penyelesaian beda hingga untuk …repository.usd.ac.id/27017/2/043114016_full.pdfnamun, dapat juga...
Post on 31-May-2019
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
PENYELESAIAN BEDA HINGGA UNTUK PERSAMAAN PANAS
DAN GELOMBANG DENGAN MENGGUNAKAN SEGITIGA
PASCAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Oleh:
Yohanes Sulistiono
NIM: 043114016
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
ii
FINITE DIFFERENCE SOLUTION FOR HEAT AND WAVE
EQUATIONS USING PASCAL’S TRIANGLE
Final Project
Presented as Partial Fulfillment of The Requirement to Obtain
The Sarjana Sains Degree in Mathematics
By:
Yohanes Sulistiono
Student Number: 043114016
STUDY PROGRAM OF MATHEMATICS SCIENCE
DEPARTEMENT OF MATHEMATICS
FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
2008
iii
SKRIPSI
PENYELESAIAN BEDA HINGGA UNTUK PERSAMAAN PANAS
DAN GELOMBANG DENGAN MENGGUNAKAN SEGITIGA
PASCAL
Oleh:
Yohanes Sulistiono
NIM: 043114016
Telah disetujui oleh:
Pembimbing
Lusia Krismiyati B., S.Si., M.Si. 23 September 2008
iv
SKRIPSI
PENYELESAIAN BEDA HINGGA UNTUK PERSAMAAN PANAS DAN
GELOMBANG DENGAN MENGGUNAKAN SEGITIGA PASCAL
Dipersiapkan dan ditulis oleh
Yohanes Sulistiono
NIM: 043114016
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
pada tanggal 1 September 2008
dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Ketua MV. Any Herawati, S.Si., M.Si.
Sekretaris Herry Pribawanto S., S.Si., M.Si.
Anggota Lusia Krismiyati B., S.Si., M.Si.
Yogyakarta, 23 September 2008
Fakultas Sains dan Teknologi
Ir. Greg. Heliarko, S.J., S.S., B.S.T., M.A., M.Sc.
v
“Kebahagiaan seperti kupu-kupu, bila dikejar ia akan menjauh dari jangkauan kita, tetapi bila kita duduk diam ia mungkin hinggap pada kita”. Nathaniel Hawthorne
“Semua orang yang berbahagia selalu bersyukur. Orang yang tidak bersyukur tidak dapat berbahagia. Kita cenderung berpikir bahwa
karena tidak berbahagia maka orang mengeluh, tetapi yang lebih benar adalah karena orang mengeluh, maka mereka tidak berbahagia”. Dennis Prager
“Sukses bukanlah kunci menuju ke kebahagiaaan. Kebahagiaan adalah kunci menuju sukses. Bila Anda menyukai yang Anda kerjakan, Anda akan sukses”. Albert Schweitzer
“Saya telah belajar mencari kebahagiaan dengan membatasi keinginan saya, bukan dengan mencoba memenuhi semuanya”. John Stuart Mill
“Kebahagiaan seperti minyak wangi yang tidak mungkin Anda percikkan pada orang lain,
tanpa Anda sendiri terpercik”. Ralph Waldo Emerson
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 23 September 2008
Penulis
vii
ABSTRAK
Persamaan diferensial parsial dalam ilmu fisika dapat menggambarkan suatu proses fisis, contohnya adalah persamaan panas dan persamaan gelombang. Penyelesaian dari masalah persamaan panas dan masalah persamaan gelombang, dapat diperoleh secara eksak atau secara pendekatan. Suatu metode untuk memperoleh penyelesaian secara pendekatan adalah metode beda hingga. Dengan menggunakan metode tersebut, persamaan panas maupun persamaan gelombang diubah menjadi suatu persamaan beda hingga yang kemudian diselesaikan untuk menghasilkan penyelesaian beda hingga. Penyelesaian beda hingga tersebut akan konvergen ke penyelesaian eksaknya, jika selang letak (∆x) dan selang waktu (∆t) yang digunakan kecil (∆x→0 dan ∆t→0).
Persamaan beda hingga diperoleh dari penggunaan pendekatan beda hingga. Namun, dapat juga menggunakan suatu formula yang dihasilkan dari penerapan Segitiga Pascal. Penerapan Segitiga Pascal untuk membentuk persamaan beda hingga didasarkan atas adanya pola bilangan Segitiga Pascal pada bentuk pendekatan beda hingga.
viii
ABSTRACT
A partial differential equation in physics can represent a physical process, its example are heat and wave equations. The solution of heat equation and wave equation problems can be obtained exactly or approximately. A method that can be used to obtain the approximate solution is finite difference method. By this method, heat and wave equations are changed into a finite difference equation and solved to obtain the finite difference solution. This solution would be converge to the exact solution, when the space distance (∆x) and time distance (∆t) that used are small (∆x→0 and ∆t→0).
The finite difference equation is obtained by using the finite difference approximation. However, this equation can be also obtained by using a formula which obtained by the application of Pascal’s Triangle. The application of Pascal’s Triangle to build the finite difference equation is based on the existence of a number pattern, that is Pascal’s Triangle, in the finite difference approximation form.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Yohanes Sulistiono Nomor Mahasiswa : 043114016
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: PENYELESAIAN BEDA HINGGA UNTUK PERSAMAAN PANAS DAN GELOMBANG DENGAN MENGGUNAKAN SEGITIGA PASCAL beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 23 September 2008 Yang menyatakan
x
KATA PENGANTAR
Syukur kepada Tuhan, karena atas berkatnya skripsi ini dapat diselesaikan
oleh penulis. Skripsi ini merupakan tugas akhir yang ditulis dalam rangka untuk
mengakhiri Program S1 Matematika yang penulis ikuti di Universitas Sanata Dharma.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan, baik secara
langsung atau tidak langsung, dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis meng-
ucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Lusia Krismiyati, atas koreksi, anjuran, serta masukkan yang diberikan
selama membimbing penulis,
2. Romo Frans Susilo, atas anjuran yang diberikan saat kuliah Seminar
Matematika,
3. Para dosen penguji: ibu Any Herawati, pak Herry Pribawanto, dan ibu Lusia
Krismiyati, atas koreksi dan anjuran yang diberikan,
4. Romo Greg. Heliarko, sebagai Dekan Fakultas Sains dan Teknologi,
5. Kedua orang tua, kakak, dan adik, atas dukungan dan doa yang diberikan
sehingga penulis terdorong untuk tetap bersemangat dalam mengerjakan
skripsi,
6. Para karyawan Perpustakaan Sanata Dharma Paingan, atas pelayanan yang
diberikan sehingga penulis tanpa kesulitan mendapatkan referensi yang
dibutuhkan,
7. Para karyawan Laboratorium Komputer Dasar dan Tugas Akhir, atas
pelayanan yang diberikan sehingga penulis dapat menggunakan fasilitas
komputer untuk penulisan skripsi,
8. Para dosen, atas ilmu pengetahuan yang diberikan selama penulis mengikuti
kuliah,
9. Para karyawan Sekretariat Fakultas Sains dan Teknologi, atas pelayanan yang
diberikan,
xi
10. Teman-teman angkatan 2004: Ratna, Eny, Nancy, Dwi, Retno, Siska, Teo,
Lina dan Lili, kebersamaan dengan kalian saat belajar bersama memberikan
semangat tersendiri bagi penulis,
11. Teman-teman seprodi, adik tingkat dan kakak tingkat, serta teman-teman
seangkatan di prodi Fisika dan Ilmu Komputer, atas semua hal yang penulis
alami bersama kalian,
12. Setiap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis sadar bahwa skripsi ini belum menjadi karya ilmiah yang baik dan
sempurna. Oleh karena itu, setiap kritik dan saran yang pembaca berikan akan penulis
terima dengan senang hati.
Yogyakarta, 22 September 2008
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………...……….... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …...…………………………... iii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………….. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………………….. vi
ABSTRAK ……………………………………………………………………... vii
ABSTRACT ……………………………………………………………………. viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS …………………………………….... ix
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. x
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… xii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………….... 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………… 3
C. Batasan Masalah ……………………………………………………….. 4
D. Metode Penulisan ………………………………………………………. 4
E. Tujuan Penulisan ……………………………………………………….. 4
F. Manfaat Penulisan ……………………………………………………… 4
G. Sistematika Penulisan ………………………………………………….. 4
BAB II SEGITIGA PASCAL ………………………………………………….. 6
A. Permutasi dan Kombinasi …………………………………………….... 6
1. Aturan Penjumlahan (Sum Rule) ……………………………………. 6
2. Aturan Perkalian (Product Rule) ……………………………………. 8
3. Permutasi ……………………………………………………………. 9
4. Kombinasi …………………………………………………………... 12
B. Bentuk Segitiga Pascal …………………………………………………. 14
BAB III PERSAMAAN PANAS DAN PERSAMAAN GELOMBANG ……... 17
xiii
A. Pengertian Persamaan Diferensial Parsial ……………………………… 17
B. Pembentukkan Persamaan Panas dan Gelombang ……………………... 27
1. Persamaan Panas ……………………………………………………. 27
2. Persamaan Gelombang ……………………………………………… 31
C. Penyelesaian Eksak Persamaan Panas dan Gelombang ………………... 34
1. Persamaan Panas ……………………………………………………. 35
2. Persamaan Gelombang ……………………………………………… 42
D. Pendekatan Beda Hingga ………………………………………………. 46
1. Pendekatan Polinomial Taylor ……………………………………… 47
2. Pendekatan Turunan Pertama dan Ke-dua ………………………….. 48
3. Turunan Parsial dalam Bentuk Pendekatan Beda Hingga ………….. 52
BAB IV PENYELESAIAN BEDA HINGGA UNTUK PERSAMAAN
PANAS DAN GELOMBANG MENGGUNAKAN SEGITIGA PASCAL……. 54
A. Turunan Orde Tinggi dan Formulasi Segitiga Pascal untuk
Persamaan Beda Hingga ………………………………………………... 54
1. Pendekatan Beda Maju untuk Turunan Orde Tinggi ……………….. 55
2. Pendekatan Beda Mudur untuk Turunan Orde Tinggi ……………… 56
3. Pendekatan Beda Pusat untuk Turunan Orde Tinggi ……………….. 57
4. Formulasi Segitiga Pascal untuk Persamaan Beda Hingga …………. 62
B. Penerapan pada Persamaan Panas dan Persamaan Gelombang ………... 65
1. Persamaan Panas (Difusi) …………………………………………... 65
2. Persamaan Gelombang ……………………………………………… 90
BAB V PENUTUP …………………………………………………………….. 109
A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 109
B. Saran …………………………………………………………………… 110
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 111
LAMPIRAN ……………………………………………………………………. 113
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nilai dari turunan fungsi satu variabel di suatu titik, secara analitik dapat
ditentukan dengan menggunakan definisi turunan suatu fungsi yang didapat dari
proses limit. Turunan fungsi merupakan limit dari perbandingan selisih nilai fungsi di
dua titik dengan jarak kedua titik tersebut. Secara pendekatan, nilai turunan fungsi di
suatu titik dapat dicari tanpa menggunakan proses limit melainkan dengan memilih
suatu nilai berhingga untuk jarak. Cara pendekatan inilah yang disebut pendekatan
beda hingga. Pendekatan beda hingga dibedakan menjadi tiga metode, yaitu beda
mundur, beda maju dan beda pusat.
Pendekatan beda hingga pada jangkauan yang lebih luas dapat diterapkan un-
tuk mencari turunan suatu fungsi dengan orde yang lebih tinggi. Untuk turunan fungsi
dengan orde tinggi, formula yang digunakan sebagai pendekatan beda hingga
memiliki bentuk yang lebih rumit. Sebagai contoh, turunan fungsi orde dua diperoleh
dengan menurunkan turunan fungsi orde satu. Turunan fungsi orde-orde berikutnya
didapatkan dengan cara yang sama.
Jika bentuk-bentuk turunan fungsi dengan pendekatan beda hingga diamati,
maka terlihat bahwa koefisien-koefisien yang ada dalam formula akan membentuk
sebuah pola bilangan. Pola yang dibentuk tersebut merupakan pola bilangan dalam
2
Segitiga Pascal. Munculnya pola segitiga Pascal di dalam formula turunan fungsi
dengan pendekatan beda hingga, memberikan solusi yang lebih cepat untuk memben-
tuk suatu turunan fungsi. Hal ini menarik karena metode pendekatan beda hingga juga
digunakan di dalam persamaan diferensial parsial.
Persamaan diferensial parsial merupakan suatu persamaan yang memuat suatu
fungsi dengan dua atau lebih variabel dan beberapa turunan parsial didalamnya. Tu-
runan parsial pada persamaan diferensial parsial merupakan perluasan dari turunan
fungsi satu variabel pada penjelasan sebelumnya. Bentuk pendekatan beda hingga
untuk persamaan diferensial parsial pada dasarnya menggunakan bentuk pendekatan
beda hingga pada turunan fungsi satu variabel. Oleh karena itu, adanya hubungan
antara bentuk turunan fungsi satu variabel dengan segitiga Pascal memungkinkan
segitiga Pascal untuk digunakan dalam membentuk pendekatan beda hingga untuk
persamaan diferensial parsial. Penyelesaian beda hingga dari suatu persamaan difer-
ensial parsial diperoleh dengan cara membentuk persamaan beda hingga dari per-
samaan diferensial parsial tersebut. Apabila persamaan diferensial parsial telah di-
nyatakan dalam persamaan beda hingga maka persamaan diferensial parsial akan le-
bih mudah untuk diselesaikan.
Persamaan diferensial parsial di dalam ilmu fisika banyak digunakan untuk
memodelkan suatu peristiwa fisis. Proses fisis tersebut antara lain perambatan gelom-
bang dan penghantaran panas. Model untuk kedua proses tersebut dibentuk berdasar
pada sifat-sifat fisis dari gelombang dan panas. Dua hasil akhir dari pembentukkan
3
model tersebut adalah persamaan panas dan gelombang. Kedua persamaan tersebut
dapat diselesaikan secara eksak maupun secara pendekatan.
Penyelesaian eksak persamaan panas dan gelombang memuat integral fungsi
syarat awal yang diberikan dan juga deret tak hingga. Adanya deret tak hingga meng-
akibatkan nilai penyelesaian eksak akan sulit ditentukan secara pasti. Selain itu, men-
ghitung nilai integral untuk fungsi-fungsi dengan bentuk tertentu akan sulit dilaku-
kan. Dengan demikian, metode numerik yang digunakan, yaitu metode beda hingga,
diperlukan untuk menyelesaikan kedua masalah tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana merumuskan formula persamaan beda hingga untuk turunan de-
ngan menggunakan segitiga Pascal?
2. Bagaimana merumuskan formula persamaan beda hingga untuk penyelesaian
persamaan panas dan persamaan gelombang dengan menggunakan segitiga
Pascal?
3. Bagaimana menyelesaikan persamaan panas dan persamaan gelombang de-
ngan menggunakan formula persamaan beda hingga yang telah diperoleh dari
penggunaan segitiga Pascal?
4
C. Batasan Masalah
Pembahasan masalah yang ada hanya akan dibatasi pada mencari penyelesaian dari
persamaan diferensial parsial orde dua yang linear homogen dengan koefisien kons-
tan (persamaan panas dan persamaan gelombang).
D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah studi pustaka dari buku-buku serta jurnal.
E. Tujuan Penulisan
Memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana segitiga Pascal digunakan
dalam menyajikan pendekatan beda hingga untuk persamaan panas dan persamaan
gelombang.
F. Manfaat Penulisan
Memberikan pengetahuan tentang adanya hubungan antara segitiga Pascal dengan
pendekatan beda hingga.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Batasan Masalah
5
D. Metode Penulisan
E. Tujuan Penulisan
F. Manfaat Penulisan
G. Sistematika Penulisan
BAB II SEGITIGA PASCAL
A. Permutasi dan Kombinasi
B. Bentuk Segitiga Pascal
BAB III PERSAMAAN PANAS DAN PERSAMAAN GELOMBANG
A. Pengertian Persamaan Diferensial Parsial
B. Pembentukkan Persamaan Panas dan Gelombang
C. Penyelesaian Eksak Persamaan Panas dan Gelombang
D. Pendekatan Beda Hingga
BAB IV PENYELESAIAN BEDA HINGGA UNTUK PERSAMAAN PANAS
DAN GELOMBANG MENGGUNAKAN SEGITIGA PASCAL
A. Turunan Orde Tinggi dan Formulasi Segitiga Pascal untuk Persamaan Beda
Hingga
B. Penerapan pada Persamaan Panas dan Persamaan Gelombang
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB II
SEGITIGA PASCAL
Segitiga Pascal dibentuk berdasar pada konsep permutasi dan kombinasi, yang
menjadi konsep dalam penyusunan sejumlah objek dengan aturan tertentu. Konsep
tersebut memuat sifat-sifat yang berlaku dalam penggunaannya. Pembahasan pada
bab ini hanya akan difokuskan pada sifat-sifat yang bersesuaian dengan penggunaan
segitiga Pascal di bab IV.
A. Permutasi dan Kombinasi
Pembahasan tentang konsep permutasi dan kombinasi diawali dengan mem-
berikan aturan tentang perhitungan. Aturan tersebut adalah aturan penjumlahan dan
aturan perkalian. Kedua aturan tersebut digunakan untuk menentukan banyaknya cara
pemilihan sejumlah objek dari objek-objek yang tersedia. Hal yang membedakan
kedua aturan tersebut dalam penggunaannya adalah prinsip pemilihan sejumlah objek
yang dilakukan.
1. Aturan Penjumlahan (Sum Rule)
Aturan penjumlahan menyatakan: Misalkan terdapat dua buah kejadian. Ke-
jadian pertama dapat muncul sebanyak w1 cara dan kejadian ke-dua dapat muncul se-
banyak w2 cara. Dengan demikian terdapat 21 ww + cara untuk salah satu kejadian
7
dari dua kejadian tersebut dapat muncul, namun tidak untuk muncul secara bersama-
sama.
Aturan penjumlahan dapat diperluas untuk jumlah kejadian yang lebih dari
dua. Misal diambil n kejadian. Kejadian pertama dapat muncul sebanyak w1 cara, ke-
jadian ke-dua dapat muncul sebanyak w2 cara yang berbeda, …, kejadian ke-n dapat
muncul sebanyak wn cara yang berbeda. Jadi, terdapat
nwww +++ ...21 cara (2.1.1)
untuk (hanya) salah satu kejadian dapat muncul.
Contoh 2.1.1
Sebuah perusahaan jasa membuka sebuah lowongan kerja untuk satu posisi, yang
akan ditempatkan di bagian promosi. Lowongan tersebut dibuka untuk lulusan sar-
jana maupun diploma. Pada hari terakhir penyeleksian pelamar, terdapat 7 orang lulu-
san sarjana dan 3 orang lulusan diploma yang memenuhi persyaratan. Ada berapa
banyak cara yang dimiliki perusahaan untuk memilih pelamar yang akan diterima se-
bagai staf promosi perusahaan tersebut?
Penyelesaian: terdapat 7 + 3 = 10 cara pemilihan.
Contoh 2.1.2
Seorang anak kecil bernama Merlin menginginkan hadiah topi di hari ulang tahunnya.
8
Saat hari ulang tahunnya tiba, ayahnya memberi 9 topi bertuliskan ‘YOVHANA’ dan
ibunya memberi 10 topi bertuliskan ‘MARIA’. Dengan demikian, Merlin memiliki
cara sebanyak 9 + 10 = 19 cara untuk memilih mengenakan topi.
2. Aturan Perkalian (Product Rule)
Aturan perkalian menyatakan: Andaikan terdapat dua kejadian. Kejadian per-
tama dapat terjadi dengan w1 cara dan kejadian ke-dua dapat terjadi dengan w2 cara
tanpa bergantung pada kejadian pertama. Dengan demikian, terdapat 21 ww × cara un-
tuk dua kejadian tersebut terjadi (secara bersama-sama atau berurutan).
Seperti pada aturan penjumlahan, aturan perkalian juga dapat diperluas untuk
lebih dari dua kejadian. Misalkan terdapat n kejadian. Kejadian pertama dapat terjadi
dengan w1 cara, kejadian ke-dua dapat terjadi dengan w2 cara tanpa bergantung pada
kejadian pertama, kejadian ke-tiga dapat terjadi dengan w3 cara tanpa bergantung
pada kejadian pertama dan ke-dua, …, kejadian ke-n dapat terjadi dengan wn cara
tanpa bergantung pada kejadian pertama, ke-dua, ke-tiga, …, dan ke-(n-1). Jadi n ke-
jadian tersebut dapat terjadi secara bersama-sama atau berurutan dengan
nwwww ×××× ...321 cara. (2.1.2)
Contoh 2.1.3
Sebuah gedung perpustakaan memiliki dua ruang penyimpanan koleksi buku, yaitu di
Lantai I dan di Lantai II. Gedung perpustakaan tersebut mempunyai 2 lift yang le-
9
taknya bersebelahan. Jika seorang mahasiswa ingin mencari sebuah buku dan saat itu
ia berada di Lantai Dasar, maka dengan berapa cara ia dapat naik ke ruang penyim-
panan koleksi buku via lift?
Penyelesaian:
Oleh karena letak lift bersebelahan, maka mahasiswa tersebut dapat masuk lewat
pintu lift manapun. Kemudian ia dapat memencet tombol penunjuk lantai untuk lantai
I atau lantai II. Jadi, mahasiswa tersebut mempunyai 2 x 2 = 4 cara untuk menuju ke
ruang penyimpanan koleksi buku via lift.
3. Permutasi
Misalkan terdapat suatu himpunan dengan n anggota, H, yang secara singkat
disebut himpunan n-anggota. Secara umum definisi permutasi dari himpunan n-
anggota H adalah penyusunan tiap anggota himpunan tersebut dalam suatu urutan.
Contoh 2.1.4
Tiga orang kakak-beradik, yaitu NIA, ANI, dan IAN duduk bersebelahan di dalam
sebuah bus yang membawa mereka menuju ke sekolah. Berapa banyakkah posisi
duduk yang mungkin untuk mereka?
Penyelesaian:
Misalkan posisi duduk tiga orang kakak-beradik tersebut dinyatakan dalam posisi
“sebelah kanan”, “tengah”, dan “sebelah kiri”. Pertama terdapat 3 pilihan untuk sia-
papun duduk di tengah. Kedua, untuk tiap pilihan tersebut, terdapat 2 pilihan sisa un-
10
tuk duduk di posisi sebelah kanan. Akhirnya untuk tiap pilihan tersebut, terdapat 1
pilihan sisa untuk menempati posisi di sebelah kiri. Dengan demikian, dapat di-
simpulkan bahwa terdapat 3 x 2 x 1 = 6 posisi duduk yang mungkin untuk NIA, ANI,
dan IAN. Hasil tersebut berdasar pada aturan perkalian.
Misal diambil suatu bilangan, sebut r, dengan ∈r ℤ+. Suatu r-permutasi dari
himpunan n-anggota H adalah penyusunan r anggota secara berurutan dari n anggota
H. Jumlah r-permutasi dari himpunan H dinotasikan dengan ),( rnP . Oleh karena
penyusunan dilakukan terhadap anggota-anggota H, maka permutasi tersebut hanya
berlaku untuk nr ≤ . Jika nr > , maka permutasinya bernilai nol, 0),( =rnP . De-
ngan kata lain tidak ada penyusunan yang dapat dilakukan untuk kasus tersebut.
Teorema 2.1.1
Jika n dan r adalah dua bilangan bulat positif dengan nr ≤ , maka
)1(...)1(),( +−××−×= rnnnrnP . (2.1.3)
Bukti :
Menurut prinsip pemilihan objek pada aturan perkalian, terdapat n cara untuk pilihan
pertama, 1−n cara untuk pilihan ke-dua tanpa bergantung pada pilihan pertama, …,
dan )1( −− rn cara untuk pilihan ke-r tanpa bergantung pada r – 1 pilihan sebelum-
nya. Dengan demikian, r objek tersebut dapat dipilih dalam )1(...)1( +−××−× rnnn
cara. ■
11
Secara khusus, jumlah permutasi untuk r=0 didefinisikan oleh 1)0,( =nP . Hal ini
karena banyaknya cara untuk mengurutkan nol objek hanya terdapat satu cara.
Terdapat notasi yang penting untuk didefinisikan pada pembahasan di bab ini,
yakni n! yang disebut n faktorial . Notasi tersebut didefinisikan oleh
!12...)2()1( nnnn =×××−×−× , (2.1.4)
dengan n adalah bilangan bulat tak negatif. Secara khusus 0!=1.
Teorema 2.1.2
Jika nr ≤ dan r, n adalah dua bilangan bulat tak negatif, maka
)!(
!),(
rn
nrnP
−= .
Bukti :
Menurut Teorema 2.1.1, )!(
!)1(...)1(),(
rn
nrnnnrnP
−=+−××−×= ,
dengan nr ≤≤1 . Oleh karena 1!
!
)!0(
! ==− n
n
n
n untuk setiap n bilangan bulat tak
negatif, maka formula )!(
!),(
rn
nrnP
−= juga berlaku untuk r=0. ■
Contoh 2.1.5
Sebuah perkumpulan pengendara sepeda motor besar menandai setiap sepeda motor
anggotanya dengan sebuah nomor yang terdiri dari 2 angka berbeda. Jika angka yang
12
digunakan adalah 1, 7, 8, 4, dan 5 serta tidak ada dua sepeda motor dengan nomor
sama, maka ada berapakah jumlah sepeda motor yang ada di dalam perkumpulan
tersebut?
Penyelesaian:
Oleh karena terdapat 5 angka berbeda yang dipakai, maka perkumpulan tersebut
memiliki
2045!3
!5
)!25(
!5)2,5( =×==
−=P buah sepeda motor.
4. Kombinasi
Suatu r-kombinasi dari himpunan n-anggota H, dengan r bilangan bulat tak
negatif, menyatakan suatu penyeleksian r anggota dari n anggota H. Penyeleksian
tersebut tak berdasarkan urutan. Suatu r-kombinasi dari H juga dapat dinyatakan se-
bagai suatu himpunan bagian r-anggota dari H. Notasi yang digunakan untuk me-
nyatakan jumlah r-kombinasi dari H adalah
r
n. Seperti pada permutasi, 0=
r
n,
untuk nr > .
Teorema 2.1.3
Jika nr ≤≤0 , maka
=
r
nrrnP !),( .
13
Dengan demikian,
)!(!
!
rnr
n
r
n
−=
.
Bukti :
Suatu r-permutasi dari himpunan n-anggota dapat diperoleh dengan membentuk r-
kombinasi dari himpunan tersebut dan kemudian mengurutkan tiap elemen dari r-
kombinasi tersebut. Jadi, menurut aturan perkalian didapat hubungan
!),(),( rr
nrrP
r
nrnP ×
=×
= ,
yang berakibat
)!(!
!
!
),(
rnr
n
r
rnP
r
n
−==
. ■
Teorema Akibat 2.1.4
Jika nr ≤ , maka
−=
rn
n
r
n.
Bukti :
Berdasarkan pada Teorema 2.1.3, )!(!
!
rnr
n
r
n
−=
, yang sama dengan
−=
−−−=
− rn
n
rnnrn
n
rrn
n
)]!([)!(
!
!)!(
!. ■
14
Menurut Teorema 2.1.3 dapat diperoleh hasil-hasil berikut
10
0=
, 1
0=
n, n
n=
1, dan 1=
n
n.
Contoh 2.1.6
Seorang dosen memberikan 7 soal ujian kepada para mahasiswanya saat ujian akhir
semester. Jika para mahasiswa hanya diminta untuk mengerjakan 5 soal saja, maka
dengan berapa cara mereka dapat melakukannya?
Penyelesaian:
Soal yang ingin mereka kerjakan dapat dipilih dengan
21!2!5
!7
)!57(!5
!7
5
7==
−=
cara.
B. Bentuk segitiga Pascal
Terdapat suatu sifat yang penting dari
r
n. Sifat tersebut dinyatakan oleh teo-
rema berikut.
Teorema 2.2.1 (Formula Pascal)
Jika 11 −≤≤ nr , maka
−−
+
−=
1
11
r
n
r
n
r
n.
Bukti :
15
Misal terdapat himpunan n-anggota H, dan q adalah salah satu anggotanya. Suatu
himpunan, sebut K, memuat semua r-kombinasi dari H, dan ukuran (size) dari K di-
lambangkan dengan |K|. Setiap r-kombinasi dari H yang tak memuat q dikelompok-
kan ke dalam suatu himpunan, sebut T, sedangkan setiap r-kombinasi dari H yang
memuat q dikelompokkan ke dalam himpunan, sebut U. Dengan demikian, menurut
aturan penjumlahan
UTr
n+=
,
dengan
r
n menyatakan ukuran (size) dari K. Ukuran dari T adalah jumlah r-
kombinasi dari himpunan (n – 1)-anggota, H – { q}, yaitu
−=
r
nT
1.
Oleh karena pada U, q berada di setiap r-kombinasi, maka hal tersebut berarti q di-
pasangkan dengan setiap (r – 1)-kombinasi dari himpunan H – {q}. Jadi, ukuran U
adalah
−−
=1
1
r
nU .
Berdasar pada dua hal tersebut diperoleh hasil yang diharapkan
−−
+
−=
1
11
r
n
r
n
r
n. ■
16
Formula Pascal tersebut menjadi dasar terbentuknya segitiga Pascal (Gambar 2.1).
Pada gambar tersebut, n menyatakan baris segitiga Pascal dan r menyatakan kolom
segitiga Pascal. Formula Pascal menunjukkan bahwa jika setiap dua bilangan yang
bersebelahan pada baris-(n – 1) dijumlahkan, maka hasil penjumlahan dua bilangan
tersebut berada tepat di bawah di antara dua bilangan itu pada baris-n.
Untuk mengilustrasikan penggunaan formula Pascal tersebut, ambil elemen
dari segitiga Pascal pada n = 4, r = 1, yaitu 4. Nilai 4 dihasilkan dari penjumlahan 1,
elemen pada n = 3, r = 0, dan 3, elemen pada n = 3, r = 1. Hubungan tersebut diha-
silkan oleh
+
=
1
3
0
3
1
4.
n = 0 1
n = 1 1 1
n = 2 1 2 1
n = 3 1 3 3 1
n = 4 1 4 6 4 1
n = 5 1 5 10 10 5 1
…
Gambar 2.1 Segitiga Pascal
r = 0
r = 1
r = 2
r = 3
r = 4
BAB III
PERSAMAAN PANAS DAN PERSAMAAN GELOMBANG
Sebagian besar persamaan diferensial yang termasuk dalam persamaan di-
ferensial parsial merupakan persamaan diferensial yang terbentuk dari proses-proses
atau kejadian fisis, contohnya proses penyebaran panas dan perambatan gelombang.
Pada bab ini dipaparkan juga mengenai kaitan antara deret Taylor dengan metode
beda hingga yang akan digunakan untuk mendapatkan penyelesaian persamaan di-
ferensial parsial.
A. Pengertian Persamaan Diferensial Parsial
Definisi dari persamaan diferensial parsial adalah suatu persamaan yang
memuat suatu fungsi, sebut u, dengan dua atau lebih variabel dan beberapa turunan
parsial didalamnya. Fungsi itu adalah fungsi yang tidak diketahui dan merupakan
variabel tak bebas. Bentuk umum dari persamaan diferensial parsial adalah
0...
...,,,...,,,,1
)(
21
2
1
=
∂∂∂
∂∂∂
∂∂
∂∂
k
m
n xx
u
xx
u
x
u
x
uuF x (3.1.1)
di mana ( )nxx ...,,1=x adalah variabel bebas, u merupakan fungsi yang tak diketahui,
dan jii xx
u
x
u
∂∂∂
∂∂ 2
, adalah turunan parsial dari fungsi u.
18
Suatu persamaan diferensial parsial dibentuk menurut ordenya. Orde merupakan
derajat tertinggi dari turunan yang muncul. Bentuk umum persamaan diferensial par-
sial berdasar orde, dengan mengambil ),( yxuu = , antara lain:
1. Bentuk umum persamaan diferensial parsial orde-satu adalah:
0,,,, =
∂∂
∂∂
y
u
x
uuyxF
(3.1.2)
2. Bentuk umum persamaan diferensial parsial orde-dua adalah:
0,,,,,,,2
22
2
2
=
∂∂
∂∂∂
∂∂
∂∂
∂∂
y
u
yx
u
x
u
y
u
x
uuyxF .
(3.1.3)
Definisi 3.1.1
Penyelesaian persamaan diferensial parsial adalah fungsi ),( yxu yang memenuhi
persamaan diferensial parsial yang dibentuknya.
Misalkan L menyatakan suatu operator. Jika L diterapkan pada suatu persamaan
diferensial parsial, misal 2=∂∂+
∂∂
y
u
x
u, maka diperoleh bentuk
y
u
x
uu
∂∂+
∂∂=)(L . Jadi
persamaan diferensial tersebut dapat ditulis dalam bentuk 2)(L =u .
Definisi 3.1.2
Suatu persamaan diferensial parsial, yaitu fu =)(L , f suatu fungsi yang diberikan,
dikatakan linear jika memenuhi
19
)L()(L)(L wuwu +=+ , (3.1.4)
)(L)(L uccu = (3.1.5)
dengan u dan w merupakan fungsi yang memiliki turunan parsial, sedangkan c adalah
suatu konstanta. Sebaliknya, suatu persamaan dikatakan non-linear jika tidak me-
menuhi (3.1.4) dan (3.1.5).
Kelinearan dalam persamaan diferensial parsial dapat dijelaskan dalam be-
berapa hal berikut:
1. Fungsi yang tidak diketahui, u, dan turunan parsialnya muncul dengan pang-
kat satu. Tidak boleh muncul bentuk, misalnya: ( ) ( ) .dan , , ,1212 −
∂∂
∂∂−
y
u
x
uuu
2. Fungsi u dan turunan parsialnya tidak menjadi variabel dari suatu fungsi lain.
Bentuk-bentuk, misalnya: u
x
u eu dan ,cos ,sin 2
2
∂∂ tidak diperbolehkan.
Contoh 3.1.3
Periksa apakah persamaan diferensial parsial berikut linear:
2
2 ),(),(
x
txu
t
txu
∂∂=
∂∂
. (3.1.6)
Penyelesaian:
Pertama ubah persamaan tersebut menjadi
0),(),(
2
2
=∂
∂−∂
∂x
txu
t
txu.
(3.1.7)
kemudian tulis dalam bentuk:
20
).L(),(),(
2
2
ux
txu
t
txu =∂
∂−∂
∂
(3.1.8)
Berikutnya adalah dengan menerapkan (3.1.4) dan (3.1.5), sehingga diperoleh:
),(L)(L),(),(),(),(
),(),(),(),(
),)((),)(()(L
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
wux
txw
t
txw
x
txu
t
txu
x
txw
x
txu
t
txw
t
txu
x
txwu
t
txwuwu
+=∂
∂−∂
∂+∂
∂−∂
∂=
∂∂−
∂∂−
∂∂+
∂∂=
∂+∂−
∂+∂=+
(3.1.9)
[ ] [ ]
).(L ),(),(
),(
),(
),(),()(L
2
2
2
2
2
2
ucx
txu
t
txuc
x
txuc
t
txuc
x
txcu
t
txcucu
=
∂∂−
∂∂=
∂∂−
∂∂=
∂∂−
∂∂=
(3.1.10)
Dengan demikian, persamaan (3.1.6) adalah persamaan diferensial parsial linear.
Contoh 3.1.4
Tunjukkan bahwa persamaan berikut adalah persamaan diferensial parsial non-linear:
.2ux
u =∂∂
(3.1.11)
Penyelesaian:
Jika (3.1.4) diterapkan pada ruas kanan dari persamaan tersebut, maka didapatkan:
222 2)( wuwuwu ++=+ (3.1.12)
Hasil tersebut tidak memenuhi (3.1.4) karena
222)( wuwu +≠+ , (3.1.13)
sehingga persamaan (3.1.11) adalah persamaan diferensial parsial non-linear.
21
Definisi 3.1.5
Persamaan diferensial parsial, fu =)(L , dikatakan homogen jika fungsi f bernilai
nol, misalkan:
.02
2
=∂∂−
∂∂
x
u
t
u
(3.1.14)
Jika f tidak nol, maka persamaan tersebut dikatakan tidak homogen.
Definisi 3.1.6
Jika koefisien-koefisien pada persamaan diferensial parsial merupakan suatu nilai ter-
tentu, maka persamaan itu disebut persamaan diferensial parsial dengan koefisien
konstan. Contohnya adalah persamaan:
0 32
2
=∂∂−
∂∂
t
u
x
u.
(3.1.15)
Namun, jika koefisiennya berupa variabel, maka persamaan itu merupakan persamaan
diferensial parsial dengan koefisien variabel. Contohnya adalah persamaan:
0 2
22 =
∂∂−
∂∂
t
ut
x
u.
(3.1.16)
Berikut ini merupakan bentuk-bentuk dari persamaan diferensial parsial,
antara lain:
2
2
x
uk
t
u
∂∂=
∂∂
(3.1.17)
22
2
22
2
2
x
uk
t
u
∂∂=
∂∂
(3.1.18)
02
2
2
2
=∂∂+
∂∂
y
u
x
u (3.1.19)
xtux
u
t
u 332
2
2
2
=+∂∂−
∂∂
(3.1.20)
04
4
2
2
=∂∂+
∂∂
x
u
t
u (3.1.21)
0)( 22 =∂∂++
∂∂
x
utx
t
u (3.1.22)
0 3
3
=∂∂+
∂∂+
∂∂
x
u
x
uu
t
ux (3.1.23)
Persamaan (3.1.17) sampai (3.1.20) adalah persamaan diferensial parsial orde-dua,
persamaan (3.1.22) adalah persamaan diferensial parsial orde-satu, sedangkan per-
samaan (3.1.21) dan (3.1.23) secara berturut-turut adalah persamaan diferensial par-
sial orde-empat dan orde-tiga. Persamaan (3.1.17), (3.1.18), (3.1.19), (3.1.21), dan
(3.1.22) adalah persamaan linear homogen, persamaan (3.1.20) adalah persamaan
non-linear yang tidak homogen, sedangkan persamaan (3.1.23) adalah persamaan
non-linear homogen. Persamaan diferensial dengan koefisien variabel ditunjukkan
oleh persamaan (3.1.22) dan (3.1.23) sementara lainnya adalah persamaan diferensial
dengan koefisien konstan.
Umumnya variabel bebas yang muncul pada sebagian besar persamaan dife-
rensial parsial yang terkait dengan proses atau kejadian fisis merupakan variabel yang
menyatakan jarak dan waktu. Variabel tersebut sering dinotasikan dengan x untuk
jarak dan t untuk waktu.
23
Persamaan diferensial parsial yang sering muncul dan digunakan untuk
memodelkan kejadian atau proses fisis adalah persamaan diferensial parsial orde-
dua. Bentuk umum dari persamaan diferensial parsial linear orde-dua dapat dituliskan
dalam bentuk, yaitu:
).,( ),( ),(
),( ),( ),( ),(2
22
2
2
yxwuyxfy
uyxe
x
uyxd
y
uyxc
yx
uyxb
x
uyxa
=+∂∂+
∂∂+
∂∂+
∂∂∂+
∂∂
(3.1.24)
Pada bentuk umum tersebut a, b, c, d, e, f, dan w adalah fungsi yang diketahui yang
memuat variabel bebas x dan y, sedangkan fungsi ),( yxuu = adalah fungsi yang tak
diketahui. Variabel bebas y dalam masalah persamaan diferensial parsial yang ber-
hubungan dengan proses fisis akan digantikan dengan variabel t. Penggolongan yang
paling umum dari persamaan diferensial parsial orde-dua ini adalah penggolongan
berdasarkan nilai-nilai dari fungsi a(x,y), b(x,y), dan c(x,y). Ketiga fungsi itu dianggap
sebagai fungsi konstan.
Nilai yang mendasari penggolongan ini adalah nilai acbD 42 −= . Karak-
teristik dari nilai D itulah yang menjadi dasar dari penggolongan berikut:
1. Jika 042 =−= acbD , maka persamaan (3.1.24) disebut persamaan
parabolik . Contoh persamaan ini adalah:
Persamaan panas, 2
2
x
uk
t
u
∂∂=
∂∂
(3.1.25)
dengan nilai-nilai a = k, b = c = 0, yang berakibat 042 =−= acbD .
24
2. Jika 042 >−= acbD , maka persamaan (3.1.24) disebut persamaan hiper-
bolik . Contohnya adalah:
Persamaan gelombang, 2
22
2
2
x
uk
t
u
∂∂=
∂∂
(3.1.26)
yang memiliki nilai-nilai a = k2, b = 0, c = -1 yang menghasilkan
.0442 >=−= acbD
3. Jika 042 <−= acbD , maka persamaan (3.1.24) disebut persamaan eliptik.
Contohnya adalah:
Persamaan Laplace, 02
2
2
22 =
∂∂+
∂∂=∇
y
u
x
uu (3.1.27)
secara berturut-turut nilai a, b, c adalah 1, 0, 1 sehingga nilai D yang dihasil
kan, yaitu 0442 <−=−= acbD .
Ketiga contoh persamaan diferensial parsial tersebut merupakan persamaan
diferensial parsial yang linear homogen dengan koefisien konstan. Penjelasan umum
dari ketiga jenis persamaan tersebut adalah bahwa persamaan eliptik menggambarkan
proses fisis yang berada pada keadaan steady-state sehingga tidak bergantung terha-
dap waktu, persamaan parabolik menggambarkan proses fisis yang menuju pada
keadaan steady-state, sedangkan persamaan hiperbolik menggambarkan proses fisis
yang bergantung terhadap waktu yang tidak menuju pada keadaan steady-state.
Definisi 3.1.7
25
Syarat awal menyatakan fungsi yang diterapkan pada waktu tertentu. Contoh syarat
awal adalah:
)(),,( 0 xν=tyxu , (3.1.28)
fungsi ),()( yxνν =x adalah fungsi tertentu yang diberikan.
Definisi 3.1.8
Syarat batas menyatakan fungsi yang diterapkan pada nilai batas dari domain untuk
persamaan diferensial parsial yang diberikan.
Domain yang dimaksud adalah suatu daerah di mana persamaan diferensial parsial itu
dapat dievaluasi dengan baik. Pada dimensi satu, contohnya adalah senar yang dige-
tarkan. Domainnya adalah nilai-nilai, sebut x, yang berada pada suatu interval [0,d], d
adalah panjang senar. Batas dari domain itu adalah titik-titik ujungnya, sehingga
kondisi batas hanya berlaku pada titik awal, sebut x = 0 dan titik akhir x = d. Sedang-
kan, untuk dimensi dua contohnya adalah bahan tipis untuk kepala gendang. Do-
mainnya berupa bidang datar yang titik-titik batasnya membentuk kurva tertutup.
Ada tiga jenis syarat batas yang sering dipakai, yaitu:
1. syarat Dirichlet, yaitu jika nilai penyelesaian u diberikan secara khusus.
Contohnya:
,),1( ,),0( rtuqtu == (3.1.29)
nilai q dan r diberikan.
26
2. syarat Neumann, yaitu jika nilai turunan parsial dari u diberikan secara
khusus. Contohnya:
,),1(
,),0(
rx
tuq
x
tu =∂
∂=∂
∂
(3.1.30)
nilai q dan r diberikan.
3. syarat Robin, yaitu kombinasi dari syarat Dirichlet dan syarat Neumann. Con-
tohnya:
,),1( ),1(
,),0( ),0(
ϕλκφ =+∂
∂=+∂
∂tu
x
tutur
x
tuq
(3.1.31)
nilai ϕλκφ dan , , , , ,rq diberikan.
Syarat-syarat batas dan awal dalam masalah persamaan diferensial parsial
berpengaruh terhadap penyelesaian dari masalah tersebut. Penyelesaian yang di-
harapkan adalah penyelesaian yang baik sehingga masalah yang muncul beserta
syarat-syarat yang diberikan akan menjadi well-posed. Kriteria-kriteria dari well-
posed adalah bahwa penyelesaian dari suatu persamaan diferensial parsial yang meli-
batkan syarat-syarat awal dan batas memenuhi:
1. Eksistensi, artinya terdapat sedikitnya satu penyelesaian yang memenuhi se-
mua syarat yang terlibat.
2. Ketunggalan, artinya terdapat sebanyak-banyaknya satu penyelesaian.
3. Kestabilan, artinya penyelesaian tunggal yang didapat tersebut stabil terhadap
nilai-nilai pada syarat yang diberikan dari masalah yang terkait. Hal ini berarti
27
bahwa perubahan kecil pada nilai-nilai yang diberikan, akan mengakibatkan
perubahan yang kecil juga pada penyelesaian yang terkait.
Contoh dari masalah persamaan diferensial parsial yang well-posed dapat dilihat pada
bab selanjutnya. Andaikan salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
masalah persamaan diferensial parsial yang berkaitan menjadi ill-posed.
B. Pembentukan Persamaan Panas dan Gelombang
Subbab ini akan menjelaskan tentang bagaimana suatu proses penghantaran
panas dapat dimodelkan dengan sebuah persamaan panas dan bagaimana proses pe-
rambatan gelombang dapat dinyatakan dalam sebuah persamaan gelombang. Proses
pembentukan persamaan panas dan persamaan gelombang ini akan dijelaskan secara
garis besarnya saja tanpa penjelasan yang mendalam tentang proses fisisnya.
1. Persamaan Panas
Elemen yang ditinjau sebagai medium penghantar panas adalah sebuah batang
logam lurus dengan panjang L yang ditempatkan di sepanjang sumbu-x. Pada batang
tersebut diasumsikan selubung permukaannya terisolasi sehingga energi panas yang
dimiliki tidak dapat keluar. Asumsi lain adalah bahwa batang tersebut sangat tipis se-
hingga temperatur sebuah irisan horisontal pada batang di suatu titik pada sumbu-x
28
bernilai konstan untuk waktu tertentu. Temperatur tersebut dinyatakan dalam fungsi
dari waktu t dan letak x yakni ),( txu .
Misalkan luas irisan adalah A, yang bernilai konstan sepanjang batang dan ρ
menyatakan kepadatan batang. Bahan pembuat batang mempunyai suatu konstanta
yang menyatakan besarnya energi panas yang dibutuhkan untuk menaikkan 1
unit temperatur per 1 unit massa batang. Konstanta tersebut adalah konstanta
panas yang dilambangkan dengan µ. Terdapat sebuah persamaan, yaitu: ),( txuAµρ ,
yang menyatakan total energi thermal di sembarang potongan tipis sebuah bahan
konduktor . Andaikan diambil sebuah segmen dari batang di antara α=x dan
β=x , dengan βα < , maka total energi panas di sepanjang segmen tersebut
pada saat t adalah
∫==β
αβα µρ dxtxuAtQtQ ),( )()( ],[ . (3.2.1)
Persamaan (3.2.1) dapat diturunkan terhadap t, untuk mendapatkan laju perubahan
energi panas saat waktu t pada segmen tersebut, yaitu:
∫∫ ∂∂=
=
β
α
β
αµρµρ dx
t
txuAdxtxuA
dt
d
dt
dQ
),( ),( , (3.2.2)
dengan syarat u dan turunan-turunan parsialnya kontinu.
Selanjutnya diperkenalkan sebuah fungsi fluks panas,
),( txF = energi panas yang melewati suatu irisan di posisi x
per unit luas per unit waktu pada arah-x positif.
29
α β
u
x
Gambar 3.1 Penampang sebuah batang dengan pengamatan pada segmen α-β.
Oleh karena fungsi fluks panas dinyatakan dalam tiap unit luas, maka aliran energi
panas pada segmen (α,β) adalah AtFAtF ),(),( βα − . Menurut hukum Newton ten-
tang pendinginan, aliran energi panas dalam segmen tersebut dari sisi yang lebih
panas ke sisi yang lebih dingin sama dengan K kali negatif dari gradien temperatur.
Gradien temperatur merupakan nilai selisih temperatur antara kedua sisi ujung pada
segmen tersebut. Hukum tersebut dapat dinyatakan sebagai
x
txuKtxF
∂∂−= ),(
),( , (3.2.3)
dengan K > 0 merupakan konduktivitas panas dari bahan batang.
Oleh karena itu, didapatkan persamaan untuk kecepatan energi panas me-
masuki segmen tersebut, yaitu:
.),(
),(
),(
),( ),(),(
x
tuKA
x
tuKA
Ax
tuKA
x
tuKAtFAtFfluks
∂∂−
∂∂=
∂∂−−
∂∂−=−=Γ
αβ
βαβα
(3.2.4)
Menurut kekekalan energi, yaitu:
30
sumberfluksdt
dQ Ε+Γ= , (3.2.5)
di mana sumberΕ menyatakan energi yang dihasilkan/bersumber dari dalam segmen,
maka didapatkan rumusan
sumberx
tuKA
x
tuKAdx
t
txuA Ε+
∂∂−
∂∂=
∂∂
∫β
α
αβµρ ),(
),(
),( . (3.2.6)
Sumber energi itu dapat muncul, misalnya dalam kasus adanya reaksi kimia yang ter-
jadi di dalam segmen yang menimbulkan suatu radiasi.
Jika diasumsikan tidak ada energi yang dihasilkan, maka laju perubahan ener-
gi panas dalam segmen harus seimbang dengan kecepatan masuknya energi panas
dalam segmen, yaitu:
∫
∫
∂∂=
∂∂−
∂∂=
∂∂−
∂∂=
∂∂
β
α
β
α
αβ
αβµρ
. ),(
),( ),(
),(
),(
),(
2
2
dxx
txuKA
x
tu
x
tuKA
x
tuKA
x
tuKAdx
t
txuA
(3.2.7)
Kemudian didapatkan
∫ ∫ =∂
∂−∂
∂β
α
β
αµρ 0
),(
),(
2
2
dxx
txuKdx
t
txu. (3.2.8)
Persamaan (3.2.8) haruslah berlaku untuk L≤<≤ βα0 . Oleh karena kedua integral
dievaluasi di selang [ ]βα , yang sama terhadap x, maka kedua hasil integral tersebut
haruslah menghasilkan dua nilai yang identik. Dengan demikian, agar persamaan
(3.2.8) dapat dipenuhi, maka
31
∫ =
∂∂−
∂∂β
αµρ 0
),(
),(
2
2
dxx
txuK
t
txu. (3.2.9)
Oleh karena )(xf kontinu dan untuk setiap α, β, L≤<≤ βα0 berlaku persamaan
(3.2.9), maka.fungsi di dalam tanda kurung haruslah nol (Kaczor, 2003). Jadi,
diperoleh persamaan
0),(
),(
2
2
=∂
∂−∂
∂x
txuK
t
txuµρ , (3.2.10)
untuk Lx <<0 dan 0>t .
Persamaan (3.2.10) dinamakan persamaan panas dimensi satu atau juga
dikenal sebagai persamaan difusi dimensi satu. Hal tersebut dikarenakan oleh
penggunaan model yang sama untuk menentukan besarnya konsentrasi suatu zat ki-
mia yang mengalir (diffuse) dari daerah berkonsentrasi tinggi ke daerah berkonsen-
trasi rendah pada sebuah pipa. Secara lebih sederhana persamaan (3.2.10) ditulis
),( , 2
2
txuux
uk
t
u =∂∂=
∂∂
(3.2.11)
dengan µρK
k = yang disebut difusitas dari bahan batang.
2. Persamaan Gelombang
Medium yang menjadi fokus untuk pembahasan adalah senar pada gitar. Ang-
gap senar yang sedang berada dalam keadaan diam menyatakan sumbu-x dengan titik
ujung 0=x dan Lx = (panjang senar). Sedangkan bidang perambatannya adalah
32
bidang-xu. Gelombang yang terbentuk saat senar dipetik akan dianggap sebagai se-
buah lintasan, di mana lintasan tersebut dinyatakan dalam sebuah fungsi, yaitu
),( txu . Fungsi ),( txu berlaku untuk 0>t , dengan demikian lintasan/kurva dari
fungsi tersebut merupakan kumpulan titik-titik posisi pada senar untuk letak x dan
waktu t tertentu. Oleh karena itu, fungsi ),( txu disebut fungsi posisi untuk senar
tersebut. Fungsi ),( txu juga dapat dinyatakan sebagai tinggi suatu titik pada senar
saat waktu t dan letak x.
Asumsi yang digunakan adalah tidak adanya gaya gesek udara terhadap senar
dan tidak diperhitungkannya berat senar. Vektor tegangan pada senar, ),( txT , diang-
gap selalu membentuk garis singgung terhadap senar di suatu posisi ),( tx . Asumsi
lain adalah bahwa setiap titik pada kurva ),( txu hanya bergerak secara vertikal saja
serta adanya suatu konstanta, ρ, yang menyatakan massa per unit panjang.
Gambar 3.2 Tegangan pada senar dan komponen-komponennya saat waktu t.
Misal diambil sebuah segmen pada senar yang berada di antara x dan
xxx ∆+=0 . Hukum Newton kedua tentang gerak menyatakan bahwa
33
gaya yang dihasilkan berdasar tegangan = percepatan pusat massa pada segmen
dikali massanya.
Besarnya tegangan dinotasikan ),(),( txTtx =T . Oleh karena pada pendekatan gaya
horisontal tidak ada gerak yang terjadi, 0)cos(),()cos(),( 0 =−∆+ ωωω txTtxT ,
maka vektor tegangan diasumsikan bernilai konstan, TtxT =),( . Untuk x∆ kecil
berlaku pendekatan untuk gaya vertikal, yaitu
2
2 ),ˆ( )sin()sin(
t
txuxTT
∂∂∆=−∆+ ρωωω , (3.2.12)
di mana x̂ menyatakan pusat massa segmen. Dari persamaan (3.2.12) didapat
2
2 ),ˆ(
)sin()sin(
t
txu
x
TT
∂∂=
∆−∆+ ρωωω
. (3.2.13)
Komponen vertikal dari tegangan T pada titik x ditulis dalam bentuk
)sin(),( ωTtxw = , sehingga dihasilkan persamaan
2
20 ),ˆ(
),(),(
t
txu
x
txwtxw
∂∂=
∆− ρ . (3.2.14)
Saat 0→∆x , maka nilai xx →ˆ . Oleh karena itu,
2
2 ),(
),(
t
txu
x
txw
∂∂=
∂∂ ρ . (3.2.15)
Pandang komponen horisontal dari T di titik x, yaitu: )cos(ωTh = , dengan demikian
x
uhh
hTtxw
∂∂==
== )tan()sin(
)cos()sin(),( ωω
ωω . (3.2.16)
34
Pada pembentukkan persamaan (3.2.16), nilai )tan(ω digantikan dengan
x
txu
∂∂ ),( . Hal ini dapat dilakukan berdasar pada pengetahuan tentang turunan. Turunan
dapat dinyatakan sebagai nilai kemiringan dari garis singgung, dalam hal ini adalah
kemiringan dari T. Nilai kemiringan itu adalah perbandingan dari )tan(/),( ω=htxw .
Oleh karena kemiringan garis singgung hanya bergantung pada nilai x, maka turunan
dari fungsi ),( txu adalah turunan parsial terhadap x, yakni x
txu
∂∂ ),( . Jika persamaan
(3.2.16) disubtitusikan ke persamaan (3.2.15), maka diperoleh
2
2 ),(
),(
t
txu
x
txuh
x ∂∂=
∂∂
∂∂ ρ . (3.2.17)
Dengan demikian, dihasilkan persamaan
2
2
2
2 ),(
),(
t
txu
x
txuh
∂∂=
∂∂ ρ . (3.2.18)
Secara lebih sederhana persamaan tersebut dapat ditulis
2
22
2
2 ),(
),(
x
txuk
t
txu
∂∂=
∂∂
, ),( txuu = (3.2.19)
dengan ρhk =
2 yang merupakan kecepatan gelombang. Persamaan (3.2.19) disebut
persamaan gelombang dimensi satu.
C. Penyelesaian Eksak Persamaan Panas dan Gelombang
Subbab ini akan membahas tentang bagaimana menghasilkan suatu penyele-
saian eksak dari persamaan panas dan gelombang yang telah dilengkapi dengan syarat
35
batas dan syarat awal. Metode yang digunakan adalah pemisahan variabel atau dise-
but juga metode Fourier. Metode tersebut dapat diterapkan, karena persamaan panas
dan gelombang merupakan persamaan diferensial parsial yang linear dan homogen.
1. Persamaan Panas
Masalah persamaan panas yang akan dicari penyelesaian eksaknya adalah:
persamaan panas: 0 ,0 ,),(
),(
2
2
><<∂
∂=∂
∂tLx
x
txuk
t
txu (3.3.1)
dengan syarat batas: 0),0( =tu dan 0),( =tLu , (3.3.2)
dan syarat awal: )()0,( xfxu = . (3.3.3)
Masalah tersebut menggambarkan penyebaran temperatur di suatu batang konduktor
tipis yang homogen (kepadatannya konstan), dengan panjang L. Ujung-ujung batang
tersebut dikondisikan bertemperatur nol, untuk sembarang waktu. Kondisi lainnya
adalah temperatur mula-mula suatu irisan di suatu titik x saat 0=t adalah )(xf .
Metode pemisahan variabel diterapkan pada bentuk penyelesaian berikut:
)( )(),( tSxψtxu = . (3.3.4)
Fungsi )(xψ adalah fungsi terhadap variabel tunggal x, sedangkan )(tS merupakan
fungsi yang hanya bergantung terhadap t. Jika bentuk penyelesaian tersebut disubsti-
tusikan ke persamaan panas (3.3.1), maka dihasilkan
2
2
)( )(dx
ψdtSk
dt
dSxψ = . (3.3.5)
Persamaan (3.3.5) dapat diubah menjadi
36
2
2
)(
1
)(
1
dx
ψd
xψdt
dS
tSk= . (3.3.6)
Jika persamaan (3.3.6) diamati, maka terlihat bahwa ruas kirinya hanya bergantung
terhadap waktu, sedangkan ruas kanannya hanya bergantung terhadap letak. Oleh
karena itu, dapat dipilih suatu nilai konstan yang mewakili kedua ruas, yaitu:
λdx
ψd
xψdt
dS
tSk−==
2
2
)(
1
)(
1. (3.3.7)
Berdasarkan persamaan (3.3.7), dapat dihasilkan dua persamaan diferensial, yaitu:
ψλdx
ψd
2
2
−= , (3.3.8)
Skλdt
dS −= . (3.3.9)
Sekarang ditinjau syarat batas 0),0( =tu . Syarat tersebut haruslah dipenuhi
oleh bentuk penyelesaian (3.3.4), yakni
0)( )0( =tSψ .
Terdapat dua kemungkinan untuk itu, yaitu
0)0( =ψ atau 0)( =tS .
Jika 0)( =tS untuk setiap t, maka nilai ),( txu akan selalu bernilai nol. Hal tersebut
muncul, jika temperatur mula-mula dikondisikan 0)( =xf , untuk Lx ≤≤0 . Oleh
karena itu, penyelesaian yang didapat hanyalah penyelesaian trivial ( 0),( ≡txu ),
dengan demikian kemungkinan tersebut tidak diambil. Kemungkinan kedua, yaitu
37
0)0( =ψ , yang menjadi pilihan untuk kasus ini. Berdasar syarat batas lainnya,
0),( =tLu , maka berlaku
0)( )(),( == tSLψtLu ,
dengan demikian menurut analisis yang sama, dipilih 0)( =Lψ .
Bentuk penyelesaian (3.3.4), merupakan hasil kali dari fungsi )(tS dan )(xψ ,
sehingga untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, terlebih dahulu persamaan
(3.3.8) dan (3.3.9) diselesaikan. Pertama tinjau persamaan
Skλdt
dS −= . (3.3.10)
Persamaan tersebut adalah persamaan diferensial biasa orde pertama linear homogen
dengan koefisien konstan. Penyelesaian umum dari persamaan (3.3.10) adalah
kectS λ−= 0)( . (3.3.11)
Oleh karena 0>k , maka nilai λ dipilih 0≥λ , sehingga fungsi )(tS digambarkan me-
luruh secara eksponensial ( 0>λ ) atau bernilai konstan ( 0=λ ) saat t bergerak naik.
Persamaan yang ditinjau selanjutnya adalah
ψλdx
ψd
2
2
−= , dengan 0)0( =ψ dan 0)( =Lψ . (3.3.12)
Persamaan beserta syarat batas tersebut dinamakan masalah nilai batas dari per-
samaan diferensial biasa. Masalah nilai batas tersebut akan diselesaikan mengguna-
kan pencarian suatu nilai λ , yang disebut nilai eigen. Nilai eigen tersebut akan
menghasilkan suatu penyelesaian yang non-trivial, yang disebut fungsi eigen.
38
Langkah awal yang harus ditempuh sebelum mendapatkan nilai eigen adalah
menyelesaikan persamaan diferensial biasa orde dua linear homogen dengan koe-
fisien konstan (3.3.12). Dua penyelesaian khusus persamaan (3.3.12), umumnya di-
nyatakan dalam bentuk eksponensial, rxex =)(ψ . Jika penyelesaian tersebut di-
substitusikan ke persamaan (3.3.12), maka dihasilkan
( ) λλλ −=⇔−=⇒−= 222
2
reeredx
ed rxrxrxrx
.
Terdapat empat kemungkinan nilai akar-akar yang dapat dihasilkan dengan berdasar
pada nilai λ , yaitu:
a. 0>λ , dua akar yang dihasilkan merupakan akar kompleks imajiner murni,
yang salah satunya adalah konjugat dari yang lain, λir ±=2,1 .
b. 0=λ , dua akarnya bernilai nol, 02,1 =r .
c. 0<λ , dua akarnya real berbeda, λ−±=2,1r .
d. λ kompleks.
Dari ke-empat kemungkinan tersebut yang menjadi fokus pembahasan adalah nilai
0>λ , karena nilai eigen ini akan menghasilkan penyelesaian non-trivial (Haberman,
2004).
Tinjau kembali masalah nilai batas (3.3.12). Jika 0>λ , maka penyelesaiannya
berupa xie λ± . Penyelesaian tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk lain, yakni
xλcxλcxψ sincos)( 21 += , (3.3.13)
yang merupakan penyelesaian umum dari (3.3.12).
39
Selanjutnya dengan menerapkan syarat batas 0)0( =ψ , menghasilkan
121 )0sin()0cos(0)0( ccc =+==ψ . (3.3.14)
Akibat yang muncul dari hasil tersebut adalah nilai-nilai )cos( xλ , untuk Lx <<0 ,
tidak memiliki pengaruh apapun. Oleh karena itu, fungsi )(xψ sekarang hanya ber-
gantung pada )sin( xλ , yaitu:
)sin()( 2 xcx λψ = . (3.3.15)
Selanjutnya untuk syarat batas 0)( =Lψ , berakibat
)sin(0)( 2 LcL λψ == . (3.3.16)
Terdapat dua kemungkinan penyelesaian untuk persamaan tersebut, yakni 02 =c atau
0)sin( =Lλ . Jika diambil 02 =c , maka nilai )(xψ menjadi identik nol, 0)( ≡xψ .
Hal ini terjadi, karena dengan didapatkannya nilai 02 =c dan sebelumnya telah diha-
silkan 01 =c , maka persamaan penyelesaian (3.3.13) akan selalu bernilai nol untuk
tiap x. Dengan kata lain, jika 021 == cc , maka hanyalah penyelesaian trivial yang
dihasilkan. Oleh karena itu, nilai eigen, λ, yang diharapkan harus memenuhi
0)sin( =Lλ .
Persamaan tersebut terpenuhi saat nilai πλ nL = . Oleh karena 0>λ , maka nilai n
dipilih bilangan bulat positif. Jadi nilai eigen yang dihasilkan adalah
. ... 2, ,1 ,2
=
= nL
nπλ (3.3.17)
40
Jika nilai tersebut disubstitusikan ke persamaan (3.3.15), maka akan diperoleh fungsi
eigen yang berkaitan, yaitu:
xL
ncx
= πψ sin)( 2 , (3.3.18)
dengan c2 adalah konstanta sembarang. Untuk mendapatkan persamaan yang seder-
hana dan memudahkan, seringkali dipilih 12 =c .
Menurut nilai eigen yang telah dihasilkan, maka penyelesaian umum (3.3.11)
dapat dituliskan kembali sebagai berikut
tL
nk
ectS
2
0)(
−=
π
, untuk ... 2, ,1=n . (3.3.19)
Jika bentuk nilai eigen, λ, fungsi eigen, )(xψ , dan penyelesaian umum )(tS diamati,
maka terlihat bahwa ketiga bentuk tersebut akan berbeda untuk tiap n berbeda. Jadi,
nilai eigen tersebut dapat dinotasikan dengan
... 2, ,1 ,2
=
= nL
nn
πλ . (3.3.20)
Setelah didapatkan penyelesaian dari dua persamaan diferensial biasa (3.3.10)
dan (3.3.12), maka secara langsung bentuk penyelesaian dari persamaan panas (3.3.1)
dengan syarat (3.3.2) dan (3.3.3), dapat ditulis
, ... 2, ,1 ,sin
sin)( )(),(
2
2
02
=
=
==
−
−
nexL
nC
ecxL
nctSxtxu
tL
nk
tL
nk
π
π
π
πψ
(3.3.21)
41
dengan 02ccC = sembarang konstanta. Nilai ),( txu akan berbeda untuk n berbeda.
Jika penyelesaian (3.3.21) diamati, maka terlihat bahwa saat t naik, ),( txu akan me-
luruh secara eksponensial. Menurut analisa limit, .0),(lim =∞→
txut
Sekarang tinjau suatu prinsip yang berkaitan dengan penyelesaian persamaan
panas. Prinsip tersebut adalah prinsip superposisi yang diperluas, yang secara
umum menyatakan bahwa jika Muuu , ... ,, 21 merupakan penyelesaian dari suatu ma-
salah persamaan linear homogen, maka setiap kombinasi linear dari penyelesaian
tersebut, yaitu:
∑=
=+++M
nnnMM ucucucuc
12211 ... ,
dengan nc konstanta sembarang untuk Mn , ... 2, ,1= , adalah juga penyelesaian.
Menurut prinsip tersebut, setiap penyelesaian dari persamaan panas (3.3.1), yaitu
( ) ... 2, ,1 ,sin
2
=
−nex
tL
nk
L
nπ
π , dapat dikombinasikan secara linear untuk menghasilkan
penyelesaian lain. Oleh karena itu, didapatkan
,sin),(1
2
∑=
−
=M
n
tL
nk
n exL
nCtxu
ππ (3.3.22)
dengan M berhingga. Pada saat 0=t , persamaan (3.3.22) menjadi
∑=
==M
nn x
L
nCxfxu
1
sin)()0,(π
,
yang merupakan syarat awal dari persamaan (3.3.1).
42
Syarat awal tersebut, secara umum belum menunjukkan syarat yang se-
benarnya. Hal ini karena ruas kanannya merupakan jumlahan terbatas dari fungsi si-
nus. Oleh karena itu, dengan menggunakan teori deret Fourier (Haberman, 2004),
fungsi )(xf dapat didekati secara lebih baik oleh persamaan:
∑∞
=
=1
sin)(n
nL
xnCxf
π. (3.3.23)
Demikian halnya penyelesaian (3.3.22) dapat dinyatakan dengan
∑∞
=
−=
1
2
sin),(n
tL
nk
n eL
xnCtxu
ππ. (3.3.24)
Nilai koefisien Cn diberikan oleh (Haberman, 2004)
∫
=L
n dxL
xnxf
LC
0sin)(
2 π.
Analisa kekonvergenan deret tak hingga tersebut tidak dibahas, karena fokus pemba-
hasan ada pada pembentukkannya. Penyelesaian (3.3.24) akan menjadi panduan un-
tuk menentukkan kekonvergenan penyelesaian diskret dari persamaan panas.
2. Persamaan Gelombang
Masalah persamaan gelombang yang menjadi fokus pembahasan adalah
persamaan gelombang: ),( ,),(),(
2
22
2
2
txuux
txuk
t
txu =∂
∂=∂
∂ (3.3.25)
syarat batas: 0),(
0),0(
==
tLu
tu, ∞<< t0 (3.3.26)
43
syarat awal: )(
)0,(
)()0,(
xgt
xu
xfxu
=∂
∂=
. Lx <<0 (3.3.27)
Masalah persamaan gelombang tersebut menggambarkan sebuah senar yang bergetar
tanpa adanya gaya luar. Syarat batasnya menjelaskan bahwa dua titik ujung senar ti-
dak berpindah dari posisi mula-mula. Sementara itu, syarat awalnya menunjukkan
posisi mula-mula dan kecepatan mula-mula dari tiap segmen senar.
Penyelesaian eksak dari masalah persamaan gelombang tersebut dapat diha-
silkan menggunakan metode pemisahan variabel. Sebelum itu, fungsi ),( txu dinyata-
kan terlebih dahulu dalam bentuk penyelesaian
)( )(),( tWxtxu ψ= . (3.3.28)
Jika melakukan pensubstitusian persamaan (3.3.28) ke persamaan (3.3.25) dan ke-
mudian melakukan pemisahan variabel, maka diperoleh
.11
2
2
2
2
2 dx
d
dt
Wd
Wk
ψψ
= (3.3.29)
Pengamatan pada persamaan (3.3.29) menunjukkan bahwa, ruas kanannya
hanya bergantung pada variabel x, sedangkan ruas kirinya bergantung pada t. Hal ini
mengakibatkan kedua ruas dapat diwakili oleh sebuah konstanta, yaitu:
λψψ
−==2
2
2
2
2
11
dx
d
dt
Wd
Wk. (3.3.30)
Menurut persamaan (3.3.30), dapat dihasilkan dua persamaan diferensial biasa, yaitu:
44
Wkdt
Wd 22
2
λ−= dan λψψ −=2
2
dx
d.
Pertama amati persamaan berikut:
Wkdt
Wd 22
2
λ−= . (3.3.31)
Penyelesaian persamaan diferensial biasa linear homogen dengan koefisien konstan
tersebut bergantung pada nilai λ. Jika 0>λ , maka didapatkan penyelesaian
tiketW λ−=)( dan tiketW λ=)( yang juga dapat dinyatakan dalam bentuk
tkctkctW λλ sincos)( 21 += . (3.3.32)
Jika 0=λ , maka penyelesaiannya adalah 21)( ctctW += , sedangkan penyelesaian
persamaan (3.3.31) adalah tktk ecectW λλ −−− += 21)( , jika 0<λ .
Nilai λ yang diambil adalah 0>λ , karena penyelesaiannya berosilasi terha-
dap waktu. Hal tersebut sesuai dengan gerak gelombang senar. Oleh karena itu juga,
konstanta di persamaan (3.3.30) menggunakan tanda minus.
Selanjutnya pada masalah nilai batas:
λψψ −=2
2
dx
d dengan syarat 0)(dan 0)0( == Lψψ . (3.3.33)
Menurut analisa nilai eigen λ yang sama untuk persamaan panas sebelumnya, maka
dihasilkan
, ... 2, ,1 ,2
=
= nL
nπλ (3.3.34)
dan fungsi eigen yang berkaitan adalah
45
... 2, 1, ,sin)( 3 == nL
xncx
πψ . (3.3.35)
Pensubstitusian nilai eigen tersebut ke penyelesaian (3.3.32) menghasilkan
tL
nkct
L
nkctW
ππsincos)( 21 += . (3.3.36)
Dengan demikian, setelah didapatkan penyelesaian )(tW dan )(xψ , maka bentuk
penyelesaian (3.3.28) menjadi
,sincossin
sincossin)( )(),( 213
+=
+==
L
tknD
L
tknC
L
xn
L
tknc
L
tknc
L
xnctwxtxu
πππ
πππψ
dengan 13ccC = dan 23ccD = .
Penyelesaian umum masalah persamaan gelombang dihasilkan dengan meng-
gunakan prinsip superposisi yang diperluas dan juga mengaplikasikan teori deret Fou-
rier, seperti pada persamaan panas. Oleh karena itu, didapatkan
∑∞
=
+=1
sincossin),(n
nn L
tknD
L
tknC
L
xntxu
πππ. (3.3.37)
Jika 00 == tt disubstitusikan ke persamaan tersebut, maka dihasilkan
,sin
0sin
0cossin)()0,(
1
1
L
xnC
L
knD
L
knC
L
xnxfxu
nn
nnn
π
πππ
∑
∑∞
=
∞
=
=
+==
(3.3.38)
46
yang merupakan syarat awal (3.3.27) untuk posisi mula-mula tiap segmen senar. Se-
mentara itu, jika 00 == tt disubstitusikan ke fungsi t
txu
∂∂ ),(
, maka dihasilkan
,sinsin
0cos
0sinsin)(
)0,(
11
1
L
xn
L
knDD
L
kn
L
xn
L
knD
L
kn
L
knC
L
kn
L
xnxg
t
xu
nnn
n
nnn
ππππ
πππππ
∑∑
∑∞
=
∞
=
∞
=
=
=
+−==∂
∂
(3.3.39)
yang merupakan syarat awal (3.3.27) untuk kecepatan mula-mula tiap segmen senar.
Nilai koefisien Cn dan Dn diberikan oleh (Haberman, 2004)
∫
=L
n dxL
xnxf
LC
0sin)(
2 π dan ∫
=L
n dxL
xnxg
LL
knD
0sin)(
2 ππ.
D. Pendekatan Beda Hingga
Penyelesaian eksak persamaan panas dan gelombang yang telah didapat, di-
dalamnya memuat perhitungan integral fungsi syarat awal dan juga perhitungan deret
tak hingga. Jika fungsi syarat awal yang diberikan memiliki bentuk tertentu yang nilai
integralnya tidak dapat ditentukan dengan menggunakan teknik pengintegralan, maka
nilai koefisien-koefisien pada bentuk penyelesaian eksak tersebut sulit ditentukan se-
cara pasti. Tambahan pula, dengan adanya perhitungan untuk deret tak hingga meng-
akibatkan nilai penyelesaian eksak akan sulit diperoleh secara tepat. Oleh karena itu,
perhitungan numerik dibutuhkan untuk memberikan suatu nilai penyelesaian dari ma-
salah persamaan panas dan gelombang yang diberikan. Metode numerik yang akan
digunakan adalah metode beda hingga.
47
1. Pendekatan Polinomial Taylor
Hal yang mendasari penggunaan metode beda hingga untuk menyelesaikan
masalah persamaan panas dan gelombang adalah penggunaan pendekatan polino-
mial terhadap nilai suatu fungsi, sebut f(x), di sekitar 0xx = , yakni dengan mengam-
bil jarak dari titik yang akan didekati nilai fungsinya, misalkan xxx ∆+= 0 yang
memberikan akibat 0xxx −=∆ . Oleh karena titik x0 adalah titik bantuan yang
digunakan, maka dapat dipilih nilai )( 0xf sebagai nilai awal, sehingga bentuk poli-
nomial lengkapnya adalah:
...)(
!
)(...
)(
!2
)()()()( 0
20
220
0 +∆++∆+∆+=n
nn
dx
xfd
n
x
dx
xfdx
dx
xdfxxfxf . (3.4.1)
Dari bentuk polinomial tersebut dapat dibentuk pendekatan kuadratik dan
pendekatan linear dari fungsi f. Jika memilih bentuk pendekatan kuadratik, maka
didapatkan:
.)(
!2
)()()()(
20
220
0dx
xfdx
dx
xdfxxfxf
∆+∆+≈ (3.4.2)
Sedangkan, jika dipilih bentuk pendekatan linear, maka didapatkan:
.)(
)()( 00 dx
xdfxxfxf ∆+≈ (3.4.3)
Secara geometris, bentuk pendekatan linear ini menggambarkan garis singgung terha-
dap fungsi )(xf dititik 0xx = .
48
.)(
!2
)()()(
20
220
0 dx
xfdx
dx
xdfxxf
∆+∆+
dx
xdfxxf
)()( 0
0 ∆+
Gambar 3.3 Polinomial Taylor
Hal yang berpengaruh pada pendekatan-pendekatan polinomial itu adalah
pemilihan selang ukur x∆ , karena keakuratan pendekatan polinomial tersebut (dan
juga untuk pendekatan polinomial dengan orde yang lebih tinggi) ditentukan oleh se-
berapa kecil nilai x∆ yang digunakan. Tentu saja semakin kecil nilai x∆ , maka
keakuratan hasil pendekatan polinomial tersebut akan lebih baik.
2. Pendekatan Turunan Pertama dan Ke-dua
Suatu kesalahan dalam polinomial Taylor dapat dilihat dalam pola berikut:
.)(
!
)(...
)( )()( 00
0 nn
nn
Rdx
xfd
n
x
dx
xdfxxfxf +∆++∆+= (3.4.4)
Pola tersebut dikenal sebagai deret Taylor dengan sisa. Sisa yang dimaksud adalah
Rn, yang menunjukkan nilai kesalahan dari pendekatan polinomial (disebut juga ke-
salahan pemotongan). Sisa, Rn, di dalam pendekatan polinomial dengan pangkat n,
biasanya dihitung di titik yang dekat dengan titik bantuan yang dipilih:
11
11 )(
)!1(
)(+
+++
+∆=
nn
nn
n dx
fd
n
xR
ζ, (3.4.5)
49
dengan xxxx n ∆+=<< + 010 ζ . Tentu saja agar nilai Rn dapat diketahui, maka fungsi
)(xf harus dapat diturunkan sampai dengan pangkat )1( +n .
Misalkan untuk pendekatan linear fungsi )(xf di sekitar titik 0xx = adalah:
10
0
)( )()( R
dx
xdfxxfxf +∆+= , (3.4.6)
sisanya adalah ( )2
22
!2
2)(1 dx
fdxRζ∆= , dengan xxx ∆+<< 020 ζ . Jika memilih x∆ kecil,
maka 2ζ berada di dalam interval yang kecil dan kesalahan pemotongannya dapat
dihitung menggunakan pendekatan:
20
22
1
)(
2
)(
dx
xfdxR
∆≈ , (3.4.7)
dengan syarat 2
2
dx
fd kontinu. Kesalahan pemotongan tersebut dapat dilambangkan de-
ngan notasi lain yaitu 2)( xO ∆ .
Deret Taylor dapat digunakan untuk membentuk formula pendekatan untuk
turunan. Dari persamaan (3.4.6) dapat dihasilkan:
( )2
22
000 2
)()()(
dx
fdx
x
xfxxf
dx
xdf ζ∆−∆
−∆+= . (3.4.8)
Penghapusan ( )
∆−
22
2
2 dx
fdx ζ dari persamaan tersebut akan menghasilkan suatu formula
pendekatan beda hingga, yaitu:
x
xfxxf
dx
xdf
∆−∆+
≈)()()( 000 . (3.4.9)
50
Formula ini disebut pendekatan beda maju yang mendekati definisi turunan, namun
tanpa menggunakan limit 0→∆x . Formula pendekatan lain yang dapat dihasilkan
adalah pendekatan beda mundur, yaitu dengan cara mengganti x∆ dengan -∆x
pada persamaan (3.4.8) sehingga didapat:
( )2
22
000 2
)()()(
dx
fdx
x
xfxxf
dx
xdf ζ∆+∆−
−∆−= , (3.4.10)
di mana 020 xxx <<∆− ζ dan dengan penghapusan ( )2
22
2 dx
fdx ζ∆ menghasilkan:
x
xxfxf
x
xfxxf
dx
xdf
∆∆−−
=∆−
−∆−≈
)()()()()( 00000 . (3.4.11)
Penggantian x∆ dengan -∆x diperbolehkan karena persamaan (3.4.8) berlaku untuk
semua x∆ .
Formula pendekatan beda hingga yang lebih akurat dari pendekatan beda
maju dan beda mundur adalah pendekatan beda pusat. Pendekatan ini dihasilkan
dengan mengambil rata-rata dari kedua pendekatan sebelumnya. Proses tersebut
dimulai dengan menambahkan persamaan (3.4.8) dan persamaan (3.4.10), sehingga
diperoleh:
( ) ( )
−∆+
∆∆−−∆+
=2
22
22
2000
4 2
)()()(
dx
fd
dx
fdx
x
xxfxxf
dx
xdf ζζ. (3.4.12)
Nilai kesalahan pendekatan beda pusat ini dapat diperoleh dengan mengurangkan
deret Taylor untuk )( 0 xxf ∆+ dan deret Taylor untuk )( 0 xxf ∆− berikut:
51
...)(
!3
)()(
!2
)()()()(
30
33
20
220
00 +∆+∆+∆+=∆+dx
xfdx
dx
xfdx
dx
xdfxxfxxf , (3.4.13)
...)(
!3
)()(
!2
)()()()(
30
33
20
220
00 +∆−∆+∆−=∆−dx
xfdx
dx
xfdx
dx
xdfxxfxxf , (3.4.14)
sehingga didapat:
...)(
!3
)(2)(2)()(
30
330
00 +∆+∆=∆−−∆+dx
xfdx
dx
xdfxxxfxxf , (3.4.15)
kemudian hasil yang diharapkan adalah:
( )3
332
000 6
)(
2
)()()(
dx
fdx
x
xxfxxf
dx
xdf ζ∆−∆
∆−−∆+= , (3.4.16)
terlihat bahwa kesalahan pemotongannya adalah ( )3
33
6
2)(2 dx
fdxRζ∆
−= . Setelah R2 di-
hapuskan dari persamaan (3.4.16), maka hasil yang diinginkan adalah:
x
xxfxxf
dx
xdf
∆∆−−∆+
≈ 2
)()()( 000 . (3.4.17)
Alasan mengapa pendekatan beda pusat ini lebih akurat dibandingkan dengan
pendekatan beda maju dan beda mundur adalah bahwa kesalahan pemotongannya
adalah 2)( xO ∆ yang lebih kecil dari )( xO ∆ (karena x∆ kecil). Ketiga pendekatan
beda hingga yang telah didapatkan tersebut dikatakan konsisten dalam artian jika
0→∆x , maka kesalahan pemotongannya menjadi sangat kecil.
Selanjutnya dengan menambahkan persamaan (3.4.13) dan persamaan
(3.4.14), menghasilkan:
52
...)(
!4
)(2)()()(2)()(
40
44
20
22
000 +∆+∆+=∆−+∆+dx
xfdx
dx
xfdxxfxxfxxf . (3.4.18)
Jika persamaan tersebut dibawa ke bentuk 2
)0(2
dx
xfd , yaitu:
4
42
2000
20
2 )(
12
)(
)(
)()(2)()(
dx
fdx
x
xxfxfxxf
dx
xfd ζ∆−∆
∆−+−∆+= , (3.4.19)
kemudian dengan penghapusan sisanya, maka hasilnya adalah:
2000
20
2
)(
)()(2)()(
x
xxfxfxxf
dx
xfd
∆∆−+−∆+
≈ , (3.4.20)
yang merupakan pendekatan beda pusat untuk turunan kedua dengan kesalahan
pemotongannya adalah 2)( xO ∆ .
3. Turunan Parsial dalam Bentuk Pendekatan Beda Hingga
Penotasian turunan parsial dari suatu fungsi dengan dua variabel atau lebih,
pada dasarnya mengikuti penotasian turunan dari fungsi satu variabel (turunan biasa).
Oleh karena itu, untuk mendekati nilai dari turunan parsial suatu fungsi, dapat
digunakan formula pendekatan beda maju, beda mundur, atau beda pusat. Misal suatu
fungsi ),( yxu , jika menggunakan formula pendekatan beda pusat, maka turunan par-
sial fungsi u terhadap x ditulis:
x
yxxuyxxu
x
yxu
∆∆−−∆+
≈∂
∂2
),(),(),( 000000 (3.4.21)
dan turunan parsial u terhadap y,
53
y
yyxuyyxu
y
yxu
∆∆−−∆+
≈∂
∂2
),(),(),( 000000 . (3.4.22)
Contohnya pada persamaan Laplace 2
2
2
22
y
u
x
uu
∂
∂+
∂
∂=∇ , yaitu:
.)(
),(),( 2),(
)(
),(),( 2),(),(
2000000
2000000
002
y
yyxuyxuyyxu
x
yxxuyxuyxxuyxu
∆∆−+−∆++
∆∆−+−∆+≈∇
(3.4.23)
Formula ini menggunakan formula pendekatan beda pusat untuk turunan kedua de-
ngan nilai kesalahannya, yaitu nilai terbesar dari 2)( xO ∆ dan 2)( yO ∆ .
BAB IV
PENYELESAIAN BEDA HINGGA UNTUK PERSAMAAN PANAS DAN
GELOMBANG MENGGUNAKAN SEGITIGA PASCAL
Pada bab ini akan dibahas tentang penggunaan metode beda hingga untuk
menyelesaikan masalah persamaan panas dan persamaan gelombang. Penggunaan
metode beda hingga ini sebagai sebuah cara lain yang memberikan penyelesaian
berupa nilai hampiran. Pada metode beda hingga, akan ditemui persamaan-persamaan
beda hingga yang akan membentuk persamaan beda parsial dalam masalah per-
samaan panas dan persamaan gelombang. Persamaan beda hingga tersebut dapat
dibentuk dengan menggunakan aturan dalam segitiga Pascal.
A. Turunan Orde Tinggi dan Formulasi Segitiga Pascal untuk Persamaan Beda
Hingga
Pada subbab empat bab sebelumnya, telah disinggung mengenai beberapa me-
tode pendekatan beda hingga untuk turunan. Metode pendekatan beda hingga tersebut
dapat digunakan untuk mendapatkan turunan dengan orde, misal orde-m, secara
pendekatan. Turunan orde-m tersebut dapat dihasilkan jika turunan orde sebelumnya,
orde-(m-1), telah didapatkan. Berikut dijabarkan penggunaan metode pendekatan
beda hingga tersebut untuk menghasilkan turunan, diambil sampai orde ke-(m = 5).
55
1. Pendekatan Beda Maju untuk Turunan Orde Tinggi
Pendekatan beda maju dinyatakan dalam
x
xfxxf
dx
xdf
∆−∆+
≈)()()( 000 . (4.1.1)
Bentuk pendekatan tersebut akan menjadi panduan untuk membentuk turunan orde
selanjutnya. Turunan kedua didapatkan dengan cara menyatakan fungsi f di ruas
kanan pendekatan (4.1.1) dalam turunan pertamanya, yaitu dx
df , sedangkan ruas kiri-
nya diganti dengan notasi turunan ke-dua, yaitu 2
2
dx
fd . Cara tersebut menghasilkan
( ) ( )
)(
)()(2)2(
)()()()(
)()()(
2000
0000
00
20
2
x
xfxxfxxfx
xxfxxfxxxfxxxfx
xfxxf
dx
xfd dx
d
dx
d
∆+∆+−∆+
=
∆∆−∆+−∆∆+−∆+∆+
≈
∆−∆+
≈
.
(4.1.2)
Dengan tetap menyatakan f di ruas kanan pendekatan (4.1.2) sebagai dx
df dan
melakukan pergantian notasi turunan ke-tiga fungsi f, yaitu 3
3
dx
fd , terhadap 2
2
dx
fd di ruas
kiri, maka didapatkan bentuk pendekatan untuk turunan ke-tiga:
( ) .
)(
)()(3)(3)3(
)()(2)2()(
30000
2
000
30
3
x
xfxxfxxfxxf
x
xfxxfxxf
dx
xfd dx
d
dx
d
dx
d
∆−∆++∆+−∆+≈
∆+∆+−∆+
≈
(4.1.3)
Turunan ke-empat dan ke-lima dihasilkan dengan menggunakan cara yang sama,
56
400
000
40
4
)(
)()(4
)2(6)3(4)4(
)(
x
xfxxf
xxfxxfxxf
dx
xfd
∆+∆+
−∆++∆+−∆+
≈ , (4.1.4)
500
0000
50
5
)(
)()(5
)2(10)3(10)4(5)5(
)(
x
xfxxf
xxfxxfxxfxxf
dx
xfd
∆−∆++
∆+−∆++∆+−∆+
≈ . (4.1.5)
2. Pendekatan Beda Mundur untuk Turunan Orde Tinggi
Selanjutnya turunan tiap orde dihasilkan dengan menggunakan pendekatan
beda mundur,
x
xxfxf
dx
xdf
∆∆−−
≈)()()( 000 . (4.1.6)
Seperti pada pendekatan beda maju, pendekatan beda mundur (4.1.6) dijadikan pan-
duan dalam menghasilkan turunan. Jika dx
df disubstitusi dengan 2
2
dx
fd di ruas kiri
pendekatan (4.1.6) dan f di ruas kanan dinyatakan dalam dx
df , maka menghasilkan
. )(
)2()(2)(
)()()(
2000
00
20
2
x
xxfxxfxfx
xxfxf
dx
xfd dx
d
dx
d
∆∆−+∆−−≈
∆∆−−
≈
(4.1.7)
Penggunaan analisis yang sama, yakni dengan menerapkan pendekatan (4.1.6) di ruas
kanan setiap turunan orde ke-m akan menghasilkan turunan orde ke-(m+1),
30000
30
3
)(
)3()2(3)(3)()(
x
xxfxxfxxfxf
dx
xfd
∆∆−−∆−+∆−−
≈ , (4.1.8)
57
40
0000
40
4
)(
)4(
)3(4)2(6)(4)(
)(
x
xxf
xxfxxfxxfxf
dx
xfd
∆∆−+
∆−−∆−+∆−−
≈ , (4.1.9)
500
0000
50
5
)(
)5()4(5
)3(10)2(10)(5)(
)(
x
xxfxxf
xxfxxfxxfxf
dx
xfd
∆∆−−∆−+
∆−−∆−+∆−−
≈ . (4.1.10)
Karakteristik 4.1
Jika bentuk-bentuk turunan tiap orde yang telah dihasilkan menggunakan
pendekatan beda maju dan beda mundur diamati, maka terlihat bahwa hal-hal berikut
terjadi saat orde turunan meningkat dari 1=m ke 5=m :
1. perubahan tanda di setiap koefisien pada turunan orde-m (-/+),
2. perubahan pangkat dari penyebut pada tiap turunan (∆x). Besar pangkat berse-
suaian dengan orde turunan,
3. jumlah titik yang dievaluasi bertambah sesuai dengan orde turunan, terdapat m
titik tambahan untuk turunan ke-m:
a. pada beda maju, titik-titiknya berada di “depan” titik awal x0, yang ber-
jarak sama, yaitu x∆ ,
b. pada beda mundur, titik-titiknya berada di “belakang” titik awal x0, yang
berjarak sama, yaitu x∆ .
3. Pendekatan Beda Pusat untuk Turunan Orde Tinggi
Sekarang mengacu pada pendekatan beda pusat,
58
x
xxfxxf
dx
xdf
∆∆−−∆+
≈2
)()()( 000 , (4.1.11)
akan dicari hasil-hasil turunannya. Namun sebelumnya, pendekatan beda pusat
(4.1.11), ditulis dalam bentuk
( ) ( )x
xxfxxf
dx
xdf
∆∆−−∆+
≈ 2
102
100 )(
. (4.1.12)
Bentuk ini dihasilkan dari mengambil nilai ∆x baru adalah setengah dari ∆x lama.
Pendekatan (4.1.12), dijadikan panduan untuk membentuk turunan. Sama halnya
dengan dua pendekatan sebelumnya, pembentukkan turunan dengan pendekatan beda
pusat menggunakan substitusi f di ruas kanan dengan dx
df . Pada turunan kedua, yaitu:
( ) ( )
. )(
)()(2)(
)(
2000
2
102
10
20
2
x
xxfxfxxfx
xxfxxf
dx
xfd dx
d
dx
d
∆∆−+−∆+≈
∆∆−−∆+
≈
(4.1.13)
Turunan orde selanjutnya adalah
( ) ( ) ( )( )
32
30
2
102
102
30
30
3
)(
33
)(
x
xxf
xxfxxfxxf
dx
xfd
∆∆−−
∆−+∆+−∆+
≈ , (4.1.14)
40
0000
40
4
)(
)2(
)(4)(6)(4)2(
)(
x
xxf
xxfxfxxfxxf
dx
xfd
∆∆−+
∆−−+∆+−∆+
≈ , (4.1.15)
( ) ( ) ( )( ) ( ) ( )
52
502
302
10
2
102
302
50
50
5
)(
510
105
)(
x
xxfxxfxxf
xxfxxfxxf
dx
xfd
∆∆−−∆−+∆−−
∆++∆+−∆+
≈ . (4.1.16)
59
Oleh karena pada pembahasan persamaan panas dan gelombang, fungsi yang
dipakai adalah ),( txu , maka fungsi f diganti dengan u. Untuk memahami konsep,
fungsi ),( txu akan dinyatakan sebagai fungsi dengan variabel tunggal x, yaitu )(xu .
Jika fungsi u dinyatakan sebagai fungsi pendekatan terhadap nilai sebenarnya dari
)( 0xf , di titik 0xx = , maka pendekatan (4.1.1), dapat ditulis kembali secara lebih
tepat dalam bentuk
x
xuxxu
dx
xdu
∆−∆+
=)()()( 000 . (4.1.17)
Dengan demkian, nilai )( 0xudx
d di ruas kiri dihasilkan oleh fungsi u di ruas kanan se-
cara pendekatan. Persamaan (4.1.17) kemudian disebut sebagai persamaan beda
hingga. Oleh karena persamaan (4.1.17) mengacu pada pendekatan beda maju
(4.1.1), maka persamaan tersebut secara lebih tepat disebut persamaan beda maju.
Jika hasil-hasil turunan sebelumnya yang telah dihasilkan dengan menggunakan
pendekatan beda maju, didapatkan kembali dengan menggunakan persamaan beda
maju maka diperoleh hasil-hasil pada Tabel 4.1. Analisa fungsi )( 0xu untuk
pendekatan beda maju juga diterapkan untuk pendekatan beda mundur, sehingga di-
dapat persamaan beda mundur,
x
xxuxu
dx
xdu
∆∆−−
=)()()( 000 . (4.1.18)
Penggunaan persamaan (4.1.18) untuk mendapatkan turunan orde-m memberikan ha-
sil-hasil pada Tabel 4.2.
60
Tabel 4.1 Hasil-hasil turunan orde tinggi menggunakan persamaan beda maju
Orde (m)
Persamaan beda maju untuk turunan orde-m
1 x
xuxxu
dx
xdu
∆−∆+
=)()()( 000
2 ( )2000
20
2 )()(2)2()(
x
xuxxuxxu
dx
xud
∆+∆+−∆+
=
3 ( )30000
30
3 )()(3)2(3)3()(
x
xuxxuxxuxxu
dx
xud
∆−∆++∆+−∆+
=
4 ( )400000
40
4 )()(4)2(6)3(4)4()(
x
xuxxuxxuxxuxxu
dx
xud
∆+∆+−∆++∆+−∆+
=
5
( )500
0000
50
5 )()(5
)2(10)3(10)4(5)5(
)(
x
xuxxu
xxuxxuxxuxxu
dx
xud
∆−∆++
∆+−∆++∆+−∆+
= .
Tabel 4.2 Hasil-hasil turunan orde tinggi menggunakan persamaan beda mundur
Orde (m)
Persamaan beda mundur untuk turunan orde-m
1 x
xxuxu
dx
xdu
∆∆−−
=)()()( 000
2 ( )2000
20
2 )2()(2)()(
x
xxuxxuxu
dx
xud
∆∆−+∆−−
=
3 ( )30000
30
3 )3()2(3)(3)()(
x
xxuxxuxxuxu
dx
xud
∆∆−−∆−+∆−−
=
4 ( )400000
40
4 )4()3(4)2(6)(4)()(
x
xxuxxuxxuxxuxu
dx
xud
∆∆−+∆−−∆−+∆−−
=
5
( )500
0000
50
5 )5()4(5
)3(10)2(10)(5)(
)(
x
xxuxxu
xxuxxuxxuxu
dx
xud
∆∆−−∆−+
∆−−∆−+∆−−
= .
Jika pendekatan beda pusat dinyatakan dalam fungsi )( 0xu , maka diperoleh
61
x
xxuxxu
dx
xdu
∆
∆−−
∆+= 2
1
2
1)( 00
0 , (4.1.19)
yang disebut persamaan beda pusat. Turunan-turunan orde-m yang berkaitan
diberikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil-hasil turunan orde tinggi menggunakan persamaan beda pusat
Orde (m)
Persamaan beda pusat untuk turunan orde-m
1 ( ) ( )
x
xxuxxu
dx
xdu
∆∆−−∆+
= 2
102
100 )(
2 ( )2000
20
2 )()(2)()(
x
xxuxuxxu
dx
xud
∆∆−+−∆+
=
3 ( ) ( ) ( ) ( )
32
302
102
102
30
30
3
)(
33)(
x
xxuxxuxxuxxu
dx
xud
∆∆−−∆−+∆+−∆+
=
4 400000
40
4
)(
)2()(4)(6)(4)2()(
x
xxuxxuxuxxuxxu
dx
xud
∆∆−+∆−−+∆+−∆+
=
5
( ) ( ) ( ) ( )( ) ( )
52
502
30
2
102
102
302
50
50
5
)(
5
10105
)(
x
xxuxxu
xxuxxuxxuxxu
dx
xud
∆∆−−∆−+
∆−−∆++∆+−∆+
= .
Pengamatan pada turunan-turunan orde-m yang telah diperoleh dengan menggunakan
persamaan beda maju, beda pusat, dan beda mundur, memberikan suatu hasil yang
akan dapat membantu dalam pembentukkan turunan. Hasil tersebut adalah adanya
suatu pola bilangan yang khas pada koefisien-koefisien tiap turunan. Pola bilangan
tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pola tersebut adalah pola
bilangan dalam segitiga Pascal. Jika setiap lajur horisontal pada pola tersebut dina-
62
makan baris segitiga Pascal, maka dapat diamati bahwa setiap baris berkores-
pondensi dengan orde dari turunan. Sementara itu, tiap elemen di baris tersebut ber-
korespondensi dengan besarnya koefisien-koefisien tiap turunan.
1 1
1 2 1
1 3 3 1
1 4 6 4 1
1 5 10 10 5 1 .
Gambar 4.1 Pola Segitiga Pascal
4. Formulasi Segitiga Pascal untuk Persamaan Beda Hingga
Sekarang akan dibahas tentang perumusan formula sebagai pembentuk per-
samaan beda hingga untuk turunan. Pertama, letak baris pada segitiga Pascal dide-
finisikan sebagai m, dan posisi elemennya didefinisikan sebagai q. Secara umum, le-
tak baris dan elemen dimulai dari nol, yaitu 0=m dan 0=q . Pada hasil-hasil tu-
runan orde-m yang telah didapat, orde turunan terendah adalah 1=m . Oleh karena
turunan orde-nol dari fungsi u adalah fungsi u sendiri, )()( 00)0( xuxu = , maka hasil
tersebut tidak dituliskan. Dengan demikian letak baris pada segitiga Pascal dimulai
dari 1=m sampai m berikutnya (sebagai contoh, orde tertinggi turunan yang telah
didapat adalah 5=m ).
Setiap elemen pada segitiga Pascal di baris ke-m dan urutan ke-q, dapat di-
nyatakan dalam bentuk kombinasi, yaitu:
Lajur horisontal
63
)!(!
!
qmq
m
q
m
−=
. (4.1.20)
Oleh karena itu, setiap koefisien pada persamaan beda hingga untuk turunan orde-m,
dinotasikan dalam
∆−
q
m
x m
q
)(
)1(. (4.1.21)
Notasi tersebut dibuat berdasarkan pada Karakteristik 4.1, sedemikian sehingga pe-
rubahan tanda (-/+) dan perubahan pangkat penyebut dapat disesuaikan.
Langkah selanjutnya adalah membentuk rumusan untuk perubahan jumlah ti-
tik-titik yang dievaluasi saat orde turunan meningkat. Perhatikan hasil-hasil pada Ta-
bel 4.1 dan Tabel 4.2, dapat diamati bahwa
a. pada persamaan beda maju, titik yang dievaluasi berawal dari titik
xmx ∆+0 saat 0=q dan menurun hingga titik 0x saat mq = ,
b. pada persamaan beda mundur, titik yang dievaluasi berawal dari titik 0x
saat 0=q dan menurun ke titik xmx ∆−0 saat mq = .
Dengan demikian, menurut analisis tersebut secara berurutan fungsi u yang berkaitan
dengan titik yang dievaluasi untuk persamaan beda maju dan persamaan beda mundur
dinyatakan dalam [ ]xqmxu ∆−+ )(0 dan )( 0 xqxu ∆− . Oleh karena itu, secara kese-
luruhan persamaan beda maju untuk turunan orde-m ditulis dalam formula
[ ]xqmxuq
m
xdx
xud m
q
qmm
m
∆−+
−
∆= ∑
=
)( )1()(
1)(0
0
0 (4.1.22)
64
dan persamaan beda mundur untuk turunan orde-m adalah
)( )1()(
1)(0
0
0 xqxuq
m
xdx
xud m
q
qmm
m
∆−
−
∆= ∑
=. (4.1.23)
Pada Tabel 4.3 khususnya untuk turunan orde ganjil, m = 1, 3, 5, dapat dilihat
bahwa titik-titik yang dievaluasi jaraknya terhadap titik awal 0x , tidak tepat bulat
dengan selang ukur ∆x, yaitu: ,... ,2
302
10 xxxx ∆±∆± . Oleh karena itu, formula untuk
persamaan beda pusat hanya diterapkan pada turunan orde genap. Titik yang di-
evaluasi berawal dari titik )(20 xx m ∆+ saat 0=q dan turun hingga titik )(
20 xx m ∆−
saat mq = . Jadi fungsi u yang berkaitan dengan titik yang dievaluasi untuk per-
samaan beda pusat adalah [ ]xqxu m ∆−+ )(20 . Dengan demikian, formula persamaan
beda pusat untuk turunan orde genap adalah
∆
−+
−
∆= ∑
=
xqm
xuq
m
xdx
xud m
q
qmm
m
2 )1(
)(
1)(0
0
0 . (m = genap) (4.1.24)
Jika ketiga formula persaman beda hingga yang telah didapatkan tersebut
diamati, maka perbedaan yang muncul hanyalah pada fungsi yang berkaitan dengan
titik-titik yang dievaluasi. Oleh karenanya, ketiga formula tersebut dapat ditulis kem-
bali secara lebih umum, yaitu:
)( )1()(
1)(
0,0
0 ∑=
−
∆=
m
qqm
qmm
m
xuq
m
xdx
xud, (4.1.25)
dengan
65
[ ]
[ ]
∆−+∆−
∆−+=
;)(
);(
;)(
)(
20
0
0
,0
xqxu
xqxu
xqmxu
xum
qm
B. Penerapan pada Persamaan Panas dan Persamaan Gelombang
1. Persamaan Panas (Difusi)
Persamaan panas yang telah didapat adalah:
).,( , 2
2
txuux
uk
t
u =∂∂=
∂∂
(4.2.1)
Subbab ini akan membahas tentang penggunaan metode beda hingga dalam mencari
penyelesaian dari persamaan (4.2.1) dengan domain ∞<<<< tLx 0 ,0 . Masalah
persamaan panas ini menggunakan syarat batas:
0),(
0),0(
==
tLu
tu , (4.2.2)
dan syarat awal:
)()0,( xfxu = . (4.2.3)
a. Persamaan Beda Parsial
Sebelumnya pada pembentukkan persamaan beda hingga menggunakan segi-
tiga Pascal, fungsi yang digunakan adalah )(xu . Sekarang, fungsi tersebut dinyatakan
sebagai fungsi dengan dua variabel, yaitu ),( txu , yang dievaluasi di titik 0xx = dan
persamaan beda maju
persamaan beda mundur
persamaan beda pusat (m = genap)
66
0tt = . Hal ini terkait dengan persamaan panas yang akan dibahas. Persamaan beda
hingga yang digunakan untuk kedua turunan parsial tersebut secara berurutan adalah
persamaan beda maju dan persamaan beda pusat. Jika formula persamaan beda maju
(4.1.22) yang telah dihasilkan sebelumnya, diterapkan untuk turunan parsial t
u
∂∂ , tentu
saja dengan penyesuaian notasi dari satu variabel )( 0xu ke dua variabel ),( 00 txu ,
maka didapatkan
( ) [ ]
.),(),(
),( 1
1),(
0
11
)1(, 1
)1(1,
00000000
00
1
0
00
t
txuttxutxuttxu
t
tqtxuqtt
txu
q
q
∆−∆+=
−∆+
∆=
∆−+
−
∆=
∂∂
∑=
(4.2.4)
Sementara itu, jika formula persamaan beda pusat (4.1.24) yang telah dihasilkan, di-
terapkan untuk turunan parsial 2
2
x
u
∂
∂ , juga dengan penyesuaian, maka dihasilkan
( ) ( )[ ]
.)(
),(),(2),(
, 2
)1()(
1,
2000000
02
20
2
022
002
x
txxutxutxxu
txqxuqxx
txu
q
q
∆∆−+−∆+=
∆−+
−
∆=
∂∂
∑=
(4.2.5)
Jika kedua hasil persamaan beda hingga tersebut disubstitusikan ke persamaan panas
(4.2.1), maka diperoleh
20000000000
)(
),(),(2),(),(),(
x
txxutxutxxuk
t
txuttxu
∆∆−+−∆+
=∆
−∆+. (4.2.6)
Nilai ),( 00 txu yang dihasilkan oleh persamaan ini, diharapkan secara akurat
mendekati nilai sebenarnya dari penyelesaian eksak persamaan panas.
67
Interval letak, Lx <<0 , dibagi menjadi sejumlah titik-titik terpisah yang
dipisahkan oleh selang ukur x∆ yang sama. Jika dimisalkan N adalah jumlah selang
ukur x∆ yang membagi Lx <<0 , maka N
Lx =∆ . Nilai tiap titiknya adalah
Lxxxxxx N =∆=∆== ..., , 2 , ,0 210 , (4.2.7)
atau secara umum ditulis
Njxjx j ..., 2, 1, ,0 , =∆= . (4.2.8)
Diskretisasi interval kontinu, Lx <<0 , juga diterapkan untuk interval waktu
∞<< t0 :
... 2, 1, ,0 , =∆= mtmtm . (4.2.9)
Gambar 4.2 Diskretisasi selang letak dan waktu
Nilai penyelesaian ),( 00 txu dari persamaan (4.2.6) di tiap titik dalam domain
dinyatakan dengan ),( mj txu . Untuk penyederhanaan penulisan, ),( mj txu dinotasi-
kan dengan
)(),( mjmj utxu ≡ , (4.2.10)
68
yang menyatakan penyelesaian eksak dari persamaan (4.2.6) di titik jx pada saat
mtt = . Diskretisasi dari persamaan panas (4.2.1), dengan memperhatikan perubahan
notasi-notasi xx ∆+0 menjadi 1+=∆+ jj xxx dan tt ∆+0 menjadi 1+=∆+ mm ttt ,
menghasilkan persamaan:
( )2
)(1
)()(1
)()1( 2
x
uuuk
t
uu mj
mj
mj
mj
mj
∆+−
=∆
− −++
, (4.2.11)
dengan 1 ..., 3, 2, ,1 −= Nj dan =m 0, 1, 2, 3, …. Persamaan (4.2.11) disebut per-
samaan beda parsial yang menjadi persamaan beda hingga untuk persamaan (4.2.1).
Syarat awal (4.2.3) akan dipenuhi oleh )(mju dengan 0=m , yaitu:
)()()0,()0(jj xfxfxuu === , (4.2.12)
dengan Njxjx j ..., 2, 1, ,0 , =∆= . Selain itu, )(mju juga memenuhi syarat batas
(4.2.2):
0),(
0),0()(
)(0
==
==
tLuu
tuum
N
m
, dengan 0>t . (4.2.13)
b. Perhitungan Numerik
Pada perhitungan numerik dari persamaan (4.2.11), dibutuhkan persamaan
yang lebih mudah untuk dieksekusi. Oleh karena itu, persamaan (4.2.11) diubah ke
dalam bentuk
( ))(1
)()(1
)()1( 2 mj
mj
mj
mj
mj uuusuu −+
+ +−+= , (4.2.14)
69
dengan 2)( x
tks∆
∆= . Persamaan (4.2.14) dieksekusi untuk menghitung nilai fungsi u di
titik ),( 1+mj txu yang membutuhkan nilai fungsi u di tiga titik sekitarnya pada mtt =
(Gambar 4.3). Persamaan (4.2.14) disebut persamaan eksplisit, karena perhitungan-
nya hanya membutuhkan nilai-nilai di posisi yang sama. Penggunaan syarat awal
(4.2.12), sangat membantu untuk memulai perhitungan dari persamaan (4.2.14). Sete-
lah )1(ju didapatkan, maka perhitungan selanjutnya menggunakan pola yang sama.
Pada saat perhitungan di titik-titik yang berada satu selang, x∆ , dari batas (pada j = 1
atau j = N -1), maka persamaan (4.2.14) memerlukan nilai fungsi u di titik batas (pada
j = 0 atau j = N). Nilai fungsi u tersebut dihasilkan dari syarat batas (4.2.13).
Gambar 4.3 Hitung maju dalam waktu untuk perhitungan numerik persamaan panas
Berikut contoh proses perhitungan dari persamaan (4.2.14).
1) Misalkan bahwa syarat awal dari persamaan panas didefinisikan bernilai tak-nol
di satu titik yang bukan titik batas, yakni
0)( )0( ≠= kk uxf , ,dan 0 Nkk ≠≠
sedangkan titik lainnya bernilai nol,
70
kjuxf jj ≠== ,0)( )0( .
2) Pada perhitungan pertama, )1(ju , penyelesaian yang didapat bernilai tak-nol di tiga
titik, yaitu
0dan ,0 ,0 )1(1
)1()1(1 ≠≠≠ +− kkk uuu ,
sementara itu, di titik-titik lainnya bernilai nol,
1 ..., ,2 ,2 ..., ,1 ,0)1( −+−== Nkkju j .
3) Proses ini terus berlanjut, yaitu setiap maju dalam waktu ( mt ), maka perhitungan
“berjalan ke kanan” menuju ke setiap titik (jx ), seperti yang diilustrasikan dalam
Gambar 4.4 . Tanda bintang menyatakan titik tak-nol.
Gambar 4.4 Arah proses perhitungan
c. Penyelesaian Diskret Persamaan Panas dan Analisa Kestabilan serta
Kekonvergenan Penyelesaian Beda Hingga
Masalah persamaan beda parsial yang dicari penyelesaian diskretnya adalah
persamaan beda parsial: ( ))(1
)()(1
)()1( 2 mj
mj
mj
mj
mj uuusuu −+
+ +−+= , (4.2.15)
syarat awal: jjj fxfu == )()0( , (4.2.16)
71
syarat batas: 0dan 0 )()(0 == m
Nm uu , (4.2.17)
dengan 2)( x
tks∆
∆= , , tmtxjx mj ∆=∆= .
1) Metode Pemisahan Variabel untuk Persamaan Beda Parsial
Langkah-langkah pemisahan variabel untuk persamaan beda parsial per-
samaan panas tidak jauh berbeda dari yang telah diterapkan pada persamaan diferen-
sial parsialnya. Penyelesaian dari persamaan (4.2.15), dimisalkan memiliki bentuk
mjm
j Wu ψ=)( . (4.2.18)
Pensubstitusian persamaan (4.2.18) ke persamaan (4.2.15) menghasilkan
( )mjmjmjmjmj WWWsWW 111 2 −++ +−+= ψψψψψ .
Jika persamaan tersebut dikalikan dengan mjWψ
1 , maka diperoleh
−
++= −++ 21 111
j
jj
m
m sW
W
ψψψ
.
Oleh karena pada persamaan tersebut variabel-variabelnya telah dipisahkan,
maka dapat didefinisikan suatu konstanta pemisahan λ , sehingga
λψ
ψψ=
−
++= −++ 21 111
j
jj
m
m sW
W. (4.2.19)
Jadi, dari persamaan (4.2.19) dapat dihasilkan dua persamaan beda hingga, yaitu
mm WW λ=+1 , (4.2.20)
72
.21
11 jjjs
s ψλψψ
+−=+ −+ (4.2.21)
Persamaan (4.2.21) mempunyai dua syarat batas, yakni 0dan 00 == Nψψ . Syarat
batas tersebut didapat dari (4.2.17).
a) Penyelesaian Persamaan Beda Hingga terhadap Waktu
Persamaan beda hingga terhadap waktu,
mm WW λ=+1 , λ konstan, (4.2.22)
dapat diselesaikan dengan cara berikut. Pertama, dengan menggunakan persamaan
(4.2.22), dihasilkan
( ) 03
302
01201 , , WWWWWWWW λλλλλλ ===== .
Pola tersebut berlaku untuk setiap m. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
penyelesaian dari persamaan (4.2.22) adalah
0WW mm λ= ,
dengan 0W adalah syarat awalnya. Jika diasumsikan terdapat suatu penyelesaian Q
sehingga mm QW = , maka dengan mensubstitusikannya ke persamaan (4.2.22) dida-
patkan mm QQ λ=+1 , yang menghasilkan 0QQ mm λ= ⇔ λ=Q .
b) Penyelesaian Persamaan Beda Hingga terhadap Letak (space)
Persamaan beda hingga,
73
jjj s
s ψλψψ
+−=+ −+21
11 , (4.2.23)
dengan s
s21+−λ konstan, diselesaikan dengan terlebih dahulu melakukan substitusi
jj Q=ψ . Kedua syarat batas dari persamaan (4.2.23), yakni 0dan 00 == Nψψ ,
mengakibatkan penyelesaian yang dapat terbentuk adalah penyelesaian yang berosi-
lasi. Hal ini dapat terjadi jika Q kompleks, sehingga dengan menggunakan bentuk
polar dari Q, jψ dapat ditulis,
( ) eee x
xi
x
xjijjij
j
jj
QQQQ ∆∆==== ωωωψ , Qarg=ω .
Jika jj Q=ψ disubstitusikan pada persamaan (4.2.23), maka didapatkan
.012121121 211 =+
+−−⇔+−=+⇔
+−=+ −+ Qs
sQ
s
s
QQQ
s
sQQ jjj λλλ
Misalkan ps
s =+− 21λ , maka 2
42 −±= ppQ . Oleh karena Q kompleks, maka
22 44 pip −=− sehingga 2
4 2pipQ −±= . Jadi,
114
4
4
222 =⇒=−+= Q
ppQ .
Dengan kata lain, untuk mendapatkan penyelesaian yang berosilasi, maka |Q| ha-
ruslah bernilai 1. Dengan demikian, jψ dapat ditulis kembali menjadi
eee jjjj
xix
xi
x
xi
x
x
j Qαωωψ === ∆∆∆ ,
x∆= ωα . (4.2.24)
Pensubstitusian persamaan (4.2.24) ke persamaan (4.2.23) menghasilkan
74
( ) ( )
.21
21
s
s
s
s
ee
eeexixi
xixxixxi jjj
+−=+
+−=+
∆−∆
∆−∆+
λ
λ
αα
ααα
Penerapan identitas 2
cosiziz eez
−+= di ruas kiri persamaan tersebut berakibat
( )s
sx
21cos2
+−=∆ λα . (4.2.25)
Oleh karena persamaan (4.2.25) adalah fungsi kosinus, maka dengan mem-
perhatikan sifat dari fungsi kosinus, yakni )cos()cos( ββ −= , secara langsung dapat
disimpulkan, bahwa terdapat dua nilai α yang berbeda tanda yang memenuhi per-
samaan (4.2.25). Jadi, e jxi
j
αψ ±= atau
)cos()sin( 21 jjj xcxc ααψ += . (4.2.26)
Jika syarat batas diterapkan pada persamaan (4.2.26), maka diperoleh nilai-nilai
02 =c dan L
nπα = , n = 1, 2, …, N – 1. Oleh karena itu, hasil yang diharapkan adalah
L
xn jj
πψ sin= .
2) Penyelesaian Diskret Persamaan Panas
Langkah awal untuk mendapatkan penyelesaian diskret dari persamaan panas
adalah dengan kembali menyatakan penyelesaian persamaan (4.2.15), dalam bentuk
mximj Qu e jα=)( . (4.2.27)
75
Bentuk penyelesaian tersebut didapatkan dari pembahasan sebelumnya. Berikutnya,
dengan mensubstitusikan persamaan (4.2.27) ke persamaan (4.2.15),
( )mxiximximxiximximxiQQQsQQ eeeeeee jjjjj ∆−∆+ +−+= ααααααα
21 ,
dan mengalikannya dengan mjxi
Qeα
1 , diperoleh
( )eexixi
sQ∆−∆ ++−+= αα
21 ,
yang ekuivalen dengan
( )[ ] ( )[ ]xsxsQ ∆−−=∆+−+= αα cos121cos221 . (4.2.28)
Penggunaan analisis yang sama seperti pada bagian a) dan b) sebelumnya, memberi-
kan hasil berikut:
t
t
jmj
m
L
xns
L
xnu
∆
∆−−
= ππ
cos121sin)( , (4.2.29)
dengan mt
tm =∆ dan n = 1, 2, …, N – 1 .
Selanjutnya, dijelaskan tentang fungsi eigen persamaan beda parsial per-
samaan panas. Pada persamaan beda parsial hanya terdapat N – 1 fungsi eigen, yaitu
N
jn
L
xjn
L
xn jj
πππψ sinsinsin =∆== , n = 1, 2, …, N – 1. (4.2.30)
Selanjutnya dijelaskan bagaimana hal tersebut terjadi.
Misalkan, diambil n=N, maka fungsi eigennya bernilai nol, yaitu
jjj ∀== ,0sinπψ . Sedangkan untuk n = N + 1, fungsi eigennya adalah
76
N
jN
N
jNj
N
jj
N
j
N
jNj
πππππππψ )1(sin
)1(sinsinsin
)1(sin
−−=−=
−=
+=+= .
Jadi untuk n = N + 1 fungsi eigennya adalah negatif dari fungsi eigen untuk
1−= Nn . Fungsi eigen untuk n = N – 1 juga dapat dituliskan sebagai
N
j
N
jN jj
ππψ sin)1()1(
sin 1+−=−= ,
dengan perubahan tanda (-/+) di setiap j. Fungsi eigen tersebut adalah fungsi eigen
dengan panjang gelombang terpendek. Sketsa fungsi eigen pada Gambar 4.5, dengan
mengambil N = 7, menjelaskan hasil-hasil tersebut.
0 1 2 3 4 5 6 70
0.5
1
0 1 2 3 4 5 6 7-1
0
1
0 1 2 3 4 5 6 7-1
0
1
Gambar 4.5 Fungsi eigen untuk penyelesaian diskret
Berdasarkan hal-hal tersebut penyelesaian diskret yang dihasilkan adalah
∑−
=
∆
−−
=
1
1
)( cos121sinN
n
t
t
jn
mj
m
N
ns
L
xnGu
ππ, (4.2.31)
(n = 6) ψj = sin(6πj/7) ψj = (-1)j+ 1 sin(πj/7)
(n = 2) ψj = sin(2πj/7)
(n = 1) ψj = sin(πj/7)
77
dengan 2)( x
tks∆
∆= , x
LN ∆= , Gn konstan, yang dihasilkan dengan menggunakan prinsip
superposisi yang diperluas.
3) Kestabilan dan Kekonvergenan Penyelesaian Beda Hingga
Perbandingan penyelesaian diskret persamaan panas terhadap penyelesaian
eksaknya, difokuskan pada bentuk penyelesaiannya. Jika dimisalkan
ttxx mj == dan , maka bentuk penyelesaian dari dua penyelesaian tersebut adalah
t
t
mj N
ns
L
xnu
∆
−−
= ππcos121sin)( , n = 1, 2, …, N – 1
et
L
nk
L
xntxu
2
sin),(
−
=ππ
, n = 1, 2, ….
Jika kedua penyelesaian tersebut diamati, maka tampak bahwa bagian sinusnya iden-
tik. Oleh karena itu, yang menjadi fokus pembahasan untuk kestabilan dan kekonver-
genan adalah bagian
t
t
N
ns
∆
−− πcos121 dan e
tL
nk
2
− π.
a) Kestabilan
Analisa kestabilan dilakukan dengan memperhatikan beberapa kemungkinan
dari nilai Q pada
78
t
t
m
N
nsQQ
t
t ∆
−−== ∆ πcos121 . (4.2.32)
Untuk nilai Q positif, Q dinyatakan sebagai fungsi eksponen, yakni eQ
Qln= . Jika
1>Q , maka
( ) eet
t
QQt
t t
t
Q
∆∆ ==∆ ln
ln, (4.2.33)
bergerak naik secara eksponensial terhadap waktu. Jika Q berada di dalam interval
(0,1), maka dari persamaan (4.2.33), tt
Q∆ meluruh secara eksponensial saat ∞→t .
Sementara itu, jika Q = 1, maka untuk sepanjang waktu tt
Q∆ konstan.
Sekarang perhatikan persamaan (4.2.32) untuk kondisi Q negatif. Nilai Q
yang negatif ini, berakibat pada berosilasinya tt
Q∆ ,
=∆
∆∆
jika ,
jika ,
ganjil t
t
genap t
t
negatif
positifQ t
t
.
Jika 1−<Q , maka t
t
Q∆ berosilasi tanpa batas terhadap waktu (divergen). Sebaliknya,
t
t
Q∆ akan berosilasi secara terbatas terhadap waktu (konvergen), jika 01 <<− Q .
Sedangkan, t
t
Q∆ berosilasi secara tetap sepanjang waktu, saat 1−=Q . Nilai-nilai
t
t
Q∆ diilustrasikan dalam Gambar 4.6.
79
1
0 < Q < 1
1
Q = 1
1
Q > 1
Gambar 4.6 Penyelesaian t
t
Q∆ terhadap nilai-nilai dari Q
Berdasarkan pada “perilaku” t
t
Q∆ terhadap kemungkinan-kemungkinan nilai
Q, maka dapat disimpulkan bahwa, jika 1≤Q , maka penyelesaian )(mju stabil. Se-
mentara itu, jika 1>Q , maka )(mju tak stabil. Oleh karena itu, analisa kestabilan di-
fokuskan pada 1≤Q , yang ekuivalen dengan
11 ≤≤− Q . (4.2.34)
Penggunaan nilai ( )[ ]N
nsQ πcos121 −−= dalam ketaksamaan (4.2.34),
( )[ ] 1cos1211 ≤−−≤−N
ns π ,
berakibat
( )N
ns πcos1
10
−≤≤ .
Menurut hasil tersebut, akan dicari nilai-nilai s yang memenuhi
80
( )N
ns πcos1
1
−≤ , n = 1, 2, …, N – 1 .
Oleh karena untuk setiap n, 1cos <N
nπ , maka 2cos1 <−N
nπ . Jadi kestabilan
dari penyelesaian beda hingga dapat dijamin oleh karakteristik nilai s berikut:
( )N
ns πcos1
1
2
1
−<≤ . (4.2.35)
Dengan demikian diperoleh
( ) 2
12
≤∆
∆=x
tks ,
yang ekuivalen dengan
( )k
xt
2
2∆≤∆ . (4.2.36)
Ketaksamaan (4.2.36), menjelaskan bahwa, jika x∆ kecil, maka besarnya t∆ jauh
lebih kecil. Hal ini berakibat pada lamanya waktu perhitungan numerik dari masalah
persamaan panas.
Secara umum, kestabilan dapat diperlihatkan dengan menggunakan definisi
tentang kestabilan. Misalkan suatu persamaan beda parsial dari persamaan diferensial
parsial homogen dapat dinotasikan dengan )()1( mm Quu =+ , 0≥m , dan norm dari u
dinyatakan oleh )()( sup mj
j
m u∞<<∞−∞
=u .
Definisi 4.2.1
81
Persamaan )()1( mm Quu =+ , 0≥m , dikatakan stabil, terhadap norm ⋅ , jika terdapat
konstanta positif 0x∆ dan 0t∆ dan konstanta non-negatif K dan β sehingga
)0()1( uu tm Keβ≤+ , untuk ,)1(0 tmt ∆+=≤ 00 xx ∆≤∆< dan 00 tt ∆≤∆< .
Dengan menggunakan definisi tersebut, akan diperlihatkan bahwa nilai 2
1≤s
menjadi syarat agar persamaan beda parsial (4.2.15) stabil. Persamaan (4.2.15) dapat
ditulis kembali menjadi ( ))(1
)(1
)()1( )21( mj
mj
mj
mj uususu −+
+ ++−= . Dengan demikian,
( ))(1
)(1
)()1( )21( mj
mj
mj
mj uususu −+
+ ++−= . Jika nilai 2
1≤s diterapkan pada persamaan
tersebut, maka diperoleh
( )
.
)21(
)21(
)21(
)(
)()()(
)(1
)(1
)(
)(1
)(1
)()1(
m
mmm
mj
mj
mj
mj
mj
mj
mj
sss
ususus
uususu
u
uuu
=
++−≤
++−≤
++−=
−+
−++
Jika kedua ruas diambil supremum terhadap j, maka diperoleh ∞∞
+ ≤ )()1( mm uu .
Hasil tersebut menyatakan juga bahwa ∞∞
+ ≤ )0()1( uu m . Jadi persamaan beda par-
sial (4.2.15) stabil dengan mengambil K=1 dan β=0.
b) Kekonvergenan
Kekonvergenan
82
t
t
N
nsQ
t
t ∆
−−=∆ πcos121 terhadap e
tL
nk
2
− π,
dianalisa dengan mengandaikan ∆x→0 sehingga ∞→= ∆x
LN dan ∆t→0. Jika
∞→N , untuk n tertentu, maka N
n ≪ 1. Hasil tersebut mengakibatkan
( ) ( )2
2
11cosN
n
N
n ππ −≈ , yang didapat dari deret Taylor yang berkaitan. Oleh karena itu,
diperoleh
( ) .11
11121cos121
22
2
22
2
1
∆−=
∆∆∆−=
−=
−−−≈
−−
L
ntk
L
xn
x
tk
N
ns
N
ns
N
ns
ππ
πππ
Dengan demikian,
t
tt
t
t
t
tL
nk
L
ntkQ
∆
−=
∆−≈∆∆
∆
122
11ππ
. (4.2.37)
Jika menerapkan identitas ( ) rr re 1
0 1lim += → terhadap pendekatan (4.2.37), maka
didapatkan
t
L
nk
t
t
t etL
nk
=
∆
−
−∆
→∆
2
12
0 1limππ
.
Hasil tersebut menjelaskan bahwa, tt
Q∆ konvergen ke et
L
nk
2
− π, saat 0→∆t .
83
Kekonvergenan tersebut dapat juga dianalisa dengan menggunakan definisi
kekonvergenan berikut. Misal persamaan beda parsial dari persamaan diferensial par-
sial dinotasikan oleh )()()( mj
mj
mj GuL = dan persamaan diferensial parsialnya dinotasi-
kan oleh FLv = .
Definisi 4.2.2
Persamaan )()()( mj
mj
mj GuL = adalah bentuk pendekatan yang konvergen ke persamaan
FLv = pada waktu t, jika 0)1()1( →− ++ mm vu , saat ttn →∆+ )1( , 0→∆x dan
0→∆t .
Dengan definisi tersebut, dapat ditunjukkan bahwa persamaan beda parsial (4.2.15)
konvergen ke persmaan panas (4.2.1) (Thomas, 1995).
d. Penerapan Perhitungan Numerik
Contoh masalah persamaan panas yang akan diselesaikan adalah:
persamaan panas: ),( ,2
2
txuux
u
t
u =∂∂=
∂∂
, ,10 ≤≤ x 2.00 ≤≤ t . (4.2.38)
syarat awal: 10 ),(4)()0,( 2 ≤≤−== xxxxfxu (4.2.39)
syarat batas: 2.00 0)(),1(
0)(),0(
2
1 ≤≤
==
==t
tgtu
tgtu. (4.2.40)
84
Pada perhitungan ini diberikan dua kasus yang memperlihatkan stabil atau tidak-
stabilnya penyelesaian yang dihasilkan. Secara umum langkah-langkah perhitungan-
nya diberikan oleh algoritma berikut:
Algoritma 4.1
1) Inisialisasikan nilai-nilai selang letak, ∆x, dan selang waktu, ∆t.
2) Tentukan nilai penyelesaian di titik-titik batas, 0u dan 1−Nu .
3) Tentukan nilai penyelesaian menurut syarat awal, )0(u .
4) Tentukan nilai penyelesaian, )(mju , di titik-titik sisanya,
i. Saat 1t , perhitungan dilakukan di tiap jx , j=1, 2, …, N - 1.
ii. Perhitungan yang sama digunakan untuk t selanjutnya: Mttt ..., , , 32 .
iii. Saat perhitungan telah dilakukan untuk Mt , perhitungan dihentikan.
Berdasar pada pembahasan di Bab III, masalah persamaan panas tersebut memiliki
penyelesaian eksak, yaitu: ( )[ ] [ ]∑
∞
=
−−−−
=1
)12(
33
2
12sin)12(
132),(
n
tn
exnn
txuππ
π.
1) Jumlah titik grid untuk letak (space) N = 6, dan untuk waktu (time) M = 15.
Pada kasus pertama ini, 2.05
1
1
1 ===∆ −Nx , 0143.0
14
2.0
1
2.0 ===∆ −Mt , dan
3571.02)(==
∆∆x
tks . Berikut diberikan perhitungan pada tiap titik. Nilai penyelesaian di
titik-titik batas diberikan oleh ,0)(5
)(0 == mm uu ∀ m = 0, 1, …, 14. Pada saat 0tt = ,
nilainya adalah )(4)( 2)0(jjjj xxxfu −== , j = 1, 2, …, 4, yakni
85
64.0)2.0()0(1 == fu , 96.0)4.0()0(
2 == fu , 96.0)6.0()0(3 == fu , 64.0)0(
1)0(
4 == uu .
Pada titik 1tt = , nilai penyelesaiannya adalah
( ))0(1
)0()0(1
)0()1( 2 −+ +−+= jjjjj uuusuu , j = 1, 2, …, 4,
yaitu: 5257.0)1(1 =u , 8457.0)1(
2 =u , 8457.0)1(3 =u , 5257.0)1(
4 =u . Selanjutnya, untuk
titik-titik berikutnya mengikuti pola tersebut. Nilai-nilai penyelesaian masalah per-
samaan panas (4.2.38) di semua titik diberikan dalam Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Penyelesaian persamaan panas di tiap titik, ),( mj txu .
t / x x = 0 x = 0.2 x = 0.4 x = 0.6 x = 0.8 x = 1 t = 0 0 0.6400 0.9600 0.9600 0.6400 0
t = 0.0143 0 0.5257 0.8457 0.8457 0.5257 0 t = 0.0286 0 0.4522 0.7314 0.7314 0.4522 0 t = 0.0429 0 0.3904 0.6317 0.6317 0.3904 0 t = 0.0572 0 0.3372 0.5455 0.5455 0.3372 0 t = 0.0715 0 0.2912 0.4711 0.4711 0.2912 0 t = 0.0858 0 0.2515 0.4069 0.4069 0.2515 0 t = 0.1001 0 0.2171 0.3514 0.3514 0.2171 0 t = 0.1144 0 0.1875 0.3034 0.3034 0.1875 0 t = 0.1287 0 0.1619 0.2620 0.2620 0.1619 0 t = 0.1430 0 0.1399 0.2263 0.2263 0.1399 0 t = 0.1573 0 0.1208 0.1954 0.1954 0.1208 0 t = 0.1716 0 0.1043 0.1688 0.1688 0.1043 0 t = 0.1859 0 0.0901 0.1457 0.1457 0.0901 0
t = 0.2 0 0.0778 0.1259 0.1259 0.0778 0
Kestabilan dari penyelesaian tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.7. Gambar
tersebut memperlihatkan penyelesaian ),( mj txu terhadap letak (space) pada waktu
mtt = . Fungsi syarat awal diperlihatkan oleh penyelesaian saat 0=t . Jika gambar
tersebut diperhatikan, maka terlihat bahwa grafik penyelesaian pada waktu-waktu
berikutnya mengikuti pola fungsi syarat awal. Hal tersebut menunjukan kestabilan
86
dari penyelesaian yang dihasilkan. Sedangkan pada Gambar 4.8 memperlihatkan pe-
nyelesaian persamaan panas pada kasus ini terhadap letak dan waktu.
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 10
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1perhitungan dengan N = 6, M = 15, dan s = 0.3571
x=letak (space)
u(x,
t)=
tem
pera
tur
t=0
t=0.0143
t=0.0286
t=0.0429
t=0.0572
t=0.0715
t=0.0858
t=0.1001 t=0.1144
t=0.1287 t=0.143
t=0.1573
t=0.1716 t=0.1859 t=0.2
Gambar 4.7 Grafik 2D dari penyelesaian masalah persamaan panas kasus ke-1
00.2
0.40.6
0.81
0
0.05
0.1
0.15
0.20
0.2
0.4
0.6
0.8
1
x = letak (space)
Grafik 3D persamaan panas dengan s = 0.3571
t = waktu (time)
u(x,
t) =
tem
pera
tur
Gambar 4.8 Grafik 3D dari penyelesaian masalah persamaan panas kasus ke-1
Pada Gambar 4.8 tampak bahwa saat waktu mendekati 2.0=t , penurunan
temperatur semakin kecil. Misal pada saat 2.0=t , di 2.0=x dan 4.0=x , selisih
87
temperatur adalah 0.0481. Sedangkan pada saat 1859.0=t , di letak yang sama,
selisihnya adalah 0.0556. Sementara itu, saat 0=t , selisihnya adalah 0.32.
Kestabilan dari penyelesaian hasil perhitungan numerik tersebut, mengakibat-
kan grafik yang dibentuknya mendekati grafik yang dibentuk oleh penyelesaian ek-
sak. Hal tersebut tampak pada Gambar 4.9, dengan mengambil t = 0.1001 dan penye-
lesaian eksaknya dihitung sampai dengan n = 200.
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 10
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4grafik penyelesaian eksak dan penyelesaian numerik, t = 0.1001
x = letak (space)
u(x,
t) =
tem
pera
tur
p. numerikp. eksak
Gambar 4.9 Perbandingan antara grafik penyelesaian eksak dan penyelesaian numerik
2) Jumlah titik grid untuk letak (space) N = 8, dan untuk waktu (time) M = 13.
Pada kasus ini, 1429.07
1
1
1 ===∆ −Nx , 0167.0
12
2.0
1
2.0 ===∆ −Mt , dan
8167.0=s . Nilai penyelesaian di titik batas adalah ,0)(7
)(0 == mm uu ∀ m = 0, …, 12.
Sementara itu, untuk titik-titik di 0tt = , penyelesaiannya menggunakan formula yang
sama dengan kasus pertama, namun untuk j = 1, 2, …, 6, yaitu:
4898.0)1429.0()0(1 == fu , 8163.0)2858.0()0(
2 == fu , 9796.0)4287.0()0(3 == fu ,
88
9796.0)5716.0()0(4 == fu , 8163.0)7145.0()0(
5 == fu , 4898.0)8574.0()0(6 == fu .
Berikutnya, pada titik 1tt = , nilai-nilai yang dihasilkan adalah
3565.0)1(1 =u , 683.0)1(
2 =u , 8463.0)1(3 =u , )1(
3)1(
4 uu = , )1(2
)1(5 uu = , )1(
1)1(
6 uu = .
Nilai penyelesaian di titik-titik selanjutnya dapat dicari dengan rumusan yang sama.
Tabel 4.5 memberikan nilai-nilai penyelesaian keseluruhan dari kasus tersebut.
Tabel 4.5 Penyelesaian persamaan panas di tiap titik, ),( mj txu
t / x x=0 x=0.1429 x=0.2858 x=0.4287 x=0.5716 x=0.7145 x=0.8574 x=1 t = 0 0 0.4898 0.8163 0.9796 0.9796 0.8163 0.4898 0
t = 0.0167 0 0.3565 0.6830 0.8463 0.8463 0.6830 0.3565 0 t = 0.0334 0 0.3320 0.5497 0.7129 0.7129 0.5497 0.3320 0 t = 0.0501 0 0.2386 0.5053 0.5796 0.5796 0.5053 0.2386 0 t = 0.0668 0 0.2615 0.3482 0.5189 0.5189 0.3482 0.2615 0 t = 0.0835 0 0.1187 0.4168 0.3795 0.3795 0.4168 0.1187 0 t = 0.1002 0 0.2652 0.1429 0.4099 0.4099 0.1429 0.2652 0 t = 0.1169 0 -0.0512 0.4608 0.1919 0.1919 0.4608 -0.0512 0 t = 0.1336 0 0.4088 -0.1770 0.4115 0.4115 -0.1770 0.4088 0 t = 0.1503 0 -0.4034 0.7820 -0.0691 -0.0691 0.7820 -0.4034 0 t = 0.1670 0 0.8941 -0.8811 0.6259 0.6259 -0.8811 0.8941 0 t = 0.1837 0 -1.2858 1.7994 -0.6048 -0.6048 1.7994 -1.2858 0
t = 0.2 0 2.2838 -2.6836 1.3586 1.3586 -2.6836 2.2838 0
Pada tabel tersebut terlihat bahwa pada saat 0=t sampai dengan 0668.0=t , nilai
penyelesaian masih stabil. Namun, pada waktu-waktu berikutnya, nilai penyelesaian
mulai tak-stabil. Hal tersebut dijelaskan juga oleh Gambar 4.10. Tampak pada gam-
bar bahwa grafik yang dibentuk tak-beraturan.
Gambaran lebih jelas dari ketakstabilan penyelesaian pada kasus ini, dapat
dilihat pada Gambar 4.11 . Jika pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.11 diamati, maka tam-
pak bahwa contoh yang paling ekstrim terjadi pada saat 2.0=t . Pada waktu tersebut,
89
perubahan sebesar x∆ dari 1429.0=x ke 2858.0=x , menjadikan penyelesaian
),( mj txu nilainya berubah dari 2.2838 menjadi –2.6836. Padahal pada saat 0=t , di
letak yang sama, ),( mj txu hanya berubah sebesar 0.3265 dari 0.4898 ke 0.8163.
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5perhitungan dengan N = 8, M = 13, dan s = 0.8167
x=letak (space)
u(x,
t)=
tem
pera
tur
t=0.1837
t=0.167
t=0.1503 t=0.1336
t=0.1169
t=0
t=0.0167 t=0.0334
t=0.2
t=0.0835
t=0.1002
t=0.0668
t=0.0501
Gambar 4.10 Grafik 2D dari penyelesaian masalah persamaan panas kasus ke-2
0
0.5
1
00.050.10.150.2-3
-2
-1
0
1
2
3
x = letak (space)
Grafik 3D persamaan panas dengan s = 0.8167
t = waktu (time)
u(x,
t) =
tem
pera
tur
Gambar 4.11 Grafik 3D dari penyelesaian masalah persamaan panas kasus ke-2
90
Akibat yang terjadi dari kondisi tak stabil ini adalah bahwa grafik yang diben-
tuk oleh penyelesaian hasil perhitungan numerik tersebut tidak mendekati (menyeru-
pai) grafik yang dibentuk oleh penyelesaian eksak. Hal itu dapat dilihat pada Gambar
4.12. Gambar tersebut dibentuk dengan mengambil t = 0.1002 dan perhitungan pe-
nyelesaian eksaknya menggunakan 200 perhitungan. Tampak pada gambar, bahwa
penyelesaian numeriknya berosilasi terhadap penyelesaian eksaknya. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan, bahwa penyelesaian yang dihasilkan oleh perhitungan numerik
menjadi tidak sesuai dengan penyelesaian sebenarnya (eksak), jika kondisi kestabilan
(s ≤ 0.5) diabaikan.
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 10
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45grafik penyelesaian eksak dan penyelesaian numerik, t = 0.1002
x = letak (space)
u(x,
t) =
tem
pera
tur
p. numerikp. eksak
Gambar 4.12 Perbandingan antara grafik penyelesaian eksak dan penyelesaian numerik
2. Persamaan Gelombang
Masalah persamaan gelombang yang akan diselesaikan adalah
persamaan gelombang: ,2
22
2
2
x
uk
t
u
∂∂=
∂∂
),( txuu = (4.2.41)
91
syarat batas: ∞≤≤
==
ttLu
tu0 ,
0),(
0),0( (4.2.42)
syarat awal: Lxxg
t
xuxfxu
≤≤
=∂
∂=
0 ,)(
)0,()()0,(
. (4.2.43)
Pada dasarnya metode beda hingga yang akan diterapkan untuk masalah persamaan
gelombang tidak jauh berbeda dari yang telah diterapkan untuk persamaan panas.
Oleh karena itu, pembahasan pada bagian ini akan dipersingkat.
a. Persamaan Beda Parsial
Formula persamaan beda hingga yang akan digunakan untuk kedua turunan
parsial pada persamaan gelombang (4.2.41) adalah formula persamaan beda pusat.
Jika formula tersebut diterapkan untuk turunan parsial ke-dua terhadap waktu, 22
t
u
∂∂ ,
maka didapatkan
.)(
),(),(2),(),(2
0000002
002
t
ttxutxuttxu
t
txu
∆∆−+−∆+=
∂∂
(4.2.44)
Sementara itu, jika formula tersebut juga diterapkan pada turunan parsial ke-dua ter-
hadap letak, 2
2
x
u
∂∂ , maka diperoleh
2000000
200
2
)(
),(),(2),(),(
x
txxutxutxxu
x
txu
∆∆−+−∆+
=∂
∂. (4.2.45)
Jika persamaan (4.2.44) dan persamaan (4.2.45) disubstitusikan ke persamaan
(4.2.41), maka hasilnya adalah
92
20000002
2000000
)(
),(),(2),(
)(
),(),(2),(
x
txxutxutxxuk
t
ttxutxuttxu
∆∆−+−∆+=
∆∆−+−∆+
.
(4.2.46)
Diskretisasi selang letak dan waktu untuk persamaan gelombang adalah
Njxjx j ..., 1, ,0 , =∆= dan ... 1, ,0 , =∆= mtmtm .
Jika digunakan notasi )(),( mjmj utxu ≡ dan dengan memperhatikan perubahan
notasi xx ∆+0 menjadi 1+=∆+ jj xxx serta tt ∆+0 menjadi 1+=∆+ mm ttt , maka
persamaan beda parsial untuk persamaan gelombang adalah
2
)(1
)()(12
2
)1()()1(
)(
2
)(
2
x
uuuk
t
uuu mj
mj
mj
mj
mj
mj
∆+−
=∆
+− −+−+
. (4.2.47)
Syarat batas (4.2.42) dipenuhi oleh 0)()(0 == m
Nm uu . Oleh karena syarat awal (4.2.43)
terdapat bentuk turunan parsial, maka dengan menggunakan formula persamaan beda
pusat diperoleh
)(2
)0,()1()1(
jjj xg
t
uu
t
xu =∆
−=
∂∂ −
. (4.2.48)
Sedangkan syarat awal lainnya adalah
)()0(jj xfu = . (4.2.49)
b. Perhitungan Numerik
Persamaan yang akan menjadi panduan untuk mendapatkan penyelesaian dari
persamaan gelombang diperoleh dari persamaan (4.2.47), yaitu
93
( ) )1()(1
)()(1
2)()1( 22 −−+
+ −+−+= mj
mj
mj
mj
mj
mj uuuusuu , (4.2.50)
dengan x
tks ∆∆= . Persamaan tersebut menggunakan prinsip hitung maju dalam waktu,
yang membutuhkan tiga titik di mtt = dan satu titik di 1−= mtt (Gambar 4.13).
Penyelesaian di posisi 0tt = didapatkan dari syarat awal (4.2.49). Pada saat
1tt = , penyelesaiannya adalah
( ) )1()0(1
)0()0(1
2)0()1( 22 −−+ −+−+= jjjjjj uuuusuu . (4.2.51)
Nilai )1(ju juga dapat dihasilkan dari syarat awal (4.2.48), yakni
)1()1( )(2 −+∆= jjj uxtgu . (4.2.52)
Gambar 4.13 Hitung maju dalam waktu untuk persamaan gelombang
Namun demikian, nilai tersebut hanya dapat dihitung jika nilai penyelesaian di
1−= tt , yakni )1(−ju , diketahui. Oleh karena itu, terlebih dahulu dihitung nilai )1(−
ju
yang didapat dari persamaan (4.2.51) dan (4.2.52),
94
( )( ) [ ] ).()()()(1
22)(2
112
2)1(
)1()0(1
)0()0(1
2)0()1(
2
jjjs
jj
jjjjjjj
xtgxfxfxfsu
uuuusuuxtg
∆−++−=
−+−+=+∆
−+−
−−+
−
(4.2.53)
Penyelesaian )1(−ju hanyalah penyelesaian bantuan, karena titik-titik yang di-
evaluasi berada di luar domain. Oleh karena itu, titik-titik tersebut dinamakan titik-
titik bayangan (ghost points). Dengan demikian, untuk penyelesaian di titik-titik
berikutnya diperoleh dari persamaan (4.2.50). Tentu saja untuk perhitungan di titik-
titik batas perlu memperhatikan syarat batasnya.
c. Penyelesaian Diskret Persamaan Gelombang dan Analisa Kestabilan
serta Kekonvergenan Penyelesaian Beda Hingga.
Awal pembahasan ini dimulai dengan menuliskan masalah persamaan beda
parsial dari persamaan gelombang, yaitu:
persamaan beda parsial: ( ) )1()(1
)()(1
2)()1( 22 −−+
+ −+−+= mj
mj
mj
mj
mj
mj uuuusuu , (4.2.54)
syarat awal: )()0(jj xfu = dan )(
2
)1()1(
jjj xg
t
uu=
∆− −
, (4.2.55)
syarat batas: 0)()(0 == m
Nm uu , (4.2.56)
dengan x
tks ∆∆= , xjx j ∆= , tmtm ∆= .
1) Penyelesaian Diskret Persamaan Gelombang
Mula-mula penyelesaian diskret dinyatakan dalam bentuk
95
mximj Qu e jα=)( . (4.2.57)
Pensubstitusian persamaan (4.2.57) ke persamaan (4.2.54), yaitu
( ) 12 22 −∆−∆ −+−+= QQQQQsQQQ mximxiximximxiximximxi
eeeeeeee jjjjjj αααααααα,
kemudian mengalikannya dengan mjxi
Qeα
1 ,
( ) 12 22 −∆−∆ −+−+= QsQ eexixi αα
,
memberikan hasil
( )[ ]1cos22 21 −∆=+− − xsQQ α . (4.2.58)
Jika melakukan substitusi di ruas kanan, yaitu ( )[ ]1cos2 2 −∆= xs αδ , maka diperoleh
( ) 0122 =++− QQ δ . (4.2.59)
Persamaan (4.2.59) merupakan persamaan kuadrat yang akar-akarnya, Q, bergantung
pada δ. Oleh karena itu, dengan memperhatikan karakteristik nilai δ dan syarat batas
(4.2.56), maka dapat dihasilkan
mjmj Q
L
xnu
=
πsin)( .
Akar-akar persamaan (4.2.59) adalah ( )2
422 2 −+±+= δδQ . Jika 22 >+δ atau
22 −<+δ , maka terdapat dua nilai Q yang salah-satunya memiliki nilai mutlak lebih
besar dari 1. Hal tersebut mengakibatkan mQ menjadi besar tak hingga (posi-
tif/negatif). Sementara itu, jika 222 <+<− δ , maka Q bernilai kompleks. Jadi, jika
menggunakan bentuk polar dari Q, maka diperoleh
96
( ) eemimmim QQQ
ωω ±± == , Qarg=ω . (4.2.60)
Karakteristik nilai mQ tersebut dapat dianalisa berdasarkan pada nilai |Q|.
Oleh karena Q kompleks, maka Q dapat ditulis menjadi ( )2
242 2+−±+= δδ iQ , sehingga
( ) ( )11
4
24
4
2 222 =⇒=+−++= QQ
δδ.
Jadi, menurut hasil tersebut diperoleh
emimQ
ω±= , (4.2.61)
yang merupakan penyelesaian yang berosilasi ( )sin()cos( mimemi ωωω ±=±
). Analisa
yang sama terhadap fungsi eigen, ( )Lxn jπsin , seperti pada persamaan panas, mem-
berikan hasil yang diharapkan berikut
∑−
=
∆±
=
1
1
)( sinN
n
t
tij
nm
j em
L
xnKu
ωπ, Kn konstan. (4.2.62)
2) Kestabilan dan Kekonvergenan Penyelesaian Beda Hingga
Bentuk penyelesaian eksak persamaan gelombang yang akan digunakan
dalam pembahasan ini adalah
etik
xtxuαα ±= )sin(),( ,
dengan L
nπα = . Sedangkan bentuk penyelesaian diskretnya adalah
e t
tim
j xu ∆±= ωα )sin()( ,
97
dengan pemisalan xx j = dan ttm = . Oleh karena bagian sinus dari kedua penyele-
saian tersebut identik, maka pembahasan difokuskan pada bagian
etikα dan e t
ti
∆ω
.
Untuk memudahkan pemahaman, tanda ± di kedua bagian tersebut untuk sementara
tidak digunakan.
a) Kestabilan
Penyelesaian beda hingga persamaan gelombang stabil jika memenuhi ketak-
samaan
04222 ≤≤−⇔≤+≤− δδ . (4.2.63)
Pensubtitusian ( )[ ]1cos2 2 −∆= xs αδ ke ketaksamaan (4.2.63) menghasilkan
( )[ ] ( )[ ] ( )[ ]
( )[ ].cos1
20
2cos1001cos201cos24
2
222
xs
xsxsxs
∆−≤≤⇔
≤∆−≤⇔≤−∆≤−⇔≤−∆≤−
α
ααα
Oleh karena αα ∀<∆ ,1)cos( x , maka kestabilan dari penyelesaian beda hingga per-
samaan gelombang dijamin oleh kondisi berikut
1)cos(1
212 ≤⇒
∆−<≤ s
xs
α. (4.2.64)
Kondisi (4.2.64) disebut kondisi kestabilan Courant (Courant stability condition)
(Haberman, 2004), yang dapat ditulis kembali dalam bentuk
98
11 ≤∆∆
⇔≤∆∆=
tx
k
x
tks . (4.2.65)
Kondisi (4.2.65) menjelaskan bahwa dalam perhitungan numerik, kestabilan dapat
dicapai jika nilai konstanta k tidak lebih besar dari perbandingan t
x
∆∆ .
b) Kekonvergenan
Analisa kekonvergenan dilakukan untuk membuktikan apakah bentuk etikα
dapat didekati oleh e t
ti
∆ω
. Pertama, perhatikan nilai dari ( )[ ]1cos2 2 −∆= xs αδ . Jika
α∆x bernilai kecil, maka menurut deret Taylor yang berkaitan,
2)(2
11)cos( xx ∆−≈∆ αα . Hal ini berakibat
( )[ ] ( ) ( ) ( )222
222 12
1121cos2 tkx
x
tkxsxs ∆−=∆
∆∆−=
−
∆−≈−∆= ααααδ .
Kemudian dijelaskan tentang nilai perbandingan antara Qarg=ω dengan ∆t,
( )
tt
a
b
t ∆
++−
=∆
=∆
−−
2
24tantan
21
1δ
δ
ω, (Q kompleks, ibaQ += )
yang memberikan hasil
( ) ( ) ( )( )
ααδδ
δδδ
δδ
δ
kt
tk
tttt=
∆∆
≈∆−≈
∆+
+−
=∆+
+−
≈∆
++−−
2
22
1
2
4
2
242
24tan
.
99
Pendekatan tersebut diperoleh dengan memperhatikan nilai δ yang sangat kecil dan
negatif serta θθ ≈tan untuk θ yang kecil. Dengan demikian, didapatkan pendekatan
yang diharapkan, yaitu
eeet
L
niktikt
ti
παω=≈∆ . (4.2.66)
Kestabilan dan kekonvergenan persamaan beda parsial (4.2.54) terhadap per-
samaan gelombang (4.2.41) dapat diperlihatkan dengan menggunakan Definisi 4.2.1
dan Definisi 4.2.2. Dengan analisa yang hati-hati, dapat ditunjukkan bahwa kondisi
kestabilan Courant menjadi syarat yang diperlukan agar persamaan (4.2.54) konver-
gen (Thomas, 1995).
d. Penerapan Perhitungan Numerik
Berikut diberikan contoh masalah persamaan gelombang yang akan diselesai-
kan dengan metode beda hingga,
persamaan gelombang: 2
2
2
2
4x
u
t
u
∂∂=
∂∂
, ),( txuu = . (4.2.67)
syarat awal:
==∂
∂==
0)()0,(
)sin(2)()0,(
xgt
xuxxfxu π
, 9.00 ≤≤ x , (4.2.68)
syarat batas: 5.00 ,0)(),1(
0)(),0(
2
1 ≤≤
==
==t
tgtu
tgtu. (4.2.69)
100
Masalah tersebut akan diselesaikan dengan memberikan dua kondisi yang berbeda.
Algoritma berikut secara umum memberikan langkah-langkah perhitungannya.
Algoritma 4.2
1) Inisialisasikan nilai selang letak, ∆x, dan selang waktu, ∆t.
2) Tentukan penyelesaian di titik-titik batas, 0u dan 1−Nu .
3) Tentukan penyelesaian menurut syarat awal, )0(u .
4) Tentukan penyelesaian di titik-titik bayangan, )1(−u .
5) Tentukan penyelesaian di titik-titik pada saat 1tt = , )1(u .
6) Tentukan penyelesaian, )(mju , di titik-titik sisanya,
i. Saat 2t , perhitungan dilakukan di tiap jx , j=1, 2, …, N – 1.
ii. Perhitungan yang sama digunakan untuk t selanjutnya: Mttt ..., , , 43 .
iii. Saat perhitungan telah dilakukan untuk Mt , perhitungan dihentikan.
Berdasar pembahasan di bab III, penyelesaian eksak masalah persamaan gelombang
tersebut, yaitu: [ ] [ ]
∑∞
=
++−
−−=
1 9.0sin
9.0
2cos
9.0
)9.0(sin
9.0
)9.0(sin2),(
n
xntn
n
n
n
ntxu
πππππ
.
1) Jumlah titik grid untuk letak (space) N = 10, dan untuk waktu (time) M = 11.
Pada kondisi ini, dihasilkan nilai-nilai, 1.09
9.0
1
9.0 ===∆ −Nx , 1== ∆
∆x
tks dan
05.010
5.0
1
5.0 ===∆ −Mt . Pada titik-titik batas, penyelesaiannya adalah 0)(
9)(
0 == mm uu ,
101
m = 0, 1, 2, …, 10. Sedangkan, penyelesaian saat 0tt = , yaitu )sin(2)0(jj xu π= , j =
1, 2, …, 8. adalah
618.0)1.0sin(201 == πu , 1756.1)2.0sin(20
2 == πu , 618.1)3.0sin(203 == πu ,
9021.1)4.0sin(204 == πu , 2)5.0sin(20
5 == πu , 9021.1)6.0sin(206 == πu ,
618.1)7.0sin(207 == πu , 1756.1)8.0sin(20
8 == πu .
Untuk mendapatkan penyelesaian saat 1tt = , yaitu
)1()1()1( )(2 −− =+∆= jjjj uuxtgu ,
terlebih dahulu dihitung nilai penyelelesain di titik-titik bayangan, yaitu
( ) [ ][ ] 8. ..., 2, 1, ,)sin(2)sin(2
)()()()(1
112
1
1122)1( 2
=∀+=
∆−++−=
−+
−+−
jxx
xtgxfxfxfsu
jj
jjjs
jj
ππ
Nilai-nilai tersebut adalah
5878.0)1(1 =−u , 118.1)1(
2 =−u , 5388.1)1(3 =−u , 809.1)1(
4 =−u , 9021.1)1(5 =−u ,
809.1)1(6 =−u , 5388.1)1(
7 =−u , 1180.1)1(8 =−u .
Dengan hasil tersebut, didapatkan
5878.0)1(1
)1(1 == −uu , 118.1)1(
2)1(
2 == −uu , 5388.1)1(3
)1(3 == −uu , 809.1)1(
4)1(
4 == −uu ,
9021.1)1(5
)1(5 == −uu , 809.1)1(
6)1(
6 == −uu , 5388.1)1(7
)1(7 == −uu , 118.1)1(
8)1(
8 == −uu .
Sementara itu, penyelesaian di waktu 2tt = , diperoleh dengan menggunakan formula
( ) )0()1(1
)1()1(1
2)1()2( 22 jjjjjj uuuusuu −+−+= −+ , j = 1, 2, …, 8 ,
yang memberikan hasil berikut
102
5.0 )2(1 =u , 9511.0 )2(
2 =u , 3090.1 )2(3 =u , 5388.1 )2(
4 =u , 618.1)2(5 =u ,
5388.1 )2(6 =u , 3090.1)2(
7 =u , 3633.1)2(8 =u .
Penyelesaian di titik-titik berikutnya menggunakan pola yang sama. Tabel 4.6 mem-
berikan penyelesaian-penyelesaian di tiap titik.
Tabel 4.6 Penyelesaian masalah persamaan gelombang di titik ),( mj txu
t / x x=0 x=0.1 x=0.2 x=0.3 x=0.4 x=0.5 x=0.6 x=0.7
t=0 0 0.6180 1.1756 1.6180 1.9021 2.0000 1.9021 1.6180 t=0.05 0 0.5878 1.1180 1.5388 1.8090 1.9021 1.8090 1.5388 t=0.1 0 0.5000 0.9511 1.3090 1.5388 1.6180 1.5388 1.3090 t=0.15 0 0.3633 0.6910 0.9511 1.1180 1.1756 1.1180 0.3633 t=0.2 0 0.1910 0.3633 0.5000 0.5878 0.6180 0 0 t=0.25 0 0 -0.0000 0 0 -0.5878 -0.5000 -0.3633 t=0.3 0 -0.1910 -0.3633 -0.5000 -1.1756 -1.1180 -0.9511 -0.6910 t=0.35 0 -0.3633 -0.6910 -1.5388 -1.6180 -1.5388 -1.3090 -0.9511 t=0.4 0 -0.5000 -1.5388 -1.8090 -1.9021 -1.8090 -1.5388 -1.1180 t=0.45 0 -1.1756 -1.6180 -1.9021 -2.0000 -1.9021 -1.6180 -1.1756 t=0.5 0 -1.1180 -1.5388 -1.8090 -1.9021 -1.8090 -1.5388 -1.1180
t / x x=0.8 x=0.9 t=0 1.1756 0
t=0.05 1.1180 0 t=0.1 0.3633 0 t=0.15 0.1910 0 t=0.2 0.0000 0 t=0.25 -0.1910 0 t=0.3 -0.3633 0 t=0.35 -0.5000 0 t=0.4 -0.5878 0 t=0.45 -0.6180 0 t=0.5 -0.5878 0
Menurut data pada Tabel 4.6, terjadi penurunan nilai penyelesaian di setiap le-
tak saat waktu berjalan dari t = 0 sampai dengan t = 0.45. Namun demikian, pada
103
saat t = 0.5 nilai penyelesaian kembali naik. Hal tersebut secara lebih jelas dapat dili-
hat pada Gambar 4.14.
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9-2
-1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2perhitungan dengan N = 10, M = 11, dan s = 1.0
x = letak (space)
u(x,
t)=
tin
ggi g
elom
bang
t=0 t=.05
t=.1
t=.15
t=.2
t=.25
t=.3
t=.35
t=.4
t=.45 t=.5
Gambar 4.14 Grafik 2D penyelesaian masalah persamaan gelombang untuk kasus ke-1
Pada gambar tersebut setiap penyelesaian pada waktu tertentu dihubungkan oleh se-
buah kurva yang membentuk gelombang, yang diasumsikan sebagai gelombang pada
senar. Pada saat t = 0, senar ditarik ke atas yang tinggi tiap titik segmennya dinyata-
kan oleh fungsi syarat awal. Selanjutnya, senar dilepas dan pergerakan gelombang
senar dievaluasi setiap 0.05 detik (∆t). Tinggi tiap segmen pada senar diperoleh dari
perhitungan yang telah dilakukan. Secara lebih lengkap, hubungan tiap penyelesaian
terhadap letak dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.15.
Menurut kondisi kestabilan Courant, penyelesaian numerik yang telah diha-
silkan adalah penyelesaian yang stabil. Hal ini berdasar pada keteraturan dari per-
gerakan nilai penyelesaian. Keteraturan ini bersesuaian dengan pergerakan sebuah
senar setelah dipetik. Kesesuaian tersebut dapat juga dianalisa menurut Gambar 4.16.
104
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
00.1
0.20.3
0.40.5-2
-1
0
1
2
x = letak (space)
Grafik 3D persamaan gelombang, s = 1.0
t = waktu (time)
u(x,
t) =
tin
ggi g
elom
bang
di t
itik
(x,t
)
Gambar 4.15 Grafik 3D penyelesaian masalah persamaan gelombang untuk kasus ke-1
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7grafik penyelesaian eksak dan numerik, t = 0.2
x = letak (space)
u(x,
t)=
tin
ggi g
elom
bang
p. numerikp. eksak
Gambar 4.16 Perbandingan antara grafik penyelesaian eksak dan penyelesaian numerik
Pada gambar tersebut, kurva penyelesaian numerik saat t = 0.2 mendekati
kurva penyelesaian eksak di waktu yang sama. Kestabilan penyelesaian numerik ter-
hadap penyelesian eksak juga berlaku untuk waktu-waktu yang lain. Penyelesaian
eksak diperoleh menggunakan perhitungan sampai dengan n = 200.
105
2) Jumlah titik grid untuk letak (space) N = 11, dan untuk waktu (time) M = 10.
Nilai-nilai parameter yang dihasilkan adalah 09.010
9.0
1
9.0 ===∆ −Nx ,
056.09
5.0
1
5.0 ===∆ −Mt , dan 2346.1== ∆
∆x
tks . Penyelesaian di titik-titik batas adalah
0)(10
)(0 == mm uu , m = 0, 1, 2, …, 9. Penyelesaian saat waktu 0tt = , di letak j = 1, 2,
..., 9 adalah
558.0)09.0sin(201 == πu , 0717.1)18.0sin(20
2 == πu , 5002.1)27.0sin(203 == πu ,
8097.1)36.0sin(204 == πu , 9754.1)45.0sin(20
5 == πu , 9842.1)54.0sin(206 == πu ,
8355.1)63.0sin(207 == πu , 541.1)72.0sin(20
8 == πu , 1242.1)81.0sin(209 == πu .
Nilai di titik-titik bayangan dihasilkan oleh
( ) [ ][ ] 9 ..., 2, 1, ,)sin()sin(524.1)sin(048.1
)()()()(1
11
112
2)1( 2
=∀++−=
∆−++−=
−+
−+−
jxxx
xtgxfxfxfsu
jjj
jjjs
jj
πππ
yaitu
5242.0)1(1 =−u , 0068.1)1(
2 =−u , 4094.1)1(3 =−u , 7001.1)1(
4 =−u , 8558.1)1(5 =−u ,
8641.1)1(6 =−u , 7244.1)1(
7 =−u , 4478.1)1(8 =−u , 0561.1)1(
9 =−u .
Dari hasil tersebut diperoleh penyelesaian-penyelesaian di waktu 1tt = , yakni
5242.0)1(1
)1(1 == −uu , 0068.1)1(
2)1(
2 == −uu , 4094.1)1(3
)1(3 == −uu ,
7001.1)1(4
)1(4 == −uu , 8558.1)1(
5)1(
5 == −uu , 8641.1)1(6
)1(6 == −uu ,
7244.1)1(7
)1(7 == −uu , 4478.1)1(
8)1(
8 == −uu , 0561.1)1(9
)1(9 == −uu .
Sedangkan penyelesaian pada waktu 2tt = dihasilkan oleh
106
( ) )0()1(1
)1()1(1
2)1()2( 22 jjjjjj uuuusuu −+−+= −+ , j = 1, 2, …, 9.
Nilai-nilainya adalah
427.0)2(1 =u , 8201.0)2(
2 =u , 148.1)2(3 =u , 3848.1)2(
4 =u , 5117.1)2(5 =u ,
5184.1)2(6 =u , 4046.1)2(
7 =u , 1793.1)2(8 =u , 0247.0)2(
9 −=u .
Penyelesaian yang diperoleh secara keseluruhan dimuat dalam Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Penyelesaian masalah persamaan gelombang di titik ),( mj txu
t / x x=0 x=0.09 x=0.18 x=0.27 x=0.36 x=0.45 x=0.54 x=0.63 t=0 0 0.5580 1.0717 1.5002 1.8097 1.9754 1.9842 1.8355
t= .056 0 0.5242 1.0068 1.4094 1.7001 1.8558 1.8641 1.7244 t= .112 0 0.4270 0.8201 1.1480 1.3848 1.5117 1.5184 1.4046 t= .168 0 0.2781 0.5341 0.7477 0.9019 0.9845 0.9889 0.9148 t= .224 0 0.0955 0.1835 0.2569 0.3098 0.3382 0.3397 -1.7416 t= .28 0 -0.0986 -0.1893 -0.2651 -0.3197 -0.3490 -3.4840 4.4666 t= .336 0 -0.2808 -0.5393 -0.7549 -0.9106 -5.7699 9.5885 -18.4636 t= .392 0 -0.4290 -0.8239 -1.1534 -8.6704 19.6241 -43.5034 56.8771 t= .448 0 -0.5253 -1.0088 -12.5068 38.1523 -94.3236 152.6167 -198.4803 t= .5 0 -0.5580 -17.9815 70.8770 -194.1517 370.0189 -562.7666 669.3003
t / x x=0.72 x=0.81 x=0.9
t=0 1.5410 1.1242 0
t= .056 1.4478 1.0561 0
t= .112 1.1793 -0.0247 0
t= .168 -0.5808 0.7672 0
t= .224 1.9932 -1.6648 0
t= .28 -6.7005 4.0159 0
t= .336 17.9598 -12.7578 0
t= .392 -59.7134 36.7318 0
t= .448 187.3135 -116.7615 0
t= .5 -617.1286 371.1664 0
107
Data yang terdapat pada Tabel 4.7 memperlihatkan ketakstabilan dari penye-
lesaian numerik yang dihasilkan. Hal tersebut diperlihatkan juga oleh Gambar 4.17
dan Gambar 4.18. Pengamatan yang didapatkan adalah terjadi suatu nilai selisih yang
tidak wajar antara penyelesaian di suatu titik dengan penyelesaian di titik lainnya.
Menurut Tabel 4.7 dan Gambar 4.17, contoh selisih paling besar adalah pada penye-
lesaian di titik x = 0.63 dan x = 0.72 saat t = 0.5, yaitu 1286.4289. Ketakstabilan
penyelesaian numerik tersebut sebenarnya sudah terlihat pada saat t = 0.112 di titik x
= 0.72 dan di titik x = 0.81.
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9-800
-600
-400
-200
0
200
400
600
800perhitungan dengan N = 11, M = 10, dan s = 1.2346
x = letak (space)
u(x,
t)=
tin
ggi g
elom
bang
t=0.5
t=.4448
t=.3892 t=.3336
Gambar 4.17 Grafik 2D penyelesaian masalah persamaan gelombang untuk kasus ke-2
Analisa ketakstabilan penyelesaian numerik pada kasus ini juga diperlihatkan
oleh Gambar 4.19. Gambar tersebut menganalisa perbandingan antara penyelesaian
numerik dan penyelesaian eksak saat t = 0.28 dengan perhitungan penyelesaian ek-
saknya sampai n = 200. Terlihat bahwa penyelesaian numeriknya sama sekali tidak
108
mendekati penyelesaian eksaknya. Dengan demikian, nilai penyelesaian numerik ma-
salah persamaan gelombang, menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan (dengan
penyelesaian eksak), jika kondisi kestabilan Courant tidak dipenuhi.
00.2
0.40.6
0.81
0
0.2
0.4
0.6
0.8-1000
-500
0
500
1000
x = letak (space)
Grafik 3D persamaan gelombang, s = 1.2346
t = waktu (time)
u(x,
t) =
tin
ggi g
elom
bang
di t
itik
(x,t
)
Gambar 4.18 Grafik 3D penyelesaian masalah persamaan gelombang untuk kasus ke-2
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9-8
-6
-4
-2
0
2
4
6grafik penyelesaian eksak dan numerik, t = 0.28
x = letak (space)
u(x,
t)=
tin
ggi g
elom
bang
p. numerikp. eksak
Gambar 4.19 Perbandingan antara grafik penyelesaian eksak dan penyelesaian numerik
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Persamaan panas dan persamaan gelombang adalah dua persamaan diferen-
sial parsial yang masing-masing memodelkan proses atau kejadian fisis, yaitu
penghantaran panas dan perambatan gelombang. Kedua persamaan tersebut dapat
diselesaikan secara eksak maupun pendekatan dengan memperhatikan syarat awal
dan syarat batas yang menyertainya. Secara eksak, penyelesaiannya diperoleh dengan
menggunakan metode pemisahan variabel (metode Fourier). Sedangkan secara
pendekatan, penyelesaiannya diperoleh dengan metode beda hingga. Pada metode
beda hingga, persamaan panas dan persamaan gelombang diubah menjadi persamaan
beda hingga (persamaan beda parsial) yang kemudian diselesaikan untuk menghasil-
kan penyelesaian beda hingga. Persamaan beda hingga tersebut diperoleh dengan
menggunakan formula beda hingga yang dihasilkan dari pengaplikasian segitiga Pas-
cal. Pengaplikasian segitiga Pascal tersebut didasarkan atas adanya kesamaan antara
koefisien-koefisien pada turunan orde tinggi, yang dihasilkan oleh pendekatan beda
hingga, dengan bilangan-bilangan pada segitiga Pascal.
Penyelesaian beda hingga, yang dihasilkan melalui perhitungan numerik, me-
rupakan penyelesaian yang stabil jika selang letak (∆x) dan selang waktu (∆t) yang
digunakan memenuhi kondisi berikut:
110
1. nilai ( ) 2
12
≤∆
∆=x
tks , untuk persamaan panas,
2. nilai 1≤∆∆=x
tks , untuk persamaan gelombang.
Penyelesaian beda hingga persamaan panas dan persamaan gelombang menjadi kon-
vergen terhadap penyelesaian eksaknya, saat selang letak dan selang waktu yang
digunakan kecil (∆x→0 dan ∆t→0).
B. Saran
Persamaan panas dan persamaan gelombang hanyalah dua contoh dari banyak
model persamaan diferensial parsial dalam ilmu fisika. Terdapat persamaan-
persamaan lain yang digunakan untuk memodelkan suatu proses atau kejadian fisis.
Persamaan-persamaan tersebut dapat berupa persamaan diferensial parsial dengan
orde yang lebih dari dua atau yang tak linear atau yang dengan koefisien variabel
atau dengan bentuk-bentuk lainnya. Oleh karena itu, formula beda hingga, yang di-
hasilkan melalui pengaplikasian segitiga Pascal, dapat dikembangkan untuk menda-
patkan penyelesaian beda hingga dari persamaan diferensial parsial dengan bentuk
tertentu. Saran tersebut penulis tujukan untuk pembaca yang memiliki minat terhadap
masalah-masalah persamaan diferensial secara umum dan secara khusus pada per-
samaan diferensial parsial.
111
DAFTAR PUSTAKA
Brualdi, R.A. (2004). Introductory Combinatorics, 4th ed. New Jersey: Pearson Edu-
cation, Inc.
Gockenbach, M.S. (2002). Partial differential equations: analytical and numerical
methods. Philadelphia: Society for Industrial and Applied Mathematics.
Haberman, R. (2004). Applied Partial Differential Equations with Fourier Series and
Boundary Value Problems, 4th ed. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Humi, M. and Miller, W.B. (1992). Boundary value problems and partial differential
equations. Boston: PWS-KENT Publishing Company.
Kaczor, W.J. and Nowak, M.T. (2003). Problems in Mathematical Analysis III: Inte-
gration. Rhode Island: American Mathematical Society.
Lim, T.C. (2004). “Application of Pascal’s Triangle in Representing Finite Differ-
ence Solution to Partial Differential Equation”. Mathematical Medley, 31(1): 2-8.
Mathews, J.H. and Fink, K.D. (2004). Numerical methods using MATLAB, 4th ed.
New Jersey: Pearson Education, Inc.
112
O’Neil, P.V. (2007). Advanced Engineering Mathematics, 6th ed. Toronto: Thomson.
Roberts, F.S. and Tesman, B. (2005). Applied Combinatorics, 2nd ed. New Jersey:
Pearson Education, Inc.
Rosen, K.H. (2007). Discrete Mathematics and Its Applications, 6th ed. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Stanoyevitch, A. (2005). Introduction to Numerical Ordinary and Partial Differen-
tial Equations using MATLAB. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
Strauss, W.A. (1992). Partial Differential Equations: An Introduction. New Jersey:
John Wiley and Sons, Inc.
Thomas, J.W. (1995). Numerical partial differential equations: finite difference
methods. New York: Springer-Verlag.
Tveito, A. and Winther, R. (1998). Introduction to Partial differential equations: a
computation approach. New York: Springer-Verlag.
113
LAMPIRAN Daftar program (MATLAB) Program untuk persamaan panas Keterangan: program ini sebagai contoh untuk kasus 1, sedangkan untuk kasus 2, nilai masukan yang diberikan menyesuaikan. %% Fungsi syarat awal u(x,t)= f(x) = 4(x-x^2) untuk PERSAMAAN PANAS function d=f0(x) d=4.*x-4*(x.^2); Program yang digunakan (nilai masukkan berasal dari kasus 1) function U=forwdifheat9(f0,c11,c21,a,b,c,n,m) % Input - f0=U(x,0) dalam bentuk string 'f0' % - c11=U(0,t) dan c21=U(a,t) % - a and b titik batas dari selang [0,a](x) dan [0,b](t) % - c konstanta dalam persamaan panas % - n and m jumlah titik grid pada [0,a] dan [0,b] % Output - U matriks penyelesaian % Inisialisasi parameter dan matriks U h = a/(n-1); k = b/(m-1); s = c*k/(h^2); fprintf('\n\n h = delta_x =%4f, k = delta_t = %4f, dan s = %4f\n',h,k,s); U = zeros(n,m); % Syarat Batas U(1,1:m) = c11; U(n,1:m) = c21; % Menghitung penyelesaian di baris pertama matriks U U(2:n-1,1) = feval('f0',h:h:(n-2)*h)'; % Menghitung penyelesaian di baris berikutnya matriks U for j = 2:m for i = 2:n-1 U(i,j) = U(i,j-1) + s*( U(i+1,j-1)-2*U(i,j-1)+U(i-1,j-1) ); end end U = U';
114
%% Menggambar penyelesaian u(x,t) dalam grafik 2D % Inisialisasi selang letak (x) d=0:h:a; % Menggambar penyelesaian u(x,t) terhadap letak (x) plot(d,U) title('perhitungan dengan N=6, M=15, dan s=0.3571') xlabel('x = letak (space)') ylabel('u(x,t) = temperatur') %% Menggambar penyelesaian u(x,t) dalam grafik 3D e=0:k:b; figure surf(d,e,U) grid on title('Grafik 3D persamaan panas dengan s = 0.3571') xlabel('x = letak (space)') ylabel('t = waktu (time)') zlabel('u(x,t) = temperatur') Program untuk penyelesaian eksak persamaan panas function B=new(dx,N,t,W) for f=1:N u0=0; g=1; while g<=W u(g)=(1/(2*g-1)^3)*sin((2*g-1)*pi*((f-1)*dx))*exp(-(((2*g-1)*pi)^2)*t); P(g)=u(g)+u0; u0=P(g); g=g+1; end G=u0; B(f)=(32/(pi^3))*G; end B; Program untuk membandingkan penyelesaian eksak dan numerik function forwdifheat9(f0,c11,c21,a,b,c,n,m,t,W) %% (contoh)==> forwdifheat9('f0',0,0,1,0.2,1,6,15,0.1001,200) %% % Inisialisasi parameter dan matriks U h = a/(n-1); k = b/(m-1); s = c*k/(h^2);
115
fprintf('\n\n h = delta_x =%4f, k = delta_t = %4f, dan s = %4f\n',h,k,s); U = zeros(n,m); % Syarat Batas U(1,1:m) = c11; U(n,1:m) = c21; % Menghitung penyelesaian di baris pertama matriks U U(2:n-1,1) = feval('f0',h:h:(n-2)*h)'; % Menghitung penyelesaian di baris berikutnya matriks U for j = 2:m for i = 2:n-1 U(i,j) = U(i,j-1) + s*( U(i+1,j-1)-2*U(i,j-1)+U(i-1,j-1) ); end end U = U'; B=new(h,n,t,W) y=ceil(t/k); %% Menggambar penyelesaian u(x,t) dalam grafik 2D % Inisialisasi selang letak (x) d=0:h:a; % Menggambar penyelesaian u(x,t) terhadap letak (x) plot(d,U(y,1:n),'r-.',d,B,'m') title('grafik penyelesaian eksak dan penyelesaian numerik, t = 0.1001') xlabel('x = letak (space)') ylabel('u(x,t) = temperatur')
116
Program untuk persamaan gelombang Keterangan: program ini sebagai contoh untuk kasus 1, sedangkan untuk kasus 2 nilai masukan yang diberikan menyesuaikan. % fungsi Syarat awal u(x,0) = f(x) = 2sin(pi.x) untuk PERSAMAAN GELOMBANG function d = f(x) d = 2*sin(pi*x); % Fungsi Syarat awal u[t](x,0) = g(x) = 0 untuk PERSAMAAN GELOMBANG function d = g(x) d = 0; Program yang digunakan (nilai masukkan berasal dari kasus 1) function U=finedifwave9(f,g,a,b,c,n,m) % Input - f=U(x,0) dalam bentuk string 'f' % - g=Ut(x,0) dalam bentuk string 'g' % - a and b titik batas [0,a](x) dan [0,b](t) % - c konstanta dalam persamaan gelombang % - n dan m jumlah titik grid pada selang [0,a] dan [0,b] % Output - U matriks penyelesaian % Inisialisasi parameter dan matriks U h = a/(n-1); k = b/(m-1); r = c*k/h; fprintf('\n h = delta_x = %4f \n',h) fprintf(' k = delta_t = %4f \n',k) fprintf(' s = %4f \n',r) r2 = r^2; U = zeros(n,m); % Menghitung penyelesaian di titik-titik 'bayangan' (ghost points) for i = 2:n-1 ghost(i) = (1-r2)*feval('f',h*(i-1)) + (r2/2)*( feval('f',h*(i-2))... +feval('f',h*i) ) - k*feval('g',h*(i-1)); end % Menghitung penyelesaian di baris pertama dan ke-dua matriks U for i = 2:n-1 U(i,1) = feval('f',h*(i-1)); U(i,2) = 2*k*feval('g',h*(i-1)) + ghost(i); end % Menghitung penyelesaian di baris berikutnya matriks U
117
for j = 3:m for i = 2:(n-1) U(i,j) = 2*U(i,j-1) + r2*( U(i+1,j-1)-2*U(i,j-1)+U(i-1,j-1) )... - U(i,j-2); end end U = U'; %% Menggambar penyelesaian u(x,t) dalam grafik 2D % Inisialisasi selang letak (x) e=0:h:a; % Menggambar penyelesaian u(x,t) terhadap letak (x) plot(e,U) title('perhitungan dengan N=10, M=11, dan s=1.0') xlabel('x = letak (space)') ylabel('u(x,t)= tinggi gelombang') %% Menggambar penyelesaian u(x,t) dalam grafik 3D figure d=0:k:b; surf(e,d,U) title('grafik 3D persamaan gelombang, s = 1.0') xlabel('x = letak (space)') ylabel('t = waktu (time)') zlabel('u(x,t) = tinggi gelombang di titik (x,t)') Program untuk penyelesaian eksak function B=eksakwave(dx,N,t,W) for f=1:N u0=0; g=1; while g<=W u(g)=(( sin(pi*(0.9-g))/(0.9-g) )-( sin(pi*(0.9+g))/(0.9+g) ))*... cos(2*g*pi*t/0.9)*sin(g*pi*( (f-1)*dx )/0.9); P(g)=u(g)+u0; u0=P(g); g=g+1; end G=u0; B(f)=(2/pi)*G; end B;
118
Program untuk membandingkan penyelesaian eksak dan numerik function finedifwave9(f,g,a,b,c,n,m,t,W) % contoh finedifwave9('f','g',0.9,0.5,2,10,11,0.2,200) % Inisialisasi parameter dan matriks U h = a/(n-1); k = b/(m-1); r = c*k/h; fprintf('\n h = delta_x = %4f \n',h) fprintf(' k = delta_t = %4f \n',k) fprintf(' s = %4f \n',r) r2 = r^2; U = zeros(n,m); % Menghitung titik-titik 'bayangan' (ghost points) for i = 2:n-1 ghost(i) = (1-r2)*feval('f',h*(i-1)) + (r2/2)*( feval('f',h*(i-2))... +feval('f',h*i) ) - k*feval('g',h*(i-1)); end % Menghitung penyelesaian di baris pertama dan ke-dua matriks U for i = 2:n-1 U(i,1) = feval('f',h*(i-1)); U(i,2) = 2*k*feval('g',h*(i-1)) + ghost(i); end % Menghitung penyelesaian di baris berikutnya matriks U for j = 3:m for i = 2:(n-1) U(i,j) = 2*U(i,j-1) + r2*( U(i+1,j-1)-2*U(i,j-1)+U(i-1,j-1) )... - U(i,j-2); end end U = U'; B=eksakwave(h,n,t,W) y=ceil(t/k); %% Menggambar penyelesaian u(x,t) dalam grafik 2D % Inisialisasi selang letak (x) e=0:h:a; % Menggambar penyelesaian u(x,t) terhadap letak (x) plot(e,U(y,1:n),'r-.',e,B) title('grafik penyelesaian eksak dan numerik, t = 0.2') xlabel('x = letak (space)') ylabel('u(x,t)= tinggi gelombang')
top related