peradilan militer
Post on 29-Dec-2015
129 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PENGANTAR ILMU HUKUM
PERADILAN MILITER
1. PENGERTIAN PERADILAN MILITER
Peradilan militer adalah lingkungan peradilan di bawah Makhamah Agung yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan
tindak pidana militer.
Peradilan militer merupakan peradilan khusus yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh golongan
penduduk yang tersusun secara organis dalam angkatan bersenjata yang secara khusus
dibentuk untuk melaksanakan tugas negara di bidang penyelenggaraan pertahanan keamanan
negara yang ditundukkan dan diberlakukan hukum militer, oleh karena itu dalam perbuatan
memeriksa dan mengadili tidak berpuncak dan tidak diawasi oleh MABES TNI.
Diadakannya peradilan militer yang tersendiri dan terpisah dari peradilan umum
merupakan satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, kertertiban, dan kepastian
hukum sebagaimana dikehendaki oleh negara Republik Indonesia sebagai negara hukum
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yaitu negara yang bertujuan
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, dan tertib.
2. SEJARAH PERADILAN MILITER
2.1 MASA PENJAJAHAN BELANDA DAN JEPANG
Sebelum perang dunia kedua, peradilan militer Belanda di Indonesia dikenal dengan
Krijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof. Hal ini sebagaimana tercantum dalam
bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De militaire rechter in nederlands Indie, S.
1934 No. 173 dan De Provisionele Instructie Voor Het Hoog Militair Gerechtshof Van
Nederlands Indie, S.1992 No. 163.
Ruang lingkup peradilan ini meliputi perbuatan pidana militer dan anggota-
anggotanya terdiri dari Angkatan Darat Belanda di Indonesia (Hindia-Belanda) yaitu
KNIL dan anggota Angkatan Laut Belanda. Anggota Angkatan Darat Hindia Belanda
(KNIL) diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog Militair
Gerechtshof untuk tingkat banding. Sedangkan anggota-anggota Angkatan Laut Belanda
diperiksa dan diadili oleh Zeekrijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof. Krijgsraad
terdapat di Cimahi, Padang, dan Ujung Pandang dengan wilayah meliputi:
1) Cimahi: Jawa Madura, Palembang, Bangka, Belitung,Riau, Jambi, Bengkulu,
Lampung, Kalimantan, Bali, dan Lombok.
2) Padang: Sumbar, Tapanuli, Aceh, dan Sumatera Timur.
3) Ujung Pandang: Sulawesi, Maluku, dan Timor.
Dengan demikian penguasa Belanda di Jawa-Madura maupun di luar daerah
mengadakan Temporaire Krijgsraad yaitu Mahkamah Militer sementara yang diberi
wewenang mengadili tindak pidana yang oleh orang-orang bukan Militer serta bukan di
golongkan dalam bangsa Indonesia.
Pada masa pendudukan Balatentara Jepang pada tanggal 2 maret 1942, berdasarkan
Osamu Gunrei No. 2 tahun 1942, membentuk Gunritukaigi (peradilan militer) untuk
mengadili perkara-perkara pelanggaran undang-undang militer Jepang. Pengadilan militer
ini bertugas mengadili perbuatan-perbuatan yang bersifat mengganggu, menghalang-
halangi, dan melawan balatentara Jepang dengan pidana terberat hukuman mati.
Gunritukaigi dikepalai oleh Sirei Kan (pembesar bala tentara Jepang), yang
beranggotakan:
1) Sinbankan yaitu hakim yang memberikan putusan.
2) Yosinkan yaitu hakim yang memeriksa perkara sebelum persidangan.
3) Kensatakun yaitu Jaksa
4) Rokusi yaitu Panitera
5) Keiza yaitu penjaga terdakwa
2.2 MASA AWAL KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA (1945 – 1950)
Kemerdekaan Negara Republik Indonesia merupakan titik awal penegakan hukum
oleh Bangsa Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1945 disahkan Pancasila dan UUD 1945
sebagai dasar negara RI yang di dalamnya terkandung nilai-nilai dasar dan kaedah yang
fundamental berdasarkan atas hukum bukan kekuasaan.
Ditegaskan dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 bahwa pernyataan
kemerdekaan bangsa Indonesia, di samping merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa
juga didorong oleh keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas itu ingin
dicapai dengan membentuk pemerintahan negara Indonesia yang disusun dalam suatu
Undang-Undang Dasar.
Setelah berdirinya Negara Republik Indonesia, pemerintah tetap mempertahankan
badan-badan peradilan serta peraturan-peraturan dari jaman pendudukan Jepang dengan
perubahan-perubahan/penambahan-penambahan berdasarkan UUD 1945. Berhubung
dengan itu untuk menghindarkan kekosongan hukum dalam UUD 1945 diadakanlah
Ketentuan Peralihan (Pasal II) :
"Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."
Ketentuan inilah yang merupakan dasar hukum yang terpenting dari praktik Peradilan
di Indonesia pada masa dekat setelah Proklamasi. Dengan adanya ketentuan tersebut
Peradilan-peradilan yang telah ada di jaman pendudukan Jepang tetap berjalan seperti
keadaan sebelumnya.
Tetapi dalam pernyataan dengan praktiknya berbeda, praktik Peradilan Ketentaraan
tidak sama dengan jaman sebelumnya. Bahkan setelah terbentuknya Angkatan Perang RI
pada tanggal 5 Oktober 1945, Peradilan Militer belum dibentuk. Sebelum dibentuknya
peradilan militer, kekosongan hukum diisi dengan penerapan Hukum Disiplin Militer.
Pada tanggal 8 Juni 1946 peradilan militer baru dibentuk dikeluarkannya UU No.7
Tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Pengadilan Tentara Di Samping Pengadilan
Biasa. Bersamaan dengan ini pula dikeluarkan UU No. 8 Tahun 1946 tentang Hukum
Acara Pidana Guna Peradilan Tentara.
Dengan dikeluarkannya undang-undang di atas, secara formil baik materil, peraturan-
peraturan di bidang Peradilan Militer yang ada pada jaman sebelum proklamasi, tidak
diberlakukan lagi. Dalam UU No.7 Tahun 1946, pengadilan tentara selain dapat memiliki
wewenang untuk mengadili perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran
yang dilakukan oleh:
1) Prajurit Tentara (Angkatan Darat) RI, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
2) Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
3) Orang yang tidak termasuk golongan satu dan dua tetapi berhubungan dengan
kepentingan ketentaraan.
Pengadilan Tentara dibagi menjadi dua tingkat yaitu, Mahkamah Tentara dan
Mahkamah Tentara Agung. Pengadilan juga diberi wewenang untuk mengadili siapapun
juga bila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam titel I dan II buku II KUHP yang
dilakukan dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan bahaya.
Pada tahun 1948 dikeluarkan PP No.37 Tahun 1948 yang mengubah beberapa
ketentuan susunan, kedudukan, dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya.
Peraturan Pemerintah ini mengatur Peradilan Tentara dengan susunan:
1) Mahkamah Tentara
Mengadili dalam tingkat pertama kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan
prajurit berpangkat kapten ke bawah.
2) Mahkamah Tentara Tinggi
Pada tingkat pertama, prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Pada tingkat
kedua, memeriksa dan memutus segala perkara yang telah diputus mahkamah
tentara yang diminta ulangan pemeriksaan.
3) Mahkamah Tentara Agung
Pada tingkat pertama dan terakhir, memeriksa dan memutus perkara kejahatan
dan pelanggaran yang dilakukan oleh Panglima Besar; Kastaf Angkatan Perang;
Kastaf Angkatan Darat, Laut, Udara; Panglima Tentara Teritorium Sumatera;
Komandan Teritorium Jawa; Panglima Kesatuan Reserve Umum; Kastaf
Pertahanan Jawa Tengah; dan Kastaf Pertahanan Jawa Timur.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga diatur tiga tingkat Kejaksaan Tentara
yaitu, Kejaksaan Tentara, Kejaksaan Tentara Tinggi, dan Kejaksaan Tentara Agung.
Hukum Pidana Materiil yang berlaku pada masa berlakunya UU No.7 Tahun 1946 dan
PP No.37 tahun 1948 adalah sebagai berikut:
1) KUHP (UU No.1 tahun 1946)
2) KUHPT (UU No.39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No.167)
3) KUHDT (UU No.40 Tahun 1947 jo. S. 1934 No.168)
Pada masa tahun 1946 hingga 1948 diadakan Peradilan Militer Khusus sebagai akibat
dari peperangan yang terus berlangsung yang mengakibatkan putusnya hubungan antar
daerah. Peradilan militer khusus ini meliputi:
1) Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP. No. 5 tahun 1946)
2) Mahkamah Tentara Sementara (PP. No. 22 tahun 1947)
3) Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP. No. 23 Tahun 1947)
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda melakukan agresi kedua terhadap
Negara RI. Agresi tersebut mengakibatkan jatuhnya kota tempat kedudukan badan-badan
peradilan ke tangan Belanda. Maka dikeluarkanlah Peraturan Darurat Tahun 1949
No.46/MBKD/49 yang mengatur Peradilan Pemerintahan Militer untuk seluruh pulau
Jawa-Madura. Peraturan tersebut memuat tentang:
1) Peradilan Tentara Pemerintahan Militer
2) Pengadilan Sipil Pemerintah Militer
3) Mahkamah Luar Biasa
4) Cara menjalankan Hukuman Penjara.
Pada masa ini Pengadilan Militer terdiri atas tiga badan yaitu:
1) Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer (MTODM)
Berkedudukan sama dengan Komandan ODM yang berwenang mengadili Prajurit
Bintara.
2) Mahkamah Tentara Distrik Militer (MTDM)
Berkedudukan sama dengan Komandan DM yang berwenang mengadili perwira
pertama hingga kapten.
3) Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer (MTGM)
Berkedudukan sama dengan gubernur militer yang berwenang mengadili kapten
sampai letnan kolonel.
Peraturan darurat tersebut hanya berjalan selama kurang lebih 6 bulan. Pada tanggal
12 Juli 1949, Menteri Kehakiman RI mencabut Bab II peraturan tersebut. Pada tanggal 25
Desember 1949 dengan PERPU No.36 Tahun 1949, beliau mencabut seluruh materi
Peraturan Darurat No.46/MBKD/49 dan aturan yang berlaku sebelumnya dinyatakan
berlaku lagi.
Berdasarkan UU Darurat No.16 Tahun 1950, Peradilan Tentara diatur kedalam tiga
tingkatan yaitu, Mahkamah Tentara, Mahkamah Tentara Tinggi, dan Mahkamah Tentara
Agung. Sementara untuk Kejaksaan dibagi menjadi Kejaksaan Tentara, Kejaksaan
Tentara Tinggi, dan Kejaksaan Tentara Agung.
Undang-undang Darurat No.16 Tahun 1950 kemudian dicabut dengan lahirnya UU
No.5 Tahun 1950 (hanya merupakan penggantian formil karena tidak adanya perubahan
materi). Pada Masa RIS ini, Mahkamah Tentara tersebar dari Jawa sampai Madura
dengan Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi.
2.3 MASA BERLAKUNYA UUDS 1950
Ketentuan yang telah ada pada masa RIS tetap berlaku kecuali yang tidak sesuai
dengan tujuan negara kesatuan.
Kedudukan Pengadilan Tinggi Tentara yang sebelumnya di Bukit Tinggi dipindah ke
Medan dengan wilayah hukum seluruh Sumatera dan Kalimantan. Pengadilan Tinggi
Tentara dipindah dari Jakarta ke Surabaya.
Pada periode 1950-1959 di Indonesia terjadi keadaan darurat sebagai dampak dari
Politik Federalisme Kontra Unitarisme. Seperti pemberontakan Andi Azis di Makassar;
Peristiwa APPRA di Bandung; RMS di Maluku; Peristiwa DI/TII di Jabar, Jateng, Aceh,
dan Sulawesi Selatan; serta peristiwa yang tidak kalah besar ialah peristiwa
PRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi. Berangkat dari kondisi di atas dan demi tetap
menegakkan hukum di lingkungan militer, maka dibentuklah Peradilan Militer Khusus
dengan susunan:
1) Mahkamah Tentara Luar Biasa
Putusan mahkamah ini tidak dapat dimintakan banding
2) Mahkamah Angkatan Darat/Udara Pertempuran
Putusan mahkamah ini merupakan tingkat pertama dan terakhir
2.4 MASA JULI 1959 – 11 MARET 1966
Pada Tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit yang menyatakan
pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945, UU No. 5 tahun 1950.
Sejak dikeluarkan, dekrit tetap berlaku tetapi perkembangan selanjutnya menyebabkan
penerapannya berbeda dengan periode sebelum Dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin
disadari bahwa kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang
hanya dapat dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 diundangkan PP No.22 Tahun 1965 tentang perubahan
dan tambahan beberapa pasal dalam UU No.5 Tahun 1950. Perubahan-perubahan
tersebut mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan
militer.
Dengan adanya ketentuan tentang pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan
tentara dan pengadilan tentara tinggi (menurut ketentuan lama)—karena jabatannya
dijabat oleh oleh ketua pengadilan Negeri/ketua pengadilan tinggi—sekarang dijabat oleh
pejabat dari kalangan militer sendiri. Perubahan sama berlaku pula pada Panitera.
Penyiapan tenaga ini telah dilakukan sejak tahun 1952 dengan mendirikan dan
mendidik para perwira pada Akademi Hukum Militer. Tahun 1961 merupakan awal
pelaksanaan Peradilan Militer diselenggarakan oleh para perwira ahli/sarjana hukum
sesuai dengan instruksi Mahkamah Agung No.229/2A/1961 bahwa mulai September
1961 Hakim Militer dan Kejaksaan harus mulai memimpin sidang pengadilan tentara.
Dengan perkembangan tersebut diatas, dimulai babak baru dalam penyelenggaraan
Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya ialah anggota dari suatu angkatan diperiksa
dan diadili oleh hakim jaksa dari angkatan bersangkutan.
Perkembangan selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah diundangkannya
UU No.3 PNPS Tahun 1965 tentang Pemberlakuan Hukum Pidana Tentara, Hukum
Acara Pidana Tentara, dan Hukum Disiplin Tentara bagi Angkatan Kepolisian pada
tanggal 15 maret 1965.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya UU No.23 PNPS 1965 pada tanggal 30
Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam tingkat pertama; Tantama, Bintara, dan
perwira polisi yang melakukan tindak pidana diadili oleh badan peradilan dalam
lingkungan angkatan kepolisian. Dengan demikian peradilan dalam lingkungan Peradilan
Militer dalam pelaksanaannya terdiri dari:
1) Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
2) Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
3) Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
4) Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian.
Peradilan ini terus berlangsung hingga setelah tanggal 11 maret 1966 bahkan
peradilan di lingkungan angkatan kepolisian baru dimulai pada tahun 1966.
2.5 MASA 11 MARET 1966-1997
Pelaksanaan Peradilan Militer di dalam lingkungan masing-masing angkatan seperti
yang ada sebelumnya tetap berlaku hingga pada awal 1973. Tahun 1970 lahirlah UU
No.14 Tahun 1970 menggantikan UU No.9 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian pelaksanaan peradilan militer mulai berubah
ketika dikeluarkan berturut-turut:
1) Keputusan Bersama Menteri Kehakiman Dan Menteri Pertahanan/Pangab pada
tanggal 10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 - SKEB/B/498/VII/72
2) Keputusan Bersama Menteri Kehakiman Dan Menteri Pertahanan Keamanan pada
tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 - J.S.8/18/19. Tentang perubahan
nama, tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris
pengadilan tentara dan kejaksaan tentara.
Akhirnya pengadilan militer dilaksanakan secara terintegrasi, tidak lagi berada di
masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer yang
berada di bawah departemen pertahanan dan keamanan.
Berdasar surat keputusan bersama tersebut maka nama peradilan ketentaraan
diadakan perubahan. Dengan demikian, maka kekuasaan kehakiman dalam peradilan
militer dilakukan oleh Mahkamah Militer, Mahkamah Militer Tinggi, dan Mahkamah
Militer Agung.
Pada tahun 1982 dikeluarkan UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara RI yang kemudian diubah dengan UU No.1 Tahun 1988.
Undang-undang ini memperkuat dasar hukum keberadaan peradilan militer. Pada salah
satu poin pasalnya dikatakan bahwa, angkatan bersenjata mempunyai peradilan tersendiri
dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara. Hingga tahun
1997 hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam pelaksaanan peradilan militer di
Indonesia.
2.6 PERADILAN MILITER 1997 – SEKARANG
Pada tahun 1997 diundangkan UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan
militer. Mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan
semangat UU No.14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari:
1) Pengadilan Militer
2) Pengadilan Militer Tinggi
3) Pengadilan Militer Utama
4) Pengadilan Militer Pertempuran
Dengan diundangkannya ketentuan ini, UU No.5 Tahun 1950 tentang Susunan Dan
Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan Dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan
sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 22 PNPS Tahun 1965 dinyatakan tidak
berlaku lagi. Demikian halnya dengan UU No.6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara
Pidana Pada Pengadilan Tentara sebagaimana telah diubah dengan UU No.1 Darurat
Tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.
3. LANDASAN HUKUM PERADILAN MILITER
Undang-undang yang menjadi dasar hukum peradilan militer yang selama ini berlaku
adalah:
1) UU No.5 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat tentang Susunan
dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan,
sebagai Undang-undang Federal sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No.22 Pnps Tahun 1965 tentang Penetapan Presiden tentang Perubahan beberapa
pasal dalam UU No.5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Peradilan Militer yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dalam peradilan
ketentaraan dilakukan oleh Kejaksaan Tentara, Kejaksaan Tentara Tinggi, dan
Kejaksaan Tentara Agung. Dalam Undanag-undang tersebut Mahkamah Tentara
Agung juga diberi wewenang untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama
dan terakhir perkara pidana yang berhubungan dengan jabatan yang dilakukan oleh:
Sekretaris Jenderal kementrian pertahanan (jika jabatan ini dipangku oleh anggota
angkatan perang republik Indonesia serikat), panglima besar, kepala staf angkatan
perang, kepala staf angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara
2) UU No.6 Tahun 1950 tentang menetapkan undang-undang darurat tentang hukum
acara pidana pada pengadilan ketentaraan sebagaimana telah diubah dengan UU No.1
Drt Tahun 1958 tentang Perubahan UU No.6 Tahun 1950 tentang Hukum acara
pidana pengadilan ketentaraan yang menyatakan bahwa hukum acara pidana
pengadilan ketentaraan yang menyatakan bahwa hukum acara pidana pada peradilan
ketentaraan berlaku sebagai pedoman het Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
dengan perubahan dalam undang-undang tersebut; sedangkan yang mengatur
pemeriksaan pada mahkamah tentara agung dan pengadilan tentara tinggi dalam
tingkat kedua berpedoman pada title 15 strafvordering. Dengan dicabutnya HIR oleh
UU No.8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana dalam praktik pengadilan,
mahkamah militer menggunakan kitab undang-undang hukum acara pidana
(KUHAP) sebagai pedoman
3) Dalam keadaan yang tidak kondusif seiring dengan perkembangan politik
pemerintahan, lahirlah UU No.29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara Republik
Indonesia. Undang-undang ini merubah sistem dan hukum acara Peradilan Militer.
Dalam pasal 35 tersebut mengatakan angkatan perang mempunyai peradilan
tersendiri dan komando mempunyai hak penyerah perkara.
4) UU No.3 Pnps Tahun 1965 tentang memperlakukan hukum pidana tentara, hukum
acara pidana tentara dan hukum angkatan kepolisian sebagaimana telah diubah
dengan UU No.23 Pnps Tahun 1965 tentang Perubahan dan tambahan pasal 2
penetapan presiden republik Indonesia no.3 tahun 1965 yang menyatakan angkatan
kepolisian menyelenggarakan sendiri peradilan militer dalam lingkungannya.
Peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas ternyata tidak dapat
dipertahankan lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan dan
hukum militer sebagai subsitem dari hukum nasional. Oleh karena itu peraturan
perundang-undangan tersebut perlu dicabut dan diatur kembali untuk disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan UU No.14 Tahun 1970 dan UU No.20 Tahun 1982
5) UU No.5 Pnps Tahun 1965 tentang Pembentukan pengadilan bersama angkatan
bersenjata dalam rangka peningkatan pelaksanaan dwi komando rakyat berdasarkan
UU No.5 Tahun 1969 tentang pernyataan berbagai penetapan presiden dan peraturan
presiden sebagai undang-undang pada lampiran IIIB, menyatakan bahwa UU No.5
Pnps Tahun 1965 diserahkan kewenangannya untuk meninjau lebih lanjut dan
menagturnya kembali pada pemerintah dalam peraturan perundang-undangan yang
sesuai dengan materi masing-masing Dengan berakhirnya dwikora dan adanya UU
No.5 Tahun 1969, UU No.5 Pnps Tahun 1965 perlu dicabut karena sudah tidak sesuai
lagi dengan keadaan. Dalam rangka memenuhi kepentingan angkatan bersenjata
untuk memelihara disiplin dan keutuhan pasukan serta penegakan hukum dan
keadilan di daerah pertempuran, perlu adanya pengadilan militer pertempuran yang
bersifat moril mengikuti gerakan pasukan yang berwenang memeriksa dan mengadili
tingkat pertama dan terakhir semua tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit yang
terjadi di daerah pertempuran. Peradilan militer yang merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan
6) UU No.2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI
Dalam penjelasan Pasal 18, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan
peradilan ketentaraan adalah juga termasuk dengan kewenangan peradilan
ketentaraan adalah juga termasuk kewenangan mengadili perkara tata usaha di
lingkungan angkatan bersenjata dan soal-soal tentara.
7) Peradilan militer saat ini berpijak pada UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer. Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU No.31 Tahun 1997
dibuat karena aturan sebelumnya tidak sesuai lagi degan jiwa dan semangat UU
No.14 Tahun 1970. Dasar hukum UU No.31 Tahun 1997:
a) Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 UUD 1945
b) UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2951)
c) UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertaham Keamanan
Negara RI (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan UU No.1 Tahun 1988
tentang Perubahan atas UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor
3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368)
d) UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316)
e) UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344)
f) UU No.2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3369)
4. ASAS-ASAS HUKUM DALAM PERADILAN MILITER
Dalam peradilan militer berlaku pula asas-asas hukum yang berlaku dalam peradilan
umum, seperti:
1) Asas Proposionalitas
Pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI harus sesuai dengan kepentingan untuk
menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumbuh darah Indonesia.
2) Asas Oportunitas
Menurut Z. Abidin “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut
umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau
korporasi yang telah menunjukan delik demi kepentingan umum.”
3) Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Merupakan penjabaran dari UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
khususnya Pasal 5 Ayat (2):
“Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan.”
4) Asas Praduga Tak Bersalah
Terdapat dalam Pasal 8 UU No.4 Tahun 2004 “Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib
dianggp tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Dan berikut adalah asas-asas yang harus ada dalam peradilan militer:
1) Asas Kesatuan Komando (Unity of Command)
Dalam kehidupan militer dengan struktur organisasinya, seorang komandan
mempunyai kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan
anak buahnya.
2) Asas Komando Bertanggung Jawab Terhadap Anak Buahnya
Dalam tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Angkatan Bersenjata, komandan
berfungsi sebagai pemimpin, guru, bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan
harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Asas ini
merupakan kelanjutan dari asas kesatuan komando. Komando bertanggung jawab
terhadap apa yang harus dan/atau tidak harus dilakukan oleh anak buahnya yang
dapat berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas pokok TNI.
3) Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)
Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan militer
diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus
dalam proses peradilan kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan
hukum.
5. SISTEM PERADILAN MILITER
Sistem Peradilan Militer yang berlaku di dunia berbeda-beda antara satu negara dengan
negara lain. Ada ahli yang menggolongkan sistem peradilan militer didasarkan pada tiga
sistem hukum yang berlaku di dunia ini yaitu, Common Law System, Roman Law System, dan
Socialist Law System.
Namun beberapa ahli yang lain menggolongkan sistem peradilan militer berdasarkan
kewenangan mengadili atau yurisdisksi dari pengadilan militer itu sendiri menjadi empat
golongan yaitu:
1) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi bersifat umum
2) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi umum yang berlaku secara temporer,
3) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi terbatas pada kejahatan militer dan
4) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi hanya pada saat perang atau operasi militer.
Selain penggolongan ini masih ada sistem penggolongan yang lain.
Sistem peradilan militer di Indonesia saat ini lebih menganut pada sistem dimana
peradilan militer mempunyai yurisdiksi yang bersifat umum yaitu berwenang mengadili
kejahatan umum dan kejahatan sipil.
Terhitung sejak 1 September 2004, setelah ditetapkannya UU No.4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, organisasi, administrasi, dan finansial peradilan militer sudah berada
di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, baik bersifat teknis yuridis maupun organisasi,
administrasi dan finansial sehingga membuat peradilan militer sudah semakin bersifat
independen dan akuntabel. Akibat peralihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas
pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih menjadi personel organik
Mahkamah Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan
oleh Mabes TNI.
5.1 SUSUNAN PENGADILAN MILITER
Berdasarkan UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Kekuasaan Kehakiman
di lingkungan peradilan militer dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh:
a. Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang terdiri dari:
1) Pengadilan Militer yang merupakan pengadilan tingkat pertama untuk perkara
pidana yang terdakwanya berpangkat kapten ke bawah
2) Pengadilan Militer Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding untuk
perkara pidana yang diputus pada tingkat pertama oleh pengadilan militer.
Pengadilan Militer Tinggi juga merupakan pengadilan tingkat pertama untuk:
a) Perkara pidana yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya berpangkat
mayor ke atas; dan
b) Gugatan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3) Pengadilan Militer Utama yang merupakan pengadilan tingkat banding untuk
perkara pidana dan sengketa tata usaha angkatan bersenjata yang diputus pada
tingkat pertama oleh pengadilan militer tinggi.
b. Pengadilan Militer Pertempuran yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan
terakhir dalam mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah
pertempuran yang merupakan pengkhususan dari pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer. Pengadilan itu merupakan organisasi kerangka yang baru
berfungsi apabila diperlukan dan disertai pengisian pejabatnya.
Susunan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer ditetapkan seperti di atas
karena yustiabelnya adalah prajurit yang diberi pangkat sebagai keabsahan wewenang
dan tanggung jawab dalam hierarki keprajuritan untuk menegakkan disiplin dan
kehormatan prajurit.
5.2 WEWENANG PENGADILAN MILITER
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer berwenang:
1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit
b. Yang berdasarkan undang-undang dopersamakan dengan prajurit.c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan
atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang.d. Seseorang yang tidak termasuk golongan di atas tetapi atas keputusan
Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah orang sipil yang menurut kenyataan bekerja pada angkatan bersenjata yang diberi kewajiban untuk memegang rahasia militer, melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan kewajibannya, dengan ketentuan bahwa orang tersebut tidak termasuk pada ketentuan huruf a, b, dan c.
2) Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.Wewenang yang dimaksud ini berada pada Pengadilan Militer Tinggi sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Militer Utama sebagai Pengadilan Tingkat Banding.
3) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
KESIMPULAN
1) Peradilan militer merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakuman untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang tata usaha Angkatan
bersenjata.
2) Pada masa pendudukan Belanda, peradilan militer mengadili pelanggaran dan kejahatan
yang dilakukan oleh tentara Belanda yang tergabung kedalam angkatan darat dan
angkatan laut. Angkatan darat diadili oleh Krijsraad sedangkan angkatan laut diadili oleh
Zee Krijsraad karena masih merupakan bagian dari tentara kerajaan Belanda. Berbeda
dengan peradilan militer di zaman Jepang. Pada masa ini peradilan militer dibentuk
dengan tujuan utama untuk mengadili mereka yang mengganggu atau melawan
balatentara Jepang.
3) Sejak kemerdekaan Republik Indonesia hingga sekarang ini, peradilan militer telah
menjalani perubahan berkali-kali, baik dari segi penamaan, tingkatan maupun
kewenangan mengadili. Hal ini ditandai dengan lahirnya beberapa peraturan tentang
peradilan militer, yang pada akhirnya lahir Undang-undang Nomor 31 tahun 1997
Tentang Peradilan Militer, yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi beberapa
peraturan sebelumnya.
4) Peradilan militer di Indonesia mengalami perubahan undang-undang beberapa kali
sebelum akhirnya diundangan UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang saat
ini menjadi pijakan peradilan militer.
5) Selain asas-asas hukum umum, dalam peradilan militer harus terdapat tiga asas penting
yaitu, Asas Kesatuan Komando (Unity of Command), Asas Komando Bertanggung Jawab
Terhadap Anak Buahnya, danAsas Kepentingan Militer (Military Necessity)
6) Sistem peradilan militer di Indonesia saat ini lebih menganut pada sistem dimana
peradilan militer mempunyai yurisdiksi yang bersifat umum yaitu berwenang mengadili
kejahatan umum dan kejahatan sipil.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Bimo. Viva Justicia. Hukum Acara Peradilan Militer.
http://bimoadiwicaksono.blogspot.com/2010/08/hukum-acara-peradilan-militer.html. Blogspot.
Selasa, 24 Agustus 2010.
Admin. Law Community: Sejarah Peradilan Militer di Indonesia.
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/sejarah-peradilan-militer-di-indonesia/. Wordpress.
Admin. Law Community: Yustiabel dan Yurisdiksi Peradilan Militer Serta Perubahan
Paradigma Dalam Sistem Peradilan Militer Menuju Keterbukaan.
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/yustisiabel-dan-yurisdiksi-peradilan-militer-serta-
perubahan-paradigma-dalam-sistem-peradilan-militer-menuju-keterbukaan/. Wordpress.
Admin. Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta: Dasar Hukum Dilmil. http://www.dilmil-
yogyakarta.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=134&Itemid=142 . Kamis,
20 Maret 2010.
Admin. Pengadilan Militer III-17 Manado: Sejarah Pengadilan Militer. http://www.dilmil-
manado.go.id/profil-dilmil-iii-manado/sejarah.html
Admin. Peradilan Militer: http://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_militer. Wikipedia.
Buaton, Tiarsen Dr., Sh.,Llm. Peradilan Militer di Bawah Kekuasaan Kehakiman di Indonesia:
Studi Tentang Kedudukan Dan Yurisdiksinya. http://pakkatnews.com/peradilan-militer-di-
bawah-kekuasaan-kehakiman-di-indonesia-studi-tentang-kedudukan-dan-yurisdiksinya.html.
Pakkatnews.com
Dwi Ratmaja, Sadia. Agretion Justicia: Peradilan Militer.
http://dwiratmajajusticiablogspotcom.blogspot.com/2012/05/peradilan-militer.html. Blogspot.
Sabtu, 12 Mei 2012.
Indrayanto. Contoh Makalah: Peradilan Militer.
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2041292-contoh-makalah-peradilan-militer/.
Shvoong. 23 Agustus 2010.
Kansil, C.S.T. Prof. Drs., S.H dan Kansil, Christine S.T, S.H., H.M. Pokok-pokok Hukum
Pidana: Hukum Pidana Untuk Tiap Orang. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. 2007.
Kurnia, Dhiki. Hukum Acara Peradilan Militer : Rangkuman Buku Hukum Acara Peradilan
Militer Bab IV-VII. http://dhikikurnia.blogspot.com/2013/07/hukum-acara-peradilan-militer-
rangkuman_11.html. Blogspot. Kamis, 11 Juli 2013.
Paul. Hukum dan Perundang-undangan RI. http://paulsdyn.blogspot.com/2012/11/makalah-
sejarah-hukum-peradilan-militer.html. Sabtu, 10 November 2012
Rezafaraby. Stasiun Hukum: Kedudukan dan Peran Peradilan Militer di Indonesia.
http://stasiunhukum.wordpress.com/2010/05/10/kedudukan-dan-peran-peradilan-militer-di-
indonesia/. Wordpress. 10 Mei 2010.
top related