selebrasi nostalgia kota bandung dalam kisah...
Post on 08-Mar-2019
248 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
SELEBRASI NOSTALGIA KOTA BANDUNG
DALAM KISAH PADA SUATU HARI… KARYA ALINAFIAH
LUBIS
Ratna Erika M. Suwarno
Universitas Padjadjaran, Bandung
ratna.erika@unpad.ac.id
Abstrak
Dalam selebrasi 200 tahun kota Bandung, beberapa inisiatif lokal bergerak
mengumpulkan tulisan tentang kota Bandung tempo dulu. Dengan latar kota
Bandung pada tahun 1960-an, kisah Pada Suatu Hari… (2010) bercerita tentang
keseharian tiga orang sahabat dari latar belakang budaya dan status ekonomi yang
berbeda. Latar kota Bandung tidak hanya muncul sebagai bagian dari memori atas
ruang kota Bandung dan waktu tahun 1960-an tetapi juga sebagai sebuah tawaran
nostalgia dalam keseharian modern Bandung yang menyajikan kerinduan akan
ruang kota Bandung dalam rentang waktu yang sudah berlalu. Pembahasan dalam
makalah ini berfokus pada deskripsi ruangjalanan kota Bandung tahun 60-an dan
kisah hujan di kota Bandung sebagai bentuk ungkapan kerinduan atas ruang
waktu kota. Pngalaman atas antusiasme terhadap hiburan bioskop sebagai bagian
keseharian menjadi bagian penting dari nostalgia atas kota Bandung. Di akhir
paparan makalah ini, persepsi personal atas ruang waktu kota dalam kisah ini
bermuara pada nostalgia. Kisah ini juga menjadisebuah bentuk memori personal
atas kota Bandung tempo dulu dan sebuah kritik sosial terhadap kota Bandung
masa kini, dalam lingkup selebrasi atas ruang waktu kota Bandung.
Kata kunci: Bandung, kritik sosial, memori personal, narasi ruang kota,
nostalgia.
Pendahuluan
Rangkaian perayaan 200 tahun Hari Jadi Kota Bandung tahun 2010—saat itu
popular disebut dengan HJKB—menjadi satu momen selebrasi penting dalam
kegiatan kota Bandung. Dada Rosada, Walikota Bandung saat itu, menyatakan
bahwa kegiatan HJKB 2010 harus “mampu memotivasi warganya untuk lebih
produktif dalam mengisi perjalanan Kota Bandung ke depan.” (2010: 1).
Bermacam bentuk kreatifitas lantas bermunculan sebagai bagian selebrasi Kota
Bandung ini. Salah satu penerbit lokal, Khazanah Bahari Bandung, menerbitkan
beberapa buku mengenai dan berlatar kota Bandung, khususnya buku bertemakan
2
Bandung tempo dulu. Buku-buku tersebut berkisar pada buku foto yang memuat
gambaran Bandung di zaman kolonial Belanda, buku kuliner Bandung zaman
awal kemerdekaan, dan kisah milik Alinafiah Lubis yang berjudulPada Suatu
Hari... sebagai satu-satunya kisah fiksi berlatar kota Bandung tahun 1960-an.
Alinifiah Lubis sebagai penulis kelahiran Pematang Siantar adalah
pendatang di kota Bandung yang mulai menulis dan aktif dalam pementasan
sandiwara pada tahun 1960-an. Karyanya beberapa muncul di akhir tahun 70-an,
termasuk Beruang Peminum Nira (1977) dan Si Parpodom (1978) yang
diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Beberapa cerpen karyanya pun telah dimuat di
koran sirkulasi Bandung dan Jakarta. Ia aktif sebagai Wartawan Kantor Berita
Nasional (KNI) Bandung hingga tahun 2000. Karya terakhirnya adalah Pada
Suatu Hari… yang diterbitkan seiring dengan perayaan HJKB pada tahun 2010.
Pada Suatu Hari…bermula dengan cerita keseharian tiga lelaki muda yang
sedang bersekolah di kota Bandung. Lugud sebagai tokoh utama adalah seorang
pemuda dari Medan yang bersekolah di Bandung. Dalam kegalauannya ia
mencoba untuk mencari pekerjaan yang bisa menjamin masa depannya di kota
Bandung. Bersamanya ada para sahabat, Sanusi dan Wawan, yang juga berjuang
mencari pekerjaan setelah mereka lulus kuliah. Persahabatan mereka melebar saat
orang tua Sanusi, Pak Wardja dan Ibu Suwaningsih,juga terceritakan lewat
interaksi mereka dengan Lugud. Fokus pada Lugud semakin kentara menjelang
akhir cerita dengan kisah yang semakin terpusat pada hanya dirinya.Di akhir kisah
memori personal tentangnya mendominasi dan mengalahkan memori ruang kota.
Seiring berkembangnya cerita, Naida, adik Sanusi, juga perlahan menjadi tokoh
yang menjadi penting sebagai love interest Lugud, dan bagian dari tujuan Lugud
berada di kota Bandung.
Dengan pembacaan lebih lanjut disimpulkan bahwa cerita ini sebenarnya
lebih berpusat pada prose Lugud menjadikan kota Bandung sebagai rumahhnya.
Sebagai bukan orang Bandung, Lugud berusaha untuk membuat akar identitasnya
berada di ruang kota Bandung. Sebagai orang asing berasal dari luar kota
Bandung yang mencari pekerjaan (dan lalu mendapatkannya) di ruang kota
Bandung, Lugud perlahan menempati ruang waktu di Kota Bandung. Setelah
3
pindah dari rumah sewanya, Ludug menempati rumah yang ia beli sendiri di sisi
kota Bandung. Pencarian jati dirinya sebagai ‘bukan lagi orang asing’ di akhir
cerita berhasil dicapai. Pinangannya diterima Naida, adik pempuan Sanusi, anak
Pak Wardja, dan penduduk ‘asli’ Bandung.
Agar fokus pada beberapa sekuen kisah yang signifikan, pembahasan
dalam makalah ini berpusat pada deskripsi ruang jalanan kota Bandung tahun
60-anbeserta kritik atas fungsi dan kondisi jalanan Bandung dankisah hujan di
kota Bandungdan tautannya pada konsep rasa memiliki ruang kota.Deskripsi
jalanan kota Bandung tahun 60-an terlihat dari potongan deskripsi dari narasi
yang secara khusus terlepas dari rangkaian cerita. Dalam deskripsi ini, suasana
Bandung bukan berupa bagian dari cerita, melainkan sebagai deskripsi latar
belaka. Kisah hujan di kota Bandung juga memberikan sudut pandang yang
berbeda. Keseharian kota Bandung dengan hujan telah memberikan ciri khas dan
masalah khas pada kota Bandung, yaitu banjir.
Asumsi bahwa nostalgia adalah bentuk kerinduan terhadap masa lalu
adalah titik awal penelitian ini. Namun, dalam kompleksitasnya, nostalgia juga
mencakup kerinduan pada masa depan, dan masa kini. Dengan fokus kerinduan
atas kegiatan keseharian di masa lalu, sebuah konsep nostalgia yang cair dapat
merangkum tidak hanya rindu pada suatu ruang waktu yang sudah hilang, tetapi
juga rindu atas pengalaman keseharian di ruang waktu tersebut. Elizabeth Wilson
dalam paparannya tentang konsep nostalgia dan kota menekankan bahwa salah
satu bentuk nostalgia bisa berupa pengalaman menikmati “masa kini lewat lensa
masa lalu sembari pada saat yang bersamaan juga menikmati masa lalu lewat
lensa masa kini.” (2005: 135). Konsep nostalgia ini membentuk memori, rasa
akan masa lalu, dan ingatan yang didapat lewat indera kita melalui konstruksi
sosial dan diskursif. Konsep ini menegaskan pula kerinduan atas pengalaman
masa lalu berdasarkan rasa memiliki dan rasa kenal serta membentuk identitas
atau akar diri terhadap sebuah ruang pada waktu tertentu.Selanjutnya, asumsi
bahwa Pada Suatu Hari… mengedepankan tema selebrasi nostalgia Kota
Bandung akan saya bahas denganmembahas cara ruang kota Bandung dikisahkan
4
narasi danrelasi pengisahan nostalgianya di ruang kota beserta signifikansinya
terhadap selebrasi Hari Jadi Kota Bandung ke-200.
Jalanan Kota Bandung
Penanda ruang waktuyang paling kentara dalam kisah ini adalah deskripsi ruang
jalanan kota Bandung tahun 60-an. Ruang waktu kota Bandung menjadi latar
cerita dalam berbagai peristiwa dalam kisah Pada Suatu Hari…. Mulai dari latar
awal kisah yang bertempat di kisaran Bandung Tengah dan Utara, sampai nanti
pada akhir cerita, Lugud bertempat tinggal di Bandung Barat. Kutipan di bawah
ini adalah sebuah deskripsi ruang waktukota Bandung yang paling jelas
menggambarkan jalanan kota Bandung beserta fungsinya di tahun 60-an.
Jalan raya di Bandung waktu malam tidak ramai oleh lalu-lalang kendaraan.
Pohon kayu sepanjang jalan raya sangat rindang. Rumput di trotoar juga
menghijau. Pedagang makanan di pinggir jalan tidak tampak ramai. […]
Masyarakat masih banyak mengendarai sepeda. Suasana Bandung tampak
bersahaja. (penekanan garis bawah adalah milik saya) (2010: 75).
Di akhir penggalan deskripsi ini—garis bawah sebagai penekanan milik saya—
ada sebuah pernyataan tentang ruang waktu jalanan kota Bandung. “Tampak
bersahaja” menjadi deskripsi penting tentang ruang waktu Bandung dalam kisah
ini. Ada penegasan atas suasana ruang kota Bandung yang
dideskripsikan.Kebersahajaan, sifat sederhana,ruang waktu kota Bandung
ditunjukkan lewat deskripsi lenggangnya jalanan, pepohonan dan rumput hijau
sepanjang jalan, serta suasana yang tidak ramai.
Keadaan jalanan yang digambarkan juga mengacu pada perbedaan
keadaan ruang waktu. Tanpa harus merujuk pada keadaan ruang waktu
pembanding (ruang waktu Bandung masa kini), kisah ini mengajukan implikasi
kontras antara dua ruang waktu berbeda. Di satu sisi, ruang jalanan kota Bandung
digambarkan “masih” lenggang, merujuk sepenuhnya pada deskripsi ruang
jalanan Bandung tahun 60-an. Sementara di sisi lain, pembaca masa kini—
khususnya yang kenal dengan ruang-kota Bandung—bisa sangat mudah
membandingkan ruang “masih” lenggang tersebut dengan ruang jalanan kota
Bandung masa kini. Gambaran sepanjang jalan yang “tidak ramai”, “sangat
5
rindang” dan “menghijau” menjadi pembangun latar kisah ruang waktu Bandung
ini. Sekali lagi gambaran ini disandingkan dengan memori keseharian masa kini
yang berisikan pengalaman ruang jalanan Bandung yang penuh kemacetan dan
tidak nyaman. Keadaan ruang kota Bandung masa kini dipenuhi kendaraan
bermotor (bukan sepeda) serta ditandai oleh ketidakhadiran pohon dan jalur hijau.
Kontras ruang waktuyang dibangun oleh pembaca melibatkan dua ruang
waktu yang berbeda. Kontras ini juga akan merujuk pada sebuah pilihan berdasar
keinginan untuk mendapatkan rasa nyaman untuk berada di ruang kota, untuk
berada di jalanan kota yang jalannya yang “tidak ramai”, “sangat rindang” dan
“menghijau.” Dengan mudah, pilihan ini dapat dikaitkan dengan kerinduan atas
ruang kota. Kedua deskripsi kota Bandung yang terlibat—baik deskripsi kisah
yang ada dan deskripsi ruang waktu Bandung masa kini sebagai pembanding—
hanya dimiliki oleh pembaca yang mengenal ruang jalanan kota Bandung.
Kerinduan atas perbandingan ini lantas dapat menjadi suatu tindak
“menatap penuh kerinduan”. Pembaca di ruang waktu Bandung masa kini
membandingkan deskripsi ruang kota kisah ini dan membuat pilihan.Perlu diingat
bahwa perbandingan ini hanya bias dilakukan oleh pembaca yang mempunyai
pengetahuan atas ruang dan keseharian di kota Bandung masa kini.Penggunaan
deskripsi ini menunjukkan bahwa kisah ini berusaha membangun kedekatan
dengan pembaca yang mengenal ruang waktu Bandung.deskripsi ruang kota kisah
ini telah menunjukkan sebuah kerinduan atas ruang waktu kota Bandung.
Saat Hujan Turun Lagi
Deskripsi ruang waktusaat hujan di kota Bandung dalam Pada Suatu Hari…
adalah penanda lain atas kerinduan pada ruang kota Bandung di tahun 60-
an.Dalam subbab ini, saya memusatkan pembahasan pada dua penggalan
deskripsi ruang kota yang tidak berjalin sepenuhnya dengan narasi kisah. Pada
penggalan-penggalan ini terlihat usaha Pada Suatu Hari… untuk membandingkan
ruang waktu kota Bandung dulu dan kini semakin jelas. Sebagai kota yang dikenal
sering hujan, Bandung mempunyai masalah akut dalam pengendalian drainase.
Beberapa daerah di kota Bandung, masa kini, merupakan tempat yang setiap
6
tahunnya dilanda banjir. Dalam dekade terakhir ini pun, banjir yang kerap
dikaitkan dengan kendala pengendalian drainase mulai melanda hampir
keseluruhan penjuru kota.
Dalam sebuah paparan tentang keadaan kota Bandung yang diceritakan
sejuk dan asri, tersebut bahwa:
“Setiap awal tahun, hujan di Bandung terus berkepanjangan. Terkadang
pagi hujan turun sampai siang dan sore mendung, kemudian kembali hujan
panjang bagai meratap-ratap. Tidak pernahterjadi banjir yang
menghebohkan. (Penekanan cetak tebal milik saya) (2010: 23-4).
Deskripsi tentang hujan yang “terus berkepanjangan” digambarkan telah menjadi
bagian dari keseharian ruang kota Bandung. Hujan bukanlah hal baru bagi
keseharian Bandung, sebuah fakta yang masih serupa dalam ruang waktu masa
lalu dan kini. Namun, ada simpulan yang tegas dalam deskripsi ini—dengan
menggunakan teknik deskripsi seperti dalam kutipan sebelumnya. Pernyataan
lugas bahwa “tidak pernah terjadi banjir yang menghebohkan” juga membangun
kontras deskripsi dengan keadaan kota Bandung saat ini.
Pernyataan “tidak pernah terjadi” juga merangkum keadaan kisah yang
terceritakan. Dalam ruang waktu kisah, “tidak pernah”ada banjir. Dalam ruang
waktu kisah, banjir bukanlah sebuah kejadian yang terjadi. Sementara dalam
perbandingan,ruang waktukota Bandung masa kini mengalami banjir sebagai
bagian keseharian saat hujan di ruang kota Bandung. Di ruang kota Bandung masa
lalu, dengan tegas dinyatakan bahwa “tidak pernah” ada banjir, “tidak pernah”
menghebohkan. Sementara dalam ruang kota Bandung masa kini, ada banjir
tahunan, kemacetan akut saat hujan, dan “kehebohan” yang tidak mengenakkan
dalam ruang kota. Kontras antara “tidak pernah” dan “seringkali” yang terjadi di
ruang kota Bandung dalam dua waktu yang berbeda lantas dianggap sebagai
bentuk kritik sosial implisit.
Satu penggalan lain dari kisah ini saya pilih untuk mendukung asumsi
bahwa kontras yang ada semakin membangun kritik sosial yang semakin jelas.
Dalam kutipan di bawah terdapat banyak informasi dan implikasi yang
berkelindan. Kontras ruang waktu kali ini semakin kentara dalam deskripsi lain
7
tentang hujan dan banjir yang menunjukkan sikap warga atas lingkungan ruang
kota Bandung dalam kisah ini.
“Tetangga keluarga Wawan di Cikaso rata-rata penduduk lama. […]Karena
warganya merasa memiliki Kota Bandung, mereka sangat rajin
membersihkan tempat masing-masing. Mereka tidak sembarangan
membuang sampah. Jika tiba musim hujan, warga Cikaso tidak pernah
menderita kebanjiran, karena semua selokan maupun saluran air setiap
waktu mereka pelihara seperti memelihara kepunyaan sendiri.”
(penekanan cetak tebal milik saya) (2010: 45).
Terceritakan dalam latar cerita dalam kutipan ini, Cikaso, sebuah daerah di kota
Bandung, juga tidak pernah mengalami banjir bila musim hujan tiba.Pertama,
deskripsi umum tentang warga daerah Cikaso menjelaskan latar belakang mereka
yang telah lama tinggal di daerah ini.
Yang menjadi perhatian saya adalah bahwa perilaku warga yang
terceritakan adalah perilaku warga yang sudah berada lama (bukan pendatang) di
ruang kota Bandung. Dengan demikian ada pembatasan dalam deskripsi tentang
penghuni ruang kota Bandung yang dibicarakan dalam kutipan ini.Pembatasan ini
berjalin dengan deskripsi ‘rasa memiliki Kota Bandung’. Ada dua ciri warga yang
jelas tergambar dalam kutipan ini, yaitu “rajin membersihkan tempat [milik
sendiri]” dan “seperti memelihara kepunyaan sendiri”. Berkaitan dengan
sampah—penyebab utama banjir saat hujan, Pada Suatu Hari… menekankan cara
warga kota Bandung memperlakukan sampah dan merawat tempat tinggal
mereka. Cara warga (lama) kota Bandung yang “rajin” dan “memelihara
kepunyaan sendiri” diceritakan membuat mereka tidak pernah menderita
kebanjiran.
Kali ini, kontras yang dibangun oleh pembaca berkaitan dengan perilaku
warga Bandung di dua ruang waktu yang berbeda. Permasalahan banjir dan hujan
juga dikaitkan dengan rasa memiliki Kota Bandung. Bila warga adalah penduduk
lama, maka ia memiliki rasa memiliki yang baik sehingga ia akan menjaga
lingkungannya tetap bersih. Bila warga menjaga lingkungannya tetap bersih,
banjir tidak akan terjadi, seperti di Cikaso. Bila tidak banjir dalam ruang waktu
Bandung masa lalu, banjir di ruang waktu Bandung masa kini diimplikasikan
sebagai hasil dari ketidakhadiran rasa memiliki kota Bandung.Saya sadar bahwa
8
ini adalah sebuah simpulan yang terlalu kaku, namun kontras yang muncul saat
kedua ruang waktu tersebut disandingkan cenderung menunjukkan demikian.
Kritik sosial ini lebih kentara sebab banjir adalah bagian dari keseharian
ruang kota Bandung masa kini. Tetapi di lain sisi, kritik ini menjadi bagian
darikepedulian kisah atas ruang kota Bandung masa kini. Dalam kontras implisit
ini juga tampak kerinduan akan ruang waktu masa lalu, yang teratur dan tidak
banjir. Kritik sosial ini pun bisa diartikan sebagai ungkapan rasa kehilangan atas
ruang kota Bandung yang sudah tidak ada. Ada bagian dari identitas kisah sebagai
ruang kota Bandung di masa lalu yang tidak lagi ada di ruang kota Bandung di
masa lalu. Bahwa kisah pengalaman berada di ruang kota Bandung masa lalu ini
berdiri sendiri, terpisah dari narasi kisah, juga semakin menguatkan nada kritik
sosial pada ruang waktu kota Bandung.
Dalam dua ruang waktu yang berbeda, tidak ada lagi keteraturan serupa di
ruang kota Bandung, tidak ada pengalaman menikmati “masa lalu lewat lensa
masa kini”. Yang tampak adalah nostalgia yang tidak ‘nikmat’, nostalgia penuh
kehilangan atas apa yang sudah tak ada di ruang waktu kota Bandung masa kini.
Peruntukan Ruang Kota
Berbeda dengan dua pembahasan di atas yang berfokus pada deskripsi yang tidak
terkait langsung dengan narasi cerita, dalam petikan cerita ini muncul sebuah
diskusi antara Ludug dan Ayah Naida, Pak Wardja. Penggalan ini memunculkan
sebuah diskusi panjang mereka tentang peruntukan ruang kota Bandung. Diskusi
ini menjadi signifikan untuk pembahasan karena dua hal. Pertama, Lugud sebagai
tokoh utama yang pada tahap narasi ini baru saja menempati rumah barunya di
kampung Antapani. Bahwa Lugud memiliki rumah baru ini menandakan kenaikan
status sosialnya, tidak lagi sebagai orang luar yang menempati rumah sewa, tetapi
sudah berhasil menanamkan akarnya di ruang kota Bandung. Kedua, Pak Wardja
adalah Ayah Naida, love interest Lugud, dan seorang pejabat di kantor Kotapraja
Bandung. Dalam konteks ini, diskusi yang terjadi tidak hanya menjadi obrolan
antara seorang mertua dan calon suami anaknya, tetapi juga dapat dianggap
9
sebagai perpanjangan pernyataan kantor kotapraja tentang rencana pengembangan
kota.
Diskusi ini berawal dari pembahasan tentang perluasan kawasan
pemukiman di kota Bandung pada tahun 60-an. Rumah baru Lugud di kawasan
(Kampung) Antapani adalah sisi ruang kota Bandung yang masih belum
berkembang pada saat itu. Digambarkan bahwa:
“Kampung Antapani sampai ke dalam sana sudah direncanakan untuk
pemukiman secara teratur,” kata Pak Wardja kemudian. “Bandung Utara
dan Selatan juga bakalan dijadikan tempat pemukiman, karena usaha
industri tidak boleh dalam kota. […] Bandung Barat juga bakalan
diperuntukan tempat pemukiman atau sekolah dan tempat perbelanjaan
supaya tidak bertumpuk semua di tengah kota.”(penekanan cetak tebal
milik saya). (135).
Peruntukan ruang kota yang dibahas dalam diskusi ini adalah rencana-rencana
pengembangan pembangunan ruang kotaBandung. Beberapa daerah (Bandung
Utara, Selatan, dan Barat) telah diatur untuk menjadi kawasan pemukiman, agar
perkembangan kota bisa berjalan seperti rencana. Dalam ruang kota Bandung
tahun 60-an yang diceritakan oleh Pada Suatu Hari… pembagian peruntukan
ruang kota sudah jelas. Hal ini dilakukan untuk mengatur “usaha industri […]
supaya tidak bertumpuk semua di ruang kota.” Secara detil diskusi Pak Wardja
dan Lugud di atas membahas sebuah rencana pembangunan kota dan juga sebuah
harapan atas ruang kota yang teratur. Rencana ini ada untuk menjadikan ruang
kota “Bandung beberapa tahun ke depan […] melengkapi wilayahnya jadi kota
yang teratur.” (135).
Dalam diskusi ini pula tampak bahwa kontras ruang waktu yang dibangun
menggunakan referensi tempat khusus di kota Bandung. Ada harapan (dan tujuan)
agar rencana pembangunan kota ini terjadi dan menjadikan ruang kota Bandung
menjadi ruang kota yang sesuai rencana.Harapan yang disebut dalam rencana
peruntukan ruang kota ini kontras dengan keadaan ruang kota Bandung masa kini
yang marak dengan “usaha industri” di ruang kota. Kota Bandung masa kini
memusatkan industri pariwisatanya di jalan utama tengah kota (Jalan Riau, Jalan
Ir. Juanda, dan Jalan Merdeka). Harapan yang tersebut dalam narasi ruang kota
10
Bandung tahun 60-an lalu tidak serupa dengan konstruksi sosial di ruang kota
Bandung masa kini.
Keberadaan diskusi ini dalam dialog kisah antara Luguddan Pak Wardja
juga menunjukkan kepentingan pernyataan. Dua pembahasan sebelumnya
berfokus pada deskripsi yang tidak terkait langsung narasi dan menunjukkan
komentar yang ‘lepas’ dari kaitan kisah yang diceritakan. Sementara, diskusi
peruntukan ruang kota ini merupakan ungkapan langsung dari para tokoh utama.
Ada kerinduan terucap dan terbahas langsung dalam diskusi ini, dan kontras yang
ditampilkan lebih kuat mengedepankan kritik sosial terhadap ruang kota. Rasa
masa lalu yang kuat (dalam bentuk rencana peruntukan kota) disandingkan
langsung dengan pengetahuan atas ruang kota Bandung masa kini.
Pertanyaan(-pertanyaan) yang Tersisa
Di akhir pembahasan ini, ada satu simpulan lain yang perlu disebutkan. Terlepas
dari usaha memberi label pada cerita sebagai kisah Bandung tempo dulu dan
rujukannya pada ruang kota Bandung masa lalu, Pada Suatu Hari… juga adalah
kisah yang menggunakan penanda sejarah jelas. Begitu khususnya pembahasan
memori personal, hampir tidak ada memori kolektif sejarah yang terceritakan.
Tidak ada penanda ruang waktu yang paralel dengan peristiwa sejarah Bandung,
atau Indonesia secara umum, dari tahun 60-an. “Kerusuhan di Jakarta” digunakan
untuk merujuk pada hiruk pikuk politik di pertengahan tahun 60-an tanpa
menyebut spesifik ‘kerusuhan’ yang mana. Jarak yang ada dengan Bandung juga
dijadikan dasar untuk tidak menyertakan penceritaan sejarah dalam kisah.
Peristiwa redenominasi rupiah di tahun 1966 juga hanya tersebut
sekilas.Pemilihan pengalaman terceritakan yang selektif menandakan jarak yang
diberikan untuk memisahkan memori personal dan memori kolektif tentang ruang
waktu kota, dan/atau negara. Namun terlepas dari itu, narasi tentang Lugud,
seorang pemuda Medan yang akhirnya mempunyai ‘rumah’ di Bandung pada
tahun 60-an, telah memberikan gambaran perkembangan keseharian di ruang kota
Bandung. Di akhir, kisah mengenai keberhasilannya ‘berada’ di Bandung menjadi
11
lebih dominan terceritakan, menegaskan memori lokal dan personal atas ruang
kota Bandung di tahun 60-an.
Kembali pada kaitan penerbitan kisah ini dengan selebrasi HJKB, Pada
Suatu Hari…telah membawa kita mengatur masa kini dengan merujuk pada
pengalaman masa lalu. Bentuk-bentuk nostalgia yang terceritakan menunjukkan
kedekatan dengan proses pencarian rumah di ruang waktu kota Bandung dan jarak
dengan narasi besar Bandung dalam lingkup Indonesia.Cara pengisahan ruang
kota dan relasinya ini membangun sebuah bentuk penceritaan ruang masa lalu dan
signifikansinya di ruang dan waktu kini kota Bandung. Sebuah jalinan
pengalaman atas kota Bandung tempo dulu muncul dalam ruang waktu masa kini
sebagai sebuah narasi memori personal dan kritik sosial atas Bandung. Paparan
memori personal Alinafiah Lubis lebih tegas berbanding dengan kritik sosial
untuk ruang kota Bandung. Denganrujukan masa lalu yang terbatas,persepsi
personal tampak lebih mendominasi memori atas ruang waktu kota. Sebagai
bagian selebrasi kota, bentuk nostalgia ini tetap dianggap signifikan dan
menunjukkan sikap ruang kota Bandung terhadap dirinya sendiri. Kisah ini
memosisikan diri di masa lalu. Kisah ini pun berada dalam ruang waktu kota yang
khusus dan personal, mengambil jarak tegas dari ruang waktu yang lebih besar
dan kolektif.
Posisi dan jarak yang terlihat ini serupa dengan signifikansi selebrasi
HJKB bagi warga ruang kota Bandung. Ada kecenderungan merayakan
keteraturan di masa lalu sebagai kritik atas Bandung masa kini yang terlihat dari
usaha selalu membandingkan ruang kota Bandung dulu yang lebih baik dari
sekarang. Ada fokus intens pada hanya ruang kota Bandung, lepas dari identitas
ruang kota sebagai bagian dari wacana besar ruang negara Indonesia.Selebrasi
nostalgiaPada Suatu Hari…yang dekat dengan ruang lokal dan waktu lalu
disimpulkan sebagai tindak “menatap pada kerinduan”. Namun demikian ada
pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang perlu dikemukakan. Pada ruang waktu yang
mana tatapan kerinduan ini ditujukan? Apakah warga ruang kota Bandung akan
menujukan tatapan kerinduan ini pada masa lalu yang tidak bisa dapat lagi
diakses, hanya dapat dikenang? Ataukah seharusnya juga ditujukan pada
12
kerinduan pada masa depan, sebuah tindak yang belum terjadi dalam kisah dan
selebrasi ruang kota ini.
Kisah Pada Suatu Hari… dan ruang waktu kota yang terceritakan ini lalu
hanya menunjukkan nostalgia dalam selebrasi singkat dalam lingkup lokal.
Nostalgia yang ada dalam kisah ini baru berbentuk sebuah tatapan kerinduan pada
masa lalu, dan berjarak dengan ruang waktu masa depan. Selebrasi yang terjadi
merujuk hanya pada kerinduan masa lalu, juga berjarak ruang waktu masa depan.
Identitas lengkap kota dan warganya seharusnya dapat menempati ruang seluas
mungkin dan rentang waktu sepanjang mungkin, membuatnya cair, majemuk, dan
aktif.
Referensi
Lubis, Alinafiah (2010)Pada Suatu Hari…. Bandung: Khazanah Bahari.
Hari. (2010, February 20). Walikota Bandung Serahkan Hadiah Lomba Logo dan
Tageline 200 Tahun HJKB. September 27, 2016.
https://portal.bandung.go.id/posts/2010/02/20/Q8Lr/walikota-bandung-
serahkan-hadiah-lomba-logo-dan-tageline-200-tahun-hjkb.
Wilson, Elizabeth. (1997). “Looking Backward, Nostalgia and the City” in
Westwood, Sallie and Wi John (eds.) Imagining Cities: Scripts, Signs,
Memory. London and New York: Routledge.
top related