ringkasan dokumen -...
Post on 09-Aug-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Juli 2019
RINGKASAN DOKUMEN
KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SOSIAL STRATEGIS STRATEGIC ENVIRONMENTAL AND SOCIAL ASSESSMENT (SESA)
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
REPUBLIK INDONESIA
1
LATAR BELAKANG Program Pengurangan Emisi (ERP) Forest Carbon Partnership Facility-Carbon Fund (FCPF-Carbon
Fund) berkontribusi pada pencapaian pengurangan emisi secara nasional dan internasional melalui
REDD+ dengan pendekatan nasional dan pelaksanaan sub-nasional. Program ini juga diharapkan
dapat membantu Indonesia dalam mencapai target ketahanan iklim dan komitmen internasional.
FCPF-Carbon Fund memiliki potensi untuk memperoleh pembayaran berbasis kinerja untuk
pengurangan emisi, jika berhasil dilaksanakan. Dengan dukungan FCPF-Carbon Fund, Pemerintah
Indonesia telah mengusulkan program pengurangan emisi yang berfokus di Provinsi Kalimantan
Timur.
Program penurunan emisi bertujuan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di seluruh
provinsi Kaltim, yang mencakup seluruh 12,7 juta hektare. Sekitar 54% dari Kaltim merupakan
kawasan berhutan tropis, yang merupakan habitat bagi kekayaan keanekaragaman hayati yang
signifikan secara global dan mendukung masyarakat adat dan komunitas lokal lainnya. Lebih dari 10%
hutan Kalimantan Timur yang tersisa hilang selama satu dekade terakhir, terutama disebabkan oleh
ekspansi perkebunan kelapa sawit, perkebunan kayu, dan pertambangan, serta oleh pemicu lainnya.
Selain hilangnya habitat dan jasa ekosistem utama lainnya, deforestasi dan degradasi telah
menyebabkan emisi CO2 rata-rata 17,3 juta tonCO2e per tahun.
Biaya keseluruhan program ini diperkirakan mencapai USD 90,7 juta. Pendanaan terutama berasal
dari pendanaan pemerintah (75%), dengan sisanya berasal dari sektor swasta (22%) dan mitra
pembangunan (4%). Diharapkan bahwa Program dapat memperoleh pembayaran berbasis kinerja
sebesar USD 110 juta dari FCPF-Carbon Fund. Selain pengurangan emisi, Program juga menghasilkan
manfaat non-karbon yang signifikan. Manfaat prioritas non-karbon diantaranya perlindungan
keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem lainnya, peningkatan mata pencaharian bagi masyarakat
lokal, berkurangnya konflik atas tanah, dan peningkatan pengakuan klaim wilayah adat.
RUANG LINGKUP SESA dikembangkan untuk menjawab: (1) Analisis konteks strategis REDD+; (2) Analisis karakteristik
lingkungan dan sosial-budaya di lokasi pengurangan emisi prioritas di Kaltim; (3) Analisis pemangku
kepentingan; (4) Kajian kerangka hukum dan kelembagaan; (5) Analisis skenario di bidang prioritas
sampel; dan (6) Implikasi kebijakan dan rekomendasi yang diusulkan.
PEMETAAN PARA PIHAK Para pihak terdiri dari lembaga pemerintah dan non-pemerintah di tingkat nasional, provinsi,
kabupaten dan akar rumput diidentifikasi dalam Bab 1 Dokumen Program Penurunan Emisi (Emission
Reduction Program Document/ERPD).
PIHAK PEMERINTAH Para pihak pemerintah, diantaranya:
Pemerintah Pusat: Kementerian Lingkungan HIdup dan Kehutanan (DIrjen Pengendalian
Perubahan Iklim] dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan
Perubahan Iklim (P3SEKPI)] sebagai penanggung jawab Program FCPF-Carbon Fund, dan
Kementerian Keuangan untuk bernegosiasi dan membangun perjanjian program. Kemenkeu
memainkan peran penting dalam merumuskan mekanisme pembagian manfaat. Instansi
pemerintah pusat adalah pemberi pengaruh positif yang penting untuk memastikan
2
implementasi program penurunan emisi. Selain itu, Dirjen PPI dan P3SEKPI mewakili pemangku
kepentingan yang merupakan kunci bagi manajemen pengetahuan program..
o Pihak yang terkait kebijakan di tingkat pemerintah pusat mencakup kementerian lain,
seperti: Perencanaan Agraria dan Tata Ruang (untuk reformasi lahan dan rencana tata
ruang), Energi dan Sumber Daya Mineral (sektor pertambangan), Kementerian Ekonomi,
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (alokasi dana desa),
Kementerian Pertanian (sektor perkebunan), Kementerian Dalam Negeri (peningkatan
kapasitas dan aspek tata kelola), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (bakau dan
akuakultur).
Pemerintah Provinsi: BAPPEDA, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Kelautan dan
Perikanan, Dinas Lingkungan HIdup, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Dinas Komunikasi
dan Informatika, Sekretaris Daerah/Gubernur dan Badan Pertanahan Provinsi (Kanwil BPN)
sebagai pelaksana program. Semua lembaga provinsi ini (dengan pengecualian Diskominfo)
adalah berpengaruh positif dan sangat penting dalam pelaksanaan program. Selain itu,
Sekda/Gubernur saat ini memiliki pengaruh positif, karena mereka menentukan kondisi politik
yang sesuai untuk implementasi program.
Pemerintah Kabupaten: BAPPEDA, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perkebunan, Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kantor Pertanahan Kabupaten sebagai pelaksana program.
Pemerintah Desa: Pemerintahan desa diajukan untuk mengelola kawasan berhutan di areal
penggunaan lain (APL), serta mengorganisir inisiatif budidaya perikanan dan pertanian tanpa
bakar. Peran Pemerintahan Desa sangat penting untuk menjaga pelaksanaan sesuai dengan
pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal/adat.
Perlu dicatat bahwa ada masalah kewenangan dalam mengoordinasikan penyelesaian dan
mengintervensi kasus-kasus terkait peruntukan lahan yang tidak jelas (kehutanan, perkebunan, atau
pertambangan) karena perbedaan peta. Diperlukan pendekatan oleh KLHK dan Kementerian ATR/BPN
secara bersamaan, yang dapat difasilitasi melalui mekanisme penyelesaian konflik/FGRM lintas
sektoral yang terintegrasi.
PARA PIHAK DI LUAR PEMERINTAH Para Pihak non-pemerintah yang relevan dengan implementasi terdiri dari (tetapi tidak terbatas
pada):
Dewan Daerah Perubahan Iklim Kalimantan Timur. DDPI Kaltim merupakan mitra utama dalam
pelaksanaan program, yang mengkoordinasikan kepentingan pemerintah daerah, universitas dan
organisasi masyarakat sipil. DDPI Kaltim telah terlibat melalui pengembangan Strategi
Pembangunan Berkelanjutan Kalimantan Timur, Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Pelaksanaan
REDD+ (SRAP REDD+) dan Master Plan Perubahan Iklim Kalimantan Timur. DDPI juga merupakan
pemangku kepentingan yang relevan untuk manajemen pengetahuan.
Organisasi Non-Pemerintah/Organisasi Masyarakat Sipil, diantaranya World Wide Fund for
Nature (WWF), The Nature Conservancy (TNC), Bioma, Forests and Climate Change Programme
(FORCLIME), Global Green Growth Institute (GGGI), Kerimapuri, Kawal Borneo, Prakarsa Borneo,
Yayasan Bumi dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara(AMAN). Para pemangku kepentingan ini
telah terlibat dalam pengembangan ERPD dan oleh karena itu memainkan peran penting dalam
memberikan dukungan teknis untuk implementasi dan pengawasan program.
Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian: Universitas Mulawarman: Fakultas Kehutanan,
Fakultas Kelautan dan Perikanan, Centre for Climate Change Study, Center for Social Forestry
3
(CSF), Tropical Environmental and Sustainable Development (TESD), Pusat Pengembangan
Infrastruktur Informasi Geospasial (PPIIG). Para pemangku kepentingan ini telah terlibat dalam
pengembangan ERPD dan telah menyediakan data ilmiah untuk mendukung pengembangan
desain program. Meskipun para pemangku kepentingan ini dapat tetap netral karena mereka
tidak mengimplementasikan Program, mereka dapat bertindak sebagai pemberi pengaruh dan
pengawas yang positif bagi lembaga-lembaga pelaksana.
Kelompok Kerja REDD+ di Kabupaten, Kelompok Kerja Ekonomi Hijau: Kelompok-kelompok ini
dapat bertindak sebagai pemberi pengaruh dan pengawas yang positif karena mereka dapat
menyediakan alat, panduan, dan pengawasan untuk melindungi mekanisme dan implementasi.
Kelompok-kelompok ini mungkin memiliki pakar dan pengalaman teknis yang relevan, yang
diharapkan dapat memperkuat implementasi program.
Sektor Swasta: Perusahaan perkebunan dan kehutanan adalah pemegang konsesi yang relevan
dengan implementasi program. Implementasi program akan bergantung pada kerja sama
perusahaan (yaitu, praktik pengelolaan berkelanjutan, pengelolaan kawasan bernilai konservasi
tinggi [HCV] dan inklusi sosial/gender).
Asosiasi: Asosiasi Perkebunan, Asosiasi Pengusahaan Hutan dan serikat pekerja akan memainkan
peran penting dalam mendorong perusahaan untuk berpartisipasi dalam program. Contoh
spesifik mendukung standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Indonesia
Sustainable Palm Oil (ISPO).
Masyarakat lokal: Masyarakat lokal/adat merupakan pihak kunci dalam pelaksanaan program.
Selain keterlibatan dalam sektor kehutanan dan perkebunan, masyarakat lokal/adat merupakan
pihak yang melaksanakan Komponen 4 ERPD. Partisipasi masyarakat lokal/adat perlu didahului
dengan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA).
Dewan Adat yang relevan: Saat ini Dewan Adat dinilai sebagai pihak netral, status pemangku
kepentingan mereka dapat berubah menjadi pengaruh positif atau negatif, tergantung pada
keterlibatan dan implementasi program, serta bergantung pada proses Padiatapa. Lembaga adat
dapat menjadi pemberi pengaruh positif jika mereka setuju untuk berpartisipasi atau mereka
dapat menentang program jika persetujuan atau keterlibatan seperti itu tidak dilakukan dengan
itikad baik.
PENILAIAN KAPASITAS KELEMBAGAAN Penilaian ini dilakukan pada pemangku kepentingan di tingkat nasional dan sub-nasional dengan
ringkasan berikut:
Tingkat Pusat membutuhkan kapasitas yang kuat untuk koordinasi antara pemerintah Indonesia
dan FCPF, antara tingkat nasional dan sub-nasional, serta dukungan politik dan manajemen untuk
kebijakan satu-peta, pengelolaan hutan lestari, memastikan legalitas kayu, perkebunan
berkelanjutan, dan integrasi perlindungan lingkungan dan sosial ke dalam strategi pembangunan.
Mekanisme pembagian manfaat perlu didefinisikan dan disepakati untuk memastikan aliran
manfaat berjalan efektif kepada penerima manfaat yang memenuhi syarat;
Tingkat Provinsi sudah memiliki peraturan yang cukup untuk mendukung Visi Pembangunan Hijau
Kalimantan Timur. Meskipun, pada tingkat provinsi juga memerlukan kapasitas untuk
mengoordinasikan implementasi program (termasuk kerangka pengaman) dengan dukungan
teknis dari pemerintah pusat, serta implementasi mekanisme pembagian manfaat yang tepat
(mis., melalui BPDLH). Diperlukan kapasitas teknis untuk memastikan pelaksanaan yang optimal
dari KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan), Dinas Perkebunan (perkebunan berkelanjutan), dan
4
Dinas Lingkungan Hidup. Secara khusus, diperlukan kapasitas yang kuat untuk resolusi konflik
(FGRM), perkebunan berkelanjutan, dan perencanaan partisipatif.
Tingkat Kabupaten membutuhkan kapasitas yang relevan terkait pengakuan masyarakat adat
(PERDA Kabupaten), serta penerapan praktik perkebunan, dan kehutanan yang berkelanjutan.
Tingkat Desa membutuhkan kapasitas yang relevan dengan penerapan program (terutama pada
APL), serta mengambil bagian dalam mengelola FGRM. Perencanaan partisipatif perlu
diimplementasikan pada tingkat ini untuk memungkinkan inklusi sosial dan gender dalam
perencanaan pembangunan desa.
Sektor swasta perlu meningkatkan kapasitas untuk membangun relasi dengan masyarakat
lokal/adat dan pemerintah daerah, serta untuk mengurangi risiko. Sektor swasta membutuhkan
kapasitas untuk praktik pengelolaan hutan lestari seperti PHPL (kehutanan), RIL (kehutanan) dan
HCV, serta penyelesaian sengketa dan penerapan mekanisme perlindungan sosial dan lingkungan
yang relevan.
PROGRAM PENURUNAN EMISI Komponen 1: Tata Kelola Hutan dan Lahan.
o 1.1. Memperbaiki Tata Kelola Perizinan
o Evaluasi perizinan pertambangan, perkebunan dan kehutanan
o Penguatan tata kelola dan akuntabilitas perizinan
o Fasilitasi percepatan perizinan perhutanan sosial
o 1.2. Penyelesaian Konflik Tenurial
o Penyelesaian konflik tenurial melalui Program Tanah Obyek Reformasi Agraria (TORA)
o Penguatan sistem penyelesaian konflik dan sengketa lintas sektor
o 1.3. Dukungan Percepatan Pengakuan Masyarakat Adat
o Identifikasi keberadaan masyarakat adat, melalui pemetaan partisipatif di desa
o Pengakuan masyarakat adat, melalui Panitia Masyarakat Hukum Adat
o 1.4. Penguatan Perencanaan Desa.
o Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Desa dan Rencana Pembangunan Desa
(Jangka Panjang, Jangka Menengah, APBDesa), melalui pelatihan, pendampingan,
penyusunan, pengembangan Sistem Informasi Desa, serta pembentukan kelompok
pengelola hutan di desa, penjaga hutan dan/atau kelompok pencegahan kebakaran
lahan dan hutan
Selain mengarah pada pengurangan emisi yang signifikan, diharapkan komponen ini akan
memberikan manfaat non-karbon yang penting bagi pemangku kepentingan lokal, termasuk
perusahaan, masyarakat lokal dan masyarakat adat.;
Komponen 2: Penguatan Pengelolaan Hutan dan Lahan Berkelanjutan. Komponen 2 berupaya
untuk mengatasi kelemahan kelembagaan dalam pembinaan, pengawasan dan administrasi
hutan dan lahan. Di dalam Kawasan Hutan berfokus pada penguatan KPH, yang mencakup
seluruh hutan produksi dan hutan lindung. Untuk meningkatkan tata kelola hutan di luar Kawasan
Hutan Negara, khususnya yang masih berhutan alam dan gambut di dalam pola ruang
perkebunan, Program akan memperkuat perangkat daerah sektor perkebunan
o 2. 1. Memperkuat kapasitas UPTD KPH dalam pengelolaan wilayah Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH)
o Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang dan Jangka Pendek KPH, serta
Rencana Bisnis KPH
5
o Peningkatan staf UPTD KPH dalam melakukan pembinaan perizinan, pendampingan
perhutanan sosial dan perlindungan hutan, termasuk dalam pencegahan kebakaran
hutan
o Percepatan penataan batas KPH
o 2. 2. Penguatan kapasitas Perangkat Daerah bidang Perkebunan tingkat Provinsi dan
Kabupaten dalam melakukan pembinaan unit pengelola perkebunan (perizinan dan
kelompok tani) menuju perkebunan berkelanjutan;
o Peningkatan kapasitas staf perangkat daerah bidang perkebunan terkait perkebunan
berkelanjutan, perlindungan areal bernilai konservasi tinggi dan pencegahan kebakaran
lahan dan kebun
Komponen 3. Mengurangi Deforestasi dan Degradasi Hutan Dalam Perizinan. Komponen 3
bertujuan untuk melindungi hutan yang berlokasi di dalam perkebunan, melalui implementasi
Perkebunan Berkelanjutan, termasuk pengelolaan areal bernilai konservasi tinggi (ABKT) dan
pencegahan kebakaran lahan dan kebun, serta di dalam perizinan kehutanan dengan mendukung
implementasi pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL), termasuk pembalakan berdampak
rendah (RIL) dan pengelolaan Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (HCVF). Kegiatan-
kegiatan ini secara langsung melibatkan perusahaan-perusahaan kehutanan dan perkebunan, dan
dengan demikian melengkapi penguatan kebijakan yang lebih luas terkait dengan sistem
perizinan yang ada dalam Komponen 1.
o 3.1. Penerapan Perkebunan Berkelanjutan (ISPO), termasuk pengelolaan areal bernilai
konservasi tinggi (ABKT) pada perizinan perkebunan;
o Peningkatan keterlibatan perizinan perkebunan dalam melaksanakan ISPO
o Pengelolaan kebun yang melindungi areal berhutan alam dan gambut di dalam wilayah
perizinan
o 3.2. Dukungan untuk Pekebun dan Sistem Pemantauan dan Pencegahan Kebakaran Berbasis
Masyarakat (CBFMMS);
o Pencegahan kebakaran lahan dan kebun melalui Kelompok Tani Peduli Api (KTPA)
o Pencegahan kebakaran lahan dan kebun oleh perusahaan perkebunan
o Peningkatan kapasitas kelompok tani dalam melaksanakan prinsip perkebunan
berkelanjutan (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO)
o 3.3. Pelaksanaan kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, termasuk Pembalakan
Berdampak Rendah (RIL) dan Pengelolaan Kawasan Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (HCVF)
pada perizinan kehutanan.
o Pembinaan perizinan dalam pengimplementasian PHPL, termasuk pelaksanaan RIL dan
pengelolaan HCVF di dalam perizinan
o Pengembangan skema insentif bagi perizinan kehutanan
Komponen 4. Alternatif Berkelanjutan untuk Masyarakat. Komponen 4 secara langsung
menyasar minimnya mata pencaharian berkelanjutan alternatif bagi masyarakat. Kegiatan
dirancang untuk memberikan peluang mata pencaharian di dalam area sensitif, termasuk area
hutan alam, gambut, mangrove, dan wilayah konservasi. Komponen ini menyasar pada 150
hingga 200 desa/kampung/kelurahan di 7 kabupaten dan 1 kota (Balikpapan) di Kaltim. Selain itu,
dengan mempromosikan kegiatan perhutanan sosial di dalam Kawasan Hutan Negara, komponen
tersebut mendukung peningkatan akses ke wilayah berhutan bagi masyarakat lokal/adat dan
berkontribusi pada perbaikan tata kelola hutan dan lahan. Komponen ini diharapkan dapat
6
menghasilkan manfaat non-karbon yang signifikan bagi masyarakat, berkontribusi pada hasil yang
lebih adil, dan merupakan bagian penting dari strategi untuk mengurangi risiko pembalikan.
o 4.1. Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif
o Pengembangan model perladangan gilir-balik yang mengintegrasikan pendapatan jangka
pendek dan jangka menengah melalui kombinasi tanaman pertanian, perkebunan dan
kehutanan
o Pengembangan model perikanan tangkap dan perikanan budidaya, yang tetap menjaga
stok ikan dalam jangka Panjang
o 4.2. Kemitraan Konservasi.
o Penguatan kolaborasi dan komitmen bersama dalam pengelolaan Kawasan konservasi
antara masyarakat dan pengelola kawasan
o Peningkatan kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan dan perlindungan Kawasan
konservasi
o Penguatan pengelolaan kawasan konservasi yang terintegrasi dengan pembangunan
desa
o 4.3. Perhutanan Sosial
o Penguatan kapasitas pemegang perizinan perhutanan sosial dalam pengelolaan hutan
serta perencanaan dan pelaksanaan bisnis
Komponen 5. Manajemen dan Pemantauan Program.
o 5.1. Koordinasi dan Pengelolaan Program
o Koordinasi dan pengelolaan program antar tingkatan (pusat, provinsi, kabupaten, desa),
melalui penguatan kelembagaan pengelolaan program, penguatan mekanisme dan
pelaksanaan koordinasi.
o Penguatan sistem pengelolaan keuangan dan pembagian manfaat, melalui penguatan
mekanisme pengelolaan keuangan dan pembagian manfaat, peningkatan kapasitas,
serta pertemuan koordinasi.
o 5.2. Pemantauan dan Evaluasi
o Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program dan kerangka pendukung
program, yang disertai peningkatan kapasitas pelaksanaan dan pemantauan kerangka
pengaman (SESA, ESMF, IPPF, RPF, FGRM), termasuk pemantauan areal berhutan
o Pengukuran dan Pelaporan pelaksanaan program, termasuk perbaikan faktor emisi dan
data aktivitas tutupan hutan dan lahan, penguatan mekanisme pengukuran,
pemantauan dan pelaporan (MMR), penguatan sistem informasi kerangka pengaman
sosial dan lingkungan (SIS), serta penguatan dan pelaksanaan pemantauan pembagian
manfaat.
o 5.3. Komunikasi Program
o Pengelolaan pengetahuan program, termasuk di dalamnya pengelolaan sistem
pengetahuan dan produksi pengetahuan secara regular
o Penyebaran informasi kepada publik melalui berbagai kanal komunikasi media publik,
termasuk laman, media sosial, hingga papan informasi desa.
DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP DAN SOSIAL YANG DIPREDIKSI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP YANG DIPREDIKSI
Dampak Positif Dampak Negatif
7
Dampak Positif Dampak Negatif
Meningkatkan perlindungan kawasan lindung dan mengurangi tingkat pembalakan liar
Peningkatan stok karbon Kawasan hutan akan lebih terlindungi, dan ini akan
meminimalkan deforestasi di masa depan Peningkatan praktik pengelolaan hutan Batas KPH yang jelas akan meningkatkan
pengelolaan kawasan hutan oleh KPH Peningkatan kapasitas unit manajemen untuk
mengelola kawasan hutan dengan lebih baik Peningkatan perlindungan hutan dan jasa ekosistem
lainnya Peningkatan kualitas habitat, lingkungan dan
kawasan lindung di dalam tanaman perkebunan Penggunaan lahan desa yang lebih baik dan
pengurangan konversi hutan Manfaat berkelanjutan untuk lingkungan dan
masyarakat Mengurangi kebakaran lahan dan hutan Peningkatan perlindungan hutan dan habitat alami Pengurangan konversi hutan untuk tanaman
perkebunan baru Mengurangi pembalakan liar Area HCV dalam konsesi hutan tanaman akan lebih
terlindungi Respons dan minat positif dari perusahaan
perkebunan yang akan berdampak positif pada pengurangan pembalakan liar
Mengurangi degradasi hutan dan deforestasi Perlindungan hutan konservasi yang lebih baik Perlindungan ekosistem gambut dan mangrove
yang lebih baik
Degradasi hutan dan keanekaragaman hayati serta deforestasi dapat meningkat karena ketidakpastian pengelolaan selama periode perumusan mekanisme penyelesaian konflik (status quo)
Kontaminasi tanah dan air, dan risiko kesehatan yang terkait dengan penggunaan pestisida dan akibat praktik pengelolaan limbah yang buruk
Keberhasilan dalam mengurangi dampak pada hutan dapat menyebabkan perpindahan dampak ini ke area lain
Meningkatkan kepadatan tanah pada jalan sarad
Limbah dari operasi peralatan dan kendaraan selama praktik RIL
Pembukaan area skala kecil sebagai akibat pengembangan infrastruktur pendukung
DAMPAK SOSIAL YANG DIPREDIKSI
Dampak Positif (Potensi manfaat bagi masyarakat lokal/adat)
Dampak Negatif (Potensi sumber konflik)
Perlindungan yang lebih baik terhadap sumber daya budaya alami
Potensi inklusi dan kolaborasi antara komunitas lokal dengan pemegang konsesi
Peningkatan mata pencaharian masyarakat karena dukungan REDD+ dan mekanisme pembagian manfaat yang adil
Peningkatan kapasitas sektor pemerintah dan swasta, serta kelompok tani melalui kegiatan peningkatan kapasitas
Peningkatan kapasitas untuk PHPL dan RIL untuk berbagai pemangku kepentingan
Peningkatan kapasitas petani kecil
Tidak ada manajemen di dalam area moratorium yang akan memberikan ruang bagi kemungkinan kegiatan ilegal
Potensi ketidakpastian atas manajemen konflik selama proses perumusan instrumen (mekanisme) penyelesaian konflik (status quo)
Potensi ketidakpuasan di antara kelompok-kelompok tertentu yang secara tradisional akan memainkan peran kunci dalam penyelesaian konflik
Potensi konflik atas batas desa Potensi untuk membatasi akses dan kegiatan
masyarakat dalam memanfaatkan lahan, hasil hutan, baik kayu maupun non-kayu, di daerah HCV dan potensi konflik dengan perusahaan.
Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar konsesi kelapa sawit berpotensi menganggap
8
Dampak Positif (Potensi manfaat bagi masyarakat lokal/adat)
Dampak Negatif (Potensi sumber konflik)
dalam praktik pertanian berkelanjutan Akses yang lebih baik ke sumber daya
hutan untuk alasan budaya dan hasil hutan non-kayu
Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat terkait perhutanan sosial
Peningkatan kapasitas konservasi hutan
Peningkatan akses ke hutan melalui skema kemitraan konservasi hutan
Menghasilkan pendapatan berkelanjutan untuk masyarakat lokal
Lebih banyak manfaat untuk komunitas lokal (layanan lingkungan, mis., Ekowisata, dan kegiatan ekonomi)
kawasan HCV sebagai tanah yang tidak digunakan oleh konsesi sehingga memberi ruang bagi mereka untuk melakukan pembukaan lahan
Pekerja tidak terampil setempat dapat digantikan oleh pekerja terampil dari luar kelompok
Bagi penduduk setempat yang terkait dengan kegiatan pembalakan liar dapat kehilangan pekerjaan dan penghasilan mereka
Penurunan produksi tambak Perubahan budaya dan teknologi sistem
akuakultur Potensi konflik antara hukum formal dan
tradisional Kekhawatiran masyarakat mungkin tidak dapat
dimasukkan ke dalam program / kegiatan karena kurangnya kapasitas (kurangnya FGRM/ Padiatapa yang efektif)
Potensi konflik antara masyarakat dan entitas lain (pemegang konsesi, KPH)
INDIKATOR LINGKUNGAN HIDUP DAN SOSIAL Indikator LH & S Ringkasan Isu Sumber Data
Jadwal
Pemantauan
Kemunculan konflik
dan perselisihan di
kawasan non-hutan
(mis., Konflik
perkebunan,
pertambangan)
Konflik tenurial antara masyarakat
dengan perusahaan perkebunan
Akumulasi permasalahan yang belum
terselesaikan
Konflik perizinan
Peningkatan kapasitas pekebun dalam
pelaksanaan perkebunan berkelanjutan
Dishut
Disbun
FGRM Tim
DLH
Dinas ESDM
SEKDA
Semester
Kasus pembatasan
akses pada lahan dan
sumber daya alam
Konsesi kehutanan dan perkebunan
menyebabkan pembatasan akses pada
sumber kehidupan/budaya masyarakat
Batas yang belum jelas (FMU, perizinan)
Tim FGRM
Pemegang konsesi
Kanwil ATR/BPN
Pemerintahan Desa
KPH
Semester
Jumlah dan frekuensi
dampak. Yang
diterima masyarakat
adat
Penggunaan sebelumnya dan yang
sudah ada oleh komunitas lokal dan
masyarakat adat
FMU
Estate Crops Agency
NGO Reports
Semester
Kurangnya
kesadaran, kapasitas
manajemen dan
partisipasi (indikator
kualitatif tentang
peningkatan
kapasitas,
aksesibilitas, dan
Belum berjalannya mekanisme resolusi
konflik lintas sektoral (mis., Sektor
perkebunan, dan kehutanan, gangguan
lingkungan)
Terbatasnya kapasitas staf pemerintah
untuk mengembangkan mata
pencaharian alternatif bagi masyarakat
setempat
FGRM institutions
DGCC
DDPI
Quarterly
9
Indikator LH & S Ringkasan Isu Sumber Data Jadwal
Pemantauan
insentif) Kurangnya aksesibilitas untuk semua
strata sosial masyarakat untuk terlibat
dalam perkebunan
Kurangnya insentif dalam pengelolaan
hutan berkelanjutan
Masih berprosesnya mekanisme
pembagian manfaat
Kapasitas
kelembagaan untuk
mengelola potensi
risiko lingkungan &
sosial (penilaian
kualitatif tentang
peningkatan
kapasitas dan
peningkatan
kapasitas)
Diperlukan peningkatan kapasitas untuk
staf KHP, terutama untuk menerapkan
dan memantau proses RIL pengelolaan
HCV, dan untuk menerapkan standar
ISPO
Kurangnya kemampuan untuk
penanganan konflik lingkungan
Kurangnya kapasitas untuk
mengimplementasikan perkebunan
kelapa sawit berkelanjutan
KPH
Dihut
Disbun
Pemegang konsesi
Semester
Kapasitas
kelembagaan untuk
memantau dampak
alternatif mata
pencaharian
Pendapatan rumah tangga bulanan
(baseline) tidak dipantau secara teratur
Perlu menetapkan indikator
berdasarkan persentase orang miskin
Perlu memantau partisipasi kerja atau
tenaga kerja sebagai indikator mata
pencaharian
DPMPD
BPS
Pemerintahan Desa
Annualy
Jumlah kasus tentang
Gender dan inklusi
sosial
Minimnya keterlibatan perempuan yang
tidak optimal dalam pengelolaan hutan
akan membantu mengurangi
perambahan dan deforestasi
OPD Kabupaten:
Bappeda, Dinas P3A
Tahunan
Kasus, area, dan
tingkat kerentanan
hilangnya habitat
alami dan
Keanekaragaman
Hayati
Tumpang tindih dengan habitat penting
keanekaragaman hayati dan populasi
spesies yang terancam punah
Upaya pemantauan berbasis
masyarakat tidak dioptimalkan
Kurangnya pedoman konservasi yang
jelas
KPH
BKSDA
Kalwin ATR/BPN
Semester
Jumlah kasus/
frekuensi dan tingkat
Pencemaran
Penggunaan pestisida untuk pertanian
dan perkebunan
DLH Kaltim
Disbun
Quarterly
Jumlah kasus yang
menunjukkan risiko
kebocoran dan
pembalikan
Mengalihkan emisi karbon ke daerah
atau provinsi lain
Kurangnya partisipasi dalam
pengendalian/pencegahan kebakaran
menghasilkan peningkatan emisi karbon
Dirjen PPI
DDPI
Tahunan
ISU KELEMBAGAAN DAN KEBIJAKAN Peraturan/Kebijakan Issue Relevansi dengan
REDD+
Relevansi dengan
RIsiko LH dan Sosial
10
Peraturan/Kebijakan Issue Relevansi dengan
REDD+
Relevansi dengan
RIsiko LH dan Sosial
Resolusi konflik di
kawasan hutan
Penerapan Perpres
No. 88/2017,
PermenLHK No.
P.84/2015
FGRM dan
mekanisme resolusi
konflik harus
dipastikan jelas dan
tegas dalam
pelaksanaan
Pembatasan akses
Tumpang tindih lahan
Resolusi konflik di
APL
Penerapan
Mekansime
Penyelesaian Konflik
oleh Disbun dan DLH
masih belum
terhubung
FGRM dan
mekanisme resolusi
konflik harus
dipastikan jelas dan
tegas dalam
pelaksanaan
Pembatasan akses
Tumpang tindih lahan
Pengecualian gender
dan sosial
FGRM Kesenjangan
peraturan dalam
integrasi FGRM
FGRM dan
mekanisme resolusi
konflik harus
dipastikan jelas dan
tegas dalam
pelaksanaan
Unresolved conflicts
and disputes
Accumulation of
conflicts and disputes
Program Tanah
Obyek Reformasi
Agraria
Memerlukan
interpretasi yang
cermat atas Peraturan
Presiden No. 88/2017
Mencegah deforestasi
dan degradasi yang
dipicu oleh konversi
lahan di dalam
kawasan hutan
Konversi hutan untuk
pertanian
Perampasan tanah
Perda Kaltim No.
1/2015
Memerlukan
interpretasi yang
cermat dari aturan
untuk menghindari
klaim tanah yang
besar
Mencegah deforestasi
dan degradasi yang
dipicu oleh konversi
lahan di dalam
kawasan hutan
Penyalahgunaan
atribusi MHA untuk
klaim tanah
Komitmen untuk
menurunkan emisi
Emisi berbasis lahan
adalah penyumbang
terbesar emisi GRK di
Indonesia
Penunjukan peran dan
tanggung jawab
DGCC (KLHK) tentang
pengurangan emisi
Aplikasi FREL dan
MRV yang tepat dan
obyektif sebagai
ukuran emisi GRK
KERANGKA KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN
Lembaga Kewenangan Relevansi dengan Program
Penilaian Kapasitas Kesenjangan Kunci
Dirjen PPI Implementasi inisiatif REDD+
Pengembangan dokumen untuk mendukung ERPD dan ERPA
FREL, MRV
Kapasitas teknis untuk mengembangkan dokumen dan melakukan pengukuran FREL dan MRV
Pengetahuan yang memadai, tetapi membutuhkan dukungan untuk SDM tambahan
P3SEKPI / FCPF Perencanaan dan implementasi inisiatif REDD+
Manajemen dan implementasi ERP sehari-hari
FGRM di tingkat
Manajemen program dan kapasitas koordinasi
Pengetahuan yang memadai, tetapi membutuhkan dukungan SDM tambahan, terutama
11
nasional
FREL, MRV
Kapasitas teknis untuk mendukung FREL dan MRV
untuk mendukung implementasi daerah
BAPPEDA (Provinsi)
Sinergi inisiatif REDD+ dengan rencana pembangunan daerah
Koordinasi implementasi ERP dengan dukungan dari DDPI
Kapasitas koordinasi
Analisis menggunakan alokasi lahan multi-tujuan untuk memastikan bahwa tujuan ekonomi dan ekologis ditampung dalam perencanaan tata ruang
Membutuhkan pengetahuan tambahan tentang inisiatif REDD+
Sekretaris Provinsi (SEKDA)
Melaksanakan Pembangunan Hijau di Kalimantan Timur (Visi RPJMD)
Mekanisme pembagian manfaat
Pencabutan izin yang tidak memenuhi kriteria
FGRM di tingkat provinsi (kehutanan, pertambangan, perkebunan dan lingkungan)
Pembentukan BLU, dan pengembangan rencana bisnis yang menguntungkan untuk BLU
Perluasan perkebunan sebagai bagian dari rencana pembangunan provinsi
Pembentukan Desk resolusi konflik untuk mengatasi konflik terkait kehutanan
Kurangnya peraturan resolusi konflik untuk sektor pertambangan
Pembagian manfaat yang tidak merata
Kantor Pertanahan Provinsi (Kanwil)
Mengawasi masalah lahan dan memastikan
keselarasan dengan rencana tata ruang
Penerbitan HGU (misalnya, untuk perkebunan) di area APL
Praktik perkebunan berkelanjutan
Penilaian risiko lingkungan dan sosial
Kerangka pengaman
(Safeguards)
Mencegah perampasan tanah
Mencegah penerbitan HGU yang tidak didasarkan pada penilaian lingkungan dan sosial yang tepat
Dinas Kehutanan (Provinsi)
Sinergi inisiatif REDD+ di sektor kehutanan
Menerapkan program yang relevan dengan sektor kehutanan
FGRM di tingkat provinsi (sektor kehutanan) yang melibatkan pemegang konsesi, masyarakat lokal dan pemerintah
Kapasitas teknis untuk pengelolaan hutan (melalui UPH), termasuk FGRM/resolusi konflik
Jaringan untuk resolusi konflik dan mediasi
Membutuhkan pengetahuan tambahan tentang inisiatif REDD+
Kapasitas untuk resolusi konflik tenurial dan/atau mediasi
Dinas Perkebunan (Provinsi)
Sinergi inisiatif REDD+ di sektor perkebunan
Menerapkan program di APL
FGRM di sektor
Kapasitas teknis untuk manajemen perkebunan
Membutuhkan pengetahuan tambahan tentang
12
perkebunan berkelanjutan
Respons dan resolusi konflik yang efektif (yaitu gangguan terhadap bisnis perkebunan)
Pendekatan multi-sektor untuk menangani aspek ekonomi, sosial, hukum, sosial, budaya dan lingkungan dari konflik
inisiatif REDD+
Dokumentasi yang tepat tentang proses penyelesaian konflik sebagai bagian dari FGRM yang diusulkan
BAPPEDA (Kabupaten)
Sinergi implementasi REDD+ di tingkat desa
Menerapkan program di tingkat kabupaten dan memastikan sinergi antar lembaga terkait
Kapasitas koordinasi dan perencanaan
Membutuhkan pengetahuan tambahan tentang inisiatif REDD+
DPMPD / K (Distrik)
Sinergi implementasi REDD+ dengan pembangunan desa dan dana disalurkan ke tingkat desa.
Menerapkan program di tingkat kecamatan dan desa
Kapasitas teknis untuk pemberdayaan masyarakat
Membutuhkan pengetahuan tambahan tentang inisiatif REDD+
Penilaian risiko lingkungan dan sosial
Mekanisme perlindungan untuk inisiatif pertanian dan akuakultur
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Sinergi implementasi REDD+ dengan pengarusutamaan gender
Menerapkan Program di tingkat kecamatan dan desa untuk memastikan gender dan inklusi sosial
Kapasitas teknis untuk pengarusutamaan gender
Membutuhkan pengetahuan tambahan tentang inisiatif REDD+
GAP/COMPATIBILITY ANALYSIS Belum adanya kebijakan yang mengatur atau menegakkan pengembangan ESMF. Pengembangan
SESA, ESMF dan dokumen kerangka terkait lainnya terutama diamanatkan oleh lembaga donor, bukan oleh Pemerintah Indonesia;
Potensi yang bertentangan dengan kebijakan provinsi tentang emisi GRK (Visi Pembangunan Hijau) dengan kebijakan untuk memperluas perkebunan.
Perkebunan berkelanjutan diatur oleh Peraturan Menteri Pertanian No 11/2015 tentang ISPO. Belum ada peraturan khusus dalam penerapan RSPO dan HCV, dan tidak ada peraturan khusus yang dapat mencegah perampasan tanah;
Lemahnya kerangka peraturan tentang pembentukan desk penyelesaian konflik untuk mengatasi konflik dan perselisihan terkait kehutanan;
13
Kurangnya atau lemahnya kerangka peraturan tentang resolusi konflik di sektor pertambangan. Saat ini mekanismenya mengacu pada peraturan agraria dan lingkungan untuk menyelesaikan konflik;
Pedoman terpisah untuk resolusi konflik hutan dan non-hutan. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan saat menangani masalah lintas sektor (yaitu, sektor hutan dan perkebunan); dan
Belum adanya peraturan tentang mekanisme pembagian manfaat.
14
ANALISIS KESESUAIAN ANTARA SAFEGUARDS YANG ADA (TERMASUK PERATURAN INDONESI YANG RELEVAN) DAN KEBIJAKAN SAFEGUARD BANK DUNIA
Kebijakan Perlindungan Bank Dunia
Aspek
Perlindungan Indonesia * Analisis
Kompatibilitas/Kesenjangan Rekomendasi untuk Mengisi
Kesenjangan Peraturan Pemerintah Indonesia
yang berlaku1 SIS
MERAH PRISAI
SES REDD Kaltim
OP/BP 4.01, 4.04
Penilaian Lingkungan
Penilaian lingkungan dan sosial dilakukan melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis sesuai dengan PermenLHK No. P.69 tahun 2019 untuk memastikan bahwa prinsip Pembangunan Berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pengembangan suatu wilayah dan/atau Kebijakan, Rencana dan/atau Program. Bappeda dan DLH Kaltim telah menyusun KLHS untuk Rencana Tata Ruang Wilayah 2016-2036 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2018-2023.
P1,5 P3,6 P5 Perlu peningkatan kapasitas dalam pemantauan
Penilaian lingkungan mengacu pada Peraturan Indonesia dan ESMF yang mensyaratkan pengembangan dokumen lingkungan sesuai dengan hasil penyaringan. Penilaian UKL-UPL diharapkan diperlukan untuk sifat dan skala kegiatan ERP.
Meningkatkan pengembangan kapasitas dan pelatihan untuk melakukan penilaian lingkungan dan implementasi rencana pengelolaan lingkungan dan sosial.
OP/BP 4.01, 4.04
Penyaringan Lingkungan
Berdasarkan pasal 7-8 PermenLHK No. P.69 tahun 2019, penyaringan dilakukan dalam mempersiapkan KLHS, termasuk pada masalah perubahan iklim.
P1,5 P3,6 P5 Diperlukan penilaian yang lebih terperinci di tingkat lokasi, untuk memastikan bahwa semua yang diidentifikasi dalam KLHS ditangani di tingkat lapangan.
Proses penyaringan awal terhadap daftar negatif untuk kegiatan ER di ESMF yang mencakup identifikasi dampak potensial terhadap pemukiman kembali/ pembatasan akses, masyarakat adat, dan sumber daya budaya fisik.
1 Peraturan menyeluruh adalah PP No. 46/2016 tentang precedure untuk melakukan penilaian lingkungan strategis s. Peraturan ini mensyaratkan identifikasi risiko dan langkah-langkah mitigasi
yang relevan , yang serupa dengan prinsip-prinsip upaya perlindungan.
15
Kebijakan Perlindungan Bank Dunia
Aspek
Perlindungan Indonesia * Analisis
Kompatibilitas/Kesenjangan Rekomendasi untuk Mengisi
Kesenjangan Peraturan Pemerintah Indonesia
yang berlaku1 SIS
MERAH PRISAI
SES REDD Kaltim
OP/BP 4.01, 4.04, 4.10
Pengelolaan dampak lingkungan dan sosial
Penilaian lingkungan dan sosial dilakukan melalui proses KLHS dan AMDAL sesuai dengan Peraturan KLHK No. P.69 tahun 2019 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012 tentang kegiatan bisnis yang wajib memiliki AMDAL. Peraturan Bersama antara Depdagri, KLHK, PWH, dan Kepala BPN No. 79/2014, 3/2014, 1/2014, dan 8/2014 tentang Prosedur Penyelesaian Konflik Tanah di dalam Kawasan Hutan
P2,3,4 P3,4,5, 6
P3, 5 Rencana pengelolaan dan pemantauan yang dikembangkan melalui proses AMDAL, secara umum, mendukung persyaratan Bank, namun sumber dana untuk implementasi ESMP tidak tercakup dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup. Kapasitas untuk pengelolaan dampak lingkungan dan sosial diperlukan untuk UPH dan perusahaan swasta. Tidak ada sistem resolusi konflik yang terintegrasi lintas sektor di Kalimantan Timur.
Memperkuat izin KLHS dan Lingkungan dengan memberikan Kode Praktik Lingkungan (ECOP) spesifik untuk kegiatan ER seperti agroforestri, akuakultur, dan template untuk ESMP.
OP/BP 4.01, 4.10
Mekanisme Keluhan
PermenLHK No. P.84 tahun 2018 tentang penanganan konflik tenurial di hutan negara PermenLHK No. P.22 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Keluhan terkait dengan Indikasi Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan dan/atau Bahaya Hutan. PeraturanBersama. antara Depdagri, KLHK, PWH, dan Kepala BPN No. 79/2014, 3/2014, 1/2014, dan 8/2014 tentang Prosedur Penyelesaian Konflik Tanah di dalam Kawasan Hutan
P2, 3 P1, 3, 4 P1, 2, 4 Tidak ada mekanisme spesifik dan terpadu untuk mengelola dan menyelesaikan keluhan terkait dengan kegiatan penurunan emisi
Untuk menyiapkan ESMF yang menyediakan Mekanisme Umpan Balik dan Penanganan Keluhan (FGRM) untuk mengelola dan menyelesaikan keluhan terkait dengan pelaksanaan kegiatan. Mekanisme ini harus dapat mengatasi keluhan lintas-sektoral
16
Kebijakan Perlindungan Bank Dunia
Aspek
Perlindungan Indonesia * Analisis
Kompatibilitas/Kesenjangan Rekomendasi untuk Mengisi
Kesenjangan Peraturan Pemerintah Indonesia
yang berlaku1 SIS
MERAH PRISAI
SES REDD Kaltim
OP/BP 4.07, 4.09, 4.36
Kemungkinan kontaminasi pada tanah dan air sebagai akibat dari praktik pengelolaan hama
Ada beberapa peraturan tentang pupuk dan pestisida2
P5 P6 P4, 5, 7 Pengembangan kapasitas masih diperlukan dalam mengimplementasikan ini
Menghindari penggunaan pestisida berbahaya. Solusi yang disukai adalah menggunakan teknik Integrated Pest Management (IPM).
Memberdayakan lembaga pelaksana pemerintah (tingkat nasional dan regional), undang-undang ini mengamanatkan bahwa provinsi dan kabupaten mengembangkan penilaian lingkungan strategis yang akan memandu strategi regional dalam pengelolaan hama (yaitu, pengelolaan hama terpadu)
Meningkatkan kapasitas otoritas untuk menegakkan kepatuhan terhadap peraturan.
OP/BP 4.04 Kemungkinan hilangnya habitat alami dan keanekaragaman hayati
Undang-Undang (UU) No. 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan. UU No. 5/1994 tentang konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem. Peraturan ini mengacu pada konvensi internasional tentang
P5, 6 P6, 7 P4, 5, 7 Undang-undang dan peraturan berlaku tentang perlindungan hutan, spesies yang terancam dan hampir punah di tingkat nasional dan provinsi. Nilai konservasi tinggi telah diidentifikasi di lahan yang
Mendorong keterlibatan pemegang konsesi (sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan) untuk mengadopsi prinsip nilai konservasi tinggi. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan perlu
2 Lebih detail di http://psp.pertanian.go.id/index.php/page/publikasi/72
17
Kebijakan Perlindungan Bank Dunia
Aspek
Perlindungan Indonesia * Analisis
Kompatibilitas/Kesenjangan Rekomendasi untuk Mengisi
Kesenjangan Peraturan Pemerintah Indonesia
yang berlaku1 SIS
MERAH PRISAI
SES REDD Kaltim
keanekaragaman hayati UU No. 41/1999 tentang hutan. Peraturan ini menetapkan status dan fungsi hutan, termasuk yang terkait dengan pelestarian keanekaragaman hayati Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 29 tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati Regional
ditunjuk bukan hutan. Pengembangan kapasitas masih diperlukan dalam implementasi dan pemantauan
ditegakkan di antara perusahaan swasta di sektor kehutanan.
Pemerintah daerah perlu menetapkan langkah-langkah untuk melindungi sumber daya alam abiotik (misalnya, penetapan geopark, karst, dan sumber daya budaya fisik)
ESMF akan membahas langkah-langkah untuk memperkuat proses penyaringan untuk habitat alami, habitat kritis dan sumber daya budaya.
Peningkatan kapasitas dalam menilai dampak terhadap keanekaragaman hayati, khususnya untuk habitat alami dan habitat kritis.
OP/BP 4.12 Pembatasan akses ke penunjukan area di bawah ERP
Keputusan Presiden No. 111/1999 dan Peraturan Mendagri No. 52/2014 tentang Komunitas Adat Terisolasi. FGRM di bawah Dirjen PSKL Peraturan Bersama Bersama. antara Depdagri, KLHK, PWH, dan Kepala BPN No. 79/2014, 3/2014, 1/2014, dan 8/2014 tentang Prosedur Penyelesaian Konflik
P2, 3 P1, 3, 4 P1, 2, 4 ERP dapat melibatkan penggambaran wilayah dengan nilai konservasi tinggi (HCV). Area-area ini mungkin dilindungi oleh konsesi kehutanan dan/atau perkebunan. Perlindungan tersebut dapat mengakibatkan pembatasan akses ke mata pencaharian
Kerangka Perencanaan Pembatasan Akses (ARPF), Kerangka Perencanaan Pemukiman Kembali (RPF) dan Kerangka Proses (PF) perlu dikembangkan untuk mengidentifikasi orang-orang yang terkena dampak program, dan memastikan bahwa
18
Kebijakan Perlindungan Bank Dunia
Aspek
Perlindungan Indonesia * Analisis
Kompatibilitas/Kesenjangan Rekomendasi untuk Mengisi
Kesenjangan Peraturan Pemerintah Indonesia
yang berlaku1 SIS
MERAH PRISAI
SES REDD Kaltim
Tanah di dalam Kawasan Hutan (misalnya, akses ke lahan pertanian atau akses ke situs budaya). Saat ini tidak ada mekanisme khusus untuk menangani pemukiman kembali masyarakat yang bergantung pada hutan dan pembatasan akses ke cagar alam dan/atau kawasan lindung lainnya.
prosedur yang tepat tersedia untuk mengatasi masalah terkait dengan pembatasan akses (dan potensi relokasi yang mungkin dibutuhkan).
Selanjutnya, isu-isu spesifik tentang pembatasan akses di antara masyarakat adat perlu diatasi dalam IPPF.
PENILAIAN DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP DAN SOSIAL Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
Komponen 1: Meningkatkan Tata Kelola Hutan dan Lahan
1.1 Memperkuat rezim perizinan
Memantau penegakan moratorium ( peraturan mencakup pertambangan, hutan, dan tanaman perkebunan) ;
Perkuat transparansi dalam perizinan
Mendukung peninjauan dan pencabutan lisensi yang ada
Mendukung perluasan area di bawah lisensi kehutanan sosial;
Peluncuran kebijakan untuk perlindungan hutan yang tersisa di dalam area berlisensi (berpotongan dengan C. 3)
Manajemen dan Dokumentasi Informasi yang diperkuat dan lebih transparan terkait proses perizinan penggunaan lahan;
Izin untuk kehutanan, pertambangan, dan tanaman perkebunan ditinjau dan dicabut jika berlaku, yang mengarah ke batas penggunaan lahan yang lebih jelas;
Batas penggunaan lahan diklarifikasi saat proses demarkasi kawasan hutan selesai;
Lingkungan Hidup:
(+) Peningkatan kualitas tata kelola hutan secara umum akan memberikan kontribusi positif bagi pengurangan emisi karbon secara keseluruhan
(+) Memperkuat hutan lindung yang berpotensi mengurangi tingkat pembalakan liar, area HCV, dan pelestarian keanekaragaman hayati dan menjaga stok karbon
(+) Batas yang digunakan bersih dan bersih
Sosial:
(+) Klarifikasi batas penggunaan lahan harus mempertimbangkan hak atas tanah masyarakat lokal/adat.
(+) Batas-batas penggunaan lahan yang jelas dan bersih akan mengurangi konflik sosial (-) Terkadang, peraturan moratorium juga menunjuk pada lahan tanpa pengelolaan lahan, itu akan mengundang
19
Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
Moratorium perizinan (Peraturan Gubernur 1/2018) terus ditegakkan, melindungi kawasan berhutan yang berpotensi mengalami konversi;
kegiatan ilegal.
1.2 Penyelesaian Sengketa
Mendukung penilaian partisipatif, yang melibatkan komunitas Adat untuk a) memetakan konflik yang ada dan potensial, b) mengidentifikasi mekanisme yang ada untuk menyelesaikan sengketa tanah antara pemerintah dan masyarakat adat, dan c) menilai tradisi dan pengetahuan adat untuk penanganan konflik dan penyelesaian sengketa;
Pengembangan pedoman penanganan konflik dan mekanisme penyelesaian berbasis masyarakat;
Pengembangan peraturan oleh Gubernur untuk menyelesaikan perselisihan (untuk mengatasi area yang tumpang tindih antara kehutanan dan pertambangan atau tanaman perkebunan).
Selain itu, konflik akan ditangani lebih lanjut melalui sejumlah aksi mitigasi, seperti:
pengembangan keputusan bersama o mendukung dan menyempurnakan
protokol penanganan konflik lokal yang ada
o mengembangkan FGRM yang akan mencakup mekanisme mediasi
o identifikasi konflik tenurial oleh KPH o identifikasi dan penilaian mekanisme
resolusi konflik yang ada o peningkatan komunikasi antara tokoh
Mekanisme resolusi konflik yang diperkuat berkontribusi pada peningkatan tata kelola lahan
Lingkungan Hidup:
(+) Peningkatan pengelolaan dan perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati
(+) pengurangan dan atau dampak negatif terhadap lingkungan dapat diantisipasi atau diminimalkan.
(+) Deforestasi dan degradasi hutan berkurang
(+) Peningkatan populasi dan kualitas habitat
(+) Konflik hewan dan manusia berkurang
(+) Mencegah dan atau mengurangi eksploitasi SDH dan KEHATI secara berlebihan
(-) Degradasi hutan dan keanekaragaman hayati dan deforestasi meningkat karena ketidakpastian manajemen selama periode persiapan mekanisme status quo.
(+) Peningkatan manajemen lingkungan dan kesehatan, terutama populasi yang dilindungi dan habitat satwa liar
(+) Berkurangnya konflik manusia dan satwa liar
Sosial
(+) Kesetaraan posisi tawar antara aktor dalam pengelolaan SDH dan Kehati
(+) Meningkatkan pemahaman para pihak tentang hak dan tanggung jawab mereka serta risiko yang mungkin terjadi sebagai akibat dari manajemen SDH
(+) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam manajemen dan kesadaran SDH
(+) Potensi dampak sosial dapat diantisipasi/diminimalkan
(+) proses penyelesaian sengketa lebih cepat dengan hasil
20
Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
masyarakat/adat dengan perwakilan perusahaan terkait dengan pengelolaan kawasan HCV
o pengembangan kapasitas para pemangku kepentingan termasuk pelatihan untuk paralegal untuk mekanisme penanganan konflik berbasis masyarakat
yang dapat diterima oleh para pihak
(+) Kepastian hak pengelolaan lingkungan dan penggunaan SDH terutama untuk kelompok rentan dan terpinggirkan
(+) Kepastian orang yang bertanggung jawab atas manajemen lingkungan dan kesehatan
(+) Kepastian penerima dan pembagian manfaat produk dan layanan lingkungan yang dihasilkan
(+) Meningkatnya tanggung jawab dan partisipasi para pihak terhadap manajemen regional
(-) Potensi ketidakpastian dalam penanganan konflik selama proses pengembangan mekanisme penyelesaian konflik (status quo)
(-) Potensi ketidakpuasan dengan kelompok-kelompok tertentu secara tradisional memainkan peran kunci dalam menyelesaikan konflik.
(-) Potensi hilangnya hak dan akses ke hutan dalam kelompok-kelompok tertentu
(-) Potensi peningkatan beban dan tanggung jawab manajemen dalam kelompok-kelompok tertentu terutama terkait dengan penggambaran regional
1.3 Dukungan untuk pengakuan tanah adat
Akselerasi pengakuan hak ulayat dan penguasaan tanah di dalam kawasan hutan, sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Provinsi Kalimantan Timur No. 1/2015;
Identifikasi wilayah adat melalui pemetaan partisipatif
Hutan dan tanah adat diidentifikasi melalui pemetaan partisipatif
Komunitas hukum adat dan wilayahnya diakui;
Lingkungan Hidup:
(+) Mengurangi Perambahan
Sosial:
(+) Mengurangi Perambahan.
(+) Mengurangi konflik tenurial
(+) Meningkatkan kepastian hak tenurial
(-) Konflik dengan manajemen unit
1.4 Memperkuat perencanaan tata ruang desa
Pengembangan pedoman dan peraturan untuk mengintegrasikan kegiatan REDD + ke dalam perencanaan tata ruang desa;
Mendukung integrasi kegiatan pengurangan emisi ke dalam rencana pembangunan desa.
Tersedia pedoman dan peraturan yang jelas untuk mengintegrasikan kegiatan REDD + ke dalam perencanaan tata ruang
Lingkungan Hidup:
(+) Kepastian arah pengelolaan wilayah desa
Sosial
(+) kepastian batas desa
21
Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
yang akan mendukung masyarakat dalam mengintegrasikan kegiatan REDD + ke dalam rencana tata ruang dan pembangunan desa;
Pembentukan Desa Hijau, atau Kampung Iklim bertujuan untuk mengurangi emisi berdasarkan rencana pembangunan desa
desa;
Desa-desa utama menerapkan Rencana Pengelolaan Kebakaran Hutan yang mengarah pada pengurangan kebakaran
desa memasukkan kegiatan ER dalam rencana tata ruang dan desa mereka
(+) program kepastian dan manajemen regional
(-) konflik batas desa
Komponen 2: Meningkatkan pengawasan dan administrasi hutan
2.1 Memperkuat kapasitas manajemen dalam Wilayah Hutan Negara: pengembangan KPH
Penguatan kapasitas untuk KPH untuk mengelola kawasan hutan dan mengawasi perusahaan konsesi;
Pengembangan dokumen perencanaan (FMH), RPHJP, pertukaran pengetahuan, dan pengembangan bisnis (hingga 21 FMU)
Pengembangan pedoman dan pendekatan untuk memantau dan mendukung konsesi dalam implementasi kebijakan HCV dan RIL;
Penguatan kapasitas untuk KPH untuk mendukung dan melaksanakan program Kehutanan Sosial, mengawasi, memfasilitasi, dan memantau pelaksanaan kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran yang dilakukan oleh konsesi dan masyarakat lokal;
Penentuan batas-batas KPH dan Blok Pemanfaatan Hutan;
Pencegahan dan pengendalian kebakaran melalui kolaborasi dengan pemegang konsesi dan masyarakat;
Mendukung koordinasi dan pembelajaran lintas KPH dengan mendukung KPH Center, yang didirikan pada awal 2017
KPH diperkuat dengan dibiayai sendiri sebagian melalui bisnis terkait hutan yang berkelanjutan;
KPH mengawasi konsesi hutan dan perkebunan kayu di tingkat kabupaten untuk kepatuhan terhadap kebijakan RIL dan HCV;
Lingkungan Hidup
(+) Peningkatan kualitas hutan dan habitat hewan karena manajemen yang baik
(+) Meningkatkan layanan lingkungan karena praktik manajemen yang lebih baik
(+) Batas yang jelas (batas) antara unit pengelolaan hutan
Sosial
(+) efisiensi pengelolaan hutan
(+) Lembaga-lembaga Unit Pengelolaan Kehutanan berwenang dan dukungan dana yang memadai
(+) Mengurangi konflik dalam pengelolaan hutan
(+) Perlindungan hak-hak komunitas lokal (penduduk asli) dipertimbangkan
22
Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
2.2 Memperkuat pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan Tanaman Perkebunan yang berkelanjutan
Memperkuat kapasitas kabupaten dan kota untuk melakukan dan mencapai komitmen deklarasi di atas.
Mendukung dan mengembangkan program untuk konsesi tanaman perkebunan untuk mengimplementasikan ISPO
Pemberian bantuan teknis (dan pelatihan) kepada badan-badan pemerintah untuk pelaksanaan komitmen di atas
Deklarasi tanaman perkebunan berkelanjutan ditandatangani oleh tujuh kabupaten dan oleh perusahaan-perusahaan utama;
Instansi pemerintah daerah memiliki kapasitas untuk mengawasi dan melaksanakan komitmen, yang mengarah pada perlindungan hutan HCV di dalam area tanaman perkebunan.
Lingkungan Hidup:
(+) Pengurangan emisi dari praktik kegiatan perkebunan
(+) Penurunan laju deforestasi dari pembukaan perkebunan
(+) Perlindungan Kawasan NKT dan habitat satwa liar
(+) Mengurangi atau membakar tanah dalam aktivitas - pembukaan - perkebunan
Sosial
(+) Berkurangnya konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan
(+) Perlindungan hak-hak komunitas (Pribumi/lokal)
(+) Peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar perkebunan
Komponen 3: Mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di dalam area berlisensi
3.1. Implementasi kebijakan HCV untuk Kebun Kelapa Sawit
Mencapai mempertahankan 640.000 ha hutan alam dan 50.000 ha lahan gambut di dalam konsesi tanaman perkebunan pada tahun 2030, sejalan dengan komitmen pemerintah daerah melalui penandatanganan deklarasi mengenai hal tersebut.
Pemetaan untuk identifikasi dan inventarisasi area HCV pada tanaman perkebunan yang ada dan konsesi lainnya yang belum memiliki izin perkebunan
Percepatan peraturan Gubernur tentang pedoman dan implementasi NKT terkait dengan tanaman perkebunan berkelanjutan.
Memberikan bimbingan dan pengawasan tanaman perkebunan dalam mengimplementasikan HCV
Bantuan teknis kepada perusahaan dan lembaga pemerintah untuk pelaksanaan komitmen HCV.
Peningkatan substansial dalam jumlah perusahaan perkebunan yang menerapkan kebijakan perkebunan berkelanjutan (termasuk ISPO, RSPO, dan HCV) mengarah pada peningkatan perlindungan hutan yang tersisa dalam area yang dialokasikan untuk tanaman perkebunan;
Perusahaan perkebunan berkomitmen dan menerapkan praktik yang lebih berkelanjutan;
Mengurangi deforestasi melalui peningkatan manajemen dan
Lingkungan Hidup:
(+) meningkatkan pengelolaan lahan di area penggunaan lain dan menyinkronkan data spasial provinsi dan kabupaten
(+) melindungi kawasan hutan dalam APL, keanekaragaman hayati, satwa yang dilindungi dan hampir punah
(+) mempertahankan jasa lingkungan yang disediakan dari kawasan berhutan termasuk cadangan karbon.
(+) mengurangi polusi di area penggunaan lain.
Sosial
(+) melindungi daerah yang memiliki nilai ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat.
(-) memiliki potensi untuk membatasi akses dan kegiatan masyarakat untuk memanfaatkan lahan, hasil hutan kayu dan non-kayu di lahan HCV dan potensi konflik dengan perusahaan.
(-) Masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam konsesi kelapa sawit memiliki potensi untuk menganggap daerah
23
Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
Bantuan teknis kepada perusahaan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan dan untuk pencegahan kebakaran.
Memfasilitasi pengawasan pemerintah terhadap penerapan manajemen HCV oleh perusahaan perkebunan
perlindungan hutan yang tersisa di dalam area yang dialokasikan untuk tanaman perkebunan;
HCV sebagai tanah yang tidak digunakan oleh konsesi, yang mendorong mereka untuk melakukan pembukaan lahan, pembalakan liar dan pertambangan.
3.2 Dukungan untuk petani kecil dan Sistem Pemantauan dan Manajemen Kebakaran Berbasis Masyarakat (CBFMMS)
Memfasilitasi kemitraan antara perusahaan perkebunan besar dan masyarakat lokal dalam mengendalikan kebakaran hutan dan lahan;
Memfasilitasi pengembangan kelompok masyarakat untuk pencegahan kebakaran;
Ketentuan pembangunan kapasitas untuk kelompok-kelompok (manajemen kebakaran dan sistem pemantauan berbasis masyarakat (CBFMMS);
Ketentuan bantuan teknis dan pelatihan untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran oleh petani kecil dan peralatan yang relevan untuk petani kecil.
Pertimbangkan untuk mengembangkan sistem peringatan dini untuk kejadian kebakaran
Pengembangan sistem proteksi kebakaran melalui upaya atau respons untuk menyediakan jalur pemadaman api, pengenalan perkebunan yang dapat menahan api dengan lebih baik, pemasangan menara api, dan pembangunan kolam api.
Praktek-praktek manajemen yang ditingkatkan oleh petani kelapa sawit mengarah pada berkurangnya deforestasi di dan sekitar perkebunan petani kecil.
Lingkungan Hidup:
(+) Manfaat keberlanjutan untuk masyarakat dan lingkungan
(+) Mengurangi kebakaran hutan dan lahan
(+) Mengurangi konversi hutan menjadi perkebunan baru
(+) Meningkatkan pemahaman dalam pengelolaan perkebunan berkelanjutan
(+) Peningkatan perlindungan hutan dan habitat alami
Sosial
(+) Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk pengelolaan perkebunan berkelanjutan
(+) Peningkatan Kerjasama antara Perusahaan dan masyarakat dalam pengelolaan areal
(+) pengakuan terhadap kepemilikan tanah oleh masyarakat
(+) Meningkatkan pemahaman tentang praktik pembukaan lahan tanpa membakar atau mengendalikan pembakaran di pertanian
(-) Meningkatnya persyaratan modal finansial untuk pembelian peralatan kebakaran
(-) Perubahan dalam budaya dan teknologi sistem pembukaan lahan
3.3 Implementasi kebijakan HCV dan RIL untuk Konsesi
Mendukung finalisasi kebijakan RIL;
Mendukung konsesi dalam implementasi kebijakan RIL dan HCV;
Perkuat pemantauan HCV
Luas hutan yang dikelola secara berkelanjutan meningkat;
Para pemegang konsesi
Lingkungan Hidup:
(+) Mengurangi keterbukaan kanopi hutan
(+) Mengurangi erosi tanah
(+) Simpan bibit alami di lantai hutan
24
Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
Kehutanan
Pelatihan tentang RIL, Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (PHPL), dan pengelolaan NKT (26 pelatihan tentang pengelolaan NKT akan diberikan pada tahun 2024)
hutan mengadopsi praktik-praktik Pengelolaan Hutan Berkelanjutan;
Konsesi pengelolaan hutan melaksanakan praktik pengelolaan hutan yang lebih baik (Pengurangan Dampak Pembalakan);
Hutan tanaman menerapkan kebijakan untuk melindungi Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (HCV) yang tersisa di dalam konsesi mereka
(+) Meningkatkan biomassa hutan/stok karbon
(+) Melestarikan hasil hutan non-kayu (+) Mengurangi fragmentasi hutan
(+) Meningkatkan hutan utuh
(+) Berkurangnya aliran dan kekeruhan sungai
(-) Meningkatkan kekompakan tanah pada jalan sarad
(-) Limbah dari operasi peralatan dan kendaraan selama praktik RIL
Sosial
(+) Pasokan produk hutan non-kayu untuk kebutuhan masyarakat tetap aman
(+) Pohon-pohon raksasa diharapkan tetap aman sebagai inang bagi lebah madu
(+) Masyarakat lokal akan terpapar oleh praktik kehutanan yang baik langsung atau tidak langsung
(+) Sumber air tawar untuk penduduk setempat tetap aman
(-) Pekerja tidak terampil lokal dapat digantikan oleh pekerja terampil dari luar kelompok
(-) Bagi penduduk setempat yang terkait dengan kegiatan penebangan liar dapat kehilangan pekerjaan dan penghasilan mereka
Komponen 4: Alternatif Berkelanjutan untuk Masyarakat
4.1 Mata pencaharian berkelanjutan
Memfasilitasi perencanaan pembangunan desa untuk memadukan pertanian swidden yang berkelanjutan, paludikultur, pengelolaan mangrove, budidaya kelapa sawit petani kecil, dan mata pencaharian berkelanjutan lainnya.
Mendukung dan mendorong pengembangan komoditas non-kelapa sawit, termasuk pengembangan pemrosesan dan pemasaran produk non-minyak sawit
Ketentuan pelatihan, lokakarya, dan plot
Mengurangi konflik di dalam dan sekitar kawasan hutan konservasi
Peningkatan kapasitas masyarakat untuk merespons kebakaran hutan dan mengurangi insiden kebakaran di kawasan hutan konservasi
Desa menerapkan investasi
Lingkungan Hidup:
(+) Peningkatan kualitas dan luasnya hutan bakau dan pengelolaan pesisir di wilayah program
(+) Peningkatan luas tutupan lahan di area budidaya
(+) meningkatkan kualitas kesuburan tanah/tanah
Sosial
(+) Meningkatkan pendapatan masyarakat atau ekonomi masyarakat yang diperoleh dari penjualan kayu tumpangsari di ladang
25
Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
percontohan untuk alternatif tanpa pembakaran, opsi mata pencaharian berkelanjutan (ekowisata, pengelolaan kolam ramah, dan produksi gula nipah), akses ke pembiayaan;
Meningkatkan kesadaran akan dampak ekologis dan sosial dari konversi mangrove, perkebunan kelapa sawit skala kecil;
yang berfokus pada masyarakat yang mengarah pada pengurangan emisi dan penggunaan lahan berkelanjutan;
(+) Memperkuat keterlibatan masyarakat dan pemberdayaan untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam.
(+) Meningkatkan kapasitas produksi perikanan tambak
(-) Dengan lembut menghilangkan nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat Dayak
(-) Menurunkan produksi tambak
(-) Perubahan budaya dan teknologi sistem akuakultur
4.2 Kemitraan konservasi
Memfasilitasi kemitraan konservasi di atau dekat kawasan konservasi, yang akan mencakup dukungan untuk mata pencaharian berkelanjutan (NTFP);
Pelatihan masyarakat di empat kawasan konservasi (perlindungan hutan dan pemanfaatan berkelanjutan kawasan di sekitar kawasan konservasi, perikanan tambak/kolam ikan berkelanjutan)
Identifikasi potensi peluang bisnis yang berkelanjutan (layanan ekologi NTFP)
Melakukan keputusan darurat untuk memasuki cagar alam/cagar alam untuk memadamkan api. Mengembangkan dan melakukan program peningkatan kesadaran untuk memasukkan pemukim baru ke daerah (pemukim perkotaan dan non-perkotaan) dan juga masyarakat lokal untuk mendukung perlindungan kawasan hutan.
Praktek mangrove dan gambut berkelanjutan dideklarasikan dan diadopsi oleh para pemangku kepentingan
Jumlah produsen komersial skala kecil dan bagian lain dari rantai nilai menyediakan modal sebagai hasil dari mekanisme pembagian manfaat karbon dan non-karbon
Lingkungan Hidup:
(+) Mengurangi tekanan publik pada kawasan konservasi
(+) Mengurangi ancaman kebakaran hutan
(-) Pembukaan kawasan dalam skala kecil karena pembangunan sarana/prasarana pendukung
Sosial
(+) Membuka peluang kerja bagi masyarakat
(+) Peningkatan pendapatan masyarakat
(+) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia masyarakat
(+) Meningkatnya rasa memiliki masyarakat terhadap kawasan konservasi sehingga partisipasi masyarakat akan lebih aktif
4.3 Kehutanan sosial
Pemberdayaan lembaga desa (lembaga pengelolaan hutan desa) dan pengembangan kapasitas bisnis masyarakat (70 rencana bisnis dikembangkan pada tahun 2024);
Perumusan dan fasilitasi program dan pelatihan masyarakat dan desa (di 50 desa);
Peningkatan pembentukan kelompok kehutanan sosial (RKU) yang mengarah ke opsi mata pencaharian berkelanjutan dan mengurangi deforestasi
Lingkungan Hidup:
(+) Peningkatan nilai keanekaragaman hayati
(+) peningkatan daerah tangkapan air
(+) Mengurangi degradasi hutan dan deforestasi
(+) Perlindungan hutan konservasi yang lebih baik
(+) Perlindungan yang lebih baik dan ekosistem mangrove
26
Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
Coaching dan mentoring untuk implementasi rencana kerja dan rencana bisnis.
Dukungan melalui fasilitator dan/atau koordinator lapangan untuk mendapatkan akses ke proses perizinan untuk program kehutanan sosial di 85 desa sasaran (catatan: satuan tugas untuk kehutanan sosial telah dibentuk).
dari perambahan di kawasan berhutan.
Peningkatan lisensi kehutanan sosial mempromosikan kehutanan berkelanjutan dan memberikan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat lokal
yang lebih baik
(+) Meningkatkan kualitas pengelolaan hutan
(+) Peningkatan perlindungan kawasan hutan dan keanekaragaman hayati
(+) Mempertahankan cadangan karbon dan mengurangi pembalakan liar
Sosial
(+) Peningkatan akses ke sumber daya hutan dan peningkatan mata pencaharian masyarakat
(+) Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat terkait kehutanan sosial
(+) Peningkatan kapasitas konservasi hutan
(+) Peningkatan akses ke hutan melalui skema kemitraan konservasi hutan
(+) Menghasilkan pendapatan berkelanjutan untuk masyarakat lokal
(+) Lebih banyak manfaat bagi masyarakat lokal (layanan lingkungan, mis. Ekowisata, dan kegiatan ekonomi)
(+) implementasi di tingkat kabupaten akan lebih jelas karena Kabupaten akan membentuk tim inventarisasi dan verifikasi komunitas hutan adat dan Bupati akan menentukan MHA, pasal 9-11
(+) publik memiliki batas administrasi yang lebih jelas
(+) bantuan untuk mengakses area yang dikelola masyarakat dapat diprogram
(+) Pembiayaan/Pendanaan pengembangan rencana bisnis dan implementasi dapat diimplementasikan terprogram
(-) Potensi konflik karena tidak semua anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan kurangnya kesadaran tentang konservasi hutan
(-) Adat (adat) tidak diakui dengan benar, karena keterlibatan adat tidak terbatas hanya pada hutan adat
27
Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
(Hutan Adat).
(-) masyarakat dengan wilayah hutan terbatas merasa sulit untuk mendapatkan program ini
Komponen 5: Manajemen dan Pemantauan Proyek
5.1 Koordinasi dan manajemen proyek
5.1.1. Manajemen dan koordinasi implementasi program ER di semua tingkatan:
Memperkuat lembaga untuk manajemen proyek ER dan koordinasi lintas sektor
Mengembangkan mekanisme koordinasi
Manajemen proyek ER dan koordinasi lintas sektor diperkuat
mekanisme koordinasi
Tidak ada risiko sosial dan lingkungan yang dipertimbangkan.
5.1.2. Penyediaan biaya operasi untuk implementasi program ER:
Mengembangkan sistem manajemen keuangan untuk program ER
Memberikan pelatihan tentang manajemen keuangan
membangun sistem manajemen keuangan untuk program ER
Tidak ada risiko sosial dan lingkungan yang dipertimbangkan.
5.2 Pemantauan dan evaluasi
5.2.1. Implementasi pemantauan dan evaluasi untuk implementasi program ER:
Pelatihan tentang SESA dan ESMF;
Pemantauan dan evaluasi implementasi SESA dan ESMF;
Pelatihan pemantauan
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Program ER;
Pengembangan dan implementasi sistem pemantauan HCV
SESA, ESMF, ERP Diterapkan
Tidak ada risiko sosial dan lingkungan yang dipertimbangkan.
5.2.2. Pengukuran dan Pelaporan:
Meningkatkan data aktivitas melalui ground truthing;
Meningkatkan data faktor emisi melalui Plot Sampel Permanen;
Mengembangkan kapasitas Pengukuran ER;
Memperbarui citra satelit di Area Pengukuran;
ER Dilaporkan Tidak ada risiko sosial dan lingkungan yang dipertimbangkan.
28
Sub-komponen Kegiatan Hasil yang diharapkan Risiko Lingkungan HIdup dan Sosial
Mengembangkan dan menerapkan Sistem MMR sub-nasional (termasuk SIS)
5.3 Komunikasi program
5.3.1 Manajemen pengetahuan:
Pengembangan dan pemeliharaan basis data manajemen pengetahuan
Mengembangkan materi informasi, pendidikan dan komunikasi untuk pembelajaran bersama
Data dan pengetahuan dikelola
Tidak ada risiko sosial dan lingkungan yang dipertimbangkan.
5.3.2 Penyebaran informasi:
Membuat dan memelihara laman program ER;
Penyebaran materi informasi, pendidikan dan komunikasi
Informasi publik Tidak ada risiko sosial dan lingkungan yang dipertimbangkan.
29
IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN USULAN REKOMENDASI PERTIMBANGAN UTAMA LINGKUNGAN DAN SOSIAL Pertimbangan lingkungan untuk ESMF dapat meliputi:
Pengembangan Kerangka Kerja Pengelolaan Keanekaragaman Hayati untuk Proyek, atau
dimasukkannya pengelolaan keanekaragaman hayati di bawah alokasi HCV atau manfaat non-
karbon;
Mengatasi risiko pembatasan akses karena kawasan lindung dan alokasi HCV;
Pengenalan pengelolaan hutan dan kelapa sawit yang berkelanjutan untuk memastikan praktik
terbaik (termasuk mengoptimalkan penggunaan pestisida organik dan/atau biodegradable); dan
Risiko deforestasi dan degradasi karena mata pencaharian alternatif yang disediakan dalam ERP
(misalnya, akuakultur).
SESA mengidentifikasi pertimbangan sosial dan politik berikut ini:
Penyusunan pedoman dan/atau petunjuk teknis untuk menindaklanjuti moratorium, dan untuk
mengantisipasi risiko sosial dan lingkungan dari pencabutan izin. Ini mungkin terkait dengan
kebutuhan untuk melembagakan aplikasi ESMF di tingkat provinsi dan kabupaten;
Membentuk mekanisme penanganan pengaduan lintas sektoral (misal., desk penyelesaian
konflik) yang memungkinkan respons dan mediasi atas konflik yang ada atau di masa lalu.
Penting untuk menyelesaikan konflik ini, dan untuk menghindari akumulasi konflik lebih lanjut
dalam area penghitungan karbon;
Menetapkan mekanisme untuk menangani pemukiman kembali tidak secara sukarela (jika dipicu)
dan pembatasan akses karena delineasi hutan dan/atau HGU kelapa sawit; dan
Menetapkan dan memformalkan mekanisme pembagian manfaat untuk memungkinkan aliran
dana proporsional kepada penerima yang memenuhi syarat.
Di tingkat program, pertimbangan sosial dapat mencakup:
Program pengembangan ekonomi masyarakat untuk menggantikan hilangnya pembatasan
terhadap sumber daya hutan karena penguatan batas untuk sektor swasta; Menegakkan FGRM dan membentuk penghubung proyek untuk memfasilitasi setiap keluhan dan
menggunakan mekanisme yang ada sebagai platform resolusi konflik utama. Ini dapat mencakup
pengembangan mekanisme FGRM satu atap (mungkin di bawah Badan Komunikasi dan
Informasi) untuk memungkinkan FGRM lintas sektor (misalnya, sektor perkebunan, kehutanan,
dan pertambangan); Membangun basis data pemetaan sosial dan secara teratur memperbarui untuk mencerminkan
dinamika masalah sosial; Mengatasi risiko pembatasan akses karena kawasan lindung dan alokasi HCV; Pemantauan rutin program kehutanan sosial untuk menghindari kegagalan yang dapat menjadi
pemicu untuk membuka kawasan hutan dan/atau lebih banyak deforestasi; Menyiapkan Kerangka Perencanaan Masyarakat Adat yang tepat (IPPF) dan melakukan pelatihan
dengan pemangku kepentingan terkait; Buat program pengembangan ekonomi masyarakat alternatif yang dapat menggantikan mata
pencaharian di mana pohon saat ini ditebang dari hutan. Dalam ERP, Komponen 4 akan
mengatasi masalah ini melalui beberapa program, termasuk mata pencaharian alternatif, dan
akses ke keuangan; Penjadwalan dan perencanaan yang efektif, yang diperlukan untuk meminimalkan risiko
keterlambatan dalam kegiatan pengembangan kapasitas; Identifikasi yang tepat dari pelatih yang kredibel dan/atau lembaga pelatihan untuk menyampaikan
sesi peningkatan kapasitas yang diperlukan; Mendorong partisipasi kelompok tani lokal dalam program pengelolaan hutan dan kebakaran
lahan/pengelolaan hutan dan kebakaran berbasis masyarakat;
30
Mendorong partisipasi dari sektor swasta dalam pengelolaan kebakaran lahan dan hutan; dan Pengembangan Rencana Aksi Gender untuk program penurunan emisi.
ANALISIS KEBIJAKAN
Masalah utama kebijakan terdiri dari kurangnya kolaborasi lintas sektoral, tumpang tindih perizinan,
manajemen HCV dalam konsesi (baik konsesi kehutanan dan non-kehutanan), operasionalisasi KPH,
penanganan konflik tenurial dan perselisihan, termasuk keluhan dan pembatasan akses.
Kebijakan nasional tentang moratorium dalam konsesi kehutanan (Instruksi Presiden No. 6/2017)
adalah bagian dari manajemen kehutanan, dan relevan untuk aplikasi untuk menghindari batas-batas
yang tumpang tindih di antara konsesi hutan. Pembaruan peta moratorium, saat ini berdasarkan
Keputusan Menteri LHK No 3588/2018 sedang berlangsung, dan perlu dipertahankan untuk
memastikan informasi terbaru. Di tingkat provinsi, kebijakan yang ada tentang perkebunan kelapa
sawit berkelanjutan (Perda Kaltim No. 7/2018) dan moratorium pertambangan (Pergub Kaltim No.
1/2018) membahas kebutuhan untuk memperjelas batas-batas konsesi perkebunan dan
pertambangan yang ada, sehingga dapat menghindari batas yang tumpang tindih. Selain itu,
pemerintah provinsi telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 26/2018 tentang Aksi Inspiratif
Warga untuk Perubahan Perencanaan partisipatif dapat membantu mengurangi risiko konflik dan
perselisihan. Karena signifikansinya dalam mendukung program, sehingga kebijakan ini perlu
dipertahankan.
Berdasarkan pertimbangan lingkungan dan sosial di atas, perbaikan dan/atau perubahan kebijakan
yang ada harus terdiri dari (tetapi tidak terbatas pada):
Perbaikan pada Peraturan Gubernur No. 1/2018 tentang moratorium penambangan perlu
mendorong audit lingkungan dan sosial pada konsesi pertambangan yang ada. Peraturan
tersebut perlu memungkinkan periode yang cukup untuk pemulihan lingkungan, serta untuk
mengatasi komoditas selain batubara (misalnya, batu kapur);
Kebijakan provinsi menyeluruh untuk mendukung FGRM terintegrasi (inisiatif diamati dalam
Sekretariat Provinsi/Sekda) untuk mekanisme penyelesaian konflik terpusat dari sektor
perkebunan, pertambangan dan kehutanan di bawah koordinasi Sekda;
Kebijakan tentang pengelolaan hutan lestari seperti HCV dan RIL perlu ditetapkan untuk
menegakkan aplikasi mereka di antara perusahaan di sektor kehutanan dan perkebunan; dan
Kebijakan untuk mendorong pengembangan kapasitas di antara staf KPH dan pejabat desa. Ini harus
mengatasi kesenjangan dalam kapasitas sumber daya manusia untuk mengelola kawasan hutan dan
non-hutan, serta mendukung operasionalisasi KPH.
KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN STRATEGI KETERLIBATAN
Untuk menerapkan program penurunan emisi dengan benar, pengembangan kapasitas akan
diperlukan untuk memastikan kesiapan masyarakat lokal, dan pemerintah kabupaten dan provinsi
untuk melakukan kegiatan utama yang diuraikan dalam program. Kebutuhan pengembangan
kapasitas yang diidentifikasi dalam SESA adalah:
Pelatihan masyarakat terkait manajemen dan pengembangan bisnis untuk produk hutan non-
kayu;
31
Pelatihan masyarakat/pengembangan kapasitas untuk petani kecil dan sektor swasta serta
lembaga pemerintah terkait dengan pertanian tanaman berkelanjutan dan tentang ESMF;
Pelatihan masyarakat/pengembangan kapasitas terkait dengan akses ke program keuangan dan
pertanian berkelanjutan (terutama pada teknologi pasca panen untuk nilai tambah);
Peningkatan kapasitas untuk KPH (pemerintah provinsi) dan lembaga pemerintah terkait ESMF;
dan
Pembangunan kapasitas untuk sektor pemerintah dan swasta terkait dengan penyelesaian
perselisihan dan penanganan pengaduan, serta program pengelolaan dan pemantauan
lingkungan dan sosial (ESMF dan ESMP).
Strategi keterlibatan yang direkomendasikan untuk memperkuat implementasi ERP adalah:
Penegakan dan penguatan perlindungan yang ada termasuk ESMF untuk pemangku kepentingan
terkait (terutama sektor swasta dan juga lembaga pemerintah). Ini akan dilakukan melalui
pemerintah provinsi dan kabupaten;
Memperkuat FGRM untuk tingkat proyek dan menghubungkannya dengan FGRM nasional (di
bawah KLHK, Ditjen PSKL). Dirjen PPI, P3SEKPI dan DDPI Kaltim adalah pemangku kepentingan
utama untuk memperkuat FGRM;
Berikan informasi yang transparan tentang proses perizinan untuk memungkinkan pemantauan
yang efektif atas izin dan pelanggaran batas konsesi. Ini dilakukan dengan masyarakat lokal dan
UPH melalui sosialisasi dan konsultasi FPIC; dan
Pengembangan IPPF dengan definisi yang jelas tentang Masyarakat Adat. Ini akan dilakukan
dengan dewan adat yang relevan di Provinsi Kalimantan Timur.
PROSES KONSULTASI PROGRAM PENURUNAN EMISI Poin-poin penting yang dibahas dalam sesi konsultasi meliputi:
Penerapan Perkebunan berkelanjutan di Kaltim. Ini dilakukan untuk memperkenalkan FCPF-
Carbon Fund, dan untuk nembahas pentingnya perkebunan (yaitu, kelapa sawit) untuk
mengurangi emisi karbon. Diskusi ini menghasilkan Deklarasi Pembangunan Perkebunan
Berkelanjutan oleh Sekretaris Daerah Kalimantan Timur dan Sekda 7 kabupaten yang
ditandatangani oleh Gubernur dan Bupati;
Desain program yang dimulai dengan pengembangan Emission Reduction Project Idea Notes
(ERPIN). Proses dilanjutkan dengan finalisasi ERPIN dan ERPD. Diskusi tentang desain program
termasuk pendekatan untuk mengintegrasikan program penurunan emisi dengan rencana
pembangunan, serta menyelaraskan/mengarusutamakan program penurunan emisi dengan
strategi Kalimantan Timur yang ada untuk pengurangan emisi;
Aspek kapasitas yang terdiri dari Tingkat Referensi Emisi Hutan (FREL), Pengukuran, Pelaporan
dan Verifikasi (MRV), manajemen data/pengetahuan, SESA, dan FPIC. Ini akan menjadi kapasitas
yang diperlukan di tingkat provinsi dan kabupaten untuk menjalankan program;
Kesiapan untuk implementasi REDD+ di Kalimantan Timur terdiri dari status kapasitas yang ada,
metodologi untuk penilaian sendiri, dan evaluasi kesiapan;
Pengembangan SESA dan ESMF sebagai komponen wajib untuk mematuhi mandat dari COP 16.
Proses ini termasuk konsultasi publik SESA dan ESMF kepada pemangku kepentingan utama di
tingkat nasional dan provinsi;
32
Mekanisme pembagian manfaat yang mencakup perhitungan emisi (karbon) berdasarkan analisis
data spasial, distribusi manfaat di tingkat lokasi, dan insentif untuk pihak terkait berdasarkan
kinerja yang telah berhasil mengurangi emisi GRK dalam program FCPF-Carbon Fund; dan
Membangun komitmen antara Pemerintah Indonesia dan FCPF untuk mencapai ERPA melalui
berbagai pertemuan dan misi Bank Dunia.
top related