reproduksi status tradisional dalam praktik … · mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik...
Post on 12-Mar-2019
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
REPRODUKSI STATUS TRADISIONALDALAM PRAKTIK POLITIK DI KABUPATEN WAJO
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar SarjanaPada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
Oleh:
ANDI MUHAMMAD YUSUFE511 05 027JURUSAN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2012
iv
ABSTRAK
Andi Muhammad Yusuf K. (E 511 05 027), skripsi Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo. Dibawah Bimbingan Bapak Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA selaku Pembimbing I (pertama) dan Bapak Dr. Tasrifin Tahara, M.Si selaku Pembimbing II (kedua).
Skripsi ini merupakan penelitian yang berisi penggambaran dan telaah mengenai kaitan aspek historitas dengan praktik politik orang Bugis Wajo dalam berpolitik. Salah satu dimensi yang menjadi fokus dalam skripsi ini adalah bangunan struktur masyarakat Wajo yang dipelajari dari rangkaian sejarah untuk menemukan aspek yakni status tradisional yang menjadi salah satu komponen dalam budaya politik dan setidaknya cukup mempengaruhi bagaimana praktik politik yang dilakukan orang Bugis Wajo. Telah cukup lama diketahui bahwa masyarakat Wajo pada masa kerajaan memiliki tatanan politik yang tidak sedikit, berbeda dengan tatanan politik di belahan negeri Bugis lain disekitarnya yang menekankan pembagian kekuasaan diantara kalangan bangsawan yang menduduki setiap wanua untuk menjabat sebagai Arung Matoa. Hingga hari ini, kedudukan Wajo dalam otonomi daerah menghadirkan kembali tatanan dalam kultur Orang Bugis Wajo yang mendorong legitimasi simbol-simbol budaya seperti status sosial yang direproduksi yang bersinggungan dengan praktik politik dan pergulatan kekuasaan.
Penelitian lapangan yang dilakukan antara Januari 2011 sampai Juni 2011 ini mengambil setting di Kabupaten Wajo dan di 3 kecamatan dan beberapa desa yang ada di wilayah administratif kabupaten Wajo. Penelitian ini menekankan pada berbagai peristiwa dalam keseharian orang Bugis Wajo yang diantaranya juga melalui penuturan ataupun penceritaan kembali peristiwa yang telah berlalu. Di samping itu, penelitian ini melingkupi penelitian arsip, dokumen, dan naskah sejarah untuk mendapatkan berbagai informasi terkait dengan kerangka penelitian. Metode pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, pengamatan, dan analisis dokumen. Para informan adalah tokoh masyarakat; tokoh agama dan tokoh politik masyarakat Wajo; pejabat dan mantan pejabat di kecamatan/desa; serta orang-orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan berkenaan dengan berbagai peristiwa yang memiliki korelasi dengan masalah politik di Kabupaten Wajo.
Hasil penelitian melukiskan tentang perilaku arung dalam melegitimisasi identitas dirinya melalui sebuah akar sejarah dan dikonstruksikan dan diproduksi dalam tradisi yang dimunculkan dalam garis keturunan klen para penguasa wanua sebelumnya yakni Bettempola, Talo’tenreng, dan Tuwa. Kecenderungannya kemudian tidak lain memunculkan pemilahan masyarakat pada dua kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik dan kelompok masyarakat yang tidak memilikinya, tetapi kemudian justru membentuk keterkaitan dengan relasi struktur patronase (Ajjjoareng-joa). Pada proses konstruksi dan mempertahankan kekuasaan sebagai bagian dari warisan (sejarah) budaya, dimensi status kemudian direproduksi sedemikian rupa oleh kelompok masyarakat keturunan arung. Pada kadar tertentu, reproduksi status cukup mempengaruhi kultur masyarakat Wajo dalam menduduki kekuasaan dan dihadirkan pada praktik-praktik politik sebagai bagian dari upaya strategi politik mendominasi kekuasaan. Praktik politik yang termanifestasi dalam momen politik seperti pemilihan legislatif dan kepala daerah memperlihatkan pola dan karakteristik dari praktik Ajjoareng-joa cukup berpengaruh guna mendapatkan dukungan politik dan kedudukan kekuasaan.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur dalam segenap rasa dan fikiran penulis sujudkan kepada
pemberi segala rahmat Allah SWT. Serta salawat serta salam tak lupa penulis
haturkan kepada pembawa teladan dari segala tauladan di dunia ini Rasulullah
Muhammad SAW beserta Keluarganya yang telah memperkenalkan risalah
keadilan pada umat manusia.
Alhamdulillah, penulis akhirnya mendapat suatu momentum untuk
merampungkan penulisan dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Reproduksi
Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo”. Dan dari segala
apa yang ada dalam karya tulisan ini adalah dimensinya yang tak lepas dari
adanya kekurangan dan kelemahan, yang penulis sadari tak mampu menuangkan
semuanya dengan adanya batasan ruang dan waktu. Disamping itu, keterbatasan
wawasan dan pengetahuan yang penulis miliki masih belum mumpuni untuk
berpetualang dalam wahana ilmu yang begitu luas, dan hanya cukup menjadikan
karya kecil ini sebagai bagian terkecil dari kisah yang menyajikan pengetahuan.
Sealur garis panjang, terlalu panjang malah, sudah terlewati. Dan seperti
laiknya, ketika perjalanan menyusur sebuah garis telah tiba di satu titik, dan
harus digores lagi garis baru untuk dijelajah, selalu terbetik bermacam rasa yang
terpadu: bangga, bahagia, dan haru, tapi juga galau, gelisah, dan sendu. Dalam
perjalanan menuju titik ini, skripsi ini, ada banyak tangan yang menuntun, ada
banyak kaki yang mengantar, ada banyak telinga yang mendengar, ada banyak
mulut yang menghibur, dan ada banyak hati yang mengerti. Ucapan terima kasih,
betapapun ditata dengan aksara emas, atau kata-kata berhias, takkan pernah
membayar semuanya dengan lunas dan tuntas. Tapi hanya kata sederhana inilah
yang bisa diberikan, beserta seuntai doa tulus nan bersahaja: Dia Yang Tak Buta
dan Tak Pelupa yang akan mengganjar dengan selaksa kali, saat ini dan nanti.
Ucapan terima kasih penulis untuk:
1. Pihak Dekanat, Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA dan seluruh sivitas
akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
vi
2. Untuk Pembimbing I penulis, Prof. Dr. H. Pawennari Hijjang, MA disela-sela
canda versi bapak „Haji memberikan dorongan dan motivasi yang luar biasa
untuk penyelesaian penulisan ini serta Pembimbing II, Dr. Tasrifin Tahara,
M.Si yang selalu baik mengingatkan draft akhir tulisan.
3. Dr. Munsi Lampe, MA dan Drs. Yahya, MA beserta Dosen-dosen pengajar
dan staf jurusan yang telah menghadirkan suasana hangat dan bersahaja
selama perjalanan studi penulis di Jurusan Antropologi.
4. Dr. Muhammad Basir, MA yang masih mengingat semua bukunya dan rela
meminjamkannya kepada penulis selama penulisan skripsi.
5. Untuk cerita dan petunjuk Andi Rahmat Munawar, kerabat penulis, bapak-
bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara masyarakat Sabbangparu, Belawa, dan
Majauleng.
6. Sahabat-sahabat E 511 05‟ pemicu tawa dan pemacu motivasi (Ulla‟, Abon,
Mail, Waes, Jaya, Bom2, Adhe, Iting, Rancid, Bolla‟,… Anthrop ‟05).
7. Kerabat Antropologi penghuni HUMAN, senior dan yunior yang telah
banyak berbagi canda sepaket ilmu pengetahuan dan rekan-rekan para
penggiat KEMA FISIP UNHAS untuk wahana lembaganya.
8. Adik-adik, kerabat: Ilham, Fadli, Dani, Aliyah, Dwi, Ricta, Ciko‟, Eka, dan
Ayi‟ yang menyempatkan diri membantu penulis dalam penelitian lapangan.
9. Sahabatku, kekasihku, genggaman tanganku, peretas pikiranku Munauwarah
dari kesabaran hingga ketulusan.
10. Dan akhirnya untuk Bapa‟ dan Emma‟, dua kaki yang menopang paling
kokoh, dua tangan yang menuntun paling lembut, dan dua hati yang
mengerti paling dalam.
Untuk memungkasi pengantar ini, dari segala kekurangan dan kekhilafan
penulis menghaturkan maaf dan berharap semoga lembar-lembar ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, Wassalam.
Makassar, Januari 2012
Andi Muhammad Yusuf
vi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENERIMAAN ....................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Fokus Penelitian ......................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 9
D. Tinjauan Konseptual ................................................................... 10
E. Metode Penelitian ........................................................................ 18
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendekatan dalam Kajian Politik dan Kekuasaan ...................... 31
B. Pendekatan Historis Dalam Penelitian ....................................... 41
C. Wujud Budaya Praktik Politik Lokal ........................................... 47 D. Status Tradisional: Modal Simbolik Dalam Praktik Politik ....... 55
E. Reproduksi Status Sosial Dalam Struktur Patron-Klien ........... 60
BAB III GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Singkat Berdirinya Wajo ............................................... 66
B. Keadaan Geografis ...................................................................... 69
C. Profil Organisasi Pemerintah Daerah ........................................ 70
D. Tatanan Nilai Dalam Sistem Pemerintahan .............................. 74
E. Karakteristik Informan ............................................................... 76
BAB IV REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK POLITIK
A. Politik Dalam Sejarah Wajo: Proses Produksi Status dan
Kekuasaan .................................................................................... 83
B. Reproduksi Status Tradisional Sebagai Strategi Politik ............. 112
C. Karakteristik Pola Praktik Politik Orang Bugis Wajo .................. 124
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 133 DAFTAR PUSTAKA
1
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
“ … Jika kita menyadari bahwa diantara semuaNegara di Timur … hanya orang Bugis yang telahsampai pada tingkatan pengakuan hak-hakwarga Negara, dan satu-satunya yang telahmembebaskan diri dari belenggu kelaliman.”
(James Brooke, 1848)1
Awal abad ke-16 sebuah perjalanan pelaut Inggris melaporkan dalam
catatan perjalanannya ketika mengunjungi kerajaan-kerajaan di semenanjung
Sulawesi, Kerajaan Wajo yang dikunjungi pada masa itu dilukiskan sebagai
kerajaan “Demokratis” yang oleh Mattulada menyebutnya “Republik
Ariktokrasi”, serta Pelras yang juga memberikan ulasannya.2 Meski agak
berlebihan menyebutnya, namun catatan historis menyebutkan dari berbagai
tulisan memberikan gambaran mengenai Kerajaan Wajo pada masa itu tentang
bentuk Negara dan Pemerintahan di Kerajaan tersebut yang mirip dengan sistem
demokrasi apalagi dengan bentuk penghargaan terhadap warga Wajo’ sebagai
orang merdeka.
Tak ada jabatan dalam kerajaan yang dianggap sebagai warisan mutlak,
bisa saja hanya menjabat dalam waktu periode tertentu, meskipun tidak sedikit
dari kalangan bangsawan atau keturunan penguasa yang mewarisinya. Orang-
orang yang akan menduduki jabatan dan mengisi struktur pemerintahan dipilih
oleh dewan pemilihan khusus yang berdasarkan berbagai kriteria seperti garis
keturunan, hubungan dengan pejabat sebelumnya, kualitas pribadi, dan
1 Kutipan Christian Pelras mengenai catatan perjalanan James Brooke yang melukiskan tentang bentukkekuasaan di Kerajaan Wajo dalam bukunya Manusia Bugis (2006: 202)
2 Ulasan Pelras mengenai sistem kerajaan (Arung Pattapulo) di Wajo yang terbagi kedalam beberapa bagiankekuasaan di daerah-daerah yang terbentuk menjadi lembaga pemerintahan yang kemudian disebutnyamenyerupai parlemen.
2
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
pengaruh yang dinilai dari jumlah dan kualitas pengikutnya, tanpa
memperhitungkan di daerah mana ia tinggal.3
Pada masa Kerajaan Wajo, dimana dalam catatan sejarah ditemukan
model pranata politik dalam lingkungan sosial budaya para bangsawan yang
membentuk struktur kerajaan yang kekuasaannya terbagi. Seorang penguasa
dinamai atau disebut Arung Matoa (raja/pemimpin para matoa) yang umumnya
selalu diduduki oleh seorang laki-laki, ia dibantu oleh suatu dewan yang disebut
Arung Matoa Wajo dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh Arung
Ennenngé atau Petta Ennenngé (enam petinggi) yang anggotanya adalah tiga
orang Padanréng (sekutu, pendamping) dan tiga orang Baté Lompo (pemegang
panji). Lembaga pimpinan tertinggi kerajaan Wajo ini di bantu oleh Arung
Mabbicara sebagai lembaga pembuat undang-undang. Disamping itu juga
terdapat lembaga yang disebut Suro ri Bateng yang beranggotakan tiga orang
yang berasal dari 3 wanua asal yang 3 tugas yaitu untuk menyampaikan hasil
permufakatan dan perintah dari Padanreng kepada rakyat, menyampaikan
perintah-perintah Bate-Lompo kepada rakyat, dan menyampaikan hasil
permufakatan dan perintah dari Petta Wajo. Jadi terdapat 40 orang dalam
lembaga pemerintahan Tana Wajo, yang terdiri atas 1 orang Arung Matoa, 6
orang Arung Ennengnge, 3 orang Suro ri Bateng, 12 orang Arung Mabbicara, 18
penasehat). Ke 40 orang atau jabatan ini disebut Arung Patappuloe’ (pertuanan
yang empat puluh) yang bentuknya menyerupai sistem parlemen. Bentuk atau
struktur pemerintahan tersebut diperkuat oleh tese Mattulada yang menyebutkan
bahwa4:
3 Lihat Pelras (2006) ‘Manusia Bugis” Op.cit Hal. 2004 Dalam Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (1995). Op.cit, Hal. 408
3
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
“ … Pola kepemimpinan Wajo dapat disebut lebih dekat kepadasistem patrimonial yang bersifat tradisional, pada kelompokpersekutuan tetapi pada pucuk pimpinan yakni Arung Matoa Wajoberlaku pola-pola kepemimpinan rasional yang didasarkan kepadakemampuan pribadi dan penerimaan dari Perwakilan Rakyat(secara terbatas)”
Dari masa ke masa, perubahan kompleks secara menyeluruh mulai dari
aspek sosial-budaya sampai ekonomi-politik mengantarkan wajah manusia Bugis
Wajo dalam ranah modern kedalam struktur dan sistem baru yang telah cukup
jauh meninggalkan bentuk negara kerajaan seperti dahulu. Perubahan sistem
pemerintahan kerajaan Wajo pada masa penjajahan Hindia Belanda, dimana
Arung Patappuloe’ tidak lagi memegang peranan penting dalam kekuasaan tetapi
hanya menjadi simbol bagi rakyat Wajo dan para pejabat (Arung) pada saat itu
dilarang mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain pada
masa itu, hal ini disebabkan karena kekakalahan perang pada tahun 1905 - 1906
yang menyebabkan Wajo’ harus tunduk dan menaati sistem administratif wilayah
Zelfbestur5 yang diberlakukan Hindia Belanda. Hingga pada era kemerdekaan,
berita kemerdekaan yang di proklamirkan di Jakarta sampai di Tana’ Wajo yang
kemudian mendapatkan sambutan dari Arung Matoa pada saat itu Andi
Mangkona dan Andi Ninnong yang disebut-sebut sebagai Arung Matoa terakhir
mengakui kedaulatan Indonesia yang menjadikan Wajo pada saat itu sebagai
bagian.
Krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997
menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto yang telah
berkuasa selama kurun waktu 32 tahun. Perihal ini kemudian memberikan
kondisi perubahan di Indonesia yang sering disebut masa reformasi oleh
5 Dalam tulisan Mattulada (1995) disebutkan sebagai wilayah di bawah pemerintahan seorang AssistantResident Belanda yang berkedudukan di Bone.
4
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
kelompok-kelompok pembaharu yang terdiri atas kelompok cendekiawan
kampus dan kelompok mahasiswa, dampak reformasi ini juga membawa agenda
perubahan dalam sistem politik dan pembagian kekuasaan di Indonesia.
Beberapa daerah yang awalnya berada dibawah pengaturan pusat (sentralistik)
kini menuntut adanya pemerataan pembangunan yang secara radikal didukung
oleh gerakan-gerakan kelompok-kelompok tertentu disetiap daerah yang ingin
memisahkan diri dari Indonesia. Meskipun aksi-aksi ini hanya bersifat aksidental
dari eforia reformasi pada awalnya, namun justru menjadi isu yang sangat
sensitif dan mendesak untuk segera diselesaikan. Maka pada tahun 1999
ditetapkanlah Undang-Undang No. 22 mengenai pemerintahan daerah yang
berisi tentang peraturan pendistribusian kewenangan pusat ke daerah pada
tingkat kabupaten atau kota.
Hal menarik di Indonesia saat ini yang terdiri dari berbagai etnis dan
suku bangsa telah mengadopsi sistem politik pemerintahan demokrasi yang
berasal dari kebanyakan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Model
demokrasi seperti ini merupakan wujud dari ide “Trias Politica” yang
dikemukakan oleh Motesqueui dan Jhon Locke dimana pembagian kekuasaan
negara sampai pemerintahan tingkat daerah terbagi kedalam 3 lembaga negara.
Miriam Budiardjo (2004)6 memberikan suatu penjelasan mengenai tiga lembaga
tersebut yakni, Eksekutif (lembaga pemerintahan yang melaksanakan undang-
undang), Legislatif (lembaga pembuat Undang-undang/ peraturan), dan
Yudikatif (Lembaga pengawasan, penafsir undang-undang dan pemberi sanksi
terhadap pelanggaran undang-undang). Pada masa Orde Baru, bentuk
pembagian kekuasaan seperti diatas di nilai oleh banyak kalangan hanya menjadi
sekedar jargon belaka tetapi sebenarnya tidak berjalan sebagaimana mestinya,
6 “Dasar-dasar Ilmu Politik” (2004). Op.cit, hal. 315
5
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
sebaliknya pasca reformasi bentuk demokrasi dan pranata politik yang ada mulai
ramai di kaji kembali dan upaya para ilmuwan sosial maupun praktisi politik
untuk menempatkan dan menerapkan secara benar sistem demokrasi dalam
tatanan negara sehingga wujud dan perannya dapat berfungsi dengan baik.
Besarnya kewenangan di tingkat daerah didukung oleh perubahan sistem
politik di tingkat lokal. Hal ini ditandai dengan penerapan konsep chek and
balances kekuatan politik lokal antara legislatif dan eksekutif. Peran dan fungsi
pemerintah daerah dan lembaga-lembaga politik di daerah menjadi lebih besar
dibandingkan pada masa Orde Baru. Partisipasi politik lokal semakin meningkat
secara signifikan dengan munculnya kepentingan perorangan maupun kelompok
yang bisa dikatakan “politisi dadakan” di setiap daerah dalam ranah politik, yang
ditengarai dimulai dengan munculnya kelompok bangsawan yang terpelajar serta
kelompok masyarakat ekonomi kuat yang memanfaatkan kondisi dalam sistem
politik yang secara otonom memberikan ruang politik untuk mencapai kekuasaan
baik itu ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota guna mendapatkan kursi di
parlemen atau legislatif dan jabatan birokratis di daerah.
Bercermin dari pranata politik dan pembagian kekuasaan yang ada di
daerah saat ini mengingatkan kita tentang sistem politik kerajaan di Wajo dimasa
lalu seperti yang penulis utarakan diawal, dimana kekuasaan tidak berada di
tangan raja secara individu tetapi peran setiap wanua7 yang ada di wilayah
kerajaan menjadi bagian dalam pengambilan keputusan politik, baik masalah
konflik, perang maupun hal yang berkaitan dengan sumber daya ekonomi.
Kecenderungan pemahaman ini kemudian mengantarkan penulisan ini pada
konsepsi budaya politik sebagai bagian dari mainset setiap individu dalam
7 Daerah/wilayah yang di diami oleh kelompok masyarakat yang dipimpin oleh kepala kampong yang memilikiotonomi tersendiri tetap menjadi bagian dari pemerintahan Wajo
6
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
kelompok masyarakat yang menunjukkan wujudnya dari beberapa rangkain-
rangkaian peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam kehidupan
masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan nilai dan norma perilaku
maupun pola tindakan. Sementara itu, lingkungan eksternal sedikit banyak
mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi budaya berlangsung
akibat peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial.
Asumsi awal penulis untuk mencoba menggambarkan dan berupaya
untuk menjawab pertanyaan mengenai kaitan aspek historitas dengan pola
tindakan (dalam praktik politik) orang Wajo dalam berpolitik. Tak lepas dari
nilai-nilai yang selama ini menjadi pegangan orang bugis Wajo dalam ruang
lingkup kebudayaannya yang terwarisi secara turun menurun kemudian
tercermin dalam kondisi politik di daerah yang ada saat ini. Mengungkap
berbagai aspek dan nilai budaya lokal dalam wujud implementasi kearifan lokal
masyarakat pada era reformasi dewasa ini memerlukan pengamatan yang cermat,
apalagi menginginkan suatu konsep budaya yang dianggap masih dipegang
teguh oleh masyarakat serta mengaktualisasikannya dalam upaya mengatasi
dampak perkembangan zaman8.
Berkaitan dengan itu, fenomena sosial yang sangat aktual dalam kegiatan
politik dewasa ini yang dialami oleh masyarakat pada umumnya dan masyarakat
Bugis pada khususnya adalah berkaitan dengan pranata politik dan pembagian
kekuasaan pemerintahan daerah adalah perilaku politik sebagai aktor dalam
lembaga politik di daerah misalnya yang bertanggung jawab penuh dalam
melaksanakan tugas pembuatan peraturan daerah yang sudah terencana melalui
mekanisme yang ada dan pelaksanaan kebijakan-kebikakan politik. Implikasi
8Muhammad Ramli (2008: 7) memberikan pendapat tentang pentingnya aspek nilai-nilai kearifan lokal yaknipappaseng to riolo atau pesan tokoh dalam sejarah Bugis untuk diterapkan dalam implementasi kebijakanpublik.
7
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
dari kebijakan politik yang tercermin dalam pelaksanaan pemerintahan yang
bersentuhan dengan masyarakat sedikit banyak mempengaruhi tatanan
masyarakat dengan berbagai dinamikanya.
Hasil diskusi dengan beberapa rekan-rekan mahasiswa dan kajian
terhadap beberapa tulisan terkait masalah politik dan kekuasaan, serta masukan
dari dosen penasehat akademik memberikan gambaran awal seperti yang penulis
utarakan dalam latar belakang. Dengan tidak hanya melihat sisi politik dalam
aspek formalitasnya sebagai bagian tatanan negara saat ini, tetapi penting bagi
penulis untuk mengungkapkan sisi-sisi lainnya seperti tatanan nilai-nilai, status
sosial (dalam sistem kekerabatan dan stratifikasi sosial) perilaku dan budaya
yang sejalan dan bertautan dengan aspek politik orang Bugis Wajo. Seperti
Mattulada (1995) yang menitikberatkan pada nilai-nilai budaya, adat istiadat
dalam penyelenggaraan negara pada orang Bugis, Mattulada mencoba
memahami kedudukan jalan pikiran dan sikap hidup orang Bugis dalam
bernegara. Untuk itu, penulis dengan arah kajian antropologi politik mencoba
menggambarkan fenomena tersebut melalui penelitian lapangan dengan judul
“Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten
Wajo” sebagai tema dasar/lokus bahan penelitian dalam penyusunan tugas akhir
dan syarat gelar S1 (Strata Satu) pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik.
B. FOKUS PENELITIAN
Penelitian ini menyandarkan pada suatu kerangka berpikir yang masih
bersifat asumsi-asumsi awal dimana penulis secara sederhana memberikan
pendapat tentang fenomena politik dalam sebuah daerah sebagai suatu bentuk
arena dalam pertarungan politik praktis individu dalam memunculkan dan
8
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu. Masyarakat yang pada awal
proses pembentukannya secara sengaja dikonstruksi untuk menjadi bagian dari
suatu sistem budaya yang ada yaitu berbentuk nilai-nilai, perilaku, dan
pemahaman individu dalam interaksi dalam ranah institusi politik. Meski terjadi
pergeseran di tingkat institusi tersebut dalam wujudnya, penulis beranggapan
bahwa ada struktur berpikir yang tidak berubah9.
Jika dalam suatu sistem sosial budaya bertumpu pada penghayatan,
pengamalan dan pengalaman terhadap nilai-nilai tertentu dalam suatu sistem
sosial pada interaksi politik, maka penulis berupaya menemukan dan
memberikan gambaran mengenai pengahayatan dalam budaya yang terwujud
dalam perilaku politik orang Bugis Wajo yang dipraktekkan oleh orang Bugis
Wajo dalam suatu institusi politik.
Dari hal tersebut penulis memfokuskan penelitian ini pada kaitannya
dengan bentuk perilaku yang dimunculkan dalam praktek-praktek politik dalam
instistusi politik dengan merumuskan beberapa pertanyaan:
1. Bagaimana sejarah politik orang Bugis Wajo dalam memproduksi status
dan kekuasaan dalam tatanan kultural?
2. Bagaimana bentuk reproduksi status orang Bugis Wajo sebagai strategi
dalam praktik politik?
3. Karakteristik bagaimana yang mencirikan praktik politik oleh orang Wajo?
9 Seperti kaum strukralisme yang percaya bahwa dalam tatanan yang telah bertransformasi pun, struktur dalam(logika-logika, kerangka pikir) suatu keadaan tersebut tidak berubah. (Levi’-Strauss dalam Ahimsa, 2006:61 )
9
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Usaha dalam studi ini mengenai antropologi politik dalam penelitian in
diharapkan mampu menghasilkan:
1. Suatu gambaran sejarah politik mengenai orang Bugis Wajo dalam
memproduksi status dan kekuasaan dalam tatanan kultural.
2. Suatu penjelasan mengenai bentuk reproduksi status dan perilaku politik
orang Bugis Wajo bagian strategi politik di Kabupaten Wajo.
3. Suatu penjelasan mengenai karakter dan pola perilaku politik orang Bugis
Wajo yang membentuk ciri khas dan identitas terhadap perilaku politik
mereka serta implikasi yang menyertainya dalam lahirnya kebijakan-
kebijakan politik di Kabupaten Wajo.
Kegunaan Penelitian adalah :
1. Secara Praksis, Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi peneliti lain
yang berminat pada topik yang sama mengenai budaya politik, sehingga
dapat memberikan pengetahuan yang mendalam mengenai Antropologi
Politik.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah
ataupun lembaga-lembaga yang berkecimpung pada bidang kajian Politik,
sehingga dapat memberikan masukan yang berarti terhadap langkah-
langkah kebijakan yang akan ditetapkan oleh para penentu kebijakan. Dan
diharapkan pula bagi masyarakat agar menjadi warga negara yang
menghargai kehadiran yang lain.
10
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
3. Untuk keperluan akademik dan praktis kemasyarakatan. Dan adapun
manfaat penelitian ini secara teoritis untuk memehami suatu budaya yang
dinamis, memerlukan pendekatan holistik terhadap suatu problem tertentu.
4. Bagi peneliti sendiri/penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah wawasan dan cakrawala berfikir yang luas dan mendalam
mengenai kajian tentang pendekatan antropologi dalam perilaku politik.
D. TINJAUAN KONSEPTUAL
Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupannya senantiasa akan
berinteraksi dengan manusia lainnya dalam upaya mencapai aspek-aspek
kebutuhan hidupnya. Secara mendasar kebutuhan manusia tidak hanya
persoalan makan, minum, biologis dan sebagainya. Lebih dari itu manusia
menciptakan dirinya sendiri dalam mengakomodasi kebutuhannya atas bentuk
lain yang memberikannya pengakuan eksistensi diri, status sebagai anggota
masyarakat, posisi yang menguntungkan dalam ranah-ranah sosial bahkan
sampai bentuk-bentuk lainnya seperti penghargaan dari dan kepada orang lain
dalam bentuk pujian.
Salah satu fenomena manusia dan kebudayaan adalah masalah polarisasi
sosial yang terbentuk dalam stratifikasi sosial suatu masyarakat. Pada dasarnya
stratifikasi sosial relatif beragam, misalnya dimensi usia, agama, pendidikan
formal, pekerjaan, penguasaan ekonomi dan lain sebagainya. Berbagai dimensi
stratifikasi umumnya memiliki signifikansi dan kadar pengaruhnya juga berbeda-
beda serta tidak sama kuat yang bergantung pada akomodasi dan bentuknya
pada masing-masing kebudayaan dan konteks perkembangan masyarakatnya.
Hal yang menarik adalah kecenderungan konsepsi status sosial yang menonjol
sebagai signifikansi stratifikasi sosial, utamanya didaerah yang masih menganut
11
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
akar-akar budayanya, yang dalam tatanan kebudayaannya masih melegitimasi
status sosial sebagai salah satu yang mendeterminasi tatanan relasi antar
individu dalam masyarakatnya. Meski kemajuan dan perubahan masyarakat
berjalan dalam dinamikanya, tetapi kecenderungannya hanya berubah tataran
kekuatan dan kadarnya yang memungkinkan status sosial dalam suatu
masyarakat masih tereproduksi sehingga orientasi dan implikasinya terlihat
dalam struktur masyarakat, salah satunya dalam ranah politik cukup
mempengaruhi hirarki kekuasaan.
Dalam bentuk sederhana, stratifikasi atas dasar aspek status membagi
masyarakat ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat yang disegani
atau terhormat dan kelompok masyarakat biasa. Kelompok masyarakat yang
terhormat, umumnya menekankan arti penting akar sejarah yang dijadikan dasar
untuk membenarkan kedudukan istimewa mereka di masyarakat. Seorang
keturunan bangsawan, misalnya akan selalu tampil terhormat di masyarakat, dan
dalam beberapa hal tidak memperlihatkan ketertarikan untuk memasuki atau
dimasuki kelompok biasa karena ada keinginan untuk mempertahankan
kemurnian darah kebangsawanan-nya. Kelompok masyarakat yang dihormati
tidak selalu mutlak dari mereka kaum bangsawan atau keluarga raja melainkan
juga bisa dari kalangan tokoh atau pemuka agama, orang yang memiliki kekayaan
dan penguasaan ekonomi maupun orang yang telah mendapatkan prestasi
pendidikan. Salah satu faktor yang dapat dipergunakan untuk menelaah masalah
polarisasi sosial dalam masyarakat adalah melalui distribusi kekuasaan10 dimana
dimensi kekuasaan tersebut terasosiasi dalam konsepsi stratifikasi sosial yang
menghasilkan suatu telaah tentang pengaruhnya dalam praktik-praktik politik.
10 Lihat Doddy S. Singgih dalam J. Dwi Darmoko & Bagong Suyanto (ed.) “ Sosiologi: Teks Pengantar danTerapan. Op.cit. Hal. 154
12
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
Pada ranah politik, suatu fenomena menarik adalah persoalan manakala
status dikaitkan dengan praktik-praktik yang dilakukan suatu kelompok
masyarakat dalam berpolitik. Suatu akar budaya seperti yang penulis asumsikan
sebelumnya tentang rentetan perilaku kelompok tertentu dalam melegitimisasi
identitas dirinya melalui sebuah akar sejarah dan dikonstruksikan dalam budaya
tertentu. Kecenderungannya kemudian tidak lain memunculkan pemilahan
masyarakat pada dua kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik
dan kelompok masyarakat yang tidak memilikinya11. Pada proses konstruksi
mempertahankan kekuasaan sebagai bagian dari warisan (sejarah) budaya,
dimensi status kemudian direproduksi sedemikian rupa dalam masyarakat.
Meski bukan merupakan faktor tunggal, namun pada kadar tertentu reproduksi
status cukup mempengaruhi dalam kebudayaan tertentu dalam mengakomodasi
kekuasaan dan dihadirkan dalam praktik-praktik politik sebagai bagian dari
upaya dominasi. Hal yang sama diungkapkan Bourdieu12 dalam konteks
pendidikan dimana kekuasaan simbolik diperlukan dalam rangka dominasi atas
kelompok yang tidak beruntung, dimana kekuasaan tersebut bekerja dalam
memaksakan prinsip-prinsip konstruksi realitas.
Kehidupan manusia di dalam bermasyarakat setidaknya dalam era
modern ini selalu berada dalam rangkaian pengaruh sistem politik dan
bernegara. Sebagai salah satu bentuk peran dan pemenuhan kebutuhan
berorganisasi dan penguasaan sumber-sumber daya melalui pranata-pranata
yang ada di dalam kehidupan masyarakat salah satunya adalah melalui pranata
politik. Dalam konteks era saat ini, setidaknya setiap warga masyarakat dalam
11 Doddy S. Singgih dalam J. Dwi Darmoko & Bagong Suyanto (ed.) Ibid. Hal. 15512 Dalam Richard Harker, etc. (ed.) ‘(Habitus x Modal)+Ranah=Praktik: Pengantar paling Komprehensif
Pemikiran Pierre Bourdieu (2009) Yogyakarta: Jalasutra
13
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
bernegara selalu bersentuhan dengan politik praktis baik yang bersimbol
maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau
tidak langsung dengan praktik-praktik politik yang terjadi dalam realitas sosial-
budaya. Jika secara tidak langsung, hal ini memberikan gambaran bahwa
individu atau kelompok tersebut sebatas mendengar informasi, atau berita-berita
tentang peristiwa politik yang terjadi. Apabila secara langsung, berarti individu
atau kelompok tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Terkait masalah praktik politik dan penguasaan dalam ranah-ranah
politik termasuk dalam ruang institusi politik suatu masyarakat sebagai implikasi
dari faktor budaya tertentu, Gabriel Almond13 mengajukan tese bahwa sebelum
kebijaksanaan politik dan tujuan ditetapkan, individu-individu atau kelompok-
kelompok masyarakat, harus menentukan apa yang menjadi kepentingan
mereka, yaitu apa yang ingin mereka dapatkan dari politik. Kepentingan dan
tuntutan-tuntutan ini kemudian digabungkan dengan menjadikan alternatif-
alternatif kebijaksanaan selanjutnya dipertimbangkan untuk ditentukan sebagai
pilihan. Dengan tese ini ini penulis mengindikasikan implementasi dan proses
perwujudan dari kepentingan individu maupun kelompok melalui ruang-ruang
politik adalah bagian dari strategi dalam membentuk suatu konstalasi kekuasaan
yang direproduksi dari berbagai generasi dalam tatanan kulturalnya.
Strategi-strategi politik dapat saja terpengaruh melalui suatu bentuk
budaya tertentu, sehingga strategi tersebut dapat diamati melalui cara suatu
masyarakat dalam menjalankan pemerintahan di daerah. Institusi-institusi
politik yang digunakan individu atau kelompok semisal di lembaga legislatif,
partai politik yang menampung individu-individu secara langsung terlibat dalam
13 Dalam “Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara” (1986), Op.cit hal. 86
14
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
arena politik (pemilihan legislatif, pilkada). Dalam kondisi normatif sudah
diakomodasi dalam sebuah sistem politik baku melalui undang-undang, namun
secara umum dalam kondisi masyarakat plural di Indonesia, praktek-praktek
tertentu yang sedikit banyak terpengaruh melalui budaya yang ada dalam satu
daerah tertentu misalnya penguasaan modal simbolik ataupun status sosial.
Konsekuensinya dapat kita temui dengan munculnya berbagai persoalan otonomi
daerah hari ini yang terlihat menyuburkan praktek-praktek reproduksi
kekuasaan. Salah satu contohnya adalah ketika adanya kesenjangan antara
aturan normatif (perundang-undangan) untuk wajah demokrasi yang ideal
menjunjung kebebasan individu dengan realitas kultur yang justru memicu
pertarungan para keturunan bangsawan yang secara implisit membagun identitas
diri mereka sebagai ‘raja-raja lokal’ baru dengan menggunakan legitimasi akar
sejarah untuk keabsahan kekuasaan mereka di daerah.
Dibeberapa literatur, masalah-masalah budaya lokal selalu
diperbicangkan sebagai bentuk yang dikonstruksikan dan merupakan arena
relasi antara sebuah struktur dan kesadaran subyektif individu, sehingga dengan
asumsi ini berimplikasi pada pemikiran tentang tema perubahan budaya yang
menjadi agenda utama untuk mengkonstruksi budaya baru. Dalam studinya
mengenai antropologi politik, Edmund Leach14 memberikan gambaran bahwa
setiap perubahan sosial dan kultural merupakan pencarian kekuasaan. Baginya
dalam melihat kekuasaan yang beroperasi bukanlah dilihat dalam suatu wilayah
melainkan salah satu bentuk dan kondisi dalam keterkaitan relasi diantara
manusia. Oleh karenanya, cara mamahami sepenuhnya dan menganalisis
kompleksitas kekuasaan adalah dengan menemukan di mana dimensi-dimensi
material, psikologis, dan sosial kekuasaan politik beroperasi, dan secara sosial
14 Lihat McGlyyn & Arthur Tuden “Pendekatan Antropologi Pada Perilaku Politik”, Op.cit, Hal. 3
15
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
berada, dan apakah serta dengan cara bagaimana dimensi-dimensi ini
memproduksi diri di rumah atau tempat-tempat lain. Kajian politik dengan
menggunakan pendekatan antropologi berupaya menelisik kekuasaan dalam
konteks sosial-kultural. Karenanya kekuasaan bersifat inklusif yang harus
mengkaji bidang-bidang dan hirarki-hirarki kekuasaan dalam setiap masyarakat
(Milal dalam Hafid, 2009: 10).
Dari kesemua aspek dalam praktik politik dapat berbeda dari satu
kebudayaan dengan kebudayaan lainnya, yang memunculkan berbagai
pemahaman dalam pelaksanaan pemerintahan yang berbeda pula. Hal inilah
yang kemudian memunculkan kecenderungan adanya karakteristik praktik
politik, meskipun di di Indonesia, dari peraturan/perundangan-undangan
sampai sistem pemerintahan yang berlaku secara keseluruhan tetapi ada saja
aspek tertentu yang memilki ciri khas dalam pelaksanaanya dalam setiap daerah.
Almond dan Verba (1984)15 menyatakan pendapatnya mengenai budaya dalam
kaitannya dengan karakteristik politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas
dari suatu masyarakat terhadap sistem politik. Karakteristik dalam praktik-
praktik sebagai bagian dari budaya politik adalah salah satu aspek dari nilai-nilai
yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos dalam suatu
populasi tertentu. Kesemuanya dikenal dan diakui sebagian besar masyarakat
yang memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima nilai-nilai atau
norma lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa politik juga telah menelusuk kedunia
agama, kegiatan ekonomi, sosial; kehidupan pribadi dan sosial secara luas dan
memberikan corak suatu masyarakat dalam mengoperasionalisasikan caranya
dalam menghadapi suatu masalah-masalah politik, semisal masalah legitimasi,
15 Tulisan Gabriel Almond yang mengaitkan beberapa tingkah laku politik di 5 negara dengan aspek budayalokal di negara-negara tersebut, Op.cit, Hal. 146
16
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, dinamika
partai politik, perilaku aparat negara serta gejolak masyarakat terhadap
kekuasaan yang memerintah.
Dalam penelitian yang penulis lakukan dalam ruang lingkup daerah
Kabupaten Wajo yang merupakan bekas kerajaan, penulis berupaya
menggunakan kombinasi catatan sejarah dalam artian penelitian historitas
dengan penelitian lapangan. Dengan cara ini, kemudian sekurang-kurangnya
penulis mampu untuk menggambarkan atribut-atribut, ciri fisik maupun bentuk-
bentuk cara berbicara dan lain sebagainya yang mengarah pada pamahaman
terhadap konsepsi identitas diri yang diasosiasikan dengan status sosial. Dalam
beberapa tulisan yang bertemakan politik dan kekuasaan secara implikatif
memberikan pemahaman bahwa konsepsi identitas diri kemudian yang dapat
digunakan untuk mengetahui sejauh mana terjadinya suatu konfigurasi, dengan
asumsi bahwa dalam suatu masyarakat pada umumnya memiliki suatu bentuk
atau model dan kekuatan internal yang berasal dari kebudayaan masyarakat itu
sendiri yang kemudian menjadi padu terhadap berbagai elemen budaya
masyarakat lainnya, baik yang berbentuk institusi maupun gagasan atau konsep
yang ada didalamnya.16
Manakala terjadi semacam keterkaitan masyarakat antara satu sama
lainnya dalam satuan yang meluas semisal dalam tingkatan nasional maupun
regional, dapat kita indikasikan bahwa telah terjadi interaksi dalam jaringan
relasi sosial dalam ranah lokal dan relasi lainnya yang lebih luas. Adanya
konstalasi sosial tidak terjadi begitu saja secara internal, namun pada kajian
politik dan kekuasaan justru menekankan tentang isi dan bentuk dari kekuasaan
16 Rudiansyah (2009), Op.cit Hal. 291
17
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
yang tercipta dan terwujud dalam ranah sosial budaya yang berpadu dengan
ranah sosial yang lebih luas dan berasal dari luar. Dipertegas oleh Rudiansyah
dalam tulisannya bahwa konfigurasi17 tersebut menjadi sangat menentukan.
Secara keseluruhan, penelitian ini menggambarkan sebuah perjalanan
atau rentetan munculnya praktik politik yang di mulai dengan melacak aspek
kesejarahan untuk menemukan suatu sumber kekuasaan yang termanifestasi
dalam status sosial secara internal dalam kebudayaan masyarkat Wajo pada masa
lalu, beberapa perubahan akibat terbukanya akses global melalui perdagangan
dan kolonialisasi bangsa Eropa yang sedikit banyak mempengaruhi berbagai
aspek dalam sistem masyarakat Wajo khususnya sistem politik pada saat itu.
Gambaran tentang bagaimana sistem budaya tersebut khususnya masalah
reproduksi status dikorelasikan dengan masalah praktik politik masyarakat Wajo
dalam sistem yang lebih luas (Negara) sehingga didapatkan cara-cara individu
dan karakteristik yang ditemukan meski telah mengalami berbagai dinamika.
Upaya telaah tersebut mengantarkan penelitian ini dalam memahami masyarakat
Wajo dalam menginterpretasikan dan melakukan praktiknya di arena politik
serta konstalasi politik lokal pada era demokrasi hari ini. Seperti halnya
Mattulada (1995), yang mengemukakan bahwa pada prinsipnya politik yang
dipraktekkan oleh orang Bugis-Makassar, merupakan suatu sistem sosial budaya
yang bertumpu pada penghayatan, pengamalan dan pengalaman terhadap nilai-
nilai siri dalam suatu sistem sosial panngaderreng18 pada interaksi politik. Nilai-
17 Istilah yang digunakan Rudiansyah dalam upayanya menggambarkan bentuk-bentuk dan model yang terciptadalam kekuasaan.
18 Dijelaskan bahwa konsep panngaderreng ialah tak lain adalah sama dengan aturan-aturan adatdan sistem norma. Panngaderreng selain meliputi aspek-aspek yang disebut sistem norma danaturan-aturan adat, yaitu hal-hal yang ideal yang mengandung nilai-nilai normatif, juga meliputihal-hal dimana seseorang dalam tingkah lakunya dan dalam memperlakukan diri dalam kegiatansosial, bukan saja merasa “harus” melakukannya, melainkan lebih jauh daripada itu, ialah adanyasemacam “larutan perasaan” bahwa seseorang itu adalah bagian integral dari panngaderreng.
18
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
nilai siri’ mendorong tumbuhnya sikap dan perilaku; jujur, cerdas, berani yang
merupakan satu kesatuan yang utuh.
KERANGKA PEMIKIRAN
E. METODE PENELITIAN
1. Tipe/Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dan ditelaah
dengan menggunakan pendekatan fenomenologi.19 Hasil kajiannya
merupakan sebuah deskripsi dan pemahaman tentang arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada pada situasi tertentu.
Dimana aspek subyektif dari perilaku obyek akan menjadi penekanan dalam
penggalian informasi yang dibutuhkan. Pemahaman akan dunia konseptual
dari obyek berupaya dipahami sedemikan rupa sehingga dalam penelitian ini
didapatkan berbagai pemahaman atau pengertian yang dikembangkan oleh
individu, pada berbagai peristiwa yang mereka hadapi dan pada perilaku yang
mereka lakukan. Untuk tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan
Panngaderreng adalah bagian dari dirinya sendiri dan keterlibatannya dengan keseluruhanpranata-pranata masyarakatnya. (Mattulada, 1995: hal. 2)
19 Dalam Lexy Moleong dalam “Metode Penelitian Kualitatif” (2007) Op.cit. Hal. 17
Praktik dalamKontestasi
Politik
Bentuk Strategi
Karakteristik
INTERNAL
Aspek Kesejarahan
(Reproduksi Status)
EXTERNAL
19
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
penelitian kualitatif seperti yang dikemukakan Burhan Bungin20, cukup
membantu peneliti mengarahkan penelitian ini dalam menggambarkan,
meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas
sosial yang ada dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian yang
berupaya menarik realitas itu kepermukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat,
model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena
tertentu.
Pengumpulan data pada penelitian ini tidak bersifat kaku, akan tetapi
senantiasa disesuaikan dengan keadaan atau fenomena di lapangan. Dengan
demikian hubungan antara peneliti dengan apa yang diteliti tidak dapat
dipisahkan, validitas data sangat ditentukan oleh penelitiannya, oleh karena
itu dalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk selalu cermat, tanggap dan
mampu memberi makna fenomena yang terjadi dilapangan. Dengan
karakteristik tersebut. Selain itu ada 2 hal penelitian kualitatif yang
mendorong penelitian ini, yakni:
1. Melalui penelitian kualitatif realitas yang terjadi dilapangan dapat
terungkap secara mendalam dan mendetail.
2. Penelitian kualitatif dapat menemukan makna dari suatu fenomena yang
terjadi dilapangan, karena sifatnya naturalis induktif dan deskriptif.
Disamping penelitian lapangan, dalam penelitian ini juga dilakukan
telaah terhadap naskah-naskah sejarah yang penulis dapatkan. Dengan
mencermati naskah-naskah sejarah, cukup membantu dalam penelitian ini
dalam memberikan gambaran tentang bagaimana ideologi kekuasaan
dibangun dan diproduksi dalam sejarah dan kebudayaan di Kabupaten Wajo
20 Lihat Burhan Bungin dalam “Penelitian Kualitatif” (2008). Op.cit. Hal. 68
20
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
pada masa lampau. Bahkan teknik kombinasi antara penelitian sejarah dan
penelitian lapangan, menjadi salah satu teknik yang dilakukan para peneliti
sebelumnya dalam menelaah masalah transformasi dalam suatu kontiunitas.21
2. Teknik Pemilihan Informan
Salah satu teknik yang digunakan dalam penelitian untuk penulisan ini
adalah teknik yang memiliki karakteristik layaknya studi kasus sehingga
berbagai sumber yang ada dapat dimanfaatkan dengan tetap berpedoman
pada fokus dan jangkauan ruang lingkup penelitian. Dengan demikian teknik
cuplikan (sampling) dalam penelitian ini bersifat bertujuan (purposive).
Sehingga, yang menjadi subyek penelitian (informan) adalah mereka yang
dianggap dapat memberikan informasi yang memadai berkaitan dengan
kondisi sosial, sejarah, dan beberapa peristiwa-peristiwa politik dalam
kaitannya dengan konteks kebudayaan informan bersangkutan tapi tidak
terlepas dari kerangka pertanyaan penelitian ini. Informan yang oleh penulis
menjadi subjek yang diwawancarai selama melakukan penelitian di lapangan
mengacu pada apa yang diutarakan Spradley tentang pembicara asli (native
speaker), bahwa informan merupakan sumber informasi atau secara harfiah
informan menjadi guru bagi penulis22. Dengan teknik ini, sekurang-kurangnya
penulis berusaha mendapatkan narasi dan penggambaran yang didapatkan
dari wawancara terhadap informan berupa penceritaan yang mengarahkan
penulis untuk mengambil kesimpulan tentang bentuk-bentuk organisasi sosial
dan praktik individu yang ada dalam peristiwa yang dialami kelompok-
kelompok masyarakat (sampling) di Kabupaten Wajo yang memiliki
pemaknaan dan orientasi ke arah tindakan politik (melalui intrepretasi
21 Dalam Rudiansyah, Op.cit Hal. 522 Dalam Metode Etnografi. Edisi kedua (2007) Op.cit. Hal. 35
21
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
peneliti maupun informan itu sendiri). Oleh karenanya, terdapat beberapa
subyek penelitian yang sengaja dipilih dan ditentukan peneliti sebagai sumber
data.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh mengenai permasalahan
yang diajukan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data
dilakukan dengan dengan menggunakan beberapa macam cara. Teknik
pengumpulan data selama penelitian lapangan disesuaikan dengan sifat
penelitian dan fokus penelitian dalam usaha menggambarkan bentuk
struktur yang terbangun dalam kelompok sosial, rentetan peristiwa dalam
sejarah maupun peristiwa aktual yang dialami individu-individu dan
kelompok-kelompok masyarakat serta gejala-gejala sosial lainnya yang
memiliki korelasi dengan budaya dan praktik politik di Kabupaten Wajo.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis merujuk pada teknik yang
diajukan Bungin tentang teknik pengumpulan data yang tepat untuk
penelitian kualitatif antara lain adalah teknik wawancara mendalam (in-
depth interview) dan pengamatan (observasi).23 Khususnya pada wawancara
mendalam, teknik ini memang merupakan teknik pengumpulan data yang
khas bagi peneliti kualitatif. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Paton
bahwa cara utama yang dilakukan oleh para ahli metodologi kualitatif untuk
memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan seseorang adalah
wawancara mendalam dan intensif.24 Sekurang-kurangnya dengan teknik ini
mempermudah peneliti untuk memperoleh data yang valid.
23 Bungin (2008) Op.cit. Hal. 13924 Dalam Ruslam Ahmadi “ Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif” (2005). Op.cit. Hal 57
22
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
Berdasarkan tujuan penelitian, maka data yang dibutuhkan bersifat
kualitatif. Untuk itu, dalam penelitian ini, penulis mengkombinasikan
beberapa teknik yang lazimnya digunakan dalam kualitatif agar data yang
didapatkan tetap padu sesuai sesuai dengan tujuan penelitian, seperti teknik
yang penulis utarakan sebagai berikut:
a) Observasi
Jenis pengamatan yang dilakukan dalam pengumpulan data
penelitian ini adalah pengamatan biasa (tidak berperanserta), dimana
peneliti memposiskan diri dengan jarak subjek yang akan diteliti dan
hanya melakukan pengamatan dari luar dan mengamati kedalam
lingkungan dan terhadap aktifitas beberapa subjek yang penulis
identifikasi memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan
kegiatan-kegiatan politik. Hal ini dikarenakan kondisi di lapangan dan
momentum tertentu (kegiatan-kegiatan politik semsal pilkada dan
sebagainya) tidak memungkinkan bagi penulis untuk melakukan peran
serta dimana institusi dan kegiatan politik selain ada bersifat formal juga
memiliki momentum tersendiri sehingga tidak semua kondisi aktual
dapat diamati langsung. Penulis dalam penelitian lapangan tetap
berupaya untuk melakukan pengamatan terhadap 2 situasi, yakni (1)
dimana subjek dalam penelitian berada dalam situasi formal seperti
misalnya penggambaran terhadap perilaku (cara berbicara, ekspresi,
emosi/perasaan, tata kelakuan, cara berkomunikasi dan sebagainya)
dari subjek pada saat terlibat dalam perbincangan ataupun pertemuan-
pertemuan dalam lingkungan sosial yang dikategorikan sebagai arena
subjek melakukan praktik yang sifatnya mengarah pada situasi yang
23
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
politis; (2) Penulis dalam kurun waktu tertentu mengamati aktifitas
keseharian subjek sendiri (yang secara sengaja dipilih) dan bagaimana
subjek ketika bersama dengan keluarga, kerabat, teman dan rekan-rekan
kerja. Pada pengamatan ini akan tertuju tentang bagaimana subjek
dengan lingkungan sekitarnya meski tak berada dalam situasi atau tidak
sedang beraktifitas tentang masalah-masalah politik . Dengan teknik ini
penulis mendapatkan adanya data tentang bentuk dan pola interaksi dan
aktifitas subjek dalam penelitian secara umum yang menjadi acuan
untuk menyimpulkan model interaksi dan praktik masyarakat Wajo
(dari beberapa subjek/sampling yang diamati) dengan lingkungan sosial
maupun arena politik lainnya, serta institusi-institusi sosial yang
memiliki kaitan dengan aktifitas sosial politik.
b) Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Proses wawancara yang dilakukan selama melakukan penelitian
lapangan menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth
Interview). Dengan kegiatan wawancara yang dilakukan secara
mendalam, penulis dapat menggali beberapa topik yang memberikan
pemahaman dan memperdalam pengetahuan peneliti mengenai topik
praktik-praktik politik dan organisasi sosial yang sedikit banyak
berorientasi politik. Beberapa rangkaian wawancara dilakukan untuk
memperoleh barbagai macam penjelasan yang relevan dengan masalah
penelitian misalnya yang peneliti dapatkan dalam penuturan beberapa
informan yang menceritakan dirinya dalam aktifitasnya sehari-hari, dari
rangkaian penjelasan tersebut peneliti mendapatkan potongan-potongan
peristiwa konkrit tentang praktik politiknya meskipun secara samar-
24
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
samar dan dalam penjelasan informan agak sulit untuk didalami karena
faktor “adat berbicara” dan status informan dalam lingkungan sosialnya
yang menyebabkan adanya kesenjangan hubungan pembicaraan dengan
peneliti sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak hanya
terfokus pada satu topik saja, namun juga diantarai topik lainnya,
tergantung kesediaan informan dan petanyaan yang diajukan oleh
peneliti. Model ini ditempuh guna mendalami situasi dan kondisi, serta
lebih memperhatikan aspek informan agar dapat mengetahui informasi
yang diperlukan, peneliti tidak terpaku pada pedoman pertanyaan
penelitian, melainkan memperhatikan sifat dan ciri unik dari informan
pada saat wawancara. Dengan begitu, wawancara lebih memunculkan
kesan obrolan, sambil bercanda, sambil melakukan hal-hal yang sifatnya
tidak kaku. Wawancara mendalam dilakukan untuk menjawab segenap
fokus penelitian yang telah dirumuskan.
c) Studi Pustaka
Dengan melakukan studi pustaka, peneliti melakukan pembacaan
terhadap beberapa buku-buku terkait dengan kajian-kajian antropologi
dan politik dan literatur lainnya yang berkenaan dengan fokus
penelitian guna dijadikan bahan dan acuan penelitian lapangan. Selain
itu, dengan teknik ini penulis berupaya mengelaborasi dan membangun
pemahaman tentang pendekatan antropologi politik dan ilmu politik
untuk mendapatkan perbandingan dan acuan untuk penulisan nantinya.
Buku-buku yang mendeskripsikan dan yang mengkaji tentang orang
Bugis Wajo, serta buku-buku dan dokumen yang menceritakan sejarah
Orang Bugis terkait masalah perilaku dan peristiwa-peristiwa yang
25
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
dialami pada masa lalu. Dengan pembacaan terhadap buku dan tulisan
tersebut penulis bisa mendapatkan gambaran tentang berbagai
fenomena berupa peristiwa, bagaimana orang-orang Bugis Wajo pada
masa lampau membangun serta membentuk pranata-pranatanya dalam
kondisi sosial-budayanya yang banyak terdapat dalam dokumen-
dokumen dalam bentuk naskah-naskah Lontara’ (apalagi pada saat ini
telah ada beberapa buku yang merupakan hasil terjemahan dan
transliterasi Lontara’ kedalam bahasa Indonesia). Artikel, Makalah,
tulisan dalam Internet serta ulasan dalam Surat Kabar yang
memberitakan informasi tentang peristiwa-peristiwa aktual yang terkait
masalah politik di Kabupaten Wajo, yang umumnya banyak mengulas,
mengkaji serta kritik terhadap kebijakan-kebijakan politik menjadi
perhatian penulis dalam penyusunan tulisan ini.
4. Deskripsi Penelitian Lapangan
Pada awal penelitian ini, penulis/peneliti melakukan observasi awal
sambil sesekali mewawancarai beberapa orang yang dapat penulis temui di
lapangan. Sambil tetap mengkaji beberapa bahan-bahan yang terkait dan
mendiskusikannya dengan beberapa pihak yang berkompeten dengan lokasi
dan tema yang peneliti minati. Hal ini terasa penting, untuk menentukan
tema dan arah penelitian ini dirancang. Selepas diskusi dan kajian-kajian
terkait, peneliti malakukan langkah-langkah sesuai dengan yang dirancang
sebelumnya dimana aktivitas penelitian di lapangan tergambar sebagai
berikut:
Pertama, yang peneliti lakukan adalah berupaya untuk mencari akses untuk
memasuki lapangan, harapan peneliti adalah untuk memudahkan proses
26
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
penelitian selanjutnya. Di lapangan penelitian (baca: wilayah administratif
Kabupaten Wajo), dari beberapa obrolan-obrolan dan kontak via telepon
dengan beberapa orang baik itu teman maupun kerabat yang penulis anggap
dapat memberikan referensi menghasilkan nama beberapa informan
(subjek) yang untuk selanjutnya penulis lakukan identifikasi nama orang-
orang (subjek) tersebut dengan menanyakan ulang kepada orang lain tentang
reputasi; hal ihwal yang telah dilakukannya; pada peristiwa apa saja subjek
tersebut terlibat; cara si subjek dalam berbicara; bagaimana reaksi subjek
dalam hal kesopanan dan kesatunan terhadap lawan bicaranya; topik apa
saja yang dalam hal-hal tertentu tidak boleh dibicarakan; dan yang paling
penting alamat rumah subjek tersebut. Dengan informasi awal tersebut,
penulis mulai melakukan persiapan dengan mengidentifikasi subjek tersebut
yang dijadikan informan dalam penelitian lapangan. Akan tetapi langkah ini
kemudian justru lebih berkembang dengan bertambahnya informasi yang
didapatkan pada saat penulis mulai melakukan penelitian lapangan pada
tahap berikutnya.
Kedua, yaitu tahap masuknya peneliti secara resmi ke lapangan. Di tahap ini
peneliti menyelesaikan berbagai prosedur penelitian secara resmi, dimulai
dengan mendapatkan surat pengantar penelitian dari kampus yang ditujukan
ke Balitbangda Prov. Sulsel untuk diterbitkan ijin penelitian selama 2 bulan
(antara Januari dan Februari) yang selajutnya dibawa ke pemerintah daerah
Kabupaten Wajo sebagai lokasi yang dimaksud dalam penelitian. Jangka
waktu penelitian yang diberikan menjadi kendala sebab tidak cukup bagi
penulis dalam melakukan pengumpulan data di lapangan; alasan
pengembangan teknik penelitian lapangan (masalah keinginan membuat
rapport agar mendapatkan informasi yang mendalam); dan dengan alasan
27
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
situasi dan kondisi lapangan yang membutuhkan waktu yang relatif lama
dalam rangka pengumpulan data. Hal ini juga menyebabkan beberapa
aktifitas penelitian di lapangan tetap dilanjutkan meski jangka waktu yang
diberikan telah habis.
Ketiga, untuk tahap ini peneliti melakukannya dalam prosesi yang
membutuhkan waktu banyak yaitu pengamatan sehari-hari di lingkungan
dimana informan yang dipilih melakukan aktifitasnya. Di sini penulis
menghabiskan waktu relatif cukup banyak untuk melakukan pengamatan
(sebagai salah satu teknik pengambilan data) terhadap semua aktivitas yang
dilakukan oleh obyek penelitian di lapangan (observasi). Teknik yang penulis
lakukan adalah proses pembauran dengan beberapa aktivitas dimana penulis
secara kebetulan tepat berada pada saat itu yang kemudian dibarengi dengan
beberapa obrolan-obrolan ringan dan pertanyaan-pertanyaan oleh penulis
tentang hal ihwal yang dilakukan subjek tetapi tetap memperhatikan kaidah-
kaidah kesantunan untuk menghindari ketersinggungan subjek. Kemudian
penulis berusaha mendokumentasikan dalam catatan harian lapangan
sambil terus untuk membangun suatu ringkasan-ringkasan yang dibarengi
dengan asumsi-asumsi tentang apa-apa yang telah dilakukan subjek dalam
peristiwa tersebut.
Keempat, adalah tahapan utama yaitu pengambilan data lewat wawancara
dengan beberapa informan. Tahap ini sekiranya akan berjalan maksimal
apabila peneliti melalui tahap-tahap sebelumnya. Dimana peneliti punya
berbagai kerangka pemikiran dari hasil pengamatan di lapangan yang telah
peneliti lakukan sebelumnya, untuk kemudian dikonfirmasikan dengan data
yang peneliti peroleh dari wawancara pada tahap ini. Hasilnya adalah
28
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
kutipan-kutipan wawancara yang sesuai dengan bangunan-bangunan
kesimpulan tentang kejadian ataupun peristiwa yang peneliti hadapi yang
merujuk pada fokus penelitian ini. Meski beberapa hasil wawancara
dikumpulkan tetap saja selalu berubah-ubah sesuai simpulan penulis dalam
menginterpretasi dengan semakin banyaknya situasi yang peneliti amati di
lapangan.
Kelima, adalah tahap akhir dari fase penelitian ini yaitu penulisan laporan.
Setelah semua proses yang telah peneliti lalui maka penulisan laporan
menjadi tahap akhir dari agenda penelitian ini, semua catatan lapangan
dikumpulkan dan hasil rekaman dijabarkan kembali dalam tulisan untuk
dimasukkan dalam tulisan tetapi catatan lapangan tetap disimpan untuk
keperluan sewaktu-waktu nantinya. Dalam agenda terakhir tahap ini
tentunya tetap menjaga hubungan baik dengan semua pihak yang telah
membantu penulis melalukan penelitian di lapangan. Dan untuk tahap ini
penulis tetap akan merasa banyak kekurangan sehingga tetap membuka diri
untuk kembali ke lapangan sebagai komitmen dari kekurangan tersebut,
untuk kemudian benar-benar keluar dari lapangan dan menyelesaikan
penelitian secara total.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Secara umum sistematika penulisan dalam tulisan ini bertujuan untuk
memberikan penggambaran tentang pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam skripsi, mengenai tata-urut dan hubungan antara pokok-pokok pikiran
satu dengan yang lainnya dalam satu kesatuan terpadu. Adapun sistematika
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
29
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
Pada Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, kerangka konseptual, tujuan dan kegunaan penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan. Kemudian pada Bab kedua, memuat
tinjauan pustaka yang berisi tentang pengertian konsep-konsep dan pendekatan
antropologi dalam perilaku politik dan kekuasaan; aspek-aspek historis yang
menggambarkan tentang tatanan sosial, tradisi dan nilai-nilai yang terbangun
dalam dinamika sejarah; wujud budaya lokal dan konfigurasi tatanan sosial
dalam bentuk praktik politik suatu kelompok masyarakat; status dan
kekerabatan dalam pelapisan sosial yang menjadi modal simbolik dalam
kekuasaan masyarakat bugis; dan terakhir muatan dalam tinjauan pustaka
adalah fokus dalam pendekatan yang mengkaji masalah reproduksi dikaitkan
dengan tatanan dalam dinamika kesejarahan sampai munculnya ajjoareng-joa’
sebagai model pertarungan dalam arena politik.
Pada Bab tiga, berisi tentang gambaran umum, yang memuat tentang
sejarah singkat berdirinya Wajo yang dilukiskan dari berbagai cerita dan
dokumen-dokumen dalam naskah lontara’ orang Bugis Wajo serta catatan-
catatan KTLV (pemerintah Belanda pada masa itu) yang banyak diulas dalam
beberapa buku-buku dan memberikan penggambaran tentang bagaimana asal-
muasal terbentuknya struktur sosial masyarakat Wajo (masalah kekuasaan,
pembagian wilayah atau wanua dan hubungan antara penguasa dengan rakyat
serta kelompok-kelompok penguasa lainnya) sampai Wajo pada masa
pemerintahan kolonial Belanda. Kemudian bab tiga tersebut memuat tentang
keadaan geografis di kabupaten Wajo; pemerintahan di Wajo ketika mulai
diberlakukannya sistem pembagian wilayah kabupaten; struktur pemerintahan;
tatanan nilai dalam sistem pemerintah dan masyarakat Wajo; dan terakhir
tentang karakteristik informan yang diwawancara.
30
Pendahuluan
Universitas Hasanuddin
Pendahuluan
Bab empat, berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan dengan
muatan-muatannya yakni, penggambaran dan penjelasan tentang sejarah politik
mengenai orang Bugis Wajo dalam memproduksi status dan kekuasaan dalam
tatanan kultural; Penjelasan mengenai bentuk reproduksi status dan perilaku
politik orang Bugis Wajo bagian strategi politik di Kabupaten Wajo; dan
penjelasan mengenai karakter dan pola perilaku politik orang Bugis Wajo yang
membentuk ciri khas dan identitas terhadap perilaku politik mereka serta
implikasi yang menyertainya dalam lahirnya kebijakan-kebijakan politik di
Kabupaten Wajo.
Bab lima, atau bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran, yang
diharapkan nantinya dapat memberikan implikasi teoritis dan refleksi dari
keseluruhan penggambaran mengenai praktik dan budaya politik di Kabupaten
Wajo.
Tinjauan Pustaka
31Universitas Hasanuddin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendekatan dalam Kajian Perilaku Politik dan Kekuasaan
Ilmu politik pada umumnya lebih menekankan perspektif politik pada
salah satu unsur yang ada dari berbagai unsur-unsur dalam kebudayaan. Unsur-
unsur tersebut dalam kenyataannya saling mempengaruhi antara satu dengan
lainnya secara terpisah, atau hanya sebagian saja dalam pranata masyarakat yang
berimplikasi pada pemahaman sempit terkait masalah perilaku politik.
Masalah politik bahkan kemudian cenderung untuk dilihat terpisah
sebagai induk dalam pemahaman realitas sosial seperti bagian dalam pranata
politik yakni sistem pemerintahan dan administrasi birokrasi dalam masyarakat
bernegara yang justru kemudian membiaskan suatu konsep dimana masyarakat
dan individu dikonsepsikan sebagai subjek yang memiliki orientasi pemahaman
terhadap negara sesuai dengan subjektifitas budayanya atau malah sepertinya tak
bernegara sama sekali seperti dalam masyarakat tradisional. Dampak lainnya
dari pemahaman ini adalah justru melahirkan suatu kondisi dimana
kelihatannya suatu kelompok masyarakat dilihat tidak berperilaku politik tapi
justru dikendalikan oleh suatu sistem yang bernama “politik”25.
Pentingnya aspek politik dalam pengkajian suatu kebudayaan adalah
bahwa aspek politik adalah bagian penting untuk dijadikan salah satu sudut
pendekatan bagi studi kebudayaan mengingat keterkaitannya dengan aspek-
aspek yang nampaknya tak memiliki relevansi dalam kacamata ilmu politik,
seperti masalah simbolisasi dan ritual keterkaitan unsur seperti pranta-pranata
dalam korelasinya dengan konteks politik. Dalam banyak hal, suatu kebudayaan
25 Dalam Balandier, “Antropologi Politik” .1986.CV . Rajawali. Jakarta. Hal vi
Tinjauan Pustaka
32Universitas Hasanuddin
merupakan suatu keseluruhan yang utuh, terbentuk dari berbagai unsur dan
aspek budaya yang saling berhubungan serta saling mempengaruhi. Perubahan
yang terjadi pada satu unsur atau aspek dapat berakibat pula terhadap unsur atau
aspek lainnya. Demikian pula pemahaman terhadap salah satu unsur atau aspek
tidak mungkin dapat dicapai tanpa memahami unsur-unsur lainnya.
Terinspirasi oleh pendekatan struktural-fungsional A.R. Radcliffe-Brown
yang juga kala itu menjadi bagian dasar setiap penelitian setelahnya, Evans-
Pritchard dan Fortes kemudian memberikan jalan baru dalam kajian sub-
antropologi terkait masalah-masalah politik26. Secara terpisah membahas hasil
penelitiannya di Afrika yang mengkaji perilaku politik dan secara spesifik
mengajukan tese tentang pemahaman antropologi dalam konteks politik, seperti
yang ia katakan bahwa konsep politik dalam antropologi sebagai “… struktur atau
hubungan yang memelihara atau menegakkan ketertiban sosial di dalam
kerangka teritorial, dengan menyelenggarakan latihan atau kekuasaan kekerasan
melalui penggunaan, atau kemungkinan penggunaan kekuatan fisik”27. Pendapat
ini kemudian memberikan beberapa pemahaman tentang bagaimana politik
sebenarnya (dalam pendekatan antropologi) dalam suatu kelompok masyarakat
yang kemudian dijadikan model perintisan kajian antropologi politik pada
penelitian-penelitian selanjutnya28.
Dalam pendekatan struktural-fungsional, struktur sosial (dalam kaitannya
dengan hubungan-hubungan yang bersifat pertarungan kekuasaan dan politik)
dilihat sebagai jaringan hubungan dari relasi-relasi yang nyata antar individu
26 Sub-disiplin antropologi lahir sebagai spesialisme baru didalam disiplin antropologi pada tahun 1940,pada saat terbitnya buku yang diedit bersama oleh E.E. Evans-Pritchard dan Meyer Fortes yangberjudul “African Political System”. The Nuer yang juga berbicara mengenai aspek politik orang Nuerdi Uganda dan Kenya, Afrika. (Balandier 1986:14)
27 Kutipan McGlynn dan Arhtur Tuden dalam buku yang di suntingnya “Pendekatan Antropologi PadaPerilaku Politik” terjemahan yang diterbitkan UI Press 2000. Op.cit Hal 14
28 Pada bagian awal bukunya George Balandier (1986) menegaskan tentang penelitian-penelitianselanjutnya yang mengkaji masalah politik di Afrika. Hal 14.
Tinjauan Pustaka
33Universitas Hasanuddin
atau antar kelompok dalam masyarakat29. Hal itu berarti bahwa termasuk juga
dalam hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan dan kedudukan
yang berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut. Dalam
hubungannya dengan praktik politik, pendapat demikian memberikan
kecenderungan untuk mengarahkan pemahaman tentang tingkah laku politik
yang merupakan satu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh
hubungan-hubungan kekuasaan sehingga dengan demikian tingkah laku politik
tidak lain adalah bagian dari struktur dalam masyarakat. Pendapat seperti ini,
juga berorientasi pada pemahaman tentang fenomena politik tidak lain dari
upaya pemahaman terhadap mekanisme tertib sosial seperti definisi yang telah
diajukan sebelumnya tentang mekanisme tertib sosial atau kondisi dimana
memungkinkan terwujudnya tertib sosial, bentuk atau model tertib sosial,
pranata-pranata sosial dan kebiasaan-kebiasaan yang saling berkaitan sehingga
membentuk satu kesatuan yang utuh.
Dalam kaitannya dengan politik, juga menjadi pertanyaan tentang fungsi
organisasi politik, Malinowski seperti yang diulas oleh Claessen30 memberikan
pendapat tentang adanya tiga fungsi utama dari organisasi politik: (1) Upaya
mempertahankan keadaan ekuilibrium antara golongan-golongan atau
kelompok-kelompok, lembaga-lembaga dan kepentingan-kepentingan yang
berbeda-beda dalam masyarakat dengan menggunakan kekuasaan; (2) Menjamin
dan melaksanakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat; (3) melakukan
pertahanan dan atau agresi. Dengan menggunakan pemikiran struktural-
fungsional seperti ini, dapat dikatakan memiliki tujuan dalam upayanya
memperlihatkan bagaimana struktur-struktur dalam hal ini hubungan-hubungan
29 Koentjaraningrat juga memberikan kesimpulan mengenai konsep struktur sosial yang dikemukakanA. Radcliffe- Brown dalam Sejarah Teori Antropologi. UI Press. 1987, op cit, hal. 181
30 Dalam Balandier (1986: 42)
Tinjauan Pustaka
34Universitas Hasanuddin
sosial politik saling menjalin satu sama lain dan bagaimana berfungsi dalam
rangka penegakan tertib sosial.
Dari tese yang digagas Evans-Pritchard dan Fortes mengandung beberapa
pemahaman mengenai aspek politik meski pada dasarnya sangat bersifat
strukutural yang pada masa itu memang telah banyak terinspirasi oleh gaya
pendekatan yang digagas Radcliffe-Brown. Namun secara nyata kita dapat
mendapati beberapa pokok gagasan tentang pendekatan antropologi yang
cenderung mengarahkan aspek politik pada wilayah tingkah laku sosial secara
umum, melihat seluruh bagian yang terkait dalam ranah struktur yang terkesan
terikat pada wilayah-wilayah sosial itu berlaku dan dalam kurun periode tertentu
kelompok masyarakat tersebut hidup. Dalam masyarakat-masyarakat tertentu
apalagi dalam masyarakat tradisional, membutuhkan perhatian pada hubungan
antara berbagai pranata. Pranata politik misalnya tak dapat dipisahkan dengan
pranata kekerabatan, agama, perkumpulan-perkumpulan usia, marga dan
sebagainya. Implikasi pada sisi tertentu dari tese yang diajukan Evans-Pritchard
dan Fortes bisa dianggap lebih luas dibandingkan pengertian pada ilmu politik
sendiri yang terkesan kaku pada satu pandangan saja dalam melihat bagaimana
tingkah laku suatu kelompok masyarakat dioperasionalisasikan dalam konteks
tatanan politik. Konsep yang pada umumnya lebih banyak diartikan dan
dihubungkan dengan institusi-institusi formal dan mengakar pada konteks
politik negara.
Pemahaman lain tentang pendapat yang diajukan antropolog seperti yang
dibahas diatas, dalam kajian masalah politik adalah bentuk dari suatu tatanan
yang menciptakan tertib sosial di dalam wilayah teritorial tertentu.
Konsekuensinya kemudian menjadikan pendekatan ini terlihat statis melihat
fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat seperti sifat dari pendekatan
Tinjauan Pustaka
35Universitas Hasanuddin
struktural pada umumnya yang mengarahkan perhatiannya pada unit-unit sosial,
fungsi politik dilihat pada saling pengaruh kepentingan dan proses timbal balik
dalam antara pranata dalam masyarakat tak bernegara seperti di Afrika. Arahnya
kemudian tak jauh dari orientasi konsep yang melahirkan klasifikasi tipe-tipe
masyarakat dalam kaitannya perilaku politik atas dasar hubungan-hubungan
sosial, seperti pada apa yang di uraikan Evans-Pritchard sendiri dalam
karangannya31. Kecenderungannya sangat mengabaikan ke-dalaman historitas
dan terlebih lagi topik mengenai perubahan sosial kemudian dibiaskan pada
konteks dimana situasi politik itu berlaku.
Pada hasil penelitian selanjutnya, banyak kritik yang dilontarkan terhadap
tujuan asli para ahli antropologi berjalan lebih jauh daripada perselisihan
mengenai varian-varian yang mungkin dari ketiga tipe dasar sistem politik.
Tujuan para ahli antropologi sosial menyoal klasifikasi sistem-sistem politik
atas`dasar satuan-satuan sosial semata, telah banyak diserang. Bahkan Lloyd
(1954) juga dalam buku yang disunting McGlynn dan Arthur Tuden32
menyarankan bahwa, untuk memahami perilaku politik, suatu studi tentang
komponen-komponen struktural tidaklah cukup, dan dia berpendapat bahwa
klasifikasi tipe-tipe tidaklah dipandang sebagai tujuan utama penelitian
mengingat faktor-faktor lain dan konsep-konsep yang lebih bersifat umum
seperti kewenangan, pembentukan badan-badan pembuat keputusan dan dasar
kewenangan serta kepemimpinan juga muncul secara mencolok. Sebenarnya,
setelah banyak memeperhatikan satuan-satuan sosial tersebut di mana struktur
serupa terjadi, sehingga pembentukan perilaku politik dapat benar-benar
berbeda pada akhirnya.
31 McGlynn dan Arthur Tuden (2000) yang juga memberikan ulasan mengenai kecenderungan kelemahananalisis struktural-fungsional, Hal. 16
32 Ibid, Hal. 17
Tinjauan Pustaka
36Universitas Hasanuddin
Selain kurangnya perhatian struktural-fungsional terhadap bentuk
pengoperasian suatu unit sosial atau dalam hal ini kita bahasakan sebagai
pranata politik yang hanya mengarahkan pada hubungan-hubungan atau relasi
disetiap unsur yang tetapi tidak terlalu memperhatikan tentang bagaimana suatu
capaian dalam proses dimana gejala politik itu muncul. Hal ini kemudian
memunculkan berbagai kajian yang mengarahkan pada dimana proses-proses
persaingan yang terwujud di antara individu-individu atau di antara kelompok-
kelompok yang saling merebut kepentingan umum serta strategi-strategi yang
digunakan untuk mencapai maksud tersebut33.
Konsep proses yang kemudian pada fase lanjutan dalam memahami
fenomena perilaku politik dijadikan salah satu kunci dalam pendekatan
antropologi politik. Analisis tentang fenomena politik terarah pada rentetan
aktifitas yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan antar orang-orang atau
antar kelompok-kelompok dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya atau
hasil dari proses tersebut seperti penyusunan kembali hubungan-hubungan
kekuasaan, munculnya kelompok-kelompok elit baru, terdapatnya sumber-
sumber baru dalam ranah politik. Leach (1954)34 bahkan secara lebih luas
menyatakan semua perubahan sosial dan kebudayaan bersumber dari orang-
orang-orang yang berusaha mencari kekuasaan. Jadi studi tentang aspek politik
harus dilakukan dalam konteks diakronis. Itu berarti bahwa dalam pendekatan
proses perhatian beralih dari perspektif ekuilibrium kepada perspektif
perubahan. Selain itu, gejala politik berhubungan dengan proses-proses umum,
jadi perhatian harus diberikan kepada perkembangan dan perubahan yang
terjadi dalam hubungan-hubungan kekuasaan yang terkait dengan kepentingan
33 Ibid, Hal. 23
34 Dalam McGlynn & Arthur Tuden (2000), op.cit, hal. 23.
Tinjauan Pustaka
37Universitas Hasanuddin
umum. Dalam pengaturan kepentingan umum dalam pemahaman prosesual,
bahwa diperlukan support atau dukungan. Alat dukungan yang paling penting,
menurut para penganut pendekatan proses, adalah legitimacy35 atau keabsahan
yang diperoleh melalui persetujuan. Pola pendekatan yang seperti ini kemudian
cenderung untuk menelisik masalah dasar-dasar yang muncul dalam aspek
kekuasaan36.
Konsep mengenai kekuasaan juga diajukan oleh M. G. Smith37 yang di-
klasifikasikannya kedalam dua bentuk kekuasaan, yaitu: kekuasaan konsensus,
adalah bentuk kekuasaan yang dilaksanakan atas dasar persetujuan bersama
antara pemimpin dan pengikut. Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran
bahwa apa yang dianjurkan atau diperintahkan oleh pemimpin baik dan berguna
untuk kepentingan bersama. Kesadaran demikian biasanya dimantapkan oleh
tindakan para pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan warganya.
Bentuk kekuasaan ini tidak menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai
kemauan para pemimpin. Biasanya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang
bermanifestasi dalam mitologi, agama atau pernyataan-pernyataan yang
dikeramatkan dijadikan ideologi, menjadi sumber peng-absahan kekuasaan.
Berbeda dengan kekuasaan paksaan yang berdasarkan kekuatan fisik adalah
bentuk kekuasaan yang menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai tujuan
tertentu. Kekerasan fisik itu dapat berupa hukuman badaniah atau hukuman
material. Perlu di tegaskan disini bahwa dua bentuk kekuasaan tersebut tidak
perlu dipertentangkan perbedaannya melainkan harus dilihat sebagai dua pola
35 Legitimasi dalam penngertian tulisan ini adalah pengakuan bersama oleh pemimpin dan pengikutterhadap kekuasaan yang ada. Akibat dari pengakuan bersama itu ialah semua perintah dalam bentukaturan-aturan (tertulis maupun bersifat lisan) yang berasal dari pemimpim dianggap benar dan olehkarena itu diterima dan dilaksanakan oleh para pengikut (Claessen (1970:310)
36 McGlynn & Arthur Tuden (2000), op.cit, hal. 23.
37 Dalam Balandier (1986) Op.cit, hal 44
Tinjauan Pustaka
38Universitas Hasanuddin
ekstrem pada satu kontinum38. Claessen merinci kontinum kekuasaan dalam
bentuk model seperti berikut: ”… konsep kekuasaan merupakan suatu payung
yang dibawahnya bernaung berbagai bentuk kekuasaan yang secara berangsur-
angsur dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Pada satu ujung garis kontinum
terdapat bentuk kekuasaan paksaan yang didasarkan atas kekerasan, beralih
pada bentuk ancaman dan kemudian beralih pada bentuk manipulasi.
Selanjutnya dari bentuk manipulasi beralih kepada bentuk kemampuan
meyakinkan orang lain dan berakhir pada bentuk legitimasi di ujung lain dari
garis kontinum tersebut.”
Pandangan lain mengenai kekuasaan ketika diasumsikan sebagai ajang
kompetisi dimana fungsi kekuasaan39 dilihat dalam rangka mempertahankan
kelemahan-kelemahan sebuah masyarakat, menjaga “tata aturan” yang baik dan
jika perlu, demikian perlu dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan yang tidak bertentangan dengan apa-apa yang menjadi prinsip
dasarnya. Akhirnya, begitu terbangun hubungan-hubungan kekerabatan maka
kompetisi dapat dilihat terbangun di antara kelompok-kelompok dan individu-
individu, masing-masing mencoba mempengaruhi keputusan-keputusan yang
lahir dari kesepakatan konsensus sesuai dengan kepentingan-kepentingan
khusus mereka sendiri atau masyarakat itu. Sebagai konsekuensinya, kekuasaan
politik pun muncul sebagai hasil dari kompetisi dan sebagai wadah kompetisi itu.
Satu kesimpulan bisa ditarik dari catatan awal ini, bahwa kekuasaan politik
adalah inheren dalam setiap masyarakat. Ia menumbuhkan penghormatan bagi
aturan-aturan yang menjadi landasannya, suatu bentuk kekuasaan juga mampu
38 Menurut Claessen, sifat kontinum dari dua bentuk kekuasaan itu dapat dilihat pada gejala makinmeningkatnya penggunaan kekerasan fisik pada saat makin melemahnya pengakuan terhadapkepemimpinan yang ada (Claessen dalam Claessen 1974: 40).
39 Lihat Balandier (1986), op.cit, Hal. 45.
Tinjauan Pustaka
39Universitas Hasanuddin
mempertahankan masyarakat dari hal yang tidak melengkapi dari tatanannya
dan akibat-akibat dari kompetisi individu-individu dan kelompok-kelompok.
Selain konsep-konsep analisis yang sudah dibicarakan di atas, dalam
pendekatan proses juga memiliki alat analisis lain dalam mengkaji fenomena
politik, yakni konsep field dan arena40. Konsep field dapat kita terjemahkan
dengan kata medan sebagai suatu kumpulan dari semua orang yang terlibat
dalam kejadian-kejadian politik sepanjang waktu. Sedangkan konsep arena
diartikan sebagai ruang lingkup sosial dan budaya dari medan politik. Kedua
konsep akan menjadi pendekatan yang akan banyak penulis gunakan untuk
melihat realitas lapangan tidak hanya pada posisi dimana relasi dari kekuasaan
berlaku tetapi juga penggambaran digunakan untuk menjelaskan tentang bentuk
pertarungan dalam setiap proses tersebut membentuk polanya. Strategi dalam
pola tersebut dimaknai tidak semata-mata statis tetapi juga pergerakan, dimensi
pengaruh-pengaruh yang menyebabkan adanya bentuk yang tidak berada pada
polanya.
Kedua pendekatan yang telah dikemukakan diatas memang berbeda dilihat
dari konsep-konsep analisis yang digunakan serta tujuan yang ingin dicapai
dalam pengkajian masing-masing. Jika pada pendekatan struktural-fungsional
konsep-konsep struktur, fungsi, ekuilibrium merupakan konsep-konsep kunci,
maka pada pendekatan proses, konsep-konsep proses, dukungan, legitimasi,
kekuasaan medan dan arena adalah konsep-konsep kuncinya. Lebih lanjut,
tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan struktural fungsional adalah
pengkajian terhadap organisasi politik dan bentuk-bentuk dari sistem politik,
40 Metode yang serupa digunakan Swartz, Turner dan Tuden (1966) yang diulas dalam McGlynn &ArthurTuden (2000) op.cit. hal 33.
Tinjauan Pustaka
40Universitas Hasanuddin
sedangkan perhatian utama dari pendekatan proses adalah cara bekerjanya suatu
sistem politik tertentu.
Pada saat muncul pertanyaan pendekatan mana yang lebih baik untuk
pengkajian politik, Claessen41 berpendapat: “…Sungguhpun pendekatan
struktural fungsional dan pendekatan proses dipertentangkan sebagai
pendekatan-pendekatan yang berbeda, namun jelas bahwa dua pendekatan
tersebut tidak bertentangan. Kehadiran struktur-struktur tidak
mengesampingkan proses-proses politik, sebab proses-proses politik semata-
mata berlangsung dalam struktur-struktur politik atau menjembatani struktur-
struktur yang berbeda”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap
pendekatan mempunyai segi kelemahan pada satu dimensi dan kekuatan pada
dimensi lainnya. Masing-masing memberikan sumbangan penting bagi
pemahaman fenomena atau dengan kata lain saling melengkapi.
Dari pengertian yang telah diutarakan diatas, penulis mengupayakan
kombinasi pemahaman dalam menggambarkan struktur masyarakat di
kabupaten Wajo yang diarahakan pada langkah penelitian pemetaan bentuk
stratifikasi sosial kelompok-kelompok ataupun individu-individu (status sosial),
tatanan yang terbangun dari kekerabatan dan bentuk jaringan yang terdapat
didalamnya. Tetapi tidak hanya pada batasan dimana struktur itu terbentuk,
penulis juga menggambarkan bagaimana struktur itu bekerja melalui individu
atau kelompok begitupun sebaliknya. Dengan mengasumsikan upaya
menjembatani dikotomi individu dengan objek dengan tidak memisahan perilaku
beserta sifat-sifat subjektifitas individu yang menyertai didalamnya dengan
jaringan struktur yang membangun pola objektifitasnya dalam tatanan sosial.
Dengan pengertian ini, memudahkan penulis untuk menggambarkan bentuk
41 Claessen (1987), op.cit, Hal. 28
Tinjauan Pustaka
41Universitas Hasanuddin
proses yang tidak terputus dari sumbernya atau berkesinambungan dengan
melakukan penafsiran terhadap beberapa catatan tentang bentuk-bentuk dan
cara masyarakat dalam kondisi sosial yang ada sebelumnya untuk menemukan
bagiamana perubahan berlaku tetapi tetap memperhatikan bentuk yang
sebenarnya tidak hanya menyesuaikan tetapi juga nampak seperti “selalu lahir”
di setiap kondisi sosial budaya dalam periode sejarah tertentu.
B. Pendekatan Historis Dalam Penelitian.
Pendekatan yang mengkaji masalah sejarah/histori dan beberapa
pendekatan dalam antropologi mengenai praktik politik dan kekuasaan memiliki
kekuatan dan kelemahan masing-masing. Pendekatan antropologi yang pada
awalnya sangat terpengaruh pada metodologi yang berorientasi sinkronik
mempunyai kelebihan pada wilayah aspek local or social depth42 yang dengan
menggunakan metode dapat dengan jelas dikemukakan penggambaran mengenai
kedalaman lokal/sosial dalam realitas masyarakat yang dikaji. Namun pada
aspek penelitian lapangan, pendekatan penelitian yang bersifat sinkronik
memiliki kelemahan dalam memberikan penggambaran mengenai masyarakat
yang hidup pada masa-masa sebelumnya atau seperti yang dikutip Rudiansyah
dalam Vansina yakni ‘timeless present’ atau ‘the zero-time fiction’43 tentang
kelemahan pendekatan penelitian antropologi yang mengabaikan aspek
kesejarahan berpengaruh pada putusnya beberapa elemen yang membentuk
unsur dalam perkembangan struktur sebuah masyarakat dimana ia berasal.
42 Istilah yang digunakan Burke (1990) dalam uraiannya tentang masalah yang dihadapi pengkajiansejarah, sehingga memunculkan suatu upaya kombinasi pendekatan untuk memecahkan masalahpemahaman antara kondisi masyarakat pada suatu masa dan masa dimana masyarakat itudianalisis. Konsep ini juga lebih menyerupai oleh yang diungkapkan Geertz ‘michroscopic study’.Dalam Rudiansyah (2009), Op.cit, Hal. 8
43 Lihat Rudiansyah, Op.cit, Hal. 17
Tinjauan Pustaka
42Universitas Hasanuddin
Dalam penelitian bersifat etnografis untuk mendapatkan penggambaran
menyeluruh yang menjadi ciri khas dari metodologi dalam pendekatan
antropologi diperlukan kombinasi dengan penelitian yang bersifat sejarah,
bahkan hal ini diperlukan guna mensyaratkan suatu bentuk penelitan lapangan
yang menyeluruh44. Kecenderungan kesenjangan antara kedua pendekatan pada
posisi tertentu selayaknya diakomodasi, apalagi pada penjelasan sebelumnya
bahwa kedua pendekatan tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-
masing. Pendekatan etnografis akan memberikan kedalaman lokal/sosial (local
or social depth), sedangkan pendekatan historis akan memberikan suatu
kedalaman historis (historical depth). Dengan kombinasi kedua pendekatan
tersebut dapat memberikan penggambaran secara terkait antara struktur dalam
sebuah proses dan bagaimana proses dalam mengkonstruksi tatanan struktur
seperti yang dibahas dalam sub-bab sebelumnya dan pemikiran ini merupakan
upaya yang dimaksud Rudiansyah dalam penelitiannya di Buton yang juga
berupaya memberikan argumentasi kerangka deskriptif mengenai sebuah proses
dalam historicization of anthropology dan anthropologization of history45.
Perkembangan yang menarik dewasa ini adalah semakin munculnya
berbagai penelitian yang mengkombinasikan kedua disiplin ilmu ini46, bahwa
kebudayaan terbentuk melalui rentetan atau proses dalam dinamika yang terjadi
dalam sejarah, sebaliknya sejarah juga terwujud melalui mediasi dalam
44 Ibid, Hal. 1745 Ibid, Hal. 1846 Seperti penelitian yang di lakukan Tony Rudiansyah di Buton yang kemudian diterbitkan pada
tahun 2009 (Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya) danTasrifin Tahara yang juga melakukan penelitian di Buton dalam mengkaji keterkaitan sejarahdengan pelapisan sosial yang memunculkan reproduksi stereotipe yang berpotensi konflik antarlapisan sosial dalam disertasi tahun 2010 (Reproduksi Stereotipe dan Resistensi OrangKatobangke Dalam Struktur Masyarakat Buton) Universitas Indonesia, serta penelitian yangjauh sebelumnya yang dilakukan oleh Mattulada yang juga menngkaji tentang dasar-dasarpemikiran dari kebudayaan orang Bugis dalam berpolitik (Latoa: Suatu Lukisan AnalitisTerhadap Antropologi Politik Orang Bugis) yang diterbitkan bukunya pada tahun 1995,Universitas Hasanuddin Press.
Tinjauan Pustaka
43Universitas Hasanuddin
kebudayaan. Dari kesimpulan tersebut dapat kita asumsikan bahwa diantara
keduanya telah terjadi dialektika antara pelaku-pelaku sejarah (aktor) dan
struktur dalam suatu tatanan kebudayaan, tetapi dalam asumsi ini tidak ada
maksud untuk melakukan benturan antara aktor dengan struktur seperti yang
sering diwacanakan sebagai dikotomi yang terlalu dilebih-lebihkan bahkan
nampak seperti sulit menemukan perbedaan kedua dikotomi aktor dan struktur
dalam realitas masyarakat. Setiap maksud dan tujuan individu pada dasarnya
selalu ditafsirkan secara budaya, sebaliknya kebudayaan seperti struktur
pemaknaan, nilai-nilai dan ideologi pada dasarnya selalu di ekspresikan ke dalam
pikiran dan perilaku individu yang menafsirkannya.
Pada kerangka pemikiran yang serupa, Mattulada juga mengajukan tesenya
tentang konsepsi ‘transformasi’ yang dipergunakan untuk menerangkan tentang
adanya kesinambungan unsur-unsur lama dari suatu kebudayaan yang tetap
mempertahankan diri dalam proses dimana terjadi proses pembauran unsur-
unsur baru dalam ranah kebudayaan47. Suatu pendekatan yang banyak
menggunakan catatan sejarah seperti yang ia gunakan dalam menelaah naskah-
naskah Lontara’, catatan perjalanan, catatan sejarah yang dibukukan oleh
seorang pencatat atau penulis yang berada di suatu periode peristiwa pada masa
lampau seperti yang di lakukan pemerintah kolonial Belanda pada masa
pendudukannya di kepulauan Indonesia yang sedikit banyak menceritakan
berbagai peristiwa sebagai suatu bentuk kebudayaan orang Bugis guna digunakan
sebagai bahan dalam menyusun sistem administrasi kolonial di daerah jajahan.
Dari naskah tersebut didapatkan gambaran bagaimana suatu peristiwa dalam
tempo waktu tersebut dalam sistem pemaknaannya, didapatkan pula mengenai
47 Dijelaskan Mattulada pada pendahuluan tulisannya dalam Latoa: Suatu Lukisan Analitis TerhadapAntropologi Politik Orang Bugis, Op.cit Hal. 1
Tinjauan Pustaka
44Universitas Hasanuddin
gambaran-gambaran struktur, stratifikasi sosial, nilai-nilai dan tata tradisi yang
terkonstruksi dan telah melewati beberapa proses perubahan dalam dinamika
perkembangannya. Namun, seperti yang dilakukan Mattulada bahwa inti dari
penelusuran naskah-naskah tersebut adalah bagaimana upaya dalam penelitian,
ditarik suatu kesimpulan yang memiliki relasi dari aspek kesejarahan yang tidak
terlepas dari dinamikanya terhadap kondisi masyarakat yang ada pada masa
penelitian dan dilakukan. Dalam pengkajian masalah politik dan kekuasaan,
penelitian Mattulada terarah pada bagaimana konstruksi tatanan berpikir orang
Bugis yang didasari dari hasil penafsiran terhadap konsepsi Latoa48 yang
didalamnya terkandung beberapa cara orang Bugis dalam sistem politik dan
kekuasaanya dimasa lampau, memahami penerimaan suatu kelompok individu
atas suatu kekuasaan, ketaatan, dan respon yang diberikannya kepada suatu
bentuk kepemimipinan, serta sifat-sifat kepemimpinan yang ditaatinya
berdasarkan suatu sistem nilai yang hidup dalam kebudayaanya. Dengan
mengungkap dan menelaah naskah-naskah dalam Lontara’ yang dilakukan
Mattulada yang secara fundamental memberikan relasi yang ketat antara sejarah
dengan kondisi sosial-budaya dalam perpolitikan dimana terlihat adanya upaya
pemahaman orientasi penelitiannya tentang kedudukan, peranan, jalan pikiran
dan sikap hidup orang Bugis dalam bernegara.
Dengan demikian praktik politik dengan penggunaan status sosial seorang
individu dalam struktur yang dijadikan sebagai model praktik politik dan
kekuasaan yang menjadi perihal pokok pemikiran dalam tulisan ini, dilihat
sebagai tak terpisahkan dari dialektika kebudayaan dan sejarah serupa itu. Lebih
48 Latoa merupakan Lontara’ atau naskah berbahasa Bugis yang berasal dari kerajaan Bone.Penulisannya diperkirakan pada masa pemerintahan raja Bone ke 7 sekitar awal abad ke-15.Menurut beberapa keterangan Latoa merupakan penncatatan dari pembicaraan Raja Bone danPenasehatnya pada masa itu. (Lihat Mattulada dalam Latoa, Hal. 79)
Tinjauan Pustaka
45Universitas Hasanuddin
tepatnya apa yang di kemukakan Rudiansyah tentang pergeseran kerangka
pemikiran dalam kajian antropologi yang tadinya bersifat deskriptif dan
kondisional menuju kepada suatu model yang lebih bersifat reflektif (dalam arti
lebih melihat kebudayaan sebagai konstruksi yang lahir dari perenungan si
peneliti terhadap masyarakat yang ditelitinya).
Di awal tulisan ini, telah dikemukakan sebelumnya tentang upaya
penggambaran konstruksi dan tatanan dalam historitas orang Bugis Wajo, serta
berupaya untuk menjawab pertanyaan mengenai kaitan aspek historitas dengan
pola tindakan (dalam praktik politik) orang Wajo dalam berpolitik. Tak lepas dari
nilai-nilai yang selama ini menjadi pegangan orang Bugis Wajo dalam ruang
lingkup kebudaayannya yang terwarisi secara turun menurun kemudian
tercermin dalam kondisi politik di daerah yang ada saat ini. Mengungkap
berbagai aspek dan nilai budaya lokal49 masyarakat pada era reformasi dewasa
ini memerlukan pengamatan yang cermat untuk mendapatkan bagian dari
penggambaran kebudayaan yang terkait dengan praktik-praktik politik dan
kekuasaan, apalagi menginginkan suatu konsep budaya yang dianggap masih
dipegang teguh oleh masyarakat serta mengaktualisasikannya dalam upaya
mengatasi dampak perkembangan zaman.
Penelusuran naskah dalam Lontara atau naskah sejarah-sejarah lainnya
ditekankan pada perihal struktur pemaknaan dalam tradisi, adat istiadat dalam
nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa yang diceritakan dalam naskah,
semisal pada kronik raja-raja pada masa lampau50. Nilai-nilai budaya sebagai
pedoman yang memberikan arah dan orientasi terhadap hidup, bersifat sangat
49 Muhammad Ramli (2008:1) memberikan pendapat tentang pentingnya aspek nilai-nilai kearifan lokal yaknipappaseng to riolo atau pesan tokoh dalam sejarah Bugis untuk diterapkan dalam implementasi kebijakanpublik.
50 Lihat Eliza Maiyani (Bati Na Wija Dalam Sistem Kekerabatan Orang Bugis Bone” Disertasi) Tahun 2008.Op.cit, Hal. 92
Tinjauan Pustaka
46Universitas Hasanuddin
umum. Sebaliknya, norma yang berupa aturan-aturan untuk bersifat khusus,
sedangkan perumusannya biasa sangat terperinci, jelas, tegas, dan tak
meragukan51. Dari perspektif antropologi, adat istiadat merupakan yang
merupakan endapan dari nilai-nilai kultural yang menjadi acuan setiap individu
dalam bertindak masyarakat setempat. Karena sifatnya sebagai pedoman, adat
mengikat setiap kelompok dalam melaksanakan aktifitasnya.
Bagi masyarakat yang terikat dengan adat-istiadat, status sosial seseorang
ditentukan oleh apa yang sudah menjadi adat dan dilaksanakan sesuai dengan
adat. Karena pentingnya adat-istiadat dalam masyarakat, maka adat yang
merupakan produk budaya yang dijadikan oleh setiap orang untuk bertindak.
Pada masyarakat tertentu, misalnya masyarakat Bugis pada umumnya mengenal
adat yang sering di istilahkan Panggadereng. Konsepsi Panggadereng dalam
masyarakat Bugis pada umumnya merupakan pola dasar dalam tatanan
kehidupan yang berisi norma kehidupan yang dapat menuntun manusia
mencapai kesempurnaan hidup52. Oleh karena itu, adat istiadat dalam
masyarakat tertentu merupakan standar kelakuan yang ada dalam bahasa
antropologi merupakan salah satu institusi sosial (social institution) atau biasa
dikonsepsikan “social capital” dalam studi sosiologi.
Dalam masyarakat yang sederhana, dimana sejumlah pranata dalam
kehidupan masyarakat masih sedikit, dan dimana jumlah norma dalam suatu
pranata juga kecil, maka satu orang ahli adat dapat mencakup pengetahuan
mengenai suatu norma dalam banyak pranata, bahkan seringkali semua pranata
yang ada dalam masyrakatnya sendiri. Sebaliknya, dalam masyarakat yang
kompleks dimana jumlah pranatanya yang diikuti dengan norma-normanya yang
51 Koentjaraningrat (1981: 195) dalam Meiyani, Ibid, Hal.90
52 Meiyani (2008), Ibid, Hal. 93
Tinjauan Pustaka
47Universitas Hasanuddin
begitu banyak pula, seorang ahli seperti “ahli adat” dalam masyarakat yang
sederhana, tak dapat lagi menguasai seluruh pengetahuan mengenai semua
sistem norma yang ada dalam kehidupan masyarakat. Demikian ada ahli-ahli
khusus mengenai beberepa norma yang inheren dalam pranta-pranata.
C. Wujud Budaya dan Bentuk Praktik Politik Lokal
Ranah politik secara umum tidak dapat dipisahkan dengan unsur
kebudayaan manusia yang merupakan bagian tata perilaku berorganisasi dari
keseharian suatu masyarakat. Budaya politik muncul dalam bentuk interaksi
antar masyarakat sebagai warga negara dengan pemerintah, dan institusi-
institusi di luar pemerintah (non-formal), dan inilah yang kemudian
menghasilkan dan membentuk keberagaman dalam pendapat, pandangan dan
pengetahuan tentang praktik-praktik politik dalam semua ranah politik. Oleh
karena itu seringkali kita bisa melihat dan mendapatkan fenomena-fenomena
yang menarik ketika bersentuhan dengan pengetahuan-pengetahuan, perasaan
dan sikap masyarakat terhadap negaranya, pemerintah, pemimpin dan lain
sebagainya.
Munculnya konsepsi budaya politik dalam kelompok masyarakat tertentu
merupakan implikasi dari pemahaman kebudayaan setempat yang lebih
kompleks dalam warna pada pandangan dan cara masyarakat tersebut
memainkan perannya dalam pranata politik. Pada era modern ini, kekhasan
tersebut muncul dalam cara masyarakat lokal semisal dalam cara suatu kelompok
masyarakat mengelola pengetahuan mereka dan cara mereka menghadapi
masalah dalam praktik politik seperti masalah dalam legitimasi, pengaturan
kekuasaan, proses pembuatan kebijakan, kegiatan kelompok politik (partai,
NGO, dsb), perilaku aparat negara.
Tinjauan Pustaka
48Universitas Hasanuddin
Meski dalam sistem kenegaraan yang ada di Indonesia berlaku sistem
politik yang lebih banyak dipinjam dan berasal dari luar negeri, tetapi
karakteristik budaya lokal dalam orientasinya dengan praktik politik justru
menyesuaikan dan malah menyuburkan praktik-praktik budaya lokal di
Indonesia dengan kebaragaman kebudayaan di setiap sudut wilayahnya. Budaya
politik53 sebagai suatu sikap orientasi yang khas masyarakat terhadap sistem
politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan suatu individu
yang ada dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola
orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat suatu bangsa. Lebih
jauh dikatakan, bahwa negara senantiasa mengidentifikasi diri mereka dengan
simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka
miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat
dan peranan mereka didalam sistem politik54.
Bentuk budaya lokal yang mendorong praktik politik suatu masyarakat
menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi
seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan
(konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap pergerakan/mobilitas,
prioritas dalam melahirkan kebijakan55. Dengan pemahaman ini, memberikan
suatu konsepsi yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan
individu. Dengan pemahaman yang bersifat individual ini, bukan berarti bahwa
dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan
cenderung dan bercorak individualisme. Tetapi dalam pandangan ini melihat
53 Almond dan Verba yang banyak terinspirasi dari teori Struktural-fungsional Malinowski danRadcliffe Brown, tentang bagaimana masyarakat kemudian bersikap dengan nilai-nilai yang merekamiliki kemudian dioperasionalkan dalam pranata-pranata yang ada dalam kebudayaanya, termasukpranata politik. (Almond & Verba 1984 “Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di 5Negara)
54 Almond dan Verba (1984), Ibid hal 8355 Almond dan Verba (1984), Ibid hal 153
Tinjauan Pustaka
49Universitas Hasanuddin
aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya
fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari
sikap individual.
Pada pengkajian kebudayaan yang umumnya dilakukan melalui disipilin
ilmu sosiologi, antropologi, dan psikologi, banyak membicarakan tentang
fenomena masyarakat, tetapi selain daripada itu, dalam membicarakan politik
ini, kebudayaan merupakan faktor yang sangat penting karena mengkaji berbagai
pola perilaku seseorang atau pun sekelompok orang (seperti kelompok etnis)
yang orientasinya berkisar tentang kehidupan bernegara, penyelengaraan
administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat-istiadat, dan norma
kebiasaan yang berjalan, berpikir, dikerjakan, dan dihayati oleh seluruh anggota
masyarakat setiap harinya, serta dicampurbaurkan dengan prestasi di bidang
peradaban.
Berbicara tentang kebudayaan Indonesia, tentu sulit sekali, tetapi inilah
yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang diwarisi nilai-nilai luhur
nenek moyang. Untuk itu, perlu utarakan dalam bagian ini mengenai sub-sub
kultur yang terdapat di Indonesia. Budaya kedaerahan yang mempengaruhi
masing-masing suku dalam khasanah budaya Indonesia yang kaya ini dapat
dirumuskan. Inilah yang disebut oleh Mpu Prapanca beberapa abad yang lalu
sebagai “Bhinneka Tunggal Tan Hanna Mangrwa”56.
Budaya kedaerahan akan diuraikan berikut, baik yang bersifat kawula gusti
dalam kebudayaan orang-orang Jawa maupun yang bersifat partisipan, di satu
segi masih akan ketinggalan dalam menggunakan hak dalam memikul tanggung
jawab di bidang politik, yang disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar,
56 Pembahasan Didin Saepuddin dengan memberikan beberapa kategorisasi terhadap budaya didaerah dan kaitannya dengan sistem politik yang dianut Indonesia saat ini (Budaya PolitikIndonesia, artikel), Op.cit, Hal 2.
Tinjauan Pustaka
50Universitas Hasanuddin
pengaruh penjajahan, nepotisme, primordialisme, dan feodalisme. Namun bukan
berarti kita menggugurkan ciri asli kedaerahan. Berikut berbagai budaya politik
yang ada dalam masyarakat Indonesia berdasarkan daerahnya
Budaya Politik Jawa: Budaya politik kawula gusti sebenarnya dapat dikaji
dari etika Jawa, yang terkenal tabah juga ulet. Mereka memang sudah sejak dulu
terpatri dengan kromo inggil yang ternukil dalam berbagai falsafah hidup.
Misalnya dalam kepasrahan menghadapi tantangan hidup, mereka menyebut
“nrimo” (menerima dengan pasrah). Sebaliknya dalam meniadakan
kesombongan bila memperoleh keberuntungan, mereka memakai istilah “ojo
dumeh” (jangan mentang-mentang). Bila menghormati orang yang dituakan, lalu
mengangkat seluruh jasa-jasanya untuk dicontoh dan dibenamkan dalam-dalam
apa yang keliru diperbuat oleh tokoh tersebut supaya tidak terulang lagi disebut
“mikul dhuwur mendem jero” (memikul tinggi-tinggi, mengubur dalam-dalam).
Untuk meningkatkan kebersamaan dan kekeluargaan mereka beristilah “mangan
ora mangan pokok-e kumpul” (makan tidak makan yang penting berkumpul).
Dalam memantapkan pekerjaan agar teliti dan berhati-hati walaupun kemudian
memerlukan waktu, mereka beristilah “ alon-alon waon kelakon” (pelan-pelan
asal tercapai). Dalam merendahkan diri dan mengurangi kesewenang-wenangan
bertindak, walaupun terhadap bawahan sekali pun, mereka memberi istilah
“ngono yo ngono, ning ojo ngono”. Hal ini sejalan dengan usaha bertata krama
walaupun terhadap pihak yang telah dikalahkan, mereka memberi istilah
“ngluruk tanpa bolo, digdaya tanpa aji-aji, menang tanpa ngasorake”.
Dalam politik orang Jawa relatif lebih merendah dibandingkan suku-suku
lain di Indonesia, yang terwujud dari bagaimana cara mereka memasang keris.
Bila orang Bugis-Makassar, Minangkabau, Banjarmasin, dan Aceh, masing-
masing menyelipkan badik, keris, mandau, dan rencong mereka pada dada dan
Tinjauan Pustaka
51Universitas Hasanuddin
perut (di depan) maka orang Jawa menyimpan kerisnya di punggung (di
belakang), agar tampak tidak mengancam. Hanya mungkin ada yang menilai
kurang jantan. Itulah sebabnya dalam politik, orang Jawa lebih senang berkelahi
dari belakang dari pada berhadap- hadapan.57
Budaya Politik Minangkabau: Budaya politik partisipan sebenarnya dapat
dikaji dari Ranah Minangkabau, mengapa orang Padang terkenal ulet besilat
lidah dan tidak mau mengalah karena di dalam berpetatah-petitih, mereka sudah
sejak dulu mempunyai pandangan tentang filsafat hidup, termasuk dalam hal
kepemimpinan. Dalam mempertahankan gengsi, kewajiban, dan persamaan
derajat, mereka mengatakan “tagak samo tinggi, duduak samo rendah”
(berdiri/tegak sama tinggi, duduk sama rendah). Begitu pula dalam mengelola
kehidupan mereka berpedoman : “nak mulia batabua urai, nak tuah tagak di
nan manang, nak cadiak sungguah baguru, nak kayo kuak mancari” (agar
menjadi orang yang mulia berlakulah yang baik, ingin maju teladanilah orang
yang telah berhasil, ingin pintar belajar sungguh-sungguh, ingin kaya harus
kuat/ulet berusaha).
Untuk pemanfaatan tenaga kerja, mereka mengatakan bahwa, “nan buto
paambuih lasuang, nan pakak palapeh badia, nan lumpuah pauni rumah, nan
binguang disuruah-suruah, nan kuek pambao beban, nan cadak lawan
berundiang” (yang buta menembus lesung, yang tuli pelepas badil/menembak,
yang lumpuh penunggu rumah, yang menganggur untuk disuruh-suruh, yang
kuat pembawa beban/barang, yang pintar untuk lawan berunding). Hal ini
sejalan dengan peredaman emosi antusiasme, yaitu “ mamanjang sarantang
tangan, mamikua sakuek bahu, malampek saayun langkah, bakato sapanjang
aka” (memanjang serentang tangan, memikul sekuat bahu, melompat seayun
57 Ibid, Hal. 21
Tinjauan Pustaka
52Universitas Hasanuddin
langkah, berkata sepanjang akal). Bagi penyesuaian diri mereka berpedoman
pada “bakato di bawah-bawah,mandi di ilia-ilia” (berkata di bawah-bawah,
mandi di hilir-hilir) sehingga tepat dengan usaha mempertahankan prinsip, yaitu
“baa di wang baitu pulo di awak, talanjuakluruih kalingkiang bakaik”
(bagaimana halnya pada orang begitu pula pada kita, telunjuk lurus kelingking
berkait).
Penggambaran posisi pemimpin pemerintahan diibaratkan pohon beringin,
yaitu “daunnyo tampek balinduang, batangnyo tampek basanda, dahannyo
tampek bagantuang, ureknyo tampek baselo” (daunnya tempat berlindung,
batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, akarnya tempat
bersila). Namun demikian tetap diperlukan introspeksi diri sebagai berikut : “
kok kuek urang indak ka balinduang, kok bagak urang indak kabaparang” (jika
kaya orang tidak akan meminta, jika pintar /cerdik orang tidak akan bertanya,
jika kuat orang tidak akan berlindung, jika berani orang tidak akan
berkelahi/berperang). Dalam hubungan dan komunikasi kepemimpinan dengan
bawahan mereka berpedoman “duduak surang basampik-sampik, duduak
basamo balapang-lapang” (duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama
berlapang-lapang). Itulah sebabnya setelah kekalahan dalam peristiwa PRRI
orang awak ini sangat berhati-hati dalam menjalin hubungan antara pemerintah
daerah dan pemerintah pusat.58
Budaya Politik Aceh: Orang Aceh lebih suka dikatakan sebagai penjahat
ketimbang dinilai telah meninggalkan agama Islam karena sudah begitu terpatri
dalam darah daging budaya Aceh. Masyarakat Aceh cukup eksis dalam hidupnya
serta memiliki ketersinggungan jiwa yang sensitif. Berkenaan dengan hasrat hati
masyarakat Aceh dalam menantang perjuangan dengan gigih mereka bersendi
58 Ibid, Hal 25
Tinjauan Pustaka
53Universitas Hasanuddin
pada istilah “de teuron dari rumoh neugisa ngon darah” (maksudnya: kalau
turun dari rumah jangan harapkan pulang nama, tetapi harus tetap pulang
darah). Hal ini dekat dengan ayat Al Quran yang mengatakan “Faa-izza azamta
fa tawaqal allallah” (artinya, apabila engkau telah membulatkan tekad maka
serahkanlah kepada Allah SWT.).
Sejarah memang telah membuktikan perjuangan rakyat Aceh melawan
penjajahan Belanda. Kaum kolonialisme begitu sukar menembus daerah ini,
kecuali mengelabuhi para syuhada Serambi Makkah ini. Namun demikian,
sebagai akses dari keuletan daerah ini, mereka tampak eksistensialis ketimbang
fatalisme; jihad diperlukan lebih mutlak ketimbang sufisme, bahkan tariannya
saja alat gendering hampir tidak diperlukan karena cukup memukul dada. Di
kampung-kampung tidak ditemui rumah ibadah agama lain selain masjid, tetapi
untuk memusnahkan ladang ganja pemerintah harus campur tangan. Untuk itu
dalam penyelenggaraan politik diperlukan pendekatan religi. Namun sayang rasa
kecewa masyarakat Aceh sudah tertimbun sehingga mereka tidak lagi berharap
untuk menerima Undang-Undang Nangroe Aceh Darussalam.59
Budaya Politik Bali: Unsur kehidupan masyarakaat dan kebudayaan di
Bali, berkembang seiring dengan perkembangan unsur-unsur yang berasal dari
budaya agama Hindu Jawa, terutama berasal dari perluasan pengaruh kekuasaan
Singosari dan Majapahit. Hal ini tampak dalam tradisi seperti adanya tokoh
pedanda, nama-nama yang menunjukkan kasta, upacara pembakaran mayat,
berbagai tarian dan arsitektur bermotif Hindu. Ini berpengaruh pula dalam
budaya politik. Namun kemudian terjadi perkembangan budaya Bali menjadi
tradisi modern, sejak kemerdekaan Republik Indonesia. Ditambah pula oleh
banyaknya wisatawan asing dan domestik yang masuk ke Bali. Dengan demikian,
59 Ibid, Hal 28
Tinjauan Pustaka
54Universitas Hasanuddin
pendidikan dan budaya serta pengaruh-pengaruh masa kini telah banyak
membawa perubahan, terutama dalam sistem pelapisan kasta. Tetapi yang paling
penting dalam kehidupan sosial masyarakat Bali adalah adanya asas gotong
royong, baik sebagai nilai budaya maupun dalam sistem perilaku. Gotong royong
telah menjadi landasan dari berbagai bentuk kegiatan sosial di Bali sehingga
tampak sangat mengerakan kehidupan kekerabatan dan komunikasi masyarakat
Bali. Bentuk gotong royong tersebut diberi berbagai istilah dalam kehidupan
sehari-hari, sebagai contoh yaitu : (1) Ngoupin (gotong royong antarindividu atau
keluarga); (2) Ngedeng (gotong royong antar perkumpulan); (3) Ngoyah (gotong
royong untuk keperluan agama).
Itulah sebabnya masyarakat Bali relatif jauh dari keinginan untuk
memisahkan diri dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia, rasa
kegotongroyongan mereka terbentuk dari budaya mereka sendiri, kendati
kesempatan untuk hal tersebut memungkinkan melihat potensi pariwisata yang
mereka miliki. Bayangkan betapa banyak para turis dari manca negara yang
mengatakan “see Bali before your die” artinya bila meninggal orang perlu
mendambakan surga maka sebelum mati orang perlu mendambakan Bali. Sayang
keberadaan kasta yang sebenarnya adalah untuk menentukan tingkat
pemahaman seorang umat Hindu, dimodifikasi oleh penjajah asing menjadi kelas
dalam masyarakat.60
60 Ibid Hal 29
Tinjauan Pustaka
55Universitas Hasanuddin
D. Status Tradisional: Modal Simbolik Dalam Praktik Politik.
Beberapa pemahaman mengenai stratifikasi sosial oleh beberapa teoritis
(Talcott Parson, Weber, K. Marks & Petirim Sorokin)61 mengungkapkan tentang
adanya pola pelapisan sosial dalam masyarakat yang terbentuk sebagai implikasi
dari hubungan-hubungan ekonomi seperti kepemilikan atau harta kekayaan dan
ada pula yang terbentuk karena seseorang memiliki sesuatu yang dihargai atau
dibanggakan dalam jumlah lebih daripada yang lainnya. Beberapa pendapat
tentang penyebab stratifikasi sosial tersebut menunjukkan bahwa hal yang
dimaksud sangat penting dibahas dalam kaitannya dengan masalah pengaruhnya
dalam praktik politik dalam setiap pelapisan sosial yang ada dalam struktur suatu
masyarakat. Pengetahuan mengenai pelapisan sosial berati mengetahui dan
mencari latar belakang pandangan, perspektif atau sifat-sifat yang mendasari
kebudayaan dari suatu masyarakat. Selain itu, mengetahui pelapisan masyarakat
dapat ditemukan penggambaran tentang bentuk hubungan-hubungan, kejadian-
kejadian dalam peristiwa yang ada dalam masyarakat yang kemudian pada
orientasinya ditujukan tentang pengaruhnya terhadap bentuk-bentuk tingkah
laku segenap individu atau kelompok dalam masyarakat.
Terkait masalah pelapisan sosial, dalam kebudayaan Bugis yang sarat
dengan pengaruh tradisi dalam dinamika kesejarahannya lebih memunculkan
adanya pelapisan sosial berdasarkan kekerabatan. Pada periode tertentu dalam
sejarahnya dimana kemunculan stratifikasi sosial ini diuraikan dalam cerita epos
La Galigo62 yang menceritakan tentang mitos tentang nenek moyang orang Bugis
yang pada akhirnya membedakan dua jenis manusia. Pertama, mereka yang
“berdarah putih” yang keturunan déwata dan kedua adalah jenis manusia yang
61 Lihat Soerjono Soekanto (Beberapa teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, CV. RajawaliJakarta, 1983) Hal. 254-255
62 Lihat Pelras (Manusia Bugis),Op.cit Hal. 196;2006
Tinjauan Pustaka
56Universitas Hasanuddin
”berdarah merah” yaitu rakyat biasa, rakyat jelata, atau budak. Ditekankan
kemudian bahwa stratifikasi sosial ini mutlak dan tidak boleh tercampur.
Meskipun konsepsi aturan strata dalam kebudayaan Bugis ini sudah semakin
longgar bahkan sudah tidak ditemukan lagi seiring waktu bergulir.
Pada sistem kekerabatan yang cikal bakal pelapisan sosial dikenal
beberapa prinsip dalam karya pertama yang fundamental tentang sistem
kekerabatan masyarakat manusia bersumber dari beberapa ahli antropologi
(J.Lubbock; J.J. Bachhofen; J.F. McLennan; dan G.A. Wilken)63. Inti dari semua
tulisan tentang semua sistem kekerabatan tersebut jika dilihat dari perspektif
antropologi sosial memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu sebagai acuan
untuk bertindak baik dalam kelompok maupun diluar kelompok. Beberapa
prinsip pokok yang dapat ditarik dari berbagai sistem-sistem kekerabatan yang
dianut dari beberapa kelompok masyarakat yaitu: Pertama, sistem kekerabatan
masyarakat manusia bersifat dinamis dari satu pola ke pola selanjutnya sesuai
dengan perkembangan kebudayaannya; Kedua, dalam sistem kekerabatan
berlaku stratifikasi sosial dalam pembentukan dan pengembangan keluarga;
Ketiga, adanya pengaruh adat istiadat terhadap pembentukan dan
pengembangan sistem kekerabatan; Keempat, sistem kekerabatan dipengaruhi
oleh unsur mitos baik dalam pembentukan dan pengembangan kekerabatan;
Kelima, dalam sistem kekerabatan dikenal konsep keluarga inti dan bukan
keluarga inti64.
Dalam konsepsi kelompok sosial juga, seseorang dikatakan berkerabat
apabila orang tersebut mempunyai hubungan “darah” dengan seorang individu
63 Lebih jauh tentang sistem kekerabatan dibahas dalam karya Koentjaraningrat ”Pengantar Antropologi,Pokok-pokok Etnografi II, op.cit, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 85 - 142
64 Kesimpulan dari tese Koentjaraningrat tentang sistem dan pola-pola dalam kekerabatan yangdiajukan Meiyani dalam Disertasinya “Bati Na Wija Dalam Sistem Kekerabatan” , Op.cit, Hal. 91.
Tinjauan Pustaka
57Universitas Hasanuddin
tadi baik melalui ibunya maupun melalui ayahnya. Terbentuk hubungan darah
antara satu orang dengan orang lain yang jumlahnya banyak, namun seseorang
dapat mengenali silsilah kekerabatannya berdasarkan “kekerabatan biologis” dan
dapat membedakannya dengan “kekerabatan sosiologis”65. Selain itu, hubungan
kekerabatan biologis dapat diketahui dari ciri-ciri tertentu seperti dapat menjadi
ahli waris, berhak atas suatu gelar, berhak atas kedudukan tertentu dalam
masyarakat dan lain sebagainya66. Oleh sebab itu dalam menetunkan posisi
seseorang dalam suatu sistem kekerabatan berlaku beberapa prinsip keturunan
yang dapat menjadi acuan menentukan posisi seseorang agar dapat digolongkan
sebagai kerabat.
Munculnya pelapisan sosial juga dapat disebabkan karena kedudukan
seseorang dalam masyarakat yang ditentukan berdasarkan besar kecilnya
kekuasaan, kekayaan, kepandaian, keterampilan, pengetahuan, atau kombinasi
dari hal-hal tersebut sehingga menentukan posisi atau statusnya dalam pelapisan
sosial. Perihal ini juga dipertegas oleh Koentjaraningrat67 dengan mengemukakan
tentang sebab-sebab terjadinya pelapisan sosial seperti adanya: (1) kualitas serta
keahlian, (2) senioritas, (3) keaslian, (4) hubungan kekerabatan dengan kepala
masyarakat, (5) pengaruh dan kekuasaan, (6) pangkat, dan (7) kekayaan. Dari
keseluruhan faktor penyebab terjadinya pelapisan sosial dapat dilihat dari
sejumlah masyarakat didunia, seperti pelapisan sosial masyarakat Bugis yang ada
di Sulawesi Selatan yang menjadi cikal bakal munculnya kecenderungan tatanan
sosial yang bersifat patronase yang didasarkan pada faktor kekerabatan dalam
pelapisan kaum bangsawan Bugis serta bagaiamana lapisan sosial ekonomi
menengah dalam memunculkan diri yang membentuk suatu kelompok lapisan
65 Meiyani (2008) Ibid, Hal. 9666 Koenjraningrat (1988: 197) dalam Meiyani (2008:104)67 Koentjaraningrat (1988: 158) dalam Meiyani (2010: 109)
Tinjauan Pustaka
58Universitas Hasanuddin
tersendiri dalam bentuk-bentuk patronase dan kesemuanya berimplikasi pada
bagaimana pola-pola tatanan masyarakat Bugis dalam pemahaman dan praktik-
praktik dalam kebudayaanya yang dalam penulisan ini akan banyak dikaitkan
tentang bagaimana impilikasinya dalam fenomena politik dan kekuasaan yang di
masyarakat Bugis Wajo.
Untuk menelaah dan memetakan hirarki dalam masyarakat tradisional
Bugis maka umumnya ditemukan beberapa simbol-simbol tertentu yang
menunjukkan status sosial mereka68. Dengan simbol ini maka masyarakat
kemudian mengetahui bagaimana mereka berinteraksi. Hal ini berkaitan dengan
tata cara berperilaku yang seharusnya menurut nilai-nilai sosial yang telah
ditetapkan. Berkaitan dengan pembagian dua jenis strata sosial orang Bugis yaitu
kedudukan status seseorang berdasarkan “warna darah” atau keturunan
berdasarkan kekerabatan dan kedua adalah tatanan sistem pemerintahan yang
terdiri atas teritorial tertentu dengan hukum dan pemimpinnya masing-masing.
Mengenai masalah teritorial dan wilayah hukum, pendapat ini diperkuat oleh
penggambaran Korn & Ossenburggen69 tentang wilayah di Sulawesi Selatan yang
ditemukannya daerah yang benar-benar merupakan kota hingga abad ke-17.
Makassar sebelum diambil alih oleh pemerintah Belanda bukanlah kota yang
menyatu, melainkan kompleks yang terdiri dari desa-desa yang tersebar di antara
sawah dan perkebunan kelapa dan tergabung dalam wilayah atau domain
(seperti dalam istilah yang dikemukakan Pelras) yang berbeda dan dibawah
penguasa-peguasa yang berbeda. Diwilayah pedalaman kerajaan, tempat
pemukiman kepalanya hanyalah sebidang tanah yang dilindungi lereng bukit
68 Lihat Pelras (2006: 196) tentang tanda-tanda status dalam masyarakat Bugis Tradisional
69 Lihat Pelras dalam kumpulan tulisan yang disunting Kathryn Robinson & Mukhlis Paeni, Tapak-tapak Waktu: Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan. Inninawa. 2006.Op cit, Hal 48.
Tinjauan Pustaka
59Universitas Hasanuddin
tanah, melingkupi ladang, kebun, taman dan beberapa rumah panggung yang
mudah dipindahkan.
Pelras70 juga mengemukakan ciri dari desa dalam masyarakat Bugis yang
tidak mengenal komunitas desa sebagaimana digambarkan desa di Bali, sehingga
bentuk kekuasaan pemimpin dalam desa pun bebeda. Namun dewan penasehat
ditemukan ditingkat yang lebih tinggi yakni wanua (wilayah) yang berada
dibawah pemerintahan seorang arung (penguasa), sehingga hal inilah yang
mengantarkan penggambaran penulis tentang adanya karakteristik pembagian
kekuasaan yang berasal dari bentuk kerajaan federasi dalam sejarah orang Bugis
yang berbicara tentang demokrasi aristokrat seperti yang penulis kutip dari
Pelras diawal tulisan. Adalah pada masa kerajaan Wajo pada yang memiliki
prinsip kerajaan federasi yang secara turun menurun menjadi prinsip dan adanya
keberadaan jaringan penguasaan dalam setiap teritorial, hubungan kekuasaan
pemimpin dan pengikut serta hubungan politik yang ada dalam setiap wanua
yang dianalogikan tidak lain menyerupai sebuah negara bagian.
Implikasi dari pola-pola seperti yang digambarkan diatas adalah
kecenderungan terjadinya persaingan atau perselisihan antar mereka yang
sederajat dan kadangkala terbangun asosiasi atau bentuk-bentuk relasi
kerjasama antar strata sosial, baik yang sederajat ataupun yang tidak sederajat.
Hingga pada titik tertentu akan terjadi afiliasi-afiliasi atau bisa dikatakan
hubungan persekutuan antar kelompok atau antar individu untuk merealisasikan
atau mempertahankan suatu kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Pada
fase inilah secara sadar atau tidak sadar terbangun suatu relasi yang biasa disebut
patron-klien.
70 Pelras (2005) Op.cit Hal. 48
Tinjauan Pustaka
60Universitas Hasanuddin
E. Reproduksi Status Sosial Dalam Struktur Patron-Klien
Sistem kekerabatan orang Bugis karena menganut sistem kekerabatan
bilateral, tidak mengarah pada pembentukan kelompok kekerabatan yang ketat,
juga tidak mengenal kelompok bilateral yang mengakui nenek moyang bersama
seperti yang dianut dalam sistem kekerabatan orang-orang di Toraja. Sebaliknya
dalam sejarahnya, orang Bugis terstruktur oleh sistem jaringan patron-klien yang
dibarengi dengan pola kekerabatan yang begitu meresap dan saling berpautan.
Pada dasarnya, sifat dari hubungan antara seorang pemimpin dan pengikutnya
adalah hubungan antara individu71.
Implikasi dari tatanan masyarakat dengan pola pemimpin-pengikut,
adalah relasi antar individu yang menempatkan masyarakat situasi dimana
kelompok lapis atas mereproduksi status ataupun sifat hak istimewa dari seorang
keturunan bangsawan. Penempatan status sosial oleh kalangan lapis atas sebagai
suatu previlese atau hak memimpin yang dalam bentuk bagiamana kekuasaan
dipertahankan umumnya dilakukan dengan mereproduksi streotip-streotip
tertentu yang dikenakan pada kelompok lapis bawah atau pengikut72. Upaya
membedakan diri dari kelas-kelas sosial lain merupakan bagian dari strategi
kekuasaan. maka kecenderungan kelas yang didominasi adalah mengikuti budaya
kelas dominan dan pola-pola pikiran mereka. Kelompok masyarakat, atau lapisan
sosial atas yang pernah berkuasa dan menduduki stratifikasi sosial yang tinggi
menjadikan ruang-ruang yang ada dalam masyarakat untuk mereproduksi status
sosialnya, misalnya dengan konstkrusi cerita kepahlawanan dalam sejarah atau
melalui garis keturunan dan sistem kekerabatan seperti disinggung diatas
71 Lihat ulasan Pelras tentang tradisi modernitas orang Bugis (dalam Robinson & Mukhlis Paeni, 2005:46)
72 Dalam Tahara “Reproduksi Streotip dan Resistensi Orang Katobengke Dalam Struktur Masyarakat Buton
(Disertasi) Op.cit, Hal. 27
Tinjauan Pustaka
61Universitas Hasanuddin
tentang kecenderungan masyrakat Bugis di Wajo dengan membangun struktur
patron-klien yang dioperasionalisasikan dalam kekuasaan melalui reproduksi
status.
Konsep tatanan patron-klien sebenarnya bisa dilacak dalam struktur
sosial masyarakat dahulu sejak zaman Romawi kuno73 dimana terjadi persaingan
melalui diplomasi dan perang antara kaum bangsawan beserta pengikut-
pengikutnya dalam memperbutkan tahta kekuasaan Senat. Konsepsi ini
menggambarkan tatanan dalam bagian-bagian disetiap bangsawan (patronus)
mempunyai sejumlah pengikut-pengikut dari tingkat strata yang lebih rendah
(clientes) yang berharap perlindungan dan jaminan keamanan dari kekuasaan
patron-patron lainnya para clientes pada umumnya adalah orang-orang yang
berstatus bebas namun ikatan-ikatan dengan patron tidak menjadikan
sepenuhnya mereka bebas. Hubungan antara pemimpin dan pengikut sangat
dekat, hal ini dapat dilihat penamaan nama belakang dari klien yang cenderung
mengikuti nama patronnya. Begitu pula apabila diadakan upacara, para klien
selalu melibatkan diri misalnya dalam upacara pemujaan keluarga bangsawan
yang mereka anggap sebagai pelindung. Pola politik serupa juga terjadi di
Jepang74 sebelum dan sesudah berdirinya dinasti Ieyasu Tokugawa sekitar abad
ke-16 yang juga dalam sejarahnya ditemukan kecenderungan struktur yang
serupa dengan pola patron-klien. Hubungan patron dan klien di Jepang
dibangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal-balik, dengan pengikut yang
setia dan bersifat turun temurun bahkan siap mati demi melindingi patron yang
yang membuat Jepang sangat terkenal dengan ksatria Samurai-nya. Kaum
73 Dalam A. Yani “Perilaku Politik Orang Bugis Dalam Dinamika Politik Lokal”. 2006. Op cit hal 4
74 Dalam Film Dokumenter “Warrior: Shogun Ieyasu Tokugawa” (2008) yang merupakan hasil penelusuransejarah yang dirilis BBC London Inggris .
Tinjauan Pustaka
62Universitas Hasanuddin
bangsawan sebagai patron berkewajiban untuk menjaga kliennya dari musuh-
musuh dan melindunginya dari tuntutan hukum. Disamping itu patron juga
membantu keluarga kliennya dalam hal ekonomi, dengan memberikan lahan
kepada pengikutnya agar dapat menghidupi seluruh anggota keluarganya. Di sisi
lain, klien juga berkewajiban untuk membantu patronnya dalam kondisi tertentu,
seperti menebus sang patron jika ditangkap sebagai tawanan perang, atau
membayar biaya perkara yang harus dibayar patron75. Bentuk dari struktur
seperti patron-klien ini juga diterapkan pada berbagai kelompok masyarakat dan
suku bangsa dalam berbagai periode sejarah. Hubungan patron-klein menjadi
bagian dalam sistem sosial politik masyarakat di beberapa belahan bumi seperti
di Eropa, misalnya di Italia76. Begitu pula bentuk patron-klien di Asia Tenggara
juga terjadi di Burma, Filipina, Thailand, dan Malaysia77.
J.C. Scott78 memberikan pemahaman terkait kondisi sosial-budaya yang
memunculkan dan mendorong terbangunnya pola patron-klien dalam suatu
masyarakat terutama di kawasan Asia Tenggara yang sejak masa lalu bahkan
sampai sekarang tetap memperlihatkan kecenderungan adanya bentuk-bentuk
patron-klien dalam praktik-praktik masyarakat dalam beberapa aspek. Suatu
kondisi dalam suatu kebudayaan dikatakan turut mempengaruhi dalam
membentuk pola patron-klien. Ada beberapa kondisi sosial-budaya yang
kemudian menjadi pendukung bentuk struktur patron-klien, diantaranya adalah
kondisi dimana terdapat perbedaan (inequality) yang terjadi dalam masyarakat
menyangkut pemenuhan kekayaan dan kekuasaan. Umumnya, seorang patron
mengorientasikan dirinya pada tujuan yang menyangkut pengaturan kekuatan
75 Dalam A. Ahmad Yani (2006) tentang pola hubungan patron klien dalam praktik politik.
76 Lihat Sydel F. Silverman (dalam McGlyyn & Arthur Tuden 2000: 237)
77 Pelras (1981:13) dalam Yani (2006)
78 Dikutip Heddy S. Ahimsa Putra (33-34;1988) dalam tulisan Ahmad Yani (2006), Op.cit, hal 5
Tinjauan Pustaka
63Universitas Hasanuddin
serta pertarungan dalam mendapatkan kedudukan jabatan, namun pada periode
awal sebenarnya sifatnya tidak mendasarkan pada hubungan-hubungan dalam
pewarisan kedudukan atau kepemilikan tanah. Namun pada masa pemerintahan
kolonial yang menerapkan komersialisasi ekonomi, sehingga kondisi tersebut
mengalami pergeseran yang memunculkan kembali nilai-nilai dalam orientasi
kepemilikan tanah yang kemudian justru menjadi pemicu adanya gejala patron-
klien.
Dengan menggunakan pemahaman tentang patron-klien yang diutarakan
J.S. Scott memberikan kerangka bagi penulis untuk mendeskripsikan situasi yang
melatarbelakangi hubungan patron-klien yang tumbuh dalam praktik politik
orang Bugis Wajo, dimana adanya hubungan antara pemimpin dan pengikut
dalam masyarakat Bugis disebut Ajjoareng-Joa’79. Dalam masyarakat Bugis,
individu yang dikatakan patron biasanya diduduki oleh kalangan bangsawan
yang disebut Ajjoareng atau Pappuangeng. Sedang klien berasal dari kalangan
masyarakat biasa yang disebut joa’ atau ana’ guru (pengikut). Hubungan patron
dan klien merupakan hubungan kewajiban timbal-balik. Seorang patron
berkewajiban untuk melindungi joaqnya dari kesewenang-wenangan dari
bangsawan lain, pencurian, atau berbagai ancaman lain, serta memperhatikan
kesejahteraan dan melindungi mereka dari kemiskinan. Sebaliknya, klien
berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada patronnya, misalnya, dengan
bekerja di lahan atau rumah tuannya, atau menjadi prajurit, dan mengerjakan
berbagai kegiatan-kegiatan lainnya.
Dalam sistem politik orang Bugis Wajo tradisional, garis keturunan
bukanlah jaminan untuk mendapatkan posisi jabatan dalam kerajaan maupun
79 Mattulada juga memberikan khusus mengenai gejala demikian sebagai bentuk stratifikasi sosial orangBugis. (1995:491)
Tinjauan Pustaka
64Universitas Hasanuddin
dalam konteks jabatan politik sekarang. Hal ini disebabkan masyarakat Wajo
tradisional tidak memiliki konsepsi kepemimpinan To Manurung. Justru dalam
hal kepemimpinan kerajaan yang meliputi beberapa daerah (wanua) mereka
bersama-sama memilih pemimpinnya (matoa) yang memenuhi syarat-syarat
kepemimpinan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada umumnya di Wajo calon
matoa bisa berasal dari tiga kelompok masyarakat yang juga merupakan suatu
kelompok kekerabatan besar yang berasal dari awal Kerajaan Wajo, yaitu Betteng
Pola, Talo Ténreng dan Tua’. Tidak ada aturan mutlak yang dapat dijadikan
pedoman dalam proses suksesi suatu kerajaan diantara ketiga kelompok besar
tersebut, namun terdapat sebuah petunjuk yang menggariskan bahwa untuk
jabatan tertentu, calon yang akan dipilih biasanya mesti salah seseorang dari
sekian banyak keturunan pemegang jabatan sebelumnya, dan dia sendiri berasal
dari status tertentu saja. Jadi akan terdapat beberapa kandidat yang memiliki hak
yang kurang lebih sama untuk bertarung dalam perebutan kekuasaan tersebut.
Meski bukan suatu faktor utama, indikasi yang dapat memenangkan pertarungan
adalah kandidat yang memiliki pengikut paling banyak serta didukung oleh
pengikut yang paling berpengaruh. Jadi secara mendasar pengikut (joa’) dapat
dibedakan dua jenis. Pertama, pengikut dari kalangan orang biasa, yang
mengabdi langsung kepadanya dengan, misalnya, menjadi prajurit dalam
pasukannya. Kedua, adalah pengikut dari kalangan bangsawan yang menjadi
pendukung, yang juga memiliki pengikut dan pendukung sendiri.
Berangkat dari fenomena dalam sejarah Bugis Wajo tersebut di atas,
maka seorang patron harus berupaya untuk memperluas jaringan kliennya dalam
rangka penguasaan sumberdaya dan jabatan kekuasaan. Dan menariknya ini
menjadi subur dalam konteks politik kekinian dan layak disebut seperti
memunculkan praktik yang serupa pada periode sebelumnya. Perubahan regulasi
Tinjauan Pustaka
65Universitas Hasanuddin
di tatanan negara diikuti oleh perubahan sistem politik lokal. Perubahan
mendasar yang berkaitan dengan sistem politik lokal adalah pemilihan kepala
daerah baik di tingkat kabupaten/kota maupun tingkat propinsi secara langsung
yang disebut Pilkada (pemilihan kepala daerah). Upaya untuk membangun
demokrasi di tingkat lokal dengan pelibatan rakyat secara penuh merupakan
alasan penyelenggaraan pilkada. Para bangsawan dan kelompok menengah
dalam masyarakat Bugis yang berasal dari daerah bekas kerajaan. Diantara
kelompok-kelompok tersebut mulai melibatkan diri dalam arena politik dengan
mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-nya yang pada daerah tertentu
masih tetap terbangun dengan baik.
Model ajjoareng’-joa’ ini ditengarai seperti bertahan dalam regulasi
otonomi daerah yang merupakan hasil pendistribusian kewenangan pusat ke
daerah pada tingkat kabupaten atau kota. Diawali dengan sistem pemilihan
konstituen, dimana seorang calon legislatif dapat duduk menjadi anggota DPRD
apabila suara pemilih paling banyak sesuai dengan rasio penduduk didaerah
tersebut. Para bangsawan dan kelompok menengah dalam masyarakat Bugis
yang berasal dari daerah bekas kerajaan banyak memanfaatkan momentum ini
dalam memperkuat kembali identitas dirinya dalam perebutan kekuasaan
ditingkat lokal. Diantara kelompok-kelompok tersebut melibatkan diri dalam
arena politik dengan mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-nya yang
pada daerah tertentu masih tetap terbangun dengan baik.
Gambaran Lokasi Penelitian
66Universitas Hasanuddin
BAB III
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai daerah penelitian, penulis
kemudian memberikan gambaran umum daerah penelitian, dimana sangat
memberikan andil dalam pelaksanaan penelitian terutama pada saat
pengambilan data, dalam hal ini untuk menentukan teknik pengambilan data
yang digunakan terhadap suatu masalah yang diteliti. Di sisi lain dengan
mengetahui daerah penelitian ini, mempengaruhi penulis dalam pengambilan
data dan memudahkan pelaksanaan penelitian dengan mengetahui situasi yang
tercatat dalam sejarah; kondisi politik dan pemerintahan; dan tatanan nilai-nilai
dalam pemerintahan di kabupaten Wajo. Dalam bagian gambaran lokasi yang
penulis ingin utarakan diawal adalah sejarah-sejarah yang menggambarkan
bagaimana stuktur kekuasaan di awal berdirinya Wajo sampai pada integrasi
Wajo dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan nilai-nilai yang
terkandung dalam proses pelaksanan pemerintahan Wajo yang kemudian dengan
metode penulisan ini akan mengantarkan pada penjabaran pada proses tumbuh
berkembangnya Wajo dalam dinamika tradisi kesejarahan politik dan kekuasaan.
A. Sejarah Singkat Berdirinya Wajo
Pada beberapa wilayah Bugis di Sulawesi Selatan yang merupakan bekas-
bekas kerajaan proses pendiriannya diawali dengan kemunculan sosok misterius
yaitu To Manurung seperti yang diceritakan dalam epos La Galigo, ini berbeda
dengan Wajo yang terbentuk dari bekas kerajaan lama. Namun senantiasa
kontrak sosial terbangun antara pemerintah dan rakyat. Hal ini menandakan ciri
hubungan kekuasaan yang bercorak demokratis antara pemimpin dan yang
dipimpin meski bentuk pemerintahan yang dianut bukan republik hingga selama
Gambaran Lokasi Penelitian
67Universitas Hasanuddin
600 tahun lebih mengalami proses perubahan pasang surut dalam pemerintahan
di Wajo. Mulai dengan digunakannya gelar Kebataraan dimana raja adalah
penguasa yang mutlak berdasar genetik dengan menggunakan sistem monarki
absolut. Kemudian lahirnya perjanjian di Lapaddeppa di mana muncul
konstitusi kemerdekaan orang Wajo dan masuknya pada fase Arung Matowa,
dimana terjadi pembatasan kekuasaan raja terhadap rakyat.
Wajo mencapai zaman keemasan pada pemerintahan Arung Matowa
Latadampare Puangrimaggalatung, dimana pada masa kepemimpinanya
berhasil memperluas wilayah kerajaan Wajo, jauh dibanding batas yang kita
kenal hari ini. Disamping itu, dalam masa kekuasaannya sebagai Arung Matoa
yang dalam catatan sejarahnya sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan
mengajarkan kearifan dalam kepemimpinan. Pada fase Arung Matowa, Wajo
mengalami pasang surut. Titik nadir pemerintahan kerajaan Wajo ketika perang
tahun 1669 yang menyebabkan perlakuan sewenang-wenang dan kemiskinan
terhadap rakyat Wajo. Pemerintahan Arung Matowa menyikapi dengan
mengeluarkan kebijakan pembentukan lembaga ekonomi yang menyerupai
koperasi yang berfungsi memberikan pendanaan terhadap pedagang sehingga
memicu munculnya lapis to sugi pada struktur masyarakat dan menguatnya
ekonomi masyarakat sehingga menaikkan posisi Wajo dari segi pembangunan
ekonomi dibandingkan pada kerajaan tetangganya dalam hubungan luar
negerinya.
Setelah Belanda melancarkan ekspedisi militer dan menaklukkan
kerajaan-kerajaan pada tahun 1905-1906 maka terjadi banyak perubahan dalam
konstalasi politik dan sistem pemerintahan Wajo. Misalnya penyederhanaan
sistem wanua bukan pada kepengikutan pada Limpo tapi berdasarkan kedekatan
geografis. Selain itu, pengebirian peran pejabat kerajaan Arung Ennengge oleh
Gambaran Lokasi Penelitian
68Universitas Hasanuddin
pemerintah kolonial Belanda yang merupakan intervensi politik untuk
memudahkan kontrol terhadap jajahan.
Pada zaman penjajahan Jepang, tidak banyak perubahan pada sistem
pemerintahan sebelumnya. Hal ini dikarenakan karena Jepang tidak cukup
banyak waktu untuk mengkaji kebudayaan lokal. Namun yang pasti,
bagaimanapun bentuk pemerintahan lokal dalam hal ini pemerintahan kerajaan
Wajo, tentulah Jepang tetap memiliki kepentingan politis dalam mendukung
konsep perang Asia Raya Jepang.
Setelah terusirnya Jepang dan kembalinya Belanda, membuat sistem
pemerintahan kerajaan kembali terusik. Semangat nasionalisme berhasil
memadamkan kolonialisme dan juga menghapuskan kerajaan-kerajaan di
Nusantara termasuk kerajaan Wajo. Wajo berubah menjadi Onder-Afdeling
bersama Bone dan Soppeng dalam Ofdeling Bone. Selanjutnya menjadi
kewedanan dan akhirnya menjadi Kabupaten pada tahun 1957.
Wajo pada mulanya membawahi 4 kecamatan berdasar aspek historisnya,
antara lain Kecamatan Majauleng (Bettempola), Kecamatan Sabbamparu (Talo
Tenreng), Kecamatan Takkalalla (Tua) dan Kecamatan Pitumpanua. Dalam
perkembangannya berubah menjadi 10 kecamatan. Antara lain kecamatan
Tempe, Pammana, Sabbamparu, Majauleng, Takkalalla, Belawa, Maniangpajo,
Tanasitolo, Pitumpanua dan Sajoanging. Selanjutnya dimekarkan 4 kecamatan
baru yaitu kecamatan Bola yang merupakan pemekaran kecamatan Takkalalla.
Kecamatan Gilirang yang merupakan pemekaran dari kecamatan Maniangpajo.
Kecamatan Keera yang merupakan pemekaran dari kecamatan Pitumpanua dan
kecamatan Penrang yang merupakan pemekaran dari kecamatan Sajoanging.
Wajo yang dulunya adalah kerajaan yang sangat sempit dengan jumlah
penduduk sedikit dan memiliki mekanisme yang khas dalam mengelola
Gambaran Lokasi Penelitian
69Universitas Hasanuddin
rakyatnya, kini telah menjadi Kabupaten, daerah tingkat II dalam Negara
Kesatuan Indonesia. Namun yang pasti bahwa orang Wajo senantiasa memegang
slogan mereka dari sejak berdirinya kerajaan hingga di zaman Republik modern
ini. Yaitu Maradeka to WajoE Ade’na Na Popuang. Dimana antara pemerintah
dan rakyat senantiasa menjunjung tinggi supremasi hukum dalam pemerintahan
dan pengelolaan hajat hidup orang banyak. Wajo dulu dan sekarang telah banyak
berubah.
Dalam tinjauan tatanan politik dan kekuasaan, Wajo mengalami
perubahan dari kerajaan elektif menjadi bagian dari provinsi Sulawesi Selatan.
Perubahan kedaulatan dari kerajaan menjadi kabupaten inilah yang menjadi hal
penting untuk dibahas. Sebab perubahan tersebut meniscayakan berubahnya
struktur dalam pranata politik yang otomatis berpengaruh terhadap bagaimana
sistem pemerintahan di Wajo.
B. Keadaan Geografis Wajo
Wajo terletak di bagian tengah jazirah Sulawesi Selatan tepatnya pada
3.39’-4.16 LS dan 119.53’-120.27’ BT. Di sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap. Sebelah timur berbatasan dengan Teluk
Bone, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sidrap. Bagian selatan
berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten Soppeng. Luas wilayah
kabupaten Wajo sekitar 2.506,19 km² (250.619 ha) atau 4,01% dari luas wilayah
provinsi Sulawesi selatan, dengan rincian penggunaan lahan terdiri dari lahan
sawah 86.142 ha (34,37%) dan lahan kering 164.77 ha (65,63%). (Data BPS Kab.
Wajo 2009).
Gambaran Lokasi Penelitian
70Universitas Hasanuddin
Karakteristik dan potensi lahan di Kabupaten Wajo dalam khasanah
Lontara Sukkuna Wajo’80 diungkapkan sebagai daerah yang terbaring dengan
posisi “mangkangulu ribulue, Massulappe ripotanangange, mattoddang
ritasie/tappareng” yang artinya Wajo memiliki lahan dengan tiga dimensi, yakni:
tanah berbukit yang berjejer dari selatan Kecamatan Tempe ke utara semakin
tinggi, utamanya di Kecamatan Maniangpajo, Kecamatan Gilireng dan
Kecamatan Pitumpanua yang merupakan hutan dan tanaman industri,
perkebunan coklat, cengkeh, jambu mete, serta pengembalaan ternak. Tanah
dataran rendah yang merupakan hamparan sawah dan perkebunan/tegalan pada
wilayah bagian timur, selatan, tengah dan barat. Danau Tempe dan sekitarnya,
serta hamparan laut terbentang di pesisir Teluk Bone disebelah timur merupakan
potensi untuk pengembangan perikanan dan budidaya tambak. Potensi sumber
daya air yang cukup besar, baik air tanah maupun air permukaan yang terdapat
di danau dan sungai-sungai besar yang ada, seperti Sungai Bila, Sungai
Walennae, Sungai Cenrana, Sungai Gilireng, Sungai Siwa, dan Sungai Awo.
C. Profil Organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Wajo
Wilayah administratif Wajo kemudian dibagi menjadi 10 kecamatan dan
terakhir pada tahun 2003 terjadi pemekaran sehingga pada saat ini Wajo terdiri
dari 14 kecamatan 48 kelurahan dan 128 desa. Sebagai penerus dan pelanjut cita-
cita perjuangan para pendahulu Wajo dan seiring dengan perubahan bentuk
pemerintahan, Wajo telah dipimpin oleh 12 orang bupati, yaitu81:
80 Lihat tulisan Indar Arifin (2010)“Birokrasi Pemerintahan dan Perubahan Sosial Politik di Kabupaten Wajo”.Pustaka Refleksi. Makassar
81 Dalam Munawar (2008). Studi Mekanisme Sistem Pemerintahan Di Wajo Sejak Terbentuknya HinggaIntegrasi Dalam NKRI. Skripsi. STIA Puangrimaggalatung. Sengkang
Gambaran Lokasi Penelitian
71Universitas Hasanuddin
1. H. Andi Tanjong
2. Andi Magga Amirullah
3. Andi Bahtiar, SH
4. Andi Hasanuddin Oddang
5. H. Andi Unru
6. H. Rustam Efendi
7. Dr. Ir. Rady A. Gany
8. Drs. H. Dachlan Maulana, MS
9. Drs. H. Naharuddin Tinulu
10.H. Andi Asmidin
11. Ir. Andi Idris Syukur, M. Si
12.Drs. H. Andi Burhanuddin Unru, MM
Wakil Bupati, yaitu:
1. Drs. H. M. Saleh Radjab, MM
2. Drs. H. Abdul Salam Yahya
3. H. Amran Mahmud, S. Sos. M.Si
Ketua DPRD, yaitu:
1. Syaikh Abdul Kadir Tahir
2. H. Andi Muri
3. H. Parenrengi
4. H. Andi Mungkace
5. H. Andi Modding
6. H. Andi Asmidin
7. H. Dai Basri, BA
8. H. Andi Asriadi Mayang, SH. MH
9. Drs. H. Imran Hameru
10.H. M. Yunus Panaungi, SH.
Sekretariat Daerah Kabupaten Wajo sesuai Perda No. 5 Tahun 2008 untuk
pelaksanaan tugas dan fungsinya, susunan dan struktur organisasi Sekretariat
Daerah Kabupaten Wajo terdiri dari:
Gambaran Lokasi Penelitian
72Universitas Hasanuddin
1. Sekretaris Daerah
2. Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat:
a. Bagian Administrasi Pemerintahan Umum
b. Bagian Administrasi Kesejahteraan Rakyat
c. Bagian Administrasi Kemasyarakatan
d. Bagian Administrasi Kerjasama Antar Daerah
3. Asisten Perekonomian dan Pembangunan:
a. Bagian Administrasi Pengembangan Potensi Daerah
b. Bagian Administrasi Pembangunan
c. Bagian Administrasi Sumber Daya Alam
d. Bagian Administrasi Perekonomian
4. Asisten Administrasi Umum:
a. Bagian Hukum dan Perundang-undangan
b. Bagian Organisasi dan Tata Laksana
c. Bagian Umum
d. Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol
Sekretariat DPRD Kabupaten Wajo,Sesuai Perda No. 5 Tahun 200882
untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya, susunan dan struktur organisasi
Sekretariat DPRD Kabupaten Wajo terdiri dari:
1. Sekretaris DPRD
2. Bagian Umum
3. Bagian Keuangan
4. Bagian Perundang-udangan
5. Bagian Risalah dan Persidangan
82 Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009
Gambaran Lokasi Penelitian
73Universitas Hasanuddin
Nama-nama dinas dalam lingkup pemerintah Kabupaten Wajo
Sesuai Perda No. 6 Tahun 2008:
1. Dinas Pendidikan
2. Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata
3. Dinas Kesehatan
4. Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi
5. Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika
6. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
7. Dinas Pekerjaan Umum
8. Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, Menengah, Perindustrian dan
Perdagangan
9. Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
10.Dinas Kelautan dan Perikanan
11. Dinas Tata Ruang, Kebersihan, dan Pasar
12.Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah
13.Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Energi dan Sumber Daya Mineral
Nama-nama lembaga teknis dalam lingkup pemerintah Kabupaten Wajo
sesuai Perda No. 7 Tahun 200883:
1. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
2. Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah
3. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa
4. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian
5. Badan Lingkungan Hidup Daerah
6. Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat
7. Badan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera JL. Beringin
83 Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009
Gambaran Lokasi Penelitian
74Universitas Hasanuddin
8. Inspektorat Daerah
9. Rumah Sakit Umum Daerah
10.Kantor Perpustakaan dan Arsip
11. Satuan Polisi Pamong Praja
12.Kantor Pelayanan Terpadu Kantor Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.
D. Tatanan Nilai Dalam Sistem Pemerintahan dan Politik
Masyarakat Wajo
Visi dan Misi Kabupaten Wajo84
Visi Kabupaten Wajo
“Menjadikan kabupaten wajo sebagai kabupaten terbaik dalam pelayanan hak
dasar dan pemerintah yang profesional.”
Misi Kabupaten Wajo
Untuk mewujudkan visi tersebut, ada empat misi yang akan dilakukan:
Penguatan kelembagaan dan peningkatan sumber daya aparatur.
1. Meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan dalam proses
pemenuhan hak dasar masyarakat.
2. Menciptakan iklim yang kondusif bagi kehidupan yang aman, damai,
religius dan inovatif serta implementasi pemberdayaan masyarakat.
3. Mengakselerasi laju mesin-mesin pertumbuhan dalam proses produksi
berbasis ekonomi kerakyatan.
84 Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009
Gambaran Lokasi Penelitian
75Universitas Hasanuddin
Filosofi, Etika dan Etos Kerja Pemerintahan dan Masyarakat Wajo85
Filosofi pemerintah dan kemasyarakatn Wajo yang tercermin pada
kedalaman kearifan budaya dan moral masyarakat Wajo yang sejak 600 tahun
yang lalu yaitu sejak Wajo lahir sekitar 1399, kemudian mengkristal pada 3 kata
yang selanjutnya disebut dengan filosofi 3 S, yaitu: (1) Sipakatua; (2) Sipakalebbi;
(3) Sipakainge yang menjadi tatanan yang tak terpisahkan satu sama lain.
1. Sipakatau (saling memanusiakan)
a. Menghormati harkat dan martabat kemanusiaan seseorang sebagai mahluk
ciptaan Tuhan YME.
b. Semua mahluk disisi Tuhan YME adalah sama, yang membedakan adalah
keimanan dan ketaqwaan.
2. Sipakalebbi (saling memuliakan/menghargai)
a. Menghormati posisi dan fungsi masing-masing di dalam struktur
kemasyarakatan dan pemerintahan.
b. Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang muda,
yang sederajat saling menghormati dan menyayangi.
c. Berperilaku dan berbicara sesuai norma (baik) yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat dan pemerintah.
3. Sipakainge (saling mengingatkan/demokrasi)
a. Menghargai nasehat, saran, kritikan positif dari siapapun.
b. Pengakuan bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan kekhilafan.
c. Aparatur pemerintah dan masyarakat tidak luput dari kekurangan,
kekhilafan dan diperlukan kearifan untuk saling mengingatkan dan
85 Sumber: BPS Kabupaten Wajo 2009
Gambaran Lokasi Penelitian
76Universitas Hasanuddin
menyadarkan melalui mekanisme yang tidak lepas dari kearifan Sipakatau
dan Sipakalebbi.
Pada transisi pelaksanaan otonomi daerah yang penuh tantangan dan
efouria kebebasan perlu dibangun suatu persepsi, pandangan yang sama antara
pemerintah dan masyarakat Wajo dalam wujud adanya etika pemerintah dan
kemasyarakatan yang dapat dijadikan tolak ukur kinerja pemerintah dan
masyarakat. Etika pemerintahan dan kemasyarakatan tersebut tercermin pada
prinsip kerja yaitu, (1) Taat Asaz; (2) Keterbukaan; (3) Kemitraan; (4)
Pelayanan; (5) Rasa Malu (Siri’); dan (6) Iman dan Taqwa
Etos Kerja
1. Kewajiban (Nasseriki’):
- Tidak seorang manusiapun yang luput dari suatu kewajiban menurut
status dan fungsinya.
- Kewajiban tersebut akan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun
di akhirat sesuai norma hukum (adat) yang berlaku.
2. Bekerja (Resopa):
- Tidak seorang yang luput dari bekerja untuk kepentingan sendiri,
masyarakat dan negara. Tidak bekerja berarti malas (makuttu)
3. Optimal (Temmangingi):
- Puncak dedikasi kerja yang diharapkan adalah optimal, artinya sungguh
tidak setengah-setengah hati dan penuh rasa tanggungjawab (resopa
temmangingngi nalateti pammase dewatae)
E. Karakteristik Informan
Dalam upaya penulis untuk mendapatkan data-data atau keterangan-
keterangan mengenai suatu peristiwa yang ingin dicapai dalam penulisan
Gambaran Lokasi Penelitian
77Universitas Hasanuddin
penelitian ini, dengan rentang waktu penelitian maka, didapatkan sejumlah
keterangan dan informasi dari beberapa informan yang dipilih secara selektif
dengan mempertimbangkan bahwa informan tersebut adalah orang-orang atau
subjek yang mampu memberikan gambaran dan menceritakan suatu peristiwa di
masa lalu melalui penceritaan-penceritaan yang yang subjek tersebut dapatkan,
serta pada situasi dimana informan turut berperan dalam peristiwa tersebut
dalam konteks terjadinya suatu konstalasi politik. Dan bahkan adapun informan
yang dipilih salah satunya adalah Anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum)
Kabupaten Wajo yang selama ini aktif dalam ranah perpolitikan di Kabupaten
Wajo.
Pemilihan informan-informan ini dilakukan secara sengaja oleh penulis
yang tentunya berdasarkan pada kenyataan bahwa. Pertama, informan yang
dipilih memiliki kedekatan secara emosional dengan penulis, kedua, informan
tersebut merupakan individu yang memahami tentang situasi konteks dimana
Wajo sebagai arena dan bangunan konstalasi politik, informan-informan di
kategorikan sebagai pengamat yang sering melakukan perbincangan terkait
masalah sosial-budaya dan politik yang terjadi di kabupaten Wajo; Kedua,
informan yang dipilih tersebut merupakan individu yang terlibat dalam suatu
peristiwa di masa lalu, meski tak terlibat secara langsung tetapi dengan tipe
informan seperti ini dapat memberikan gambaran sejarah yang informan
dapatkan dari para pedahulunya; Ketiga, informan yang dipilih juga merupakan
beberapa pejabat birokrasi, pengamat politik, tokoh masyarakat, serta pemuka
agama yang memiliki kaitan dengan historitas yang ada di kabupaten Wajo, baik
itu merupakan keturunan bangsawan maupun diantaranya berasal dari kelompok
ekonomi menengah. Dengan ketiga alasan tersebut diharapkan oleh penulis akan
Gambaran Lokasi Penelitian
78Universitas Hasanuddin
memudahkan dalam proses wawancara dan penulisan ke Bab Pembahasan dan
Hasil Penelitian.
Berdasarkan pengamatan dan penggalian informasi yang ditelusuri
penulis di lapangan di dapatkan keterangan bahwa informan-informan yang yang
mampu menggambarkan sosial-budaya seperti informan yang memiliki
pengetahuan-pengetahuan dalam sejarah, pengamat masalah sosial-budaya
(tokoh masyarakat), pejabat pemerintahan dijadikan objek penelitian berasal
dari beragam identitas (dalam hal umur, pendidikan, dan status pernikahan).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut :
Tabel I
Daftar nama informan berdasarkan umur, pendidikan, dan status
pernikahan
No Nama Informan Umur Pekerjaan Ket
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
A. Mariattang, S.Sos
A. Rahmat Munawar, S.Sos
A. Ayatullah Ahmaad, S,Sos
H. Anwar Sadat
Abdul Rahim Mendo
Drs. A. Kandacong
Ir. A. Mungkace
Haris Panaungi, S.Sos
A. Sadapotto
Muhammad Idris
A. Isnandar
Anggota DPRD Sul-sel
Anggota KPU Wajo
PNS
Anggta DPRD Wajo
Pensiunan Kades
Guru/Pengajar SLTP
Konsultan Proyek
PNS
Mahasiswa
Pensiunan PNS
Pengusaha
Gambaran Lokasi Penelitian
79Universitas Hasanuddin
12
13
14
Rahim Ambong
H. A. Kile’
H. Sulaiman
Tim Sukses Kampanye
Mantan Kades
Tokoh Agama
Sumber : Data Lapangan yang diolah tahun 2011
Berdasarkan data wawancara yang dilakukan oleh penulis, terdapat tujuh
karakter dari keterangan yang diberikan oleh informan yang mewarnai
kehidupan atau aktifitas kesehariannya, sebagai berikut :
- Kategori keturunan bangsawan
- Kategori terpelajar, mahasiswa, cendikiawan dan lain sebagainya.
- Kategori kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan politik
(pemilih, tim sukses, dsb).
- Kategori pelaku dalam peristiwa dan penutur sejarah.
Demikian pengambaran informan yang sempat diwawancara di lapangan
yang telah memberikan informasi dan data-data sekaitan dengan hasil yang ingin
dicapai oleh penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
80Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
BAB IV
REPRODUKSI STATUS TRADISIONAL DALAM PRAKTIK POLITIK
Diawali dengan sebuah perbincangan dengan rekan-rekan mahasiswa
antropologi di kampus mengenai studi lapang penulis yang akan dilakukan di
daerah yang konon merupakan tanah kelahiran leluhur penulis. Seorang rekan
bertanya “Kalo’ mengenai daerah yang paling kau (penulis, red) kuasai
jalanannya, di Wajo atau di Makassar?, dengan spontan penulis menjawab “lebih
saya kuasai Makassar…”. Jawaban yang kemudian memcerminkan suatu kondisi
dimana penulis merasa bahwa sudah mulai muncul hambatan mental dalam
proses pengumpulan data di lapangan.
Selama kurun waktu hampir 10 tahun, penulis lebih banyak
menghabiskan waktu di kota Makassar dengan mengikuti beberapa jenjang
pendidikan, aktifitas pergaulan dan interaksi dengan masyarakat dengan
karakateristik urban di kota Makassar yang heterogen dengan berbagai latar etnis
dan, pemikiran-pemikiran kontemporer dan gaya kampus terbaru selalu diikuti
demi label ‘ikut trend’ membuat ketertarikan dan perhatian penulis tidak lagi
tertuju dengan berita-berita terbaru, perkembangan daerah, perubahan-
perubahan di kampung halaman, masalah-masalah yang ada dalam masyarakat
serta peristiwa-peristiwa yang menceritakan kondisi sosial-budaya saat ini di
Kabupaten Wajo. Suatu kondisi yang kurang lebih mengalami kesenjangan
dengan tuntutan studi pada akhirnya setelah penulis membaca secara seksama
metode penelitian lapangan beserta kerangka penelitian yang ada dalam proposal
yang mengharuskan penelusuran masalah sejarah dan kondisi masyarakat di
Kabupaten Wajo saat ini. Serupa atau tidak masalah yang penulis hadapi dalam
pengumpulan data di lapangan, pada umumnya semua peneliti yang berlatar dari
disiplin antropologi dari berbagai cerita dan kisah tetap juga mereka mengalami
81Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
kendala-kendala maupun hambatan dalam penelitian lapangan dan kesemuanya
seperti teratasi dengan cara yang mereka dalam membangun hubungan sosial
dengan masyarakat yang mereka teliti, dibeberapa diskusi dengan teman-teman
cara tersebut sering diistilahkan “metode antropologi”.
Sekitar pertengahan bulan Januari 2011, untuk kesekian kalinya
menginjakkan kaki di daerah yang penulis sebut dengan kampung halaman.
Langkah pertama untuk memulai studi lapangan adalah menghubungi kerabat
dan keluarga yang penulis anggap dapat memberikan gambaran sesuai dengan
maksud penelitian. Beberapa obrolan-obrolan dan kontak via telepon dengan
beberapa orang baik itu teman maupun kerabat menghasilkan nama beberapa
orang yang dapat dijadikan informan yang untuk selanjutnya penulis lakukan
identifikasi nama orang-orang tersebut dengan menanyakan ulang kepada orang
lain tentang reputasi; hal ihwal yang telah dilakukannya; pada peristiwa apa saja
subjek tersebut terlibat; cara si subjek dalam berbicara; bagaimana reaksi subjek
dalam hal kesopanan dan kesatunan terhadap lawan bicaranya; topik apa saja
yang dalam hal-hal tertentu tidak boleh dibicarakan; dan yang paling penting
alamat rumah subjek tersebut. Dengan informasi awal tersebut, penulis mulai
melakukan persiapan dengan mengidentifikasi orang tersebut untuk dijadikan
informan dalam penelitian lapangan.
Diantara nama-nama orang disebut dan penulis identifikasi memiliki
relevansi dengan masalah penelitian adalah A.Rahmat Munawar, salah seorang
tokoh masyarakat Wajo yang menurut informasi cukup intensif melakukan
kajian-kajian sejarah dan memiliki koleksi dokumen sejarah. Setelah menyatakan
kesediaannya untuk bertemu pada 26 Januari 2011, penulis mulai melakukan
diskusi terkait masalah penelitian dengan melontarkan beberapa pertanyaan-
pertanyaan singkat tentang kondisi Wajo saat ini, sampai kesediannya untuk
82Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
menunjukkan beberapa koleksi dokumen sejarah yang ia punyai diantaranya
adalah karya J. Nourdyn (1955) Buginese Histografie, Peta Kuno Wilayah Bugis
buatan VOC yang tercatat tahun 1775, Lontarak Attoriolongne Wajo yang telah
ditransliterasi, sebuah skripsi tua yang dibuat pada tahun 1960 dan file-file
beberapa peneliti yang telah melakukan studi di Wajo serta Lontaraq
Akkarungeng ri Wajo yang juga telah ditransliterasi. Naskah yang terakhir
penulis sebut, berhasil dipinjam dan dari dokumen tersebut penulis mempelajari
beberapa catatan sejarah untuk dipadukan dengan beberapa referensi yang
penulis temukan melalui tulisan di buku-buku.
Mempelajari beberapa tulisan maupun naskah sejarah masyarakat Bugis
Wajo menjadi teknik yang ditempuh guna mendapatkan gambaran mengenai
dinamika masyarakat dalam rentetan sejarah dan bentuk kekuasaan serta
ideologi di bangun dalam masyarakat tersebut.86 Sebagaimana umumnya,
bentuk-bentuknya terwujud dalam petuah-petuah, mitos maupun kronik raja
yang menceritakan langsung dan diterjemahkan sebagai bangunan pranata
politik dan kekuasaan dalam masyarakat di masa lalu. Pranata politik yang
diciptakan sebagai sarana organisasi untuk mempertahankan diri dari serangan
luar, akan tetapi, dengan demikian struktur kekuasaan juga memberi sarana
kepada kelas yang berkuasa untuk mengabadikan kekuasaannya, demi untuk
mempertahankan secara secara politik kekuasaan antara pihak pemerintah dan
pihak yang diperintah.
86 Lihat Rudiansyah, Op.cit Hal. 5
83Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
A. Politik Dalam Sejarah Wajo: Proses Produksi Status dan Kekuasaan
A.1. Periode Kepemimpinan Tradisional
Kabupaten Wajo yang dinamikanya diceritakan dalam sejarah, berawal
kurang lebih 600 tahun yang lalu, melalui rentetan sejarah yang panjang dengan
berbagai peristiwa yang mengiringi perjalanan panjang kondisi sosial budaya
masyarakat Wajo hingga seperti hari ini. Beberapa penceritaan dan kisah awal
berdirinya Tana Wajo dalam catatan sejarah memiliki versi berbeda diantaranya
adalah Pau-pau ri kadong87. Kisahnya diceritakan secara singkat sebagai berikut:
Seorang putri dari kerajaan Luwu yang dihanyutkan ke sungai akibat mengidap
penyakit kulit dan ditakutkan menjadi wabah di daerahnya. Dalam
pembuangannya, putri tersebut beserta pengikutnya terdampar di Tosora88.
Secara dramatis diceritakan sang putri tiba-tiba sembuh dari penyakit kulitnya
setelah dijilat kerbau putih. Selanjutnya terjadi pertemuan dengan pangeran yang
berasal dari kerajaan Bone, keduanya lalu menikah sampai beranak pinak sampai
pada keyakinan beberapa kelompok masyarakat bahwa keturunan merekalah
yang kemudian pada awal mulanya membentuk masyarakat Wajo. Untuk cerita
versi Pau-pau ri kadong, penulis asumsikan sebagai sebuah bentuk cerita rakyat
dan sebagai wujud tradisi lisan yang ceritanya sejak kecil penulis telah dengarkan
melalui orang-orang tua dahulu, meski perlu dikaji lagi tentang lahir dan
bertahannya cerita ini dipahami sebagai cerminan struktur berpikir ditengah
perkembangan masyarakat Wajo. Namun di pihak lain beberapa kelompok
87 Kalau artinya secara harfiah “tuturan yang di benarkan”, lebih banyak diceritakan oleh orang-orangtua dahulu sesuai sejarah tradisi lisan masyarakat Bugis. Yang unik adalah ketika orang-orang tuamenceritakannya biasa dimulai dengan tarikan nafas panjang kemudian berucap “Belle ipau lebbimabbelle pi tau marengkalingae nasaba nissengni belle natepperi mupi” yang berarti “Bohong yangdikatakan lebih berbohong lagi orang yang mendengar sebab telah diketahui bohong akan tetapimasih mempercayainya”
88 Salah satu desa di Kabupaten Wajo yang berjarak 10 km dari kota Sengkang (Ibukota kabupatenWajo) Desa ini merupakan daerah yang penting dimasa kerajaan dan selalu disebutkan dalam dalamcerita epik raja maupun lontara di Wajo.
84Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
masyarakat Wajo justru menganggap cerita ini sebagai sebuah produk konstalasi
tatanan politik pada masa-masa sebelumnya, masalah ini penulis simpulkan
ketika teringat dari wawancara singkat dengan seorang kerabat yang setelah
menceritakan sejarah Wajo tersebut, justru kemudian menanggapi kembali apa
yang telah dia ceritakan dengan mengatakan seperti dikutip dibawah ini:
“ ini cerita tentang putri dari Luwu dan pangeran dari Bonesebenarnya, masih perlu dipertanyakan…, kenapa kita orangWajo seolah-olah seperti keturunan dari Bone dan Luwu,bagaimana kalo ternyata bukan. Padahal dulu katanya sama-sama ji semua kerajaan, masih perlu di cek yang sebenarnyakerajaannya duluan terbentuk, kalau kerajaan Luwu mungkindari dulu ji ada”89
Pernyataan informan tersebut dapat dengan mudah dan mendasar
penulis asumsikan sebuah bentuk pernyataan yang menggambarkan dimensi-
dimensi psikologis dan sosial dalam kaitannya dengan identitas diri sebagai
orang Wajo selain itu merupakan masalah kekuasaan dan kepentingan politik
yang cenderung stereotipik dalam persepsi masyarakat sekarang mengenai
kerajaan masa lampau yang seperti penulis ketahui, Luwu dan Bone merupakan
kerajaan besar yang berdampingan dengan Wajo, dalam hubungannya dengan
kedua kerajaan itu juga mengalami pasang surut dalam hal saling menguasai.
Pernyataan informan tersebut juga memperlihatkan bagiamana cerita tersebut
mempengaruhi persepsi beberapa kelompok masyarakat di Wajo yang
memposisikan suatu kondisi psikologis dan sosial yang berada/beroperasi
ditengah-tengah masyarakat serta gambaran tentang bagaimana dimensi-
dimensi yang terbangun dalam cerita sejarah tersebut memproduksi diri di
rumah atau tempat-tempat lain dalam bentuk cerita rakyat.
89 Wawancara dengan Andi Kace pada tanggal 29 Januari 2011, alumnus teknik UMI yang kini bekerja disebuah developer dalam beberapa pembangunan infrastruktur di Kabupaten Wajo.
85Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Berbeda dengan penceritaan sejarah Pau-pau ri kadong, dalam Lontara
Sukkuna Wajo yang disusun Andi Makkaraka Arung Bettempola dan juga
dipertegas dalam tulisan Zainal Abidin, Wajo dikisahkan dalam naskah tersebut
berawal dari sebuah pemukiman yang dibangun oleh beberapa pendatang dari
berbagai daerah yang melakukan aktivitasnya di pinggir danau. Pada
perkembangannya komunitas ini kemudian berkembang menjadi kelompok
masyarakat yang disebut Boli’, selanjutnya mulai terbentuk tatanan masyarakat
dengan struktur bercorak kerajaan yang disebut kerajaan Cinnongtabiq dan pada
akhirnya seperti dalam catatan sejarah membentuk kerajaan Wajo.
Seperti diriwayatkan dalam Lontara Sukkuna Wajo, tentang kelompok
masyarakat pendatang yang menurut keterangan sejarahnya90 adalah
sekelompok masyarakat yang berbahasa Bugis dan kemudian membuat
perkampungan disekitar pesisir danau Lampulung91. Mereka dipimpin oleh
seseorang yang memiliki kemampuan supranatural yang dikenal sebagai Puang ri
Lampulung. Seperti pada umumnya masyarakat pada masa lampau yang
didasarkan atas hubungan merata (egalitarian) kemudian muncul dalam corak
masyarakat yang penulis asumsikan sebagai bentuk organisasi masyarakat
bertingkat92 yang dasar organisasinya masih merupakan hubungan kekerabatan.
Komunitas ini membuka lahan di tanah yang subur di pinggiran danau kemudian
mereka bercocok tanam, beternak, menyadap tuak dan menangkap ikan.
Sepeninggal Puang ri Lampulung, masyarakat Lampulung kehilangan pegangan
sehingga mereka terpecah, sampai kemudian dikisahkan komunitas ini mendapat
kabar tentang seorang yang memiliki kemampuan serupa Puang ri Lampulung
dalam memimpin komunitas yang mereka sebut sebagai Puang ri Timpengeng
90 Juga dituturkan oleh informan Muhammad Idris91 Danau ini masih merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang dimanfaat oleh
masyarakat di Wajo saat ini.92 Lihat Fried (1968) dalam Koentjaraningrat (1990) Op.cit Hal. 199
86Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
yang berasal dari Boli’. Masyarakat yang tanpa pemimpin ini kemudian
mengangkat Puang ri Timpengeng sebagai pemimpin mereka. Selanjutnya,
komunitas ini disebut sebagai masyarakat Boli’. Sampai Puang ri Timpengeng
meninggal, komunitas tersebut kemudian tercerai berai.
Datangnya putra Datu Cina (Pammana) yaitu La Paukke. Masyarakat
Boli’ yang tadinya tercerai berai kemudian berkumpul dibawah pimpinan La
Paukke dan kemudian mereka mengangkat La Paukke sebagai Arung
Cinnongtabiq sehingga sisa-sisa masyarakat Lampulung dan Boli telah melebur
menjadi kesatuan masyarakat Cinnongtabiq. Dalam sejarah tercatat ada 5
generasi yang memimpin kerajaan Cinnongtabiq sampai kerajaan Cinnongtabiq
memiliki dua raja bersaudara yang sekaligus memerintah. Mereka memerintah
bersamaan yang dalam Lontara disebut sebagai raja yang diperseberang-
sungaikan. Yang pertama adalah La Tenri Bali dan adiknya La Tenri Tippe.
Kelompok masyarakat Lampulung dan Boli’ menurut riwayat Lontara
Sukkuna Wajo pada dasarnya masih merupakan tipologi masyarakat sedang93
dengan pola kepemimpinan dan kekuasaan yang khas sesuai dengan kebudayaan
yang ada pada masyarakat tersebut. Untuk menciptakan keteraturan, mereka
mengangkat tokoh mistis sebagai pemimpin mereka. Para pemimpin pada
masyarakat sedang memerlukan power atau kekuasaan sebagai landasan
kepempimpinan mereka yang diperoleh karena memiliki beberapa sifat yang
seolah-olah merupakan syarat dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat Wajo
pada masa lalu untuk mencapai kedudukan berwibawa di mata orang banyak.
93 Koentjraningrat membagi kelompok masyarakat berdasarkan kerangka kepemimpinan yaknimasyarakat sedang, masyarakat negara kuno, dan masyarakat kontemporer. Masyarakat sedang,adalah kesatuan-kesatuan sosial yang lebih besar dan kompleks bila dibandingkan dengankesatuan-kesatuan sosial yang terdiri dari 10 – 15 individu saja dengan seorang pemimpinkadangkala. Biasanya tidak bisa hidup tanpa pemimpin kadang-kadang, yang hanya muncul padawaktu tertentu saja, pada waktu mendesak atau pemimpin khusus yang mampu menyelesaikanmasalah. Tipologi masyarakat seperti ditemukan hidup di pegunungan Papua, Papua New Guinea,dan Melanesia. (Koentjaraningrat. 1990. Op.cit Hal 220-221)
87Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Sifat-sifat yang sering disebut itu adalah kepandaian berburu, berkebun, bertani,
keterampilan berpidato, kemahiran berdiplomasi dan sifat-sifat yang sesuai
dengan cita-cita dan keyakinan warga masyarakat pra-wajo pada masa itu
semisal bermurah hati. Dalam sejarah yang diceritakan Lontara Sukkuna Wajo
dikisahkan ketika komunitas ini didatangi oleh Opu Balirante dari Luwu yang
datang untuk memungut Widattali94. Puang ri Lampulung yang saat itu selaku
pemimpin kelompok tersebut dengan kemampuan diplomasinya mampu
menolak permintaan upeti dari kerajaan-kerajaan besar seperti Luwu.
Kepemimpinan masyarakat Pra-wajo (masyarakat Lampulung dan Boli’)
pada masa lalu itu juga mencirikan seseorang dapat menjadi pemimpin jika
kepadanya diberi legitimacy atau keabsahan oleh warganya atas dasar
kemampuan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan upacara ritual yang
bersifat keagamaan95 hal ini ditandai dengan karakter dalam kepemimpinan
masyarakat Pra-wajo yang memiliki kekuatan supranatural maupun mistis, sifat
yang mewujudkan komponen kharisma bagi pemimpin dalam kekuasaan.
Bentuk kekuasaan konsesus berdasarkan kesepakatan bersama antara
beberapa pihak kepentingan dalam kelompok masyarakat Wajo masa lalu
nampak dalam sejarah Bugis Wajo tergambarkan dalam penggalan sejarah
kerajaan Cinnongtabiq yang menceritakan saat Arung Cinnongtabiq ketiga yang
merupakan cucu La Paukke, yang menikah dengan La Rajallangi, kemudian
diangkat menjadi Matoa yang tugas-tugasnya menyerupai fungsi perwakilan
rakyat yang dalam aktualisasinya mengadakan musyawarah untuk memutus
suatu perkara.
94 Sejenis Upeti atau sesembahan bagi kelompok yang lebih berkuasa.95 Lihat Koentjraningrat (1990) Op.cit Hal. 221
88Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
….Ianaro Puetta La Rajallangi Arungnge ri Babauae mula taro Matoari Cinnongtabik na onroi maddeppungeng anana’ to malolo to matoanaewatoi sipetangngareng….
(…. Ialah tuan kita La Rajallangi yang mengangkat matoa [seorang yangdituakan] di Cinnongtabiq, tempat berhimpun anak-anak, orang muda,orang tua kemudian dilawannya bermusyawarah)96
Model kepemimpinan ini kemudian mengindikasikan hubungan-
hubungan kekuasaan atas dasar persetujuan bersama antara pemimpin dan
pengikut. Manakala pejabat yang disebutkan bahwa Matowa Pabbicara ini diberi
tugas yang antara lain membantu Arung Cinnongtabik memutuskan suatu
kebijakan. Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran bahwa apa yang
dianjurkan atau diperintahkan oleh pemimpin baik dan berguna untuk
kepentingan bersama. Kesadaran demikian biasanya dimantapkan oleh tindakan
para pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan warganya. Bentuk
kekuasaan ini tidak menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai kemauan para
pemimpin. Biasanya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang
bermanifestasi dalam pernyataan-pernyataan yang dikeramatkan dijadikan
ideologi, seperti misalnya dalam kerajaan Bugis ditemukan konsepsi Ade’
Assituruseng97 yang merupakan suatu mekanisme untuk melahirkan suatu
kebijakan atau keputusan yang penulis mencoba mengilustrasikannya sebagai
bentuk pertemuan yang terlembagakan dalam hukum adat di Wajo.
Mengenai Ade’ Assituruseng ini ditempuh untuk mengatasi suatu
persoalan yang belum diatur dalam Ade’ (Undang-undang), Rapang
(Yurisprudensi), Wari’ (aturan khusus dan keprotokoleran), dan Bicara
(Permufakatan). Tatanan nilai dan norma masyarakat di Wajo ini bisa dikatakan
menjadi sumber pengabsahan kekuasaan seperti kutipan dibawah ini, penulis
96 Zainal Abidin dalam Munawar (2008) Op.cit Hal. 2797 Tata nilai dan hukum adat yang lahir dari persetujuan bersama antara raja, para penguasa adat dan rakyat.
89Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
dapat simpulkan merupakan perwujudan keseimbangan kekuasaan beberapa
kelompok dalam sejarah Bugis Wajo.
“ Pejabat kerajaan yang tidak atau kurang menguasai peraturan adatharus melepaskan jabatannya karena adat itu keramat dan berbahayajikalau tidak dilaksanakan dengan baik dan benar. Jabatan itu harusdiserahkan kepada yang ahli karena puraonro (adat yang sudahditetapkan bersama) adalah milik orang banyak dan raja”.98
Perilaku politik yang ditunjukkan dalam sejarah Wajo ini, pada dasarnya
memiliki struktur dengan ciri dalam setiap kegiatan politik99. Tindakan-tindakan
yang ada didalamnya kemudian dikatakan berdasar pada kewenangan yang
sebelumnya telah dirumuskan dalam budaya masyarakat Wajo. Untuk
melaksanakannya dalam tindakan politik, setiap individu tergambarkan sebagai
orang yang mampu memerintah dan menggunakan kekuasaan secara efektif.
Perkembangan selanjutnya dalam catatan sejarah, dikatakan bahwa
kekecawaan rakyat terhadap La Tenri Tippe (pemimpin pada ujung periode
Cinnongtabiq) yang dianggap kurang mampu dalam memerintah, akibatnya
beberapa rakyatnya berpindah ke wilayah yang dipimpin oleh La Tenri Bali.
Melihat kondisi ini, sepupu La Tenri Bali yaitu La Tenri Tau, La Tenri Pekka dan
La Matareng kemudian melantik La Tenri Bali sebagai raja mereka sekaligus
membubarkan kerajaan Cinnongtabiq sehingga memunculkan sebuah tatanan
baru dengan identitas Wajo sebagai sebuah periode baru, namun tatanan
organisasinya tidak banyak berubah dari sebelumnya. Perjanjian diadakan
dibawah bayang-bayang pohon Bajo (Wajo-wajona pong BajoE), sehingga
kerajaan yang baru dibentuk disebut Kerajaan Wajo. Sebagai Raja, La Tenri Bali
digelar dengan Batara Wajo, sedang ketiga sepupunya diangkat menjadi
98 Zainal Abidin dalam Sadapotto (2010) Op.cit Hal. 7799 Dalam McGlynn dan Arhtur Tuden (2000). Op.cit Hal 43
90Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Pa’danreng100 masing-masing sebagai Pa’danreng Bettempola, Pa’danreng
Talotenreng dan Pa’danreng Tuwa.
Tiap Pa’danreng mengepalai sebuah Limpo101 dan masing-masing Limpo
terdiri dari 4 anak limpo. Limpo Bettempola membawahi anak limpo yakni
Bettempola, Ujung Kalokkong, Lowa-lowa dan Botto. Limpo Talo Tenreng
membawahi anak limpo yakni Talo Tenreng, Ciung, Palekkoreng dan Ta’. Limpo
Tuwa membawahi anak limpo yakni Aka’, Menge, Limpo dan Kampiri. Mereka
menamakan wilayahnya sebagai Lipu Tellu Kajurue. Tiap anak Limpo dibawahi
oleh Arung Mabbicara yang sejenis dengan lembaga yang merumuskan undang-
undang dalam kerajaan Wajo. Tiap Limpo memiliki seorang Pa’bate Lompo yaitu
panglima perang utama yang pemegang panji perang dan tiap anak limpo
memiliki seorang Pa’Bate Caddi.
Perubahan yang terjadi seperti diutarakan diatas dalam pendekatan
evolusi diistilahkan oleh Fried (1968)102 sebagai perubahan ke arah masyarakat
berlapis (stratified societies) yang disebabkan oleh meluasnya daerah teritorial,
jumlah penduduk dengan ragam dan ciri-ciri penduduk yang beraneka ragam
yang tidak dapat lagi diatur dalam sistem kekerabatan sehingga bentuk
organisasi lainnya sebagai tambahan yang dimantapkan dalam berbagai aturan,
adat istiadat, struktur oraganisasi dan lain sebagainya.
100 Pa’danreng merupakan unit dari kesatuan sosial dan juga merupakan kelompok kekerabatan yangmenguasai beberapa wilayah-wilayah tertentu. Pada awal terbentuknya ketiga Pa’danreng merupakankomunitas yang memiliki karakter masyarakatnya masing-masing tergantung pada kemampuanmereka dalam mengelola lingkungan alamnya. Misalnya Tuwa dalam bidang perikanan (karena padamasa itu mata pencaharian komunitas masyarakatnya berada di sekitar danau); Bettempola dalambidang pertanian dan perkebunan; sedangkan Talo’tenreng dibidang penyadapan sari tumbuhan-tumbuhan (sarinyameng) yang dijadikan minuman. Seiring dengan bergulirnya periode kesejarahanWajo, bentuk Pa’danreng juga semakin kompleks dengan berbagai simbolitas alat kelengkapankekuasaan yang menyertainya. Inilah kemudian yang menjadi cikal-bakal kelompok kekerabatan yangberkuasa di Wajo yang masih tersisa sampai sekarang.
101 Merupakan wilayah kekuasaan yang didalamnya adalah sekumpulan wilayah kelompok masyarakat,Limpo bias juga diilustrasikan menyerupai distrik atau kecamatan yang membawahi desa/kelurahan.
102 Dalam Koentjaraningrat (1990) Op.cit Hal. 199
91Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
A.2. Kekuasaan Terbagi (Organisasi Klen Besar Dalam TubuhKerajaan Wajo)
Dalam sebuah sesi wawancara penulis dengan A. Rahmat Munawar yang
begitu mengalir dalam caranya menceritakan tentang sejarah kerajaan Wajo pada
masa lalu, mulai tentang struktur kerajaan yang unik dikatakan menyerupai
negara-negara bagian dari sekian banyak wanua (daerah sekelompok masyarakat
yang didalamnya terdapat pemimpinnya sendiri), tersebutlah istilah Pa’danreng
sebagai suatu entitas kekuasaan tersendiri dan Ranreng sebagai pemimpinnya
yang membawahi beberapa wanua dan selalu dihubung-hubungkan dengan
kebijakan yang akan diambil kerajaan. Dituturkannya bahwa keputusan Arung
Matowa (pemimpin/raja) sangat dipengaruhi oleh ketiga Pa’danreng yang
manakala kadang-kadang keputusan diambil berdasarkan pemungutan suara
untuk mendapat dukungan dari ketiganya. Secara sederhana penulis mencoba
untuk mengambil suatu asumsi tentang adanya kekuasaan yang tidak mutlak
ditangan pemimpin atau Arung Matowa tetapi justru terjadi penghargaan
terhadap hak-hak pada ketiga Pa’danreng yang membentuk suatu struktur
pembagian kekuasaan. Mengenai masalah ini juga diceritakan dalam beberapa
catatan sejarah Wajo, seperti dalam Lontara Akkarungeng ri Wajo.
Masih pada periode Batara Wajo seperti diriwayatkan bahwa ketika
La Tenri Bali diangkat sebagai raja dengan gelar Batara Wajo oleh ketiga kerabat
dekatnya. Tidak mengherankan bagi penulis ketika menelaah masalah ini dengan
melihat tatanan sosial dalam kebudayaan Bugis yang sarat dengan pengaruh
tradisi dalam dinamika kesejarahannya lebih memunculkan adanya kelompok
sosial berdasarkan kekerabatan, beberapa tulisan103 juga memuat beberapa
telaah tentang semua sistem kekerabatan jika dilihat dari perspektif antropologi
103 Lebih jauh tentang sistem kekerabatan dibahas dalam karya Koentjaraningrat ”Pengantar Antropologi,Pokok-pokok Etnografi II, Op.cit, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 85 - 142
92Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu sebagai acuan untuk bertindak baik
dalam kelompok maupun diluar kelompok.
Pengorganisasian kerajaan diatur sedemikian rupa dalam tatanan yang
seimbang, dengan membagi peran-peran kekuasaan dalam sistem kerajaan. Hal
ini kemudian diwujudkan dalam tata aturan yang terdiri: Ade’ MarajaE, Ade’
AbiasangngE, Tuppu, Wari’, Rapang, Bicara. Mengenai pembagian peran
kekuasaan ini kemudian dikisahkan dalam pesan La Tenri Bali Batara Wajo
kepada sepupunya yang dikutip dalam Lontara Akkarungeng ri Wajo104 sebagai
berikut:
“ Makkedani Batara Wajo ripaddanrengnge iyatellu narekko engkabicara tenrita unganna deqi ri arungnge, deqtoi ri ade marajae, deqtoiri adeq abiasangnge, deqtoi wari e, deqtoi ri tuppue, inappamiriyassamaturusi arumpanua macowa malolo napada mutanaiwi nalaenawa-nawana baraq engkamuwa deceng nabbereyang dewata seuwaenaiyana ri pappalalowang temakkulleni tenri ola iyana riyasengtemmaunnyi, temmapute, temmacella, temmalotong. Iyaniriyassiturusi, iyani riyabbinruseng, iyani riyaseng adeq assituruseng,narekko ja napucappaq ripinrai, narekko madecemmuwi cappaqnaripannennungengi, naripakkoling-koling pigauq. Iyana riyaseng adeqmaggiling jawara. Narekko engka assituruseng tempedding ripinrasangadinna majaq majaqi ancajangenna rimunri maddupanamasituruni pinrai gangka rilolongengna pabbunganna. Nasiduppabuwa buwana. Naye adeq assituruseng, narekko siewa mopi tangngaeri sese bicara yena riduwai seddie, rebbani seddie. Apagi narekkoritelluiwi paliwuni, oncommi riyammaneng-manengi, narekko lebbiniritellue tunruqni nasilaowang pada pinrai naccappaki deceng, yapanakulle riduppai narekko engkai tosiattangngarengnge pada tudangmapaccing atinna, malempu nawa-nawanna, mataui ri DewataSeuwae, masiiri ripadanna ripancaji mawewei ri padanna tau nayetau raga sellae atinnai sarawae nawa-nawanna tau temmatauwe riDewata Seuwae. Temmasiri ri padanna tau temawewe ripadannaripancaji iyanaritu tau tempedding riyewa siyattangngareng.Makkadetopi Batara Wajo La Tenribali naye adeq assiturusengngeweddimuwa ripinra-pinra gangka naddupana naccapaki deceng,sangadinna adeq pura onroe tempeddingsa, ripinra temakkulletorirebba, apagisa riyasenggeripalenneq. Nasabaq ye adeq pura onroetemmakullei ri tangnga temmakkulletoi ribicara rekko engkana puranapowada. Apaq naposolangi wanuae rekko teripakkuwai sabaq yeriyasengnge pura onro nappunnai tanae arung mangkauqeappunnanai to maegae taro-tarona toi to matowa mariyoloe.”
104 Dalam Munawar
93Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Adapun terjemahan bebasnya kurang lebih seperti berikut :
“ Berkata Batara Wajo kepada ketiga paddanreng, jika ada “bicara”tidak diketahui awalnya, tidak ada pada arung, tidak ada juga pada“adeq marajae”, tidak ada pada adeq abiyasangnge”, tidak ada jugapada “Wari”, tidak ada juga pada “Tuppu”, barulah dimusyawarahkanoleh arumpanuwa, tua-muda, kemudian ditanya pada orang yangditemani musyawarah agar tetap diberikan kebaikan oleh DewataSeuwae, dan itulah yang dilakukan, tidak bisa jika tidak dilakukan,inilah yang disebut tidak kuning, tidak putih, tidak hitam, apa yangdisepakati itulah yang diikuti, inilah yang disebut “adeq assituruseng”,jika berakhir pada keburukan maka diubahlah, jika berakhir padakebaikan maka tetaplah dilanjutkan, dilakukan secara berulang-ulang,inilah yang disebut “adeq maggiling jawara”, jika ada kesepakatantidak bisa diubah kecuali bila terbukti berakhir dengan keburukan, dansepakatlah mengubahnya sehingga berakhir kebaikan, demikianlahhingga disebut “adeq maggiling jancarak”, bisa dibalik atau, bisadipindahkan kekiri sampai ditemukan ujungnya, agar bisa dinikmatihasilnya. Sedang adeq assituruseng jika masih dipertentangkan disisi“Bicara” maka yang diduai yang satu, yang satunya dibatalkan,apalagi jika sudah bertiga maka sudah dijatuhkan, apalagi kalausudah semua mendukung, jika sudah lebih dari tiga, maka menurutlahpada perubahan yang berakhir kebaikan, barulah bisa dibuktikan jikasemua yang hadir bermusyawarah hadir duduk dengan hati bersihdan pikiran yang jujur, takut pada Dewata Seuwae, malu kepadasesama ciptaan, segan pada sesama manusia, sedangkan orang yangraganya berbeda dengan hatinya maka hatinya akan menderita,orang yang tidak takut pada Dewata Seuwae, tidak malu pada sesamamanusia, tidak segan kepada sesama ciptaan, orang seperti itu tidakbisa diajak bermusyawarah
Berkata pula La Tenribali Batara Wajo, adapun “adeq assituruseng”masih bisa diubah sepanjang berakhir pada kebaikan, kecuali “adeqpura onro” tidak bisa lagi diperhatikan juga tidak bisa lagidibicarakan, jika sudah yang diucapkan, sebab akan merusak wanuajika tidak demikian, sebab yang disebut “pura onro” adalah miliknegeri, juga milik wanua, warisan milik Arung Mangkauq, juga milikorang banyak juga merupakan simpanan orang dahulu
La Tenri Bali dan para Pa’danreng berserta rakyatnya merumuskan suatu
perjanjian mengenai hubungan-hubungan kekuasaan, tata pelaksanaan
kebijakan kerajaan maupun dalam pemutusan suatu perkara yang antara lain:
94Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
a. Pemerintah pusat terdiri dari Batara Wajo sebagai pejabat yang dituakan
dan ketiga Pa’danreng yang menguasai ketiga Limpo105.
b. Segala ketentuan hukum adat yang telah ada didaerah-daerah Limpo tetap
berlaku dan harus dihormati oleh raja. Hanya hal-hal baru yang belum diatur
boleh dibuatkan peraturan adat yang setiap saat boleh diubah yang
menyangkut kepentingan ketiga daerah dan pemerintah pusat. Adat tersebut
harus ditetapkan melalui musyawarah (assipetangngareng)
c. Tiap Limpo diakui hak-haknya dalam pengaturan hukum adat istiadat,
pemutusan perkara, dan mengawasi jalannya pemerintahan Batara Wajo.
Dalam transkripsi dan transliterasi Lontara Sukkuna Wajo yang bukukan
Andi Makkaraka Arung Bettempola No. 128106 juga menceritakan tentang
kedudukan Pa’danreng dan hubungannya dengan Batara Wajo selaku pemimpin
di Wajo yang terkesan adanya pengaruh ikatan kekeluargaan dengan masih
memegang beberapa tata aturan yang diatur sebelumnya oleh pemimpin
sebelumnya yang mewariskan tahtanya, termasuk kecenderungan penegasan
mengenai pemantapan antara kelompok kerabatnya sendiri maupun dengan
lapisan masyarakat yang diperintah, coraknya tidak jauh dari sifat pengokohan
struktur kekuasaan kelompok kerabat ditingkat internal yang diorganisasi dalam
sebuah pranata kekerabatan. Pengaturan kekuasaan diantara ketiganya tetap
berpegang pada tata aturan yang sudah disepakati sebelumnya. Dalam
pengokohan struktur kekuasaan ini didapatkan melalui keabsahan yang
diberikan oleh masyarakat yang dipimpin, hal ini kemudian diwujudkan melalui
proses pengambilan keputusan, yang menarik adalah berdasarkan musyawarah
diantara ketiganya dan rakyat Wajo pada masa itu.
105 Istilah yang diartikan menyerupai daerah bagian kekuasaan yang memiliki hak yang sama, seperti halnyanegara bagian.
106 Dalam Zainal Abidin, A (tahun….)
95Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Naia Tellu-Kajuru’e, tellu limpo, makkedani taue Tellue tunrungeng-Lakka ri Wajo. Naia Batara Wajo La Mataessomalempuinamagetteng taro bicaranna, maserotoi naelorisipetangngareng Pa’danreng, ina taue ri adecengenna tana’e ri Wajo:naerekki mui tennalerei tarona ambo’na. Napatattaung tettongBatara Wajo La Matesso, natepuna Wajo, sekutoni tamana tauetemmassau ri Wajo.
Adapun Tellu-Kajuru’e, ketiga daerah, hanya orang menyebutnyaTellue-turungeng-Lakka di Wajo. Adapun Batara Wajo La Mataesso,jujur dan tegas menetapkan putusannya, sangat suka pulabermusyawarah dengan (para) Pa’danreng dan pemuka masyarakatdemi kebaikan negeri Wajo, diteguhkannya jua dan tidakdilonggarkannya ketetapan ayahnya. Setelah empat tahundiangkatnya Batara Wajo La Mataesso, sempurnalah Wajo, sekianpula lamanya masuknya orang dan tidak ada yang keluar dari Wajo.
Konsepsi Pa’danreng dalam khasanah politik kekuasaan di Wajo
termasuk juga dalam hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan
dan kedudukan yang berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut.
Hal ini ditunjukkan dalam catatan sejarah tentang kepengikutan Limpo dalam
tiga kelompok besar tersebut. Limpo sendiri merupakan kelompok-kelompok
masyarakat yang juga memiliki pemimpin didalamnya. Dalam hubungannya
dengan praktik politik, pola perilaku demikian memberikan kecenderungan
untuk mengarahkan pemahaman tentang tingkah laku politik yang merupakan
suatu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh hubungan-hubungan
kekuasaan sehingga dengan demikian pola kepengikutan Limpo sebagai entitas
kelompok masyarakat tersendiri terhadap Pa’danreng tidak lain adalah bagian
dari struktur dalam masyarakat Wajo pada masa itu.
Dalam catatan sejarah selanjutnya diceritakan tentang kekecewaan
beberapa kelompok kekerabatan yang berasal dari Pa’danreng sendiri dan rakyat
Wajo pada masa itu terhadap kepemimpinan Batara Wajo yang ketiga yakni La
Pateddungi To Samallangi. Kekecewaan ini didasarkan atas perilaku Batara
96Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Wajo yang dianggap tidak sejalan dengan hukum adat yang berlaku pada masa
itu yang menyebabkan ia dipaksa turun dari jabatannya oleh salah satu tokoh
yang berasal dari kelompok Pa’danreng, La Tiringeng To Taba107 yang menjabat
sebagai Arung Saotanre yang sebelumnya telah mengumpulkan beberapa
kelompok kerabat dan rakyat yang menentang kepemimpinan La Pateddungi To
Samallangi yang pada akhirnya kemudian dipaksa turun dari jabatannya sebagai
Batara Wajo dan keluar dari negeri Wajo108. Sebagai langkah selanjutnya,
diantara para pemimpin klen ini berkumpul dan merumuskan kembali tata
organisasi kerajaan, tata hukum yang termaktub dalam adat kerajaan melalui
perjanjian La Paddeppa yang salah satu isinya menyepakati La Palewo To
Palippu sebagai Arung Matowa Wajo. Peristiwa ini kemudian menandai
berakhirnya masa kepemeritahan Batara Wajo dan digantikan dengan sistem
kerajaan Arung Matowa yang pembagian kekuasaannya lebih terbuka melalui
perjanjian La Paddeppa. Namun pada dasarnya struktur kekuasaan kerajaan
Wajo masih mengacu pada struktur kerajaan sebelumnya namun terjadi
penambahan dengan memposisikan Arung Mabbicara109 berjumlah 10 orang
pada tiap limpo.
Pada periode Arung Matowa selanjutanya, pembagian kekuasaan yang
diorganisir lebih kompleks lagi dengan penambahan beberapa posisi para
kelompok kekerabatan dibawah kerajaan yang disertai simbol-simbol yang
menggambarkan kedudukan dan tugasnya dalam organisasi kerajaan.
107 Salah seorang yang kemudian menjadi tokoh kunci pada fase awal pemerintahan Arung Matowa.Meski tidak menjabat sebagai Arung Matowa namun perannya menurut sejarah turut mempengaruhistruktur kekuasaan yang ada di Wajo karena posisinya sebagai Inanna Tau Maegae melalui suatuperjanjian.
108 Dikisahkan juga bahwa La Pateddungi To Samallangi kemudian di bunuh oleh La Tenritumpu ToLangi.
109 Arung Mabbicara seperti yang diutarakan Mattulada dapat dianggap sebagai parlemen Tana-Wajoyang bertugas Maddette’ bicara (menetapkan hukum/undang-undang); Mattetta’, mappano’ pateebicara (mengesahkan/mengusulkan dan menyampaikan hal ikhwal tentang penyelenggaraanperaturan/undang-undang) untuk ditangani oleh Petta I Wajo.
97Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Hubungan-hubungan kekuasaan dilegitimasi melalui kesepakatan bersama
seperti dalam perjanjian La Paddeppa sebelumnya, struktur kekuasaan ditingkat
pemimpin terkesan seperti terbagi dengan adanya tiga Ranreng110 atau tiga
pembesar yang bertugas mendampingi kepemimpinan Arung Matowa, selain
Pa’bate Lompo yang memegang peranan sebagai panji-panji kaum yang tidak
lain merupakan tiga kelompok kekerabatan sebagai tiga bagian yang membentuk
Wajo, Bate Lompo Bettempola, Bate Lompo Talotenreng dan Bate Lompo Tua
dengan gelar masing-masing Pilla (merah), Patola (aneka warna) dan Cakkuridi
(Kuning) yang juga memiliki daerah kekuasaannya masing-masing111.
Hingga pada masa pemerintahan La Obbi Settiariware sebagai Arung
Matowa yang juga merupakan mantan Ranreng Bettempola selama lima tahun
(±1481-1486) mendapatkan usulan dari Datu Luwu Dewaraja untuk melengkapi
struktur kerajaannya dengan memberikan panji112 AnynyarangparaniE kepada
Bettempola, TutturumpulawengngE kepada Talotenreng, dan CakkuridiE
kepada Tuwa sebagai Pa’bate Lompo. Dibentuk pula jabatan Suro Palele Toana
atau Suro Ri Bateng. Tambahan kedudukan ini kemudian menetapkan struktur
dalam pelembagaan kelompok-kelompok dalam kerajaan menjadi 40 orang yang
berkedudukan dengan perannya masing-masing. Struktur inilah yang lebih
dikenal dengan istilah Arung Patappulo atau Puang ri Wajo yang di pertegas
oleh Mattulada (1995) tentang pemerintahan kerajaan Wajo memiliki corak
struktur yang menyerupai “Republik Aristokrasi”. Hal ini, penulis dapat
simpulkan bahwa struktur kekuasaan dalam mekanisme jalannya kerajaan
110 Hasil wawancara penulis dengan A. Kandacong, mengatakan bahwa Ranreng diartikan sebagaipengapit Arung Matowa, sebagai suatu jabatan dalam kerajaan yang diilustrasikannya bahwa ArungMatowa tidak bisa memutuskan kebijakan begitu saja apabila tidak dibicarakan dengan ketigaRanreng tersebut. Bahkan beberapa Arung Matowa yang dipilih berasal dari mantan pejabatRanreng.
111 Lihat Mattulada (1995) Op.cit Hal. 405112 Bendera berupa: Anynyaramparanie (kuda berani), tuturumpulawengnge’ (tanduk emas)
Cakkuridie (kuning).
98Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
terbagi berdasarkan daerah ketiga kelompok (Limpo), hubungan ini diatur dalam
melembagakan beberapa kedudukan yang terdiri dari satu orang Arung Matowa
berdampingan dengan tiga orang Ranreng ditambah tiga orang Pa’bate Lompo113
disebut Petta i Wajo (pertuanan di Wajo). Disini, penulis juga mencoba
mengasumsikan secara implisit bahwa kekuasaan Arung Matowa dalam
wewenangnya mesti sejalan dengan tiga Ranreng yang peran kekuasaannya
terlembagakan dalam Arung EnnenngE, dan menurut keterangan yang penulis
dapatkan bahwa keputusan diambil oleh lembaga ini apabila tidak bisa
dimusyawarahkan, maka jalan yang ditempuh adalah melalui pemungutan suara
seperti yang penulis kutip dari salah satu informan yang menggambarkan
tentang bagaimana para Ranreng dalam menyepakati keputusan Arung Matoa
yang tidak dapat memutuskan suatu perkara melalui assipatangngareng
(musyawarah) seperti kutipan yang penulis dapatkan dibawah yang bunyinya
kurang lebih sama dengan apa yang dituliskan dalam Lontara Akkarungeng ri
Wajo.
“ Narekko riduai, rebbai seddie, oncoppesi narekko ritelluiwi…”
“ Apabila dua diantaranya telah memutuskan, maka salah satunyadigugurkan, terlebih apabila diputuskan dari ketiganya…” 114
Hal senada mengenai kekuasaan Arung Matowa dalam wewenangnya
dalam hubungannya dengan tiga Ranreng yang peran kekuasaannya
terlembagakan dalam Arung EnnenngE, diceritakan bahwa pada masa Arung
Matowa di jabat oleh Petta La Palewo To Palippu menyatakan hubungan
kekuasaan mereka dengan rakyat Wajo pada masa itu.
113 3 orang Ranreng dan 3 orang Pa’bate Lompo lebih sering disebut Arung Ennengnge (PertuananEnam) yang kemudian melembaga dalam struktur kerajaan yang mewakili daerah kekuasaan masing-masing dan peran dalam kerajaan.
114 Wawancara dengan Andi Isnadar
99Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
“ Makkedai arung Matoae ri Ranreng ri limpoe ri Wajo: Tasialapainge, maingeppi napaja, nadeceng napocappa, tasitajeng batacellanasa’bi dewata seuawe’. Nabbicara lemputa mua pawekke’i Wajo,makkedatoi : narekko ade’na Wajo ritanga’ temmakullei riakkedaceua-uang. Makkumutoi abiasangengnge, temmakkullei sia’boko-bokoreng, sisoe-soeang ri ase ri awa arumpanua. Apa’ ia Wajotemmakullei rigau ceua-uang.”
“ Berkata Arung Matoa kepada para Ranreng dan para pejabat limpo diWajo: kita saling menerima peringatan sampai kita sadar dan berakhirpada kebaikan, mengikat pada keturunan, disaksikan oleh DewataYang Esa. Peradilan yang jujur jua yang menumbuhkan Wajo. Berkatapula ia: Bila adat Wajo dipertimbangkan, tidak boleh diputuskan olehseorang saja. demikian juga menurut kebiasaan, tidak boleh orang-orang lapisan atas dan lapisan bawah, pemerintah dan rakyat, salingmembelakangi dan saling mengayungkan tangan (= tidak boleh orang-orang lapisan atas dan bawah saling bertentangan dan salingmenghalangi), karena Wajo tidak boleh diperintah oleh seorang saja”115
Adapun Arung Mabbicara sebanyak 10 (sepuluh) orang tiap limpo, jadi
total sebanyak 30 (tiga puluh orang). Terakhir adalah 3 (tiga) orang Suro ri
Bateng atau Suro Palele Toana yang bertugas sebagai duta kerajaan Wajo dalam
menyampaikan kepada rakyat, semua hasil permufakatan dan perintah dari
Pa’danreng serta menyampaikan pada rakyat, hasil permufakatan dan perintah-
perintah dari Petta I Wajo116. Ketika kerajaan Wajo dalam perkembangannya
melakukan perluasan wilayah dan berperang melawan Sekkanasu dan
Belogalung yang berhasil ditaklukkan, untuk pertama kalinya Wajo memiliki lili
yang dimasukkan dalam koordinasi salah satu dari limpo. Dalam pengelolaannya,
lili ini dikoordinir oleh punggawa yang merupakan salah seorang Matoa (Arung
Mabbicara) yang menghubungkan dengan Ranreng.
Gambaran seperti ini, juga berorientasi pada pemahaman tentang
fenomena politik dan kekuasaan antar kelompok kekerabatan di dalam maupun
115 Dalam Lontara Sukkuna Wajo. Sadapotto, Op.cit Hal. 96116 Lihat Mattulada (1995) Op.cit Hal. 407
100Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
diluar kelompoknya tidak lain merupakan bentuk mekanisme tertib sosial seperti
definisi yang telah diajukan sebelumnya tentang kondisi dimana memungkinkan
terwujudnya tertib sosial, bentuk atau model tertib sosial, pranata-pranata sosial
dan kebiasaan-kebiasaan yang saling berkaitan sehingga membentuk satu
kesatuan yang utuh. Tiga kelompok Pa’danreng (kekerabatan) yang awalnya dari
tiga kerabat/sepupu sebagai tokoh kunci dalam sejarah yang menginisiasi
didirikannya pemerintahan di Tana Wajo. Diibaratkan ketiganya seperti tiga
negara (tiga kekuasaan) kembar, kalau seperti yang diilustrasikan seperti 3 Baki’
(wadah makanan/lauk pauk) yang memiliki isi yang sama117 yakni Bettempola
yang kemudian disebut-sebut sebagai yang saudara dituakan, kemudian Talo’
Tenreng, kemudian Tuwa’ disesuaikan dengan jenjang usia La Tenri Tau, La
Tenri Pekka dan La Matareng. Meskipun pada awalnya merupakan bentuk
pembagian kerja berdasarkan keahlian dalam mengelola lingkungan alam
sebagai mata pencaharian (pengolah lahan sawah, pencari ikan, dan peracik
tuak), namun dalam perkembangan selanjutnya bertambah fungsi menjadi
bentuk struktur organisasi kelompok kekerabatan dalam tatanan pengusaan
wilayah (Limpo) dan organisasi pemerintahan di Wajo. Tiap Pa’danreng
kemudian memposisikan diri dalam penguasaan Limpo, yakni Bettempola yang
mengawal di bagian tengah, Talo’tenreng di bagian barat, dan Tuwa’ di bagian
timur Wajo yang kemudian setiap pemimpinnya (Arung) yang dijabat oleh
Ranreng.
Mengenai sistem politik dan tata pemerintahan pada masa lalu ditanggapi
beberapa kalangan masyarakat Wajo saat ini yang masih memiliki pengetahuan
dan kurang lebih memahami tentang sejarah, berpendapat bahwa tatanan
117 Wawancara dengan Muhammad Idris
101Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
demikian merupakan wujud kebebasan atau yang paling sering disebut
amaredakangeng-nya orang Wajo, masing-masing kelompok dan rakyat Wajo
memiliki hak berpartisipasi dalam pemerintahan. Hingga kesimpulan penulis ini
ambil ketika teringat dalam suatu kunjungan disalah satu warung kopi di kota
Sengkang, tempat dimana beberapa masyarakat Wajo biasa memperbincangkan
kondisi sosial politik di Kabupaten Wajo. Bersama dengan rekan penulis saat itu,
karena kebetulan berada dalam satu meja, penulis sempat berbincang dengan
salah seorang pengunjung yang memperkenalkan dirinya bekerja sebagai PNS di
salah satu Instansi Pemerintah Kabupaten (Pak Haris, yang namanya kemudian
penulis ketahui melalui pelayan warung). Dalam kesempatan itu, setelah
mengutarakan beberapa hal terkait penelitian penulis, dengan spontan ia
memberi komentar bahwa kerajaan Wajo dulu itu seperti Malaysia yang memiliki
banyak kerajaan bagian yang menyatu. Dibeberapa daerah yang masuk wilayah
Wajo memiliki pendekar-pendekar-nya118 sendiri yang konon dapat
dikumpulkan untuk melakukan pertemuan jikalau ada masalah-masalah di
kerajaan Wajo. Dan seperti tidak ingin dilewatkan pernyataannya, ia beberapa
kali mengungkapkan bahwa Wajo agak berbeda dengan banyak kerajaan Bugis
lainnya yang merupakan tetangganya sendiri semisal Bone, Luwu, maupun
Soppeng apabila berbicara tentang ‘tata negara’, disini ia menyimpulkan
perbedaan itu tentang sifat demokratis pemerintahan masa lalu. Menurutnya,
ketika banyak orang mengatakan bahwa kerajaan Bugis dulu bersifat feodalisme
dan otoriter, sepertinya Wajo merupakan ‘pengecualian’ di Sulawesi Selatan, tapi
sekarang sudah banyak perubahan apalagi setelah reformasi semakin banyak lagi
118 Untuk istilah ini, penulis menyimpulkan bahwa yang Pak Haris maksud adalah pemimpin dalamsebuah wanua (wilayah). Dan setelah perihal didalami melalui pertanyaan, ia sempat menyebutkanistilah Arung semisal Datu Pammana, Petta Tempe, dan Puang ri Tosora dan ketiganya tidak lainadalah gelar bangsawan yang mengusai bagian-bagian tersebut dalam wilayah Wajo.
102Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
figur-figur yang muncul sebagai tokoh politik. Dan ditutupnya perbincangan itu
dengan menghisap rokoknya begitu dalam lantas dimatikannya diatas asbak, dan
ketika ia beranjak dari tempat duduknya ia masih sempat mengatakan “tambah
banyak lagi pendekar”.
‘Perubahan adalah keniscayaan’, begitu kata orang-orang yang selalu
memposisikan dirinya dalam dinamika sosial-budaya suatu masyarakat. Begitu
pula dalam rentetan sejarah Wajo pada masa lampau.
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Iliustrasi Struktur Pemerintahan Wajo oleh Christian Pelras dalam Hiérarchie et pouvoir traditionnels en pays Wadjo' (suite et fin)Archipel, Année 1971, Volume 2, Numéro 1 p. 197 - 223
Pembahasan dan Hasil PenelitianSTRUKTUR KERAJAAN WAJO
PERIODE PEMERINTAHAN ARUNG MATOWA I - XII
LIMPO TALOTENRENG
ARUNGMATOWA
LIMPO BETTEMPOLA LIMPO TUWA
ARUNG SIMETTEMPOLAKemudian bergelar Inangna LimpoE
Arung Penrang(Arung Lili)
Arung ParujungAju Parujung TanahPaddippung Ade
1. Ranreng (Kepala Limpo)2. a. Bate Lompo (Pilla)
b. Bate Caddi (Komandan Ibukota)
3. a. 4 Orang Mabbicara PaddetteBicara yang mempunyai wilayah
4. b. 6 Orang Mabbicara Pano’Pete’bicara tanpa wilayah, yangbergelar Arung Ijjabbusekkang(Arung Paddokorokko)
5. Punggawa (Koordinator lili)6. Arung Lili yang berjenis-jenis
gelarnya7. Kepala Dusung-Addusungeng yang
bergelar macam-macam
1. Ranreng (Kepala Limpo)2. a. Bate Lompo (Pilla)
b. Bate Caddi (Komandan Ibukota)
3. a. 4 Orang Mabbicara PaddetteBicara yang mempunyai wilayah
4. b. 6 Orang Mabbicara Pano’Pete’bicara tanpa wilayah, yangbergelar Arung Ijjabbusekkang(Arung Paddokorokko)
5. Punggawa (Koordinator lili)6. Arung Lili yang berjenis-jenis
gelarnya7. Kepala Dusung-Addusungeng yang
bergelar macam-macam
1. Ranreng (Kepala Limpo)2. a. Bate Lompo (Pilla)
b. Bate Caddi (Komandan Ibukota)
3. a. 4 Orang Mabbicara PaddetteBicara yang mempunyai wilayah
4. b. 6 Orang Mabbicara Pano’Pete’bicara tanpa wilayah, yangbergelar Arung Ijjabbusekkang(Arung Paddokorokko)
5. Punggawa (Koordinator lili)6. Arung Lili yang berjenis-jenis
gelarnya7. Kepala Dusung-Addusungeng yang
bergelar macam-macam
Ilustrasi Munawar yang dikutip dari Museum Sengkang
105Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
A.3. Melemahnya Tatanan Struktur Ditengah Pergeseran Kekuasaan
Belanda baru dapat benar-benar menaklukkan Sulawesi pada tahun 1905
dengan berakhirnya perlawanan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dan
Sultan Husain Karaeng Lembang Parang Somba Gowa. Pada saat itu, Wajo
dibawah Ishak Manggabarani Arung Matowa adalah sekutu dari Bone. Kekalahan
dari Bone menyebabkan Wajo juga menanggungnya berupa pembayaran upeti
kepada pemerintah kolonial. Dengan demikian Sulawesi, dalam hal ini Wajo
telah jatuh pada kekuasaan pemerintahan kolonial. Kedaulatan Wajo sebagai
sebuah kerajaan/negara berubah menjadi taklukan. Berdasarkan Korte
Veklaring yaitu perjanjian singkat antara pemerintah kolonial dengan kerajaan
Wajo yang ditandatangani oleh Ishak ManggabaraniArung Matowa Wajo pada
tanggal 31 Agustus 1905 dan disahkan pada tanggal 19 Juli 1906, maka Wajo
menjadi Onder-Afdeling.
Dominasi kolonial terhadap kerajaan-kerajaan Nusantara termasuk Wajo,
melakukan perubahan struktural pemerintahan. Raja (Arung Matowa) Kerajaan
Wajo menjadi Onder-Afdeling dibawah Afdeling Bone yang merupakan bagian
dari Keresidenan Celebes yang berpusat di Makassar. Sedangkan Keresiden
Celebes adalah bagian dari Grote Ost yang merupakan gubernemen yang
dibawahi oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sehubungan dengan awal-awal
pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan, Edward Poelinggomang119
menjelaskan dalam Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-
1942 (83-84 :2004)
Wilayah Sulawesi selatan dan tenggara dijadikan satu wilayahpemerintahan yang dikenal dengan Pemerintahan Sulawesi dan DaerahBawahan (Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden). Wilayah itu dibagikedalam tujuh bagian pemerintahan (afdeeling) yaitu : Makassar, Bonthain,
119Dalam Munawar, Op.cit. Hal 53
106Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Bone, Pare-pare, Luwu, Mandar dan Buton dan Pesisir Timur Sulawesi (Boetonen Oostkust Celebes) secara secara resmi pada tahun 1911. Kepalapemerintahan diembankan kepada seorang pejabat pemerintahan yang disebutgubernur (gouvernour). Di bagian pemerintahan (Afdeeling) ditempatkanseorang asisten residen yang berkedudukan sebagai pimpinan di wilayahitu……..masa itu juga ditandai dengan perubahan-perubahan strukturpemerintahan. Kerajaan-kerajaan sekutu dilenyapkan dan wilayahnya beralihdibawah pemerintahan dan kekuasaan langsung Pemerintah HindiaBelanda…..bagian pemerintahan dibagi kedalam beberapa cabangpemerintahan (Onderafdeeling). Pada setiap cabang pemerintahanditempatkan seorang kontroleur (controleur) untuk melaksanakanpemerintahan dan kekuasaan.
Pada masa itu, Pemerintahan Kolonial belum sepenuhnya diterima oleh
pribumi. Akibatnya Pemerintah Kolonial lebih memperhatikan persoalan
stabilitas kekuasaan daripada pengelolaan administrasi pemerintahan. Arung
Enneng sebagai raja-raja utama yang mengontrol kebijakan Arung Matowa,
diturunkan posisinya menjadi setingkat pembantu raja. Pejabat kerajaan,
ditetapkan sebagai Zelf-Bestuur yang bertanggung jawab kepada Controleur,
yaitu Pejabat Pemerintah Kolonial yang membawahi Onder Afdeling. Pemerintah
Hindia Belanda melakukan reorganisasi pemerintahan Wajo yang semulanya
wanua, kampung, lili yang mengikut pada limpo menjadi kepengikutan secara
kedekatan geografis. Sehingga tidak jarang ditemukan ada wanua, kampung,
atau lili yang mengikut pada salah satu limpo, kemudian mengikut pada limpo
lain.
Hubungan antara kerajaan-kerajaan Bugis otonom antara satu wanua(wilayah) atau a’karungeng dengan wanua atau a’karungeng lain, yangsebelumnya diatur dalam perjanjian (kontrak) yang bersifat lebihfleksibel, diganti oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan prinsiphirarki kaku yang membagi-bagi menjadi kabupaten dan kecamatan,seperti telah lama mereka terapkan diJawa. Di Wajo, wanua yangsebelumnya tergabung dalam tiga limpo (berdasarkan jenis hubunganmereka masing-masing dengan salah satu dari tiga ranreng) diubahmenjadi tiga wilayah terpisah, sehingga banyak wanua yang tergabungpada limpo tertentu harus pindah ke limpo lain. Sementara itu, wanuayang dianggap terlalu kecil digabung begitu saja atau dimasukkan kedalam wanua yang lebih besar dan selanjutnya dijadikan kampung(dusun) - suatu entitas kelompok kecil yang belum pernah adasebelumnya dalam sistem komunitas orang Bugis. (Pelras 327-8:2005)
107Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Onder Afderling Wajo dibagi menjadi 4 distrik berdasar pembagian
limpo, antara lain Distrik Bettempola, Distrik Talotenreng, Distrik Tuwa dan
ditambahkan dengan Distrik Pitumpanua. Masing-masing Distrik dikepalai oleh
Ranreng yang berhak, kecuali Distrik Pitumpanua dijabat oleh Dulung.
Selanjutnya, Distrik membawahi lili atau wanua (Adat Gemenschaap).
Adapun pengelompokan wanua pada distrik sebagai berikut :
1. Distrik Bettempola antara lain : Wanua Tempe, Wanua Tancung, Wanua
Lowa, Wanua Anabanua, Wanua Gilirang, Wanua Belawa Orai, Wanua
Belawa Alau, Wanua Paria, Wanua Rumpia, Wanua Tosora (meliputi ketiga
pokok perkampungan Majauleng, Sabbamparu, Takkalalla)
2. Distrik Talotenreng antara lain : Wanua Singkang, Wanua Wage, Wanua Ugi,
Wanua Liu, Wanua Pammana.
3. Distrik Tuwa antara lain : Wanua Akkotengeng, Wanua Bola, Wanua Peneki,
Wanua Penrang. (Salahudin 112:1965)
4. Distrik Pitumpanua meliputi wilayah pitumpanua
Adapun susunan Zelf-Bestuur pada zaman Arung Matowa La Oddang
Pero sebagai berikut :
1. Arung Matowa sebagai pimpinan Zelf-Bestuur
2. Ranreng Bettempola sebagai Kepala bagian pemerintahan yang
mengurus sosial kepolisian dan kepegawaian.
3. Ranreng Talotenreng sebagai kepala bagian perekonomian dan
penyaluran distribusi.
4. Ranreng Tuwa sebagai kepala bagian peradilan dan kepenjaraan
5. Pilla mengkoordinir bagian LandSchapwerken (Pekerjaan Umum,
Pendidikan dan kesehatan rakyat).
108Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
6. Patola mengkoordinir keuangan dari Landschap dan Landschap Kas
houder.
7. Cakkuridi mengurus kantor Arung Matowa dan mengekerjaan
pekerjaan mulai dari pencatatan buku harian sampai dengan
pelaksanaan pembagian tugas.
Sebelum tentara Jepang datang ke Indonesia, pemerintah Hindia Belanda
membagi nusantara dalam 3 gewest. Pemerintah Balatentara Jepang
melanjutkan dengan istilah syuu. Di Jawa dan Madura dijabat oleh Angkatan
Darat Jepang. Sedangkan Sumatra dan Sulawesi (grote ost) dijabat oleh
Angkatan Laut Jepang.
Pemerintah Balatentara Jepang tidak banyak merubah sistem
pemerintahan Belanda, terutama dalam hal pembagian administrasi
pemerintahan. Selain Gewest, Afdeling diganti dengan Ken. Onder Afdeling
diganti Bunken. Distrik diganti Gun, Onder Distrik diganti Son. Dan desa atau
wanua diganti Ku. Controleur Belanda diganti pejabat Jepang yang disebut
Bunken Kanrikan. Karena masa pemerintahan kolonial Jepang tidak lama, maka
tidak banyak hal yang Jepang dapat pengaruhi terhadap pola hidup masyarakat.
Yang menjadi tujuan utama Jepang adalah memenangkan perang Asia Timur
Raya. Oleh karena itu, rakyat semulanya dianjurkan untuk menanam komuditas
tertentu, berubah menjadi paksaan.
Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II segera disusul dengan
kemerdekaan Republik Indonesia serta kedatangan tentara sekutu (NICA). Pada
tanggal 23 Desember 1946 terbentuk Negara Indonesia Timur (N.I.T) yang yang
merupakan bagian dari R.I.S atau Republik Indonesia Serikat. RIS membawahi
13 daerah otonom yang salah satunya adalah Daerah Sulawesi Selatan.
Daerah Sulawesi Selatan memiliki 4 badan pemerintahan yaitu :
109Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
1. Hadat Tinggi
2. Majelis Harian Hadat Tinggi
3. Ketua dan Ketua Muda Hadat Tinggi
4. Dewan Perwakilan Sulawesi Selatan
Setelah Arung Matowa A. Mangkona mengundurkan diri pada tahun
1949, beliau diganti oleh Sumange Rukka selama beberapa bulan. Kemudian
Sumange Rukka digantikan lagi oleh A. Ninnong bekas Ranreng Tuwa selama 40
hari. Pada masa ini adalah masa kekacauan disebabkan adanya pemberontakan
APRIS pimpinan A.Azis dan dimulainya DI/TII. Akibatnya adalah roda
pemerintahan tidak dapat berjalan dengan normal.
Setelah A. Ninnong melepaskan jabatan dan berdiam di Makassar, maka
jabatan Arung Matowa berganti menjadi KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). A.
Pallawarukka diangkat menjadi KPN. Sementara hampir semua pejabat inti
kerajaan Wajo telah kosong, kecuali Arung Lili. Sebagaimana yang disebutkan
dalam Lontara Attiriolongna Wajo (I) sebagai berikut :
Massulle tudangeng ri onronna akkarungeng matowangengngeriyaseng KPN=Kepala Pemerintahang Negeri. Apaq ripapekkeq nionronna Petta I Wajo. Sabaq deqtona tau monroi tudangengna. Padalaoni sappa jamang laing. Ye situjue ri alena. Iyakiya arung lilie deqtonamarusaq ri onrongna. Makkumaniro ri Sulawesi maniyangnge.Tungkeq-tungkeq purae mancaji arung bocco marusaq manengakkarungengna. Sangadinna onrong tudangengna meni purauppetorokengnge iyanaro ipinra mancaji kapala pemerintahang negeri.Ri bahasa jawana riyaseng wedana. Ye talloe mupa riyawana parentariyasengnge kabupateng. Jaji ye kawedanang Wajo tallo mopi ri yawaparenta na kabupateng Bone. Yenae Pallawarukka makketenniangngiapparentangnge ri Wajo (135:2007)TerjemahanBerganti kedudukan “akkarungmatowae” dengan “KPN” (KepalaPemerintahan Negeri. Sebab sudah ditetapkan tempatnya Petta I Wajo,sebab sudah tidak juga orang menduduki kedudukannya, semuamencari pekerjaan lain yang cocok bagi mereka, akan tetapi Arung Lilietidak berubah kedudukannya. Demikianlah yang terjadi di SulawesiSelatan. Setiap yang pernah menjadi Arung Bocco berubahlah“Akkarungengnya” kecuali tempat kedudukan “Appetorokengnge”(Petor=Kontroleur) itulah yang menjadi Kepala Pemerintahan Negeri.
110Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Dalam bahasa Jawa disebut Wedana. Menjadi pula Wajo disebutkewedanan yang masih dibawah pemerintahan kabupaten, sehinggakawedanan Wajo berada dibawah kabupaten Bone. Pallawarukkalahyang menjalankan pemerintahan (310:2007)
Masih di tahun 1950, La Magga Sullewatang Mpugi menggantikan
Pallawarukka menjadi KPN berdasar surat dari gubernur Sudiro. Tak lama, La
Magga dipindahkan ke Makassar. Kembali A. Pallawarukka Pilla Wajo menjadi
KPN. Pada tahun 1954, Wajo dipersiapkan menjadi kabupaten.
Berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 4 tahun 1957 maka
dibubarkanlah Daerah Bone dengan Swapraja Bone, Wajo dan Soppeng.
Pembubaran ini terjadi di ke-38 (tiga puluh delapan) daerah swapraja di Sulawesi
Selatan. Sehingga dengan demikian resmilah Wajo menjadi Kabupaten dalam
wilayah Administrasi Propinsi Sulawesi Selatan. Wilayah administratif Wajo
kemudian dibagi menjadi 10 kecamatan dan terakhir pada tahun 2003 terjadi
pemekaran sehingga pada saat ini Wajo terdiri dari 14 kecamatan 48 kelurahan
dan 128 desa.
Masa transisi, periode pendudukan bangsa asing di Wajo turut
memberikan dampak perubahan yang besar pada tatanan kekuasaan pada masa
itu. Kepentingan Belanda maupun Jepang di tanah air dalam mendapatkan
berbagai sumber daya untuk di pasok ke nagara mereka dan kepentingan perang.
Dari sisi politik, bangsa asing ini menerapkan sistem yang membatasi dan
cenderung mengontrol kondisi masyarakat, sehingga mempermudah
pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah asing dalam mendapatkan berbagai
akses sumber daya, terutama sumberdaya manusia yang dijadikan bagian untuk
memerangi kerajaan lain maupun sumber daya alam yang ada di Wajo. Kebijakan
sistem administrasi misalnya, sangat mempengaruhi para penguasa lokal yang
111Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
beralih fungsi petugas administrasi. Pada suatu sesi wawancara120 dengan Haji
Sulaiman seorang tokoh agama di Belawa, mengatakan bahwa iapun sering
diceritakan oleh orang tuanya tentang orang kulit putih di Sengkang yang hanya
sesekali terlihat keluar dari bola’ batu (gedung kantor), namun para Arung saat
itu silih berganti masuk kedalam bola’ batu itu. Tak lama berselang kadang
Arung datang kepada masyarakat menceritakan hasil pertemuannya dengan
orang yang di temuinya di rumah batu, ia teringat tentang bagaimana saat ia
diceritakan tentang pelarangan penangakapan beberapa jenis ikan di danau
Tempe. Menurut Haji Sulaeman, saat itu sebetulnya orang-orang Belanda secara
tidak langsung telah memerintah masyarakat Wajo, bahkan sampai menjaring
ikan di danau pun harus dibatasi ikan tertentu. Ia juga meyakinakan penulis
pada saat wawancara, Arung yang ia maksud namun telah lupa namanya,
memang selalu mengurusi masalah danau dan ia mengatakan bahwa pada masa
itu Arung tersebut mungkin di tugasi oleh Belanda untuk mengurusi masyarakat
yang menjaring ikan di danau Tempe seperti yang Haji Sulaiman simpulkan dari
cerita yang ia dapatkan dari orang tuanya. Periode ini dapat kita asumsikan
bahwa penguasaan bangsa asing dengan menempatkan para penguasa Wajo
(Arung) sebagai pejabat-pejabat administrasi bisa dikatakan sebagai bentuk
politik yang memaksakan pengakuan masyarakat Wajo terhadap keberadaan dan
kekuasaan bangsa asing di Tana Wajo.
Hal yang menarik pada perkembangan selanjutnya adalah kebijakan
politis Belanda yang menempatkan para penguasa lokal atau golongan
bangsawan pada jabatan administrasi pemerintahan kolonial maupun pada saat
pendudukan Jepang juga memberikan andil dan penagruh pada sistem birokrasi
120 Wawancara pada tanggal 23 januari 2011 di dusun Timoreng sebuah daerah pesisir danau Tempe bagianselatan kecamatan Belawa.
112Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
pemerintahan kita hari ini. Pada masa transisi ke NKRI, dan sejak masyarakat
Wajo melalui Arung Matoa terakhir mengakui kedaulatan dan menjadi bagian
dari NKRI, jabatan-jabatan admnistrasi yang sebelumnya tidak lepas begitu saja
namun tetap dipercayakan pada para penguasa lokal, para keturunan bangsawan
di bekas-bekas wanua dengan jabatan birokrasi seperti Camat. Kondisi ini
didukung oleh sikap para bangsawan dalam menghadapi perubahan-perubahan
yang terjadi, namun adapula golongan bangsawan yang tetap pada sikap-sikap
‘tradisional’. A. Kandacong mengutarakan bahwa121, banyak diantara keturunan
bangsawan yang mudah mendapatkan akses pendidikan maupun militer pada
masa kemerdekaan, dibandingkan dengan masyarakat biasa. Sehingga tidak
mengherankan mereka-mereka yang menjabat kepala desa misalnya tidak lain
merupakan keturunan bangsawan, terlebih lagi faktor pengaruh nama besar
orang tua mereka dimasa lalu, yang menyebabkan masih banyak masyarakat
yang mempercayakan kepemimpinan desa kepada keturunan bangsawan.
B. Reproduksi Status Tradisional Sebagai Strategi Politik
B.1. Reproduksi Status Melalui Perkawinan
Dalam masyarakat Bugis Wajo, perkawinan masih cukup dipengaruhi oleh
stratifikasi sosialnya. Dalam lapisan anakarung (keturunan bangsawan)
misalnya, persoalan lapisan sosial masih diperhitungkan. Masih sering
melakukan penelusuran keturunan yang disebut maccuccung bati. Implikasi dari
realitas ini menyebabkan efek yakni, mencuri darah (mennau dara) dengan jalan
membuat (dibuatkan) silsilah yang dihubungkan dengan seorang anakarung
sebagi nenek atau buyutnya. Silsilah buatan yang dilegalisasi oleh oknum
masyarakat tertentu.
121 Wawancara pada tanggal 15 Februari 2011, di Belawa.
113Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Tapi pada sisi lain, proses reproduksi yang paling sering dilakukan adalah
melalui perkawinan antar lapisan sosial. Perkawinan dengan sepupu sederajat
pertama yang umumnya lebih banyak berlangsung pada lapisan-lapisan tertinggi
dalam stratifikasi sosial, akan tetapi tidak lumrah di kalangan tosama’.
Perkawinan yang paling ideal dalam rang mereproduksi status sosialnya pada
kalangan tosama adalah perkawinan dengan sepupu derajat kedua. Dalam
kaitannya kemudian, dalam mempertahankan status sosialnya memunculkan
sistem kekerabatan masyarakat Wajo yang memprioritaskan perkawinan
dikalangan kerabat sendiri yang disebut siampaiko masseajing, tenri batu
malepang. Beberapa istilah kekerabatan yang dikenal dalam masyarakat Wajo,
seperti Ambo’, Indo, Emma, Etta’, Lakkai, Puang, Petta dan pada umumnya
didepan namanya selalu ditambahkan istilah Andi yang merujuk pada status
sosial keturunan bangsawan. Dalam praktiknya, penggunaan sebutan
kekerabatan dan status sosial tersebut memiliki makna original dan virtual serta
dapat dimaknai sebagai simbol dan sapaan kekerabatan, bahkan sampai pada
interaksi dengan masyarakat lainnya.
Dewasa ini banyak upaya-upaya masyarakat yang masih menempatkan
status sosial seperti Andi yang sematkan pada nama yang dilakukan melalui
perkawinan antar lapisan yang santer disebut mangalli dara. Analoginya dalam
penelitian ini ditemukan pada kasus perkawinan Abdullah dan Andi
Sanawiyah122. Abdullah adalah adalah laki-laki Bugis yang bukan merupakan
keturunan bangsawan, akan tetapi selama dalam perantaunnya di Samarinda
mendudukkan ia dalam posisi ekonomi yang cukup berada yang selalu
diistilahkan todeceng. Faktor keberadaan Abdullah kemudian menjadi
122 Hasil wawancara dengan Andi Isnadar yang memberikan contoh mengelli dara
114Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
pertimbangan keputusan keluarga Andi Sanawiyah yang awalnya tidak mau
menikahkannya dengan keluarga lain selain dari kalangan kerabatnya sendiri.
Meskipun telah diketahui bahwa sebelumnya Abdullah dan Andi Sanawiyah telah
memilki hubungan-hubungan personal dan emosional, tapi kondisi tersebut
tidak serta merta menjadi alasan bagi keluarga perempuan yang berasal dai
lapisan anakarung untuk menikahkan keduanya. Apalagi Andi Sanawiyah adalah
seorang Pegawa Negeri Sipil pula, suatu pekerjaan yang cukup diperhitungkan
dan memilki derajat tersendiri dalam masyarakat Wajo.
Konsekuensinya kemudian, keluarga Abdullah disodori uang belanja yang
begitu tinggi, meski agak berlebihan kalau disebutkan hampir 80 juta rupiah,
selain beberapa syarat-syarat lain yang harus dipenuhi pihak keluarga Abdullah.
Perkawinan ini dilakukan tetap melalui proses yang umumnya dikenal dalam
masyarakat Wajo, mulai dari tahap penjajakan, mammamnuk; tahap pelamaran,
madduta; tahap akad nikah, dan tahap sesudah hari pernikahan. Tapi ada yang
menarik dari proses yang pada umumnya dikenal adalah, adanya prosesi
menaikkan uang belanja (mappaenre balanca) seperti yang dilakukan keluarga
Abdullah, dengan menggunakan jasa bank, mentransfer uang belanja ke rekening
pihak perempuan.
Upaya-yang yang dilakukan oleh Abdullah merupakan bagian dari strategi-
strategi dalam konfigurasi budaya yang menempatkan Abdullah dalam kerangka
struktur tradisional yang masih menginginkan kedudukan sosial dalam
stratifikasi masyarakat Wajo. Apa yang terjadi 3 tahun setelah perkawinannya
dengan Andi Sanawiyah, Abdullah setelah menunaikan ibadah Haji tampil
menjadi salah satu calon legislatif dari Partai Amanat Nasional yang kader-
kadernya umumnya berasal dari kerabat Andi Sanawiyah. Selain kekuatan
115Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
ekonomi yang dimiliki Abdullah untuk maju sebagai calon legislatif,
kedudukannya sebagai kerabat keluarga Andi Sanawiyah cukup efektif untuk
menjaring suara konstituen dikalangan kerabat-kerabatnya, meski pada akhirnya
tidak berhasil duduk sebagai anggota legislatif.
B.2. Keturunan Bangsawan Dalam Kepemimpinan dan PraktikKekuasaan.
Setiap sistem politik mempunyai individu-individu yang menjalankan
kepemimpinan. Satu pertanyaan komparatif yang kritis adalah mengapa para
pemimpin ini dipilih. Setiap kelompok mempunyai peraturan dan pola tentang
seleksi pemimpin, dan tidak ada masyarakat yang menyerahkan rekruitmen
kepemimpinan mereka pada keberuntungan atau nasib. Di dalam beberapa
masyarakat, pemimpin dipilih dari kelompok keluarga tertentu, jadi rekruitmen
kepemimpinan itu diambil dari bagian sangat kecil dari seluruh masyarakat.
Didalam beberapa kasus, seorang pemimpin diseleksi dari jajaran kemungkinan
yang bahkan lebih kecil – mereka berasal dari keturunan para saudara laki-laki
dan perempuan. Didalam sebuah masyarakat kelas, para pemimpinannya
biasanya direkrut hanya dari kelas-kelas tertentu, jarang terjadi pemimpin dari
kelas bawah terpilih. Disamping adanya orientasi kelompok dalam penyeleksian
kepemimpinan, semua masyarakat mempunyai kriteria lain yang mereka tuntut
dari para pemimpin mereka. Usia dan gender masuk dalam campuran tersebut,
tetapi beberapa masyarakat, dalam beberapa kasus tidak memperhatikan faktor
gender. Namun sebagian besar masyarakat cenderung memperhatikan faktor
gender dan karena itu kaum lelakilah yang direkrut untuk berbagai jabatan
kepemimpinan.
Kepemimpinan dalam suatu masyarakat cukup memberikan pengaruh
dalam menentukan apakah masyarakat memiliki kecenderungan kualitas atau
116Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
tidak. Sebab, kepemimpinan dalam suatu masyarakat merupakan salah faktor
dalam terbentuknya komunitas yang terdiri dari beberapa faktor utamanya.
Dimasukkannya kepemimpinan sebagai salah satu komponen masyarakat karena
setiap masyarakat pasti mempunyai pemimpin yang ditokohkan dalam
komunitasnya. Penokohan seseorang dalam komunitas ditentukan kualitas dan
jatidiri seseorang itu sendiriyang secara teoritis memiliki syarat-syarat diangkat
sebagai tokoh atau pemimpin123. Dalam tradisi masyarakat Bugis umumnya pada
periode kerajaan atau pada periode sekarang ini pun, penempatan seseorang
menjadi tokoh di landaskan pada beberapa hal dengan kualitas tertentu seperti,
memilki kualitas sebagai to warani, sebagai to acca, atau mempunyai silsilah
dengan pemimpin sebelumnya ana arung. Beberapa catatan dalam sejarah Wajo
menyebutkan seperti yang diutarakan di awal, kepemimpinan pada padanreng
pada umunya selalu diikuti oleh keturunannya, berbeda dengan kepempinan
arung matoa yang umumnya dipilih dari kalangan arung berdasarkan kualitas
kecerdasan, kebajikan serta jumlah pengikutnya dalam wanua maupun limpo.
Otonomi daerah yang menyerahkan pemerintahan pada masyarakat
Kabupaten Wajo memunculkan kepemimpinan di tingkat lokal. Kepemimpinan
lokal ini umunya berangkat asumsi yang berorientasi politik yang mendudukkan
pimpinan suatu daerah berasal dari elit lokal. Kepemimpinan lokal mencari elit
lokal sebagai ujung tombak untuk melakukan pembaharuan pembangunan,
karena sistem pemerintahan yang dianut bukanlah asas desentralisasi. Elit lokal
ini merupakan putra daerah yang dirasa mengerti potensi daerahnya dan perlu
untuk dikembangkan, tentunya pola pengembangan daerah ini berbasis tradisi
dan lokalitas yang ada. Lokalitas yang bersumber pada identitas kesukuan ini
tentunya berbeda di setiap daerah, dan pembangunan di tingkat lokal bukan lagi
123 Meiyani, (2008) Op.Cit Hal. 150
117Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
pembangunan yang berbasis penyeragaman. Seorang kepala daerah akan
berwenang dalam menentukan kebijakan untuk pengembangan daerahnya dan
pengelolaannya di daerah. Seperti Wajo yang sampai hari berkutat pada
penyelesaian masalah danau Tempe dan pemberdayaan desa-desa tertinggal.
Kepemimpinan berdasarkan keturunan kebangsawanan ini identik
dengan kepemimpinan para arung yang ada sebelumnya di daerah, namun
kepemimpinan lokal pasca Orde Baru berbeda dengan kepemimpinan di zaman
kerajaan. Jika institusi arung menjadi control atas segala urusan pemerintahan
(eksekutif, legislative dan yudikatif) maka kepemimpinan lokal ini akan mengisi
berbagai aspek dalam dimensi kekuasaan di Wajo. Di beberapa wilayah Wajo
masih mempertahankan konsepsi Ponggawa atau Addatuang yang ada, meski
ini bukan lagi sebagi pengatur pemerintahan, namun sebagai institusi yang
mempengaruhi prosesi pemerintaha daerah. Dan beberapa keturunan arung
yang masih tetap menganut tradisi lokal menjadi daya tawar tersendiri dalam
pemilihan kepala daerah. Karena lokalitas itu dominan dalam otonomi daerah,
selanjutnya keturunan arung berkesempatan menjadi actor lokal dalam politik.
Dalam konteks sosial-politik di kabupaten Wajo saat ini, dengan berbagai
sistem politik yang berlaku, tata negara, peraturan perundang-undangan hingga
budaya masyarakat Wajo seturut saling mempengaruhi. Otonomi daerah
kemudian memperkenalkan pemilihan kepala daerah atau bupati secara
langsung dimana setiap anggota masyarakat memiliki hak suara dalam pemilihan
tersebut disisi lain sistem kepartaian sebagai bagian dari pilar politik di tingkat
kabupaten dinilai cukup memberi andil dalam mempengaruhi jalannya
pemilihan kepala daerah. Dari segi mekanisme politik, partai politik menempati
posisi dalam mendorong calon atau kandidat kepala daerah untuk maju dalam
pemilihan. Umumnya partai politik berisikan orang-orang yang mendukung
118Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
pasangan calon, dan pada kondisi inilah yang menarik bahwa anggota-anggota
partai tersebut banyak diantaranya yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap
pimpinan partai maupun orang yang akan didukung dalam pemilihan kepala
daerah banyak diantaranya yang mendukung dan menyokong partai mereka
dengan potensi mereka masing-masing. Hal ini didukung oleh Rahman
Ambong124 yang merupakan salah tim sukses dan salah satu kader partai,
mengatakan bahwa mereka dalam partai atau tim sukses pasangan calon kepala
daerah, secara sadar sendiri maupun instruksi dari ketua partai memilki tugas
masing-masing dalam capaian mereka dalam berpolitik.
Menurut Rahman Ambong, ia tidak memiliki hubungan kekerabatan
dengan pasangan calon kepala daerah atau pimpinan partai, ia juga tidak
memiliki banyak harta dalam menyokong partai atau kandidat. Ia menjelaskan
bahwa loyalitasnya ia tunjukkan dengan bekerja keras di lapangan, misalnya
dalam mempersiapkan orang-orang yang akan mengikuti kampanye, membuka
wacana tentang pasangan yang ia dukung dengan mencitrakan berbagai hal yang
baik dan mampu mempengaruhi seseorang untuk ikut mendukung bahkan ia pun
sempat mengitarakan bahwa ia pun turut dalam praktek-praktek yang berbau
kriminal dalam meneror pendukung pasangan lain dalam bentuk intimidasi
dengan merusak posko-posko berlabel pasangan lain. Namun ketika penulis
bertanya, kenapa ia mau saja melakukan hal-hal seperti itu?, Rahman Ambong,
kembali mengungkapkan bahwa kembali lagi bahwa itu “kesadaran kita dalam
mendukung calon kita”. Rahman Ambong juga menceritakan dirinya pertama
kali bertemu dengan pasangan calon ia dukung, ia begitu bangga berjabat tangan
dengan kandidat tersebut, orang yang bapaknya merupakan ‘idola’ bapak
Rahman Ambong pula. Dalam pandangan Rahman Ambong, kandidat tersebut
124 Wawancara pada tanggal 15 Februari 2011 di salah satu warung kopi di kota Sengkang.
119Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
adalah pemimpin yang ideal, sama seperti bapak si kandidat yang juga
merupakan mantan Bupati Wajo, Andi Unru. Dikalangan keluarga Rahman
Ambong mengenal betul sosok Andi Unru saat menjabat sebagai Bupati Wajo,
dimana salah satu kakek Rahman Ambong merupakan pengikut setianya pada
masa itu. Kemudian satu pernyataan dari Rahman Ambong yang kemudian
penulis untuk catat adalah dalam persoalan mendukung meskipun menurutnya
tidak ada hubungan keluarga tapi ada perasaan “…assitane-tanekeng taue”
dalam mendukung pemimpin kita. Dan disela-sela perbincangan ia sempat
menunujukkan salah satu kendaraan motor yang parkir di depan warung kopi
pada saat itu dan ia mengungkapkan bahwa motor itu adalah hadiah dari
pasangan calon yang ia dukung.
Pada aspek ini, penulis mengambil kesimpulan bagaimana tatanan sosial
budaya masyarakat Wajo pada dasarnya mendorong bagaimana kepemimpinan
bedasarkan konsepsi ajjoareng atau kepengikutan masih mengakar di beberapa
kalangan masyarakat. Sehingga calon-calon penguasa atau raja-raja lokal di
kabupaten mesti memiliki beberapa kriteria tertentu dalam memposisikan
dirinya dalam memimpin nantinya. Dari aspek kultural misalnya, nampak kita
masih menemui bagaimana simbol-simbol kebangsawanan atau arung melalui
garis keturunan masih mempengaruhi mainset anggota masyarakat dalam
memilih atau mendukung seorang pemimpin. Seperti penulis ketahui, salah satu
mantan bupati yang disebutkan oleh Rahman Ambong adalah adalah keturunan
dari salah satu Ranreng (Ranreng Bettempola) yang pernah memimpin salah
satu padanreng pada masa kerajaan. Sadar atau tidak beberapa keturunan
bangsawan yang memiliki akses politik di kabupaten Wajo memanfaatkan
potensi kultural ini dalam melahirkan kembali identitas mereka sebagai
keturunan pemimpin dan bahkan cenderung melegitimasi keturunan bangsawan
120Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
sebagai sosok yang layak menjadi pemimpin. Seperti yang diutarakan Andi
Ayatullah125, bahwa modal utama untuk menjadi kepala daerah di Wajo adalah
memiliki tanda ‘Andi’ di depan namanya dan sudah menjadi rahasia umum
menurutnya kalau bukan ‘Andi’ maka akan sulit menduduki posisi nomor satu di
kabupaten Wajo. Karena menurutnya kondisi politik di kabupaten Wajo hanya
dikelilingi oleh keturunan para Ranreng atau Arung yang pernah berkuasa di
Wajo.
Seperti yang penulis utarakan sebelumnya bahwa pada satu periode
pendudukan bangsa asing di Tana Wajo, di mana pemerintahan admnistratif
masih dipegang oleh ketiga kelompok padanreng, pilla, limpo dan lili yang
masing-masing memegang peranan di berbagai tingkatan pemerintahan. Meski
kekuasaannya pada saat itu terbatas tetapi hubungan para arung dengan
masyarakat masih terjalin. Pejabat-pejabat ini kemudian lebih banyak mengurus
hal-hal yang sifatnya admnistratif maupun teknis dalam menjalankan kebijakan
pemerintah kolonial seperti masalah pertanian, perikanan, sampai mengurusi
sebuah desa, dan disisi lain pada kenteks masa itu, kepemimpinan mereka atas
beberapa komunitas masyarakat cukup mengakar sehingga ajjoareng mereka
tetap terjaga, seperti pada gambaran Rahman Ambong. Implikasinya pun dapat
ditemukan hari ini, era otonomi daerah dimana pengaturan daerah lebih banyak
diserahkan ke daerah masing-masing sehingga memunculkan banyaknya “raja-
raja lokal” yang memakai identitas ke”arung”an mereka sebagai sebuah strategi
politik guna mendapatkan kekuasaan di daerah. Dan dapat kita bayangkan
besarnya kewenangan yang didapatkan apabila dapat memimpin sebuah daerah
dengan seluas 2.506,19 km2 dengan berbagai sumber daya alam (gas) dan sumber
125 Wawancara pada tanggal 25 januari 2011
121Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
daya manusia (pengusaha-pengusaha) yang ada didalamnya serta pengelolaan
anggaran daerah yang dikelola sendiri.
Seturut dengan gambaran diatas Andi Rahmat Munawar126 membenarkan
bahwa ada kondisi sosio-kultural di kabupaten Wajo yang cukup mempengaruhi
iklim demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Sebagai anggota KPU ia cukup
hati-hati dalam menggawangi peraturan yang terkait dengan pemilihan. Ia
memahami sistem pemilihan dengan aturannya sendiri dalam hal kebebasan
individu untuk memilih dan dipilih, tapi tidak dapat dinafikan begitu saja faktor
kulutur seperti masalah ajjoareng di kalangan masyarakat dengan tingkat
stratifikasi yang ada di Kabupaten Wajo sebagai bekas kerajaan masih
mempengaruhi pandangan masyarakat yang masih menyisakan paham-paham
masa lampau meski di era demokrasi. Ia juga menuturkan bahwa, kultur
masyarakat tersebut sebenarnya bagian dari dinamika, dan bisa jadi menjadi
potensi yang dimanfaatkan sebagai sebuah strategi politik.
Di tingkat wanua atau kecamatan untuk istilah sekarang juga terjadi hal
serupa dalam konsepsi kepemimpinan, cerita Datu Passamula seorang
punggawa wanua misalnya seperti yang dituturkan Abdul Rahim Mendo,
seorang mantan kepala desa yang juga dikenal dekat dengan Datu Passamula.
Datu Passamula merupakan arung keturunan yang berasal dari Luwu, lahir pada
tahun 1923. Juga keturunan bangsawan di Belawa, pernah menjadi TNI dan
sempat memberontak dengan ikurt bergabung diorganisasi DI-TII dan kemudian
kembali ke NKRI. Sebelum dan saat menjadi Kepala Desa Belawa, beliau
memimpin sebuah klub sepakbola yang berasal dari Belawa dan membawa nama
Belawa cukup besar dalam pertandingan sepak bola di Sengkang. Selama masa
pemerintahannya, ia dikenal memiliki sikap keras. Sampai-sampai ia pernah
126 Wawancara pada tanggal 24 Februari 2011 di kediaman rumah Andi Rahmat Munawar
122Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
dijuluki si “tangan besi”. Pada tahun 1950-an, rumah-rumah di Belawa masih
dalam keadaan terpisah-pisah. Datu Passamula kemudian membuat rumah-
rumah warga tersebut teratur dan berdekatan. Ia menyuruh warga mengangkat
rumah-rumah mereka untuk ditata sedemikian rupa dan mengatur jalanan.
Perintah Datu Passamula dituruti oleh warga dengan berat hati dan terpaksa.
Mereka tidak mengetahui apa tujuan Datu Passamula pada saat itu. Setelah lama
hidup dalam keadaan seperti itu, masyarakat baru menyadari perubahan yang
ada. Ternyata akses jalan untuk warga menjadi semakin mudah. Baru kemudian
masyarakat menjadi senang dengan hasil dari apa yang dilakukan oleh “tangan
besi” Datu Passamula.
Datu Passamula memiliki kelompok pengikut yang dikenal dengan nama
“To Sagena”. To Sagena merupakan massa dari Datu Passamula berlambang
ayam jantan yang juga ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
terhadap masalah-masalah yang ada pada masa pemerintahannya. Jika terdapat
masalah yang harus dibahas bersama Bupati, Datu Passamula mengundang
bapak Bupati untuk duduk bersamanya beserta kolompok To Sagena.
Datu Passamula adalah seseorang yang sangat tertarik pada permainan
sepak bola. Pada sebuah pertandingan sepak bola, ia mengundang Bupati
Sengkang A. Unru untuk menghadiri pertandingan tersebut. Terjadi suatu
masalah yang melibatkan wasit dan pemain pada saat itu. Datu Passamula
mengambil keputusan untuk membubarkan pertandingan. Bapak bupati yang
saat itu ikut menonton pertandingan tersebut merasa tidak dihormati oleh Datu
Passamula, sehingga ia mencabut jabatan Datu Passamula sebagai kepala desa
Belawa pada saat itu setelah menjabat ± 8 tahun. Datu Passamula
menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 2007, ketika berusia 84 tahun.
123Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Kini salah satu anaknya duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten Wajo, dan
salah satu anak dan menantunya pernah menjabat sebagai Camat Belawa.
Pada bagian ini penulis memahami bahwa berbagai komponen dalam
praktik kekuasaan diantaranya adalah modal simbolik yang cukup memberikan
andil dalam kontestasi kekuasaan. Untuk kasus di Kabupaten Wajo, status sosial
sebagai modal simbolik tidak hadir begitu saja tetapi status-status sosial seperti
ini memiliki sejarah panjang dalam dinamikanya. Tatanan yang ada kemudian
menjadi sebuah arena yang diikuti berbagai praktik-praktik politik seperti yang
tergambarkan di Wajo, dimana stratifikasi sosial yang ditunjukkan dalam status
sosial tidak begitu saja bersifat kaku untuk menjelaskan posisi seorang keturunan
‘arung, tetapi lebih dari itu status tersebut merupakan alat strategis dalam
praktik yang berorientasi kekuasaan. Mengikuti apa yang dikatakan Bourdieu
bahwa gambaran mengenai reproduksi sederhana dapat terlihat dalam korelasi
struktur-struktur, praktik, dan habitus127.
Kasus lain bagaimana reproduksi kultural kelompok keturunan arung
sebagai elit politik adalah pada hari jadi Kabupaten Wajo yang ke-612 adalah
bagian dari sebuah pertunjukan pengukuhan identitas kultural, yakni bagaimana
beberapa kelompok keturunan bangsawan yang saat ini berkuasa di Kabupaten
Wajo mengeluarkan kebijakan peringatan hari jadi Wajo di laksanakan di Paria,
Atapanngnge. Tidak seperti biasanya peringatan hari jadi Wajo dilaksanakan di
kota Sengkang sebagai ibukota kabupaten. Hal ini memicu berbagai pertanyaan
di kalangan masyarakat termasuk penulis tentang peristiwa ini. Berbagai
pandangan telah dikemukakan termasuk diantaranya adalah masalah persaingan
tiga padanreng (Bettempola, Tuwa, Talo’tenreng) dalam mengukuhkan
kekuasaan salah satu kekuatan berkuasa di antara ketiganya di kabupaten Wajo.
127 Bourdieu (2009) Op.cit Hal. 129
124Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Dari penuturan Andi Rahmat Munawar, mengatakan bahwa Paria
merupakan tempat dimana La Madukkelleng dilantik menjadi Arung Matoa,
yang merupakan salah satu tokoh pahlawan Wajo yang melawan Belanda pada
masa itu. Pada aspek ini Bupati Wajo melalui peringatan hari jadi Wajo ingin
memperlihatkan bahwa nasionalisme masyarakat Wajo juga terlihat dari upaya
La Maddukelleng dalam melawan Kolonial Belanda. Tapi disisi lain ditemukan
bahwa Paria merupakan daerah yang pernah menjadi bagian dari Bettempola,
sementara Andi Burhanuddin sendiri memiliki garis keturunan yang lebih kuat
dari Bettempola. Diantara respon masyarakat yang mengemuka, Andi Rahmat
Munawar mengataka dari sisi kultur historis, Andi Burhanuddin Unru selaku
Bupati Wajo ingin mengukuhkan identitas kulturnya melalui garis keturunan
Bettempola. Dan dari sisi inilah proses reproduksi status dan hak istimewa
(privelese) dalam kepimpinan elit-elit politik keturunan arung ditunjukkan
dalam drama hari jadi Wajo.
C. Karakteristik Dari Pola Praktik Politik Orang Bugis Wajo
Runtuhnya rezim orde baru yang sentralistis menjadi ‘akses’ kebijakan
desentralisasi dan dan otonomi daerah. Sentralisasi yang memusatkan kekuasaan
dan kewenangan di tangan presiden diganti dengan mereformasi seluruh politisi.
Rezim orba digantikan karena kegagalannya menangani krisis ekonomi dan krisis
kepercayaan rakyat yang telah memuncak. Penggantian sentralisasi menjadi
desentralisasi ini ‘diamini’ oleh momentum besar yakni reformasi 1998. Adanya
desentralisasi dilegalkan dengan UU no 22 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-
Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah ini berarti
125Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
suatu daerah dapat menentukan masa depan daerahnya karena mengatur
pemerintahan dan pendapatan daerahnya sendiri. Seorang kepala daerah dapat
membuat kebijakan apa saja yang dapat menambah PAD (Pendapatan Asli
Daerah) namun merujuk pada peraturan yang diatasnya. Kebijakan yang dibuat
ini tentunya bukan kebijakan yang harus dilegalkan pusat, namun disetujui
mahkamah konstitusi berdasarkan pertimbangan tertentu per wilayah.
Di dalam otonomi daerah yang sedang berjalan, ada beberapa aspek yang
memang istimewa di suatu daerah dan membedakannya dengan daerah lain.
Otonomi daerah menawarkan identitas suatu daerah yang memang dimunculkan
untuk pengembangan wilayah tanpa peyeragaman seperti orde baru. Lokalitas
(budaya lokal) dan tradisi lokal bermunculan sebagai akibat desentralisasi serta
otonomi yang mengembalikan kebijakan dan kewenangan pada daerah.
Salah satu karakteristik praktik politik di kabupaten Wajo adalah
Ajjoareng-joa, meski pada umunya di wilayah sekitarnya. Namun yang menjadi
ciri khas Ajjoareng di Wajo adalah kepengikutannya di antara tiga kelompok
besar keturunan Padanreng, termasuk kepengikutan wanua terhadap ketiganya.
Namun pada umumnya pemilihan calon matoa bisa berasal dari tiga kelompok
masyarakat yang juga merupakan suatu kelompok kekerabatan besar yang
berasal dari awal Kerajaan Wajo, yaitu Betteng Pola, Talo Ténreng dan Tua’.
Begitu pula dalam konteks sekarang, pengaruh garis keturunan kelompok ini
masih besar dan berimplikasi pada keluarga-keluarga yang ada didalamnya
beserta pengikutnya. Tidak ada aturan mutlak yang dapat dijadikan pedoman
dalam proses suksesi suatu diantara ketiga kelompok besar tersebut, namun
terdapat sebuah petunjuk yang menggariskan bahwa untuk jabatan tertentu,
calon yang akan dipilih biasanya mesti salah seseorang dari sekian banyak
keturunan pemegang jabatan sebelumnya, dan dia sendiri berasal dari status
126Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
tertentu saja. Jadi akan terdapat beberapa kandidat yang memiliki hak yang
kurang lebih sama untuk bertarung dalam perebutan kekuasaan tersebut. Pada
pemilihan kepala daerah misalnya yang santer di kabarkan bahwa persaingan
antara Bettempola yang diwakili oleh Andi Burhanuddin Unru dengan
Talo’Tenreng yang diwakili oleh Andi Asmidin. Meski telah terjadi perkawinan,
dan garis keturunan telah bercampur diantaranya tetapi saja ada kecenderungan
dimana salah satu kandidat lebih merapatkan garis kekerabatannya guna
mendapatkan dukungan dari semua kerturunan yang berasal dari salah satu
padanreng.
Meski bukan suatu faktor utama, indikasi yang dapat memenangkan
pertarungan adalah kandidat yang memiliki pengikut paling banyak diantara
keturunan arung dari ketiga padanreng serta didukung oleh pengikut yang
paling berpengaruh, seperti yang di ungkapkan Andi Mariattang128. Jadi secara
mendasar pengikutnya pun (joa’) dapat dibedakan dua jenis. Pertama, pengikut
dari kalangan orang biasa, yang mengabdi langsung kepadanya misalnya, yang
pernah menjadi pengikut dari kalangan biasa dan menurunkannya kepada
anaknya. Kedua, adalah pengikut dari kalangan bangsawan yang menjadi
pendukung, yang juga memiliki pengikut dan pendukung sendiri.
Bentuk dari ajjoareng’-joa’ pada dasarnya disuburkan oleh sistem
otonomi daerah yang merupakan hasil pendistribusian kewenangan pusat ke
daerah pada tingkat kabupaten atau kota yang melahirkan ‘raja-raja lokal’.
Penulis berusaha menelaah dalam mekanisme pemilihan misalnya, diawali
dengan sistem pemilihan konstituen, dimana seorang calon legislatif dapat duduk
menjadi anggota DPRD apabila suara pemilih paling banyak sesuai dengan rasio
penduduk didaerah tersebut. Para bangsawan dan kelompok menengah dalam
128 Wawancara tanggal 17 Januari 2011
127Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
masyarakat Bugis yang berasal dari daerah bekas kerajaan banyak memanfaatkan
momentum ini dalam memperkuat kembali identitas dirinya dalam perebutan
kekuasaan ditingkat lokal. Diantara kelompok-kelompok tersebut melibatkan
diri dalam arena politik dengan mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-
nya yang pada daerah tertentu masih tetap terbangun dengan baik. Dana ketika
penulis telaah melalui beberapa literatur juga memperlihatkan adanya praktik
yang berbeda dalam setiap periode kesejarahan.
Pelras129 membagi praktek patron klien di Sulawesi Selatan dalam
beberapa fase. Fase pertama adalah pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Terdapat banyak perubahan dalam rangka mengefisienkan sistem
pemerintahanan. Meskipun penunjukan pemimpin dan pejabat tinggi dilakukan
dalam prosedur tradisional tetap dipertahankan, namun campur tangan
Gubernur Jenderal Belanda sangat besar dalam pengambilan keputusan terakhir.
Kondisi ini berimplikasi pada nilai pengikut menjadi berkurang, demikian halnya
dengan peran patron sebagai pelindung menjadi tidak begitu penting lagi.
Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, kalangan bangsawan
mengalami perpecahan. Salah satu pihak mendukung kebijakan-kebijakan
Pemerintahan Sipil Hindia Belanda untuk tetap berupaya berada di Indonesia.
Hal ini disebabkan karena harapan bahwa basis-basis kekuasaan mereka dapat
tetap dipertahankan. Namun, sikap mereka menjadi boomerang karena
mengakibatkan mereka ditinggalkan banyak pengikut yang menginginkan
kemerdekaan, sehingga para bangsawan semakin kehilangan pengaruhnya. Di
sisi lain terdapat sebagian kalangan bangsawan Bugis, Makassar, dan Mandar
yang lebih menyukai perubahan sosial sehingga berpihak kepada Republik
Indonesia. Kelompok bangsawan ini dengan suka rela mengorbankan kedudukan
129 Dalam A. Yani (2005) Op.Cit. Hal 3
128Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
politik dan ekonomi demi cita-cita republik mereka. Karena, sebagai pemimpin
(patron), mereka menghabiskan sebagian besar harta benda untuk membantu
pengikut yang membutuhkan, yang mengalami penderitaan karena peran serta
mereka dalam perang kemerdekaan.
Pada masa pemerintahan modern yang dibedakan dalam dua periode.
Periode pertama adalah masa transisi, dimana banyak posisi kekuasaan baik dipi
lih maupun ditunjuk diduduki oleh keturunan raja sebelumnya. Seperti yang
terjadi di Wajo, dimana ketiga puluh bekas wanua warisan Pemerintahan
Kolonial Belanda disatukan menjadi 10 kecamatan, semua camat adalah mantan
arung dari sejumlah wanua terdahulu. Para arung yang tidak ditunjuk menjadi
camat diberi jabatan lain. Periode kedua atau pasca masa transisi penunjukan
semua pejabat baru dari atas tidak lagi berlaku, sistem klien pun kembali berlaku
tapi dengan nilai yang berubah. Sistem kroni atau hubungan patronase menjadi
suatu kelebihan dalam menduduki jabatan dibandingkan memiliki jumlah
pengikut yang banyak. Begitu pula dengan peranan kelompok militer pada masa
pemerintahan orde baru sangat signfikan dalam sistem sosial masyarakat. Hal ini
kemudian berdampak dalam sistem Ajjoareng-Joa’ di masyarakat Bugis.
Bangsawan yang memiliki latar belakang militer atau memiliki keluarga dari
kelompok militer akan semakin mengangkat wibawanya di masyarakat.
Meskipun keamanan masyarakat stabil pada masa ini, namun sistem Ajjoareng-
Joa’ tetaplah penting dalam hal penguasaan sumberdaya-sumberdaya tertentu
yang akan melanggengkan status sosial atau kekayaan.
Pada masa orde baru hubungan Ajjoareng-Joa’ memilki bentuk yang
cenderung merupakan sekedar reorganisasi daerah, kalau pada sebelumnya para
pemimpin sebuah wanua atau addatuang sering disebut arung, pada masa orde
baru pemimpinnya disematkan jabatan ‘camat’. Dari penelitian yang dilakukan di
129Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
tiga kecamatan, menunjukkan pola kekuasaan yang sama meski berbeda
penamaan jabatan karena adanya sistem administrtasti. Namun pada dasarnya
arung memiliki relasi kekusaaan terhadap joa yang ada dibawah kepemimpinan
arung tersebut tidak memilki perbedaan dengan jabatan camat pada masa
tersebut. Signifikansi pertama adalah umumnya yang ditunjuk menjadi camat
adalah tidak lain merupakan bekas arung di wanua tersebut yang berubah
menjadi daerah admnistrarif kecamatan. Kedua adalah umumnya yang menjadi
camat di suatu kecamatan adalah keturunan atau kerabat bangsawan seperti di
kecamatan Belawa, dari beberapa periode kepimpinan camat, selalu dijabat oleh
kerabat atau keturunan yang pernah menjadi arung di Belawa, salah satunya
adalah Andi Bau Budi, menantu dari Datu Passamula, penguasa arung yang
paling disegani di Belawa.
Satu kasus ditunjukkan salah mantan kepala desa di Wele, Belawa (Andi
Kile’) ketika ia terpilih menjadi kepala desa, ia adalah keturunan arung di desa
tersebut yang juga seorang pengusaha. Ia merasa terpilih sebagai kepala desa
karena merasa di dukung oleh keluarga keturunan lainnya disamping sebagai
pengusaha penggilingan gabah, ia memilki banyak pengikut dari kalangan petani
maupun pekerja di pabrik penggilingannya. Dengan dukungan dari keluarga
keturunan ia secara tidak langsung mendapat dukungan pengikutnya masing-
masing. Dari hasil observasi, penulis membuktikan bahwa setiap pengikut untuk
memberikan dukungan ke salah satu patron yang mendukung pasangan kandidat
misalnya pada saat penulis sedang bersenda gurau dengan beberapa rekan-rekan
sejawat penulis dikampung mengenai Bupati Wajo yang menjabat saat ini.
mereka bekerja sebagai penggarap sawah si patron, salah satu diantaranya
bernama Andi Baru’. Ketika penulis bertanya pada saat pemilihan siapa yang ia
pilih, salah satu diantaranya menjawab dengan ekspresi datar dan senyum
130Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
mengatakan “anggotae mi u waccerri wettu na mappitte taue….” (saya hanya
mengikut sama teman pada saat pemilihan itu) sembari ia memalingkan wajah
dan menunjuk ke arah Andi Baru’ yang saat itu baru saja mau masuk kedalam
rumah.
Fenomena praktik politik masyarakat Wajo tersebut di atas,
memunculkan seorang patron yang harus berupaya untuk memperluas jaringan
kliennya dalam rangka penguasaan sumberdaya dan jabatan kekuasaan sehingga
menjadi subur dalam konteks politik kekinian dan layak disebut seperti
memunculkan praktik yang serupa pada periode sebelumnya, dimana salah satu
arung berhak menjadi penguasa lokal. Ditengah upaya membangun demokrasi di
tingkat lokal dengan pelibatan rakyat secara penuh merupakan alasan
penyelenggaraan berbagai pemilihan kepala desa. Para keturunan bangsawan
dan kelompok menengah dalam masyarakat Bugis mulai melibatkan diri dalam
arena politik dengan mengandalkan status sosialnya dan jaringan joa’-nya yang
pada daerah tertentu masih tetap terbangun dengan baik.
Hal menarik lainnya adalah kecenderungan adanya perubahan komposisi
kepemimpinan yang mengakibatkan sistem Ajjoareng tidak lagi berdasarkan
semata-mata karena faktor “anakarung” atau keturunan bangsawan. Karena
cukup banyak diantara mesyarakat yang telah melek ‘sistem’ yang didapatkan
dan tersosiaslisasi melalui wacana-wacan politik yang ada di media. Seringkali
masyarakat Wajo sendiri menggaggap tatanan lama sering dianggap sebagai
hambatan kemajuan seperti yang diungkapkan Andi Kace’, bahwa masyarakat
sekarang di Wajo adlah masyarakat terdidik sudah banyak diantara yang telah
melalui jenjang pendidikan mulai dari menengah maupun tinggi dan hal tersebut
tidak hanya dilakukan oleh kaum keturunan bangsawan seperti pada masa lalu
tetapi juga pendidikan telah menyentuh masyarakat yang selama ini dianggap
131Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
golongan ata’ atau yang selama ini hanya mengikut pada pemimpin bangsawan.
Sehingga, seperti yang diungkapan Andi Kace, masyarakat saat ini tidak lagi-lagi
bersusun-susun mulai dari ata ke bawah tetapi merata. Apalagi kalau berbicara
masalah politik menurutnya sudah banyak kelompok yang mau memperlihatkan
dominasinya.
Seperti yang tercatat pada masa kerajaan, ada masa pada pemerintahan
Arung Matowa menyikapi dengan mengeluarkan kebijakan pembentukan
lembaga ekonomi yang menyerupai koperasi yang berfungsi memberikan
pendanaan terhadap pedagang sehingga memicu munculnya lapis to sugi pada
struktur masyarakat dan menguatnya ekonomi masyarakat sehingga menaikkan
posisi Wajo dari segi pembangunan ekonomi dibandingkan pada kerajaan
tetangganya dalam hubungan luar negerinya.
Implikasi ini, seperti yang diungkapkan informan bagaimana suatu proses
reproduksi status tradisional yang berkembang menjadi status yang bersifat
achievment, dimana dimensi prestasi melalui pendidikan dan potensi ekonomi
mendapatkan aksesnya dalam ranah-ranah politik dan kekuasaan. hal ini
ditunjukkan dengan bergesernya komposisi elit baru di terdiri atas mulai dari
kelompok keturunan bangsawan, pegawai negeri serta intelektual, dan
pengusaha. Pada dasarnya ketiga kelompok elit ini saling berpenetrasi, karena
seorang bangsawan juga bisa jadi pegawai, intelektual, atau pengusaha. Dalam
ketiga kategori tersebut, secara mendasar dapat dibagi lagi menjadi militer dan
non-militer.
Proses reproduksi status dan pola-pola ajjoareng-joa yang dipraktekkan
di Wajo sebenarnya merupakan suatu upaya dalam memperluas pasrtisipasi agar
orang lain ikut terlibat dalam relasi-relasi politik sejauh hal itu bisa memperkuat
atau mempertahankan kekuasaan mereka dan bisa mencapai tujuan-tujuan lain.
132Universitas Hasanuddin
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Sementara bagi kelompok-kelompok dan individu yang berada di Kabupaten
Wajo sebagai begaian dari NKRI terlibat dalam politik bukanlah merupakan
tujuan umum karena mereka lebih cenderung untuk berusaha memperbaiki
status sosial dan posisi kekuasaan bahkan sampai pada kesejahteraan materil.
Bila kepentingan ini terpenuhi, bisa jadi mendorong seseorang mau berperilaku,
berpartisipasi menjadi seorang pengikut demi mendapatkan perlindungan
melalu relasi dalam unsur-unsur masyarakat atau alasan instrumental lain,
sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain dan besar sekali kemungkinan
keterlibatan sesorang dalam ranah politk dan kekuasaan dengan merproduksi
status sebagai pola praktik muncul sebagai akibat sampingan dari tujuan lain
yang ia kejar.
133Universitas Hasanuddin
Kesimpulan dan Saran
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam penelitian ini, pada dasarnya mengarah pada sebuah argumentasi
mengenai fenomena politik dalam sebuah daerah yang tidak lain merupakan
pertarungan politik praktis individu dalam memunculkan dan mempertahankan
kepentingan-kepentingan tertentu. Masyarakat pada umumnya memiliki aspek
historisnya masing-masing yang pada awal proses pembentukannya secara
sengaja dikonstruksi untuk menjadi bagian dari suatu sistem budaya yang ada
yaitu berbentuk nilai-nilai, perilaku, dan pemahaman individu dalam interaksi
dalam ranah institusi politik. Meski terjadi pergeseran di tingkat institusi
tersebut dalam wujudnya, melalui penelitian ini berusaha menunjukkan adanya
struktur berpikir individu dalam sejarah masyarakatnya yang tidak berubah,
korelasi antara struktur masyarakat dan praktik individu dalam rentang berbagai
dinamika perubahan menyebabkan adanya proses reproduksi.
Dalam penelitian ini ditemukan suatu fenomena politik dimana simbol-
simbol kebangsawanan sisa dari bekas kerajaan masih efektif sebagai modal
dalam pertarungan politik. Bahkan berbagai strategi ditunjukkan para elit
penguasa lokal dalam mengukuhkan identitas mereka melalui tatanan kultural
yang masih berlaku selain legitimasi tersebut yang justru didukung oleh adanya
mainset masyarakat di kabupaten Wajo yang masih memiliki budaya
menghormati para patron mereka di masa lalu. Implikasinya kemudian, sistem
tata pemerintahan kita hari ini yang mengenal otonomi daerah turut
menyuburkan pertarungan elit-elit lokal yang tidak lain merupakan keturunan
dari penguasa sebelumnya. Dengan cara yang tak jauh berbeda pada masa
lampau, elit lokal sekarang ini melakukan berbagai pendekatan-pendekatan
kepada masyarakat guna mengokohkan kekuasaan ‘raja-raja lokal’ ini.
134Universitas Hasanuddin
Kesimpulan dan Saran
Kecenderungan ini sudah cukup terlihat pada bagaimana tatanan budaya yang
masih mengenal konsepsi patron-klien yang berorientasi politis. Dan pada
momentum tertentu, seperti Pilkada misalnya, karakteristik praktik seperti ini
selalu saja muncul, meski dari berbagai kalangan hal ini dinilai mengurangi nilai-
nilai kebebesan individu dalam berdemokrasi, tetapi pada posisi penghargaan
terhadap suatu golongan etnis, penelitian ini tidak menafikan pengaruh budaya
lokal dalam sistem perpolitikan di Indonesia.
Satu hal yang perlu dicatat dalam penelitian ini adalah bagaimana
pemangku kepentingan melalui penelitian ini, sekiranya dapat menyadari realitas
masyarakat yang masih memiliki akar budaya agar dalam menerapkan berbagai
kebijakan politis selalu memperhatikan berbagai aspek dalam implementasinya.
Kecenderungan benturan budaya dengan sistem politik yang ada hari ini, bisa
saja berpotensi konflik. Sehingga seyogyanya dalam perumusan kebijakan
nantinya tidak melulu melandaskan pada peraturan-peraturan yang sifatnya
formal, tetapi juga nilai-nilai, tradisi, maupun adat isitiadat perlu diterjemahkan
secara baik sehingga mampu bersinergi dengan arah kebijakan nasional.
Dari sisi akademis, catatan sejarah di bumi kita sendiri telah banyak
menggambarkan tentang bagaimana konstruksi budaya yang terbangun pada
masa lampau dan masih perlu dipelajari lebih dalam. Terlebih lagi pada bidang
politik misalnya, sejauh mana kalangan akademis belajar tentang demokrasi,
kalau ternyata kampung halaman kita menyimpan harta karun yang tak ternilai
harganya, yakni budaya kita di masa lampau yang dicatat sebagai negara yang
cukup demokratis dalam suatu sistem republik meski selalu dikatakan
menyerupai oleh para ahli yang pernah meneliti sebelumnya.
Daftar Pustaka
135Universitas Hasanuddin
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal. 1985. Wajo Abad XV – XVI. Penerbit Alumni: Bandung
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan KaryaSastra. Kepel Press: Jogjakarta
Ahmad Yani, A. 2006. Perilaku Politik Orang Bugis Dalam Dinamika PolitikLokal. Makalah. Disampaikan dalam acara peluncuran buku ChristianPelras “Manusia Bugis”: Makassar
Ahmadi, Ruslam. 2005. Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif.Universitas Negeri Malang. Malang.
Almond, Gabriel & Sidney Verba. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politikdan Demokrasi di 5 Negara. terjemahan Drs. Sahat Simamora. BinaAksara: Jakarta.
Arifin, Indar (2010)“Birokrasi Pemerintahan dan Perubahan Sosial Politik diKabupaten Wajo”. Pustaka Refleksi: Makassar
Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik, cet. ke-1, C.V. Rajawali: Jakarta.
Budihardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan ke-8,: Gramedia:Jakarta
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Kencana Prenada Media Group:Jakarta.
Burke, Peter. 2007. Sejarah dan Teori-teori Sosial. Pustaka Belajar: Jakarta
Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik, Suatu Orientasi. cet. ke-1, Erlangga:Jakarta.
Eriksen, Thomas Hylandd. 2009. Antropologi Sosial dan Budaya: SebuahPengantar (terj: Yosef Maria Florisan). cetakan ke-1. Ledalero: Yogyakarta.
Hafid, Abdul. 2008. Warung Kopi : Arena Segmen Masyarakat Kota dalamMembangun Wacana Tentang Pilkada di Makassar (dalam TinjauanAntropologi Politik). Skripsi. Universitas Hasanuddin: Makassar.
Harker, Richard. Etc (ed.). 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik:Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.Jalasutra: Yogyakarta.
Daftar Pustaka
136Universitas Hasanuddin
Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi . Aksara Baru: Jakarta.
___________ . 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit UniversitasIndonesia Press: Jakarta.
___________ . 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit UniversitasIndonesia Press: Jakarta.
Lontaraq Akkarungeng ri Wajo. 2007. Transliterasi dan terjemahan. BadanArsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan: Makassar.
Mattulada. 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi PolitikOrang Bugis. Hasanuddin University Press: Ujung Pandang.
McGlynn, Frank & Arthur Tuden (editor). 2000. Pendekatan Antropologi padaPerilaku Politik. UI Press: Jakarta
Meiyani, Eliza. 2008. Bati Na Wija Dalam Sistem Kekerabatan Orang Bugis-Bone (Suatu Analisis Antropologi Sosial). Disertasi. UniversitasHasanuddin: Makassar
Moleong, Lexy. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. RemajaRusda Karya: Bandung.
Munawar, Andi Rahmat. 2008. Studi Mekanisme Sistem Pemerintahan di WajoSejak Terbentuknya Hingga Integrasi Dalam NKRI. Skripsi. STIAPuangrimaggalatung: Sengkang
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis (terj). Nalar bekerjasama dengan ForumJakarta- Paris, EFEO: Jakarta.
Ramli, Muhammad. 2008. Local Wisdom Dalam Implementasi KebijakanPublik. Yayasan Yapma Makassar: Makassar.
Rudiansyah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah KajianTentang Lanskap Budaya. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Rudy, T. May, 2007. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran danKegunannya, edisi revisi. Refika Aditama: Jakarta.
Sadapotto, Andi. 2010. Hubungan Good Govenance Dengan Nilai-nilai BudayaDalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Wajo. Skripsi.Universitas Hasanuddin: Makassar
Daftar Pustaka
137Universitas Hasanuddin
Saepuddin, Didin. 2009. Budaya Politik (artikel). dalam http. www.Didinsaepuddin.blogspot.com.
Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atasNegara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Yayasan Obor: Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Beberapa Teori Sosiologi Tentang StrukturMasyarakat. CV. Rajawali: Jakarta.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Edisi kedua. Cetakan I: Januari.Tiara Wacana: Yogyakarta.
Suseno, Frans Magnis. 1995. Filsafat Kebudayaan Politik Butir-Butir PemikiranKritis. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Tahara, Tasrifin. 2010. Reproduksi Stereotipe dan Resistensi Orang KatobangkeDalam Struktur Masyarakat Buton (Disertasi) Departemen AntropologiProgram Pascasarjana Universitas Indonesia: Depok.
Therik, Wilson M.A. 2008. Modern Versus Patrimonial (artikel) dalamhttp://wilson-therik.blogspot.com.
Tol, Roger. Kees van Dijk. Greg Acciaioli. 2009. Kuasa dan Usaha di MasyarakatSulawesi Selatan. Inninawa: Makassar.
Wijaya, Albert. 1982. Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. LP3ES:Jakarta.
top related