dan cerita teraktual saat ini. Sella mengedarkan pandangannya
kesekeliling, semuanya saling berbisik – bisik dengan teman – temannya. Sella menghela
nafas, rasanya ia serba salah. Ketika ia tak memiliki teman, mereka selalu menggunjingnya.
Dan ketika ia memiliki teman, mereka tetap saja menggunjingnya. Eh, tunggu, teman? Jadi,
Sella menganggap Iyel teman? Jangan bermimpi, Jazella! Dia pasti sedang mencari
ketenaran. Bisik hatinya.
“Duh, Sya! Pacar kamu dikasih pelet apa, tuh, sama alien nyasar? Ngeri, ya?”Sella
memandang tepat pada seorang gadis mungil yang sedang diajak bergosip dengan temannya.
Gadis mungil itu hanya menatapnya tajam, seakan ingin sekali memaki – maki dirinya
dengan perkataan terpedasnya.
Cukup lama mereka saling tatap. Hingga akhirnya gadis mungil—yang katanya
pacarnya Iyel—berjalan dengan kaki sedikit terhentak – hentak meninggalkan koridor kelas
duabelas yang sedang panas dengan adegan ‘sapaan Iyel’ barusan.
“Dasar, cewek nggak tahu diri!”maki teman si gadis mungil tadi, kemudian ia berlalu
meninggalkan Sella. Mata Sella mengikuti kemana si gadis mungil dan temannya itu pergi.
Hingga akhirnya hanya satu kalimat yang ia ucapkan kepada dirinya sendiri; lupakan orang –
orang tak penting itu.
**-**
Entah ada keajaiban apa hingga akhirnya Sella mau mengikuti pelajaran biologi
bersama Pak Rahmat hari ini. Kehadirannya membuat guru biologi dengan rambut yang
nyaris beruban semua itu merasa bahagia.
“Jazella, saya harap kali ini kamu benar – benar mengikuti pelajaran Bapak dua jam
full!”serunya pada akhir sesi absensi. Sella tetap diam menatap lurus kedepan. Dan yang
membuat Pak Rahmat terharu lagi, adalah adanya sebuah buku tulis yang di bagian covernya
tertulis ‘Biologi’ dengan sebuah tulisan tangan yang penuh seni.
“Yak! Kita lanjutkan materi minggu kemarin, yaitu bab metabolisme. Nah! Untuk
hari ini, Bapak khususkan untuk membahas praktek biologi yang akan dilaksanakan besok.
Untuk memulai, Bapak akan membagi kelompoknya terlebih dahulu. Satu kelompok, akan
beranggotakan dua siswa saja.”
Penjelasan Pak Rahmat langsung disambut dengan protesan, keluhan dan komentar
sana-sini. Sedangkan Sella? Ia tetap menatap lurus kedepan, tak berkomentar apapun.
“Tenang anak – anak! Coba, contohlah Sella yang sedari tadi diam dan fokus
mendengarkan Bapak.”tunjukkan Pak Rahmat pada Sella otomatis membuat suara ‘huu’
bermunculan bersamaan dengan kompak. Sella tetap bergeming.
“Untuk kelompok, akan Bapak bagi. Ya, kelompok pertama, Bayu dan Luna. Dan
kelompok kedua…”
Penyebutan kelompok tersebut terus berlangsung hingga kelompok terakhir,
kelompok ke tujuhbelas. “Untuk yang terakhir, kelompok tujuhbelas, anggotanya yang belum
disebut Bapak berarti.”
Semua siswa saling tatap, mencari – cari siapa yang belum disebutkan namanya. Tiba
– tiba, tangan Iyel terangkat ke atas. “Saya belum, Pak!”
Pak Rahmat mengangguk sekali. “Iya, kamu kelompok ke tujuhbelas.”
Kepala Iyel berputar, mencari teman kelompoknya. “Sama siapa, Pak?”
“Tuh,”Pak Rahmat menunjuk pada bangku yang berada tepat di depan meja guru.
“sama Sella.”lanjutnya sambil tertawa kecil. Kontan seluruh kelas terisi oleh tawa dan
ledekan.
“Haha. Selamat, Bro! Kamu sama Sella! Ciee aja, deh!”ledek Enggar, teman
sebangku Iyel. Senyuman Iyel tergerak ke samping, ia melirik ke arah Sella yang masih tetap
diam di bangkunya. Tak ada respon sama sekali. “Dia beneran alien, ya, Yel? Keadaan kelas
serame ini bahas dia, dianya tetep lempeng plus diem gitu aja.”Iyel hanya membalas dengan
senyuman miringnya.
“Yak! Silahkan bergabung dengan kelompoknya masing – masing. Monggo,
monggo..”
Serentak anak XII IPA 5 mulai berlalu lalang untuk mencari kawan kelompoknya,
lalu mencari tempat duduk dan merundingkan praktikum kali ini. Iyel datang menghampiri
Sella yang terlihat masih tetap sama—diam dengan tatapan mata lurus ke depan.
“Hei!”tangan kanan Iyel melambai di depan wajah Sella. Membuat gadis berambut sebahu itu
bereaksi dengan mengerjapkan kedua matanya. “Ngelamun?”
Sella menggeleng kalem, tangannya lalu menunjuk pada selembar kertas yang dibawa
oleh Iyel. “Praktikumnya? Semacam neliti hati ayam gitu. Kamu jijik sama ginian,
nggak?”Sella kembali menggeleng. Bibirnya tetap tak ada niat sama sekali untuk terbuka.
Melihat ke akraban keduanya, seluruh murid kelas XII IPA 5 hanya bisa melongo tak
percaya. Untuk para siswi yang merasa iri, mereka lebih senang untuk menggunjing Sella
dengan hal – hal negatif.
Pak Rahmat mengangguk – anggukkan kepalanya saat melihat aksi Gabriel. Ia tak
salah pilih. “Yak! Selanjutnya, Bapak akan jelaskan tentang praktikum kali ini…”
Sella mendengarkan suara berat Pak Rahmat yang terus menggelegar memenuhi
ruang kelas, sesekali ia mencoret – coret pada lembar praktikum yang berisi penjelasannya.
“Baru pernah aku liat kamu nulis.”Sella menoleh, lalu kembali menatap tulisannya. “Kamu
mau sekolah gara – gara aku, kan?”
“Uhuk! Uhuk!”suara tersedak Sella membuat konsentrasi anak sekelas buyar. Kelas
kembali menjadi ricuh, membuat Pak Rahmat harus bersabar menghadapi mereka semua. Iyel
dengan gugup menepuk – nepuk punggung Sella, hingga membuat gadis itu perlahan
bergerak menjauhinya.
“Tenang anak – anak. Tenang! Sella, kamu tidak apa – apa, kan?”Sella hanya
menggeleng kecil. “Ok! Kalau begitu, Bapak lanjutkan. Jadi, nanti kalian perlu
mempersiapkan…”
“Udah baikan?”Sella menatap Iyel dengan wajah menuntut. Dari tatapan itulah, Iyel
tahu bahwa kedua mata Sella begitu hitam, bulat dan besar. Mirip sekali mata boneka.
Apalagi ditambah kulit putih mulus, hidung mancung dan bibir tipis berwarna cherrynya.
Sella mengedikkan dagunya, menandakan kata ‘Apa?’ kepada Iyel. Otomatis, Iyel
salah tingkah dibuatnya. Tak sadar, tadi ia sudah larut dalam ketakjubannya dengan wajah
Sella. Benar – benar, dia seperti boneka barbie.
“Ehm. Buat alat dan bahan, nanti aku aja yang bawa. Nanti kamu bikin laporannya aja
gimana? Lagian tulisan kamu juga bagus.”arah mata Iyel tertuju pada tulisan tangan Sella,
membuat sang empu tulisan melirik miliknya. “Gimana?”
Sella mengedikkan bahu, menunjukkan semua keputusan ia serahkan kepada Iyel.
Lelaki berambut ikal itu menghela nafas samar, sungguh sulit sekali membuat gadis prototipe
barbie di depannya ini untuk angkat bicara. Akhirnya, keduanya memperhatikan Pak Rahmat
yang masih menjelaskan tanpa jeda.
“…Jadi, anak – anak, besok jangan lupa membawa seluruh alat dan bahan! Kalau
sudah siap, besok langsung saja meluncur ke laboratorium biologi. Setuju semua?”
“Setuju!!”koor anak – anak menyetujui usulan Pak Rahmat.
Pak Rahmat melihat jam tangannya sebentar, lalu ia merapikan buku – buku tebal
biologinya. “Karena waktu tinggal sepuluh menit lagi, saya akhiri saja pertemuan kali ini.
Terima kasih atas perhatiannya. Sampai bertemu hari esok. Siang anak – anak…”
“Siang!!”dan sepeninggalnya Pak Rahmat, anak kelas langsung berhamburan menuju
kantin. Sedangkan, Iyel dan Sella tetap masih pada bangkunya. Iyel tetap berada di sebelah
Sella, dan begitu sebaliknya.
“Mau kantin?”tanya Iyel. Tanpa menjawab pertanyaannya, Sella meraih tas gitarnya
lalu lewat melaluinya. “Mau kemana?”Sella tetap tak menjawab. “Sell,”panggil Iyel. “Sella!”
Iyel mendesah panjang. Gadis itu tetap saja pergi tanpa memperdulikan panggilannya.
Iyel melihat sekeliling kelas yang kosong mlompong, “Dasar! Muka – muka kantin semua.
Laperan banget.”
“Yel!”
Kedua bola mata cokelat Iyel langsung terarah ke ambang pintu. Ada seorang gadis
mungil dengan rambut ikalnya di ambang pintu sana. “Kenapa, Sya?”
Gadis mungil itu berjalan mendekatinya. Membuat rambut ikal panjangnya bergerak
mengikuti gerakan tuannya. “Kita perlu bicara.”
Iyel menatap gadisnya—oh, maaf sekarang bukan—dengan ekspresi datarnya.
“Bicara apa lagi? Bukannya udah selesai?”
Gadis itu menggeleng dua kali. “Nggak semudah itu!”
“Terus kemarin lusa kamu ngomong putus itu apa, Tasya?”
Tasya mendecak keras. Raut wajahnya mulai berubah kesal. “Nggak semudah itu
putusnya. You must think about our popularity, boy!”
Popularitas? Persetan dengan itu. Kalau memang sudah berakhir, ya sudah.
Memangnya kalau orang populer, kalau putus harus dengan pengumuman besar – besaran,
gitu?
Emosi Iyel berusaha ia tahan semampunya. Meskipun kata hatinya terus saja
memancing – mancing emosinya. “Terus, kamu maunya gimana?”
Tasya menatap Iyel tajam. “Sebelum aku benar – benar inform semua orang tentang
hubungan kita, kamu jangan pernah deket sama cewek lain. Ngerti?”
“Cewek lain?”
Kekehan sinis Tasya mengawali ucapannya. “Iya, cewek alien yang super aneh yang
kamu sapa tadi pagi. Itu menjijikan!”
“Sella? Ada yang salah sama dia?”
“Ck! Kan aku udah bilang, sebelum semua orang tahu kita putus, kamu dilarang deket
sama cewek lain. Siapapun itu. Entah kalian dia rekan kerja, temen lomba atau apapun itu,
lah!”
Iyel mengangguk paham. Ia tetap tenang menghadapi gadis di depannya ini. “Oh, jadi
harus diumumin dulu? Oke, aku bakalan ke ruang informasi sekarang.”
Melihat tubuh Iyel yang mulai bergerak keluar dari kelas, Tasya refleks histeris
memanggil – manggil nama Iyel, brutal. “Yel, jangan bodoh! Bukan gitu!”
Tasya melihat tubuh Iyel sedang berjalan mendekati ruang informasi, secepatnya ia
berlari mendekati Iyel lalu meraih lengan lelaki jakung tersebut. “You’re stupid man that I
ever known.”bisiknya saat ia berhasil membuat lelaki itu berhenti melangkah. Kemudian
gadis mungil itu meninggalkannya di tengah – tengah koridor. Iyel tersenyum miring,
“Dasar, cewek banyak maunya!”
Iyel menyesali pernah jatuh cinta dengan Tasya. Gadis yang ia temui setahun yang
lalu pada acara pesta ulang tahun teman organisasinya. Ternyata, Tasya bukanlah gadis yang
ia cari. Ia baru sadar, bahwa wajah kalem gadis itu tak bisa mendiskripsikan bagian
dalamnya. Luarnya memang terlihat bagus, tapi dalam? Sangat buruk. Minus.
Iyel menggeleng kecil, lalu ia melangkah menuju ruangan dimana sebuah boneka
barbie yang hidup berada. Ruang musik.
**-**
“…You lift my feet off the ground. Spin me around. You make me crazier, crazier,
crazier.”
Sella menatap pantulannya pada badan grand piano hitam yang berada di depannya.
Wajahnya lagi – lagi menatap kesal pada bayangannya. Rasanya sulit sekali untuk
menebaknya.
“Sella?”suara pintu terbuka kemudian diikuti oleh sebuah panggilan membuat Sella
mengalihkan perhatiannya. Ada sesosok lelaki sedikit berlari mendekatinya, ketika lelaki itu
semakin dekat, Sella melengos. Dengan sedikit terburu – buru, Sella memasukkan gitarnya
dalam tasnya. “Lho, mau kemana?”
Sella mendesis. Seharusnya ia pergi sebelum masalah akan datang menambah beban
hidupnya. “Sell, mau kemana?”Sella tak menggubris kehadiran Iyel sama sekali. Bahkan,
sekarang ia sudah memegang handle pintu besar ruang musik, berniat untuk keluar. “Sella,
aku mau ngo—“
Brak! Pintu besar berwarna cokelat tua itu tertutup keras dan rapat. Menandakan sang
penutup pintu telah pergi meninggalkan ruangan ini. Sella berjalan cepat, berusaha mencari
tempat lain yang bisa membuatnya tenang selain ruang musik. Tetapi, belum jauh ia
melangkah, ia sudah berhenti. Tempat mana lagi yang bisa membuatnya tenang selain ruang
musik?
Kehadirannya di koridor utama sekolah membuat para murid berjalan minggir sambil
berbisik – bisik dengan temannya. Tetap, ia tak memperdulikannya. Yang ia pedulikan
sekarang satu; Ia butuh tempat privasi sekarang juga.
Tapi, belum juga ia menemukan tempat yang pas. Di hadapannya kini telah muncul
seorang gadis yang tadi mengancamnya lewat ancaman kecilnya. Sella mengetahui gadis itu
dari ukuran tubuhnya dan rambutnya. Dia, pacar Gabriel.
“Mbolos lagi, Nyonya?”sindirnya saat tepat melintasi Sella. “Kalau misalnya udah
nggak niat sekolah, mending keluar aja, deh! Daripada bikin sepet pemandangan mata.”
Insiden pertemuan tak disengaja antara Sella dan Tasya menjadi tontonan gratis yang
sangat menghibur bagi para murid SIS. Semuanya mulai mendekat dan secara otomatis
membentuk lingkaran mengelilingi Sella dan Tasya.
“Nggak bisa jawab, ya? Upsi dupsi, aku lupa kalau kamu alien yang nggak ngerti
bahasa manusia. Uuhh.. biar bisa ngomong sama kamu, aku perlu pakai bahasa alien juga,
nggak?”
Para ‘penonton’ tertawa saat mendengar ucapan sinis Tasya. Melihat banyak yang
mendukungnya, Tasya makin gencar untuk membully Sella. “Oh iya, ternyata lo diem – diem
bisa ngembat pacar orang juga, ya? Ck! Parah banget. Jangan – jangan, diem itu adalah syarat
biar pelet kamu manjur, ya?”
Lagi – lagi, para ‘penonton’ tertawa dan menyetujui ejekan dari Tasya. Sella tetap
bergeming. Matanya menatap fokus mata kelabu gadis mungil itu. Tak ada emosi sama sekali
pada mata Sella.
Tasya yang merasa tak diperdulikan Sella akhirnya geram, ia menarik tas gitar Sella
hingga membuat gadis itu terhuyung hampir menubruknya. “Ngomong!”
Sella bergeming. “Tiffany Jazella, ngomong, nggak?”Sella tetap diam. Tasya
melepaskan tangannya dari tas gitar Sella, lalu mendorong tubuh gadis itu. “Beneran bisu
sama tuli, ya? Masih hidup aja, sih, makhluk kayak gini? Disgusting!”
“Woooww!!”koor para ‘penonton’ kompak. Tasya tersenyum satiris, pada akhirnya,
ia menyerah juga membully Sella. Kepergian Tasya otomatis membuat para ‘penonton’
kecewa, bentuk lingkaran tadi akhirnya buyar. Sedangkan Sella, masih diam di tempat.
Sella tersenyum miring tipis, lalu ia kembali berjalan menyusuri koridor utama
sekolah. Ia tahu dimana tempat untuk bisa menenangkan diri, top roof.
**-**
Semilir angin menguraikan helai demi helai rambut sebahunya. Sapuan lembut dari
ciptaan Tuhan menyentuh kulit wajahnya manja. Membuat tuannya merasa semakin tenang
dan rileks. Bahkan, kejadian lampau yang baru saja menimpanya langsung ia lupakan begitu
saja.
Sella tersenyum simpul ketika mengingat wajah merah padam Tasya karena gagal
memancing emosinya. Gadis kecil itu berakal pendek seperti tubuhnya. Jika sudah tahu
dirinya itu alien dan sulit berbicara, untuk apa dia memancing emosinya? Buang – buang
energi saja! Komentarnya dalam hati.
Ia bersyukur karena masih dapat berpikir jernih disela – sela hujanan makian Tasya
terus menderanya. Paling tidak, hasil pemikiran tadi berakhir di tempat ini. Tempat inilah,
tempat yang menenangkannya selain ruang musik.
Matanya menatap pada hiruk pikuk jalanan kota. Membuatnya terus merenung
tentang nasibnya yang boleh dibilang aneh. Tapi, dibalik keanehan itu, ia tetap berusaha
untuk bersyukur. Karena, apapun yang ia dapat dari Tuhan pasti itulah yang terbaik. Bahkan,
untuk satu hal menyialkan yang membuatnya hidup seperti ini tetap ia syukuri.
Kedua bola mata hitamnya tertuju pada seekor induk burung gereja yang sedang
memberi makan anak – anaknya dengan cacing di atas sarang mereka yang terletak pada
pucuk pohon beringin besar. Anak – anak burung gereja itu terlihat begitu bahagia saat
melihat ibunya memberi makanan untuk mereka. Sella menatap iri burung – burung itu.
“Mereka terlihat sama, tapi bisa dikenali. Sedangkan manusia? Bukankah dari fisik
terlihat berbeda? Tapi mengapa sulit untuk dikenali? Burung – burung itu hebat bisa
mengenali seluruh anaknya, padahal semuanya terlihat sangat sama. Apa yang dilakukan
burung – burung itu sebenarnya?”
Drrt. Sebuah getaran membuatnya merogoh saku rok seragamnya, sebuah pesan
singkat muncul pada ponsel layar sentuhnya. “Halo, Pa?”
Kedua kakinya bermain – main bebas di udara, tangannya yang terbebas menyangga
tubuhnya. Boleh dibilang, aksinya ini sungguh berbahaya. Sekarang, ia sedang duduk di
tembok pembatas top roof yang tingginya hanya sebatas lututnya. Sekali dorong, sudah pasti
gadis ini akan terjatuh dari lantai empat.
“Iya. Bye, Pa!”Sella mengakhiri hubungan telepon dari Papa. Gadis itu menarik
nafasnya panjang, menimang – nimang usul dari sang Papa yang telah dibicarakan lewat
sambungan telepon barusan.
Pikiran Sella sedang merembet kemana – mana, membuatnya bingung harus
memikirkan yang mana dulu. Sella menghela nafas pasrah, ia tak suka untuk berpikir, apalagi
mengingat. Semuanya terlalu abstrak dan memusingkan.
Bosan berpikir, Sella kembali kepada gitarnya. Gitar putih kebanggaannya. Gitar yang
selalu menemaninya di suasana hati apapun, gitar yang selalu menjadi temannya, gitar yang
selalu mengerti tentang dirinya. Jemarinya menyentuh dawai – dawai gitar tersebut lembut,
suara nyaring terdengar samar karena bercampur dengan hembusan angin yang begitu besar.
Sebuah intro lagu mulai terdengar, menghiburnya manja. Lagu slow dan mellow milik
seorang penyanyi muda asal Jogjakarta ia nyanyikan, lagu yang menceritakan tentang sebuah
hubungan timbal balik antara tangisan dan tawa. Setiap ada tangisan, setelah itu pasti akan
ada tawa.
Suara soprannya berharmoni dengan petikan gitarnya. Lagu Frau, Mesin Penenun
Hujan berhasil dibawakannya dengan lengkap. Sella tersenyum kecil, memang benar, hanya
gitarlah yang dapat menghiburnya dari penatnya permasalahannya.
Tiba – tiba pikirannya melayang pada sesosok Gabriel. Seorang lelaki berperawakan
kurus tinggi yang akhir – akhir ini mendekatinya. Rasanya sunguh janggal bila melihat ada
seseorang yang mendekatinya. Mengapa si ketua OSIS itu baru mendekatinya sekarang?
Bukankah sudah hampir dua tahun mereka saling kenal? Oh, maaf, mungkin lebih tepatnya
hanya Gabriel yang mengenalnya.
Sella mengrucutkan bibirnya saat dirinya tak mampu menggambarkan sosok tersebut.
Alih – alih mengingat hal tersebut, ia malah teringat dengan aroma tubuh lelaki itu. Aroma
yang membuatnya merasa tenang. Tapi sejurus kemudian, ia teringat dengan kekasih lelaki
tersebut. Gadis mungil berambut ikal. Hanya itu yang dapat ia diskripsikan.
“Jangan bilang nyari selingkuhan lagi, si ketua OSIS? Cih, dasar tak tahu
diri!”cibirnya. Sella merasa kesal karena harus berhadapan dengan orang lain. Apalagi,
sebelumnya ia berkonfrontasi langsung dengan gadis bermulut pedas ala Tasya. Ia memang
sering mendengar seluruh perkataan sinis terhadapnya, tapi perkataan Tasya membuat
dahinya berkedut hebat.
“Udah tau alien, masih aja diladenin. Mentang – mentang siapa tadi? Pacar ketua
OSIS, ya?”bibir Sella monyong – monyong. Sepertinya ia begitu kesal dengan perlakuan
gadis mungil itu. Apalagi ditambah dengan ancaman murahannya; gadis mungil itu akan
membunuhnya. Yah, meskipun ancaman itu terdengar mustahil bila dilakukan. Mana
mungkin anak SMA semungil dia berani membunuhnya? Benar – benar mencari neraka
namanya.
Sedetik kemudian, Sella tersentak. Tumben sekali ia membahas kejadian lampau?
Seumur – umur, dia pasti akan melupakan semua kejadian—entah itu membahagiakan atau
sebaliknya. Entah benar atau tidak, sepertinya kedatangan Gabriel ke kehidupannya akhir –
akhir ini membuatnya berubah. Dirinya yang dulu sangat anti membawa buku – buku
sekolah, kini ia ingin membawanya. Ketika dulu ia enggan untuk mengikuti pelajaran di
sekolah, sekarang ia mau mengikutinya.
Jantung Sella berdegup semakin keras saat memikirkan akan perubahannya. Mana
mungkin lelaki bermata cokelat itu mampu membuatnya berubah? Apakah ini waktunya
untuk ia peduli? Apakah, ini waktunya ia berubah? Melawan sebuah hal yang selalu
menghambatnya ini, mampukah ia?
Sella menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Pertanyaan itu, seluruhnya
ia jawab dengan ragu.
**-**
Sella menuruni anak tangga terakhir top roof, sesampainya di lantai tiga, ia telah
dicegat oleh gadis mungil berambut ikal. Oh, Tasya? Ada hajat apa gadis itu mencarinya.
“Urusan kita belom selesai, alien!”
Sella tak merespon. Kedua bola matanya yang besar dan bulat menatap wajah Tasya
tanpa minat. “Jadi.. ini gadis yang dikejar Iyel? Murahan sekali?”
Kaki Sella melangkah cuek, mengabaikan Tasya yang tengah memancing – mancing
emosinya. “Hei! Aku lagi ngomong, dengerin bisa?”
Langkah Sella terhenti, tanpa menatap sang lawan bicara, ia menyenderkan tubuhnya
pada tembok pembatas. “Kamu itu emang ngeselin, ya? Aku jadi nggak ngerti apa sih,
bagusnya kamu dibanding aku? Aku lebih baik daripada kamu. Camkan itu!”
Sella tetap tak peduli. Telinganya seakan menghentikan fungsinya saat ini. Matanya
menatap anak – anak basket yang tengah bermain bebas di lapangan SIS. “… Jadi, aku harap
kamu tahu diri! Seharusnya kamu ngerasa nggak pantes buat Iyel. Kamu jauhin dia kek, atau
gimana, ingetin dia kalau dia masih punya aku. Aku pacarnya dia.”
Bibir Sella bergerak miring, evil smile ia berikan kepada gadis mungil itu,
menunjukkan sisi lainnya yang mengerikan. Dari sudut matanya, ia bisa melihat Tasya
mundur selangkah menjauhinya. Sudah ia jamin, orang – orang pasti akan terkejut bila
melihatnya tersenyum semengerikan ini. “Ka-kamu nggak usah senyum kayak gitu. Aku
nggak takut!”
Sella tertawa sinis tak kentara. Kalau tidak takut mengapa gadis itu beringsut mundur
menjauhinya. “Argh! Aku lupa kalau susah ngomong sama alien. Intinya, dengerin ya,
Jazella! Iyel masih punya pacar bernama Tasya Febriana. Don’t ever to try get closer with
him. Or you will die.”
Suara sepatu fantopel berhak tinggi milik Tasya mulai beradu dengan lantai.
Menimbulkan suara tuk tuk berkali – kali, hingga akhirnya suara itu perlahan melemah. Sella
menatap punggung gadis mungil itu, rambutnya yang ikal sebahu mengayun cepat mengikuti
langkah kakinya yang juga cepat. Kemudian ia tertawa hambar, siapa pula yang ingin
merebut Iyel dari dia?
Semenit kemudian ia memutuskan untuk pulang. Karena langit yang biru perlahan
mulai berganti dengan warna oranye. Anak tangga demi anak tangga ia lewati, hingga sampai
anak tangga terakhir yang langsung menghubungkannya pada pertigaan. Ia memilih jalan
lurus, menyusuri koridor utama untuk mengantarkannya menuju pintu keluar sekolahan
mewah ini.
“Ih! Ini pakai acara patah lagi! Dasar sepatu jelek!”Sella melambatkan langkah
kakinya, lalu mendecak sebal. Hari ini memang harinya Sella dan gadis mungil itu, ya?
Mengapa mereka sering sekali bertemu hari ini? Sella akhirnya terhenti, berharap gadis
mungil itu segera berjalan dahulu. Namun, ia malah terlihat kebingungan dengan sepasang
sepatunya yang kini terlihat tingginya berbeda.
“Ck! Tinggal nggak pakai sepatu aja, kok repot!”gerutu Sella lirih, hanya dirinya saja
yang mendengarnya secara jelas. Pelangkahnya kembali melangkah, ia berusaha untuk
mengabaikan gadis itu. Tetapi anggota tubuhnya seakan mengkhianati otaknya, tiba – tiba
tangannya terulur untuk membantu Tasya berdiri dari posisi duduknya.
“Kamu ngapain disini?”mata Sella menatap lurus, tak menatap Tasya sama sekali.
Sedangkan tangannya masih mengambang di udara. “Kalo nggak ikhlas, nggak usah nolong,
deh! Dasar freak!”
Sella menarik tangannya kasar, matanya kini terarah kepada Tasya yang tengah
menggumam tak jelas kepada sepatunya yang patah. Mata Sella mengerling, lalu tanpa ba-bi-
bu mengambil sepatu Tasya yang masih memiliki hak sepatu.
“Eh!? Kamu mau ngapain!”jerit Tasya histeris, membuat telinganya terasa penging. Ia
menghiraukan Tasya yang terus protes panjang lebar, tangan kanannya mengangkat sepatu
Tasya tinggi – tinggi, lalu memukulkannya pada pinggiran tiang koridor. Membuat suara
melengking Tasya kembali menulikan telinganya.
“Dasar cewek gila!”hardiknya kesal. Sella tetap tak peduli, ia langsung melemparkan
sepatu Tasya yang kini tak memiliki hak sepatu. Lalu berlalu meninggalkannya dengan
tanduk yang masih muncul di kedua kepalanya. “Dasar cewek gila! Gila! Gila!”
Sella mencibir, “Kamu yang gila, ngomong sama sepatu.”
Tasya memandang tubuh Sella yang mulai membelok menuju pintu gerbang SIS.
Kedua tangannya memegang kedua sepatunya yang kini tanpa hak. Keduanya sekarang
memiliki tinggi yang sama, menjadi pasangan yang serasi.
Tasya mendengus, “Terima kasih, Sella. Sepatu seharga satu juta, dengan kulit asli,
dipatahkan begitu saja. Terima kasih.”gerutunya seraya mengenakan kedua sepatunya.
Sekarang ia bisa berjalan normal, tidak seperti tadi.
**-**
Pagi ini terlihat begitu menyenangkan bagi Sella. Apalagi hujan turun begitu derasnya
membasahi bumi. Karena hujan, ia bisa melukis di jendela kelas. Embun – embun yang
mengenai jendela membuatnya bisa menggambar objek abstrak yang ada dalam benaknya.
Paginya bertambah sempurna saat mendapat pujian dari Pak Budi, wali kelasnya. Pak
Budi merasa bangga karena tanda alfanya pada buku absensi semakin lama semakin
berkurang. Teman – teman Sella yang lain sedikit demi sedikit mulai bisa menerima
kehadirannya. Kini Sella mulai sedikit berbaur dengan kelas. Ketika ada keributan di
kelasnya, ia pasti akan merespon walaupun hanya sekedar menyaksikan keributan itu saja.
Perubahan Sella ini terjadi karena tak lain dan tak bukan karena permintaan sang Papa
seminggu yang lalu lewat sambungan telepon. Papa memintanya untuk berbaur dengan orang
lain tanpa perlu mengkhawatirkan seperti apa mereka. Nasehat Papa yang masih ia ingat
sampai saat ini, ‘Mengenal tak harus mengetahui seperti apa mereka. Asalkan kamu
merasakan dan menerima kehadiran mereka, kamu telah berhasil mengenalnya.’
Lamunannya terhapuskan ketika merasakan sebuah dorongan dari belakang. Tanpa
memutar kepalanya, ia sudah tahu siapa yang pelakunya. Lewat aroma tubuhnya, ia bisa
menebaknya. Gabriel. “Lagi seneng, ya?”
Sella cukup merespon dengan mengedikkan bahunya. Matanya kini tertarik pada
tetesan – tetesan air dari langit. Ia sangat suka hujan. Karena hujan dapat menenangkannya,
dan satu alasan kuat mengapa ia menyukai hujan; Karena hujan adalah teman munculnya
pelangi. Mengingat pelangi, Sella menghela nafas. Kapan terakhir kali ia melihat pelangi?
Busur besar dengan warna – warna cerah menggantung indah di langit biru. Dulu,
sewaktu kecil ia pasti selalu menunggu datangnya pelangi. Ia ingat saat Mama
mengingatkannya akan datangnya pelangi ketika hujan dan sinar mentari menyatu di langit.
Hujan dan mentari, keduanya berbeda namun dapat bersatu padu begitu sempurnanya.
Mama dulu bilang pelangi muncul karena keajaiban, tapi ilmu sains yang ia pelajari
membuatnya ia meragukan tutur kata Mama dulu. Maka dari itu, rasanya Sella enggan
mempelajari ilmu di sekolah. Karena mereka membuatnya ragu dengan keajaiban yang selalu
ia nantikan kehadirannya di kehidupannya.
“Sell..”
Lamunannya kembali terpupuskan oleh lelaki itu. Mau apa sebenarnya dia?
“Kemarin aku dapat selebaran. Baca, deh!”Sella menengok sebatas bahunya, terlihat
tangan kurus Iyel menyodorkan sebuah selebaran yang penuh dengan gambar not balok
kepadanya. Tangan Sella menerima baik pemberian Iyel.
“Itu lomba musik yang diadain sama Universitas Bakti Bangsa. Aku tahu kamu bisa
main musik—terutama gitar, maka dari itu aku nyaranin kamu buat ikut lomba itu. Lumayan,
loh! Bisa ngembangin bakat kamu, kali aja kamu sukses karena bakatmu.”
Sella menunduk, membaca kata demi kata yang muncul pada selebaran tersebut. Ia
lagi – lagi hanya mengedikkan bahu, lalu menyerahkan selebaran itu kembali kepada yang
punya. “Kok dikembaliin? Ayolah, Sell. Nggak selamanya musik itu dinikmatin untuk
sendiri, berbagi itu lebih baik, loh!”
Kepala Sella berputar, wajahnya kini tepat berhadapan dengan wajah Iyel. Lelaki itu
tersenyum lebar. “Ok?”
Tanpa merespon Iyel, ia kembali berbalik. “Yah, dasar! Ya sudah, aku masukin sini,
ya? Kali aja kamu berubah pikiran.”mata Sella melirik pada tas gitarnya, tangan Iyel tengah
memasukkan lipatan selebaran itu ke dalam saku gitarnya.
“… Ya, jadi masa orde baru itu…”
Blah. Orde baru. Sella tak suka pelajaran sejarah, karena pelajaran itu penuh dengan
hafalan. Otaknya ini merasa iritasi bila dikaitkan dengan perintah mengingat. Meskipun ia tak
suka, tapi tetap saja nilai sejarahnya pasti diatas angka sembilan. Ia tak menganggap ini
karena kecerdasannya, tapi ia selalu menyebutnya, keajaiban.
**-**
Kedua kaki Sella ia seret untuk menuju pintu gerbang SIS. Waktu telah menunjukkan
pukul empat sore. Sudah barang tentu seluruh murid SIS telah berhambur pulang ke rumah
masing – masing, menyisakan kesepian di lorong – lorong koridor sekolah.
“Eh!?”Sella menghentikan langkahnya ketika mendengar suara gedubrak keras dari
arah tangga kelas duabelas. Matanya memicing, merasa heran kenapa masih ada orang yang
mau tinggal lama di sekolah besar dan sepi ini.
“Tolong… sakit…”samar – sama ia mendengar rintihan kesakitan seorang wanita.
Secara otomatis Sella langsung berlari menuju arah suara, buru – buru menyelamatkan orang
yang kesakitan itu.
Sella berlari sekencang mungkin, “Kamu nggak ap—“bibir Sella terkatup rapat ketika
mendapati seorang gadis mungil dengan rambut ikal yang sangat ia kenal sedang meringkuk
di anak tangga terakhir sambil bersender pada tembok. Wajahnya kembali datar. “Kamu
kenapa?”tanyanya dingin.
Gadis mungil itu mendongak, wajahnya begitu pucat pasi penuh dengan keringat.
“Ergh..”erangnya lirih. Sella menghela nafas, ini bukan waktunya untuk tak peduli Sella.
Entah seberapa jahat orang ini kepadamu. Peringat hati kecilnya kepada dirinya. Sella
langsung membungkuk menyentuh dahi gadis mungil itu. Tasya Febriana.
“Aku anterin pulang.”tawarnya tanpa nada memaksa. Tasya hanya membalas dengan
tatapan sinisnya. Sella menghela nafas, masih sempet – sempetnya mikirin gengsi. Gerutunya
dalam hati. “Daripada kamu kesakitan di sekolahan, sendirian.”
“Nggak perlu!”jawabnya tertahan karena sedang berusaha menahan rasa sakitnya.
Tasya menggigit bibirnya sekuat tenaga, berharap rasa sakitnya segera reda. Kedua bola mata
Sella berputar. Tanpa meninggalkan sepatah katapun, ia meninggalkan Tasya yang masih
meringkuk kesakitan di sana. Namun, belum sampai Sella melangkah sejauh dua meter,
terdengar suara dentuman keras yang membuatnya refleks berlari kembali ke arah tangga.
“Tasya!”teriaknya ketika melihat gadis itu telah tak sadarkan diri, wajahnya yang tadi
pucat sudah semakin pucat, seperti mayat. Tak perduli dengan rasa gengsinya, Sella langsung
menggendong tubuh mungil itu. Berusaha menyelamatkan gadis itu tanpa peduli seberapa
benci dan enggannya ia menerima Sella.
Jantung Sella kembali berdetak cepat. Sedang apa seorang Tiffany Jazella peduli
dengan orang lain seperti ini?
**-**
Bau obat yang begitu menyengat dan sangat ia benci menusuk indra pembaunya.
Membuat gadis itu langsung menutup mulutnya dengan tangannya. Matanya menatap
khawatir pada pintu IGD. Seorang gadis mungil dengan rambut ikalnya sedang diperiksa di
dalam sana. Sella menutup matanya, berdoa sejenak kepada Tuhan, berharap ketakutan dan
kekhawatirannya bisa berkurang.
Disaat – saat genting seperti ini, Sella langsung menghakimi dirinya sendiri karena
terlalu tertutup dengan orang lain. Seandainya ia sedikit terbuka, mungkin ia bisa
menghubungi orang lain untuk bisa membantunya menolong Tasya. Tidak sendirian seperti
tadi—menggendong tubuh Tasya dan mencari taksi dengan susah payah. Lalu pikirannya
berlabuh kepada seorang lelaki yang berhubungan erat dengan gadis itu. Gabriel.
Jika lelaki itu tahu keadaan gadisnya seperti ini, apa yang akan dia lakukan? Apakah
dia akan menangis meraung – raung memanggil nama Tasya berkali – kali? Oh, sungguh itu
sinetron sekali. Kekehan Sella muncul ketika membayangkan hal itu. Konyol sekali.
Lampu merah yang berada di atas pintu IGD mati. Menandakan para dokter telah
selesai menangani Tasya. Pintu dengan jenis Opalescent Glass itu terbuka, lalu munculah
seorang gadis yang sedang tergeletak tak berdaya di atas kasur yang kini tengah di dorong
oleh beberapa suster. Sella tetap dia menatap gadis yang berada di atas kasur itu. Sesudah
gadis itu lewat, ia kembali menatap pintu IGD. Aneh sekali, bukannya yang masuk tadi itu
Tasya? Lalu, kenapa dia berbeda?
“Mbak, mbak temennya pasien tadi, kan?”tanya seorang suster seraya menunjuk pada
arah dimana gadis tadi. Dahinya berkerut, menatap aneh sang suster.
“Bukannya masih di dalam?”sang suster mendelik sebentar, matanya menatap aneh
Sella.
“Duh! Yang ada di IGD cuma temen mbak tadi. Gimana, sih, Mbak? Sama temennya
sendiri kok lupa.”suster itu kemudian berjalan meninggalkan Sella yang masih terbengong –
bengong.
**-**
Suasana sepi menyelimuti ruangan seluas tiga kali empat meter ini. Warna putih yang
mendominasi membuat pencahayaan di ruangan ini begitu terang. Sella berkali – kali
menutup bibirnya yang terbuka lebar saat menguap, dengan sekuat tenaga menahan rasa
kantuknya. Sudah empat jam ia menunggu gadis mungil ini terbangun, namun ia tak kunjung
bangun.
Sella tak bisa menghubungi kedua orang tua Tasya karena tak memiliki nomor
ponselnya. Jika adapun, itu ada di dalam ponsel Tasya pastinya. Namun, ia sama sekali tak
berani mengorek isi tote bag milik Tasya. Matanya melirik memandang tas Tasya, rasanya
ingin sekali memberi tahu orang tua gadis itu. Tak tega ia membiarkan Tasya sendirian di
ruangan ini dengan rasa sakitnya. Apalagi, hanya orang tua Tasya yang berhak mengetahui
penjelasan dokter tentang keadaannya.
“Ergh..”erangan kecil yang muncul dari bibir Tasya membuat Sella mengalihkan
tatapan matanya. Bertepatan dengan itu, mata Tasya terbuka, ia menatap heran kepadanya.
“Kamu ngapain disini?”
Sella melengos, sudah barang tentu gadis ini masih belum bisa menerimanya. “Aku
nolongin kamu tadi. Tapi, berhubung kamu udah sadar, aku pamit duluan. Oh iya,
pertolongan ini nggak usah diperhitungkan dengan rasa benci kamu. Nggak ngefek
kayaknya.”Sella beranjak menuju sofa, dan mengambil tas gitarnya.
“Tunggu,”tangan Sella terhenti untuk menyampirkan tali tasnya kepada bahunya.
“mana tasku?”kening Sella berkedut hebat ketika mendengar kelanjutan ucapan Tasya yang
seolah menuduhnya pencuri. Ia dengan jengkel menunjukkan tas mahal milik Tasya dengan
dagunya. Tanpa memperdulikan tingkah Tasya berikutnya, ia buru – buru keluar dari ruang
inap gadis-mungil-yang-tak-tahu kata-terima-kasih itu.
Sella menatap sengit ruang inap Tasya. Benar – benar ia tak mengerti mengapa gadis
itu tak memiliki hati sama sekali. Apa susahnya mengucapkan terima kasih? Batinnya
menggerutu.
Secuek dan seaneh – anehnya Sella, ia selalu sempat mengucapkan terima kasih
ketika di tolong oleh orang lain. Karena ia tahu, bagaimana rasa bahagianya seseorang ketika
mendapatkan kata ‘terima kasih’. Simpel, namun sebenarnya berharga.
Langkahnya berhenti pada halte di depan rumah sakit. Ia melirik pada jam tangan
Casio Baby-G warna hijau toskanya, sudah pukul delapan malam. Sella mendengus, hanya
taksi yang dapat menyelamatkan nyawanya.
Malam semakin pekat, suhunya pun semakin dingin. Sella merekatkan dirinya pada
cardigan warna peach miliknya, berusaha memberikan kehangatan pada tubuhnya. Tiba –
tiba, ada pesan masuk yang mengalihkan fokusnya. Pesan masuk dari nomor yang
diprivasikan.
From : Private Number
Kamu dimana?
Dahi Sella memunculkan garis – garisnya, baru pernah ada seseorang yang
mengirimkan pesan semacam ini selain keluarganya. Belum sempat Sella membalas pesan
tersebut, si pengirim pesan itu meneleponnya. Dengan sedikit ogah – ogahan, Sella
mengangkat telepon tersebut lalu me-loudspeaker-nya.
“Hallo, Sell. Ini Gabriel. Aku tahu kamu nggak bakalan ngomong, tapi aku cuma mau
bilang, aku udah ada di depan rumah kamu. Dan kata pembantumu kamu belum pulang dari
pagi. Kamu dimana?”
Sella terkejut saat mendengar seluruh penuturan Gabriel di seberang sana. Darimana
ia tahu alamat rumahnya? Mata Sella melihat kesekeliling, benar – benar lengang, seperti tak
ada tanda – tanda akan ada kendaraan umum lewat.
Glek. Dengan susah payah ia menelan ludahnya. Apakah ini waktunya ia mencoba
meminta tolong ke orang lain?
“Aku.. aku di Rumah Sakit Husada Bakti.”
Pip. Dengan cepat ibu jarinya menekan logo gagang telepon berwarna merah pada
layar sentuhnya. Kemudian ia menghela nafasnya lega, sepertinya malam ini bukanlah taksi
yang menyelamatkannya, tapi… Gabriel?
Seketika Sella berjingkat, kaget dengan apa yang dilakukannya. Untuk apa dia
meminta Gabriel untuk menjemputnya? Bukannya dia memiliki supir di rumah? Tapi dengan
secepat kilat ia mengabaikan pikirannya yang terlalu percaya diri. Lelaki itu hanya
menanyakan dimana dirinya, kan? Bukan ingin menjemputnya.
Sella melengos, sejak kapan dia menjadi sepercaya diri seperti ini? Rasanya ia seperti
keledai yang penuh dengan harapan kosong. Kembali ia dudukkan pantatnya pada kursi halte,
matanya menatap kosong jalan. Jika memang benar Gabriel kesini, sudah barang tentu ia
akan menjenguk kekasihnya, bukan untuk menjemput seorang gadis prototipe alien seperti
ini.
Cukup lama ia melamun, sampai tak sadar tubuhnya kini sudah di baluti jaket kulit
berwarna hitam. Sedangkan sang pemberi jaket berada di sebelahnya sembari menatapnya
lekat dengan senyum jahilnya.
“Hei!”
Sella terkejut setengah mati, sampai – sampai ia meloncat dari duduknya dan jatuh di
lantai halte. “Aw!”
“Eh, sorry, Sell!”suara dari aroma musk yang menenangkan itu. Sella mendongak,
lalu mendapati sosok Gabriel sedang berjongkok dan menyentuh kedua bahunya. “Nggak apa
– apa?”
Mata Sella menatap tajam Iyel, secepatnya ia menyingkirkan lengan kurus Iyel dari
bahunya. “Tasya di ruang paviliun nomor 20.”
Alis Iyel saling menyambung, ia tidak mengerti arah pembicaraan Sella. “Kok
Tasya?”
“Jenguk.”jawab Sella singkat tanpa menatap wajah bingung Iyel.
“Aku nggak ngerti.”
Sella bangkit, lalu ia menepuk – nepuk rok seragam sekolahnya, merontokkan debu
dan tanah yang menempel pada pori – pori kain roknya. Kemudian ia merogoh saku roknya
dan mengambil iPod Touch 5th Generation putihnya, dan menyetel lagu secara acak.
Mengabaikan Iyel yang sedari tadi bercuap – cuap tak jelas.
“Ayo, pulang!”akhirnya Iyel menyerah untuk bercerita dengan Sella. Topik
pembicaraan yang paling ampuh membuat Sella peduli adalah pulang. Wajah dingin Sella
menatap Iyel tanpa minat, membuat lelaki itu jengah dibuatnya. “Aku anterin.”ucapnya
sambil berdiri menuju motor CBR putihnya.
Sella menatap punggung Iyel nanar. Entah mengapa ia merasa sesak karena telah
menganggurkan cerita Iyel. Aroma khas milik Iyel perlahan memudar dari indra pembau
Sella. Membuat gadis itu kebingungan.
“Ayo, pulang!”ajaknya lagi dari jarak sejauh dua meter. Sella menatap asing Iyel,
membuat lelaki itu semakin tak paham dengan sikapnya. “Sell?”
“Kamu siapa?”
**-**
Insiden kemarin malam sedikit membuat Iyel menjauh dari Sella. Jika biasanya lelaki
itu menyapa dengan tepukan di bahunya, sekarang lelaki itu menyapanya hanya sebatas
lambaian tangannya saja. Sella diam termangu, apa kesalahan yang telah ia perbuat?
Hari ini sudah Sella kira kabar jatuh sakitnya Tasya di rumah sakit menjadi hot news
bagi murid SIS. Secara, gadis mungil itu termasuk gadis terpopuler di sekolahan ini—
meskipun baginya cukup diragukan. Tanpa sengaja, matanya menangkap sesosok lelaki yang
sedang berjalan tanpa semangat menuju bangkunya. Matanya kosong, seperti tanpa harapan.
Ketika lelaki itu melintasinya, ia baru sadar dia Iyel.
“Yel.”panggilnya secara refleks. Gabriel menghentikan langkahnya, senyum getir
terpeta disana. “Makasih. Kemarin.”lanjutnya dengan sedikit gugup. Sial! Ada apa dengan
jantungnya? Perlukah ia memompa secepat ini? Apakah di tubuhnya kini sedang kekurangan
kadar oksigen?
Iyel tersenyum tipis, lalu tersenyum. “Iya, sama – sama. Kemarin itu beneran
pembantu kamu, kan?”
Sella nyaris tersedak saat mendengar pertanyaan Iyel. Kemarin, saat ia sampai di
rumah, pertanyaan ia lontarkan ke Iyel berulang kepada pembantunya. Membuat
pembantunya itu tersenyum tak enak kepadanya.
“Iya.”
Iyel membulatkan bibirnya, membentuk huruf ‘o’ kecil disana. Kemudian berjalan
berlalu meninggalkan Sella. Sepeninggalnya, Sella kembali melamun. Matanya sedang
melihat awan kelabu yang mulai menggeser awan putih bersih di langit biru. Senyum Sella
terkembang kecil, sepertinya akan turun hujan sebentar lagi.
“Yel, Tasya sakit?”
Refleks, Sella menoleh menuju arah suara. Bahkan, kepalanya bergerak sebelum
otaknya menyuruh. “Iya.”
“Sakit apa, bro? Jadi kamu uring – uringan gara – gara dia?”
“Iya.”
Jawaban Iyel hari ini begitu berbeda dari hari biasanya. Sepertinya ia sedang
menghemat suaranya, mungkin untuk acara rapat OSIS nanti. Yah, mungkin.
Ngomong – ngomong tentang Tasya, sakit apa gadis itu? Apakah dia menderita
penyakit mulut yang akut karena terlalu sering berkata pedas? Sella menyenderkan
punggungnya pada punggung kursi. Ia menoleh ke samping kirinya, tas gitarnya terlihat
memanggilnya untuk mengajaknya bermain. Perasaannya langsung berubah cerah saat
melihat gitarnya, lalu ia beranjak dari duduknya dan segera menuju ke sebuah tempat baru
yang ia sukai. Top Roof.
**-**
Sella merogoh saku demi saku tas gitarnya demi mencari pick gitarnya. Tapi, tanpa
sengaja ia malah menemukan selembar kertas penuh warna. Ternyata brosur lomba musik.
Setelah membacanya sekilas, ia langsung memasukkan kertas itu dengan paksa.
Ia sebenarnya enggan untuk mengikuti lomba itu, karena bermain musik hanyalah
hobinya, hanya sebagai temannya, alat penghiburnya. Bukan untuk dipertontonkan kepada
khalayak umum.
“Once upon a time, boy and girl..”
Lagu ciptaan Tiffany Alvord, Never Been Better dinyanyikan olehnya dengan suara
soprannya yang merdu. Selama menyanyi, ia terbayang dengan Iyel. Lelaki itu sekarang
berubah dari Iyel yang dulu. Lelaki itu terlihat lebih diam semenjak kejadian semalam.
Apakah ia terlalu cuek untuk Iyel?
“… We’re never been better.”
Mungkinkah setelah ini dirinya dan dia takkan pernah membaik? Apakah selamanya
dirinya dan dia akan dalam kungkungan rasa canggung? Apakah setelah ini Sella kembali
menjadi dirinya yang cuek? Tunggu dulu, memang benarkah Iyel yang berhasil merubah
dirinya?
Setelah outro lagu itu Sella selesaikan, tangannya langsung merogoh saku rok
seragamnya. Secepat mungkin mengetikkan pesan singkat kepada Iyel. Ia tak mau berubah
menjadi Sella yang superduper cuek dan datar, yang tidak mempunyai teman, yang selalu
dianggap alien oleh banyak orang. Sella ingin menjadi orang normal, demi Iyel.
**-**
Hari ini Iyel menuruti apa isi pesan singkat Sella. Sekarang mereka sedang di
Universitas Bakti Bangsa atau disingkat UBB itu untuk mendaftarkan Sella pada lomba
musik tersebut. Sella hanya mengekori Iyel yang sedang mendaftarkan dirinya, sedari tadi
mulut lelaki itu terkunci rapat. Tak ada niatan sama sekali untuk membukanya. Sepertinya ia
memang sedang hemat suara.
“Lombanya tanggal 25 Oktober, ya? Sekitar tiga minggunan lagi berarti. Waktunya
sekitar jam sembilan sudah mulai. Terima kasih atas partisipasinya, ya?”dari belakang Iyel,
Sella bisa melihat tubuh jakung Iyel berbalik. Tepat dengan itu, mata mereka saling beradu.
Membuat rona di kedua pipi Sella mencuat.
“Kenapa?”tanya Iyel datar. Seketika Sella langsung salah tingkah, ia cepat – cepat
mengalihkan pandangan matanya. Kini, matanya tertumbuk pada sebuah café.
“Aku traktir mau?”
Iyel mengikuti arah pandangan Sella. “Ha? Oh, ok.”lalu mereka berdua berjalan
beriringan dengan suasana yang begitu datar dan dingin. Dari keduanya tak ada satupun yang
mau angkat bicara.
Sesampainya, mereka memilih duduk di pojok dekat jendela besar yang langsung
menunjukkan view jalanan beserta kendaraan – kendaraan yang berlalu lalang melintas.
Keduanya masih bungkam, tak ada yang memulai bicara.
“Misi, Mas, Mbak. Mau pesen apa?”tanya seorang waiter kepada keduanya. Sella
meraih buku menunya, lalu menunjuk pada salah satu minuman olahan dari teh.
“Matcha Green Tea Smoothies, satu.”waiter itu mengangguk paham, lalu menulis
pesanan Sella pada kertasnya.
“Kalo, Masnya?”
Iyel tak menatap waiter itu, ia sibuk memperhatikan jalan. “Long Black Coffee. Satu.”
Waiter itu mengangguk paham kembali. “Baiklah, tunggu sebentar, ya?”kemudian
waiter itu berlalu.
Sella memainkan jemari – jemarinya—kebiasaan kecilnya ketika sedang merasa
canggung dan gugup. Hingga akhirnya suara berat Iyel berhasil menghentikannya. “Tasya
beneran sakit, ya?”
Sella terperangah. Jadi, semalam ia bercanda begitu? Lelaki ini bebal atau gimana.
Sindirnya dalam hati. “Kemarin orang tuanya nelfon aku.”
Mata Sella berpaling dari wajah Iyel. Mendengar kedekatan keduanya, membuatnya
merasa sesak. “Mereka bilang kalau Tasya… gagal ginjal.”saat menyebutkan nama penyakit
Tasya, suaranya melirih, seperti ada sesuatu yang mencekiknya. “Dia butuh pendonor
secepatnya, kalau tidak dia bisa.. yah, kamu tahu, kan?”
Hati Sella terasa seperti tertusuk jarum, mendengar dari nada bicara Iyel, itu
menandakan bahwa lelaki ini sangat mencintai Tasya. Pasti itu.
“Kemarin aku jenguk Tasya, keadannya parah...”
Sella tetap tak menanggapi cerita Iyel, ia malah menyibukkan dengan menghitung
berapa kendaraan dari arah barat lewat. Melihat Sella tak mendengarkan, membuat Iyel
menggeram. “Argh! Aku lupa kalo kamu itu nggak bisa ngomong! Shit!”
Sella tersentak ketika mendengar nada bicara Iyel yang biasanya lembut, penuh kasih
sayang dan sopan berubah menjadi kasar dan penuh dengan emosi yang meluap – luap.
Apalagi ditambah kata kasar dan hentakan keras dari tangannya pada meja di akhir
geramannya tadi. Sella menunduk dalam, entah mengapa rasanya ia ingin menangis.
“Aku duluan. Jenguk Tasya.”
Sella mendongak, kali ini embun air mulai melapisi bola mata bulatnya. Sepertinya
hujan akan datang setelah ini. “Kenapa?”
Mendengar Sella membuka mulutnya, Iyel tak jadi berdiri. Ia kembali duduk pada
posisinya, duduk berhadapan dengan Sella. “Kenapa apanya?”
Tak kumengerti mengapa begini
Waktu dulu kutak pernah merindu
Suara lembut dari penyanyi café membuat benterng pertahanannya runtuh. Ia
menangis! Seorang Tiffany Jazella yang biasanya datar tanpa ekspresi ternyata bisa
menangis!
Tapi saat semuanya berubah
Kau jauh dariku pergi tinggalkanku
Sella menatap sengit ke arah panggung, dimana suara lagu itu muncul. Mengapa
dikala sakit seperti ini lagunya begitu menyindirnya?
Dengan cepat Sella menghapus air matanya, tatapannya yang dingin sedingin es
menatap nanar ke arah jalanan. “Kalau mau pergi, pergi aja. Salam buat Tasya.”
Suara sepatu kets Iyel yang beradu dengan lantai menandakan lelaki itu telah
meninggalkannya. Bertepatan dengan itu, waiter tadi menyerahkan pesanannya. “Ini, Mbak,
pesanannya. Selamat menikmati.”
Matcha Green Tea Smoothies Sella terlihat mengembun karena dingin. Sedangkan
Long Black Coffee milik Iyel terlihat mengepulkan uap – uapnya ke udara karena panas.
Kedua jenis minuman itu seperti mendiskripsikan dirinya dan Iyel saat ini.
Matcha Green Tea Smoothies yang dingin itu seperti dirinya yang bersikap dingin
seperti es kepada siapapun—termasuk Iyel. Sedangkan Long Black Coffee Iyel, seperti lelaki
itu. Permukaannya terlihat tenang, namun banyak uap yang mengepul bebas di atasnya.
Seperti Iyel yang terlihat tenang namun menyimpan emosi di dalam dirinya.
Tapi mengapa cinta datang terlambat
Sedetik kemudian air mata Sella luruh kembali. Membentuk aliran sungai kecil yang
menyusuri pipinya. Sella menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, menutupi
kerapuhan dirinya saat ini. Sella yang biasanya tak peduli, kini peduli. Dan itu karena Iyel,
yang kini perlahan bergerak menjauhinya.
**-**
Kedua bola mata di balik kacamata itu membulat sempurna, seorang anak gadis satu
– satunya dari pengusaha tambang terkenal di Indonesia di depannya ini benar – benar berhati
mulia. Lelaki berumur sekitar pertengahan limapuluh itu menurunkan letak kacamatanya,
menatap kerelaan di mata pendonornya kali ini. Pendonor muda yang rela mendonorkan
sebelah ginjalnya untuk temannya yang membutuhkan.
“Kamu serius dengan ini, Sella?”
Gadis itu memanglah Sella. Tiffany Jazella Saswito. Matanya membaca deretan nama
panjang dokter itu, Andi Darmawan. Sembari berpikir, Sella memelintir ujung kemejanya,
lalu mengangguk kaku.
“Saya tahu kamu ragu sebenarnya. Jangan pernah mencoba donor organ, kalau benar
– benar tidak berasal dari hati.”seloroh Dokter Andi. Mata Sella terbuka maksimum, kali ini
ia tidak bercanda dokter!
“Saya akan menandatangi semua yang harus saya tanda tangani. Berikan kepada
saya!”Sella meminta kepada Dokter Andi itu dengan nada yang mendesak, meski terdengar
sedikit getaran di bibir cherry gadis itu.
Dokter Andi tertawa saat melihat wajah setengah ikhlas Sella. “Jazella, seorang
pendonor harus memikirkan hal ini matang – matang. Apakah kamu sudah memberi tahu
kedua orang tuamu?”Sella bungkam.
“Tapi.. bukannya teman saya membutuhkan ginjal itu, Dok? Secepatnya, kan?”lirih
Sella. Kini Dokter Andi yang bungkam. “Saya… ya, saya sayang sama teman saya. Dia
teman saya, dan saya harus membantunya. Bukankah itu gunanya teman?”
“Tapi, sebelum melaksanakan pendonoran ini, kamu harus mengikuti tes laboratorium
untuk mengetahui apakah ginjal kamu cocok dengan temanmu itu. Karena bila tak cocok, itu
akan mengakibatkan hal yang bahaya bagi si penerima donor.”
Sella menumpukkan punggungnya pada sandaran kursi. Kali ini ia bersungguh –
sungguh, bila ia tak dapat memiliki teman. Paling tidak, ia bisa membantu orang lain yang ia
anggap… teman?
“Baik, Dok. Berikan saja yang terbaik untuk teman saya. Saya terima. Lagi pula,
Dokter telah mengenal saya dari kecil, kan? Pasti Dokter tau bagaimana perasaan saya.”
Melihat kesungguhan Sella, Dokter Andi benar – benar merasa terharu. Di tahun
globalisasi yang mulai terbumbui dengan sikap individualisme ini, masih ada anak muda
yang benar – benar peduli dengan temannya. Sampai – sampai ia rela memberikan separuh
miliknya untuk kelangsungan hidup temannya. Sungguh luar biasa!
**-**
Sudah seminggu Iyel menjauhinya. Hal itu membuat Sella kembali pada dirinya yang
dahulu, seorang Sella yang tak peduli dengan apapun. Hari ini ia memutuskan untuk bolos
pelajaran, dan menenangkan diri di ruang musik.
Ruangan besar ini sudah lama tak ia datangi. Semenjak kedatangan Iyel saat itu,
membuatnya harus mencari tempat penenang yang lain. Tapi sekarang, ruangan ini terasa
hampa, apalagi tanpa kehadiran Iyel disini.
Sella memangku gitar putihnya, matanya menatap jam dinding yang terus berputar
mengikuti porosnya. Waktu lomba musik itu semakin dekat, dan ia tak ingin mengecewakan
Iyel yang telah bersusah payah membantunya berubah. Jemarinya mulai berbaur pada dawai
gitarnya, sebuah lagu ia persembahkan kepada dirinya sendiri. Lagu itu mendiskripsikannya
saat ini, mendiskripsikan perasaannya.
“He’s the reason for the teardrops in my guitar. The only thing that keeps me wishing
on a wishing star..”
Dialah alasannya mengapa air matanya jatuh bebas dan mengenai gitar putihnya.
Dialah alasan mengapa kini ia menjadi peduli. Dialah alasan mengapa ia menjadi semangat.
Hanya dialah. Dia, Gabriel Putra Ardianysah.
“… I fake a smile so he won’t see.”
Lagu Teardrops on My Guitar milik penyanyi luar negeri Taylor Swift sukses
membuatnya banjir air mata. Ia tak mengerti mengapa sekarang ia menjadi gadis cengeng
seperti ini. Sella menenggelamkan wajahnya pada tumpukkan tangannya di atas gitar
putihnya. Ia menangis lagi. Seakan hari kemarin belum cukup untuk menguras air matanya.
Drrt.Drrt. Sebuah getaran membuatnya mengangkat wajahnya yang memerah dan
matanya yang sembab karena tangisan. Perlahan ia merogoh saku rok seragamnya, tanpa
melihat siapa yang menelepon, ia langsung mengangkatnya.
“Iya. Cocok, Dok? Ok.”
Klik. Hubungan telepon itu telah terputus. Sella tersenyum getir, tangannya perlahan
ia turunkan menyentuh perut bawah di bagian kirinya. Sebentar lagi, pasangan ini akan
berpisah untuk selamanya. “Maaf, aku misahin kalian, ya?”
Suara berisik yang muncul dari pintu membuat Sella bangkit dari duduknya. Dengan
sedikit berjinjit untuk melihat siapa orang yang ada di pintu ruang musik. Namun usahanya
gagal, karena Grand Piano hitam milik sekolahannya ini cukup menghalanginya untuk
melihat ke arah pintu. Selanjutnya terdengar suara derap kaki yang berjalan mendekatinya,
suara itu bergema di ruangan besar ini. Membuat jantung Sella berdegup cepat. Indra pembau
Sella menguat, ia mencium keberadaan orang itu. Dia, Iyel?
Ternyata lelaki itu memang Iyel. Sella mendapati Iyel telah berdiri di seberang piano,
lewat celah segitiga besar yang tercipta dari lid piano. Mereka saling tatap, tanpa
mengucapkan sepatah katapun. Sella hanya bisa pasrah ketika menatap tatapan misterius Iyel.
Ia tak bisa membaca pikiran lelaki itu, tak bisa menebak apa yang dirasakan lelaki itu. Tapi
jika dilihat dari raut wajah dan matanya, ia seolah ingin mengatakan ‘Aku lelah’.
Sella tersenyum kaku, berusaha mencairkan suasana. “Ada apa?”Iyel mengatupkan
bibirnya rapat. Tak menjawab. Sella meng-o-kan mulutnya. Oh, ini karma, ya? Tanyanya
dalam hati.
Sella berusaha mencari – cari benda yang lebih asyik untuk dipandangi daripada
menatap tatapan misterius Iyel. Hingga pada akhirnya, derap kaki Iyel terdengar
menjauhinya. Iyel pergi dari ruangan ini, lagi – lagi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Mata Sella berkaca – kaca kembali, jadi begini rasanya tak didengarkan. Jadi begini
rasanya diacuhkan. Jadi begini rasanya monolog. Jadi begini rasanya. Oh, begini, ya?
Sella hanya bisa menunduk dalam, menahan buliran air matanya agar tak jatuh.
Nafasnya tercekat, hingga hanya satu kata yang mampu keluar dari bibir tipisnya.
“Maaf.”
**-**
Hari itu akhirnya tiba juga. Lomba musik akan dilaksanakan tigabelas hari lagi. Dan
hari ini, Sella tengah diperiksa untuk operasi transplatasi ginjal yang akan dilaksanakan
petang ini.
“Kondisi kamu sangat bagus, Sell. Siap untuk melaksanakan operasi.”Dokter Andi
meletakkan alat kedokterannya, lalu duduk di kursinya.
Sedangkan Sella tetap tiduran di kasur. “Dokter, jangan bilang siapa – siapa tentang
ini, ya? Cuma Papa sama Mama yang tahu.”
“Maksud kamu, kamu nggak pingin si penerima tahu?”
Sella menggeleng pelan. Dokter Andi berjalan mendekati Sella, menatap wajah gadis
itu dari atas. Tatapannya begitu kosong. “Kamu kenapa sebenarnya? Cerita sama Dokter.
Anggap aja kayak waktu dulu kalo kamu curhat tentang mainan kamu yang hilang.”
Mata kelabu milik Dokter Andi begitu khas, membuat Sella langsung akrab dengan
lelaki ini. “Ceritanya sama kayak waktu aku kehilangan boneka bayi. Dulu aku merasa takut
sama boneka itu. Eh, pas ilang langsung sayang. Sampai nangis kejer gara – gara nggak nemu
boneka itu.”
Dokter Andi mengangguk mengerti. Ia ingat saat Sella kecil menangis karena
kehilangan boneka bayinya. Padahal, saat awal ia dibelikan boneka itu, ia menolak mati –
matian. Bahkan, sering sekali ia buang ke tong sampah. Namun, ketika boneka itu
menghilang, ia malah menangis.
“Itu analogi?”tanya Dokter Andi seraya mengelus ubun – ubun Sella. Senyum gadis
itu terkembang, lalu mengangguk kecil.
“Mata Dokter gampang ya, buat diingat. Jangan pakai contact lens ya, Dok! Ntar aku
nggak kenal lagi. Haha..”
Dokter Andi melongo saat melihat Sella tertawa. Ini keajaiban! Sejak kapan gadis ini
bisa tertawa kembali? Seingatnya, Sella bisa tertawa seperti ini ketika umur tigabelas tahun.
“Ih, Dokter jelek banget melongo kayak gitu. Ya, udah, Sella main – main dulu, ya? Sebelum
malam pengeksekusian cinta antara ginjal kanan dan kiri berpisah. Bye, Dokter! Jangan
kangen, ya?”
Diameter bibir Dokter Andi makin membesar saat melihat gadis dingin dan berwajah
datar itu bisa berceloteh panjang lebar kepadanya. Bahkan, ia juga mengucapkan humor
kecilnya. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan anak gadis ini?
**-**
Matahari perlahan mulai tenggelam. Warna oranye yang berpadu abstrak dengan
warna merah, ungu dan putih menghiasi cakrawala. Langit kali ini sangat cerah. Sungguh
berbanding terbalik dengan perasaan Sella.
Sella duduk di bangku taman. Matanya menatap langit yang terlihat enggan
memunculkan warna kelabunya. “Hujan, dong! Biar samaan!”serunya kepada langit. Namun
langit itu terkesan angkuh, ia tak mau mendengarkan permintaan Sella. “Kamu jangan kayak
aku, nanti akhirnya kayak gini. Kena karma!”
Setelah puas melihat langit, matanya terarah pada lorong – lorong rumah sakit. Tak
sengaja matanya menangkap tubuh jakung Iyel tengah berjalan. Jantung Sella berdegup
kencang, namun kali ini bukan merasa senang, namun degupan jantung itu malah
membuatnya sakit.
Entah mandat dari siapa, Sella malah mengendap – endap mengikuti tubuh Iyel.
Sesuai dugaannya, Iyel pasti ke ruang inap Tasya. Sella mengintip dari kaca persegi
berukuran limapuluh sentimeter yang terpasang di pintu kamar inap Tasya. Terlihat di dalam
sana Tasya sedang tersenyum bahagia, dan Iyel di sana juga terlihat tersenyum senang.
Hatinya seketika mencelos saat melihat senyuman itu. Senyuman hangat yang dulu senang
menghampirinya, kini telah pudar.
Drrt. Drrt. Getaran pada ponselnya mengingatkannya untuk kembali pada misinya.
Misi besar untuk menyelamatkan kebahagiaan Tasya dan kebahagiaan… Iyel.
**-**
Operasi itu telah berjalan lancar seminggu yang lalu. Hari ini Sella memutuskan untuk
berangkat sekolah setelah selesai berargumentasi dengan kedua orang tuanya tentang
keadaannya. Sella tersenyum pada sebuah bayangan di cermin kelasnya, membuat teman
kelasnya terkejut melihat perubahan Sella. Gadis itu sekarang terhiasi dengan senyum.
“Sell, kamu nggak abis kepentok apa, gitu?”tanya temannya yang ia sendiri tak tahu
namanya siapa.
“Nggak, kok!”Sella meletakkan tas gitarnya. Lalu ia menatap ambang pintu. Dan
sialnya ia menemukan si ketua OSIS berjalan memasuki kelas dengan senyum paksanya. Ia
merutuki dirinya sendiri karena lupa tak membawa masker untuk menutupi indra pembaunya.
“Tasya sembuhan, Yel?”tanya teman sebangku Iyel. Seperti dulu, kepala Sella seperti
terprogram otomatis bila ada yang membahas Iyel.
“Udah.”
Teman yang duduk di belakang Iyel menyahut. “Aku salut sama orang yang donorin
organnya buat Tasya, Yel. Padahal orang normal dengan satu ginjal resikonya lebih gede
terkena penyakit. Ck! Hebat.”Sella tersenyum tipis. Sama – sama. Jawabnya dalam hati,
menjawab pujian tak terselubung dari temen Sella.
“Emang siapa yang donorin, sih, Yel? Penasaran, nih! Kalau cewek udah aku jadiin
pacar kayaknya.”
Oh, tidak! Sahut hatinya lagi.
“Aku nggak tahu. Kata dokternya, dia nggak mau ada yang tahu. Ya, udah, sih.”
Sella menatap nanar Iyel. Rasanya tak puas dengan reaksi wajah Iyel tentang si
pendonor. Ucapannya barusan seolah mengatakan si pendonor itu tak penting untuknya.
Sekarang, giliran bibirnya menyalurkan ucapan hatinya, lirih. “Oh, ya udah juga, sih.”
**-**
Pertengahan Oktober yang begitu menenangkan. Rintik – rintik hujan membasahi
lapangan besar milik UBB penuh semangat. Suara bergemuruh yang muncul menjadi lagu
tersendiri bagi penikmatnya. Termasuk, Sella.
Sella tengah duduk di ruang tunggu, menunggu gilirannya untuk tampil. Dihari
perlombaannya ini, ia tak di temani oleh siapapun. Orang yang diharapkannya mana mungkin
mau menenaminya?
Satu per satu peserta mulai tampil unjuk gigi di hadapan para juri di panggung sana.
Suasana panggung di dalam auditorium terlihat sangat ramai. Pasti tidak hanya juri yang
menyaksikan, tapi para mahasiswa juga. Karena merasa jengah menunggu, ia memutuskan
untuk berjalan – jalan. Sekedar menghilangkan rasa nervousnya.
Langkahnya tiba – tiba terhenti saat melihat sosok orang tua dan seorang lelaki tengah
berdebat serius di salah satu meja café. Oh, ya, itu café yang ia kunjungi dulu bersama Iyel,
kan? Sella ingat lewat tulisannya. Cloud Café.
Entah mengapa, Sella penasaran dengan kedua orang itu. Pelan – pelan ia berjalan
mendekati kedua orang itu, ketika jaraknya tinggal setengah meter lagi. Jantungnya berdegup
cepat, samar – samar indra pembaunya mencium aroma tubuh seseorang yang akhir – akhir
ini membuatnya kacau. Astaga! Dia Iyel? Jerit Sella dalam hati.
“Kamu kenapa menjauhi Sella, Yel?”mata Sella menyipit, lalu ia buru – buru
bersembunyi di balik pohon yang berada di dekatnya. Sepertinya ia kenal dengan suara berat
itu, apalagi dengan tahi lalat yang menempel di jidat pria dewasa itu. Pak Herman?
“Saya capek, Pak! Setiap hari saya makan hati bila berbicara dengannya. Bahkan
demi rencana ini saya rela memutuskan pacar saya sendiri, merelakan orang – orang
membuat berita miring tentang saya. Saya rela. Tapi kali ini, saya tak sanggup untuk
melanjutkan rencana ini, Pak.”
Sella terperangah, tangan kanannya menutup mulutnya yang terbuka karena terlalu
terkejut. Jadi, selama ini lelaki itu mendekatinya hanya karena rencana Pak Herman?
“Tapi, saya sunguh senang saat melihat perubahan Sella ketika dekat denganmu, Yel.
Tolong, selesaikan misi ini sampai Sella benar – benar berubah, Yel.”
Iyel terdengar tertawa sakartis. “Berubah? Dia takkan bisa berubah, Pak! Dia memang
sudah terbiasa hidup sendiri seperti itu. Bahkan, dia tak mengenal orang – orang di
sekitarnya. Itukan, efek dari sikap angkuhnya?”
Memang benar! Tak ada yang bisa mengertinya. Sella tak ingin melanjutkan
perdebatan kedua orang itu. Ia berusaha menahan rasa sakitnya dengan berlari secepat –
cepatnya menuju auditorium UBB. Suara klakson kendaraan terdengar ketika ia tak berhati –
hati saat menyebrang. Membuat makian muncul dari bibir para pengendara kendaraan.
Sella tak peduli. Karena, untuk apa dia peduli bila orang lain saja tak mampu
memperdulikannya? Sella terus berlari, hingga tanpa ia sadari kini sebuah cairan merah pekat
muncul dari perut bawah di bagian kirinya. Sekuat tenaga ia menekan perutnya, berusaha
menahan agar darah itu tak keluar deras. Bertepatan dengan itu, namanya dipanggil untuk
mengikuti lomba. Semampunya ia menahan rasa sakit yang muncul dari bekas jahitan
operasinya.
Seraya mengalungkan tas gitarnya pada bahunya, Sella melilitkan jaket merahnya
kepada pinggangnya untuk menutupi warna merah yang meresap di kain bajunya. Dengan
tertatih, ia berjalan menaiki panggung. Sesampainya di atas panggung, semua penonton
menatapnya serius.
Sella tersenyum miring dengan bibir pucatnya. Dalam hati ia berkata, senyum ini, Iyel
yang mengajarkan.
“Kamu sakit?”tanya salah satu juri di hadapannya. Sella menggeleng cepat. Lalu juri
itu mempersilahkan dirinya untuk mulai beraksi.
Sella mulai memetik senar – senar gitarnya, nada nyaring dan merdu muncul dari
gitarnya. Berpadu menjadi satu membentuk intro sebuah lagu yang akan dia bawakan. Taylor
Swift dengan judul Teardrops on My Guitar.
“Drew looks at me, I fake a smile so he won't see. That I want and I'm needing
everything that we should be. I'll bet she's beautiful, that girl he talks about. And she's got
everything that I have to live without…”
Matanya tepat menemukan sosok lelaki dengan dibaluti jaket kulit hitam berada di
ambang pintu auditorium. Sedetik kemudian ia jatuh dari kursi yang ia duduki, membiarkan
gitar kesayangannya jatuh terjerebam di lantai panggung. Suara jeritan para penonton
memenuhi ruangan ini seketika.
“Sella! Ini aku, kamu nggak apa – apa?”Sella perlahan mencoba membuka kedua bola
matanya, bibirnya ia gigit sekuat – kuatnya untuk mengurangi rasa sakitnya. Pikiran Sella
kini mulai buyar, ia memang tahu lelaki itu, tapi tak bisa menyebutkan namanya. Hingga
hanya kalimat tanya yang muncul.
“Kamu siapa?”
**-**
Kamu siapa?
Pertanyaan itu kembali terulang, dan mengusik pikiran Iyel. Orang – orang kini
banyak yang membicarakannya akibat insiden sekitar sepuluh menit yang lalu. Sekarang
tubuh Sella sudah di bawa ke rumah sakit dengan mobil ambulans, suasana auditorium tak
lagi ramai karena lomba, tapi karena ramai dengan kejadian itu.
“Kasian banget, udah nyolot pingin masuk. Eh, ternyata yang ditolongin nggak
kenal.”
Tangan Iyel terkepal kuat. Apa masalahnya untuk mereka bila Sella tak mengenali
dirinya tadi? Ada masalah, kah?
“Iya. Salah orang kali. Kalau aku jadi dia, malu banget pasti. Buru – buru menghilang
dari bumi, deh!”
Rahang Iyel mengeras, matanya sekarang terarah pada kedua lelaki yang sedang
membicarakannya di belakangnya. Kedua orang tersebut malah tertawa saat melihat wajah
keras Iyel.
“Pergi, yuk! Kali aja entar dia ngamuk.”
“Yuk!”
Kemudian kedua lelaki tersebut berlalu sambil terus tertawa – tawa seperti
mengejeknya. Iyel menimpakan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap wajahnya
penuh emosi. “Argh! Tuh, cewek kenapa, sih? Bisa bertanya kayak gitu seakan nggak
kenal?”
Mata Iyel tertuju pada gitar putih Sella yang tersender di pojok panggung. Di tubuh
gitar tersebut seperti ada warna darah yang menodai warna putihnya. Pikirannya melayang
pada seminggu yang lalu, saat Sella ijin bertepatan dengan ijinnya Tasya pasca operasi
transplantasi ginjal. Mengapa keduanya bisa ijin dan berangkat dengan waktu yang sama?
Kebetulan atau memang ada hal lain yang terjadi?
Lamunannya terpaksa terhenti saat melihat Tasya kini sedang berdiri tepat di
hadapannya. Tersenyum manis, memperlihatkan kedua lesung pipitnya dan gigi gingsulnya
yang begitu manis. “Nggak usah dipikirin. Jalan – jalan, yuk!”
Iyel memutar kepalanya, melihat sekeliling auditorium yang mulai sepi. Bahkan, kini
gitar Sella telah menghilang dari tempat sebelumnya. Sebenarnya, tadi Iyel melamun apa saja
hingga ia tak tahu dengan perubahan drastis ini?
“Ke rumah sakit dulu, ya? Sehabis itu jalan.”
Tasya merengut merasa tak terima diduakan. “Buat apa ke rumah sakit? Mau denger
dia ngulangi pertanyaan memalukan itu?”Iyel mengangguk samar. “Oh, jadi kamu lebih milih
dia daripada aku, pacarmu?”tanya Tasya dengan penekanan pada kata ‘pacar’.
“Bukan.”jawab Iyel cepat. Lalu Iyel mengangguk lemah. “Yaudah, kita jalan dulu
baru ke rumah sakit.”
“Nah! Gitu, dong!”Tasya tersenyum menang. Tangannya menarik tangan Iyel untuk
berdiri. Setelah lelaki itu berdiri, Tasya melingkarkan lengannya dengan lengan Iyel. “Yuk!”
Iyel hanya membalas dengan anggukannya. Tubuhnya serasa seperti robot, ia hanya
mengikuti saja apa yang diperintahkan Tasya. Tak mengijinkan otaknya untuk mengatur
tubuhnya sendiri. Tapi ia biarkan saja begitu. Toh, bila ia melawan takkan mampu.
**-**
Suasana rumah terlihat sedikit ramai. Beberapa suster dengan pakaian serba putihnya
bersliweran melintas di koridor rumah sakit, membawa peralatan medis dan buku catatan
kontrol para pasien inap. Iyel dengan ditemani Tasya sedang duduk di ruang tunggu rumah
sakit, menunggu jadwal besuk dibuka. Kurang setengah jam lagi, jadwal besuk akan dibuka.
“…Menurut aku sih, Sella itu cuma nyari tenar aja ke kamu. Biar dia lebih terkenal
lagi gitu. Ih, nggak tau malu banget, ya? Padahal…”
Gigi Iyel saling bergemelutuk di dalam mulutnya, ingin sekali ia menyumbat bibir
pedas Tasya. Sedari tadi telinganya diperdengarkan dengan suara cempreng Tasya yang terus
memaki – maki Sella. Sikapnya ini membuatnya ingin sekali melemparkan ‘kekasihnya’ ini
ke tong sampah.
“… Dia tuh, Alien! Kamu pasti malu banget, kan, gara – gara dia ngeluarin
pertanyaan ini— Kamu siapa? Cih! Sok banget dia. Mentang – mentang orang kaya!”
Iyel mengusap wajahnya frustasi, lalu ia menoleh dan memiringkan kepalanya untuk
dapat melihat wajah Tasya yang penuh semangat terus menceritakan hal negatif lainnya
tentang Sella. “Udah?”
Tasya terperangah, “Udah apanya?”
“Ceritanya.”
“Ya, tergantung kamu masih mau dengerin atau enggak, sih.”
Iyel mebenamkan wajahnya pada tumpukan tangannya di atas lutut. Entah mengapa ia
merasa tak enak telah bersikap dingin kepada Sella akhir – akhir ini. Sepengamatannya, Sella
terlihat kembali menjadi Sella yang dulu semenjak ia menjauh dari kehidupannya. Hal itu
didukung dengan cerita Pak Herman tadi pagi.
“Silahkan, Mas, Mbak. Jadwal besuk sudah dibuka.”Iyel mengangkat kepalanya,
Tasya menatapnya dengan tatapan ogahnya.
“Kamu mau duduk disini aja?”tanya Iyel seperti bisa membaca pikiran Tasya. Gadis
mungil itu mengangguk, membuat kuncir khas menara pisanya terayun – ayunkan. Iyel
menghela nafas, lalu beranjak dari duduknya.
Kaki Iyel terus menapaki koridor rumah sakit, menuju ruang VVIP nomor sepuluh.
Sesampainya di depan ruang VVIP nomor sepuluh, jantungnya berdetak cepat tak beraturan.
Tiba – tiba ia merasa ragu sanggup melihat wajah pucat Sella. Dia bisa membayangkan
beberapa kemungkinan ekspresi Sella ketika melihatnya muncul dari balik pintu. Pertama,
tatapan datar. Kedua, tatapan datar dengan senyum tipisnya. Ketiga, tatapan asing seperti tak
mengenalnya.
Perlahan, jemari Iyel meraih handle pintu kamar inap Sella. Baru kali ini, ia
merasakan handle pintu itu terasa sangat dingin dan sangat berat untuk ditekan.
Cklek. Saat pintu itu berhasil terbuka separuh, ia bisa melihat seluruh orang di
ruangan itu menatapnya penuh tanya. “Maaf, saya disini mau menjenguk Sella.”
Orang – orang tersebut melirik kepada sesosok gadis yang tengah terbaring lemah di
kasur dengan jarum infus yang melekat pada punggung tangannya. Yang Iyel kenali di
ruangan ini hanya dua, Sella dan seorang Dokter—terlihat dari jas putih khas seorang dokter.
“Siapa, ya?”tanya sosok Ibu yang tengah mengelus rambut Sella lembut. Melihat
kedekatan itu, Iyel menebak kalau sosok Ibu itu adalah Ibu dari Sella.
“Saya Iyel. Temen Sella.”Iyel tersenyum sopan, tangannya menunjuk Sella. Dahi
Sella berkerut – kerut ketika melihat arah tangannya. Iyel menelan ludahnya pelan, sepertinya
pertanyaan itu akan muncul kembali.
“Biarin Sella sendiri, Ma.”perintah Sella ringan. Dokter terlihat mencegah kedua
orang tua Sella untuk menuruti permintaan putrinya. Dengan cepat, Sella menegurnya.
“Dokter Andi, Sella janji nggak kenapa – napa lagi. Lagian, Sella nggak bisa gerak banyak,
kan?”
Dokter Andi mengurungkan niatnya saat mendengar teguran Sella. Mata kelabunya
memandang wajah pucat Sella yang memberinya keyakinan. Kemudian kedua orang tua Sella
dan Dokter Andi meninggalkan ruang inap yang cukup besar ini. Meninggalkan Sella dan
Iyel di dalamnya.
Iyel sedari tadi belum mengalihkan pandangan matanya dari Sella. Lelaki itu tersadar
saat Sella memanggilnya, “Hei!”
Iyel tersentak saat melihat Sella memanggilnya, senyum manisnya terbentuk manis
oleh bibirnya. “Kok ngelamun? Kesini sama Tasya, kan? Dia udah baikan?”tanya Sella
beruntun. Iyel separuh melongo, benarkah gadis dihadapannya ini Sella yang super dingin
dan datar itu?
Sella menepuk dahinya keras, membuat Iyel semakin terkejut. “Aku lupa kalau aku
orang yang irit omong. Duh, maklumin, ya? Alien emang kadang rada nggak jelas gitu, kan?”
“Alien?”ceplos Iyel. Sella tertawa kecil, lalu ia menunjuk sebuah kursi yang ada di
samping bednya. Mempersilahkan Iyel untuk mengisi kursi tersebut.
“Duduk, gih!”Iyel hanya menuruti perintah gadis cantik ini. Pikirannya sedang
berusaha mencerna perubahan pada Sella. “Alien emang aneh, kan? Jadi maklumin aja kalau
aku aneh. Ok?”
Iyel kembali pada dunia nyatanya, saat melihat jari kelingking Sella tersodorkan di
hadapan mukanya. “Ini apa?”
“Kamu harus janji nggak kaget lagi kalau ngelihat aku berubah – ubah kayak alien.”
“Bukannya yang suka berubah – ubah itu bunglon?”
Kedua bola mata hitam Sella berputar. “Anggap aja alien kayak bunglon. Janji, ya?
Ini kamu melongo yang terakhir kalinya, loh!”
Perlahan jari kelingking Iyel terpaut dengan jemari kelingking lentik milik Sella. Lalu
tersenyum ragu. “Nah! Gitu. Jangan melongo lagi, ya?”
“Dokter nggak salah ngasih obat ke kamu, kan?”pertanyaan itu muncul secara polos
dari bibirnya ketika jemarinya terlepas dari jemari lentik Sella. Gadis berambut sebahu itu
menggeleng cepat, lalu tersenyum tulus.
“Nggak, kok! Lagian salah ya, kalau aku jadi kayak gini?”
Iyel menggeleng. “Tentu saja tidak.”
“Tasya gimana? Sehat?”tanya Sella kemudian. Iyel mengernyit heran, disaat sakit
begini mengapa ia bisa – bisanya menanyakan kabar rivalnya.
“Ya, semenjak mendapat ginjal dari orang lain, kesehatannya menjadi lebih baik.”
Sella tersenyum lega. “Syukurlah, tidak sia – sia.”
“Apanya?”desak Iyel tiba – tiba, membuat Sella mendatarkan bibirnya lagi.
“Nggak apa – apa.”lalu keduanya diam. Ruangan ini menghening, hanya terdengar
suara berisik mesin AC yang sedang bekerja.
“Ngomong – ngomong, maaf aku kalah di lomba musik itu. Sakit emang nggak bisa
ditunda, ya?”selorohnya asal. Iyel menatapnya sendu, turut prihatin dengan kesehatan Sella
yang drop kali ini.
“Kamu sakit apa?”mendengar pertanyaan Iyel, Sella malah memilih mengobrak –
abrik isi laci di sebelah kasurnya. Iyel mengerutkan dahi, sedang mencari apa gadis ini?
Tanyanya pada dirinya sendiri.
“Nah, ini dia!”Sella tiba – tiba mengangkat dua lembar tiket dengan gambar langit
malam yang dipenuhi dengan cahaya warna – warni kembang api. Dahi Iyel semakin
mengerut. “Tiket pesta kembang api buat kamu.”
Iyel memandang tiket tersebut, ragu ingin menerimanya. Melihat raut wajah Iyel,
Sella langsung menarik tangannya kembali. “Oh iya, malam minggu, punya pacar. Pasti ada
acara, deh!”
“Eh!? Enggak, kok!”jawabnya cepat. Sella tertawa kecil, lalu menyerahkan kembali
tiket itu.
“Aku harap kamu mau dateng. Sekali aja aku minta tolong kamu kayak gini.
Bolehkan? Oh iya, kalau perlu kamu ijin sama Tasya dulu. Gawat – gawat bisa jadi salah
paham nanti!”
Mata Iyel kembali menatap tiket tersebut, lalu ia menerimanya. “Makasih.”
Sella tersenyum lebar, untuk kedua kalinya ia bisa melihat lesung pipit di sebelah pipi
sebelah kanannya terbentuk. Gadis itu terlihat makin cantik. Hati kecilnya berkata demikian.
“Aku harap kamu beneran dateng, ya? Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Agak
penting gitu, sih.”ucap Sella dengan mata menerawang. “Mau, kan?”kemudian matanya
terarah tepat pada kedua bola mata Iyel.
Iyel tertegun. Jantungnya berdegup kencang saat melihat senyuman itu. Kemudian ia
mengangguk menyanggupi. “Aku usahain.”
Senyuman Sella masih belum pudar, bahkan kini tangan dingin Sella berada di
bahunya. “Aku tunggu, ya!”
Entah mengapa, Iyel merasa kalau perpisahan sedang menjemput mereka. Sedang
berjalan mendekat di keduanya. Apakah ini sebuah firasat buruk atau hanya firasat palsu?
**-**
Malam minggu ini sangat mendukung untuk berjalan – jalan mengelilingi keramaian
kota di malam hari. Sella sedang mematut dirinya di cermin yang tingginya sama dengan
dirinya, terlihat bayangannya mengikuti seluruh gerakan raut wajahnya—mulai dari bibir,
mata, pipi, dan lainnya.
Sella sangat bersyukur sudah menghilangkan rasa bingungnya ketika melihat sebuah
pantulan dari cermin. Ia tahu, saat melihat cermin, ia melihat dirinya sendiri. Satu yang ia
tahu dari dirinya, sebuah luka sepanjang dua senti di atas alisnya. Luka itu ia dapatkan ketika
ia pertama kali berlatih sepeda saat umur lima tahun.
Gaun koktail selutut terlihat sangat pas pada tubuhnya. Kulit putih cerahnya terlihat
cocok dengan warna abu – abu terang gaunnya. Sella tersenyum manis pada bayangannya di
dalam cermin, ia sudah cukup puas dengan tampilannya malam ini. Rambut hitam sebahunya
ia bentuk dengan model ponytail with curl membuatnya terlihat lebih anggun dan cantik
dengan gaya simpelnya.
Sella melirik jam dinding berbentuk kepala stitch dari cermin, jarum panjang hampir
menunjukkan pukul setengah sembilan. Buru – buru ia mengambil kunci mobilnya. Saat
menuruni tangga, ia menemukan kedua orang tuanya sedang duduk santai sembari menonton
TV. “Mau kemana, Sell?”tanya Mama dibalik majalah fashion-nya.
“Nonton pesta kembang api, Ma.”
Papa mengalihkan tatapan matanya dari TV. “Sama siapa? Kamu bawa mobil
sendiri?”Sella menunjukkan kunci mobil yang ia bawa.
“Nggak boleh!”pekik Mama dan Papa bersamaan. Sella mengedikkan kepalanya,
kaget dengan pekikan kedua orang tuanya.
“Keadaan kamu masih belum stabil, Sella. Biarkan Pak Ahad yang ngantarin kamu,
ya?”tawar Papa. Sella menghela nafas, lalu mengangguk nurut. Papa mengantarkan Sella
hingga ke depan rumah. “Itu Pak Ahad.”tunjuk Papa pada sosok lelaki berubuh gembul
dengan rambut belah tengahnya.
Sella mengangguk mengerti, disana terlihat Pak Ahad tengah bersiap dengan mobil
honda jazz putih Sella. “Pak Ahad, maaf ya, ngerepotin!”teriak Sella dari teras rumah. Pak
Ahad yang ada di pelataran rumah tengah memanaskan mobil, ia balik membalas teriakan
Sella.
“Nggak apa – apa, Neng!”jawabnya dengan logat banyumas yang kental.
“Yaudah, duluan sana. Inget, ya? Jangan kemalaman, besok pesawat take off agak
pagi.”peringat sang Mama ketika Sella sedang menyalami tangan Papa. Sella meraih tangan
Mama, lalu mengecupnya.
“Oke, Ma! Sella duluan, ya?”Sella melambaikan tangannya, lalu ia masuk ke dalam
mobil. “Jalan, Pak!”
Mobil Sella berjalan dengan kecepatan sedang menyusuri jalan kota Bandung. Kelap
– kelip lampu gedung – gedung pencakar langit terlihat lebih mengasyikkan untuk dipandang.
Lalu ia melihat jam tangannya, limabelas menit lagi kembang api itu akan berterbangan ke
langit.
Ia tak tahu mengapa, dirinya begitu pesimis Iyel akan datang pada acara ini. Ia masih
ingat jawaban ragu Iyel satu minggu silam, apalagi ada sosok gadis mungil yang masih
menghuni hatinya. Sudah barang tentu bila orang pacaran pasti identik dengan malam
Minggu berdua. Bila disuruh memilih, Iyel pasti lebih memilih Tasya daripada dirinya.
“Semoga kamu datang. Untuk terakhir kalinya, Yel.”
**-**
Iyel tak henti – hentinya bolak – balik antara melihat jam tangannya dan Tasya
bergantian. Acara pesta kembang api akan berlangsung sepuluh menit lagi, dan sekarang ia
terjebak dalam acara makan malam keluarga Tasya dan keluarganya.
“Iyel sekarang masih jadi ketua OSIS, ya?”
“Ha? Ha? Eh, iya. Bisa jadi.”jawab Iyel dengan mata sedikit melirik jam tangannya.
Mama Iyel menyampar kaki putranya ini, lalu mendesis memprotes sikap tak sopannya.
“Kalo ditanya, jawabnya yang bener.”bisik Mama. Tasya memotong steaknya dengan
tampang sebalnya, ia tahu kalau Iyel memiliki acara selain acara keluarga ini.
“Aku boleh pergi, nggak, Ma?”tanya Iyel dengan nada yang ia usahakan selirih
mungkin. Mama dan Papa melotot dan menggeleng tegas. Telak. Sepertinya ia tak diijinkan.
“Kalau sekarang, Tasya nggak bisa ikut cheerleaders lagi, dong?”Mama bertanya
dengan nada prihatin. Tasya meletakkan pisau dan garpunya, lalu menjawab pertanyaan
Mama.
“Iya, tante. Sedih, nih.”
Pikiran Iyel benar – benar tak fokus dengan acara makan malam keluarga ini.
Matanya pertama melihat jam tangan, lalu sekarang tatapannya tertuju pada tas milik Mama.
Tas tersebut menyimpan ponselnya. Karena, peraturan keluarga Iyel sejak dulu adalah ketika
ada acara keluarga, seluruh ponsel harus dimasukkan kedalam tas Mama. Peraturan tersebut
ditegakkan dengan tujuan untuk menjaga acara keluarga tersebut tetap berjalan dengan
khidmat tanpa ada gangguan pesan singkat atau telepon dari orang – orang luar.
Tangan kurus Iyel berusaha meraih tas Mama yang diletakkan di samping kursi.
Setelah dapat, ia berusaha membuka resletingnya. “Iyel!”sentak Mama ketika menangkap
basah putranya sedang berusaha membuka tasnya. “Jangan pernah mengambil handphone
sampai acara ini selesai. Titik!”
Iyel menarik tangannya, lalu menghembuskan nafas kepasrahannya. Sepertinya, ia
benar – benar tak dapat menuruti permintaan—yang katanya—terakhir Sella. Tapi ia tak tahu
mengapa perasaannya selalu memaksanya untuk segera menemui Sella sekarang juga. Ia tak
tahu mengapa begitu. Tapi, feelingnya mengatakan akan terjadi hal yang buruk baginya.
**-**
Kembang api itu akan dinyalakan sekitar lima menit lagi. Ini kesepuluh kalinya Sella
menelepon ponsel Iyel, namun lelaki berkulit hitam manis itu tetap tak kunjung mengangkat
hubungan teleponnya. Sella semakin merasa pasrah, sekarang terserah akhir kisahnya dengan
Iyel akan berakhir seperti apa.
Para penonton acara ini lumayan padat. Dilihat dari bangku kayu panjang yang terisi
penuh, yang tersisa hanyalah di sebelah Sella. Ruangan sepanjang satu meter itu kosong
mlompong, belum terisi.
Sella mengangkat pergelangan tangannya, semenit lagi kembang api akan meletup –
letup di udara. Apa benar lelaki itu tak berminat menemuinya untuk terakhir kalinya,
mungkin?
Kembali Sella menelepon Iyel, tapi tetap sampai suara ‘tut’ terakhir, tak ada yang
menyahut. Sella menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tatanan
rambutnya yang tadinya rapi kini terlihat sedikit berantakan karena berkali – kali rambutnya
menjadi korban kefrustasiannya.
“Mari semuanya berhitung mundur!”suara sang MC membuat Sella semakin enggan
untuk membuka kedua telapak tangannya. Ia takut, saat membukanya ternyata tak ada sosok
Iyel di sampingnya. Ia takut, Iyel tak datang disini. Ia takut. Takut.
“Tiga…”
Para penonton mulai berhitung mundur. Hal itu membuat Sella rasanya ingin
menangis.
“Dua…”
Sella menggeleng kuat, ia tak mau membuka matanya ketika kembang api itu
menghiasi langit. Ia takut kecewa karena tak melihat Iyel di sampingnya. Tapi, bila ia tak
membukanya, bagaimana bila ternyata Iyel ada disini?
“Satu…”
Suara berisik dari kembang api terdengar ketika kata ‘satu’ diucapkan keras dan
penuh semangat oleh penonton lainnya. Suara ledakan diudara memaksa Sella membuka
kedua matanya. Matanya langsung mengarah kepada langit malam yang begitu pekat, kini
terhiasi dengan cahaya penuh warna dari kembang api. Warna cahaya berganti – ganti sesuai
dengan cahaya kembang api yang diledakkan di langit. Sejurus kemudian, air mata Sella
meleleh deras. Ia percaya, Iyel pasti ada disini. Mungkin lelaki itu sedang menyaksikannya di
tempat lain, mungkin Iyel tak menemukannya di tempat sepadat ini.
Kembang api – kembang api itu meledak – ledak bergantian mengikuti pengaturan
irama dari sang pemasang kembang api. Kedua bola mata Sella merekam setiap ledakan demi
ledakan penuh warna dari kembang api tersebut. Air matanya masih terus mengalir, dan
menetes dari dagu mengenai layar ponselnya yang sedang menyala mencoba menghubungi
ponsel Iyel.
Tetap, sampai bunyi letusan kembang api terakhir. Iyel tak mengangkat teleponnya.
**-**
Lamunannya mulai berlabuh saat ia melihat pemandangan awan putih dari atas sini.
Sesekali ia melihat burung – burung besar berterbangan, lalu mereka turun menukik ke
bawah. Puncak gunung terlihat sangat jelas dari atas sini. Melihat langit, ia masih mengingat
letupan – letupan kembang api semalam. Dan baru tersadar, semalam ia menonton pesta
kembang api sendirian.
Mata bulat hitam milik Tiffany Jazella berbinar seketika saat melihat lengkungan
pelangi terlihat dari sini. Padahal tak ada hujan, tapi ia bisa melihat busur besar penuh warna
itu dengan sangat jelas. Warna – warnanya begitu tegas dan jelas terlihat.
“Ma, pelanginya bagus, ya?”
Mama mengelus puncak kepala putrinya ini. “Itu keajaiban, kan? Tak ada hujan untuk
bisa menjadi pelangi.”
“Keajaiban, ya?”gumam Sella.
Mama kemudian menarik kepala putrinya semata wayangnya itu, ia peluk dan cium
kepala putrinya. “Iya, keajaiban. Seperti kamu bisa mengingat beberapa orang disekitarmu
orang.”
Gadis itu terdiam. Tapi, ia menyesal bisa mengingat sosok lelaki itu.
“Aku tak melihat fisiknya, tapi aku merasakannya.”bibirnya bergerak kecil,
bergumam lebih tepatnya.
Papa tertawa kemudian, merasa terpanggil dengan petuah itu. “Nasehat dari Papa,
tuh!”
Bibir pucat itu mencoba untuk terkembang. “Kamu ingin tetap bersama Mama dan
Papa atau setelah sembuh tinggal di Indonesia?”tanya Mama selanjutnya.
“Aku akan kembali ke Indonesia jika ingat. Ingat dengan salah satu orang disana.”
**-**
Mata Iyel hanya disambut dengan pemandanga sampah – sampah yang berserakan
dimana – mana. Ini pasti karena acara semalam. Iyel juga melihat beberapa bekas
pembakaran kembang api masih tergeletak berantakan di depannya. Kemudian ia mengambil
tempat duduk asal, membayangkan acara kembang api semalam.
Pasti banyak cahaya warna – warni yang menghiasi angkasa. Membuat para
penikmatnya merasa bahagia. Iyel meletakkan kedua tangannya di atas lutut, lalu tangannya
mengacak rambutnya penuh penyesalan. Rasanya hari ini ia merasa kehilangan.
Tiba – tiba hawa dingin menempel pada kulit pipinya, dengan cepat ia menoleh dan
mendapati seorang dokter dengan mata kelabunya sedang memberinya sekaleng minuman
ringan. “Terimalah.”
Iyel menerima dengan baik pemberian dokter itu. Ia tahu dokter ini, dokter ini yang
saat itu berada di kamar inap Sella.
“Aku Andi, terserah jika kamu ingin memanggilku dengan embel – embel
dokter.”dokter itu meneguk isi minuman ringannya, lalu duduk di sebelah Iyel.
“Apakah kau merasa menyesal?”tanyanya selanjutnya. Iyel mengernyit, lalu dengan
ragu mengangguk.
“Iya.”
“Kau merasa kehilangan?”
Iyel kembali mengangguk, ragu. “Iya.”
“Siapa yang kau anggap hilang?”
Iyel memainkan kaleng minumannya, pikirannya hanya menjawab satu orang. Tiffany
Jazella Saswito.
“Sella?”
Pertanyaan Dokter Andi membuat Iyel memutar kepalanya cepat. Ia memasang wajah
penuh paksa agar dokter itu mau menjelaskan apa yang terjadi dengan gadis itu.
Dokter Andi tertawa renyah. “Pernah mendengar prosopagnosia?”
Alis Iyel bertaut. “Apa? Prosopagnosa?”
“Prosopognasia, semacam penyakit otak akut pada bagian fuciform gyrus. Pernah
dengar?”
Iyel mengorek – ngorek kupingnya, berharap ia tak salah dengar mendengarkan
penjelasan dokter. “Apa? Prosopag apa?”
Dokter Andi menghela nafas, sudah ia duga kalau jarang orang yang mengetahui
penyakit langka ini. Apalagi, si penderita biasanya tak memiliki tanda – tanda khusus akan
penyakitnya. “Prosopognasia adalah kerusakan otak akut yang membuat orang yang
mengalaminya tak dapat mengenali wajah orang lain, termasuk wajahnya sendiri.”
Iyel menggelengkan kepala tak mengerti. “Lalu, apa hubungannya sama Sella?”
“Dia penderita prosopagnosia. Maka dari itu, ia sering tak mengenal orang lain, dan
cenderung sulit bersosialisasi dengan orang lain karena ia tak mengenalnya. Para penderita
penyakit ini hanya bisa mengenali orang lain lewat pengenalan terhadap beberapa ciri orang
tersebut satu persatu, seperti lewat aroma tubuh, bentuk tubuh dan rambut, warna kulit, atau
ada bekas luka dan tanda – tanda lain yang menjadi ciri khas yang menonjol dari orang
tersebut.”
“Terus?”tanya Iyel, perlahan awan mendung di kepalanya mulai cerah. Sepertinya ini
akan menjelaskannya mengapa Sella tak bisa mengenalinya secara langsung. Gadis itu
terkesan lama merespon kehadirannya atau terkadang seperti kejadian beberapa waktu
lampau.
“Pernah melihat Sella tak mengenal teman sekelasnya? Atau bahkan mengenalmu?”
Iyel mengangguk. Dokter Andi menarik nafas panjang, “Itulah alasannya. Maka dari
itu, orang – orang yang tak tahu dan tak mengerti pasti akan mengecap penderita
prosopagnosia orang yang sombong. Karena mereka cenderung tak suka mengenal orang
lain, dan lebih suka mengacuhkan kehadiran orang – orang disekitarnya.”
Iyel hening lama. Cukup lama ia memproses penjelasan Dokter Andi. Otaknya sedang
berusaha mengaitkan kejadian lampau dengan penjelasan Dokter Andi. Dan semuanya
menunjukkan hubungan yang selaras.
Jadi ini alasannya, mengapa gadis itu tak mengenalnya saat ia berada di tempat yang
jauh. Gadis itu mengingatnya lewat ciri – ciri khasnya, entah ciri – ciri apa yang membuat
gadis itu mengenalnya. Seandainya teman – temannya tahu, pasti mereka akan turut prihatin
dengan penyakit langka ini.
“Sebenarnya aku cukup kesal dengan kekasihmu itu. Dia selalu menghina dan
memaki Sella. Padahal dia, tak tahu yang sebenarnya, kan?”
Ah, Tasya. Mengapa ia merasa benci ketika mendengar nama itu?
Dokter Andi kembali melanjutkan ceritanya. “Dia benar – benar gadis yang tak tahu
terima kasih. Pernahkah, kau mengajarinya untuk bersikap lebih baik kepada orang lain?”
Iyel mengernyit. Mengapa harus ia yang mengajari gadis itu? Bukankah yang
namanya watak akan selalu abadi sampai ia mati?
“Gadis itu tak sadar bila hidupnya telah dibantu oleh Sella.”Iyel hanya bisa melongo
seperti orang bodoh saat ini. Apa maksud dokter ini? Hidupnya dibantu oleh Sella? Apakah
mungkin…
“Ginjal yang kini berada di dalam tubuh Tasya adalah ginjal Sella. Sebenarnya Sella
akan marah bila aku menceritakan hal ini kepadamu. Tapi, aku pikir kau wajib tahu, lagipula
gadis itu sekarang tak ada disini.”
“Jadi, aku meminta kepadamu untuk selalu menjaga Tasya. Paling tidak, hormati apa
yang telah Sella berikan. Kamu harus menjaga organ pemberian Sella itu.”lanjut Dokter Andi
seraya memiringkan kepalanya menatap wajah shock Iyel.
“Kemana Sella pergi?”
Dokter Andi tersenyum, tahu – tahu ia sudah berdiri. “Tunggu sampai waktunya
datang. Dia bilang, kamu bisa menemukannya saat ia berhasil muncul di televisi sebagai
musisi terkenal.”
“Apakah lama?”
“Jika kau benar – benar mencintai, menunggu bukanlah hal yang berat
bukan?”kemudian Dokter Andi berlalu meninggalkannya yang masih mencerna mentah
seluruh penjelasannya. Iyel menikmati hembusan angin yang membelai lembut pipinya,
batinnya terus bertanya – tanya tentang definisi menunggu.
Jika ia menunggu. Menunggu untuk berapa lama? Apa benar objek yang ia tunggu
akan mengingatnya?
Mata Iyel terpejam, hatinya bersorak memberi semangat kepadanya. Dia harus
menunggu! Menunggu dan menunggu. Dia harus menunggu Sella kembali. Ia percaya Sella
pasti akan kembali, mengingatnya dan bertemu dengannya. Karena dialah kunci besar dalam
hatinya. Karena dialah nada dasar dalam lagu kehidupannya. Karena dialah lirik bagi
lagunya. Karena dialah, cinta sebenarnya.
top related