perlindungan ebt dalam rezim hki-oktagape lukas
Post on 11-Jun-2015
2.074 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Skripsi
PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL DALAM
KERANGKA REZIM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Karya cipta skripsi ini dipegang oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dan hakmoralnya dipegang oleh penulis terkait. Segala bentuk penjiplakan (plagiasi), pengutipantanpa ijin maupun tanpa pencantuman sumber merupakan pelanggaran yang dapat membawatindakan hukum.
Gunakan skripsi ini dengan bijak dan bertanggung jawab dan sesuai etika dan tata caraakademik yang layak. Terimakasih.
Kontak penulis : lukas.rasat@gmail.com
i
PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL
DALAM KERANGKA REZIM HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL
PENULISAN HUKUMDiajukan untuk melengkapi tugas-tugas
dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikanprogram Sarjana (S1) Hukum
DISUSUN OLEH
NAMA : OKTAGAPE LUKAS
NIM : B2A004179
FAKULTAS : HUKUM
JURUSAN : HUKUM INTERNASIONAL
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2008
ii
LEMBAR PENGESAHAN
PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONALDALAM KERANGKA REZIM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugasdan Memenuhi Syarat-syarat Guna
Menyelesaikan Program Sarjana (S1)Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro
Oleh:
Nama : Oktagape Lukas BNIM : B2A 004 179
Skripsi dengan judul diatas telahdisahkan dan disetujui untuk diperbanyak
Pembimbing I Pembimbing II
(Kholis Roisah, SH, MHum) (DR Budi Santoso, SH, MS)
iii
HALAMAN PENGUJIAN
PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONALDALAM KERANGKA REZIM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Disusun Oleh :
OKTAGAPE LUKASB2A004179
Telah diujikan di depan Dewan pengujiPada Tanggal 18 Desember 2008
Dewan Penguji
KetuaDekan FH Universitas Diponegoro
(Prof.Dr. Arief Hidayat, SH.,MS)
SekretarisPembantu Dekan IV
(Lapon Tukan Leonard, SH.,MA)
Pembimbing I
(Kholis Roisah, SH., M.Hum)
Pembimbing II
(Dr. Budi Santoso, SH., MS)
Penguji
(Prof.Dr. Etty Susilowati SH.,MS)
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka
karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.
(Pramoedya Ananta Toer)
Untuk Masa Depan.
I’m the master of my faith,
I’m the captain of my soul
(William Ernest Henley)
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Kristus Sang Anak Manusia,
yang telah memberikan berkatnya sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan
dan hadirkan di hadapan pembaca.
Adapun skripsi berjudul “PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA
TRADISIONAL DALAM KERANGKA REZIM HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL” dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan guna
menyelesaikan Program Sarjana (S-1) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang. Skripsi ini tak akan selesai tanpa bantuan
dan bimbingan banyak pihak yang menyertai penulis. Untuk itu dengan rasa
hormat dan terima kasih penulis sampaikan pada pihak-pihak yang telah
membantu, antara lain kepada :
1. Bapak Prof.Dr.dr. Susilo Wibowo, M.Ked.Sp.And. selaku Rektor
Universitas Diponegoro;
2. Bapak Prof.Dr. Arief Hidayat, SH., Ms selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro;
3. Ibu Kholis Roisah, SH., MHum selaku Pembimbing I atas segala
kesabarannya dalam memberikan dukungan, bimbingan, petunjuk,
arahan dan kepercayaannya kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini;
4. Bapak DR. Budi Santoso, SH., MS selaku Pembimbing II atas segala
kesabarannya dalam memberikan dukungan, bimbingan, petunjuk,
vi
arahan dan kepercayaannya kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini;
5. Ibu Prof.Dr. Etty Susilowati, SH.,MS selaku dosen penguji;
6. Ibu Rinitami Njatrijani,SH.,MHum selaku dosen wali yang selalu
memberi dukungan, nasehat dan bimbingan selama penulis menempuh
studi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang;
7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, terutama bagian Hukum Internasional dan segenap Civitas
Akademika Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang telah
membantu selama masa studi penulis;
8. Ibu Dra. Dede Mia Yusanti. MLS, dari Direktorat Jenderal HKI
Departemen Hukum dan HAM RI dan Bapak Basuki Antariksa dari
Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
RI yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini dan
memberikan data-data yang penulis perlukan;
9. Papah dan Mamah tercinta untuk dukungan moril dan materiilnya serta
keluarga yang kukasihi;
10. Teman-teman semua di Fakultas Hukum Undip khususnya angkatan
2004 yang tidak penulis sebutkan satu persatu, semoga sukses selalu
untuk semua;
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini
baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Terima kasih.
vii
Dalam penyusunan skripsi ini tentulah tidak lepas dari berbagai
kekurangan dan kesalahan yang tentu saja terjadi tanpa sengaja. Maka dengan
segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua
pihak guna kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan
semua pihak yang membutuhkan.
Semarang, 12 Desember 2008
Hormat Penulis
Oktagape Lukas
viii
ABSTRACTION
Traditional cultural expressions is a form of living cultural heritage of
indigenous people, in which important traditional and cultural values attached.
As a result of human creativities, it’s inseparable from the indigenous
community in where it’s born, live, grow and flourish.
In modern era, technological advancement, globalization and
modernization bring a major impact to the traditional cultural expressions and
it’s indigenous people. When globalization and modernization posed a new
challenge to cultural and traditional values of indigenous people everywhere,
at the same time newer forms of exploitation facilitated by modern
technologies posed new challenges for the protection of traditional cultural
expressions itself. Many forms of illicit exploitation and other prejudicial
actions by unwanted parties becomes a major threat not only to the traditional
cultural expressions but also the interests of the indigenous people related.
Therefore a new forms of protection of traditional cultural expressions is
needed, in which traditional cultural expressions seen not only as a form of
living cultural heritage but also as a intellectual property of indigenous people.
The methodology adopted for the legal script included legal research
methods by the use of legal literatures study and other legal researches needed.
The objectives of the this legal script were to examine the forms of
protection of traditional cultural expressions provided by intellectual property
rights. How it’s legislated in international level and national level and how it’s
implemented. The scope of the research extended to protection offered
through laws on copyright and related rights, other laws on intellectual
property. Review of the Model Provisions was also within the scope of the
study conducted.
Keywords: Traditional Cultural Expressions, Protections, IntellectualProperty Rights
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………...ii
HALAMAN PENGUJIAN ………………………………………………..iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………………………………………………..iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………...v
ABSTRAKSI ………………………………………………………………viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …...……………………………………………………1
B. Perumusan Masalah ….……………………………………………12
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….12
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………….13
E. Sistematika Penulisan ……………………………………………….14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual ……………….18
1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual ……………………….18
2. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ……………………….21
3. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Internasional
……………………………………………………………………….26
x
4. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka WIPO ……………….28
5. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka TRIPS ……………….32
6. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Nasional Indonesia ……..35
B. Tinjauan Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual Tradisional ……….39
1. Pengertian dan Jenis Hak Kekayaan Intelektual Tradisional ……….39
2. Dasar Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional…...48
C. Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expression/Expressions of
Folklore) Sebagai Bentuk Dari Kekayaan Intelektual Tradisional ……….52
1. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional Dari Sudut Pandang Pakar
Kebudayaan ……………………………………………………….53
2. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional Dari Sudut Pandang Pakar
Hukum ……………………………………………………….59
3. Kaitan Antara Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradi-
sional……………………………………………………………….63
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ……………………………………………………….67
B. Spesifikasi Penelitian ………………………………………………….……68
C. Metode Penelusuran Bahan-bahan hukum …………….…………………69
D. Metode Penyajian Data ……………………………………………….71
xi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Ke-
kayaan Intelektual Konvensional ……………………………………….73
1. Latar Belakang Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional ……….73
2. Pendekatan Dalam Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradi-
sional ...……………………………………………………………..80
3. Upaya Perlindungan Positif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional
Dalam Kerangka Hak Kekayaan Intelektual Konvensional ……….83
a. The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic-
Works 1967 ……………………………………………….86
b. WIPO Performances and Phonograms Treaty 1996 ……….88
c. WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Proper-
ty Rights ……………………………………………………….92
4. Hambatan dan Tantangan Upaya Perlindungan Ekspresi budaya Tradi-
sional dalam Kerangka Rezim Hak Kekayaan Intelektual Tradisional
………………………………………………………...……………..97
B. Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Ke-
kayaan Intelektual Sui Generis ……………………………………...107
1. Upaya Perlindungan Positif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional
Dalam Kerangka Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis ……...107
a. Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries 1976
xii
……………………………………………………………………...108
b. WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Pro-
tection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and
Other Prejudicial Actions ……………………………………...118
2. Upaya Pembentukan Instrumen Perlindungan Hak Kekayaan Intelek-
tual Sui Generis Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Pada Tingkat
Internasional ……………………………………………………...132
C. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Pada Tingkat Nasional ……...141
1. Bentuk Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Beberapa Nega-
ra ……………………………………………………………...141
2. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia ……..146
a. UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta ……………..149
b. UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek serta PP Nomor 51 Ta-
hun 2007 Tentang Indikasi-geografis ……………………...152
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ……………………………………………………………...166
5.2 Saran ……………………………………………………………...168
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada era perdagangan bebas dan globalisasi dewasa ini, konsep Hak
Kekayaan Intelektual1 memiliki tempat sendiri. Berawal dari pemahaman
bahwa perlunya satu bentuk penghargaan khusus terhadap karya intelektual
seseorang dan hak yang muncul dari karya itu, konsep Hak Kekayaan
Intelektual berkembang. Hingga pada dasarnya konsep Hak Kekayaan
Intelektual sendiri merupakan bentuk penghargaan hasil kreativitas manusia,
baik dalam bentuk penemuan-penemuan (inventions) maupun hasil karya cipta
dan seni (art and literary work), terutama ketika hasil kreativitas itu
digunakan untuk tujuan komersial.
Mulai munculnya kesadaran akan pentingnya HKI sejak abad 20
merupakan fenomena menarik baik di tingkat global hingga ke tingkat lokal.
Tumbuhnya kesadaran ini sendiri sebenarnya diawali lebih awal lagi, yaitu
diprakarsai dalam Konvensi Paris tahun 1883 (The Paris Convention for
Protection of Industrial Property of 1883) dan Konvensi Berne Pertama yang
diadakan tahun 1886 (Berne Convention for the Protection of Literary and
Artistic Works 1886). Dalam perkembangan selanjutnya, kesadaran HKI
semakin meningkat dalam tataran Hukum Internasional. Hal ini ditandai
dengan pendirian WIPO (World Intelectual Properties Organization) pada
1 Selanjutnya akan disingkat menjadi HKI
2
tahun 1967 dimana sekarang keanggotaannya telah diikuti oleh 184 negara,
dan diikutsertakannya Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related
Aspect on Intelectual Properties Rights) sebagai syarat keikutsertaan dalam
WTO (World Trade Organization), yang telah diratifikasi oleh 150 negara
lebih, baik negara maju maupun negara berkembang. Dengan itu maka TRIPs
maupun WTO dapat kita kenal sebagai suatu langkah pengkajian,
pembentukan dan penerapan rezim hukum HKI di tingkat global maupun
nasional. Indonesia sendiri telah menjadi anggota WIPO pada tahun 1997 dan
ikut serta meratifikasi TRIPs lewat UU Nomor 7 Tahun 1994 sebagai syarat
keikutsertaan dalam WTO.
Rezim HKI yang hidup ditingkat global maupun nasional tidak luput
dari berbagai kritik dan tantangan. Salah satu tantangan dan kritik terbesar
bagi rezim HKI saat ini adalah dalam kaitannya dalam perlindungan terhadap
Hak Kekayaan Intelektual Tradisional2. Kebutuhan akan perlindungan
terhadap HKI Tradisional ini beriringan dengan munculnya gerakan kembali
ke alam (back to nature)3 yang ditandai dengan semakin besarnya kesadaran
akan budaya tradisional sebagai bagian dari kekayaan intelektual dan warisan
budaya yang layak dihargai dan wajib dijaga, terutama di negara-negara
berkembang.
Tantangan perlindungan terhadap HKI Tradisional ini semakin terasa
di Indonesia, terutama pada saat munculnya kasus kontroversi lagu Rasa
Sayange yang menghiasi media berbagai massa Indonesia dan menjadi
2 Selanjutnya akan disingkat dengan sebutan HKI Tradisional3 Kholis Roisah, “Perlindungan hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional,” Majalah
Ilmiah Masalah-Masalah Hukum FH UNDIP edisi Juli-September 2006, halaman 355
3
pembicaraan masyarakat sejak awal Oktober 2007. Kontroversi ini dimulai
dari kampanye pariwisata Visit Malaysia yang mengunakan Rasa Sayang (The
Feel of Love) sebagai tema utama. Sebuah gubahan dari lagu Rasa Sayang-
Sayange yang diberi judul Rasa Sayang Hey menghiasi iklan pariwisata
Malaysia yang beredar di Internet dan media elektronik internasional4.
Selain itu, pengunaan Rasa Sayang tidak hanya sebagai lagu, namun
juga slogan pariwisata. Slogan Rasa Sayang gencar menjadi tema promosi
pariwisata Malaysia di tingkat internasional, terpampang di berbagai media
massa internasional dan billboard besar disudut-sudut Kuala Lumpur. Bahkan
situs pariwisata Malaysia pun mengunakan alamat www.rasasayang.com.my.
Pengunaan lagu dan slogan Rasa Sayang-Sayange ini kemudian menjadi
perhatian dan pembicaraan di forum diskusi Internet oleh para netter
Indonesia, hingga kasus ini kemudian merebak menjadi headline di berbagai
media massa besar Indonesia dan memicu protes banyak kalangan, mulai dari
anggota DPR hingga khalayak awam. Maka tak heran akhirnya muncul
anggapan publik Indonesia bahwa Malaysia secara tidak langsung mengklaim
lagu Rasa Sayang-Sayange sebagai bagian dari kebudayaan Malaysia dan
merupakan milik Malaysia.
Opini masyarakat secara umum terkejut bagaimana lagu ini secara
provokatif digunakan dalam kampanye pariwisata Malaysia. Kemunculan lagu
ini pun tidak disertai dengan satupun keterangan bahwa lagu ini adalah lagu
tradisional Indonesia. Bahkan terjadi mutilasi karya cipta dengan mengubah
4Iklan pariwisata ini masih dapat diakses lewat situs video streaming Youtubehttp://www.youtube.com/watch?v=eu-nfKFDSB8
4
lirik dan judul lagu tersebut menjadi lirik dengan perpaduan bahasa Inggris,
bahasa Melayu, bahasa Tamil dan bahasa Mandarin. Jelas ini merupakan
berupa pelanggaran terhadap hak ekslusif yang dimiliki oleh setiap pencipta
atas karya ciptanya, yaitu Hak Moral. Hak Moral adalah hak-hak pribadi
pencipta/pengarang untuk dapat mencegah perubahan atas karyanya dan
tunduk tetap disebut sebagai pencipta karya tersebut.5 Kedudukan Hak Moral
sendiri telah diatur dalam Pasal 6bis (1) Konvensi Berne yang menyatakan:
“...the author shall have the right to claim authorship of the work and
to object to any distortion, mutilation or other modification of, or other
derogatory action in relation to, the said work, which would be
prejudicial to his honor or reputation.”
Maka dijelaskan bahwa setiap pencipta memiliki hak untuk mengklaim
kepemilikan atas karyanya dan mengajukan keberatan atas distorsi, mutilasi
atau perubahan-perubahan serta perbuatan pelanggaran lain yang berkaitan
dengan karya tersebut yang dapat merugikan kehormatan atau reputasi si
pencipta.
Lebih lanjut konsep dari Hak Moral ini diatur dalam Pasal 24 UU
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang menjelaskan bahwa:
1. Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak Cipta
supaya nama Pencipta tetap dicantumkan dalam Ciptaannya.
2. Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah
diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta
atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah
meninggal dunia.
3. Selanjutnya dalam Pasal 3(2) dijelaskan bahwa hak-hak tersebut tidak
dapat dipindahkan selama penciptanya masih hidup, kecuali atas
wasiat pencipta berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5 Tim Lindsey, Eddy Damian,Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual: SuatuPengantar (Bandung : PT Alumni, 2002), halaman 117
5
Berdasarkan ini, maka dapat kita definisikan bahwa telah terjadi pelanggaran
Hak Moral. Hak prinsipil yang dimiliki oleh setiap pencipta atas karya
ciptanya.
Namun kasus ini menjadi semakin pelik karena ternyata tidak ada
satupun yang tahu jelas siapa pencipta lagu Rasa Sayange. Secara umum
masyarakat Indonesia berpendapat bahwa lagu Rasa Sayang-Sayange berasal
dari daerah kepulauan Maluku dan karena itu merupakan bagian dari budaya
Indonesia. Lagu ini merupakan lagu daerah yang sudah dikenal jauh sebelum
Indonesia merdeka dan merupakan bagian dari adat tradisional masyarakat
kepulauan Maluku6. Akibat dari tidak adanya kejelasan siapa pencipta
sebenarnya dari lagu Rasa Sayange, maka lagu ini tak bisa dilindungi oleh UU
Hak Cipta selayaknya karya cipta lainnya. Sebab salah satu syarat utama dari
dilindunginya hak pencipta atas suatu karya cipta adalah adanya kejelasan
klaim kepemilikan sesuai yang ditentukan dalam Pasal 5 UU Hak Cipta yang
menyebutkan bahwa kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai
Pencipta adalah:
1. Orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada
Direktorat Jenderal; atau
2. Orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai
Pencipta pada suatu Ciptaan.
Akibat dari simpang siur klaim kepemilikan Hak Cipta serta identitas pencipta
aslinya, maka sulit untuk memperoleh perlindungan hukum yang kuat dari UU
Hak Cipta atas lagu Rasa Sayange. Akibatnya seringkali muncul anggapan
6 Antara.co.id., “Gubernur Maluku Bersikeras Lagu "Rasa Sayange" Milik Indonesia,” artikelberita ANTARA tertanggal 3 Oktober 2007
6
bahwa berdasar UU Hak Cipta, lagu Rasa Sayange adalah milik umum (public
domain) yang dapat digunakan oleh siapa saja untuk tujuan apa saja tanpa
kecuali.
Ketidakmampuan UU Hak Cipta dalam melindungi lagu Rasa
Sayange, bukan berarti lagu tersebut tidak dapat dilindungi. Sebab mengingat
kedudukannya sebagai lagu daerah, maka dia tidak dapat digolongkan sama
seperti karya cipta konvensional yang dilindungi oleh UU Hak Cipta. Lagu
Rasa Sayange adalah bagian dari budaya tradisional bangsa Indonesia. Maka
lagu tersebut lebih tepat digolongkan bukan sebagai karya cipta biasa, namun
sebagai bentuk dari Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural
Expressions/Expressions of Folklore).7 Menurut Edi Sedyawati, secara umum,
pengertian Ekspresi Budaya Tradisional atau apa yang dia sebut dengan istilah
folklor adalah segala bentuk ungkapan budaya yang bersifat ekspresif yaitu
khususnya ungkapan seni dimana yang penciptanya anonim dan
ditransmisikan secara lisan.8
Sampai sekarang pun tidak ada yang tahu pasti siapa pencipta lagu
Rasa Sayange. Diperkirakan lagu ini diciptakan sekitar awal abad 20. Karena
nadanya yang riang dan mudah dinyanyikan, lagu ini menyebar ke seluruh
daerah Hindia Belanda dan sekitarnya pada saat itu. Lagu ini kemudian
sempat jadi penghias di film dokumentar Hindia Belanda berjudul Insulinde
7 Beragam istilah yang dipakai untuk menyebut ekspresi budaya tradisional, mulai dari folklorhingga Traditional Cultural Expression. Istilah lain yang juga umum digunakan adalahExpression of Folklore. Selanjutnya penulis akan mengunakan istilah Ekspresi BudayaTradisional yang merupakan terjemahan literal dari Traditional Cultural Expressions. Lebihlanjut lihat Bab II halaman 51
8 Edi Sedyawati, Warisan Tradisi, Penciptaan dan Perlindungan, (Jakarta : 13 Agustus 2003),halaman 2
7
pada tahun 1940. Lagu ini juga muncul sebagai salah satu track dalam
piringan hitam souvenir SEA GAMES ke 4 di Jakarta tahun 1962, bersama
lagu daerah Indonesia lain seperti Sorak-Sorak Bergembira dan O Ina Ni
Keke9.
Pihak Malaysia sendiri sejak awal menolak disalahkan atas pengunaan
lagu Rasa Sayang-Sayange ini. Argumen Malaysia adalah bahwa lagu ini
sudah dikenal dan dinikmati secara luas di tengah masyarakat Semenanjung
Malaya sejak lama. Hal ini membuat Malaysia merasa memiliki dan berhak
atas lagu tersebut. Namun kemudian pihak Malaysia sendiri secara tidak
langsung mengakui bahwa lagu ini berasal dari Indonesia dan merupakan
bagian dari kebudayaan Indonesia. Lagu ini kemudian dibawa oleh penduduk
Indonesia yang bermigrasi ke Malaysia dan kemudian berasimilasi dengan
masyarakat setempat. Hingga kemudian kebudayaan yang mereka bawa juga
berasimilasi dan menyatu dengan kebudayaan setempat dan menjadi bagian
dari kebudayaan Malaysia10.
Masalah silang budaya ini merupakan argumen menarik. Sebab jujur
dipahami, karena sudut kedekatan geografis dan historis, banyak budaya dua
negara yang merupakan hasil proses panjang asimilasi dan adopsi satu sama
lain. Banyak Ekspresi Budaya Tradisional, mulai dari lagu, tarian hingga
makanan, selain dikenal luas di Malaysia juga dikenal di sebagian wilayah
Indonesia, terutama daerah Sumatera dan Riau Kepulauan. Seperti contohnya
9 Kompas Cybermedia, “Lagu Rasa Sayange Direkam di Lokananta,” diambil dari harian Kompastanggal 2 November 2007
10Tempo Interaktif, “Indonesia dan Malaysia Mengkaji Rasa Sayange,” artikel berita Tempotertanggal 17 November 2007
8
batik, keris dan berbagai tari-tarian adat dari beberapa daerah Indonesia, juga
dikenal luas sebagai bagian dari kebudayaan Malaysia. Namun, sebagian
kalangan di Indonesia sendiri menilai bahwa inti permasalahannya bukanlah
pada silang budaya antara Indonesia-Malaysia, namun pada aroma
komersialisasi pariwisata Malaysia yang dianggap sangat provokatif.
Terutama pengunaan banner dan jingle Rasa Sayang dalam kampanye
pariwisata di tingkat internasional untuk tujuan komersil, yaitu menarik
pelancong asing untuk berwisata ke Malaysia.
Reaksi masyarakat mengenai kontroversi lagu Rasa Sayang-Sayange
ini sangat sporadis dan bermacam-macam. Mulai dari perdebatan di forum-
forum diskusi Internet antara netter Indonesia dan netter Malaysia, perang
opini di media massa antara tokoh Indonesia dan tokoh Malaysia, demonstrasi
anti Malaysia di beberapa daerah di Indonesia, hingga serangan hacker
Indonesia ke situs www.rasasayang.com.my hingga situs tersebut down dan
tidak dapat dibuka lagi. Kontroversi ini kemudian pelan-pelan mereda setelah
pemerintah Malaysia mengakui bahwa lagu Rasa Sayang-Sayange merupakan
milik bersama.11
Kontroversi ini juga semakin diperburuk dengan berbagai masalah
yang mewarnai hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, mulai dari kasus
Pulau Sipadan-Ligitan, sengketa Blok Ambalat, penganiayaan TKI hingga
yang terbaru saat itu adalah pemukulan wasit karate Indonesia oleh aparat
kepolisian Malaysia. Hingga tidak heran muncul istilah slang “Malingsia”
11 Antara.co.id, “Malaysia Akhirnya Akui "Rasa Sayange" Sebagai Milik Bersama,” artikel beritaANTARA tertanggal 17 November 2007
9
yang berkonotasi negatif dan bernada menyindir di sebagian kalangan
masyarakat Indonesia.
Namun kritik dan protes paling hebat tidak ditujukan pada Pemerintah
Malaysia, namun pada Pemerintah Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia
dinilai kurang tegas dan terlalu hati-hati dalam menyikapi masalah ini.
Pemerintah Indonesia juga dinilai gagal melindungi kekayaan budaya
tradisional, terutama dalam hal ini lagu daerah Rasa Sayang-Sayange dari
klaim Malaysia. Pemerintah Indonesia sendiri lewat Departemen Hukum dan
HAM RI serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI mengakui kepada
media massa bahwa mereka belum memiliki metode yang tepat dan jelas
dalam melindungi kekayaan intelektual tradisional Indonesia12. Hal ini
membuat banyak unsur karya budaya daerah Indonesia rentan masalah karena
tidak ada payung hukum yang jelas.
Skripsi ini, tidak secara khusus akan membahas kontroversi lagu Rasa
Sayang diatas. Namun mesti kita sadari lewat gambaran diatas tentang kasus
kontroversi lagu Rasa Sayange ini, kita dapat melihat bagaimana pentingnya
perlindungan terhadap kekayaan budaya tradisional kita, terutama dalam hal
ini perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural
Expression/Expressions of Folklore). Tidak hanya perlindungan dari segi hak
moral, yaitu untuk mencegah suatu Ekspresi Budaya Tradisional menjadi
korban mutilasi hingga kehilangan bentuk aslinya, tapi juga perlindungan
terhadap klaim kepemilikan suatu bangsa terhadap karya budaya tertentu
12 Hukumonline, “Indonesia Masih Telusuri Bukti Kepemilikan Lagu 'Rasa Sayange,” artikelberita tertanggal 23 Oktober 2007
10
Pada tingkat internasional sendiri masalah perlindungan budaya secara
umum dan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional secara khusus telah
menjadi pokok bahasan rutin di WIPO (World Intelectual Property
Organization) maupun UNESCO (United Nations Education, Science and
Cultural Organization). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyusun
instrumen hukum di tingkat internasional untuk menghadapi masalah ini.
Mulai dari Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
(1967), Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries (1976),
hingga WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the
Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other
Prejudicial Actions (1982).
Secara umum, usaha memberikan bentuk perlindungan terhadap Hak
Kekayaan Intelektual Tradisional ditingkat internasional dibagi dalam dua
lingkup perlindungan. Pertama adalah bentuk perlindungan di dalam rezim
HKI konvensional13 atau rezim HKI modern yang pengaturannya berada di
bawah WIPO dan kemudian diadopsi dalam TRIPS. Kedua adalah bentuk
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis yang berada di luar
lingkup HKI Konvensional atau HKI Modern, terutama dalam rezim HKI
Tradisional yang secara memiliki karakteristik khusus.
Pembagian bentuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ini
dilakukan karena perlindungan suatu Kekayaan Intelektual tidak dapat dibatasi
13 Istilah HKI “Konvensional” merupakan istilah yang digunakan penulis untuk memisahkan rezimHKI yang berlandaskan pada prinsip-prinsip yang diatur dalam TRIPS dan memilikikarakteristik yang menekankan pada nilai-nilai komersialitas dalam bisnis dan perdagangan(Trade-related). Lebih lanjut dibahas dalam Bab IV halaman 92.
11
dalam lingkup konvensional saja. Terkadang bentuk perlindungan yang
diterapkan juga membutuhkan karakteristik khusus untuk melindungi hal yang
bersifat khusus juga. Inilah yang kemudian menjadi awal dibentuknya
kerangka perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis. Contoh lain
dari bentuk perlindungan HKI Sui Generis adalah perlindungan HKI terhadap
desain galangan kapal di Amerika dan perlindungan HKI terhadap desain
mode adibusana di Perancis.
Kedua bentuk perlindungan inilah yang menjadi fokus utama dari
skripsi ini. Bentuk perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional seperti apa yang
ditawarkan baik dalam rezim HKI Konvensional maupun HKI Sui Generis.
Serta bagaimana usaha perlindungannya di Indonesia.
Inilah yang menjadi tantangan penulis dalam menyusun skripsi ini.
Penulis ingin mengkaji bentuk perlindungan apa yang dapat digunakan untuk
melindungi Ekspresi Budaya Tradisional serta bagaimana implementasinya
baik di tingkat internasional dan nasional, terutama di indonesia sendiri. Sebab
pada akhirnya, kita harus sadar bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar didunia yang sangat luas dan majemuk, adalah negara yang memiliki
beragam kekayaan budaya dan warisan tradisional tak ternilai. Karena itu
perlindungan atas HKI Tradisional menjadi sangat penting.
12
B. Perumusan Masalah
Skripsi ini berjudul Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam
Kerangka Rezim Hak Kekayaan Intelektual. Untuk memudahkan dalam
memperoleh kejelasan mengenai apa yang akan dibahas dalam skripsi ini,
penulis melakukan pembatasan permasalahan pada :
1. Bagaimana bentuk perlindungan terhadap Ekspresi Budaya
Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of
Folklore) ditinjau dalam lingkup rezim HKI Konvensional?
2. Bagaimana bentuk perlindungan terhadap Ekspresi Budaya
Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of
Folklore) ditinjau dari lingkup perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual Sui-generis?
3. Bagaimana usaha-usaha perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional
(Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) di
tingkat nasional terutama dalam hal ini di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan pokok yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
menjawab permasalahan-permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya,
yaitu meliputi:
1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan Ekspresi
Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions
of Folklore) dalam lingkup rezim HKI Konvensional.
13
2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan Ekspresi
Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions
of Folklore) di luar lingkup rezim HKI Konvensional, yaitu dalam
hal ini perlindungan dalam lingkup rezim HKI yang bersifat Sui-
Generis.
3. Untuk mengetahui Bagaimana bentuk usaha-usaha perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural
Expressions/Expressions of Folklore) di tingkat nasional terutama
dalam hal ini di Indonesia.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi karya
ilmiah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan bidang hukum,
khususnya untuk pengembangan pemikiran yang berkaitan dengan
pengetahuan tentang perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional
(Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) pada
khususnya dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Tradisional pada
umumnya.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi yang
lengkap bagi masyarakat mengenai perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore)
14
pada khususnya dan Kekayaan Intelektual Tradisional pada umumnya.
Sehingga dalam perkembangan era globalisasi ini masyarakat akan
semakin mengerti pentingnya perlindungan terhadap kekayaan budaya
tradisional sebagai bagian dari identitas dan kekayaan budaya bangsa yang
wajib untuk terus menerus dijaga dan dilestarikan.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian dalam skripsi ini dibagi dalam 5
(lima) Bab, yang masing-masing bab tersebut memiliki beberapa sub bab
tersendiri, yang secara garis besar perinciannya sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini disajikan keadaan secara umum, yang terdiri dari 5
(lima) sub bab, yaitu : Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah,
Tujuan penelitian, Kegunaan Penelitian, dan Sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang norma-norma hukum, teori-teori
hukum serta peraturan-peraturan yang mendasari dan berhubungan
dengan fakta atau permasalahan yang akan dibahas. Disamping itu
juga dapat diuraikan mengenai berbagai asas hukum atau pendapat
yang berhubungan dengan asas atau teori hukum yang benar-benar
bermanfaat sebagai bahan untuk melakukan analisa terhadap fakta
ataupun permasalahan yang dibahas pada bab IV.
Tujuan utama bab ini adalah juga untuk menguraikan apa yang
dimaksud dengan Hak Kekayaan Intelektual, dan apa yang dimaksud
15
dengan HKI Tradisional secara umum, serta bagaimana kedudukan
Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural
Expressions/Expressions of Folklore) dalam rezim HKI Tradisional
pada khususnya dan dalam rezim HKI pada umumnya.
Bab ini dibagi dalam tiga sub-bab utama yaitu: Tinjauan Umum
Tentang Hak Kekayaan Intelektual, Tinjauan Umum Tentang Hak
Kekayaan Intelektual Tradisional, dan Ekspresi Budaya Tradisional
(Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) sebagai
salah satu bentuk dari Kekayaan Intelektual Tradisional.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini diuraikan secara sederhana langkah-langkah penelitian yang
dilakukan serta tentang metode penelitian yang digunakan. Bab III
terdiri dari 4 (empat) sub bab, yaitu : Metode Pendekatan, Spesifikasi
Penelitian, Metode Pengumpulan Data, dan Metode Analisis Data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan, dipaparkan, dan disajikan mengenai hasil
penelitian yang dilakukan serta pembahasan mengenai permasalahan
yang akan diangkat dalam skripsi ini. Bab ini secara khusus membahas
tiga pokok perumusan masalah berkaitan dengan perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expresions) dalam
rezim Hak Kekayaan Intelektual serta implementasinya. Ada tiga
pokok utama yang akan diuraikan dalam bab ini:
16
a. Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim
Hak Kekayaan Intelektual Konvensional : Sub-bab ini membahas
latar belakang perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional, berbagai
bentuk pendekatan dalam perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional, upaya perlindungan positif terhadap Ekspresi Budaya
Tradisional dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual
Konvensional serta hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam
berbagai upaya tersebut.
b. Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim
Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis : Sub-bab ini membahas
mengenai upaya perlindungan positif dalam kerangka Hak
kekayaan Intelektual Sui Generis. Termasuk membahas Tunis
Model Law on Copyright for Developing Countries 1976 dan
Model Provisions 1982. Bab ini juga membahas berbagai upaya
yang dilakukan dalam usaha pembentukan instrumen internasional
perlindungan HKI Sui Generis terhadap Ekspresi Budaya
Tradisional.
c. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Pada Tingkat Nasional :
Sub-bab ini membahas berbagai bentuk perlindungan yang
diimplementasikan dalam hukum nasional berbagai negara,
termasuk Indonesia pada khususnya. Dalam sub-bab khusus yang
membahas perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia,
17
akan dibahas mengenai kesulitan dan tantangan yang dihadapi serta
upaya mengatasinya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan kristalisasi dari apa yang telah dicapai pada
masing-masing bab sebelumnya. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil
pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat dan telah diuraikan
dalam bab-bab sebelumnya, serta pemberian saran-saran yang
dianggap perlu demi tercapainya kegunaan dari skripsi ini sehingga
bisa bermanfaat bagi masyarakat.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual
1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah suatu hak eksklusif yang
berada dalam ruang lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan, ataupun
seni dan sastra. Kepemilikannya bukan terhadap barangnya melainkan
terhadap hasil kemampuan dan kreativitas intelektual manusianya, yaitu
diantaranya berupa ide atau gagasan. Hal yang terpenting dari setiap bagian
hak milik intelektual ini adalah adanya suatu hasil ciptaan tertentu. Ciptaan ini
mungkin dalam bidang kesenian, tetapi mungkin juga di dalam bidang industri
atau pengetahuan. Mungkin pula suatu kombinasi dalam ketiga bidang
tersebut1, yang masing-masing mempunyai istilah tertentu.
Menurut Budi Santoso, HKI pada dasarnya merupakan suatu hak yang
timbul sebagai hasil kemampuan intelektual manusia dalam berbagai bidang
yang menghasilkan suatu proses atau produk bermanfaat bagi umat manusia2.
HKI memiliki dua aspek utama, yaitu:
a. Proses dan produk ini meliputi berbagai bidang secara luas, mulai
dari bidang seni dan sastra hingga invensi dan inovasi di bidang
1 Mahadi, dalam Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual(Intellectual Property Rights),(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 12
2 Budi Santoso, Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Semarang : Pustaka Magister, 2008),halaman 3
19
teknologi serta segala bentuk lainnya yang merupakan hasil dari
proses kreatifitas manusia lewat cipta, rasa, dan karsanya.
b. Karya cipta tersebut menimbulkan hak milik bagi pencipta atau
penemunya. Karena sifatnya sebagai hak milik, maka karenanya
hak seorang pencipta atau penemu atas karya ciptanya haruslah
dilindungi.
Dengan kata lain, HKI merupakan hak yang muncul atas hasil kreatifitas
seseorang, yang muncul sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan (reward)
dalam bentuk perlindungan lewat rezim hukum HKI.
Secara etimologis, istilah Hak Kekayaan Intelektual digunakan sebagai
padanan dari istilah Intelectual Property Rights. Intellectual Property Rights
dalam sistem hukum common law merupakan bentuk dari hak yang secara
hukum memberikan izin bagi pemegangnya untuk melakukan kontrol atau
pengawasan penggunaan ide atau gagasan tertentu yang belum tampak dan
ekspresi idenya. Selanjutnya dalam sistem civil law, intellectual property
sering ditujukan sebagai suatu intellectual rights. Di sini intellectual rights
cakupannya menjadi luas, mencakup apa yang disebut dengan moral rights
yang tidak dapat dibeli atau dijual atau dialihkan. Kemudian dalam
perkembangannya intellectual rights menjadi lebih digunakan.
Istilah Intelectual Property Rights sendiri berasal dari penulis Prancis
A.Nion pada abad 19. Intelectual property rights berasal dari istilah Prancis
“Propertiete Intellectualle” yang terdapat pada buku “Droits Civil des
Auteurs, Artistes, et Inventeurs” yang terbit pada tahun 1846. Istilah ini
20
kemudian menemukan padanannya dalam bahasa Inggris lewat istilah
intelectual property dan mulai digunakan secara umum dan meluas dalam
konteks hak perlindungan lewat bentuk Intelectual Property Rights lewat
Convention on Establishing the World Intellectual Property Organization
pada tahun 1967 dan kemudian dilanjutkan dalam Trade Related Aspects on
Intelectual Property Rights (TRIPS) yang terkandung sebagai bagian dari
GATT/WTO pada tahun 1994. Uniknya, Konvensi Paris 1883 yang dianggap
sebagai konvensi internasional pertama yang mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan HKI, sama sekali tidak mengunakan istilah Intelectual Property
Rights, tapi mengunakan istilah Industrial Rights.
Istilah Intelectual Property Rights sendiri kemudian masuk ke
indonesia pertama kali dalam bentuk Hak Milik Intelektual. Namun istilah ini
dikritik karena selain tidak taat asas tata bahasa, istilah ini dianggap tidak
tepat dan tidak dapat mendefinisikan secara subtantif mengenai intelectual
property rights. Karena itu kemudian Bambang Kesowo memperkenalkan
istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dianggap sebagai padanan yang
tepat untuk istilah Intelectual Property Rights3.
Istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual sendiri kemudian kembali
mendapat tantangan dari A. Zen Umar Purba. Menurutnya kata “Atas” dalam
Hak Atas Kekayaan Intelektual tidak lazim digunakan dan menyalahi kaidah
tata bahasa. Istilah Hak “Atas” Kekayaan Intelektual sama tidak lazimnya
3 Bambang Koesowo seperti dikutip dalam Ibid, halaman. 11
21
dengan istilah Presiden “dari” Republik Indonesia. Karena itu A. Zen Umar
Purba menyarankan pengunaan istilah Hak Kekayaan Intelektual4.
Sependapat dengan A. Zen Umar Purba, Saidin menterjemahkan istilah
Intelectual Property Rights lebih tepat menjadi Hak Kekayaan Intelektual.
Dengan alasan bahwa hak milik sebenarnya sudah merupakan istilah baku
dalam kepustakaan hukum. Padahal tidak semua HKI itu merupakan hak milik
dalam arti yang sesungguhnya, bisa merupakan hak untuk memperbanyak atau
untuk menggunakannya dalam produk tertentu.5
Lain halnya dengan Budi Santoso, yang mengidentikkan Intellectual
Property Rights dengan istilah Hak Milik Intelektual. Hal ini didasarkan pada
pemahaman istilah “property” dalam Intellectual Property Rights adalah suatu
hak dan bukan hasil kreativitas intelektual itu sendiri.6 Dalam sistem hukum
Indonesia, Hak milik intelektual merupakan bagian dari hak milik atas benda
bergerak yang tidak berwujud. Dijelaskan juga bahwa secara tata bahasa
istilah “property” sebenarnya berasal dari bahasa latin “Proprius” yang
mempunyai arti “milik seseorang”, maka tepat kiranya konsep Intellectual
Property diidentikkan dengan istilah Hak Milik Intelektual.7
2. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
Tujuan utama dari Hak Kekayaan Intelektual adalah memberikan
perlindungan terhadap hak seseorang atas hasil dari kreatifitasnya.
Perlindungan itu diberikan sebagai suatu bentuk penghargaan dan pengakuan
4 Ibid, halaman 125 Saidin, Op.Cit., halaman 76 Budi santoso, Op.cit., halaman 137 Loc.cit, 2007
22
atas kreatifitas dan karya cipta seseorang. Menurut Tim Lindsey dkk. ada tiga
alasan utama kenapa perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual mesti
dilakukan, yaitu meliputi8:
a. Hak Alamiah
Prinsip utama pada HKI yaitu bahwa hasil kreasi dari
pekerjaan dengan memakai kemampuan intelektualnya tersebut,
maka pribadi yang menghasilkannya mendapatkan kepemilikannya
berupa hak alamiah.
Sistem hak milik intelektual yang berkembang sekarang
mencoba menyeimbangkan antara dua kepentingan, yaitu antara
pemilik hak dan kepentingan masyarakat umum. Hal ini dapat
dilihat pada pasal 27 ayat 1 The Declaration of Human Rights
yaitu:
“Everyone has the rights freely to participate in the
cultural life or the community, to enjoy the arts and to
share in scientific advancement and its benefits”.
Dalam International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights yang diadopsi pada 16 Desember 1966, dinyatakan
pada Pasal 15 ayat (1) bahwa :
“The States Parties to the present Covenant recognize the
right of everyone:
a. To take part in cultural life;
b. To enjoy the benefits of scientific progress and its
applications;
8 Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Hak Kekayaan Intelektual:Suatu Pengantar , (Bandung : PT Alumni, 2002), halaman 13
23
c. To benefit from the protection of the moral and material
interests resulting from any scientific, literary or
artistic production of which he is the author.”
Maka salah satu konsekuensi dari munculnya hak alamiah
adalah tidak hanya menikmati manfaat dari kemajuan dibidang
keilmuan dan penerapannya seperti dalam ayat (1) huruf a, tapi
juga terwujud dengan adanya hak setiap orang untuk memperoleh
keuntungan dari perlindungan terhadap kepentingan moral maupun
materiil yang diperoleh dari suatu karya yang ia hasilkan, baik
dibidang keilmuan, susastraan dan kesenian sesuai ayat (1) huruf b.
b. Perlindungan Reputasi
Dapat dibayangkan sebuah perusahaan membangun
reputasi lewat citra dan brand images, dalam bentuk nama, gambar
dan logo, kepada konsumennya selama bertahun-tahun dengan
berbagai cara dan menghabiskan biaya yang sangat banyak.
Namun tiba-tiba ada pihak yang mengunakan nama gambar atau
logo yang serupa atau bahkan sama untuk mendompleng reputasi
perusahaan itu.
Demikian pula seorang seniman yang berkarya dengan jerih
upayanya. Namun kemudian ada pihak lain yang menjiplak
karyanya bahkan mengunakannya untuk hal-hal yang tidak
senonoh dan tidak pantas tanpa seijin sang seniman.
Oleh karena itu salah satu tujuan perlindungan HKI adalah
untuk melindungi reputasi dan kehormatan si pencipta atau
24
penemu. Sebab dalam setiap karya cipta tercermin kehormatan dan
reputasi sang pencipta atau penemu sebagai bentuk dari hak moral.
Hal ini dapat dilihat pada pasal 27 ayat 2 The Declaration of
Human Rights yaitu :
“Everyone has the rights protection of the moral and
material interest resulting from any scientific, literary or
artistic production of which he is the author.”
c. Dorongan dan Imbalan Dari Inovasi dan Penciptaan
Salah satu alasan utama seseorang berkarya adalah sebagai
mata pencaharian. Seorang seniman membuat karya seni, penulis
menulis buku, musisi mencipta lagu dan ilmuwan meneliti dan
menemukan teknologi baru, mereka seringkali melakukannya
untuk memperoleh uang sebagai sumber penghidupan. Dalam
proses kreatif dan penciptaan karya itupun seringkali
membutuhkan modal biaya dan waktu serta jerih upaya yang
sangat besar. Maka setiap penemu dan pencipta membutuhkan hak
dan jaminan atas keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari
karya ciptanya.
Disinilah HKI bekerja, untuk menjamin dan melindungi
hak ekonomi setiap pencipta dan penemu. Maka tidak heran
banyak ahli yang berpendapat HKI sebagai bentuk kompensasi dan
dorongan untuk mencipta. Tanpa ada perlindungan HKI, maka
akan sedikit kemajuan dan inovasi dalam berbagai bidang yang
dapat dicapai dalam peradaban manusia.
25
Perlindungan HKI sendiri disisi lain tidak dapat dilepaskan antara
Kekayaan Intelektual sebagai hak milik eksklusif sang pemegang hak dan hak
masyarakat untuk memperoleh dan mengakses Kekayaan Intelektual itu.
Disinilah diperlukan suatu prinsip yang bertujuan menyeimbangkan antara
kepentingan sang individu pemilik hak dan kepentingan masyarakat, yang
meliputi9 :
a. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)
Pencipta sebuah karya, atau orang lain yang bekerja membuahkan
hasil dari kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan.
Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun bukan materi seperti
adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya.
Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan
pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut, maka kita sebut hal itu sebagai hak.
b. Prinsip ekonomi (The economic argument)
Hak milik intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil
kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang
diekspresikan kepada khayalak ramai berbagai bentuknya, yang
memiliki manfaat dan berguna dalam menunjang kehidupan
manusia, maka hak milik inteluktual merupakan suatu bentuk
kekayaan bagi pemilikannya dalam bentuk pembayaran royalty dan
technical fee.
9 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, seperti dikutip dalam TimLindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Op.cit., halaman 90
26
c. Prinsip Kebudayaan (the cultural argument)
Bahwa karya manusia itu pada hakekatnya bertujuan untuk
memungkinkannya hidup, dari karya itu akan timbul gerak hidup
yang menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan demikian
maka pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni
sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan,
peradaban dan martabat manusia.
d. Prinsip Sosial (the social argument)
Hak apapun yang diakui oleh hukum, yang diberikan kepada
perseorangan, persekutuan atau kesatuan tidak boleh semata-mata
untuk kepentingan mereka saja tetapi untuk kepentingan seluruh
masyarakat.
3. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Internasional
Sejak Konvensi Paris tahun 1883 (The Paris Convention for Protection
of Industrial Property of 1883) dan Konvensi Berne Pertama yang diadakan
tahun 1886 (Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic
Works 1886). HKI telah menjadi pokok masalah yang lingkup pembahasannya
tidak hanya dilakukan pada tingkat nasional, tapi juga internasional.
Seiring dengan itu, juga muncul kebutuhan akan kerangka pengaturan
HKI di tingkat internasional. Kerangka ini bertujuan mengatur masalah-
masalah yang berkaitan dengan regulasi hingga penyelesaian sengketa di
bidang HKI, termasuk didalamnya pembentukan badan resmi di bidang HKI.
Ada dua kerangka internasional di bidang HKI yang umumnya diikuti oleh
27
komunitas internasional. Dua kerangka itu adalah WIPO (World Intellectual
Property Organization) dan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights) yang merupakan bagian dari GATTS/WTO.
Secara kelembagaan, WIPO maupun TRIPS berada dalam kotak yang
berbeda. WIPO merupakan bagian dari PBB sementara TRIPS merupakan
bagian dari GATTS/WTO. Dengan demikian, maka keanggotaannya pun
berbeda. Misalkan Indonesia sebagai anggota baik WIPO maupun WTO.
Indonesia memperoleh hak dan kewajibannya dari keanggotaan WIPO dan
perjanjian internasional yang diselenggarakan WIPO, terpisah dari hak dan
kewajiban dari TRIPS yang diperoleh Indonesia sebagai anggota WTO.
Meski demikian, terjadi tumpang tindih dari segi substansi antara
peejanjian-perjanjian WIPO dan perjanjian-perjanjian TRIPS, sehingga
penting untuk dipahami hubungan organik dua lembaga. Secara khusus
persetujuan TRIPS mewajibkan semua anggota WTO untuk menetapkan
hukum nasional yang isinya sesuai dengan aturan-aturan baik Konvensi Paris
maupun Konvensi Berne (dengan adanya pengecualian kecil, contohnya Pasal
9 ayat (1) TRIPS yang menegaskan berlakunya seluruh isi Konvensi Berne
kecuali Pasal 6bis tentang hak moral), terlepas dari apakah negara tersebut
telah atau belum menjadi anggota kedua konvensi tersebut. TRIPS juga
mengikuti dan mengadaptasi isi pengaturan dalam Konvensi Roma
(International Convention for the Protection of Performers, Producers of
Phonograms and Broadcasting Organizations) maupun Traktat WIPO tentang
Sirkuit Terpadu (Washington Treaty on Intellectual Property in Respect of
28
Integrated Circuits). Standar yang diatur oleh TRIPS dalam beberapa bidang
HKI secara langsung merujuk pada standar WIPO yang dikembangkan,
dijabarkan dan dilaksanakan secara lebih jelas.10
Lebih lanjut mengenai kerjasama dan hubungan resmi antara WIPO
dan WTO, diatur dalam Agreement Between the World Intellectual Property
Organization and the World Trade Organization yang disahkan pada tanggal
22 Desember 1995.
4. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka WIPO
WIPO sebagai organisasi internasional yang mengurus bidang HKI
didirikan pertama kali pada tahun 1967 lewat Convention on Establishing the
World Intellectual Property Organization. WIPO merupakan salah satu dari
15 badan khusus (special agent) PBB yang didirikan sebagai kelanjutan dari
sekretariat Konvensi Berne dan Konvensi Paris11. Tujuan utama di dirikannya
WIPO adalah untuk
“...promote the protection of intellectual property throughout the
world throuh cooperation among states and where appropriate, in
collaboration with any other international organization and to ensure
administrative cooperation among the intellectual property union.”
Maka dapat kita pahami bahwa tujuan berdirinya WIPO adalah untuk
mendorong perlindungan HKI di dunia melalui kerjasama antara negara dan
kolaborasi dengan organisasi internasional lainnya serta memastikan
kerjasama adinistratif diantara badan-badan HKI.
10Ibid., halaman 2911 Budi santoso, Op.cit., halaman 24
29
WIPO kemudian berperan dalam menyusun dan menghasilkan
berbagai konvensi internasional di bidang HKI. Konvensi internasional yang
dihasilkan WIPO meliputi 4 kategori utama, yaitu12:
Tabel 1: Instrumen Internasional mengenai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan
kategorinya masing-masing
Kategori Instrumen Internasional
a. General Convention International Convention for the Protection
of New Varities of Plants (UPOV)
Convention on Establishing the World
Intellectual Property Organization
b. Intellectual Property
Protection Treaties;
Berne Convention on Protection of Literary
and Artistic Works
Convention for the Protection of Producers
of Phonograms Againts Unathourized
Duplication of Their Phonograms
Madrid Agreement for the Repression of
False or Deceptive Indications of Souces on
Goods
Nairobi Traties on the Protection of
Olympic Symbol
Paris Convention for the Protection of
Industrial Property
12 Loc.cit., 2007
30
Patent Law Treaty
Trademark Law Treaty
Treaty on the International Registration of
Audiovisual Works
Washington Treaty on Intellectual Property
in Respect of Integrated Circuits
WIPO Copyright Treaty
WIPO Performances and Phonograms
Treaty
c. Global Protection
System Treaty
Budapest Treaty on International
Recognation of The Deposit of
Microorganisms for the Purpose of Patent
Procedure
Hague Agreement Concerning the
International Deposit of Industrial Designs
Lisbon Agreement for the Protection of
Appelation of Origin and Their
International Registration
Madrid Agreement Concerning the
International Registration of Marks
Patent Cooperation Treaty
31
d. Classification Treaty Locarno Agreement Establishing an
International Classification for Industrial
Designs
Nice Agreement Concerning International
Classification of Goods and Services for the
Purpose of the Registration of Marks
Strauborg Agreement Concerning the
International Patent Classification
Vienna Agreement Establishing an
International Classification of the
Figurative Elements of Marks
Selain itu, berdasar Pasal 2 angka (viii) Convention on Establishing the
World Intellectual Property Organization di Stockholm pada 14 Juli 1967,
WIPO menetapkan bahwa klasifikasi hak kekayaan intelektual terdiri dari:
a. literary, artistic and scientific works,
b. performances of performing artists, phonograms and broadcasts,
c. inventions in all fields of human endeavor,
d. scientific discoveries,
e. industrial designs,
f. trademarks, service marks and commercial names and
designations,
g. protection against unfair competition,
32
h. and all other rights resulting from intellectual activity in the
industrial, scientific, literary or artistic fields.”
Untuk literary, artistic dan scientific works berada pada lingkup Hak Cipta.
Sementara untuk performance of performing artists, phonograms dan
broadcasts biasanya disebut sebagai hak terkait (related rights). Sedangkan
invensi, desain industri, mereka berada pada bagian hak industri (Industrial
Rights).
5. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kerangka TRIPS
Diluar kerangka WIPO, masalah-masalah HKI di tingkat internasional
juga diatur oleh kerangka TRIPS (Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights). TRIPS dihasilkan dari Uruguay Round tahun
1994 sebagai bagian dari kesepakatan pendirian WTO (World Trade
Organization). Ratifikasi dan pelaksanaan TRIPS kedalam hukum nasional
kemudian menjadi kewajiban bagi negara anggota WTO sesuai asas pacta
sunt servanda. Hingga saat ini TRIPS telah diratifikasi lebih dari 150 negara
anggota WTO, termasuk Indonesia.
Tujuan utama TRIPS adalah untuk memaksimalkan kontribusi HKI
terhadap pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan dan investasi. Dalam
Pasal 7 Bagian I tentang General Provisions and Basic Principles dalam
TRIPS, dijelaskan bahwa:
“The protection and enforcement of intellectual property rights should
contribute to the promotion of technological innovation and to the
transfer and dissemination of technology, to the mutual advantage of
producers and users of technological knowledge and in a manner
33
conducive to social and economic welfare, and to a balance of rights
and obligations.“
Maka dijelaskan bahwa tujuan utama TRIPS dalam perlindungan dan
penegakan HKI adalah untuk memberikan kontribusi dalam mendorong
inovasi teknologi dan alih teknologi serta penyebaran teknologi. Dengan
tujuan bagi keuntungan bersama baik bagi produser maupun penguna ilmu
teknologi dan dengan cara yang kondusif bagi kesejahteraan ekonomi dan
sosial, serta bagi keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Karena perlindungan HKI dalam kerangka TRIPS hanya terbatas pada
sektor perdagangan dan investasi, maka menurut Tim Lindsey dkk,
perlindungan TRIPS memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu13:
a. Pengertian bahwa perlindungan HKI yang seimbang dan efektif
merupakan suatu masalah perdagangan, dan untuk itu diarahkan ke
dalam suatu sistim aturan perdagangan multilateral yang lebih luas.
b. Lingkup aturan hukum yang lebih menyeluruh, termasuk Hak
Cipta, Hak Terkait, dan Kekayaan Industri dalam satu perjanjian
internasional.
c. Pengaturan-pengaturan rinci mengenai penegakkan dan
administrasi HKI dalam sistim hukum nasional.
d. Pengunaan mekanisme penyelesaian sengketa WTO.
e. Pembuatan proses-proses yang transparan dan terstruktur untuk
mendorong pemahaman yang lebih rinci dari hukum HKI nasional
negara-negara anggota WTO.
13 Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Op.cit., halaman 31
34
Karena itu peran TRIPS dalam WTO, untuk dapat mendorong
terwujudnya iklim perdagangan dan investasi yang kondusif rezim HKI,
terwujud dengan14:
a. Menetapkan standar minimum perlindungan HKI dalam sistim
hukum nasional negara-negara anggota WTO.
b. Menetapkan standar bagi administrasi dan penegakan HKI dalam
hukum nasional negara-negara anggota WTO.
c. Menciptakan suatu mekanisme yang transparan dimana setiap
anggota WTO wajib menyediakan rincian mengenai sistem dan
hukum HKI nasionalnya.
d. Menciptakan sistem penyelesaian sengketa yang efektif dan dapat
diprediksi untuk menyelesaikan sengketa HKI diantara negara
anggota WTO.
e. Memastikan adanya mekanisme yang memastikan bahwa sistem
HKI nasional mendukung tujuan-tujuan kebijakan publik yang
telah diterima luas.
f. Menyediakan mekanisme untuk menghadapi penyalahgunaan
sistem HKI.
Dalam kerangka WTO sendiri, klasifikasi HKI yang digunakan
meliputi tertuang dalam suatu persetujuan yang disebut dengan TRIPS. Hal ini
lebih khusus lagi diatur pada Bagian II tentang Standards Concerning the
14 Ibid, halaman 36
35
Availablity, Scope and Use of Intellectual Property Rights. Lebih lengkapnya
lagi klasifikasi HKI berdasarkan TRIPS terdiri dari15:
a. Copyrights and Related Rights
b. Trademarks
c. Geographical Indications
d. Industrial Designs
e. Patents
f. Layout-designs (Topographies) of Integrated Circuits
g. Protection of Undisclosed Information
h. Control of Anti-Competitive Practices in Contractual Licences
Klasifikasi TRIPS inilah yang selama ini umum digunakan di Indonesia dan
negara-negara anggota WTO lainnya. Klasifikasi yang digunakan oleh TRIPS
sendiri memang tidak seluas klasifikasi yang digunakan oleh WIPO.
Mengingat TRIPS hanya mengatur bidang HKI dalam kaitannya dengan
perdagangan (trade-related).
6. Hak Kekayaan Intelektual Dalam Hukum Nasional Indonesia
Perlindungan dan penegakan HKI sebenarnya telah dilakukan sebelum
jaman kemerdekaan di Indonesia. Antara lain dengan dengan berbagai
peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang
meliputi Auteurswet 1912 Stb.1912 No.600 bagi perlindungan Hak Cipta,
Reglement Industriele Eigendom Kolonien Stb.1912 No.545 jo. Stb.1913
15 Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual Prospek dan Tantangannya di Indonesia,(Yogyakarta : 11 Maret 2005) halaman 6
36
No.214 mengenai pelindungan hak merek, dan Octrooweit 1910 S.No.33 yis
S.11-33, S.22-54 mengenai perlindungan hak Paten16.
Telah disadari bahwa tujuan utama diperlukannya perlindungan dan
penegakkan HKI di tingkat nasional. Sistem HKI dibentuk, diikat dan dikelola
untuk mencapai tujuan yang lebih luas, misalnya untuk17:
a. Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perdagangan dan
investasi.
b. Memberikan kontribusi bagi perkembangan teknologi, melalui alih
teknologi secara efektif dan peningkatan kemampuan teknologi
masyarakat lokal.
c. Mendorong usaha-usaha yang memiliki nilai pembeda dan
mempunyai daya saing internasional.
d. Mendorong komersialisasi secara efektif terhadap penemuan-
penemuan dan inovasi masayarakat lokal.
e. Mendorong perkembangan sosial dan budaya.
f. Memberi nilai tambah terhadap ekspor nasional dan melindungi
reputasi ekspor di pasar internasional.
Sesudah era kemerdekaan, komitmen Indonesia akan perlindungan dan
penegakan HKI tidak terkesampingkan. Sesuai aturan peralihan, peraturan-
peraturan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang telah ada sebelumnya
pun masih berlaku hingga diganti dengan yang baru atau dinyatakan tidak
berlaku lagi. Pada 11 Oktober 1961, Pemerintah Indonesia mengundangkan
16 Budi santoso, Op.cit., halaman 2917 Tim Lindsey, Eddy Damian,Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Loc.cit
37
UU No.21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan.
Usaha ini kemudian dilanjutkan dengan mengundangkan UU No.6 Tahun
1982 jo. UU No.7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta. Lalu pada tahun 1989
diundangkan UU No.6 Tahun 1989 tentang Paten.
Pada tingkat internasional peran aktif Pemerintah Indonesia juga
tampak. Pemerintah Indonesia turut serta secara aktif dalam berbagai
Konvensi dan kajian internasional di bidang HKI. Hal ini terwujud dalam
komitmen Indonesia dalam mekanisme regional maupun internasional di
bidang HKI, yang meliputi18:
- Keanggotaan aktif di WIPO, diperkuat dengan ratifikasi Konvensi
pembentukan WIPO (Convention on Establishing the World
Intellectual Property Organization) pada tahun 1979.
- Kepatuhan pada Konvensi-Konvensi internasional yang bersifat
mendasar mengenai hukum HKI yang secara subtantif dikelola
WIPO khususnya Konvensi Paris tentang Perlindungan Kekayaan
Industri (The Paris Convention for Protection of Industrial
Property of 1883) yang disahkan tahun 1883, Indonesia menjadi
pihak dalam revisi terakhir lewat Stockholm Act sejak 24 Desember
1950. Selain itu juga pada Konvensi Berne 1886 (Berne
Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1886)
yang diratifikasi beserta perubahan terakhirnya (Paris Act 1971)
oleh Indonesia pada tanggal 5 September 1997. Serta Konvensi
18 Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Op.cit., halaman 26
38
Hak Cipta WIPO (WIPO Copyright Treaty), dimana Indonesia
menjadi negara pertama yang meratifikasi pada 5 September 1997.
- Kepatuhan pada perjanjian internasional yang diselenggarakan
WIPO yang bersifat teknis, administratif dan fasilitatif, seperti
Konvensi Kerjasama Paten (Patent Cooperation Treaty), atau
Konvensi Hukum Merek (Trademark Law Treaty).
- Keikutsertaan dalam proses pembuatan kebijakan WIPO, misalnya
panitia kerja mengenai aspek hukum HKI internasional. Selain itu
juga aktif dalam forum konsultasi tentang isu-isu HKI terbaru serta
dalam kegiatan kerjasam WIPO secara tekhnis baik pada tingkat
nasional, regional maupun internasional.
- Keikutsertaan dalam kerjasama regional, misalnya kerangka kerja
ASEAN mengenai kerjasama di bidang HKI, kelompok ahli
kerjasama Asia Pasifik mengenai HKI (IPEG) dan deklarasi politik
yang dibuat bersama seperti Agenda Kerja OSAKA APEC tahun
1995.
- Kepatuhan terhadap instrumen-instrumen internasional mengenai
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan sistim HKI.
Misalnya Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of
Biological Diversity) yang diratifikasi pada tanggal 23 Agustus
1994.
Pada tahun 1994, Indonesia aktif dalam Uruguay Round dan menjadi
anggota WTO. Otomatis Indonesia juga turut meratifikasi kesepakatan-
39
kesepakata yang dihasilkan dalam Uruguay Round lewat UU Nomor 7 Tahun
1994. Termasuk didalam kesepakatan-kesepakatan ini adalah TRIPS, yang
saat ini menjadi garis besar dalam pengaturan dan penegakan HKI di
Indonesia. Undang-Undang yang secara khusus mengatur HKI di Indonesia
hingga saat ini meliputi:
a. UU No. 29 Tahun 2000 tentang Varitas Tanaman
b. UU No. 30 Tahun 2000 Rahasia Dagang
c. UU No. 31 Tahun 2000 Desain Industri
d. UU No. 32 Tahun 2000 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
e. UU.No 14 Tahun 2001 Paten
f. UU.No 15 Tahun 2001 Merek
g. UU.No 19 Tahun 2002 Hak Cipta
B. Tinjauan Umum Mengenai Hak Kekayaan Intelektual Tradisional
1. Pengertian dan Jenis Hak Kekayaan Intelektual Tradisional
Salah satu hak yang dimiliki oleh masyarakat adat atas kekayaan
budayanya adalah Hak Kekayaan Intelektual Tradisional. Menurut Edi
Sedyawati, Kekayaan Intelektual Tradisional adalah berupa karya cipta
ataupun pengetahuan yang merupakan hasil kreatifitas seseorang atau
kelompok masyarakat sebagai ungkapan tradisi budaya turun menurun dari
satu generasi ke generasi dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraan hidupnya yang ditransmisikan secara lisan dan penciptanya
40
anonim.19 Ciri utama dari hasil karya maupun Pengetahuan Tradisional ini
adalah adanya kearifan dalam hubungan manusia dengan manusia, manusia
dengan alam dan dengan Tuhannya. Ciri lainnya adalah kekayaan intelektual
tradisional ini dilestarikan dan dikembangkan oleh kelompok masyarakat lokal
yang ada di sebagian besar negara berkembang.20
Konsep Kekayaan Intelektual Tradisional sendiri sebenarnya tidak
lepas dari perdebatan. Ada kalangan yang berpandangan bahwa suatu warisan
budaya, apapun bentuknya adalah milik bersama umat manusia. Bukan suatu
bentuk Kekayaan Intelektual yang oleh karenanya dapat diterapkan hak-hak
eksklusif. Namun ada pula kalangan yang berpandangan bahwa warisan
budaya dalam berbagai bentuknya dapat dimasukan dalam kerangka Kekayaan
Intelektual.
Berkaitan dengan ini, maka kita mesti kembali melihat definisi dari
Kekayaan Intelektual itu sendiri, yang merupakan obyek perlindungan dari
rezim HKI. Menurut Konvensi pendirian WIPO, pengertian Kekayaan
Intelektual meliputi produksi dan hal-hal yang luas sifatnya, dalam arti tidak
hanya terbatas pada jenis-jenis HKI yang sudah ada saat ini. Hal tersebut
diungkapkan sebagai berikut21:
“The phrase at the end of the definition in the WIPO Convention (“all
other rights resulting from intellectual activity in the industrial,
scientific, literary or artistic fields”) makes it clear that ‘intellectual
19 Edi Sedyawati, Warisan Tradisi, Penciptaan dan Perlindungan, (Jakarta : 13 Agustus 2003)halaman 3
20 Kholis Roisah, “Perlindungan hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional,” MajalahIlmiah Masalah-Masalah Hukum FH UNDIP edisi Juli-September 2006, halaman 355
21 Basuki Antariksa, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional : KeterkaitanDengan Rezim Hak Kekayaan Intelektual (Biro Kerjasama Luar Negeri DepartemenKebudayaan dan Pariwisata), halaman 3
41
property’ is a broad concept and can include productions and matter
not forming part of the existing categories of intellectual property,
provided they result ‘from intellectual activity in the industrial,
scientific, literary or artistic fields”.
Berdasarkan pengertian diatas, maka warisan budaya dalam berbagai
bentuknya dapat dimasukan dalam konsep Kekayaan Intelektual. Beberapa
argumen yang diungkapkan di sejumlah literatur memberikan dukungan
terhadap pandangan ini yaitu meliput22:
a. Kekayaan intelektual dan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional memiliki karakteristik yang sama, yaitu
merupakan “creation of mind”. Sebagaimana diketahui, baik jenis-
jenis kekayaan intelektual yang saat ini dikenal di dunia maupun
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
merupakan sebuah jawaban atas kebutuhan-kebutuhan manusia
dalam meningkatkan kualitas hidupnya dan/atau mempertahankan
eksistensinya; dan
b. Seperti juga kekayaan intelektual, Pengetahuan Tradisional dan
Ekspresi Budaya Tradisional memiliki potensi nilai komersial
karena dapat diperjualbelikan, seperti kerajinan tangan, obat
tradisional dan sebagainya, dan bahkan dapat dikembangkan
menjadi bagian dari kekayaan intelektual.
Berangkat dari konsep kekayaan intelektual tradisional ini,
berkembang berbagai bentuk kekayaan intelektual tradisional, baik berupa
22 Basuki Antariksa, Pedoman Umum Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual AtasPengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (Biro Kerjasama Luar NegeriDepartemen Kebudayaan dan Pariwisata: 2007), halaman 8
42
Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) maupun Ekspresi Budaya
Tradisional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore).
Selain itu Kekayaan Hayati dan Keanekaragaman Hayati (Genetic Resources)
juga sering digolongkan sebagai Kekayaan Intelektual Tradisional23. Dari situ
dapat kita pahami ada tiga bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional yang
berbeda satu sama lain, namun merupakan bagian dari kekayaan budaya
tradisional dan membutuhkan perlindungan khusus.
Bentuk pertama, adalah Ekspresi Budaya Tradisional atau dikenal
dengan istilah Traditional Cultural Expressions atau Expressions of Folklore.
Sulit mendapat pengertian baku dari Ekspresi Budaya Tradisional. Istilah
Ekspresi Budaya Tradisional digunakan dalam WIPO-UNESCO Model
Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore
Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions (Model Provisions
1982) untuk menjelaskan24:
““Expressions of folklore” means poductions consisting of
characteristic elements of traditional artistic heritage developed and
maintained by a community of [name of the country] or by individuals
reflecting the traditional artistic expectations of such a community, in
particular :
1. verbal expressions, such as: folk tales, folk poetry, and riddles;
2. musical expressions, such as folk songs and instrumental
music;
3. expressions by action, such as folk dances, plays, and artistic
forms or rituals;
Whether or not reduced to a material form; and
4. tangible expressions, such as:
23 A. Zen Umar Purba, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, (Jakarta : 29 Januari2002), halaman 10
24 Lihat Section 2 dari WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection ofExpressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982
43
- productions of folk art, in particular, drawings, paintings,
carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic,
woodwork, metalware, jewelry, basket weaving,
needlework, textiles, carpets, costumes;
- musical instruments
- architectural forms;”
Maka dapat kita pahami bahwa Ekspresi Budaya Tradisional adalah bentuk
ekspresi sosial budaya yang dituangkan dalam bentuk ekspresi seni, baik
yanag berbentuk karya seni dan sastra verbal maupun non-verbal, maupun
yang memiliki bentuk yang bersifat wujud (tangible) seperti kerajinan
tradisional, instrumen musik tradisional hingga pola arsitektur.
Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional yang diperoleh dari Model
Provision 1982 diatas, hampir sama dengan pengertian yang ada dalam
penjelasan Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Dimana pada pasal tersebut dijelaskan bahwa apa yang dimaksud sebagai
folklor adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh
kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas
sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau
diikuti secara turun temurun, termasuk:
- cerita rakyat, puisi rakyat;
- lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional;
- tari-tarian rakyat, permainan tradisional;
- hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran,
pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen
musik dan tenun tradisional.
44
Selanjutnya dalam penjelasan juga disebutkan bahwa dalam rangka
melindungi Ekspresi Budaya Tradisional dan hasil kebudayaan rakyat lain,
Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta
tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara
Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan
tersebut.
Lebih lanjut mengenai Ekspresi Budaya Tradisional dan
perlindungannya akan dibahas dalam bab IV.
Bentuk kedua, adalah Pengetahuan Tradisional (Traditional
Knowledge) yang sering juga disebut dengan istilah indigenous knowledge
atau local knowledge. Dalam Pasal 8 (j) Convention of Biological Diversity,
disebutkan pengertian dari Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge)
adalah :“… knowledge, innovations and practices of indigenous and local
communities embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and
sustainable use of biological diversity…”
Dari definisi diatas, dapat kita batasi bahwa Pengetahuan Tradisional
adalah hal-hal yang bersifat invensi, praktik maupun teknologi yang dilakukan
oleh masyarakat adat sebagai bagian dari kebudayaan tradisional mereka.
Perlindungan terhadap Pengetahuan Tradisional (Traditional
Knowledge) sendiri pada awalnya diletakkan bersama Ekspresi Budaya
Tradisional dalam kerangka perlindungan Hak Cipta. Namun karena dirasa
terlalu sempit dan tidak dapat memenuhi kebutuhan perlindungan, kemudian
45
Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) dan Ekspresi Budaya
Tradisional diletakkan dalam kerangka terpisah. Mengingat Pengetahuan
Tradisional memiliki cakupan yang lebih luas, termasuk pengetahuan
mengenai tumbuhan dan binatang, dalam hal pengobatan dan makanan serta
lainnya yang memerlukan kerangka perlindungan lain diluar Hak Cipta, yaitu
Paten dan Keanekaragaman Hayati25.
Menurut Stephen A. Hansen dan Justin W. VanFleet, definisi dari
Pengetahuan Tradisional adalah 26:
“… the information that people in a given community, based on
experience and adaptation to a local culture and environment,have
developed over time, and continue to develop. This knowledge is used
to sustain the community and its culture and to maintain the genetic
resources necessary for the continued survival of the community.”
Dari definisi ini, maka dapat kita ketahui bahwa ciri Pengetahuan Tradisional
(Traditional Knowledge) adalah :
a. Berupa informasi yang ada ditengah masyarakat, berdasarkan
pengalaman dan adaptasi terhadap budaya lokal dan alam sekitar.
b. Telah berkembang untuk jangka waktu yang lama dan terus
berkembang.
c. Berfungsi untuk menjalankan masyarakat adat dan budayanya serta
melestarikan Keanekaragaman Hayati yang berperan penting
dalam kelangsungan hidup masyarakat adat.
25 Michael Blakeney, Intellectual Property in The Dreamtime-Protecting the Cultural Creativity ofIndigenous People, (9 November 1999) halaman 2
26 Stephen A. Hansen dan Justin W. VanFleet, Traditional Knowledge and Intellectual Property:A Handbook on Issues and Options for Traditional Knowledge Holders in Protecting theirIntellectual Property and Maintaining Biological Diversity, (Washington : Juli 2003), halaman 3
46
Dari pengertian dan pembatasan ini, maka yang termasuk dalam
Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) antara lain27 seperti
pengunaan turmeric di India sebagai penyembuh luka, pengunaan ayahuasca
di pedalaman hutan Amazon untuk tujuan religius dan penyembuhan dan
pengunaan j’oublie di Kamerun dan Gabon sebagai pemanis.
Bentuk ketiga adalah bentuk khusus dari Pengetahuan Tradisional,
yaitu Pengetahuan Tradisional dalam kaitan Keanekaragaman Hayati (Genetic
Resources). Keanekaragaman Hayati berkaitan erat dengan Pengetahuan
Tradisional dibidang pemanfaatan kekayaan hayati. Terutama pada
masyarakat adat di negara-negara berkembang yang memiliki tradisi dan adat
istiadat yang masih mengakar kuat. Kekayaan hayati oleh masyarakat adat
dieksploitasi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai tradisional yang
berkaitan dengan konservasi dan pengunaan berkelanjutan untuk
menghasilkan karya cipta ataupun temuan-temuan lainnya28.
Sama seperti negara berkembang, bagi perusahaan-perusahaan dan
lembaga-lembaga di negara maju sumber daya hayati juga sangat penting.
Pemanfaatan sumber daya hayati seringkali mendatangkan keuntungan
komersil yang tak sedikit sekaligus berperan besar dalam kemajuan riset dan
ilmu pengetahuan, terutama di bidang bioteknologi. Seringkali pula berbagai
riset dan invensi baru yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hayati
merupakan sekedar pengembangan dari Pengetahuan Tradisional yang sudah
dikenal sejak lama oleh masyarakat adat. Namun berbeda dengan masyarakat
27 Loc.cit, 200328 Kholis Roisah, Op.cit., halaman 360
47
adat negara berkembang yang masih mengunakan dan menghormati
Pengetahuan Tradisional yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya
hayati. Eksploitasi yang dilakukan oleh berbagai perusahaan dan lembaga dari
negara maju seringkali kental dengan unsur komersialisasi tanpa
memperhatikan nilai–nilai tradisional masyarakat adat di negara berkembang.
Sering pula dikeluhkan tidak adanya penghormatan moril maupun kompensasi
materiil yang layak bagi masyarakat adat yang memiliki dan telah
mengembangkan Pengetahuan Tradisional tersebut.
Karena itu dibutuhkan akses dan pembagian keuntungan yang adil
dalam konteks pemanfaatan sumber daya hayati. Disinilah fungsi hak atas
Keanekaragaman Hayati (Genetic Resources). Maka dalam Pasal 8 huruf (j)
Convention on Biological Diversity, dinyatakan bahwa:
“Subject to its national legislation, respect, preserve and maintain
knowledge, innovations and practices of indigenous and local
communities embodying traditional lifestyles relevant for the
conservation and sustainable use of biological diversity and promote
their wider application with the approval and involvement of the
holders of such knowledge, innovations and practices and encourage
the equitable sharing of the benefits arising from the utilization of such
knowledge, innovations and practices.”
Pasal ini menjelaskan bahwa adanya kewajiban dari negara terhadap
perlindungan hak masyarakat adat atas Pengetahuan Tradisional yang mereka
miliki, terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan kekayaan hayati. Dari
pasal ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa tiap negara wajib untuk:
a. Menghormati, melestarikan, dan mempertahankan pengetahuan,
inovasi-inovasi dan praktik masyarakat adat dan lokal yang
48
mencakup tata cara hidup tradisional yang relevan dalam
pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan dari kenekaragaman
hayati.
b. Mendorong penerapan lebih luas dari pengetahuan, inovasi-inovasi
dan praktik tersebut dengan persetujuan dan keterlibatan
pemiliknya.
c. Mendukung pembagian yang adil atas keuntungan dan
pemanfaatan pengetahuan, inovasi-inovasi dan praktek tersebut.
Dalam tatanan hukum Indonesia, Convention on Biological Diversity
telah diratifikasi lewat UU Nomor 5 Tahun 1994. Namun dalam proses
pelaksanaannya belum berjalan karena belum adanya peraturan yang mengatur
lebih lanjut (implementing legislation).
2. Dasar Perlindungan Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional
Pada dasarnya setiap orang memiliki hak berbudaya. Hak ini
merupakan salah satu hak asasi mendasar yang dimiliki secara hakiki oleh
manusia. Dengan adanya hak ini, setiap orang dapat berperan aktif kehidupan
budaya dalam masyarakat, terutama masyarakat adat dimana ia menjadi
bagian nyata daripada masyarakat tersebut. Keberadaan hak budaya
memperoleh penegasan sebagai salah satu pasal dalam UN Universal
Declaration of Human Rights yang menyatakan :
“Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the
community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement
and its benefits. “
49
Lebih jauh kemudian pernyataan pasal ini dijabarkan kembali
kemudian dalam Pasal 15 International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights (ICESCR), yang menyatakan bahwa :
“The States Parties to the present Covenant recognize the right of
everyone:
(a) To take part in cultural life;
(b) To enjoy the benefits of scientific progress and its applications;
(c) To benefit from the protection of the moral and material interests
resulting from any scientific, literary or artistic production of which he
is the author.”
Selain itu setiap orang juga memperoleh perlindungan atas kepentingan
materiil maupun moril yang ia peroleh dari peran sertanya dalam kehidupan
budaya tersebut (Pasal 27 ayat 2 UN Universal Declaration of Human Rights).
Oleh karena itu hak berbudaya memiliki kedudukan penting tidak
hanya sebagai bagian dari hak asasi tiap individu, tapi bagian tak terpisahkan
dari masyarakat adat dimana sang individu menjadi anggota. Hak berbudaya
tidak lagi hanya dapat diterjemahkan sebagai hak individual, tetapi sebagai
hak kolektif yang dimiliki oleh masyarakat adat. Disadari pula, lewat hak
berbudaya ini muncullah kekayaan budaya yang merupakan bagian dari
struktur politik, sosial, ekonomi atau bahkan religius, spiritual, historis dan
filosofis dari masyarakat adat tersebut. Kekayaan budaya ini haruslah
dihormati sebagai bagian penting dalam kehidupan, keberadaan, dan
perkembangan masyarakat adat.
Berangkat dari kesadaran itu, maka dalam United Nations Declaration
on the Rights of Indigenous Peoples yang disahkan pada 13 September 2007,
dinyatakan bahwa Majelis Umum PBB mengakui "..the urgent need to
50
respect and promote the inherent rights of indigenous peoples which derive
from their political, economic and social structures and from their cultures,
spiritual traditions, histories and philosophies.." dan menyatakan bahwa "..
that indigenous peoples possess collective rights which are indispensable for
their existence, well-being and integral development as peoples.."
Lebih jauh dalam United Nations Declaration on the Rights of
Indigenous Peoples, dinyatakan bahwa masyarakat adat sendiri memiliki hak
untuk menjalankan dan menghidupkan tradisi dan kebiasaan budayanya.
Termasuk dalam merawat, melindungi dan mengembangkan kebudayaan itu
dalam bentuk apapun. Dalam pelaksanaan hak tersebut, kemudian pemerintah
juga wajib turut serta memfasilitasi secara layak dan hormat. Hal ini kemudian
dipertegas dalam Pasal 11 ayat 1 dan 2 United Nations Declaration on the
Rights of Indigenous Peoples yang menyatakan bahwa :
“Indigenous peoples have the right to practise and revitalize their
cultural traditions and customs. This includes the right to maintain,
protect and develop the past, present and future manifestations of their
cultures, such as archaeological and historical sites, artefacts,
designs, ceremonies, technologies and visual and performing arts and
literature.”
“States shall provide redress through effective mechanisms, which
may include restitution, developed in conjunction with indigenous
peoples, with respect to their cultural, intellectual, religious and
spiritual property taken without their free, prior and informed consent
or in violation of their laws, traditions and customs.”
Selanjutnya kebih jauh dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 United Nations
Declaration on the Rights of Indigenous Peoples dinyatakan bahwa:
"Indigenous peoples have the right to maintain, control, protect and
develop their cultural heritage, traditional knowledge and traditional
51
cultural expressions, as well as the manifestations of their sciences,
technologies and cultures, including human and genetic resources,
seeds, medicines, knowledge of the properties of fauna and flora, oral
traditions, literatures, designs, sports and traditional games and visual
and performing arts. They also have the right to maintain, control,
protect and develop their intellectual property over such cultural
heritage, traditional knowledge, and traditional cultural expressions."
"In conjunction with indigenous peoples, States shall take effective
measures to recognize and protect the exercise of these rights."
Dalam pasal ini, United Nations Declaration on the Rights of
Indigenous Peoples menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk
merawat, mengendalikan, dan melindungi warisan budaya tradisional (cultural
heritage), Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge), ekspresi budaya
traditional (Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore) serta
segala bentuk manifestasi dari ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya
masyarakat tersebut. Selain itu mereka juga memiliki Hak atas Kekayaan
Intelektual yang terdapat pada segenap bentuk dan hasil dari kekayaan budaya
tersebut diatas dan pemerintah memiliki kewajiban untuk memberi
perlindungan secara efektif atas hak tersebut.
Karena itulah kewajiban perlindungan terhadap hak masyarakat atas
kekayaan budaya tradisional ini disadari penting oleh pemerintah. Kewajiban
ini menjadi salah satu kewajiban konstitusional negara sesuai yang tercantum
dalam UUD 1945 Amandemen. Dimana negara menghormati kebudayaan
tradisional dari masyarakat adat sebagai bagian dari kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat
dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selanjutnya
dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Amandemen dinyatakan bahwa :
52
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
C. Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural
Expression/Expressions of Folklore) Sebagai Bentuk Dari Kekayaan
Intelektual Tradisional
Salah satu bentuk kekayaan intelektual tradisional yang dilindungi
lewat HKI Tradisional adalah Ekspresi Budaya Tradisional. Perlindungan
terhadap Ekspresi Budaya Tradisional yang akan menjadi fokus utama
penulisan hukum ini.
Traditional Cultural Expression atau Expressions of Folklore sendiri
bukanlah satu-satunya istilah untuk Ekspresi Budaya Tradisional. Banyak
istilah lain yang juga digunakan, mulai dari folklore, foklor (yang merupakan
serapan dari folklore), hingga indegenous culture and intelectual property.
Penulis sendiri memilih mengunakan istilah Ekspresi Budaya Tradisional
yang merupakan padanan kata dari Traditional Cultural Expression dengan
pertimbangan istilah ini adalah salah satu yang baku digunakan oleh PBB
dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
maupun WIPO sendiri29.
Istilah Ekspresi Budaya Tradisional atau sebelumnya lebih dikenal
sebagai “folklore” pertama kali diperkenalkan oleh William Thoms pada tahun
1846. Dia mengunakan istilah folk-lore dalam suratnya kepada The
29 WIPO Secretariat, Consolidated Analysis of The Legal Protection of Traditional CulturalExpression/Expression of Folklore, halaman 25
53
Athenaeum untuk mengantikan “popular antiquities” dan “popular
literature.” Folklore yang dimaksud oleh Thoms sendiri adalah kebiasaan,
observasi, takhyul, cerita rakyat, dan seterusnya yang dia anggap sebagai
tradisi masyarakat (lore of the people). Namun sejak kata folklore
diperkenalkan, belum ditemukan definisi yang tepat dan disepakati oleh para
ahli. Muncul beragam definisi berbeda tentang pengertian folklor itu sendiri.
Perbedaan pendapat mengenai definisi foklor ini sendiri muncul misalkan
dalam Standart Dictionary of Folklore yang memiliki dua puluh satu definisi
yang saling berbeda dari folklor30.
Perbedaan definisi inilah yang mesti kita pertimbangkan dalam
menentukan pengertian dari Ekspresi Budaya Tradisional . Setidaknya ada dua
kelompok definisi berbeda yang berangkat dari dua sudut pandang yang
berbeda yang mesti kita cermati. Kelompok definisi pertama berangkat dari
sudut pandang ilmu budaya dan kelompok definisi kedua berangkat dari sudut
pandang perlindungan hukum. Inilah yang akan kita kaji dalam sub-bab
selanjutnya ini.
1. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional Dari Sudut Pandang Pakar
Kebudayaan
Untuk mengkaji pengertian dari Ekspresi Budaya Tradisional ini, kita
mesti melihat terlebih dahulu berbagai macam pengertian yang ada dari sudut
pandang ilmu budaya. Sebagai catatan, kebanyakan ahli budaya tidak
30 P.V. Valsala G. Kutty, National Experiences With The Protection of Expressions ofFolklore/Traditional Cultural Expressions: India, Indonesia and Philipines, halaman 7
54
membedakan antara Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) dan
Ekspresi Budaya Tradisional, sebab keduanya adalah bentuk dari folklor.
Menurut para ahli budaya, baik Pengetahuan Tradisional maupun
Ekspresi Budaya Tradisional merupakan dua istilah yang memiliki pengertian
yang sama. Walaupun istilah Pengetahuan Tradisional lebih menekankan pada
technical know-how yang bersifat tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
menekankan pada ekspresi budaya sebagai bentuk dan bagian dari kebudayaan
itu. Namun pemisahan antara keduanya lebih banyak disebabkan oleh
perbedaan persepsi antara para praktisi (ilmu budaya) dan kalangan penentu
kebijakan (ahli hukum)31. Karena itu mereka lebih banyak mengunakan istilah
folklore atau folklor yang dalam konteksnya merujuk pada baik Pengetahuan
Tradisional maupun Ekspresi Budaya Tradisional , kecuali apabila menurut
para ahli keduanya dapat dipisahkan maupun mesti dipisahkan dalam
konteksnya masing-masing.
Menurut Kusnaka Adhimiharja, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Folklor (istilah yang digunakannya untuk Ekspresi Budaya Tradisional)
merupakan fenomena budaya tradisional yang terletak dalam kesadaran
individu, komunitas bahkan merupakan identitas suatu bangsa32. Adhimiharja
menuntut kita melihat keduanya bukan sebagai kreasi masa lalu yang tuntas
dan sempurna, dalam artian hanya sebagai fenomena budaya yang bersifat
imitasi dan reproduksi atas gagasan, kelembagaan dan produk warisan budaya
tersebut. Menurutnya, budaya tradisional tidak bersifat statis, namun dinamis.
31 Kusnaka Adhimiharja, Jenis Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor SertaKarakteristiknya, (1 februari 2007) halaman 1
32 Loc.Cit
55
Baik Pengetahuan Tradisional maupun Ekspresi Budaya Tradisional akan
lebih menghasilkan “nilai” apabila berkembang terus menerus bersama
masyarakat pendukungnya. Tidak bersifat meniru, pengulangan atau imitasi
belaka dari apa yang sudah ada.33
Menurut Edi Sedyawati, folklor dalam pengertian baik Pengetahuan
Tradisional maupun Ekspresi Budaya Tradisional merupakan semua jenis
hasil aktivitas manusia yang berlanjut menjadi milik bersama dalam suatu
komuniti, komunitas, maupun masyarakat yang penciptanya anonim dan
ditransmisikan pada prinsipnya secara lisan. Pengertian ini tidak memisahkan
antara Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, namun bila
keduanya dipisahkan, maka Ekspresi Budaya Tradisional dapat dibatasi pada
bentuk folklor yang bersifat ekspresif saja, khususnya dalam hal ini adalah
ungkapan seni34. Pengertian ini juga dapat dibatasi lagi dalam kaitan
perlindungannya, yaitu dalam bentuk yang terdapat pada masyarakat etnik
tradisional. Perlindungan terhadap folklor diawali dari keprihatinan bahwa
folklor itu akan punah, yang apabila terjadi merupakan kerugian pada
khasanah pengetahuan manusia pada umumnya; atau dikhawatirkan dapat
dimanfaatkan secara tidak sah dan tidak adil oleh pihak-pihak diluar
pemiliknya35.
Menurut James Danandjaya, folklor adalah sebagian dari kebudayaan
Indonesia yang tersebar dan diwariskan turun temurun di antara kolektif
macam apa saja, secara tradisional, dalam versi yang berbeda baik dalam
33 Ibid., halaman 334 Edi Sedyawati, Loc.cit.,35 Ibid., halaman 2
56
bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat, atau alat bantu
pengingat (mnemonic device)36. Folklor sendiri menurut James Danandjaya
dapat dibagi dalam tiga kelompok besar, yang didasarkan pada unsur-unsur
kebudayaan yang menjadi ciri khasnya. Kelompok tersebut terdiri dari37 :
a. Folklor Lisan, yang diperinci lagi dalam bentuk genre :
- Ujaran rakyat (seperti logat, rujukan, pangkat tradisional, dan
gelar kebangsawanan)
- Ungkapan tradisional (seperti pepatah, peribahasa dan pemeo)
- Pertanyaan tradisional (seperti teka-teki)
- Nyanyian rakyat (seperti balada, epos, wira carita)
b. Folklor sebagian lisan yaitu adalah permainan rakyat, teater rakyat,
makanan dan minuman rakyat, dan keprcayaan dan keyakinan
rakyat.
c. Folklor bukan lisan, yang diperinci lagi dalam sub-kelompok :
- Material (seperti arsitektur rakyat, seni kriya rakyat, pakaian
dan perhiasan tubuh rakyat, dan obat-obatan rakyat)
- Non-material (seperti gerak isyarat tradisional rakyat dan
bunyi-bunyian rakyat)
Menurut Valsala G. Kutty, folklor tidak harus berbentuk lisan dan
anonim. Ada bentuk khusus yang bersifat tertulis dan diketahui siapa
penciptanya, namun tetap dianggap folklor karena nilai budaya yang
terkandung dalamnya. Valsala G. Kutty mengutip Allan Dunes yang
36 James Danandjaya, Perlindungan Hukum Terhadap Folklor di Indonesia, halaman 137 Loc.cit.,
57
menyebutkan “Since materials other than folklore are also orally transmitted,
the criterion of oral transmission by itself is.” Lebih lanjut, Alan Dunes
menyebutkan38:
“There are some forms of folklore which are manifested and
communicated almost exclusively in the written as opposed to oral
form, such as autograph-book verse, book marginalia, epitaphs, and
traditional letters. In actual practice a professional folklorist does not
go so far as to say that a folktale or a ballad is not folklore, simply
because it has at some time in its life history been transmitted by script
or print. But he would argue that if a folktale or a ballad had never
been in the oral tradition, it is not folklore. It might be a literary
production based upon a folk model.”
Karena itu, Valsala G. Kutty berpendapat bahwa kurang bijak untuk
menganggap semua yang bersifat lisan sebagai folklor. Lebih beralasan jika
membatasi folklor pada aspek kreatif dari satu komunitas, yang tercermin
dalam kehidupan sehari-hari dan terwujud dalam bentuk material maupun
non-material, daripada hanya merujuk pada bentuk penyampaian, apakah itu
lisan maupun tulisan.39 Maka karena itu Valsala G. Kutty juga mengolongkan
kesastraan tradisional India seperti Mahabrata dan Ramayana, hingga Kitab
Seni Perang Tradisional karangan Sun Tzu dalam kesustraan tradisional Cina
sebagai bentuk dari folklor.
Lebih lanjut, Valsala G. Kutty membegi folklor menjadi empat bentuk,
yaitu meliputi40:
38 P.V. Valsala G. Kutty, Loc.cit.,39 “However, it may not be wise to consider all that is passed on orally as folklore. It is, perhaps,
more reasonable to limit folklore to the creative aspects of a society, as reflected in its day-to-day life and expressed in material or non-material forms, rather than referring purely to theform of transmission, whether written or oral.” Lihat Ibid. halaman 7
40 Ibid, halaman 8-9
58
a. Literatur Tradisional (Folk Literature)
Berbagai bentuk cerita rakyat dan dongeng, mite serta tahyul yang
populer dalam satu komunitas. Selain itu dapat pula berupa
anekdot, cerita pendek pepatah, permainan teka-teki dan berbagai
bentuk lainnya yang populer.
Umumnya, literatur tradisional disampaikan lisan, namun ada juga
sebagian yang kemudian diabadikan dalam bentuk tulisan, dan ada
juga sebagian yang sudah ada dalam bentuk tulisan sejak awal.
b. Praktik Tradisional (Folk Practices)
Segala bentuk praktik yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-
hari dalam komunitas tradisional tertentu. Baik berupa kebiasaan,
ritual, festival dan berbagai bentuk lainnya.
c. Seni dan budaya Tradisional (Folk arts or artistic folklore)
Termasuk yang bersifat performing arts seperti lagu dan tarian
tradisional. Dapat pula bersifat non-performing arts seperti lukisan,
ukiran, rajutan, pakaian dan sebagainya.
d. Pengetahuan Tradisional (Folk Science and Technology)
Berbagai metode dan pengetahuan yang digunakan dalam
masyarakat tradisional. Mulai dari metode pengobatan, arsitektur
hingga pembuatan barang kerajinan. Bersifat teknologi.
59
2. Pengertian Ekspresi Budaya Tradisional Dari Sudut Pandang Pakar
Hukum
Perbedaan definisi juga terjadi ketika kita bicara mengenai masalah
perlindungan folklor. Tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam ilmu
budaya, ketika kita mesti bicara dari sudut pandang perlindungan pun, banyak
silang pendapat antara para ahli yang terlibat. Oleh karena itu sejak
pertengahan 1980-an, baik WIPO dan UNESCO telah berusaha menyatukan
berbagai pendapat dan pemikiran yang berbeda dalam masalah perlindungan
terhadap Ekspresi Budaya Tradisional.
Salah satu usaha untuk menyatukan berbagai pikiran dan pemahaman
berbeda tersebut dilakukan WIPO dan UNESCO antara lain dalam pertemuan
Group of Experts on The Protection of Expressions of Folklore by Intellectual
Property pada tahun 1982. Lewat pertemuan ini diperoleh definisi folklor
sebagai obyek perlindungan, yaitu adalah41 :
“Folklore (in broader sense traditional and popular folk culture) is a
group-oriented and tradition-based creation of groups and individuals
reflecting the expectations of community as an adequate expression of
its cultural and social identity; its standards are transmited orally, by
imitation or by other means. Its forms include, among others,
language, literature, music dance, games, mythology, rituals, customs,
handicrafts, architecture and other arts.”
Definisi ini segera menuai kritik karena dianggap terlalu sempit dalam
memahami konsep perlindungan terhadap folklor dalam bentuk ekspresi
budaya sendiri. Sebab dalam prakteknya, folklor sendiri tidak hanya
41 Michael Blakeney, Protecting Traditional Cultural Expressions : The International Dimension,halaman 3
60
mencakup ekspresi budaya saja, tapi juga dapat berbentuk technological
know-how dalam lingkup Pengetahuan Tradisional.
Karena itu kemudian diperkenalkan istilah yang disebut “Expression of
Folklore.” Istilah ini digunakan untuk mendefinisikan bentuk folklor secara
khusus, yaitu folklor sebagai bentuk ekspresi budaya. Dalam Model
Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore
Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982 istilah ini
digunakan untuk menjelaskan42:
““Expressions of folklore” means poductions consisting of
characteristic elements of traditional artistic heritage developed and
maintained by a community of [name of the country] or by individuals
reflecting the traditional artistic expectations of such a community, in
particular :
1. verbal expressions, such as: folk tales, folk poetry, and riddles;
2. musical expressions, such as folk songs and instrumental music;
3. expressions by action, such as folk dances, plays, and artistic
forms or rituals; Whether or not reduced to a material form; and
4. tangible expressions, such as:
- productions of folk art, in particular, drawings, paintings,
carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork,
metalware, jewelry, basket weaving, needlework, textiles,
carpets, costumes;
- musical instruments
- architectural forms;”
Definisi dari istilah ekspresi folklor (Expression of Folklore) dalam Model
Provision 1982 inipun tidak dapat dianggap baku. Definisi ini tidak berusaha
mengkaji secara mendalam pengertian dari Ekspresi Budaya Tradisional,
42 Lihat Section 2 dari WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection ofExpressions of Folklore against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982
61
tetapi lebih berfokus pada bentuk-bentuk Ekspresi Budaya Tradisional yang
dapat dilindungi.
Usaha penyempurnaan selanjutnya adalah dengan ditambahkan
karakteristik tertentu yang dianggap menjadi ciri dari Ekspresi Budaya
Tradisional sebagai usaha untuk melengkapi definisi yang telah ada. Dalam
Revised Draft Provision For The Protection of Traditional Cultural
Expressions/Expressions of Folklore didefinisikan bahwa :
““Traditional cultural expressions” or “expressions of folklore” are
any forms, whether tangible and intangible, in which traditional
culture and knowledge are expressed, appear or are manifested, and
comprise the following forms of expressions or combinations thereof:
1. verbal expressions, such as: stories, epics, legends, poetry, riddles
an other narratives; words, signs, names, and symbols;
2. musical expressions, such as songs and instrumental music;
3. expressions by action, such as dances, plays, ceremonies, rituals
and other performances, whether or not reduced to a material form;
and,
4. tangible expressions, such as productions of art, in particular,
drawings, designs, paintings (including body-painting), carvings,
sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware,
jewelry, baskets, needlework, textiles, glassware, carpets, costumes;
handicrafts; musical instruments; and architectural forms;
which are:
- the products of creative intellectual activity, including individual and
communal creativity;
- characteristic of a community’s cultural and social identity and
cultural heritage; and
- maintained, used or developed by such community, or by individuals
having the right or responsibility to do so in accordance with the
customary law and practices of that community.”
Ciri khas Ekspresi Budaya Tradisional tersebut meliputi bentuknya sebagai
produk dari aktivitas kreatif intelektual, baik individu maupun komunal.
Selain itu Ekspresi Budaya Tradisional memiliki karakteristik sebagai warisan
62
budaya, identitas sosial dan budaya suatu masyarakat. Serta Ekspresi Budaya
Tradisional dilestarikan, digunakan dan dikembangkan oleh masyarakat adatt
pemiliknya atau individu-individu yang diberi hak untuk itu.
Berdasar berbagai perbedaan pengertian yang ada, baik dari sudut
pandang pakar kebudayaan maupun sudut pandang perlindungan hukum
diatas, secara umum dapat kita simpulkan ciri dari Ekspresi Budaya
Tradisional adalah43 :
- Diteruskan dari satu generasi ke genrasi lain baik secara lisan
maupun lewat peniruan.
- Mencerminkan identitas budaya dan sosial sautu masyarakat
- Memiliki karakteristik sebagai suatu warisan masyarakat
- Pembuatnya anonim (author unknown) atau/dan oleh individu-
individu dalam masyarakat secara bersama-sama memiliki hak,
tanggung jawab maupun ijin untuk melakukan itu.
- Diciptakan bukan untuk tujuan komersial, namun sebagai bentuk
ekspresi keagamaan atau ekspresi kebudayaan
- Terus menerus berubah, berkembang, dan tercipta kembali
(recreated) dalam masyarakat tersebut.
Dari ciri-ciri diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa Ekspresi Budaya
Tradisional merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat
adat pemiliknya.
43 WIPO Secretariat, Intellectual Property and Traditional Cultural Expressions/Folklore, halaman5
63
3. Kaitan Antara Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan
Tradisional
Baik Ekspresi Budaya Tradisional maupun Pengetahuan Tradisional
(Traditional Knowledge) pada awalnya dianggap sebagai satu kesatuan
holistik dalam bentuk folklor. Pemisahan antara keduanya baru muncul
belakangan, namun inipun tidak lepas dari berbagai kritik. Seperti yang
diungkapkan dari sudut pandang pakar kebudayaan, baik Ekspresi Budaya
Tradisional maupun Pengetahuan Tradisional tidak dapat dipisahkan karena
keduanya merupakan bagian dari identitas sosial dan budaya masyarakat adat
yang kompleks. Karena itu banyak pakar kebudayaan yang menolak untuk
memisahkan Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional.
Berbeda dengan sudut pandang pakar kebudayaan, apabila kita bicara
dari sudut pandang perlindungan terhadap kebudayaan itu sendiri, pemisahan
antara keduanya jelas diperlukan. Pemisahan ini terjadi dalam kedudukan
Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional sebagai Kekayaan
Intelektual Tradisional, hingga pemahaman dalam konsep Hak Kekayaan
Intelektual-lah yang berlaku.
Pemisahan antara Ekspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan
Tradisional dalam upaya perlindungan terhadap keduanya, dilakukan karena
bentuk perlindungan yang diberikan juga berbeda. Perlindungan terhadap
Pengetahuan Tradisional bersifat perlindungan terhadap bentuk substansi dari
know-how, keahlian, praktek, dan pembelajaran dalam konteks budaya
tradisional. Hingga perlindungan Pengetahuan Tradisional lebih dekat dengan
64
bentuk perlindungan seperti Paten dan rahasia dagang. Berbeda dengan bentuk
perlindungan terhadap Pengetahuan Tradisional, perlindungan terhadap
Ekspresi Budaya Tradisional sebagai bentuk ekspresi dari budaya tradisional
tersebut lebih bersifat pada perlindungan hasil kreatifitas dan ekspresi budaya
dan seni. Hingga perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional lebih dekat
dengan bentuk perlindungan seperti Hak Cipta.
Dalam prakteknya kemudian pun, dua bentuk perlindungan ini dapat
saling melengkapi dan tumpang tindih terhadap satu sama lain. Misalkan
perlindungan terhadap batik. Teknologi pembuatan batik tersebut, dalam
artian mulai dari tenunan kain hingga metode “mbatik” dapat dilindungi lewat
Pengetahuan Tradisional. Sementara pola desain dan corak desain batik
tersebut dapat dilindungi dalam bentuk Ekspresi Budaya Tradisional. Hal ini
tidak berbeda jauh dengan HKI konvensional. Seperti software komputer
misalkan, yang dapat dilindungi baik oleh Hak Cipta maupun perlindungan
Paten44.
44 WIPO Secretariat, Op.cit., halaman 28
65
BAB III
METODE PENELITIAN
Skripsi sebagai suatu penulisan ilmiah membutuhkan suatu metodologi
penelitian dalam proses penyusunannya. Suatu metodologi penelitian dalam
penelitian hukum tersebut sangat penting dalam penyusunan, pengolahan, dan
analisa data yang terkumpul dalam proses penyusunan suatu skripsi. Lewat
metodologi penelitian diharapkan suatu skripsi memenuhi standar ilmiah yang
layak, baik secara kualitatif maupun kuantatif.
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan ilmiah
dibidang hukum adalah metodologi penelitian hukum. Penelitian hukum itu
bertujuan untuk membina kemampuan dan ketrampilan para mahasiswa dan
para sarjana hukum dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah, yang objektif,
metodik dan sistematik.1 Selanjutnya Soerjono Soekanto mendefinisikan
penelitian sebagai berikut:2
1. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan konstruktif yang dilakukan secara metodologis, sistematis
dan konsisten.
2. Metodologi berarti sesuai dengan metode atau ciri-ciri tertentu.
3. Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
1 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung:Mandar Maju, 1995), halaman 8
2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1991), halaman 42
66
Untuk melakukan suatu penelitian diperlukan data-data yang valid dan akurat,
sehingga dengan demikian penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Tanpa metodologi seorang peneliti tidak akan dapat menemukan,
menganalisa suatu masalah tertentu untuk menemukan suatu kebenaran,
karena pada prinsipnya metode merupakan pedoman pada ilmuwan untuk
mempelajari, menganalisa serta memahami persoalan yang dihadapi. Dengan
demikian dapatlah dikatakan, bahwa metodologi merupakan suatu unsur yang
mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.3
Untuk memperoleh pemecahan permasalahan atau guna mendapatkan
jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang telah dirumuskan diperlukan
adanya penelitian yang dilaksanakan secara sistematis. Penulisan hukum ini
juga menggunakan penelitian hukum yang normatif, yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder,
sehingga penelitian hukum sekunder dapat pula dikatakan sebagai penelitian
hukum kepustakaan. 4
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi
ini adalah :
3 Soerjono Soekanto, Ibid., halaman 74 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001) halaman 15.
67
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis normatif5, yaitu suatu penelitian yang berusaha
mensinkronisasikan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dengan kaidah-
kaidah yang berlaku dalam perlindungan hukum terhadap norma-norma atau
peraturan-peraturan hukum lainnya dengan kaitannya dalam penerapan
peraturan-peraturan hukum itu pada praktik nyatanya di lapangan.
Metode pendekatan di atas digunakan dengan mengingat bahwa
permasalahan yang diteliti berkisar pada berbagai instrumen hukum dan
peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan
peraturan lainnya serta hubungannya.
Segi-segi yuridis dalam penelitian ini adalah kajian berdasarkan
hukum internasional yang berkaitan Hak Kekayaan Intelektual (intellectual
Property Rights) pada umumnya dan Hak Kekayaan Intelektual tradisional
pada khususnya. Dalam penelitian ini, tidak hanya digunakan perundang-
undangan nasional yang berlaku, namun juga berbagai instrumen hukum
internasional yang mengatur hal terkait. Intrumen hukum internasional dan
peraturan-peraturan nasional tersebut antara lain :
1. United Nations Declaration of Human Rights
2. United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
3. United Nations International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights
5 Ibid, halaman 25
68
4. The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic
Works 1967
5. WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for Developing Countries
6. WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the
Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and
Other Prejudicial Actions
7. WIPO Performances and Phonograms Treaty
8. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta beserta
penjelasannya
9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek beserta
penjelasannya
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi-
geografis
11. Instrumen hukum Internasional dan instrumen hukum nasional lainnya.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif 6 yaitu riset yang menggambarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek
pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas. Selain
menggambarkan objek yang menjadi permasalahan juga menganalisa data
yang diperoleh dari penelitian dan mencoba untuk menarik kesimpulan yang
6 Ibid, halaman 26.
69
bukan merupakan kesimpulan umum. Jadi penelitian ini bertujuan untuk
memberikan gambaran mengenai perlindungan hukum terhadap Ekspresi
Budaya Tradisional (Traditional Cultural Expression/Expressions of
Folklore).
Penelitian yang dilakukan dalam hal ini yaitu penelitian kepustakaan
sekaligus karena penelitian ini dilakukan dengan mempelajari materi
kepustakaan yang berupa literatur baik buku-buku, tulisan, makalah mengenai
teori Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya dan Hak Kekayaan Intelektual
tradisonal pada khususnya maupun melalui media massa yang berkaitan
dengan pokok masalah terkait.
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder sesuai
dengan metode pendekatan yang dipakai. Dimana sumber data yang diperoleh
melalui studi kepustakaan dengan mempelajari literatur, dokumen resmi,
peraturan perundang-undangan, keputusan hakim/yurisprudensi dan berbagai
konvensi internasional yang berkaitan dengan obyek dan permasalahan yang
diteliti.
Adapun teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara
studi kepustakaan. Melalui studi kepustakaan ini dimaksudkan untuk mencari
teori-teori, konsepsi-konsepsi, pendapat para ahli, baik hukum maupun
disiplin ilmu lainnya sebagai landasan analisis terhadap pokok permasalahan
yang akan dibahas. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
70
studi kepustakaan ini juga diarahkan untuk mempelajari atau menganalisis
instrumen-instrumen hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang
akan diteliti. Adapun studi kepustakaan yang dimaksud dapat berupa data
sekunder di bidang hukum dan bidang ilmu lainnya dengan dilihat dari sudut
kekuatan mengikatnya, yaitu :
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat,
yang berkaitan dengan pengaturan Hak Kekayaan Intelektual
khususnya mengenai hal-hal terkait perlindungan ekspresi budaya
tradisional, terdiri dari :
a. Instrumen internasional seperti United Nations Declaration
on the Rights of Indigenous Peoples, Berne Convention on
Protection of Literary and Artistic Works, dan lain-lain;
b. Peraturan-peraturan mengenai Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) baik mengenai Merek, Hak Cipta, Indikasi-geografis
serta yang hak-hak eksklusif terkait lainnya.
c. Doktrin-doktrin atau pendapat para ahli hukum
d. Peraturan perundang-undangan maupun peraturan-
peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas.
71
2. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang merupakan karya para sarjana baik yang
telah dipublikasikan maupun belum, yang memeberikan penjelasan
tentang bahan hukum primer, antara lain berupa :
a. Hasil karya para sarjana, tulisan-tulisan atau pendapat para
pakar budaya maupun hukum, khususnya pakar Hak
Kekayaan Intelektual ;
b. Berbagai hasil-hasil penelitian;
c. Buku dan diktat mengenai Hak Kekayaan Intelektual dan
Hak Kekayaan Intelektual Tradisional;
3. Bahan Hukum tersier
Yaitu yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain yaitu :
a. Artikel surat kabar dan majalah yang memuat artikel terkait
masalah perlindungan budaya tradisional secara umumnya
dan Ekspresi Budaya Tradisional secara khusus ;
b. Kamus Hukum ;
c. Kamus Bahasa Inggris ;
D. Metode Analisis Data
Metode analisa yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode
kualitatif yaitu suatu penelitian yang mempergunakan data deskriptif analisis,
yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis maupun lisan, juga
72
perilaku yang nyata diteliti dan dipelajari sebagai suatu bagian yang
utuh7.Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dan penelitian
kepustakaan dikumpulkan yang kemudian dianalisa secara sistematis.
Analisis kualitatif ini ditujukan terhadap data-data yang sifatnya
berdasarkan kualitas, mutu dan sifat yang nyata berlaku dalam masyarakat.
Adapun jenis data yang dibutuhkan adalah data kualitatif yaitu proses
penyusunan, mengkategorisasikan data kualitatif, mecari pola atau tema
dengan maksud memahami maknanya. Data kualitatif sendiri terdiri atas kata-
kata yang tidak boleh menjadi angka-angka. Data-data yang terkumpul
dianalisa untuk mendapatkan kejelasan masalah yang akan dibahas.
Langakah-langkah analisa adalah sebagai berikut :
1. Editing
Adalah penelitian atau pengecekan terhadap bahan-bahan yang
masuk. Dalam proses editing ini dilakukan pembetulan data yang
salah, menambahkan dan melengkapi data yang masih kurang ;
2. Interpretasi
Adalah meninjau data dan bahan dalam konteks yang lebih luas
dan memberikan penafsiran terhadap gejala-gejala yang
tersembunyi di belakang data yang tertulis serta dihubungkan
dengan teori-teori dan ketentuan yang ada.
7 Soerjono Soekanto,Op.Cit ,Hal 250
73
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan
Intelektual Konvensional
1. Latar Belakang Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional
Kebudayaan tradisional pada dasarnya terletak dalam kesadaran individu,
komunitas bahkan identitas nasional dari suatu bangsa. Didalam kebudayaan tradisional
sendiri terkandung nilai-nilai ekonomi, nilai-nilai adat (termasuk spiritual), maupun nilai-
nilai komunal yang menjadi bagian penting baik dari suatu bangsa maupun masyarakat
tradisional yang menjadi bagian dari bangsa itu pada khususnya.
Seiring masuknya era globalisasi, bumi seakan semakin kecil. Jarak ruang dan
waktu yang menghilang karena perkembangan teknologi dan telekomunikasi serta
kemajuan jaman dan arus informasi. Demikian pula arus barang dan modal yang
menciptakan pasar bebas melintasi batas-batas negara, dimana setiap komoditas dan jasa
yang dapat dikomersilkan dijual.
Demikian pula dengan kebudayaan tradisional yang turut serta terglobalisasi
(Globalizationed). Baik ditengah arus informasi maupun sebagai komoditas yang
dipasarkan dalam perdagangan bebas. Akibatnya seringkali kebudayaan tradisional tidak
lagi secara ekslusif dikenal dalam satu kelompok masyarakat adat atau bahkan satu
bangsa saja, tapi juga bangsa lain atau bahkan seluruh dunia. Hal ini dipicu oleh
pertukaran budaya antarnegara yang dipicu oleh perkembangan keragaman kreativitas
manusia secara global1.
1 Kusnaka Adhimiharja, Jenis Pengetahuan tradisional dan Ekspresi Folklor Serta Karakteristiknya, (1 februari2007) halaman 1
74
Situasi ini memunculkan tantangan tersendiri bagi kekayaan budaya tradisional.
Akibatnya perbedaan dan keragaman kualitas budaya komunitas lokal di berbagai belahan
dunia termasuk di Indonesia, saat ini sedang menghadapi ancaman uniformitas melalui
teknologi baru, globalisasi budaya, dan perdagangan internasional berbasis pasar bebas.
Menurut Kusnaka Adhimiharja, hal ini menimbulkan tantangan-tantangan yang mesti
dihadapi bersama baik oleh negara dimana masyarakat adat bernaung maupun masyarakat
adat itu sendiri. Tantangan itu berupa 2:
a. Negara harus mampu menyediakan kebijakan yang mengelola secara
seimbang antara perlindungan, pemeliharaan, dan pengembangan keragaman
kekayaan intelektual tradisional sebaga warisan budaya. Hal demikian berlaku
juga bagi komunitas lain yang memiliki keragaman budaya sejenis.
b. Diperlukan adanya suasana keterbukaan yang bebas dalam semangat
pertemuan dan pertukaran pengalaman budaya antara masyarakat lokal
maupun pendatang yang akan memperkaya keragaman budaya itu.
c. Diperlukan adanya model pengelolaan dalam menengahi atau mediasi untuk
melakukan perlindungan, pemeliharaan dari warisan budaya tersebut dalam
keragaman budaya disatu pihak dan dilain pihak, adanya perkembangan
budaya nyata (living culture) yang merupakan produk kreatif dari keterbukaan
dan kebebasan tadi.
d. Perkembangan teknologi baru yang mendorong upaya pembaharuan produk
budaya tradisional yang perwujudannya berupa peniruan, pertukaran,
pengunaan baru atau diperbaharui yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Hal
ini berpengaruh terhadap kreativitas budaya tradisional itu sendiri.
2 Ibid, halaman 2
75
Salah satu contoh persoalan yang menjadi tantangan bagi banyak pihak adalah
masalah penyerobotan maupun pengunaan secara tak pantas terhadap berbagai bentuk
Kekayaan Intelektual Tradisional yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat.
Penyerobotan dilakukan dalam bentuk komersialisasi dan pengambilan keuntungan
sepihak yang merugikan nilai-nilai ekonomi masyarakat adat pemiliknya, terkadang
bahkan disertai klaim kepemilikan terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional tersebut
oleh pihak yang bukan pemilik aslinya. Penggunaan secara tak pantas terjadi dalam
bentuk pengunaan yang dilakukan tanpa menghormati nilai budaya dan adat yang
terkandung secara khusus serta masyarakat adat pada umumnya, baik mulai penggunaan
tanpa otorisasi hingga bentuk penggunaan yang sedemikian rupa hingga melecehkan
masyarakat adat pemiliknya. Baik masyarakat adat dari negara maju maupun negara-
negara dunia ketiga sering kali merasa dirugikan atas penyerobotan penggunaan tak
pantas yang terjadi.
Penyerobotan dan penggunaan tak pantas ini seringkali dilakukan baik oleh
peneliti maupun perusahaan multinasional dari negara maju dengan melakukan klaim dan
komersialisasi terhadap kekayaan budaya tradisional masyarakat adat secara serampangan
dan tidak bertanggung jawab. Beberapa kasus terkait penyerobotan terhadap Pengetahuan
Tradisional dan Keanekaragaman Hayati seperti kasus Turtumic Patent, Brasmanti Rice,
dan Neem Ree yang merupakan Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge)
masyarakat adat di India oleh Peneliti dari Universitas Mississippi dan Perusahaan
Multinasional Amerika di Kantor Paten Amerika (USPTO) dan Kantor Paten Eropa
(EPO), dan kasus Paten gandum Nep-Hal milik Suku Indian oleh Perusahaan
Multinasional Mensanto di Kantor Paten Eropa. Indonesia sendiri juga mengalami
masalah yang sama, dari 45 jenis obat penting yang terbuat dari tumbuhan di Amerika
76
Serikat, 14 diantaranya diambil dari kekayaan hayati (Genetic Resources) maupun
pengetahuan tradisional (Traditional Knowledge) masyarakat adat Indonesia3.
Persoalan serupa juga terjadi pada Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional
Cultural Expressions/Expressions of Folklore) sebagai salah satu bentuk dari Kekayaan
Intelektual Tradisional. Ekspresi Budaya Tradisional memiliki nilai budaya yang sangat
besar sebagai bentuk warisan budaya yang terus menerus berkembang bahkan dalam
masyarakat modern di penjuru dunia. Sementara disisi lain, mereka juga memegang peran
penting sebagai bagian dari identitas sosial dan wujud ekspresi budaya dari suatu
masyarakat adat.
Selain itu, Ekspresi Budaya Tradisional juga masih memiliki nilai ekonomi besar
yang berfungsi sebagai penunjang penghidupan masyarakat adat4. Sebagai contoh,
menurut laporan Pemerintah Australia melalui Department of Communications,
Information Technology and the Arts, seni dan kerajinan visual telah menjadi sumber
penghidupan bagi Suku Aborigin, baik seniman tradisional maupun masyarakat adat itu
sendiri. Diperkirakan nilai perdagangan seni dan kerajinan tradisional Aborigin mencapai
angka US$ 130 juta, dimana sekitar US$ 30 juta masuk ke masyarakat adat pemiliknya.
Sementara di Afrika Selatan, program penanggulangan kemiskinan “Investing in
Culture” bagi Suku Khomani San dilakukan dengan merevitalisasi industri kerajinan
tradisional sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian. Program ini sangat sukses
hingga setiap seniman tradisional Khomani San dapat memperoleh pendapatan rata-rata
US$ 600 pertahun, diiringi dengan turunnya tingkat kemiskinan dan juga pengangguran.
Dari kedua contoh ini, dapat kita simpulkan bahwa Ekspresi Budaya Tradisional tidak
3 Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelektual Prospek dan Tantangannya di Indonesia, (Yogyakarta : 11Maret 2005) halaman 10
4 WIPO Secretariat, Background Paper No. 1 – Consolidated Analysis of The Legal Protection of TraditionalCultural Expressions/Expressions of Folklore, (2 Mei 2003) halaman 29
77
dapat dipandang sebagai sekedar bagian dari masa lalu, namun merupakan tradisi budaya
yang hidup dan bermanfaat, terutama bagi masyarakat adat di berbagai negara.
Namun perkembangan teknologi modern terutama di bidang dapat menimbulkan
berbagai pengunaan secara tak pantas dari Ekspresi Budaya Tradisional yang ada.
Berbagai bentuk komersialisasi terhadap Ekspresi Budaya Tradisional terjadi bahkan
hingga tingkat global tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya. Komersialisasi ini juga
disertai dengan berbagai bentuk distorsi, pengubahan maupun modifikasi terhadap
Ekspresi Budaya Tradisional secara tidak pantas. Sebagai contoh adalah kasus Bulun
Bulun v Nejlam Pty Ltd 5, dimana seniman Aborigin Australia mengugat sebuah
perusahaan tekstil yang mengeluarkan kaos bergambar karya lukisan tradisional "Magpie
Geeseand Water Lillies at the Waterhole" tanpa seijin penciptanya. Kasus lain adalah
serupa adalah kasus Foster v Mountford6, dimana Suku Pitjantjatjara menuntut penulis
sebuah buku teks Antropologi berjudul Nomads of the Desert yang dianggap melecehkan
nilai budaya dan adat istiadat Suku Pitjantjatjara karena menampilkan foto dari gambar
tradisional yang dianggap sakral dan rahasia. Selain kasus-kasus diatas, kasus serupa juga
terjadi belakangan ini di indonesia, walaupun belum ada penyelesaian secara hukum.
Kasus ini berawal dari pengunaan lagu tradisional Rasa Sayange sebagai jingle iklan Visit
Malaysia tanpa otorisasi masyarakat adat Maluku sebagai pemiliknya, hingga memancing
kontroversi antara dua negara karena muncul anggapan telah terjadi pelecehan terhadap
budaya tradisional Indonesia.
Kasus-kasus diatas hanyalah sebagian dari kasus-kasus penyerobotan dan
pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional secara tidak pantas. Baik dalam bentuk
komersialisasi tanpa menghormati hak-hak ekonomi masyarakat adat pemilikinya, atau
bahkan dalam bentuk pengunaan yang tak pantas hingga dapat dikatakan sebagai
5 Michael Blakeney, Intellectual Property in The Dreamtime-Protecting the Cultural Creativity of IndigenousPeople, (9 November 1999) halaman 4
6 Ibid., halaman 8
78
pelecehan terhadap nilai-nilai budaya dan adat tradisional yanag menjadi bagian dari
Ekspresi Budaya Tradisional tersebut.
Secara umum, WIPO dalam Background Paper No. 1 – Consolidated Analysis of
The Legal Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore
memberikan contoh-contoh bentuk penyerobotan dan penggunaan secara tak pantas
terhadap Ekspresi Budaya Tradisional yang terdiri atas7 :
a. Segala bentuk komersialisasi terhadap gambar tradisional baik berupa lukisan,
lukisan tubuh (body paintings atau tatto), lukisan dinding (petroglyph) yang
dilakukan oleh pihak luar tanpa seijin dari pihak masyarakat adat pemiliknya.
b. Segala bentuk rekaman, adaptasi, maupun aransemen ulang terhadap lagu dan
musik tradisional serta kemudian dipublikasikan pada khalayak umum oleh
pihak luar tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya.
c. Sastra tradisional lisan maupun tulisan, baik dalam bentuk puisi maupun cerita
rakyat yang kemudian dibuat dalam bentuk tertulis, diterjemahkan, dan
dipublikasikan oleh pihak luar oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat adat
pemiliknya.
d. Komersialisasi terhadap alat musik tradisional yang kemudian diadaptasi
maupun dimodifikasi atau bahkan diganti namanya hingga kehilangan bentuk
asli dan nilai budayanya. Serta produksi replika alat musik tradisional untuk
dijual sebagai cendramata turis oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat adat
pemiliknya.
e. Peniruan dan komersialisasi terhadap desain rajutan maupun kerajinan tekstil
tradisional oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya.
7 WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 31
79
f. Rekaman, adaptasi maupun pertunjukan kesenian tradisional dalam bentuk
cerita, drama, musik maupun tarian tanpa seijin masyarakat adat pemiliknya.
g. Publikasi pertunjukan kesenian tradisional baik berupa lagu dan tarian dalam
bentuk foto yang kemudian ditampilkan ke khalayak umum.
h. Reproduksi seni dan kerajinan tradisional dalam bentuk barang-barang modern
seperti kaus, kartu pos, minuman ringan, cangkir, gelas mug dan sebagainya
yang kemudian dijual. Hingga dikhawatirkan seni dan kerajinan tersebut
kehilangan nilai-nilai budayanya.
i. Usaha pengumpulan, pengoleksian, disseminasi dan riset terhadap budaya
masyarakat adat oleh pihak luar yang dikhawatirkan dapat menimbulkan
terjadinya penyerobotan dan penggunaan secara tak pantas.
j. Untuk tujuan komersialisasi, dan agar mengesankan unsur etnik, dilakukan
usaha reproduksi gaya maupun metode tradisional dalam proses pembuatan
benda-benda non-tradisional oleh pihak luar.
k. Pengunaan, publikasi dan reproduksi dari benda maupun seni budaya yang
memiliki nilai sakral maupun rahasia oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat
adat pemiliknya.
l. Pengunaan kata-kata yang memiliki nilai budaya tradisional seperti
“tohunga”, “mata nui”, “pontiac”, “cherokee”, “billabong”, “tomahawk”,
“boomerang”, “tairona”, “vastu”, ”ayurveda”, ‘gayatri”, “siddhi”, “yoga”,
dan “rooibos” untuk tujuan komersial oleh pihak luar tanpa seijin masyarakat
adat pemiliknya.
Tampak jelas jika berbagai bentuk pelanggaran, penyerobotan dan pengunaan
tidak pantas terhadap Ekspresi Budaya Tradisional itu dibiarkan terjadi tanpa ada usaha
menangani, mengendalikan dan mengatasi maka akan berdampak buruk. Dampak itu
80
tidak hanya dirasakan oleh komunitas masyarakat adat pemilik Ekspresi Budaya
Tradisional tersebut yang merasa hak-haknya dirampas dan nilai budaya dan identitas
sosialnya dilecehkan. Dampak paling buruk akan menimpa Ekspresi Budaya Tradisional
itu sendiri yang akan perlahan terdistorsi dan kehilangan nilai-nilai budaya dan adat
istiadat yang luhur, berubah menjadi sekedar komoditas komersial belaka.
Inilah yang melatar belakangi berbagai tuntutan akan dibentuknya suatu rezim
perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang layak. Disadari bahwa Ekspresi Budaya
Tradisional juga harus dilindungi mengingat kerentanannya terhadap berbagai bentuk
penyerobotan dan penggunaan yang tak pantas. Sebab Ekspresi Budaya Tradisional
merupakan bagian dari penting dari kehidupan masyarakat adat pemiliknya dan memiliki
kandungan nilai budaya yang kaya dan harus dijaga.
2. Pendekatan Dalam Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional
Berkaitan dengan persoalan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional,
berdasarkan hasil penelitian dari WIPO Fact-finding Missions on Intellectual Property
and Traditional Knowledge (1998-1999) yang dilakukan oleh WIPO di 28 negara di
kawasan Pasifik Selatan, Afrika Timur dan Selatan, Karibia, Asia Selatan, Afrika Barat,
Amerika Utara, Tengah dan Selatan, dan Arab (tidak termasuk Indonesia). Bentuk
pendekatan perlindungan yang diharapkan terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional
secara umum dan Ekspresi Budaya Tradisional secara khusus dapat disimpulkan dalam
tiga jenis, yaitu meliputi8 :
a. Perlindungan Kekayaan Intelektual untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
(IP protection to support economic development). Disadari bahwa banyak
komunitas masyarakat adat yang berharap agar dapat diterapkannya
perlindungan terhadap Kekayaan Intelektual atas hasil kreativitas dan inovasi
8 Ibid., halaman 15
81
yang didasarkan pada tradisi budaya mereka. Perlindungan tersebut diberikan
atas pengunaan komersial dari Kekayaan Intelektual Tradisional mereka oleh
pihak luar. Dengan begitu maka mereka dapat memperoleh keuntungan
komersil yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi mereka sendiri.
b. Perlindungan Kekayaan Intelektual untuk mencegah pengunaan yang tidak
dikehendaki oleh pihak luar dari komunitas masyarakat adat tersebut (IP
protection to prevent unwanted use by others). Hingga dengan begitu segala
bentuk penggunaan dan komersialisasi terhadap warisan budaya yang
dilakukan secara tidak pantas atau bahkan melecehkan oleh pihak luar dapat
dihindari. Contohnya : (i) pengunaan Kekayaan Intelektual Tradisional oleh
pihak luar yang dibuat dengan sengaja seakan berhubungan erat dengan
masyarakat adat pemiliknya; (ii) pengunaan yang secara tidak pantas, tidak
layak, dan melecehkan terhadap nilai-nilai budaya; dan (iii) pengunaan
Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat sakral dan rahasia, yang digunakan
secara tidak pantas atau bahkan dipublikasikan tanpa otorisasi ke masyarakat
umum.
Dua pendekatan perlindungan diatas dapat juga disebut dengan istilah
perlindungan positif (positive protection). Bertujuan memberikan perlindungan utuh dan
menyeluruh terhadap hak-hak dan kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual atas warisan
budaya tradisional tersebut.
c. Strategi defensif dalam perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional (Defensive
strategies to protect Traditional Cultural Expressions). Strategi ini berfungsi
untuk mencegah penerapan rezim HKI terhadap warisan budaya tradisional.
Hingga berbagai bentuk warisan budaya tradisional tersebut tetap berada
dalam ranah public domain sebagai warisan budaya milik bersama tanpa ada
82
satu pihak pun yang mengklaim hak-hak eksklusif atasnya. Bentuk
perlindungan ini lebih berfokus pada pelestarian nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam Kekayaan Intelektual Tradisional yang hidup ditengah
masyarakat.
Pendekatan terakhir ini dapat disebut dengan istilah perlindungan defensif
(defensive protection). Bentuk perlindungan ini berada di luar kerangka Hak Kekayaan
Intelektual, lebih berfokus untuk mencegah agar warisan budaya pada umumnya dan
Ekspresi Budaya Tradisional pada khususnya tidak hilang atau punah. Tujuannya untuk
menjaga keutuhan nilai-nilai budaya yang hidup sembari tetap menjaga keberadaan
Ekspresi Budaya Tradisional tersebut dalam ranah public domain yang dapat diakses dan
digunakan siapa saja. Konsep perlindungan ini tidak bermaksud untuk memperoleh
berbagai macam bentuk Hak atas Kekayaan Intelektual maupun hak-hak ekslusif lainnya
atas Kekayaan Intelektual Tradisional tersebut, bahkan oleh masyarakat adat pemiliknya
sekalipun.
Diantara ke dua jenis pendekatan diatas, yang menjadi fokus utama pembahasan
skripsi ini adalah pendekatan dalam lingkup perlindungan positif (positive protection).
Pendekatan ini didasarkan pada suatu bentuk perlindungan dalam kerangka Hak
Kekayaan Intelektual. Dimana berbagai bentuk Ekspresi Budaya Tradisional dianggap
sebagai suatu bentuk dari Kekayaan Intelektual yang dimana daripadanya dapat
diterapkan hak-hak yang bersifat eksklusif.
Tujuan utama pendekatan perlindungan positif sangat jelas, yaitu untuk
melindungi hak-hak eksklusif masyarakat adat terkait Kekayaan Intelektual Tradisional
yang mereka miliki. Perlindungan positif diberikan atas hak untuk turut serta memperoleh
hasil dari segala bentuk komersialisasi Kekayaan Intelektual Tradisional yang merupakan
hasil karya kreativitas intelektual mereka yang berlandaskan nilai-nilai budaya dan
83
identitas sosial yang hidup. Perlindungan juga diberikan terhadap pengunaan yang tidak
diinginkan serta pengunaan yang tidak pantas terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional
mereka oleh pihak-pihak yang berada di luar komunitas masyarakat adat dan konteks
budaya masyarakat tersebut.
3. Upaya Perlindungan Positif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam
Kerangka Hak Kekayaan Intelektual Konvensional
Seperti diungkapkan sebelumnya, bentuk perlindungan dalam rezim Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan bentuk perlindungan positif (positive protection).
Ada dua aspek dalam lingkup perlindungan positif. Aspek pertama yaitu bagaimana cara
masyarakat adat pemegang hak atas Ekspresi Budaya Tradisional mencegah pengunaan
secara tak pantas ataupun tanpa otorisasi oleh pihak ketiga. Aspek kedua adalah
bagaimana cara masyarakat adat mengunakan nilai ekonomi Ekspresi Budaya Tradisional
tersebut sebagai sumber penghidupan mereka. Dengan begini, sebagai contoh,
perlindungan positif dalam kerangka rezim HKI mengijinkan komersialisasi dan
pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional oleh masyarakat adat pemiliknya, namun disisi
lain melarang komersialisasi dan pengunaan tanpa otorisasi dan secara tak pantas oleh
pihak luar.
Seiring dengan perkembangan rezim HKI Konvensional, tuntutan agar disusunnya
suatu rezim dan bentuk perlindungan yang layak juga tumbuh. Namun disisi lain, disadari
juga bahwa rezim HKI modern sulit untuk memenuhi tuntutan tersebut karena
karakteristiknya yang menekankan pada perlindungan nilai-nilai ekonomi. Namun
tuntutan akan perlunya rezim perlindungan yang layak bagi Kekayaan Intelektual
Tradisional terutama dalam hal ini Ekspresi Budaya Tradisional tidak surut, namun
sebaliknya semakin kuat dan semakin ditanggapi oleh pihak-pihak terkait. Hal ini dapat
84
dilihat dengan semakin banyak diadopsinya mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional ke dalam instrumen-instrumen HKI Konvensional.
Penulis sendiri dalam skripsi ini sengaja mengunakan istilah Hak Kekayaan
Intelektual “Konvensional” (HKI Konvensional) untuk membedakan dengan rezim HKI
yang bersifat khusus dan unik (Sui Generis). Terlebih setelah adanya TRIPS (Agreement
on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) tahun 1994 yang kemudian
menjadi landasan rezim HKI di negara-negara anggota WTO. Rezim HKI Konvensional
memiliki karakteristik yang menekankan pada perlindungan nilai-nilai ekonomi, suatu
bentuk perlindungan yang menekankan pada aspek komersialitas dalam kaitannya dengan
bisnis dan perdagangan (Trade-related).
Satu karakteristik penting HKI adalah sifatnya yang lintas batas negara. Sejak
awal kelahirannya, sistem HKI bertujuan sebagai salah satu antisipasi terhadap upaya
komersialisasi suatu Kekayaan Intelektual oleh pihak yang tak diinginkan, termasuk
pihak asing. Alasannya, jika persoalan ini berada dalam teritori suatu negara, maka tidak
akan ada persoalan karena sepenuhnya dapat diselesaikan dengan hukum positif negara
yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlindungan yang efektif dan efisien dengan sistem
HKI atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional hanya dapat terwujud
jika telah dibentuk satu atau beberapa kesepakatan internasional yang merupakan payung
bagi penegakan hukum HKI atas karya-karya tradisional tersebut9.
Karena itu telah disadari betul perlunya pembentukan suatu instrumen
internasional bersifat legally-binding yang mengatur mekanisme perlindungan Ekspresi
Budaya Tradisional, terutama dalam kerangka perlindungan positif. Instrumen
internasional dianggap perlu dengan pemikiran untuk memberi mekanisme perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional di tingkat internasional, terutama untuk mengatasi
9 Basuki Antariksa, Pedoman Umum Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisionaldan Ekspresi Budaya Tradisional, (Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata:2007), halaman 8
85
pelanggaran-pelanggaran dalam pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat
lintas batas negara.
Upaya penyusunan instrumen internasional ini pada awalnya diletakan dalam
ranah HKI Konvensional. Pertama kali dilakukan pada tahun 1967 lewat The Berne
Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Konvensi Berne 1967) yang
mengatur konsep kepemilikan terhadap karya cipta anonim. Walaupun tidak secara
khusus mengatur mengenai perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional, ketentuan dalam
Konvensi Berne 1967 ini dapat diterapkan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional,
terutama dalam hal ini Ekspresi Budaya yang tidak diketahui penciptanya.
Selain Konvensi Berne 1967, perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional juga
berusaha dilakukan lewat WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT). WPPT
memberi perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka hak
penampil (performer’s rights), terutama setelah dimasukan definisi khusus bahwa yanag
dikategorikan sebagai penampil (performer) adalah juga termasuk seniman tradisional
yang menampilkan karya seni tradisional.
Dalam rezim HKI Konvensional kemudian juga diperkenalkan konsep Indikasi-
geografis (Geographical Indication). Kedua konsep HKI ini berangkat dari pemahaman
bahwa suatu Kekayaan Intelektual merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan
daerah asalnya. Karena itu diperlukan suatu perlindungan terhadap keterkaitan antara
daerah asal tersebut dan Kekayaan Intelektual yang berasal daripadanya. Konsep ini
diperkenalkan sebagai bagian dari Hukum Merek lewat Agreement on Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).
Berbagai instrumen hukum internasional dalam rezim HKI Konvensional yang
turut mengatur mengenai mekanisme perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional
pada khususnya tersebut meliputi :
86
a. The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1967
The Stockholm Diplomatic Conference for Revision of the Berne
Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (atau Konvensi
Berne 1967) merupakan upaya perintis untuk memasukkan mekanisme
perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka hukum Hak Cipta.
Walau sama sekali tidak mengunakan istilah Ekspresi Budaya Tradisional,
seni budaya maupun folklore, upaya tersebut dilakukan dengan memasukkan
pasal yang berkaitan dengan perlindungan terhadap karya cipta yang tak
diketahui penciptanya. Pada 15 ayat 4 Konvensi Berne 1967, dinyatakan
bahwa :
“(a) In the case of unpublished works where the identity of the author
is unknown, but where there is every ground to presume that he is a
national of a country of the Union, it shall be a matter for legislation
in that country to designate the competent authority who shall
represent the author and shall be entitled to protect and enforce his
rights in the countries of the Union.”
Dengan adanya pasal ini, maka perlindungan terhadap karya cipta anonim,
yaitu karya cipta yang tidak diketahui siapa penciptanya dapat dilakukan,
dengan cara diwakilkan pada negara tempat asal dari karya tersebut.
Selanjutnya pada pasal 15 ayat (4) huruf b Konvensi Berne 1967
dijelaskan prosedur pendaftaran atas karya cipta anonim :
“(b) Countries of the Union which make such designation under the
terms of this provision shall notify the Director General [of WIPO] by
means of a written declaration giving full information concerning the
authority thus designated. The Director General shall at once
communicate this declaration to all other countries of the Union.”
87
Pendaftaran diwakilkan oleh negara asal karya cipta anonim atau pencipta
karya cipta anonim tersebut, dilakukan dengan cara memberi notifikasi resmi
kepada pihak yang diberi wewenang oleh konvensi tersebut, yaitu dalam hal
ini adalah Direktorat Jendral WIPO.
Maka setelah didaftarkan, karya cipta anonim pun juga mendapat
perlindungan selayaknya karya biasa. Negara sebagai pemegang hak atas
karya cipta anonim memperoleh hak-hak eksklusif atas karya cipta tersebut.
Hak-hak eksklusif yang diatur dalam Konvensi Berne 1967 termasuk hak
untuk translasi (Pasal 8), hak reproduksi dalam berbagai bentuk termasuk
rekaman audio visual (Pasal 9), hak untuk menampilkan drama, drama-
musikal, serta karya musik (Pasal 11), hak untuk untuk menyiarkan dan
mengkomunikasikan kepada publik (Pasal 11bis), hak untuk menampilkan
penampilan publik (public recitation) (Pasal 11ter), hak untuk membuat
adaptasi, aransemen, maupun perubahan terhadap karya cipta (Pasal 12), hak
untuk membuat adaptasi dan reproduksi sinematografis terhadap karya cipta
(Pasal 14), hak “droit de suite” berkaitan dengan karya seni dan manuskrip
asli (Pasal 14ter) serta hak moral (Pasal 6bis).
Mesti kita ingat, tujuan utama Pasal 15 Konvensi Berne ini pada
dasarnya bukanlah secara khusus bertujuan untuk melindungi Ekspresi Budaya
Tradisional, tetapi hanya untuk perlindungan terhadap karya cipta anonim.
Karya cipta anonim sendiri, lepas dari karakteristik khas dimana sang pencipta
sebenarnya tidak diketahui, tetaplah sebuah karya cipta. Hingga demikian,
persyaratan yang melekat selayaknya pada Hak Cipta konvensional, seperti
jangka waktu perlindungan, keaslian dan bentuk yang berwujud juga melekat
pada karya cipta anonim. Hal ini menjadi hambatan tersendiri. Sebab mesti
88
kita sadari bahwa Ekspresi Budaya Tradisional memiliki karakteristik berbeda
dengan karya cipta dalam Hak Cipta. Ekspresi Budaya Tradisional misalkan
tidak mengenal konsep keaslian maupun jangka waktu perlindungan
selayaknya karya cipta yang daitur dalam Konvensi Berne 1967.
Pada akhirnya dapat kita simpulkan. Perlindungan terhadap karya cipta
yang penciptanya anonim lewat Konvensi Berne 1967 ini merupakan
terobosan. Sebab sebelumnya karya cipta bersifat individualistik dan baru
dapat dilindungi apabila jelas siapa penciptanya. Sementara Ekspresi Budaya
Tradisional bersifat komunal. Bukan hasil karya perorangan namun hasil
kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat adat.
b. WIPO Performances and Phonograms Treaty 1996
WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) merupakan
kelanjutan dari International Convention for the Protection of Performers, the
Producers of Phonograms and Broadcasting Organizations 1961 (Konvensi
Roma 1961). Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan terhadap hak-
hak terkait dalam hal ini secara khusus adalah hak penampil (performer’s
right) atas karya yang ditampilkan dan produser yang merekam penampilan
dari karya tersebut (producer of phonogram). WPPT sendiri juga turut
memberikan perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional, mengingat
tarian tradisional, puisi, drama, lagu dan musik serta berbagai bentuk kesenian
tradisional lainnya muncul sebagai bagian dari pertunjukan hidup (live
performance) yang ditampilkan. Oleh karenanya, perlindungan terhadap hak
penampil atas karya pertunjukan yang ditampilkan juga dapat digunakan
dalam konteks perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional.
89
Perkembangan yang membedakan antara WPPT dengan Konvensi
Roma 1961 adalah definisi dari penampil tersebut. Pada Pasal 3(a) Konvensi
Roma 1961, definisi penampil dibatasi dalam :
““performers” means actors, singers, musicians, dancers, and other
persons who act, sing, deliver, declaim, play in, or otherwise perform
literary or artistic works.”
Sementara dalam WPPT, definisi penampil ditarik lebih jauh lagi,
mengingat karya seni yang ditampilkan tidak hanya dapat dibatasi dalam
bentuk “literary and artistic works” yang bermakna kontemporer. Karena itu
pada Pasal 2(a) WPPT, penampil didefisinikan sebagai :
““performers” are actors, singers, musicians, dancers, and other
persons who act, sing, deliver, declaim, play in, interpret, or otherwise
perform literary or artistic works or expressions of folklore;”
Dengan digunakannya definisi penampil diatas, maka WPPT juga turut
memberikan perlindungan terhadap seniman tradisional yang menampilkan
pertunjukan Ekspresi Budaya Tradisional. Adapun bentuk perlindungan
terhadap penampil yang diberikan oleh WPPT meliputi :
1) Moral Rights of Performers (Pasal 5) adalah bentuk perlindungan terhadap
hak dari penampil sebagai bagian tak terpisahkan dari pertunjukannya,
termasuk hak untuk melindungi pertunjukan yang ia tampilkan dari segala
bentuk perubahan dan distorsi yang dapat mencederai reputasinya sebagai
penampil.
2) Economic Rights of Performers in Their Unfixed Performances (Pasal 6)
adalah hak eksklusif bagi penampil untuk memberi otorisasi bagi segala
bentuk penyiaran (broadcasting) maupun publikasi (communication to the
public) dari pertunjukan yang ia tampilkan. Termasuk disini hak untuk
90
memberi otorisasi terhadap segala bentuk perekaman (fixation) dari
pertunjukannya.
3) The Right of Reproduction (Pasal 7) adalah hak untuk memberikan
otorisasi atas segala bentuk reproduksi, baik langsung maupun tak
langsung, dari rekaman (phonogram) pertunjukannya.
4) The Right of Distribution (Pasal 8) adalah hak untuk memberikan otorisasi
atas segala bentuk publikasi rekaman pertunjukannya, baik karya asli
maupun reproduksi, kepada umum melalui penjualan maupun bentuk
pemindahan hak miliki lainnya (other transfer of ownership).
5) The Right of Rental (Pasal 9) adalah hak untuk memberi otorisasi
penyewaan komersil rekaman pertunjukan, baik karya asli maupun
reproduksinya, kepada publik dengan melihat ketentuan dalam hukum
nasional yang berlaku.
6) The Right of Making Available (Pasal 10) adalah hak untuk memberikan
otorisasi segala bentuk pengadaan rekaman pertunjukan (making available
to the public). Hingga dengan begitu masyarakat umum dapat menyimak
(access) rekaman tersebut sesuai keinginan mereka.
Walaupun WPPT dapat dianggap sebagai salah satu upaya memberikan
perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional, namun fokus utama dari
WPPT tetap lah terhadap perlindungan dari hak sang penampil (performer’s
right). Perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dalam WPPT
sendiri diberikan dengan anggapan bahwa suatu karya seni pertunjukan
merupakan bagian tak terpisahkan dari penampilnya. Perlindungan terhadap
hak penampil inipun juga memiliki jangka waktu perlindungan yang telah
ditentukan sebelumnya.
91
Disisi lain, perlindungan yang diberikan terhadap Ekspresi Budaya
Tradisional pun masih sangat terbatas dalam lingkup “phonogram” yang
didefinisikan sebagai “the fixation of the sounds of a performance or of other
sounds, or of a representation of sounds, other than in the form of a fixation
incorporated in a cinematographic or other audiovisual work.”(Pasal 2 huruf
(b)) Maka dapat dikatakan bahwa perlindungan yang diberikan WPPT
membutuhkan suatu bentuk “fixation,” sementara Ekspresi Budaya tradisional
seringkali tidak memiliki bentuk “fixation” karena sifatnya yang berangkat
dari tradisi lisan yang hidup. Selain itu WPPT tidak melindungi aspek visual,
namun hanya melindungi aspek suara dari Ekspresi Budaya Tradisional atau
Ekspresi Budaya Tradisional yang memiliki aspek suara (sound) dan
perwakilan dari suara (representation of sound).
Bentuk Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi dalam WPPT
masih sangat terbatas dalam bentuk seni pertunjukan tradisional (traditional
performing arts). Padahal Ekspresi Budaya Tradisional juga hadir dalam
bentuk ekspresi seni lainnya seperti lukisan, gambar, atau hasil kerajinan.
Hingga dapat dikatakan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang
diberikan oleh WPPT masih bersifat parsial dan tidak dapat dikatakan mampu
melindungi berbagai jenis Ekspresi Budaya Tradisional secara keseluruhan.
Maka karena itu dalam konferensi diplomatik yang mengadopsi WPPT dan
WIPO Copyright Treaty (WCT) pada Desember 1996, the WIPO Committee
of Experts on a Possible Protocol to the Berne Convention and the Committee
of Experts on a Possible Instrument for the Protection of the Rights of
Performers and Producers of Phonograms merekomendasikan bahwa10 :
10 WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 23
92
“provision should be made for the organization of an international
forum in order to explore issues concerning the preservation and
protection of expressions of folklore, IP aspects of folklore, and the
harmonization of the different regional interests”.
c. WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.
Upaya lain yang juga dapat diaplikasikan untuk melindungi Ekspresi
Budaya Tradisional dalam rezim Hak Kekayaan Intelektual Konvensional
adalah kerangka Indikasi-geografis (Geographical Indication). Konsep
Indikasi-geografis dan Indikasi Asal ini sebenarnya masih baru dalam rezim
Hak Kekayaan Intelektual dan menjadi bagian dari ketentuan yang masuk
dalam kerangka pengaturan Agreement on Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS) sebagai salah satu bagian dari
mekanisme perlindungan HKI pada WTO.
Indikasi-geografis pertama kali diperkenalkan dalam Model Law on
Mark tahun 1967, selanjutnya konsep ini dikembangkan dalam WIPO Special
Model Law for Developing Countries on Appelations of Origins and
Indications of Sources. Dalam model perlindungan hukum ini dinyatakan
bahwa suatu Indikasi-geografis harus memiliki karakteristik di bidang kualitas
dan reputasi. Kata “Geografis” (Geographical) sendiri tidak hanya sekedar
bermakna sebagai daerah dalam pengertian sempit sebagai suatu lokasi
geografis. Namun juga tidak dapat melepaskan konsep bahwa daerah itu
memiliki keterkaitan erat dengan berbagai faktor, baik dalam hal ini faktor
alam (natural factors), faktor manusia (human factors) atau faktor keduanya
(natural and human factors)11.
Lebih lanjut konsep Indikasi-geografis sebagai penanda asal dari suatu
barang juga turut masuk secara tidak langsung kedalam Paris Convention for
11 Budi Santoso, Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Semarang : Pustaka Magister, 2008), halaman 68
93
the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris 1979). Pada Pasal 10
Konvensi Paris 1979 dinyatakan bahwa :
“(1) The provisions of the preceding Article shall apply in cases of
direct or indirect use of a false indication of the source of the
goods or the identity of the producer, manufacturer, or merchant.
(2) Any producer, manufacturer, or merchant, whether a natural
person or a legal entity, engaged in the production or manufacture
of or trade in such goods and established either in the locality
falsely indicated as the source, or in the region where such locality
is situated, or in the country falsely indicated, or in the country
where the false indication of source is used, shall in any case be
deemed an interested party.”
Dari ketentuan Pasal ini dinyatakan bahwa setiap negara wajib melindungi
produsen, pembuat (manufacturer) maupun pedagang dari pengunaan indikasi
palsu (false indications) terhadap sebuah barang. Indikasi palsu ini digunakan
untuk memalsukan asal barang, identitas produser, pembuat maupun pedagang
dari barang tersebut.
Perlindungan dari pengunaan indikasi palsu dan menyesatkan ini
kemudian berkembang menjadi konsep Indikasi-geografis. Perkembangan ini
diawali dengan kesadaran bahwa suatu barang tidak dapat dilepaskan dalam
kaitannya dengan daerah penghasilnya serta masyarakat asal barang tersebut.
Keterkaitan antara keduanya seringkali menjadi jaminan kualitas dan keaslian
barang tersebut, serta menjadi tanda pengenal dan tanda kepemilikan yang
sangat populer ditengah masyarakat. Maka akrab diingatan kita istilah seperti
“Ukiran Jepara,” “Batik Pekalongan,” atau “Pahatan Asmat.” Inilah yang
dimaksud sebagai Indikasi-geografis. Bahwa hubungan antara barang dan
daerah geografis atau masyarakat penghasilnya adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan.
94
Konsep Indikasi-geografis ini pertama kali diperkenalkan oleh WTO
melalui Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPS) pada tahun 1994. Definisi dari Indikasi-geografis dinyatakan dalam
Pasal 22 ayat (1) mengenai Protection of Geographical Indications, bahwa :
“(1) Geographical indications are, for the purposes of this Agreement,
indications which identify a good as originating in the territory of
a Member, or a region or locality in that territory, where a given
quality, reputation or other characteristic of the good is essentially
attributable to its geographical origin.”
Definisi TRIPS menyatakan bahwa Indikasi-geografis adalah indikasi yang
yang digunakan untuk mengidentifikasi asal suatu barang, baik dari suatu
wilayah, daerah maupun masyarakat daerah tersebut. Indikasi-geografiss
berasal darai kesadaran bahwa terdapat keterkaitan erat secara esensial antara
reputasi, kualitas maupun karakteristik suatu barang dengan daerah
penghasilnya.
Lebih lanjut pada Pasal 22 ayat (2) TRIPS mewajibkan setiap negara
anggota WTO untuk melindungi Indikasi-geografis. Dinyatakan bahwa :
“(2) In respect of geographical indications, Members shall provide the
legal means for interested parties to prevent:
(a) the use of any means in the designation or presentation of a
good that indicates or suggests that the good in question
originates in a geographical area other than the true place of
origin in a manner which misleads the public as to the
geographical origin of the good;
(b) any use which constitutes an act of unfair competition within
the meaning of Article 10bis of the Paris Convention (1967)”
Pasal 22 ayat (2) ini mengatur mengenai bentuk perlindungan yang diberikan
terhadap Indikasi-geografis. Negara anggota WTO diwajibkan menyediakan
sarana dan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan dari
segala bentuk pelanggaran berupa :
95
- Pengunaan cara apapun dalam memberikan petiunjuk atau kesan
menyesatkan kepada masyarakat bahwa suatu barang berasal dari daerah
lain selain daerah asal barang tersebut.
- Setiap pengunaan Indikasi-geografis yang merupakan bentuk persaingan
curang (unfair competition) sesuai yang didefinisikan pada Pasal 10bis
Konvensi Paris 1979.
Adapun, definisi dari persaingan curang dalam Konvensi Paris 1979
didefinisikan pada Pasal 10bis ayat (2) dan (3) yang menyatakan :
“(2) Any act of competition contrary to honest practices in industrial
or commercial matters constitutes an act of unfair competition.
(3) The following in particular shall be prohibited:
(i) all acts of such a nature as to create confusion by any means
whatever with the establishment, the goods, or the industrial or
commercial activities, of a competitor;
(ii) false allegations in the course of trade of such a nature as to
discredit the establishment, the goods, or the industrial or
commercial activities, of a competitor;
(iii) indications or allegations the use of which in the course of
trade is liable to mislead the public as to the nature, the
manufacturing process, the characteristics, the suitability for
their purpose, or the quantity, of the goods.”
Maka dapat kita simpulkan bahwa definisi dari persaingan curang yang
dilarang dalam pengunaan Indikasi-geografis seperti yang diatur oleh Pasal
10bis meliputi segala bentuk persaingan yang bertentangan dengan praktek
perdagangan dan industri yang jujur. Lebih lanjut, perbuatan yang jelas
dilarang berkaitan dengan persaingan curang meliputi :
- Segala bentuk perbuatan yang dapat menimbulkan kebingungan tentang
pihak pesaing, barang, ataupun kegiatan perdagangan dan industrial
pesaing.
96
- Persangkaan palsu (false allegations) yang bertujuan untuk
mendiskeditkan pihak pesaing, barang, ataupun kegiatan perdagangan dan
industrial pesaing.
- Persangkaan atau petunjuk yang yang dapat menyesatkan publik mengenai
kondisi, proses pembuatan, karakteristik, kelayakan, serta kuantitas dari
barang.
Memang pada awalnya Indikasi-geografis seringkali digunakan
terhadap produk pertanian dan pangan. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya Indikasi-geografis berpotensi besar memberikan perlindungan
terhadap beberapa bentuk Ekspresi Budaya Tradisional seperti kerajinan
tradisional. Lewat Indikasi-geografis, keterkaitan antara suatu produk dengan
daerah asalnya, baik karena faktor geografis maupun faktor manusia ataupun
keduanya diakui dan dilindungi, termasuk dalam hal ini pengakuan terhadap
nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang terkandung dalam Ekspresi Budaya
Tradisional yang dapat dianggap sebagai bentuk dari faktor manusia juga.
Disisi lain perlu kita ingat pula bahwa perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional dalam kerangka Indikasi-geografis ini sangat terbatas.
Perlindungan hanya diberikan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional yang
memiliki wujud nyata sebagai suatu bentuk produk barang (goods). Ekspresi
Budaya Tradisional yang bersifat ekspresi lisan misalnya, sulit untuk
dilindungi oleh Indikasi-geografis.
Perlindungan Indikasi-geografis sendiri pada dasarnya berada dalam
kerangka perlindungan Merek. Maka selayaknya kerangka Merek,
perlindungan Indikasi-geografis lebih berfokus untuk menjaga pelanggaran-
pelaggaran serta pengunaan tak layak terhadap penanda Indikasi-geografis
97
yang digunakan. Perlindungan Indikasi-geografis sendiri, misalkan, tidak
mengatur lebih jauh hal-hal seperti perlindungan terhadap pengunaan produk
barang Ekspresi Budaya Tradisional. Tidak ada pula perlindungan terhadap
produk barang Ekspresi Budaya Tradisional dari berbagai bentuk distorsi,
perubahan maupun pengunaan tak layak yang bersifat melecehkan.
Sebagian besar instrumen-instrumen HKI Konvensional tersebut memang tidak
secara khusus mengatur mengenai mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional
ini. Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, rezim HKI Konvensional, baik dalam
kerangka WIPO maupun WTO lebih banyak memprioritaskan pada perlindungan
Kekayaan Intelektual yang berkaitan dengan industri dan perdagangan. Namun diantara
berbagai mekanisme perlindungan HKI Konvensional tersebut, tetap terdapat mekanisme-
mekanisme yang berpeluang untuk dapat diterapkan dalam melindungi Ekspresi Budaya
Tradisional, walau masih bersifat sangat umum dan tidak secara utuh.
4. Hambatan dan Tantangan Upaya Perlindungan Ekspresi budaya Tradisional
dalam Kerangka Rezim Hak Kekayaan Intelektual Tradisional
Upaya pengunaan pendekatan perlindungan positif lewat rezim Hak Kekayaan
Intelektual juga tidak lepas dari berbagai hambatan dan tantangan. Memang, baik
Kekayaan Intelektual Konvensional dan Kekayaan Intelektual Tradisional sama-sama
merupakan bentuk hasil kreasi manusia bersumberdaya dan bermodal intelektual dalam
rangka memenuhi hajat hidupnya. Namun pada dasarnya tetaplah Kekayaan Intelektual
Konvensional dan Kekayaan Intelektual Tradisional memiliki perbedaan yang mau tidak
mau turut memberi pengaruh besar dalam upaya perlindungannya.
Sejauh ini, ada tiga bentuk hambatan dan tantangan yang dapat kita identifikasi.
Hambatan dan tantangan ini muncul seiring usaha memberikan bentuk perlindungan
98
Ekspresi Budaya Tradisional ke dalam rezim HKI. Hambatan dan tantangan tersebut
meliputi :
a. Perbedaan karakteristik dasar antara Hak Kekayaan Intelektual Konvensional
dan Hak Kekayaan Intelektual Tradisional.
Masalah ini dapat dikatakan sebagai hambatan dan tantangan terbesar
dalam upaya perlindungan Kekayaan Intelektual Tradisional dalam rezim
HKI. Masalah ini tidak hanya dijumpai dalam upaya perlindungan ekpresi
budaya tradisional, tapi juga perlindungan berbagai bentuk lain dari Kekayaan
Intelektual Tradisional.
Perbedaan ini muncul karena karakteristik rezim HKI konvensional
dibentuk dari budaya komersialitas dan individualisme yang tumbuh di
masyarakat barat. Hingga dapat dikatakan bahwa bentuk kekayaan intelektual
yang dilindungi oleh rezim HKI konvensional berangkat dari model kekayaan
intelektual barat. Memang, ketika rezim ini diberlakukan untuk hal-hal yang
bersifat individual seperti perlindungan karya-karya intelektual maupun
kekayaan intelektual lainnya dengan sumber dan riwayat yang jelas, maka
rezim itu efektif dan menjanjikan. Namun apabila rezim HKI konvensional
diterapkan pada karya- karya intelektual tradisional yang sifatnya lisan dan
komunal, tentulah rezim itu tidak akan bersahabat lagi. Ia justru berpotensi
melahirkan permasalahan baru yang juga sangat rumit dan bisa merugikan12.
Seperti telah kita kutip sebelumnya, menurut Menurut James
Danandjaya, ada karakteristik kekayaan intelektual tradisional yang sangat
12 Rizaldi Siagian, Jenis-jenis Pemanfaatan Atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor Yang PerluDilindungi dan Implikasi Pemanfaatannya, halaman 1
99
menonjol dan membedakannya dari kekayaan intelektual barat yang dilindungi
oleh HKI konvensional, yaitu berupa13:
(1) Penyebaran dan pewarisan bersifat lisan, yaitu disebarkan lewat tutur kata
dari mulut ke mulut (atau suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat,
dan alat pembantu pengingat-mnemonics devices.) dari satu generasi ke
generasi lain.
(2) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap, ada
dalam bentuk standar, disebarkan dalam kolektif tertentu, dalam waktu
yang cukup lama (paling sedikit dua generasi)
(3) Hadir dalam varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara
penyebarannya yang bersifat lisan. Sehingga muncul faktor lupa dan
mudah berubah.
(4) Bersifat anonim, dalam arti tidak diketahui lagi secara pasti siapa
penciptanya.
(5) Bentuknya rumus atau berpola, dalam artian seringkali memiliki bentuk
dasar yang bersifat baku.
(6) Mempunyai fungsi kegunaan dalam kehidupan kolektif, contohnya seperti
cerita rakyat yang memiliki fungsi sebagi pelipur lara, protes sosial,
hingga ekspresi religius.
(7) Pralogis, dalam artian memiliki sistem logika sendiri yang terkadang
tidak sesuai dengan logika standar (logika Aristotleian)
(8) Milik kolektif bersama dari satu komunitas, bukan milik perorangan.
(9) Bersifat polos, spontan, lugu, vulgar hingga seringkali terlihat kasar,
porno dan bersifat SARA. Hal ini dapat dimengerti karena kekayaan
13 James Dananjaya, Perlindungan Hukum Terhadap Folklor di Indonesia, halaman 2-3
100
intelektual tradisional merupakan proyeksi emosi manusia yang paling
jujur manifestasinya.
Sementara menurut Tim Lindsey dkk., masalah paling mendasar
mengenai perlindungan HKI Tradisional adalah mengenai konsep hak komunal
itu sendiri. Seperti kita ketahu, rezim HKI konvensional mengunakan konsep
perlindungan hak individu dan tidak mengenal konsep perlindungan hak
komunal. Hak individu ini berkaitan erat dengan tujuan pemanfaatan ekonomi
yang menjadi prioritas perlindungan dari rezim HKI modern.
Padahal banyak karya-karya intelektual tradisional diciptakan
masyarakat tradisional secara berkelompok. Berarti banyak pula orang yang
memberi sumbangan pada produk akhir. Banyak pula pengetahuan tradisional
yang ditemukan secara kebetulan maupun dikembangkan oleh orang-orang
berbeda selama jangka waktu yang sangat panjang. Bahkan lebih penting lagi :
masyarakat adat seringkali tidak mengenal konsep hak individu, harta
berfungsi sosial dan bersifat umum. Dengan demikian pencipta maupun
inventor dari karya-karya intelektual maupun pengetahuan yang bersifat
tradisional seringkali tidak mementingkan hal-hal individu ataupun hak
kepemilikan individual atas karya mereka14.
Hingga dapat kita simpulkan, Kekayaan Intelektual Tradisional dan
Kekayaan Intelektual konvensional tetaplah memiliki perbedaan karakteristik
dasar, yaitu meliputi15:
14 Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, ed., Hak Kekayaan Intelektual: SuatuPengantar, (Bandung : PT Alumni, 2002), halaman 261
15 Kholis Roisah, “Perlindungan hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional,” Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum FH UNDIP edisi Juli-September 2006, halaman 359
101
Tabel 2: Perbedaan karakteristik antara rezim Kekayaan HKI Konvensional dan HKI
Tradisional
Rezim Hak Kekayaan Intelektual
konvensional
Rezim Hak Kekayaan Intelektual
Tradisonal
Hasil kreasi individu
Hak individu/kepemilikan
individu
Jelas pencipta/penemunya
Perubahan bersifat
pembaharuan terhadap nilai
dan konsep tradisional
Eksploitasi alam secara
intensif
Orientasi komersil/pasar
Kompetensi dan kompetisi
terhadap pasar bebas
Nilai-nilai ilmiah mendasari
perubahan dan tuntutan
kebutuhan
Perlindungan terbatas
Bersifat universal
Hasil kreasi kelompok
masyarakat
Tidak mengenal kepemilikan
individu
Tidak jelas
penciptanya/penemunya
Konservasi terhadap nilai dan
konsep tradisional
Konservasi alam dan
pengunaan berkelanjutan
Kompetensi dan kompetisi
bersifat lokal
Nilai-nilai tradisional
mendasari tuntutan kebutuhan
Perlindungan tidak terbatas
Terikat dengan karakter dan
nilai adat istiadat
102
b. Sempitnya lingkup perlindungan rezim Hak Kekayaan Intelektual
Konvensional terhadap Ekspresi Budaya Tradisional.
Selama ini umumnya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional
masuk dalam kerangka hukum Hak Cipta, baik lewat Konvensi Berne 1967,
Tunis Model Law 1976 hingga WPPT 1996. Namun dapat dikatakan bahwa
usaha perlindungan dalam kerangka hukum Hak Cipta ini juga menemui
banyak persoalan berarti. Jika upaya perlindungan dalam kerangka hukum
Hak Cipta ini berusaha terus dilakukan maka akan timbul setidaknya empat
masalah pokok, menurut Joseph Githaiga, yaitu meliputi16 :
(1) Masalah kepemilikan Hak Cipta dan pencipta
Masalah ini berkaitan dengan siapa pencipta dan siapa pemilik Hak Cipta
atas suatu karya cipta. Dalam Hak Cipta pada rezim HKI Konvensional,
pencipta adalah orang atau beberapa orang yang bersama-sama melahirkan
ciptaan. Sementara pada terdapat juga definisi pemegang Hak Cipta yaitu
adalah si pencipta ataupun pihak yang menerima hak tersebut. Pada HKI
Tradisional, seringkali tidak diketahui secara jelas siapa yang menciptakan
karya cipta tradisional itu. Seringkali penciptanya anonim dan sumbernya
tidak jelas. Hingga dengan begitu sulit pula mengetahui siapa yang berhak
memegang Hak Cipta.
(2) Keaslian Hak Cipta
Salah satu prinsip utama Hak Cipta dalam HKI Konvensional adalah
orisinalitas. Bahwa suatu karya cipta haruslah benar-benar orisinil dan asli
diciptakan oleh si pencipta. Hingga dengan begitu suatu ciptaan hanya
dapat dilindungi apabila unsur keaslian tersebut terpenuhi. Sementara pada
16 Joseph Githaiga, Intellectual Property Law and the Protection of Indigenous Folklore and Knowledge, (Juni1998)
103
HKI Tradisional, seringkali karya cipta tradisional hanyalah
pengembangan dari karya cipta tradisional yang sudah ada dan dikenal
sebelumnya, atau bahkan hanya sekedar varian. Hingga karena itu faktor
orisinalitasnya seringkali sulit dipertanggungjawabkan.
(3) Bentuk karya cipta
Dalam HKI Konvensional dikenal prinsip perlindungan Hak Cipta hanya
dapat diberikan apabila karya cipta yanag dilindungi tersebut memiliki
bentuk yang berwujud (fixation). Seperti buku, film, lukisan, rekaman
musik dan rekaman koreografi tarian. Sementara dalam HKI Tradisional,
suatu karya cipta tradisional seringkali bersifat lisan, dan dipertunjukkan
maupun diwariskan ke generasi berikutnya secara turun temurun tanpa
pernah direkam dalam suatu bentuk berwujud.
(4) Jangka waktu perlindungan
Dalam Hak Cipta pada HKI Konvensional, dikenal konsep jangka waktu
perlindungan terhadap suatu karya cipta. Dimana lewat jangka waktu
perlindungan tersebut, haka eksklusif pencipta terhadap karya ciptanya
dibatasi dalam jangka waktu tertentu. Setelah itu maka karya cipta tersebut
menjadi milik umum (public domain). Sementara dalam HKI Tradisional,
suatu karya cipta dikembangkan dan digunakan terus secara turun temurun
hingga bahkan mencapai ribuan tahun demi kelangsungan budaya dan
tradisi masyarakat. Jika jangka waktu perlindungannya dibatasi, maka
sulit memberikan perlindungan ketika karya cipta tradisional itu
diturunkan dan digunakan oleh generasi-generasi selanjutnya.
Selain itu, masalah yang muncul dari konsep perlindungan Ekspresi
Budaya Tradisional dalam kerangka hukum Hak Cipta adalah bentuk dari
104
Ekspresi Budaya Tradisional sendiri yang tidak hanya berbentuk ekspresi seni
seperti lagu, tarian, musik dan sastra lisan. Ekspresi Budaya Tradisional dapat
muncul dalam bentuk lain seperti hasil kerajinan, pola rajutan atau, hingga
simbol dan gambar yang memiliki nilai sakral dan rahasia.
Ambil contoh misalkan pola gambar yang digunakan dalam produksi
kaos bermotif etnik. Apakah dia berada dalam kerangka Hak Cipta atau lebih
tepat berada di bawah desain industri? Bagaimana dengan merek yang
mengunakan istilah atau simbol etnik seperti “billabong” atau “cherokee,”
apakah berada di bawah hukum Hak Cipta atau hukum merek? Jika
perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional juga dilakukan dalam
kerangka hukum desain industri atau hukum merek, bagaimana bentuk
perlindungan yang dapat ditawarkan?
c. Kedudukan Ekspresi Budaya Tradisional sebagai bagian dari public domain.
Salah satu tantangan utama untuk memenuhi tuntutan perlindungan
terhadap Ekspresi Budaya Tradisional ini mengakar pada pandangan yang
hidup dalam HKI Konvensional terutama dalam prakteknya di negara-negara
maju. Bahwa Ekspresi Budaya Tradisional dan segala bentuk Kekayaan
Intelektual Tradisional lainnya merupakan bagian dari masa lalu, dan
karenanya tidak dapat dan tidak perlu dilindungi oleh rezim HKI, namun
merupakan bagian dari warisan budaya bersama dan berada dalam lingkup
public domain.
Pandangan ini beranggapan bahwa Ekspresi Budaya Tradisional dan
bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya haruslah tetap berada dalam
ranah public domain hingga dapat diakses dan digunakan oleh semua orang
tanpa kecuali. Hal ini dirasa perlu karena Kekayaan Intelektual tradisional
105
merupakan bagian penting dari identitas budaya dan warisan bersama umat
manusia. Masuknya Ekspresi Budaya Tradisional dalam wilayah public
domain berarti Ekspresi budaya Tradisional tersebut tidak dlindungi. Setiap
orang/pihak dapat memanfaatkannya tanpa perlu ijin ataupun pemenuhan hak
ekonomi kepada pencipta maupun pemiliknya.
Kekayaan Intelektual Tradisional juga merupakan salah satu sumber
kreativitas utama di tengah masyarakat. Banyak karya cipta modern dibangun
diatas landasan Kekayaan Intelektual Tradisional yang ada di masyarakat, baik
sebagai bentuk pengembangan maupun terinspirasi oleh nilai-nilai budaya dan
estetika yang terdapat dalam Kekayaan Intelektual Tradisional tersebut. Upaya
melindungi Ekspresi Budaya Tradisional dengan menerapkan suatu bentuk
HKI yang bersifat eksklusif justru dianggap memasung kreativitas yang dapat
muncul dari landasan Kekayaan Intelektual Tradisional tersebut. Kekayaan
Intelektual Tradisional yang dahulunya merupakan sumber kreativitas
masyarakat terpasung menjadi hak milik kelompok tertentu yang mengklaim
secara eksklusif sebagai pemiliknya.
Pandangan ini dianggap tidak toleran dan tidak sesuai dengan
kebutuhan negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang memiliki
masyarakat adat yang bergantung erat pada Kekayaan Intelektual Tradisional
yang mereka miliki. Sebab di belahan dunia ketiga, segala bentuk
penyerobotan dan penggunaan secara tak pantas dan tanpa otorisasi terhadap
kekayaan Intelektual Tradisional mereka oleh pihak luar sangat marak.
Sementara masyarakat adat pemiliknya tidak memperoleh kontribusi apa-apa
dari pengunaan Kekayaan Intelektual Tradisional mereka dan seakan terasa
“dirampok.” Hingga tak heran penggunaan Kekayaan Intelektual Tradisional
106
tanpa otorisasi dengan alasan bahwa Kekayaan intelektual tersebut berada
dalam ranah public domain dianggap oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu
yang tidak dapat dibenarkan secara moral, budaya maupun ekonomi.
Berbagai hambatan dan tantangan diatas setidaknya menyadarkan kita,
perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka rezim HKI Konvensional
dapat dilakukan walau tidak lepas dari berbagai kesulitan dalam penerapannya. Kesulitan
ini menyadarkan kita bahwa penerapan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam
rezim HKI Konvensional memiliki batasan-batasan tertentu. Batasan ini muncul karena
perbedaan karakteristik antara keduanya, hingga apabila dipaksakan justru akan
menimbulkan permasalahan baru yang juga sangat rumit dan bahkan bisa merugi.
Masalah ini muncul karena dalam rezim HKI Konvensional, obyek perlindungan
budaya tradisional hanya dipandang dari sudut komersialitas (perlindungan hak ekonomi)
dan individualisme (perlindungan hak individu). Akhirnya nilai-nilai pembangunan
ekonomi, nilai-nilai adat (termasuk spiritual) dan nilai komunal menjadi terlewatkan. Seni
budaya hanya dilihat sebagai obyek mati bukan subyek yang hidup dan terus
berkembang. Semangat substansial mengenai budaya sendiri pada akhirnya belum
tersentuh dan tampaknya belum terpahami dengan benar17. Sementara hasil karya
intelektual yang berasal dari HKI Tradisional dewasa ini menjadi komoditas yang
semakin laku dijual ditengah era globalisasi dan pasar bebas beriring dengan kemajuan
teknologi dan perkembangan jaman.
17 Rizaldi Siagian, Loc.cit.,
107
B. Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak Kekayaan
Intelektual Sui Generis
1. Upaya Perlindungan Positif Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Dalam
Kerangka Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis
Keberadaan berbagai tantangan dan hambatan tersebut diatas menunjukan kepada
kita bahwa upaya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional memang bukan sesuatu yang
mudah. Hingga tak heran banyak pihak berpendapat bahwa upaya penyusun mekanisme
perlindungan ekspresi Budaya Tradisional lewat rezim HKI Konvensional tidak akan
dapat berjalan efektif dan cukup. Dibutuhkan suatu rezim perlindungan yang mampu
melingkupi berbagai karakteristik dari Kekayaan Intelektual Tradisional terutama dalam
hal ini Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat khas, namun disisi lain tetap bertumpu
dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual.
Berangkat dari masalah ini, maka disadari akan perlunya dibentuk suatu kerangka
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis (HKI Sui Generis). Istilah Sui
Generis berasal dari bahasa latin yang berarti khusus atau unik. Unik disini dalam artian
bahwa kerangka perlindungan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dari
Kekayaan Intelektual pada umumnya, namun masih berada dalam ranah Hak Kekayaan
Intelektual. Dari sinilah konsep atau lebih tepatnya istilah HKI Sui Generis atau HKI
Tradisional dapat kita gunakan. yang sesuai dengan karakteristik Kekayaan Intelektual
Tradisional.
Upaya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka HKI Sui
Generis telah dirintis pertama kali lewat WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for
Developing Country 1976 dan WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on
the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other
Prejudicial Actions (Model Provisions 1982). Keduanya bukanlah instrumen hukum
108
internasional yang bersifat legally-binding seperti Konvensi (Convention) atau
Persetujuan (Agreement) tapi merupakan suatu model perlindungan hukum dan Model
Provisions yang menjadi panduan bagi tiap negara untuk menyusun kerangka
perlindungan Ekspresi Budaya Tradisionalnya masing-masing.
Unsur Sui-Generis dari kedua panduan pembentukan hukum ini sendiri terlihat
dari upaya pembentukan mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang
bersifat khusus dan utuh. Mekanisme perlindungan tersebut tidak lagi berada dalam
bentuk mekanisme HKI Konvensional yang dapat diaplikasikan kepada Ekspresi Budaya
Tradisional. Tapi berada sebagai mekanisme HKI Sui Generis, baik tertuang sebagai
bagian khusus dan pengecualian dalam pengaturan kerangka mekanisme HKI
Konvensional (contoh: Tunis Model Law 1976) maupun secara benar-benar khusus utuh
dan tersendiri sebagai mekanisme pengaturan HKI Sui Generis (contoh: Model Provisions
1982).
Instrumen hukum di bidang HKI Sui Generis yang turut mengatur mengenai
bentuk perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional tersebut meliputi :
a. Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries 1976
Upaya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dilanjutkan lewat
WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for Developing Country 1976
(Tunis Model Law). Tunis Model Law disusun oleh UNESCO bekerjasama
dengan WIPO sebagai panduan pembentukan hukum nasional yang mengatur
perlindungan Hak Cipta di dalam sistem hukum negara-negara berkembang.
Walaupun bertujuan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan akan rezim Hak
Cipta, namun Tunis Model Law juga turut membentuk mekanisme
perlindungan budaya dalam kerangka Hak Cipta dengan berbagai
pengecualian khusus yang bersifat Sui Generis.
109
Bentuk perlindungan yang ditawarkan dalam WIPO-UNESCO Model
Law on Copyright for Developing Country 1976 berupa :
1) Konteks dan tujuan perlindungan.
Dalam komentar nomor 39 dinyatakan bahwa berkaitan dengan “folklore,”
konteks dan tujuan perlindungan dalam Tunis Model Law adalah : “to
prevent any improper exploitation and to permit adequate protection of the
cultural heritage known as folklore which constitutes not only a potential
for economic expansion, but also a cultural legacy intimately bound up
with the individual character of the community.”
2) Obyek perlindungan
Obyek perlindungan dalam Tunis Model Law adalah “works of national
folklore.”
Definisi dari istilah “folklore” yang digunakan dalam istilah “works of
national folklore” (karya cipta folklor nasional) berpatokan pada Section
18(iv) yang menyatakan bahwa :
“(iv)"folklore" means all literary, artistic and scientific works created
on national teritory by authors presumed to be nationals of such
countries or by ethnic communities, passed from generation to
generation and constituting one of the basic elements of the
traditional cultural heritage.”
Dari definisi diatas, dapat kita pahami bahwa Tunis Model Law tidak
memisahkan antara Ekspresi Budaya Tradisional, Pengetahuan Tradisional
maupun Keanekaragaman Hayati, namun dianggap sebagai satu kesatuan
Kekayaan Intelektual Tradisional dalam kerangka works of national
folklore (karya cipta folklor nasional). Maka dapat dikatakan bahwa
Ekspresi Budaya Tradisional termasuk bentuk Kekayaan Intelektual yang
dilindungi dalam Tunis Model Law.
110
Istilah works of national folklore sendiri mengandung unsur “works”
(karya cipta) dan “folklore” yang menunjukan bahwa “works of national
folklore” ini berada dalam kerangka Hak Cipta, walaupun bersifat Sui
Generis.
3) Syarat perlindungan
Syarat perlindungan bagi works of national folklore dalam Tunis Model
Law tidak dicantumkan secara mendetail. Syarat perlindungan yang
dicantumkan dalam Tunis Model Law hanyalah syarat bahwa suatu karya
cipta dalam kerangka works of national folklore tidaklah harus asli
selayaknya syarat karya cipta dalam Hak Cipta biasa.
Selain itu dalam Section 1 (5bis) juga dinyatakan bahwa works of national
folklore dapat dilindungi walaupun tidak berada dalam suatu bentuk
perekamanan (fixation).
4) Pemegang hak
Dalam komentar nomor 39 dinyatakan bahwa pemegang hak atas works of
national folklore yang dilindungi adalah otoritas yang berwenang
menangani (competent authority) sebagai wakil dari masyarakat adat
pemiliknya.
5) Hak yang dilindungi
Dalam Tunis Model Law, hak yang dilindungi dalam kaitannya dengan
Ekspresi Budaya Tradisional diletakan secara khusus pada Section 6
mengenai Works of national folklore yang menyatakan bahwa :
“(1) In The case of works of national folklore, the rights reffered to in
section 4 and 5(1) shall be exercised by the competent authority as
defined in section 18.”
111
Pada Section 6(1) dinyatakan bahwa bentuk perlindungan terhadap “works
of national folklore” meliputi perlindungan terhadap dua hak, yaitu hak
ekonomi (Section 4) dan hak moral (Section 5(1)).
Hak ekonomi yang dilindungi dimana dinyatakan dalam Section 4 adalah :
“Subject to Sections 6 to 10, author of a protected works has the
exclusive right to do or authorize the following acts [in relation to the
whole work or a substantialpart thereof]
(i) To reproduce the work;
(ii) To make a translation, adaptation, arrangement, transformation of
the work;
(iii)To communicate work to public by performance or by
broadcasting.”
Sementara perlindungan terhadap hak moral dinyatakan dalam Section
5(1)) dimana :
(1) The authors has the right :
(i) to claim authorship, in particular that his authorship be
indicated in connection with any of the acts reffered to in
Section 4, except when the work is included incidentally or
accidentally when reporting current event by means of
broadcasting;
(ii) to object to, and to seek relief in connection with, any
distortion, mutilation, modification of and any other derogatory
action in relation to, his work, where such action would be or
is prejudicial to his honor or reputation.
Pengecualian perlindungan juga dapat diaplikasikan terhadap works of
national folklore yang digunakan oleh badan publik (public entity) untuk
tujuan non-komersil.
“(1bis) Subsection shall not apply when works of national folklore are
used by a public entity for non-commercial purpose”
Tunis Model Law juga melindungi hak ekonomi pemilik “works of
national folklore” lewat sistem domaine public payant yang dinyatakan
dalam Section 17.
112
6) Prosedur perlindungan
- Otoritas yang menangani
Sesuai ketentuan Section 6(1) dinyatakan bahwa yang berewenang
menangani perlindungan works of national folklore yang dilindungi adalah
otoritas yang berwenang menangani (competent authority).
Definisi dari otoritas berwenang (competent authority) ini dijabarkan
dalam Section 18(iii) yang menyatakan :
(iii) "competent authority" means one or more bodies, each
consisting of one or more persons appointed by the Goverment
for the purpose of excersing jurisdictions under the provisions
of this Law whenever any matter requires to be determined by
such authority.
- Prosedur pelaksanaan
Dalam komentar nomor 41 dinyatakan bahwa segala bentuk pengunaan
works of national folklore harus memperoleh otorisasi dari otoritas yang
berwenang (competent authority). Otorisasi tersebut dikeluarkan dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan serta negoisasi berbagai
kepentingan pihak terkait, baik pemilik works of national folklore maupun
pihak penguna works of national folklore tersebut termasuk didalamnya
mengenai keuntungan-keuntungan yang didapat dan kompensasi yang
diberikan. Hingga dapat diusahakan suatu bentuk pengunaan yang
memberi keuntungan bagi semua pihak.
Pada Section 6(3) dinyatakan bahwa :
(2) Copies of works of national folklore made abroad, and copies
of translations, adaptations, arrangements or other
transformations of works of a national folklore made abroad
without the authorization of the competent authority, shall be
neither imported nor distributed.
113
Maka works of national folklore baik dalam bentuk salinan, salinan
terjemahan, adaptasi dan perubahan ke dalam segala bentuk yang
dilakukan tanpa otorisasi dari otoritas berwenang (competent authority),
tidak boleh diimpor maupun didistribusikan.
Pada Section 17 dinyatakan bahwa dalam pengunaan works of national
folklore untuk tujuan komersial, otoritas yang berwenang berhak menarik
sejumlah pungutan dalam kerangka “Domaine Public Payant,” sejumlah
sekian persen yang telah ditentukan sebelumnya dari jumlah produksi
penguna works of national folklore. Dinyatakan dalam Section 17
mengenai "Domaine Public Payant" :
“The user shall pay to the competent authority ... percent of the
receipts produced by the use of works in the public domain or their
adaptation, including works of national folklore. The sums collected
shall be used for the following purposes :
(i) To promote institutions for the benefit of authors [and of
performers], such as societies of authors, cooperatives, guilds, etc.
(ii) To protect and disseminate national folklore”
Jumlah pembayaran bagi otoritas yang berwenang tersebut kemudian
digunakan untuk kepentingan komunitas, kelompok maupun institusi
penghasil karya cipta tersebut serta digunakan dalam upaya perlindungan
serta diseminasi terhadap warisan budaya nasional.
Tidak ada ketentuan lebih jauh yang mengatur mengenai prosedur
perlindungan dalam Tunis Model Law. Mekanisme perlindungan lebih
lanjut diserahkan pada masing-masing negara sesuai kebutuhannya
masing-masing.
- Sanksi dan penegakan
114
Sanksi dan penegakan terhadap pelanggaran atas pengunaan works of
national folklore diatur pada Section 15 mengenai Infringements and
sanctions. Dinyatakan dalam Section 15 tersebut bahwa :
“(1) Any person infringing any one of the rights protected under this
Law
(i) Shall be obliged by the court to cease such infringements;
(ii) Shall be liable for damages;
(iii) Shall, if the infringement was willful, be punishable by a fine
not exceeding ... or imprisonement not exceeding ... months or
both, provided that, in the case of recidivism, the above amount
or term or both may be doubled.
(2) Any infringement of any of these rights which is considered as
violation of the national cultural heritage may be curbed by all
legitimate means.
(3) Infringing copies, receipts arising from acts constituting an
infringements of these rights and any implements used for the
infringements shall be subject to seizure
(4) The material proof of such infringement of any one of the rights
may be provided by statements of police officers or by the certified
statements of the sworn agents of the organization of authors.”
Maka berdasar ketentuan Section 15, setiap bentuk pelanggaran hak dalam
pengunaan works of national folklore, maka dilakukan sanksi dan
penegakan terhadap pihak terkait berupa :
- Setiap pelaku diwajibkan untuk menghentikan setiap bentuk
pelanggaran yang dilakukannya.
- Setiap pelaku diwajibkan bertanggungjawab atas segala dampak dan
kerugian yang muncul dari pelanggaran tersebut.
- Jika diketahui bahwa pelanggaran tersebut terjadi karena niat pelaku,
maka pelaku dapat dipidana dengan pidana denda maupun pidana
penjara dengan jumlah yang ditentukan sesuai kebutuhan tiap negara.
- Setiap bentuk tindakan lain yang dianggap sebagai pelanggaran
terhadap warisan budaya tradisional, dapat ditangani secara hukum.
115
- Segala salinan, hasil, alat yang digunakan maupun keuntungan yang
diperoleh dari tindakan pelanggaran dapat disita oleh negara.
7) Jangka waktu perlindungan
Pada Section 6(2) dinyatakan bahwa :
“(2) Works of national folklore are protected by all means accordance
with subsection (1), without limitation in time.”
Maka perlindungan terhadap works of national folklore dilakukan tanpa
adanya batasan waktu perlindungan.
8) Hubungan dengan instrumen HKI lain
Sesuai ketentuan Section 2 mengenai Derivative works, yang menyatakan
bahwa :
(1) The following are also protected as original works :
…
(iv) works derived from national folklore
Maka berbagai karya yang merupakan karya turunan (derivative works)
dari works of national folklore, baik berupa adaptasi maupun karya yang
terinspirasi dianggap bukan sebagai works of national folklore, namun
sebagai karya cipta biasa di ranah Hak Cipta.
9) Perlindungan ditingkat regional dan internasional.
Pada Section 6(3) dinyatakan bahwa :
“(3) Copies of works of national folklore made abroad, and copies of
translations, adaptations, arrangements or other transformations
of works of a national folklore made abroad without the
authorization of the competent authority, shall be neither imported
nor distributed.”
Maka segala bentuk pelanggaran berupa duplikasi tanpa otorisasi terhadap
works of national folklore yang dilakukan diluar negara yang mengatur,
116
dilarang beredar di dalam negara yang mengatur dalam model
perlindungan hukum ini.
Selanjutnya dinyatakan dalam Section 16 (2) mengenai Field of
application of Law bahwa yaitu :
“(2) [Alternative X] This Law shall futhermore apply to all works
which by virtue of treaties entered into by the country, are to be
protected, as well as to works of national folklore.
(2) [Alternative Y] This Law shall futhermore apply to works :
(i) Of authors who are nationals of, or have their habitual
residence in countries;
(ii) First published in countries;
(iii) Of organizations; and
(iv) Of national folklore of countries.
Which with references to this subsection, shall be named in
approriate orders promulgated by the Goverment.”
Maka dapat kita simpulkan berdasar ketentuan dalam Section 16 (2)
[Alternative X] Tunis Model Law bahwa pelindungan juga diberikan
terhadap bentuk karya cipta yang dilindungi oleh instrumen hukum
internasional dimana negara tersebut menjadi anggota. Termasuk
didalamnya perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan
Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya.
Selanjutnya berdasar ketentuan dalam Section 16 (2) [Alternative X]
bahwa karya cipta yang dilindungi berdasar ketentuan negara yang
melindungi, termasuk adalah karya cipta warisan budaya nasional (works
of national folklore).
Model perlindungan dalam Tunis Model Law ini masih tidak terlepas
dari kritik. Terutama karena tidak dipisahkannya konsep antara Ekspresi
Buadaya Tradisional, Pengetahuan Tradisional dan Keanekaragaman Hayati
yang kemudian digeneralisir ke dalam satu definisi yaitu “works of national
117
folklore.” Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana misalnya Pengetahuan
Tradisional dengan aspek technological know-how-nya(yang dalam definisi
Section 18(iv) disebut dengan istilah scientific works) dapat dimasukan dalam
kerangka Hak Cipta dan bukan hukum Paten? Kritik lain adalah mengenai
otoritas berwenang (competent authority), siapa yang berhak mengatur dan
menentukan siapa otoritas berwenang itu serta bagaimana prosedur tugasnya
juga tidak dijelaskan lebih jauh dalam model perlindungan hukum ini.
Berbagai kritik ini memunculkan anggapan bahwa bentuk
perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam Tunis Model Law terasa
sangat sempit dan tidak cukup untuk memenuhi tuntutan perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional. Tunis Model Law seakan berusaha memasukkan
secara paksa Ekspresi Budaya Tradisional dalam sistim Hak Cipta dalam
rezim HKI Konvensional yang jelas memiliki karakter berbeda.
Karena itu dalam perkembangan selanjutnya disadari bahwa
dibutuhkan suatu bentuk model perlindungan hukum yang dapat memberikan
perlindungan Sui Generis secara lebih utuh dan khusus terhadap berbagai
bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional. Kekurang mampuan Tunis Model
Law dalam menjawab kebutuhan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional
pada khususnya memunculkan Model Provisions for National Laws on the
Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other
Prejudicial Actions yang dapat dianggap sebagai kelanjutan dari Tunis Model
Law sekaligus kelanjutan dari upaya membentuk mekanisme perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional yang efektif.
118
b. WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of
Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial
Actions
Pada tahun 1973, pemerintah Bolivia mengajukan permintaan kepada
UNESCO untuk menyusun suatu bentuk instrumen hukum internasional
bersifat legally-binding yang mengatur perlindungan Kekayaan Intelektual
Tradisional dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis.
Diharapkan instrumen ini kemudian dapat diadopsi sebagai protokol dalam
Universal Copyright Convention (UCC)18. Menanggapi usulan tersebut, WIPO
kemudian bersama-sama dengan WIPO membentuk suatu working groups
yang bertugas untuk mengkaji dan merumuskan suatu mekanisme
perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang layak.
Dalam perkembangan berikutnya, hasil pengkajian WIPO-UNESCO
working groups tersebut kemudian merumuskan pemikiran mengenai
mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang didasarkan pada19
: (i) dibutuhkan suatu bentuk perlindungan folklore yang pantas; (ii)
perlindungan tersebut dapat dikembangkan di tingkat nasional lewat bentuk
model perlindungan hukum; (iii) Model perlindungan hukum tersebut haruslah
bersifat menyeluruh (elaborated) hingga dapat diterapkan baik dalam suatu
tatanan hukum baru ataupun menjadi bagian pengembangan dari tatanan
hukum yang telah ada sebelumnya; (iv) perlindungan dalam Model
perlindungan hukum tersebut juga tidak menutup kemungkinan perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional lewat kerangka Hak Cipta dan hak terkait
(neighbouring rights) apabila hal tersebut dapat dilakukan; dan (v) Model
18 P.V. Valsala G. Kutty, National Experiences With The Protection of Expressions of Folklore/TraditionalCultural Expressions: India, Indonesia and Philipines, halaman 5
19 WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 22
119
perlindungan hukum tersebut merupakan langkah awal bagi pembentukan
perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di tingkat sub-regional, regional
hingga internasional.
Berangkat dari pemikiran tersebut, pada tahun 1982 diadopsilah
WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of
Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial
Actions (Model Provisions 1982.) Model Provisions 1982 merupakan panduan
pembentukan hukum yang diadopsi oleh UNESCO dan WIPO dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di
tingkat nasional. Selain itu model perlindungan hukum ini juga diharapkan
menjadi awal dari usaha penyusunan suatu instrumen hukum internasional
yang secara khusus mengatur mengenai mekanisme perlindungan Ekspresi
Budaya Internasional di tingkat sub-regional, regional atau bahkan global.
Model Provisions 1982 sendiri harus kita lihat secara khusus karena
karakteristiknya yang unik. Tujuan utamanya adalah memberi perlindungan
dari segala bentuk eksploitasi yang tak sah (illicit exploitation) dan bentuk
pelanggaran lainnya (other prejudicial actions). Model perlindungan hukum
ini tidak mengunakan prinsip yang umumnya digunakan dalam rezim Hak
Kekayaan Intelektual Konvensional. Model perlindungan hukum ini, misalnya
tidak mengenal konsep karya cipta (works) selayaknya yang digunakan dalam
lingkup Hak Cipta. Selain itu berbagai perbedaan karakteristik lain seperti
bentuk pelanggaran, hak yang diperoleh hingga tidak adanya batas waktu
perlindungan mengaskan sifat Sui Generis dari Model perlindungan hukum
ini.
120
Bentuk perlindungan yang ditawarkan dalam WIPO-UNESCO Model
Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore
Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions 1982 berupa :
1) Konteks dan tujuan perlindungan.
Tujuan utama Model Provisions 1982 adalah sebagai panduan dalam
menyusun peraturan hukum yang memberikan perlindungan yang pantas
terhadap ekspresi budaya tradisional dari segala bentuk “illicit
exploitation” dan “other prejudicial actions” yang dilakukan baik oleh
warga negara terkait maupun pihak asing. Dalam Section 1 mengenai
Principle of Protection dinyatakan bahwa :
“Expressions of folklore developed and maintained in (insert the name
of the country) shall be protected by this (law) against illicit
exploitation and other prejudicial actions as defined in this (law).”
Definisi dari “illicit exploitation” adalah segala bentuk perbuatan yang
menyalahi ketentuan dalam section 3, dengan pengecualian pada section 4.
Sementara definisi dari “other prejudicial action” adalah segala bentuk
perbuatan yang tidak mentaati ketentuan yang diatur pada section 5 ayat 1
serta segala bentuk perbuatan yang digambarkan dalam section 6 ayat 3
dan ayat 4.
2) Obyek perlindungan
Obyek perlindungan dalam Model Provisions 1982 adalah Ekspresi
Budaya Tradisional. Dalam Model Provisions ini digunakan istilah
“expressions of folklore” tanpa mendefinisikan lebih jauh mengenai apa
definisi dari “folklore” itu sendiri. Dalam Section 2 mengenai Protected
expressions of folklore dinyatakan
121
“For the purpose of this (law), “expressions of folklore” means
productions consisting of characteristic elements of the traditional
artistic heritage developed and maintained by a community of (name of
the country) or by individuals reflecting the traditional artistic
expectations of such a community, in particular:
(i) Verbal expressions, such as folk tales, folk poetry and riddles;
(ii) Musical expressions, such as folk songs and instrumental music;
(iii)Expressions by action, such as folk dances, plays and artistic forms
or rituals;
Whether or not reduced to a material form; and
(iv)Tangible expressions, such as:
(a) Productions of folk art, in particular, drawings, paintings,
carvings, sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork,
metal ware, jewellery, basket weaving, needlework, textiles,
carpets, costumes;
(b) Musical instruments;
(c) Architectural forms.”
Model Provisions 1982 juga mengunakan istilah ekspresi (expressions)
dan produksi (production) dan bukan istilah karya cipta (works) yang
sering digunakan dalam HKI Konvensional, terutama di bidang Hak Cipta.
Pengunaan istilah yang berbeda ini digunakan sebagai garis penegas dari
unsur Sui Generis yang muncul dari ekspresi budaya tradisional tersebut.
Mengingat bahwa karya cipta (works) merupakan obyek perlindungan Hak
Cipta yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan obyek
perlindungan dalam kerangka Ekspresi Budaya Tradisional.
Ekspresi Budaya Tradisional yang diatur dalam Section 2 didefinisikan
sebagai produk-produk (productions) yang mengandung elemen-elemen
karakteristik (characteristic elements) dari warisan kesenian tradisional
yang berkembang dan dilestarikan di tengah masyarakat atau oleh
individu-individu yang mewakili kesenian tradisional masyarakat tersebut .
Produk-produk ini dapat dibagi dalam empat golongan, meliputi :
122
- Ekspresi lisan secara verbal, dalam bentuk cerita rakyat, sastra rakyat,
dsb.
- Ekspresi musikal, dalam bentuk seni musik dan lagu tradisional
- Ekspresi gerak, dalam bentuk seni tari, ritual adat istiadat, dsb.
- Ekspresi bentuk (tangible) dengan contoh seperti kerajinan tradisional,
alat musik tradisional, dsb.
3) Syarat perlindungan
Model Provisions 1982 tidak mencantumkan syarat yang diberikan bagi
karya yang dilindungi sebagai Ekspresi Budaya Tradisional. Syarat
perlindungan sepenuhnya diserahkan bagi masing-masing negara untuk
mengatur sesuai kebutuhannya.
4) Pemegang hak
Pemegang hak dari Ekspresi Budaya Tradisional yang dilindungi dalam
Model Provisions 1982, dalam hal ini berwenang sebagai pemberi otorisasi
bagi pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional adalah otoritas yang
berwenang (competent authority) dan/atau komunitas masyarakat adat
terkait (community concerned). Hal ini sesuai dinyatakan dalam Section 3
mengenai Subject of authorization yang menyatakan bahwa : “Subject to
the provisions of Section 4, the following utilizations of the expressions of
folklore are subject to authorization by the [competent authority
mentioned in Section 9, paragraph 1] [community concerned]…”
Lebih lanjut mengenai kedudukan dan definisi dari otoritas yang
berwenang (competent authority) diatur dalam Section 9 dan prosedur
pemberian otorisasi baik oleh otoritas yang berwenang maupun oleh
123
komunitas masyarakat adat terkait (community concerned) diatur dalam
Section 10 Model Provisions 1982
5) Hak yang dilindungi
Hak yang dilindungi dalam Model Provisions 1982 meliputi hak ekonomi
sesuai ketentuan Section 3 mengenai Utilizations Subject to Authorization
dimana dinyatakan :
“Subject to the previsions of Section 4, the following utilizations of the
expressions of folklore are subject to authorization by the (competent
authority mentioned in Section 9, paragraph 1) (community
concerned) when they are made both with gainful intent and outside
their traditional or customary context:
(i) Any publication, reproduction and any distribution of copies of
expressions of folklore;
(ii) Any public recitation or performance, any transmission by wireless
means or by wire, and any other from of communication to the
public, of expressions of folklore.”
Maka dinyatakan dalam Section 3 bentuk-bentuk pengunaan Ekspresi
Budaya Tradisional yang membutuhkan otorisasi dari otoritas yang
berwenang atau/dan masyarakat adat pemiliknya. Pengunaan tersebut baik
dalam bentuk publikasi, reproduksi, dan distribusi salinan Ekspresi Budaya
Tradisional maupun dalam bentuk pertunjukan publik, atau penyampaian
ke publik lainnya lewat berbagai media komunikasi. Otorisasi pengunaan
tersebut diberikan bagi pihak-pihak luar konteks budaya dan tradisi
komunitas masyarakat adat pemiliknya, yang akan mengunakan Ekspresi
Budaya Tradisional tersebut untuk tujuan komersil (gainful intent).
Pengecualian terhadap hak ekonomi diatur dalam Section 4 mengenai
Exceptions yang menyatakan :
1. The provisions of Section 3 shall not apply in the following cases:
(i) Utilization for purposes of education;
124
(ii) Utilization by way of illustration in the original work of an
author or authors, provided that the extent of such utilization is
compatible with fair practice;
(iii)Borrowing of expressions of folklore for creating an original
work of an author or authors;
2. The provisions of Section 3 shall not apply also were the utilization
of the expressions of folklore is incidental. Incidental utilization
includes in particular:
(i) Utilization of any expression of folklore that can be seen or
heard in the course of a current event for the purposes of
reporting on that current event by means of photography,
broadcasting or sound or visual recording, provided that the
extent of such utilization is justified by the informatory
purpose;
(ii) Utilization of objects containing the expressions of folklore
which are permanently located in a place where they can be
viewed by the public, of the utilization consist in including their
image in a photograph, in a film or in a television broadcast.
Maka dalam hal ini otorisasi tidak dibutuhkan untuk pengunaan Ekspresi
Budaya Tradisional untuk tujuan-tujuan tertentu seperti edukasi, ilustrasi
atau pun proses penciptaan karya cipta asli. Selain itu otorisasi juga tidak
diperlukan untuk pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional dalam
pengunaan yang bersifat insidental seperti dalam penayangan berita atau
kejadian terkini maupun obyek-obyek yang mengunakan unsur-unsur
Ekspresi Budaya Tradisional yang diletakan ditempat publik untuk tujuan
non komersil.
Segala bentuk perbuatan yang menyalahi ketentuan dalam section 3,
dengan pengecualian pada section 4 dianggap sebagai bentuk “illicit
exploitation.”
Selain hak ekonomi, Model Provisions 1982 juga melindungi hak moral.
Hal ini dinyatakan dalam Section 5 mengenai Acknowledgement of Source
yang menyatakan :
125
1. In all printed publications, and in connection with any
communications to the public, of any identifiable expression of
folklore, its source shall be indicated in an appropriate manner, by
mentioning the community and/or geographic place from where the
expression utilization has been derived.
2. The provisions of paragraph 1 shall not apply to utilizations
referred to in Section 4, paragraphs 1 (iii) and 2.
Selayaknya hak moral dalam karya cipta. Setiap pengunaan Ekspresi
Budaya Tradisional dalam media komunikasi maupun pertunjukan serta
karya dan duplikasi apapun, diwajibkan untuk mencantumkan sumber dari
Ekspresi Budaya Tradisional tersebut, baik daerah asal maupun
masyarakat adat pemiliknya, secara layak.
6) Prosedur perlindungan
- Otoritas yang menangani
Otoritas yang diberi wewenang menangani perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional diatur dalam Section 9 mengenai Authorities. Dinyatakan
bahwa :
(1) For the purpose of this (law), the expression “competent
authority” means …
(2) For the purpose of this (law), the expression “supervisory
authority” means …
Otoritas yang menangani dalam ketentuan Section 9 meliputi dua otoritas
berbeda, yaitu otoritas yang berwenang (competent authority) dan otoritas
supervisor (supervisory authority). Definisi dan mekanisme kerja kedua
otoritas tersebut ditentukan oleh negara bersangkutan sesuai kebutuhan
masing-masing.
Selain diatur dalam ketentuan Section 9 diatas, komunitas masyarakat adat
(community concerned) pemilik Ekspresi Budaya Tradisional juga
memiliki kewenangan untuk memberi otoritasi terhadap pengunaan
126
Ekspresi Budaya Tradisional sesuai ketentuan dari Section 3 maupun
ketentuan Section 10 mengenai Authorization yang menyatakan :
Application for individual or blanket authorization of any utilization of
expressions of folklore subject to authorization under this (law) shall be
made (in writing) to the [competent authority][community concerned].
Mengenai pengaturan pemberian otorisasi oleh komunitas masyarakat adat
serta hubungan antara komunitas tersebut dengan otoritas yang diatur
dalam Section 9 diserahkan pada ketentuan masing-masing negara.
- Prosedur pelaksanaan
Prosedur pemberian otorisasi dilakukan sesuai kerangka Section 3 yang
menyatakan bahwa otorisasi pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional
diberikan kepada pihak diluar konteks tradisi maupun kebiasaan
masyarakat adat terkait yang akan mengunakannya untuk tujuan komersil
(gainful intention). Pengunaan tersebut baik dalam bentuk publikasi,
reproduksi, dan distribusi salinan Ekspresi Budaya Tradisional maupun
dalam bentuk pertunjukan publik, atau penyampaian ke publik lainnya
lewat berbagai media komunikasi. Tentu saja dengan pengecualian
sebagaimana dicantumkan dalam Section 4.
Pada Section 10 mengenai Authorization diatur tentang prosedur
pemberian otorisasi oleh otoritas yang menangani. Dinyatakan dalam
Section 10(1) bahwa pengajuan permohonan otorisasi dilakukan secara
tertulis kepada otoritas yang menangani dan diberi wewenang untuk
mengeluarkan otorisasi :
1. Application for individual or blanket authorization of any
utilization of expressions of folklore subject to authorization under
this (law) shall be made (in writing) to the [competent authority][
community concerned].
127
Section 10 juga mengatur bahwa otorisasi yang menangani berhak
menentukan kompensasi terhadap pengunaan Ekspresi Budaya
Tradisional. Penentuan kompensasi diberikan bersamaan dengan keluarnya
otorisasi yang memberi ijin pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional
tersebut untuk tujuan komersil. Kompensasi yang ditarik akan digunakan
dalam rangka promosi maupun pelestarian budaya nasional.
2. Where the [competent authority][ community concerned]grants
authorization, it may fix the amount of and collect fees
(corresponding to a tariff (established) (approved) by the
supervisory authority. The fees collected shall be used for the
purpose of promoting or safeguarding national (culture) (folklore).
Terakhir, Section 10 juga mengatur mengenai keberatan yang diajukan
oleh pihak terkait atas otoritas yang keluar/tidak keluar.
3. Appeals against the decisions of the competent authority may be
made by the person applying for the authorization and/or the
representative of the interested community.
Dalam Section 11 mengenai Jurisdiction dinyatakan bahwa permohonan
banding terhadap keputusan dari otoritas yang menangani dalam
pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional dapat dilakukan di depan
pengadilan yang berwenang. Seperti dinyatakan dalam Section 11 (1) :
1. Appeals against the decisions of the (competent authority)
supervisory authority) are admissible to the court of …
- Sanksi dan penegakan
Mengenai Sanksi terhadap pelanggaran hak terhadap pengunaan Ekspresi
Budaya Tradisional diatur dalam Section 6 mengenai Offences yang
menyatakan bahwa :
1. Any person who willfully [or negligently] does not comply with the
provisions of Section 5, paragraph 1, shall be liable to …
128
2. Any person who, without the authorization of the [competent
authority referred to in Section 9, paragraph 1] [community
concerned] willfully [or negligently] utilizes an expression of
folklore in violation of the provisions of Section 3, shall be liable to
…
3. Any person willfully deceiving others in respect of the source of
artifacts or subject matters of performances of recitations made
available to the public by him in any direct or indirect manner,
presenting such artifacts or subject matters as expressions of
folklore of a certain community, from where, in fact, they have not
been derived, shall be punishable by …
4. Any person who publicly uses, in any direct or indirect manner,
expressions of folklore willfully distorting the same in a way
prejudicial to the cultural interest of the community concerned,
shall be punishable by …
Dalam Section 6 dijabarkan bentuk-bentuk pelanggaran terhadap
perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional. Section 6(1) dan section 6(2)
mengatur pelanggaran berkaitan dengan Section 5 dan Section 3. Section
6(3) mengatur pelanggaran dalam bentuk penipuan dan section 6(4)
mengatur pelanggaran dalam bentuk distorsi terhadap Ekspresi Budaya
Tradisional.
Sanksi dalam bagian ini ditentukan sepenuhnya oleh negara yang
bersangkutan yang mengaturnya. Segala bentuk perbuatan yang tidak
mentaati ketentuan yang diatur pada section 6(1) serta segala bentuk
perbuatan yang digambarkan dalam section 6(3) dan section 6(4)
didefinisikan sebagai “other prejudicial action”.
Selanjutnya dalam Section 7 mengenai Seizure or Other Actions diatur
bahwa:
“Any object which was made in violation of this (law) and any receipts
of the person violating it and corresponding to such violations shall be
subject to (seizure) (applicable actions and remedies).”
129
Section 7 ini mengatur mengenai bentuk penyitaan, baik terhadap obyek
yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Model Provisions 1982 ini
maupun segala bentuk upaya yang digunakan dalam pelanggaran tersebut.
Bentuk mekanisme penyitaannya ditentukan oleh negara yang
bersangkutan.
Sementara pada Section 8 mengenai Civil Remedies diatur bahwa :
“The sanctions provided for in [Section 6] [Section 6 and 7] shall be
applied without prejudice to damage or other civil remedies as the
case may be.”
Bagian ini mengatur mengenai hubungan antara sanksi pidana pada
Section 6 dan hubungannya dengan pengunaan penyelesaian secara perdata
pada kasus-kasus pelanggaran terhadap perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional.
7) Jangka waktu perlindungan
Model Provisions 1982 tidak mencantumkan jangka waktu perlindungan
yang diberikan bagi karya yang dilindungi sebagai Ekspresi Budaya
Tradisional. Jangka waktu perlindungan terhadap Ekspresi Budaya
Tradisional sepenuhnya diserahkan bagi masing-masing negara untuk
mengatur sesuai kebutuhannya.
8) Hubungan dengan instrumen HKI lain
Dalam Section 12 mengenai Relation to Other Forms of Protection
dinyatakan bahwa :
“This (law) shall in no way limit or prejudice any protection
applicable to expressions of folklore under the copyright law, the law
protecting performers, producer of phonograms and broadcasting
organizations, the laws protecting industrial property, or any other
law or international treaty to which the country is party; nor shall it in
any way prejudice other forms of protection provided for the safeguard
and preservation of folklore.”
130
Section 12 mengatur mengenai hubungan antara Model Provisions 1982
dengan berbagai instrumen hukum yang juga turut mengatur perlindungan
dari bentuk Ekspresi Budaya Tradisional. Diharapkan bahwa bentuk
perlindungan yang ditawarkan dalam model perlindungan hukum ini tidak
membatasi atau bahkan menganggu perlindungan terhadap bentuk
Ekspresi Budaya Tradisional yang diatur dalam kerangka hukum lainnya
seperti Hak Cipta, hak penampil (performers rights) dan serta instrumen
internasional yang mengatur mengenai pelestarian folklor.
9) Perlindungan ditingkat regional dan internasional.
Ditingkat regional maupun internasional, perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional diatur dalam Section 14 mengenai Protection of Expression of
Folklore of Foreign Countries dinyatakan bahwa :
“Expressions of folklore developed and maintained in a foreign
country are protected under this (law)
(i) Subject to reciprocity, or
(ii) On the basis of international treaties or other agreements.”
Section 14 ini mengatur bahwa perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional
yang dikembangkan maupun digunakan oleh negara asing dilindungi
dengan asas resiprositas atau melalui instrumen internasional yang
mengatur masalah terkait.
Walaupun tidak mengeluarkan satu bentuk instrumen hukum
internasional yang mengatur mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional. Upaya WIPO-UNESCO lewat Model Provisions 1982 seringkali
dianggap sebagai suatu terobosan. Diharapkan model perlindungan hukum ini
dapart berperan membantu negara-negara yang membutuhkan untuk
131
membangun suatu mekanisme perlindungan yang layak dalam sistem hukum
mereka.
Secara umum, Model Provisions 1982 sebagai kelanjutan dari Tunis Model law
1976 juga tidak lepas dari berbagai kekurangan. Beberapa kritik mempertanyakan hal-hal
seperti definisi dari Ekspresi Budaya Tradisional yang dipandang terlalu ambigu dan
kurang jelas serta bagaimana mekanisme perlindungan terhadap karya-karya kontemporer
yang bersifat turunan (derivative works) yang terinspirasi maupun diadopsi dari Ekspresi
Budaya Tradisional yang hidup di tengah masyarakat.
Karena itu maka sejak awal sudah disadari bahwa Model Provisions 1982 harus
terus menerus direvisi dan diperbaiki untuk menghadapi perubahan jaman dan kebutuhan
serta tuntutan yang terus berkembang. Usulan-usulan revisi terkait perubahan tersebut
meliputi : kesadaran lebih besar terhadap luasnya hak-hak dan kebutuhan dari masyarakat
adat; berkembangnya pengertian mengenai hubungannya dengan pelestarian warisan
budaya; promosi terhadap keanekaragaman budaya (cultural diversity) dan HKI;
kehadiran instrumen budaya baru mengenai keanekaragaman budaya dan warisan budaya;
perkembangan rezim HKI setelah adanya TRIPS 1994 dan WPPT 1996; serta
perkembangan teknologi dan kemunculan berbagai bentuk eksploitasi komersil baru sejak
awal 1980-an20.
Usaha revisi untuk menyusun suatu model perlindungan hukum baru yang lebih
memenuhi tuntutan jaman ini kemudian dikerjakan oleh WIPO Intergovermental Comitee
on Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore
yang hingga saat ini (2008) masih menyusun draft Revised Provisions for the Protection
of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore.
20 Ibid., halaman 56
132
2. Upaya Pembentukan Instrumen Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Sui
Generis Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Pada Tingkat Internasional
Sebagaimana kita ketahui diatas, bahwa selama ini mekanisme perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional hanya terdapat dalam bentuk panduan perlindungan di
tingkat nasional yang hanya dapat diaplikasikan ke dalam hukum nasional masing-masing
negara. Pertanyaannya, bagaimana mengatasi pelanggaran perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional ditingkat lintas negara, yang dalam hal ini jelas berada diluar jangkauan
hukum nasional tiap negara. Memang kita telah membahas mengenai perlindungan
internasional dalam kerangka HKI Konvensional. Namun tetap saja diragukan apakah
perlindungan yang ditawarkan dalam berbagai instrumen internasional mengenai HKI
Konvensional itu mencukupi, sebab sifatnya yang tidak menyeluruh dan tidak secara
khusus melindungi Kekayaan Intelektual Tradisional pada umumnya dan Ekspresi
Budaya Tradisional pada khususnya.
Berangkat dari itu muncul tuntutan dan upaya untuk membentuk suatu instrumen
internasional yang bersifat Sui Generis yang mengatur mengenai perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan berbagai bentuk
Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya. Instrumen itu haruslah bersifat khusus dan
menyeluruh, untuk mengakomodir karakteristik-karakteristik khas dari Kekayaan
Intelektual Tradisional yang tidak dapat diakomodir oleh HKI Konvensional. Jangkauan
lingkup perlindungannya haruslah bersifat internasional untuk menjangkau pelanggaran-
pelanggaran lintas negara yang tak terjangkau oleh hukum nasional. Serta sifat instrumen
itu haruslah legally-binding sebagai kesepakatan bersama yang ditaati tiap negara anggota
selayaknya berbagai instrumen internasional dibidang HKI Konvensional lainnya.
Upaya menuju pembentukan perlindungan khusus tersebut pertama kali dirintis
pada tanggal 2 Maret 1977 oleh negara-negara Afrika yang bernaung dibawah OAPI
133
(African Intellectual Property Organization) yang mengadopsi the Bangui Agreement.
Perjanjian ini, walau hanya bersifat regional, dapat dianggap sebagai terobosan dan titik
awal perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat legally-binding pada
tingkat internasional21.
The Bangui Agreement sendiri mengatur secara spesifik bentuk perlindungan
terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan karya turunan yang terinspirasi dan
dikembangkan darinya. Pengaturan tersebut dibentuk dengan sistem yang dibangun
berdasarkan Hak Cipta dan model domaine public payant22. Selain itu, Perjanjian ini juga
menyusun sistem Sui Generis yang menganggap bahwa folklor merupakan bagian dari
warisan budaya suatu negara, bukan milik individu pencipta selayaknya dalam Hak Cipta.
Sebuah terobosan yang kemudian diikuti oleh sistim perlindungan Sui Generis lain.
Hingga saat ini, The Bangui Agreement telah diratifikasi 15 negara Afrika anggota OAPI,
walau belum ada laporan lengkap mengenai hasil implementasinya.
Selanjutnya pada tingkat internasional, pemikiran serupa juga muncul. Pada tahun
1973, pemerintah Bolivia meminta WIPO mengkaji perlunya suatu mekanisme
perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di tingkat internasional. Permintaan ini
ditanggapi WIPO dengan bekerja sama dengan UNESCO membentuk working groups
yang berfungsi mengkaji permintaan tersebut. Akhirnya pada tahun 1982, working groups
WIPO-UNESCO menyusun WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the
Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial
Actions (Model Provisions 1982.) yang kemudian diajukan dalam Joint Meeting of the
Expert Commitee of the Berne Convention and Intergovermental Copyright Commitee of
the UCC (Joint Meeting 1983) pada tahun 1983. Sebagai catatan, selain menyiapkan draft
Model Provisions 1982, working groups dari WIPO-UNESCO juga menyiapkan draft
21 P.V. Valsala G. Kutty, Loc.cit.,22 WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 57
134
Konvensi yang mengatur tentang perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional. Namun
sayangnya, dalam perkembangan berikutnya hanya Model Provisions 1982 yang diterima
dan diadopsi23.
Upaya penyusunan instrumen internasional tersebut tidak berhenti. Salah satu
pandangan yang berkembang dalam Joint Meeting 1983 adalah perkembangan pesat
teknologi dalam pengunaan Ekspresi Budaya Tradisional yang membuat makin sulitnya
perlindungan dilakukan baik negara asal maupun masyarakat adat pemiliknya. Perlunya
mekanisme perlindungan lintas batas negara namun disisi lain karena kekosongan
pengaturan internasional ini, memaksa UNESCO-WIPO membentuk Group of Experts on
the International Protection of Expressions of Folklore by Intellectual Property yang
kemudian bertemu di Paris pada tanggal 10-14 Desember 1984. Dalam pertemuan
tersebut, group of experts diminta untuk mempertimbangkan kebutuhan akan mekanisme
perlindungan internasional terhadap Ekspresi Budaya Tradisional beserta bentuknya.
Hasil pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa ada dua masalah utama yang
mesti diatasi apabila mekanisme perlindungan internasional ingin dibentuk24 : (i)
kurangnya sumber yang layak dalam melakukan identifikasi terhadap Ekspresi Budaya
Tradisional yang dilindungi (ii) sedikitnya mekanisme perlindungan yang benar-benar
bekerja efektif dalam mengatasi masalah perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional tidak
hanya di satu negara, tetapi beberapa negara dalam satu regional. Pada akhirnya dalam
laporan yang disampaikan pada The Executive Committee of the Berne Convention and
the Intergovernmental Committee of the Universal Copyright Convention, disimpulkan
bahwa pembentukan instrumen internasional yang mengatur perlindungan Ekspresi
Budaya Tradisional masih terlalu dini, berhubung masih minimnya pengalaman dalam
23 P.V. Valsala G. Kutty, Op.Cit., halaman 624 WIPO Secretariat, Loc.cit.,
135
implementasi perlindungan di tingkat nasional. Kalaupun ada instrumen serupa pada saat
ini, maka hanya bersifat rekomendasi saja25.
Pada April 1997, WIPO bekerja sama dengan UNESCO kembali mengadakan the
WIPO-UNESCO World Forum on the Protection of Folklore di Phuket, Thailand yang
membahas mengenai masalah HKI dan folklor. Pertemuan ini mengadopsi sebuah “Plan
of Action” yang merumuskan kebutuhan dan masalah yang dihadapi, meliputi26 :
a. Dibutuhkannya suatu standar internasional dalam perlindungan hukum
terhadap folklor.
b. Pentingnya menyeimbangkan kepentingan komunitas adat pemiliknya
dana pihak penguna Ekspresi Budaya Tradisional tersebut.
Selain itu, “Plan of Action” juga merekomendasikan pembentukan empat forum
konsultasi regional berkaitan dengan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional
(Regional Consultations on the Protection of Expressions of Folklore in 1999) dimana
tiap forum regional menyusun suatu resolusi atau rekomendasi yang berkaitan dengan
kebutuhan akan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dan kaitannya dengan HKI.
Dapat dikatakan bahwa dengan adanya forum ini, upaya perlindungan Ekspresi budaya
Tradisional di tingkat internasional belum terhenti.
Pada tahun 1998-1999, WIPO juga mengadakan suatu fact-finding missions yang
berfungsi untuk mengidentifikasi kebutuhan dan harapan dari pemilik Kekayaan
Intelektual Tradisional. WIPO Fact-finding Missions on Intellectual Property and
Traditional Knowledge dilakukan di 28 negara di kawasan Pasifik Selatan, Afrika Timur
dan Selatan, Karibia, Asia Selatan, Afrika Barat, Amerika Utara, Tengah dan Selatan, dan
Arab (tidak termasuk Indonesia). Walau fokus utamanya adalah Pengetahuan Tradisional
(Traditional Knowledge), namun Ekspresi Budaya Tradisional juga turut menjadi topik
25 Ibid., halaman 2326 Loc.cit.,
136
penelitian dengan anggapan bahwa Ekspresi Budaya Tradisional merupakan salah satu
sub-set dari Pengetahuan Tradisional. Kesimpulan dan hasil dari fact-finding mission ini
kemudian disajikan dalam laporan “Intellectual Property Needs and Expectations of
Traditional Knowledge Holders: WIPO Report on Fact-finding Missions (1998-1999)”
yang beberapa pokoknya telah kita bahas sebelumnya.
Pada akhir tahun 2000, sebagai tindak lanjut upaya yang telah dilakukan
sebelumnya, negara anggota WIPO membentuk Intergovernmental Committee on
Intellectual Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC-
GRTKEF). Dengan anggota lebih dari 400 perwakilan berbagai negara, organisasi
internasional dan berbagai LSM, IGC-GRTKEF bertugas mengkaji pembentukan
perlindungan Kekayaan Intelektual yang layak, baik berupa Pengetahuan Tradisional
(Traditional Knowledge), Ekspresi Budaya Tradisional (Traditional Cultural
Expressions/Expressions of Folklore), maupun Keanekaragaman Hayati (Genetic
Resources).
Berkaitan dengan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional, IGC-GRTKEF telah
mengkaji pengunaan bentuk perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional baik dalam
kerangka HKI maupun Sui Generis di 66 negara. Hingga saat ini (2008), telah dilakukan
11 kali persidangan yang terakhir diselenggarakan pada 3-12 juli 2007. Walau belum
berhasil merumuskan instrumen internasional yang melindungi Ekspresi budaya
tradisional pada khususnya, namun upaya internasional belum selesai.
Selain WIPO, UNESCO juga bergerak menangani masalah perlindungan
Kekayaan Intelektual Tradisional. Memang, bentuk perlindungan yang disusun oleh
UNESCO berangkat dari pandangan bahwa berbagai bentuk Kekayaan Intelektual
Tradisional tersebut merupakan suatu warisan budaya, bukan sekedar obyek dari suatu
bentuk Hak Kekayaan Intelektual. Namun UNESCO telah beberapa kali
137
menyelenggarakan kerjasama dengan WIPO baik dalam suatu forum bersama serta dalam
menyusun suatu bentuk mekanisme perlindungan terhadap Kekayaan Intelektual
Tradisional secara umum maupun Ekspresi Budaya Tradisional, antara lain lewat WIPO-
UNESCO Model Law on Copyright for Developing Country 1976 atau WIPO-UNESCO
Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against
Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions serta berbagai forum internasional
lainnya yanag membahas keterkaitan antara HKI dengan perlindungan budaya.
Diluar kerangka kerjasama dengan WIPO, bentuk perlindungan yang disusun oleh
UNESCO berada dalam kerangka “safeguarding.” Istilah safeguarding ini digunakan
dalam UNESCO Recommendation on the Safeguarding of Traditional Culture and
Folklore yang diadopsi di Paris pada tanggal 15 November 1989. Memang dalam
rekomendasi tersebut tidak dijelaskan definisi dari “safeguarding,” namun definisi
tersebut dapat ditemui dalam Konvensi berbeda, misalkan dalam Pasal 2 ayat 3 UNESCO
Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003 yang
menyatakan bahwa :
““Safeguarding” means measures aimed at ensuring the viability of the
intangible cultural heritage, including the identification, documentation, research,
preservation, protection, promotion, enhancement, transmission, particularly
through formal and non-formal education, as well as the revitalization of the
various aspects of such heritage.”
Dari definisi diatas kita dapat memahami secara umum cakupan dari istilah safeguarding
itu dapat didefinisikan sebagai usaha menjaga keberadaan (ensuring the viability) dengan
berbagai upaya seperti meliputi identifikasi, dokumentasi, riset, preservasi, perlindungan,
promosi, pengembangan, transmisi maupun revitalisasi dari berbagai aspek warisan
budaya itu sendiri.
138
Selain itu untuk melengkapi, istilah “folklore” dalam bagian A dari UNESCO
Recommendation on the Safeguarding of Traditional Culture and Folklore mengenai
Definition of folklore didefinisikan sebagai :
“For purposes of this Recommendation: Folklore (or traditional and popular
culture) is the totality of tradition-based creations of a cultural community,
expressed by a group or individuals and recognized as reflecting the expectations
of a community in so far as they reflect its cultural and social identity; its
standards and values are transmitted orally, by imitation or by other means. Its
forms are, among others, language, literature, music, dance, games, mythology,
rituals, customs, handicrafts, architecture and other arts.”
Maka, dengan ini digariskan suatu rekomendasi dalam rangka safeguarding, yang
didalamnya termasuk meliputi mengenai masalah perlindungan terhadap Kekayaan
Intelektual Tradisional.
UNESCO Recommendation on the Safeguarding of Traditional Culture and
Folklore menyatakan bahwa foklor dalam wujudnya sebagai kreativitas intelektual
(intellectual creativity) harus dilindungi selayaknya suatu Kekayaan Intelektual.
Perlindungan terhadap folklore merupakan suatu yang tak dapat ditinggalkan dalam
rangka pengembangan, pelestarian maupun diseminasi lebih jauh terutama terhadap
Ekspresi Budaya Tradisional sebagai bentuk dari folklor tersebut. Diluar aspek HKI
sendiri, masih banyak hak lain telah dilindungi dan dapat terus dilindungi melalui pusat
dokumentasi dan arsip. Karena dalam bagian F mengenai Protection of folklore dari
UNESCO Recommendation on the Safeguarding of Traditional Culture and Folklore,
diharapkan bahwa negara anggota harus :
a. Mempertimbangkan aspek Kekayaan Intektual Tradisional yang terdapat
dalam berbagai instrumen UNESCO-WIPO sembari disisi lain menyadari
bahwa instrumen itu hanya melindungi satu aspek perlindungan folklor saja
tanpa melupakan aspek-aspek perlindungan lain.
b. Mempertimbangkan hak-hak lain yang terkait, meliputi :
139
1) Perlindungan terhadap informan yang berfungsi sebagai penerus tradisi
(dalam bentuk perlindungan “privacy and confidentiality”);
2) Melindungi kepentingan dari kolektor dengan menjamin bahwa materi
yang dikumpulkan dilestarikan dalam bentuk arsip dengan keadaan yang
baik dan sistematis;
3) Mengadopsi upaya-upaya yang diperlukan dalam safeguarding materi
yang dikumpulkan terhadap segala bentuk penyalahgunaan, baik sengaja
maupun tidak.
4) Menyadari tanggung jawab arsip untuk mengawasi pengunaan materi yang
dikumpulkan.
Maka seiring dengan rekomendasi tersebut, UNESCO juga mengadopsi
mekanisme perlindungan warisan budaya dalam kerangka safeguarding dalam berbagai
instrumen internasional. Instrumen internasional tersebut antara lain :
- The 1966 Declaration on the Principles of International Cultural
Cooperation;
- The UNESCO Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the
Illicit Import, Export and Transfer of Ownership of Cultural Property, 1970
yang melindungi “cultural property”;
- The UNESCO Convention Concerning the Protection of the World Cultural
and Natural Heritage (the World Heritage Convention 1972)
- UNESCO Recommendation on the Safeguarding Protection of Traditional
Culture and Folklore 1989;
- UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage
2003
140
- UNESCO Convention on the Protection and promotion of the Diversity
Cultural Expressions 2005
Berbagai instrumen internasional tersebut diatas memiliki fokus perlindungan dalam
kerangka “safeguarding.”
Menariknya, selain WIPO dan UNESCO, ILO (Internasional Labour
Organization) juga turut berpartisipasi lewat ILO Indigenous and Tribal Peoples
Convention 1989. Pada pasal 5 huruf (a) dinyatakan :
“the social, cultural, religious and spiritual values and practices of these peoples
shall be recognised and protected, and due account shall be taken of the nature of
the problems which face them both as groups and as individuals;”
Dilanjutkan lebih jauh pada Pasal 7 ayat 1 yang menyatakan :
“The peoples concerned shall have the right to decide their own priorities for the
process of development as it affects their lives, beliefs, institutions and spiritual
well-being and the lands they occupy or otherwise use, and to exercise control, to
the extent possible, over their own economic, social and cultural development. In
addition, they shall participate in the formulation, implementation and evaluation
of plans and programmes for national and regional development which may affect
them directly.”
Konvensi ini mengenali folklor sebagai bagian dari identitas masyarakat adat yang mesti
dilindungi. Karena itu masyarakat adat pemiliknya memiliki hak untuk turut serta
mengendalikan berbagai aspek dari hak masyarakat adat, termasuk turut serta dalam
pembentukan, implementasi, dan evaluasi rencana dan program di berbagai tingkat yang
memberi pengaruh bagi kehidupan mereka.
Dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini tidak terdapat bentuk perlindungan
internasional dalam kerangka rezim HKI Sui Generis yang bersifat legally-binding. Inilah
yang menjadi hambatan utama dalam perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dan
berbagai bentuk HKI Tradisional lainnya. Sebab sebesar apapun daya upaya masing-
masing negara berkepentingan untuk melindungi HKI Tradisional mereka, berbagai
141
bentuk pelanggaran yang terus menerus berkembang dan melintasi batas-batas negara
tidak akan pernah dapat teratasi tanpa adanya kerangka perlindungan internasional yang
bersifat legally-binding.
C. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Pada Tingkat Nasional
1. Bentuk Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Beberapa Negara
Diluar upaya pembentukan mekanisme perlindungan Kekayaan Intelektual
Tradisional di tingkat internasional, upaya di tingkat nasional telah berlangsung sejak
lama. Pembentukan mekanisme perlindungan telah dilakukan di banyak negara sejak
akhir tahun 1960-an, antara lain Tunisia (1967), Bolivia (1968), Chile (1970) Moroko
(1970), Aljazair (1973), Senegal (1973), Kenya (1975), Mali (1977), Burundi (1978),
Pantai Gading (1978), hingga Guinea (1980)27. Bentuk perlindungan diletakkan dalam
kerangka hukum Hak Cipta, walau tidak secara khusus melindungi Ekspresi Budaya
Tradisional tapi lebih secara umum melindungi Kekayaan Intelektual Tradisional yang
dianggap sebagai warisan budaya suatu bangsa. Rangkaian hukum nasional inilah yang
kemudian menjadi bahan kajian dalam pembentukan WIPO-UNESCO Model Provisions
1982, yang kemudian pada gilirannya akan membantu negara-negara lain untuk
mengembangkan model perlindungan yang layak dalam sistim hukumnya masing-
masing.
Secara umum, implementasi bentuk perlindungan Ekspresi budaya Tradisional
dalam kerangka Hak Kekayaan Intelektual di banyak negara dapat dikategorikan dalam
dua pendekatan berbeda28. Pendekatan pertama menempatkan Ekspresi Budaya
Tradisional sama seperti bentuk Kekayaan Intelektual lainnya. Maka Ekspresi Budaya
Tradisional tidak membutuhkan pengaturan khusus, namun cukup dengan mengunakan
27 Lihat WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of FolkloreAgainst Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions - Introductory Observations Nomor. 5
28 WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 35
142
Rezim HKI Konvensional yang telah ada. Pendekatan kedua beranggapan bahwa sekedar
rezim HKI belaka tidak akan cukup. Karena itu diperlukan bentuk perlindungan yang
menempatkan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka khusus, melalui suatu bentuk
perlindungan Sui Generis. Kedua bentuk perlindungan ini tidak bersifat eksklusif. Negara
misalkan dapat melindungi dalam kerangka double-track system, dimana rezim HKI
melindungi satu aspek dari Ekspresi Budaya Tradisional tersebut, sementara aspek lain
dilindungi dibawah kerangka hukum Sui Generis.
Berbagai contoh dapat kita ambil dalam kaitan dengan implementasi dua
pendekatan tersebut. Di India, perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional berada
dibawah hak Penampil (performer’s right) yang merupakan bagian dari rezim Hak
Cipta29. Pada Bab VIII, Section 38 Performer’s Right dalam The Indian Copyright Act
diungkapkan :
(1) Where any performer appears or engages in any performance, he shall have a
special right to be known as the “performer’s right” in relation to such
performance.
(2) The performer’s right shall subsist until twenty-five years from the beginning
of the calendar year next following the year in which the performance is made.
(3) During the continuance of a performer’s right in relation to any performance,
any person, who without the consent of the performer, does any of the
following acts in respect of the performance or any substantial part thereof,
namely:
(a) makes a sound recording or visual recording of the performance; or
(b) reproduces a sound recording or visual recording of the performance
which sound recording or visual recording was:
(i) made without the performer’s consent
(ii) made for purposes different from those for which the performer
gave his consent; or
(iii) made for purposes different from those referred to in Section 39; or
(c) broadcasts the performance except where the broadcast is made from a
sound recording or visual recording other than one made in accordance
with Section 39, or is a re-broadcast by the same broadcasting
organization of an earlier broadcast which did not infringe the
performer’s right; or
29 P.V. Valsala G. Kutty, Op.Cit., halaman 19
143
(d) communicates the performance to the public otherwise than by broadcast,
except where such communication to the public is made from a sound
recording or a visual recording or a broadcast, shall, subject to the
provision of Section 39, be deemed to have infringed the performer’s right.
(4) Once a performer has consented to the incorporation of his performance in a
cinematograph film, the provisions of sub-Sections (1), (2) and (3) shall have
no further application to such performance.
Dalam Act tersebut, yang didefinisikan sebagai performer adalah “an actor, singer,
musician, dancer, acrobat, juggler, conjurer, snake charmer, a person delivering a
lecture, or any other person who makes a performance.” Hingga dapat dikatakan walau
tidak secara khusus melindungi Ekspresi Budaya Tradisional, namun ketentuan yang
diatur dapat digunakan dalam melindungi penampil kesenian tradisional.
Contoh lain adalah dalam kasus Bulun Bulun v Nejlam Pty Ltd pada tahun 198930,
dimana seniman Aborigin Australia Johnny Bulun Bulun bersama 13 seniman Aborigin
lainnya mengugat perusahaan tekstil Nejlam Pty Ltd. yang mengeluarkan kaos bergambar
karya lukisan tradisional "Magpie Geeseand Water Lillies at the Waterhole" melalui the
Australian Copyright Act 1968. Dalam kasus ini, pengadilan Australia memenangkan
Johnny Bulun Bulun dan 13 seniman Aborigin lain dengan memutuskan bahwa Nejlam
Pty Ltd telah melakukan pelanggaran Hak Cipta dan diwajibkan untuk membayar ganti
rugi $150.000 kepada seniman-seniman Aborigin yang dirugikan.
Contoh diatas memberi gambaran bahwa perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional lewat rezim HKI Tradisional dapat dilakukan, lepas dari berbagai kelemahan
yang mungkin terjadi. Namun pendekatan kedua lewat sistem perlindungan Ekspresi
Budaya tradisional yang bersifat Sui Generis juga dapat dilakukan, yaitu dengan
menyusun suatu sistim hukum yang secara khusus melindungi Ekspresi Budaya
Tradisional serta berbagai bentuk Kekayaan Intelektual lainnya. Sebagai contoh di
30 Terri Janke, Minding Culture : Case Studies on Intellectual Property and Traditional Cultural Expressions,halaman 51
144
Panama terdapat Special Intellectual Property Regime on Collective Rights if Indigenous
Peoples for the Protection and Defense of their Cultural Identity as their Traditional
Knowledge 200031. Peraturan perundang-undangan ini secara khusus melindungi berbagai
bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional, termasuk diantaranya desain pakaian dan tekstil
adat. Sistem ini didasarkan kepada prinsip bahwa pengetahuan tradisional merupakan hak
yang bersifat kolektif. Dalam pendaftaran, tidak perlu dicantumkan tanggal. Untuk Hak
Cipta, syarat keaslian diperlukan. Untuk Paten, kebaruan, inovasi dan sifat aplikatif bagi
industri merupakan syarat. Diperlukan juga bukti mengenai hubungan budaya antara
suatu pengetahuan tradisional dengan suatu kelompok masyarakat. Tidak diperlukan
biaya untuk melakukan pendaftaran32. Penduduk asli memiliki hak untuk mengijinkan
atau melarang :
a. pemanfaatan dan komersialisasi;
b. reproduksi industri;
c. kepemilikan HKI atas suatu varietas;
d. sertifikasi folklor.
Selain Panama, Filipina juga memiliki hukum serupa. Pada 28 Juli 1997, Filipina
mengesahkan the Indigenous Peoples Rights Act of 1997 (IPRA) 33. IPRA memiliki fungsi
untuk mengakui, melindungi dan mempromosikan hak-hak masyarakat adat di Filipina
melalui badan National Commission on Indigenous People (NCIP), termasuk didalamnya
perlindungan berkaitan dengan Hak Intelektual Masyarakat (community intellectual
rights) hak atas sistem pengetahuan asli (right to indigenous knowledge systems), praktek
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adat (practices to develop their own
sciences and technologies), serta tata cara berkaitan dengan akses sumber daya biologis
31 WIPO Secretariat, Op.Cit., halaman 5332Luthfi Asiarto, Basuki Antariksa., Beberapa Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Folklor dan Pengetahuan
Tradisional di Berbagai Negara, Forum Konsultasi Menuju Perlindungan Hukum atas Ekspresi BudayaTradisional dan Pengetahuan Tradisional, (Jakarta, 30 November - 1 Desember 2004), halaman 6
33 P.V. Valsala G. Kutty, Op.Cit., halaman 26
145
dan Keanekaragaman Hayati (the norms regarding access to biological and genetic
resources). Persetujuan ini didefinisikan sebagai "konsensus dari seluruh anggota
penduduk asli dimaksud dan sesuai dengan hukum adat dan praktek yang berlaku". Ini
berarti hukum adat merupakan faktor yang dominan dalam rangka pengelolaan dan
perlindungan pengetahuan tradisional dan folklor34. IPRA memberikan hak kepada
penduduk asli untuk :
a. mengatur masuknya peneliti dan lembaga penelitian;
b. memberikan persetujuan tertulis berkaitan dengan tujuan, desain dan hasil
yang diharapkan dari penelitian;
c. meminta pengakuan mengenai sumber material bila informasi berkaitan
dengan material tersebut dipublikasikan;
d. meminta copy dari hasil penelitian; dan
e. memperoleh bagi hasil dari keuntungan yang dihasilkan dari penelitian
tersebut.
Pengaturan mengenai perlindungan lebih lanjut terdapat antara lain pada Section 34
IPRA yang menjamin kepemilikan, kendali dan perlindungan penuh atas hak budaya dan
hak intelektual oleh masyarakat adat. Diatur disini bahwa masyarakat adat memiliki hak
penuh terhadap berbagai bentuk Pengetahuan Tradisional dana Ekspresi Budaya
Tradisional yang mereka miliki.
Dari berbagai contoh diatas, dapat kita simpulkan bahwa pada tingkat nasional,
baik pendekatan perlindungan hukum terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan
Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya dengan dapat dilakukan rezim HKI
Konvensional maupun rezim Sui Generis. Tidak ada bentuk pendekatan yang lebih baik
dibanding yang lain. Sebab kita mesti mengingat bahwa setiap negara memiliki kondisi
34Luthfi Asiarto, Basuki Antariksa., Ibid.,
146
dan kebutuhan yang berbeda-beda. Setiap negara juga memiliki berbagai bentuk
kebudayaan dan komposisi masyarakat adat yang tidak sama. Selain itu tiap negara juga
memiliki sistim hukum yang unik satu dibanding yang lain. Maka mekanisme
perlindungan yang sukses disatu negara belum tentu sukses di negara lain. Pada intinya
semua kembali kepada masing-masing negara.
2. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia
Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang majemuk, memiliki berbagai
macam budaya dan adat istiadat yang terdapat dalam ribuan Suku serta berbagai agama
yang berbeda. Indonesia memiliki keunikan tersendiri, yang juga diiringi kebutuhan dan
kondisi yang juga berbeda. Karena itu tantangan dalam melakukan perlindungan, promosi
dan pelestarian Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia menjadi sangat khas dan unik.
Sementara ditinjau dari segi hukum, Indonesia adalah salah satu negara anggota
WIPO dan WTO yang telah meratifikasi Konvensi Paris, Konvensi Berne serta TRIPS
memiliki tanggung jawab dalam menegakan HKI, termasuk dalam hal ini memberi
perlindungan terhadap berbagai bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional.
Karena itu dibutuhkan suatu bentuk mekanisme hukum yang memberi
perlindungan dalam pemanfaatan dan pelestarian Kekayaan Intelektual Tradisional,
terutama dalam hal ini Ekspresi Budaya Tradisional. Namun sejak awal pembentukan
mekanisme hukum tersebut tidak lepas dari berbagai tantangan. Berbagai tantangan yang
muncul antara lain35 :
- Terdapat berbagai macam keanekaragaman budaya dan multikultur dalam
masyarakat yang memiliki komunitas asli dan imigran sehingga memerlukan
kebijakan untuk : a) menyelaraskan antara keperluan perlindungan dan
pelestarian budaya; dan b) upaya menyelaraskan dua kepentingan tersebut
35Arif Syamsudin.,” Antara Pelestarian dan Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional/Pengetahuan Tradisionaldan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual bagian pertama"., Media HKI Departemen Hukum dan HAM RIedisi Juni 2008, halaman 24
147
dengan tetap memperhatikan kemungkinan pertumbuhan budaya asli terhadap
pengaruh budaya luar . Sebagai catatan, bahwa kepentingan pelestarian
Ekspresi Budaya Tradisional menuntut perlunya menjaga dan
mempertahankan keberadaan budaya tersebut agar tidak punah dari generasi
satu ke generasi lainnya (menjadi tanggung jawab pemilik budaya atau
diambil alih negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat). Disamping itu
kepentingan perlindungan hukum dimaksudkan untuk membuat peraturan
yang dapat mencegah pihak lain tanpa izin atau tanpa hak mengeksploitasi
nilai-nilai budaya untuk tujuan komersial. Namun demikian masih terdapat
permasalahan yaitu pengaruh budaya luar yang dianggap lebih sesuai dengan
tuntutan jaman dapat membuat punah atau menghilangnya keaslian Ekspresi
Budaya Tradisional maupun Pengetahuan Tradisional yang ada. Permasalahan
lainnya adalah sampai saat ini belum ada hukum/perjanjian internasional yang
bersifat mengikat setiap negara peserta dalam hal pengaturan eksploitasi yang
dapat melarang pihak lain tanpa ijin mengeksplotasi secara komersial terhadap
Ekspresi Budaya Tradisional maupun Pengetahuan Tradisional bila dilakukan
oleh orang lain di luar yuridiksi negara pemilik Ekspresi Budaya Tradisional
maupun Pengetahuan Tradisional tersebut.
- Perlunya keseimbangan antara kegiatan yang bertujuan untuk pelestarian
budaya tradisional dengan kegiatan yang dapat mendorong inovasi dan
kreativitas yanag bersumber pada budaya tradisional untuk meningkatkan
kontribusi pada nilai-nilai ekonomis yanag berkelanjutan. Sebagai catatan, di
satu pihak diperlukan upaya pelestarian keaslian budaya lokal namun di lain
pihak upaya berinovasi dengan menyempurnakan dan mengembangkan karya
asli tradisional menjadi karya-karya baru karena tuntutan nilai komersial akan
148
berakibat menghilangnya nilai keaslian. Sebagai contoh : celana/baju jeans
diberikan pola batik dengan motif kombinasi beberapa lukisan /seni tradisional
dan memakai peralatan modern untuk membatiknya.
- Terdapat kepentingan antara perlindungan karya intelektual dengan keperluan
promosi aset keragaman budaya tradisional sebagai penunjang daya tarik
pariwisata. Misalkan suatu daerah memperkenalkan/menjual cenderamata
khas produk Ekspresi Budaya Tradisional kepada turis asing, kemudian turis
tersebut menjual secara massal cenderamata tersebut di negara asalnya.
Mengenai hal itu, tidak ada satupun aturana yang dapat melarangnya hingga
saat ini. Dilain pihak disadari atau tidak, larisnya cenderamata tersebut
menjadi kebanggaan daerah tujuan pariwisata dengan harapan dapat
memperkenalkan budaya tradisional daerah ke manca negara.
- Perlunya kebijakan atau aturan yang dapat digunakan dalam sistem
perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional sekaligus menjamin pelestariannya.
Sebagai catatan bahwa dalam konteks pelestarian budaya, siapa saja boleh
melestarikan budaya tradisional, apakah penduduk asli/lokal atau imigran atau
oranag asing yang tertarik memakai/mengunakan/mempelajari dan
mempertahankan kebudayaannya agar tetap eksis. Dalam konteks
perlindungan hukum yang dimaksud hanya orang yang berhak atau mendapat
ijin yang dapat memakai/mengunakan/mempelajari dan mempertahankan
budaya tradisional tersebut sehingga ada pihak yang harus dilarang
memakai/mengunakan Ekspresi Budaya Tradisional atau Pengetahuan
Tradisional tersebut untuk tujuan komersial.
Berhadapan dengan berbagai tantangan dan kesulitan diatas tidak menyurutkan
niat Pemerintah Indonesia untuk berupaya melindungi Kekayaan Intelektual Tradisional
149
pada umumnya serta Ekspresi Budaya Tradisional pada khususnya. Upaya perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional di Indonesia dilakukan melalui beberapa peraturan
perundangan-undangan yaitu meliputi :
a. UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Pada awalnya, usaha perlindungan terhadap Ekspresi Budaya
Tradisional dan berbagai bentuk Kekayaan Intelektual Tradisional lainnya
diatur dalam dalam UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional diatur dalam bentuk perlindungan
folklor. Dalam penjelasan Pasal 10 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002
dinyatakan bahwa dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan
rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi
serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara
Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan
tersebut.
Pengertian dari yang dimaksud sebagai “folklor” yang dilindungi
dalam UU No. 19 Tahun 2002 ini dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat 2
sebagai :
“Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan Ciptaan tradisional, baik
yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat,
yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar
dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun,
termasuk :
a. cerita rakyat, puisi rakyat;
b. lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional;
c. tari-tarian rakyat, permainan tradisional;
d. hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran,
Pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen
musik dan tenun tradisional.”
150
Pengertian folklor diatas memiliki kesamaan dengan pengertian Ekspresi
Budaya Tradisional dalam Model Provisions 1982 yang membagi Ekspresi
Budaya Tradisional dalam empat penggolongan dalam bentuk ekspresi lisan,
ekspresi musikal, ekspresi gerak dan ekspresi bentuk36.
Berkaitan dengan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional, maka
pada Pasal 10 UU No 19 Tahun 2002 yang menyatakan :
(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah,
sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
(2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat,
dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian,
kaligrafi, dan karya seni lainnya.
(3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada
ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih
dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah
tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Lebih lanjut dalam Pasal 31 diatur mengenai pengecualian terhadap jangka
waktu perlindungan yang berlaku dinyatakan bahwa :
(1) Hak Cipta atas Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh
Negara berdasarkan:
a. Pasal 10 ayat (2) berlaku tanpa batas waktu;
…
Mekanisme perlindungan pada UU No 19 Tahun 2002 ini dapat
dianggap dekat dengan mekanisme perlindungan dalam Tunis Model Law,
yang meletakan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional bukan dalam
wilayah yang bersifat Sui Generis, namun sebagai bagian dari kerangka Hak
Cipta.
36 Lihat halaman 113
151
Sangat disayangkan bahwa kemudian dalam prakteknya, perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional lewat UU Nomor 19 Tahun 2002 ini dapat
dikatakan gagal. Penyebab gagalnya Pasal 10 UU Nomor 19 Tahun 2002
mungkin diakibatkan karena tidak populernya konsep perlindungan Kekayaan
Intelektual Tradisional itu sendiri ditengah masyarakat. Walaupun masih dapat
diperdebatkan kebenarannya, kemungkinan tidak populernya isu perlindungan
HKI atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
disebabkan oleh 2 (dua) hal utama, yaitu37:
1) Konsep HKI yang berasal dari kebudayaan Eropa dan tidak dikenal di
dalam kebudayaan asli masyarakat Indonesia. Ini disebabkan di dalam
budaya bangsa Indonesia, tidak dikenal konsep kekayaan yang sifatnya
abstrak. Di samping itu, karena sangat dipengaruhi oleh budaya
agrikultural, maka bangsa Indonesia secara tradisional tidak mengenal
sistem kepemilikan individual yang menjadi salah satu ciri utama HKI,
melainkan hanya mengenal sistem kepemilikan kolektif.
2) Bangsa Indonesia pada umumnya adalah masyarakat yang tidak suka
menonjolkan diri, sehingga seringkali tidak bersedia disebutkan namanya
di dalam ciptaannya sendiri.
Maka jika kita tetap menggunakan ketentuan Pasal 10, ada beberapa
hal yang harus diperjelas. Sebagai contoh, UU Hak Cipta mensyaratkan bahwa
cipta harus bersifat asli agar dapat dilindungi. Syarat tersebut cukup sulit
untuk dipenuhi karena dalam masyarakat adat kita berlaku ketentuan bahwa
suatu kebiasaan yang tidak sama dengan kebiasaan sebelumnya dianggap
37 Basuki Antariksa, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional : Keterkaitan Dengan RezimHak Kekayaan Intelektual., (Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata), halaman2
152
melanggar peraturan adat38. Pasal 10 juga tidak mengatur mengenai instansi
apa yang ditunjuk untuk mengurus perijinan dalam pengunaan hak cipta atas
folklor oleh orang asing bukan Indonesia, serta mengenai pembentukan
instansi-instansi terkait yang menangnai masalah ini. Terakhir, hal paling
penting yang mesti ditegaskan terkait Pasal 10 adalah mengenai ketentuan
pemerintah yang diamanatkan Pasal 10 ayat (4). Penyusunan ketentuan
pemerintah ini dapat dikatakan gagal. Sebab hingga saat ini belum ada
ketentuan lebih lanjut yang berfungsi sebagai panduan mengatur implementasi
Pasal 10, maka akibatnya Pasal 10 memang tidak mungkin dilaksanakan.
b. UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek serta PP Nomor 51 Tahun 2007
Tentang Indikasi-geografis
Selain lewat Hak Cipta, salah satu mekanisme perlindungan Ekspresi
Budaya Tradisional lain di Indonesia adalah Indikasi-geografis. Konsep
Indikasi-geografis sebagai mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya
Tradisional serta bentuk HKI Tradisional lainnya telah diajukan oleh pakar
hukum Indonesia seperti Miranda Risang Ayu39. Indikasi-geografis dianggap
mampu melindungi dan mengakui keterkaitan erat antara sebuah produk
barang Ekspresi Budaya Tradisional dengan masyarakat dan daerah
penghasilnya.
Indikasi-geografis dalam sistim HKI Indonesia diperkenalkan lewat
UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (UU Merek). Pada Pasal 56 ayat
(1) UU Merek, Indikasi-geografis didefinisikan sebagai :
“Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan
daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis
termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua
38Luthfi Asiarto, Basuki Antariksa., Op.Cit., halaman 839Miranda Risang Ayu., “Indikasi Asal Bagi Kekayaan Adat.”, (Kompas , 25 Oktober 2008), halaman 14
153
faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang
dihasilkan.”
Lebih lanjut dijelaskan terkait dengan definisi diatas bahwa Indikasi-geografis
adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu
tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menunjukkan adanya kualitas,
reputasi dan karakteristik termasuk faktor alam dan faktor manusia yang
dijadikan atribut dari barang tersebut. Tanda yang digunakan sebagai indikasi-
geografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang
dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah,
kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Pengertian
nama tempat dapat berasal dari nama yang tertera dalam peta geografis atau
nama yang karena pemakaian secara terus-menerus sehingga dikenal sebagai
nama tempat asal barang yang bersangkutan.
Definisi ini kemudian digunakan juga dalam Pasal 1 angka 1 PP
Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi-geografis. Selanjutnya pada Pasal 2
PP No 51 Tahun 2007 dijelaskan bahwa lingkup Indikasi-geografis meliputi :
(1) Tanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 merupakan
nama tempat atau daerah maupun tanda tertentu lainnya yang
menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi
oleh Indikasi-geografis.
(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa hasil
pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan, atau barang
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1.
(3) Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilindungi sebagai
Indikasi-geografis apabila telah terdaftar dalam Daftar Umum
Indikasi-geografis di Direktorat Jenderal.
(4) Indikasi-geografis terdaftar tidak dapat berubah menjadi milik
umum.
Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "tanda tertentu lainnya"
adalah tanda yang berupa kata, gambar, atau kombinasi dari unsur-unsur
154
tersebut, seperti kata "Minang" mengindikasikan daerah Sumatera Barat atau
gambar rumah adat Toraja, mengindikasikan daerah Toraja di Sulawesi
Selatan. Sementara yang dimaksud dengan "pertanian" mencakup juga:
kehutanan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kelautan. Sedangkan yang
dimaksud dengan "barang lainnya" mencakup antara lain bahan mentah
dan/atau hasil olahan dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil
tambang. Dijelaskan pula bahwa suatu nama, indikasi atau tanda yang telah
terdaftar sebagai Indikasi-geografis tidak dapat didegradasi, dianggap sebagai
nama barang, dan selanjutnya menjadi milik umum.
Keberadaan Indikasi-geografis bertujuan melindungi hak-hak
pemegangnya. Hak yang dilindungi dalam Indikasi-geografis dicantumkan
pada Pasal 57 UU Merek yang menyatakan bahwa :
(1) Pemegang hak atas indikasi-geografis dapat mengajukan gugatan
terhadap pemakai indikasi-geografis yang tanpa hak berupa
permohonan ganti rugi dan penghentian penggunaan serta
pemusnahan etiket Indikasi-geografis yang digunakan secara tanpa
hak tersebut.
(2) Untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang
haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk
menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakan, serta
memerintahkan pemusnahan etiket indikasi-geografis yang
digunakan secara tanpa hak tersebut.
Selain itu pelanggaran Indikasi-geografis meliputi perbuatan-perbuatan yang
dijabarkan pada Pasal 25 PP No 51 Tahun 2007 yang meliputi :
(a) Pemakaian Indikasi-geografis yang bersifat komersial, baik secara
langsung maupun tidak langsung atas barang yang tidak memenuhi
Buku Persyaratan;
(b) Pemakaian suatu tanda Indikasi-geografis yang bersifat komersial,
baik secara langsung maupun tidak langsung atas barang yang
dilindungi atau tidak dilindungi dengan maksud:
155
1. untuk menunjukkan bahwa barang tersebut sebanding
kualitasnya dengan barang yang dilindungi oleh Indikasi-
geografis;
2. untuk mendapatkan keuntungan dari pemakaian tersebut; atau
3. untuk mendapatkan keuntungan atas reputasi Indikasi-
geografis;
(c) pemakaian Indikasi-geografis yang dapat menyesatkan masyarakat
sehubungan dengan asal usul geografis barang itu;
(d) pemakaian Indikasi-geografis secara tanpa hak sekalipun tempat
asal barang dinyatakan;
(e) peniruan atau penyalahgunaan lainnya yang dapat menyesatkan
sehubungan dengan asal tempat barang atau kualitas barang yang
tercermin dari pernyataan yang terdapat pada:
1. pembungkus atau kemasan;
2. keterangan dalam iklan;
3. keterangan dalam dokumen mengenai barang tersebut;
4. informasi yang dapat menyesatkan mengenai asal usulnya
(dalam hal pengepakan barang dalam suatu kemasan); atau
(f) Tindakan lainnya yang dapat menyesatkan masyarakat luas
mengenai kebenaran asal barang tersebut.
Dalam rangka memberikan perlindungan, dilakukan dengan
mengajukan permohonan tertulis dan Buku Persyaratan sesuai syarat dan
ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 PP No 51 Tahun 2007 kepada Dirjen HKI.
Adapun yang berhak sebagai pemohon terdiri atas:
(a) lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi
barang yang bersangkutan, terdiri atas:
1. pihak yang mengusahakan barang hasil alam atau kekayaan
alam;
2. produsen barang hasil pertanian;
3. pembuat barang hasil kerajinan tangan atau barang hasil
industri; atau
4. pedagang yang menjual barang tersebut;
(b) lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau
(c) kelompok konsumen barang tersebut
Selain itu juga diatur dalama Pasal 3 PP No 51 Tahun 2007 bahwa ada
beberapa bentuk Indikasi-geografis yang tidak dapat didaftarkan meliputi
Indikasi-geografis yang bersifat :
156
(a) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas
agama, kesusilaan atau ketertiban umum;
(b) menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai: ciri, sifat,
kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau
kegunaannya;
(c) merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai
nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang
sejenis; atau
(d) telah menjadi generik.
Apabila permohonan pendaftaran Indikasi-geografis diterima, maka
permohonan itu kemudian diproses oleh Dirjen HKI. Dirjen HKI kemudian
meneruskan permohonan kepada Tim Ahli Indikasi-geografis yang dibentuk
sesuai ketentuan Pasal 14. Tim Ahli Indikasi-geografis kemudian mengadakan
pemeriksaan substansif terhadap materi yang didaftarkan. Apabila Indikasi–
geografis itu dianggap dapat didaftarkan, maka proses pendaftaran dilanjutkan
oleh Dirjen HKI yang kemudian berwenang untuk meneruskan prosesnya
menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 11 sampai 13 PP No 51 Tahun
2007.
Setelah pendaftar Indikasi-geografis diterima, maka pendaftar
memiliki kedudukan sebagai pemegang hak yang dapat melakukan gugatan
kepada pemakai Indikasi-geografis tanpa hak. Apabila ada pihak selain
pemegang hak yang ingin mengunakan Indikasi-geografis tersebut, maka
diwajibkan untuk mendaftarkan pada Dirjen HKI serta melaksanakan
ketentuan dan prosedur yang diatur dari Pasal 15 hingga Pasal 20.
Selain Indikasi-geografis, UU Merek juga mengatur mengenai Indikasi
asal. Pada Pasal 59 dinyatakan bahwa Indikasi asal dilindungi sebagai suatu tanda
yang memiliki sifat :
(a) memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1), tetapi tidak didaftarkan;
atau
(b) semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa.
157
Perlindungan terhadap Indikasi asal sebagai “Indikasi-geografis yang tidak
didaftarkan” ini merupakan implikasi dari kedudukan Indonesia sebagai
anggota WTO yang wajib mencegah peredaran barang atau jasa dengan
sumber yang palsu atau menyesatkan. Selanjutnya pada Pasal 60 UU Merek
dinyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dan Pasal
58 UU tersebut juga berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemegang hak
atas indikasi-asal.
Dalam kaitannya dengan perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional,
pengunaan Indikasi-geografis maupun Indikasi asal di Indonesia dapat
menjadi salah satu solusi yang dapat digunakan. Indikasi-geografis dalam hal
ini dapat melindungi Ekspresi Budaya Tradisional yang memiliki bentuk
barang seperti hasil kerajinan tradisional. Misalkan sekelompok pengrajin
pahat dari Suku Asmat di Propinsi Irian Jaya dapat mendaftarkan Indikasi–
geografis atas produk yang mereka hasilkan karena produk Pahatan tersebut
mengunakan kayu yang hanya ada di hutan Irian Jaya (faktor alam) dan dalam
proses pembuatannya, Pahatan tersebut memiliki akar sejarah budaya lokal
yang panjang sebagai bagian dari Suku Asmat, memiliki komunitas
pemangku, memiliki cara-cara pembuatan tradisional tertentu, dan memiliki
kesatuan wilayah produksi (faktor manusia).
Dengan mendaftarkan Pahatan Asmat sebagai Indikasi-geografis maka
kaitan antara Suku Asmat dan Pahatan yang dihasilkannya diakui dan
dilindungi. Siapapun pemakai Indikasi Geografis atas suatu benda dapat
diketahui dan diatur lewat Dirjen HKI. Suku Asmat sebagai pemegang hak
dapat melakukan gugatan terhadap pihak-pihak yang secara sengaja
mengunakan Indikasi-geografis tanpa hak.
158
Namun pengunaan Indikasi-geografis sebagai alternatif perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional tidak luput dari kesulitan. Pertama, Indikasi-
geografis hanya melindungi Ekspresi Budaya Tradisional yang memiliki
bentuk nyata sebagai sebuah produk atau barang yang dikomersialkan.
Indikasi-geografis tidak dapat digunakan untuk melindungi Ekspresi Budaya
Tradisional dalam bentuk ekspresi seni atau musikal yang bersifat lisan.
Memang, dalam hal ini kita dapat mengunakan Indikasi asal dengan definisi
sebagai penunjuk barang atau jasa sesuai Pasal 59 ayat (2) UU Merek. Tetapi
pada Pasal 59 tersebut tidak didefinisikan lebih rinci apakah pengertian “jasa”
termasuk merupakan ekspresi seni yang bersifat lisan?
Kedua, Indikasi-geografis dalam pengunaanya berfungsi melindungi
reputasi suatu barang dengan kaitannya dengan asal barang tersebut. Indikasi-
geografis tidak melindungi barang atau produk tersebut. Indikasi-geografis
tidak dapat digunakan misalkan apabila sebuah perusahaan membuat suatu
kaos dengan gambar Pahatan Asmat yang telah dilindungi dalam Indikasi-
geografis, yang kemudian dikomersilkan dan dijual ke tempat umum. Suku
Asmat pun tidak dapat menuntut kompensasi apapun karena tidak diatur dalam
Indikasi-geografis mengenai kompensasi oleh pihak pemakai suatu produk
Ekspresi Budaya Tradisional dengan masayarakat adat asal Ekspresi Budaya
Tradisional tersebut.
Ketiga, Indikasi-geografis memiliki kecenderungan monopolistik.
Suku Asmat sebagai pemilik hak atas produk Pahatannya yang telah
didaftarkan misalkan, dapat mengugat pihak-pihak diluar Suku Asmat yang
juga memproduksi produk Pahatan tersebut. Pahatan Asmat seakan hak
ekslusif Suku Asmat yang tak dapat diganggu gugat pihak lain. Hal ini malah
159
dapat menjadi kontra-produktif dan dapat menjadi sumber disintegrasi apabila
diterapkan di Indonesia. Suku Asmat misalkan dapat melarang Suku Dani
memproduksi Pahatan Asmat. Kelompok pengrajin Pekalongan dapat
melarang kelompok pengrajin kota lain untuk memproduksi Batik Pekalongan.
Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam kerangka HKI di Indonesia
selayaknya perlindungan dalam kerangka rezim HKI Konvensional, bersifat tidak utuh
dan sangat umum. Mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional harus dapat
memenuhi karakteristik dari Ekspresi Budaya Tradisional itu sendiri yang dalam hal ini
sulit dipenuhi oleh mekanisme perlindungan dalam kerangka rezim HKI Konvensional di
Indonesia pada khususnya.
Berangkat dari kegagalan mekanisme perlindungan sebelumnya tersebut, maka
Departemen Hukum dan HAM bekerjasama dengan pihak terkait mencoba menyusun
“Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan
Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.” Diharapkan
bahwa RUU ini dapat memberikan suatu mekanisme perlindungan dalam pemanfaatan
dan pelesatrian Kekayaan Intelektual Tradisional di Indonesia yang diiringi dengan
penegakan hukum yang konsisten.
Hingga saat ini RUU tersebut masih berada dalam perjuangan yang panjang untuk
diwujudkan. Berbagai upaya pembahasan telah dilakukan oleh pihak-pihak
berkepentingan, mulai dari pemerintah, LSM, hingga unsur-unsur masyarakat adat40.
Upaya pembahasan tersebut berlangsung alot karena berbagai kepentingan dan
pandangan yang berbeda satu sama lain. Beberapa pemikiran mengenai upaya yang
dimaksud adalah sbb.41 :
40 Basuki Antariksa., Wawancara., Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,(Jakarta, 1 September 2008)
41 Luthfi Asiarto, Basuki Antariksa., Op.Cit., halaman 9
160
- Perlu segera diupayakan terwujudnya kesepakatan nasional mengenai definisi
pengetahuan tradisional dan folklor. Jika bangsa Indonesia tidak memutuskan
hal tersebut, maka kondisi perlindungannya akan terus menerus berada dalam
ketidakjelasan.
- Perlu dijelaskan apa yang menjadi tujuan nasional kita untuk melindungi
pengetahuan tradisional dan folklor. Butir 2 akan terkait erat dengan perlunya
menciptakan keseimbangan antara kepentingan perlindungan dengan
kepentingan akses publik. Kecuali untuk pengetahuan tradisional dan folklor
yang bersifat sakral, jika dapat dimanfaatkan untuk kebaikan publik, maka
akses masyarakat terhadap pengetahuan tradisional dan folklor secara moral
kelihatannya tidak mungkin untuk dilarang. Ini mengandung pengertian bahwa
untuk beberapa jenis pengetahuan tradisional dan folklor, perlu ditetapkan
batas waktu pemberian perlindungan.
- Perlu ditetapkan siapa yang menjadi pemegang hak atas suatu pengetahuan
tradisional dan folklor.
- Perlu ditetapkan siapa yang berfungsi sebagai lembaga pengelola royalty atas
pengetahuan tradisional dan folklor. Mengingat HKI merupakan sarana yang
sangat penting bagi negara berkembang untuk mendukung pembangunan,
maka idealnya pemerintah propinsi/kota ditugaskan untuk menjadi pengelola
yang nantinya akan mendistribusikan royalti selain kepada pemegang hak,
juga untuk membangun daerah dan melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai hal-hal yang terkait dengan kedua jenis kekayaan intelektual
tersebut, misalnya penelitian mengenai asal-usul suatu pengetahuan tradisional
dan folklor. Ini sesuai dengan prinsip pada Pasal 36 ayat (3) dari Undang-
161
Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menetapkan
bahwa hak milik mempunyai fungsi sosial.
- Berkaitan dengan royalti, perlu ditetapkan Sui Generis system di mana jumlah
yang harus dibayar oleh orang asing yang mengeksploitasi pengetahuan
tradisional dan folklor Indonesia, dapat lebih tinggi daripada yang harus
dibayar oleh warga negara kita sendiri. Alasannya, pemanfaatan pengetahuan
tradisional dan folklor secara domestik bagi bangsa kita tidak hanya
merupakan masalah ekonomi, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan
rasa persatuan dan kesatuan antar daerah dan Suku.
- Perlu dipertimbangkan pembentukan suatu dewan perlindungan HaKI di
daerah yang fungsinya memberikan rekomendasi mengenai siapa yang berhak
atas penyaluran dana hasil royalty tersebut (semacam collective management
society).
- Perlu diberikan penghargaan khusus kepada orang-orang yang secara
individual merupakan "living human treasure" karena melestarikan eksistensi
pengetahuan tradisional dan folklor, agar dapat terus berkarya melestarikan
dan mengembangkan kekayaan intelektual semacam ini.
- Hal yang paling penting adalah melakukan law enforcement secara konsisten.
Jika ditinjau secara lebih mendalam, negara berkembang pada umumnya
hanya memiliki kemampuan sebatas mengakui bahwa suatu pengetahuan
tradisional dan folklor adalah milik mereka. Sementara itu, negara maju
memiliki berbagai sumber daya yang menjadikan mereka mampu "mengolah"
sumber-sumber kekayaan intelektual tersebut ke dalam bentuk yang sangat
menguntungkan baik secara material maupun non-material. Oleh karena itu,
negara berkembang harus mengembangkan kemampuannya ke arah tersebut
162
dengan dukungan law enforcement yang baik untuk membuktikan bahwa
dirinya mampu melindungi kekayaan intelektual pengetahuan tradisional dan
folklor, mengembangkan dan memperoleh keuntungan yang signifikan dari
kekayaan intelektual dimaksud. Jika tidak, dikhawatirkan negara berkembang
tidak akan memenangkan apapun dari perjuangannya untuk melindungi
pengetahuan tradisional dan folklor.
- Perlu dibentuk suatu lembaga untuk menyusun dan memelihara database
mengenai pengetahuan tradisional dan folklor yang lengkap sebagai dasar bagi
defensive protection. Hal tersebut akan mempermudah proses pembuktian
ketika suatu pihak mengklaim bahwa sebuah pengetahuan tradisional atau
folklor adalah miliknya, seperti kasus batik cap yang sekarang terjadi.
Sejalan dengan pembahasan RUU Tentang Perlindungan dan Pemanfaatan
Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional,
sejumlah “pekerjaan rumah” perlu segera dilakukan, secara berkelanjutan, oleh seluruh
pemangku kepentingan di tanah air dalam rangka proses menuju perlindungan HKI atas
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Sebagai langkah-langkah
awal, beberapa tindakan dimaksud adalah sebagai berikut42:
- Menyusun dan secara berkala menyempurnakan suatu database mengenai
berbagai kekayaan intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya
Tradisional yang terdapat di daerah di mana para pemangku kepentingan
tersebut berada. Database ini dapat berbentuk buku, rekaman suara atau
audiovisual, informasi di dalam jaringan internet dan sebagainya. Hal ini
sangat penting karena salah satu konsep yang diterapkan oleh banyak negara
saat ini adalah menerapkan apa yang disebut dengan defensive protection. Pola
42 Basuki Antariksa, Pedoman Umum Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan Tradisionaldan Ekspresi Budaya Tradisional., (Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata:2007), halaman 12
163
perlindungan seperti ini memungkinkan suatu negara untuk menggagalkan
klaim negara lain yang menyatakan bahwa suatu Pengetahuan Tradisional dan
Ekspresi Budaya Tradisional adalah miliknya padahal sebenarnya tidak
demikian. Di dalam database tersebut paling sedikit harus terdapat bukti
sejarah bahwa Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional
dimaksud berasal dari suatu wilayah di Indonesia, seperti misalnya alat musik
tradisional Angklung yang di dalam The Garland Encyclopedia of World
Music disebutkan sebagai salah satu bagian dari seni musik Suku Sunda.
- Perlu dilakukan pengkajian dan sosialisasi secara luas mengenai konsep-
konsep HKI “modern”, aplikasinya serta berbagai konsekuensi yang mungkin
muncul dari segi sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini sangat penting agar
masyarakat mengetahui landasan berpikir sistem HKI dalam rangka
melakukan proses analogi dengan upaya perlindungan HKI atas Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional.
- Perlu dilakukan berbagai upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
terdapat di dalam List of Core Issues. Jawaban yang memuaskan atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan sangat membantu pemerintah dalam
proses diplomasi di tingkat internasional untuk mempercepat perwujudan
instrumen internasional yang mengikat secara hukum, sehingga penegakan
perlindungan HKI atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya
Tradisional dapat diterapkan antar negara.
- Mengumpulkan data dan informasi yang akurat mengenai berbagai kasus
pencurian Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional terutama
oleh pihak asing. Data dan informasi tersebut sangat penting sebagai alat bukti
164
mengenai terjadinya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak asing, yang
merugikan bangsa Indonesia.
Selain melakukan upaya di tingkat nasional, Indonesia turut aktif dalam forum-
forum internasional yang membahas mengenai perlindungan Kekayaan Intelektual
Tradisional43. Dalam kedudukannya sebagai anggota WIPO, Indonesia turut aktif dalam
pembahasan-pembahasan di WIPO Intergovernmental Committee on Intellectual
Property and Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC-GRTKEF).
Dalam Sidang ke 11 IGC GRTKEF pada tanggal 3-12 Juli 2007, delegasi Indonesia
dalam butir-butir list of issues tetap menekankan pentingnya pembentukan international
legally binding instrument44.
Pembentukan international legally binding instrument dirasa sangat penting
mengingat banyak pelanggaran terhadap perlindungan Kekayaan intelektual Tradisional
yang terjadi diluar batas negara karena pesatnya perkembangan teknologi dan
berkembangnya bentuk pelanggaran yang terjadi. Karena itu dibutuhkan suatu bentuk
international legally binding instrument yang mengatur mengenai masalah perlindungan
dan pemanfaatan Kekayaan Intelektual Tradisional di tingkat internasional. Tuntutan ini
telah berkembang sejak lama, terutama di negara-negara berkembang. Namun karena
benturan kepentingan dengan negara maju yang merupakan penguna terbesar dari
Kekayaan Intelektual Tradisional, hingga saat ini belum ada kata sepakat untuk
pembentukan international legally binding instrument45.
Diluar kerangka WIPO, Indonesia juga turut serta lewat forum multi-regional New
Asia-Africa Strategic Partnership (NAASP). Lewat NAASP ini kemudian Indonesia turut
memprakarsai Asian Africa Forum on Traditional Cultural Expressions, Traditional
43 Dede Mia Yusanti., Wawancara., Dirjen HKI Departemen Hukum dan HAM RI, (Tangerang, 27 Agustus2008)
44 Lihat Laporan Hasil Sidang IGC GRTKEF Ke-11 halaman 245 Basuki Antariksa., Wawancara., Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
(Jakarta, 1 September 2008)
165
Knowledge and Genetic Resources di Bandung pada tanggal 18-20 Juni 2007. Forum ini
menghasilkan Bandung Declaration on the Protection of Traditional Cultural
Expressions, Traditional Knowledge and Genetic Resources yang salah satu butirnya
kembali menyatakan pentingnya pembentukan international legally binding instrument.
166
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada pembahasan Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Rezim Hak
Kekayaan Intelektual, maka dapat disimpulkan:
1. Rezim Hak Kekayaan Intelektual Konvensional memberikan perlindungan
terhadap Ekspresi Budaya Tradisional lewat dalam kerangka Hak Cipta, Hak
Penampil maupun Indikasi-geografis. Kekuatan utama perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual Konvensional adalah adanya rezim perlindungan yang
mapan dan legally-binding di tingkat sub-regional, regional maupun
internasional, baik dalam kerangka WIPO maupun TRIPS.
Hingga saat ini, mekanisme perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
Konvensional yang dapat secara langsung maupun tidak langsung kita
implementasikan untuk melindungi Ekspresi Budaya Tradisional dapat kita
temui dalam berbagai instrumen hukum internasional seperti meliputi The
Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1967,
WIPO Performances and Phonograms Treaty 1996, Paris Convention for the
Protection of Industrial Property 1979 dan Agreement on Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights.
2. Rezim Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis memberikan perlindungan
terhadap Ekspresi Budaya Tradisional lewat kerangka yang lebih bersifat utuh
dan khusus. Diharapkan melalui perlindungan Hak Kekayaaan Intelektual Sui
Generis, Ekspresi Budaya Tradisional tetap dapat dilindungi dengan
memperhatikan nilai-nilai pembangunan ekonomi, nilai-nilai adat (termasuk
167
spiritual) dan nilai komunalnya. Karena itulah perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual Sui Generis yang memperhatikan karakteristik-karakteristik khusus
dari Kekayaan Intelektual Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional pada
khususnya diperlukan.
Hingga saat ini, WIPO dan UNESCO telah merumuskan dua model
perlindungan hukum di tingkat nasional dalam kerangka perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual Sui Generis. Model perlindungan hukum terebut terdiri
atas WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for Developing Countries dan
WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of
Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial
Actions.
3. Pada tingkat nasional, perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional secara
umum dikategorikan dalam dua pendekatan berbeda. Pendekatan pertama
menempatkan Ekspresi Budaya Tradisional sama seperti bentuk Kekayaan
Intelektual lainnya. Maka Ekspresi Budaya Tradisional tidak membutuhkan
pengaturan khusus, namun cukup dengan mengunakan Rezim Hak Kekayaaan
Intelektual Konvensional yang telah ada.
Pendekatan kedua beranggapan bahwa sekedar rezim Hak Kekayaaan
Intelektual Konvensional belaka tidak akan cukup. Karena itu diperlukan
bentuk perlindungan yang menempatkan Ekspresi Budaya Tradisional dalam
kerangka khusus, melalui suatu bentuk perlindungan Sui Generis.
Kedua bentuk perlindungan ini tidak bersifat eksklusif. Negara misalkan dapat
melindungi dalam kerangka double-track system, dimana rezim Hak
Kekayaaan Intelektual melindungi satu aspek dari Ekspresi Budaya
168
Tradisional tersebut, sementara aspek lain dilindungi dibawah kerangka
hukum Sui Generis.
Di Indonesia sendiri, perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional dan
Kekayaan Intelektual Tradisional lain, pada khususnya telah dirintis lewat
Pasal 10 UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Sayangnya upaya
perlindungan melalui mekanisme Hak Cipta ini dianggap gagal karena hingga
sekarang tak dapat diimplementasikan. Diluar kerangka mekanisme Hak
Cipta, perlindungan terhadap Ekspresi Budaya Tradisional juga mungkin
dilakukan lewat Indikasi-geografis dan Indikasi-asal seperti yang tertuang
dalam UU Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek serta PP Nomor 51 Tahun
2007 Tentang Indikasi-geografis. Namun Indikasi-geografis inipun tidak luput
dari berbagai hambatan dan tantangan serupa hingga sulit untuk memberikan
mekanisme perlindungan yang bersifat utuh dan khusus.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan atas permasalahan yang ada diatas maka penulis
memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Pada dasarnya perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional melalui lingkup Hak
Kekayaan Intelektual Konvensional mungkin dilakukan, namun lingkup
perlindungan melalui Hak Kekayaan Intelektual Sui Generis tetap diperlukan,
baik sebagai komplementer dalam kerangka double-track system terhadap
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Konvensional yang telah ada maupun
sebagai mekanisme perlindungan khusus dan utuh serta berdiri sendiri
terhadap Ekspresi Budaya Tradisional.
169
2. Terkait implementasinya sendiri, untuk saat ini sangat diperlukan suatu
mekanisme perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dalam rezim Hak
Kekayaan Intelektual Sui Generis yang bersifat khusus dan menyeluruh.
Mengingat berbagai tantangan dan hambatan yang ada terutama berkaitan
dengan pembentukan mekanisme perlindungan yang bersifat legally-binding
di tingkat internasional, maka diusulkan bahwa agar setiap negara membentuk
suatu mekanisme perlindungannya sendiri dalam sistim hukum masing-masing
yang bersifat khusus untuk memenuhi kebutuhan yang khas dari negara
tersebut.
Setelah mekanisme perlindungan di tingkat nasional terbentuk, maka langkah
selanjutnya dapat dilakukan dengan membentuk mekanisme perlindungan di
tingkat sub-regional, baik secara bilateral maupun multilateral. Mekanisme ini
diharapkan berfungsi memberi perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di
wilayah antara negara-negara yang memiliki budaya serumpun. Setelah itu
langkah selanjutnya adalah membentuk suatu mekanisme perlindungan di
tingkat regional. Antara negara-negara kawasan yang secara geografis
berdekatan hingga karenanya memiliki pola budaya yang serupa.
Setelah langkah-langkah tersebut terpenuhi, maka barulah memungkinkan
agar dibentuknya suatu kerangka internasional dari mekanisme perlindungan
Ekspresi Budaya Tradisional yang bersifat legally-binding.
3. Berkaitan dengan implementasi perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional di
Indonesia pada khususnya, hal pertama dan utama yang harus dilakukan
terlebih dahulu adalah dengan menyusun database kekayaan budaya nasional.
Beriringan dengan itu, pemerintah juga menyusun peraturan hukum nasional
yang memberi perlindungan dan mengatur pengunaan terhadap kekayaan
170
budaya tersebut. Peraturan tersebut dapat bersifat Sui Generis dalam kerangka
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dari masyarakat adat pemilik
kekayaan budaya yang dilindungi.
Selain itu mengingat kondisi masyarakat Indonesia dengan budayanya yang
sangat heterogen, maka peraturan tersebut bersifat umum dan menyeluruh
dengan dibantu Perda di masing-masing daerah untuk mengatur hal-hal yang
bersifat spesifik dan unik sesuai karakteristik dan kebutuhan komunitas
masyarakat adat di masing-masing daerah.
DAFTAR PUSTAKA
1. BukuAshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001.
Hadikusuma, Hilman, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,Mandar Maju, Bandung, 1995.
Hansen, Stephen A. dan Justin W. VanFleet, Traditional Knowledge and IntellectualProperty: A Handbook on Issues and Options for Traditional KnowledgeHolders in Protecting their Intellectual Property and Maintaining BiologicalDiversity, Washington, Juli 2003.
Janke, Terri, Minding Culture : Case Studies on Intellectual Property and TraditionalCultural Expressions, WIPO, Jenewa, 2003.
Lindsey, Tim, Eddy Damian,Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak KekayaanIntelektual: Suatu Pengantar, PT Alumni, Bandung, 2002.
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
Santoso, Budi, Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, Pustaka Magister, Semarang,2008.
Valsala, P.V., National Experiences With The Protection of Expressions ofFolklore/Traditional Cultural Expressions: India, Indonesia and Philipines,WIPO, Jenewa, November 2002.
WIPO Secretariat, Consolidated Analysis of The Legal Protection of TraditionalCultural Expression/Expression of Folklore, WIPO, Jenewa, Mei 2003.
______________, Intellectual Property and Traditional CulturalExpressions/Folklore, WIPO, Jenewa.
2. Makalah Hukum
Adhimiharja, Kusnaka, Jenis Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor SertaKarakteristiknya, 1 Februari 2007.
Antariksa, Basuki, Pedoman Umum Upaya Perlindungan Kekayaan Intelektual AtasPengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional, Biro KerjasamaLuar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, 2007.
______________, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional :Keterkaitan Dengan Rezim Hak Kekayaan Intelektual, Biro Kerjasama LuarNegeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta.
Asiarto, Luthfi dan Basuki Antariksa., Beberapa Bentuk Perlindungan Hukum BagiFolklor dan Pengetahuan Tradisional di Berbagai Negara, makalahdisampaikan pada acara Forum Konsultasi Menuju Perlindungan Hukum atasEkspresi Budaya Tradisional dan Pengetahuan Tradisional, (Jakarta, 30November - 1 Desember 2004).
Ayu, Miranda Risang, “Indikasi Asal Bagi Kekayaan Adat.”, Kompas, 25 Oktober2008, halaman 14
Blakeney, Michael, Intellectual Property in The Dreamtime-Protecting the CulturalCreativity of Indigenous People, Research Seminar - Oxford IntellectualProperty Research Centre, (Oxford, 9 November 1999).
______________, Protecting Traditional Cultural Expressions : The InternationalDimension, 2006
Danandjaya, James, Perlindungan Hukum Terhadap Folklor di Indonesia, Depok,Agustus 2003.
Githaiga, Joseph, Intellectual Property Law and the Protection of Indigenous Folkloreand Knowledge, Murdoch University School of Law, Juni 1998.
Purba, A. Zen Umar, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, makalahdisampaikan pada acara Orientasi Kepailitan bagi para Hakim Agung,Pusdiklat Mahkamah Agung RI, (Jakarta, 29 Januari 2002).
Riswandi, Budi Agus, Hak Kekayaan Intelektual Prospek dan Tantangannya diIndonesia, makalah disampaikan pada acara Prospek Hukum Bisnis dan PasarModal, Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta, 11 Maret 2005).
Roisah, Kholis, “Perlindungan hukum Terhadap Kekayaan Intelektual Tradisional,”Majalah Ilmiah Masalah-Masalah Hukum FH UNDIP edisi Juli-September2006, halaman 354-364.
Sedyawati, Edi, Warisan Tradisi, Penciptaan dan Perlindungan, makalah disampaikanpada acara Temu Wicara Perlindungan Hukum Folklore dan TraditionalKnowledge, Departemen Kehakiman dan HAM, (Jakarta, 13 Agustus 2003).
Siagian, Rizaldi, Jenis-jenis Pemanfaatan Atas Pengetahuan Tradisional dan EkspresiFolklor Yang Perlu Dilindungi dan Implikasi Pemanfaatannya, April 2007.
Syamsudin, Arif, ”Antara Pelestarian dan Perlindungan Ekspresi BudayaTradisional/Pengetahuan Tradisional dan Perlindungan Hak KekayaanIntelektual bagian pertama", Media HKI Departemen Hukum dan HAM RIedisi Juni 2008, halaman 22-25.
3. Perundang-undangan.United Nations Declaration of Human Rights
United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
United Nations International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
Convention on Establishing the World Intellectual Property Organization
The Stockholm Diplomatic Conference for Revision of the Berne Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works 1967
International Convention for the Protection of Performers, the Producers of
Phonograms and Broadcasting Organizations
WIPO Performances and Phonograms Treaty
Paris Convention for the Protection of Industrial Property
Convention on Biological Diversity
Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights
UNESCO Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage 2003
ILO Indigenous and Tribal Peoples Convention
WIPO-UNESCO Model Law on Copyright for Developing Countries
WIPO-UNESCO Model Provisions for National Laws on the Protection of
Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudicial Actions
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta beserta penjelasannya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek beserta penjelasannya
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi-geografis
The Indian Copyright Act (India)
the Indigenous Peoples Rights Act of 1997 (Filipina)
4. Artikel Berita
Antara.co.id, Gubernur Maluku Bersikeras Lagu "Rasa Sayange" Milik Indonesia, (3Oktober 2007)
__________, Malaysia Akhirnya Akui "Rasa Sayange" Sebagai Milik Bersama, (17November 2007)
Hukumonline, Indonesia Masih Telusuri Bukti Kepemilikan Lagu 'Rasa Sayange, (23Oktober 2007)
Kompas Cybermedia, Lagu Rasa Sayange Direkam di Lokananta, (2 November2007)
Tempo Interaktif, Indonesia dan Malaysia Mengkaji Rasa Sayange, (17 November2007)
5. Wawancara
Dra. Dede Mia Yusanti. MLS, Wawancara., Kasubdit Pengembangan pada DirektoratJenderal HKI Departemen Hukum dan HAM RI, (Tangerang, 27 Agustus2008)
Basuki Antariksa., Wawancara., Kasubag UNESCO dan WTO pada Biro KerjasamaLuar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, (Jakarta, 1 September2008)
6. Website
www.un.org/Overview
www.wipo.int/
www.wto.org
www.mun.ca/indigenousIP/index.html
www.antara.co.id/
www.kompas.com/
www.hukumonline.com/
www.tempointeraktif.com/
top related