suku asmat ediiit
Post on 26-Jun-2015
704 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 1
PendahuluanA. Latar Belakang
Irian jaya atau sekarang disebut dengan Papua adalah pulau terbesar
kedua di dunia setelah Greenland. Pulau ini terbagi atas 2 daerah
kekuasaan, yaitu belahan timur yang merupakan daerah kekuasaan
pemerintahan Papua Nugini sedangkan daerah seluas 260.000 kilometer
persegi yang berada di belahan barat, yaitu Papua termasuk daerah
wilayah pemerintahan Republik Indonesia.
Di Papua ini terdiri dari beberapa kabupaten dan suku-suku yang
beraneka ragam. Suku Asmat adalah salah satu suku yang ada di Papua.
Populasi suku asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai
dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling
berbeda satu sama lain dalam hal cara hidup, struktur sosial dan ritual.
Mendengar suku Asmat, mungkin sekilas terpikir di benak kita
mengenai pengayauan kepala orang dan kanibalisme. Hal tersebut sempat
mewarnai kehidupan sehari-hari orang Asmat. Kehidupan suku Asmat
pada jaman dahulu banyak dipenuhi dengan peperangan antar clan atau
antar desa. Pada umumnya, pangkal persengketaan adalah antara lain
adanya perzinahan, pelanggaran batas daerah sagu, pencurian ulat sagu,
ataupun hanya sekedar mencari gara-gara karena terjadinya salah paham
atau tersinggung.
Konflik antara dua orang biasanya meningkat menjadi konflik antar
keluarga, kemudian antar clan, hingga akhirnya melibatkan seluruh
kampung. Konflik semacam inilah yang mengakibatkan masyarakat Asmat
terbagi ke dalam beberapa clan dan menyusutnya penduduk desa di daerah
Asmat. Sebagai kelanjutan dari peperangan tersebut adalah terjadinya
kayau-mengayau serta kanibalisme.
Di dalam masyarakat Asmat pada jaman dahulu, banyak ritual,
kesenian, serta aspek-aspek mengenai kebudayaan yang menarik untuk
dijelaskan. Perkembangan suku Asmat dahulu hingga sekarang pun telah
banyak berubah. Kini pengayauan kepala orang serta kanibalisme sudah
merupakan bagian legenda dan sejarah dari suku Asmat. Hal tersebut
disebabkan adanya campur tangan pemerintah dan misi-misi penyebaran
agama yang dilakukan oleh para misionaris. Kontak dari dunia luar pun
sedikit banyak mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi di suku
Asmat sendiri. Mereka pun mulai mengenal kebudayaan lingkungan luar
yang dianggap lebih maju.
Saat ini, banyak kebudayaan hasil dari tangan-tangan orang Asmat
yang patut membanggakan bagi bangsa ini. Semua hasil kebudayaan itu
merupakan bagian dari kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa ini.
Oleh karena itu, kami sangat tertarik sekali untuk menjelaskan berkaitan
dengan suku Asmat melalui tugas etnografi ini, yang dimana lebih
menekankan pada segi kebudayaanya pada jaman dahulu.
Karangan etnografi ini membahas mengenai lokasi, lingkungan alam,
dan demografi, asal mula/ sejarah suku Asmat, bahasa, sistem Teknologi,
sistem Mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem
religi, dan kesenian yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat
Asmat.
BAB 2
Etnografi Suku Asmat
1. Lokasi, Lingkungan Alam, dan Demografi
Lokasi
Suku Asmat berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan
daerah tersebut masih merupakan alam yang liar. Mereka tinggal di pesisir
barat daya Irian jaya (Papua). Mulanya, orang Asmat ini tinggal di wilayah
administratif Kabupaten Merauke, yang kemudian terbagi atas 4
kecamatan, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini
Asmat telah masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat).
Batas-batas geografis
Batas-batas geografi daerah tempat dimana suku Asmat dahulu tinggal
adalah sebagai berikut :
Sebelah utara dibatasi pegunungan dengan puncak-puncak bersalju
abadi,
Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura,
Sebelah timur berbatasan dengan Sungai Asewetsy,
Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Pomats. Pertemuan Sungai
Pomats, Undir (Lorentz), dan Asewetsy, bersama-sama kemudian
menjadi satu dan mengalir ke dalam teluk Flamingo. Di daerah hilir
Sungai Asewetsy terletak Agats, tempat kecamatan Agats, salah satu
dari 4 kecamatan yang membentang di wilayah Asmat.
Batasan-batasan alamiah ini yang melindungi orang-orang Asmat dari
serangan luar. Pada masa Perang Dunia II, daerah tersebut merupakan
semacam daerah yang tak bertuan di antara wilayah kekuasaan tentara
Jepang di sebelah barat dan tentara Australia di sebelah timur.
Kondisi lingkungan alam
Suku Asmat mendiami daerah dataran rendah yang berawa-rawa dan
berlumpur, serta ditutupi dengan hutan tropis. Sungai-sungai yang
mengalir di daerah ini tidak terhitung banyaknya, dan rata-rata berwarna
gelap karena tertutup dengan lumpur. Daerah tersebut landai yang dimana
dialiri oleh tidak kurang dari 10 sungai besar dan ratusan anak sungai.
Sungai-sungai besar itu dapat dilayari kapal dengan bobot 1.000-2.000 ton
samapi sejauh 50 kilometer ke hulu. Sejauh 20 kilometer ke hulu, air
sungai-sungai itu masih terasa payau. Lingkungan alam di sekitarnya masih
terpencil dan penuh dengan rawa-rawa berlumpur yang ditumbuhi pohon
bakau, nipah, sagu, dan tumbuhan rawa lainnya. Perbedaan pasang dan
surut mencapai 4-5 meter sehingga dapat dimanfaatkan untuk berlayar
dari satu tempat ke tempat lain. Pada pasang surut, orang berperahu ke
arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu ketika pasang sedang naik.
Keadaan alam seperti itu disebabkan antara lain adalah karena curah
hujan yang turun sebanyak 200 hari setiap tahunnya. Selain itu,
perembesan air laut ke pedalaman menyebabkan tanahnya tidak dapat
ditanami dengan jenis-jenis tanaman seperti pohon kelapa, bambu, pohon
buah-buahan, dan jenis tanaman kebun seperti sayur-mayur, tomat,
mentimun, dan sebagainya. Walaupun tanaman seperti itu ada, namun
jumlahnya pun sediki atau terbatas.
Namun demikian, daerah rawa-rawa berair payau dengan suhu udara
minimal 21 derajat Celcius dan maksimal 32 derajat Celcius ini sangat kaya
akan aneka jenis tanaman palem, hutan-hutan bakau, pohon-pohon sejenis
kayu balsal, umbi-umbian, tanaman rambat, dan rotan.
Batu sangat langka di daerah-daerah lumpur berawa-rawa ini. Alat-
alat batu yang ditemukan hanya berupa kapak, dan ini pun bukan buatan
penduduk setempat melainkan didapatkan melalui perdagangan barter
dengan penduduk yang tinggal di daerah dataran tinggi. Orang-orang
Asmat juga tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga ditemukan tanah liat
pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang-barang keramik. Oleh
karena itu, orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api
terbuka.
Data Demografi
Jumlah penduduk di daeah Asmat tidak diketahui dengan pasti.
Diperkirakan pada tahun 2000 ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di
antaranya bermukim di Kecamatan Pirimapun. Pertambahan penduduk
sangat pesat, berkisar antara 28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.
Secara keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen,
di pesisir 9 persen. Angka kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara
21 sampai 45 jiwa tiap 1.000 orang. Pada jaman dahulu, rata-rata dua
setengah persen kematian orang Asmat disebabkan oleh peperangan antar
clan atau antar desa. Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab
kematian anak-anak dan bayi , terutama pada bulan-bulan pertama banyak
disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria, dan penyakit campak.
Tragisnya pada kasus-kasus tertentu, si ibu berperan dalam mempercepat
proses kematian karena kurangnya pengetahuan. Sebagai contoh seorang
anak yang menderita diare, tidak diberi minum sehingga mengalami
dehidrasi yang menyebabakan kematian pada akhirnya.
Perkampungan orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120
buah tersebar dengan jarak yang saling berjauhan. Kampung mereka
didirikan dengan pola memanjang di tepi-tepi sungai dan dibangun
sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3
kategori kampung bila dilihat dari jumlah warganya. Kampung besar, yang
umumnya terletak di bagian tengah, dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa.
Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni oleh sekitar 100-500 jiwa.
Kampung di bagian hulu sungai, jumlah warganya lebih kecil , berpenduduk
sekitar 50-90 jiwa.
Ciri-ciri fisik
Bentuk tubuh orang Asmat berbeda dengan penduduk lainnya yang
berdiam di pegunungan tengah atau di nagian pantai lainnya. Tinggi badan
kaum laki-laki antara 1,67 hingga 1,72 meter, sedangkan kaum perempuan
tingginya antara 1,60 hingga 1,65 meter.
Ciri-ciri bagian tubuh lainnya yaitu :
bentuk kepala yang lonjong (dolichocephalic),
bibir tipis,
hidung mancung, dan
kulit hitam.
Orang Asmat pada umumnya tidak banyak menggunakan kaki untuk
berjalan jauh, oleh karena itu betis mereka terlihat menjadi kecil. Namun,
setiap saat mereka mendayung dengan posisi berdiri sehingga otot-otot
tangan dan dadanya tampak terlihat tegap dan kuat. Tubuh kaum
perempuan kelihatan kurus karena banyaknya perkerjaan yang harus
mereka lakukan.
2. Asal mula dan sejarah suku bangsa
Sejarah proses penemuan daerah Asmat
Nama Asmat sudah dikenal dunia sejak tahun 1904. Tercatat pada
tahun 1770 sebuah kapal yang dinahkodai James Cook mendarat di sebuh
teluk di daerah Asmat. Tiba-tiba muncul puluhan perahu lesung panjang
didayungi ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang
diolesi warna-warna merah, hitam, dan putih. Mereka ini menyerang dan
berhasil melukai serta membunuh beberapa anak buah James Cook.
Berabad-abad kemudian pada tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS
Flamingo mendarat di suatu teluk di pesisir barat daya Irian jaya. Terulang
peristiwa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya pada saat
dahulu. Mereka didatangi oleh ratusan pendayung perahu lesung panjang
berkulit gelap tersebut. Namun, kali ini tidak terjadi kontak berdarah.
Sebaliknya terjadi komunikasi yang menyenangkan di antara kedua pihak.
Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil melakukan
pertukaran barang.
Kejadian ini yang membuka jalan adanya penyelidikan selanjutnya di
daerah Asmat. Sejak itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang
kemudian dikenal dengan daerah Asmat itu. Ekspedisi-ekspedisi yang
pernah dilakukan di daerah ini antara lain ekspedisi yang dilakukan oleh
seseorang berkebangsaan Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun
1907 hingga 1909. Kemudian ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R
Wollaston pada tahun 1912 sampai 1913.
Suku Asmat yang seminomad itu mengembara sampai jauh keluar
daerahnya dan menimbulkan peperangan dengan penduduk daerah yang
didatanginya. Untuk mengatasi kekacauan yang sering terjadi tersebut,
Pemerintah Belanda pada waktu itu, melancarkan usaha-usaha dalam
rangka mengurangi peperangan dan memulihkan ketertiban. Pada tahun
1938, didirikan suatu pos pemerintahan yang berlokasi di Agats. Namun
terpaksa ditinggalkan ketika pecah perang dengan Jepang pada tahun 1942.
Selama perang itu berlangsung, hubungan denga orang-orang Asmat tidak
terjalin. Hubungan tetap dengan masyarakat Asmat terjalin kembali dengan
didirikannya suatu pos polisi pada tahun 1953.
Mei 1963, daerah Irian Jaya resmi masuk menjadi wilayah kekuasaan
Republik Indonesia. Sejak saat itu pula, Pemerintah Indonesia
melaksanakan usaha-usaha pembangunan di Irian Jaya termasuk daerah
Asmat. Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan
dan ditempatkan di perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau.
Biasanya kampung-kampung tersebut didirikan di dekat pantai atau
sepanjang tepi sungai. Dengan demikian hubungan langsung dengan Suku
Asmat dapat berlangsung dengan baik. Dewasa ini, sekolah-sekolah,
PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat) dan rumah-rumah ibadah telah
banyak juga didirikan peemrintah dalam rangka menunjang pembangunan
daerah dan masayarakat Asmat.
3. Bahasa
Bahasa-bahasa yang digunakan orang Asmat termasuk kelompok
bahasa yang oleh para ahli linguistik disebut sebagai Language of the
Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan Irian Jaya. Bahasa ini
pernah dipelajari dan digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi
filum bahasa-bahasa Irian (Papua) Non-Melanesia.
Bahasa-bahasa tersebut dibedakan pula antara orang Asmat pantai
atau hilir sungai dan Asmat hulu sungai. Lebih khusus lagi, oleh para ahli
bahasa dibagi menjadi bahasa Asmat hilir sungai dibagi menjadi sub
kelompok Pantai Barat Laut atau pantai Flamingo, seperti misalnya bahasa
Kaniak, Bisman, Simay, dan Becembub dan sub kelompok Pantai Baratdaya
atau Kasuarina, seperti misalnya bahasa Batia dan Sapan.Sedangkan Asmat
hulu sungai dibagi menjadi sub kelompok Keenok dan Kaimok.
4. Sistem Teknologi
Teknologi yang telah dimiliki dan ditemukan oleh suku Asmat adalah
sebagai berikut:
o Alat-alat produktif
Orang Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk
mempertahankan hidupnya. Mereka telah memiliki kemampuan untuk
membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman daun sagu. Jaring
tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai. Caranya pun
sederhana sekali, yaitu dengan melemparkan jaring tersebut ke laut untuk
kemudian ditarik bersama-sama. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena di
muara sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan memberatkan
dalam penarikan jaring. Oleh karena itu, jala ditambatkan saja pada waktu
air pasang dan kemudian ditarik pada air surut.
Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal
alat-alat tertentu yang memang sengaja digunakan untuk membuat ukir-
ukiran. Alat-alat sederhana seperti kapak batu, gigi binatang dan kulit siput
yang bisa digunakan oleh wow-ipits untuk mengukir. Kapak batu
merupakan benda yang sangat berharga bagi orang Asmat sehingga kapak
yang hanya bisa didapatkan melalui pertukaran barang itu diberi nama
sesuai dengan nama leluhurnya, bisanya nama nenek dari pihak ibu.
Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat sekarang sudah
menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit siput diganti dengan pisau.
Untuk menghaluskan dan memotong masih digunakan kulit siput.
o Senjata
Perisai digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari
tombak dan panah musuh dalam peperangan. Pola ukiran pada perisai
melambangkan kejantanan. Senjata ini terbuat dari akar besar pohon
bakau atau kayu yang lunak dan ringan.
Tombak pada masyarakat Asmat terbuat dari kayu keras seperti kayu
besi atau kulit pohon sagu. Ujungya yang tajam dilengkapi dengan penutup
yang terbuat dari paruh burung atau kuku burung kasuari.
o Makanan
Orang-orang Asmat tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga
ditemukan tanah liat pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang-
barang keramik. Oleh karena itu, orang-orang Asmat biasa memasak
makanannya di atas api terbuka. Berapa jenis makanan yang biasa
dikonsumsi oleh orang Asmat adalah :
1. Makanan pokok (sagu)
Sagu sebagai makan pokok dapat banyak ditemukan di hutan oleh
masyarakat Asmat. Untuk mendapatkan makanan dari pohon sagu, pohon
itu harus ditebang, kulitnya dibuka sebagian, dan isinya ditumbuk hingga
hancur. Kemudian, isi tersebut dipindahkan ke dalam suatu saluran air
sederhana yang terbuat dari daun sagu untuk dibersihkan. Tepung sagu
yang diperoleh diolah menjadi adonan yang beratnya kira-kira 5 kilogram.
Adonan ini kemudian dibakar untuk mendapatkan bentuk yang semipadat
supaya mudah dibawa dan disimpan sampai diperlukan.
Proses pembuatan sagu, mulai dari penebangan pohon hingga
terbentuknya adonan siap masak memakan waktu sehari penuh, dari
matahari terbit hingga terbenam.
2. Makanan tambahan
Sebagai makanan tambahan, suku Asmat juga mengumpulkan ulat
sagu yang didapatkan di dalam batang pohon sagu yang sudah membusuk.
Ulat sagu yang merupakan sumber protein dan lemak adalah makanan
yang lezat dan bernilai tinggi bagi mereka. Telur-telur ayam hutan yang
ditemukan di pasir delata-delta yang sering tertutup air pada waktu air
pasang juga dikumpulkan. Telur-telur ini dikumpulkan dan dibungkus
dakan daun dan dipanggang hingga keras. Apapun yang ditemukan di
hutan, seperti babi hutan, kuskus, burung, dan segala jenis daun-daunan
yang dapat dimakan, dikumpulkan sebagai tambahan makanan pedamping
sagu.
Orang Asmat juga memburu iguana (sejenis kadal) untuk mengambil
dagingnya yang kemudian dipanggang dan dimakan. Tikus hutan pun
mereka tangkap dan dijadikan makanan tambahan.
3. Makanan lainnya
Orang Asmat pun terkadang memiliki bahan makan lainnya yang tidak
setiap harinya ada. Musuh yang telah mati ditombak saat perang, dibawa
pulang ke kampung dengan perahu lesung panjang diiringi dengan
nyanyian. Setiba di kampung, mayatnya dipotong-potong dan dibagi-
bagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan bersama. Sambil
menyanyikan lagu kematian, kepala musuh tersebut dipotong dan
dipanggang, sedangkan otaknya dibungkus dengan daun sagu untuk
kemudian dipanggang.
o Perhiasan
Orang Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa
dikenakan sehari-hari dalam kehidupannya. Seperti kebanyakan orang,
orang Asmat berhias untuk mempercantik dirinya masing-masing. Sesuai
kepercayaan, mereka biasa berhias dengan menidentikan diri seperti
burung. Seperti misalnya titik-titik putih pada tubuh yang diidentikan pada
burung.
Untuk hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari
atau kuskus. Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung
kakatua hitam bila sedang marah.
Hiasan dahi terbuat dari kulit kuskus, lambang dari si pengayau kepala
yang perkasa. Hiasan-hiasan hidung terbuat dari semacam keong laut, atau
kadang-kadang terbuat dari tulang manusia atau tulang babi.
Anting-anting wanita terbuat dari bulu kuskus. Gigi-gigi anjing diuntai
untuk dijadikan kalung penghias leher. Untuk mendapatkan gigi-gigi itu,
anjing tersebut tidaklah dibunuh, namun ditunggu hingga anjing tersebut
mati. Oleh karena itu, gigi-gigi anjing tersebut dinilai tinggi bagi mereka,
dan sering dijadikan sebagai emas kawin (pomerem) bagi keluarga pihak
wanita.
o Pakaian
Suku Asmat mempunyai pakaian adat, yakni koteka. Koteka biasa
digunakan oleh kaum lelaki yang tinggal di daerah Wamena. Koteka sendiri
terbuat dari kulit labu yang panjang dan sempit.
Fungsi koteka untuk menutupi bagian alat reproduksi kaum lelaki,
sedangkan bagian badan mereka tidak menggunakan apa-apa. Cara
penggunaan koteka yakni dengan cara diikatkan pada tali yang melingkar
di pinggang.
Wanita pun, umumnya, menggunakan pakaian yang hampir sama
digunakan para lelaki. Mereka hanya menutupi tubuh di sekitar alat
reproduksinya. Pakaian yang digunakan, yakni seperti rok yang terbuat
dari bahan akar tanaman kering yang dirajut seperti benang-benang kasar.
Untuk bagian atas badan, biasanya, wanita suku Asmat tidak menggunakan
apa-apa atau bertelanjang dada. Ini merupakan kebiasaan dan budaya yang
mereka miliki.
o Tempat berlindung dan perumahan
Jew atau rumah bujang adalah nama sebutan bagi rumah adat suku
Asmat. Suku Asmat adalah salah satu kelompok suku yang tinggal di
Papua. Sebuah pulau yang berbentuk kepala burung, terletak di bagian
timur Indonesia.
Suku Asmat memiliki rumah adat suku Asmat bernama jew. Bila warga
harus berdiskusi tentang semua hal yang berhubungan dengan kehidupan
warga, maka mereka berkumpul di dalam jew ini. Di dalam rumah adat
suku Asmat ini juga tersimpan persenjataan suku Asmat seperti tombak
dan panah untuk berburu. dan Noken. Noken adalah serat tumbuhan yang
dianyam menjadi sebuah tas.
Tidak sembarang orang boleh menyentuh noken yang disimpan di
dalam rumah adat suku Asmat ini. Jew adalah tempat yang dianggap sakral
bagi suku Asmat. Ada sejumlah aturan adat di dalamnya yang musti
dipelajari dan dipahami oleh orang Asmat sendiri, termasuk syarat
membangun Jew.
Berikut beberapa hal menyangkut rumah adat suku Asmat :
Rumah adat suku Asmat yang dibuat dari kayu ini selalu didirikan
menghadap ke arah sungai.
Panjang rumah adat suku Asmat ini bisa berpuluh-puluh meter.
Bahkan ada Jew yang panjangnya bisa sampai lima puluh meter
dengan lebarnya belasan meter.
Sebagai tiang penyangga utama rumah adat suku Asmat, mereka
menggunakan kayu besi yang kemudian diukir dengan seni ukir suku
Asmat
Mereka tidak menggunakan paku atau bahan-bahan non alami
lainnya, tapi orang Asmat menggunakan bahan-bahan dari alam
seperti tali dari rotan dan akar pohon.
Atap rumah adat suku Asmat ini terbuat dari daun sagu atau daun
nipah yang telah dianyam. Biasanya warga duduk beramai-ramai
menganyamnya sampai selesai.
Jumlah pintu jew sama dengan jumlah tungku api dan patung bis
(patung gambaran leluhur dari suku Asmat). Jumlah pintu ini juga
dianggap mencerminkan jumlah rumpun suku Asmat yang berdiam
di sekitar rumah adat suku asmat.
Setelah pembangunan rumah adat suku Asmat ini selesai, mereka
akan melakukan pesta selama semalaman. Menari dan menyanyi bersama
diiringi oleh suara pukulan alat musik tradisional papua,Tifa. Dengan
melakukan atraksi ini, orang suku Asmat percaya, roh para leluhur mereka
datang dan akan menjaga rumah mereka.
o Alat transportasi dan perlengkapannya
Masyarakat Asmat mengenal perahu lesung sebagai alat
transportasinya. Pembuatan perahu dahulunya digunakan untuk persiapan
suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu
tersebut dicoba menuju ke tempat musuh dengan maksud memanas-
manasi musuh dan memancing suasana musuh agar siap berperang. Selain
itu, perahu lesung juga digunakan untuk keperluan pengangkutan dan
pencarian bahan makanan.
Setiap 5 tahun sekali, orang-orang Asmat membuat perahu-perahu
baru. Walaupun daerah Asmat kaya akan berbagai jenis kayu, namun
pembuatan perahu mereka memilih jenis kayu khusus yang jumlahnya
tidak begitu banyak. Yang digunakan adalah kayu kuning (ti), ketapang,
bitanggur atau sejenis kayu susu yang disebut yerak.
Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan
kedua ujungnya, batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan
perahu. Untuk membuat perahu dibutuhkan waktu kurang lebih 5 minggu.
Proses pembuatan perahu dari bentuk batang hingga selesai diukir dan
dicat meliputi beberapa tahap. Pertama, batang yang masih kasar dan
bengkok diluruskan. Setelah bagian dalam digali, dihaluskan dengan kulit
siput, sama halnya dengan bagian luar. Bagian bawah perahu dibakar
supaya perahu menjadi ringan dan laju jalannya. Bagian muka perahu
disebut cicemen, diukir menyerupai burung atau binatang lainnya
perlambang pengayauan kepala. Atau ukiran manusia yang melambangkan
saudara yang telah meninggal. Perahu kemudian dinamakan sesuai dengan
nama saudara yang telah meninggal itu. Panjang perahu mencapai 15-20
meter. Setelah semua ukiran dibuat di perahu maka perahu pun di cat.
Bagian dalam dicat putih, bagian luar dicat putih dan merah. Setelah itu
perahu dihiasi dengan dahun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu
harus diresmikan melalui upacara.
Ada 2macam perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik
keluarga yang tidak terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 4-
7 meter. Sedangkan perahu clan biasa memuat antara 20-20 orang dengan
panjang 10-20 meter.
Dayung terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi.
Karena dipakai sambil berdiri, maka dayung orang Asmat sangat panjang
ukurannya. Benda ini wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat karena daerah
tempat tinggal banyak dikelilingi dengan rawa-rawa.
5. Sistem Mata Pencaharian
Kehidupan sehari-hari
Mata pencaharian hidup orang Asmat di daerah pantai adalah meramu
sagu, berburu binatang kecil, (yang terbesar adalah babi hutan), dan
mencari ikan di sungai, danau, maupun pinggir pantai. Mereka juga
terkadang menanam buah-buahan dan tumbuhan akar-akaran. Kadang
mereka juga dengan sengaja menanamnya di kebun-kebun ekcil yang
sederhana berada di tengah-tengah hutan. Orang Asmat hulu yang tinggal
di daerah yang tak ada pohon sagunya lagi, lebih menggantungkan
hidupnya pada kebun-kebunnya
Dahulu, orang Asmat hidup di hutan-hutan, menetap di suatu tempat
untuk beberapa bulan, kemudian pidanh mencari tempat baru bila bahan
makanan di sekitarnya sudah berkurang. Hidup di hutan berarti hidup
bebas, maka hal inilah yang membuat mereka terkadang kembali ke hutan
meninggalkan kampun yang telah disediakan.
Hari Senin mereka biasa berangkat ke hutan dan kembali ke kampung
pada hari Sabtu. Sebagian besar waktu dilewati di hutan dengan
mendirikan rumah besar, yang disebut dengan Bivak.
Kehidupan di perkampungan
Dengan didirikannya perkampungan-perkampungan bagi orang-orang
Asmat, maka kehidupan mereka yang seminomad itu mulai berubah. Biasanya,
kampung yang satu berjauhan dengan kampung yang lain. Hal ini disebabkan
adanya perasaan takut akan diserang musuh yang sudah tertanam di pikiran
orang-orang Asmat. Populasi suatu kampung biasanya terdiri dari 100 hingga
1000 jiwa. Kampung-kampung tersebut terdiri dari beberapa rumah keluarga
dan rumah bujang. Tiap-tiap kampung memiliki daerah sagu dan daerah ikan
yang merupakan sumber makanan bagi seluruh warganya. Oleh karena itu,
berburu dan menangkap ikan merupakan kesibukan pokok masyarakat Asmat.
Dalam masyarakat Asmat, kaum wanita yang bekerja mencari dan
mengumpulkan bahan makan serta mengurus anak-anak. Kebiasaan ini sudah
membudaya dalam kehidupan mereka karena kaum pria dahulunya sering
disibukkan dengan berperang. Pada dasarnya, kegiatan kaum laki-laki terpusat
di dalam rumah bujang yang dimana mereka berkumpul untuk mendengarkan
ritual-ritual yang berhubungan dengan peperangan dahulu serta menceritakan
dongeng para leluhur.
Pagi-pagi sebelum matahari terbit, kaum ibu dan wanita muda berangkat
ke laut mencari ikan. Mereka menjaring ikan di muara sungai dengan jaring
yang terbuat dari anyaman daun sagu. Caranya pun sederhana, dengan
melemparkan jaring itu ke laut untuk kemudian ditarik bersama-sama.
Pekerjaan ini tidaklah mudah karena banyaknya lumpur di daerah itu sehingga
memberatkan dalam penarikan jaring. Selain menangkap ikan, kaum wanita
juga mengolah sagu, mencari umbi-umbian, dll untuk dijadikan bahan makanan.
6. Organisasi Sosial
Status dan Peran
Dalam kehidupan orang Asmat, peran kaum laki-laki dan perempuan
adalah berbeda. Kaum laki-laki memiliki tugas menebang pohon dan membelah
batangnya. Pekerjaan selanjutnya, seperti mulai dari menumbuk sampai
mengolah sagu dilakukan oleh kaum perempuan. Secara umumnya, kaum
perempuan yang bertugas melakukan pencarian bahan makanan dan menjaring
ikan di laut atau di sungai. Sedangka kaum laki-laki lebih sibuk dengan
melakukan kegiatan perang antar clan atau antar kampung. Kegiatan kaum laki-
laki juga lebih terpusat di rumah bujang.
Sistem kekerabatan/ keluarga
Dasar kekerabatan masyarakat Asmat adalah keluarga inti monogami, atau
kadang-kadang poligini, yang tinggal bersama-sama dalam rumah panggung
(rumah keluarga) seluas 3 m x 5 m x 4 m yang sering disebut dengan tsyem.
Walaupun demikian, ada kesatuan-kesatuan keluarga yang lebih besar, yaitu
keluarga luas uxorilokal (keluarga yang sesudah menikah menempati rumah
keluarga istri), atau avunkulokal (keluarga yang dudah menikah menempati
rumah keluarga istri dari pihak ibu). Karena itu, keluarga-keluarga seperti itu,
biasanya terdiri dari 1 keluarga inti senior dan 2-3 keluarga yunior atau 2
keluarga senior, apabila ada 2 saudara wanita tinggal dengan keluarga inti
masing-masing dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga inti masyarakat
Asmat biasanya terdiri dari 4-5 atau 8-10 orang.
Lembaga pernikahan
Sistem kekerabatan orang Asmat yang mengenal sistem clan itu mengatur
pernikahan berdasarkan prinsip pernikahan yang mengharuskan orang mencari
jodoh di luar lingkungan sosialnya, seperti di luar lingkungan kerabat, golongan
sosial, dan lingkungan pemukiman (adat eksogami clan). Garis keturunan
ditarik secara patrilineal (garis keturunan pria), dengan adat menetap sesudah
menikah yang virilokal. Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa
sepasang suami-istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum
kerabat suami. Dalam masyarakat Asmat, terjadi juga sistem pernikahan
poligini yang disebabkan adanya pernikahan levirat. Pernikahan levirat adalah
pernikahan antara seorang janda dengan saudara kandung bekas suaminya yang
telah meninggal dunia berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Pernikahan seorang anak dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh
kedua orang tua kedua belah pihak, tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan
biasanya dilakukan oleh pihak kerabat perempuan. Namun, dalam hal pencarian
jodoh, mereka juga mengenal kawin lari, yang artinya seorang laki-laki
melarikan gadis yang disenanginya. Kawin lari ini biasanya berakhir dengan
pertikaian dan pembunuhan.
Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah
poligini, dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya
adalah perkawinan yang telah diatur (perse tsyem).
Sistem pemerintahan
1. Pemerintahan secara tradisional (struktur paroh masyarakat).
Di setiap kampung yang didirikan di wilayah masyarakat Asmat, terdapat
satu rumah panjang yang merupakan semacam balai desa dimana para warga
kampung berkumpul membicarakan masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan seluruh warga. Rumah panjang ini merupakan cerminan kehidupan
mereka di masa lampau. Rumah panjang dauhulunya berfungsi sebagai rumah
bujang, atau Je dalam bahasa Asmat, dimana kaum pria membicarakan dan
merembukan penyerangan serta pengayauan kepala.
Rumah bujang terdiri 2 bagian utama yang tiap bagian dinamakan aipmu,
yang dimana masing-masingnya dipimpin oleh kepala aipmu. Sedangkan
kepemimpinan Je secara keseluruhan dipimpin oleh kepala Je. Kepala Je adalah
orang yang diakui kekuasaannya berdasarkan kemampuan-kemampuan yang
menonjol. Kedudukan kepala Je, tidak harus diberikan kepada orang yang
paling tua, sehingga mungkin ada kekosongan pimpinan sebelum kepala baru
terpilih.
Seringkali kepala Aipmu adalah kepala perang juga. Dia adalah orang yang
mampu mengatur dan merencanakan strategi-strategi penyerangan secara besar-
besaran dan meliputi satu kampung. Untuk dapat menggerakkan rakyatnya
maka kekerasan merupakan sifat utama dan sifat itulah yang membantu dalam
mempertahankan kekuasaannya. Kepala Aipmu dipilih berdasarkan kepribadian
dan keberhasilannya. Umur juga merupakan faktor penting. Pada umumnya,
orang-orang muda belum mempunyai bobot bila mereka belum berkeluarga dan
membuktikan keberaniannya dalam berperang. Dalam hal-hal tertentu , peranan
pimpinan adat dapat dijalankan orang-orang yang ahli dalam berbagai lapangan.
Misalnya, ahli bidang keagamaan memimpin upacara keagamaan, ahli
menyanyi dan menabuh tifa berperan dalam upacara adat, bahkan ahli kebatinan
adakalanya memimpin suatu upacara. Ada ahli lain yang sering dianggap lebih
terhormat dibandingkan para pemimpin lainnya oleh masyarakat Asmat, yaitu
seniman pahat patung (wow-ipits).
2. Pemerintahan baru (non tradisional)
Berbeda degan pola tradisional, pola kepemimpinan dan kekuasaan saat ini
tidak berada pada satu orang secara pribadi saja. Kepala desa, di dalam
penyelenggaraan ketertiban hukum dibantu oleh beberapa orang pembantu.
Kepala desa dan pembantu-pembantunya juga bertanggungjawab atas
pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan-jalan dan juga menjaga
agar warga desa memelihara rumahnya dengan sebaik-baiknya.
Umumnya, jabatan kepala desa ini diserahkan kepada orang muda yang telah
mendapat sedikit pendidikan dari misi agama pada akhir lima puluhan. Di
dalam tuganya, ia dibantu oleh seorang asisten kepala desa yang biasanya
adalah seorang yang sudah berumur dan dihormati oleh warga desa.
Di samping itu, terdapat seorang kepala distrik yang membawahi para
”polisi” desa yang mengatur hansip setempat. Kepala distrik inilah yang
memutuskan hukuman apabila terjadi pelanggaran yang cukup serius. Tampak
adanya suatu pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Di satu pihak, terdapat kepala desa beserta pembantu-pembantunya dan di pihak
lain terdapat kepala distrik yang menangani pelangaran-pelanggaran khusus.
7. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suku Asmat adalah sebagai berikut :
Pengetahuan mengenai alam sekitar
Orang Asmat berdiam di lingkungan alam terpencil dan ganas dengan
rawa-rawa berlumpur yang ditumbuhi pohon bakau, nipah, sagu dan lainnya.
Perbedaan pasang dan surut mencapai 4-5 meter. Pengetahuan itu dimanfaatkan
oleh orang Asmat untuk berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Pada waktu
pasang surut, orang berperahu ke arah hilir atau pantai dan kembali ke hulu
ketika pasang sedang naik.
Pengetahuan mengenai alam flora dan fauna di daerah tempat tinggal.
Pohon sagu banyak tumbuh di daerah dimana orang Asmat tinggal. Oleh
karena itu, makanan pokok orang Asmat adalah sagu dengan makanan
tambahan seperti ubi-ubian dan berbagai jenis daun-daunan. Mereka juga
memakan berbagai jenis binatang seperti, ulat sagu, tikus hutan, kuskus, babi
hutan, burung, telur ayam hutan, dan ikan. Sagu diibaratkan sebagai wanita.
Kehidupan dianggap keluar dari pohon sagu sebagaimana kehidupan keluar
dari rahim ibu. Selain itu, gigi-gigi anjing yang telah mati biasa digunakan
sebagai perhiasan.
Pengetahuan mengenai zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda
dalam lingkungannya
Orang-orang Asmat hanya mengenal 3 warna dalm kehidupannya, yaitu
warna merah, putih, dan hitam. Warna merah didapatkan dari campuran
tanah merah dengan air. Untuk warna putih, orang Asmat membakar
semacam kerang yang kemudian ditumbuk dan dicampur dengan air.
Sedangkan warna hitam diperoleh dengan cara mencampurkan arang dengan
air. Ketiga warna ini biasa terlihat pada hasil ukiran dan juga cara berhias
yang dilakukan oleh orang-orang Asmat.
Pengetahuan mengenai sifat dan tingkah laku (kebutuhan) antar
manusia.
Tempat tinggal suku Asmat yang berada di daerah dataran rendah
membuat mereka perlu mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya. Seperti
misalnya batu sangat langka di daerah-daerah lumpur berawa-rawa tempat
dimana suku Asmat tinggal. Oleh karena itu, mereka telah mengatahui
kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh masyarakat merekas sendiri
maupun masyarakat di luar daerahnya. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, suku
Asmat telah mengenal sistem barter. Mereka telah biasa melakukan barter
dengan masyarakat lain yang tinggal di daerah dataran tinggi untuk
mendapatkan alat-alatseperti kapak, batu, dsb yang memudahkan mereka dalam
kehidupannya.
Pengetahuan mengenai ruang dan waktu
Untuk memeperoleh bahan makanan di hutan, orang-orang Asmat pun
berangkat pergi pada hari Senin dan kembali ke kampung pada hari Sabtu.
Selama di hutan, mereka tinggal di rumah sementara yang bernama bivak.
Apabila orang-orang Asmat ingin mengambil air minum, maka air minum
diambil pada saat air surut, sewaktu air sungai tidak terlalu asin. Air tersebut
disimpan dalam tabung bambu yang diperoleh dari hasil penukaran dengan
penduduk desa di lereng-lereng gunung.
8. Kesenian
top related