strategi perikanan lampung
Post on 07-Dec-2015
48 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN
TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA (STUDI KASUS DI TELUK LAMPUNG)
TRI HARIYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Strategi Integrasi
Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di
Teluk Lampung) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2009
Tri Hariyanto NRP C561030204
ABSTRACT TRI HARIYANTO. 2009. Integrating Strategy on Development of Capture Fisheries and Aquaculture (Case Study in Lampung Bay). Under supervision of MULYONO S. BASKORO, JOHN HALUAN, BUDHI HASCARYO ISKANDAR The objectives of this study were to asses the feasibility and development strategy for capture fisheries based on marine culture and described as follows: (1) to identify and formulate selection methods for potencial commodities for capture fisheries base on marine culture as well as financial feasibility, (2) to determinate development priority, (3) to arrange the development strategy and empowerment technique of institution in capture fisheries based on marine culture, and (4) to formulate an alternative development model for capture fisheries based on decisión support system (DSS). Development system was designed in decision support system based on computer program package called as CAP-AQUADEV. Potency of fish resources was carried out using descriptive survey method. Compatible land was carried out by weighted Selection of priority potencial commodity and determination of ideal fishing gear were performed using OWA method. Criteria applied to find out feasibility level were NPV, Net B/C, and IRR. Strategy análysis performed using AHP method. Analysis of element interrelationship using ISM method. Verification of the DSS CAP-AQUADEV in South Lampung Province showed that South Lampung Province, in term of marine fish resources was declining. Ideal fishing gear was fish trap. Potential commodity for capture fisheries based on marine culture was snapper. In term of financial perspective, those marine culture was suitable for condition and potency of development area and feasible to be implemented. Strategic analysis informed that development of capture fisheries based on marine culture was optimization the use of fish resources and marine culture. Determinative factors in development of capture fisheries based on marine culture were information about marine culture activity, infrastructure which support development of capture fisheries based on marine culture, and interrelationship. Meanwhile, the objective of capture fisheries based on marine culture development should be directed to increase fish production, local goverment income, and increase economic growth. The key elements of the players in development capture fisheries based on marine culture were fisherman of capture fisheries, fisherman of marine culture, and society. Bureaucracy amenity was the key elements of program requirement. Investment fund was the key elements for development constrain. The measure of the achievement was increasing amount and income of marine culture fisherman. Increasing investment was the key element of development program. Activities needed for action plan was coordination among sectors. Increasing fisherman income was key element of development succes. The key elements of change program was increasing income of marine culture fisherman. Fisherman of capture fisheries and marine culture were the key element of consumer elements. Keywords: capture fisheries, marine culture, ideal fishing gear, potential
commodity, feasibility, strategy, interrelationship, CAP-AQUADEV
RINGKASAN TRI HARIYANTO. 2009. Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung). Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO, JOHN HALUAN DAN BUDHI HASCARYO ISKANDAR.
Prospek pengembangan perikanan di Indonesia cukup baik, mengingat sebagian besar wilayah Indonesia didominasi oleh laut dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya. Produksi perikanan laut dari hasil penangkapan tidak mungkin terus menerus diandalkan, mengingat makin menurunnya kualitas sumber daya alam (SDA). Upaya lain yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan produksi perikanan laut yaitu melalui kegiatan usaha budidaya. Oleh sebab itu, sosok integrasi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang hendak diwujudkan adalah sistem usaha perikanan tangkap dan budidaya yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan. Secara khusus tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: (1) menganalisis potensi SDI, (2) menganalisis kesesuaian lahan pada wilayah pengembangan, (3) menganalisis teknologi penangkapan ikan yang ideal, (4) mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial, serta kelayakan usahanya, (5) menyusun prioritas pengembangan, (6) menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan, dan (7) mengembangkan model pengembangan perikanan tangkap berbasis Sistem Penunjang Keputusan (SPK).
Sistem pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budiaya yang terintergasi dirancang dalam statu program komputer dengan nama CAP-AQUADEV. Sub model potensi SDI dilakukan secara survei deskriptif, sub model kesesuaian lahan dilakukan dengan analisis kesesuaian lahan, sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan dan komoditas potensial dirumuskan dengan ordered weighted averaging (OWA), sub model kelayakan dirumuskan dengan kriteria net present value (NPV), net benefit cost ratio (Net B/C), dan internal rate of return (IRR), sub model strategi dirumuskan dengan metode analytical hierarchy process (AHP), dan sub model kelembagaan dirumuskan dengan metode interpretative structural modelling (ISM).
Berdasarkan verifikasi model CAP-AQUADEV di Lampung Selatan, sub model potensi SDI menunjukkan adanya peningkatan trend Catch Per Unit Effort (CPUE).
Berdasarkan analisis pada sub model kesesuaian lahan diketahui bahwa pada dasarnya lahan perairan yang ada menunjukkan punya potensi untuk dikembangkan dan layak untuk kegiatan budidaya ikan
Berdasarkan analisis pada sub model pemilihan diketahui bahwa teknologi penangkapan ikan yang ideal untuk dikembangkan di Lampung Selatan adalah alat tangkap bubu, sedangkan komoditas potensial terpilih adalah ikan kerapu.
Berdasarkan analisis strategi (sub model strategi) diketahui bahwa pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya diprioritaskan untuk optimalisasi dalam pemanfaatan potensi SDI dan budidaya laut. Pada analisis ini diketahui pula bahwa faktor determinatif dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya yaitu informasi mengenai kegiatan budidaya laut, sarana dan prasarana yang menunjang pengembangan perikanan budidaya laut,
dan kelembagaan. Sedangkan tujuan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya harus diarahkan pada peningkatan produksi ikan, peningkatan pendapatan daerah, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Pada analisis keterkaitan antar elemen dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya (sub model kelembagaan) diketahui bahwa pelaku yang memiliki peran sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong pengembangan adalah nelayan, pembudidaya, dan masyarakat. Kemudahan birokrasi merupakan unsur kunci dari unsur kebutuhan yang harus terpenuhi untuk mendorong perkembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Untuk pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan unsur kunci adalah peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya. Aktivitas kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan adalah koordinasi antar sektor. Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dalam keberhasilan pengembangan. Tujuan kunci dari program pengembangan adalah peningkatan investasi. Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dari elemen perubahan. Keterbatasan modal merupakan unsur kunci dari kendala pengembangan yang harus diatasi. Nelayan dan pembudidaya merupakan unsur kunci dari unsur pengguna.
Model konseptual dalam sistem pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya ini dapat digunakan sebagai acuan pertimbangan kebijakan bagi para pengambil keputusan baik dilingkungan pemerintah daerah maupun pelaku usaha untuk mengembangkan perikanan tangkap berbasis budidaya. Keluaran hasil penelitian ini diharapkan akan mempermudah tahapan proses pengambilan keputusan secara transparan dan mudah ditelusuri sistematika ilmiahnya, khususnya untuk membuat prioritas pilihan kebijakan dalam menentukan teknologi penangkapan ikan dan komoditas potensial daerah serta strategi pengembangannya, determinasi elemen penting dalam pengembangan, serta membuat analisis kelayakan dan resiko usaha terkait. Selain itu, metodologi dan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya.
Kata kunci : perikanan tangkap, perikanan budidaya, alat penangkapan ikan,
komoditas potensial, kelayakan, strategi, integrasi, CAP-AQUADEV
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA
(STUDI KASUS DI TELUK LAMPUNG)
TRI HARIYANTO
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi : Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan
Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung ) Nama : Tri Hariyanto NIM : C 561030204
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Budhi H. Iskandar, M.Si. Anggota
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Anggota
Mengetahui
Program Studi Teknologi Kelautan, Ketua
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian : 28 Desember 2009 Tanggal Lulus :
Disertasi ini kami persembahkan kepada : Kedua orang tuaku Drs Aris Moenandar dan Sih Kasanah (Alm)
yang telah mendidik, membimbing dan membesarkan serta menyayangi kami Kedua mertua tercinta Soekro Poerwodipoero (Alm) dan Buntarijah Soekro
Isteri tercinta : Rr Rita Kunsidiarti, anak-anakku tersayang : Adhyaksa Saktika Drestanto, Anindita Fitria Listyanti dan Adhyastantio Satria
Dewanto, yang selalu memberikan dorongan dan spirit dalam menyelesaikan studi dan bekerja.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat,
karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Strategi Integrasi Pengembangan
Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Teluk Lampung)” ini
berhasil diselesaikan. Disertasi ini disusun untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan – Institut
Pertanian Bogor, dan sebagai bagian dari upaya memberikan konstribusi bagi
pembangunan perikanan khususnya untuk Kabupaten Lampung Selatan. Penulis
dapat mengikuti pendidikan sampai S3 dan menyelesaikan disertasi pada
Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB ini, atas jasa serta do’a dari
ayahanda Drs. Aris Moenandar dan ibunda Sih Kasanah (almh) yang paling
penulis hormati, serta isteri tercinta Rr Rita Kunsidiarti. .
Dengan selesainya disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc. dan Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, MSi
selaku Anggota Komisi Pembimbing Disertasi;
2. Prof Dr Ir Indra Jaya, M.Sc., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
yang mewakili Rektor IPB pada Ujian Terbuka;
3. Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., Wakil Dekan yang mewakili Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan;
4. Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc., selaku Ketua Program Studi Teknologi
Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB;
5. Dr. Ir. Budy Wiryawan M.Sc., dan Dr. Ir. M, Fedi A. Sondita, MSc.. selaku
penguji luar pada Ujian Tertutup;
6. Dr. Ir. Made L Nurdjana,. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka;
7. Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. selaku penguji luar pada Ujian Terbuka;
8. Profesor (Emeritus) Dr. Ir. Daniel R. Monintja, yang selalu memberikan
dorongan semangat sejak penulis mengikuti program studi S3 Teknologi
Kelautan IPB;
Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih
atas dukungannya dalam penyelesaian disertasi ini, kepada :
1. Dr. Ir. M. Murdjani, MSc. Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut,
Lampung.
2. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Propinsi Lampung;
3. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan;
4. Dr. Agus Suherman, SPi, MSi, Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Diponegoro Semarang
5. Teman-teman seangkatan dan teman-teman dari Sekretariat Pascasarjana
IPB, khususnya Pak Jayana, Mbak Shinta, Mbak Hani, Mas Iwan dan lain-
lainnya dalam membantu penyelesaian administrative perkuliahan dan
disertasi ini;
6. Teman-teman se kantor khusus pada Rifki, Wahid, Andi dan Erie Suhaeri
yang selalu membantu dalam penelitian dan penyelesaian disertasi ini;
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi
Pascasarjana Program Studi Teknologi Kelautan, IPB.
Penulis berharap, disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya
penentu kebijakan dan pelaku perikanan khususnya di daerah penelitian yaitu
Kabupaten Lampung Selatan, penentu kebijakan dan pengambil keputusan di
bidang perikanan
Semoga pendidikan yang telah penulis jalani dan disertasi ini menjadi
contoh dan penyemangat bagi anak-anakku tersayang yaitu : Adhyaksa Saktika
Drestanto, Anindita Fitria Listyanti dan Adhyastantio Satria Dewanto dan
generasi penerus lainnya untuk mencapai jenjang pendidikan yang tertinggi.
Bogor, Desember 2009
Tri Hariyanto
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rembang Jawa Tengah pada tanggal 02 Desember
1958 dari ayah Drs. Aris Moenandar dan ibu Sih Kasanah. Penulis merupakan
putra ke 3 dari 7 bersaudara.
Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis pada Sekolah Dasar
Peterongan I di Semarang pada tahun 1971 dan penulis melanjutkan pada
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri II di Semarang dan diselesaikan
pada tahun 1974. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan penulis pada tahun
1977 pada SMA Negeri III-IV di Semarang.
Penulis melanjutkan pandidikan tinggi mengambil jurusan Perikanan pada
Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Diponegoro dan diselesaikan
pada tahun 1984. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan S2 dan
mengambil jurusan Manajemen Sumberdaya Manusia pada Fakultas Ekonomi,
Universitas Trisakti, Jakarta, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2003 penulis
melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi
Teknologi Kelautan.
Pada bulan Juli 1988, penulis menikah dengan Rr. Rita Kunsidiarti dan
dikarunia 3 putra, yaitu : Adhyaksa Saktika Drestanto, mahasiswa jurusan Ilmu
Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip, Anindita Fitria
Listyanti, mahasiswa jurusan Psikologi pada Fakultas Psikologi Undip dan
Adhyastantio Satria Dewanto yang masih di kelas I SMP.
Penulis mulai bekerja pada Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen
Pertanian pada tahun 1985 sebagai staff teknis pada Direktorat Penyuluhan.
Selama bekerja pada Direktorat Penyuluhan penulis pernah mengikuti berbagai
pendidikan dan pelatihan dalam bidang penyuluhan. Pada tahun 1999 penulis
diangkat menjadi Kepala Sub Direktorat pada Direktorat Perbenihan, Ditjen
Perikanan, disini penulis juga mendapatkan pendidikan dan pelatihan di bidang
perbenihan diantaranya di Philippina, Thailand dan China. Pada tahun yang
sama terjadi reorganisasi pada Departemen Kelautan dan Perikanan, penulis di
mutasi pada Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya sampai dengan sekarang
dan pada tahun 2008 penulis mendapat kepercayaan dari pimpinan untuk
menjabat sebagai Direktur pada Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan,
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Selama di Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan penulis ikut berbagai
pertemuan internasional diantaranya COFI (Committee on Fisheries) di Roma,
NACA di Thailand dan APFIC (Asia Pacific Fisheries Committee) di Colombo.
Pada tanggal 3 Desember 2009 yang lalu penulis mendapat jabatan baru dan
telah dilantik menjadi Direktur Usaha Budidaya, Ditjen Perikanan Budidaya,
Departemen Kelautan dan Perikanan.
Berbagai penghargaan yang penulis dapatkan diantaranya pemenang
lomba lukis, pemenang Lomba Kartun di Semarang, pameran karikatur di
Semarang, pemenang lomba logo ISPIKANI (Ikatan Sarjana Perikanan
Indonesia) yang digunakan sebagai logo ISPIKANI sampai dengan sekarang dan
mendapatkan penghargaan Satya Lencana Karya Satya 10 dan 20 tahun dari
Presiden RI.
Bogor, Desember 2009
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvii
1 PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 10 1.3 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 13 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 15 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................... 15 1.6 Ruang Lingkup Penelitian.................................................................... 16 1.7 Hipotesis .............................................................................................. 16
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 17
2.1 Potensi dan Aktualisasi Perikanan Tangkap ...................................... 17 2.2 Potensi dan Aktualisasi Perikanan Budidaya ..................................... 20 2.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya .................... 24 2.4 Teori Sistem ........................................................................................ 32
2.4.1 Pengertian sistem ....................................................................... 32 2.4.2 Sistem manajemen ahli .............................................................. 34 2.4.3 Sistem penunjang keputusan ..................................................... 36 2.4.4 Sistem pakar............................................................................... 38
2.5 Penelitian Terdahulu............................................................................ 41
3 METODOLOGI ............................................................................................ 43
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 43 3.2 Tahap Penelitian ................................................................................. 43 3.3 Metoda Pengumpulan Data ................................................................. 44 3.4 Metode Pengolahan Data ................................................................... 45 3.5 Pendekatan Sistem .............................................................................. 59
3.5.1 Analisis kebutuhan .................................................................... 59 3.5.2 Formulasi permasalahan .......................................................... 62 3.5.3 Identifikasi sistem ..................................................................... 63
3.6 Konfigurasi Model ................................................................................ 66 3.6.1 Sistem manajemen dialog ........................................................ 67 3.6.2 Sistem manajemen basis data .................................................. 68 3.6.3 Sistem manajemen basis model ............................................... 68 3.6.4 Sistem pengelolaan terpusat .................................................... 68
3.7 Model CAP-AQUADEV ....................................................................... 68
4 HASIL .......................................................................................................... 70
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... 70 4.1.1 Letak geografis dan topografis ................................................... 70 4.1.2 Demografii .................................................................................. 74 4.1.3 Kondisi perikanan ...................................................................... 75
4.2 Perikanan Tangkap .............................................................................. 79 4.2.1 Produksi perikanan ..................................................................... 80 4.2.2 Perkembangan jumlah alat tangkap ........................................... 80
xii
4.2.3 Kapal penangkap ikan ................................................................ 81 4.3 Perikanan Budidaya Laut ..................................................................... 82 4.4 Model CAP-AQUADEV ........................................................................ 84 4.4.1 Potensi sumberdaya ikan .......................................................... 84 4.4.2 Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba jaring apung (KJA) .......................................................................................... 95 4.4.3 Pemilihan teknologi penangkapan ikan ..................................... 98 4.4.4 Pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya ..................................................................... 100 4.4.5 Kelayakan investasi ................................................................... 102 4.4.6 Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................... 103 4.4.7 Kelembagaan ............................................................................. 106
5 PEMBAHASAN ............................................................................................ 123
5.1 Kondisi Perikanan Tangkap ................................................................. 123 5.2 Perikanan Budidaya Laut ..................................................................... 125 5.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Perikanan Budidaya .............................................................................................. 128 5.4 Pengembangan Sistem Integrasi Pengembangan Perikanan
Tangkap dan Perikanan Budidaya ....................................................... 129 5.4.1 Sub model potensi ...................................................................... 129 5.4.2 Sub model kesesuaian lahan ...................................................... 137 5.4.3 Sub model pemilihan .................................................................. 139 5.4.4 Sub model kelayakan ................................................................. 141 5.4.5 Sub model strategi ...................................................................... 142 5.4.6 Sub model kelembagaan ............................................................ 146
6 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 148
6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 148 6.2 Saran ................................................................................................... 149
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 151
LAMPIRAN ........................................................................................................ 158
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Matrik pengambilan dan analisa data penelitian ...................................... 45
2 Nilai skala banding berpasangan ............................................................. 55
3 Matriks elemen ......................................................................................... 55
4 Menjumlahkan nilai dalam setiap kolom, matriks normalisasi dan vektor prioritas ..................................................................................................... 56
5 Nilai indeks acak (RI) matriks berordo 1 s/d 15 ........................................ 57
6 Kondisi kependudukan Kabupaten Lampung Selatan ............................. 74
7 Banyaknya penduduk usia sekolah di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung Selatan tahun 2007 ................................................................. 75
8 Gambaran potensi, pemanfaatan dan produksi perikanan dari berbagai kagiatan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007 .............................. 76
9 Perkembangan pemanfaatan potensi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007 ......................................................................... 77
10 Perkembangan produksi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007 ...................................................................................... 77
11 Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan ................................... 78
12 Perkembangan RTP perikanan dan penyerapan tenaga kerja perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1998-1999 .................................. 79
13 Jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006 .......................................................................................................... 81
14 Perkembangan produksi budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan . 82
15 Perkembangan RTP budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan ....... 83
16 Perkembangan jumlah benih yang ditanam pada budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan ................................................................... 83
17 Perkembangan produksi kerapu dan rumput laut pada budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan ................................................................... 83
18 Perhitungan CPUE selama tahun 2001-2007 .......................................... 84
19 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 85
20 Catch, Effort dan CPUE ikan demersal .................................................... 85
21 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung ...... 87
22 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 87
23 Catch, Effort dan CPUE ikan pelagis kecil ............................................... 88
24 Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung . 90
25 Jenis dan jumlah alat tangkap crustacea di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 90
xiv
26 Catch, Effort dan MSY crustacea ............................................................. 91
27 Tingkat pemanfaatan crustacea ............................................................... 92
28 Jenis dan jumlah alat tangkap ikan lainnya di Teluk Lampung ................ 93
29 Catch, Effort dan MSY ikan lainnya di Teluk Lampung ........................... 93
30 Tingkat pemanfaatan perikanan lainnya di Teluk Lampung .................... 95
31 Hasil penilaian kelayakan kesesuaian lahan ............................................ 96
32 Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006 ............................................................... 99
33 Bobot kriteria pemilihan teknologi penangkapan ikan .............................. 99
34 Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 100
35 Bobot kriteria pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya laut .............................................................................. 101
36 Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006 ................ 102
37 Skala prioritas komoditas potensial terpilih di Kabupaten Lampung Selatan ..................................................................................................... 102
38 Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan .................................. 103
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Akuakultur merupakan salah satu kegiatan produksi perikanan untuk
memenuhi kebutuhan konsumen ............................................................. 3
2 Integrasi antara kegiatan akuakultur dan perikanan tangkap ................... 4
3 Skema pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya ..................... 5
4 Diagram alir perumusan masalah penelitian ............................................ 13
5 Teknik-teknik pendukung sistem manajemen ahli .................................... 35
6 Struktur sistem manajemen ahli ............................................................... 36
7 Struktur dasar sistem penunjang keputusan ........................................... 37
8 Struktur dasar sistem pakar ...................................................................... 39
9 Bagan alir proses penelitian ..................................................................... 44
10 Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya .................................................................................... 64
11 Diagram input-output sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................................. 65
12 Konfigurasi model sistem pengambilan keputusan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 67
13 Perkembangan produksi ikan di kabupaten lampung selatan selama kurun waktu 2002-2006 ............................................................................ 80
14 Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 2002-2006 ...... 81
15 Daerah penangkapan ikan di Teluk Lampung .......................................... 82
16 Perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007 ........................... 84
17 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung .... 86
18 Tren produksi dan effort ikan demersal di Teluk Lampung ...................... 86
19 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung ................................................................................................... 89
20 Tren produksi dan effort ikan pelagis di Teluk Lampung .......................... 89
21 Kurva produksi lestari sumberdaya crustacea di Teluk Lampung ........... 91
22 Tren produksi dan effort crustacea di Teluk Lampung ............................. 92
23 Kurva produksi lestari sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung ........ 94
24 Tren produksi dan effort ikan lainnya di Teluk Lampung .......................... 94
25 Peta sebaran alternatif lokasi pengembangan perikanan budidaya di Teluk Lampung ..................................................................................... 96
26 Grafik parameter DO, suhu, pH, salinitas dan TOM di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung ..................................................................... 97
27 Grafik parameter kelarutan senyawa nitrogen (DIN) dan total bahan organik (TOM) di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung ............... 98
xvi
28 Hasil analisis strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 104
29 Hirarki elemen sektor pengguna yang terpengaruh dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 107
30 Grafik driver power dependence untuk elemen pengguna yang terpengaruh dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................................................................................................... 108
31 Hirarki elemen kebutuhan yang terpengaruh dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 109
32 Grafik driver power dependence untuk elemen kebutuhan untuk pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................. 110
33 Hirarki elemen kendala dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 111
34 Grafik driver power dependence kendala dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 111
35 Hirarki elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 112
36 Grafik driver power dependence elemen perubahan yang mungkin terjadi dari pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya 113
37 Hirarki elemen tujuan dari program pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ........................................................................... 114
38 Grafik driver power dependence elemen tujuan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................ 115
39 Hirarki elemen keberhasilan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 115
40 Grafik driver power dependence keberhasilan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 116
41 Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 117
42 Grafik driver power dependence aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 118
43 Hirarki elemen pelaku pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya .................................................................................. 119
44 Grafik driver power dependence pelaku pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................................. 119
45 Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ............................................. 120
46 Grafik driver power dependence untuk pencapaian tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya ................... 121
47 Tren perkembangan jumlah kapal di Kabupaten Lampung Selatan ......... 130
48 Tren produksi dan effort perikanan tangkap di Provinsi Lampung ........... 130
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Produksi ikan demersal, jumlah unit penangkapan dan trip operasi
penangkapan ikan di Teluk Lampung...................................................... 158
2 Produksi ikan demersal, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 160
3 Produksi ikan pelagis, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 162
4 Produksi ikan pelagis, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 165
5 Produksi crustacea, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 168
6 Produksi crustacea, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 169
7 Produksi ikan lainnya, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung ..................................................... 171
8 Produksi ikan lainnya, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung ....................................................... 172
9 Analisis keseuaian lokasi budidaya laut dengan karamba jaring apung . 174
10 Pemilihan teknologi penangkapan ikan ................................................... 176
11 Pemilihan komoditas potensial ................................................................ 183
12 Analisis finansial budidaya udang vaname sederhana ........................... 190
13 Analisis finansial budidaya udang vaname semi intensif ........................ 193
14 Analisis finansial budidaya udang vaname intensif ................................. 196
15 Analisis finansial budidaya udang windu sederhana ............................... 199
16 Analisis finansial budidaya udang windu semi intensif ............................ 202
17 Analisis finansial budidaya udang windu intensif .................................... 205
18 Analisis finansial budidaya rumput laut ................................................... 208
19 Analisis finansial budidaya kerapu macan .............................................. 211
20 Analisis finansial budidaya bandeng ....................................................... 214
21 Analisis finansial pancing rawai .............................................................. 217
22 Analisis finansial pancing ulur ................................................................. 218
23 Analisis finansial jaring lingkar (pure seine) ............................................ 219
24 Analisis finansial jaring insang (gill net) .................................................. 220
25 Analisis Kelembagaan dengan ISM ...................................................... 221
26 Gambar dokumentasi Penelitian ............................................................. 241
27 Ilustrasi program CAP-AQUADEV .......................................................... 250
28 Surat Keterangan ................................................................................... 251
DAFTAR ISTILAH
Analisis kebutuhan Merupakan permulaan pengkajian dari suatu system, menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengembil keputusan terhadap jalannya system, dan dapat meliputi hasil suatu survey, pendapat ahli, diskusi, observasi lapang dan sebagainya.
Analytical Hierarchy Process (AHP)
Metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan suatu masalah disederhanakan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dalam pengambilan keputusan yang efektif atas masalah tersebut.
Berkelanjutan Pemanfaatan sumber daya secara lestari, yaitu di mana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumber daya tersebut.
CAP-AQUADEV Perangkat lunak computer yang dapat digunakan untuk perencanaan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi penulis di Email: hariyanto003@yahoo.com
CPUE
Catch Per Unit Effort, yaitu hasil tangkapan per satuan upaya, indeks kelimpahan.
Consistency Ratio (CR)
Merupakan parameter yang digunakan dalam teknik AHP untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak.
Decision Support System (DSS)
System Penunjang Keputusan (SPK), yaitu system yang berfungsi mentransformasi data dan informasi menjadi alternative keputusan dan prioritasnya. DSS bermanfaat membantu pengembilan keputusan secara interaktif.
Expert (ahli) Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu.
Input Indicator masukan, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.
Internal Rate of Return (IRR)
Suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present value sama dengan nol.
Interpretative Structural Modeling (ISM)
Teknik permodelan interpretasi struktural, yaitu salah satu teknik permodelan berbasis komputer yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis yang merupakan proses pengkajian kelompok (group learning precess) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang
dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat.
Kapal Perikanan Kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.
MSY Maximum sustainable yield, yaitu produksi maksimum berkelanjutan secara biologi, jumlah suatu hasil tangkapan maksimum yang dapat dipanen dari suatu sumber daya ikan tanpa mengganggu kelestariannya.
Nelayan Orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air.
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Perbandingan antara total penerimaan bersih dan total biaya produksi.
Net Present Value (NPV)
Selisih antara nilai sekarang dari penerimaan dengan nilai sekarang dari pengeluaran pada tingkat bunga tertentu.
Output Indicator keluaran, yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau non fisik.
Pendekatan sistem Suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Dengan demikian manajemen system dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai cirri dasar system yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu system.
Pengembangan Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada sesuatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Perikanan Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDI dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Perikanan Tangkap
Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
System Informasi Manajemen
Merupakan system yang berfungsi untuk menyediakan informasi yang efektif dan efisien bagi pihak manajemen dalam rangka memperlancar pelaksanaan fungsinya.
Sistem Manajemen Basis Data
Merupakan komponen SPK yang mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai penyimpanan data dalam basis data, menerima dan memperbaharui data dari basis data, dan sebagai pengendali atau pengelola basis data.
Sistem Manajemen Basis Model
Merupakan komponen SPK yang mempunyai empat fungsi pokok, yaitu sebagai perancang model, sebagai perancang format keluaran model (laporan-laporan), untuk merubah, memperbarui model dan untuk memanipulasi data. Pada intinya, system manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang tergabung dalam permodelan SPK.
Sistem Manajemen Dialog
Merupakan komponen SPK yang pberfungsi untuk berkomunikasi dengan pengguna. Tugas utama sistem manajemen sialog adalah menerima masukan dan memberiukan keluaran yang dikehendaki pengguna.
Software Serangkaian program, prosedur dan kemungkinan dokumen tertentu yang berhubungan dengan operasi sistem pengolahan data, software atau piranti lunak mencakup compiler, library routines, dan lain-lain.
Sumber Daya Ikan Potensi semua jenis ikan.
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara Samudera
Hindia dan Pasifik. Negara ini mempunyai 17.504 pulau-pulau dengan luas
sekitar 5,8 juta kilometer persegi. Panjang garis pantai Indonesia adalah sekitar
81.000 kilometer. Sekitar dua pertiga negara ini terdiri dari perairan laut.
Perairan Indonesia yang luas ini merupakan sumber daya kelautan dan
perikanan yang sangat besar. Lebih dari 10.000 spesies fauna dan flora tropis
hidup di perairan ini.
Pada tahun 1960-an, pada saat seluruh stakeholder perikanan sepakat
menyatakan bahwa potensi perikanan laut Indonesia sangat melimpah, ternyata
pernyataan tersebut didukung oleh data statistik perikanan tahun 1974. Produksi
perikanan tangkap Indonesia pada tahun 1960 baru 410.043 ton dan naik
722.512 ton pada tahun 1968. Jadi hasil tangkapan tersebut hanya 6,6% (1960)
dan 11,6% (1968) dari maximum sustainable yield (MSY) yang besarnya 6,2 juta
ton. Saat itu dinyatakan bahwa ikan perairan laut Indonesia masih melimpah.
Jumlah nelayan baru 870.137 orang pada tahun 1968 dan bahkan menurun
menjadi 841.627 orang pada tahun 1970, yang selanjutnya naik kembali menjadi
854.000 orang pada tahun 1973. Namun demikian pada tahun 2004 produksi
perikanan tangkap telah mencapai 4,5 juta ton atau telah dimanfaatkan sekitar
70,31% (Barani, 2005). Berdasarkan kondisi ini, perlu ada suatu upaya untuk
mempertahankan potensi sumber daya ikan (SDI) agar tidak terjadi overfishing.
Penangkapan berlebih atau overfishing sudah menjadi kenyataan pada
berbagai perikanan tangkap di dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia
(FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh,
dan mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa hanya 25% dari sumber
daya yang masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002). Total
produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2000 ternyata 5% lebih rendah
dibanding puncak produksi pada tahun 1995 (tidak termasuk Cina, karena unsur
ketidak-pastian dalam statistik perikanan mereka). Apabila sumber daya
perikanan mengalami penurunan, maka stok ikan membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian
penangkapan.
2
Produksi perikanan tangkap di laut dan perairan umum daratan Indonesia
menunjukkan kecenderungan yang stagnasi. Dari total produksi perikanan
Indonesia, usaha perikanan tangkap masih memberikan sumbangan produksi
yang terbesar yaitu sekitar 76,0%, sedangkan sisanya berasal dari usaha
perikanan budidaya. Stagnasi produksi perikanan tangkap Indonesia terutama
disebabkan oleh pemanfaatan sumberdaya ikan yang melebihi daya dukungnya,
penggunaan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan lingkungan
khususnya di kawasan pemijahan dan asuhan ikan, serta kerusakan lingkungan
perairan yang diakibatkan oleh pencemaran.
Evaluasi tingkat pemanfaatan empat kelompok sumberdaya ikan yang
berada di WPP-RI yang dilakukan oleh Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya
Ikan pada tahun 2006 berdasarkan hasil riset BRKP menunjukkan bahwa dua
puluh satu stok/sub stok ikan atau sekitar 55,3% dari 38 stok/sub stok ikan telah
dimanfaatkan penuh bahkan sebagian ada yang telah melebihi daya dukungnya.
Sementara itu, sembilan stok/sub stok ikan atau sekitar 23,7% belum dapat
ditentukan tingkat pemanfaatannya karena data/informasi belum mencukupi,
sehingga hanya delapan stok/sub stok ikan (sekitar 21%) yang pemanfatannya
memungkinkan untuk ditingkatkan pada beberapa WPP tertentu (Nurhakim,
2007)
Selama kurun waktu 1960-2006, produksi perikanan tangkap di perairan
umum daratan berfluktuasi antara 228.571-364.875 ton dengan rata-rata 290.260
ton per tahun dan sejak tahun 1995 mengalami stagnasi malahan cenderung
menurun. Di perairan umum daratan, produksi perikanan tangkap yang stagnan
ini diduga karena pengelolaan sumber daya ikan belum dilakukan secara
rasional, di beberapa kawasan terjadi penangkapan ikan yang intensif dan cara-
cara penangkapan yang merusak serta terjadinya degradasi lingkungan perairan.
Indikasi yang paling jelas dan mudah dilihat adalah hasil tangkapan yang terus
menurun, perubahan struktur populasi ikan dan ukuran individu ikan yang
semakin mengecil.
Dalam sektor perikanan budidaya (akuakultur) merupakan salah satu
kegiatan produksi selain kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan
(Gambar 1). Berbeda dengan penangkapan yang hanya memanen (berburu)
ikan dari alam (laut dan perairan umum, sungai, danau, rawa), dalam akuakultur
pemanenan ikan dilakukan setelah kegiatan penyiapan wadah (pemupukan,
3
pengapuran, dan pemberantasan hama) penebaran benih, pemberian pakan,
pengelolaan air, penanggulangan/pemberantasan hama dan penyakit, serta
pemantauan (sampling) pertumbuhan dan populasi (Effendi, 2004).
Gambar 1. Akuakultur merupakan salah satu kegiatan produksi perikanan
untuk memenuhi kebutuhan konsumen (Effendi, 2004).
Produk akuakultur bisa langsung dijual ke konsumen dalam bentuk hidup
dan segar atau diolah terlebih dahulu menjadi komoditas yang berbentuk
berbeda sama sekali, antara lain sosis, burger, dan baso ikan. Integrasi yang
kuat antara kegiatan akuakultur dan industri pengolahan biasanya menghasilkan
industri perikanan budidaya yang mantap, seperti budidaya ikan salmon dan lele
(catfish) di Amerika Serikat. Di Indonesia integrasi tersebut mulai terlihat dalam
industri budidaya patin dan ikan nila. Kedua ikan tersebut dibudidayakan hingga
mencapai ukuran 1 kg/ekor, dan kemudian di-fillet atau pemisahan daging dari
tulangnya (deboning) untuk dijadikan bahan baku industri makanan.
Selain itu, dewasa ini juga sudah banyak integrasi antara kegiatan
akuakultur dengan perikanan tangkap, yakni kegiatan restocking ikan di laut dan
perairan umum. Kegiatan restocking adalah menebar benih ikan di perairan
(danau, waduk, sungai, teluk, rawa) yang bertujuan meningkatkan stok (stock
enhancement) ikan di perairan tersebut dalam rangka konservasi dan menaikkan
Perikanan
Perikanan Tangkap Pengolahan Akuakultur (Perikanan Budidaya)
Konsumen
4
pendapatan para pelaku perikanan tangkap (nelayan). Kegiatan ini dilakukan
secara reguler dan terus menerus dengan menggunakan benih yang dihasilkan
dari kegiatan akuakultur (pembenihan) (Effendi,2004).
Gambar 2. Integrasi antara kegiatan akuakultur dan perikanan tangkap
(Effendi, 2004).
Di Jepang, negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Cina kegiatan
restoking sudah menjadi kegiatan komersial, bukan sekedar kegiatan konservasi
dan sosial. Kegiatan akuakultur (pembenihan) menjual benih kepada asosiasi,
koperasi nelayan atau pemerintah daerah yang melakukan restocking,
sementara nelayan melaporkan hasil tangkapannya untuk dikenai biaya (charge)
pembelian benih oleh asosiasi atau koperasi tersebut (Gambar 2). Perikanan
masa depan tampaknya akan banyak terjadi integrasi, baik antara akuakultur
dengan pengolahan maupun antara akuakultur dengan perikanan tangkap
ataupun integrasi ketiganya (Effendi, 2004).
Integrasi yang sudah dilakukan di masyarakat walaupun tidak disengaja
adalah perikanan tangkap berbasis budidaya, dimana benih yang dimasukkan ke
dalam perairan adalah benih yang tidak laku dijual maupun benih yang
produksinya berlebih. Banyak perusahaan pembenihan udang, kerapu, bandeng
yang produksinya berlebih secara sukarela melakukan stocking pada perairan
sekitarnya, walaupun masih mengabaikan kaidah restocking yang sebenarnya.
Perikanan Tangkap(Nelayan)
Akuakultur (Pembenihan)
Asosiasi/koperasinelayan
5
Gambar 3. Skema pengelolaaan perikanan tangkap berbasis budidaya
Pada awal tahun 2000, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah
mencanangkan Culture Based Fisheries sebagai program utama yang bertujuan
untuk meningkatkan produktivitas pada suatu perairan dengan mengoptimalkan
peran serta masyarakat sebagai pengelola atau biasa disebut Community Based
Fisheries Management. Namun demikian keberhasilannya masih dapat
dikatakan jauh dari target yang diharapkan, sehingga perlu sosialisasi kepada
seluruh stakeholder tentang pentingnya pemahaman pengelolaan sumberdaya
perairan secara bersama. Menurut Jorgensen and Thompson (2007) Community
Based Fisheries Management adalah pemahaman tentang penjelasan suatu
bentuk pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan perairan dan perikanan
didasarkan oleh organisasi masyarakat lokal yang tergantung pada sumberdaya
tersebut. Menurut Nikijuluw (2002), bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan
berbasis masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemberian
wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan terlebih dahulu
mendefinisikan kebutuhan dan keinginannya, tujuan serta aspirasinya.
Indonesia memiliki potensi budidaya laut yang cukup besar, berdasarkan
hitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, potensi lahan kegiatan
6
budidaya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi kegiatan
budidaya laut tersebut terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke
ujung wilayah timur Indonesia. Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan
pada areal tersebut antara lain ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang,
kerang mutiara dan abalone serta rumput laut (Dahuri, 2002).
Lebih lanjut disebutkan oleh Nurdjana et al (1998) bahwa komoditas
unggulan budidaya laut yang layak untuk dikembangkan antara lain adalah ikan
kerapu, ikan kakap putih, tiram mutiara, kerang darah, abalone, rumput laut ikan
hias laut, kerang hijau, teripang, tiram dan lobster. Luas perairan yang potensial
untuk budidaya laut adalah 312.773 km2, yang terdiri dari perairan untuk
budidaya ikan kakap putih seluas 213.428 km2, ikan kerapu 40.913 km2, kerang
darah dan tiram 37.878 km2, teripang 5.159 km2, tiram mutiara dan abalone
4.286 km2, serta rumput laut 11.109 km2. Luasan ini dirasakan belum akurat.
Untuk keperluan up-dating, luasan tersebut dievaluasi menggunakan metoda
yang dianggap lebih akurat.
Kawasan budidaya laut secara garis besar terdiri dari dua zone kawasan.
Kawasan bagian laut mencakup daerah budidaya, daerah alur lalu lintas orang
dan barang serta daerah penyangga. Kawasan darat antara lain diperuntukan
bagi daerah perumahan, daerah usaha, daerah operasional serta sarana dan
prasarana. Lahan budidaya laut merupakan faktor penting bagi pengembangan
budidaya laut karena terkait dengan faktor biofisik lingkungan yang berkenaan
dengan ketersediaan areal untuk pengembangan sarana budidaya laut baik
secara fisik maupun kecocokan pemanfataannya.
Faktor-faktor yang mendukung integrasi pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya, antara lain adalah:
(1) Lokasi geografis Indonesia yang strategis, yang memungkinkan akses jasa,
produk perikanan dan kelautan ke berbagai bagian dunia;
(2) Kawasan perairan laut yang sangat luas, serta iklim tropik yang
memungkinkan untuk pengembangan budidaya laut berbagai ikan dan jenis
kehidupan air lainnya;
(3) Jumlah penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang relatif
banyak merupakan faktor pendukung pengembangan perikakan tangkap
berbasis budidaya;
7
(4) Adanya sistem ekonomi terbuka yang telah memungkinkan keikutsertaan
negara dalam zona perdagangan bebas regional, sehingga menyediakan
peluang yang lebih besar untuk memasukkan produk perikanan Indonesia
ke pasar global dan regional;
(5) Adanya sertifikasi sistem pengendalian mutu yang telah diakui masyarakat
dunia, sehingga dapat menjamin mutu produk perikanan Indonesia di pasar
ekspor;
(6) Adanya peningkatan permintaan ikan yang merupakan hasil perubahan
kecenderungan dalam pola konsumsi makanan dunia. Sementara di pihak
lain, terjadi penurunan produksi ikan di negara-negara lain, sehingga
memperluas peluang Indonesia di pasar dunia.
Namun demikian, perkembangan pembangunan perikanan budidaya masih
dihadapkan pada berbagai kendala dan hambatan, baik yang bersifat eksternal
maupun internal, kendala tersebut antara lain adalah:
(1) Adanya globalisasi perdagangan dunia yang berdampak terhadap
pemasaran produk perikanan, antara lain berupa:
- Ekspor hasil perikanan yang semakin kompetitif.
- Ketatnya persyaratan mutu yang diterapkan negara pengimpor.
- Gencarnya isu lingkungan.
- Tuntutan pelaksanaan Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF).
(2) Terbatasnya peraturan dan perundang-undangan yang mengatur
pembangunan perikanan budidaya
(3) Adanya ketidak-pastian dan ketidak-konsistenan dalam masalah penataan
ruang kawasan
(4) Kurangnya upaya penegakan hukum yang berkaitan dengan budidaya
perikanan
(5) Kurangnya akses pemasaran produk perikanan
(6) Kurangnya prasarana pemasaran dan fasilitas pasca produksi yang
memadai
(7) Belum memadainya teknologi yang tersedia untuk budidaya perikanan,
8
seperti teknologi penyediaan benih ikan laut
(8) Lambatnya penyediaan data dan informasi di bidang perikanan tangkap
dan budidaya. Hal ini sangat terkait erat dengan adanya keterbatasan
perangkat pendukung pengolahan data serta kualitas sumber daya
manusia (SDM) di bidang statistik perikanan
(9) Belum memadainya sarana produksi untuk pengembangan perikanan
tangkap berbasis budidaya
(10) Kurangnya pengetahuan para nelayan dan pembudidaya ikan mengenai
kaidah integrasi perikanan tangkap dan budidaya
(11) Belum efektifnya kelembagaan penyuluhan di bidang perikanan tangkap
dan budidaya, sehingga aliran informasi dan teknologi perikanan tangkap
budidaya menjadi terhambat dan bahkan terputus
(12) Keterbatasan teknologi penangkapan ikan dan teknologi budidaya
(13) Mahalnya input produksi yang di impor
(14) Kurangnya ketersediaan aksesibilitas kredit untuk kegiatan usaha
penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan
(15) Kurangnya koordinasi dan sosialisasi program-program serta kegiatan
pembangunan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(16) Kurang kondusifnya faktor keamanan, sebagai akibat dari krisis ekonomi
yang berkepanjangan
Sumberdaya perairan Teluk Lampung telah dimanfaatkan untuk berbagai
kegiatan ekonomi masyarakat, di antaranya kegiatan penangkapan ikan,
pembudidayaan ikan, pariwisata dan transportasi. Kegiatan penangkapan dan
pembudidayaan ikan adalah kegiatan ekonomi yang melibatkan sebagian besar
masyarakat golongan menengah ke bawah. Kurangnya pengetahuan,
terbatasnya keterampilan dan kemampuan manajemen usaha serta rendahnya
askses permodalan adalah permasalahan utama dalam pengembangan
masyarakat menengah ke bawah. Untuk itu diperlukan intervensi dan upaya
pemerintah serta didukung strategi yang efektif dalam pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya di Teluk Lampung.
Perairan Teluk Lampung merupakan daerah penangkapan ikan yang
produktif dan memungkinkan dilakukannya operasi penangkapan ikan dengan
9
berbagai alat dan metode penangkapan (DKP Lampung, 2003) Kedalaman
perairan Teluk Lampung tidak terlalu dalam dan perairannya relative tenang,
nelayan dapat mengoperasikan berbagai jenis alat tangkap sesuai dengan jenis
ikan yang menjadi target operasi penangkapannya.
Nelayan dan pembudidaya di sekitar Teluk Lampung memiliki akses
langsung untuk memanfaatkan sumberdaya perairan yang ada di perairan Teluk
Lampung. Nelayan Lampung dapat memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di
Teluk Lampung sedangkan pembudidaya dapat memanfaatkan perairan yang
memenuhi persyaratan teknis untuk pengembangan usaha budidaya laut dengan
mengembangan komoditas yang strategis di perairan tersebut.
Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Lampung Selatan (2005), rumah
tangga perikanan laut Lampung Selatan terdiri dari 1.587 nelayan yang terdiri
dari 472 orang nelayan tanpa perahu, 715 orang nelayan perahu tanpa motor,
201 nelayan dengan kapal motor. Pembudidaya ikan terdiri dari budidaya laut
(442 orang), petambak (3.427 orang), budidaya air tawar (2.002 orang) dan mina
padi (108 orang). Produksi perikanan tangkap Kabupeten Lampung Selatan pada
tahun 2004 mencapai 25.867,6 ton, terdiri dari jenis ikan Peperek, manyung, ikan
biji nangka, kerapu, kakap, ikan kurisi, ikan ekor kuning, ikan kuro, teri, japuh ,
Lemuru, golok- golok/ parang- parang, Kembung , tenggiri, Layur, tongkol, dan
ikan lainnya.
Produksi perikanan budidaya laut di Lampung Selatan tahun 2006 adalah
1.569,28 ton atau naik 749,3 ton dari produksi tahun 2005. Produksi tahun 2006
tersebut terdiri atas kerapu bebek dan kerapu macan yang dihasilkan dari 264
RTP dengan 470 unit KJA. Unit KJA tersebut sebagian besar berlokasi di
Tanjung Putus dan Pulau Puhawang.
Usaha budidaya laut dengan KJA memerlukan modal usaha yang besar,
untuk itu pengembangan perikanan budidaya perlu dilakukan secara
komprehensif dengan mempertimbangkan dan memperhatikan aspek-aspek
terkait. Faktor yang perlu diperhatikan tidak hanya menyangkut hal teknis akan
tetapi juga mencakup aspek sosial dan budaya. Berbagai masalah telah
teridentifikasi terkait dengan pengembangan perikanan budidaya di Teluk
Lampung, diantaranya: konflik penggunaan lahan dengan perikanan tangkap dan
transportasi, sedimentasi perairan akibat pembukaan lahan pesisir dan lahan
atas untuk berbagai kegiatan, serta ketidakteraturan penempatan dan tata letak
10
KJA di kawasan budidaya.
Memperhatikan besarnya kendala dan permasalahan terkait
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya maka
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya dapat dijadikan alternatif
kegiatan ekonomi masyarakat yakni pengembangan kegiatan penangkapan ikan
di suatu kawasan dengan didukung penyediaan benih dari perikanan budidaya.
1.2 Perumusan Masalah
Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut berkembang seiring dengan
pertumbuhan penduduk dan pembangunan. Intensitas pemanfaatan tersebut,
diiringi dengan penurunan mutu lingkungan akibat tekanan dari aktivitas di
daerah pesisir dan lahan atas. Kegiatan perikanan adalah salah satu kegiatan
yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut, terdiri atas perikanan
tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan budidaya perairan payau (tambak)
sudah dimulai sejak zaman Majapahit dan Indonesia adalah bangsa pertama di
dunia yang mengembangkan usaha perikanan tambak (Schuster,1952 dalam
Dahuri, 2002), sehingga wajar bila Indonesia memiliki tambak yang sangat luas
yaitu sekitar 340.000 ha pada tahun 2001 (Ditjen Perikanan Budidaya, 2002).
Sementara itu, budidaya laut memang baru dimulai awal tahun 1980-an,
sehingga tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah. Banyak hasil yang
sudah dicapai dari hasil pembangunan perikanan budidaya laut dan payau
selama ini, namun demikian, produksi itu masih sangat kecil dibandingkan
dengan potensi yang kita miliki. Lebih dari itu, kegagalan panen karena
peledakan wabah penyakit, seperti white spot yang menyerang udang windu
dalam tambak pada awal 1999-an dan sampai sekarang pun belum terpecahkan
secara tuntas.
Oleh sebab itu, integrasi perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang
hendak diwujudkan adalah sistem usaha perikanan tangkap dan budidaya laut
yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan,
dan berkelanjutan. Untuk merealisasikan integrasi ini, maka pola pembangunan
perikanan tangkap dan budidaya seyogyanya berdasarkan pada: (1) potensi SDI,
(2) kesesuaian lahan dan peruntukannya untuk kegiatan perikanan budidaya, (3)
kelayakan usaha dan (4) kondisi serta pencapaian hasil pembangunan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya selama ini.
11
(1) Pembangunan Perikanan Tangkap Berkelanjutan
SDI adalah sumber daya renewable yang mampu berkembang biak
sehingga bisa diharapkan kelestariannya, sepanjang dilakukan pengelolaan yang
baik. Teknologi penangkapan modern termasuk cara pendeteksian ikan kini
berkembang sangat cepat dan penggunaan teknologi ini kalau tidak dikontrol
dapat membahayakan SDI itu sendiri.
Secara garis besar di dalam pengelolaan perikanan dalam proses
pengaturannya ditempuh dua kelompok metode yang mendasarkan kepada : (1)
input kontrol yaitu yang melakukan pengaturan terhadap faktor input (masukan)
perikanan, dan (2) output kontrol, pengaturan terhadap luaran (output) dari
perikanan. Pengaturan melalui input kontrol termasuk diantaranya pembatasan
jumlah alat tangkap atau kapal penangkap, penutupan musim tangkap dan
penutupan daerah tangkap pada periode tertentu. Pada prinsipnya input kontrol
mengatur faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masukan terhadap tingkat
eksploitasi. Sedangkan pengaturan melalui output kontrol dilakukan terhadap
hasil tangkapannya (output) misalnya dalam bentuk quota (jumlah hasil
tangkapan). Pengaturan semacam ini banyak dilakukan di daerah dingin,
sedangkan di daerah tropis pengaturan banyak berdasarkan kepada input
kontrol. Metode tersebut juga sering dikombinasikan dengan metode teknis,
misalnya saja di beberapa negara maju di daerah dingin, disamping ada
pengaturan kuota juga ada pengaturan ukuran mata jaring yang diberlakukan
terhadap alat tangkapnya.
(2) Pembangunan Perikanan Budidaya Berbasis Wilayah dan Komoditas Unggulan
Keragaman kondisi biofisik wilayah pesisir dan laut Indonesia yang begitu
tinggi berimplikasi pada kesesuaian (suitability) untuk pengembangan perikanan
budidaya dengan komoditas yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Komoditas perikanan yang dihasilkan oleh usaha perikanan budidaya ini
tidak hanya dimaksudkan untuk pasar global guna memperoleh devisa, tetapi
juga di dalam rangka memenuhi kebutuhan ikan (ketahanan pangan) dalam
negeri, sehingga rakyat menjadi semakin cerdas dan kuat. Komoditas unggulan
yang dimaksud di sini adalah komoditas-komoditas perikanan yang permintaan
(pasar) nya tinggi, baik pasar domestik maupun ekspor, atau harga jualnya
tinggi.
12
(3) Penguatan dan Pengembangan Teknologi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya.
Sampai saat ini teknologi yang digunakan untuk usaha budidaya laut di
Indonesia hanya sebatas pada jaring apung atau karamba laut (cage net),
sistem rakit, dan rakit dasar. Dengan banyaknya teluk-teluk dan daerah laut
yang bersifat semi tertutup serta pulau-pulau kecil yang dikelilingi mangrove
dan terumbu karang, maka teknologi sea ranching dan sea farming seperti
yang berhasil diterapkan di beberapa negara, seperti Jepang, Australia, dan
beberapa negara Pasifik Selatan, perlu diterapkan dengan beberapa
penyesuaian. Disamping itu selektifitas alat tangkap perlu juga dikembangkan
dalam rangka mempertahankan keseimbangan populasi yang ada.
(4) Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Pemanfaatan sumber daya perikanan di suatu wilayah pesisir umumnya
terfokus pada satu jenis, yaitu penangkapan ikan atau budidaya. Intensitas
penangkapan ikan yang semakin meningkat akan menurunkan potensi
sumberdaya ikan dan secara tidak langsung menurunkan kesejahteraan
masyarakat. Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan budidaya akan
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan dalam mempertahankan
kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan
melakukan restoking dari hasil budidaya.
13
Gambar 4. Diagram alir perumusan masalah penelitian
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan bahwa secara khusus,
permasalahan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya
dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana kesesuaian lahan pada wilayah
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya? (2) Bagaimana
perumusan cara pemilihan komoditas potensial ataupun unggulan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, serta kelayakan usahanya?; (3) Bagaimana
perumusan cara pemilihan teknologi penangkapan (4) Bagaimanakah
perumusan penyusunan strategi pengembangan dan kelembagaan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya?; (5) Bagaimanakah kajian tersebut direkayasa
dalam sebuah model Sistem Penunjang Keputusan yang mendukung
rekomendasi, pengkajian ulang dan penerapan lain terkait dengan perubahan
situasional?
1.3 Kerangka Pemikiran
Prospek pengembangan bidang perikanan di Indonesia cukup baik,
mengingat sebagian besar wilayah Indonesia didominasi oleh laut dengan segala
14
kekayaan yang terkandung di dalamnya. Produksi perikanan laut dari hasil
penangkapan tidak mungkin terus menerus diandalkan, mengingat intensifnya
tingkat pemanfaatan, kemampuan pertumbuhan alami populasi ikan dan makin
menurunnya kualitas sumberdaya alam. Upaya lain yang dapat dilakukan dalam
rangka meningkatkan produksi perikanan laut yaitu melalui kegiatan usaha
budidaya.
Selama ini perkembangan budidaya laut di Indonesia selalu dihadapkan
pada masalah antara lain: usaha yang masih tradisional, belum adanya pola
kemitraan yang saling menguntungkan benturan dengan kepentingan usaha lain
serta sulitnya ketersediaan benih dan input produksi lainnya yang berkualitas dan
kontinyu. Di samping itu, terjadinya penurunan mutu lingkungan budidaya pada
kawasan pengembangan budidaya laut akibat kegiatan lain disekitar kawasan
dan limbah dari kegiatan budidaya itu sendiri telah meningkatkan kematian dan
menurunya pertumbuhan ikan. Untuk itu pengembangan kegiatan budidaya laut
perlu dikembangkan atas pertimbangan ilmiah secara modern dan terpadu mulai
dari proses hulu sampai hilir dalam suatu kawasan budidaya laut.
Perikanan tangkap, terutama secara tradisional telah sejak lama
dikembangkan. Perikanan tangkap dengan alat-alat modern telah dikembangkan
sejak 30 tahun yang lalu. Potensi lestari perikanan Indonesia diperkirakan
sebesar 6,4 juta ton per tahun (Komnas Kajiskan dalam Nurhakim, 2007). Di
beberapa perairan Indonesia, perikanan tangkap telah mencapai titik jenuh dan
secara umum produksi perikanan tangkap sudah sulit dikembangkan. Perikanan
budidaya merupakan tumpuan harapan dalam pengembangan perikanan
Indonesia di masa mendatang. Untuk itu perlunya strategi integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya sebagai satu
alternatif dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan.
Dalam melaksanakan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya harus didahului dan memperhatikan potensi SDI, hasil survei
areal yang potensial untuk menentukan lokasi yang tepat sebagai kawasan
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dengan
mempertimbangkan faktor pendukung lainnya, seperti ketersediaan prasarana,
kondisi sosial ekonomi masyarakat, pelayanan perbankan, kepastian hukum dan
RUTRD di daerah. Pusat-pusat pengembangan yang akan dijadikan titik awal
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, karena
potensial dan posisinya yang sangat strategis untuk memacu integrasi
15
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di kawasan
pengembangan sekitarnya. Pemilihan jenis komoditas ditetapkan dengan
mengikuti permintaan pasar dan kesiapan teknologinya.
Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dapat
dilakukan dengan menggunakan strategi yang tidak hanya sekedar memecahkan
berbagai permasalahan tetapi juga mampu menimbulkan peluang dan insentif
bagi pembangunan yang sedang dilakukan, terutama untuk mengatasi berbagai
permasalahan nasional yang sedang dihadapi seperti devisa dan
ketenagakerjaaan.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini untuk mengkaji strategi integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Secara khusus
tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
(1) Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial
ataupun unggulan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, serta
kelayakan usahanya.(dilihat dari potensi SDI, kesesuaian lahan, teknologi
penangkapan ikan)
(2) Menyusun strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(3) Mengembangkan model pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya dengan lingkup sasaran pengembangan areal, produksi,
komoditas, serta sarana dan prasarana pendukung.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
(1) Tersusunnya strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya
(2) Kontribusi untuk pengembangan metode analisis dalam memecahkan
masalah pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(3) Sumber informasi mengenai konsep pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang
terkait dalam suatu sistem pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya.
16
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini antara lain meliputi kegiatan:
(1) Menganalisis potensi SDI, yaitu melakukan analisis untuk mengetahui
besarnya potensi sumber daya perikanan yang ada, tingkat eksploitasi
yang telah dicapai serta kemungkinan perkembangannya lebih lanjut sesuai
dengan potensi lestari (MSY).
(2) Inventarisasi dan pengumpulan data, yang terdiri dari data-data mengenai:
a. Potensi sumber daya lahan pengembangan budidaya laut
b. Keragaan pengembangan budidaya laut, yang mencakup: Kegiatan
budidaya laut yang telah dikembangkan, meliputi: ikan, crustacea,
molusca, rumput laut dan kekerangan, lokasi budidaya laut yang telah
dikembangkan, prospek dan peluang pasar masing-masing komoditas
budidaya laut, keragaan areal, produksi, komoditas, dan prasarana
pendukung yang telah dibangun dan permasalahan yang menghambat
pengembangan budidaya laut.
(3) Penentuan kesesuain lahan untuk pengembangan budidaya laut.
(4) Penentuan kelayakan usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(5) Pemilihan alat tangkap dan komoditas unggulan.
(6) Pengorganisasian dan kelembagaan di dalam pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya.
(7) Melakukan verifikasi model pada wilayah kajian.
1.7 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya memberikan kontribusi dalam optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya perikanan guna peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas
kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri,
mendorong pertumbuhan industri dalam negeri yang pada akhirnya dapat
memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi dan Aktualisasi Perikanan Tangkap
Sumberdaya ikan merupakan sumber daya yang mampu berkembang biak
sehingga bisa diharapkan kelestariannya, sepanjang dilakukan pengelolaan yang
baik. Teknologi penangkapan modern termasuk cara pendeteksian ikan kini
berkembang sangat cepat dan penggunaan teknologi ini kalau tidak dikontrol
dapat membahayakan SDI itu sendiri. Jadi manfaat pengelolaan tidak lain adalah
agar terjamin kelestarian SDI sesuai dengan pesan didalam Kode Etik Perikanan
yang Bertanggung Jawab (The Code of Conduct for Responsible Fisheries),
sehingga diharapkan generasi yang akan datang ikut menikmati dan
memperoleh manfaat dari SDI tersebut.
Potansi sumberdaya perikanan laut Indonesia menurut data estimasi
Departemen Kelautan dan Perikanan sebesar 5.258.000 ton dengan bagian
terbesar adalah jenis ikan pelagis kecil (small pelagics) yang mencapai 51,7 %
atau sekitar 3.235.800 ton (Dahuri, 2001). Jenis ikan lain yang juga banyak
terdapat di perairan Indonesia adalah jenis demersal dan pelagis besar, masing-
masing sekitar 28,54% dan 16,83% atau 1.786.400 ton per tahun dan 1.053.500
ton per tahun.
Perkembangan produksi perikanan laut dipengaruhi oleh beberapa faktor
pendorong berupa peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana
penangkapan ikan. Peningkatan sarana ini berlangsung bersamaan dengan
motorisasi usaha penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap dengan
bahan sintetis. Namun demikian sesuai dengan code of conduct for responsible
fiheries pada artikel 6.3. bahwa pengembangan armada perikanan harus
mempertimbangkan ketersediaan sumber sesuai dengan kemampuan reproduksi
demi keberlanjutan pemanfaatannya. Hal ini jangan sampai terjadi kondisi
dimana lebih banyak kapal dari pada ikan yang hendak ditangkap yang berakibat
kerugian dari segi ekonomi perikanan, karena kapal ikan tidak dapat memperoleh
jumlah tangkapan yang memadai sehingga semua pihak tidak memperoleh
keuntungan yang layak.
Sebagai sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi,
eksploitasi sumberdaya perikanan laut di Indonesia menunjukkan peningkatan
sepanjang tahun. Pada tahun 1995, total pendaratan ikan di Indonesia mencapai
18
3.292.930 ton, dimana pendaratan ikan mendominasi seluruh pemanfaatan
sumberdaya perikanan laut, yaitu 2.752.838 ton, diikuti oleh jenis crustacea
203.441 ton, lalu jenis hewan lunak (mollusca) 98.445 ton dan jenis ikan lainnya
seperti penyu, teripang, ubur-ubur dan lainnya yang mencapai 126.661 ton
(Dahuri, 2001).
Beberapa jenis ikan yang termasuk kelompok ikan pelagis kecil antara lain:
Teri, Tembang, Siro, Lemuru, Layang, Kembung, Bawal Putih, Alu-alu, Tetengek,
Sunglir, Ikan terbang, Belanak, Julung-julung, Golok-golok dan Ekor Kuning
(Widodo et al., 1999).
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang dapat pulih secara
alami tetapi juga merupakan sumberdaya yang tak terbatas baik jumlah maupun
kemampuan regenerasinya. Untuk itu pemenfaatannya harus dilakukan secara
rasional yaitu dengan memperhatikan daya dukungnya. Pemanfaatan
sumberdaya yang tidak rasional akan menyebabkan menipisnya stok, kepunahan
populasi, dan penurunan hasil tangkap per satuan upaya (CPUE) (Naamin et al.,
1991).
Pembangunan dibidang perikanan terutama dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap didasarkan pada konsep hasil maksimum yang
dapat menjamin usaha berkelanjutan (maximum sustainable yield/MSY). Hal ini
dapat dicapai dengan sistem pengelolaan terpadu dan berkesinambungan yang
dilakukan pemerintah bekerjasama dengan para pengusaha perikanan.
Berdasarkan kecenderungan produksi hasil tangkapan ikan yang meningkat dan
ada data hasil tangkapan yang tidak dicatat pada suatu wilayah perairan, maka
nilai dugaan potensi sumberdaya ikan yang dihasilkan dari hasil analisis adalah
minimal (under estimate). Hasil estimasi dengan pendekatan Surplus Production
Model (Schaefer) nilai MSY masih mungkin dilakukan walaupun memberikan nilai
yang lebih tinggi. MSY atau hasil tangkapan yang lestari adalah besarnya jumlah
stock ikan tertinggi yang dapat ditangkap secara terus menerus dari suatu
sumberdaya tanpa mempengaruhi kelestarian stock ikan tersebut.
Jones dalam Badrudin et al., (1991), menyebutkan bahwa prinsip
pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut:
(1) Pengendalian jumlah upaya penangkapan, dengan mengatur jumlah alat
tangkap yang ada sampai pada jumlah tertentu (maksimum).
19
(2) Pengendalian alat tangkap, ini dilakukan dengan tujuan agar usaha
penangkapan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai
umur dan ukuran tertentu.
Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan menurut Dwiponggo (1983),
adalah:
(1) Tujuan yang bersifat fisik-biologi, yaitu dicapainya tingkat pemanfaatan
dalam level maximum sustainable yield (MSY)
(2) Tujuan yang bersifat ekonomi, yaitu tercapainya keuntungan maksimum
dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimal profit.
(3) Tujuan ysng bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang
maksimal. Seperti penyerapan tenaga kerja dan menghilangkan konflik
kepentingan diantara nelayan atau anggota masyarakat.
Upaya pengelolaan perikanan seyogyanya dilaksanakan sedini mungkin.
Para petugas perikanan baik di pusat maupun daerah didalam membuat
perencanaan pembangunan perikanan perlu memasukkan unsur sumber daya.
Pemanfaatan sumberdaya yang tidak rasional akan menyebabkan menipisnya
stok, kepunahan populasi, dan penurunan hasil tangkap per satuan upaya
(CPUE) (Naamin et al., 1991).
Pengelolaan sumberdaya perikanan dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap didasarkan pada konsep hasil maksimum yang
dapat manjamin usaha berkelanjutan (maximum sustainable yield/ MSY). Hal ini
dapat dicapai melalui sistem pengelolaan terpadu dan berkesinambungan yang
dilakukan pemerintah bersama stakeholders terkait.
Jika upaya pengelolaan sudah terlambat akan sulit untuk memulai dan
memulihkan sumber daya ikan karena masalahnya sudah cukup kompleks.
Upaya pengelolaan tidak juga harus menunggu kelengkapan informasi yang
diperlukan dalam pengelolaan. Sesuai dengan prinsip kehati-hatian
(precautionary principle), upaya pengelolaan sebaiknya dilakukan sedini
mungkin.
Aplikasi pengelolaan perikanan dalam proses pengaturannya dapat
ditempuh melalui dua kelompok metode yang mendasarkan kepada: (1) input
control yaitu yang melakukan pengaturan terhadap faktor input (masukan)
perikanan, dan (2) output control, pengaturan terhadap luaran (output) dari
perikanan. Pengaturan melalui input control termasuk diantaranya pembatasan
jumlah alat tangkap atau kapal penangkap, penutupan musim tangkap dan
20
penutupan daerah tangkap pada periode tertentu. Pada prinsipnya input control
mengatur faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masukan terhadap tingkat
eksploitasi. Sedangkan pengaturan melalui output control dilakukan terhadap
hasil tangkapannya (output) misalnya dalam bentuk quota (jumlah hasil
tangkapan). Pengaturan semacam ini banyak dilakukan di daerah dingin,
sedangkan di daerah tropis pengaturan banyak berdasarkan kepada input
control. Metode tersebut juga sering dikombinasikan dengan metode teknis,
misalnya saja di beberapa negara maju di daerah dingin, disamping ada
pengaturan quota juga ada pengaturan ukuran mata jaring yang diberlakukan
terhadap alat tangkapnya.
Permasalahan perikanan tangkap baik itu berupa permasalahan sosial
ataupun kerusakan lingkungan dan menurunnya stok SDI, sebenarnya telah
lama timbul sejak manusia menggunakan laut atau perairan umum sebagai
sumber untuk mendapatkan bahan pangan. Namun saat itu, bobot permasalahan
yang timbul tidak seberat yang dihadapi pada saat sekarang ini, dimana baik
konflik sosial yang ditimbulkan akibat adanya kompetisi besar-besaran dalam
memperebutkan ikan yang menjadi tujuan tangkapan, maupun kerusakan
lingkungan serta punahnya beberapa spesies ikan yang diakibatkannya telah
menunjukkan indikator yang sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup
generasi mendatang.
Ditinjau dari keberlangsungan dan kelestarian lingkungan bahwa segala
bentuk aktivitas yang sifatnya merusak lingkungan, sekalipun dalam jumlah yang
relatif kecil sebenarnya perlu dihindari termasuk dalam hal ini penggunaan alat
tangkap modifikasi dari alat tangkap trawl. Dalam hal yang lebih luas lagi perlu
dihindari penggunaan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan.
2.2. Potensi dan Aktualisasi Perikanan Budidaya
Potensi lahan perikanan budidaya secara nasional diperkirakan sebesar
15,59 juta hektar, yang terdiri atas lahan budidaya budidaya air tawar 2,23 juta
hektar, budidaya air payau 1,22 juta hektar dan budidaya laut 12,14 juta hektar.
Sedangkan pemanfaatanya hingga saat ini masing-masing baru mencapai 10,1%
untuk budidaya air tawar, 40% untuk budidaya air payau dan 0,01% untuk
budidaya laut. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari
ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia.
Komoditas-komoditas yang dapat dibudidayakan pada areal tersebut antara lain
21
ikan kakap, kerapu, tiram, kerang darah, teripang, kerang mutiara dan abalone
serta rumput laut (Dahuri, 2002).
Pada tahun 2004 produksi perikanan budidaya nasional adalah 1,47 juta
ton dengan kenaikan rata-rata pertahun dari tahun 2000 adalah 10,36%. Jumlah
produksi tersebut telah menempatkan Indonesia sebagai negara produsen
perikanan budidaya ketiga terbesar setelah China dan India. Produksi perikanan
budidaya Indonesia dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 didominasi oleh
produksi udang ditambak. Sedangkan persentase rata-rata kenaikan produksi
per tahun tertinggi adalah budidaya laut. Produksi budidaya laut mulai meningkat
hampir dua kali lipat pada tahun 2004 dari tahun 2003, hal ini terkait dengan
program pengembangan budidaya rumput laut. Nilai produksi perikanan
budidaya juga mengalami peningkatan dari Rp. 11,06 trilliun pada tahun 2000
menjadi Rp. 19,27 triliun pada tahun 2004, atau naik rata-rata 14,93% per tahun.
Kenaikan nilai produksi rata-rata tertinggi yaitu sebesar 32,94% pada budidaya
karamba.
Komoditas dominan dan mengalami perkembangan cukup pesat adalah
udang, yaitu dari 143.750 ton pada tahun 2000 menjadi 238.843 ton pada tahun
2004 atau mengalami kenaikan rata-rata per tahun 13,86%. Perkembangan
produksi udang yang cukup pesat ini didukung oleh adanya upaya introduksi
udang jenis baru yaitu udang putih atau vannamei yang berasal dari perairan sub
tropis. Sampai saat ini produksi udang nasional masih ditopang oleh produksi
udang vanname, terutama pada tambak-tambak intensif skala besar.
Selain dikonsumsi didalam negeri produksi perikanan budidaya Indonesia
juga terserap pada pasar luar negeri seperti negara-negara di Eropa, Amerika,
Jepang dan negara maju lainnya. Beberapa jenis komoditas perikanan budidaya
yang diekspor adalah udang, kerapu, nila, rumput laut, kepiting, patin, lele,
bandeng, kodok, abalone, ikan hias dan mutiara. Pertumbuhan ekspor perikanan
Indonesia didominasi oleh udang dan cakalang. Pada tahun 2000 volume ekspor
udang Indonesia sebesar 116.187 ton meningkat menjadi 139.450 ton pada
tahun 2004. Jika memperhatikan neraca ekspor-impor peroduk perikanan, maka
dapat disimpulkan bahwa masih terjadi surplus perdagangan komoditas
perikanan. Hal ini membuktikan bahwa bidang periknan tidak membebani neraca
pembayaran, bahkan sebaliknya justru merupakan andalan untuk memperoleh
devisa. Surplus perdagangan hasil perikanan untuk memperoleh devisa pada
22
tahun 2000 sebesar US$ 1,56 milyar dan terus mengalami peningkatan hingga
US$ 1,62 milyar pada tahun 2004.
Peningkatan produksi perikanan budidaya yang telah dicapai selama ini,
telah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan konsumsi ikan per
kapita nasional dari 21,57 kg per kapita pada tahun 2000 menjadi 23,18 kg per
kapita pada tahun 2004. Disamping itu perkembangan perikanan budidaya juga
telah memberikan dampak pada penyerapan tenaga kerja. Selama kurun waktu 5
(lima) tahun (2000 – 2004) mengalami peningkatan rata-rata sebesar 3,05% per
tahun. Jumlah pembudidaya ikan meningkat dari dari 2,18 juta orang pada tahun
2000 menjadi 2,46 juta orang pada tahun 2004. Tenaga kerja di perusahaan
perikanan budidaya, baik yang berstatus pemilik modan asing (PMA) maupun
pemilik modal dalam negeri (PMDN) mengalami peningkatan dari 3.151 orang
tenaga asing dan 154.173 orang tenaga kerja lokal pada tahun 2000, meningkat
menjadi 4.719 orang tenaga kerja asing dan 187.124 orang tenaga kerja lokal
pada tahun 2004. Rumah tangga perikanan (RTP) budidaya secara keseluruhan
berjumlah 1,2 juta buah pada tahun 2000 dan meningkat menjadi 1,4 juta buah
pada tahun 2004 dengan jumlah terbesar pada budidaya kolam, budidaya sawah
dan tambak.
Pemanfaatan potensi pengembangan budidaya perikanan dapat dilakukan
melalui pembenihan, pembudidayaan, penyiapan prasarana, pengelolaan
kesehatan ikan dan lingkungan. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu
meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan produksi usaha perikanan budidaya.
Kegiatan budidaya perikanan di laut dapat diklasifikasikan menjadi kegiatan
marikultur dan budidaya air payau. Untuk usaha marikultur biasanya
menggunakan jaring apung, sedangkan usaha budidaya air payau menggunakan
kolam dan petak tambak (Dahuri, 2002).
Kegiatan budidaya perikanan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain
sumber air menyangkut kualitas dan kuantitasnya, potensi/ketersediaan lahan
menyangkut topografi, tekstur dan kesuburannya yang diperkirakan dapat
dimanfaatkan bagi usaha budidaya serta peruntukkan lahan dan potensi konflik
dengan kegiatan lain disekitarnya. Oleh karena itu pengembangan usaha
budidaya adalah mengupayakan peningkatan produktivitas suatu lahan atau
perairan yang sudah terseleksi dengan menambahkan input-input teknologi yang
ada. Hal ini menyebabkan tingkat perkembangan dan tingkat produksi yang
dicapai berbeda di setiap daerah, sesuai dengan teknologi dan tingkat kesuburan
23
lahan atau perairan yang ada serta kemampuan masyarakat mengaadopsi
teknologi baru. Sehingga potensi produksi dalam usaha budidaya merupakan
produksi yang dapat dicapai dari lahan yang ada serta produksi dari lahan
potensial dengan perkiraan pada tingkat produktivitas tertentu yang mungkin
diterapkan.
Pengembangan budidaya perikanan ke depan harus mampu
mendayagunakan potensi yang ada, sehingga dapat mendorong kegiatan
produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa negara, serta
mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya ikan di
Indonesia secara keseluruhan. Pada pelaksanaannya pengembangan perikanan
budidaya harus dilakukan dengan memperhatikan CCRF (code of conduct for
responsible fisheries) antara lain dengan memperhatikan (1) kelestarian
lingkungan sumberdaya alam, pengembangan dilakukan secara berkelanjutan,
keamanan pangan, tidak memodifikasi genetik biota, eco-labelling dan
ketertelusuran.
Dalam upaya mensukseskan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan Presiden Republik Indenesia pada 11
Juni 2005, khususnya revitalisasi perikanan budidaya, maka pemerintah
menetapkan prioritas atau fokus kegiatan pengembangan spesies yang (1)
mempunyai permintaan besar baik pasar luar maupun dalam negeri, (2) dapat
dikembangkan secara menguntungkan, (3) mudah diadopsi pembudidaya, serta
(4) waktu produksi pendek yaitu pengembangan komoditas udang dan rumput
laut. Selain itu Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya juga menetapkan 8
(delapan) komoditas lainnya sebagai komoditas unggulan karena mempunyai
potensi untuk ekspor, yaitu: patin, kerapu, nila, lele, gurame, bandeng, abalone
dan ikan hias.
Sesuai dengan visi pengembangan perikanan budidaya yaitu adalah
mewujudkan perikanan budidaya yang berdaya saing dan berkelanjutan sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi andalan maka kebijakan pembangunan perikanan
budidaya adalah (1) pengembangan produksi perikanan budidaya untuk ekspor,
(2) pengembangan produksi perikanan budidaya untuk peningkatan konsumsi
ikan dalam negeri, dan (3) pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan
budidaya.
Pada pelaksanaanya kebijakan tersebut dikemas dalam 3 (tiga) program
pokok pengembangan perikanan budidaya yaitu (1) program peningkatan
24
produksi perikanan budidaya untuk ekspor (PROPEKAN), (2) program
peningkatan produksi perikanan budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat
(PROKSIMAS), dan (3) program perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya
perikanan budidaya (PROLINDA). Program tersebut ditunjung oleh 6 program
penunjang yaitu (1) pengembangan prasarana, (2) pengembangan sistem
perbenihan, (3) pengembangan sistem produksi, (4) pengembangan sistem
pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan, (5) pengembangan sistem usaha
budidaya dan (6) pengembangan sistem administrasi dan kelembagaan.
Menurut Cholik et al (2005) bahwa membangun akuakultur nasional
haruslah berdampak positip pada hal sebagai berikut : tingkat konsumsi ikan oleh
masyarakat, tingkat pendapatan pembudidaya ikan, berkembangnya akuakultur
berkelanjutan dan peningkatan ekspor, pengurangan tekanan terhadap
sumberdaya ikan wilayah pantai, pengkayaan stock ikan di laut dan perairan
umum, pasok bahan baku bagi industri terkait dan pelestarian lingkungan hidup.
Pengembangan akuakultur harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan
sebagai pedoman dapat digunakan CCRF yang sudah diadopsi di banyak
negara. Akuakultur yang memiliki criteria tersebut merupakan akuakultur yang
akan menjadi tumpuan harapan bangsa.
2.3. Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Budidaya
Perkembangan masyarakat dunia pada abad ke-21 telah menunjukkan
kecenderungan adanya perubahan perilaku dan gaya hidup serta pola konsumsi
pangan dari daging merah (red meat) ke produk perikanan. Intensitas kegiatan
atau kesibukan di era kompetisi ketat cenderung meningkat, mengakibatkan
manusia tidak leluasa lagi memanfaatkan waktu untuk menikmati makanan
konvensional yang dimasak dan dikonsumsi di tempat jauh dari tempat bekerja.
Aktivitas perjalanan lintas daerah, kultural, negara, senantiasa membutuhkan
makanan universal yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai
agama, kepercayaan dan budaya. Kecenderungan peningkatan angka harapan
hidup penduduk sebagai salah satu indikator penentu indeks kesejahteraan
(human development index), menuntut persiapan manusia menyongsong era
generasi berusia panjang (older generation era). Salah satu bahan makanan
yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah produk perikanan. Hasil olahan
produk ini dianggap lebih sehat dikonsumsi, netral, dan hasil olahannya sangat
beragam. Kebutuhannya di masa mendatang diprediksi melampaui 50%
25
kebutuhan protein hewani masyarakat dunia 3 g/kg berat badan per hari atau
sekitar 54 kg/kapita/tahun.
Pasokan ikan dunia saat ini sebagian besar berasal dari penangkapan ikan
di laut. Namun demikian, pemanfaatan sumberdaya tersebut di sejumlah negara
dan perairan internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Data FAO (2002)
menunjukkan bahwa pasokan ikan dari kegiatan penangkapan di laut di sebagian
negara, diperkirakan tidak dapat ditingkatkan lagi. Demikian pula kecenderungan
ini terjadi pada usaha penangkapan ikan di perairan Indonesia. Bahkan
berdasarkan hasil penelitian oleh Komisi Stock Assessment pada tahun 2000
menunjukkan bahwa potensi lestari ikan perairan laut Indonesia mengalami
penurunan dari 6,18 juta ton/tahun menjadi 6,01 juta ton/tahun. Oleh karena itu,
alternatif pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari perikanan budidaya
(akuakultur).
Saat ini akuakultur tidak hanya berperan menopang pemenuhan kebutuhan
bahan pangan berupa protein hewani, akan tetapi juga dalam menyediakan
bahan baku bio-industri, dan upaya pelestarian spesies ikan yang terancam
punah (endangered species). Industri pengekstrak bahan aktif dari organisme
akuatik terutama laut, seperti berbagai jenis rumput laut, membutuhkan bahan
baku dalam jumlah yang besar dan cenderung terus meningkat. Berbagai jenis
biota akuatik yang dieksploitasi seperti ikan kerapu terhindar dari ancaman
kepunahan setelah berkembangnya kegiatan budidaya. Dalam pelestarian fungsi
lingkungan perairan, para pembudidaya ikan dapat menjadi ”pengamanan
swakarsa” dari ancaman perusak lingkungan seperti: pengebom dan
penggunaan racun dalam kegiatan penangkapan ikan; pembuangan limbah
industri ke perairan; penambangan karang. Harus disadari bahwa para
pembudidaya sangat berkepentingan dengan kualitas lingkungan yang
terpelihara.
Peran akuakultur dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam
mungkin tidak banyak disadari. Sumberdaya lahan pantai berpasir yang tidak
dapat dimanfaatkan untuk pertanian terbukti bermanfaat untuk tambak udang
dengan konstruksi khusus seperti biocrete dan knock down concrete. Selokan
air atau saluran irigasi sangat produktif dan efisien untuk kolam air deras dan
karamba ikan. Tambak-tambak garam yang awalnya berfungsi tunggal, melalui
modifikasi dan penerapan teknik akuakultur dapat berfungsi ganda yaitu
26
menghasilkan kista dan biomassa artemia, yang nilainya jauh lebih tinggi
daripada garam yang dihasilkan.
Dalam kaitannya dengan keanekaragaman hayati, sumberdaya perikanan
meliputi semua biota yang hidup di perairan tawar maupun laut. Indonesia
dengan perairan laut seluas 5,8 juta km2 merupakan salah satu negara yang
memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia (Soegiarto dan Polunin,
1981 dalam Dahuri, 2002). Kelompok utama biota yang memiliki jumlah spesies
terbanyak di perairan laut Indonesia adalah moluska atau kekerangan (2.500
spesies) terdiri atas kelompok gastropoda (1.500 spesies) dan kelompok bivalve
(1.000 spesies), diikuti oleh kelompok ikan (lebih dari 2.000 spesies), kelompok
krustase (1.502 spesies). Kelompok lainnya adalah hewan karang (910 spesies),
sponge (850 spesies), tumbuhan (832 spesies), ekhinodermata (745 spesies),
burung (148 spesies), mamalia (29 spesies) dan reptil (6 spesies). Sampai saat
ini pemanfaatan keanekaragaman hayati tersebut, baik untuk usaha akuakultur
maupun bahan baku industri masih sangat kecil.
Walau akuakultur bermula dari penerapan teknologi yang sangat
sederhana, bercirikan pedesaan (rural farming activity) dan subsisten atau
sampingan, seperti tambak di Jawa Timur, budidaya ikan mas di Jawa Barat,
namun pada akhir abad 20 akselerasi perkembangan perikanan budidaya
menunjukkan kecenderungan industrialisasi dengan penerapan teknologi maju.
Perikanan budidaya bukan lagi budidaya yang konvensional, tetapi kegiatan
ekonomi dengan manajemen modern yang berimplikasi besar pada berbagai
sektor. Berbagai IPTEK berkembang untuk mendukung pengembangan budidaya
menuju skala besar dan bernilai tambah tinggi. Investasi dalam usaha ini juga
melibatkan modal multinasional. Produk akuakultur telah membawa perubahan
besar bagi industri pangan yaitu menawarkan pasokan yang konsisten, tingkat
harga yang relatif rendah dan jenis produk yang lebih sesuai dengan selera
konsumen, baik dari segi mutu maupun jumlah.
Guna mempertahankan stok atau potensi lestari sumberdaya ikan di
perairan laut perlu alternatif pengelolaan yang tepat, dalam hal ini dapat
memberikan kesempatan sumberdaya ikan melakukan pemulihan secara alami
dan mempertahankan pendapatan nelayan yaitu dengan pengembangan
perikanan tangkap yang berbasis pada perikanan budidaya. Perikanan tangkap
berbasis budidaya ini pada prinsipnya adalah pengembangan budidaya ikan
untuk menunjang ketersediaan stok sumberdaya ikan di perairan umum atau laut
27
(De Silva et al., 2006). Tujuan dari sistem pengelolaan perikanan tangkap
berbasis budidaya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan atau
pembudidaya dan sekaligus mempertahankan kelestarian stok sumberdaya ikan
di alam.
Lebih lanjut di jelaskan De Silva et al. (2006), bahwa dalam pengelolaan
perikanan tangkap berbasis budidaya tersebut terlihat adanya interaksi antara
kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Pelaksanaan pengelolaan ini
melibatkan pembudidaya ikan atau kegiatan budidaya ikan pada tahap
penyiapan benih ikan untuk ditebar dan kegiatan penangkapan setelah ikan
mencapai ukuran tertentu. Kegiatan budidaya yang dilakukan dalam pelaksanaan
pengelolaan tersebut dalam bentuk kegiatan pembenihan ikan di hatchery,
dilanjutkan dengan pemeliharaan benih sampai siap ditebar dan dibudidayakan
dalam karamba jaring apung.
Kegiatan perikanan tangkap dalam pengelolaan ini berperan pada saat
pengaturan penangkapan ikan yang telah ditebar di perairan umum.
Penangkapan tersebut berdasarkan ukuran ikan, ikan yang dapat ditangkap
adalah ikan yang sudah mencapai ukuran konsumsi. Sedangkan jumlah
penangkapan dalam sebenarnya tidak dibatasi sesuai jumlah ikan yang ditebar.
Alat tangkap yang digunakan merupakan alat tangkap yang selektif dan tidak
destruktif atau merusak dan disesuaikan dengan jenis dan habitat ikan yang di
tebar.
Sistem pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya terlihat interaksi
mutualisme antara kegiatan budidaya (pembenihan, pendederan dan
pembesaran) dengan kegiatan penangkapan ikan di perairan umum tersebut.
Dengan pelaksanaan pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya,
kesejahteraan pembudidaya akan terjamin yaitu dari hasil usahan pembenihan
dan pembesaran, sementara itu tingkat kesejahteraan nelayan juga akan
meningkat dengan ketersediaan stok ikan di perairan yang terjamin dan
berkelanjutan (sustainable).
Besarnya tekanan terhadap sumberdaya perikanan baik dari kegiatan
penangkapan maupun perubahan dan penurunan mutu lingkungan pada suatu
kawasan perairan dapat dikendalikan diantaranya dengan kegiatan penebaran
kembali benih ikan atau restocking, perbaikan mutu lingkungan dan
pengendalian kegiatan penangkapan. Sedangkan dalam hal pengelolaan
sumberdaya pendekatan co-management terbukti lebih efektif. Karena dengan
28
pendekatan co-management seluruh stakeholders terkait dilibatkan dan merasa
memiliki kepentingan terhadap objek yang dikelola seperti sumberdaya
perikanan.
Kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya (culture based fisheries-
CBF) adalah salah satu model pengelolaan sumberdaya perikanan yang
menerapkan prinsip co-management yang pada pelaksanaannya melakukan
upaya penebaran kembali (restocking), pemeliharaan lingkungan perairan dan
pengendalian kegiatan penangkapan dalam rangka mewujudkan keberlanjutan
pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu perairan oleh masyarakat
setempat dengan pembinaan dan stimulasi dari pemerintah. Rangkaian kegiatan
yang komprehensif tersebut oleh Lorenzen (1995) disebut sebagai adaptive
management yaitu pengelolaan berdasarkan aspek biologi ikan, biofisik perairan
dan pemberdayaan pelakunya.
Model perikanan tangkap berbasis budidaya telah diadopsi banyak negara
penghasil produk perikanan utama dunia dalam pemanfaatan sumberdaya
perairan untuk kegiatan perikanan seperti: China, Thailand, Vietnem, Philipina,
Kamboja, Birma, Bangladesh, Laos dan Sri Lanka. Upaya ini dilakukan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang terdiri atas ikan dan
perairan habitatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia kegiatan yang
hampir sejenis sudah menjadi kearifan lokal (local wisdom) di beberapa daerah
seperti Lebak-Lebung di Sumatera Selatan, Ikan Larangan di Sumatera Barat,
Sasi di Maluku dan Awik-Awik di Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi sebahagian
kearifan lokal tersebut telah memudar atau kurang efektif karena pengaruh
modernisasi dan globalisasi. Untuk itu perlu dilakukan upaya perbaikan guna
meningkatkan efektivitas pelaksanaanya, dimana model perikanan tangkap
berbasis budidaya dapat menjadi salah satu pilihan untuk dikembangkan.
Pada pelaksanaannya keberhasilan pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya sangat ditentukan oleh aspek kelembagaan pengelola
(organisasi, keanggotaan dan aturan), penetapan wilayah, penentuan jenis ikan
yang akan ditebar, ketersediaan benih ikan, pengendalian kegiatan penangkapan
dan pengawasannya, serta untuk implementasinya di perairan laut yang bersifat
open acces maka model comunity-based fisheries management dapat
diterapkan. Model comunity-based fisheries management telah
direkomendasikan oleh Valbo-Jorgensen dan Thompson (2007) sebagai hasil
29
kegiatan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya yang
dilaksanakannya di Bangladesh.
Program pemacuan stok dalam rangka peningkatan sumberdaya ikan
sudah dikembangkan di beberapa negara seperti Jepang, China dan Norwegia.
Pemacuan stok ikan di Jepang telah berdampak terhadap peningkatan produksi
sea bream sebesar 8% dan Blue crab sebesar 22 %. Laporan FAO tahun 1999
menyebutkan bahwa upaya pemacuan stok di perairan umum daratan di China
dan Vietnam dapat meningkatkan hasil penangkapan sebesar 20% dari total
hasil penangkapan sebesar 2 juta ton/tahun. Sedangkan di Norwegia berhasil
meningkatkan produksi ikan hingga 32%.
Penerapan teknik pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia yang berupa
penebaran dan introduksi ikan serta perlindungan sumberdaya ikan melalui
penetapan kawasan suaka perikanan telah lama dilakukan terutama di perairan
umum daratan sejak jaman penjajahan Belanda. Meskipun kegiatan introduksi
dan restoking ikan telah lama dilakukan, kontribusinya terhadap hasil tangkapan
belum menunjukkan hasil yang nyata bahkan di beberapa perairan berdampak
terhadap penurunan keragaman dan kelimpahan species lokal yang disebabkan
oleh kompetisi dan atau predasi. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh
penerapannya yang tidak didasarkan atas hasil kajian ilmiah yang memadai dan
tidak dilakukan atas kaidah pendekatan kehati-hatian.
Hal tersebut berbeda dengan peningkatan kelimpahan stok ikan melalui
pengelolaan suaka perikanan yang dilakukan sejak sebelum penjajahan
Belanda, seperti suaka perikanan Danau Loa Kang dan Danau Batu Bumbun di
DAS Mahakam, Kalimantan Timur yang dikelola pada masa Kerajaan Kutai
Kartanegara, sekitar 500 tahun yang lalu. Suaka tersebut sangat berperan dalam
memasok benih ikan secara alami dan berperan dalam pelestarian sumberdaya
ikan. Dewasa ini, penerapan kearifan lokal dalam pengelolaan suaka tersebut
telah luntur sehingga suaka yang ada tidak berfungsi optimal lagi.
Menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan, (2009) bahwa BRKP telah
melakukan penerapan pemacuan sumberdaya ikan di Indonesia berbasis hasil
kajian ilmiah yang dirintis sejak tahun 2000 di perairan umum daratan dan laut. Di
perairan umum daratan, pelaksanaan pemacuan sumberdaya ikan terutama
dilakukan di perairan waduk dan danau. Di beberapa kawasan, penerapan
pemacuan sumberdaya ikan mulai mempertimbangkan aspek daya dukung
perairan, kesesuaian habitat dan jenis ikan, peluang kompetisi antara jenis ikan
30
tebaran dengan jenis ikan asli, jumlah padat tebar optimal, dan monitoring dan
evaluasi keberhasilan ataupun kegagalannya serta diikuti dengan
pengembangan kelembagaan pengelolaannya. Di perairan laut, penerapan
pemacuan sumberdaya ikan disertai penerapan teknik rehabilitasi habitat
terumbu karang.
Berbagai penerapan pemacuan sumberdaya ikan yang telah dilakukan
menunjukkan hasil yang menggembirakan antara lain:
a) Introduksi ikan patin (Pangasionodon hypopthalmus) di Waduk Wonogiri,
Jawa Tengah.
b) Introduksi udang galah (Macrobrachium rosernbergii) di Waduk Darma, Jawa
Barat
c) Pengembangan suaka ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) di Danau
Singkarak, Sumatera Barat.
d) Introduksi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dari Danau Singkarak ke
Danau Toba, Sumatera Utara.
e) Penebaran kembali (restocking) ikan baung (Mystus nemurus) di Waduk
Wadaslintang, Jawa Tengah
f) Penebaran ikan bandeng (Chanos chanos) di Waduk Djuanda, Jatiluhur-
Jawa Barat
g) Rehabilitasi terumbu karang di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan
Jemeluk, Bali.
Introduksi ikan patin siam ukuran 10-15 gram per ekor dengan jumlah
total 45.000 ekor ke Waduk Wonogiri (luas 7.800 ha) dilakukan pada tahun 2002.
Ikan patin yang ditebarkan tersebut ternyata dapat melakukan pemijahan di
muara sungai yang masuk waduk sehingga dengan melindungi kawasan
pemijahan dan asuhannya, tidak diperlukan penebaran kembali benih patin.
Introduksi ikan ini telah meningkatkan produksi perikanan tangkap sebesar
112.215 kg (tangkapan ikan patin) senilai 785,5 juta rupiah pada tahun 2004 dan
pada tahun 2007, hasil tangkapan ikan patin meningkat menjadi 150.034 kg
senilai 1,3 milyar rupiah.
Introduksi udang galah di Waduk Darma menghasilkan produksi sebesar
337,65 kg senilai 13,5 juta rupiah meskipun udang galah yang ditebarkan hanya
26.500 ekor atau 26,5% dari jumlah optimum penebaran, yaitu sekitar 100.000
ekor. Apabila penebaran udang galah dilakukan secara optimum maka ditaksir
31
akan dihasilkan produksi senilai 70-140 juta rupiah per tahun yang akan
menambah pendapatan bagi 120 orang nelayan di perairan waduk tersebut.
Untuk mengatasi penurunan hasil tangkapan ikan bilih di habitatnya yang
asli (Danau Singkarak) telah pula diterapkan pembentukan suaka buatan di
Sungai Sumpur, salah satu sungai yang masuk Danau Singkarak. Dari suaka
buatan tersebut ternyata dapat melestarikan induk ikan bilih sebanyak 3,3 juta
ekor per tahun dan benih ikan bilih sebanyak 5,46 juta ekor per tahun. Benih ikan
bilih ini masuk ke danau sebagai peremajaan stok ikan bilih yang akan ditangkap
nelayan.
Introduksi ikan bilih sebanyak 2.850 ekor, satu-satunya ikan endemik dari
Danau Singkarak dilakukan ke Danau Toba pada tahun 2003. Ikan bilih yang
ditebarkan mampu tumbuh dan berkembang biak dengan baik sehingga pada
tahun 2005, hasil tangkapan ikan bilih mencapai 653,6 ton senilai 3,9 milyar
rupiah. Hasil tangkapan ikan bilih terus meningkat sehingga pada tahun 2007
produksinya mencapai 8.500 ton dan pada tahun 2008 meningkat tajam menjadi
13.000 ton.
Pada tahun 2003-2004, penebaran kembali (restocking) ikan baung telah
pula dilakukan di Waduk Wadaslintang. Ikan baung adalah ikan asli di perairan
waduk ini dan ekonomis tinggi, namun populasinya menurun karena tekanan
penangkapan dan keterbatasan habitat pemijahannya. Upaya penebaran
kembali ikan baung ini telah berhasil meningkatkan hasil tangkapan sebesar 15%
dari total hasil tangkapan ikan.
Pada tahun 2008, berdasarkan rekomendasi hasil riset, telah dilakukan
penebaran ikan bandeng di Waduk Djuanda, Jawa Barat sebanyak 2,112 juta
ekor. Ikan bandeng tumbuh pesat dari ukuran rata-rata satu gram per ekor
menjadi 100-150 gram per ekor dalam waktu 3 bulan setelah penebaran. Selama
empat bulan penangkapan telah tercatat sebanyak 65 ton ikan bandeng senilai
455 juta rupiah pada tingkat harga nelayan.
Pemacuan sumberdaya ikan dalam bentuk rehabilitasi terumbu karang
yang dilakukan di perairan laut, seperti Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan
Teluk Jemeluk, Bali menunjukkan indikasi keberhasilan dalam pemulihan
terumbu karang dan peningkatan kanekaragaman jenis ikan di perairan tersebut.
Belajar dari pengalaman empiris tersebut dengan rata-rata produksi
perikanan tangkap perairan umum daratan sebesar 290.880 ton dan perikanan
tangkap di laut sebesar 4,3 juta ton, maka dengan pemacuan stok target
32
peningkatan produksi perikanan tangkap yang dicanangkan sebesar 19,24%
dapat dicapai hanya melalui penerapan pemacuan stok di perairan umum
daratan saja. Pada tahun 2010 produksi perikanan tangkap di perairan umum
daratan tersebut diprediksi akan mencapai sekitar 1,2 Juta ton.
Menurut Bell et al (2006), bahwa ada contoh keberhasilan dalam
pemacuan stock yang dilakukan di Jepang tentang perikanan scallop. Menurut Uki (2006), bahwa keberhasilan pemacuan stock yang dilakukan di
Jepang dalam pengkayaan stock di laut untuk peningkatan perikanan
scallop di Hokkaido, Jepang dengan memberikan kontribusi panen tetap
tahunan sebesar 300,000 ton per tahun. Panen tersebut menggambarkan
peningkatan kelipatan empat dalam penangkapan yang maksimum.
keberhasilan dari pengkayaan stok scallop di Hokkaido sebagai akibat :
metode yang simple dan efektif dalam penangkapan dan pembesaran
spat dalam jumlah besar; habitat yang ideal untuk pengembangan scallop;
rata-rata kelangsungan hidup spat sebesar >30%. Selanjutnya disebutkan
bahwa elemen yang luar biasa dalam perikanan ini adalah pengembangan
metode untuk penangkapan, pembesaran dan penebaran sebesar 2
milliar benih setiap tahun. Pemakaian spat yang liar tidak hanya untuk
bypass kebutuhan hatcheries, tapi juga menghilangkan resiko
pengenalan binatang genetic modifikasi. Biaya mengumpulkan dan
pembesaran spat dalam ukuran tertentu dilakukan oleh nelayan. Mereka
juga mengorganisir monitoring dan pengawasan populasi scallop dan
lingkungan pada 200 titik di area perikanan, menyesuaikan penangkapan
spat setiap tahun agar dapat memenuhi kebutuhan estimasi untuk
menebarkan benih, menghilangkan predator starfish, dan memberikan
pelatihan kepada anggota baru di koperasi.
2.4 Teori Sistem
2.4.1 Pengertian sistem
Sistem sebagai teori pertama kali dikembangkan oleh L.V. Bertalanffy yang
memperkenalkan pemikirannya tentang General System Theory (GST), ia
mendefenisikan sistem sebagai totalitas dari bagian-bagian yang saling
berhubungan. Paradigma GST menekankan perlunya keahlian generalis dan
33
pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien.
(Pressman 1992 diacu dalam Agustedi 2000). Kesisteman adalah suatu meta
konsep atau meta disiplin, dimana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin
ini dan pengetahuan sosial dapat dipadukan dengan berhasil. Pendekatan sistem
adalah mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh
(Eriyatno dan Fadjar, 2007). Marimin (2004), mendefinisikan sistem sebagai satu
kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain
yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks.
Pengertian tersebut mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan
antara bagian, ini menunjukkan kompleksitas dari sistem yang meliputi
kerjasama antara bagian yang interdependen satu sama lain. Selain itu dapat
dilihat bahwa sistem berusaha mencapai tujuan. Pencapaian tujuan ini
menyebabkan timbulnya dinamika, perubahan-perubahan yang terus menerus
perlu dikembangkan dan dikendalikan. Defenisi tersebut menunjukkan bahwa
sistem sebagai gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur
dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan.
Semua defenisi tentang sistem mencakup lima unsur utama yang terdapat
dalam sistem yaitu:
(1) Elemen-elemen atau bagian-bagian
(2) Adanya interaksi atau hubungan antar elemen-elemen atau bagian-bagian
(3) Adanya sesuatu yang mengikat elemen-elemen atau bagian-bagian
tersebut menjadi suatu kesatuan.
(4) Terdapat tujuan bersama, sebagai hasil akhir
(5) Berada dalam suatu lingkungan yang kompleks
Elemen-elemen yang saling berinteraksi tersebut sering disebut sebagai
subsistem. Disebut demikian karena sebenarnya subsistem tersebut merupakan
suatu sistem yang mempunyai komponen-komponen tersendiri. Sebaliknya suatu
sistem dapat dikatakan sebagai subsistem dari suatu sistem lain yang lebih besar
(Simatupang, 1995).
Manetsch dan Park (1974), mendefinisikan sistem sebagai satu set elemen
atau komponen yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan terorganisir untuk
menghasilkan satu set tujuan. Tiga syarat agar pendekatan sistem dapat bekerja
dengan baik: (1) tujuan sistem ditentukan dengan pasti, (2) proses pengambilan
keputusan dalam sistem yang nyata harus dapat dipusatkan dan (3)
memungkinkan perencanaan jangka panjang.
34
Dent dan Blackie (1979), menyebutkan bahwa penelitian sistem mencakup
dua hal, yaitu analisis komponen dan hubungannya serta proses sintesa yang
mungkin membentuk sistem baru atau mengefisienkan sistem aslinya. Hal yang
penting dalam mempelajari sistem adalah menentukan batas sistem agar dapat
membantu mengerti fungsi sistem tersebut. Eriyatno (1998) berpendapat bahwa
pendekatan sistem memberikan metode yang logis untuk penanganan masalah
dan merupakan alat yang memungkinkan untuk mengidentifikasikan,
menganalisis, menstimulasi serta mendesain sistem keseluruhan.
Eriyatno (1998) menyatakan bahwa metode untuk memecahkan masalah
yang dilakukan dengan melalui pendekatan sistem terdiri dari beberapa tahap
proses. Tahap-tahap tersebut meliputi: evaluasi kelayakan, penyusunan model
abstrak, implementasi rancangan, implementasi dan operasi sistem. Menurut
Cooper (1969), ada dua tahap dalam penyusunan model yaitu
mengidentifikasikan komponen-komponen yang penting dari sistem dan
menentukan hubungan-hubungan fungsi kuantitatif dari semua komponen.
Pendekatan sistem diperlukan untuk menyelesaikan persoalan dengan
melalui tahapan-tahapan dimana untuk menentukan tujuan dan permasalahan
diawali dengan penentuan kebutuhan-kebutuhan dari setiap pelaku yang terlibat.
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis dengan metode yang
logis untuk penanganan masalah dan merupakan alat yang memungkinkan untuk
mengidentifikasikan, menganalisis, menstimulasi serta mendesain sistem
keseluruhan (Marimin, 2004; Eriyatno dan Fadjar, 2007). Menurut Eriyatno dan
Fadjar (2007), dalam pendekatan sistem terdapat enam tahapan analisis
sebelum sampai kepada sintesa (rekayasa), yaitu: (1) analisis Kebutuhan; (2)
identifikasi sistem; (3) formulasi masalah; 4) pemodelan sistem; 5) verifikasi dan
validasi model, dan 6) implementasi. Langkah ke 1 sampai dengan ke 6
umumnya dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal dengan Analisa
Sistem.
2.4.2 Sistem manajemen ahli
Sistem manajemen ahli merupakan integrasi dari sistem penunjang
keputusan dan sistem pakar. Integrasi tersebut dapat berupa memasukan
sistem pakar ke dalam komponen-komponen sistem penunjang keputusan atau
dengan membuat sistem pakar sebagai komponen yang terpisah dari sistem
35
penunjang keputusan. Integrasi sistem pakar pada sistem penunjang keputusan
dapat dilakukan pada basis data, basis model, sistem dialog, maupun pada
rekayasa sistem dan pengguna. penggunaan sistem pakar di luar komponen
sistem penunjang keputusan dilakukan dengan menggunakan keluaran dari
sistem pakar sebagai masukan pada sistem penunjang keputusan atau
sebaliknya. disamping itu, sistem pakar juga dapat digunakan untuk melengkapi
proses pengambilan keputusan pada sistem penunjang keputusan (Turban,
1988).
Sistem manajemen ahli lahir dari perpaduan dua bentuk sistem yaitu sistem
penunjang keputusan dan sistem pakar (knowledge-based systems). sistem
manajemen ahli merupakan sistem yang menerapkan konsep framework untuk
melakukan analisis struktur terhadap proses pengambilan keputusan. hasil
analisa tersebut selanjutnya akan diproses di dalam suatu sistem pakar untuk
membantu pengguna dalam memecahkan masalah. teknik-teknik yang
mendukung sistem manajemen ahli dapat dilihat pada Gambar 5.
Eriyatno (1998) berpendapat bahwa sistem manajemen ahli dapat
didefinisikan sebagai gabungan interaktif dari tiga basis sumberdaya informasi,
yaitu sistem manajemen basis data (Data Base Management System), sistem
manajemen basis model (Model Base Management System), dan sistem
manajemen basis pengetahuan (Knowledge Base Management System). Ketiga
Basis Pengetahuan • Heuristik • Tatacara inferensi
Ilmu Manajemen • Manajemen Penelitian
& Pengembangan
Model Optimasi • Program Matematika • ProgramSasaran
Ganda
Perangkat Lunak • User Friendly • Integrated
Analisa Keputusan • Model preferensi
manusia • Model keputusan
normatif • Analisa utilitas atribut
ganda
SISTEMMANAJEMEN AHLI
Gambar 5. Teknik-teknik pendukung sistem manajemen ahli (Eriyatno 1998).
36
basis informasi tersebut diolah dalam unit pemrosesan terpusat yang menerima
sinyal dari sistem manajemen dialog (Dialogue Management System) yang
bersifat interaktif dengan pengguna. Struktur dari sistem manajemen Ahli dapat
dilihat pada Gambar 6.
2.4.3.Sistem penunjang keputusan
Menurut Eriyatno (1998), sistem penunjang keputusan (SPK) adalah
konsep spesifik yang menghubungkan sistem komputerisasi informasi dengan
para pengambil keputusan sebagai pemakainya. Sistem penunjang keputusan
dimaksudkan untuk memaparkan secara rinci elemen-elemen sistem sehingga
dapat menunjang dalam proses pengambilan keputusan. Karakterisasi pokok
yang melandasi teknik sistem penunjang keputusan yaitu:
(1) Interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan
(2) Adanya dukungan menyeluruh (holistik) dari keputusan bertahap berganda
(3) Suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain
ilmu komputer, ilmu sistem, psikologi, ilmu manajemen, dan intelegensia
buatan
(4) Mempunyai kemampuan aditif terhadap perubahan kondisi dan
kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.
Eriyatno (1998) melanjutkan bahwa aplikasi sistem penunjang keputusan
selanjutnya mampu mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu melalui pendekatan
sistem. Penggunaan sistem penunjang keputusan seyogyanya ditunjang oleh
Gambar 6 Struktur sistem manajemen ahli.
Pengguna
Sistem Manajemen Dialog
Struktur Komunikasi
Sistem Manajemen Basis Data
Sistem Manajemen Basis Model
Model-model
kuantitatif dalam pengambilan
keputusan
Sistem Manajemen Basis Pengetahuan
- “Query Generation” - Transformasi
Jawaban - Aturan yang berlaku
Pengguna Pengguna
37
berbagai studi lapangan dan penelitian kasus guna menelusuri validitas input dan
parameter-parameternya.
Landasan utama dalam pengembangan sistem penunjang keputusan untuk
model manajemen adalah konsepsi model. Konsepsi model ini diperlukan untuk
menggambarkan secara abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan,
yaitu: (1) pengambil keputusan atau pengguna, (2) model, dan (3) data.
Hubungan antar komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
Menurut Minch dan Burns (1983), sistem manajemen dialog adalah
subsistem dari sistem penunjang keputusan yang berkomunikasi langsung
dengan pengguna, yakni menerima masukan dan memberikan keluaran. sistem
manajemen basis data harus bersifat interaktif dan luwes dalam arti mudah
dilakukan perubahan terhadap ukuran, isi, dan struktur elemen-elemen data.
sistem manajemen basis model memberikan fasilitas pengelolaan model untuk
mengkomputasikan pengambilan keputusan dan meliputi semua aktivitas yang
tergabung dalam permodelan sistem penunjang keputusan.
Sistem pengolahan problematik adalah koordinator dan pengendali dari
operasi sistem penunjang keputusan secara menyeluruh. sistem ini menerima
masukan dari ketiga sub sistem lainnya dalam bentuk baku serta menyerahkan
keluaran ke sub sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula. Fungsi
utamanya adalah sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan
antar sub sistem (Eriyatno,1998).
Data Model
Pengguna
Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)
Sistem Pengolahan Problematik
Sistem Manajemen Dialog
Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)
Gambar 7. Struktur dasar sistem penunjang keputusan (Eriyatno 1998).
38
Keen dan Morton (1978) dalam Marimin (2004), menyatakan bahwa
aplikasi Sistem Penunjang Keputusan akan bermanfaat bila terdapat kondisi
sebagai berikut:
(1) Data sangat banyak sehingga sulit untuk memanfaatkannya.
(2) Waktu untuk menentukan hasil akhir atau mencapai keputusan terbatas.
(3) Diperlukan manipulasi dan komputasi dalam proses pencapaian tujuan.
(4) Perlunya penentuan masalah, pengembangan alternatif dan pemilihan
solusi berdasarkan akal sehat.
2.4.4. Sistem pakar
Menurut Oxman (1985) dalam Marimin (2005), sistem pakar (Expert
System) merupakan perangkat lunak komputer yang menggunakan pengetahuan
(aturan-aturan tentang sifat dan unsur suatu masalah), fakta, dan teknik inferensi
untuk memecahkan masalah yang biasanya membutuhkan kemampuan seorang
ahli/praktisi. System pakar menggunakan informasi faktual dan observasi yang
didasarkan atas pengalaman dan intuisi ahli agar sistem pakar dapat bernalar
seperti manusia. Sistem pakar tidak memiliki solusi algoritma yang praktis.
Seringkali keputusan dibuat berdasarkan informasi yang tidak lengkap
berdasarkan pendapat dan intuisi, spekulatif, tidak pasti, dan kabur (fuzzy).
Menurut Marimin (2005), pengetahuan yang digunakan dalam sistem pakar
terdiri dari kaidah-kaidah (rules) atau informasi dari pengalaman tentang tingkah
laku suatu unsur dari suatu gugus persoalan. Kaidah-kaidah biasanya
memberikan deskripsi tentang kondisi yang diikuti oleh akibat dari prasyarat
tersebut. Sistem pakar dapat memberikan saran, kesimpulan, dan penjelasan
untuk menyelesaikan persoalan tertentu.
Sistim pakar terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan
dan konsultasi. Bagian pengembangan sistem pakar digunakan oleh
penyusunnya untuk memasukan pengetahuan dasar ke dalam lingkungan sistem
informasi. Sedangkan bagian konsultasi digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan ahli serta saran, nasehat ataupun justifikasi (Marimin, 2005).
39
Sistem pakar terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian pengembangan
Marimin (2005) melanjutkan, bahwa pada prinsipnya sistem pakar tersusun
dari beberapa komponen yang mencakup:
(1) fasilitas akuisisi pengetahuan
(2) sistem berbasis pengetahuan (knowledge based system)
(3) mesin inferensi (Inference Engine)
(4) fasiltas untuk penjelasan dan justifikasi
(5) penghubung antara pengguna dengan sistem pakar (User interface)
Tiap bagian mempunyai hubungan yang erat dengan bagian lainnya.
Keterkaitan antar komponen-komponen tersebut disajikan pada Gambar 8.
Bagian terpenting dari Sistem Pakar adalah mekanisme inferensi yang berfungsi
untuk memanipulasi dan mengarahkan fakta, kaidah dan model yang disimpan
dalam sistem berbasis pengetahuan dalam rangka mencapai solusi atau
kesimpulan. Mekanisme inferensi terdiri dua strategi, yaitu (1) strategi penalaran
dan (2) strategi pengendalian. Strategi penalaran dikelompokan lagi menjadi
strategi penalaran pasti (Exact Reasoning Mechanism) dan strategi penalaran
tidak pasti (Inexact Reasoning Mechanism).
Gambar 8. Struktur dasar sistem pakar (Marimin, 2005).
AHLI Pengguna
Penghubung
Akuisisi ilmu pengetahuan
Sistem berbasispengetahuan
Dangkal
Mendalam
Statis Dinamis
MekanismeInferensi
Strategi
Penalaran
Strategi
Pengendalian
- Fakta - Aturan - Model
- Fakta - Aturan - Model
- Fakta - Aturan - Model
Fasilitas penjelasan
- Nasehat - Justifikasi - Konsultasi
40
Menurut Marimin (2005), strategi penalaran pasti meliputi modus ponens
dan modus tollens dan beberapa teknik resolusi. Kaidah modus ponens dapat
digambarkan sebagai berikut:
Dari penggambaran tersebut di atas dapat diartikan apabila ada kaidah jika
A maka B dan diketahui bahwa A benar,maka dapat diambil kesimpulan yang
sah bahwa B adalah benar.
Kaidah modus tollens pada prinsipnya merupakan kebalikan dari kaidah
modus ponens, dan dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari penggambaran tersebut di atas dapat diartikan apabila ada kaidah jika
A maka B dan diketahui bahwa B adalah salah,maka dapat disimpulkan bahwa A
salah.
Strategi pengendalian yang sering digunakan dalam Sistem Pakar terdiri
dari mata rantai ke depan (Forward Chaining), mata rantai ke belakang
(Backward Chaining), dan gabungan dari kedua teknik pengendalian tersebut.
Ketiga teknik strategi pengendalian tersebut digunakan untuk melakukan
pencarian dan pembuktian bahwa suatu solusi dari suatu persoalan ada atau
benar.
Teknik mata rantai ke belakang melacak suatu kesimpulan sementara atau
akhir yang kemudian dilacak melalui fakta-fakta pendukung dan kaidah-kaidah
yang ada, serta untuk mendapatkan variabel pembentuk kesimpulan.
Sedangkan pada teknik mata rantai ke depan, kesimpulan suatu kasus dibangun
berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahui.
Dengan struktur dasar seperti telah dijelaskan di atas, Marimin (2005)
berpendapat bahwa sistem pakar merupakan salah satu alternatif terbaik untuk
menyelesaikan persoalan dengan menggunakan komputer yang didukung oleh
teknik kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), terutama untuk pemecahan
A B
A
B
A B
(not) B
(not) A
41
persoalan yang kompleks dan belum memiliki algoritme. Dalam penerapannya,
sistem pakar dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang bersifat
analitis (interprestasi dan diagnostik), sintesis, dan integrasi yang sesuai dengan
konsep sistem informasi dengan penerapan data dasar (modelisasi konseptual,
konsepsi fisik, restrukturisasi data dan administrasi dokumen).
2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang telah dilakukan yang berkaitan dengan analisa kelayakan
investasi diantaranya telah dilakukan oleh Hadisenjaya (1995) yang merancang
dan mengembangkan model FISHTool yang merupakan aplikasi sistem
penunjang keputusan untuk investasi pada industri tepung ikan. Model ini dibuat
untuk membantu menganalisa kelayakan pendirian industri tepung ikan ditinjau
dari aspek pasar, aspek teknis khususnya pemilihan lokasi, dan aspek finansial.
Kriteria investasi yang digunakan untuk mengukur kelayakan dalam model ini
adalah Payback Period, Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return
(IRR).
Selanjutnya Agustedi (2000) merancang model Perencanaan Pembinaan
Agroindustri Hasil Laut Orientasi Ekspor dengan Pendekatan Wilayah yang
dikembangkan. Penelitian tersebut bertujuan untuk menghasilkan suatu model
perencanaan dan pembinaan agroindustri hasil laut orientasi eksport dengan
pendekatan wilayah yang antara lain meliputi analisis faktor-faktor pendukung
dan penghambat pembinaan agroindustri hasil laut, menganalisis struktur biaya
biaya usaha agro industri hasil laut. Penelitian juga menghasil satu perangkat
lunak AGROSILA sebagai suatu model berbasis komputer.
Penelitian Giyatmi (2005) dengan judul Sistem Pengembangan Agroindustri
Perikanan Laut: Suatu Kajian Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Provinsi
Jawa Tengah. Penelitian ini antara lain bertujuan untuk mengkaji dan
merumuskan cara pengelompokan wilayah untuk pengelompokan kawasan
pengembangan, mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas
potensial dan produk unggulan agroindustri perikanan laut, serta kelayakan
usahanya di masing-masing kawasan pengembangan serta menyusun suatu
strategi pengembangan dan cara pemberdayaan kelembagaan agroindustri
perikanan laut serta mengembangkan alternatif model pengembangan
agroindustri hasil laut berbasis sistem penunjang keputusan. Kajian ini
42
menghasilkan sistem pengembangan agroindustri perikanan laut yang dirancang
dalam suatu program komputer dengan nama AGRIPAL.
CAP-AQUADEV ini dirancang untuk membantu para pengambil keputusan
di lingkungan pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan ke depan. Hasil
akhir yang direkomendasikan yaitu (1) sub model potensi SDI, (2) sub model
kesesuaian lahan, (3) sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan, (4) sub
model pemilihan komoditas potensial, (5) sub model kelayakan usaha, (6) sub
model strategi, dan (7) sub model kelembagaan.
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 24 bulan, mulai dari Maret 2006 hingga
Maret 2008. Pengolahan, tabulasi, dan analisis data serta pembuatan perangkat
lunak komputer dilaksanakan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (FPIK
IPB). Penelitian lapang di laksanakan di Kabupaten Lampung Selatan.
Kegiatan penelitian meliputi:
(1) Survei terhadap lokasi penelitian untuk analisis dan identifikasi masalah
terkait dengan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya serta
merancang percobaan penelitian dilakukan pada bulan Maret 2006 -April
2006.
(2) Studi pustaka untuk mendapatkan data-data pendukung dalam analisis
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, dilakukan bulan April
2007-Mei 2007 di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Jakarta,
Badan Riset Kelautan dan Perikanan Jakarta, lembaga-lembaga penelitian
terkait lainnya, FPIK IPB dan perguruan tinggi lain.
(3) Pengumpulan data utama terkait dengan integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya, dilakukan di Lampung Selatan,
Dinas Perikanan dan Kelautan Lampung, DKP, FPIK IPB, bulan Juni 2007–
Nopember 2007.
(4) Pengolahan data dan pembuatan perangkat lunak komputer CAP-
AQUADEV, dilakukan di FPIK IPB bulan Nopember 2007-Maret 2008.
(5) Penulisan laporan dan konsultasi (disertasi) bulan Agustus 2007–Maret
2008, dilakukan di FPIK IPB.
3.2. Tahap Penelitian
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka pelaksanaan penelitian ini melalui
tahapan:
(1) Pengambilan data primer dan sekunder;
(2) Analisis potensi SDI dan kondisi existing perikanan tangkap;
(3) Analisis kesesuaian lahan untuk budidaya;
(4) Analisis pemilihan teknologi unggulan;
(5) Analisis pemilihan komoditas potensial;
44
(6) Analisis kelayakan usaha;
(7) Analisis kelembagaan
(8) Identifikasi elemen sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya; serta
(9) Perancangan software Cap-Aquadev.
Gambar 9. Bagan alir proses penelitian
Identifikasi elemen sistem pengembangan dimaksudkan untuk
mendapatkan elemen-elemen penting sistem yang digunakan untuk
perancangan model integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya. Permodelan sistem digunakan untuk merumuskan hubungan antara
masukan dan keluaran dan memprediksi hasil yang dimungkinkan. Pengumpulan
data digunakan untuk melakukan verifikasi model, yaitu di Lampung Selatan.
Perancangan sistem pengambilan keputusan berbasis komputer dimaksudkan
untuk mendukung proses pengambilan keputusan yang rasional dalam integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya secara cepat dan
efektif.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Dalam pelaksanaan penelitian, data dikumpulkan melalui studi pustaka dan
survei lapang untuk mendapatkan data primer dan sekunder. Data sekunder
45
diperoleh dari beberapa literatur dan instansi terkait, baik di daerah maupun di
tingkat pusat. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara
mendalam (in-depth interview) atau dengan bantuan kuesioner terhadap pihak
terkait, seperti nelayan, pelaku usaha budidaya, tenaga kerja yang bergerak
pada usaha budidaya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Teknik
pengambilan contoh (expert survey) dilakukan dengan teknik pengambilan
contoh purposif (purposive sampling) dengan kriteria mewakili setiap bidang
keahlian sesuai bidang kajian.
3.4. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan terhadap data primer dan sekunder yang telah
dikumpulkan dengan menggunakan berbagai metode yang tercakup dalam
Model CAP-AQUADEV. Konfigurasi Model CAP-AQUADEV terdiri dari Sub
Model Potensi SDI, Sub Model Kesesuaian Lahan Pengembangan Perikanan
Budidaya, Sub Model Pemilihan Teknologi Penangkapan Ikan yang Layak
dikembangkan, Sub Model Pemilihan Komoditas Unggulan, Sub Model
Kelayakan Usaha, Sub Model Strategi integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, Sub Model Kelembagaan pengembangan
perikanan tangkap berbasis budidaya.
Tabel 1. Matriks pengambilan dan analisa data penelitian
Tujuan Penelitian Metode Pengambilan Data
Metode Pengolahan dan Analisa Data
1. Kajian potensi SDI di Lampung Selatan
Survei lapang CPUE dan MSY
2. Kajian kesesuaian lahan pada wilayah pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan.
Survei dan wawancara
Pembobotan
3. Kajian teknologi penangkapan ikan yang ideal dikembangkan di Lampung Selatan.
Suvei dan wawancara
OWA
4. Mengidentifikasi dan merumuskan cara pemilihan komoditas potensial ataupun unggulan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Suvei dan wawancara
OWA
5. Kelayakan usaha Survei dan wawancara
NPV, IRR, B/C
6. Menyusun tahapan ataupun prioritas kegiatan pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Questioner AHP
7. Menyusun strategi pengembangan cara pemberdayaan kelembagaan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Suvei dan wawancara/ FGDM
ISM
46
Kajian Potensi SDI. Metode penelitian yang digunakan adalah survei
deskriptif. Penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan fakta-fakta dan mencari
keterangan-keterangan tentang potensi sumber daya perikanan (tangkap),
mengidentifiksi permasalahan serta mencari keterkaitan dan hubungan-
hubungan, membuat prediksi, mendapatkan pembenaran dan implikasi dari
permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan. Data-data tersebut sebagai
landasan untuk menyusun konsep pengelolaan perikanan. Pengelolaan
perikanan pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk:
(1) Memperoleh produksi maksimum yang berkelanjutan, dalam arti bahwa
keberlanjutan stok alami dapat dipertahankan.
(2) Memperoleh keuntungan ekonomi yang maksimum berkesinambungan bagi
para pihak pengguna sumberdaya perikanan.
(3) Secara sosial mampu meningkatkan kesejahteraan para pihak yang terkait
dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan, terutama nelayan.
Konsep dasar yang mendasari upaya pengelolaan adalah bahwa
pemanfaatan sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya
dukung (carrying capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan
tergantung pada jumlah stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan
alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomass ikan. Oleh karena itu, upaya
pengelolaan diawali dengan pengkajian stok, agar potensi stok alaminya dapat
diketahui. Bahwa analisis akan diawali dengan pengkajian stok sumberdaya yang
hendak dikelola. Pada saat yang sama juga dilakukan pemantauan terhadap
upaya penangkapan, terutama untuk memantau apakah sudah terjadi eksploitasi
yang berlebih, dengan melihat hasil tangkapan per upaya (CPUE) dan ukuran
yang tertangkap.
Kajian atau pendugaan potensi sumberdaya ikan menggunakan metode
surplus produksi dari Schaefer (1988) dalam FAO (1999), yang mendasarkan
pada asumsi bahwa Catch per Unit Effort (CPUE) meruipakan fungsi dari f yang
bersifat linier dengan rumus :
Sehingga;
47
Sedangkan:
Keterangan:
CPUE : cacth per unit effort
C : hasil tangkapan
f : effort/ upaya penangkapan
Ci : jumlah tangkapan periode ke-i
MSY : potensi lestari
Perhitungan nilai CPUE dihitung setelah melakukan standarisasi alat
tangkap. Alat tangkap yang dijadikan standar mempunyai nilai faktor daya
tangkap atau Fishing Power Indexs (FPI) sama dengan 1 (satu).
Berdasarkan hasil kajian stok dan pemantauan tersebut, dengan
memperhatikan aspek resiko yang mungkin timbul dan aspek lingkungan
(ekologi, sosial ekonomi dan budaya), maka akan dapat dibuat suatu peraturan
perikanan, terutama terkait dengan pengaturan upaya penangkapan (jenis alat,
jumlah alat, waktu dan lokasi) dan pengaturan hasil tangkapan (ukuran yang
boleh ditangkap dan jumlah atau kuota).
Kajian Potensi Budidaya Laut. Analisis pengembangan Budidaya Laut di
Lampung Selatan diawali dengan studi keadaan umum dan potensi perikanan
khususnya di seluruh wilayah Lampung Selatan, dan selanjutnya dirinci, terutama
yang berhubungan dengan potensi lahan pengembangan dari komoditi perikanan
laut dan kesinambungan usaha perikanan budidaya laut, gambaran tentang
usaha perikanan budidaya laut yang telah ada dan berkembang, serta teknologi
pembudidayaan yang digunakan.
Perumusan Cara Pemilihan teknologi penangkapan ikan yang layak dikembangkan dan prioritas komoditas potensial dan produk unggulan.
Penentuan teknologi penangkapan ikan dan prioritas komoditas potensial
merupakan proses yang sangat penting mengingat keberadaan teknologi
penangkapan ikan dan komoditas dalam integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya dapat menjadi penentu keberlangsungan
48
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Di dalam penentuan jenis teknologi penangkapan ikan dan komoditas
potensial untuk integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya di wilayah Lampung Selatan didasarkan pada beberapa kriteria.
Menurut Monintja (2000) kriteria untuk teknologi penangkapan ikan yang ramah
lingkungan adalah sebagai berikut: 1) selektivitas tinggi, 2) tidak destruktif
terhadap habitat, 3) tidak membahayakan nelayan (operator), 4) menghasilkan
ikan bermutu baik, 5) produk tidak membahayakan konsumen, 6) minimum hasil
tangkapan yang terbuang, 7) dampak minimum terhadap keanekaragaman
sumberdaya hayati, 8) tidak menangkap spesies yang di lindungi atau terancam
punah. Sedangkan kriteria yang diperlukan dalam pemilihan komoditi potensial
yang akan dikembangkan, diantaranya berupa nilai ekonomis komoditas,
peluang diversifikasi komoditas serta kelayakan budidaya (kesesuaian lahan).
Pembobotan untuk masing-masing kriteria menggunakan metode OWA
Operator. Pemilihan prioritas alternatif ditentukan dengan metode Evaluasi
Pilihan Bebas (Independent Preference Evaluation atau IPE) dengan kaidah
Fuzzy Group Decision Making (FGDM). Sebagai alternatif, akan dipilih beberapa
jenis ikan berdasarkan rataan volume produksi selama sepuluh tahun terakhir.
Responden menilai setiap kriteria atau alternatif dengan skala Paling Rendah
(PR), Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang (S), Tinggi (T), Sangat Tinggi
(ST), dan P (Paling Tinggi atau Perfect).
Pemilihan produk budidaya laut berpedoman pada pilihan parameter-
parameter dari setiap kriteria penentuan produk unggulan, di antaranya
berdasarkan kelayakan komoditas, ketersediaan dan tingkat kemudahan
teknologi, nilai ekonomis, peluang pasar, penyerapan tenaga kerja, dampak
ganda terhadap sektor lain, dampak terhadap lingkungan, dan kondisi budidaya
laut saat sekarang.
Pembobotan untuk masing-masing kriteria menggunakan metode OWA
Operator. Pemilihan prioritas alternatif digunakan metode Evaluasi Pilihan Bebas
atau IPE dengan kaidah FGDM. Responden menilai setiap kriteria atau alternatif
dengan skala Paling Rendah (PR), Sangat Rendah (SR), Rendah (R), Sedang
(S), Tinggi (T), Sangat Tinggi (ST), dan P (Paling Tinggi atau Perfect).
Perumusan Kelayakan Investasi. Dengan melihat manfaat finansial dan
ekonomi dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
49
budidaya di Kabupaten Lampung Selatan, maka dilakukan studi kelayakan atas
investasi yang ditanamkan. Dalam rangka mencari usuran menyeluruh tentang
manfaat investasi digunakan berbagai macam kriteria investasi yang dinyatakan
dengan indeks. Indeks-indeks tersebut disebut sebagai “kriteria investasi”, di
mana setiap indeks menggunakan nilai kini (present value) yang telah didiskonto
dari arus manfaat dan biaya selama umur suatu usaha atau investasi.
Penilaian atas suatu investasi dilakukan dengan membandingkan semua
penerimaan yang diperoleh akibat investasi tersebut dengan semua pengeluaran
yang harus dikorbankan selama proses investasi dilaksanakan. Baik penerimaan
maupun pengeluaran dinyatakan dalam bentuk uang agar dapat dibandingkan
dan harus dihitung pada waktu yang sama. Dalam analisis ini akan dikembalikan
pada nilai kini (present value). Karena baik penerimaan maupun pengeluaran
berjalan bertahap, maka terjadi arus pengeluaran dan penerimaan yang
dinyatakan dalam bentuk arus tunai (cash flow).
Kriteria yang akan digunakan dalam studi kelayakan pada penelitian ini
didasarkan pada analisis biaya manfaat baik secara finansial maupun ekonomi.
Kriteria-kriteria yang digunakan adalah:
(1) Net Present Value (NPV) Kriteria ini digunakan untuk menilai manfaat investasi yang merupakan
jumlah nilai kini dari manfaat bersih dan dinyatakan dalam rupiah. Rumus untuk
menghitung NPV adalah:
Atau
Keterangan:
NB : Net Benefit (Benefit – Cost).
B : Benefit yang telah di-discount.
C : Cost yang di-discount.
i : Discount factor.
n : Waktu (tahun).
50
Kriteria keputusan yang diambil dalam menentukan kelayakan
berdasarkan NPV adalah:
• Jika NPV > 0, berarti investasi dinyatakan menguntungkan atau layak untuk
dilakukan.
• Jika NPV < 0, berarti investasi dinyatakan tidak menguntungkan atau tidak
layak untuk dilaksanakan.
• Jika NPV = 0, maka investasi pada proyek tersebut hanya mengembalikan
manfaat yang persis sama dengan tingkat social opportunity cost of capital
(SOCC).
(2) Internal Rate of Return (IRR) IRR atau internal rate of return adalah suatu tingkat discount rate yang
menghasilkan net present value sama dengan nol. IRR merupakan suku bunga
maksimal untuk sampai kepada NPV bernilai sama dengan nol, jadi dalam
keadaan batas untung rugi. Oleh karena itu juga dianggap sebagai tingkat
keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Asal setiap manfaat yang
diwujudkan secara otomatis ditanam kembali pada tahun berikutnya dan
mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dan diberi bunga selama sisa umur
proyek. Rumus untuk menghitung IRR adalah:
Keterangan:
i1 : tingkat discount rate yang dihasilkan NPV1. i2 : tingkat discount rate yang dihasilkan NPV2.
Proyek atau investasi dikatakan layak bila IRR > dari tingkat bunga berlaku.
Sehingga bila IRR ternyata sama dengan tingkat bunga yang berlaku, maka
NPV dari proyek tersebut sama dengan nol. Jika IRR < dari tingkat bunga
yang berlaku, maka berarti nilai NPV < 0, berarti proyek tidak layak.
(3) Benefit Cost Ratio (B/C Rasio)
Benefit Cost Ratio (B/C Rasio) merupakan perbandingan antara total
penerimaan kotor dan total biaya produksi. Rumus yang digunakan untuk
menghitung Net B/C adalah:
51
Kriteria keputusan yang diambil dalam menentukan kelayakan
berdasarkan perbandingan antara pendapatan kotor dan biaya produksi adalah:
1) jika B/C Ratio > 1, layak diterima;
2) jika B/C Ratio < 1, tidak layak diterima.
Perumusan Analisis Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. Strategi integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya dirumuskan dengan teknik pengambilan
keputusan Analytical Hierarchy Process. Penyusunan strategi pada penelitian
dapat dilakukan di tahap awal. Penyusunan strategi pada penelitian dapat
dilakukan di tahap awal (fase identifikasi) atau di akhir (fase setelah kelayakan)
dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Dengan kata lain penyusunan strategi dapat bersifat kualitatif maupun deskriptif
analitik.
Fokus hirarki ini adalah Strategi Integrasi Pengembangan Perikanan
Tangkap dan Perikanan Budidaya. Hirarki berikutnya merupakan faktor yang
berpengaruh dalam pengembangan, yaitu (1) SDI, (2) potensi lahan budidaya
laut, (3) SDM, (4) teknologi; (5) permodalan, (6) pasar, (7) kebijakan pemerintah,
(8) sarana dan prasarana, (9) informasi, dan (10) kelembagaan. Struktur
dibawahnya adalah tujuan pengembangan, yaitu (1) peningkatan produksi ikan,
(2) perluasan lapangan kerja, (3) perluasan kesempatan berusaha, (4)
peningkatan pendapatan daerah, (5) peningkatan pertumbuhan ekonomi, (6)
peningkatan konsumsi ikan. Alternatif strategi yang ditawarkan dalam
pengembangan budidaya laut adalah (1) optimalisasi perikanan budidaya, (2)
optimalisasi perikanan tangkap, (3) pengelolaan perikanan tangkap berbasis
perikanan budidaya.
Proses penentuan alternatif kebijakan integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya di Lampung Selatan menggunakan aplikasi
pendekatan proses hierarki analitik (analytical hierarchy process-AHP). Kriteria
untuk alternatif pengelolaan budidaya laut di Lampung Selatan adalah sebagai
berikut:
1) Aspek hukum; yaitu ditinjau dari aspek hukum, kebijakan yang di ambil tidak
bertentangan dengan hukum.
52
2) Aspek ekonomi; dari aspek ekonomi kebijakan yang di ambil bersifat
menguntungkan.
3) Aspek ekologis (lingkungan); dari aspek ekologis kebijakan yang di ambil
tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya.
4) Aspek teknis; dari aspek teknis kebijakan yang di ambil bersifat secara teknis
efektif digunakan.
5) Aspek sosial; dari aspek sosial kebijakan yang di ambil dapat diterima
masyarakat nelayan.
Proses hierarki analitik (analytical hierarchy process-AHP) dirancang
untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat
dengan permasalahan tertentu, melalui suatu prosedur yang di desain untuk
sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai alternatif. Analisis ini
merupakan suatu pendekatan analisis yang bertujuan untuk membuat suatu
model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, dan biasanya diterapkan
untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur, maupun masalah-masalah
yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks
atau tidak berkerangka, pada situasi di mana data dan informasi statistik sangat
minim atau tidak sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh
persepsi, pengalaman atau intuisi. AHP juga banyak digunakan pada
pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumber
daya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam
situasi konflik (Saaty, 1993 dan Marimin, 2004).
AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan
dengan pendekatan sistem, di mana pengambil keputusan berusaha memahami
suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil
keputusan (Saaty, 1993).
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks
yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta
menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel di
beri nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara
relatif dibandingkan dengan variabel dengan variabel yang lain. Dari berbagai
pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel
yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada
sistem tersebut (Marimin, 2004). AHP dan analisa kelayakan usaha sangat baik
digunakan dalam pengambilan keputusan termasuk dalam menentukan jenis
53
perlakuan terhadap lingkungan budidaya (Jadwiga, 2008). Selain itu model atau
software sudah lazim digunakan dalam penentuan prioritas untuk
memaksimalkan keuntungan atau efisiensi dari dua kegiatan perikanan atau lebih
yang berlangsung pada waktu atau lokasi yang sama (Morten et al, 2009).
Seperti penelitian Pascoe and Mardle (2001), yang menyatakan bahwa untuk
memaksimalkan keuntungan ekonomi dan menjagakestabilan pekerja dilakukan
analisis menggunakan bioekonomi model. Menurut Saaty (1993), ada tiga prinsip dalam memecahkan persoalan
dengan analisis logis eksplisit, yaitu:
(1) Prinsip menyusun hirarki Pada bagian ini mencakup pertimbangan-pertimbangan ataupun langkah-
langkah menuju suatu keputusan yang akan diambil. Sasaran utama yang
merupakan suatu tujuan, disusun ke dalam bagian yang menjadi elemen
pokoknya, dan kemudian bagian ini dimasukkan ke dalam bagiannya lagi, dan
seterusnya secara hierarki. Sehingga persoalan yang sangat kompleks dipecah
menjadi bagian-bagiannya sehingga memudahkan pengambilan keputusan.
(2) Prinsip menetapkan prioritas Untuk menetapkan prioritas perlu dilakukan perbandingan antara satu
aspek dengan aspek yang lainnya, sehingga dapat ditentukan peringkat elemen-
elemen menurut relatif pentingnya.
(3) Prinsip konsistensi logis Pada prinsip ini harus konsisten terhadap pilihan yang telah diputuskan,
dan elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten
dengan kriteria yang logis.
Langkah-langkah dalam metode AHP menurut Saaty (1993) adalah:
(1) Mendefinisikan permasalahan dan pemecahan masalah yang diinginkan.
(2) Membuat struktur hierarki dari sudut pandang manajerial secara
menyeluruh. Pada tingkat puncak dari suatu hierarki disebut fokus yang
terdiri atas hanya satu elemen. Fokus merupakan sasaran keseluruhan
yang sifatnya luas. Pada tingkat-tingkat berikutnya masing-masing dapat
memiliki beberapa elemen. Elemen-elemen dalam tingkat harus dari derajat
besaran yang sama. Tingkat terendah terdiri atas berbagai tindakan akhir
54
atau rencana-rencana alternatif, yang bisa memberikan kontribusi secara
positif ataupun negatif bagi pencapaian sasaran utama melalui
pengaruhnya pada berbagai kriteria yang ada diantara kedua tingkat
tersebut.
(3) Menyusun matriks banding berpasangan. Dari matriks banding
berpasangan dapat diketahui pengaruh setiap elemen yang relevan atas
setiap kriteria yang berpengaruh terhadap fokus. Perbandingan
berpasangan yang pertama dilakukan pada fokus dan elemen satu tingkat
dibawahnya.
(4) Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil melakukan
perbandingan berpasangan antar elemen pada langkah 3.
(5) Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang
diagonal utama. Angka pada skala banding berpasangan digunakan bila
baris lebih mendominasi atau mempengaruhi sifat fokus dibanding kolom,
maka digunakan angka kebalikannya. Bila membandingkan suatu elemen
dalam matriks dengan elemen itu sendiri, perbandingan itu harus memberi
bilangan 1, maka diagonal matriks diisi dengan bilangan-bilangan 1.
Melaksanakan langkah 3,4, dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam
hierarki.
(6) Sintesis berbagai pertimbangan untuk memperoleh suatu taksiran
menyeluruh dari prioritas relatis. Nilai-nilai dalam setiap kolom dijumlahkan
lalu membagi setiap entri dalam setiap kolom dengan jumlah pada kolom
tersebut untuk memperoleh matriks yang dinormalisasi, yang
memungkinkan pembandingan antar elemen yang bermakna. Kemudian
merata-ratakan sepanjang baris dengan menjumlahkan semua nilai dalam
setiap baris dari matriks yang dinormalisasi dan membaginya dengan
banyaknya entri dari setiap matriks untuk mendapat Vektor Prioritas (VP).
Saaty (1993) mengatakan bahwa proses pada AHP adalah
mengidentifikasi, memahami, dan menilai intreraksi-interaksi suatu sistem
sebagai suatu keseluruhan. Dalam penilaian AHP dan pengisian matriks banding
berpasangan menggunakan nilai skala banding berpasangan (Tabel 2).
Pengisian matriks hanya dapat dilakukan untuk bagian di atas garis diagonal dari
kiri ke kanan bawah.
55
Tabel 2. Nilai skala banding berpasangan
Intensitas pentingnya Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen menyumbangkan sama besar pada sifat itu
3 Elemen yang satu lebih sedikit penting dari elemen yang lain
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen yang lain
5 Elemen yang satu sangat penting dari elemen yang lain
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lain
7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lain
Satu elemen dengan kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lain
Bukti yang menyokong elemen yang satu atas elemen yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan.
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan
Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan
kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
Sumber : Saaty (1993)
Prinsip penilaian pada AHP bila terdapat m kriteria yang dibandingkan,
maka harus dihasilkan m matriks, setiap sel cij mempunyai karakteristik
sedemikian sehingga ;
Atau
Jika C1, C2, …,Cn adalah elemen yang akan dibandingkan, dan n adalah jumlah
elemen yang akan dibandingkan (Tabel 3).
Tabel 3. Matriks elemen
C1 C2 ….. Cn
C1 1 a12 …. A1n C2 1/a12 1 ….. A2n ….. ….. …. 1 …. Cn 1/a1n 1/a2n ….. 1
56
Analisis selanjutnya adalah menghitung nilai-nilai yang telah dihitung dari
setiap matriks untuk mendapatkan vektor prioritas (VP). Selain itu juga dilakukan
sintesis berbagai pertimbangan dan mendapatkan nilai konsistensi. Tabel 4. Menjumlahkan nilai dalam setiap kolom, matriks normalisasi dan vektor
prioritas
C1 C2 … Cn Matriks Normalisasi VP
C1 1 A12 … A1n 1/J1 A12/J2 … A1n/Jn P1
C2 1/a12 1 … A2n A21/J1 1/J2 … A2n/Jn P2
… … … 1 …. … … … …. …
Cn 1/a1n 1/a2n … 1 An1/J1 An2/J2 … 1/Jn pn
Σ J1 J2 … Jn ΣVP Penghitungan nilai eigen Maks (λ maks) dengan rumus :
Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus :
Perhitungan Rasio Konsistensi (CR) adalah :
Keterangan:
RI : Indeks acak (random Indeks) dari matriks berordo 1 sampai 15 (Tabel Nilai Indeks Acak).
CR dikatakan mempunyai tingkat konsistensi yang tinggi dan dapat
dipertanggungjawabkan bila bernilai lebih kecil atau sama dengan 0,1. Hal ini
dikarenakan merupakan tolok ukur bagi konsistensi atau tidaknya suatu hasil
perbandingan berpasangan dalam suatu matriks pendapat (Saaty ,1993).
57
Tabel 5 Nilai indeks acak (RI) matriks berordo 1 s/d 15
N RI N RI N RI 1 0,00 6 1,24 11 1,51 2 0,00 7 1.32 12 1,48 3 0,59 8 1,41 13 1,56 4 0,90 9 1,45 14 1,57 5 1,12 10 1,49 15 1,59
Sumber : Saaty (1993)
Saaty (1993) menyatakan bahwa AHP memberi suatu sarana yang berguna
untuk menstruktur hierarki, baik untuk perencanaan yang diproyeksikan
(deskriptif) maupun perencaan ideal (normative). Perhitungan dengan AHP ini
menggunakan bantuan software expert choice 2000.
Analisis Kelembagaan Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya. Untuk mengkaji keterkaitan/hubungan konsteksual
antar elemen dan sub elemen dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya digunakan metode Interpretative Structural Modelling
(ISM). Elemen sistem pengembangan mencakup pelaku/lembaga yang berperan
dalam pengembangan, kebutuhan untuk pelaksanaan program, kendala
program, tolak ukur untuk menilai setiap tujuan, dan aktivitas yang dibutuhkan
guna perencanaan tindakan.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penggunaan teknik ISM adalah
sebagai berikut (Marimin, 2004):
(1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Hal ini dapat
diperoleh melalui penelitian, brainstroming, dan lain-lain.
(2) Hubungan konstektual: Sebuah hubungan konstektual antar elemen
dibangun, tergantung pada tujuan dari permodelan.
(3) Pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction
matrix/SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap
elemen hubungan yang dituju. Empat simbol yang digunakan untuk
mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang
dipertimbangkan adalah:
V : hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya.
A : hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya.
X : hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya).
O : menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan.
58
(4) Pembuatan matriks reachability (reachability matrix/RM): Sebuah RM yang
dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah
matriks biner. Aturan-aturan konversi berikut menerapkan:
• Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan
Eji = 0 dalam RM;
• Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan
Eji = 1 dalam RM;
• Jika hubungan Ei terhadapa Ej = O dalam SSIM, maka elemen Eij = 0
dan Eji = 0 dalam RM;
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect
reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1, maka Eik = 1.
(5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam
level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat
diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: reachability set (Ri),
adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei,
dan antecedent set (Ai), adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana
elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri =
Ri ∩ Ai, adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya
elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-
iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk
level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama.
Selanjutnya, seluruh elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level
yang berbeda.
(6) Pembuatan matriks canonical: Pengelompokan elemen-lemen dalam level
yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian
besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan
terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan
digraph.
(7) Pembuatan Digraph: adalah konsep yang berasal dari directional graph
sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan langsung, dan
level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
digraph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua
komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.
(8) Pembangkitan Interpretative structural modelling: ISM dibangkitkan dengan
memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh
59
sebab itu, ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-
elemen sistem dan alur hubungannya.
3.5 Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah
yang diawali dengan identifikasi serangkaian kebutuhan dan menghasilkan
sistem operasional yang efektif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
pendekatan sistem ini meliputi analisis kebutuhan, formulasi permasalahan dan
identifikasi sistem. Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya suatu metodologi
perencanaan atau pengelolaan, bersifat multidisiplin terorganisir, adanya
penggunaan model matematika, berfikir secara kuantitatif, optimasi dan dapat
diaplikasikan dengan teknik simulasi serta dapat direkayasa dengan bantuan
komputer. Pendekatan sistem menggunakan abstraksi keadaan nyata ataupun
penyederhanaan sistem nyata untuk pengkajian suatu masalah.
3.5.1 Analisis kebutuhan
Dalam sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya melibatkan berbagai pihak atau pelaku, baik yang secara langsung
maupun yang tidak langsung terkait dalam sistem. Masing-masing pelaku atau
lembaga memiliki kebutuhan. Analisis kebutuhan masing-masing pihak
merupakan permulaan pengkajian dalam sistem. Dalam tahap ini dicari secara
selektif apa saja yang dibutuhkan dalam analisis sistem. Sistem integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya dalam
operasionalnya harus diupayakan dapat memenuhi kebutuhan pelaku yang
terlibat secara optimal. Keterkaitan kebutuhan antar pelaku diantaranya
menyangkut permodalan, teknologi, pemasaran, sarana prasarana, dan
kebijakan.
Pada tahap analisis kebutuhan dapat ditentukan komponen-komponen atau
pelaku yang berpengaruh dan berperan dalam sistem atau sub sistem.
Komponen tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan
tujuannya masing-masing dan saling berintegrasi satu sama lain, serta
berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada. Dari analisis kebutuhan,
komponen-komponen yang berpengaruh adalah nelayan, pembudidaya ikan,
investor, pengusaha, pemerintah, konsumen, lembaga keuangan (bank) dan
lembaga pendidikan.
60
Para pelaku yang terlibat dalam integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya adalah:
(1) Nelayan
Merupakan kelompok masyarakat yang mata pencaharian utamanya mencari
ikan. Nelayan terdiri dari kelompok pemilik kapal atau perahu maupun
nelayan pekerja yang tidak mempunyai perahu. Nelayan merupakan pelaku
utama dalam perikanan tangkap dan akan terkena dampak langsung apabila
ada permasalahan dalam sistem perikanan tangkap.
(2) Pembudidaya ikan
Merupakan kelompok masyarakat yang melakukan usaha pembudidayaan
atau pembesaran ikan.
(3) Investor
Merupakan kelompok masyarakat yang melakukan investasi atau
penanaman modal untuk usaha perikanan budidaya
(4) Pengusaha
Merupakan kelompok masyarakat yang melakukan usaha perikanan tangkap
dan perikanan budidaya.
(5) Pemerintah; yaitu lembaga otoritas lokal (Pemerintah Kabupaten Lampung
Selatan, Pemerintah Propinsi Lampung) maupun Pemerintah Pusat yang
mempunyai tanggung jawab dalam pengelolaan dan pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(6) Lembaga Keuangan atau Perbankan; merupakan institusi keuangan baik
berupa bank atau lembaga keuangan lainnya yang dapat berperan sebagai
pemberi dana untuk keperluan investasi.
(7) Pembeli (konsumen ikan); adalah masyarakat yang melakukan transaksi
pembelian ikan. Konsumen terbagi menjadi konsumen rumah tangga dan
konsumen industri pengolahan ikan. Konsumen berperan penting dalam
pengembangan produksi ikan. Peningkatan jumlah konsumen akan memacu
peningkatan produksi ikan.
(8) Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan (riset), sebagai lembaga yang
melakukan kegiatan penelitian.
Pada tahap analisis kebutuhan dapat ditentukan pelaku-pelaku atau
elemen-elemen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem ataupun sub
sistem. Elemen tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai
dengan tujuannya masing-masing dan saling berinteraksi satu sama lain serta
61
berpengaruh terhadap keseluruhan sistem yang ada (Eriyatno, 2003 dan
Marimin, 2004).
Pelaku yang terlibat dalam sistem integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya mencakup nelayan, pembudidaya ikan,
konsumen, lembaga keuangan atau perbankan, instansi pemerintah terutama
pihak perikanan dan instansi terkait lainnya di daerah dan di pusat. Analisis
kebutuhan dari masing-masing elemen tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Nelayan
Produktivitas nelayan meningkat.
Tersedianya sarana dan prasarana penangkapan.
Tersedianya modal berusaha.
Harga jual ikan layak dan stabil.
Permintaan terhadap hasil perikanan kontinyu.
Penguasaan teknologi yang baik.
Kesejahteraan keluarga meningkat.
(2) Pembudidaya ikan
Tersedianya sarana dan prasarana budidaya.
Tersedianya modal berusaha.
Harga jual ikan tinggi atau wajar.
Permintaan terhadap hasil budidaya kontinyu.
Pemasaran terjamin.
Produktivitas meningkat.
Kesejahteraan meningkat.
(3) Pengusaha
Pasokan bahan baku terjamin, harga rendah dan mutu baik.
Pemasaran produk terjamin dengan harga menguntungkan.
Tersedianya modal usaha dengan persyaratan peminjaman yang saling
menguntungkan.
(4) Pedagang atau Bakul
Mutu produk sesuai standar atau selera konsumen dengan harga
rendah.
Biaya produksi dan biaya transaksi rendah.
Harga jual menguntungkan dan permintaan konsumen tinggi.
Pasokan produk terjamin dari segi jumlah maupun waktu.
62
(5) Konsumen
Mutu produk sesuai selera konsumen dengan harga terendah.
Diversifikasi produk.
(6) Lembaga Pembiayaan usaha
Manajemen dan proposal agroindustri hasil laut yang layak.
Resiko penyaluran kredit kecil dan pengembalian kredit yang terjamin.
Bunga kredit atau bagi hasil usaha menguntungkan dan jumlah
nasabah meningkat.
(7) Instansi Pemerintah
Bertambahnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan pengusaha
perikanan.
Tidak terjadinya pencemaran lingkungan.
Meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan bagi PAD.
(8) Investor
Keuntungan tinggi.
Jenis komoditas yang ekonomis tinggi.
Tersedianya modal yang memadai untuk kegiatan perikanan tangkap.
Tersedianya modal yang cukup untuk kegiatan budidaya.
(9) Lembaga Pendidikan
Tingkat suku bunga yang representatif dan pembiayaan yang
menguntungkan.
Peningkatan jumlah nasabah.
Pengembalian kredit lancar.
Resiko penyaluran kredit kecil.
3.5.2 Formulasi permasalahan
Permasalahan merupakan kesenjangan antara tujuan yang telah ditetapkan
berdasarkan analisis kebutuhan dengan kemampuan pemenuhan akibat adanya
keterbatasan sumberdaya. Untuk melakukan pemecahan masalah maka
berbagai kesenjangan yang ada perlu diformulasikan sehingga mencapai taraf
defenitif.
Keberhasilan dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya memerlukan perencanaan yang baik, pengalaman,
pengetahuan serta intuisi yang tepat dari pengambil keputusan. Sinergi
63
kepentingan antar pelaku dalam sistem diharapkan akan mengoptimalkan
pencapaian tujuan dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya, yaitu pemanfaatan secara optimal sumber daya untuk
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi para pelaku, seperti peningkatan
daya saing, keuntungan usaha, pendapatan daerah, lapangan kerja, dan
konsumsi ikan.
Permasalahan yang paling mendasar dalam integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah menjaga kontinuitas bahan
baku, dalam hal ini jenis, volume, dan mutu ikan hasil tangkapan dan hasil
budidaya. Volume hasil tangkapan berfluktuatif dengan mutu yang juga tidak
konsisten, sementara budidaya selalu menginginkan kapasitas produksinya
konstan dengan mutu yang prima, sehingga diperoleh harga jual yang tinggi.
Kurangnya kemampuan SDM dalam mengadopsi teknologi budidaya ikan
menyebabkan produk mempunyai nilai tambah relatif kecil dengan pangsa pasar
yang relatif terbatas di pasar domestik. Sementara itu, kemampuan penanganan
produk sesuai dengan standar mutu internasional juga masih rendah. Hal ini
sering memperlemah daya saing produk di pasar internasional.
Keterbatasan mutu SDM juga memperlemah proses manajerial untuk
mengelola usaha secara profesional, sehingga memperlemah kemampuan untuk
mengakses modal untuk pengembangan usaha. Hal lain yan terkait adalah
lemahnya kemampuan mempresentasikan potensi bisnis perikanan budidaya di
hadapan investor atau pemodal untuk menghilangkan persepsi bahwa bisnis
perikanan budidaya beresiko tinggi.
Kurangnya dukungan yang memadai dalam penyediaan infrastruktur untuk
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, salah satu
penyebabnya adalah kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku,
sehingga akan memperlemah struktur perikanan budidaya.
3.5.3 Identifikasi sistem
Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan-
pernyataan kebutuhan komponen aktor atau pelaku dalam sistem dengan
permasalahan-permasalahan yang telah diformulasikan. Identifikasi sistem dapat
digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat dan diagram input-output.
Dalam diagram sebab akibat digambarkan hubungan antar komponen sistem
yang terkait (Gambar 10). Melalui diagram sebab akibat sebagai suatu tahapan
64
dala konsepsualisasi sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya dapat ditunjukkan prediksi dan hipotesis tentang dinamika
dan perilaku sistem.
Gambar 10. Diagram lingkar sebab akibat sistem pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
Tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas SDM, permodalan,
teknologi, sarana dan prasarana dan potensi perikanan budidaya yang
berkesinambungan. Sebaliknya, berkembangnya perikanan budidaya laut akan
memberi manfaat balik untuk pemenuhan kebutuhan para pelaku, baik pelaku
usaha budidaya laut, maupun pemerintah. Kendala-kendala yang menyertai
dalam proses tersebut harus dipecah secara menyeluruh.
65
Alternatif pemecahan masalah dalam integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya diantaranya wilayah mampu mengidentifikasi
secara baik potensi yang dimiliki dan mampu membuat prioritas dalam
pencapaian tujuan. Penetapan sistem integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya sebagai suatu sistem tertutup memberikan
fasilitas adanya mekanisme pengendalian atau kontrol terhadap timbulnya suatu
output sistem yang tidak dikehendaki. Visualisasi diagram input-output sistem
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya disajikan
pada Gambar 11.
Gambar 11. Diagram input-output sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
SISTEM INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN
TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA
MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA
66
Diagram input-output menggambarkan masukan (input) dan luaran (output)
dari model yang dikembangkan. Input terdiri dari dua golongan, yaitu yang
berasal dari luar sistem (eksogen) atau input eksternal dan overt input yang
berasal dari dalam sistem (endogen) atau input internal. Input eksternal
merupakan masukan yang mempengaruhi sistem, akan tetapi tidak dipengaruhi
oleh sistem. Dalam sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya yang termasuk jenis input ini adalah globalisasi
perekonomian, populasi penduduk, nilai tukar uang, dan otonomi daerah.
Input internal yang berasal dari dalam sistem ini merupakan peubah yang
sangat perlu bagi sistem untuk melaksanakan fungsi yang dikehendaki. Input
internal yang berasal dari dalam sistem ini terdiri dari input yang terkendali dan
input yang tidak terkendali. Input internal tak terkendali dalam sistem ini adalah
potensi perikanan tangkap, potensi perikanan budidaya, fluktuasi harga, dan
permintaan pasar. Input yang terkendali dapat bervariasi selama pengoperasian
sistem untuk menghasilkan kinerja sistem yang dikehendaki atau untuk
menghasilkan output yang dikehendaki. Peran input ini sangat penting dalam
mengubah kinerja sistem selama pengoperasian. Termasuk ke dalam jenis input
ini adalah wilayah budidaya laut, teknologi penangkapan ikan, teknologi budidaya
laut, modal usaha, serta upah dan nelayan.
Output terdiri dari dua, yaitu output yang dikehendaki dan output tak
dikehendaki. Output yang dikehendaki merupakan respon dari sistem terhadap
kebutuhan yang telah ditetapkan secara spesifik dalam analisis kebutuhan. Dan
output yang tidak dikehendaki yang merupakan hasil sampingan atau dampak
yang ditimbulkan bersama-sama dengan output yang dikehendaki. Output sistem
yang dikehendaki adalah peningkatan volume produksi, peningkatan volume
ekspor, peningkatan PAD dan PDB, peningkatan konsumsi ikan, peningkatan
kesempatan kerja, peningkatan jumlah unit usaha, meratanya distribusi
pendapatan masyarakat, dan berkembangnya lembaga pendukung.
Sedangkan output yang tidak dikehendaki merupakan kebalikannya.
Manajemen pengendali merupakan faktor pengendalian terhadap pengoperasian
sistem dalam menghasilkan keluaran yang dikehendaki dan berusaha
meminimumkan output tidak dikehendaki dengan input terkendali.
3.6 Konfigurasi Model
Sistem integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya dirancang dalam suatu program komputer yang dinamakan CAP-
67
AQUADEV. Paket program dirancang dengan menggunakan bahasa
pemograman Visual Basic dan bahasa C yang terdiri dari tiga sistem utama, yaitu
sistem manajemen dialog, sistem manajemen basis data, dan sistem manajemen
basis model. Konfigurasi model sistem penunjang keputusan (SPK) disajikan
pada Gambar 12.
Gambar 12. Konfigurasi model sistem pengambilan keputusan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
3.6.1 Sistem manajemen dialog
Sistem manajemen dialog merupakan rancangan pengaturan interaksi
antara model (program komputer) dengan pengguna (user) yang memuat input
dari pengguna berupa parameter, data dari pilihan skenario dan keluaran yang
diberikan dalam tabel atau pernyataan yang mudah dipahami.
Dialog dengan pengguna dipandu dengan adanya pilihan atau pertanyaan-
pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban-jawaban singkat. Input dari
pengguna dapat berupa angka, pertanyaan-pertanyaan, atau berupa skenario.
Output yang diberikan oleh program komputer berupa keterangan, tabel, atau
grafik yang mudah dipahami.
68
3.6.2 Sistem manajemen basis data Dalam suatu analisis, data merupakan komponen yang mutlak ada. Oleh
karena itu, data harus dikelola dan dikendalikan dalam suatu sistem manajemen
basis data. Pemeliharaan data ini dilakukan melalui fasilitas menu data,
menampilkan, menghapus dan mengganti data. Dalam konfigurasi paket
program yang akan dikembangkan dalam sistem diantaranya adalah data
komoditas, data alat tangkap, data struktur pembiayaan, data strategi dan data
kelembagaan.
3.6.3 Sistem manajemen basis model
Sistem manajemen basis model terdiri dari tujuh sub model utama, yaitu
sub model potensi, sub model kesesuaian lahan, sub model pemilihan alat
tangkap, sub model komoditas, sub model kelayakan, sub model strategi, dan
sub model kelembagaan. Masing-masing sub model tersebut sebagai sub-sub
sistem yang pada akhirnya membentuk sistem integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sistem manajemen basis model
umumnya menggunakan teknik-teknik pada Ilmu Manajemen (Management
Science) yang definisinya adalah aplikasi dari pendekatan ilmiah untuk
mendapatkan solusi pada persoalan manajemen dalam rangka membantu para
manajer untuk merumuskan keputusan yang lebih baik (Tailor dalam Eriyatno
dan Fadjar, 2007)
3.6.4 Sistem pengelolaan terpusat Sistem pengelolaan terpusat adalah koordinasi dan pengendalian dari
operasi perangkat linak dan sistem pengambilan keputusan secara menyeluruh.
Sistem ini menerima masukan dari ketiga sub-sistem lainnya dalam bentuk baku
serta mengarahkan keluaran sub-sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku
pula.
3.7. Model CAP-AQUADEV
Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di
Teluk Lampung direkayasa melalui model CAP-AQUADEV ditujukan untuk
membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan pemerintah daerah
kabupaten atau kota maupun para praktisi usaha yang bergerak dalam perikanan
tangkap dan perikanan budidaya serta stakeholder lainnya. Penggunaan model
CAP-AQUADEV didisain secara fleksibel, artinya model CAP-AQUADEV tidak
69
hanya dapat digunakan oleh Pemda Kabupaten atau Propinsi Lampung, tetapi
dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin
dipecahkan.
Hasil verifikasi model CAP-AQUADEV di Kabupaten Lampung Selatan
disajikan berurutan, yaitu: (1) sub model potensi SDI, (2) sub model kesesuaian
lahan, (3) sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan, (4) sub model
pemilihan komoditas potensial, (5) sub model kelayakan, (6) sub model strategi,
dan (7) sub model kelembagaan.
4 HASIL
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Letak geografis dan topografis
Secara geografis Kabupaten Lampung Selatan terletak pada posisi antara
1050 – 105045’ Bujur Timur dan 5015’ – 60 Lintang Selatan. Batas-batas wilayah
Kabupaten Lampung Selatan adalah:2
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Timur.
Sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda.
Sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa.
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tanggamus.
Wilayah laut dan pesisir Kabupaten Lampung Selatan meliputi sebagian
besar dari Teluk Lampung (3.865 km2) dengan panjang garis pantai 140 km di
Teluk Lampung dan 45 km di Pesisir Timur sampai muara Way Sekampung
sebagai batas wilayah dengan Kabupaten Lampung Timur. Tidak kurang dari 51
pulau kecil terdapat di Kabupaten Lampung Selatan, baik berpenghuni maupun
tidak, berukuran kecil maupun besar yakni mulai dari 1 ha hingga 6.000 ha
(Wiryawan et al, 2002)
Pesisir Kabupaten Lampung Selatan membentang dari muara Way
Sekampung di Kecamatan Sragi hingga Desa Bawang di Kecamatan Punduh
Pidada. Pesisir Kabupaten Lampung Selatan terletak di bagian utara dari Teluk
Lampung, sehingga ekosistem di daerah ini dipengaruhi oleh laut dan gunung.
Keuntungan yang didapat dengan lokasi seperti ini adalah di daerah pantai
terdapat sumber-sumber air tanah atau akuifer produktivitas tinggi sehingga
keberadaannya harus dijaga agar tetap dapat memberikan suplai yang cukup
untuk aktivitas masyarakat dan industri di daerah tersebut.
Pesisir dan laut Kabupaten Lampung Selatan termasuk pulau-pulau kecil
yang menyebar mempunyai potensi yang sangat beraneka ragam mulai dari
pasir besi, ikan laut, tambak udang, mineral, ekosistem mangrove, terumbu
karang, padang lamun, flora fauna lainnya serta pariwisata. Dengan batimetrinya
yang relatif dangkal, daerah ini mempunyai karakteristik yang sangat berbeda
antara daerah satu dengan daerah lainnya, kemudian antara satu sel dengan sel
lainnya. Dengan mengetahui potensi sumberdaya yang menonjol di daerah ini
dan selanjutnya isu-isu yang timbul maka dapat ditentukan arahan-arahan
71
pengembangan yang bisa dilakukan dan ditentukan sebagai acuan
pegembangannya ke depan.
Pantai Kabupaten Lampung Selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan
Teluk Lampung. Pantai Timur yang hampir berorientasi utara-selatan
mempunyai tipologi pantai berupa alluvium dengan endapan marin dan dengan
relief yang datar dimana lerengnya bervariasi antara 0-3% dan elevasi 1 – 10 m.
Pantai yang datar ini hanya terdapat pada zona kurang dari 3 km. Pantai yang
terletak di Teluk Lampung terdiri dari dua bagian, yakni antara Tanjung Tua
(ujung paling selatan) ke arah barat laut sampai dengan Bandar Lampung.
Pantai yang satu lagi adalah dari Bandar Lampung ke Selat Legundi.
Menurut Wiryawan et al (2002), bahwa tipologi pantai antara Tanjung Tua
dan Kalianda umumnya berupa volkanik dengan lereng bawah volkan cukup
tertoreh, tuf dan lava intermedier. Reliefnya berupa pegunungan volkan dan
bergunung dengan lereng 8-15%. Antara Kalianda dan Bandar Lampung,
sebagian besar tipologi pantai berupa alluvium dengan endapan marin dimana
reliefnya datar dengan lereng 0-3% dan elevasi 1-10 m. Pada pantai antara
Bandar Lampung dengan Selat Legundi, pantainya terjal dan berlekak-lekuk
dengan tipologi pantai perbukitan sangat tertoreh, tuf dan lava intermedier,
lereng curam sampai sangat curam antara 30-75%. Diantara pantai yang terjal
ini, terdapat areal-areal yang sempit berupa alluvium dengan endapan marin
yang datar dengan lereng 0-3%.
Dasar perairan pesisir Kabupaten Lampung Selatan yang terletak di Pantai
Timur Lampung yang mempunyai lereng yang landai dan dangkal. Pantai yang
terletak di Teluk Lampung mempunyai lereng dasar perairan yang relatif curam,
kecuali disekitar pantai Bandar Lampung dimana lereng dasar perairannya lebih
landai. Garis kedalaman 20 m terdapat pada jarak antara 100-500 m dari garis
pantai.
Tipe pasang surut di perairan Teluk Lampung Selatan adalah tipe pasut
campuran dominasi pasut tunggal (Wyrtki, 1961). Berdasarkan peramalan pasut
yang dibuat oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL tahun 2000, indek F di
Panjang adalah 1,7. Hal ini berarti tipe pasutnya adalah campuran dominasi
pasut tunggal. Kisaran pasutnya bervariasi antara 0,4 m (saat pasang perbani)
sampai dengan 1,40 meter (saat pasang purnama). Hasil pengukuran di Pasut
selama 3 hari di Kuala Sekampung memperlihatkan kisaran Pasut rata-rata
adalah 1,47 m. Di pantai Bandar Agung dan Berundung kisaran pasut rata-rata
72
145 cm, sedangkan di Pantai Pematang Pasir kisaran pasut 140 cm. Dengan
demikian kisaran pasut rata-rata adalah 144,25 cm.
Kekuatan arus di perairan laut bervariasi antara 4,5 - 9,7 cm/detik atau rata-
rata 6,05 cm/detik. Arah arus merambat ke selatan atau barat daya dan
menyusur pantai. Ketinggian gelombang perairan di sepanjang pantai timur
hingga Tulang Bawang relatif kecil, yaitu 10-20 cm dengan gelombang rata-rata
1 gelombang/detik.
Suhu perairan di pantai berkisar antara 280 -29,30C atau rata-rata 28,60C.
Sedangkan salinitas perairan berkisar antara 33-33,5‰ atau rata-rata 33,12‰.
Wilayah Lampung Selatan yang pesisirnya merupakan habitat alami terumbu
karang meliputi perairan Teluk Lampung dan Selat Sunda. Berdasarkan
Wiryawan et al (2002) diketahui bahwa kondisi terumbu karang telah mengalami
gangguan akibat penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak dan
bahan kimia. Hal ini terlihat dari proporsi karang mati di perairan Rangai telah
mencapai 30.4% di kedalaman 10 meter. Namun demikian proporsi karang hidup
masih di atas 50% dan kondisi ini hampir sama untuk wilayah Padang Cermin,
Kalianda, Way Muli dan Bakauheni.
Terumbu karang di Teluk Lampung umumnya dari jenis karang tepi dengan
bentangan berkisar 20 m sampai 120 m dari bibir pantai sampai kedalaman 17-
20 m. Kebanyakan terumbu karang di perairan laut Lampung Selatan adalah
jenis fringing reefs, dengan luasan relatif 20-60 m. Pertumbuhan karang berhenti
pada kedalaman 10-17 m. Sejumlah terumbu karang tipe petch reefs tumbuh
dengan baik di sisi barat Teluk Lampung. Pendataan oleh CRMP (1998),
terdapat sekitar 213 jenis karang keras yang berada di Selat Sunda (Kepulauan
Krakatau, Teluk Lampung, Kalianda), sekalipun keanekaragaman jenis rata-rata
per lokasi agak rendah.
Ekosistem mangrove dibentuk oleh komunitas hutan bakau, terdapat di
pesisir dekat muara sungai dan banyak dipengaruhi oleh pasang surut, air sungai
dan pantai. Tumbuhan mangrove di Kabupaten Lampung Selatan sebagian
besar didominasi oleh Api-api (Avicenia alba) dan Excoecaria agallocha. Selain
terdapat mangrove sejati juga terdapat mangrove semu yaitu dari jenis Avicenia
marina dan Nypa fruticans. Konsesi Avicenia marina tingkat semai banyak
terdapat di habitat kurang mantap seperti pantai timur yang telah banyak
dikonversi menjadi tambak udang. Di lokasi Way Sekampung-Bakauheni areal
hutan mangrove 840 ha, yang bervegetasi 140 ha. Sebagian areal merupakan
73
hutan pendidikan berdasarkan Nota Kesepahaman antara Kepala Kanwil
Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Lampung dengan Rektor
Universitas Lampung. Di Desa Durian Kecamatan Padang Cermin, komunitas
mangrove terdiri dari beberapa spesies (multispesies) yang didominasi oleh
spesies Rhizophora mucronata. INP berkisar antara 236 hingga 249 dengan
kerapatan berkisar antara 188 ind/ha hingga 530 ind/ha. Tingkat pertumbuhan
pohon di kawasan ini adalah sapihan, tihang dan pohon. Potensi tihang dan
pohon masing-masing bernilai 212 dan 278 m3/ha. Ketebalan mangrove antara 1
dan 1,5 km. Di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin tipe vegetasi konsesi
dengan jenis Rhizhophora mucronata sebagai jenis yang dominan dan memiliki
INP sebesar 300. Kerapatan individu di daerah ini sebesar 900 ind/ha, dan
dengan potensi tihang sebesar 754,7 m3/ha. Komunitas mangrove memiliki
ketebalan sekitar 4 km. Pada umumnya hamparan tambak berbatasan langsung
dengan laut, dan hanya di beberapa lokasi kecil (100x50 m) ditemui semaian
mangrove jenis bakau (Rhizhophora mucronata). Mangrove jenis Api-api
(Avicenia marina) yang tumbuh secara alami pada lahan hasil sedimentasi.
Wilayah laut Lampung Selatan yang memiliki persyaratan cukup baik bagi
pertumbuhan vegetasi lamun adalah di wilayah Padang Cermin, dimana kondisi
perairannya yang relatif bersih, dasar berpasir dan dangkal sehingga memiliki
penetrasi cahaya matahari yang baik sepanjang tahun. Jenis padang lamun yang
terbentuk adalah komunitas tunggal yang ditempati oleh jenis Thalassia
hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis dan Cymodocea serrulata.
Ekosistem padang lamun di Padang Cermin merupakan wilayah penghasil udang
rebon dan secara alami telah berperan penting untuk perkembangbiakan
berbagai biota laut. Penyebaran ekosistem padang lamun di Padang Cermin
merupakan asosiasi dari formasi ekosistem mangrove, dengan terumbu karang.
Indikasi ini telah membentuk rangkaian sistem ekologi yang telah mendukung
keberadaan dan kelangsungan berbagai produk perikanan, terutama perikanan
tangkap.
74
4.1.2 Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2005 adalah
1.142.435 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 558.012 jiwa dan perempuan
557.423 jiwa (Lampung Selatan dalam angka, 2006). Pertumbuhan penduduk
sejak tahun 2000 sampai tahun 2005 menunjukkan peningkatan sebesar 43.641
jiwa dengan rata-rata pertumbuhan pertahun 0,99%. Proyeksi penduduk
Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan angka pertumbuhan rata-rata
tersebut, pada tahun 2007 diperkirakan sebanyak 1.188.352 jiwa atau 373,6
jiwa/km2.
Kecamatan Natar merupakan kecamatan dengan penduduk paling padat
dengan kepadatan 750,54 jiwa/km2. Sedangkan Kecamatan Punduh Pidada
merupakan kecamatan dengan kepadatan yang paling rendah yaitu 107,70
jiwa/km2 (Tabel 6).
Tabel 6. Kondisi kependudukan Kabupaten Lampung Selatan
No. Kecamatan Jumlah penduduk (jiwa) Kepadatanjiwa/km2 Laki-laki Perempuan Total
1. Padang Cermin 37.703 34.797 72.500 228,252. Punduh Pidada 12.644 11.501 24.145 107,703. Kedondong 26.286 25.069 51.355 391,694. Way Lima 13.815 13.287 27.102 271,485. Gedung Tataan 36.875 35.972 72.847 750,546. Negeri Katon 27.689 28.496 54.185 354,877. Tegineneng 23.229 22.152 45.381 300,028. Natar 70.557 68.836 139.393 652,079. Jati Agung 42.450 39.119 81.569 495,9510. Tanjung bintang 47.682 42.898 90.580 388,6911. Katibung 36.234 34.373 70.607 317,6112. Merbau mataram 21.439 20.455 41.894 367,6813. Sodomulyo 34.114 33.645 67.759 420,9214. Candipuro 23.224 22.095 45.319 535,1215. Kalianda 34.081 32.899 66.980 414,9916. Rajabasa 10.716 10.013 20.729 206,4817. Palas 24.234 23.220 47.454 276,8818. Seragi 14.646 13.877 28.523 348,819. Penengahan 26.854 26.505 53.359 280,6720. Ketapang 20.540 20.214 40.754 375,27 Jumlah 585.012 557.423 1.142.435 359,17Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007
75
Jumlah penduduk dirinci menurut kelompok umur di kecamatan Pesisir,
dianalisa berdasarkan pendekatan perhitungan dengan membandingkan
prosentase kelompok umur penduduk wilayah kabupaten, terhadap masing-
masing jumlah penduduk kecamatan pesisir, ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Banyaknya penduduk usia sekolah di Kecamatan Pesisir Kab. Lampung Selatan tahun 2007
No. Kegiatan Umur (Th)
0-4 5-9 10-14 15-19
1 Penengahan 6.018 5.970 6.435 6.130
2. Rajabasa 2.338 2.319 2.449 2.381
3. Kalianda 7.555 7.495 8.077 7.696
4. Padang Cermin 8.178 8.112 8.743 8.330
5. Punduh pidada 2.723 2.701 2.911 2.774
Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007
4.1.3 Kondisi perikanan
Kabupaten Lampung Selatan mempunyai SDI yang cukup besar sehingga
dapat menjadi modal dasar usaha untuk meningkatkan produksi perikanan.
Sumberdaya ikan tersebut terdapat di Perairan Timur Lampung Selatan, Teluk
Lampung, perairan payau dan tawar yang menyebar hampir di semua kecamatan
yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan evaluasi data pada
Dinas Perikanan dan Kelautan, diperkirakan Potensi Perikanan Tangkap yang
dapat dieksploitasi hingga batas potensi lestari sebesar 96.000 ton. Bila
dibandingkan dengan tingkat pemanfaatannya, maka data tersebut di atas masih
menunjukkan bahwa potensi SDI masih memberikan peluang besar untuk
diusahakan.
Selain potensi sumberdaya alam, Kabupaten Lampung Selatan didukung
pula oleh beberapa lembaga yang konsern di bidang kelautan maupun perikanan
antara lain lembaga pendidikan dan pengembangan seperti BBL, UNILA, dan
SMK. Disamping itu juga memiliki 1 unit PPI (Pusat Pendaratan Ikan), 6 unit
Tempat Pelelangan Ikan (TPI), 1 unit BBI Hias (Balai Benih Ikan Hias) Natar dan
1 unit BBI Palas, serta juga didukung oleh adanya UPR.
76
Kegiatan perikanan di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari kegiatan
penangkapan di laut, penangkapan di perairan umum, budidaya laut, budidaya
tambak atau air payau, budidaya kolam dan budidaya sawah dengan volume
produksi pada tahun 2007 adalah 27.025,05 ton. Kegiatan penangkapan ikan di
laut memberikan kontribusi terbesar, yaitu sebesar 23.202,50 ton atau 85,85%
dari keseluruhan produksi perikanan. Kemudian diikuti oleh kegiatan budidaya air
payau/tambak dan budidaya kolam masing-masing sebesar 2.788 ton dan
805,20 ton (Tabel 8). Hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan
terdiri dari berbagai jenis ikan konsumsi, udang, cumi-cumi, kerang-kerangan,
ikan hias dan hewan lunak lainnya. Ikan konsumsi yang dominan tertangkap
yaitu teri, layang, tongkol, kembung, selar, peperek, cakalang, kue dan belanak.
Selain itu, jenis ikan konsumsi dalam persentase kecil yaitu manyung, kakap,
cucut, kuro, senangin, tenggiri, tuna, udang windu, udang putih, ubur-ubur dan
rajungan.
Tabel 8. Gambaran potensi, pemanfaatan dan produksi perikanan dari berbagai
kegiatan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007
No Kegiatan Potensi (ha) Pemanfaatan (ha)
Produksi (Ton)
1 Penangkapan di Laut MSY=97.485 Ton 24.856,25 Ton 23.202,50
2 Penangkapan di Perairan Umum
3.460 0,43 74,00
3 Budidaya Laut 4.750 370,00 144,00
4 Budidaya Air Tambak/Payau
4.625 4.050,00 2.788,00
5 Budidaya Kolam 1.550 1.008,00 805,20
6 Budidaya Sawah 24.000 175,00 11,35
Jumlah 27.025,05
Sumber: Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka ,2007
Sedangkan perkembangan dari pemanfaatan potensi perikanan di
Kabupaten Lampung Selatan, dapat di lihat pada Tabel 9, dan perkembangan
produksi perikanan disajikan pada Tabel 10.
77
Tabel 9. Perkembangan pemanfaatan potensi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007
No. Kegiatan perikanan Pemanfaatan (Ton) Naik/Turun 2006 2007 Selisih (%)
1 Perikanan tangkap 2. Budidaya laut 379 370 -9 2,37
3. Tambak 2.781 4.050 1.269 45,63
4. Perairan umum 50 - - - 5. Budidaya air tawar
(kolam) 991 1008 17 70
6. Mina padi 991 175 -816 82,34
Sumber: Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007
Tabel 10. Perkembangan produksi perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006-2007
No. Kegiatan perikanan Produksi (Ton) Naik/Turun
2006 2007 Selisih (%) 1 Perikanan tangkap 22.499,92 23.202,50 702,58 3,12
2. Budidaya laut 28,00 144,00 116,00 414,28
3. Tambak 2.884,00 2.788,00 -96,00 3,33
4. Perairan umum 72,40 74,00 1,60 2,21
5. Budidaya air tawar (kolam)
752,42 602,20 -147.22 19,56
6. Mina padi 11,35 752,42 741,07 6500,29
Sumber : Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007
Perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan didominasi oleh
budidaya air payau atau tambak udang. Tambak udang yang tersebar di
Kecamatan Padang Cermin, Punduh Pidada, Kalianda, Rajabasa, Penengahan,
Palas dan Sidomulyo, berupa Tambak Inti Rakyat dan Pertambakan Rakyat.
Sedangkan benih udang untuk kegiatan tambak hampir seluruhnya diperoleh dari
pembenihan udang di Kalianda dan Rajabasa yang berjumlah ± 100 unit
pembenihan (hatchery). Pada tahun 1999, produksi backyard hatchery adalah
sebesar 720.500.000 ekor, meningkat 4,27% dari tahun 1998. produksi benur
tersebut belum termasuk produksi hasil PT. Central Pertiwi Bahari dan PT. Biru
78
Laut Khatulistiwa yang menghasilkan benur rata-rata tahunan sebesar
3.200.000.000 ekor (Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, 1999).
Banyaknya lahan hutan mangrove yang dikonversi dan sistem pembuangan
tambak yang tidak optimal, merupakan permasalahan lingkungan utama dalam
usaha pertambakan di Lampung Selatan. Selain usaha budidaya tambak,
terdapat juga usaha budidaya mutiara di Teluk Lampung (lebih dari 5.000 ha)
yang diusahakan oleh dua perusahaan besar, yaitu PT. Kyoko Shinju dengan
produksi kerang mutiara masing-masing 140.000 dan 400.000 buah per tahun.
Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Lokasi potensi budidaya laut di Lampung Selatan
No. Lokasi Potensi Area (ha) Komoditas 1. Kalianda (Teluk Betung, Pulau
Sebuku, Pulau Sebesi) 739,5200,0 50,0 50,0 50,0
Mutiara Rumput laut
Kakap Kerapu
Beronang 2. Padang Cermin
(P. Legundi, P. Seuncal, Tanjung Putus, Sidodadi, Tembiki, Bawang, Puhawang, Kelagian).
3.260,5 250,0 50,0 50,0 50,0
Mutiara Rumput laut
Kakap Kerapu
Beronang Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung ,2007
Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RPT) yang berdomisili di Kabupaten
Lampung Selatan tahun 1999 mencapai 14.557 RTP (Tabel 12). Jumlah ini terdiri
dari RTP perikanan tangkap (3.642 RTP), RTP budidaya laut (442 RTP), RTP
budidaya air payau atau tambak (3.427 RTP), RTP pembenihan benur (162
RTP), RTP budidaya air tawar atau kolam (2.002 RTP), RTP mina padi (108
RTP), RTP pembenihan air tawar (121 RTP),RTP pengolahan (527 RTP) dan
RTP pemanenan (2.018 RTP). Dibandingkan dengan tahun sebelumnya (1998),
jumlah RTP perikanan di Kabupaten Lampung Selatan mengalami peningkatan
pada tiap jenis usaha perikanan.
Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam perikanan tangkap tahun 1999
sebanyak 6.605 tenaga kerja, dan merupakan jumlah tenaga kerja yang terbesar
dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan lainnya.
79
Tabel 12. Perkembangan RTP perikanan dan penyerapan tenaga kerja perikanan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 1998 – 1999
No. Kegiatan RTP Tenaga Kerja 1998 1999 % 1998 1999 %
1. Perikanan Tangkap
3.606 3.642 1,00 6.530 6.605 1,15
2. Budidaya laut 419 442 5,49 1.260 1.314 4,29
3. Tambak 3.279 3.427 4,51 3.984 4.031 1,18
4. Perairan umum 70 74 5,71 1.438 1.498 4,17
5. Budidaya air tawar 1.907 2.002 4,98 2.430 2.762 13,17
6. Mina padi 96 108 12,50 826 864 4,60
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, 2000
4.2 Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang penting di
Kabupaten Lampung Selatan karena kontribusinya yang cukup besar terhadap
PDRB. Di Teluk Lampung pada tahun 1999 produksi perikanan tangkap telah
mencapai 24.856,25 ton. Kegiatan perikanan tangkap menghasilkan berbagai
jenis ikan konsumsi, udang, cumi, kerang-kerangan, ikan hias dan hewan lunak
lainnya. Ikan-ikan pelagis besar, seperti tongkol (Euthynnus spp), madidihang
(Thunnus albacore) dan cakalang (Katsuwonus pelamis) terdapat di lapisan atas
permukaan agak jauh dari pantai. Sedangkan ikan pelagis kecil, seperti tembang
(Sardinella fimbriata) dan kembung (Rastreflinger spp) ditemukan bergerombol di
perairan dekat pantai. Ikan-ikan demersal, seperti manyung (Tachyurus spp), pari
(Trigonidae), gulamah (Scaencae), serta berbagai jenis udang (Peneaus spp)
yang banyak tertangkap di dasar laut yang relatif dangkal dan berlumpur. Ikan-
ikan hias dan ikan-ikan karang, seperti kerapu (Epinephelus spp) lebih sering
ditemukan di kawasan terumbu karang. Cumi-cumi (Loligo spp) dan teri
(Stolephorus spp) biasa tertangkap oleh nelayan bagan karena senang
berkumpul di sekitar cahaya yang dinyalakan pada malam hari. Sedangkan
sumberdaya lain, seperti rumput laut, biasanya dikumpulkan oleh masyarakat
dengan tangan langsung di pantai.
80
4.2.1 Produksi perikanan
Perkembangan produksi ikan di Kabupaten Lampung Selatan selama
periode 2002-2006 disajikan pada Gambar 13.
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Jum
lah
(Ton
)
Gambar 13 Perkembangan produksi ikan Kabupaten Lampung Selatan selama
kurun waktu 2002-2006.
Berdasarkan data produksi ikan dapat diketahui bahwa produksi ikan
selama kurun waktu lima tahun tersebut terus mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 2006 sebesar 28.382,5
ton dan produksi terendah dicapai pada tahun 2002 sebesar 14.160 ton.
4.2.2 Perkembangan jumlah alat tangkap
Berbagai jenis alat tangkap (fishing gears) yang dioperasikan oleh nelayan
di Kabupaten Lampung Selatan sesuai dengan kebiasaan, keterampilan yang
dimiliki, kemampuan modal, dan serta musim, serta jenis–jenis ikan yang
ditangkap disajikan pada Tabel 13. Nelayan mengoperasikan alat tangkap
menggunakan armada kapal motor dan motor tempel, tetapi sebagian besar
nelayan masih menggunakan perahu tanpa motor yang terbuat dari kayu.
81
Tabel 13. Jenis alat tangkap yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2006.
No Jenis Alat Tangkap Jumlah (Unit) 1 Payang 245 2 Pukat Pantai 124 3 Jaring insang hanyut 60 4 Jaring insang tetap 319 5 Bagan perahu 267 6 Bagan tancap 220 7 Rawai hanyut selain rawai tuna 191 8 Rawai tetap 407 9 Pancing lain 2.159
10 Sero 173 11 Bubu 484 12 Perangkap lain 87
Sumber: Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007)
4.2.3 Kapal penangkap ikan
Kapal penangkap ikan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari
perahu tanpa motor, perahu dengan motor tempel, dan kapal motor.
Perkembangan jumlah perahu atau kapal penangkapan ikan selama tahun 2002-
2006 di Kabupaten Lampung Selatan disajikan pada Gambar 14. Daerah operasi
penangkapan oleh nelayan Kabupaten Lampung Selatan adalah perairan Teluk
Lampung, perairan Pesisir Timur Lampung dan Selat Sunda.
0100200300400500600700800
2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Jum
lah
Pera
hu (U
nit)
Tanpa Motor Motor Tempel Kapal Motor
Gambar 14. Perkembangan jumlah kapal penangkapan ikan tahun 2002-2006.
82
Gambar 15 Daerah penangkapan ikan di Teluk Lampung
4.3 Perikanan Budidaya
Perkembangan produksi perikanan budidaya khususnya budidaya laut
selama kurun waktu 2002-2006 di Kabupaten Lampung Selatan cenderung
mengalami peningkatan seperti disajikan pada Tabel 14, demikian juga untuk
perkembangan RTP budidaya laut dari tahun 2002 mengalami peningkatan
seperti disajikan pada Tabel 15.
Tabel 14. Perkembangan produksi budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan
Tahun Produksi (ton)
2002 232,72003 302,52004 1.399,02005 820,52006 1.366,2
83
Tabel 15. Perkembangan RTP budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan
Tahun Jumlah RTP
2002 172
2003 223
2004 232
2005 234
2006 264
Jenis ikan yang dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan adalah
ikan kerapu dan rumput laut. Perkembangan jumlah benih yang telah ditanam
untuk kegiatan budidaya laut disajikan pada Tabel 16, sedangkan untuk
perkembangan produksi dari kerapu dan rumput laut disajikan pada Tabel 17.
Tabel 16. Perkembangan jumlah benih yang ditanam pada budidaya laut di
Kabupaten Lampung Selatan
Tahun Jumlah (Ekor/Tangkai)
Kerapu Bebek Kerapu Macan Rumput Laut
2002 122.000 198.000 5.300 2003 253.000 259.000 16.900 2004 374.000 171.000 136.700 2005 450.000 271.000 925.000 2006 496.000 739.000 106.200
Tabel 17. Perkembangan produksi kerapu dan rumput laut pada budidaya laut di Kabupaten Lampung Selatan
Tahun Produksi (Ton)
Kerapu Bebek Kerapu Macan Rumput Laut
2002 135,8 33,0 63,9 2003 67,0 87,3 148,2 2004 55,0 142,0 1.202,0 2005 123,0 264,5 433,0 2006 82,7 221,7 1.061,8
84
4.4 Model CAP-AQUADEV
4.4.1 Potensi sumberdaya ikan
Sub model potensi SDI menggunakan metode survei deskriptif dengan
menganalisis hubungan catch per unit effort (CPUE). Hasil perhitungan dan
perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007 disajikan pada Tabel 18
dan Gambar 16.
Tabel 18. Perhitungan CPUE selama tahun 2001-2007
Tahun Cacth (Ton) Effort (Trip) Y/f (Ton/Trip) 2001 1,015.00 24,700.00 0.042002 719.20 18,460.00 0.042003 1,510.20 31,515.00 0.052004 1,956.70 18,400.00 0.112005 1,560.00 33,600.00 0.052006 1,163.30 32,900.00 0.042007 1,265.90 33,800.00 0.04
Gambar 16. Perkembangan CPUE selama kurun waktu 2001-2007.
Berdasarkan Tabel 18 dan Gambar 16, CPUE ikan di perairan Lampung
Selatan pada periode 2001-2007 cenderung berfluktuasi dengan trend negatif,
yaitu mengalami peningkatan dari tahun 2002 hingga 2004, namun pada tahun
2005 mengalami penurunan dan stabil hingga 2007.
85
(1) Status Pemanfaatan Ikan Demersal
Ikan demersal yang tertangkap di Teluk Lampung terdiri dari ikan manyung
(Tachyurus spp), pari (Trigonidae), gulamah (Scaencae), serta berbagai jenis
udang (Peneaus spp), alat tangkap yang digunakan nelayan yaitu payang,
cantrang, dogol, pancing, bubu dan trap lainnya. Jenis- jenis alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan demersal seperti pada Tabel 19, berikut:
Tabel 19. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan demersal di Kabupaten Lampung Selatan.
No. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap1 2001 140 85 47 512 46 952 2002 209 99 72 743 86 743 2003 211 113 85 812 142 904 2004 221 127 107 916 131 1095 2005 250 141 123 2.165 320 1316 2006 245 155 132 2.159 484 1877 2007 248 169 122 1.851 421 361
Jumlah 1.524 889 688 9.158 1.630 1.047
Dari hasil observasi terlihat produksi atau hasil tangkapan ikan demersal
terendah 3.382.80 ton pada tahun 2001 dan tertinggi 5.213.40 ton pada tahun
2006. Kenaikan produksi ini kemungkuinan terkait dengan penurunan produksi
dari alat tangkap cantrang dan dogol yang merupakan alat tangkap utama yang
digunakan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan.
Pada tahun 2006 terjadi penurunan trip atau hari operasi alat tangkap
cantrang dan dogol yang signifikan sehinga menaikkan produksi alat tangkap
payang yang merupakan alat tangkap sejenis.
Tabel 20. Catch, Effort dan CPUE ikan demersal
Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y) 2001 3,382.80 14,700 0.23 2002 4,231.60 15,025 0.28 2003 4,246.70 22,535 0.19 2004 4,586.00 21,740 0.21 2005 4,834.00 20,359 0.24 2006 5,213.40 19,600 0.27 2007 4,770.30 10,680 0.45
86
Mean 17805.57143 0.265891636 Stdev 4391.983487 0.085663496 intercept (a) 0.554453634 Slop (b) -1.62063E-05 Hubungan Effort dan CPUE f(x) = 0,5545 – 1.62063E-05x
Fungsi Produksi P( f ) = 0,5545 f – 1.62063E-05 f 2 Msy=-0.25xa2/b 4742.280693 f MSY 17106.13983
MSY SDI Demersal
400041004200430044004500460047004800
- 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000
Effort (trip/tahun)
Catc
h (to
n/ta
hun)
Series1
MSY
Gambar 17. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung
Fungsi CPUE SDI Demersal
y = -2E-05x + 0.55R2 = 1
0.000.050.100.150.200.250.300.350.40
0 5000 10000 15000 20000 25000
Effort (trip)
Cac
th/ e
ffort
(ton)
Series1Linear (Series1)
MSY
Gambar. 18 Tren produksi dan effort ikan demersal di Teluk Lampung
Dari Tabel 19 diketahui bahwa MSY ikan demersal di Teluk Lampung
4742.280 ton/ tahun dengan effort optimum 17106 trip per tahun. Berdasarkan
nilai MSY tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan
demersal di Teluk Lampung sudah mengalami eksploitasi penuh (Fully
exploitated) mulai tahun 2002 sampai tahun 2004, dengan tingkat pemanfaatan
87
lebih dari 80% dari nilai MSY atau melebihi JTB. Pada tahun 2005 sampai tahun
2007 pemanfaatan sumberdaya ikan demersal Teluk Lampung lebih dari 100%,
hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan demersal mengalami tangkapan
lebih (over fishing), seperti terlihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung
Tahun Produksi MSY Tk. Manfaat (%) 2001 3,382.80 4742.281 71.33 2002 4,231.60 4742.281 89.23 2003 4,246.70 4742.281 89.55 2004 4,586.00 4742.281 96.70 2005 4,834.00 4742.281 101.93 2006 5,213.40 4742.281 109.93 2007 4,770.30 4742.281 100.59
(2) Status Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil
Ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan teluk Lampung terdiri dari
ikan peperek, kembung, tenggiri, ikan ekor kuning, japuh, ikan kurisi dan layur.
Jenis alat tangkap yang digunakan terdiri daripukat pantai, pukat cincin, jarring
insang, jarring klitik, rawai dan pancing tonda, selengkapnya seperti terlihat pada
tebel berikut :
Tabel 22. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan pelagis kecil di Kabupaten
Lampung Selatan
Jenis Alat Tangkap Tahun Jumlah
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Pukat Pantai 93 108 95 95 130 124 261 906
Pukat Cincin 47 62 54 45 50 47 42 347
Jaring insang hanyut 72 74 105 65 70 60 265 711
Jaring lingkar 86 89 51 46 48 55 50 425
Jaring Klitik 12 14 8 27 30 35 26 152
Jaring insang tetap 190 154 238 230 336 319 320 1787
Rawai Tuna 95 85 79 52 69 89 88 557
Rawai Hanyut 92 128 198 201 188 191 190 1188
Rawai tetap 138 152 312 289 387 427 479 2184
Pancing tonda 72 69 62 70 53 48 69 443
Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa hasil tangkapan ikan pelagis
kecil di Kabupaten Lampung Selatan terendah pada tahun 2002 yaitu 719,2 ton
sedangkan tertinggi pada tahun 2004 sebesar 1.956,7 ton. Kenaikan produksi
88
atau hasil tangkapan yang signifikan ini terkait dengan kenaikan jumlah alat
tangkap yang cukup besar. Pada tahun 2002 terjadi penurunan hasil tangkapan
ikan pelagis kecil, hal ini terkait dengan penurunan jumlah effort terhadap ikan
pelagis kecil di Teluk Lampung. Pada tahun 2003 terjadi kenaikan effort yang
signifikan dari 18.460 trip pada tahun 2002 menjadi 31.515 trip, kenaikan jumlah
trip tersebut berpengaruh pada kenaikan jumlah hasil tangkapan ikan pelagis
yang signifikan juga.
Tahun 2005 sampai 2007 terjadi penurunan produksi atau penangkapan
ikan pelagis walaupun jumlah effort yang berlangsung di Teluk Lampung
mengalami pertambahan. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa sumberdaya
perikanan pelagis kecil di Teluk Lampung telah mengalami penurunan bahkan
mungkin sudah mengalami full eksploitsi atau over fishing.
Tabel 23. Catch, Effort dan CPUE ikan pelagis kecil
Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y)
2001 1,015.00 24,700.00 0.04 2002 719.20 18,460.00 0.04 2003 1,510.20 31,515.00 0.05 2004 1,956.70 18,400.00 0.11 2005 1,560.00 33,600.00 0.05 2006 1,163.30 32,900.00 0.04 2007 1,265.90 33,800.00 0.04
Mean 27625 0.050508 Stdev 7005.265282 0.025043 intercept (a) 0.104612 Slop (b) -2E-06 Hubungan Effort dan CPUE f(x) = 0.105- 2E-06X Fungsi Produksi P( f ) = 0.105 f- 2E-06 f2 Msy=-0.25xa2/b 1396.931f MSY 26707.01
89
MSY Ikan Pelagis
1240126012801300132013401360138014001420
0 10000 20000 30000 40000
Effort (trip/tahun)
Cat
ch (t
on/ta
hun)
Series1
MSY
Gambar 19. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung
Fungsi CPUE SDI Pelagis
y = -2E-06x + 0.105R2 = 1
-0.010.020.030.040.050.060.070.08
- 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000
Effort (trip)
Cact
h/Ef
fort
(ton)
Series1Linear (Series1)
MSY
Gambar 20. Tren produksi dan effort ikan pelagis di Teluk Lampung
Dari Tabel 24. diketahui MSY ikan pelagis kecil di Teluk Lampung 1396,931
ton per tahun, dengan effort optimum 26707 trip per tahun. Produksi ikan pelagis
pada tahun 2001 dan 2002 masih di bawah nilai MSY atau tingkat
pemanfaatannya baru 70%. Pada tahun 2003 terjadi peningkatan upaya atau
effort terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil yang meyebabkan terjadinya
penigkatan produksi atau hasil tangkapan yang signifikan bahkan melebihi dari
nilai MSY.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung
sudah mengalami tangkap lebih atau over fishing mulai tahun 2003 sampai tahun
2005, dengan tingkat pemanfaatan mencapai lebih dari100%. Pada tahun 2006
dan 2007 terjadi penurunan produksi atau hasil tangkapan dibandingkan dengan
tahun 2004 atau tahun 2005, sedangkan effort yang berlangsung jumlahnya
90
relatif sama. Penurunan produksi ini semakin menegaskan bahwa sumberdaya
ikan pelagis kecil di Teluk Lampung sudah mengalami over fishing. Sesuai hasil
penelitian Diantari dan Efendi (2005) yang menyatakan bahwa sumberdaya ikan
kembung sudah mengalami full eksploitasi.
Tabel 24. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Lampung
Tahun Produksi
(ton) MSY (ton) Tk.pemanfaatan (%)
2001 1,015.00 1396.931 72.66 2002 719.20 1396.931 51.48 2003 1,510.20 1396.931 108.11 2004 1,956.70 1396.931 140.07 2005 1,560.00 1396.931 111.67 2006 1,163.30 1396.931 83.28 2007 1,265.90 1396.931 90.62
(3) Status Pemanfaatan Krustacea
Jenis krustacea yang tertangkap di perairan Kabupaten Lampung Selatan
terdiri dari udang, lobster, rajungan dan jenis kepiting lainnya, sedangkan jenis
alat tangkap yang digunakan adalah pukat udang, tramel net, dan sero. Alat
tangkap krustacea umumnya mengalami penurunan jumlahnya dari tahun 2001
sampai tahun 2004 dan meningkat kembali tahun 2005 sampai dengan tahun
2007. Jenis alat tangkap yang paling banyak adalah sero, seperti tergambarkan
pada tabel 25.
Tabel 25. Jenis dan jumlah alat tangkap crustacea di Kabupaten Lampung
Selatan
No. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero 1 2001 17 35 726 2 2002 17 23 876 3 2003 15 18 864 4 2004 13 56 1,139 5 2005 14 37 550 6 2006 14 26 895 7 2007 16 21 995 Jumlah 106 216 6,045
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan hasil tangkapan atau produksi
krustacea di Kabupaten Lampung Selatan tertinggi pada tahun 2004 yaitu
400,70 ton dan terendah pada tahun 2003 yaitu 28,40 ton. Kenaikan produksi
atau hasil tangkapan ini terkait dengan peningkatan jumlah effort yang dilakukan,
91
penurunan hasil tangkapan yang terjadi pada tahun 2004 sampai 2007, dari
400,70 ton menjadi 72,60 ton juga diikuti dengan penurunan effort yang
signifikan yaitu dari 6720 menjadi 1267 trip.
Pola hubungan antara produksi dan effort krustacea di perairan Lampung
Selatan berbanding terbalik dengan tren menurun, dimana produksi atau hasil
tangkapan perikanan krustacea semakin turun seiring dengan peningkatan effort
yang dilakukan. Tingkat hubungan atau korelasi antara produksi dengan effort
sangat erat yang ditandai dengan nilai koefisien korelasi 1 (satu), seperti pada
gambar 19.
Tabel 26. Catch, effort dan MSY crustacea
Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y)
2001 287.00 5,775.00 0.05 2002 32.50 1,864.00 0.02 2003 28.40 229.00 0.12 2004 400.70 6,720.00 0.06 2005 256.20 5,376.00 0.05 2006 145.80 4,873.00 0.03 2007 72.60 1,267.00 0.06
Mean 3729.143 0.055094 Stdev 2547.653 0.033942 intercept (a) 0.075678 Slop (b) -5.5E-06 Hubungan effort dan CPUE f(x) = 0.076 -5.5E-06X Fungsi Produksi f(x) =0.076f - 5.5E-06f2 Msy=-0.25xa2/b 259.3875 f MSY 6855.025
MSY SD Crustacea
0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
300.00
- 2,000 4,000 6,000 8,000
Effort (trip/tahun)
Cat
ch (t
on/ta
hun)
Series1
Gambar 21. Kurva Produksi Lestari sumberdaya crustacea di Teluk Lampung
MSY
92
Fungsi CPUE SD Crustacea
y = -6E-06x + 0.076R2 = 1
0.000.010.020.030.040.050.060.070.08
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Effort (trip)
Cact
h/ e
ffort
(ton
)Series1Linear (Series1)MSY
Gambar 22. Tren produksi dan effort crustacea di Teluk Lampung
Nilai MSY perikanan krustacea di Kabupaten Lampung Selatan adalah
259,3875 ton/ tahun, effort optimum 6855 trip. Dari data hasil tangkapan
krustacea di Teluk Lampung menunjukkan bahwa produksi atau hasil tangkapan
pada tahun 2001 dan tahun 2004 telah melampaui MSY atau mengalami over
fishing. Kemungkinan peningkatan produksi atau hasil tangkapan tersebut terkait
dengan peningkatan aktivitas penangkapan masing- masing jenis alat tangkap.
Pada tahun 2005 sampai tahun 2007 terjadi penurunan produksi, pada tahun
tersebut juga terjadi penurunan effort atau aktifitas penangkapan terhadap
krustacea di Teluk Lampung. Kondisi ini sesuai dengan hasil perhitungan tingkat
pemanfaatan sumberdaya krustacea di Teluk Lampung yang menunjukkan pada
tahun 2001 dan 2004 tingkat pemanfaatan krustcea mencapai 110,65% dan
154,48% yang berarti melampaui potensi yang tersedia (over fishing).
Pada tahun 2005 tingkat pemanfaatan krustacea di Teluk Lampung
mencapai 98,77% yang berarti sama dengan potensi yang tersedia atau full
ekploitated. Sedangkan pada tahun- tahun berikutnya tingkat pemanfaatan
krustacea mengalami penurunan yang signifikan, kemungkinan hal ini sangat
terkait dengan penurunan effort yang dilakukan pada tahun- tahun tersebut.
Tabel 27. Tingkat pemanfaatan crustacea
Tahun Produksi MSY Tk.Manfaat (%) 2001 287.00 259.3875 110.65 2002 32.50 259.3875 12.53 2003 28.40 259.3875 10.95 2004 400.70 259.3875 154.48 2005 256.20 259.3875 98.77 2006 145.80 259.3875 56.21 2007 72.60 259.3875 27.99
93
(4) Status Pemanfaatan Jenis Ikan Lainnya Jenis ikan lainnya merupakan jenis ikan yang tertangkap dengan alat
tangkap yang tidak spesifik atau tidak mempunyai target spesifik, seperti bagan
dan alat tangkap lain. Jenis ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan teri dan
udang rebon atau ikan- ikan kecil yang lainnya. Alat tangkap yang digunakan
dalam penangkapan ikan lainnya terdiri dari bagan perahu, bagan tancap, jaring
angkat dan alat lainnya.
Alat tangkap ikan lainnya di Kabupaten Lampung Selatan paling banyak
bagan tancap sebanyak 1819 buah dan yang paling sedikit alat tangkap lainnya
dengan jumlah 783 buah. Pengoperasian alat tangkap ini umumnya statis pada
suatu tempat dan menggunakan bantuan lampu untuk menarik ikan atau udang
berkumpul di bawah lampu.
Tabel 28. Jenis dan jumlah alat tangkap ikan lainnya di Teluk Lampung
No. Tahun Bagan Perahu
Bagan Tancap Jaring Angkat Lain
Alat Lainnya
1 2001 115.00 292.00 192.00 137.00 2 2002 122.00 280.00 152.00 132.00 3 2003 115.00 286.00 105.00 130.00 4 2004 138.00 292.00 110.00 126.00 5 2005 243.00 235.00 149.00 95.00 6 2006 267.00 220.00 156.00 74.00 7 2007 233.00 214.00 135.00 89.00
Jumlah 1,233.00 1,819.00 999.00 783.00
Tabel 29. Catch, efort dan MSY ikan lainnya di Teluk Lampung
Tahun Cacth Effort (x) Y/f (y)
2001 2,691.70 17,250.00 0.16 2002 3,262.90 35,420.00 0.09 2003 2,188.50 19,445.00 0.11 2004 4,162.20 22,080.00 0.19 2005 5,822.50 48,600.00 0.12 2006 6,400.10 53,421.00 0.12 2007 2,449.90 37,740.00 0.06
Mean 33422.28571 0.121963 Stdev 14367.20739 0.040481 intercept (a) 0.163956 Slop (b) -1.3E-06 Hubungan Effort dan CPUE f(x) =0.164- 1.3E-06X Fungsi Produksi f(x) =0.164f – 1,3E-06f2 Msy=-0.25xa2/b 5348.723 f MSY 65245.75
94
MSY Ikan Lainnya
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
0 20,000 40,000 60,000 80,000
Effort (trip)
Catc
h (to
n/ta
hun)
Series1
Gambar 23. Kurva produksi lestari sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung
Fungsi CPUE SDI Lainnya
y = -1E-06x + 0.164R2 = 1
-0.020.040.060.080.100.120.140.16
- 10,000.00
20,000.00
30,000.00
40,000.00
50,000.00
60,000.00
70,000.00
Effort (trip)
Cact
h/ e
ffort
(ton)
Series1Linear (Series1)
MSY
Gambar 24. Tren produksi dan effort ikan lainnya di Teluk Lampung
Nilai MSY ikan lainnya di Kabupaten Lampung Selatan adalah 5348,723
ton/ tahun dngan effort optimum 65246 trip. Dari data hasil tangkapan ikan
lainnya di Teluk Lampung menunjukkan bahwa produksi atau hasil tangkapan
berfluktuasi dan cendeung meningkat mulai tahun 2001 sampai tahun 2007,
bahkan pada tahun 2005- 2006 produksi ikan lainnya telah melampaui nilai Msy
atau mengalami over fishing. Peningkatan produksi atau hasil tangkapan tersebut
terkait dengan peningkatan aktifitas penangkapan masing- masing jenis alat
tangkap.
Pada tahun 2005 dan 2006 terjadi peningkatan upaya penangkapan ikan
lain di Kabupaten Lampung Selatan yang signifikan sehungga berpengaruh
terhadap produksinya yang melebihi MSY (over fishing). Tahun 2007 produksi
atau hasil tangkapan ikan jenis lainnya di Teluk Lampung mengalami penurunan
yang signifikan, sekitar 60% dari produksi tahun 2006, pada tahun tersebut juga
terjadi penurunan effort tetapi sekitar 30% dari effort tahun 2006. Kondisi pada
95
tahun 2007 mengindikasikan terjadinya penurunan sumberdaya ikan lainnya di
perairan Teluk Lampung. Hal ini berarti walaupun dalam perhitungan tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya hanya 45,8%, tetapi effort yang dilakukan
tidak dapat serta merta ditingkatkan karena indikasi lainnya (CPUE)
menunjukkan tren yang menurun. Bisa juga tingkat pemanfaatn ikan lainnya
tahun 2007 tersebut merupakan kondisi terkini sumberdaya ikan lainnya di Teluk
Lampung hanya tinggal 45,8% saja.
Tabel 30. Tingkat pemanfaatan perikanan lainnya di Teluk Lampung
Tahun Produksi MSY Tk.manfaat(%) 2001 2,691.70 5348.723 50.32 2002 3,262.90 5348.723 61.00 2003 2,188.50 5348.723 40.92 2004 4,162.20 5348.723 77.82 2005 5,822.50 5348.723 108.86 2006 6,400.10 5348.723 119.66 2007 2,449.90 5348.723 45.80
4.4.2 Kesesuaian lahan untuk budidaya karamba jaring apung (KJA)
Sub model kesesuaian lahan untuk pengembangan perikanan budidaya
dilakukan dengan penilaian kelayakan terhadap kriteria kesesuaian. Potensi
lahan untuk pengembangan budidaya laut dengan KJA di perairan Kabupaten
Lampung Selatan tersebar dari pesisir pantai Kecamatan Kalianda sampai ke
Kecamatan Padang Cermin. Beberapa kawasan/lokasi tersebut sudah terdapat
kegiatan pembudidayaan ikan dengan KJA, seperti: Tarahan, Teluk Hurun dan
Tanjung Putus. Tanjung Putus adalah lokasi dengan kegiatan pembudidayaan
ikan dengan KJA terpadat. Kendala dan potensi permasalahan di lokasi-lokasi
tersebut berbeda satu sama lain, untuk itu perlu disusun kriteria yang dapat
dijadikan indikator untuk menilai secara total aspek-aspek terkait pengembangan
usaha KJA sehingga dapat ditentukan kelayakannya.
96
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
#
##
#
#
#
G a ya m
P ala s
Ja b u ng
A sa h a n
Ta ra h a n
P an ja n g
K eta p a ngK alia n da
B ak a u h en iB atu B a la k
P ad a n g C e rn an
B an d a r L am p u ng
S im p a n g K a lia nd a6°
00' 6°00'
5°50
' 5°50'
5°40
' 5°40'
5°30
' 5°30'
105 °0 0 '
105 °0 0 '
105 °1 0 '
105 °1 0 '
105 °2 0 '
105 °2 0 '
105 °3 0 '
105 °3 0 '
105 °4 0 '
105 °4 0 '
105 °5 0 '
105 °5 0 '
4 0 4 8
Ki lo m e ter
N
P E TA L O K AS I P E N E L IT IANT E L U K L A M P U NG
2
1
7
34
56
Keterangan gambar : ; lokasi alternatif pengembangan budidaya laut Gambar 25. Peta sebaran alternatif lokasi pengembangan perikanan budidaya di
Teluk Lampung
Hasil penilaian kelayakan terhadap 3 (tiga) kategori kriteria kesesuaian
seperti tampilkan pada Tabel 31 dan secara rinci matrik penilaian kelayakan
ditampilkan pada Lampiran 9.
Tabel 31. Hasil penilaian kelayakan kesesuaian lahan
No. Alternatif Lokasi Nilai per Kategori Nilai Total KeteranganI II III
1. Kalianda 92 48 67 67 Kurang Layak2. Tarahan 86 54 69 69 Kurang Layak3. Teluk Hurun 70 66 67 67 Kurang Layak4. Ringgung 86 60 71 71 Kurang Layak5. Pulau Puhawang 82 90 81 81 Layak 6. Tanjung Putus 94 90 83 83 Layak 7. Pulau Sebesi 120 66 80 80 Layak
Nilai per kategori untuk setiap alternatif lokasi dihitung dengan mengalikan
bobot dengan skor. Dari hasil penilaian kelayakan terhadap kriteria kesesuaian
lahan untuk pengembangan perikanan budidaya di KJA sebagai salah satu
kegiatan perikanan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Lampung Selatan
terlihat bahwa lokasi yang layak adalah Pulau Puhawang, Tanjung Putus dan
Pulau Sebesi sedangkan 4 (empat) lokasi lainnya kurang layak, yaitu: Kalianda,
Tarahan, Teluk Hurun dan Ringgung.
97
Perairan Pulau Sebesi dengan nilai 120 adalah lokasi dengan nilai tertinggi
untuk kriteria I (terdiri atas: aspek biofisik dan aseanografi perairan). Sedangkan
Teluk Hurun memiliki nilai terendah untuk kriteria I. Untuk kriteria II (yang terdiri
atas: kedalaman, keterlindungan dan substrat) lokasi yang memiliki nilai tertinggi
adalah Pulau Puhawang dan Tanjung Putus, sedangkan terendah adalah
Kalianda. Sedangkan untuk kriteria III (yang terdiri atas: aspek sosial ekonomi
dan budaya) lokasi yang memiliki nilai tertinggi adalah Pulau Puhawang dan
yang terendah adalah Kalianda dan Teluk Hurun.
Hasil analisis tersebut sesuai dengan hasil pemantauan BBPBL Lampung
kualitas air di 6 lokasi yang tersebar di Teluk Lampung seperti ditampilkan pada
Gambar 26 dan Gambar 27.
DO (ppm), Suhu (0C), pH, Sal (ppt) & TOM (ppm)
010203040506070
T.Putus
Puhaw
ang
Ringgun
gHurun
Taraha
n
Kalian
da
Lokasi
Nila
i
DOSuhupHSalTOM
Gambar 26. Grafik parameter DO, suhu, pH, salinitas dan TOM di beberapa
lokasi budidaya di Teluk Lampung.
Terlihat bahwa 4 (empat) parameter yaitu DO, pH, salinitas dan suhu dari 5
(lima) parameter di atas memiliki nilai yang relatif sama antar lokasi pengamatan.
Hanya nilai total organic metter (TOM) yang berbeda antar lokasi pengamanatan
yaitu Ringgung memiliki nilai TOM terendah yaitu 15 ppm dan Hurun memiliki
TOM tertinggi yaitu 65 ppm.
98
DIN dan Orto-PO4
00.050.1
0.150.2
0.250.3
0.350.4
T.Putus
Puhaw
ang
Ringgun
gHurun
Taraha
n
Kalian
da
Lokasi
Kon
sent
rasi
(ppm
)DINPO4
Gambar 27. Grafik parameter kelarutan senyawa nitrogen (DIN) dan total bahan organik (TOM) di beberapa lokasi budidaya di Teluk Lampung.
Dari 3 lokasi yang layak untuk pengembangan budiadya laut dengan KJA di
Kabupaten Lampung Selatan, hanya direkomendasikan 2 (dua) lokasi
diantaranya yang dapat ditetapkan sebagai lokasi budidaya KJA, karena Pulau
Sebesi telah ditetapkan sebagai Marine Protected Area (MPA) sehingga kegiatan
yang diperbolehkan dikawasan tersebut sangat terbatas. Disarankan perairan
Pulau Sebesi dapat dijadikan sebagai lokasi pengembangan kegiatan
pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya yang dapat
dikemas ramah lingkungan dan tidak mengganggu fungsi lokasi sebagai MPA.
4.4.3 Pemilihan teknologi penangkapan ikan
Sub model pemilihan teknologi penangkapan ikan yang layak
dikembangkan menggunakan metode OWA. Berdasarkan data dari Laporan
Tahunan Propinsi Lampung (2007) dipilih empat alternatif alat tangkap yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi alat tangkap ideal yang
mampu mendukung perkembangan sektor perikanan tangkap berbasis budidaya
di Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan jumlah perkembangan alat tangkap
selama kurun waktu 5 tahun. Perkembangan jumlah alat tangkap menurut jenis
alat tangkap yang ada di Kabupaten Lampung Selatan selama periode tahun
2002-2006 dapat dilihat pada Tabel 32.
99
Tabel 32. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006
Tahun Bubu Jaring Insang Pancing Sero 2002 0 354 743 82 2003 142 420 812 98 2004 131 378 916 90 2005 320 406 2.165 165 2006 484 379 2.159 173
Sumber : Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007)
Pemilihan teknologi penangkapan ikan didasarkan pada kriteria yang
disusun untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan, yaitu (1) selektivitas tinggi,
(2) tidak destruktif terhadap habitat, (3) tidak membahayakan nelayan (operator),
(4) menghasilkan ikan yang bermutu baik, (5) produk tidak membahayakan
konsumen, (6) minimum hasil tangkapan yang terbuang, (7) dampak minimum
terhadap keanekaragaman sumber daya hayati, dan (8) tidak menangkap
spesies yang dilindungi. Pembobotan masing-masing kriteria berdasarkan tingkat
kepentingan untuk pemilihan teknologi penangkapan ikan disajikan pada Tabel
33. Dari hasil analsis diketahui bahwa teknologi penangkapan ikan terpilih untuk
dikembangkan di Kabupaten Lampung Selatan adalah alat tangkap bubu (Tabel
35) yang mempunyai bobot atau skala tinggi.
Tabel 33. Bobot kriteria pemilihan teknologi penangkapan ikan
No. Kriteria Agregat 1. Selektivitas tinggi Sangat Tinggi
2. Tidak destruktif terhadap habitat Sangat Tinggi
3. Tidak membahayakan nelayan Tinggi 4. Menghasilkan ikan yang bermutu baik Tinggi 5. Produk tidak membahayakan konsumen Tinggi 6. Minimum hasil tangkapan yang terbuang Tinggi 7. Dampak minimum terhadap keanekaragaman
sumber daya hayati Sangat tinggi
8. Tidak menangkap spesies yang dilindungi Tinggi
100
Tabel 34. Skala prioritas alat tangkap ideal terpilih di Kabupaten Lampung Selatan
No. Jenis Alat Tangkap Skala 1. Bubu (traps) Tinggi 2. Jaring insang (gillnet) Rendah 3. Pancing (lines) Sedang 4. Sero Sedang
Hariyanto et al (2009), menyatakan bahwa alat tangkap bubu yang
dimodifikasi merupakan alat yang ramah lingkungan dan cocok bagi perairan
Teluk Lampung, alat bubu yang dimodifikasi dengan ditambahkan umpan
menghasilkan tangkapan yang lebih banyak dari bubu biasa (Thomas et al, 2005)
4.4.4 Pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya
Sub model pemilihan dirancang untuk membantu pengguna dalam
menentukan komoditas potensial yang diunggulkan. Sub model pemilihan
menggunakan metode independent preference evaluation (IPE) dengan kaidah
fuzzy group decision making (FGDM), yang dirancang untuk menentukan
prioritas alternatif berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan dan bobot
masing-masing kriteria. Prioritas ini dinilai secara fuzzy oleh para pengambil
keputusan untuk kemudian diagregasi menjadi urutan atau prioritas alternatif.
Mengingat komoditas perikanan tangkap beragam jenisnya, sedangkan
komoditas yang dapat dibudidayakan dari hasil perikanan tangkap jenisnya
terbatas sehingga diperlukan pentahapan dalam proses pemilihan produk
unggulan agar lebih fokus. Dalam sistem budidaya laut, komoditas perikanan
akan menjadi bahan baku bagi kegiatan budidaya laut sehingga jumlah dan
kontinuitas menjadi faktor yang sangat penting bagi keberlanjutan budidaya yang
dikembangkan. Dengan demikian, tahap awal penentuan produk unggulan
adalah menentukan prioritas komoditas potensialnya. Selain jumlah dan
kontinuitas, kriteria lain dalam pemilihan prioritas komoditas potensial yang juga
akan mempengaruhi keberlangsungan budidaya laut adalah mutu dan nilai
ekonomis komoditas, peluang diversifikasi dan keterpusatan lokasi budidaya
ikan. Dari proses pemilihan komoditas dipilih empat jenis komoditas potensial
yang unggul untuk dibudidayakan yaitu ikan kerapu bebek, kerapu lumpur,
kerapu tikus dan kakap putih.
101
Untuk menentapkan produk unggulan budidaya laut pada suatu wilayah
harus memenuhi berbagai kriteria agar budidaya laut tersebut mampu
memberikan manfaat sebesar-besarnya, selain bagi pelaku usaha budidaya, juga
bagi pelaku atau sektor lain, serta bagi pembangunan wilayah setempat.
Terdapat delapan kriteria untuk menetukan produk unggulan budidaya. Kriteria
pemilihan komoditas potensial dan produk unggulan ditentukan oleh pakar dan
pembobotannya ditentukan melalui metode OWA.
Pemilihan komoditas potensial yang akan dibudidayakan di Kabupaten
Lampung Selatan ditentukan berdasarkan delapan kriteria, yaitu (1) kelayakan
komoditas, (2) ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi, (3) nilai ekonomis,
(4) peluang pasar, (5) penyerapan tenaga kerja, dan (6) dampak ganda terhadap
sektor lain, (7) dampak terhadap lingkungan, dan (8) kondisi budidaya laut saat
ini. Pembobotan masing-masing kriteria berdasarkan tingkat kepentingan untuk
pemilihan komoditas potensial dengan menggunakan metode OWA disajikan
pada Tabel 35.
Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di
Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan Laporan Tahunan Propinsi Lampung
selama 5 tahun terakhir adalah kerapu, rajungan, udang putih, dan udang yang
lainnya (Tabel 36).
Tabel 35. Bobot kriteria pemilihan komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya laut
No. Kriteria Agregat 1. Kelayakan komoditas Sedang 2. Ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi Tinggi 3. Nilai ekonomis Tinggi 4. Peluang pasar Tinggi 5. Penyerapan tenaga kerja Tinggi 6. Dampak ganda terhadap sektor lain Sangat Tinggi 7. Dampak terhadap lingkungan Sangat Tinggi 8. Kondisi budidaya laut sekarang Tinggi
102
Tabel 36. Perkembangan produksi jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di Kabupaten Lampung Selatan selama kurun waktu 2002-2006
Tahun Kerapu Rajungan Udang Putih Udang Lain 2002 51,5 0 0 0 2003 59,4 262,9 39,8 223,1 2004 9,2 193,1 1.545,9 240,5 2005 18,0 210,6 1.018,6 803,4 2006 4,2 142,9 915,4 422,8
Sumber : Laporan Tahunan Propinsi Lampung (2007)
Berdasarkan kriteria yang disusun untuk pemilihan komoditas potensial
yang akan dikembangkan dengan sistem budidaya laut, maka diperoleh hasil
bahwa komoditas potensial yang dapat diunggulkan Kabupaten Lampung
Selatan adalah ikan kerapu (Tabel 37).
Tabel 37. Skala prioritas komoditas potensial terpilih Kabupaten Lampung
Selatan No. Jenis Komoditas Skala 1. Kerapu (Ephinephelus sp) Tinggi 2. Rajungan Rendah 3. Udang putih Sedang 4. Udang lain Sedang
4.4.5 Kelayakan investasi
Komoditas yang dapat dibudidayakan, ditangkap dan dibudidayakan serta
ditebar kembali dalam rangka pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya di pesisir dan perairan pantai Kabupaten Lampung Selatan perlu
diketahui kelayakan usahanya yaitu dengan menghitung parameter kelayakan
investasi.
Sub model kelayakan ini mengintegrasikan berbagai operasi dalam
penentuan kriteria kelayakan seperti NPV, Net B/C dan IRR. Selain itu, sub
model ini juga telah dilengkapi dengan operasi untuk perkiraan arus uang,
analisis sensifitas, optimasi peubah kritis dan perencanaan produksi, sehingga
operasi-operasi yang cukup rumit untuk mengantisipasi resiko-resiko kelayakan
dapat dilakukan dengan cepat. Kriteria yang digunakan adalah NPV, Net B/C,
dan IRR. Penentuan layak atau tidaknya suatu usaha adalah dengan cara
103
membandingkan masing-masing nilai dengan batas-batas kelayakan, yaitu: NPV
> 0; Net B/C > 1, dan IRR > 8%. Hasil kelayakan usaha disajikan pada Tabel 38.
Tabel 38. Hasil analisis finansial kelayakan usaha perikanan
No. Komoditas/Alat
Tangkap IRR NPV df 15 % B/C PBP
A. Komoditas Perikanan Budidaya 1 Vaname Sederhana 2.61 40.061.075,16 1.46 1,00 2 Vaname Semi Intensif 6.01 325.740.152,44 1.6 1,00 3 Vaname Intensif 8.91 889.587.773,06 1.49 1,00 4 Windu Sederhana 3.18 49.458.712,27 1.66 1,00 5 Windu Semi Intensif 5.45 294.335.390,45 1.85 1,00 6 Windu Intensif 2.83 270.771.212,94 1.44 1,00 7 Rumput Lut - 376.141.242,95 3.19 1,00 8 Kerapu Macan - 436.475.352,97 2.17 1,00 9 Bandeng - 94.888.117,18 1.35 1,00
Justifikasi Kelayakan >0,14 > 0 > 1,00 < 3 thn
B. Komoditas Perikanan Tangkap 10 Pancing Rawai 26.84 % 42.197.079 1,24 2,5 11 Pancing Ulur 20.41 % 34.818.970 1,12 2,7 12 Jaring Lingkar 25.85 % 279.075 1,288 -13 Jaring Insang 39.69 % 38.773.513 1,63 2,53
Justifikasi Kelayakan > 14 % > 0 > 1,00 < 3 thn
Hasil analisis kelayakan usaha menunjukkan bahwa usaha perikanan
tangkap dan pembudidayaan ikan masih layak untuk diusahakan, karena
berdasarkan hasil analisis finansial dengan discount rate 15% menunjukkan nilai
NPV positif, Net B/C lebih besar dari satu, dan IRR diatas tingkat suku bunga
yang wajar (Lampiran 12 – Lampiran 24).
4.4.6 Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya
Dengan menggunakan teknik AHP pada sub model strategi, hirarki untuk
pemilihan alternatif strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya terdiri atas fokus, faktor, tujuan dan alternatif dapat
ditentukan prioritasnya. Elemen faktor penting yang mempengaruhi integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah (1) SDI, (2)
potensi lahan budidaya laut, (3) SDM, (4) teknologi, (5) permodalan, (6) pasar,
(7) kebijakan pemerintah, (8) sarana dan prasarana; (9) informasi, dan (10)
104
kelembagaan. Elemen tujuan yang hendak dicapai adalah (1) peningkatan
produksi ikan, (2) perluasan lapangan kerja, (3) perluasan kesempatan berusaha,
(4) peningkatan pendapatan daerah, (5) peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan
(6) peningkatan konsumsi ikan. Untuk pencapaian tujuan tersebut alternatif
strategi yang ditawarkan adalah (1) optimalisasi perikanan tangkap, (2)
optimalisasi perikanan budidaya, dan (3) pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya.
Hasil analisis pakar menunjukkan (Gambar 24) bahwa faktor informasi
(0,1329), sarana dan prasarana (0,1295), kelembagaan (0,1246), kebijakan
pemerintah (0,1157) dan pasar (0,0987) masing-masing menempati urutan 1, 2,
3, 4 dan 5, artinya faktor tersebut merupakan faktor determinatif dalam integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Mengingat masih
rendahnya pengetahuan dan pemahaman stakeholders tentang integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya khususnya untuk
alternatif strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya, maka
penyampaian informasi yang tepat dan memadai menjadi faktor terpenting.
Gambar 28. Hasil analisis strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya.
Analisis AHP tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan skala prioritasnya,
tujuan yang hendaknya menjadi prioritas tujuan integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah peningkatan produksi ikan
STRATEGI INTEGRASI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DAN PERIKANAN BUDIDAYA
105
(0,2927), peningkatan pendapatan nelayan (0,2016), peningkatan pertumbuhan
ekonomi (0,1841), perluasan kesempatan berusaha (0,1232) dan perluasan
lapangan kerja (0,1013). Tujuan untuk peningkatan produksi ikan sebagai
prioritas pertama integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya mengindikasikan bahwa secara umum pengembangan jenis perikanan
tangkap berbasis budidaya mampu meningkatkan produksi ikan dari sektor
budidaya laut untuk mendukung produksi dari sektor perikanan tangkap,
sehingga permintaan ikan akan tetap terpenuhi secara kontinue karena ditunjang
oleh adanya supplai benih dari kegiatan budidaya laut untuk ditebar. Peningkatan
produksi ikan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan
nelayan dan pembudidaya di Kabupaten Lampung Selatan.
Jadwiga (2008), menyatakan bahwa AHP dan analisa kelayakan usaha
sangat baik digunakan dalam pengambilan keputusan termasuk dalam
menentukan jenis perlakuan terhadap lingkungan budidaya . Selain itu model atau
software sudah lazim digunakan dalam penentuan prioritas untuk
memaksimalkan keuntungan atau efisiensi dari dua kegiatan perikanan atau lebih
yang berlangsung pada waktu atau lokasi yang sama (Morten et al, 2009).
Seperti penelitian Pascoe and Mardle (2001), yang menyatakan bahwa untuk
memaksimalkan keuntungan ekonomi dan menjagakestabilan pekerja dilakukan
analisis menggunakan bioekonomi model
Pada hirarki penentuan alternatif strategi diperoleh hasil bahwa prioritas
alternatif strategi yang dibutuhkan untuk integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya adalah pengembangan perikanan tangkap
bersisi perikanan budidaya (0,4685), selanjutnya diikuti oleh optimalisasi
perikanan budidaya (0,3434) dan optimalisasi perikanan tangkap (0,1880).
Menurut pakar pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya
adalah alternatif strategi yang berada pada prioritas pertama dalam integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten
Lampung Selatan. Hal ini dimungkinkan karena kondisi sumberdaya perikanan
tangkap yang sudah menurun dan ketersediaan lokasi potensial untuk budidaya
laut. Untuk dapat melaksanakan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya memerlukan upaya yang lebih besar terutama dalam hal
pengorganisasian, pembuatan aturan dan pembinaan pelaksanaanya. Karena
dalam
106
Pakar atau key person memilih pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya sebagai alternatif pertama dalam rangka integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan.
Alternatif Kedua dan Ketiga secara berurutan adalah optimalisasi perikanan
budidaya dan optimalisasi perikanan tangkap. Hal ini sesuai dengan hasil analisis
terhadap kesesuaian lahan untuk budidaya dan kajian terhadap sumberdaya ikan
di perairan Lampung Selatan. Untuk optimalisasi pengembangan perikanan
budidaya dari 7 (tujuh) alternatif lokasi yang dianalisis hanya 2 (dua) diantaranya
yang dinyatakan layak. Kedua lokasi tersebut adalah lokasi yang sudah terdapat
kegiatan perikanan budidaya dengan Karamba Jaring Apung, sehingga
optimalisasi perikanan budidaya yang perlu dilaksanakan lebih banyak pada
penataan dan pengendalian lingkungan budidaya. Demikian juga dengan
sumberdaya perikanan di perairan Lampung Selatan telah menunjukkan indikasi
fully exploited sampai dengan over expolitasi, hanya kelompok pelagis oseanik
kecil dan ikan demersal yang berada pada kedalaman > 200 m yang masih
mungkin ditingkatkan upaya penangkapannya. Sehingga untuk optimalisasi
perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan lebih bersifat pada
pengendalian upaya penangkapan dan peningkatan armada dan alat tangkap
untuk mencapai perairan yang lebih jauh ke arah lautan lepas atau keluar dari
perairan Teluk Lampung.
Implementasi perikanan tangkap berbasis budidaya dengan kegiatan
penebaran benih ikan sebagai kegiatan utamanya dapat menjadi salah satu
upaya pengendalian tekanan terhadap sumberdaya perikanan dan mewujudkan
keberlanjutan usaha penangkapan ikan di perairan Kabupaten Lampung Selatan.
Kegiatan perikanan budidaya baik oleh unit kerja pemerintah maupun oleh
swasta dan perbenihan rakyat atau UPR mendukung penyediaan benih ikan
yang akan ditebar. Dalam hal pemanfaatanya perlu ditetapkan aturan
penangkapan di lokasi pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
Lokasi yang dapat disarankan sebagai lokasi pengembangan perikanan
tangkap berbasis budidaya adalah perairan Pulau Sebesi. Karena secara biofisik
perairan ini sesuai untuk pengembangan perikanan budidaya akan tetapi dengan
adanya status kawasan ini sebagai kawasan perlindungan laut maka hanya
kegiatan tertentu yang tidak mempengaruhi fungsi perlindungannya atau ramah
lingkungan yang dapat dikembangkan. Kegiatan perikanan tangkap berbasis
budidaya adalah salah satu kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan
107
ramah lingkungan karena tidak ada intervensi yang intensif terhadap sumberdaya
dan kualitas lingkungan seperti halnya perikanan tangkap dan perikanan
budidaya pada umumnya.
4.4.7 Kelembagaan
Sub model kelembagaan dirancang dengan metode ISM dan digunakan
untuk melakukan identifikasi struktur elemen atau unsur dalam sistem. Analisis
dilakukan terhadap elemen pengguna yang terpengaruh dari integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen kebutuhan
untuk pelaksanaan program integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya, elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, elemen perubahan yang mungkin terjadi dari
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya, elemen
tujuan dari program integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya, elemen keberhasilan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya, elemen aktivitas integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya, dan elemen pelaku integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
1. Elemen Pengguna yang terpengaruh dari Integrasi Pengembangan
Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pengguna
terdiri dari 5 sub elemen, dapat digambarkan dalam bentuk hirarki yang terbagi
dalam 3 level (Gambar 27) dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik driver
power-dependence (Gambar 28).
Gambar 29. Hirarki elemen sektor pengguna yang terpengaruh dari integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
108
Hirarki pada Gambar 29 menempatkan elemen pengguna pembudidaya
(E2), pengusaha (E3), dan eksportir (E4) pada level 1. Pedagang alat-alat
perikanan pada level 2 dan nelayan pada level 3. Elemen kunci dari elemen
pengguna adalah nelayan dan pembudidaya, hal ini berarti elemen pengguna
tersebut akan mendorong pengguna yang lain.
Gambar 30. Grafik driver power dependence untuk elemen pengguna yang
terpengaruh dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Keterangan:
(1) Nelayan (2) Pembudidaya (3) Pengusaha (4) Eksportir (5) Pedagang alat-alat perikanan
Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik griver power-dependence
untuk elemen pengguna (Gambar 30) menunjukkan bahwa nelayan (E1)
menempati sektor IV (independent) dan memiliki nilai driver power (DP) yang
tertinggi (5). Hal ini berarti nelayan (E1) merupakan peubah bebas dan dalam hal
ini berarti memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar untuk
mempengaruhi pengguna lain, juga sekaligus memiliki daya dorong tertinggi bagi
pengelolaan perikanan tangkap berbasis budidaya, namun punya sedikit
ketergantungan terhadap program.
(5) (4)
(3)
(2)(1)
0
1
2
3
4
5
0 1 2 3 4 5
DEPENDENCE
DRIVER POWER
109
Sub elemen pembudidaya (E2) dan pengusaha (E3) memiliki daya
dorong yang juga kuat, serta bersifat linkage (sektor III) yang berarti saling
berpengaruh dengan sub elemen yang lain. Eksportir (E4) dan pedagang alat-
alat perikanan (E5) merupakan sub elemen yang berada di sektor II (peubah
terikat atau dependent) yang berarti pengguna tersebut berdaya dorong rendah
dan dipengaruhi oleh sub elemen yang lain. Hal ini juga dapat diartikan bahwa
pengguna tersebut bersifat dependent atau bergantung pada pengguna yang
lain.
2. Elemen Kebutuhan untuk Pelaksanaan Integrasi Pengembangan
Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Sub elemen yang menyusun hirarki kebutuhan untuk pelaksanaan program
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya terdiri dari
tujuh sub elemen, dengan hasil analisis ISM terbagi dalam empat level (Gambar
31).
Sub elemen stabilitas politik merupakan elemen yang menempati level 1.
Hasil tersebut memberi pengertian bahwa stabilitas politik merupakan kebutuhan
yang harus terpenuhi untuk mendorong integrasi perkembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya. Elemen tersebut juga dapat diartikan sebagai
pilar utama yang menjamin keberlangsungan perikanan tangkap berbasis
budidaya.
Level 2 terdiri dari sub elemen kemudahan birokrasi (E2), permodalan (E5),
dan pemasrana yang terjamin (E7) merupakan jenis kebutuhan lanjutan yang
dibutuhkan bagi perkembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
Kebutuhan berikutnya adalah ketersediaan lahan budidaya (E3) dan teknologi
tepat guna (E6) yang berada pada level 3. Pemenuhan kebutuhan penting yang
juga harus diperhitungkan adalah suasana kondusif dan aman (E1).
110
Gambar 31. Hirarki elemen kebutuhan yang terpengaruh dari integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Hasil pengelompokkan elemen kebutuhan dalam grafik dependence driver
power (Gambar 32) menunjukkan bahwa suasana kondusif dan aman (E1)
berada dalam peubah bebas (sektor independent), hasil ini menunjukkan bahwa
peubah tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar, tetapi memiliki
sedikit ketergantungan terhadap pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya.
Gambar 32. Grafik driver power dependence untuk elemen kebutuhan untuk
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(5) (2, 7)
(4)(3, 6)(1)
0
1
2
3
4
5
6
7
0 1 2 3 4 5 6 7
DEPENDENCE
DRIVER POWER
111
Sub elemen kemudahan birokrasi (E2), ketersediaan lahan budidaya (E3),
stabilitas politik dan moneter (E4), permodalan (E5), teknologi tepat guna (E6),
dan pemasaran yang terjamin (E7) yang berada dalam sektor III (linkage)
menunjukkan bahwa sub elemen tersebut memiliki daya dorong yang besar dan
akan saling mempengaruhi dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya.
3. Elemen Kendala dalam Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap
dan Perikanan Budidaya
Hirarki elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya disusun dari lima sub elemen yang terbagi dalam empat
level (Gambar 33) dan pengelompokkan dalam grafik driver power dependence
disajikan pada Gambar 34.
Gambar 33. Hirarki elemen kendala dalam integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya.
Keterbatasan modal (E1) merupakan sub elemen dari elemen kendala yang
menempati level 1 yang sekaligus merupakan elemen kunci, artinya sub elemen
ini harus mendapat prioritas penyelesaian dalam integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Dalam posisinya sebagai elemen
kunci, penyelesaian kendala ini akan mendorong penyelesaian kendala lain yang
dapat menghambat upaya integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya.
112
Gambar 34. Grafik driver power dependence kendala dalam integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Apabila kendala keterbatasan modal ini dapat diatasi, maka kendala yang
berada pada level 2 diharapkan juga dapat diselesaikan, karena penyelesaiaan
masalah tersebut banyak diantaranya terkait dengan kebutuhan modal.
Sub elemen kendala yang memiliki daya dorong kuat dan saling
mempengaruhi terhadap elemen yang lain adalah keterbatasan modal (E1) yang
berada dalam sektor III (linkage), sehingga diperlukan kehati-hatian menangani
masalah tersebut. Dalam sektor II (peubah terikat atau dependent) terdapat
kendala keterbatasan sarana dan prasarana (E2), yang berarti kendala tersebut
memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh sub elemen yang
lain.
4. Elemen Perubahan yang mungkin terjadi dari Integrasi
Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen perubahan yang mungkin terjadi
terdiri dari 7 sub elemen yang terbagi dalam 3 level (Gambar 35) dan
digambarkan dalam bentuk grafik driver power dependence pada Gambar 36.
(4)(3, 4)
(2)
(1)
0
1
2
3
4
5
0 1 2 3 4 5
DEPENDENCE
DRIVER POWER
113
Gambar 35. Hirarki elemen perubahan yang mungkin terjadi dari integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Sub elemen yang menjadi elemen kunci pada elemen perubahan adalah
peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2) yang berada pada level 2
dan memiliki nilai DP tertinggi (5). Dalam posisinya sebagai variabel penentu,
penyelesaian perubahan ini akan mendorong penyelesaian perubahan lain yang
dapat menghambat upaya integrasi pengembangan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya. Apabila perubahan peningkatan pendapatan nelayan
pembudidaya bisa diatasi, maka perubahan sub elemen lainnya yang berada
pada level 1, 2, dan 3 diharapkan juga bisa berjalan dengan baik.
(6)
(4, 7) (3) (1, 5)
(2)
0
1
2
3
4
5
6
7
0 1 2 3 4 5 6 7
DEPENDENCE
DRIVER POWER
114
Gambar 36. Grafik driver power dependence elemen perubahan yang mungkin terjadi dari integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Berdasarkan plot pada grafik driver power dependence (Gambar 34) terlihat
bahwa keterjaminan pasar produk budidaya (E4) dan penataan ruang laut (E7)
berada dalam sektor IV (peubah bebas atau independent), yang berarti bahwa
peubah ini mempunyai daya dorong kuat dengan nilai DP tinggi, tetapi memiliki
sedikit ketergantungan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya di
kawasan ini.
Sub elemen perubahan yang memiliki daya dorong kuat dan saling
mempengaruhi terhadap sub elemen lain adalah peningkatan jumlah nelayan
pembudidaya (E1), peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2),
peningkatan PAD (E3), dan peningkatan investasi yang berada dalam sektor III
(linkage), sehingga diperlukan prinsip kehati-hatian dalam menangani
perubahan-perubahan tersebut. Dalam sektor II (peubah terikat atau dependent)
terdapat perubahan pengembangan wilayah (E6) yang berarti perubahan
tersebut memiliki daya dorong yang cukup lemah dan dipengaruhi oleh elemen
yang lain.
5. Elemen Tujuan dari Program Integrasi Pengembangan Perikanan
Tangkap dan Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis ISM, elemen tujuan terdiri dari 6 sub elemen
yang terbagi dalam 4 level (Gambar 37). Sub elemen tujuan yang menjadi
elemen kunci adalah peningkatan investasi (E5), karena memiliki nilai DP
tertinggi (6) dan berada pada level 1. Keberhasilan pencapaian tujuan tersebut
akan mendorong peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya
(E1) yang juga berada pada level 1, peningkatan PAD (E2) dan pengembangan
daerah (E3) pada level 2, optimalisasi potensi SDI (E6), serta sub elemen pada
level 4 yaitu keterjaminan pasar produk budidaya.
115
Gambar 37. Hirarki elemen tujuan dari program integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Jika dilihat dari hubungan driver power dependence elemen tujuan yang
diplotkan (Gambar 38), maka peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan
pembudidaya (E1), peningkatan PAD (E2), dan peningkatan investasi (E5)
bersifat linkage atau berada pada sektor III, yang berarti saling berpengaruh
dengan sub elemen lain.
Pengembangan daerah (E3) merupakan sub elemen yang berada di sektor
II (peubah terikat atau dependent) yang berarti tujuan tersebut berdaya dorong
rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila
tujuan di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya tujuan di sub
elemen di sektor II ini.
Gambar 38. Grafik driver power dependence elemen tujuan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
(5)
(1)
(2)
(6)
(3)
(4)
0
1
2
3
4
5
6
0 1 2 3 4 5 6
DEPENDENCE
DRIVER POWER
116
6. Elemen Keberhasilan Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap
dan Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen keberhasilan
terdiri dari 8 sub elemen dan digambarkan dalam diagram model struktural dari
elemen keberhasilan (Gambar 39) dimana elemen keberhasilan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya terbagi dalam 4
level.
Gambar 39 Hirarki elemen keberhasilan integrasi pengembangan perikanan
tangkap dan perikanan budidaya.
Adapun sub elemen yang menjadi variabel penentu yang mempengaruhi
secara signifikan adalah peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya (E2)
pada level 3 dengan nilai tertinggi DP (8). Hasil tersebut menunjukkan bahwa
peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya merupakan keberhasilan yang
memiliki peran lebih besar daripada keberhasilan lain dalam integrasi
engembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Sub elemen tersebut
juga dapat diartikan sebagai pilar utama yang dapat menjamin keberhasilan
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Keberhasilan peningkatan
pendapatan nelayan akan mendorong keberhasilan lain yang berada pada level
1, 2, dan 4 sebagai keberhasilan langsung dalam kegiatan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
117
Gambar 40. Grafik driver power dependence keberhasilan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Hasil klasifikasi yang digambarkan dalam grafik driver power dependence
elemen keberhasilan (Gambar 40) menunjukkan bahwa sub elemen penurunan
angka kemiskinan dan pengangguran (E1), peningkatan pendapatan nelayan
pembudidaya (E2), peningkatan harga ikan (E4), peningkatan volume dan nilai
produksi (E5), dan peningkatan pangsa pasar (E6), peningkatan investasi (E7)
yang berada pada sektor III (linkage) menunjukkan bahwa sub-sub elemen
tersebut memiliki daya dukung yang besar dan akan saling mempengaruhi dalam
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Peningkatan PAD dan PNBP (E3) berada dalam sektor peubah tidak bebas
atau dependent (sektor II). Dengan posisi tersebut berarti sub elemen tersebut
mempunyai daya dorong relatif kecil dan tergantung pada peubah-peubah
lainnya.
7. Elemen Aktivitas Yang Dibutuhkan Guna Perencanaan Tindakan
Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam integrasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya disusun dari 6 sub elemen dengan
hirarki yang terbagi dalam 4 level (Gambar 41).
(2)
(5) (6)
(7) (1)
(4)
(3)(8)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 1 2 3 4 5 6 7 8
DEPENDENCE
DRIVER POWER
118
Gambar 41. Hirarki elemen aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
Hirarki pada Gambar 39 menempatkan aktivitas koordinasi antar sektor
(E1) pada level 1, yang sekaligus menempatkan elemen tersebut sebagai
elemen kunci pada struktur elemen aktivitas yang akan mendorong aktivitas yang
lain. Perumusan Perda (E2) dan kemudahan akses terhadap teknologi dan
informasi (E4) merupakan sub elemen pada level 2 yang perlu mendapat
perhatian karena aktivitas tersebut akan mendorong sub elemen aktivitas pada
level berikutnya.
Gambar 42. Grafik driver power dependence aktivitas yang dibutuhkan guna
perencanaan tindakan dalam pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
(1)
(2)
(4)
(3)
(6)
(5)
0
1
2
3
4
5
6
0 1 2 3 4 5 6
DEPENDENCE
DRIVER POWER
119
Berdasarkan plot grafik dependence driver power (Gambar 42)
menunjukkan sub elemen sosialisasi kelayakan perikanan budidaya (E6) berada
pada sektor IV yang berarti merupakan peubah bebas (independent) dan
memiliki kekuatan penggerak lebih besar dari sub elemen lain.
Perumusan Perda (E2), menciptakan iklim kondusif (E3), kemudahan akses
terhadap teknologi dan informasi (E4), serta monitoring dan pengelolaan
perikanan budidaya (E5) berada di sektor III, yang berarti sub-sub elemen
tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang cukup besar dan merupakan sub-
sub elemen yang saling terikat dengan sub elemen yang lain (linkage) dalam
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
8. Elemen Pelaku Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya Berdasarkan hasil analisis dengan metode ISM, maka elemen pelaku
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang terdiri
dari 10 sub elemen pelaku dapat digambarkan dalam bentuk hirarki (Gambar 43)
dan dibagi dalam empat sektor dalam grafik dependence driver power
(Gambar 44).
Gambar 43. Hirarki elemen pelaku pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya.
120
Gambar 44. Grafik driver dependence power pelaku integraasi pengembangan
perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Dari Gambar 43 diketahui bahwa elemen pelaku pengembangan terbagi
dalam 3 level. Sub elemen yang menjadi pelaku yang berada dalam level 1
adalah nelayan (E1), pembudidaya (E2), Pemkab (E4), Pemprov (E5), Pempus
(E6), camat (E8), dan lurah (E9).
Adapun sub elemen yang menjadi elemen kunci dari elemen pelaku
integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya adalah
nelayan (E1), pembudidaya (E2), dan masyarakat (E10), yaitu pada level 1 (E1
dan E2) dan level 2 (E10). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan (E1) dan
pembudidaya (E2) merupakan pelaku yang memiliki peran lebih besar dari
pelaku lain . Peran nelayan dan pembudidaya tersebut menunjukkan tindakan
yang dilakukan dapat mempengaruhi dan memberikan dorongan yang besar bagi
pelaksanaan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya. Peran kedua pelaku tersebut harus diarahkan kepada pencapaian
tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Hasil klasifikasi yang digambarkan pada grafik dependence driver power
(Gambar 44) menunjukkan bahwa elemen nelayan, pembudidaya, Pemkab,
Pemprov, Pempus, camat, dan lurah menempati sektor III (linkage), yang berarti
pelaku-pelaku ini memiliki keterkaitan yang kuat dan daya dorong yang besar
dalam integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Hal
ini karena nelayan dan pembudidaya memiliki nilai driver power tertinggi,
(5, 6, 8, 9)
(4)
(1, 2)(7) (3)
(10)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DEPENDENCE
DRIVER POWER
121
sehingga dapat menjadi pendorong yang sangat kuat bagi elemen-elemen yang
lain.
Elemen bank (E3), perguruan tinggi (E7) dan masyarakat (E10) menempati
sektor IV (independent) dan nilai DP yang cukup tinggi (E3 dan E7) dan tinggi
(E10). Hal ini berarti bank, perguruan tinggi dan masyarakat memiliki peran yang
besar untuk mempengaruhi pelaku yang lain dalam rangka integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
9. Elemen Tolok Ukur Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
Berdasarkan hasil analisis dengan ISM, elemen tolok ukur untuk penilaian
tujuan integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya
terdiri dari 6 sub elemen yang terbagi dalam 5 level (Gambar 45).
Gambar 45. Hirarki elemen tolok ukur untuk pencapaian tujuan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
122
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
0
1
2
3
4
5
6
0 1 2 3 4 5 6
DR
IVER
PO
WER
DEPENDENCE
Gambar 46. Grafik driver dependence power untuk pencapaian tujuan integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Pada level 1 terdapat sub elemen peningkatan PAD (E2) (Gambar 45).
Pada level 2 terdapat peningkatan harga ikan (E5). Level 3 diduduki oleh sub
elemen peningkatan investasi (E3), sedangkan pada level 4 terdapat sub elemen
peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya (E1) dan
pengembangan daerah (E4). Peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan
pembudidaya menempati level 4 dan merupakan elemen kunci sebagai tolok
ukur dalam pencapaian tujuan dari integrasi pengembangan perikanan tangkap
dan perikanan budidaya. Hal ini sejalan dengan prioritas tujuan dari integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang
diidentifikasikan sebelumnya, yaitu meningkatkan pendapatan nelayan.
Jika dilihat dari hubungan dependence driver power yang diplot pada
Gambar 46, maka sub elemen keterjaminan pasar (E4) dan peningkatan jumlah
dan pendapatan nelayan pembudidaya (E1) berada dalam sektor IV (peubah
bebas atau independent). hasil tersebut mengindikasikan bahwa sub-sub elemen
tersebut mempunyai kekuatan pendorong yang besar dalam integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Sub elemen peningkatan PAD (E2), peningkatan investasi (E3), dan
peningkatan harga ikan (E6) memiliki daya dorong yang kuat, serta bersifat
linkage (sektor III) yang berarti saling berpengaruh dengan sub elemen lain.
Pengembangan daerah merupakan sub elemen yang berada di sektor II
(peubah terikat atau dependent) yang berarti tolok ukur tersebut berdaya dorong
123
rendah dan dipengaruhi oleh sub elemen lain. Hal ini juga dapat diartikan apabila
tolok ukur di sektor lain tercapai, maka akan mendorong tercapainya sub elemen
di sektor II ini.
5 PEMBAHASAN
Integrasi pengembangan perikanan budidaya dan perikanan tangkap di
Kabupaten Teluk Lampung terdiri atas 3 (tiga) alternatif program kegiatan yaitu
program optimalisasi panangkapan ikan, program optimalisasi pembudidayaan
ikan dan pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya.
Berikut akan dijelaskan hasil analisis seperti telah diuraikan pada Bab 4.
5.1 Kondisi Perikanan Tangkap
Dengan potensi (supply capacity) yang besar dan permintaan terhadap
produk dan jasa kelautan dan perikanan yang terus meningkat, maka sektor
kelautan dan perikanan berpeluang tinggi untuk menjadi salah satu soko guru
(prime mover) perekonomian nasional. Kondisi perikanan tangkap di Kabupaten
Lampung Selatan dari segi produksi ikan selama tahun 2002-2006 cenderung
mengalami peningkatan (Gambar 14). Perkembangan jumlah perahu atau kapal
penangkap ikan masih didominasi oleh perahu tanpa motor (Gambar 14), hal ini
menunjukkan bahwa perikanan tangkap yang ada di Kabupaten Lampung
Selatan merupakan perikanan skala kecil, dengan alat tangkap dominan pada
tahun 2006 adalah pancing dan bubu (Tabel 32).
Alat tangkap ini menjadi populer di kalangan nelayan karena mudah
dioperasikan dan murah biayanya. Dilihat dari aspek peralatan tangkap
sebagian besar nelayan masih mempergunakan jenis peralatan yang sederhana
dengan daerah penangkapan masih di sekitar perairan pantai dan dekat dengan
tempat tinggal nelayan. Berbagai kendala penyebab kondisi sederhananya
armada dan alat tangkap yang keseluruhannya berpangkal dari ketidakmampuan
nelayan dalam memperoleh modal kerja dan masih rendahnya pengetahuan dan
keterampilan sumber daya manusia dari masyarakat nelayan, sehingga orientasi
kegiatan kenelayanan masih bersifat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sumberdaya perikanan tangkap yang terdapat diperairan Kabupaten
Lampung Selatan hampir sama dengan perairan di wilayah pengelolaan
perikanan (WPP) 572 lainnya, yaitu jenis ikan pelagis kecil yang bersifat neritik
yaitu kelompok ikan yang menggerombol dan bergerak relatif tidak jauh dari
pantai, ikan demersal dan udang serta ikan pelagis besar yang memiliki sifat
highly migratory.
125
Memperhatikan komposisi alat tangkap yang beroperasi di perairan
Kabupaten Lampung Selatan maka dapat dikatakan bahwa sumberdaya ikan
pelagis kecil, ikan demersal dan udang pada kedalaman < 100 m sudah
termanfaatkan bahkan mendekati over eksploitasi, sedangkan potensi
sumberdaya ikan pelagis kecil oseanik hampir belum termanfaatkan. Hal ini
mengingat kemampuan dan daya jelajah armada yang dioperasikan belum
mampu menjangkau ke perairan samudera yang lebih jauh ke tengah.
Pengembangan perikanan tangkap di Lampung Selatan dapat dilakukan
dengan melakukan modernisasi alat tangkap yang dominan dipergunakan oleh
nelayan, yaitu bubu. Modernisasi bubu dapat dilakukan dengan pembuatan
kontruksi bubu dari besi dengan penambahan umpan. Dengan peningkatan
teknologi bubu ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas nelayan. Sesuai
dengan penelitian Tomas (2004) bahwa penangkapan menggunakan bubu besi
dengan umpan menghasilkan tangkapan yang lebih banyak daripada bubu dari
bambu tanpa umpan. Peningkatan teknologi alat tangkap bubu ini sesuai dengan
kondisi sumberdaya krustasea yang baru termanfaatkan sebesar 27,99% pada
tahun 2007 (Tabel 27).
Pengembangan perikanan tangkap juga dapat dilakukan dengan
pengembangan alat tangkap bagan sebagai alat tangkap yang mempunyai target
ikan lainnya (seperti teri). Bagan yang perlu dikembangkan adalah bagan perahu,
hal ini terkait target penangkapan yang merupakan jenis ikan yang bergerombol
dan berpindah-pindah sesuai perubahan pasang surut dan arus air laut. Hal ini
sesuai dengan potensi ikan lainnya di Teluk Lampung yang sampai tahun 2007
masih termanfaatkan 45,8% (Tabel 30).
Sedangkan untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan pesisir
diperlukan upaya penambahan stok melalui kegiatan penebaran dan
pembatasan aktivitas penangkapan seperti: pembatasan musim penangkapan,
alat tangkap, lokasi dan atau penetapan kuota.
Penurunan sumberdaya perikanan terjadi secara global, saat ini 80% dari
stok perikanan dunia sudah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited),
eksploitasi lebih (over exploited) bahkan sudah ada yang menunjukkan
kepunahan (collaps) (Mora et al, 2009). Kondisi ini juga terjadi pada perairan
Teluk Lampung, yang diindikasikan dengan penurunan ”catch per unit effort
(CPUE),sesuai pendapat Atmaja dan Nugroho (2006) yang menyatakan bahwa
penurunan CPUE mengindikasikan penurunan biomassa seperti yang terjadi
126
pada perikanan cantrang di Tegal (Ernawati dan Sumiyono,2009) perikanan
pukat cincin di Kalimantan Barat (Hariati et al.,2009) dan ikan pelagis di Selat
Sunda (Atmaja dan Nugroho, 2005; Amri, 2008).
Penurunan potensi sumberdaya dapat diketahui dengan beberapa indikasi
yang muncul seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun, ukuran ikan yang
tertangkap semakin kecil- kecil dan hilangnya beberapa jenis ikan endemik
(Hartoto, 2000; Worm,2006; Mateus and Estupinan, 2002). McPhie dan
Campana (2009), menyatakan umur maksimum dan umur saat matang gonad
dapat untuk menduga rata- rata pertumbuhan populasi sementara ukuran tubuh
ikan sebagai indikasi status suatu sumberdaya. Untuk menjaga kelestarian dan
keberlangsungan sumberdaya ikan di Teluk Lampung diperlukan suatu strategi
pengelolaan yang tepat dan komprehensip serta terintegrasi.
5.2 Perikanan Budidaya
Hingga saat ini tingkat pemanfaatan usaha perikanan budidaya masih
sangat rendah, padahal luas perairan yang sesuai untuk kegiatan budidaya
sangat luas, sehingga peluang pengembangan usaha perikanan budidaya di
tanah air masih sangat besar. Khususnya di perairan laut, peluang
pengembangan masih sangat terbuka di mana Indonesia memiliki perairan laut
yang potensial (sesuai) untuk usaha budidaya laut terluas di dunia. Berdasarkan
pada perhitungan sekitar 5 (lima) km dari garis pantai ke arah laut, maka potensi
luas perairan laut Indonesia yang sesuai untuk kegiatan budidaya laut
diperkirakan sekitar 24,53 juta ha. Luasan potensi kegiatan budidaya tersebut
terbentang dari ujung barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia.
Pengembangan perikanan budidaya di Indonesia ke depan harus dilakukan
dengan memperhatikan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF),
antara lain dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: kelestarian lingkungan
SDA, pengembangannya dilakukan secara berkelanjutan, keamanan pangan
(food safety), tidak memodifikasi genetik biota (genetic modified organism),
ecolabelling, dan traceability.
Kabupaten Lampung Selatan memiliki potensi lahan yang merupakan
peluang untuk mengembangkan kegiatan budidaya laut, yaitu di Kalianda,
Tarahan, Hanura/Teluk Hurun, Ringgung, Tanjung Putus, Puhawang dan Pulau
Sebesi. Pemanfaatan lahan budidaya laut masih kecil bila dibandingkan dengan
potensi yang tersedia. Dari lahan yang tersedia untuk kegiatan budidaya laut di
127
Kabupaten Lampung Selatan yaitu seluas 18.775 ha, hanya 1,9 % (370 ha) yang
telah digunakan untuk kegiatan budidaya laut.
Kegiatan budidaya perikanan laut (mariculture) dengan beberapa jenis ikan
yang bernilai ekonomis tinggi di Kabupaten Lampung Selatan telah berkembang
pada beberapa lokasi. Kegiatan budidaya laut seperti ikan Kerapu (Epinephalus
spp) dan kerang mutiara sudah mulai dikembangkan melalui proyek budidaya
laut yang dirintis oleh BPPL Lampung Selatan. Ada beberapa unit keramba jaring
apung (KJA) yang dikelola oleh pengusaha perikanan di dalam skala usaha
besar. Sedangkan untuk masyarakat umum masih terbatas pada pemeliharaan
ikan dalam jaring tancap (keramba) yang dipasang di sekitar perairan pantai,
umumnya terdapat disamping rumah-rumah panggung nelayan, ikan yang
dipelihara adalah kerapu bebek dan kerapu macan. Usaha keramba ini telah
berjalan cukup lama namun perkembangannya sangat lambat hal dapat
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) keterbatasan keterampilan dalam
hal penggunaan teknologi; (2) sulitnya mendapat benih dan pakan; (3) masih
rendahnya motivasi; dan (4) kurangnya modal untuk usaha.
Lokasi budidaya laut untuk proses pembesaran jenis ikan ekonomis penting
berupa keramba yang terbuat dari kayu dan jaring nylon sudah sangat
berkembang. Nelayan yang berumah di pinggir-pinggir pantai, umumnya
memanfaatkan lahan perairan pantai sebagai tempat keramba. Usaha
pembesaran ikan tersebut merupakan suatu cara untuk menabung uang bagi
keluarga nelayan di daerah ini. Kegiatan budidaya laut yang berkembang dan
diusahakan nelayan di Kabupaten Lampung Selatan dengan cara sederhana
yaitu menggunakan keramba untuk membesarkan benih ikan karang yang
bernilai ekonomi penting seperti kerapu.
Perkembangan produksi budidaya di Lampung Selatan memiliki trend yang
positif (naik), walaupun berfluktuasi setiap tahunnya (Tabel 10). Perkembangan
produksi budidaya laut ini juga diikuti oleh perkembangan RTP budidaya laut
yang jumlahnya juga mengalami kenaikan (Tabel 12). Jenis ikan yang
dibudidayakan di lampung Selatan masih didominasi oleh kerapu, yaitu kerapu
bebek dan kerapu macan, di mana dari tahun 2002-2006 jumlah benih yang
ditanam semakin bertambah (Tabel 16). Di samping itu berkembang pula usaha
budidaya rumput laut.
Namun kegiatan budidaya di Kabupaten Lampung Selatan yang ada dan
berkembang bukanlah penebaran benih ikan, melainkan kegiatan budidaya laut
128
dalam keramba jaring apung, yaitu benih-benih dibesarkan di lahan-lahan yang
berpotensi untuk kegiatan budidaya laut dalam keramba jaring apung.
Sejalan dengan hal itu, di bidang perikanan budidaya diperlukan adanya
kesadaran baru dari masyarakat dan stakeholder, untuk memposisikan pola pikir
dan persepsinya, agar perikanan budidaya memiliki peran penting dalam
perekonomian nasional. Untuk itu, masyarakat dan stakeholder perikanan
budidaya, harus mampu memperluas cakupan komponen kegiatan usaha
perikanan budidaya dari hulu sampai ke hilir, sehingga aktivitas ekonomi
perikanan budidaya mencakup pula berbagai kegiatan manufaktur dan jasa yang
berhubungan langsung dengan kegiatan bisnis perikanan budidaya. Dengan kata
lain, kegiatan perikanan budidaya harus mencakup pula kegiatan industri sarana
produksi, pengolahan dan pemasaran hasil dalam suatu kesisteman yang
tangguh. Dalam kerangka itu dipandang perlu melakukan revitalisasi perikanan
budidaya sebagai upaya percepatan pembangunan perikanan.
Kegiatan pengembangan budidaya laut masih memerlukan suatu
perubahan budaya dari pelaku perikanan. Hal ini karena kegiatan budidaya
merupakan kegiatan kultivasi yang membutuhkan perhatian, waktu yang lebih
lama, input yang banyak, dan biaya yang lebih mahal. Di sisi lain ketidaktentuan
hasil panen merupakan kendala yang mungkin terjadi.
Pengembangan perikanan budidaya berjalan sangat lambat dikarenakan
adanya berbagai permasalahan yang dihadapi, diantaranya:
(1) Kendala lingkungan: sumber daya lahan yang terbatas atau sulit
dikembangkan untuk budidaya, terbatasnya jumlah dan kualitas air yang
tersedia, dan bencana alam, seperti banjir dan tsunami.
(2) Kendala sosial ekonomi dan budaya: terbatasnya sarana dan prasarana
produksi, fluktuasi harga produk perikanan yang dihasilkan sehingga
menyulitkan perencanaan bisnis khususnya dalam membuat prediksi biaya
hasil (output) produksi, dan masih rendahnya kualitas SDM perikanan.
(3) Kendala kelembagaan: keterbatasan pelayanan penyuluhan oleh
pemerintah, organisasi petani ikan belum berkembang dengan baik oleh
karena kualitas SDM masih sangat rendah, dan masih lemahnya dukungan
dari lembaga keuangan bank dan non bank dalam hal dukungan
permodalan dan pengembangan usaha.
(4) Kendala teknologi: penyediaan teknologi pembenihan yang belum
sepenuhnya memadai karena belum terpecahkannya masalah transportasi
129
benih, terbatasnya penyediaan pakan buatan, rendahnya penguasaan
teknik pembasmian penyakit di tingkat petani, belum adanya tata ruang
pengembangan budidaya laut, belum tercukupinya pasokan benih dan
sarana produksi lain seperti pakan dan obat-obatan, serta belum
terkendalinya masalah lingkungan dan penyakit.
5.3 Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Perikanan Budidaya
Pengembangan perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya dilakukan
dalam rangka menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan guna
kepentingan ekonomi masyarakat dan kelestarian sumberdaya perikanan itu
sendiri dan lingkungan adalah salah satu alternatif program pengembangan
perikanan yang sangat mengintegrasikan antara kegiatan perikanan tangkap dan
perikanan budidaya.
Kegiatan ini masih tergolong baru untuk diaplikasi di perairan laut, selama
ini konsep ini diterapkan pada perairan umum di darat seperti: waduk dan
rawa/situ. Secara sederhana kegiatan ini terdiri atas: (1) penetapan lokasi dan
batas-batasnya, (2) pengorganisasian masyarakat yang terlibat (organsisasi dan
aturan), (3) penyusunan rencana kerja, (4) penebaran, (5) pengawasan, (6)
pemanenan dan (7) pemungutan iuran untuk dana penebaran kembali.
Benih ikan yang akan ditebar di lokasi pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya di laut adalah jenis ikan yang non migratori, memiliki
pertumbuhan cepat, teknologi perbenihan telah dikuasi dan memiliki nilai
ekonomis penting, seperti: beberapa jenis ikan kerapu, kakap putih dan udang.
Lokasi penebaran ditetapkan dengan jelas batas dan wilayahnya. Lokasi
yang telah ditetapkan untuk dikelola dan ditebari ikan selanjutnya ditetapkan
secara adat (kearifan lokal) serta disosialisasikan secara luas kepada
masyarakat sekitar untuk menghindari gangguan dari aktivitas lain.
Selama masa pemeliharaan atau dari penebaran sampai panen anggota
kelompok secara bergantian mengawasai lokasi tersebut dari berbagai macam
gangguan dan melakukan berbagai upaya untuk perbaikan kualitas lingkungan
seperti transplantasi karang dan pembuatan terumbu karang buatan.
Beberapa lokasi dapat dikembangkan sebagai lokasi pengembangan
perikanan tangkap berbasis perikanan budidaya, diantaranya Pulau Sebesi.
Secara biofisik perairan ini sangat sesuai dan berpotensi untuk pengembangan
perikanan budidaya laut, akan tetapi karena perairan tersebut sebelumnya telah
130
ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut (marine protected area) maka
kegiatan yang bisa dikembangkan pada kawasan tersebut adalah kegiatan
pemanfaatan terbatas, diantaranya perikanan tangkap berbasis perikanan
budidaya.
5.4 Pengembangan Sistem Integrasi Pengembangan Perikanan Tangkap
dan Perikanan Budidaya
Setiap daerah memiliki keragaman potensi dan sistem nilai dalam
mengelola kekayaan SDA yang dimilikinya. Agar SDA tersebut dapat
memberikan manfaat yang berkesinambungan, diperlukan kebijakan publik yang
dirumuskan berdasarkan pendekatan sistem, yang dimulai dengan kemampuan
dalam melakukan identifikasi potensi dan permasalahan lokal, serta dipadukan
dengan perkembangan wilayah sekitar, regional maupun global. Pengelolaan
wilayah bertumpu pada sumber daya lokal (local based resources) diyakini
mampu memberikan manfaat pembangunan perikanan tangkap berbasis
budidaya secara berkelanjutan. Namun demikian, dinamika globalisasi dan
perubahan situasional yang semakin cepat membutuhkan keputusan yang
mempertimbangkan seluruh aspek (holistic), berorientasi pada tujuan yang jelas
(cybernetics) dan dapat diaplikasikan (effective) (Eriyatno, 1999).
5.4.1 Sub model potensi Potensi SDI di Lampung Selatan menunjukkan bahwa CPUE cenderung
negatif, hal ini menunjukkan bahwa SDI sudah mengalami penurunan sehingga
perlu strategi pengelolaan yang tepat agar dapat mempertahankan atau bahkan
memulihkan sumberdaya yang ada.
Peningkatan pemanfaatan SDI dengan penambahan jumlah armada
penangkapan harus dilakukan dengan hati- hati. Berdasarkan data jumlah
armada penangkapan ikan di Kabupaten Lampung Selatan yang semakin
meningkat dengan pertambahan rata- rata tiap tahun 303 kapal per tahun,
sementara itu peningkatan CPUE rata – rata tiap tahun hanya 0,5 ton.
Dikawatirkan jika penambahan kapal yang beroperasi di Kabupaten Lampung
selatan tidak di batasi atau direncanakan dengan baik dapat mengakibatkan
CPUE di daerah tersebut akan tetap bahkan dapat mengalami penurunan.
131
Gambar 47. Tren perkembangan jumlah kapal di Kabupaten Lampung Selatan.
Sifat laut yang open akses memungkinkan sumberdaya ikan yang ada di
Teluk Lampung bergerak ke perairan lainnya di luar Teluk dan tertangkap
nelayan di luar Teluk, sejalan dengan itu juga kemungkinan adanya nelayan dari
luar wilayah Teluk Lampung yang melakukan penangkapan ikan di dalam teluk,
juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan dan potensi sumber daya ikan di
perairan tersebut. Kemungkinan adanya kegiatan penangkapan ikan di wilayah
Teluk Lampung oleh nelayan dari luar sangat dimungkinkan karena secara
umum potensi perikanan tangkap di wilayah perairan propinsi Lampung
mengalami penurunan termasuk perikanan tangkap laut (Ditjen Perikanan
Tangkap, 2008); seperti terlihat pada gambar berikut :
Gambar 48. Tren produksi dan effort perikanan tangkap Provinsi Lampung .
Penurunan potensi sumber daya perikanan tangkap yang diindikasikan
dengan penurunan hasil tangkapan per unit alat tangkap (catch per unit effort)
merupakan fenomena dunia perikanan nasional bahkan internasional. Untuk
Perkembangan Jumlah Kapal di Kabupaten Lampung Selatan
y = 309.2x - 615697
0
1000
2000
3000
4000
5000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun
Jum
lah
Uni
t Pen
angk
ap
Ikan effort
Linear (effort)
CPUE Perikanan Tangkap Laut Prop. Lampung
0
5
10
15
20
25
2000 2002 2004 2006 2008
Tahun
CPUE
(ton
)
CPUELinear (CPUE)
132
menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap perlu
dilakukan suatu program terpadu dan berkelanjutan. Salah satunya adalah
dengan melakukan pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya,
dengan system ini ketersediaan dan kelestarian sumberdaya dapat di
pertahankan karena tujuan dari system ini selain meningkatkan produksi
(pembesaran) dan kesejahteraan masyarakat juga untuk melakukan pengkayaan
stok (restoking).
(1) Status Pemanfaatan Ikan Demersal
Hasil perhitungan terhadap nilai maximum sustainable yield (MSY)
sumberdaya perikanan demersal adalah 4742,281 ton per tahun dengan effort
optimum 17106 trip per tahun, seperti pada Gambar 15. Sedangkan tingkat
pemanfaatan SDI demersal di Teluk Lampung sudah mengalami over fishing
sejak tahun 2004 sampai tahun 2007 atau sudah melebihi dari MSY (Tabel 21).
Kondisi ini berkaitan dengan peningkatan effort terhadap sumberdaya ikan
demersal yang beroperasi di perairan Teluk Lampung mulai tahun 2001 (14.700
trip) dan mencapai puncaknya pada tahun 2003 (22.535 trip) dengan tingkat
pemanfaatan atau produksi 89,55% dari potensi SDI demersal.
Tingkat eksploitasi SDI demersal sudah mencapai jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) yaitu 80% dari nilai MSY, jadi sebenarnya mulai tahun 2003
tingkat pemanfaatan SDI demersal Teluk Lampung sudah mencapai eksploitasi
penuh (fully exploitated). Sementara aktifitas penangkapan terus berjalan
meskipun dengan effort yang menurun, jumlah effort terendah pada tahun 2007
yaitu 10.680 trip . Penurunan effort kemungkinan terkait dengan penurunan
potensi atau ketersediaan sumberdaya ikan yang sudah mengalami over fishing.
Penurunan sumberdaya ikan demersal di Teluk Lampung juga diketahui dari tren
CPUE ikan demersal yang menurun dari tahun 2001 sampai tahun 2007.
(2) Status Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil
Pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya ikan pelagis di Teluk Lampung
terus mengalami peningkatan dari tahun 2001 sampai tahun 2007, yang
terindikasi dari kenaikan jumlah effort atau trip penangkapan. Hasil analisa
potensi sumberdaya ikan pelagis menunjukkan bahwa nilai MSY adalah
1396.931 ton per tahun dengan effort optimum 26707 trip per tahun, seperti
Gambar 17.
133
Berdasarkan nilai maximum sustainable yield, tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan pelagis Teluk Lampung mengalami over fishing pada tahun
2003 sampai tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2006 dan tahun 2007 status
sumberdaya ikan pelagis mengalami perbaikan menjadi fully exploited atau fully
operational, seperti pada Tabel 24.
Penurunan sumberdaya ikan pelagis pada tahun 2003 kemungkinan sangat
erat hubungannya dengan peningkatan effort yang terjadi pada tahun tersebut.
Pada tahun 2002 effort yang dilakukan di Teluk Lampung sebesar 18.600 trip
dan pada tahun 2003 berlangsung 32515 trip atau terjadi peningkatan effort
hamper 100%. Kondisi ini sebanding dengan hasil tangkapan atau produksi yang
dihasilkan dari 719,2 ton pada tahun 2002 menjadi 1510,2 ton.
Jumlah produksi tahun 2003 tersebut sudah melebihi nilai MSY (1396.931
ton) atau tingkat pemanfaatan SDI pelagis 108% dari potensi yang ada.
Sedangkan pada tahun 2004 terjadi penurunan effort terhadap ikan pelagis tatapi
produksinya tetap meningkat dan melebihi nilai MSY demikian juga pada tahun
2005. Pada tahun 2006 sampai tahun 2007 tingkat pemanfaatan sumberdaya
ikan pelagis di Teluk Lampung lebih rendah dari nilai MSY (85 – 90%) tetapi
kondisi ini tidak menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis tersebut sudah
mengalami pemulihan.
Hasil perhitungan CPUE ikan pelagis pada tahun 2006 dan 2007 lebih kecil
dari nilai CPUE tahun 2005, kondisi ini mengindikasikan bahwa potensi sumber
daya ikan pelagis di Teluk Lampung sudah mengalami penurunan. Sesuai
pernyataan Hatoto (2000), bahwa salah satu indikasi yang menunjukkan
sumberdaya perikanan sudah mengalami penurunan adalah terjadinya
penurunan produksi per satuan usaha/effort (CPUE).
(3) Status Pemanfaatan Krustacea Produksi krustacea di Teluk Lampung sampai dengan tahun 2007 paling
tinggi sama dengan nilai MSY (259,388 ton per tahun) dengan effort optimum
6855 trip per tahun, seperti terlihat pada Gambar 19.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya krustacea mencapai kondisi over fising
(100%) pada tahun 2001 kemudian turun pada tahun 2002 dan 2003. Sementara
pada tahun 2004 dan tahun 2005 mengalami over exploted atau mencapai lebih
100% dari potensi yang ada, sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 mengalami
mengalami penurunan pemanfaatan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya
krustacea hanya 30%.
134
Penurunan produksi sumberdaya perikanan krustacea pada tahun 2007
lebih dipengaruhi oleh penurunan jumlah effort yang dilakukan di Teluk Lampung.
Effort atau upaya penangkapan yang dilakukan pada tahun 2007 sebesar 1267
trip atau 30% dari effort optimum. Dari hasil analisa tersebut, pemanfaatan
sumberdaya krustacea di Teluk Lampung masih dapat ditingkatkan dengan
menambah effort atau upaya penangkapan sebesar 60%. Kondisi ini didukung
data CPUE krustacea tahun 2007 yang menunjukkan peningkatan atau lebih
tinggi dari tahun 2006.
(4) Status Pemanfaatan Jenis Ikan Lainnya
Sumberdaya ikan lain terdiri dari ikan teri dan ikan jenis lain yang
tertangkap menggunakan alat tangkap bagan. Nilai MSY ikan jenis lainnya di
Teluk Lampung adalah 5348,72 ton per tahun dengan effort optimum 65245,75.
Hasil analisa pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung seperti
pada Gambar 21. Pada tahun 2007 pemanfaatan sumberdaya ikan lainnya di
Teluk Lampung masih di bawah nilai MSY yaitu 45% dari potensi sumberdaya
yang ada. Sumberdaya ikan lainnya di Teluk Lampung sebenarnya sudah pernah
mengalami tangkapan lebih (over fishing) yitu pada tahun 2005 dan 2006, pada
tahun- tahun tersebut produksinya melebihi nilai MSY (120%).
Hasil analisa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan jenis lain di Teluk
Lampung menunjukkan bahwa potensi sumberdaya tersebut sudah mengalami
penurunan yang diindikasikan dengan penurunan CPUE. Seperti yang terjadi
pada tahun 2007 walaupun tingkat pemanfaatannya 30% dari potensi yang ada,
tetapi dengan melihat nilai CPUE yang lebih kecil dari tahun 2006 menunjukkan
bahwa sudah terjadi penurunan potensi sehingga tidak memungkinkan untuk
dilakukan penambahan effort atau upaya penangkapan. Upaya yang perlu
dilakukan untuk mempertahankan sumberdaya ikan lain di Teluk Lampung
adalah dengan tidak menambah effort atau dilakukan pembatasan jumlah alat
tangkap dan frekuensi penangkapan atau trip.
Penurunan sumberdaya perikanan terjadi secara global, saat ini 80% dari
stok perikanan dunia sudah mengalami eksploitasi penuh (fully exploited),
eksploitasi lebih (over exploited) bahkan sudah ada yang menunjukkan
kepunahan (collaps) (Mora et al, 2009). Kondisi ini dapat diketahui dengan
beberapa indikasi yang muncul seperti jumlah tangkapan yang semakin menurun,
ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil-kecil dan hilangnya beberapa jenis
ikan endemik (Hartoto, 2000; Worm,2006). McPhie dan Campana (2009),
135
menyatakan umur maksimum dan umur saat matang gonad dapat untuk
menduga rata- rata pertumbuhan populasi sementara ukuran tubuh ikan sebagai
indikasi status suatu sumberdaya. Untuk menjaga kelestarian dan
keberlangsungan sumberdaya ikan di Teluk Lampung diperlukan suatu strategi
pengelolaan yang tepat dan komprehensip dengan strategi pembangunan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Strategi pengembangan potensi daerah akan sangat tergantung pada
strategi pembangunan ekonomi yang dianut daerah. Dalam mengambangkan
potensi daerah tidak boleh dilupakan perlunya membangun yang sifatnya
berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang dilaksanakan di
daerah tidak boleh sampai menguras SDA dan merusak lingkungan. Fungsi
lingkungan dalam pembangunan harus tetap dipertahankan karena berfungsi
sebagai sumber bahan baku untuk industri, sebagai pengolah limbah alami
(natural assimilator) dan sebagai sumber kesenangan dan kenyamanan hidup.
Dalam hal ini pemerintah daerah harus tetap bertindak sebagai pengewas dalam
pembangunan, sehingga pembangunan yang terjadi di daerah tidak akan
merusak SDA dan lingkungan.
Seperti diketahui bahwa stock ikan di suatu perairan secara alami
dipengaruhi oleh pertumbuhan (growth), kematian alami (mortality),
penangkapan (catching) dan penambahan (restocking). Dari keempat faktor
tersebut penangkapan (catchment) yang dilakukan oleh manusia merupakan
yang paling berpengaruh terhadap kondisi stock ikan di suatu wilyah perairan.
Untuk itu perlu dilakukan pengaturan dan pengelolaan terhadap pemanfaatan
sumber daya perikanan tangkap untuk menjamin kelestariannya.
Kegiatan penangkapan dengan teknologi modern yang dilakukan dengan
tidak memperhatikan kelestarian atau keberlanjutan dari sumber daya dapat
berakibat fatal, salah satunya terjadi lebih tangkap (over fishing) untuk jenis
sumber daya ikan tertentu.
Menyadari banyak sumber daya akuatik yang sudah mengalami lebih
tangkap dan bahwa kapasitas penangkapan yang ada dewasa ini
membahayakan konsevasi dan pemanfaatan yang rasional sumber daya, maka
pengubahan teknologi yang bertujuan pada peningkatan lebih lanjut kapasitas
penangkapan umumnya dipandang tidak diinginkan. Sebagai gantinya suatu
pendekatan bersifat kehati-hatian pada pengubahan teknologi yang ditujukan
untuk:
136
1. Meningkatkan konservasi dan kelestarian jangka panjang sumber daya
perikanan
2. Mencegah kerusakan yang takterbalikkan atau yang tidak bisa diterima oleh
lingkungan;
3. Meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh dari penangkapan
4. Meningkatkan keselamatan dan kondisi kerja para karyawan perikanan
Teknologi perikanan yang berbeda mempunyai efek yang berlainan
terhadap ekosisitem, komunitas penangkapan dan keselamatan para
penggunanya. Sebagai contoh, lebih tangkap yang terjadi pada sumber daya
akuatik adalah hasil dari efisiensi teknologi penemuan dan penangkapan ikan.
Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang bersifat kehati-hatian dalam
pengembangan teknologi perikanan guna menghindari perubahan mendadak
yang tidak direncanakan terhadap tekanan penangkapan. Termasuk dalam
memperkenalkan atau mengaplikasikan suatu alat atau teknologi baru, juga
harus menggunakan pendekatan kehati-hatian karena suatu teknologi perikanan
akan menghasilkan efek samping terhadap lingkungan dan spesies non-target.
Tujuan dari pengelolaan stok ikan adalah menjamin kelestarian dan
keberlanjutan dari sumber daya ikan sehinga dapat dimanfaatkan oleh generasi
berikutnya. Pengelolaan sumber daya tersebut dengan : close season fishing
(pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu), close area
(penutupan/pelarangan penangkapan ikan pada daerah tertentu), pembatasan
alat tangkap, dan sistem quota penangkapan.
(5) Close season fishing
Pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan dapat dilakukan
dengan memberlakukan sistem close season fishing atau penutupan/ pelarangan
aktifitas penangkapan pada musim tertentu. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan
siklus hidup dari ikan, karena pada musim tersebut ikan yang menjadi target
penangkapan dalam kondisi siap memijah atau masih dalam tahap pertumbuhan
yang masih memungkinkan ikan untuk tumbuh lebih besar atau ikan belum
mencapai ukuran ideal untuk ditangkap. Pada saat penutupan daerah
penangkapan perlu dilakukan pengawasan yang ketat dengan melibatkan
masyarakat di sekitar perairan Teluk Lampung atau Kelompok Pengawas
Masyarakat (POKWASMAS) apabila di sekitar Teluk sudah terbentuk kelompok
pengawas. Namun apabila belum ada kelompok pengawas masyarakat,
137
kelompok nelayan yang ada juga dapat difungsikan sebagai pengawas agar
penutupan pada musim tertentu lebih efektif dan efisien.
(6) Close area (penutupan daerah dari operasi penangkapan) Cara pengendalian eksploitasi sumber daya perikanan dapat dilakukan
dengan cara penutupan suatu wilayah atau daerah perairan tertentu. Close area
ini biasa diberlakukan pada daerah perairan yang merupakan daerah pemijahan
atau daerah asuhan/ tempat mencari makan anak- anak ikan, seperti daerah
perairan hutan mangrove dan padang lamun. Pelarangan penangkapan ikan di
daerah ekosistem tersebut secara langsung dapat mencegah kepunahan jenis
sumber daya ikan, karena proses regenerasi tetap dapat berlangsung.
Penutupan daerah tertentu ini diharapkan dapat memberikan peluang bagi
spesies ikan tertentu untuk berkembang biak secara alami tanpa diganggu oleh
aktivitas penangkapan. Melakukan pemijahan sesuai dengan sifat alamiahnya,
tumbuh dengan baik dengan memanfaatkan makanan yang ada disekitarnya.
Penutupan daerah penangkapan dimungkinkan juga memberikan peluang bagi
biota laut lainnya dapat tumbuh dengan subur dalam suatu ekosistem sehingga
proses siklus hidup berjalan secara alamiah.
(7) Pembatasan alat tangkap Tekanan eksploitasi daerah penangkapan di wilayah perairan Indonesia
tidak sama antar satu daerah dengan daerah yang lainnya. Pada suatu daerah
produksi perikanan masih tinggi/produktif, sedang di daerah yang lain telah
mengalami penurunan produksi. Salah satu faktor yang menyebabkan
penurunan produksi tangkap suatu daerah perairan adalah meningkatnya atau
tingginya armada penangkapan di daerah tersebut. Untuk daerah-daerah tertentu
yang sudah mengalami penurunan produksi dapat diberlakukan pembatasan
jumlah armada penangkapan untuk menghindari terjadinya tangkap berlebih
terhadap sumber daya perikanan. Pembatasan alat tangkap harus juga
disesuaikan dengan jumlah dan jenis stok yang ada dalam suatu perairan
dengan kata lain bahwa jumlah dan jenis stok yang ada juga harus dihitung
berdasarkan analisis yang tepat untuk menghindari pengambilan keputusan yang
salah. Apabila stok ikan demersal yang sudah mulai menurun pembatasan alat
tangkap harus diarahkan pada alat tangkap ikan demersal, demikian halnya ikan
138
pelagik kecil yang sudah mulai berkurang pembatasan alat tangkap dilakukan
pada alat tangkap yang tujuan penangkapannya pada ikan-ikan pelagik kecil.
Hal ini seperti yang dilakukan pemerintah dalam pembatasan alat tangkap yang
boleh dioperasikan di laut Jawa.
(8) Sistem quota penangkapan Cara lainnya untuk mengendalikan atau melakukan pengelolaan stok
sumberdaya perikanan tangkap adalah dengan memberlakukan sistem quota
dalam penangkapan ikan. Sistem quota ini untuk membatasi jumlah
penangkapan yang diperbolehkan untuk suatu jenis ikan atau dalam suatu
wilayah perairan tertentu. Jumlah quota dapat ditentukan dengan analisis
pendugaan stok dalam wilayah tersebut untuk setiap jenis ikan. Sehingga jumlah
dan jenis hasil tangkapan yang diperbolehkan dapat dihitung berdasarkan
pendugaan stok yang ada. Pembatasan jumlah hasil tangkapan ini akan sulit
dilakukan tanpa dilandasai kesadaran yang kuat oleh para nelayan yang ada
disekitar perairan tersebut, mengingat tidak adanya pengawasan yang dilakukan
secara terus menerus. Disamping itu, pembatasan jumlah penangkapan ini akan
berdampak pada jumlah alat tangkap yang dipergunakan di wilayah tertentu dan
jumlah nelayan yang akan melakukan operasi penangkapan. Dengan sistem ini
dapat menjamin tidak terjadi over fishing sumber daya perikanan di suatu wilayah
perairan tersebut, juga proses rekruitmen dan regenerasi dapat tetap
berlangsung secara alamiah dan berkesinambungan.
5.4.2 Sub model kesesuaian lahan
Berdasarkan kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan,
maka pengembangan sistem perikanan tangkap berbasis budidaya laut
membutuhkan kajian kesesuaian lahan, yaitu yang sesuai untuk fungsi dan
peruntukkan budidaya laut yang akan dikembangkan.
Potensi sumber daya lahan pengembangan kawasan perikanan budidaya
dihitung berdasarkan pada ketersediaan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan usaha budidaya. Pemahaman terhadap potensi lahan
pengembangan budidaya penting untuk dilakukan dalam rangka proses
penentuan perencanaan dan pengembangan budidaya, yang meliputi:
perencanaan desain, tata letak, teknologi yang akan dikembangkan, komoditas
139
yang diusahakan, target produksi, dan kebutuhan sarana dan prasarana yang
akan dibangun.
Salah satu tahapan dari pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya adalah pemilihan lokasi (site selection). Pemilihan lokasi ini mencakup
informasi tentang kondisi biofisik, sosial ekonomi masyarakat dan status sumber
daya ikan endemik. Analisis kesesuaian lahan merupakan tahapan penting
dalam pemilihan lokasi pengembangan agar sesuai dengan kebutuhan jenis ikan
yang akan dikembangkan sehingga meningkatkan keberhasilan proses budidaya
dan pengkayaan stok ikan di lokasi tersebut. Sesuai dengan tahapan dari
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya (culture based fisheseries)
antara lain pemilihan lokasi (site selection), pemilihan jenis (species selection)
dan penentuan ukuran ikan (stocking size); De Silva et al (2006).
Kajian kesesuaian lahan atau upaya perencanaan penggunaan lahan
sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui optimasi daya dukung dan
manfaat lahan berdasarkan kondisi lahan, potensi, dan sumber daya yang
berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan yang lainnya yang
menghendaki agar daerah tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan
(ruang kegiatan) di masa yang akan datang. Keadaan ini menunjukkan suatu
proses analisis yang menghasilkan optimasi pemanfaatan lahan dan dapat
dijadikan masukan untuk proses penilaian pelaksanaan pemanfaatan ruang.
Menurut Sitorus (2004), manfaat yang mendasar dari evaluasi sumber daya
lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu
serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi nilai ekonominya. Prinsip
memprediksi untuk menghasilkan nilai ekonomi wilayah di masa yang akan
datang adalah prinsip perencanaan tata ruang.
Ketersediaan sumber daya lahan sebagai ruang dimanapun selalu terbatas.
Bila pemanfaatan sumber daya lahan tidak distur dan direncanakan dengan baik,
maka kemungkinan besar akan terjadi pemborosan manfaat sumber daya lahan,
dan lebih jauh lagi akan terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup. Nilai
ekonomis yang diharapkan bagi pengembangan wilayah tidak akan tercapai dan
yang akan terjadi malah kerusakan lingkungan (baik renewable maupun non-
renewable) yang justru akan menjadi cost yang never ending.
Sebaliknya bila ada pengaturan dalam bentuk rencana tata ruang melalui
optimasi kegiatan pemanfaatan SDA dan buatan yang ada dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampung wilayah, dan memprediksi
140
pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan datang akan tercapai sinergi
antar berbagai jenis kegiatan pengelolaan SDA, dengan fungsi lokasi, kualitas
lingkungan, dan estetika wilayah. Menurut Djakapermana dan Djumantri (2002),
pemanfaatan ruang wilayah yang berbasis mengoptimasikan pemanfaatan SDA,
buatan dan lingkungan mempunyai tujuan agar terjadi pengembangan wilayah
yang terus berlanjut secara berkesinambungan.
Sumber daya lahan perikanan budidaya yang masih sangat luas dan belum
sepenuhnya dimanfaatkan, sudah seharusnya dapat dijadikan modal dasar, di
samping perlu perumusan strategi yang jitu terhadap setiap aspek yang
mempengaruhi usaha perikanan budidaya, untuk terus dibangun dan
dikembangkan, utamanya guna membangun daya saing dalam menghadapi era
pasar global dan industrialisasi, serta tuntutan pengelolaan sumberdaya
perikanan yang lebih bertanggung jawab. Untuk itu, pengembangan perikanan
budidaya ke depan harus mampu mendayagunakan besarnya potensi
sumberdaya lahan budidaya untuk dapat mendorong dan menghidupkan
kegiatan produksi yang berkelanjutan dan berbasis ekonomi rakyat, mendorong
dan meningkatkan perolehan devisa negara dari aktivitas ekspor hasil perikanan
budidaya, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat di pedesaan.
Terkait dengan proses desentralisasi ekonomi, perlu mempersiapkan dan
melaksanakan strategi pembangunan perikanan budidaya yang mampu
menggerakkan masyarakat pembudidaya ikan di seluruh daerah, agar secara
serempak mampu menjadikan potensi sumber daya lahan yang ada menjadi
kegiatan ekonomi yang bertumbuh dan didukung dengan upaya penumbuhan
prakarsa dan jiwa wirausaha, serta peningkatan kemampuan berusaha di
kalangan masyarakat pembudidaya ikan di daerah.
5.4.3 Sub model pemilihan
Sejak diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan
Daerah, setiap daerah semakin dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi
potensi dan nilai ekonomi yang dimiliki, serta mampu mengelola sumber daya
perikanan dan kelautan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Keragamanan kondisi tiap daerah dalam hal sosio kultural tiap
masyarakat, kuantitas dan mutu masyarakat, sarana dan prasarana, iklim, serta
heterogenitas ketersediaan SDA menyebabkan pengembangan perikanan tidak
dapat dilakukan secara terpusat. Implikasi dari kondisi tersebut adalah bahwa
141
setiap daerah seharusnya mengembangkan komoditas perikanan sesuai dengan
kondisi dan potensi yang dimilikinya.
Keragaman kondisi biofisik wilayah laut yang begitu tinggi berimplikasi
kepada kesesuaian untuk budidaya komoditas perikanan berbeda dari satu
wilayah ke wilayah lainnya. Oleh karena itu pembangunan perikanan tangkap
berbasis budidaya tidak mungkin dilakukan seragam. Akan lebih tepat dan benar
bila pembangunan perikanan tangkap berbasis budidaya berdasarkan kepada
pendekatan wilayah sesuai dengan alat tangkap dan komoditas unggulan yang
dapat dikembangkan di wilayah yang bersangkutan.
(1) Teknologi Penangkapan Ikan
Pengembangan teknologi penangkapan ikan yang sesuai dengan alat
tangkap terpilih dari proses pemilihan alat tangkap ideal yang dilakukan yaitu alat
tangkap bubu (Tabel 35). Peranan teknologi penangkapan sangat menentukan
keberhasilan dalam memperoleh hasil tangkapan dengan kualitas ikan yang baik.
Teknologi penangkapan dari berbagai alat tangkap yang digunakan haruslah
sudah dipertimbangkan bahwa disain dan konstruksi alat tangkap telah
memenuhi persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan,
sehingga kelestarian sumber daya akan tetap terpelihara dengan baik. Sehingga
hal penting berikutnya yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
pengembangan perikanan tangkap adalah alat tangkap yang relevan dengan
komoditas unggulan dan kondisi wilayah.
Pola pemilihan dan pembinaan teknologi penangkapan ikan yang
menyesuaikan dengan komoditas potensial, yaitu bubu yang merupakan alat
tangkap terpilih dengan bobot tinggi, hal ini sesuai dengan jenis komoditas
unggulan perikanan tangkap yang akan dikembangkan atau dibudidayakan yaitu
ikan kerapu.
(2) Komoditas Potensial Implementasi sub model pemilihan komoditas potensial diperlukan agar
pengembangan dapat difokuskan pada komoditas potensialnya, sehingga dapat
direncanakan jenis budidaya laut yang tepat bagi komoditas tersebut dan
menghasilkan produk unggulan yang bersifat kompetitif dan strategis, artinya
selain memberikan peningkatan nilai tambah (added value), juga memberikan
nilai manfaat (benefit added) sebesar-besarnya.
142
Komoditas potensial perikanan tangkap berbasis budidaya berdasarkan
kriteria yang disusun untuk pemilihan komoditas potensial adalah ikan kerapu.
Ikan kerapu mendapatkan bobot tinggi, hal ini berarti jenis ikan tersebut dapat
dijadikan komoditas unggulan perikanan tangkap berbasis budidaya di Lampung
Selatan (Tabel 37).
Pengembangan komoditas potensial ditetapkan untuk lebih memacu
kegiatan budidaya komoditas yang memiliki kriteria: bernilai ekonomis tinggi,
teknologi budidaya yang dapat diterapkan telah tersedia, permintaan luar negeri
dan lokal tinggi, serta dapat dibudidayakan dan dikembangkan secara massal.
5.4.4 Sub model kelayakan Hasil analisis kelayakan finansial finansial menunjukkan bahwa usaha
perikanan tangkap berbasis budidaya memberikan prospek kelayakan finansial.
Hasil ini penting diketahui oleh investor dan lembaga keuangan sebagai
penyedia modal yang selama ini mempersepsikan bisnis perikanan sebagai
bisnis dengan resiko tinggi.
Pengembangan usaha ditetapkan sebagai pendekatan kebijakan dengan
maksud agar seluruh usaha perikanan budidaya yang dilakukan oleh masyarakat
pembudidaya ikan secara konsisten menggunakan prinsip-prinsip bisnis yang
profesional, sehingga setiap usaha perikanan budidaya akan menguntungkan,
dapat berdaya saing dan berkelanjutan. Di samping itu, melalui pendekatan
pengembangan usaha juga diharapkan dapat terbangun suatu kemitraan usaha
yang saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi. Oleh
karena itu, antar pelaku usaha perikanan budidaya sangat diharapkan terjadinya
saling berbagi peluang usaha (win-win opportunity) untuk membangun dan
mengembangkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi
usaha. Sebaliknya, dalam pengembangan usaha perikanan budidaya sangat
dihindari munculnya gejala untuk menang sendiri dan saling menghancurkan.
Dalam kaitan itu, maka pendekatan pengembangan usaha perikanan budidaya
akan dilakukan melalui 3 pola pengembangan, yaitu: (1) pola swadaya, (2) pola
unit pelayanan pengembangan (UPP), dan (3) pola kemitraan inti-plasma.
Pola swadaya diarahkan bagi masyarakat pembudidaya yang secara
mandiri memiliki kemampuan teknis dan permodalan untuk membangun dan
mengembangkan kawasan usaha perikanan budidaya. Bagi masyarakat
pembudidaya ikan yang termasuk dalam kategori pola swadaya ini, maka
143
diharapkan untuk dapat membangun kerjasama kemitraan antar pembudidaya
sejenis guna memperkuat daya saingnya.
Pola UPP dikembangkan dalam rangka membantu masyarakat
pembudidaya ikan skala kecil agar memiliki kemampuan teknis dan permodalan,
sehingga dapat meningkatkan daya saingnya. Dalam kaitan itu, maka bagi
masyarakat pembudidaya ikan skala kecil diarahkan untuk dapat bergabung
dalam wadah kelompok pembudidaya ikan (POKDAKAN). Sebagai wadah
pembinaan dan pelayanan pengembangan usaha POKDAKAN, maka pada
setiap kabupaten atau kota agar dibentuk UPP perikanan budidaya.
Pola kemitraan inti plasma diarahkan bagi usaha pembudidayaan ikan
skala besar yang mengembangkan kawasan usaha perikanan budidaya dengan
luas hamparan atau volume usahaPola kemitraan inti plasma ini dimaksudkan
untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui hubungan yang saling
ketergantungan dan saling menguntungkan antara inti dan plasma. Dengan
demikian, usaha perikanan budidaya skala besar akan mendapat dukungan dari
usaha perikanan budidaya skala rakyat dalam kemitraan usaha yang saling
menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi.
5.4.5 Sub model strategi Strategi pengembangan merupakan tindakan yang bersifat incremental
(senantiasa meningkat) dan terus menerus, serta dilakukan berdasarkan sudut
pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pemakai (stakeholders atau
masyarakat) di masa depan. Dengan demikian, strategi pengembangan hampir
selalu dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan dimulai dari apa yang terjadi.
Oleh karena itu, di dalam strategi pengembangan, pemerintah harus dapat
memastikan bahwa semua potensi daerah yang ada diarahkan bagi kepentingan
mensejahterakan masyarakat. Di samping itu, terjadinya akselerasi pemanfaatan
potensi daerah harus tetap mempertimbangkan perubahan pola msyarakat, dan
hal ini memerlukan kompetensi inti (core competencies). Pemerintah daerah
nampaknya harus mencari kompetensi inti ini sehingga pemanfaatan potensi
daerah dapat tercapai sesuai arah dan strategi pengembangannya, mengingat
tidak mudah untuk mengetahui potensi daerah.
Melalui analisis yang merupakan implementasi dari sub model strategi
teridentifikasi faktor-faktor determinatif yang mempengaruhi pengembangan
perikanan tangkap berbasis budidaya, prioritas tujuan yang hendak dicapai dan
144
alternatif strategi yang harus dijalankan untuk pencapaian tujuan tersebut.
Prioritas utama alternatif strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis
budidaya adalah optimalisasi dalam pemanfaatan potensi SDI dan budidaya laut,
diikuti dengan memperkuat perikanan tangkap dan budidaya yang ada. Prioritas
keputusan ini dapat dipahami bahwa pemanfaatan secara optimal dan lestari
potensi SDI dan budidaya laut merupakan upaya mendayagunakan sumber daya
perikanan dengan memperhitungkan potensi dan daya dukung wilayah perairan
untuk mendapatkan keuntungan tanpa merusak lingkungan dan kelangsungan
jenis hayati lainnya.
(1) Optimalisasi Perikanan Budidaya
Hasil analisis kesesuaian lokasi perikanan budidaya menunjukkan bahwa
terdapat dua lokasi pengembangan perikanan budidaya yang dinyatakan layak
yaitu Pulau Puhawang dan Pulau Tanjung Putus. Kedua lokasi tersebut adalah
lokasi yang sudah terdapat kegiatan perikanan budidaya dengan Karamba Jaring
Apung, sehingga optimalisasi perikanan budidaya yang perlu dilaksanakan lebih
banyak pada penataan dan pengendalian lingkungan budidaya. Pada
perkembanganya pembudidaya di lokasi ini banyak yang mengalami kegagalan
usaha akibat adanya kematian dan penurunan pertumbuhan ikan yang dipelihara.
Kematian dan penurunan pertumbuhan ikan yang dipelihara pada suatu lokasi
dapat disebabkan oleh serangan hama-penyakit ikan dan penurunan mutu
lingkungan budidaya. Serangan hama-penyakit ikan akan meningkat seiring
dengan penurunan mutu lingkungan budidaya. Penurunan mutu lingkungan
budidaya dapat disebabkan oleh aktivitas lain disekitar lokasi budidaya dan dari
limbah kegiatan budidaya itu sendiri yaitu dari sisa pakan, sisa metabolisme ikan,
limbah obat ikan dan bahan kimia yang digunakan serta limbah domestik
pembudidaya yang tinggal dan menjaga KJA.
Untuk itu optimalisasi pengembangan perikanan budidaya di kedua lokasi
yang dinyatakan layak di atas adalah pengaturan tata letak dan jarak antar unit
KJA serta pengendalian lingkungan budidaya. Pengaturan tata letak dan jaraka
antar unit KJA sangat ditentukan oleh pola arus dan kedalaman perairan.
Sedangkan pengendalian lingkungan budidaya dapat dilakukan dengan
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pakan, penggunaan obat ikan dan bahan
kimia yang tepat dan benar, serta pengelolaan limbah domestik pembudidaya
yang tinggal dan menjaga KJA.
145
(2) Optimalisasi Perikanan Tangkap Optimalisasi perikanan tangkap di perairan Lampung Selatan lebih
diarahkan pada pengendalian kegiatan penangkapan. Hal ini mengingat
sumberdaya perikanan di perairan Lampung Selatan telah menunjukkan indikasi
fully exploited sampai dengan over fishing, hanya kelompok pelagis oseanik
kecil dan ikan demersal yang berada pada kedalaman > 200 m yang masih
mungkin ditingkatkan upaya penangkapannya. Sehingga untuk optimalisasi
perikanan tangkap di Kabupaten Lampung Selatan lebih bersifat pada
pengendalian upaya penangkapan dan peningkatan armada dan alat tangkap
untuk mencapai perairan yang lebih jauh ke arah lautan lepas atau keluar dari
perairan Teluk Lampung.
Upaya pengendalian penangkapan yang dapat dilakukan diantaranya
melalui pengatuan alat tangkap, lokasi dan waktu penangkapan serta penetapan
kuota. Disamping itu dengan implementasi perikanan tangkap berbasis budidaya
maka ketersediaan stok pada lokasi tersebut dapat dikendalikan dan kegiatan
penangkapan sesuai aturan yang disepakati dapat berkelanjutan.
(3) Mendorong pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun,
sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumsi masyarakat ke
arah protein hewani yang lebih sehat. Sementara itu pasokan ikan dari hasil
penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan
semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas
lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan
membesarkan anak.
Kecenderungan menurunnya peran perikanan tangkap dan tersedianya
sumber daya budidaya perikanan yang cukup besar merupakan alasan untuk
lebih mengembangkan perikanan budidaya. Guna mengatasi keadaan ini, maka
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya laut merupakan alternatif
yang cukup memberikan harapan. Kegiatan perikanan tangkap berbasis
budidaya berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di
masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun.
Di samping itu pula, peran pemerintah untuk memberikan prioritas kepada
kegiatan budidaya perikanan laut untuk dikembangkan, serta menjaga kestabilan
dan keberlanjutan produksi ikan dari kegiatan penangkapan. Dengan begitu,
146
maka produksi budidaya di masa mendatang diproyeksikan akan meningkat
dengan harapan agar produksi penangkapan tidak mengalami penurunan.
Pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya penting untuk
diperhatikan karena kegiatan budidaya ikan lebih terjamin keberlanjutannya, di
mana penangkapan ikan dapat dikembangkan dengan dukungan utama dari
budidaya laut. Sesuai penelitian Baer et al (2007) bahwa penebaran ikan dapat
meningkatkan hasil tangkapan ( catch per unit effort/ CPUE), juga dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat yang sustainable (Hariyanto et al, 2009)
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mendorong perkembangan
perikanan tangkap berbasis budidaya dapat dilakukan melalui: (1) peningkatan
produktivitas, (2) mengurangi atau menghapus sebab-sebab ekonomi biaya
tinggi, (3) menentukan batas konsumsi maksimal yang layak, (4) peningkatan
PAD, (5) memperbaiki kualitas SDM, (6) mempertahankan fungsi lingkungan,
dan (7) kerjasama antar daerah.
(1) Peningkatan produktivitas
Meningkatkan produktivitas bagi kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya)
dengan cara menggunakan input tertentu untuk menghasilkan lebih banyak
output. Syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa daerah (pemerintah
bersama seluruh warga masyarakat) harus selalu berusaha untuk
meningkatkan jumlah masukan (input) yang berkualitas yang digunakan
dalam setiap kegiatan. Tidak ada artinya kalau input yang digunakan hanya
bertambah tetapi dalam kuantitas saja dan tidak dalam kualitas.
(2) Mengurangi sebab-sebab ekonomi biaya tinggi
Ekonomi biaya tinggi, adanya pungutan resmi atau tidak resmi, terjadi dalam
setiap kegiatan; tidak hanya dalam bidang produksi dan distribusi perikanan,
tetapi juga dalam bidang konsumsi maupun pelayanan apa saja. Pegawai
pemerintah daerah harus terdiri dari orang-orang yang rela berkorban dalam
pelayanan, namun demikian harus pula diimbangi dengan jaminan hidup
layak agar tidak melakukan pelanggaran.
(3) Menentukan batas konsumsi maksimal yang layak
Sifat konsumtif dan materialistis yang dialami setiap masyarakat Indonesia
membuat masyarakat kita tidak pernah mengetahui batas kecukupannya,
147
sehingga semua orang bekerja keras dan berlomba untuk memenuhi semua
kebutuhannya. Padahal kita tahu bahwa macam dan jumlah kebutuhan itu
tidak ada batasnya; sedangkan alat pemuas kebutuhan justru terbatas.
(4) Peningakatan PAD
Tidak dapat diingkari bahwa modal dan dana sangat penting bagi ber-
hasilnya pengembangan potensi suatu daerah. Namun bukan berarti tanpa
modal kita lalu tidak dapat memanfaatkan potensi daerah sama sekali. Perlu
disadari pula bahwa sesungguhnya modal atau dana lebih merupakan faktor
pelengkap dan akibat dari pembangunan serta bukan merupakan sebab dari
pembangunan. Dengan demikian tidak perlu dikhawatirkan bahwa suatu
daerah akan menjadi miskin karena PAD nya kecil atau sedikit.
(5) Memperbaiki kualitas SDM
Yang dimaksud disini adalah SDM yang produktif, efisien dan bermoral.
Harus ada kemauan yang kuat dari manusia di daerah yang bersangkutan
untuk membangun, yang akan mendorong masyarakat untuk bekerja keras
dan mau berkorban dan mau melayani.
(6) Mempertahankan fungsi lingkungan
Lingkungan sebagai sumber bahan mentah yang akan diolah di semua
sektor kegiatan, sebagai sumber kesenangan dan rekreasi, serta sebagai
tempat asimilasi limbah secara alami harus terus dipertahankan kualitas
maupun kuantitasnya demi adanya pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development).
(7) Kerjasama antar daerah
Kerjasama antar daerah harus terus digalang demi meningkatkan efisiensi.
Dengan kerjasama daerah diharapkan akan terjadi spesialisasi antar daerah,
sehingga efisiensi dapat ditingkatkan bagi semua pihak yang bekerjasama.
Kerjasama ini dapat dalam bentuk perdagangan ataupun tukar-menukar
tenaga ahli, atau kerjasama bentuk lainnya.
5.4.6 Sub model kelembagaan Implementasi sub model kelembagaan yang berfungsi dalam proses
identifikasi dan strukturisasi elemen-elemen dalam sistem yang dibutuhkan untuk
merevitalisasi perikanan tangkap berbasis budidaya menunjukkan elemen kunci
dari pengguna, kebutuhan, kendala, perubahan, tujuan, keberhasilan, aktivitas,
pelaku, dan tolok ukur pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya.
148
Dari alternatif integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya yang direkomendasikan dari penelitian ini, perikanan tangkap berbasis
budidaya adalah alternatif yang perlu diintensifkan penanganan aspek
kelembagaannya. Kegiatan perikanan tangkap berbasis budidaya pada
prinsipnya adalah mengelompokkan masyarakat penangkap ikan pada suatu
perairan untuk bersama-sama menyepakati aturan (Saphakdy et. al., 2009) dan
pelaksanaan kegiatan sampai pengawasan pelaksanaan aturan di wilayah atau
lokasi kegiatan tersebut. Untuk itu nelayan dan pembudidaya serta masyarakat
yang terlibat dan terkait perlu mendapat informasi dan pemahaman yang cukup
tentang kegiatan tersebut. Penyebarluasan informasi untuk masyarakat sekitar
lokasi perikanan tangkap berbasis budidaya perlu dilakukan untuk meminimalisir
konflik dengan kegiatan lain yang memanfaatkan perairan sekitar lokasi
pengembangan perikanan tangkap berbasis budidaya. Di Jepang kelembagaan
yang tumbuh adalah asosiasi ataupun koperasi nelayan
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
(1) Potensi sumberdaya perikanan Lampung Selatan sudah mengalami
penurunan hal ini terlihat dari CPUE yang cenderung negatif. Semua
kelompok ikan yaitu ikan demersal, ikan pelagis kecil, crustacea,
sumberdaya ikan lainnya pernah mencapai tingkat pemanfaatan yang
sudah melebihi JTB bahkan MSY atau disebut over fishing.
(2) Kawasan budidaya di Pulau Puhawang dan Tanjung Putus dapat
direkomendasikan sebagai lokasi pengembangan perikanan budidaya laut
dengan karamba jaring apung (KJA). Memperhatikan kondisi
pemanfaatannya saat ini maka pengaturan tata letak unit KJA dan
pengendalian kualitas lingkungan budidaya adalah kegiatan yang perlu
dilakukan dalam rangka optimalisasi pengembangan perikanan budidaya di
Lampung Selatan.
(3) Berdasarkan analisis kelayakan finansial usaha perikanan tangkap dan
perikanan budidaya layak untuk dikembangkan sesuai dengan kriteria
kelayakan finansial yang meliputi NPV, Net B/C dan IRR.
(4) Berdasarkan analisis strategi diketahui pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya merupakan alternatif pertama untuk integrasi
pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Lampung
Selatan. Faktor determinatif dalam pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya adalah informasi mengenai kegiatan budidaya laut,
sarana dan prasarana yang menunjang pengembangan perikanan
budidaya laut dan kelembagaan. Tujuan pengembangan perikanan tangkap
berbasis budidaya harus diarahkan pada peningkatan produksi ikan,
peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
(5) Strategi integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya di Lampung Selatan diarahkan pada pengembangan komoditas
kerapu dan pengembangan alat tangkap bubu untuk memanfaatkan
komoditas potensial tersebut. Untuk itu dukungan kegiatan budidaya dalam
kegiatan ini adalah penyediaan benih kerapu yang akan ditebar dari
kegiatan perbenihan.
150
(6) Pelaku yang memiliki peran sebagai unsur kunci untuk menjadi pendorong
pengembangan adalah nelayan, pembudidaya, dan masyarakat. Untuk
pencapaian tujuan pengembangan, tolok ukur yang dapat dijadikan unsur
kunci adalah peningkatan jumlah dan pendapatan nelayan pembudidaya.
Aktivitas kunci yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan dalam
pengembangan adalah koordinasi antar sektor. Peningkatan pendapatan
nelayan pembudidaya merupakan elemen kunci dalam keberhasilan
pengembangan. Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya
merupakan elemen kunci dari elemen perubahan. Kemudahan birokrasi
merupakan unsur kunci dari unsur kebutuhan yang harus terpenuhi untuk
mendorong integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan
budidaya.
(7) Integrasi pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang
direkayasa melalui model CAP-AQUADEV berbasis komputer membantu
peningkatan efisiensi mekanisme pengambilan keputusan, sehingga dapat
dengan cepat mengantisipasi dinamika perubahan informasi. Model CAP-
AQUADEV mampu mengakomodasi kebutuhan pengambil keputusan untuk
membantu mengidentifikasi permasalahan yang hendak dikelompokkan,
mengidentifikasi dan membuat prioritas komoditas, teknologi penangkapan
ikan, strategi atau permasalahan lain yang hendak difokuskan, membantu
dalam analisis finansial beserta aspek kelembagaan.
6.2 Saran
Hal-hal yang perlu diperhatikan dari penelitian ini adalah:
(1) Diperlukan suatu kajian komprehensif mengenai sistem pembiayaan usaha
berbasis sumberdaya alam berdaya saing tinggi dan bersifat strategis.
(2) Diperlukan kebijakan yang jelas untuk mendukung pengembangan
perikanan tangkap berbasis budidaya bernilai tambah tinggi, mengingat
besarnya multiplier effect yang ditimbulkan. Terkait hal tersebut juga
diperlukan pembinaan kepada masyarakat secara terus menerus terhadap
penerapan teknologi perbenihan komoditas yang akan ditebar dan inovasi
teknologi perbenihan komoditas yang belum bisa dipijahkan secara buatan.
(3) Untuk mengatasi berbagai keterbatasan dalam model sistem pengambilan
keputusan CAP-AQUADEV ini, diperlukan pengembangan seperti
memasukkan komponen manajemen berbasis pengetahuan (knowledge
based management).
DAFTAR PUSTAKA
Agustedi. 2000. Rancang Bangun Model Perencanaan dan Pembinaan
Agroindustri Hasil Laut Orientasi ekspor dengan Pendekatan Wilayah. (Disertasi). Bogor: IPB. 203 hlm.
Amri, K. 2008. Analisis Hubungan Kondisi Oseanografi Dengan Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis di Selat Sunda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.14 No.1. halaman 55 - 65. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Atmaja, B.S. and Nugroho, D. 2005. Geographical Distribution And Status of Scads Population in The Water of the southern Part of sunda Shelf. Indonesian Fisheries Research Journal. Vol.11 No.1. Page 1-7. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Atmaja, B.S. and Nugroho, D. 2005. Interaksi Antara Biomassa dengan Upaya Penangkapan: Studi Kasus Perikanan Pukat Cincin di Pekalongan dan Juana. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.12 No.1. halaman 57 - 68. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Baer, K., J. Blasel and M. Diekmann.2007. Benefits of repeated stocking with adult, hatchery-reared brown trout, Salmo trutta, to recreational fisheries?. Fisheries Management and Ecology Volume 14 Issue 1, Pages 51 – 59. Fisheries Research Station Baden-Württemberg, Langenargen, Lake Constance, Germany.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP. 2009. Dukungan Riset Bagi
Pelaksanaan Pemacuan Sumberdaya Ikan Di Indonesia. Forum Nasional Pemacuan Stok Indonesia. Purwakarta.
Badrudin,M., Priono, B., dan Amin,E. M. 1991. Potensi dan Penyebaran
Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Barani HM. 2005. Model Pengelolaan Perikanan di Wilayah Padat Tangkap:
Kasus Perairan Laut Sulawesi Selatan Bagian Selatan. [Ringkasan Disertasi]. Bogor: IPB. 26 hlm.
Bell Johann D., Bartley Devin M., Lorenzen Kai, Loneragan Neil R., 2006.
Restocking and stock enhancement of coastal fisheries: potential, problems and progress. Fisheries Research 80. 1-8 Scince Direct www. sciencedirect.com
Brandt. 1984. Fishing Catching Methods of the Word (3rd edition). England:
Fishing News Books Ltd. 418 pp. Cholic F., Jagatraya GA., Poernomo RP., Jauzi A. 2005. Akuakultur “Tumpuan
Harapan Masa Depan Bangsa”. PT. Viktoria Kreasi Mandiri. Jakarta. 415 hlm.
152
Coastal Resources Management Project 1998; Increasing Conservation and sustainable Use of Coastal Resources
Cooper, E.L. (1969) “Growth of Wild and Hatchery Strains of Brook Trout” in
Trans. of American Fisheries Society; Vol.90, No.4, pp424–438 Dahuri, R. 2001. Prospek dan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Makalah Seminar. Universitas Pekalongan. Pekalongan.
Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pengembangan Indonesia Berbasis Kelautan.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: IPB. 233 hlm.
Dahuri R. 2004. Kebijakan Pakan Udang atau Ikan dan Penanganan
Permasalahan Antibiotika Pada Budidaya. Pidato Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Dalam Acara Pembukaan Temu Nasional. Jakarta.
Dent, J.B., and M.J. Blackie. 1979. Systems simulation in Agriculture.Applied
Science Publishers, London, England. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Strategi Nasional Implementasi
Code of Conduct for Responsible Fisheries. Jakarta. 107 hlm Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Pedoman Pembentukan
Kelembagaan Operasional dan Pemeliharaan Prasarana Budidaya. Jakarta. 47 hlm.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Pola Pembiayaan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah ”Alat Tangkap Jaring Lingkar (Purse Seine)”. Jakarta. 70 hlm.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pola Pembiayaan Usaha Kecil”
Pancing Ulur Berumpon. Jakarta. 61 hlm. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pola Pembiayaan Usaha Kecil”
Pancing Rawai. Jakarta. 58 hlm. De Silva S.S., Amarasinghe U.S., Nguyen T.T.T. 2006. Better Practice
Approaches for Culture Based Fisheries Depelovment in Asia. ACIAR. Australia. 96 pp.
Diantari. R. dan Efendi. E. 2005. Pengkajian Potensi dan Musim Penangkapan
Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di Perairan Teluk Lampung.Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2001. Profil Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. Lampung.
Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Potensi Perikanan Tangkap Indonesia.
Ditjen Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2002. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung.
153
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2003. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 115 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2003. Rencana Tata Ruang
Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka, Laporan Akhir, CV GEBE Consultan, Lampung. 145 hlm.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2004. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 274 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2005. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 115 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2006. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. 114 hlm. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung. 2007. Profil Kelautan dan
Perikanan Provinsi Lampung. Lampung. Direktorat Jenderal Urusan Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil. 2000.
Pengelolaan Tata Ruang Kawasan Pesisir Lampung Untuk Kegiatan Usaha Masyarakat. Bogor. 150 hlm.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2002. Statistik Perikanan Budidaya. Dirjen Perikanan Tangkap. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2001 –
2006. Jakarta. 136 hlm. Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisa Proyek. Edisi Satu. Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. 167 hlm. Dwiponggo. 1983. Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut Indonesia. Laporan
Penelitian Perikanan Laut nomor-2. BPPL. Jakarta. Effendi. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Ernawati, T dan Sumiyono,B. 2009. Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan
Cantrang yang Berbasis di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal Sari, Kota Tegal. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.15 No.1. halaman 69 – 77. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan efektivitas Manajemen.
Bogor: IPB Press. 147 hlm. Eriyatno dan Sofyar Fadjar. 2007. Ilmu Riset Kebijakan. Metode Penelitian untuk
Pascasarjana, IPB Press. 79 hlm. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. 259 hlm. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan “Isu, Sintesis dan Gagasan”.
154
PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta. 185 hlm. [FAO] Food Agriculture Organization. 1995. Code of Conduct for Responsible
Fisheries. Rome Italy. 41 pp. [FAO] Food Agriculture Organization. 1999. Introduksi Pengkajian Ikan Tropis.
Jakarta. 438 hlm. [FAO] Food Agriculture Organization. 2002. The State of World Fisheries and
Aquaculture. Rome: FAO Fisheries Department. 142 pp. Giyatmi. 2005. Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut: Suatu Kajian
Kelayakan dan Strategi Pengembangan di Propinsi Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor: IPB. 225 hlm.
Gulland, J.A. 1986. A Manual of Methods for Fish Stock Assessment. F A O.
Roma. Hariati, T., Chodriyah, U., dan Taufik, M. 2009. Perikanan Pukat Cincin di
Pemangkat, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.15 No.1. halaman 79 - 91. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Hariyanto, Tri, Baskoro, MS, Haluan, J., Iskandar, BH, 2009, Pengembangan
Teknologi Penangkapan Ikan Berbasis Komoditas Potensial di Teluk Lampung, Jurnal Saintek Perikanan Volume 4 No 2 Tahun 2008, FPIK, Universitas Diponegoro, Semarang.
Hariyanto, Tri, Baskoro, MS, Haluan, J., Iskandar, BH, 2009, Analisis Integrasi
Pengembangan Perikanan tangkap dan Perikanan Budidaya (Studi Kasus di Lampung Selatan), Jurnal Pusat Riset Perikanan Tangkap Tahun 2009, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan
Hartoto I. D. 2000. An Overview of Some Limnological Parameters and
Management Status of Fishery Reserves in Central Kalimantan. Pusat Penelitian Limnologi-LIPI.Kompleks LIPI Cibinong.
Jadwiga Ziolkowska. 2008. Evaluation of Agri-environmental Measures.
International Journal of Rural Management, Vol. 4, No. 1-2, 1-24. Humboldt University of Berlin.
Jorgensen J. V and Thompson P. M. 2007. Culture-base Fhiseries in Bangladesh
”A socio-economic perrspective. FAO. Rome. 41 hlm. Kitojo Wetengere. 2009. Socio-economic factors critical for adoption of fish
farming technology: The case of selected villages in Eastern Tanzania. International Journal of Fisheries and Aquaculture Vol. 1 (3), pp. 028 - 037, August 2009 © 2009 Academic Journals. Institute of Social Work (ISW), P.O. Box 3375, Dar es Salaam, Tanzania.
Lampung Selatan Dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Lampung Selatan Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. 2007, Dinas
155
Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. Bamdar Lampung. Lewy. P and Nielsen A. 2003. Modelling stochastic fish stock dynamics using
Markov Chain Monte Carlo. ICES Journal of Marine Science: Journal du Conseil 2003 60(4):743-752. Danish Institute for Fisheries Research, Charlottenlund Slot 2920 Charlottenlund, Denmark.
Lorenzen K. 1995. Population Dynamic and Management of Culture Based
Fisheries. Fisheries management and Ecology. London – UK. 61-73 pp. Mateus, L. A. de F. and Estupiñán, G. M. B. 2002. FISH STOCK ASSESSMENT
OF PIRAPUTANGA Brycon Microlepis IN THE CUIABÁ RIVER BASIN, PANTANAL OF MATO GROSSO, BRAZIL. Brazilian Journal of Biology.Vol.62 No.1
McPHIE R. P.1 AND S. E. CAMPANA. 2009. Reproductive characteristics and
population decline of four species of skate (Rajidae) off the eastern coast of Canada. Journal of Fish Biology Volume 75 Issue 1, Pages 223 – 246. The Fisheries Society of the British Isles.
Manetsch dan Park. 1974. System Analysis and Simulation with Application to
Economic and Social System. Michigan: Michigan State University. 145 hlm.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta: Grasindo. 197 hlm.
Marimin. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manjerial. IPB Press. Grasindo. Jakarta.
Masyarakat Perikanan Nusantara. 2006. 60 Tahun Perikanan Indonesia. PT. Victoria Kreasi Mandiri. 365 hlm.
Minch dan Burns. 1983. Conceptual Design of Decision Support System Utilizing Management Science Models. IEEE Transaction of System, Man and Cybernetics.
Monintja D. 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 156 hlm.
Mora C, Myers RA, Coll M, Libralato S, Pitcher TJ, U. Sumaila6, Dirk Zeller6, Reg Watson6, Kevin J. Gaston7, Boris Worm2. 2009. Management Effectiveness of the World's Marine Fisheries. PLoS. Journal.pbio.1000131.
Morten D. Skogen, Mette Eknes, Lars C. Asplin and Anne D. Sandvik.2009. Modelling the environmental effects of fish farming in a Norwegian fjord. Institute of Marine Research, Pb.1870, N-5817 Bergen, Norway.
Mulyadi S. 2005. Ekonomi Kelautan. PT. Raja Grafido Persada. Jakarta. 223 hlm.
Naamin, Widodo,J., dan Sadhotomo,S. 1991. Potensi dan Penyebaran Ikan Laut
156
di Perairan Indonesia. Ditjenkan Puslitbang Perikanan- Puslitbang Oceanologi LIPI. Jakarta.
Nikijuluw, Victor PH, 2002, Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Pusat pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT Pustaka Cidesindo
Nurdjana ML, A Sudrajat, E Harris, BE Priyono, IBM Suastika, T Trimulyantoro, Sudiharno, IS Djunaedah, A Purnomo, E Danakusumah, K Sugama, T Permadi, S Siregar, R Eliza, dan Sudaryanto. 1998. Potensi Lahan Pengembangan Budidaya Pantai dan Laut Indonesia. Proyek Pengembangan dan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut. Jakarta: Ditjen Perikanan, Departemen Pertanian.
Nurhakim, S. 2007. Buku Wilayah Pengelolaan Perikanan. Pusat Riset Perikanan Tangkap – BRKP.
Pascoe S, and Mardle S. 2001. Bioeconomic model, fisheries management, multi-objective modelling, goal programming, Common Fisheries Policy. European Review of Agriculture Economics Vol 28 (2) pp.161-185. Centre for the Economics and Management of Aquatic Resources (CEMARE), Southsea, UK.
Pressman TE. 1992. A Synthesis of System Inquiry and Easthern Mode of Inquiry. Journal System Research (9): hlm 47-65.
Pusar Riset Perikanan Tangkap – DKP. 2007. Wilayah Pengelolaan Perikanan “ Status Perikanan Menurut Wilayah Pengelolaan”: Informasi Dasar Pemanfaatan Berkelanjutan. 47 hlm.
Romimohtarto K., Juana S. 2005. Biologi Laut “Ilmu Pengentahuan Tentang Biota Laut”. Cetakan Kedua. Djambatan. Jakarta. 540 hlm.
Royce WF. 1996. Introduction to The Practice of Fisheries Science. Revised Edition. Academic Press Inc. USA. 448 hlm.
Saaty. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Terjemahan. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. 268 hlm.
Saphakdy, B., Phomsouvanh, A., Davy, B., Nguyen, T.T.T. and De Silva, S.S. 2009. Contrasting Community Management and Revenue Sharing Practices of Culture-Based Fisheries in Lao PDR. NACA. Aquaculture Asia Magazine Volume XIV No. 3, July - September 2009
Satria A., Umbari A., Fauzi A., Purbayanto A., Sutarto E., Muchsin I., Muflikhati I., Karim M., Saad S., Oktariza W., dan Imran Z. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. PT. Pustaka Cidesindo. 210 hlm.
Simatupang, 1995. Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Nelayan Dan Kaitannya Dengan Teknologi, Kelembagaan Dan Kebijaksanaan Pemerintah. Makalah seminar nasional PERHEPI di Cisarua, Bogor
Thomas. 2004. Analisa Komparasi Bubu Dasar Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Nelayan di Pulau Nusa Penida Kabupaten Klungkung, Bali. Tesisi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Turban. 1988. Decision Support and Expert System. New York: Mc Millan Publishing Company. 936 hlm.
157
Uki, N. 2006. Stock Enhancement of the Japanese scallops Patinopecten yessoensis in Hokkaido. Fisheries Research 80. 62-66. Scince Direct www. sciencedirect.com
Universitas Nusa Cendana dan Dinas Perindustrian NTT. 2006. Analisis Komoditas Unggulan dan Peluang Usaha (Budidaya Ikan Kerapu). Kupang.Nusa Tenggaa Timur.
Valbo-Jorgensen J. dan Thompson P. M. 2007. Culture-based Fisheris in Bangladesh: A sosio-economic perspective. FAO Fisheries Technical Paper No. 499. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Roma. 41 p.
Wahyudi, Wiryawan Budy, Handoko A.S. 1998.Penyelidikan Geologi Lingkungan Pesisir Lampung, Technical Report, Proyek Pesisir.
Widodo, J.,Sadhotomo, B., dan Merta, I.G.S. 1999. Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil dalam Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Wiryawan B, Marsden, Bill, Susanto H Adi, Mahi, A Kabul, Ahmad, Marizal, Poespitasari, H, 2002. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung, Kerjasama Pemerintah Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir – PKSPL, Institut Pertanian Bogor.
Worm B., Barbier B.E., Beaumont N., Duffy E. J., Folke C., Halpern S. B., Jeremy B. C. Jackson, Heike K. Lotze, Micheli F., Palumbi R. S., Sala E., Kimberley A. Selkoe., John J. Stachowicz, Reg Watson. 2006. Impacts of Biodiversity Loss on Ocean Ecosystem Services.SCIENCE VOL 314 3 NOVEMBER 2006. Canada.
Wyrtki, K., 1961. Physical oceanography of the southeast Asian waters. University of California, NAGA Report, No. 2, 195 pp.
Eriyatno (2003) Cooper (1969) Ernst (1988) Hartris Widodo, J, Djamali, A, Aziz, KA, Priyono, B.E, Tampubolon, G.H, Naamin,
N, Nurhakim, S, Mertha, IGS, Uktolseja, J.C.B, Amarullah, M.H, Susanto, K, Sumiono, B, Boer, M, Mubarak, H. 1996. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
ari dan Eriyatno 2003 Simatupang, 1995 Dent dan Blackie 1979 Oxman 1985 Rauch Hindin 1988 Martin dan Oxman 1988 Hadisenjaya, 1995 Laporan Tahunan Propinsi Lampung, 2007 CRMP, 1998 Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka, 2007
158
Lampiran 1 Produksi ikan demersal, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung
Payang
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 3,382.80 140.00 14,700.00 2 2002 4,231.60 209.00 15,025.00 3 2003 4,246.70 211.00 22,535.00 4 2004 4,586.00 221.00 21,740.00 5 2005 4,834.00 250.00 20,359.00 6 2006 5,213.40 245.00 19,600.00 7 2007 4,970.30 248.00 10,680.00
cantrang
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 1,314.00 85.00 8,925.00 2 2002 1,533.00 99.00 10,412.00 3 2003 1,752.00 113.00 11,899.00 4 2004 1,971.00 127.00 13,386.00 5 2005 2,190.00 141.00 14,873.00 6 2006 1,752.00 155.00 16,360.00 7 2007 1,463.00 169.00 17,847.00
Dogol
No. TahunProduksi Per Alat
Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 303.50 47.00 4,230.00 2 2002 227.90 72.00 4,011.00 3 2003 234.70 85.00 4,137.00 4 2004 308.70 107.00 5,034.00 5 2005 234.70 123.00 5,370.00 6 2006 190.70 132.00 6,045.00 7 2007 116.70 122.00 6,254.00
Pancing
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 218.30 512.00 89,600.00 2 2002 331.10 743.00 92,612.00 3 2003 1,729.00 812.00 263,909.00 4 2004 2,511.00 916.00 146,560.00 5 2005 3,696.00 2,165.00 346,400.00 6 2006 4,191.20 2,159.00 345,440.00 7 2007 3,141.40 1,851.00 443,640.00
159
Bubu
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 21.20 46.00 5,520.00 2 2002 123.86 86.00 11,653.00 3 2003 367.20 142.00 35,804.00 4 2004 370.50 131.00 15,720.00 5 2005 459.70 320.00 38,400.00 6 2006 681.40 484.00 58,080.00 7 2007 522.20 421.00 56,076.00
Trap
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 64.20 95.00 11,400.00 2 2002 17.10 74.00 6,340.00 3 2003 47.80 90.00 7,543.00 4 2004 69.60 109.00 18,645.00 5 2005 150.00 131.00 26,897.00 6 2006 340.60 187.00 35,740.00 7 2007 664.10 361.00 43,320.00
Lampiran 2 Produksi ikan demersal, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung
160
ProduksiNo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap
1 2001 3,382.80 1,314.00 303.50 218.30 21.20 64.20 2 2002 4,231.60 1,533.00 227.90 331.10 123.86 17.10 3 2003 4,246.70 1,752.00 234.70 1,729.00 367.20 47.80 4 2004 4,586.00 1,971.00 308.70 2,511.00 370.50 69.60 5 2005 4,834.00 2,190.00 234.70 3,696.00 459.70 150.00 6 2006 5,213.40 1,752.00 190.70 4,191.20 681.40 340.60 7 2007 4,770.30 1,463.00 116.70 3,141.40 522.20 664.10
TripNo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap
1 2001 14,700 8,925 4,230 89,600 5,520 11,4002 2002 15,025 10,412 4,011 92,612 11,653 6,3403 2003 22,535 11,899 4,137 263,909 35,804 7,5434 2004 21,740 13,386 5,034 146,560 15,720 18,6455 2005 20,359 14,873 5,370 346,400 38,400 26,8976 2006 19,600 16,360 6,045 345,440 58,080 35,7407 2007 10,680 17,847 6,254 443,640 56,076 43,320
CPUENo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap
1 2001 0.230 0.147 0.072 0.002 0.004 0.0062 2002 0.282 0.147 0.057 0.004 0.011 0.0033 2003 0.188 0.147 0.057 0.007 0.010 0.0064 2004 0.211 0.147 0.061 0.017 0.024 0.0045 2005 0.237 0.147 0.044 0.011 0.012 0.0066 2006 0.266 0.107 0.032 0.012 0.012 0.0107 2007 0.447 0.082 0.019 0.007 0.009 0.015
StandarisasiNo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap
1 2001 1.00 0.64 0.31 0.01 0.02 0.02 2 2002 1.00 0.52 0.20 0.01 0.04 0.01 3 2003 1.00 0.78 0.30 0.03 0.05 0.03 4 2004 1.00 0.70 0.29 0.08 0.11 0.02 5 2005 1.00 0.62 0.18 0.04 0.05 0.02 6 2006 1.00 0.40 0.12 0.05 0.04 0.04 7 2007 1.00 0.18 0.04 0.02 0.02 0.03
161
Trip standarNo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap
1 2001 14,700.00 5,710.00 1,318.86 948.63 92.12 278.98 2 2002 15,025.00 5,443.17 809.20 1,175.63 439.79 60.72 3 2003 22,535.00 9,296.94 1,245.43 9,174.89 1,948.54 253.65 4 2004 21,740.00 9,343.55 1,463.40 11,903.43 1,756.36 329.94 5 2005 20,359.00 9,223.46 988.47 15,566.17 1,936.08 631.74 6 2006 19,600.00 6,586.72 716.94 15,757.00 2,561.75 1,280.50 7 2007 10,680.00 3,275.44 261.27 7,033.13 1,169.13 1,486.82
CPUE StandartNo. Tahun Payang cantrang Dogol Pancing Bubu Trap
1 2001 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 0.23 2 2002 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 3 2003 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 0.19 4 2004 0.21 0.21 0.21 0.21 0.21 0.21 5 2005 0.24 0.24 0.24 0.24 0.24 0.24 6 2006 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27 7 2007 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45 0.45
Lampiran 3 Produksi ikan pelagis, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung
Produksi
No. Tahun Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring insang hanyut
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
1 2001 824.80 2,534.30 303.50 935.20 397.10 1,015.00 370.80 260.50 314.20 51.70 2 2002 1,816.90 4,909.00 227.90 1,084.20 195.30 719.20 265.67 384.70 317.00 102.45 3 2003 1,394.80 2,286.40 234.70 352.20 22.70 1,510.20 146.80 475.60 758.50 153.20 4 2004 998.00 1,239.10 308.70 343.70 50.80 1,956.70 47.90 476.20 614.60 137.80 5 2005 1,025.74 1,235.70 234.70 392.40 64.80 1,560.00 57.80 428.60 964.10 77.70 6 2006 1,024.70 1,030.60 190.70 410.80 66.30 1,163.30 65.20 331.20 984.80 54.00 7 2007 1,074.70 986.70 116.70 345.30 43.20 1,265.90 56.90 310.50 1,000.50 79.00
Trip
No. Tahun Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring insang hanyut
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
1 2001 26040 5640 8640 13330 1860 24700 16625 16100 24150 56002 2002 32412 8716 8579 13465 2269 18460 13462 31290 27410 98763 2003 24752 4358 13900 8950 228 31515 10257 23114 38269 99934 2004 11400 5400 22400 9673 324 18400 6656 25728 33120 89605 2005 15600 6227 21100 9534 624 33600 7595 24064 30960 62246 2006 14880 5820 18000 8672 917 32900 6846 24448 37528 55437 2007 62040 4975 59940 5768 950 33800 9045 25634 57500 9643
CPUE
No. Tahun Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring insang hanyut
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
1 2001 0.03 0.45 0.04 0.07 0.21 0.04 0.02 0.02 0.01 0.01 2 2002 0.06 0.56 0.03 0.08 0.09 0.04 0.02 0.01 0.01 0.01 3 2003 0.06 0.52 0.02 0.04 0.10 0.05 0.01 0.02 0.02 0.02 4 2004 0.09 0.23 0.01 0.04 0.16 0.11 0.01 0.02 0.02 0.02 5 2005 0.07 0.20 0.01 0.04 0.10 0.05 0.01 0.02 0.03 0.01 6 2006 0.07 0.18 0.01 0.05 0.07 0.04 0.01 0.01 0.03 0.01 7 2007 0.02 0.20 0.00 0.06 0.05 0.04 0.01 0.01 0.02 0.01
Standarisasi
No. Tahun Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring insang hanyut
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
1 2001 0.77 10.93 0.85 1.71 5.20 1.00 0.54 0.39 0.32 0.22 2 2002 1.44 14.46 0.68 2.07 2.21 1.00 0.51 0.32 0.30 0.27 3 2003 1.18 10.95 0.35 0.82 2.08 1.00 0.30 0.43 0.41 0.32 4 2004 0.82 2.16 0.13 0.33 1.47 1.00 0.07 0.17 0.17 0.14 5 2005 1.42 4.27 0.24 0.89 2.24 1.00 0.16 0.38 0.67 0.27 6 2006 1.95 5.01 0.30 1.34 2.04 1.00 0.27 0.38 0.74 0.28 7 2007 0.46 5.30 0.05 1.60 1.21 1.00 0.17 0.32 0.46 0.22
Trip Standarisasi
No. TahunPukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring insang hanyut
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
1 2001 20,071.49 61,672.13 7,385.67 22,758.07 9,663.42 24,700.00 9,023.41 6,339.26 7,646.05 1,258.12 2 2002 46,635.11 126,001.31 5,849.60 27,828.60 5,012.84 18,460.00 6,819.06 9,874.25 8,136.57 2,629.63 3 2003 29,106.82 47,712.82 4,897.74 7,349.74 473.71 31,515.00 3,063.44 9,924.87 15,828.45 3,196.99 4 2004 9,384.78 11,651.99 2,902.89 3,232.01 477.70 18,400.00 450.43 4,477.99 5,779.44 1,295.81 5 2005 22,092.86 26,615.08 5,055.08 8,451.69 1,395.69 33,600.00 1,244.92 9,231.38 20,765.23 1,673.54 6 2006 28,980.17 29,147.03 5,393.30 11,618.09 1,875.07 32,900.00 1,843.96 9,366.87 27,851.73 1,527.21 7 2007 28,694.89 26,345.26 3,115.93 9,219.64 1,153.46 33,800.00 1,519.25 8,290.47 26,713.72 2,109.33
CPUE Standart
No. Tahun Pukat Pantai
Pukat Cincin
Jaring insang hanyut
Jaring lingkar
Jaring Klitik
Jaring insang tetap
Rawai Tuna
Rawai Hanyut
Rawai tetap
Pancing tonda
1 2001 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 2 2002 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 3 2003 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 4 2004 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 5 2005 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 6 2006 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 7 2007 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
165
Lampiran 4 Produksi ikan pelagis, trip produksi dan CPUE yang sudah
Distandarisasikan di Teluk Lampung
Pukat Pantai
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 824.80 93.00 26,040.00 2 2002 1,816.90 108.00 32,412.00 3 2003 1,394.80 95.00 24,752.00 4 2004 998.00 95.00 11,400.00 5 2005 1,025.74 130.00 15,600.00 6 2006 1,024.70 124.00 14,880.00 7 2007 1,074.70 261.00 62,040.00
Pukat Cincin
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 2,534.30 47.00 5,640.00 2 2002 4,909.00 62.00 8,716.00 3 2003 2,286.40 54.00 4,358.00 4 2004 1,239.10 45.00 5,400.00 5 2005 1,235.70 50.00 6,227.00 6 2006 1,030.60 47.00 5,820.00 7 2007 986.70 42.00 4,975.00
Jaring insang hanyut
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 1,143.50 72.00 8,640.00 2 2002 1,106.80 74.00 8,579.00 3 2003 1,079.80 105.00 13,900.00 4 2004 1,808.90 65.00 22,400.00 5 2005 1,520.35 70.00 21,100.00 6 2006 1,231.80 60.00 18,000.00 7 2007 4,927.20 265.00 59,940.00
Jaring lingkar
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 935.20 86.00 13,330.00 2 2002 1,084.20 89.00 13,465.00 3 2003 352.20 51.00 8,950.00 4 2004 343.70 46.00 9,673.00 5 2005 392.40 48.00 9,534.00 6 2006 410.80 55.00 8,672.00 7 2007 345.30 50.00 5,768.00
166
Jaring Klitik
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 397.10 12.00 1,860.00 2 2002 195.30 14.00 2,269.00 3 2003 22.70 8.00 228.00 4 2004 50.80 27.00 324.00 5 2005 64.80 30.00 624.00 6 2006 66.30 35.00 917.00 7 2007 43.20 26.00 950.00
Jaring insang tetap
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 1,015.00 190.00 24,700.00 2 2002 719.20 154.00 18,460.00 3 2003 1,510.20 238.00 31,515.00 4 2004 1,956.70 230.00 18,400.00 5 2005 1,560.00 336.00 33,600.00 6 2006 1,163.30 319.00 32,900.00 7 2007 1,265.90 320.00 33,800.00
Rawai Tuna
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 370.80 95.00 16,625.00 2 2002 265.67 85.00 13,462.00 3 2003 146.80 79.00 10,257.00 4 2004 47.90 52.00 6,656.00 5 2005 57.80 69.00 7,595.00 6 2006 65.20 89.00 6,846.00 7 2007 56.90 88.00 9,045.00
Rawai Hanyut
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 260.50 92.00 16,100.00 2 2002 384.70 128.00 31,290.00 3 2003 475.60 198.00 23,114.00 4 2004 476.20 201.00 25,728.00 5 2005 428.60 188.00 24,064.00 6 2006 331.20 191.00 24,448.00 7 2007 310.50 190.00 25,634.00
167
Rawai tetap
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 314.20 138 24,150 2 2002 317.00 152 274103 2003 758.50 312 38,269 4 2004 614.60 289 33,120 5 2005 964.10 387 30,9606 2006 984.80 427 37,528 7 2007 1,000.50 479.00 57,500
Pancing tonda
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 51.70 72.00 5,600.00 2 2002 102.45 69.00 9,876.00 3 2003 153.20 62.00 9,993.00 4 2004 137.80 70.00 8,960.00 5 2005 77.70 53.00 6,224.00 6 2006 54.00 48.00 5,543.00 7 2007 79.00 69.00 9,643.00
Lampiran 5 Produksi crustacea, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung
168
Pukat Udang
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per
alat tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 132.80 17.00 4,760.00 2 2002 129.40 17.00 4,831.00 3 2003 102.80 15.00 4,692.00 4 2004 97.90 13.00 5,728.00 5 2005 63.60 14.00 4,629.00 6 2006 78.30 14 3,754.00 7 2007 68.20 16 4,185.00
Tramel net
No. TahunProduksi Per Alat
Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per
alat tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 287.00 35.00 5,775.00 2 2002 32.50 23.00 1,864.00 3 2003 28.40 18.00 229.00 4 2004 400.70 56.00 6,720.00 5 2005 256.20 37.00 5,376.00 6 2006 145.80 26.00 4,873.00 7 2007 72.60 21.00 1,267.00
Sero
No. TahunProduksi Per Alat
Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per
alat tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 1,337.00 726.00 27,050.00 2 2002 1,139.00 876.00 30,215.00 3 2003 916.20 864.00 21,854.00 4 2004 959.30 1,139.00 19,854.00 5 2005 501.20 550.00 16,600.00 6 2006 460.20 895.00 18,672.00 7 2007 654.80 995.00 17,498.00
Lampiran 6 Produksi crustacea, trip produksi dan CPUE yang sudah distandarisasikan di Teluk Lampung
169
ProduksiNo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero
1 2001 132.80 287.00 1,337.00 2 2002 129.40 32.50 1,139.00 3 2003 102.80 28.40 916.20 4 2004 97.90 400.70 959.30 5 2005 63.60 256.20 501.20 6 2006 78.30 145.80 460.20 7 2007 68.20 72.60 654.80
TripNo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero
1 2001 4,760.00 5,775.00 27,050.00 2 2002 4,831.00 1,864.00 30,215.00 3 2003 4,692.00 229.00 21,854.00 4 2004 5,728.00 6,720.00 19,854.00 5 2005 4,629.00 5,376.00 16,600.00 6 2006 3,754.00 4,873.00 18,672.00 7 2007 4,185.00 1,267.00 17,498.00
CPUENo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero
1 2001 0.03 0.05 0.05 2 2002 0.03 0.02 0.04 3 2003 0.02 0.12 0.04 4 2004 0.02 0.06 0.05 5 2005 0.01 0.05 0.03 6 2006 0.02 0.03 0.02 7 2007 0.02 0.06 0.04
StandarisasiNo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero
1 2001 0.56 1.00 0.99 2 2002 1.54 1.00 2.16 3 2003 0.18 1.00 0.34 4 2004 0.29 1.00 0.81 5 2005 0.29 1.00 0.63 6 2006 0.70 1.00 0.82 7 2007 0.28 1.00 0.65
170
Trip StandarisasiNo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero
1 2001 2,672.20 5,775.00 26,903.05 2 2002 7,421.59 1,864.00 65,326.03 3 2003 828.92 229.00 7,387.67 4 2004 1,641.85 6,720.00 16,088.09 5 2005 1,334.56 5,376.00 10,516.98 6 2006 2,616.98 4,873.00 15,381.03 7 2007 1,190.21 1,267.00 11,427.43
CPUE StandarisasiNo. Tahun Pukat Udang Tramel net Sero
1 2001 0.05 0.05 0.05 2 2002 0.02 0.02 0.02 3 2003 0.12 0.12 0.12 4 2004 0.06 0.06 0.06 5 2005 0.05 0.05 0.05 6 2006 0.03 0.03 0.03 7 2007 0.06 0.06 0.06
Lampiran 7 Produksi ikan lainnya, jumlah unit penangkapan dan trip operasi penangkapan ikan di Teluk Lampung
171
Alat Lainya
No. TahunProduksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 107.40 137.00 1,840.00 2 2002 92.70 132.00 1,364.00 3 2003 87.20 130.00 1,254.00 4 2004 78.20 126.00 1,137.00 5 2005 73.90 95.00 1,038.00 6 2006 58.00 74.00 1,367.00 7 2007 46.10 89.00 1,076.00
Jaring Angkat Lain
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 179.10 192.00 37,320.00 2 2002 89.20 152.00 30,151.00 3 2003 41.40 105.00 17,263.00 4 2004 56.90 110.00 16,853.00 5 2005 89.30 149.00 24,741.00 6 2006 105.10 156.00 30,543.00 7 2007 97.90 135.00 29,547.00
Bagan Tancap
No. Tahun Produksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 2,895.70 292.00 61,320.00 2 2002 2,658.30 280.00 62,610.00 3 2003 2,872.30 286.00 65,548.00 4 2004 3,654.50 292.00 46,720.00 5 2005 2,609.80 235.00 40,500.00 6 2006 1,445.80 220.00 39,600.00 7 2007 1,256.50 214.00 37,976.00
Bagan Perahu
No. TahunProduksi Per Alat Tangkap
Jumlah Unit Penangkapan per alat
tangkap
Trip Produksi per alat tangkap
1 2001 2,691.70 115.00 17,250.00 2 2002 3,262.90 122.00 35,420.00 3 2003 2,188.50 115.00 19,445.00 4 2004 4,162.20 138.00 22,080.00 5 2005 5,822.50 243.00 48,600.00 6 2006 6,400.10 267.00 53,421.00 7 2007 2,449.90 233.00 37,740.00
Lampiran 8 Produksi ikan lainnya, trip produksi dan CPUE yang sudah
distandarisasikan di Teluk Lampung
172
Produksi
No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain Alat Lainya
1 2001 2,691.70 2,895.70 179.10 107.40 2 2002 3,262.90 2,658.30 89.20 92.70 3 2003 2,188.50 2,872.30 41.40 87.20 4 2004 4,162.20 3,654.50 56.90 78.20 5 2005 5,822.50 2,609.80 89.30 73.90 6 2006 6,400.10 1,445.80 105.10 58.00 7 2007 2,449.90 1,256.50 97.90 46.10
Trip
No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain Alat Lainya
1 2001 17,250 61,320 37,320 1,8402 2002 35,420 62,610 30,151 1,3643 2003 19,445 65,548 17,263 1,2544 2004 22,080 46,720 16,853 1,1375 2005 48,600 40,500 24,741 1,0386 2006 53,421 39,600 30,543 1,3677 2007 37,740 37,976 29,547 1,076
CPUE
No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain Alat Lainya
1 2001 0.16 0.05 0.00 0.06 2 2002 0.09 0.04 0.00 0.07 3 2003 0.11 0.04 0.00 0.07 4 2004 0.19 0.08 0.00 0.07 5 2005 0.12 0.06 0.00 0.07 6 2006 0.12 0.04 0.00 0.04 7 2007 0.06 0.03 0.00 0.04
Standarisasi
No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain Alat Lainya
1 2001 1.00 0.30 0.03 0.372 2002 1.00 0.46 0.03 0.743 2003 1.00 0.39 0.02 0.624 2004 1.00 0.41 0.02 0.365 2005 1.00 0.54 0.03 0.596 2006 1.00 0.30 0.03 0.357 2007 1.00 0.51 0.05 0.66
173
Trip standarisasi
No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain
Alat Lainya
1 2001 17,250.00 18,557.35 1,147.78 688.28 2 2002 35,420.00 28,856.84 968.30 1,006.29 3 2003 19,445.00 25,520.62 367.84 774.78 4 2004 22,080.00 19,386.71 301.85 414.84 5 2005 48,600.00 21,783.82 745.38 616.84 6 2006 53,421.00 12,067.95 877.26 484.12 7 2007 37,740.00 19,356.02 1,508.12 710.16
CPUE Standart
No. Tahun Bagan Perahu Bagan Tancap Jaring Angkat Lain Alat Lainya
1 2001 0.16 0.16 0.16 0.16 2 2002 0.09 0.09 0.09 0.09 3 2003 0.11 0.11 0.11 0.11 4 2004 0.19 0.19 0.19 0.19 5 2005 0.12 0.12 0.12 0.12 6 2006 0.12 0.12 0.12 0.12 7 2007 0.06 0.06 0.06 0.06
Lampiran 9 Analisis Keseuaian Lokasi Budidaya Laut dengan Karamba Jaring Apung
174
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7Kategori 1 40
Suhu (0C) 28 - 30 10 3 3 3 3 3 3 3 3 30 30 30 30 30 30 302 0 0 0 0 0 0 01 0 0 0 0 0 0 0
Salinitas (ppt) 20 - 30 10 3 3 3 3 0 0 0 0 30 30 302 2 2 2 2 20 20 20 20 0 0 01 0 0 0 0 0 0 0
DO (ppm) 8 - 10 15 3 3 3 45 0 0 0 0 0 452 2 2 2 0 30 0 30 0 30 01 1 1 0 0 15 0 15 0 0
DIN (ppm) nihi l 5 3 3 0 0 0 0 0 0 152 2 2 0 0 0 10 0 10 01 1 1 1 1 5 5 5 0 5 0 0
TOM (ppm) < 25 5 3 3 3 3 15 0 0 15 0 0 152 2 0 10 0 0 0 0 01 1 1 1 0 0 5 0 5 5 0
Ortho-P04 nihi l 5 3 3 3 3 3 3 15 15 15 0 0 15 152 2 0 0 0 10 0 0 01 1 0 0 0 0 5 0 0
Arus (cm/dt) 20 - 40 15 3 3 3 0 45 0 0 0 0 452 2 2 2 30 0 0 30 0 30 01 1 1 0 0 15 0 15 0 0
Polusi tidak ada 15 3 3 3 0 0 0 0 45 0 452 2 2 2 2 30 0 30 30 0 30 01 1 0 15 0 0 0 0 0
Alga blooms tidak ada 5 3 3 3 3 0 0 0 0 15 15 152 2 2 2 2 10 10 10 10 0 0 01 0 0 0 0 0 0 0
Organisme pathogen tidak ada 5 3 3 3 0 15 0 0 0 0 152 2 2 2 2 2 10 0 10 10 10 10 01 0 0 0 0 0 0 0
Pergantian air cepat 10 3 3 3 3 0 0 0 0 30 30 302 2 2 2 2 20 20 20 20 0 0 01 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 100 230 215 175 215 205 235 300Nilai Kategori 1 92 86 70 86 82 94 120Kategori 2 30Kedalaman (m) 10 - 20 40 3 3 3 3 0 0 0 0 120 120 120
2 2 2 2 2 80 80 80 80 0 0 01 0 0 0 0 0 0 0
Keterl indungan terl indung 40 3 3 3 3 0 0 120 0 120 120 02 2 0 0 0 80 0 0 01 1 1 1 40 40 0 0 0 0 40
Substrat pasir campur pecahan karang
20 3 3 3 3 3 0 60 0 0 60 60 60
2 2 2 40 0 0 40 0 0 01 1 0 0 20 0 0 0 0
Jumlah 100 160 180 220 200 300 300 220Nilai Kategori 2 48 54 66 60 90 90 66
Skor Bobot
(%)Kisaran
OptimumKategoriBobot x Skor per StasiunSkor per Stasiun
175
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7Kategori 3 30Aspek Legal Sesuai RUTRD 20 3 3 3 3 3 0 0 60 60 60 60 0
2 2 2 2 40 40 0 0 0 0 401 0 0 0 0 0 0 0
Kemudahan akses Mudah 20 3 3 0 60 0 0 0 0 02 2 2 2 40 0 40 40 0 0 01 1 1 1 0 0 0 0 20 20 20
Konfl ik Tidak ada 20 3 3 0 0 0 0 60 0 02 2 2 2 2 2 2 40 40 40 40 0 40 401 0 0 0 0 0 0 0
Keamanan Aman 20 3 3 3 3 0 0 0 0 60 60 602 2 2 2 40 0 40 40 0 0 01 1 0 20 0 0 0 0 0
Akses dengan pasar Dekat 20 3 3 0 60 0 0 0 0 02 2 2 2 2 2 40 0 40 40 40 40 01 1 0 0 0 0 0 0 20
100 201 222 223 224 245 389 187Nilai Kategori 3 60 67 67 67 74 117 56Total Nilai ((1+2+3)/300*100) 67 69 68 71 82 100 81
Kelayakan KL KL KL KL L L L
Keterangan1. Kalianda2. Tarahan3. Teluk Hurun4. Ringgung5. Pulau Puhawang6. Tanjung Putus7. Pulau Sebesi80 - 100 = layak (L)50 - 79< 50 = tidak layak (TL)
Skor Bobot
(%)Kisaran
OptimumKategoriBobot x Skor per StasiunSkor per Stasiun
= kurang layak (KL)
176
Lampiran 10 Pemilihan teknologi penangkapan ikan
Alternatif ada 4, yaitu:
(1) Bubu
(2) Jaring insang
(3) Pancing
(4) Sero
Kriteria ada 8, yaitu:
(1) Selektivitas tinggi (K1).
(2) Tidak destruktif terhadap habitat (K2).
(3) Tidak membahayakan nelayan (K3).
(4) Menghasilkan ikan yang bermutu baik (K4).
(5) Produk tidak membahayakan konsumen (K5).
(6) Minimum hasil tangkapan yang terbuang (K6).
(7) Dampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati (K7).
(8) Tidak menangkap spesies yang dilindungi (K8).
Skala penilaian ada 7, yaitu:
(1) P = Perfect atau Paling Tinggi
(2) ST = Sangat Tinggi
(3) T = Tinggi
(4) S = Sedang
(5) R = Rendah
(6) SR = Sangat Rendah
(7) PR = Paling Rendah
Tingkat kriteria:
Kriteria 1 (K1) = ST
Kriteria 2 (K2) = ST
Kriteria 3 (K3) = T
Kriteria 4 (K4) = T
Kriteria 5 (K5) = T
Kriteria 6 (K6) = T
Kriteria 7 (K7) = ST
Kriteria 8 (K8) = T
177
Pakar ada 4, yaitu:
1. (P1)
2. (P2)
3. (P3)
4. (P4)
Pakar Alternatif Kriteria Penilaian
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pakar 1
Alt 1 ST T T T T ST T ST Alt 2 R S T R T R S R Alt 3 S ST T S T T ST T Alt 4 T S T S T S T S
Pakar 2
Alt 1 ST ST T ST ST T S T Alt 2 S R T R S R R R Alt 3 T T S T T T T T Alt 4 S S T S T T S S
Pakar 3
Alt 1 T T T T T T T T Alt 2 S R S R S R R R Alt 3 S T S S S T T T Alt 4 S T T S S S S R
Pakar 4
Alt 1 ST T T T ST T T T Alt 2 R R S R S R R S Alt 3 T T S T S T T T Alt 4 R S S S T T S S
Penilaian alternatif 1 : Bubu
Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar Alternatif Kriteria Penilaian
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pakar 1 Alt 1 ST T T T T ST T ST Pakar 2 Alt 1 ST ST T ST ST T S T Pakar 3 Alt 1 T T T T T T T T Pakar 4 Alt 1 ST T T T ST T T T
178
(a) Proses agregasi pada kriteria:
V11 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v ST, SR v T, R v T, R v T, R v T, R v ST, SR v T , R v ST]
= min [ST, T, T, T, T, ST, T, ST]
= min T
V21 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v ST, SR v ST, R v T, R v ST, R v ST, R v T, SR v S , R v T]
= min [ST, ST, T, ST, ST, T, S, T]
= min S
V31 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v T, SR v T, R v T, R v T, R v T, R v T, SR v T , R v T]
= min [T, T, T, T, T, T, T, T]
= min T
V41 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v ST, SR v T, R v T, R v T, R v ST, R v T, SR v T , R v T]
= min [ST, T, T, T, ST, T, T, T]
= min T
Hasil agregasi kriteria didapatkan: T, S, T, T
(b) Proses agregasi pada pakar:
Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ +=
− )*(1 1
r
qkIntQk
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P
Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j
xj = T, S, T, T; sehingga bj = T, T, T, S
V1 = max [R v T, S v T, ST v T, P v S]
= max [T, T, T, S]
= T
Sehingga nilai akhir alternatif satu adalah T (tinggi)
179
Penilaian alternatif 2 : Jaring insang
Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar Alternatif Kriteria Penilaian
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pakar 1 Alt 2 R S T R T R S R Pakar 2 Alt 2 S R T R S R R R Pakar 3 Alt 2 S R S R S R R R Pakar 4 Alt 2 R R S R S R R S
(a) Proses agregasi pada kriteria:
V12 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v R, SR v S, R v T, R v R, R v T, R v R, SR v S , R v R]
= min [R, S, T, R, T, R, S, R]
= min R
V22 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min[SR v S, SR v R, R v T, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v R]
= min [S, R, T, R, S, R, R, R]
= min R
V32 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v S, SR v R, R v S, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v R]
= min [S, R, S, R, S, R, R, R]
= min R
V42 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min[SR v R, SR v R, R v S, R v R, R v S, R v R, SR v R , R v S]
= min [R, R, S, R, S, R, R, S]
= min R
Hasil agregasi kriteria didapatkan: R, R, R, R,
(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ +=
− )*(1 1
r
qkIntQk
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P
Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j
180
xj = R, R, R, R; sehingga bj = R, R, R, R
V1 = max [R v R, S v R, ST v R, P v R]
= max [R, R, R, R]
= R
Sehingga nilai akhir alternatif dua adalah R (rendah)
Penilaian alternatif 3 : Pancing
Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar Alternatif Kriteria Penilaian
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pakar 1 Alt 3 S ST T S T T ST T Pakar 2 Alt 3 T T S T T T T T Pakar 3 Alt 3 S T S S S T T T Pakar 4 Alt 3 T T S T S T T T (a) Proses agregasi pada kriteria:
V13 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v S, SR v ST, R v T, R v S, R v T, R v T, SR v ST , R v T]
= min [S, ST, T, S, T, T, ST, T]
= min S
V23 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min[SR v T, SR v T, R v S, R v T, R v T, R v T, SR v T , R v T]
= min [T, T, S, T, T, T, T, T]
= min S
V33 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min[SR v S, SR v T, R v S, R v S, R v S, R v T, SR v T , R v T]
= min [S, T, S, S, S, T, T, T]
= min S
V43 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v T, SR v T, R v S, R v T, R v S, R v T, SR v T , R v T]
= min [T, T, S, T, S, T, T, T]
= min S
Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, S, S, S
(b) Proses agregasi pada pakar:
181
Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ +=
− )*(1 1
r
qkIntQk
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P
Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j
xj = S, S, S, S; sehingga bj = S, S, S, S
V1 = max [R v S, S v S, ST v S, P v S]
= max [S, S, S, S]
= S
Sehingga nilai akhir alternatif tiga adalah S (sedang)
Penilaian alternatif 4 : Sero Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar Alternatif Kriteria Penilaian
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pakar 1 Alt 4 T S T S T S T S Pakar 2 Alt 4 S S T S T T S S Pakar 3 Alt 4 S T T S S S S R Pakar 4 Alt 4 R S S S T T S S
(a) Proses agregasi pada kriteria:
V14 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v T, SR v S, R v T, R v S, R v T, R v S, SR v T , R v S]
= min [T, S, T, S, T, S, T, S]
= min S
V24 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v S, SR v S, R v T, R v S, R v T, R v T, SR v S , R v S]
= min [S, S, T, S, T, T, S, S]
= min S
V34 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v S, SR v T, R v T, R v S, R v S, R v S, SR v S , R v R]
= min [S, T, T, S, S, S, S, R]
= min R
182
V44 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [SR v R, SR v S, R v S, R v S, R v T, R v T, SR v S , R v S]
= min [R, S, S, S, T, T, S, S]
= min R
Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, S, R, R
(b) Proses agregasi pada pakar:
Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ +=
− )*(1 1
r
qkIntQk
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P
Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j
xj = S, S, R, R; sehingga bj = R, R, S, S
V1 = max [R v R, S v R, ST v S, P v S]
= max [R, R, S, S]
= S
Sehingga nilai akhir alternatif empat adalah S (sedang)
Rangkuman hasil agregrasi kriteria-pakar adalah sebagai berikut: Bobot Nilai = R, S, ST, P
Negasi Bobot Kriteria = SR, SR, R, R, R, R, SR, R
Hasil agregrasi kriteria:
- alternatif 1 = T, S, T, T
- alternatif 2 = R, R, R, R
- alternatif 3 = S, S, S, S
- alternatif 4 = S, S, R, R
Hasil agregrasi pakar:
- alternatif 1 = T
- alternatif 2 = R
- alternatif 3 = S
- alternatif 4 = S
183
Lampiran 11. Pemilihan Komoditas Potensial
Alternatif ada 4, yaitu:
(1) Kerapu
(2) Rajungan
(3) Udang Putih
(4) Udang lain
Kriteria ada 6, yaitu:
(1) Kelayakan komoditas (K1).
(2) Ketersediaan dan tingkat kemudahan teknologi (K2).
(3) Nilai ekonomis (K3).
(4) Peluang pasar (K4).
(5) Penyerapan tenaga kerja (K5).
(6) Dampak ganda terhadap sektor lain (K6).
(7) Dampak terhadap lingkungan (K7).
(8) Kondisi budidaya laut saat ini (K8).
Skala penilaian ada 7, yaitu:
(1) P = Perfect atau Paling Tinggi
(2) ST = Sangat Tinggi
(3) T = Tinggi
(4) S = Sedang
(5) R = Rendah
(6) SR = Sangat Rendah
(7) PR = Paling Rendah
Tingkat kriteria:
Kriteria 1 (K1) = T
Kriteria 2 (K2) = T
Kriteria 3 (K3) = ST
Kriteria 4 (K4) = T
Kriteria 5 (K5) = T
Kriteria 6 (K6) = ST
Kriteria 7 (K7) = P
Kriteria 8 (K8) = T
184
Pakar ada 4, yaitu:
1. (P1)
2. (P2)
3. (P3)
4. (P4)
Pakar Alternatif Kriteria Penilaian
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pakar 1
Alt 1 ST T ST ST T ST T P Alt 2 T S T T T T T R Alt 3 T T ST ST T T S S Alt 4 T ST ST T S T S S
Pakar 2
Alt 1 ST T ST ST S T T ST Alt 2 ST S ST ST R S T S Alt 3 ST T ST T R S R S Alt 4 T S T T R S S S
Pakar 3
Alt 1 ST T ST ST T T T ST Alt 2 T R T T R S S S Alt 3 ST S T ST S T T T Alt 4 T R T T S S S S
Pakar 4
Alt 1 T T T T S T T ST Alt 2 T S T T R S S S Alt 3 T S T T S T S T Alt 4 T S T T S S S S
Penilaian alternatif 1 : Kerapu
Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar Alternatif Kriteria Penilaian
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pakar 1 Alt 1 ST T ST ST T ST T P Pakar 2 Alt 1 ST T ST ST S T T ST Pakar 3 Alt 1 ST T ST ST T T T ST Pakar 4 Alt 1 T T T T S T T ST
185
(a) Proses agregasi pada kriteria:
V11 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v ST, PR v T, R v P]
= min [ST, T, ST, ST, T, ST, T, P]
= min T
V21 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v S, SR v T, PR v T, R v ST]
= min [ST, T, ST, ST, S, T, T, ST]
= min S
V31 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v ST, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v T, PR v T, R v ST]
= min [ST, T, ST, ST, T, T, T, ST]
= min T
V41 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min[R v T, R v T, SR v T, R v T, R v S, SR v T, PR v T, R v ST]
= min [T, T, T, T, S, T, T, ST]
= min S
Hasil agregasi kriteria didapatkan: T, S, T, S
(b) Proses agregasi pada pakar:
Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ +=
− )*(1 1
r
qkIntQk
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P
Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j
xj = T, S, T, S; sehingga bj = T, T, S, S
V1 = max [R v T, S v T, ST v S, P v S]
= max [T, T, S, S]
= T
Sehingga nilai akhir alternatif satu adalah T (tinggi)
186
Penilaian alternatif 2 : Rajungan
Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar Alternatif Kriteria Penilaian
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pakar 1 Alt 2 T S T T T T T R Pakar 2 Alt 2 ST S ST ST R S T S Pakar 3 Alt 2 T R T T R S S S Pakar 4 Alt 2 T S T T R S S S
(a) Proses agregasi pada kriteria:
V12 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v T, SR v T, PR v T, R v R]
= min [T, S, T, T, T, T, T, R]
= min R
V22 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v ST, R v S, SR v ST, R v ST, R v R, SR v S, PR v T, R v S]
= min [ST, S, ST, ST, R, S, T, S]
= min R
V32 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v R, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S]
= min [T, R, T, T, R, S, S, S]
= min R
V42 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S]
= min [T, S, T, T, R, S, S, S]
= min R
Hasil agregasi kriteria didapatkan: R, R, R, R
(b) Proses agregasi pada pakar: Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ +=
− )*(1 1
r
qkIntQk
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P
Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j
187
xj = R, R, R, R; sehingga bj = R, R, R, R
V1 = max [R v R, S v R, ST v R, P v R]
= max [R, R, R, R]
= R
Sehingga nilai akhir alternatif dua adalah R (rendah)
Penilaian alternatif 3 : Udang Putih
Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar Alternatif Kriteria Penilaian
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8
Pakar 1 Alt 3 T T ST ST T T S S Pakar 2 Alt 3 ST T ST T R S R S Pakar 3 Alt 3 ST S T ST S T T T Pakar 4 Alt 3 T S T T S T S T
(a) Proses agregasi pada kriteria:
V13 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v T, SR v ST, R v ST, R v T, SR v T, PR v S, R v S]
= min [T, T, ST, ST, T, T, S, S]
= min S
V23 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min[R v ST, R v T, SR v T, R v T, R v T, SR v ST, PR v T, R v ST]
= min [ST, T, ST, T, R, S, R, S]
= min R
V33 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v ST, R v S, SR v T, R v ST, R v S, SR v T, PR v T, R v T]
= min [ST, S, T, ST, S, T, T, T]
= min S
V43 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v S, SR v T, PR v S, R v T]
= min [T, S, T, T, S, T, S, T]
= min S
Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, R, S, S
188
(b) Proses agregasi pada pakar:
Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ +=
− )*(1 1
r
qkIntQk
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P
Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j
xj = S, R, S, S; sehingga bj = S, S, S, R
V1 = max [R v S, S v S, ST v S, P v R]
= max [S, S, S, R]
= S
Sehingga nilai akhir alternatif tiga adalah S (sedang)
Penilaian alternatif 4 : Udang lain Data hasil penilaian pakar ke-j
Pakar Alternatif Kriteria Penilaian
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 Pakar 1 Alt 4 T ST ST T S T S S Pakar 2 Alt 4 T S T T R S S S Pakar 3 Alt 4 T R T T S S S S Pakar 4 Alt 4 T S T T S S S S
(a) Proses agregasi pada kriteria:
V14 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v ST, SR v ST, R v T, R v S, SR v T, PR v S, R v S]
= min [T, ST, ST, T, S, T, S, S]
= min S
V24 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v R, SR v S, PR v S, R v S]
= min [T, S, T, T, R, S, S, S]
= min R
V34 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v R, SR v T, R v T, R v S, SR v S, PR v S, R v S]
= min [T, R, T, T, S, S, S, S]
= min R
189
V44 = min [Neg (Wak) v Vij(ak)]
= min [R v T, R v S, SR v T, R v T, R v S, SR v S, PR v S, R v S]
= min [T, S, T, T, S, S, S, S]
= min S
Hasil agregasi kriteria didapatkan: S, R, R, S
(b) Proses agregasi pada pakar:
Menentukan bobot nilai (Qk) dengan menggunakan rumus:
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡ +=
− )*(1 1
r
qkIntQk
Bobot nilai : Q1, Q2, Q3, Q4 = R, S, ST, P
Agregasi pakar dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vi) = max [Qj∧ bj] j=1,2,…,m
bj adalah urutan terbesar nilai dari penilaian pakar ke-j
xj = S, R, R, S; sehingga bj = S, S, R, R
V1 = max [R v S, S v S, ST v R, P v R]
= max [S, S, R, R]
= S
Sehingga nilai akhir alternatif empat adalah S (sedang)
Rangkuman hasil agregrasi kriteria-pakar adalah sebagai berikut: Bobot Nilai = R, S, ST, P
Negasi Bobot Kriteria = R, R, SR, R, R, SR, PR, R
Hasil agregrasi kriteria:
- alternatif 1 = T, S, T, S
- alternatif 2 = R, R, R, R
- alternatif 3 = S, R, S, S
- alternatif 4 = S, R, R, S
Hasil agregrasi pakar:
- alternatif 1 = T
- alternatif 2 = R
- alternatif 3 = S
- alternatif 4 = S
Lampiran 12 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Sederhana
0 1 2 3 4
I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 2,000,000.00 2,000,000.00 3 Kincir - - - 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00
Jumlah 5,000,000.00
II Modal Kerja1 Benih 50,000.00 ekor 25.00 1,250,000.00 2 Pakan 466.67 kg 10,000.00 4,666,666.67 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 27.00 kg 50,000.00 1,350,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 700,000.00 4,200,000.00
10 Biaya Panen 1.00 Paket 583,333.33 583,333.33
Jumlah 13,650,000.00
III Jumlah Modal1 Investasi 5,000,000.00 2 Modal Kerja 13,650,000.00
Jumlah 18,650,000.00
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
0 1 2 3 4IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 583.33 kg 38,000.00 22,166,666.67 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 13,650,000.00 b Penyusutan 625,000.00
Jumlah 14,275,000.00
Keuntungan 7,891,666.67
Per tahun 157,833,333.33
V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 1166.67 kg 38000 44,333,333.3 44,333,333.3 44,333,333.3 44,333,333.3 2 Biaya Operasional 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 3 Keuntungan 15,783,333.33 15,783,333.33 15,783,333.33 15,783,333.33
VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00
A. Pemasukan1 Modal Awal 18,680,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 44,333,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33
Jumlah A 62,983,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33
B Pengeluaran1 Investasi 5,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00
Jumlah B 33,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00
HargaNilai
Volume SatuanNo. Uraian
0 1 2 3 4C Balance 29,433,333.33 15,783,333.33 15,783,333.33 15,783,333.33
D Saldo Awal - 29,433,333.33 45,216,666.67 61,000,000.00
E Saldo Akhir 29,433,333.33 45,216,666.67 61,000,000.00 76,783,333.33
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow 44,333,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33 44,333,333.33 df 15 % 0.87 0.67 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 38,550,724.64 33,522,369.25 29,149,886.30 25,347,727.22
B Cash OutflowInvestasi 5,000,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 28,550,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 5,000,000.00 24,826,086.96 21,587,901.70 18,772,088.44 16,323,555.16
Net Cashflow (5,000,000.00) 13,724,637.68 11,934,467.55 10,377,797.87 9,024,172.06
NVP df 15 % 40,061,075.16
Net B/C Ratio 1.46
PBP Tahun Ke 1.00
IRR 2.61
HargaNilai
No. Uraian Volume Satuan
Lampiran 13 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Semi Intensif
0 1 2 3 4
I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 2,000,000.00 2,000,000.00 3 Kincir 1.00 Paket 12,000,000.00 12,000,000.00 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00
Jumlah 17,000,000.00
II Modal Kerja1 Benih 400,000.00 ekor 25.00 10,000,000.00 2 Pakan 5,600.00 kg 10,000.00 56,000,000.00 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 137.00 kg 50,000.00 6,850,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 3,500,000.00 3,500,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 1,400,000.00 8,400,000.00
10 Biaya Panen 1.00 Paket 4,000,000.00 4,000,000.00
Jumlah 89,850,000.00
III Jumlah Modal1 Investasi 17,000,000.00 2 Modal Kerja 89,850,000.00
Jumlah 106,850,000.00
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
0 1 2 3 4IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 4,000.00 kg 38,000.00 152,000,000.00 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 89,850,000.00 b Penyusutan 2,125,000.00
Jumlah 91,975,000.00
Keuntungan 60,025,000.00
Per tahun 120,050,000.00
V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 8,000.00 kg 38,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 2 Biaya Operasional 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 3 Keuntungan 120,050,000.00 120,050,000.00 120,050,000.00 120,050,000.00
VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00
A. Pemasukan1 Modal Awal 106,850,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00
Jumlah A 410,850,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00
B Pengeluaran1 Investasi 17,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00
Jumlah B 200,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00
HargaNilai
Volume SatuanNo. Uraian
0 1 2 3 4C Balance 209,900,000.00 120,050,000.00 120,050,000.00 120,050,000.00
D Saldo Awal - 209,900,000.00 329,950,000.00 450,000,000.00
E Saldo Akhir 209,900,000.00 329,950,000.00 450,000,000.00 570,050,000.00
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 304,000,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 264,347,826.09 229,867,674.86 199,884,934.66 173,812,986.66
B Cash OutflowInvestasi 17,000,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 183,950,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 17,000,000.00 159,956,521.74 139,092,627.60 120,950,110.96 105,174,009.53
Net Cashflow (17,000,000.00) 104,391,304.35 90,775,047.26 78,934,823.70 68,638,977.13
NVP df 15 % 325,740,152.44
Net B/C Ratio 1,6
PBP Tahun Ke 1.00
IRR 6.01
HargaNilai
No. Uraian Volume Satuan
Lampiran 14 Analisis Finansial Budidaya Udang Vaname Intensif
0 1 2 3 4
I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 4,000,000.00 4,000,000.00 3 Kincir 1.00 Paket 24,000,000.00 24,000,000.00 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00
Jumlah 31,000,000.00
II Modal Kerja1 Benih 1,500,000.00 ekor 25.00 37,500,000.00 2 Pakan 22,500.00 kg 10,000.00 225,000,000.00 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 190.00 kg 50,000.00 9,500,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 7,500,000.00 7,500,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 2,800,000.00 16,800,000.00
10 Biaya Panen 1.00 Paket 12,500,000.00 12,500,000.00
Jumlah 309,900,000.00
III Jumlah Modal1 Investasi 31,000,000.00 2 Modal Kerja 309,900,000.00
Jumlah 340,900,000.00
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
0 1 2 3 4IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 12,500.00 kg 38,000.00 475,000,000.00 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 309,900,000.00 b Penyusutan 3,875,000.00
Jumlah 313,775,000.00
Keuntungan 161,225,000.00
Per tahun 322,450,000.00
V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 25,000.00 kg 38,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 2 Biaya Operasional 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 3 Keuntungan 322,450,000.00 322,450,000.00 322,450,000.00 322,450,000.00
VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00
A. Pemasukan1 Modal Awal 340,900,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00
Jumlah A 1,290,900,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00
B Pengeluaran1 Investasi 31,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00
HargaNilai
Volume SatuanNo. Uraian
0 1 2 3 4Jumlah B 658,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00
C Balance 632,350,000.00 322,450,000.00 322,450,000.00 322,450,000.00
D Saldo Awal - 632,350,000.00 954,800,000.00 1,277,250,000.00
E Saldo Akhir 632,350,000.00 954,800,000.00 1,277,250,000.00 1,599,700,000.00
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 950,000,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 826,086,956.52 718,336,483.93 624,640,420.81 543,165,583.31
B Cash OutflowInvestasi 31,000,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 31,000,000.00 545,695,652.17 474,517,958.41 412,624,311.66 358,803,749.27
Net Cashflow (31,000,000.00) 280,391,304.35 243,818,525.52 212,016,109.15 184,361,834.04
NVP df 15 % 889,587,773.06
Net B/C Ratio 1.49
PBP Tahun Ke 1.00
IRR 8.91
HargaNilai
No. Uraian Volume Satuan
Lampiran 15 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Sederhana
0 1 2 3 4
I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 2,000,000.00 2,000,000.00 3 Kincir - Paket - - 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00
Jumlah 5,000,000.00
II Modal Kerja1 Benih 25,000.00 ekor 25.00 625,000.00 2 Pakan 350.00 kg 10,000.00 3,500,000.00 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 27.00 kg 50,000.00 1,350,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 700,000.00 4,200,000.00
10 Biaya Panen 1.00 Paket 437,500.00 437,500.00
Jumlah 11,712,500.00
III Jumlah Modal1 Investasi 5,000,000.00 2 Modal Kerja 11,712,500.00
Jumlah 16,712,500.00
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
0 1 2 3 4
IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 437.50 kg 50,000.00 21,875,000.00 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 11,712,500.00 b Penyusutan 625,000.00
Jumlah 12,337,500.00
Keuntungan 9,537,500.00
Per tahun 19,075,000.00
V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 875.00 kg 50,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 2 Biaya Operasional 24,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00 3 Keuntungan 19,075,000.00 19,075,000.00 19,075,000.00 19,075,000.00
VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00
A. Pemasukan1 Modal Awal 16,712,500.00 - - - 2 Hasil Penjualan 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00
Jumlah A 60,462,500.00 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00
B Pengeluaran1 Investasi 5,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 24,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00
Jumlah B 29,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00 24,675,000.00
HargaNilai
Volume SatuanNo. Uraian
0 1 2 3 4C Balance 30,787,500.00 19,075,000.00 19,075,000.00 19,075,000.00
D Saldo Awal - 30,787,500.00 49,862,500.00 68,937,500.00
E Saldo Akhir 30,787,500.00 49,862,500.00 68,937,500.00 88,012,500.00
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 43,750,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 38,043,478.26 33,081,285.44 28,766,335.17 25,014,204.49
B Cash OutflowInvestasi 5,000,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 627,550,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 5,000,000.00 21,456,521.74 18,657,844.99 16,224,213.04 14,108,011.34
Net Cashflow (5,000,000.00) 16,586,956.52 14,423,440.45 12,542,122.13 10,906,193.16
NVP df 15 % 49,458,712.27
Net B/C Ratio 1.66
PBP Tahun Ke 1.00
IRR 3.18
HargaNilai
No. Uraian Volume Satuan
Lampiran 16 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Semi Intensif
0 1 2 3 4
I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 2,000,000.00 2,000,000.00 3 Kincir 1.00 Paket 12,000,000.00 12,000,000.00 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00
Jumlah 17,000,000.00
II Modal Kerja1 Benih 150,000.00 ekor 25.00 3,750,000.00 2 Pakan 3,150.00 kg 10,000.00 31,500,000.00 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 137.00 kg 50,000.00 6,850,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 2,000,000.00 2,000,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 1,400,000.00 8,400,000.00
10 Biaya Panen 1.00 Paket 2,250,000.00 2,250,000.00
Jumlah 55,850,000.00
III Jumlah Modal1 Investasi 17,000,000.00 2 Modal Kerja 55,850,000.00
Jumlah 72,850,000.00
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 2,250.00 kg 50,000.00 112,500,000.00 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 55,850,000.00 b Penyusutan 2,125,000.00
Jumlah 57,975,000.00
Keuntungan 54,525,000.00
Per tahun 109,050,000.00
V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 4,500.00 kg 50,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 2 Biaya Operasional 115,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00 3 Keuntungan 109,050,000.00 109,050,000.00 109,050,000.00 109,050,000.00
VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00
A. Pemasukan1 Modal Awal 72,850,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00
Jumlah A 297,850,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00
B Pengeluaran1 Investasi 17,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 115,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00
Jumlah B 132,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00
C Balance 164,900,000.00 109,050,000.00 109,050,000.00 109,050,000.00
D Saldo Awal - 164,900,000.00 273,950,000.00 383,000,000.00
E Saldo Akhir 164,900,000.00 273,950,000.00 383,000,000.00 492,050,000.00
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 225,000,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 195,652,173.91 170,132,325.14 147,941,152.30 128,644,480.26
B Cash OutflowInvestasi 17,000,000.00 115,950,000.00 114,950,000.00 115,950,000.00 115,950,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 17,000,000.00 100,826,086.96 87,674,858.22 76,239,007.15 66,294,788.83
Net Cashflow (17,000,000.00) 94,826,086.96 82,457,466.92 71,702,145.15 62,349,691.43
NVP df 15 % 294,335,390.45
Net B/C Ratio 1.85
PBP Tahun Ke 1.00
IRR 5.45
Lampiran 17 Analisis Finansial Budidaya Udang Windu Intensif
0 1 2 3 4
I Investasi1 Perbaikan Tambak 1.00 Unit 2,500,000.00 2,500,000.00 2 Pompa 1.00 Unit 4,000,000.00 4,000,000.00 3 Kincir 1.00 Paket 24,000,000.00 24,000,000.00 4 Peralatan Tambak 1.00 Paket 500,000.00 500,000.00
Jumlah 31,000,000.00
II Modal Kerja1 Benih 250,000.00 ekor 25.00 6,250,000.00 2 Pakan 5,625.00 kg 10,000.00 56,250,000.00 3 Kapur 500.00 kg 500.00 250,000.00 4 Pupuk 50.00 kg 3,500.00 175,000.00 5 Saponin 50.00 kg 2,500.00 125,000.00 6 Probiotik 190.00 kg 50,000.00 9,500,000.00 7 Desinfektan 50.00 kg 11,000.00 550,000.00 8 Solar 1.00 Paket 6,500,000.00 6,500,000.00 9 Tenaga Kerja 6.00 Paket 2,800,000.00 16,800,000.00
10 Biaya Panen 1.00 Paket 3,125,000.00 3,125,000.00
Jumlah 99,525,000.00
III Jumlah Modal1 Investasi 31,000,000.00 2 Modal Kerja 99,525,000.00
Jumlah 130,525,000.00
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
0 1 2 3 4IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 3,125.00 kg 50,000.00 156,250,000.00 2 Biaya Operasionala Modal Kerja 99,525,000.00 b Penyusutan 3,875,000.00
Jumlah 103,400,000.00
Keuntungan 52,850,000.00
Per tahun 105,700,000.00
V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 6,250.00 kg 50,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 2 Biaya Operasional 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 3 Keuntungan 105,700,000.00 105,700,000.00 105,700,000.00 105,700,000.00
VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00
A. Pemasukan1 Modal Awal 130,525,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00
Jumlah A 443,025,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00
B Pengeluaran1 Investasi 31,000,000.00 - - - 2 Biaya Operasional 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00
Jumlah B 237,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00
HargaNilai
Volume SatuanNo. Uraian
0 1 2 3 4C Balance 205,225,000.00 105,700,000.00 105,700,000.00 105,700,000.00
D Saldo Awal - 205,225,000.00 310,925,000.00 416,625,000.00
E Saldo Akhir 205,225,000.00 310,925,000.00 416,625,000.00 522,325,000.00
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 312,500,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 271,739,130.43 236,294,896.03 205,473,822.63 178,672,889.25
B Cash OutflowInvestasi 31,000,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 206,800,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 31,000,000.00 179,826,086.96 156,370,510.40 135,974,356.87 118,238,571.19
Net Cashflow (31,000,000.00) 91,913,043.48 79,924,385.63 69,499,465.77 60,434,318.06
NVP df 15 % 270,771,212.94
Net B/C Ratio 1.44
PBP Tahun Ke 1.00
IRR 2.83
HargaNilai
No. Uraian Volume Satuan
Lampiran 18 Analisis Finansial Budidaya Rumput Laut
0 1 2 3 4
I Investasi1 Para-para 15.00 Unit 125,000.00 1,875,000.00 2 Jukung 5.00 Unit 1,250,000.00 6,250,000.00 3 Peralatan Budidaya 5.00 Unit 200,000.00 1,000,000.00 4 Jangkar 20.00 Unit 50,000.00 1,000,000.00 5 Bambu 40.00 Unit 10,000.00 400,000.00 6 Tali PE Jangkar 30.00 Unit 20,000.00 600,000.00 7 Tali PE Rentang 165.00 Unit 20,500.00 3,382,500.00 8 Tali PE D 15 100.00 Unit 20,000.00 2,000,000.00
Jumlah 16,507,500.00
II Modal Kerja1 Bibit 3,000.00 kg 1,500.00 4,500,000.00 2 Tenaga Kerja Tetap 10.00 orang 425,000.00 4,250,000.00 3 Tenaga Kerja Tidak Teta 5.00 orang 325,000.00 1,625,000.00 4 Biaya lain 1.00 paket 3,139,200.00 3,139,200.00
Jumlah 13,514,200.00
III Jumlah Modal1 Investasi 16,507,500.00 2 Modal Kerja 13,514,200.00
Jumlah 30,021,700.00
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
0 1 2 3 4IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 12,000.00 kg 4,000.00 48,000,000.00 2 Biaya-biayaa Modal Kerja 13,514,200.00 b Penyusutan 117,187.50
Jumlah 13,631,387.50
Keuntungan 34,368,612.50
Per tahun 137,474,450.00
V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 48,000.00 kg 4,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 2 Biaya Operasional 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00 3 Keuntungan 137,531,250.00 137,531,250.00 137,531,250.00 137,531,250.00
VI Cash Flow1.00 2.00 3.00 4.00
A. Pemasukan1 Modal Awal 30,021,700.00 - - - 2 Hasil Penjualan 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00
Jumlah A 222,021,700.00 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00
B Pengeluaran1 Investasi 16,507,500.00 - - - 2 Biaya Operasional 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00
Jumlah B 70,976,250.00 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00
HargaNilai
Volume SatuanNo. Uraian
0 1 2 3 4Balance 151,045,450.00 137,531,250.00 137,531,250.00 137,531,250.00
Saldo Awal - 151,045,450.00 288,576,700.00 426,107,950.00
Saldo Akhir 151,045,450.00 288,576,700.00 426,107,950.00 563,639,200.00
Analisis Finansial
Cash Inflow 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 192,000,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 166,956,521.74 145,179,584.12 126,243,116.63 109,776,623.15
Cash OutflowInvestasi 16,507,500.00 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00 54,468,750.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 16,507,500.00 47,364,130.43 41,186,200.38 35,814,087.29 31,142,684.60
Net Cashflow (16,507,500.00) 119,592,391.30 103,993,383.74 90,429,029.34 78,633,938.56
NVP df 15 % 376,141,242.95
Net B/C Ratio 3.19
PBP Tahun Ke 1.00
HargaNilai
Uraian Volume Satuan
Lampiran 19 Analisis Finansial Budidaya Kerapu Macan
0 1 2 3 4
I Investasi1 Pembuatan Kolam 1.00 Unit 20,000,000.00 20,000,000.00
Jumlah 20,000,000.00
II Modal Kerja1 Benih 8,300.00 ekor 3,000.00 24,900,000.00 2 Pakan 21,600.00 kg 2,500.00 54,000,000.00 3 Biaya Lain 1.00 paket 15,780,000.00 15,780,000.00
Jumlah 94,680,000.00
III Jumlah Modal1 Investasi 20,000,000.00 2 Modal Kerja 94,680,000.00
Jumlah 114,680,000.00
IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 2,697.50 kg 70,000.00 188,825,000.00 2 Biaya-biaya
Benih 8,300.00 ekor 3,000.00 24,900,000.00 Pakan 21,600.00 kg 2,500.00 54,000,000.00 Penyusutan 3,333,333.33 Jumlah 82,233,333.33
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
0 1 2 3 4
Keuntungan 106,591,666.67
Per tahun 159,887,500.00
V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 4,046.25 kg 70,000.00 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 2 Biaya-biaya
Benih 12,450.00 ekor 3,000.00 37,350,000.00 37,350,000.00 37,350,000.00 37,350,000.00 Pakan 32,400.00 kg 2,500.00 81,000,000.00 81,000,000.00 81,000,000.00 81,000,000.00 Kapur - kg - - - - - Tenaga Kerja - orang - - - - - Penyusutan 5,000,000.00 5,000,000.00 5,000,000.00 5,000,000.00 Biaya Modal - Tahun - - - - - Jumlah 123,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 Keuntungan 159,887,500.00 159,887,500.00 159,887,500.00 159,887,500.00
VI Cash Flow
A. Pemasukan1 Modal Awal 114,680,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00
Jumlah A 397,917,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00
HargaNilai
Volume SatuanNo. Uraian
0 1 2 3 4B Pengeluaran1 Investasi 20,000,000.00 - - -
Benih 37,350,000.00 37,350,000.00 37,350,000.00 37,350,000.00 Pakan 81,000,000.00 81,000,000.00 81,000,000.00 81,000,000.00 Tenaga Kerja - - - - Penyusutan 5,000,000.00 5,000,000.00 5,000,000.00 5,000,000.00 Biaya Modal - - - -
Jumlah B 143,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00
C Balance 254,567,500.00 159,887,500.00 159,887,500.00 159,887,500.00
D Saldo Awal - 254,567,500.00 414,455,000.00 574,342,500.00
E Saldo Akhir 254,567,500.00 414,455,000.00 574,342,500.00 734,230,000.00
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 283,237,500.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 246,293,478.26 214,168,241.97 186,233,253.88 161,941,959.90
B Cash OutflowInvestasi 20,000,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 123,350,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 20,000,000.00 107,260,869.57 93,270,321.36 81,104,627.27 70,525,762.84 Net Cashflow (20,000,000.00) 139,032,608.70 120,897,920.60 105,128,626.61 91,416,197.05 NVP df 15 % 436,475,352.97 Net B/C Ratio 2.17 PBP Tahun Ke 1.00
HargaNilai
No. Uraian Volume Satuan
Lampiran 20 Analisis Finansial Budidaya Bandeng
0 1 2 3 4
I Investasi1 Pembuatan Kolam 1.00 Unit 15,000,000.00 15,000,000.00
Jumlah 15,000,000.00
II Modal Kerja1 Benih 16,000.00 ekor 600.00 9,600,000.00 2 Pakan 8,320.00 kg 4,000.00 33,280,000.00 3 Biaya Lain 1.00 paket 8,576,000.00 8,576,000.00
Jumlah 51,456,000.00
III Jumlah Modal1 Investasi 15,000,000.00 2 Modal Kerja 51,456,000.00
Jumlah 66,456,000.00
IV Rugi - Laba1 Hasil Produksi 6,400.00 kg 10,000.00 64,000,000.00 2 Biaya-biaya
Benih 16,000.00 ekor 600.00 9,600,000.00 Pakan 8,320.00 kg 4,000.00 33,280,000.00 Penyusutan 1,875,000.00 Jumlah 44,755,000.00 Keuntungan 19,245,000.00
Per tahun 38,490,000.00
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
0 1 2 3 4V Rugi-Laba Tahunan1 Hasil Produksi 12,800.00 kg 10,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 2 Biaya-biaya
Benih 32,000.00 ekor 600.00 19,200,000.00 19,200,000.00 19,200,000.00 19,200,000.00 Pakan 16,640.00 kg 4,000.00 66,560,000.00 66,560,000.00 66,560,000.00 66,560,000.00 Kapur - kg - - - - - Tenaga Kerja - orang - - - - - Penyusutan 3,750,000.00 3,750,000.00 3,750,000.00 3,750,000.00 Biaya Modal - Tahun - - - - - Jumlah 89,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 Keuntungan 38,490,000.00 38,490,000.00 38,490,000.00 38,490,000.00
VI Cash Flow
A. Pemasukan1 Modal Awal 66,456,000.00 - - - 2 Hasil Penjualan 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00
Jumlah A 194,456,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00
B Pengeluaran1 Investasi 15,000,000.00 - - -
Benih 19,200,000.00 19,200,000.00 19,200,000.00 19,200,000.00 Pakan 66,560,000.00 66,560,000.00 66,560,000.00 66,560,000.00 Tenaga Kerja - - - - Penyusutan 3,750,000.00 3,750,000.00 3,750,000.00 3,750,000.00 Biaya Modal - - - -
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
0 1 2 3 4
Jumlah B 104,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00
C Balance 89,946,000.00 38,490,000.00 38,490,000.00 38,490,000.00
D Saldo Awal - 89,946,000.00 128,436,000.00 166,926,000.00
E Saldo Akhir 89,946,000.00 128,436,000.00 166,926,000.00 205,416,000.00
VII Analisis Finansial
A Cash Inflow 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 128,000,000.00 df 15 % 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Inflow - 111,304,347.83 96,786,389.41 84,162,077.75 73,184,415.44
B Cash OutflowInvestasi 15,000,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 89,510,000.00 df 15 % 1.00 0.87 0.76 0.66 0.57 Net Cash Outflow 15,000,000.00 77,834,782.61 67,682,419.66 58,854,277.96 51,177,633.01
Net Cashflow (15,000,000.00) 33,469,565.22 29,103,969.75 25,307,799.79 22,006,782.42
NVP df 15 % 94,888,117.18 Net B/C Ratio 1.35 PBP Tahun Ke 1.00
NilaiNo. Uraian Volume Satuan Harga
217
Lampiran 21 Analisis Finansial Pancing Rawai
0 1 2 3
A. Arus Masuk1. Total Penjualan 332,100,000 332,100,000 332,100,000
2. Kredit- Investasi 81,000,000 - Modal Kerja 23,520,000
3. Modal Sendiri- Investasi 54,000,000 - Modal Kerja 15,680,000
4. Nilai Sisa Proyek 48,000,000 Total Arus Masuk 174,200,000 332,100,000 332,100,000 380,100,000 Arus Masuk untuk Menghitung IRR - 292,900,000 332,100,000 380,100,000
B. Arus Kas Keluar1. Biaya Investasi 135,000,000 2. Biaya Variabel/operasional 39,200,000 196,000,000 235,200,000 235,200,000 3. Angsuran Pokok 34,840,000 34,840,000 34,840,000 4. Angsuran Bunga 12,712,233 7,834,633 2,957,033 5. Pajak 4,978,165 5,709,805 6,441,445 6. Biaya Pemasaran/Distribusi 12,000,000 12,000,000 12,000,000 Total Arus Keluar 174,200,000 260,530,398 295,584,438 291,438,478 Arus Keluar untuk Menghitung IRR 174,200,000 212,978,165 252,909,805 253,641,445
C. Arus Bersih (NFC) - 71,569,602 36,515,562 88,661,522
D. Cash Flow Untuk Menghitung IRR (174,200,000) 79,921,835 79,190,195 126,458,555 Discount Factor (14%) 1.0000 0.8772 0.7695 0.6750 Present Value (174,200,000) 70,106,873 60,934,284 85,355,923
E. Cummulative (174,200,000) (104,093,127) (43,158,844) 42,197,079
F. Analisis Kelayakan UsahaNPV (14%) (Rp) 42,197,079 IRR 26.84 %Net B/C 1.24 PBP 2.5 Tahun
TahunNo. Uraian
218
Lampiran 22 Analisis Finansial Pancing Ulur
0 1 2 3
A. Arus Masuk1. Total Penjualan 550,800,000 550,800,000 550,800,000
2. Kredit- Investasi 133,560,000 - Modal Kerja 42,295,800
3. Modal Sendiri- Investasi 89,040,000 - Modal Kerja 28,197,200
4. Nilai Sisa Proyek 73,000,000 Total Arus Masuk 293,093,000 550,800,000 550,800,000 623,800,000 Arus Masuk untuk Menghitung IR - 480,307,000 550,800,000 623,800,000
B. Arus Kas Keluar1. Biaya Investasi 222,600,000 2. Biaya Variabel/operasional 70,493,000 352,465,000 442,958,000 422,958,000 3. Angsuran Pokok 58,618,600 58,618,600 58,618,600 4. Angsuran Bunga 21,377,852 13,171,248 4,964,644 5. Pajak 6,699,622 7,930,613 9,161,603 Total Arus Keluar 293,093,000 439,161,074 502,678,461 495,702,847 Arus Keluar untuk Menghitung IRR 293,093,000 359,164,622 430,888,613 432,119,603
C. Arus Bersih (NFC) - 111,638,926 48,121,539 128,097,153
D. Cash Flow Untuk Menghitung IRR (293,093,000) 121,142,378 119,911,387 191,680,397 Discount Factor (14%) 1.0000 0.8772 0.7695 0.6750 Present Value (293,093,000) 106,265,244 92,267,919 129,378,808
E. Cummulative (293,093,000) (186,827,756) (94,559,838) 34,818,970
F. Analisis Kelayakan UsahaNPV (14%) (Rp) 34,818,970 IRR 20.41 %Net B/C 1.12 PBP 2.7 Tahun
No. UraianTahun
Lampiran 23 Analisis Finansial Jaring Lingkar
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pendapatan 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 2 Dana Modal Sendiri 290,791 3 Kredit Investasi 828,840 4 Kredit Modal Kerja 51,872
Jumlah 989,304 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000 1,050,000
5 Biaya Investasi Kapal Mini Purse-Saine 895,200 6 Modal Kerja 74,104
Jumlah 989,304
7 Bonus Hasil Tangkapan 52,500 52,500 52,500 52,500 52,500 52,500 52,500 52,500 52,500 8 Biaya Operasi
- Biaya SDM melaut dan uang lauk pauk 56,000 56,000 56,000 56,000 56,000 56,000 56,000 56,000 56,000 - Uang lauk pauk 525,000 525,000 525,000 525,000 525,000 525,000 525,000 525,000 525,000
9 Bagian ABK 50% 129,500 129,500 129,500 129,500 129,500 129,500 129,500 129,500 129,500 10 Pembayaran Bunga 122,132 110,853 99,573 88,294 77,014 65,735 54,455 43,178 31,898 11 Pembayaran Pajak 3,814 5,506 7,198 8,890 10,582 12,274 13,966 15,658 17,350 12 Pembayaran Angsuran 114,536 114,536 114,536 114,536 114,536 114,536 114,536 114,536 114,536
Jumlah 1,003,483 993,895 984,308 974,720 965,132 955,545 945,887 938,370 928,782
13 Arus Masuk Bersih 46,517 56,105 35,892 75,280 84,868 94 104,043 113,630 123,218 14 Arus Kas Masuk untuk Perhitungan IRR (989,304) 283,186 281,494 279,802 278,110 276,418 274,726 273,034 271,342 269,650 15 Discount Factor dengan Bunga 18% 1.00000 0.84746 0.71818 0.60863 0.51579 0.43711 0.37043 0.31393 0.28660 0.22646 16 Nilai Sekarang Arus Kas Bersih (Present Value (989,304) 239,988 202,185 170,296 143,446 120,825 101,787 85,712 72,187 60,794 17 Saldo untuk Perhitungan PBP (686,118) (404,524) (124,822) 153,288 419,864 395,551 374,802 357,055 341,838
NPV 279,075 IRR per tahun dengan Bunga 18% th 25.85 %Net Benefit Cost Ratio 1.288
TahunNo. Uraian
Lampiran 24 Analisis Finansial Jaring Insang
No Uraian 0 1 2 3 4 5
1 Inflowa. Pendapatan - 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 b. Dana Sendiri 18,480,000 c. Kredit Investasi 42,700,000 d. Kredit Modal Kerja 420,000 e. Nilai SisaJumlah 61,600,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 Inflow untuk IRR - 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000 123,669,000
2 Outflowa. Biaya Investasi 60,540,000 b. Biaya Modal Kerja 569,048 c. Biaya Operasional 91,047,600 91,047,600 91,047,600 91,047,600 91,047,600 d. Angsuran Pokok 21,770,000 21,350,000 e. Biaya Bunga Bank 4,971,313 1,734,688 f. Pajak 15 % 2,331,313 2,816,807 3,077,010 3,077,010 3,077,010 Jumlah 61,109,048 120,120,226 116,949,094 94,124,610 94,124,610 94,124,610 Outflow untuk IRR 61,109,048 93,378,913 93,864,497 94,124,610 94,124,610 94,124,610
3 Total cashflow 3,548,774 6,719,906 29,544,390 29,544,390 29,544,390
4 Kumulatif Cashflow 3,548,774 10,268,680 39,813,070 69,357,460 98,901,850
5 Cashflow untuk IRR (61,109,048) 30,290,087 29,804,593 29,544,390 29,544,390 29,544,390
NPV DF 15 % 38,773,513 Net B/C ratio DF 15 % 1.63 IRR 39.69 %PBP Usaha (tahun) 2.53 PBP Kredit (tahun) 1.46
221
Lampiran 25. Analisis Kelembagaan dengan ISM A. Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : PENGGUNA B. Tentukan Sub Elemennya :
1 Nelayan 2 Pembudidaya 3 Pengusaha 4 Eksportir 5 Pedagang alat-alat perikanan
Rachability Matrix jenis Eij Eji A 0 1O 0 0V 1 0X 1 1
C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5
1 X V V V 2 X V X 3 X O 4 O 5
D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5
1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 13 0 1 1 1 04 0 0 1 1 05 0 1 0 0 1
E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink E.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5
1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 13 0 1 1 1 04 0 0 1 1 05 0 1 0 0 1
D L
DP
5 5 3 2 2
F. Revisi SS 1
1 2 3 4 5
G. Matrik DData x
1 2 2 4 3 4 4 4 5 3
H. Diagram
2 4 3 1
R
1 1 2 3 3
SIM Final 2 3
V V A
Driver Power y
5 5 3 2 2
m model struk
4 41 1
4 5
A V A A A X V
Dependence
ktural
32
e
222
223
A. Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : KEBUTUHAN B. Tentukan Sub Elemennya :
1 Suasana kondusif dan aman 2 Kemudahan birokrasi 3 Ketersediaan lahan budidaya4 stabilitas politik dan moneter 5 Permodalan 6 Teknologi tepat guna 7 Pemasaran yang terjamin
Rachability Matrix jenis Eij Eji A 0 1O 0 0V 1 0X 1 1
C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 6 7
1 A V V O O X 2 A X O X X 3 O X X O 4 X A X 5 V X 6 O 7
D. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink
E.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6 7
1 1 0 1 1 0 0 12 1 1 0 1 0 1 13 0 1 1 0 1 1 04 0 1 0 1 1 0 15 0 0 1 1 1 1 16 0 1 1 1 0 1 07 1 1 0 1 1 0 1
D 3 5 4 6 4 4 5L 4 2 3 1 2 3 2
G
DP 4 5 4 4 5 4 5
F. Revisi SS 1
1 2 3 4 5 6 7
G. Matrik DriData x
1 3 2 5 3 4 4 6 5 4 6 4 7 5
H. Diagram m
R 2 1 2 2 1 1 1
SIM Final 2 3
A V A
iver Power Dy
4 5 4 4 5 4 5
model strukt
4 5
V O X O O X X
Dependence
tural
6 7
O X X X X O A X V X O
224
225
A. Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : KENDALA B. Tentukan Sub Elemennya :
1 Keterbatasan modal 2 Keterbatasan sarana dan prasarana 3 Rendahnya kualitas SDM4 Hambatan birokrasi 5 Kestabilan harga
Rachability Matrix jenis Eij Eji A 0 1O 0 0V 1 0X 1 1
C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5
1 X V A X 2 A O O 3 O O 4 O 5
D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5
1 1 1 1 0 12 1 1 0 0 0 3 0 1 1 0 0 4 1 0 0 1 0 5 1 0 0 0 1
E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F. RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5
1 1 1 1 0 1 2 1 1 0 0 0 3 0 1 1 0 0 4 1 0 0 1 0 5 1 0 0 0 1
D 4 3 2 1 2L 2 1 3 4 2
DP R
4 2 2 2 2
G. Revisi S 1
1 2 3 4 5
H. Matrik Dri Data x
1 4 2 3 3 2 4 1 5 2
I. D
1 2 2 2 2
SIM Final 2 3
V V A
iver Power D
y 4 2 2 2 2
Diagram mod
4 5
A V A A A X V
Dependence
del struktural
226
227
A. Tentukan Elemen Yang ingin dikaji : PERUBAHAN B. Tentukan Sub Elemennya :
1 Peningkatan jumlah nelayan pembudidaya 2 Peningkatan pendapatan nelayan pembudidaya 3 Peningkatan PAD 4 Keterjaminan pasar produk budidaya 5 Peningkatan investasi 6 Pengembangan wilayah 7 Penataan ruang laut
Rachability Matrix jenis Eij Eji A 0 1O 0 0V 1 0X 1 1
C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 6 7
1 X V O A X A 2 X X V O O 3 X V O O 4 V O O 5 V X 6 X 7
D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5 6 7
1 1 1 1 0 0 1 0 2 1 1 1 1 1 0 0 3 0 1 1 1 1 0 0 4 0 1 1 1 1 0 0 5 1 0 0 0 1 1 1 6 1 0 0 0 0 1 1 7 1 0 0 0 1 1 1
E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 12. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6 7
1 1 1 1 0 0 1 02 1 1 1 1 1 0 03 0 1 1 1 1 0 0
228
4 0 1 1 1 1 0 05 1 0 0 0 1 1 16 1 0 0 0 0 1 17 1 0 0 0 1 1 1
D 5 4 4 3 5 4 3L 1 2 2 3 1 2 3
DP R 4 2 5 1 4 2 4 2 4 2 3 3 4 2
G. Revisi SSIM Final 1 2 3 4 5 6 7
1 V V A V V V 2 A A A X A 3 A X V X 4 V V V 5 V X 6 A 7
H. Matrik Driver Power Dependence
Data x y
1 5 4 2 4 5 3 4 4 4 3 4 5 5 4 6 4 3 7 3 4
I. Diagram model struktural
A. TentB. Tent
1 Penin2 Penin3 Peng4 Keter5 Penin6 Optim
Rachability jenis A O V X
C. MembuaINTERACTI 1
1 2 3 4 5 6
tukan Elemeukan Sub Elengkatan jumlangkatan PADgembangan drjaminan pasangkatan invesmalisasi poten
Matrix
Eij Eji 0 0 1 1
at tabel SSIMION MATRIX
2 X V V
en Yang inginemennya : ah dan penda aerah ar produk perstasi nsi SDI
1001
(STRUCTUR) awal 3 4
A A O
n dikaji : TUJ
apatan nelaya
rikanan budid
RAL SELF
5 X XX OX OA O
X
JUAN
an
daya
6
229
230
D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5 6
1 1 1 1 0 1 12 1 1 1 0 1 03 0 0 1 0 1 04 1 1 0 1 0 05 1 1 1 1 1 16 1 0 0 0 1 1
E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6
1 1 1 1 0 1 12 1 1 1 0 1 03 0 0 1 0 1 04 1 1 0 1 0 05 1 1 1 1 1 16 1 0 0 0 1 1
D 5 4 4 2 5 3L 1 2 2 4 1 3
G. Revisi SSIM Final 1 2 3 4 5 6
1 V V A V V V V V A A V 2 A A A X A A A A A V 3 A X V X X X A A V 4 V V V V V A A V 5 V X X X A A V 6 A A A A A V
X X A A V X A A V A A V A V V
H. Matrik Driver Power Dependence Data x y
1 5 5 2 4 4 3 4 2 4 2 3 5 5 6 6 3 3
F. Diagram m
A. TentKEB
B. Tent1 Penu2 Penin3 Penin4 Penin5 Penin6 Penin7 Penin8 Kebe
Rachability jenis A O V X
C. Membua
model strukt
tukan ElemeERHASILANukan Sub Ele
urunan angkangkatan pendngkatan PADngkatan hargangkatan nilai ngkatan pangngkatan inveserlanjutan bud
Matrix Eij Eji
0 0 1 1
at tabel SSIM
ural
en Yang ingin emennya : kemiskinan d
dapatan nelay dan PNBP a ikan dan volume p
gsa pasar stasi didaya dan SD
1001
(STRUCTUR
n dikaji :
dan pengangyan pembudid
produksi
DI
RAL SELF IN
guran daya
NTERACTION
N MATRIX)
231
232
awal 1 2 3 4 5 6 7 8
1 A V X X X X O 2 X X V X X V 3 A A X A O 4 A X A O 5 X V X 6 X O 7 O 8
D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5 6 7 8
1 1 0 1 1 1 1 1 02 1 1 1 1 1 1 1 13 0 1 1 0 0 1 0 04 1 1 0 1 0 1 0 05 1 0 1 1 1 1 1 16 1 1 1 1 1 1 1 07 1 1 1 1 0 1 1 08 0 0 0 0 1 0 0 1
C. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink D.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6 7 8
1 1 0 1 1 1 1 1 02 1 1 1 1 1 1 1 13 0 1 1 0 0 1 0 04 1 1 0 1 0 1 0 05 1 0 1 1 1 1 1 16 1 1 1 1 1 1 1 07 1 1 1 1 0 1 1 08 0 0 0 0 1 0 0 1
D 6 5 6 6 5 7 5 3L 2 3 2 2 3 1 3 4
233
DP R 6 3 8 1 3 5 4 4 7 2 7 2 6 3 2 6
E. Revisi SSIM Final 1 2 3 4 5 6 7 8
1 V V A V V V V V A A V 2 A A A X A A A A A V 3 A X V X X X A A V 4 V V V V V A A V 5 V X X X A A V 6 A A A A A V 7 X X A A V 8 X A A V
A A V A V V
F. Matrik Driver Power Dependence Data x y
1 6 6 2 5 8 3 6 3 4 6 4 5 5 7 6 7 7 7 5 6 8 3 2
F. Diagram model struktural
A. TentB. Tent
1 Koord2 Peru3 Menc4 Kemu5 Moni6 Sosia
Rachability jenis A O V X
C. MembuaINTERACTI 1
1 2 3 4 5 6
D.RM (Reac 1
1 1
tukan Elemeukan Sub Eledinasi antar smusan perdaciptakan iklimudahan aksestoring dan pealisasi kelaya
Matrix Eij Eji
0 0 1 1
at tabel SSIMION MATRIX
2 3 X X X
chability Mat2 3
1
en Yang inginemennya :
sektor a
m kondusif dans terhadap te
engelolaan pekan perikana
1001
(STRUCTUR) awal
4 5X XV XO A X
trix) 4 5
1 1
n dikaji : AKT
n aman knologi dan in
erikanan budidn budidaya
RAL SELF
5 6 X A O X O
5 6
1 1
TIVITAS
nformasi daya
234
235
2 1 1 1 1 1 03 1 1 1 0 0 04 1 0 0 1 1 15 1 1 1 1 1 06 1 1 0 1 0 1
C. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink D.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6
1 1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 1 03 1 1 1 0 0 04 1 0 0 1 1 15 1 1 1 1 1 06 1 1 0 1 0 1
D 6 5 4 5 4 3L 1 2 3 2 3 4
E. Revisi SSIM Final 1 2 3 4 5 6
1 V V A V V V V V A A V 2 A A A X A A A A A V 3 A X V X X X A A V 4 V V V V V A A V 5 V X X X A A V 6 A A A A A V
X X A A V X A A V A A V A V V
F. Matrik Driver Power Dependence
Data x y 1 6 6 2 5 5 3 4 3 4 5 4 5 4 5 6 3 4
F. Diagram model struktural
A. TentB. Tent
1 Nelay2 Pemb3 Bank4 Pemk5 Pemp6 Pemp7 Perg8 Cama9 Lurah
10 Masy Rachability jenis A O V X
C. Membua
1
tukan Elemeukan Sub Eleyan budidaya
k (lembaga kekab prop pus uruan tinggi at h yarakat sekita
Matrix Eij Eji
0 0 1 1
at tabel SSIM1 2
X X
en Yang inginemennya :
euangan)
ar
1001
(STRUCTUR3 4
X X
n dikaji : PEL
RAL SELF IN5 6
X X
LAKU
NTERACTION6 7
X X
N MATRIX) aw8 9
X X X
236
wal 10
X
237
2 X X X X X X X X 3 V V V O V V X 4 X X A X X A 5 X A X X A 6 A X X A 7 V V X 8 X A 9 A
10 D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 5 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 6 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 7 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 9 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0
10 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 C. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink D.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 1 1 1 1 13 1 1 1 1 1 1 0 1 14 1 1 1 1 1 1 0 1 15 1 1 0 1 1 1 0 1 16 1 1 0 1 1 1 0 1 17 1 1 0 1 1 1 1 1 18 1 1 0 1 1 1 0 1 19 1 1 0 1 1 1 0 1 1
10 1 1 1 1 1 1 1 1 1
D 10 10 5 10 10 10 4 10 10L 1 1 2 1 1 1 3 1 1
E. Revisi SSIM Final 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 V V A V V V V V A A V
2 3 4 5 6 7 8 9
10
F. Matrik DriData x
1 10 2 10 3 5 4 10 5 10 6 10 7 4 8 10 9 10
10 5
F. Diagram m
A. TentB. Tent
1 Penin
A
ver Power Dy
10 10 9 8 7 7 9 7 7
10
model strukt
tukan Elemeukan Sub Elengkatan jumla
A A A X V
Dependence
ural
en Yang inginemennya : ah dan penda
X A V X V V V X A
n dikaji : TOL
apatan nelaya
A A X X V V X X A A X X X
LOK UKUR
an pembudida
A A A A A A A A A A A A A A A A A
aya
238
V V V V V V V V V V
239
2 Peningkatan PAD 3 Peningkatan investasi 4 Keterjaminan pasar 5 Pengembangan daerah 6 Peningkatan harga ikan
Rachability Matrix jenis Eij Eji A 0 1O 0 0V 1 0X 1 1
C. Membuat tabel SSIM (STRUCTURAL SELF INTERACTION MATRIX) awal 1 2 3 4 5 6
1 V V X V X 2 X A A X 3 O V X 4 O V 5 A 6
D.RM (Reachability Matrix) 1 2 3 4 5 6
1 1 1 1 1 1 12 0 1 1 0 0 13 0 1 1 0 1 14 1 1 0 1 0 15 0 1 0 0 1 06 1 1 1 0 1 1
E. Check Transitivity rule contoh 1 sel(1,3)=0,karena(1,8)=1 dan (8,3)=1 maka (1,3) harus 1 2. sel (3,6)=0, karena (3,2)=1 dan (2,6)=1 maka (3,6) harus 1 keterangan 1. yang dicek yang hanya nilainya 0 2. bahasa pemrograman gw belum nyampe ink F.RM (Reachability Matrix) Final 1 2 3 4 5 6
1 1 1 1 1 1 12 0 1 1 0 0 13 0 1 1 0 1 14 1 1 0 1 0 15 0 1 0 0 1 06 1 1 1 0 1 1
D 3 6 4 2 4 5L 4 1 3 5 3 2
G. Revisi S 1
1 2 3 4 5 6
H. Matrik DriData x
1 3 2 6 3 4 4 2 5 4 6 5
I. D
SIM Final 2 3
V V A
iver Power Dy
6 3 4 4 2 5
Diagram mod
4 5
A V A A A X V
Dependence
del struktura
6
V X V V V
l
240
241
Lampiran 26. Gambar Dokumentasi Penelitian
1. Pelaksanaan Penelitian
a) Pengambilan data kualitas air
b) Pencatatan koordinat lokasi pengambilan data
c) Wawancara dengan pembudidaya ikan
d) Wawancara dengan nelayan
243
3. Aktifitas Budidaya Laut di Teluk Lampung
a) Karamba Jaring Apung untuk budidaya
ikan Cobia
b) Ikan Cobia yang dibudidayakan di KJA
c) Karamba Jaring Apung untuk budidaya ikan Kerapu
d) Ikan Kerapu yang dibudidayakan di KJA
244
4. Aktifitas Perikanan Tangkap di Teluk Lampung
a) Penangkapan ikan dengan Bagan kapal
b) Penangkapan ikan dengan Purse
seine
c) Penangkapan ikan dengan bagan tancap
d) Penangkapan dengan pancing
245
5. Jenis Alat Tangkap di Teluk Lampung
a) Bubu dari besi (Pengembangan Teknologi)
b) Bubu dari bambu (tradiional)
c) Tombak
d) Pancig (pool and line)
247
6. Produk Perikanan Budidaya di Teluk Lampung
a) Produk Pembenihan
b) Ikan Cobia hasil budidaya KJA
c) Ikan kerapu hasil budidaya KJA
d) Ikan kerapu hasil KJA
248
7. Produk Perikanan Tangkap
a) Rajungan / hasil tangkapan alat bubu
b) Ikan hasil tangkapan di Teluk Lampung
c) Udang hasil tangkapan trammel net
c) Jenis- jenis ikan hasil tangkapan di
Teluk Lampung
249
8. Aktifitas Pemasaran Hasil Perikanan di Lokasi Penelitian
a) Pemasaran ikan di pasar ikan
b) Pembelian dan pengangkutan ikan oleh tengkulak
c) Persiapan pelelangan ikan di TPI
d) Proses pelelangan ikan di TPI
250
Lampiran 27. Ilustrasi Program Cap-Aquadev
Menu
SDI
Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan
HomeSelamat Datang
Status Log inCap-Aquadev adalah software instan untuk penunjang pengambilan keputusan (decission support system) dalam pengembangan perikanan tangkap dan perikanan budidaya pada suatu wilayah.
TH
In Put Data
• Produksi• Pelagis• Demersal• Crustacea• Ikan Lainnya
• Trip per Tahun• Pelagis• Demersal• Crustacea• Ikan Lainnya
CPUE
• Pelagis• Demersal• Crustacea• Ikan Lainnya
MSY
• Pelagis• Demersal• Crustacea• Ikan Lainnya
Menu
SDI
Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan
251
In Put Data Lokasi
• Faktor Utama• Suhu• Salinitas• DO• TOM• Orthoposfat• Arus• Poluasi• Alga Bloom• Organisme Patogen
• Faktor Pendukung• Kedalaman• Keterlindungan• Substrat
• Faktor Tambahan• Aspek Legal• Kemudahan Akses• Konflik• Keamanan• Akses dengan Pasar
Hasil
No Lokasi Nilai perFaktor
Nilai Total
Ket
Utama dst
Menu
SDI
Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan
In Put Data Lokasi
• Tidak destruktif• Tidak membahayakan
nelayan• Menghaslkan ikan
bermutu• Produk tidak
membahayakan konsumen
• Hasil Tangkapan terbuang minimum
• Dampak terhadap keaneka ragaman sumberdaya hayati minimum
• Tidak menangkap spesies yang dilindungi
Hasil
No Lokasi Nilai perFaktor
Nilai Total
Ket
Utama dst
Menu
SDI
Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan
252
Input Data • Kelayakan komoditas• Ketersediaan dan
kemudahan teknologi• Nilai ekonomis• Peluang pasar• Penyerapan tenaga
kerja• Dampak ganda thd
sektor lain• Dampak terhadap
lingkungan
HasilNo Jenis Alat
TangkapNilai Total Ket
Menu
SDI
Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan
Input Data
• Per Jenis Alat Tangkap dan Komoditas Budidaya• Jumlah Modal
• Investasi• Modal Kerja
• Rugi Laba• Hasil Produksi• Biaya
Operasional• xzc
HasilNo Alat Tangkap/
Komoditas NPV IRR B/ CMenu
SDI
Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan
253
Input Data
• Perbandingan Berpasangan• Fokus• Faktor• Tujuan• Alternatif
HasilMenu
SDI
Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan
Input Data
• Pengguna• Kebutuhan• Kendala• Perubahan• Tujuan• Keberhasilan• Aktivitas yang
Dibutuhkan• Pelaku• Tolok Ukur
HasilMenu
SDI
Kesesuaian LahanPemilihan Teknologi
Penangkapan
Pemilihan Komoditas Potensial
Kelayakan Usaha
Strategi Pengembangan
Kelembagaan
Elemen Prioritas dari setiap elemen
top related