perkawinan batak toba
Post on 15-Dec-2016
361 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
ABSTRAK
KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA
DI KOTA DENPASAR
Perkawinan bagi suku Batak Toba merupakan ikatan seorang laki-laki
dengan seorang perempuan beserta kaum kerabat pihak laki-laki (paranak)
dengan kaum kerabat perempuan (parboru). Melalui upacara perkawinan,
komunitas Batak Toba boleh memasuki dalihan na tolu. Selain sebagai jembatan
untuk memasuki dalihan na tolu, upacara perkawinan juga merupakan syarat
untuk dapat melakukan siklus hidup. Untuk mencapai tujuan itu, komunitas Batak
Toba di Kota Denpasar tetap melangsungkan upacara perkawinan secara adat
Batak Toba. Meskipun demikian praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota
Denpasar sudah dipenuhi dengan konsumerisme. Fenomena ini sudah menjadi
kebiasaan dan mereka lakukan secara sadar seakan-akan suatu keharusan.
Berdasarkan fenomena ini perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui: bentuk
konsumerisme, faktor terjadinya konsumerisme, dan implikasi konsumerisme
dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar sehingga komunitas
Batak Toba tidak larut dalam konsumerisme yang berkepanjangan.
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif, dan pengumpulan data dilakukan secara observasi, wawancara
mendalam, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif
kualitatif dan interpretatif. Untuk menjaga nama baik dan kerahasiaan informan,
beberapa informan dalam penelitian ini memakai nama samaran. Sedangkan
informan yang tidak perlu dirahasiakan, namanya ditulis seperti penulisan biasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumerisme dalam upacara
perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar tampak kompleks dan mahal karena
harus menghabiskan waktu yang panjang dan juga biaya yang banyak. Bentuk
konsumerisme yang mereka lakukan dalam upacara perkawinan yaitu, upacara
dilangsungkan di tempat yang mewah, mengundang banyak orang, mengonsumsi
objek yang tidak perlu, jumlah mahar yang besar, dan menghabiskan durasi yang
panjang. Perilaku ini terjadi karena faktor globalisasi, gaya hidup, budaya populer,
media massa, dan pemahaman yang kurang akan upacara perkawinan itu sendiri.
Implikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar
menguatnya sifat individualis, menguatnya sifat materialis, dan menguatnya sifat
globalis.
Dari penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa, terjadinya
konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar karena
terjadinya pergeseran nilai guna dan nilai tukar menjadi nilai tanda dan nilai
simbolik. Pergeseran ini terjadi karena gaya hidup, citra, gengsi sebagai gaya
hidup modern. Budaya konsumerisme menjadi hal yang biasa dan dianggap
menjadi suatu keharusan. Melalui tulisan ini disarankan kepada tokoh adat, tokoh
agama, Pemerintah Daerah di Sumatera Utara dan juga masyarakat Batak Toba
umumnya melakukan suatu kerjasama untuk mengurangi praktik upacara
perkawinan yang semakin konsumerisme.
Kata kunci: konsumerisme, upacara perkawinan Batak Toba, globalisasi.
2
ABSTRACT
CONSUMERISM IN BATAK TOBA WEDDING CEREMONY
IN THE CITY OF DENPASAR
Marriage for the ethnic of Batak Toba is a bond between a man and a
woman as well as to tie together the relatives of the man (paranak) with the
relatives of the woman (parboru). Through the marriage ceremony, Batak Toba
community are able to enter into dalihan na tolu. Besides as a bridge to enter
dalihan na tolu, marriage ceremony is also a requirement to be able to commit life
cycle. In order to achieve the purpose, Batak Toba communities in the city of
Denpasar still solemnize the marriage according to Batak Toba tradition. The
practice of Batak Toba traditional wedding ceremony in the city of Denpasar has
been filled with consumerism. This phenomenon has become a habit and the
Batak Toba people do it consciously as if a must. Based on the phenomena, it is
urgent to conduct a research to note the form of consumerism, the factors of
being consumerism and the implications of consumerism in a marriage ceremony
of Batak Toba community in Denpasar so that through this research, the
community of Batak Toba in Denpasar do not lose themselves into a prolonged
consumerism.
Research method performed in this study is qualitative methods and data
collection was done by doing observation, in-depth interviews and documentation.
Data analysis was conducted through qualitative and interpretative. To keep the
confidentiality and the name of informants secret, some informants use a pen
name (pseudonym), while informants who do not need to be kept secret, their
names were written as usual writing in this study.
This study found that the form of consumerism in Batak Toba traditional
wedding ceremony in Denpasar seem complex and expensive because the people
have to spend a long time and also cost a lot. The form of consumerism shows
from the habit of the Batak people who solemnize marriage in a luxurious place,
inviting a lot of people, consume unnecessary object and high brideprice. This
behavior occurs because of globalization, lifestyle, popular culture, mass media
and the lack of understanding about the marriage itself. The implications of
consumerism in Batak Toba traditional wedding ceremony in Denpasar leads to
individualist, materialist and globalist.
This research concluded that Batak Toba communities solemnize
consumerism in wedding ceremony. Consumerism in Batak Toba Wedding
ceremony in the city of Denpasar use to happen because the value of use and
change shift and serve as simbolic value. The shifting in change and use caused
by the lifestyle, image, prestige as modern lifestyle. Culture of consumerism
become commonplace and considered to be a necessity. This paper sugest the
leading figure in religion, culture and custom holder, the local stakeholder in
Sumatera and the all the Batak people to make a good cooperation in improving
consumerism in Batak Toba wedding ceremony, so the people do not getting lost
in the culture of consumerism.
Keywords: consumerism, Batak Toba traditional wedding ceremony,
globalization
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkawinan pada suku Batak Toba merupakan suatu pranata yang mengikat
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Selain itu, perkawinan juga mengikat
hubungan kaum kerabat pihak laki-laki (paranak) dengan kaum kerabat dari
perempuan (parboru).Karena itu menurut adat kuno seorang laki-laki tidak bebas
memilih jodohnya (Bangun, 1982: 102).Perkawinan yang dianggap ideal yaitu
seorang anak laki-laki dengan anak perempuan saudara pria ibunya (matrilateral
cross cousin) dalam bahasa daerah disebut marpariban.Namun dalam kenyataan
akhir-akhir ini kawin marpariban sudah semakin berkurang kuantitasnya (Bruner,
1986: 164).
Untuk melaksanakan perkawinan, suku Batak Toba mempunyai cara atau
proses perkawinan yang dimulai dengan meminang dalam bahasa daerahmarhusip
hingga upacara puncak “memberi dan menerima adat”. Sepintas diperhatikan
seluruh proses ini merupakan hal yang lumrah, dan sudah sering dilaksanakan
tetapi jika diamati lebih jauh sebenarnya pelaksanaan upacara tersebut tidak ada
yang baku, bermacam-macam model tergantung dari tokoh adat setempat dan
kedua “hasuhuton” (kedua belah pihak) yaitu pihak pengantin laki-laki dan pihak
pengantin perempuan.
Bagi suku Batak Toba, adat perkawinan merupakan hal yang sangat
penting, sebab melalui upacara ini keluarga bersangkutan berhak
4
mengadakansiklus hidup seperti menyambutanak yang baru lahir,perkawinan,
kematian, dan lain-lain. Keluarga yang belum melangsungkan upacara adat
perkawinan dalam bahasa Batak Toba mangadati tidak berhak memberi adat
kepada orang lain dan juga tidak berhak menerima adat dari orang lain. Upacara
perkawinan merupakan jembatan yang mempertemukan tungku yang tiga dalam
bahasa daerahdalihan na tolu pihak pengantin laki-laki dengan dalihan na tolu
pihakpengantin perempuan (Siahaan, 1982: 58).
Dalihan na tolu secara harafiah ialah tungku yang tiga yang merupakan
lambang sistem sosial masyarakat Batak. Tungku adalah tempat memasak yang
terdiri atas tiga buah batu yang dijadikan penopang alat masak dan di atas tungku
ini diletakkan alat memasak makanan. Ketiga batu itu sama tinggi dan sama besar
supaya ada keseimbangan, menunjukkan bahwa ketiga unsur dalihan na
tolu(dongan tubu, hula-hula, dan boru) sama penting dan harus seimbang yang
membedakannya adalah peran. Dalihan na tolu adalahDongan tubu atau dongan
sabutuha yaitu pihak yang semarga, boru yaitu pihak yang menerima isteri, dan
hula-hula yaitu pihak yang memberi isteri. Ketiga unsur ini tidak ada yang lebih
penting, dengan kata lain hula-hula, dongan tubu, dan boru ketiganya
samaperlunya (Sinaga, 2012: 20).
Secara adat seluruh masyarakat Batak harus masuk ke dalam dalihan na
tolu. Sesuai dengan prinsipnya segala upacara adat harus berdasarkan adat dalihan
na tolu. Jika ada salah satu unsur dalihan na tolu tidak lengkap, maka upacara
adat yang dilaksanakan adalah cacat atau bercela. Merupakan suatu hal yang
sangat perlu dijaga hubungan baik antara boru, dongan tubu dan hula-
5
hulasehingga segala upacara adat dapat berlangsung dengan sempurna.
Kesempurnaan suatu adat Batak diukur dari kelengkapan dan hubungan baik
antara dalihan na tolu (Siahaan, 1982: 52).
Di era globalisasi upacara perkawinan Batak Toba mengalami banyak
pergeseran.Sebelum globalisasi upacara perkawinan merupakan hal yang sakral,
tetapi akibat globalisasi kesakralan itu semakin memudar.Pada kehidupan
tradisional masyarakat membuat tahapan-tahapan yang harus dilewati setiap
orang. Upacara tersebut sebagai legitimasi untuk memasuki tahap baru. Tahapan-
tahapan itu harus secara berurutan dan diperankan orang tertentu, namun di era
globalisasi tahapan itu sudah bisa diubah dan pemerannya dapat dipertukarkan
bahkan diperankan oleh orang lain yang mendapat bayaran. Menurut
Piliang(2011: 13) akibat globalisasi segala macam citraan dapat dilihat setiap
orang, rahasia pribadi menjadi milik umum, segala perbuatan dapat dilakukan
semua orang sehingga upacara-upacara menjadi kehilangan makna sosiologisnya.
Upacara yang dilakukan menuju pernikahan sampai ke hari pernikahan
dipenuhi dengan makna. Makna-makna yang terdapat dalam proses ini mengalami
perubahan akibat globalisasi. Salah satu contoh dapat dilihat dari proses awal
pernikahan yaitu marhusip. Marhusip merupakan acara yang dilakukan oleh
keluarga pihak laki-laki dengan keluarga pihak perempuan yang sangat rahasia
sekali tentang rencana anak mereka untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini
sangat rahasia karena dimungkinkan rencana perkawinan tersebut batal untuk
dilangsungkan, untuk itu sangat dirahasiakan.Tetapi pada saat sekarang marhusip
6
bukan lagi rahasia empat mata antara pihak keluarga laki-laki dengan keluarga
perempuan tetapi sudah transparan kepada khalayak umum.
Ketika segala sesuatunya transparan dan berputar dalam sirkuit global,
maka hukum yang mengatur masyarakat global bukan lagi hukum kemajuan,
melainkan hukum orbit seperti yang dikatakan Jean Baudrillard (dalam Piliang,
2011: 132). Menurut hukum orbit, segala sesuatu berputar secara orbital dan
global, berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu komunitas ke
komunitas lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain.
Pada upacara adat perkawinan Batak, makna-makna yang terkandung
dalam seluruh proses upacara perkawinan sudah tidak jelas. Kebanyakan proses
itu dilakukan berdasarkan kebiasaan bahkan pencitraan bukan berdasarkan makna
sebenarnya. Budaya lain yang bukan miliknya dikonsumsi seakan-akan
identitasnya akibat globalisasi.Misalnya pola makanprasmanan yang disajikan
pada pelaksanaan upacara perkawinan. Dengan sistem prasmanan peran dalihan
na tolu sudah memudar, dan hormat menghormati menjadi hilang. Seperti
pendapat Robertson (dalam Barker, 2004: 115), globalisasi sebagai proses yang
menghasilkan dunia tunggal. Masyarakat di seluruh dunia menjadi saling
tergantung di semua aspek kehidupan: politik, ekonomi, dan kultural. Semua
aspek kehidupan ini berkembang melampaui batas tradisional dan mengikat
satuan masyarakat yang sebelumnya terpisah dan sekarang menjadi satu sistem
global.
Globalisasi bukan hanya soal ekonomi saja namun juga makna kebudayaan
yang terkandung dalam masing-masing budaya lokal.Nilai dan makna yang
7
terdapat dalam kebudayaan semakin terjerat dalam jaringan yang luas. Budaya
lokal mengidentifikasikan dirinya dengan proses global sehingga sulit dibedakan
budaya lokal dan budaya global (Barker, 2004:116).
Globalisasi sudah mempengaruhi pelaksanaan upacara perkawinan Batak
Toba sehingga mengakibatkan pergeseran makna.Namun demikian, upacara ini
masih tetap berlangsung sampai saat ini dengan alasan jika satu keluarga belum
melaksanakan adat perkawinan, maka seluruh keturunannya di kemudian hari
tidak boleh melakukan adat perkawinan.Merupakan suatu hal yang memalukan
bagi suatu keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum melaksanakan adat
perkawinan.Dengan demikian bagaimanapuncaranya setiap keluarga selalu
berusaha untuk melaksanakan adat perkawinannya.
Komunitas Batak Toba yang berdomisili di Kota Denpasar pada tahun 2014
menurut data dari gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan gereja HKI
(Huria Kristen Indonesia)ada sejumlah1.204 jiwa (lihat tabel 4.5). Dari kuantitas
pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasaryaitu, tahun 2012
sebanyak tujuh pasangan, 2013 sebanyak enam pasangan, dan tahun 2014
sebanyak delapan pasangan (lihat tabel 5.1). Biaya yang digunakan dalam satu
upacara perkawinan minimal Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) bahkan
sampai miliaran Rupiah. Selain menghabiskan biaya yang tidak sedikit, juga
menghabiskan waktu yang sangat panjang. Tokoh adat dan juga keluarga yang
melangsungkan pernikahan menginginkan pelaksanaannya secara ringkas, namun
dalam kenyataannya malah menjadi bertele-tele. Sangat sedikit upacara
8
perkawinan Batak yang sederhana. Atas dasar alasan tersebut perlu dilakukan
penelitian.
Yang menarik tentang adat ini, kemana orang Batak Toba pergi merantau,
ke kota atau ke luar negeri adatnya selalu dibawa, bahkan sering terjadi adat lebih
kuat dari agama (Castles, 1940: xviii-xix).Bagi suku Batak Toba tidak beragama
bukan soal, namun kalau tidak “ber-adat” merupakan masalah yang sangat besar.
Adat merupakan suatu kebanggaan bagisuku Batak Toba untuk menunjukkan
identitas yang sebenarnya.
Pada perkembangan akhir-akhir ini hubungan antara adat dan agama sangat
erat sekali ibarat dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan namun selalu
beriringan. Pelaksanaan adat selalu diikuti oleh agama dalam hal ini agamakristen,
dan pelaksanaan agama selalu diwarnai oleh adat.Yang menjadi masalah
pelaksanaannya yang konsumerisme menghabiskan biaya ratusan juta bahkan ada
sampai milyaran rupiah.
Untuk menanggung biaya yang tidak sedikit ini usaha yang dilakukan yaitu,
(1).Meminta bantuan dari keluarga dalam bahasa daerah disebut papungu
tumpak.Jumlah yang terkumpul biasanya sangat kecil tidak mencukupi untuk
menutupi biaya pesta perkawinan;(2). Meminjam ke pihak yang lain. Untuk
mendapatkan pinjaman tentu mempunyai syarat misalnya punya jaminan sehingga
tidak semua boleh mendapatkannya;(3). Menjual harta berharga yang dimiliki.Hal
ini yang sering dilakukan para orang tua untuk melaksanakan upacara perkawinan
anaknya.Menjual harta berharga misalnya perhiasan, kenderaan, tanah, dll.
Perilaku yang menjual harta berharga seperti ini merupakan hal yang biasa bagi
9
komunitas Batak Toba. Upacara perkawinan menjadi hal yang sangat utama bagi
kehidupan mereka.
Pelaksanaan upacara perkawinan yang menggunakan biaya besar tetap
dilakukan di daerah rantau untuk menunjukkan identitas.Kebanggaan untuk
menunjukkan identitas di daerah rantau bagi suku Batak sangat berbeda dengan
suku lain. Suku Batak mempunyai misi budaya (cultural mission) untuk
membangun kerajaan-kerajaan pribadi didaerah rantau sehingga mereka
memerlukan tanah, rumah, dan anak.Misi budaya adalah seperangkat tujuan yang
didasarkan pada nilai-nilai yang dominan dari pandangan dunia (cosmology) dari
suatu masyarakat tertentu, dimana anggota masyarakat itu diharapkan untuk
mencapainya (Pelly, 1994: 293).
Dalam buku Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau
dan Mandailing (1994), Pelly menjelaskan bahwa suku Minangkabau mempunyai
misi budaya dalam hal merantau untuk memperkaya dan memperkuat alam
Minangkabau.Oleh karena itu dalam kosmologi Minangkabau mengenal dua alam
yaitu alam Minangkabau (Minangkabau world) dan alam rantau (migration
world).Suku Minangkabau mempunyai misi budaya merantau dan hasil misi
merantau dibawa ke alam Minangkabau disebut dengan istilah migrasi yang
berputar (Pelly, 1994: 294). Berbeda dengan misi budaya Minangkabau, suku
Batak mempunyai misi budaya merantau untuk memperluas kampung
halamandan mendirikan kerajaan pribadi (sahala harajaon). Kosmologi mereka
tentang alam rantau (bona ni ranto) yang dikuasai merupakan bagian integral dari
alam kampung halaman (Pelly, 1994: 295). Misi budaya yang memandang daerah
10
rantau merupakan perluasan kampung halaman untuk mendirikan kerajaan-
kerajaan pribadi (sahala harajaon), berimplikasi dalam pelaksanaan segala
upacara adat yang dilaksanakan di daerah rantau.Upacara-upacara adat diusahakan
seperti pelaksanaan upacara yang dilakukan seorang raja dengan penuh
kemewahan sehingga upacara perkawinan menggunakan biaya yang tinggi.
Pelaksanaan upacara perkawinan memerlukan biaya yang tinggi disebabkan
sifat konsumerisme yang ada.Konsumerisme dapat terjadi dari segi kuantitas
(jumlah yang dikonsumsi melebihi yang dibutuhkan) dan juga segi kualitas
(kualitas tertentu). Sifat konsumerisme tersebut dapat diamati dari objek yang
dikonsumsi bukan hanya berdasarkan nilai guna dan nilai utilitas tetapi lebih
didominasi nilai tanda dan nilai simbol. Nilai tanda dan nilai simbol sangat perlu
untuk menunjukkan identitasnya di daerah rantau.
Seperti yang diutarakan Piliang (2012: 142), manusia mengonsumsi objek-
objek bukan sekedar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya, tetapi juga
untuk mengkomunikasikan makna-makna tertentu.Demikian juga dalam upacara
perkawinan Batak Toba banyak objek yang dikonsumsi di luar nilai guna budaya
adat Batak. Contoh-contoh ini dapat dilihat dari: cenderamata yang dalam adat
perkawinan Batak tidak mengenal hal itu. Contoh yang lain mendatangkan artis
dengan bayaran mahal. Contoh-contoh ini tidak ada kaitannya dalam upacara
perkawinan namun dalam pelaksanaannya cenderamata dan mengundang artis
seakan kebutuhan primer.Padahal jika diperhatikan lebih jauh hal itu hanya
merupakan pencitraan semata.
11
1.2 Rumusan Masalah
Proses yang panjang dan juga biaya yang tinggi selalu menjadi masalah di
setiap acara perkawinan Batak Toba namun belum ada jalan keluarnya. Sebagian
tetap mempertahankan, sebagian tidak setuju akan proses yang panjang dan biaya
yang tinggi namun belum berhasil memperbaikinya. Penelitian ini bersifat
emansipatoris sebagai ciri kajian budaya dengan mencari bentuk, penyebab
konsumerisme dan juga mencari makna-makna yang terkandung dalam upacara
perkawinan tersebut. Untuk memfokuskan penelitian, masalah yang akan diteliti
adalah
a. Bagaimana bentuk konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak
Toba di KotaDenpasar?
b. Mengapa terjadi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba
di Kota Denpasar?
c. Apaimplikasikonsumerismedalam upacara perkawinan Batak Toba di
Kota Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan
pemahaman yang lengkap tentang konsumerisme dalam upacara perkawinan
Batak Toba di KotaDenpasar.Dengan demikian, penelitian ini bertujuan agar
komunitas Batak Toba di Kota Denpasar tidak semakin hanyut dalam budaya
konsumerisme dalam melaksanakan upacara perkawinannya.
12
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui bentuk konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak
Toba di Kota Denpasar.
2. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhikonsumerisme dalam
upacara perkawinan Batak Toba di KotaDenpasar.
3. Mengetahuiimplikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak
Toba diKota Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Diharapkan dari penelitian ini memberikan sumbangan:
1) Pengetahuan teoretis tentang proses upacara perkawinan pada
masyarakat Batak Toba.
2) Referensi ilmiah bagi peneliti selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan:
1) Menumbuhkan kesadaran yang benar tentang perkawinan Batak Toba.
2) Menyadarkan esensi sebuah perkawinan khususnya Batak Toba.
3) Dapat diambil solusi terhadap perbedaan pandangan antara kelompok
yang ingin mempertahankan bentuk yang sekarang dan kelompok yang
mau mengubah dengan model baru atau kembali seperti model awal.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian yang membahas tentang konsumerisme terkait upacara
perkawinan di Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana
sepengetahuan penulis belum ada.Hanya ada relatif sedikit karya menyangkut
konsumerisme tetapi tidak terkait upacara perkawinan. Dari judul yang sedikit itu,
di antaranya sebagai berikut:“Upacara Ngaben Massal Masyarakat Desa
Pakraman Sudaji, Kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng: Sebuah Kajian
Budaya” oleh Nyoman Sukraaliawan (2007).Tesis tersebut bukan secara spesifik
membahas tentang konsumerisme tetapi ada kaitannya dengan konsumerisme.
Dalam tesis tersebut dijelaskan bahwa upacara ngaben yang dilakukan
masyarakat di desa pakraman Sudaji, secara massal untuk menekan biaya.Ngaben
massal digagas oleh prajuru desa pakraman Sudaji yang pertama kali dilakukan
tahun 2004.Upacara ngaben massal ini diikuti 360 sawa dan 12 clan (soroh) dan
mendapat penerimaan baik dari masyarakat bersangkutan. Upacara ini dapat
diterima karena prosesi dari upacara ngaben massal pada prinsipnya sama dengan
upacara ngaben pada umumnya. Faktor yang menarik pada masyarakat yaitu
faktor efisiensi biaya, kepraktisan dalam penggunaan sarana prasarana upacara
ngaben.
14
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Sukraaliawan dengan
penulis yaitu sama-sama menginginkan efisiensi biaya dan kepraktisan upacara
perkawinan Batak Toba. Namun perlu dijelaskan bahwa untuk melaksanakan
perkawinan massal bagi masyarakat Batak sangat tidak mungkin disebabkan
peranan dalinan na tolu akan menjadi hilang. Perbedaan yang lain adalah dalam
upacara ngaben massal lebih terfokus secara keagamaan sedangkan upacara
perkawinan Batak Toba terfokus kepada adat istiadat bukan dari sudut
keagamaan.
Penelitian lain yang ada kaitannya denganupacara perkawinan Batak Toba
yaitu tesis Situmorang (2006) yang berjudul “Simbolisme dalam Budaya Batak
Toba: Studi Kasus Upacara Perkawinan di Kota Denpasar”. Dalam penelitiannya
Situmorang menyimpulkan bahwa upacara perkawinan masyarakat Batak
merupakan peristiwa simbolik. Bentuk simbol dalam upacara perkawinan Batak
Toba diproduksi oleh sistem kepercayaan melalui mekanisme bahasa dan mitos,
pola transformasi simbol melalui mekanisme logika analogi, asosiasi dan kias.
Tipologi simbol dalam upacara perkawinan Batak Toba yaitu simbol
metafisis, simbol material, dan simbol lingual.Beberapa simbol dalam upacara
perkawinan masih tetap dalam bentuk aslinya tetapi banyak juga sudah
mengalami pergeseran. Simbol-simbol dalam budaya Batak senantiasa mengalami
proses rekonstruksi, dekonstruksi, sesuai dengan dinamika kekuatan dan
kekuasaan sosial turut memberi bobot pemaknaan sebuah simbol. Melalui
penelitian tersebut terbukti bahwa melalui upacara perkawinan terjadi “pasar
15
makna” merupakan medium bagi proses pertukaran atau transaksi makna melalui
interpretasi simbol.
Persamaan tesis Situmorang dengan tesis penulis yaitu sama-sama
melakukan penelitian upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.
Perbedaanya, Situmorang meneliti dari sudut simbol sedangkan penulis meneliti
dari sudut konsumerisme.Namun demikian tesis tersebut sangat membantu
penulis untuk melakukan penelitian terlebih untuk menganalisis simbol-simbol
yang digunakan dalam upacara perkawinan Batak Toba.
Pada Januari 2014, Sibarani melakukan penelitian penyebab pergeseran
pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Pekanbaru
(http://sibaranimelin.blogspot.com/2014/01/pergeseran-perspektif-dan-budaya-
pada.html, diakses tanggal, 18 Agustus 2014). Dari hasil penelitiannya
disimpulkan bahwa pergeseran upacara perkawinan terjadi disebabkan: faktor
agama, kemajemukan asal dan etnis dalam suatu daerah, difusi adat yaitu
percampuran adat antar etnis misalnya perkawinan antar etnis, pengaruh
globalisasi, dll. Pada kenyataannya pelaksanaan upacara perkawinan dijadikan
sebagai ajang penunjuk prestise dan penentu taraf kehidupan sosial dan ekonomi
setiap keluarga.
Para keluarga yang melangsungkan upacara perkawinan, mereka
berlomba-lomba untuk memprioritaskan penanda (gedung pernikahan) sebagai
penentu taraf kehidupan keluarga. Selain itu, dekorasi pada pelaminan tidak lagi
berciri khas adat Batak, serta penjemputan pengantin menggunakan mobil mewah
yang menjadi cermin westernisasi, penyajian makanan yang mulai menghilangkan
16
ciri khas Batak, dll. Penelitian ini sangat membantu penulis untuk melihat
konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.
Pada tanggal 20 Agustus 2011 para ketua marga Batak di Palembang
melakukan lokakarya adat Batak tentang pelaksanaan upacara perkawinan yang
difasilitasi oleh panitia jubileum 150 tahun HKBP di Distrik XV Sumatera Bagian
Selatan (Sinaga, 2012: 269). Lokakarya ini diselenggarakan dalam rangka
mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba
dengan tidak menghilangkan dan meniadakan esensi nilai adat Batak.Lokakarya
tersebut menghasilkan suatu deklarasi yaitu, (1).Jumlah ulos herbang (ulos yang
harus diberikan pihak pengantin perempuan kepada pihak pengantin laki-laki)
maksimal 25 buah, dan ulos taripar (ulos yang dititipkan pihak pengantin laki-laki
untuk diberikan pihak pengantin perempuan kembali kepada pihak pengantin laki-
laki di hari pelaksanaan upacara) ditiadakan. (2). Panandaion (perkenalan) yang
diberikan pihak laki-laki maksimal 25 keluarga, yang berhak menerima hanya
yang hadir dalam upacara perkawinan tersebut, dan panandaion disampaikan
langsung oleh pengantin di dampingi orang tua pengantin laki-laki.
Deklarasi yang dilakukan di Palembang ini sangat berguna untuk
membandingkan pelaksanaan upacara perkawinan di Kota Denpasar. Timbulnya
deklarasi tersebut diakibatkan konsumerisme yang sudah menggejala pada
upacara perkawinan Batak Toba di Kota Palembang. Model lokakarya menjadi
salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsumerisme.
Pada tahun 2008 Siska Purkasih melakukan penelitian tentang “Masalah
Konsumerisme di Kalangan Remaja”.Siska melakukan penelitian di Mall Taman
17
Anggrek dan plaza Indonesia.Dalam penelitiannya remaja menghabiskan waktu 3
sampai 4 kali dalam satu minggu ke mall.Biasanya pada malam Minggu, mall elit
pasti ramai dan didominasi para remaja. Mereka menghabiskan uang Rp.
100.000,- ke atas. Mereka sering mampir dan berbelanja walaupun tidak sangat
berkepentingan, mereka suka melihat-lihat model yang baru keluar.Merek suatu
barang merupakan hal yang sangat penting demi gengsi.
Dari penelitian yang dilakukan, Siska Purkasih membuat beberapa
kesimpulan diantaranya, pertama, perilaku konsumsi manusia tidak lepas dari
kondisi sosial dan budaya manusia tinggal.Kedua, semakin banyak konsumsi,
semakin banyak pula produksi.Ketiga, adanya penyeragaman budaya, ada rambut
ideal, kulit ideal, ras ideal, singkatnya ada batasan tentang idealitas; dan keempat,
masyarakat hampir tidak bisa lepas dari peran objek sebagai perumus eksistensi
(status, prestise, kelas).(http://siskapurkasih. blogspot.com/2008/10/ masalah-
konsumerisme-di-kalangan-remaja.html, diakses tanggal, 10 Agustus, 2014).
Penelitian yang hampir sama dengan yang dilakukan Siska Purkasih di atas
yaitu penelitian yang dilakukan Fajar Riski (2012) yang berjudul, “Konsumerisme
di Kalangan Remaja”. Penelitiannya dilakukan di Tunjungan Plaza atau sering
disingkat dengan T.P. Plaza ini merupakan pusat perbelanjaan terbesar di
Surabaya yang berdiri pada tahun 1986.Tunjungan Plaza terletak di jalan Basuki
Rachmat Surabaya dan mempunyai 4 bangunan utama yaitu Tunjungan Plaza I –
IV.Plaza ini berada di bawah naungan PT. Pakuwan Jati Tbk.
Dalam penelitian itu dijelaskan, semakin berkembangnya plaza, maka
manusia terjebak pada kompleksitas ragam komoditi yang hendak dikonsumsi
18
baik secara sadar maupun tidak sadar.Hal ini terjadi tidak terlepas dari konstruksi
sosial yang dibangun dalam lingkungan manusia itu sendiri.Salah satunya yaitu
peradaban modern yang tumbuh dari perkembangan umat manusia telah
menunjukkan kemajuan.Selain dari kemajuan yang berdampak positif, ada juga
yang berdampak kurang baik bagi kehidupan manusia berupa perubahan budaya,
salah satunya adalah budaya konsumtif. Budaya konsumtif lebih mudah
menjangkit kalangan remaja karena secara psikologi remaja masih berada dalam
proses mencari jati diri dan sangat sensitif terhadap pengaruh luar. Hal ini sesuai
dengan penelitian Reynold yang menyimpulkan remaja usia 16 tahun sampai
dengan 18 tahun membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan
menunjang penampilan diri.
Adanya fasilitas-fasilitas dan tempat perbelanjaan menambah akses remaja
untuk berperilaku konsumtif. Supaya diakui keberadaannya dalam lingkungannya
maka ia harus menjadi lingkungannya dengan cara mengkonsumsi dan menikmati
semua fasilitas yang telah tersedia. Hal ini dilakukan para remaja semata-mata
ingin diperhatikan dan ingin menunjukkan bahwa remaja sudah bisa menjadi
dewasa, bisa hidup dan bergaul layaknya orang dewasa. Perilaku konsumtif ini
akan terus menjadi kebiasaan gaya hidup remaja di Indonesia. (http://fajar_
riski_s-fib11.web.unair.ac.id/artikel, diakses tanggal, 12 agustus 2014).
Persamaan penelitian yang dilakukan Siska Purkasih dan Fajar Riski
tentang konsumerisme di kalangan remaja dengan penelitian yang dilakukan
penulis adalah sama-sama mengambil tema konsumerisme. Perbedaannya yaitu
objek kajian yang berbeda, Siska Purkasih dan Fajar Riski mengambil objek
19
remaja sedangkan penulis mengkaji satu suku bangsa yaitu Batak Toba. Selain
objek yang berbeda, cara menganalisisnya juga berbeda, Siska Purkasih dan Fajar
Riski menganalisis secara positivistik sedangkan penulis menganalisisnya secara
kajian budaya.
Alfitri dalam artikelnya “Budaya Konsumerisme Masyarakat
Perkotaan”dalam majalah Empirika, volume XI, No. 01, 2007 membahas tentang
konsumerisme masyarakat di perkotaan. Dalam artikel tersebut,Alfitri membuat
kesimpulan sebagai berikut, pertama, munculnya pusat-pusat perbelanjaan di
perkotaan mempengaruhi perilaku keluarga dan masyarakat yang mengarah
kepada perilaku konsumtif. Kedua, perubahan perilaku ini dipengaruhi oleh
perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan yang dibentuk secara sistematis oleh
media massa dan juga penampilan dan gaya pajangan pusat-pusat perbelanjaan
yang mengadopsi dari berbagai hasil penelitian yang mendalam dan panjang.
Ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah dapat memicu penurunan mutu
dan kualitas hidup dan sering melahirkan tindakan kriminal dan kehancuran
rumah tangga.
Persamaan artikel ini dengan penelitian penulis yaitu sama-sama mengkaji
pola hidup masyarakat yang konsumerisme.Perbedaannya, Alfitri membahas
konsumerisme dari kehidupan masyarakat perkotaan secara umum, sedangkan
penulis meneliti secara spesifik upacara perkawinan Batak Toba. Selain itu, artikel
yang dihasilkan Alfitri memandang konsumerisme itu dari sudut
positivistiksedangkan penulis menelitinya dari pandangan kajian budaya.
20
Dalam buku Perkawinan Adat Dalihan Natolu(2012) Richard Sinaga
mendeskripsikan tahap-tahap yang akan dilakukan dalam proses perkawinan
Batak Toba. Selain proses perkawinan, dalam buku tersebut dibahas tentang
penyederhanaan pesta perkawinan adat dalihan na tolu dan kriteria efektivitas dan
efisiensi untuk upacara pesta perkawinan adat dalihan na tolu. Menurut Richard,
upacara perkawinan di daerah perantauan sudah bergeser apalagi dalam hal
penggunaan waktu. Sepintas kelihatan sangat efisien tetapi jika diamati upacara
yang dilakukan tidak bermakna kultural dan terkesan sebagai “sandiwara” yang
perlu dicermati untuk diakhiri.
Persamaan kajian Richard Sinaga dengan penelitian yang dilakukan yaitu
sama-sama mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan inefisiensi pelaksanaan
upacara perkawinan Batak Toba. Inefisiensi yang terjadi mengakibatkan
konsumerisme dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Perbedaannya,
Richard mengkaji secara umum sedangkan penulis fokus di Kota Denpasar.
Perbedaan yang sangat nyata yaitu sudut pandang positivistik yang dilakukan
Richard, sedangkan penulis meneliti dari sudut kajian budaya.
Haryanto Soedjatmiko dalam bukunya Saya Berbelanja Maka Saya Ada
Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme (2008)
menyatakan, seturut perkembangan revolusi industri, orientasi produksi adalah
menghasilkan barang secara kuantitas sehingga ada istilah produksi massal.
Produksi massal ditentukan oleh produsen.Pada masa sekarang, memproduksi
ditentukan oleh konsumen.Apa yang diproduksi lebih ditentukan oleh apa yang
ingin dikonsumsi. Manusia merupakan makhluk yang bebas untuk mengkonsumsi
21
apapun. Melalui iklan manusia ditawari apa yang dibutuhkan dan apa yang
diharapkan sehingga terjadi perubahan “wants” berubah menjadi “needs”, yang
awalnya berbentuk keinginan berubah menjadi kebutuhan.
Kebebasan manusia untuk mengonsumsi apa saja mengakibatkan
konsumsi sebagai bentuk identitas diri. Istilah yang disebut Haryanto Soedjatmiko
“semakin aku mengonsumsi, semakin nyatalah jati diriku”. Konsumerisme
menjadi makna baru yaitu sebagai gaya hidup. Keunggulan konsumerisme sebagai
gaya hidup yaitu tidak memutlakkan kemampuan membeli seseorang pada masa
sekarang, manusia dapat mengonsumsi melalui bentuk kredit.
Kelebihan dari konsumerisme yaitu menawarkan kepada konsumen
berbagai kesempatan dan pengalaman.Sebelumnya konsumen belum menikmati
bahkan belum mengenal sesuatu objek tetapi dengan konsumerisme, manusia
berkesempatan untuk memilikinya. Di pihak lain konsumen digiring ke arah
tujuan yang telah ditentukan yaitu kepentingan kapitalis. Kondisi ini oleh
Haryanto Soedjatmiko disebut paradoks konsumsi.
Kesamaan pembahasan Haryanto Soedjatmiko dengan penelitian yang
dilakukan penulis yaitu sama-sama membahas tentang pola hidup konsumerisme.
Buku ini sangat membantu untuk menambah wawasan penulis mendalami pola
hidup konsumerisme. Perbedaanya, dalam buku tersebut dijelaskan gaya hidup
konsumerisme dengan berbelanja secara fokus, sedangkan penulis meneliti objek
dan juga makna yang ada dalam upacara perkawinan Batak Toba.
22
2.2 Konsep
2.2.1 Konsumerisme
Konsumerisme berbeda dengan konsumsi walau kedua istilah itu
berhubungan.Konsumsi berkaitan dengan pemakaian barang dan jasa untuk
kehidupan yang layak pada suatu masyarakat.Konsumsi merupakan keharusan
bagi manusia untuk bertahan hidup sedangkan konsumerisme bukan keharusan
tetapi suatu konstruksi sosial.
Menurut Piliang, (2011: 415), konsumerisme adalah manipulasi tingkah
laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi pemasaran.
Konsumerisme merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ideologi ekonomi
kapitalisme, di dalamnya kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar
dan komoditi.Konsumen terperangkap dalam berbagai konstruksi tanda, citra dan
simbol dengan irama produksi, pergantian dan keusangan terencana, serta dengan
berbagai pesona, daya tarik yang ditawarkan.Konstruksi tersebut mengakibatkan
terancamnya nilai-nilai dan ideologi masyarakat tradisional.
Konsumerisme yang menjadikan suatu ideologi membuat seseorang atau
sekelompok orang melakukan proses konsumsi secara berlebihan atau tidak
sepantasnya secara sadar atau tidak sadar dan berkelanjutan. Manusia
mengonsumsi objek-objek bukan hanya berdasarkan nilai guna dan nilai
utilitasnya, tetapi juga mempertontonkan makna-makna tertentu (Piliang, 2012:
142).Demikian halnya dalam upacara perkawinan Batak Toba, objek-objek yang
dikonsumsi tidak selamanya berdasarkan nilai guna tetapi lebih didominasi nilai
simbol.
23
Terkait dengan konsumerisme, Baudrillard berpandangan skeptis dan
fatalis terhadap pengontrolan objek.Menurut Baudrillard (dalam Piliang, 2012:
142) konsumer tidak mengontrol objek tetapi sebaliknya yang terjadi objek yang
mengontrol konsumer.Mereka menjadi mayoritas yang diam, yang menempatkan
dirinya dalam relasi subjek-objek, bukan sebagai pencipta tetapi semacam jaring
laba-laba, yang menjaring dan mengkonsumsi segala yang ada di sekitarnya.
Konsumerisme merupakan suatu budaya yang merupakan bentuk khusus
dari budaya materi yang mulai berkembang pada masyarakat Eropa dan Amerika
pada pertengahan abad ke-20.Menurut Lury(1998: 8) hubungan antara kekayaan
ekonomi dan partisipasi dalam budaya materi sangat komplek dan penuh variabel
historis. Tidak ada hubungan langsung antara tingkat ekonomi terhadap
kepemilikan sesuatu barang, persepsi barang kebutuhan dan kemewahan,
pemahaman mengenai kebutuhan atau keinginan. Budaya konsumen memberikan
kondisi-kondisi, di dalamnya dipahami bahwa identitas diri bukan saja
berhubungan dengan barang-barang milik pribadi, tetapi identitas diri itu sendiri
menyatakan diri sebagai barang milik.
Pola konsumsi seseorang boleh menjadi jalan untuk mengekspresikan
identitas sosial, dan kalau perlu politiknya. Budaya konsumen mengakibatkan
ketidakseimbangan yang terjadi dalam hubungan individu pada dirinya sendiri,
perasaan agensi dan kecenderungan rasa memiliki terhadap pengelompokan
sosial. Masyarakat digiring untuk memperjelas diri mereka dalam pengertian
benda-benda yang mereka miliki, dan benda menjadi citra diri (Lury, 1998: 10).
24
Upacara perkawinan Batak Toba yang sudah dilaksanakan secara
berulang-ulang sepintas kelihatan merupakan hal yang wajar. Dikatakan wajar
karena sudah umum melaksanakan dalam bentuk yang sama yaitu konsumerisme.
Mereka bukan lagi mengontrol objek tetapi sudah dikontrol objek akibat ideologi
kapitalis.Objek yang dikonsumsi melebihi dari segi kuantitas dan juga kualitas.
Selain dikontrol objek, yang dikonsumsi bukan hanya objek tetapi juga tingkah
laku dan pola pikir.
Seperti yang dikemukakan Piliang (2012: 145) akibat kemajuan ekonomi
di Indonesia gaya hidup juga berkembang sebagai fungsi dari diferensiasi sosial
yang tercipta dari relasi konsumsi. Konsumsi bukan sekedar berkaitan dengan
nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia
tertentu, tetapi juga berkaitan dengan simbolik untuk menandai kelas, status atau
simbol sosial tertentu.Yang dikonsumsi bukan sekedar objek, tetapi juga makna-
makna sosial yang tersembunyi di baliknya.
Masyarakat konsumen memaknai konsumsibukan berdasarkan kebutuhan
atau hasrat mendapat kenikmatan, tetapi yang dibutuhkan adalah hasrat untuk
mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui mekanisme
penandaan (Hidayat, 2012: 62). Pada masyarakat konsumen individu
menunjukkan identitas melalui tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki
dan tampilkan dalam interaksi sosial. Tanda merupakan cerminan aktualisasi diri
individu yang paling meyakinkan.
25
2.2.2 Upacara Perkawinan Batak Toba
Upacara merupakanserangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada
aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan.Dalam
kehidupan sehari-hari contoh upacara yaitu, upacara penguburan, upacara
perkawinan, upacara pengukuhan kepala suku, upacara potong gigi, dan
sebagainya(http://catatansenibudaya.blogspot.com/2012/05/definisi-upacara-
adat.html, diakses tanggal, 7 Agustus 2014).Demikian halnya upacara perkawinan
Batak Toba merupakan serangkaian tindakan dalam hal proses perkawinan yang
dilakukan secara turun-temurun.
Perkawinan adalah perpaduan dua kelompok (pihak) antara pihak laki-laki
dan pihak perempuan menjadi satu kerabat. Jadi perkawinan dalam tulisan ini
bukan hanya sekedar perpaduan antara satu orang laki-laki dan satu orang
perempuan,tetapi perkawinan itu dalam arti yang luas (Siahaan,1982: 58).Upacara
perkawinan pada suku bangsa Batak umumnya merupakan acara yang sakral dan
membutuhkan waktu juga biaya yang banyak.
Suku bangsa Batak mempunyai 6 (enam) rumpun yaitu: Batak Toba,
berdiam di sekitar danau Toba; Batak Mandailing, berdiam di sekitar Tapanuli
Selatan; Angkola, mendiami Angkola dan Sipirok; Batak Karo, berdiam di Tanah
Karo; Batak Simalungun, berdiam di Simalungun; dan Pakpak, berdiam di
Dairi/Pakpak, Sumut (Bangun, 1982: 94-95). Masing-masing rumpun ini
mempunyai upacara perkawinan yang agakberbeda, namun secara prinsip adalah
sama. Penelitian ini khusus meneliti upacara perkawinan Batak Toba yang
dilakukan di Kota Denpasar.
26
Pelaksanaan upacara perkawinan di daerah perkotaan dan juga di daerah
asal (Tapanuli) prinsipnya sama walaupun dalam teknisnya ada sedikit perbedaan
di sana-sini. Perbedaan-perbedaan itu diakibatkan faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap teknis pelaksanaannya.Umumnya upacara perkawinan
tersebut dari awal sampai akhir terdapat konsumerisme.Konsumerisme merupakan
manipulasi tingkah laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi
pemasaran.Yang dikonsumsi tidak lagi sekedar objek, tetapi juga makna-makna
sosial yang tersembunyi di baliknya (Piliang, 2011: 145).
2.2.3 Konsumerisme dalam Upacara Perkawinan Batak Toba
Konsumerisme merupakan perilaku etnik Batak Toba dalam upacara
perkawinan yang mengkonsumsi secara berlebihan atau tidak sepantasnya dari
sudut kuantitas dan kualitas, baik berbentuk materi ataupun non materi.
Konsumerisme dalam bentuk materi terjadi dalam hal: (1). Jumlah mahar atau
sinamot yang tinggi; (2). Tempat pelaksanaan pesta perkawinan di gedung yang
mewah; (3). Mengundang banyak orang; (4). Menggunakan perlengkapan mewah.
Selain konsumerisme dalam bentuk materi, pelaksanaan upacara Batak
Toba di Kota Denpasar juga terjadi konsumerisme non materi.Hal ini dapat
diamati dari: (1). Pola pikir yang ingin cepat; (2). Tindakan yang ingin cepat; (3).
Pekerjaan yang diukur berdasarkan untung rugi; (4). Meniru perilaku orang lain di
luar budayanya tanpa mengerti makna dari perilaku tersebut: (5). Menggunakan
tahapan-tahapan yang panjang.
27
Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar, orang
kaya berusaha untuk mengonsumsi objek yang berbeda dari yang biasa,
sebaliknya orang yang kurang mampu dari segi ekonomi berusaha untuk
mengikuti gaya orang kaya mengonsumsi objek yang sama untuk menunjukkan
identitasnya. Perilaku yang mengonsumsi objek bukan berdasarkan hanya nilai
guna tetapi juga nilai simbol mengakibatkan konsumerisme dalam pelaksanaan
upacara perkawinan Batak Toba.
Jadi yang dimaksud dengan konsumerisme perkawinan Batak Toba yaitu
pelaksanaan upacara perkawinan yang dilakukan suku bangsa Batak Toba
melebihi kemampuan dirinya baik dari sudut kuantitas maupun
kualitas.Kemampuannya dipaksakan baik secara materi maupun non materi diluar
kewajaran.Ketidakwajaran yang dilaksanakan secara berulang-ulang
menjadikannya seakan-akan suatu keharusan,yang tidak pantas menjadi pantas
karena sudah terbiasa dilaksanakan.Hal-hal seperti inilah yangdisebut sebagai
konsumerisme yang akan diteliti dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota
Denpasar.
2.3 Landasan Teori
Sebagai landasan untuk menganalisis masalah yang akan diteliti dalam
penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yaitu, teori konsumerisme,
teori praktik sosial, dan teori hipersemiotika secara eklektik.
28
2.3.1 Teori Konsumerisme
Manusia dalam kehidupan sehari-hari memiliki kebutuhan. Pada awalnya
manusia hanya mengambil dari alam yang tersedia segala sesuatu apa yang
dibutuhkan. Pada perkembangan selanjutnya seperti yang diutarakan Marx,
manusia bukan hanya mengambil apa yang tersedia dari alam untuk dikonsumsi
sendiri melainkan untuk dijual di pasaran demi keuntungan. Komoditas lebih
bermakna sebagai nilai tukar daripada nilai guna (Soedjatmiko, 2008: 20). Marx
dalam teorinya terutama tertuju pada produksi. Menurut Marx bahwa konsumsi
atas sesuatu yang secara fungsional dianggap berguna akan dilegitimasikan
sebagai kebutuhan, sedangkan konsumsi yang terkait dengan kemewahan
dianggap sebagai kemerosotan moral (Wiedenhoft, 2012:821).
Berbeda dengan Marx yang memahami komoditas sebagai proses produksi,
Veblen banyak memerhatikan kebutuhan orang untuk membuat pembedaan-
pembedaan sosial dengan memamerkan objek-objek konsumen. Kelas atas
mengonsumsi secara berlebihan untuk menunjukkan kelasnya sedangkan kelas di
bawahnya berusaha untuk meniru kelas di atasnya. Dorongan untuk meniru ini
memicu efek mengalir ke bawah artinya kelas atas menjadi penentu konsumsi
baik untuk kelasnya sendiri dan juga kelas di bawahnya. Walaupun kelas bawah
meniru konsumsi kelas atas, kelas atas akan menyingkirkan objek tersebut dan
memilih objek yang baru untuk menunjukkan kelasnya. Dengan demikian Veblen
menyimpulkan, dengan mengonsumsi objek, sesungguhnya manusia sedang
mengonsumsi bermacam-macam makna yang terkait dengan kelas (Wiedenhoft,
2012:825).
29
Berpijak dari pendapat Marx yang menyatakan bahwa objek mempunyai
nilai guna dan nilai tukar, Baudrillard menggantinya dengan nilai tanda dan nilai
simbolik. Menurut Baudrillard (dalam Hidayat, 2012: 61), fungsi utama objek
konsumen bukanlah berdasarkan kegunaan atau manfaat, tetapi yang diutamakan
adalah nilai tanda atau nilai simbolik yang disebarluaskan melalui iklan-iklan
gaya hidup belbagai media. Pada masyarakat konsumer objek bukan saja untuk
dikonsumsi, tetapi juga diproduksi lebih banyak untuk menandakan status.
Konsumsi bukan untuk mencari homogenisasi tetapi diferensiasi, sehingga barang
mewah yang dimiliki untuk menunjukkan status bukan kebutuhan ekonomi
(Lubis, 2014: 179).
Konsumsi berbeda dengan konsumerisme walau keduanya saling berkaitan.
Konsumsi merupakan sebuah tindakan (an act) sedangkan konsumerisme
merupakan sebuah cara hidup (a way of life). Konsumsi merupakan cermin aksi
yang nyata, sedangkan konsumerisme terkait dengan motivasi yang terkandung di
dalamnya. Konsumerisme adalah sebuah ekspresi budaya dan manifestasi dari
tindakan konsumsi (Soedjatmiko, 2008: 29).
Konsumerisme merupakansuatu ideologi dimana makna kehidupandi-
tentukan oleh apa yang dikonsumsi, bukan apa yang dihasilkan. Menurut Herbert
Marcuse (dalam Storey, 2006: 145), ideologi konsumerisme mendorong
kebutuhan palsu dan manusia mengenali dirinya dalam komoditasnya.Manusia
mencari dirinya melalui makanan tertentu, minuman tertentu, barang tertentu,
pakaian tertentu dan seterusnya.Komunitas Batak Toba di Kota Denpasar mencari
identitasnya melalui objek yang dikonsumsi dalam upacara perkawinan.
30
Mengonsumsi objek tertentu menandakan bahwa seseorang sama dengan
orang lain yang mengonsumsi objek itu dan orang akan berbeda dengan orang lain
yang mengonsumsi objek lain. Kondisi yang demikian oleh Ritzer disebut dengan
kode yang mengontrol apa yang dikonsumsi dan apa yang tidak dikonsumsi.
Orang akan meniru konsumsi orang lain agar dirinya menyerupai (sama) orang
yang ditiru. Sebaliknya orang akan mengonsumsi objek yang berbeda dengan
orang lain memberikan tanda bahwa dia berbeda dari orang lain (Ritzer, 2004:
138). Pada suku Batak Toba, yang mempunyai ekonomi lebih baik akan selalu
mencari konsumsi yang berbeda dari yang lainnya sedangkan orang yang
berekonomi lemah akan meniru (ingin menyamai) konsumsi orang kaya sehingga
terjadi konsumerisme.
Gaya hidup konsumerisme merupakan gaya hidup yang didorong oleh
logika hasrat dan keinginan ketimbang logika kebutuhan. Budaya konsumerisme
sangat berhubungan dengan lingkungan urban, karena di perkotaan ruang untuk
konsumsi itu sangat mendukung. Di dalam gaya hidup konsumerisme, objek-
objek dikonsumsi sebagai medium untuk menyatakan identitas diri, status, simbol
sebagai logika tanda (Piliang, 2011: 238). Dalam upacara perkawinan Batak Toba
objek dan tanda banyak dikonsumsi demi menunjukkan
identitasnya.Konsumerisme dapat terjadi dari segi kuantitas (jumlah yang
dikonsumsi melebihi kebutuhan) dan juga kualitas (kualitas tertentu).Teori
konsumerisme digunakan untuk menganalisis bentuk konsumerisme dalam
upacara perkawinan Batak Toba yang terjadi di Kota Denpasar.
31
2.3.2 Teori Praktik Sosial
Teori praktik sosial dikemukakan oleh Pierre Felix Bourdieu (1930-
2002).Konsep penting dalam teori praktik Bourdieu yaitu, habitus,
arena/ranah/medan (field), kekerasan simbolik (symbolic violence), modal
(capital), dan strategi (strategy) (Lubis, 2014: 102).Konsep habitus merupakan
kunci dalam sintesa teoritis Bourdieu.Menurut Bourdieu habitus merupakan suatu
sistem melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, disposisi yang
berlangsung lama dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi
praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif (Lubis, 2014:
115).Habitus merupakan pembatinan nilai-nilai sosial budaya yang beragam dan
rasa permainan (feel for the game) yang melahirkan bermacam gerakan yang
disesuaikan dengan permainan yang sedang dilakukan. Habitus adalah nilai yang
meresap ke dalam pikiran, perasaan dan estetika seseorang, sehingga
memengaruhi dan menentukan nilai selera seseorang (Saifuddin dalam Fashri,
2014: xiii).
Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir
dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu.Habitus
bukan bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat
pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat. Proses pembelajarannya sangat
halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar, sehingga seolah-olah
sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau pemberian (Takwin,
dalam Harker, dkk. 2009: xix). Individu bukanlah agen yang sepenuhnya bebas,
32
dan juga bukan produk pasif dari struktur sosial (Saifuddin dalam Fashri, 2014:
xiii).
Habitus berkaitan erat dengan field, karena praktik-praktik atau tindakan
agen merupakan habitusyang dibentuk oleh field, sehingga habitus dipahami
sebagai aksi budaya.Field dalam konsep Bourdieu yaitu medan, arena atau ranah
merupakan ruang sebagai tempat para aktor/agen sosial saling bersaing untuk
mendapatkan berbagai sumber daya material ataupun kekuatan (power) simbolis.
Persaingan dalam ranah bertujuan untuk memastikan perbedaan dan juga status
aktor sosial yang digunakan sebagai sumber kekuasaan simbolis (Lubis, 2014:
108).
Teori praktik sosial digunakan untuk membedah pelaksanaan upacara
perkawinan Batak toba yang sangat dipengaruhi oleh habitus,field, dan modal.
Adat bagi suku Batak Toba merupakan habitus seperti yang dimaksud oleh
Bourdieu. Anak sejak kecil sampai dewasa hidup dalam habitus adat, dirinya
menjadi agen yang tidak sepenuhnya bebas dan juga bukan produk pasif dari
struktur sosial atau hanya menerima saja. Pelaksanaan upacara perkawinan
berkaitan dengan modal dalam arti luas dan juga field atau medan, arena, ranah.
Para agen berusaha untuk memenangi ranah dengan modal yang dimiliki.Teori
praktik ini digunakan untuk membahas faktor-faktor yang terkait dengan
konsumerisme perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.
2.3.3 Teori Hipersemiotika
33
Teori hipersemiotika diambil dari pemikiran Piliang yang bermakna
melampaui berkaitan dengan relasi-relasi yang lebih kompleks antara tanda,
makna, dan realitas, khususnya relasi simulasi. Hipersemiotika ini merupakan
penyempurnaan semiotika linguistik struktural dari Saussure yang dipadukan
dengan hiperrealitas.Menurut Piliang (2012: 52) perbedaan antara hipersemiotika
dengan post-strukturalisme dan juga dekonstruksi terletak pada penekanannya.
Hipersemiotika menekankan aspek-aspek melampaui atau berlebihan pada wacana
semiotika.
Semiotika (semiotic) berasal dari bahasa Yunani “semion” yang berarti
tanda. Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics menyatakan
bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Dalam semiotika akan dipelajari relasi antara komponen-
komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan
masyarakat penggunanya. Dalam teori semiotika yang diutarakan Saussure (dalam
Piliang, 2012: 46-48) terdapat beberapa prinsip dasar yaitu, struktural, kesatuan,
konvensional, sinkronik, representasi, kontinuitas.
Pandangan strukturalisme yang diutarakan Saussure mendapat kritikan
dari penganut poststrukturalisme.Misalnya Umberto Eco menyatakan bahwa
semiotika pada prinsipnya dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan dan
kepalsuan, singkatnya semiotika itu merupakan teori kepalsuan.Berangkat dari
teori ini, Piliang membuat suatu teori hipersemiotika. Arti hiper dalam
hipersemiotika adalah: di atas, berlebihan, atau di luar atau terlampau melampaui
batas.
34
Hipersemiotika berarti melampaui semiotika yang berusaha melampaui
batas oposisi biner di dalam bahasan dan kehidupan sosial, yaitu benteng oposisi
biner yang secara konvensional dibangun antara struktur/perkembangan,
konvensi/perubahan, fisika/metafisika, sinkronik/diakronik, penanda/petanda,
langue/parole, tanda/realitas. Teori hipersemiotika mengembangkan prinsip:
perubahan dan transformasi, imanensi, perbedaan (difference), permainan bahasa
(language game), simulasi, dan diskontinuitas (Piliang, 2012: 49-51).
Teori semiotika yang dikemukakan Saussure digunakan untuk menganalisa
hubungan antara penanda dan petanda.Banyak tanda-tanda yang sangat terikat
dengan sistem pada upacara perkawinan Batak Toba sehingga semiotika Saussure
sangat cocok untuk menganalisisnya. Sedangkan penanda yang tidak berhubungan
dengan petanda atau melebihi tanda seperti yang diutarakan Saussuredianalisis
melalui teori hipersemiotika yang dikemukakan Piliang. Teori semiotika dan
hipersemiotika ini digunakan untuk membedah implikasi konsumerisme upacara
perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.Teori hipersemiotika digunakan untuk
menganalisis tanda-tanda yang digunakan dalam upacara perkawinan Batak Toba
karena tanda-tanda tersebut banyak yang melebihi dari tanda yang sebenarnya
yang tidak dapat dianalisis hanya dengan teori semiotika.
35
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut
Gambar 2.1
Model Penelitian
Keterangan model penelitian:
: Pengaruh sepihak
: Pengaruh timbal balik
Upacara perkawinan Batak Toba merupakan salah satu hal yang sangat
penting untuk memasuki dalihan na tolu.Upacara perkawinan menjadi tradisi
yang dilakukan komunitas Batak Toba baik di daerah asal maupun di daerah
Adat Batak
Di Denpasar
Globalisasi
Konsumerisme dalam
Upacara Perkawinan
Batak Toba di Kota
Denpasar
Tradisi
Pakem
Gaya hidup
Budaya Populer
Media massa
Kurangnya pemahaman
Kurangnya transmisi
budaya
Bentuk
konsumerisme
Faktor
konsumerisme
Implikasi
konsumerisme
36
perantauan. Praktik upacara perkawinan memiliki pakem yang harus mereka ikuti.
Akibat globalisasi, pakem ini mengalami pergeseran sehingga menimbulkan
perilaku yang konsumerisme.
Perilaku konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota
Denpasar dipengaruhi beberapa faktor diantaranya, (1). Globalisasi, yaitu
terintegrasinya berbagai elemen dunia kehidupan ke dalam dunia tunggal berskala
dunia (Piliang, 2011: 22). Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem
ekonomi kapitalis; (2). Gaya hidup, yaitu cara setiap orang untuk memaknai
kehidupannya dengan cara mengekspresikan benda-benda sebagai objek
pengaktualisasian diri kehidupan sehari-hari (Piliang, 2011: 322); (3). Budaya
populer, yaitu budaya yang diproduksi secara komersil dan konsumer menerima
saja tanpa berpikir hal itu akan berubah di waktu yang akan datang (Barker, 2004:
50); (4). Media massa, yaitu lembaga-lembaga komunikasi yang memproduksi
dan mendistribusikan teks-teks secara luas, dalam konteks lahir dan
berkembangnya modernitas kapitalis (Barker, 2014: 165); (5). Kurangnya
pemahaman tentang makna upacara perkawinan Batak Toba; dan (6). Kurangnya
transmisi budaya kepada generasi muda.
Konsumerisme dalam upacara perkawinan menjadi suatu kebiasaan yang
mereka lakukan secara sadar. Makna upacara perkawinan mengalami pergeseran
akibat dari globalisasi yang membawa bentuk ideologi kapitalis. Dalamideologi
kapitalis, kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan
komoditi.Manusia mengonsumsi objek bukan hanya berdasarkan nilai guna saja
tetapi juga berdasarkan simbol.Yang dikonsumsi bukan hanya objek (materi)
37
tetapi juga pola pikir dan tingkah laku kaum kapitalis. Fokus penelitian ini
selanjutnya dituangkan dalam rumusan masalah terkait dengan bentuk
konsumerisme, alasan konsumerisme, dan juga implikasi konsumerisme itu
sendiri.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif.Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dengan
cara mendeskripsikan dengan kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong,
2014: 9). Selanjutnya Moleong membuat karakteristik tentangciri khas penelitian
kualitatif yaitu: (1). Latar alamiah; (2). Manusia sebagai alat (instrumen); (3).
Metode kualitatif; (4).Analisis data secara induktif; (5).Teori dari dasar (grounded
theory); (6).Deskriptif; (7). Lebih mementingkan proses daripada hasil; (8).
Adanya batas yang ditentukan oleh fokus; (9). Adanya kriteria khusus untuk
keabsahan data; (10).Desain bersifat sementara; dan (11).Hasil penelitian
dirundingkan dan disepakati bersama (Moleong, 2014: 8-13). Melalui metode ini
data dapat dikumpulkan untuk menjawab permasalahan konsumerisme upacara
perkawinan Batak Toba dikota Denpasar.
38
3.2 Lokasi penelitian
Peneliti memilih lokasi penelitian di Kota Denpasar dengan beberapa
pertimbangan:
1. Di antara kota dan kabupaten yang ada di Provinsi Bali, Kota Denpasar
banyak didiami etnik Batak Toba. Dari segi tujuan merantau Batak Toba
Kota Denpasar tidak termasuk sebagai tujuan. Daerah tujuan merantau Batak
Toba adalah Kota Medan, Jabodetabek, Pekan Baru, Batam, dan Kalimantan.
Walau bukan daerah tujuan merantau ada ribuan etnik Batak Toba yang
tinggal dan bekerja di Kota Denpasar.
2. Pelaksanaan upacara adat Batak Toba di KotaDenpasar masih diikuti secara
bersama-sama (belum mengelompok). Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan
paguyuban yang menaungi seluruh etnik Batak di Bali.Paguyuban itu adalah
IKBB (Ikatan Keluarga Batak Bali), menaungi seluruh warga Batak (Toba,
Simalungun, Pakpak, Karo, Mandailing).Setiap acara puncak perkawinan
Batak, pengurus paguyuban ini selalu diundang dan menghadiri upacara
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa etnik Batak diKota Denpasar masih
satu paguyuban.
3. Etnik Batak Toba yang berdomisili di luarKota Denpasar yang masih sekitar
Provinsi Bali, biasanya tempat yang dipilih untuk melangsungkan upacara
perkawinanadalah di Kota Denpasar. Dengan demikian walau penelitian
dilakukan hanya di Kota Denpasar secara tidak langsung sudah meneliti
semua upacara perkawinan Batak Toba se Provinsi Bali.
39
3.3 Teknik Penentuan Informan
Informan penelitian dilakukan secara purposif yaitu dengan menentukan
informan yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang konsumerisme
dalam upacara perkawinan Batak Toba. Peneliti mewawancarai informan yang
sudah ditentukan sebelumnya (terlampir) yang menguasai informasi tentang
pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dan juga yang
berkaitan dengan upacara perkawinan tersebut. Peneliti juga mewawancarai
keluarga/pengantin yang sudah melaksanakan upacara perkawinandan kalangan
muda sebagai generasi penerus budaya Batak Toba. Informan yang sudah
ditentukan sebelum penelitian, ada beberapa di antaranya yang diganti karena
faktor penguasaan permasalahan.
Informan dalam penelitian ini ada dua macam yaitu, informan kunci dan
informan pelaku. Seperti yang diutarakan Bungin (2012: 108), informan kunci
yang digunakan disesuaikan dengan struktur sosial saat pengumpulan data
dilakukan.Tokoh kunci merupakan orang yang selalu menguasai informasi yang
terkait dengan masalah yang diteliti.Informan berikutnya yaitu informan pelaku
yang ditentukan bersamaan dengan perkembangan review dan analisis hasil
penelitian saat penelitian berlangsung. Selain faktor penguasaan masalah, ada juga
keluarga sebagai pelaku upacara perkawinan Batak Toba yang baru
melangsungkan upacara perkawinan di mana sebelumnya keluarga tersebut tidak
masuk sebagai informan.
3.4 Jenis dan Sumber Data
40
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif
sedangkan data kuantitaf digunakan sebagai penunjang. Data kualitatif dalam
penelitian ini berbentuk uraian, cerita pendek, keterangan-keterangan yang terkait
dengan upacara perkawinan Batak Toba di KotaDenpasar. Sumber data dalam
penelitian ini yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber data primer adalah dari informan yang mempunyai pengetahuan
tentang upacara perkawinan Batak Toba. Informasi yang bersifat umum dilakukan
dengan wawancara formal sedangkan informasi yang menyimpan kerahasiaan
(berkaitan dengan konsumerisme) dilakukan wawancara mendalam secara
penyamaran (Bungin, 2012: 111). Demikian juga identitas informan, sebagian
menggunakan nama samaran untuk menjaga kerahasiaan, sedangkan informan
yang tidak perlu dirahasiakan, daftarnya dilampirkan sesuai dengan yang
umumnya.
Selain informasi dari informanyang mengetahui upacara perkawinan, juga
diminta informasi dari orang yangmelaksanaan upacara perkawinan itu
sendiri.Keluarga yang melakukan upacara perkawinan juga termasuk sebagai
informan primer. Peneliti terlibat aktif dalam pelaksanaan upacara perkawinan
tersebut untuk mengamati dan menganalisis pelaksanaan dan makna-makna yang
ada dalam upacara tersebut.Keterlibatan secara aktif untuk mengetahui lebih dekat
dan mendalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut.
Data sekunder juga digunakan dalam penelitian ini sebagai data pelengkap
dan pembanding.Sumber data sekunder yang dimaksud adalah berupa data dalam
bentuk laporan, arsip, buku, artikel ilmiah, hasil seminar, dan lain-lain yang
41
berupa dokumen yang ada kaitannya dengan penelitian ini.Data-data ini sangat
membantu peneliti untuk mengetahui sejarah, falsafah, dan latar belakang dari
upacara perkawinan Batak Toba tersebut.
3.5 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif kedudukan peneliti sangat rumit. Hal ini
menjadi rumit karena peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpulan
data, penganalisis, penafsir data sampai pelapor hasil penelitian.Boleh dikatakan
instrumen penelitian ini segalanya adalah manusia (Moleong, 2014:
168).Demikian halnya dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah
manusia yaitu peneliti sendiri. Peneliti mencatat segala informasi yang berguna
dalam mendapatkan data yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Sebagai instrumen pembantu, peneliti membuat buku harian, pedoman
wawancara, alat perekam dan juga kamera digital. Alat bantu ini untuk
mempermudah pengumpulan, penyeleksian, dan penganalisisan data. Data-data
yang sudah terkumpul langsung dianalisis dan ditafsirkan hingga menjadi suatu
hasil penelitian.
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang valid peneliti melakukan beberapa teknik
pengumpulan data. Teknik ini berkaitan dengan pendekatan penelitian,
permasalahan dan teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini.Teknik yang
dimaksud adalah observasi, wawancara, dan studi kepustakaan.
42
3.6.1 Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan pancaindra. Pengamatan yang dilakukan dikaitkan antara yang
dihasilkan pancaindra yang satu dengan pancaindra yang lain. Dengan demikian
observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk
menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin,
2012: 118).
Pada tahap observasi ini, peneliti dalam hal ini penulis mengamati secara
langsung proses upacara perkawinan. Observasi dilakukan penulis terhadap proses
upacara perkawinan, perilaku komunitas Batak Toba di dalam melaksanakan
upacara perkawinan, dan juga materi yang dikonsumsi selama pelaksanaan
upacara perkawinan. Proses perkawinan dimulai dari marhusip atau diskusi antara
orang tua laki-laki dan orang tua perempuan sampai kepada acara puncak upacara
perkawinan. Proses ini perlu diobservasi karena pelaksanaan upacara perkawinan
sangat ditentukan oleh apa yang didiskusikan kedua belah pihak pada saat
marhusip.
Selain proses upacara, perilaku dan objek yang dikonsumsi komunitas
Batak Toba dalam upacara perkawinan perlu untuk diobservasi. Perilaku
memengaruhi konsumerisme dalam upacara perkawinan, sebaliknya
konsumerisme memengaruhi perilaku dalam upacara perkawinan. Perilaku
konsumerisme akan tercermin dalam objek yang mereka konsumsi yang berkaitan
dengan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.
43
Pengamatan langsung ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang
belum terungkap dalam wawancara.Hasil pengamatan dapat juga sebagai
pembanding data yang diperoleh dari hasil wawancara terkait dengan
konsumerisme.Teknik yang digunakan dalam tahap observasi ini adalah observasi
partisipasi yaitu penulis ikut aktif dalam upacara tersebut.
3.6.2 Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan penanya. Maksud
diadakannya wawancara seperti yang diutarakan Lincoln dan Guba
adalahmengkonstruksi tentang orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan,
motivasi, tuntutan, kepedulian kebulatan yang sudah dialami; memproyeksikan
kebulatan-kebulatan yang diharapkan untuk dialami; memverifikasi, mengubah
dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain; dan memverifikasi,
mengubah dan memperluas konstruksi yang dilakukan peneliti untuk pengecekan
informasi (Lincoln dan Guba, dalam Moleong, 2014: 186).
Wawancara dilakukan kepada orang yang menguasai tentang upacara
perkawinan Batak Toba. Selain orang atau tokoh yang mengetahui upacara
perkawinan Batak Toba, juga diwawancarai pelaku (pengantin baru), orang tua
atau keluarga yang sudah pernah melakukan upacara perkawinan yang bukan
termasuk ke kelompok tokoh. Wawancara yang dilakukan kepada orang yang
dianggap tokoh dengan pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.
44
Peneliti membuat kerangka yang akan ditanyakan sewaktu wawancara, kerangka
tersebut sebagai petunjuk garis besar saja agar isi wawancara tetap dalam pokok-
pokok yang direncanakan.
Berbeda dengan jenis wawancara kepada tokoh, wawancara kepada orang
atau keluarga yang melakukan upacara perkawinan dilakukan dengan pendekatan
wawancara pembicaraan informal. Wawancara pembicaraan informal menurut
Patton (dalam Moleong, 2014: 186) yaitu wawancara yang dilakukan secara wajar
atau pada latar alamiah, pewawancara dengan yang diwawancarai berjalan seperti
biasa bahkan yang diwawancarai tidak menyadari bahwa dirinya sedang
diwawancarai.Pendekatan ini dilakukan peneliti untuk mendapatkan informasi
yang alamiah. Hal ini dilakukan karena pelaku tidak akan secara terus terang
menginformasikan apa yang dilakukan jika dirinya mengetahui sedang
diwawancarai. Untuk itu dilakukan wawancara secara informal dan identitas
pelaku juga dirahasiakan atau memakai nama samaran.
Selain pelaku dan tokoh yang mengetahui upacara perkawinan juga
diwawancarai pihak gereja dan juga kaum pemuda. Gereja tidak bisa dipisahkan
dengan upacara perkawinan Batak Toba.Sangat relevan untuk mengetahui
bagaimana pandangan gereja tentang konsumerisme upacara perkawinan
tersebut.Demikian juga pihak pemuda etnik Batak Toba juga diwawancarai
bagaimana pandangan para pemuda tentang upacara perkawinan Batak Toba.
3.6.3 Studi Kepustakaan
45
Studi kepustakaan adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan
kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan
masalah penelitian. Studi kepustakaan digunakan untuk mengetahui sejarah,
filosofi, makna asli, pergeseran-pergeseran pelaksanaan upacara perkawinan
Batak Toba.Kepustakaan ini sangat membantu peneliti untuk menguji, menafsir,
membandingkan hasil penelitian.
Literatur yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk buku-buku yang
membahas tentang upacara perkawinan Batak Toba. Studi kepustakaan ini sangat
membantu pengetahuan danwawasan peneliti serta berfungsi sebagai sumber data
sekunder. Data-data yang didapatkan dari literatur digunakan untuk melengkapi
data yang didapatkan melalui observasi dan wawancara.
3.7 Metode dan Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesa kerja sebagai usaha untuk memberikan bantuan
pada tema dan hipotesa. Sedangkan tujuan analisis data adalah untuk mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikan
(Moleong, 2014: 281). Pekerjaan untuk menganalisis data dilakukan sejak dimulai
penelitian secara intensif hingga selesai proses penelitian.
Proses analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data baik melalui
wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Data dianalisis, dipelajari, ditelaah,
dan diseleksi sejak observasi dengan cermat sehingga data yang digunakan adalah
46
benar-benar yang dapat dipertanggungjawabkan.Setiap data yang diperoleh baik
melalui wawancara, observasi, dan studi kepustakaan disederhanakan dengan
bahasa yang mudah dimengerti dan disajikan secara sistematis.
Setelah selesai penyeleksian tentang keabsahan data selanjutnya data
digolong-golongkan untuk menjawab rumusan masalah: bentuk konsumerisme,
faktor yang mempengaruhi konsumerisme dan implikasi konsumerisme dalam
upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. Penggolongan dilakukan
untuk mempermudah penafsiran data dari hasil sementara menjadi kesimpulan
berbentuk teks yang mudah dipahami.Penafsiran sangat perlu untuk mengetahui
tindakan yang dilakukan, objek yang digunakan, simbol-simbol yang ada, makna
yang ada dalam upacara perkawinan Batak Toba. Melalui penafsiran ini dapat
diketahui bentuk-bentuk konsumerisme yang terjadi baik pola pikir, tingkahlaku
dan objek yang digunakan dalam upacara tersebut.
Tahap selanjutnya dari analisis kualitatif ini adalah penarikan kesimpulan.
Proses yang benar mulai dari persiapan penelitian, selama penelitian, dan
penganalisisan data sehingga menghasilkan kesimpulan yang benar. Kesimpulan
akhir untuk menjawab rumusan masalah, bagaimana bentuk konsumerisme dalam
upacara perkawinan Batak Toba; faktor-faktor apa yang terkait dengan
konsumerisme; dan apa implikasikonsumerisme upacara perkawinan Batak Toba
di Kota Denpasar.
3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Untuk memudahkan pembaca mengerti hasil penelitian ini disajikan dalam
bentuk naratif (informal) dan bagan (formal). Peneliti juga menggambar-
47
kan/menjelaskan hasil analisis data dilengkapi dokumentasi yang tersedia secara
rinci dan tuntas. Interpretasi penelitian disesuaikan dengan teks dan konteks
upacara perkawinan Batak Toba.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Profil Kota Denpasar
Denpasar merupakan kota metropolitan, pusat pendidikan, pusat pariwisata
dan juga pusat perdagangan. Nama Denpasar dapat bermaksud pasar baru, yang
awalnya merupakan pusat kerajaan Badung. Perkembangan yang terjadi
menjadikan Denpasar menjadi pusat pemerintahan kabupaten Badung bahkan
pada tahun 1958 Denpasar menjadi pusat pemerintahan propinsi Bali.
Dijadikannya Denpasar pusat pemerintahan tingkat II Badung dan juga
pusat pemerintahan tingkat I Bali menyebabkan Denpasar mengalami kemajuan
yang sangat pesat baik dari sudut fisik, ekonomi, maupun sosial budaya. Karena
perkembangannya sehingga status Denpasar ditingkatkan menjadi kota
administratif(http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/51/
name/bali/ detail/ 5171/kota-denpasar, diakses, 11 Agustus 2014).
Pada tanggal 15 Januari 1992 lahirlah Undang-undang nomor 1 tahun
1992 tentang pembentukan Kota Denpasar. Menteri dalam negeri meresmikan
Denpasar menjadi satu kota otonom pada tanggal 27 Pebruari 1992. Babak baru
terjadi bagi Propinsi Bali karena ada pengembangan yang dulunya 8 daerah
tingkat II menjadi 9 daerah tingkat II. Demikian juga bagi Kota Denpasar
48
merupakan babak baru dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan
walaupun daerah tingkat II paling bungsu di Propinsi Bali. Pembangunan yang
dilakukan di segala bidang menjadikan Kota Denpasar sebagai pusat
pemerintahan, pusat perdagangan, pusat industri dan juga pusat pariwisata. Hal ini
berkaitan dengan letak Kota Denpasar yang berada di Pulau Bali seperti yang
terlihat dalam peta di bawah ini.
Gambar 4.1
Peta Pulau Bali
49
(http://wisata.balitoursclub.com/wp-content/upload/2012/08/Peta-Wilayah-
Bali.jpg, diakses, 13 April 2015)
Letak Kota Denpasar yang sangat strategis menguntungkan dari segi
ekonomis dan juga dari segi kepariwisataan karena merupakan titik sentral
berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung untuk kabupaten lainnya. Kota
Denpasar terletak di antara 08° 35" 31'-08° 44" 49' lintang selatan dan 115° 10"
23'-115° 16" 27' Bujur timur, yang berbatasan dengan: di sebelah Utara
Kabupaten Badung, di sebelah Timur Kabupaten Gianyar, di sebelah Selatan Selat
Badung dan di sebelah Barat Kabupaten Badung.
Penduduk Kota Denpasar sangat heterogen, hampir seluruh etnis yang ada
di Indonesia terdapat di pulau Bali umumnya, dan di Kota Denpasar khususnya.
Walaupun penduduknya sangat heterogen, etnis Bali boleh menerima etnis
pendatang dan tinggal berdampingan di Kota Denpasar. Hampir tidak ada kasus
yang ditimbulkan karena masalah Sara (suku, agama, dan ras). Etnis Bali sangat
terbuka dan bersifat multikulturalis dengan seluruh etnis yang datang ke Bali.
Sikap multikulturalisme mengakibatkan orang betah di Denpasar, baik
yang berasal dari domestik maupun mancanegara. Faktor keamanan dan
kenyamanan mengakibatkan orang luar betah di Kota Denpasar baik yang bekerja
secara menetap maupun yang berlibur. Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi
penduduk di Kota Denpasar.Perkembangan penduduk Kota Denpasar dapat dilihat
pada tabel 4.1.
50
Tabel 4.1
Komposisi Penduduk Kota Denpasar
Berdasarkan Jenis Kelamin Per Kecamatan
Dari Tahun 2009 – 2013
Kecamatan Penduduk Laki-
laki
Pendududuk
Perempuan
Jumlah
Denpasar Barat
Denpasar Timur
Denpasar Selatan
Denpasar Utara
102.626
67.757
97.363
89.350
101.623
66.189
95.527
88.019
204.249
133.946
192.890
177.369
Total Tahun 2013 357.096 351.358 708.454
2012
2011
2010
2009
344.466
319.839
316.655
350.904
336.453
309.749
305.246
327.682
680.919
629.588
621.901
678.586
(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar,
Tahun 2013)
Dari data di atas terlihat bahwa jumlah penduduk di masing-masing
kecamatan yang ada di Kota Denpasar, semuanya mengalami pertambahan
penduduk. Pertambahan penduduk ini diakibatkan dua faktor yaitu, pertumbuhan
secara alamiah atau kelahiran dan juga migrasi penduduk ke Kota Denpasar.
Migrasi penduduk terjadi ke Kota Denpasar karena kota ini merupakan pusat
pemerintahan, pusat pendidikan (lihat tabel 4.2), pusat bisnis, dan juga pusat
wisata. Selain pertumbuhan penduduk yang terjadi di setiap kecamatan, hal lain
yang menarik diperhatikan yaitu, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari
penduduk perempuan di setiap kecamatan. Untuk mengetahui faktor penyebab
mengapa lebih banyak laki-laki dari perempuan perlu diadakan penelitian lebih
lanjut.
51
Tabel 4.2
Komposisi Penduduk Kota DenpasarBerdasarkan Pendidikan
Tahun 2013
Pendidikan Denpasar
Utara
Denpasar
Barat
Denpasar
Timur
Denpasar
Selatan
Jumlah
Tidak/
Belum sekolah
29.483 33.207 24.087 33.060 119.837
Belum tamat SD 20.695 23.678 15.304 23.086 82.763
Tamat SD 25.469 26.532 16.344 22.161 90.506
SLTP 21.763 25.352 15.158 21.163 83.436
SLTA 52.552 62.863 41.067 62.005 218.487
D-1/II 4.022 5.643 3.505 6.151 19.321
Akademi/D-III/
Sarjana Muda
4.370 6.224 3.586 5.910 20.090
D-IV/S-1 17.061 18.817 13.202 17.294 66.374
Strata II 1.790 1.772 1.566 1.887 7.015
Strata III 164 161 127 173 625
Total 177.369 204.249 133.946 192.890 708.454
(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar,
Tahun 2013)
Penduduk yang berpendidikan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas)
mempunyai jumlah yang paling banyak yaitu 218.487 orang. Dari data ini dapat
disimpulkan bahwa program pemerintah yaitu, Wajar (Wajib belajar) 12 tahun
sangat sukses di kota ini. Kesuksesan inisesuai dengan sebutan Kota Denpasar
sebagai kota pendidikan.
Selain kesuksesan pendidikan, kerukunan beragama relatif terjaga dengan
baik. Pemeluk agama yang paling banyak di Kota Denpasar adalah agama Hindu
(lihat tabel 4.3) kemudian disusul agama Islam.
52
Tabel 4.3
Komposisi Penduduk Kota DenpasarBerdasarkan Agama
Tahun 2013
Agama Denpasar
Selatan
Denpasar
Timur
Denpasar
Barat
Denpasar
Utara
Jumlah
Islam 50.633 26.883 66.595 37.943 182.054
Kristen 12.519 5.849 10.684 6.886 35.938
Katolik 6.065 3.373 5.055 3.222 17.715
Hindu 118.773 96.343 117.621 123.328 456.065
Budha 4.847 1.443 4.252 5.920 16.462
Konghuchu 45 41 33 56 175
Kepercayaan 8 14 9 14 45
Total 192.890 133.946 204.249 177.369 708.454
(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar,
Tahun 2013)
Penduduk asli Kota Denpasar adalah suku Bali dan beragama Hindu. Hal
ini sangat terlihat jelas dari jumlah penduduk Kota Denpasar didominasi
penduduk yang beragama Hindu. Namun walaupun pemeluk agama Hindu lebih
banyak, seluruh agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia dapat berjalan
dengan baik di Kota Denpasar. Hampir tidak ada gangguan yang sangat berarti di
dalam pelaksanaan ritual keagamaan sesuai dengan agama yang dipercayai
masing-masing penduduk.
Pekerjaan yang paling banyak digeluti penduduk Kota Denpasar adalah
karyawan swasta. Hal ini terjadi disebabkan Kota Denpasar merupakan pusat
perdagangan, sehingga memerlukan tenaga karyawan dalam hal perdagangan.
Banyaknya swalayan, toko-toko besar dan kecil sehingga penduduknya banyak
bekerja sebagai karyawan (lihat tabel 4.4).
53
Tabel 4.4
Komposisi Penduduk Kota DenpasarMenurut Pekerjaan per Kecamatan
Tahun 2013
No Nama Pekerjaan Denpasar
Selatan
Denpasar
Timur
Denpasar
Barat
Denpasar
Utara
Jumlah
1 Belum/
tidak bekerja
39.071 27.467 41.728 36.082 144.348
2 Mengurus rumah
tangga
20.653 13.924 23.600 20.175 78.352
3 Pelajar/Mahasiswa 37.332 24.722 39.828 34.186 136.068
4 Pensiunan 2.319 2.088 3.047 2.542 9.996
5 PNS 6.864 6.613 7.900 8.062 29.439
6 TNI 1.238 340 1.102 213 2.893
7 Polri 306 881 882 1.020 3.089
8 Petani/Pekebun 1.338 1.363 684 1.559 4.944
9 Peternak 115 46 37 61 259
10 Nelayan/Perikanan 989 29 68 44 1.130
11 Karyawan 56.981 37.221 54.655 47.352 196.209
12 Wiraswasta 25.684 19.252 30.718 26.073 101.727
Total 192.890 133.946 204.249 177.369 708.454
(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar,
Tahun 2013)
Data di atas menunjukkan, pekerjaan yang paling banyak digeluti masyarakat
Kota Denpasar adalah karyawan swasta, disusul dengan tidak bekerja dan
pelajar/mahasiswa. Hal ini berkaitan erat dengan Kota Denpasar sebagai pusat
perdagangan di Propinsi Bali.
Selain pusat perdagangan, Kota Denpasar juga merupakan kota wisata.
Sebagai kota wisata, tentumemerlukan sarana dan prasarana sebagai faktor
pendukung. Hotel-hotel, villa, restoran, biro perjalanan, dan lain-lain yang
berkaitan dengan wisata memerlukan karyawan yang banyak. Hal ini menjadi
54
penyebab sehingga penduduk Kota Denpasar lebih banyak menjadi karyawan
swasta. Pekerjaan pertanian, perkebunan, perikanan sudah hampir ditinggalkan
karena pekerjaan demikian kurang menjanjikan dan lahan untuk pertanian dan
perkebunan sudah habis beralih fungsi menjadi tempat hunian dan usaha lainnya.
4.2 Komunitas Batak Toba di Kota Denpasar
4.2.1 Jumlah Anggota Komunitas
Komunitas merupakan suatu perkumpulan dari beberapa orang untuk
membentuk suatu organisasi yang memiliki kepentingan bersama. Komunitas
dapat bersifat territorial atau fungsional. Di dalam komunitas, masing-masing
individu saling berhubungan antara satu sama lain.
Jumlah anggota komunitas Batak Toba yang ada di Kota Denpasar dari
hari ke hari semakin bertambah. Hal ini berkaitan dengan perkembangan Kota
Denpasar yang sangat pesat, menjadikan orang berlomba-lomba untuk mengadu
nasib di daerah pariwisata dunia ini. Komunitas Batak Toba yang memiliki pola
merantau yang tinggi tidak mau ketinggalan, juga ingin mengadu nasib di Kota
Denpasar. Fenomena ini dapat dilihat dari jumlah komunitas Batak Toba di Kota
Denpasar dari tahun ke tahun semakin meningkat. Tahun 2014 jumlah orang
Batak Toba di Kota Denpasar lebih dari 1.200 jiwa.
Data tentang jumlah komunitas Batak Toba di Kota Denpasar tidak ada
yang lengkap. Paguyuban IKBB (Ikatan Keluarga Batak Toba di Bali) tidak dapat
mencatat secara lengkap karena setiap kepala keluarga masuk ke dalam
perkumpulan marga lebih dari satu kumpulan. Kumpulan marga yang diikuti satu
55
keluarga Batak minimal 4 kumpulan marga yaitu, (1). Kumpulan marga suami
(dongan tubu), (2). Kumpulan marga isteri (hula-hula), (3). Kumpulan marga ibu
dari suami (tulang), (4). Kumpulan marga ibu dari isteri (tulang rorobot).
Banyaknya kumpulan marga yang harus diikuti setiap keluarga Batak
mengakibatkan hitungan orang Batak Toba di Denpasar menurut hitungan IKBB
menjadi dobel. Oleh karena itu penulis menggunakan data orang Batak Toba
melalui data yang dimiliki gereja (lihat tabel 4.5). Data gereja yang digunakan
yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Denpasar dan HKI (Huria Kristen
Indonesia) Denpasar.
Suku Batak Toba umumnya menganut agama Kristen, dan gereja yang
menjadi tempat beribadah bernama HKBP. Di Kota Denpasar, selain gereja
HKBP ada juga gereja yang berbentuk kesukuan Batak Toba bernama HKI. Selain
dari kedua gereja ini ada juga orang Batak Toba menjadi anggota dari, Gereja
Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB), gereja kharismatik, gereja katolik,
Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), Islam, dan Hindu, namun jumlahnya
sangat kecil. Oleh karena itu penulis menggunakan data orang Batak Toba di Kota
Denpasar dari gereja kesukuan yang ada di Denpasar (HKBP dan HKI) di mana
jemaatnya 99,% adalah Batak Toba.
56
Tabel 4.5
Jumlah AnggotaKomunitas Batak Toba di Kota Denpasar
Berdasarkan kelompok Orang Tua, Pemuda-pemudi, dan Anak-anak
No. Kelompok Jemaat
HKBP
(jiwa)
Jemaat
HKI
(jiwa)
Jumlah Dalam
(%)
1 Kaum Bapak 270 29 299 24,8
2 Kaum ibu 296 31 327 27,2
3 Pemuda 119 25 144 11,9
4 Pemudi 86 9 95 7,9
5 Anak-anak laki-laki 153 20 173 14,4
6 Anak-anak perempuan 144 22 166 13,8
Total 1.068 136 1.204 100,0
(Sumber: Gereja HKBP Denpasar dan HKI Denpasar, Tahun 2014)
Dari data di atas terlihat bahwa jumlah orang tua lebih banyak yaitu sejumlah 52%
disusul anak-anak sejumlah 28, 2% dan yang paling sedikit adalah pemuda-
pemudi sejumlah 19,8%. Pemuda-pemudi menduduki yang paling sedikit
diakibatkan banyak mahasiswa anak jemaat kedua gereja ini kuliah di luar pulau
Bali, demikian juga mereka yang sudah selesai kuliah lebih banyak mencari
pekerjaan di luar pulau Bali.
4.2.2 Sejarah Masuknyadi Kota Denpasar
Informasi dari Hasibuan orang yang sudah lama tinggal di Kota Denpasar
mengakui bahwa orang Batak yang pertama di Denpasar adalah pak Tobing. Pada
57
tahun 1938, Tobing ditempatkan salah satu perusahaan untuk bekerja di
Bali,usianya baru 17 tahun waktu datang ke Kota Denpasar. Dia menikah dengan
perempuan suku Bali sehingga dia dengan mudah mendapatkan tanah baik
melalui pemberian dari pihak mertua maupun dengan cara pembelian. Pada saat
itu harga tanah di Denpasar masih murah sehingga Tobing boleh memiliki tanah
yang luas.
Merupakan suatu misi budaya (cultural mission) bagi orang Batak untuk
membangun kerajaan di daerah rantau dengan cara memiliki tanah, rumah dan
anak (Pelly, 1994: 293). Setelah beberapa tahun tinggal di Kota Denpasar, Tobing
berhasil melakukan misi budaya dengan mempunyai tanah yang luas, rumah, dan
juga isteri dan anak. Keberhasilan ini menjadikan keluarganya betah tinggal di
Denpasar sampai akhir hidupnya. Tobing meninggal pada tanggal, 14 Mei 1998.
Sesuai dengan perkembangan Kota Denpasar, orang Batak semakin hari
semakin bertambah di daerah ini, baik karena faktor kelahiran secara alamiah,
penempatan kerja, ataupun karena faktor urbanisasi. Karena jumlahnya semakin
banyak, pada tahun 70-an orang Batak berkumpul untuk membangun satu gereja.
Gereja merupakan identitas bagi orang Batak, selain untuk tempat beribadah
gereja juga berfungsi sebagai wadah untuk bersosialisasi budaya (Siahaan dalam
Siburian, 2012 : 243). Organisasi gereja yang dibentuk bernama HKBP (Huria
Kristen Batak Protestan) yang berkantor pusat di Tarutung Sumatera Utara.
Menurut penuturan Tobing: “pada hari Selasa, 7 April 1972 orang Batak
berkumpul di rumah Simatupang isteri boru Hutabarat. Inilah perkumpulan orang
58
Batak yang pertama secara formal membicarakan tentang pendirian gereja HKBP.
Peserta yang hadir sepakat untuk mendirikan satu gereja.”
Untuk mendirikan bangunan gereja membutuhkan lahan dan keamanan,
sehingga peserta meminta kesediaan Tobing untuk menjual sebagian tanahnya
sebagai lahan pendirian gereja. Dengan senang hati Tobing mau memberikan
tanahnya sekitar 400 Meter sebagai tempat untuk mendirikan bangunan gereja
yang berlokasi di Jalan Sudirman Gang Karya Bakti II No. 10 Denpasar. Lokasi
ini sangat cocok dari segi keamanan karena berada di lokasi Komando Resort
Militer 163 Wira Satya Denpasar.
Pada tahun 1974 gereja HKBP di Kota Denpasar resmi mulai dibangun.
Karena perkembangan jemaat yang semakin banyak, gereja ini tidak dapat lagi
menampung jemaatnya sehingga tempat ibadah di pindah ke jalan Pulau Belitung
No. 6 Denpasar. Sedangkan gereja lama yang berlokasi di Jalan Sudirman Gang
Karya Bakti II No. 10 dijadikan menjadi rumah dinas pendeta.
Perkembangan komunitas Batak Toba yang semakin banyak
mengakibatkan pembentukan kumpulan-kumpulan marga. Kumpulan marga yang
pertama terbentuk sesuai dengan penuturan Hasibuan, yaitu kumpulan Sitorus
Pangulu Ponggok se-Bali. Kumpulan marga ini terbentuk pada bulan Pebruari
1979 di rumah O. Hasibuan. Untuk menjalin ikatan persaudaraan, kumpulan
marga ini mengadakan arisan sebulan sekali, diadakan di rumah masing-masing
anggota secara bergantian.
Arisan kumpulan marga merupakan suatu tradisi bagi Batak Toba di daerah
perkotaan untuk menjalin hubungan persaudaraan di antara satu kelompok marga.
59
Hampir semua marga yang ada di Batak Toba mempunyai kumpulan arisan
marga. Dalam arisan marga, selalu diawali dengan kebaktian singkat dan
dilanjutkan dengan informasi tentang keadaan masing-masing anggota. Dalam
wadah kumpulan marga ini orang Batak Toba mendapat informasi tentang adat
istiadat, kondisi kampung halaman, perkembangan politik di kampung halaman,
kondisi politik di daerah rantau, dan juga informasi-informasi lainnya yang perlu
untuk diinformasikan.
Kumpulan arisan marga merupakan wadah yang harus dimasuki setiap suku
Batak. Orang yang tidak masuk ke dalam kumpulan marga yang terbentuk akan
dikucilkan dari kelompok marganya, dan disebut sebagai orang dalle. Sebutan
dalle merupakan sebutan yang mengejek seseorang yang tidak mau bergabung
dengan suku Batak.
Selain membentuk arisan kumpulan marga, orang Batak di Kota Denpasar
juga sudah mulai dapat melangsungkan upacara pesta perkawinan. Upacara
perkawinan Batak yang pertama di Kota Denpasar dilaksanakan pada tanggal, 15
Desember 1978 yaitu, Aholin Simanjuntak dengan isterinya Lumina Napitupulu.
Orang tua Lumina Napitupulu pada saat itu sebagai kepala kantor perindustrian di
Bali, sehingga upacara perkawinan puterinya dapat dilaksanakan di kantor
perindustrian yang berlokasi di Jalan Topati Denpasar. Jumlah orang Batak yang
menghadiri upacara perkawinan tersebut sekitar 40 keluarga. Upacara perkawinan
dilaksanakan secara sederhana dan diikuti seluruh etnis Batak (Toba, Simalungun,
Mandailing, Karo, dan Pakpak) seluruh Bali.
4.2.3 Pola Pemukiman
60
Pemukiman komunitas Batak Toba di daerah asal Tapanuli biasanya secara
mengelompok. Mereka menempati satu kesatuan teritorial yang dihuni oleh
keluarga yang berasal dari satu klen. Wilayah pemukiman ini dalam bahasa
daerah disebut dengan huta (Bangun, 1982 : 98). Huta bagi orang Batak selain
untuk wilayah tempat tinggal juga berfungsi sebagai perwujudan kerajaan. Semua
orang Batak adalah raja, dan setiap raja mempunyai wilayah teritorialnya masing-
masing. Huta atau tempat tinggalbagi suku Batak merupakan hal yang utama
untuk menunjukkan identitasnya.
Seperti yang diutarakan Pelly (1994: 47) untuk menunjukkan simbol status
(hasangapon) orang Batak dapat memperolehnya dari rumah atau tempat tinggal
dan anak. Simbol status ini merupakan hal yang utama yang harus diperoleh
sebagai misi budaya setiap orang Batak di perantauan. Sama halnya di tempat
lain, orang Batak di Kota Denpasar mengutamakan kemajuan anak dan juga
tempat tinggal (rumah). Bagi orang Batak, salah satu tolok ukur kesuksesan di
bidang ekonomi harus mempunyai rumah sendiri.
Berbeda dengan suku Batak yang tinggal di daerah asal, orang Batak yang
tinggal di Kota Denpasar mempunyai huta atau pemukiman secara diaspora atau
menyebar. Pemukiman berbentuk diaspora diakibatkan kedatangan suku Batak ke
Kota Denpasar datang secara berangsur-angsur bukan secara mengelompok.
Selain datangnya yang berangsur-angsur, pemukiman yang berbentuk diaspora
diakibatkan harga tanah yang mahal di Kota Denpasar sehingga untuk
memilikilahan yang cukup luas sebagai tempat tinggal secara mengelompok
merupakan hal yang sangat sulit.
61
4.2.4 Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi suku Batak. Orang tua
suku Batak jika bertemu dengan temannya yang paling banyak dibicarakan adalah
tentang anak baik keadaan kesehatannya, sekolahnya, dan pekerjaannya. Anak
merupakan salah satu sumber kehormatan (hasangapon) bagi suku Batak (Pelly,
1994: 47). Karena sumber kehormatan, maka orang tua selalu berusaha untuk
memajukan anaknya melalui pendidikan. Tingkat pendidikan komunitas Batak
Toba di Kota Denpasar dapat di lihat dari tabel 4.6 di bawah ini:
Tabel 4.6
Jumlah AnggotaKomunitas Batak Toba di Kota Denpasar Berdasarkan Pendidikan
No. Tingkat sekolah Jemaat
HKBP
(jiwa)
Jemaat
HKI
(jiwa)
Jumlah Dalam
%
1 Belum sekolah 74 11 74 6,1
2 TK/SD 149 29 149 12,4
3 SMP 102 4 102 8,5
4 SMA 632 57 532 44,2
5 Diploma/Sarjana 247 35 347 28,8
Total 1.204 136 1.204 100,0
(Sumber: Gereja HKBP Denpasar dan Gereja HKI Denpasar, Tahun 2014)
Data di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan SMA sebanyak 44,2%,
menduduki peringkat yang paling banyak disusul diploma/sarjana sebanyak
28,8%. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan bagi orang Batak merupakan hal
62
yang utama dalam kehidupannya. Program Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun yang
dicanangkan oleh pemerintah secara nasional, bagi suku Batak bukan hal yang
baru. Sejak tahun delapan puluhan wajib belajar 12 tahun bagi suku Batak sudah
berjalan dengan baik. Pendidikan yang dimiliki berkaitan dengan jenis pekerjaan
yang mereka lakoni dalam kesehariannya.
Sesuai dengan perkembangan Kota Denpasar sebagai daerah pusat
pemerintahan Provinsi Bali, pusat pendidikan, pusat perdagangan dan daerah
pariwisata mengakibatkan penduduknya sangat sedikit bekerja dalam bidang
pertanian. Sama halnya dengan suku Batak Toba, hampir tidak ada yang
mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mata pencaharian lebih banyak
sebagai karyawan yang berkaitan dengan pariwisata dan wirausaha yang juga
berkaitan dengan pariwisata. Gambaran tentang mata pencaharian suku Batak
Toba dapat dilihat pada tabel 4.7di bawah ini.
Tabel 4.7
Jumlah AnggotaKomunitas Batak Toba di Kota Denpasar Berdasarkan Mata
Pencaharian
No. Jenis pekerjaan Jemaat
HKBP
(jiwa)
Jemaat
HKI
(jiwa)
Jumlah
Dalam
%
1 PNS 118 4 122 10,1
2 TNI/Polri 8 3 11 0,9
3 Karyawan 227 20 247 20,5
4 Wirausaha 151 17 168 13,9
5 IbuRumahTangga 162 20 182 15,1
6 Pelajar 339 61 400 33,2
63
7 Balita 63 11 74 6,3
Total 1.068 136 1.204 100,0
(Sumber: Gereja HKBP Denpasar dan HKI Denpasar, Tahun 2014)
Pekerjaan yang paling banyak dilakoni komunitas Batak Toba di Kota Denpasar
adalah sebagai karyawan. Pekerjaan ini erat kaitannya dengan Kota Denpasar
sebagai pusat perdagangan. Karena pusat perdagangan, tentu bisnis perdagangan
memerlukan tenaga kerja. Selain kota perdagangan, Kota Denpasar juga sebagai
pusat pariwisata sehingga memerlukan banyak tenaga kerja yang bergerak di
bidang pariwisata.
4.2.5Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Sistem kekerabatan suku Batak dengan memperhitungkan keturunan secara
patrilineal. Kelompok kekerabatan dihitung berdasarkan atas dasar, satu ayah, satu
kakek atau satu nenek moyang (Bangun, 1982: 106). Setiap suku Batak Toba
dapat menjelaskan silsilah dirinya sendiri mulai dari nenek moyangnya sampai
kepada keturunannya. Untuk mengetahui silsilah ini dapat dilihat dari masing-
masing tarombo yang ditulis setiap marga. Tarombo merupakan silsilah orang
Batak Toba mulai dari nenek moyangnya, dirinya sendiri, dan juga keturunannya.
Yang masuk dalam tarombo ini adalah kaum laki-laki yang sudah berkeluarga.
Setiap orang Batak membubuhkan nama marga bapaknya di belakang
namanya. Marga menunjukkan kelompok kekerabatan yang meliputi orang yang
mempunyai satu nenek moyang dan tidak boleh saling mengawini (Bruner, 1986:
64
159). Marga merupakan suatu kebanggaan bagi orang Batak sehingga orang Batak
lebih suka dipanggil marganya daripada namanya.
Dalam hubungan sosial sehari-hari, terlebih dalam pelaksanaan adat Batak,
orang Batak Toba diatur oleh unsur dalihan na tolu. Dalam dalihan na tolu unsur
kekerabatan diatur dengan, somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan
elek marboru. Arti dari struktur tersebut adalah, bersikap sembah dan hormat
kepada hula-hula (pemberi isteri), hati-hati (bijaksana) terhadap saudara yang
semarga, dan kasih sayang kepada boru (penerima isteri).
Seperti yang diutarakan oleh Simanjuntak (2011: 221), orang Batak
menghormati hula-hulanya karena dialah yang memberi isteri. Isteri
adalahpemberi keturunan bagi keluarga suami artinya bahwa hula-hula telah
memberi berkat kepada keluarga laki-laki melalui puterinya. Kepada saudara
semarga (dongan tubu) harus hati-hati karena mereka tinggal dalam
perkampungan yang sama, halaman yang sama, ladang yang sama. Dengan
demikian hampir setiap saat bertemu sangat rentan kecemburuan, persaingan dan
perkelahian. Untuk menghindari hal-hal yang demikian maka perlu kehati-hatian.
Sedangkan kepada kelompok boru yaitu pengambil isteri harus bersikap
mangelek maksudnya membujuk, mengambil hati, mengasihi karena si puteri
sudah “dijual” kepada marga lain. Sang puteri tidak mendapat apa-apa lagi dari
ayah dan saudaranya. Selain itu pihak boru diharapkan sebagai sumber ekonomi
bagi hula-hula dalam hal tumpak(sumbangan), tenaga, dan sebagainya.
Praktik dalihan na tolu dapat dilihat pelaksanaannya dalam kumpulan
marga-marga. Masing-masing marga membentuk suatu perkumpulan marga di
65
daerah perantauan. Demikian juga di Kota Denpasar ada beberapa perkumpulan
marga dalam bahasa daerah disebut punguan marga. Setiap perkumpulan marga,
unsur dalihan na tolu secara otomatis terbentuk. Perkumpulan marga ini dibentuk
akibat jumlah suku Batak semakin banyak.
Melihat semakin banyaknya punguan marga, tanpa ada organisasi atau
paguyuban yang menaungi semua marga ini lalu pada bulan Juli 2008, Brigjen Pol
(purnawirawan) Drs A. Sitanggang, SH pada waktu itu bertugas di Bali sebagai
Direktur Intelijen Keamanan Polda Bali prihatin melihat punguan-punguan marga
Batak masih bersifat sektoral. Sitanggang menyampaikan ide untuk membentuk
suatu paguyuban yang dapat mengakomodir semua marga-marga yang ada di Bali
umumnya dan di Denpasar khususnya.
Pemikiran yang diutarakan Sitanggang mendapat sambutan sangat positif
dari tokoh-tokoh marga lain, sehingga pada tanggal 15 September 2008 para
tokoh-tokoh suku Batak Toba berkumpul di Lapotuak (sejenis warung) Jalan
Tukad Batanghari No. 44 Panjer, Denpasar. Pada pertemuan itu sepakat untuk
membentuk paguyuban Batak sehingga dibentuk formatur yang bertugas untuk
memilih pengurus inti. Pada rapat pengurus disepakati yang masuk dalam Ikatan
Keluarga Batak di Bali (IKBB) terdiri dari lima sub-etnis yaitu, Toba,
Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak.
Paguyuban IKBB dalam anggaran dasarnya bertujuan untuk: (1).
Memelihara, menjaga dan melestarikan budaya Batak sebagai bagian dari
kekayaan budaya bangsa; (2). Memberdayakan dan mengakomodir potensi warga
Batak untuk ikut serta berperan aktif membangun dan memajukan wilayah Bali;
66
(3). Menciptakan dan meningkatkan rasa persaudaraan di antara sesama anggota
dan masyarakat lingkungan.
Dari sub-etnis yang masuk anggota IKBB (Toba, Simalungun, Karo,
Mandailing, dan Pakpak) masih ada lagi sub-sub etnisnya. Batak Toba
mempunyai sub-sub etnis sebanyak 30 kumpulan marga, Mandailing mempunyai
sub etnis (paguyuban) yang bernama Saroha. Pada paguyuban Saroha, Batak
Mandailing masuk ditambah Batak sub-etnis lain (Toba, Karo, Simalungun, dan
Pakpak) yang beragama Islam. Etnis Karo membentuk paguyuban tersendiri yaitu
margasilima(Karo-karo, Ginting, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan, Sebayang,
dll.). Margasilima menjadi wadah berkumpulnya seluruh orang Batak Karo yang
ada di Bali. Etnis ini belum membentuk kumpulan marga-kumpulan marga
tersendiri karena jumlahnya belum banyak. Walaupun belum membentuk
kumpulan marga-kumpulan marga secara tersendiri, namun sudah membentuk
satu gereja kesukuan di Kota Denpasar yaitu Gereja Batak Karo Protestan
(GBKP).
Batak Simalungun mempunyai kesamaan marga denganBatak Toba
sehingga sangat gampang untuk bergabung secara kumpulan marga dengan Batak
Toba. Marga-marga yang ada di Simalungun, misalnya, Sinaga, Purba, Damanik,
Saragih juga sama dengan marga yang ada di Toba. Perbedaan yang ada hanya
dalam bahasa. Untuk menunjukkan identitasnya, Batak Simalungun juga sudah
mempunyai gereja tersendiri di Denpasar yaitu, Gereja Kristen Protestan
Simalungun (GKPS).
67
Demikian juga Pakpak memilih bergabung dengan kumpulan marga-
marga yang ada di Batak Toba. Selain jumlahnya yang masih sedikit, marga-
marga yang ada di Pakpak ada persamaannya dengan marga yang ada di Toba.
Dengan adanya persamaan marga dengan Toba sehingga tidak mengalami
kesulitan untuk bergabung dengan saudaranya yang semarga. Karena persamaan
marga tersebut, Pakpakdan Toba tidak mempermasalahkan perbedaan etnis (Batak
Toba dan Batak Pakpak). Jumlah yang masih sedikit, Pakpak belum mempunyai
gereja kesukuan tersendiri seperti yang ada di daerah asal Dairi Sumatera Utara.
Gereja kesukuan Pakpak adalah, Gereja Kristen ProtestanPakpak Dairi (GPPD),
namun di Denpasar dan Bali umumnya GPPD belum ada.
Ikatan Keluarga Batak Toba di Bali (IKBB) terdiri dari sub etnik:
1. Batak Toba terdiri dari,Siraja Oloan, Toga Simamora, Toga Nainggolan,
SirajaSonang, Toga Manurung, SitorusPanguluPonggok, Silau Raja,
Simanjuntak, Panjaitan, Toga Aritonang, Raja Napitupulu, SilahiSabungan,
SihombingLumbantoruan, Toga Siregar, SonakMalela, Toga Simatupang,
Parna, Toga Sihombing, BorborMarsada, SibaraniSipartanoNaborngin,
SirajaPanggabean, SirajaLumbantobing, Tuan Dibangarna, Tuan
Sihubil&Sitompul, Toga Naipospos, SiraitButar-butar,
SitumorangSipituAma, Pasaribu, PurajaLaguboti, Raja Sitempang.
2. Batak Karo membentuk kumpulan marga Silima
3. Batak Mandailing dan juga Batak yang beragama Islam membentuk kumpulan
Saroha
68
4. Batak Simalungun bergabung dengan kumpulan marga yang ada di Batak Toba
5. Batak Pakpak bergabung dengan kumpulan marga yang ada di Batak Toba
(Sumber: Paguyuban IKBB, Tahun 2014)
4.2.6Kepercayaan
Sebelum agama Kristen masuk ke Tapanuli, suku Batak sudah mempunyai
agama. Mereka sudah mempercayai adanya sesuatu yang menciptakan dunia ini.
Seperti yang diutarakan oleh Raja Patik Tampubolon dalam bukunya“Pustaha
Tumbaga Holing Adat Batak – Patik Uhum” bahwa suku Batak mempercayai
adanya Mula Jadi na Bolon. Mula Jadi na Bolon tidak berawal dan tidak berakhir,
yang menciptakan langit dan bumi (Tampubolon, 2002: 31).
Suku Batak juga mempercayai bahwa Si Raja Batak merupakan leluhur
orang Batak yang bermukim di kaki gunung Pusuk Buhit yaitu Sianjur Mula-mula
(Sinaga, 1997: 40). Namun kedatangan Si Raja Batak dengan rombongannya ke
Pusuk Buhit mempunyai beberapa versi, ada yang mengatakan datang dari
Thailand kemudian ke Semenanjung Malasya, lalu menyeberang ke pedalaman
Sumatera. Ada juga yang mengatakan dari India melalui Barus, dan yang lain
mengatakan dari Alas Gayo dan tertarik untuk tinggal di pinggir danau Toba.
Sewaktu terjadinya pengkristenan, mulai tahun 1861 oleh misi zending
Eropah seiring dengan penjajahan Belanda waktu itu, kepercayaan kepada Mula
Jadi na Bolon berganti dengan kepercayaan Barat (Kristen). Kepercayaan kepada
Mula Jadi na Bolon dianggap sebagai animisme, sehingga misi untuk
69
mengkristenkan daerah Tapanuli sangat mudah dilaksanakan. Agama asli Batak
yaitu Parmalim yang percaya kepada Mula Jadi na Bolon ikut dijajah oleh Eropah
dan menggantinya dengan agama kristen.
Misi zending untuk menyebarkan agama Kristen di Tapanuli diiringi
dengan pendirian sekolah, dan rumah sakit (Schreiner, 2002: 8). Zending di
Tapanuli dapat berhasil karena dibarengi dengan pembangunan di bidang
pendidikan, kesehatan dan juga perekonomian. Sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Pelly (1994: 49), pada tahun 1090 jumlah sekolah yang dibangun di
daerah Tapanuli ada sebanyak 470 buah, di Padang sebanyak 62 buah, di
Bengkulu sebanyak 2 buah, Palembang sebanyak 36 buah, Jambi sebanyak 6
buah, Pesisir Sumatera sebanyak 29 buah, Aceh sebanyak 10 buah, dan di Riau,
Bangka, Lampung belum ada. Sekolah yang terbanyak dibangun berada di daerah
Tapanuli, yang merupakan program zending.
Sekolah yang dibangun oleh zending tujuan utama adalah untuk
mempercepat perkembangan penginjilan di Tapanuli. Seperti yang dikatakan oleh
Simanjuntak (2012: 280), orang Batak dididik para misionaris agar dapat
membaca, menyanyi, dan bertani. Apabila sudah dapat membaca, maka mereka
dapat membaca sendiri Alkitab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Batak.
Dengan demikian tujuan utama pengembangan pendidikan di kalangan orang
Batak oleh zending Jerman, adalah memperlancar misi zending agar orang Batak
dapat menginjili diri sendiri dan juga temannya dengan membaca.
Pembangunan dalam bidang pendidikan yang dilakukan zending sangat
berdampak kepada pola hidup masyarakat Batak termasuk kepada kepercayaan
70
asli Batak. Agama BatakParmalim yang mempercayai Mula Jadi na Bolon
dengan mudah digantikan dengan Kristen. Penggantian agama ini dilakukan oleh
kaum zending dengan menyatakan agama Batak adalah animisme.
Seperti yang dikatakan Schreiner (2002: 11) suku Batak membuka diri
terhadap misi zending, dan membiarkan diri dijajah oleh pemerintah kolonial
Belanda. Suku Batak mulai mengalami perubahan dunia baru, baik dari sudut
agama maupun dari sudut pemerintahan, sehingga suku Batak melepaskan agama
mereka sendiri dan menjadi Kristen. Agama Kristen menjadi agama yang sah bagi
penjajah Belanda dan juga masyarakat Batak umumnya.
Kristen Batak mempunyai gereja sendiri yang khas yaitu HKBP (Huria
Kristen Batak Protestan). HKBP diambil dari nama empat orang misionaris yaitu,
H: Pendeta Heine; K: Pendeta Klammer; B: Pendeta Betz, dan P: Pendeta Van
Asselt. Huruf V tidak ada pada tulisan Batak yang ada adalah huruf P, sehingga
nama Van Asselt dibuat (dibaca) menjadi Pan Asselt. Sesuai dengan penelitian
Pedersen (dalam Schreiner, 2002: 9) gereja HKBP menurut jumlah anggota adalah
gereja protestan yang paling besar di Asia Tenggara. HKBP dapat menjadi gereja
yang besar karena Batak Toba dengan bangga menunjukkan identitasnya melalui
gerejanya baik di daerah asal maupun di daerah perantauan.
Identitas individu akan melekat pada diri seseorang sepanjang orang
bersangkutan mengintegrasikan dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Suatu
kelompok sosial memiliki identitas selama masih terdapat individu-individu yang
memeliharanya sebagai sistem sosial (Barker, 2004: 171). Demikian halnya suku
Batak Toba di Kota Denpasar, umumnya tetap menganut agama Kristen baik
71
protestan maupun katolik. Jika ada komunitas Batak Toba yang bukan agama
Kristen hal itu terjadi karena perkawinan campuran. Agama Kristen sudah
menyatu dengan budaya Batak Toba, sangat sulit dibedakan antara agama Kristen
dengan budaya Batak Toba. Agama Kristen dan budaya Batak Toba pada masa
kini ibarat dua sisi mata uang logam yang selalu bersamaan, tidak bisa dipisahkan.
4.3 Profil Kebudayaan Batak Toba
Suku Batak mempunyai daerah asal di Sumatera Utara yang berbatasan
dengan Aceh di sebelah Utara dan Sumatera Barat di sebelah Selatan. Suku Batak
mempunyai sub-suku-suku bangsa yaitu, (1) Toba, mendiami daerah tepi danau
Toba, pulau Samosir, Asahan, Silindung, Barus, Sibolga, Pahae, dan Humbang;
(2) Simalungun, tinggal di daerah Simalungun; (3) Pakpak, mendiami Dairi;
(4)Karo, mendiami tanah Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang, dan sebagian
Dairi; (5) Angkola, mendiami Angkola dan Sipirok, sebagian Sibolga, Batang
Toru, dan Padang Lawas; (6) Mandailing, mendiami Mandailing, Ulu, Pakatan
dan sebagian Padang Lawas.
Dalam kehidupan sehari-hari, masing-masing sub-suku-suku Batak
mempunyai bahasa tersendiri dan juga logat yang khas. Logat Toba dipakai oleh
orang Toba dan mempunyai kemiripan dengan logat Angkola dan Mandailing.
Logat Karo dipakai oleh orang Karo, logat Pakpak dipakai oleh orang Pakpak, dan
logat Simalungun dipakai orang Simalungun. Dari antara logat yang ada, logat
Toba dan Karo yang sangat jauh perbedaannya dibanding dengan sub-suku Batak
lainnya.
72
Suku Batak mempercayai satu nenek moyang, yaitu Si Raja Batak. Dari
cerita suci (tarombo) yang masih dipercaya sampai saat ini menyebutkan bahwa
seluruh suku Batak merupakan turunan Si Raja Batak dan bermukim pertama kali
di kaki gunung Pusuk Buhit yaitu Sianjur Mula-mula (Sinaga, 1997: 40). Karena
perkembangan keturunannya semakin banyak, dan sumber makanan semakin
berkurang sehingga keturunan Si Raja Batak berpencar ke daerah Humbang,
Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak. Akibat perpindahan ini sehingga
menyebabkan suku Batak mempunyai sub-suku-suku.
4.3.1 Sistem Kepercayaan
Kepercayaan asli Batak ialah aliran parbaringin. Aliran parbaringin
disebut juga agama Batak. Akibat masuknya agama Kristen dan Islam, sekitar
tahun 1870 raja Sisinga Mangaraja memperbaharui agama Batak menjadi agama
Parmalim. Menurut Helbig (dalam Sidjabat, 1982: 326) raja Sisinga Mangaraja
XII memperbaharui agama Batak atau Parbaringin menjadi agama Parmalim
bertujuan untuk menjaga unsur-unsur agama Batak kuno terbina dalam
menghadapi agama Kristen, Islam dan penjajah Belanda.
Usaha untuk mempertahankan agama asli suku Batak tidak berhasil akibat
gencarnya penyiaran agama Kristen dan Islam pada abad ke-19. Agama Kristen
masuk ke Tapanuli disiarkan zending Jerman, dan ke daerah Karo oleh zending
Belanda. Agama Islam disiarkan oleh suku Minangkabau, sehingga suku Batak
yang berdekatan dengan daerah Minangkabau (Mandailing dan Angkola)
umumnya menganut agama Islam.
73
Agama asli suku Batak yaitu Parbaringin dengan mudah diganti oleh
agama luar karena Belanda sebagai penjajah menginginkan pergantian tersebut.
Suku Batak menganggap segala milik penjajah merupakan hal yang super
sehingga membuka diri terhadap misi zending, dan membiarkan diri dijajah oleh
pemerintah kolonial Belanda. Suku Batak mulai mengalami perubahan dunia baru,
baik dari sudut agama maupun dari sudut pemerintahan, sehingga suku Batak
melepaskan agama mereka sendiri dan menjadi Kristen. Agama Kristen menjadi
agama yang sah bagi penjajah Belanda dan juga masyarakat Batak umumnya
(Schreiner, 2002: 11).
Kepercayaan asli Batak mempunyai konsep bahwa alam ini diciptakan oleh
Debata Mulajadi na Bolon (dalam bahasa Toba), Dibata Kaci-kaci (dalam bahasa
Karo). Debata Mulajadi na Bolon tinggal di atas langit dan merupakan maha
pencipta. Pada masa kini kepercayaan terhadap Debata Mulajadi na Bolon sudah
digantikan dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa akibat
pengaruh agama Kristen dan Islam.Pengaruh agama asli dalam pelaksanaan adat-
istiadat sering terjadi menggunakan kata Debata Mulajadi na Bolon untuk kata
Tuhan Yang Maha Kuasa.
4.3.2 Sistem Kemasyarakatan
Suku Batak tidak mengenal stratifikasi sosial seperti kelas bangsawan dan
rakyat jelata. Dalam kehidupan sehari-hari perbedaan hanya terlihat dalam: (1)
berdasarkan umur; (2) pangkat dan jabatan pekerjaan; (3) sifat keaslian; dan (4)
status kawin (Bangun, 1982: 110). Pelapisan berdasarkan umur terlihat dalam
74
upacara adat dan pembagian harta warisan. Yang berhak memberikan saran dan
keputusan dalam upacara adat adalah orang yang sudah berkeluarga, demikian
juga tentang harta warisan hanya yang sudah berkeluarga mendapat bagian
sedangkan anak-anak belum diperhitungkan.
Sistem pelapisan sosial berdasarkan pangkat dan jabatan pekerjaan sehari-
hari terjadi juga dalam suku Batak. Lapisan yang terhormat adalah dukun, tukang,
pemusik (pargonsi).Profesi seperti ini disegani dalam masyarakat karena mereka
dianggap memiliki kekuatan sakti.
Sistem pelapisan sosial berdasarkan sifat keaslian maksudnya keberadaan
penduduk apakah dirinya penduduk asli atau pendatang. Perbedaan keaslian ini
bagi suku Batak sangat jelas kelihatan dalam pelaksanaan adat. Setiap upacara
adat yang dilaksanakan di suatu kampung harus melalui persetujuan orang asli di
kampung tersebut, oleh sebab itu pendatang harus selalu hormat kepada penduduk
asli.
Sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin sangat jelas bagi suku
Batak. Orang yang belum kawin tidak mendapat hitungan dalam tarombo atau
silsilah, selain itu juga belum dapat melaksanakan segala upacara adat. Apapun
statusnya, dan berapa pun umurnya jika belum kawin statusnya disamakan dengan
anak-anak, artinya masih dalam bimbingan orang tua.
Dalam kehidupan sehari-hari, suku Batak Toba mempunyai sistem
kekerabatan yang teratur melalui dalihan na tolu. Dalihan na tolu menjadi suatu
norma yang mengatur kekerabatan dalam suku Batak. Untuk masuk menjadi
anggota dalihan na tolu harus melalui upacara perkawinan. Setiap kali orang
75
Batak dewasa yang saling tidak mengenal bertemu, mereka selalu martarombo
dan martutur yaitu proses penelusuran silsilah untuk menentukan hubungan
kekerabatan di antara mereka (Bruner, 1986: 165). Setiap orang Batak dalam
kehidupan sehari-hari mempunyai hubungan kekerabatan di antara yang satu
dengan lainnya. Hal ini terjadi disebabkan seluruh orang Batak mempunyai satu
nenek moyang yang sama yaitu Si Raja Batak.
Hubungan kekerabatan suku Batak dapat diambil dari tiga sudut yaitu,
dongan tubu, hula-hula, dan boru. Setiap suku Batak yang mempunyai marga
yang sama disebut sebagai dongantubu, dan setiap orang yang mempunyai marga
yang sama dengan pihak ibu atau isteri disebut hula-hula, sedangkan orang yang
mengambil isterinya satu marga dengan kita disebut boru. Hubungan kekerabatan
ini berlaku dalam pelaksanaan adat-istiadat juga dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang sudah di jelaskan di atas, yang masuk dalam dalihan na tolu
adalah orang yang sudah melakukan upacara perkawinan. Demikian juga dalam
upacara-upacara adat Batak, yang boleh turut berbicara dalam urusan keluarga
hanya yang sudah berkeluarga (Bruner, 1985: 165). Oleh karena itu perkawinan
merupakan hal yang sangat perlu dalam suku Batak agar boleh masuk ke dalam
dalihan na tolu.
4.3.3 Pola Perkampungan
Kampung dalam bahasa daerah disebut huta merupakan tempat tinggal
yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu klen. Dalam satu huta terdapat
beberapa rumah yang saling berhadap-hadapan dan di depan rumah disediakan
76
halaman untuk mengadakan upacara perkawinan, upacara kematian dan
sebagainya. Huta dikelilingi dengan tembok huta disebut dengan parik yang
terbuat dari tanah dan di atas tembok ditanami bambu. Tanaman bambu bertujuan
untuk penghangat huta dan juga menjaga keamanan dari ancaman musuh.
Pada masa sekarang, bentuk huta sudah tidak dikelilingi tembok lagi.
Perkampungan umumnya sudah terbuka tidak dikelilingi parik huta. Parik
hutamenjadi hilang disebabkan alat untuk penghangat sudah diganti oleh selimut
dan peperangan antar kampung sudah tidak ada lagi sehingga fungsi parik ni huta
tidak diperlukan lagi. Selain alasan tersebut, jumlah penduduk yang semakin
bertambah, sehingga parik digunakan untuk lahan pertanian dan juga tempat
tinggal.
Walaupun bentuk huta berubah, namun pola perkampungan suku Batak
masih mengelompok. Biasanya nama huta itu dibuat sesuai dengan marga atau
klen yang berdiam di huta tersebut. Masing-masing klen mempunyai nama huta
tersendiri.
4.3.4 Kesenian
Setiap sub-suku-suku yang terdapat dalam Suku Batak mempunyai
kesenian tersendiri. Dari perbedaan-perbedaan itu ada persamaan-persamaan di
antaranya, memiliki tortor dan juga ulos.Tortor adalah sejenis tarian yang dimiliki
komunitas Batak sedangkan ulos yaitu kain yang ditenun yang fungsinya sebagai
alat untuk penghangat badan.Tortor dan ulos merupakan hasil seni yang hampir
selalu ada di setiap pelaksanaan upacara adat suku Batak.
77
Tortor Batak dalam pelaksanaannya selalu dimulai dengan penyembahan
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan juga penyembahan kepada khalayak umum.
Hal ini menunjukkan bahwa suku Batak selalu hormat kepada Pencipta dan juga
sesama manusia. Setelah tortor penyembahan, dilanjutkan dengan tortor liat-liat,
yaitu berkeliling di sekitar tempat yang disediakan, menunjukkan mereka sudah
menguasai wilayah tersebut. Penguasaan wilayah sangat perlu untuk menunjukkan
kekuasaan di wilayah bersangkutan. Selanjutnya tortor diakhiritortor hasahatan,
artinya keinginan suku Batak yang melakukan tortor sampai kepada tujuan.
Ulos pada awalnya merupakan tenunan tangan para perempuan dewasa di
daerah Batak. Akibat modernisasi, ulos sudah dapat diproduksi secara massal oleh
pabrik, sehingga nilai ulos menjadi murah. Walaupun sudah diproduksi secara
massal, masih ada beberapa jenis ulos yang tetap diproduksi dengan tenunan
tangan. Tentu ulos yang ditenun dengan tangan mempunyai harga yang lebih
tinggi dari ulos yang diproduksi mesin.
78
BAB V
BENTUK KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN
BATAK TOBA DI KOTA DENPASAR
Bentuk adalah yang tercitra dalam kognisi seseorang atau segala sesuatu
yang ada di dalam kehidupan manusia dan mempunyai makna tertentu. Hubungan
antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi sosial yang didasarioleh
kesepakatan atau konvensi sosial (Hoed, 2008: 3).Bentuk konsumerisme dalam
upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar mencakup objek material dan
objek formal. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret ataupun hal
yang abstrak. Objek formal, yaitu sudut pandangan dari mana objek material itu
disorot (Surajiwo, 2009: 5). Bentuk konsumerisme yang terjadi dalam upacara
perkawinan Batak Toba di Kota Denpasaryaitu, dilangsungkan di tempat yang
mewah, mengundang banyak orang, mengonsumsi objek pendukung secara
berlebihan, memberikan mahar yang mahal, dan menghabiskan durasi yang
panjang.
5.1 Praktik Upacara Perkawinan Batak Toba
79
Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar sangat bervariasi
baik dari segi tempat upacara, jumlah orang yang diundang dan tahapan
pelaksanaan. Terjadinya variasi ini diakibatkan tidak ada tempat khusus untuk
melangsungkan upacara perkawinan seperti di Kota Jakarta dan Kota Medan
sehinga mereka menggunakan berbagai macam tempat sebagaimana yang terlihat
dalam tabel 5.1.
Tabel 5.1
Keluarga yang Melangsungkan Upacara Perkawinan Tahun 2012 s/d 2014
No Waktu
Pelaksa-
naan
Nama keluarga Tempat
upacara
Jumlah
unda-
ngan
(orang)
Jumlah
biaya
(Rp.)
1. 17 Maret
2012
Jerry Tahan Martua
Lubis/SarahHutabarat
Gedung
Wanita Nari
Graha
± 450 ±120 juta
2. 14 April
2012
Mario Frederick
Sitompul/Evelina
Hotmaria Simanjuntak
Gedung
Wanita Nari
Graha
± 450 ± 125 juta
3. 4 Agst.
2012
Ivan Munara Hutapea/
Henry Wijayanti
Gedung
Wanita Nari
Graha
± 500 ± 135 juta
4. 24 Agst.
2012
Harry Mulia Simarmata/
Anita Christina Napitupulu
Gedung
Wanita Nari
Graha
± 800 ± 180 juta
5. 10 Nop.
2012
Andreas Martadinata
Ginting/Ni Nyoman Dania
M. Panjaitan
Restoran
Hongkong
Garden
± 900 ± 450 juta
6. 15 Nop.
2012
Ganda Pakpahan/ Diana
Asian Siregar
Gedung
Wanita Nari
Graha
± 500 ± 150 juta
7. 7 Des.
2012
Daniel Richat Siallagan/
Sarawaty Manullang
Restoran
Hongkong
Garden
± 700 ± 400 juta
8. 22 Juni
2013
Nelson Aprianus Tahik/
Vera Triyati Siregar
Restoran
Hongkong
Garden
±600
±450 juta
9. 5 Sept.
2013
Hitler Simamora/ Luci
Hasian Silalahi
Aula Korem
163 Denpasar
± 500 ±110 juta
80
10. 12 Sept.
2013
James Priestley Hasugian/
Emyta Dewi
GSM HKBP
Denpasar
±200 ±45 juta
11. 10 Okt.
2013
Harso Bayu Santoso/ Santi
Sriwulan Tambunan
Gedung
gereja HKI
Denpasar
± 150 ±35 juta
12. 23 Nop.
2013
Pantun Nainggolan/ Ni
Kadek Sri Widani
Aula
Angkatan
Laut Sesetan
±350 ±90 juta
13. 16 Nop.
2013
Jun Rico Laurencius
Nainggolan/Yunita
Khristyani
Gedung
Wanita Nari
Graha
± 400
± 120 juta
14. 22 Peb.
2014
Andri Ello Silitonga/
Linda Christina Br.
Tambunan
Restoran
Hongkong
Garden
±600
±500 juta
15. 22 Maret
2014
Yonas Bestow
Hutahaean/Yuli Yohana
Br. Napitupulu
Gedung
Wanita Nari
Graha
±600
±180 juta
16. 22 Maret
2014
Jihan Moonen/ Yuliana
Normauli Br. Hasibuan
Harrads
Hotel Chapel
±500 ±1,3
milyar
17. 25 April
2014
Ricky Panggabean/ Eva
Br. Simanjuntak
Restoran
Hongkong
Garden
±1200
±3 milyar
18. 16 Agst.
2014
Toho Jefta Hutauruk/
Sotardodo Lambok Ruth
Br. Naibaho
Restoran
Hongkong
Garden
±800
±500 juta
19. 27 Sept.
2014
Tambos Hutauruk/ Putri
Sion Br. Nababan
Gedung
Wanita Nari
Graha
±400
±110 juta
20. 29 Nop.
2014
Saut Gultom/ Faraumania
Br. Siregar
Hotel Inna
Bali Beach
±600 ±450 juta
21. 20 Des.
2014
Kelvin Anggara/Loide
Tiara Sere Br. Siahaan
Hotel The
Mulia
±600 ±3 milyar
(Sumber: Gereja HKBP Denpasar, Tahun 2014)
Dari data di atas terlihat bahwa tempat dan jumlah orang yang diundang sangat
bervariasi, dan kecenderungannya dari hari ke hari semakin konsumerisme. Orang
kaya melangsungkan upacara perkawinan di tempat yang lebih mewah dan
mengundang lebih banyakorang.Hal ini dilakukan untuk menunjukkan selera dan
kelasnya dalam masyarakat seperti yang diutarakan Bourdieu (dalam
81
Featherstone, 2008: 42), selera selalu mengklasifikasikan orang atas pilihan dan
gaya hidup. Selera, pilihan konsumsi dan praktik gaya hidup berkaitan dengan
pekerjaan dan posisi kelas tertentu dan dalam waktu tertentu dalam suatu
masyarakat.Dari data di atas urutan kemewahan tempat yaitu, Hotel The Mulia,
Hotel Harrads, Restoran Hongkong Garden, Hotel Inna Bali Beach, yang
menengah adalah Gedung Wanita Nari Graha, dan kelas bawah adalah Aula
Korem 163 Wira Satya Denpasar,Aula Angkatan Laut Sesetan, dan gedung serba
guna gereja.
Dalam komunitas Batak Toba, status seseorang dapat dilihat dari praktik
upacara perkawinan yang dilaksanakan. Orang yang mempunyai banyak modal
(ekonomi, sosial, dan budaya) seperti yang dimaksudkan Bourdieu, akan
melaksanakan upacara perkawinan sangat berbeda dengan orang yang memiliki
sedikit modal. Orang kaya akan mensuplai benda-benda baru, mode baru, dan
benda-benda bermerek. Hal ini perlu dilakukan untuk memapankan jarak antara
kelas atas dan kelas bawah (Featherstone, 2008: 43).
Sebaliknya, masyarakat kelas bawah berusaha untuk mengikuti gaya yang
ditampilkan kelas atas. Usaha pengejaran yang dilakukan oleh kelas bawah tidak
akan berhasil disebabkan kelas atas akan terus menginvestasikan barang-barang
baru dengan penciptaan diferensi. Konsumsi menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari penciptaan gaya hidup yang dimuati dengan nilai tanda dan makna simbolik
sehingga menyebabkan gaya hidup konsumerisme.
Gaya hidup konsumerisme seperti yang diutarakan Piliang (2011: 238)
yaitu, gaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus
82
menerus lewat mekanisme tanda, citra, dan makna-makna simbolik.
Konsumerisme juga merupakan budaya belanja yang didorong oleh logika hasrat
dan keinginan, ketimbang logika kebutuhan. Demikian halnya dalam praktik
upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar, budaya konsumerisme seakan-
akan menjadi suatu keharusan. Praktik pelaksanaan upacara perkawinan dipenuhi
dengan tanda, citra, dan makna-makna simbolik.
5.1.1 Tempat Pelaksanaan
Suku Batak Toba umumnya memeluk agama Kristen, sehingga upacara
perkawinan dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama Kristen. Menurut agama
Kristen, perkawinan itu sakral dikarenakan suami hanya boleh memiliki satu
isteri, sebaliknya isteri hanya boleh memiliki satu suami. Selain itu, suami tidak
boleh menceraikan isterinya dan juga sebaliknya, isteri tidak boleh menceraikan
suami dengan alasan apapun kecuali karena kematian. Dengan demikian hanya
kematian yang boleh menceraikan suami isteri dalam keluarga Kristen.
Upacara perkawinan Kristen yang sangat sakral memerlukan tempat yang
sakral juga (bukan sembarangan) tempat yang dianggap sakral adalah di dalam
gereja. Gereja merupakan tempat yang sakral bagi orang Kristen sehingga upacara
perkawinan secara keagamaan dilaksanakan umumnya di dalam gedung gereja.
Upacara perkawinan secara agama yang dilakukan dalam gereja tidak
memerlukan biaya yang tinggi (biasanya hanya berbentuk ucapan syukur) karena
gedung gereja bukan tempat komersil, dan setiap jemaat yang memerlukan
fasilitas di gereja tidak pernah disewakan seperti gedung-gedung umum lainnya.
83
Perkembangan akhir-akhir ini, tempat pelaksanaan upacara perkawinan
secara agama bukan hanya di dalam gedung gereja lagi. Hotel-hotel yang ada di
Bali sudah memfasilitasi hotelnya dengan membangun kapel, (bahasa Inggris
chapel), yaitu sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk
persekutuan dan ibadah bagi orang Kristen. Pihak hotel memfasilitasi hotelnya
dengan sarana prasarana yang sangat lengkap demi mendapatkan untung yang
sebanyak-banyaknya. Berdirinya kapel yang merupakan produk kapitalis
mengakibatkan biaya upacara perkawinan secara keagamaan menjadi tinggi,
pelaksanaan yang dilakukan dalam gereja maksimal Rp. 5 juta, sedangkan
pelaksanaan yang dilakukan di kapel memerlukan biaya ratusan juta bahkan
sampai miliaran Rupiah.
Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba yang dilakukan di kapel yang
diikuti penulis pada hari Sabtu, 20 Desember 2014 di Hotel The Mulia Nusa Dua.
Pihak keluarga pengantin perempuan berasal dari suku Batak Toba tinggal di Kota
Surabaya, sedangkan pihak keluarga laki-laki etnis Tionghoa tinggal di Kota
Denpasar. Yang menanggung biaya upacara lebih banyak pihak perempuan, dan
dia merupakan pengusaha sukses juga orang Batak terkaya di Kota Surabaya.
Upacara perkawinan yang dilakukan secara keagamaan dipimpin oleh:
Ephorus HKBP (pimpinan tertinggi di HKBP) yang didatangkan dari kantor pusat
Tarutung Sumatera Utara. Selain mendatangkan ephorus, juga mendatangkan
Praeses HKBP distrik XVII IBT dari Surabaya (pimpinan tertinggi di HKBP
Indonesia Bagian Timur) dan juga mendatangkan pendeta HKBP yang ada di
sekitar Surabaya dan Bali. Mereka didatangkan pihak keluarga pengantin
84
perempuan dengan memfasilitasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, tentu
dengan jumlah yang sangat besar.
Pimpinan HKBP mau melayani upacara pemberkatan perkawinan di kapel
bukan di dalam gedung gereja seperti umumnya.Menurut penuturannya:“Ingkon
terbuka do hita manjalo hamajuan. Di negara maju, mamasu-masu di hotel nunga
somal”. (Kita harus terbuka akan kemajuan zaman. Di negara maju, upacara
pemberkatan perkawinan sudah biasa di lakukan di hotel). (wawancara, 20
Desember 2014).Penuturan ini menunjukkan bahwa pihak gereja menyetujui
upacara perkawinan secara agama dilakukan di kapel.Upacara perkawinan yang
dilakukan di hotel tentu memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Informasi yang diperoleh dari panitia upacara perkawinan, biaya yang
dikeluarkan keluarga perempuan untuk membiayai upacara perkawinan anaknya
secara agama Kristen sebesar 1,5 milyar Rupiah. Menurut panitia, biaya sebesar
itu lebih banyak peruntukannyauntuk penginapan sebanyak 100 orang yang
diundang dari luar Bali. Penginapan yang dipesan tergantung dari status/jabatan
orang yang diundang sehingga harganya berbeda antara satu dengan lainnya mulai
dari harga Rp. 3.000.000,- sampai Rp. 25.000.000,- satu malam. Undangan dari
luar Bali menginap antara satu malam sampai tiga malam. Sehingga total biaya
untuk penginapan sekitar Rp. 500.000.000,- Biaya yang lain yaitu, untuk resepsi
setelah upacara perkawinan diperuntukkan untuk 600 orang, biaya satu orang
Rp.500.000,- sehingga totalnya Rp. 300.000.000,-. Biaya lain yang besar adalah
tiket pesawat para undangan dari luar Bali, uang saku, sewa kapel secara paket,
85
dan juga biaya artis yang didatangkan dari ibu kota untuk menghibur acara,
sehingga total keseluruhan diperkirakan sebesar Rp. 1,5 milyar.
Upacara perkawinan yang dilakukan di Hotel The Mulia Nusa Dua, baru
secara agama belum secara adat. Upacara adat dilakukan di Jakarta dengan
mengundang 1.000 orang dan dilangsungkan pada bulan Pebruari 2015. Biaya
yang dihabiskan sebanyak Rp. 1,5 milyar sehingga total keseluruhan biaya yang
habis dalam satu upacara perkawinan tersebut sekitar Rp. 3 milyar.
Fenomena konsumerisme di atas sesuai dengan pendapat Baudrillard
(dalam Hidayat, 2012: 62), menyatakan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada
dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan nilai simbol, dan bukan karena
kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan. Pada masyarakat konsumen,
konsumsi sebagai pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan semata
namun lebih dari fungsi itu adalah seperangkat hasrat untuk mendapatkan
kehormatan, prestise, status dan identitas melalui mekanisme penandaan.
Nilai tanda dan nilai simbol dapat dilihat pada upacara perkawinan secara
agama di kapel seperti terlihat pada gambar 5.1. Pimpinan gereja menyetujui
pemberkatan nikah di luar gereja mengakibatkan kesakralan perkawinan dan juga
kesakralan gereja hilang. Uang juga berkuasa di gereja sehingga keinginan orang
kaya yang melangsungkan pemberkatan perkawinan (upacara perkawinan secara
agama Kristen) di luar kepantasan menjadi pantas. Pihak gereja tidak berusaha
mencegah konsumerisme bahkan punya andil sehingga terjadi konsumerisme
dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.
86
Gambar 5.1
Pemberkatan perkawinan secara Gereja di Kapel The Mulia Nusa Dua
(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Pemimpin upacara perkawinan secara agama Kristen adalah pendeta. Pendeta
bukan jabatan tetapi tahbisan, namun dalam perkawinan di atas yang memimpin
upacara perkawinan keagamaan adalah Pimpinan tertinggi di HKBP. Seperti yang
dikatakan Bourdieu (Dalam Lubis, 2014b: 110), seorang yang memiliki kapital
yang sangat kuat cenderung mempertahankan situasi (konservatif) dan melindungi
doxa (opini) sehingga struktur sudah mapan, struktur yang menguntungkannya
tidak dipertanyakan lagi.
Orang tua pengantin bernama Tahan adalah orang kaya dalam ekonomi,
orang bergelar tinggi (professor), dan juga orang yang disegani di kalangan suku
Batak di wilayahnya. Dari sudut modal (ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik)
seperti konsep Bourdieu, dalam keluarga bersangkutan modal berbaur menjadi
87
satu. Untuk mempertahankan posisinya sehingga pelaksanaan pemberkatan
perkawinan anaknya didatangkan pimpinan tertinggi HKBP dan juga pendeta-
pendeta HKBP yang ada di Surabaya dan Bali demi pelipatgandaan modal yang
sudah dimilikinya.Upacara perkawinan dijadikan sebagai arena untuk
mempertahankan posisi kekuasaan.
Kebiasaan bagi komunitas Batak Toba, seusai upacara perkawinan secara
agama kemudian dilanjutkan dengan upacara perkawinan secara adat. Pada
masyarakat sederhana atau mereka yang tinggal di daerah asal Tapanuli,
pelaksanaan upacara perkawinan dilangsungkan di halaman rumah. Komunitas
Batak Toba yang tinggal di Kota Denpasar untuk melangsungkan upacara
perkawinan bukan lagi di halaman rumah tetapi di gedung pertemuan atau hotel
berbintang.
Objek pendukung yang sangat banyak tersedia di Kota Denpasar,
mengakibatkan komunitas Batak Toba mempunyai banyak pilihan sesuai dengan
selera masing-masing. Pilihan yang banyak sebagai tempat untuk melangsungkan
upacara perkawinan bukan membantu masyarakat melainkan menciptakan hasrat
yang tak pernah terpuaskan. Hasrat yang tak pernah terpuaskan berimplikasi
kepada budaya konsumerisme yang dipraktikkan dalam upacara perkawinan.
5.1.2 Jumlah Orang yang Diundang
Semakin tinggi status orang kecenderungannya mengundang orang semakin
banyak untuk datang mengikuti upacara perkawinan. Semakin banyak orang yang
diundang, semakin besar juga biaya yang akan dihabiskan.Menurut penuturan O.
88
Hasibuan, upacara perkawinan Batak Toba pertama kali yang dilakukan di Kota
Denpasar yaitu pada tanggal, 15 Desember 1978:
“Tempat pelaksanaan upacara perkawinan secara adat dilakukan di gedung
kantor perindustrian Bali, jalan Topati Denpasar. Jumlah undangan hanya
sekitar 70 orang karena jumlah orang Batak saat itu baru ada sekitar 40
keluarga. Unsur dalihan na tolu disesuaikan dengan situasi dan kondisi
belum lengkap seperti saat sekarang. Semua orang Batak baik Toba,
Simalungun, Pakpak, Karo, Mandailing datang.” (wawancara, 15 Desember
2014).
Penuturan ini memperlihatkan bahwa pada awal pelaksanaan upacara perkawinan
Batak Toba di Kota Denpasar dilakukan dengan sangat sederhana. Bertambahnya
jumlah orang Batak di Kota Denpasar serta fasilitas kota yang tersedia, sehingga
para pelaku upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar umumnya
mengundang ratusan bahkan ribuan orang. Praktik ini sesuai dengan yang
dikatakan Piliang (2011: 238) di perkotaan fasilitas untuk konsumsi dibangun
secara intensif. Kota menjadi lingkungan utama untuk gaya hidup konsumerisme.
Perkembangan Kota Denpasar yang begitu pesat didukung oleh sarana
prasarana yang dibangun berdampak kepada konsumerisme upacara perkawinan
Batak Toba. Banyaknya gedung sebagai alternatif pelaksanaan upacara
perkawinan mengakibatkan setiap melaksanakan upacara perkawinan pihak
keluarga dari perempuan dan laki-laki mengundang banyak orang (lihat tabel 5.1).
Kehadiran banyak orang untuk menghadiri upacara perkawinan menentukan
status sosial dari keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan. Semakin
banyak orang yang hadir dalam upacara perkawinan dengan pelayanan yang baik
dari keluarga yang melaksanakan upacara maka keluarga bersangkutan mendapat
status sosial semakin tinggi dalam bahasa daerah semakin sangap.
89
Sangap atau hasangapon merupakan kehormatan yang menjadi salah satu
dari tujuan hidup suku Batak. Sedangkan tujuan hidup lainnya adalah hagabeon
atau punya keturunan, dan hamoraon yaitu kekayaan. Dengan melaksanakan adat
upacara perkawinan, mendatangkan banyak orang, melayani dengan baik, satu
dari tiga tujuan hidup Batak Toba sudah tercapai. Akibat dari pemahaman ini
orang Batak Toba berusaha untuk melaksanakan upacara perkawinan dengan
mengundang banyak orang.
5.1.3 Objek Pendukung yang Digunakan
Objek pendukung dalam upacara perkawinan Batak Toba yaitu objek yang
dikonsumsi bukan merupakan keharusan. Jika objek ini ditiadakan tidak
mengurangi makna upacara perkawinan tersebut, namun objek ini seakan-akan
menjadi suatu keharusan. Menurut pernyataan Tambunan, salah satu tokoh adat
suku Batak:
“Anggo pesta ni halak hita nunga biasa di Denpasar on mambahen artis,
kenang-kenangan, dekorasi, mobil pengantin, video, dohot angka na asing.
Na jolo dang apala songon on hebona, anggo nuaeng nunga godang na so
niantusan be angka lapatan na. Molo sinungkun angka dongan, alasanna
nga songon i na masa… nunga sude mambahen songon i…. tontu…
niihuthon ma.” (Pelaksanaan upacara perkawinan Batak di Denpasar sudah
biasa mendatangkan artis, pemberian cenderamata, dekorasi yang
berlebihan, mobil pengantin secara khusus, video, dan lain-lain. Dulu
pelaksanaan pesta tidak seheboh ini, kalau sekarang sudah banyak yang
tidak kita mengerti maksudnya. Kalau ditanya kepada teman-teman,
jawabnya sudah begitu biasanya…..sudah semua melakukan
demikian…sehingga …semuanya akhirnya mengikutinya).” (wawancara, 4
Desember 2014).
Tuturan ini menunjukkan bahwa praktik konsumerisme dalam upacara
perkawinan Batak Toba sudah terbiasa dilaksanakan. Menggunakan jasa artis
90
untuk menghibur menjadi kebutuhan seakan-akan keharusan. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan Baudrillard (dalam Lubis, 2014: 179), pada masyarakat
konsumer objek bukan hanya dikonsumsi, tetapi diproduksi lebih banyak untuk
menandakan status, bukan untuk kebutuhan. Hampir tidak ada upacara
perkawinan Batak Toba secara adat yang dilakukan di Kota Denpasar yang tidak
menggunakan jasa artis (lokal atau luar daerah). Padahal dalam pelaksanaannya,
tidak ada kaitan antara artis dengan upacara perkawinan, melainkan hanya sekedar
untuk mendapatkan hiburan.
Seperti yang diutarakan oleh Lamhot yang melakukan upacara perkawinan
pada hari Sabtu, tanggal 29 Nopember 2014. Upacara perkawinannya
dilaksanakan di Inna Bali Beach, dan mengundang 600 orang. Menurut Lamhot,
saat pelaksanaan upacara perkawinannya biaya yang dikeluarkan untuk artis
sebanyak Rp. 85 juta, dan untuk M.C. sebanyak Rp. 25 juta. Artis yang diundang
tiga orang (trio) dari Jakarta ditambah satu orang pemain musik. Masing-masing
mendapat honor Rp. 15 juta ditambah biaya tiket pesawat pulang pergi dan biaya
penginapan di Hotel Inna Bali Beach selama 2 malam, sehingga total biaya untuk
artis, M.C dan pemain musik sebesar Rp. 120 juta.
Lamhot menggunakan jasa artis dari Jakarta bukan dari Kota Denpasar,
menurut penuturanya:
“Kita sudah bosan menyaksikan artis lokal, untuk mengubah suasana ya
…kita undang dari Jakarta. Pesta kawin kan hanya sekali… apa salahnya
kalau kita buat yang terbaik. Masalah biaya kan… ya… hanya menambah
sedikitnya. Undangan pasti lebih puas mendengar artis ibu kota daripada
artis lokal.” (wawancara, 2 Januari 2015).
91
Penuturan ini menggambarkan bahwa Lamhot ingin menunjukkan kelasnya
dengan mendatangkan artis dari Jakarta. Hal ini sesuai dengan pendapat
Baudrillard bahwa konsumsi tidak dapat dipahami sebagai konsumsi nilai guna,
tetapi terutama sebagai konsumsi tanda (Sarup, 2011: 254). Mendatangkan artis
dari Jakarta dengan biaya yang tidak sedikit menandakan bahwa Lamhot
mempunyai kedudukan yang tinggi di tengah komunitas Batak.
Melalui upacara perkawinan, Lamhot mempertukarkan modal ekonomi
kepada modal sosial. Dari segi ekonomi, Lamhot memiliki modal yang cukup
karena dia orang kaya, namun dari segi sosial dia memiliki modal yang sedikit
karena Lamhot belum masuk ke dalam struktur dalihan na tolu. Seperti yang
diutarakan Bourdieu (dalam Fashri, 2014: 109), bahwa modal dapat dipertukarkan
satu sama lain. Demikian halnya, Lamhot menukarkan modal ekonominya untuk
mencapai modal yang lain dalam ranah upacara perkawinan.
Selain menyajikan hiburan dari artis, objek pendukung yang seakan-akan
menjadi keharusan yaitu pemberian cenderamata kepada setiap undangan yang
sudah ikut menghadiri upacara perkawinan. Cenderamata juga tidak ada kaitannya
dari segi adat dengan upacara perkawinan Batak Toba, namun dalam praktiknya,
sudah menjadi hal yang umum untuk memberikan cenderamata. Biaya yang
dikeluarkan untuk mengadakan cenderamata juga tidak sedikit, sampai puluhan
juta Rupiah.
Objek pendukung lain yang tidak ada kaitannya dengan upacara
perkawinan yaitu dekorasi panggung pengantin secara berlebihan. Tradisi orang
Batak Toba dalam pelaksanaan adat adalah berhadap-hadapan antara keluarga
92
pihak laki-laki dengan keluarga pihak perempuan. Akibat keadaan gedung yang
tersedia di Kota Denpasar yang sudah didesain menggunakan panggung dan
posisinya pisah dari para undangan umum sehingga memerlukan dekorasi.
Dekorasi yang biasa digunakan yaitu dengan memakai bunga plastik atau bunga
hidup. Jika menggunakan dekorasi plastik biayanya di bawah Rp. 10 juta,
sedangkan menggunakan dekorasi yang dilengkapi dengan bunga hidup biayanya
di atas Rp. 10 juta.
Tempat pelaksanaan upacara perkawinan bagi orang Batak Toba
memerlukan tempat yang luas yang dapat menampung banyak orang. Tempat-
tempat seperti ini yang cocok tentu di halaman rumah seperti di desa di daerah
Tapanuli. Di Kota Denpasar, halaman rumah orang Batak Toba yang dapat
menampung ratusan orang tidak ada sehingga harus mencari tempat khusus selain
halaman rumah. Karena tempat upacara perkawinan bukan di halaman rumah
sendiri melainkan di salah satu gedung, tentu memerlukan angkutan sebagai
transportasi, dalam bahasa sehari-hari disebut mobil pengantin.
Dalam kenyataannya, mobil pengantin bukan sekedar sebagai transportasi
melainkan fungsi yang lain yaitu gengsi. Mobil yang biasa digunakan sebagai
mobil pengantin hanya mobil yang bermerek dengan biaya berkisar Rp. 3 juta
hingga Rp. 5 juta. Walaupun keluarga pengantin mempunyai mobil sendiri, jika
mobilnya bukan merek mahal, itu tidak digunakan sebagai mobil pengantin tetapi
menyewa mobil yang bermerek demi gengsi.
Realitas di atas sesuai dengan yang diutarakan Soedjatmiko (2008: 94)
bahwa pada saat sekarang, orang mengkonsumsi sesuatu bukan lagi karena
93
pertimbangan nilai guna dan nilai tukar, melainkan demi status dan identitas
dalam masyarakat. Konsumsi berkaitan dengan penciptaan gaya hidup yang
tercermin dengan nilai tanda dan makna simbolik sehingga mengakibatkan gaya
hidup konsumerisme (Piliang, 2011: 238).Akibat pergeseran dari nilai guna
menjadi nilai status dan identitas dalam masyarakat, mengakibatkan
konsumerisme semakin subur, dan akhirnya konsumerisme dianggap menjadi
wajar seperti yang terlihat dalam Gambar 5.2.
Gambar 5.2
Suasana pelaksanaan upacara pesta perkawinan di Inna Bali Beach, 29 Nop. 2014
(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Gambar di atas merupakan kondisi tempat pelaksanaan upacara pesta Perkawinan.
Para undangan berdiri untuk menyambut kedatangan pengantin memasuki
panggung kehormatan. Suasana kemewahan terlihat mulai dari ruangan, bangku,
meja, panggung, dan bunga-bunga hidup menghiasi ruangan upacara.
94
5.1.4 Jumlah Mahar yang Diberikan
Mahar adalah mas kawin yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Dalam bahasa daerah Batak Toba mahar disebut dengan tuhor atau
sinamot. Pada awalnya, mahar itu berbentuk: kerbau, kuda, emas, dan perak
namun seiring dengan perkembangan zaman, benda-benda seperti di atas diganti
dengan uang. Hal ini berkaitan dengan efisiensi dan efektifitas sehingga benda-
benda itu diganti dengan uang.
Pemberian mahar bagi suku Batak berhubungan dengan prinsip patrilineal,
artinya garis keturunan dihitung melalui garis laki-laki. Perempuan harus
meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi keluarga suaminya. Sebagai
pengganti nyawa puterinya yang sudah pergi mengikuti suaminya harus nyawa,
tetapi bukan lagi nyawa manusia namun diganti dengan nyawa binatang, boleh
dengan kerbau, kuda, atau babi (Sihombing, 1997: 284). Itu sebabnya mahar itu
selalu diukur dengan nyawa binatang sebagai pengganti perempuan yang sudah
kawin. Namun pada saat sekarang hal itu tidak terjadi lagi karena sudah
digantikan dengan uang.
Jumlah uang yang digunakan sebagai mahar seorang perempuan bagi suku
Batak sangat bervariasi, mulai dari: Rp. 10 juta, Rp. 20 juta, Rp. 50 juta, dan Rp.
100 juta. Faktor yang berpengaruh terhadap jumlah mahar yang akan diberikan
kepada keluarga perempuan diantaranya: (1). Keadaan ekonomi keluarga laki-
laki. Semakin kaya pihak laki-laki biasanya jumlah mahar yang diberikan kepada
pihak perempuan semakin besar; (2). Status perempuan yang mau kawin.
Perempuan yang mempunyai status tinggi misalnya mempunyai pendidikan
95
tinggi, pekerjaan baik, semakin tinggi juga mahar yang akan diterimanya; (3).
Jarak dari tempat tinggal keluarga perempuan ke tempat upacara perkawinan.
Semakin jauh jarak tempat upacara perkawinan dari tempat tinggal keluarga
perempuan, semakin tinggi juga mahar yang akan diberikan pihak laki-laki kepada
pihak perempuan; (4). Gengsi. Faktor gengsi dalam pemberian jumlah mahar juga
sangat berpengaruh. Pihak laki-laki sangat malu memberikan mahar yang sedikit
kepada pihak perempuan. Dengan berbagai cara pihak laki-laki akan berusaha
memberikan jumlah mahar yang banyak.
Pihak laki-laki sebagai pemberi mahar akan malu jika menantunya
menerima mahar sedikit. Jumlah mahar perempuan bagi komunitas Batak menjadi
pertarungan gengsi baik bagi pihak keluarga laki-laki juga keluarga perempuan.
Keluarga perempuan akan berusaha agar mahar puterinya “dihargai” dengan harga
yang tinggi sehingga harga diri keluarga besar pihak perempuan terangkat dengan
jumlah mahar tersebut. Sebaliknya apabila mahar puterinya rendah berarti “nilai
jual” puterinya rendah dan juga harga diri keluarga besarnya menjadi rendah.
Praktik pemberian jumlah mahar ini sering terjadi pembohongan publik.
Hal ini terjadi apabila pihak keluarga laki-laki adalah keluarga miskin. Untuk
menjaga gengsi puterinya, orang tua perempuan menyuruh pihak laki-laki untuk
berbohong. Dari segi kemampuan ekonomi pihak laki-laki tidak sanggup
memberikan sejumlah uang yang diminta pihak perempuan, namun demi gengsi
pihak laki-laki disuruh berbohong mau memberikan mahar yang besar dan
diumumkan di depan umum sewaktu upacara perkawinan (lihat gambar 5.3).
96
mahar yang diberikan pihak laki-laki di depan khalayak umum sebenarnya adalah
uang dari pihak perempuan.
Gambar 5.3
Pemberian mahar oleh pihak keluarga laki-laki ke pihak keluarga perempuan
(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Mahar dalam praktiknya berfungsi sebagai penunjukan status baik bagi keluarga
perempuan juga keluarga laki-laki. Semakin tinggi jumlah mahar yang diberikan
semakin tinggi juga status keluarga kedua belah pihak.
Risma sebagai orang tua perempuan mau menanggung mahar yang akan
diberikan pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Menurut penuturan
Risma:
“Pogos do tondong on, nunga masihaholongan boru niba dohot anakna.
Maila hita molo tarida pogos tondong i. Asa sangap nasida dohot hita,
nitambaan ma hepengna i, asa godang begeon ni halak. Boha bahenon,
tondongta na ma nasida ala ni pesta on. Manang na boha pe molo pogos
tondong i dohot do iba maila. Porlu do tutupon hahurangan ni tondong tu
97
angka na torop.” (Besan ini miskin, anak saya dengan anaknya sudah saling
mencintai. Kita malu jika orang lain tau bahwa besan kita miskin. Agar
sama-sama terhormat, kita tambahkan aja uang itu agar banyak di dengar
orang. Biar bagaimanapun mereka sudah menjadi keluarga kita karena pesta
ini. Kalau besan itu miskin, kita pun ikut merasa malu. Perlu ditutupi
kekurangan besan ini kepada khalayak umum. (Wawancara, 2 Desember
2014).
Penuturan ini menggambarkan bahwa orang tua si perempuan mau menambah
uangnya sendiri sebagai mahar puterinya untuk menghindari rasa malu. Penuturan
ini sesuai dengan apa yang disebut Bourdieu (dalam Lubis, 2014: 107) tentang
konsep medan (field) sebagai tempat para agen/aktor sosial saling bersaing. Orang
tua perempuan mau memberikan uangnya sendiri sebagai mahar puterinya yang
seharusnya dia yang menerima dari orang tua laki-laki untuk mendapatkan
berbagai sumber daya material ataupun kekuatan simbolis.Uang akan dibagikan
kepada seluruh kerabat pihak perempuan. Dia tidak mempersoalkan kerugiannya
yang penting harga dirinya terjaga.
Mahar yang besar yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan
mengakibatkan biaya upacara perkawinan itu semakin tinggi. Mereka tidak
berusaha untuk mengurangi jumlah mahar malah sebaliknya berusaha
memperbesar jumlah mahar dengan tujuan untuk menambah harga diri. Demi
harga diri berbohong pun akan dilakukan oleh kedua belah pihak.
5.1.5 Durasi Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan bagi komunitas Batak mempunyai tahapan-tahapan.
Setelah seorang laki-laki mencintai seorang perempuan dan kedua insan tersebut
sepakat akan melangsungkan perkawinan, maka si laki-laki akan memberitahukan
rencana tersebut kepada orangtuanya. Apabila orang tuanya setuju akan maksud
98
anaknya, kemudian si orang tua akan menyuruh orang untuk melakukan
penjejakan kepada orang tua si perempuan. Apabila pertemuan penjejakan itu
bersambut, dilanjutkan dengan marhusip.
Menurut adat kuno, marhusip sangat rahasia sekali dan dilakukan oleh
saudara kandung dari orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan.
Marhusipdalam bahasa Indonesia sama artinya dengan berbisik,sangat rahasia
sebab di dalam acara ini akan dibicarakan hal-hal pokok yang akan dilakukan
dalam upacara perkawinan. Apabila terdapat kecocokan pembicaraan dalam
marhusip maka upacara perkawinan dapat dilanjutkan dengan marhata sinamot,
sebaliknya apabila tidak terdapat kesepakatan, rencana perkawinan tersebut akan
batal. Untuk menghindari rasa malu apabila batal, sehingga acara marhusip ini
sangat rahasia sekali dan dilakukan di rumah pihak perempuan (Sihombing, 1997:
60).
Jangka waktu marhusip dengan marhata sinamot boleh satu hari, satu
minggu, satu bulan, tidak ada patokan yang pasti marhusip dengan
marhatasinamot dilakukan dalam waktu yang berbeda. Acara marhata sinamot
juga dilakukan di rumah orang tua perempuan. Yang ikut menghadiri upacara ini
adalah orang tua laki-laki dan juga keluarga dekatnya. Demikian juga pihak
perempuan, dalam upacara marhata sinamot akan dihadiri keluarga dekatnya.
Jumlah orang yang hadir dalam acara ini sekitar 50 orang sampai 100 orang.
Pada saat marhata sinamot pihak laki-laki menyediakan makanan untuk
makan bersama. Biasanya pada acara ini akan dipotong babi yang lengkap
denganna margoar atau potongan-potongan daging yang akan dibagikan kepada
99
kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan). Acara marhata sinamot akan
membahas jumlah mahar, makanan yang akan disediakan, jumlah undangan yang
akan hadir, tempat pelaksanaan puncak upacara perkawinan, tanggal pelaksanaan,
dan juga hal-hal lain yang berhubungan dengan upacara perkawinan.
Seusai marhata sinamot, masing-masing pihak keluarga laki-laki dan pihak
keluarga perempuan akan melakukan pertemuan dalam bahasa daerah disebut
martonggo raja dan marria raja. Martonggo raja dan marria raja dilakukan
untuk Persiapan masing-masing pihak, tuan rumah juga menyiapkan makanan
untuk semua orang yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara martonggo raja
dan marria raja akan dibicarakan teknis pelaksanaan upacara perkawinan bagi
masing-masing pihak (laki-laki dan perempuan). Masing-masing petugas akan
dibagi dalam acara ini sesuai dengan peran hula-hula, dongan tubu, dan boru.
Setelah tiba pada acara puncak upacara perkawinan sesuai dengan
pembicaraan di waktu marhata sinamot, masing-masing peran akan dilakukan
sesuai dengan prinsip dalihan na tolu. Pagi harinya sekitar jam 7.00 acara dimulai
dengan marsibuha-buhai. Marsibuha-buhai adalah acara berdoa bersama antara
keluarga pihak laki-laki dan juga pihak perempuan beserta dengan keluarga
dekatnya. Acara dimulai dengan makan bersama lengkap dengan daging babi na
margoar(lihat gambar 5.4).
100
Gambar 5.4
Acara marsibuha-buhai di rumah orang tua perempuan
(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Dalam gambar di atas terlihat orang tua perempuan dan orang tua laki-laki
berjabatan tangan seusai kedua belah pihak saling memberikan makanan. Pihak
boru atau orang tua laki-laki memberikan daging babi kepada orang tua
perempuan, selanjutnya dibalas oleh pihak hula-hula atau pihak perempuan
memberikan ikan mas kepada pihak laki-laki. Saling memberi atau berbalasan
merupakan prinsip dalam dalihan na tolu. Setelah marsibuha-buhai selesai,
mereka berangkat ke gereja secara bersama untuk melangsungkan upacara
perkawinan secara agama Kristen.
Setelah upacara perkawinan secara agama di gereja, dilanjutkan dengan
upacara perkawinan secara adat. Upacara adat di Kota Denpasar biasanya
dilaksanakan di gedung yang besar agar dapat menampung ratusan orang sampai
ribuan orang. Upacara adat dilangsungkan mulai pagi sampai malam hari tidak
ada waktu istirahat, artinya tahapan acara itu berlangsung secara estafet. Acara
101
terakhir adalah paulak une dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Pihak laki-
laki datang ke rumah pihak perempuan untuk menyatakan upacara berjalan
dengan baik. Balasan dari pihak perempuan adalah tingkir tangga yaitu pihak
perempuan datang ke rumah pihak laki-laki untuk mengenal tempat tinggal pihak
laki-laki.
Menurut pengalaman penulis, upacara perkawinan Batak Toba dalam
praktiknya di Kota Denpasar memerlukan waktu yang panjang sampai berbulan-
bulan. Dalam durasi yang panjang ini diperlukan tenaga, waktu, pikiran, dan dana
yang cukup banyak. Durasi yang panjang berdampak kepada biaya yang tinggi
karena semua acara dilakukan dengan makan bersama. Semakin panjang durasi
yang digunakan, semakin banyak biaya yang dihabiskan.
5.2 Ragam Konsumerisme dalam Upacara Perkawinan Batak Toba
5.2.1 Konsumerisme dalam Pola Pikir
Manusia melakukan sesuatu tindakan dilatarbelakangi oleh apa yang ada di
dalam pikirannya. Pikiran menjadi penentu untuk melakukan sesuatu dan juga
untuk tidak melakukan sesuatu. Pola pikir seseorangakan dipengaruhi oleh pola
pikir masyarakat di mana seseorang itu hidup, dan pola pikir masyarakat akan
dipengaruhi oleh pola pikir masing-masing individu. Dengan demikian pola pikir
individu dengan kelompok (masyarakat) saling mempengaruhi (Koentjaraningrat,
1981: 187).
Pola pikir kelompok merupakan salah satu dari tiga wujud kebudayaan
seperti yang diutarakan oleh Koentjaraningrat (1987: 5). Menurut
102
Koentjaraningrat, kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu ide, tindakan, dan
hasil (materi). Pola pikir manusia masuk ke dalam wujud ide yang sifatnya
abstrak, tidak dapat diraba atau difoto karena berada dalam alam pikiran
masyarakat bersangkutan. Pola pikir dapat diketahui melalui kata-kata, tulisan
yang dapat disimpan berbentuk buku atau alat lainnya.
Kebudayaan ide oleh Koentjaraningrat disebut juga sebagai adat tata
kelakuan yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan,
dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.
Tata kelakuan itu saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya disebut
dengan sistem budaya atau cultural system dalam bahasa Indonesia disebut adat
istiadat. Adat istiadat menjadi pranata yang mengatur suatu masyarakat untuk
bertindak dalam kehidupan keseharian. Adat-istiadat seakan-akan bawaan yang
tidak boleh diubah padahal adat-istiadat tersebut merupakan hasil konstruksi
masyarakat bersangkutan (Barker, 2004: 39).
Upacara perkawinan merupakan salah satu unsur dari adat-istiadat Batak
Toba yang harus ditempuh setiap keluarga. Upacara perkawinan menjadi hal yang
sangat perlu dilakukan karena setiap orang untuk boleh masuk menjadi anggota
dalihan na tolu harus lebih dahulu melakukan upacara perkawinan. Upacara
perkawinan merupakan pintu atau jembatan untuk memasuki dalihan na tolu
(Siahaan, 1982: 58).
Pelaksanaan adat istiadat umumnya dilakukan dengan gotong royong di
antara unsur dalihan na tolu.Dalihan na tolu yang terdiri dari, dongan tubu
(semarga), hula-hula (pemberi isteri), dan boru (penerima isteri) mempunyai
103
posisi atau pembagian tugas yang jelas. Masing-masing posisi itu tidak boleh
dipertukarkan.
Prinsip dalihan na tolu yaitu masing-masing keluarga dalam pelaksanaan
adat-istiadat mempunyai posisi yang jelas. Sesuai dengan namanya, dalihan
dalam bahasa Indonesia disebut tungku mempunyai tiga kaki untuk dapat berdiri
dengan teguh. Posisi keluarga dalam dalihan na tolu mempunyai kedudukan yang
berbeda-beda (tidak setara) seperti gambar: 5.5.
Hula-hula
.
Dongan
tubu
Boru
Gambar: 5.5
Bentuk dalihan na tolu
Pada gambar di atas ada garis terputus-putus menunjukkan bahwa posisi dongan
sabutuha di tengah (netral). Dalam dalihan na tolu, posisi abang, adik, ayah, anak,
kakek, cucu (satu marga) adalah setara. Setiap orang yang masuk dalam dongan
tubu, apapun kedudukan dalam keseharian (pejabat, orang kaya, intelektual, dll.)
jika sudah masuk ke dalam dalihan na tolu kedudukannya adalah setara.
104
Berbeda dengan posisi dongan tubu yang setara, posisi boru dalam segitiga
tersebut terlihat berada di bawah. Hal ini menunjukkan bahwa posisi boru lebih
rendah. Boru bertugas untuk mengerjakan segala keperluan adat-istiadat. Boru
menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan adat baik dari segi tenaga maupun
biaya.
Sebaliknya, hula-hula mempunyai posisi yang paling tinggi. Hula-hula
bagi suku Batak diibaratkan wakil Tuhan.Hula-hula merupakan orang yang
memberi berkat ibarat Tuhan sehingga posisinya di atas (lebih tinggi). Seperti
yang di jelaskan dalam Bab IV, posisi hula-hula harus dihormati karena dialah
yang memberi isteri. Isteri adalah pemberi keturunan bagi keluarga suami
sehingga pihak yang memberi isteri(hula-hula) wajib untuk dihormati.
Posisi masing-masing ketiga unsur dalihan na tolu(dongan tubu, hula-hula,
dan boru) sudah jelas tidak boleh dipertukarkan. Walaupun tidak boleh
dipertukarkan bukan berarti pada suku Batak Toba memiliki kasta atau kelas atas
dan kelas bawah. Posisi itu sifatnya temporer bukan permanen artinya, setiap
keluarga suku Batak Toba akan menduduki ketiga posisi tersebut(dongan tubu,
hula-hula, dan boru) tergantung konteks adat-istiadat yang dilakukan.
Pelaksanaan adat-sitiadat dalam masyarakat Batak mempunyai aturan yang
jelas, siapa mengerjakan apa, siapa menerima dan memberikan apa. Misalnya,
untuk memasak makanan dalam pelaksanaan adat-istiadat adalah pihak boru. Bagi
orang Batak, mengerjakan pekerjaan sebagai posisi boru bukan hanya sebagai
tugas tetapi juga berfungsi sebagai hak. Pihak boru akan keberatan apabila hula-
105
hula (yang sedang melakukan upacara adat) tidak mempercayakan kepada pihak
boru untuk mengurus yang berkaitan dengan upacara tersebut.
Demikian pihak hula-hula yang mempunyai posisi lebih tinggi, mereka
harus dihormati. Pihak hula-hula tidak boleh diremehkan, apabila pihak boru
kurang hormat terhadap hula-hula, maka pihak hula-hula tidak akan menghadiri
kegiatan adat yang dilakukan. Jika salah satu unsur dari dalihan na tolu tidak ada,
maka adat istiadat yang dilakukan itu akan timpang (kurang sempurna). Oleh
karena itu setiap keluarga Batak Toba selalu menjaga hubungan yang baik di
dalam dalihan na tolu (Siahaan, 1982: 52).
Pembagian tugas yang sangat jelas dalam dalihan na tolu sudah bergeser
akibat globalisasi. Seperti penuturan Hasibuan sebagai salah satu tokoh adat Batak
di Kota Denpasar:
“Nuaeng on na maol na ma luluan songon na jolo marsiurupan. Na
sasintong na kan ….boru do lao manghobasi sipanganon di pesta, alai
anggo nuaeng ndang masa be i, boru holan simbol sambing na ma.
Songon i nang hula-hula, dilompa do dengkena laho pasahatonna tu
boruna, alai anggo di kota on, nunga dipakateringhon sude, goar na ma
dengke ni hula-hula, anggo na patupahon ndang hula-hula be.”(Saat
sekarang, tidak ditemukan lagi saling gotong royong. Yang sebenarnya
kan …boru yang menyiapkan segala makanan untuk pesta, tetapi saat
sekarang bukan lagi, peran boru hanya tinggal simbol. Demikian juga
hula-hula, dengke yang akan diberikan ke pihak boru harus dimasak
sendiri, tetapi sekarang di kota ini dengke bukan hula-hula lagi yang
memasak tetapi semuanya dimasak pihak katering. Hanya sebutannya
dengke dari hula-hula, yang menyediakan sebenarnya bukan lagi hula-
hula).(wawancara, 10 Desember 2014).
Dari tuturan ini terlihat bahwa masing-masing peran dalihan na tolu sudah
bergeser akibat globalisasi. Seperti yang dikatakan Piliang (2011: 235) bahwa
globalisasi di satu sisi menciptakan semacam homogenisasi budaya yaitu
penyeragaman cara, pola dan gaya hidup, yang terintegrasi ke dalam budaya
106
global. Demikian halnya dalam pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba yang
dilakukan di Kota Denpasar, mereka mengonsumsi pola pikir budaya global yang
ingin cepat, efisien yang bukan miliknya.
Dalam budaya global, ideologi yang terselubung di dalamnya adalah
kapitalisme global. Kapitalisme global mengkonstruksi cara berpikir masyarakat,
komoditi dijadikan sebagai cara untuk membangun perbedaan dan identitas diri di
tengah masyarakat. Konsumsi dalam masyarakat kapitalisme global bukan hanya
sekedar nilai guna tetapi juga nilai-nilai simbolik. Konsumsi berkaitan dengan
penciptaan gaya hidup yang dimuati dengan nilai tanda dan makna simbolik
sehingga mengakibatkan gaya hidup konsumerisme (Piliang, 2011: 238).
Pada masyarakat Batak Toba tradisional, pelaksanaan upacara perkawinan
dilakukan secara kebersamaan dan kesamaan. Kebersamaan yang dimaksud yaitu
unsur dalihan na tolu berperan aktif secara bersama-sama bukan hanya satu unsur
saja. Pihak dongan tubu dan boru secara bergotong royong mengumpulkan biaya
untuk keperluan upacara, sedangkan pihak hula-hula memberi doa restu (berkat)
dalam bahasa daerah disebut memberi pasu-pasu.Sedangkan arti kesamaan yaitu,
bentuk upacara perkawinan antara satu keluarga dengan keluarga lain bentuknya
sama walaupun ada perbedaan itu hanya dalam hal-hal kecil saja. Kebersamaan
dan kesamaan boleh dilakukan karena mereka merasa seperasaan dan
sepenanggungan.
Pada masyarakat perkotaan, kebersamaan dan kesamaan sudah ditinggalkan
dan digantikan dengan proses penciptaan diferensi secara terus menerus lewat
mekanisme tanda, citra, dan makna-makna simbolik. Menurut Piliang (2011: 238)
107
budaya konsumerisme berkaitan dengan lingkungan urban, karena di perkotaan
ruang-ruang untuk konsumsi secara terus-menerus dibangun. Karena fasilitas yang
sangat lengkap untuk konsumsi, masyarakat dikonstruksi menjadi masyarakat
konsumeris.
Selanjutnya kebersamaan dan kesamaan menjadi hilang pada masyarakat
perkotaan diganti dengan manusia individualis. Seperti yang disebutkan Piliang
(2011: 232) manusia global mempunyai salah satu ciri manusia individualis
(homo individualis). Manusia homo individualis adalah manusia yang
mengutamakan ego ketimbang kebersamaan, mencintai diri sendiri (ego-philia)
ketimbang masyarakat (socio philia).Semangat kebersamaan dan kesamaan
diganti dengan semangat individualis dan perbedaan.
Demikian halnya pada masyarakat Batak Toba dalam pelaksanaan upacara
perkawinan di Kota Denpasar yang awalnya memiliki pola pikir kebersamaan dan
kesamaan di daerah asaldiganti dengan pola pikir diferensi atau perbedaan. Pola
pikir diferensimerupakan pola pikir dari budaya luar yang dikonsumsi oleh
masyarakat Batak Toba di Kota Denpasar. Pola pikir diferensi atau perbedaan
mengakibatkan terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba.
5.2.2 Konsumerisme dalam Tingkah Laku
Dari pembagian wujud kebudayaan seperti yang dikemukakan
Koentjaraningrat, tingkah laku masuk ke dalam wujud yang kedua yaitu wujud
aktifitas. Wujud ini sering disebut sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi, bergaul antara satu dengan yang lain. Aktivitas ini
108
boleh diobservasi, di foto, dan didokumentasikan. Bentuknya lebih konkrit dari
wujud yang pertama (Koentjaraningrat, 1987: 6).
Tingkah laku didorong oleh pola pikir seseorang. Seseorang bertindak atau
berperilaku atas apa yang ada di dalam pikirannya. Tingkah laku seseorang
dipengaruhi oleh tingkah laku masyarakat di mana dia hidup, sebaliknya tingkah
laku masyarakat dipengaruhi oleh tingkah laku masing-masing individu.
Singkatnya, tingkah laku individu dan masyarakat saling mempengaruhi.
Masyarakat Batak Toba tradisional dalam kehidupan sehari-hari
mempunyai pilosofi:
Manat unang tartuktuk,
dadap unang tarrobung
artinya,
Berhati-hati agar tidak tersandung,
pelan-pelan agar tidak terperosok.
Tingkah laku kehati-hatian merupakan hal yang sangat diperlukan dalam
bertindak. Dalam kehidupannya, suku Batak tidak mengenal cepat dan tepat
melainkan prinsip kehati-hatian.
Tindakan yang buru-buru atau ingin cepat tidaklah diinginkan suku Batak,
hal ini dapat dilihat dari perumpamaan:
Molo humarojor tata indahanna,
molo humalaput matombuk hudonna
artinya,
Orang yang buru-buru bertindak, nasi yang dimasak akan tetap mentah,
109
orang yang ingin cepat-cepat, periuknya akan menjadi bocor.
Tindakan yang humarojor dan humalaput sama-sama tidak menghasilkan nasi
yang enak seperti yang diharapkan, melainkan nasi yang mentah (tetap beras).
Tingkah laku yang buru-buru akan menghasilkan hasil yang tidak diharapkan.
Tindakan yang hati-hati (pelan-pelan) sudah ditinggalkan pada saat
sekarang diganti dengan tindakan cepat. Seperti penuturan Tulus sewaktu upacara
perkawinan anaknya:
“Asa pos roha pintor ni bayar do sude angka gedung, katering, musik baru
pe pinaboa tu tondong. Ai molo so jolo dipastihon i, biar roha dipakke
halak….jadi pintor ni boking ma.I na ma na somal, jolo lengkap na ma
gedung dohot katering baru pe asa dipatupa ulaon marhata sinamot.
Anggo halak hita na di kota on nunga masiantusan i, dang adong be
ketersinggungan songon na di hita an.” (Agar pasti, kita bayar duluan
biaya gedung, katering, dan musik baru diberitahu sama besan. Kalau
belum dibayar, takutnya tempat itu digunakan orang….sehingga langsung
aja dibayar. Hal yang demikian sudah terbiasa, lebih dulu dipastikan
tempat, katering baru dilanjutnya marhata sinamot. Orang kita di kota ini
sudah saling mengerti akan hal itu, tidak ada lagi ketersinggungan seperti
di daerah asal).(wawancara, 12 Desember 2014).
Penuturan ini sesuai dengan yang dikatakan Piliang (2011: 232) bahwa dunia
kehidupan manusia pada saat sekarang dikuasai oleh waktu dan kecepatan.
Kecepatan ini diakibatkan oleh pertumbuhan sains, teknologi, moneter, produksi
dan konsumsi yang semakin cepat. Faktor kecepatan yang dibuat manusia itu
mengakibatkan manusia terbawa arus kecepatan produksi, konsumsi, industri dan
kehilangan tempat dan ruang untuk refleksi, perenungan, meditasi atau
spritualitas.
Pepatah yang menyatakan, siapa cepat dia dapat berlaku juga pada orang
Batak Toba dalam pelaksanaan upacara perkawinan. Tindakan yang cepat, tidak
mau repot, meninggalkan perumpamaan, Molo humarojor tata indahanna, molo
110
humalaput matombuk hudonna.Untuk mengejar kecepatan ini sering tahapan
upacara perkawinan berlawanan dengan adat yang berlaku pada suku Batak Toba.
Kecepatan yang sudah biasa dilakukan yang bertentangan dengan adat yaitu
penentuan tempat upacara perkawinan. Pada saat sekarang sudah terbiasa lebih
dulu ditentukan tempat dan tanggal upacara perkawinan sebelum dilakukan
marhusip dan marhata sinamot.
Marhusip merupakan acara yang sangat rahasia antara pihak orang tua laki-
laki dan pihak orang tua perempuan calon pengantin. Acara marhusip tidak
diketahui keluarga besar karena sifatnya masih sangat rahasia, dan masih tahap
penjejakan di antara kedua belah pihak. Jika dalam penjejakan ini ada kesesuaian
tentang pelaksanaan upacara adat perkawinan kemudian dilanjutkan dengan
marhata sinamot.Apabila dalam marhusip tidak ada kecocokan di antara kedua
belah pihak maka upacara perkawinan batal dilaksanakan. Untuk menghindari
rasa malu apabila tidak ada kecocokan antara pihak keluarga laki-laki dan pihak
keluarga perempuan, sehingga marhusip itu sangat dirahasiakan.
Kecocokan keinginan di antara kedua belah pihak antara pihak laki-laki dan
pihak perempuan dalam marhusip, kemudian dilanjutkan dengan marhata
sinamot.Marhata sinamot adalah acara yang membicarakan tentang jumlah mahar
yang akan diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pada saat marhata
sinamot, kedua belah pihak sudah mengundang keluarga besarnya untuk
membicarakan upacara perkawinan. Secara bersama dibicarakan tanggal
pelaksanaan upacara, tempat pelaksanaan, menu yang akan dihidangkan, jumlah
orang yang akan diundang, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan upacara
111
perkawinan tersebut. Pada suku Batak, kebersamaan dan saling menghormati
merupakan hal yang sangat perlu dijaga.
Akibat faktor kecepatan, tahapan marhusip dan marhata sinamot sudah
terbiasa dilangkahi oleh salah satu pihak (baik pihak laki-laki maupun pihak
perempuan) yang menjadi tuan rumah. Dalam pelaksanaannya pada saat sekarang
sudah lebih dahulu ditentukan gedung atau hotel sebagai tempat pelaksanaan
upacara baru diadakan marhata sinamot bahkan marhusip. Kebersamaan dan
saling menghargai sudah dihilangkan. Hal ini dapat terjadi karena tempat
pelaksanaan upacara tidak boleh sembarangan, tetapi harus dapat menampung
banyak orang.
Upacara perkawinan pada suku Batak Toba dapat dilaksanakan di tempat
keluarga laki-laki maupun pihak perempuan tergantung kesepakatan kedua belah
pihak. Namun di daerah perkotaan yang menjadi tuan rumah kelihatannya semu
diakibatkan tempat pelaksanaan upacara sudah di sewa (bukan milik salah satu
pihak pengantin) tetapi milik orang lain. Sikap ingin cepat tidak mau repot dapat
dilihat dari perilaku menyewa tempat pelaksanaan upacara, memesan makanan
katering, pendeknya semuanya serba pesan.
Tingkah laku yang tidak mau repot, meninggalkan rasa kegotong royongan,
ingin cepat berdampak kepada konsumerisme. Tingkah laku yang demikian
merupakan tingkah laku orang luar yang dikonsumsi suku Batak Toba di Kota
Denpasar. Akibat globalisasi pola pikir masyarakatluar juga dikonsumsi secara
terus-menerus mengakibatkan konsumerisme dalam tingkah laku.
112
5.2.3 Konsumerisme dalam Materi
Materi atau kebudayaan fisik seperti yang diutarakan Koentjaraningrat
(1987: 6) merupakan seluruh hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat. Wujud ini sifatnya konkret, dapat diraba, difoto dan
dilihat. Ketiga wujud kebudayaan ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Kebudayaan ide dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada
perbuatan dan karya manusia. Sebaliknya, kebudayaan fisik mempengaruhi pola
tingkah laku dan juga cara berpikir sesuatu masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan
(ide, tingkah laku, dan hasil karya) saling mempengaruhi.
Pada masyarakat perkotaan, salah satu sifatnya adalah manusia kebendaan
(homo materialis). Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 233) masyarakat kota
yang berlandaskan prinsip ekonomi, manusia dikuasai oleh materi. Subjek
dikuasai oleh objek bahkan subjek tahluk kepada objek. Eksistensi manusia
ditentukan oleh objek (status, prestise, kelas). Manusia terkurung dalam budaya
permukaan, penampakan, gaya hidup, citra yang membangun budaya benda
(material culture).
Dalam kehidupannya sehari-hari, manusia mengonsumsi objek-objek
konsumen. Kelas atas mengonsumsi secara berlebihan untuk menunjukkan
hierarki kelasnya, sedangkan kelas bawah berusaha meniru gaya kelas atas. Usaha
untuk meniru ini disebut Veblen (dalam Wiedenhoft, 2012: 825) mengalir ke
bawah, yaitu kelas atas menjadi penentu bagi semua konsumsi yang terjadi di
bawahnya. Dalam kenyataannya, usaha yang dilakukan oleh kelas bawah meniru
113
kelas atas akan gagal karena kelas atas selalu mengonsumsi yang baru yang
berbeda dengan kelas di bawahnya.
Pola mengalir ke bawah seperti yang diutarakan Veblen berimplikasi
kepada hasrat yang tidak pernah puas. Kelas bawah berusaha mengejar agar sama
dengan cara meniru konsumsi kelas atas sedangkan kelas atas berusaha untuk
mengonsumsi objek baru yang berbeda dengan kelas bawah. Objek kebaruan
merupakan cara kelas atas untuk tetap menjaga eksistensi kelasnya untuk menjaga
jarak dengan kelas di bawahnya. Dampak dari pola mengalir seperti yang
diutarakan Veblen mengakibatkan konsumerisme di antara setiap lapisan (atas dan
bawah). Kelas atas selalu mencari objek yang berbeda dari yang biasa, sedangkan
kelas bawah berusaha mengejar kesamaan dengan kelas yang di atasnya.
Usaha yang dilakukan kelas atas untuk mencari perbedaan dengan
mengonsumsi objek baru tidak akan bertahan lama sebab kelas bawah akan
mengejarnya dengan cara mengkonsumsi objek tersebut, demikian juga
sebaliknya usaha yang dilakukan kelas bawah untuk mengejar kelas atas tidak
akan pernah tercapai disebabkan kelas atas selalu berusaha akan objek-objek
kebaruan sebagai simbol untuk perbedaan kelas.
Pada awal pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar
seperti yang sudah diutarakan pada Bab IV, yang berlangsung pada tanggal, 15
Desember 1978 yaitu, Aholin Simanjuntak dengan isterinya Lumina Napitupulu
dilaksanakan secara sederhana. Upacara itu dilakukan di kantor perindustrian
Jalan Topati Denpasar. Pelaksanaannya sangat sederhana sekali sebab pola
mengalir ke bawah seperti yang diutarakan Veblen belum ada.
114
Akibat faktor globalisasi dan juga semakin banyaknya orang yang kaya dari
suku Batak Toba yang tinggal di Kota Denpasar mengakibatkan mereka
berlomba-lomba untuk mengonsumsi objek-objek yang mengelilingi mereka.
Orang kaya berusaha untuk menunjukkan kelasnya dengan mengonsumsi objek
yang lebih mewah dari yang sudah biasa seperti terlihat dalam gambar 5.6.
Gambar 5.6
Salah satu meja yang dipenuhi dengan buah
(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Buah yang terlihat dalam gambar 5.6 merupakan buah yang disediakan
untuk para undangan. Jumlah meja tempat menghidangkan buah ada lima meja,
dan semua buah yang disediakan didominasi buah import, sangat sedikit buah
lokal. Dari penuturan panitia: “biaya untuk penyediaan buah lebih dari Rp.
10.000.000,-.”
115
Kue yang terlihat dalam gambar 5.7 merupakan makanan pembuka sebelum
diadakan makan bersama pada saat upacara adat. Dalam gambar itu tersedia kue
yang cukup banyak dengan beberapa pelayan melayani para tamu. Demikian juga
kue besar yang disediakan yang menyimbolkan hari pernikahan keluarga seperti
terlihat pada gambar 5.8. Kue yang tinggi bukan hanya simbol hari pernikahan
namun juga sebagai simbol kemewahan. Kue bagi komunitas Batak bukan
merupakan makanan resmi melainkan sekedar cemilan.
Gambar 5.7 Gambar 5.8
Kue yang dihidangkan Kue yang disediakan
sebelum upacara adat dimulai setinggi 1 meter
(Dok.: Mangihut Siregar, 2014) (Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Kue yang disediakan ini tidak ada kaitannya dengan upacara adat perkawinan
Batak Toba. Tetapi karena upacara perkawinan dilaksanakan di hotel dan pihak
hotel menawarkan kue satu paket dengan ruangan yang digunakan,kue menjadi
materi yang harus dikonsumsi karena sistem yang berlaku di tempat pelaksanaan
upacara.
116
Materi yang lain dan juga selalu dikonsumsi yaitu, dekorasi ruangan
pelaksanaan upacara perkawinan. Seperti yang terlihat dalam gambar 5.9,
tanaman bunga hidup menghiasi seluruh areal panggung utama.
Gambar 5.9
Panggungpengantinpenuh dengan bunga hidup
(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Bunga sering diidentikkan dengan cinta kasih. Selain cinta kasih bunga juga
diidentikkan dengan keindahan. Cinta kasih dan keindahan yang disimbolkan
dengan bunga pada gambar di atas sudah melebihi (hiper) dari biasanya. Seluruh
panggung kehormatan dihiasi dengan penuh bunga hidup. Bunga yang digunakan
bukan hanya sekedar simbol cinta kasih juga keindahan tetapi sudah
menyimbolkan kemewahan.
117
Seperti yang dikatakan Piliang (2012: 53), sebuah tanda dikatakan
melampaui atau hipersemiotika ketika telah keluar dari batas prinsip, sifat, alam,
dan fungsi tanda yang normal sebagai alat komunikasi dan penyampaian
informasi. Tanda dapat juga dikatakan melampaui ketika ia telah kehilangan
kontak dengan realitas yang dipresentasikannya; atau ketika ia telah kehilangan
fungsi informasinya. Demikian halnya ruangan yang dihiasi dengan banyak
bunga, bukan hanya sekedar menandakan cinta, tetapi lebih dari cinta ada tanda
kemewahan.
Kemewahan yang ditandai dengan bunga menjadi objek untuk
menunjukkan status, prestise, dan simbol-simbol sosial. Objek membentuk
perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaan-
perbedaan pada tingkat pertandaan (Piliang, 2012: 138). Objek-objek yang
dikonsumsi menjadi sarana yang sangat efektif bagi setiap orang untuk
menunjukkan identitasnya.
118
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONSUMERISME
DALAM UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA
DI KOTA DENPASAR
Faktor adalah sesuatu menyebabkan sesuatu yang lain terjadi. Faktor yang
mempengaruhi terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba
di Kota Denpasar yaitu, globalisasi, gaya hidup, budaya populer, media massa,
pemahaman yang kurang akan makna upacara perkawinan, dan kurangnya
transmisi budaya.
6.1 Globalisasi
Globalisasi merupakan suatu proses bukan sesuatu yang otomatis terjadi.
Ia lahir dari perilaku manusia dan gagasan yang lahir dari berbagai interaksi antar
manusia, antar masyarakat, dan antar negara yang pada awalnya dimulai dari
bidang ekonomi. Pada saat awal istilah globalisasi belum digunakan tetapi istilah
yang digunakan adalah sistem ekonomi global. Perkembangan yang pesat di
bidang ekonomi menjadi bibit globalisasi (Hoed, 2008: 101).
Ekonomi modern membuat batas negara menjadi pudar karena beberapa
faktor diantaranya: pertama, karena perkembangan kapitalisme yang bergeser dari
pusat modal ke periferi sebagai akibat dari kolonialisme dan ekspansi. Modal
bukan hanya ditanam di negara asal tetapi juga di negara lain. Kedua,
perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi semakin maju
sehingga lalu lintas informasi, barang, dan orang menjadi lebih cepat.
119
Ketiga,perkembangan industri pariwisata akibat perbaikan ekonomi dan kemajuan
teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi sehingga pertukaran manusia
dan pertukaran gagasan dan informasi antarnegara menjadi lebih tinggi
frekuensinya (Hoed, 2008: 101).
Globalisasi merupakan proses terintegrasinya berbagai elemen dunia
kehidupan ke dalam sistem tunggal berskala dunia (Piliang 2011: 22). Globalisasi
merupakan konsekuensi dari dinamisme dan karakter mengglobal yang melekat
pada lembaga-lembaga modernitas. Giddens (dalam Barker 2014: 110)
mengibaratkan lembaga-lembaga modernitas dengan “mesin besar” (juggenaut)
yang lepas kendali dan melibas habis apapun yang menghalangi jalannya.
Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem ekonomi kapitalis, sistem
informasi global, sistem negara-bangsa, dan tatanan dunia yang didukung militer.
Pada pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar,
faktor globalisasi dapat terlihat dalam beberapa halyaitu, sistem penyajian
makanan dengan prasmanan. Prasmanan merupakan cara penyajian makanan di
mana para tamu mengambil sendiri hidangan yang disediakan pada meja. Cara
prasmanan dimulai oleh orang Perancis sehingga sering juga disebut cara makan
dengan ala perancis. Lama kelamaan sistem menghidangkan makanan yang
praktis ini mulai populer di Amerika Serikat pertengahan abad ke-19.
Sistem prasmanan menghilangkan rasa gotong royong dan menumbuhkan
rasa individualisme yang tinggi. Dari satu sisi sistem prasmanan sangat praktis
tetapi di balik kepraktisannya ada ideologi kapitalis yang menguasai seperti
terlihat pada gambar 6.1.
120
Gambar 6.1
Para tamu mengantri untuk mengambil makanan secara prasmanan
(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Menurut pernyataan Risma:
“Anggo nuaeng on nunga tenang hita, na penting adong hepeng. Laho
mangaloppa makanan dang pola porlu be godang tenaga songon na di
hita an, nunga adong Katering. Sude perlengkapan nunga rade..jadi
…dang pola porlu be mangido pangurupion tu dongan. Oloan loja
mangelek-elek halak … ni papesanhon ma ba.”(Pada saat sekarang kita
sudah tenang, yang penting ada uang. Untuk memasak tidak perlu lagi
memerlukan tenaga yang banyak-banyak seperti di kampung sana, sudah
ada katering. Alat-alat sudah lengkap…ya …tidak perlu lagi minta tolong
sama teman. Masak mau capek minta tolong orang lain…dipesan
aja).(wawancara, 10 Desember 2014).
Penuturan ini memperlihatkan bahwa uang menjadi segala-galanya, karena segala
sesuatu dapat diselesaikan dengan uang. Seperti yang dikemukakan Piliang (2011:
232), salah satu ciri manusia kota global adalah manusia individual (homo
individualis). Manusia mengutamakan ego ketimbang kolektivitas, yang
mencintai diri sendiri ketimbang masyarakat. Semangat kolektivitas digantikan
121
oleh semangat individualisme. Manusia dipaksa untuk menggunakan hitungan-
hitungan ekonomi sebagai landasan pola pikir. Saling membantu tidak diperlukan
lagi. Pola pikir yang demikian mengakibatkan sifat individualisme sebagai
pondasi dari kapitalisme di mana kapitalisme merupakan rohnya globalisasi.
Sistem prasmanan dalam upacara perkawinan Batak Toba mengakibatkan
antrian yang panjang para undangan untuk mengambil makanan. Antrian panjang
terjadi karena pola makan dalam upacara perkawinan Batak Toba harus secara
serentak. Para undangan harus menunggu susunan acara sesuai dengan aturan
adat, sehingga semua tahapan-tahapan adat diikuti secara bersama.
Kebiasaan pada komunitas Batak Toba, makan harus secara bersama-sama
setelah urutan acara makan tiba. Merupakan hal yang kurang sopan jika para tamu
makan secara bertahap atau tidak bersama-sama. Akibat sistem makan yang
mengharuskan secara bersamaan sehingga antrian yang panjang tidak dapat
dihindari.
Selain sistem prasmanan dalam upacara perkawinan Batak Toba, faktor
globalisasi yang lain yaitu penggunaan alat-alat musik Eropa seperti terompet,
keyboard (organ tunggal), gitar, band yang digunakan untuk menghibur para
undangan. Menurut penuturan Tambunan, salah seorang tokoh adat Batak
sekaligus ketua IKBB (Ikatan Keluarga Batak Bali) di Kota Denpasar
mengatakan:
“dang niantusan be adat Batak di Bali on, nunga sibahen bahen na be,
jala godang do halak hita maniru na so niantusanna, ala songon i dibahen
halak, ba songon ima dibahen. Godang na asal dipambahen, boasa
dibahen songon i….alus ni angka dongan… nunga somal songon i. Ala
songon i dibahen dongan, ba…niihuthon ma.”(Susah untuk mengerti
pelaksanaan upacara adat Batak di Bali ini sebab masing-masing
122
melakukan sesuka hatinya, banyak juga yang meniru sesuatu tanpa
mengetahui mengapa orang lain melakukan hal yang demikian, melainkan
hanya ikut-ikutan. Banyak yang dibuat secara asal-asalan, mengapa
dilakukan seperti itu…jawaban mereka…sudah biasa demikian. Karena
orang lain berbuat demikian, ya…kita ikuti aja).(wawancara, 20 Desember
2014).
Faktor ikut-ikutan meniru orang lain tanpa mengetahui mengapa orang lain
melakukan hal demikian menjadi suatu kebiasaan. Seperti yang diutarakan
Hoed (2008: 102) globalisasi bukanlah sekedar soal ekonomi, tetapi juga gejala
budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya “kebudayaan dunia” di berbagai
negara. Dengan kata lain adanya suatu kebudayaan baru sedang merebak dan
melanda seluruh dunia. Yang menjadi pertanyaan “kebudayaan dunia” ini
sebenarnya berasal dari mana? Kebudayaan global itu datang dari luar dan berasal
dari negara-negara maju. Kemajuan teknologi terlebih teknologi informasi
sehingga menguasai media massa internasional. Negara maju mengalirkan
kebudayaannya ke negara-negara tertinggal.
Dalam praktik upacara perkawinan Batak Toba, alat musik yang
digunakan secara umum adalah musik Barat, sedangkan musik asli yang dimiliki
Batak Toba hanya sekedar pelengkap. Musik Barat dianggap menjadi miliknya
karena sudah digunakan hampir setiap saat.Seperti yang terlihat dalam gambar di
bawah ini, para ibu sedang berdansa dengan senang hati setelah pasangan suami
isteri resmi melaksanakan upacara adat pernikahan. Pihak keluarga pengantin
memberi saweran uang kepada undangan yang ikut berdansa mengikuti iringan
musik Barat sehingga suasana semakin meriah. Dansa tersebut tidak berkaitan
dengan upacara adat melainkan hanya sekedar hiburan belaka (lihat gambar 6.2).
123
Gambar 6.2
Para tamu berdansa mengikuti iringan musik organ tunggal
(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Globalisasi dilihat sebagai homogenitas budaya, yaitu penyeragaman kebudayaan-
kebudayaan yang sesungguhnya berbeda menjadi budaya tunggal.Selain dari
homogenitas budaya akibat globalisasi, juga terjadi penguatan budaya lokal.
Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 236), dalam globalisasi juga terjadi proses
pertukaran, saling pengaruh, hibriditas dan silang budaya yang jauh lebih
kompleks. Misalnya dalam hal makanan, pakaian, seni, arsitektur yang
bersinggungan dengan globalisasi di lingkungan urban, cenderung mendorong ke
arah reinterpretasi budaya lokal tersebut, sehingga ia tampil secara lebih kaya dan
kreatif.
Demikian juga pada upacara perkawinan Batak Toba, walau sistem
makanan prasmanan yang nota bene makanannya dipesan dari katering ada
124
sebagian makanan yang harus dimasak komunitas Batak yaitu makanan sangsang
danarsik ikan mas. Arsik ikan mas adalah sejenis ikan tawar yang warna kulitnya
seperti mas sehingga disebut ikan mas danada juga warnanya hitam, direbus
sampai kering seperti terlihat pada gambar 6.3.Sangsang adalah daging babi yang
dicincang secara halus yang merupakan salah satu makanan khas Batak seperti
terlihat pada gambar 6.4. Kedua jenis makanan tersebut menjadi makanan yang
hibrid di daerah perkotaan.
Gambar 6.3 Gambar 6.4
Makananarsik ikan mas Makanan sangsang
yang disediakan di meja prasmanan yang disediakan di meja prasmanan
(Dok.: Mangihut Siregar, 2014) (Dok.: Mangihut Siregar, 2014)
Kedua jenis makanan (arsikikan mas dan sangsang) dalam setiap acara adat Batak
Toba selalu disediakan. Globalisasi menjadikan makanan iniberpenampilan
semakin kaya dan kreatif. Selain penampilan yang kreatif juga cara masaknya
yang kreatif sehingga menghasilnya rasa yang semakin enak dan tahan lama.
Apapun makanan yang disediakan tanpa kehadiran sangsang dan arsikikan mas
bagi orang Batak belum sempurna. Kedua makanan ini merupakan makanan yang
hibrid bagi orang Batak.
125
6.2 Gaya Hidup
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari gaya hidup. Gaya
hidup merupakan cara setiap orang untuk memaknai kehidupannya dengan cara
mengekpresikan benda-benda sebagai objek pengaktualisasian diri kehidupan
sehari-hari. Seperti yang dikatakan Piliang (2011: 322), gaya hidup merupakan
salah satu bentuk pembedaan sosial dalam kehidupan masyarakat, dan pembedaan
itu mengandalkan identitas kelompoknya pada sistem citra. Citra hanya berfungsi
apabila digunakan di dalam praktik sosial.
Dalam praktik sosial, citra berfungsi sebagai penciptaan perbedaan atau
pembedaan sosial. Citra berkembang, bereproduksi sekaligus pemangsa dan
penghancur batas-batas sosial yang telah dibangun sebelumnya. Seperti yang
dikatakan Baudrillard (dalam Piliang, 2011: 322) citra dan gaya hidup beredar di
dalam orbitnya sendiri, yang tidak ada hubungannya lagi dengan dunia realitas.
Pada masa sekarang citraan mengambil alih sepenuhnya dunia realitas, sehingga
citraan (simulakrum) tersebut dianggap menjadi realitas.
Pengertian yang lebih luas tentang gaya hidup diutarakan oleh Bourdieu
(dalam Piliang, 2011: 323), ia melukiskan gaya hidup sebagai ruang gaya hidup
yang sifatnya plural. Dalam ruang tersebut masyarakat membangun kebiasaan
sosialnya. Gaya hidup melibatkan: modal, kondisi objektif, habitus, disposisi,
praktik, gaya hidup, sistem tanda, dan struktur selera. Gaya hidup adalah produk
habitus yang diproduksi secara sistematis melalui skema habitus dan praktik.
Gaya hidup dipengaruhi oleh modal yang dimiliki. Menurut Bourdieu
(dalam Featherstone, 2008: 209) selera terhadap berbagai benda budaya berfungsi
126
sebagai tanda kelas. Masyarakat yang mempunyai modal tinggi mempunyai selera
yang berbeda dengan masyarakat modal rendah. Gaya hidup ditentukan oleh
modal yang dimiliki seseorang baik modal ekonomi, modal sosial, modal budaya,
dan modal simbolik.
Gaya hidup berhubungan dengan satu kelompok gaya hidup dengan
kelompok-kelompok lainnya yang dilaksanakan dalam ruang sosial sebagai
medan sosial. Gaya hidup sebagai perebutan posisi diekspresikan melalui
perebutan atau perjuangan pada tingkat tanda, yang membentuk oposisi dan
perbedaan pada tingkat semiotik. Perbedaan itu oleh Deleuze & Guattari (dalam
Piliang, 2011: 327) dibangun bukan untuk menunjukkan identitas, melainkan
sebagai perbedaan untuk perbedaan itu sendiri.
Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar
dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang. Orang yang mempunyai banyak modal,
baik modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik akan
melaksanakan upacara perkawinan anaknya melebihi dari yang sudah biasa
dilakukan orang lain. Hal ini dilakukan untuk menjaga posisi yang dimilikinya.
Seperti penuturan Tingkos, pada saat menikahkan anaknya tanggal, 8
Desember 2008. Tingkos bekerja di kantor Pekerjaan Umum Propinsi Bali. Beliau
sudah termasuh sebagai pimpinan di tempat dia bekerja. Selain mempunyai
pekerjaan yang bagus, Tingkos merupakan tokoh agama Kristen dan juga tokoh
adat bagi komunitas Batak. Dengan demikian Tingkos memiliki cukup modal baik
modal ekonomi, sosial dan modal budaya.
127
Upacara adat perkawinan anaknya dilaksanakan di Restoran Hongkong
Garden. Pada saat itu biaya untuk konsumsi Rp. 125.000,- per orang, dan
undangan yang hadir sebanyak 800 orang sehingga biaya yang harus dikeluarkan
untuk makan sebanyak Rp. 100.000.000,-. Menurut pengakuan Tingkos, biaya
yang dihabiskan untuk upacara perkawinan anaknya mulai dari proses awal
sampai hari puncak sebanyak Rp. 400.000.000,-.
Selain upacara adat perkawinan yang dilakukan di Kota Denpasar, pihak
keluarga perempuan juga melakukan resepsi perkawinan anaknya di tempat
keluarga perempuan yaitu di Kota Balikpapan Kalimantan. Menurut penuturan
Tingkos yang juga hadir pada resepsi perkawinan anaknya di Kalimatan, biaya
yang dikeluarkan pihak keluarga perempuan diperkirakan lebih dari Rp.
100.000.000,-. Pihak perempuan masih melakukan acara resepsi perkawinan di
Balikpapan Kalimantan disebabkan banyak undangan pihak perempuan yang
tidak boleh hadir ke Kota Denpasar. Sebagai rasa kepuasan orang tua perempuan
akan upacara perkawinan anaknya, dan sekaligus mengumumkan bahwa puterinya
sudah melangsungkan upacara perkawinan di Kota Denpasar, maka resepsi juga
dilakukan di Kalimantan dengan mengundang banyak orang.
Menurut penuturan Tingkos bersama dengan isterinya, mereka
melaksanakan upacara perkawinan anaknya di Restoran Hongkong Garden agar
para undangan puas dan senang. Keluarga Tingkos merupakan keluarga yang
pertama sekali melaksanakan upacara perkawinan Batak Toba di Restoran
Hongkong Garden. Prinsip Tingkos dalam pelaksanaan upacara perkawinan
anaknya:
128
“Segala bocoran tutup, unang adong kesempatan laho manghata. Ai molo
halak hita mura hian do manghata…sude do neang…tiba ma di ibana
ulaon…tong do sai adong na hurang. Usahahononton do ba…asa unang
dihata na deba iba. Pengalaman ni angka dongan naung marulaon….sai
adong do hata ni halak na so tabo begeon.”(Hindari segala cemoohan,
jangan ada kesempatan orang untuk mengeluarkan omongan kurang enak.
Kalau sama orang kita, sangat gampang menilai orang….semua
gampang…tiba waktu dia yang melakukan upacara…tetap aja ada yang
kurang. Kita berusaha agar jangan ada cemoohan orang. Pengalaman
teman yang sudah melangsungkan pesta….selalu ada omongan dari orang
luar yang tidak enak di dengar). (wawancara, 5 Desember 2014).
Penuturan ini menggambarkan bahwa Tingkos berusaha meminimalisir segala
omongan yang kurang menyenangkan saat anaknya melangsungkan upacara
perkawinan. Dia berusaha untuk menunjukkan kelasnya di antara komunitas
Batak yang ada di Kota Denpasar. Seperti yang dikatakan Featherstone (2008:
43), untuk tetap menjaga jarak, masyarakat kelompok atas tetap menginvestasikan
barang-barang (informasi) baru dengan tujuan untuk memapankan kembali jarak
masyarakat yang telah ada sebelumnya. Pemapanan jarak itu dilakukan dengan
pilihan konsumsi dan gaya hidup. Menurut Bourdieu (dalam Featherstone, 2008:
42) selera konsumsi dan praktik gaya hidup berkaitan dengan pekerjaan dan
kedudukan di tengah masyarakat. Posisi mapan yang sudah dimiliki Tingkos
selama ini perlu dipertahankan dengan gaya hidup yang ditampilkan dalam
upacara perkawinan.
Bagi komunitas Batak, apabila suatu keluarga yang mempunyai banyak
modal, tetapi pelaksanaan upacara adatdilaksanakan dengan sangat sederhana,
maka keluarga tersebut akan mendapat omongan yang tidak menyenangkan dari
teman sesamanya. Omongan yang sering didapatkan adalah sebutan keluarga
pelit, orang yang tidak tau menghormati hula-hula, dan juga keluarga yang tidak
129
tau adat. Untuk meminimalisir sebutan seperti itu, maka Tingkos berusaha
melaksanakan upacara perkawinan anaknya dengan mewah. Tingkos
menunjukkan kelasnya dengan membuat suatu gaya hidup yang berbeda saat itu
bagi komunitas Batak.
Setelah Tingkos melakukan upacara perkawinan anaknya di Restoran
Hongkong Garden, komunitas Batak Toba yang ada di Kota Denpasar sudah
semakin banyak yang mengikuti gaya hidup Tingkos. Seperti yang dikatakan
Featherstone (2008: 43) masyarakat kelas bawah akan mengejar benda-benda
kebutuhan masyarakat atas. Demikian halnya bagi komunitas Batak Toba yang
ada di Kota Denpasar, Restoran Hongkong Garden bukan lagi hanya konsumsi
kelas atas tetapi juga sudah menjadi konsumsi masyarakat menengah.
Komunitas Batak Toba yang sudah banyak melangsungkan upacara
perkawinan di Restoran Hongkong Garden dan juga hotel lain mengakibatkan
gaya hidup orang kaya dan miskin dalam penggunaan tempat upacara perkawinan
tidak berbeda lagi. Untuk menunjukkan perbedaan, orang kaya membuat beberapa
gaya hidup seperti yang dilakukan keluarga Tulus pada saat pelaksanaan upacara
perkawinan anaknya pada hari Jumat, 25 April 2014.Tulus merupakan seorang
pengusaha yang sukses di Papua. Walaupun usahanya di wilayah Papua, namun
Tulus tetap memilih tinggal di Kota Denpasar.
Pada saat upacara perkawinan puterinya, Tulus membuat beberapa
perbedaan dengan yang sudah biasa dilakukan komunitas Batak Toba di Kota
Denpasar. Perbedaan-perbedaan yang dilakukan di antaranya, makan bersama
dengan sistem prasmanan sewaktu martumpol di gereja. Martumpol adalah acara
130
ikat janji sebelum upacara pemberkatan nikah secara agama di gereja. Biasanya
komunitas Batak menyediakan lampet yaitu kue khas Batak sebagai makanan
ringan saat martumpol. Selain makanan, Tulus juga mendatangkan 5 orang artis
dari Jakarta sebagai penghibur dalam acara martumpol. Mendatangkan artis saat
martumpol merupakan hal baru bagi komunitas Batak Toba di Kota Denpasar.
Setelah selesai martumpol, kemudian dilanjutkan dengan upacara
perkawinan menurut agama Kristen. Biasanya setelah upacara perkawinan
menurut agama selesai, pada hari yang sama jugadilangsungkan upacara
perkawinan secara adat. Namun Tulus melakukan upacara perkawinan anaknya
secara agama berbeda waktu dengan pelaksanaan upacara perkawinan secara adat.
Pada saat upacara perkawinan secara agama dilakukan, Tulus mendatangkan para
keluarga dekatnya dari Tapanuli Sumatera Utara untuk menghadiri perkawinan
anaknya. Selain dari Tapanuli, Tulus juga mendatangkan teman kerja, para kolega
dan juga karyawannya dari Papua untuk menghadiri upacara perkawinan anaknya
secara agama Kristen di Kota Denpasar.
Menurut penuturan Tulus, upacara perkawinan secara gereja
dilangsungkan di Bali, sedangkan upacara perkawinan secara adat di Jakarta
adalah:“Agar semua kebagian, teman-teman di Bali kebagian secara gereja…
terus yang di Jakarta…secara adat, adil kan?” (Wawancara, 14 Desember
2014).Pernyataan ini mau menunjukkan gaya hidup Tulus di dua kota yaitu di
Kota Denpasar dan juga di Kota Jakarta. Seperti yang diutarakan Piliang (2011:
322), gaya hidup merupakan salah satu bentuk pembedaan sosial dalam kehidupan
masyarakat. Tulus menunjukkan pembedaan sosial di dua wilayah dengan
131
melibatkan modal yang dia miliki. Dari segi biaya, dia mengeluarkan dua kali
lipat dari yang seharusnya, namun itu bukan masalah demi menunjukkan gaya
hidupnya.
Acara resepsi yang dilangsungkan di Restoran Hongkong Garden pada
tanggal 25 April 2014 dihibur artis Batak Toba dari Jakarta sebanyak 15
orang.Selain mendatangkan artis Batak Toba yang banyak dari Jakarta, Tulus juga
menyajikan makanan yang mewah bagi para undangan. Biaya makan yang
menggunakan paket dengan ruangan tempat pelaksanaan resepsi sebesar
Rp.300.000 per orang. Jumlah undangan yang hadir saat itu sebanyak 1.200
orang. Dengan demikian biaya hanya untuk makan pada saat resepsi sebesar Rp.
360.000.000,-.
Pada tanggal, 3 Mei 2014, keluarga Tulus dan juga keluarga pihak laki-
laki sepakat untuk melangsungkan upacara perkawinan anak mereka secara adat
Batak Toba di Jakarta. Alasan mereka mengadakan upacara adat di Jakarta
disebabkan para keluarga dekat dari kedua pihak (laki-laki dan perempuan) lebih
banyak tinggal di Jakarta. Agar para keluarga itu dapat menghadiri upacara adat
sehingga diadakan di Jakarta.
Pada saat upacara perkawinan secara adat yang dilangsungkan di Jakarta,
Tulus mendatangkan artis Batak sebanyak 100 orang, dan semuanya artis tersebut
dibayar dengan besaran honor yang berbeda. Besaran honor ditentukan dengan
kesenioran dan juga kepopuleran masing-masing artis. Informasi yang diperoleh
dari panitia, bahwa biaya untuk artis mulai dari tiket pesawat, penginapan
ditambah dengan honor berjumlah Rp. 400.000.000,-. Jika ditotal keseluruhan
132
biaya upacara perkawinan anaknya mulai dari Kota Denpasar sampai biaya di
Jakarta diperkirakan menghabiskan biaya sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar
Rupiah).
Menurut penuturan Tulus,alasan mendatangkan begitu banyak artis saat
ucapara perkawinan puterinya:
“Mengundang artis satu hingga tiga orang kan sudah biasa, kita mau
memuaskan para undangan dengan hal yang baru. Yang di kampung kita
datangkan ke sini, kasihan mereka ….sudah capek kerja di kampung….ya
sekali-sekali kita undang jalan-jalan. Pesta ini kesempatan…ya sekalian
aja. Semua fasilitas kita tanggung….” (wawancara, 14 Desember 2014)
Penuturan Tulus yang menyatakan bahwa dia mengundang banyak artis untuk
menghibur undangan dengan tujuan agar para undangan senang. Sebenarnya
mendatangkan artis yang banyak bukan hanya sekedar menyenangkan undangan,
sebab jika tujuan untuk menyenangkan para undangan cukup hanya satu sampai
tiga orang saja. Namun Tulus melakukan hal yang lebih dengan mendatangkan
artis sampai bilangan 100 orang dengan tujuan untuk menunjukkan gaya hidupnya
berbeda dengan orang lain. Seperti yang dikatakan Bourdieu (dalam
Featherstone, 2008: 209), selera terhadap berbagai benda budaya berfungsi
sebagai tanda kelas. Masyarakat yang mempunyai modal banyak mempunyai
selera yang berbeda dengan masyarakat modal rendah. Mendatangkan artis
sebanyak tiga orang sudah biasa, Tulus membuat yang luar biasa sehingga modal
ekonomi yang sudah dia miliki selama ini bertambah dengan modal sosial yang
dia peroleh dari masyarakat.
Demikian juga mengenai keluarga yang didatangkan dari kampung
halaman untuk menghadiri upacara perkawinan anaknya di Kota Denpasar dan di
133
Jakarta, bukan sekedar menyenangkan hati para keluarganya yang dari kampung
tetapi dia juga ingin menunjukkan siapa dirinya terhadap keluarganya dari
kampung. Seperti yang disebutkan Pelly (1994: 295) orang Batak mempunyai
misi budaya tentang daerah rantau sebagai perluasan kampung halaman untuk
mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi (sahala harajaon). Tulus mau menunjukkan
bahwa dia sudah berhasil melaksanakan misi budaya tersebut. Dia
menunjukkannya dalam pelaksanaan upacara perkawinan puterinya terhadap
keluarganya dari kampung dengan gaya hidup yang berbeda dengan komunitas
Batak lainnya.
Gaya hidup yang ditunjukkan komunitas Batak Toba dalam melaksanakan
upacara perkawinan untuk menunjukkan identitas, sekaligus melepaskan hasrat
untuk berbeda. Seperti yang dilakukan Tahan saat melangsungkan upacara
perkawinan puterinya secara keagamaan pada hari, Sabtu, 20 Desember 2014.
Puterinya melangsungkan upacara perkawinan keagamaan di kapel milik Hotel
The Mulia Nusa Dua.
Menurut penuturan Tahan untuk memilih kapel Hotel The Mulia sebagai
tempat pemberkatan perkawinan puterinya:
“Borunta siangkangan dison do tarpasu-pasu, jadi asa adil, adekna pe
tapatupa ma tong dison . Ai dos do gelleng…. dang mungkin beda-
bedahononhon. Undangan pe pasti do sungkun-sungkun tu iba molo dang
dison pinatupa ulaon on. Parengkelan ni halak ma iba molo gabe mundur
ulaon niba sian naung adong hian.”(Puteri yang pertama melangsungan
pemberkatan perkawinan juga di hotel ini, jadi biar adil adeknya pun juga
di sini. Anak itu kan semua sama ….tidak mungkin dibeda-bedakan. Para
undangan pun pasti akan bertanya-tanya apabila pesta ini tidak
dilangsungkan di sini. Orang akan menertawakan kita apabila pesta
menjadi menurun dari yang sudah pernah kita langsungkan). (wawancara,
21 Desember 2014).
134
Penuturan ini menunjukkan bahwa Tahan mempunyai kasih sayang yang sama
terhadap anak-anaknya melalui tempat upacara perkawinan yang sama seperti
yang terlihat pada gambar 6.5. Namun jika ditelusuri lebih jauh, melangsungkan
pemberkatan perkawinan di Hotel The Mulia Nusa Dua bukan sekedar untuk
menunjukkan kasih sayang yang sama terhadap anak melainkan penunjukan gaya
hidup yang berbeda dari komunitas Batak umumnya. Hal ini sesuai dengan yang
dikatakan Bourdieu (dalam Piliang, 2011: 323), gaya hidup sebagai ruang gaya
hidup yang sifatnya plural. Dalam ruang tersebut masyarakat membangun
kebiasaan sosialnya. Demikian halnya keluarga Tahan yang sudah terbiasa
menunjukkan gaya hidupnya sangat berbeda dengan masyarakat kelas bawah.
Modal banyak yang sudah dimiliki Tahan membuat dia mempunyai selera yang
berbeda dengan masyarakat rendah, dengan demikian posisi yang sudah dicapai
Tahan selama ini semakin mantap di tengah komunitas Batak Toba.
Gambar 6.5
Melepasburung merpati sebagai tanda kesetiaan
(Dok. Mangihut Siregar, 2014)
135
Pemilihan tempat untuk melaksanakan upacara perkawinan secara
keagamaan atau sering disebut pemberkatan perkawinan bukan sekedar bertujuan
menyenangkan anak dan undangan. Kalau tujuannya hanya untuk menyenangkan
anak dan undangan mengapa harus dilaksanakan di Bali? Para undangan harus
capek datang ke Bali meninggalkan keluarga dan juga pekerjaannya. Demikian
juga halnya tentang orang yang memimpin upacara perkawinan keagamaan,
mengapa harus Ephorus, begitu banyak pendeta HKBP yang lain yang berada di
sekitar Surabaya dan Bali, mengapa bukan mereka yang memimpin upacara
tersebut?
Di balik penuturan Tahan untuk menyenangkan anak dan para undangan,
sebenarnya tujuannya adalah untuk menunjukkan gaya hidupnya yang berbeda
dengan yang lain. Tahan melipatgandakan modal-modal yang dimilikinya
sehingga semakin mantap kemapanan posisi yang sudah dia miliki selama ini.
Posisi yang sudah mapan selalu dia jaga dengan membuat hal yang baru di dalam
pelaksanaan upacara perkawinan anaknya.
6.3 Budaya Populer
Budaya populer sangat berkaitan dengan konsumerisme sebab di dalam
budaya populer terkandung ideologi ekonomi kapitalis. Dalam ideologi kapitalis
kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan komoditi.
Kebudayaan dikonstruksi atas dasar prinsip perbedaan; penampilan, gaya, gaya
hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang cepat (Piliang, 2011: 415).
Untuk melihat budaya populer harus melalui praktik-praktik yang dilakukan
masyarakatnya bukan melalui teks-teks para pembaca (Fiske, 2011: 50).
136
Budaya populer merupakan produksi budaya dengan nilai-nilai yang
dianggap rendah, bawah, murahan, vulgar, umum, dan rata-rata. Populer berkaitan
dengan kelompok massa atau masyarakat kebanyakan yang dikendalikan oleh
kelompok elit tertentu dengan sistem industri budaya. Budaya populer akan
mengancam keberadaan nilai-nilai dan ideologi yang masyarakat miliki dan akan
diganti oleh ideologi baru yaitu ideologi budaya populer.
Menurut Piliang (2011: 420), ideologi populer menggiring berbagai wacana
ke dalam bentuk pendangkalan, sifat permukaan, penampakan luar dan perayaan
citra. Ideologi ini merayakan citra ketimbang makna, kulit luar ketimbang isi,
penampilan ketimbang esensi, popularitas ketimbang intelektualitas. Oleh karena
itu ideologi popularitas menghambat pencerahan dan pencarian identitas sebab
masyarakat digiring ke dalam penampakan luar bukan kepada esensi.Pencarian
identitas menjadi persoalan dalam budaya populer sebab identitas individu dan
gaya hidup masyarakat dikonstruksi oleh kelompok elit tertentu (produser,
kapitalis, bintang) sebagai bagian dari industri dan komoditi budaya. Identitas
yang dikembangkan selalu identitas yang dikonstruksi secara sosial oleh elit
budaya, dengan demikian identitas otentik masyarakat menjadi hilang.
Budaya populer merupakan budaya yang diproduksi secara komersial dan
konsumermenerima saja tanpa berpikir hal itu akan berubah di waktu yang akan
datang. Budaya populer dipandang sebagai makna dan praktik yang dihasilkan
oleh audien pop pada saat konsumsi (Barker, 2004: 50). Konsumsi merupakan hal
yang penting sebab dalam budaya populer orang akan melihat bagaimana caranya
137
menggunakan dan mengubah produk-produk industri menjadi budaya populer
yang melayani kebutuhan masyarakat (Barker, 2014: 211).
Menurut Hidayat (2012: 117), budaya populer mempunyai karakter khas
yaitu, bersifat massal, dangkal, mengedepankan penampakan ketimbang makna
dan kedalaman. Lebih menerima simbol status, prestise, penampilan dan gaya
ketimbang manfaat atau makna yang sebenarnya. Penampilan-penampilan seperti
ini dapat dilihat setiap hari dalam kehidupan masyarakat dalam hal, merek mobil,
merek hand phone, tempat belanja, tempat kecantikan, tempat makan yang
mengutamakan nilai tanda dan nilai simbol.
Pada kehidupan masyarakat di era postmodern, fenomena yang timbul
adalah tumbuhnya budaya populer. Masyarakat mementingkan nilai tanda dan
nilai simbol dari pada nilai guna dan nilai tukar. Orang lebih mementingkan
penampilan dari pada kedalaman, merayakan kesenangan dari pada kekhusukan,
mengutamakan gaya dari pada esensi.
Praktik budaya populer juga terjadi pada upacara perkawinan Batak Toba.
Hal ini dapat diamati melalui objek-objek yang dikonsumsi selama pelaksanaan
upacara perkawinan. Contoh-contoh itu berupa cenderamata, mobil pengantin,
baju pengantin,mendatangkan artis, dan lain-lain.
Cenderamata pada awalnya adalah sesuatu yang dibawa oleh seorang
wisatawan ke asalnya sebagai benda kenangan. Cenderamata sering juga disebut
souvenir, tanda mata, atau kenang-kenangan. Cenderamata dapat berbentuk, kaos,
dompet, topi, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Pada saat sekarang
cenderamatabukan hanya digunakan sebagai kenangan para wisatawan, dalam
138
praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar, cenderamata menjadi
kebudayaan popular seperti terlihat pada gambar 6.6. Hampir semua upacara
perkawinan menggunakan cenderamata.
Gambar 6.6
Cenderamata yang akan dibagikan kepada para undangan
(Dok. Mangihut Siregar, 2014)
Komunitas Batak tidak mengenal cenderamata, yang ada adalah ulak ni
tandok.Ulak ni tandok merupakan benda yang diberikan kepada undangan yang
membawa padi atau beras di dalam tandok. Ulak ni tandok menjadi tanda ucapan
terimakasih berbentuk sepotong daging atau uang. Ulak ni tandok diberikan pada
saat acara adat sudah berjalan, di mana para undangan memasuki tempat upacara
adat.
139
Pada praktiknya, ulak ni tandok tetap berjalan dalam upacara perkawinan,
demikian juga cenderamata. Bedanya, ulak ni tandok diberikan secara adat dan
orang yang berhak menerimanya adalah orang tertentu, sedangkan cenderamata
diberikan sebelum upacara adat dan yang berhak menerimanya tidak terbatas,
artinya kepada siapa saja yang hadir dalam upacara tersebut. Cenderamata seakan
menjadi keharusan yang tidak ada hubungannya dengan upacara adat melainkan
sekedar nilai tanda dan nilai simbol.
Demikian juga penggunaan mobil pengantin dalam upacara perkawinan.
Dari segi nilai guna, mobil pengantin digunakan sekitar 2 jam dan fungsinya
sebagai tranportasi. Dalam praktiknya, mobil pengantin bukan sembarang mobil,
biasanya yang digunakan adalah mobil yang bermerek BMW, Volvo, Alphart, dan
lain-lain yang mempunyai gengsi tinggi seperti yang terlihat dalam gambar 6.7.
Mobil pengantin yang terlihat dalam gambar adalah merek toyota alphart. Mobil
dalam hal ini bukan hanya berfungsi sebagai transportasi tetapi mempunyai nilai
tanda dan nilai simbol.
140
Gambar 6.7
Mobil yang digunakanpengantin
(Dok. Mangihut Siregar, 2014)
Tanda mobil dalam gambar 6.7 sudah meninggalkan prinsip struktur yang
memandang segala sesuatu dibangun oleh sebuah struktur yang tetap, stabil,
berulang, mengikat, dan abadi. Penanda (signifier) mobil bukan hanya
mempunyai petanda (signified) transportasi tetapi sebagai gengsi. Seperti yang
diutarakan Piliang (2012: 251), tanda mempunyai karakter terbuka, dinamis,
subversif dan kontradiktif yang disebut dengan hipersemiotika. Mobil sudah
melebihi struktur tanda konvensional sebagai alat transportasi.
Hampir sama dengan mobil pengantin, baju pengantin yang digunakan
hanya dipakai satu hari. Karena modelnya yang dirancang khusus untuk baju
pengantin sehingga pemakaiannya sangat jarang. Biasanya keluarga pengantin
memakai baju pengantin pada saat upacara perkawinannya dan juga saat
141
membawa anaknya dibabtis atau lepas sidi di gereja. Dengan demikian baju
pengantin sangat jarang digunakan.
Dalam praktiknya, baju pengantin menjadi budaya popular upacara
perkawinan Batak Toba. Baju pengantin perempuan digunakan sebanyak hitungan
jari dalam hidupnya tetapi harus dibeli dengan harga yang mahal. Bahan yang
digunakan biasanya adalah kain songket mulai dari harga satu juta sampai puluhan
juta. Tidak lazim bagi komunitas Batak Toba pengantin perempuan memakai baju
biasa melainkan harus baju khusus yang bermerek untuk digunakan pada saat
upacara perkawinan.
Dalam budaya konsumerisme, tanda-tanda sangat banyak melebihi (hiper)
sebagai bagian dari budaya komoditi dan budaya konsumerisme kapitalis. Budaya
dikonstruksi menjadi berbentuk dusta, ilusi, halusinasi, mimpi, kesemuan,
artifisial, kedangkalan, permukaan dikemas dalam wujud komoditi lewat strategi
hipersemiotika. Pada akhirnya, tanda itu menjadi suatu kepalsuan (Piliang, 2012:
58).Tanda baju pengantin bukan hanya mempunyai tanda melindungi tubuh dan
kecantikan, namun lebih dari tanda itu, baju pengantin juga menandakan simbol.
Demikian juga halnya mengenai artis yang fungsinya hanya hiburan. Setiap
pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba, jasa artis menjadi kebutuhan
primer. Komunitas Batak Toba dalam melaksanakan upacara perkawinan disuguhi
hiburan-hiburan yang hanya menyenangkan para undangan seperti yang terlihat
pada gambar 6.8. Dalam praktiknya dapat diamati saat pelaksanaan penyampaian
ulos dari pihak hula-hula kepada pengantin. Pada saat sekarang saat
142
menyampaikan ulos nasehat-nasehat tentang berumah tangga dan juga doa
harapan para orang tua hilang diganti dengan hiburan.
Gambar 6.8
Artis Batak sedang menghibur para tamu
(Dok. Mangihut Siregar, 2014)
Menurut adat kuno, pihak hula-hula (dan seluruhrombongannya) sebelum
menyampaikan ulos kepada pengantin didahului nasehat dan doa pengharapan,
pada masa sekarang diganti dengan hiburan. Penuturan yang selalu dituturkan
pelaku adat saat memberikan ulos seperti di bawah ini:
“amang pande nami….na jinou manogot…pinataru botari…nang so
hudok…nunga diboto ho. Dison jongjong do hami rombongan ni hula-hula,
ro mangadopi gokhon dohot jou-jou ni pamoruon nami. Nuaeng naeng
pasathon ulos siganjang rambu, sibahen na las tu boru nami dohot hela
nami, bahen damang ma musik na hombar tu si”.(Hai para pemusik…yang
dipanggil pagi hari…dan dipulangkan sore hari…walau belum saya
ucapkan…engkau sudah mengerti.Kami bersama rombongan berada di sini
untuk menghadiri undangan boru kami. Sekarang kami mau menyampaikan
ulos kepada boru dan hela kami, tolong buatkan musik yang sesuai untuk hal
itu).(pengamatan, 29 Nopember 2014).
143
Penuturan ini menggambarkan bahwa komunitas Batak Toba pada masa sekarang
menunjukkan penampilan luar saja.Seperti yang dikatakan Hidayat (2012: 117),
pada masa sekarang orang mempunyai karakter khas yaitu, bersifat massal,
dangkal, mengedepankan penampakan ketimbang makna dan kedalaman. Lebih
menerima simbol status, prestise, penampilan dan gaya ketimbang manfaat atau
makna yang sebenarnya. Makna penyampaian ulos pada masa sekarang bukan
untuk menasehati dan menyayangi lagi, namun yang diutamakan adalah
kegembiraan, kebahagiaan, kesenangan semata.
Setelah penuturan itu, pemusik memainkan musiknya bersama lagu-lagu
yang menghibur. Ucapan selamat, nasehat, dan juga doa pengharapan disatukan
menjadi sebuah tarian. Makna mangulosi bergeser menjadi sebuah acara hiburan
semata. Kesuksesan upacara perkawinan diukur dari meriahnya pesta dan
kelihaian artis penghibur. Semakin top artis yang menghibur, semakin meriah
upacara perkawinan. Pelaksanaan upacara perkawinan yang didominasi hiburan
artis menunjukkan simbol status, prestise, penampilan dan gaya ketimbang
manfaat atau makna yang sebenarnya.
6.4 Media Massa
Media massa adalah sarana komunikasi massa di mana proses
penyampaian pesan, gagasan, atau informasi dilakukan kepada orang banyak
(publik) secara serentak.Menurut Barker (2014:165), media massa adalah
lembaga-lembaga komunikasi yang memproduksi dan mendistribusikan teks-teks
secara luas, dalam konteks lahir dan berkembangnya modernitas kapitalis. Fungsi
144
media massa yaitu menyediakan informasi, hiburan, dan pendidikan. Media massa
dapat dipahami dalam terminologi teks,relasi antara teks dengan audiens, ekonomi
politik dan pola-pola makna budaya.
Dalam penyampaian pesan, media massa sering dilihat sebagai pihak yang
membawa selera publik hingga ke tingkat yang terendah demi memaksimalkan
rating sementara audiens merupakan kumpulan orang yang pasif menerima
mentah-mentah pesan yang disampaikan (Barker, 2014: 166). Hal seperti ini
sering terjadi apalagi masyarakat yang menjadi audiensnya masih dalam tingkat
pendidikan yang rendah. Semua informasi yang dikonstruksi oleh produsen
dikonsumsi secara mentah-mentah dan dianggap menjadi kebenaran yang mutlak.
Kaum produsen tidak menghiraukan pesan apa yang disampaikannya kepada
konsumen mendidik atau pembodohan yang penting ideologi kapitalisnya sampai
kepada tujuan.
Bahasa iklanyang menjadi bahasa komunikasi mempunyai struktur
bahasanya sendiri. Dalam iklan realitas dikonstruksi menjadi penipuan, dan
penipuan itu dilakukan melalui bahasa. Menurut Piliang (2012: 322), secara
struktural iklan terdiri dari tanda-tanda, yaitu unsur terkecil bahasa yang terdiri
dari penanda, yaitu gambar, foto, dan petanda, yaitu konsep atau makna yang ada
di balik penanda tersebut. Penanda-penanda tersebut dapat digunakan melukiskan
realitas dan sebaliknya juga dapat memalsukan realitas.
Lebih jauh dikatakan Piliang, dalam iklan biasanya terdapat tiga elemen,
yaitu gambar objek atau produk yang diiklankan, gambar benda-benda di sekitar
objek yang diiklankan, serta tulisan atau teks yang memberikan keterangan
145
tertulis, yang satu sama lain saling mengisi dalam menciptakan ide, gagasan,
konsep atau makna sebuah iklan. Dalam iklan terdapat tingkatan-tingkatan makna
yang kompleks, mulai dari makna eksplisit, yaitu makna yang tampak atau
denotatif, serta makna lebih mendalam, yang berkaitan dengan pemahaman
ideologi dan kultural atau konotatif.
Iklan sangat efektif untuk mempengaruhi persepsi orang tentang sebuah
produk. Karena begitu efektifnya iklan untuk memasarkan sebuah produk melalui
cara mempengaruhi konsumen, perusahaan mau mengeluarkan biaya yang sangat
besar hanya untuk mengubah persepsi dan hasrat membeli masyarakat. Iklan
mempunyai hubungan timbal balik dengan perubahan masyarakat sendiri. Seperti
penuturan Lasma, dia sepakat dengan suaminya melangsungkan perkawinan di
Kapel Harrads Hotel:
“Hari itu kan …kita lihat di TV ada nikah… terus acaranya di kapel.
Ya…asyik juga ini, viewnya laut pikirku. Lalu…ngomong-ngomong sama
calon suami setuju juga. Kalau orang tua ma…awalnya tidak setuju, terus
kita jelasin…ya, akhirnya mereka menyetujui juga, soalnya kan …yang
menanggung biaya semuanya adalah suami saya, mau ngak mau orang tua
kita … ngikut aja.” (wawancara, 10 Desember 2014).
Penuturan Lasma menunjukkan bahwa dia bersama suaminya melaksanakan
upacara perkawinan di Kapel Harrads Hotel terpengaruh dengan media televisi.
Perilaku Lasma sesuai dengan yang dikatakan Piliang (2012: 328), dalam
masyarakat konsumer dewasa ini berkembang logika baru konsumsi, yang secara
mendasar mengubah model hubungan antara manusia dan objek atau produk. Di
dalam masyarakat, objek berkembang sedemikian rupa sehingga tidak lagi terikat
pada logika utilitas, fungsi dan kebutuhan, melainkan pada apa yang disebut
logika tanda dan logika citra. Orang pada saat sekarang membeli tanda, citra atau
146
tema yang ditawarkan di balik sebuah produk, bukan lagi nilai utilitas produk
tersebut.
Masyarakat konsumer tidak dapat dipisahkan dengan ideologi kapitalisme
global. Kapitalisme global dibangun di atas iklim persaingan yang tinggi antara
perusahaan dan produser. Kebudayaan dikonstruksi atas dasar prinsip perbedaan;
penampilan, gaya, gaya hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang
semakin tinggi (Piliang, 2011: 416). Setiap orang dalam kelompok berusaha untuk
mencari nilai tambah (value added) dengan cara mengonsumsi barang-barang
yang berbeda dengan orang lain. Hal ini lebih banyak terdapat pada masyarakat
perkotaan walau masih dalam batas-batas yang masih dapat diterima oleh
kelompoknya (Abdullah, 2010: 36).
Dalam bukuSaya Berbelanja Maka Saya Ada Ketika Konsumsi dan Desain
Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme, Soedjatmiko (2008) menyatakan, seturut
perkembangan revolusi industri, orientasi produksi adalah menghasilkan barang
secara kuantitas sehingga ada istilah produksi massal. Produksi massal ditentukan
oleh produsen. Pada masa sekarang, memproduksi ditentukan oleh konsumen.
Apa yang diproduksi lebih ditentukan oleh apa yang ingin dikonsumsi. Manusia
merupakan makhluk yang bebas untuk mengonsumsi apapun. Melalui iklan
manusia ditawari apa yang dibutuhkan dan apa yang diharapkan sehingga terjadi
perubahan “wants” berubah menjadi “needs”, yang awalnya berbentuk keinginan
berubah menjadi kebutuhan.
Kebebasan manusia untuk mengonsumsi apa saja mengakibatkan
konsumsi sebagai bentuk identitas diri. Istilah yang disebut Haryanto Soedjatmiko
147
“semakin aku mengonsumsi, semakin nyatalah jati diriku”. Konsumerisme
menjadi makna baru yaitu sebagai gaya hidup. Keunggulan konsumerisme sebagai
gaya hidup yaitu tidak memutlakkan kemampuan membeli seseorang pada masa
sekarang, manusia dapat mengonsumsi melalui bentuk kredit.
Kelebihan dari konsumerisme yaitu menawarkan kepada konsumen
berbagai kesempatan dan pengalaman. Sebelumnya konsumen belum menikmati
bahkan belum mengenal sesuatu objek tetapi dengan konsumerisme, manusia
berkesempatan untuk memilikinya. Di pihak lain konsumen digiring ke arah
tujuan yang telah ditentukan yaitu kepentingan kapitalis. Kondisi ini oleh
Soedjatmiko disebut paradoks konsumsi.
Dalam masyarakat kapitalis, kebaharuan sangat diperlukan untuk
mendefenisikan status sosial dalam masyarakat. Untuk itu suplai benda-benda
baru, mode baru, perebutan benda-benda bermerek sangat diperlukan. Kelas
bawah berlomba mengejar secara terus-menerus kelompok masyarakat atas,
sedangkan masyarakat kelompok atas akan terus menginvestasikan barang-barang
baru dalam upaya memapankan kembali jarak masyarakat yang sudah ada
sebelumnya (Featherstone, 2008: 43).
Kondisi yang berlomba-lomba untuk mengonsumsi benda-benda baru
mengakibatkan posisi kelas bawah semakin jauh jaraknya dengan kelas atas.
Kelas bawah berusaha mengejar kelas atas, sedangkan kelas atas berusaha
menjauhkan jarak dari kelas bawah. Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 128)
bersamaan dengan berkembangbiaknya kapital, berkembang biak pula getaran-
getaran libido yang dihasilkan. Nilai guna barang dihubungkan dengan mesin
148
hasrat, tidak untuk sekedar membebaskan hasrat tersebut, akan tetapi untuk
menciptakan hasrat baru lewat mesin hasrat di dalam pasar bebas, yang menuntut
pemuasan selanjutnya yang tanpa akhir.
Agar hasrat tetap terbangun, kaum kapital memanjakan konsumen dengan
majalah-majalah budaya-konsumen, surat-surat kabar, buku-buku, program
televisi dan radio yang menekankan perbaikan diri, transformasi pribadi,
bagaimana untuk mengelola hak milik, bagaimana untuk membangun gaya hidup,
dll. Untuk menyampaikan ideologi kaum kapitalis ini menurut Bourdieu (dalam
Featherstone, 2008: 43) perlu ada perantara budaya baru, yaitu mereka yang
terlibat dalam bidang media, desain, mode, periklanan, dan dalam berbagai bidang
pekerjaan informasi, mereka yang pekerjaannya memberikan pelayanan dan
produksi, pemasaran serta pengembangbiakan benda-benda simbolik.
Peran media massa dalam praktik upacara perkawinan Batak Toba sangat
besar sekali. Informasi-informasi yang disediakan kaum kapitalis melalui iklan-
iklan mengakibatkan budaya konsumerisme. Iklan-iklan yang mendominasi
pelaksanaan upacara perkawinan terlihat dalam hal:katering, salon kecantikan
pengantin bersama dengan mobil pengantin dan bunga hias, sound sistem, musik
dengan penyanyi, tempat pelaksanaan upacara perkawinan, dan lain-lain.
Untuk mendapatkan informasi yang cukup lengkap, kaum kapitalis
menyediakan berbentuk majalah konsumen, surat kabar, buku-buku, iklan di
radio, iklan di televisi, dan informasi dari mulut ke mulut. Kapitalis menawarkan
pilihan-pilihan dengan sistem paket. Konsumen terperangkap dengan ideologi
kapitalisme yaitu mengonsumsi produk kaum kapitalis dengan prinsip perbedaan;
149
penampilan, gaya, gaya hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang
semakin tinggi (Piliang, 2011: 416).
Komunitas Batak Tobasemakin konsumeris dalam melaksanakan upacara
adat perkawinan akibat dukungan media massa. Media massa mempublikasikan
produk-produk kapitalis yang tersedia di Kota Denpasar. Kota Denpasar sebagai
kota dunia memberi peluang yang cukup besar bagi komunitas Batak Toba untuk
mengkonsumsi objek yang ditawarkan. Seperti yang dikatakan Abdullah (2010:
36), setiap orang dalam kelompok berusaha untuk mencari nilai tambah (value
added) dengan cara mengkonsumsi barang-barang yang berbeda dengan orang
lain, hal ini lebih banyak terdapat pada masyarakat perkotaan.
Kota Denpasar yang dipenuhi dengan objek-objek konsumsi didukung
oleh media massa mengakibatkan komunitas Batak Toba berperilaku
konsumerisme. Perilaku konsumerisme menjadi budaya komunitas Batak Toba
dalam upacara perkawinan salah satunya diakibatkan hasil konstruksi media
massa. Media massa menjadi sumber rujukan bagi komunitas Batak Toba di Kota
Denpasar untuk membuat pilihan-pilihan konsumsi demi menunjukkan
identitasnya.
6.5 Kurangnya Pemahaman Tentang Makna Upacara Perkawinan Batak
Toba
Upacara perkawinan Batak Toba merupakan hal yang sangat penting
karena melalui upacara ini seseorang boleh memasuki adat dalihan na tolu, seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya pada Bab I dan Bab V. Melakukan upacara
150
perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk masuk ke dalam dalihan na tolu.
Masuk menjadi anggota dalihan na tolu merupakan cita-cita setiap orang Batak
sehingga dirinya dapat disebut sebagai orang Batak yang sempurna secara adat.
Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar secara
umum dilakukan dengan prinsip ikut-ikutan. Seperti penuturan Bonar, salah
seorang keluarga yang baru melangsungkan upacara perkawinan anaknya.
menurut penuturan Bonar, dia melaksanakan itu dengan prinsip:
“Eme na masak digagat ursa, ia i na masa, ba ima ni ula. Molo so niihuthon
na masa songon na binahen ni dongan, didok iba paasing-asingkon. Anggo
didok rohangku hian ndang pola songon i bahenon, alai angka dongan tubu
mandok songon i… niihuthon ma. Iba hurang mangantusi do di adat, jadi
pinasahat ma sude tu angka dongan tubu. Boha didok nasida, iba selalu
manolopi ma.”(Melakukan sesuatu karena orang lain sudah melakukan
demikian. Kalau tidak diikuti, malu disebut ketinggalan zaman. Kalau
menurut saya bukan begini yang dilaksanakan,tetapi para dongan tubu
mengatakan demikian…kita ikut aja. Saya kurang mengerti adat, sehingga
seluruh pelaksanaan upacara ini kita serahkan kepada dongan tubu.
bagaimana baiknya menurut mereka, saya menyetujui aja).(wawancara, 18
Desember 2014).
Penuturan ini menunjukkan bahwa Bonar melakukan bentuk upacara adat seperti
yang sudah dilakukannya hanya untuk menghindari rasa malu. Mengapa dia
lakukan begitu, apa tujuannya, dia sendiri tidak mengerti namun tetap
dilakukannya.
Prinsip melakukan sesuatu karena ikut-ikutan atau kekurang pahaman
sering terjadi dalam pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba sehingga
mengakibatkan konsumerisme. Komunitas Batak Toba melakukannya tidak
paham akan makna yang dilakukannya serta relevansinya dengan upacara
perkawinan. Mereka melakukannya disebabkan manusia sekitar melakukan hal
151
yang demikian. Upacara perkawinan dianggap pemberian(given) bukan hasil
konstruksi sehingga untuk mempertanyakan kebiasaan menjadi hal yang tabu.
Praktik melaksanakan sesuatu atas dasar ketidakpahaman sama halnya
dengan melakukan pekerjaan yang sia-sia. Mereka melakukan hanya sebatas kulit
luarnya saja atau lebih populer sebagai gaya hidup dan bukan esensi dari pada
upacara perkawinan itu sendiri. Akibatnya komunitas Batak Toba jatuh ke dalam
budaya konsumerisme.
Menurut Piliang (2011: 416), budaya konsumerisme adalah budaya
konsumsi yang ditopang oleh penciptaan diferensi secara terus menerus lewat
penggunaan objek-objek komoditi. Objek yang dikonsumsi didorong oleh logika
hasrat dan keinginan bukan berdasarkan kebutuhan seperti terlihat pada gambar
6.9. Dalam budaya konsumerisme diciptakan rasa ketidakpuasan abadi sehingga
manusia dikonstruksi akan perasaan yang selalu kurang, tidak lengkap akan
kepemilikan objek sehingga manusia selalu didorong menjadi masyarakat
konsumer.
152
Gambar 6.9
Suasana ruangan restoran Hongkong Garden yang digunakan
tempat melangsungkan upacara perkawinan
(Dok. Mangihut Siregar, 2014)
Masyarakat konsumer menurut Piliang (2011) adalah masyarakat tontonan, yaitu
masyarakat yang ingin selalu mempertontonkan penampilannya secara narsistik
kepada orang lain. Dengan menunjukkan penampilannya, manusia menemukan
eksistensinya di tengah masyarakat. Kehidupan manusia dikondisikan agar selalu
berpindah dari satu hasrat ke hasrat yang lain. Manusia dikonstruksi untuk
mengikuti arus produksi dan reproduksi hasrat dengan mengkonsumsi tanda, citra,
dan benda-benda yang dimodifikasi secara terus menerus.
Komunitas Batak ingin mempertontonkan praktik upacara perkawinan
yang dia lakukan demi menemukan eksistensinya. Selain sebagai masyarakat
tontonan, mereka juga ingin menonton orang lain untuk mengetahui hal yang baru
dipertontonkan. Mereka menonton orang lain tanpa mengerti mengapa orang lain
153
tersebut mengonsumsi objek yang baru ditonton. Dari tontonan tersebut mereka
menirunya dan mempertontonkannya kepada yang lain tanpa mengerti apa makna
dari yang dipertontonkan. Ketidakmengertian akan hal yang baru mereka tonton
dan mereka tiru lalu dipertontonkan kepada orang lain. Kebaharuan perlu
diketahui untuk menunjukkan eksistensi diri. Keinginan menonton dan ditonton
mengakibatkan pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba semakin hari
semakin konsumerisme.
6.6 Kurangnya Transmisi Budaya kepada Generasi Muda
Transmisi budaya adalah penyebaran atau pewarisan pesan dari satu
generasi ke generasi berikutnya secara estafet. Transmisi budaya merupakan cara
manusia untuk menjaga budayanya sehingga tetap lestari. Pewarisan budaya ini
bukan sekedar menyampaikan atau memberikan sesuatu yang berbentuk material,
tetapi jauh lebih penting adalah menyampaikan nilai-nilai yang dianggap terbaik
dan menjadi pedoman yang baku dalam suatu masyarakat.
Untuk melakukan transmisi budaya, masyarakat kuno secara umum
melakukannya dengan bahasa lisan, sedangkan dengan tulisan sangat terbatas
sekali. Menurut Abdullah (2009: 58) pada kehidupan sekarang ini sistem nilai
tradisional mulai digantikan oleh sistem nilai modern sehingga sistem referensi
tidak lagi berkiblat pada tradisi melainkan nilai-nilai modernitas dengan logika
yang berbeda. Nilai tradisional yang ada di masyarakat sebelumnya digantikan
oleh tradisi dalam TV.
154
Hilangnya tradisi masyarakat menurut Abdullah dapat terjadi karena tiga
hal yang saling berkaitan: (1). Proses transformasi keluarga tradisional ke modern
dengan nilai-nilai dan hubungan-hubungan sosial yang berubah. Hubungan
emosional seseorang terganti dengan kehadiran media dan barang-barang
elektronik, sehingga anak bukan lagi pewaris tradisi melainkan wakil dari sebuah
tradisi yang jauh lebih besar yaitu alat kekuasaan baru yang mengendalikan sistem
sosial dan moral; (2). Berubahnya tata nilai dalam masyarakat di mana kehidupan
bukan hanya melanjutkan naluri masa lalu, tetapi menjadi arena negosiasi
berbagai tata nilai yang tidak hanya lokal, nasional tetapi juga bersifat global; (3).
Lemahnya peran pusat-pusat kebudayaan sebagai pengendali dan pewaris sistem
nilai. Pusat-pusat kebudayaan itu termasuk institusi adat dan keagamaan.
Seperti penuturan Bonar, semua anaknya yang sudah lahir dan besar di
Kota Denpasar tidak suka untuk mengikuti upacara perkawinan Batak Toba.
Alasan anak-anaknya tidak suka mengikuti upacara perkawinan: “Bosan kalau
ikut ke pesta, dari pagi sampai malam itu..itu saja. Sudah bahasanya kita ngak
ngerti,…tidak efisien, pemborosan dan membosankan”. (Wawancara, 27
Desember 2014). Penuturan ini memperlihatkan bahwa kalangan muda komunitas
Batak Toba kurang tertarik akan pelaksanaan upacara perkawinan. Mereka
menginginkan yang efisien baik dari segi ekonomi apalagi dari segi waktu.
Upacara perkawinan yang dilakukan selama ini mereka pandang pemborosan.
Mereka tidak mengerti makna-makna yang terkandung dalam upacara tersebut
karena diperankan dalam bahasa daerah.
155
Bahasa seperti yang dikemukakan Barker (2004: 171) adalah alat untuk
mengerti konsep kedirian dan identitas seseorang. Manusia belajar menggunakan
bahasa yang telah digunakan sebelumnya dalam konsteks hubungan sosial dengan
orang lain. Seseorang terbentuk sebagai individu dalam masyarakat melalui
bahasa yang dimiliki secara bersama.
Pengetahuan yang kurang dengan bahasa daerah menjadikan para pemuda
Batak Toba yang lahir di kota tidak tertarik untuk mewarisi upacara perkawinan
Batak Toba. Mereka mau mengikuti upacara perkawinan hanya sekedar melihat
hiburan yang disuguhkan para artis dan juga keindahan-keindahan yang tersedia
dalam upacara tersebut.Para pemuda Batak terlena dengan keterpesonaan hiburan,
kemeriahan acara tanpa mengerti makna upacara perkawinan itu sendiri.
Selain pengetahuan bahasa yang kurang, gaya hidup para pemuda sudah
dipengaruhi hidup di kota. Hidup di kota dipenuhi dengan informasi digital
sehingga komunikasi antar manusia tidak lagi berlangsung secara alamiah tetapi
lewat mediasi teknologi digital. Interaksi secara tatap muka diganti dengan
interaksi yang diperantarai oleh media seperti komputer, internet dan telepon
seluler. Memori alamiah pikiran seperti rasa (sense), perasaan (feeling) sekarang
diambil alih oleh komputer, mesin pengingat, catatan elektronik, atau agenda
digital (Piliang, 2011: 231).
Manusia kota sebagaimana yang diutarakan Piliang, hidup dalam skala
global. Manusia kota global mempunyai ciri-ciri: (1). Manusia ekonomi, artinya
segala hubungan diukur berdasarkan prinsip kalkulasi ekonomi; (2). Manusia
individualis, yaitu yang mementingkan ego dari kolektivitas; (3). Manusia
156
kecepatan, dunia kehidupan dikuasai oleh waktu dan kecepatan; (4). Manusia
Tipe-A yaitu, manusia yang memperpendek durasi kehidupan dan
menggabungkan beberapa unsurnya menjadi satu; (5). Manusia digital, yaitu
manusia yang mengurangi komunikasi face to face tetapi cenderung bersifat
elektronis dan digital; (6). Manusia penyendiri, yaitu manusia yang mengalami
kesendirian di tengah keramaian karena tidak berdialog dengan manusia lain; (7).
Manusia kebendaan, yaitu manusia yang dikuasai oleh materi; (8). Manusia tanda,
kepemilikan objek sebagai tanda mendefenisikan status sosial seseorang; (9).
Manusia citraan, manusia kota berlomba-lomba menjadi citraan untuk
menemukan eksistensinya; dan (10). Manusia informasi, manusia di kota sangat
menggantungkan diri pada keberadaan informasi baik radio, TV, dan internet.
Pemuda komunitas Batak yang tinggal di Kota Denpasar menjadi pemilik
budaya kota global. Mereka tidak menginginkan suatu kegiatan yang tidak
menguntungkan secara ekonomi, sehingga segala sesuatu mempunyai hitungan
yang sangat rinci. Praktik seperti ini sangat bertentangan dengan upacara
perkawinan Batak Toba, sebab dalam upacara perkawinan tidak ada perhitungan
secara ekonomi. Segala sesuatu dilakukan secara bersama dan peran masing-
masing sesuai dengan prinsip dalam dalihan na tolu.
Akibat kekurangtertarikan para pemuda Batak untuk mempelajari adatnya
mengakibatkan transmisi budaya seakan terputus. Keterputusan transmisi ini
sering terjadi dalam pelaksanaan upacara saat sekarang di mana pemeran dari
upacara tersebut diambil dari orang lain. Orang lain yang dimaksudkan adalah
orang yang tidak punya hubungan dalam upacara tersebut, tetapi karena orang
157
yang sepatutnya memerankannya tidak mengetahuinya sehingga terpaksa
diperankan orang lain. Contoh peran ini adalah parhata, yaitu orang yang
mengatur prosesi upacara adat mulai dari awal sampai akhir.Peran parhata di
daerah perkotaan sering digantikan orang yang tidak berkaitan dengan dalihan na
tolu pemilik upacara perkawinan. Parhata terpaksa “dibeli” untuk mengatur
pelaksanaan upacara adat agar dapat berjalan dengan baik.
Kurangnya transmisi budaya ini berdampak pada konsumerisme karena
para keluarga muda atau generasi penerus kurang mengetahui makna-makna
upacara perkawinan tersebut. Para keluarga muda atau keluarga yang sudah lahir
di kota melaksanakan upacara tersebut hanya dengan tujuan boleh masuk ke
dalam dalihan na tolu. Pemahaman yang demikian mengakibatkan pelaksanaan
upacara perkawinan dilakukan hanya dengan simbolisasi, asal-asalan, kesenangan
tanpa mengetahui esensi upacara yang sebenarnya.
158
BAB VII
IMPLIKASI KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN
BATAK TOBA DI KOTA DENPASAR
Secara umum implikasi adalah akibat langsung atau konsekuensi dari
sesuatu. Dalam hal ini, implikasi yang terjadidari konsumerisme dalam upacara
perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar yaitu menguatnya individualisme,
menguatnya materialisme, dan menguatnya globalisme.
7.1 Menguatnya Individualisme
Individualisme merupakan sifat manusia yang melihat kepentingan
individu di atas kepentingan sosial. Manusia mementingkan keegoannya daripada
kolektivitas, mencintai diri sendiri dibanding masyarakat. Semangat kolektivisme
diganti dengan semangat individualisme (Piliang, 2011: 232). Semangat
individualisme perlu ditunjukkan untuk memperjelas eksistensi seseorang dalam
hidupnya. Dalam hidup individualisme, gaya hidup, selera, citra seseorang
dipertontonkan melalui barang-barang konsumer untuk menemukan makna
kehidupan.
Individu dalam budaya konsumen menurut Featherstone (2008: 205)
disadarkan dengan objek yang dikonsumsi. Kesadaran ini berlaku kepada semua
kalangan baik kaum muda dan kaum tua; kaya dan miskin; laki-laki dan
perempuan. Mereka mencari pengalaman baru dan yang terbaru dalam hidupnya
yang harus dihidupi dan harus bekerja keras untuk menikmati, mengalami dan
mengekspresikannya.
159
Perbedaan gaya hidup seseorang dapat diamati dari praktik selera akan
objek yang dikonsumsi. Menurut Bourdieu (dalam Featherstone, 2008: 204) selera
akan berbagai benda budaya berfungsi sebagai tanda kelas. Orang yang
mempunyai banyak modal mempunyai selera yang berbeda dengan yang memiliki
modal sedikit. Modal mempunyai peranan penting dalam selera konsumsi.
Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dipengaruhi
oleh banyaknya modal (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolis) yang dimiliki para
pelaku. Semakin banyak modal yang dimiliki semakin tinggi selera konsumsi
yang dilakukan. Seperti yang dilakukan Tulus sewaktu melangsungkan upacara
perkawinan puterinya pada tanggal 25 April 2014. Menurut penuturan Tulus
seperti yang sudah diuraikan pada Bab VI, mereka menghabiskan biaya sampai 3
milyar rupiah hanya untuk melakukan upacara perkawinan puterinya. Tulus mau
menghabiskan dana sebesar itu dengan alasan:
“Nunga sude mananda iba di Bali on, angka dongan pe godang do na di
Jakarta, Papua, dohot na di bona pasogit. Sapala na marpesta ingkon las
do roha ni angka na ginokhon. Jala…. ndang mungkin pilit-pilliton angka
dongan, ingkon sude do nasida undangon.Anggo masalah biaya do
…martupa doi muse, siluluan do hepeng.” (Saya sudah terkenal di Bali ini,
teman-teman banyak di Jakarta, Papua, dan juga di kampung halaman.
Prinsip saya, kalau melakukan pesta, para undangan harus puas. Kemudian
…. Tidak mungkin para rekan-rekan dipilih-pilih, harus semua mereka kita
undang. Kalau masalah biaya…pasti ada jalan keluarnya, uang ada kalau
dicari). (wawancara, 12 Desember 2014).
Ungkapan ini menunjukkan bahwa Tulus merupakan orang terkenal baik di
kalangan komunitas Batak maupun para pejabat di Bali, Jakarta, Papua dan di
daerah asalnya. Untuk menunjukkan kelasnya terhadap semua undangan, Tulus
membuat gaya hidup sendiri.Tulus tidak memikirkan implikasi yang dilakukannya
terhadap komunitas Batak Toba secara umum di Kota Denpasar. Dia hanya
160
memikirkan dirinya sendiri, karena dia mampu sehingga Tulus mengonsumsi
secara berlebihan. Seperti yang dikatakan Featherstone (2008: 207), dalam budaya
konsumen sifat individualis selalu dianjurkan. Sifat individualis ini perlu untuk
melakukan diferensiasi, untuk mendorong permainan perbedaan dan akhirnya
disahkan secara sosial. Gaya dan individualitas merefleksikan selera dan kelas
seseorang dalam masyarakat. Individualisme perlu dilestarikan untuk mengejar
perbedaan dengan individu lain dan juga kelompok lain.
Dalam budaya konsumerisme seperti yang diutarakan Piliang (2011: 251)
konsumsi bukan hanya sebagai lalu lintas kebudayaan benda, tetapi lebih dari situ
konsumsi menjadi sebuah panggung sosial, yang di dalamnya terjadi perebutan
makna-makna sosial dan perang posisi di antara masing-masing anggota yang
terlibat. Tulus melakukan hal yang baru dan berbeda dari komunitas Batak
umumnya untuk tetap mempertahankan posisi terhormat yang sudah
disandangnya selama ini. Dia mengakumulasi modal yang sudah dimiliki
(ekonomi dan sosial) dan mendapatkan penambahan modal budaya.
Praktik upacara perkawinan yang dilakukan Tulus berimplikasi kepada
upacara-upacara selanjutnya. Seperti yang dikatakan Veblen (dalam Wiedenhoft,
2012: 825), kelas atas menggunakan konsumsi berlebihan untuk membuat
perbedaan dengan kelas di bawahnya sedangkan kelas bawah meniru konsumsi
kelas yang di atasnya. Dorongan untuk meniru ini oleh Veblen mengakibatkan
efek mengalir ke bawah. Kelas atas menjadi penentu konsumsi, kelas bawah
berusaha mengejar konsumsi kelas atas. Kesamaan tidak tercapai karena kelas atas
selalu memilih objek baru untuk membedakannya dengan kelas di bawahnya.
161
Pertarungan posisi melalui konsumsi bukan hanya terjadi dalam kelompok
atau kelas tetapi juga dalam masing-masing individu. Masing-masing
mempertontonkan kebaharuan dan perbedaan dalam objek konsumsi. Kesamaan
dan kebersamaan dihindari untuk menunjukkan identitasnya. Budaya individualis
merupakan implikasi dari budaya konsumerisme.
Budaya konsumerisme sangat berkaitan dengan tempat tinggal masyarakat
yang ditempati. Pada masyarakat yang sangat tradisional belum mengenal budaya
konsumerisme, namun masyarakat yang sudah dimasuki modernisasi apalagi yang
tinggal di perkotaan, konsumerisme menjadi kebudayaan. Hal ini terjadi
disebabkan karena di daerah perkotaan ruang-ruang atau fasilitas-fasilitas untuk
konsumsi secara terus menerus dibangun. Para kaum kapitalis bersaing secara
ketat untuk memajukan perusahaannya. Ujung tombak yang digunakan kapitalis
yaitu iklan, teknologi kemasan, pameran, media massa, diferensiasi produk, dan
lain-lain.
Masyarakat konsumen menjadikan objek-objek konsumsi bukan sekedar
memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai tukar) seperti yang dikatakan oleh
Mark. Menurut Marx objek mempunyai dua nilai dasar yaitu, nilai guna (use-
value) dan nilai tukar (exchange-value).Nilai guna adalah nilai yang secara
alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan kegunaan atau manfaat, setiap
objek memiliki manfaat atau kegunaan bagi kepentingan manusia. Nilai tukar
adalah nilai yang diberikan kepada obejk-objek produksi berdasarkan ukuran nilai
gunanya. Dalam masyarakat kapitalis, menurut Marx, setiap objek adalah
komoditas yang memiliki nilai guna dan nilai tukar.
162
Berpijak dari pendapat Marx, Baudrillard (dalam Hidayat, 2012: 61)
berpendapat dua nilai yang dimiliki objek yaitu nilai guna dan nilai tukar sudah
berganti menjadi nilai tanda dan nilai simbol. Melalui objek-objek atau
komoditas-komoditas itu seseorang yang hidup dalam masyarakat konsumen
menemukan makna dan eksistensi dirinya. Dengan demikian fungsi utama dari
objek-objek konsumen bukan lagi hanya dalam kegunaan atau manfaat, tetapi
lebih dari situ adalah nilai tanda atau nilai simbol yang disebarluaskan melalui
iklan-iklan gaya hidup di berbagai media.
Baudrillard menyatakan, bahwa mekanisme sistem konsumsi pada
dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan nilai simbol, dan bukan karena
kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan. Dari pernyataan ini, Baudrillard
bukan bermaksud menafikan pentingnya kebutuhan. Namun Baudrillard mau
menekankan bahwa dalam masyarakat konsumen, konsumsi sebagai sistem
pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan semata atau hasrat mendapat
kenikmatan namun lebih dari fungsi itu adalah seperangkat hasrat untuk
mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme
penandaan (Hidayat, 2012: 62).
Seperti penuturan Lamhot sewaktu melaksanakan upacara perkawinan
pada hari Sabtu, 29 Desember 2014 di hotel Inna Bali Beach. Lamhot sudah
berkeluarga sekitar 20 tahun silam. Secara gereja, mereka sudah melaksanakan
upacara perkawinan, namun dari sudut adat Batak Toba belum sah diterima
sebagai anggota keluarga dalihan na tolu karena belum melangsungkan upacara
adat perkawinan. Upacara perkawinanan secara agama mempunyai selang waktu
163
begitu lama dengan pelaksanaan upacara perkawinan secara adat karena ketidak
sepakatan antara pihak keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.
Setelah adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak (keluarga pihak
laki-laki dan keluarga pihak perempuan), akhirnya upacara perkawinan diadakan
pada hari Sabtu, 29 Nopember 2014. Biaya upacara perkawinan secara adat
ditanggung oleh Lamhot dan dibantu oleh saudara-saudara dekatnya. Lamhot
merupakan wirausahawan yang cukup berhasil sehingga dia sanggup untuk
membiayai upacara perkawinannya. Sewaktu ditanyakan mengapa baru sekarang
melangsungkan upacara perkawinan, jawaban Lamhot:
“Selama ini ngak kepikir untuk urusan adat, kita kira.… kalau sudah
selesai pemberkatan secara gereja, ya… sudah cukuplah. Ternyata utang
adat sama hula-hula belum selesai. setiap kita mengikuti undangan orang
Batak, teman-teman selalu menyinggung adat kita… kapan
melangsungkan adat? ya…kadang minder juga kita. Sekarang pikiran kita
sudah plonglah…. utang adat sudah beres.” (wawancara, 2 Januari 2015).
Penuturan Lamhot menunjukkan bahwa sebenarnya dia tidak begitu
menginginkan untuk melangsungkan upacara perkawinan secara adat. Namun
kendala yang dihadapi dalam pergaulan sehari-hari sesama komunitas Batak Toba
karena ketidakmasukan Lamhot dalam dalihan na tolu sehingga dengan terpaksa
harus dilakukan upacara perkawinan tersebut. Satu-satunya cara untuk masuk
dalam dalihan na tolu seperti yang diutarakan Siahaan (1982: 58), harus
melangsungkan upacara perkawinan secara adat.
Awalnya upacara perkawinan secara adat tidak begitu penting bagi
Lamhot, namun pelaksanaannya dilakukan dengan cukup mewah. Kemewahan ini
terlihat seperti yang sudah dijelaskan pada Bab V tentang upacara perkawinan
Lamhot. Mereka mendatangkan artis tiga orang dari Jakarta ditambah M.C. total
164
biaya sudah Rp. 120.000.000,- hanya untuk penghibur. Biaya untuk makan 600
orang sebesar Rp. 150.000.000,-. Menurut penuturannya, total biaya yang
dihabiskan pada upacara perkawinan tanggal 29 Nopember 2014 sebesar Rp.
480.000.000,-
Biaya yang dikeluarkan Lamhot untuk upacara perkawinannya sebesar Rp.
480.000.000,- seharusnya boleh lebih murah sebab ada beberapa urutan upacara
tidak dilakukan lagi. Hilangnya beberapa urutan upacara disebabkan keluarga
Lamhot sewaktu melakukan upacara perkawinan sudah lebih dahulu mempunyai
anak (gabe) artinya bukan baru kawin tetapi sudah lama berkeluarga namun
belum melakukan upacara adat. Dalam budaya Batak Toba, keluarga yang sudah
lama berkeluarga (gabe) upacara adatnya disebut pasahat sulang-sulang
pahompu. Sedangkan keluarga yang baru menikah dan langsung mengadakan
upacara perkawinan secara adat tanpa terlebih dahulu memiliki anak disebut
mangadati.
Tahapan yang hilang dalam upacara pasahat sulang-sulang pahompu
adalah, marhata sinamot yaitu membicarakan jumlah mahar yang akan diberikan
pihak laki-laki ke pihak perempuan; marsibuhabuhai, yaitu acara makan bersama
pada waktu pagi hari sambil berdoa di rumah keluarga perempuan sebelum
upacara perkawinan dilakukan; paulak une yaitu keluarga laki-laki mendatangi
pihak perempuan menyatakan bahwa puterinya sudah cocok sebagai isteri
anaknya, tingkir tangga yaitu pihak keluarga perempuan mendatangi keluarga
pihak laki-laki untuk mengenal rumah puterinya yang baru kawin. Keempat acara
tersebut (marhata sinamot, sibuhabuhai, paulak une, dan tingkir
165
tangga)memerlukan biaya yang cukup besar. Namun Lamhot tidak perlu
melakukan keempat acara tersebut sebab dia sudah gabe(sudah punya anak)
sebelum melangsungkan upacara perkawinan.
Lamhot dalam melangsungkan upacara perkawinannya disebut pasahat
sulang-sulang pahompu. Acara pasahat sulang-sulang pahompubiasanya
dilakukan secara sederhana dan dihadiri undangan yang tidak begitu banyak,
namun Lamhot mengadakan upacara perkawinan tetap meriah. Berdasarkan hasil
wawancara, Lamhot bersama isterinya melakukan dengan meriah dengan alasan:
“Kami sangat senang sudah selesai pesta kawin, biaya yang habis itu bukan
masalah. Uang gampang dicari….. yang penting kita sama seperti yang lain
sebagai orang Batak penuh” (wawancara, 2 Januari 2015). Ungkapan Lamhot ini
merupakan kepuasan hatinya setelah selesai melangsungkan upacara perkawinan
secara adat. Dia tidak mempermasalahkan berapa pun biaya yang dihabiskan demi
identitas dirinya sebagai orang Batak. Seperti yang diutarakan Baudrillard (dalam
Piliang, 2012: 138) konsumsi dapat digunakan sebagai proses menggunakan atau
mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek oleh para
konsumer, dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Objek juga dapat
menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu bagi para
pemakainya.
Sama halnya dengan Lamhot, melangsungkan upacara perkawinan dengan
istilah bahasa daerah pasahat sulang-sulang pahompu dilakukan dengan sangat
mewah dan meriah. Hal ini untuk menunjukkan statusnya. Dia mengonsumsi
objek-objek bukan sekedar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya, tetapi
166
juga untuk mengomunikasikan makna-makna tertentu. Sebagaimana yang
disebutkan John Sturrock (dalam Piliang, 2012: 142), manusia menggunakan
objek untuk mengomunikasikan/merepresentasikan/menandai/mengirim pesan.
Dengan demikian manusia mengontrol objek sebagai alat dalam proses pertandaan
dan komunikasi sosial.
Lamhot menyadari betul upacara perkawinan yang dilakukan sudah
melebihi dari yang biasa dilakukan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar.
Namun dia tetap melakukannya untuk menunjukkan gaya hidup, prestise,
kemewahan dan status sosialnya seperti yang terlihat dalam gambar 7.1. Objek
yang dikonsumsi bukan sekedar menandakan kegunaan, tetapi lebih dari kegunaan
ada tanda prestise dan kemewahan.
Gambar 7.1
Tata rias pengantin
(Dok. Mangihut Siregar, 2014)
167
Salah satu objek yang digunakan lamhot sebagai bukti prestise dan
kemewahan yaitu rias pengantin. Secara umum, komunitas Batak Toba yang
melangsungkan upacara adat perkawinan bagi yang sudah mempunyai anak
(gabe) biasanya tata rias pengantin dilakukan secara sederhana.Berbeda dengan
biasanya, Lamhot mendandani isterinya lebih dari yang baru menikah. Tata rias
yang dilakukan isterinya dengan mendandani kepalanya penuh dengan bunga dan
bukan asal bunga, tetapi dengan bunga melati.
Seperti yang diutarakan Piliang (2012: 248), sifat tanda dinamis, bergerak,
tidak mapan dan tidak konvensional. Tidak semua tanda mengikuti konvensi
baku, tidak semua makna terstruktur, dan tidak semua pikiran patuh pada struktur.
Tanda selain terputus dari aturan dan struktur, juga terputus dari realitas itu
sendiri, dan bergerak di dalam ruang-ruang hiper-realitas. Tata rias pengantin
bukan hanya sebagai keindahan, lebih dari tanda tersebut ada tanda yang lain yaitu
gengsi.
Demikian juga tentang tanda tidak memiliki makna tetap; justru makna
dibangun di dalam hubungan dua sisi antara penutur dan penyimak, penyampai
dan penerima. Makna tidak dapat dijamin; selalu ambivalen dan ambigu. Makna
bukan produk bahasa pasti yang telah berhenti (Bakhtin, dalam Barker, 2004: 75).
Walaupun makna tidak dapat dijamin namun makna menunjukkan sesuatu ada
artinya bagi orang yang menggunakannya. Makna sebagai pemandu untuk
tindakan sebagai penjelasan dan pembenaran akan tindakan tersebut (Barker,
2014: 168).
168
Tindakan yang dilakukan Lamhot dalam pelaksanaan upacara perkawinan
dengan kemewahan dan kemeriahan mempunyai makna tersendiri. Dia menyadari
yang dilakukannya sudah melebihi (hiper) dari yang seharusnya. Melebihi
mempunyai arti yang sama dengan konsumerisme. Konsumerisme dilakukan
Lamhot seperti yang dituturkannya di atas untuk mengikuti gaya komunitas Batak
Toba di Kota Denpasar.
Gaya hidup komunitas Batak Toba di Kota Denpasar dalam melaksanakan
upacara perkawinan melebihi dari kepatutan. Mereka menyadari hal itu, namun
tetap melakukannya demi gengsi. Konsumerisme menjadi budaya bagi komunitas
Batak Toba yang dipraktekkan dalam upacara perkawinan. Praktek budaya
konsumerisme dimaknai sebagai gengsi.
7.2 Menguatnya Materialisme
Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu
dalam kehidupan ini diukur dengan materi atau kebendaan semata. Mereka hanya
mementingkan kebendaan, misalnya uang, harta, dsb. Sifat yang materialis ini
lebih umum dijumpai pada masyarakat di kota karena wajah kota pada masa
sekarang cenderung mengglobal. Artinya, ada kecenderungan homogenisasi wajah
kota-kota dunia di mana semakin tampak keseragaman, kesamaan, keidentikan
yang menggiring homogenisasi budaya serta penjajahan budaya misalnya,
McDonaldisasi, cocacolanisasi, dll. (Piliang, 2011: 232).
Menurut Piliang, salah satu ciri dari manusia kota adalah materialis di
mana dalam membangun kota didasarkan atas prinsip ekonomi, manusia dikuasai
169
oleh materi. Objek menguasai subjek, dan eksistensi manusia ditentukan oleh
objek. Manusia mencari eksistensinya lewat kepemilikan objek-objek (status,
prestise, kelas) dengan pola dan tempo pengaturan tertentu, dan hal ini merupakan
hakekat dari budaya konsumerisme.
Budaya konsumerisme seperti yang diutarakan Piliang (2004: 296) yaitu
budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan perbedaan secara terus-
menerus lewat penggunaan citra, tanda, dan makna simbolik dalam proses
konsumsi. Budaya konsumerisme membuat manusia mementingkan keinginan
(want) dari pada kebutuhan (need). Materi atau barang-barang diproduksi sebagai
cara untuk mengeksplorasi dorongan-dorongan hasrat pada diri manusia yang
tanpa batas.
Menurut Piliang, salah satu dasar dari produktivitas hasrat di dalam sistem
kapitalisme global adalah kondisi yang diciptakannya sehingga hasrat seolah-olah
menjadi kebutuhan. Ada upaya yang secara terus-menerus menjadikan hasrat
menjadi kebutuhan dengan cara menciptakan kebutuhan yang bukan esensial
menjadi esensial. Kaum kapitalis menciptakan perasaan kurang atau tidak
sempurna kepada setiap orang, manusia dikonstruksi untuk mengonsumsi objek
yang diproduksi kapitalis, sehingga produksi kapitalis dapat berlanjut dengan
baik.
Kapitalis menjalankan misinya dengan cara memproduksi mesin hasrat, di
mana mereka menciptakan berbagai macam keinginan dan ketidakpuasan yang
abadi. Ketidakpuasan merupakan fundasi dari konsumerisme dan manusia
mencari makna kehidupannya melalui barang-barang konsumer. Melalui objek
170
atau materi yang dikonsumsi manusia memperlihatkan eksistensinya terhadap
manusia lain.
Komunitas Batak Toba yang tinggal di Kota Denpasar, sangat konsisten
untuk tetap melangsungkan upacara perkawinan secara adat. Hal ini tetap mereka
lakukan sebagai proses untuk memasuki dalihan na tolu seperti yang sudah
dijelaskan pada bab sebelumnya. Praktik pelaksanaan upacara perkawinan yang
dipenuhi dengan konsumerisme berimplikasi terhadap sifat yang materialisme.
Kesuksesan suatu upacara diukur dengan kemewahan dan kemeriahan sedangkan
esensi upacara kurang diperhatikan.
Seperti penuturan Tambunan selaku ketua IKBB (Ikatan Keluarga Batak di
Bali), praktik upacara perkawinankomunitas Batak di Bali sudah jauh dari makna
yang sesungguhnya. Mereka melaksanakannya atas kesenangan semata, tidak
mengerti akan apa yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat seperti penuturannya di
bawah ini:
“Ai so niantusan be adat di Denpasar on, sude nunga sibahen baenna,
asal dipambahen na ma adat i, na penting mangadati, manortori, marende
i, na so adong hubunganna tu adat i.Lomona be do mambahen
pestana…dang boi oraan i, soadong dope kesepakatan ni hita Batak
taringot tu adatta asa sarupa nian.” (Pelaksanaan upacara adat di
Denpasar sudah kacau, masing-masing melakukannya sesuka hatinya.
Adat dilangsungkan secara asal-asalan, ada yang berdansa, bernyanyi yang
tidak ada hubungannya dengan upacara adat, yang penting upacara adat
dilakukan. Masing-masing membuat pestanya sesuka hati…hal itu tidak
bisa dilarang, karena tidak ada kesepakatan bentuk adat yang sama di
daerah ini. (wawancara, 20 Desember 2014).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa esensi upacara perkawinan Batak Toba di
Kota Denpasar sudah bergeser dari aslinya. Pergeseran ini terjadi karena budaya
konsumerisme yang sudah menyatu dengan praktik upacara perkawinan
171
BatakToba. Seperti yang dikatakan Abdullah (2010: 36), pada masyarakat
perkotaan setiap orang dalam kelompok berusaha untuk mencari nilai tambah
(value Added) dengan cara mengonsumsi barang-barang yang berbeda dengan
orang lain. Perilaku mengonsumsi barang-barang yang berbeda dengan orang lain
berdampak kepada budaya konsumerisme. Budaya konsumerisme merupakan
budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus
menerus lewat penggunaan citra, tanda, dan makna simbolik.
Budaya konsumerisme yang terjadi dalam praktek upacara perkawinan
Batak Toba dapat dilihat dari: jumlah orang yang diundang, semakin banyak
orang yang diundang maka semakin besar juga materi yang dihabiskan; tempat
upacara adat, semakin bergengsi tempat upacara semakin bergengsi juga orang
yang melakukan; kemewahan, semakin mewah upacara yang dilakukan semakin
tinggi citra yang didapat para pelaku.Praktik upacara perkawinan diukur dari
objek yang dihabiskan dan berapa uang yang digunakan. Pandangan-pandangan
yang demikian berimplikasi terhadap sifat materialisme. Sifat materialisme
berkaitan dengan persaingan yang timbul dalam praktik upacara perkawinan
Batak Toba di Kota Denpasar.
Persaingan merupakan hal yang wajar dan sangat positif di dalam
kehidupan global. Melalui persaingan dalam hal bisnis kaum kapitalis
menciptakan objek baru. Kebaharuan menjadi hal yang selalu dikejar kaum
kapitalis untuk menguasai keinginan konsumen. Konsumen menjadi subjek yang
tinggal diam menerima keinginan-keinginan yang disuguhkan kapitalis.
172
Kebaharuan dikonstruksi kaum kapitalis untuk mensukseskan ideologinya, dan di
dalamnya persaingan sangat mendukung terciptanya kebaharuan.
Kebaharuan ditawarkan kepada masyarakat setiap saat melalui iklan. Iklan
sangat efektif dalam mempengaruhi persepsi orang-orang tentang sebuah produk.
Kaum kapitalis mempertontonkan seakan-akan dirinya malaikat yang baik hati
dan sangat dermawan. Mereka ada untuk memenuhi apa yang dibutuhkan
konsumen, konsumen diteror dengan ketakutan: takut ketinggalan zaman, takut
kelihatan tua, dan lain-lain yang tidak menyenangkan. Iklan menjadi kekerasan
simbolik seperti yang diistilahkan Bourdieu, yaitu kekerasan yang halus dan tak
tampak di mana di dalamnya penuh dengan kebohongan, kekeliruan dan
menyesatkan.
Persaingan sangat menguntungkan kaum kapitalis sedangkan bagi
konsumen persaingan menjadikan hidupnya yang semakin konsumeris. Konsumen
berlomba meraih kebaharuan dan nilai yang lebih dari pesaingnya. Nilai lebih dan
kebaharuan dari saingannya merupakan tolok ukur dalam budaya konsumerisme.
Hampir sama dengan nilai lebih dan kebaharuan seperti yang diutarakan di
atas, persaingan pada komunitas Batak Toba dapat dijumpai dalam praktek adat
istiadatnya. Seperti yang diutarakan Pasaribu (2011: 252) dalam hal pembangunan
tugu, alasan komunitas Batak umumnya untuk membangun tugu adalah alat
pemersatu kelompok, marga atau cabang marga. Jika benar hal ini menjadi tujuan
adalah sangat positif, namun yang menjadi pertanyaan, apakah membangun tugu
harus dengan megah? Apakah tidak ada cara yang lain untuk mempersatukan
173
kelompok? Menurut Pasaribu di dalam kegiatan pembangunan tugu bukan hanya
bertujuan untuk mempersatukan, namun juga muncul unsur persaingan.
Persaingan dalam komunitas Batak disebut dengan toal. Toal dimaknai
sangat negatif karena dilakukan bukan berdasarkan kemampuan dan keikhlasan
melainkan keterpaksaan dan kecongkakan. Seperti yang diutarakan Pasaribu
dalam pembangunan tugu unsur toal juga muncul. Para anggota yang masuk
dalam kelompok tugu tersebut lebih banyak yang harus berhutang demi
persaingan. Persaingan harus dimenangkan salah satunya dengan cara
kecongkakan.
Praktik upacara perkawinan di Kota Denpasar juga dipenuhi dengan
persaingan. Persaingan ini dapat terjadi antara sesama saudara dekat, saudara
semarga, dan juga antara marga yang berbeda. Persaingan terjadi akibat
pertaruhan harga diri. Seperti penuturan orang tua Susan:
“Molo marulaon iba, ingkon sadenggan-dengan na do baenon. Molo dang
boi dumenggan sian dongan, minimal songon na binahen ni dongan. Molo
binahen di toru ni dongan, lea roha ni halak tu iba. Molo tung pe pogos
iba, ba...unang ma dijongkal halak, molo dang boi dipuji…ba unang ma
dihata halak.” (Kalau melakukan upacara adat, harus dilakukan sebaik-
baiknya. Apabila tidak bisa lebih baik, minimal sama dengan yang sudah
dilakukan teman. Jika dilakukan lebih sederhana dari yang sudah umum,
orang memandang kita lebih rendah. Kalaupun saya miskin, ya.. jangan
sampai dijengkal orang, kalau tidak bisa dipuji…ya, jangan sampai
dicemehkan).(wawancara, 16 Desember 2014).
Penuturan ini menggambarkan bahwa orang tua Susan melakukan upacara
perkawinan puterinya untuk menjaga harga diri. Seperti yang dikatakan Bourdieu
(dalam Lubis, 2014: 108), persaingan dalam ranah bertujuan untuk memastikan
perbedaan dan juga status aktor sosial yang digunakan sebagai sumber kekuasaan
simbolis. Melalui upacara perkawinan, orang tua Susan membuat tanda, simbol,
174
ide, dan nilai, yang digunakan sebagai interaksi antara individu dan masyarakat.
Harga diri harus dipertaruhkan, jangan sempat dipandang rendah hanya karena
pelaksanaan adat. Hal ini sangat berkaitan dengan pandangan bahwa semua orang
Batak adalah raja dan anak raja.
Gelar raja yang disandang semua orang Batak: raja ni hula-hula, yaitu
semua kelompok yang masuk kepada pemberi perempuan; raja ni dongan tubu,
yaitu kelompok yang masuk dalam satu marga; raja ni boru, yaitu kelompok
penerima isteri, raja ni dongan sahuta, yaitu kelompok masyarakat sekitar atau
tetangga; dan raja ni parhobas, yaitu kelompok yang mengerjakan hal-hal yang
diperlukan dalam upacara adat. Jabatan raja yang melekat pada semua orang
Batak berimplikasi kepada persaingan di antara masing-masing raja. Persaingan
itu bukan untuk mencari yang lebih baik, tetapi yang timbul adalah kecongkakan.
Posisi hula-hula, boru dan dongan tubu mempunyai posisi yang berbeda,
di mana hula-hula lebih tinggi dan boru lebih rendah seperti yang sudah
dijelaskan dalam Bab V. Posisi itu akan bertukar artinya tidak ada satu keluarga
yang selalu menempati posisi hula-hula, boru, dan dongan tubu secara terus
menerus dalam setiap upacara adat. Pertukaran posisi itu tergantung dari situasi
dan kondisi upacara yang dilaksanakan.
Sebutan raja dan anak raja yang dimiliki semua komunitas Batak Toba
berimplikasi kepada persaingan yang sangat ketat di antara masing-masing
kelompok. Persaingan dalam kehidupan sehari-hari tetap terjadi demi
menginternalisasikan gelar raja yang disandangnya. Persaingan dimaknai bukan
sekedar untuk dimenangkan tetapi juga harus dipertontonkan. Untuk
175
mempertontonkan persaingan tersebut komunitas Batak Toba melakukannya di
luar kemampuannya dengan toal atau kecongkakan hati. Sehingga komunitas
Batak Toba memaknai persaingan sebagai kecongkakan.
7.3 Menguatnya Globalisme
Kehidupan konsumeris selalu mencari objek konsumsi yang baru dan yang
berbeda. Budaya konsumerisme menjadi arena untuk pembentukan citra, status
sosial, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial yang berbeda-beda. Barang-
barang konsumer menjadi cermin tempat para konsumer untuk menemukan
makna kehidupan (Piliang, 2011: 152). Makna kehidupan manusia bukan diukur
melalui relasi dengan sesama manusia melainkan dari kepemilikan dan
penggunaan benda-benda dan gaya hidup. Benda yang dikonsumsi bukan dilihat
berdasarkan hanya nilai guna melainkan nilai tanda yang ada di dalam objek
tersebut.
Untuk menemukan objek yang baru dan berbeda, konsumer mencari
melalui media. Media sudah siap menunggu para pasien konsumer dengan
berbagai macam resep yang tertera di dalam media. Media melalui iklannya sudah
dipenuhi ideologi kapitalis yang mencari keuntungan dengan berbagai cara dan
berimplikasi kepada konsumer yang larut dalam hegemoni kapitalis. Kaum
kapitalis berhasil melakukan misinya yang didukung oleh informasi.
Dalam masyarakat informasi, barang-barang mewah melimpah di mana
nilai guna dan nilai tukar digantikan oleh nilai tanda dan nilai simbolik. Seperti
yang diutarakan Baudrillard (dalam Lubis, 2014: 179), objek bukan saja untuk
176
dikonsumsi, akan tetapi diproduksi lebih banyak untuk menandakan status, bukan
sebagai kebutuhan. Dengan demikian objek menjadi tanda dan nilai kebutuhan
menjadi ditinggalkan. Nilai tanda dan nilai simbolik banyak dimiliki oleh
masyarakat Barat dan Amerika, dan masyarakat yang berada di luarnya
mengadaptasikan diri untuk memiliki objek dari kedua benua tersebut.
Sikap mengadaptasikan diri terhadap objek konsumsi orang luar (Barat
dan Amerika) menjadikan paham globalisme terhadap masyarakat di luar kedua
benua tersebut. Globalisme dilakukan untuk memenuhi hasrat akan budaya
konsumerisme. Konsumen tidak puas akan produk yang diproduksi kelompoknya
sehingga dirinya selalu mencari yang berbeda dan yang terbaru dari kelompok
orang lain.
Sikap untuk mencari yang berbeda dan terbaru didukung oleh faktor
globalisasi. Globalisasi seperti yang disebut Robertson (dalam Boli, 2012: 551)
yaitu mengacu pada penempatan dunia dan intensifikasi kesadaran akan dunia ini
sebagai satu kesatuan utuh. Dunia sudah menjadi satu kerangka acuan bagi aktor-
aktor sosial. Aktor lokal mengadaptasi yang universal untuk memenuhi keperluan
hidupnya. Globalisasi menciptakan setiap tempat sama dengan tempat lainnya
hasilnya terbentuk homogenisasi budaya.
Homogenisasi budaya merupakan implikasi dari budaya konsumerisme.
Para konsumer mengadaptasi dirinya dengan budaya luar untuk mendapatkan nilai
tanda dan nilai simbolik. Nilai tanda dan nilai simbolik banyak dimiliki
masyarakat Eropah dan Amerika sehingga masyarakat lain mengadaptasi budaya
tersebut. Sama halnya dengan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar juga
177
mengadaptasi budaya Barat menjadi miliknya. Pengadaptasian budaya Barat ini
dapat dilihat dari: tempat upacara perkawinan secara agama dilangsungkan di
kapel; upacara perkawinan secara adat dilangsungkan di hotel; sistem penyajian
makanan dengan prasmanan; pelaksanaan upacara bukan secara gotong royong
melainkan dengan sistem upah, dll.
Seperti penuturan Sabar sewaktu mengadakan upacara perkawinan
anaknya Susan dengan memesan segala keperluan upacara perkawinan adat.
Alasan orang tuanya adalah: “Nuaeng on nunga mura, tinggal martelepon sude
rade. Sadihari ni telepon pintor diantar do”.(Pada masa sekarang sudah
gampang, tinggal telepon semua ada. Kapan kita hubungi langsung
diantar).(wawancara, 16 Desember 2014). Pernyataan ini menggambarkan bahwa
orang tua Susan tidak ingin repot, tetapi menginginkan yang praktis. Seperti yang
diutarakan Piliang (2011: 232), salah satu ciri manusia kota global adalah manusia
kecepatan (homo dromos).Dunia kehidupan manusia dikuasai oleh waktu dan
kecepatan. Hal yang praktis atau ingin cepatbukan budaya komunitas Batak.
Mereka melakukan prosesi adat-istiadat secara tahap demi tahap dan dikerjakan
secara gotong royong. Masa sekarang, sifat gotong royong dalam pelaksanaan
upacara adat sudah semakin hilang digantikan oleh manusia individualis (homo
individualis) akibat globalisasi dan perkembangan kehidupan masyarakat di kota.
Salah satu ciri masyarakat kota adalah sibuk, semua orang melakukan
kegiatannya sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Berbeda dengan
masyarakat yang hidup di pedesaan, orang desa yang mengatur jadwal apa yang
akan dikerjakan sedangkan masyarakat kota, jadwal yang mengatur apa yang akan
178
mereka kerjakan. Akibat jadwal yang sudah terprogram bagi masyarakat kota
sehingga apapun yang akan dilakukan di luar program merupakan hal yang susah
untuk dilaksanakan.
Selain faktor kesibukan, masyarakat kota mempunyai ciri pekerjaan yang
sudah terspesialisasi. Mereka sudah terbiasa untuk mengerjakan dalam satu
bidang pekerjaan tertentu sehingga untuk melaksanakan pekerjaan yang lain akan
mengalami kesulitan. Untuk mengatasi kendala kesibukan dan juga kemampuan
mengerjakan berbagai macam pekerjaan, komunitas Batak Toba mengadaptasi
dirinya dengan budaya luar.Proses pengadaptasian diri ini berimplikasi terhadap
globalisme.
Kebutuhan yang terus berkembang dan tak pernah terpuaskan di dalam
praktek upacara perkawinan Batak Toba,implikasinya mereka mencari objek
konsumsi dari segala penjuru. Budaya yang ingin cepat atau praktis mereka
adaptasi dari budaya Eropah dan Amerika. Proses mencari ini berimplikasi kepada
globalisme yaitu paham yang mencari kebutuhan dari segala sudut dunia.
Globalisme timbul akibat hasrat manusia yang terus berkembang dan tidak
pernah terpuaskan. Melalui objek konsumsi, manusia menemukan citra dirinya.
Citra berkaitan erat dengan konsumerisme. Pada masyarakat konsumer, suatu
objek tidak terikat lagi kepada logika utilitas, fungsi dan kebutuhan tetapi sudah
didominasi apa yang disebut dengan logika tanda dan logika citra. Menurut
Baudrillard (dalam Piliang, 2012: 328) pada masa sekarang, orang bukan lagi
membeli barang berdasarkan nilai utilitas, tetapi yang dibelinya adalah tanda, citra
atau tema yang ditawarkan di balik sebuah produk.
179
Konsumsi menjadi sistem tanda yang membuat perbedaan kultural secara
terus-menerus, melalui produk-produk yang dikonsumsi berdasarkan nilai tanda.
Tanda dikonstruksi melalui iklan sehingga orang membeli produk bukan hanya
pemenuhan kebutuhan tetapi juga membeli makna-makna simbolik. Konsumer
dikondisikan untuk lebih terpesona dengan makna-makna simbolik dari pada
fungsi utilitas sebuah produk (Piliang, 2012: 328).
Citra menjadikan sebuah benda yang tidak berguna menjadi sangat
berguna, yang tidak diperlukan menjadi perlu, yang tidak dibutuhkan menjadi
dibutuhkan. Menurut Heidegger (dalam Piliang, 2011: 198) pada masa sekarang
manusia dikelilingi oleh citraan-citraan. Akibat perkembangan citraan eksistensi
manusia berubah menjadi sebagai ontologi citraan. Manusia diserang oleh
berbagai macam citraan dari segala penjuru, sehingga citraan menjadi cermin
untuk berkaca mencari eksistensi diri.
Dalam praktiknya, upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar
tidak lepas dari citra. Citra itu dipertontonkan kepada orang lain untuk
menunjukkan kelas, status, dan gaya hidupnya melalui upacara perkawinan.
Seperti penjelasan yang diutarakan Susan yang melaksanakan upacara perkawinan
pada hari Jumat, 21 Nopember 2014. Pekerjaan susan adalah sebagai pedagang
baju dan dia mempunyai tiga toko sebagai tempat jualannya. Suami Susan adalah
orang yang bekerja di tokonya dengan kata lain adalah mantan karyawannya.
Orang tua Susan tinggal di rumahnya setelah pensiun sebagai guru. Biaya hidup
kedua orangtuanya ditanggung oleh Susan. Suami Susan sudah yatim piatu dari
sejak SD, dengan demikian tulang punggung dalam rumah tangga adalah Susan.
180
Upacara perkawinannya dilaksanakan di gedung Graha Girsang Pekayon –
Bekasi. Rencana awal, upacara ini dilaksanakan di Kota Denpasar, tetapi para
keluarga orang tua Susan menginginkan diadakan di Bekasi agar mereka lebih
banyak boleh hadir. Keinginan hadir secara beramai-ramai timbul akibat
informasi dari orang tua Susan yang menyebutkan puterinya Susan adalah
pengusaha sukses di Kota Denpasar. Citra sukses ini sudah memasyarakat di
kalangan keluarga besar Susan. Mereka mau menonton kesuksesan itu dan orang
tua Susan mau mempertontonkan kesuksesan puterinya. Akibat keinginan
keluarga Susan terlebih orang tuanya sehingga permintaan itu dilakukan. Setelah
upacara perkawinan di Bekasi, mereka juga melaksanakan resepsi perkawinan di
Denpasar pada hari Sabtu, 6 Desember 2014.
Menurut penuturan orang tua Susan, alasan melangsungkan upacara
perkawinan dengan kemewahan:
“Maila iba doba tu angka keluarga na di Jakarta molo dang denggan
pesta niba. Hape iba nunga ditanda halak, boru on pe nunga jotjot
mangurupi angka tondong, anggo hepeng i do siluluan do i. Dang diboto
halak sian dia biaya nion…tauna kan…boru on diboto nasida
pengusaha.” (Malu kepada keluarga yang di Jakarta kalau pesta adat tidak
bagus atau mewah. Padahal puteri saya ini sudah sering memberi bantuan
kepada keluarga, kalau uang bisa dicari. Orang tidak tau dari mana sumber
biaya… taunya orang … anak ini seorang pengusaha).(wawancara, 16
Desember 2014).
Kata “malu” dari penuturan orang tua Susan menunjukkan citra keluarganya. Dia
tidak memikirkan dari mana uang itu dikumpulkan puterinya yang penting citra
keluarganya terjaga. Seperti yang dikatakan Heidegger (dalam Piliang, 2011:
198), pada masa sekarang manusia dikelilingi oleh citraan-citraan. Manusia
diserang oleh berbagai macam citraan dari segala penjuru, sehingga citraan
181
menjadi cermin untuk berkaca mencari eksistensi diri. Susan menginginkan
upacara itu dilaksanakan secara sederhana dan tempatnya di Kota Denpasar,
namun demi citra orang tuanya dan keluarganya, Susan dengan terpaksa
menyetujui upacara perkawinan dilangsungkan di Bekasi dengan kemewahan.
Dari penuturan Susan bersama dengan suaminya, mereka menghabiskan
biaya sekitar Rp.500.000.000,-. Biaya ini sudah termasuk ongkos keluarga
dekatnya dari Tapanuli, gedung, konsumsi, dan juga hal-hal yang berkaitan
dengan upacara perkawinan. Untuk menanggulangi uang sebesar Rp.
500.000.000,- tersebutSusan harus menjual satu buah tokonya seharga Rp.
300.000.000,- dan sisanya dari uang simpanannya dan sumbangan dari keluarga
yang terkumpul Rp. 15.000.000,-
Menurut penuturan Susan bersama dengan suaminya, alasan mereka
menyetujui keinginan orang tua:
“Bapak ini kan gengsinya tinggi, sedikit-sedikit…omongnya kita malu.
Saya sudah bolak-balik memohon agar dilakukan di Denpasar aja… dan
acaranya sederhana saja, tapi bapak ngak mau. Ya sudahlah…dari pada
bapak marah dan sakit, dimauin aja. Hanya sekalinya kita pesta
kawin….masak gara-gara ini orang tua malu.” (wawancara, 21 Desember
2014).
Penuturan ini menunjukkan bahwa Susan mau membiayai upacara perkawinannya
demi menyenangkan orang tua. Dari segi adat Batak Toba, seharusnya yang
menanggung biaya perkawinan adalah orang tua laki-laki tetapi karena suaminya
sudah yatim piatu sehingga Susan harus bersedia membiayai upacara
perkawinannya.
Dari segi kemampuan ekonomi, upacara perkawinan Susan sudah di luar
kewajaran. Susan harus menjual satu tokonya untuk membiayai upacara
182
perkawinannya.Demi citra keluarga hal yang tidak wajar menjadi wajar. Seperti
yang diutarakan Heidegger (dalam Piliang, 2011: 198) bahwa citra mengelilingi
kehidupan manusia, sehingga eksistensi manusia berubah sebagai ontologi citraan.
Citra menjadi cermin untuk berkaca mencari eksistensi diri.
Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dipenuhi
dengan citra seperti yang dilakukan oleh orang tua Susan. Objek yang dikonsumsi
bukan hanya didasarkan atas kebutuhan melainkan didominasi oleh tanda yaitu
tanda citra. Komunitas Batak Toba terpengaruh dengan makna simbolik daripada
fungsi utilitas sebuah produk. Makna citra menjadi tujuan hidup yang
dipraktikkan melalui upacara perkawinan.
Tujuan hidup komunitas Batak ada tiga: (1). Hagabeon, yaitu mempunyai
keturunan yang banyak; (2). Hamoraon, yaitu kekayaan dari sudut ekonomi; dan
(3). Hasangapon, yaitu kehormatan yang diperoleh dari masyarakat sekitar. Citra
masuk ke bagian hasangapon. Dengan demikian bagi komunitas Batak citra
sangat perlu karena citra dimaknai sebagai kehormatan yang menjadi salah satu
tujuan hidup dari orang Batak Toba.
183
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang sudah diuraikan pada masing-
masing bab dalam tesis ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan upacara
perkawinan secara adat tetap dipertahankan. Upacara ini tetap bertahan karena
satu-satunya cara untuk masuk ke dalam dalihan na tolu harus melalui upacara
perkawinan. Setelah seseorang masuk ke dalam dalihan na tolu, dia berhak
mengadakan siklus hidup seperti menyambut anak yang baru lahir, perkawinan,
memasuki rumah, kematian dan lain-lain.
Dalihan na tolu merupakan pertalian keluarga yang mengatur hubungan
kekerabatan antara satu sama lain. Dalam dalihan na tolu seseorang akan
memiliki kedudukan sebagai: (1).Hula-hula yaitu pemberi isteri; (2). Boru yaitu
pihak pengambil isteri; (3). Dongan sabutuha atau dongan tubu yaitu orang yang
satu marga. Setiap orang Batak akan pernah menduduki ketiga posisi (hula-hula,
boru, dan dongan tubu) tergantung situasi upacara yang dilangsungkan.
Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar pada saat
sekarang merupakan fenomena konsumerisme. Bentuk konsumerisme ini tampak
sangat kompleks karena harus mengikuti prosesi yang panjang. Tahapan-tahapan
itu dimulai darimarhusip, marhata sinamot, martumpol, martonggo raja/marria
raja, pemberkatan secara agama, pesta unjuk, paulak une, dan tingkir
184
tangga.Prosesi ini menghabiskan waktu berbulan-bulan sehingga memerlukan
biaya yang cukup banyak.
Selain prosesi yang panjang, bentuk konsumerisme yang lain yaitu, tempat
upacara perkawinan dilakukan di gedung mewah, mengundang banyak orang,
mengonsumsi objek pendukung yang tidak perlu, dan memberikan mahar yang
besar. Konsumerisme yang dilakukan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar
dalam upacara perkawinan bukan hanya terjadi dalam hal materi tetapi juga
berlaku dalam pola pikir dan tingkah laku.
Konsumerisme dalam pola pikir yang mereka lakukan yaitu meninggalkan
kebersamaan dan kesamaan diganti dengan pola pikir diferensi atau perbedaan.
Pola pikir diferensi merupakan pola pikir dari budaya luar yang mereka konsumsi
dan mengakibatkan terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak
Toba di Kota Denpasar. Demikian juga dalam tingkah laku, mereka meninggalkan
kehati-hatian dan menggantinya dengan tingkah laku ingin cepat, tidak mau repot,
meninggalkan rasa kegotongroyongan berdampak kepada konsumerisme. Tingkah
laku ingin cepat merupakan produk luar yang mereka konsumsi secara terus
menerus berdampak terhadap konsumerisme.
Konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar
dilatarbelakangi oleh pergeseran dari nilai guna dan nilai tukar menjadi nilai tanda
dan nilai simbolik. Mereka mengonsumsi sesuatu bukan didasarkan karena nilai
guna melainkan didominasi oleh pengaruh gengsi, prestise, gaya hidup, identitas
diri, dan status. Ciri ini merupakan ciri hidup masyarakat modern.
185
Terjadinya konsumerisme dipengaruhi beberapa faktor di antaranya,
globalisasi, yaitu terjadinya penyeragaman kebudayaan-kebudayaan menjadi
kebudayaan tunggal. Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem ekonomi
kapitalis, informasi global terhadap negara-negara tertinggal.Budaya global yang
diproduksi oleh negara Eropa dan Amerika dikonsumsi oleh komunitas Batak
Toba dalam praktik upacara perkawinan sehingga kelihatannya budaya import
tersebut menjadi budayanya sendiri; gaya hidup, melalui praktik upacara
perkawinan Batak Toba di Kota Denpasarmereka mengonsumsi objek bukan
hanya berdasarkan nilai guna tetapi didominasi oleh nilai tanda; budaya populer,
mereka mementingkan penampilan dari pada kedalaman, merayakan kesenangan
dari pada kekhusukan, mengutamakan gaya dari pada esensi; media massa,
menjadi sumber rujukan komunitas Batak Toba untuk membuat pilihan-pilihan
konsumsi dalam upacara perkawinan demi menunjukkan identitasnya;
pemahaman yang kurang, ketidaktahuan akan makna upacara perkawinan
berdampak kepada perilaku yang meniru orang lain tanpa mengerti akan hal yang
ditiru; transmisi budaya yang kurang, kaum muda mempunyai sudut pandang
yang berbeda yaitu dari segi ekonomi tidak efisien dan efektif akan praktik
upacara perkawinan akhirnya mereka tidak tertarik untuk mempelajarinya.
Budaya konsumerisme yang dimiliki komunitas Batak Toba dalam praktik
upacara perkawinan di Kota Denpasar berimplikasi terhadap perilaku mereka
sehari-hari. Implikasi konsumerisme yang terjadi dalam upacara perkawinan
mengakibatkan semakin individualisme. Semakin banyak modal, semakin tinggi
selera konsumsi yang dilakukan. Pertarungan posisi melalui konsumsi terjadi
186
dalam setiap kelompok dan juga individu. Masing-masing mempertontonkan
kebaharuan dan perbedaan dalam objek konsumsi. Kebersamaan dan kesamaan
selalu dihindari untuk menunjukkan identitas di tengah masyarakat.
Demikian halnya komunitas Batak Toba, mereka mengonsumsi objek
secara berlebihan dalam praktik upacara perkawinannya. Mengonsumsi secara
berlebihan dan berlangsung secara terus menerus mengakibatkan konsumerisme
menjadi suatu budaya. Budaya konsumerisme mereka maknai sebagai gengsi.
Melalui sifat konsumerisme yang dipraktikkan dalam upacara perkawinan,
komunitas Batak Toba menemukan identitasnya.
Konsumerisme dalam praktik upacara perkawinan juga berimplikasi
semakin materialisme. Materialisme merupakan pandangan hidup yang mencari
dasar segala sesuatu dalam kehidupan diukur dengan materi atau kebendaan
semata. Objek menguasai subjek, dan eksistensi manusia ditentukan oleh objek.
Kesuksesan suatu upacara diukur dari kemewahan dan kemeriahan, sedangkan
esensi upacara kurang diperhatikan.
Sifat materialisme berkaitan dengan persaingan yang timbul dalam praktik
upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. Persaingan dalam komunitas
Batak disebut dengan toal. Toal dimaknai sangat negatif karena dilakukan bukan
berdasarkan kemampuan dan keikhlasan melainkan atas keterpaksaan dan
kecongkakan. Persaingan sangat ketat bagi komunitas BatakTobakarena mereka
seluruhnya adalah raja. Gelar raja dan anak raja yang disandang seluruh orang
Batak Toba mengakibatkan persaingan itu harus dimenangkan dan dipertontonkan
salah satunya dalam praktik upacara perkawinan. Untuk memenangkan dan
187
mempertontonkan persaingan tersebut mereka melakukan di luar kemampuannya
dengan toal atau kecongkakan hati. Dengan demikian makna persaingan bagi
komunitas Batak adalah toal atau kecongkakan.
Implikasi yang lain dari konsumerisme adalah semakin globalisme.
Globalisme merupakan pandangan hidup yang mengadaptasikan dirinya dengan
kebudayaan luar atau global. Manusia tidak puas akan objek yang diproduksi
kelompoknya sehingga dirinya selalu mencari yang berbeda dan baru dari
kelompok lain.Objek yang dikonsumsi bukan berdasarkan nilai guna melainkan
nilai tanda yang ada di dalam objek tersebut.Nilai tanda dan nilai simbolik banyak
dimiliki oleh masyarakat Barat dan Amerika, sehingga masyarakat Batak Toba
mengadaptasikan dirinya untuk memiliki objek dari kedua benua tersebut.
Globalisme dilakukan untuk memenuhi hasrat akan budaya konsumerisme.
Globalisme timbul akibat hasrat manusia yang terus berkembang dan tidak
pernah terpuaskan. Melalui objek konsumsi dalam upacara perkawinan,
komunitas Batak Toba menemukan citra dirinya. Citra menjadikan sebuah benda
yang tidak berguna menjadi sangat berguna, yang tidak diperlukan menjadi perlu,
yang tidak dibutuhkan menjadi dibutuhkan.
Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar tidak lepas dari
citra. Citra mereka pertontonkan untuk menunjukkan kelas, status, gaya hidupnya
melalui upacara perkawinan. Objek yang dikonsumsi bukan hanya didasarkan atas
kebutuhan melainkan didominasi oleh tanda yaitu tanda citra. Makna citra
menjadi tujuan hidup yang dipraktikkan melalui upacara perkawinan Batak
Toba.Citra merupakan bagian hasangapon(kehormatan). Oleh sebab itu bagi
188
komunitas Batak Toba, citra sangat perlu dijaga karena mereka memaknainya
sebagai salah satu dari tujuan hidupnya yaitu kehormatan.
8.2 Saran
Praktik upacara perkawinan Batak Toba di kota Denpasar semakin hari
semakin konsumeris. Untuk menghindari perilaku yang hanyut dalam konsumsi
berlebihan, penulis memberikan saran:
1). Kepada tokoh adat
Perlu adanya suatu kesepakatan dari masing-masing tokoh marga-marga
Batak yang ada di Kota Denpasar untuk membuat suatu model upacara
perkawinan Batak Toba. Model yang disepakati nantinya menjadi patokan untuk
dilakukan secara bersama oleh komunitas Batak Toba sehingga mereka
melakukan upacara bukan secara kesenangan semata tetapi dilaksanakan secara
sederhana tanpa mengurangi esensi yang sebenarnya. Untuk mencapai ini dapat
melalui seminar, diskusi, simposium yang tujuannya mengambil suatu
kesepakatan yang tidak hanyut dalam konsumerisme.
2). Kepada Pihak gereja
Pencerahan melalui khotbah dari mimbar sewaktu kebaktian di gereja
merupakan salah satu cara yang sangat efektif. Para pengkhotbah dalam
khotbahnya menyadarkan para jemaat bahwa upacara perkawinan Batak Toba
yang dilakukan di Kota Denpasar selama ini sudah di luar kepatutan. Jemaat perlu
disadarkan akan hal itu sehingga mereka sadar dan mau mengubah perilaku yang
sudah sering di praktikkan.
189
3). Kepada Pihak pemerintah daerah di sekitar Sumatera Utara
Praktik upacara perkawinan yang sudah konsumerisme dimulai dari daerah
asal yaitu Sumatera Utara. Perilaku yang konsumerisme semakin bertambah di
daerah perkotaan akibat fasilitas yang sangat mendukung. Oleh karena itu
pemerintah daerah Sumatera Utara perlu mengadakan suatu usaha baik melalui
seminar, penyuluhan, diskusi untuk menyadarkan masyarakatnya sehingga praktik
upacara tidak konsumeris. Tradisi yang sudah dilakukan di daerah asal akan
berimplikasi kepada masyarakat pendukungnya yang pergi merantau ke daerah
kota.
4). Kepada Pihak orang tua yang akan menikahkan anak
Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba sangat ditentukan oleh orang
tua. Upacara perkawinan menurut adat Batak Toba merupakan tanggung jawab
orang tua laki-laki. Orang tua menjadi penentu akan hal-hal yang berkaitan
dengan upacara perkawinan yang akan dilangsungkan oleh masing-masing
pasangan baru. Oleh karena itu, melalui tulisan ini diharapkan para orang tua
komunitas Batak Toba yang akan melangsungkan upacara perkawinan anak di
masa mendatang agar jangan hanyut dalam budaya konsumerisme yang
dipraktikkan dalam upacara perkawinan. Upacara perkawinan hendaknya
dilakukan sesuai dengan fungsi dan makna dari upacara tersebut, sehingga unsur
budaya Batak Toba ini dapat lestari sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
190
DAFTAR PUSTAKA:
Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
Alfitri. 2007. Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan. Empirika, volume
XI, No. 01.
Bangun, Payung. 1982. “Kebudayaan Batak” (dalam Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia, Koentjaraningrat, editor, Jakarta: Djambatan, hlm. 94-116).
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik. (Nurhadi Pentj).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Barker, Chris. 2014.Kamus Kajian Budaya. (B. Hendar Putanto Pentj).
Yogyakarta: Kanisius.
Boli, John dan Frank J. Lechner. 2012. “Teori Globalisasi” (dalam Teori Sosial
Dari Klasik Sampai Postmodern, Bryan S. Turner, editor, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, halaman 548-581).
Bruner, Edward. 1986. “Kerabat dan Bukan Kerabat” (dalamPokok-pokok
Antropologi Budaya, T.O. Ihromi, editor, Jakarta: Gramedia, halaman
159-178).
Bungin, H.M. Burhan. 2012.Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Castles, Lance. 1940. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera:
Tapanuli 1915 – 1940. (Maurits Simatupang, Pentj). Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisa Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Densin, Norman K. danYvonna S. Lincoln. 2009. Hand Book of Qualitatif
Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:
Jalasutra.
Featherstone, Mike. 2008. Postmedernisme dan Budaya Konsumen. (Misbah
Zulfa Elizabeth, Pentj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. (Asma Bey Mahyudin, Pentj).
Yogyakarta: Jalasutra
191
Harker, Richard, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes. 2009. “Posisi Teoretis Dasar”
(Dalam (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik Pengantar Paling
Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Richard Harker, dkk.,
editors. (Pipit Maizier, Pentj.) Yogyakarta: Jalasutra, halaman 1-32).
Hidayat, Medhy Aginta. 2012. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang
Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta:
Rajawali Pers.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014a. Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial
Budaya Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen.(Hasti T. Champion, Pentj). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, Lexy J. 2014. Metolodogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Norris, Christopher. 2003.Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida.
(Inyiak Ridwan Muzir, Pentj). Yogyakarta: Ar-ruzz.
Pasaribu, Amudi. 2011. “Pembangunan Tugu Dipandang dari Segi Sosial-
Ekonomi” (dalam Pemikiran Tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama
Kristen di Sumatera Utara, Bungaran Antonius Simanjuntak, editor,
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, halaman 247-261).
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: PT Pustaka LP3ES.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Berlari Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital.
Jakarta: Grasindo.
Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-
batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.
Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari.
192
Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. (Muhammad Taufik, Pentj).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu
Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sagala, Mangapul. 2008. Injil dan Adat Batak. Jakarta. Yayasan Bina Dunia.
Santoso, Listiyono, Dkk. 2012. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme &
Posmodernisme. (Medhy Aginta Hidayat Pentj).Yogyakarta: Jalasutra.
Schreiner, Lothar. 2002. Adat dan Injil.(P.S. Naipospos Pentj).Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia.
Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan Na Tolu Prinsip dan Pelaksanaannya.
Jakarta: Grafina.
Siburian, Sahat P. 2012. “Representasi Identitas dalam Ritus Kristen Batak”
(dalam Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama, dan
Budaya, Bungaran Antonius Simanjuntak, editor. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, halaman 233-254)
Sidjabat, W.B. 1982. Ahu Si Singamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan.
Sihombing, T.M. 1997. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat. Jakarta: Tulus Jaya.
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2011. “Kemajuan Pendidikan dan Cita
Kemerdekaan di Tanah Batak (1861-1940)” (dalam Pemikiran Tentang
Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, Bungaran
Antonius Simanjuntak, editor, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
halaman 274-292).
Simanjuntak, I. 2011. “Pesta Adat di Kalangan Suku Batak Toba yang Beragama
Kristen” (dalam Pemikiran Tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama
Kristen di Sumatera Utara, Bungaran Antonius Simanjuntak, editor,
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, halaman 119-132).
Sinaga, Richard. 1997. Leluhur Marga-Marga Batak dalam Sejarah, Silsilah dan
Legenda. Jakarta: Dian Utama.
Sinaga, Richard. 2012. Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama
dan Kerabat.
193
Situmorang, Manginar Torang. 2006. “Simbolisme dalam Budaya Batak Toba:
Studi Kasus Upacara Perkawinan di kota Denpasar” (tesis). Denpasar:
Universitas Udayana.
Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Saya Berbelanja, Maka Saya Ada Ketika Konsumsi
dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris. Yogyakarta: Jalasutra.
Storey, John. 2006.Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies
dan Kajian Budaya Pop.(Laily Rahmawati Pentj).Yogyakarta: Jalasutra.
Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya
Populer. (Abdul Muchid Pentj). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Sukraaliawan, Nyoman. 2007. “Upacara Ngaben Massal Masyarakat Desa
Pakraman Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng: Sebuah
Kajian Budaya” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari
Plato hingga Bourdie. Yogyakarta: Jalasutra.
Tampubolon, Raja Patik. 2002. Pustaha Tumbaga Holing Adat Batak – Patik
Uhum Buku I dan II. Jakarta: Dian Utama dan Kerabat.
Wiendenhoft, Wendy. 2012. “Teori-Teori Konsumsi” (dalam Handbook Teori
Sosial, George Ritzer & Barry Smart, editors. (Imam Muttaqien, dkk.
Pentj). Jakarta: Penerbit Nusa Media, halaman 817-849).
Purkasih, Siska. 2008. Masalah Konsumerisme di Kalangan
Remaja.http://siskapurkasih.blogspot.com/2008/10/masalah-
konsumerisme-di-kalangan-remaja.html,diakses tanggal, 10 Agustus
2014
Riski, Fajar. 2012. Konsumerisme di Kalangan Remaja.http://fajar_riski_s-
fib11.web.unair.ac.id/artikel,diakses tanggal, 12 Agustus 2014,
http://catatansenibudaya.blogspot.com/2012/05/definisi-upacara-adat.html,
diakses tanggal, 7 Agustus 2014
http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/51/ name/bali/
detail/ 5171/kota-denpasar, diakses tanggal, 11 Agustus 2014
http://sibaranimelin.blogspot.com/2014/01/pergeseran-perspektif-dan-budaya-
pada.html, diakses tanggal, 18 Agustus 2014
194
http://wisata.balitoursclub.com/wp-content/uploads/2012/08/Peta-Wilayah-
Bali.jpg, diakses, 13 April 2015
Lampiran 1
DAFTAR INFORMAN
No. Nama L/P Usia Pendidikan Keterangan
(Tahun)
1. M. Tambunan L 62 SMA Tokoh adat
2. O. Hasibuan L 68 S1 Tokoh adat
3. M. Sinambela L 50 SMA Tokoh adat
4. Pdt. N. Hutasoit P 45 S1 Tokoh agama
5. Lamhot (samaran) L 50 S1 Pelaku
6. Isteri Lamhot P 49 S1 Pelaku
7. Tingkos (samaran) L 70 S1 Pelaku
8. Isteri Tingkos P 65 SMA Pelaku
9. Alex L 26 S1 Pemuda
10. Reni P 26 S1 Pemudi
11. Tulus (samaran) L 63 S1 Pelaku
12. Isteri Tulus P 60 S1 Pelaku
13. Tahan (samaran) L 61 S3 Pelaku
14. Isteri Tahan P 60 S3 Pelaku
15. Bonar (samaran) L 66 S1 Pelaku
16. Sabar (samaran) L 65 S1 Pelaku
17. Isteri Sabar P 65 SMA Pelaku
18. Susan (samaran) P 28 S2 Pelaku
19. Suami Susan L 26 SMA Pelaku
195
20. Lasma (samaran) P 30 S1 Pelaku
21. Risma (samaran) P 62 SMA Pelaku
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA
A. Gambaran umum lokasi penelitian
1. Sudah berapa lama bapak/ibu tinggal di Denpasar?
2. Berapa anak bapak/ibu yang sudah berkeluarga?
3. Di mana anak ibu/bapak mengadakan upacara perkawinan (dalam atau luar
kota Denpasar)?
4. Apa pekerjaan ibu/bapak sehari-hari?
5. Gedung mana yang bapak/ibu gunakan untuk melakukan upacara adat
perkawinan?
B. BENTUK KONSUMERISME UPACARA PERKAWINAN BATAK
TOBA
1. Berapa jumlah biaya yang habis untuk perkawinan anak ibu/bapak?
2. Bagian mana dari pengeluaran itu yang membutuhkan biaya yang paling
besar?
3. Di gedung mana sering digunakan untuk pesta adat perkawinan Batak
Toba?
4. Bagaimana tahapan-tahapan upacara perkawinan Batak Toba di Denpasar?
5. Berapa orang biasanya yang diundang untuk menghadiri upacara
perkawinan?
6. Bolehkah bapak/ibu jelaskan apa-apa saja perlengkapan yang digunakan
dalam upacara tersebut?
C. FAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT DENGAN KONSUMERISME
1. Apa saja yang dipersiapkan pihak pengantin perempuan dan laki-laki dalam
pelaksanaan upacara perkawinan?
2. Mengapa harus mengundang banyak orang dalam upacara perkawinan?
196
3. Mengapa pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba memerlukan biaya
yang banyak?
4. Bagaimana pandangan anak-anak bapak/ibu terhadap pelaksanaan upacara
perkawinan Batak Toba?
5. Menurut bapak/ibu apa penyebab terjadinya konsumerisme upacara
perkawinan Batak Toba?
6. Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang konsumerisme yang terjadi dalam
upacara perkawinan itu?
D. MASALAH IMPLIKASI KONSUMERISME UPACARA
PERKAWINAN BATAK TOBA DI DENPASAR.
1. Bagaimana pandangan bapak/ibu terhadap pelaksanaan upacara perkawinan
Batak Toba di Denpasar?
2. Menurut bapak/ibu, bagaimana makna upacara perkawinan Batak Toba
yang dilakukan di Denpasar?
3. Mohon penjelasan bapak/ibu, bagaimana pandangan kaum muda tentang
upacara perkawinan Batak Toba di Denpasar?
4. Bagaimana relasi pelaksanaan upacara perkawinan terhadap sistem sosial
masyarakat Batak Toba di Denpasar.
5. Bagaimana tanggaban bapak/ibu terhadap biaya yang banyak dan waktu
yang panjang dalam pelaksanaan upacara perkawinan Batak di Denpasar?
top related