referat tht
Post on 27-Dec-2015
20 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Kolesteatoma pertama kali dijelaskan pada
tahun 1829 oleh Cruveilhier, Johanes Muller pada tahun 1838 karena disangka tumor yang
ternyata bukan. Seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous epithelium) pada tubuh
berada pada lokasi yang terbuka/ terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga
merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di liang telinga
dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen tersebut
seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.1
Kolesteatoma diawali dengan penumpukan deskuamasi epidermis di liang telinga,
sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa penuh serta kurang dengar. Bila tidak
ditanggulangi dengan baik akan terjadi erosi kulit dan bagian tulang liang telinga.
Kolesteatoma mengerosi tulang yang terkena baik akibat efek penekanan oleh penumpukan
debris keratin maupun akibat aktifitas mediasi enzim osteoklas. Etiologinya belum diketahui,
namun kejadian kolesteatoma sangat jarang terjadi.1
Kolesteatoma telah diakui selama puluhan tahun sebagai lesi destruktif dasar tengkorak
yang bisa mengikis dan menghancurkan struktur penting dalam tulang temporal.
Kolesteatoma berpotensi untuk menyebabkan komplikasi pada sistem saraf pusat (misalnya,
abses otak, meningitis) membuat lesi ini bersifat fatal.1
Seiring waktu, semakin banyak ahli bedah berusaha untuk membiarkan dasar-dasar
struktur anatomi telinga dan tulang temporal tetap utuh dengan menjaga keutuhan dinding
kanal. Paham yang berupaya untuk menjaga anatomi di dekat telinga tetap normal
mengundang kontroversi besar. Para ahli bedah cenderung untuk memilih antara teknik lama
canal wall-down atau filosofi baru yaitu, canal wall-up.2
Selama dua dekade terakhir, sebagian besar ahli bedah otologi mengambil jalan tengah.
Kebanyakan ahli bedah otologi di Amerika Serikat sekarang melakukan kedua teknik
tersebut, memilih satu atau yang lain dari operasi ini tergantung pada keadaan individual
masing-masing pasien.2
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar. Istilah
kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johannes Muller pada tahun 1838 karena disangka
kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang kemudian ternyata bukan. Beberapa istilah lain
yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain : keratoma (Schucknecht), squamos epiteliosis
(Birrel, 1958), kolesteatosis (Birrel, 1958), epidermoid kolesteatoma (Friedman, 1959), kista
epidermoid (Ferlito, 1970), epidermosis (Sumarkin, 1988).3
Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di dalam basis cranii.
Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang temporal, telinga tengah, atau tulang
mastoid hanya dapat memperluas diri dengan mengorbankan tulang yang mengelilinginya.
Akibatnya, komplikasi yang terkait dengan semakin membesarnya kolesteatoma adalah
termasuk cedera dari struktur-struktur yang terdapat di dalam tulang temporal. Kadang-
kadang, kolesteatoma juga dapat keluar dari batas-batas tulang temporal dan basis cranii.
Komplikasi ekstratemporal dapat terjadi di leher, sistem saraf pusat, atau keduanya.
Kolesteatoma kadang-kadang menjadi cukup besar untuk mendistorsi otak normal dan
menghasilkan disfungsi otak akibat desakan massa.1
Erosi tulang terjadi oleh dua mekanisme utama. Pertama, efek tekanan yang
menyebabkan remodelling tulang, seperti yang biasa terjadi di seluruh kerangka apabila
mendapat tekanan (desakan) secara konsisten dari waktu ke waktu. Kedua, aktivitas enzim
pada kolesteatoma dapat meningkatkan proses osteoklastik pada tulang, yang nantinya akan
meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Kerja enzim osteolitik ini tampaknya meningkat
apabila kolesteatoma terinfeksi.
2.2 Epidemiologi
Insiden kolesteatoma tidak diketahui, tetapi kolesteatoma merupakan indikasi yang
relatif sering pada pembedahan otologi (kira-kira setiap minggu di praktek otologi tersier).
Kematian akibat komplikasi intrakranial dari kolesteatoma sekarang jarang terjadi, yang
berkaitan dengan diagnosis dini, intervensi bedah tepat waktu, dan terapi antibiotik yang
2
adekuat. Akan tetapi kolesteatoma tetap menjadi penyebab umum relatif tuli konduktif
sedang pada anak-anak dan orang dewasa.1
Kolesteatoma yang terjadi pada anak-anak ditemukan akan lebih sering berdampak
pada tuba eustachius, anterior mesotympanum, sel retrolabirin dan prosesus mastoid jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Berdasarkan bukti klinis dan pemeriksaan histologi
diketahui bahwa kolesteatoma yang terjadi pada anak pada umumnya bersifat lebih agresif.1
2.3 Klasifikasi dan Patogenesis
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara lain
adalah : teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi dan teori implantasi. Teori tersebut
akan lebih mudah dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma menurut Gray (1964)
yang mengatakan : kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah.
Epitel kulit liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat
serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada
medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.3
Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis menurut etiologinya :
1. Kolesteatoma kongenital1,3
Kolesteatoma kongenital terbentuk sebagai akibat dari epitel skuamosa
terperangkap di dalam tulang temporal selama embriogenesis, ditemukan pada telinga
dengan membran tympani utuh tanpa ada tanda-tanda infeksi. Lokasi kolesteatoma
biasanya di mesotimpanum anterior, daerah petrosus mastoid atau di cerebellopontin
angle. Kolesteatoma di cerebellopontin angle sering ditemukan secara tidak sengaja
oleh ahli bedah saraf.
Penderita sering tidak memiliki
riwayat otitis media supuratif
kronis yang berulang, riwayat
pembedahan otologi sebelumnya,
atau perforasi membran timpani.
Kolesteatoma kongenital paling
sering diidentifikasi pada anak
usia dini (6 bulan – 5 tahun). Saat
berkembang, kolesteatoma dapat
3
Gambar 1. Kolesteatoma kongenital. Tampak massa putih di belakang membran tympani yang intak
menghalangi tuba eustachius dan menyebabkan cairan telinga tengah kronis dan
gangguan pendengaran konduktif. Kolesteatoma juga dapat meluas ke posterior
hingga meliputi tulang-tulang pendengaran dan, dengan mekanisme ini, menyebabkan
tuli konduktif.
2. Kolesteatoma akuisital, jenis ini terbagi dua :
a. Kolesteatoma akuisital primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi
membrana tymphani. Kolesteatoma timbul akibat proses invaginasi dari
membran tymphani pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga
tengah akibat gangguan tuba (Teori Invaginasi).
Kolesteatoma akuisital primer timbul sebagai akibat dari retraksi
membran timpani. Kolesteatoma akuisital primer klasik berawal dari retraksi
pars flaksida di bagian medial membran timpani yang terlalu dalam sehingga
mencapai epitimpanum. Saat proses ini berlanjut, dinding lateral dari
epitympanum (disebut juga skutum)
secara perlahan terkikis,
menghasilkan defek pada dinding
lateral epitympanum yang perlahan
meluas. Membran timpani terus yang
mengalami retraksi di bagian medial
sampai melewati pangkal dari tulang-
tulang pendengaran hingga ke
epitympanum posterior. Destruksi
tulang-tulang pendengaran umum
terjadi. Jika kolesteatoma meluas ke posterior sampai ke aditus ad antrum dan
tulang mastoid itu sendiri, erosi tegmen mastoid dengan eksposur dura
dan/atau erosi kanalis semisirkularis lateralis dapat terjadi dan mengakibatkan
ketulian dan vertigo.
Kolesteatoma akuisital primer tipe kedua terjadi apabila kuadran
posterior dari membran timpani mengalami retraksi ke bagian posterior telinga
tengah. Apabila retraksi meluas ke medial dan posterior, epitel skuamosa akan
menyelubungi bangunan-atas stapes dan membran tympani tertarik hingga ke
dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer yang berasal dari membran
4
Gambar 2. Kolesteatoma pada daerah atik. Merupakan kolesteatoma akuisital primer pada stadium paling awal
timpani posterior cenderung mengakibatkan eksposur saraf wajah (dan
kadang-kadang kelumpuhan) dan kehancuran struktur stapes.
b. Kolesteatoma akuisital sekunder3,4
Merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi
membran tympani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat masuknya epitel
kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran tympani ke telinga
tengah (Teori Migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum tymphani
karena iritasi infeksi yang berlangsung lama (Teori Metaplasi).
Kolesteatoma akuisital sekunder terjadi sebagai akibat langsung dari
beberapa jenis cedera pada membran timpani. Cedera ini dapat berupa
perforasi yang timbul sebagai akibat dari otitis media akut atau trauma, atau
mungkin karena manipulasi bedah pada gendang telinga. Suatu prosedur yang
sederhana seperti insersi tympanostomy tube dapat mengimplan epitel
skuamosa ke telinga tengah, yang akhirnya menghasilkan kolesteatoma.
Perforasi marginal di bagian posterior adalah yang paling mungkin
menyebabkan pembentukan kolesteatoma. Retraksi yang mendalam dapat
menghasilkan pembentukan kolesteatoma jika retraksi menjadi cukup dalam
sehingga menjebak epitel deskuamasi.
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat pertumbuhan kuman
(infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi
dapat memicu respons imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi
dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks kolesteatoma adalah
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor-α (TNF-α), tumor growth
factor (TGF). Zat-zat ini dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma bersifat
hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.
Tabel 1. Distribusi kuman dari kavum tympani pada Otitis Media Supuratif Kronis dengan Kolesteatoma5
Jenis Kuman Jumlah temuanPseudomonas aeruginosa 9 31,5%
Proteus mirabilis 17 58,5%Difteroid 1 3,3%
Streptococcus β-hemolyticus 1 3,3%Enterobacter sp. 1 3,3%
5
Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di sekitarnya serta
menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses nekrosis terhadap tulang
diperhebat oleh karena pembentukan reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis
tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis, meningitis, dan abses
otak.
2.4 Manifestasi Klinis1,3,4,6
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, yang terus-menerus
atau sering berulang. Ketika kolesteatoma terinfeksi, kemungkinan besar infeksi tersebut sulit
dihilangkan. Karena kolesteatoma tidak memiliki suplai darah (vaskularisasi), maka
antibiotik sistemik tidak dapat sampai ke pusat infeksi pada kolesteatoma. Antibiotik topikal
biasanya dapat diletakkan mengelilingi kolesteatoma sehingga menekan infeksi dan
menembus beberapa milimeter menuju pusatnya, akan tetapi, pada kolestatoma terinfeksi
yang besar biasanya resisten terhadap semua jenis terapi antimikroba. Akibatnya, otorrhea
akan tetap timbul ataupun berulang meskipun dengan pengobatan antibiotik yang agresif.
Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada kolesteatoma.
Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang telinga tengah dengan epitel deskuamasi
dengan atau tanpa sekret mukopurulen sehingga menyebabkan kerusakan osikular yang
akhirnya menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang berat.
Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi tidak akan terjadi apabila
tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau jika kolesteatoma mendesak langsung pada
stapes footplate. Pusing adalah gejala yang mengkhawatirkan karena merupakan pertanda
dari perkembangan komplikasi yang lebih serius.
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari kolesteatoma adalah drainase dan
jaringan granulasi di liang telinga dan telinga tengah tidak responsif terhadap terapi
antimikroba. Suatu perforasi membran timpani ditemukan pada lebih dari 90% kasus.
Kolesteatoma kongenital merupakan pengecualian, karena seringkali gendang telinga tetap
utuh sampai komponen telinga tengah cukup besar. Kolesteatoma yang berasal dari
implantasi epitel skuamosa kadangkala bermanifestasi sebelum adanya gangguan pada
membran tympani. Akan tetapi, pada kasus-kasus seperti ini, (kolesteatoma kongenital,
kolesteatoma implantasi) pada akhirnya kolesteatoma tetap saja akan menyebabkan perforasi
pada membran tympani.
6
Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah sebuah kanalis akustikus
eksternus yang penuh terisi pus mukopurulen dan jaringan granulasi. Kadangkala
menghilangkan infeksi dan perbaikan jaringan granulasi baik dengan antibiotik sistemik
maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit dilakukan. Apabila terapi ototopikal berhasil,
maka akan tampak retraksi pada membran tympani pada pars flaksida atau kuadaran
posterior.
Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi berdasarkan salah satu
komlikasinya, hal ini kadangkala ditemukan pada anak-anak. Infeksi yang terkait dengan
kolesteatoma dapat menembus korteks mastoid inferior dan bermanifestasi sebagai abses di
leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi pertama kali dengan tanda-tanda dan gejala
komplikasi pada susunan saraf pusat, yaitu : trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau
meningitis.
2.5 Diagnosis
CT scan merupakan modalitas pencitraan pilihan karena CT scan dapat mendeteksi
cacat tulang yang halus sekalipun. Namun, CT scan tidak selalu bisa membedakan antara
jaringan granulasi dan kolesteatoma. Densitas kolesteatoma dengan cairan serebrospinal
hampir sama, yaitu kurang-lebih -2 sampai +10 Hounsfield Unit, sehingga efek dari desakan
massa itu sendirilah yang lebih penting dalam mendiagnosis kolesteatoma.7 Gaurano (2004)
telah menunjukkan bahwa perluasan antrum mastoid dapat dilihat pada 92% dari
kolesteatoma telinga tengah dan 92% pulalah hasil CT scan yang membuktikan erosi halus
tulang-tulang pendengaran. Defek yang dapat dideteksi dengan menggunakan CT scan adalah
sebagai berikut4:
a. erosi skutum
b. fistula labirin
c. cacat di tegmen
d. keterlibatan tulang-tulang pendengaran
e. erosi tulang-tulang pendengaran atau diskontinuitas
f. anomali atau invasi dari saluran tuba
7
Gambar 3. CT scan yang menggambarkan erosi tulang dan kolesteatoma
MRI digunakan apabila ada masalah sangat spesifik yang diperkiraka dapat
melibatkan jaringan lunak sekitarnya. Masalah-masalah ini termasuk yang berikut8:
a. keterlibatan atau invasi dural
b. abses epidural atau subdural
c. herniasi otak ke rongga mastoid
d. peradangan pada labirin membran atau saraf fasialis
e. trombosis sinus sigmoid
2.6 Penatalaksanaan
Terapi Medis
Terapi medis bukanlah pengobatan yang sesuai untuk kolesteatoma. Pasien yang
menolak pembedahan atau karena kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk anestesi
umum harus membersihkan telinga mereka secara teratur. Pembersihan secara teratur dapat
membantu mengontrol infeksi dan dapat memperlambat pertumbuhan kolesteatoma, tapi
tidak dapat menghentikan ekspansi lebih lanjut dan tidak menghilangkan risiko komplikasi.
Terapi antimikroba yang utama adalah terapi topikal, akan tetapi terapi sistemik juga dapat
membantu sebagai terapi tambahan.4,7
Antibiotik oral bersama pembersihan telinga atau bersama dengan tetes telinga lebih
baik hasilnya daripada masing-masing diberikan tersendiri. Diperlukan antibiotik pada setiap
fase aktif dan dapat disesuaikan dengan kuman penyebab. Antibiotik sistemik pertama dapat
langsung dipilih yang sesuai dengan keadaan klinis, penampilan sekret yang keluar serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Sekret hijau kebiruan menandakan Pseudomonas, sekret
8
kuning pekat seringkali disebabkan oleh Staphylococcus, sekret berbau busuk seringkali
disebabkan oleh golongan anaerob.5
Kotrimokasazol, Siprofloksasin atau ampisilin-sulbaktam dapat dipakai apabila curiga
Pseudomonas sebagai kuman penyebab. Bila ada kecurigaan terhadap kuman anaerob, dapat
dipakai metronidazol, klindamisin, atau kloramfenikol. Bila sukar mentukan kuman
penyebab, dapat dipakai campuran trimetoprim-sulfametoksazol atau amoksisillin-klavulanat.
Antibitotik topikal yang aman dipakai adalah golongan quinolon. Karena efek samping
terhadap pertumbuhan tulang usia anak belum dapat disingkirkan, penggunaan ofloksasin
harus sangat hati-hati pada anak kurang dari 12 tahun.5
Pembersihan liang telinga dapat menggunakan larutan antiseptik seperti Asam Asetat 1-
2%, hidrogen peroksisa 3%, povidon-iodine 5%, atau larutan garam fisiologis. Larutan harus
dihangatkan dulu sesuai dengan suhu tubuh agar tidak mengiritasi labirin setelah itu
dikeringkan dengan lidi kapas.5
Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan bertujuan untuk
mengeluarkan kolesteatoma. Dalam keadaan
tertentu, ahli bedah dapat membuat
keputusan untuk menggunakan teknik canal
wall up atau canal wall down. Jika pasien
memiliki beberapa episode kekambuhan dari
kolesteatoma dan keinginan untuk
menghindari operasi masa depan, teknik
canal wall down adalah yang paling sesuai.
Beberapa pasien tidak dapat menerima tindakan canal-wall down.Pasien tersebut dapat
diobati dengan tertutup (canal wall-up), asalkan mereka memahami bahwa penyakit lebih
mungkin kambuh dan mereka mungkin membutuhkan beberapa serial prosedur pembedahan.8
Meskipun semua kelebihan dan kekurangan kedua teknik operasi itu menjadi relatif di
tangan ahli bedah yang berpengalaman, tiap ahli bedah telinga mempunyai alasan sendiri
mengapa memilih satu teknik dari teknik yang lain. Hal yang jelas berbeda adalah bahwa
timpanoplasti dinding utuh (canal wall-up) berusaha maksimal mempertahankan bentuk
fisiologis liang telinga dan telinga tengah.5
9
Gambar 4. Teknik Pembedahan
Mastoidektomi radikal dengan timpanoplasti dinding runtuh9
Mastoidektomi radikal klasik adalah tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di
rongga mastoid, meruntuhkan seluruh dinding kanalis akustikus eksternus posterior,
pembersihan total sel-sel mastoid yang memiliki drainase ke kavum timpani. Inkus dan
malleus dibuang, hanya stapes yang dipertahankan. Begitu pula seluruh mukosa kavum
tympani.
Timpanoplasti dinding runtuh merupakan modifikasi dari mastoidektomi radikal,
bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa tulang-tulang pendengaran dipertahankan
setelah proses patologis dibersihkan. Tuba eustachius tetap dipertahankan dan dibersihkan
agar terbuka. Kemudian kavitas operasi ditutup dengan fasia m.temporalis baik berupa free
fascia graft maupun berupa jabir fasia m.temporalis, dilakukan juga rekonstruksi tulang-
tulang pendengaran.
Tabel 2. Keunggulan dan kelemahan timpanoplasti dinding utuh dan dinding runtuh5
Teknik Operasi Timpanoplasti Dinding Utuh Dinding RuntuhFisiologik Lebih fisiologik Kurang fisiologikResidivitas Lebih tinggi Lebih rendahKesulitan Lebih tinggi Lebih rendahKomplikasi (iatrogenik) Lebih tinggi Lebih rendahPerbaikan pendengaran Lebih tinggi Lebih rendahKeperluan operasi kedua Ya TidakPembersihan spontan rongga ooperasi (self cleansing)
Lebih baik Memerlukan lebih sering kontrol
Hearing aid Lebih mudah Sukar
Indikasi Pembedahan1
Hampir semua kolesteatoma harus dibersihkan. Kadangkala dilakukan pengecualian
apabial keadaan umum pasien sangat buruk sehingga membuat prosedur pembedahan terlalu
berisiko. Beberapa pasien yang memiliki kolesteatoma di satu-satunya telinga yang dapat
mendengar, dengan alasan yang rasional, enggan untuk menjalani operasi. Risiko kehilangan
pendengaran akibat dari operasi pengangkatan umumnya lebih kecil daripada risiko yang
berhubungan dengan membiarkan kolesteatoma in situ.
Kontraindikasi Pembedahan1
10
Gangguan pendengaran di telinga kontralateral adalah kontraindikasi relatif untuk
pembedahan. Seringkali, kolesteatoma menyebabkan risiko lebih besar untuk sisa
pendengaran daripada pembedahan itu sendiri, dan, lebih sering daripada tidak, operasi
pengangkatan adalah pilihan yang baik bahkan ketika kolesteatoma berada di satu-satunya
telinga yang dapat mendengar.
2.7 Komplikasi5,10
Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti dibagi berdasarkan
komplikasi segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera termasuk parese nervus fasialis,
kerusakan korda timpani, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada sinus
sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi pasca-operasi juga dapat dimasukkan
sebagai komplikasi segera.
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi tandur,
stenosis liangg telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang pendengaran yang
dipasang. Pada kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada waktu operasi.
Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada pars vertikalis waktu
melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi pada pars horizontal waktu manipulasi daerah di
dekat stapes atau mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari arah
kavum timpani. Trauma dapat lebih mudah terjadi bila topografi daerah sekitarnya sudah
tidak dikenali dengan baik, misalnya pada kelainan letak kongenital, jaringan parut karena
operasi sebelumnya, destruksi kanalis fasialis karean kolesteatoma.
Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah menurut klasifikasi House-
Bregmann. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan EMG untuk melihat derajat kerusakan pada
saraf dan menentukan prognosis penyembuhan spontan.
Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan segera, sebab vertigo pasca-
operasi dapat terjadi hanya karena iritasi selama operasi, belum tentu karena cedera operasi.
Trauma terhadap labirin bisa menyebabkan tuli saraf total. Manipulasi di daerah aditus ad
antrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang ditutupi oleh jaringa kolesteatoma dan
matriks koleteatoma dapat menyebabkan fistel labirin.
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperburuk sistem konduksi
telinga tengah sedapat mungkin langsung rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan
duramater sehingga terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak, bila tidak luas dapat
11
ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit sampai kebocoran berhenti.
Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus jugularis, dan vena emissari dapat
menyebabkan perdarahan besar.
2.8 Prognosis1,4,7
Mengeliminasi kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun mungkin memerlukan
beberapa kali pembedahan. Karena pada umumnya pembedahan berhasil, komplikasi dari
pertumbuhan tidak terkendali dari kolesteatoma sekarang ini jarang terjadi.
Timpanoplasti dinding runtuh menjanjikan tingkat kekambuhan yang sangat rendah
dari kolesteatoma. Pembedahan ulang pada kolesteatoma terjadi pada 5% kasus, yang cukup
menguntungkan bila dibandingkan tingkat kekambuhan timpanoplasti dinding utuh yang 20-
40%.
Meskipun demikian, karena rantai osikular dan/atau membran tympani tidak selalu
dapat sepenuhnya direstorasi kembali normal, maka kolesteatoma tetaplah menjadi penyebab
umum relatif tuli konduktif permanen.
BAB III
PENUTUP
12
Dari semua penjabaran mengenai kolesteatom pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa meskipun banyak teori yang berusaha menjelaskan mengenai terbentuknya
kolesteatoma, patogenesis dari terbentuknya kolesteatoma sebenarnya masih belum
pasti hingga saat ini.
Sangat penting untuk memiliki pengetahuan dasar yang memadai mengenai
karkteristik anatomi dan fungsional dari telinga tengah untuk mencapai
penatalaksanaan yang memuaskan untuk kolesteatoma
Kunci dari didapatkannya diagnosis dini dan penatalaksanaan segera yang tepat untuk
kolestatoma adalah evaluai yang hati-hati dan menyeluruh mengenai presentasi klinis
hingga ke pencitraannya.
Penatalaksanaan yang paling sesuai adalah pembedahan dengan tujuan untuk
mengeradikasi penyakit dan untuk mencapai kondisi telinga yang kering dan aman
dari infeksi berulang.
Pendekatan secara bedah harus disesuaikan pada masing-masing pasien sesuai dengan
keadaan umum dan luasnya penyebaran kolesteatoma itu sendiri.
Ahli bedah harus sangat waspada terhadap komplikasi pasca-pembedahan yang
mengancam nyawa ataupun menyebabkan kondisi serius terhadap pasien seperti
cedera nervus fasialis.
DAFTAR PUSTAKA
13
1. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. June 29, 2011 (cited April 25,
2014). Available at http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview.
2. Moore K, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Edisi Pertama. Jakarta : Penerbit
Hipokrates; 2008
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2008
4. Waizel S. Temporal Bone, Aquired Cholesteatoma. Emedicine. May 1, 2012 (cited
April 27, 2014). Available at http://emedicine.medscape.com/article/384879-overview
5. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2005
6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004
7. DeSouza CE, Menezes CO, DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM, Desai AP. Profile
of congenital cholesteatomas of the petrous apex. J Postgrad Med [serial online] 2009
[cited 2014 April 25];35:93. Available from: http://www.jpgmonline.com/text.asp?
1989/35/2/93/5702
8. Makishima T, Hauptman G. Cholesteatoma. University of Texas Medical Branch
Department of Otolaryngology. January 25, 2011 (cited April 25, 2014). Available at
www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-060125.pdf
9. Moller, A.R. Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorders of the Auditory System.
California: Elsevier; 2006
10. Cholesterol Granuloma. March 16, 2010 (cited April 27, 2014). Available at
http://www.upmc.com/Services/minc/conditionstreatments/Pages/cholesterol-
granuloma.aspx
14
top related