penularan hiv dari ibu ke anak
Post on 07-Dec-2015
22 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Banyak penelitian membuktikan bahwa penularan HIV terjadi pada masa intrauterin dan saat
intrapartum.8,-11 Dengan menggunakan perhitungan model matematika maka distribusi
penularan dari ibu ke bayi diperkirakan sebagian terjadi beberapa hari sebelum persalinan,
dan pada saat plasenta mulai terpisah dari dinding uterus pada waktu melahirkan. Penularan
diperkirakan terjadi karena bayi terpapar oleh darah dan sekresi saluran genital ibu.
Penularan lainnya terjadi pada dini kehamilan dan pada saat bayi menetek. Akan tetapi,
peranan dari masing-masing saat penularan masih belum diketahui dengan jelas.4,8,10-12
Walaupun demikian, Damania dan Tank (2006) menyatakan bahwa sekitar 25 sampai
35% penularan terjadi pada saat antenatal terutama pada fase akhir kehamilan dan 70 sampai
75% terjadi pada saat persalinan. Selain itu, penularan pada saat menetek terjadi sekitar
14%.13
Karena banyak para ahli mengatakan bahwa penularan lebih sering terjadi pada masa
kehamilan tua dan pada saat melahirkan, dan sangat jarang terjadi pada masa permulaan
kehamilan, maka yang menjadi sasaran penting untuk mencegah penularan vertikal adalah
janin pada fase akhir intrauterin dan pada waktu intrapartum.
Angka Penularan Vertikal dari Ibu ke Bayi
Angka penularan vertikal dari ibu ke bayi sangat bervariasi pada berbagai populasi.
Tanpa pencegahan, angka rata-rata penularan HIV dari ibu ke bayi sekitar 14-42%. Angka
penularan vertikal di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropah Barat berkisar antara
15 sampai 20%, sedangkan di negara sedang berkembang angka penularan vertikal adalah
40%. Misalnya di India, angka penularan vertikal berkisar antara 24 sampai 40%.13 Akan
tetapi, angka penularan vertikal di Indonesia sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.
Faktor Risiko Penularan Dari Ibu Ke Bayi
Tingginya angka penularan vertikal sangat dipengaruhi oleh adanya faktor risiko pada
ibu hamil yang terinfeksi HIV. Oleh karena itu untuk menurunkan angka penularan vertikal,
maka pengenalan faktor risiko pada ibu secara dini sangat penting. Ada banyak faktor risiko
penularan vertikal dari ibu ke bayi di antaranya, beratnya infeksi HIV/AIDS yang diderita
ibu, cara melahirkan bayi dan proses persalinan bayi, adanya penyakit infeksi lain pada
genitalia ibu, kebiasaan ibu, dan pemberian ASI kepada bayi sesudah lahir.13
Beratnya keadaan infeksi HIV pada ibu merupakan faktor risiko utama terjadinya
penularan perinatal.14 Berdasarkan hasil studi ternyata angka penularan vertikal lebih tinggi
pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang sangat berat dibanding ibu terinfeksi HIV tanpa
gejala. Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan dengan menggunakan kriteria klinis dan
jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma, serta
penyakit AIDS yang sangat jelas (dengan gejala berbagai penyakit oportunistik), jumlah
muatan virus di dalam tubuh >1000/mL, dan jumlah limfosit <200-350/mL dianggap
menderita penyakit AIDS sangat berat dan harus mendapat pengobatan antiretrovirus.13,15,16,18-
20
Cara persalinan bayi sangat menentukan terjadinya penularan vertikal. Bayi yang
dilahirkan pervaginam mem-punyai risiko penularan vertikal lebih tinggi dibandingkan bayi
yang lahir dengan bedah saesar.7,17 Bayi yang lahir pervaginam dengan tindakan invasif
seperti tindakan forsep, vakum, dan episiotomi, mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular
HIV-1.13
Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan vertikal. Risiko
penularan dalam proses persalinan ditentukan oleh keutuhan plasenta dan membran janin,14
lamanya pecah ketuban, dan adanya komplikasi persalinan (seperti infeksi dan perdarahan
pada ibu).10,11 Bila dalam proses persalinan ditemukan adanya plasenta yang tidak utuh,
membran janin yang robek, ketuban pecah dini, dan adanya komplikasi persalinan, maka bayi
akan mem-punyai risiko lebih tinggi untuk tertular infeksi HIV-1.10,11,14,21
Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi
untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit sifilis atau
penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Sim-plex, infeksi Cytomegalovirus
(CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih
tinggi. 10,11,14,21,22
Faktor risiko lainnya adalah cara pemberian minum bayi pada saat perinatal. Bayi yang
menetek mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi yang diberi susu formula.10,11,20 Risiko
akan lebih tinggi lagi bila tetek ibu terinfeksi atau lecet (mastitis yang tampak secara klinis
ataupun subklinis). Di negara berkembang penularan melalui air susu ibu (ASI) cukup
memegang peranan penting.13
Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi untuk
menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Merokok adalah salah satu kebiasaan ibu yang
buruk. Berdasarkan hasil penelitian, para ibu yang merokok mempunyai risiko untuk
menularkan HIV-1. Penularan vertikal juga sering terjadi pada ibu pengguna obat
terlarang.23,24 Demikian juga, ibu yang melakukan hubungan seksual tanpa alat pelindung,
terutama dengan pasangan yang berganti-ganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam
penularan vertikal.10,11,17,21
Tata Laksana
Strategi yang paling tepat untuk mencegah penularan vertikal adalah melarang ibu yang
terinfeksi HIV-1 untuk hamil, dan melakukan terminasi kehamilan bagi ibu terinfeksi HIV-1.
Akan tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan karena setiap orang pasti menginginkan
keturunan. Kehamilan serta memiliki keturunan adalah hak setiap manusia. Penderita HIV
juga memiliki hak yang sama untuk menikah dan melanjutkan keturunan. Oleh karena itu,
agar bayi tidak terinfeksi HIV-1 maka dilakukan strategi pencegahan.13
Telah dikenal beberapa faktor risiko yang dapat mempertinggi angka penularan HIV-1
dari ibu ke bayi. Untuk mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi maka tata laksana
pencegahan infeksi bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV sebaiknya dimulai sejak saat bayi
di dalam kandungan.7 Secara umum strategi pencegahan penularan vertikal dibagi menjadi 3
kelompok seperti yang terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Strategi untuk mencegah penularan vertikal.13
Usaha ini memerlukan kerja sama antara dokter ahli HIV dari kelompok kerja HIV/AIDS
yang merawat ibu pada saat sebelum hamil dan dokter kebidanan yang merawatnya pada saat
hamil. Tujuan perawatan saat kehamilan adalah untuk mempertahankan kesehatan dan status
nutrisi ibu, serta mengobati ibu agar jumlah muatan virus tetap rendah sampai pada tingkat
yang tidak dapat dideteksi.6 Kedua dokter tersebut harus membuat rencana program yang
dapat mengurangi risiko penularan dari ibu ke bayi. Kerja sama tersebut selanjutnya
diteruskan dengan dokter anak yang merawat neonatus.7
Anggota tim sebaiknya terdiri dari seorang pembina untuk ibu terinfeksi HIV, dokter
kebidanan, pekerja sosial, keluarga atau teman, dokter anak, dan perawat.7 Dengan kerja
sama yang baik maka faktor risiko yang terjadi dapat dihindari sehingga penularan perinatal
berkurang.25 Berdasarkan hal tersebut, maka tata laksana untuk mengurangi penularan
vertikal dari ibu ke bayi dibagi menjadi 2 yaitu, tatalaksana ibu hamil terinfeksi HIV pada
saat antenatal dan intrapartum, dan tatalaksana bayi yang dilahirkannya.17
Tata laksana pada Ibu Hamil
Konseling dan Tes Antibodi HIV terhadap Ibu
Petugas yang melakukan perawatan antenatal di Pskesmas maupun di tempat perawatan
antenatal lain sebaiknya mulai mengadakan pengamatan tentang kemungkinan adanya ibu
hamil yang berisiko untuk menularkan penyakit HIV kepada bayinya. Anamnesis yang dapat
dilakukan antara lain dengan menanyakan apakah ibu pemakai obat terlarang, perokok,
mengadakan hubungan seks bebas, dan lain-lainnya. Bila ditemukan kasus tersebut di atas,
harus dilakukan tindakan lebih lanjut.
Risiko penularan HIV secara vertikal dapat berkurang sampai 1-2% dengan melakukan
tata laksana yang baik pada ibu dan anak. Semua usaha yang akan dilakukan sangat
tergantung pada temuan pertama dari ibu-ibu yang berisiko. Oleh karena itu, semua ibu usia
subur yang akan hamil sebaiknya diberi konseling HIV untuk mengetahui risiko, dan kalau
bisa, sebaiknya semua ibu hamil disarankan untuk melakukan tes HIV-1 sebagai bagian dari
perawatan antena-tal, tanpa memperhatikan faktor risiko dan prevalensi HIV-1 di
masyarakat.6,25,26 Akan tetapi, ibu hamil sering menolak untuk dilakukan tes HIV, karena
peraturan yang memaksa ibu hamil untuk dites HIV belum ada.27
Cukup banyak ibu hamil sudah terinfeksi HIV-1 pada saat masa pancaroba dan dewasa
muda yang justru pada masa ini mereka tidak terjangkau oleh sistem pelayanan kesehatan.19
Pada hal pada masa-masa ini banyak terjadi penularan melalui hubungan seks bebas, dan juga
banyak sebagai pengguna obat terlarang. Kepada mereka harus diberi konseling dan
disarankan untuk dilakukan tes infeksi HIV-1. Kemudian, jika ditemukan ada ibu hamil yang
terinfeksi HIV dan sebagai pengguna obat terlarang, maka harus dima-sukkan ke dalam
program pengobatan atau program detoksifikasi.6,28
Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu dilakukan pemeriksaan
untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan genotipe virus.
Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat anti retrovirus (ARV) atau belum.
Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi kepada ibu tentang risiko
penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta cara pence-gahannya. Selanjutnya, ibu harus
diberi penjelasan tentang faktor risiko yang dapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1 dari
ibu ke bayi.6,28
Pencatatan dan Pemantauan Ibu Hamil
Banyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa rencana. Ibu hamil sangat jarang melakukan
perawatan prenatal. Di samping itu, ibu-ibu ini sering terlambat untuk melakukan perawatan
pre-natal. Kelompok ibu-ibu ini juga sangat jarang melakukan konseling dan tes HIV pada
waktu prenatal,7,19 sehingga mereka tidak dapat dicatat dan dipantau dengan baik.
Catatan medis yang lengkap sangat perlu untuk ibu hamil terinfeksi HIV termasuk
catatan tentang kebiasaan yang meningkatkan risiko dan keadaan sosial yang lain, peme-
riksaan fisik yang lengkap, serta pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui status virologi
dan imunologi. Pada saat penderita datang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan ini akan digunakan sebagai data dasar untuk bahan banding dalam
melihat perkembangan penyakit selanjutnya. Pemeriksaan tersebut adalah darah lengkap,
urinalisis, tes fungsi ginjal dan hati, amylase, lipase, gula darah puasa, VDRL, gambaran
serologis hepatitis B dan C, subset sel T, dan jumlah salinan RNA HIV.7,19
Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauan ibu hamil terinfeksi HIV sama
dengan pemantauan ibu terinfeksi HIV tidak hamil. Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan
kadar RNA HIV-1 harus dilakukan setiap trimester (yaitu, setiap 3-4 bulan) yang berguna
untuk menentukan pemberian ARV dalam pengobatan penyakit HIV pada ibu.7 Bila fasilitas
pemeriksaan sel T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukan berdasarkan
kriteria gejala klinis yang muncul.
Pengobatan dan Profilaksis Antiretrovirus pada Ibu Terinfeksi HIV
Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi, maka ibu hamil terinfeksi HIV
harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV).6,9,29 Tujuan pemberian
ARV pada ibu hamil, di samping untuk mengobati ibu, juga untuk mengurangi risiko
penularan perinatal kepada janin atau neonatus.19,30 Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit
di dalam plasma (<1000 salinan RNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%,
sedangkan ibu dengan jumlah muatan virus banyak menularkan infeksi HIV pada bayi
sebanyak 60%. Jumlah virus dalam plasma ibu masih merupakan faktor prediktor bebas yang
paling kuat terjadinya penularan perinatal.18,31 Karena itu, semua wanita hamil yang terinfeksi
HIV harus diberi pengobatan antiretrovirus (ARV) untuk mengurangi jumlah muatan
virus.7,17,30,32
Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan ibu yang tidak
hamil. Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi HIV adalah status penyakit HIV
(beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan hitung sel T CD4+, perkembangan infeksi
ditentukan berdasarkan jumlah muatan virus, antigen p24 atau RNA/DNA HIV di dalam
plasma), riwayat pengobatan antiretrovirus saat ini dan sebelumnya, usia kehamilan, dan
perawatan penunjang yang diperlukan seperti perawatan psikiater, nutrisi, aktivitas seksual
harus memakai kondom, dan lain-lain.10,11,14,17 ARV cukup aman diberikan kepada ibu hamil.
Obat ini tidak bersifat teratogenik pada manusia, dan tidak bersifat lebih toksik pada ibu
hamil dibandingkan dengan ibu tidak hamil.17,32 Walaupun demikian, pemantauan jangka
pendek dan jangka panjang tentang toksisitas dari paparan sampai penggunaan kombinasi
ARV untuk janin di dalam kandungan dan pada bayi adalah sangat penting, karena
keterbatasan informasi, dan data yang ada sering tidak sesuai.33
Indikasi pemberian antiretrovirus pada wanita hamil sama dengan pada wanita tidak
hamil. Untuk wanita hamil yang sudah mendapat pengobatan antiretrovirus, keputusan untuk
mengganti obat adalah sama dengan wanita tidak hamil. Rejimen kemoprofilaksis ZDV
diberikan tunggal atau bersama dengan antiretrovirus lain, mulai diberikan pada usia
kehamilan 14 minggu dan jangan ditunda. Karena dengan menunda maka efektivitasnya akan
menurun.34 Hal ini harus didiskusikan dan ditawarkan kepada seluruh ibu hamil yang
terinfeksi agar risiko penularan HIV perinatal berkurang.7,35
Walaupun keputusan pemilihan dan penggunaan ARV berbeda-beda, umumnya
keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan 1) risiko penyakit berkembang pada ibu bila
tanpa pengobatan; 2) manfaat untuk menurunkan jumlah virus, agar risiko penularan perinatal
berkurang; 3) kemung-kinan terjadi toksisitas obat; 4) kemungkinan ada infeksi oleh virus
yang sudah resisten obat; dan 5) efek paparan obat jangka panjang pada bayi dalam
kandungan.33
CDC and Prevention USA (2009) menyarankan untuk memberikan pengobatan dan
profilaksis antiretrovirus kepada ibu pada saat intrapartum sebagai berikut: 36
• Pemberian ZDV intravena disarankan untuk seluruh ibu hamil terinfeksi HIV, tanpa
memandang jenis antivirus
yang diberikan pada saat antepartum; ini bertujuan mengurangi penularan HIV perinatal.
• Untuk ibu yang mendapat pengobatan antivirus antepar-tum yang mengandung obat
stavudine (d4T), maka obat ini distop selama pemberian ZDV intravena pada saat
persalinan.
• Pada mereka yang mendapat antiretrovirus kombinasi, pengobatannya harus diteruskan
selama persalinan dan sebelum dilakukan bedah saesar sesuai jadwal dengan tepat.
• Mereka yang mendapat terapi kombinasi dengan dosis yang sudah ditentukan termasuk
ZDV, maka pada saat persalinan harus diberi ZDV intravena, sementara komponen
antiretrovirus yang lain terus diberikan secara oral.
• Untuk ibu yang sudah mendapat antiretrovirus tetapi pada saat menjelang persalinan
ternyata jumlah penu-runan virus kurang optimal (misal >1000 salinan/mL) maka
disarankan untuk dilakukan bedah saesar. Tidak disarankan untuk menambahkan NVP
dosis tunggal pada saat intrapartum atau kepada neonatus yang dilahirkan.
• Ibu dengan status HIV yang tidak jelas yang datang pada saat akan melahirkan, harus
dilakukan pemeriksaan tes cepat terhadap antibodi HIV, dan pemberian ZDV intravena
harus dimulai jika hasil test positif (tanpa menunggu hasil tes konfirmasi) tes konfirmasi
dilakukan sesudah melahirkan, dan bayi harus mulai diberi ZDV. Jika hasil tes positif,
maka disarankan untuk memberikan ZDV kepada neonatus selama 6 minggu, dan jika
hasil tes negatif, maka pemberian ZDV pada neonatus distop.
• Pada ibu terinfeksi HIV yang sedang melahirkan tetapi tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus antepartum, disarankan pemberian ZDV intravena selama melahirkan
kepada bayinya selama 6 minggu. Beberapa ahli sering mengkombinasi obat ini dengan
NVP dosis tunggal yang diberi kepada ibu dan neonatus.37,38
· Jika digunakan NVP dosis tunggal (sendiri atau dikombinasi dengan ZDV), maka harus
dipertimbangkan untuk memberikan 3TC pada saat melahirkan dan kepada ibu diberikan
ZDV/3TC selama 7 hari sesudah melahirkan untuk mengurangi terjadinya resistensi virus
terhadap NVP pada ibu.
Dosis antiretrovirus yang harus diberikan dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3. Untuk
ibu yang tidak mendapat pengobatan ARV dan yang mempunyai jumlah muatan virus
sangat rendah <1000 salinan/mL, beberapa ahli hanya memberikan ZDV sebagai
profilaksis dan pemberian ini distop sesudah melahirkan sementara pemberian pada
neonatus diteruskan.3,29 Pemberian zidovudine pada neonatus kurang bulan harus berhati-
hati, karena klirens zidovudine pada bayi prematur sangat kurang. Oleh karena itu dosis
yang diberikan harus lebih rendah dari dosis untuk bayi cukup bulan.39
Hati-hati memberikan golongan nonnucleoside reverse-transcriptase inhibitor (NNRTI),
karena sudah ada mutasi virus resisten terhadap NNRTI sebanyak 15-40% pada ibu yang
diberi nevirapine dosis tunggal pada waktu persalinan yang mungkin akan mempunyai risiko
resisten berikutnya, bila ibu mendapat lagi pengobatan NNRTI.40-42
Pengobatan Penyakit Lain
Penyakit lain yang diderita ibu dengan risiko tinggi untuk terjadi penularan vertikal juga
harus diobati. Prevalensi dan insiden penyakit yang ditularkan melalui seks (misalnya,
N.gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis) sangat tinggi pada wanita terinfeksi HIV-1.
Penyakit ini dikenal sebagai faktor yang dapat menfasilitasi penyebaran infeksi HIV melalui
hubungan seksual. Beberapa studi membuktikan, bakteri yang ditularkan melalui hubungan
seksual (misalnya, N.gonor-rhoeae dan Chlamydia trachomatis), trihomoniasis, dan
vulvovaginal candidiasis sering disertai dengan jumlah vi-rus HIV yang banyak di dalam
sekresi genital,22 dan pengobatan terhadap semua infeksi tersebut dapat me-ngurangi jumlah
virus, sehingga risiko penularan vertikal HIV juga berkurang.33 Selain itu perlu juga
dilakukan pengobatan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual pada laki-laki agar
penularan penyakit ini dan penyakit HIV kepada wanita juga berkurang.43
Perawatan Intrapartum dan Cara Persalinan
Karena sebagian besar bayi tertular infeksi HIV pada saat persalinan, maka cara
persalinan bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV sangat menentukan terjadinya penularan
vertikal.44 Oleh karena itu, penanganan persalinan bayi harus hati-hati dan prosedur yang
invasif harus dihindari. Adanya trauma dan kerusakan pada jaringan tubuh ibu maupun bayi
akan mengakibatkan terjadinya penularan vertikal. Untuk menghindari penularan vertikal,
maka pecah ketuban dini dan penggunaan elektrode kepala perlu dihindari, dan jangan
mengambil sampel darah melalui kepala janin. Selain itu, jangan melakukan pertolongan
persalinan yang meng-akibatkan trauma seperti menggunakan forsep atau vakum untuk
persalinan lama dengan penyulit.13
Persalinan per vaginam mempunyai risiko penularan vertikal HIV-1 dua kali lipat lebih
tinggi dibandingkan dengan persalinan bedah saesar.17 Oleh karena itu, persalinan sebaiknya
dilakukan dengan bedah saesar elektif. Hanya dengan melakukan bedah saesar angka
penularan vertikal dapat dinurunkan sebanyak 50%. Tindakan bedah ini harus dilakukan
sebelum ada tanda-tanda persalinan dan sebelum ketuban pecah.14,19,32,44 Bedah saesar
disarankan kepada seluruh ibu hamil terinfeksi HIV-1 yang mempunyai jumlah muatan virus
HIV >1000 salinan/mL menjelang persalinan tanpa memperhatikan apakah ibu mendapat
profilaksis ARV (antiretrovirus) atau tidak pada saat prenatal.3,19
Di samping melakukan bedah saesar elektif, ibu sebaiknya secara bersamaan juga
diberikan profilaksis antirertovirus (ARV).14,32 Pemberian HAART (Highly Active
Antiretroviral Therapy) yang disertai dengan tindakan bedah saesar (sebelum persalinan dan
sebelum pecahnya membran) pada usia kehamilan 36-38 minggu dapat mengurangi
penularan vertikal menjadi 1%.5,6,10,30,44,45 Kemampuan untuk mencegah penularan vertikal
antara ibu yang mendapat HAART adalah sama dengan ibu yang mendapat ARV jangka
pendek. Tujuan pemberian HAART adalah untuk mengobati penyakit HIV ibu yang sudah
berat. Ibu hamil dengan penyakit HIV-1 yang ringan (limfosit CD4 >350/mL), disarankan
untuk mendapat profilaksis jangka pendek.46
Untuk ibu yang sudah lama mendapat HAART dan mempunyai jumlah muatan virus
kurang dari 1000 salinan/ mL, kalau fasilitas bedah saesar tidak ada, maka ibu dapat
melahirkan per vaginam, karena jumlah salinan RNA virus rendah, sehingga angka penularan
intrapartum juga rendah, tetapi ibu dan bayi harus tetap diberi profilaksis ARV.13
Perawatan Ibu Sesudah Melahirkan
Semua ibu yang terinfeksi HIV dan baru selesai melahirkan disarankan untuk dirawat di
ruang perawatan orang dewasa dan dimasukkan dalam program pengobatan.
Tabel 2. Protokol pemberian zidovudine pada ibu hamil untuk mencegah
penularan vertikal.36
Yang sangat penting adalah ibu dan keluarganya harus mendapat perawatan dan pelayanan
paripurna, karena mereka ini sering menghadapi tekanan sosial dan medis. Komponen
perawatan paripurna termasuk perawatan medis dan pelayanan pendukungnya adalah sebagai
berikut.36
1. Perawatan khusus yaitu, perawatan dasar, obstetri/ ginokologi, anak, dan HIV
2. Pelayanan keluarga berencana
3. Pelayanan kesehatan jiwa
4. Pengobatan penyalah gunaan obat terlarang
5. Pelayanan untuk mendukung ibu agar lebih bersemangat
6. Koordinasi pelayanan dengan tatalaksana kasus untuk ibu, anak, serta anggota keluarga
yang lain.
Pelayanan untuk mendukung ibu harus diatur sede-
mikian rupa sesuai dengan kebutuhan masing-masing ibu.
Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Ibu yang menyusui dapat menularkan infeksi HIV pada bayinya. Oleh karena itu, ibu
sebaiknya dilarang menyusui bayinya.12 Di negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat
dan juga di Thailand, ibu terinfeksi HIV dilarang memberi ASI atau menyusui bayi untuk
menghidari terjadi penularan.6 Di negara miskin masalah ini masih menjadi perdebatan
karena kesulitan untuk memperoleh pengganti ASI.5
Untuk mengatasi hal ini maka perlu alternatif lain. Salah satu alternatif adalah dengan
memanaskan ASI sebelum diberikan kepada bayi. Tetapi cara ini belum dilakukan secara
luas.10,47 Alternatif lain adalah dengan memberikan profilaksis antiretrovirus kepada bayi
yang mendapat ASI, tetapi harus dipertimbangkan dengan matang, karena biayanya cukup
mahal.48,49
Sebagai pengganti ASI disarankan untuk memberi susu formula. Tetapi pemberian susu
formula sangat sulit terutama di negara sedang berkembang, karena ada kepercayaan bahwa
ASI harus diberikan kepada bayi, tidak ada air bersih, serta orangtua tidak mampu membeli
susu formula.6 Selain itu, keadaan sanitasi di negara ini sangat buruk dan insiden penyakit
infeksi juga sangat tinggi. Dalam keadaan ini, bila bayi diberi susu formula mungkin akan
meningkatkan angka kematian bayi.10
Tata laksana Bayi Lahir Dari Ibu Terinfeksi HIV
Di sebagian besar negara di dunia, penyakit HIV pada seseorang masih dianggap sebagai
aib. Oleh sebab itu, adanya penyakit ini pada seseorang harus dirahasiakan untuk
meningkatkan percaya diri penderita, agar diperoleh kepatuhan berobat yang maksimal.
Orangtua juga harus didorong untuk ikut berperanan dalam merahasiakan penyakit anaknya,
dan hanya boleh diketahui oleh para petugas yang merawatnya seperti dokter, petugas
instalasi gawat darurat, dan perawat yang lain. Pemberian antiretrovirus, pengam-bilan darah,
dan pengambilan hasil tes sering menjadi masalah bagi orangtua yang sedih, bingung,
dan/atau depresi, karena merasa bersalah telah menularkan penyakit HIV kepada anaknya.
Petugas yang baik, sabar, optimis, dan dapat memberi semangat kepada penderita, akan dapat
mengatasi masalah yang sulit ini dengan seksama.33
Profilaksis dengan Antiretrovirus
Setelah lahir, semua bayi yang terpapar HIV harus diberi profilaksis antiretrovirus untuk
mengurangi penularan vertikal.19 Antivirus profilaksis yang disarankan adalah ZDV dan obat
ini harus diberikan selama 6 minggu penuh dan semua obat ini harus diberikan sebelum
dipulangkan.3,19
Dalam keadaan tertentu, beberapa ahli mengkombinasikan ZDV 6 minggu dengan ARV
yang lain. Keadaan tersebut juga diterapkan pada neonatus yang lahir dari ibu terinfeksi HIV.
Yang telah mendapatkan ARV prenatal tetapi dengan penurunan muatan virus yang
tidak optimal; 2. hanya mendapat ARV intrapartum;
3. tidak mendapat obat pada saat antepartum maupun intrapartum;
4. diketahui terinfeksi vi-rus resisten obat
Penambahan ARV lain pada ZDV 6 minggu mungkin dapat meningkatkan efikasi
pencegahan penularan vertikal HIV-1, tetapi ini belum dibuktikan secara uji klinik. Selain itu,
formula ARV yang lain untuk neonatus belum tersedia. Juga dosis obat untuk neonatus belum
diketahui, dan data tentang keamanan obat untuk neonatus juga belum ada. Oleh sebab itu,
pemberian obat kombinasi tambahan kepada neonatus harus dipertimbangkan dengan
matang.3,52
Informasi yang paling banyak dari kombinasi ARV untuk neonatus adalah ZDV dengan
NVP dosis tunggal, dan kombinasi ZDV dan lamivudine yang juga dikombinasi dengan
nevirapine.4,10,50 Pemberian obat ini akan dapat menurunkan penularan vertikal sebanyak
47%.17 Tetapi pemantauan harus dilakukan dengan ketat terhadap kemungkinan terjadi
toksisitas pada sistem darah sebagai akibat kombinasi ZDV dan lamivudine jika
dibandingkan hanya dengan ZDV. Kombinasi dengan nevirapine terutama untuk bayi yang
sudah terinfeksi HIV-1 harus berhati-hati, karena dapat mengakibatkan munculnya virus yang
resisten terhadap nevirapine.3,40,41,52
ZDV (dikombinasi dengan ARV lain) harus diberikan sesegera mungkin kepada
neonatus, yaitu dalam 12 jam sesudah lahir. Jika paparan HIV terhadap bayi diketahui antara
12 sampai 48 jam sesudah lahir, maka pemberian ZDV harus dimulai pada periode waktu
tersebut. Profilaksis pasca-paparan yang dimulai 2 hari sesudah lahir tampaknya kurang
efisien untuk mencegah penularan. Penelitian memperlihatkan bahwa pencegahan dengan
profolaksis yang dimulai antara usia 24 sampai 36 jam sesudah lahir, ternyata tidak efektif
karena infeksi diperkirakan akan sudah terjadi pada saat bayi berusia 1 sampai 2 minggu.3
Profilaksis ZDV harus diberikan selama 6 minggu. Cara pemberiannya harus
disampaikan kepada keluarga sebelum bayi dipulangkan. Obat ini sebaiknya disediakan di
rumah sakit agar keluarga tidak kesulitan untuk memperolehnya.3 Zidovudine mulai
diberikan setelah neonatus lahir dengan dosis 2 mg/kgBB setiap 6 jam selama 6 minggu.
Pengobatan Zidovudine pada ibu saat hamil dan melahirkan, serta profilaksis kepada bayi
baru lahir, dapat mengurangi angka penularan vertikal sebanyak 66%.4,10,17,30,44
Pemantauan Bayi Sesudah Lahir
Pemeriksaan Laboratorium Untuk Mendiagnosis Bayi
Terinfeksi HIV
Diagnosis infeksi HIV bayi baru lahir perlu ditegakkan secepat mungkin sehingga
pemberian ARV dan terapi tambahan dapat dimulai.33 Oleh sebab itu perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak. Sebelum 1994
dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi IgG spsesifik terhadap HIV menggunakan tes
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan tes West-ern blot. Dengan teknik ini
ternyata diagnosis pasti diperoleh sangat lambat, dan pada bayi yang masih muda, dapat
terjadi hasil positif palsu, karena antibodi IgG yang terdapat di dalam tubuh bayi sebagian
besar adalah antibodi maternal yang menyeberang dari ibu melalui plasenta, dan dapat
dideteksi sampai bayi berusia 18 bulan.4,10
Agar infeksi HIV pada bayi dapat didiagnosis lebih dini, maka harus dilakukan tes
langsung terhadap virus meng-gunakan tes PCR DNA HIV, biakan virus HIV, pemeriksaan
kadar antigen core p24, atau pemeriksaan kadar RNA HIV.10 Pemeriksaan laboratorium yang
disarankan untuk penapisan pertama pada bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV adalah tes
PCR DNA HIV. Tes ini mempunyai sensitivitas 93,2% dan spesifisitas 94,9%. Tetapi tes ini
kurang akurat untuk pemeriksaan neonatus. Pada bayi dengan risiko penularan rendah, nilai
prediktif positif tes PCR DNA HIV pada bulan pertama lahir adalah 55,8%, sedangkan
sesudah periode tersebut menjadi 83,2%.4 Walaupun demikian, tes pertama sebaiknya
dilakukan dalam 48 jam pertama sesudah lahir. Tes harus diulang pada saat bayi berusia 1-2
bulan dan kemudian pada saat berusia 4-6 bulan.33
Piakan virus HIV sama sensitifnya dengan tes PCR DNA HIV, tetapi biayanya mahal dan
memerlukan waktu cukup lama, yaitu lebih dari 2 minggu. Pemeriksaan antigen p24 kurang
sensitif dan mempunyai angka positif palsu sangat tinggi. Pemeriksaan kadar RNA virus HIV
dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan penyakit. Tetapi pemeriksaan kadar RNA
virus HIV tidak disarankan sebagai tes penapisan infeksi HIV pada bayi, karena mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas lebih rendah dibandingkan dengan tes DNA HIV.4
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pemeriksaan PCR DNA HIV-1 sebaiknya
dilakukan pada saat bayi berusia 14 sampai 21 hari. Beberapa ahli menyarankan dilakukan
sebelum bayi berusia 48 jam agar segera dapat dideteksi infeksi HIV yang terjadi intrauterin.
Namun, bila hasil tes RNA atau DNA negatif pada saat bayi berusia 48 jam maka tes
sebaiknya diulang pada bayi berusia 14 sampai 21 hari, karena sensitivitas pemeriksaan ini
akan meningkat 2 minggu sesudah lahir, dan kebanyakan bayi mendapat infeksi pada saat
persalinan. Sampel tes PCR pertama tidak boleh menggunakan darah tali pusat, karena dapat
memberikan hasil positif palsu.4,33 Bila hasil tes pertama negatif, maka pemeriksaan
dilanjutkan pada saat bayi berusia 1 sampai 2 bulan, kemudian pada usia 4 sampai 6 bulan. 3
Bila tiga sampel darah (saat lahir, usia satu bulan, dan usia empat bulan) diperiksa dengan tes
virologi memberi hasil negatif, maka sekitar 95% bayi dianggap tidak terinfeksi HIV.
Diagnosis infeksi HIV secara pasti dapat ditegakkan bila dua sampel darah yang terpisah
dites dengan pemeriksaan virologi memberikan hasil positif.4,33
Tes serologis yang dilakukan pada bayi sesudah usia 12 bulan dapat digunakan untuk
memastikan apakah antibodi HIV dari ibu yang menyeberang plasenta sudah tidak ada lagi.
Jika bayi pada usia 12 bulan masih menunjukkan antibodi IgG positif dengan tes ELISA,
maka tes harus diulang pada usia 18 bulan. Bila hasil tes antibodi bayi pada usia ini negatif,
dan sebelumnya hasil tes PCR DNA HIV-1 dua sampel yang terpisah juga negatif, maka
dapat dipastikan bahwa bayi tidak terinfeksi HIV.4,33
Seandainya semua tes HIV-1 menunjukkan hasil negatif tetapi gejala klinis sangat jelas
maka patut dicurigai adanya infeksi HIV-1 subtipe lain seperti subtipe B, C, D, dan E, atau
infeksi HIV-2. Semua subtipe virus ini tidak akan terdeteksi bila menggunakan antigen atau
antibodi atau primer HIV-1. Untuk mendeteksi virus ini diperlukan antigen, antibodi, atau
primer yang spesifik.3
Penilaian terhadap Hasil tes HIV Negatif
Penjelasan yang diberikan disini berdasarkan pada definisi surveilans CDC and
Prevention USA yang dianggap sesuai untuk tata laksana bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi HIV-1. Definisi eklusi infeksi HIV ini digunakan hanya untuk bayi yang tidak
memenuhi kriteria yang sudah dijelaskan di atas. Pada bayi usia kurang dari 18 bulan yang
tidak menetek dan hasil tes virologinya (RNA atau DNA) negatif, diperkirakan tidak
terinfeksi HIV-1 berdasarkan pada:3
• Hasil dua tes virologi RNA atau DNA dari spesimen yang terpisah, yang diambil pada
usia >2 minggu dan usia >4 minggu adalah negatif; atau
• Hasil satu tes virologi RNA atau DNA negatif dari spesimen yang diambil pada usia >8
minggu; atau
• Hasil 1 tes antibodi HIV-1 negatif dari spesimen yang diambil pada usia 6 bulan; dan
• Tidak ada bukti infeksi HIV secara klinis maupun hasil tes laboratorium yang lain (mis.
Hasil tes virologi yang positif jika tes dilakukan berikutnya dan tidak ada tanda AIDS).
Bayi atau anak dengan hasil tes seperti di atas diperkirakan tidak terinfeksi HIV-1,
tetapi untuk memastikannya perlu dilakukan tes virologi ulang. Kadang-kadang bayi dengan
hasil tes virologi positif bila diulang memberikan hasil negatif. Oleh sebab itu, disarankan
untuk mengulang pemeriksaan.3
Bayi yang tidak menetek yang berusia kurang dari 18 bulan dengan hasil tes virologi
(RNA atau DNA) negatif, dipastikan tidak terinfeksi HIV-1 berdasarkan ketentuan:3
• Paling tidak dua hasil tes virologi (DNA atau RNA) negatif dari dua spesimen yang
berbeda, satu diambil pada usia >1 bulan dan satu lagi diambil pada usia >4 bulan. Atau
• Paling tidak 2 hasil tes antibodi HIV-1 negatif yang berasal dari 2 spesimen yang terpisah
diambil pada usia 6 bulan; dan
• Tidak ada bukti klinis maupun laboratorium untuk infeksi HIV-1.
Pemeriksaan Laboratorium Lain
Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan untuk mengetahui efek samping pengobatan.
Pemberian anti-retrovirus pada neonatus sering mengakibatkan anemia, neu-tropenia,
limfopenia, dan jumlah sel CD4 menurun.52 Untuk mengetahui status imun bayi maka sel
limfosit CD4+ harus selalu diperiksa. Pemeriksaan lebih baik menggunakan persentase
CD4+, karena nilai ini tidak dipengaruhi oleh usia, sedangkan jumlah absolut limfosit CD4+
bervariasi sesuai dengan usia.4,10
Pemberian Profilaksis Pneumocystis Carinii Pneumonia
Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP) (dulu disebut Carinii) merupakan infeksi
oportunistik serius yang paling sering terjadi pada anak dengan angka kematian yang sangat
tinggi, dan sering dipakai sebagai indikator terjadinya infeksi perinatal HIV. PCP paling
banyak terjadi pada bayai usia 3-6 bulan. PCP pada anak yang terinfeksi HIV dapat terjadi
pada usia di bawah 1 tahun, dan tidak tergantung dari hasil hitung sel T CD4+ (tidak seperti
kasus HIV pada orang dewasa).4,10
Profilaksis terhadap PCP dimulai sesudah selesai pemberian profilaksis zidovudine
selama 6 minggu. Profilaksis ini tidak disarankan pada bayi yang berusia kurang dari 6
minggu, karena penyakit ini sangat jarang terjadi pada neonatus.4,10 Profilaksis dapat
dihentikan bila hasil tes PCR DNA HIV negatif dua kali (satu sampel pada usia 1 bulan dan
yang lain pada usia 4 bulan). Bila ternyata bayi terinfeksi HIV, maka profilaksis harus
diteruskan sampai bayi berusia 12 bulan dan pemberiannya tidak bergantung pada jumlah sel
limfosit CD4+. Sesudah bayi berusia 12 bulan profilaksis tergantung dari jumlah limfosit
CD4+ atau dapat diteruskan selama anak menderita HIV.4,10,30,33
Obat yang digunakan untuk profilaksis adalah trime-thoprim-sulfamethoxazole (dapat
dilihat pada tabel 4). Efek samping trimetoprim-sulfametoksazol dapat memperberat anemia
yang disebabkan oleh zidovudine dan juga dapat mengganggu metabolisme bilirubin yang
belum matang pada bayi baru lahir.4,10 Sebagai alternatif dapat digunakan dapson atau
atovakuon (Mepron). Untuk mendeteksi efek samping, maka harus dilakukan pemeriksaan
darah lengkap sebelum memberikan profilaksis, selanjutnya pemeriksaan labo-ratorium
dilakukan setiap bulan.4,10
Tes Penapisan Tuberkulosis
Penderita infeksi HIV secara bersamaan dapat juga terinfeksi dan tertular bakteri
tuberkulosis. Oleh sebab itu, perlu dicari informasi tentang adanya infeksi tuberkulosis pada
ibu serta anggota keluarga yang lain. Bayi yang terinfeksi HIV dan semua bayi yang tinggal
bersama penderita tuberkulosis mempunyai risiko tinggi tertular tuberkulosis. Sebelum
melahirkan, pada ibu hamil terinfeksi HIV harus dilakukan tes penapisan TBC. Bayi harus
dipisah dari ibu atau orang yang menderita TBC paru aktif sampai orang tersebut tidak
menularkan kuman TBC.4 Bila ada kemungkinan anak terpapar dengan tuberkulosis, maka
anak tersebut harus mendapat program yang sesuai dengan pro-gram TBC pemerintah atau
sesuai dengan petunjuk WHO.33 Bayi yang terpapar penderita TBC aktif, harus menjalani tes
purified protein derivative (PPD) dan foto toraks. Tes PPD pada bayi terinfeksi HIV
dianggap positif bila terjadi indurasi dengan diameter 5 mm. Walaupun hasil tes negatif, bayi
yang terpapar tuberkulosis harus diberi profilaksis isoniasid (INH) selama 3 bulan.
Kemudian, tes PPD harus diulang. Jika hasil tes negatif, maka INH harus dihentikan. Jika
hasil tes positif, maka profilaksis diteruskan. Pada semua anak yang terinfeksi HIV harus
dilakukan tes PPD setiap tahun untuk penapisan dimulai pada usia 12 bulan.4
Tabel 4. Obat profilaksis Pneumocystis carinii Pneumonia pada bayi.4
Pemantauan Bayi yang Terpapar HIV terhadap Perkembangan Penyakit Lain
Paparan HIV-1 pada saat perinatal umumnya tidak menyebabkan prematuritas atau berat
badan lahir rendah, tetapi pertumbuhan dan perkembangan neurologis serta gejala penyakit
infeksi perinatal lain dari neonatus perlu dipantau secara ketat. Semua imunisasi rutin harus
diberikan kepada bayi yang terpapar HIV. Akan tetapi, jika infeksi HIV terdiagnosis, maka
pemberian imunisasi harus mengikuti petunjuk tata laksana untuk anak yang terinfeksi HIV.33
Setelah bayi dipulangkan dari ruang perawatan, orangtua harus diberi tahu agar selalu
datang ke poliklinik anak untuk memantau perkembangan bayi serta kemungkinan
munculnya gejala penyakit infeksi HIV/AIDS. Karena banyak ARV diketahui sangat toksik,
maka perlu dilakukan peme-riksaan darah sebagai data dasar sebelum bayi dipulangkan
(seperti pemeriksaan darah tepi lengkap, tes fungsi hati). Biasanya bayi yang terpapar tetapi
tidak menunjukkan gejala infeksi, harus dipantau di poliklinik anak secara rutin untuk
perawatan bayi sehat dan imunisasi.33
Pengobatan ARV Pada Bayi Terinfeksi HIV
Jika bayi yang terpapar sudah dinyatakan terinfeksi, kapan memulai pemberian ARV
masih menjadi perdebatan. Beberapa ahli mengatakan sebaiknya pemberian ARV dilakukan
lebih agresif dan sedini mungkin sebelum terjadi kelainan imunologis dan munculnya gejala
klinis,51 sedangkan yang lain menyarankan menunggu sampai terjadi
Tabel 5. Jadwal Pemantauan dan Pengobatan Bayi yang Terpapar HIV-1 (Sampai
Usia 18 Bulan, sebagai Tamba-han dari Perawatan Anak dan Imunisasi
Rutin)3
kelainan imunologis serta munculnya gejala klinik untuk mencegah agar tidak cepat terjadi
resistens virus terhadap obat.33
DAFTAR PUSTAKA
1 . Kamal H, Rathore MH. Pediatric HIV Infection. Jacksonville Med 1997; August: 334-8.
2 . Ginsburg AS, Miller A, Wilfert CM. Diagnosis of Pediatric Hu-man Immunodeficiency
Virus Infection in Resource-Contrained Settings. Pediatr Infect Dis J 2006;25:1057-64.
3 . Havens PL, Mofenson LM, The Committee on Pediatrics AIDS. Evaluation and
Management of the Infant Exposed to HIV-1 in the United States. Pediatrics 2009;
123:175-87.
4 . Krist AH, Faucher AC. Mangement of Newborns Exposed to Maternal HIV Infection. Am
Fam Physicians, 2002; 65:2049-02 .
5 . Shetty AK, Maldonado Y. Prevention of Perinatal HIV-1 Trans-mission in the United
States. Neoreviews 2001; 2:c83-c93.
6 . Kanshana S, Simonds RJ. National program for preventing mother-child HIV transmission
in Thailand: successful imple-mentation and lessons learned. AIDS, 2002:16: 953-9.
7 . Duong T, Ades AE, Gibb DM, Tookey PA, Masters J. Vertical transmission rates for HIV
in the British Islet: estimates based on surveillance data. BMJ 1999;319:1227-9.
8 . Newell ML. Mechanisms and timing of mother-to-child trans-mission of HIV-1. AIDS
1998;12:831-7.
9 . Thisyakorn U, Kongphatthanayothin M, Sirivichayakul S, Rongkavilit C, Poolcharoen W,
Bien DD, et al. Thai Red Cross zidovudine donation program to prevent vertical
transmission of HIV: the effect of the modified ACTG 076 regimen. AID, 2000;14:2921-
7.
10 . Peckham C, Gibb D. Mother-To-Child Transmission Of The Human Immunodeficiency
virus. N Engl J Med 1995;333:298-302.
11 . Domachowske J. Pediatric Human Immunodeficiency Virus In-fection. Clin Microbiol
Rev 1996;9:448-67.
12 . Coovadia HM, Rollins NC, Bland RM, Little K, Coutsoudis A, Bennish M, et al.
Mother-to chilled transmission of HIV-1 infec-tion during exclusive breatfeeding in the
first 8 months of life; an intervention cohort study. Lancet 2007;369:1107-16.
13 . Damania KR, Tank PD. Prevention of mother to child transmis-sion of HIV infection. J
Obstet Gyncol India, 2006;56:390-5.
14 . Palumbo P, Holland B, Dobbs T, Pau CP, Luo CC, Abrams EJ, et al. Antiretroviral
Resistance Mutations among Pregnant Human Immunodeficiency Virus Type 1-Infected
Women and Their Newborn in the United State: Vertical Transmission and Clades. J
Infec Dis, 2001;184:1120-6.
15 . Brandt CD, Sison AV, Rakusan TA, Kaufman TE, Thomas E, Saxena ES, et al. HIV
DNA Blood Level in Verticlly Infected Pediatric Patients: Variations with Age, Association
with Disease Progression, and Comparison with Blood Levels in Infected Mothers. J Acqure
Immune Defic Syndr 1996;13:254-61.
16 . Thea DM, Steketee RW, Pliner V, Bornschegel K, Brown T, Orloff S. The effect of maternal
viral load on the risk of perina-tal transmission of HIV-1. AIDS 1997;11:437-44.
17 . Dorenbaum A, Cunningham CK, Gelber RD, Culnane M, Mofenson L, Britto P, et al. Two-
Dose Intrapartum/Newborn Nevirapine and Standard Antiretroviral Therapy to Reduce Peri-
natal HIV Transmission. A Randomized Trial. JAMA 2002:288:189-98.
18 . Mofenson LM, Lambert JS, Stiehm ER, Bethel J, Meyer WA, Whitehouse J, et al. Risk
Factor for Perinatal transmission of Human Immunodeficiency Virus Type-1 in Women
Treated With Zidovudine. N Engl J Med 1999;341: 385-93.
19 . Mofenson LM, The Committee on Pediatric AIDS. Tachnical Report: Perinatal Human
immunodeficiency VirusTesting and Prevention of Transmission. Pediatrics 2000;106(16):1-
12.
20 . Jackson DJ, Chopra M, Doherty TM, Colvin MSE, Levin JB, Willumsen JF, et al.
Operational effectiveness and 36 week HIV-free survival in the South Africa programme to
prevent mother-to-child transmission of HIV-1. AIDS 2007;21:509-16.
21 . Mathesom PB, Thomas PA, Abrams EJ, Pliner V, Lambert G, Bamji M, et al. Heterosexual
behavior during pregnancy and perinatal transmission of HIV-1. AIDS 1996;10:1249-56.
22 . Coombs RW, Reichelderfer PS, Landay AL. Recent Observations on HIV type-1 infection
in the geneital tract of men and women. AIDS 2003;17:455-80.
23 . Turner BJ, Hauck WW,WalterW, Fanning TR, Markson LE. Cigarette Smoking and
Maternal-Child HIV Transmission. J Acqur Immune Defic Synd 1997;14:327-37.
24 . Rodriguez EM, Mofenson LM, Chang B-H, Rich KC, Fowler MG, Smeriglio V, et al.
Association of maternal drug use during preg-nancy with maternal HIV culture positivity and
perinatal HIV transmission. AIDS 1996;10:273-82.
25 . Rakgoasi, SD. HIV Counseling and testing of Pregnant womwn Attending Antenatal Clinics
in Botswana, 2001. J Health Popul Nutr 2005;23(1):58-65.
26 . Chopra M,Doherty T, Jackson D, Ashworth A. Preventing HIV transmissions to children:
Quality of counseling of mothers in South Africa. Acta Paediatr 2005;94:357-63.
27 . Aynalem G, Mendoza P, Frederick T, Mascola L. Who and Why? HIV-Testing Refusal
During Pregnancy: Implicatian for Pediat-ric HIV Epidemic Disparity. AIDS and Behavior
2004;8:25-31.
28 . Behet F MTF, Matendo R, Vaz L ME, Kilese N, Nanlele D, Kokolomami J, et al. Preventing
vertical transmission of HIV in Kinshasa, Democratic Republic of the Congo: abaseline
survey of 18 antenatal clinics. Bull WHO, 2006:84:969-75.
29 . Connor EM, Sperling RS, Gelber R, Kiselev P, Scott G, O‘Sullivan MJ, et al. Reduction of
Maternal-Infant Transmission of Human Immunodeficiency Virus Type-1 with Zidovudine
Treatment. N Engl J Med 1994;331:1173-1180.
30 . Lindegren ML, Byers RH, Thomas JP; Davis SF, Caldwell B, Rogers M, et al. Treds in
Perinatal Transmission of HIV/AIDS in the United State. JAMA 1999;282:531-8.
31 . Garcia PM, Kalish LA, Pitt J, Minkoff H, Quinn TC, Burchett SK, et al. Metrnal levels of
Plasma Human Immunodeficiency Virus Type-1 RNA and the Risk of Perinatal
Transmission. N Engl J Med 1999;341:394-402.
32 . Goetghebuer T, Haelterman E, Marvillet I, Barlow P, Hainaut M, Salameh A, et al. Vertical
transmission of HIV in Belgium; a 1986-2002 retrospective analysis.Eur J Pediatr 2008;
Springer-Verlag.
33 . Paintsil E, Andiman WA. Care and Management of the Infant of the HIV-1-infected
Mother. Semin Perinatol 31:112-23©2007 Elsevier Inc. All rights reserved.
34 . Lallemant M, Jourdain G, Coeur SL, Kim S, Koetsawang S, Comeau AM, et al. A Trial
of SWhortened Zidovudine Regiment to Pre-vent Mother-to-Child Transmission of Human
Immunodeficiency Virus Type-1. N Engl J Med 2000;343:982-991.
35 . Ekouevi DK, Toure R, Becquet R, Viho I, Sakarovitch C, Rouet F, et al. Serum lactate
levels in Infants Exposed Peripartum to Antiretrovirul Agents to Prevent Mother-to-chlid
Transmission of HIV: Agence National de RecherchesSur le SIDA et les Hepati-tis Virales
1209 Study, Abidjan, Ivory Coast. Pediatrics 2006;118:e1071-e7.
36 . Public Health Service Task Force/CDC prevention USA. Recom-mendations for Use of
Antiretroviral Drugs in Pregnant HIV-Infected Women for Maternal Health and Interventions
to Re-duce Perinatal HIV Transmission in the United States. April 29, 2009.
http://aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/PerinatalGL.pdf.
37 . Taha TE, Kumwenda NI, Gibbons A, Broadhead RL, Fiscus S, Lema V, et al. Short
postexposure prophylaxis in newborn baies to reduce mother-tichild transmission of HIV-1:
NVAZ random-ized clinical trial. Lancet 2003;362:1171-7.
38 . Lallemant M, Jourdain G, Coeur SL, Mary JY, Huong NNG, Koetsawang S, et al.
Single-Dose Perinatal Nevirapine plus StandardZidovudine to Prevent Mother-to Child
Transmission of HIV-1 in Thailand. N Engl J Med 2004;351:217-28.
39 . Capparelli EV, Mirochnick M, Dankner WM, Blanchard S, Mofenson L, George D, et al.
Phamacokinetics and Tolerance of Zidovudine in Preterm Infants. Pediatr 2003;142:47-52.
40 . Cunningham CK, Chaix M-L, Rekacewicz C, Britto P, Rouzioux C, Gelber RD, et al.
Development of Resistant Mutations in Women Receiving Standard Antiretroviral Therapy
Who Re-ceived Intrapartum Nevirapine ti Prevent Perinatal Human Im-munodeficiency
Virus Type-1 Transmission: A Substudy of Pedi-atric AIDS Clinical Trials GroupProtocol
316. J Infect Dis 2002;186:181-8.
41 . Jackson JB, Pergola GB, Guay LA, Musoke P, Mracna M Fowler G, et al. Identification
of the K193N resistance in Uganda women receing nevirapine to prevent HIV-1 vertical
transmission AIDS 2000;14:F111-5.
42 . Ishleman SH, Mracna M, Guay LA, Deseyve M, Cunningham S, Mirochnick M, et al.
Selection and fading of resistance muta-tions in women and infants receiving nevirapine to
prevent HIV-1 vertical transmission (HIVNET 012). AIDS, 2001;15:1951-7.
43 . Cohen MS, Hoffman IF, Royce RA, Kazembe P, Dyer JR, Daly CC, et al. Reduction of
concentration of HIV-1 insemen after treatment of urethritis: implications for prevention of
sexual transmission of HIV-1. Lancetg 1997;349:1868-73.
44 . The International Perinatal HIV Group. The Mode of Delivery and the Risk of Vertical
Transmission of Human Immunodefi-ciency Virus Type-1. N Engl J Med 1999;340:977-987.
45 . The European Mode of Delivery Collaboration. Elective caesar-ean-section versus
vaginal delivery in prevention of vertical HIV-1 transmission: a randomized clinical trial.
Lancet 1999;353:1035-9.
46 . Tonwe-Gold B, Ekouevi DK, Viho I, Amani-Bose C, Toure S, Coffie PA, et al. Antiretroviral
Treatment and Prevention of Peripartum and Postnatal HIV Transmission in West Africa:
Evaluation of a Two-Tiered Approach. PLoS Med. 2007;4:1362-73 .
47 . Israel-Ballard KA, Maternowska MC, Abrams BF, Morrison P, Chitibura L, Chipato P, et
al. Acceptability of Heat Treating Breast Milk to Prevent Mother-to Chlild Transmission of Hu-
man Immunodeficiency Virus in Zimbabwe: A Qualitative Study. J Hum Lact 2006;22(1):48-60.
48 . Kilewo C, Karlsson K, Masswe A, Lyamuya E, Swai A, Mhalu F, et al. Prevention of
Mother-toChild Transmission of HIV-1 Through Breast-Feeding by Treating Infants
Prophylactically With Lamivudine in Dar es Salaam, Tanzania. J Acqur Immune Defic Synd
2008;48:315-23.
49 . Kumwenda NI, MooveaDR, Mofenson LM, Thigpen MC, Kafulafula G, Li Q, et al.
Extended Antiretroviral Prophylaxis to Reduce Breast-Milk HIV-1 Transmssion. N Engl J Med
2008;359:119-29.
50 . Jackson JB, Musoke P, Fleming T, Guay LA, Bagenda D, Allen D, et al. Intrapartum and
neonatal single-dose nevirapin compared with zidovudine for prevention of mother-to-child
transmission of HIV-1 in Kampla, Uganda: 18 month follow-up of the HIVNET 012 randomised
trial. Lancet 2003;362:859-68.
51 . Violari A. Cotton MF, Gibb DM, Babiker AG, Steyn J, Madhi SA, et al. Early Antiviral
Therapy and Mortality among HIV-In-fected Infants. N Engl J Med 2008;359:2235-44.
52 . Pacheco SE, McIntos K, Lu M, Mofenson LM, Diaz C, Foca M, et al. Effect of Perinatal
Antiretroviral Drug Exposure on Hema-tologic Values in HIV-Uninfected Children: An
Analysis of the Women and Transmission Study. J Infect Dis 2006;154:1089-97. ZN/MS/.
top related