pernikahan turun ranjang dalam tradisi...
Post on 01-Apr-2019
264 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERNIKAHAN TURUN RANJANG DALAM TRADISI MASYARAKAT
BETAWI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
REZA NUR FIKRI
1111044100086
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
v
ABSTRAK
Reza Nur Fikri, NIM 1111044100086, “PERNIKAHAN TURUN RANJANG DALAM
TRADISI MASYARAKAT BETAWI”, Program Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui, kedudukan dan keabsahan pernikahan turun
ranjang menurut hukum Islam, serta menemukan kepastian hukum mengenai akibat hukum bagi
perkawinan turun ranjang yang dilakukan pada masyarakat betawi terdahulu.
Adapun dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode
deskriptif-analitis, dimana penelitian dititikberatkan pada penggunaan wawancara dan data
sekunder yang berupa hukum primer, literature hukum, wawancara serta bahan-bahan lain yang
mempunyai hubungan status dan kedudukan hukum perkawinan turun ranjang pada pelaksaan
perkawinan.
Hasil menunjukan bahwasanya perkawinan turun ranjang boleh dilakukan, selama syarat
dan rukun perkawinan terpenuhi. Kecuali apabila suaminya mengawini kakak beradik pada
waktu yang bersamaan atau yang biasa dikenal dengan istilah adad. Akibat hukum perkawinan
turun ranjang bahwa para pihak apabila terjadinya putusnya perkawinan, maka para pihak baik
suami, istri dan anak-anaknya berhak mendapatkan harta bersama, dan apabila putusnya
perkawinan karena kematian, maka ia berhak atas harta warisan bagi suami selain berhak atas
harta bersama dan harta warisan serta berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya.
Kata kunci: HUKUM ADAT BETAWI MENGENAI PERNIKAHAN TURUN RANJANG
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM.
Pembimbing: Dr. H. Abdul Halim, M.Ag
Daftar Pustaka: 1974-2018
vii
3.Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Dosen Pembimbing Akademik sekaligus Dosen
Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan arahannya yang
juga tidak pernah lelah membimbing, mengarahkan, dan memotivasi dalam
penyelesaian skripsi ini. Semoga beliau senantiasa diberikan kesehatan oleh
Allah swt.
4.Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis dan
membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi ini,
semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya.
5. Bapak Faza,Ibu Siti Sholehah, S.Ag, dan Ibu Bianti, terima kasih atas bantuan
administrasi pengurusan skripsi dari awal hingga akhir.
6. Seluruh stafdan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7.Seluruh staf kantor Pengadilan Agama Tangerang Kota.
8.Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan kemudahan dalam
mengumpulkan referensi kepada penulis.
9. Yang tercinta dan selalu penulis cintai dan sayangi sepanjang hayat, ayahanda
Drs. Ahmad Junaidi dan ibunda Maryam orang tua penulis, adik-adik tercinta
Silvi Humairoh, Pendamping hidupku Ginta Febryana Ramadhani, S.IKom.,
anakku tercinta Raesha Azmya Fikri dan terima kasih tak terhingga atas do’a,
semangat, kasih sayang, pengorbanan dan ketulusan dalam mendampingi
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, semoga kalian selalu diberi kesehatan dan semoga
senantiasa dalam lindungan Allah swt.
10.Teman-teman keluarga Besar prodi Peradilan Agama angkatan 2011 kelas A
dan B yang menjadi teman seperjuangan. Khusus kepada Muhammad Nazir,
Fauzan Hakim, Ma’mun Siroj, Muhammad Taufiq Rahman, Samsul Bahri,
Ahmad Mukhlas, Muhammad Rizky Romdon, Nurul Khomsah, Ratnasari,
Abdur Razak, M serta teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan semua
namanya satu persatu. Terima kasih atas kebersamaannya, motivasinya.
Kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama kalian semuanya.
viii
11.Seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah swt.Hanya
untaian kata terimakasih serta do’a yang dapat penulis berikan. Semoga semua
pihak yang telah memberikan semangat, motivasi, serta arahannya kepada
penulis senantiasa diberi kesehatan dan dalam lindungan Allah swt, diridhoi
setiap langkah kehidupannya serta mendapatkan balasan yang lebih baik di
akhirat kelak.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan dukungannya,
hanya do’a semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah swt dengan balasan
yang berlipat ganda. Penulispun berharap agar skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, 24 Juli 2018
Penulis
Reza Nur Fikri
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………………………………... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI …………………………………………………….... iii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………………………………. iv
ABSTRAK …………………………………………………………………………………… v
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………..... ix
BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………... 1
B. Identifikasi Masalah …………………………………………………. 4
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………….... 5
E. Review Studi Terdahulu …………………………………………….. 6
F. Metode Penelitian …………………………………………………… 7
G. Sistematikan Penulisan ……………………………………………… 10
BAB II PERNIKAHAN MENURUT FIKIH DAN HUKUM POSITIF ……………. 11
A. Pengertian Pernikahan …………………………………………………… 11
B. Syarat dan Rukun Nikah ………………………………………………… 14
C. Dasar Hukum Pernikahan ………………………………………………. 19
D. Larangan Pernikahan …………………………………………………… 24
E. Tujuan dan Hikmah Pernikahan ………………………………………... 27
BAB III PERNIKAHAN TURUN RANJANG DI KALANGAN
MASYARAKAT BETAWI …………………………………........................... 30
A. Sejarah Pernikahan Turun Ranjang Dalam Masyarakat Betawi………….. 30
B. Tata Cara Pernikahan Dalam Adat Betawi………………………………... 32
C. Pernikahan Turun Ranjang Menurut Perspektif Masyarakat……………... 40
BAB IV HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGENAI ADANYA
PERNIKAHAN TURUN RANJANG………………………………………… 41
A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi Mengenai Pernikahan Turun
Ranjang……………………………………………………………………... 41
B. Antara Adat dan Hukum Islam dalam Pernikahan Turun Ranjang ................. 46
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………….... 51
B. Saran……………………………………………………………………….. 52
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….
LAMPIRAN……………………………………………………………………………………
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Bab 1
pasal 1 ditegaskan bahwa, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”1 dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab 2 Pasal 2 disebutkan bahwa “Perkawinan
menurut hukum Islam, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk
mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Lebih lanjut
dalam KHI Pasal 3 dinyatakan bahwa “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.2 Dalam persepsi
lain, Perkawinan merupakan suatu ketentuan yang menjadikan sunahtullah bagi
manusia yang berlaku universal bagi seluruh makhluknya yang bernyawa. Islam
memandang perkawinan tidak sekedar wahana bertemu dua insan yang berbeda jenis
dan tidak pula sekedar sarana pemuas nafsu yang membara dalam setiap manusia.
Islam mempunyai pandangan yang lebih dalam, mendasar dan menuju kepada sarana
yang terarah.3
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang dilakukan Nabi Adam AS, dan
dilakukan manusia secara turun menurun. Hal itu dikarenakan perkawinan merupakan
salah satu pokok kebutuhan manusia yang dituntut secara naluri. Selain itu,
perkawinan merupakan jalan mencari kebutuhan dan kententraman dalam jiwa.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 21:
1
Abdur Rahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta:
Akademika Preside, 1986) h. 12
2 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Inpress RI No. 7, (Jakarta: Departemen
Agama RI 2001) h.7
3 Thariq Ismail Kakhiya, Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Yasaguna, 1987), cet, 2, h. 42
2
“Dan diantara tanda-tanda kebesaran karunia-Nya (Allah) dikaruniakannya
bagimu dari jenismu sendiri pasangan hidup (suami/istri) agar kamu merasa tentram
dengannya”. (Q.S. Ar-Rum: 21)
Dari ayat diatas dapat kita fahami bahwa perkawinan merupakan sunahtullah
yang memang menjadi kebutuhan hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Pernikahan adalah akad yang sangat kuat mitsaqan ghalizan yang dilakukan
secara sadar oleh seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk keluarga yang
pelaksaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Oleh
karena itu, pernikahan bukanlah arti kewajiban, melainkan hanya hubungan sosial
kemanusiaan semata. Pernikahan akan bernilai ibadah, jika di niatkan untuk mencari
ridha Allah SWT.4
Dalam masyarakat dan kebudayaan Betawi, perkawinan merupakan saat yang
dianggap penting dalam lingkugan individu anggota masyarakatnya. Oleh karena itu,
perkawinan adalah salah satu peristiwa sangat penting dalam kehidupan masyarakat,
terutama pada masyarakat Betawi. Itu dilihat dari persiapan mulai dari acara sebelum
perkawinan ataupun setelah perkawinan yang diatur sedemikian rupa. Perkawinan
menandai suatu saat peralihan dari usia remaja ketingkat hidup yang lebih dewasa
dan bertanggung jawab yaitu dengan membentuk keluarga.
Masyarakat Betawi adalah suatu masyarakat yang mendiami daerah Jakarta
pada masa mulai berdirinya Jayakarta akibat takluknya Bangsa Portugis, wilayah
4
Muhammad Zain dkk, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha Cipta, 2005),
cet, 1, h. 23
3
Batavia pada mulanya hanya berkisar pada daerah yang menurut Ridwan Saidi hanya
sekitar kali sentries.5
Namun kini Jakarta semakin di perluas melalui beberapa pemekaran wilayah,
saat ini wilayah Jakarta meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Barat sampai perbatasan
Tangerang, Jakarta Utara sampai Kepulauan Seribu, Jakarta Timur sampai
pembatasan Bekasi, dan Jakarta Selatan berbatasan dengan Kota Depok.
Dalam pemetaan budaya Betawi secara geografis, sangat berkaitan dengan
penentuan batas wilayah pemakaian bahasa Betawi, pemetaan bahasa dilakukan
berdasarkan anggapan bahwa wilayah biasanya identik dengan wilayah budaya. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa seni Betawi tumbuh dan berkembang pula di wilayah
bahasa/budaya melayu sekitar wilayah DKI Jakarta.
Kesamaan dalam bahasa tersebut juga merupakan kesamaan dalam tradisi
masyarakat seperti dalam makanan tradisional, seni tari, seni pencak silat dan musik,
bahkan adat budaya.6
Kebudayaan masyarakat Betawi yang dipengaruhi oleh kebudayaan-
kebudayaan asing seperti Arab, Cina, dan Belanda, ataupun kebudayaan-kebudayaan
yang masuk dari wilayah Indonesia itu sendiri seperti Makassar, Sunda, Jawa hanya
menjadi corak berorientasi kepada etika Islam.7
Tradisi perkawinan di kalangan masyarakat Betawi itu sudah ada sejak abad
lampau adanya masyarakat Betawi, budaya dan tata tertib perkawinan di pertahankan
oleh anggota masyarakat dan para pemuka terdahulu. Perkawinan dalam masyarakat
Betawi dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap sebelum perkawinan, saat
perkawinan dan sesudah perkawinan. Acara sebelum perkawinan seperti peminangan,
peminangan dalam masyarakat Betawi dianggap suatu hal yang sangat penting.
Sedangkan yang dilakukan acara pelaksaan terdiri dari seserahan, pesta perkawinan
5
Ridwan Saidi, Babad Tanah Betawi, (Jakarta: PT. Gramedia, 2002), h. 153
6 Sarjomihardjo Abdul Rahman, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta, (Jakarta: Dinas
Musium dan Sejarah, 1997), h. 64
7 Poeponoto, Sebakti, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradya Paramita, 1983),
h. 18
4
dan malam-malam hiburan. Tahapan yang terakhir setelah acara perkawinan seperti
syukuran tiga hari perkawinan dengan mendatangi keluarga dari pihak laki-laki.
Sebagai suatu kelompok etnis, orang betawi memang memiliki berbagai corak
dan ragam budayanya yang meliputi berbagai sektor kehidupan. Oleh karena itu
pernikahan adat betawi menurut Muhasim adalah salah satu peritiwa sangat penting
dalam kehidupan masyarakat Betawi.8
Dalam masyarakat Betawi adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
kehidupan mereka, dan hal tersebut merupakan suatu hal yang sangat sakral.
Pernikahan dalam adat istiadat masyarakat Betawi ada dua macam yaitu: pernikahan
biasa dan diam-diam, pernikahan diam di dalam nya juga terbagi beberapa macam
yaitu: kawin gantung, kawin sirrih, kawin dengan pria pendatang, ditarik kawin,
kawin tua sama tua, naik ranjang dan turun ranjang.
Masyarakat Betawi, mengenal suatu istilah perkawinan turun ranjang yaitu
apabila salah satu dari pasangan suami istri yang istrinya atau suaminya yang bercerai
ataupun meninggal dunia, maka yang menggantikannya adalah iparnya sendiri yaitu
adik dari si istri atau adik dari si suami. Walaupun pernikahan tersebut tidak pernah
terjadi lagi hingga sekarang tetapi, pernikahan tersebut pernah terjadi di kalangan
masyarakat adat Betawi.
Berangkat dari masalah diatas, saya rasa masalah ini perlu diteliti. Hal ini
peneliti kaji, untuk mengukapkan bagaimana status hukum pernikahan turun ranjang
dan bagamaina menurut hukum Islam.
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis
mengangkatpermasalahannya dalam skripsi yang di beri judul “Pernikahan Turun
Ranjang Dalam Tradisi Masyarakat Betawi "
8 Muhasim, “ Tradisi Kundangan Perkawinan Betawi Dalam Perspektif Hukum
Islam“(Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009), h. 2.
5
B. Indentifikasi Masalah
1. Bagaimana hukumnya pernikahan adat betawi mengenai pernikahan turun
ranjang?
2. Faktor apa sajakah sebab terjadinya adanya pernikahan turun ranjang?
3. Apa dampaknya apabila pernikahan tersebut akan terjadi ?
4. Bagaimana pandangan hukum islamnya terhadap pernikahan turun ranjang
dalam masyarakat adat Betawi?
C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Supaya pembahasan tidak melebar, penulis membatasi hanya
membahas sekitar status hukum pernikahan turun ranjang dan tinjauan hukum
Islamnya.
2. Perumusan Masalah
Sesuai dengan apa yang penulis uraikan di atas, maka penulis
merumuskan permasalahan tersebut dalam bentuk pertanyaan di bawah ini :
a. Bagaimana status hukum dan kedudukan mengenai pernikahan turun
ranjang dalam adat Betawi ?
b. Apakah dampak positif dan negatif dari pernikahan turun ranjang?
c. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai pernikahan turun ranjang
dalam masyarakat Betawi?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan suatu penilitian adalah mengungkapkan secara jelas apa yang
ingin dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Dari definisi tersebut, maka
tujuan penelitian ini adalah :
6
1. Mengetahui pernikahan pandangan masyarakat Betawi mengenai adanya
pernikahan turun ranjang walaupun pernikahan tersebut sudah jarang terjadi
dikalangan masyarakat Betawi.
2. Mengetahui pandangan hukum Islam mengenai pernikahan turun ranjang
yang sempat terjadi dalam masyarakat adat Betawi.
Sejalan dengan tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat :
1. Secara teoritis
a. Menambahkan khazanah ilmu agama Islam mengenai pernikahan.
b. Menambahkan pengetahuan tentang hukum adat Betawi khususnya
mengenai pernikahan.
c. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan
kajian lebih lanjut untuk mengembangkan adat khususnya pernikahan.
2. Secara Praktis
a. Menginformasikan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat
dalam hukum Islam.
b. Memberikan solusi sehubungan dengan permasalahan pernikahan
adat.
E. Review Studi Terdahulu
Tinjauan pustaka adalah kajian literature yang relevan dengan pokokn
bahasan penelitian yang akan dilakukan, atau bahkan memberikan inspirasi dan
mendasari dilakukannya penelitian.9 Penulis menemukan karyanya, yaitu:
1. Dalam Skripsi Karangan Arpah yang berjudul: “Walimatul’urs Perkawinan
Adat Betawi (Studi Kasus Daerah Bekasi Barat).
9 Huzaemah T. Yanggo, (ed), Pedoman Skripsi, Tesis Dan Disertasi, (Jakarta: IIQ Press,
2011), cet. Ke-2, h.13
7
2. Dalam skripsi Karangan Ahmad Fadilah yang berjudul: “Pandangan Hukum
Islam Terhadap Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus Desa Kenanga
Kecamatan Cipondoh)
3. Dalam Skripsi Karangan Dian Rana Afrilia yang berjudul: “Hukum Adat
Betawi Yang menggunakan Roti Buaya Dalam Seserahan Pernikahan
Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di Kampung Pisangan Kelurahan
Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan).
Dari beberapa judul di atas, sudah jelas berbeda pembahasannya
dengan skripsi yang akan di bahas penulis. Pembahasan dari skripsi di atas
hanya membahas pandangan hukum Islam terhadap acara resepsi pernikahan
adat betawi, sedangkan penulis akan membahas status hukum dan kedudukan
apabila terjadinya pernikahan turun ranjang.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Pendekatan
Penelitian dengan pendekatan kualitatif menenkankan analisis proses
dari proses berfikir secara induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan
antarfenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah.
Penelitian kualitatif bertujuan mengembangkan konsep sensitivitas pada
masalah yang dihadapi, menerangkan realitas yang berkaitan dengan
penelusuran teori dari bawah (grouded theory) dan mengembangkan
pemahaman akan satu atau lebih dari fenomena yang dihadapi. Penelitian
kualitatif merupakan sebuah metode penelitian yang digunakan dalam
mengungkapkan permasalahan dalam kehidupan kerja organisasi pemerintah
swasta, kemasyarakatan, kepemudaan, perempuan, olah raga, seni dan
8
budaya, sehingga dapat di jadikan suatu kebijakan untuk dilaksanakan demi
kesejahteraan bersama.10
Penelitian kualitatif adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan lebih
mengambil bentuk kata-kata atau gambar dari pada angka-angka. Hasil
penelitian tertulis berisi kutipan dari data untuk mengilustrasikan dan
menyediakan bukti presentasi.11
2. Metode Penelitian
Landasan berfikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max
Weber yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-
gejala sosial, tetapi pada makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan
perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut.
Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan
kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran
menengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi
dianalisislagi dengan teori objektif.12
3. Objek Penelitian
Yang menjadi objek penelitiaan ini adalah masyarakat Kampung
Ciganjur Kelurahan Cipedak Kecamatan Jagakarsa Kotamadya Jakarta
Selatan, serta menggunakan buku-buku, literature-literatur, dan kitab-kitab
lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
4. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer yang di gunakan sebagai acuan dalam menyusun skripsi
ini adalah wawancara secara langsung dengan masyarakat mengenai
pernikahan turun ranjang .
10
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2013), cet. 1, h. 80. 11
Emsir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), cet.
2. h. 3
12
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktek, cet. 1, h. 33
9
b. Data Sekunder
Al-Qur’an dan Hadits, serta buku-bukulainnya yang dapat mendukung
terselesainya skripsi ini.
5. Tekhnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah paling strategis dalam
penelitian, karena dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui
tekhnik pengumpulan data, maka penelitian tidak akan mendapatkan data
yang memenuhi data yang ditetapkan.13
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan tekhnik pengumpulan data yaitu:
a. Studi Wawancara
Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan
pertaanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpulan data) kepada
masyarakat. Dari berbagai data yang penulis catat, penulis menghubungkan
satu data dengan data yang lainnya untuk dikontruksikan, sehingga
menghasilkan pola makna tertentu.
6. Metode Analisis Data
Jika data telah terkumpul,dilalkukan analisa data secara kualitatif
dengan menggunakan instrument analisis yaitu berangkat dari pengetahuan
atau fakta yang bersifat khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Metode
ini digunakan dalam menjelaskan pendapat-pendapat hukum Islam (Al-
qur’an dan Al-hadis) dan juga para pendapat ulama kemudian pendapat
tersebut menarik kesimpulan umum dari pendapat-pendapat itu. Sedangkan
komperatif yaitu menganalisa data yang berbeda ataupun yang sama dengan
jalan membandingkan untuk mengetahui permasalahan perbedaan dan
persamaan serta faktor yang melatarbelakangi.
13
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV . Alfabeta,
2007), h. 224.
10
7. Tekhnik Penulisan
Adapun tekhnik penulisan dan peyusunan skripsi berpedoman pada
“Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan
oleh FSH UIN Jakarta Tahun 2017.”
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penyusunan skripsi ini, penulisan membagi kepada lima bab,
yang garis besarnyapenulis gambarkan sebagai berikut :
Pada Bab I : Pendahuluan dengan memuat dengan latar belakang
masalah, Indentifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode dan Tekhnik Penulisan dan
yang terakhir Sistematika penulisan.
Pada Bab II : Kajian Teori, Pada bab ini penulis membahas secara
umum tentang pengertian Pernikahan, Syarat dan Rukun Pernikahan,Dasar
Hukum Pernikahan, Larangan Pernikahan, Tujuan dan Hikmah Pernikahan.
Pada Bab III : Sejarah munculnya adat betawi terdahulu yang
mengenai pernikahan turun ranjang, dan menjelaskan argumentasi dan dasar
pemikiran masyarakat yang mempraktekkan adat tersebut di lingkungannya, serta
mekanisme adat Betawi yang melakukan pernikahan turun ranjang.
Pada Bab IV : Menguraikan bagaimana pendapat dan kritikan ulama
mengenai adat Betawi dalam mengenai pernikahan turun ranjang yang terjadi di
kalangan masyarakat Betawi dan satus hukumnya.
Pada Bab V : Penutup, Dalam bab ini merupakan akhir penelitian
peneliti yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
11
BAB II
PERNIKAHAN MENURUT FIQH DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Nikah
Nikah secara bahasa berasal dari kata al wath’u yang artinya hubungan
badan.1 Perniakahan dalam literature fikih berbahasa arab disebut dengan dua kata,
yaitu nakaha dan zawaj. Kata nakaha banyak terdapat dalam Al-qur’an dengan arti
kawin.2 Menurut syara’ nikah artinya akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-
rukun serta syarat-syarat untuk berkumpul.3 Seperti dalam surat An-nisa’ ayat 3 :
“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka
kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat
orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang.”
Demikian pula banyak terdapat kata zawaja dalam Al-qur’an dalam arti
kawin, seperti pada surat Al-Ahzab ayat 37:4
1 Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 3
2Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2011), Cet. 3, h. 35 3 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004),
cet. 3, h. 224. 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 35
12
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan) istrinya; kami
kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk
(mengawini) mantan istri-istri anak angkat mereka.”
Dalam masalah perkawinan, para ahli fiqh mengartikan “nikah” menurut
kiasan, mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka pakai. Imam Abu
Hanifah memakai arti “setubuh” sedangkan Imam Asy’Syafi’i memakai arti
“mengadakan perjanjian perikatan”.5
Arti terminologis dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang saling
melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh berbeda dalam titik
pandangan. Dikalangan ulama Syafi’iyah rumusan yang biasa di pakai adalah:6
عقد يتضمن الباحت انىطء بهفظ االنكاح اوانتزويج
"Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin
dangan menggunakan lafazd nakaha atau zawaja.
Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana disebutkan
di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan
suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangakan sebelum akad
tersebut berlangsung, diantara keduanya tidak boleh bergaul.7
Para ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa nikah adalah suatu akad yang
memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. Artinya,
kehalalan seorang laki-laki bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak
dilarang secara syariat, dengan kesengajaan.8
5 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h, 11. 6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 35
7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 35
8 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul Hayyi Al-Kattani, h.
39.
13
Ulama kontemporer memperluas jangkauan definisi yang disebutkan ulama
terdahulu. Diantaranya sebagaimana yang disebutkan Dr. Ahmad Ghandur dalam
bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamiy:9
عقد يفيد حم انعشرة بين انرجم وانمراة بما يحقق ما يتقاضاه انطبع االنساني مدي انحياة ويجعم
نكم منهما حقى ققبم صاحبهىا اجباث عهيو
"Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam
tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua belah
pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
Al-maibari mengemukakan definisi akad nikah, sebagai berikut: akad yang
mengandung kebolehan persetubuhan dengan kata nikah atau tazwij. Kemudian
definisi akad nikah yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahra, sebagai berikut:
akad yang mengakibatkan hukum halal pergaulan antara laki-laki dengan perempuan
dan pertolongan serta pembatasan pemilik, hak dan kewajiban mereka.10
Selain itu pernikahan juga sudah diatur didalam hukum positif di Indonesia.
Konsep perkawinan yang ringkas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Perkawinan merupakan :11
“ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagaimana suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Ikatan diartikan sebagai penyatuan dari dua pasang, pria dan wanita,
penyatuan itu, meliputi penyatuan lahir dan batin. Subjek dari ikatan itu, yaitu pria
9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 35
10
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. 1.
h. 11 11
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative Civil
Law, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014), cet. 1, h. 145-146
14
dan wanita. Tujuan adanya ikatan (perkawinan), yaitu membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua macam
kebutuhan, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani.12
Di samping definisi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan tersebut diatas, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi Undang-Undang
tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan berikut:13
“pernikahan menurut Islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan
ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan
ibadah.
Perkawinan merupakan perbuatan ibadah dalam kategori ibadah umum,
dengan demikian dalam melaksanakan perkawinan harus diketahui dan dilaksanakan
aturan-aturan perkawinan dalam Hukum Islam.14
Menurut penulis sendiri pernikahan
adalah suatu akad yang menimbulkan ikatan lahir dan batin antara- laki-laki dan
perempuan untuk membentuk suatu keluarga.
B. Syarat dan Rukun Pernikahan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang dimana yang akan menetukan sah
dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah). Sedangkan syarat-syarat perkawinan
merupakan dasar dari sahnya perkawinan.15
Perkawinan mempunyai akibat hukum.
Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan
hukum itu.16
12
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, h. 146 13
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 40 14
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalm Hukum Indonesia, (Jakarta:
kencana, 2010), h. 275 15
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 45-49. 16
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bina Aksara, 1987), h. 5.
15
Pembahasan mengenai rukun merupakan masalah yang serius di kalangan
fukaha.17
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fukaha, perbedaan dikalangan
ulama yang perbedaan ini tidak bersifat sebstansial. Perbedaan diantara pendapat
tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat focus perkawinan itu.18
Abdurrahman al-Jaziri menyebutkan yang termasuk rukun adalah al-ijab dan
al-qabul karena tidak ada nikah tanpa ada keduanya. Sayyid Sabiq juga
menyimpulkan rukun nikah terdiri dari ijab dan qabul, sedangkan yang lain termasuk
ke dalam syarat.19
Menurut ulama Hanafiyah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang
berhubungan dengan shigat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan
berhubungan dengan kesaksian. Menurut Syafi’iyyah melihat syarat perkawinan itu
ada kalanya menyangkut sighat dan wali calon suami-istri. Berkenaan dengan
rukunnya, bagi mereka ada lima syarat yaitu calon suami-istri, wali, dua orang saksi
dan sighat.20
Ulama malikiyah berpandangan rukun nikah ada lima yaitu wali, mahar, calon
suami-istri, dan sighat.21
Semua ulama berpendapat dalam hal-hal yang terlibat dan
harus ada dalam suatu perkawinan adalah:22
a. Calon suami dalam keadaan muslim, merdeka, berakal, benar laki-laki, adil, tidak
beristri empat, tidak memiliki hubungan mahram dengan calon istri, dan tidak
sedang berihram.23
17
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), h. 4. 18
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 59 19
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, h. 4. 20
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, h. 4-5. 21
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, h. 5. 22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 59. 23
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 47.
16
b. Calon istri beragama islam atau ahli kitab, jelas bahwa ia wanita bukan khunsa
(banci), wanita itu tentu orangnya, halal bagi calon suami, wanita itu tidak dalam
ikatan perkawinan dab tidak dalam masa iddah’, tidak dipaksa/ikhtiyar dan tidak
dalam keadaan ihram haji dan umrah.24
a. Shighat (Ijab dan Qobul) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan.25
Lafazd
ijab qobul bukan kata-kata kiasan, lafazd ijab qobul tidak dikaitkan dengan
syarat tertentu yang dilarang agama, lafadz ijab qobul harus terjadi pada suatu
majelis dan harus segera di ucapkan setelah ijab.26
b. Wali dalam pernikahan, harus memiliki enam syarat berikut: islam, baligh,
sehat akalnya, merdeka, laki-laki dan adil.27
c. Dua orang saksi dalam kondisi muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki,
adil, pendengaran dan penglihatannya sempurna, memahami bahasa yang
diucapkan dalam ijab dan qobul dan tidak sedang ihram.28
Hukum positif juga telah mengatur mengenai rukun dan syarat pernikahan.
Syarat-syarat sahnya perkawinan telah di tentukan di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Ada dua syarat sahnya perkawinan, yaitu:29
a. Syarat materil mutlak, dan
b. Syarat materil relatif
Syarat materil mutlak, yaitu syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang
yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya.30
Syarat itu disajikan berikut ini:31
a. Asas monogami mutlak (pasal 27 BW)
24
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 54-55. 25
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,1994), h. 382-383. 26
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakat, h. 47. 27
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, h. 233. 28
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 47. 29
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, h. 147. 30
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, h. 147. 31
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, h. 7.
17
b. Persetujuan dua belah pihak (pasal 28 BW)
c. Mencapai batas umur tertentu, untuk laki-laki berumur 18 tahun sedangkan
wanita berumur 15 tahun (pasal 29 BW)
d. Lewat masa tunggu bagi wanita yang ingin menikah lagi, yaitu 300 hari (pasal
34 BW)
e. Memperoleh izin kawin (pasal 35 BW)
Syarat materil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi
seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada tiga macam,
yaitu:32
a. Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam hubungan
kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan.
b. Larangan kawin karena zina’ dan
c. Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian,
jika belum lewat waktu satu tahun.
Syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara atau produser
didalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini di bagi menjadi dua tahapan, yaitu:33
a. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan dan
b. Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan di langsungkannya
perkawinan.
Syarat sahnya perkawinan juga diatur dalam pasal enam sampai dengan
pasal tujuh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam
ketentuan itu ditentukan dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan,
yaitu:34
32 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, h. 148.
33
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, h. 148. 34
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum, h. 149.
18
a. Syarat intern, dan
b. Syarat ekstern.
Syarat intern, yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan
melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat nintern itu meliputi:35
a. Persetujuan dua belah pihak
b. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun
c. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun, pengecualiannya dispensasi dari
pengadilan atau camat atau bupati
d. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin
e. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah)
Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas
dalam pelaksaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi:36
a. Harus mengajukan laporan ke P3NTR (pegawai pencatatn nikah dan talak)
b. Pengumuman, yang ditandatangani oleh pegawai pencatat.
Undanng-Undang perkawinan menjelaskan pasal 2, diperinci dalam pasal
6 sampai 12. Undang-undang Perkawinan dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya, maka bagi umat islam ketentuan mengenai terlaksananya akad nikah
dengan baik tetap mempunyai kedudukan yang menentukan untuk sah atau tidak
sahnya suatu perkawinan.37
Penjelasan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
29 ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
35 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, h. 149
36 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, h. 149
37 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia : Berlaku bagi Umat Islam, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1986), h. 63.
19
kepercayaannya”. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.38
Undang-Undang perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun
perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagaimana
yang terdapat dalam pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh
Syafi’iyyah dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun.39
Melihat pentingnya rukun pernikahan karena tanpa adanya rukun akan
mengakibatkan tidak sahnya suatu pernikahan. Untuk menjaga sakralnya sebuah
pernikahan maka penulis setuju dengan apa yang diungkapkan oleh kelompok
Syafi’iyyah bahwa rukun terdiri atas calon suami-istri, wali, dua orang saksi dan
sighat.
C. Dasar Hukum Pernikahan
Negara seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang
Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan
dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.40
Presiden RI telah mensahkan suatu Undang-undang Nasional yaitu
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dengan peraturan pelaksanaannya
Peraturan Perundang-undangan. No. 9 Tahun 1975. Maka segenap warga
38
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), h. 16. 39
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 61. 40
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h. 162.
20
negara Indonesia yang ingin melangsungkan suatu perkawinan berlakulah
Undang-undang tersebut.41
Melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang
membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya
tidak boleh, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu
adalah boleh atau mubah.42
Asal hukum melakukan perkawinan, menurut
pendapat sebagain sarjana hukum Islam adalah Ibahah atau kebolehan atau
halal.43
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i. Imam Syafi’i
memandang bahwa menikah hukumnya mubah. Alasan yang dipegang oleh
golongan ini ialah bahwa dalam ayat 3 surat An-nisa’, Allah menyerahkan
kepada kita untuk memperoleh wanita dengan jalan menikah atau dengan
jalan tasarri. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jalan itu sama derajatnya.
Menurut Ijma, tasarri hukumnya mubah. Jadi, menikah juga hukumnya
mubah.44
Menurut perspektif fikih, nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan
Al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’. Ayat yang menunjukkan nikah disyariatkan
adalah firman Allah dalam surah an-Nur 24 berikut:45
41
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 15. 42
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 43. 43
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, h. 49. 44
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003),
h. 134. 45
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008), h. 4-5.
21
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu
yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-
Nya.
Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd menjelaskan:
segolongan fukaha, yakni jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu
hukumnya sunnat. Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib.
Para ulama Malikiyah berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian
orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang
lain.46
Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan mukallaf
(pelakunya).47
Dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan
melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum
wajib, sunat, haram, makruh ataupun mubah.48
1. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Wajib
Orang yang diwajibkan kawin, ialah orang yang sanggup untuk kawin,
sedangkan ia khawatir terhadap dirinya akan melakukan yang dilarang Allah
melakukannya. Melakukan perkawinan merupakan satu-satunya jalan baginya
untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah, berdasarkan
hadits Nabi SAW:49
46
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 16. 47
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, h. 224. 48
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 18. 49
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 23-24.
22
عن عبد انهو بن مسعىد رضي اهلل عنو قال ننا رسىل انهو صه اهلل عهيو وسهم
معشر انشباب من استطاع هنكن الباءة فليتزوج , فإنه أغض للبصر , وأحصن للفرج ,
يا وهن لن يستطع فعليه بالصوم ; فإنه له وجاء
“Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, telah berkata kepada kami Rasullah
SAW: “Hai sekalian Pemuda, Barang siapa diantara kamu yang telah
sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu
menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan
memelihara faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah
berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya”. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
2. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Sunnah
Orang yang telah memilki kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan
akan berbuat zina, maka melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah
sunat. Alasannya anjuran Al-qur’an seperti dalam surat An-Nur ayat 32 dan
hadits Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Mas’ud tersebut berbentuk perintah, tetapi berdasarkan qarinah-qarinah yang
ada, perintah Nabi tidak memfaedahkan hukum wajib, tetapi hukum sunnat
saja.50
3. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Haram
Perkawinan hukumnya haram, apabila orang yang melakukannya tidak
mempunyai keinginan dan kemampuan, serta tanggung jawab untuk
menjalankan kewajiban-kewajiban dalam berkeluarga.51
Disamping itu haram
hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa mudharat
kepada istrinya karena ketidakmampuan dalam member nafkah lahir batin.52
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
50
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 19-20. 51
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, h. 7. 52
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 6.
23
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan…”
4. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Makruh
Orang-orang yang makruh hukumnya kawin, ialah orang yang tidak
mempunyai kesanggupan untuk kawin (dibolehkan melakukan perkawinan,
tetapi ia dikhawatirkan tidak dapat mencapai tujuan perkawinannya, karena
itu dianjurkan dianjurkan sebaiknya ia tidak melakukan perkawinan. Firman
Allah SWT:53
“Hendaklah menahan diri orang-orang yang tidak memperoleh (alat-alat)
untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan sebahagian karunianya”.
(QS. An-Nur :33)
5. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi
apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila
melakukannya juga tidak akan melantarkan istri. Perkawinan orang tersebut
hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga
kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini
juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk
kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan
kawin.54
53
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 24. 54
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 21-22.
24
Melihat dari penjelasan di atas, menurut penulis seseorang dapat
dihukumi wajib, sunah, haram, makruh maupun mubah dapat dilihat dari
kondisi orang tersebut.
D. Larangan Pernikahan
Hukum perkawinan telah diatur sedemikian rupa oleh syariah sehingga
ia dapat membentuk suatu umat yang ideal. Untuk mencapai tujuan itu, Al-
qur’an dan sunah telah menjelaskan macam-macam larangan dalam
perkawinan.55
Secara garis besar, larangan kawin antara seorang laki-laki dan
seorang wanita menurut syara’ dibagi menjadi dua yaitu halangan abadi dan
halangan sementara. Halangan abadi yang telah disepakati yaitu:56
1. Nasab (Keturunan)
2. Pembesanan (Pertalian Kerabat Semenda)
3. Sesusuan
Sedangkan yang diperselisihkan ada dua yaitu:57
1. Zina
2. Li’an
Halangan-halangan sementara ada Sembilan, yaitu:58
1. Halangan bilangan
2. Halangan mengumpulkan
3. Halangan kehambaan
4. Halangan kafir
5. Halangan ihram
6. Halangan sakit
55
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Iba Asghari dan Wadi
Masturi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 17. 56
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 103. 57
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 103. 58
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 103.
25
7. Halangan iddah
8. Halangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan
9. Halangan peristrian
Orang-orang yang terhalang untuk dinikahi karena ada hubungan
dengan nasab ada 7 macam, yaitu: (1) Ibu (dan urutan keatasnya), (2) Anak
(dan urutan keatasnya), (3) Saudara Perempuan, (4) Bibi (Saudara Perempuan
Ayah), (5) Bibi (Saudara Perempuan Ibu), (6) Keponakan dari saudara
perempuan dan (7) keponakan dari saudara laki-laki. Hal ini sesuai dengan
firman Allah surat An-Nisa’ ayat 23:59
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara yang
perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara
ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan”.
Tafsirnya: menurut ibnu katsir, ayat tersebut merupakan ayat yang
mengharamkan wanita yang disebut mahram karena pertalian nasab, susuan
dan persemendaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu
Abbas, dia berkata: diharamkan kepadamu tujuh golongan karena
persemedaan.60
Wanita yang haram dinikahi karena faktor persusuan yaitu Ibu yang
menyusui dan Saudara perempuan sepersusuan.61
Dan yang terlarang untuk
59
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, h. 238-239. 60
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian dalam Kajian Ibnu
Katsir, (Jakarta: Gaung Persada Press, h. 38-39). 61
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 32.
26
dinikahi karena hubungan mushaharan (besanan) ada 4 macam yaitu: (1) ibu
dari istri neneknya, (2) anak dari istri, (3) istri ayah (mertua) dan (4) istri anak
(menantu).62
Di Indonesia juga memiliki peraturan yang menentukan perkawinan
mana yang diperbolehkan dan perkawinan mana yang dilarang menurut
hukum.63
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), larangan kawin seperti yang
telah diuraikan diatas, dijelaskan pula secara rinci dalam pasal 39 sampai
pasal 44.64
Dalam Undang-undang Perkawinan menentukan beberapa
larangan untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam pasal 8, 9 dan
10.65
Ketentuan dalam pasal 8 itu telah sangat mendekati ketentuan-ketentuan
larangan perkawinan dalam islam.66
Sesuai Pasal 8 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 menyatakan
“Melarang perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
baik keatas, kebawah maupun garis menyamping mempunyai hubungan
semeda, hubungan susuan, hubungan saudara dengan istri dan hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”. Pasal 9
melarang seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain untuk
kawin lagi, kecuali ada izin dari pengadilan. Dan pasal 10 melarang
perkawinan kembali antara suami-istri bercerai untuk kedua kalinya.67
Larangan pernikahan selain orang yang akan menikah sebagai objek
pelarangan nikah, Islam juga mencatumkan beberapa jenis pernikahan sebagai
objek pelarangan untuk menikah, diantaranya yaitu : nikah mut’ah (kawin
62
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, h. 239-240. 63
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum perkawinan di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung,
1991), h. 34. 64
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 114-227. 65
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 27. 66
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, h. 54. 67
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No.
1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 25.
27
kontrak), nikah syighar (nikah yang didasarkan kepada janji atau kesepakatan
kepada janji atau kesepakatan penukaran), nikah muhallil (nikah dengan
tujuan menghalalkan perempuan yang dinikahinya agar dinikahi oleh mantan
suaminya yang mentalak tiga) dan pernikahan silang (nikah beda agama).68
E. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang
perlu mendapat pemenuhan. Mengenai naluri manusia seperti tersebut pada
ayat 14 surat Al- Imran:69
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-
apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak”.
Melihat uraian diatas dan memperhatiakan uraian Imam Al- Ghazali
dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan
perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima yaitu:70
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
68
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 34-37. 69
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 22-23. 70
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 24.
28
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk rumah tangga untuk
membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Tujuan Perkawinan menurut Undang-Undang perkawinan sudah
tercantum dengan jelas di dalam isi pada Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan, tujuan perkawinan adalah: “Membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.71
Selain memiliki tujuan, Pernikahan dalam islam juga mempunyai
hikmah dan manfaat yang sanagt besar. Beberapa hikmah dari pernikahan
tersebut diantaranya:72
1. Pernikahan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak, dan
keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar’i.
2. Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat.
3. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram.
4. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan
mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab.
5. Pernikahan dan adanya keturunan akan mendatangkan rezeki yang halal
serta berkah.
6. Nikah mempunyai kontribusi di dalm membentuk pribadi untuk
berperilaku disiplin.
7. Memperkokoh tali persuadaraan antar masyarakat.
8. Dapat menghasilkan keturunan yang baik, jelas nasabnya dan semakin
memperat hubungan antar sesama.
Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi, hikmah-hikmah Perkawinan itu
banyak antara lain:73
71
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 14. 72
Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 42-44.
29
1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan.
2. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah
tangganya teratur. Kehidupannya tidak akan tenang kecuali dengan adanya
ketertiban rumah tangga.
3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan
dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai
macam pekerjaan.
4. Adanya istri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan.
5. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa
yang tidak di halalkan untuknya.
6. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya.
7. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit.
8. Jika sudah menikah terdapat anak dan istri yang mendoakan.
Menurut Sayyid Sabiq menyebutkan pada hikmah-hikmah yang lain,
sebagai berikut:74
1. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai
untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks. Dengan kawin, badan
jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara, dari melihat yang haram
perasaan tenang menikmati barang yang halal.
2. Kawin jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara
nasab.
3. Naluri kebapaan dan keibuan aka tumbuh saling melengkapi dalam
suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan, ramah,
cinta dan saying yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
73
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 22-23. 74
Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 69-72.
30
4. Menyadari tanggung jawab yang akan menimbulkan sikap rajin dan
sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.
5. Adanya pembagian tugas.
6. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat
hubungan kemasyarakatan yang oleh islam restui, ditopang dan ditunjang.
31
BAB III
PERNIKAHAN TURUN RANJANG DI KALANGAN MASYARAKAT
BETAWI
A. Sejarah Pernikahan Turun Ranjang Dalam Masyarakat Betawi
Keberadaan tradisi di Indonesia ini merupakan sudah hal biasa. Selain
menjadi kebiasaan, juga menjadi ciri khas di beberapa wilayah yang ada di
Indonesia dengan maksud membedakan adat istiadat yang satu dengan adat
istiadat yang lainnya.
Perkawinan adat ialah suatu bentuk kebiasaan yang telah dilazimkan
dalam suatu masyarakat tertentu yang mengatur masalah-masalah yang
berhubungan dengan pelaksanaan suatu perkawinan baik secara seremonial
maupun ritual.
Pernikahan bagi masyarkat Betawi adalah bersatunya sepasang insan
laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan yang disahkan dalam akad nikah
secara Islam.1
Dan sistem pernikahan pada masyarakat Betawi pada dasarnya
mengikuti hukum Islam, kepada siapa mereka boleh atau dilarang
mengadakan hubungan perkawinan. Dalam mencari jodoh, baik pemuda
maupun pemudi Betawi bebas memilih teman hidup mereka sendiri. Karena
kesempatan untuk bertemu dengan calon calon kawan hidup itu tidak terbatas.
Namun demikian, persetujuan kedua orang tua sangatlah penting, karena
orang tualah yang akan membantu terlaksananya pernikahan tersebut.
Di masa lalu, dalam masyarakat budaya adat Betawi ada istilah
pernikahan turun ranjang yang dimana pada mulanya perkawinan tersebut
sudah dilazimkan dalam masyarakat dan telah berlangsung selama berabad-
abad. Bentuk perkawinan ini menjadi salah satu jenis dalam perkawinan adat
1 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, h. 143
32
Betawi namun jarang sekali terjadi pada masa waktu itu. Bentuk perkawinan
turun ranjang ini terjadi apabila salah satu dari pasangan suami istri yang
istrinya atau suaminya meninggal dunia maka yang menggantikannya adalah
iparnya sendiri, yaitu adik dari si istri atau adik dari si suami tersebut.
Bentuk penggantian peran dimaksud dalam jenis perkawinan ini
dilakukan dengan cara mengawini adik iparnya sendiri demi kelangsungan
rumah tangganya agar tidak jatuh ke tangan pihak orang lain. Namun karena
perkembangan zaman dan pola pemikiran mengakibatkan bentuk perkawinan
sudah hampir tidak pernah terjadi lagi.
B. Tata Cara Pernikahan Dalam Adat betawi
Upacara adat perkawinan pada orang betawi sebenarnya dilakukan
memalui beberapa tingkatan upacara berhubungan atau berkaitan satu sama
lainnya.2 Untuk sampai pada acara akad nikah, banyak tahap acara yang harus
dilalui.3 Tahap-tahap itu adalah sebagai berikut:
1. Ngeledengin (melihat-lihat)
Ngeledengin yaitu mencari informasi dari sumber langsung, atau
terdekat untuk mengetahui apakah gadis yang menjadi “liat-liatan” itu sudah
ada yang punya atau belum.4 Dalam ngeledengin ada dua kemungkinan yang
terjadi. Pertama, tindakan aktif pihak orang tua (ayah/ibu) mencari dan
memilih seorang gadis untuk dijadikan calon menantu. Dalam kemungkinan
yang pertama ini dapat saja terjadi si orang tua tidak dapat secara aktif
ngeledengin.5 Biasanya dilakukan dengan meminta bantuan seorang wanita
yang biasa dan yang pandai melakukan tugas ini, hasil kerja si wanita ini nanti
2 Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Folklor Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan
Propinsi DKI Jakarta, 2002), h. 72. 3 Abdul Chaer, Floklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, h. 143.
4 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya,
(Jakarta: PT Gunara kata, 2004), h. 156. 5 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, h. 3.
33
dilaporkan kepada orang tua si perjaka, lalu dibicarakan dalam keluarga si
perjaka.6
Kedua, proses ngeledengin yang dilakukan sendiri oleh sang jejaka.
Dalam hal ini, sang jejaka berupaya mencari dan menemukan gadis
pilihannya. Jika jejaka sudah merasa mantap dengan gadis pilihannya, maka ia
segera mengutarakan langsung tentang keinginannya tersebut kepada kedua
orang tuanya untuk segera mengikat sang gadis.7
2. Main atau Silahturahmi
Andaikata sudah ada gadis yang dianggap cocok maka tahap
berikutnya adalah kelurga si perjaka mengadakan kunjungan ke rumah
keluarga si gadis untuk main, silahtuhrahmi dan berkenalan dengan si gadis
dan keluarganya. Hasil kunjungan ini dibicarakan dalam keluarga si perjaka.
Andaikata keluarga menyetujui gadis itu menjadi istri si perjaka masuk tahap
lamaran. Kalau keluarga sepakat untuk tidak setuju maka acara lamaran tentu
tidak ada.8
3. Melamar (Ngelamar)
Ngelamar adalah pernyataan dan permintaan resmi dari pihak keluarga
laki-laki (calon tuan mantu) kepada pihak keluarga wanita (calon none
mertua).9 Dapaun yang dikirim sebagai utusan biasanya keluarga yang dekat
sebanyak dua atau tiga orang, dan jarang sekali orang tuanya sendiri.10
Bawaan pokok pada waktu ngelamar, antara lain:11
6 Abdul Chaer, Folklor Betawi, Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, h. 144.
7 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008)
h.35-36. 8 Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, h. 144.
9 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi, h. 41.
10 Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Folklor Betawi, h. 73.
11 Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi, h. 41.
34
a. Sirih lamaran/ sirih embun, yaitu nampan yang dihiasi kertas minyak
dan diisi daun sirih lipat bulat dan sirih tampi/ sirih yang telah diisi
rempah-rempah untuk nyirih (kapur,gambir,pinang).
b. Pisang raja sebanyak dua sisir.
c. Roti tawar.
d. Sirop (umumnya berwarna merah dan berjumlah tiga botol).
e. Hadiah pelengkap, hadiah berupa bahan baju kebaya, kain batik tiga
negeri, kain panjang, perlengkapan kosmetik, selop dan sebagainya.
f. Para utusan yang terdiri dari Mak comblang dan dua pasang wakil
orang tua calon mantu.
Utusan keluarga sang jejaka akan diterima oleh pihak keluarga dan
orang tua si gadis, maka terjadilah dialog antara kedua belah pihak, dialog
berisi tentang maksud dan tujuan pihak keluarga sang jejaka. Serta berisi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan apa saja yang menjadi permintaan
keluarga si gadis.12
Sebagai pemeluk agama islam, yang pertama diputuskan adalah soal
mahar ( mas kawin). Berikutnya dibicarakan pula persyaratan-persyaratan
adat lainnya, seperti kekudang, pecingkrem, pesalin (seperlengkap busana
lengkap), uang belanja dan pelangke. Pelangke terjadi apabila si gadis
mempunyai kakak laki-laki atau perempuan yang belum menikah.13
4. Tunangan ( Bawa Tande Putus )
Tahap ini ditandai dengan adanya suatu acara mengantar kue-kue dan
buah-buahan dari pihak laki-laki kerumah pihak si gadis, yang kemudian
dibalas dengan makanan berupa nasi dan lauk-pauknya dan seterusnya
dibagikan kepada semua anggota keluarga masing-masing.14
Pada saat itu
12
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, h. 6. 13
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, h. 6. 14
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, h. 6.
35
akan diputuskan hari dan tanggal pernikahan, sekaligus dibawa
pecingkrem berupa cincin belah rotan sebagai pengikat.15
Setelah acara tande putus, kedua belah pihak menunggu dan
mempersiapkan keperluan pelaksaan acara akad nikah. Masa ini
dimanfaatkan juga untuk memelihara none calon menantu yang disebut
dengan piare calon none penganten dan orang yang memelihara disebut
tukang piare penganten atau dukun penganten.16
5. Piare Calon None Penganten
Piare calon penganten artinya merawat calon pengantin sejak 10 hari
sebelum akad nikah dilaksanakan. Perawatan agar nanti pada wakttu akad
nikah dan duduk ditaman (pelaminan) wajah si pengantin tampak segar
dan bercahaya.17
Perawatan disediakan seorang piawai dalam bidangnya, yang ileh
masyarakat Betawi dikenal dengan nama “tukang piare”. Tukang piare
betanggung jawab sepenuhnya untuk mengatur dan menentukan jangka
waktu perawatan, obat-obat tradisional yang harus digunakan, dan apa
saja yang harus menjadi makanan tetap serta makanan yang dilarang bagi
calon pengantin putri.18
Selama dipiare ini calon none mantu diharuskan memakai baju
terbalik (kain sarung dan kebaya longgar ¾ lengan) sebagai lambing tolak
bala, bahkan dilarang ganti baju. Kalau calon none menantu gemuk,
makan dan minumnya diatur (diet), tidak boleh makan makanan yang
digoreng, makananyang dianjurkan adalah makanan yang
dibakar/dipanggang dan diharuskan minum jamu godok dan jamu air
secang. Seluruh tubuhnya diurut dan dilulur sekali sehari. Dilarang mandi
15
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Folklor Betawi, h. 74. 16
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi, h. 48. 17
Abdul Chaer, Folklor Betawi, Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, h. 146. 18
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, h. 6.
36
dan ngaca/bercermin. Diharuskan banyak berzikir, membaca sholawat,
dan membaca surat Yusuf.19
6. Dimandiin/Mandi Kembang
Pengantin putri diamndikan sehari sebelum menikah.20
Sebelum
upacara mandi, calon pengantin meminta izin orang tuanya dengan
menemuinya dan mencium tangannya, dengan mengenakan kemben serta
kebaya tipis, rambut disanggul biasa dan mengenakan kerudung tipis.
Adapun yang memandikan hanya tukang piare pengantin (kecuali ada
permintaan lain dari pihak keluarga, misalnya disertakan juga beberapa
orang tua), sedangkan yang lain hanya menyaksikan saja.21
Adapun perlengkapannnya adalah: 1) kembang 7 rupa (setaman), 2)
paso tanah; 3) gayung batok; 4) pedupaan dengan setanggi/gahru yang
diletakkan dibawah bangku tempat pengantin duduk. Untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga pengantin, pakaian bekas
mandi diberikan kepada tukang piare pengantin sebagai hadiah.22
Setelah upacara mandi, pengantin menjalani upacara tangas atau kum
(semacam mandi uap) untuk membersihkan dari bekas-bekas dari pori-
pori dan membuat membuat kulit pengantin menjadi wangi serat tidak
mengeluarkan keringat pada waktu rias. Peralatannya adalah: 1) kembang
7 rupa (setaman) serta ramuan lainnya seperti; daun jeruk purut, daun
pandan, akar wangi, daun mangkok, dll; 2) paso tanah; 3) kursi rotan
bolong-bolong; 4) tikar atau penutup.23
Kemudian dilakukan acara ngerik dan malam pacar. Alat-alat yang di
gunakan antara lain: 1) kain putih ukuran 2 meter, 2) kembang setaman,
3) air putih dalam cawan dicampur dengan satu atau dua kuntum mawar
19
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi, h. 48-49. 20
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, h. 10. 21
Ensiklopedia Jakarta, Culture dan Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah), (Jakarta:
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dinas KeSbudayaan dan Permuseuman,2005), h. 483. 22
Ensiklopedia Jakarta, Culture dan Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah), h. 483. 23
Ensiklopedia Jakarta, Culture dan Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah), h. 483.
37
dan bunga melati, 4) pedupaan dan setanggi/gahru, 5) alat cukur, 6) dua
keping uang logam, 7) tempat sirih lengkap dengan isinya, dan 8) pacar
secukupnya.24
Acara ngerik yaitu acara membersihkan /mencukur bulu-bulu kalong
calon pengantin wanita yang tumbuh di sekitar kening, pelipis, tengkuk,
dan leher. Acara malam pacar adalah acara memakaikan pacar pada kuku
tangan dan kuku kaki calon pengantin wanita. Ini dilakukan oleh tukang
piare dan keluarga serta teman teman wanita calon pengantin.25
7. Malem Mangkat/Malem Bumbu/Malem Ngeracik
Kegiatan dirumah calon tuan mantu (calon pengantin pria) disebut
malem nyerondeng, malem bungkus-bungkus, malem goring ikan, dan
lain-lain. Pada malam itu, pihak calon pengantin pria mempersiapkan
semua kebutuhan serah-serahan membuat pesalin, menghias nampan kue
(kuenya antara lain: dodol, wajik, geplak, dan uli), menghias peti sie,
membuat dan menghiasa miniatur masjid, dan sebagainya. Buah-buahan
pun dihias sedemikian rupa sehingga enak dilihat. Itu sebabnya pada
malam itu disebut malam bungkus-bungkus, yaitu membungkus seluruh
serah-serahan yang ada dan esok hari akan dibawa kerumah calon none
mantu.26
8. Ngerudat/Duduk Nikahnya
Acara ngerudat adalah upacara akad nikah atau ijab qabul. Pengantin
pria akan datang dengan rombongan pengiring yang besar terdiri dari: 1)
calon pengantin pria diiringi dan di apit para alim ulama dan tokoh
masyarakat di lingkungan keluarganya, 2) para penabuh rebana, 3)
dibelakang meraka terdapat rombongan pembawa barang.27
24
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi, h. 50. 25
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi, h. 50. 26
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi, h. 51-52. 27
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, h. 19.
38
Perlu disinggung kembali ketika kunjungan penyerahan tande putus,
selain membicarakan mahar atau mas kawin, ditentukan juga beberapa
jenis bawaan yang harus diikutsertakan mengiringi mahar pada pelaksaan
akad nikah. Bawaan pengiring itu antara lain: 1) sirih nanas lamaran dan
sirih nanas hiasan, 2) mahar atau mas kawin, 3) miniatur masjid yang
berisi uang sejumlah yang telah dibicarakan sebelumnya, 4) sepasang roti
buaya, 5) kekudang/sesuatu yang sangat disukai none calon menantu
sejak kecil hingga dewasa, 6) kue penganten, biasanya kue kembang, 7)
pesalin atau hadiah pelengkap, berupa pakaian wanita, kain, selop, alat
kecantikan dan sebagainya, 8) bebrapa nampan kue-kue khas betawi
(dodol, wajik, geplak, tape, uli, dan lain-lain, 9) beberapa nampan buah-
buahan khas betawi, 10) sie, dan 11) jung atau perahu cina yang berisi
buah-buahan.28
Acara akad nikah dimulai dari rumah calon mempelai pria yang
dimulai dengan maulud nabi, pembacaan doa untuk keselamatan
semuanya, serta mengarak pengatin pria menuju rumah pengantin wanita.
Sebagai tanda rombongan pengarak pengantin akan berangkat, dibakarlah
sederet petasan. Nanti setalah sampai kira-kira 100 meter dari rumah
mempelai wanita, akan dibakar pula sederet petasan untuk menandai
kedatangan.29
Tiba di depan rumah mempelai wanita, rombongan dihalangi oleh
wakil dari keluarga mempelai wanita yang menanyakan ini rombongan
apa dan mau kemana. Pertanyaan dan dialog dilakukan dalam bentuk
pantun. Pertanyaan ini memulai acara yang disebut buka palang pintu.30
28
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi, h. 53-54. 29
Abdul Chaer, Folklor Betawi, Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, h. 147. 30
Abdul Chaer, Folklor Betawi, Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, h. 148.
39
Tradisi palang pintu pada acara pernikahan betawi dimulai dari beradu
pantun hingga adu ketangkasan bersilat.31
Setalah acara pembuka palang pintu selesai, maka mempelai pria dan
rombongan dipersilahkan masuk untuk melangsungkan acara akad
nikah.32
Setalah akad nikah selesai pengantin pria diterima dan dituntun
oleh tukang rias yang akan mempertemukannya dengan pengantin putrid
di pelaminan.33
9. Pulang Tiga Hari
Tepat tiga hari ssetelah pengantin pria menginap dirumah istrinya,
mereka berdua akan di boyong kerumah pengantin pria. Peristiwa itu
disebut orang “Pulang Tiga Hari”.34
Keberangkatan pengantin wanita menuju rumah pengantin pria
diantar oleh beberapa wakil dari keluarga orang tuanya. Sebelum
meninggalkan rumah, pengantin wanita diberi nasihat atau wejangan
bagaimana seharusnya ia berperilaku di rumah mertuanya. Di rumah
pengantin pria, dikamarnya sudah diletakkan seperangkat kotak sirih
komplit dengan isinya dan selembar kain putih.35
Adat betawi mengahruskan jika pada malam itu telah terjadi
“kumpul” antara keduanya, pada pagi hari suaminya akan mengeluarkan
kotak sirih dan meletakkan di luar sisi pintu kamar. Jika alat penumbuk
sirih diletakkan miring atau tergeletak, itu mengisyaratkan bahwa istri
benar-benar gadis suci ketika mahligai pernikahan. Sebaiknya, jika
31
Lily Turangan, Wilyanto dan Reza Fadhilla, Seni Budaya dan Warisan Indonesia: Manusia
dan Lingkungan Budaya, (Jakarta: PT Aku Bisa, 2014), h.39. 32
Abdul Chaer, Folklor Betawi, Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, h. 147-148. 33
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, h. 28. 34
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, h. 31. 35
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi, h. 72.
40
tempat sirih dikeluarkan dalam keadaan sama seperti dimasukkan, berarti
istri bukan gadis lagi tatkala memasuki pernikahan.36
C. Pernikahan Turun Ranjang Menurut Perspektif Masyarakat
Tiap masyarakat mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang
perkawinan turun ranjang dalam masyarakat betawi, hal ini disebabkan
adanya faktor pengetahuan yang minim dan latar belakang masyarakat yang
beragam dan kebiasaan sehari-hari mereka dalam menetapkan suatu aturan.
Pada perkembangan zaman saat ini, pernikahan turun ranjang sudah
mulai di tinggal oleh masyarakat Betawi itu sendiri sudah tidak lagi relevan
untuk diikuti. Jadi yang dimaksud pernikahan turun ranjang itu menikahi adik
istri karena istrinya meninggal atau telah bercerai dengan suaminya, maka
bisa menikahi adiknya itu. Dalam arti menikah adik mantan istri (bila
bercerai) ataupun meninggal dunia.37
Sedangakan menurut warga lain memiliki pandangan juga bahwa
pernikahan turun ranjang kedudukan hukumnya yaitu selama syarat dan rukun
perkawinan terpenuhi, baik secara hukum Islam maupun perundang-
undangan. Maka, hukum perkawinan turun ranjang boleh dilakukan kecuali,
apabila suaminya mengawini kakak beradik pada waktu bersamaan atau biasa
dikenal dengan adad.38
36
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Betawi, h. 72-73. 37
Hasil wawancara dengan Bpk. Jamaluddin, Ciganjur, Ketua RT 012/RW 04 Kelurahan
Cipedak pada tanggal 10 Juli 2018 38
Hasil wawancara dengan Bpk. Mahbub, Ciganjur, Ketua RW 03 Kelurahan Ciganjur pada
tanggal 10 Juli 2018
41
BAB IV
HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGENAI ADANYA
PERNIKAHAN TURUN RANJANG PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi Mengenai Pernikahan
Turun Ranjang
Sesungguhnya agama Islamini sudah sangat sempurna dan cukup sebagai
pedoman hidup manusia di dunia. Sebab Allah, telah menerangkan kepada umat
manusia kaidah-kaidah agama dan kesempurnaanya yang meliputi segala aspek
kehidupan. Firman Allah dalam Q.S Al-Maidah (5) 3:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk agamamu dan telah Ku-ciptakan
kepada nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islamitu jadi agamamu.
Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa agama Islamitu telah
sempurna dan tidak memerlukan tambahan secara pengurangan sedikitpun juga.
Apapun bentuk atau alasannya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun disangka
baik oleh sebagian manusia, atau dari siapa saja datangnya meskipun dianggap besar
oleh sebagian manusia, adalah suatu perkara yang sangat dibenci oleh Allah dan
Rasul-Nya, tetapi sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara
tidak langsung telah membantah firman Allah diatas dan telah menuduh Rasullah
berkhianat dalam menyampaikan risalah.1
Kebudayaan yang merupakan hasil budi daya manusia adalah suatu adat
kebiasaan yang sudah melekat pada suatu masyarakat, sehingga masyarakat tidak
1
M. Irfan Juliansah, “Tata Cara Khitbah dan Walimah Pada Masyarakat Betawi Kembangan
Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam, “(Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas
IslamNegeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 1.
42
dipengaruhi oleh adat kebiasaan lain. Dihubungkan dengan fikih, budaya masyarakat
saling terkait satu sama lainnya. Masyarakat yang pluralis akan berbenturan dalam
penetapan aspek hukumnya, terutama dari sisi hukum Islam(fikih).2
Rasanya tak perlu diperpanjang kalam tentatng bagaimana para ulama fikih
dipengaruhi faktor lingkungan sosial budaya dalam menghasilkan karya fikih mereka.
Bukti yang paling banyak dikenal masyarakat adalah riwayat tentang bagaimana
Imam Syafi‟I mempunyai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat
baru). Pendapat lama diberikan ketika beliau berada di Baghdad dan pendapat baru
dikemukakan ketika beliau pindah ke mesir. Puluhan bahkan mungkin juga ratusan
pendapat lama Imam Syafi‟I diubah dan diganti dengan pendapat baru yang lebih
sesuai dengan lingkungan sosial budaya barunya itu. Kalau kita membaca Fiqh
Mahalli, misalnya, kita akan berjumpa dengan sejumlah kenyataan tentang qaul
qadim dan qaul jadid.
Kita juga mengenal dalam tarikh tasyri‟ bagaimana ulama Ahl Al-ra’yi dan
Ahl Al-hadits berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama Ahl Al-
ra’yi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di Kota Kuffah dan
Baghdad yang metropolitan sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah
persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota. Ditambah dengan
kenyataan Baghdad terletak jauh dari pusat kota hadits yaitu Madinah, maka Imam
Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab fikih yang telah mendasarkan
kepada ra‟yu (akal) dari pada hadits yang tidak masyhur dalam hal tidak ada nash Al-
qur‟an. Sebaliknya Imam Malik Bin Annas yang hidup di kota Madinah yang tingkat
kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana dan ditambah kenyataan
banyaknya hadits-hadits yang beredar di kota-kota itu, cenderung banyak
menggunakan hadits ketimbang rasio dan akal.3
2
Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu Kencana,
2003), h. 27.
3 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta,
Titian Ilahi Press, 1998), h. 107.
43
Islam merupakan agama yang amat dapat kemaslahatan. Sebagai Al-din (way
of life) yang datang dari Allah, pencipta manusia, tentunya syariah
Islamditurunkannya memperhatikan keperluan dan maslahat kehidupan manusia dan
seluruh makhluknya. Dalam merealisasikan pelaksaan syariah Islamini, para ulama
dan cendikiawan muslim memainkan peranan yang amat agar ajaran Islamitu benar-
benar dapat dilaksanakan sebagaimana yang dikehendaki oleh sang pencipta syariah
tersebut. Sebab semua tindakan manusia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang
baik di dunia ini, harus tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya, kehendak Allah dan
Rasul itu sebagian tertulis dalam kitabnya yang disebut syariah, sedangkan sebagian
besar lainnya tersimpan dibalik apa yang tertulis itu. Untuk mengetahui keseluruhan
apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu memerlukan
pemahaman yang intens tentang syariah sehingga amaliah syariah tersebut dapat
diterapkan dalam kehidupan manusia.
Di zaman modern ini, yang dicirikan dengan pesatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, tampak kemaslahatan manusia terus berkembang dan
meningkat seiring dengan urgensitasnya, tidak terbatas jenis kuantitasnya, mengikuti
situasi dan ekologi masyarakat. Hal itu dapat membawa dinamisasi dalam aplikasi
syariah Islam. Sebab diferensiasi waktu, tempat, dan lingkungan dapat member
pengaruh yang sangat besar terhadap syariah (hukum-hukum) Islam. Suatu kaidah
menegaskan fatwa “Fatwa hukum itu berubah karena perubahan waktu, tempat,
keadaan tradisi dan niat.4
Salah satu peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam
berbagai suku adalah masalah pernikahan, karena pernikahan merupakan suatu sistem
sosial yang tidak hanya menyangkut yang berkepentingan saja akan tetapi juga
menyangkut orang tua, kerabat dan masyarakat.5
4 M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gunung Persada Press, 2007), cet, 1, h.
1.
5 Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung,
1982), h. 122.
44
Perkawinan merupakan perbuatan hukum. Ketika seorang pria dengan seorang
wanita yang sudah cakap hukum akan melaksanakan perkawinan. Tentunya,
diperlukan syarat dan rukun perkawinan. Salah satu perkawinan tersebut yaitu
perkawinan turun ranjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan dan
keabsahan pernikahan turun ranjang menurut hukum Islamdan serta untuk
menemukan kepastian hukum mengenal akibat hukum perkawinan turun ranjang
yang dilaksanakan di Indonesia khusus pada masyarakat Betawi.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penentuan status dan
kedudukan hukum perkawinan turun ranjang yaitu selama syarat dan rukun
perkawinan terpenuhi, baik secara hukum Islammaupun perundang-undangan, maka
hukum perkawinan turun ranjang boleh dilakukan, kecuali apabila suaminya
mengawini kakak beradik dalam waktu yang bersamaan atau biasa yang dikenal
dengan adad. Akibat dari pernikahan turun ranjang yaitu bahwa para pihak apabila
terjadinya putusnya perkawinan, maka para pihak baik suami, istri dan anak-anaknya
berhak untuk mendapat harta bersama, dan apabia putusnya perkawinan karena
kematian maka ia berhak atas harta warisan bagi suami selain berhak atas harta
bersama dan harta warisan dan serta berhak menjadi wali nikah bagi anak
perempuannya.
Fiqh memang tidak menjelaskan mengenai pernikahan turun ranjang,
pernikahan turun ranjang hanya dijelaskan di dalam satu adat di Indonesia. Karena
dalam fikih tidak menjelaskan maka Islammenganjurkan orang menyegerakan
berkeluarga.6 Sebagaimana nikah disyariatkan dalam firman Allah sebagai berikut:
6
Abdur Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 15.
45
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-
orang yang layak (untuk kawin) diantara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memberikan
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. (Q.S. An-nur: 32)
Melihat dari ayat diatas, dapat penulis argumentasikan bahwa pernikahan
tidak boleh dihalang-halangi kecuali dengan alasan-alasan yang mendasarkan kepada
fikih. Meskipun demikian, pada dasarnya adat yang sudah memenuhi syarat dapat
diterima secara prinsip.7
العادة محكمة
“Adat itu dapat menjadi dasar hukum”.
Ulama sepakat dalam menerima adat, adat yang dalam perbuatan itu terdapat
unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharat atau unsur manfaatnya lebih besar dari
unsur mudharatnya serta adat yang pada prinsipnya secara subtansial mengandung
unsur maslahat, namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik dalam Islam.
Dasar berlakunya hukum adat di Indonesia terdapat didalam Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Aturan Peralihan Pasal II yang berbunyi :
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.8
Pasal diatas dapat menjadi dasar hukum dan kekuatan berlakunya adat
pernikahan turun ranjang. Secara sosiologis, kekuatan berlakunya adat karena hukum
itu benar-benar secara nyata anggota ditaati oleh masyarakat. Walaupun secara
tertulis tidak dinyatakan dengan tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan.9
Kekuatan berlakunya hukum adat secara yuridis dapat kita lihat bahwa hukum
itu memiliki kemampuan untuk di paksakan kepada anggota masyarakat. Kemudian
7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 395.
8 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), h. 111-112.
9 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), h. 50.
46
kekuatan berlakunya hukum adat secara filosofis dapat kita lihat dari alasan hukum
adat itu dibuat dan tujuan dari berlakunya hukum adat tersebut.10
Melihat dari penjelasan diatas dapat penulis argumentasikan bahwa di dalam
hukum positif, adat mengenai pernikahan turun ranjang ini dapat di berlakukan
selama ada perundang-undangan yang mengatur. Selain untuk menjaga adat sebagai
identitas bangsa, berlakunya adat pernikahan turun ranjang ini untuk memperkuat
persatuan dan kesatuan di dalam kekerabatan, kekeluargaan dan kebersamaan.11
B. Antara Adat dan Hukum Islam dalam Pernikahan Turun Ranjang
Masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibedakan atas dua golongan menurut
dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan
yang berdasarkan lingkungan (territorial). Menurut sejarah dan sifatnya, masyarakat
Betawi mempunyai dasar genealogis yang tegas, baru kemudian faktor territorial
menanmpakkan diri sebagai faktor yang penting juga. Jadi bisa ketahui bahwa segala
sesuatu yang menyangkut tentang adat itu sudah tertanam turun menurun di dalam
masyarakat, karena secara struktur sosial.12
Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan
peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi lahir sebagai akibat dari
dinamika dan interaksi yang berkembang disuatu komunitas lingkungan masyarakat.
Oleh karena itu, bisa dikatakan adat dan tradisi merupakan identitas dan ciri khas
suatu komunitas.
Selanjutnya sehubungan dengan perkawinan, perkawinan menurut hukum
adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai
suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina
10 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), h. 50-51.
11 Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), h.74.
12 Soerjono Soekamto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,2003), cet. 6,
h. 360.
47
kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang
menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak suami.13
Dalam perkawinan terdapat acara-acara pokok dan acara-acara pelengkap
yang bertalian dengan tradisi atau adat. Perbedaan kelompok atau perbedaan suku
merupakan bagian dari ciri khas adanya tradisi-tradisi tertentu. Maka dapatlah kita
lihat sekarang ini bentuk-bentuk pernikahan yang beraneka ragam, masing-masing
memiliki cara-caranya sendiri serta memiliki adat yang berbeda-beda dari daerah
yang satu ke daerah yang lain.
Dalam perkawinan adat Betawi ada istilah pernikahan turun ranjang, yang
dimana terjadinya pernikahan tersebut disebabkan istri meninggal, maka suami kawin
lagi dengan adik wanita dari istri yang telah wafat itu (silih tikar).14
Maksud dari perkawinan turun ranjang ini adalah agar istri pengganti dapat
memberikan keturunan guna penerusan keluarga, jika istri yang wafat belum
mempunyai keturunan, apabila sudah mempunyai keturunan agar supaya
anak/kemenakan dapat diurus dan dipelihara dengan baik serta tetap dapat
memelihara hubungan kekerabatan antara ke dua kerabat yang telah terikat dalam
hubungan perkawinan itu.15
Jika istri yang telah wafat sudah meninggalkan anak laki-laki, maka anak ini
berkedudukan sebagai penerus dari ayahnya, dan apabila dari perkawinan nungkat
(turun ranjang) itu didapat lagi anak laki-laki, maka anak ini meneruskan keturunan
sebagai pembantu dan pengganti dari kakak tirinya didalam pergaulan adat.16
Pada dasarnya suami harus memperlakukan istri nungkat sama dengan
istrinya yang telah wafat, oleh karenanya maka harta bawaan dan maskawin istri
pertama dapat pula dikuasai oleh istri nungkat untuk kepentingan kehidupan bersama
13 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1990),
cet 4, h. 70.
14
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, cet. 4, h. 76.
15
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, cet. 4, h. 76.
16 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, cet. 4, h. 76
48
dalam rumah tangga, tetapi ia tidak dapat memilikinya oleh karena semua harta dalam
perkawinan nungkat (turun ranjang) adalah hak penguasaan suami.17
Dimana fungsi dari istri nungkat (turun ranjang) itu adalah dapat mewarisi
harta bawaan istri yang telah wafat guna memelihara kemenakan dan anak
keturunannya, atau membawa barang-barang bawaan tersebut kembali kepada orang
tua/keluarganya jika terjadi perceraian.
Berkaitan dengan adat istiadat, pernikahan turun ranjang ini dipandang dari
segi fikih yaitu „urf yang memiliki arti secara etimologi kenal. Karena pernikahan
turun ranjang merupakan istilah sudah banyak dikenal oleh masyarakat khususnya
Betawi. Dalam ushul fiqh ‘urf memiliki beberapa segi pandang maka dari pernikahan
turun ranjang akan di bahas dari sudut yang berbeda.
Dari segi materi ia masuk pada kategori ‘urf fi’li sebab ia berbentuk perbuatan
bukan perkataan yang biasa diucapkan orang-orang. Tergolongnya ia ke dalam ‘urf
fi’li karena ia termasuk perbuatan adat kebiasaan yang bersifat berlaku di dalam
masyarakat Betawi dan mayoritas orang Betawi mengenal akan pengertian
pernikahan tersebut.
Adapun yang berkaitan dengan pernikahan turun ranjang yang sesuai dengan
syariat Islam. Bahwa syariat Islampada dasarnya dari masa awal banyak menampung
dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak
bertentangan dengan Al-qur‟an dan sunnah Rasullah. Menurut analisa penulis,
penulis dapat menganalisis beberapa hal mengenai pernikahan turun ranjang. Pada
dasarnya Pernikahan turun ranjang tidak dijelaskan dalam fikih maupun hukum
positif. Jadi sudah jelas bahwa pernikahan tersebut tidak akan mempengaruhi sah
atau tidaknya perkawinan tanpa terkecuali apabila suaminya mengawini kakak
beradik pada waktu bersamaan atau yang biasa dikenal dengan istilah adad.
Pernikahan turun ranjang hanyalah sebuah kebiasaan yang dianut dalam
kehidupan bagi penduduk yang mayoritas dari masyarakat Betawi. Namun sejalannya
17 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, cet. 4, h. 76
49
waktu, banyak masyarakat dari kalangan selain Betawi yang menerapkan sistem
pernikahan seperti ini, dan mereka mengaplikasikannya kepada keturunan mereka.
Sehingga dari awalnya kebiasaan, semakin lama menjadi adat dalam kehidupan
masyarakat saat ini.
Seseorang yang ingin menikah dan sudah memenuhi syarat untuk menikah,
Islammenganjurkan untuk disegerakan pernikahan tersebut. Oleh karena itu, perintah
menyegerakan tersebut membuat pernikahan tidak dapat dihalangi oleh siapa pun
tanpa alasan yang diatur dalam hukum syar‟i dan hukum positif.
Dalam pemakaian atau penerapannya, ada beberapa masyarakat yang tidak
menyetujui dan adapula yang tidak menyetujui masalah pernikahan turun ranjang
diantaranya sebagai berikut:
Masyarakat yang menyetujui pernikahan turun ranjang:
1. Terdapat masyarakat yang beranggapan bahwa apabila dalam satu keluarga
melakukan adat pernikhan turun ranjang, maka hubungan keluarganantara
keduanya akan terus berjalan.
2. Mereka masih mengikutin adat istiadat dari nenek moyang secara turun menurun,
dan menjadi adat dalam masyarakat betawi untuk menghormati peninggalan
leluhurnya.
3. Menjaga hubungan keluarga keduanya agar terus terjalin silahturahmi dan
hubungan positif antara keduanya
4. Pernikahan turun ranjang tersebut akan menjadi ibadah antara kedua pihak
keluarga yang melakukan adat tersebut.
Masyarakat yang tidak menyetujui pernikahan turun ranjang:
1. Dalam kehidupan masyarakat saat ini, adat pernikhaan turun ranjang ditakuti jika
terjadi akan berdempak tidak baik. Hal tersebut dikarenakan takut menimbulkan
mudharat dan maslahat bagi keluarga dan hubungan antara kedua keluarga
tersebut.
50
2. Permasalahan yang timbul takutnya ada dari pihak keluarga yang tidak
menyetujui terjadinya pernikahan tersebut, dan dikhawatirkan menjadi bahan
gunjingan yang tidak baik dikalangan tetangga atau masyarakat.
3. Khawatir efek yang terjadi dari adanya pernikahan tesebut adalah, dari pihak
keluarga banyak yang tidak menyetujui dan mengecewakan salah satu pihak.
Sedangkan mengenai pernikahan turun ranjang itu sendiri, dalam agama Islam
tidak melarangnya selama hal tersebut sudah sesuai dengan syariat Islam. Akan
tetapi jika dalam satu waktu sang pria melangsungkan pernikahan dengan kedua
wanita kakak beradik, maka dalam Islamhukumnya haram. Karena, agama Islam
sendiri tidak mengatur masalah pernikahan tersebut.
15
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penyusun menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Perkawinan turun ranjang tidak menyimpang atau bertentang dengan syariat Islam
sebab terjadinya pernikahan tersebut istri meninggal, maka suami kawin lagi dengan
adik wanita dari istri yang telah wafat itu (silih tikar). Kedudukan perkawinan turun
ranjang yaitu bahwa selama syarat dan rukun perkawinan terpenuhi, baik secara
hukum Islam maupun perundang-undangan maka hukum perkawinan turun ranjang
boleh dilakukan, kecuali apabila suaminya mengawini kakak beradi dalam waktu
yang bersamaan.
2. Dampak positif dari dari pernikahan turun ranjang adalah agar istri pengganti dapat
memberikan keturunan guna penerusan keluarga, jika istri yang wafat belum
mempunyai keturunan, apabila sudah mempunyai keturunan supaya anak/kemenakan
dapat diurus dan dipelihara dengan baik serta tetap dapat memelihara hubungan
kekerabatan antara ke dua kerabat yang telah terikat dalam hubungan perkawinan itu.
Adapun dampak negatifnya dari perkawinan turun ranjang dikhawatirkan jadi
gunjingan banyak orang yang tidak baik di kalangan masyarakat.
3. Perkawinan turun ranjang ini sudah berlaku sejak lama di kalangan masyarakat
Betawi. Karena ini tidak memiliki pertentangan dengan nash Al-qur’an maupun
sunnah Rasulullah maka adat istiadat boleh untuk di berlakukan.
B. Saran-Saran
Melihat penjelasan dari penelitian yang penulis lakukan di atas, penulis ingin
menyampaikan saran-saran kepada kita semua agar menjadi masyarakat dan umat yang
52
lebih baik. Oleh karena itu, penulis akan memberikan beberapa saran sesuai dengan apa
yang sudah penulis teliti, diantaranya:
1. Hendaklah orang yang akan menikah, konsultasikan terlebih dahulu kepada ahli
hukum keluarga atau ustadz-ustadz yang mengerti mengenai pernikahan agar
mendapat pencerahan mengenai hal yang dilakukan dan hal yang harus ditinggalkan.
2. Seseorang yang sudah ingin menikah akan memenuhi persyaratan dan rukun untuk
menikah, agar pernikahan tersebut berjalan dengan lancar dan menjadi sah apabila
rukun dan syarat pernikahan terpenuhi
3. Hendaklah kepada ahli-ahli hukum keluarga maupun ustad-ustad yang mengerti
mengenai pernikahan untuk memberikan pembelajaran-pembelajaran kepada
masyarakat mengenai pernikahan agar masyarakat tidak hanya mengacu kepada
kepada sesuatu hal yang sudah ada saja seperti halnya adat istiadat, akan tetapi
masyarakat dapat berfikir lebih luas dan melihat dari berbagai sudut pandang, baik itu
sudut pandang adat, sudut pandang agama maupun sudut pandang hukum positif.
top related