romantisisme dalam sastra indoensia
Post on 03-Jul-2015
1.890 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Romantisisme dalam Sastra Indonesia1
Agung Dwi Ertato, Rissa N, Fransiska S, Andrian Pratama, Eries S, Mursidhatul U, Dian H, dan Meidy Kautsar
“A thing of beauty is a joy for ever”--John Keats
1
“A thing of beauty is a joy for ever, ” demikian John Keats menulis dalam salah satu
puisinya “Endymion”. John Keats oleh beberapa kritikus sastra termasuk ke dalam
sastrawan aliran romantik. Misalnya, dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, John
Keats masuk ke dalam jajaran sastrawan romantik. Dalam puisi tersebut John Keats
menggambarkan keindahan sebagai keriangan yang bersifat selamanya. Keindahan bagi
sastrawan romantik menjadi hal-ihwal yang diagung-agungkan. Lalu apakah
sebenarnya karya sastra romantik dan aliran romantisisme itu sendiri? Di Indonesia
adakah nuansa romantisisme dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, setidaknya definisi mengenai
romantik harus dijelaskan lebih mendetil. Era romantik tentu jasa tidak dapat
dilepaskan begitu saja dengan sejarah perkembangan pemikiran di Eropa. Dari masa
Yunani Kuno, abad Kegelapan, abad Pencerahan, noe-classicism, hingga munculnya
gerakan-gerakan romantik di dalam bidang kesenian. Tentu hal ini bukanlah persoalan
yang mudah karena dalam tradisi di Eropa pun pelabelan mengenai aliran atau gerakan
seni masih diperdebatkan. Setidaknya dalam pelabelan aliran atau gerakan tersebut
mengacu pada kesamaan semangat zaman, bahwa karya-karya romatisisme berbeda
dengan karya pada abad pertengahan itu adalah sesuatu yang dapat dilihat. Dalam
karangan ini, kami hanya menjelaskan aliran atau gerakan romantisisme di Eropa
terutama dalam bidang kesusastraan dengan menyinggung gerakan-gerakan tersebut di
tiga negara yang mempunyai tradisi kesusastraan yang ketat dan dianggap menjadi
kanon kesusastraan di Eropa yaitu Prancis, Jerman, dan Inggris. Konsep-konsep dasar
gerakan sastra romantisisme di tiga negara tersebut kemudian menjadi dasar dalam
1 Karangan ini merupakan bahan diskusi tentang romantisisme dan disajikan dalam mata kuliah Sastra Bandingan pada tanggal 5 Mei 2011.
1
membandingkan atau lebih tepatnya melihat ciri-ciri romantisisme dalam tradisi sastra
Indonesia.
2
Isitilah romantik boleh dibilang tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan kebudayaan
Eropa. Kalaupun kita ingin memahami dan mencari ciri-ciri romantisisme dalam tradisi
sastra Indonesia, mau tidak mau kita harus berusan dengan perkembangan tradisi
kesusastraan Eropa yang memperkenalkan istilah romantisisme tersebut. Istilah
romantik berhubungan dengan penggunaan kata roman di Abad Pertengahan, yaitu
suatu cerita dalam bahasa rakyat “bahasa roman“. Roman Abad Pertengahan terutama
berupa cerita kesatria, kebanyakan ditulis dalam bentuk sajak. Setelah beberapa waktu
ciri-ciri yang menandai cerita ini bergeser menjadi: kejadian-kejadian tegang dan sering
tidak masuk akal serta perasaan luhur tentang kehormatan dan cerita “kebangsawanan”
yang langsung dihubungkan dengan pengertian “roman” dan “romantik” (Luxemburg et.
al, 1989: 162). Setelah berlalunya masa Abad Pertengahan, cerita tentang kesatria pun
hilang pamor dan akibatnya pengertian “romantik” pun mendapat nilai negatif
. Di tengah redupnya Abad Pertengahan, manusia mulai mengedepankan akal budi
yang berdasarkan pada penemuan ilmu pengetahuan. Sejak abad ke-17, orang-orang
mulai berpikir rasional terhadap alam semesta dan Tuhan. Masa inilah yang disebut
dengan zaman Pencerahan. Makna romantik pun kembali menuai tanggapan positif
setelah mengalami kemerosotan di Abad Pertengahan. Di masa manusia lebih
menghargai akal budi, kata romantik justru diartikan secara berlebihan. Imajinasi dan
perasaan berperan penting dalam karya romantik. Bahkan, lambat laun “romantik
dihubungkan dengan pengertian seperti perasaan, subjektivitas, dan keaslian.
Semua pengertian tersebut berperan bila kita mengamati lebih dari aliran
romantik, yaitu aliran ‘modern‘ pertama dalam seni dan sastra yang kini masih sangat
berpengaruh terhadap pikiran kita mengenai keduanya” (ibid: 163). Romantik seolah-
olah membawa angin segar dan melenturkan urat-urat yang kaku dalam pergulatan
zaman akal budi. Pada abad ke-18, orang-orang pun mulai kembali kepada unsur-unsur
non rasional, seperti menghargai keindahan, proses penciptaan, imajinasi, ungkapan
perasaan yang membuncah, kepekaan, dan hal lainnya yang bersifat melankoli. Banyak
sastrawan yang menganut aliran romantik lebih mengedepankan pengungkapan
perasaan, pergolakan jiwa, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan ‘hati‘.
2
Dari ilustrasi pada paragraf-paragraf sebelumnya, gerakan romantisisme dapat
dikatakan sebagai gerakan antitesis dari gerakan rasionalisme abad pencerahan.
Gerakan romantisisme mengkritisi kehidupan abad pencerahan yang cenderung kaku,
rasional, dan seimbang dengan memunculkan kehadiran subjek dalam karya sastra
romantisisme yang lebih mementingkan perasaan, spontanitas, imajinasi, dan
individualis.
3
Periode romantik dalam sejarah perkembangan sastra Eropa sering dikaitkan dengan
munculnya revolusi Prancis, terutama pada abad ke-18. Ketika itu idiom-idiom
berkaitan dengan kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan muncul di pelbagai sendi
kehidupan (Samekto, 1975: 65). Idiom-idiom tersebut pada akhirnya menimbulkan
keyakinan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik. Dengan demikian perasaan ingin
mencapai kebahagiaan secara sempurna menjadi hakikat kehidupan pada masa
romantik.
Kemunculan romantitisme memang tidak dapat dilepaskan dari revolusi Prancis,
namun tokoh yang memberikan nafas dalam romantisisme di Prancis adalah J.J.
Rousseau. Ia dianggap sebagai bapak romantisisme lewat karya autobiografinya
Confessions. Di dalam bukunya, ia memaparkan bahwa diri (self) merupakan sesuatu
yang otonom dalam menentukan pilihannya. Dengan kata lain, Rousseau mengenalkan
konsep individualisme dan subjektivisme dalam pemikiran filsafat (Heath dan Boreham,
1999: 23).
Munculnya pemikiran Rousseau sebenarnya merupakan batu pijakan untuk
kemunculan romantisisme di Jerman maupun di Inggris. Di Jerman, kemunculan
romantisisme berkaitan dengan pencarian identitas nasion atau bangsa. Pencarian
tersebut dapat disimpulkan dari pengangkatan kembali tradisi-tradisi lisan (volk) yang
berkembang di Jerman. Selain itu munculnya gerakan Strum und Drung (Storm and
Stress) yang dikenalkan Friedrich Klinger dalam dramanya merupakan bagian dari
sejarah romantisisme di Jerman.. Di dalam drama tersebut, Klinger percaya bahwa
dalam penciptaan seni, sosok yang berpengaruh adalah kejeniusan setiap individu dan
pengalaman individu. Di Jerman, sosok Goethe dan Schiller merupakan tokoh yang
berpengaruh dalam romantisisme Jerman. Goethe mengenalkan konsep romantisisme
yang unity of nature sedangkan Schiller dalam dramanya Die Räuber yang menghasilkan
sensasi.
3
Di Inggtis, penanda munculnya aliran romantik adalah terbitnya buku puisi
William Wordsworth dan Samuel Taylor Coleridge, Lyrical Ballads (1798) (Abrams,
1999: 175). Di dalam pembukaan buku Lyrical Ballads, Wordsworth mengungkapkan
bahwa
For all good poetry is the spontaneous overflow of powerful feelings; but though this be true, Poems to which any value can be attached, were never produced on any variety of subjects but by a man who being possessed of more than usual organic sensibility had also thought long and deeply (Brett and Jones, 1999: 273).
Setidaknya bagi Wordsworth, puisi yang baik adalah puisi yang dikerjakan dengan
spontanitas dan perasaan yang kuat serta mendalam. Di samping itu, Wordsworth juga
beranggapan bahwa keindahan alam merupakan pengasuh moralitas manusia. Bagi
Wordsworth, alam memiliki daya mistik tersendiri, dengan kata lain alam memiliki ruh
yang sama dengan manusia. Kepekaan perasaan dan keyakinan akan keindahan alam
tercitra dalam lirik-lirik yang diciptakan oleh Wordsworth dan Coleridge.
The Sun came up upon the right,Out of the Sea came he;And broad as a weft upon the leftWent down into the Sea.
And the good south wind still blew behind,But no sweet Bird did followNe any day for food or playCame to the Marinere’s hollo!
(Wordsworth dan Coleridge, “The Rime Of The Ancyent Marinere”)
Citraan-citraan alam terlihat dalam lirik-lirik Wordsworth dan Coleridge. Matahari
(sun), laut (sea), angin (wind), dan burung (bird) menandakan citraan alam yang
digambarkan oleh Wordsworth dan Coleridge.
Dari perkenalan kita dengan Wordsworth dan Coleridge, setidaknya ada tiga ciri
penting di dalam aliran romantisisme, yaitu perasaan mendalam, spontanitas, dan
citraan alam yang kuat. Ada beberapa ciri lain yang terdapat di dalam karya-karya
sastra yang beraliran romantisme. Ciri tersebut adalah imajinasi. Seperti yang
diuangkapkan oleh Lucas, (melalui Sitanggang, 2002: 39), bahwa romantisisme adalah
satu impian yang mengkhayalkan. Immeerwhar juga menganggap demikian bahwa
aliran romantisisme adalah satu proses sastra bersifat imajinatif.
4
Noyes mengetengahkan lima ciri romantisisme dalam kesusastraan (Ibid: 39),
yaitu kembali ke alam, melankolik yang sendu, primitivisme, sentimentalisme,
individualisme dan eksotisme. Di samping itu, Noyes juga menekankan aspek imajinasi
dalam karya-karya beraliran romantisisme. Webster’s (1995 :964) juga memberikan
ciri-ciri umum tentang aliran romantisisme. Menurut Webster’s, ciri-ciri tersebut adalah
a. apresiasi yang mendalam tentang keindahan alam.
b. Mengagunggkan perasaan daripada akal.
c. Pembelokkan pada diri sendiri.
d. Keasyikan pada kecerdasan dan kepahlawanan yan luar biasa.
e. Pandangan baru tentang seniman yang bersifat individual.
f. Lebih mementingkan pada jiwa kreatif daripada bentuk formal.
g. Menggunakan bahasa yang bebas dan sederhana.
h. Menggunakan bahasa aku lirik
i. Penekanan pada imajinasi sebagai pengalaman yang transendental.
j. Menghabiskan pada kebudayaan rakyat dan asli.
k. Kegemaran pada hal-hal yang eksotik, misterius, gaib, dan dahsyat.
Selain Wordsworth dan Coleridge, ada beberapa sastrawan Eropa yang
digolongkan sebagai sastrawan beraliran Romantisisme, yaitu John Keats, Lord Byron,
Goethe, Victor Hugo, Willem Kloos, dan sebagainya.
3
Mencari unsur-unsur romantisisme dalam tradisi sastra Indonesia, setidaknya kita akan
berhadapan pada dua sisi yang akan rancu, yang pertama adalah romantisisme
merupakan tradisi kesusastraan Eropa, dan yang kedua tradisi sastra Indonesia
mengacu pada tradisi sastra Melayu, Jawa, atau daerah lainnya. Namun, adanya
kolonialisme pengaruh-pengaruh Eropa pada akhirnya bersentuhan dengan tradisi
kesusastraan Indonesia.
Aliran romantisisme yang berkembang di Eropa kemudian masuk ke Indonesia
melalui angkatan ’80 Belanda yang terkenal dengan sastrawan gerakan 80 (De Tachtiger
Beweging). Sastrawan yang termasuk ke dalam angkatan ’80 adalah Willem Kloos,
Loderwijk van Deyssel, dan Fredick van Eeden (Sitanggang, 2002: 38). Karya-karya
mereka kemudian dibaca oleh sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe seperti
Amir Hamzah, JE Tatengkeng, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Sanusi Pane.
5
Awal mula aliran romantisisme di Indonesia banyak dikaitkan dengan angkatan
Poedjangga Baroe. Puitika yang digunaakan oleh sastrawan Poedjangga Baru banyak
terdapat ciri-ciri aliran romantisisme seperti yang diungkapkan oleh Noyes pada bagian
sebelumnya. Sebut saja, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisyahbana, dan JE Tantengkeng
banyak menggunakan puitika romantitisme dalam beberapa liriknya.
Puisi Amir Hamzah, dalam beberapa buku kumpulan puisinya, mempunyai ciri-ciri
aliran romantisisme. Sajak “Berdiri Aku”, “Kamadewi”, “Buah Rindu 1-4”, dan “Padamu
Jua” menandakan adanya ciri-ciri romantisisme.
Dikau sambur limbur pada sendjaDikau alkamar purnama rajaAsalkan kanda bergurau sendaDengan adinda tadjuk mahkota
(Amir Hamzah, “Buah Rindu”)
Tuan aduhai mega berarakJang meliputi dewangga rajaBerhentilah tuan di atas teratakAnak langkat musjafir lata.....Ibu, konon djauh tanah SelindungTempat gadis duduk berdjuntaiBonda hajdat hati memeluk gunungApatah daja tangan ta’ sampai.
Elang, Radjawali, burung angkasaTurunlah tuan barang sementaraBeta bertanja sepatah kataAdakah tuan melihat Adinda?
(Amir Hamzah, “Buah Rindu II”)
Dari dua kutipan puisi di atas, ciri-ciri aliran romantisisme terdapat di dalam tubuh
puisi tersebut. Citraan alam berjejalan di larik-larik yang ditulis oleh Amir Hamzah,
seperti “alkamar purnama raja”, “sambur limbur pada senja”, “tuan aduhai mega
berarak”, “gunung”, “elang, rajawali burung angkasa”. Kedekatan dengan alam dan
metafora-metafora alam yang dipakai oleh Amir Hamzah menempatkan dirinya pada
jajaran penyair romantik.
Selain dekat dengan alam, Amir Hamzah juga memainkan sisi sentimentalitas
dalam sajak-sajaknya. Misalkan, sajak “Padamu Jua”.
6
Habis kikis segala cintakuHilang terbangPulang kembali aku padamuSeperti dahulu
(Amir Hamzah, “Padamu Jua”)
Perasaan pasrah, cinta dituangkan dalam sajak tersebut. Perasaan yang medalam timbul
dalam bait di atas, “habis kikis segala cintaku/ hilang terbang”, sudah tak ada lagi cinta
dalam diri aku lirik. Tidak ada perasaan yang mendalam lagi dalam aku lirik lalu
menyebabkan aku lirik kembali “padamu”. Seperti ada kesan sendu dan menyentuh
perasaan dalam sajak tersebut, seperti itulah karya aliran romantisisme.
Selain Amir Hamzah, penyair Pujangga Baru lainnya yang beraliran romantisisme
adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan JE Tatengkeng. Sutan Takdir Alisyahbana dalam
buku kumpulan puisi Lagu Pemacu Ombak Sutan Takdir Alisyahbana juga
menggunakan citraan alam dalam membangun sisi keromantikanya. Dalam sajak
“Menuju ke Laut”, “Angin”, dan “Pemacu Ombak” citraan alam muncul di beberapa larik
sajaknya.
“Ombak ria berkejar-kejaranDi gelanggang bertepi langit.Pasir rata berulang dikecup,Tebing curam ditantang diserang,Dalam bergurau bersama angin,Dalam berlomba bersama mega.”
(Sutan Takdir Alisyahbana, “Menuju Ke Laut”)Angin,Kata orang engkau mengerang,Bila menderu di pohon kayuSelalu ngembara di mulia buana.
(STA, “Angin”)
Di depan membentang samud’ra biru,Jauh menghabis, di garis lengkung,Tempat langit mantap bertahan,Dan awan tipis takjub tertegun.
(STA, “Pemacu Ombak”)
7
Dalam ketiga kutipan sajak tersebut, citraan alam yang muncul adalah awan,
ombak, samudra, mega, angin, laut, dan langit. Citraan-citraan alam digunakan untuk
mendapatkan analogi yang tepat dengan gambaran perasaan yang mendalam.
Juga JE Tantengkeng merupakan salah satu pemuisi Indonesia beraliran romantik.
Ia juga menggunakan citraan alam demi menggambarkan perasaan manusia yang
mendalam tentang segala hal. Ia adalah salah satu penyair yang dihubungkan dengan
Willem Kloos, penyair Romantik Belanda. Moto kepenyairan Tatengkeng juga tegas
bahwa seni yaitu gerakan sukma (Teeuw, 1953: 114).
Mercak-mercik ombak kecil memecahGerlap-gerlip sri syamsu mengerlingTenang-menyenang terang cuacaBiru kemerahan pegunungan keliling
(JE Tatengkeng “di Pantai Waktu Petang”)
Citraan yang dipakai oleh Tantengkeng hampir mirip dengan citraan yang dipakai
oleh Amir Hamzah maupun Sutan Takdir. Citraan alam seperti ombak, cahaya, terang,
dan pegunungan kembali muncul dalam sajak JE Tantengkeng tersebut.
4
Ketiga contoh sastrawan dan karyanya di atas merupakan contoh aliran romantisisme
di kesusastraan Indonesia pada pra-kemerdekaan. Lalu bagaimana dengan masa setelah
kemerdekaan? Setelah kemerdekaan, puisi-puisi Indonesia semakin beragam baik
bentuk maupun isinya. Beragam aliran baru muncul dalam perpuisian di Indonesia
seperti Puisi Mbeling besutan Remy Silado maupun mantra Sutardji Calzoum Bachri.
Akan tetapi, gaung romantisisme dalam kesusastraan di Indonesia tidak berhenti
sampai angkatan Pujangga Baru, angkatan setelah Pujangga Baru juga banyak memiliki
kecenderungan romantisisme meskipun tidak semasal angkatan Pujangga Baru yang
hampir semua puitika sastra menganut aliran romantisisme.
Di angkatan 45, Chairil Anwar dalam beberapa karyanya masih memiliki
kecenderungan ke dalam aliran romantisisme, seperti sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”
dan “Derai-derai Cemara.” Akan tetapi, bukan citraan alam yang indah yang ditampilkan
oleh Chairil, ia lebih menekankan pada aspek kemuraman alam sebagai metafora bagi
perasaan manusia. Dalam sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” misalnya, dibuka dengan lirik
yang kuat dan sarat akan eksistensi manusia. /ini kali tak ada yang mencari cinta/ atau
dalam sajak “Derai-derai Cemara”, /Cemara menderai sampai jauh/ terasa hari akan jadi
8
malam/ada beberapa dahan di tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam/ yang di
dalam terdapat perasaan manusia yang mendalam.
Setelah angkatan Chairil Anwar, muncul, nama-nama seperti Goenawan Muhamad,
Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M yang terkenal dengan kelirisan puisi-puisi
mereka. Goenawan Muhamad dalam puisi “Asmaradana”, “Interlude: Pada Sebuah
Pantai”, “Senja pun Jadi Kecil Kota pun Jadi Putih”, “Pertemuan”, dan “Kwatrin pada
Sebuah Poci” menandakan adanya ciri-ciri romantisisme.
ASMARADANA
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun,karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkahpedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti,yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yangberkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta,nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yangtak semuanya disebutkan
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esokpagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,ia takkan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba,karena ia tak berani lagi.
Anjasmara, adikku, tinggallah, seperti dulu.Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.Lewat remang dan kunang-kunang, kau lupakan wajahkukulupakan wajahmu.
1971
PERTEMUAN
Meniti tasbihmalam pelan-pelanDan burung kedasihmenggaris gelap di kejauhankemudian adalah pesona:wajah-Nya tersandar ke kaca jendelamemandang kita, memandang kita lama-lama
Demikian sunyi telah diturunkandan demikianlah Nabi telah dititahkandan demikian pula manusiadikirim ke bumi yang terbentang,
9
dari sorgadang telah ditutupkan. Dan kini tinggalah cintamemancar-mancar dari sunyi kaca jendela
1964
Kedua puisi tersebut menyiratkan adanya perasaan yang mendalam yang
digambarkan melalui kelirisan bahasa. Kesunyian, kesenderian kemudian mengambil
beberapa citraan alam yang hingar dan terlihat indah untuk mencapai takaran perasaan
yang mendalam itu. Senada dengan Goenawan Muhamad, Sapardi dan Abdul Hadi juga
mempunyai kecenderungan yang sama dalam hal puisi romantik. Puisi Sapardi “Aku
Ingin” dan Puisi Abdul Hadi “Ombak Itulah” masih terdapat ciri-ciri puisi beraliran
romantik.
Jika kita melihat perkembangan puisi terutama perkembangan aliran
romantisisme, kita akan menemukan kecenderungan unik dalam perpuisian di
Indonesia. Awal perkembangan puisi romantik dimulai oleh Angkatan Pujangga Baru
dengan citraan alam yang indah sempurna. Sesampai pada angkatan 45, citraan alam
diubah oleh Chairil dengan kemurungan dan kesunyian alam semesta seperti dalam
“Senja di Pelabuhan Kecil”. Inovasi yang dikembangkal oleh Chairil Anwar pada
akhirnya membentuk konvensi terutama bagi puisi-puisi lirik hingga sekarang seperti
Goenawan Muhamad, Sapardi, Abdul Hadi yang memainkan kesunyian dalam puisi-
puisi mereka.
5
Sejak awal, contoh-contoh karya sastra yang beraliran romantisisme banyak dijumpai
dalam bentuk puisi sedangkan dalam bentuk prosa hanya beberapa orang saja. Di Eropa
pun demikian, romantisisme di Prancis di ramaikan oleh novel-novel Victor Hugo, salah
satu novel Victor Hugo yang terkenal adalah Les Miserelables. Ciri-ciri romantisisme
dalam prosa sama dengan ciri-ciri romantisisme dalam puisi, hanya dalam prosa sisi
imajinasi lebih terlihat menonjol selain perasaan yang mendalam yang digambarkan
lewat konflik-konflik antartokoh.
Di Indonesia sendiri, ada nama Bokor Hutasuhut yang menurut Jassin merupakan
pengarang romantik. Dalam analisis Jassin ciri romantisisme lebih ditekankan pada
cerita mistis supranatural. Misalkan, dalam karya Bokor Hutasuhut yang memiliki ciri
romantik adalah “Silang” dan “Tak Kembali Lagi”. Namun demikian ciri-ciri romantik
seperti perasaan yang mendalam juga disebutkan oleh Jassin.
10
Bagaimana dengan perkembangan prosa Indonesia setelah perang, adakah yang
masih beraliran romantisisme? Jika kita mengaitkan ciri-ciri romantisisme dalam prosa
seperti yang diungkapkan oleh Noyes, prosa di Indonesia tentu saja masih ada yang
menggunakan jalur romantisisme meskipun tidak sebesar di Eropa atau semegah
munculnya aliran Absurd maupun realisme dalam prosa Indonesia. Karya-karya N.H.
Dini dapat digolongkan ke dalam prosa romantisisme di Indonesia. di dalam novel-
novel N.H. Dini, tema-tema percintaan serta konflik psikologi atau perasaan kerap
ditampilkal oleh Dini, misalkan dalam novel Pada Sebuah Kapal, Keberangkatan,
maupaun, Jalan Bandungan, Tirai Menurun, Sekayu, La barka, dll. Konflik psikologis di
antara tokoh-tokoh di dalam novel serta permasalahan cinta juga menjadikan alasan
kuat prosa N.H. Dini masuk ke dalam kategori aliran romantisisme.
Selain itu, ciri romantisisme yang tidak kalah penting adalah individual dan
imajinatif. Di dalam prosa Indonesia mutakhir, kita dapat memasukkan nama Seno
Gumira Ajidarma ke dalam aliran Romantisisme. Kumpulan cerpen Sepotong Senja
untuk Pacarku dan novel Negeri Senja merupakan contoh karya Seno Gumira Ajidarma
yang imajinatif dan terdapat sisi sentimentilnya. Di dalam cerpen “Sepotong Senja untuk
Pacarku” dan “Jawaban Alina” mengisyaratkan adanya imajinasi pengarang yang kuat
untuk memberikan gambaran tentang senja yang di potong tersebut. Dalam novel
Negeri Senja pun demikian. Seno memainkan sisi imajinasinya untuk membuat dunia
fiksi yang serba berbeda dunia nyata.
6
Dalam penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa romantisisme lahir berkat adanya
revolusi Prancis yang membuka keran-keran persamaan dan kebebasan di dalam
kehidupan manusia. Terbitnya Lyrical Ballads juga menandai awal mula aliran
romantisisme di Eropa. Aliran Romantisisme sendiri, muncul di Indonesia dibawah
pengaruh sastrawan angkatan’80 di Belanda yang dibawa masuk oleh aliran Pujangga
Baru seperti Amir Hamzah. Dalam perkembangan romantisisme di Indonesia, aliran
tersebut tidak meruak seperti pada masa Pujangga Baru, namun telah bertransformasi
ke arah puisi liris yang matang ditangan Goenawan Muhamad, Sapardi Djoko
Damono,dan Abdul Hadi WM.
Untuk prosa Indonesia, aliran romantisisme memang tidak seramai prosa aliran
realis dan absurd maupun surealis. Akan tetapi setidaknya ada beberapa prosa
11
Indonesia yang memiliki ciri romantisisme seperti Bokor Hutasuhut, N.H. Dini, dan Seno
Gumira Ajidarma.
Kepustakaan
Abrams, M.H. 1999. A Glossary Literary Term. Boston: Heinle & Heinle.
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1984. Lagu Pemacu Ombak. Jakarta: Dian Rakyat.
Anwar, Chairil. 1960. Deru Tjampur Debu. Jakarta: Dian Rakyat.
Brett and Jones. 1991. Lyrical Ballads. London dan New York: Routledge.
Damono, Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: Grasindo.
Ferber, Michael. 2005. A Companion to Romanticism. Oxford: Blackwell Publishing.
Hamzah, Amir. 1969. Buah Rindu. Jakarta: Dian Rakyat.
________________. 2001. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat.
Heath, Duncan dan Judy Boreham. 1999. Introduction Romanticism. Cambridge: Icon
Book, inc.
Jassin, H.B. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei. Jakarta: Gunung
Agung.
Muhamad, Goenawan. 1992. Asmaradana. Jakarta: Grasindo.
Samekto. 1998. Ikhtisar Sejarah Kesusastraan Inggris. Jakarta: Daya Widya.
Sitanggang, S.R.H. 2002. “Mengenal Romantisme J.E. Tatengkeng dan Willem Kloos”
dalam Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Teeuw, A. 1953. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Jakarta: 1953.
Webster's, Merriam. 1995. Encyclopedia of Literature. USA: Merriam Webster's Inc.
12
top related