qanun aceh
Post on 27-Mar-2016
8 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
QANUN ACEH
Oleh : Prof.Dr.Komariah Emong Sapardjaja , S.H.
Hakim Agung
I. Pengantar
Qanun Aceh, menarik perhatian tidak saja bagi masyarakat Indonesia sendiri, tetapi
juga masyarakat Negara-negara lain, karena ada suatu hal yang sangat aneh yaitu
pelaksanaan pidana dengan jalan mencambuk orang yang melakukan tindak pidana
tertentu.
Pencambukan tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan eksekusi putusan
Hakim atas terbuktinya dakwaan JPU bahwa Terdakwa telah bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan. Hal tersebut berbeda dengan pelaksanaan putusan Hakim di
Provinsi lain di Indonesia ini yang untuk tindak pidana yang sama biasanya berupa pidana
badan atau pidana denda, seperti tercantum dalam KUHP.
Namun terlepas dari masalah tersebut, kita tetap menghormati kehendak
masyarakat NAD, karena itulah yang dianggap sesuai dengan hukum yang hidup di
masyarakat NAD.
II. Sejarah berlakunya KUHP
KUHP yang saat ini berlaku, sesungguhnya adalah peninggalan zaman penjajahan
Belanda, yang berdasarkan asas konkordansi dengan Wetboek van Strafrecht berlaku di
Indonesia berdasarkan KB tahun 1915, sebagai Wetboek van Strafrecht voor Nederlands
Indie. Kecuali berlakunya Gunzei Keizirei pada zaman penjajahan Jepang WvSNI adalah
satu-satunya (unifikasi) kitab undang-undang hukum pidana di Indonesia.
Sejak proklamasi kemerdekaan RI, WvSNI tetap berlaku berdasarkan pasal II
Peralihan UUD 1945.
Pada tahun 1946, berdasarkan UU No.1 tahun 1946, pasal VI, WvSNI disebut KUHP,
yang berlaku hanya untuk Jawa, bali dan Sumatera Tmur. Baru pada tahun1958
berdasarkan UU No.73 tahun 1958, berlakulah bagi seluruh wilayah Indonesia.
KUHP sejak disebut oleh UU No.1/1946 tersebut pada dasarnya berbahasa Belanda,
kecuali kemudian diubah dan ditambah oleh Undang-undang Republik Indonesia dan
berbagai peraturan perundang-undangan pidana di luar KUHP.
Pada dasarnya KUHP member peluang perubahan, terlebih lagi secara filosofis,
sosiologis, dan praktis, KUHP tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman,
walaupun pada dasarnya peluang perubahan sudah dimuat dalam Pasal V UU No.1/1946
yaitu dalam pasal V yang berbunyi :
Peraturan Hukum Pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat
dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai Negara
merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian
sementara tidak berlaku
-
2
Beberapa tahun lagi KUHP kita akan berumur 100 tahun. Walaupun sejak tahun
1970-an telah muncul gagasan untuk membaharukan KUHP, sampai sekarang ternyata
konsep-konsep KUHP yang disebut sebagai konsep 1980, 1982, 1993. 2000, 2004, 2008,
masih belum dibahas oleh DPR, karena banyak hal yang terdapat dalam konsep tersebut
telah tidak memadai lagi / ketinggalan zaman. Het recht hink achter de feiten aan ,tetap
merupakan adagium yang abadi.
III. Sejarah badan-badan peradilan di Indonesia
Karena adanya IS 1930, yang membagi penduduk Indoesia dalam 3 golongan, yaitu
golongan Eropa atau yang disamakan, Golongan Timur Asing, dan Golongan Pribumi, maka
badan-badan peradilan yang menyelesaikan sengketa di kalangan mereka pun beragam.
Di zaman sebelum tahun 1951 terdapat berbagai macam badan peradilan yang
mempunyai kewenangan mengadili sangat beragam (bagi mereka yang ingin
memperdalam/mempelajari sejarah badan peradilan di Indonesia banyak buku yang dapat
dibaca, a.l. yang ditulis oleh R.Tresna dan Sudikno Mertowerdoyo).
Banyaknya badan-badan peradilan yang masing-masing mempunyai yurisdiksi
sendiri-sendiri tersebut, menimbulkan perlakuan yang diskriminatif.
Perlakuan diskriminatif tersebut baru hilang pada tahun 1951, dengan Undang-
undang No.1 (drt) 1951. Dengan undang-undang ini hanya dikenal 3 tingkatan badan
peradilan bagi semua penduduk di Indonesia, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung dengan tugas dan kewenangan yang telah ditentukan, disertai
dengan hukum acara yang berlaku pada masing-masing tingkatan.
Akan tetapi kekuasaan kehakiman masih diatur dalam RO (Rechterlijke Organisatie)
dan baru pada tahun 1964 dengan UU No.19 tahun 1964, Undang-undang tentang
kekuasaan Kehakiman diundangkan. Yang kemudian diubah dan ditambah dengan UU
No.14 tahun 1970, diubah lagi dengan Undan-undang No.35 tahun 1999, diubah lagi
dengan Undang-undang No.4 Tahun 2004, dan yang terakhir diubah oleh Undang-undang
No.48 Tahun 2009.
Sejak tahun 1964 telah dinyatakan bahwa :Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
. Dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan
Militer, dan LIngkungan Peradilan Tata Usaha Negara (pada Undang-undang No.4 Tahun
2004 ditambahkan : dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi).
Sehubungan dengan Undang-undang No.44 tahun1999 tentang penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dan Undang-undang No.18 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Proninsi Aceh
Darrusalam, maka dengan Keppres No.11 tahun 2003, Pengadilan Agama yang telah ada di
Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam diubah menjadi Mahkamah Syariyah.
-
3
Dengan demikian Sistem Peradilan Jinayah (hanya untuk menggantikan istilah
Sistem Peradilan Pidana) telah berjalan di Aceh, yang komponen-komponennya yaitu Polisi
sebagai Penyidik, Jaksa sebagai Penuntut Umum, dan Pengadilan sebagai pihak yang
mengadili, serta lembaga Pemasyarakatan, tetap berfungsi dalam melaksanakan
penanggulangan kejahatan.
Sistem Peradilan Jinayah diatur dalam Bab XVIII tentang Mahkamah Syariah, Bab
XXVI tentang Kepolisian, dan Bab XXVII tentang Kejaksaan.
Tentang kewenangan Mahkamah Syariah mengadili perkara jinayah, terdapat dalam
pasal 128 ayat (3), yang di dalam UU No.2 tahun 2004 pasal 15 ayat 92) disebut sebagai
pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum, sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan
peradilan umum.
IV. Qanun Aceh dan hukum pidana
Qanun mempunyai kekuatan hukum yang sejajar dengan Undang-undang. Bagi
masyarakat Aceh, qanun bukanlah istilah baru, dan sudah dikenal sejak masa kerajaan
aceh (tercatat sejak tahun 1270 H). Secara yuridis dipergunakan lagi dalam UU No.18
tahun 2001.
Beberapa Qanun yang menyangkut hukum pidana dan memuat ketentuan hukum
pidana adalah:
a. Qanun No.12 tanun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya;
b. Qanun No. 13 tentang Maisir (perjudian);
c. Qanun No.14 tentang Khalwat (mesum);
Secara akademis sering muncul pertanyaan apakah Qanun Aceh yang menyangkut
bidang hukum pidana tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat (1) KUHP ?
Jawabannya tentu saja tidak, karena Qanun tersebut sejajar dengan Undang-
undang, jadi tidaklah bertentangan dengan adagium bahwa hukum pidana adalah hukum
Undang-undang.
Dan akhirnya sebagai penutup dari diskusi ini, pendapat prof.Mochtar
Kusumaatmadja, bahwa hukum adalah alat pembaharuan nasional, sehingga hukum yang
baik adalah hukum yang hidup dalam amsyarakat, sebaiknya peraturan hukum pidana yang
berakar pada qanun, bagi masyarakat Aceh harus dipertahankan.
Jakarta, 7 Maret 2012.
top related