pembelajaran tahfidzul qur’an pondok pesantren ulumul qur...
Post on 01-Feb-2018
279 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 223
223
PEMBELAJARAN TAHFIDZUL QUR’AN PONDOK
PESANTREN ULUMUL QUR’AN KALIBEBER WONOSOBO
Nasokah, Alh & Ahmad Khoiri Penulis adalah Dosen FITK UNSIQ, Pengasuh Pondok Pesantren Ulumul
Qur’an Kalibeber. Wonosobo
Abstraksi
Fakta yang ditemukan dalam Pembelajaran Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren
Ulumul Qur’an menggunakan metode (thariqah) menghafal Beberapa Ayat atau
Satu Ayat; Membagi Satu Halaman, Menghafal Per Halaman; Menghafal Ayat-ayat
Panjang; Mengulang (Takrir); Menyetorkan Hafalan kepada Kyai; Membuat
Klasifikasi Target Hafalan; cara semaan dengan Sesama, Memperbanyak Membaca
Al-Qur’an; dan Teknik Mendengarkan Sebelum Menghafal. Metode ini sebagai
karakteristik Pondok Pesantren dalam mengimplementasikan pembelajaran
Tahfidzul Qur’an yang dianggap strategis.
Serangkaian kegiatan dalam proses pembelajaran Tahfidzul Qur’an menempuh jalan
yang panjang dan penuh kesabaran bagi penghafal, sehingga dalam memulai
menghafalkannya terdapat syarat tertentu yang harus dilakukannya yaitu:
Mengikhlaskan Niat karena Allah swt; Izin orang tua, Suami atau Walinya;
Mempunyai tekat yang besar dan kuat; Menjauhkan diri dari maksiat (sifat-sifat
Tercela); Istiqamah; Harus berguru pada yang ahli; Mempunyai ahlak terpuji;
Memaksimalkan usia; Menggunakan satu mushaf; Mampu membaca dengan baik,
serta Memilih waktu dan tempat yang tenang. Hasil temuan ini memberikan
kontribusi besar kepada penghafal Al-Qur’an umumnya, supaya dalam proses
menghafalkannya lebih sabar, tabah dan menjaga hafalan sampai ahir hayat dengan
sebaik-baiknya. Strategi menghafal yang dianggap paling efektif dan sering
dilakukan yaitu menghafal dan menyetorkan secara langsung kepada guru atau kyai
yang telah hafidz Al-Qur’an.
Menjaga orisinalitas Al-Qur’an, selain dilakukan dengan cara membaca dan
memahaminya, juga harus berusaha dengan jalan menghafalkannya, karena
keistimewaan yang Allah Swt berikan kepada para penghafal Al-Qur’an baik di
dunia maupun di akhirat dengan jaminan surga.
Kata kunci : Pembelajaran, Tahfidzul Al-Qur’an, Pondok Pesantren
A. Pendahuluan
Al-Qur’an menurut bahasa adalah bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah
masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul makru sama dengan yang dibaca. Menurut
istilah ahli agama (urf syara’) ialah nama dari kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw., yang ditulis dalam mushaf. Para ahli fiqh menetapkan bahwa nama dari
Al-Qur’an adalah nama bagi keseluruhan Al-Qur’an dan nama untuk bagian-bagiannya.1
Al-Qur’an ialah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis dalam
mushaf, dipindahkan secara teratur menurut riwayat, serta bacaannya termasuk ibadah
menjadi petunjuk dalam hidup manusia.2 Al-Qur’an adalah kitab agung dan suci yang
1 Teungku Muhammad Habsi As-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Pustaka
Rizki Putra, Semarang, 2009), hal. 1. 2 H. M. Shalahuddin Hamid, MA, Studi Ulumul Qur’an, (Jakarta: Inti Media Cipta Nusantara, 2002), hal.
17.
224 | ISSN: 2356-2447-XIII
224
dikirimkan Allah kepada kita untuk memenuhi segala kebutuhan kita, baik fisik maupun
rohani.3
Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dengan
perantara Malaikat Jibril dimulai dengan Surat Al Fatihah dan diakhiri dengan Surat An-
Naas dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara muttawatir
agar dijadikan undang-undang bagi umat manusia.4 Al-Qur’anul Karim berisi serangkaian
ajaran yang diturunkan dari sumber keagungan dan maqam kebesaran kepada Rasulullah
Saw., untuk menunjukkan kepada manusia jalan kebahagiaan. Kitab suci ini terdiri dari
serangkaian topic teoritis dan praktis untuk umat manusia. Dan jika ajaran tersebut
dilaksanakan niscaya akan menjadikan kebahagiaan.5
Rasulullah Saw., tidak menerima risalah ini turun sekaligus tetapi secara berangsur-
angsur dan turun tanpa paksaan sehingga ummatnya dapat memperbaiki sikap dan
perilaku mereka yang tidak benar, akan tetapi timbul dari rasa kesadaran hati nuraninya.
Maka Al-Qur’an berfungsi sebagai penetapan dalam hati Nabi, sebagai hiburan baginya
melalui peristiwa dan kejadian-kejadian hingga sempurna risalah islam, dan sempurna
nikmat yang diberikan Allah kepada ummat Nabi Muhammad.6 Dengan penurunan secara
bertahap ini, menjadikan Al-Qur’an hingga sekarang bahkan sampai yaumul qiyamah.
Bertahap-tahapnya Al-Qur’an mengandung hikmah, antara lain :
a. Untuk meneguhkan dan menguatkan hati dan jiwa Rasulullah.
b. Untuk membimbing dan membina umat Islam dalam menjalankan syariat islam.
c. Untuk memberi jawaban dan respon atas berbagai permasalahan yang terjadi
waktu itu.
Dengan cara penurunan seperti ini memudahkan para sahabat dalam menghafalkan
ayat-ayat yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah Saw. Selain itu juga memberi
kesempatan bagi mereka dalam mempelajari dan mengamalkan hukum-hukum yang
terdapat di dalamnya.7
Setiap Nabi Saw., menerima wahyu selalu dihafalkan, kemudian ia sampaikan
kepada sahabatnya dan diperintahkan untuk menghafalkan dan menuliskannya di batu-
batu, pelapah kurma, kulit-kulit binatang, dan apa saja yang bisa dipakai untuk
menulisnya.8 Setelah Rasullah Saw. Wafat, para sahabat ahlul Qur’an meneruskan jejak
beliau untuk menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat dan tabi’in
yang lain. Dan berkat mereka pula, Al-Qur’an nantinya bisa dikumpulkan dan disalin
dalam satu mushaf yang selanjutnya bisa dimodifikasikan dalam standar Mushaf Usmani.
Disinilah akhirnya muncul sistem (metode) pembelajaran menghafal Al-Qur’an
dengan suasana belajar mengajar yang mengembangkan potensi dan memiliki kekuatan
3 Zubeyr Tekin, Kemuliaan Kitab Suci Al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2007), hal. 1.
4 Ali Ash-Shabuny, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 49. 5 Yunus Hanis Syam, Mukjizat Membaca Al-Qur’an, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), hal. 9-10.
6 Shalahuddin Hamid, Studi Ulumul Qur’an,, hal. 53-54.
7 Zaki Zamani, Muhammad Syukron, Menghafal Al-Qur’an Itu Gampang, (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009), hal. 15-16.
8 Muhaimin Zein, Problematika Menghafalkan Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985), hal. 6
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 225
225
sepiritual dan keagamaan yang kuat. Menurut Imam Nawawi hukum menghafal Al-
Qur’an adalah fardu kifayah. Yang dimaksud dengan fardu kifayah yaitu kewajiban yang
ditujukan kepada semua mukallaf atau sebahagian dari mereka yang apabila diantara
mereka (cukup sebagiannya saja) melaksanakannya maka akan menggugurkan dosa yang
lainnya (yang tidak melaksanakan) dan apabila tidak ada seorangpun yang melaksanakan
kewajiban tersebut maka dosanya ditanggung bersama. Imam Haramain dalam kitab Al-
Giyaai mengungkapakan bahwa fardu kifayah lebih utama dari pada fardu ‘ain dilihat dari
bahwa pelakunya itu menutupi dan menggugurkan dosa umat islam yang lainnya
sedangkan fardu ain hanya untuk dirinya sendiri.
Akan tetapi di Era sekarang ini sudah tidak banyak orang yang mau belajar
menghafalkan Al-Qur’an, karena gemerlapnya panggung hiburan, playstation, diskotik
yang menutup, melupakan, melalaikan mereka untuk menuntut ilmu dalam belajar
menghafal Al-Qur’an. Atas dasar inilah, Pondok Pesantren Ulumul Qur’an hadir sebagai
satu diantara sekian pondok pesantren di Kalibeber Wonosobo yang mengkhususkan pada
pembelajaran tahfidzul Qur’an.
B. Kajian Teori
Metode Tahfidzul Qur’an
Dalam menghafalkan Al-Qur`an sebanyak 30 juz bukan merupakan suatu pekerja’an
yang mudah. Semua pekerja’an atau program akan berjalan lancar dan berhasil dalam
mencapai target yang telah ditetapkan, jika menggunakan suatu cara atau metode yang
tepat. Keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan juga tergantung kepada
pemilihan dan penerapan suatu metode, sistem atau cara yang tepat. Dan semua akan
berjalan secara efektif dan efisien. H. A.Muhaimin Zen membagi metode menghafal
Al-Quran menjadi dua macam, dengan pernyata’annya:
“Adapun metode menghafal Al-Qur`an ada dua macam yang satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan, yaitu metode tahfidz dan takrir. Tahfidz: yaitu menghafal materi baru yang belum
pernah dihafal. Takrir: Yaitu mengulang hafalan yang sudah diperdengarkan kepada
instruktur.”9
Sedangkan menurut Abdul-Rabb Nawabuddin dalam kitabnya yang berjudul Kayfa
Tuhfadzul Quran al-Karim, yang sudah diterjemahkan oleh H. Ahmad E. Koswara
dengan judul Metode Efektif Menghafa1 a1-Qur’an, beliau membagi metode menghafal
Al-Qur`an menjadi dua bentuk, yaitu metode global dan rinci. Sementara, menurut Ahsin
W. al-Hafidz metode menghafalkan Al-Qur`an terbagi menjadi lima 5 metode yaitu:
Metode wandah; Metode kitabah; Metode sim’ai; Metode Gabungan; Metode Jama. 10
1. Metode Tahfidz.
Metode tahfidz adalah cara menghafal materi baru yang belum pernah dihafal,
metode tahfidz ini dapat dijelaskan secara mendetail, sebagaimana langkah-langkah
sebagai berikut:
9 Muhaimin Zein, Problematika, hal. 248
10 Abdul-Rabb Nanwabuddin, Op.cit.,h. 36
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
226 | ISSN: 2356-2447-XIII
226
1) Pertama kali terlebih dahulu calon penghafal membaca bin nadzar (dengan
melihat mushaf) materi-materi yang akan diperdengarkan ke hadapan
kyai/instruktur minimal 3(tiga) kali.
2) Setelah dibaca binnadzar (dengan melihat mushaf) dan terasa ada bayangan, lalu
dibaca dengan hafalan (tanpa melihat mushaf) minimal 3 (tiga) kali dalam satu
kalimat dan maksimalnya tidak terbatas. Apabila sudah dibaca dan dihafal 3
(tiga) kali masih belum ada bayangan atau masih belum hafal, maka perlu
ditingkatkan sampai menjadi hafal betul dan tidak boleh materi baru.
3) Setelah satu kalimat tersebut ada dampaknya dan menjadi hafal dan lancar, lalu
ditambah dengan merangkaikan kalimat berikutnya sehingga sempurna menjadi
satu ayat. Materi-materi baru ini selalu dihafal sebagaimana halnya menghafal
pada materi pertama. Kemudian dirangkaikan dengan mengulang-ulang materi
atau kalimat yang telah lewat, minimal 3 (tiga) kali dalam satu ayat ini dan
maksimal tidak terbatas sampai betul-betul hafal. Tetapi apabila materi hafalan
satu ayat ini belum lancar betul, tidak bolehkan dipindah ke materi berikutnya.
4) Setelah materi satu ayat ini dikuasai hafalannya dengan hafalan yang betul-betul
lancar, maka diteruskan dengan menambah materi ayat baru dengan membaca
binnadzar terlebih dahulu dan mengulang-ulang seperti pada materi pertama.
Setelah ada bayangan lalu dilanjutkan dengan membaca tanpa melihat sampai
hafal betul sehagaimana halnya menghafal ayat pertama.
5) Setelah mendapat hafalan dua ayat dengan baik dan lancar tidak terdapat
kesalahan lagi, maka hafalan tersebut diulang-ulang mulai dari ayat pertama
dirangkaikan dengan ayat kedua minimal 3 (tiga) kali dan maksimal tidak
terbatas. Begitu pula menginjak ayat-ayat berikutnya sampai kebatas waktu yang
disediakan habis dan pada materi yang telah ditargetkan.
6) Setelah materi yang ditentukan menjadi hafal dengan baik dan lancar, lalu
hafalan ini diperdengarkan kehadapan instruktur untuk ditashih hafalannya serta
mendapatkan petunjuk-petunjuk dan bimbingan seperlunya.
7) Waktu menghadap instruktur pada hari kedua, penghafal memperdengarkan
materi baru yang sudah ditentukan dan mengulang materi hari pertama. Begitu
pula pada hari ketiga. Materi hari pertama, hari kedua dan hari ketiga harus
selalu diperdengarkan untuk lebih memantapkan hafalannya. Lebih banyak
mengulang-ulang materi hari pertama dan kedua akan lebih menjadi baik dan
mantap hafalannya.11
2. Metode Takrir
Metode ini merupakan suatu metode untuk mengulang-ulang hafalan yang sudah
diperdengarkan kepada instruktur. Metode takrir ini sangat penting diterapkan, karena
menjaga hafalan merupakan suatu kegiatan yang sulit dan kadangkala terjadi kebosanan.
Sangat dimungkinkan sekali suatu hafalan yang sudah baik dan lancar menjadi tidak
lancar atau bahkan menjadi hilang sama sekali. Sewaktu takrir, materi yang
11 Muhaimin Zein, Problematika, hal. 249-250
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 227
227
diperdengarkan kehadapan instruktur harus selalu seimbang dengan tahfidz yang sudah
dikuasainya. Jadi tidak boleh terjadi bahwa takrir jauh ketinggalan dari tahfidznya.
Dalam hal ini perimbangan antara tahfidz dan takrir adalah satu banding sepuluh.
Artinya apabila penghafal mempunyai kesanggupan hafalan baru atau tahfidz dalam satu
hari dua halaman, maka harus diimbangi dengan takrir dua puluh halaman (satu juz).
Tepatnya materi tahfidz satu juz yang terdiri dari dua puluh halaman, harus mendapat
imbangan takrir sepuluh kali, demikian seterusnya. Dan apabila materi satu juz itu belum
mendapat imbangan, umpama tahfidznya sudah mendapat dua puluh halaman (satu juz)
sedangkan takrirnya baru enam atau tujuh kali, maka kesempatan untuk tahfidz perlu
dihentikan dan kesempatan selanjutnya disediakan untuk mengejar takrirnya sampai
mencukupi jumlah perimbangan yaitu sepuluh kali.12
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa harus adanya keseimbangan antara
takrir (mengulang hafalan) dengan tahfidz (menghafal materi baru) dari ayat-ayat Al-
Qur`an. Takrir sebagian dari proses menghafalkan Al-Qur`an yang juga sebagai kunci
keberhasilan dari semua yang diusahakan dalam menghafalkan dan menjaga hafalan Al-
Qur`an pada diri seseorang. Usaha pengulangan ini harus diadakan secara ketat, karena
kalau hafalan yang sudah ada tidak akan bertahan lama dan akan sia-sia jikalau
pemelihara’an tidak dilaksanakan. Sedangkan kunci keberhasilan menghafal Al-Qur`an
adalah mengulang-ulang hafalan yang telah dihafalnya yang disebut “takrir”.13
3. Metode Global (sas)
Metode Global yaitu santri/murid mengulang-ulang pelajaran atau surat yang panjang
sekaligus tanpa diperinci, misalnya dalam menghafal surat an-Nur yang isinya tiga hizb,
sebanyak delapan lembar dibaca sekaligus sambil diulang-ulang. Jadi metode global atau
sas ini merupakan metode yang sangat sulit untuk menghafal. Karena seseorang harus
menghafal satu kesatuan yang banyak sekaligus, tidak sedikit demi sedikit. Seseorang
kalau mampu menghafal dengan kemampuan yang tinggi maka dia akan cepat menye-
lesaikan hafalannya. Akan tetapi metode ini juga banyak efek negatifnya yaitu dengan
kebosanan atau meletihkan otak, karena harus menghafal dalam lingkup yang banyak dan
waktu yang tidak dibatasi, mengakibatkan cepat lupa, sulit diterapkan di sekolah umum
atau sesuai dengan materi yang harus dicerna dalam waktu yang sudah ditentukan, sulit
diterapkan pada surat-surat yang panjang.
Abdul Rabb Nawabuddin menjelaskan dampak negatif dari metode global (kulli,
sas) dalam bukunya, yaitu:
1) Akan cepat lupa secara beruntun setelah menghafal, kecuali jika murid sering
mengulang-ulang dan tidak berhenti.
2) Meletihkan otak yang ditumbuhkan hafalan yang masuk dalam waktu singkat.
3) Metode ini tidak cocok bagi siswa pada umumnya: seperti anak kecil, orang tua
dan siswa-siswa sekolah umum yang tidak terikat dengan pelajaran lain yang
harus dicerna pada waktunya.
12 Muhaimin Zein, Problematika, hal.250 – 251.
13 Muhaimin Zein, Problematika, hal..246
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
228 | ISSN: 2356-2447-XIII
228
4) Metode ini tidak tepat pada surat-surat panjang (tujuh surat panjang) karena surat
ini memerlukan rincian. Ada surat yang sulit untuk dihafal tanpa direnung dan
lapang dada, seperti surat al-A’raf terutama dua pertiga yang pertama banyak
perasaannya dan saling memasuki dalam susunan ayatnya, terutama dalam
kisah-kisah Adam, Nuh, Hud, Shaleh, Syuaib, Luth dan Musa. Banyak kisah
para nabi dalam berbagai surat dengan lafadz-lafadz yang bermacam-macam
serta susunan kata yang banyak. 14
4. Metode Terperinci atau Metode Juz’i
Metode ini merupakan suatu metode yang digunakan dalam menghafal Al-Qur`an
secara terperinci atau mendetail. Setiap bagian-bagian dihafal dan jika sudah hafal benar
maka penghafal baru pindah pada bagian yang lain dengan merangkai materi yang lalu
dengan materi yang akan dihafal. Metode ini sebenarnya sudah mendekati pada
penggabungan metode metode tahfidz dan metode takrir. Karena sudah mengandung
sedikit dari maksud metode tahfidz dan takrir. Sebagaimana pendapat Abdul Rabb
Nawabuddin dengan pernyata’annya dalam bukunya, Kayfa Tuhfadzul Quranul Karim.
Metode terperinci ialah membagi ayat-ayat yang akan dihafal, misalnya tujuh baris,
sepuluh, satu halaman atau satu hizb. Jika telah betul-betul hafal, pindah lagi kepada
pelajaran lain. Kemudian merangkaikan dengan materi yang lalu dalam satu rangkaian
pada satu surat. Misalnya seorang murid menghafal surat al-Hujurat dalam dua atau tiga
periode. Surat al-Kahfi empat atau lima periode.15 Metode terperinci (juz’i) ini banyak
hal-hal yang melatarbelakangi dengan beberapa alasan sebagai belikut:
1) Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ibnu Asakir dariAbu Nadrah, yang
artinya: Adalah Abu Sa’id Al-Khuzriy, mengajarkan kepada kami akan Al-
Qur’an, lima ayat dipagi hari dan lima ayat disore hari dan jibril pernah
menghabarkan bahwa Al-Qur’an diturunkan lima ayat-lima ayat.
2) Begitu Pula cara mengajarkan qira’at kepada para sahabat dan para sahabat
mengajarkan kepada generasi selanjutnya.
3) Metode ini sangat diutamakan pada anak kecil, orang yang kurang
pengalaman serta untuk kebanyakan murid.
4) Metode ini sangat tepat dalam menghafal ayat-ayat mutasyabihat, serupa dalam
susunan dan kata, serta terulang-ulang. Seperti dalam surat ar-Rahman, al-
Waqiah, al-Jin, al-Mursalat dan sebagainya. Sebagaimana telah kami sebutkan
dalam kelemahan keempat metode umum. Perlu sekali membuat jadwal waktu
sebagai pegangan murid yang ingin sukses dalam program yang penuh berkah
ini program yang penuh berkah ini untuk dipergunakan menurut waktu, situasi
dan kemampuannya.16
14 Abdul Rabb Nawabuddin, Metode Efektif Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Tri Daya Inti), hal. 38
15 Abdul Rabb Nawabuddin, Metode Efektif, hal. 38
16 Abdul Rabb Nawabuddin, Metode Efektif, hal. 39
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 229
229
5. Metode Wandah
Metode yang menghafal satu persatu terhadap ayat-ayat yang hendak dihafal. Untuk
mencapai hafalan awal, setiap ayat bisa dibaca sebanyak sepuluh kali, atau dua puluh kali,
atau lebih sehingga proses ini mampu membentuk pola dalam bayangan, akan tetapi
hingga benar-benar membentuk gerak refleks pada lisannya. Setelah benar-benar hafal
barulah dilanjutkan pada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang sama. Demikian
seterusnya hingga mencapai satu muka. Setelah ayat-ayat dalam satu muka telah
dihafalnya, maka gilirannya menghafal urut-urutan ayat dalam satu muka. Untuk
menghafal yang demikian maka langkah selanjutnya ialah membaca dan mengulang-ulang
lembar tersebut hingga benar-benar lisan mampu mereproduksi ayat-ayat dalam satu muka
tersebut secara alami atau refleksi. Demikian selanjutnya, sehingga semakin banyak
diulang maka kualitas hafalan akan semakin representatif.17
6. Metode Kitabah
Kitabah artinya menulis. Metode ini memberikan alternatif lain daripada metode
yang pertama. Pada metode ini penulis terlebih dahulu menulis ayat-ayat yang akan
dihafalnya pada secarik kertas yang telah disediakan untuknya. Kemudian ayat-ayat
tersebut dibacanya sehingga lancar dan benar baca’annya, lalu dihafalkannya.
Menghafalnya bisa dengan metode wandah atau dengan berkali-kali menuliskannya
sehingga dengan berkali-kali menuliskannya ia dapat sambil memperhatikan dan sambil
menghafalnya dalam hati. Berapa banyak ayat tersebut ditulis tergantung kemampuan
penghafal.18
Metode kitabah ini sebenarnya prosesnya hampir sama dengan metode wandah.
Persama’annya yaitu kemampuan menghafal sama-sama menentukan cepat lambatnya dan
banyaknya ayat yang dihafal. Dan bisa juga sebagai alternative tambahan untuk
Pengulangan (takrir) dalam proses menghafal juga sama-sama diterapkan. Faktor jenis
ayat juga mempengaruhi banyak atau tidak yang dihafal. Contohnya dalam surat as-Sabut
thiwal (7surah yang panjang) maka ayat yang dihafal pun akan relatif sedikit jumlahnya.
Semua itu tergantung kepada penghafal dan alokasi waktu yang disediakannya. Metode
kitabah juga banyak keuntungannya, sebagaimana dikemukakan Ahsin W. al-Hafidz :
Metode ini cukup praktis dan baik, karena di samping membaca dengan lisan, aspek visual
menulis juga akan sangat membantu dalam mempercepat terbentuknya pola hafalan dalam
bayangan ingatannya.19
7. Metode Sima’i.
Sima’i artinya mendengar. Yang dimaksud dengan metode ini ialah mendengarkan
suatu baca’an untuk dihafalkannya. Metode ini akan sangat efektif bagi penghafal yang
mempunyai daya ingat ekstra, terutama bagi penghafal tunanetra atau anak yang masih di
bawah umur yang belum mengenal baca tulis Al-Qur`an. Metode ini dapat dilakukan
dengan dua alternatif:
17 Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 6 18 Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis, hal. 64.
19 Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis, hal.64
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
230 | ISSN: 2356-2447-XIII
230
a. Mendengar dari guru yang membimbingnya, terutama bagi penghafal tunanetra
atau anak-anak. Dalam hal ini, instruktur dituntut untuk lebih berperan aktif,
sabar dan teliti dalam membacakan dan membimbingnya, karena ia harus mem-
bacakan satu persatu ayat untuk dihafal, sehingga penghafal mampu menghafal
secara sempurna. Baru kemudian dilanjutkan dengan ayat berikutnya.
b. Merekam lebih dahulu ayat-ayat yang akan dihafalkannya ke dalam pita kaset
sesuai dengan kebutuhan dalam kemampuannya. Kemudian kaset diputar dan
didengar dengan seksama sambil mengikuti secara perlahan-lahan. Kemudian
diulang lagi dan diulang lagi, dan seterusnya menurut kebutuhan sehingga ayat-
ayat tersebut benar-benar hafal di luar kepala. Setelah hafalan dianggap cukup
mapan barulah berpindah kepada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang sama,
dan demikian seterusnya. Metode ini akan sangat efektif untuk penghafal tuna
netra, anak-anak, atau penghafal mandiri atau untuk takrir (mengulang kembali)
ayat-ayat yang sudah dihafalnya. Tentunya penghafal yang menggunakan
metode ini, harus menyediakan alat-alat bantu secukupnya, seperti tape recorder,
pita kaset dan lain-1ain.20
8. Metode Gabungan
Metode ini merupakan gabungan antara metode pertama dan metode kedua, yakni
metode wandah dan metode kitabah. Hanya saja kitabah (menulis) di sini lebih memiliki
fungsional sebagai uji coba terhadap ayat-ayat yang telah dihafalnya, kemudian ia
mencoba menuliskannya di atas kertas yang telah disediakan untuknya dengan hafalan
pula. Jika ia telah mampu mereproduksi kembali ayat-ayat yang dihafalnya dalam bentuk
tulisan, maka ia bisa melanjutkan kembali untuk menghafal ayat-ayat berikutnya. Tetapi
jika penghafal belum mampu mereproduksi hafalannya kembali dalam tulisan secara baik,
maka ia kembali menghafalkannya sehingga ia benar-benar mencapai nilai hafalan yang
solid, demikian seterusnya. Kelebihan metode ini adalah adanya fungsi ganda, yakni
berfungsi untuk menghafal, sekaligus berfungsi untuk pemantapan hafalan. Pemantapan
hafalan dengan cara ini pun akan baik sekali, karena dengan menulis akan memberikan
kesan visual yang mantap.21
9. Metode Jama
Yang dimaksud dengan metode ini ialah cara menghafal yang dilakukan secara
kolektif. Yakni ayat-ayat yang dihafal dibaca secara kolektif, atau bersama-sama,
dipimpin oleh seorang instruktur. Pertama, instruktur membacakan satu ayat atau
beberapa ayat dan siswa menirukan secara bersama-sama. Kemudian instruktur
membimbingnya dengan mengulang kembali ayat-ayat tersebut dan siswa mengikutinya.
Setelah ayat-ayat itu dapat mereka baca dengan baik dan benar, selanjutnya mereka
mengikuti baca’an instruktur dengan sedikit demi sedikit mencoba melepaskan mushaf
(tanpa melihat mushaf) dan demikian seterusnya sehingga ayat-ayat yang sedang
dihafalnya itu benar-benar sepenuhnya masuk dalam bayangannya. Setelah siswa benar-
benar hafal, barulah kemudian diteruskan pada ayat-ayat berikutnya dengan cara yang
20 Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis, hal. 65
21 Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis, hal.66
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 231
231
sama. Cara ini termasuk metode yang baik untuk dikembangkan, karena akan dapat
menghilangkan kejenuhan disamping akan dapat membantu menghidupkan daya ingat
terhadap ayat-ayat yang dihafalkannya.22
Jadi pada dasarnya semua metode yang dikemukakan Ahsin W. al-Hafidz di atas
dapat diterapkan untuk menjalani proses menghafalkan Al-Qur`an atau sebagai pedoman
dalam menghafalkannya. Para penghafal Al-Qur`an dapat menggunakan salah satu di
antara metode-metode di atas atau menggunakan sebagian, bahkan juga bisa
menggunakan semua metode. Karena dengan menggunakan beberapa metode yang ada
akan dapat menghafalkan Al-Qur`an secara variatif atau secara selingan dan berkesan
tidak monoton. Sehingga dengan demikian akan menghilangkan kejenuhan dalam proses
menghafalkan Al-Qur`an. Berdasarkan beberapa metode yang dikemukakan oleh Abdul
Rabb Nawabuddin, H. A. Muhaimin Zen atau Ahsin W. al-Hafidz, itu semua dapat
dijadikan sarana atau metode dalam menghafalkan Al-Qur`an. Adapun metode yang
bagaimana yang paling baik sebagai pedoman bagi seseorang itu masih tergantung pada
potensi individu penghafal, sistem yang ada pada lembaga tersebut atau lingkungan
sekitar individu tersebut.
Sedangkan makna atau jenis serta pembagian dan penama’an memang berbeda. Akan
tetapi jika ditarik kesimpulan metode yang bagaimana yang biasanya diterapkan pada
pondok pesantren atau lembaga pendidikan yang lain, yaitu metode tahfidzh dan metode
takrir atau proses menghafal dan proses pemelihara’an dengan mengulang-ulang. Jadi
kedua metode tersebut dapat dikembangkan secara luas lagi, sebagaimana yang
dikemukakan Ahsin W. Al-Hafidz. Jadi metode bagi penulis dalam menghafalkan Al-
Quran adalah semua yang telah dikemukakan ketiga tokoh di atas. Dan penulis akan
meneliti langsung praktek metode yang mana diterapkan pada pondok pesantren Darul
Ilmi Banjarbaru dalam menghafalkan Al-Qur`an.
C. Metode Penelitian
Pendekatan penelitian kualitatif dengan metode filed research dalam rangka
mengkaji metode pembelajaran Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an
(PPUQ), untuk mengidentifikasi sistem pembelajaran Tahfidzul Qur’an.
Metode atau teknik pengumpulan data antara lain; Observasi partisipatif dengan
melakukan pengamatan secara langsung dimana peneliti berpartisipatif dalam kegiatan
pembelajaran Tahfidzul Qur’an. Wawancara dengan tanya jawab kepada kyai dan santri,
dan dokumentasi sebagai aktifitas mengkaji dokuemen pendukung kegiatan pembelajaran
Tahfidzul Qur’an. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif berpola deduktif
induktif.
D. Pembahasan
1. Profil Pondok Pesantren
PPUQ berdiri pada tanggal 10 Januari 2008, atas usulan dari KH. Nur Chamid, Alh
beliau adalah Kyai Ustadz Nasokah, Alh., ketika menimba ilmu dari Pondok Pesantren
Serang. Beliau mengusulkan Ustadz Nasokah, Alh., mendirikan Pondok Pesantren dengan
22 Ahsin W.Al-Hafidz, Bimbingan Praktis, hal.66
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
232 | ISSN: 2356-2447-XIII
232
nama Ulumul Qur’an dengan harapan disiplin ilmu dalam Al-Qur’an dapat dipelajari,
dikembangkan, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari bekal pengalamanya mengelola pondok pesantren Al-Asy’ariyah dan SMP
Takhasus Al-Qur’an filial yang bertempat dikomplek makam KH. Asy’ariyah dan KH.
Muntaha, Alh pada periode 2003-2005 di Desa Dero Dhuwur, Ustadz Nasokah
menyetujui usulan tersebut. Maka denga dukungan dan dorongan dari kerabat-kerabat
terdekat, secara resmi Ustadz Nasokah memutuskan untuk menggunakan kediamanya
yang bertempat dibelakang MTSN Kalibeber sebagai tempat pembelajaran agama Islam
yang di awali dengan kedatangan seorang santri untuk belajar agama kepada beliau.
Pondok Pesantren Ulumul Qur’an memiliki visi, “Memadukan tradisi salafi dan
sholafi dalam upaya membentuk insan modern berakhlak Qur’ani”. Adapun Misinya
adalah: (1) memfasilitasi santri dalam mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki
melalui program pendidikan berbasis musyawarah; (2) Menanamkan nilai kebersamaan
dan kekeluargaan dengan konsep “Al Ma’hadi Janati”; (3) Menanamkan sifat-sifat
kepemimpinan dalam diri santri dengan pelatihan kepemmimpinan secara bergilir; (4)
Memberikan pemahaman tentang kebebasan berfikir secara kholafi meninggalkan nilai-
nilai salafi sebagai jiwa kepesantrenan.
Penyelenggaraan pendidikan Pondok Pesantren Ulumul Qur’an terdiri dari sistem
madrasah (sekolah formal) dan sekolah non madrasah (non formal). Sistem formal diikuti
karena seluruh santri yang berdomisili adalah pelajar dan mahasiswa. Kegiatan wajib
terdiri dari pengajian ke-Al-Qur’an-an dan Kitab Kuning, sedangkan kegiatan
ekstrakulikuler santri terdiri dari shalawat, pidato, lughoh, qoriah, dan pengembangan
ilmu Al-Qur’an.
Pengkajian Al-Qur’an dilaksanakan secara langsung dari Kyai kepada santri,
sedangkan pengkajian kitab dilaksanakan dengan dua sistem, yaitu sistem sorogan dan
bandongan. Adapun kitab-kitab yang dikaji dalam bidang fiqih yaitu: Fiqih Wadhi,
Safinatunaja, Sulamunaja, Risalah Al Mahid, Fatchul Wahab, Fatchul Qarib, Bishuri, dan
Mahali. Dalam bidang ilmu tauhid yaitu: Jawahirul, Kalamiah, Fachtul Majid,
Aqidatul’awam. Dalam bidang akhlak: Akhlak Albanin, Sulam Ataufiq, Ihya, ‘ulumudin
dan Al Hikmah. Dalam bidang nahwu yaitu: Jurumiah, Mu’tamimah, Imrithi, Alviah Ibnu
Malik (Ibnu Aqil), Dahian dan Hudhori (Syariah Ibnu Aqil), MUgni Labib. Dalam bidang
ilmu sorof yaitu: Qowa’idul I’lal, Amstilatutasrif. Dalam bidang Ilmu balaghoh yaitu:
Jwahirul Maknun. Dalam bidang tafsir yaitu: Tafsir Jalalain, Tafsir Munir, Tafsir Ibnu
Katsir, Tafsir Maraghy, dan Tafsir Jami’ul bayan. Dalam bidang tajwid yaitu: Sifaul
Jinan, Thofatul Adfal, Al Jazariyah, Mustolachuttajwid, dan Qiro’an. Dalam bidang
Uumul Quran yaitu: Attibian fi’ulumul Qur’an dan attibian fi’adabil Qur’an. Dalam
bidang hadis yaitu: Arba’I Nawawi, Riyadhussholihin, Bulughul Marom, Shohih Muslim
dan Shohih Bukhari.
2. Syarat Tahfidz Al-Qur’an
Setiap santri Pondok Pesantren Ulumul Qur’an yang ingin menghafal Al-Qur’an
harus mempunyai persiapan yang matang agar proses hafalan dapat berjalan dengan baik
dan benar. Selain itu, persiapan merupakan syarat yang harus dipenuhi supaya hafalan
yang dilakukan bisa memperoleh hasil yang maksimal dan memuaskan. Persiapan
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 233
233
menghafal Al-Qur’an merupakan modal yang paling utama untuk menumbuhkan
semangat menghafal Al-Qur’an.. Ada beberapa persiapan atau syarat umum yang harus
dimiliki seorang santri Pondok Pesantren Ulumul Qur’an dalam menghafal Al-Qur’an,
diantaranya:
a. Mengikhlaskan Niat karena Allah swt
Hal yang pertama sebelum memulai menghafal Al-Qur’an seorang santri harus
mengikhlaskan niat. Diriwayatkan dalam Ash-Shahih bahwasanya Rasulullah Saw.,
pernah bersabda:
Pada hari kiamat nanti seorang ahli Al-Qur’an yang bersikap riya’ dibawa di hadapan Allah.
Kemudian Allah bertanya kepadanya,”apa yang telah engkau lakukan ketika di dunia?” Ia
menjawab,”Aku belajar dan mengajarkan Al-Qur’an untuk mendapatkan keridhaan-Mu.”
Allah berfirman. Engkau dusta. Sesungguhnya tujuan engkau belajar adalah engkau dikatakan
sebagai orang alim (berilmu). Dan sesungguhnya engkau membacanya agar engkau dikatakan
sebagai qari’, dan sebutan itu telah engkau dapatkan. Kemudian Allah memerintahkan kepada
malaikat agar menyeret orang itu pada wajahnya, lalu dilemparkan ke dalam neraka.”
Jika tanpa di dasari niat yang ikhlas maka menghafalkan Al-Qur’an akan menjadi
sia-sia belaka. Kesalahan dalam pijakan pertama ini akan membawa konsekuensi-
konsekuensi tersendiri. Sesungguhnya, niat yang ikhlas ialah untuk mencari Ridha Allah
Swt, hal ini yang ditekankan betul-betul dalam segala perilaku ketika menghafal Al-
Qur’an di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an (PPUQ).
Seorang penghafal Al-Qur’an apabila sudah mempunyai niat yang ikhlas, berarti ia
sudah ada hasrat dan kemauan yang telah tertanam dalam hatinya, sehingga jika ada
kesulitan ketika menghafalkan ayat-ayat Allah, maka ia akan menghadapinya dengan
pantang menyerah sekaligus menjalaninya dengan rasa sabar dan tawakal. Karena itu
ikhlas merupakan salah satu kunci kesuksesan menjadi penghafal Al-Quran yang
sempurna.
b. Izin Orang Tua, Suami atau Walinya
Pondok Pesantren Ulumul Qur’an mensyaratkan izin kepada orang tua, suami atau
wali, hal ini dimaksudkan agar tercipta saling pengertian antara kedua belah pihak, yakni
antara orang tua dengan santri yang hendak menghafal Al-Qur’an, sehingga orang
tua/wali dapat memberikan dorongan dan motivasi bagi anak-anaknya yang sedang dalam
proses menghafal Al-Qur’an.
c. Mempunyai Tekat yang Besar dan Kuat
Seorang yang hendak menghafalkan Al-Qur’an wajib mempunyai tekad atau
kemauan yang besar dan kuat. Hal ini akan sangat membantu kesukesan dalam
menghafalkan Al-Qur’an. Sebab, saat proses menghafalkan Al-Qur’an, seseorang tidak
akan terlepas dari berbagai masalah dan akan diuji kesabarannya oleh Allah, seperti
kesulitan dalam menghafal ayat-ayat, mempunyai masalah dengan teman atau pengurus
asrama atau pondok, masalah keuangan, susah melawan rasa malas, dan masalah cinta,
atau bahkan masalah keluarga yang terbawa hingga ke pondok. Sehingga proses
penghafalan menjadi terganggu. Dengan adanya tekad yang besar, kuat, dan terus
berusaha untuk menghafalkan Al-Qur’an, maka semua ujian-ujian tersebut insya Allah
akan bisa di lalui dan dihadapi dengan penuh rasa sabar. Menghafal Al-Qur’an merupakan
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
234 | ISSN: 2356-2447-XIII
234
tugas yang mulia dan besar. Tidak akan ada orang yang sanggup melakukannya, selain
‘ulul azmi, yaitu orang-orang yang bertekad kuat dan berkeinginan membaja.
d. Menjauhkan Diri dari Maksiat (Sifat-sifat Tercela)
Perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan tercela merupakan dua yang harus
dijauhi oleh setiap muslim pada umumnya dan seorang yang menghafal Al-Qur’an pada
khususnya, karena keduanya mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam mengusik
ketenangan jiwa orang yang dalam proses menghafal Al-Qur’an. Diantara sifat-sifat yang
tercela itu ialah ujub, ria, dan hasud, dan lain sebagainya. Ujub yaitu sifat ingin dikagumi
oleh orang lain. Sedang ria, yaitu melakukan suatu amal yang baik semata-mata hanya
agar diketahui oleh orang lain, dan hasud yaitu tidak senang (lantaran iri hati) apabila
orang lain mendapat kenikmatan.
e. Istiqamah
Sikap disiplin atau istiqamah merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap
penghafal Al-Qur’an, baik mengenai waktu menghafal, tempat yang biasa digunakan buat
menghafal Al-Qur’an, maupun terhadap materi-materi yang dihafal. Dengan
mengistiqamahkan waktu, santri yang menghafal dituntut untuk selalu jujur terhadap
waktu, konsekuen, dan bertanggung jawab. Sangat dianjurkan untuk tidak berhenti
menghafalkan Al-Qur’an sebelum berhasil hafal seluruh isi Al-Qur’an. Dalam proses
menghafal Al-Qur’an, istiqamah sangat penting sekali. Walupun ia memiliki kecerdasan
tinggi, namun kalau tidak istiqamah akan kalah dengan orang yang kecerdasannya biasa-
biasa saja, tetapi istiqamah. Sebab, pada dasarnya kecerdasan bukanlah penentu
keberhasilan dalam menghafal Al-Qur’an, namun keistiqamahan yang kuat dan ketekunan
sang penghafal itu sendiri.
f. Harus Berguru pada yang Ahli
Seorang yang menghafal Al-Qur’an harus berguru kepada ahlinya, yaitu guru
tersebut harus seorang yang hafal Al-Qur’an, serta orang yang sudah mantap dalam segi
agama dan pengetahuannya tentang Al-Qur’an, seperti ulumul Qur’an, ashab an-nuzul-
nya, tafsir, ilmu tajwid, dan lain-lain. Selain itu guru tersebut juga mesti terkenal oleh
masyarakat bahwa ia mampu menjaga diri, keluarga, dan santrinya. Dalam menghafal Al-
Qur’an, peran kyai/guru yang ahli dalam bidang hifdhul Qur’an adalah urgen. Perannya
adalah untuk memberi contoh bacaan yang benar, bacaan yang harus diikuti oleh santri,
dan membenarkan bacaan santri jika terdapat kesalahan. Dalam belajar Al-Qur’an tidak
bisa serta-merta dengan otodidak, walaupun dengan tingkat kecerdasan yang tinggi,
karena dalam membaca Al-Qur’an menuntut adanya praktik langsung di hadapan
kyai/guru sehingga sang kyai/guru dapat menuntun santri/murid kepada bacaan yang
fashih dan shahih (benar).
Kyai/guru yang lebih diutamakan adalah yang telah memperoleh sanad. Dengan
alasan, pertama, sanad adalah bukti bahwa bacaan yang dibaca oleh sang guru adalah
bacaan yang mutawatir dan muttashil hingga ke Baginda Nabi Muhammad Saw, yang
telah diakui ulama. Kedua, kyai/guru yang telah memiliki sanad lebih bisa diakui
keahliannya dalam dunia belajar dan menghafal Al-Qur’an maupun dalam pengamalan.
Selain itu, kyai/guru bisa menjadi figure bagi santri/muridnya. Sehingga santri/murid akan
berusaha meniru (meneladani) akhlakul karimah sang kyai/guru. Keberadaan kyai/guru
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 235
235
tersebut akan memotivasi si santri/murid, dengan berusaha sekuat tenaga, untuk bisa
meraih keberhasilan seperti yang diraih oleh gurunya. Terakhir, barakah guru sangat
diidam-idamkan oleh seorang murid.
g. Mempunyai Ahlak Terpuji
Sangat penting sekali meneladani akhlak Rasulullah Saw terutama bagi orang yang
menghafalkan Al-Qur’an. Orang yang menghfalkan Al-Qur’an bukan hanya bagus bacaan
dan hafalannya, melainkan juga harus terpuji akhlaknya karena ia adalah calon hamilul
Qur’an. Jadi sifat dan perilakunya juga mesti sesuai dengan semua yang diajarkan dalam
Al-Qur’an.
Sesungguhnya, bisa menghafalkan Al-Qur’an merupakan sebuah rahmat dan hidayah
dari Allah Swt dan hal tersebut hanya bisa didapat oleh orang-orang yang mempunyai hati
yang bersih. Oleh karena itu, orang yang akan menghafal Al-Qur’an tidak akan bertahan
lama dihati orang-orang yang sering atau sibuk melakukan maksiat. Hal ini menyebabkan
lupa hafalannya, dalam artian tidak pernah menjaganya, karena sibuk dengan urusan
duniawi. Oleh karena itu, seorang penghafal Al-Qur’an, haruslah menjaga hati dan panca
inderanya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt. Hal ini dinyatakan dalam Al-Qur’an,
sebagaimana firman-Nya sebagai berikut:
“Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang
diberi ilmu. dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat kami kecuali orang-orang yang zalim.”
(QS. Al Ankabut (29):49).
h. Memaksimalkan Usia
Pada dasarnya, tidak ada batasan mengenai usia bagi seseorang yang hendak
menghafalkan Al-Qur’an. Sebab, pada waktu Al-Qur’an diturunkan pertama kali, banyak
di antara para sahabat yang baru memulai menghafalkan Al-Qur’an setelah usia mereka
dewasa, bahkan ada yang lebih dari 40 tahun.
Meskipun demikian, sebaiknya kita menghafalkan Al-Qur’an dalam usia “emas”,
yaitu terhitung dari usia 5-23 tahun. Sebab, pada usia tersebut, kekuatan hafalan manusia
masih sangat bagus, namun dalam kasus di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an (PPUQ)
usia penghafal Al-Qur’an mulai 10-27 tahun. Pada usia muda, otak manusia masih sangat
segar dan jernih, sehingga hati lebih fokus, tidak terlalu banyak kesibukan, serta masih
belum memiliki banyak problem hidup. Selain itu, di usia muda juga sangat baik untuk
menyimpan data, serta informasi yang tidak terbatas. Dalam kondisi tersebut, suatu materi
atau daya yang telah masuk dalam memori otak seserorang akan terus bisa ingat sampai ia
dewasa. Tentunya, hal ini berbeda jika ia menghafalkannya setelah dewasa.
Oleh karena itu, bagi siapa pun yang ingin menghafal Al-Qur’an, sebaiknya
memanfaatkan dan tidak menyia-nyiakan masa mudanya. Jika waktu yang potensial itu
tidak dikonsentrasikan dari kesibukan selain menghafal, niscaya ia tidak akan
mendapatkan kemudahan dalam menghafal Al-Qur’an. Terkait hal ini Allah Swt.
berfirman:
“Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang
yang mengambil pelajaran?”(QS. Al Qamar (54): 17)
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
236 | ISSN: 2356-2447-XIII
236
i. Menggunakan Satu Mushaf
Maksud dari menggunakan satu macam mushaf adalah tidak berganti-ganti model
mushaf. Ada dua syarat di dalamnya. Pertama, memakai Al-Qur’an yang sering disebut
dengan “Al-Qur’an pojok”. Al-Qur’an pojok adalah Al-Qur’an yang setiap pergantian
halamannya selalu tepat pada akhir ayat. Untuk memilih Al-Qur’an pojok, anda harus
selektif, karena tidak semua Al-Qur’an yang secara tata letak adalah Al-Qur’an pojok
tetapi bukan Al-Qur’an standar untuk menghafal. Maksud Al-Qur’an pojok disini adalah
mushaf yang tata letaknya sama dengan Mushaf utsmani, yang biasa digunakan untuk
menghafal. Kedua, memakai Al-Qur’an dengan satu penerbit. Karena mushaf yang ada,
walaupun sama dengan mushaf utsmani (awal dan akhir halaman) tetapi setiap penerbit
mempunyai perbedaan-perbedaan, baik dalam khot maupun dalam bagian-bagian tertentu
(selain awal dan akhir halaman). Hal ini dimaksudkan agar tidak membingungkan
penghafal dalam me-muraja’ah hafalannya. Karena dengan berganti-ganti mushaf,
penghafal akan merasa bingung dengan perbedaan-perbedaan tiap model mushaf.
j. Mampu Membaca dengan Baik
Sebelum melangkah pada periode menghafal, seorang calon penghafal terlebih
dahulu berupaya meluruskan bacaanya dengan bin nadzor. Terdapat dua hal penting
sebelum memasuki periode menghafal yang diinternalisasikan di Pondok Pesantren
Ulumul Qur’an (PPUQ), yaitu:
1) Melancarkan bacaannya.
2) Meluruskan atau membenarkan bacaannya.
Dua hal ini mempunyai fungsional penting dalam menghafal Al-Qur’an. Tradisi yang
berlaku di dalam masyarakat kita, untuk mencapai tujuan ini ialah mengaji di hadapan
seorang guru sehingga benar-benar lancar dan bagus bacaannya, bahkan tuan gurunya
biasa menasihatkan agar tidak mulai menghafal sebelum khatam membaca bin nadzor
beberapa kali khataman. Attensi seperti ini memang dirasa perlu agar dalam
menghafalnya nanti tidak terlalu banyak kesulitan lantaran belum bisa membacanya
dengan baik dan lancar.
k. Memilih Waktu dan Tempat yang Tenang
Pilihlah waktu dan tempat yang sesuai dengan keinginan, yang membuat pikiran
tenang dan konsentrasi dalam menghafal. Hindari tempat yang panas, tempat yang banyak
orang, dan tempat yang membuat pikiran kita cepat jenuh. Pilihlah tempat yang sejuk,
indah, dan nyaman.
Diantara waktu-waktu yang baik untuk menghafal adalah pada sepertiga malam
terkhir setelah melaksanakan shalat tahajud. Pada saat itu suasana tenang, sehingga
hafalan cepat masuk. Begitu pula waktu setelah shalat shubuh merupakan waktu yang
baik untuk menghafal. Waktu yang paling baik untuk menghafal tentunya berbeda-beda
bagi tiap orang. Karena itu yang lebih tahu waktu menghafal yang baik adalah orang-
orang yang akan menghafal itu sendiri. Maka, sebelum menghafal cobalah pilih terlebih
dahulu waktu yang tepat untuk menghafal.
Rekomendasi bagi seorang pendidik yang ingin menanamkan rasa cinta kepada Al-
Qur’an di hati anak didiknya, haruslah memilih waktu yang tepat untuk menghafal dan
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 237
237
berinteraksi dengan Al-Qur’an. Adapun waktu yang dimaksud bukan saat seperti ini:
setelah lama begadang dan mencicipi tidur hanya sebentar, setelah makan dan kenyang,
setelah waktu belajar yang padat, ketika anak dalam kondisi psikologi yang kurang baik,
ketika terjadi hubungan tidak harmonis antara orang tua dan anak supaya anak tidak
membenci Al-Qur’an disebabkan perselisihan dengan orang tuanya.
3. Metode Thafidzul Qur’an di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an
Setiap penghafal Al-Qur’an, tentunya menginginkan waktu yang cepat dan singkat,
serta hafalannya menancap kuat di memori, hal tersebut dapat terlaksana apabila
penghafal menggunakan metode yang tepat, rajin, dan istiqamah dalam menjalani
prosesnya, walaupun cepatnya menghafal seseorang tidak terlepas dari otak atau IQ yang
dimiliki. Metode yang digunakan para penghafal Al-Qur’an berbeda-beda sesuai
kesanggupannya.
Menghafal Al-Qur’an yang ideal adalah membaca ayat-ayat itu dengan tajwid yang
benar, memahami makna kata demi kata, lalu berusaha menyimpannya di dada.
Menghafal Al-Qur’an adalah menyimpan kata demi kata dari “surat cinta” sang kekasih di
benak dan hati kita. Dalam pembelajaran menghafal Al-Qur’an Pondok Pesantren Ulumul
Qur’an (PPUQ) secara umum menerapkan beberapa metode, diantaranyai:
a. Metode Menghafal Beberapa Ayat atau Satu Ayat
Yaitu menghafal satu ayat dengan bacaan yang benar sebanyak dua atau tiga kali,
lalu memperdengarkan (tasmi’) ayat ini kepada orang lain. Selanjutnya menghafal ayat
kedua dan melakukan hal yang sama pada ayat pertama. Namun, sesudah itu
memperdengarkan ayat pertama dan ayat kedua sekaligus. Kemudian menghafal ayat
ketiga dengan menggunakan metode yang sama, dan dilanjutkan ayat ke empat, hingga
sampai akhir halaman. Sesudah itu, memperdengarkan hafalan satu halaman tadi dengan
mengulangnya sebanyak tiga kali.
Sebagai catatan dalam menjalankan metode ini janganlah beranggapan bahwa ayat
pertama telah sering dihafal sehingga tidak perlu diulang-ulang. Sebab, sebagian dari
mereka apabila telah menghafal setengah halaman, ia mengatakan, “setengah halaman
pertama sudah terhafalkan secara kuat maka jika menghafalkan setengah halaman kedua
tidak perlu lagi mengulang setengah halaman pertama hingga akhir.” Namun, setiap ayat
pada halaman yang sudah dihafal tersebut terulang dari pertama hingga sampai dimana ia
telah hafal, hingga genap satu halaman. Sesudah itu memperdengarkan hafalan satu
halaman tersebut sebanyak tiga kali. Secara umum, metode ini termasuk metode yang
paling lambat. Dan biasanya ia membutuhkan waktu sekitar lima belas menit, karena
penghafal akan melakukan pengulangan. Selain itu, metode ini juga lemah karena seorang
penghafal jika tidak menyambungkan satu dengan ayat berikutnya, maka akan terjadi
penghentian pada sebagian ayat.
b. Metode Membagi Satu Halaman Menjadi Tiga Bagian
Dengan metode membagi satu halaman menjadi tiga bagian dan kita anggap setiap
bagiannya sebagai satu ayat, serta mengulang-ulangnya hingga beberapa kali sampai
hafal. Kemudian menyambungkan antara ketiga bagian itu.Dengan metode seperti ini,
menjadi sempurnalah penghubungan sebagian ayat dengan sebagian lainnya dengan cara
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
238 | ISSN: 2356-2447-XIII
238
yang lebih baik. Sebagaimana metode ini juga dapat mempersingkat waktu yang biasa
dihabiskan untuk mengulang ayat demi ayat.
c. Menghafal Per Halaman
Metode ini mirip dengan metode sebelumnya, hanya saja dalam metode ini langsung
menghafal satu halaman penuh. Lebih jelasnya, orang yang ingin menghafal hendaknya
membaca satu halaman penuh dari awal sampai akhir dengan bacaan yang pelan dan
benar, sebanyak tiga atau lima kali, sesuai daya tangkap dan kemampuan menghafalnya.
Bila telah membacanya sebanyak tiga hingga lima kali ini, dengan bacaan yang di iringi
dengan kehadiran hati konsentrasi pikiran serta akal, dan bukan sekedar bacaan di lidah
saja. Tapi ia memfokuskan hati serta pikirannya karena ingin menghafal dari bacaan ini.
Apabila ia sudah membaca sebanyak tiga atau lima kali ini ia menutup mushafnya
dan mulai membaca halaman tadi tanpa melihat ke mushaf. Selagi belum selesai atau
tidak dapat di hafal dengan hanya membaca tiga atau lima kali. Namun, ia telah
menghafal bagian awalnya dan terus membaca, lalu ia terhenti (lantaran lupa). Maka ia
membuka mushafnya, melihat dimana ia berhenti dan memperhatikan kelanjutannya.
Kemudian meneruskan membaca dengan mushaf tertutup. Lantas terhenti lagi, baik kedua
kalinya atau ketiga kalinya. (setelah selasai satu halaman penuh) kemudian ia mengulangi
membaca halaman ini tanpa melihat ke mushaf. Terjadi di bacaan kedua, ia tak lagi
berhenti di tempat ia berhenti di bacaan pertama. Sebab, kata atau kalimat ditempat
tersebut telah terukir di ingatannya dan tertanam dalam akalnya. Sehingga tempat-tempat
berhenti pun semakin berkurang.
Biasanya menurut pengalaman, ia akan membaca yang pertama dilanjutkan yang
kedua (dengan beberapa kali berhenti karena lupa). Tapi, umumnya dengan bacaan ketiga
kalinya ia mampu melafalkan satu halaman penuh dengan hafalan yang baik secara
keseluruhan ia sudah melewati delapan kali bacaan. Yakni tiga atau lima kali berupa
bacaan awal yang terfokus (dengan melihat ke mushaf). Dilanjutkan langkah kedua
dengan membaca halaman ini tanpa melihat mushaf, dan ia akan berhenti di bagian
pertama dan kedua. Lalu biasanya, pada bacaan ketiga tidak lagi berhenti-henti.
Pada langkah ketiga, Ia mengulangi bacaan yang benar itu, yang ia lakukan di kali
terakhir, sebanyak kurang lebih tiga kali. Dengan begitu total bacaannya pada halaman ini
berjumlah sembilan atau sebelas kali.Jadi, satu halaman dibaca dengan bacaan yang fokus
dan tepat sebanyak tiga atau lima kali. Di lanjutkan membacanya tanpa melihat ke mushaf
sebanyak tiga kali percobaan atau tiga kali usaha. Kemudian mengoreksinya dengan tiga
kali bacaan tanpa melihat mushaf. Insya Allah dengan demikian bacaan tersebut telah
hafal dengan baik dan kuat.
d. Metode Menghafal Ayat-ayat Panjang
Di dalam Al-Qur’an akan banyak dijumpai ayat yang panjang-panjang, hingga
membuat kesusahan dalam menghafalnya. Namun, terdapat solusi yang baik, yaitu
menghafalnya dengan cara memotong ayat menjadi beberapa bagian. Lalu setiap bagian
dihafalkan dan diteruskan dengan bagian lainnya.
e. Metode Menambah Hafalan Baru
Apabila santri (penghafal) menambah hafalan baru, selalu memperhatikan hafalan
yang lama, dan membatasi penambahan hafalan baru. Dalam setiap hari harus
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 239
239
menargetkan hafalan baru sesuai dengan kemampuan. Jangan sampai terfokus menambah
hafalan baru, namun hafalan yang lama dilupakan. Sebelum menambah hafalan baru,
harus mengulang (nderes) hafalan lama dari ayat pertama hingga terkhir sebanyak 20 kali.
Hal ini dilakukan supaya hafalan santri kuat dan tidak mudah lupa, serta selalu melekat
dalam ingatan atau otaknya. Setelah itu, penghafal diperbolehkan menambah hafalan baru
dengan metode yang sama seperti ketika menghafal ayat-ayat sebelumnya.
f. Metode Mengulang (Takrir)
Dalam proses menghafal Al-Qur’an, keinginan cepat khatam 30 jus memang
sangatlah wajar. Namun, jangan sampai keinginan tersebut membuat santri terburu-buru
dalam menghafalkan Al-Qur’an dan pindah ke halaman baru. Sebab, bila penghafal
berfikir demikian, dikhawatirkan akan melalaikan hafalan yang sudah pernah dihafal tidak
pernah diulang kembali karena santri lebih fokus pada halaman baru dan tidak men-takrir
hafalan yang lama. Dengan kata lain santri penghafal tidak diperbolehkan berpindah ke
hafalan berikutnya sebelum ayat yang sedang dihafalkan benar-benar sempurna. Hal
seperti ini sering terjadi di kalangan penghafal Al-Qur’an, sehingga surat atau jus-jus yang
berada di depan halaman beberapa waktu kemudian banyak yang hilang atau lupa.
Menjaga kualitas hafalan yang baik dan kuat, santri tidak terburu-buru ketika
menghafalkan.
Dalam menghafalkan yang baik, santri mengulang yang sudah pernah dihafalkan atau
sudah disetorkan kepada guru atau kyai secara terus menerus dan istiqamah. Tujuan dari
takrir atau mengulang ialah supaya hafalan yang sudah dihafalkan tetap terjaga dengan
baik, kuat dan lancar. Mengulang hafalan bisa dilakukan dengan sendiri atau didengarkan
oleh guru atau teman santri. Pada umumnya, seorang guru membagi waktu kegiatan
menyetor hafalan Al-Qur’an. Waktu pagi biasanya untuk menyetor hafalan baru, dan
waktu sore setelah Ashar atau setelah Maghrib menyetor hafalan mengulang.
g. Menyetorkan Hafalan kepada Kyai
Setiap santri yang menghafalkan Al-Qur’an wajib menyetorkan hafalannya kepada
kyai, ini bertujuan agar bisa diketahui letak kesalahan ayat-ayat yang dihafalkan. Apabila
santri menghafalkannya sendiri, dan terjadi kesalahan-kesalahan dalam bacaan, maka
kesalahan dalam ayat yang dihafalkan akan terus terbawa dalam hafalannya. Kesalahan
dalam hafalan, misalnya salah dalam pembacaan makhfijul huruf, mad (panjang), qashar
(pendek) bacaan, letak waqaf dalam ayat-ayat yang panjang, dan lain sebagainya. Untuk
itu, seorang murid janganlah sembarangan dalam memilih kyai yang akan dijadikan untuk
menyetorkan hafalannya. Hendaknya, ia seorang yang hafidz atau hafidzah Al-Qur’an,
terkenal agamanya, bagus dan alim, serta pandai menjaga dari perbuatan buruk dan
perbuatan yang berbau maksiat. Selain itu, lebih dianjurkan guru tersebut mempunyai
silsilah atau nasab yang sampai pada Rasulullah Saw, bukan sembarang guru.
h. Membuat Klasifikasi Target Hafalan
Bagi para calon penghafal Al-Qur’an, hendaknya membuat target hafalan dalam
setiap harinya, selain itu juga membuat target waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan hafalan sebanyak 30 juz. Menentukan target hafalan adalah sebuah
program yang positif. Sebab, ini akan terus membangkitkan semangat menghafal. Selain
itu, apabila hafalan terjadwal atau terprogram, tidak ada waktu yang terbuang sia-sia.
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
240 | ISSN: 2356-2447-XIII
240
Pada dasarnya membuat target hafalan tergantung pada kemampuan masing-masing
santri. Ada yang mampu mencapai target hafalan dalam sehari sebanyak 1 halaman.
Namun, ada pula yang kurang dari 1 halaman, atau bahkan lebih dari itu, yaitu mencapai 2
atau 3 halaman. Menentukan target dalam proses menghafal Al-Qur’an sangat diperlukan
supaya mampu memicu semangat dalam menghafal Al-Qur’an, serta agar dapat
menyelesaikan hafalan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Seorang tahfidz Al-Qur’an
tidak hanya menghafal Al-Qur’an, tetapi juga harus menekuni ilmu-ilmu lain, seperti ilmu
tafsir dan hadits, ulumul Qur’an, tajwid, dan lain sebagainya. Namun, apabila tidak
membuat program menargetkan hafalan akan selalu terbebani oleh hafalan yang masih
belum terselesaikan. Setidaknya, program menentukan target akan sangat membantu
santri menjalani proses menghafal Al-Qur’an.
i. Metode Semaan dengan Sesama
Semaan Al-Qur’an atau Tasmi’ (memperdengarkan hafalan kepada orang lain),
misalnya kepada sesama teman tahfidz atau kepada senior yang lebih lancar merupakan
hal yang sangat positif. Sebab, kegiatan tersebut merupakan salah satu metode untuk tetap
memelihara hafalan supaya tetap terjaga, serta agar bertambah lancar sekaligus untuk
mengetahui letak ayat-ayat yang keliru ketika baca. Dengan cara ini teman santri akan
membenarkannya jika terjadi kekeliruan dalam bacaannya.
Melakukan semaan Al-Qur’an bersama teman-teman di pondok pesantren dalam
jadwal kegiatan rutin pondok pesantren. Misalnya, satu minggu sekali dalam forum yang
resmi, atau di undang oleh masyarakat karena adanya sebuah acara. Semaan Al-Qur’an
dapat dilakukan kapan saja. Santri mencari teman semaan yang bisa diajak secara
bergantian. Semaan dapat dilakukan sebelum menyetorkan hafalan kepada seorang guru
atau sesudah menyetorkannya. Mempunyai pasangan sangatlah penting dan sangat
membantu santri dalam proses untuk memperlancar dan penguatan hafalan. Hal ini
dilakukan sebagai proses saling mengoreksi satu sama lain agar letak kesalahan yang
terjadi bisa terdeteksi.
j. Memperbanyak Membaca Al-Qur’an
Salah satu metode untuk mempercepat menghafal Al-Qur’an ialah memperbanyak
membaca Al-Qur’an sesering mungkin sebelum santri menghafalkannya. Sebagaiman
yang telah dijelaskan sebelumnya. Tujuannya, santri akan mengenal terlebih dahulu ayat-
ayat yang akan dihafalkan dan tidak asing lagi dengan ayat-ayat tersebut, sehingga lebih
mudah menghafalkannya. Semakin sering menghafal Al-Qur’an (bin nadzri), maka akan
semakin mudah menghafalkannya.
k. Teknik Mendengarkan Sebelum Menghafal
Sebagian penghafal ada yang cocok dengan cara ini, karena tidak memerlukan
pencurahan pemikiran yang serius sehingga membuat pikiran cepat tegang. Penghafal
hanya memerlukan keseriusan mendengar ayat-ayat yang akan dihafal. Ayat-ayat yang
akan dihafalkan dapat didengarkan melalui kaset-kaset tilawah Al-Qur’an yang sudah
diakui keabsahannya, mendengarkan harus dilakukan berulang-ulang. Setelah banyak
mendengarkan santri dapat memulai menghafal ayat-ayat tersebut, akan mendapatkan
kemudahan sendiri ketika menghafalnya. Menghidupkan Al-Qur’an lewat shalat jama’ah,
baik wajib atau sunnah, dapat memudahkan mu’min yang cinta berjama’ah untuk
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 241
241
menghafal Al-Qur’an. Rasulullah Saw dalam shalat selalu memperdengarkan ayat-ayat
yang panjang dan tidak terbatas pada surat-surat yang pendek.
E. Kesimpulan
Pembelajaran Tahfidzul Quran di Pondok Pesantren Ulumul Quran menggunakan
metode (thariqah) menghafal Beberapa Ayat atau Satu Ayat; Metode Membagi Satu
Halaman Menjadi Tiga Bagian; Menghafal Per Halaman; Metode Menghafal Ayat-ayat
Panjang; Metode Menambah Hafalan Baru; Metode Mengulang (Takrir); Menyetorkan
Hafalan kepada Kyai; Membuat Klasifikasi Target Hafalan; Metode Semaan dengan
Sesama; Memperbanyak Membaca Al-Qur’an; dan Teknik Mendengarkan Sebelum
Menghafal. Metode ini menjadikan karakteristik PPUQ dalam mengimplementasikan
pembelajaran Tahfidzul Qur’an yang dianggap strategis.
Serangkaian kegiatan dalam proses pembelajaran Tahfidzul Qur’an menempuh jalan
yang panjang dan penuh kesabaran bagi penghafal, sehingga dalam memulai
menghafalkannya terdapat syarat tertentu yang harus dilakukannya yaitu: Mengikhlaskan
Niat karena Allah swt; Izin Orang Tua, Suami atau Walinya; Mempunyai Tekat yang
Besar dan Kuat; Menjauhkan Diri dari Maksiat (Sifat-sifat Tercela); Istiqamah; Harus
Berguru pada yang Ahli; Mempunyai Ahlak Terpuji; Memaksimalkan Usia;
Menggunakan Satu Mushaf; , mampu membaca dengan baik, serta memilih waktu dan
tempat yang tenang. Hasil temuan ini memberikan kontribusi besar kepada penghafal,
supaya dalam proses menghafalkannya efektif.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, Abu Hamid Muihmad Ibnu Muhammad., Ihya ‘Ulumuddin, Beirut:
Dar al-Fikr, t.t
Al-Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariya, Himpunan Fadhilah Amal,
Yogyakarta: Ash-Shaff, 2006
Ash Shabuny, Muhammad Aly, Pengantar Study al-Qur’an (At-ibyan), Bandung:
PT.Al-Ma’arif, 1984
Ash-Shabuny, Ali., Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 1999
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir/A1-Qurban, cet.
XV, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1994
As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Habsi., Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2009
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, Al-Itqan Fi Ulumil Qur`an, Beirut: Dar Al-
Fikr, 1979
Az-Zarnuji, Pedoman Belajar Pelajar dan Santri,Surabaya: Al-Hidayah,t.t
Bukhari, Imam Abi Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn Mughirah,
As-Shahih Bukhari, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, 1981
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: al-Alwah, t.t.
Departemen Agama RI., Pola Pengembangan Pondok Pesantren, 2000
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
cet. III, Jakarta : LP3ES, 1984
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
242 | ISSN: 2356-2447-XIII
242
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research I, Yogyakarta, Fak: Psikologi UGM, 1983
Hamid, H. M. Shalahuddin, Studi Ulumul Qur’an, Inti Media Cipta Nusantara,
Jakarta Timur, 2002
Kusnan, M. Rosyid, Mengenal Kitab Suci, Macanan Baru : Cempaka Putih, 2008
Muhaimin Zein , Problematika Menghafalkan Al-Qur’an Pustaka Al-Husna,
Jakarta, Cetakan 2, 1985
Muslim bin Hujjaj, Abu Husin., Shahih muslim, cet.8, 1967
Nawabuddin, Abul Rabbi, Metode Efektif Menghafal Al-Qur’an, Jakarta: CV. Tri
Daya Inti
Qattan, Manna al- Khalil, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Beirut: asy-Syirkah al
Mutahadil lil Tauzi, t.t.
Qattan, Manna al- Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an, Jakarta : PT. Pustaka Litera
Antar Nusa, 1994
R.H.A. Soenarjo, S.H., dkk., Al-Qur’an dan Terjemahanya , Proyek pengadaan
Kitab Suci Al-Quran Depag RI, pelita 1V/Tahun 1/1984-1985
Sodiqin, Ali. Antropologi Al-Qur’an, Ar-ruz Media, Yogyakarta, 2008
Sujanto, Agus. Psikologi Perkembangan , Jakarta: Aksara Baru, 1988
Surahmat, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung : Tarsito, 1990
Syam, Yunus Hanis. Mukjizat Membaca Al-Qur’an, Mutiara Media,Yogyakarta,
2009, hal. 9.
Tekin, Zubeyr. Kemuliaan Kitab Suci Al-Qur’an, PT Gramedia Pustaka Umum,
Jakarta, 2007
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia No. 20, Sistem Pendidikan Nasional
dan Penjelasannya, Bandung: Citra Umbara, 2003
Yunus, Mahmud, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta : PT. Hidaya
Karya Agung, 1983
Zaki Zamani, Muhammad Syukron, Menghafal Al-Qur’an Itu Gampang, Mutiara
Media, Yogyakarta, 2009.
Zarqani, Muhammad al-Adhim Aziz, Manahil al-‘Irfan Fil’Ulum Al-Qur’an,
Mesir: ttp., t.t.,
Zen, Muhaimin, Tata Cara/Problematika Menghafal al-Qur’an dan Petunjuk-
petunjuknya, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1993
Nasokah & Ahmad Khori, Pembelajaran Tahfidzul Qur’an
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 243
243
P R O F I L
PUSAT STUDI KEPENDIDIKAN (PSKp)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
Pusat Studi Kependidikan (PSKp) FITK UNSIQ Jawa Tengah adalah lembaga Studi yang bergerak
dalam bidang penelitian, pengkajian, pelatihan, dan pendampingan pendidikan yang dinafasi oleh
nilai-nilai dasar ajaran Islam. Pusat studi ini didirikan sebagai bukti kepedulian FITK UNSIQ Jawa
Tengah di Wonosobo dalam merespon berbagai perkembangan pendidikan di berbagai lembaga
pendidikan. Pusat Studi Kependidikan (PSKp) FITK UNSIQ memiliki kewenangan otonom pada
penetapan area, pelaksanaan serta cakupan lingkup kerjasama penelitian dan pengembangan
dengan berpedoman pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang mengarah pada azas kemanfaatan
bagi masyarakat, pendidik dan lembaga pendidikan di bidang penelitian, pendampingan dan
pengembangan kependidikan.
A. V I S I
Menjadikan Pusat Studi Kependidikan (PSKp) FITK UNSIQ Jawa Tengah sebagai lembaga
unggulan dan rujukan dalam penelitian, pengembangan, dan informasi ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni, terutama dalam bidang kependidikan.
B. M I S I
1. Menyelenggarakan penelitian yang mendasarkan diri pada penggalian dan pemecahan
berbagai persoalan pendidikan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
2. Melakukan pengkajian terhadap berbagai persoalan pendidikan yang sedang dan akan
berlangsung guna menemukan solusi pengembangannya di masa depan.
3. Menyelenggarakan pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan sehingga memiliki
kecakapan managerial, administratif dan edukatif yang lebih profesional
4. Melakukan pendampingan terhadap pendidik dan tenaga kependidikan dalam
melaksanakan tugas-tugas kependidikan.
5. Melakukan pembinaan terhadap lembaga pendidikan dalam pengelolaan dan
pengembangan lembaga.
Pusat Studi Kependidikan
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Sains Al Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo
Jl. Raya Kalibeber Km. 03 Wonosobo, Kode 56351, Tlp. (0286) 3326054-321873, Fax. (0286)
324160, HP. 085292143211, Email: fitkunsiq@gmail.com
top related