pidana mati dalam hukum pidana indonesia … · web viewpidana mati dalam hukum pidana indonesia...
Post on 23-Apr-2018
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DITINJAU
DARI ASPEK NILAI DASAR PANCASILA
Oleh Rohmawati1
PENDAHULUAN
Hidup, mati, jodoh, dan rizki sesungguhnya milik Alloh SWT. Manusia hanya
mampu berdoa dan berusaha, yang menentukan segala sesuatu yang terjadi pada diri
manusia adalah Alloh SWT. Ungkapan tersebut mengisyaratkan kepada manusia untuk
menyadari bahwa kedudukan manusia di hadapan Alloh memiliki martabat yang lebih
tinggi dibanding dengan makhluk lain. Untuk itu, segala permasalahan manusia di dunia
wajib diselesaikan dengan akal pikiran yang sehat dan jernih dengan mempertimbangkan
aspek hukum dan hak asazi manusia.
Pemidanaan adalah salah satu bentuk upaya manusia untuk mencegah
timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dan pelanggaran yang berat dan istilah
pidana mati dalam sejarah hukum pidana merupakan dua komponen permasalahan yang
saling berhubungan. Hal ini diwujudkan dalam KUHP Indonesia yang mengancam
kejahatan tertentu (kejahatan berat) dengan pidana mati.
Seiring waktu yang terus berjalan, di berbagai negara terjadi perubahan dan
perkembangan baru, dimana sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan
adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat paling mujarab
terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun kejahatan-kejahatan lain. Begitu juga masa
sekarang, pidana mati diharapkan mampu sebagai obat mujarab untuk membasmi
kejahatan.
1 Teknisi pada FIS Unnes
1
Bangsa Indonesia saat ini sedang melakukan pembaharuan di bidang hukum
pidana, salah satunya pidana mati. Pihak pendukung dan penentang pidana mati mencoba
untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh
bagi terbentuknya suatu kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, hasil
pikiran bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.
Masalah pemidanaan sangat berkaitan dengan kehidupan seseorang di
masyarakat, terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga
bagi kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan.
Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana kadang kala dihadapkan dan
mempertimbangkan suatu pendapat yang dipaparkan oleh Hazewinkel-Suringa, yaitu
“pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjamin supaya pribadi
manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang–kadang sebaliknya,
pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka
pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara diserang, misalnya yang bersangkutan
dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi
manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan pihak lain, pemerintah negara
menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Dalam hukum pidan dikenal beberapa teori tujuan pemidanaan, antara lain, teori
absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan. Teori absolut
(pembalasan menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang
menuntut pidana mati yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada
dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si
2
pembuat karena tercela dan corak objektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada
perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.
Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata
tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan
(prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah
prevensi umum dan prevensi khusus. Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok
pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak
ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban
masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan
adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar
melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.
Teori gabungan mendasarkan jalan pikiran bahwa pidana hendak didasarkan
atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan
secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa meghilangkan
unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.
Sedangkan menurut Muladi, dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus
tercakup dua hal yaitu pertama, harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat
yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku;
kedua, harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat,
pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan
masyarakat.
Tujuan pemidanaan menurut konsep KUHP 1991/1992 dinyatakan dalam pasal
51, adalah sebagai berikut:
3
1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadikannya orang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana
PIDANA MATI MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA
1. Pidana Mati dalam Hukum Adat
Pidana mati sudah dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai
macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana
mati juga bermacam-macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah
matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lain-lain.
Di Aceh, seorang istri yang berzina dibunuh. Di batak, jika pembunuh tidak
membayar denda dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk pidana mati,
maka pidana mati segera dilaksanakan. Kalau di Minangkabau menurut pendapat
konservatif dari Datuk Ketemanggungan dikenal hukum membalas, siapa yang
mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Sedangkan di Cirebon penculik atau
perampok wanita, baik penduduk asli atau bukan yang menculik atau mengadaikan
pada orang Cirebon d anggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Di Kalimantan,
orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di sulawesi
Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke
tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang.
4
Di Sulawesi Tengah, seorang wanita yang berhubungan dengan seorang
pria batua yaitu budak, maka tanpa melihat proses di pidana mati. Di Kepulauan Aru
orang yang membawa dengan senjata mukah, kalau ia tak dapat membayar denda ia
dipindana mati.
Di Pulau Bonerate, pencuri dipidana mati dengan jalan tidak diberi makan,
pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di bawah matahari hingga
mati. Di Nias, bila dalam tempo tiga hari belum memberikan uang sebagai harga
darah pada keluarga korban, maka pidana mati diterapkan.
Di Pulau Timor, tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar
atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa pidana mati. Sedangkan di Lampung
terdapat beberapa delik yang diancamkan dengan pidana mati yaitu pembunuhan,
delik slah putih (zina antara bapak dan ibu dengan anaknya atau mertua dengan
menantunya dsb) dan berzina dengan istri orang lain.
2. Pidana Mati menurut Hukum Islam
Ancaman pidana mati dalam hukum Islam, dikenal dengan istilah Qishash.
Pandangan Islam terhadap pidana mati tercantum dalam Al qur’an sebagai berikut :
a. Surat Al Baqarah ayat 178 yang artinya “ “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita
dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara
terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyah kepada pihak yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan hukuman
5
yang telah disyaratkan Tuhanmu, sementara untukmu adalah menjadi rahmat
pula. Siapa yang melanggar sesudah itu akan memperoleh siksa yang pedih.
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka
mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau
memaafkan/menyedekahkan.
b. Surat Al Baqarah ayat 179 artinya: ” Dalam hukum Qishash itu ada
(jaminan) kelangsungan hidup, hai oran-orang yang berakal, supaya kamu
bertaqwa.
c. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :
151)
d. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar.” (QS Al-Israa:
33)
e. “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
f. “Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
g. “dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa..... (QS Yunus:
40).
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-
6
Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang
perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25
gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975
gram perak).
Sesungguhnya pidana mati diundangkan Alloh SWT dalam hukumnya
yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan kelangsungan hidup manusia secara
umum. Dalam hukum qishash terdapat jaminan yang cukup besar bagi perlindungan
terhadap Hak Azasi Manusia. Adapun dalam keadaan di mana hukum syari’at tidak
dijalannkan, maka nyawa manusia lebih murah dari nyawa seekor ayam. Kemudian
hokum harus sesuai dengan rasa keadilan. Rasa keadilan di sini yang dijadikan
sebagai parameter adalah rasa keadilan Tuhan.
Dalam pandangan Islam, menghilangkan nyawa orang lain hanya boleh
karena dua faktor : 1) Kehendak Alloh SWT, 2) Konsekuensi penegakan hukumnya
(eksekusi atas putusan hakim). Sedangkan Ancaman pidana mati dalam pidana islam
menackup empat kejahatan : 1) perbuatan zina, 2) perampokan, 3) pembunuhan dan
subversi, 4) pengkhianatan terhadap agama (murtad). Dengan demikian sasaran yang
ingin di capai dibalik penerapan hukum islam adalah terwujudnya keamanan,
ketenteraman dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat
( Rudy Satrio M, 2004)
3. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di Indonesia
Roeslan Saleh dalam Syahruddin Husein (2003) mengatakan bahwa
KUHP Indonesia membatasi kemungkingan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa
7
kajhatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan yang berat itu
adalah :
a. Pasal 104 yaitu makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden
b. Pasal 111 ayat 2 yaitu membujuk negara asing untuk bermusuhan atau
berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang
c. Pasal 124 ayat 3 yaitu membantu musuh waktu perang
d. Pasal 140 ayat 3 yaitu makar terhadap raja atau kepala negara-negara
sahabat yang direncanakan dan berakibat maut
e. Pasal 340 yaitu pembunuhan berencana
f. Pasal 365 ayat 4 yaitu pencurian dengan kekerasan yang
mengakibatkan luka berat atau mati
g. Pasal 368 ayat 2 yaitu pemerasan dengan kekerasan yang
mengakibatkan luka berat atau mati
h. Pasal 444 yaitu pembajakan di laut, pesisir dan sungai yang
mengakibatkan kematian
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi
pelanggarnya, antara lain:
a. Pasal 2 Undang-undang No. 5 Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa
Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak
pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan
b. Pasal 2 Undang-undang No. 21 Tahun 1959 tentang memperberat ancaman
hukuman terhadap tindak pidana ekonomi
8
c. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Darurat No.12 tahun 1951 tentang senjata api,
amunisi atau sesuatu bahan peledak
d. Pasal 36 ayat 4 Sub b Undang-undang No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika, j.o
UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
e. Undang-undang No. 4 tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan
terhadap sarana/prasarana penerbangan
4. Pidana Mati dalam Rancangan KUHP
Konsep rancangan KUHP mengeluarkan pidana mati dari stelsel pidana
pokok dan mencantumkannya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau
sebagai pidana eksepsional. Penempatan pidana mati terlepas dari pidana pokok
dipandang penting.
Dalam konsep Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa macam
tindak pidana yang dinacm dengan pidana mati, antara lain:
a. Pasal 164 tentang menentang ideologi negara Pancasila : barang siapa secara
melawan hukum dimuka umum melakukan perbuatan menentang ideologi negara
Pancasila atau Undang-undang Dasar 1945 dengan maksud mengubah bentuk
negara atau susunan pemerintahan sehingga berakibat terjadinya keonaran dalam
masyarakat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun
b. Pasal 167 tentang makar untuk membunuh Presiden dam Wakil Presiden
c. Pasal 186 tentang pemberian bantuan kepada musuh
d. Pasal 269 tentang Terorisme :
9
1) ayat 1 : Dipidana karena melakukan terorisme, dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun dan paling rendah tiga tahun, barang siapa
menggunakan maksud menimbulkan suatu suasana teror atau ketakutan yang
besar dan mengadakan intimidasi pada masyarakat, dengan tujuan akhir
melakukan perubahan dalam sistem politik yang berlaku
2) ayat 2 : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling lama dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun, jika perbuatan
terorisme tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain
3) Dipidana mati atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling
rendah lima tahun, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan bahaya
bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang.
TINJAUAN ASPEK NILAI DASAR PANCASILA TERHADAP PIDANA MATI
Dalam suatu negara yang merdeka pasti mempunyai tujuan, bentuk dan dasar
negara, tak terkecuali Indonesia. Tujuan yang ingin di capai dari kemerdekaannya antara
lain: ingin terwujudnya masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, hidup damai
diantara bangsa-bangsa serta bersahabat dengan bangsa-bangsa di dunia, atas dasar
kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.
Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia,
terbentuk melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Secara
kausalitas Pancasila sebelum disyahkan menjadi dasar filsafat negara nilai-nilainya telah
ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat-istiadat,
kebudayaan dan nilai-nilai religius. Kemudian para pendiri negara mengangkat nilai
tersebut dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara
10
lain dalam sidang-sidang BPUPKI danPPKI yang akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945
dinyatakan syah oleh PPKI sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia.
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia mempunyai fungsi
dan peranan yang antara lain :
1. Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa terkandung makna bahwa
Pancasila merupakan rangakaian nilai-nilai luhur, yang menyeluruh terhadap
kehidupan itu sendiri yang berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata
kehidupan diri pribadi maupun dalam berinteraksi antar manusia dalam masyarakat
serta alam sekitarnya.
Dengan Pancasila menjadi pandangan hidup, maka bangsa Indonesia akan
mengetahui ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya, akan mampu memandang
dan memecahkan segala persoalan yang dihadapinya secara tepat. Pada puncaknya
Pancasila merupakan cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan
rokhaniah bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
2. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai maksud bahwa Pancasila
merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara
/penyelenggara Negara. Pancasila dalam kedudukan sebagai Dasar Negara sering
disebut sebagai Dasar Filsafat atau Dasar Falsafah Negara (philosofische Gronslas)
dari negara, ideologi negara atau (staatsidee). Konsekuensinya seluruh pelaksanaan
11
dan penyelenggaraan negara terutama segala peraturan perundang-undangan negara
dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.
3. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia
Pancasila sebagai ideologi bagi bangsa Indonesia pada hakekatnya Pancasila
diangkat dari pandangan masyarakat Indonesia, ideologi sebagai ajaran/doktrin/theori
yang diyakini kebenarannya, disusun secara sistematis, dan diberi petunjuk
pelaksanaannya dalam menanggapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai ideologi negara bersifat terbuka, aktual, dinamis,
antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan masyarakat. Keterbukaan
ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di
dalamnya, akan tetapi dalam aplikasinya ideologi Pancasila yang bersifat terbuka,
dikenal ada 3 tingkatan nilai yaitu nilai dasar yang tidak berubah yaitu Pembukaan
UUD 1945 yang merupakan pencerminan dari Pancasila, kemudian nilai instrumental
sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang senantiasa sesuai dengan keadaan, dan
nilai praktis berupa nilai pelaksanaan secara nyata yang sesungguhnya dalam
kehidupan yaitu Undang-undang dan peraturan pelaksana lainnya, yang sewaktu-
waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan jaman (Ali Mansyur, 2007 : 146-
148).
Penegakan hukum khususnya penanganan terhadap pelaku kejahatan yang
diputus hukuman mati dalam negara dapat dilakukan secara preventif dan represif.
12
Secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum
oleh warga masyarakat, sedangkan penegakan hukum represif dilakukan apabila
usaha preventif telah dilakukan ternyata masih juga terdapat pelanggaran hukum
(Teguh Prasetyo dkk, 2005: 111-112). Kemudian beberapa pendapat mengenai
pidana mati : Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menilai hukuman mati masih relevan
diterapkan di Indonesia. Bahkan, pihaknya mewacanakan perubahan cara eksekusi
terhadap terpidana mati dari hukuman tembak menjadi injeksi (suntik mati).
"Eksekusi dengan injeksi itu sudah pernah dibicarakan, namun belum kita dalami.
Rencananya, kita akan meminta pertimbangan pada IDI (Ikatan Dokter Indonesia)
untuk eksekusi dengan injeksi,"
Menurut Jaksa Agung, dasar ide injeksi itu mengacu pada jenis hukuman
mati yang diterapkan di Amerika Serikat. Dia menambahkan, di AS terpidana mati
disuntik dua kali dengan bahan mematikan Suntikan pertama diberikan agar terpidana
tersebut pingsan terlebih dulu. Kemudian, diberikan suntikan kedua yang
mengandung racun mematikan. "Sehingga, meninggalnya terpidana tersebut terlebih
dulu diawali dengan pingsan. Untuk saat ini eksekusi di Indonesia dilakukan oleh
regu tembak. Setelah penembakan dilakukan, eksekutor meminta bantuan dokter
untuk memastikan apakah terpidana sudah meninggal. "Jika ternyata belum
meninggal,terpidana tersebut akan ditembak di bagian belakang (kepala)".
Hukuman Mati masih relevan, pasal pasal dalam UU Narkotika yang
menyebutkan hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang
menekankan hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Pasal 28i ayat 1 UUD 1945
telah dibatasi dengan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. "Dalam Pasal 28j ditegaskan
13
bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-
undang.
Maka, pembatasan itulah yang telah membuat hukuman mati tetap
dilaksanakan. Dengan adanya Pasal 28j tersebut, hukuman mati masih relevan. Hal
senada disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Hamid
Awaluddin. Hamid mengungkapkan, untuk kejahatan narkoba, hukuman mati masih
diterapkan. Alasannya, penggunaan narkoba memberikan efek yang sangat
merugikan. Hamid membeberkan, saat ini pengguna narkoba sudah mencapai 3,2 juta
yang berarti 1,5% dari jumlah penduduk Indonesia. "Dari 3,2 juta tersebut, 79
persennya adalah pencandu," katanya. Hamid juga mengungkapkan, biaya ekonomi
dan sosial yang dibutuhkan untuk penyalahgunaan narkoba mencapai Rp23,6 triliun.
Hamid menambahkan, dari 111 ribu terpidana di seluruh Indonesia, 30
persennya adalah kasus narkoba. Bahkan, untuk kota tertentu prosentase terpidana
narkoba lebih dari 30%. Di Jakarta, misalnya, terpidana narkoba mencapai 60%,
sedangkan di Samarinda dan Balikpapan mencapai 80%. Kepala Pelaksana Harian
Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol I Made Mangku Pastika mengatakan,
hukuman mati untuk kasus narkoba masih diperlukan. Dalam UUD 1945 telah
disebutkan bahwa hak hidup adalah hak asasi. "Hak hidup adalah hak asasi yang tidak
dapat dikurangi dengan keadaan apapun,"
Situasi yang berkembang sebagai kasus yang dilematis itu berlangsung
dalam kondisi masyarakat bangsa kita yang sedang cenderung serba sensitif dalam
hal-hal yang menyangkut perikehidupan kita bersama sebagai bangsa yang
bermasyarakat majemuk. Persoalan daerah, suku, ras, serta agama sedang mencair.
14
Perkembangan itu tidak pula lepas dari berlangsungnya pola dan nilai-nilai reformasi
prodemokrasi dan hak-hak asasi dalam upaya menegakkan dan menghormati
martabat manusia yang sekaligus berinteraksi dengan hak-hak kebutuhan pokok
sosial, ekonomi, dan budaya.
Dihadapkan pada kondisi transisi semacam itu, sebaiknya pemikiran,
pendekatan, dan sikap kita bersama, pemerintah, masyarakat madani, dan masyarakat
luas, agar pula mampu bukan sekadar mengambil arus baru dari luar, tetapi
menumbuhkan arus baru itu dalam interaksi serta dalam kerangka referensi dengan
jati diri dan sikap bangsa bermasyarakat majemuk yang komprehensif termasuk
dalam memahami paham kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Tanpa sekaligus menempatkan beragam gerakan dan pembaruan itu dalam
realitas masyarakat bangsa berikut kerangka referensi dasarnya yang telah kita
sepakati bersama, pengalaman kita terbentur-bentur dan proses kita mencair bisa
lebih serius pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan,
perumusan, penerapan, dan pelaksanaan pidana mati di Indonesia harus benar-benar
memerhatikan bahwa hukuman mati bukan merupakan pidana pokok.
Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat
dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana
berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama
20 tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati
pada perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai
perempuan tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh. MK
15
meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang
perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.
Adapun Perspektif HAM yang menolak hukuman mati dapat dilihat di
banyak negara di dunia. Kecenderungan di dunia saat ini adalah penghapusan
hukuman mati. Banyak pula negara yang mendukung penghapusan hukuman mati.
Hal itu membuktikan banyaknya negara yang ingin menjunjung tinggi HAM.
Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana
kita adalah seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di dunia terjadi
perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama para ahli
hukum dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam diarahkan,
bahkan ada gerakan menentang hukuman mati. Konsep hukuman mati seringkali
digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini semata-
mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern,
tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya.
Setidaknya, ada beberapa implikasi yang menyebabkan banyak para pakar
hukum dan HAM, termasuk di Indonesia, menolak hukuman mati. Pertama, dianggap
kejam dan mengerikan, yang mengingatkan kepada hukum rimba. Kedua, tidak
mampu memberantas tindak pidana atau tidak akan mencegah seseorang untuk
melakukan pembunuhan.
Ketiga, eksekusi hukuman mati bersifat abadi, tidak bisa diubah jika di
kemudian hari ternyata tidak memiliki dasar yang kuat. Keempat, berlawanan dengan
kebebasan orang (pribadi), karena hidup manusia adalah milik pribadi yang esensial
dan tidak bisa diganggu oleh orang lain. Jika diteliti secara lebih mendalam, setiap
16
hukuman pada hakikatnya mengandung unsur kekejaman. Sekiranya hukuman mati
dihapuskan, hukuman-hukuman lain pun harus dihapuskan. Bukankah hukuman
penjara seumur hidup dengan kerja paksa juga mengekang kebebasan dan bersifat
kejam? Bagi si terpidana, bisa jadi akan lebih memilih hukuman mati ketimbang
menderita seumur hidup di dalam penjara. Tujuan hukuman, sebagaimana
kecenderungan pemikiran hukum positif akhir-akhir ini, lebih berorientasi untuk
mendidik dan memperbaiki si terhukum.
Menurut Barda Nawawi Arief (1996) mengatakan bahwa pertimbangan
digesernya kedudukan pidana mati itu didasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari
tujuan pemidanaan dan tujuan diadakannya/digunakannya hukum pidana sebagai
salah satu sarana kebijakan kriminal dan kebijakan sosial.
Untuk itu bagi orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak,
menunjukkan ia tidak lagi mempertimbangkan akibat-akibat hukumnya. Apalagi,
orang yang terbunuh juga memiliki hak hidup sebagaimana orang yang
membunuhnya. Dengan kata lain, setiap orang juga punya kewajiban untuk tidak
menyebabkan orang lain mati. Atau, setiap orang punya hak untuk tidak dikorbankan
sampai mati. Karena itu, adalah wajar jika orang yang membunuh dengan sengaja,
harus dihilangkan nyawanya pula dari kehidupan masyarakat (dunia).
Di sisi lain, kekeliruan putusan hakim pada dasarnya berlaku juga bagi
hukuman-hukuman lain. Misalnya, apakah seseorang yang dijatuhi hukuman sepuluh
tahun penjara, kemudian setelah menjalani hukuman tersebut ternyata ditemukan
bukti-bukti baru yang menunjukkan kesalahan pada putusan hakim, maka putusan itu
dapat diubah? Yang jelas, jika ketelitian dan keadilan dapat dijalankan, maka adanya
17
kesalahan dalam menetapkan putusan hukuman mati kemungkinannya akan sangat
kecil. Tentunya, pelaksanaan hukuman mati setelah melalui proses pemeriksaan dan
pembuktian yang sangat ketat dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat
memberikan keyakinan kepada hakim.
Dengan kata lain, pada tiap-tiap hukuman ada dua tujuan, yaitu memberi
pengajaran terhadap diri pelaku kejahatan dan menjadi pencegahan terhadap orang
lain. Apabila hukuman mati tidak memiliki implikasi atau tidak ada nilainya bagi si
terhukum, maka nilainya terletak pada kesannya terhadap orang lain sebagai
pencegahan umum.
Di sinilah, sistem hukum kita hendaknya tidak meninggalkan sama sekali
teori pembalasan. Jika dicermati lebih mendalam, hukum kita ternyata lebih banyak
berpihak kepada pelaku tindak kejahatan ketimbang berorientasi kepada kepentingan
umum atau masyarakat luas, terutama pihak korban dan keluarganya. Padahal,
sebagai hukum publik, hukum pidana di Indonesia seharusnya lebih berorientasi
kepada perlindungan masyarakat banyak dan pihak korban, meski tidak harus
mengabaikan nasib atau hak-hak pelaku kejahatan itu sendiri.
Pidana mati, menurut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tidak
bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena konstitusi
Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi manusia.
Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari
pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal
selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak azasi seseorang
18
digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak azasi orang lain demi
berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.
Pandangan konstitusi itu, menurut MK, diteruskan dan ditegaskan juga oleh
UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak azasi
seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum.
Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika,
terorisme, MK berpendapat Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa
pun. Bahkan, MK menegaskan pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih
diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang
paling serius. Sebaliknya, MK menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk
mematuhi konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi
oleh Indonesia dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan
kepada negara pesertanya untuk memaksimalkan penegakan hukum secara efektif
terhadap pelaku kejahatan narkotika.
Konvensi juga mengamanatkan negara peserta untuk mencegah serta
memberantas kejahatan-kejahatan narkotika yang dinilai sebagai kejahatan sangat
serius, terlebih lagi yang melibatkan jaringan internasional. Dengan demikian,
penerapan pidana mati dalam UU Narkotika bukan saja tidak bertentangan, Dan
hukum-hukum internasional seperti ICCPR, Rome Statue of International Criminal
Court, dan deklarasi HAM Eropa, menurut MK, masih memungkinkan diterapkannya
hukuman mati.
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dan anggota Organisasi
Konferensi Islam (OKI), justru harus menganut Protokol Kairo yang disahkan oleh
19
OKI bahwa hak hidup adalah karunia dari Tuhan dan harus dilindungi kecuali oleh
keputusan syariah, sehingga hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali
diputuskan oleh pengadilan
Ancaman pidana mati dalam UU Narkotika dirumuskan secara cermat dan
hati-hati, tidak diancamkan kepada semua pidana narkotika, seperti kepada para
penyalah guna dan pengguna. Hukuman mati hanya diancamkan kepada produsen
dan pengedar secara gelap dan hanya untuk golongan I, seperti ganja dan heroin.
Pidana mati dalam Undang-undang tersebut juga disertai dengan ancaman
pidana minimum, sehingga pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila terdapat bukti
yang sangat kuat. Dengan demikian, jelaslah ancaman pidana mati tidak boleh
sewenang-wenang dijatuhkan oleh hakim pidana mati hanya dijatuhkan untuk pidana
yang sifatnya khusus dan alternatif. Selain itu, pidana mati dapat diperingan melalui
masa percobaan selama 10 tahun menjadi hukuman seumur hidup atau penjara 20
tahun, serta dapat ditunda untuk ibu hamil atau orang sakit jiwa.
Dengan demikian implementasi pidana mati yang dijatuhkan dengan
pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan
keamanan dan ketertiban masyarakat umum, maka jelas tidak bertentangan dengan
nilai kemanusian yang adil dan beradab, justru kalau pidana mati tidak dilaksanakan
padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap melanggar hukum, maka
perwujudan rasa keadilan dan HAM telah diabaikan.
PENUTUP
20
Pemidanaan adalah salah satu bentuk upaya manusia untuk mencegah
timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan dan pelanggaran yang berat dan istilah
pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan
yang saling berhubungan. Hal ini diwujudkan dalam KUHP Indonesia yang mengancam
kejahatan tertentu (kejahatan berat) dengan pidana mati.
Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat
dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, dan kalau terpidana
berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20
tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada
perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan
tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa itu sembuh. Mahkamah Konstitusi
meminta eksekusi hukuman mati bisa segera dilaksanakan bagi terpidana yang
perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap.
Hukuman mati masih relevan, walaupun bertentangan dengan Pasal 28i
ayat 1 UUD 1945 yang menekankan hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa.
Akan tetapi Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 telah dibatasi dengan Pasal 28J ayat 2 UUD
1945. Dalam Pasal 28j ditegaskan bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan undang-undang.
Dalam pandangan Islam, menghilangkan nyawa orang lain hanya boleh
karena dua faktor : 1) Kehendak Alloh SWT, 2) Konsekuensi penegakan hukumnya
(eksekusi atas putusan hakim). Sedangkan Ancaman pidana mati dalam pidana islam
menackup empat kejahatan : 1) perbuatan zina, 2) perampokan, 3) pembunuhan dan
subversi, 4) pengkhianatan terhadap agama (murtad). Dengan demikian sasaran yang
21
ingin di capai dibalik penerapan hukum islam adalah terwujudnya keamanan,
ketenteraman dan kebahagiaan dalam kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Dengan demikian implementasi pidana mati yang dijatuhkan dengan
pembuktian dan pemeriksaan yang sangat ketat, dengan berbagai pertimbangan
keamanan dan ketertiban masyarakat umum, maka jelas tidak bertentangan dengan
nilai kemanusian yang adil dan beradab, justru kalau pidana mati tidak dilaksanakan
padahal jelas-jelas telah terbukti berkekuatan tetap melanggar hukum, maka
perwujudan rasa keadilan dan HAM telah diabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Mansyur, 2007, Aneka Persoalan Hukum, Semarang, Unissula Press
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Rudy Satrio M, 2004, Rancangan KUHP Menghindari Hukuman Mati, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM.
Syahruddin Husein, 2003, Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia, Sumatera Utara: USU Digital Library.
Teguh Prasetyo, dkk., 2005, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Belajar
-----------------, Undang-undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.
22
top related