miskonsepsi aljabar: konteks … lainnya yang dinyatakan dalam variabel. prosedur penyelesaian yang...
Post on 30-Jul-2018
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
Volume 1 – Nomor 1, November 2017, 1-8
Available online at:http://ojs.uho.ac.id/index.php/PGSD
MISKONSEPSI ALJABAR: KONTEKS PEMBELAJARAN
MATEMATIKA PADA SISWA KELAS VIII SMP
RA. Herutomo1, a)
1Dosen Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Lakidende, Jl. Sultan
Hasanuddin, No. 234, Unaaha 93461, Indonesia
a)e-mail: rezkyagungherutomo@gmail.com
Abstrak. Konsep aljabar di tingkat SMP saling terkait erat satu sama lain, sehingga miskonsepsi siswa dapat
secara utuh ditelusuri berdasarkan konsep-konsep dalam materi aljabar. Identifikasi permasalahan yang terjadi
di SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu yaitu kurangnya pemahaman prosedural dan konseptual siswa pada materi
aljabar yang ditandai dengan kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal terkait materi aljabar. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis miskonsepsi siswa pada materi aljabar. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif deskriptif dalam menganalisis miskonsepsi aljabar di kelas VIII SMP Muhammadiyah 3
Kaliwungu.Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIIIA dan VIIIB di SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu
yang berjumlah 41 siswa dan diambil secara purposive sampling. Instrumen tes aljabar disusun berdasarkan
materi yang diteliti, yaitu konsep variabel, operasi bentuk aljabar, pemfaktoran, dan SPLDV. Hasil penelitian
menunjukkan miskonsepsi aljabar yaitu siswa kurang memahami konsep variabel sebagai sesuatu yang belum
diketahui nilainya; menganggap variabel hanya merepresentasikan bilangan tertentu saja, bukan sebagai
generalisasi anggota suatu himpunan bilangan; menganggap variabel sebagai label, konjoining operasi
penjumlahan dan perkalian; mengubah bentuk aljabar menjadi persamaan; tidak memahami proses
pemfaktoran; tidak bisa melakukan representasi aljabar, menyelesaikan soal cerita dengan memberikan
penjelasan verbal; dan menggunakan cara menebak untuk menyelesaikan soal-soal SPLDV
Kata kunci: miskonsepsi, aljabar
Abstract. The concept of algebra at the junior high school level is closely intertwined with one another, so that
student misconceptions can be entirely traced by concepts in algebraic material. Identification of problems that
occurred in "SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu" that is lack of procedural and conceptual understanding of
students on algebra material that is marked with errors in solving problems related to algebra material. This
study aims to analyze student misconception on algebraic material. This research uses qualitative and
quantitative descriptive approach in analyzing algebraic misconception in Grade VIII SMP Muhammadiyah 3
Kaliwungu.The subjects of this study were students of class VIIIA and VIIIB at SMP Muhammadiyah 3
Kaliwungu which amounted to 41 students and taken by purposive sampling. The algebra test instrument is
based on the material under study, ie the concept of variables, "algebraic form operations", factoring, and
SPLDV. The result of the research shows that algebraic misconception is that students do not understand the
concept of variables as unknown value; assume that variables represent only certain numbers, not as
generalizations of members of a set of numbers; consider variables as labels, conjoining sum and multiplication
operations; change the form of algebra into equations; not understanding the factoring process; can not do
algebraic representations, solve stories by giving verbal explanations; and use guessing methods to solve
SPLDV problems
Keywords: misconception, algebra
Miskonsepsi Aljabar: Konteks Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP- 2 RA Herutomo
Journal Of Basication: JurnalPendidikanDasar, 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
Pendahuluan
Kesalahan dan kemungkinan terjadinya
miskonsepsi siswa pada materi aljabar
tentunya akan mengakibatkan kendala bagi
proses belajar siswa dalam memahami materi
aljabar dan materi terkait lainnya. Dengan
mengetahui kesalahan dan miskonsepsi siswa
dalam materi aljabar, maka guru dapat
membantu siswa memperbaiki kesalahan
tersebut dan mengatasi kesulitan yang
dihadapi, paling tidak guru dapat mengetahui
dimana letak kesalahan yang terjadi, pada
tingkat penguasaan mana siswa melakukan
kesalahan, dan penyebab kesalahan tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, Zevenbergen et
al., (2004) menyatakan bahwa penting bagi
para guru untuk menggunakan berbagai alat
dan teknik guna menyelidiki apa yang
sebenarnya siswa konstruksi dalam
pemahamannya.
Problematika pada materi aljabar yang
terjadi di SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu
diantaranya siswa masih banyak melakukan
kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal
operasi bentuk aljabar, sebagai contoh pada
bentuk 𝟐𝒙 + 𝟑𝒚 siswa memahaminya sebagai
𝟓𝒙𝒚, pada penyederhanaan bentuk𝟐
𝒙𝒚+
𝟐𝒙
𝒚,
siswa menyederhanakannya menjadi𝟒𝒙
𝒙𝒚. Hal-
hal tersebut mengindikasikan bahwa siswa
tidak menggunakan pengetahuannya pada
aritmetika untuk bekerja pada materi aljabar.
Siswa juga masih kesulitan dan banyak
melakukan kesalahan dalam menyelesaikan
soal-soal cerita dalam materi aljabar. Kesulitan
yang paling mendasar yang dialami siswa
adalah menerjemahkan masalah dalam soal
cerita ke dalam bentuk matematika, seperti:
apa yang diketahui, apa yang harus dimisalkan
dalam variabel, operasi apa yang digunakan
dalam permasalahan dan proses penyelesaian.
Konsep aljabar di tingkat sekolah saling
terkait erat satu sama lain, sehingga
miskonsepsi siswa dapat secara utuh ditelusuri
berdasarkan konsep-konsep dalam materi
aljabar dan memungkinkan untuk dapat
diidentifikasi keterkaitan antar pola
miskonsepsi.Berkaitan dengan penelitian
tentang miskonsepsi siswa, Zevenbergen et al.,
(2004) menyatakan bahwa penting bagi para
guru untuk menggunakan berbagai alat dan
teknik guna menyelidiki apa yang sebenarnya
siswa konstruksi dalam pemahamannya. Oleh
karena itu, menurut Steinle et al., (2009)
penelitian dengan menggunakan analisis pola
jawaban siswa terbukti berguna dalam
mendiagnosis miskonsepsi siswa dalam materi
aljabar, berbeda dengan pendekatan lain
seperti analisis item atau analisis prestasi
siswa, yang kurang mendapatkan informasi
secara detail mengenai miskonsepsi siswa pada
suatu topik tertentu.
Oleh karena itu, berdasarkan fenomena
dan penjelasan di atas dirasa perlu dilakukan
penelitian tentang miskonsepsi aljabar pada
siswa kelas VIII, sehingga diperoleh informasi
tentang miskonsepsi siswa pada materi aljabar.
Sejalan dengan hal tersebut, rumusan masalah
pada penelitian ini adalah bagaimanakah
miskonsepsi siswa pada materi aljabar.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
miskonsepsi siswa pada materi aljabar.
Kajian Pustaka Dalam pembelajaran matematika,
kemungkinan terjadinya miskonsepsi akan
selalu ada. Miskonsepsi berbeda dari
kesalahan. Kesalahan merupakan akibat dari
kurangnya pemahaman tentang aritmetika,
kurangnya penguasaan aturan atau prosedur
(kesalahan proses), dan kesalahan konsep
(Barrera et al., 2004; Mulungye et al., 2016).Di
sisi lain, gagasan miskonsepsi merujuk pada
garis pemikiran yang menyebabkan
serangkaian kesalahan yang dihasilkan dari
kesalahan premis yang mendasari suatu konsep
atau proses tertentu, bukan kesalahan sporadis
yang tidak sistematis (Nesher, 1987).
Miskonsepsi bukan sebagai kesalahan yang
bersifat acak atau bentuk kecerobohan dan
sifat falibilis manusia, melainkan terjadi secara
berulang/identik (Leinhardt et al., 1990;
Hammer, 1996). Hal tersebut juga dipertegas
oleh Resnick dan Omanson (1987) yang
menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan
alasan yang paling mendasar yang
mengakibatkan terjadinya kesalahan. Lebih
lanjut miskonsepsi merupakan hambatan
dalam asimilasi konsep yang benar (Lucariello
et al., 2014).
Alajabar juga merupakan salah satu
cabang matematika yang rentan dengan
miskonsepsi. Menurut Breiteig dan Grevholm
(2006) keabstrakan aljabar merupakan salah
satu alasan yang menyebabkan terjadinya
miskonsepsi siswa pada materi tersebut. Faktor
Miskonsepsi Aljabar: Konteks Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP- 3 RA Herutomo
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
lain penyebab miskonsepsi pada aljabar adalah
siswa gagal melakukan transisi dari aritmetika
ke pola pikir aljabar (Booth et al.,
2014).Menurut Warren (2003) transisi yang
dimaksud adalah konsep “operasi pada
bilangan” yang merupakan pemahaman yang
dibutuhkan pada struktur aritmetika ke
“hubungan antar bilangan” yang merupakan
pemahaman yang dibutuhkan dalam struktur
aljabar.
Panasuk (2010) menjelaskan bahwa
pada pembelajaran aljabar, siswa
mengembangkan kemampuan mental yang
disebut sebagai operasi formal. Siswa yang
taraf kemampuannya belum mencapai operasi
formal jelas akan kesulitan dalam memahami
sistem simbol pada aljabar, dalam hal ini siswa
berupaya “mengurangi” tingkat abstraksi
masalah pada aljabar. (misalnya, dalam
mencari solusi persamaan 3𝒙 + 4 = 16) ke
tingkat yang lebih rendah, yaitu, “simbol
angka.” Untuk menyelesaikan masalah ini,
siswa menggunakan metode trial and error
dengan mengganti variabel 𝒙 dengan bilangan
tertentu sampai ditemukan solusi yang
memenuhi persamaan tersebut.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif deskriptif dalam
menganalisis miskonsepsi aljabar siswa kelas
VIII di SMP Muhammadiyah 3
Kaliwungu.Sumber data dalam penelitian ini
adalah siswa kelas VIIIA dan VIIIB di SMP
Muhammadiyah 3 Kaliwungu yang berjumlah
41 orang dan diambil secara purposif
sampling.
Instrumen tes aljabar disusun
berdasarkan materi yang diteliti, yaitu
berkaitan dengan konsep variabel, operasi
bentuk aljabar, pemfaktoran, dan SPLDV.
Data yang dihimpun dari pelaksanaan tes
aljabar berupa hasil pekerjaan siswa pada
lembar jawaban yang disertai dengan langkah-
langkah penyelesaiannya.Setelah hasil kerja
siswa dianalisis, selanjutnya dipilih enam
orang siswa untuk diwawancarai. Tujuan
wawancara adalah untuk mendukung temuan
miskonsepsi aljabar siswa dari hasil tes. Siswa
yang akan diwawancarai adalah siswa yang
melakukan kesalahan secara berulang, artinya
kesalahan yang dilakukan identik pada
beberapa item soal.
Melalui proses wawancara siswa
diharapkan mengungkapkan gagasan/alasan
pemikirannya tentang jawaban soal aljabar
yang mereka berikan sehingga memungkinkan
untuk ditemukan permasalahan siswa secara
lebih terbuka terkait miskonsepsi siswa pada
materi aljabar. Proses wawancara mendalam
dilaksanakan berdasarkan pada pedoman
wawancara yang telah disusun, namun ragam
pertanyaan yang diajukan dapat berubah,
tergantung pada jawaban/penjelasan yang
dikemukakan siswa.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelusuran miskonsepsi siswa
dilakukan dengan menganalisis jawaban siswa.
Kesalahan-kesalahan yang identik
dikelompokkan, kemudian setelah itu
dilakukan proses wawancara untuk
mendukung temuan miskonsepsi aljabar siswa
dari hasil tes. Sebaran miskonsepsi siswa pada
tiap sub materi aljabar disajikan pada Tabel 1.
Kesalahan yang diakibatkan
miskonsepsi siswa terkait kurangnya
pemahaman konsep variabel sebagai sesuatu
yang belum diketahui nilainya cukup banyak
teridentifikasi pada beberapa nomor soal dalam
penelitian ini. Misalnya pada soal yang
diketahui harga sebuah pensil adalah 𝒑 rupiah
dan harga sebuah buku tulis adalah 𝒃 rupiah.
Jika dibeli 3 buah pensil dan 5 buah buku tulis,
maka ditemukan ada siswa yang menghitung
total harga yang harus dibayar oleh Ani dengan
memisalkan harga pensil dan buku dengan
harga tertentu dengan alasan bahwa pada soal
tidak diketahui besaran harga untuk pensil dan
buku.
Hal yang serupa juga terjadi ketika
siswa diminta menyederhanakan bentuk
aljabar 𝟐𝒙
𝟑𝒚−
𝒙−𝟏
𝒙𝒚. Ditemukan ada siswa yang
memisalkan 𝒙 = 𝟒 dan 𝒚 = 𝟑 baru kemudian
menyederhanakannya. Demikian pula pada
soal yang diketahui ada empat kali banyak
siswa dari banyak guru yang mengajar pada
suatu sekolah. Jika 𝑺 menyatakan banyak
siswa dan 𝑮 menyatakan banyak guru di
sekolah tersebut, didapatkan siswa menuliskan
hubungan antara 𝑺 dan 𝑮 dengan memisalkan
banyak siswa dan guru dalam nilai tertentu.
Kesalahan-kesalahan tersebut jelas diakibatkan
kurangnya pemahaman siswa tentang konsep
variabel sebagai sesuatu yang belum diketahui
nilainya, nilai disini menurut Filloy et al.,
Miskonsepsi Aljabar: Konteks Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP - 4 RA Herutomo
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
(2004) dapat berupa kuantitas (harga, panjang,
umur, dan sebagainya).
Hal ini perlu dicermati bahwa ternyata
ada kekakuan asosiasi dalam melakukan
representasi terkait harga, panjang sisi, dan
kuantitas/besaran lainnya yang dinyatakan
dalam variabel. Prosedur penyelesaian yang
dilakukan siswa sudah benar jika
menggantikan variabel dengan bilangan
tertentu, akan tetapi ketika melangkah pada hal
yang abstrak, siswa tidak mampu memahami
dengan benar bahwa variabel yang disajikan
merupakan representasi dari besaran ataupun
nilai tertentu pada soal-soal tersebut.
Tabel 1. Sebaran miskonsepsi siswa pada tiap
sub materi aljabar
Sub Materi Miskonsepsi
Variabel Menganggap konstanta
sebagai variabel, kurang
memahami konsep variabel
sebagai sesuatu yang belum
diketahui nilainya
Menganggap variabel hanya
merepresentasikan
nilai/bilangan tertentu saja,
bukan sebagai generalisasi
anggota suatu himpunan
bilangan
Konjoining operasi
penjumlahan dan perkalian
Operasi
Bentuk
Aljabar
Mengganti variabel dengan
nilai tertentu
Konjoining operasi
penjumlahan dan perkalian
Mengubah bentuk aljabar
menjadi persamaan
Pemfaktoran Tidak memahami proses
pemfaktoran
SPLDV Tidak bisa melakukan
representasi: menyusun
bentuk aljabar dan
persamaan dari masalah
yang diberikan
Menyelesaikan soal cerita
dengan memberikan
penjelasan verbal
Menggunakan cara menebak
untuk menyelesaikan soal-
soal SPLDV
Menganggap variabel
sebagai label
Pendekatan untuk menggunakan
bilangan tertentu merupakan indikasi bahwa
pemikiran siswa tentang variabel masih
berorientasi pada aritmetika. Sebaliknya, jika
siswa tidak mengacu pada nilai-nilai tertentu
dan bekerja menggunakan variabel yang ada,
maka itu menunjukkan pemikiran siswa sudah
berorientasi pada objek aljabar, yaitu, variabel
menjadi “objek” untuk dioperasikan.
Miskonsepsi lainnya yang ditemukan
adalah menganggap variabel hanya
merepresentasikan nilai/bilangan tertentu saja,
bukan sebagai generalisasi anggota suatu
himpunan bilangan. Hal tersebut seperti pada
soal pembelian buah jeruk dan apel.
Direncanakan akan dibeli 15 buah dan
ditanyakan banyaknya masing-masing buah
apel dan jeruk yang mungkin dibeli.
Ditemukan siswa menuliskan banyak apel
adalah 4 buah dan jeruk sebanyak 11 buah
(dan jawaban identik lainnya). Siswa belum
mampu memahami bahwa banyaknya apel dan
jeruk adalah pasangan 𝒙 dan 𝒚 yang memenuhi
persamaan 𝒙 + 𝒚 = 15, 𝒙dan𝒚 anggota
himpunan bilangan cacah.
Hal yang sama juga terjadi ketika siswa
diminta menentukan nilai 𝒏 yang
memenuhi 𝟐𝒏 > 𝑛 + 2,𝑛 anggota himpunan
bilangan asli. Siswa berusaha mengganti nilai
𝒏menggunakan bilangan asli tertentu untuk
memperoleh hubungan 2𝒏<𝒏 + 2, 2𝒏 = 𝒏 + 2,
dan 2𝒏>𝒏 + 2, tetapi tidak memberikan
kesimpulan (secara deduktif). Berkaitan
dengan hal tersebut, menurut Akgun dan
Ozdemir (2006) kesalahan-kesalahan siswa
yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman
konsep variabel sebagai generalisasi bilangan,
menunjukkan siswa gagal dalam proses transisi
dari aritmetika menuju aljabar, penalaran siswa
hanya terbatas pada pola induktif yang
mengarah pada kesesatan jawaban yang
diperolehnya.
Miskonsepsi lainnya yang ditemukan
adalah menganggap variabel sebagai label.
Sebagai contoh “misalkan pensil = 𝒙 dan buku
= 𝒚.” Variabel bukan sebagai representasi
suatu objek, melainkan lebih pada nilai atau
kuantitasnya. Bila hal ini dibiarkan maka
terjadi kerancuan antara variabel dan label.
Jelas variabel bukanlah sekedar label.
Kesalahan dan miskonsepsi variabel
sebagai label juga terjadi pada soal tentang
“banyak siswa empat kali dari banyak guru”
dan ditemukan jawaban siswa adalah 𝟒𝑺 =𝑮. Setelah diwawancarai, ternyata siswa
langsung menerjemahkan pernyataan soal
dalam bahasa simbol tanpa melakukan proses
Miskonsepsi Aljabar: Konteks Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP- 5 RA Herutomo
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
perbandingan yang menyatakan banyak siswa
dan guru, proses demikian disebut sebagai
words order matching (menyesuaikan dengan
susunan kata). Ada juga siswa yang melakukan
proses perbandingan, namun proses tersebut
bersifat static comparison pattern (statis sesuai
kalimat pada soal).
Ada anggapan bahwa aljabar merupakan
materi tentang huruf ke 24 dan 25 (𝒙 dan 𝒚)
(Knuth et al., 2005). Meskipunanggapan
tersebuthanyalah lelucon, tetapi perlu
digarisbawahipentingnya
mengembangkankonsepsiyang benar tentang
makna variabeldanpenggunaannya
dalamaljabar. Hal tersebut juga diikuti oleh
transisi konsep “operasi pada bilangan” yang
merupakan pemahaman yang dibutuhkan pada
struktur aritmetika ke “hubungan antar
bilangan” yang merupakan pemahaman yang
dibutuhkan dalam struktur aljabar (Warren,
2003).
Konjoining operasi penjumlahan dan
perkalian terjadi pada bentuk aljabar 𝟑𝒑 + 𝟓𝒃
dan disederhankan menjadi 𝟖𝒑𝒃. Siswa
menganggap bahwa bentuk aljabar yang
terbuka sebagai bentuk yang tidak lengkap dan
menerapkan hal yang sama pada operasi
penjumlahan bilangan. Hal yang sama juga
terjadi pada penelitian Lucariello et al. (2014),
ditemukan ada siswa yang menjawab 𝟒𝒑 +
𝟐– 𝟑𝒑 + 𝟕 = 𝟏𝟎.Konjoining yang terjadi
tentunya berkaitan dengan penggunaan tanda
“=” pada bentuk aljabar.
Berkaitan dengan hal tersebut, Knuth et
al., (2008) menjelaskan bahwa konsepsi tanda
“=” dapat dipandang sebagai simbol kesetaraan
(yaitu, sebuah simbol yang menunjukkan
hubungan antara dua kuantitas) dan sebagai
penanda suatu hasil atau jawaban dari operasi
aritmetika. Namun yang terjadi pada penelitian
ini tanda sama dengan hanya dipandang
sebagai penanda hasil dari suatu operasi,
bukannya sebagai kesetaraan.
Miskonsepsi lainnya yang berkaitan
dengan tanda sama dan bentuk aljabar dengan
adalah mengubah bentuk aljabar menjadi
persamaan. Ketika siswa diminta
menyederhanakan suatu bentuk aljabar, justru
siswa berusaha mengubahnya menjadi
persamaan dan mencari
penyelesaiannya.Merujuk dari berbagai
literatur dan hasil penelitian, miskonsepsi
terkait variabel, konjoining, dan mengubah
bentuk aljabar menjadi persamaan bisa
dikatakan ada pada satu topik yang sama, yaitu
kegagalan transisi dari aritmetika menuju
aljabar.
Dalam matematika terdapat dua level
berpikir yang hierarki, yaitu aritmetika dan
aljabar. Van Amerom (2003) menjelaskan
bahwa aritmetika berhubungan langsung
dengan perhitungan bilangan-bilangan yang
diketahui. Dengan kata lain, aritmetika
merupakan proses yang secara langsung
menghitung dari hal yang diketahui menuju
apa yang tidak diketahui. Disisi lain, aljabar
memerlukan penalaran tentang variabel ketika
berproses dari yang belum diketahui,
menggunakan yang diketahui, sehingga
membentuk persamaan. Jadi perbedaan
mendasar aritmetika dan aljabar adalah
aritmetika bergerak dari situasi spesifik
sedangkan aljabar berkaitan dengan suatu
solusi umum.
Transisi dari aritmetika menuju aljabar
juga melibatkan transisi pengetahuan yang
dibutuhkan dalam mengerjakan masalah
aritmetika (operasi pada bilangan) menuju
pengetahuan untuk menyederhanakan bentuk
atau menyelesaikan persamaan aljabar (operasi
pada variabel) (Warren, 2003). Dari dua
pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa
transisi dari aritmetika menuju aljabar
melibatkan transisi pemahaman konseptual dan
simbolik yang merupakan inti perbedaan
antara aritmetika dan aljabar. Namun
kenyataannya terjadi “diskontinuitas kognitif”
dalam transisi dari artimatika menuju aljabar
(Staceydan MacGregor, 2000).
Kurangnya pemahaman siswa pada
penyederhanaan dan operasi bentuk aljabar
berakibat juga pada proses pemfaktoran. Siswa
terlalu menyederhanakan bentuk aljabar
dengan melakukan proses kanselasi. Hal
tersebut sejalan dengan kesalahan prosedural
siswa yang dikemukakan oleh Norton dan
Irvin (2007) yaitu menerapkan𝒂𝒙
𝒃𝒙=
𝒂
𝒃 pada
bentuk𝒂+𝒙
𝒃+𝒙=
𝒂
𝒃. Pada penelitian ini kesalahan
pemfaktoran juga terjadi pada soal yang
berkaitan dengan bentuk 𝒂𝒙𝟐 + 𝒃𝒙 + 𝒄,𝒂 ≠ 𝟎.
Siswa menuliskan (𝒙𝟐 + 𝟓𝒙 + 𝟔) −
𝒙𝟐 + 𝟐𝒙 + 𝟏 = 𝒙 𝒙 + 𝟓 + 𝟔 − 𝒙 𝒙 + 𝟐 +
𝟏.
Kesalahan akibat miskonsepsi
representasi soal ke bentuk aljabar ataupun
persamaan juga banyak ditemukan pada
penelitian ini.Memang untuk menerjemahkan
Miskonsepsi Aljabar: Konteks Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP - 6 RA Herutomo
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
soal cerita dalam persamaan merupakan hal
yang sulit bagi siswa. Siswa diminta untuk
menyusun SPLDV berdasarkan informasi yang
disajikan pada soal dan kemudian
menyelesaikannya. Kesalahan tersebut sangat
berkaitan dengan kurangnya kemampuan siswa
melakukan representasi. Menurut
Dreyfus(2002)representasi yang dimaksudkan
disni adalah representasi simbolik, secara
eksternal melalui ucapan atau tulisan, dengan
tujuan untuk mengkomunikasikan konsep
menjadi lebih mudah.
Memang penting untuk mempunyai
banyak representasi tentang suatu konsep, akan
tetapi jika representasi itu salah maka tidak
akan membantu suatu konsep tertentu untuk
dapat digunakan secara fleksibel dalam
pemecahan masalah, meskipun benar namun
jika representasinya tidak terkait satu sama lain
juga tidak akan membantu (Dreyfus, 2002).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa representasi
sangat berkaitan dengan kemampuan
menerjemahkan masalah (translating) dan
soal-soal aplikasi adalah contoh keterkaitan
keduanya.
Bentuk kesalahan dan miskonsepsi
lainnya yang paling banyak dilakukan pada
soal cerita yang berkaitan dengan SPLDV
adalah penjelasan secara verbal. Kesalahan ini
sejalan dengan penelitian Breiteig dan
Grevholm (2006) yang menunjukkan kesulitan
siswa dalam transisi aritmetika dan bentuk
verbal ke dalam bentuk aljabar. Ketika siswa
diminta untuk menemukan dua buah bilangan
yang jumlahnya 19 dan selisihnya 5, ada siswa
yang mengerjakannya dengan cara memberi
penjelasan verbal untuk mendapatkan dua
bilangan tersebut. Meskipun jawabannya
secara verbal benar, namun ini menunjukkan
siswa belum mampu berpikir secara abstrak,
terbukti dari penggunaan bahasa verbal yang
mendominasi ketimbang penggunaan simbol-
simbol aljabar.
Selain jawaban verbal, miskonsepsi
lainnya yang terjadi pada soal tentang SPLDV
adalah jawaban menebak tanpa alasan.
Miskonsepsi ini terjadi ketika siswa berusaha
memperoleh jawaban yang benar namun tidak
ada petunjuk yang jelas bahwa informasi yang
dinyatakan sebagai hasil/jawaban soal berasal
dari suatu proses operasi matematik yang tepat.
Ketika siswa diminta menyelesaikan
SPLDV𝒙 + 𝒚 = 𝟗 dan 𝟐𝒙 + 𝟑𝒚 = 𝟐𝟑, siswa
mengerjakannya dengan cara menebak
sehingga diperoleh hasil 𝒙 = 𝟒 dan 𝒚 = 𝟓.
Menurut Filloy, Rojano, dan Solares (2003),
proses itu mungkin dapat dipertimbangkan
sebagai cara yang benar, akan tetapi itu
menunjukkan siswa sangat defisit dalam
memahami aturan pencarian solusi sistem
persamaan linear dua variabel, bisa
dibayangkan jika sistem itu mengandung lebih
dari dua variabel, proses menebak hanya akan
menyesatkan jawaban siswa.
Transisi aritmetika ke aljabar tentunya
melibatkan pembelajaran aritmetika di sekolah
dasar (SD) dan seberapa perlu aljabar
diajarkan sejak SD. Berkaitan dengan hal
tersebut Zevenbergen et al., (2004)
menjelaskan bahwa di beberapa negara, aljabar
tidak diajarkan pada jenjang sekolah dasar. Hal
tersebut mengacu pada tingkat perkembangan
Piaget bahwa siswa sekolah dasar belum dapat
berpikir secara abstrak, materi aljabar sangat
abstrak, hal tersebut dianggap diluar
kemampuan siswa sekolah dasar. Namun,
beberapa pakar menganggap aljabar adalah
studi tentang pola, kemampuan untuk
mengidentifikasi dan mendeskripsikan pola,
yang dianggap sesuatu yang sangat umum di
sekolah dasar. Contohnya 3 + ... = 5
merupakan bentuk permulaan yang diajarkan
sebelum siswa diperkenalkan bentuk aljabar
𝟑 + 𝒙 = 𝟓, oleh karena itu materi aljabar dapat
diperkenalkan sejak dini.
Demikian halnya juga di Indonesia,
materi operasi hitung bilangan dan sifat-
sifatnya sudah diperkenalkan sejak siswa
duduk di kelas IV SD dan memang materi
aljabar belum diajarkan. Akan tetapi bila
merujuk pada contoh 3 + ... = 5, maka
sebenarnya soal-soal demikian juga sudah
diberikan pada siswa SD di Indonesia. Oleh
sebab itu perlu penekanan yang lebih lagi, baik
dari segi materi maupun proses pembelajaran
untuk bisa mendukung transisi siswa dari
aritmetika ke aljabar. Berkaitan dengan hal
tersebut, Blanton dan Kaput (2005)
menyatakan ada dua isu yang menarik untuk
pembelajaran di SD, yaitu: (1) kemampuan
berpikir aljabar dapat diintegrasikan sejak
pembelajaran di SD untuk mempersiapkan
siswa lebih matang ketika belajar aljabar
nantinya dan (2) guru-guru di SD dapat
menggunakan sumber dan metode
pembelajaran yang variatif yang dapat
mendukung (1).
Kesalahan dan miskonsepsi yang
ditemukan pada penelitian ini mengindikasikan
kurangnya kemampuan siswa untuk berpikir
Miskonsepsi Aljabar: Konteks Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP- 7 RA Herutomo
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
secara aljabar. Kaput (2008) menyatakan ada
dua aspek penting dalam berpikir aljabar,
diantaranya: (1) membuat bentuk generalisasi
secara formal berdasarkan sistem
penyimbolan, (2) penalaran simbol yang
meliputi manipulasi simbolik. Dua aspek
tersebut termuat dalam tiga cabang aljabar
yang dipelajari di sekolahan, yaitu: (1) aljabar
sebagai studi tentang struktur dan abstraksi
sistem perhitungan, (2) aljabar sebagai studi
tentang relasi dan fungsi, dan (3) aljabar
sebagai aplikasi untuk memodelkan bahasa
yang menyatakan penalaran tentang situasi
yang dimodelkan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka
tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa
problematika pada materi aljabar sangat
kompleks. Kesalahan dan miskonsepsi yang
ada saling berkaitan, baik antar konsep aljabar
maupun konten materi yang lainnya. Perlu
terus diupayakan penelusuran kesalahan dan
penyebab terjadinya kesalahan tersebut, tidak
harus menggunakan soal-soal yang kompleks,
faktanya dari hasil tinjauan berbagai literatur
pada jurnal internasional, soal yang disajikan
untuk menelusuri kesalahan dan miskonsepsi
siswa sangat sederhana yang bersifat rutin,
akan tetapi benar-benar difokuskan pada
kesalahan konsep atau proses yang ingin
diidentifikasi.
Simpulan Berdasarkanhasilpenelitianmakadapatdisimpul
kanbahwamiskonsepsialjabarsiswaantara lain:
kurangmemahamikonsepvariabelsebagaisesuat
u yang belumdiketahuinilainya,
menganggapvariabelhanyamerepresentasikanbi
langantertentusaja,
bukansebagaigeneralisasianggotasuatuhimpuna
nbilangan, menganggapvariabelsebagai label,
konjoiningoperasipenjumlahandanperkalian,
mengubahbentukaljabarmenjadipersamaan,
tidakmemahami proses pemfaktoran,
tidakbisamelakukanrepresentasialjabar,
menyelesaikansoalceritadenganmemberikanpe
njelasan verbal,
danmenggunakancaramenebakuntukmenyelesa
ikansoal-soal SPLDV.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka
disarankan agar pola pikir aljabar harus
diitegrasikan sejak pembelajaran aritmetika
dan guru perlu mengidentifikasi miskonsepsi
aljabar siswa agar tidak menjadi kendala dalam
proses pembelajaran. Lebih lanjut soal-soal
yang dirancang untuk menganalisis kesalahan
dan miskonsepsi siswa sebaiknya dibuat
bervariasi, sehingga dapat mengungkap
kesalahan dan miskonsepsi siswa yang lebih
beragam.
Daftar Pustaka
Akgun, L. & Ozdemir, E. (2006). Students’
Understanding of The Variable As
General Number and Unknown: A Case
Study. The Teaching Of Mathematics,
IX(1), 45–51.
Barrera, R., Medina, M.P., & Robayna, M.C.
(2004). Cognitive Abilities and Errors of
Students in Secondary School in
Algebraic Language Processes. In D. E.
McDougall & J. A. Ross (Eds.),
Proceedings of the Twenty-sixth Annual
Meeting of the North American Chapter
of the International Group for the
Psychology of Mathematics Education,
(pp. 253-260). Canada: Ontario Institute
for studies in Education, University of
Toronto.
Blanton, M. L. & J.J. Kaput, J.J. (2005).
Functional Thinking As A Route Into
Algebra in the Elementary Grades.
ZDM-International Reviews on
Mathematical Education,37(1), 34–42.
Booth, J.L., Barbieri, C., Eyer, F., & Pare-
Blagoev, E.J. (2014). Persistent and
Pernicious Errors in Algebraic Problem
Solving. Journal of Problem Solving, 7,
10-23.
Breiteig, T. & Grevholm. (2006). The
Transition From Arithmetic To Algebra:
To Reason, Explain, Argue, Generalize
And Justify. In J. Novotná, H. Moraová,
M. Krátká, & N. Stehlíková (Eds.).
Proceedings 30th Conference of the
International Group for the Psychology
of Mathematics Education (pp. 225-
232). Prague: PME
Dreyfus, T. (2002). Advanced Mathematical
Thinking Processes. In David Tall (Ed.),
Advanced Mathematical Thinking(pp. 25
– 40). New York: Kluwer Academic
Publisher.
Filloy, E., Rojano, T., & Solares, A. (2004).
Arithmetic/Algebraic Problem-Solving
and The Representation of Two
Miskonsepsi Aljabar: Konteks Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP - 8 RA Herutomo
Journal Of Basication: Jurnal Pendidikan Dasar, 1 (1), November 2017 p-ISSN 2581-2998, e-ISSN 2581-2629
Unknown Quantities. In Marit Johnsen
Hoines, Anne Berit Fuglestad
(Eds.),Proceedings of the 28th
Conference of the International Group
for the Psychology of Mathematics
Education (pp. 391-398). Bergen,
Norway.
Hammer, D. (1996). Misconceptions or P-
primes: How May Alternative
Perspectives of Cognitive Structure
Influence Instructional Perceptions and
Intentions? The Journal of The Learning
Science, 5(2), 97-127.
Kaput, J.J. (2008). What Is Algebra? What Is
Algebraic Reasoning? In Kaput, J.,
Carraher, D. and Blanton, M.
(Eds.),Algebra In The Early Grades(pp.
5-18). New York: Lawrence Erlbaum
Associates.
Knuth, J.E., Alibali, M.W., McNeil, N.M.,
Weinberg, A., & Stephens, A.C. (2005).
Middle School Students’ Understanding
of Core Algebraic Concepts:
Equivalence & Variable. ZDM, 37(1),
68-76.
Knuth, J.E., Alibali, M.W., McNeil, N.M.,
Hattikudur, S., & Stephens, A.C. (2008).
The Importance of Equal Sign
Understanding in The Middle Grades.
Mathematics Teaching in The Middle
School, 13(9), 514-519.
Leinhardt, G., O. Zaslavsky, & M. K. Stein.
(1990). Functions, Graphs, and
Graphing. Review of Educational
Research, 60(1), 1-64.
Lucariello, J., Tine, M.T., & Ganley, C.M.
(2014). A Formative Assessment of
Students’ Algebraic Variable
Misconceptions. Journal of
Mathematical Behaviour, 33, 30-41.
Mulungye, M., O’Connor, M., & Ndethiu.
(2016). Sources of Student Errors and
Misconceptions in Algebra and
Effectiveness of Classroom Practice
Remediation in Machakos County-
Kenya. Journal of Education and
Practice, 7(10), 31-33.
Nesher, P. (1987). Towards an Intructional
Theory: The Role Of Student’s
Misconceptions. For the Learning Of
Mathematics, 7(3), 33-39.
Norton, S. & Irvin, J. (2007). A Concrete
Approach to Teaching Symbolic
Algebra. In J. Watson & K. Beswick
(Eds.) Proceedings of the 30th Annual
Conference of the Mathematics
Education Research Group of
Australasia(pp. 551-560). Merga. Inc.
Panasuk, R. (2010). Three-Phase Ranking
Framework for Assessing Conceptual
Understanding in Algebra Using
Multiple Representations. Education,
131(4), 235-259.
Resnick, L. B. & Omanson, S. F. (1987).
Learning to Understand Arithmetic. In
R., Glaser (Ed.), Advances In
Instructional Psychology (pp. 41-95).
Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates.
Stacey, K. & MacGregor, M. (2000). Learning
the Algebraic Method of Solving
Problems. Journal of Mathematical
Behaviour, 18(2), 149–167.
Steinle, V., Gvozdenko, E., Price, B., Stacey,
K., & Pierce, R. (2009). Investigating
Students’ Numerical Misconceptions in
Algebra. In R. Hunter, B. Bicknell, & T.
Burgess (Eds.), Proceedings of the 32nd
Annual Conference of the Mathematics
Education Research Group of
Australasia(pp. 491-498). Palmerston
North, NZ: Merga.
van Amerom, B.A. (2003). Focusing On
Informal Strategies when Linking
Arithmetic to Early Algebra.
Educational Studies in Mathematics, 54,
63-75.
Warren, E. (2003). The Role of Arithmetic
Structure in the Transition from
Arithmetic to Algebra. Mathematics
Education Research Journal, 15(2),
122-137.
Zevenbergen, R., Dole, S., & Wright, R. J.
(2004). Teaching Mathematics in
Primary Schools. Australia: Allen &
Unwin.
top related