step i terminologi 1. pericoronitis
Post on 15-Jun-2015
1.553 Views
Preview:
TRANSCRIPT
STEP I
TERMINOLOGI
1. Pericoronitis
Infeksi yang terjadi pada ginggiva yang mengelilingi corona gigi yang terjadi pada
masa pertumbuhan gigi permanen, dimana jaringan supra dental merupakan
bagian yang banyak folikel gigi dan jaringan mucoperiousteum sehingga mudah
terjadi inflamasi dan dapat berkembang menjadi abses
Inflamasi akut dari jaringan pendukung gigi yang sedang erupsi meliputi ginggiva,
periodontal membrane, tulang alveolar, dan folikel gigi
2. Farmakologi
Ilmu yang mempelajari asal mula, sifat kimiawi, efek, dan kegunaan obat-obatan
Suatu ilmu yang sangat luas cangkupannya, meliputi penggunaan obat untuk
pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit, penelitian obat-obatan baru,
penelitian efek samping obat tersebut, serta perjalanan obat di dalam tubuh,
dan perlakuan tubuh terhadap obat tersebut
3. Lincomycin
Obat untuk infeksi senus yang disebabkan oleh kuman staphylococcus,
pneumococcus yang dapat bekerja sebagai bakteriosid dan bakteriostatik
tergantung dari konsentrasinya
Suatu antibiotic terutama Gram (+) yang dihasilkan oleh varian seperti
streptomyces, lincolreces, yang bekerja menghambat sintesis protein mikroba
dengan berikatan dengan Ribosom 50 S
4. Metampiron
Suatu derivate piraldolon yang mempunyai efek analgesic (penghilang rasa sakit)
dan antipeuretic (penurun panas)
5. Neurotropin
Suatu obat yang isinya berupa vitamin, yaitu vitamin B1, B6, dan B12
Suatu obat penguat saraf steroid dan anti inflamasi (pain killer)
STEP II
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa hubungan sakit gigi yang dialami Dinda dengan badannya yang terasa demam?
2. Mengapa drg menyarankan untuk dilakukan rontgen jika Dinda sudah sembuh?
3. Mengapa drg memberikan Dinda Lincomycin, Metampiron, dan Neurotropik?
4. Apa syarat suatu obat dapat dikombinasikan dengan obat lain?
5. Apa saja yang perlu diperhatikan sebelum pemberian obat?
6. Apakah ada alternative lain yang bisa diberikan?
7. Bagaimana cara obat dapat menimbulkan efek yang optimal bagi tubuh?
8. Apakah ada suatu efek pada tubuh apabila obat tidak bekerja secara optimal?
9. Factor apa saja yang dapat mempengaruhi respon tubuh seseorang terhadap obat?
10. Adakah kegunaan obat selain terapi?
11. Mengapa minum obat harus berjadwal?
STEP III
ANALISA MASALAH
1. Hubungan sakit gigi yang dialami Dinda dengan badannya yang terasa demam yaitu,
Merupakan salah satu reaksi sistemik bagi tubuh
Demam merupakan salah satu tanda terjadi infeksi, sehingga pada daerah
terjadinya infeksi terdapat kuman-kuman yang dapat merangsang daerah panas
pada otak atau hipotalamus sehingga terjadi demam
Adanya reaksi inflamasi
2. Dokter gigi menyarankan untuk dilakukan rontgen jika Dinda sudah sembuh guna,
Untuk mengetahui keberhasilan atau tidaknya terapi obat yang diberikan
Pada organ sakit akan menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan
Untuk mengatahui posisi gigi
3. Dokter gigi memberikan Dinda Lincomycin, Metampiron, dan Neurotropik yang
kegunaan dari masing-masing obat tersebut yaitu,
Lincomycin
Sebagai antibiotic, yang berfungsi sebagai bakteriosid dan bakteriostatik, namun
akhir-akhir ini sudah jarang digunakan karena daya anti bakteri yang lemah dan
absorpsi yang kurang baik
Metampiron
Sebagai analgesic dan antipeuretik, dimana dapat digunakan sebagai penghilang
rasa sakit kepala, gigi, nyeri karena peradangan, dan demam
Neurotropik
Untuk meningkatkan kebugaran tubuh, karena isi dari obat ini berupa vitamin
4. Syarat suatu obat dapat dikombinasikan dengan obat lain, yaitu :
Obat tersebut tidak mempengaruhi efek obat yang lain
Dapat meningkatkan efek terapi, bila dikombinasikan
Komposisi dari obat tersebut bukan dari golongan yang sama
5. Hal yang perlu diperhatikan sebelum pemberian obat, yaitu :
Indikasi
Ketepatan dosis
Waktu paruh (pendek/ panjang)
Melihat riwayat pasien terdahulu
Mengenal tanda dan gejala pasien
Kontra indikasi
Efek samping
Cara kerja obat
Interaksi obat
Mengetahui organ target dari obat tersebut
Komposisi dari obat tersebut
Mengetahui umur dan berat badan pasien
Riwayat alergi dari pasien terhadap suatu obat
6. Alternative lain yang bisa diberikan yaitu,
Ada, digantikan dengan derivatnya, agar efek dan absorpsinya lebih baik.
Contohnya pada Lincomycin, karena sudah jarang digunakan, maka digantikan
dengan clindamycin.
Golongan Betalaktam yang memiliki spectrum yang luas
7. Cara obat dapat menimbulkan efek yang optimal bagi tubuh yaitu,
Farmakokinetik efek
Farmakodinamik interaksi obat
Tergantung dari cara obat tersebut digunakan
Secara Oral, obat di absorbsi (di mukosa usus dan lambung), kemudian larut ke
dalam aliran darah, dan distribusikan ke organ target, berefek pada reseptornya
yang efektif (menimbulkan efek biokimia dan fisiologis, dan zat aktif yang
terkandung di dalam obat harus cukup, tidak kurang atau lebih), kemudian obat
di metabolic di hepar, dan disekresikan melalui ginjal.
8. Apabila obat tidak bekerja secara optimal, akan menimbulkan efek :
Contohnya, antibiotic bila dosisnya diturunkan, akan dapat menyebabkan
resistensi dan tidak menimbulkan efek. Sedangkan jika dosisnya dinaikkan, maka
akan menjadi toksik bagi tubuh.
9. Factor yang dapat mempengaruhi respon tubuh seseorang terhadap obat, antara lain :
Umur
Keadaan tertentu. Ex : pada ibu hamil
Genetic
Pathologic tubuh hospes
Kondisi fisiologis
Factor lingkungan
10. Kegunaan obat selain terapi, antara lain :
Untuk pencegahan
Untuk penetapan diagnosis
11. Minum obat harus berjadwal karena :
Dinda (22th)
drg Lincomycin (Antibiotik)
Metampiron (Analgesik & Antipeuretik) Obat
Neurotropik(Vitamin)
Efek
Menerima Resep
Farmakologi
Sakit gigi regio belakang kanan bawahSakit saat membuka mulut & menelanDemam
Farmakodinamik
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat
Farmakokinetik
Efek Samping
Profil Farmakologi
Alergi (Histamin)
Setiap obat memiliki waktu paruh yang berbeda-beda
Untuk mencegah terjadinya akumulasi atau penumpukan obat
STEP IV
SISTEMATIKA MASALAH
STEP V
LEARNING OBJECTIVES
Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan
1. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
2. Mekanisme Kerja Antibiotik, Analgetik dan Antipeuretik, serta Vitamin
3. Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam pemberian obat
4. Profil Farmakologi
5. Efek Samping
6. Fungsi Obat
7. Mekanisme Kerja Anti Histamin dan Kortikosteroid
8. Obat-obat yang Mempengaruhi Sistem Saraf Otonom
STEP VII
SHARING INFORMATION
1. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
A. Farmakokinetik
Suatu aspek farmakologi yang mencakup apa yang dialami obat di dalam tubuh.
Fase farmakokinetik terdiri dari fase invasi dan fase eliminasi.
1. Fase invasi proses – proses yang berlangsung pada pengambilan suatu
bahan obat ke dalam organisme. Meliputi proses absorbsi dan distribusi
2. Fase eliminasi Proses – proses yang menyebabkan penurunan kosentrasi
obat dalam organisme. Meliputi proses biotransformasi atau metabolisme dan
eksresi.
a. Absorpsi
Suatu proses dimana terjadinya perpindahan atau penyerapan obat ke dalam
darah, meliputi transformasinya dari bentuk saat diberikan menjadi bentuk
yang dapat digunakan secara biologis.
Tempat absorpsi utama cara pemberian obat melalui obat yaitu usus halus,
karena memilik permukaan absorpsi yang sangat luas.
Pada pemberian obat di bawah lidah hanya untuk obat yang sangat larut dalam
lemak, karena luas permukaan absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut
dan diabsorbsi dengan sangat cepat. Karena darah dari mulut langsung ke vena
cava superior dan tidak melalui vena porta, maka obat tersebut tidak mengalami
metabolism lintas pertama oleh hati.
Pada pemberian obat melalui rectal, hanya 50% darah dari rectum yang melalui
vena porta, sehingga eliminasi lintas utama oleh hati juga 50%. Namun absorpsi
obat melalui mukosa rectum seringkali tidak teratur dan tidak lengkap, dan
banyak obat yang menyebabkan iritasi pada mukosa rectum.
Mekanisme absorpsi
Difusi Pasif
Perpindahan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah dengan cara
difusi melalui membrane sel tanpa energy, baik konsentrasi obat maupun
kelarutannya dalam lemak. Sebagai barier absorpsi adalah membrane sel
epitel saluran cerna.
Transport Aktif
Perpindahan molekul terionisasi yang menggunakan energy sel.
Filtrasi
Perpindahan molekul karena adanya tekanan melalui pori-pori sel.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi antara lain :
Luas permukaan
Aliran darah
Nyeri dan stress
Bentuk Obat
Rapid rate (detik – menit) : sublingual, inhalasi
Intermediate rate (1 – 2 jam) : oral, intramuscular, subkutan
Slow rate (jam – hari) : rektal
Interaksi obat
Efek lintas pertama (beberapa obat mengalami metabolism di hati/ vena
portal sebelum masuk ke sistem sirkulasi)
Kelarutan obat
Bicavaibility
Persentasi dosis obat yang mencapai sistem sirkulasi
Daur enterohepatik
b. Distribusi
Proses sehingga obat berada pada cairan tubuh dan jaringan tubuh.
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan
lemah. Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke
seluruh tubuh.
Obat bebas akan keluar ke jaringan dengan cara yang sama dengan cara
masuknya, kemudian ke tempat kerja obat yaitu ke jaringan tempat depotnya,
ke hati dimana obat akan di metabolism menjadi metabolit yang akan
dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke dalam darah, dan ke ginjal
dimana obat atau metabolitnya diekskresikan ke dalam urine.
Di dalam jaringan, obat yang larut di dalam air akan tetap berada di luar sel (di
cairan interstisial), sedangkan obat yang larut dalam lemak akan berdifusi
melintasi membrane sel dan masuk ke dalam sel, tetapi karena pH di dalam sel
(pH = 7) dan diluar sel (pH = 7,4) berbeda, maka obat-obat asam akan lebih
banyak di dalam sel.
c. Metabolisme
Proses kimia yang mengubah bentuk aslinya menjadi bentuk yang larut
menjadi air (metabolit) sehingga dapat diekskresikan.
Metabolism obat terutama terjadi di hati, yaitu di membrane Retikulum
Endoplasma (mikrosom) dan di Sitosol. Tempat metabolism yang lain
(extrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, dan juga
pada lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolism obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresikan melalui ginjal atau empedu.
Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian
berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi
toksik.
Reaksi Metabolisme ada dua reaksi fase :
Fase I : Oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih
polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif.
Fase II : merupakan fase konyugasi dengan substrat endogen : asam glukoronat,
asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan hasilnya menjadi sangat polar,
yang akan menjadi hampir selau tidak aktif.
Obat dapat mengalami reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I
diikuti dengan reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus polar seperti
gugus hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfidril, untuk dapat bereaksi dengan
substrat endogen pada reaksi fase II. Karena itu obat yang sudah mempunyai
gugus-gugus tersebut dapat langsung bereaksi dengan substrat endogen (reaksi
fase II). Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup polar untuk langsung
diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II terlebih dahulu.
d. Ekskresi
Proses membuang metabolit obat dari tubuh.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal
dalam bentuk utuh maupun bentuk metaboliknya. Ekskresi dalam bentuk utuh
atau dalam bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal
Ekskresi melalui ginjal ada 3 proses, yaitu :
a. Filtrasi glomerolus
Menghasilkan ultrafiltrate, yaitu plasma minus protein, jadi semua obat
bebas akan keluar dalam ultrafiltrat sedangkan yang terikat protein tetap
tinggal dalam darah.
b. Sekresi aktif di Tubulus proksimal
Dari dalam darah lumen tubulus proksimal terjadi melalui transporter
membrane P-glikoprotein dan MRP (Multidrug Resistance Protein) yang
terdapat di membrane sel epitel dengan selektifitas berbeda, yakni MRP
untuk anion organic dan konyugat (misal : penisilin, probenesid, glukoronat,
sulfat dan konyugat glutation). P-glikoprotein untuk kation organic dan zat
netral (misa : kuinidin dan digoksin).
c. Reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus
Terjadi sepanjang tubulus untuk bentuk nonion obat yang larut lemak.
Karena derajat ionisasi bergantung pada pH larutan, maka dimanfaatkan
untuk mempercepat ekskresi ginjal pada keracunan suatu obat asam atau
obat basa.
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi ginjal.
Berbeda dengan pengurangan fungsi hati yang tidak dapat dihitung,
pengurangan fungsi ginjal dapat dihitung berdasarkan pengurangan klirens
kreatinin.
Ekskresi obat yang juga penting adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar
bersama feses. Transporter membrane P-glikoprotein dan MRP terdapat di
membrane kanalikulus sel hati dan mensekresi aktif obat-obat dan metabolit ke
dalam empedu dengan selektivitas berbeda, yakni MRP untuk anion organic dan
konyugat (glukuronat dan konyugat lainnya), dan P-glikoprotein untuk kation
organic, steroid, kolessterol, dan garam empedu. P-glikoprotein dan MRP juga
terdapat di membrane sel usus, sehingga sekresi langsung obat dan metabolit
dari darah ke lumen usus juga terjadi. Obat dan metabolit yang larut lemak dapat
direabsorbsi kembali ke dalam tubuh melalui lumen usus.
Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum. Ekskresi
dalam ASI, saliva, keringat, dan air mata secara kuantitaif tidak penting. Ekskresi
tergantung pada difusi pasif dari bentuk nonion yang larut lemak melalui sel
epitel kelenjar, dan pada pH. Ekskresi melalui ASI walaupun sedikit, namun dapat
mempengaruhi atau dapat menimbulkan efek samping bagi bayi yang masih
menyusu pada ibunya.
B. Farmakodinamik
Interaksi obat dan reseptor :
1. Agonis
obat yang memiliki afinitas dan aktivitas intrinsik
obat yang jika menduduki reseptornya mampu secara intrinsik
menimbulkan efek farmakologi.
Agonis terbagi 2 :
Agonis parcial
Agonis yang lemah, artinya agonis yang mempunyai aktivitas intrinsik
atau efektivitas yang rendah sehingga menmbulkan efek maksimal
rendah
Agonis sempurna
Agonis yang menimbulkan efek yang lebih besar daripada agonis parcial
2. Antagonis
senyawa yang menurunkan atau mencegah sama sekali efek agonis
Terdiri dari :
Antagonis kompetitif
Senyawa ini memiliki afinitas terhadap receptor, akan tetapi senyawa ini
tidak mampu menimbulkan efek ( aktivitas intrinsik )
Antagonis tak kompetitif
Mampu melemahkan kerja agonis dengan cara yang berbeda.
Contohnya statu obat tidak mencapai reseptor yang sebenarnya, tapi
bekerja pada tempat lain pada protein receptor yaitu alosterik.
Antagonis fungsional
Bekerja sebagai agonis yang menurunkan verja statu agonis kedua yang
bekerja pada sistem sel yang sama tapi berikatan dengan receptor yang
berbeda.
Antagonis kimia
Senyawa yang bereaksi secara kimia dengan zat berkhasiat dan
menginaktivasinya, tidak bergantung pada receptor.
2. Mekanisme kerja Antibiotik, Analgesik & Antipeuretik, serta Vitamin
a. Antibiotik
Perusak kehidupan yaitu suatu zat kimiawi yang dihasilkan oleh mikroorganisme
yang mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lainnya.
Cara kerjanya :
1. Antibiotik yang menghambat metabolism sel mikroba
Misalnya : sulfonamide, trimetropin, asam p-aminosalisilat (PAS), dan sulfon.
Akan menghasilkan efek bakteriostatik. Mikroba membutuhkan asam folat
untuk kelangsungan hidupnya. Kuman pathogen harus mensintesis sendiri
asam folat dari asam amino benzoate (PABA) untuk kebutuhan hidupnya.
2. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel mikroba
Misalnya : penisilin, sefalosporin, basitrin, vankomisin, dan sikloserin.
Dinding sel bakteri terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu polimer
mukopeptida (glikopeptida). Tekanan osmotic dalam sel kuman lebih tinggi
daripada di luar sel maka kerusakan dinding sel kuman akan akan
menyebabkan terjadinya lisis yang merupakan dasar efek bakterisidal pada
kuman peka.
3. Antibiotik yang mengganggu keutuhan membrane sel mikroba
Misalnya : polimiksin, golongan polien serta antimikroba kemoterapeutik,
misalnya antiseptic surface active agents. Polimiksin sebagai sneyawa
ammonium kuaterner dapat merusak membran sel setelah beraksi dengan
fosfat dan fosfolipid membrane sel mikroba. Polimiksin tidak efektif untuk
bakteri gram positif karena mengandung sedikit fosfat.
4. Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel mikroba
Misalnya : aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tertrasiklin, dan
kloramfenikol. Untuk kelangsungan hidunya bakteri perlu mensintesis
berbagai protein, sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan
mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri dari dua sub unit, yang
berdasarkan konstanta sedimentasi yaitu 30 S dan 50 S. untuk berfungsi
pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai
mRNA menjadi ribosom 70 S.
Misalnya kerja obat tetrasiklin, tetrasiklin akan berikatan dengan ribosom 30
S dan menghalangi masuknya kompleks tRNA-asam amino pada lokasi asam
amino.
5. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba.
Misalnya : rifampisin dan golongan quinolon. Rifamsin berikatan dengan
enzin polymerase RNA (pada sub unit) sehingga menghambat sintesis RNA
dan DNA oleh enzim tsb.
Menurut golongannya :
Golongan β – laktam
contoh : penicilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem
Mekanisme kerja : Menghambat D – alanin transpeptidase yang mengakibatkan
pita glikan dari dinding sel yang baru tidak dapat menyatu sehingga dinding sel
tidak mendapatkan stabilitas yang diperlukan.
Golongan kloramfenikol
Mekanisme kerja : menghambat peptidil transferase pada fase pemanjangan
sehingga mengganggu síntesis protein
Golongan makrolida
contoh : eritromisin, spiramisin
Mekanisme kerja : menghambat síntesis protein pada fase pemanjangan
dengan mempengaruhi translokasi. Senyawa ini terikat secara reversible pada
unit 50 S dari ribosom
Mekanisme kerja yang terpenting pada antibiotika adalah perintangan sintesa
protein, sehingga kuman musnah atau tidak berkembang lagi tanpa merusak
jaringan tuan rumah. Selain itu, beberapa antibiotika bekerja terhadap dinding
sel dan membrane sel.
b. Analgetik & Antipeuretik
1. Analgetik
obat penghalang nyeri (zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri
tanpa menghalangi kesadaran).
Cara kerja :
Menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat
menjadi terganggu dan reaksi inflamasi akan tertekan.
Digunakan baik diperifer maupun di sentral, tetapi efek perifernya lebih
banyak. Efek analgesiknya berhubungan dengan efek antiinflamsinya dan
diakibatkan oleh inhibisi sintesis prostaglandin dalam jaringan yang
meradang. Prostaglandin menghasilkan sedikit nyeri, tetapi mempotensiasi
nyeri yang disebabkan oleh mediator inflamasi lain (misalnya histamine,
bradikinin).
Analgetik terdiri dari :
Analgetik kuat ( opiat )
Bekerja pada :
1. Pusat hipoanalgetika :
menurunkan rasa nyeri dengan cara stimulasi reseptor obat
tidak mempengaruhi kualitas organ lain pada dosis terapi
mengurangi aktivitas kejiwaan
meniadakan rasa takut dan rasa bermasalah
menghambat pusat pernafasan dan pusat batuk
menimbulkan miosis
meningkatkan pembebasan ADH
pada pemakaian berulang seringkali menyebabkan torelansi dan
ketergantungan
2. Kerja perifer
memperlambat pengosongan lambung melalui kontriksi pirolus
mengurangi motilitas dan pengurangan tonus saluran cerna
mengkontraksi sfinkter dalam sal empedu
meningkatkan tonos otot kandung kemih
mengurangi tonos pembuluh darah
menimbulkan pemerahan kulit, urticaria, rangsang gatal
Analgetik lemah sampai sedang
Dapat juga disebut analgetik perifer ( bekerja kecil ). Disamping kerja
analgetik, senyawa – senyawa ini memiliki kerja antipiretik dengan
mempengaruhi sintesis prostaglandin
2. Antipeuretik
Zat-zat yang dapat mengurangi suhu tubuh
Cara kerja :
Berhubungan dengan sistem biosintesis prostaglandin sehingga indometasi
menghambat terjadinya inflamasi (sama dengan analgetik).
OAINS tidak mengurangi suhu tubuh normal atau suhu yang meningkatkan
pada heat stroke yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus. Selama
demam, pirogen endogen (IL 1) dilepaskan dari leukosit dan bekerja langsung
pada pusat termoregulator dalam hipotalamus untuk menaikkan suhu tubuh.
Efek ini berhubungan dengan peningkatan prostaglandin otak (yang bersifat
pirogenik). Aspirin mencegah efek peningkatan suhu dan IL-1 dengan
mencegah peningkatan kadar prostaglandin otak.
c. Vitamin
Vitamin dapat dibagi menjadi dua golongan :
1. Vitamin larut lemak : vitamin A, D,E, dan K.
Vitamin larut lemak dapat disimpan dalam jumlah banyak, sehingga untuk
timbulnya gejala defisiensi dibutuhkan waktu lebih lama dan kemungkinan
terjadinya toksisitas jauh lebih besar daripada vitamin larut air
2. Vitamin larut air : vitamin B kompleks dan vitamin C.
Vitamin larut air disimpan dalam tubuh hanya dalam jumlah terbatas dan
sisanya dibuang, sehingga untuk mempertahan saturasi jaringan vitamin larut
air perlu sering dikonsumsi. Vitamin larut air berperan sebagai kofaktor untuk
enzim tertentu.
3. Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam pemberian obat
a. Periksa identitas pasien (dalam anamnesa, riwayat penyakit pasien, alergi).
Factor patologik dari pasiennya, adakah gangguan pada ginjal atau hati, karena
akan mempengaruhi reaksi absorpsi dan ekskresi dari obat.
b. Harus tahu nama dagang dan nama generic obat dimana sebelum memberikan
obat ke pasien, periksa label pada botol tiga kali, diterangkan kegunaan obat itu
apa.
c. Harus sesuai dengan dosis yang tepat.
d. Cara pemberian tepat, yang ditentukan dengan keadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat
kerja yang diinginkan.
e. Waktu makan obat harus digunakan dengan tepat.
f. Kondisi fisiologi
Anak : Usia, berat badan, luas permukaan tubuh atau kombinasi factor-
faktor ini dapat digunakan untuk menghitung dosis anak dari dosis dewasa.
Untuk perhitungan dosis, usia anak dibagi dalam beberapa kelompok usia
sebagai berikut : sampai 1 bulan (neonates), sampai tahun (bayi), anak 1-5
tahun, dan 6-12 tahun.
Berat badan digunakan untuk menghitung dosis yang dinyatakan dalam
mg/kg. Akan tetapi, perhitungan dosis anak dari dosis dewasa berdasarkan
berat badan saja, seringkali menghasilkan dosis anak yang terlalu kecil
karena anak mempunyai laju metabolism yang lebih tinggi dan volume
distribusi yang relative lebih besar sehingga per kg berat badannya seringkali
membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada orang dewasa (kecuali pada
neonatus).
Usia lanjut : dipengaruhi oleh penurunan fungsi ginjal (filtrasi glomerulus dan
sekresi tubuli) merupakan perubahan factor farmakokinetik yang terpenting.
g. Kondisi pasien ( kritis atau tidak )
Jika kondisi pasien kritis diberikan obat secara parenteral ( intra vena dan intra
muskular ) agar kerja obat cepat sehingga cepat menimbulkan efek. Jika tidak
terlalu kritis bisa diberikan secara oral saja.
4. Profil Farmakologi
Farmakologi merupakan ilmu yang digunakan agar dapat menggunakan obat untuk
maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit.
Farmakologi mencakup pengetahuan tentang :
a. Sejarah Obat
Pada mulanya, penggunaan obat dilakukan secara empiric dari tumbuhan, (1541 SM
– 1037). (1620 – 1695) dilakukan verifikasi efek farmakologi dan toksikologi obat
pada hewan percobaan. Untuk menjamin tersedianya obat agar tidak tergantung
kepada musim maka tumbuhan obat diawetkan dengan pengawet ringan.
Pengembangan obat diawali dengan sintesis atau isolasi dari berbagai sumber yaitu
tanaman, jaringan hewan, kultur mikroba, urin manusia, dan teknik bioteknologi
yang menghasilkan insulin.
b. Sifat Fisika dan Kimia Obat
Dasar penting untuk menjelaskan aktifitas biologis obat, oleh karena :
o Memegang peranan penting dalam transport obat untuk mencapai reseptor
o (hipofilik, elektronik) berperan dalam proses absorpsi dan distribusi obat,
sehingga kadar obat pada waktu mencapai reseptor cukup besar.
o Mempunyai struktur dengan spesifitas tinggi saja yang dapat berinteraksi
dengan reseptor biologis (sterik, elektronik) yang berperan dalam menunjang
orientasi spesifik molekul pada permukaan reseptor.
c. Kontra Indikasi
Kondisi dimana obat tersebut sebaiknya tidak digunakan karena dapat berbahaya
d. Indikasi
Kegunaan dan peruntukan obat (fungsi obat tersebut)
e. Dosis
Ukuran takaran obat yang digunakan
f. Efek Samping
Obat yang memiliki efek utama ( efek farmakologi ) pasti mempunyai efek samping
yang tidak diinginkan. Jadi kita harus teliti dalam menganamnesa sebelum
pemberian obat.
g. Toksisitas
Tingkat bahaya racun suatu obat
h. Waktu Paruh
waktu yang diperlukan oleh suatu obat sampai kadarnya setengah dari dosis yang
diberikan. Berguna untuk menentukan periode pemberian obat dalam sehari.
i. Komposisi
Berapa banyak bagian unsure tersebut dalam senyawa kimia yang terdapat pada
obat.
5. Efek Samping
Hasil interaksi yang kompleks oleh molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam
sistem biologic tubuh (setiap efek yang tidak dikehendaki, yang merugikan atau
membahayakan pasien dari suatu pengobatan).
Pembagian efek samping obat :
a. Efek samping yang dapat diperkirakan
Efek farmakologik yang berlebihan (efek toksik), dapat disebabkan karena dosis
relative yang terlalu besar bagi pasien yang berlebihan, yang terjadi karena
adanya perbedaan respons kinetic atau dinamik pada kelenjar-kelenjar
tertentu.
Gejala penghentian obat, munculnya kembali gejala penyakit semula atau
reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat karena pengehntian
pengobatan
b. Efek samping yang tidak dapat di perkirakan
Alergi
Terjadi akibat reaksi imunologik, dengan ciri-ciri :
o Gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya
o Terdapat tenggang waktu antara kontak I terhadap obat dengan
timbulnya efek.
o Reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan
o Reaksi hilang bila obat dihentikan
o Keluhan atau gejala terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik.
Reaksi karena factor genetic
Mempunyai kelainan genetic dalam kemampuan metabolism obat seseorang
Tidak semua efek samping menimbulkan efek yang buruk, ada yang sifatnya
menguntungkan.
1. Efek samping menguntungkan
contoh : pada penderita tekanan darah tinggi yang dirangsang oleh psikis, efek
samping reserpin yang sedatif dianggap sebagai suatu keuntungan.
2. Efek yang merugikan
Efek toksik karena perbedaan – perbedaan akibat konstitusi atau genetik
dalam absobsi, distribusi, metabolisme dan eksresi.
Contoh : gangguan SSP, keluhan pada lambung dan usus, kerusakan
parenkim hati dan ginjal, dll
Efek samping pada waktu perkembangan embrio
Jika terjadi pada fase :
Blastogenesis : menyebabkan kematian janin
Embriogenesis : Jika bahan yang merugikan mencapai blastula yang
sedang berada pada fase diferensiasi maka terjadi kecacatan.
Fetogenesis : tidak matangnya organ atau fungsinya tidak sempurna
Faktor-faktor terjadinya efek samping obat, antara lain :
a. Factor obat
o Instrinsik dari obat yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek
samping
o Pemilihan obat
o Cara penggunaan obat
o Interaksi antar obat
b. Factor bukan obat
o Instrinsik dari pasien yaitu umur, jenis kelamin, genetic, kecenderungan
alergi, penyakit, sikap, dan kebiasaan hidup.
o Ekstrinsik di luar pasien yaitu dokter (pemberian obat) dan lingkungan.
6. Fungsi Obat
Secara umum obat berfungsi untuk :
Penetapan diagnosa
Untuk pencegahan penyakit
Menyembuhkan penyakit
Memulihkan (rehabilitasi) kesehatan
Mengubah fungsi normal tubuh untuk tujuan tertentu
Peningkatan kesehatan
Mengurangi rasa sakit
7. Mekanisme Kerja Anti Histamin dan Kortikosteroid
A. Anti Histamin
Antihistamin terdiri dari :
1. Antihistamin H1
Meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1. Selain memiliki
kefek antihistamin, hampir semua AH1 memiliki efek spasmolitik dan anastetik
lokal
2. Antihistamin H2
Bekerja tidak pada reseptor histamin, tapi menghambat dekarboksilase histidin
sehinnga memperkecil pembentukan histamin jika pemberian senyawa ini
dilakukan sebelum pelepasan histamin. Tapi jika sudah terjadi pelepasa
histamin, indikasinya sama denfan AH 1
B. Kortikosteroid
Derivate dari hormone kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal yang
berperan mengontrol respon inflamasi.
Terbagi dua :
Mineralokortikoid
Efek terhadap metabolism elektrolit Na dan K
Glukokortikoid
Terutama kortisol (hidrokortison) pada manusia, mempengaruhi metabolism
karbohidrat dan protein, tetapi juga mempunyai aktivitas mineralkortikoid
yang bermakna. Hormone ini disintesis dalam sel-sel zona fasikulata dan
zona retikularis.
Glukokortikoid (seringkali prednisolon) digunakan untuk menekan inflamasi,
alergi, dan respon imun.
Mekanisme kerja glukokortikoid :
Kortisol (dan glukokortikoid sintetik) berdifusi kedalam sel target dan terikat
pada reseptor glukokortikoid sitoplasma yang termasuk dalam superfamili
yang terdiri dari reseptor steroid, tiroid, ddan retinoid. Komplek reseptor
glukokortikoid yang teraktivasi memasuki nucleus dan terikat pada elemen
respons steroid pada molekul DNA target. Ikatan ini menginduksi sintesis
mRNA spesifik maupun merepresi gen dengan menghambat factor
transkripsi, misalnya NFкB.
Obat yang berpengaruh terhadap system saraf otonom (obat adrenergic)
Obat golongan ini disebut obat adrenergic karena efek yang ditimbulkannya
mirip perangsangan saraf adrenergic, atau mirip efek neurotransmitter
noreprinefrin dan epinefrin (yang disebut juga noradrenalin dan adrenalin).
Golongan obat ini disebut juga obat simpatik atau simpatomimetik.
Kerja obat adrenergic dapat dkelompokkan dalam 7 jenis :
1. Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah kulit dan
mukosa, dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan organ perifer : otot polos usus, bronkus, dan pembuluh
darah otot rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan
kekuatan kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, peningkatan
kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.
5. Egek metabolic, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot,
liposis, dan penglepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak.
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, rennin, dan
hormone hipofisis.
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan penglepasan
neurotransmiter NE atau Ach
Obat adrenergic kerja langsung
Sebagian besar obat adrenergic bekerja secara langsung pada reseptor
adrenergic di membrane sel efektor. Akan tetapi, berbagai obat adrenergic
tsb berbeda dalam kapasitasnya untuk mengaktifkan berbagai jenis reseptor
adrenergic.
Epinefrin bekerja langsung pada reseptor α1,α2,β1,β2, dan β3 sedangkan
norepinefrin bekerja pada reseptor α1, α2, dan β1, dan kurang pada
reseptor β2.
Obat adrenergic kerja tidak langsung
Contoh : amfetamin tiramin.
Artinya menimbulkan efek adrenergic melalui pelepasan NE yang tersimpan
dalam ujung saraf adrenergic. Karena itu, efek obat-obat ini menyerupai efek
NE, tetapi timbulnya lebih lambat dan masa kerjanya lebih lama. Obat-obat
ini mengalami ambilan ke dalam ujung saraf adrenergic melalui ambilan 1
(norepinefrin transporter=NET) dan kedalam gelembung sinaps melalui
vesicular monoamine transporter (VMAT-2), dan menggnatikan NE dalam
tempat penyimpanannya.
8. Obat-obat yang Mempengaruhi Sistem Saraf Otonom
Obat – obat yang merangsang saraf otonom
1. Simpatomimetik
Obat yang kerjanya merangsang saraf simpatis sehingga mengeluarkan adrenalin
2. Simpatolitik
Obat yang kerjanya menghambat kerja saraf simpatis
3. Parasimpatomimetik
Terdiri dari :
o Parasimpatomimetik langsung
Zat penghantar rangsang fisiologik asetilkolin menstimulasi reseptor
parasimpatis. Contoh obat : karbakol, betanekol
o Parasimpatomimetik tidak langsung
Menghambat kerja asetilkolin esterase ( zat yang menguraikan asetilkolin
sehingga tidak aktif ), sehingga asetilkolin dapat menimbulkan efek pada saraf
parasimpatis.
4. Parasimpatolitik
Bekerja pada ganglion saraf.
top related