referat gabungan
Post on 02-Jan-2016
22 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian hanya dapat dialami oleh organisme hidup. Secara medis, kematian merupakan
suatu proses dimana fungsi dan metabolisme sel organ-organ internal tubuh terhenti. Setiap
sel tubuh memiliki perbedaan waktu untuk mengalami kematian sel yang disebabkan oleh
perbedaan metabolisme seluler didalamnya. Pada tubuh akan terjadi kematian sel demi sel
dan kematian secara keseluruhan akan terjadi dalam beberapa jam.1
Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti penting,
khususnya bila dikaitkan dengan proses penyidikan. Dengan demikian penyidik dapat lebih
terarah dan selektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tindak pidana. Banyak
cara yang dapat digunakan dalam memperkirakan saat kematian salah satunya adalah
penggunaan cairan sinovial. Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar karya-karya telah
terkonsentrasi pada perubahan biokimia yang terjadi dalam cairan tubuh yang berbeda, tetapi
penelitian terbaru dari cairan sinovial telah menarik perhatian ahli biokimia forensik dan
patologis.1,2
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu rasanya pembahasan mengenai perkiraan saat
kematian berdasarkan cairan sinovial.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang perkiraan saat kematian berdasarkan cairan sinovial, mulai
dari anatomi, komponen cairan sinovial, perubahan postmortem, perubahan cairan sinovial
setelah mati, dan perkiraan saat kematian berdasarkan cairan sinovial.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan referat ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang
perkiraan saat kematian berdasarkan perubahan cairan sinovial setelah mati.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang :
a. Anatomi sendi dan komposisi cairan sinovial
b. Perubahan postmortem khususnya perubahan cairan sinovial setelah mati
1
c. Perkiraan saat kematian berdasarkan cairan sinovial
1.4 Manfaat penulisan
Melalui penulisan referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi
dan pengetahuan tentang perkiraan saat kematian berdasarkan cairan sinovial.
1.5 Metode penulisan
Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai
literatur.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sendi
Sendi adalah tempat persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-tulang tersebut
dapat bergerak ataupun tidak antara satu dengan dengan yang lainnya. Apabila kita lihat dari
jenis pergerakannya maka sendi dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : 3
1. Sinartrosis
Sendi yang tidak memungkinkan tulang-tulang yang berhubungan dapat bergerak satu
sama lain. Sendi ini dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
• Sindemosis : Diantara persambungan tulang dipisahkan loeh jaringan ikat
misalnya pada tulang tengkorak, antara gigi dan rahang,
antara radius dan ulna.
• Sinkonrosis : Diantara persambungan tulang dipisahkan oleh jaringan
tulang rawan misalnya pada os pubic pada orang dewasa
• Sinostosis : Diantara persambungan tulang dipisahkan oleh jaringan
tulang misalnya persambungan pada os ilium, os ischium,dan
os pubic.2
2. Diartrosis
Persambungan antara dua tulang atau lebih yang memungkinkan tulang-tulang
bergerak satu sama lain. Diantara tulang-tulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang
disebut kavum artikular. Diartrosis ini juga disebut sebagai sendi sinovial yang tersusun atas
kapsul retikuler, bursa dan ligamen.3
3. Amfiartrosis
Sendi yang memungkinkan tulang- tulang yang saling berhubungan dapat bergerak
secara terbatas. Misalnya sendi sacroiliac dan sendi- sendi antara corpus vertebra. Sendi
sinovial umumnya dijumpai pada ekstremitas. Pada sendi ini ditemukan adanya celah sendi,
rawan sendi, membran sinovium serta kapsul sendi.3
3
Gambar 1. Sendi synovial
Sinovium ( Membran Sinovial )
Sinovium merupakan bagian penting dari sendi diartrosis dan secara fisiologis
berfungsi dalam transpor nutrien ke dalam rongga sendi serta mengeluarkan sisa
metabolismenya, membantu stabilitas sendi dan bersifat sebagai low-friction lining. Sinovium
merupakan jaringan avaskular yang melapisi permukaan dalam kapsul sendi, tetapi tidak
melapisi permukaan rawan sendi. Membran ini licin dan lunak, berlipat-lipat sehingga dapat
menyesuaikan diri pada setiap gerakan sendi atau perubahan tekanan intraartikular.3
Sinovium tersusun atas 1-3 lapis sel-sel sinoviosit yang menutupi jaringan subsinovial
dibawahnya. Sel ini merupakan salah satu sel yang memiliki peran utama pada sinovium
disamping sel-sel lain seperti fibroblast, makrofag, sel mast, sel vaskular dan sel limfatik.2,3
Walaupun banyak pembuluh darah dan limfe di dalam jaringan sinovial, tetapi tidak satupun
yang mencapai lapisan sinoviosit. Jaringan pembuluh darah ini berperan dalam transfer
konstituen darah kedalam rongga sendi dan pembentukan cairan sendi.
Sinoviosit dibagi dua tipe berdasarkan morfologi dan petanda molekular
permukaannya, yaitu sinoviosit tipe A (synovial macrophage) yang memiliki sifat seperti
makrofag dan sinoviosit B (synovial fibroblast) yang memiliki karakteristik fibroblast.
Sebagian besar (70-80%) sinoviosit merupakan tipe B dan 20- 30% merupakan sinoviosit tipe
A. Sinoviosit A memiliki nukleus yang kaya akan chromatin, memiliki banyak vakuola
sitoplasmik, cukup banyak aparatus golgi dan sedikit retikulum endoplasmik. Sedangkan
sinoviosit B menyerupai bentuk fibroblast (bipolar shape), memiliki banyak retikulum
endoplasmik dan well developed aparatus golgi. Nukleusnya terlihat lebih pucat dengan
beberapa nucleoli.2,3
4
Fungsi utama sinoviosit yang membentuk membran sinovium adalah menyediakan
berbagai molekul lubrikan seperti glikosaminoglikan disamping oksigen dan protein plasma
nutrien bagi ruang sendi dan rawan sendi serta khondrosit. Sinoviosit A selain memiliki
aktifitas fagositik yang berguna untuk menyingkirkan berbagai debrisdari ruang sendi,
berfungsi pula sebagai prosesor antigen.. Sinoviosit B berfungsi mensintesis hyaluronan
disamping produksi berbagai komponen matriks seperti kolagen.Sel ini mampu
mengeluarkan berbagai enzim perusak. Kedua jenis sinoviosit ini saling berinteraksi melalui
sinyal yang diperantarai oleh sitokin, growth factors dan kemokinlain. 2,3
Gambar 2. Sinovium2
Rawan Sendi
Pada sendi sinovial, tulang-tulang yang saling berhubungan dilapisi rawan sendi.
Ketebalan rawan sendi kurang dari 5 mm tergantung jenis sendi dan lokasi di dalam sendi.
Rawan sendi merupakan jaringan avaskular dan juga tidak memiliki jaringan syaraf,
berfungsi sebagai bantalan terhadap beban yang jatuh ke dalam sendi.2
Cairan Sinovial
Cairan sendi merupakan ultrafiltrat atau dialisat plasma. Pada umumnya kadar
molekul dan ion kecilnya sama dengan plasma, tetapi kadar proteinnya lebih rendah.
Molekul- molekul dari plasma, sebelum mencapai rongga sendi, harus melewati sawar
endotel mikrovaskuler, kemudian melalui matriks subsinovial dan lapisan sinovium.Sawar
endotel sangat selektif, makin besar molekulnya makin sulit melalui sawar tersebut, sehingga
molekul protein yang besar akan tetap berada dalam jaringan vaskular. Sebaliknya, molekul
dari cairan sendi dapat kembali ke plasma tanpa halangan apapun melalui sistem limfatik
5
walaupun ukurannya besar. Rasio protein cairan sendi dan plasma dapat menggambarkan
keseimbangan kedua proses diatas.3
Kapsul dan Ligamen
Struktur ligamen dan kapsul satu sendi berbeda dengan sendi yang lain baik dalam hal
ketebalannya maupun dalam hal posisinya. Pada sendi bahu, struktur ligamennya tipis dan
longgar, sedangkan pada sendi lutut tebal dan kuat. Pada beberapa sendi, ligamen menyatu ke
dalam kapsul sendi sedangkan pada sendi yang lain dipisahkan oleh lapisan areolar.
Kelonggaran kapsul sendi sangat berperan pada lingkup gerak sendi yang bersangkutan.3
Ligamen dan kapsul sendi, terutama tersusun oleh elastin, dan sedikit proteoglikan.
Komponen glikosaminoglikannya terutama adalah kondroitin sulfat dan dermatan sulfat. 3
2.2 Perubahan-perubahan Setelah Kematian dan Faktor-faktor Yang
Mempengaruhinya
2.2.1 Perubahan Kulit Muka
Perubahan setelah kematian yang dapat terlihat adalah perubahan yang terjadi pada kulit
muka. Perubahan kulit muka terjadi akibat berhentinya sirkulasi darah maka darah yang
berada pada kapiler dan venula di bawah kulit muka akan mengalir ke bagian yang lebih
rendah sehingga warna raut muka nampak menjadi lebih pucat. Pada mayat dari orang yang
mati akibat kekurangan oksigen atau keracunan zat-zat tertentu (misalnya keracunan karbon
monoksida) warna semula dari raut muka akan bertahan lama dan tidak cepat menjadi pucat.5
2.2.2 Relaksasi Otot
a. Relaksasi primer
Pada saat mati sampai beberapa saat sesudahnya, otot-otot polos akan mengalami relaksasi
sebagai akibat dari hilangnya tonus. Relaksasi pada stadium itu disebut relaksasi primer.5
Relaksasi perimortal didapatkan 2 – 3 jam setelah kematian. Pada fase ini otot sudah tidak
memiliki rangsangan dari sistem saraf pusat. Akibat tidak adanya impuls listrik dari sistem
saraf pusat maka tidak ada lagi koordinasi otot-otot tubuh yang selalu berusaha menjaga
keseimbangan dalam segala posisi tubuh seperti pada rahang bawah, dada, relaksasi pada otot
polos akan mengakibatkan iris dan spingter ani mengalami dilatasi. Oleh sebab itu jika
ditemukan dilatasi pada anus, harus hati-hati untuk menyimpulkan sebagai akibat hubungan
seksual per ani. Pada fase ini kematian sel belum terjadi sempurna. Korban masih dalam
pengertian mati somatik.5
6
b. Relaksasi sekunder
Relaksasi sekunder terjadi karena lisis sel otot akibat proses pembusukan. Hancurnya sel dan
jaringan otot membuat tulang-tulang tidak dapat dipertahankan posisinya. 6
2.2.3 Perubahan pada mata
Perubahan yang terjadi pada mata yaitu berkurangnya daya lihat atau adanya dominasi pada
insensitivie cornea. Ketegangan pada mata menurun secara cepat seperti tekanan arterial.
Kelopak mata biasanya tertutup tetapi secara umum tidak sempurna, kegagalan otot
menghasilkan oklusi penuh dan ini akan terjadi pembukaan. Bila mata terbuka pada atmosfer
yang kering, sklera di kiri-kanan kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam
berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea. Kekeruhan kornea terjadi pada lapisan terluar
dapat dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih
dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak
kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea
menjadi keruh kira-kira 10-12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam saja fundus tidak
tampak jelas. Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi pupil
pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya mati.
Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca mati.7
2.2.4 Penurunan Suhu Tubuh
Sesudah mati, metabolisme yang menghasilkan panas akan terhenti sehingga suhu tubuh akan
turun menuju suhu udara atau medium di sekitarnya. Penurunan ini disebabkan oleh adanya
proses radiasi, konduksi, dan pancaran panas. Proses penurunan suhu pada mayat terjadi
sangat lambat pada jam – jam pertama kemudian penurunan menjadi lebih cepat dan pada
akhirnya menjadi lebih lambat kembali. Jika dirata-rata maka penurunan suhu tersebut antara
0,9 sampai 1 ºC atau sekitar 1,5 ºF setiap jam, dengan catatan penurunan suhu dimulai dari 37
ºC atau 98,4 ºF. 5,10
Terdapat dua hal yang mempengaruhi cepatnya penurunan suhu mayat ini, yaitu: 5,10
1. Faktor internal
a. Suhu tubuh saat mati
Sebab kematian, misalnya perdarahan otak dan septikemia, mati dengan suhu tubuh
tinggi. Suhu tubuh yang tinggi akan mengakibatkan penurunan suhu tubuh menjadi
lebih cepat sedangkan pada hipothermia sebaliknya.
b. Keadaan tubuh mayat
7
Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu tubuh
mayat. Pada mayat yang tubuhnya kurus, tingkat penurunannya menjadi lebih cepat.
2. Faktor Eksternal
a. Suhu medium
Semakin besar selisih suhu antara medium dengan mayat maka semakin cepat
terjadinya penurunan suhu. Hal ini dikarenakan kalor yang ada di tubuh mayat
dilepaskan lebih cepat ke medium yang lebih dingin.
b. Keadaan udara di sekitarnya
Pada udara yang lembab, tingkat penurunan suhu menjadi lebih besar. Hal ini
disebabkan karena udara yang lembab merupakan konduktor yang baik dan aliran
udara juga makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
c. Jenis medium
Pada medium air, tingkat penurunan suhu menjadi lebih cepat karena air merupakan
konduktor panas yang baik sehingga mampu menyerap banyak panas dari tubuh
mayat.
d. Pakaian mayat
Semakin tipis pakaian yang dipakai maka penurunan suhu mayat semakin cepat. Hal
ini dikarenakan kontak antara tubuh mayat dengan suhu medium atau lingkungan
lebih mudah.
2.2.5 LEBAM MAYAT
Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi darah dalam mempertahankan
tekanan hidrostatik yang menggerakan darah mencapai capillary bed dimana pembuluh–
pembuluh darah kecil afferent dan efferent saling berhubungan. Maka secara bertahap darah
yang mengalami stagnasi di dalam pembuluh vena besar dan cabang-cabangnya akan
dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ke tempat–tempat yang terendah yang dapat
dicapai. 12
Lebam mayat ini biasanya timbul setengah jam sampai dua jam setelah kematian,
dimana setelah terbentuk hipostasis yang menetap dalam waktu 10–12 jam ternyata akan
memberikan lebam mayat pada sisi yang berlawanan setelah dilakukan reposisi pada tubuh
dari pronasi ke supinasi (interpostmorchange). Lebam mayat berkembang secara bertahap
dan dimulai dengan timbulnya bercak-bercak yang berwarna keunguan dalam waktu kurang
dari setengah jam sesudah kematian dimana bercak-bercak ini intensitasnya menjadi
meningkat dan kemudian bergabung menjadi satu dalam beberapa jam kemudian, dimana
8
fenomena ini menjadi komplet dalam waktu kurang lebih 8–12 jam, pada waktu ini dapat
dikatakan lebam mayat terjadi secara menetap.12
Perubahan lebam ini lebih mudah terjadi pada 6 jam pertama sesudah kematian, bila
telah terbentuk lebam primer kemudian dilakukan perubahan posisi maka akan terjadi lebam
sekunder pada posisi yang berlawanan. Akumulasi darah pada daerah yang tidak tertekan
akan menyebabkan pengendapan darah pada pembuluh darah kecil yang dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah kecil tersebut dan berkembang menjadi petechie
(tardieu`s spot) dan purpura yang kadang-kadang berwarna gelap yang mempunyai diameter
dari satu sampai beberapa milimeter, biasanya memerlukan waktu 18 sampai 24 jam untuk
terbentuknya dan sering diartikan bahwa pembusukan sudah mulai terjadi. 12
2.2.6 KAKU MAYAT (RIGOR MORTIS)
Kaku mayat atau rigor mortis adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang-kadang
disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot, terjadi setelah periode pelemasan/ relaksasi
primer. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan kimiawi pada protein yang terdapat
pada serabut-serabut otot. Menurut Szen-Gyorgyi, peranan ATP sangat penting dalam
pembentukan kaku mayat. Seperti diketahui bahwa serabut otot dibentuk oleh dua jenis
protein, yaitu aktin dan myosin, dimana kedua jenis protein ini bersama dengan ATP
membentuk suatu masa yang lentur dan dapat berkontraksi. Bila kadar ATP menurun, maka
akan terjadi pada perubahan pada aktomiosin, dimana sifat lentur dan kemampuan untuk
berkontraksi menghilang sehingga otot yang bersangkutan akan menjadi kaku dan tidak dapat
berkontraksi.13,14
Kaku mayat mulai terdapat sekitar 2 jam post mortem dan mencapai puncaknya
setelah 10-12 jam pos mortem, keadaan ini akan menetap selama 24 jam dan setelah 24 jam
kaku mayat mulai menghilang sesuai dengan urutan terjadinya, yaitu dimulai dari otot-otot
wajah, leher, lengan, dada, perut, dan tungkai.13
Faktor-Faktor yang mempengaruhi kaku mayat6,7 :
a. Kondisi otot
Persediaan glikogen
Cepat lambat kaku mayat tergantung persediaan glikogen otot. Pada kondisi tubuh
sehat sebelum meninggal, kaku mayat akan lambat dan lama, juga pada orang yang
sebelum mati banyak makan karbohidrat, maka kaku mayat akan lambat.
b. Usia
Orang tua dan anak-anak lebih cepat dan berlangsung lama.
9
Bayi prematur tidak terjadi kaku mayat, kaku mayat terjadi pada bayi cukup bulan.
c. Keadaan Lingkungan
Keadaan kering lebih lambat dari pada panas dan lembab
Mayat dalam air dingin, kaku mayat akan cepat terjadi dan berlangsung lama.
Pada udara suhu tinggi, kaku mayat terjadi lebih cepat dan singkat, tetapi pada suhu
rendah kaku mayat lebih lambat dan lama.
Kaku mayat tidak terjadi pada suhu dibawah 10oC, kekakuan yang terjadi pembekuan
atau cold stiffening.
d. Cara Kematian
Pada mayat dengan penyakit kronis dan kurus, kuku mayat lebih cepat terjadi dan
berlangsung tidak lama.
Pada mati mendadak, kaku mayat terjadi lebih lambat dan berlangsung lebih lama.
Terdapat kekakuan pada pada mayat yang menyerupai kaku mayat :
1. Cadaveric spasme (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi
pada saat kematian dan menetap. Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan
glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis karena kelelahan atau
emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.8,17,20 Kepentingan medikolegalnya adalah
menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang menggenggam
erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam pada
kasus bunuh diri.
2. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Keadaan
ini dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Pada saat stiffening serabut-serabut
ototnya memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha, dan lutut,
membentuk sikap petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan
arti tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.8,17
3. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin (dibawah 3,5oC atau
40oF), sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan
jaringan lemak subkutan dan otot, bila cairan sendi yang membeku menyebabkan
sendi tidak dapat digerakan. Mayat yang kaku ini akan menjadi lemas kembali bila
diletakkan ditempat yang hangat, kemudian rigor mortis akan terjadi dalam waktu
yang sangat singkat.8,17,18
Waktu terjadinya rigor mortis (kaku mayat)
Kurang dari 3 – 4 jam post mortem : belum terjadi rigor mortis
10
Lebih dari 3 – 4 jam post mortem : mulai terjadi rigor mortis
Rigor mortis maksimal terjadi 12 jam setelah kematian
Rigor mortis dipertahankan selama 12 jam
Rigor mortis menghilang 24 – 36 jam post mortem
2.2.7 Pembusukan Atau Modifikasinya
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat
proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme, terutama Clostridium welchii 12. Autolisis
adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril melalui proses
kimia yang disebabkan oleh enzimenzim intraseluler, sehingga organ-organ yang kaya
dengan enzim - enzim akan mengalami proses autoilisis lebih cepat daripada organ-organ
yang tidak memiliki enzim, dengan demikian pankreas akan mengalami autolisis lebih cepat
dari pada jantung. Proses autolisis ini tidak dipengaruhi oleh mikroorganisme oleh karena itu
pada mayat yang steril misalnya mayat bayi dalam kandungan proses autolisis ini tetap
terjadi. Proses auotolisis terjadi sebagai akibat dari pengaruh enzim yang dilepaskan pasca
mati.12
Tanda pertama pembusukan baru dapat dilihat kira-kira 24 jam - 48 jam pasca mati
berupa warna kehijauan pada dinding abdomen bagian bawah, lebih sering pada fosa iliaka
kanan dimana isinya lebih cair, mengandung lebih banyak bakteri dan letaknya yang lebih
superfisial. Perubahan warna ini secara bertahap akan meluas keseluruh dinding abdomen
sampai ke dada dan bau busukpun mulai tercium. Perubahan warna ini juga dapat dilihat pada
permukaan organ dalam seperti hepar, dimana hepar merupakan organ yang langsung kontak
dengan kolon transversum. Pada saat Cl.welchii mulai tumbuh pada satu organ parenchim,
maka sitoplasma dari organ sel itu akan mengalami disintegrasi dan nukleusnya akan dirusak
sehingga sel menjadi lisis atau rhexis. Kemudian sel-sel menjadi lepas sehingga jaringan
kehilangan strukturnya.12
Skrotum dan penis dapat membesar dan membengkak, leher dan muka dapat
menggembung, bibir menonjol seperti “frog-like-fashion”, Kedua bola mata keluar, lidah
terjulur diantara dua gigi, ini menyebabkan mayat sulit dikenali kembali oleh keluarganya.
Pembengkakan yang terjadi pada seluruh tubuh mengakibatkan berat badan mayat yang
tadinya 57 - 63 kg sebelum mati menjadi 95 - 114 kg sesudah mati.12 Pengeluaran urine dan
feses dapat terjadi oleh karena tekanan intra abdominal yang meningkat. Pada wanita uterus
dapat menjadi prolaps dan fetus dapat lahir dari uterus wanita hamil. Pada anak-anak adanya
11
gas pembusukan dalam tengkorak dan otak menyebabkan sutura-sutura kepala menjadi
mudah terlepas.12
Golongan organ berdasarkan kecepatan pembusukannya, yaitu: 12,13
1. Early : Organ dalam yang cepat membusuk antara lain jaringan intestinal, medula
adrenal, pankreas, otak, lien, usus, uterus gravid, uterus post partum, dan darah.
2. Moderate : Organ dalam yang lambat membusuk antara lain paruparu, jantung, ginjal,
diafragma, lambung, otot polos dan otot lurik.
3. Late : Uterus non gravid dan prostat merupakan organ yang lebih tahan terhadap
pembusukan karena memiliki struktur yang berbeda dengan jaringan yang lain yaitu
jaringan fibrosa.
Secara garis besar terdapat 17 tanda pembusukan pada jenazah, yaitu: 13
1. Wajah membengkak.
2. Bibir membengkak.
3. Mata menonjol.
4. Lidah terjulur.
5. Lubang hidung keluar darah.
6. Lubang mulut keluar darah.
7. Lubang lainnya keluar isinya seperti feses (usus), isi lambung, dan partus (gravid).
8. Badan gembung.
9. Bulla atau kulit ari terkelupas.
10. Aborescent pattern / morbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan.
11. Pembuluh darah bawah kulit melebar.
12. Dinding perut pecah.
13. Skrotum atau vulva membengkak.
14. Kuku terlepas.
15. Rambut terlepas.
16. Organ dalam membusuk.
17. Larva lalat.
2.2.8 Biokimiawi Darah
Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis darah pasca mati
tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa hidupnya. Perubahan
tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta gangguan permeabilitas dari sel
yang telah mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh selama proses kematian dapat
12
menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum kematian itu terjadi. Hingga saat ini
belum ditemkan perubahan dalam darah yang dapat digunakan untuk memperkirakan saat
mati dengan lebih tepat.3, 16
2.2.9 Cairan serebrospinal ( CSS )
Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam,
kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg% menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar
protein kurang dari 5 mg% dan 10mg% masing-masing menunjukkan kematian belum
mencapai 10 jam dan 30 jam.3
2.2.10 Reaksi Peri mortal
Reaksi peri mortal yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama
seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat dilakukan
terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih dapat menimbulkan
kontraksi otot mayat hingga 90 – 120 menit pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar
keringat sampai 60 – 90 menit pasca mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan
perdarahan bawah kulit sampai 1 jam pasca mati. 3
Definisi mati seluler (mati molekuler) yaitu kematian organ atau jaringan tubuh yang
timbul beberapa saat setelah kematian somatis.3 Daya tahan hidup masing-masing organ atau
jaringan berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap organ atau jaringan terjadi secara
tidak bersamaan. Sebagai contoh:
a) Susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam waktu 4 menit
b) Otot masih dapat dirangsang dengan listrik sampai kira-kira 2 jam pasca mati, dan
mengalami mati seluler setelah 4 jam.
c) Dilatasi pupil masih dapat terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau penyuntikan
sulfas atropin 1 % atau fisostigmin 0,5% akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam
pasca mati.
d) Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan cara
penyuntikan subkutan pilokarpin 2% atau asetilkolin 20%.
e) Spermatozoa masih bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis.
f) Kornea masih dapat ditransplantasikan.
g) Darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati. Keadaan tersebut
diatas pada mayat dimana masih dapat menghasilkan gambaran intravital disebut
reaksi peri mortal dan pertamakali didiskusikan pada tahun 1963 oleh Schleyer.3
13
2.2.11 Pertumbuhan Rambut
Pengetahuan mengenai rata-rata tumbuh rambut muka member petunjuk dalam
membuat perkiraan kapan saat cukur terakhir. Sejak rambut berhenti pertumbuhannya pada
saat kematian maka panjang dari jenggot mayat mungkin dapat menjadi pemikiran tentang
lamanya waktu antara kematian dan cukur terakhir. Gonzales dkk, pada tahun 1954
mengatakan rata-rata pertumbuhan rambut adalah 0,4mm/ hari, sedangkan Balthazard seperti
yang kutip oleh Derobert dan Le Breton tahun 1951 mengatakan rata-rata pertumbuhan
rambut adalah 0,5 mm / hari, dan menurut Glaister pada tahun 1973 adalah 1–3 mm /
minggu, akan tetapi pada tiap-tiap individu mempunyai perbedaan dalam ratarata
pertumbuhan dalam area yang sama, juga variasi rata-rata dari satu tempat ke tempat lain di
muka dan juga berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Selain itu variasi musim atau
iklim mempengaruhi metabolisme dari tubuh itu sendiri. Pada pria rata-rata pertumbuhan
rambut pipi adalah 0,25 mm/ hari dalam bulan agustus–oktober di antartica, akan tetapi pada
temperatur iklim di Lautan Pasifik dalam bulan April adalah 0,325 mm.17
2.2.12 Pertumbuhan Kuku
Pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1 mm perhari dapat digunakan untuk
memperkirakan saat kematian bia dapat diketahui saat terakhir yang berangkutan memotong
kuku.3
BAB 3
PEMBAHASAN
14
3.1 Komponen Cairan Sendi
Cairan sendi (sinovial) adalah lapisan cairan tipis yang mengisi ruang sendi normal, cairan
sendi ini memberikan nutrisi esensial dan membersihkan sisa metabolisme dari kondrosit di
dalam rawan sendi. Selain itu sinovial juga berfungsi sebagai pelumas dan perekat. Sinovia
(cairan sendi) normal berwarna kekuningan, bening mengandung leukosit dan tidak
membeku karena tidak mengandung fibrinogen. Cairan sendi mempunyai viskositas yang
tinggi. Hal ini disebabkan karena cairan sendi mengandung asam hyaluronat yang disekresi
oleh fibroblast-like B cells didalam sinovium. Sinovium adalah jaringan yang menutupi
seluruh permukaan sendi, kecuali weight bearing surface sendi diartrodial manusia
normal.17,18,19
Gambar 1. Sendi synovial. Sendi synovial biasanya terdiri dari kartilago, sinovium dan cairan
synovial.19
Cairan sendi normal adalah ultra filtrate atau dialisat dari plasma. Dengan demikian
kadar ion – ion dan molekul – molekul kecil ekivalen dengan kadarnya di dalam plasma,
sedang protein kadarnya lebih rendah. Cairan sendi juga mengandung leukosit biasanya
normal < 200 sel/mm dengan jumlah sel PMN < 25%, glukosa normal kadar glukosa di
cairan sendi < 10% dari glukosa darah dan asam organic seperti asam laktat dan asam
suksinat.17
Tabel 1. Gambaran Analisis Cairan Sendi Normal17
Cairan Sendi Nilai Normal
15
PH 7,3 – 7,43
Jumlah Leukosit 13 – 180
PMN 0 – 25
Limfosit 0 – 78
Monosit 0 – 71
Sel synovia 0 – 12
Protein Total g/dl 1,2 – 3,0
Albumin (%) 56 – 63
Globulin (%) 37 – 44
Hyaluronat g/dl 0,3
3.2 Perubahan Cairan Sendi Setelah Mati
Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar karya-karya telah terkonsentrasi pada
perubahan biokimia yang terjadi dalam cairan tubuh yang berbeda, tetapi penelitian terbaru
dari cairan sendi telah menarik perhatian ahli biokimia forensik dan patologis. Cairan sinovial
merupakan kompartemen cairan yang baik untuk diselidiki dalam ilmu reumatologi dan
banyak dijadikan sebagai buku pegangan analisis cairan sendi yang tersedia. Namun hanya
sedikit penelitian yang menyangkut kepentingan hukum medikolegal pada cairan synovial.
Studi berkaitan dengan estimasi interval postmortem sesuai dengan perjalanan waktu
aktivitas ion kalium dalam cairan sinovial kadaver.1
Dalam penelitian ini cairan sinovial disedot dari sendi lutut dengan prosedur standar
sesuai diadopsi oleh DJU Plesis (1975) dari 123 kasus dengan waktu yang diketahui sejak
kematian yang menjadi sasaran mediko otopsi hukum di kamar mayat dari Departemen
Kedokteran Forensik dan toksikologi di Mahatma Gandhi Institute of Medical Sciences,
Sevagram selama periode satu tahun Jan 2004-Desember 2004. Kondisi untuk eksklusi
adalah, Mayat, yang disimpan dalam cold storage, Kasus cedera lutut, kondisi infektif sendi
(rematik, arthritis dll) dan waktu yang tidak diketahui kematian dibuang. Sampel, di mana
cairan sinovial berawan, berdarah, kuning sampai kehijauan berawan, keruh dan perdarahan
di dalam dibuang.1
Burkahrd Madea et al (2001) mempelajari cairan sinovial dan vitreous humor, dan
membandingkan kedua cairan. Kalium, natrium, klorida, kalsium, kreatinin, glukosa, urea
dianalisis. Hasilnya konsentrasi kalium dalam cairan sinovial menunjukkan sedikit lebih
tinggi dari vitreous humor namun kedua cairan kompartemen menunjukkan peningkatan
16
kadar kalium dalam kursus hampir sejajar. Sahoo PC; 1998 mempelajari 84 kasus dan
menunjukkan kadar kalium dalam cairan sinovial meningkat sampai 48 jam setelah
kematiannya. Akibatnya menunjukkan, cairan sinovial dapat digunakan sebagai alat
pemeriksaan post mortem. Evaluasi data dalam hal program waktu selama periode
postmortem berguna. Kalium memiliki korelasi cukup tinggi dan positif dengan selang
waktu. Analisis cairan sinovial merupakan hal yang sedikit lebih rumit karena viskositas yang
lebih tinggi.1
Cairan synovial terdiri dari (oleh Moro D.S dan Arryo M. C, 1985) glukosa, urea,
nitrogen, asam urat, total protein, albumin, alkaline phosphatase, asam laktat dehidrogenase
dan GOT dalam kaitannya dengan penyebab kematian dan mengamati bahwa parameter
biokimia cairan sinovial yang dimodifikasi. meskipun ini modifikasi terkait lebih langsung
dengan durasi proses patologis yang mengarah ke kematian daripada dengan sifat proses itu
sendiri. Tingkat natrium dan glukosa dalam cairan sinovial pada mayat memiliki perubahan
yang tidak teratur dengan peningkatan dalam waktu sejak kematian dan tidak ada yang
signifikan korelasi ada untuk sodium dan glukosa dalam kaitannya dengan waktu sejak
kematian dan tidak ada yang pasti. Persamaan bisa berkembang tanpa pengaruh umur, seks
dan penyebab kematian lebih konsentrasi glukosa dan ion natrium dengan waktu sejak
kematian.1,2
Perbandingan premoterm dan posmoterm cairan telah menunjukkan komponen tetap
relatif konstan, yang diprediksi mengalami perubahan dan telah banyak digunakan untuk
diagnostik. 2 Setelah kematian , banyak perubahan physiochemical seperti Algor mortis , rigor
mortis , hypostasis dan dekomposisi terjadi mengarah ke pembubaran semua jaringan lunak .
Kornea berkabut terjadi setelah kematian dengan peningkatan intensitasnya sampai kornea
kehilangan turgor nya apakah kelopak mata tetap terbuka atau tidak.1 Thanatochemistry
adalah perubahan kimia yang terjadi setelah kematian . Hal ini digunakan untuk
menggambarkan perubahan yang terjadi dalam komposisi kimia dari mayat manusia secepat
kematian terjadi . Hal ini dapat memberikan kuantitatif pengukuran untuk menentukan
interval postmortem ( PMI ).2
Kalium merupakan salah satu analit postmortem yang dipilih untuk diselidiki.
Konsentrasi intraselular K+ setinggi 2-40 kali konsentrasi K+ dalam plasma. Setelah
kematian, kembali ke ekuilibrium terjadi pada tingkat yang stabil karena mekanisme
pemompaan tidak aktif dan dinding sel menjadi membran semipermeabel yang
memungkinkan K+ bocor melalui membran untuk mendekati keseimbangan.2 Hipoksantin
17
adalah produk degradasi vital metabolisme purin. Hal ini meningkatkan pada periode
postmortem dan terutama berdifusi dari retina ke pusat vitreous humor.2,3
3.3 Perkiraan Saat Kematian Berdasarkan Perubahan Cairan Sendi
Dalam 20 tahun terakhir cairan tubuh banyak digunakan untuk menetukan post mortem
interval, diantaranya cairan vitrous, cairan liquor dan cairan synovial. Dalam suatu studi
komparatif, menggunakan parameter biokimia cairan synovial diantaranya sodium, potasium,
klorida, kalsium, kreatinin, glukose, and urea. Pada studi ini paramater yang digunakan
adalah potasium dan glukosa.1 Dalam penelitian lain oleh Nishat et,al. menjelaskan perkiraan
dari sodium dan glukosa pada cairan synovial yang didapat dari 123 sendi lutut kadaver
mengungkapkan tidak ada perubahan yang signifikan. Berbagai parameter yang banyak
digunakan untuk menilai cairan sendi untuk memperkirakan waktu kematian sampai saat ini
seperti glukosa, urea, nitrogen, asam urea, total protein, albumin, pospat alkalin dan asam
laktat dehidrogenase. Dari 84 kasus telah memperlihatkan potassium cairan synovial
meningkat hingga mencapai maksimum pada 48 jam setelah kematian.2
Banyak peneliti telah mempelajari tentang perubahan biokimia dilihat dari berbagai
aspek dengan berbagai hasil dan beberapa perdebatan, beberapa berpendapat cairan synovial
dianggap lebih terlindung dan kurang berpaparan terhadap perubahan atmosfer jika
dibandingkan dengan cairan tubuh yang lain seperti cairan serebrospinal dan darah. Dengan
demikian perubahan biokimia post mortem dari cairan synovial mungkin sangat membantu
dalam memperkirakan post mortem interval yang bisa dikatakan mendekati akurat.3
Hasil dari suatu studi tentang pengaruh umur, jenis kelamin, sebab kematian dan
konsentrasi glukosa dan sodium pada cairan synovial dan hubungannya dengan waktu
kematian menyimpulkan tidak ada hubungan secara langsung.2 Burkahrd Madea et al (2001)
meneliti cairan synovial dan cairan vitreus, tujuan penelitian adalah membandingkan kadar
potassium, natirum, klorida, kalsium, kreatinin, glukosa, dan analisa urea pada kedua cairan
ini, hasilnya didapatkan konsentrasi potassium pada cairan synovial memperlihatkan kadar
yang sedikit tinggi dibanding dengan konsentrasi potassium cairan vitreus, tetapi secara
keseluruhan peningkatan kadar potassium dari nilai normal terjadi pada kedua cairan ini.4
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kematian pasti akan dilalui oleh setiap yang bernyawa. Setiap sel tubuh memiliki perbedaan
waktu untuk mengalami kematian sel yang disebabkan oleh perbedaan metabolisme seluler
18
didalamnya. Pada tubuh akan terjadi kematian sel demi sel dan kematian secara keseluruhan
akan terjadi dalam beberapa jam. Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan
penting untuk proses penyidikan. Banyak cara yang dapat digunakan dalam memperkirakan
saat kematian salah satunya adalah penggunaan cairan sinovial. Dalam beberapa tahun
terakhir, sebagian besar karya-karya telah terkonsentrasi pada perubahan biokimia yang
terjadi dalam cairan tubuh yang berbeda, tetapi penelitian terbaru dari cairan sinovial telah
menarik perhatian ahli biokimia forensik dan patologis.
Cairan sinovial merupakan ultrafiltrat atau dialisat plasma. Pada umumnya kadar
molekul dan ion kecilnya sama dengan plasma, tetapi kadar proteinnya lebih rendah.
Molekul- molekul dari plasma, sebelum mencapai rongga sendi, harus melewati sawar
endotel mikrovaskuler, kemudian melalui matriks subsinovial dan lapisan sinovium.Sawar
endotel sangat selektif, makin besar molekulnya makin sulit melalui sawar tersebut, sehingga
molekul protein yang besar akan tetap berada dalam jaringan vaskular. Sebaliknya, molekul
dari cairan sendi dapat kembali ke plasma tanpa halangan apapun melalui sistem limfatik
walaupun ukurannya besar. Rasio protein cairan sendi dan plasma dapat menggambarkan
keseimbangan kedua proses diatas.
Burkahrd Madea et al (2001) mempelajari cairan sinovial dan vitreous humor, dan
membandingkan kedua cairan. Kalium, natrium, klorida, kalsium, kreatinin, glukosa, urea
dianalisis. Hasilnya konsentrasi kalium dalam cairan sinovial menunjukkan sedikit lebih
tinggi dari vitreous humor namun kedua cairan kompartemen menunjukkan peningkatan
kadar kalium dalam kursus hampir sejajar. Sahoo PC; 1998 mempelajari 84 kasus dan
menunjukkan kadar kalium dalam cairan sinovial meningkat sampai 48 jam setelah
kematiannya. Akibatnya menunjukkan, cairan sinovial dapat digunakan sebagai alat
pemeriksaan post mortem. Evaluasi data dalam hal program waktu selama periode
postmortem berguna. Kalium memiliki korelasi cukup tinggi dan positif dengan selang
waktu. Analisis cairan sinovial merupakan hal yang sedikit lebih rumit karena viskositas yang
lebih tinggi.
4.2 Saran
Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti penting, khususnya
bila dikaitkan dengan proses penyidikan. Penyidik dapat lebih terarah dan selektif dalam
melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tindak pidana. Banyak cara yang dapat
digunakan dalam memperkirakan saat kematian salah satunya penggunaan cairan sinovial
19
setelah mati. Sehingga dapat membantu dalam penegakan hukum dan mengarahkan penyidik
sesuai dengan perkiraan saat kematian yang mendekati ketepatan.
Daftar Pustaka
1. Howard C. Adelman. Establishing The Time of Death in : Forensic Medicine. New
York : Infobase Publishing : 2007.p.20-26.
2. Cox, WA. Late Postmortem Changes/Decomposition. New York : Forensic Science
Internaational : 2009.
20
3. Simkin PA. Synovial physiology. In: Arthritis and allied conditions. Ed:Koopman
WJ, Morelan RW. Lippincott williams & wilkins. Alabama 2005:176-87.
4. Sumariyono, Linda K, Wijaya. Struktur sendi, otot, saraf dan endotel vaskuler. Dalam
: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor Sudoyo AW dkk. Jilid II Edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta 2006:1095-102.
5. Dahlan, Sofwan. 2007. Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan
Penegak Hukum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang. 47-65.
6. http://kakumayat.blogspot.com/2008/11/tugas-kaku-mayat_3702.html
7. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakulatas Kedokteran
Universitas Indonesia.1997. Thanatologi. Halaman 25-35.
8. Dr. Bushan Kapur, Ph.D, FRSC, FACB, FCACB Department of Clinical Pathology,
Sunnybrook Health Science Center, Toronto. Division of Clinical Pharmacology and
Toxicology, The Hospital for Sick Children, Toronto, and Department of Laboratory
Medicine and Pathobiology, Faculty of Medicine, University of Toronto. CSCC
News, vol. 50, no. 2 April 2008.
9. Anonim. Harvesting Energy: Glycolysis and Cellular Respiration. Diunduh dari
http//www.Biochembull.com. diakses tanggal 31 Agustus 2013
10. Al Fatih, Muhammad. Algor Mortis. Diunduh dari http//www.KlinikIndonesia.com.
diakses tanggal 31 Agustus 2013.
11. http://www.freewebs.com/forensicpathology/lebammayat.htm
12. Idris, M A Dr. Saat kematian. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Bina Rupa
Aksara. 1997 : 53-77.
13. Van De Graff, K M. Muscle Tissue and The Mode of Contraction. Schaum’s Outline
of Human Anatomy. Mc-Graw Hill. 2001 : 51-53.
14. Dix Jay. Time Of Death and Decompotition
15. http://www.freewebs.com/dekomposisi_posmortem/dekomposisi.htm
21
16. www.klinikindonesia.com
17. Sumariyono. Artrosentesis dan analisis cairan sendi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi V. Jakarta: lImu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
18. Sumariyono. Struktur sendi, otot, saraf dan endotel vascular. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: lImu Penyakit Dalam FKUI. 2009. 570-3.
19. Departments of Bioengineering and Whitaker Institute of Biomedical Engineering,
University of California-San. A model of synovial fluid lubricant composition in
normal and injured joints. San diego : 2007.
20.
22
top related