studi komperatif nasikh dan mansukh dalam...
Post on 02-Feb-2018
253 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 107
STUDI KOMPERATIF NASIKH DAN MANSUKH
DALAM AL-QURÁN DAN HADITS
Nurdinah Muhammad
Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry
Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh
ABSTRACT Timbulnya fenomena nasikh dan mansukh berangkat dari realita ayat-ayat al-
Qur‟an dan hadits yang secara sepintas kelihatannya kontradiktif. Di dasari atas
keyakinan yang kuat para jumhur ulama dan para sahabat akan keotentikan dan
keuniversalan kandungan al-Qur‟an dan hadits, maka tidak layak lagi mereka
menilai bahwa di dalam pesan yang berlawanan tersebut termuat pesan-pesan
kemaslahatan masyarakat yang cukup dalam. Tuntutan kebutuhan setiap umat
memang selalu berbeda satu dengan yang lain. Di samping itu, perjalanan dakwah
pada taraf pertumbuhan dan pembentukan hukum Islam tidak sama dengan
perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan kemajuan. Oleh karena
itu wajar saja jika ulama dan para sahabat menghapuskan suatu tasyri` dengan
tasyri` yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan
pengetahuan yang dimilikinya tentang hukum pertama dan yang kemudian.
Kata Kunci: Nasikh dan Mansukh, Al-Qurán, Hadits
PENDAHULUAN
Sebagai kitab suci umat Islam, al-Qur‟an merupakan sumber pokok ajaran
keagamaan. Karena itu, interpretasi terhadap teks-teks al-Qur‟an menjadi sangat
penting untuk bisa memahami Islam yang hakiki. Dan dengan sendirinya, ilmu-
ilmu yang menjadi instrumen pemahaman terhadap teks-teks al-Qur‟an juga
menjadi penting, seperti sejarah dan sebab-sebab turunnya suatu ayat dalam al-
Qur‟an yang meliputi asbab al-nuzul, makki-madani, dan nasikh-mansukh.
Ilmu-ilmu tersebut telah berkembang sejak awal munculnya upaya
pemahaman terhadap al-Qur‟an dengan segala teori dan teknis operasionalnya.
Karena ilmu-ilmu ini sifatnya ijtihadiyah maka terjadi banyak perbedaan dan
ikhtilaf di antara ulama pada setiap masa dengan segala konsekuensinya. Fakta ini
menunjukkan bahwa Ulumul Qur`an belum mencapai kematangannya dan masih
terbuka untuk direkonstruksi ulang guna menghasilkan interpretasi teks-teks al-
Qur‟an yang lebih tepat dan relevan dengan fenomena real kemasyarakatan
muslim kontemporer.
Hadits merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur‟an sebagai
sumber yang utama. Untuk al-Qur‟an semua periwayatan secara mutawatir.
Sedangkan periwayatan hadits sebagian berlangsung secara mutawatir dan
sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari sini timbul berbagai
pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sebagai sumber perdebatan
dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah non ilmiah.
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 108
Allah telah memberikan tugas kepada umat Islam untuk senantiasa
menjaga kesucian al-Qur‟an dan hadits. Hal ini sudah dicontohkan oleh para
pendahulu yang selalu menjaga al-Qur‟an dan hadits Nabi. Mereka adalah orang-
orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian memprioritaskan
perhatiannya untuk menjaga hadits Nabi dan ilmunya, mereka adalah para ahli
hadits.
Para sahabat tabi‟in, dan tabi‟ al-tabi‟in, juga sangat perhatian untuk
menjaga hadits-hadits Nabi dan periwayatannya dari generasi ke generasi yang
lain, karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap agama. Mereka selalu
mengajak untuk mengikuti cara hidup dan perilaku Rasulullah, mereka juga
diperintahkan untuk mengerjakan apa yang dibawa oleh Nabi dan dilarang untuk
mengerjakan semua larangan beliau sebagaimana firman Allah Swt, surah al-
Hasy:7 yang artinya : “Dan ambillah apa yang datang kepadamu dari Rasul dan
tinggalkan apa yang dilarang untukmu”.
Para ulama, terutama di zaman klasik Islam, berusaha keras melakukan
penelitian dan penyeleksian secara ketat terhadap hadits-hadits sehingga dapat
dipilih mana hadits yang benar-benar berasal dari Nabi, dan mana yang bukan
berasal dari Nabi, dan mana hadits Nasikh wa al-mansukh. Untuk itu mereka
menyusun kaidah tertentu, sebagai acuan untuk menilai hadits-hadits tersebut.
Kaidah-kaidah inilah yang kemudian berkembang menjadi ilmu tersendiri, yaitu
ilmu hadits dan ilmu Nasikh wa al-mansukh.
Untuk menyelesaikan problematika hukum-hukum yang bertentangan di
dalam ayat-ayat dan hadits-hadits tertentu, para ulama menempuh jalan melalui
ilmu ushul fiqh. Sesuai dengan teori dafal-ta`arud (menghilangkan pertentangan),
yakni apabila ada ayat dan hadits yang sederajat bertentangan secara lahir, maka
diupayakan perkompromian kedua ayat dan hadis tersebut. Seandainya kedua ayat
dan hadits yang sederajat itu tidak bisa dikompromikan, maka salah satunya
ditarjih (diambil yang lebih kuat), dan apabila secara tarjih tidak bisa di tempuh
juga, maka salah satu ayat dan hadits tersebut dinasikhkan (dibatalkan)1.
Kandungan hukum yang dibatalkan disebut dengan mansukh, dan yang
membatalkannya disebut nasikh
PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURÁN DAN
HADITS
Dalam konteks Ulumul Qur`an, mansukh adalah ayat yang telah diangkat
hukumnya dengan sebab ayat yang datang kemudian. Ayat yang hukumnya
menjadi pengganti bagi hukum ayat sebelumnya di sebut nasikh. Proses nasikh
dan mansukh ini disebut naskh.
Menurut Nasr Hamid abu Zaid2, konsepsi ini menemukan momentumnya
dalam al-Qur‟an berdasarkan dua ayat al-Qur‟an, yang satu Makkiyyah, yaitu QS
al-Nahl [16] : 101, sebagai berikut :
Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,
_____________ 1 Al-Zarqani, Manhil al-„Irfan fi, Ulum Al-Qur‟an , Juz I, (Kairo: Isa al- babi al-Halabi,
tth), 4. 2 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas Dirasah Fi „Ulum al-Qur`an, Alih Bahasa:
Khoiron Nahdiyin, Tekstualitas Al-Qur‟an Kritik Terhadap Ulumul Qur`an, Cet. II, (Yogyakarta:
LKiS, 2002), 142.
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 109
mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan
saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
Pengertian al-nasakh menurut bahasa seperti ini juga dijumpai dalam al-
Qur‟an, pada periode madaniyyah, yaitu QS al-Baqarah ( 2 ): 106, sebagai berikut:
Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu?
Karena kedua ayat tersebut secara zahir mengilustrasikan adanya
pergantian suatu ayat dengan ayat lain yang lebih baik atau yang sebanding.
Namun menurut Hasbi Ash-Shiddiqi, konsep nasikh dalam Al-Qur‟an dipengaruhi
oleh kasus naskh dalam sunnah. Seperti kasus pelarangan ziarah kubur yang
kemudian diizinkan3.
Nasikh sendiri memiliki beberapa kemungkinan arti sebagai berikut4:
“Allah menghilangkan (yansakhu) apa yang dimasukkan oleh syaithan.”
- Al-Raf`u wa-`izalah, artinya mencabut/ mengangkat dan menghilangkan,
sebagaimana orang Arab sering mengatakan nasakhati-al-Syams al-Zill
(matahari menghapus kegelapan), dan QS al-Hajj [22]: 52, sebagai
berikut:
- Al-Tabdil5, artinya menggantikan, sebagaimana QS al-Nahl [16]: 101 dan
QS Al-Baqarah [2] : 106.
- Al-Tahwil, artinya memindahkan atau mengalihkan, seperti ungkapan
tanasukh al-mawarits, yaitu memindahkan hak waris dari satu orang
kepada yang lain.
- Al-Taswir aw al-Naql, artinya menyalin atau memindahkan dari satu
tempat ke tempat lainnya, seperti ungkapan nasakht al-kitab (saya
menyalin kitab/ memindahkannya ke lembaran yang lain), dan QS. al-
Jatsiyah (45) : 29, sebagai berikut
“Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat (Nastansikhu) apa yang
telah kamu kerjakan “ - Al-Zarkasyi menambahkan makna lainnya bagi konsep ini, yaitu
“penangguhan”. Dia berpendapat bahwa kata nunsiha yang sebanding dengan kata Nansakh berasal dari pola افعل –انسى dan bacaannya menjadi
ننسنها (nunsiuha) yang berarti penangguhan6
_____________ 3 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/ Tafsir, cet. 5,
(Jakarta: Bulan Bintang 1994), 115 4 Abu al-Faraj „Abdurrahman Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur‟an al-Nasikh wa al-
Mansukh,alih bahasa: Wawan Djunaedi Soffandi, Nasikh Mansukh Ayat-ayat yang Dihapus,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), 23. 5 Muhammad Ibnu „Alawi al-Makki, Zubdah al-Itqan Fi Ulum Al-Qur‟an, Alih Bahasa:
Tarnama Abdul Qasim, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur‟an Ringkasan Kitab al-Itqan Fi Ulum`Al-
Qur‟an, Cet. I (Bandung : Aras, 2003), 172. 6 Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum al-Qur‟an, Juz II,
(Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyyah, 1988), 49.
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 110
Senada dengan pengertian di atas kata-kata nasikh7, menurut bahasa
dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan) kata nasikh juga dipergunakan
untuk makna naqal (memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat yang lain),
dan bisa juga bermakna ibthal (membatalkan). Menurut istilah nasikh ialah
mengangkat (menghapuskan) hukum syara` dengan dalil hukum (kitab) syara`
yang lain (yang datang kemudian).
Nasikh menurut bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil.
Sehingga seolah-olah orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang
mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain.
Sedangkan menurut istilah, adalah: “pengangkatan yang dilakukan oleh Penetap
syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang
kemudian”.8
Sedangkan al-nasakh menurut istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul
adalah:
رفع الشا رع حكما شرعي مرتاخ عنو“Syari‟ mengangkat (membatalkan) sesuatu hukum syara‟ dengan menggunakan
dalil syar‟i yang datang kemudian”.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ilmu Al-
Nasikh wa al-Mansukh dalam Hadits ialah:
علم يبحث فيو عن النا سخ و املنسو خ من االحا د يث“Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukh-kan dan yang
menasikhkan-nya.”9
Konsekuensi dari pengertian ini adalah bahwa menerangkan nas yang
mujmal, mentakhsiskan yang „am, dan mentaqyidkan yang mutlak tidaklah
dikatakan nasakh.
Adapun yang dimaksud dengan ilmu nasikh dan mansukh dalam hadits
adalah:
“Ilmu yang membahas hadits-hadits yang berlawanan yang tidak
memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi (yang berlawanan)
yang pada akhirnya terjadilah saling menghapus, dengan ketetapan bahwa
yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian
dinamakan nasikh.”10
Senada dengan ungkapan di atas nasikh adalah hadits yang datang lebih
akhir, menghapuskan ketentuan hukum yang terkandung dalam hadits yang
datang mendahuluinya.
Sedangkan nasikh wa al-mansukh adalah ilmu pengetahuan yang
membahas tentang hadits yang datang kemudian sebagai penghapus ketentuan
hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.11
_____________ 7 Muhammad Zaini, Ulumul Qur`an, Suatu Pengantar, Cet. I (Banda Aceh: Yayasan
Pena, 2005), 64. 8 Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar Study Ilmu Hadits, Terj Mifdhol Abdurrahman,
(Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005), 127 9 Teungku Muhammad Hasbi Ash–Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Hadits,
(Semarang:: Pustaka Rizki Putra, 2009), 121. 10
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, cet. III (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 37-38. 11
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 200
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 111
Demikian juga dapat dijelaskan bahwa apabila didapati sesuatu hadits
yang makbul, tidak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Jika
dilawan oleh hadits yang sederajat, tetapi mungkin dikumpulkan dengan tidak
sukar, maka hadits tersebut dinamai mukhtalif al-hadits. Jika tidak mungkin
dikumpulkan dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang kemudian itu
dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh. Nasikh itu terjadi pada
zaman Rasulullah Saw, terhadap sejumlah besar hukum, yang sebagian di
antaranya disebabkan oleh berangsurnya perubahan pola hidup manusia
meninggalkan pola hidup jahiliyah yang batil menuju pengamalan ajaran Islam
yang luhur.
Mengetahui hadits yang mengandung nasikh adalah salah satu ilmu yang
sangat penting dan tidak tertarik kepadanya kecuali para tokoh imam fiqh.
Al-Zuhri berkata, “Para fukaha telah mengerahkan segala tenaga dan
pikiran untuk mengetahui hadits Rasulullah Saw, yang berkedudukan sebagai
nasikh (yang menghapus) dan hadits yang berkedudukan sebagai mansukh (yang
dihapus).”
Imam „Ali pernah bertemu dengan seorang qadhi lalu bertanya, ”Apakah
kamu dapat membedakan antara hadits yang nasikh dan hadits yang mansukh?” Ia
menjawab. “Tidak”. Imam berkata, “Kamu celaka dan mencelakakan.”
Syarat-syarat dan Mekanisme Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qurán dan
Hadits
Para pendukung konsep nasikh menetapkan lima syarat bagi proses naskh
dalam al-Qur‟an,12
yaitu :
Pertama, hendaklah hukum yang terkandung dalam ayat nasikh dan ayat
mansukh saling bertentangan (ta`arud) sehingga tidak memungkinkan untuk
dikompromikan antara ke duanya (jam‟). Namun bila mungkin dikompromikan,
maka salah satu di antara kedua ayat tersebut tidak dapat me-nasikh yang lainnya.
Hal ini dapat terjadi karena dua sebab, (1) salah satu dalil bersifat umum („am)
dan yang satunya lagi bersifat khusus (khas), (2) masing-masing hukum memiliki
kondisi sendiri-sendiri yang tidak dipengaruhi oleh hukum lain.
Kedua, hendaklah hukum dari ayat yang mansukh sudah berlaku sebelum
digantikan oleh hukum ayat yang nasikh, dalam hal ini sebahagian berpendapat
suatu hukum boleh di naskh meskipun belum berlaku, untuk ini al-Suyuthi
memberikan contoh QS al-Mujadilah (58) : 13 yang kemudian di naskh dengan
ayat ke 1313
. Menurut Ibnu Jauzi, dua dalil naskh dapat dibedakan antara yang
pertama dan yang ke dua dengan dua cara, yaitu (1) dengan rasio (a`qli), dan (2)
melalui catatan kronologi sejarah 14
Ketiga, hukum yang di naskh haruslah hukum yang telah di tetapkan
dengan nash syar`i. Bila hukum sebelumnya ditetapkan dengan tradisi atau
kebiasaan, maka ketentuan yang datang berikutnya tidak disebut sebagai naskh
demikian menurut Ibnu Jauzi.15
Al-Suyuthi berpendapat bahwa tradisi dan
ketentuan umat-umat terdahulu juga dapat di naskh.16
_____________ 12
Abu al-Faraj „Abdurrahman Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an..., 27. 13
Muhammad Ibnu „Alawi al-Makki, Zubdah..., 173. 14
Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an..., 28. 15
Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an…, 28. 16
Al-Makki, Zubdah…, 173.
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 112
Keempat, dalil nasikh hendaknya juga merupakan dalil syar`i,
sebagaimana dalil yang mansukh.
Kelima, hendaklah antara dalil mansukh dan dalil nasikh minimal berada
pada level yang setara, atau dalil nasikh lebih tinggi derajatnya dari dalil mansukh,
sebagaimana tampak dari QS. al-Baqarah (2) : 106. Dalam pengertian ini, maka
hukum yang di tetapkan oleh ayat al-Qur‟an tidak boleh di naskh dengan sunnah
atau hadits, melainkan dengan ayat al-Qur‟an pula17
. Sebahagian berpendapat
boleh menjadi nasikh bagi ayat al-Qur‟an sunnah mutawatirah dan tidak boleh
dengan sunnah atau hadits „ahad‟, yang lainnya berpendapat boleh juga menjadi
nasikh bagi al-Qur‟an hadits ahad yang shahih mereka yang menjadikan sunnah
atau hadits sebagai nasikh bagi ayat al-Qur‟an berargumentasi bahwa
sesungguhnya perkataan dan ketetapan nabi juga berasal dari Allah sebagaimana
QS. al-Najm (53) : 3-4:
“dan tiadalah yang diucapkan (Muhammad) menurut kemauan nafsunya,
melainkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya).18
Di samping ke lima syarat ini, ada ketentuan esensial lainnya yang perlu
dipahami dalam proses naskh. Bahwa naskh hanya belaku pada ayat-ayat yang
secara jelas menunjukkan amr (perintah) dan nahy (larangan). Karenanya, ayat-
ayat khabariyyah tidak termasuk dalam kategori naskh sebab khabar (informasi)
bersifat pasti.19
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam nasikh paling
tidak diperlukan syarat- syarat berikut :
1. Hukum yang mansukh adalah hukum syara‟
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syara‟ yang datang lebih
belakangan dari kitab yang hukumnya mansukh
3. Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu.
Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut, dan yang demikian tidak dinamakan nasikh.
Menurut Abu Muslim al-Asfahani20
,bila dianggap bahwa di dalam al-
Qur‟an ada ayat yang telah di mansukh-kan hukumnya, berarti membatalkan
sebagian isinya. Membatalkan isi kandungan al-Qur‟an berarti menetapkan bahwa
di dalam al-Qur‟an ada yang batl (salah), hal ini bertentangan dengan firman
Allah QS. Fushshilat (41): 42, “Tiada datang kepadanya al-Qur‟an) kebatilan baik
dari depan maupun belakangnya, karena (al-Qur‟an) diturunkan dari sisi Tuhan
yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.”
Al-Qur‟an adalah syariat yang diabadikan hingga akhir zaman dan
menjadi hujjah bagi manusia sepanjang masa. Oleh karenanya, tidak patut di
dalamnya terdapat ayat-ayat yang mansukh. Dalam konteks sunnah naskh bisa
terjadi karena sunnah merupakan syariat yang sebagiannya didatangkan untuk
kepentingan sementara saja, maka kemudian di naskh dengan sunnah yang datang
kemudian. Namun tidak demikian halnya dengan al-Qur‟an, apalagi sebagian
_____________ 17
Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an…, 29. 18
Al-Makki, Zubdah…, 172-173. 19
Al-Makki, Zubdah…, 173. 20
Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir..., 109-110.
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 113
besar kandungan al-Qur‟an bersifat kuliyyah, bukan juz`i atau khas. Hukum-
hukum di dalam al-Qur‟an diterangkan secara ijmali, bukan secara tafhsili.
Menurut Hasbi, beberapa ahli telah mengemukakan beberapa alasan yang
menguatkan pendapat Abu Muslim QS. al-Baqarah (2) : 106, tiada pasti
menunjukkan kepada nasikh ayat al-Qur‟an, karena kata “ayat” dalam teks
tersebut ketentuan agama-agama terdahulu yang telah di nasikh oleh syariat nabi
Muhammad Saw. Makna nasikh di sini juga dapat berarti memindahkan ayat-ayat
tersebut dari lauh al-mahfudh kepada nabi Saw, kemudian ditulis dalam lembaran-
lembaran mushaf.
Bila melihat redaksi ayat tersebut, maka bila dimaknakan nasikh berarti
mengangkat hukum, maka hal tersebut hanya menyatakan kemungkinan dan
kekuasaan Allah untuk melakukan nasikh, dan bukan menyatakan bahwa telah
terjadi nasikh dalam al-Qur‟an.
Golongan yang mengusung konsep nasikh menetapkan bahwa nasikh
terjadi pada ayat-ayat yang hukum-hukum pokoknya tidak mungkin dikompromi-
kan dan tidak dapat di tafsirkan. Pada hal, tidak ada ayat al-Qur‟an yang tidak
dapat di tafsirkan.21
Kerancuan nasikh ini tampak jelas dari ketidak-sepahaman mereka dalam
menetapkan jumlah ayat-ayat al-Qur‟an yang mengalami proses nasikh. Al-
Nuhhas menyisakan 100 lebih ayat yang tidak dapat ditafsirkannya, sehingga
dianggap mansukh. Jauh di-belakangnya, al-Suyuthi mampu menyesuaikan
sebahagian besar ayat-ayat tersebut hingga hanya tersisa 20 ayat saja yang di
anggap mansukh. Kemudian al-Syawkani menilai hanya tersisa 8 saja ayat yang
mansukh, karena dia berhasil mengkompromikan dan menafsirkan 12 ayat
lainnya. Ketika al-Khudari berhasil menyesuaikan ke 20 ayat yang mansukh
menurut al-Suyuthi, gugurlah konsepsi nasikh tersebut.22
Ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadits bila ada dua Hadits Makbul
yang tanakudh tidak dapat dikompromikan atau di jam‟. Bila dapat dikompromi-
kan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif al-Hadits, kedua Hadits Makbul
tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa di jama‟ (dikompromikan), maka Hadits
makbul yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh.
Bila diketahui mana di antara kedua Hadits yang diwurudkan dahulu dan
yang diwurudkan kemudian, maka wurud kemudian (terakhir) itulah yang
diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Dalam penyebutannya, yang
belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh.
Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetahui
nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah Saw sendiri, keterangan sahabat dan dari
tarikh datangnya matan yang dimaksud.23
Selanjutnya ilmu ini disebut juga ilmu Mukhtalif al-Hadits. Bila dua hadits
makbul yang lahir maknanya bertentangan dapat dijama‟ atau dikompromikan,
maka kedua Hadits tersebut diamalkan.
Cara talfiq al-hadits antara lain dengan men-takhsis makna hadits yang
umum, mentaqyidkan hadits yang mutlak.
_____________ 21
Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah..., 114. 22
Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah..., 120 23
Endang Soetari AD, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, Cet. IV, (Yogyakarta:
Mimbar Pustaka, 2005), 213.
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 114
Para ulama banyak yang menaruh perhatian yang khusus dalam ilmu ini.
Imam Syafi‟i adalah termasuk ulama yang mempunyai keahlian dalam ilmu
Nasikh wa al-Mansukh. Hal itu kita ketahui berdasarkan wawancara Imam Ahmad
dengan Ibnu Warih yang baru saja datang dari Mesir. Kata Imam Ahmad:
“Apakah telah kamu kutip tulisan-tulisan Imam Syafi‟i?” “Tidak”, jawabnya.
“Celakalah kamu”, bentak Imam Ahmad, “kamu tidak dapat mengetahui dengan
sempurna tentang mujmal dan mufassal serta nasikh dan mansukhnya suatu hadits
sebelum kita semua ini duduk dengan Imam Syafi‟i.”
Sayyidina „Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang qadhi,
lalu ditanyalah sang qadhi itu. “Apakah kamu mengenal nasikh dan mansukhnya
suatu hadits?” “Tidak”, jawab qadli itu. “Celakalah dirimu dan membuat pula
celaka orang lain”, bentaknya.24
Bahkan menurut al-Zuhry, ilmu inilah yang paling banyak menguras
energi para ulama dan fukaha. Hal ini karena tingkat kesulitannya yang tinggi,
terutama dalam melakukan istinbat hukumnya dari nas yang samar-samar.
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ini bisa melalui beberapa cara:
1. Dengan penjelasan dari nash atau syari‟ sendiri, yang dalam hal ini ialah Rasul
Saw.
2. Dengan penjelasan dari para sahabat
3. Dengan mengetahui tarikh keluarnya hadits serta sabab wurud hadits. Dengan
demikian akan diketahui mana yang datang lebih dulu dan mana yang datang
kemudian.25
.
Bidang kajian ilmu nasikh-mansukh ini termasuk kebutuhan utama bagi
para ahli fiqh dan ijtihad. Sungguh salah besar dan akan menemukan kesulitan
yang tinggi orang yang jiwanya terdorong untuk berfatwa dengan hadits sesuai
dengan anggapan tanpa mengetahui ilmu ini, terlebih lagi menguasai syarat-syarat
yang lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, ia berkata: Hudzaifah26
pernah ditanya oleh
seorang tentang sesuatu, maka ia menjawab, “Orang yang memberi fatwa itu ada
tiga macam, yaitu orang yang mengetahui nasikh dan mansukh;- Orang-orang
bertanya, “Siapakah orang yang demikian itu?” Ia menjawab, „Umar‟ – dan orang
yang menjadi sultan yang karena jabatannya ia harus memberikan fatwa.
PEMBAGIAN ANTARA NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURÁN
DAN HADITS
Secara umum, nasikh itu terbagi kepada empat bagian: pertama, nasikh al-
Qur‟an dengan al-Qur‟an : bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi
dalam pandangan para ulama yang mengatakan adanya nasikh. Misalnya ayat
tentang pengharaman khamar yang turun sebanyak tiga tahap. Kedua, nasikh al-
Qur‟an dengan sunnah: sebagian ulama berbeda pendapat karena hanya boleh
menggunakan hadits yang martabatnya mutawatir, sedangkan berstatus ahad tidak
boleh karena al-Qur‟an itu mutawatir dan menunjukkan yakin. Ketiga, nasikh
sunnah dengan al-Qur‟an: bagian ini dibolehkan oleh jumhur, namun menurut
Imam al-Syafi`i tidak dibolehkan. Keempat, nasikh sunnah dengan sunnah :
bagian ini dikategorikan kepada empat bentuk yaitu :
_____________ 24
Fatchur Rahman, Ikhtisar..., 333 25
Munzier Suparta, Ilmu hadits..., 38 26
Munzier Suparta, Ilmu hadits…, 39
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 115
1. Nasikh Mutawatir dengan mutawatir
2. Nasikh ahad dengan ahad
3. Nasikh ahad dengan mutawatir
4. Nasikh mutawatir dengan ahad27
Menurut kitab-kitab ulumul Qur`an, ayat-ayat al-Qur‟an yang mansukh
ada tiga macam:
Pertama, ayat yang mansukh rasm (tulisannya) dan hukumnya. Dalam
konteks ini, Ibnu Jauzi meriwayatkan dengan sanad yang agak panjang hingga
Abu Umamah bin Sahl bin Hanif bahwa ada sekelompok sahabat nabi Saw yang
memberi tahu dia tentang seorang laki-laki di antara mereka yang tidak tidur pada
tengah malam. Laki-laki tersebut bermaksud untuk membuka catatan sebuah
surah yang sebelumnya telah di hafal. Ternyata dia mempunyai rasm surah
tersebut kecuali hanya tulisan “bismillahirrahmannirrahim” maka, keesokan
paginya dia datang ke rumah nabi Saw guna menanyakan hal tersebut ternyata di
sana juga ada beberapa orang lainnya yang memiliki pengalaman yang sama,
yaitu tentang surah yang rasm-nya hilang. Setelah nabi Saw menerima mereka,
mereka pun memberi tahukan pengalaman tersebut dan menanyakan tentang
keberadaan surah tersebut. Rasulullah diam sejenak dan tidak berkata sepatah kata
pun. Setelah itu baru beliau bersabda: “tadi malam surah tersebut telah dinasakh.
Maka hafalan surah itu pun dinasakh dari dada kalian dan juga dari benda apapun
yang mengabadikan rasm surah tersebut.” Dan banyak riwayat lainnya tentang hal
yang serupa.
Kedua, ayat yang mansukh rasm-nya, namun hukumnya tetap ada. Dalam
konteks ini, al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam
kitab hadits mereka masing-masing tentang pernyataan Umar bin Khathab tentang
hukum rajam terhadap muhsan dan muhsanah yang berzina, bahwa rasm-nya
telah diangkat namun hukumnya tetap. Juga terdapat riwayat-riwayat lainnya
tentang jenis mansukh ini.
Ketiga, ayat yang mansukh hukumnya, namun rasm-nya masih tetap
ada.28
Kategori naskh inilah yang lazim dibicarakan dan dibahas oleh para ulama
dan ditetapkan kaidah-kaidahnya.
Urgensi Mengetahui Nasikh dan Mansukh dalam al-Qurán dan Hadits
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat
yang cukup besar bagi para ahli ilmu, terutama bagi mufassir, fukaha, dan ahli
ushul. Tujuannya agar pengetahuan mereka tentang hukum tidak menjadi kacau
dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak atsar (perkataan sahabat maupun
tabi`in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Diriwayatkan, Sayyidina Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu
bertanya: “apakah kamu mengetahui mana yang mansukh? Hakim itu menjawab,
tidak. Maka Ali berkata: celakalah kamu dan mencelakakan orang lain.”
Pentingnya mengetahui masalah nasikh dan mansukh secara tegas
diungkapkan beberapa ulama, seperti yang dinyatakan dalam buku Al-Itqan Fi
Ulumi al-Qur‟an karangan imam Suyuthi:
_____________ 27
Manna‟ Khalil al-Qaththan, Mabahis Fi „Ulum al-Qur‟an, Terj, Mudzakir AS dengan
Judul Studi Ilmu-ilmu Qur`an, Cet. 6 (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2001), hal. 334-335 28
Ibnu Jauzi, Nawasikh al-Qur`an...., 39-46
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 116
Berkata para imam: „tidak boleh bagi seseorang menafsirkan kitab Allah
kecuali mengetahui tentang nasakh dan mansukh‟.
Selanjutnya al-Zarqani juga mengungkapkan bahwa mengetahui nasikh
dan mansukh adalah rukun yang pokok untuk mengetahui Islam dan juga sebagai
petunjuk akan kebenaran suatu hukum.29
Begitu urgennya masalah nasikh dan
mansukh, maka para ulama mujtahid telah membahas secara spesifik dan
mendalam di berbagai kitab klasik dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an, ilmu-ilmu
hadits dan ilmu ushul fiqh. Salah satu sebab yang menggerakkan para ulama
begitu tertarik mempelajari nasikh dan mansukh dikarenakan adanya firman Allah
Swt pada surat al-Baqarah ayat 106.
Berdasarkan dalil ayat al-Qur‟an di atas, para ulama berprinsip bahwa al-
Qur‟an sendiri telah melegalisasikan keberadaan nasikh al-Qur‟an dengan al-
Qur‟an. Ulama yang berpendapat demikian di antaranya adalah Imam Syafi`i30
dan Ibnu Hazm. Imam Syafi`i berpendapat bahwa;
“Sesungguhnya masalah nasikh itu adalah nasikh ayat al-Qur‟an dengan
ayat al-Qur‟an sedangkan sunnah tidak bisa menasikh-kan ayat al-Qur‟an, sunnah
berfungsi mengikut kitabullah atau menafsirkan makna yang kurang jelas.”
Penjelasan Imam Syafi`i ini menunjukkan suatu pemahaman bahwa beliau
hanya membolehkan nasikh kitab dengan kitab. Maksud kitab di sini adalah al-
Qur‟an, dan ia tidak membenarkan nasikh kitab dengan sunnah. Berbeda dengan
Imam Syafi`i, salah seorang ulama mujtahid dari mazhab Dzahiri, bernama Ibn
Hazm31
, berpendapat bahwa nasikh al-Qur‟an dengan sunnah diperbolehkan,
contohnya ayat 15 dari surat al-Nisa;
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaklah ada
empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila
mereka Telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu)
dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan
lain kepadanya.” (QS Al-Nisa : 15).
Ayat di atas di nasikhkan oleh Sunnah:
“Yahya bin Yahya Attamimi menceritakan kepada kami, Hisyam mengkhabarkan
dari Manshur, dari Hasan, dari Hathan bin Abdullah, dari Ubadat bin Shamat
berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Ambillah dariku, ambillah dariku
sesungguhnya Allah telah menjadikan kepada mereka (wanita-wanita yang
melakukan perbuatan keji) jalan. Gadis dengan pria (yang belum pernah nikah)
hendaklah dijilid seratus kali dan diasingkan (buang negeri) dan kepada yang
sudah kawin hendaklah dijilid seratus kali dan di rajam”. (HR. Muslim).
Argumentasi Ibn Hazm tentang diperbolehkan menasikh-kan al-Qur‟an
dengan Sunnah adalah didasarkan ayat 3-4 surah Al-Najm:
_____________ 29
Muhammad bin Idris al-Syafi`i, Al-Risalah (Bairut : Daru al Fikr, tth), 106 30
Abu Muhammad „Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm, Al-Ihkam Fi Ushul al Ahkam, Juz. IV
(Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah tth), 235. 31
Abu Muhammad „Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm . . ., 519
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 117
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya),” (QS An-Najm : 3-4)
Menurut Ibn Hazm sabda Rasulullah adalah wahyu dari Allah, al-Qur‟an
juga wahyu, oleh sebab itu tiada halangan untuk menasikh-kan wahyu dengan
wahyu32
. Keterangan di atas dapat dikatakan bahwa telah terjadi perbedaan
pendapat di antara Imam Syafi`i dengan Ibnu Hazm dalam masalah nasikh dan
mansukh. Yang pertama tidak membenarkan adanya nasikh al-Qur‟an dengan
Sunnah dan yang terakhir sebaliknya, dengan alasan yang jauh berbeda. Hal ini
mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum atas
suatu peristiwa yang sama. Secara sederhana barangkali bisa dikatakan bahwa
Imam Syafi`i tampak lebih moderat dan rasional jika dibandingkan dengan Ibn
Hazm. Hal ini dapat dilihat dari landasan berfikir yang digunakan oleh kedua
Imam tersebut.
Contoh Ayat-ayat yang Dinasikh dan Hadits-hadits yang dimansukh
Al-Suyuthi menyebut dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat yang
dipandangnya sebagai ayat-ayat mansukh. Di antaranya ialah33
.
Ayat Tentang Qiblat
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui,” (QS al-Baqarah: 115).
Ayat tersebut di atas telah di nasakh oleh ayat berikut:
“Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS al-Baqarah : 144).
Ayat Tentang Wasiat
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya..........” (QS al-Baqarah: 180)
_____________ 32
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an (Mizan, Bandung, 1994) 146. 33
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan Fi „Ulumul Al-Qur‟an, Juz II (Bairut: Dar al-Fikr, t.th.),
20-21.
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 118
Ayat di atas mansukh oleh ayat-ayat tentang kewarisan dan oleh hadits yang
artinya: “sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Ayat Tentang Puasa
…
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah”......(QS al-Baqarah: 184).
Ayat ini telah di nasikh-kan oleh ayat:
“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia
berpuasa”.....(QS al-Baqarah : 185).
Hal ini berdasarkan keterangan dalam kitab Shahih Bukhari dan
Muslim, bersumber dari Salamah Ibn Akwa: “ketika turun surat al-Baqarah:
184, maka orang yang ingin tidak berpuasa, mereka berencana membayar
fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya yang menasikh-kannya.
Ayat tentang Berperang
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar,” (QS al-Baqarah :217).
Ayat ini telah di nasakh oleh ayat 36, al-Taubah:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
memerangi kamu semuan,” ( Al-Taubah; 36).
a. Ayat Tentang `iddah
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)”. (QS
al-Baqarah : 240)
Ayat ini telah di nasikhkan oleh ayat :
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. (QS al-Baqarah: 234).
Hadits Nasakh dapat diketahui melalui beberapa hal sebagai berikut.
a. Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah Saw; seperti hadits :
هنيتكم عن ز يا رة ا لقبور وىا“Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, namun (sekarang)
berziarahlah”. (HR. al-Tirmidzi)
b. Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadits Jabir bin Abdullah r.a.,
ia berkata.
ا مس الناركان اجر اال مرين من رسو ل اهلل صلى اهلل عليو وسلم تر ك الو ضوء مم
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 119
“Dua perintah terakhir Rasulullah saw, adalah tidak perlu berwudhuk‟
karena memakan makanan yang tersentuh api.” (HR. Abu Daud dan al-
Nasa‟i)
c. Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin Aus dan lainnya yang
menjelaskan bahwa Rasulullah Saw bersabda :
افطر احلاجم واحلجوم“Orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya”.
(HR. al-Tirmidzi)34
Dan hadits Ibnu Abbas r.a., ia berkata:
ان النيب صلى اهلل عليو وسلم احتجم وىو صاءم“Sesungguhnya Rasulullah Saw berbekam, padahal beliau sedang berpuasa”.
(HR. Muslim)35
Al-Imam al-Muthathalibi Muhammad bin idris al-Syafi‟i menjelaskan
bahwa hadits yang kedua merupakan nasikh terhadap hadits yang pertama.
Buktinya cukup unik. Yakni diriwayatkan kepadanya bahwa Syidad pada masa-
masa penaklukan kota Makkah bersama Rasulullah Saw. Ketika Rasul melihat
seseorang berbekam pada siang hari bulan Ramadhan, maka beliau berkata :
افطر احلاجم واحملجوم )رواه الرتميذ(Dan diriwayatkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas berkata:
انو صلى اهلل عليو وسلم احتجم وىو حمرم صِاءم“Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berbekam, padahal beliau sedang berihram dan
berpuasa” 36
) HR. Muslim)
Dengan demikian, jelas bahwa hadits yang pertama (hadits Syidad) itu
terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun delapan Hijri
dan hadits kedua (hadits ibnu Abbas) terjadi pada waktu Haji Wada‟, yaitu pada
tahun sepuluh Hijri. Jadi, hadits yang kedua merupakan nasikh bagi hadits yang
pertama.
Implikasi dan Kitab-kitab yang membahas hadits Nasikh dan Mansukh
Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh itu sudah ada sejak pendewanan
hadits pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu
yang berdiri sendiri. Kelahirannya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin
Di‟amah As-Sudusy dengan tulisan beliau yang diberi judul “An-Nasikh wa al-
Mansukh”.
“Pada tahun-tahun yang berada di antara abad kedua dan ketiga, bangunlah
ulama-ulama untuk menulis kitab Nasikh wa al-Mansukh. Di antara sekian banyak
kitab nasikh yang masyhur di abad ini ialah kitab Nasikh al-Hadits wa
mansukhuhu”, buah karya al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-
Atsram, rekan Imam Ahmad. Kitab yang terdiri dari 3 juz kecil-kecil itu juz
ketiganya didapatkan di Daru‟l-Kutubi‟l-Mishriyah.37
Dalam hal ini dapat dilihat karya-karya yang disusun sebagian ulama
tentang nasikh dan mansukh dalam hadits, di antaranya :
_____________ 34
Nuruddin, Ulum Al-Hadits 2, cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), 111-113 35
Nuruddin, Ulum Al-Hadits..., 114 36
Nuruddin, Ulum Al-Hadits..., 111-113 37
Fatchur Rahman, Ikhtisar..., 333.
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 120
1. An-Nasikh wa al-Mansukh, karya Qatadah bin Di‟amah al-Sadusi, namun
tidak sampai ke tangan kita.
2. Nasikh al-Hadits wa Mansukhihi, karya al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad al-Atdram, sahabat Imam Ahmad.
3. Nasikh al-Hadits wa Mansukh, karya ahli hadits Iraq, Abu Hafsh Umar
Ahmad Al-Baghdady, dikenal dengan sebutan Ibnu Syahin.
4. Al-I‟tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karya Imam al-Hafidh
An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi al-Hamadani.
5. An-Nasikh wa al-mansukh, karya Abdul Faraj Abdurrahman bin Ali, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Ibnu al-Jauzi.38
Selain ulama-ulama yang menyusun kitab nasikh dan mansukh yang
dikemukakan di atas. Banyak ahli yang menyusun kitab-kitab nasikh dan mansukh
ini, sebagai perintis adalah al-Syafi‟i, kemudian dilanjutkan antaranya Ahmad ibn
Ishaq al-Dinary, Muhammad ibn Bahar al-Ashbahany, Ahmad ibn Muhammad al-
Nahas. Kemudian sesudah itu muncullah Muhammad ibn Musa al-Hazimy
menyusun kitabnya yang dinamai al-I‟tibar. Kitab ini mudah diperoleh. Kitab al-
I‟tibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abd al-Haqq.39
Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa; Kitab “Nasikh al-Hadits wa
Mansukhuhu” karya muhaddits „Iraq, Abu Hafshin bin Ahmad al-Bagdady, yang
lebih populer dengan nama kunyahnya Ibnu Syahin adalah kitab nasikh dan
mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita manfaatkan. Kitab itu terdiri
dari dua buah naskah tulisan tangan (manuskrip). Yang sebuah berada di
Perpustkaan Ahliyah (nasional) di Paris dan yang sebuah lagi disimpan di
Perpustakaan Escorial (Spanyol).
Kemudian setelah itu keluarlah kitab “al-I‟tibar fi-Nasikh wa‟l-Mansukh
mian‟l-Atsar”, karya al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimy.40
Beliau memanfaatkan usaha ulama-ulama yang terdahulu dalam ilmu ini,
sehingga kitab yang disusunnya sudah mencakup seluruh buah pikiran ulama-
ulama itu. Sistematikanya diatur menurut bab-bab fiqhiyah. Pada setiap bab
fiqiyah dikemukakan hadits-hadits yang nampaknya berlawanan itu dengan tidak
mengabaikan pendapat-pendapat dari para ulama dan sekaligus nasikh dan
mansukhnya. Tidak sedikit pula kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam
merajihkan suatu pendapat atas pendapat yang lain. Pada tahun 1319 H, kitab itu
dicetak di India, kemudian pada tahun 1346 H, dicetak di Kairo dan pada tahun
yang sama dicetak di Halab dengan tahqiq Syaikh Rahib al-Thabakhy al-Halaby.
KESIMPULAN
Dari keseluruhan uraian dan pembahasan di atas ini dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi nasikh. Para ulama
mutaqaddimin memperluas arti nasikh sehingga mencakup: pembatalan
hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang tetapkan kemudian;
pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus
yang datang kemudian; penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum
_____________ 38
Syaikh Manna‟ Al-Qaththan, Pengantar..., 129 39
Teungku Muhammad Hasbi ash – Shiddieqy, Ilmu Hadits,..., 121 40
Teungku Muhammad Hasbi ash – Shiddieqy, Ilmu Hadits,..., 123
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 121
yang bersifat samar; penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum
bersyarat.
2. Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan
hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh
apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti
misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di
saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di nasikh oleh perintah atau izin
berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan, bahwa
ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa
pra-Islam merupakan bagian dari pengertian nasikh.
3. Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang
kemudian (muta`akhirin). Menurut mereka nasikh terbatas pada ketentuan
hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu,
sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Keberadaan nasikh dalam al-Qur‟an memang dilegitimasi oleh ayat al-Qur‟an
itu sendiri (umpamanya lihat QS al-Baqarah: 106). Hikmah nasikh dalam al-
Qur‟an antara lain adalah untuk memelihara kepentingan hamba memelihara
perkembangan tasyri` menuju tingkat yang sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah Islam, dan untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an
seseorang mufassir (ulama) harus menguasai ilmu nasikh dan mansukh agar
penafsirannya terarah dan tidak menyimpang.
4. Para pendukung nasikh mengakui bahwa nasikh baru dilakukan apabila, (a)
terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat
dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan
turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai
mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh41
.
5. Secara umum para ulama dapat dikatakan bahwa mereka semua sependapat
menyatakan yang dapat me-nasakh al-Qur‟an hanyalah wahyu-wahyu ilahi
yang bersifat mutawatir. Demikian juga dipandang sebagai ayat-ayat
mansukh di antaranya ialah: ayat-ayat tentang kiblat, wasiat, puasa,
berperang, dan ayat tentang `iddah.
6. Nasikh wa al-Mansukh adalah Ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling
berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi
hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh (penghapus)
terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai
mansukh (yang dihapus). Karena itu hadits yang mendahului adalah sebagai
mansukh dan hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh.
7. Nasikh dapat diketahui melalui beberapa hal;
a. Hadits Rasulullah Saw dalam terjemahannya; Semula aku melarangmu
untuk berziarah ke kubur, namun (sekarang) berziarahlah.
b. Hadits Syidad bin Aus bahwa Rasulullah Saw, bersabda dalam artinya :
orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya.
(mansukh) Hadits Ibnu Abbas, r.a, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah
Saw berbekam, padahal beliau sedang berpuasa (nasikh)
_____________ 41
Quraish Shihab‟ Membumikan Al-Qur‟an…, 146
Nurdinah Muhammad: Studi Komparatif Nasikh dan Mansukh … 122
8. Kegunaan dan pentingnya ilmu Nasikh wal-Mansukh adalah kewajiban bagi
orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat, karena seseorang
pembahas ilmu syari‟at tidak akan dapat mengambil hukum dari dalil-dalil
nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa mengetahui dalil-dalil nash yang
sudah dinasakhkan dan dalil-dalil yang menasakhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Faraj „Abdurrahman Ibnu Jauzih Cet. II, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Abu al-Fajar „Abdurrahman Ibnu Jauzi, Nawasikhu-l-Qur‟an al-Nasikh wa al-
Mansukh, Alih Bahasa: Wawan Djunaedi Soffandi, Nasikh Mansukh
ayat-ayat Al-Quir‟an yang di hapus, Jakarta: Pustaka Azzam,2002.
Abu Muhammad Ali Ibnu Ahmad Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Usul al ahkam, Juz.IV,
Beirut: Dar al-Kuttub al-Ilmiyyah, tth.
Al-Makki, Muhammad Ibnu „Alawi, Zubdah al-itqan fi „Ulumil Qur‟an, Alih
Bahasa: Tarnama Abdul Qasim, Samudra Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an
Ringkasan Kitab al-Itqan fi Ulum al-Qur‟an, Cet. I, Bandung: Arasy,
2003.
Al-Qaththam, Ma‟na Khalil, Mabahis, Fi Ulum Al-Qur‟an, Terj‟: Mudzakir AS
dengan Judul Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, Cet 6, Jakarta, Litera Antar Nusa,
2001.
Al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqam Fi „ulum al-Qur‟an, Juz II, Beirut: Dar al Fikr,
tth.
Al-Syafi‟i, Muhammad bin Idris, Al-Risalah, Beirut: Dar al Fikr, tth.
Ash-Shiddiqi, Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir,
Cet. 15, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
-----, Sejarah dan Pengantar Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Al-Qur‟anul Karim
Al-Qaththan, Syaikh Manna‟, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Terj; Mifdhol
Abdurrahman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2005.
Al-Zarqani, Manhil al-Irfan fi‟ulum Al-Qur‟an Al-Qur‟an, Juz I, Kairo: Isa al-babi
al-Halabi, tth.
Al-Zarksyi Baddru-l-Din, Muhammad bin „Abdullah, Al-Burhan fi „ulumi-l-
Qur‟an.juzz.II, Beirut: Daru-l-Kitab al-„Ilmiyyyah,1988.
Al-Mu‘ashirah Vol. 8, No. 2, juli 2011 123
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadits, Jakarta, Bumi Aksara, 2002
Nasir Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas Dirasah fi „Ulumi-l-Qur‟an, Alih Bahasa:
Khoirun Nahdiyin, Tekstualitas Al-Qur‟an Kritik terhadap „Ulumul-
Qur‟an, Cet. II, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Nuruddin, Ilmu Al-Hadits 2, cet. I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahu‟l Hadits, Bandung: PT. Alma‟arif, cet. I,
1974.
Shihab, Quraish “Membumikan Al-Qur‟an, Bandung: Mi„zan, 1994.
Soetari, Endang, AD, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah, Yogyakarta:
Mimbar Pustaka, cet. IV, 2005.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, cet.III, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Zaini, Muhammad, Ulumul Qur‟an, Suatu Pengantar, cet. I, Banda Aceh:
Yayasan Pena,2005.
top related