sindrom hepatorenal
Post on 05-Aug-2015
184 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Akhir abad ke-19, Frerich (1861) dan Flint (1863) melaporkan adanya hubungan antara
penyakit hati lanjut, asites, dan gagal ginjal tanpa ditemukannya perubahan signifikan pada
histologi ginjal.1 Pasien dengan sirosis dan asites sering berkembang menjadi gagal ginjal yang
bersifat khusus, yang dikenal dengan nama Sindrom Hepatorenal (SHR). Istilah sindrom
hepatorenal pertama kali diperkenalkan P. Merklen tahun 1916 dan diambil oleh W. Nonenbruch
tahun 1939.4 Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit
hati tingkat berat baik yang akut maupun kronis.5
Berdasarkan International Ascites Club (1994), sindrom hepatorenal adalah sindroma
klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi
portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi
arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen.4 Pada sindrom hepatorenal ditemukan adanya
vasokonstriksi di sirkulasi ginjal yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus rendah dan
vasodilatasi arteriol yang luas pada sirkulasi di luar ginjal sehingga menyebabkan penurunan
resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi.
Sindrom hepatorenal umumnya terjadi pada pasien sirosis hepatis dengan asites, hepatitis
yang disebabkan oleh penggunaan alkohol berat (alcoholic hepatitis), atau gagal hati akut.
Selain itu, kejadian sindrom hepatorenal dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor presipitasi yang
dapat menyebabkan fungsi hati semakin memburuk dengan cepat, misalnya infeksi (spontaneous
bacterial peritonitis), perdarahan dari traktus gastrointestinal, parasentesis volume besar tanpa
infus albumin, ketidakseimbangan elektrolit, atau penggunaan obat-obat diuretik yang
berlebihan.3
Pada stadium awal, gangguan fungsi ginjal pada sindrom hepatorenal bersifat reversibel,
yaitu dapat membaik dengan intervensi medis. Akan tetapi, stadium ekstrim dari gangguan
fungsi ginjal ini bersifat ireversibel.5
Secara umum prognosis sindrom hepatorenal adalah buruk. Tanpa transplantasi hati atau
pengobatan dengan vasokonstriktor yang tepat, rerata angka ketahanan hidup kurang dari 2
minggu.5 Oleh karena itu, pencegahan terjadinya sindrom hepatorenal harus mendapat perhatian
utama.
1
Tingginya angka kejadian sindrom hepatorenal pada pasien yang mengalami sirosis
hepatis serta masih terbatasnya kepustakaan mengenai sindrom hepatorenal menjadi alasan
dibuatnya referat ini. Referat yang berjudul “Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom
Hepatorenal” ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
2
BAB I
ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL
I. Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masing-
masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan
terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan
adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga
11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12.
Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm
dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3.
Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah
dibandingkan ginjal kiri.2
Syntopi ginjal
Ginjal kiri Ginjal kanan
Anterior Dinding dorsal gaster
Pankreas
Limpa
Vasa lienalis
Usus halus
Fleksura lienalis
Lobus kanan hati
Duodenum pars descendens
Fleksura hepatica
Usus halus
3
Tabel. 1. Syntopi Ginjal 2
Gambar 1. Anatomi Ginjal 3
4
Secara mikroskopis ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2
juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari
kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan
tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul.
Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan
disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga
terbentuk filtrat yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui
pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung
kencing kemudian ke luar melalui uretra.
Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan
cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan
tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan
menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian
diekskresikan disebut urin.3
5
Gambar 2. Struktur Mikroskopis Ginjal 3
II. Fisiologi Ginjal 3
Ginjal memiliki berbagai fungsi penting antara lain sebagai berikut.
1. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun
2. Mempertahankan keseimbangan cairan tubuh
3. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh
4. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak
5. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang
6. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah
7. Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah
6
BAB. II
SINDROM HEPATORENAL
I. Definisi
Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati
tingkat berat baik yang akut maupun kronis. SHR bersifat fungsional dan progresif. SHR
merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal.5
Berdasarkan International Ascites Club (1994), sindrom hepatorenal adalah sindroma
klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi
portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi
arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen.4
Sindrom Hepatorenal ditandai dengan azotemia tanpa disertai shock dan proteinuria yang
signifikan dimana tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal setelah pemberian cairan Saline isotonis.6
II. Epidemiologi
Sekitar dua puluh persen pasien sirosis hepatis dengan asites disertai fungsi ginjal yang
normal akan mengalami sindrom hepatorenal (SHR) setelah 1 tahun dan 39% setelah 5 tahun
perjalanan penyakit. Gines dkk melaporkan kemungkinan insiden SHR pada pasien sirosis
hepatis mencapai 18% pada tahun pertama dan akan meningkat hingga 39% pada tahun ke lima.
Pasien dengan peritonitis bakterial spontan memiliki kesempatan sepertiga untuk mengalami
perkembangan menjadi SHR.5
III. Patogenesis
Karakteristik dari SHR adalah terjadinya vasokonstriksi sirkulasi ginjal yang kuat, menetap
dan progresif bersamaan dengan perburukan penyakit hati yang mendasari. Namun, proses
vasokonstriksi ini disertai dengan pengurangan pengisisan arteri sistemik yang disebabkan oleh
vasodilatasi arteri pada sirkulasi splanknik. Mekanisme yang mendasari hal ini belum
sepenuhnya dimengerti, namun mungkin mencakup peningkatan faktor vasokonstriktor dan
7
penurunan vasodilator pada sirkulasi ginjal.3 Hipotesis yang menjelaskan patogenesis SHR
adalah Hipotesis Vasodilatasi Sirkulasi Perifer, yaitu sebagai berikut.7
Perkembangan hipertensi portal pada sirosis hati akan berkaitan dengan vasodilatasi sirkulasi
splanknik akibat pengeluaran nitric oxide dan substansi-substansi vasodilator lain.
Berdasarkan hipotesis ini, SHR merupakan ekspresi ekstrim dari keadaan vasodilatasi ini.
Pada fase awal sirosis, penurunan resistensi vaskular sistemik dikompensasi dengan
peningkatan denyut dan curah jantung. Namun, sejalan dengan progresivitas dan peningkatan
keadaan vasodilatasi, peningkatan kerja jantung tidak dapat mengkoreksi keadaan yang
terjadi. Terjadi hipotensi arterial yang kemudian merangsang aktivasi baroreseptor, sistem
renin-angiotensin, dan saraf simpatis dimana meningkatkan tekanan darah arteri serta retensi
air. Namun diketahui sirkulasi splanknik resisten terhadap efek dari angiotensin-II, hormon
antidiuretik, dan noradrenalin akibat pengeluaran nitric oxide dan faktor vasodilator lain
secara lokal. Efek vasokonstriksi terjadi pada ginjal, otot, kulit, dan otak.
SHR berkembang pada fase akhir dari penyakit ketika terjadi ketidakseimbangan yang
ekstrim dari volume efektif sirkulasi dan hipotensi berat. Stimulasi hemostatik justru
menyebabkan vasokonstriksi sirkulasi ginjal ditandai dengan penurunan perfusi dan laju
filtrasi ginjal, azotemia, dan peningkatan konsentrasi kreatinin serum.
Progresifitas vasokonstriksi sirkulasi ginjal diperkirakan disebabkan pula oleh penurunan
sintesis nitric oxide intrarenal dimana merupakan faktor vasodilator.
Gambar. 3 Patogenesis SHR 5
8
Penyakit hati berat atau sirosis hati + Hipertensi portal
Vasodilatasi sirkulasi splanknik
Hipovolemi arterial sentral
Aktivasi : Simpatis, RAAS, ADH
Vasokonstriksi renal meningkat
Intrarenal : Vasokonstriktor
vasodilator
Vasokonstriksi renal lebih meningkat
Sindrom Hepato Renal
Gambar 4. Perjalanan Hipotesis Vasodilatasi Sirkulasi Perifer 6
Gambar 5. Patofisologi Sindrom Hepato Renal7
9
IV. Faktor Presipitasi
Berbagai situasi beresiko dapat memicu terjadinya sindrom hepatorenal dan berbagai faktor
prediktif memungkinkan untuk memastikan perkembangan sindrom hepatorenal pada pasien
non-azotemia dengan sirosis dan asites.
Tabel 3. Faktor Presipitasi dan Prediktif pada Pasein dengan Sirosis dan Asites yang Berkaitan
dengan Perkembangan Sindrom Hepatorenal4
Faktor-faktor presipitasi yang dapat diidentifikasi mencakup infeksi bakteri, parasentesis
volume besar tanpa infus albumin, perdarahan saluran cerna, dan hepatitis alkohol akut dapat
memicu terjadinya sindrom hepatorenal.3
10
Gambar 6. Peranan Faktor Presipitasi pada SHR8
V. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penderita sindroma hepatorenal ditandai dengan kombinasi antara gagal
ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau
progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air, yang menimbulkan asites, edema
dan dilutional hyponatremia, yang ditandai oleh ekskresi natrium urin yang rendah dan
pengurangan kemampuan buang air (oliguri –anuria). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat
ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total
tahanan pembuluh darah sistemik.7 Pada pasien sirosis hepatis, 80% kasus SHR disertai asites,
75% disertai ensefalopatihepatic, dan 40% disertai ikterus. 5
11
Tabel 4. Gangguan Hemodinamik yang Sering Ditemukan pada SHR7
Cardiac output meninggi
Tekanan arterial menurun
Total tahanan pembuluh darah sistemik
menurun
Total volume darah meninggi
Aktivasi sistem vasokonstriktor meninggi
Tekanan portal meninggi
Tekanan pembuluh darah splanik menurun
Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi
Tekanan arteri brachial dan femoral
meninggi
Tahanan pembuluh darah otak meninggi
Secara klinis Sindroma Hepatorenal dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu:
1. Sindroma Hepatorenal tipe I
Merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana terjadi peningkatan serum
kreatinin dua kali lipat.(5) Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari
BUN (Blood Urea Nitrogen) dan kreatinin serum yaitu nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau
penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%. Keadaan ini timbul dalam
beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang
progresif jumlah urin, retensi natrium dan hiponatremi.
12
Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat dengan tanda
gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati atau koagulopati.9 Tipe ini umum pada
sirosis alkoholik berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada
sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus Sindroma Hepatorenal tipe ini timbul
spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui, kadang-kadang pada sebagian
penderita terjadi hubungan sebab akibat yang eratdengan beberapa komplikasi atau
intervensi terapi, seperti infeksi bakteri, perdarahan gastrointestinal, parasintesis.
Peritonitis Bakteri Spontan (SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal
pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul Sindroma Hepatorenal
tipe I.4
Sindroma Hepatorenal Tipe I adalah komplikasi dengan prognosis yang sangat buruk
pada penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata waktu harapan hidup
penderita ini kurang dari dua minggu, lebih buruk dari lamanya hidup dibanding dengan
gagal ginjal akut dengan penyebab lainnya.9
2. Sindroma Hepatorenal Tipe II
Merupakan bentuk kronis SHR. Tipe II SHR ini ditandai dengan penurunan yang sedang
dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2
mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR biasanya terjadi pada penderita dengan
fungsi hati relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan asites resisten diuretik.
Diduga harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih panjang dari pada Sindroma
Hepatorenal tipe I.5
VI. Diagnosis
Menurut The International Ascites Club, kriteria untuk menegakkan diagnosis SHR terdiri
dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria tambahan. Diagnosis SHR dapat dibuat bila ditemukan
seluruh kriteria mayor.
13
Tabel 5. Kriteria Mayor SHR 5
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl (130 μmol/L) atau kreatinin klirens 24
jam < 40 ml/mnt.
3. Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan
mendapat obat nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5
liter dan diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau peningkatan
kreatinin klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 500 mg/hari dan tidak dijumpai obstruktif saluran kemih atau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi
Tabel 6. Kriteria Tambahan SHR 5 (tidak harus ada untuk menegakkan diagnosis)
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 mEq/liter
SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati bersamaan dengan penyakit
ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan, diagnosis SHR mungkin dapat
dibuat setelah menyingkirkan Pseudohepatorenal Syndrome. Pseudohepatorenal syndrome
adalah suatu keadaaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati
yang tidak ada hubungan satu sama lain.
14
Gambar 7. Alur Diagnosis Sindrom Hepatorenal(8)
VII. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk SHR, oleh karena itu pencegahan
terjadinya SHR harus mendapat perhatian yang utama.5 Dengan mengetahui beberapa faktor
pencetus timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan asites, maka kita dapat mencegah
timbulnya gagal ginjal pada penderita ini.8
1. Penatalaksanaan Umum
SHR sebagian besar dipacu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien
sirosis hepatis. Oleh karena itu, pasien sirosis hepatis sangat sensitif dengan perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit, maka hindari pemakaian diuretik agresif, parasentesis
asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.5
Terapi suportif berupa diet tinggi kalori dan rendah protein
Koreksi keseimbangan asam basa
Hindari penggunaan OAINS
15
Peritonitis bakterial spontan pada SHR harus segera diobati sedini dan seadekuat
mungkin
Pencegahan ensefalopatik hepatik juga harus dilakukan dalam rangka mencegah SHR
Hemodialisa belum pernah secara formal diteliti pada pasien SHR, namun tampaknya
tidak cukup efektif dan efek samping yang cukup berat, misalnya hipotensi, koagulopati,
sepsis, dan perdarahn saluran cerna.5
2. Pengobatan Medikamentosa
Vasodilator
Karena penyebab langsung SHR adalah vasokonstriksi sirkulasi ginjal, tentu
masuk akal jika kita menduga perubahan hemodinamik ginjal dapat diubah
dengan menggunakan vasodilator renal, seperti dopamin, fenoldopam, dan
prostaglandin atau obat-obat antagonis vasokonstriktor renal, seperti saralasin,
ACEI, dan antagonis endothelin. Akan tetapi, tidak ada penelitian yang
menyatakan bahwa penggunaan vasodilator renal menunjukkan perbaikan dalam
perfusi ginjal atau GFR. 8
Penelitian Barnardo dkk dan Bennett dkk melaporkan infus dopamin dosis rendah
selama 24 jam memperbaiki aliran darah korteks dan tampilan angiografi dari
korteks renal tanpa memperbaiki GFR atau aliran urin.10
Pemberian PGs intravena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral
aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR juga tidak diikuti dengan
perbaikan fungsi renal.11 Pemberian antagonis endothelin spesifik segera
berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan SHR.
Karena efek samping dan kurangnya manfaat, penggunaan vasodilator renal
dalam SHR sudah banyak ditinggalkan.
Vasokonstriktor
Vasokonstriktor sistemik merupakan agen farmakologis yang paling menjanjikan
dalam manajemen SHR. Vasokonstriktor sistemik digunakan untuk mengatasi
vasodilatasi splanik.5 Vasokonstriktor meliputi vasopressin analog (ornipressin
dan terlipressin), somatostatin analog (octreotide), dan a-adrenergik dengan
agonis (midodrine dan norepinefrin). Pemberian vasokonstriktor segera
16
(norepinefrin, angiotension II, ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan
SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri, yang mana meningkatkan tekanan arteri
dan resistensi vaskuler sistemik.11 Infus ornipressin dikombinasikan dengan
ekspansi volume atau dopamin dosis rendah, dikaitkan perbaikan yang bermakna
pada perfusi ginjal, peningkatan GFR, dan ekskresi natrium.3
Tabel 7. Obat-Obat untuk Terapi SHR
3. Portosystemic shunt
Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode nonbedah dari kompresi portal yaitu
Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS).6 Sebelumnya digunakan sebagai
terapi alternatif untuk pasien sirosis hepatis dengan perdarahan dari varises esofagus atau
lambung yang tidak menanggapi pengobatan endoskopik dan medis. Intervensi ahli
radiologi akan menempatkan shunt portacaval side to side yang menghubungkan vena
portal dan vena hati dalam parenkim hati. TIPS mengurangi tekanan portal dan
mengembalikan sebagian volume darah yang terakumulasi di sirkulasi splanknikus ke
sirkulasi sistemik. Hal ini akan menekan renin-angiotensin-aldosteron dan system saraf
simpatik dan mengurangi efek vasokonstriktor pada sirkulasi ginjal.12
4. Dialisa
Hemodialisa atau peritoneal dialisa telah dipergunakan pada penatalaksanaan penderita
dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal.
Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari dialisa pada
kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang
17
buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden
efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat penelitian hemodialisa masih tetap
digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi
hati.5
Gambar 8. Portosystemic Shunt
Gambar 9. Peritoneal Dialisis
18
5. Transplantasi Hati
Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita SHR, yang
dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya. Tindakan
transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk dari SHR dan
daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah
transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam.
Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai mengalami perbaikan.
Gambar 10. Transplantasi Hepar
19
BAB III.
RINGKASAN DAN PENUTUP
Sindrom hepatorenal (SHR) adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati
tingkat berat baik yang akut maupun kronis yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan
abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen.
Manifestasi klinis penderita sindroma hepatorenal ditandai dengan kombinasi antara
gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau
progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air, yang menimbulkan asites, edema
dan dilutional hyponatremia, yang ditandai oleh ekskresi natrium urin yang rendah dan
pengurangan kemampuan buang air (oliguri –anuria). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat
ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total
tahanan pembuluh darah sistemik. Pada pasien sirosis hepatis, 80% kasus SHR disertai asites,
75% disertai ensefalopatihepatic, dan 40% disertai ikterus.
Menurut The International Ascites Club, kriteria untuk menegakkan diagnosis SHR terdiri
dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria tambahan. Diagnosis SHR dapat dibuat bila ditemukan
seluruh kriteria mayor.
Kriteria mayor SHR adalah antara lain sebagai berikut.
1. Penyakit hati akut atau kronik dengan gagal hati lanjut dan hipertensi portal.
2. GFR rendah, keratin serum >1,5 mg/dl (130 μmol/L) atau kreatinin klirens 24jam < 40
ml/mnt.
3. Tidak ada syok, infeksi bakteri sedang berlangsung, kehilangan cairan dan mendapat obat
nefrotoksik.
4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal dengan pemberian plasma ekspander 1,5 liter dan
diuretik (penurunan kreatinin serum menjadi < 1,5 mg/dl atau peningkatan kreatinin
klirens menjadi > 40 ml/mnt)
5. Proteinuria < 500 mg/hari dan tidak dijumpai obstruktif saluran kemih atau penyakit
parenkim ginjal secara ultrasonografi
20
Kriteria tambahan SHR adalah antara lain sebagai berikut.
1. Volume urin < 500 ml / hari
2. Natrium urin < 10 meg/liter
3. Osmolalitas urin > osmolalitas plasma
4. Eritrosit urin < 50 /lpb
5. Natrium serum <130 mEq/liter
Penatalaksanaan SHR dibagi menjadi penatalaksanaan umum berupa terapi diit tinggi
kalori rendah protein, koreksi keseimbangan asam basa, menghindari penggunaan OAINS, dan
terapi medikamentosa berupa vasodilator dan vasokonstriktor serta terapi invasive seperti
portosystemic shunt, dialisa, dan transplantasi hati.
21
top related