referat demensia pada penderita hiv
Post on 13-Jan-2016
288 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah “demensia terkait HIV” (HIV associated dementia – HAD) mencakup
spektrum luas perwujudan psikiatri dan neurologi dari infeksi HIV pada SSP. HAD
mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motor, dan perilaku. Pada bagian akhir spektrum
yang parah ini terdapat ADC, satu kondisi yang dapat mengakibatkan kerusakan SSP secara
bermakna dan ini merupakan suatu penyulit yang didefinisikan AIDS. Di sisi lain dari
spektrum ini adalah MCMD terkait HIV. Ini menggambarkan gejala yang sebenarnya tidak
memenuhi syarat untuk demensia karena gejala ini tidak mengganggu kegiatan sehari-hari
secara bermakna.
Kejadian dan prevalensi ADC berbeda-beda, tergantung dari tahap infeksi dan
kelompok yang diteliti. Penelitian sebelum HAART menyatakan bahwa hingga 20% pasien
dengan AIDS mengalami demensia HIV dan kejadian tahunan setelah berkembang menjadi
AIDS kurang-lebih 7%. Penelitian yang lebih baru kurang jelas mengenai kejadian ADC
pada masa HAART, tetapi penelitian di Australia menyimpulkan bahwa ADC meningkat
sesuai dengan perbandingan dari penyakit yang didefinisikan AIDS dan sedikitnya sebagian
dari peningkatan ini berhubungan dengan rendahnya daya tembus obat antiretroviral terhadap
SSP.
ADC adalah demensia subkortikal, dan perkembangannya terjadi secara tersembunyi.
Sebagai demensia subkortikal, biasanya tidak disertai gejala kognitif fokal, seperti afasia,
apraksia, dan agnosia. Gejala motor biasanya menyeluruh. ADC mempunyai tahapan dari 0
sampai 4, dengan tahap 0 adalah fungsi mental dan motor yang normal, dan tahap 4
merupakan tahap akhir, dengan kekurangan kognitif dan motor yang parah.
Secara khas, pasien yang menderita HAD mula-mula mengeluhkan terjadinya
penurunan kognitif yang ringan, seperti mental yang lamban dan sulit untuk berkonsentrasi,
mengingat, dan menyelesaikan tugas. Pada titik ini, hasil pemeriksaan sederhana untuk
mengetahui keadaan mental biasanya normal, tetapi beberapa kemunduran psikomotor
mungkin terlihat. Gejala motor dapat mencakup mudah kikuk atau gaya berjalan seperti
sempoyongan serta refleks-refleks primitif dari hidung (snout), genggaman (grasp), telapak
tangan (palmomental), serta pergerakan jari yang melambat dan kesulitan untuk mengatur
gerakan mata. Dalam perilaku, menarik diri dari pergaulan, apatis, atau berkurangnya
perhatian kepada teman atau kegemaran mungkin terjadi. Terutama pada awal terjadinya,
1
gejala ini mungkin keliru dianggap depresi bila mereka benar-benar menunjukkan
pseudodepresi yang umum terjadi pada pasien dengan ADC.
Gejala HAD, yang awalnya mungkin ringan, dapat melaju kepada kemerosotan
menyeluruh fungsi kognitif, perlambatan psikomotor yang parah, paraparesis, dan tidak dapat
menahan untuk buang air kecil dan air besar. Kesadaran terjaga kecuali untuk hipersomnia
(sering sangat mengantuk). Diagnosis HAD biasanya dibuat berdasarkan riwayat, penilaian
klinis, dan menyingkirkan penyebab perubahan status mental lain yang dapat diobati.
Penggambaran jarang membantu kecuali sebagai penolong dalam menyingkirkan penyebab
lain. CT dan MRI secara umum menunjukkan atrofi yang merata dengan sulkus yang meluas
dan pembesaran bilik jantung, tetapi penemuan ini tidak berkaitan dengan status klinis.
Tomografi positron emission (PET) bisa memperlihatkan hipermetabolisme subkortikal pada
tahap dini dan hipometabolisme kortikal dan subkortikal pada tahap berikutnya. EEG
mungkin normal atau menunjukkan perlambatan yang merata, khususnya pada tahap lanjut.
Dalam penelitian terhadap orang HIV-positif nondemensia, hasil CT foton tunggal berkaitan
dengan disfungsi kognitif.
Sebagaimana yang dinyatakan, pemeriksaan sederhana keadaan mental jarang
berguna dalam mendiagnosis ADC. Sebenarnya, deretan tes neuropsikiatri yang lebih luas
diperlukan tetapi biasanya di luar jangkauan praktis dari sebagian besar layanan klinis.
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa keluhan subyektif pasien yang bergejala
mencerminkan hilangnya kognitif yang objektif dan tidak dapat dijelaskan melalui gangguan
depresi psikiatri. Sedikitnya satu penelitian menyimpulkan bahwa pada orang yang bergejala,
tidak ada hubungan antara keluhan yang subjektif dan fungsi kognitif, tetapi keluhan ini
terkait dengan afeksi dan suasana hati. Skala demensia HIV lebih praktis, yang terdiri dari
empat subset yang mengukur keterampilan kognitif dan motor dan dapat dilakukan pada
pasien yang rawat inap atau pun pasien rawat jalan saat kunjungan ke dokter.
Pada masa sebelum HAART, sedikit yang dapat dilakukan untuk menghentikan laju
HAD. Namun, selama beberapa tahun terakhir, ada peningkatan bermakna dalam pemahaman
neuropatogenesis penyakit HIV di otak serta dampak obat antiretroviral pada SSP dan
penyerapannya ke dalam SSP. Dengan peningkatan pemahaman tentang patogenesis, ada
sejumlah bukti yang terus berkembang yang mendukung pengobatan infeksi HIV yang
mendasarinya. Tinjauan ulang terhadap penelitian yang menunjukkan perbaikan penyakit
HIV di otak dengan HAART jauh di luar cakupan artikel ini; namun, berdasarkan data ini,
terapi antiretroviral dengan obat yang dapat menembus SSP secara optimal (AZT, ddI, d4T,
nevirapine, efavirenz, indinavir) sebaiknya diteruskan secara agresif sebagai sarana untuk
2
memperlambat, atau dalam beberapa kasus, membalik arah laju HAD. Tentu saja, karena
kepatuhan adalah hal yang tidak mungkin pada pasien dengan HAD tahap apa pun, sangat
diperlukan adanya pengawasan terhadap pengobatan termasuk terapi dengan pengawasan
langsung (directly observed therapy – DOT).
Psikostimulan (pemolin, metilfenidat, dekstoamfetamin) mungkin berguna untuk
mengobati apatis dan perlambatan psikomotor. Antidepresan sebaiknya dipakai untuk
mengobati depresi yang terjadi bersamaan, tetapi antidepresan trisiklik sebaiknya dihindari
karena adanya kekhawatiran yang meningkat sehubungan dengan delirium antikoligernik.
Ada angka kesakitan lain yang bermakna pada pasien dengan penyakit psikiatri yang
terkait HIV (depresi, mania, delirium) dan HAD. Meskipun demikian, cukup sulit untuk
membuat diagnosis dari depresi utama pada pasien dengan gangguan kognitif, motor, dan
perilaku. Sebaiknya jangan dianggap atau disimpulkan bahwa ada depresi yang mendasarinya
atau karena pasien mengalami ADC atau MCMD, lalu ia mengalami depresi. Diagnosis
depresi pada orang yang mempunyai gejala medis dan neurologis sebaiknya dibuat oleh ahli
jiwa yang sudah terbiasa dengan penyakit dan perwujudan dari depresi itu sendiri.
3
BAB II
EPIDEMIOLOGI
Kasus HIV – AIDS di Indonesia terus bertambah jumlahnya, menurut data Ditjen
PPM dan PL Depkes RI jumlah penderita HIV – AIDS di Indonesia yang dilaporkan dari 1
Januari 2011 sampai dengan 31 Maret 2011 adalah sebanyak 351 kasus, sedangkan secara
kumulatif dari 1 April 1987 sampai dengan 31 Maret 2011 adalah 24.482 kasus dengan
sebanyak 4603 penderita meninggal. Angka kumulaitf tersebut memperlihatkan juga bahwa
kelompok umur terbanyak yang menderita infeksi HIV adalah kelompok umur 20 – 29 tahun
yaitu sebanyak 47.2%, data ini penting mengingat kelompok usia tersebut merupakan
kelompok usia produktif. Data sampai Maret 2011 untuk Provinsi Jawa Tengah didapatkan
sebanyak 1030 kasus dengan 314 kasus yang meninggal. Data UNAIDS menyebutkan bahwa
pada tahun 2009 jumlah penderita HIV di seluruh dunia adalah 33.300.000 penderita
Komplikasi neurologi pada penderita HIV dapat mengenai susunan saraf tepi dan
susunan saraf pusat. Komplikasi yang dapat mengenai susunan saraf pusat bermanifestasi
sebagai demensi terkait HIV (7% dari penderita HIV) dengan gejala didapatkan gangguan
kognitif, motorik, dan gangguan perilaku. Gangguan neurokognitif tersebut dikenal dengan
HIV-Associated Neurocognitive Disorder (HAND) berupa HIV-Associated Dementia
(HAD) atau AIDS Dementia Comple, Mild Neurocognitive Disorder (MND), dan
Asymptomatic Neurocognitive Impairment (ANI). Perkembangan pengobatan HIV dengan
menggunakan terapi kombinasi antiretroviral (ART) telah mengurangi insiden gangguan
neurokognitif tersebut dibandingkan sebelum era ART. Komplikasi gangguan neurokognitif
juga terjadi pada penderita HIV asimtomatik. Gangguan Kognitif pada penderita HIV – AIDS
dipengaruhi juga oleh obat anti retroviral, infeksi oportunistik, usia, merokok, pendidikan.
Sistem imunitas pada penderita HIV berperan penting. Sistem Imunitas tersebut
berhubungan dengan sel limfosit. Jumlah limfosit total yang terdiri dari tiga tipe yang dapat
diidentifikasi berdasarkan molekul permukaannya, yaitu sel limfosit B (23%), sel limfosit T
(65%) dan NK cells (7%), jumlah leukosit total umumnya 20% – 40% dari jumlah leukosit
atau sekitar 1500 – 2700/mm3. Limfosit T adalah sel yang berperan dalam sistem imun
spesifik. Salah satu jenis sel-T adalah sel CD4+ yang merupakan target dari HIV yang
jumlahnya sekitar 45% - 75% dari limfosit total.
Jumlah limfosit T CD4+ telah diketahui berhubungan dengan gangguan kognitif.
Jumlah CD4+ yang rendah, meningkatkan HAD (HIV-Associated Dementia). Tidak
4
tersedianya pemeriksaan limfosit T CD4+ di fasilitas kesehatan negara berkembang, maka
digunakan jumlah limfosit total sebagai pengganti parameter limfosit T CD4+. Penelitian
sebelumnya menyimpulkan bahwa jumlah limfosit total < 1200 sel/mm3 mempunyai
sensitivitas 88,14% dan spesifisitas 34,78% untuk jumlah CD4+ < 200 sel/mm3. Jumlah total
limfosit < 1200 sel/mm3 memperkirakan jumlah CD4+ < 200 sel/mm3 mempunyai sensifisitas
41% dan spesifisitas 83,5%.
Skrining fungsi kognitif yang sering digunakan adalah Mini Mental State Examination
(MMSE). Tes yang dapat juga dipakai adalah Montreal Mild Cognitive Assesment (MoCA).
Penelitian Nasreddin, dkk, sensifisitas 90% dan spesifisitasnya 87% untuk mendeteksi Mild
Cognitive Impairment. MoCA versi Indonesia disebut MoCA-Ina telah diuji validitas dan
reliabilitas untuk gangguan fungsi kognitif di RSCM Jakarta oleh Husein,dkk.
Hubungan antara gangguan fungsi kognitif dengan jumlah limfosit total dan limfosit
T CD4+ belum pernah dilakukan.
Dari data tersebut di atas jumlah penderita HIV – AIDS terbanyak adalah usia
produktif yang bila terjadi gangguan kognitif akan menyebabkan gangguan dalam pekerjaan
atau kehidupan sosialnya. Dengan mengetahui adanya gangguan kognitif tersebut maka
penanganan dan pencegahan gangguan kognitif yang lebih berat untuk pasien tersebut
diharapkan akan lebih baik.
5
BAB III
ISI
3.1. HlV-AlDS
lstilah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dipakai sejak tahun 1986 sebagai nama untuk
retrovirus yang diusulkan pertama kalinya oleh Luc Montagnier sebagai penyebab AIDS
(Acquired Imunodeficiency Syndrome). HIV adalah anggota genus Lentivirus, keluarga
Retrovirus yang ditandai oleh suatu periode latensi panjang dan sebuah sampul lipid dati set
induk yang mengelilingi sebuah pusat protein RNA. Dikenal dua spesies HIV yang
menginfeksi manusia yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 sendiri dianggap sebagai sumber dari
kebanyakan infeksi di seluruh dunia.
3.1.1. Struktur Genomik HlV
HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
lentivirinae, genus Lentivirus, dan berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus
yang merupakan kelompok virus RNA yang mempunyai berat molekul 9,7 kb (kilobase).
HIV memiliki tonjolan ekstemal yang dibentuk oleh 2 protein utama envelope virus,
gp120 di sebelah luar dan gp41 yang terletak di transmembran. Gp120 tersebut memiliki
afinitas tinggi terutama terhadap reseptor CD4+, sedangkan gp4l bertanggung jawab
dalam proses internalisasi atau adsorpsi. Selain itu ia juga mempunyai untaian RNA yang
pada setiap untaiannya memiliki sembilan gen (gag,pol,vif,vpu,env,rev,tat,nev). RNA
tersebut diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut yang terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein
Virus dan dikelilingi oleh kapsid selubung virus (envelope). Masing – masing subunit
selubung virus terdiri atas 2 non-kovalen rangkaian protein membran glikoprotein 120
(gp120), protein membran luar dan glikoprotein (gp41).
3.1.2. Patogenesis Infeksi HIV
Menurut Kelly (2004) yang diperkuat oleh Matapalil et al (2006) fase perjalanan infeksi HIV
dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu : fase infeksi akut, kronik dan laten.
1. Fase Infeksi Akut
Fase ini terdapat 40-90% kasus yang merupakan keadaan klinis yang bersifat
sementara yang berhubungan dengan replikasi virus pada stadium tinggi dan ekspansi virus
6
pada respon imun yang spesifik. Proses replikasi tersebut menghasilkan virus-virus baru yang
jumlahnya jutaan dan menyebabkan terjadinya viremia yang memicu timbulnya sindroma
infeksi akut. Diperkirakan 50-70% orang yang terinfeksi HIV mengalami sindroma infeksi
akut selama 3 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum seperti demam, faringitis,
limfadenopati, artralgia, mialgia letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare,
anoreksia, penurunan berat badan. HIV juga dapat menyebabkan kelainan sistem saraf
meskipun paparan HIV terjadi pada stadium infeksi masih awal. Fase ini terjadi penurunan
limfosit T yang cukup dramatis yang kemudian diikuti kenaikan limfosit T, meskipun
demikian tidak ada antibodi spesifik HIV yang dapat terdeteksi pada stadium awal infeksi ini.
Selama masa infeksi akut, HIV mereplikasikan dirinya secara terus-menerus, sehingga
mencapai level 100 juta kopi HIV RNA/ml. HIV tersebut mempunyai topisme pada berbagai
sel target, terutama pada sel-sel yang mampu mengekspresi CD4+, yaitu:
1. Sistem saraf : astrosit, mikroglia, dan oligodendroglia
2. Sirkulasi sistemik : limfosit T, limfosit B, monosit dan makrofag
3. Kulit : sellangerhans, fibroblast dan dendritik
Terjadi interaksi antara gp120 virus dengan reseptor CD4+ yang terdapat pada sel
limfosit T pada awal infeksi, interaksi tersebut menyebabkan tetjadinya ikatan dengan
reseptor kemokin yang bertindak sebagai koreseptor spesifik CXCR4 dan CCR5 yang juga
terdapat pada membran sel target. Proses internalisasi HIV pada membran sel target juga
memerlukan peran Glikoprotein 41 (gp41) yang terdapat pada selubung virus. Gp4l tersebut
berperan dalam proses fusi membran virus dengan membran sel target. Peran dari gp41
tersebut menebabkan seluruh komponen inti HIV dapat masuk dan mengalami proses
internalisasi yang ditandai dengan masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma.
2. Fase Infeksi Laten
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel
dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat
dikendalikan, gejala akan hilang dan mulai memasuki fase laten. Fase ini jarang ditemukan
virion di plasma, sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan tetjadi replikasi di
kelenjar limfe sehingga di dalam darah jumlahnya menurun. Jumlah limfosit T CD4+
menurun hingga sekitar 500-200 sel/mm3. Fase ini berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun
setelah terinfeksi HIV. Tahun ke 8 setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis seperti
demam, banyak keringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10% diare,
7
.
' K
lesi pada mukosa dan kulit yang berulang. Gejala-gejala tersebut merupakan awal tanda
munculnya infeksi oportunistik.
3. Fase lnfeksi Kronik
Selama fase ini terdapat peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam
sirkulasi sistemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun. Terjadi penurunan jumlah
limfosit T CD4+ hingga di bawah 300 sel/mm. Penurunan ini mengakibatkan sistem imun
menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit sekunder. Perjalanan
penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS.
3.1.3. Gangguan neurokognitif pada infeksi HIV
Infeksi HIV dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat, bila otak yang
terkena dapat terjadi gangguan neurokognitif yang disebut HIV- associated neurocognitive
disorder (HAND) berupa HIV-associated dementia (HAD) atau AIDS dementia complex,
mild neurocognitive disorder (MND), dan asymptomatic neurocognitive impairment (ANI).
Gejala gangguan neurologik tersebut dapat diprediksi dengan jumlah limfosit CD4+ pada
penderita, jadi penderita dengan CD4+ masih cukup tinggi atau diatas 200 sel/µl mengalami
gangguan neurokognitif berupa MND atau ANI. HAND terjadi pada penderita yang sudah
dalam fase AIDS. Sindrom yang terjadi pada HAND berupa gangguan neurokognitif (mudah
lupa), gangguan emosi (menyebabkan agitasi atau apatis), dan disfungsi motorik (tremor,
ataksia, spastisitas). Gejala klinis demensia tersebut berbeda antara satu individu dengan
individu lain, ada yang mengalami perburukan dalam beberapa minggu atau dalam beberapa
bulan. MND terjadi sebelum HAD, yang mana terkadang sulit diidentifikasi karena penyakit
komorbiditas seperti cedera kepala atau koinfeksi seperti hepatitis C. Diagnosis HAD atau
MND menentukan prognosis dan bergantung pada pemakaian obat anti retroviral.
Gejala klinis yang menuntun ke arah diagnosis HAND atau demensia HIV adalah :
1. Serologi HIV positif
2. Terdapat gangguan yang bersifat progresif, kognitif, perilaku, memori, dan
perlambatan mental
3. Pemeriksaan neurologik : gambaran gejala neurologik yang bersifat difus,
perlambatan rapid eye movement dan motorik ekstremitas, hiperefleksia,
hipertonia, dan dijumpainya release sign.
4. Pemeriksaan neuropsikologi : impairmen pada dua jenis pemeriksaan yaitu fungsi
lobus frontal, kecepatan motorik dan memori verbal.
8
5. Cairan otak : tidak dijumpai neurosifilis dan menigitis kriptokokus
6. Pemeriksaan radiologik : atrofi serebri dan disingkirkan adanya lesi fokal
7. Tidak dijumpai penyakit psikiatrik mayor dan intoksikasi
8. Tidak dijumpai gangguan metabolik, hipoksemia, sepsis, dan lain – lain
9. Tidak dijumpaiu penyakit oportunistik otak yang aktif
Berdasarkan American Academy of Neurology kriteria dari gangguan kognitif terkait
HIV/MND adalah :
Probable (harus ada semua gejala dibawah ini) :
1. Abnormalitas kognitif/motorik/perilaku yang di dapat, dipastikan oleh anamnesa yang
dipercaya dan pemeriksaan neurologik neuropsikologik
2. Mild impairment dari aktifitas sehari – hari
3. Tidak masuk kriteria demensia HIV atau myelopati HIV
4. Tidak disebabkan etiologi lain
Possible (harus ada salah satu gejala di bawah ini) :
- (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi ada alternatif etiologi lain dan
penyebab dari (1) tidak pasti.
- (1), (2), dan (3) didapatkan gejala di atas, tetapi etiologi dari (1) tidak dapat
ditentukan berdasarkan evaluasi yang inkomplit
Kriteria MND :
1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain
kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam, 1,0 standar deviasi di bawah
ini, dari umur, pendidikan, norma yang cocok berdasarkan tes neuropsikologik yang
terstandarisasi. Penilaian neuropsikologik harus termasuk kemampuan: verbal/bahasa,
atensi/kecepatan proses abstrak/eksekutif, memori (pembelajaran, mengingat),
perseptual kompleks performa motorik, kemampuan motorik.
2. Gangguan kognitif menyebabkan sedikitnya gangguan ringan keterlibatan fungsional
sehari – hari ( paling sedikit satu dibawah ini) :
- Berkurangnya ketajaman mental diri sendiri, tidak efisien dalam bekerja,
pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial
- Pengamatan dari orang lain yang menyatakan bahwa individu tersebut telah
mengalami kemunduran ringan dari mental, dengan gabungan dari gejala tidak
9
efisien dalam bekerja, pekerjaan rumah tangga atau fungsi sosial
3. Gangguan kognitif didapatkan paling sedikit 1 bulan
4. Gangguan kognitif tidak termasuk kriteria untuk delirium atau demensia HIV
5. Tidak didapatkan bukti penyebab lain dari MND (infeksi susunan saraf pusat,
neoplasma, penyakit serebrovaskuler, penyakit neurologi yang telah ada, gangguan
psikiatrik, atau ketergantungan berat substansi tertentu)
Kriteria diagnosis ANI :
1. Gangguan fungsi kognitif yang didapat, dimana minimal terlibatnya 2 domain
kognitif, yang didokumentasikan paling sedikit dalam 1,0 standar deviasi di bawah
ini, dari umur, pendidikan, norma yang cocok berdasarkan tes neuropsikologik yang
terstandarisasi.
2. Gangguan kognitif tidak menyebabkan gangguan fungsional sehari – hari
3. Gangguan kognitif tidak memenuhi kriteria delirium atau demensia
4. Tidak ada bukti yang menjadi penyebab lain dari ANI.
3.2. Limfosit Total
Limfosit total merupakan bagian dari sel darah putih, jumlahnya sekitar 20% - 35%
dari leukosit yang beredar. Pemeriksaan darah limfosit dapat terlihat berupa sel bulat kecil
berdiameter 7 – 12 µm, dengan nukleus yang berlekuk dan sitoplasma biru terang.
Mempunyai granul azurofil sedikit, hamoir tidak mempunyai retikulum endoplasma tetapi
mempunyai ribosom bebas dalam sitoplasmanya. Salah satu sifat penting dari limfosit adalah
motilitasnya yang dapat menembus dinding kapiler dan meninggalkan aliran darah lalu
bergerak bebas dalam jaringan ikat tubuh/ maka limfosit bisa didapatkan dalam pembuluh
darah, pembuluh limfe, atau jaringan ikat, juga merupakan bagian utama dari timus,
limfonodus, limpa dan jaringan limfoid pada mukosa saluran cerna, saluran napas dan saluran
kemih.
Limfosit total terdiri dari tiga tipe yang dapat diidentifikasi berdasarkan molekul
permukaannya, yaiut sel limfosit B (23%), sel limfosit T (65%) dan NK cells (7%). Limfosit
B dan T penampilannya identik, maka pemeriksaan dalam respon imun tergantung metoda
imunositokimia canggih berdasarkan perbedaan molekul yang terpapar pada permukaannya.
Limfosit B berasal dari sel induk sumsum tulang dan bertahan selama beberapa bulan
dan selama itu beredar melalui darah, limfonodus, limpa dan saluran limfe secara berulang –
10
ulang beberapa kali. Peredaran tersebut yang dapat bertemu dan mengenali antigen yang
pernah memasuk tubuh. Identifikasi limfosit B dengan melihat antibodi atau imunoglobulin
sebagai protein membran integral pada permukaannya yang berfungsi sebagai sistem imun
humora. Beberapa sitokin seperti IL-2, IL-5, IL-11 dan NGF bekerja pada sel B sehingga
dapat meningkatkan proliferasi dan diferensiasi menuju sel yang dapat mensekresi
imunoglobulin.
Limfosit T berasal dari sel induk sumsum tulan juga tetapi setelah memasuki darah
langsung keluar dari peredarah darah untuk menuju dan menetap di timus, lalu berproliferas.
Sel T bersifat klonal dan sangat spesifik antigen, di membran plasmanya memiliki protein –
protein reseptor spesifik, berupa reseptor antigen yang terdiri atas dua rantai polipeptida (α
dan β).
Diferensiasi sel T dalam timus menghasilkan populasi yang memaparkan reseptor
dengan berbagai kekhususan berbeda. Sel – sel dengan reseptor yang dapat mengenali
molekul histokompatibilitas atau MHC (Major Histocompatibility Complex) individu itu
sendiri akan mati selama berada timus. Eliminasi sel reaktif tersebut berakibat tersisanya
populasi sel T matang yang sanggup bereaksi hanya dengan antigen dari luar tubuh. Selama
diferensiasi, limfosit T tidak saja mendapat reseptor berbeda namun juga memaparkan
molekul permukaan antibodi monoklonal. Semua antibodi yang bereaksi dengan penanda
yang sama dikelompokkan berdasarkan tes imunofluoresen ke dalam kelompok diferensiasi
atau Cluster of Differentiation (CD) seperti CD1, CD2, CD3, dan seterusnya. Duan diantar
subset limfosit T CD tersebut mendapat perhatian khusus, yaitu CD4+ yang berfungasi
sebagai T-helper dalam produksi antibodi yang mengenali MHC class II sedangkan CD8+
berfungsi sebagai sel T sitotoksik yang merupakan sel efektor dalam respon sel yang dapat
melisis antigen dan mengenali MHC class I. Sel T-helper yang matur berspon terhadap
antigen asing dengan memodulasi sitokin seperti IFN-γ, IL dan TNF-α.
Sel NK (Natural Killer) merupakan limfosit yang pada umumnya berukuran lebih
besar di antara jenis limfosit lainnya dan berperan pada aktifitas sitotoksik non spesifik dalam
melawan infeksi virus dan sel tumor.
Beberapa peneliti seperti Srirangaraj dan Daka menggunakan jumlah limfosit total
sebagai pengganti nilai jumlah limfosit T CD4+ sebagai penanda (marker) progresifnya dari
infeksi HIV.
11
3.2.1. Sel Limfosit T CD4+
Nilai normal sel limfosit T CD4+ adalah 500 – 1200 sel/mm3, digunakan untuk
mengetahui sistem imun dari pasien dan untuk penentuan terapi serta profilaksis patogen
oportunistik pada penderita HIV/ AIDS. Infeksi HIV terjadi penurunan limfosit T CD4+,
virus HIV menggunakan sel untuk berkembang di inang dari sel T dengan mengikat protein
dari viral envelope yang dikenal dengan gp120 dan gp41 lalu virus HIV tersebut memasuki
sel tersebut dengan 3 tahap, yaitu perleketan, penggabungan, dan masuk ke dalam sel
(gambar 1)
Gambar 1. Cara Virus HIV memasuki sel
Sumber : Levy J
Pemeriksaan jumlah limfosit T CD4+ dengan menggunakan cara flow cytometri yang
biasanya diulang setiap 3 – 6 bulan sekali pada pasien HIV/ AIDS. Beberapa faktor
mempengaruhi jumlah limfosit T CD4+, seperti perubahan diurnal yang menunjukan bahwa
nilai terendah adalah pada pukul setengah satu siang sedangkan nilai puncak pada pukul
setengah sembilan malam, variasi tersebut belum secara jelas hubungannya dengan irama
sirkardian. Penurunan dapat terjadi juga pada penderita infeksi akut dan operasi mayor.
Pemberian kortikosteroid pada penyakit akut dapat menurunkan jumlah limfosit T CD4+,
tetapi pemakaian lama untuk penyakit kronik menunjukan tidak terlalu berpengaruh.
Perubahan pada penyakit akut mungkin disebabkan redistribusi leukosit antara sirkulasi
perifer dengan sumsum tulang, limpa, dan nodus limfoid. Jenis kelamin, usia pada orang
dewas, stres psikologi, stres fisik, dan kehamilan mempunyai efek minimal terhadap jumlah
limfosit T CD4+. Pemakaian obat antiretroviral dapat meningkatkan jumlah limfosit T CD4+
sebanyak ≥ 50 sel/mm3 setelah pemakaian 4 sampai 8 minggu dan meningkat 50 – 100
sel/mm3 tiap tahunnya.
Jumlah limfosit T CD4+ dalam presentase terkadang digunakan untuk mengetahui
kondisi umunitas penderit HIV/ AIDS untuk menghindari hasil positif palsu rendah dan
12
positif palsu tinggi, tetapi data dari penelitian besar observasional menganjurkan bahwa
jumlah limfosit T CD4+ paling bermanfaat untuk prediksi perkembangan infeksi
oportunistik.
3.3 Fungsi Kognitif
3.3.1. Pengertian Fungsi Kognitif
Pengertian kognitif menurut behavioral neurology, adalah suatu proses dimana semua
masukan sensoris (taktil, visual dan auditorik) akan diubah, diolah, disimpan, dan selanjutnya
digunakan untuk hubungan interneuron secara sempurna sehingga individu mampu
melakukan penalaran terhadap masukan sensoris tersebut.
Konsep yang paling banyak dianut, bahwa fungsi kognitif mencakup lima domain, yaitu :
1. Perhatian (atensi)
Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus tertentu, dengan
mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan. Atensi merupakan hasil hubungan
antara batang otakm aktivitas limbic dan aktivitas korteks sehingga mampu untuk focus pada
stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang itdak relevan. Konsentrasi merupakan
kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi
dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahas dan fungsi
eksekutif.
2. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun
kemampuan fungsi kognitif. Didapatkan gangguan bahasa, maka pemeriksaan kognitif seperti
memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan
3. Memori
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan penyandian informasi, proses
penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh dalam ke tiga proses
tersebut akan mempengaruhi fungsi memori.
4. Visuospasial
Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau
meniru berbagai macam gambar (misalnya : lingkaran, kubus) dan menyusun balok – balok.
Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer
kanan berperan paling dominan.
13
5. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan
pemecahan masalah. Fungsi ini dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur
subkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Fungsi eksekutif dapat terganggu bila
sirkuit frontal subkortikal terputus. Lezack membagi fungsi eksekutif menjadi 4 komponen
yaitu volition (kemauan), planning (perencanaan), purposive action (bertujuan), effective
performance (pelaksanaan yang efektif) seandainya ada gangguan fungsi eksekutif , maka
gejala yang muncul sesuai keempat komponen diatas.
3.3.2 Anatomi Fungsional Fungsi Kognitif
Otak dalam menjalanjan fungsi kognitif sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Fungsi kognitif di dalam otak dikelola oleh system limbuik.
Struktur limbic terdiri dari amigdala, hipokampus, nucleus talamik anterior, girus
subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus, dan korpus
mamillare. Alveus, fimbria, forniks, traktus mammilotalamikus, dan striae terminaliks
membentuk jaras - jaras penghubung system ini (gambar 2)
The limbic System
Gambar 2. Sistem limbik.
Sumber:Waxman SG
14
3.3.3. Manifestasi Gangguan
Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat melipuuti gangguan pada aspek bahasa,
memori, emosi, visuospasial, dan kognisi.
1. Gangguan bahasa : Menurut Critchley (1959) yang dikutip dari Sidarta (1989)
gangguan bahasa yang terjadi pada demensia terutama tampak pada kemiskinan kosa
kata. Pasien tak dapat menyebutkan nama benda atau gambar yang ditunjukkan
padanya (Confrontation naming), tetapi lebih sulit lagi menyebutkan nama benda
dalam satu kategori (category naming), misalnya disuruh menyebutkan nama buah
atau hewan dalam satu kategori. Sering adanya diskrepansi antara penamaan
konfrontasi dan penamaan kategori dipakai untuk mencurigai adanya demensia dini.
Misalnya orang dengan cepat dapat menyebutkan nama benda dalam satu kategori, ini
didasarkan karena adanya abstraksinya mulai menurun.
2. Gangguan memori : Gangguan mengingat sering merupakan gejala yang pertama
timbul pada demensia dini. Tahap awal yang terganggu adalah memori banrunya,
yakni cepat lupa apa yang baru saja dikerjakan. Lambat laun memori lama juga dapat
terganggu. Dalam klinik neurologi fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan
bergantung lamanya rentang waktu antara stimulus dan recall yaitu :
- Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dan recall
hanya beberapa detik. Dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat
(attention) disini.
- Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa
menit, jam, bulan, bahkan tahun.
- Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun – tahun bahkan
seumur hidup.
3. Gangguan emosi : Efek langsung yang paling umum dari penyakit pada otak pada
personality adalah emosi yang tumpul, disinhibition, kecemasan yang berkurang atau
euphoria ringan, dan menurunnya sensitifitas sosial. Dapat juga terjadi kecemasan
yang berlebihan, depresi dan hipersensitif.
4. Gangguan visuospasial : Gangguan juga sering timbul dini pada demensia. Pasien
banyak lupa waktu, tidak tahu kapan siang dan malam, lupa wajah teman dan sering
tidak tahu tempat sehingga sering tersesat (disorientasi waktu, tempat, dan orang ).
Secara obyektif gangguan visuospasial ini dapat ditentukan dengan meminta pasien
mengkopi gambar atau menyusun balok – balok sesuai bentuk tertentu.
15
5. Gangguan kognisi (cognition): Fungsi ini yang paling sering terganggu pada pasien
demensia, terutama daya abstraknya. Penderita selalu berpikir konkrit, sehingga sukar
sekali memberi makna peribahasa dan daya persamaan (similarities) mengalami
penurunan.
3.3.4. Faktor Resiko Terjadinya Gangguan Kognitif
Beberapa kondisi atau penyakit dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif, antara lain:
1. Usia.
Meningkatnya usia dapat terjadi perubahan fungsi kognitif yang sesuai dengan
perubahan neurokimiawi dan morfologi (proses degenerative)
2. Pendidikan.
Banyak studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi, berisiko rendah
menderita penyakit Alzheimer.
3. Genetik.
Termasuk faktor genetic adalah faktor bawaahn, jenis kelamin, dan ras. Penyakit
genetic yang berhubungan dengan gangguan kognitif diantaranya Huntington,
Alzheimer, Pick, Fragile X, Duchenne Muscular Distrofi, dan sindroma Down.
4. Berbagai penyebab yang dapat mempengaruhi perkembangan otak pada masa prenatal
dan pasca natal.
5. Cedera kepala.
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan kognitif, biasanya jenis cedera kepala
tertutup. Gangguan kognitif yang dapat timbul pada cedera kepala antara lain amnesia
anterograd dan retrograde, fungsi memori, gangguan kemampuan konstruksi, fungsi
bahasa, persepsi, kemampuan motorik dan kemampuan psikiatrik.
6. Obat – obat toksil atau napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif).
Beberapa zat toksi yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi kognitif antara lain,
karbonmonoksida, logam berat, alcohol, obat – obatan (seperti kokain, mariyuana,
halusinogen), amfetamin.
7. Infeksi susunan saraf pusat.
Beberapa penyakit infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis, maupun abses otak
dapat mengakibatkan gejala sisa berupa gangguan kognitif.
8. Epilepsi.
Frekuensi dan variasi gangguan kognitif yang terlihat pada penderita epilepsy cukup
tinggi, dan dampak psikologis maupun sosial juga tinggi. Obat – obat epilepsy sendiri
16
dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan kognitif.
9. Penyakit Serebrovaskuler.
Gangguan kognitif yang timbul pada penyakit serebrovaskuler dapat menjadi awal
terjadinya demensia vaskuler
10. Tumor Otak.
Tumor otak mengakibatkan perluasan lesi fokal yang dapat menimbulkan satu atau
kombinasi beberapa gejala kognitif. Gejala – gejala yang dapat timbul antara lain
afasia, disorientasi, kesulitan membaca, menulis, dan berhitugn, kebingungan, dan
gejala psikiatrik. Gejala lain dapat terjadi sesuai dengan lokasi tumor.
11. Nutrisi.
Zat gizi yang dibutuhkan untuk perkembangan otak bukan hanya zat gizi makro tetapi
juga zat gizi mikro.
12. Hormon Tiroid.
Defisit atau kelebihan hormon tiroid selama perkembangan dapat berefek buruk pada
fungsi neurologi. Karena laju produksi sel – sel pada berbagai region otak berbeda–
beda waktunya, maka periode kritis aksi hormone tiroid pada proliferasi sel berbagai
region otak tertentu akan berbeda – beda pula.
13. Stimulasi.
Semakin banyak stimulasi yang diterima seseorang di lingkungan rumah maupun
yang formal akan mempengaruhi fungsi kognitif
14. Stress.
Selain reaksi emosional, orang seringkali menunjukan gangguan kognitif yang cukup
berat jika berhadapan dengan stressor yang serius, akan sulit berkonsentrasi dan
mengorganisasikan pikiran secara logis.
15. HAART (Highly Active Antiretroviral therapy).
Penggunaan HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) memperlihatkan angka
harapan hidup penderita HIV/ AIDS meningkat. Obat tersebut menyebabkan
peningkatan supresi virus dalam peredaran darah sistemik. Gangguan kognitif pada
penderita HIV/AIDS menunjukkan penurunan sejak penggunaan HAART. Perubahan
patofisiologi di otak pada pasien dengan HIV-Associated Neurocognitive Disorders
(HAND) dapat berkurang berdasarkan penelitian Borjabad, dkk setelah penggunaan
ART.
16. Merokok.
Merokok dapat menyebabkan gangguan kognitif terutama fungsi memori Nikotin
17
dalam rokok merupakan zat neurotoksik.
17. Diabetes Melitus.
Kerusakan pembuluh darah otak karena komplikasi penyakit DM sering
menyebabkan infark lakuner yang dapat menimbulkan gangguan kognitif.
18. Penyakit Parkinson.
Penyakit Parkinson dapat menyebabkan demensia Lewi’s Bodies
19. Gangguan Psikiatrik.
Penderita dengan gangguan psikiatrik dapat terjadi pseudo demensia dan sulit dinilai
fungsi kognitifnya.
3.4 Hubungan Limfosit T CD4+ dengan Gangguan Fungsi Kognitif
Hubungan limfosit T CD4+ dengan gangguan fungsi kognitif merupakan hubungan
tidak langsung yaitu melalui beberapa mekanisme. HIV memasuk tubuh manusia maka akan
menginfeksi limfosit T CD4+ dan kemudian menginfeksi makrofag. HIV menginfeksi
limfosit T CD4+ yang berpasangan dengan koreseptor kemokin CXCR4 atau CCR5. Tahap
awal ketika HIV menginfeksi limfosit T CD4+ dan makrofag, virus tersebut akan menyerang
sel tersebut dengan membentuk enzim virus reverse transcriptase yang akan mengubah RNA
virus menjadi DNA virus lalu menginsersi genetic sel dari penderita. Limfosit T CD4+ yang
diserang oleh HIV akan rusak sehingga jumlahnya akan menurun dan bila jumlah limfosit T
CD4+ berkurang di bawah 200 sel/mm3 selain rentan terhadap infeksi oportunistik, virus akan
menginduksi cedera jaringan otak yang akan menyebabkan HAD.
HIV memasuki system susunan saraf pusat melalui sawar darah otak dengan
perantaraan limfosit T CD4+ dan makrofag. Protein Tat dari HIV akan menyebabkan stress
oksidatif, menginduksi apoptosis, dan merusak tight junction dari sel endotel. Sarung protein
HIV gp160 yang terbagi menjadi gp120 dan gp41, telah terbukti toksik terhadap neuron.
Cedera neuronal dan kematian sel terjadi melalui paparan protein virus tersebut dan molekuk
neurotoksik seperti MMPs (matriks metalloproteinase) dan ROS (reactive oxygen species)
seperti peroksinitrit, dan juga NO. Di susunan saraf pusat HIV akan menginfiltrasi makrofag,
microglia dan astrosit tetapi tidak menginfeksi neuron, oligodendrosit, atau sel Schwan.
Limfosit T CD4+ yang terinfeksi HIV mengaktivasi sitokin pro inflamasi dan
kemokin (seperti MCP-1/CCL2, MIP-1α/β) melalui makrofag atau microglia. Peningkatan
sitokin di jaringan otak yang terinfeksi HIV, seperti BDNF, GDNF, IGF, NGF, TNF-α, IL-8,
IL-1β dan lain – lain akan menyebabkan fungsi dari neuron dan astrosit terganggu. Sitokin
18
tersebut menghalangi pengambilan glutamate oleh astrosit sehingga mengakibatkan
akumulasi neurotransmitter eksitatorik. Aktivitas yang berlebihan dari reseptor glutamate
(NMDA/N-methyl-D-aspartate atau AMPA/alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-
isoxalopropionic acid) menyebabkan eksitotoksisitas yang menuju apoptosis neuronal.
Kemokin akan menyebabkan penarikan makrofag ke jaringan otak yang telah
mengalami inflamasi sehingga proses inflamasi akan berlanjut. Infeksi lanjut pada HIV akan
menyebabkan ensefalitis, yang ditandai dengan sel raksasa multinukleus, terdeteksinya
antigen virus, kerusakan pervaskuler, dan kepucatan menyeluruh dari substansia alba atau
kerusakan sinaptodendritik dan inhibisi terhadap LTP (Long Term Potentiation). Kerusakan
sinaptodendritik adalah suatu perubahan structural dan kimiawi yang mengganggu fungsi
hubungan neuronal. Fungsi kognitif bergantung pada integritas yang kompleks dari hubungan
sinaptodendritik, jadi bila ada kerusakan akan terjadi gangguan kognitif dan perilaku.
19
BAB IV
KESIMPULAN
Gangguan fungsi kognitif yang disebabkan oleh karena kerusakan sinaptodendritik di
otak sehingga mengganggu fungsi hubungan neuronal, diinduksi oleh proses inflamasi
sebagai akibat masuknya HIV ke dalam otak yang dibawa oleh limfosit T CD4+, monosit dan
makrofag. Kematian neuron karena proses inflamasi juga menghambat long term potentiation
(LTP) pada proses memori.
Penelitian Valcour, dkk mendapatkan hasil bahwa jumlah lomfosit T CDD4+ yang
rendah dapat meningkatkan kejadian gangguan kognitif berupa HAD (HIV-associated
dementia). Berdasarkan hasil yang didapatkan adanya gangguan fungsu kognitif dengan nilai
skor MoCa-Ina yang semakin rendah dengan menurunnya jumlah limfosit T CD4+.
Hasil analisis uji Pearson jumlah limfosit total dan limfosit T CD4+ menunjukan
semakin banyak HIV bereplikasi di dalam tubuh makan semakin banyak sel limfosit T CD 4+
yang rusak sehingga jumlahnya menurun dan menyebabkan jumlah limfosit total mengalami
penurunan juga. Penelitian Srirangaraj kemudian penelitian Daka telah menyimpulkan bahwa
jumlah limfosit total < 1200 sel/mm3 dapat memperkirakan jumlah limfosit T CD4+ < 200
sel/mm3.
Faktor resiko dengan gangguan fungsi kognitif memperlihatkan bahwa jumlah
limfosit total, limfosit T CD4+ dan infeksi oportunistik merupakan faktor risiko terjadinya
gangguan fungsi kognitif. Ada teori yang menyatakan penggunaan HAART (Highly Active
Anti Retroviral Therapy) memperlihatkan penurunan gangguan kognitif pada penderita
HIV/AIDS karena beberapa faktor risiko gangguan kognitif dan obat ARV yang mempunyai
efek samping gangguan kognitif yaitu efavirens.
Pemakaian ARV merupakan pengobatan yang harus dimakan setiap hari dan seumur
hidup sehingga berpotensi untuk drop out atau berhenti minum obat. Pencegahan gangguan
kognitif pada pasien HIV dapat dilakukan dengan minum obat secara teratur dengan
didampingi orang dekat pasien yang dapat mengingatkan jika penderita lupa atau mengalami
kebosanan dalam minum obat tersebut.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Asosiasi Alzheimer Indonesia. Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia
Alzheimer dan Demensia lainnya. Konsensus Nasional, Edisi I. Jakarta. 2003.
2. Mesulam MM. Principles of Behavioral and Cognitive Neurology, 2nd ed, Oxford.
Oxford University Press. 2002.
3. Sacktor N, Wong M, Nakasujja N, Skolasky R, Selnes O, Musisi S, et al. The
International HIV Dementia Scale : a new rapid screening test for HIV dementia.
AIDS. 2005.
4. Victor M. Ropper AH. Principles of Neurology 7th ed. New York: McGraw Hill,
2001.
21
top related