sofina kusnadi_g0008171
Post on 30-Nov-2015
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN INDIVIDU FIELD LABPENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR
TUBERCULOSIS
A P L I K A S I S T R A T E G I D I R E C T L Y O B S E R V E D T R E A T M E N T S H O R T - C O U R S E ( D O T S ) D A L A M
P E N A N G G U L A N G A N T U B E R C O L I S I S D I P U S K E S M A S S E L O G I R I , W O N O G I R I
OLEH:
SOFINA KUSNADIG0008171
KELOMPOK A3
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
1
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Laporan : APLIKASI STRATEGI DIRECTLY OBSERVED
TREATMENT SHORT-COURSE (DOTS) DALAM
PENANGGULANGAN TUBERCOLOSIS DI
PUSKESMAS SELOGIRI, WONOGIRI
Disusun Oleh : SOFINA KUSNADI
GOOO8171
KELOMPOK 3
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS ANGKATAN 2008
Menyatakan bahwa laporan ini adalah asli dan belum pernah dibuat oleh
siapapun sebelumnya. Laporan ini disusun sebagai bagian dari tugas kegiatan
Field Lab Blok Respirasi. .
Surakarta, 19 desember 2009
Mengetahui,Pengampu Field Lab Kepala Puskesmas Selogiri
dr. Endang Sulistiyowati drg. Evi ArliyantinaNIP 19760831 200501 2 005 NIP 19750824 200312 2 004
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………................. i
Lembar Pengesahan ………………………………………….…................ ii
Daftar Isi ……………………………………………………….................. iii
BAB I Pendahuluan ……………………………………………................. 1
A. Latar Belakang ……………………………………………………. 1
B. Tujuan Pembelajaran ……………………………………………… 1
BAB II Kegiatan Lapangan ………………………………………………. 2
BAB III Pembahasan ……………………………………………………… 11
BAB IV Penutup ………………………………………………………….. 16
A. Kesimpulan …………………………………………………………16
B. Saran ………………………………………………………………..16
Daftar Pustaka ………………………………………………………………17
Lampiran……………………………………………………………………..18
3
BAB I
PENDAHULUAN DAN TUJUAN PEMBELAJARAN
A. LATAR BELAKANG
Tubercolosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia ini. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan tubercolosis sebagai
Global Emergency (PDPI, 2006). Sampai saat ini diperkirakan sekitar
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tubercolosis.
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan
kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per
100.000 penduduk (Field Lab FK UNS, 2009).
Pada awal tahun 1990 WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi
strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-Course) dan telah terbukti sebagai strategi
penaggulangan yang paling cost-effective. Fokus utama DOTS adalah
penemuan dan penyembuhan pasien, dengan prioritas diberikan kepada
kepada pasien TB menular (Field Lab FK UNS, 2009).
Field Lab merupakan sarana pembelajaran bagi mahasiswa yang sangat
efektif. Dengan terjun langsung ke lapangan mahasiswa dapat
mengaplikasikan teori-teori yang telah dipelajari dengan kegiatan yang
dilakukan di lapangan. Hal ini sangat penting dalam menunjang proses
belajar, yang juga berguna sebagai pembanding antara teori yang telah didapat
dengan aplikasi yang ada di lapangan itu sendiri.
B. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti kegiatan laboratorium lapangan, diharapkan mahasiswa
mampu:
a. Mendemonstrasikan alogaritma penemuan suspek dan kasus TB dengan
strategi DOTS.
4
b. Mendemonstrasikan alur pencatatan dan pelaporan kasus TB dengan
strategi DOTS.
c. Melakukan penghitungan angka keberhasilan pengobatan kasus TB.
d. Mendemonstrasikan cara pemantauan dan evaluasi pengobatan kasus TB
dengan strategi DOTS.
e. Mendemonstrasikan cara diagnosis dan pengobatan profilaksis TB anak.
BAB II
KEGIATAN LAPANGAN
A. PEMBERIAN MATERI DAN DISKUSI
Waktu : Kamis, 10 Desember 2009
Tempat : Puskesmas Selogiri, Wonogiri
Isi :
Mycobacterium tubercolosis
Sifat Mycobacterium tubercolosis :
1. Bisa resisten sehingga obat diberikan dalam bentuk kombinasi, bukan
tunggal, untuk mencegah munculnya resistensi.
2. Bisa dorman sehingga penobatan tubercolosis harus dilakukan terus-
menerus selama 6 bulan, tidak boleh berhenti sebelum
lengkap walaupun pasien merasa kondisinya membaik
(dormansi bakteri).
DOTS
Makna D O T S
“Directly Observed”= Observasi langsung
terhadap suspek TB.
“ Treatment Short-course” = Penobatan
berlangsung singkat (6 bulan), tidak seperti dahulu
(bertahun-tahun).
5
Pengobatan Tubercolosis
Makna singkatan obat
2 H R Z E
Diminum setiap hari
2 bulan
4 H 3 R 3
4 bulan 3 kali seminggu
Untuk OAT, setiap pasien diberi TB kit tersendiri yang diberi identitasnya
pada dus kit paket OAT tersebut. Satu kit OAT berisi obat yang dibutuhkan
untuk 6 bulan masa pengobatan. Setiap satu tablet obat merupakan kombinasi
dari 4 macam obat (OAT-KDT). Untuk pasien anak, OAT berupa kombipak
(masih terpisah) yang mana harus dicampur terlebih dahulu.
Pengobatan tubercolosis untuk pasien dewasa berbeda dengan pasien
anak. Untuk pasien dewasa, pengobatan dapat diperpanjang setelah 6 bulan,
yaitu setelah lengkap pengobatan dengan OAT kategori 1, apabila pengobatan
gagal dapat dilanjutkan ke pengobatan dengan OAT kategori 2. Sedangkan
untuk anak, apabila pengobatan dengan OAT selama 6 bulan telah lengkap
dan tetap menunjukan BTA +, pengobatan dengan OAT dihentikan dan dicari
diagnosis selain TB.
6
Diagnosis Tubercolosis
Alur diagnosis TB paru dewasa
BTA + BTA +
BTA+
BTA – Rontgen +
7
Suspek TBC
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)
Hasil BTA+ + +
+ + -
Hasil BTA
+ - -
Hasil BTA- - -
Foto thorax dan pertimbangan dokter
Beri antibiotik spektrum luas
Tidak ada perbaikan
Ada perbaikan
TB
Bukan TB
Pemeriksaan dahak mikroskopis
Hasil BTA+ + ++ + -+ - -
Hasil BTA- - -
Foto thorax dan pertimbangan dokter
Pot yang digunakan untuk menaruh sputum untuk pemeriksaan dahak
mikroskopis berupa pot yang terstandardisasi, tujuannya adalah agar droplet
yang dimasukkan pasien ke dalam pot tidak menyebar keluar sehingga tidak
berisiko menular ke lingkungan sekitarnya. Selain itu, identitas pasien ditulis
di wadah pot (bukan tutup pot) agar tidak tertukar dengan pot sputum pasien
lain. Cara yang tepat dalam pengeluaran dahak ke pot adalah dilakukan di
tempat terang dan di luar ruangan. Tujuannya adalah apabila saat pengeluaran
dahak, droplet dahak yang keluar dari pot langsung mati terkena sinar
matahari dan tidak berada tetap di ruangan.
Antibiotik spektrum luas yang dimaksud dalam alur diagnostik di sini
adalah antibiotik yang tidak dikhususkan untuk penyakit infeksi yang
dikarenakan mikroorganisme tertentu, misalnya TBC. Antibiotik ini bisa
digunakan secara luas, baik untuk bakteri gram positif maupun gram negatif,
misalnya amoksisilin.
Orang dengan TB ekstra paru, sebelumnya pasti pernah terkena TB paru
tetapi pada saat itu daya tahan tubuhnya mungkin kuat sehingga dapat
melawan infeksi TB. Dengan sifat kuman TB yang dapat mengalami
dormansi, seseorang dapat mengalami infeksi kembali dan dimungkinkan juga
terjadi di daerah lain pada tubuh selain paru yang menimbulkan TB ekstra
paru.
Diagnosis TB pada anak sulit dilakukan karena anak belum bisa
mengeluarkan sputum secara optimal seperti pada orang dewasa. Oleh karena
itu, dibuatlah Scoring System untuk diagnosis TB anak oleh Unit Kerja
Koordinasi Respirrologi PP IDAI. Salah satu parameter dalam scoring system
ini adalah uji tuberkulin. Namun seringkali uji tuberkulin tidak tidak dapat
dilakukan karena tidak ada fasilitas di puskesmas terkait. Padahal parameter
uji tuberkulin ini mempunyai bobot skor yang tinggi dalam diagnosis TB
anak. Oleh karena itu, yang seringkali dijadikan parameter utama dalam
diagnosis TB anak adalah masalah gizi anak, berupa berat badan yang tidak
mengalami peningkatan.
8
Prosedur Pengobatan Pasien Tubercolosis
Tipe Pasien TB Uraian Hasil BTA Tindak Lanjut
Pasien baru BTA
(+)dengan
pengobatan
kategori 1
Akhir tahap
intensif
(-) Tahap lanjutan dimulai
(+) Dilanjutkan dengan OAT
sisipan selama 1 bulan.
Jika setelah sisipan masih
tetap positif, tahap
lanjutan tetap diberikan
Sebulan sebelum
akhir pengobatan
atau akhir
pengobatan
(-)
keduanya
Sembuh
(+) Gagal, ganti dengan OAT
kategori 2 mulai dari awal
Pasien baru BTA
(-) dan Rontgen
(+) dengan
pengobatan
kategori 1
Akhir intensif
(-) Berikan pengobatan tahap
lanjut sampai selesai,
kemudian pasien
dinyatakan pengobatan
lengkap.
(+) Ganti dengan kategori 2
mulai dari awal
Penderita baru
BTA (+) dengan
pengobatan ulang
kategori 2
Akhir intensif (-) Teruskan pengobatan
dengan tahap lanjutan
(+) Beri sisipan 1 bulan. Jika
setelah sisipan masih tetap
positif, teruskan
pengobatan tahap lanjutan.
Jika fasilitas memadai,
rujuk untuk uji kepekaan
obat
Sebulan sebelum
akhir pengobatan
(-)
keduanya
Sembuh
9
atau akhir
pengobatan
(+) Belum ada pengobatan,
disebut kasus kronik, jika
mungkin, rujuk kepada
unit pelayanan spesialis.
B. ANALISIS DATA PASIEN TUBERCOLOSIS
Nama pasien : Bu Ngadinem
Umur : 70 tahun
Alamat lengkap : Ngledak RT 04 RW 07 Pule
Nama PMO : Bapak Suyatno (menantu)
Alamat PMO : Ngledak RT 04 RW 07 Pule
Tahun : 2008
No. Reg TB Kabupaten : 538
Klasifikasi TB : TB paru
Tipe penderita : Baru
Data selengkapnya mengenai pasien ada pada lampiran, yaitu form kartu
pengobatan TBC. Analisis lengkap mengenai data ini ada pada pembahasan.
C. ANALISIS INDIKATOR DALAM PROGRAM PENANGANAN TB
Dalam analisis ini, dimasukkan data jumlah suspek selama 1 tahun adalah 64.
Sebenarnya dimungkinkan bahwa angkanya melebihi 64 karena data jumlah
suspek bulan Desember belum ada karena saat ini masih pertengahan
Desember 2009. Namun, untuk penghitungan di bawah, angka 64 lah yang
digunakan.
1. Angka Penjaringan Suspek
= 64 X 100.000 = 117,9854
54.244
10
Jumlah suspek yang diperiksa
Jumlah pendudukX 100%
Angka ini digunakan untuk mengetahui upaya penemuan pasien
dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya
dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan). Angka ini menunjukkan bahwa
ada kurang lebih 117 suspek yang berhasil diperiksa dahaknya di antara
100.000 penduduk Selogiri dalam 1 tahun.
2. Proporsi Pasien TB BTA Positif di antara Suspek
= 6 X 100% = 9,375%64
Angka ini menggambarkan mutu proses penemuan sampai dengan
diagnosis serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Normalnya adalah
sekitar 5-15%. Angka di Puskesmas Selogiri sesuai dengan harga rujukan
yang berarti bahwa penjaringan suspek telah baik dan efektif dilaksanakan di
puskesmas Selogiri.
Proporsi pasien TB BTA positif di area kerja Puskesmas pada bulan
Januari 2009 sampai dengan Desember 2009 yaitu:
a. Januari 2009 : 1 X 100 % = 9,0909091 %
11
b. Februari 2009 : 1 X 100% = 11,11%
9
c. Maret 2009 : 0%
d. April 2009 : 0%
e. Mei 2009 : 0%
d. Juni 2009 : 1 X 100% = 50%
2
e. Juli 2009 : 0%
f. Agustus 2009 : 0%
g. September 2009 : 0%
h. Oktober 2009 : 0%
11
Jumlah pasien TB BTA positif yang ditemukan
Jumlah seluruh suspek TB yang diperiksaX 100%
i. November 2009 : 1 X 100% = 11,11%
9
j. Desember 2009 : Terdapat 2 pasien BTA positif, tapi tidak ada angka
jumlah suspek bulan Desember 2009 sehingga
penghitungan tidak dapat dilakukan.
3. Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
= 6 X 100% = 22,2%
27
Dengan ARTI 1%, diperkirakan di antara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10 % di antaranya akan menjadi sakit TB setiap
tahun dan 50 % di antaranya adalah pasien TB BTA positif (Tim Field Lab
FK UNS, 2009).
1 % 10% 50%54.244 542,44 54,244 27,122
Angka ini menunjukkan prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang
ditemukan dan diobati dibandingkan jumlah pasien baru BTA positif yang
diperkirakan ada dalam wilayah tersebut dan menggambarkan cakupan
penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tertentu. Target nasional
adalah minimal 70%. Angka ini kecil (22,2%) dimungkinkan karena
masyarakat di Selogiri berobat ke institusi kesehatan lain selain puskesmas
Selogiri.
4. Angka Konversi (Conversion Rate)
Januari 2009 : 1 X 100% = 100%
1Februari 2009 : 1 X 100% = 100%
12
Jumlah pasien baru TB BTA positif yang dilaporkan dalam TB.07
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA PositifX 100%
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang konversi Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang diobati X 100%
1Maret 2009 : 0 % (tidak ada pasien BTA positif)
April 2009 : Ada ketidaksesuaian data. Data menunjukkan bulan April
tidak ada pasien BTA positif tapi dua bulan berikutnya
menunjukkan angka konversi 1. Hal ini tidak sesuai.
Mei 2009 : 0 % (tidak ada pasien BTA positif)
Juni 2009 : 1 X 100% = 100%
1Juli 2009 : 0 % (tidak ada pasien BTA positif)
Agustus 2009 : Ada ketidaksesuaian data. Data menunjukkan bulan April
tidak ada pasien BTA positif tapi dua bulan berikutnya
menunjukkan angka konversi 1. Hal ini tidak sesuai.
Sptember 2009 : Ada ketidaksesuaian data. Data menunjukkan bulan April
tidak ada pasien BTA positif tapi dua bulan berikutnya
menunjukkan angka konversi 1. Hal ini tidak sesuai.
Untuk bulan selanjutnya, ada data mengenai jumlah pasien BTA positif
tetapi tidak ada data jumlah konversi di dua bulan berikutnya karena
belum mencapai bulan tersebut. Saat ini masih pertengahan Desember
2009.
5. Angka Kesembuhan (Cure Rate)
Januari 2009 (dihitung di bulan Juni) : 1 X 100% = 100%
1
Bulan Juli 2009 sampai Desember 2009 belum ada data.
13
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang sembuh
Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang diobati X 100%
Angka kesembuhan TB yang dicapai di wilayah kerja Puskesmas Selogiri
pada bulan Januari, Februari dan Juni 2009 mencapai 100%. Angka ini telah
melampaui batas minimal yang harus dicapai, yaitu 85%.
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan data dari kartu pengobatan TBC, Bu Ngadinem merupakan
tipe penderita TB baru. Hal ini berarti Ibu Ngadinem belum pernah diobati
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu). Selain itu, bu Ngadinem juga diklasifikasikan sebagai penderita TB
paru. Klasifikasi ini didasarkan pada prosedur diagnosis untuk TB paru.
Prosedurnya adalah, semua suspek TB yang menunjukan gejala klinis TB
diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu.
Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannnya
kuman BTA. Namun, berdasarkan data, hasil pemeriksaan dahak Bu
Ngadinem pada saat itu (9 Desember 2008) adalah BTA negatif. Berdasarkan
teori, sediaan yang positif memberikan petunjuk awal untuk menegakkan
diagnosis TB, tapi suatu sediaan yang negatif tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya infeksi penyakit (Price dan Standridge, 2005). Sesuai
alur diagnosis TB paru, jika pasien menunjukkan hasil pemeriksaan BTA
negatif padahal mengalami gejala TB, perlu diberikan antibiotik non-OAT
(antibiotik sperktrum luas) dan tidak langsung dilakukan foto thorax. Pada
kartu pengobatan TBC pasien dicatatkan bahwa hasil pemeriksaan rontgen
adalah positif. Apabila dianalisis sesuai alur diagnosis TB paru, berarti
setelah pemberian antibiotik non-OAT, pasien kemungkinan tidak mengalami
perbaikan kondisi. Setelah itu dilaksanakan pemeriksaan dahak mikroskopis
kembali dan hasilnya adalah negatif, bukan positif sehingga dilakukan foto
thorax. Berdasarkan foto thorax, hasilnya adalah positif. Kondisi ini
menjadikan pasien terklasifikasi sebagai pasien TB paru BTA negatif
rontgen positif.
14
Secara patologis, manifestasi dini TB paru biasanya berupa suatu
kompleks kelenjar getah bening parenkim. Pada orang dewasa, segmen apeks
dan posterior lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan tempat-
tempat yang sering menimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan densitas
pekat. Dapat juga terlihat adanya kavitas dan gambaran penyakit yang
menyebar dan biasanya bilateral (Price dan Standridge, 2005).
Tubercolosis yang terjadi pada pasien secara patogenesis dapat merupakan
tubercolosis primer maupun sekunder. Tubrcolosis primer ini terjadi akibat
terinhalasinya kuman dari droplet nuclei sehingga masuk dan menempel pada
saluran nafas dan jaringan paru. Bila sistem imun tubuh tidak bisa
melawannya, kuman akan menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di paru ini akan membentuk
sarang tubecolosis pneumonia kecil atau sarang primer. Dari sarang primer
dapat timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal)
dan dan diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini
dapat menjadi sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan bekas luka
garis fibrotik atau menyebar dan menimbulkan komplikasi. Kuman yang
dormant pada tubercolosis primer dapat muncul bertahun-tahun kemudian
menjadi tubercolosis dewasa atau tubercolosis post-primer. Hal ini dapat
disebabkan turunnya imunitas pada seseorang.Kondisi ini dapat juga
menimbulkan lesi seperti pada tubercolosis primer (Amin dan Bahar, 2006).
Penatalaksanaan pasien TB di unit pelayanan kesehatan mengggunakan
strategi DOTS yang bertujuan utama untuk menurunkan angka kematian dan
kesakitan serta mencegah penularan. Salah satu bagian dari strategi penemuan
pasienTB selain penemuan pasien secara pasif dengan promosi aktif adalah
pemeriksaan terhadap kontak pasien TB. Pemeriksaan kontak serumah
pada Bu Ngadiyem antara lain dilakukan terhadap Bapak Suyatno (40 tahun),
Ibu Tumiyem (38 tahun), Amos (17 tahun), Geri (14 tahun) dan Feren (7
tahun).Hal ini penting dilakukan karena kebanyakan infeksi TB terjadi melalui
15
udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman basil tuberkel
yang berasal dari orang yang terinfeksi (Price dan Standrige, 2005). Pada
kartu pengobatan TBC, tidak tertuliskan tanggal pemeriksaan maupun hasil.
Hal ini dimungkinkan karena anggota keluarga yang diperiksa kontaknya
tersebut tidak menunjukkan gejala TB sehingga tidak diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut. Namun, seharusnya di kartu pengobatan TBC
dituliskan bahwa anggota keluarga yang diperiksa tidak menunjukkan gejala
TB bila memang demikian.
Selanjutnya, yang akan dibahas adalah pengobatan pasien. Berdasarkan
prosedur, pengobatan untuk pasien baru BTA (-) dan Ro (+) adalah
pengobatan dengan OAT kategori 1 FDC. Berat badan pasien adalah 25 kg.
Dengan demikian, pasien mendapat dosis 2 tablet KDT, dengan dosis perhari
obat : Rifampicin 300 mg, Isoniazid 150 mg, Pyrazinamide 800 mg dan
Etambutol 550 mg. Pengobatan meliputi fase intensif dan fase lanjut yang
totalnya 6 bulan. Pengobatan tahap intensif dimulai pada tanggal 19
Desember 2008 sampai tanggal 14 Februari 2009 (58 dosis). Seharusnya
pengobatan tahap intensif hanya menggunakan 56 dosis obat, tapi hal ini tidak
masalah asalkan dosis pengobatan tidak kurang dari yang seharusnya maupun
terlalu berlebihan. Selama masa pengobatan intensif tersebut, ada hari dimana
penderita mengambil obat atau pengobatan di bawah pengawasan petugas
kesehatan yang ditandai dengan “√”. Garis yang merupakan tanda pengobatan
tahap intensif berupa garis yang tidak teputus karena pemberian obat
dilakukan setiap hari selama 2 bulan. Apabila melihat jadwal kontrol yang
terdapat di kartu pengobatan TBC (ditandai dengan “√”), kontrol pasien
termasuk cukup sering karena dilaksanakan hampir setiap minggu.
Seharusnya, kontrol ini tidak dilakukan terlalu sering mengingat kondisi
pasien dengan umurnya yang sudah 70 tahun dan berat badan hanya 25 kg.
Paling tidak, kontrol sebaiknya dilaksanakan dua minggu sekali supaya pasien
tidak bosan dan merasa terlalu lelah. Pada akhir tahap intensif, yaitu pada
bulan kedua dilaksanakan pemeriksaan dahak mikroskopis kembali untuk
mengetahui hasil pengobatan. Data menunjukkan hasil BTA negatif setelah
16
pengobatan tahap intensif. Pada tahap ini, biasanya gejala-gejala TB tidak
muncul lagi sehingga pasien merasa sudah sembuh. Dalam hal ini, penting
sekali bagi dokter dan petugas kesehatan untuk mengingatkan pasien agar
tetap menjalani pengobatan hingga akhir (6 bulan) untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Selain itu, disinilah
peran penting dari Pengawas Menelan Obat (PMO), yaitu Bapak Suyatno.
Tugas seorang PMO antara lain:
1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai
selesai pengobatan
2. Memberikan dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan.
4. Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB
yang mempunyai gejala-gejal mencurigakan TB untuk segera
memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.
Langkah selanjutnya dalam masa pengobatan Bu Ngadiyem adalah
pengobatan tahap lanjutan dengan OAT kategori 1 FDC. Pengobatan tahap
lanjut ini dimulai pada tanggal 16 Februari 2009 sampai 6 Juni 2009. Berbeda
dari tahap intensif, garis tanda konsumsi obat pada data ini terputus-putus, hal
ini dikarenakan konsumsi obat untuk pengobatan fase lanjut tidak dilakukan
setiap hari, tapi tiga kali dalam seminggu dalam 16 minggu (4 bulan) sehingga
berjumlah 48 dosis. Seharusnya, pada akhir tahap intensif dilaksanakan
pemeriksaan dahak mikroskopis kembali. Namun, pada kartu pengobatan
TBC Bu Ngadiyem tidak tertulis hasil pemeriksaan dahak setelah bulan
kedua sehingga tidak diketahui apakah BTA nya positif atau negatif. Pada
kolom hasil akhir pengobatan, tertulis bahwa pengobatan lengkap pada
tanggal 6 Juni 2009. Pengobatan lengkap berarti pasien telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh
atau gagal. Mengapa disebut tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal?
Hal ini dikarenakan dari awal hasi pemeriksaan BTA pasien menunjukkan
BTA negatif, jadi bilapun hasil pemeriksaan BTA setelah selesai masa
17
pengobatan adalah BTA negatif, kondisi ini tidak bisa dikatakan sembuh atau
gagal karena dari awal BTA pasien adalah negatif.
Seperti telah dibahas sebelumnya, beberapa data dalam kartu pengobatan
TBC ada yang tidak lengkap. Hal ini dimungkinkan terjadi karena penulisan
data pasien TBC tidak hanya pada satu tempat saja yaitu kartu pengobatan
TBC. Data juga ada yang dituliskan di kartu riwayat medis sehinnga tidak
semua data lengkap tertulis di kartu pengobatan TBC.
18
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Puskesmas Selogiri, Wonogiri merupakan puskesmas yang
berkualitas karena kualitas yang ditunjukkan selama ini telah memadai dan
dapat mensukseskan program yang telah dicanangkan oleh pemerintah.
Dengan adanya kegiatan field lab ini mahasiswa dapat memahami seluruh
kompetensi dalam tujuan pembelajaran.
Field lab yang telah dilaksanakan pada tanggal 10 dan 19 Desember
2009 di Puskesmas Selogiri, Wonogiri telah memberikan banyak
pengetahuan mengenai pengaplikasian strategi DOTS baik terkait
penemuan maupun pengobatan penderita tubercolosis. Kami sangat
terbantu oleh bimbingan instruktur. Ilmu yang kita peroleh dari kegiatan
field lab ini, diharapkan dapat menjadi bekal yang berguna saat menjadi
dokter yang nantinya akan terjun dalam masyarakat.
B. Saran
1. Sebaiknya data mengenai pasien dalam kartu pengobatan TBC ditulis
lengkap agar memudahkan dalam mengetahui riwayat medis pasien
secara lengkap.
2. Sebaiknya kontrol pasien ke puskesmas tidak dilakukan setiap minggu
disesuiakan dengan kondisi pasien.
3. Sebaiknya kegiatan field lab tetap dilakukan tga kali pertemuan agar
lebih maksimal hingga praktik langsusng di lapangannya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z dan Bahar, A. 2006. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, A.W, dkk.
2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkolosis. Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. 2006.
Price, S.A dan Strandridge, M.P. 2005. Tuberkolosis Paru. Dalam Price, S.A dan
Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta : EGC.
Tim Field Lab FK UNS. 2009. Buku Panduan Field Lab. Pengendalian Penyakit
Menular Tubercolosis. Surakarta: FK UNS.
20
top related