sejarah perkembangan industri batik tradisional …/sejarah... · fakultas sastra dan seni rupa...
Post on 06-Mar-2019
247 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
SEJARAH PERKEMBANGAN INDUSTRI BATIK
TRADISIONAL DI TIRTOMOYO
TAHUN 1950-2000
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhisebagai Persyaratan
guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh :
GILANG CHRISTIAN .W.
C0505029
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS NEGERI SEBELASMARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : GILANG CHRISTIAN .W.
Nim : C 0505029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul “Sejarah
Perkembangan Industri Batik Tradisional di Tirtomoyo Tahun 1950-2000” adalah
betul-betul karya sendiri, bukan dari plagiat dan tidak dibuat oleh orang lain. Hal-
hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda citas (kutipan) dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang
diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 2012
Yang membuat pernyataan
GILANG CHRISTIAN .W.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Ayah dan Ibunda tercinta.
Adik-adikku tersayang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
“ Ketika kesedihan itu harus terjadi dan jiwa tidak lagi memiliki cara untuk
menghindarinya, maka kesedihan itu justru akan mendatangkan pahala, karena
kesedihan yang demikian merupakan bagian dari musibah atau cobaan, dan
hendaklah senantiasa melawannya dengan doa-doa ”.
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah
selesai (dari satu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain”.
(Q.S. Alam Nasroh:6-7)
“Hidup ini jangan mencari yang sempurna. Namun berupayalah menerima hal
yang tak sempuna dengan cara yang terbaik, kesabaran yang paling baik, hingga
hidup tidak lagi berat untuk dijalani dan semua akan terlihat sempurna pada
akhirnya”.
( Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, karunia,
cinta dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Sehubungan
dengan hal itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sangat besar kepada:
1. Bapak Drs. Riyadi Santoso, M.Ed,Ph.d, selaku Dekan Fakultas Sastra Dan
Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesakan skripsi ini.
2. Ibu Dra.Sawitri PP, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra
dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret yang telah mencurahkan segenap
pengetahuan yang dimilikinya kepada penulis.
3. Ibu Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku dosen pembimbing utama karena
dorongan dan petunjuk beliaulah penulis tetap mempertahankan tema untuk
menyusun skripsi ini.
4. Bapak Drs. Suharyana, M.Pd, selakudosenpembimbing proposal
atasmasukandaninformasinyakepadapenulis.
5. Ibu Umi Yuliati, S.S. M.Hum, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
mendampingi penulis selama menempuh perkuliahan di Jurusan Ilmu Sejarah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
6. Serta terima kasih terucap kepada seluruh Staf Pengajar Ilmu Sejarah UNS,
yang telah membagikan ilmunya sehingga memberikan inspirasi kepada
penulis untuk mengangkat tema ini sebagai hasil skripsi.
7. Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan untuk Bapak dan
Ibunda yang telah memberi segalanya, adikku yang memberi dorongan serta
memberi bantuan untuk peminjaman buku-buku.
8. Teman-temanyang ada di Baturetno dan di Surakarta,
sayaucapkanterimakasihsebesar-
besarnyakarenatelahmembantudalammelakukanpenelitiandanwawancara,
sertatelahrelamemberikanfasilitassertatenagadanwaktudalampenelitian yang
sayalakukan.
9. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu warga Tirtomoyo yang telah meluangkan
waktunya untuk diwawancarai dan mengizinkan saya untuk
mendokumentasikan batik dan hasil karya lainnya dalam bentuk foto.
10. Terimakasihuntuk teman – teman ilmu sejarah angkatan 2005 “Tanpa
terkecuali” terima kasih atas “semuanya” dan persahabatan indah yang kalian
berikan, serta terima kasih pula untuk teman – teman Ilmu Sejarah angkatan
2004,2006,2007,2008,2009.2010,2011.
11. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksakannya
penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulismenyadarisepenuhnyabahwaskripsiinitidakterlepasdarikekurangand
ankekeliruan,
sertamasihbelumsempurna.Olehkarenaitupenulissangatmenghargaiadanya saran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
dankritik yang bersifatmembangungunamenyempurnakanpenulisan-
penulisanserupa di masa yang akandatang.
Akhirnyapenulisberharapbahwahasilskripsiinidapatmemberikanmanfaatba
gipembacasekalian. Amin
Surakarta, 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….. iii
HALAMAN PERNYATAAN ……………………………………………….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………………….. v
HALAMAN MOTTO ……………………………………………………….. vi
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. x
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. xiii
DARTAR ISTILAH …………………………………………………………. xiv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xvi
DARTAR GAMBAR ………………………………………………………… xvii
ABSTRAK ……………………………………………………………………. xviii
BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Perumusan Masalah ...................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 9
E. Kajian Pustaka .............................................................................. 10
F. Metode Penelitian ......................................................................... 13
G. SistematikaPenulisan………………………………………........ 16
BAB II. GAMBARAN UMUM KOTA TIRTOMOYO............................... 17
A. KondisiGeografisKotaTirtomoyo…………………………..... 17
B. Kondisi Demografis Penduduk Kota Tirtomoyo............................. 18
1. Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian.................................. 18
2. PendudukBerdasarkan Tingkat Pendidikan.............................. 20
3. KeadaanSosialEkonomi……………………………………... 21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
4. Pelapisan Sosial Penduduk Kota Tirtomoyo............................. 35
BAB III. SEJARAH PERKEMBANGAN BATIK DI TIRTOMOYO
TAHUN 1950-2000……………………………................................. 28
A. Asal Mula Kerajinan Batik………………………......................... 28
1. Batik Vorstenlanden.................................................................. 34
2. Batik Pesisir............................................................................... 38
B. SejarahPerkembangan Batik di Tirtomoyo.................................. 39
1. Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda................................. 40
2. Pada Masa Penjajahan Jepang................................................... 43
3. Pada Masa Kemerdekaan........................................................... 44
C. PertumbuhanIndustriKerajinan Batik di Tirtomoyo…………... 45
1. TimbulnyaKerajinan Batik di Tirtomoyo……......................... 45
2. Proses Produksi Batik………………………………………… 50
3. SistemKerjadalam Usaha IndustriKerajinan Batik…………. 51
4. Pemasaran Batik……………………………………………… 52
D. Perkembangan RagamHiasBatik di Tirtomoyo Tahun 1950-
2000............................................................................................... 53
1. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1960-1964................ 59
2. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1965-1969................ 60
3. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1970-1979................ 61
4. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1980-an.................... 62
5. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1990-2000................ 63
E. PerananPemerintahterhadapPerkembanganIndustriBatik di
Tirtomoyo………..…………………………................................... 65
BAB IV. FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
PERKEMBANGAN INDUSTRI BATIK TRADISIONAL DI
TIRTOMOYO .…………………………………………………….. 69
A. Pasang Surut Industri Batik di Tirtomoyo tahun 1950-2000............. 69
1. Bahan Baku yang Sulit Diperoleh.............................................. 71
2. UpahdanTenaga Kerja.............................................................. 72
3. Persaingan dengan Industri Tekstil dan Batik Modern.............. 73
4. Kelemahan Modal Pemasaran.................................................... 76
B. Dampak Pasang Surut Industri Batik di Tirtomoyo…………….. 77
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
1. Dalam Bidang Sosisal................................................................ 78
2. Dalam bidang Ekonomi............................................................ 83
a. Terancamnya Industri Batik Tradisional oleh Batik
Modern..................................................................................... 83
b. Berkurangnya Jumlah Produsen Batik Tirtomoyo................... 83
c. Pergeseran pergeseran dalam Lapangan Kerja Lainnya......... 85
d. Merosotnya Partisipasi Sosisal Pengusaha Batik
Tirtomoyo................................................................................ 85
BAB V. KESIMPULAN ........................................................................................ 87
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 90
LAMPIRAN ...................................................................................................... 93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Luas Daerah dan Perincian Penggunaannya....................... 18
Tabel 2 Mata Pencaharian Penduduk............................................... 18
Tabel 3 MasyarakatTirtomoyoBerdasarkan Tingkat Pendidikan... 20
Tabel4 Jumlah Pengusaha Kerajinan Batik di Tirtomoyo yang
Menjadi Anggota Koperasi.................................................
49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR ISTILAH
Abdi Dalem : Pelayanpejabat istana tingkat rendah
Babaran : Proses pewarnaan
Batik : Suatu cara membuat desain pada kain dengan cara menutup
bagian-bagian tertentu dari kain dengan malam (desain lebah).
Batik
Dermanyon
: Batik dari daerah Indramayu
Batik Klasik : Batik yang berkembang dalam lingkup keraton.
Batik Laseman : Batik dari daerah Lasem
Batik Pesisir : Batik yang pembuatannya dikerjakan diluar daerah pedalaman
(Surakarta dan Yogyakarta), yang termasuk daerah pesisir
adalah daerah yang terdapat disepanjang pantai utara Jawa.
Batik
Vorstenlanden
: Batikdari daerah pedalaman (Surakarta dan Yogyakarta).
Carat Canting : Cucuk canting
Cecek-cecek : Isen bulat kecil pada motif batik
Client
Businessman
: Rekan bisnis
Entrepreneurship : Kekuatan untuk membangun
Ganefo : Pesta olahraga dari kelompok negara-negara komunis dan
penentang imperialis-kapitalis.
Hand print : System sablon
Inl Coperative
Vereniging
: Koperasi yang pertama kali dibentuk di Surakarta atau
Persatuan Perusahaan Batik Bumi Putera Surakarta (PPBS)
IlmuSinengker : Ilmu yang mempelajari tentang perlambang-perlambang atau
simbol-simbol benda-benda lain.
Jegul : Kuwas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
Jumenengan : Penobatan raja
Kainlurik : Kain tenun
Kuli Kenceng : Masyarakat yang mempunyai sawah, tegal, rumah dan
pekarangan.
Kuli Kendo atau
Magersari
: Masyarakat yang mendirikan rumah dipekarangan orang lain.
Lancing : Lilin lebah
Lawe : Benang
Mekarang Masyarakat yang hanya mempunyai pekarangan dan tegal saja.
Membabar atau
Melered
: Proses penyelesaian dari batikan menjadi kain.
Microwox : Paraffin
Nganji : Menganji
Ngemplong : Menyetrika
Ngetel : Mencuci
Pisowanan : Upacara menghadap raja
Santrienclave : Daerah-daerahkantong santri
Selir : Isteriraja yang bukan permaisuri
Soga Jawa : Pewarna dari bahan tumbuh-tumbuhan
Upacara
Garabeg
: Garebeg mempunyai arti dihadiri atau dikerumuni orang
banyak secara bersama-sama. Kata garabeg berarti pula
mengantarkan atau mengiringi bersama-sama atau disebut juga
dengan upacara gunungan.
Show Room : Tempat pameran
Vorstenlanden : Daerah kerajaan yang ada di kota Solo.
Wong Swastanan : Orang-orang yang berhasil dalam menjalankan peranan dalam
aktivitas ekonomi dan perdagangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat penelitian.............................................................. 93
Lampiran 2. Peta Wilayah Tirtomoyo……………………………... 94
Lampiran 3. Daftar Informan............................................................. 95
Lampiran 4. PendidikandanPelatihanPengembanganIndustri
Batik………………………………………………….. 97
Lampiran 5. MeskiCacat Batik WonogirenMasihLaku di
Pasaran………………………………………………... 101
Lampiran 6. FotoProses Pembutan Batik.......................................... 102
Lampiran7. FotoPerbedaanRumahPengusaha Batik dengan
MasyarakatBiasa…………………………………….. 103
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Ragam Hias Motif Batik yang ada di Indonesia................ 31
Gambar 2. Batik Vorstenlanden.......................................................... 35
Gambar 3. Batik Pedalaman................................................................ 35
Gambar4. Batik Pesisir........................................................................ 39
Gambar5. Batik Motif Remukan........................................................ 54
Gambar6. Batik Motif Keladi dan Jemani......................................... 55
Gambar7. Batik Tahun 1960-an......................................................... 61
Gambar 8 Batik Sido Wirasat............................................................. 62
Gambar9 Batik Ragam Hias Ceplok................................................. 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
ABSTRAK
Gilang Christian .W. C0505029. Sejarah Perkembangan Industri Batik
Tradisional di Tirtomoyo Tahun 1950-2000. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Unversitas Sebelas Maret. Industri batik
merupakan salah satu industri yang banyak tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Salah satu pusat industri batik adalah di Tirtomoyo, Wonogiri. Pada mulanya
industri batik tradisional ini mengalami perkembangan, akan tetapi lama kelamaan
mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena berbagai macam faktor.
Permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini, adalah: (1) Bagaimana latar belakang
munculnya industri batik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ?; (2)
Bagaimanakah sejarah perkembangan batik tradisional di Tirtomoyo pada tahun
1950-2000 ?; (3) Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap
perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ?
Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui latar belakang munculnya industri
batik di Tirtomoyo pada tahun 1950- 2000; (2) Mengetahui sejarah perkembangan
batik tradisional di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000; (3) Mengetahui faktor yang
berpengaruh terhadap perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000.
Untuk menjawab pertanyaan di atas penulis menggunakan metode sejarah, karena
objek kajiannya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau. Data yang
diperoleh diolah sesuai dengan metode sejarah dan kemudian di interpretasikan
sesuai dengan konsep ilmu sejarah. Di samping itu digunakan teknik penelitian
sejarah lesan, karena hasil penelitian ini sebagian besar merupakan hasil
wawancara.
Batik adalah suatu desain yang dituangkan pada kain, dengan melewati
proses tertentu. Batik merupakan salah satu hasil kebudayaan yang ada di
Indonesia. Ragam hias batik di Indonesia beraneka ragam sesuai dengan
daerahnya masing-masing. Daerah Tirtomoyo, Wonogiri, merupakan salah satu
pusat perbatikan, di daerah tersebut industri batik tradisional tumbuh menjadi
industri kerajinan rakyat yang semakin pesat. Mayoritas masyarakat Tirtomoyo,
Wonogiri bekerja dibidang perbatikan. Pada awalnya pekerjaan membatik masih
dilakukan dengan cara tradisional, tetapi lambat laun mengalami perubahan
menjadi semakin maju. Dalam kurun waktu tahun 1960-an industri batik
tradisional mengalami perkembangan yang pesat, akan tetapi pada tahun-tahun
berikutnya semakin menunjukkan gejala kemunduran.
Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa industri batik di Tirtomoyo,
Wonogiri mengalami perkembangan yang sangat pesat, akan tetapi lambat laun
mengalami kemunduran. Kemunduran industri batik tradisional di Tirtomoyo,
Wonogiri disebabkan oleh banyak faktor.Pemerintah turut berperan dari kebijakan
daniklim yang diciptakannya, di samping adanya faktor penyebab yang lain,
seperti :munculnya batik printing dan industry tekstilbesar, menurunnya peran
koperasi, bahan baku maupun tenaga kerja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xix
ABSTRACT
Gilang Christian. W. C0505029. History of Traditional Batik Industry in
Tirtomoyo Year 1950-2000.Thesis Department of History Faculty of Literature
and Arts universities of March. Batik industry is one of the many industries grow
and develop in Indonesia. One center is in Tirtomoyo batik industry, Wonogiri. At
first the traditional batik industry is experiencing growth, but decline over time.
This happens due to various factors. The problems studied in this thesis are: (1)
How to set for the batik industry in the years 1950-2000 Tirtomoyo?; (2) What is
the history of traditional batik in Tirtomoyo in 1950-2000?, (3) Factors What
affects the development of batik in Tirtomoyo in 1950-2000?
This study aims: (1) Knowing the background of the emergence of batik
industry in Tirtomoyo in 1950 to 2000, (2) Knowing the history of traditional
batik in Tirtomoyo in the year 1950-2000, (3) Knowing the factors that influence
the development of batik in Tirtomoyo years 1950-2000.
To answer these questions the author uses the historical method, because the
object of its studies relating to events in the past. The data obtained were
processed according to the methods of history and then interpreted in accordance
with the concept of historical science. In addition Lesan used techniques of
historical research, because the results of this study is largely a result of the
interview.
From the research, concluded that the batik industry in Tirtomoyo,
Wonogiri experiencing rapid growth, but gradually deteriorated. The decline of
traditional batik industry in Tirtomoyo, Wonogiri caused by many factors.
Government played a role of climate policy and the creation, in addition to the
presence of other factors, such as: the emergence of batik printing and textile
industry, decreasing the role of cooperatives, raw materials and labor.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SEJARAH PERKEMBANGAN INDUSTRI BATIK
TRADISIONAL DI TIRTOMOYO
TAHUN 1950-2000
Gilang Christian .W1
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum2
ABSTRAK
2012. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Unversitas Sebelas Maret.
Industri batik merupakan salah satu industri yang banyak tumbuh
dan berkembang di Indonesia. Salah satu pusat industri batik
adalah di Tirtomoyo, Wonogiri. Pada mulanya industri batik
tradisional ini mengalami perkembangan, akan tetapi lama
kelamaan mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena berbagai
macam faktor. Permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini, adalah:
(1) Bagaimana latar belakang munculnya industri batik di
Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ?; (2) Bagaimanakah sejarah
perkembangan batik tradisional di Tirtomoyo pada tahun 1950-
2000 ?; (3) Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap
perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ?
Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui latar belakang munculnya
industri batik di Tirtomoyo pada tahun 1950- 2000; (2) Mengetahui
sejarah perkembangan batik tradisional di Tirtomoyo pada tahun
1950-2000; (3) Mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap
perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000.
Untuk menjawab pertanyaan di atas penulis menggunakan metode
sejarah, karena objek kajiannya berkaitan dengan peristiwa-
peristiwa di masa lampau. Data yang diperoleh diolah sesuai
dengan metode sejarah dan kemudian di interpretasikan sesuai
dengan konsep ilmu sejarah. Di samping itu digunakan teknik
penelitian sejarah lesan, karena hasil penelitian ini sebagian besar
merupakan hasil wawancara.
1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Dengan NIM C0505029
2 Dosen Pembimbing
Batik adalah suatu desain yang dituangkan pada kain, dengan
melewati proses tertentu. Batik merupakan salah satu hasil
kebudayaan yang ada di Indonesia. Ragam hias batik di Indonesia
beraneka ragam sesuai dengan daerahnya masing-masing. Daerah
Tirtomoyo, Wonogiri, merupakan salah satu pusat perbatikan, di
daerah tersebut industri batik tradisional tumbuh menjadi industri
kerajinan rakyat yang semakin pesat. Mayoritas masyarakat
Tirtomoyo, Wonogiri bekerja dibidang perbatikan. Pada awalnya
pekerjaan membatik masih dilakukan dengan cara tradisional,
tetapi lambat laun mengalami perubahan menjadi semakin maju.
Dalam kurun waktu tahun 1960-an industri batik tradisional
mengalami perkembangan yang pesat, akan tetapi pada tahun-
tahun berikutnya semakin menunjukkan gejala kemunduran.
Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa industri batik di
Tirtomoyo, Wonogiri mengalami perkembangan yang sangat pesat,
akan tetapi lambat laun mengalami kemunduran. Kemunduran
industri batik tradisional di Tirtomoyo, Wonogiri disebabkan oleh
banyak faktor. Pemerintah turut berperan dari kebijakan daniklim
yang diciptakannya, di samping adanya faktor penyebab yang lain,
seperti :munculnya batik printing dan industry tekstilbesar,
menurunnya peran koperasi, bahan baku maupun tenaga kerja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah suatu sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan bagian dari manusia dengan cara belajar, dengan kemampuan akal
budinya, manusia telah mengembangkan berbagai sistem tindakan, mulai dari
yang sangat sederhana ke arah yang lebih kompleks sesuai kebutuhannya.1
Seperti yang diketahui bahwa ada 7 unsur kebudayan, dan kesenian adalah salah
satunya.
Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang yang ditulis
dan dilukis pada daun lontar.Saat itu motif atau pola batik masih didominasi
dengan bentuk binatang dan tanaman.Namun dalam sejarah perkembangannya
batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan
tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief
candi, wayang beber dan sebagainya.Jenis dan corak batik tradisional tergolong
banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-
masing daerah yang sangat beragam.Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang
demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik
tradisioanal dengan ciri kekhususannyasendiri.
1Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. hal 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki kelebihan
tersendiri dibanding peninggalan budaya lain yang berprinsip sama, yaitu celup
rintang warna. Namun, nilai pada batik Indonesia bukan semata-mata pada
keindahan visual. Lebih jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat
akan pengalaman transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir
yang muncul dalam komposisi batik itu sendiri.Di dalam perkembangannya,
sejarah mencatat bahwa penyebaran batik tidak terlepas dari peranan para
pedagang ke berbagai pelosok Nusantara, bahkan ke Malaysia atau Singapura. Di
dalam usaha penyebaran itulah, terjadi penetrasi budaya luar yang menambah
khasanah perbatikan Indonesia. Fleksibelitas tersebut dapat dilihat melalui batik
pesisir yang secara antropologis lebih terbuka terhadap sesuatu yang dibanding
daerah pedalaman, menyebabkan masyarakat pendukungnya lebih mudah
menerima budaya luar.2
Batik dari pulau Jawa terkenal halus dalam proses pembuatannya,
memiliki motif bervariasi dan warna indah. Surakarta merupakan salah satu
lokasi berkembangnya batik di antara pusat kegiatan pembatikan di Jawa
Tengah.Surakarta terdiri dari dua istana yakni keraton Surakarta Hadiningrat dan
Pura Mangkunagaran yang berukuran lebih kecil (secara struktur pemerintahan
setara dengan kadipaten).Dua tempat tersebut membawa pengaruh budaya,
termasuk tradisi membatik pada masing-masing wilayah kekuasaan yang kini
dinamakan Eks-Karisidenan Surakarta.Tradisi membatik di Surakarta menyebar
ke daerah-daerah sekitar yakni Klaten (Batik Bayat), Sukoharjo (Batik Pajang),
2Modern Miring Tulisan Karya ilmiah Jacob Soemardjo.hal 36.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Sragen (Batik kliwonan), dan Wonogiri (Batik Wonogiren).
Batik Wonogiren secara harfiah adalah tekstil tradisi khas wilayah
Wonogiri (kabupaten), dibuat atau diproduksi dengan menggunakan teknik batik
atau cretan lilin (malam atau wax-resist) di atas kain. Tekstil tersebut bukan asli
dari Wonogiri, apabila dilihat dari awal kemunculannya.Nama Batik
Wonogirenan berasal dari seorang seniwati batik asal Pura Mangkunegaran
(Surakarta) bernama Kanjeng Wonogiren atau Raden Ayu Handayaningrat, istri
seorang Bupati Wonogiri (menjabat pada zaman pra kemerdekaan RI).Ia
mengabdi saat bertahtanya KGPAA Mangkunegaran VII sampai VIII.
Kanjeng Wonogiren adalah kreator tekstil tradisi ini. Kata “wonogiren”
pada istilah batik Wonogiren bukan berasal dari kata “wonogiri” mendapat
akhiran–an, sehingga menunjukkan kepemilikan atau asal, tetapi nama Kanjeng
Wonogiren. Namanya digunakan untuk menyebut kain batik, karena terkenal
dengan babaran atau cara memberi warna pada batik. Istilah tersebut diberikan
oleh masyarakat pemakai batik karya beliau dan pembatik yang masih keturunan
keluarga bangsawan Pura Mangkunegaran.Babaran Kanjeng Wonogiren
menghasikan warna lembut, bersih, dan lebih muda, dibandingkan dengan
babaran batik beredar saat itu, yang cenderung gelap dan tajam, karena mayoritas
pewarna memakai bahan alami sejenis rempah, yakni soga jambal (Pelthoporum
Ferrigineum).Bahan tersebut menghasilkan warna coklat sawo dan gelap, sebagai
ciri khas Batik Surakarta.
Batik yang berkembang dalam lingkup kraton disebut Batik Klasik, di
antaranya terdapat tujuh motif larangan yang tidak boleh dikenakan masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
biasa (bukan keturunan raja).Batik produksi empat daerah tersebut termasuk
batik non klasik, karena gubahan motif klasik dari kraton dan kreasi baru
pembatik setempat. Salah satunya adalah Batik Wonogiren, yang keberadaannya
tidak lepas dari pengaruh Pura Mangkunagaran bila ditinjau dari segi historis,
karena Wonogiri adalah salah satu daerah kekuasaan Mangkunagaran yang
ditetapkan melalui Perjanjian Salatiga.3
Batik Wonogiren berasal dari Wonogiri, yang kemunculannya berawal
dari kegiatan membatik, tepatnya di Kecamatan Tirtomoyo.Batik Wonogiren
memiliki ciri khas motif retakan-retakan disebut dengan remakan atau
remukan.Motif remukan tidak sekedar menjadi ciri khas, tetapi bagian dari batik
Wonogiren. Hal tersebut menambah nilai estetika, yang membedakan dengan
karya batik dari daerah lain. Nilai estetika tersebut bersifat objektif dan murni
terlihat pada garis, bentuk, serta warna.4
Pola dan motif batik Wonogiren dibuat untuk konsumsi masyarakat sekitar
Tirtomoyo dan wilayah Kabupaten Wonogiri.Meskipun motif yang dibuat
mengadaptasi dari motif batik Klasik Kraton Surakarta.Babarannya (proses
pewarnaannya) lebih tebal dan berbeda dengan batik dari kraton dan lebih sesuai
dengan citarasa rakyat yang memiliki kehidupan dinamis serta bebas.Dalam
perkembangannya desain batik Wonogiren merupakan objek yang muncul karena
ide atau gagasan masyarakat dalam hal ini perajin merupakan pengeeksekusi
persepsi masyarakat berupa ide, sebagai wujudnya adalah partisipasi dengan
memvisualisasikannya ke sebuah bentuk. Perajin dimaksud adalah pihak yang
3WWW.Batik Klasik Wonogiren.5 Mei 2011.
4“Batik Wonogiren Bertahan pada Corak Eksklusif”.Suara Merdeka, Sabtu 12 April
2003.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
berpartisipasi aktif mempunyai ide uantuk membuat suatu motif dan
mengaplikasikan pada kain, meskipun tidak sampai tahap akhir proses
pembatikan. Batik tersebut saat ini sudah tersebar hingga luar wilayah Wonogiri
terutama Surakarta, Yogyakarta, Jakarta, dan luar Jawa, antara lain Lampung,
Jambi, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Industri batik Tirtomoyo mengalami perkembangan yang pesat di tahun
1960-an. Perkembangan ini terjadi ketika Koperasi Batik masuk menjadi anggota
GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) dan peran serta
pemerintah.Memasuki masa Orde Baru, industri batik yang telah berkembang
pesat mengalami kemerosotan.Hal ini merupakan konsekuensi yang tidak dapat
dihindari dari kebijakan Orde Baru yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
yang menyerap modal dalam jumlah besar.Hal ini dapat dilihat dari ketetapan
Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri
yang dimaksudkan untuk membuka perekonomian dan menggiatkan kembali
dunia usaha swasta, khususnya dari kalangan pengusaha yang memiliki modal
besar.
Warga Wonogiri memiliki keinginan untuk memproduksi dan memakai
batik dengan ciri khas budaya setempat, meliputi kondisi geografis, sosial,
fenomena, selera, dan sebagainya. Motif yang dibuat terinspirasi dari hal-hal
tersebut serta modifikasi pola Batik Klasik Kraton Surakarta.Contoh motif
terpengaruh fenomena sosial adalah Keladi dan Jemani, berisi motif adaptasi dari
bentuk daun Keladi dan Anthurium jenis Jemani yang menjadi tren koleksi
tanaman hias 2007.Motif tersebut dibuat atas ide dan pesanan kolektor tanaman
hias.Kondisi lingkungan hutan, juga menjadi sumber inspirasi munculnya motif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Gelondong Kayu dan Serat Kayu.
Dominasi pengusaha pribumi dalam sektor industri kerajinan yang
biasanya berskala kecil dan bersifat tradisional tersebut terutama terpusat pada
bidang batik.Di Indonesia batik dibuat di berbagai daerah, terutama di Pulau
Jawa.Jawa Tengah merupakan salah satu pusat kegiatan pembatikan.Batik dari
daerah Jawa Tengah khususnya batik Tirtomoyo motifnya lebih halus
pembatikannya.Setiap daerah pembatikan mempunyai keunikan dan ciri khas
masing-masing, baik dalam ragam hias maupun tata warnanya.Namun demikian,
dapat dilihat adanya persamaan maupun perbedaan antar batik berbagai daerah
tersebut. Bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang bersatu, walaupun terdiri
dari berbagai suku bangsa dengan adat yang berbeda, ternyata memiliki selera
dan pola citra yang hampir sama. Tentu saja kalau ada perbedaan dalam gaya dan
selera, itu disebabkan oleh letak geografis daerah pembuat batik yang
bersangkutan, sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan, kepercayaan
dan adat istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan, keadaan alam sekitarnya
dan adanya kontak atau hubungan dengan daerah pembatikan lain.5
Di daerah Jawa Tengah perkembangan batik banyak dikembangkan dan
diawali dari daerah Laweyan Surakarta yang merupakan salah satu daerah
kekuasaan keraton Surakarta. Akan tetapi karena adanya suatu permasalahan
yang disebabkan oleh adanya kelas sosial dalam kalangan keraton maka batik
mengalami ketidakstabilan dan kemunduran. Batik mulai dilarang berkembang
dan dipergunakan di keraton. Atas larangan itu, maka para saudagar yang
5 Nian S Djoemena, 1986.Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan. hal 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
menjadi abdi dalem kraton memutar otaknya membuat kreasi baru, meski tidak
keluar dari gaya Surakarta. Di dalam perkembangannya Laweyan pun kemudian
muncul sebagai sebuah pusat bisnis yang sangat berpengaruh.Tidak hanya bagi
kerajaan Mataram, tapi juga sampai ke luar kerajaan tidak tidak terkecuali daerah
Tirtomoyo Wonogiri.Batik-batik gaya Surakarta pun secara umum mulai merajai
ke berbagai pelosok tanah air diantaranya ragam hias Sawat, Slobog, Sido Mukti,
Sido Luhur, Ratu Ratih, Truntum, Satrio Manah, Pamiluto. Sementara untuk
motif batik dalem kraton sendiri terdapat diantaranya motif Semen Rama yang
dibuat pada masa PB IV tahun 1787 sampai tahun 1816. Motif Indrabrata,
Bayubrata, Agnibrata, Babon Angrem, Semen Sida Raja, Naga Raja, Semen
Candra, Semen Prabu, Parang Kusuma, Wirasat dan lain-lain. Dari semua desain
motif itu, rata-rata mempunyai makna filosofi yang cukup tinggi.6
Di Tirtomoyo yang pernah jaya dengan produksi batiknya pada tahun
1960-an, mengalami keterpurukan dijurang kehancuran pada masa krisis moneter
1998.Model client businessman yang dilakukan rezim Soeharto, menjadikan
usaha-usaha mandiri kewiraswastaan hancur, karena pada kenyataannya
kebijakan penguasa pemerintah adalah memihak para pelaku bisnis kelas
pengusaha menengah ke atas yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan
politik tertentu, pihak pengambil kebijakan.Kebijakan ekonomi baru adalah
sebuah perubahan paradigma pembangunan ekonomi radikal dan pada awalnya
menjadi perubahan dalam masyarakat yang lebih maju oleh rezim Orde
Baru.Untuk kasus pembatikan di Tirtomoyo, dapat dikatakan bahwa perdagangan
6Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
dan perkembangan batik mengalami pasang surut yang sangat tajam, sehingga
tinggal beberapa orang yang bergerak dalam bidang bisnis batik tradisional.
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, mendorong penulis untuk
mengadakan penelitian dengan judul “Sejarah Perkembangan Industri Batik
Tradisional di Tirtomoyo Tahun 1950-2000”. Di dalam studi ini ruang lingkup
waktu dimulai tahun 1950 sampai dengan tahun 2000. Hal ini dikarenakan antara
tahun 1950-2000 perkembangan batik mulai berkembang dan banyak sekali
mengalami perubahan. Selain itu, pengaruh budaya masyarakat lokal dan
masyarakat pendatang mulai berpengaruh terhadap perkembangan motif dan
gaya batik itu sendiri. Dari perkembangan batik tersebut maka diperlukan suatu
perencanaan dan pengembangan batik yang baik demi terciptanya suatu karya
batik yang indah.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang munculnya industri batik di Tirtomoyo pada
tahun 1950-2000 ?
2. Bagaimanakah sejarah perkembangan batik tradisional di Tirtomoyo pada
tahun 1950-2000 ?
3. Faktor-faktorapa yang berpengaruh terhadap perkembanganbatik di
Tirtomoyo pada tahun 1950-2000 ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang tujuan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut, yaitu:
1. Mengetahui latar belakang munculnya industri batik di Tirtomoyo pada
tahun 1950- 2000.
2. Mengetahui bagaimanakah sejarah perkembangan batik tradisional di
Tirtomoyo pada tahun 1950-2000.
3. Mengetahui faktor – faktor yang berpengaruh terhadap
perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini adalah dapat menambah kajian tentang
perkembangan batik di Tirtomoyo pada masa lampau sebagai suatu masukan
dalam pemikiran pengembangan kesenian batik maupun batik itu sendiri dimasa
yang akan datang. Serta dapat menambah wawasan dan bahan bacaan mengenai
jejak-jejak peninggalan bersejarah bagi generasi penerus. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan pengembangan studi
sejarah khususnya sejarah perkembangan batik di Tirtomoyo pada khusunya dan
di Indonesia pada umumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
E. KAJIAN PUSTAKA
Kajian tentang perkembangan batik dari tahun ke tahun sangatlah menarik
untuk dibahas, hal ini bertujuan untuk mengetahui sejarah lahirnya batik di suatu
daerah. Referensi buku yang digunakan antara lain: adalah buku yang berjudul
“Batik Klasik”, karangan Hamzuri yang diterbitkan oleh Djambatan, tahun terbit
1981. Buku ini berisi ulasan mengenai batik klasik, sesuai dengan judul bukunya.
Klasik di sini ialah, klasik dalam cara pembatikannya maupun klasik mengenai
motif batiknya. Dalam buku ini dijelaskan perlengkapan dan peralatan, dibahas
tentang mori, setelah itu dijelaskan mengenai pola.Buku Batik Klasik juga
memuat aneka macam kain batik, yang dikelompokkan berdasar motifnya, yaitu
motif parang, geometris, banji, tumbuh-tumbuhan menjalar, tumbuh-tumbuhan
air, bunga dan satwa dalam alam kehidupan.
Buku berjudul Ungkapan Sehelai Batik, karangan Nian S. Djoemena yang
diterbitkan oleh Djambatan, tahun terbit 1986. Buku ini berisi penjelasan
mengenai batik secara luas. Mulai dari faktor-faktor yang mempengaruhi ragam
hias batik, perkembangan batik. Di dalam buku ini dibagiberbagai ragam hias
batik dalam dua golongan besar, yaitu ragam hias geometris dan ragam hias non
geometris, sedangkan pada zaman penjajahan Belanda pengelompokan batik
ditinjau dari sudut daerah pembatikan yang dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu batik Vorstenlanden dan batik pesisir.Buku ini juga membahas mengenai
ragam hias batik menurut daerahnya masing-masing. Bahasan yang pertama
adalah batik daerah Solo. Solo merupakan daerah kerajaan atau Vorstenlanden.
Ragam hias batik Solo bersifat simbolisme yang erat hubungannya dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
falsafah Hindhu Jawa. Ragam hias daerah Solo antara lain: ragam hias Slobog,
Sido Mukti, Semen Rama, Truntum, Sri Nugroho, Pari Seuli, Ceplok Sari, dan
lain sebagainya. Daerah Vorstenlanden selain Solo ialah Yogyakarta. Ragam hias
batik Yogya memiliki kekhasan sendiri. Beberapa kekhasan ragam hias isen-isen
akan dijumpai pada batik Yogya, seperti Dele Kecer dan berbagai jenis ukel yaitu
Ukel Cantel, Ukel Tutul, dan Ukel Monte. Daerah Yogya juga memiliki
kesamaan dengan daerah Solo mengenai peraturan pemakaian kain batik. Contoh
ragam hias batik Yogyakarta, antara lain: ragam hias Ksatrian, Muningar, Nitik
Brendi, Keong Sari, Kawung Beton, Grompol, dan lain-lain.
Setelah pembahasan mengenai batik dari daerah Vorstenlanden, dibahas
pula mengenai batik dari daerah pesisir. Antara lain batik Cirebon, ragam hias
batik Cirebon, antara lain: ragam hias Peksi Naga Liman, Ayam Alas Gunung
Jati, Raji Besi, Kapal Kandas, Wadasan, dan lain-lain. Kemudian dibahas batik
dari Indramayu, yang sering disebut Dermanyon dan kain panjangnya selalu
mempunyai tumpal. Ragam hias batik Indramayu adalah ragam hias Dara Kipu,
Urang Ayu, Bangun Tulak, Pintu Raja, Kembang Kapas, Pacar Cina, dan lain
sebagainya. Setelah batik Indramayu dibahas mengenai batik daerah Garut. Batik
Garut sering disebut Garutan. Ragam hias Garut, antara lain: ragam hias Terang
Bulan, Wareng Aruey, Cupat Manggu, Gambir Saketi, Patah Tebu, Kraton
Galuh, dan lain-lain. Berikutnya dibahas batik daerah Pekalongan.Batik
Pekalongan dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: batik Encim, kain batik bergaya
Belanda, dan batik berselera pribumi. Contoh ragam hias batik Pekalongan ialah
ragam hias Banji, Cempaka Mulya, Kembang Cengkeh, Grindilan, Cupido,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Merak Kesimpir, Jlamprang, dan lain-lain. Menuju ke arah timur, yaitu daerah
Lasem. Batik daerah Lasem sering disebut Laseman. Pemberian nama batik
Lasem pada umumnya berdasarkan tata warnanya bukan menurut nama ragam
hiasnya. Maka dari itu terdapat istilah Bang-bangan, Kelengan, Bang Biru, dan
Bang-Biru-Ijo. Contoh ragam hias batik Laseman, yaitu ragam hias Bang-
bangan, Kelengan, Tiga Negeri, Kendoro Kendiri, Tutul, dan lain-lain.
Buku berjudul Makna Batik dalam Kosmologi Orang Jawa, karangan Bejo
Haryono, yang diterbitkan oleh Dirjenbud, tahun terbit 2004, tebal buku 44
halaman. Buku ini sesuai dengan judul bukunya makna batik dalam kosmologi
orang Jawa, buku ini secara umum memuat mengenai arti dari tiap-tiap ragam
hias batik menurut pandangan orang Jawa (Jawa Tengah). Pada bagian pertama
dijelaskan terlebih dahulu mengenai arti dari kosmologi. Kosmologi berasal dari
bahasa Yunani kosmos, yang berarti keteraturan, keseimbangan, sistem yang
harmonis atau alam semesta menjadi satu sistem yang teratur. Kemudian dibahas
mengenai tinjauan filosofis yang difokuskan pada makna filsafat dari ragam hias
batik. Bagi orang timur, filsafat sebagai petunjuk tingkah laku seseorang untuk
menerima nasehat dari orang lain melalui ilmu sinengker, yaitu perlambang-
perlambang atau simbol-simbol benda-benda lain.
Buku yang berjudul Katalog Batik Indonesia, karangan Riyanto, yang
diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan
dan Batik, tahun terbit 1997, tebal buku 79 halaman. Buku ini berisi ulasan
mengenai batik secara keseluruhan. Pada bagian pertama dijelaskan mengenai
pengertian batik. Menurut Konsensus Nasional 12 Maret 1996, “Batik adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
karya seni rupa pada kain, dengan pewarnaan rintang, yang menggunakan lilin
batik sebagai perintang warna”. Kemudian diterangkan mengenai proses
pembuatan batik, yang meliputi: pelekatan lilin batik, pewarnaan batik, dan
menghilangkan lilin. Bahasan berikutnya, yaitu mengenai motif batik. Pola yang
menyusun motif batik tradisional, antara lain: motif Parang, motif Ceplok, motif
Pinggiran, dan motif Tumpal atau karangan bunga. Sedangkan pada batik
modern, motif dapat berupa gambar nyata (figuratif), semifiguratif, atau
nonfiguratif. Setelah itu dibahas mengenai zat pewarna untuk batik. Di sini
menurut asalnya zat warna batik dibagi menjadi dua, yaitu zat warna alam dan
sintetis. Zat warna dari alam antara lain kunyit, temulawak, akar pohon
mengkudu, teh, gambir, dan lain sebagainya. Sedangkan zat warna sintetis antara
lain soga ergan, soga kopel, cat bejana, dan lain-lain. Bahasan berikutnya yaitu
mengenai tata warna batik. Pewarnaan batik di samping mempunyai keindahan
yang khas juga mempunyai arti simbolis dan filosofis.
Skripsi Wiranto, Fakultas Keguruan Universitas Sebelas Maret
Surakarta,1979.Pengusahaan Industri Kerajinan batik Bekonang dan Tirtomoyo
tahun 1967-1977. Skripsi ini berisi tentang keadaan Geografis serta riwayat
pertumbuhan kerajinan industri batik di desa Wonorejo dan Tirtomoyo,
pengusahaan Industri kerajinan batik di desa Wonorejo dan Tirtomoyo.
F. METODE PENELITIAN
Metode yang dilakukan adalah metode sejarah. Metode sejarah merupakan
proses mengumpulkan, menguji, dan menganalisis secara kritis terhadap rekaman-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
rekaman peninggalan pada masa lampau dan usaha-usaha melakukan sintesa dari
data-data masa lampau menandai kajian yang dapat dipercaya. Penelitian ini
adalah penelitian sejarah, sehingga metode relevan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode sejarah. Proses metode sejarah meliputi empat
tahapan yakni:
Tahap pertama adalah heuristik yaitu mencari dan mengumpulkan
sumber-sumber mengenai sejarah perkembangan batik di Tirtomoyo serta
dokumen-dokumen lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang diperoleh
dari berbagai sumber. Hal ini dilakukan karena jenis penelitian ini adalah
menggunakan metode historis, maka jenis sumber data yang digunakan adalah
data yang berupa arsip, maupun surat kabar yang sejaman dan sumber-sumber
sekunder atau buku-buku referensi sebagai pendukung. Buku-buku dan sumber-
sumber sekunder lain yang berhubungan dengan topik permasalahan dan tema
penelitian diperoleh dari kepustakaan di Perpustakaan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Jurusan Ilmu Sejarah
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran Surakarta.
Tahap Kedua, Metode wawancara merupakan suatu tehnik pengumpulan
data yang dilaksanakan secara lisan dari seorang narasumber. Dalam penelitian
masyarakat, terdapat dua wawancara, yakni wawancara untuk mendapatkan
keterangan dan data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi, dan
wawancara untuk mendapatkan keterangan mengenai data diri pribadi, pandangan
dari individu yang diwawancarai untuk keperluan komparatif.Wawancara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dilakukan terhadap pihak-pihak yang saling berkepintingan guna meng-crosschek
keabsahan data.Wawancara dilakukan secara langsung dengan Teguh (Camat
Tirtomoyo), Tarmi (Pengusaha batik Tirtomoyo), Satiyem (Petani), Darto
(Petani), Kaharudin Ahmad (Pengusaha Batik) Wiyono (Pedagang)
Tahap ketiga adalah kritik sumber, terdiri dari kritik intern dan ekstern.
Kritik intern merupakan kritik yang meliputi tulisan, kata-kata, bahasa dan
analisa verbal serta tentang kalimat yang berguna sebagai validitas sumber atau
untuk membuktikan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya.Kritik ekstern,
meliputi material yang digunakan guna mencapai kredibilitas sumber atau
keaslian sumber tersebut. Dari hasil sumber-sumber yang berhasil dikumpulkan
dikelompokkan sesuai dengan kriteria, terutama kejadian atau peristiwa apa yang
terjadi dan tahun berapa, kemudian dipilih dan diseleksi sumber-sumber yang
akurat sehingga mendapat informasi yang akurat dan valid.
Tahap keempat adalah interpretasi atau penafsiran, yaitu menafsirkan
keterangan-keterangan yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang
diperoleh.Analisa data merupakan kegiatan pengklarifikasian data yang
terkumpul dalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian sehingga dapat ditemukan
kerangka berfikir yang mendukung hipotesa kajian.Penulisan ini menganalisa
dengan teknik analisa kualitatif, teknik setelah data terkumpul, diseleksi mana
yang penting dan tidak penting kemudian diinterpretasikan, ditafsirkan serta
dianalisa isinya dengan mencari hubungan sebab akibat dari sebuah fenomena
pada cakupan waktu dan tempat tersebut. Dari analisa ini akan menyajikan dalam
bentuk suatu tulisan deskriptif analisis. Suatu analisa tersebut banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
menjelaskan dari hasil pemikiran berdasarkan data-data yang ada.
Tahap kelima adalah historiografi yaitu proses penulisan sejarah sebagai
langkah akhir dari penelitian sejarah.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini akan disusun bab demi bab untuk memberikan gambaran yang
terperinci dan jelas. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat
menyajikan gambaran yang menunjukkan suatu perkembangan kejadian yang
berurutan.
Bab I. Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian,
teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II. Menjelaskan tentang gambaran umum, letak geografis dan kondisi
demogrfis di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000.
Bab III. Menjelaskan tentang bagaimanakah sejarah perkembangan
industri batik dan ragam hias batik serta peranan pemerintah terhadap
perkembangan batik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000.
Bab IV. Menjelaskan tentang faktor dan dampak yang berpengaruh
terhadap perkembanganbatik di Tirtomoyo pada tahun 1950-2000.
Bab V. Bab ini berisi tentang kesimpulan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH TIRTOMOYO
A. Kondisi Geografis Kecamatan Tirtomoyo
Kecamatan Tirtomoyo merupakan salah satu kota di Kecamatan dari
Kawedanan Baturetno, Kabupaten Wonogiri propinsi Jawa Tengah. Adapun batas-
batas wilayah Kecamatan Tirtomoyo ialah:
1. Sebelah Utara : Kecamatan Jatiroto
2. Sebelah Selatan : Kecamatan Karangtengah dan Batuwarno
3. Sebelah Barat : Kecamatan Nguntoronadi
4. Sebelah Timur : Propinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Pacitan
(Sumber: Hasil Wawancara dengan Teguh camat Tirtomoyo) tahun 2010.
Untuk menuju Kecamatan Tirtomoyo pada masa sekarang dari kota Surakarta
dapat ditempuh melalui jalan raya Surakarta-Wonogiri-Baturetno. Dari arah Wonogiri
ke selatan sampai Nguntoronadi yang berjarak sekitar 10 Km berbelok ke arah Timur
dengan jarak 18 Km. Keadaan alamnya dikelilingi oleh bukit dan wilatyahnya terbagi
menjadi 2 wilayah, yaitu dilalui oleh Sungai Wiroko. Disebelah Selatan sungai terdiri
dari 7 desa dan sebelah utara terdiri dari 5 desa dan 2 kelurahan. Luas daerah
Kecamatan Tirtomoyo adalah 9301.0885 ha, dengan perincian menurut
penggunaannya sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
TABEL 1.
LUAS DAERAH DAN PERINCIAN PENGGUNAANNYA
No Jenis Luas Daerah
1. Sawah 1806,17
2. Tegalan 3293,05
3. Pekarangan 2402,55
4. Hutan 1572,39
5. Padang Rumput 56,20
6. Lain-lain 170,73
Sumber: Arsip Kecamatan Tirtomoyo tahun 2010
B. Kondisi Demografis Penduduk Tirtomoyo
1. Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian
Untuk mengetahui jumlah penduduk Tirtomoyo lebih terperinci dapat dilihat
dari data dalam tabel di bawah ini:
TABEL 2.
MATA PENCAHARIAN PENDUDUK
No Jenis Mata Pencaharian Pokok Tahun
1950 1979 2000
1 Petani 10987 9073 13329
2 Buruh tani 6548 5787 7411
3 Pengusaha Kecil 712 470 974
4 Buruh industri 5298 7831 3607
5 Buruh bangunan 1647 1816 2894
6 Pedagang 1012 1792 1345
7 Angkutan 98 126 290
8 Pegawai negeri / pensiunan 120 260 557
9 Lain-lain 7903 8493 10503
Jumlah 34352 35648 40910
Sumber: Arsip Kecamatan Tirtomoyo tahun 1950, 1969 & 2000
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Dari tabel 2 tersebut memperlihatkan distribusi keadaan penduduk menurut
mata pencaharian penduduk. Data itu menunjukkan bahwa pekerjaan utama 66,4 %
penduduk desa Tirtomoyo adalah sebagai petani (baik petani pemilik maupun buruh
tani). Adapun hasil pertanian dari desa Tirtomoyo adalah hasil padi. Selain padi, hasil
pertanian yang lain adalah palawija. Hasil palawija dari sawah yang dihasilkan di
desa Tirtomoyo adalah kedelai dan kacang cina (brol), selain itu tanah tegalan
menghasilkan singkong dan jagung.
Usaha dalam bidang industri berupa kerajinan batik memberikan lapangan
kerja yang cukup luas kepada penduduk, dalam tabel 2 menunjukkan bahwa dari
penduduk desa Tirtomoyo pada tahun 1950 sebagian besar adalah sebagai petani,
tetapi pada tahun 1979 penduduk desa Tirtomoyo banyak yang beralih profesi sebagai
pengrajin, baik sebagai pengusaha batik maupun buruh pengrajin. Hal ini disebabkan
karena pada tahun 1960-an industri batik di Tirtomoyo mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Melihat semakin berkembangnya usaha batik, maka di tahun 1979
masyarakat Tirtomoyo memilih baik jadi pengusaha batik maupun buruh pengrajin
daripada jadi petani. Pada tahun 2000 masyarakat banyak yang beralih ke mata
pencaharian yang lainnya seperti sebagai sopir, penjahit, reparasi, pegawai negeri,
ABRI, dan pensiunan, hal ini dikarenakan industri batik mulai mengalami
kemunduran.
Keberadaan kampung Tirtomoyo sudah sejak lama menjadi sorotan umum,
selain karena penduduknya adalah pengusaha batik, karakteristik masyarakatnya juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
sangat unik, karena hampir keseluruhannya berprofesi sebagai pedagang atau
pengusaha yang menekuni usaha perbatikan. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang
aneh di tengah kehidupan masyarakat Wonogiri, yang umumnya bekerja di bidang
pertanian. Mayoritas jenis pekerjaan yang ditekuni, identitas masyarakat, nilai dan
perilaku sosial serta kebudayaannya tampak jelas sangat dipengaruhi oleh jiwa untuk
menciptakan suatu lapangan kerja.1
2. Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
TABEL 3.
MASYARAKAT TIRTOMOYO
BERDASARKAN TINGKAT PENDIDIKAN
No. Tingkat Pendidikan Tahun
1969 2000
1 Tidak Tamat SD 9781 3498
2. Tamat SD 15108 9182
3. Tamat SLTP 5467 4721
4. Tamat SLTA / SMK 3936 16713
5. Sarjana / Diploma 356 5696
Sumber: Arsip Kecamatan Tirtomoyo tahun 1969 & 2000
Dari Tabel 3 diatas dapat dilihat dimana pada tahun 1969 masyarakat
Tirtomoyo sebagain besar penduduknya kebanyakan hanya lulusan SD. Hal ini
dikarenakan pada saat itu tidak begitu memperdulikan arti pentingnya pendidikan
dikarenakan masyarakat beranggapan bahwa dengan membatik sudah bisa
meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Orang tua menyuruh anaknya daripada
sekolah lebih baik membantu orang tua dalam usaha batik ataupun jadi buruh batik.
1 Wawancara dengan Teguh camat Tirtomoyo pada tanggal 1 April 2012 jam 10:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Sehingga pendidikan kurang diperhatikan. Akan tetapi di tahun 2000 keadaan
berbalik, dimana masyarakat Tirtomoyo sudah banyak yang mencapai
pendidikannnya sampai lulusan SLTA / SMK. dengan perkembangan jaman dan
industri batik yang mulai menurun masyarakat mulai peduli dengan sistem
pendidikan yang pada akhirnya banyak masyarakat yang tidak lagi begitu antusias
untuk bekerja dan berprofesi sebagai pembatik.
3. Keadaan Sosial Ekonomi
Perbandingan yang lebih menyolok perbedaannya dengan identitas
masyarakat Tirtomoyo adalah pengelompokan masyarakat antara pegawai
pemerintahan dan masyarakat pengrajin batik, tetapi beberapa perbedaan identitas
diantara keduanya menunjukkan bahwa masalah persepsi kultural adalah faktor yang
menentukan perbedaan kedua pengrajin batik itu. Para pegawai pemerintahan lebih
tertarik pada gaya hidup modern, oleh karena itu identitas kelompok sosial ini lebih
menyerupai “priyayi“. Kampung Tirtomoyo dahulu, lebih dikenal sebagai pusat
produksi industri kerajinan rumahan, sama sekali tidak mencerminkan karakternya
sebagai perkampungan pengrajin, melainkan lebih membaur ke dalam kompleks
pemerintahan. Mereka berpendapat bahwa dengan menjadi seorang pegawai baik itu
pegawai negeri ataupun pengusaha akan menciptakan kehidupan atau strata sosial
yang lebih baik. Seolah-olah mencerminkan inilah pekerjaan yang sangat baik dari
komunitas lingkungannya, sehingga di Tirtomoyo muncul sikap kompetitif diantara
pengrajin batik dengan pegawai pemerintahan. Hal ini dikarenakan hasil pekerjaan
dinilai menurut prestasi, hasil kerja, serta nilai-nilai tingkat strata sosial. Oleh karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
itu, nilai untuk menciptakan suatu lapangan kerja sangat menentukan para pengrajin
batik dalam menentukan suatu tingkat strata sosial di dalam masyarakat,2 meskipun
begitu mereka tidak menganggap dengan strata sosial yang tinggi kehidupan mereka
bersikap seperti priyayi pada umumnya. Sikap mereka justru mengantisipasi persepsi
gaya hidup orang-orang bangsawan. Rasa percaya diri yang kuat tidak tertarik oleh
cara hidup yang bermewah-mewah seperti di dalam lingkungan keraton dan
pemerintahan, tidak ingin kehormatan, tampaknya telah menciptakan kondisi umum
di Tirtomoyo, sehingga apa yang ada di hadapan kita sekarang adalah realitas sosial.
Meskipun para pedagang batik Tirtomoyo menghadapi kemerosotan tingkat sosial-
ekonomi, tetapi keadaannya sekarang masih banyak pengusaha yang lebih kaya dari
pada kebanyakan hidup para pegawai pemerintahan. Mereka masih bisa menikmati
sisa kejayaannya di masa lampau, daripada pengrajin seprofesi di kampung
Tirtomoyo.
Orang Tirtomoyo masa lalu lebih jelas membedakan dua profesi ini. Seorang
pengusaha batik dalam kriteria saudagar kaya, menurut istilah setempat disebut
juragan dan seorang pedagang batik disebut bakul ade. Keduanya ada keserasian
dalam profesi sebagai spekulan, tetapi ketekunan kerja mereka masih kurang
mendapat tempat dalam status tradisional Jawa khususnya para priyayi keraton yang
cenderung memandang rendah pekerjaan berdagang bagi kebanyakan orang Jawa. Di
dalam pengertian ini, orang Tirtomoyo cenderung sebaliknya dimana mereka
2 Wawancara dengan Tarmi pengusaha batik desa Wiroko kecamatan Tirtomoyo pada tanggal
31 Maret 2012 jam 13:30 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
memandang pengusaha batik adalah suatu pembuktian bahwa mereka bisa hidup
dengan sejahtera dan mempunyai kehidupan yang layak sebagai masyarakat yang
baik menurut strata sosial masyarakat.3
Ciri khas yang dirasakan paling menonjol dari gaya hidup orang-orang
Tirtomoyo adalah persepsinya mengenai kekayaan, baik di kalangan majikan maupun
tenaga tukang dan buruhnya saling memahami bahwa bekerja keras yang sudah biasa
mereka lakukan, semata-mata bukan hanya mencari nafkah melainkan juga untuk
meningkatkan derajatnya. Menurut mereka, mengumpulkan kekayaan sama halnya
orang menemukan identitas dirinya dalam status sosial tertentu. Mereka beranggapan
bahwa kekayaan tidak hanya ditentukan menurut klasifikasi jenis pekerjaan, sebagai
sekelompok marginal, nilai kekayaan itu secara realistis telah mengangkat harga
dirinya kedalam status tertentu. Gaya hidup orang Tirtomoyo, dalam batas-batas
tertentu senantiasa mengantisipasi kehidupan bangsawan. Mereka tidak sepenuhnya
terlibat seperti dalam kehidupan aristokrat, tetapi jenis-jenis kekayaan yang menjadi
simbol status para bangsawan mereka miliki. Para juragan Tirtomoyo yang tergolong
kaya biasanya memiliki barang-barang sebagai simbol status kekayaan. Misalnya
krobongan, dubang, perhiasan dan tata cara berpakaian Jawa seperti model priyayi.
Pada kesempatan lain menurut Satiyem,4 bahwa para “juragan” Tirtomoyo
dalam kedudukannya sebagai majikan dalam perusahaan, memang tidak pernah
3 Wawancara dengan Tarmi pengusaha batik desa Wiroko kecamatan Tirtomoyo pada tanggal
31 Maret 2012 jam 13:30 WIB. 4 Wawancara dengan Satiyem pengusaha batik dari desa Hargantoro Kecamatan Tirtomoyo
pada tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
menampilkan sikapnya seperti para bangsawan, mereka tidak ingin dihormati secara
berlebih-lebihan, tetapi sebaliknya tentang persepsi kekayaan yang ia miliki, ingin
dipamerkan sampai yang sekecil-kecilnya dengan membuktikan hasil kerja mereka
bisa berkembang atau mengalami kemunduran. Bagi para pengrajin batik sendiri
penting bagi orang Tirtomoyo hasil kerja mereka itu bisa mencerminkan sebagai
simbol kekayaannya.
Hasil penelitian yang dilakukan di daerah itu menunjukkan hasil yang positif,
bahwa orang-orang Tirtomoyo sangat merasa kebutuhan untuk memamerkan standar
hasil kerja mereka, karena dari kekayaan itu menunjukkan status pemiliknya. Mereka
mempunyai banyak tenaga buruh, hasil batik yang bagus dan berbagai simbol
kekayaan lainnya. Faktor-faktor ini secara tidak langsung menuntut penghormatan
orang lain kepada keluarganya.
Sistem status dalam masyarakat Tirtomoyo ditentukan berdasarkan klasifikasi
pembagian kerja di perusahaan keluarga. Baik secara struktural maupun
fungsionalnya, kedudukan seorang ibu menempati posisi teratas, baru kemudian ayah
dan anak-anak. Di lingkungan ini seorang perempuan memegang peranan cukup
penting dalam pengelolaan perusahaan, disamping sifatnya yang tekun, ulet dan lebih
teliti, perempuan lebih memiliki sifat “ngemong” dibanding dengan kaum pria.
Berbeda dengan masyarakat Wonogiri di luar masyarakat Tirtomoyo yang
menempatkan wanita di posisi kedua. Pemilik perusahaan ini memperoleh sebutan
sebagai majikan. Mereka dihormati karena perannya bukan sekedar sebagai
pelindung kepentingan ekonomi buruhnya, melainkan juga sebagai ibu asuh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Hubungan buruh dan majikan itu sebagai keutuhan dan kesatuan, dimana masing-
masing orang dalam perusahaan dianggap sebagai teman baik dan anggota keluarga.
4. Pelapisan Sosial Penduduk Tirtomoyo
Di dalam setiap masyarakat akan ditemui adanya pelapisan sosial. Gejala
adanya pelapisan sosial itu karena dalam pergaulan antara individu ada perbedaan
penduduk dan derajat.5 Adanya perbedaan kedudukan dan derajat dalam masyarakat
itu karena ada sesuatu di dalam masyarakat. Barang sesuatu yang dihargai di dalam
masyarakat itu berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, selain itu juga
berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesolehan dalam agama atau keturunan
dari keluarga yang terhormat.6
Demikian pula dengan masyarakat desa Tirtomoyo mempunyai pelapisan
sosial sendiri, bahwa penduduk pedesaan yang sebagian besar terdiri dari pada para
petani pada umumnya memberikan penilaian yang tinggi terhadap pemilik tanah dan
rumah. Pelapisan sosial para petani yang berdasarkan pemiliknya tanah itu dibeberapa
desa mempunyai variasi yang berbeda-beda,7 maka berdasarkan pemilikan tanah
masyarakat Tirtomoyo dapat digolongkan menjadi:
1. Kuli Kenceng, mereka yang mempunyai sawah, tegal, rumah dan pekarangan.
2. Kuli setengah kenceng atau mekarang, mereka yang hanya mempunyai
pekarangan dan tegal saja.
5 Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Hal
174. 6 Soerjono Sukanto. 1975. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia. Hal 106. 7 Koentjaraningrat. 1960. Masyarakat desa di Indonesia Masa Ini. Jakarta: Universitas
Indonesia. Hal 157.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
3. Kuli Kendo atau magersari, mereka yang mendirikan rumah dipekarangan orang
lain.
Di samping pelapisan sosial berdasarkan pemilikan tanah yang telah
disebutkan di atas masih terdapat pelapisan sosial yang lain untuk menyebut orang-
orang yang mempunyai kemampuan dalam menjalankan aktivitas di bidang usaha
ekonomi dan perdagangan. Orang-orang yang berhasil dalam menjalankan peranan
dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan disebut dengan wong swastanan. Adapun
pengusaha batik di desa Tirtomoyo termasuk wong swastanan juga, ada dua orang
yang mempunyai perusahaan statis yaitu Jelita dan Wasis. Adapula yang memiliki
penggilingan padi, membuka toko, reparasi accu dan membuka cap salon. Meskipun
mereka menjadi pengusaha batik dan termasuk sebagai wong dagang dan swastanan,
tetapi mereka juga bekerja pula sebagai petani.8
Selain pelapisan sosial yang telah disebutkan di atas, ada yang membagi
pelapisan sosial masyarakat berdasarkan luas pemilikan tanah pertanian berdasarkan
per Ha. Berdasarkan luas pemilikan tanah pertanian per Ha, para petani dapat dibagi
menjadi tiga lapisan sosial masyarakat, yaitu9:
1. Petani lapisan atas yaitu petani yang memiliki luas tanah lebih dari 1 Ha.
2. Petani lapisan menengah yaitu petani yang memilki luas tanah 0,5 sampai 1 Ha.
3. Petani lapisan bawah yaitu petani yang memilki luas tanah kurang dari 0,5 Ha.
8 Wawancara dengan Teguh camat Tirtomoyo pada tanggal 10 juni 2010 jam 09:00 WIB
9 Wiranto, “ Pengusahaan Industri Kerajinan batik Bekonang dan Tirtomoyo tahun 1967-1977
“ Skripsi Fakultas Keguruan Universitas Sebelas Maret Surakarta, 1979, hal 21.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Menurut hasil wawancara, bahwa tidak ada pengusaha batik yang mempunyai
tanah lebih dari 1 Ha. Pengusaha batik termasuk petani lapisan menengah, kemudian
para buruh pengrajin batik adalah termasuk masyarakat lapisan tak bersawah dan
sisanya adalah termasuk masyarakat lapisan bawah.10
10
Wawancara dengan Teguh camat Tirtomoyo pada tanggal 10 juni 2010 jam 09:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN BATIKDI TIRTOMOYO
TAHUN 1950-2000
A. Asal Mula Kerajinan Batik
Secara etimologi batik merupakan rangkaian kata mbat dan tik. Mbatdalam
bahasa Jawa diartikan sebagai ‟ngembat‟ atau melempar berkali-kali, sedangkan tik
berasaldarikatatitik.Jadimembatikberartimelempartitik-titikyangbanyakdan berkali-
kali pada kain.Sehingga lama-lama bentuk-bentuk titik tersebut berhimpitan menjadi
bentuk garis.1
Menurut Hamzuri,2 batik adalah suatu cara membuat desain pada kain dengan
cara menutup bagian-bagian tertentu dari kain dengan malam (desain lebah). Batik
pada mulanya merupakan lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan
menggunakan alat bernama canting. Dalam perkembangan selanjutnya dipergunakan
alat-alat lain yang lebih baik untuk mempercepat proses pengerjaaannya misalnya
dengan cap.
Membatik sendiri adalah suatu pekerjaan yang mengutamakan ketiga tahapan
proses, yaitu pemalaman, pewarnaan dan penghilangan malam. Berapa banyak
pemalaman atau berapa kali penghilangan malam akan menunjukkan betapa
1Sudarsono, 1985, Aspek Ritual dan Kreativitas Dalam Perkembangan Seni di Jawa,
Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Hal 57. 2Hamzuri. 1985. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan. Hal 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
kompleks proses yang dilakukan, sehingga akan menghasilkan lembaran batik yang
kaya akan paduan warna.
Menurut beberapa ahli sejarah, batik yang berasal dari Indonesia, khususnya
di Pulau Jawa, semula berasal dari India.Batik pada awal mulanya di bawa oleh para
pedagang India yang kala itu sedang melakukan perdagangan dengan pedagang-
pedagang pribumi di pulau Jawa. Dari proses tukar menukar barang dagangan itu,
selanjutnya melahirkan informasi pemahaman tentang batik. Lambat laun orang-
orang Jawa mulai mengenal batik yang kemudian memodifikasinya, dan
mengembangkan dengan menggunakan bahan baku dan bahan penunjang lainnya,
sehingga berubah bentuk menjadi kain pakaian yang memiliki ciri-ciri Indonesia.3
Pendapat lain tentang asal mula batik di Indonesia, yaitu dari RM. Sutjipto
Wirjosaputro yang menyatakan bahwa asal mula kebudayaan batik di Indonesia
sebelum bertemu dengan kebudayaan India, bangsa Indonesia telah lama mengenal
aturan-aturan untuk menyusun syair, mengenal industri logam, teknik untuk membuat
kain batik dan sebagainya, dan yang mengembangkan kesenian India di Indonesia
adalah bangsa Indonesia.4
Ragam hias batik dapat pula dilihat di relief candi-candi yang ada di
Indonesia.Ragam hias yang ada berupa pola binatang, gunung, bunga-bungaan,
tumbuh-tumbuhan, sulur-suluran, gunung, mata air, yang kesemuanya merupakan
khas Indonesia. Dengan demikian, asal mula batik di Indonesia masih terdapat
3 Dofa, Anesia Aryunda. 1996. Batik Indonesia. Jakarta: PT. Golden Teranyon. Hal 8.
4Susanto SK, Sewan. 1975. Batik Modern. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan
Kerajinan. Hal 307.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
beberapa pendapat yang berbeda-beda, tetapi di sini lebih cenderung untuk
menyebutkan bahwa batik Indonesia merupakan kebudayaan asli Indonesia, dengan
alasan bahwa dari keterangan-keterangan yang ada menyatakan bahwa bangsa
Indonesia sendiri yang telah menciptakan seni batik. Hal ini terbukti pada bangunan-
bangunan candi, berarti pada zaman Hindu orang sudah mengenal seni batik.Bahkan
ragam hias batik yang tampak pada relief candi ada yang memiliki kesamaan dengan
ragam hias batik daerah pesisir.
Ditinjau dari segi motifnya ada dua jenis batik, yaitu batik tradisional dan
batik modern.Batik tradisional adalah jenis batik yang motif dan gayanya terikat pada
suatu aturan dan isen-isen tertentu, seperti motif sidomukti, sidoluhur, parang rusak,
dan sebagainya.Batik modern adalah semua jenis batik yang telah menyimpang dari
ikatan yang sudah menjadi tradisi tersebut.5 Ditinjau dari segi teknik pembuatannya
atau dalam hal ini pembatikannya juga dikenal dua macam batik, yaitu batik
tradisional dan batik printing. Batik tradisional meliputi: batik tulis, batik cap, atau
batik kombinasi tulis dan cap yang masih dibuat dengan cara sederhana dengan
menggunakan canting maupun alat cap. Batik printing adalah batik yang dibuat
dengan sistem sablon atau hand print.6
Batik tradisional yang dimaksud dalam skripsi ini adalah batik tradisional
dalam pengertian teknik pembuatannya, terlepas dari persoalan apakah batik itu
bermotif tradisional ataukah bermotif modern yang sudah menyimpang. Atau dengan
5Ibid, hal 12
6 Simandjuntak, Edward. S. 1982. „Batik Tradisional Makin Terpojok, Labelisasi untuk apa?‟
Dalam Prisma. No. 72.Hal. 73-83.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
kata lain yang dimaksud dengan batik tradisional disini adalah batik tulis atau cap,
baik yang bermotif tradisional maupun yang bermotif modern.
Dalam masa perkembangannya kain batik mempunyai bermacam-macam
ragam hias, sesuai dengan jalan alam pikiran manusia.Oleh karena kain batik cepat
rusak, sehingga tidak mungkin terdapat peninggalan-peninggalan yang otentik
sebagai bukti peninggalan purbakala.Untuk meneliti dan menganalisa perkembangan
seni batik dari zaman dahulu, yaitu dengan melihat relief maupun arca pada candi-
candi. Sebagai contoh ragam hias batik yang ada di Indonesia, antara lain: Semen
Rama, Parang Rusak, Parang Kusumo, Parang Baris, Kawung Prabu, Limar,
Buketan, Sido Asih, Sido Luhur, Sido Mukti, Sido Mulyo, dll.7
Parang Kusumo Kawung
7 Haryono, Bejo. 2004. Makna Batik dalam Kosmologi Orang Jawa. Yogyakarta: Direktorat
Permuseuman, Hal 15.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Sido Asih Sido Luhur
Sido Mukti Sido Mulyo
Gambar 1. Contoh ragam hias batik yang ada di Indonesia
Sumber: www.batikindonesia.com. (Minggu, 15 April 2012, 20:33
WIB).
Satu hal yang agak jelas adalah bahwa perkembangan batik di Jawa senantiasa
dikaitkan dengan perkembangan seni kreatif di sekitar kehidupan istana kerajaan
Jawa seperti Surakarta dan Yogyakarta, motif-motif tertentu dari batik itu pada
mulanya dimaksudkan sebagai mekanisme untuk mempertahankan nilai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
kebangsawanan. Sebagaimana diketahui kebudayaan istana yang menekankan seni
dan cara berpakaian telah menimbulkan keahlian di bidang pertekstilan yang kini
dikenal sebagai batik. Pekerjaan membatik menjadi suatu aktivitas rumah tangga di
pusat-pusat istana yang besar seringkali dikerjakan oleh para istri pelayan pejabat
istana tingkat rendah (abdi dalem), ini menunjukkan bahwa kerajinan tekstil pada
masa itu, didominasi oleh kaum wanita.Di beberapa tempat penggerak kerajinan batik
ini adalah para selir (isteri raja yang bukan permaisuri), baik yang tinggal didalam
atau diluar istana atau kraton.Tidak mengherankan apabila dahulu kain batik hanya
dipakai kalangan bangsawan dan priyayi oleh karena memang ada hubungan historis
yang erat antara pembuatan batik dan kebudayaan tinggi istana.
Pemakaian batik terus berkembang ke luar kalangan bangsawan dan bukan
sekedar menjadi pakaian tradisional, melainkan juga dipakai sebagai bahan
sandang.Akhirnya aktivitas pembatikan berkembang menjadi industri dan
berkembang pulalah metode produksi serta perluasan pasar sampai keluar istana.
Menurut Geertz, dalam perkembangan dan perluasan pasar inilah yang mendorong
kaum santri untuk memasuki industri kerajinan batik. Itulah sebabnya mengapa
sampai sekarang banyak perusahaan batik dijalankan oleh para santri di daerah-
daerah kantong santri (santri enclave) semacam Laweyan Surakarta, Kotagede,
Pekalongan, dan lain-lainnya.Perkembangan dan perluasan pemakaian batik terus
berlanjut, sehingga teknologi batik pun terus berkembang pula dengan pesatnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Menurut Nian S. Djoemena,8secara garis besar terdapat 2 golongan ragam
hias batik, yaitu ragam hias geometris dan ragam hias non-geometris. Yang termasuk
golongan geometris adalah:
1. Garis miring atau parang
2. Garis silang atau ceplok
3. Anyaman dan Limar
Yang termasuk golongan non-geometris adalah:
1. Semen, terdiri dari flora, fauna, meru, lar dan sejenis itu yang ditata secara
serasi.
2. Lunglungan
3. Buketan, dari kata bahasa Prancis atau Belanda bonquet jelas merupakan ragam
hias pengaruh dari luar dan termasuk ragam hias pesisir.
Sejak zaman penjajahan Belanda, batik ditinjau dari daerah penghasilnya,
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Batik Vorstenlanden
Yaitu batik dari daerah pedalaman (Surakarta dan Yogyakarta).Di zaman
penjajahan Belanda, kedua daerah ini merupakan daerah kerajaan dan dinamakan
daerah Vorstenlanden, hingga saat ini kedua kerajaan itu masih memiliki kharisma.
8Djoemena, Nian S. 1986. Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan. Hal 7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Batik Vorstenlanden
Gambar 2. Batik Vorslanden zaman penjajahan Belanda
Sumber: www.batikindonesia.com. (Minggu, 15 April 2012, 20:33
WIB).
Batik Pedalaman (Vorstenlanden), khususnya daerah Surakarta dan
Yogyakarta, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Ragam hias motif batiknya bersifat
simbolisme berlatar belakang kebudayaan Hindhu-Jawa dan Warna sogan, indigo
(biru), hitam dan putih.
Batik Surakarta Batik Yogyakarta
Gambar 3. Batik Pedalaman khususnya daerah Surakarta dan Yogyakarta
Sumber: www.batikindonesia.com. (Minggu, 15 April 2012, 20:33 WIB)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Motif batik dari Surakarta memiliki perbedaan dengan motif batik Yogya
meskipun sama-sama daerah kerajaan atau Vorstenlanden. Perbedaan yang menyolok
antara batik kedua daerah tersebut antara lain:
1. Yang paling utama adalah dalam hal perpaduan tata ragam hias. Ragam hias
batik Yogya pada umumnya condong pada perpaduan berbagai ragam hias
geometris, dan umumnya berukuran besar. Sedangkan ragam hias batik Surakarta
condong pada perpaduan ragam hias geometris-non geometris-geometris dengan
ukuran yang lebih kecil.
2. Warna putih batik Yogya lebih terang dan bersih, sedangkan batik Surakarta
warna putihnya agak kecoklatan (ecru).
3. Warna hitam pada batik Yogya agak kebiruan sedangkan batik Surakarta
kecoklatan.
4. Umumnya warna babaran serta sogan antara batik dari kedua daerah tersebut
agak berbeda. Babaran adalah proses pencelupan terakhir dengan sogan.9
Pemakain batik pada mulanya sangat berkaitan dengan aktivitas seremonial
dan ritual tertentu, seperti upacara-upacara adat yang sebagian besar berorientasi pada
tata cara kerajaan/kraton, misalnya upcara jumenengan (penobatan raja), pisowanan
(upacara menghadap raja), upacara garabeg, dan lain sebagainya. Pemakaian batik
juga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya transedental atau berlatar belakang
magis, misalnya: para pengantin biasanya memakai kain batik motif sidoluhur atau
sidomukti dengan harapan agar kedua mempelai selalu memperoleh kesejahteraan dan
9Ibid. Hal 22.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
jabatan yang luhur dalam masyarakat. Adanya larangan bagi pengantin untuk
memakai kain batik bermotif parang rusak karena bisa mengakibatkan rusaknya tali
perkawinan, dan lain-lainnya.
Dalam perkembangannya, motif-motif batik yang menjadi larangan tersebut
tampaknya telah menjadi pakaian kebanyakan sehari-hari.Setiap penciptaanmotif
batik klasik pada mulanya selalu diciptakan dengan makna simbolisme dalam falsafah
Jawa. Maksud dari usaha penciptaan pada jaman ituagar memberi kesejahteraan,
ketenteraman, kewibawaan dan kemuliaan serta memberi tanda status sosial bagi si
pemakai dalammasyarakat.Motifbatiktidakdibuatsecarasembarangan,tetapimengikuti
aturan-aturan yangketat. Hal ini dapat dipahami karena pembuatan batik yang sering
dihubungkan dengan mitologi, harapan-harapan, penanda gender, status sosial,
anggota klan, bahkan dipercaya mempunyai kekuatan gaib. Motif
batikJawamempunyaihubungandenganstatussosial,kepercayaan,danharapanbagi si
pemakai.10
Aturan yang dikeluarkan dari Kraton Surakarta yaitu pada tahun 1769 oleh
Paku Buwono III (1749-1788), sebagai berikut:
“Anadene arupa jajarit kang kalebu ing larangan ingsun: batik sawat lan
batik parang rusak, batik cumangkiri kang calacap modang, bangun tulak, lenga
teleng, daragem, lan tumpal. Anadene batik cumangkiri ingkang acalacap lung-
10
DjokoDwiyanto&DSNugrahani. 2000.PerubahanKonsepGenderDalamSeni Batik
Tradisional Pedalamandan Pesisiran. Yogyakarta: Pusat Studi WanitaUGM, Hal 3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
lungan utawa kekembangan, ingkang ingsun kawenangken anganggoha papatih
ingsun, lan sentaningsun kawulaningsun wedana”.
“Adapun rupa jarit yang termasuk larangan saya: batik sawat tdan batik
parang rusak, batik cumangkiri yang berupa motif modang bangun tulak, lenga
teleng, daragem, dan tumpal. Adapun batik cumangkiri yang berupa motiflunglungan
atau kekembangan (bunga), saya ijinkan dipakai oleh patih saya, dan keluarga
bangsawan, abdi dalem wedana.11
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batik yang tidak boleh dikenakan
sembarang orang adalah batik dengan motif sawat, parang rusak dan cumangkiri,
batik ini biasa disebut dengan batik larangan.Batik ini hanya boleh dikenakan oleh
para keluarga raja, bangsawan, dan orang-orang kraton. Selain aturan dari Paku
Buwono III dari Kraton Surakarta, dari Kraton Yogyakarta pada masa pemerintahan
Sultan Hamengkubuwono VIII, motif batik yang menjadi pedoman utama untuk
menentukan status sosial derajad kebangsawanan seseorang diatur dalam Pranatan
Dalem Jenenge Pananggo Keprabon Ing Keraton Nagari Ngajokjakarta tahun
1927.12
b. Batik Pesisir
Batik pesisir merupakan batik yang pembuatannya dikerjakan diluar daerah
pedalaman (Surakarta dan Yogyakarta), yang termasuk daerah pesisir adalah daerah
yang terdapat disepanjang pantai utara Jawa, seperti Jakarta, Indramayu, Cirebon,
11
Hasanudin. 2001. Batik Pesisiran Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias
Batik. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama, hal 23. 12
Haryono, Bejo. 2004. Makna Batik dalam Kosmologi Orang Jawa. Yogyakarta: Direktorat
Permuseuman, hal 27.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Pekalongan, Lasem, Garut, Madura dan Jambi. Pembagian asal batik ini, terutama
berdasarkan sifat corak dan warna dasarnya, serta keunikan dari daerah masing-
masing.13
Batik Pekalongan Batik Cirebon
Gambar 4. Batik Pesisir yang ada di daerah Pekalongan dan Cirebon.
Sumber: www.batikindonesia.com.(Minggu, 15 April 2012, 20:33 WIB).
Batik pesisir memiliki ciri-ciri sebagai berikut:Ragam hias motif batiknya
bersifat natural dan mendapat pengaruh kebudayaan asing secara dominan dan Warna
beraneka ragam.14
B. Sejarah Perkembangan Batik di Tirtomoyo
Asal mula batik di Tirtomoyo itu asalnya dari keraton Surakarta. Mula-mula
batik didalam kerajaan atau keraton hanya merupakan kerja sambilan bagi putri
keraton yang nantinya akan dipersembahkan untuk kekasihnya, juga untuk
kepentingan (pakaian) raja dan para kerabat keraton. Raja hanya memilih orang-orang
13
Djoemena, Nian S, op.cit, Hal 7. 14
Ibid, Hal 8.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
pandai membatik yang dikhususkan berdiam di keraton untuk membuat kain
batik.Oleh karena raja dan seluruh kerabat keraton memerlukan kain batik, maka raja
mengutus para lurah mencari daerah penghasil batik.Melalui lurah tersebut didapat
daerah Laweyan yang menjadi pusat pembuatan kain batik di wilayah kekuasaan
keratin Surakarta.Laweyan sendiri berasal dari kata Lawe yang artinya benang,
karena pada zaman dahulu tempat ini adalah tempat pembuatan kain tenun.Mulai dari
sinilah kain batik berkembang semakin besar dan dampaknya mulai menjalar ke
pelosok daerah teruatama daerah Tirtomoyo yang merupakan pusat dari kegiatan
batik di daerah Wonogiri.
1. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda
Masyarakat Tirtomoyo sudah memiliki perusahaan industri kerajinan batik
meskipun masih sangat sederhana.Ruang gerak mereka masih sangat terbatas dan
hanya menjadi pengusaha kecil, kedudukan keuangan mereka masih sangat lemah
dan kesempatan untuk maju masih sangat minim.Hal ini dikarenakan politik
pemerintah Hindia Belanda yang sangat menekan kemajuan bangsa Indonesia
disegala bidang kehidupan masyarakat.Pemerintah Hindia Belanda dalam
perdagangan dan ekonomi lebih percaya pada masyarakat pendatang yaitu
masyarakat Tiong Hoa dan Arab. Mereka diharapkan mampu menekan kemajuan
ekonomi dan perdagangan para bumiputera dengan cara memberikan perlindungan
dan hak istimewa kepada golongan tersebut daripada kepada pedagang asli
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Indonesia.15
Akibat tindakan pemerintah Hindia Belanda yang diskriminasi itu
kedudukan pedagangan batik bangsa Indonesia yang sudah lemah itu semakin
terdesak kedudukannya daripada pedagang bangsa Tiong Hoa dan Arab.
Oleh karena itu, usaha-usaha kearah emansipasi ekonomi selalu ditekan dan
pengalaman yang mengecewakan itu sebagai akibat sistem sosial ekonomi yang
menghalangi usaha perekonomian bangsa Indonesia, memaksa terbentuknya
solidaritas16
di kalangan kaum pedagang di Kecamatan Tirtomoyo. Hal ini di awali
dengan berdirinya suatu organisasi dagang di Solo pada tahun 1911 oleh H.
Samanhudi seorang pengusaha batik di Kampung Laweyan yang merupakan pusat
dari industri batik di Jawa Tengah yang organisasi tersebut bernama Sarekat Dagang
Islam. Perkumpulan baru ini berdasarkan koperasi perdagangan untuk bertahan
melawan leverencier bangsa Tiong Hoa, dengan memakai simbol agama Islam dan
dasar koperasi perkumpulan ini banyak menarik saudagar bangsa Jawa dan rakyat
pada umumnya.
Berdirinya Sarekat Dagang Islam disambut baik oleh para pengusaha batik di
kota Solo dan daerah sekitarnya yang mengaharapkan dapat mempertahankan
persaingan dengan para pedagang Tiong Hoa. Selanjutnya propaganda-propaganda
tentang Sarekat Dagang Islam mulai disebar luaskan ke daerah-daerah. Penyebaran
ini dapat berjalan lancar dan sangat besar hasilnya, dimungkinkan karena anggota-
anggota Sarekat Dagang Islam adalah pedagang yang biasa merantau ke luar daerah
15
Slamet Mulyana. 1960. Nasionalisme sebagai Modal Perjuangan Bangsa Indonesia. Jilid 1.
Jakarta Pustaka. Hal 195. 16
Sartono Kartodirdjo. 1967. Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia Abad XIX-XX.
Lembaran Sejarah I. Jogyakarta : Seksi Penelitian Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Dan Kebudayaan
UGM. Hal 34.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
maka dengan cepat pengaruh Sarekat Dagang Islam dapat meluas di antara pedagang-
pedagang dalam daerah Surakarta dan daerah Tirtomoyo Wonogiri.
Meskipun SDI mulai memperhatikan nasib para usahawan batik dengan
membela mereka terhadap sikap merugikan pedagang kemudian mereka mendirikan
koperasi-koperasi batik. Tetapi karena rintangan-rintangan yang datangnya dari para
pengusaha adalah pada bahan baku maka baik para importer (perusahaan asing) dan
juga pedagang perantaranya sampai pada pengecernya yang umumnya dipegang oleh
orang-orang Cina, Arab dan India maka usaha SDI mengalami kegagalan dan satu
persatu koperasi mengalami gulung tikar.
Kegagalan ini juga disebabkan oleh beratnya prasyarat dan penyelenggaraan
koperasi yang diatur peraturan pada masa itu.Jadi koperasi batik yang didirikan oleh
SDI itu lebih merupakan gerakan idiil dari para gerakan komersiil.Pembentukan
koperasi merupakan suatu hal yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh pergerakan
kebangsaan.Untuk membatasi perkembangan tumbuhnya koperasi yang direstui oleh
gerakan kebangsaan itu, maka Pemerintah Kolonial mengeluarkan peraturan koperasi.
Berdasarkan peraturan koperasi beskuit 7 April no. 431 tahun 1915, rakyat tidaklah
mungkin mendirikan koperasi karena:
1. Mendirikan koperasi harus mendapat izin dari Gubernur Jenderal
2. Akte dibuat dengan perantara notaries dan dalam bahasa Belanda.
3. Ongkos materai 50 gulden, hak tanah harus menurut hokum Eropa.
4. Harus diumumkan di Javache Courent, yang biasanya juga tinggi.17
Dengan keluarnya peraturan tersebut, bagi rakyat Indonesia sangat
memberatkan baik untuk mendirikannya ataupun melakukannya. Peraturan tersebut
17
Dewan Koperasi Indonesia, Sejarah Singkat Tentang Pergerakan Koperasi di Indonesia,
Surakarta. PKPN Kotamadya Surakarta, 1978. Hal 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
mendapat reaksi dari kaum gerakan nasional dan penganjur – penganjur koperasi.
Akhirnya pemerintah membentuk suatu panitia koperasi yang bertujuan untuk
memperkembangkan koperasi. Akhirnya pada tahun 1929 Partai Nasionalis Indonesia
mengadakan kongres koperasi di Jakarta, dengan adanya konggres inilah semangat
koperasi berkobar dan didirikan koperasi dimana-mana dan dalam berbagai
bentunya.18
Dalam industri batik, koperasi yang pertama kali dibentuk di Surakarta
adalah Inl Coperative Vereniging yaitu Persatuan Perusahaan batik Bumi Putera
Surakarta (PPBS) yang didirikan pada tahun 1937, yang ruang kerjanya meliputi
wilayah Sekarisidenan Surakarta tidak terkecuali wilayah Tirtomoyo.
2. Pada Masa Penjajahan Jepang
Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa
syarat kepada tentara Jepang.Dengan penyerahan itu berarti telah berakhir pula masa
penjajahan Belanda di Indonesia dan diganti masa penjajahan Jepang.Pada masa ini
merupakan bencana bagi rakyat Indoneia, lebih-lebih kehancuran dalam segi
ekonomi.Kaptal-kapital pada masa itu hilang disebabkan karena dihancurkan oleh
tentara sekutu, akibatnya pada masa pendudukan Jepang sistem ekonomi lumpuh
total.19
Untuk mengatasi kesukaran ekonomi maka pemerintah Jepang ikut campur
tangan dalam soal yang berhubungan dengan bidang ekonomi. Pemerintah Jepang
18
Wahyu Sukatjo, Sejarah Perkembangan Permasalahan dan Peranan Koperasi. Dalam
Prisma, No 6, tahun VII Juli 1978.Hal 32. 19
Sartono Kartodirdjo (dkk). Sejarah Nasional Indonesia VI.Jakarta; Balai Pustaka 1977.Hal
143.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
mulai mendirikan organisasi yang dipropagandakan untuk memperbaiki kehidupan
rakyat yang diberi nama Kumai yang tidak lain adalah organisasi yang bertugas
sebagai wadah para pengrajin batik. Di daerah Surakarta sendiri yang merupakan
pusat wilayah industri batik diberi nama Batik Kogja Kumai yang merupakan
gabungan dari beberapa organisasi batik. Akan tetapi Batik Kogja Kumai tidak
berpengaruh yang signifikan terhadap industri batik di daerah Tirtomoyo. Hal ini
dikarenakan warga Desa Tirtomoyo diwajibkan untuk memasukkan padi kepada
pemerintah Jepang yang lazim disebut dengan “jatah padi” dan selain itu juga
dikarenakan bahan baku pembuatan batik yang sangat sulit diperoleh. Bisa dikatakan
bahwa di daerah Tirtomoyo setelah pemerintah Jepang berkuasa banyak industri batik
yang gulung tikar dan mengalami kehancuran total.20
3. Pada Masa Kemerdekaan tahun 1949 sampai tahun 1952.
Di beberapa daerah bermunculan organisasi batik dan salah satunya di daerah
Surakarta adalah koperasi Batari (Batik Timur Asli Republik Indonesia), yang pada
akhirnya melebur menjadi satu yang bernama Gabungan Koperasi Batik Indonesia
(GKBI). Akan tetapi dalam perkembangannya, organisasi ini masih mengalami
hambatan dalam melakukan kegiatannya karena bahan baku pembuatan batik masih
dikuasai oleh Pemerintah Federal Belanda.
Setelah penyerahan kedaulatan Negara secara penuh pada tanggal 31
Desember 1949, organisasi batik mulai muncul kembali peranannya sehingga
20
Wawancara dengan Darto warga desa Tirtomoyo pada tanggal 28 juni 2010 jam 12:30
WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
pengaruhnya mulai menjalar keseluruh pelosok desa termasuk Desa Tirtomoyo. Pada
tahun 1952 Pemerintah menyelenggarakan pola bahan batik, semua kegiatan impor
dan distribusi bahan baku batik diatur oleh suatulembaga yang bertugas untuk
mencari dan mengimpor bahan baku batik sedangkan GKBI sendiri bertugas sebagai
distributornya. Dengan demikian kestabilan harga dan perkembangan industri batik
dapat berjalan dengan stabil.
C. Pertumbuhan Industri Kerajinan Batik di Tirtomoyo
1. Industri Kerajinan Batik di Tirtomoyo
Latar belakang timbulnya industri sederhana (industri kecil) di desa,
khususnya industri kerajinan batik adalah industri yang didirikan oleh penduduk desa
dan yang terletak di desanya.Para pengusaha batik di desa Tirtomoyo yang dulunya
merupakan berasal dari tukang-tukang yang karena mendapatkan kemajuan ekonomi
dapat menghimpun faktor-faktor produksi yang diperlukan sehingga dapat
mendirikan industri-industri batik sendiri yang pada akhirnya berkembang menjadi
usaha yang lebih besar.21
Faktor pengusaha inilah merupakan ukuran dalam memberi arti istilah industri
desa.Pengusahanya terdiri dari para penduduk desa.Jadi yang mempunyai inisiatif
untuk mendirikan industri desa adalah para penduduk desa. Namun perlu diketahui
bahwa industri desa ini merupakan suatu proses yang selalu berkembang dari yang
21
Wawancara dengan Darto warga desa Tirtomoyo pada tanggal 28 juni 2010 jam 12:30
WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
sederhana menjadi kompleks. Kecakapan berindustri ini dapat timbul di desa karena
disengaja atau secara sukarela penduduknya mempunyai minat mempelajari
kecakapan berindustri.Secara umum industri muncul karena faktor keduanya.Salah
satu hal yang amat penting harus ada bagi industri adalah adanya tenaga kerja yang
terlatih.Karena dalam hal ini kecakapan bagi petani yang terutama ahli dalam
mengolah tanah atau sawah saja tidak cukup untuk membangun subuah
industri.Bilamana kecakapan untuk bekerja ini belum ada maka industri tidak bisa
dibangun. Yang penting kcakapan berindustri ini dapat lahir di desa dengan jalan
disengaja atau dengan sukarela yaitu warga setempat bersedia mempelajari cara
berindustri yang sederhana.
Timbulnya kecakapan kerja sebagai tenaga industri ini akan menimbulkan
semangat borjuis atau semangat kapitalis. Menurut seorang ahli sosiologi yang
bernama Sombart, tukang-tukang dan saudagar telah memiliki semangat kapitalis
yang terutama bertujuan mengejar keuntungan. Sifat-sifat lain adalah hemat,
sederhana, rasional dan setia menepati janji. Demikian halnya pada orang-orang yang
mulai dapat bekerja berindustri ini sifat-sifat tersebut akan timbul. Adapun para
pengusaha di desa itu merupakan suatu proses. Untuk membicarakan mengenai
timbulnya para pengusaha di desa dapat ditinjau dari keadaan politik dan ekonomi
sebelum perang Kemerdekaan Indonesia, masyarakat Jawa sekitar tahun 1800
kehidupan ekonominya dibedakan menjadi dua macam yaitu ikatan secara feodal dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
ikatan desa.22
Di dalam ikatan desa, kehidupan masyarakat tani sangat sederhana yaitu
menghasilkan barang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.Ekonomi atas dasar
mencukupi kebutuhan sendiri dalam lingkungan kecil menyebabkan tingkat hidup
yang rendah dan tidak ada kesempatan bagi perkembangan ekonomi yang tinggi.
Pada tanggal 8 Maret 1963, Presiden Soekarno mengumumkan Deklarasi
Ekonomi (Dekon), yang isinya berisi tentang pencabutan hak-hak GKBI sebagai
importer bahan baku industri batik. Dampak lain dengan adanya deklarasi tersebut
adalah semakin meningkatnya penghasilan para pengusaha batik sedangkan bagi para
buruh batik penghasilan mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup karena harga
kebutuhan hidup yang semakin melonjak tinggi. Dampak yang lebih besar adalah
inflasi ekonomi yang memperburuk perekonomian.
Adanya pencabutan hak importer bahan baku dari GKBI ini maka muncul
system penjatahan kepada para pengusaha batik dengan harga resmi yang akibatnya
terjadi dua pasar dan dua harga. Adanya inflasi yang terus naik menimbulkan harga
batik menjadi pendorong bagi perluasan penawaran. Pengusaha batik yang
kekurangan bahan batik dari jatah koperasi dan pengusaha batik yang tak terjatah
saling menimbulkan perbedaanakanharga bahan baku batik di pasar bebas. Meskipun
pada tahun 1960 - 1980 di desa Tirtomoyo ada penambahan dalam hal jumlah
penggusaha batik, dalam hal ini mereka pada umumnya adalah seorang petani dan
pegawai.
22
Burger. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jilid 1, cetakan ketiga. Jakarta.
Pradnyaparamita. Hal 93.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Pada umumnya para pengusaha batik baru ini hanyalah pengusaha-pengusaha
yang ikut-ikutan saja tanpa persiapan dan pengalaman yang cukup dalam usaha batik,
mereka hanyalah menginginkan keuntungan dari adanya system lisensi.23
Hal ini
dapat dibuktikan setelah pemerintah mencabut subsidi dan hak istimewa bagi import
bahan batik, para pengusaha batik yang baru ini sebagian besar lenyap dan tidak
pernah muncul lagi. Pada jaman lisensi para pengusaha batik yang lama dan yang
baru untuk memperoleh jatah bahan baku batik yang diperlukan banyak yang
mengelabuhi petugas pemberi jatah, karena banyak sedikitnya jatah tergantung dari
jumlah peralatan pembatikan. Faktor itu antara lain gawangan, anglo, wajan dan
buruh pabrik, sedangkan para petugas yang akan memeriksa membeirtahukan akan
kedatangannya, sehingga para pengusaha batik dapat membeli bahan baku sebanyak-
banyaknya dengan cara mendatangkan para buruh batik pada waktu pemeriksaan saja.
Karena mudahnya pemberian lisensi ini maka hampir sebagian masyarakat desa
Tirtomoyo menjadi pengusaha batik.
Pada tahun 1961, Jawatan Koperasi menertibkan organsasi koperasi yang ada
di beberapa daerah, antara lain memecah koperasi primer yang ada di Surakarta yaitu
BATARI. Koperasi BATARI yang semula meliputi daerah kerja seluruh Karesidenan
Surakarta diharuskan melepaskan daerahnya di Kabupaten untuk membentuk sebuah
koperasi sendiri. Untuk kabupaten Wonogiri, para pengusah batik dialihkan ke
koperasi yang berkedudukan di Tirtomoyo, karena dalam peraturan tersebut
23
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni
2010 jam 10:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
mengisyaratkan bahwa koperasi batik di tingkat kabupaten harus berlokasi di
Kabupaten, sehingga para pengusaha batik di daerah Kabupaten Wonogiri pada
tanggal 8 Juli 1962 mendirikan sebuah koperasi yang diberi nama batik Buwono.
Koperasi ini sendiri baru mendapatkan hak badan hukum pada tanggal 16 Maret 1965
dan diterima menjadi anggota GKBI pada tahun itu juga.
Untuk mengetahui perkembangan industri batik di daerah Desa Tirtomoyo
sejak tahun 1950-2000 dapat dilihat dari pertambahan pengusaha batik setiap
tahunnya dalam tabel 4.
TABEL 4
JUMLAH PENGUSAHA KERAJINAN BATIK DI TIRTOMOYO
YANG MENJADI ANGGOTA KOPERASI
TAHUN JUMLAH PENGUSAHA
1950 2
1955 8
1960 14
1965 31
1970 39
1975 42
1980 50
1985 45
1990 50
1995 35
2000 20
Sumber :Koperasi batik Tirtomoyo.
Dari tabel 4 tersebut dapat dilihat perkembangan kehidupan industri kerajinan
batik mengalami kemajuan yang cukup baik. Bertambahnya pengusaha batik
menunjukkan bahwa pasar batik semakin ramai, hal ini tidak terlepas dari kebijakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
dari pemerintah mampu menstabilkan harga bahan baku. Selain itu, peran pemerintah
dalam memajukan industri batik antara lain GKBI memperoleh kedudukan tunggal
sebagai importir dan sekaligus sebagai distributor kepada seluruh pengusaha batik
baik anggota maupun bukan anggota koperasi batik.
2. Proses Produksi Batik
Proses produksi merupakan kegiatan yang dilakukan manusia untuk
mengubah bahan baku sampai menjadi barang jadi, sehingga dapa menambah
kegunaan suatu benda.
Teknik membuat batik tradisional meliputi seluruh proses pekerjaan yang
cukup panjang terhadap kain mori sejak dari permulaan hingga menjadi kain batik.
Pekerjaan ini meliputi tahap persiapan dan tahap pokok. Pada tahap persiapan maka
yang dikerjakan adalah mempersiapkan kain mori sehingga siap untuk dibatik, yaitu
(1) memotong mori sesuai dengan ukuran yang dikehendaki; (2) mencuci (nggirah
atau ngetel); (3) menganji (nganji) dan (4) menyetrika (ngemplong). Pada tahap
pokok proses pembatikan yang sebenarnya dimulai, yaitu meliputi tiga macam
pekerjaan: (1) pembuatan motif batik dengan melekatkan lilin batik (malam) pada
kain. Ada beberapa cara pelekatan lilin ini, yaitu dengan dilekatkan atau ditulis
dengan alat yang disebut canting, canting cap, atau dilukis dengan kuwas (jegul).
Lilin atau malam adalah campuran dari beberapa bahan, seperti gondorukem,
matakucing, parafin atau microwox, lemak atau minyak nabati, dan kadang-kadang
dicampur dengan lilin lebah atau lanceng; (2) pewarnaan batik yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
dengan cara menyelupkan pada zat pewarna; dan (3) menghilangkan lilin pada kain
yang disebut denga ngerok, nglorod, ngebyok atau mbabar.24
Demikianlah proses
produksi pembuatan batik secara singkat.
3. Sistem kerja dalam usaha industri kerajinan batik
Sistem kerja yang diselenggarakan para pengusaha batik di daerah
Tirtomoyoadalah sebagai berikut:
a. Garap langsung
Adalah suatu sistem kerja dimana para seluruh pengrajin batik harus
menyelesaikan pekerjaannya di tempat pengusaha batik.Baik yang masih
menggunakan rumahnya sebagai bengkel kerjanya maupun yang sudah mempunyai
bengkel sendiri.
Garap langsung ini lebih mudah dilakukan untuk buruh pengrajin batik pria
dari pada buruh pengrajin wanita.Sebab lebih mudah dijalankan buruh pengrajin pria
karena tahapan yang harus dijalankan pada umumnya tidak memungkinkan untuk
dibawa pulang.Memerlukan peralatan dan ramuan khusus untuk tahapan
pekerjaannya, yang perlu mendapat pengawasan mandiri dari pihak pengusaha batik.
Sedangkan tahapan pekerjaan yang dijalankan untuk buruh pengrajin batik
wanita, dimungkinkan untuk dibawa pulang, karena hanya menggunakan peralatan
yang sederhana dalam menyelesaikan tahapan pekerjaannya.Pada sistem garap
24
Soetopo, S. 1956. Batik. Jakarta: Balai Pustaka. Hal 3-5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
lansung ini upah yang berlaku untuk buruh pengrajin pria adalah dengan upah harian,
sedangkan untuk buruh pengrajin wanita dengan upah borongan.
b. Garap luar atau Sanggan.
Adalah suatu sistem kerja dimana pengusaha batik membagi-bagikan bahan
pada buruuh pengrajin batik untuk dikerjakan di rumah mereka masing – masing
dengan diberi upah borongan.
Kerja langsung atau sanggan ini bagi buruh pengrajin batik sangat
menguntungkan, sebab selain dikerjakan dirumah, waktu mengerjakannya bisa
sewaktu – waktu. Untuk tahap pengerjaannya dapat mengerahkan anggota
keluarganya.
4. Pemasaran Batik
Masalah pemasaran sangat penting karena berhasil tidaknya pemasaran
menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Bila pemasaran berhenti akan berakibat
pula timbulnya suatu penumpukan hasil produksi dari perusahaan. Pentingnya
pemasaran ini berlaku pula dalam perusahaan industry kerajinan batik di Tirtomoyo.
Para pengusaha batik di Tirtomoyo menjual hasil produksinya dengan cara
menjual langsung ke konsumen maupun kepada pedagang perantara. Para pedagang
perantara tingkat desa umumnya adalah pedagang kecil eceran yaitu para pedagang
yang menjual eceran langsung kepada konsumen.Para pedagang tingkat desa ini
datang sendiri ke tempat pengusaha batik untuk mengadakan transaksi pembelian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
batik secara kecil – kecilan kemudian menjualnya lagi ke pasar – pasar tingkat desa
sampai pasar tingkat kabupaten.
Pedagang perantara tingkat kota adalah para pedagang tingkat menengah,
yaitu pedagang yang mampu membeli cukup banyak hasil produksi batik dari
pengusaha dan membawa dagangannya sendiri menuju kota, kemudian menjualnya
ke sejumlah pasar yang ada di kabupaten Wonogiri maupun yang ada di Surakarta
yaitu pasar Klewer.
D. Perkembangan Ragam Hias Batik di Tirtomoyo Tahun 1950-2000
Pada mulanya penduduk Tirtomoyo membuat batik masih dengan cara tulis
(menggunakan tangan saja, dan motif-motifnya pun masih meniru motif dari kraton,
berupa motif Ceplok, Limar, Semen, Parang, Lunglungan), juga cara mewarnainya
masih memakai soga Jawa (pewarna dari bahan tumbuh-tumbuhan) yang otomatis
memerlukan waktu yang lama. Batik Wonogiren berasal dari Wonogiri, yang
kemunculannya berawal dari kegiatan membatik, tepatnya di Kecamatan
Tirtomoyo.Batik Wonogiren memiliki ciri khas motif retakan-retakan disebut dengan
remakan atau remukan.Motif remukan tidak sekedar menjadi ciri khas, tetapi bagian
dari batik Wonogiren. Hal tersebut menambah nilai estetika, yang membedakan
dengan karya batik dari daerah lain. Nilai estetika tersebut bersifat objektif dan murni
terlihat pada garis, bentuk, serta warna.25
Batik Motif Remukan
25“Batik Wonogiren Bertahan pada Corak Eksklusif”.Suara Merdeka, Sabtu 12 April 2003.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Gambar 5. Batik Wonogiren memiliki ciri khas motif retakan-retakan disebut dengan
remakan atau remukan.
Sumber: Dokumentasi pribadi ibu Tarmi pengusaha batik Trtomoyo
Pola dan motif batik Wonogiren tercipta untuk konsumsi masyarakat sekitar
Dlepih dan wilayah Kecamatan Tirtomoyo, meskipun motif yang dibuat
mengadaptasi dari motif batik Klasik Kraton Surakarta. Babarannya (proses
pewarnaannya) lebih tebal dan berbeda dengan batik dari kraton, dan lebih sesuai
dengan cita rasa rakyat yang memiliki kehidupan dinamis serta bebas. Batik tersebut
saat ini sudah tersebar hingga luar wilayah Wonogiri terutama Surakarta, Yogyakarta,
Jakarta dan luar Jawa, antara lain Lampung, Jambi, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Batik Wonogiren dalam perjalanannya mengalami pengembangan, mulai
tahun 1960-an. Warga Wonogiri memiliki keinginan untuk memproduksi dan
memakai batik dengan ciri khas budaya setempat, meliputi kondisi geografis, sosial,
fenomena, selera, dan sebagainya.Motif yang dibuat terinsipirasi dari hal-hal tersebut
serta modifikasi pola Batik Klasik Kraton Surakarta.Contoh motif terpengaruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
fenomena sosial adalah Keladi dan Jemani, berisi motif adaptasi dari bentuk daun
Keladi dan Anthurium jenis Jenmani yang menjadi tren koleksi tanaman hias
2007.Motif tersebut dibuat atas ide dan pesanan kolektor tanaman hias.Kondisi
lingkungan hutan, juga menjadi sumber inspirasi munculnya motif Gelondong Kayu
dan Serat Kayu, berupa motif bilar kambium batang terbelah serta serat pohon
berkayu.
Batik Motif Keladi dan Jemani
Gambar 6. Contoh motif terpengaruh fenomena sosial adalah Keladi dan Jemani, berisi
motif adaptasi dari bentuk daun Keladi dan Anthurium jenis Jenmani yang
menjadi tren koleksi tanaman hias 2007.
Sumber: www.batikindonesia.com. (Minggu, 15 April 2012, 20:33
WIB).
Masyarakat di wilayah pembatikan Kecamatan Tirtomoyo memiliki peran
berupa persepsi dan partisipasi penting dalam pengembangan desain Batik
Wonogiren.Hal tersebut salah satu kontribusi penting guna menyumbang kekayaan
jenis motif Batik Nusantara umumnya, dan khususnya di wilayah Tirtomoyo.Subjek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
yang tepat untuk mengetahui secara langsung perihal pengembangan desain Batik
Wonogiren melalui interaksi langsung dengan masyarakat pelaku.
Desain Batik Wonogiren merupakan objek yang muncul karena ide atau
gagasan masyarakat, dalam hal ini perajin merupakan yang memutuskan persepsi
masyarakat berupa ide, sebagai wujudnya adalah partisipasi dengan
memvisualisasikannya ke sebuah bentuk. Perajin dimaksud adalah pihak yang
berpartisipasi aktif mempunyai ide untuk membuat suatu motif dan mengaplikasikan
pada kain, meskipun tidak sampai tahap akhir proses pembatikan.
Pada akhirnya timbul keinginan pengusaha batik Tirtomoyo, untuk menjual
batik kepada rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh mereka, karena dahulu
masyarakat masih memakai kain tenun yang disebut kain lurik, sehingga pengusaha
batik Tirtomoyo memproduksi batik tulis dengan batik cap dan juga cara
menyoganya dari bahan-bahan kimia, supaya lebih cepat proses pembuatannya,
disamping itu juga harganya dapat dijangkau oleh rakyat biasa dan juga tidak
meninggakan bentuk aslinya, akan tetapi alat yang untuk mengecap pada waktu itu
masih menggunakan cap dari kayu, dengan motif-motif yang masih sangat sederhana
sekali yaitu dengan bentuk yang besar-besar dan cecek-ceceknya (isen bulat kecil
pada motif batik) pun tak dapat rapi dan halus, karena dengan kayu kurang efisien,
maka pada tahun 1950-an dibuatlah cap yang terbuat dari tembaga yang tahan lama.
Alat ini disebut canting cap dan batiknya disebut batik cap.Alat tersebut dibuat agar
dapat memproduksi dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat, tetapi
dengan adanya alat-alat yang modern ini bukan berarti lalu Tirtomoyo meninggalkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
batik tulis. Bahkan membuat batik tulis, batik cap juga campuran batik cap dan batik
tulis.26
Batik tulis dan batik cap berkembang berdampingan sampai saat ini. Ditinjau
dari halus tidaknya, maka batik tulislah yang lebih halus daripada batik cap, sebab
batik tulis motif-motifnya lebih hidup, karena dibuat dengan rasa seni atau unsur seni
masih ada didalamnya, sedangkan walaupun batik cap prosesnya jauh lebih cepat dari
batik tulis, akan tetapi hasil batik cap ini agak berbeda dengan batik tulis. Dari segi
ketepatan pengulangan bentuk canting cap lebih menjamin, akan tetapi dari
kesempurnaan goresan kurang baik. Batikan cap sering kali tidak tembus dan kadang-
kadang dilain sisi tembus, bahkan blobor.27
Semakin majunya teknologi, pada sekitar tahun 1960-an ditemukan alat
pembuatan batik dengan “printing” atau “sablon” dengan alat cap yang terbuat dari
kain yang telah dilukis dan bagian tepinya diberi plangkan (kayu) dengan ukuran
lebar 80 cm dan panjang menurut lebar mori/cambric. Batik ini terkenal dengan batik
printing. Proses dari pada cara ini lebih cepat dengan kalkulasi yang rendah sebab
batik ini tidak memakai cara ngecap dengan malam dahulu, dan tidak juga melered
(membabar), akan tetapi mori dicap langsung dengan motif yang dikehendaki.
Ragam hias pada suatu kain batik terdapat corak dan motif.Corak sendiri
adalah bentuk yang paling dominan, seperti warna, tema babaran dan simbol
26
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni
2010 jam 10:00 WIB.
27
Riyanto, dkk.1997. Katalog Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik. Hal 13.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
keseluruhan, seperti bang biru, sidoluhur, semen, dan sebagainya.Sedangkan motif
adalah bentuk yang menjadi komponen ragam hias.Jadi, ragam hias, motif, dan corak
merupakan satu kesatuan yang sangat penting pada unsur kain batik.28
Ragam hias menurut lokasi daerahnya dibagi menjadi dua, yaitu batik
pesisiran dan batik pedalaman atau batik kraton.Ragam hias ini dalam
perkembangannya dapat berubah dari waktu ke waktu.Perubahan ini berdasarkan
pada lingkungan dan pemikiran masyarakatnya.Daerah Tirtomoyo sendiri termasuk
daerah pedalaman.Batik di Tirtomoyo ini merupakan batik yang tumbuh di atas
dasar-dasar filsafat Jawa yang mengacu pada pemurnian nilai-nilai spiritual dengan
memandang manusia yang tertib, serasi, dan seimbang.Ragam hias batik pedalaman
cenderung memiliki corak dengan warna coklat kehitam-hitaman, hal ini sesuai
dengan daerahnya yang banyak terdapat hutan sehingga untuk pewarnaannya
mengambil dari tumbuhan.
Mengenai kebudayaan seni batik di Tirtomoyo secara berangsur-angsur
mengalami proses perubahan bentuk, variasi sesuai dengan kebudayaan yang
mewarnai pada masa pembuatannya. Sebelum masuknya budaya dari luar, seni batik
di Indonesia masih sederhana. Dalam proses perkembangannya seni batik Tirtomoyo
mengikuti kemajuan zaman, sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknik-
teknik mekanis yang baru. Ragam hias batik Tirtomoyo pada mulanya mengikuti
ragam hias batik dari kerajaan atau kraton. Ragam hias tersebut merupakan ragam
28
Hasanudin. 2001. Batik Pesisiran Melacak Pengaruh Etos Dagang Santri pada Ragam Hias
Batik. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama. Hal 197.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
hias yang telah baku atau istilah jawanya “dipakemkan”. Sebagai contoh ragam hias
yang telah baku, antara lain: ragam hias Kawung, Sawat, dan Parang. Ragam hias
tersebut memiliki ciri khas batik pedalaman, dari segi motif maupun warnanya.
Berikut akan dibahas perkembangan ragam hias batik di Tirtomoyo dari tahun 1965-
2000.29
1. Perkembangan Ragam Hias Batik tahun 1960-1964
Ragam hias batik Tirtomoyo tahun 1960-an mengikuti kegiatan kenegaraan.
Pada tahun 1963, ketika diselenggarakan Ganefo (pesta olahraga dari kelompok
negara-negara komunis dan penentang imperialis-kapitalis), para pengusaha banyak
menerima pesanan batik ragam hias jlamprang dengan warna dasar biru benhur (biru
benhur merupakan warna yang sedang digemari pada waktu itu).Ragam hias
jlamprang tampak berupa garis-garis yang terkumpul memusat menjadi satu,
kemudian terdapat pula ornamen bunga.Jadi motif jlamprang ini merupakan
kombinasi antara kumpulan garis yang memusat dan motif bunga dengan susunan
teratur yang berselang-seling.Tata warna batik ini disebut kelengan (terdiri dari warna
biru dan putih).Ragam hias jlamprang ini mengambil dari ragam hias
Pekalongan.Motif Jlamprang merupakan perkembangan motif nitik, motif ini terdapat
pula sebagai hiasan pada dinding candi Prambanan.30
Di samping ragam hias
jlamprang dibuat pula batik dengan ragam hias variasi, yaitu warna dasar tetap biru
29
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni
2010 jam 10:00 WIB. 30
Haryono, Bejo. 2004. Makna Batik dalam Kosmologi Orang Jawa. Yogyakarta: Direktorat
Permuseuman. Hal 20.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
benhur, tetapi bermotif bunga mawar, wayang, dan garuda.Makna filosofis dari ketiga
motif tersebut menunjukkan ciri dari Indonesia.
2. Perkembangan Ragam Hias Batik tahun 1965-1969
Pada era Orde Baru mulai tahun 1965 diberlakukan seragam bagi para
pegawai negeri dengan batik ragam hias Golkar (Golkar merupakan organisasi massa
pada pemerintahan Orde Baru). Ragam hias ini bermotif pohon beringin dengan
sulur-suluran tanaman di sekitarnya. Warna dasar yang digunakan masih biru, akan
tetapi biru yang dipakai lebih menjurus ke biru abu-abu. Batik Tirtomoyo pada masa
itu mulai mengalami perkembangan.Dari segi motif, mulai lebih bervariasi dan dari
segi tata warnanya juga mengalami pergeseran. Warna yang digunakan lebih cerah
dan mengambil desain-desain dari daerah lain. Pada masa tahun 1960-an
perkembangan ragam hias batik di Tirtomoyo berdasarkan pada kegiatan atau kondisi
negara yang bersangkutan.31
Batik Tahun 1960-an
31
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni
2010 jam 10:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Gambar 7. Pada tahun 1960-an menggunakan motif dengan warna yang lebih cerah dan
mengambil desain-desain dari daerah lain.
Sumber: www.batikindonesia.com. (Minggu, 15 April 2012, 20:33
WIB).
3. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1970-1980
Pada masa ini berkembang pesat batik dengan ragam hias Sido
Wirasat.Wirasat berarti nasehat.Pada ragam hias ini selalu terdapat ragam hias
truntum. Ragam hias Sido Wirasat melambangkan harapan bahwa orang tua akan
menuntun serta memberi nasehat kepada kedua mempelai yang akan memasuki hidup
berumah tangga.32
Ragam hias Sido Wirasat ini dipakai pada upacara perkawinan,
biasanya dipakai oleh orang tua mempelai.Ragam hias Sido Wirasat ini sebenarnya
termasuk ragam hias kraton.Dari segi warna, warna dasar yang dipakai adalah
hitam.Dari segi motifnya, berupa perpaduan antara truntum, tambal, dan
kawung.Ragam hias Sido Wirasat ini berkembang, karena budaya dari
masyarakat.Masyarakat Tirtomoyo yang termasuk dalam lingkup daerah kekuasaan
32
Djoemena, Nian S. 1986. Ungkapan Sehelai Batik. Jakarta: Djambatan. Hal 13.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
kraton, memiliki adat istiadat atau tradisi yang kuat.Demikian pula dalam
penyelenggaraan upacara perkawinan.Pemakain ragam hias Sido Wirasat ini telah
menjadi tradisi bagi mereka.33
Batik Sido Wirasat
Gambar 8. Ragam hias Sido Wirasat yang dipakai pada upacara perkawinan, biasanya
dipakai oleh orang tua mempelai
Sumber: Dokumentasi pribadi bapak Kaharudin Ahmad pengusaha batik
Tirtomoyo.
4. Perkembangan Ragam Hias Batik Tahun 1980an
Pada tahun 1980-an, seorang ahli dan seniman batik yaitu KRH Honggopuro
menciptakan ragam hias batik dengan motif Semen (flora, fauna).Pada motif batik
yang tergolong motif semen selalu terdapat ornamen yang menggambarkan tumbuhan
33
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni
2010 jam 10:00 WIB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
atau tanaman.34
Ragam hias ini banyak diminati oleh masyarakat.Warna dari ragam
hias ini tampak cerah berbeda dengan warna ragam hias kraton yang cenderung gelap.
5. Ragam Hias Batik Tahun 1990-2000
Ragam hias yang berkembang pada masa itu adalah ragam hias Jahe-jahean
dan Klewer.Ragam hias yang sebelumnya didominasi warna cerah kini kembali lagi
ke ragam hias yang cenderung gelap.Hal tersebut tentu saja kembali pada selera
masyarakat yang mulai menyukai motif klasik.Ragam hias jahe-jahean memiliki arti
sebagai lambang kekayaan alam yang melimpah terutama hasil pertanian.Ragam hias
jahe-jahean ini memiliki warna dasar hitam, denga bunga-bunga kecil berwarna
coklat.Kemudian tampak motif tanaman rimpang, yang miripdengan tanaman
jahe.Hingga ragam hias ini disebut ragam hias jahe-jahean.
Perkembangan ragam hias di tahun 2000-an, kembali lagi ke ragam hias
dengan motif yang dinamis.Warna kembali cerah dan motif pun beraneka ragam,
seperti motif bunga maupun motif geometris.Sebagai contoh ragam hias Ceplok,
dengan warna dasar merah kecoklatan.Pada tiap bidang ruang terdapat motif tanaman
dan bunga.Ragam hias ini termasuk ragam hias kontemporer.
34
Haryono, Bejo. 2004. Makna Batik dalam Kosmologi Orang Jawa. Yogyakarta: Direktorat
Permuseuman. Hal 22.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Batik Ragam Hias Ceplok
Gambar 9. Ragam hias ceplok dengan warna cerah dan motif yang beraneka ragam
Sumber: Dokumentasi pribadi bapak Kaharudin Ahmad pengusaha batik
Tirtomoyo.
Selain itu motif Semen (bunga) juga sangat digemari masyarakat.Motif bunga
yang diciptakan cukup bervariasi.Warna dasar hijau, motif bunga dibuat memenuhi
bidang, dengan ukuran besar dan warna bermacam-macam.Dari perkembangan ragam
hias tiap-tiap periode, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhinya, seperti: situasi negara, karya atau cipta, bentuk motif (selera
masyarakat). Perkembangan yang pasti yaitu perkembangan ragam hias dari kerajaan
atau kraton hingga ke ragam hias dengan motif dinamis atau kontemporer. Disamping
itu, perkembangan ragam hias batik di Tirtomoyo juga dipengaruhi oleh ragam hias
batik dari daerahlain, terutama daerah pesisir.35
35
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni
2010 jam 10:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Perkembangan ragam hias tersebut juga tidak lepas dari perkembangan
peralatan dalam pembatikan, maupun perkembangan pewarnaannya. Peralatan dalam
membatik diawali dengan canting, cap hingga printing (meskipun printing tidak
masuk dalam kategori batik), dalam pewarnaan pada mulanya pewarnaan batik
menggunakan bahan pewarna alami, seperti: getah pohon, daun-daunan, kulit buah,
kemudian berkembang menggunakan pewarna kimia agar prosesnya lebih cepat dan
warna yang dihasilkan lebih bervariasi. Di samping itu peranan dari para designer
atau seniman juga berperan dalam perkembangan ragam hias batik, karena melalui
mereka ragam hias-ragam hias batik banyak tercipta, meskipun demikian ragam hias
klasik pun tidak ditinggalkan, karena ragam hias klasik memiliki motif dasar yang
kemudian dikembangkan dalam batik dengan motif dinamis atau kontemporer.
D. Peranan Pemerintah terhadap Perkembangan
Industri Batik di Tirtomoyo
Batik merupakan warisan dari nenek moyang yang telah berkembang sejalan
dengan proses waktu, ada kalanya industrinya mengalami pasang surut. Untuk itu
dilakukan usaha-usaha dalam mengembangkan dan melestarikannya agar tidak begitu
saja tertelan budaya bangsa lain. Dalam usaha-usaha pengembangan batik Tirtomoyo
tidak terlepas dari usaha yang dilakukan oleh pemerintah, pengusaha dan pengrajin
sendiri. Dukungan terhadap pengembangan batik Tirtomoyo, antara lain :
a. Pemerintah berusaha membina pengrajin agar mampu menjadi pengrajin mandiri,
sehingga tidak tergantung lagi pada pengusaha-pengusaha Cina.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
b. Bagi para pengusaha diberikan dispensasi dalam peminjaman modal di bank
berupa KIK (Kredit Investasi Kecil). Mereka diberi kemudahan-kemudahan
peminjaman.
c. Para pengusaha batik berusaha menciptakan kreasi-kreasi baru dalam motif batik,
baik dengan mengambil motif-motif dari daerah lain ataupun dengan melahirkan
kreasi sendiri, namun tetap mempertahankan ciri khas Tirtomoyo.
d. Usaha yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, yaitu berusaha
mengenalkan motif-motif kreasi baru yang diambil dari daerah lain dan juga
pengenalan terhadap teknologi baru.
Dalam upaya melestarikan batik Tirtomoyo, pemerintah dalam hal ini Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Wonogiri melakukan beberapa upaya-upaya:
a. Memberikan penyuluhan tentang cara-cara pembuatan batik dan motif-motif
batik kreasi baru.
b. Memberikan pendidikan ketrampilan membatik pada para pengrajin, khususnya
generasi mudanya sebagai pewaris kebudayaan bangsa.
c. Memberikan bimbingan agar nantinya para pengrajin mampu menjadi pengrajin
yang mandiri dan mampu menciptakan kreasi-kreasi baru sendiri.
d. Mengadakan pengadaan dan penyediaan bahan bagi pengrajin yang kekurangan
modal.
e. Memberikan informasi tentang keadaan pasar batik, teknik-teknik membatik
yang baru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
f. Menempatkan kerajinan batik ini kedalam ruang cindera mata di Kotamadya agar
nantinya setiap pengunjung dapat melihat secara langsung.
g. Mengikutsertakan batik Tirtomoyo dalam pameran-pameran baik yang bersifat
nasional maupun internasional.
Usaha pengembangan batik Tirtomoyo tentu saja juga mengalami hambatan
dan rintangan. Hambatan-hambatan pengembangan batik Tirtomoyo, antara lain:
a. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, terutama para pengrajin batik
sendiri yang rata-rata hanya lulusan sekolah dasar, hanya sedikit yang
mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama, bahkan ada juga yang tidak
tamat Sekolah Dasar. Mereka pada umumnya para pengrajin yang sudah tua-tua.
b. Banyak kaum muda yang meninggalkan usaha membatik dan pergi merantau ke
kota-kota besar, karena mereka merasa usaha membatik tidak lagi bisa
mencukupi kebutuhan hidup. Mengingat semakin besarnya tuntutan kebutuhan
hidup yang dihadapi dan upah yang diterima sudah tidak sebanding lagi. Lagi
pula usaha membatik ini memerlukan suatu ketekunan dan ketelatenan yang
tidak semua orang memilikinya
c. Ketrampilan membatik di Tirtomoyo, meskipun diwariskan secara turun temurun
namun hanya sebatas nglengkrengi dan nerusi selebihnya yang meneruskan
perusahaan. Jadi mereka hanya dapat bekerja sebagai buruh perusahaan, belum
dapat mandiri.
d. Bagi para pengusaha Cina, mereka tetap memegang rahasia dalam teknologi
pewarnaan batik, meskipun para pengrajin telah mendapat pembinaan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
pemerintah dalam teknologi pewarnaan batik tetap tidak dapat sebagus batik
yang dihasilkan perusahaan milik orang Cina.
e. Dalam bidang permodalan terjadi perbenturan, karena terbatasnya modal
sehingga menyebabkan kalah bersaing dengan usaha batik dari daerah lain.
Usaha-usaha yang dilakukan tersebut mengingat batik merupakan:
a. Sebagai salah satu karya seni dan budaya bangsa.
b. Usaha pembatikan mampu menciptakan lapangan kerja bagi penduduk.
c. Mempunyai arti penting dalam segi perekonomian bangsa, karena disamping
meningkatkan taraf hidup masyarakat, batik juga dapat dijadikan komoditi
ekspor non migas.36
36
Wawancara dengan Tarmi Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada
tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
BAB IV
FAKTOR - FAKTOR YANG MENYEBABKAN PASANG
SURUTINDUSTRI BATIK TRADISIONALDI TIRTOMOYO
A. Pasang Surut Industri Batik di Tirtomoyo 1950-2000
Iklim usaha adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan suatu usaha.Pada masa kabinet Parlementer tahun 1950-1957, ada
suatu kebijakan yang tampak pada Rencana Urgensi Perekonomian yang
dimaksudkan untuk melindungi dan mengembangkan pengusaha pribumi dari
persaingan dengan pengusaha Cina maupun asing, sedangkan pada masa
Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959-1965, melalui Deklarasi Ekonomi
(Dekon) mekanisme pemerintah untuk mengontrol dunia usaha swasta
dilaksanakan dengan bentuk berbagai OPS (Organisasi Pekerja Serikat) dan GPS
(Gabungan Pekerja Serikat), sehingga unsur-unsur dari sistem kapitalis yang
bersifat free fight diharapkan dapat dihapuskan. Dalam kontek inilah maka
peranan koperasi sangat diharapkan dalam membentuk lingkungan sosialisme
Indonesia.
Suatu pelajaran yang dapat ditarik pada masa Demokrasi Terpimpin
adalah semakin menguatnya peranan negara dalam mengubah “Perekonomian
kolonial menjadi perekonomian nasional”.Seperti dikemukakan oleh Presiden
Soekarno, bahwa perekonomian nasional tidak memiliki tempat bagi penanaman
modal negara-negara industrial, demikian pula Indonesia tidak boleh menjadi
sumber bahan mentah yang mereka perlukan atau menjadi pasar bagi barang jadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
mereka. Oleh karena itu, tidak lama setelah mendekritkan sistem Demokrasi
Terpimpin-nya pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mencabut Undang-
Undang Penanaman Modal Asing yang pertama di Indonesia yang telah disetujui
oleh Parlemen pada tanggal 15 September 1958. Undang-Undang itu disiapkan
oleh Biro Perancang Nasional pada tahun 1953 dan oleh Kabinet Ali kedua pada
bulan Agustus 1956.1
Perkembangan batik di Tirtomoyo mulai pesat ketika Koperasi batik yang
bergabung dalam GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) turut membantu
para pengusaha dalam penyediaan bahan mentah berupa kain mori dan obat
pewarna untuk batik. Dalam kondisi demikian para pengusaha batik Tirtomoyo
memperoleh keuntungan yang melimpah, karena melalui koperasi diperoleh kain
mori maupun obat-obat pewarna batik dengan harga yang lebih murah
dibandingkan dengan harga di pasaran bebas, selain itu koperasi turut pula dalam
membantu permodalan bagi para pengusaha dan pemasaran kain batik. Pada
waktu itu pemerintah juga sedang aktif meningkatkan kekuatan ekonomi nasional,
khususnya pengusaha pribumi melalui Rencana Urgensi Perekonomian dan
Program Benteng.Kebijakan ini secara eksplisit berusaha melindungi dan
mengembangkan pengusaha-pengusaha pribumi serta menekan pengusaha-
pengusaha dari kalangan Cina. Hal ini dilakukan dengan jalan menyediakan
konsesi impor alokasi devisa dan kredit hanya bagi pengusaha-pengusaha
pribumi.
1Yahya Muhaimin. 1991. Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-
1980. Jakarta: LP3ES. Hal 101.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Kejayaan batik tradisional Tirtomoyo menjadikan Tirtomoyo dikenal
sebagai sentra kerajinan batik di Wonogiri.Hampir seluruh masyarakat Tirtomoyo
menggantungkan hidupnya dari usaha batik.Sebagai pemilik perusahaan maupun
menjadi buruh di perusahaan-perusahaan batik hubungan kekeluargaan diantara
para pengusaha batik pun sangat kuat. Para pengusaha batik ini membentuk ikatan
kerja sama melalui hubungan keluarga untuk menguasai pasaran dan saling
menjaga kelangsungan modalnya masing-masing.2Tirtomoyo juga dikenal sebagai
kampung yang sangat maju, berkat pesatnya perkembangan perusahaan-
perusahaan batik tradisional.Para pengusaha batik berlomba membangun rumah
yang mewah, dengan ciri khas dinding atau temboknya yang tinggi.Selain itu
didirikannya pabrik mori, sebagai bahan baku batik turut berperan pula
meningkatkan taraf hidup masyarakat Tirtomoyo, karena pabrik mori tersebut
menyerap cukup banyak tenaga kerja.
Memasuki masa Orde Baru, industri tenun dan batik Tirtomoyo
menunjukkan suatu gejala kemerosotan.Perkembangan nilai produksi kain mori
maupun batik tidak sepesat dalam periode 1960-1965.3 Gejala kemerosotan
industri tenun maupun batik Tirtomoyo di masa Orde Baru ini disebabkan karena:
1. Bahan Baku yang Sulit Diperoleh
Faktor bahan baku juga merupakan penyebab turunnya industri batik di
Tirtomoyo. Seperti penjelasan dari salah satu informan, pada tahun-tahun
sebelumnya bahan baku yang akan dijadikan bahan batik sangat mudah diperoleh
2Wawancara dengan Tarmi Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada
tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB. 3Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni
2010 jam 10:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
dan harganya pun sangat murah, karena pada waktu itu peran koperasi sebagai
importir tunggal masih diakui oleh pemerintah, sehingga masih mempermudah
para pengusaha untuk mendapatkan dengan mudah dan harga yang cukup murah,
tetapi pada tahun berikutnya koperasi sebagai importir tunggal sudah tidak diakui
lagi oleh pemerintah, sehingga para pengusaha sudah mencari bahan sendiri
dengan harga yang mahal dan sulit diperoleh, dan juga orang-orang Cina sudah
mulai tahu tentang bahan-bahan batik yang akan dipergunakan oleh para
pengusaha Tirtomoyo. Akhirnya penyediaan dan harga bahan pun dipermainkan
oleh orang-orang Cina.
2. Upah dan Tenaga Kerja
Pada tahun sebelumnya tenaga kerja bukan merupakan faktor yang sangat
dipertimbangkan, ketika itu para pengusaha belum dituntut oleh pemerintah dalam
hal ini Dinas Tenaga Kerja untuk memenuhi standar UMR (Upah Minimum
Regional) sebesar Rp 350.000,-. Dari para pengusaha yang sebenarnya belum
mampu untuk memenuhi standar UMR, akhirnya dipaksakan untuk mengikuti
UMR yang diharuskan pemerintah. Jika tidak dapat memenuhi UMR perusahaan
tersebut harus gulung tikar dan itu pun masih harus memberi pesangon kepada
karyawannya.Hal ini juga yang mempengaruhi mundurnya industri batik di
Tirtomoyo.
Melihat kondisi industri batik Tirtomoyo yang cenderung mengalami
kemunduran, ternyata masih ada pengusaha yang eksis di tengah situasi seperti
itu.Pengusaha batik yang masih eksis pada umumnya memproduksi batik printing,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
ditambah dengan batik cap dan tulis.Untuk saat ini hampir tidak ada pengusaha
yang memproduksi khusus batik tulis saja.
Sehubungan dengan masalah di atas maka seorang pengrajin batik dalam
menyeleksi tenaga kerja anak-anak mereka dan tenaga kerja buruhnya,
dirumuskan dengan tepat berdasarkan nilai semangat kerjaan tidak memandang
unsur ikatan-ikatan non ekonomis, tetapi lebih ditekankan pada prestasi kerja,
sehingga dalam perumusan itu terdapat kategori sosial yang mencakup kriteria:
usia, jenis kelamin dan status perkawinan.
3. Persaingan dengan industri tekstil dan batik modern
Perkembangan industri batik Tirtomoyo tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan industri sejenis yang berada di sekitarnya.Di Wonogiri industri
tekstil meliputi kegiatan pertenunan, finishing, konveksi dan
sebagainya.Perkembangan industri tekstil maupun batik modern sebenarnya tidak
hanya menimbulkan persaingan bagi batik tradisional di Wonogiri, khususnya
Tirtomoyo.Daerah-daerah pembatikan lainnya juga mengalami hal serupa.Pada
tahun 1960-1970-an masih banyak kaum wanita yang mengenakan kain dan
kebaya, di tahun-tahun berikutnya memakai kain sudah tidak lagi dianggap
praktis, dengan demikian selera terhadap batik juga mengalami kemerosotan.
Meskipun secara khusus di Tirtomoyo antara tahun 1960-1970 tekstil
terdesak oleh masuknya jenis batik printing, namun alasan serupa telah banyak
diungkap oleh kalangan perbatikan di berbagai daerah seperti Madura, Sidoarjo,
Ponorogo, Yogyakarta, Surakarta, Tasikmalaya, Cirebon dan DKI Jakarta yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
mengungkapkan bahwa beberapa tahun kemudian setelah tahun 1979-an mutu
batik printing berhasil ditingkatkan, sehingga dengan ongkos produksi yang
rendah, batik printing dapat dijual dengan harga jauh di bawah harga batik
tradisional. Jika pada tahun 1970-an diperkirakan batik tradisional menguasai
60% pasaran batik, dan sisanya untuk batik printing. Pada era berikutnya keadaan
telah berubah, pasaran batik printing telah menguasai 70% pasar dengan sisanya
untuk batik tradisional. Bahkan, menurut salah satu informan, yaitu Tarmi,
diperkirakan untuk saat ini batik tradisional hanya mempunyai peluang 10% saja
untuk menembus pasar, sedangkan 90% lainnya akan diambil oleh batik printing,
sehingga dalam kaitan ini munculnya teknologi baru di bidang pembatikan belum
dapat dikuasai oleh sebagian besar pengusaha batik Tirtomoyo.
Menurut penuturan salah seorang pedagang batik4, seiring dengan
perkembangan zaman motif batik semakin kompleks, karena tuntutan pasar dan
untuk keperluan industri, para pengusaha cenderung memilih cara pembuatan
batik yang lebih cepat dan modern, maka yang terjadi banyak pengusaha yang
meniru, menembak motif lantaran antara batik printing dan batik tulis jika tidak
cermat sulit untuk membedakannya. Akhirnya hal tersebut mewabah ke mana-
mana tidak hanya pada batik, tetapi juga pada jenis-jenis kain yang lain. Mereka
berlomba ke dalam motif yang bagus dan murah. Sekarang ini banyak terjadi
kekaburan tentang motif batik yang asli atau baku, karena banyak bermunculan
4Wawancara dengan Wiyono pedagang batik pasar Baturetnopada tanggal 5 Juni 2010
jam 09.00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
motif-motif tiruan yang lebih bervariasi, meskipun banyak pula motif yang
hampir mirip dengan motif asli. Namun sebenarnya jika dicermati terdapat
perbedaan mendasar antara batik tulis dan batik printing, yaitu batik tulis tidak
konsisten dalam corak dan klowongannya.Juga ada perbedaan mana yang bagian
luar dan mana yang bagian dalamnya. Untuk batik printing hal tersebut sulit
dilakukan karena semuanya telah dibuat sama.
Pada saat ini orang cenderung sulit untuk membedakan batik tulis dengan
printing.Dari segi harga tentu saja jauh lebih mahal batik tulis dikarenakan proses
pembuatannya yang lebih rumit dengan proses yang lama, di samping itu nilai
seni batik tulis lebih tinggi apabila dibandingkan dengan batik printing. Pada masa
kejayaannya, penjualan batik lebih cepat dan kini hanya tinggal menghabiskan
stok lama, apalagi untuk batik tulis.Bahkan sampai sekarang ini masih tersimpan
batik tulis yang dua tahun lalu dibuat dan kini belum laku terjual.Kondisi ini
diperparah dengan lagi munculnya aksi pembajakan motif batik yang terjadi di
berbagai daerah.Adanya kecenderungan batik printing untuk mengangkat motif-
motif tradisional ke dalam bahan yang cukup halus, membuat konsumen yang
tidak paham masalah batik menjadi terkelabuhi.Batik printing murahan untuk
konsumen kelas menengah ke bawah, sedang batik printing kualitas tinggi
dirancang untuk konsumen kelas menengah ke atas.Sekarang ini batik lebih
dikenal sebagai barang seni, bukan sebagai bahan pakaian harian. Dalam
perkembangannya pun para pengusaha lebih banyak memproduksi barang jadi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
seperti rok, hem, taplak meja, sarung bantal-guling, dan lain-lain daripada
memproduksi kain batik utuh.
Kemunculan industri batik besar yang lebih modern, seperti Batik Keris
turut pula menghantam industri batik tulis. Dampak ekspansi jenis perusahaan ini
benar-benar memukul keberadaan industri batik tulis, sehingga pada akhir dekade
1970-an itu pengrajin batik yang semula menyemarakkan kegiatan rumah tangga
di Tirtomoyo dan sekitarnya, Pekalongan, Tulung Agung, Ponorogo, dan
beberapa kota lainnya menjadi lumpuh. Disamping Batik Keris, berdiri pula
perusahaan batik milik pribumi, yaitu Batik Danar Hadi dan Batik Semar (milik
Cina).
Ketika era batik telah dating pada tahun 1990-an, pengrajin batik yang
secara historis punya hak moral untuk menikmati kejayaan batik, ternyata harus
gigit jari. Menurut Departemen Perindustrian, dari puluhan ribu industri rumahan
yang pernah ada, kini hanya tinggal 5.000-an industri rumahan yang masih aktif di
sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.5
4. Kelemahan Modal Pemasaran
Kaharudin menuturkan, beroperasinya batik printing yang membutuhkan
modal besar merupakan saingan yang menggeser batik tradisional
Tirtomoyo.6Kenyataan ini didasarkan bahwa sebagian besar pengusaha batik
Tirtomoyo adalah pengusaha yang menghimpun modal sendiri dari laba yang
5 Istiqom, Ahmad. 1993. „Batik, Busana Adi dari Zaman Kraton‟. Dalam Warta
Ekonomi.No. 41.Hal 3. 6Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25 Juni
2010 jam 10:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
diperoleh sedikit demi sedikit.Mereka mengalami kesulitan untuk mencari kredit
di bank dengan skala menengah.Pada umumnya bank-bank pemerintah telah
memberikan kredit kepada pengusaha-pengusaha batik printing skala besar
dengan jumlah puluhan sampai ratusan miliar rupiah.Sementara yang diperlukan
oleh pengusaha-pengusaha batik skala kecil dan menengah hanya puluhan sampai
ratusan juta rupiah. Melihat kondisi seperti itu, maka banyak pengusaha batik
yang sedikit frustasi berhadapan dengan bank-bank pemerintah, akhirnya mereka
harus mencari alternatif ke bank lain dan itu pun tidak mudah. Banyak bank-bank
swasta sekalipun yang bisa menyalurkan kredit dalam skala menengah,
persyaratan yang diminta cukup rumit dan bunganya juga cukup tinggi, di atas 2,5
persen per bulan. Untuk pemasaran batik sebelumnya tidak ada hambatan, karena
pada waktu itu peran koperasi batik Surakarta masih diandalkan. Dalam hal ini
masih mau menampung dan memasarkan ke pihak-pihak konsumen dengan harga
dan hasil yang tidak kalah dengan dijual sendiri pada konsumen langsung.Akan
tetapi kemudian pemasaran batik mengalami kesulitan dikarenakan koperasi
sudah tidak lagi memasarkan ke pihak konsumen langsung, tetapi para pengusaha
langsung memasarkannya sendiri ke konsumen.
B. Dampak Pasang Surut Industri Batik Tirtomoyo
Dampak pasang surutnya industri batik trjadi karena perubahan konsep
dari ali babi menjadi baba ali. Konsep ali baba adalah suatu kebijakan yng
dilakukan pengusaha cina meminta kerja sama dari pemerintah untuk melindungi
batik kerisnya. Hal ini dimafaatkan oleh pengusaha cina untuk mengambangkan
usaha batiknya.Akan tetapi pada tahun 1970-1980 berubah konsep dari ali babake
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
baba ali, yaitu pengusaha cina memanfaatkan kebijakan yang dilakukan
pemerintah dan bisa mengusai sektor – sektor industri batik. Dampak lain yang
ditimbulkan karena merosotnya industri batik antara lain:
1. Dalam Bidang Sosial
Dalam Bidang Sosial pada pembahasan perkembangan industri batik
Tirtomoyo pada tahun 1960-1965, desa Tirtomoyo telah membentuk masyarakat
yang menghargai nilai-nilai ekonomis dan keagamaan, keberhasilan ekonomis dan
keagamaan merupakan dua prasarat penting yang dibutuhkan untuk mendapatkan
status sosial, sehingga adanya kebijakan Pemerintah yang melindungi terhadap
keberadaan industri mereka memberikan dorongan kemajuan terhadap industri
utama mereka, yaitu tekstil dan batik. Dengan ungkapan lain, perkembangan pusat
ekonomi masyarakat Tirtomoyo telah memperoleh dukungan baik secara politik
maupun budaya.7
Perkembangan pesat yang telah diraih pada masa sebelumnya ternyata
harus mengalami kemerosotan.Kemerosotan ini telah pula menjauhkan harapan-
harapan masyarakat Tirtomoyo dalam kesadaran mereka yang sangat menghargai
nilai-nilai kewirausahaan.Suatu gejala umum yang dapat dilihat pada masyarakat
Tirtomoyo adalah timbulnya keputusasaan sebagai akibat dari zaman keemasan
atau kejayaan yang pernah mereka rasakan telah berlalu.
Di sisi lain etos kewiraswastaan yang semestinya diregenerasikan pada
penerusnya kurang mendapat respon yang berarti. Kenyataan ini didasarkan
bahwa semakin banyaknya anak-anak yang mengenyam pendidikan, dikemudian
7Wawancara dengan Satiyem pengusaha batik dari desa Hargantoro Kecamatan
Tirtomoyo pada tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
hari mereka lebih memilih bidang-bidang pekerjaan kantoran atau bekerja di luar
kota. Dunia usaha batik sebagai asal mereka dibesarkan telah mulai ditinggalkan
bersamaan dengan merosotnya penilaian generasi muda terhadap bidang usaha
pendahulunya, dengan ungkapan lain gejala ini juga menunjukkan merosotnya
entrepreneurship di kalangan generasi muda Tirtomoyo di masa yang akan
datang.
Orang Tirtomoyo, dalam lingkungan masyarakat Wonogiri dikenal sebagai
pekerja yang rajin, tekun, dan tabah.Terutama peranan pengusaha perempuan
yang cukup besar dalam perusahaan dan keluarga, dalam setiap harinya mereka
hanya istirahat dalam waktu yang cukup sedikit, selebihnya hanya disediakan
untuk bekerja di perusahaan dan di pasar-pasar sandang.Semangat kerja mereka
sangat tinggi, bila dibandingkan dengan pekerjaan para suami di
perusahaan.Kebanyakan dari saudagar wanita Tirtomoyo yang memiliki etos kerja
tinggi, adalah mereka yang pertama kali membuka usaha keluarga, kemudian
generasi kedua, atau ketiga wanita. Biasanya sesudah generasi ketiga semangat
enterpreneur mereka semakin menurun, bahkan menjadi lenyap sama sekali bila
diturunkan kepada anak laki-laki.
Menurut penuturan para warga,8 bahkan dewasa ini semangat kerja yang
tinggi biasanya justru dimiliki oleh wanita-wanita yang belum pernah mengenal
sekolah. Anak-anak yang sudah disiapkan oleh orang tuanya untuk meneruskan
usaha keluarga, biasanya memang sengaja tidak disekolahkan, karena itu dari
sejak umur enam tahun anak itu sudah dididik memahami cara mengurus
8 Wawancara dengan Tarmi Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada
tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
perusahaan. Mereka ternyata dalam hal pendidikan informasi ini sangat jelas
membedakan antara pengetahuan praktis yang lebih menekankan segi ketrampilan
di pabrik, dan pengetahuan empiris dalam mengelola perusahaan.Anak-anak
pengusaha umumnya lebih banyak disiapkan untuk memahami pengetahuan dari
pengalaman orang tuanya, karena itu bukan ukuran lamanya pendidikan
melainkan nilai pemahamannya.
Sisi lain yang bisa dilihat tentang etos kerja para majikan adalah gagasan
mereka untuk memproduktifitaskan tenaga laki-laki sebagai tukang cap dan
buruhnya, dan mereka lebih memelih tenaga kerja yang sudah menikah. Hal ini
dikarenakan para pekerja yang sudah berkeluarga, kehidupan dirinya sudah mapan
dan seluruh gajinya hanya untuk kebutuhan keluarga. Mereka sudah
meninggalkan masa bersenang-senang, karena itu mereka mau bekerja keras,
disiplin dan penuh tanggung jawab, demi memenuhi kebutuhan rumah
tangganya.9Para majikan baru memakai tenaga bujangan bila mereka betul-betul
sudah mengenal pribadi pekerja itu. Majikan tidak pernah menerima pekerja
bujangan yang belum dikenal, karena mereka ketakutan kalau pekerja itu ternyata
pemalas, akan mudah mempengaruhi pekerja yang lain.
Masalah lain yang cukup menarik adalah sikap majikan yang tak mengenal
kompromi dengan siapapun. Baik dengan saudara sendiri, dengan adik-kakak,
bahkan dengan anak-anaknya sendiri yang sudah mendirikan usaha lain. Mereka
tidak mengenal batas-batas ikatan khusus yang sifatnya non ekonomis.Adik,
kakak dan anak-anak mereka bisanya berdiri sendiri mengelola perusahaan
9 Wawancara dengan Tarmi Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada
tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
masing-masing. Dalam kontek yang seperti ini, masing-masing anggota keluarga
itu akan memandang mereka sebagai orang lain yang menjadi saingan
perusahaannya. Nilai pertolongan harus bisa diukur menurut pertimbangan pinjam
meminjam sehingga pada saatnya yang tepat mereka akan meminta kembali nilai
pertolongan itu. Prinsip ini nampaknya sangat rasionalistis, karena segala bentuk
hubungan sosial antar warga masyarakatnya senantiasa diukur menurut kriteria
untung dan rugi.
Sebagai contoh, kehidupan keluarga Ibu Tarmi yang merintis usaha
batiknya pada tahun 1962, telah berhasil menerapkan sistem kerja keluarga
pedagang dalam kehidupan keluarganya.Ini memberikan gambaran sifat keluarga
entrepreneur di Tirtomoyo.Kegiatan pagi diawali dengan membagi pekerjaan
kepada semua buruh-buruhnya, yaitu kepada buruh mbatik dan buruh
ngecap.Sementara pengusaha batik laki-laki memimpin buruhnya, terlibat dalam
kegiatan pemrosesan batiknya, dan pengusaha batik wanita dan anak
perempuannya menggunakan waktunya di siang hari untuk pergi ke pasar,
menyetorkan hasil produksi, membeli kain mori serta menagih hutang kepada
para langganan.Sore hari, kegiatan pabrik serta urusan pemasaran selesai dan
keluarga ini disibukkan dengan perhitungan barang yang telah selesai
dikerjakan.Gaji buruh diberikan serta membuat rancangan kerja untuk keesokan
harinya.Malam hari, mereka menghitung hutang-piutang, menghitung uang
ditangan langganan dan menghitung jumlah barang yang siap di jual.
Para pengusaha biasanya menyalurkan batik hasil produksinya melalui
koperasi.Dari koperasi ini kemudian didistribusikan kepada para pedagang besar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
atau pedagang kecil atau eceran.Dengan penyaluran melalui koperasi, jaringan
penjualan menjadi lebih luas dan untungnya pun tidak kalah dengan jika dijual
langsung kepada konsumen.Cara memasarkan dan memperdagang kain batik di
Tirtomoyo itu pun terasa unik. Di kawasan Tirtomoyo, pusat-pusat batik seolah
menutup diri dari proses manajemen transparan. Mereka memproduksi secara
diam-diam di sebuah kawasan tertutup, dengan karyawan dan ahli batik yang tak
bisa disebut massal.10
Produk-produk mereka memang sering dikenal oleh orang-orang yang
tahu persis akan kualitas batik. Produksi batik di beberapa kota besar Jawa ini
memang masih terlalu tertutup. Bahkan di kawasan Tirtomoyo, sebagai salah satu
pusat batik di Wonogiri, para produsen enggan membuka show room (tempat
pamer).Ini didasari atas rasa sungkan yang tinggi dengan sesama penjaja batik
lainnya.Para pengrajin batik merasa takut untuk melakukan promosi karena bisa
menimbulkan bumerang bagi citra produknya, lebih-lebih jika kelak ada produk
yang justru lebih bagus dari yang ia tawarkan. Untuk perkembangan industri
batiknya ditangani generasi lapis kedua atau ketiga, namun ada pula yang justru
kian surut setelah generasi pertama tak memegang tampuk kepemimpinan.
Generasi lapis kedua atau ketiga, tidak jarang malah lari dari bisnis di luar batik.
Ada yang menggunakan modal keluarga untuk bisnis yang lain atau bahkan
mencari pekerjaan di luar bisnis keluarga. Namun kebanyakan, bisnis batik di
kawasan itu rata-rata bertahan karena eratnya komitmen kekeluargaannya.
10
Wawancara dengan Kaharudin Ahmad Pengusaha Batik Tirtomoyo pada tanggal 25
Juni 2010 jam 10:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
2. Dalam Bidang Ekonomi
a. Terancamnya industri batik tradisional oleh batik modern
Terjadinya perubahan selera konsumen dan didorong lebih lanjut oleh
produk batik printing yang didukung alat teknologi modern telah menyebabkan
terjadinya penyempitan terhadap pemasaran batik tradisional.Pergeseran pasar ini
pula telah mengakibatkan pergeseran dalam kepemilikan perusahaan, dan
pergeseran daerah sebagai “sumber batik”. Apabila pada tahun-tahun sebelumnya
pasaran batik didominasi oleh para pengusaha batik tradisional dari daerah-daerah
seperti Yogyakarta, Ponorogo, Surakarta dan Wonogiri termasuk Tirtomoyo
khususnya, maka kini “kekuasaan” itu telah beralih ke Jakarta, karena bermula
dari Jakarta inilah batik printing telah mengalami perbaikan teknologi terutama
sekitar tahun 1970-1980-an.
Selain kelebihan dalam hal teknologi yang dapat menyamai kualitas batik
tradisional, keadaan ini juga diuntungkan karena adanya “sistem tembak” (copy)
dari desain batik tradisional sehingga dapat diperoleh hasil desain yang benar-
benar serupa dengan batik yang dicopy.11
Dengan demikian industri batik yang
juga menuntut kreatifitas para produsen untuk menciptakan motif-motif baru
dalam desainnya, secara tidak langsung dirugikan oleh adanya sistem tembak ini.
b. Berkurangnya jumlah produsen batik Tirtomoyo
Salah satu petunjuk berkembangnya industri, batik telah mengalami
peningkatan maupun kemerosotan dapat ditunjukkan dengan banyak sedikitnya
11
Simandjuntak, Edward. S. 1982. „Batik Tradisional Makin Terpojok, Labelisasi untuk
apa?‟ Dalam Prisma. No. 72.Hal 7.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
orang yang bekerja pada sektor tersebut.Demikian pula industri batik Tirtomoyo
yang telah mengalami kemerosotan pada masa sesudah Orde Baru dapat diketahui
dengan semakin berkurangnya pengusaha industri tersebut.Meskipun secara
eksplisit tidak disebutkan pengusaha industri yang bergerak di lapangan tertentu,
namun dengan memperhatikan keterangan dari beberapa informan dapat
disimpulkan bahwa pengusaha industri yang dimaksud sebagian besar adalah
pengusaha batik.
Berkurangnya pengusaha batik yang sudah gulung tikar atau bangkrut,
pengrajin batik semakin kesulitan untuk tetap bisa bertahan, meskipun ada juga
yang masih bisa meraih sukses. Kebanyakan para pengrajin itu mewarisi usaha
pembuatan batik dari orang tuanya.Kelemahan utama para pengrajin batik yang
menyebabkan banyak yang gulung tikar adalah pola manajemen yang
digunakan.Mereka menggunakan manajemen keluarga untuk menjalankan roda
bisnisnya.Dengan manajemen keluarga, maka mereka hanya menerima warisan
dari para pendahulunya.Lebih parahnya hasil kerja dari penerusnya tidak
seprofesional dari pendahulunya.Pola manajemen semacam itu juga menyebabkan
para ahli waris usaha batik itu justru saling memperebutkan warisan.Dengan pola
pikir yang demikian, maka banyak pengusaha batik yang gulung tikar.Padahal
dulu kampung Tirtomoyo dikenal sebagai tulang punggung untuk urusan
pembuatan kain batik. Senada seorang informanberkata yaitu:
“Penyebab banyaknya pengusaha yang gulung tikar diakibatkan karena
tidak adanya proses regenerasi dari orang tua kepada anak-anaknya, artinya
banyak para pengusaha batik yang tidak mempersiapkan anak-anaknya untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
meneruskan usaha itu dengan baik, sehingga setelah dipegang generasi
berikutnya perusahaan kebanyakan semakin mengalami kemunduran”.12
c. Pergeseran-pergeseran dalam lapangan kerja lainnya
Terjadinya pergeseran-pergeseran dalam lapangan kerja, karena sektor
pembatikan sudah tidak dapat lagi diharapkan prospeknya terutama dikalangan
generasi berikutnya, sehingga harus beralih pada jenis mata pencaharian lain.
Ironisnya banyak anak pengusaha batik yang beralih profesi menjadi birokrat atau
Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan di sini anak dari pengusaha batik yang menjadi
birokrat justru lebih banyak daripada yang melanjutkan menjadi pengusaha batik.
Bagi anak pengusaha yang berpendidikan tinggi, menjadi birokrat atau PNS
adalah sebuah pilihan yang “lebih bergengsi” dibandingkan dengan menjadi
pengusaha batik, mungkin dalam benak pikirannya mereka berpikir sudah sekolah
tinggi-tinggi masa hanya bergelut dengan batik. Alhasil banyak diantara mereka
yang memilih untuk menjadi birokrat.Justru yang meneruskan menjadi pengusaha
batik adalah anak-anak pengusaha yang mempunyai latar belakang pendidikan
yang tidak terlalu tinggi.
d. Merosotnya partisipasi sosial pengusaha batik Tirtomoyo
Dampak yang berupa kemerosotan partisipasi sosial, ditunjukkan dengan
besar atau kecilnya dana-dana sosial yang diberikan para pengusaha terhadap
masyarakat.Kemerosotan partisipasi sosial tersebut juga serupa dengan
12
Wawancara dengan Satiyem pengusaha batik dari desa Hargantoro Kecamatan
Tirtomoyo pada tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
merosotnya perkembangan dana-dana sosial yang diperbantukan pada
masyarakat.Keadaan tersebut cukup beralasan karena kaitan antara keduanya
terdapat hubungan yang sangat menopang, tetapi dalam hal ini perlu kiranya
menjadi perhatian sebagaimana keterangan informan, bahwa di masa lalu jiwa
sosial pengusaha-pengusaha batik di Tirtomoyo cukup bagus.13
Kejayaan Tirtomoyo sebagai pusat kegiatan bisnis batik karena banyak
saudagar yang kaya raya didalamnya, kini hanyalah tinggal beberapa orang
saja.Saat ini Tirtomoyo tidak ubahnya seperti kampung-kampung
lainnya.Keadaan di Tirtomoyo tidak seperti dulu lagi, karena para saudagar batik
kini tinggal keturunannyadan sudah tak banyak lagi yang menekuni batik
tulis.Kelangkaan adanya batik tulis memang sudah terjadi cukup lama. Lebih-
lebih ketika krisis moneter hingga pasca kerusuhan Mei 1998, perdagangan batik
tulis mengalami keterpurukan yang sangat tajam karena harganya yang cukup
mahal, pengerjaan batik tulis memerlukan proses yang cukup panjang dan rumit.
Disamping itu biaya produksi mengalami kenaikan cukup tinggi, yang diikuti pula
oleh kenaikan harga, sehingga jumlah pembeli semakin mengalami
penurunan.Resiko untuk produksi batik tulis memang sangat tinggi.Cacat sedikit
pembeli langsung menjatuhkan harga, disamping prosesnya yang begitu lama
dalam pembuatan, sehingga untuk iklim perdagangan yang membutuhkan
perputaran uang cepat, sulit untuk mengikuti.
13
Wawancara dengan Tarmi Pengusaha Batik desa Wiroko Kecamatan Tirtomoyo pada
tanggal 30 Juni 2010 jam 13:00 WIB.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
BAB V
KESIMPULAN
Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Sejarah Perkembangan Industri Batik
Tradisional di Tirtomoyo Tahun 1950-2000”, dapat disimpulkan:
Pertama, daerah Tirtomoyo dikenal sebagai salah satu sentra industri batik
mulai tahun 1960 di Wonogiri. Kegiatan pembatikan pada mulanya masih
mempergunakan peralatan yang sederhana, yaitu canting. Ragam hias batik yang
dihasilkan pun masih meniru ragam hias dari kraton, demikian pula dengan
pewarnaannya yang cenderung gelap dan mempergunakan bahan pewarna dari alam.
Industri batik tradisional di Tirtomoyo yang semakin maju, membuat para pengusaha
berpikir untuk menciptakan peralatan membatik yang dapat menghasilkan batik lebih
cepat daripada dengan menggunakan canting. Kemudian dibuatlah alat cap, di
samping canting untuk memproduksi batik secara tradisional. Dari masa ke masa
dunia perbatikan banyak mulai mengalami perubahan. Mulai dari ragam hias batiknya
hingga peralatan dalam pembatikannya. Demikian pula dengan batik di Tirtomoyo.
Ragam hias batik Tirtomoyo yang mulanya berupa ragam hias klasik lambat laun
berkembang ke ragam hias yang dinamis atau bergaya kontemporer. Pewarnaannya
pun mulai menggunakan warna yang beraneka ragam. Hal tersebut tak lepas dari
permintaan pasar dengan kondisi yang berubah-ubah. Seperti adanya pengaruh dari
kegiatan kenegaraan, motif yang sedang musim, maupun karya dari seseorang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
banyak digemari. Perkembangan peralatan untuk membatik secara tradisional, yaitu
dari canting ke cap, dan ketika zaman semakin modern ditemukan teknologi baru
dalam usaha perbatikan, yaitu alat printing atau sablon.
Kedua, pesatnya perkembangan industri batik tradisional di Tirtomoyo
tercipta dari kondisi masyarakat Tirtomoyo sendiri. Mereka memiliki etos kerja dan
semangat dagang yang sangat tinggi dibandingkan masyarakat Wonogiri pada
umumnya. Semangat kerja mereka, pada awalnya dilatarbelakangi akan adanya
persaingan dengan pembatik dari kraton. Di samping itu, iklim usaha dan dukungan
dari pemerintah turut pula berperan dalam berkembangnya industri batik tradisional.
Ketiga, kejayaan industri batik tradisional di Tirtomoyo dari waktu ke waktu
semakin memudar. Pergantian pemerintahan yang mengakibatkan berubah pula
kebijakan usaha yang telah dijalankan, berperan besar dalam mematikan industri
batik tradisional. Selain itu kemunculan alat printing membuat para pengusaha
berpindah memproduksi batik dengan alat ini dibanding mempergunakan canting atau
cap. Batik printing sendiri sebenarnya tidak bisa disebut dengan batik, istilah batik
digunakan untuk kepentingan bisnis saja supaya dapat menarik konsumen. Di
samping itu penyebab kemunduran industri batik tradisional disebabkan oleh
lemahnya dalam permodalan, merosotnya peran koperasi, sulitnya bahan baku dan
tenaga kerja. Kemunduran industri batik tradisional di Tirtomoyo tentu memberikan
dampak bagi kehidupan masyarakatnya, baik di bidang sosial maupun ekonomi.
Kerajinan batik sebagai hasil dari kerajinan tradisional masyarakat, diharapkan nilai-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
nilai yang terkandung di dalamnya dapat tetap hidup dan berakar kuat pada generasi
yang akan datang. Untuk itu diperlukan upaya untuk melestarikan hasil warisan
kebudayaan nenek moyang kita.
top related