pengaruh tingkat pendidikan ibu hamil terhadap pemilihan penolong persalinan
Post on 30-Jun-2015
1.274 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN
IBU HAMIL TERHADAP PEMILIHAN
PENOLONG PERSALINAN
Oleh Agustinus Sugiarto
Program Studi Kedokteran Keluarga
Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Tahun 2003
ABSTRAKLatar belakang dilakukannya studi
adalah tingginya AKI di Kabupaten
Pati pada tahun tahun 1999 (111 per
100.000 kelahiran hidup) dan tahun
2000 (123,6 per 1000 kelahiran hidup).
Tujuan penelitian adalah untuk
memperoleh gambaran faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap pemilihan
penolong persalinan di Kabupaten Pati.
Penelitian ini bersifat observasional
analitik dengan pendekatan studi
potong lintang(Cross Sectional).
Penelitian dilakukan di wilayah
Puskesmas Gabus II Kec. Gabus Kab.
Pati, Jawa Tengah. Populasi penelitian
adalah ibu hamil yang berada di
wilayah Puskesmas Gabus II Kec.
Gabus Kab. Pati yang maksimal satu
tahun melahirkan dan sampel
penelitian sebanyak 489 orang (all
population). Pengolahan dan analisis
data menggunakan Program
SPSS Version 9.0 dan
Minitab Version13.20. Setelah
dilakukan analisis univariat dan
bivariat dilakukan analisis Regresi
Ganda Logistik metode Backward
Stepwise (Conditional).
Hasil penelitian menunjukkan, dari 209
ibu hamil yang berpendidikan 6 tahun
(tidak sekolah dan SD) sebanyak 157
orang (31,70 %) memilih dukun (Non
NAKES) sebagai penolong persalinan,
dan hanya 52 orang (11,04 %) yang
memilih tenaga kesehatan (NAKES).
Sedangkan dari 280 ibu hamil yang
berpendidikan > 6 tahun
(SLTP/SMU/SMK/PT) 197 orang (39,06
%) memilih tenaga kesehatan dan 83
orang (17,18 %) memilih dukun.
Pengujian hipotesis dengan tingkat
signifikansi < 0,05, menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh yang
bermakna (p = 0,0006) antara tingkat
pendidikan ibu hamil terhadap
pemilihan penolong persalinan. Ibu
hamil yang berpendidikan > 6 tahun
mempunyai kemungkinan 4,1388 kali
lebih banyak memilih NAKES di
banding ibu hamil yang berpendidikan
6 tahun dengan OR = 4,1388 dan 95
% CI = 1,8366 – 9,3267. Faktor lainnya
yang juga berpengaruh terhadap
pemilihan penolong persalinan adalah
pengetahuan ibu tentang resiko
kehamilan dan persalinan, sikap
terhadap ANC, jarak ke pelayanan
kesehatan, pendapatan keluarga, biaya
persalinan, dan pengambilan
keputusan kolektif dalam keluarga.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa
tingkat pendidikan ibu hamil
berpengaruh terhadap pemilihan
penolong persalinan. Peneliti
menyarankan agar pemerintah,
masyarakat dan keluarga dapat
membantu meningkatkan pedidikan
ibu hamil untuk meningkatkan
cakupan persalinan oleh NAKES
sebagai upaya membantu program-
program penurunan AKI dan AKB.
Selain itu perlu dilakukan kajian
dengan lingkup yang lebih luas untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pemilihan
penolong persalinan dari berbagai
sudut pandang dan metode analisis.
Kata kunci:- AKI – Pendidikan –
Penolong Persalinan.
PENDAHULUAN
Kebijaksanaan kependudukan di
Indonesia (UU No. 10 tahun 1992)
diarahkan pada pembangunan
penduduk sebagai sumber daya
manusia yang merupakan kekuatan
pembangunan bangsa yang efektif
dalam rangka mewujudkan kehidupan
keluarga dan masyarakat yang
berkualitas (DepKes RI, 1998a;
Sugiyanto, dkk, 2001).
Sebagai upaya strategis mewujudkan
keluarga berkualitas adalah usaha
pemeliharaan kesehatan ibu dan anak
yang salah satu tujuannya adalah
menurunkan Angka Kematian Ibu
(AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB) (Soemanto, dkk, 1994; Molo,
1995).
AKI menggambarkan tingkat kesadaran
perilaku hidup sehat, status gizi dan
kesehatan ibu, kondisi kesehatan
lingkungan, tingkat pelayanan
kesehatan terutama untuk ibu hamil,
pelayanan kesehatan waktu melahirkan
dan nifas. Menurut hasil SKRT tahun
1992 AKI di Indonesia sebesar 425 per
100.000 kelahiran hidup (WHO, 1993).
Berdasarkan laporan UNICEF di
antara beberapa negara di Asia pada
periode 1990 – 1998, Indonesia,
Bangladesh, dan India merupakan
negara-negara dengan AKI paling
tinggi yaitu masing-masing sebesar
450, 440, dan 410 per 100.000
kelahiran hidup (Depkes RI, 2001:
109; UNPFA, 2002).
Faktor penyebab tingginya AKI tersebut
amat beragam. Sebab-sebab kematian
itu dikenal dengan tri terlambat, yaitu:
(1) terlambat di rumah (terlambat
mengenali bahaya dan penentuan
keputusan perlunya ibu bersalin dirujuk
ke fasilitas kesehatan modern), (2)
terlambat di jalan (terlambat dalam
transportasi membawa ke
Puskesmas, Dokter atau Rumah
Sakit), dan (3) terlambat
mendapatkan pertolongan di tempat
pelayanan kesehatan karena fasilitas
kesehatan kurang memadai (DinKes
Kab. Pati, 1998; Felly, 2001; Elizabeth
and Nancy, 2002).
Rendahnya cakupan pemeriksaan
selama kehamilan, akibat persalinan
yang kurang bersih dan kebiasaan
pada ibu-ibu hamil yang belum
memenuhi persyaratan medis dan
kesehatan juga menyebabkan
tingginya AKI di Indonesia. SDKI 1994
menemukan kenyataan bahwa
sebagian besar persalinan ditolong
oleh dukun dan bukan tenaga
kesehatan, dan sebanyak 70,6 %
persalinan dilakukan di rumah yang
tidak jarang jauh dari syarat bersih
dan sehat (Raheni, dkk, 1998).
Keterlambatan ibu hamil mendapatkan
pelayanan perinatal juga disebabkan
oleh faktor sosial ekonomi masyarakat
seperti pendidikan, pendapatan,
pengambilan keputusan, jarak, biaya
dan birokrasi rumah sakit (Nasrin,
2001; Hani, 2002; Khofifah, 2001)
Dari beberapa faktor tersebut di atas,
tingkat pendidikan merupakan faktor
yang sangat berperan dalam pemilihan
penolong persalinan, karena tingkat
pendidikan dapat menunjukkan tingkat
status kesehatan seseorang (Basov,
2002: 2; Folland, et al, 2001: 116).
Semakin tinggi tingkat pendidikan,
semakin besar kepedulian terhadap
kesehatan. Dengan pendidikan yang
baik memberikan pada wanita
kekuasaan dan kepercayaan diri
untuk mengambil tanggung jawab
atas wanita itu sendiri (Soemanto,
1990).
LANDASAN TEORI
Menurut Rosalia
Scortiano citasi Sugiyanto, dkk (2001)
kesehatan reproduksi mencakup
beberapa unsur utama yaitu: (1)
perilaku reproduksi yang bertanggung
jawab selama usia subur, (2) akses
pada pelayanan keluarga berencana
(KB) yang aman, (3) perawatan
kesehatan ibu secara efektif dan
aman, (4) pengendalian secara efektif
terhadap infeksi sistem reproduksi, (5)
pencegahan dan penanganan
infertilitas (kemandulan), (6)
penghapusan aborsi yang tidak aman,
(6) pencegahan dan pengobatan
penyakit yang membahayakan pada
organ reproduksi, dan (8) perawatan
sebelum dan selama kehamilan,
melahirkan, dan sesudah melahirkan.
Meskipun kelahiran adalah proses
yang alamiah dan normal, namun
demikian, ‘kehamilan tanpa risiko’
dapat disertai komplikasi yang sering
disebut sebagai komplikasi obstetri.
Komplikasi dapat terjadi kapan saja
selama kehamilan, namun lebih sering
terjadi pada saat persalinan atau
sekitar persalinan (Handoko, 1985;
Depkes RI, 1999b).
Lebih dari 1400 ibu hamil meninggal
setiap hari karena masalah yang
berhubungan dengan kehamilan dan
persalinan. Sebagian besar terjadi
karena komplikasi persalinan, di mana
keselamatan ibu dan bayi banyak
terancam (UNICEF, 2003). Bahaya
yang mengancam tersebut dapat
dikurangi jika ibu hamil mendapatkan
perawatan sebelum, saat dan sesudah
persalinan. Kesempatan untuk
mendapatkan perawatan antenatal
(ANC) secara teratur selama hamil
(K1 sampai K4), pertolongan
persalinan paling sedikit oleh atau
didampingi bidan dan perawatan nifas
harus terjangkau setiap ibu hamil.
Selain itu ibu yang mengalami
komplikasiobstetri harus diupayakan
memperoleh pelayanan
kegawatan obstetri untuk
menyelamatkan jiwanya. Untuk itu
diperlukan kesiapan sejak awal
kehamilan untuk menghadapi
kemungkinan terjadinya
kedaruratan obstetri pada saat
persalinan, khususnya pemilihan
penolong persalinan (DepKes RI,
1999b).
1. Penolong persalinan
Tenaga yang dapat memberikan
pertolongan persalinan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu tenaga
kesehatan profesional (dokter spesialis
kebidanan, dokter umum, bidan,
pembantu bidan dan perawat bidan)
dan dukun bayi (terlatih dan tidak
terlatih) (DepKes, 1998b).
2. Perilaku Ibu Hamil dalam Memilih
Penolong Persalinan
Pemilihan penolong persalinan di
Puskesmas sangat dipengaruhi
oleh perilaku ibu bersalin. Notoatmodjo
(1993) membagi perilaku ke dalam tiga
domain yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor. Kognitif diukur dari
pengetahuan, afektif diukur dari sikap
dan psikomotor diukur dari tindakan.
3. Pengaruh Tingkat Pendidikan Ibu
Hamil terhadap Pemilihan Penolong
Persalinan
Tingkat pendidikan ibu juga
berpengaruh pada pemilihan penolong
persalinan dan perawatan selama
kehamilan. Pada penelitian yang
diadakan di Lima-Peru pelayanan
kesehatan dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, sebanyak 82% wanita
berpendidikan memilih pelayanan
tenaga kesehatan (NAKES) dan wanita
tidak berpendidikan yang memilih
tenaga NAKES hanya 62% (World
Bank, 1994: 42).
Studi di Mexico yang dilakukan
oleh National Safe Motherhood pada
tahun 1990-an menunjukkan bahwa
kasus kematian pada saat persalinan
disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain, sosial ekonomi, budaya,
status kesehatan, dan pendidikan.
Wanita yang miskin dan minim
pendidikan mengalami keterbatasan
kekuasan dalam pengambilan
keputusan berkaitan dengan proses
kehamilan dan persalinan sehingga
lebih banyak yang mengalami
kematian, karena tidak mendapat
perawatan yang semestinya (Ana
Langer, 1999; DepKes RI, 2000a).
4. Faktor Prediktor Perilaku
Pemilihan Penolong Persalinan
Selain faktor tingkat pendidikan ibu
hamil faktor-faktor berikut juga
berpengaruh terhadap ibu bersalin
dalam memilih penolong persalinan,
antara lain:
a. Usia ibu hamil
Usia ibu hamil yang terlalu muda atau
terlalu tua (< 20 tahun dan > 35 tahun
merupakan faktor penyulit kehamilan,
sebab ibu yang hamil terlalu muda
keadaan tubuhnya belum siap
menghadapi kehamilan, sedangkan di
atas 35 tahun apabila mengalami
komplikasi maka risiko mengalami
kematian lebih besar (Hany , 1996;
Meiwita, 1998; Djaswadi, dkk, 2000).
b. Jarak tempat tinggal ke pelayanan
kesehatan
Menurut Nasrin (2001) salah satu
penyebab keterlambatan ibu bersalin
untuk mendapatkan pelayanan yang
tepat adalah akibat jarak yang tidak
terjangkau. Jarak yang terlampau jauh
dan tidak tersedianya sarana
transportasi menyebabkan ibu hamil
memilih persalinan di rumah dengan
bantuan dukun, sehingga apabila
mengalami komplikasi saat persalinan
tidak segera mendapatkan pertolongan
yang memadai. Hal ini sering
menyebabkan kematian ibu dan bayi.
Di Nigeria, ibu hamil yang mengalami
perdarahan pada saat persalinan,
sering mengalami kematian di
perjalanan menuju pusat layanan
kesehatan modern. Hal ini sering
disebabkan oleh jarak yang terlampau
jauh dan tidak tersedianya sarana
transportasi (Essien,1997).
c. Pendapatan Keluarga
Berdasarkan laporan akhir UNICEF Juli
1999 hampir 24 % dari seluruh
penduduk Indonesia atau hampir 50
juta orang hidup di bawah garis
kemiskinan. Enam puluh persen dari
ibu hamil dan anak sekolah
kekurangan zat besi/anemia. Hal ini
menunjukkan sebagian besar
pendapatan penduduk Indonesia masih
sangat rendah. Sehingga mengurangi
akses ke perawatan kesehatan, karena
pada masyarakat miskin pedesaan
rata-rata pengeluaran per harinya
kurang dari Rp. 5000,00 (US$ 0,60).
Kondisi ini berpengaruh terhadap
pemilihan penolong persalinan yaitu
pesalinan yang ditolong oleh NAKES
sebesar 38.5% tahun 1992 dan 43,2 %
tahun 1997. Kondisi ini menunjukkan
bahwa sebagian besar persalinan
masih ditolong dukun bayi (Dursin,
2000).
d. Biaya Persalinan
Hasil penelitian Djaswadi, dkk (2000)
menunjukkan bahwa mahalnya biaya
persalinan dan alasan kenyamanan
sebagian besar ibu hamil di Kabupaten
Purworejo lebih memilih melahirkan di
rumah dengan pertolongan dukun.
Sebagai contoh saat ini biaya untuk
kelahiran normal di kamar kelas tiga di
rumah sakit swasta sekitar Rp.
390.000,00 sedangkan biaya untuk
pelayanan gawat darurat sekitar 16
sampai 20 juta rupiah (Marzolf, 2002:
36).
e. Pengambilan Keputusan Kolektif
dalam Keluarga
Pada kenyataannya banyak kasus
kematian ibu melahirkan sering
disebabkan oleh keterlambatan suami
dalam mengambil keputusan rujukan
ke pelayanan kesehatan (Elizabeth
and Nancy, 2002). Berdasarkan hasil
SUSENAS 1995, sebagian besar
suami (51 %) memilih dukun saat
istrinya melahirkan dengan alasan,
murah (biaya terjangkau), lebih
nyaman dan dapat membantu
perawatan bayi sampai 35 hari
(Meiwita, 1998).
Kenyataan tersebut menunjukkan
bahwa peran suami sangat dominan
dalam pengambilan keputusan,
sehingga berpengaruh terhadap akses
dan kontrol terhadap sumber daya
yang ada. Dengan demikian ibu hamil
perlu mempunyai keberanian dan
rasa percaya diri untuk berpendapat
menentukan penolong persalinan
profesional yang diinginkan (Susana,
2000; Mercy, 2003).
f. Keberhasilan pertolongan
persalinan sebelumnya
Menurut Dinas Kesehatan (1999b) dan
Djaswadi, dkk (2000) selain faktor usia,
ibu hamil yang pertama kali dan ibu
yang telah hamil lebih dari tiga kali
mempunyai risiko kematian yang lebih
tinggi bila mengalami komplikasi
obstetri.
Menurut Read (1959) dalam Hudono,
(1979) ketakutan merupakan faktor
utama yang menyebabkan rasa nyeri
pada persalinan yang seharusnya
tanpa rasa nyeri. Akibatnya rasa takut
dapat mempunyai pengaruh tidak baik
terhadap lancarnya his dan
pembukaan. Hal ini biasanya dialami
oleh wanita yang mempunyai
pengalaman tidak menyenangkan
dalam kehamilan sebelumnya. Dengan
demikian urutan kelahiran
keberhasilan persalinan sebelumnya
sangat berpengaruh terhadap
pemilihan penolong persalinan pada
anak berikutnya. Oleh sebab itu untuk
kehamilan yang berisiko besar
disarankan agar ditangani oleh NAKES
yang profesional dengan peralatan
yang lebih lengkap.
Berdasarkan landasan teori dan
beberapa penelitian tersebut maka
dibangun kerangka pemikiran dengan
variabel bebas: tingkat pendidikan ibu
hamil. Variabel terikat: pemilihan
penolong persalinan, sedangkan
sebagai variabel antara adalah
pengetahuan dan sikap ibu hamil
serta variabel kontrol (kovariat) adalah:
usia ibu, jarak ke pelayanan
kesehatan, pendapatan keluarga,
biaya persalinan, pengambilan
keputusan kolektif dalam keluarga, dan
keberhasilan pertolongan sebelumnya.
Kerangka pemikiran tersebut disajikan
pada Gambar 1 berikut:
Perumusan hipotesis pada
penelitian ini adalah:
1. Ada pengaruh tingkat
pendidikan ibu hamil terhadap
pemilihan penolong persalinan.
Ibu hamil yang berpendidikan tinggi
memilih penolong persalinan
Tenaga Kesehatan (NAKES),
Ibu hamil yang berpendidikan
rendah memilih penolong
persalinan NON NAKES (Dukun).
1. Ada pengaruh antara
pengetahuan ibu, sikap ibu
terhadap ANC, umur ibu, jarak ke
pelayanan kesehatan, pendapatan
keluarga, biaya persalinan,
pertolongan persalinan sebelumnya
dan pengambilan keputusan kolektif
dalam keluarga terhadap pemilihan
penolong persalinan.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah observasi
analitik dengan pendekatan studi
potong lintang(Cross
Sectional). Penelitian dilakukan di
wilayah Puskesmas Gabus II Kec.
Gabus Kab. Pati, Jawa Tengah yang
terdiri 10 desa. Populasi dalam
penelitian ini adalah ibu hamil yang
berada di wilayah Puskesmas Gabus II
Kec. Gabus Kab. Pati yang maksimal
satu tahun melahirkan. Sampel
penelitian diambil all
population sebanyak 489 orang. Alat
ukurnya adalah kuesioner. Pengolahan
data dilakukan dengan menggunakan
Program SPSS Version 9.0 for
Windows dan
Minitab Version 13.20 for Windows.
Setelah dilakukan analisis univariat
dan bivariat dilakukan analisis Regresi
Ganda Logistik metode Backward
Stepwise (Conditional).
HASIL PENELITIAN
Pola persalinan Ibu hamil di Wilayah
Puskesmas Gabus II Kab. Pati. secara
umum menunjukkan bahwa dari 489
responden, 464 orang (94,89 %)
melahirkan di rumah dan hanya 25
orang (5,11 %) yang melahirkan di
Rumah Sakit. Sedangkan menurut
penolong persalinan, sebanyak 240
orang (49,08 %) ditolong oleh dukun,
dan 249 orang (50,92 %) ditolong oleh
NAKES (dokter, bidan).
Menurut tingkat pendidikan ibu hamil di
wilayah Puskesmas Gabus II Kab. Pati
menunjukkan bahwa ibu hamil yang
berpendidikan 6 tahun sebanyak 209
orang (42,74 %), sedangkan ibu hamil
yang berpendidikan > 6 tahun
sebanyak 280 orang (57,26 %).
Tabel 1. Rangkuman Analisis
Regresi Ganda Logistik Faktor-faktor
yang Berhubungan Sekaligus
Berpengaruh terhadap Pemilihan
Penolong PersalinanVariabel OR 95% Confident
IntervalSignificance(p)
Wald(W)
Significance of Log LR
Upper LowerDIK 4.1388 9.3267 1.8366 0.0006 11.7410 0.0003
TAHU 13.7848 42.6487 4.4555 0.0000 20.7284 0.0000SIKAP 9.4601 36.1295 2.4770 0.0010 10.8021 0.0004JARAK 3.1229 9.6706 1.0085 0.0483 3.8990 0.0498INCOME(1) 4.3055 15.0455 1.2321 0.0222 5.2300 0.0178INCOME(2) 13.4789 61.0090 2.9779 0.0007 11.4006 0.0003BIAYA(1) 0.0804 0.3956 0.0163 0.0019 9.6107 0.0020BIAYA(2) 12.8808 48.5421 3.4180 0.0002 14.2557 0.0000BIAYA(3) 449.8124 6367.4792 31.7757 0.0000 20.4117 0.0000KOLEKTIF 12.3587 34.7753 4.3291 0.0000 22.6908 0.0000
Tabel 1. menunjukkan bahwa
terdapat tujuh (7) variabel yang
mempunyai pengaruh bermakna (p <
0,05) terhadap pemilihan penolong
persalinan yaitu: tingkat pendidikan
(DIK), pengetahuan ibu hamil (TAHU),
sikap ibu hamil terhadap ANC, jarak
tempat tinggal (JARAK), pendapatan
keluarga (INCOME), biaya persalinan
(BIAYA), dan keputusan kolektif dalam
keluarga (KOLEKTIF).
Pembahasan
Uji hipotesis menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan ibu hamil
berpengaruh terhadap pemilihan
penolong persalinan (p = 0,0006). Ibu
hamil yang berpendidikan > 6 tahun
mempunyai kemungkinan 4,1388 kali
lebih banyak memilih penolong
persalinan NAKES di banding hamil
yang berpendidikan 6 tahun.
Tabulasi silang antara variabel tingkat
pendidikan dan penolong persalinan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Responden
menurut Tingkat Pendidikan dan
Penolong PersalinanTingkat Pendidikan
C. JumlahSD/Tidak Sekolah
SLTP/SMU/SMK
PenolongPersalina Non 157 83 240
n NAKES (31.70 %) (17.18 % ) (49.08 %)
NAKES52(11.04 % )
197(39.06 % )
249(50.92 %)
Jumlah 209(42.74 %)
280(57.26%)
489(100 %)
Tabel 2. menunjukkan bahwa ibu-ibu
yang berpendidikan tinggi cenderung
memilih penolong persalinan NAKES
daripada dukun. Semakin tinggi
tingkat pendidikan ibu hamil, maka
semakin tinggi kecenderungan memilih
penolong persalinan pada tenaga
kesehatan (NAKES).
Survey yang dilakukan Soemanto, dkk
(1994) di Boyolali dan Purwodadi
menunjukkan semakin tinggi tingkat
pendidikan ibu cenderung memilih
penolong kelahiran di bidan.
Sedangkan penelitian yang dilakukan
Muh. Arif dan Chusnul (1997) pada 118
orang ibu hamil di Kec. Singosari Kab.
Malang menunjukkan makin tinggi
tingkat pendidikan responden, makin
baik kualitas ANC dan pertolongan
persalinannya, di mana pada
responden yang tidak sekolah 50 %
memilih dukun sebagai penolong
persalinan. Keadaan ini senada
dengan analisis hasil SDKI 1994
(Sarimawar, 2001) bahwa 77 %
persalinan di pedesaan yang ditolong
dukun, mayoritas dialami oleh ibu-ibu
yang berpendidikan rendah.
Hasil survey di India terhadap 4.745
ibu hamil menunjukkan bahwa
pendidikan memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap pemilihan
pelayanan ANC dan persalinan, di
mana ibu hamil yang memilih
pelayanan ANC dan persalinan oleh
dokter sebanyak 65,8% berpendidikan
PT, 42,8 % berpendidikan Sekolah
Lanjutan, dan 22,3 % responden
berpendidikan setingkat SD dan hanya
9,5 % yang tidak sekolah (Vaessen,
2002).
Dari penelitian dan beberapa studi di
atas menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan ibu hamil sangat
berpengaruh terhadap pemilihan
penolong persalinan.
Selain tingkat pendidikan faktor lain
yang berpengaruh terhadap pemilihan
penolong persalinan adalah:
a. Pengetahuan ibu tentang risiko
kehamilan dan persalinan
Ibu hamil yang pengetahuannya baik
kemungkinannya 13,7848 kali lebih
banyak memilih NAKES sebagai
penolong persalinan dibanding ibu
hamil yang pengetahuannya kurang.
b. Sikap ibu terhadap ANC
Ibu hamil dengan sikap
terhadap ANC baik 9,4601 kali lebih
banyak memilih NAKESdibandingkan
ibu hamil dengan sikap kurang baik.
c. Jarak ke pelayanan kesehatan
Ibu hamil yang jarak tempat
tinggalnya dekat (< 3 km) dari pusat
pelayanan kesehatan 3,1229 kali lebih
banyak memilih penolong persalinan
NAKES dibanding ibu hamil yang
jarak tempat tinggalnya jauh ( ³ 3 km).
d. Pendapatan keluarga
1). Ibu hamil dengan pendapatan
keluarga Rp. 200.000,00 – Rp.
500.000,00 mempunyai kemungkinan
4,3055 kali lebih banyak memilih
NAKES sebagai penolong
persalinannya, dibanding ibu hamil
dengan pendapatan keluarga < Rp.
200.000,00.
2). Ibu hamil dengan pendapatan
keluarga > Rp. 500.000,00 mempunyai
kemungkinan 13,4789 kali lebih banyak
memilih NAKES dibanding ibu hamil
yang pendapatan keluarganya < Rp.
200.000,00.
e. Biaya persalinan
1). Ibu hamil dengan biaya persalinan
> Rp. 200.000,00 selama 36 hari
mempunyai kemungkinan 0,08 kali
(lebih kecil) ditolong NAKES
dibanding ibu hamil yang biaya
persalinannya < Rp. 200.000,00
selama 36 hari;
2). Ibu hamil dengan biaya
persalinan < Rp. 200.000,00 untuk
persalinan saja, 12 kali lebih banyak
ditolong NAKES dibanding ibu hamil
yang biaya persalinannya <Rp.
200.000,00 selama 36 hari;
3). Ibu hamil dengan biaya
persalinan > Rp. 200.000,00 untuk
persalinan saja, 449 kali lebih banyak
memilih penolong persalinan NAKES
dibanding ibu hamil yang biaya
persalinannya < Rp. 200.000,00
selama 36 hari.
f. Pengambilan keputusan kolektif
dalam keluarga
Ibu hamil yang ikut memutuskan
penolong persalinan bersama-sama
keluarga (suami, orangtua, dan mertua)
mempunyai kemungkinan 12,3587 kali
lebih banyak memilih NAKES,
dibandingkan jika menyerahkan
keputusannya keluarga.
KESIMPULAN
Ibu hamil yang berpendidikan lebih
dari 6 tahun lebih banyak memilih
penolong persalinan NAKES di
banding hamil yang tidak sekolah
atau yang tamat SD.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap
pemilihan penolong persalinan, antara
lain: pengetahuan, sikap, jarak tempat
tinggal, pendapatan keluarga, biaya
persalinan, dan keberhasilan
pertolongan sebelumnya.
SARAN
Perlunya peran serta pemerintah,
masyarakat dan keluarga dalam
membantu program-program
penurunan AKI dan AKB. Selain itu
perlu dilakukan kajian dengan lingkup
yang lebih luas untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap pemilihan penolong
persalinan berbagai sudut pandang
dan metode analisis.
top related