pembangunan ideologi, pendidikan pancasila dan masyarakat gotong royong
Post on 28-Nov-2015
818 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ATH
1
PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN
MASYARAKAT GOTONG ROYONG
Oleh Ajar Triharso1
Abstrak
Sejak diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) terjadi gejolak baik di dunia pendidikan maupun di masyarakat. Karena UU
tersebut tidak lagi memasukkan Pendidikan Pancasila sebagai kelompok mata pelajaran
pengembangan kepribadian (MPK) disegala jalur, jenjang dan jenis pendidikan sehingga
timbul kekhawatiran kondisi moral dan kepribadian bangsa Indonesia yang selama reformasi
telah terjadi degradasi menjadi semakin tanpa arah.
Banyak kalangan melakukan upaya agar Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia
mendapatkan “perlindungan” yang serius termasuk mengembalikan Pendidikan Pancasila
masuk ke dalam kurikulum pendidikan dan disosialisasi di masyarakat dengan baik dan
benar. Namun karena sudah merupakan keputusan lembaga yang berwenang yaitu DPR dan
Eksekutif tentunya memerlukan waktu dan tenaga bahkan perjuangan karena keberadaan UU
Sisdiknas merupakan produk situasi dan kondisi kejiwaan bangsa yang sedang mengalami
hingar-bingar reformasi sekaligus globalisasi.
Tulisan ini membahas masalah perlunya usaha revitalisasi dan implementasi ideologi
Pancasila, konsep, dan metode serta strategi apa yang diusulkan untuk diterapkan agar
Pancasila menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang paripurna sebagai modal
bangsa Indonesia menghadapi globalisasi. Disamping itu juga akan dibahas mengapa
pendidikan tinggi (PT) layak untuk menjadi pusat usaha revitalisasi dan implementasi
Pancasila.
Kata kunci: ideologi nasional, implementasi, sosialisasi, Pendidikan Pancasila
1. Pancasila dan semangat Reformasi
Berbagai ketetapan MPR hasil reformasi berkaitan dengan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi bangsa dan negara antara lain Tap/MPR/XVIII/1998, Tap/MPR/V/2000,
Tap/MPR/VI/2001, Tap/MPR/VII/2001 dengan tegas mengamanatkan agar dalam usaha
pembangunan bangsa dan negara secara konsisten menanamkan nilai-nilai Pancasila dan
menjadi jiwa pada setiap gerak bangsa dalam memantapkan kesatuan dan persatuan, etika
kehidupan berbangsa dan visi Indonesia ke depan. Searah dengan amanat tersebut pada
peringatan 61 tahun lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2006, Presiden Susilo Bambang
Yudoyono (SBY) meminta pada masyarakat untuk kembali kepada Pancasila serta menyudahi
perdebatan ideologis, menempatkan Pancasila sebagai Dasar Negara, menjadikan rujukan dan
sumber inspirasi dalam mencari solusi berbagai persoalan bangsa dewasa ini.
1Penulis adalah Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional – Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) dan Koordinator Dosen Pendidikan Pancasila pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB)
Universitas Airlamgga.
ATH
2
Pada seminar Indonesia Menuju tahun 2030 yang ditayangkan oleh SCTV dalam
rangka memperingati Hari Kebengkitan Nasional (19-20 Mei 2006) Prof. Dr. Syafii Maarif
menegaskan bahwa sebagai Ideologi nasional Pancasila harus segera dioperasionalkan untuk
menjadi landasan kehidupan bangsa dan negara Indonesia menuju tahun 2030. Sedangkan
Ketua PB NU KH. Hasyim Muzadi pada seminar di Pondok Pesantren Al-Hikam yang
membahas tentang kehidupan multi kultural, mengatakan: ” Saat ini ada upaya dari kelompok
tertentu untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia .… termasuk di
kalangan legeslatif”. Padahal, keberadaan Pancasila sangat dibutuhkan untuk mempersatukan
kurang lebih 500 (lima ratus) suku bangsa dan 6 (enam) agama yang ada di bumi pertiwi.
Lebih lanjut dikatakan bahwa ”Upaya mengganti ideologi itu terlihat nyata, misalnya: banyak
(munculnya) kelompok ekstrem, baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan” (Jawa Pos, Minggu
25 Juni 2006, hal : 2)
Dalam Simposium memperingati hari lahirnya Pancasila yang diselenggarakan
Universitas Gajah Mada – Lemhanas – LIPI tanggal 14-15 Agustus 2006 disebutkan:
”Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas sudah tidak mewajibkan lagi
Pendidikan Pancasila merupakan bagian tak terpisahkan dari proses “colonization of the mind”
bangsa Indonesia oleh kebudayaan asing yang mengambil manfaat dari euforia reformasi dan
membawa pendidikan bangsa Indonesia semakin ”salah asuhan”. Pendidikan di Indonesia
semakin lebih menghayati paradigma ilmu milik budaya bangsa lain. Setelah dilakukan
diskusi selama dua hari Simposium kemudian menyimpulkan bahwa hal itu terjadi karena
keberhasilan penetrasi global neoliberal yang semakin gencar khususnya setelah berakhirnya
”perang dingin”. Oleh sebab itu perserta sepakat untuk dilakukan revitalisasi dan reaktualisasi
Pancasila”. (Effendy, Nasikun, 2006)
Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) juga
sudah membuat kebijakan dalam rangka menghadapi Ancaman, Gangguan, Tantangan, dan
Hambatan (AGTH) yang semakin besar terhadap persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,
sebagai akibat semakin tipisnya nilai-nilai Pancasila sebagai faktor pemersatu dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Serangkaian kegiatan telah dilaksanakan untuk mencari
jalan mengembalikan Pancasila pada fungsinya dan telah diawali pada 27 September 2005
dengan Saresehan Nasional tentang Pancasila. Kemudian pada tanggal 14, 15 dan 28
Desember 2006 dengan melibatkan beberapa PT (dari Jawa Timur diundang Unibraw dan
ATH
3
Unair) melakukan upaya untuk merumuskan pola pendidikan Pancasila yang tidak doktriner
dan bagaimana caranya untuk segera diimplementasikan di masyarakat Indonesia.
Sementara itu Pemerintah dan jajaran DPRD Propinsi Jawa Timur, dengan perilaku
masyarakat yang serba kebablasan selama reformasi antara lain peristiwa Tuban, Banyuwangi,
Sumenep, perilaku “bonek” dan berbagai perilaku masyarakat Jawa Timur yang
memprihatinkan lainnya, merasakan perlunya segera menjabarkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan masyarakat. Untuk itu dengan memberi tugas lepada dosen-dosen pengampu
Pendidikan Pancasila dari Public Univeristy Link System of East Java (PULSE) yaitu
paguyuban PTN se Jawa Timur dan PTS se Jawa Timur, melalui Semiloka di DPRD Jawa
Timur tanggal 20 September 2006 dan dilanjutkan dengan Lokakarya tanggal 28 Nopember
2006 di Unesa dalam rangka revitalisasi dan implementasi Pancasila diamanatkan untuk
segera disusun materi dan metode pendidikan Pancasila yang sesuai dengan semangat
reformasi.
Prof. Bambang Rahino Setokoesoemo seorang akademisi senior Jawa Timur dalam
kata pengantar Buku Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa mengatakan Demokrasi kita
masih merupakan demokrasi euforia. Pada era reformasi demokrasi sebagai perwujudan
kebebasan dari rezim masa lalu yang dirasakan sangat mengekang pada implementasinya
dalam banyak hal ternyata menjadi serba kebablasan. Di kalangan mahasiswa dan masyarakat
banyak yang mengartikan demokrasi sama dengan demonstrasi tanpa etika yang jelas.
Reformasi menjadikan nilai-nilai Pancasila memudar dan masyarakat kehilangan kesadaran
tentang budaya pancasila. yaitu kebudayaan yang menggunakan asas kekeluargaan, gotong-
royong dan saling membantu, bersatu, guyup-rukun, saling menghargai seperti tercermin
dalam ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila, suatu pandangan hidup yang dicari, digali,
dan ditemukan dari bumi sendiri, bumi Pertiwi (Suprijadi, 2004:iii-iv).
Pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan merupakan representasi dari semangat agar
Pancasila segera dioperasionalkan sebagai dasar falsafah, ideologi, alat pemersatu serta
menjadi paradigma Ipteks Indonesia. Oleh sebab itu dengan berpedoman pada empat pilar
pendidikan UNESCO yaitu learn to know, learn to do, learn to be dan learn to live
together dalam rangka mengoperasionalkan Pancasila perlu segera disusun materi dan
metode pendidikan Pancasila yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi baik untuk dunia
ATH
4
pendidikan maupun masyarakat. Untuk itu perlu dijabarkan beberapa masalah yang
mendorong perlunya pendidikan Pancasila di dunia pendidikan maupun masyarakat.
2. Masalah- masalah dalam Pembangunan Ideologi
a. Masalah AGTH terhadap Kesatuan dan Persatuan Bangsa
Tuntutan perlunya segera disusun materi dan pola pendidikan Pancasila yang tepat
Menkopolhukam memberi argumen bahwa kondisi ATHG terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara akibat tidak adanya proses pembudayaan ideologi nasional yang terencana di
masyarakat dikhawatirkan semakin membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. AGTH terhadap pemecahan masalah bangsa yang disebabkan antara lain oleh
kondisi kemajemukan, korupsi, terorisme, kemiskinan, dan narkoba adalah akibat dari bangsa
Indonesia mengalami krisis kepercayaan terhadap tidak tersosialisaikannya dengan baik
nilai-nilai ideologi nasional yaitu Pancasila.
Diperlukan upaya menyusun kembali pola implementasi Pancasila sebagai ideologi
terbuka yang lebih sesuai dengan semangat reformasi agar dapat mengantar negara dan
bangsa kita dengan sukses menjalani berbagai perubahan. Karena pada waktu yang lalu
usaha implementasi Pancasila menjadikan nilai-nilai Pancasila hanya sebagai hafalan dan
tidak mewujud secara substansial pada perikehidupan sehari-hari masyarakat dan hanya
menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. (Sudharmadi, 2006).
Era pasca perang dingin nilai-nilai liberalisme sekaligis sektarianisme menjadi faktor
utama dalam perubahan-perubahan dan pergolakan-pergolakan di dunia (Rofiqi, 2004 ). Pada
proses reformasi di Indonesia faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh pada konflik-
konflik di masyarakat sehingga sedikit banyak mewarnai AGTH bagi pelaksanan reformasi
khusunya dalam membangun kesatuan dan persatuan bangsa. Penjabaran ideologi Pancasila
ke dalam paradigma baru tentang nilai-nilai demokrasi menjadi serba kebablasan. Produk-
produk kebijakan negara erareformasi seperti UU Sisdiknas dinilai banyak dipengaruhi
paham neoliberalisme (Simposium UGM) juga banyak muncul UU atau perda yang menjurus
pada pelaksanan nilai-nilai primordial dan sektarian serta pengaruh paham neo-komunisme
atau paham kiri-baru. (Noor Syam, 2006; Siswono, 2006).
ATH
5
b. Masalah Kebersamaan (togetherness) dalam Masyarakat
Apa yang dikatakan oleh Prof. Bambang Rahino di muka kiranya sejajar dengan apa
yang dikatakan oleh Siswono Yudho Husodo bahwa nilai utama ideologi Pancasila adalah
kebersamaan dengan bentuk ideal, kebersamaan hidup bermasyarakat sebagai “masyarakat
kekeluargaan” yang lebih dinamis, “kebersamaan hidup antarsejumlah manusia yang
terselenggara melalui interaksi saling memberi”. Suatu kebersamaan yang mampu menjadi
fondasi dan modal sosial dari negara kesejahteraan Indonesia yang mandiri.
Dengan kemandirian akan menumbuhkan kebanggaan pada warga negaranya dan
mendorong mereka berprestasi maksimal bagi kemajuan dirinya sendiri, masyarakat, bangsa
dan negaranya. Salah satu hal wajib dilestarikan adalah pendidikan sejarah yang mampu
membentuk karakter suatu bangsa. Rakyat Indonesia tidak perlu menjadi ahli sejarah, tetapi
harus memahami dan bangga akan sejarah bangsanya. Karena dunia pendidikan di bawah
pengaruh neo-liberalisme sekarang memang semakin a-historis dan perlu strategi
pembangunan masyarakat untuk menjadi subjek Pancasilais yang unggul dan terpercaya
(Siswono, 2006).
Jadi yang harus dilakukan adalah berusaha agar Pancasila dapat bangkit kembali
sebagai ideologi rakyat, bukan sebagai ideologi penguasa atau elite saja. Untuk itu Pancasila
harus menjadi ideologi yang mampu mendasari demokrasi yang lebih bermakna dan
bermanfaat bagi rakyat. Alternatif cara mengembalikan Pancasila sebagai ideologi rakyat,
dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
(1) Apakah Pancaila sudah merupakan kesadaran rakyat untuk bersama-sama mewujudkan
suatu tatanan masyarakat yang diimpikan oleh mereka?
(2) Apakah Pancasila telah menjadi tolok ukur rakyat dalam upaya pengawasan sosial
sebagai wujud kedaulatan mereka?
(3) Apakah Pancasila telah merupakan suatu kesadaran dan kebutuhan rakyat untuk
bersama-sama menjaga keutuhan kehidupan kenegaraan?
(4) Apakah Pancasila telah menjadi suatu pandangan hidup rakyat sehingga menjadi tolok
ukur (akuntabilitas) bersama tentang kepercayaan rakyat pada masa depan negara?
(Sulistomo, 2006).
ATH
6
c. Masalah Pendidikan Pancasila
Pancasila harus menjadi ideologi terbuka, di situ semua orang berhak untuk mengisi,
memahami, dan memberi makna sesuai dengan pemikiran terbaiknya. Hanya dengan
melibatkan dalam proses perumusan dan pemberian makna itulah rakyat akan benar-benar
menghayati Pancasila. Bangsa Indonesia juga membutuhkan proses sosialisasi dan
pembudayaan demokrasi yang berkelanjutan berdasarkan Pancasila.
UU Sisdiknas memang sudah diundangkan dan implementasi dalam muatan dan/atau
kegiatan kurikulum pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Pada jalur formal
kurikulum pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) materi pengetahuan tentang muatan
dan/atau kegiatan Pancasila termasuk dalam mata ajar PKn (Pendidikan Kewarganegaraan).
Sedangkan di PT juga sudah dibuat rambu-rambu yang berkaitan dengan pengetahuan
Pancasila dalam Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi yaitu SK Dirjen Dikti No.
43/2006 yang merujuk pada UU No. 20/2003/Sisdiknas pasal 37 ayat 2, PP No. 19 tahun 2005
tentang Standard Nasional Pendidikan (SNP) pasal 9 ayat 2 pada Mata ajar Pendidikan
Kepribadian (MPK) Pendidikan Kewarganegaraan dalam Bab Filsafat Pancasila. Walaupun
demikian dari penjelasan Dr. Hermana dari Depdiknas apabila pada perkembangannya ada
alasan yang kuat tentunya tidak menutup kemungkinan Pendidikan Pancasila menjadi mata
ajar tersendiri (Hermana, 2006).
Oleh sebab itu apabila Pendidikan Pancasila menuntut hasil perilaku konkret sebagai
kepribadian bangsa Indonesia maka perlu digali lebih lanjut peraturan-peraturan yang sudah
berlaku untuk diimplementasikan. Dalam UU No. 20/2003/Sisdiknas tentang dasar, fungsi, dan
tujuan pendidikan nasional disebutkan Pasal 2 Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan UU Sisdiknas Pasal 4 menyebutkan : (1)
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan
ATH
7
kemajemukan bangsa. ; 2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik
dengan sistem terbuka dan multimakna.; (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Tentang kurikulum diatur dalam UU Sisdiknas BAB X Pasal 36 : (1) Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. ; (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah,
dan peserta didik.; (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan
takwa; (b) peningkatan akhlak mulia; (c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik; (d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; (e) tuntutan pembangunan daerah dan
nasional; (f) tuntutan dunia kerja; (g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni; (h) agama; (i) dinamika perkembangan global; dan (j) persatuan nasional dan nilai-
nilai kebangsaan ; (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 37 ayat (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a)
pendidikan agama; (b) pendidikan kewarganegaraan; (c) bahasa; (d) matematika; (e) ilmu
pengetahuan alam; (f) ilmu pengetahuan sosial; (g) seni dan budaya; (h) pendidikan jasmani
dan olahraga; (i) keterampilan/kejuruan; dan (j) muatan lokal. Ayat (2) Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat: (a) pendidikan agama; (b) pendidikan kewarganegaraan;
dan (c) Bahasa Indonesia.
Adapun yang terkait dengan pasal 37 ayat 2 UU No. 20/2003/Sisdiknas adalah pasal 9
ayat 2 PP No. 19 tahun 2005 yang berbunyi: Kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi
wajib memuat mata kuliah pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa
Indonesia, dan Bahasa Inggris. Kecuali Bahasa Inggris pelaksanaan pasal 9 ayat 2 tersebut
adalah SK Dirjen Dikti No. 43/2006 sebagai rambu-rambu MPK.
Implentasi Pendidikan Pancsila di Kurikulum PT kiranya berpeluang pada pasal 9 ayat 3
PP No. 19 tahun 2005 yang ternyata merupakan ayat yang sangat terbuka. Ayat tersebut
berbunyi: “...kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi program Sarjana dan Diploma wajib
memuat mata kuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan, ...” dan hal tersebut kiranya
juga ada pada peraturan kurikulum di pendidikan dasar dan menengah. Dengan keterbukaan
ATH
8
tersebut menyebabkan masyarakat dapat mengisi pendidikan kepribadian dan kebudayaan
menurut selera (sponsor) masing-masing.
Dengan kondisi legalitas demikian khususnya tentang pendidikan kepribadian dan
ideologi nasional kiranya sangat bijaksana bagi dunia pendidikan yang masih tetap
mempertahankan mata kuliah Pendidikan Pancasila dan harus mendapat dukungan dan
difasilitasi untuk diproses menjadi sentuhan terakhir (final touch) terhadap kurikulum
pengembangan kepribadian siswa dan mahasiswa yang kondusif terhadap pembangunan
ideologi nasional.
Hal tersebut harus mendapatkan perhatian dari dunia pendidikan yang mempunyai
peranan strategis di dalam selain membangun kecerdasan juga filsafat dan ideologi sebagai
dasar identitas kepribadian dan jatidiri bangsa. Karena bangsa-bangsa lain sudah sejak awal
sangat serius terhadap pendidikan filsafat dan ideologi masing-masing sebagai dasar
kepribadian bangsanya antara lain bangsa India mendasarkan pendidikan mereka pada Satia
Graha, bangsa China Komunis dengan Konfusianisme-Kumunisme, China Taiwan dengan
Konfusianisme-San Min Cui, Amerika Serikat dengan Liberalisme Amerika Serikat, Australia
dengan Liberalisme Australia, Iran dengan Islamisme Iran, Arab Saudi dengan Islamisme
Arab, Jepang dengan Konfusianisme-Shintosme, dan lain-lain tentunya wajar apabila dunia
pendidikan di Indonesia mengkaji dan mengajarkan secara serius filsafat dan ideologi bangsa
yang telah digali oleh para founding fathernya.
Oleh sebab itu keberadaan Pendidikan Pancasila tidak hanya secara eksplisit perlu
dicantumkan dalam kurikulum di setiap jenjang dan jenis pendidikan sebagai bagian dari
pendidikan dasar kepribadian generasi muda Indonesia namun juga harus selalu di kaji tentang
materi, metode dan pendekatan pendidikanya agar tetap aktual dan kontekstual serta tidak
mengulangi kesalahan masa lalu. Apalagi dengan menjamurnya sekolah-sekolah dan PT di
kota-kota besar berlabel Internasional yang digandrungi golongan kaya dan atau berlabel
agama tertentu yang rentan terhadap pengaruh nilai-nilai sektarian yang berpotensi membawa
masyarakat ke dalam konflik baik vertikal maupun horisontal dan pada gilirannya akan
menambah runyam terhadap perkembangan kepribadian generasi muda Indonesia.
Dengan demikian sebagai ideologi terbuka Pancasila perlu upaya menemukan cara dan
metode dalam pemasyarakatnnya agar dalam pengembangan kepribadian bangsa tidak
menjadikan Pancasila digusur oleh ideologi lain (Noor Syam, 2006). Apa yang sudah menjadi
ATH
9
kewaspadaan dan komitmen terhadap Pendidikan Pancasila dari Saresehan di
Menkopolhukam dan Simposium di UGM serta menjadi dasar semangat Pemerintah dan
DPRD Propinsi Jawa Timur serta komitmen DPRD Jawa Timur dengan eks dosen-dosen
pengampu Pendidikan Pancasila dari Public Universities System of East Java (PULSE) dan
PTS se Jawa Timur harus merupakan kegiatan yang terpadu.
Jadi masalah krusial dalam revitalisasi, implementasi, dan aktualisasi atau usaha
pemberdayaan ideologi Pancasila adalah masalah pembudayaan melalui pendidikan yaitu
materi-materi apa dan proses sosialisasi dan pembudayaan yang bagaimana yang sebaiknya
diterapkan melalui proses pendidikan. Hal itu harus segera disusun dan diwujudkan karena
sudah demikian besarnya ATGH terhadap persatuan dan kesatuan bangsa akibat menipisnya
nilai-nilai Pancasila di dunia pendidikan dan masyarakat akibat kelemahan dalam kebijakan
dan proses globalisasi.
d. Masalah Perjuangan Menyelamatkan Ideologi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Sebagai kegiatan di bidang pendidikan yang harus diperjuangkan adalah bagaimana
pelaksanaan revitalisasi dan implementasi Pancasila memberi ruang partisipasi pada
masyarakat. Yaitu proses pendidikan yang melibatkan masyarakat dalam penyusunan,
mengisi, memahami dan pemberian makna sesuai dengan pemikiran terbaiknya agar proses
implementasi nilai-nilai Pancasila dapat mencapai hasil yang diidealkan yaitu kehidupan
kebersamaan sebagai landasan Jatidiri bangsa Indonesia (Naya Sujana, 2005).
Seperti telah disinggung di depan tantangan riel bagi ideologi Pancasila sebagai
ideologi besar dan terbuka, seperti sejak Pancasila mulai diimplementasikan tahun 1945,
adalah nilai-nilai negatif dari ideologi-ideologi besar yang lebih dahulu ada terutama
Komunisme, Islamisme, dan Liberalisme dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Pada era
Orde Baru bangsa Indonesia melaksanakan pembangunan nasional dengan mengintegrasikan
diri ke dalam sistem kapitalisme internasional dan di bawah “bimbingan” dari negara-negara
Barat di mana nilai-nilai liberalisme mendapatkan akses yang luas ke dalam kehidupan bangsa
Indonesia.
Komunisme pada waktu yang lalu mengancam melalui peristiwa Madiun dan G 30 S
PKI dan sekarang dengan situasi moral bangsa yang sedang lemah khususnya dengan kondisi
ketimpangan dalam kehidupan ekonomi akibat paham kapitalisme. Sekarang ada tanda-tanda
kebangkitan paham komunisme untuk menjawab kondisi ketimpangan yang terjadi. Islamisme
ATH
10
dulu melalui DI, TII, NII dan sekarang melalui gerakan Al Qaidah dan semacamnya yang
sangat anti Barat melalui aksi-aksi teror juga sedang menggoyang bangsa Indonesia.
Sedangkan paham Liberalisme yang dulu mendasari keberadaan RIS, gerakan-gerakan
separatis seperti RMS, GAM, GPM, dengan akses yang luas sekarang bak virus ganas sedang
berlangsung secara intensif proses liberalisasi lebih kontekstual dalam jiwa bangsa Indonesia
(Triharso, 2006).
Liberalisme adalah ideologi masyarakat Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat di
mana sejak era Orde Baru secara intensif membantu Indonesia dalam pembangunan dan
modernisasi. Pasca perang dingin Liberalisme menjadi ideologi pemenang atas ideologi
Komunisme dan memegang hegemoni dunia. Oleh karena itu apa yang menjadi dasar para
cerdik pandai dari kampus dalam menyusun konsep-konsep reformasi adalah kehidupan
masyarakat liberal dari mana mereka menuntut ilmu khususnya di Amerika Serikat dan
negara-negara Barat lainnya sebagai bagian dari hasil kerjasama pembangunan.
Dalam proses kerjasama pembangunan dengan kemajuan teknologi informasi pengaruh
demonstration effect gaya hidup dunia Barat yang sangat intensif terhadap masyarakat
Indonesia khususnya melalui pendidikan dan media massa. Dengan proses orientasi
kebudayaan Barat kepada setiap pelajar sebelum menuntut ilmu di luar negeri dan buku-buku
bacaan yang mereka bawa pulang walaupun berisi ilmu pengetahuan namun tentunya dikemas
dengan nilai budaya barat.
Proses sosialisasi dan pembudayaan Pancasila pada masa lalu baik pada era Orde Lama
maupun era Orde Baru tak lebih dari hanya proses indoktrinasi untuk membangun dan
mengukur kepatuhan masyarakat terhadap regime. Pada masa Bung Karno melalui Tujuh
Bahan Pokok Indoktrinasi atau TUBAPI dan USDEK dan pada era Jendral Suharto melalui
Ekaprasetia Pancakarsa. Oleh sebab itu bangsa Indonesia ke depan harus mengembangkan
konsep baru yang bertujuan menumbuhkan kembali dan memperkuat akar jiwa Pancasila di
masyarakat Indonesia yang tidak indoktrinatif.
Ibarat sebuah pohon, kepribadian bangsa Indonesia sudah miring hampir tercerabut
akarnya dari tanah akibat dilanda “badai” paham-paham asing yang sangat hebat. Pancasila
harus diberdayakan atau direvitalisasi dengan menyusun konsep-kosep sosialisasi,
operasionalisasi dan implementasi yang kontekstual, menguragi nilai mitosnya dan berusaha
digali lagi lebih dalam nilai etos dari akar budaya bangsa agar dapat menghadapi kekuatan
ATH
11
revolusioner ideologi-ideologi besar yang selalu merongrong untuk menjadi ideologi alternatif
terhadap Pancasila.
Gerakan revitalisasi untuk mempertahankan dan mengembangkan ideologi nasional
dalam kehidupan bangsa saat ini tentunya memerlukan strategi yang berbeda dari pada masa
lalu yang sarat dengan kepentingan politik praktis. Dengan didasari semangat TAP MPR-RI
No. XVIII/MPR/1998 dan beberapa TAP MPR-RI berikutnya yang intinya diamanatkan :
(1) Hak asasi manusia yang diterapkan di Indonesia tidak dibenarkan bertentangan dengan
Pancasila.
(2) Pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia berdasarkan pada
Pancasila.
(3) Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
(4) Tujuan nasional dalam pembangunan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa
berdasarkan Pancasila.
(5) GBHN disusun atas dasar landasan idial Pancasila.
(6) Salah satu misi bangsa Indonesia dalam menghadapi masa depan adalah: Pengamalan
Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(7) Pancasila sebagai landasan untuk mempersatukan bangsa.
(8) Menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka.
(9) Pancasila sebagai acuan dasar untuk berfikir, bersikap dan bertingkah laku dalam
kehidupan berbangsa. (Suprapto, 2005: 26)
Dalam rangka membudayakan Ideologi nasional bangsa Indonesia harus ditemukan
konsep dan metode sosialisasi, operasionalisasi dan implementasi yang sesuai dengan tingkat
kemajuan bangsa agar dapat mendukung secara maksimal proses melanjutkan pembangunan
nasional dan menjadi “modal” dan “model” dalam pergaulan antarbangsa. Apabila hal tersebut
dilaksanakan melalui dunia pendidikan tentunya sangat memerlukan dukungan dan kesadaran
semua pihak dan pada tempatnya usaha ini dipelopori oleh masyarakat perguruan tinggi (PT).
Sebagai center of exelent bangsa di bidang SDM dan IPTEK, masyarakat PT
khususnya dan dunia pendidikan umumnya seharusnya diberi tugas membangun pola
implementasi nilai-nilai Pancasila agar semua permasalahan bangsa di bidang moral dan
ideologi dapat terpecahkan. Karena melalui dunia pendidikan generasi muda dan IPTEK
bangsa dipersiapkan lebih sistematis untuk menghadapi tantangan atau AGHT bangsa yang
ATH
12
dilakukan oleh musuh-musuh bangsa yang tidak kalah sistematisnya. Hal tersebut merupakan
tantangan kolektif masyarakat pendidikan di Indonesia untuk menunjukkan produktifitas dan
daya kontemplatifnya terutama dalam mempertahan ideologi Pancasila. Apalagi pada masa
transisi yang lalu beberapa Universitas di Indonesia memperoleh rekomendasi dari pemerintah
untuk melakukan berbagai upaya agar ideologi Pancasila dikembangkan sesuai dengan
tuntutan jaman.
Suatu tantangan berat karena walaupun sudah lebih dari 5 tahun bangsa Indonesia
berusaha melakukan reformasi sebagai akibat dilanda krisis multi dimensi sejak 1997 namun
permasalahan belum bisa dipecahkan secara tuntas dan bahkan menjadi semakin sulit dan
rumit. Beberapa bidang sudah dapat dilakukan reformasi namun masih banyak bidang belum
terjamah dan bahkan serba kebablasan yang dapat membawa bangsa ini ke dalam krisis dan
keterpurukan semakin parah. Pancasila sudah saatnya tidak hanya menjadi sekedar formalitas
dan dimitoskan namun harus ditemukan cara implementasi yang lebih operasional yang
mendasari semangat dan etos kerja bangsa Indonesia sesuai dengan tuntutan jaman.
Dengan kompleksitas permasalahan diperlukan wadah untuk usaha menyelamatkan,
mengembalikan dan menyempurnakan fungsi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yaitu kelembagaan yang mempunyai tugas untuk melakukan pengkajian, penelitian
sekaligus mengembangkan suatu metode bagaimana Pancasila diimplementasikan atau
dihayati dan diamalkan baik di dunia pendidikan maupun di masyarakat di era reformasi
dengan menitik beratkan pada mengembangkan etos kerja Pancasila.
3. Krisis Kebudayan yang Mengancam Persatuan Dan Kesatuan
Krisis yang kita derita bukan hanya krisis politik dan ekonomi namun juga
kebudayaan. Salah satu akibat krisis adalah perkembangan lebih ganas “penyakit” yang telah
hidup di tubuh bangsa Indonesia yang berkembang biak pertama kali di birokrasi pemerintah
sebagai sentral pelaksanaan pembangunan dalam system pemerintahan otoriter Orde Baru.
Dalam menjalankan fungsinya ternyata tubuh birokrasi menjadi limbung tidak mampu
mengembangkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi (KIS) pada dirinya. Hal tersebut tidak lain
karena pembangunan juga merupakan proses distribusi (dana pembangunan) sekaligus
produksi industri modern sehingga terjadi perubahan nilai yang cenderung materialistis.
Gejala “penyakit” tersebut adalah KKN, arogansi sektoral, golonganisme, materialisme,
individualisme, dan bahkan hedonisme yang mengakibatkan hilangnya saling percaya dan rasa
ATH
13
empati atau tepa selira tidak hanya di antara birokrasi tetapi juga sudah menjalar di seluruh
lapisan masyarakat dan mempengaruhi motivasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
berbegara sehingga dapat menghambat dalam mengamankan ideologi Pancasila (Abdul Gani,
2000).
Penyakit birokrasi tersebut timbul tak lepas dari proses pembangunan pada era Orde
Baru di mana birokrasi menjadi mesin pelaksanaan pembangunan dalam posisi peranan
pemerintah sangat kuat. Lembaga negara, departemen pemeritah dan agen-agen pembangunan
lainnya termasuk perguruan tinggi khususnya PTN menjadi sangat berorientasi pada proyek
pembangunan dengan ketergantungan hampir di semua bidang pada anggaran pemerintah di
mana salah satu komponen utamanya adalah bantuan dan hutang luar negeri. Akibatnya
berkembang eksklusivisme dan saling tidak percaya antarindividu (ndividualisme), antar
departemen (antarsektor), antarkelompok, antargolongan sebagai salah satu penyebab utama
dari krisis. Padahal menurut Institute of Future Studies for Development di Bangkok saling
percaya adalah kunci untuk menyelesaikan krisis (Asia Week, December 1998). Sedangkan
empati adalah jaringan rasa sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya
kerukunan dan dialog sosial di setiap masyarakat. Dengan saling percaya dan empati orang
akan dapat saling tolong menolong dan bekerja sama. Jadi krisis yang terjadi pada bangsa
Indonesia juga dapat disebut krisis kepercayaan dan empati.
Salah satu cara untuk keluar dari krisis kepercayan dan menemukan rasa empati di
antara masyarakat Indonesia adalah membangun keterbukaan (openess) satu sama lain dengan
mengadakan forum-forum dialog atau kosultasi dengan pendekatan pembangunan masyarakat
berbasis kelompok (community development - comdev.). Karena dengan keterbukaan atau
saling terbuka melalui dialog yang akrab akan terjadi proses saling memberi input berupa
segala sesuatu yang perlu dipikirkan tentang nilai-nilai Pancasila dengan menyerap dan
menyarikan segala pemikiran atau gagasan (yang relevan) beserta nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya di antara anak bangsa satu sama lain yang mempunyai perhatian pada kondisi
moral dan ideologi bangsa. Dari sana diharapkan dapat memberi kontribusi model pada
pembangunan masyarakat Pancasila yang sedang terpuruk ini dengan metoda dialektik,
eklektik, dan sinkretik untuk menemukan konsep-konsep yang fungsional.
Forum dialog atau kosultasi yang diselenggarakan harus dalam pola kebersamaan dan
keterbukaan masyarakat madani. Suatu forum dialog yang diselenggarakan secara terstruktur
ATH
14
sebagai wahana komunikasi dan sinergi untuk menumbuhkan saling kenal, saling membuka
diri warga masyarakat yang pada gilirannya menjadi saling percaya dan empati sebagai salah
satu strategi menjadikan masyarakat lebih produktif dan mandiri berjiwa Pancasila. Kegiatan
tersebut kiranya dapat diawali dari masyarakat pendidikan tinggi khususnya mahasiswa
sebagai salah satu stakeholder utama bangsa dan negara untuk memelopori pengembangan
konsep kebersamaan dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Seperti telah dijelaskan bahwa tantangan riel bagi Pancasila adalah justru dari
Liberalisme sedangkan ideologi besar lainnya sebagai pecundang memanfaatkan ruang kosong
yang ada sehingga sangat kondusif terhadap perpecahan bangsa. Karena apa yang menjadi
dasar para cerdik pandai dari kampus dan masyarakat terdidik lainnya dalam menyusun
konsep-konsep reformasi sekarang adalah kehidupan masyarakat liberal dari mana mereka
menuntut ilmu khususnya dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Suatu gaya
hidup yang sangat kuat pengaruhnya bagi masyarakat Indonesia melalui pendidikan dan media
massa yang sangat intensif menjadi salah satu penyebab bangsa Indonesia nyaris kehilangan
jati dirinya (Sujana, Askandar, 2003) Untuk itu dengan dipelopori oleh masyarakat PT, bangsa
Indonesia ke depan harus mengembangkan konsep yang bertujuan menumbuhkan kembali dan
memperkuat akar jiwa Pancasila di masyarakat Indonesia. Pancasila harus direvitalisasi untuk
menemukan pola kesatuan dan persatuan yang lebih langgeng.
Apa yang dialami oleh Bangsa Indonesia sekarang yaitu krisis kepercayaan dan rasa
empati atau tepa selira dapat dikategorikan ke dalam krisis moral yang didasari kesalahan di
dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Krisis menjadikan bangsa Indonesia
kelihatan bodoh, tidak percaya diri dan mudah diperdaya oleh bangsa lain. Krisis moral
menyebabkan konflik-konflik sosial, sehingga bangsa Indonesia mengalami perpecahan
(disintegrasi), berperilaku ganas dan biadab. Krisis moral juga menyebabkan perilaku korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) dan dengan perilaku demikian kekayaan alam yang indah dan
melimpah ruah baik di darat maupun di laut bangsa Indonesia tidak mampu memanfaatkan
secara maksimal. Semuanya belangsung karena bangsa Indonesia sudah tidak memiliki etika
yang benar.
ATH
15
4. Implementasi Pancasila Dengan Membangun Jiwa Gotong-Royong Sebagai Social
Capital
Huntington mengatakan bahwa pada era pasca perang dingin identitas-identitas
budaya dan kebudayaan mampu membentuk pola kohesif atau perekat yang mengakomodasi
adanya pluralitas masyarakat atau juga sebaliknya menyebabkan disintegrasi. Oleh sebab itu
apabila tidak ada kesadaran untuk mengembangkan budaya politik yang kohesif negara
nasional yang plural di bidang etnis dan budaya akan menghadapi kekuatan distruktif
(Huntington, 2000: 5).
Menurut Putnam nilai perekat yang fungsional dalam masyarakat ditunjukkan pada
adanya pola-pola interaksi yang membantu masyarakat dan negara dapat memahami satu sama
lain. Yaitu kondisi masyarakat sebagai social capital yang seharusnya terbangun bersamaan
dengan pembangunan fisical capital dan human capital. Putnam mendefinisakan social capital
sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan nilai, norma-norma dan kepercayaan sosial
yang mendorong pada sebuah kerjasama sosial yang saling menguntungkan untuk kepentingan
bersama yaitu kemampuan untuk membentuk sistem pemerintahan yang bersih, efektif,
efisien, responsif, akomodatif terhadap aspirasi rakyat sebagai prasyarat terbentuknya civil
society. Suatu sistem politik yang mengalami perkembangan negatif atau defisit social
capitalnya rentan terhadap krisis (Putnam, 1995). Artinya sistem politik yang surplus Social
capital akan terintegrasi secara kokoh. Menurut Fukuyama, Social capital dapat ditumbuhkan
(cultivated) dan social capital mempunyai fungsi positif terhadap kehidupan ekonomi dan
politik suatu negara (Fukuyama: 1999, 1).
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas bangsa Indonesia saat ini untuk yang ketiga kalinya
mengalami pasang surut atau surplus - defisit social kapital. Surplus Social capital pertama
bangsa Indonesia adalah kemauan bersama untuk merdeka yang telah menghasilkan
kemerdekaan atau mendeligitimasi pemerintah kolonial bersamaan dengan lahirnya ideologi
Pancasila sebagai konsep perekat kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia merdeka.
Namun setelah kemerdekaan tercapai, implementasi ideologi Pancasila sebagai konsep perekat
dalam mengisi kemerdekaan ternyata tidak begitu saja dapat diimplementasikan dalam
pembangunan masyarakat Pancasila yang dicita-citakan proklamasi. Bangsa Indonesia
kemudian disibukkan oleh konflik-konflik politik baik dalam dimensi domentik yang diwarnai
nilai-nilai budaya tradisional dan sektarian sisa-sisa struktur masyarakat kolonial maupun
ATH
16
dimensi struktural konflik internasional khususnya pengaruh perang dingin. Ancaman
sparatisme, sektarianisme dan persaingan ideologi perang dingin mencapai puncaknya pada
ancaman dari ideologi komunisme terhadap ideologi Pancasila menyusul terjadinya G30S PKI
sebagai titik terendah kadar social capital bangsa Indonesia.
Kedua ancaman dari ideologi komunisme menghasilkan social capital bangsa
Indonesia untuk bersatu padu menyelamatkan ideologi Pancasila dari bahaya ideologi
komunisme. Dengan mengesampingkan perbedaan masyarakat dan negara sepakat untuk
melaksanakan pembangunan dengan semangat mempertahankan sekaligus melaksanakan
ideologi Pancasila secara murni dan konsekuen dengan dukungan dan bantuan dari negara-
negara kapitalis leberal dan ternyata menyebabkan kondisi krisis seperti sekarang ini. Bangsa
Indonesia dapat diibaratkan lepas dari mulut binatang berbisa komunisme sekarang dalam
tubuh bangsa Indonesia penuh dengan bisa liberalisme.
Pada era antara dua social capital pertama tersebut secara alami menempatkan posisi
dominan negara terhadap masyarakat akibat masih lemahnya fisical capital dan human capital
bangsa Indonesia. Pada era ini masyarakat seolah memberi “cek kosong” kepada elite-elite
kedua rezime pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang (semesta) untuk
menjadi bangsa dan negara modern. Dominasi negara dengan paradigma lama yaitu
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan bersifat sentralistis, birokratis, top down
approach development, dengan mobilisasi masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan
yang otoriter di bawah baik rejim Orde Lama maupun rejim Orde Baru. Dengan paradigma
demikian walaupun kemudian pembangunan telah menghasilkan fisical capital dan human
capital lebih maju dan modern ternyata tidak demikian dengan perkembangan social capital.
Bangsa Indonesia justru mengalami kemerosotan bahkan nyaris kehilangan social capital
dengan indikator perilaku masyarakat yang membahayakan kehidupan nasional dengan
kondisi kesatuan dan persatuan yang rapuh karena dipaksakan dari atas. Oleh sebab itu salah
satu tugas pemerintah ke depan adalah membangun masyarakat Pancasila dalam konsep civil
society dan masyarakat madani berkelanjutan dengan menumbuhkan kesatuan dan persatuan
yang kokoh yang tumbuh dari kesadaran daerah dan masyarakat sendiri sesuai dengan tuntutan
jaman yaitu ketahanan nasional dalam menghadapi era globalisasi.
Pembangunan bangsa ke depan menuntut social capital dengan mengembangkan nilai-
nilai ideologi Pancasila agar kekuatan nasional bangsa Indonesia siap menghadapi globalisasi
ATH
17
dengan mempelajari dan mengembangkan lebih dalam lagi nilai-nilai ideologi negara
Pancasila dengan paradigma baru yang demokratik. Karena dari sudut pandangan studi
ideologi, sistem nilai suatu masyarakat dianggap sebagai ciri yang paling penting. Dalam
beberapa hal sistem niali adalah ideologi dan untuk dapat memahami ideologi, khususnya
sistem nilainya, kita harus memahami dasar teoritis dan filosofinya. Dengan begitu, banyak
analisis ideologi perlu di diberikan dalam suatu uraian bentuk pertanyaan yang biasanya
dianggap sebagai falsafah politik. Karena secara bebas, tujuan-tujuan filosofis politik adalah
pemahaman nilai-nilai politik dan norma-norma politik. Ideologi politik merupakan suatu
sistem nilai atau kepercayaan yang diterima sebagai sesuatu yang benar (Sargent, 1986: 14).
Pemerintah reformasi harus membangun social capital baru dengan masih merujuk
pada nilai-nilai ideologi Pancasila sebagai titik tolak bagi rejim baru untuk melaksanakan
pembangunan. Karena akibat krisis multi dimensi yang dialami bangsa Indonesia ideologi
Pancasila ikut terdeligitimasi bersamaan dengan rejim Orde Baru. Walaupun dalam
pemerintahan reformasi telah mengalami perubahan paradigma khususnya dalam
pembangunan fisical capital dan human capital antara lain dengan menerapkan otonomi
daerah dalam sistem pemerintahan dan pendekatan pembangunan partisipatif, namun belum
ada usaha untuk menggali nilai-nilai ideologi Pancasila sebagai nilai-nilai perekat baru untuk
kehidupan bangsa Indonesia ke depan.
Ideologi Pancasila di era reformasi sekarang masih menjadi slogan kosong yang selalu
disebutkan dalam setiap peristiwa politik namun perilaku apa yang sebenarnya terjadi ternyata
mempunyai dasar nilai-nilai dari kebudayaan asing baik dari barat maupun wilayah dunia
lainya. Dengan pengertian social capital seperti telah diuraikan maka sangat bersesuaian
(appropriate) dengan konsep gotong-royong sebagai konsep Ekasila dari Pancasila. Arti
autentik gotong-royong dalam hal ini terkandung di dalam isi pidato Ir. Sukarno pada sidang
BPUPKI 1Juni 1945 yang antara lain menyebutkan:
“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka
dapatlah saya, satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong
Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!
Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong!
Gotong-royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”
Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah suatu faham yang statis, tetapi gotong-
royong menggambarkan suatu usaha, suatu amal, suatu pekerjaan, yang dinamakan
anggota yang terhormat Soekarno satu karyo, satu gawe. Marilah kita
menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong
ATH
18
adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan
Bantu-binantu bersama. Amal semua buat semua. Holobis-kontul baris buat
kepentingan bersama! Itulah Gotong –royong!
Prinsip Gotong-royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara
yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan
untuk menjadi bangsa Indonesia. Inilah Saudara-saudara yang saya usulkan kepada
Saudara-saudara. Pancasila menjadi Trisila. Trisila menjadi Ekasila.” (Depen-RI,
1945: 26; LPPKB, 2005: 54-55)
Dengan kata lain ideologi Pancasila sebagai nilai-nilai dasar harus direvitalisasi dan
terus dipertahankan serta dikembangkan adalah sistem nilai yang menjadi dasar prilaku
kebersamaan dalam konsep gotong-royong. Oleh sebab itu untuk mewujudkan sistem
pemerintahan yang baik (good government) dan salah satu tugas sistem pemerintahan adalah
mampu mewujudkan masyarakat gotong-royong. Yaitu sistem pemerintahan yang mampu
mengendalikan dinamika kelompok yang mengandung potensi konflik baik terbuka maupun
tertutup dengan merevitalisasi nilai-nilai Pancasila untuk menjadi dasar Social capital baru
dengan nilai-nilai kerukunan dan saling percaya untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan
bangsa yang sejati (Aminah, 2002).
Karena selama ini, baik dari jaman perjuangan kemerdekaan hingga sekarang
pemikiran atau teori-teori dari PT sangat besar pengaruhnya dalam proses pembangunan
bangsa termasuk dalam penggalian Pancasila sebagai falsafah, dasar dan ideologi berbangsa
dan bernegara sedangkan tuntutan reformasipun juga datang dari mahasiswa dan perguruan
tinggi, maka dari PTlah pada tempatnya dimulai usaha revitalisasi nilai-nilai Pancasila
sekaligus membangun atau merekonstruksi perilaku yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila
yang berwujud perilaku gotong-royong sesuai dengan cita-cita reformasi untuk menjadi model
dalam implementasi di masyarakat luas untuk memberikan perspektif baru dalam menuju
negara kebangsaan modern yang berkelanjutan. (Yudhoyono, 2004: 5).
Salah satu aspek yang kiranya menunjukkan perkembangan secara konsisten pada era
reformasi ini adalah tetap diterimanya Pancasila sebagai ideologi bersama oleh semua pihak
dengan realitas yang diuraian pada awal tulisan ini. Kalau toh masih ada yang belum
menerima kiranya hanya akibat trauma masa Orde Baru yang menjadikan masyarakat
“underestimate” terhadap Pancasila, sehingga banyak yang kembali ke perjuangan lama baik
yang sektartian maupun nostalgia ideologi alternatif bagi Pancasila lainnya. Namun Pancasila
sebagai dasar negara kiranya sudah teruji eksistensinya dan tidak lekang terhadap ruang dan
ATH
19
waktu. Bahkan sekarang dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai sistem pemikiran teoritik
yang dibangun oleh para founding fathers mempunyai kekuatan teleologis yang kuat sudah
siap dioperasionalkan sebagai ideologi modern (Kompas, 2 Juni 2006).
Oleh sebab itu dengan diawali dari masyarakat PT, bangsa Indonesia ke depan harus
mengembangkan konsep yang bertujuan menumbuhkan kembali dan memperkuat akar jiwa
Pancasila di masyarakat Indonesia agar visi, misi dan tujuan berbangsa dan bernegara ke
depan dapat dirumuskan lebih operasional dengan terbangunnya konsep masyarakat gotong-
royong untuk dapat menghadapi tantangan globalisasi.
Untuk itu agar terhindar dari kesalahan berfikir atau fallacy (Yudhoyono, 2004: 11)
diperlukan kegiatan penkajian dengan metode dan pendekatan yang sesuai sebagai proses
penggalian lebih dalam terhadap nilai-nilai yang lebih aplikatif dari ideologi Pancasila yang
berakar pada budaya bangsa yaitu gotong-royong untuk menjadi nilai perekat social capital
agar reformasi mampu membangun civil society dengan pendekatan perencanaan partisipatif
dalam masyarakat di bawah pendampingan masyarakat PT (perform, 2004).
Masalahnya adalah dengan hasil dan pengalaman pembangunan serta ilmu
pengetahuan modern yang diperoleh pada masa lalu bagaimana dapat mewujudkan kehidupan
masyarakat Pancasila dengan nilai-nilai kegotong-royongan yang lebih sesuai dengan tuntutan
jaman. Yaitu bangsa Indonesia yang efektif, efisien dan kompetitif yaitu membangun civil
society dan good government yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. Jawabanya adalah
membangun social capital berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang telah dikembangkan. Hal
tersebut searah dengan pemikiran Presiden RI 2004-2009 yang menyebutkan:
“Indonesia masa depan haruslah Indonesia yang tetap memiliki dasar negara Pancasila.
Jadi negara Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negar komunis, negara agama
atau negara apapun. Negara Pancasila yang dimaksudkan itu (baca: Indonesia kedepan)
mampu mewujudkan keinginannya untuk menjadi negara yang stabil, adil, demokratis
dan sejahtera. Negara yang memiliki dan mampu memenuhi kriteria universal, yaitu:
berkembangnya masyarakat yang baik (good society), berkembangnya perekonomian
yang baik (good economy), hadirnya proses-proses politik yang baik (good political
process) dan terpeliharanya lingkungan yang baik (good environment). … dan
Indonesia harus menjadi negara sukses.” (Yudhoyono, 2004: 21)
5. Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Ideologi adalah suatu pernyataan dari nilai-nilai dasar dalam bidang politik, ekonomi
dan sosial, sebagai suatu kerangka cita-cita yang dipakai sebagai dasar bagi suatu sistem sosial
ATH
20
atau "way of liefe" yang dicita-citakan. Suatu ideologi dihubungkan dengan semacam sistem
politik, sistem ekonomi dan sistem sosial serta tujuan-tujuan masyarakat. Sebagai suatu dasar
sistem kepercayaan, suatu ideologi tidak hanya berhubungan dengan satu nilai-nilai pokok
kehidupan masyarakat, tetapi ideologi itu sendiri mempunyai nilai lebih tinggi untuk
dipertahankan dan dalam banyak hal berdiri di atas nilai-nilai pokok di atas.
Suatu keistimewaan dari ideologi, keyakinan yang ada dalam ideologi biasanya
berhubungan erat dengan kepercayaan, agama atau "nationalistic sentiment", dimana
masing-masing dapat saling melengkapi (Plano, Olton, 1968: 105). Dalam proses hubungan
antar bangsa, seperti telah disinggung di muka, bahwa Ideologi merupakan salah satu elemen
kekuatan nasional penting bagi setiap negara dalam perjuangan kekuasaan (struggle for
power) (Morgenthau). Karena ideologi suatu negara dapat menjadi gainer ataupun loser dalam
persaingan dunia yang sifatnya cenderung anarchi. Dengan latar belakanng yang berbeda baik
secara cultural, historical maupun natural hal tersebut tergantung pada kreatifitas dan
kecerdasan dari setiap bangsa. setiap negara dalam membentuk atauy membangun ideologi
masing-masing.
Sejak kemerdekaan bangsa Indonesia telah mempunyai ideologi yaitu Pancasila yang
dirumuskan oleh para founding fathers bangsa dalam suatu naskah yang kemudian menjadi
Preambule UUD 1945. Pacasila, adalah perpaduan yang serasi antara nilai tradisi dengan nilai-
nilai modern dan menjadi ideologi resmi sebagai "basic philosophy" atau “philosophische
grondslag” dari seluruh bangsa Indonesia yang sebetulnya telah pula dirumuskan sebagai
nilai-nilai Gotong-royong (Depen RI, 1945: 13).
Sebagai perbandingan, kita melihat contoh keberhasilan usaha modernisasi bangsa
Jepang, yang sejak awal memang sudah menjadi motivator perjuangan para pemimpin bangsa
Indonesia dalam mencapai kemerdekaan, yaitu sebagai satu-satunya bangsa Asia yang tidak
pernah dijajah oleh bangsa-bangsa Barat dan justru berhasil menghadapi arus modernisasi
dengan nilai-nilai kepribadian atau ideologi mereka sendiri yang berbasis pada Shintoisme
yang dirumuskan ke dalam ideologi Kokutai No Hongi yang berintikan mitos (mitologi) kaisar
dan bangsa Jepang sebagai keturunan dewa. Ideologi tersebut dijadikan alat untuk menyokong
kebijaksanaan pemerintah dalam mencapai tujuan internasionalnya yang ekspansionis dan
imperialis (Maxon, 1957: 6).
ATH
21
Namun dengan proses demokratisasi dari pihak sekutu (Amerika Serikat) ideologi
yang sama walaupun tidak secara eksplisit tertuang dalam konstitusi dengan proses
partisipatoris cultural, nilai-nilai ideologi bangsa Jepang dapat direvitalisasi dan
diimplentasikan menjadi dasar semangat perjuangan bangsa Jepang dalam memasuki
persaingan internasional pasca Perang Dunia II (Brace, 1964: 320). Salah satu contohnya
antara lain adalah mengubah konsep Zaibatsu menjadi konsep Keiretsu di bidang kehidupan
ekonomi dalam kerangka besar konsep Japan Incorporated dalam menghadapi persaingan
Internasional Pasca Perang dunia II (Safitri, 2007)
Dalam memahami ideologi Pancasila kiranya bangsa Indonesia dapat merujuk kembali
pengalaman bangsa Jepang. Namun berbeda dan bertolak belakang dengan bangsa Jepang
yang sudah homogen sejak awal di mana ideologi mereka sudah terbangun dalam masyaraat
bersamaan dengan pertumbuhan bangsa Jepang, maka keberadaan Bangsa Indonesia dengan
ideologi Pancasila yang baru merdeka pada tahun 1945 setelah melalui pejuangan yang tak
kenal lelah dari para pahlawannya tentunya memerlukan usaha khusus. Yaitu membagun suatu
bangsa dengan kondisi masyarakat majemuk dan multi cultural dan masih dalam tatanan
masyarakat kolonial. Bangsa Indonesia harus berjuang lagi untuk mewujudkan emagined
community (masyarakat/bangsa yang dibayangkan/dicita-citakan) menjadi realized community
berdasarkan cita-cita dan perjanjian luhur yang terkandung dalam Pembukaan dan Batang
Tubuh UUD 1945 yaitu masyarakat dengan ideologi Pancasila yaitu masyarakat Gotong-
royong.
Sampai dengan era reformasi saat ini di mana bangsa kita mencapai situasi krisis pada
stadium kritis yaitu tingkat krisis motivasi yang menciptakan situasi revolusioner dan
mengancam eksistensi ideologi Pancasila. Sekarang justru perilaku liberal sekaligus radikal
baik dari ekstim kanan (agama) maupun ekstim kiri (komunis) yang sangat nyata merasuki
jiwa masyarakat Indonesia dan justru banyak kaum terpelajar masuk dalam arus negatif yang
sedikit banyak mendapat dukungan dari luar negeri tersebut. Oleh sebab itu ideologi Pancasila
harus segera diselamatkan sekaligus direvitalisasi dan diimplementasikan sebagai proses
pemberdayaan.
6. Pemberdayaan Ideologi Pancasila Sebagai Proses Pendidikan
Dengan pendekatan analisis budaya dalam memahami pembentukan ideologi setiap
negara harus melalui suatu proses pembentukan ide-ide dan nilai-nilai. Di negara-negara bekas
ATH
22
jajahan seperti halnya Indonesia tentunya mempunyai warisan jaman kolonial proses tersebut
dapat dipercepat dengan menekan elemen-elemen pikiran-pikiran rasional ilmiah dari barat
(western) dengan memupuk kedewasaan ontologi. Ideologi rasional ilmiah dengan bias barat
baik dari jaman penjajahan maupun era perang dingin harus dihadapi dengan subkultur
setempat, tradisi kebudayaan basar masyarakat jajahan sebagai unsur pemersatu yang paling
efektif dalam kebudayaan yang mempunyai kemampuan untuk menyatukan semua pihak
yang dapat menyesuaikan diri dengan bahasa, dokomen dan sejarah suatu bangsa. Hal
tersebut sangat terkait dengan keberadaan kaum intelektual yang mempunyai peranan penting
di dalam transformasi lembaga-lembaga dan ideologi politik formal dari Barat dengan
kecerdasan politik mereka untuk dapat diterapkan sesuai dengan kepentingan obyektif untuk
negara mereka (Binder: 1981 131-134).
Ideologi Pancasila, yang dalam hal ini secara operasional telah dipilih konsep Gotong-
royong, lahir dari proses demikian dan ternyata sekarang menghadapi pergeseran nilai dan
kehilangan élan vitalnya untuk kehidupan bangsa Indonesia. Dengan adanya pegeseran nilai-
nilai akibat interaksi lebih lanjut dengan dunia Barat dan untuk menemukan kembali nilai-nilai
mutakhir dari ideologi Pancasila maka kaum intelektual dan dunia PT kembali dihadapkan
pada tanggung jawabnya untuk merevitalisasi ideologi Pancasila agar mampu menjadi perekat
pluralitas masyarakat yang bertambah kompleks akibat pembangunan sekarang ini.
Dari sudut pandang studi ideologi, sistem nilai suatu masyarakat dianggap sebagai
unsur yang paling penting. Dalam beberapa hal, sistem niali adalah ideologi. Untuk dapat
memahami ideologi suatu negara, khususnya sistem nilainya, kita harus memahami dasar
teoritis dan filosofisnya. Dengan begitu, banyak analisis ideologi perlu di diberikan dalam
suatu uraian bentuk pertanyaan yang biasanya dianggap sebagai falsafah politik.
Karena secara bebas, tujuan-tujuan filosofis politik adalah pemahaman nilai-nilai
politik dan norma-norma politik. Ideologi politik merupakan suatu sistem nilai atau
kepercayaan yang diterima sebagai sesuatu yang benar. Di samping itu, akan berusaha dikaji
ide tertentu tentang sikap-sikap terhadap berbagai lembaga dan proses masyarakat yang
terdapat dalam ideologi. Kita dapat menyimak rangkaian masalah apa yang penting bagi setiap
ideologi, dan selanjutnya kita dapat menentukan dasar tertentu untuk saling
membandingkannya.
ATH
23
Sebelum ini dapat dilakukan, dengan memakai parameter Lyman Tower Sargent kita
perlu memahami tentang setiap lembaga yang terkait dengan proses ini yaitu Sistem
stratifikasi sosial, Sistem ekonomi, Sistem politik, Sistem sosialisasi (Sargent, 1986: 14-17).
Jadi terkait dengan proses pendidikan adalah bagaimana sistem sosialisasi ideologi Pancasila
dilaksanakan.
Sistem sosialisasi merupakan bagian proses yang memungkinkan individu
mendapatkan nilai-nilai dari masyarakat sebagai milik mereka sendiri. Sering dianggap bahwa
lembaga-lembaga terpenting yang mempengaruhi cara-cara dan tingkat dengan mana para
individu mendapatkan nilai-nilai ini adalah 1. sistem keluarga, 2. sistem pendidikan, 3. sistem
agama, dan 4. berbagai pengaruh lain seperti media masa, kelompok-kelompok sebaya, dan
sebagainya.
Kita tidak selalu yakin tentang mekanisme dengan mana berbagai lembaga sosialisasi
beroperasi. Harus pula diakui bahwa pandangan seorang anak tentang dunia secara
keseluruhan sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan paling tidak oleh tahun-tahun
awal sekolahnya. Barangkali kurang jelas bagaimana lembaga-lembaga sosialisasi lainnya
mempengaruhi pandangan seorang individu tentang kehidupan. Barangkali kita bisa
menganggap bahwa pesan yang sama yang diulang-ulang dalam lembaga-lembaga yang
mengajarkan individu untuk menghormati, seperti sistem-sistem agama dan pendidikan, bisa
melahirkan akibat yang kumulatif dan akhirnya menjadi bagian dari sistem nilai individu.
Barangkali media massa bekerja dengan cara yang sama (Sargent, 1986: 14-15).
Jadi sesuai dengan uraian di muka sistim sosialisasi yang pertama kali harus
dikembangkan dan dianggap sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia adalah pada system
pendidikan umum (public school). Yaitu sosialisasi implementasi ideologi Pancasila melalui
sistem pendidikan umum yang target utamanya adalah generasi muda baik murid (sekolah
menengah) maupun mahasiswa (PT) dan metode implementasinya terstruktur dalam
kurikulum dan kegiatan belajar mengajar. Dari sana dapat diharapkan proses sosialisasi ke
masyarakat yang lebih luas akan menjadi efektif. Proses sosialisasi ideologi Pancasila dalam
masyarakat dikembangkan melalui semua jalur baik formal, non formal maupun informal
secara terintegrasi sebagai kegiatan masyarakat di dalam merumuskan dan mengejawantahkan
di dalam perilaku sebagai bagian dari jati diri bangsa Indonesia yang difasilitasi oleh
pemerintah.
ATH
24
7. Penutup
Semua sepakat bahwa Pancasila paling tidak sebagai ideologi berbangsa dan bernegara
Indonesia harus diimplementasikan, dioperasionalkan dan disosialisasikan dan salah satu
konsep yang sangat jelas dirumuskan oleh penggali utamanya yaitu Ir. Sukarno adalah konsep
Gotong–royong. Dengan terbangunnya masyarakat gotong-royong dapat diharapkan menjadi
modal sosial (social capital) bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan.
Sedangkan format pendidikan yang bagaimana yang sebaiknya diterapkan baik dunia
pendidikan maupun di masyarakat agar perilaku gotong royong dapat mendarah daging di
masyarakat. Format yang ditawarkan adalah pendidikan yang dapat menumbuhkan saling
percaya dan empati sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya kerukunan
dan dialog sosial di setiap masyarakat. Dengan saling percaya dan empati orang akan dapat
saling tolong menolong dan bekerja sama.
Untuk meumbuhkan saling percaya dan menemukan rasa empati di antara masyarakat
Indonesia adalah membangun keterbukaan (openess) satu sama lain dengan mengadakan
forum forum dialog atau kosultasi dengan pendekatan pembangunan masyarakat berbasis
kelompok (community development - comdev.). Forum dialog atau kosultasi dalam pola
kebersamaan dan keterbukaan yang diselenggarakan secara terstruktur dan dapat diawali dari
masyarakat pendidikan sebagai salah satu stakeholder utama bangsa dan negara untuk
mempelopori mengembangkan konsep kebersamaan dalam menghayati dan mengamalkan
nilai-nilai Pancasila.
ATH
25
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Ruslan, “Tantangan dan Ujian terhadap Pancasila”, Surabaya Post, 7 Juni 2000.
Akhmadi, Heri, “Revitalisasi dan implementasi Pancasila dalam proses demokratisasi”,
Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006,
DPRD Propinsi Jawa Timur.
Alfian, 1984, “Ideologi Idealisme dan Integrasi Nasional”. Yahya Muhaimin, Mac Andrews,
Colin, Masalah-masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Aminah, Siti, Social Capital dan Pemberadaban Negara, dalam Masyarakat Kebudayaan dan
Politik, FISIP-UNAIR,Tahun XV, Nomor , Oktober 2002.
Bahar, Safroedin, at al., Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei – 22 Agustus 1945,
Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995.
Binder, Leonard at al. 1971 : Princeton University Press, Princeton, London. Crises and
Sequences in Political Development. Committee on Comparative Politics on the Social
Science Research Council.
Binder, Leonard, 1974. “Ideologi dan Pembangunan Politik”. Weiner, Myron, Ed.,
Modernisa Modernisasi, Dinamika dan Pertumbuhan, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Brown, Seymon, 1996, International Relations in a Changing Global System, Oxford-UK :
Westview Press.
Departemen Penerangan RI, Naskah Lahirnya Pancasila, 1945.
Fukuyama, Francis, Social Capital and Civil Society, The Institute of Public Policy, George
Mason University. http://www.imf.org/ external/pubs/ ft/seminar/ 1999/reform/
fukuyama.htm
Fukuyama, Francis, Second Thoughts,The National Interest, Summer 1999.
Huntington, Samuel P., 2000, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia,
terjemahan, Qalam, Yogyakarta.
Kaelan, 2005. Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2004.
LPPKB, Pedoman Umum Implementasi Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara, Jakarta : PT.
Cipta Prima Budaya.
Mahardika, Timur. 2001. Pendidikan Politik: Pemberdayaan Desa – Sebuah Panduan,
Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.
Maxon, Yale Candee. 1957. Control of Japanese Foreign Policy, A Study of Civil – Military
Rivalry, University of Calofornia Press, Berkeley and Los Angeles.
Menkopolhukam-RI, Saresehan Nasional Pancasila: Memelihara dan Menjaga Kemajemukan
Dalam NKRI, 2005.
Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Alfred A.
Knopf, New York, 1978.
Naya Sujana, I Nyoman, Askandar, Lasmono, (Ed.), 2004. Pembangunan Jatidiri Bangsa
Indonesia, Surabaya : DHD 45 JATIM.
Naya Sujana, I Nyoman. 2004. Pengetahuan Dasar Bagi Mahasiswa Baru Memasuki
Perguruan Tinggi, Surabaya : UPT Mata Kuliah Umum Universitas Airlangga.
Naya Sujana, I Nyoman. 2004. Patologi Nasionalisme, Surabaya : UPT Mata Kuliah Umum
Universitas Airlangga.
ATH
26
Naya Sujana, I Nyoman, Pancasila dan Pelembagaan Jatidiri Bangsa Melalui Pendidikan
Tinggi, Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September
2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.
Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pancasila Sebagai Ideologi Nasional, Makalah pada
Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi
Jawa Timur.
Perform, “Program Dasar Pembangunan Partisipatif (PDPP)”, USAID, Research Triangle
Institute, 2004.
Putnam, Robert D., 1995, “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital”, dalam
Journal of Democracy, Vol. 6, No. 1, January.
Putnam, Robert D., “Building Social Capital and Growing Civil Society, Paper on Winter
Monday Night Lecture Series, 2001.
RHP, Mason; JG, Caiger. 1977. A History of Japan, Charles E. Tuttle Company, Tokyo.
Richard M. Brace, 1964. The Dynamics of Nationalism, D. Van Nostrand Company, Inc., New
York.
Rofiqi, A. Zaini (Ed.). 2005. Amerika dan Dunia, Jakarta : Yayasan Obor.
Siahaan, Hotman, Gerakan Sosial Politik Rakyat, Ontran-ontran Demokrasi, Pidato
Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga, 2005.
Sindhunata, “Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas, 10 Mei 1999. Steger, Manfred B. 2005. Globalisasi: Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta : Lafadl. Sudarmadi, WS., Deputi VI Menkopolhukam, Revitalisasi dan Implementasi Pancasila dalam
rangka Meningkatkan Tannas di bidang ideologi, Makalah pada Semiloka Revitalisasi
dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.
Sulistomo, Bambang, Pancasila, penegakkan hukum dan kedaulatan rakyat, Makalah dalam
Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi
Jawa Timur.
Suprijadi, Bambang. Pendidikan Pancasila Untuk Mahasiswa, LP3JATIM – Universitas
Wijaya Kusuma, 2004.
The British Council, 2000, Mewujudkan Partisipasi: 21 Teknik Partisipasi Masyarakat Untuk
Abad 21. Participation Works!, New Economics Foundation, Jakarta.
Triharso, Ajar, “Etika Politik dan Indonesia Baru, dalam Bangsa yang Berdarah: Jawa Timur
dan Potensi Konflik 2004, LP3Jatim, Surabaya, 2004.
Triharso, Ajar, 2006, Menyelamatkan Pancasila Dari “Virus Ganas” Neo Liberalisme, Jurnal
Karakter Bangsa, TPB Universitas Airlangga, Vol. 2, 2006.
UGM, KAGAMA, LIPI, LEMHANAS, Simposium dan Saresehan, Peringatan Hari Lahirnya
Pancasila, Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa,
14-15 Agustus 2006.
Winarno, Budi. Globalisasi dan Krisis Pembangunan: Bagaimana Dengan Indonesia, Pidato
Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada, 2005.
Yudo Husodo, Siswono, Revitalisasi Pancasila: Kebutuhan Obyektif bagi NKRI ditengah
dunia yang sedang berubah dengan dinamis, Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan
Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.
top related