sanksi tindak pidana penghinaan agama dalam perspektif...
Post on 07-Mar-2019
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif
Maqasid Syariah
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
ADITYA ALAMSYAH
N I M : 1110045100042
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ABSTRAK
ADITYA ALAMSYAH. NIM 1110045100042. SANKSI TINDAK PIDANA
PENGHINAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF MAQASID SYARIAH.
Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H / 2017 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, menguraikan, dan menjelaskan dan
menganalisa tentang Penghinaan Agama Dalam Perspektif Maqasid Syariah.
Kebebasan beragama di Indonesia dapat dilihat di Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) amandemen kedua pada Pasal 28E
ayat (1) dan (2). Akan tetapi terdapat pula pembatasan dalam konstitusi tersebut.
Warga negara yang tidak mentaati pembatasan tersebut, maka akan dikenakan
sanksi sesuai dengan aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
dan menggunakan teori Maqasid Syariah. Setelah diundangkannya Undang-
Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penghinaan Agama, maka dalam KUHP tentang tindak pidana penghinaan agama.
Konsep Maqasid al-syari’ah merupakan konsep yang sangat penting dan tidak
luput dari perhatian para ulama dan pakar hukum Islam. Sebagian besar pakar
hukum menempatkan pembahasannya dalam Ushul Fiqh, ketika mereka
membahas tentang qiyas serta Maqasid Al-syariah telah menjadi pertimbangan
sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Upaya seperti itu, seterusnya
dilakukan pula oleh para sahabat. Oleh karenanya melalui tulisan ini, penulis
mencoba untuk menelaah secara mendalam permasalah kasus tindak pidana
penghinaan agama dengan pendekatan teori maqasid syariah.
Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan (Library Research). Studi
kepustakaan dengan menelusuri berbagai literatur, baik berupa undang-undang,
buku-buku majalah, artikel website, serta kasus yang berhubungan dengan tema
penelitian.
Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca,
memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan memberikan informasi
bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Kata kunci : Sanksi Pidana, Penghinaan Agama, Maqasid Syariah
Pembimbing : Dr. Rumadi. M. Ag
بسم هللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan
kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang
mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi
Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa
bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik diantara semua kaum. Tidak lupa
kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia
hingga akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah
memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan sesuai yang diharapkan karena adanya mereka segala macam halangan dan
hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Phill. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Nurul Irfan, M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam terima
kasih banyak telah memberikan petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis selama
perkuliahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata I dengan sebaik-baiknya.
3. Bapak Nur Rohim Yunus, LLM selaku Sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam
terima kasih banyak telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam
keperluan, dan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata I dengan sebaik-
baiknya.
4. Bapak Dr. Rumadi. M.Ag selaku Dosen Pembimbing terima kasih banyak telah
memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
5. Kepada kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan
serta do’a yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi strata I dengan penuh semangat, Ayahanda Chotib, dan Ibunda
Romlah, maafkan anakmu ini yang sungguh bergelimpangan dosa.
6. Terima kasih kepada Kakak saya terutama untuk, Andri Rahadiansyah, Apit Firmansyah,
Ade Darmawansyah, dan Adik saya yaitu: Aldi Alviansyah, Alvi Syahrin, Khoirul Amri
yang telah memberikan doa, dukungan moril dan materil, serta sebagai motivator dalam
menyelesaikan studi strata I saya.
7. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan ikhlas menyalurkan ilmu dan
pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani.
8. Terima kasih kepada Mutiara Lukman Amd. Keb, SKM yang telah memberikan nasehat,
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya sebagai motivator dalam menyelesaikan
Skripsi saya.
9. Terima kasih kepada Gerardin Ferrari S.Sy yang telah banyak berdiskusi dan
memberikan buku-buku referensi sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi saya ini.
10. Teman-teman Seperjuanganku Program Studi Hukum Pidana Islam Angkatan 2010 yang
telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam
hidup, terutama Edi Irawan, Ade Dani Setiawan, Sena, Rodhi, Awal, Ayu, Dijah, Siska,
Ika, Lulu, Dika, Denis, Rijal, Agung, Yongki, Sahuri, Gunawan, Imas (ss) dan teman-
teman yang tidak bisa saya sebutkan semuanya. Terima kasih sebanyak-banyaknya yang
selalu bersedia menemani penulis baik berdiskusi maupun berpetualang. Alhamdulilah
saya bisa lulus juga.
11. Kepada Adik-adik kelasku Program Studi Hukum Pidana Islam Angkatan 2011, 2012,
2013, 2014, dan 2015 terima kasih banyak telah menemani saya dalam kegiatan kampus
dan berdiskusi dalam pembelajaran, yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu.
Lanjutkan perjuangan kalian dalam meraih cita-cita.
Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah SWT
sehingga dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi
Allah SWT. Akhirnya semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis
mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Wassalammualaikum. Wr. Wb
Jakarta, Juli 2017
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ........................................................................ 10
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 11
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................................................... 12
E. Metodologi Penelitian ............................................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ................................................................................................ 14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENGHINAAN AGAMA ........................ 16
A. Pengertian Tentang Penghinaan Agama .................................................................... 16
B. Sanksi Pidana Pelaku Penghinaan Agama ................................................................ 20
C. Unsur-unsur Tindak Pidana Penghinaan Agama ....................................................... 26
BAB III : SANKSI PIDANA DALAM HUKUM POSITIF .......................................... 31
A. Pengertian Sanksi Pidana .......................................................................................... 31
B. Macam-Macam Sanksi Pidana .................................................................................. 31
C. Sistem Sanksi Pidana dalam Hukum Positif ............................................................. 41
ii
BAB IV: PANDANGAN MAQASID SYARIAH DALAM SANKSI PIDANA
PENGHINAAN AGAMA ................................................................................................. 50
A. Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah ...................................................... 50
B. Bentuk-bentuk Maqasid Syariah ............................................................................... 55
C. Penghinaan Agama Dalam Pandangan Maqasid Syariah .......................................... 58
BAB V: PENUTUP ........................................................................................................... 64
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 64
B. Saran-saran ................................................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama merupakan sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem
budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan
tatanan/perintah dari kehidupan. Bagi para penganutnya agama berisikan ajaran-
ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan
petunjuk hidup di dunia maupun di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi
bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi
tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai
dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya1.
Agama tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
tetapi juga hubungannya dengan sesama manusia. Oleh karena itu, agama juga
memiliki pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pengingkaran terhadap pengaruh agama dalam kehidupan bermasyarakat dapat
mendorong terjadinya penodaan terhadap agama. Maraknya tindak pidana
penistaan agama dalam berbagai bentuk, seperti munculnya penyimpangan-
penyimpangan dalam kehidupan beragama dalam masyarakat yang bertentangan
dengan ajaran-ajaran dan hukum agama yang telah ada tersebut dapat merongrong
sendi-sendi kehidupan beragama masyarakat.
1 Parsudi Suparlan Dalam Rebertson, Roland (ed). 1988. “Agama: Dalam Analisis dan
Interpretasi Sosiologi”, pp.v-xvi. Jakarta CV. Rajawali, h. 26.
2
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,
ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi
pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.1
Perjalanan manusia untuk melaksanakan amanah tidaklah mulus. Berbagai
rintangan, ujian, dan godaan menghadang ditengah jalan. Perjuangan manusia
semakin berat karena harus berhadapan dengan musuh yang tidak terlihat. Musuh-
musuh ini seringkali menipu daya manusia dengan perkataan-perkataan yang
indah.
Firman Allah dalam Al-Qur’an:
Artinya: Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh,
Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka
membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-
indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka
tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-
adakan.( QS. Al-An’am Ayat 112)
Agama Islam adalah agama yang membawa rahmat seluruh alam. Untuk
mewujudkannya harus ada norma yang menjadi aturan, dalam agama islam norma
tersebut dikenal dengan istilah syariah, yaitu suatu tatanan aturan kehidupan yang
mengatur hubungan antara manusia dan sesamanya juga hubungan antara manusia
dan tuhannya. Istilah syariah ini sebenarnya dalam kajian hukum Islam lebih
menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan dari proses
tasyrî’.
3
Dalam istilah para ulama fiqh tasyrî’ bermakna menetapkan norma-norma
hukum untuk menata kehidupan manusia baik hubungan manusia dengan
tuhannya maupun dengan sesamanya2.
Syari’at yang dimaksud di sini adalan syariah yang mencakup ketentuan-
ketentuan Allah dan rasulnya dan norma-norma hukum hasi kajian ulama
mujtahid untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Inilah yang terkenal
dengan Maqâsîd al-Syariah (tujuan perundang-undangan) dalam hukum Islam.
Berdasarkan pemberitaan di media cetak dan elektronik, penistaan Agama
kembali men jadi topik pembicaraan di masyarakat Indonesia. Satu diantaranya
adalah hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama terpenggal oleh pola yang
termuat dalam format tindak pidana penodaan agama.
Isu tentang penodaan agama dan ujaran kebencian telah menjadi satu isu
yang paling banyak dibicarakan di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun ke
belakang terkait konteks hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama. Isu ini
banyak mendapat sorotan bukan hanya dari komunitas atau lembaga yang
mempunyai fokus kajian dan advokasi di bidang Ham, tetapi juga mendapat
perhatian dari Negara bahkan jauh sebelum reformasi di tahun 1998.
Di dalam konteks penghinaan agama, salah satu soal yang menjadi
perhatian besar adalah soal penegakan hukum yaitu terkait penerapan aturan
tentang penodaan agama yaitu UU No 1/ PNPS tahun 1965 tentang pencegahan
penyalahgunaan dan /atau penodaan agama dan Pasal 165 a KUHP.
2 Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyri‟I al-Islami, (Beirut: Dar al-Qolam,
1981), h. 11
4
Aturan tentang penghinaan agama ini seringkal disalahgunakan dan
penafsirannya tidak jelas dan tergantung kepada kepentingan yang muncul paling
dominan, bukan untuk kepentingan hukum secara adil atau biasa disebut pasal
karet. Ini akan menitikberatkan dan menganalisa lebih jauh dalam sudut pandang
aspek hukum pidana terkait kasus yang berkaitan dengan soal penghinaan agama.
Kajian dan analisa khusus ini harapkan akan dapat memberikan referensi dan
rekomendasi terkait penegakan hukum yang berkaitan dengan pidana penghinaan
agama.3
Tindak pidana menurut agama/delik agama tersebar dibeberapa pasal
dalam hukum positif (KUHP), seperti membunuh, mencuri, berzina dan
sebagainya tetapi menurut agama cakupannya lebih luas dibandingkan KUHP.
Tindak pidana terhadap agama dan yang berhubungan dengan agama
sebagian juga sudah diatur dalam hukum positif (KUHP), namun beberapa
perbuatan yang merugikan dan telah menimbulkan korban belum diatur dan perlu
pengkajian kembali untuk dikriminalisasikan menjadi tindak pidana, seperti
perusakan tempat ibadah yang seharusnya bagian dari delik agama tetapi dalam
prakteknya para penegak hukum hanya menjerat seperti dengan pasal-pasal
perusakan yang terdapat dalam KUHP.
Masalah besar dalam delik agama bukan hanya masalah kepolisian,
kejaksaan, dan hakim saja sebagai aparat penegak hukum yang akan menindak
dan memprosesnya secara hukum, melainkan terletak pada kebijakan
penanggulangan kejahatan atau yang sering disebut kebijakan kriminal.
3 Hasil monitoring kasus-kasus penodaan agama dan ujaran kebencian atas dasar agama di
Indonesia yang diterbitkan oleh The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) pada tahun 2012
5
Penanggulangan kejahatan yang bernuansa agama/delik agama hendaknya
dikaji dan dibahas bersama dengan pemangku kepentingan (legislatif dan
eksekutif) serta tokoh-tokoh lintas agama guna merumuskan langkah-langkah
penanggulangan kejahatan (kebijakan kriminal) itu dengan membuat aturan yang
tepat sasaran.4
Dalam KUHP sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai delik agama,
meski ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik
agama. Istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung beberapa
pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c) delik yang
berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda
Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap
agama dan delik yang berhubungan dengan agama.5 Menurut Konsep negative
rights dijelaskan, yaitu kebebasan dalam bentuknya yang negatif, yang terdiri dari
unsur ‚bebas untuk‛ melakukan berbagai hal yang bias membuat manusia menjadi
manusia yang bebas. Hukum moralitas atau nilai-nilai sosial yang mengatur
tentang larangan melakukan intervensi mengandung unsur kebebasan negatif.
Aturan tersebut ditujukan untuk melindungi hak seseorang dari semua bentuk
intervensi yang dapat mengganggu kebebasannya.6
4Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru,( Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2010, hal. 3 (lihat juga
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981, hal. 113-114)
5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996), hal 331
6 Al-Hanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia (Yogyakarta: Leksbang
Grafika, 2010),h. 90-91.
6
Larangan melakukan prosiletisme (penyebaran agama secara tidak patut)
dan penghujatan agama sebenarnya berada dalam konteks ini. Kadang-kadang
dalam penyebaran agama dilakukan dengan mengganggu kebebasan orang lain,
sehingga negara perlu melakukan intervensi dalam bentuk perlindungan kepada
pemeluk agama.
Demikian juga larangan penghujatan agama dimaksudkan untuk
melindungi perasaan keagamaan individu dari kemungkinan dilukai orang lain.
Dengan menghukum proselitisme, sebenarnya negara melakukan intervensi
terhadap kebebasan individu dalam memanifestasikan agamanya demi melindungi
kebebasan keagamaan orang lain untuk tidak berpindah agama. Demikian juga,
pemberian hukuman pada pelaku penghujatan agama, merupakan bentuk
intervensi negara terhadap kebebasan berekspresi demi melindungi perasaan
keagamaan orang lain.7
Meski demikian, bila dicermati sebenarnya delik menurut agama bukan
tidak ada dalam KUHP meski hal itu tidak secara penuh ada dalam KUHP seperti
delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang, penghinaan, fitnah,
delik-delik kesusilaan (zina, perkosaan dan sebagainya).
Sedangkan pasal 156a yang sering disebut dengan pasal penodaan agama
bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik kategori c tersebar
dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama dan
upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan /upacara agama
7 Rumadi, Kebebasan dan Penodaan Agama: Menimbang Proyek “Jalan Tengah”
Mahkamah Konstitusi RI Jurnal Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2, 2012. h 268
7
dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam
menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
Bagian ini akan lebih difokuskan pada pasal 156a yang sering dijadikan
rujukan hakim untuk memutus kasus penghinaan agama. Pasal ini selengkapnya
berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perkataan atau melakukan
perbuatan. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya
orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
Sebagaimana telah disinggung, pasal ini bisa dikategorikan sebagai delik
terhadap agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu
sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari kemungkinan-
kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-
simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski demikian,
karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk
melindungi penganut agama.8
Seperti dicontohkan dalam Agama Islam, Agama yang membawa rahmat
kepada seluruh alam semesta.9 Maka, agar mampu mewujudkannya harus ada
norma yang menjadi aturannya, dalam agama Islam norma tersebut dikenal
8 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981),
cet. 3, hal. 79-80
9 Hal ini sesuai dengan redaksi firman Allah dalam surat al-Anbiya’/21:107, yang
artinya” Dan tidaklah kami mengutusmu, melaikan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”.
8
dengan hukum syari’ah, yaitu suatu aturan yang mengatur hubungan antara
manusia dengan manusia dan hubungan antara manusia dengan tuhannnya. Istilah
syari’ah ini sebenarnya dalam kajian hukum Islam lebih menggambarkan
kumpulan norma-norma hukum yang merupakan dari proses tasyri’.10
Dan prinsip utama dalam hukum Islam adalah memelihara prinsip asasiah
( hak paling dasar ), yaitu hifdzu al-Din, hifdzu al-Nafs, hifdzu al-„aql, hifdzu an-
Nasl, dan hifdzu al-mal.11
Sehingga dalam menetapkan suatu Peraturan tindak pidana, konsep
dlaruriyyah Al-khomsah / Maqasid Syari‟ah merupakan sebuah kewajiban bagi
para pemangku kebijakan untuk merujuk kepada konsep tersebut, termasuk pula
terhadap ketentuan macam-macam sanksi yang akan diterapkan dalam peraturan
tersebut, baik terhadap tindak pidana umum, maupun terhadap tindak pidana
khusus. Kelima unsur dlaruriyyah Al- Khomsah / Maqasid Syari‟ah tersebut
adalah hifdzu al-Din, (dalam hal pemeliharaan agama), hifdzu al-Nafs (dalam hal
pemeliharaan jiwa), hifdzu al-„aql (dalam hal pemeliharaan akal), hifzu al-Mal
(dalam bidang pemeliharaan harta), hifdzu an-Nasl (dalam hal pemeliharaan
keturunan dan kehormatan).
Lima unsur tersebut sangat urgen dalam perumusan peraturan perundang-
undangan pidana. Namun demikian, dalam perumusan tindak pidana tidak
mengenal unsur prioritas antara kelima tersebut diatas. Semuanya sama
tingkatanya dalam hal terjadinya tidak pidana. Prioritas-prioritas dalam hal hukum
10
Muhammad Faruq Nabhan, al-madkhal li al-tasyri,I al-islami (Beirut: Dar al-Qalam,
1981) ,h.11.
11 Lihat KPK, Buku Saku untuk Memahami: Pandangan Islam Terhadap Korupsi; Koruptor
Dunia Akhirat dihukum. h. Mukaddimah
9
pidana hanya terdapat pada letak pertanggung jawaban pidana, hapusnya ancaman
pidana, dan pengecualian pemidanaan.12
Namun pada saat ini hukum akan selalu berkembang seiring dengan
perkembanggan masyarakat. Demikian pula permasalahan hukum juga akan ikut
berkembang seiring dengan perkembangan permasalahan yang terjadi di
masyarakat.
Di mana salah satu sifat hukum adalah dinamis. Perkembangan
masyarakat yang begitu pesat dan meningkatnya kriminalitas, di dalam kehidupan
bermasyarakat, berdampak kepada suatu kecenderungan dari anggota masyarakat
itu sendiri untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya. Dalam interaksi ini sering
terjadi sesuatu perbuatan yang melanggar hukum atau kaidah-kaidah yang telah
ditentukan dalam masyarakat, untuk menciptakan rasa aman, tentram dan tertib,
dalam masyarakat.
Dalam hal ini tidak semua anggota masyarakat mau untuk menaatinya, dan
masih saja ada yang menyimpang yang pada umumnya perilaku tersebut kurang
disukai oleh masyarakat.13
Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang mana
memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan kejahatan akan
menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Oleh
karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan
tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas kejahatan
12
Sabri Samin, Pidana Islam dalam Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Kholam Publishing, 2008), h-72.
13 Soerjono, Soekanto, 2000, Sosiologi Suatu Penggantar, (Jakarta: Rajawali Pers),hal .21
10
secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan akan senantiasa berkembang pula
seiring dengan perkembangan masyarakat.14
Berkaitan dengan hal di atas, dalam prakteknya sehari-hari masih terjadi
kasus-kasus yang berkaitan dengan delik agama, misalnya penghinaan,
merendahkan, penghasutan dan penodaan terhadap agama tertentu serta perusakan
tempat-tempat ibadah yang dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang
atau organisasi masih terjadi ditengah-tengah masyarakat.15
Berdasarkan permasalahan dan gejala fenomena yang ada di atas penulis
tertarik untuk melakukan penelitian skripsi yang berjudul : (Sanksi Tindak
Pidana Penghinaan Agama Dalam Perspektif Maqasid Syariah)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan di dalam latar belakang masalah,
penulis membatasinya alasan-alasan mengapa tindak pidana penghinaan Agama
perlu mengkaji lebih mendalam, dan penulis merumuskannya sebagai berikut:
1. Bagaimana Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama Menurut Hukum Positif?
2. Bagaimana Pandangan Maqasid Syariah Terhadap Sanksi Tindak Pidana
Penghinaan Agama?
14
Wirjono Prodjodikoro, 2002, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,(Jakarta:
PT.Refika Aditama), hal.15.
15 Tim Pengacara Muslim (TPM) Anggap Penindakan Aliran Sesat Sesuai Prinsip HAM,
dari situs: http://www.hukumonline.com/artikel di akses tanggal 8/03/2014
11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap karya tulis yang bernilai ilmiah tentunya memiliki tujuan dan
manfaat yang ingin di capai, begitu pula dengan penulisan skripsi ini. Adapun
tujuan penelitian ini adalah
1. Untuk Mengetahui Pandangan Maqasid Syariah Terhadap Sanksi Tindak Pidana
Penghinaan Agama.
2. Untuk Mengetahui Hukum Positif Terhadap Sanksi Tindak Pidana Penghinaan
Agama
D. Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan secara
teoritis dan praktis yaitu sebagai berikut :
1. Kegunaan secara teoritis
Menambah perbendaharaan keilmuwan dalam bidang hukum khususnya
kajian mengenai konsep Maqasid syariah tentang Sanksi Tindak Pidana
Penghinaan Agama teoritis maupun praktis.
2. Memberikan kontribusi positif kepada masyarakat tentang Konsep Maqasid
syariah tentang Sanksi Tindak Pidana Penghinaan Agama serta memberikan
gambaran yang objektif menganai sanksi pidana bagi pelaku Tindak Pidana
Penghinaan Agama
3. Kepada yang mengkaji lebih lanjut tentang masalah ini, diharapkan skripsi ini
dapat menjadi salah satu masukan yang berarti, dan sedikit banyak dapat
membuka cakrawala berfikir yang ilmiah.
12
4. Kegunaan secara praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran masyarakat
dan penegak hukum sehingga mempunyai wawasan yang lebih komprehensif
khususnya khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan bagi disiplin
pengetahuan yang berkaitan dengan masalah tindak pidana penghinaan agama.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian terkait Tindak Pidana Penghinaan Agama penelitian secara
spesifik tentang relevansi maqasid syariah tindak pidana penghinaan agama dalam
perspektif hukum islam dan hukum positif, serta analisa kasus menurut putusan
pengadilan negeri belum ditemui penulis.
Akan tetapi penulis tetap mengambil kerangka penelitian terhadap hasil-
hasil karya ilmiah terdahulu untuk membantu melengkapi dan menjadi bahan
acuan penulisan skripsi ini. Adapun hasil penelitian terdahulu yang menunjang
penelitian ini adalah :
1. Skripsi yang berjudul.Relevansi Maqasid Syariah Dalam Tindak Pidana Korupsi
(Studi Ulama NU dan Muhammadiyah). Yang ditulis oleh Muhammad Fahdun
Najib Pada Tahun 2013. Skripsi ini menjelaskan tentang pengertian, dan konsep-
konsep maqasid syariah.
2. Skripsi yang berjudul. “ Analisa Hukum Pidana dan Kriminologi terhadap Tindak
Pidana Penistaan Agama Di Indonesia” yang ditulis oleh Ismuhadi pada tahun
2008. Skripsi ini menjelaskan tentang penistaan agama dari segi kriminologi serta
sanksi pidana terhadap penistaan agama
13
F. Metode Peneltian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan atau proses sistematis
untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah.
Tujuan dari semua usaha ilmiah adalah untuk menjelaskan, memprediksikan, dan
mengontrol gejala fenomena yang ada.
Untuk mendapatkan data dalam penelitian skripsi ini penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analistis yaitu
menggambarkan dan memaparkan secara sistematis tentang apa yang menjadi
objek penelitian dan kemudian dilakukan analisis. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan normatif dan pendekatan analistis
1. Teknik pengumpulan data
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang objek utamanya berupa
buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, norma-norma yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat, majalah, surat kabar, hasil seminar dan
sumber lainnya yang berkaitan secara langsung dengan obyek yang diteliti16
a. Sumber Data Primer
Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat segala
keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Sumber-sumber data
tersebut berupa Perundang-undangan, Al-Quran dan As-Sunnah, dan juga buku-
buku yang membahas tindak pidana penghinaan agama.
16
Zainudin Ali, M.A. Metode penelitian hukum. Palu: Sinar grafika, 2009.
14
b. Sumber Data Sekunder
Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer
yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat segala keterangan-
keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain informasi yang
relevan, artikel, buletin, atau karya ilmiah para sarjana.
2. Teknik Analisis Data
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan penulis menggunakan
metode kualitatif. Yakni dengan mengumpulkan dan menganalisa data-data yang
diperoleh dan faktor-faktor yang merupakan pendukung dan relevan terhadap
objek yang diteliti sehingga dapat ditarik kesimpulan dari hal yang dijadikan
objek penelitian.
Data yang diklarifikasikan maupun dianalisa untuk mempermudah dan
menghadapkan pada pemecahan masalah. Adapun metode analisis data yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis isi secara kualitatif.
Dalam analisis ini, semua data yang dianalisis adalah berupa teks. Analisis isi
kualitatif digunakan untuk menemukan, mengidentifikasi, dan menganalisa teks
atas dokumen untuk memahami, signifikasi dan relevansi teks atau dokumen.
G. Sistematika Penulisan
Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi saya ini,
penulis menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab,
dimana pada setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan penjelasan yang
terinci, agar memudahkan pembaca. Berdasarkan pada materi skripsi yang penulis
bahas, sistematika penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut :
15
BAB I : Pendahuluan. Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang
penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, lokasi penelitian serta diakhiri
dengan penjelasan mengenai sistematika penelitian ini yang menjadi pedoman
dalam bab-bab selanjutnya.
BAB II : Tinjauan Umum Tentang Terhadap Penghinaan Agama. Pokok Bahasan
bab ini, penulis menjelaskan teoritis sebagai lanjutan dari bab sebelumnya, yaitu
Pengertian Tentang Penghinaan Agama, Sanksi Pidana Pelaku Penghinaan
Agama, dan Unsur-unsur Tindak Pidana Penghinaan Agama., agar diketahui oleh
pembaca, bahwa pelaku akan dikenakan sanksi pidana, bila terbukti melakukan
penghinaan terhadap agama.
BAB III : Sanksi Pidana Dalam Hukum Positif. Uraian Bab ini penulis membahas
tentang pengertian Sanksi Pidana, Macam-Macam Sanksi Pidana, serta Prinsip
dan Tujuan Sanksi Pidana Menurut Hukum Positif di Indonesia mengenai
penghinaan agama .
BAB IV : Pandangan Maqasid Syariah Sanksi Pidana Penghinaan Agama. Dalam
bab ini, penulis memuat uraian teoritis dan analisis hukum sebagai lanjutan dari
bab sebelumnya, yaitu Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah,
Perkembangan Maqashid Al-Syari’ah Dari Konsep Ke Pendekatan, dan
Penghinaan Agama Dalam Pandangan Maqasid Syariah.
BAB V : Penutup, Penulis menyimpulkan tahap akhir dari penulisan ini yang
berisi kesimpulan-kesimpulan penelitian dari awal sampai akhir, juga Terdiri dari
saran-saran penulis tentang persoalan yang diangkat dalam penulisan Skripsi ini
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGHINAAN AGAMA
A. Pengertian Tentang Penghinaan Agama
Kata “penodaan/penghinaan” terhadap agama memiliki padanan istilah dalam
bahasa aing yaitu Godslastering (Belanda) dan Blasphemy (Inggris). Kata Blasphemy
berasal dari bahasa Inggris zaman pertengahan yaitu blasfemen, yang pada gilirannya
berhubungan dengan bahasa Yunani yaitu blasphemein, berasal dari kata blaptein
artinya untuk melukai dan pheme artinya reputasi.1
Menurut Black’s Law Dictionary, blasphemy adalah irreverence toward God,
religion, a religious icon, or something else considered sacred2 yang artinya
ketidakhormatan kepada Allah, agama, suatu simbol agama, atau sesuatu yang lain
dianggap suci. Menurut Rollin M. Perkins & Ronald N. Boyce, blasphemy is the
malicious, revilement of God and Religion yang artinya dengan niat jahat menghina
Tuhan dan Agama. Menurut Kamus Online Merriam- Webster3, blasphemy adalah 1)
a: the act of insulting or showing contempt or lack of reverence of God; b: the act of
claiming the attributes of deity, 2) irreverence toward something considered sacred or
inviolable yang artinya 1) a: tindakan menghina atau menunjukkan penghinaan atau
kurangnya penghormatan kepada Tuhan; b: tindakan mengklaim atribut ketuhanan,
1 http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Blasphemy, diunduh pada Senin 09 Januari 2017 Pukul
16.06 WIB. 2 Bryan A. Gamer (Edition in Chief), Black’s Law Dictionary 9
th Edition, West Thomson Reuters, St. Paul,
2009, h. 193. 3 http://www.merriam-webster.com/dictionary/Blasphemy, diunduh pada Senin 09 Januari 2017 Pukul
16.12 WIB.
17
2) ketidakhormatan
terhadap sesuatu yang dipandang suci atau sesuatu hal tidak dapat diganggu- gugat.
Di Indonesia Pancasila merupakan ideologi dan falsafah hidup bangsa
Indonesia dan merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia4. Sila
Pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, merupakan pengakuan bahwa Negara
Indonesia memandang agama adalah salah satu tiang pokok dari kehidupan manusia dan bagi
bangsa Indonesia adalah sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha
nation building. Meskipun demikian, dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan
bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Isi pasal tersebut mempertegas bahwa
Indonesia bukan Negara agama, sehingga dapat dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada
perlakuan khusus terhadap suatu agama apapun.
Indonesia adalah Negara hukum yang tidak menganut pemisahan yang tajam antara
Negara dan agama (sekuler) seperti dianut oleh Negara-negara barat dan Negara-negara sosialis5.
sehingga pengaturan mengenai delik-delik agama dalam peraturan perundang-undangan pidana
dipandang sebagai suatu pembatasan yang konstitusional terhadap kebebasan beragama dan
kepercayaan6. Istilah delik agama dapat mengandung beberapa pengertian, yaitu delik menurut
agama, delik terhadap agama, delik yang berhubungan dengan agama7. Delik menurut agama
banyak tersebat di KUHP seperti misalnya pembunuhan, pencurian, penipuan, penghinaan,
fitnah, dan delik-delik kesusilaan (zinah dan pemerkosaan). Delik terhadap agama terlihat
terutama dalam Pasal 156a KUHP (penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar
4 Pasal Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. 5 Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981)
6 Ibid, h. 49. Lihat juga Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan landasan hukum bagi
pembatasan terhadap kebebasan (hak asasi manusia) di Indonesia. 7 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996), cet. Ke-I, h. 302.
18
orang tidak menganut agama), termasuk juga Pasal 156 KUHP dan Pasal 157 KUHP
(penghinaan terhadap golongan/penganut agama; dikenal dengan istilah group libel). Delik yang
berhubungan dengan agama dalam KUHP tersebar antara lain dalam Pasal
175 s.d 181 KUHP dan Pasal 503 ke-2 yang meliputi perbuatan-perbuatan :
1) Merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal
175);
2) Mengganggu pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah
(Pasal 176);
3) Menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan
(Pasal 177 huruf (a);
4) Menghina benda-benda untuk keperluan ibadah (Pasal 177 huruf (b);
5) Merintangi pengangkutan mayat ke kuburan (Pasal 178);
6) Menodai/merusak kuburan (Pasal 179);
7) Menggali, mengambil, memindahkan jenazah (Pasal 180);
8) Menyembunyikan, menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan
kematian/kelahiran (Pasal 181);
9) Membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah
dilakukan (Pasal 503 ayat 2).
Tindak pidana penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP tidak berasal dari Wetboek van
Strafrechts (WvS) Belanda, melainkan dari Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama . Adapun maksud dari undang-undang itu dibentuk
19
adalah8 pertama, untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari
ajaran- ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang
bersangkut an (Pasal 1-3); dan kedua, untuk melindungi ketenteraman beragama tersebut dari
penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4). Akan tetapi, bila dilihat dari sejarah dibentuknya undang-
undang tersebut adalah dalam rangka pengamanan Negara dan ketertiban masyarakat untuk
mendukung cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju masyarakat adil
dan makmur dan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama9.
Undang-undang ini terdiri dari empat pasal yang lengkapnya sebagai berikut :
Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dari kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama itu.
Pasal 2
1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan
keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri
Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran
kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan
menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain
setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri.
8 Tim Advokasi Kebebasan Beragama, 2009, Permohonan Pengujian Materiil Undang Undang
Nomor 1/Pnps/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-
Undang Dasar 1945, Jakarta. 9
Siti Aminah Dan Uli Parulian Sihombing, Buku Saku Untuk Kebebasan Beragama Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Uji Materiil Uu Penodaan Agama, Jakarta : The Indonesian Legal Resource Center (Ilrc), 2011, h. 2.
20
Pasal 3
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang,
Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang,
penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-
Tuhanan Yang Maha Esa."
B. Sanksi Pidana Pelaku Penghinaan Agama
Sebuah norma hukum tidak akan berarti sama sekali apabila tidak ada sanksi yang
mengikutinya. Karena itu hampir setiap ketentuan yang memuat rumusan pidana diakhiri
dengan ancaman pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut S.R. Sianturi terdapat tiga
cara dalam perumusan sanksi, yaitu:
1. dalam KUHP pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga pada ayat-
ayat dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung diikuti dengan suatu
sanksi.
2. dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pada pasal-pasal
awal ditentukan hanya norma-norma saja tanpa diikiuti secara langsung
dengan suatu sanksi pada pasal tersebut.
3. sanksi dicantumkan pada pasal-pasal akhir.10
10
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta : Alumni AHM-PTHM,
1986), h. 32.
21
Pada umumya perumusan norma dan saksi tindak pidana terhadap agama dan
kehidupan beragama dalam UU PNPS No 1/1965 dan KUHP di Indonesia menjadi satu
kesatuan. Sebagaimana telah diketahui, bahwa norma hukum tidak akan ada artinya apabila
tidak ada sanksi yang mengaturnya. Ditinjau dari perumusan sanksi, baik KUHP Indonesia
maupun dalam UU PNPS No 1/1965, mencantumkan dalam pasal yang ayat yang
bersangkutan. Pengaturan sanksi tindak pidana tersebut, sebagian dirumuskan pada awal
rumusan pasal, dan sebagian dicantumkan di akhir rumusan tindak pidana. Sanksi yang
diterapkan dalam tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama serta pelaku
aliran sesat adalah pidana penjara.
Tindak pidana yang ditujukan terhadap agama dapat ditemukan dalam ketentuan
pasal 156a KUHP Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,
yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 156a ini menarik untuk diperhatikan sehubungan dengan sistematika KUHP,
pasal tersebut merupakan bagian dari bab V tentang kejahatan terhadap ketertiban umum.
Oleh karena itu sebetulnya di sini bukan merupakan tindak pidana terhadap agama yang
ditujukan untuk melindungi kepentingan agama, melainkan lebih mengutamakan
perlindungan terhadap kepentingan umum khususnya ketertiban umum yang terganggu
karena adanya pelanggaran ketertiban umum.
22
Penempatan Pasal 156a sebagai bagian dari bab V KUHP dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana terhadap ketertiban umum. Sedangkan penjelasan pasal tersebut
(dalam UU No. 1/PNPS/1965) dimaksudkan sebagai peratuan hukum untuk melindungi
ketenteraman orang-orang yang beragama.
Penempatan dan penjelasan yang demikian ini menimbulkan konsekuensi mengenai
pemidanaannya baru dapat dipertimbangkan apabila pernyataan yang dibuat mengganggu
ketenteraman orang-orang beragama dan membahayakan ketertiban umum. Sebaliknya
apabila ketenteraman orang beragama dan kepentingan/ketertiban umum tidak terganggu,
maka orang yang bersangkutan tidak dapat dipidana.
Dalam teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang diperlukan agar
seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana.
Dalam praktik pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan unsur
subjektif. Unsur objektif meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari
keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur subyektif meliputi kesalahan dan
kemampuan bertanggung jawab dari pelaku.
Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang menyebutkan bahwa
unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan
dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam
hatinya. Sedangkan unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan.11
11
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti,
1997), h. 193-194.
23
Tindak pidana yang bersangkutan/berhubungan dengan agama dapat mempunyai
pengertian yang sangat luas, yang dapat dimasukan di dalamnya adalah delik-delik
kesusilaan, dan delik-delik pada umumnya yang dikaitkan dengan agama, Namun di sini
akan membatasi Pasal 175 s/d 181, dan Pasal 503 ke 2 KUHP.
1. Pasal 175
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan
keagamaan yang bersifat umum dan dijinkan, atau upacara keagamaan yang
diijinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling
lambat satu tahun empat bulan.
2. Pasal 176
Barang siapa dengan sengaja menggangu pertemuan keagamaan yang bersifat
umum dan dijinkan, atau upacara keagamaan yang dijinkan atau upacara
penguburan jenazah dengan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu bulan dua minggu atau pidan denda paling
banyak seribu delapan ratus rupiah.
Sanksi pidana dalam KUHP sesungguhnya bersifat reaktif dalam suatu perbuatan,
sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.12
Menurut M. Solehuddin sanksi pidana adalah suatu sanksi yang harus memenuhi
dua syarat/tujuan. Pertama: pidana dikenakan kepada pengenaan penderitaan terhadap
orang yang bersangkutan. Kedua: pidana itu harus merupakan suatu pernyataan pencelaan
terhadap perbuatan si pelaku.
12
M. Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 32
24
Perumusan sanksi pidana dalam KUHP pada umumnya memakai dua pilihan,
misalnya pidana penjara atau denda (system alternative). Jika dipandang dari sifatnya,
sanksi merupakan akibat hukum dari pada pelanggaran suatu kaidah, hukuman dijatuhkan
berhubungan dilanggarnya suatu norma oleh seseorang.
Mengenai aturan penghinaan agama, sanksi yang dikenakan adalah sanksi penjara
sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita, sanksi
penghinaan agama ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo Undang-Undang No
5/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 menyebutkan: Ayat (1)
“Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan
pernyataan keras untuk menghentikan perbuatannya itu didalam keputusan bersama
Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila
pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisai atau sesuatu aliran
kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan
menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu
dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa
Agung dan Menteri dalam Negeri.
Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun
penganut-penganut suatu aliran kepercayaan maupun anggota ataupun anggota pengurus
organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk permulaannya dirasa
cukup diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau
penganut-penganut kepercayaan dan mempunyai efek yang cukup serius bagi masyarakat
yang beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk
menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya.
25
Dalam pasal 3 disebutkan:
“Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa
Agung dan Menteri Dalam Negri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut
ketentuan pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih
terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan atau
anggota pengurus organisasi yang bersangkungkatn dari aliran itu dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun”.
Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini adalah tindakan lanjutan
terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2. Oleh
karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti
organisasi/perhimpunan, dimana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotannya,
maka mengenai aliran kepercayaan, hanya penganutnya yang masih melakukan
pelanggaran yang dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang
menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Menginggat sifat dari tindak pidana dalam
pasalini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar.
Dalam pasal 4 disebutkan: Pada KUHP diadakan pasal baru yaitu pasal 156a yang
berbunyi: “Di pidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa
dngan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang
pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama
yang di anut di Indonesia. b. Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun
juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Saksi penjara tersebut diberlakukan jika tersangka telah terbukti secara sah dan
meyakinkan dan diputus oleh pengadilan dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun
26
penjara, dikatakan maksimal, artinya jumlah jumlah pidana tersebut pelaku penghinaan
agama dalam KUHP adalah lima tahun penjara atau dapat diberikan hukuman minimum.
C. Unsur-unsur Tindak Pidana Penghinaan Agama
Tindak pidana dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaaan atau
melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penghinaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia, diatur dalam pasal 156a KUHP yang rumusannya
sebagai berikut :13
Dipidana dengan pidana penjaraa selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan
sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang
ada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia.
Menurut paal 156a KUHP unsur-unsur tindak pidana penghinaan agama adalah
sebagai berikut :14
a. Barang Siapa
b. Di muka umum
c. Menggeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
d. Bersifat permusuhan dan penyalahgunaan atau penodaan terhadap uatu
agama yang di anut di Indonesia
Dengan demikian unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 156a KUHP adalah
sebagai berikut :15
1. Unsur Subjektif
a. Barang Siapa
Menurut Sudarto bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan orang dan
pada dasarnya yang melakukan tindak pidana adalah manusia. Rumusan tindak pidana
13
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1993), cet. Ke-10, h 92. 14
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:
Angkasa, 1993), cet. Ke-10, h 92 15
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto dan Fak. Hukum UNDIP, 1990), Cet. Ke-1, h 50.
27
dalam undang-undang lazim di mulai dengan kata-kata “Barang siapa....., kata “barang
siapa” tidak diartikan lain lebih dari pada orang.16
b. Dengan Sengaja
Unsur kedua dari kesalahan dengan sengaja dalam arti seluas-luasnya adalah hubungan
batin antara si pembuat terhadap perbuatan yang dicelakan batin antara si pembuat
terhadap perbuatan yang dicelakan kepada si pembuat (pertanggungjawaban pidana)
Hubungan batin ini bisa berupa sengaja atau alpa. Apa yang diartikan dengan sengaja,
KUHP tidak memberikan definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan
dapat diambil dari M.v.T (Memorie van Toelichting), yang mengartikan kesengajaan
(opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui (wilian en wettens). Jadi dapat diartikan
bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang
melakukan perbuatan dengan sengaja mengehendaki perbuatan itu dan di samping itu
ia mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu.17
Dalam hal seseorang
yang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 (tiga) corak sikap batin
yang menunjukan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan itu. Corak-corak kesengajaan
adalah sebagai berikut :18
1) Kesengajaan sebagai maksud
Untuk mencapai suatu tujuan yang dekat (Dolus directus). Corak kesengajaan
ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si
pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini
tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian.
2) Kesengajan dengan sadar kepastian
16
Ibid 17
Sudarto, Ibid., h 19 18
Ibid., h 103
28
Dalam hal ini mempunyai 2 (dua) akibat, yaitu :19
a. Akibat yang memang dituju si pembuat (merupakan tidak pidana tersendiri
atau tidak);
b. Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk
mencapai tujuan dalam nomor satu di atas.
3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Doluss Eventualis atau
Voorwaardelijk opzet)
Dalam hal ini pada waktu seseorang pelaku melakukan tindakan untuk
menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, ia mungkin
mempunyai kesadaran tentang kemungkinan timbulnya akibat lain daripada
akibat yang timbulnya memang ia kehendaki.
Apabila adanya kesadaran tentang kemungkinan timbulnya akibat lain itu tidak
membuat dirinya membatalkan niatnya dan kemudian ternyata bahwa akibat
semacam itu benar-benar terjadi, maka akibat terhadap seperti itu si pelaku
dikatakan telah mempunyai suatu kesengajaan dengan sadar kemungkinan.
Dengan kata lain, pada waktu si pelaku melakukan perbuatan untuk
menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, ia telah
menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat yang memang ia
kehendaki.20
Unsur subyektif dengan sengaja dari tindak pidana yang diatur dalam pasal
156a KUHP harus diartikan bukan semata-mata sebagai kesengajaan sebagai
maksud saja, namun diartikan pula sebagai kesengajaan dengan sadar kepastian
dan sebagai kesengajaan dengan sadar kemungkinan, karena unsur “dengan
19
Ibid., h 104 20
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung : CV. Armico, 1984), Cet. Ke-1 h. 301.
29
sengaja” itu, oleh pembentuk Undang-Undang telah ditempatkan di depan
unsur-unsur yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP.
Oleh karena itu dalam sidang pengadilan yang memeriksa perkara tersebut, pelaku
harus dapat di buktikan :
a. Bahwa pelaku telah menghendaki mengemukakan perasaan atau melakukan
perbuatan ;
b. Bahwa pelaku perasaan bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan yang telah
ia lakukan ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Jika kehendak atau salah satu pengetahuan pelaku sebagaimana yang dimaksudkan
di atas ternyata tidak dapat dibuktikan, hakim harus memberikan putusan bebas bagi
pelaku.
Mengapa harus memberikan putusan bebas dan bukan putusan bebas dari segala
tuntutan hukum bagi pelaku? Jawabannya adalah karena unsur dengan sengaja atau opzet
oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur
tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP.21
2. Unsur-Unsur Objektif
a. Pembatasan di depan umum berdasarkan Arrest tanggal 9 Juni 1941 yang
dikemukakan oleh W.A.M Cremers dalam bukunya “ Wet Boek van Strafrech”
cetakan 1954 hal. 169 adalah sebagai berikut: Suatu penghinaan dilakukan di muka
umum, jika hal itu terjadi di suatu tempat terbuka untuk dikunjungi umum dan semua
orang dapat mendengarnya.22
Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Lamintang bahwa dengan dipakainya kata-kata “di dengan umum” dalam rumusan
21
P.A.F Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara,
(Bandung:CV. Armico, 1986), h. 464. 22
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, op.cit., h. 71
30
tindak pidana yang diatur di dalam Pasal 156a KUHP tidak berarti bahwa perasaan
yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik.23
b. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
Hal ini berarti bahwa perilaku yang terlarang dalam Pasal 156a KUHP itu dapat
dilakukan oleh pelaku baik dengan lisan maupun dengan tindakan.24
c. Yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang
ada di indonesia.
Yang dimaksud dengan agama di dalam Pasal 156a KUHP menurut UU No. 1 (Pnps)
Tahun 1965 adalah salah satu Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong
Hu Cu.25
Tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai perasaan atau
perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia, Undang-Undang ternyata tidak memberikan penjelasan dan agaknya
pembentuk undang-undang telah menyerahkan kepada para hakim untuk memberikan
penafsiran dengan bebas tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang
sebagai bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia.26
23
P.A.F Lamintang, Delik-delik, op.cit., h. 464 24
Ibid., h. 465 25
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, op.cit., h.69 26
P.A.F Lamintang, Delik-delik, op.cit., h. 465
31
BAB III
SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Pengertian Sanksi Pidana
Dalam membahas perihal hukum pidana, diantara persoalan penting yang
mustahil dilewatkan begitu saja ialah perihal sanksi pidana atau hukuman
dihubungkan dengan berat ringannya kejahatan maupun berkenaan dengan tujuan
sanksi pidana dikaitkan dengan perlindungan terhadap masyarakat khususnya pihak
korban.
Sanksi pidana terdiri dari dua kata sanksi dan pidana. Kata sanksi berarti
tindakan (hukum) yang memaksa orang untuk menepati janji atau menaati hukum.1
Sedangkan kata pidana berasal dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Belanda disebut
“straf” dan dalam bahasa inggris disebut “penalty” artinya hukuman.2
Dalam kamus lain sanksi pidana bisa diartikan juga sebagai salah satu alat
pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, undang-undang, norma-norma hukum.
Penegakan hukum pidana menghendaki sanksi hukum yaitu sanksi terdiri atas
cerita khusus yang dipaksakan kepada si bersalah.3
B. Macam-Macam Sanksi Pidana (hukuman)
Menurut hukum positif sebagaimana yang tercantum dalam pasal 10 kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP), hukuman itu terdiri dari dua macam yaitu:
1. Hukuman Pokok
Yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan bersama-sama pidana tambahan, dan
dapat juga dijatuhkan sendiri.4
1 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994),
h. 692 2 Subekti dan Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, (Pradnya Paramita, 1990), h. 83
3 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional Indonesia, (Jakarta: WIPRES, 2007), cet. Ke-I,
h. 436
32
Macam-macam hukuman pokok ialah:
a. Hukuman Mati
Hukuman mati masih tetap dipertahankan dalam KUHP di Indonesia.
Walaupun sejak tahun 1870 hukuman mati ini telah dihapuskan dari KUHP
Nederland. Adapun tindak pidana yang diancam hukuman mati yang penulis kutip
dari Media Hukum dan HAM ada 14 peraturan Indonesia yang membenarkan
berlakunya hukuman mati, yaitu:5
1) Pasal 104 KUHP: Makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden. “Makar
dengan maksud untuk membunuh atau merampas kemerdekaan atau
meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara”.
2) Pasal 124 (3) KUHP: Kejahatan terhadap keamanan Negara. “Pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara paling lama 20 tahun
dijatuhkan jika:
a) Memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan
atau merusak sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki
suatu alat penghubung gudang persediaan perang, atau kas perang
ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat ataupun bagian dari padanya.
b) Menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru hara pemberontakan
atau diserse dikalangan Angkatan Perang.
3) Pasal 340 KUHP: Pembunuhan berencana.
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan
4 Hartono Hadi Soeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), cet. Ke-I,
h 109-110 5 Media Hukum dan HAM, Pusat Study Hukum dan HAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h .6
33
(moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara
semantara selama-lamanya 20 tahun.
4) Pasal 365 (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan. “Diancam dengan pidana
mati, atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling
lama 20 tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan
dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah
satu hal yang diterangkan dalam nomor (10 dan (3).
5) Pasal 444 KUHP: Kejahatan terhadap pelayaran.
“Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan pasal 438-441 mengakibatkan
seseorang yang dikapal diserang atau seseorang yang diserang itu mati maka
nahkoda, panglima atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta
melakukan perbuatan kekerasan diancam dengan pidana mati, atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama
20 tahun.
6) dan 7) Pasal 479 (K) ayat 2 KUHP dan pasal 479 (0) ayat 2 KUHP:
Kejahatan penerbangan dan prasarana. “Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20
tahun”.
8) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun1999: Korupsi atau merugikan
Negara dalam keadaan tertentu. “Tindakan korupsi untuk memperkaya orang
lain atau orang lain diancam dengan hukuman penjara minimal 4 tahun dan
maksimal 20 tahun ditambah denda minimal 200 jutu atau maksimal satu
milyar”.
9) Pasal 80-82 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang: Memproduksi,
34
mengolah, menyediakan narkotika.
Pasal 80
1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. Memproduksi, mengolah, mengkonversi, perakit, atau menyediakan
narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup, atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).
2) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 2. 000.000.000.00 (dua miliar rupiah).
3) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atu pidana penjara paling
singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.
500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).
Pasal 81
4) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a (membawa, mengirim, mengangkut narkotika
golongan I) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.
35
500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah).
Pasal 82
1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,
menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara jual
beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20
tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milia
rupiah).
2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
didahului dengan pemufakatan jahat maka terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara seumur 4 tahun dan paling lama 20
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah).
3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 3.000.000.000.00 (tiga miliar rupiah). 10) Pasal 59 Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1997: Menyalahgunakan obat-obatan
psikotropika secara terorganisasi.
36
1) Barang siapa:
a. Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam pasal 4
ayat (2), atau
b. Memproduksi atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
c. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal12 ayat (3), atau
d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, atau
e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan membawa psikotropika
golongan I.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling
lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000.00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000.00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara
terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dan pidana denda sebesar
Rp. 750.000.000.00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
11) Perpu Nomor 1 tahun 2002 Jo pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 2003
tentang terorisme:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat misal, dengan cara
merampas atau menghilangkan nyawa harta benda orang lain atau
37
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun”.
Di dalam praktek terdapat peraturan-peraturan lain bagaimana hukuman
mati itu harus dilaksanakan, yaitu:30
a) Dilaksanakan di dalam penjara;
b) Dilaksanakan oleh penuntut umum dan hakim yang bersangkutan yang
mengadili si terhukum;
c) Didampingi seorang dokter yang memastikan bahwa si terhukum benar-benar
mati;
d) Dilaksanakan oleh seorang algojo yang merupakan seorang pejabat negeri;
e) Tiga kali dua puluh empat jam sebelum hukuman mati dijalankan polisi
harus diberitahukan kepada ketua terhukum oleh ketua pengadilan negeri atau
yang diwakilkan dengan dibantu oleh panitera, atau jika ketua pengadilan
negeri tidak ada di tempat maka oleh jaksa;6
f) Sejak si terhukum diberi tahu tentang hari akan dijalankannya hukuman mati,
ia harus dijaga ketat;
g) Seorang terhukum mati harus diizinkan bertemu dengan guru keagamaan
atau pendeta;
h) Persiapan-persiapan untuk menjalankan hukuman mati harus
dilakukan tanpa diketahui atau dapat terlihat oleh si terhukum;
i) Hukuman mati tidak boleh dijalankan pada hari minggu, hari raya
6 Satochid Kertanegara, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,
tth), cet. Ke-I, h. 273
38
nasional atau keagamaan.7
b. Hukuman Penjara
Di Indonesia si terhukum selalu menjalani hukuman penjara bersama-sama
dengan terhukum lainnya, sehingga hal ini semakin memberatkan si terhukum orang
yang melakukan kejahatan yang bukan dikarenakan bakat-bakat jahatnya. Akan tetapi
oleh karena mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidupnya, atau penderitaan,
kemudian melakukan kejahatan setelah pada dirinya di hinggapi pikiran-pikiran yang
melemahkan.
Oleh karena itu timbulah anggapan bahwa penjara itu justru merupakan
“kursus kejahatan” bagi mereka yang sebenarnya tidak mempunyai bakat jahat, akan
tetapi perbuatannya hanyalah dikarenakan oleh kesulitan hidup.
c. Hukuman Kurungan
Jenis hukuman kurungan sifatnya mirip dengan hukuman penjara dengan
perbedaan sebagai berikut:
Pertama: Hukuman penjara diancamkan terhadap kejahatan berat, sedangkan
hukuman kurungan diancamkan sebagai hukuman alternatif.
Kedua: Hukuman penjara maksimal 15 tahun yang apabila disertai masalah
masalah tertentu dapat dinaikan menjadi 20 tahun. Sedangkan maksimum hukuman
kurungan satu tahun yang hanya dapat dinaikan menjadi satu tahun empat bulan jika
ada, masalah-masalah yang memberatkan.
Ketiga: Hukuman penjara pelaksanaannya dapat dilaksanakan disemua
tempat. Sedangkan hukuman kurungan hanya dapat dilaksanakan di dalam lingkungan
daerah dimana terhukum bertempat tinggal. Jika terhukum tidak mempunyai tempat
tinggak maka dihukum di dalam di daerah dimana ia berada.
7 Wiryono Projodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Erasco, 1989), cet. Ke-
VI, h. 168
39
d. Hukuman Denda
Hukuman denda adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap harta kekayaan
terhukum.
2. Hukuman Tambahan
Sesuai dengan namanya maka pidana ini tidak dapat dijatuhkan tersendiri. Jadi
selalu dijatuhkan bersama-sama pidana pokok.8
Macam-macam hukuman tambahan sebagai berikut:
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Jenis hukuman tambahan ini disebut juga erestal, maksudnya hukuman
tambahan ini dijatuhkan terhadap kehormatan atau martabat seseorang.
Adapun hak-hak yang dapat dicabut ini meliputi lapangan hukum tata Negara
dan lapangan hukum perdata. Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP (1) yaitu hak-hak
yang dapat dicabut itu adalah:
1) Hak untuk memangku jabatan tertentu;
2) Hak untuk bekerja dalam angkatan perang atau alat kekuasaan lainnya;
3) Hak untuk memilih atau dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) atau Daerah yang diatur menurut undang-undang;
4) Hak untuk menjadi penasihat atau wali terhadap orang yang bukan anaknya
sendiri;
5) Hak untuk melakukan kekuasaan sebagai orang tua wali terhadap
anaknya sendiri;
6) Hak untuk bekerja atau mata pencaharian tertentu. Adapun jangka
waktu pencabutan hak tersebut di atas terikat oleh jangka waktu
8 Hadi Soeprapto, Pengantar Tata Hukum, h. 109
40
tertentu sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 KUHP yaitu antara
satu tahun dan seumur hidup.
1) Seumur hidup
Jika hukuman pokok yang dijatuhkan itu adalah hukuman mati atau hukuman
seumur hidup.
2) Sekurang-kurangnya dua tahun atau setinggi-tingginya lima tahun lebih.
Jika hukuman yang dijatuhkan itu adalah hukuman penjara atau hukuman
kurungan.
b. Penyitaan terhadap barang-barang tertentu
Hukuman tambahan ini berupa perampasan atau pembinasaan terhadap
barang-barang tertentu. Adapun barang-barang yang dapat dirampas itu adalah barang
yang bersifat:
1. Milik terhukum sendiri, misalnya kepemilikan senjata api dengan tanpa izin;
2. Barang-barang yang diperoleh terhukum dari kejahatan;
3. Barang-barang yang dipergunakan oleh terhukum untuk melakukan kejahatan
dengan sengaja.
c. Pengumuman keputusan hakim
Jika hukuman tambahan ini yaitu mengumumkan keputusan hakim agar
umum mengetahui bahwa terhukum telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum.
Hukuman tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila dinyatakan dengan tegas
dalam perumusan suatu delik. Pengumuman ini dilakukan oleh penuntut umum.
Biasanya dilakukan melalui pers dengan biaya pengumuman menjadi tanggungan
terhukum.
41
C. Sistem Sanksi Pidana dalam Hukum Positif
Tindak pidana yang sebagaimana tercantum dalam KUHP, sejak zaman
Hindia Belanda sampai sekarang merupakan sesuatu yang dibuat oleh orang yang
menimbulkan akibat pada orang lain baik merasa tidak senang, cidera maupun
matinya seseorang.
Menurut Moljatno, perbuatan pidana menurut wujud dan sifatnya
bertentangan dengan cara atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, yaitu
perbuatan hukum atau melawan hukum.9 Lebih lanjut Moeljatno mengatakan bahwa
perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada kedua
keadaan konkret. Pertama, adanya jaminan yang tertentu, dan yang kedua adanya
orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.10
Ada dua macam jenis hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP
yaitu:
a. Pidana Pokok, terdiri atas:
1. Pidana Mati;
2. Pidana Penjara;
3. Kurungan;
4. Denda.
b. Pidana Tambahan, terdiri atas:
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman keputusan hakim.11
9 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Aneka Cipta, 1993), h. 2
10 Ibid., h. 54
11 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1979), edisi
kelima, h. 16
42
1) Pidana Mati
Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan
menjeratkan tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana
kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
2) Pidana Penjara
Pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu atau sementara
ditentukan minimum dan maksimum lamanya penjara berjumlah 15
tahun atau 20 tahun untuk batas yang paling akhir.12
3) Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan seringan-ringannya yang umum adalah satu hari
dan hukuman seberatnya yang umum adalah 1 tahun dan waktu 1
tahun dapat ditambah paling lama sampai dengan 1 tahun 4 bulan.
4) Hukuman Denda
Hukum denda diancam sering kali sebagai alternatif dengan hukuman
kurang terhadap hampir semua pelanggar hukum dalam buku III
KUHP. Terhadap semua kejahatan ringan hukuman denda diancam
sebagai alternative dengan hukuman penjara.
5) Pencabutan beberapa hak tertentu
Hukuman ini disebut dalam KUHP pasal 35-38 Pasal 35 (1) hak-hak
terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal
yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang.
Hukum Pidana (KUHP) antara lain:
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
b. Hak memasuki angkatan bersenjata;
12
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1996), cet. Ke-I, h. 173
43
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum;
d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas pengampu atau
pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
e. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu Ayat (2) hakim tidak
berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam
aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
6) Perampasan barang tertentu Perampasan harus mengenai barang-
barang diatur dalam pasal 39-42 KUHP
7) Pengumuman keputusan hakim
Pidana ini pun hanya dapat dikenakan dalam hal yang ditentukan oleh
undang-undang.
Di dalam KUHP menentukan tindak pidana penistaan agama adalah
kejahatan yang menodai suatu agama yang tercantum dalam pasal 156 a KUHP,
yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan:
c. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
d. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga,
yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.13
13
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996), cet. Ke-I, h. 173
44
Sebuah norma hukum tidak akan berarti sama sekali apabila tidak ada
sanksi yang mengikutinya. Karena itu hampir setiap ketentuan yang memuat
rumusan pidana diakhiri dengan ancaman pidana. Berkaitan dengan hal
tersebut, menurut S.R. Sianturi terdapat tiga cara dalam perumusan sanksi,
yaitu:
1. dalam KUHP pada umumnya kepada tiap-tiap pasal, atau juga
pada ayat ayat dari suatu pasal, yang berisikan norma langsung
diikuti dengan suatu sanksi.
2. dalam beberapa undang-undang hukum pidana lainnya, pada
pasal-pasal awal ditentukan hanya norma-norma saja tanpa di
ikuti secara langsung dengan suatu sanksi pada pasal tersebut.
3. sanksi dicantumkan pada pasal-pasal akhir.14
Pada umumya perumusan norma dan saksi tindak pidana terhadap
agama dan kehidupan beragama serta pelaku aliran sesat dalam UUPNPS dan
KUHP di Indonesia menjadi satu kesatuan. Sebagaimana telah diketahui,
bahwa norma hukum tidak akan ada artinya apabila tidak ada sanksi yang
mengaturnya.
Ditinjau dari perumusan sanksi, baik KUHP Indonesia maupun dalam
UUPNS, mencantumkan dalam pasal yang ayat yang bersangkutan.
Pengaturan sanksi tindak pidana tersebut, sebagian dirumuskan pada awal
rumusan pasal, dan sebagian dicantumkan di akhir rumusan tindak pidana.
Sanksi yang diterapkan dalam tindak pidana terhadap agama dan
kehidupan beragama serta pelaku aliran sesat adalah pidana penjara. Tindak
pidana yang ditujukan terhadap agama dapat ditemukan dalam ketentuan pasal
14
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: Alumni AHM-
PTHM, 1986), h. 32.
45
156a KUHP Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama
apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 156a ini menarik untuk diperhatikan sehubungan dengan
sistematika KUHP, pasal tersebut merupakan bagian dari bab V tentang
kejahatan terhadap ketertiban umum. Oleh karena itu sebetulnya di sini bukan
merupakan tindak pidana terhadap agama yang ditujukan untuk melindungi
kepentingan agama, melainkan lebih mengutamakan perlindungan terhadap
kepentingan umum khususnya ketertiban umum yang terganggu karena
adanya pelanggaran ketertiban umum. Penempatan Pasal 156a sebagai bagian
dari bab V KUHP dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana terhadap
ketertiban umum. Sedangkan penjelasan pasal tersebut (dalam UU No.
1/PNPS/1965) dimaksudkan sebagai peratuan hukum untuk melindungi
ketenteraman orang-orang yang beragama.
Penempatan dan penjelasan yang demikian ini menimbulkan
konsekuensi mengenai pemidanaannya baru dapat dipertimbangkan apabila
pernyataan yang dibuat mengganggu ketenteraman orang-orang beragama dan
membahayakan ketertiban umum. Sebaliknya apabila ketenteraman orang
beragama dan kepentingan/ketertiban umum tidak terganggu, maka orang
yang bersangkutan tidak dapat dipidana.
Dalam teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang diperlukan
46
agar seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana. Dalam praktik
pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur
objektif meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari keadaan
atau masalah tertentu, sedangkan unsur subyektif meliputi kesalahan dan
kemampuan bertanggung jawab dari pelaku.
Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang
menyebutkan bahwa unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada
diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke
dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedangkan
unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan.15
perkembangan delik agama dari masa ke masa. Yang akan dibahas bukan
perkembangan delik agama dalam putusan-putusan pengadilan (jurisprudensi), tetapi
perkembangan dalam arti perumusannya dalam RUU KUHP Pidana. Seperti diketahui,
penyusunan naskah RUU KUHP sudah dimulai sejak tahun 1977 hingga sekarang ini. Dalam
naskah RUU KUHP sekarang, delik agama telah mengalami perluasan sehingga perlu diatur
tersendiri dalam satu bab di bawah judul “Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan
Beragama”, yang tercantum pada Bab VII (terdiri dari 8 dan 4 ayat).
Delik agama awalnya dalam masuk dalam KUHP, dan kemudian mempengaruhi
perumusan RUU KUHP Pidana. Yang terutama ingin dilindungi dalam konsep ”delik
terhadap agama” ini adalah kesucian agama itu sendiri. Bukan melindungi kebebasan
beragama para pemeluknya (individu).16
Sebab menurut para perancangnya, agama perlu
dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan
15
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 1997), h. 193-194. 16
Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981) h 2
47
menistakan simbol-simbol agama, seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya.
Penjelasan RUU KUHP mengenai Penghinaan Agama di yaitu17
:
Pasal 341
Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan
yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori
III.
Sedangkan perbuatan yang menghina keagungan Tuhan (Godslastering), dirumuskan
sebagai berikut:
Pasal 342
Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman dan sifat-Nya,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Kategori IV.
Pasal 343
Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama,
rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Begitu juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan seperti menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang bermuatan penghinaan atau
penodaan terhadap agama, juga akan dikenakan pidana. Lebih lanjut lihat pasal di kutip di
bawah ini:
Pasal 344
1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan
atau gambar, sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan suatu
rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 atau Pasal 343, dengan maksud agar
isi tulisan, gambar, atau rekaman tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh
umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori IV.
2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan
perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum
lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, maka
17
Rancangan KUHP Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, h. 84
48
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.
Sedangkan tindak pidana yang berkaitan dengan „penghasutan untuk meniadakan
keyakinan terhadap agama‟, dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 354
Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apupun dengan
maksud meniadakan keyakian terhadap agama yang dianut di Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana densa
paling banyak Kategori IV.
Berkaitan dengan „tindak pidana kehidupan beragama dan sarana ibadah‟,
RUU KUHP Pidana merumuskannya dalam pasal-pasal di kutip di bawah ini:
Pasal 346
1) Setiap orang yang mengganggu, merintangi, atau dengan melawan hukum
membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap
jamaah yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan, atau
pertemuan keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
2) Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk
menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan
pidana denda paling banyak Kategori II.
Pasal 347
Setiap orang di muka umum mengejek orang yang sedang menjalankan ibadah
atau mengejek petugas agama yang sedang melakukan tugasnya, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak kategori III.
Pasal 348
Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau
membakar bangunan tempat ibadah atay benda yang dipakai untuk beribadah,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Ketegoti IV.18
18
Rancangan KUHP Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, h. 86
49
Terlihat dari pemaparan di atas, bahwa perancang RUU KUHP Pidana telah
merumuskan begitu banyak tindak pidana (delik) terhadap agama maupun tindak pidana
(delik) yang berhubungan dengan agama. Meskipun beberapa tindak pidana merupakan
perumusan ulang dari KUHP yang sekarang berlaku, tetapi formulasi yang dihasilkan oleh
perancang RUU masih tetap luas. Apalagi bahasa yang digunakan bersifat subjektif, jauh dari
prinsip “lex certa”. Akibatnya, setiap orang akan dengan mudah dituduh mengejek,
menghasut, menghina dan sebagainya --yang pada gilirannya dapat berbenturan dengan
jaminan konstitusi mengenai kebebasan berpikir dan berekspresi.
50
BAB IV
PANDANGAN MAQASID SYARIAH DALAM SANKSI PIDANA PENGHINAAN
AGAMA
A. Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah
Secara Lughawi (bahasa), Maqāşid al-Syarī‟ah terdiri dari dua kata, yakni
Maqāşid dan Syarī‟ah. Maqāşid adalah bentuk jama‟ dari maqsuudu yang berarti
kesengajaan atau tujuan. Syari‟ah berarti secara bahasa jalan menuju sumber air. Jalan
menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok
kehidupan. 1
Makna Maqāşid al-Syarī‟ah menurut Abdullah Yusuf Ali dalam The holly Quran,
Syari‟ah adalah segala apa yang digunakan atau ditetapkan oleh Allah swt dalam agama
untuk pengaturan hidup hamba-hambaNya2. Akhmad al-Raisuni dalam Nazhariyat al-
Maqashid „Inda al-Syatibi, dari segi bahasa Maqāşid al- Syarī‟at berarti maksud atau
tujuan disyari‟atkan hukum Islam, karena itu yang menjadi bahasan utama di dalamnya
adalah mengenai masalah hikmat dan ilat ditetapkannya suatu hukum.3 Kandungan
Maqāşid al-Syarī‟ah atau tujuan hukum adalah kemaslahatan umat manusia.4
Kemaslahatan itu, melalui analisis Maqāşid al-Syarī‟ah tidak hanya dilihat dalam arti
teknis belaka, akan tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat
sebagai sesuatu yang mengandung nilai filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan
1Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah dari konsep ke
pendekatan, (Yogyakarta:Lkis, 2010) h. 178-179 2 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al_syari‟ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), h
61 3 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h 123
4 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al_syari‟ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), h
64
51
Tuhan terhadap manusia.5 Dengan demikian Maqāşid al-Syarī‟ah dapat dimaknai dengan
“ tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan syari‟at Islam”. Yang tiada lain selain
untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadharatan manusia itu sendiri, baik
di dunia maupun di akhirat.6
Dasar dari Maqasid Syariah adalah sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-
Jatsiyah, ayat 18, yang berbunyi:
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak Mengetahui”. (QS. Al-Jatsiyah, ayat 18)
Dalam QS. Al-Syuraa, ayat 13 juga di tegaskan:
Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah
kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-
Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
(QS. Al-Syuraa, ayat 13)
5 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid al_syari’ah menurut al-syatibi, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), h 65
6 Satria Efendi, Ushul Fiqh, h 233
52
Maqasid Syariah adalah suatu konsep yang menekankan tujuan penetapan hukum
islam dalam upaya memelihara kemaslahatan hidup manusia, dengan tujuan
mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkan diri dari bahaya. Ibnu al-Qayyim al-
jauziyyah (691-751 H/1292-1350 M) mengatakan bahwa sesungguhnya prinsip-prinsip
dan dasar pendapatan hukum islam adalah demi kemaslahatan hamba di dunia dan di
akhirat. Menurutnya, hukum islam itu semuanya adil, membawa rahmat, mengandung
maslahat dan membawa hikmah. Imam al-Ghazali (450-505 H) berpendapat, bahwa
maslahat pada dasarnya adalah ungkapan dari memperoleh manfaat dan menolak
mudharat. Ungkapan tersebut dikategorikan sebagai kaidah yang paling luas, ruang
lingkup dan cakupannya.7
Para ulama mengemukakan, bahwa ada tiga macam tujuan syarī‟ah atau tingkatan
Maqāşid yaitu :
1. Pertama, Maqāşid al-dharuriyat, Imam Juwayniy telah mengemukakan, yang
kemudian dikembangkan oleh Al-Ghozali dan asy-Syatibi untuk memelihara al-
Umurdh-dharuriyah dalam kehidupan manusia, yaitu hal-hal yang menjadi sendi
eksistensi kehidupan manusia yang harus ada kemaslahatan pada mereka. Yaitu
semua syariat yang tercakup dalam lima hal, al-kulliyyat alkhams.8
Hukum-hukum untuk memelihara al-Umurdh-dharuriyah Yaitu :
a Hifz al-din (perlindungan terhadap agama) Untuk menegakkan agama. Islam
mewajibkan iman, terutama rukun iman yang enam dan mensyariatkan hukum-hukum
yang berkaitan dengan rukun Islam yang lima.
7 Asafri Jaya Bakrie, Konsep Maqasid Syariah menurut Imam Al-Syahibi, h. 61-62
8 Ahmad Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj Khikmawati, h XV
53
b Hifz al-nafs (perlindungan terhadap jiwa) Untuk memelihara jiwa, Islam
memerintahkan makan dan minum, memakai pakaian dan bertempat tinggal sekedar
cukup untuk memelihara dari kebinasaan. Begitu pula Islam mensyariatkan hukum
qishash, diyat, dan kifarat bagi orang yang dengan sengaja melakukan pembunuhan, dan
menyiksa tubuh. Kesemuanya adalah untuk menghindarkan kemudharatan yang
mengancam jiwa.
c Hifz al-„aql (perlindungan terhadap akal) Untuk memelihara akal, Islam
mengharamkan khamar dan segala Jenis makanan dan minum yang memabukan karena
merusak akal, serta memberikan hukuman kepada peminum khamar. Islam juga
Menjamin kreatifitas berfikir dan mengeluarkan pendapat
d Hifz al-mal (perlindungan terhadap harta benda) Untuk memelihara harta, Islam
mengharamkan mencuri, menipu, menjalankan dan memakan riba, merusak harta baik
milik sendiri maupun milik orang lain. Untuk memperoleh harta disyaratkan usahausaha
yang halal, seprti bertani, berdagang, mengelola industri, dan lain sebagainya.
e Hifz al-nasl wa al-„ird (perlindungan terhadap kehormatan dan keturunan)
Untuk memelihara kehormatan/keturunan, Islam mensyariatkan hukuman badan (had)
bagi orang yang berzina dan orang yang menuduh orang baik-baik berbuat zina. Untuk
memelihara keturunan, Islam mensyaratkan hukum perkawinan agar manusia
berkembang biak dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Islam juga melarang menghina
dan melecehkan orang lain di hadapan umum Islam menjamin kehormatan manusia
dengan memberikan perhatian yang sangat besar, yang dapat digunakan untuk
memberikan spesialisasi kepada hak asasi mereka. Islam juga memberikan perlindungan
54
melalui pengharaman ghibah (menggunjing), mengadu domba, memata-matai,
mengumpat, dan mencela dengan menggunakan panggilan-panggilan buruk, juga
perlindunganperlindungan lain yang bersinggungan dengan kehormatan dan kemuliaan
manusia.9
2. Kedua. Maqāşid al- hajiat Untuk memenuhi dalam kehidupan manusia untuk
menghilangkan kesulitan-kesulitan dan menolak halangan. Sesuatu yang
dibutuhkan manusia untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan
jika tidak ada akan akan terjadi ketidak sempurnaan.
Hukum-hukum untuk memelihara al-Umurul-hajiat Yaitu :
Prinsip utama dalam mewujudkan hal-hal yang hajiyat ini adalah untuk
menghilangkan kesulitan, meringankan beban dan memudahkan manusia bermuamalat
dan tukar menukar manfaat.10
Dalam bidang ibadat, Islam memberikan rukhsah dan keringanan bila
menjalankan kewajiban. Misalnya di bolehkan seseorang tidak puasa pada bulan
ramadhan, karena ia sakit atau dalam perjalanan; diperbolehkan mengqasar sholat yang
empat rakaat bagi orang yang sedang dalam perjalanan; diperbolehkan tayamum bagi
orang yang tidak mendapatkan air atau tidak dapat menggunakannya, dibolehkan shalat
sambil duduk bagi orang yang tidak sanggup melaksanakannya sambil berdiri, serta
diperbolehkannya mengeluarkan pendapat atas kejadian yang menimpanya demi
kebaikan semua orang dan lain sebagainya.
9 Ahmad Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj Khikmawati, h 131
10 Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi usul al-syari’ah II, h 8-9
55
3. Ketiga. Maqāşid al- Tahsiniyat yaitu tindakan dan sifat yang harus dijahui oleh
akal yang sehat, dipegangi oleh adat kebiasaan yang bagus dan dihajati oleh
kepribadian yang kuat.11
Hukum-hukum untuk mewujudkan Tahsiniyat yaitu :
Hal-hal yang tahsini bagi manusia pada hakikatnya kembali kepada prinsip
memperbaiki keadaan manusia menjadi sesuatu dengan muru‟ah (hakikat diri) dan akhlak
yang mulia.
Dalam bidang ibadat misalnya, disyariatkan berhias dan berpakaian bersih serta
bagus ketika pergi ke mesjid, menjalankan amalan-amalan sunat, bersedekah, yang
kesemuanya itu untuk membiasakan manusia dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik
B. Perkembangan Maqashid Al-Syari’ah Dari Konsep Ke Pendekatan
Dilihat Dari Sejarah Munlculnya Teori Maqashid Al-Syari‟ah kebanyakan karya
yang membahasnya hanya terjebak pada kajian tokoh. Kalupun dilihat secara umum teori
Maqashid al-Syari‟ah hanya terhenti pada al-Syatibi sebagai tokoh terakhirnya. Karena
itulah perjalanan Maqashid al-Syari‟ah dari konsep nilai ke pendekatan tidak tergambar
secara utuh sebagai suatu perkembangan yang berkelanjutan, karena perkembanganya
sebagai pendekatan baru menjadi gambaran yang lebih jelas pasca al-Syatibi. Ahmad al-
Raysuni menyediakan data kronologis tentang ulama yang terlibat dalam perkembangan
Maqashid al-Syari‟ah sampai pada massa pasca al-Syatibi, yakni sampai pada
kemunculan Tahir Ibn-Asyur.12
11
M Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h 95 12
Gamal al-Banna, Ushul al-Syari‟ah (Kairo: dar al-Fikr al-Islami, 2006 ) h. 22
56
Menurut Jaser Auda yang telah dikutip dalam Bukunya Ahmad Imam Mawardi,
ada tiga hal yang telah disumbangkan oleh al-Syatibi dalam mereformasi maqashid al-
Syari‟ah. Pertama, Pergeseran Maqashid al-syari‟ah dari kepentingan yang tidak terbatasi
dengan jelas ke poin inti dasar hukum. Maqashid al-Syari‟ah yang pada masa-masa
sebelumnya dianggap sebagai bagian yang tidak jelas dan tidak dianggap sebagai sesuatu
yang fundamental dibantah oleh al-Syatibi dengan pernyataan bahwa justru Maqashid al-
syari‟ah merupakan landasan dasar Agama, hukum dan keimanan (ushul al-din, wa
qawa‟id al-syrai‟ah wa qulliyah al-millah) kedua, pergeseran dari kebijakan atau hikmah
di balik aturan hukum, menurutnya Maqashid al-Syari‟ah itu bersifat fundamental dan
universal (Kulliyah) sehingga tidak bisa dikalahkan oleh yang Juziyah (parsial).
Pandangan seperti ini berbeda dengan pandangan tradisional. Ketiga, pergeseran
dari Dhoniyyah ke Qothiyyah. Baginya proses induktif yang digunakan dalam aplikasi
Maqashid al-Syari‟ah adalah Valid dan bersifat Qath‟I (Pasti), sebuah kesimpulan yang
menentang argumen yang mendasarkan pada filsafat Yunani yang menentang metode
induktif.
Dari pendapat ini jelas bahwa apa yang di sampaikan oleh al-syatibi dalam rangka
mulai menggeser Maqashid al-Syari‟ah dari konsep yang diam (tidak bergerak) menjadi
sebuah landasan metodologis yang aktif dan dinamis.13
Al-Raysuni menyimpulkan bahwa sepanjang perkembangan Ushul Fiqh,
maqashid al-syari‟ah mengalami perkembangan besar melalui tiga tokoh sentral, yaitu
Imam al-Haramain Abu al-Ma‟ali Abd Allah al- Juwayni, Abu Ishaq al-Syatibi, dan
Muhammad al-Thahir ibn Asyur.
13 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah dari konsep
ke pendekatan, (Yogyakarta:Lkis, 2010) h. 194.
57
Ketiga tokoh besar dalam pemikiran Maqashid al-Syari‟ah ini tentu juga tidak
meninggalalkan peran tokoh-toko yang lain seperti al-Ghozzali, al- Tuffi, al-Amidi dan
lani sebagainya. Yang mempertegas dan mengawali konsepsi maqashid al-Syari‟ah,
Namun ketiga tokoh tersebut menjadi tonggak penting dan era penting di mana Maqashid
al-Syari‟ah betul-betul tampak mengalami pergesaran makna.
Peta sejarah perkembangan Maqashid al-Syari‟ah yang dikemukakan oleh al-
Raysuni, yang menekankan kategorisasinya pada tokoh, Muhammad Husyn dalam
disertasinya memetakanya dengan kategorisasi perkembangan pemikiranya. Menurutnya
perkembangan Maqashid al-syari‟ah dapat dibagi menjadi tiga (3) era: era pertumbuhan
(Nash‟ah al-Fiqr al-Maqashidi) dari mulai tahun 320 H sampai dengan 403 H; dan era
kemunculan (Zuhur al-Fiqr al-Maqashidi) mulai tahun 478 H sampai dengan tahun 771
H; dan era perkembangan (Tathawur al-Fiqr al-Maqashidi) mulai dari tahun 771 H
sampai dengan tahun 790 H. Dan dari tahun 790 sesudah berakhirnya al-Syatibi
diteruskan dengan metode Maqashid al-Syariah Tahir ibn Asyur pada tahun 1379 H
sampai dengan sekarang.
Pasca Ibn Asyur hingga saat ini, Maqashid al-Syari‟ah menapaki jalan menuju
puncak kejayaan, dengan indikator utama dijadikanya Maqashid al-Syari‟ah sebagai
rujukan dan dalil pokok dalam menjawab sebagian besar persoalan kontemporer,
terutama tentang hubungan Islam dengan modernitas, persoalan sosial, politik dan
ekonomi global, serta persoalan membangun global ethics (etika global) dalam upaya
merealisasikan perdamaian dunia. Akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 menjadi saksi
58
semakin meningkatnya perhatian ulama dunia dan cendikiawan muslim terhadap
Maqashid al-Syariah.14
C. Penghinaan Agama Dalam Pandangan Maqasid Syariah
Dalam pembahasan ini mungkinkah pelaku penghinaan agama dapat disamakan
hukumannya dengan orang yang murtad, karena adanya unsur kesengajaan (berniat)
melawan hukum Islam. Jika dilihat secara seksama, seandainya seseorang telah secara
nyata mengakui dari pernyataan-pernyataan, tulisan-tulisan, yang telah diedarkan
diberbagai media elektronik (khalayak ramai atau sembunyi-sembunyi) bahwa ia telah
menerima wahyu dari tuhan dan mengaku sebagai nabi atau mengakui dirinya adalah
jelmaan Jibril atau melanggar dasar akidah Islam, serta tidak mengakui hukum-hukum
syariat seperti akan kewajiban shalat dan rukun Islam lainnya maka ia telah dianggap
menyelewengkan agama.
Karena unsur yang dianggap adalah unsur yang dapat membuat seseorang
dianggap telah murtad karena melakukannya, maka dengan demikian hukuman yang
berlaku adalah hukuman murtad. Para ulama berbeda pendapat, hukuman mati dalam
hukum Islam termasuk dalam hukuman hudud. Apa akibat dari kemurtadan itu?.
Bagaimana jika ia insyaf dan kembali masuk Islam?Amalnya tidak dihapus dan taubatnya
diterima Allah SWT (itu pendapat ulama mazhab Syafi‟i). Ulama mazhab Maliki dan
Hanafi berpendapat bahwa jika seseorang murtad kemudian insyaf, maka amalan apa saja
yang pernah dilakukan batal, terhapus dan sia-sia. Abu Hanifah berpendapat bahwa
hukuman mati tidak diberlakukan bagi seorang murtad wanita, tetapi ia harus dipaksa
kembali kepada Islam, pendapat ini menyamakan dengan kafir harbi. Paksaan ini dengan
14 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah dari konsep
ke pendekatan, (Yogyakarta:Lkis, 2010) h. 198-199.
59
cara menahan dan mengeluarkannya setiap hari agar ia mau bertaubat dan ditawari untuk
kembali ke agama Islam.15
Begitu juga Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. KH. Ali Mustofa Yakub
memfatwakan bahwa jika seseorang itu mau bertaubat maka berarti ia kembali kedalam
Islam, ttetapi jika ia tidak mau maka hukumannya murtad dan hukum bagi murtad adalah
hukuman mati.16
Sedangkan mazhab yang lain berbeda pendapat dengan imam Abu Hanifah,
mereka tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki atau perempuan
yang murtad itu dihukum mati.17
Dalam literatur hukum Islam, posisi produk fatwa
memang tidak mengikat, statusnya sama dengan ijtihad individual, ia hanya mengikat
bagi yang berfatwa dan berijtihad. Produk hukum Islam yang mengikat secara publik ada
dua: putusan pengadilan dan peraturan perundangan produk penguasa. Mirip teori hukum
pada umumnya.
Sedangkan persoalan eksekusi menurut Didin Hafiduddin, yang mengikuti sidang
komisi fatwa, bukanlah urusan lembaga fatwa . Misalnya mereka yang berstatus nurtad
dan sesat mau diapakan? Di usir atau di bubarkan?. Keputusan fatwa itu tidak
eksekutorial, beda dengan putusan pengadilan. Peran-peran fatwa adalah memberikan
pendapat hukum, eksekusi ditangan pemerintah.18
Jika memang Al-Qur‟an bermaksud memberikan hukuman pidana bagi pelaku
penistaan agama, dan beberapa hadis yang digunakan sebagai dasar pidananya riddah
adalah shahih, maka ijtihad merupakan alternatif untuk menjawab persoalan riddah di
15
Alaudin Al-Kasani, Bad‟I As-Sana‟I fi tarbisy Syara‟I, jilid VII, h. 135 16
Ali Mustofa Yakub, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h. 26 17
Muhammad Abdullah bin Qudamah, Al-Mughni „alâ Mukhtasar Al-kharoqy, (al-Manar, t. th), jilid 1, h.
74 18
Dawan Rahardjo, Majelis Ulama itu Adalah Aliran Sesat, Laporan khusus Gatra, 1 agustus 2005, no. 38
60
Indonesia ini. Ijtihad juga diperbolehkan dalam bidang yang telah ada nas al-Qur‟an dan
Hadisnya. Sebagai contoh Umar bin Khatab sahabat Nabi yang menjadi Khalifah Nabi
yang kedua pernah melakukan ijtihad dalam beberapa masalah hukum, walaupun nas al-
Qur‟an dan Hadis telah menyebutkan secara jelas, diantaranya mengenai tanah rampasan
perang, dera bagi minuman keras, hukuman bagi pencuri.
Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa perhatian hukum syara' terhadap larangan
lebih besar daripada perhatian terhadap apa-apa yang diperitah oleh Allah SWT, yaitu
menjauhi segala ancaman yang dapat merusak akidah kita sehinga menimbulkan
perpecahan antara umat Islam sendiri.19
Dari penjelasan diatas bahwa sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku
penghinaan agama itu pada dasarnya disamakan dengan hukuman murtad, hukumannya
adalah hukuman mati. Jadi sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penghinaan
agama menurut hukum Islam adalah sanksi yang diberlakukan terhadap orang yang
murtad. Murtad dalam pandangan hukum Islam berarti keluar dari Islam atau tidak
mengakui kebenaran Islam, baik dengan berpindah agama lain (konversi agama) atau
menjadi tidak beragama sama sekali (atheis).
Kejahatan atau tindak pidana dalam islam merupakan larangan-larangan syariat
yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah. Pakar fiqh telah mendefinisikan
jarimah yaitu perbuatan-perbuatan tertentu yang apabila dilakukan akan mendapatkan
ancaman hukuman hadd atau ta‟zir, sedangkan jinayah yaitu hasil perbuatan seseorang
yang dibataskan pada perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang merugikan jiwa dan harta
dll.
19
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al Qawa'idul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h.39
61
Larangan-larangan hukum artinya melakukan perbuatan hukum yang dilarang
atau tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan. Hukum dalam sitem hukum apapun
bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan ketentraman dalam kehidupan
bermasyarakat, tidak terkecuali hukum islam.
Tujuan hukum islam sebagaimana telah disepakati oleh para ulama, adalah
mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan hidup yang hakiki bagi manusia, baik secara
individual maupun sosial. Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan
pemahaman ulama‟ saat itu atas dasar nash yang terdapat dalam al-Qur‟an maupun
hadits untuk mengatur kehidupan manusia.20
Prinsip ini menjadi rujukan dalam penetapan dan penerapan hukum islam dalam
menangani kasus aliran sesat dan penghinaan agama. Menurut Abdul Wahab Khallaf
dalam Ilmu Ushul al- Fiqh-nya menjelaskan bahwa produk hukum apa pun dalam islam
harus mempertimbangkan unsur maslahat yang tercakup dalam al-dharuriyat alkhamsah
yang terdiri dari hifdz al-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-„aql (menjaga akal), hifdz al-din
(menjaga Agama), hifdz al-mal (menjaga harta) dan hifdz al-nasl (menjaga keturunan).21
Dalam fiqh jiyasah, al-Qur‟an merupakan sumber hukum islam yang pertama
yang dijadikan dasar pijakan terhadap segala hal yang dihadapi oleh umat islam.
Sedangkan hadits merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur‟an, hadits
berfungsi sebagai penjelas, mengurai pandangan atau konsep al-Qur‟an dan sebagai
praktek amaliah dari al-Qur‟an.
20 Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), h. 6. 21
Abdul Wahab Khallaf, „Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Da‟wah Islamiyah al-Azhar, tt), h. 200.
62
Di samping al-Qur‟an dan hadits, ada juga sumber lain yaitu ijma‟ dan qiyas,
kedua sumber hukum ini merupakan sumber hukum yang menjadi pegangan mayoritas
umat islam.22
Permasalahan mengenai tindak pidana penghinaan agama maupun kehidupan
beragama, secara otomatis menyeret agama itu sendiri untuk turut serta
menyelesaikannya. Ketika negara menjadi pelindung agama islam, maka konsekwensinya
adalah setiap ancaman terhadap negara adalah juga dianggap sebagai ancaman terhadap
agama. Ini merupakan perlawanan islam bagi pelaku tindak pidana penghinaan terhadap
agama sebagai sesuatu yang dapat diberi sanksi. Hal tersebut berdasarkan pada Qs. At-
Taubah ayat 12:
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka
mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu,
karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang)
janjinya, agar supaya mereka berhenti. (QS. At-Taubah ayat 12)
Dalam rangka melindungi keutuhan serta kereligiusan agama yang bersangkutan
dengan tindak pidana penghinaan agama dan kehidupan beragama, sudah terendus sejak
lama. Di antara kriteria yang sangat menonjol adalah pengakuan menjadi Nabi, menerima
wahyu, dan kedatangan Malaikat Jibril. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, pernah
terdapat seorang yang mengaku Nabi dihukum bunuh. Musailamatul Kazzab dan al-
Aswad al-'Insi dihukum bunuh karena keyakinan sesat, mereka mengaku sebagai Nabi.
22
Yusuf al-Qardowi, Membumikan Syariat Islam, (terj, Muhammad Zaki, dkk), h. 53.
63
Di dalam al-Qur‟an larangan menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah SWT
berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 57:
Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya[1231]. Allah
akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang
menghinakan.(QS al-Ahzab ayat 57)23
Dengan demikian, maka pelanggaran bagi tindak pidana penghinaan agama dapat
dikenakan hukuman. Dalam hukum islam sering disebut dengan jarimah, yaitu larangan
syara‟ yang diancam dengan hukuman hadd maupun ta‟zir. Hadd sendiri merupakan
sanksi hukum yang sudah jelas tertera dalam nash al-Qur‟an maupun hadits. Sedangkan
ta‟zir ialah sanksi hukum yang tidak dijelaskan dalam nash al-Qur‟an maupun hadits,
hanya dibebankan pada kearifan seorang hakim.
23
Departemen Agama RI. al‟Qur‟an dan Terjemahnya, Diponegoro, Bandung: 2004.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari pembahasan Penelitian ini adalah
1. Sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku Penghinaan Agama menurut hukum
positif yaitu sesuai yang tercantum dalam KUHP yaitu pasal 156a dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka
umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga,
yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Mengenai Pandangan Maqasid Syariah dengan sanksi tindak pidana penghinaan
agama, menurut hemat penulis sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana penghinaan
agama sudah mengakomodir kepentingan hukum islam. Artinya ketentuan-ketentuan
sanksi yang tercantum dalam undang-undang mengenai tindak pidana penghinaan
agama, tindak bertentangan dengan hukum islam. Sebagaimana bunyi konsideran
Menimbang dalam UU tersebut.
65
B. Saran
Agar tidak muncul lagi aliran atau paham sesat yang lainnya dan membuat kasus
penghinaan agama di Indonesia semakin meluas, saran saya:
1. Kepada pemerintah agar memberi hukuman yang setimpal sesuai aturan yang
ada agar para pelaku penistaan agama tidak mengulanginya lagi dan tidak ada
lagi aliran-aliran sesat seperti yang sudah ada sekarang. Juga harus
diperhatikan pemahaman ajaran agama yang benar, maksudnya pemahaman
ajaran agama Islam secara benar adalah pemahaman ajaran sebagaimana yang
telah diajarkan Rasulullah SAW. Sejalan dengan tata cara pemahaman nash
yang telah Rasulullah SAW sampaikan kepada para sahabat, dan kemudian
diformulasikan oleh para imam Mazhab dalam bentuk metodologi dalam
pengambilan hukum Islam.
2. Untuk masyarakat umum khususnya umat Islam harus mengikuti apa-apa
yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW dan memahaminya
sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat. Mengikuti apa-apa yang telah
disampaikan oleh Rasulullah SAW artinya adalah berpegang teguh kepada Al
Quran dan Sunnah. Kemudian peningkatan iman dan ketakwaan di dalam
masyarakat untuk berpeganglah pada tali agama dan hukum yang berlaku di
Indonesia, serta kenali berbagai fenomena yang sekarang begitu merebak di
seluruh media informasi baik cetak, visual ataupun audio visual.
66
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an Al-Karim
Abdullah Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni „alâ Mukhtasar Al-kharoqy, al-Manar, t. Th.
Ali Zainudin, M.A. Metode penelitian hukum. Palu: Sinar grafika, 2009.
Al-Munawar Said Agil, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004.
Al-Qardowi Yusuf, Membumikan Syariat Islam, terj, Muhammad Zaki, dkk.
Aminah Siti dan Sihombing Parulian Uli, Buku Saku untuk Kebebasan Beragama
Memahami Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Putusan Uji Materiil Uu
Penodaan Agama, Jakarta : The Indonesian Legal Resource Center ILRC, 2011.
Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996
Bryan A. Gamer Edition in Chief, Black‟s Law Dictionary 9th Edition, West Thomson
Reuters, St. Paul, 2009
Endri, Kebijakan Kriminal Dalam Menanggulangi Kejahatan Delik Agama, Semarang: Jurnal
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
Gamal al-Banna, Ushul al-Syari‟ah Kairo: dar al-Fikr al-Islami, 2006.
Jaiz, Hartono Ahmad, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al- Kautsar,
2002
Kertanegara Satochid, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa
Lamintang P.A.F, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum
Negara, Bandung:CV. Armico, 1986
Lamintang P.A.F., Hukum Penitensier Indonesia, Bandung : CV. Armico, 1984
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 1997.
Mawardi Ahmad Imam, Fiqh Minoritas fiqh al-Aqlliyat dan Evolusi Maqashid al- Syari‟ah
dari konsep ke pendekatan, Yogyakarta:Lkis, 2010.
Media Hukum dan HAM, Pusat Study Hukum dan HAM, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Aneka Cipta, 1993
Mudjib Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al Qawa'idul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia,
2001.
Mustofa Yakub Ali, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2007
67
Nawawi Arief Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2010.
Nawawi Arief Barda, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996.
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Prodjodikoro Wirjono, 2002, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta:
PT.Refika Aditama.
Qadir Audah, Abdul. Al-Tasyri‟al Jina‟iy al-Islami, Beirut: Muasasah al - Risalah, 1992.
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1979
Rahardjo Dawan, Majelis Ulama itu Adalah Aliran Sesat, Laporan khusus Gatra, 1 agustus
2005, no. 38
Rumadi, Kebebasan dan Penodaan Agama: Menimbang Proyek “Jalan Tengah” Mahkamah
Konstitusi RI Jurnal Indo-Islamika, Volume 1, Nomor 2, 2012
S. Pradja Juhaya dan Syihabudin Ahmad, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia,
Bandung: Angkasa, 1993
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni
AHM-PTHM, 1986
Seno Adji Oemar, Hukum Acara Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, 1981
Sianturi S.R., Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya Jakarta : Alumni
AHM-PTHM, 1986
Soekanto Soerjono, 2000, Sosiologi Suatu Penggantar, Jakarta: Rajawali Pers
Soeprapto Hartono Hadi, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993
Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional Indonesia, Jakarta: WIPRES, 2007
Solehuddin M , sistem sanksi dalam hukum pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003.
Subekti dan Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, 1990
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto dan Fak. Hukum UNDIP, 1990
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981.
Tim Advokasi Kebebasan Beragama, 2009, Permohonan Pengujian Materiil Undang
Undang Nomor 1/Pnps/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan
Agama Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta.
Wahab Khallaf Abdul, „Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo: Da‟wah Islamiyah al-Azhar.
Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta:
Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2006.
68
Sumber dari Artikel, Internet, dan Undang-undang
Departemen Agama RI. al‟Qur‟an dan Terjemahnya, Diponegoro, Bandung: 2004.
http://www.hukumonline.com/artikel
http://www.merriam-webster.com/dictionary/Blasphemy
http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Blasphemy
http://www.wawasandigital.com
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Pengujian Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana dan undang-
undang nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama terhadap undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945) dalam putusan nomor 84/PUU-X/2012.
Rancangan KUHP Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
top related