model integrasi masyarakat lokal dalam … · berkelanjutan terkait erat dengan pengembangan...
Post on 04-Aug-2019
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR HIBAH BERSAING
MODEL INTEGRASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PERENCANAAN DESTINASI PARIWISATA PERDESAAN
Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun
Ketua/Anggota Tim
I Made Adikampana, S.T., M.T. (0024027704)
Dra. Luh Putu Kerti Pujani, M.Si. (0029085708)
UNIVERSITAS UDAYANA
Oktober, 2015
3!!
RINGKASAN
Penetapan Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan di Bali disambut eforia oleh masyarakat lokal. Akan tetapi kemudian, muncul kecenderungan elit mendominasi perencanaan serta implementasi, dan selanjutnya memonopoli pembagian manfaat pariwisata. Kecenderungan tersebut lebih disebabkan oleh minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata perdesaan serta sentralisasi program pembangunan pariwisata oleh pemerintah daerah. Penelitian ini bertujuan untuk membangun model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam penelitian lanjutan pada tahun kedua ini disusun beberapa pertanyaan yang menjadi target penelitian, yaitu: apa jenis sumber daya atau modal yang dimiliki masyarakat lokal terkait dengan perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan? dan bagaimana model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan?. Model yang terbangun dalam penelitian ini akan memberikan manfaat untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal baik dalam pengambilan keputusan maupun pembagian manfaat pariwisata perdesaan. Pendekatan pariwisata berbasis masyarakat digunakan untuk merumuskan model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Pendekatan ini lebih fokus terhadap partisipasi masyarakat lokal dalam proses perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Kebutuhan data guna menjawab pertanyaan penelitian dipenuhi melalui berbagai teknik, yaitu tinjauan pustaka, observasi, wawancara, dan diskusi kelompok terarah atau focus group discussion (FGD). Data yang terkumpul akan dikelompokkan dan dijabarkan sesuai target penelitian dan kemudian dianalisis dan disintesis secara deskriptif untuk mencapai tujuan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan dalam kasus di Desa Pakraman Pinge adalah pelembagaan pariwisata berbasis kultural. Disebut pelembagaan karena adanya proses untuk membangun suatu intitusi pariwisata yang merupakan ruang bagi titik temu dari berbagai aktivitas masyarakat yang memiliki kepentingan dan kepedulian terhadap pariwisata. Berbasis kultural karena merupakan lembaga yang bersifat historis, eksis, dan dikenali dalam bingkai intepretasi masyarakat lokal. Dengan kata lain, lembaga ini akan menaungi praktik pariwisata perdesaan yang menawarkan produk pariwisata berbasis rutinitas kehidupan masyarakat perdesaan Bali dengan bahasa dan ritme aktivitas yang dimengerti masyarakat lokal. Ini dimaksudkan agar masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam praktik pariwisata perdesaan. Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata, dimungkinkan jika kedua aktivitas tersebut terselenggara dalam payung lembaga yang menyediakan ruang negosiasi yang sehat bagi pemangku kepentingan pariwisata perdesaan. Lembaga tersebut menjadi strategis bagi ruang pembelajaran masyarakat lokal dan wadah bagi produksi kebijakan pariwisata yang diciptakan masyarakat lokal secara kolektif.
4!!
PRAKATA
Puji Syukur kehadapan Tuhan atas segala yang diberikan dan dengan
limpahan perhatian, bantuan, dukungan serta dorongan yang sangat berarti kepada
tim peneliti untuk menyelesaikan laporan akhir Penelitian Hibah Bersaing.
Penelitian tahun terakhir ini fokus membahas jenis sumber daya atau modal yang
dimiliki masyarakat lokal terkait dengan perencanaan dan pengembangan
destinasi pariwisata perdesaan dan bagaimana model integrasi masyarakat lokal
dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan.
Untuk penyelesaian laporan akhir penelitian ini, tim peneliti mengucapkan
terima kasih kepada: Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat Kemristekdikti,
Rektor Universitas Udayana, Ketua LPPM Universitas Udayana, Dekan Fakultas
Pariwisata Universitas Udayana, dan Ketua Program Studi S1 Destinasi
Pariwisata Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan dan
mendorong tim peneliti untuk melaksanakan fungsi penelitian terkait dengan
pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tidak lupa juga tim peneliti
mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Desa Pakraman Pinge atas segala
bantuan dan kemudahan yang diberikan.
Tim peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan akhir
penelitian ini, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan. Semoga laporan akhir
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Denpasar, Oktober 2015
Tim Peneliti
5!!
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ 1
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. 2
RINGKASAN ...................................................................................................... 3
PRAKATA ........................................................................................................... 4
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 5
DAFTAR TABEL ................................................................................................ 7
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... 8
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ 9
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 10
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 10
1.2. Urgensi Penelitian ......................................................................................... 11
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 13
2.1. Pariwisata Perdesaan ..................................................................................... 13
2.2. Pariwisata Berbasis Masyarakat .................................................................... 14
2.3. Modal ............................................................................................................ 18
2.4. Perencanaan Pariwisata Partisipatif .............................................................. 19
2.5. Peta Jalan Penelitian ...................................................................................... 22
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN .......................................... 23
3.1. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 23
3.2. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 23
BAB 4. METODE PENELITIAN ........................................................................ 24
4.1. Pendekatan Penelitian ................................................................................... 24
4.2. Jenis dan Sumber Data .................................................................................. 24
4.3. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 24
4.4. Analisis Data Deskriptif ................................................................................ 25
4.5. Bagan Alir Penelitian .................................................................................... 26
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 27
5.1. Temuan Penelitian sebelumnya ..................................................................... 27
5.2. Posisi Strategis Elit dalam Ranah Desa Wisata Pinge .................................. 28
5.3. Transformasi Elit Personal Menuju Elit Institusional ................................... 30
6!!
5.4. Pelembagaan Pariwisata Berbasis kultural .................................................... 34
5.5. Model ............................................................................................................ 37
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 43
LAMPIRAN ......................................................................................................... 45
8!!
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Jalan Penelitian ........................................................................... 22
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian ......................................................................... 26
Gambar 3. Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan ....... 37
9!!
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Instrumen Penelitian ........................................................................ 45
Lampiran 2. Personalia Tenaga Peneliti ............................................................... 47
Lampiran 3. Publikasi .......................................................................................... 54
10!!
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Destinasi pariwisata merupakan lokasi produksi, konsumsi dan pola-pola
pergerakan wisata (Davidson dan Maitland, 1997). Selain itu destinasi pariwisata
juga sebagai tempat hidup masyarakat untuk bekerja serta melakukan kegiatan
sosial dan budaya. Hal tersebut juga secara tegas diatur dalam Undang-Undang
No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang menyatakan bahwa destinasi
pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah
administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas
pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi
terwujudnya kepariwisataan. Dengan demikian masyarakat merupakan bagian
tidak terpisahkan dari suatu destinasi pariwisata, sehingga dalam pengembangan
destinasi pariwisata wajib mempertimbangkan berbagai elemen masyarakat.
Dogra dan Gupta (2012) menyebutkan bahwa masyarakat memiliki posisi
strategis dalam suatu destinasi pariwisata. Maka dari itu, keberlanjutan destinasi
pariwisata sangat tergantung dari tingkat partisipasi masyarakatnya.
Masyarakat dalam destinasi pariwisata yang kemudian disebut dengan
masyarakat lokal mempunyai potensi berupa beragam aktivitas yang dapat
dikreasikan menjadi produk pariwisata. Budaya lokal, tinggalan masyarakat, serta
festival menyediakan keunikan dan sesuatu yang baru dari perspektif wisatawan.
Masyarakat dengan pengetahuan dan kebijakan lokal akan lebih memahami
produk pariwisata yang dikembangkan serta dampak yang ditimbulkan,
dibandingkan dengan masyarakat dari luar destinasi pariwisata. Masyarakat lokal
juga mempunyai kontribusi dalam upaya mempromosikan produk destinasi
pariwisata, karena masyarakat lokal adalah komponen utama pembentuk citra atau
image destinasi pariwisata (Pike, 2004).
Begitu pentingnya peran masyarakat lokal dalam pengembangan destinasi
pariwisata berkelanjutan telah mendorong munculnya tren baru pengembangan
pariwisata yang berbasis masyarakat. Oleh Tosun dan Timothy (2003) ditegaskan
bahwa aspek penting dalam pariwisata berkelanjutan adalah penekanan kepada
pariwisata berbasis masyarakat. Pendekatan ini lebih fokus terhadap partisipasi
11!!
masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengembangan pengembangan destinasi
pariwisata. Melalui partisipasi masyarakat, pariwisata secara langsung dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat lokal. Dengan adanya manfaat inilah
penerimaan, dukungan, dan toleransi masyarakat terhadap pariwisata akan tumbuh
dengan optimal.
Walaupun secara konsepsual pariwisata berbasis masyarakat diyakini
mampu mewujudkan destinasi pariwisata berkelanjutan, namun dalam prakteknya
menemui berbagai permasalahan (Campbell, 1999; Shah dan Gupta, 2000;
Scheyvens, 2002; Dogra dan Gupta, 2012). Adanya permasalahan dalam
implementasi konsep pariwisata berbasis masyarakat juga tampak dalam
pengembangan Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan
unggulan di Bali. Berdasarkan studi pendahuluan, terdapat dua permasalahan
utama pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat di Desa Pakraman Pinge.
Pertama, ketidakmampuan masyarakat lokal mengidentifikasi dampak pariwisata
sebagai strategi pengembangan masyarakat perdesaan. Kedua, minimnya
keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan pariwisata akibat dominasi elit
desa dan sentralisasi program pemerintah. Berdasarkan fenomena tersebut, sangat
menarik untuk dilakukan penelitian tentang model integrasi masyarakat lokal
dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Model ini diharapkan dapat
diterapkan untuk peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan
pariwisata perdesaan.
1.2. Urgensi Penelitian
Masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari destinasi pariwisata.
Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata dimaksudkan
untuk memastikan masyarakat lokal mendapat ruang dan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses perencanaan pariwisata. Kerangka pemikiran integrasi
dimulai dari pemahaman mendasar tentang destinasi pariwisata. Di dalam
destinasi pariwisata, tidak hanya terdapat industri pariwisata dalam suatu sistem
(produk, pasar, dan akses), melainkan juga ada keterkaitan atau koeksistensi
dengan industri lain termasuk masyarakat lokal. Sehingga dapat dikatakan
12!!
masyarakat lokal posisinya sangat strategis dan setara dengan pengambil
keputusan lainnya (stakeholders) dalam pengembangan destinasi pariwisata
berkelanjutan.
Namun berbagai permasalahan akan ditemukan dalam mewujudkan
destinasi pariwisata berkelanjutan. Minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam
perencanaan ditengarai menjadi salah satu batu sandungan pengembangan
destinasi pariwisata berkelanjutan. Permasalahan tersebut juga teramati di Desa
Pakraman Pinge, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Desa
Pakraman Pinge telah ditetapkan sebagai destinasi pariwisata unggulan di wilayah
perdesaan. Penetapan ini bukan tanpa alasan, karena Desa Pakraman Pinge
mempunyai sumber daya pariwisata yang sangat potensial. Morfologi desa
tradisional, bentang alam (landscape), tinggalan budaya, dan kehidupan
masyarakat agraris menjadi kekuatan utama pengembangannya. Selain itu, Desa
Pakraman Pinge menjadi jalur perjalanan wisata. Selama ini sudah ada wisatawan
mancanegara terutama yang berasal Eropa yang menikmati produk pariwisata di
Desa Pakraman Pinge. Umumnya, para wisatawan tersebut menikmati Desa
Pakraman Pinge dengan bersepeda atau bersafari dengan mobil volkswagen (VW).
Berdasarkan studi pendahuluan, adanya penetapan Desa Pakraman Pinge
sebagai destinasi pariwisata perdesaan disambut eforia oleh masyarakat lokal.
Akan tetapi kemudian, muncul kecenderungan elit masyarakat desa mendominasi
perencanaan serta implementasi program (spontaneous program), dan selanjutnya
memonopoli pembagian manfaat pariwisata di Desa Pakraman Pinge.
Kecenderungan ini lebih disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat lokal
mengidentifikasi dampak pariwisata sebagai strategi pengembangan masyarakat
perdesaan, masih minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan
pariwisata, serta sentralisasi program pengembangan pariwisata oleh pemerintah.
Untuk itu sangat penting dilakukan penelitian yang merumuskan model integrasi
masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Diharapkan
dengan adanya model ini dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal baik
dalam pengambilan keputusan maupun pembagian manfaat pengembangan
pariwisata perdesaan.
13!!
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pariwisata Perdesaan
Pariwisata perdesaan dapat dilihat sebagai pariwisata yang tumbuh di
wilayah perdesaan. Namun pada dasarnya pariwisata perdesaan tidak hanya dapat
dipahami berdasarkan aspek geografis semata, melainkan juga menjadi bagian
tidak terpisahkan dengan lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal (Lane,
1994; Roberts dan Hall, 2004). Untuk itu kemudian pariwisata perdesaan secara
ideal harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
1. berlokasi di wilayah perdesaan
2. menjalankan fungsi-fungsi perdesaan
3. berskala kecil
4. bersifat tradisional
5. tumbuh perlahan dan seimbang
6. dikelola oleh masyarakat lokal
Untuk memenuhi keriteria tersebut, maka isu penting yang perlu
mendapatkan perhatian adalah dampak pengembangan pariwisata terhadap
wilayah perdesaan. Beberapa literatur menunjukkan bahwa dampak pariwisata
terhadap wilayah perdesaan akan berbeda-beda tergantung dari jumlah dan jenis
wisatawan yang berkunjung, pengorganisasian produk pariwisata, integrasi
pariwisata dalam pengembangan masyarakat perdesaan, dan tahapan dalam siklus
hidup destinasi pariwisata (Briedenham and Wickens, 2004; Barke, 2004). Kajian-
kajian tersebut juga menyatakan bahwa selain ketrampilan, koordinasi dan kontrol
masyarakat lokal akan sangat menentukan dampak pariwisata perdesaan. Sebagai
contoh Barke (2004) menyebutkan suatu kasus tentang kepemilikan usaha
pariwisata perdesaan oleh individu atau pengusaha non lokal telah menjadikan
masyarakat lokal tidak mendapatkan keuntungan berarti dari pengembangan
pariwisata perdesaan. Page dan Getz (1997) berdasarkan beberapa hasil penelitian
tentang sikap masyarakat lokal terhadap pariwisata menyimpulkan bahwa
masyarakat lokal yang mendapatkan manfaat dan mempunyai kontrol terhadap
pengembangan pariwisata cenderung bersikap positif. Simpulan tersebut juga
didukung oleh pernyataan World Tourism Organization (WTO, 1998) yang
14!!
menyebutkan melalui partisipasi, masyarakat akan lebih mendapatkan manfaat
pariwisata dalam bentuk pekerjaan dan pendapatan, menciptakan peluang
berusaha serta keuntungan lainnya. Selanjutnya dengan mendapat berbagai
manfaat tersebut, masyarakat akan mendukung pengembangan pariwisata.
Dampak positif pariwisata memerlukan pertimbangan matang dan
memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan
berkelanjutan terkait erat dengan pengembangan pariwisata yang ramah
lingkungan, layak secara ekonomi, dan dapat diterima oleh sosial budaya
masyarakat lokal. Menurut WTO (1998), pariwisata berkelanjutan harus
menjamin tiga hal penting yaitu :
1. memanfaatkan secara optimal (seimbang) sumberdaya lingkungan fisik
2. menghormati keaslian sosial budaya masyarakat lokal
3. memastikan kelayakan dan manfaat sosial ekonomi (pekerjaan, pendapatan,
layanan sosial, dan pengentasan kemiskinan) bagi para pengambil keputusan.
Pengembangan pariwisata berkelanjutan membutuhkan keterlibatan dari
segenap pengambil keputusan yang terkait serta kepemimpinan yang kuat untuk
memastikan tumbuhnya ruang-ruang berpartisipasi terutama untuk masyarakat
lokal. Pariwisata berkelanjutan juga harus mampu memberikan kepuasan dan
kesadaran bagi wisatawan tentang isu-isu pembangunan berkelanjutan.
2.2. Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pariwisata berbasis masyarakat merupakan salah satu jenis pariwisata yang
memasukkan partisipasi masyarakat sebagai unsur utama dalam pariwisata guna
mencapai tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Telfer dan Sharpley,
2008). Pemahaman ini sejalan dengan pemikiran Garrod et al., (2001); Timothy
dan Boyd (2003) yang menyebutkan pariwisata berbasis masyarakat sebagai
partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata. Dalam hal ini, partisipasi
masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : ikut terlibat dalam proses
pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata.
Partisipasi dalam pengambilan keputusan berarti masyarakat mempunyai
kesempatan untuk menyuarakan harapan, keinginan dan kekhawatirannya dari
15!!
pembangunan pariwisata, yang selanjutnya dapat dijadikan masukan dalam proses
perencanaan. Sedangkan mengambil peran dalam pembagian manfaat pariwisata
mengandung pengertian bahwa masyarakat semestinya mempunyai kesempatan
untuk memperoleh keuntungan finansial dari pariwisata dan keterkaitan dengan
sektor lainnya. Untuk itu pengembangan destinasi pariwisata seharusnya mampu
menciptakan peluang pekerjaan, kesempatan berusaha dan mendapatkan pelatihan
serta pendidikan bagi masyarakat agar mengetahui manfaat pariwisata (Timothy,
1999). Menurut Murphy (1985) pariwisata merupakan sebuah “community
industry”, sehingga keberlanjutan pembangunan pariwisata sangat tergantung dan
ditentukan oleh penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap pariwisata.
Implikasi pariwisata sebagai sebuah industri masyarakat adalah adanya kepastian
bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata.
Berhubungan dengan hal tersebut, Pretty (1995) dalam Mowforth dan Munt
(1998) kemudian membagi partisipasi masyarakat dalam tujuh jenis.
1. partisipasi manipulatif; adanya keterwakilan masyarakat dalam kelembagaan
pariwisata, namun wakil masyarakat ini tidak mempunyai kekuasaan
2. partisipasi pasif; masyarakat hanya diinformasikan hal yang sudah diputuskan
atau kejadian yang sudah berlangsung
3. konsultasi; masyarakat berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh pihak eksternal
4. partisipasi material insentif; masyarakat berkontribusi dengan memberikan
sumber daya yang dimilikinya dan kemudian mandapat kompensasi material
berupa makanan dan minuman, pekerjaan, uang, dan insentif materi lainnya
5. partisipasi fungsional; pihak eksternal menginisiasi keterlibatan masyarakat
dengan membentuk kelompok untuk menentukan tujuan bersama dan terlibat
dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi partisipasi tersebut muncul
setelah adanya program dari pihak eksternal dengan tujuan untuk efektifitas
dan efisiensi program
6. partisipasi interaktif; masyarakat mengadakan analisis secara bersama-sama,
merumuskan program untuk mencapai tujuan, dan penguatan institusi lokal
dengan difasilitasi oleh pihak eksternal. Partisipasi jenis ini sudah ideal
16!!
karena masyarakat mendapatkan pembelajaran tentang sistem dan struktur,
sehingga mampu mengalokasikan sumber daya untuk mencapai tujuan.
7. mobilisasi sendiri; masyarakat mempunyai inisiatif sendiri dalam proses
perencanaan pembangunan tanpa ada intervensi dari pihak eksternal. Peran
pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sangat dibutuhkan dalam
menyediakan dukungan kerangka kerja.
Selain itu, pariwisata berbasis masyarakat sering dipahami sebagai sesuatu
yang berseberangan dengan pariwisata skala besar (enclave), berbentuk paket (all
inclusive), pariwisata masal, dan minim keterkaitannya dengan masyarakat lokal.
Sehingga pariwisata berbasis masyarakat disebut juga sebagai pariwisata berskala
kecil, dibangun oleh masyarakat lokal, serta melibatkan berbagai elemen lokal
seperti pengusaha, organisasi, dan pemerintah lokal (Hatton, 1999 dalam Telfer
dan Sharpley, 2008; Leslie, 2012). Terkait dengan pembangunan pariwisata
berskala kecil, Jenkins (1982) telah melakukan perbandingan antara pariwisata
skala kecil dengan skala besar untuk mengetahui dampak pembangunan
pariwisata terhadap masyarakat lokal. Berdasarkan komparasi tersebut diketahui
bahwa pembangunan pariwisata berskala kecil mempunyai karakteristik yang
sangat berbeda dari pembangunan pariwisata berskala besar. Adanya perbedaan
krakteristik tentunya akan menghasilkan perbedaan dampak pula terhadap
masyarakat lokal.
Tabel 1. Karakteristik Pembangunan Pariwisata Skala Kecil dan Skala Besar
Skala kecil Skala besar
secara fisik menyatu dengan struktur ruang/kehidupan masyarakat lokal
secara fisik terpisah dari komunitas lokal, namun efektif membangun citra kuat udalam rangka promosi
perkembangan kawasan wisata bersifat spontan/tumbuh atas inisiatif masyarakat lokal (spontaneous)
pengembangan kawasan melalui perencanaan yang cermat dan profesional (well planned)
partisipasi aktif masyarakat lokal dalam pembangunan pariwisata
investor dengan jaringan internasional sebagai pelaku utama usaha kepariwisataan
interaksi terbuka dan intensif antara wisatawan dengan masyarakat lokal
interaksi sangat terbatas antara wisatawan dengan masyarakat lokal
Sumber : Diolah dari Jenkins, 1982
17!!
Berdasarkan tabel di atas dapat dikatakan bahwa peluang terbesar partisipasi
masyarakat lokal dalam pariwisata, akan muncul jika pariwisata dikembangkan
dengan skala kecil dan terbuka melakukan interaksi dengan wisatawan.
Seringkali partisipasi masyarakat dalam pariwisata disebut sebagai strategi
pembangunan alternatif yang terdengar sangat ideal namun dalam
implementasinya banyak terdapat tantangan dan hambatan. Scheyvens (2002)
menyebutkan ada dua tantangan terbesar dalam pariwisata berbasis masyarakat.
Pertama, pada kenyataannya masyarakat lokal dalam suatu destinasi pariwisata
terbagi ke dalam berbagai faksi atau golongan yang saling mempengaruhi
berdasarkan kelas masyarakat (kasta), gender, dan kesukuan. Antar faksi biasanya
saling menyatakan paling memiliki atau mempunyai hak istimewa (privilege)
keberadaan sumberdaya pariwisata. Golongan elit masyarakat tertentu sering
berada dalam posisi mendominasi pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat,
lalu memonopoli pembagian atau penerimaan manfaat pariwisata (Mowforth dan
Munt, 1998). Berdasarkan hal tersebut, partisipasi secara adil (equitable) menjadi
pertimbangan penting dalam mendorong pembangunan pariwisata berbasis
masyarakat. Selain itu juga isu-isu tentang kelas masyarakat, gender, dan
kesukuan penting dipertimbangkan terutama dalam perencanaan pengembangan
pariwisata. Tantangan kedua adalah permasalahan dalam masyarakat untuk
mengidentifikasi pariwisata sebagai strategi pengembangan masyarakat lokal.
Masyarakat pada umumnya tidak cukup punya informasi, sumberdaya, dan
kekuatan dalam hubungannya dengan berbagai pengambil keputusan lainnya
dalam pembangunan pariwisata, sehingga masyarakat lokal rentan terhadap
eksploitasi. Campbell (1999) juga menyatakan hal yang sama bahwa minimnya
kesempatan berpartisipasi dalam pariwisata dan sektor lain yang terkait, akibat
dari kesulitan yang dialami masyarakat dalam mengidentifikasi manfaat
pariwisata.
Selain tantangan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam pembangunan
pariwisata berbasis masyarakat juga akan berhadapan dengan berbagai hambatan.
Tosun (2000); Dogra dan Gupta (2012) mengidentifikasi tiga hambatan dalam
18!!
pembangunan pariwisata berbasis masyarakat terutama di negara berkembang.
Adapun hambatan-hambatan tersebut berupa :
1. keterbatasan operasional; termasuk dalam hambatan ini adalah sentralisasi
administrasi publik, lemahnya koordinasi, dan minimalnya informasi
pariwisata.
2. keterbatasan struktural; berupa sikap pelaku pariwisata, terbatasnya tenaga
ahli, dominasi elit masyarakat, aturan hukum yang belum tepat, sedikitnya
jumlah sumberdaya manusia (SDM) terlatih, dan minim akses ke
modal/finansial.
3. keterbatasan kultural; yaitu terbatasnya kapasitas terutama pada masyarakat
miskin dan apatis atau rendahnya kesadaran pariwisata masyarakat lokal
Semua jenis keterbatasan tersebut, dapat menciptakan masalah serius dalam
partisipasi masyarakat, baik untuk pengambilan keputusan atau perencanaan yang
tepat maupun secara bersama-sama membagi manfaat pariwisata.
2.3. Modal
Berdasarkan pemikiran Bourdieu dalam Fashri, 2014, habitus merupakan
sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah, yang berfungsi sebagai
basis generatif bagi praktek-praktek yang terstruktur dan terpadu secara objektif.
Modal dapat dikatakan sebagai suatu kekuatan yang spesifik yang beroperasi di
dalam ranah. Ranah adalah hubungan yang terstruktur dan mengatur posisi
individu maupun kelompok dalam ruang sosial. Setiap ranah menuntut individu
maupun kelompok untuk memiliki modal atau sumber daya agar dapat bertahan
dalam hidup bermasyarakat atau relasi sosial. Dengan kata lain, modal dapat
menentukan posisi dan status individu atau kelompok dalam masyarakat.
Representasi individu maupun kelompok dalam relasi sosial terbangun dari
adanya praktek pertukaran antar modal.
Selanjutnya modal dapat digolongkan menjadi empat jenis, yaitu: pertama;
modal ekonomi mencakup alat-alat produksi, materi, dan uang yang dengan
mudah digunakan dengan segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Kedua; modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi
19!!
intelektual yang bisa diproduksi, baik melalui pendidikan formal maupun warisan
keluarga. Termasuk modal budaya antara lain, kemampuan menampilkan diri di
depan publik, pemilikan benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian
tertentu dari hasil pendidikan, dan sertifikat. Ketiga; modal sosial menunjuk pada
jaringan sosial yang dimiliki pelaku (baik individu maupun kelompok) dalam
hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Dan keempat; segala
bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk
modal sosial.
Berbagai jenis modal tersebut dapat dipertukarkan satu dengan yang
lainnya. Semakin besar individu atau kelompok mengakumulasi modal tertentu,
maka semakin besar pula peluang untuk mengkonversi antar modal. Dari kesemua
jenis modal yang ada, modal ekonomi dan budayalah yang memiliki daya kuat
untuk menentukan jenjang hirarkis dalam masyarakat. Prinsip hirarki dan
diferensiasi masyarakat tergantung pada jumlah modal yang diakumulasi. Makin
besar jumlah modal yang dikuasai dapat menunjukkan dominasi (kekuasaan dan
hirarki tertinggi) dalam masyarakat.
2.4. Perencanaan Pariwisata Partisipatif
Sebagian besar karakteristik atau pendekatan perencanan destinasi
pariwisata berbasis masyarakat berasal dari tradisi perencanaan transaksi dan
advokasi. Tradisi ini mengutamakan pembelaan terhadap kelompok masyarakat
minoritas dan pemberian kontrol yang lebih besar kepada masyarakat lokal dalam
proses pembangunan sosial guna mencapai kesejahteraan (Timothy, 1999). Hal
tersebut semakin terlihat nyata akibat adanya perubahan paradigma pembangunan
pariwisata dari yang bersifat masal menuju pariwisata alternatif. Seperti ulasan
sebelumnya, pariwisata alternatif merupakan pariwisata berskala kecil dan
melibatkan berbagai elemen lokal terutama masyarakat lokal. Pembangunan
pariwisata berskala kecil dapat memberikan ruang partisipasi sebesar-besarnya
bagi masyarakat lokal (Telfer dan Sharpley, 2008). Pemberian ruang-ruang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi aktif, menunjukkan adanya persamaan posisi
dengan pengambil keputusan lainnya (pemerintah, investor, dan wisatawan)
20!!
dalam pembangunan pariwisata. Berdasarkan pemikiran Derrida dalam Barker
(2004), persamaan posisi tersebut menandakan pelucutan atas oposisi biner atau
dikenal dengan dekonstruksi. Dekonstruksi berfungsi menjamin kebenaran dengan
cara mengesampingkan dan mendevaluasi bagian inferior oposisi biner yaitu
masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata. Dengan kata lain pendekatan
dekonstruktif memastikan dipanggilnya kelompok minoritas untuk masuk ke
ranah pariwisata. Kelompok minoritas tersebut tidak lain adalah masyarakat lokal
yang pada dasarnya pemilik sumber daya atau modal pariwisata. Pada saat
pariwisata masal digulirkan oleh elit atau pemerintah yang berkolaborasi dengan
investor, masyarakat lokal hanya berperan sebagai objek pariwisata dan akhirnya
dengan segala keterbatasan malah terlempar dari pembagian manfaat pariwisata.
Kondisi ini melahirkan sebuah konsepsi dekonstruktif tentang integrasi
masyarakat lokal dalam proses perencanaan pariwisata.
Lebih lanjut Murphy (1985) menekankan dekonstruksi berupa suatu
strategi yang terfokus pada pencapaian tujuan pembangunan pariwisata dalam
perspektif wisatawan dan masyarakat lokal. Masyarakat lokal seharusnya mampu
mengidentifikasi berbagai manfaat pariwisata untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pendekatan perencanaan ini mengakui adanya perhatian dan pemikiran
yang memasukkan kepentingan masyarakat dalam perencanaan pariwisata atau
dengan kata lain semestinya pariwisata tidak hanya memberikan kepuasan bagi
wisatawan, namun juga memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal dan kualitas
lingkungan. Sejalan dengan Murphy, Gunn (1994) juga berpendapat bahwa jika
masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, maka akan terjadi
malfungsi dan inefisiensi dalam pengembangan pariwisata. Kembali menurut
Murphy (1985), pariwisata tidak seperti industri lainnya, karena sangat
bergantung pada kemauan baik (goodwill) dan kerjasama pengambil keputusan
pariwisata termasuk masyarakat lokal, karena masyarakat merupakan bagian tidak
terpisahkan dari destinasi pariwisata. Ketika perencanaan pengembangan destinasi
pariwisata tidak sesuai dengan aspirasi dan kapasitas masyarakat, maka yang akan
terjadi adalah permusuhan dan resistensi masyarakat lokal terhadap
pengembangan pariwisata.
21!!
Korten (1981) dalam Timothy (1999) dalam anjurannya menyebutkan
semakin kompleks permasalahan pembangunan yang dihadapi, semakin besar
pula kebutuhan terhadap pengetahuan dan nilai-nilai/kebijakan lokal (local
wisdom) dalam pemecahannya. Penggunaan pengetahuan dan kebijakan lokal
untuk merumuskan pemecahan permasalahan pembangunan dikenal dengan
sebutan perencanaan berbasis masyarakat lokal. Dengan kata lain, pendekatan
perencanaan ini membutuhkan partisipasi dari berbagai pengambil keputusan
dalam proses perencanaan pariwisata. Dengan adanya partisipasi masyarakat lokal
dalam proses perencanaan, diharapkan masyarakat mampu mengidentifikasi
berbagai dampak pariwisata dan kemudian dapat merumuskan strategi dan
program guna mengoptimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak
negatif yang ditimbulkan oleh pengembangan destinasi pariwisata. Inskeep (1991)
menegaskan pentingnya keterlibatan setiap para pengambil keputusan dalam
berbagai tahapan atau proses perencanaan pariwisata. Proses perencanaan
merupakan tahapan yang dilakukan untuk mencapai tujuan pengembangan
pariwisata. Proses perencanaan pariwisata meliputi :
1. persiapan studi; pengenalan karakteristik, potensi dan isu strategis,
penganggaran, pemilihan anggota tim, kerangka acuan kerja (TOR), dan
administrasi
2. penetapan tujuan dan sasaran pembangunan; perumusan tujuan dan sasaran
yang dapat menjawab isu-isu strategis
3. survei; inventarisasi situasi eksisting dan karakteristik area perencanaan
pariwisata
4. analisis dan sintesis; analisis hasil survei dan sintesis untuk merumuskan
rencana dan rekomendasi
5. perumusan kebijakan dan rencana; merumuskan alternatif perencanaan
6. rekomendasi; pilihan rencana yang tepat dengan tujuan dan sasaran
7. implementasi; pelaksanaan rencana terpilih
8. pengawasan dan evaluasi; pengawasan yang terus menerus dan memberikan
umpan balik guna penyesuaian dan penyempurnaan perencanaan.
22!!
2.5. Peta Jalan Penelitian
Tahun I: Kontribusi pengembangan pariwisata
perdesaan bagi masyarakat lokal
Tahun II: Model integrasi masyarakat lokal dalam
perencanaan destinasi pariwisata perdesaan
Gambar 1. Peta Jalan Penelitian
Pariwisata berbasis
masyarakat lokal
dampak pengembangan pariwisata perdesaan bagi masyarakat lokal
jenis partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata perdesaan
jenis modal atau sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat lokal
23!!
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tahun kedua ini adalah untuk merumuskan model
integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata di wilayah
perdesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, terlebih dahulu akan dibahas jenis
sumber daya pariwisata atau modal yang dimiliki masyarakat lokal terkait dengan
perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.
3.2. Manfaat Penelitian
Tercapainya tujuan penelitian ini akan memberikan manfaat untuk
mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan
pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.
24!!
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian menggunakan metode yang memverifikasi
hubungan konsepsual pariwisata terhadap kondisi empiris (Veal, 2006).
Konstruksi konsep pariwisata didasarkan pada tinjauan pustaka. Kondisi empiris
dikumpulkan dan diketahui dengan berbagai teknik, disesuaikan dengan variabel
penelitian. Sedangkan dalam tahap analisis, jenis modal yang dimiliki masyarakat
lokal dan rumusan model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi
pariwisata perdesaan menggunakan metode deskriptif, yang kemudian disintesis
guna menjelaskan kaitan atau hubungan sebab akibat antar variabel.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data kuantitatif, adalah data yang berupa bilangan yang akan disusun serta
diinterprestasikan.
2. Data kualitatif, data berupa deskripsi atau uraian berdasarkan hasil tinjauan
pustaka, observasi, wawancara, dan diskusi kelompok terarah atau dikenal
luas dengan focus group discussion (FGD).
Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder.
Data primer akan digali melalui observasi, wawancara dengan masyarakat dan
pakar/praktisi pariwisata berbasis masyarakat, serta FGD dengan kelompok
masyarakat. Sedangkan data sekunder melalui tinjauan pustaka yang relevan.
4.3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu
tinjauan pustaka, observasi, wawancara, dan FGD. Untuk mendapatkan data dan
informasi yang diperlukan, berikut langkah-langkah yang akan dilakukan :
1. Tinjauan pustaka. Dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman tentang
beberapa konsep pokok dalam penelitian ini : pariwisata perdesaan,
pariwisata berbasis masyarakat, perencanaan partisipatif, dan modal.
25!!
2. Observasi, yaitu usaha pengumpulan data dengan pengamatan langsung di
lapangan untuk menguji dan melengkapi data dan informasi yang sudah
didapatkan sebelumnya.
3. Wawancara. Wawancara akan dilakukan dengan beberapa informan yang
memiliki informasi penting untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
penelitian. Adapun informan tersebut yaitu :
- tokoh masyarakat, baik dinas maupun adat
- pengelola pariwisata perdesaan
- pakar dan praktisi pariwisata berbasis masyarakat
Mereka dipilih karena pengetahuan dan ketokohannya (purposive) yang
diharapkan dapat memberikan informasi komprehensif tentang jenis sumber
daya atau modal pariwisata dan model perencanaan destinasi pariwisata
perdesaan berbasis masyarakat lokal.
4. FGD. Mendalami data dan informasi terfokus dalam kelompok diskusi kecil.
Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk :
- lebih mendalami data dan informasi.
- memahami keragaman perspektif masyarakat lokal tentang perencanaan
dan pengembangan pariwisata perdesaan.
- mendapatkan informasi tambahan tentang jenis sumber daya atau modal
terkait dengan perencanaan dan pengembangan pariwisata perdesaan.
- memperoleh nilai dengan akurasi tinggi untuk rumusan model integrasi
masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan.
4.4. Analisis Data Deskriptif
Analisis deskriptif menafsirkan data dan informasi yang terkait dengan
variabel dan fenomena yang terjadi pada saat penelitian dilakukan dan kemudian
menyajikannya sesuai dengan yang sebenarnya (apa adanya). Dalam penelitian
ini, yang ditafsirkan berupa jenis sumber daya atau modal yang dimiliki
masyarakat lokal dan hubungan antara variabel guna merumuskan model integrasi
masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan.
26!!
4.5. Bagan Alir Penelitian
Gambar 2. Bagan Alir Penelitian
Persiapan : - Tinjauan pustaka - Studi pendahuluan - Proposal penelitian
Identifikasi jenis partisipasi
masyarakat lokal dalam
perencanaan destinasi
pariwisata perdesaan
Analisis dan sintesis
Jenis sumber daya atau modal
Model integrasi masyarakat lokal
dalam perencanaan destinasi pariwisata
perdesaan
Kontribusi pengembangan
pariwisata perdesaan bagi masyarakat lokal
- Temu tim - Seminar proposal - Pengumpulan
proposal
Penelitian tahun I - Observasi - Wawancara kepada
masyarakat - FGD - Tinjauan pustaka - Laporan penelitian - Seminar nasional - Bagian buku
Penelitian tahun II - Observasi - Wawancara kepada
masyarakat, pakar atau praktisi
- FGD - Tinjauan Pustaka - Laporan penelitian - Seminar nasional - Tulisan ke Asia
Pacific Journal of Tourism Research
Identifikasi dampak
pengembangan pariwisata perdesaan
Analisis dan sintesis
27!!
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Temuan Penelitian Sebelumnya
Penelitian pada tahun sebelumnya bertujuan untuk mengetahui kontribusi
pengembangan destinasi pariwisata perdesaan terhadap masyarakat lokal.
Penelitian ini telah menghasilkan beberapa temuan yaitu tentang dampak destinasi
pariwisata perdesaan terhadap masyarakat lokal dan peran sentral elit desa dalam
pengembangan desa wisata di Desa Pakraman Pinge. Dampak yang ditimbulkan
dari pengembangan Desa Wisata Pinge cukup beragam yang meliputi aspek
ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Namun berbagai dampak tersebut
sampai saat belum sepenuhnya dinikmati oleh sebagian besar masyarakat lokal
akibat jenis partisipasi masyarakat selama ini masih manipulatif dan pasif serta
adanya dominasi elit dalam pengembangan Desa Wisata Pinge. Dominasi elit ini
muncul lebih disebabkan oleh kevakuman aktivitas pariwisata selama tujuh tahun,
karena masyarakat lokal tidak berdaya mengembangkan Desa Wisata Pinge yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan pada tahun 2004. Kemudian
setelah beberapa elit yang merupakan pensiunan pegawai pemerintah dan swasta
pariwisata mengisi kekosongan tersebut dengan berinisiatif mengembangkan
produk desa wisata, aktivitas pariwisata di Desa Pakraman Pinge kembali
berkembang. Munculnya sejumlah elit yang mempunyai peran sentral dalam
pengembangan Desa Wisata Pinge menyebabkan dampak yang ditimbulkan
akhirnya mengarah kepada kutub-kutub kekuatan para elit tersebut.
Menarik untuk dibahas kemudian berdasarkan temuan tersebut adalah
terdapatnya dua tipologi elit dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.
Kedua jenis elit tersebut adalah elit inklusif dan elit eksklusif yang mempunyai
karakteristik yang tidak sama dan dapat memberikan pengaruh berbeda dalam
konteks pengembangan Desa Wisata Pinge. Dualisme elit dalam kepariwisataan
Desa Pakraman Pinge dapat menciptakan renggangnya kohesivitas sosial dan
menyimpan potensi konflik. Terkait dengan kemungkinan resiko yang terjadi,
kata kunci dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di Desa Pakraman
Pinge adalah inklusivitas elit-elit tersebut. Inklusivitas elit dalam penelitian ini
berupa rumusan model yang mampu mensinergikan kedua kekuatan elit tersebut.
28!!
Dualitas elit yang dibangun harus mengakomodasi berbagai kepentingan terutama
masyarakat lokal dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.
5.2. Posisi Strategis Elit dalam Ranah Desa Wisata Pinge
Secara garis besar, elit merupakan pusat kekuatan dalam ranah Desa
Wisata Pinge yang mengakumulasi beragam modal. Akumulasi modal tersebut
berimplikasi pada posisi sosial elit yang strategis. Karakter elit pariwisata di Desa
Pakraman Pinge menjadi unik karena ketokohannya berasal dari kalangan
pensiunan yang pulang kampung, sehingga dianggap memiliki pengalaman
berdasarkan karir yang ditempuh sebelumnya. Dengan pengalamannya tersebut,
elit ini memiliki kapasitas dalam menyelenggarakan pariwisata di Desa Pakraman
Pinge. Terlebih lagi dari elit ini terdapat pensiunan birokrasi pemerintahan dan
manajer hotel bintang lima di Kawasan Pariwisata Sanur. Dapat dikatakan para
elit inilah apa yang disebut sebagai cross cutting person, sebagai aktor
penghubung antara kepentingan eksternal pariwisata (seperti : wisatawan, biro
perjalanan pariwisata, pemandu wisata, organisasi pariwisata, pemerintah,
perguruan tinggi) dengan pihak internal yaitu masyarakat lokal.
Dari dua tipologi elit pariwisata yang teridentifikasi di Desa Pakraman
Pinge yaitu elit eksklusif dan elit inklusif, diketahui masing-masing memiliki
karakter yang spesifik. Elit ekslusif merupakan aktor/kelompok aktor yang
mengakumulasi modal dalam Desa Wisata Pinge atau dapat disebut dengan ranah
pariwisata dan memilikinyanya secara ekslusif. Elit ini tidak berkeinginan untuk
berbagi modal dengan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah pariwisata
Pinge. Hal ini dapat dimengerti karena elit eksklusif berasal dari pensiunan
pejabat birokrasi pemerintah, sehingga dengan trayektorinya tersebut
menghasilkan habitus khas. Terbiasa memerintah kelompok yang dianggap
bawahan dan hanya patuh kepada kelompok yang dianggap atasan. Kelompok elit
eksklusif ini relatif memandang masyarakat lokal sebagai pihak bawahan,
sehingga relasi sosial yang dikonstruksi berbasis interaksi ”memerintah-
diperintah”. Dengan kata lain konstruksi relasi yang terbangun berbasis patron-
client, dengan mengidentifikasi dirinya sebagai patron lewat pengetahuan dan
29!!
pengalaman yang dimilikinya dalam birokrasi pemerintahan. Sedangkan elit
inklusif merupakan katagori elit yang relatif mau berbagi pengetahuan dan
pengalaman. Kalangan ini berasal dari pensiunan kaum profesional swasta
terutama dalam bidang pariwisata, sehingga memiliki habitus khas pula yaitu
bekerja dalam tim dan berorientasi kerja secara terukur. Karakter tersebut
mendorong terjalinnya tata relasi sosial yang padu dan akrab dengan menghargai
kapasitas masing-masing. Kelompok elit ini percaya tidaklah mungkin bekerja
dan sukses sendirian karena telah terbiasa melakukan kerja sama, sehingga
menghargai kemampuan para anggota dalam tim. Relasi yang dibangun relatif cair
dan hangat, bingkai kesadaran posisional dalam tim bukanlah atasan-bawahan
versi birokrat tetapi pertemanan (partner).
Kedua elit pariwisata Pinge memiliki persamaan dalam konteks
kepemilikan modal :
1. Modal Budaya
Merupakan gelar yang disematkan secara sosial baik formal (melalui institusi
pendidikan berupa ijazah atau penghargaan-penghargaan dalam bidang
tertentu), maupun kultural (sebagai tokoh masyarakat).
2. Modal Sosial
Merupakan jaringan sosial yang mampu dikonstruksi. Untuk konteks Desa
Wisata Pinge adalah kapasitasnya dalam bekerjasama dengan pihak eksternal
pariwisata dan juga dalam melayani wisatawan.
3. Modal Simbolik
Merupakan kemampuan/kuasa untuk memberi nama atau mengkatagorisasi
khususnya dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan di Desa
Pakraman Pinge. Dengan memiliki modal ini, akan membawa
aktor/kelompok aktor pada posisi paling strategis dalam ranah pariwisata di
Desa Pakraman Pinge.
Sedangkan perbedaan kedua kelompok elit ini adalah elit eksklusif
memandang dirinya sebagai pusat kekuatan dengan membangun relasi
memerintah-diperintah. Di sisi lain, elit inklusif memandang dirinya sebagai
motivator dan fasilitator, memerlukan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah
30!!
untuk bekerjasama mengakumulasi salah satu jenis modal penting yang
disediakan oleh pariwisata, yaitu modal ekonomi. Elit ekslusif berposisi sebagai
”kepala” dengan memandang lainnya sebagai ”anak buah”, khas konstruksi
berpikir birokrat. Terlihat berbeda, elit inklusif memandang dirinya sebagai
”ketua” dalam kelompok yang dibangunnya, dengan menganggap yang lainnya
sebagai partner. Dengan ketiga modal yang dimilikinya tersebut, elit pariwisata di
Desa Pakraman Pinge merupakan kelompok yang tidak dapat dipandang sebelah
mata dalam melakukan social engineering dalam pengembangan Desa Wisata
Pinge.
Walaupun keberadaan para elit ini sangat strategis dalam ranah pariwisata
di Desa Pakraman Pinge, akan tetapi dalam pengembangan destinasi pariwisata
perdesaan, tidaklah tepat jika mengikutsertakan elit tersebut secara personal.
Terlalu bertumpu pada kekuatan elit secara personal akan beresiko kepada
memusatnya akumulasi modal, terpolarisasinya manfaat pariwisata, dan
memunculkan permasalahan regenerasi. Untuk itu diperlukan tranformasi elit
pariwisata di Desa Pakraman Pinge, yaitu dari elit personal menuju elit
institusional.
5.3. Transformasi Elit Personal Menuju Elit Institusional
Pengembangan Desa Wisata Pinge bertumpu pada dikonstruksinya sebuah
lembaga yang mampu mewadahi kepentingan berbagai stakeholder pariwisata di
Desa Pakraman Pinge. Untuk itu, diperlukan identifikasi para aktor, ranah
pariwisata dalam bentuk desa wisata yang dikembangkan, aspirasi para aktornya,
dan strategi bersama dalam transaksional modal yang adil.
1. Elit sebagai penggerak sekaligus penghambat
Untuk identifikasi aktor diperoleh data bahwa elit merupakan pendorong
utama sekaligus penghambat utama dalam penyelenggaraan pariwisata di
Desa Pakraman Pinge. Dikatakan penggerak utama karena elit mampu
menyediakan produk pariwisata perdesaan dan berhubungan dengan pihak
eksternal dalam rangka perencanaan dan pengembangan pariwisata Desa
Pakraman Pinge. Akan tetapi elit pulalah yang dikatakan sebagai penghambat
31!!
utama dalam konteks kemajuan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Realitas
historis perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge pasca ditetapkan
sebagai desa wisata adalah realitas ”pertempuran” elit untuk menguatkan
pengaruhnya dalam ranah pariwisata. Masing-masing elit berupaya
mambangun kekuatan dan kelompok kekuatan dalam rangka membingkai
desa wisata versi para elit tersebut.
Dalam persaingan antar para elit ini, lembaga pariwisata formal yang ada
seperti Kelompok Sadar Wisata Desa Pinge dan Badan Pengelola Desa
Wisata Pinge dijadikan ajang unjuk kekuatan kelompok elit ini. Terjadi tata
relasi kontra produktif dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge,
ketika elit terlalu mendominasi dan masyarakat lokal hanya terbawa arus
dalam tarik-menarik kekuatan elit tersebut. Masyarakat lokal menjadi
disorientasi dan menjadi tidak termotivasi dalam merencanakan dan
mengembangkan destinasi pariwisata perdesaan. Perlawanan masyarakat
lokal bukannya tidak ada, yang ditunjukkan dengan membangun kelompok
sendiri terpisah dari pusaran elitis yang ada. Namun faktanya, perlawanan
dalam bentuk penyediaan fasilitas akomodasi yang diupayakan relatif gagal,
ketika sepi peminat. Wisatawan baik personal maupun yang difasilitasi biro
perjalanan terbukti lebih memilih akomodasi yang disediakan elit, karena
lebih baik dan memadai.
2. Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan
Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan jika dikaji
menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain
tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal
(ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) dalam pariwisata. Untuk
memperolehnya, para aktor harus memiliki kepekaan khas tentang aturan
main pariwisata. Kepekaan khas ini, pada akhirnya disebut sebagai habitus
pariwisata. Berbekal habitus pariwisata inilah, para aktor akan
mengakumulasi modal dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.
Akan tetapi, tidak semua aktor memiliki kemampuan yang sama dalam
perencanaan dan pengembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hanya
32!!
segelintir aktor yaitu elit yang memiliki kapasitas merencanakan dan
mengembangkan desa wisata. Keadaan ini yang menyebabkan mulai dari
tahap awal perkembangan Desa Wisata Pinge (fase embriotik) sampai saat ini
telah terjadi dominasi elit. Hal ini bisa dimengerti karena para elit inilah yang
memiliki habitus pariwisata berdasarkan trayektori sebelumnya, yang
memiliki lintasan ranah beragam sebelum pulang kembali dan menetap di
kampung halamannya kini. Ini berarti ketika Desa Pakraman Pinge ditetapkan
sebagai desa wisata, para elit ini dapat dikatakan telah memiliki modal, yaitu
modal budaya, sosial, serta simbolik. Dengan ketiga jenis modal yang
dimilikinya tersebut, menjadikan mereka berada di posisi strategis dalam
ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.
Fakta lain menunjukkan bahwa walaupun para elit ini berada pada posisi yang
dominan dalam ranah Pariwisata di Desa Pakraman Pinge, namun para elit
tersebut juga terbukti tidak mampu memaksimalkan modal yang dimilikinya
untuk dapat dipertukarkan dengan modal ekonomi. Hal ini dikarenakan Desa
Pakraman Pinge masih merupakan sebuah ruang sosial daripada dipandang
sebagai ranah pariwisata.
3. Aspirasi para aktor
Aktor dan kelompok aktor dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge,
selain para elit (eksklusif dan inklusif), juga teridentifikasi adanya pengurus
desa adat, krama subak, dan kelompok-kelompok sosial berbasis ketrampilan
dan hobi lainnya (sekehe). Dapat dikatakan para aktor dan kelompok aktor di
luar elit ini masih beraktivitas dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge,
belum melakukan interaksi sosial berbasis ranah pariwisata.
Belum terintegrasinya para aktor potensial sebagai stakeholders pariwisata
Pinge ini menjadikan belum terselenggaranya Desa Wisata Pinge secara
produktif. Para aktor lainnya masih dengan urusannya masing-masing dan
memandang pariwisata sebagai urusannya para elit. Hanya segelintir
kelompok non-elit yang mencoba mencari peruntungan di bidang pariwisata
dengan menyediakan akomodasi pariwisata dengan memanfaatkan beberapa
33!!
kamar di rumahnya sebagai homestay. Akan tetapi kemudian kalah bersaing
dengan akomodasi yang disediakan para elit.
Dapat dikatakan bahwa para aktor Pinge masih menjalankan siasatnya
masing-masing. Belum berhimpun secara sinergis untuk menyelenggarakan
Desa Wisata Pinge. Di level siasat, aktivitas yang dilakukan adalah untuk
kepentingan diri dan kelompoknya saja. Sehingga para aktor menjalankan
rutinitas keseharian mereka dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge. Tidak
ada upaya untuk mengintegrasikan aktivitas sosial lainnya ke dalam ranah
pariwisata dalam bentuk desa wisata.
Sedangkan para elit sendiri karena terpolarisasi menjadi dua kutub kekuatan
antara elit eksklusif dan inklusif, juga menjalankan siasatnya masing-masing.
Walaupun untuk tipologi elit inklusif lebih memiliki keinginan untuk berbagi,
baik pengetahuan maupun keuntungan pariwisata dengan masyarakat lokal,
tetapi juga tidak bisa lepas dari perangkap logika siasat. Siasat yang
dilakukan elit inklusif terutama dalam menghadapi ”serangan” elit eksklusif
di beberapa momentum ketika harus berhadapan di forum-forum baik formal
maupun informal di Desa Pakraman Pinge. Sementara elit eksklusif
menjalankan siasat dalam rangka mempertahankan relasi dominatifnya
dengan masyarakat lokal.
4. Strategi kolektif para aktor
Dengan kondisi seperti yang telah dideskripsikan tersebut, dapat dipahami
mengapa Desa Wisata Pinge seperti jalan ditempat, tidak ada kemajuan yang
berarti dalam konteks memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Keadaan
Quo vadis (mandeg) penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge
dikarenakan belum terciptanya habitus pariwisata di Desa Pakraman Pinge.
Untuk itu diperlukan upaya agar tercipta ranah pariwisata berbasis desa
wisata di Desa Pakraman Pinge.
a. Pemaknaan Desa Wisata Pinge sebagai sebuah ranah pariwisata
Desa Wisata Pinge harus dipandang sebagai ranah yang memberikan
kesempatan bagi semua aktor terutama masyarakat lokal agar
mendapatkan manfaat pariwisata. Dalam konteks ini, masyarakat lokal
34!!
mampu memperoleh modal ekonomi yang dibawa wisatawan,
mendapatkan modal sosial dengan terbukanya jaringan sosial dengan pihak
eksternal, modal budaya berupa perbaikan status sosial dan kesempatan
berprestasi, dan modal simbolik yang berkaitan dengan kapasitas sebagai
penafsir budaya lokal yang legitimit.
b. Dari siasat personal menjadi strategi kolektif
Ketika Desa Wisata Pinge dimaknai sebagai ranah pariwisata dan para
aktor bersepakat untuk bersinergi untuk menyelenggarakan pariwisata
berbasis budaya, yang diperlukan adalah memutus mata rantai saling siasat
menjadi saling manfaat. Memutus mata rantai tersebut dapat dilakukan
dengan cara membangun strategi bersama dalam rangka memperoleh
manfaat pariwisata secara adil.
c. Pelembagaan pariwisata berbasis kultural
Guna menjamin terselenggaranya Desa Wisata Pinge yang dapat
memberikan berbagai kontribusi atau manfaat terutama bagi masyarakat
lokal, dibutuhkan kelembagaan pariwisata. Lembaga tersebut merupakan
wadah kegiatan bersama bagi masyarakat lokal. Idealnya wadah yang
dibangun merupakan lembaga berbasis kultural yang ada di Desa
Pakraman Pinge.
5.4. Pelembagaan Pariwisata Berbasis Kultural
Setelah mengetahui peran dan posisi elit dalam ranah pariwisata, hal
penting berikutnya adalah merekonstruksi kelembagaan pariwisata di Desa
Pakraman Pinge. Dikatakan rekonstruksi (konstruksi kembali) karena saat ini
telah ada lembaga pariwisata. Akan tetapi lembaga ini lebih bersifat formalitas
belaka karena hanya sekedar pelengkap sebagai konsekuensi dari penetapan Desa
Pakraman Pinge sebagai desa wisata. Di lembaga formalitas ini terlihat dominasi
elit dan mengikis potensi mayoritas masyarakat lokal untuk terlibat dalam
perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.
Pelembagaan pariwisata dalam konteks ini dimaksudkan sebagai proses
kreasi para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge dalam mengkonstruksi ruang
35!!
bersama pariwisata. Lembaga yang diciptakan ini tidak bersifat ahistoris dan
bersumber dari pihak eksternal sehingga masyarakat lokal sulit menerimanya.
Dalam istilah Bourdieu akan terjadi apa yang disebut sebagai hysteresis,
ketidakmampuan aktor dalam menjalankan praktik sosial karena habitus yang
dimiliki selama ini tidak mampu memfasilitasi kesesuaian antara kesadaran para
aktor dan realitas sosialnya. Lewat proses pelembagaan inilah diharapkan terjadi
penyesuaian habitus para aktor dengan realitas pariwisata yang berlangsung di
wilayahnya. Dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge, masih diperlukan
pelembagaan karena terbukti lembaga pariwisata yang telah ada selama ini
bersifat ahistoris dan elitis. Ahistoris karena lembaga pariwisata tersebut hanyalah
formalitas dan ada karena tuntutan pihak eksternal terutama pemerintah guna
memudahkan dalam pencapaian tujuan. Sehingga dibutuhkan lembaga yang
bersifat historis, ada dan dikenali dalam bingkai intepretasi masyarakat lokal.
Dengan demikian lembaga ini akan mengakar kuat dalam konteks pariwisata di
Desa Pakraman Pinge.
Lembaga yang akan dikonstruksi diharapkan mampu mereposisi para aktor
pariwisata di Desa Pakraman Pinge, terutama dalam menciptakan transformasi
dari elit personal menjadi elit institusional (inklusivitas elit). Transformasi ini
merupakan kata kunci dari perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata
perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahap
embriotik peran elit sangatlah dominan dalam perencanaan dan pengembangan
destinasi pariwisata perdesaan.
Dalam perspektif strukturalisme, hal ini terjadi karena para elitlah yang
memiliki modal relatif lengkap. Dengan kelengkapan jenis modal ini, elit dapat
menjadi aktor penting sebagai penghubung dengan pihak eksternal pariwisata.
Pihak eksternal sendiri akan lebih nyaman ketika berhubugan dengan para elit ini.
Ini disebabkan karena para elit relatif memiliki habitus yang sama dan
trayektorinya relatif berada atau pernah pada domain yang terkait dengan
pariwisata. Pihak eksternal dengan habitus pariwisatanya tidak akan dapat
langsung ”tune-in” dengan ruang sosial Desa Pakraman Pinge, sehingga peran elit
dalam memfasilitasi menjadi sangatlah penting. Namun, seperti yang telah
36!!
dideskripsikan sebelumnya, peran elit selain sebagai motor penggerak pariwisata,
juga sebagai penghambat bagi keberlanjutan pariwisata karena membatasi
partisipasi masyarakat lokal. Masyarakat lokal dapat dikatakan tersingkir dalam
ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge karena relatif tidak memiliki bekal
modal untuk dipertukarkan dengan modal yang ada dalam pariwisata. Hal inilah
yang menjadikan pentingnya arti lembaga pariwisata yang mampu menguatkan
kapasitas masyarakat lokal dan menjadikan dominasi elit personal dapat
diminimalisasi.
Kelembagaan pariwisata menjadi penting karena dua hal :
1. Ruang para aktor memperjuangkan kesejahteraan
Ruang di sini dimaknai sebagai kontainer yang mewadahi pertemuan baik
fisik maupun pemikiran (wacana). Semacam forum yang akan mengatasi
hambatan-hambatan komunikasi di antara para aktor dan tempat bagi
permikiran yang konstruktif dalam memproduksi kesepakatan mengenai
pariwisata yang dikembangkan di Desa Pakraman Pinge. Di ruang inilah para
elit akan berbagai pengetahuan dan jaringan pariwisata yang telah dimilikinya
dengan tujuan untuk lebih memperkuat posisi Desa Wisata Pinge, yang pada
akhirnya akan terbentuk kekuatan kolektif pada level strategis. Terciptanya
lembaga pariwisata ini akan memutus mata rantai siasat karena praktik
pariwisata secara personal akan tidak memadai lagi. Pada akhirnya akan
tercapai berbagai manfaat pariwisata berupa kesejahteraan masyarakat lokal
dengan mengoptimalkan modal kolektif yang dimiliki guna ditukarkan
dengan modal pihak eksternal.
2. Fasilitator bagi pertukaran modal pariwisata secara fair
Lembaga ini akan merancang seperangkat aturan yang akan menjadi pemandu
para aktor dalam penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Para aktor pariwisata
di Desa Pakraman Pinge akan saling berbagi modal yang dimiliki dan secara
kolektif akan mengoptimalisasi sumber daya atau modal pariwisata untuk
dipertukarkan secara maksimal dengan modal ekonomi yang dibawa pihak
eksternal. Dalam konteks ini, lembaga pariwisata akan menjadi fasilitator
bagi pertukaran modal pariwisata yang adil.
37!!
5.5. Model
Setelah dua aspek penting dalam menggerakkan Desa Wisata Pinge
teridentifikasi yaitu elit pariwisata dan pelembagaan pariwisata, selanjutnya perlu
dianalisis mengenai jenis kelembagaan yang ideal. Lembaga pariwisata berbasis
kultural menjadi penting karena merupakan proses negosiasi masyarakat lokal
secara historis (dirasakan dan dihayati secara langsung) terhadap pariwisata yang
berlangsung selama ini di Desa Pakraman Pinge.
Rumusan model dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Desa wisata sebagai ranah pariwisata
Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata jika dikaji menggunakan konsepsi
ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata
berkumpul untuk memperjuangkan modal yang diberikan oleh pariwisata
Modal yang dimaksudkan adalah modal ekonomi, sosial, budaya, dan
simbolik.
Fase embriotik perkembangan destinasi
pariwisata perdesaan
Elit pariwisata
Inklusifitas elit
Pelembagaan pariwisata berbasis
kultural
Masyarakat lokal
Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan
destinasi pariwisata perdesaan
Pihak eksternal: biro perjalanan wisata,
asosiasi pariwisata, perguruan tinggi, dan
wisatawan
DESA WISATA
Gambar 3. Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan
38!!
2. Fase embriotik
Pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikatakan masih berada dalam
tahap awal perkembangan atau fase embriotik. Penekanan pada fase ini
karena meskipun telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan
sebagai desa wisata pada tahun 2004, namun pengembangan pariwisatanya
baru mendapatkan perhatian mulai tahun 2011. Adanya kevakuman selama
kurang lebih tujuh tahun disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat lokal
untuk menindaklanjuti penetapan tersebut dan ketergantungan masyarakat
lokal terhadap program pemerintah.
3. Elit pariwisata
Variabel elit ini sangat penting dalam fase embriotik pariwisata di Desa
Pakraman Pinge karena perannya sebagai motor penggerak sekaligus juga
sebagai penghambat perkembangan pariwisata. Ada dua tipologi elit
pariwisata Pinge, yaitu elit eksklusif dan elit inklusif. Aktor jenis ini perlu
dilibatkan dalam penyelenggaraan desa wisata karena perannya sebagai
penggerak pariwisata dengan posisi sebagai penghubung antara masyarakat
lokal dengan pihak eksternal pariwisata karena habitus pariwisata yang telah
dimilikinya berdasarkan trayektori sebelumnya. Tetapi perlu memutus peran
para aktor ini sebagai penghambat pariwisata Pinge untuk menuju tahapan
pasca fase embriotik. Dapat disebutkan bahwa jika tidak ditemukan formulasi
yang tepat dan juga terjadi pembiaran praktik pariwisata di Desa Pakraman
Pinge yang elitis, akan terjadi quo vadis perkembangan pariwisata atau akan
mandeg di tahapan embriotik.
4. Lembaga pariwisata berbasis kultural
Dengan lembaga ini diharapkan terjadi apa yang disebut sebagai inklusivitas
elit. Dalam perkembangannya, siasat personal pariwisata akan tidak memadai
lagi dalam rangka optimalisasi modal pariwisata yang bisa diakumulasi.
Diperlukan strategi kolektif masyarakat lokal dalam penyelenggaraan
pariwisata di Desa Pakraman Pinge, sehingga dapat diperoleh manfaatnya
dengan proses transaksi modal secara adil. Lembaga inilah yang akan
menciptakan regulasi/tata aturan yang mengikat aktor dan kelompok aktor
39!!
pariwisata. Lembaga pariwisata yang direkomendasikan adalah berada dalam
struktuk Desa Pakraman Pinge, dengan catatan pengurus desa adat berposisi
sebagai komisaris dan pengawas, tidak terlibat langsung secara manajerial
pada perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hal ini untuk
menjaga sakralitas lembaga desa adat agar tidak mengurusi hal-hal sekuler,
dan menjaga kehormatan para pengurusnya. Lembaga pariwisata dapat
didorong untuk menjadi semacam sekehe, sejajar dengan sekehe lainnya dan
bersifat koordinatif dengan sekehe lainnya. Dapat dikatakan bahwa lembaga
pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang berposisi sebagai sekehe telah
dikenali dalam bingkai pemaknaan masyarakat lokal, guna memutus
pelembagaan yang ahistoris (dipaksakan dari luar). Hal ini akan mempercepat
strukturasi pelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Strukturasi yang
dimaksud adalah proses membingkai desa wisata sebagai tata aturan
ditingkatan pemaknaan dan lewat bingkai intepretasi tersebut akan memandu
masyarakat lokal dalam menjalankan praktik sosial keseharian. Ketika
dipraktikkan secara terus-menerus dengan pola yang ajeg akan menjadi
habitus baru atau kesadaran praktis. Lewat terminologi sekehe, masyarakat
lokal telah memiliki habitus yang mampu mengenali dan menjalankan
interaksi sosial berbasis sekehe. Makna strategis lembaga pariwisata dengan
karakter kultural juga ada dalam konteks mendorong inklusivitas elit. Institusi
sekehe yang kental aroma kulturalnya akan mengurangi efek formalitas yang
umumnya ada pada lembaga modern. Semua yang tergabung dalam lembaga
berbasis sekehe akan lebih akrab dan saling bertukar ide serta gagasan dalam
suasana yang cair dengan tetap saling menghormati tetapi bukan dalam tata
relasi atasan-bawahan melainkan pertemanan. Di titik inilah para elit akan
berada dalam bingkai relasi kultural dan kapasitas serta pengalaman tentang
pariwisata dapat di-share kepada masyarakat lokal yang memilih bergabung
dalam mengelola desa wisata. Tipologi elit akan mencair dari dualisme
ekslusif-inklusif menjadi dualitas inklusif. Tata relasi interaksi sosial berbasis
elitis eksklusif akan ditinggalkan, karena tidak ada tempat dalam bingkai
kelembagaan kultural pariwisata berbasis sekehe. Inilah yang dimaksud
40!!
sebagai inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Elit tetap penting
dalam praktik Desa Wisata Pinge dan lewat inklusivitas elit akan
dimaksimalkan peran elit sebagai motor penggerak pariwisata dan
menghilangkan peran sebagai penghambat pariwisata seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
5. Partisipasi masyarakat lokal
Dengan terlibatnya masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan
pembagian manfaat pariwisata, menjadikan masyarakat merasa memiliki dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Dengan
adanya partisipasi ini, masyarakat lokal akan menganggap pariwisata sebagai
sarana memperoleh tambahan penghasilan, dengan tidak meninggalkan basis
pekerjaan sebelumnya. Masyarakat lokal yang ingin terlibat dalam
penyelenggaraan pariwisata dapat bergabung dengan lembaga pariwisata
seperti dideskripsikan pada model di atas. Dengan adanya lembaga pariwisata
berbasis kultural, masyarakat lokal tidak akan merasa canggung karena
karakter kelembagaannya yang terbuka dan cair. Di lembaga ini, masyarakat
lokal akan berlajar menyesuaikan habitusnya dengan habitus pariwisata.
Dengan masifnya masyarakat lokal untuk terlibat dalam pariwisata akan
menjadikan ranah pariwisata menjadi salah satu ranah utama dalam ruang
sosial Desa Pakraman Pinge.
6. Pihak eksternal
Peran agen ini juga tidak bisa dinafikkan, karena dengan adanya pihak
eksternal masuk dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge menjadikan
fenomena pariwisata terjadi. Dalam konteks kajian tentang modal, aspirasi
pihak eksternal ini menjadi penting karena membawa modal dalam
pariwisata, yaitu modal ekonomi. Jenis modal inilah yang selama ini menjadi
target para aktor untuk diakumulasi dan diperjuangkan dalam ranah. Dalam
kasus pariwisata di Desa Pakraman Pinge, dengan adanya inklusivitas elit dan
pelembagaan pariwisata berbasis kultural, diharapkan masyarakat lokal
sebagai penyelenggara pariwisata mampu melakukan pertukaran modal yang
dimilikinya (sosial, budaya, simbolik) dengan modal ekonomi yang dimiliki
41!!
pihak eksternal. Dalam konteks desa wisata sebagai praktik sosial, akan
terjadi proses pertukaran modal. Wisatawan yang difasilitasi biro perjalanan
atau pihak lain akan menukar modal ekonomi melalui pembelanjaannya untuk
mendapat modal sosial, budaya, dan simbolik yang terdapat dalam produk
pariwisata yang ditawarkan masyarakat lokal. Selain wisatawan, biro
perjalanan, dan pemandu wisata, pihak eksternal lainnya yang cukup penting
dalam model penyelenggaraan Desa Wisata Pinge adalah birokrasi
pemerintah, perguruan tinggi, dan media massa. Pihak-pihak eksternal ini
bersifat supporting dan memiliki jenis modal spesifik yaitu modal budaya dan
sosial. Modal budaya dimiliki institusi perguruan tinggi karena reputasi
keilmuan yang dimilikinya dan memiliki gelar akademis formal. Sedangkan
modal sosial yang berupa jaringan-jaringan sosial yang luas, dimiliki oleh
birokrasi pemerintah dan media massa. Para agen eksternal yang memiliki
pengetahuan dan jaringan ini penting untuk dimasukkan ke dalam model yang
dirancang ini, sebagai tambahan amunisi modal pariwisata bagi masyarakat
lokal. Para pihak eksternal selama ini difasilitasi dalam berhubungan dengan
masyarakat lokal oleh para elit. Ketika inklusivitas elit pariwisata di Desa
Pakraman Pinge dapat dikreasi dengan munculnya lembaga pariwisata
berbasis kultural, diharapkan lembaga inilah yang menjadi fasilitator interaksi
masyarakat lokal dengan pihak eksternal tersebut.
42!!
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
Dapat disimpulkan bahwa model integrasi masyarakat lokal dalam
perencanaan destinasi pariwisata perdesaan dalam kasus di Desa Pakraman Pinge
adalah pelembagaan pariwisata berbasis kultural. Disebut pelembagaan karena
adanya proses untuk membangun suatu intitusi pariwisata yang merupakan ruang
bagi titik temu dari aktivitas masyarakat yang memiliki kepentingan dan
kepedulian terhadap pariwisata. Berbasis kultural, karena lembaga tersebut
diupayakan untuk tidak bersifat eksternal dan eksklusif. Bersifat eksternal berarti
lembaga tersebut seolah berasal dari luar dan terlepas dari kerangka pemahaman
serta pemaknaan budaya masyarakat lokal. Sedangkan eksklusif mengandung
makna, ketika lembaga tersebut hanya dimiliki dan dimengerti oleh sebagian kecil
masyarakat yaitu elit (inklusif dan eksklusif). Dengan kata lain, lembaga ini akan
menaungi praktik pariwisata perdesaan yang menawarkan produk pariwisata
berbasis rutinitas kehidupan masyarakat perdesaan Bali dengan bahasa dan ritme
aktivitas yang dimengerti masyarakat lokal.
Dengan demikian dibutuhkan lembaga pariwisata yang bersifat internal
dan inklusif sesuai dengan kultur masyarakat lokal. Ini dimaksudkan agar
masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam praktik pariwisata perdesaan.
Keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat
pariwisata, dimungkinkan jika kedua aktivitas tersebut terselenggara dalam
payung lembaga yang menyediakan ruang negosiasi yang sehat bagi pemangku
kepentingan pariwisata perdesaan. Lembaga tersebut menjadi strategis bagi ruang
pembelajaran masyarakat dan dapur bagi produksi kebijakan pariwisata yang
diciptakan masyarakat lokal secara kolektif.
43!!
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris, 2004, Cultural Studies; Teori & Praktek, Kreasi Wacana, DIY
Briedenhann, J. & Wickens, E., 2004, Rural Tourism-Meeting the Challenges of
the New South Africa, International Journal of Tourism Research, 6: 189-
203.
Campbell, 1999, Ecotourism in Rural Developing Communities, Annals of
Tourism Research, 26: 534-553
Davidson, Rob and Maitland, Robert, 1997, Tourism Destinations, Hodder &
Stoughton, London
Dogra, Ravinder and Gupta, Anil, 2012, Barriers to Community Participation in
Tourism Development: Empirical Evidence from a Rural Destination,
South Asian Journal of Tourism and Heritage, 5: 131-142
Fashri, Fauzi. 2104. Pierre Bourdieu; Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:
Jalasutra.
Garrod, B., Wilson, J.C., and Bruce, D.B., 2001, Planning for Marine Ecotourism
in the EU Atlantic Area: Good Practice Guidelines, Project Report,
University of the West of England, Bristol
Gunn, Clare A., 1994, Tourism Planning; Basics, Concepts, Cases, Taylor &
Francis, USA
Inskeep, E., 1991, Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development
Approach, Van Nostrand Reinhold, USA
Jenkins, C. L., 1982, The Effects Of Scale In Tourism Projects In Developing
Countries, Annals of Tourism Research, 9: 229-249
Lane, B., 1994. What is rural tourism?, Journal of Sustainable Tourism, 2: 7-21.
Leslie, David, 2012, Responsible Tourism; Concepts, Theory and Practice, CABI,
UK
Mowforth, Martin and Munt, Ian, 1998, Tourism and Sustainability; New Tourism
in the Third World, Routledge, New York
Murphy, Peter E., 1985, Tourism A Community Approach, Methuen, New York
Page, S. J. & Getz, D. (Eds.), 1997, The business of rural tourism: international
perspectives, International Thomson Business Press, London, Boston.
44!!
Pike, Steven, 2004, Destination Marketing Organisations, Elsevier, UK
Roberts, L. and Hall, D., 2004, Consuming the countryside: Marketing for rural
tourism, Journal of Vacating Marketing, 10: 253-263
Scheyvens, Regina, 2002, Tourism for Development; empowering communities,
Prentice Hall, England
Shah, Kishore and Gupta, Vasanti, 2000, Tourism, the Poor and Other
Stakeholders: Experience in Asia, The Russell Press, Nottingham
Telfer, Richard and Sharpley, David J., 2008, Tourism and Development in the
Developing World, Routledge, New York
Timothy, Dallen J., 1999, Participatory Planning; A View of Tourism in
Indonesia, Annals of Tourism Research, 26: 371-391
Timothy, Dallen J. and Boyd, Stephen W., 2003, Heritage Tourism, Pearson
Education, England
Tosun, Cevat, 2000, Limits to Community participation in the tourism
development process in developing countries. Tourism Management, 21:
613-633.
Tosun, Cevat and Timothy, Dallen J., 2003, Arguments for Community
Participation in the Tourism Development Process, The Journal Of
Tourism Studies, 14: 1-15
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan
Veal, A. J., 2006, Research Methods for Leisure and Tourism; A Practical Guide,
Pearson Education, England
WTO, 1998, Guide for Local Authorities on Developing Sustainable Tourism,
World Tourism Organization.
45!!
LAMPIRAN
Lampiran 1. Instrumen Penelitian
1. Ceklis kelengkapan instrumen
No. Kelengkapan Keterangan A. Panduan wawancara B. Panduan pengambilan gambar C. Alat rekam suara D. Kamera E. Laptop F. Charger G. Flashdisk H. Buku catatan I. Pulpen J. Map K. Buku harian
2. Panduan wawancara
Target: menggali informasi kondisi ruang dan ranah pariwisata, modal,
ekspektasi mengenai pariwisata, permasalahan yang dihadapi,
kearifan lokal, kelembagaan, dan jenis partisipasi masyarakat dalam
pengembangan pariwisata
A. Ranah atau ruang
- Kegiatan pariwisata yang sedang berlangsung
- Lembaga yang terlibat (masyarakat, pemerintah, swasta)
B. Komposisi modal
- Ekonomi (individu/kelompok dan trajektori)
- Budaya (individu/kelompok dan trajektori)
- Sosial (individu/kelompok dan trajektori)
- Simbolik (individu/kelompok dan trajektori)
C. Permasalahan yang dihadapi
- Etos (need for achievement, need for power, need for affiliation)
- Struktural (adat, kebijakan dinas, dan lain-lain)
D. Ekspektasi
- Manifes
46!!
- Laten
- Romantisme
- Futuristik
E. Kearifan lokal
F. Kelembagaan
- Ruang-ruang diskursif (formal dan informal)
- Mekanisme pengambilan keputusan
- Manajemen konflik
3. Catatan penelitian
Sumber Aspek Penekanan
Temuan/ Informasi
Kekurangan informasi Keterangan
4. Panduan pengambilan gambar
A. Narasumber
B. Infrastruktur
C. Suprastruktur
D. Lembaga/institusi
E. Kegiatan pariwisata
F. Kegiatan masyarakat
G. Lansekap
47!!
Lampiran 2. Personalia Tenaga Peneliti
Ketua Peneliti
A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap (dengan gelar) I Made Adikampana, S.T., M.T. 2 Jenis Kelamin L/P 3 Jabatan Fungsional Lektor Kepala 4 NIP/NIK/No.Identitas lainnya 197702242001121002 5 NIDN 0024027704 6 Tempat dan Tanggal Lahir Negara, 24 Februari 1977 7 Alamat e-mail adikampana@gmail.com 8 Nomor Telepon/HP 08123884484 9 Alamat Kantor Jl. DR. R. Goris No. 7 Denpasar
10 Nomor Telepom/Faks. (0361) 223798 11 Lulusan yang telah dihasilkan S-1 = 56 orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang 12 Mata Kuliah yang diampu 1. Geografi Pariwisata
2. Proses Perencanaan pariwisata 3. Perencanaan Kawasan Pariwisata 4. Perencanaan Destinasi Pariwisata 5. Pariwisata Berbasis Masyarakat
B. Riwayat Pendidikan Program S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi Institut Teknologi Nasional Bandung
Universitas Gadjah Mada
Universitas Udayana
Bidang Ilmu Teknik Planologi
Teknik Arsitektur Pariwisata
Pariwisata
Tahun Masuk - Lulus 1995 - 2001 2004 - 2006 2012 - Judul Skripsi/Tesis/Desertasi Identifikasi
Karakteristik Pedagang Kaki Lima dalam rangka Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung
Pariwisata Alam dan Peluang Pekerjaan bagi Masyarakat Lokal
-
Nama Pembimbing/Promotor Ir. Akhmad Setiobudi, M.Sc.
Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch., Ph.D.
-
48!!
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)
1 2010 Pembangunan Pariwisata Berbasis Komunitas di Atraksi Wisata Ceking
HB, DIKTI 46,5
2 2011 Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge
PDM, Unud 7,5
3 2013 Model Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis
PUPT, DIKTI 62
4 2013 Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata Candi Dasa Provinsi Bali
HB, DIKTI 45
5 2014 Model Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis
PUPT, DIKTI 64
6 2014 Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Perencanaan Destinasi Pariwisata Perdesaan
HB, DIKTI 48,75
* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber lainnya.
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)
1 2011 Penataan Kemitraan dan Kelembagaan Desa Wisata Tista Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan
DIPA, Unud 4
2 2012 Pengembangan Agrotourism Berbasis Ipteks Terpadu di Desa Lod Tunduh Kabupaten Gianyar
IbM, DIKTI 45
3 2013 Pengembangan Atraksi Agrowisata Terpadu Berbasis Ipteks
IbM, DIKTI 49
4 2014 IbM Desa Pakraman Pinge yang Menghadapi Permasalahan Pengembangan Produk Desa Wisata
IbM, DIKTI 43
* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema pengabdian kepada masyarakat DIKTI maupun dari sumber lainnya.
49!!
E. Publikasi Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 Analisis Dampak Budaya Pembangunan
Bandara Internasional Terhadap Masyarakat Sekitarnya
2/2, 2011 dwijenAGRO
2 Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pinge
12/1, 2012 Analisis Pariwisata
3 Integrasi Masyarakat Lokal dalam Perencanaan Destinasi Pariwisata (Sebagai manifestasi praktek dekonstruktif)
3/1, 2012 Jurnal Ilmiah Hospitality Management
4 Optimalisasi Kontribusi Pariwisata Ceking terhadap Ekonomi Masyarakat Lokal
2/1, 2012 Jurnal Ilmiah Pariwisata
5 Tantangan Pengembangan Pariwisata di Daerah Pinggiran
5/1, 2014 Jurnal Ilmiah Hospitality Management
6 Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis
9/3, 2014 Jurnal Kepariwisataan Indonesia
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir No. Nama Pertemuan ilmiah/
Seminar Judul Artikel
Ilmiah Waktu dan
Tempat 1 Kegiatan Temu Karya Pengembangan
Kawasan Pariwisata Terpadu Pengintegrasian Pengembangan Pariwisata dalam Ekonomi Masyarakat Lokal
2010 Bali
2 Seminar Hasil-Hasil Penelitian 2011 Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana
Kontribusi Pariwisata Ceking terhadap Ekonomi Masyarakat Lokal
2011 Bali
3 Seminar Hasil-Hasil Penelitian Pariwisata Badan Pengembangan Sumber Daya Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia
Kajian Dampak Bandara terhadap Budaya Masyarakat
2012 Bali
4 Deseminasi Hasil-hasil Penelitian tahun 2013
Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata
2013 Bali
50!!
Candi Dasa Provinsi Bali
5 Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014 Dampak Pariwisata Perdesaan bagi Masyarakat Lokal
2014 Bali
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul buku Tahun Jumlah
Halaman Penerbit
1 Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global
2010 xiv + 294 Udayana University Press
2 Pariwisata Kalimantan: Pemikiran & Perjalanan ke Jantung Borneo
2010 xiii + 155 Arsimedik Publisher
3 The Exellence Research Universitas Udayana 2011
2011 vii + 182 Udayana University Press
4 Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014
2014 xxviii + 1032 Udayana University Press
H. Perolehan HKI dalam 5 – 10 Tahun Terakhir No. Judul/Thema HKI Tahun Jenis No.P/ID - - - - -
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul/Tema/Jenis
Rekayasa Sosial Lainnya yang Telah Diterapkan
Tahun Tempat Penerapan
Respon Masyarakat
1 Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur
2012 Kabupaten Nunukan
Mendukung program
J. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi, atau institusi lainnya)
No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi
Penghargaan Tahun
1 Peneliti Muda Terbaik Tingkat Universitas Udayana Bidang Sosial
Unud 2010
51!!
Anggota Peneliti
A. Identitas Diri 1 Nama Lengkap (dengan gelar) Dra Luh Putu Kerti Pujani M. Si. 2 Jenis Kelamin L/P 3 Jabatan Fungsional Lektor Kepala 4 NIP/NIK/No.Identitas lainnya 195708291986012001 5 NIDN 0029085708 6 Tempat dan Tanggal Lahir Gianyar, 29 Agustus 1957 7 Alamat e-mail bunga_nana@yahoo.com 8 Nomor Telepon/HP 0361290047/03618553655 9 Alamat Kantor Jl. DR. R. Goris No. 7 Denpasar
10 Nomor Telepom/Faks. (0361) 223798 11 Lulusan yang telah dihasilkan S-1 = 134 orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang 12 Mata Kuliah yang diampu 1.Antropologi Pariwisata
2.Metodologi 3.Sistem Pariwisata 4.Seminar dan Wisata Spiritual 5.Sosial Budaya Pariwisata
B. Riwayat Pendidikan Program S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi Universitas Udayana
Universitas Udayana
-
Bidang Ilmu Antropologi Kajian Budaya - Tahun Masuk - Lulus 1978 - 1984 1997 - 2000 - Judul Skripsi/Tesis/Desertasi Cerita Sutasoma
dalam Karya Seni Rupa I Gusti Nyoman Lempad (Suatu Usaha Pemahaman Transmisi Budaya dalam Kehidupan Komunitas Banjar Taman di Desa Ubud)
Pekerja Anak Pada Sektor Informal Penjual Post Card di Obyek Wisata Tanah Lot, Tabanan, Bali (Studi tentang Pemaknaan Kerja dalam Perspektif Budaya Kewiraswastaan)
-
Nama Pembimbing/Promotor Prof. Dr. I Gusti. Ngurah Bagus
Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA.
-
52!!
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)
1 2010 Upaya dan Kendala Disparda Provinsi Bali dalam Pemulihan Pariwisata Pasca Bom Bali ( Suatu Tinjauan Kritis Kajian Budaya)
DIPA PNBP 7,5
2 2011 Desa Wisata Berbasis Masyarakat Sebagai Model Pemberdayaan Masyaraka di Desa Pinge
DIPA PNBP 7,5
3 2011 Pemetaan Kriminalitas Dan Upaya Antisipasi Tindak Kejahatan Terhadap Wisatawan (Studi Tentang Bentuk Kejahatan di Wisata Kuta
Hibah Penelitian Unggulan Udayana
50
4 2013 Model Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis
PUPT, DIKTI 62
5 2013 Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata Candi Dasa Provinsi Bali
HB, DIKTI 45
6 2014 Model Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis
PUPT, DIKTI 64
7 2014 Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Perencanaan Destinasi Pariwisata Perdesaan
HB, DIKTI 48,75
* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber lainnya.
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber*) Jumlah (Juta Rp.)
1 2011 Manajemen Kelompok Elit Sebagai Aktor Penggerak Pengembangan Desa Wisata Pinge
DIPA PNBP 4
2 2014 IbM Desa Pakraman Pinge yang Menghadapi Permasalahan Pengembangan Produk Desa Wisata
IbM DIKTI 43
* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema pengabdian kepada masyarakat DIKTI maupun dari sumber lainnya.
E. Publikasi Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal 1 Revitalisasi dalam Fluktuasi Vol. 24, No. 1 Mudra
53!!
Kesenian Reog Ponorogo Menuju Icon Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo
2009
2 Pemetaan Kriminalitas danUpaya Antisipasi Tindak Kejahatan Terhadap Wisatawan (Studi Tentang Bentuk Kejahatan di Wilayah Pariwisata Kuta
Vol.7, No.1 2012
Jurnal Kepariwisataan Indonesia
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir No. Nama Pertemuan ilmiah/
Seminar Judul Artikel
Ilmiah Waktu dan
Tempat 1 Sosialisasi Renstra Fakultas
Pariwisata terhadap civitas akademika Fakultas Pariwisata
Renstra Fakultas Pariwisata Tahun 2010-2014.
Fakultas Pariwisata, 2010
2 Penceramah dalam pembekalan metodologi kualitatif kepada peserta “Penelitian Lapangan I” di Jember dan Bromo
Prosedur kerja penelitian kualitatif
PS. Destinasi Pariwisata Fakultas Pariwisata, 2011
3 Penceranah dalam pembekalan metodologi kualitatif kepada peserta “Penelitian Lapangan I” di kawasan wisata Senggigi dan Gili Trawangan Lombok.
Prosedur kerja penelitian kualitatif (teknik wawancara mendalam dan pedoman wawancara)
PS. Destinasi Pariwisata Fakultas Pariwisata 2012
4 Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014
Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Pariwisata Ekologis
2014 Bali
5 Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014
Dampak Pariwisata Perdesaan bagi Masyarakat Lokal
2014 Bali
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul buku Tahun Jumlah
Halaman Penerbit
1 Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global
2010 xiv + 294 Universitas Udayana Press
2 Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2014
2014 xxviii + 1032
Udayana University Press
H. Perolehan HKI dalam 5 – 10 Tahun Terakhir No. Judul/Thema HKI Tahun Jenis No.P/ID - - - - -
54!!
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul/Tema/Jenis Rekayasa Sosial Lainnya yang Telah Diterapkan Tahun Tempat
Penerapan Respon
Masyarakat - - - - -
J. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi, atau institusi lainnya)
No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan Tahun
- - - - Lampiran 3. Publikasi
A. Artikel di Senastek 2015 (sudah dilaksanakan)
TIPOLOGI ELIT DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA PERDESAAN
Abstrak
Tantangan dalam pengembangan pariwisata perdesaan adalah adanya keterbatasan struktural yang berupa dominasi elit dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata perdesaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkonstruksi tipologi elit dalam pengembangan pariwisata perdesaan. Pengembangan Desa Wisata Pinge di Tabanan, Bali digunakan sebagai studi kasus. Data dikumpulkan dengan observasi dan wawancara terhadap beberapa informan diantaranya tokoh masyarakat lokal, kelompok sadar wisata (pokdarwis), dan badan pengelola desa wisata. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis untuk menentukan karakteristik elit pariwisata perdesaan. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa pengembangan Desa Wisata Pinge berada dalam fase baru berkembang. Pada fase tersebut, keberadaan elit memberikan dampak yang berarti bagi pengembangan pariwisata perdesaan. Terdapat dua tipe elit dalam ranah pariwisata perdesaan, yaitu elit inklusif dan elit eksklusif. Elit inklusif memiliki karakter : partisipatif, visioner, orientasi pada pengembangan pariwisata skala kecil, dan legitimatif. Sedangkan elit eksklusif bercirikan sebaliknya : dominatif, pragmatis, orientasi pada pengembangan pariwisata berskala besar, dan non-legitimatif. Kata kunci: tipologi, elit, pariwisata perdesaan, inklusif, eksklusif
Abstract
The challenge in the development of rural tourism is the existence of structural limitation in the form of elite domination in decision-making and sharing the benefits of tourism. The research addressed to construct the elite typology in the practices of rural tourism development. The development of Pinge Village as a rural tourism destination in Tabanan, Bali is utilized as a case study. Data collected by observation and interviews with several informants including local community figure, tourism awareness group (pokdarwis), and rural tourism management board. The data analyzed descriptively to
55!!
determine the characteristics of rural tourism elite. Result of such analysis indicated that the developments of rural tourism in Pinge Village are in a new phase or early stage. In this stage, the presences of the elite contribute a significant impact for the development of rural tourism. There are two types of the elite in the development of rural tourism, specifically the inclusive and exclusive elite. The inclusive elite has character: participative, visionary, small-scale tourism oriented, and legitimate. While the exclusive elite characterized by conversely: dominative, pragmatic, large-scale tourism oriented, and non-legitimate. Keywords: typology, elite, rural tourism, inclusive, exclusive
1. PENDAHULUAN
Masyarakat lokal merupakan bagian tidak terpisahkan dari destinasi
pariwisata. Integrasi masyarakat lokal dalam destinasi pariwisata dimaksudkan
untuk memastikan masyarakat lokal mendapat ruang dan kesempatan
berpartisipasi dalam proses perencanaan pariwisata. Kerangka pemikiran integrasi
dimulai dari pemahaman mendasar tentang destinasi pariwisata. Di dalam
destinasi pariwisata, tidak hanya terdapat industri pariwisata dalam sebuah sistem
(produk, pasar, dan akses), melainkan juga ada keterkaitan atau koeksistensi
dengan industri lain dan masyarakat lokal. Begitu pentingnya peran masyarakat
lokal dalam keberlanjutan pengembangan destinasi pariwisata telah mendorong
munculnya tren baru pengembangan pariwisata yang berbasis masyarakat. Oleh
Tosun dan Timothy (2003) ditegaskan bahwa aspek penting dalam pariwisata
berkelanjutan adalah penekanan kepada pariwisata berbasis masyarakat lokal.
Pendekatan ini lebih fokus terhadap partisipasi masyarakat lokal dalam
perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata. Melalui partisipasi
masyarakat, pariwisata secara langsung dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat lokal. Dengan adanya manfaat inilah penerimaan, dukungan, dan
toleransi masyarakat lokal terhadap pariwisata akan tumbuh dengan optimal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat lokal posisinya sangat
strategis dan setara dengan pengambil keputusan lainnya dalam menjamin
keberlanjutan destinasi pariwisata (Telfer dan Sharpley, 2008; Timothy dan
Tosun, 2003).
Namun berbagai permasalahan akan ditemukan dalam mewujudkan
destinasi pariwisata berkelanjutan. Minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam
56!!
perencanaan ditengarai menjadi tantangan dan hambatan pengembangan destinasi
pariwisata berkelanjutan. Scheyvens (2002) menyebutkan ada dua tantangan
terbesar dalam pariwisata berbasis masyarakat lokal. Pertama, pada kenyataannya
masyarakat lokal dalam suatu destinasi pariwisata terbagi ke dalam berbagai faksi
atau golongan yang saling mempengaruhi berdasarkan kelas masyarakat (kasta),
gender, dan kesukuan. Antar faksi biasanya saling menyatakan paling memiliki
atau mempunyai hak istimewa atas keberadaan sumber daya pariwisata. Golongan
elit masyarakat lokal tertentu sering berada dalam posisi mendominasi
pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat, lalu memonopoli pembagian atau
penerimaan manfaat pariwisata (Mowforth dan Munt, 1998). Tantangan kedua
adalah permasalahan internal dalam mengidentifikasi pariwisata sebagai strategi
pembangunan masyarakat lokal. Masyarakat lokal pada umumnya tidak cukup
punya informasi, sumber daya, dan kekuatan dalam hubungannya dengan berbagai
pengambil keputusan lainnya dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata,
sehingga masyarakat lokal rentan terhadap eksploitasi. Selain tantangan yang
sudah dijelaskan sebelumnya, dalam pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat lokal juga akan berhadapan dengan berbagai hambatan. Tosun (2000)
mengidentifikasi tiga hambatan dalam pembangunan pariwisata berbasis
masyarakat. Pertama, keterbatasan operasional; termasuk dalam hambatan ini
adalah sentralisasi administrasi publik, lemahnya koordinasi, dan minimalnya
informasi pariwisata. Kedua, keterbatasan struktural; berupa sikap pelaku
pariwisata, terbatasnya tenaga ahli, dominasi elit masyarakat, aturan hukum yang
belum tepat, sedikitnya jumlah sumber daya manusia (SDM) terlatih, dan minim
akses ke sumber modal/finansial. Ketiga keterbatasan kultural, yaitu : kurangnya
kapasitas terutama pada masyarakat miskin dan apatis atau rendahnya kesadaran
pariwisata masyarakat lokal.
Berbagai permasalahan tersebut juga teramati di sebuah desa adat yaitu
Desa Pakraman Pinge, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.
Desa Pakraman Pinge pada tahun 2004 telah ditetapkan sebagai desa wisata atau
destinasi pariwisata di wilayah perdesaan. Penetapan ini didasarkan bahwa Desa
Pakraman Pinge mempunyai sumber daya pariwisata yang sangat potensial.
57!!
Morfologi desa tradisional, bentang alam, tinggalan budaya, dan tradisi
masyarakat agraris menjadi kekuatan utama pengembangannya. Selain itu Desa
Pakraman Pinge telah dikunjungi wisatawan, terutama wisatawan mancanegara
yang berasal dari Eropa. Akan tetapi kebanyakan wisatawan tersebut hanya
sebatas transit sebelum atau setelah mengunjungi daya tarik wisata lainnya yang
terdapat di sekitar Desa Pakraman Pinge. Ini terjadi karena selama ini Desa
Pakraman Pinge merupakan jalur perjalanan wisata, terutama wisatawan
bersepeda atau bersafari dengan mobil volkswagen.
Adanya penetapan Desa Wisata Pinge sebagai destinasi pariwisata
perdesaan disambut eforia oleh masyarakat lokal. Akan tetapi kemudian, muncul
kecenderungan elit yang mendominasi perencanaan serta implementasi program,
dan selanjutnya memonopoli pembagian manfaat pengembangan Desa Wisata
Pinge. Munculnya fenomena elit dalam pengembangan pariwisata perdesaan
seperti kasus yang teramati di Desa Wisata Pinge, disebabkan oleh
ketidakmampuan masyarakat lokal mengidentifikasi dampak pariwisata sebagai
strategi pembangunan masyarakat perdesaan. Disamping itu, dominasi elit
tersebut juga didukung oleh masih minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam
pengembangan pariwisata perdesaan. Untuk itu, penelitian ini dilakukan dengan
tujuan untuk menemukan tipologi elit dalam pengembangan pariwisata perdesaan.
Temuan tentang tipologi elit pariwisata perdesaan dapat memberikan ilustrasi
tentang karakteristik dan implikasi yang ditimbulkannya dalam pengembangan
pariwisata perdesaan.
2. BAHAN DAN METODE
Penelitian tentang tipologi elit dalam pengembangan pariwisata perdesaan
mengambil kasus di Desa Wisata Pinge. Penelitian ini menggunakan pendekatan
interpretatif, naturalistik agar lebih bisa memahami makna suatu fenomena
(tindakan, keputusan, keyakinan, nilai) dalam realitas sosial tertentu (Snape dan
Spencer, 2003). Fenomena yang diinterpretasi adalah adanya elit yang
mendominasi pengembangan pariwisata perdesaan.
58!!
Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder.
Data primer dikumpulkan dengan teknik observasi dan wawancara terhadap
beberapa tokoh masyarakat lokal baik dinas maupun adat, pokdarwis, dan badan
pengelola desa wisata. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan informasi
komprehensif mengenai proses perencanaan pengembangan pariwisata perdesaan.
Selain data primer, sumber data juga berasal dari data sekunder yang dihasilkan
dari survei kelembagaan. Semua data yang terkumpul kemudian dikelompokkan
sesuai dengan tujuan penelitian dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
3. HASIL
Penetapan Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata atau destinasi
pariwisata perdesaan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Tabanan No. 337
Tahun 2004. Namun penetapan tersebut, tidak serta diimbangi dengan rangkaian
program pengembangan, baik oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan maupun
masyarakat lokal sendiri. Hal ini mengakibatkan Desa Wisata Pinge yang
ditargetkan sebagai salah satu destinasi pariwisata perdesaan unggulan di Bali
tidak mendapatkan tanggapan berarti dari pasar dan juga para pelaku industri
pariwisata. Keadaan kemudian berubah ketika pada tahun 2011, muncul inisiatif
dari beberapa masyarakat setempat untuk membangun produk desa wisata.
Sejumlah masyarakat ini merupakan pensiunan yang memiliki pengalaman
terutama di pemerintahan dan pariwisata. Masyarakat lokal dengan inisiasi
pensiunan tersebut, mulai mengadakan program penataan desa, memfungsikan
beberapa tempat tinggal sebagai homestay, pemberdayaan perempuan melalui
kelompok kuliner Merta Dewi, dan menentukan jalur-jalur jelajah desa.
Selanjutnya pada tahun 2012 dibentuk Badan Pengelola Desa Wisata Pinge sesuai
dengan keputusan adat Desa Pakraman Pinge. Badan ini diberikan mandat untuk
mengontrol perencanaan dan pengembangan Desa Wisata Pinge.
Berdasarkan kronologis perkembangan pariwisata perdesaan di Desa
Pakraman Pinge tersebut, dapat dikatakan bahwa telah terjadi kevakuman
pengembangan Desa Wisata Pinge selama tujuh tahun, yaitu antara tahun 2004
sampai dengan 2011. Kekosongan yang ada, relatif mulai terisi dengan beberapa
59!!
program pengembangan yang bersumber dari inisiatif sejumlah masyarakat lokal
yang berlatar pensiunan. Dengan menginisiasi pengembangan produk desa wisata
telah menjadikan pensiunan tersebut memiliki peran sentral dalam perkembangan
pariwisata perdesaan. Sedangkan masyarakat lokal lainnya yang menjadi
mayoritas hanya mengikuti perubahan yang terjadi. Fenomena ini kemudian
menjustifikasi jenis partisipasi masyarakat lokal dalam perkembangan Desa
Wisata Pinge dan juga mengarahkan kepada konsep elit pariwisata perdesaan
(Adikampana et al., 2014).
4. PEMBAHASAN
Desa Pakraman Pinge dapat dipahami sebagai sebuah ruang sosial yang
terdiri dari beragam ranah yang eksis di dalamnya, termasuk ranah pariwisata
perdesaan yaitu desa wisata. Konsepsi tentang ruang sosial dan ranah dalam
konteks ini, berangkat dari pemikiran Bourdieu dalam Fashri, 2014, yang
mendefinisikan ruang sosial sebagai keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial.
Konsepsi ini memandang realitas sosial sebagai suatu topologi (ruang) yang di
dalamnya terdiri dari beragam ranah yang memiliki keterkaitan dan berhubungan
satu dengan yang lainnya. Ranah adalah hubungan yang terstruktur dan mengatur
posisi individu maupun kelompok dalam ruang sosial. Setiap ranah menuntut
individu maupun kelompok untuk memiliki sumber daya atau modal agar dapat
bertahan hidup dalam relasi sosial atau bermasyarakat. Dengan kata lain, modal
dapat menentukan posisi dan status individu atau kelompok dalam ruang sosial
dan ranah. Konsep ranah dan modal tidak dapat dilepaskan dari konsep habitus.
Secara sederhana, habitus dapat disebut dengan kebiasaan-kebiasaan yang
mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang. Habitus mengacu pada
sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur
objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial
yang berada di dalam suatu ranah (Mahar et al., 2005).
Keberadaan ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge, ditandai dengan
penetapan desa adat tersebut sebagai desa wisata oleh pemerintah daerah pada
tahun 2004. Akan tetapi selama tujuh tahun semenjak ditetapkannya status
60!!
tersebut, dapat dikatakan belum terdapat aktivitas desa wisata yang berarti.
Kevakuman aktivitas Desa Wisata Pinge relatif terisi ketika muncul inisiatif
individu atau kelompok dalam masyarakat lokal yang mulai mengembangkan
produk desa wisata. Mereka yang memiliki kapasitas tersebut pada umumnya
merupakan pensiunan, baik di birokrasi pemerintah ataupun pekerja swasta,
khususnya yang terkait dengan industri pariwisata. Sesuai dengan latar belakang
profesinya tersebut, pensiunan memiliki banyak pengalaman dan kemampuan
dalam berinteraksi dengan berbagai kalangan dan juga kepentingan. Dengan
mempelopori pengembangan produk desa wisata telah menjadikan pensiunan
tersebut memiliki peran sentral dalam perkembangan Desa Wisata Pinge,
sehingga posisinya sangat strategis dalam ranah pariwisata perdesaan. Posisi
strategis dalam konteks ini mempunyai makna sangat menentukan dinamika
perkembangan Desa Wisata Pinge. Fenomena ini kemudian menjadi basis
konsepsi elit pariwisata perdesaan.
Sebagian besar pola mata pencaharian masyarakat di Desa Pakraman
Pinge adalah sebagai petani. Akan tetapi, profesi ini lebih banyak digeluti oleh
generasi tua. Sedangkan generasi mudanya mulai meninggalkan pekerjaan agraris
tersebut. Kebanyakan masyarakat lokal berusia produktif mencari peruntungan di
wilayah perkotaan, mengisi kesempatan pekerjaan di sektor formal ataupun
informal. Ketika para kaum urban Desa Pakraman Pinge ini telah memasuki masa
pensiun, sesuai dengan kebiasaan di Bali, umumnya akan pulang kembali ke desa
asalnya. Para pensiunan dengan segala yang diperoleh selama merantau, akan
berpeluang menduduki posisi sebagai elit dalam berbagai ranah di Desa
Pakraman Pinge, termasuk juga dalam ranah pariwisata perdesaan.
Kapasitas inilah yang digunakan untuk mengambil peran dalam ranah
pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
terjadinya kevakuman aktivitas desa wisata disebabkan oleh belum adanya
kemampuan masyarakat lokal non-elit dalam menyelenggarakan pariwisata
perdesaan. Ini diperkuat dengan adanya fakta bahwa ketika para elit menjadi
pionir pengembangan produk desa wisata, wisatawan mulai berkunjung secara
reguler ke Desa Wisata Pinge. Di sisi lain, para elit juga terlibat dalam
61!!
pembentukan kelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge, baik kelompok
sadar wisata (pokdarwis) maupun badan pengelola desa wisata. Tampak dari
komposisi kepengurusannya, para elit ini menduduki berbagai posisi penting
dalam pengambilan keputusan. Ketika para elit berposisi dalam pengambilan
keputusan pariwisata, maka kesempatan untuk memperoleh manfaat pariwisata
pun akan semakin besar.
Perjalanan elit hingga mencapai posisi strategis dalam ranah pariwisata di
Desa Pakraman Pinge ditempuh dengan memaksimalkan habitus yang dimiliki
dan mengakumulasi beragam jenis modal yang tersedia dalam ranah, sehingga
memproduksi praktik pariwisata yang mendukung posisinya sebagai elit
pariwisata perdesaan. Praktik pariwisata yang terjadi dalam ranah pariwisata
perdesaan tersebut berupa memanfaatkan tempat tinggal sebagai homestay,
pembentukan lembaga pengelola pariwisata, menarik bantuan dan bekerjasama
dengan pihak eksternal untuk pengembangan pariwisata, serta berdiskusi formal
maupun informal bertema pariwisata. Dengan memiliki habitus yang relatif kaya
dan kepemilikan modal yang relatif lengkap, menjadikan posisi para elit berada
dalam poros strategis dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Dengan
demikian individu atau kelompok lain (non-elit) cenderung untuk mendekat
kepada salah satu elit untuk dapat melengkapi modal, sehingga dapat
berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata perdesaan.
Dengan mengelaborasi batasan tentang elit pariwisata perdesaan dan
temuan empiris lainnya, maka dapat ditentukan tipologi elit dalam ranah
pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Terdapat dua tipe elit dalam pengembangan
pariwisata perdesaan, yaitu elit inklusif dan elit eksklusif. Karakteristik masing-
masing elit dapat diamati dalam tabel berikut :
Tabel 1. Tipologi Elit Pariwisata Perdesaan
Elit Inklusif Elit Eksklusif Partisipatif Dominatif Visioner Pragmatis Legitimatif Non-legitimatif Sumber : Analisis, (2014)
62!!
4.1 Elit Inklusif
Elit inklusif memiliki sifat yang bisa diamati dari praktik pariwisatanya
dalam ranah pariwisata perdesaan. Dengan habitus dan ditopang oleh kelengkapan
modal yang dimilikinya, menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat non-elit
lainnya untuk bergabung mengikuti elit ini. Tentu saja relasi yang terjadi
cenderung bersifat dominatif. Hal tersebut dapat dipahami ketika elit memiliki
kapasitas dalam menyelenggarakan pariwisata perdesaan di Desa Pakraman
Pinge. Akan tetapi ada kekhasan gaya elit ini dalam menjalin relasi dengan
kelompok non-elit. Pada elit dengan tipe inklusif memiliki strategi khusus dalam
menjaga posisi sosialnya. Strategi tersebut dapat diamati dengan melihat relasi
yang dibangun dengan kalangan non-elit.
- Partisipatif
Elit inklusif memiliki kemampuan mengorganisir khalayak untuk
berpartisipasi dalam pariwisata perdesaan. Selain memiliki keinginan untuk
melibatkan masyarakat lokal, juga memiliki kemampuan untuk memberi
keteladanan sikap dan perilaku. Dapat dikatakan relasi yang terjadi khas
agraris, yaitu patron-client. Elit sebagai patron memposisikan diri sebagai
tempat bertanya dan memberikan arahan kepada masyarakat non-elit atau
client. Dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge, elit inklusif
mengajak masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengembangan produk desa
wisata dan juga sebagai pengurus kelembagaan desa wisata.
- Visioner
Elit inklusif memiliki visi pengembangan pariwisata perdesaan berskala kecil.
Dalam artian target pasarnya adalah wisatawan berkualitas, fasilitas yang
dibangun tidak bertentangan dengan tradisi dan budaya lokal, dan terbina
interaksi yang intensif antara wisatawan dengan masyarakat lokal.
- Legitimatif
Elit inklusif memiliki basis legitimasi yang relatif kuat di ruang sosial Desa
Pakraman Pinge. Hal ini ditunjukkan dalam proses pemilihan pimpinan adat
(bendesa). Walaupun elit ini tidak mencalonkan diri dan hanya memposisikan
diri sebagai panitia pemilihan, tetapi pada akhirnya justru masyarakat
63!!
menghendaki elit ini untuk menjadi bendesa. Fenomena ini mengindikasikan
adanya dukungan yang kuat dari masyarakat lokal terhadap elit inklusif.
4.2 Elit Eksklusif
Elit eksklusif mempunyai habitus khas berdasarkan rekam jejak yang
dilalui untuk sampai pada posisi sekarang. Elit ini berlatar belakang mantan
birokrasi dan pernah menduduki jabatan penting pemerintahan. Birokratisme
menjadi salah satu karakter yang ada dalam elit eksklusif ini :
- Dominatif
Birokratisme menjadi paham yang melekat pada elit eksklusifi, sehingga
memiliki sifat mendominasi penyelenggaraan pariwisata perdesaan di Desa
Pakraman Pinge. Hal ini ditunjukkan dengan memonopoli jaringan relasi
yang dimilikinya dengan pihak luar, terutama dalam konteks pencarian
bantuan atau hibah dari pemerintah maupun swasta untuk membangun produk
desa wisata. Masyarakat lokal relatif tidak mengetahui proses bantuan
tersebut dan hanya menyaksikan dan mengikuti ketika pembangunan tersebut
berlangsung.
- Pragmatis
Ketidaktransparanan dalam proses pengambilan keputusan dan cenderung
bertindak sendiri, menjadikan elit eksklusif bercirikan pragmatis. Selama
jaringan sosial yang dimilikinya mampu mendatangkan keuntungan untuk
mempertahankan posisi dominatifnya, maka jaringan tersebut akan
dipertahankan, demikian juga sebaliknya. Kekurangpedulian terhadap
pelibatan masyarakat lokal dalam pariwisata di Desa Pakraman Pinge,
menjadikan elit ekslusif terjebak dalam tuduhan pragmatis. Selain itu, visi elit
ini tentang pariwisata perdesaan cenderung berskala besar, artinya produk
desa wisata yang dikembangkan diharapkan dapat menarik jumlah kunjungan
yang sebesar-besarnya.
- Non-legitimatif
Dengan karakter demikian, elit eksklusif memiliki basis legitimasi yang
relatif lemah. Hal ini juga ditunjukkan dalam konteks pemilihan bendesa.
64!!
Ketika elit ini ikut mencalonkan diri, namun akhirnya mengalami kekalahan
dan seperti telah disebutkan sebelumnya, yang terpilih justru elit inklusif yang
tidak mencalonkan diri.
5. KESIMPULAN
Kemunculan elit dalam ranah pariwisata perdesaan di Desa Pakraman
Pinge diawali dari adanya kevakuman pengembangan setelah penetapannya
sebagai desa wisata. Disebut elit karena memiliki pengalaman dan kemampuan
membangun relasi guna mengisi kevakuman dengan mempelopori pengembangan
produk desa wisata. Dengan status sebagai pionir menjadikan elit memiliki peran
sentral dan posisinya sangat strategis dalam ranah pariwisata perdesaan. Posisi
strategis mempunyai makna sangat menentukan dinamika perkembangan
pariwisata perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Berdasarkan batasan elit tersebut,
diketahui ada dua tipe elit dalam pengembangan pariwisata perdesaan, yaitu elit
inklusif dan elit eksklusif. Kedua elit ini mempunyai karakteristik yang khas dan
masing-masing mampu memberikan pengaruh berbeda dalam pengembangan
pariwisata perdesaan. Adanya dualisme elit dalam penyelenggaraan pariwisata
perdesaan ini, berpeluang menciptakan renggangnya kohesivitas sosial dan
menyimpan potensi konflik. Dengan demikian sangat penting merumuskan model
dualitas elit yang mampu mensinergikan kedua kekuatan elit tersebut dalam
pengembangan pariwisata perdesaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adikampana, I M., L.P.K. Pujani, dan S. Nugroho. 2014. Dampak Pariwisata
Perdesaan Bagi Masyarakat Lokal. Prosiding Seminar Nasional Sains dan
Teknologi 2014. Denpasar. Universitas Udayana. 975-978.
Fashri, F. 2014. Pierre Bourdieu; Menyingkap Kuasa Simbol. Cetakan Pertama.
Jalasutra. Yogyakarta.
Mahar, C., R. Harker, dan C. Wilkes 2005. Posisi Teoretis Dasar. Dalam An
Introduction to the Work of Pierre Bourdiue: The Practice Theory. Editor
R. Harker, C. Mahar, dan C. Wilkes. Macmillan. London. Terjemahan
65!!
Pipit Maizier. 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik : Pengantar
Paling Kompeherensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Cetakan
Pertama. Jalasutra. Yogyakarta.
Mowforth, M. dan I. Munt. 1998. Tourism and Sustainability; New Tourism in the
Third World. Routledge. London.
Scheyvens, R. 2002. Tourism for Development; empowering communities.
Pearson Education Limited. Harlow.
Snape, D. dan L. Spencer. 2003. The Foundations of Qualitative Research. Dalam
Qualitative Research Practice; A Guide for Social Science Students and
Researchers. Editor J. Ritchie and J. Lewis. Sage Publications. London.
Telfer, D.J. dan R. Sharpley. 2008. Tourism and Development in the Developing
World. Routledge. London.
Timothy, D.J. dan C. Tosun. 2003. Appropriate Planning for Tourism in
Destination Communities: Participation, Incremental Growth and
Collaboration. Dalam Tourism in Destination Communities. Editor S.
Singh, D.J. Timothy, dan R.K. Dowling. CABI Publishing. Wallingford.
Tosun, C. 2000. Limits to Community participation in the tourism development
process in developing countries. Tourism Management. 21(6): 613-633.
Tosun, C. dan D.J. Timothy. 2003. Arguments for Community Participation in the
Tourism Development Process. The Journal Of Tourism Studies 14(2): 1-
15
B. Artikel di Asia Pacific Journal of Tourism Research (draft)
A MODEL OF INTEGRATION LOCAL COMMUNITIES IN THE PLANNING OF RURAL TOURISM
ABSTRAK
Tulisan ini membahas model integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Diharapkan dengan adanya model ini dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan pembagian manfaat pariwisata perdesaan. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan pariwisata perdesaan akan tumbuh dalam suatu lembaga yang berbasis kultural. Model lembaga pariwisata berbasis kultural ini menjadi penting karena
66!!
merupakan proses negosiasi masyarakat lokal secara historis terhadap perkembangan pariwisata. Kata-kata kunci : masyarakat lokal, pariwisata perdesaan, perencanaan, model lembaga
kultural
PENGANTAR
Masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari destinasi pariwisata.
Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan destinasi pariwisata dimaksudkan
untuk memastikan masyarakat lokal mendapat ruang dan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses perencanaan pariwisata. Kerangka pemikiran integrasi
dimulai dari pemahaman mendasar tentang destinasi pariwisata. Di dalam
destinasi pariwisata, tidak hanya terdapat industri pariwisata dalam sustu sistem
(produk, pasar, dan akses), melainkan juga ada keterkaitan atau koeksistensi
dengan industri lain termasuk masyarakat lokal. Sehingga dapat dikatakan
masyarakat lokal posisinya sangat strategis dan setara dengan pengambil
keputusan lainnya (stakeholders) dalam pengembangan destinasi pariwisata
berkelanjutan.
Namun berbagai permasalahan akan ditemukan dalam mewujudkan
destinasi pariwisata berkelanjutan. Minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam
perencanaan ditengarai menjadi salah satu batu sandungan pengembangan
destinasi pariwisata berkelanjutan. Permasalahan tersebut juga teramati di Desa
Pakraman Pinge, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Desa
Pakraman Pinge telah ditetapkan sebagai destinasi pariwisata unggulan di wilayah
perdesaan. Penetapan ini bukan tanpa alasan, karena Desa Pakraman Pinge
mempunyai sumber daya pariwisata yang sangat potensial. Morfologi desa
tradisional, bentang alam (landscape), tinggalan budaya, dan kehidupan
masyarakat agraris menjadi kekuatan utama pengembangannya. Selain itu, Desa
Pakraman Pinge menjadi jalur perjalanan wisata. Selama ini sudah ada wisatawan
mancanegara terutama yang berasal Eropa yang menikmati produk pariwisata di
Desa Pakraman Pinge. Umumnya, para wisatawan tersebut menikmati Desa
Pakraman Pinge dengan bersepeda atau bersafari dengan mobil volkswagen (VW).
67!!
Berdasarkan studi pendahuluan, adanya penetapan Desa Pakraman Pinge
sebagai destinasi pariwisata perdesaan disambut eforia oleh masyarakat lokal.
Akan tetapi kemudian, muncul kecenderungan elit masyarakat desa mendominasi
perencanaan serta implementasi program dan selanjutnya memonopoli pembagian
manfaat pariwisata Desa Pakraman Pinge. Kecenderungan ini lebih disebabkan
oleh ketidakmampuan masyarakat lokal mengidentifikasi dampak pariwisata
sebagai strategi pengembangan masyarakat perdesaan dan masih minimnya
keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan pariwisata serta sentralisasi
program pengembangan pariwisata oleh pemerintah. Untuk itu sangat penting
dilakukan kajian yang merumuskan model integrasi masyarakat lokal dalam
perencanaan destinasi pariwisata perdesaan. Diharapkan dengan adanya model ini
dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan
dan pembagian manfaat pengembangan pariwisata perdesaan.
POSISI STRATEGIS ELIT DALAM RANAH PARIWISATA PINGE
Secara garis besar, elit merupakan pusat kekuatan dalam ranah Desa
Wisata Pinge yang mengakumulasi beragam modal. Akumulasi modal tersebut
berimplikasi pada posisi sosial elit yang strategis. Karakter elit pariwisata di Desa
Pakraman Pinge menjadi unik karena ketokohannya berasal dari kalangan
pensiunan yang pulang kampung, sehingga dianggap memiliki pengalaman
berdasarkan karir yang ditempuh sebelumnya. Dengan pengalamannya tersebut,
elit ini memiliki kapasitas dalam menyelenggarakan pariwisata di Desa Pakraman
Pinge. Terlebih lagi dari elit ini terdapat pensiunan birokrasi pemerintahan dan
manajer hotel bintang lima di Kawasan Pariwisata Sanur. Dapat dikatakan para
elit inilah apa yang disebut sebagai cross cutting person, sebagai aktor
penghubung antara kepentingan eksternal pariwisata (seperti : wisatawan, biro
perjalanan pariwisata, pemandu wisata, organisasi pariwisata, pemerintah,
perguruan tinggi) dengan pihak internal yaitu masyarakat lokal.
Dari dua tipologi elit pariwisata yang teridentifikasi di Desa Pakraman
Pinge yaitu elit eksklusif dan elit inklusif, diketahui masing-masing memiliki
karakter yang spesifik. Elit ekslusif merupakan aktor/kelompok aktor yang
68!!
mengakumulasi modal dalam Desa Wisata Pinge atau dapat disebut dengan ranah
pariwisata dan memilikinyanya secara ekslusif. Elit ini tidak berkeinginan untuk
berbagi modal dengan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah pariwisata
Pinge. Hal ini dapat dimengerti karena elit eksklusif berasal dari pensiunan
pejabat birokrasi pemerintah, sehingga dengan trayektorinya tersebut
menghasilkan habitus khas. Terbiasa memerintah kelompok yang dianggap
bawahan dan hanya patuh kepada kelompok yang dianggap atasan. Kelompok elit
eksklusif ini relatif memandang masyarakat lokal sebagai pihak bawahan,
sehingga relasi sosial yang dikonstruksi berbasis interaksi ”memerintah-
diperintah”. Dengan kata lain konstruksi relasi yang terbangun berbasis patron-
client, dengan mengidentifikasi dirinya sebagai patron lewat pengetahuan dan
pengalaman yang dimilikinya dalam birokrasi pemerintahan. Sedangkan elit
inklusif merupakan katagori elit yang relatif mau berbagi pengetahuan dan
pengalaman. Kalangan ini berasal dari pensiunan kaum profesional swasta
terutama dalam bidang pariwisata, sehingga memiliki habitus khas pula yaitu
bekerja dalam tim dan berorientasi kerja secara terukur. Karakter tersebut
mendorong terjalinnya tata relasi sosial yang padu dan akrab dengan menghargai
kapasitas masing-masing. Kelompok elit ini percaya tidaklah mungkin bekerja
dan sukses sendirian karena telah terbiasa melakukan kerja sama, sehingga
menghargai kemampuan para anggota dalam tim. Relasi yang dibangun relatif cair
dan hangat, bingkai kesadaran posisional dalam tim bukanlah atasan-bawahan
versi birokrat tetapi pertemanan (partner). Kedua elit pariwisata Pinge memiliki
persamaan dalam konteks kepemilikan modal :
1. Modal Budaya
Merupakan gelar yang disematkan secara sosial baik formal (melalui institusi
pendidikan berupa ijazah atau penghargaan-penghargaan dalam bidang
tertentu), maupun kultural (sebagai tokoh masyarakat).
2. Modal Sosial
Merupakan jaringan sosial yang mampu dikonstruksi. Untuk konteks Desa
Wisata Pinge adalah kapasitasnya dalam bekerjasama dengan pihak eksternal
pariwisata dan juga dalam melayani wisatawan.
69!!
3. Modal Simbolik; merupakan kemampuan/kuasa untuk memberi nama atau
mengkatagorisasi khususnya dalam pengembangan destinasi pariwisata
perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Dengan memiliki modal ini, akan
membawa aktor/kelompok aktor pada posisi paling strategis dalam ranah
pariwisata di Desa Pakraman Pinge.
Sedangkan perbedaan kedua kelompok elit ini adalah elit eksklusif
memandang dirinya sebagai pusat kekuatan dengan membangun relasi
memerintah-diperintah. Di sisi lain, elit inklusif memandang dirinya sebagai
motivator dan fasilitator, memerlukan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah
untuk bekerjasama mengakumulasi salah satu jenis modal penting yang
disediakan oleh pariwisata, yaitu modal ekonomi. Elit ekslusif berposisi sebagai
”kepala” dengan memandang lainnya sebagai ”anak buah”, khas konstruksi
berpikir birokrat. Terlihat berbeda, elit inklusif memandang dirinya sebagai
”ketua” dalam kelompok yang dibangunnya, dengan menganggap yang lainnya
sebagai partner. Dengan ketiga modal yang dimilikinya tersebut, elit pariwisata di
Desa Pakraman Pinge merupakan kelompok yang tidak dapat dipandang sebelah
mata dalam melakukan social engineering dalam pengembangan Desa Wisata
Pinge.
Walaupun keberadaan para elit ini sangat strategis dalam ranah pariwisata
di Desa Pakraman Pinge, akan tetapi dalam pengembangan destinasi pariwisata
perdesaan, tidaklah tepat jika mengikutsertakan elit tersebut secara personal.
Terlalu bertumpu pada kekuatan elit secara personal akan beresiko kepada
memusatnya akumulasi modal, terpolarisasinya manfaat pariwisata, dan
memunculkan permasalahan regenerasi. Untuk itu diperlukan tranformasi elit
pariwisata di Desa Pakraman Pinge, yaitu dari elit personal menuju elit
institusional.
INKLUSIVITAS ELIT; Transformasi Elit Personal Menuju Elit Institusional
Pengembangan Desa Wisata Pinge bertumpu pada dikonstruksinya sebuah
lembaga yang mampu mewadahi kepentingan berbagai stakeholder pariwisata di
Desa Pakraman Pinge. Untuk itu, diperlukan identifikasi para aktor, ranah
70!!
pariwisata dalam bentuk desa wisata yang dikembangkan, aspirasi para aktornya,
dan strategi bersama dalam transaksional modal yang adil.
1. Elit sebagai penggerak sekaligus penghambat
Untuk identifikasi aktor diperoleh data bahwa elit merupakan pendorong
utama sekaligus penghambat utama dalam penyelenggaraan pariwisata di
Desa Pakraman Pinge. Dikatakan penggerak utama karena elit mampu
menyediakan produk pariwisata perdesaan dan berhubungan dengan pihak
eksternal dalam rangka perencanaan dan pengembangan pariwisata Desa
Pakraman Pinge. Akan tetapi elit pulalah yang dikatakan sebagai penghambat
utama dalam konteks kemajuan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Realitas
historis perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge pasca ditetapkan
sebagai desa wisata adalah realitas ”pertempuran” elit untuk menguatkan
pengaruhnya dalam ranah pariwisata. Masing-masing elit berupaya
mambangun kekuatan dan kelompok kekuatan dalam rangka membingkai
desa wisata versi para elit tersebut. Dalam persaingan antar para elit ini,
lembaga pariwisata formal yang ada seperti Kelompok Sadar Wisata Desa
Pinge dan Badan Pengelola Desa Wisata Pinge dijadikan ajang unjuk
kekuatan kelompok elit ini. Terjadi tata relasi kontra produktif dalam ranah
pariwisata di Desa Pakraman Pinge, ketika elit terlalu mendominasi dan
masyarakat lokal hanya terbawa arus dalam tarik-menarik kekuatan elit
tersebut. Masyarakat lokal menjadi disorientasi dan menjadi tidak termotivasi
dalam merencanakan dan mengembangkan destinasi pariwisata perdesaan.
Perlawanan masyarakat lokal bukannya tidak ada, yang ditunjukkan dengan
membangun kelompok sendiri terpisah dari pusaran elitis yang ada. Namun
faktanya, perlawanan dalam bentuk penyediaan fasilitas akomodasi yang
diupayakan relatif gagal, ketika sepi peminat. Wisatawan baik personal
maupun yang difasilitasi biro perjalanan terbukti lebih memilih akomodasi
yang disediakan elit, karena lebih baik dan memadai.
2. Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan
Desa Pakraman Pinge sebagai destinasi pariwisata perdesaan jika dikaji
menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain
71!!
tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal
(ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) dalam pariwisata. Untuk
memperolehnya, para aktor harus memiliki kepekaan khas tentang aturan
main pariwisata. Kepekaan khas ini, pada akhirnya disebut sebagai habitus
pariwisata. Berbekal habitus pariwisata inilah, para aktor akan
mengakumulasi modal dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.
Akan tetapi, tidak semua aktor memiliki kemampuan yang sama dalam
perencanaan dan pengembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hanya
segelintir aktor yaitu elit yang memiliki kapasitas merencanakan dan
mengembangkan desa wisata. Keadaan ini yang menyebabkan mulai dari
tahap awal perkembangan Desa Wisata Pinge (fase embriotik) sampai saat ini
telah terjadi dominasi elit. Hal ini bisa dimengerti karena para elit inilah yang
memiliki habitus pariwisata berdasarkan trayektori sebelumnya, yang
memiliki lintasan ranah beragam sebelum pulang kembali dan menetap di
kampung halamannya kini. Ini berarti ketika Desa Pakraman Pinge ditetapkan
sebagai desa wisata, para elit ini dapat dikatakan telah memiliki modal, yaitu
modal budaya, sosial, serta simbolik. Dengan ketiga jenis modal yang
dimilikinya tersebut, menjadikan mereka berada di posisi strategis dalam
ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge.
Fakta lain menunjukkan bahwa walaupun para elit ini berada pada posisi yang
dominan dalam ranah Pariwisata di Desa Pakraman Pinge, namun para elit
tersebut juga terbukti tidak mampu memaksimalkan modal yang dimilikinya
untuk dapat dipertukarkan dengan modal ekonomi. Hal ini dikarenakan Desa
Pakraman Pinge masih merupakan sebuah ruang sosial daripada dipandang
sebagai ranah pariwisata.
3. Aspirasi para aktor
Aktor dan kelompok aktor dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge,
selain para elit (eksklusif dan inklusif), juga teridentifikasi adanya pengurus
desa adat, krama subak, dan kelompok-kelompok sosial berbasis ketrampilan
dan hobi lainnya (sekehe). Dapat dikatakan para aktor dan kelompok aktor di
72!!
luar elit ini masih beraktivitas dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge,
belum melakukan interaksi sosial berbasis ranah pariwisata.
Belum terintegrasinya para aktor potensial sebagai stakeholders pariwisata
Pinge ini menjadikan belum terselenggaranya Desa Wisata Pinge secara
produktif. Para aktor lainnya masih dengan urusannya masing-masing dan
memandang pariwisata sebagai urusannya para elit. Hanya segelintir
kelompok non-elit yang mencoba mencari peruntungan di bidang pariwisata
dengan menyediakan akomodasi pariwisata dengan memanfaatkan beberapa
kamar di rumahnya sebagai homestay. Akan tetapi kemudian kalah bersaing
dengan akomodasi yang disediakan para elit.
Dapat dikatakan bahwa para aktor Pinge masih menjalankan siasatnya
masing-masing. Belum berhimpun secara sinergis untuk menyelenggarakan
Desa Wisata Pinge. Di level siasat, aktivitas yang dilakukan adalah untuk
kepentingan diri dan kelompoknya saja. Sehingga para aktor menjalankan
rutinitas keseharian mereka dalam ruang sosial Desa Pakraman Pinge. Tidak
ada upaya untuk mengintegrasikan aktivitas sosial lainnya ke dalam ranah
pariwisata dalam bentuk desa wisata.
Sedangkan para elit sendiri karena terpolarisasi menjadi dua kutub kekuatan
antara elit eksklusif dan inklusif, juga menjalankan siasatnya masing-masing.
Walaupun untuk tipologi elit inklusif lebih memiliki keinginan untuk berbagi,
baik pengetahuan maupun keuntungan pariwisata dengan masyarakat lokal,
tetapi juga tidak bisa lepas dari perangkap logika siasat. Siasat yang
dilakukan elit inklusif terutama dalam menghadapi ”serangan” elit eksklusif
di beberapa momentum ketika harus berhadapan di forum-forum baik formal
maupun informal di Desa Pakraman Pinge. Sementara elit eksklusif
menjalankan siasat dalam rangka mempertahankan relasi dominatifnya
dengan masyarakat lokal.
4. Strategi kolektif para aktor
Dengan kondisi seperti yang telah dideskripsikan tersebut, dapat dipahami
mengapa Desa Wisata Pinge seperti jalan ditempat, tidak ada kemajuan yang
berarti dalam konteks memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Keadaan
73!!
Quo vadis (mandeg) penyelenggaraan pariwisata di Desa Pakraman Pinge
dikarenakan belum terciptanya habitus pariwisata di Desa Pakraman Pinge.
Untuk itu diperlukan upaya agar tercipta ranah pariwisata berbasis desa
wisata di Desa Pakraman Pinge.
a. Pemaknaan Desa Wisata Pinge sebagai sebuah ranah pariwisata
Desa Wisata Pinge harus dipandang sebagai ranah yang memberikan
kesempatan bagi semua aktor terutama masyarakat lokal agar
mendapatkan manfaat pariwisata. Dalam konteks ini, masyarakat lokal
mampu memperoleh modal ekonomi yang dibawa wisatawan,
mendapatkan modal sosial dengan terbukanya jaringan sosial dengan pihak
eksternal, modal budaya berupa perbaikan status sosial dan kesempatan
berprestasi, dan modal simbolik yang berkaitan dengan kapasitas sebagai
penafsir budaya lokal yang legitimit.
b. Dari siasat personal menjadi strategi kolektif
Ketika Desa Wisata Pinge dimaknai sebagai ranah pariwisata dan para
aktor bersepakat untuk bersinergi untuk menyelenggarakan pariwisata
berbasis budaya, yang diperlukan adalah memutus mata rantai saling siasat
menjadi saling manfaat. Memutus mata rantai tersebut dapat dilakukan
dengan cara membangun strategi bersama dalam rangka memperoleh
manfaat pariwisata secara adil.
c. Pelembagaan pariwisata berbasis kultural
Guna menjamin terselenggaranya Desa Wisata Pinge yang dapat
memberikan berbagai kontribusi atau manfaat terutama bagi masyarakat
lokal, dibutuhkan kelembagaan pariwisata. Lembaga tersebut merupakan
wadah kegiatan bersama bagi masyarakat lokal. Idealnya wadah yang
dibangun merupakan lembaga berbasis kultural yang ada di Desa
Pakraman Pinge.
PELEMBAGAAN PARIWISATA BERBASIS KULTURAL
Setelah mengetahui peran dan posisi elit dalam ranah pariwisata, hal
penting berikutnya adalah merekonstruksi kelembagaan pariwisata di Desa
74!!
Pakraman Pinge. Dikatakan rekonstruksi (konstruksi kembali) karena saat ini
telah ada lembaga pariwisata. Akan tetapi lembaga ini lebih bersifat formalitas
belaka karena hanya sekedar pelengkap sebagai konsekuensi dari penetapan Desa
Pakraman Pinge sebagai desa wisata. Di lembaga formalitas ini terlihat dominasi
elit dan mengikis potensi mayoritas masyarakat lokal untuk terlibat dalam
perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata perdesaan.
Pelembagaan pariwisata dalam konteks ini dimaksudkan sebagai proses
kreasi para aktor pariwisata di Desa Pakraman Pinge dalam mengkonstruksi ruang
bersama pariwisata. Lembaga yang diciptakan ini tidak bersifat ahistoris dan
bersumber dari pihak eksternal sehingga masyarakat lokal sulit menerimanya.
Dalam istilah Bourdieu akan terjadi apa yang disebut sebagai hysteresis,
ketidakmampuan aktor dalam menjalankan praktik sosial karena habitus yang
dimiliki selama ini tidak mampu memfasilitasi kesesuaian antara kesadaran para
aktor dan realitas sosialnya. Lewat proses pelembagaan inilah diharapkan terjadi
penyesuaian habitus para aktor dengan realitas pariwisata yang berlangsung di
wilayahnya. Dalam konteks pariwisata di Desa Pakraman Pinge, masih diperlukan
pelembagaan karena terbukti lembaga pariwisata yang telah ada selama ini
bersifat ahistoris dan elitis. Ahistoris karena lembaga pariwisata tersebut hanyalah
formalitas dan ada karena tuntutan pihak eksternal terutama pemerintah guna
memudahkan dalam pencapaian tujuan. Sehingga dibutuhkan lembaga yang
bersifat historis, ada dan dikenali dalam bingkai intepretasi masyarakat lokal.
Dengan demikian lembaga ini akan mengakar kuat dalam konteks pariwisata di
Desa Pakraman Pinge.
Lembaga yang akan dikonstruksi diharapkan mampu mereposisi para aktor
pariwisata di Desa Pakraman Pinge, terutama dalam menciptakan transformasi
dari elit personal menjadi elit institusional (inklusivitas elit). Transformasi ini
merupakan kata kunci dari perencanaan dan pengembangan destinasi pariwisata
perdesaan di Desa Pakraman Pinge. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahap
embriotik peran elit sangatlah dominan dalam perencanaan dan pengembangan
destinasi pariwisata perdesaan.
75!!
Dalam perspektif strukturalisme, hal ini terjadi karena para elitlah yang
memiliki modal relatif lengkap. Dengan kelengkapan jenis modal ini, elit dapat
menjadi aktor penting sebagai penghubung dengan pihak eksternal pariwisata.
Pihak eksternal sendiri akan lebih nyaman ketika berhubugan dengan para elit ini.
Ini disebabkan karena para elit relatif memiliki habitus yang sama dan
trayektorinya relatif berada atau pernah pada domain yang terkait dengan
pariwisata. Pihak eksternal dengan habitus pariwisatanya tidak akan dapat
langsung ”tune-in” dengan ruang sosial Desa Pakraman Pinge, sehingga peran elit
dalam memfasilitasi menjadi sangatlah penting. Namun, seperti yang telah
dideskripsikan sebelumnya, peran elit selain sebagai motor penggerak pariwisata,
juga sebagai penghambat bagi keberlanjutan pariwisata karena membatasi
partisipasi masyarakat lokal. Masyarakat lokal dapat dikatakan tersingkir dalam
ranah pariwisata karena relatif tidak memiliki bekal modal untuk dipertukarkan
dengan modal yang ada dalam pariwisata. Hal inilah yang menjadikan pentingnya
arti lembaga pariwisata yang mampu menguatkan kapasitas masyarakat lokal dan
menjadikan dominasi elit personal dapat diminimalisasi.
Kelembagaan pariwisata menjadi penting karena dua hal :
1. Ruang para aktor memperjuangkan kesejahteraan
Ruang di sini dimaknai sebagai kontainer yang mewadahi pertemuan baik
fisik maupun pemikiran (wacana). Semacam forum yang akan mengatasi
hambatan-hambatan komunikasi di antara para aktor dan tempat bagi
permikiran yang konstruktif dalam memproduksi kesepakatan mengenai
pariwisata yang dikembangkan di Desa Pakraman Pinge. Di ruang inilah para
elit akan berbagai pengetahuan dan jaringan pariwisata yang telah dimilikinya
dengan tujuan untuk lebih memperkuat posisi Desa Wisata Pinge, yang pada
akhirnya akan terbentuk kekuatan kolektif pada level strategis. Terciptanya
lembaga pariwisata ini akan memutus mata rantai siasat karena praktik
pariwisata secara personal akan tidak memadai lagi. Pada akhirnya akan
tercapai berbagai manfaat pariwisata berupa kesejahteraan masyarakat lokal
dengan mengoptimalkan modal kolektif yang dimiliki guna ditukarkan
dengan modal pihak eksternal.
76!!
2. Fasilitator bagi pertukaran modal pariwisata secara fair
Lembaga ini akan merancang seperangkat aturan yang akan menjadi pemandu
para aktor dalam penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Para aktor pariwisata
di Desa Pakraman Pinge akan saling berbagi modal yang dimiliki dan secara
kolektif akan mengoptimalisasi sumber daya atau modal pariwisata untuk
dipertukarkan secara maksimal dengan modal ekonomi yang dibawa pihak
eksternal. Dalam konteks ini, lembaga pariwisata akan menjadi fasilitator
bagi pertukaran modal pariwisata yang adil.
KESIMPULAN; Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan
Setelah dua aspek penting dalam menggerakkan Desa Wisata Pinge
teridentifikasi yaitu elit pariwisata dan pelembagaan pariwisata, selanjutnya perlu
dianalisis mengenai jenis kelembagaan yang ideal. Lembaga pariwisata berbasis
kultural menjadi penting karena merupakan proses negosiasi masyarakat lokal
secara historis (dirasakan dan dihayati secara langsung) terhadap pariwisata yang
berlangsung selama ini di Desa Pakraman Pinge.
Fase embriotik perkembangan destinasi
pariwisata perdesaan
Elit pariwisata
Inklusifitas elit
Pelembagaan pariwisata berbasis
kultural
Masyarakat lokal
Integrasi masyarakat lokal dalam perencanaan
destinasi pariwisata perdesaan
Pihak eksternal: biro perjalanan wisata,
asosiasi pariwisata, perguruan tinggi, dan
wisatawan
DESA WISATA
Model Integrasi Masyarakat Lokal dalam Pariwisata Perdesaan
77!!
Rumusan model dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Desa wisata sebagai ranah pariwisata
Desa Pakraman Pinge sebagai desa wisata jika dikaji menggunakan konsepsi
ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata
berkumpul untuk memperjuangkan modal yang diberikan oleh pariwisata
Modal yang dimaksudkan adalah modal ekonomi, sosial, budaya, dan
simbolik.
2. Fase embriotik
Pariwisata di Desa Pakraman Pinge dapat dikatakan masih berada dalam
tahap awal perkembangan atau fase embriotik. Penekanan pada fase ini
karena meskipun telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan
sebagai desa wisata pada tahun 2004, namun pengembangan pariwisatanya
baru mendapatkan perhatian mulai tahun 2011. Adanya kevakuman selama
kurang lebih tujuh tahun disebabkan oleh ketidaksiapan masyarakat lokal
untuk menindaklanjuti penetapan tersebut dan ketergantungan masyarakat
lokal terhadap program pemerintah.
3. Elit pariwisata
Variabel elit ini sangat penting dalam fase embriotik pariwisata di Desa
Pakraman Pinge karena perannya sebagai motor penggerak sekaligus juga
sebagai penghambat perkembangan pariwisata. Ada dua tipologi elit
pariwisata Pinge, yaitu elit eksklusif dan elit inklusif. Aktor jenis ini perlu
dilibatkan dalam penyelenggaraan desa wisata karena perannya sebagai
penggerak pariwisata dengan posisi sebagai penghubung antara masyarakat
lokal dengan pihak eksternal pariwisata karena habitus pariwisata yang telah
dimilikinya berdasarkan trayektori sebelumnya. Tetapi perlu memutus peran
para aktor ini sebagai penghambat pariwisata Pinge untuk menuju tahapan
pasca fase embriotik. Dapat disebutkan bahwa jika tidak ditemukan formulasi
yang tepat dan juga terjadi pembiaran praktik pariwisata di Desa Pakraman
Pinge yang elitis, akan terjadi quo vadis perkembangan pariwisata atau akan
mandeg di tahapan embriotik.
78!!
4. Lembaga pariwisata berbasis kultural
Dengan lembaga ini diharapkan terjadi apa yang disebut sebagai inklusivitas
elit. Dalam perkembangannya, siasat personal pariwisata akan tidak memadai
lagi dalam rangka optimalisasi modal pariwisata yang bisa diakumulasi.
Diperlukan strategi kolektif masyarakat lokal dalam penyelenggaraan
pariwisata di Desa Pakraman Pinge, sehingga dapat diperoleh manfaatnya
dengan proses transaksi modal secara adil. Lembaga inilah yang akan
menciptakan regulasi/tata aturan yang mengikat aktor dan kelompok aktor
pariwisata. Lembaga pariwisata yang direkomendasikan adalah berada dalam
struktuk Desa Pakraman Pinge, dengan catatan pengurus desa adat berposisi
sebagai komisaris dan pengawas, tidak terlibat langsung secara manajerial
pada perkembangan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Hal ini untuk
menjaga sakralitas lembaga desa adat agar tidak mengurusi hal-hal sekuler,
dan menjaga kehormatan para pengurusnya. Lembaga pariwisata dapat
didorong untuk menjadi semacam sekehe, sejajar dengan sekehe lainnya dan
bersifat koordinatif dengan sekehe lainnya. Dapat dikatakan bahwa lembaga
pariwisata di Desa Pakraman Pinge yang berposisi sebagai sekehe telah
dikenali dalam bingkai pemaknaan masyarakat lokal, guna memutus
pelembagaan yang ahistoris (dipaksakan dari luar). Hal ini akan mempercepat
strukturasi pelembagaan pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Strukturasi yang
dimaksud adalah proses membingkai desa wisata sebagai tata aturan
ditingkatan pemaknaan dan lewat bingkai intepretasi tersebut akan memandu
masyarakat lokal dalam menjalankan praktik sosial keseharian. Ketika
dipraktikkan secara terus-menerus dengan pola yang ajeg akan menjadi
habitus baru atau kesadaran praktis. Lewat terminologi sekehe, masyarakat
lokal telah memiliki habitus yang mampu mengenali dan menjalankan
interaksi sosial berbasis sekehe. Makna strategis lembaga pariwisata dengan
karakter kultural juga ada dalam konteks mendorong inklusivitas elit. Institusi
sekehe yang kental aroma kulturalnya akan mengurangi efek formalitas yang
umumnya ada pada lembaga modern. Semua yang tergabung dalam lembaga
berbasis sekehe akan lebih akrab dan saling bertukar ide serta gagasan dalam
79!!
suasana yang cair dengan tetap saling menghormati tetapi bukan dalam tata
relasi atasan-bawahan melainkan pertemanan. Di titik inilah para elit akan
berada dalam bingkai relasi kultural dan kapasitas serta pengalaman tentang
pariwisata dapat di-share kepada masyarakat lokal yang memilih bergabung
dalam mengelola desa wisata. Tipologi elit akan mencair dari dualisme
ekslusif-inklusif menjadi dualitas inklusif. Tata relasi interaksi sosial berbasis
elitis eksklusif akan ditinggalkan, karena tidak ada tempat dalam bingkai
kelembagaan kultural pariwisata berbasis sekehe. Inilah yang dimaksud
sebagai inklusivitas elit pariwisata di Desa Pakraman Pinge. Elit tetap penting
dalam praktik Desa Wisata Pinge dan lewat inklusivitas elit akan
dimaksimalkan peran elit sebagai motor penggerak pariwisata dan
menghilangkan peran sebagai penghambat pariwisata seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
5. Partisipasi masyarakat lokal
Dengan terlibatnya masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dan
pembagian manfaat pariwisata, menjadikan masyarakat merasa memiliki dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Desa Wisata Pinge. Dengan
adanya partisipasi ini, masyarakat lokal akan menganggap pariwisata sebagai
sarana memperoleh tambahan penghasilan, dengan tidak meninggalkan basis
pekerjaan sebelumnya. Masyarakat lokal yang ingin terlibat dalam
penyelenggaraan pariwisata dapat bergabung dengan lembaga pariwisata
seperti dideskripsikan pada model di atas. Dengan adanya lembaga pariwisata
berbasis kultural, masyarakat lokal tidak akan merasa canggung karena
karakter kelembagaannya yang terbuka dan cair. Di lembaga ini, masyarakat
lokal akan berlajar menyesuaikan habitusnya dengan habitus pariwisata.
Dengan masifnya masyarakat lokal untuk terlibat dalam pariwisata akan
menjadikan ranah pariwisata menjadi salah satu ranah utama dalam ruang
sosial Desa Pakraman Pinge.
6. Pihak eksternal
Peran agen ini juga tidak bisa dinafikkan, karena dengan adanya pihak
eksternal masuk dalam ranah pariwisata di Desa Pakraman Pinge menjadikan
80!!
fenomena pariwisata terjadi. Dalam konteks kajian tentang modal, aspirasi
pihak eksternal ini menjadi penting karena membawa modal dalam
pariwisata, yaitu modal ekonomi. Jenis modal inilah yang selama ini menjadi
target para aktor untuk diakumulasi dan diperjuangkan dalam ranah. Dalam
kasus pariwisata di Desa Pakraman Pinge, dengan adanya inklusivitas elit dan
pelembagaan pariwisata berbasis kultural, diharapkan masyarakat lokal
sebagai penyelenggara pariwisata mampu melakukan pertukaran modal yang
dimilikinya (sosial, budaya, simbolik) dengan modal ekonomi yang dimiliki
pihak eksternal. Dalam konteks desa wisata sebagai praktik sosial, akan
terjadi proses pertukaran modal. Wisatawan yang difasilitasi biro perjalanan
atau pihak lain akan menukar modal ekonomi melalui pembelanjaannya untuk
mendapat modal sosial, budaya, dan simbolik yang terdapat dalam produk
pariwisata yang ditawarkan masyarakat lokal. Selain wisatawan, biro
perjalanan, dan pemandu wisata, pihak eksternal lainnya yang cukup penting
dalam model penyelenggaraan Desa Wisata Pinge adalah birokrasi
pemerintah, perguruan tinggi, dan media massa. Pihak-pihak eksternal ini
bersifat supporting dan memiliki jenis modal spesifik yaitu modal budaya dan
sosial. Modal budaya dimiliki institusi perguruan tinggi karena reputasi
keilmuan yang dimilikinya dan memiliki gelar akademis formal. Sedangkan
modal sosial yang berupa jaringan-jaringan sosial yang luas, dimiliki oleh
birokrasi pemerintah dan media massa. Para agen eksternal yang memiliki
pengetahuan dan jaringan ini penting untuk dimasukkan ke dalam model yang
dirancang ini, sebagai tambahan amunisi modal pariwisata bagi masyarakat
lokal. Para pihak eksternal selama ini difasilitasi dalam berhubungan dengan
masyarakat lokal oleh para elit. Ketika inklusivitas elit pariwisata di Desa
Pakraman Pinge dapat dikreasi dengan munculnya lembaga pariwisata
berbasis kultural, diharapkan lembaga inilah yang menjadi fasilitator interaksi
masyarakat lokal dengan pihak eksternal tersebut.
top related