makalah semen
Post on 18-Jan-2016
124 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi infrastruktur memegang peranan penting dalam
pembangunan yang berlangsung dengan sangat pesat. Seiring dengan isu global warming dan
penerapan konsep pembangunan hijau, dalam bidang rekayasa material terus diupayakan
berbagai inovasi ramah lingkungan untuk menciptakan penelitian dalam bidang bahan
bangunan terutama untuk komponen struktur. Semen portland (portland cement) merupakan
salah satu material komponen struktur yang paling populer dan merupakan kebutuhan
yang paling besar di bidang konstruksi, sehingga penggunaannya sebagai bahan
yang berkelanjutan menjadi tujuan penting pada saat ini. Keberadaan kegiatan produksi semen
pada suatu daerah selain memberikan banyak manfaat terutama di bidang konstruksi, juga
menjadi ancaman ekologis yang serius. Hal ini dapat dilihat mulai dari proses pengambilan
bahan baku (eksplorasi terus-menerus), proses produksi serta dampak polusi yang
ditimbulkan. Batu kapur sebagai bahan baku pembuatan semen portland merupakan sumber
daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan jika pengambilannya dilakukan secara terus-
menerus maka keberadaan bahan baku tersebut akan habis. Selain itu dampak yang terjadi
adalah terus meningkatnya pemanasan global. Menurut International Energy Authority:
World Energy Outlook, produksi semen portland adalah penyumbang karbon dioksida sebesar
tujuh persen dari keseluruhan karbon dioksida yang dihasilkan oleh berbagai sumber, hal ini
terjadi karena dari satu ton semen portland yang diproduksi menghasilkan satu ton karbon
dioksida (Putranto, 2011). Oleh karena itu, perlu dipikirkan dan dikaji bahan baku alternatif
agar produksi semen di masa mendatang masih tetap ada dan proses produksinya lebih ramah
lingkungan.
Ekosemen adalah salah satu jenis produk semen yang hampir sama dengan semen
portland dan karena bahan bakunya menggunakan bahan berbasis limbah serta ramah
lingkungan maka disebut ekosemen. Beberapa alternatif yang dapat digunakan sebagai
pengganti bahan baku batu kapur yang berbasis limbah dan ramah lingkungan antara lain : abu
terbang batu bara (fly ash), abu hasil kalsinasi sampah dan abu sisa pengolahan kayu
(Susanti, 2009). Selain itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa limbah makanan laut
seperti kulit udang (chitosan) dan kulit kerang dapat dijadikan sebagai pengganti batu kapur.
Kerang laut (Anadara grandis) adalah salah satu dari jenis kerang yang banyak ditemukan di
perairan Indonesia. Kerang ini banyak dikonsumsi masyarakat karena banyak
mengandung protein. Jumlah kerang yang cukup berlimpah akan sebanding dengan jumlah
limbah kulitnya yang selama ini sebagian besar hanya dibuang dan sebagian kecil
dimanfaatkan sebagai pakan ternak, bahan baku pembuatan kosmetik, dan kerajinan
tradisional. Limbah kulit kerang mengandung senyawa kimia yang bersifat pozzolan yaitu zat
kapur (CaO) sebesar 66,70%, alumina, dan senyawa silika (Siregar, 2009), sehingga dapat
dijadikan sebagai alternatif bahan baku utama atau bahan subtitusi pembuatan semen. Dengan
demikian optimalisasi pemanfaatan limbah kulit kerang ini diharapkan dapat mengurangi
limbah yang mencemari lingkungan dan dapat memberi nilai tambah terhadap limbah kulit
kerang tersebut. Penelitian ini akan mengkaji pemanfaatan limbah kulit kerang sebagai bahan
baku untuk pembuatan ekosemen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Semen dan Sejarah Pembuatan Semen
Semen merupakan bahan yang sangat penting yang digunakan untuk konstruksi bangunan,
komposisinya terdiri dari oksida kalsium, alumina, silica dan besi. Senyawa-senyawa ini
diperoleh dari pembakaran batu kapur (limestone), tanah liat (silistone) dan pasir besi (iron sand)
serta adanya penambahan bahan aditive yaitu gypsum (CaSO4. 2H2O) yang berfungsi untuk
memperlambat proses pengerasan semen yang di tambahkan bersamaan dengan klinker pada unit
finish mill.
Pada saat ini berbagai macam semen telah beredar di pasaran, hal ini terbukti dengan adanya
permintaan konsumen terhadap beberapa jenis atau tipe semen. Tipe semen yang paling banyak
di gunakan oleh konsumen adalah semen tipe I yaitu semen Portland untuk penggunaan umum,
dan tidak memerlukan persyaratan khusus seperti yang disyaratkan pada jenis semen lain.
Semen (cement) adalah hasil industri dari paduan bahan baku batu kapur/gamping sebagai
bahan utama dan lempung/tanah liat atau bahan pengganti lainnya dengan hasil akhir berupa
padatan berbentuk bubuk/bulk, tanpa memandang proses pembuatannya, yang mengeras atau
membatu pada pencampuran dengan air. Bila semen dicampurkan dengan air, maka terbentuklah
beton. Beton nama asingnya, concrete-diambil dari gabungan prefiks bahasa Latin 87 com, yang
artinya bersama-sama, dan crescere (tumbuh), yang maksudnya kekuatan yang tumbuh karena
adanya campuran zat tertentu. Batu kapur/gamping adalah bahan alam yang mengandung
senyawa kalsium oksida (CaO), sedangkan lempung/tanah liat adalah bahan alam yang
mengandung senyawa: silika oksida (SiO2), aluminium oksida (Al2O3), besi oksida (Fe2O3)
dan magnesium oksida (MgO). Untuk menghasilkan semen, bahan baku tersebut dibakar sampai
meleleh, sebagian untuk membentuk clinkernya, yang kemudian dihancurkan dan ditambah
dengan gips (gypsum) atau pozzolan dalam jumlah yang sesuai. Hasil akhir dari proses produksi
dikemas dalam kantong/zak dengan berat rata-rata 40 kg atau 50 kg.
Secara umum semen didenifisikan sebagai perekat hidrolis yang dihasilkan dari penggilingan
clinker yang kandungan utamanya kalsium silikat dan kalsium sulfat sebagai bahan tambahan.
Semen disebut sebagai bahan perekat hidrolisis karena senyawa-senyawa yang terkandung di
dalam semen tersebut dapat bereaksi dengan air dan membentuk zat baru yang bersifat perekat
terhadap batuan, oleh karena sifat hidrolisis tersebut, maka semen bersifat:
1. Dapat mengeras apabila bercampur dengan air
2. Tidak dapat larut dalam air
3. Plastis sementara, apabila dicampur dengan air
4. Melepas panas, apabila dicampur dengan air
5. Dapat melekat batuan apabila dicampur dengan air
Proses Pembuatan semen sudah dikenal sejak zaman mesir kuno, bahan ini hasil kalsinasi
gypsum yang tidak murni. Sedangkan bangsa romawi membuat semen dengan menggunakan
bahan perekat dari abu gunung berapi yang digiling bersama-sama dengan kapur murni. Bahan
perekat tersebut merupakan anorganik yang terdiri dari batu gamping, gypsum, pozzoland.
Bahan perekat tersebut akhirnya dikenal dengan semen.
Setelah revolusi industri di eropa pada pertengahan abad XVIII, banyak dikembangkan
berbagai macam penelitian penting, pada tahun 1755, John Smeaton dari inggris menemukan
hydraulic lime yang dibangun untuk gedung Eddy Store Lighthouse. Pada tahun 1797 james
parker dari Inggris melakukan pembaharuan dengan menggunakan semen hidraulik.
Pembuatannya dilakukan dengan cara membakar batu kapur dan batu silica. Semen hidrolik
dikenal dengan nama Roman Cement yang banyak dipakai pada periode tersebut.
Pada tahun 1824, John Aspenden seorang tukang batu dari Inggris membuat patent dengan
cara pembuatan batu-batuan, semen yang dipakai akhirnya dikenal dengan nama Portland
cement, karena bentuk dari semen yang tekah mengeras mirip dengan Portland Stone yang
merupakan bahan bangunan pada waktu itu.
Kira-kira 20 tahun kemudian setelah pembaharuan oleh John Aspenden, barulah dimulai
produksi semen dengan kualitas dapat diandalkan. Dalam hal ini penelitian tentang pembuatan
semen, prestasi I.C Johnson yang meletakkan dasar-dasar proses kimia dalam pembuatan semen
tidak dapat dilupakan. Tahun 1850 dibangun empat buah pabrik di Inggris dengan produk
Cement Portland dengan kualitas baik. Dan sejak saat itu diberbagai negara Eropa dan Amerika
bermunculan pabrik semen yang kemudian disusul oleh jepang pada tahun 18755 dan negara-
negara lain di indonesia.
Pada tahun 1908 sudah memulai diperkenalkan rotary kiln sebagai inovasi dari shaf kiln.
Tahun 1910 pabrik semen pertama didirikan di Indonesia. Tahun 1918, Vicat menyatakan bahwa
untuk membuat semen yang tahan air tidak hanya dibutuhkan batu kapur, tetapi memerlukan
batu yang mengandung aluminium, silica, magnesium, dan oksidasi besi dengan perbandingan
tertentu.
2.2. Sifat dan Kualitas Semen
2.2.1. Sifat Fisika Semen
1. Hidrasi Semen
Hidrasi pada semen terjadi apabila ada kontak antara mineral alam dalam semen
dengan air. Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hidrasi antara lain:
a. Jumlah air yang ditambahkan
b. Temperatur
c. Kehalusan semen
d. Bahan tambahan
Faktor-faktor tersebut akan mengakibatkan terbentuknya pasta semen yang dalam
jangka waktu tertentu akan mengalami pengerasan (setting).
2. Panas Hidrasi
Panas hidrasi merupakan panas yang dihasilkan oleh reaksi hidrasi (reaksi eksotermis)
jika semen dicampur dengan air.
3. Setting Time dan Hardening
Pengikatan semen terutama ditentukan oleh terlalu cepatnya reaksi antara C3A yang
terdapat dalam semen dan air. Maka, untuk mengatur waktu pengikat perlu ditambahakan bahan
penghambat untuk mencegah hidrasi, yaitu gypsum. Setting time sangat dipengaruhi oleh
temperatur dan kelembaban relatif. Setting time akan menurun jika klinker tidak terbakar
sempurna, partikel semen halus, tingginya kandungan alumina, alkali, dan soda kaustik. Setting
time akan meningkat jika klinker dibakar pada temperatur yang sangat tinggi, partikel semen
kasar, gypsum, yang ditambahkan berlebih, tingginya kadar silica, natrium klorida (NaCl),
Barium klorida (BaCl2), Sulfida (SO3), senyawa sulfat dan air sadah.
4. False Set
False set merupakan hasil dari dehidrasi gypsum yang disebabkan karena pemanasan
berlebih. False set merupakan proses pengerasan semen yang tidak normal apabila air
ditambahkan ke dalam semen, sehingga dalam beberapa menit kekuatan (rigidity) segera terjadi.
Pengerasan ini disebabkan oleh adanya CaSO4.1/2H2O dalam semen. Plastisitas akan diperoleh
kembali jika campuran jika campuran tersebut diaduk kembali. Pada suatu saat, meskipun tidak
mengurangi kekuatan semen, hal ini akan menimbulkan kesulitan pada waktu proses pembuatan
beton. False set ini dapat dihindari dengan mengatur temperatur semen saat penggilingan di
dalam Cement Mill agar gypsum tidak berubah menjadi CaSO4.1/2H2O. selain itu gypsum yang
digunakan harus cukup dan belum dehidrasi.
5. Kuat Tekan
Kuat tekan adalah kemampuan suatu material menahan beban. Kuat tekan ini sangat
diperlukan dalam menentukan mix design dari beton untuk suatu kontruksi tertent. Kuat tekan
akan meningkat jika nilai Lime Saturation Factor (LSF) tinggi, nilai alumina Ratio rendah, nilai
Silica Ratio tinggi, kandungan SO3 rendah, dan tingkat kehalusan semen tinggi. C3S
memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan kekuatan awal, sedangkan C2S
memberikan kontribusi kekuatan semen pada umur yang lebih lama. C3A mempengaruhi kuat
tekan sampai tingkat tertentu pada umur 28 hari dan selanjutnya, pada umur berikutnya pengaruh
komponen ini makin kecil, sedangkan C4AF tidak berpengaruh terhadap kekuatan semen.
6. Kelembaban
Selama penyimpanan atau pengangkutan, semen mudah menyerap uap air dan karbondioksida
(CO2) dari udara, sehingga akan menurunkan kualitas semen.
7. Penyusutan
Penyusutan yang terjadi pada pasta semen di dalam campuran beton terbagi menjadi 3 macam,
yaitu:
1. Hidration Shrinkage
2. Drying Shrinkage
3. Carbonation Shrinkage
8. Daya Tahan Semen Terhadap Asam dan Sulfat
Syarat ini diperlukan hanya untuk high sulfat Cement yang dimaksudkan untuk
mengontrol kekuatan semen melaui sulfat. Daya tahan beton pada asam pada umumnya sangat
lemah, sehingga mudah terdekomposisi atau terurai oleh asam-asam kuat seperti asam klorida
(HCl), amoniak (NH3), dan asam sulfat (H2SO4).
9. Soundness
Agar beton mempunyai daya tahan yang lebih baik, semen juga harus memiliki
kelenturan yang baik. Selama proses hidrasi, akan terjadi ekspansi abnormal yang dapat
menyebabkan beton menjadi retak. Ekspansi yang sangat besar terjadi di dalam semen apabila
kandungan free lime, magnesium oksida (MgO), Natrium Oksida (NaO), dan Kalium Oksida
(K2O) sangat tinggi atau gypsum yang ditambahkan pada penggilingan akhir telalu banyak.
10. Kehalusan (Blaine)
Kehalusan semen merupakan salah satu syarat fisika semen, karena akan menentukan
luas permukaan partikel-partikel semen pada saat hidrasi. Semakin halus semen, panas hidrasi,
kebutuhan air per satu satuan berat semen akan semakin tinggi, serta reaksi hidrasi akan semakin
cepat.
2.2.2. Sifat Kimia Semen
a. Hilang Pijar (LOI)
Hilang pijar pada semen terutama disebabkan karena terjadinya penguapan air kristal
yang berasal dari gypsum serta penguapan karbon dioksida (CO2). Pada semen yang
baru dibuat, nilai LOI max 5% untuk semen OPC dan 13,5%- 15% untuk semen PPC.
b. Silica Ratio (SR)
Harga silica Ratio berkisar anatara 2,42 ±0,05. Perubahan Silica Ratio(SIM) dapat
menyebabkan perubahan pada pembentukan Coating pada Burning Zone dan burnability
Clinker. Silica Ratio (SR) yang rendah akan menyebabkan:
1. Raw meal mudah dibakar
2. Temperatur klinkerisasi rendah
3. Cenderung membentuk ring coating dalam Kiln, apalagi jika Lime saturated Free
(LSF) juga rendah
4. Kekuatan awal tinggi, tetapi dengan pertambahan waktu sedikit sekali
kenaikannya.
5. C3S banyak .
c. Alumina Ratio (AR)
Harga Alumina Ratio (AR) berkisar antara 1,6, jika alumina ratio (AR) tinggi, maka
akan menurunkan silica ratio (SR), sehingga akan menghasilkan semen dengan waktu
pengikatan yang cepat.
2.3. Proses-Proses Pembuatan Semen
2.3.1. Proses Basah
Penggilingan bahan mentah dilakukan dengan menambahkan sejumlah air ke dalam raw
mill, sehingga kadar air dalam bahan mentah meningkat dari 6%-11% menjadi 35%-40%.
Keluaran dari raw mill ini disebut slurry yang kemudian mengalami homogenisasi di dalam
mixing basin, tangki koreksi dan slurry basin. Dari slurry basin, slurry di umpankan ke dalam
kiln untuk membentuk klinker pada suhu 1450 , setelah itu didinginkan dengan cooler,
kemudian klinker bersama dengan gypsum digiling di dalam Cement Mill, sehingga diperoleh
semen. Keuntungan proses basah pada pembuatan semen, yaitu:
1. Pencampuran dan koreksi komposisi slurry lebih mudah karena berupa larutan.
2. Fluktuasi kadar air tidak terlalu mempengaruhi proses
3. Proses basah baik digunakan jika kadar air raw materialnya cukup tinggi
Kerugian proses basah pada pembuatan semen, yaitu:
1. Pada saat pembakaran diperlukan banyak bahan bakar, karena menggunakan panas 1500-
1900 kcal/kg track, dengan suhu exit gas 150-250 .
2. Kiln yang digunakan lebih panjang karena proses pengeringan terjadi di dalam kiln.
3. Rata-rata kapasitas kiln pada proses basah lebih rendah.
2.3.2. Proses Semi basah/kering
Untuk umpan kiln digunakan moule/granular (butiran), pellet (cake) yang dibuat dengan
filter press, sehingga kadar airnya menjadi 15%-25% dengan konsumsi panas sekitar 1000-2000
kcal/kg track. Agar kapasitas produksi meningkat maka long rotary kiln dilengkapi dengan grate
preheater.
2.3.3. Proses Kering
Pada proses pembuatan semen dengan proses kering, bahan mentah digiling dan
dikeringkan dalam raw mill, sehingga dihasilkan raw mix dan selanjutnya dihomogenisasi
dengan silo. Kemudian raw mix mengalami reaksi kalsinasi awal di dalam preheater dan
calciner. Hasil kalsinasi diumpankan ke dalam kiln pada suhu ±1450℃. dan didinginkan dalam
cooler hingga suhunya ±100℃.. setelah itu, klinker dan gypsum digiling di dalam cement mill,
sehingga menghasilkan semen. Keutungan proses kering:
1. Kebutuhan panas lebih rendah, sehingga konsumsi bahan bakar lebih sedikitKiln yang
digunakan
2. relatif lebih pendek
3. Rata-rata kapsitas kiln lebih besar
Kerugian proses kering yaitu:
a. Fluktuasi kadar air sangat menganggu operasi di raw mill
b. Pengotor berupa alkali klorida dan sulfat menyebabkan penebalan atau penyempitan pada
saluran-saluran atau riser pipe kiln (clogging).
b.4. Beberapa Alat- Alat Utama Dalam industri Semen
b.4.1. Preheater
Preheater dikembangkan untuk terjadinya proses pemanasan bahan baku untuk mencapai
awal mula proses kalsinasi atau pelepasan CO2. Salah satu jenis preheater yang digunakan
adalah cyclone. Cyclone preheater merupakan rangkaian cyclone yang disusun satu diatas yang
lainnya. Gas dari kiln masuk dari bawah cyclone melalui riser duct. Di dalam duct, raw meal
berkumpul di bagian atas stage. Raw meal di bawa oleh gas kiln dan dimasukkan ke dalam kiln,
pada saat gas di bawa menuju k atas, gas panas di transferkan ke raw meal yang mana akan
mendapatkan pemanasan kedepan.
Ketika gas dengan raw meal bercampur sebagai suspensi masuk ke dalam cyclone, raw
meal di pisahkan dari gas dengan proses cyclonic dan gas menuju ke atas cyclone raw meal
sedangkan yang lainnya jatuh ke bawah masuk ke kiln. Setiap cyclone, sambungan duct dan pipa
raw meal akan membentuk stage. Proses akan diulang beberapa kali sebagaimana hal nya stage.
Pada stage terakhir atau pada puncak cyclone, raw meal dari kiln feed dimasukkan dari sistem
kiln feed dan gas dikeluarkan ke preheater fan yang diakibatkan oleh tarikan dari sistem tersebut.
Di setiap stage perpindahan panas terjadi ketika raw meal bersuspensi dalam gas yang mana
kondisinya sangat baik untuk terjadinya perpindahan panas. Gas dari kiln masuk dari bawah
cyclone dengan suhu sekitar 1000℃.. Raw meal masuk ke preheater dari atas stage dengan suhu
sekitar 60℃., gas meninggalkan preheater dengan suhu 350℃. setelah melewati 4 preheater dan
raw meal akan masuk ke kiln pada suhu sekitar 800-850℃..
Gambar Preheater tower
b.4.2. Calciner
Calciner Hanya sebagai pengembangan preheater untuk tempat terjadinya proses
pemanasan awal di luar kiln, jadi calciner merupakan tempat terjadinya proses kalsinasi atau
pelepasan CO2 dari CO3 di dalam umpan raw mix di luar kiln. Di dalam pemanas suspensi
cyclone lamanya gas berpindah adalah 40-60 detik, pada kondisi ini raw meal dipanaskan dari
temperatur 60℃. menjadi sekitar 800-850℃.. kalsinasi dimulai pada suhu 600℃.. oleh sebab
itu raw meal masuk ke kiln secara parsial telah terjadi kalsinasi sebesar 90-95%. Reaksi
keseluruhan dari kalsinasi terjadi di dalam kiln. Kalsinasi merupakan proses endotermis selama
temperatur raw mix konstant. Panas dibutuhkan untuk memenuhi reaksi kalsinasi sebagaimana
reaksi di bawah ini
CaCO3 CaO + CO2 - 420 kkal
Pada reaksi kalsinasi, raw meal diambil dari sisa tetapi, satu stage pada preheater dan
dimasukkan ke vessel yang mana panas kalsinasi disediakan oleh pembakaran bahan bakar di
dalamnya. Udara untuk pembakaran dapat berasal dari kiln atau dari grate cooler. Preheater fan
menarik produk dari hasil pembakaran dan CO2 dipisahkan melalui calciner dan melalui cyclone
preheater. raw meal dipisahkan dari gas dan diumpankan ke kiln. Pencapain Derajat kalsinasi
berhubungan secara langsung dengan jumlah bahan bakar yang dibakar di dalam calciner.
Sebagaimana aturan thumb menyatakan ketika 60% bahan bakar di dalam calciner, derajat
kalsinasi mencapai 90-95%. Temperatur raw mix mulai naik ketika proses kalsinasi sempurna
yang mana merupakan karateristik dari aliran. Oleh sebab itu kalsinasi yang dicapai sengaja
dibatasi hingga 90%.
b.4.3. Rotary Kiln
Rotary kiln terjadi banyak operasinya didalamnya. Rotary kiln cocok untuk semua proses
untuk industri semen baik basah, semi-basah, semi kering dan kering. Panjang kiln atau ratio
panjang sampai ke diameter tergantung jumlah operasi yang terjadi di dalam kiln. Secara alami
proses basah kiln mempunyai kiln yang terpanjang karena distu terjadi banyak operasi mulai dari
pengeringan sampai pembentukan. Kiln pada proses kering dengan precalciner merupakan kiln
yang terpendek karena di dalam kiln tersebut hanya terjadi sekitar 10% proses kalsinasi dan
proses pembentukan. Semua kiln memilki mempunyai zona cooler yang pendek pada
keluarannyan. Pada kiln dengan jenis planetary cooler, klinker masuk ke pipa cooler yang
berdekatan dengan kiln shell.
Panjang kiln ditentukan oleh berapa jumlah penyangga yang dibutuhkan. Kiln pada
proses basah dan kering mempunyai jumlah penyangga 5 atau lebih. Precalciner kiln proses
kering dapat memiliki 2 yang mana merupakan jumlah yang paling kecil, secara umum kiln –kiln
ini mempunyai 3 penyangga (support). Rotary kiln merupakan slinder yang berputar, dipasang
dengan kemiringan 2 – 4 derajat, setiap penyangga mempunyai 2 roller dan 4 bearin. Pada zona
pembakaran terdapat 70% batu-bata alumina atau magnesit, sisanya merupakan 35% alumina.
Tingkat bahan isian di dalam kiln, hal ini merupakan hal yang penting dari titik perpindahan
panas ke bahan isian, biasanya tingkat bahan isian yaitu sekitar 5-8%
Ada beberapa perbedaan dalam perancangan dan perbaikan sistem pada kiln, tetapi semua itu
yang menjadi hal utama yaitu kinerja perubahan material di dalam kiln tersebut, berikut adalah
beberapa proses yang terjadi di dalam kiln:
1. Penguapan air bebas, pada temperatur di atas 100
2. Penghilangan air yang diserap oleh material tanah liat 100- 300℃3. Penghilangan air yang mengikat secara kimia 450℃ -900℃4. Kalsinasi CaCO3 700-850
5. Pembentukan C2S, alumina dan besi 800 -1250
6. Pembentukan cairan dalam fasa cair >1250
7. Pembentukan C3S 1330℃. - 1450
8. Pendinginan Clinker sebagai fasa padat 1300 -1240
9. Pendinginan Clinker 1250 -100
b.4.3.1.Jenis – Jenis Kiln
a. Wet Process Kiln
Wet Proses Kiln dengan ratio panjang per diameter (L/D) diatas 40 m, merupakan alat utama
pada pabrik untuk memproduksikan klinker pada abad 20, kiln ini merupakan kiln yang relatif
sederhana, dengan keutungan utama yaitu persiapan slurry menjadi lebih mudah di giling,
ditangani dan di campur, disimpan, dipompa, dan diukur, dan juga lebih mengurangi tingkat
emisi debu. Di dalam proses basah sistem pemanasan awal adalah roda logam yang bergantung
di daerah dingin ujung kiln, yang mana menyerap gas panas dari material yang melewatinya.
Roda sebenarnya menyediakan area permukaan yang lebih besar untuk berkontak antara gas
panas dengan material yang melekat diatas roda. Masalah utama pada kiln wet processs adalah
efisiensi bahan bakar yang rendah karena air akan dihilangkan dari slurry. Hal ini hanya menjadi
masalah serius ketika harga bahan bakar meningkat selama tahun 1970an, dan hanya beberapa
wet kiln process yang masih beroperasi pada saat itu.
b. Long Dry Kiln
Secara Dimensi, Long Dry Kiln sama dengan long wet kiln, kiln-kiln ini dikembangkan
dan menjadi populer terutama di Amerika Utara. Keuntungan pada kiln ini adalah secara
potensial meningkatkan konsumsi bahan bakar karena kondisi feed dalam keadaaan kering.
Bagaimanapun tanpa ada peralatan alat pembantu perpindahan panas dalam area preheater zone ,
temperatur keluaran kiln 700 atau lebih ini berarti bahwa penyemprotan air pendingin
diperlukan dan sangat sedikit keuntungan yang dicapai daripada wet process kiln. Selain itu
produksi long dry kiln lebih besar daripada long wet kiln.
c. Travelling Grate Preheater Kiln (Lepol)
Lepol kiln ditemukan pada tahun 1928 oleh Otto Lellep dan dipasarkan oleh Polysius,
kombinasi kedua namanya di singkat dengan ‘Lepol’. Kiln ini merupakan peningkatan besar
eifesiensi perpindahan panas pada kiln, sekitar 50% lebih diatas wet kiln proses yang terkenal
pada saat itu. Dengan sengat mudah pasar menerima teknologi ini. Teknologi kiln tersebut
mencapai tahap 3000 ton per hari dengan konsumsi bahan bakar 3,3 MJ/kg(800 kcal/kg). Kiln-
kiln ini mempunyai bagian rotary kiln yang pendek perbandingan L/D yaitu 12 dan 15,
pemrosesan di bawa oleh grate di tutupi oleh 150 mm – 200 mm lapisan dari pellet raw meal.
Gas keluaran dari kiln yaitu 1000 dan juga melewati lapisan nodule/pellet yang memeberikan
pemenasan awal pada material sebelum masuk ke dalam rotary kiln dengan suhu sekitar 800℃..
Gas keluar dari bagian grate dengan suhu sekitar 100 , termasuk sangat eifisiensi dalam
pemanfaatan panas kembali, untuk beberapa sistem grate preheater kiln, pellet umpan kiln
mengalami dua pemisahan pembagain gas , pertama untuk pemanasan dan yang kedua untuk
pemnasan awal dan awal kalsinasi. Pellet di bentuk sebagai umpan kiln yang dibuat dari raw
meal dicampur dengan 13% kandungan air di dalam pan granulator, atau di produksi di slurry
raw meal setelah melewati filter press, diextruder dan dimasukkan ke dalam selinder pellet.
d. Cyclone Preheater Kiln
Cyclone preheater pertama dipatenkan pada tahun 1934 di Ceko-Slovakia oleh pekerja
F.L Smidht, akan tetapi kiln preheater pertama dibuat dan dipersiapkan pada tahun 1951 oleh
KHD. Sistem penunjang cyclone separator ini bermaksud mempromosikan perpindahan panas
antara gas panas keluaran kiln pada suhu 1000 dan dimasukkan ke dalam umpan raw meal.
Cyclone preheater Kiln mempunyai beberapa stage antara 1 dan 6, dengan meningkatkan
efesiensi bahan bakar dan dengan beberapa stage preheater yang dapat kita lihat padam yang
banyak digunakan yaitu 4 stage suspension preheater, dimana gas meninggalkan sistem preheater
pada suhu sekitar 350 .
Rotary kiln yang digunakan relatif pendek, dengan L/D biasanya 15, material masuk ke
dalam kiln yang sudah dipanaskan sekitar 800 dan sebagian reaksi kalsinasi terjadi (20% to
30%) dengan beberapa beberapa reaksi pembentukan klinker sudah dimulai.
Lamanya waktu material di dalam preheater sekitar 30 second dan di kiln sekitar 30
menit dan kecepatan kiln yaitu 2 rpm. Pressure drop berkisar 300 mm sampai 600 mmH2O,
dengan kecepatan gas 20 m/s di dalam preheater dan cyclone. Kapasitas kiln di atas 3500 ton per
hari, dengan pemakaian bahan bakar sekitar 750 sampai 800 mm Kcal/Kg (3,2 -3,5 MJ/Kg).
dengan kapasitas yang lebih kiln di buat dengan sistem 2 menara preheater untuk menjaga
ukuran cyclone bagian dari masalah ekonomi dan kebutuhan eifisiensi.
e. Precalciner Kiln
Di dalam precalciner kiln, udara pembakaran untuk bahan bakar tidak diambil lebih jauh
melalui kiln, tetapi diambil dari cooler dengan menggunakan tertiary air duct yang dirancang
khusus untuk pembakaran vessel di dalam preheater tower. Secara khusus, 60% dari jumlah
bahan bakar di bakar di dalam calciner, dan raw meal di atas 90% terjadi kalsinasi sebelum
material sampai ke dalam rotary kiln, sejak calciner beroperasi pada temperatur sekitaran
temperatur kalsinasi raw meal (800℃-900℃), tidak terdapat pembakaran sebagaimana
mestinya. Efesiensi Calciner bergantung pada keseragaman aliran udara dan keseragaman
dispersi bahan bakar dan raw meal di udara, secara khusus, rata-rata waktu tinggal dihitung pada
laju gas pada unit awal awal adalah 1 atau 2 sekon laju batu bara dan minyak, dan 2 dan 3 sekon
untuk gas alam, beberapa tahun terakhir cenderung telah digunakan calciner vessel untuk
mengurangi beberapa masalah pembakaran pada rancangan yang telah ada dan memberikan
fleksibiltas yang lebih besar untuk penggunaan jumlah bahan bakar yang lebih rendah.
Precalciner kiln dapat menghasilkan keluaran yang besar mencapai 10.000 ton per hari,
dengan penggunaan bahan bakar spesifik yaitu 3 mJ/Kg (700 kcal/kg). Pada preheater kiln
terdapat beberapa perbedaan konfigurasi dengan satu, dua atau tiga menara preheater beroperasi
dengan satu atau dua vessel calciner di luar dari konfigurasi atau chamber, ukuran kiln biasanya
kecil L/D yaitu 10 atau 14, dan kecepatan kiln 3,5 rpm, dan waktu tinggal dalam kiln biasanya 20
– 25 menit.
2.5. Tahapan Proses
Adapun urutan proses pembuatan semen di PT. Lafarge Cement Indonesia adalah :
1. Persiapan bahan baku
Bahan baku pembuatan semen terdiri dari :
a. Batu kapur (Limestone)
b. Tanah liat (Siltstone)
c. Tanah alumina (Shale)
d. Pasir besi (Iron sand)
e. Pozzoland untuk semen PPC
f. Gypsum
2. Penggilingan Bahan Baku (Unit Raw Mill)
Peralatan utama untuk penghalusan bahan baku (raw material) adalah raw mill. Raw mill
yang di gunakan pada PT. Lafarge Cement Indonesia (LCI) adalah jenis tube/horizontal mill.
Raw mill merupakan silinder baja tertutup yang diputar oleh motor induksi dengan kecepatan
14,5 rpm dengan power motor 2.500 kW per motor dengan kapasitas 240 ton/jam. Raw mill
memiliki diameter dalam shell 4,88 meter dan panjang shell 15,39 m, yang terdiri dari 3 ruang
pengering (dryng chamber), ruang pengggiling I (grinding chamber I), dan ruang penggiling II
(grinding chamber II).
Bahan baku (limestone, siltstone, dan shale) dimasukkan ke dalam hopper yang
dilengkapi weight feeder. Kedua material dikirim dengan belt conveyor ke raw mill, sedangkan
pasir besi ditambahkan melalui hopper setelah melewati weight feeder dan langsung jatuh ke belt
conveyor yang telah berisi kedua material diatas. Perbandingan kedua bahan baku tersebut
adalah 72% limestone, 18% siltstone, 6% shales dan 4% iron sand.
Material yang masuk ke raw mill dikeringkan pada chamber I (dryng chamber) dengan
menggunakan panas dari cyclone preheater pada temperatur 300-400℃, yang dialirkan dengan
menggunakan fan. Setelah pengeringan maka kadar air material dalam dryng chamber mencapai
2-5%. Material dari dryng chamber masuk ke dalam grinding chamber I yang berisi bola-bola
mill berdiameter 90 mm, 80 mm, 70 mm, 60 mm dan 50 mm dengan beratnya berturut – turut
adalah 30 ton, 30 ton, 26 ton, 22 ton dan 16 ton dengan berat totalnya 124 ton, karena adanya
perputaran dari raw mill, menyebabkan grinding media (ball mill) menumbuk material hingga
halus. Setelah halus pada grinding chamber I maka material akan masuk pada grinding chamber
II, di dalam grinding chamber II terdapat bola-bola mill yang berukuran 50 mm, 40 mm, 30 mm
dan 25 mm, dengan berat bola mill berturut-turut yaitu 25 ton, 50 ton, 46 ton, dan 34 ton dengan
berat total 155 ton.
Material yang telah digiling masuk ke dalam grit separator, disini material akan
dipisahkan antara yang kasar dan yang halus, sebagian material yang menjadi debu akan
terkumpul di cyclone dust collector dengan bantuan fan. Material lain keluar melalui central
discharge masuk ke bucket elevator dengan bantuan air slide. Dengan menggunakan bucket
elevator material dimasukkan ke dalam cyclone separator. Pada cyclone separator ini material
dipisahkan dengan menggunakan sistem centrifugal, akibat putaran itu material – material yang
halus dan kasar terpisah menjadi dua bagian, material yang halus masuk ke kiri dan kanan
cyclone sedangkan material yang kasar jatuh ke bawah di tengah-tengah cyclone dan
dimasukkan kembali ke dalam drying chamber, grinding chamber I, dan grinding chamber II
untuk dihaluskan.
Material yang halus pada grinding chamber II dihisap dengan ke grit separator, disini
dipisahkan lagi antara material yang kasar dengan debu (halus), material yang telah menjadi
debu akan terkumpul di cylone dust collector dengan bantuan fan, sedangkan material yang kasar
dengan bantuan air slide menuju bucket elevator dan dimasukkan ke dalam cyclone separator.
Selanjutnya material yang halus (debu) yang berasal dari cylone dust collector dan dari cyclone
separator dengan bantuan air slide di salurkan ke dalam dua buah screw pump, dan dengan
bantuan air compressor dimasukkan ke dalam blending silo yang berjumlah 2 buah dengan
kapasitas masing-masing 1.800 ton.
Di dalam blending silo material (raw meal) diaduk hingga homogen. Pengadukan
dilakukan dengan menggunakan udara yang berasal dari tiga buah compressor di bawah blending
silo. Proses pengadukan dilakukan selama tiga jam, pada satu jam pertama dilakukan
penghembusan udara dari ketiga compressor secara bergantian masing-masing penghembusan
selama 15 menit, kemudian pada dua jam terakhir digunakan seluruh compressor secara
bersamaan. Sebelum material dimasukkan ke dalam storage silo, terlebih dahulu di analisa kadar
LSF (lime saturation factor) atau kadar kejenuhan kapur, SR (silica ratio), dan AR (alumina
ratio).
Debu halus yang tidak dapat ditangkap oleh cyclone dust collector akan ditarik oleh
bantuan udara dengan menggunakan fan menuju bag filter. Sedangkan sebagian gas (udara)
panas yang berasal dari preheater dialirkan air cooling conditional tower. Di dalam menara
tersebut dilakukan penyemprotan air sehingga debu yang terikut dengan gas panas akan
terperangkap dan jatuh ke bawah, sedangkan gas (udara) panas turun suhunya sekitar 160 ℃.
Debu yang masih lolos bersama gas (udara) dialirkan ke bag filter. Bag filter bekerja
pada suhu lebih kecil dari 120℃. udara yang masuk kedalam bag filter akan disaring dengan
menggunakan cloth yang kemudian gas (udara) bersih tersebut akan dibuang ke atmosfer. Debu
yang berasal dari air conditional cooling tower dan bag filter dengan menggunakan screw
conveyor dialirkan ke hopper lalu dengan bantuan screw pump di masukkan ke blending silo dan
sebagian lagi diumpankan ke weight feeder hopper (kiln feed).
3. Proses Pemanasan awal, Pembakaran dan Pendinginan (Unit Kiln)
Pada unit Kiln, proses pembuatan semen dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Proses Pemanasan Awal (Preheater)
Preheater berguna untuk pemanasan awal raw meal sehingga pemanasan selanjutnya
dalam kiln lebih mudah. Preheater adalah tempat terjadinya pertukaran panas antara material
dengan gas panas pada kiln. Dari perjalanan material dari atas ke bawah melalui susunan
preheater, material menyerap panas dari gas datangnya dari bawah yaitu dari kiln (process
counter current), karena menyerap panas maka sebagian material akan terurai dan menguap,
diantaranya akan melepaskan H2O dan CO2.
Material yang berasal dari storage silo diumpankan ke kiln feed hopper, setelah melalui
weight feeder dengan bantuan air lift dan screw conveyor, material masuk ke suspension
preheater. Preheater terdiri dari 4 stage preheater yang diataur secara vertical. Pada stage I
terdapat dua pasang preheater I, sedangkan pada stage ke II dan III terdapat masing-masing
sepasang preheater II, sepasang preheater III dan sepasang preheater IV serta sebuah dual
decarbonation furnace (DDF). Pada setiap stage dipasang preheater ganda agar pengaturan
jumlah material yang masuk ke preheater lebih mudah dan pemisahan material pada setiap stage
lebih baik.
Material yang berupa raw meal bersama gas panas masuk ke preheater I akibat gaya
dorong dari udara panas dan gaya berat material yang masuk melalui bagian samping preheater
maka material akan membentuk spiral (pusingan), dan terjadi pemisahan antara gas panas dan
material. Gas panas yang keluar dari preheater I bertemperatur sekitar 300 - 400℃, sebagian
dialirkan ke raw mill, coal mill dan sebagian lagi dialirkan ke cooling tower.
Selanjutnya material yang keluar dari preheater I langsung masuk ke gas duct preheater
III pada temperatur sekitar 720℃- 780℃ dan dialirkan ke preheater II. Dari preheater II
material masuk gas duct cyclone IV bersama dengan gas panas yang bertemperatur sekitar
800℃- 875℃menuju preheater III, gas panas yang keluar melalui gas duct preheater III terus
menuju ke preheater II kemudian ke Preheater I sedangkan material yang melalui bagian cyclone
III masuk ke dual decarbonation furnace pada temperatur sekitar 950℃- 1000℃. Pada preheater
I yang bertemperatur sekitar 300 - 400℃terjadi pelepasan air sampai mencapai kadar air di
dalam material berjumlah 0,3%. Pada cyclone II yang bertemperatur 600-630℃terjadi kalsinasi
sekitar 15%. Pada cyclone III yang bertemperatur 780-805℃terjadi kalsinasi sekitar 24-25%,
dan pada cyclone IV yang bertemperatur 865-880℃terjadi kalsinasi 87-88%, sedangkan
kalsinasi sempurna akan 100% akan terjadi di dalam rotary kiln. Kalsinasi merupakan reaksi
pelepasan CO2 dari bahan baku melalui reaksi:
CaCO3 → CaO + CO2 . . . . . . . . . . . . . . . . (1)
MgCO3 → MgO + CO2 . . . . . . . . . . . . . . . . (2)
K2CO3 → K2O + CO2 . . . . . . . . . . . . . . . . (3)
Na2CO3 → Na2O + CO2 . . . . . . . . . . . . . . . . (4)
Ketiga tahap proses tersebut merupakan unit terpenting dalam proses pembuatan semen, karena
pada unit ini akan terjadi reaksi senyawa-senyawa pembentuk clinker.
b. Proses Pembakaran (Kiln)
Material yang telah mengalami kalsinasi sebesar 80-90% masuk ke dalam rotary kiln
secara perlahan-lahan untuk untuk dilakukan pembakaran sehingga menyempurnakan reaksi
kalsinasi dan pembentukan clinker. Pembakaran material di dalam rotary kiln sampai mencapai
temperatur 1450℃. Rotary kiln merupakan silinder bundar dengan diameter 4,4 m dengan
panjang 68 m. diletakkan pada bidang horizontal dengan kemiringan 5 ° dan kecepatan putaran
maksimum 3 rpm. Rotary kiln dilapisi dengan batu tahan api (fire brick) yang ketebalannya 0,2
m dan berfungsi untuk menjaga ketahanan film shell dan mengurangi kehilangan panas selama
terjadinya pembakaran. Batu tahan api ini terdiri dari berbagai jenis yang letaknya tergantung
pada temperatur, kondisi kimia, dan sifat – sifat fisik bahan yang melalui dinding bagian dalam
kiln. Secara garis besar, proses pembakaran di dalam kiln terdiri dari tiga daerah zona, yaitu:
1. Daerah kalsinasi (calsinacing zone 820 - 900℃) Kalsinasi akan sempurna di dalam kiln
dengan naiknya suhu sehingga dapat menguraikan CO2.
2. Daerah pembentukan clinker (Sintering Zone 900 - 1400℃)
Pada daerah ini terjadi pembentukan senyawa- senyawa: C2S, C3S, C4AF dan C3A.
3. Daerah pendinginan (cooling zone 1400-110℃)
Daerah pendinginan terletak di ujung keluar material kiln. Di daerah ini material
mengalami pendinginan karena bercampur dengan udara sekunder dari cooler yang
masuk ke kiln.
c. Proses Pendinginan (Cooling)
Setelah mengalami pembakaran di dalam rotary kiln. Material berbentuk lahar panas
didinginkan secara mendadak. Pendinginan dilakukan di dalam cooler sampai temperaturnya
sampai 80℃dan membentuk bulatan-bulatan keras, pendinginan di dalam cooler dilakukan
dengan menghembuskan udara pendigin oleh 10 buah fan. Udara pendinginan clinker dipisahkan
dalam tiga bagian yaitu:
a. Ke kiln untuk pembakaran bahan bakar yang disebut secondary air duct
b. Diailrkan melalui tertier duct menuju preheater
c. Dibuang ke atsmosfer melalui cerobong asap (chimney), setelah disaring dengan bag
filter dengan kapasitas yang besar.
Tujuan dilakukan pendinginan adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan pada perlatan
angkut akibat tingginya temperatur. Setelah mengalami pendinginan, clinker yang berukuran
besar dihancurkan dengan menggunakan breaker (hammer chrusher). Clinker yang telah hancur
diangkut dengan menggunakan chain conveyor dan bucket elevator di masukkan ke clinker silo
yang berkapasitas 30.000 ton.
Pada kondisi operasi tertentu rotary kiln yang tidak normal akan mengakibatkan clinker
kurang sempurna dalam pembakaran sehingga menghasilkan clinker dalam kualitas rendah, dan
ini harus dipisahkan dari clinker yang berkualitas baik. Clinker yang berkualitas baik
ditempatkan dalam clinker silo, sedangkan clinker yang berkualitas rendah ditempatkan dalam
low burn silo yang berkapasitas 2000 ton, cinker ini nantinya digunakan sebagai campuran
dengan clinker yang berkualitas baik. Selanjutnya clinker diangkut dengan menggunakan belt
conveyor ke unit pengggilingan cement mill.
4. Proses Penggilingan Clinker (Unit Cement Mill)
Proses akhir pembuatan semen adalah penggilingan clinker yang dicampur dengan gypsum.
Sebelum clinker digiling di dalam cement mill terlebih dahulu clinker dimasukkan ke dalam
pregrinder yaitu roller press. Roller press berfungsi untuk menghancurkan clinker sehingga
ukurannya menjadi 2-5 mm. hal ini dilakukan untuk membuat cement mill tidak bekerja terlalu
keras dalam proses penggilingan clinker.
Clinker yang berasal dari roller crusher yang berasal dari clinker silo diangkut dengan chain
conveyor diumpankan ke unit cement mill. Unit ini mempunyai dua buah cement mill yaitu
cement mill I dan cement mill II. Cement mill merupakan silinder baja dengan panjang shell
13,65 m yang masing-masinng diputar oleh motor induksi dengan kecepatan 16,4 rpm. Power
motor induksi yang dihasilkan cement mill yaitu 2900 kw per motor. di dalam cement mill
memliki 2 ruang yang diisi dengan bola masing-masing dengan ukuran yang berbeda, ruang
pertama diisi dengan dengan ball mill 70 -90 mm sebanyak 54 ton dan 40-60 mm dengan berat
sebanyak 52 ton bertujuan untuk penggilingan kasar sedangkan ruang ke II diisi dengan ball mill
yang berdiameter 20-30 mm sebanyak 92 ton yang bertujuan untuk penggilingan halus/akhir.
Clinker, pozzolan dan gypsum yang diangkut ke unit cement mill ditempatkan dalam masing-
masing hopper untuk diumpankan melalui weight feeder ke cement mill. Di dalam cement mill
dibuat 2 jenis semen yaitu OPC (Ordinary Portland Cement) dan PPC (Pozzolan Portland
Cement) adapun komposisi keduanya yaitu:
Tabel Perbandingan Komposisi semen OPC dan PPC (CCR PT. LCI Plant SAI, 2012)
Komposisi OPC PPC
Clinker 96% 75%
Gypsum 4% 4%
Pozzolan 0% 14%
Lime Stone 0% 7%
Pada saat penggilingan material didalam cement mill ditambahkan suatau bahan kimia yang
disebut grinding acid yang berfungsi sebagai:
1. Meningkatkan efisiensi penggilingan, yaitu dengan meningkatkan produk mill,
meningkatkan kehalusan (blaine), menurunkan power comsumption, dan biaya
penggilingan.
2. Meningkatkan work ability (flow) dari mortar dan concentrate
3. Meningkatkan kuat tekan semen
4. Mengurangi biaya produksi semen, karena penurunan biaya penggilingan dan peluang
penambahan bahan pengganti klinker, baik yang bersifat reaktif, seperti pozzoland, blast
furnace, dan fly ash maupun bahan yang tidak reaktif seperti limestone.
Material yang halus yang telah menjadi semen dipisahkan dengan menggunakan separator
yang dibawa melalui bucket elevator, semen yang masih yang kasar akan dikembalikan lagi ke
dalam cement mill sedangkan yang halus akan dilewatkan melaui bag filter dan dengan bantuan
air slide dan bucket elevator cement dibawa ke penyimpanan semen (cement silo).
5. Pengantongan dan Pengapalan
Semen dari cement silo dengan bantuan chain conveyor, bucket elevator dan air slide dibawa
ke unit pengepakan (packing plant). Pengeluaran semen dari cement silo dilakukan dengan
dengan cara pengontrolan valve pada unit aerasi, yaitu sistem pengeluaran dengan menggunakan
hembusan udara yang berasal dari roots blower. Hembusan udara dilakukan dari bawah cement
silo, hal ini untuk mempermudah pengeluaran semen. Pada packing plant, semen mula-mula
dimasukkan ke distribution hopper kemudain diteruskan ke chute, chute ini mempunyai katup
(valve) yang berguna untuk mengatur aliran semen masuk ke cement packer. Pengantongan
semen diisi melaui spout yang berjumlah 8 buah yang terdapat pada cement pucker. Jumlah
semen yang memasuki kantong dapat diatur secara otomatis sesuai dengan kebutuhan. Semen
yang telah siap dikantongkan dalam kemasan 40 kg perkantong dapat dikirim ke truck dengan
mengunakan belt conveyor.
BAB III
URAIAN PROSES
3.1. Ekosemen
Kata Ekosemen diambil dari penggabungan kata “Ekologi” dan “Semen”. Diawali penelitian
di tahun 1992, para peneliti Jepang (yang tergabung dalam NEDO) telah meneliti kemungkinan
abu hasil pembakaran sampah, endapan air kotor dijadikan sebagai bahan semen. Dari hasil
penelitian tersebut diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yg sama
dg bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1993, Proyek itu kemudian dibiayai oleh
Kementrian Perdangan Internasional dan Industri Jepang. Pada tahun 2001, pabrik pertama di
dunia yang mengubah sampah menjadi semen, resmi beroperasi di Chiba. Pabrik tersebut mampu
menghasilkan ekosemen 110,000 ton/tahunnya. Sedangkan sampah yang diubah menjadi abu
yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62,000 ton/tahun, endapan air kotor dan residu
abu industri yang diolah mencapai 28,000 ton/tahun.
3.2. Penggunaan Abu Insinerasi untuk semen
Di Jepang sampah terbagi menjadi berbagai macam, salah satunya adalah sampah terbakar
(terdiri atas sampah organik, kertas, dll) dan sampah tidak terbakar (plastik, dll). Setiap
tahunnya, penduduk Jepang membuang sekitar 37 juta ton untuk sampah terbakar. Kemudian
dari 37 ton/tahun sampah terbakar tersebut untuk kemudian akan dibakar (di-insenerasi), dan
menghasilkan abu (inceneration ash) mencapai 6 ton/tahunnya. Dari abu inilah yang kemudian
dijadikan sebagai bahan dari pembuatan ekosemen. Abu ini dan endapan air kotor mengandung
senyawa2 dalam pembentukan semen biasa. Yaitu, senyawa2 oksida seperti CaO, SiO2, Al2O3,
dan Fe2O3. Oleh karena itu, abu insinerasi ini bisa berfungsi sebagai pengganti clay (tanah liat)
yang digunakan pada pembuatan semen biasa.
Tabel 1 Perbandingan Semen biasa dengan Semen Insenerasi
CaO SiO2 Al2O3 Fe2O3 SO3 Cl
Semen
Biasa 62~65 20~25 3~5 3~4 2~3
50~100
ppm
Abu
Insenerasi 12~31 23~46 13~29 4~7 1~4
150.000
ppm
Sumber : Taiheyo Engineering Corp
Yang jadi masalah adalah kandungan Cl yang begitu tinggi pada abu insinerasi dan logam berat
yang masih terkandung yang dapat mengakibatkan trouble pada sistem operasi dan mengurangi
kualitas dan material safety pada semen. Sedangkan kandungan CaO yang masih kurang pada
abu insinerasi dapat dicukupi dengan penambahan limestone (batu kapur). Dalam pembuatan
ekosemen ini, chlorine dan logam berat yang terkandung pada abu insinerasi akan diekstrak
menjadi artificial ore (Cu, Pb, dll) yang kemudian direcyle.
3.3. Proses Pembuatan Ekosemen
Secara umum, produksi semen biasa (Portland) meliputi drying, pulverizing dan
pencampuran limestone, clay, quartzite dan bahan raw material lainnya dan kemudian dibakar
dengan rotary klin. Pada pembuatan ekosemen, secara prinsip sama dengan pembuatan semen
biasa. Perbedaannya terletak pada abu insinerasi, sewage sludge, dan limbah lainnya yang
digunakan sebagai raw material sebagai pengganti clay dan sebagian limestone (batu kapur).
Adapun Prosesnya sebagai berikut :
1. Preprocessing
Raw material (incineration ash dan endapan air kotor rumah tangga) diproses terlebih dahulu,
seperti dengan pengeringan (drying), crushing, dan logam yang masih terkandung dalam raw
material dipisahkan dan direcycle.
2. Raw Material Drying and Pulverizing
Setelah dikeringkan, raw material dihancurkan pada Raw grinding/drying mills bersamaan
dengan natural raw material (limestone).
3. Raw Material Mixing
Kemudian dimasukkan ke dalam Homogenizing Tank bersamaan dg fly ash (abu yang dihasilkan
oleh pembangkit listrik batubara) dan blast furnace slag (Limbah yang dihasilkan industri besi).
Dua Homoginezing tank ini diatur dan ditujukan untuk pencampuran semua raw material dan
kemudian mensuply ke proses selanjutnya. Pencampuran ini dimaksudkan untuk
memperoleh predetermined chemical composition(penentuan komposisi kimia yang diinginkan).
4. Firing
Setelah itu dimasukkan ke dalam rotary klin, untuk kemudian dibakar pada suhu diatas 1,350 C.
Pada proses ini, dioksin dan senyawa berbahaya lainnya yang terkandung pada inceneration ash
akan terurai dengan aman. Gas limbah dari rotary klin kemudian didinginkan secara cepat hingga
suhu 200 C untuk mencegah terbentuknya dioksin kembali. Pada proses ini pula logam berat yg
masih terkandung dipisahkan dan dikumpulkan ke dalam bag filter sebagai debu yang
mengandung chlorine. Debu ini kemudian dialirkan keHeavy Metal Recovery Process. Pada
proses ini, chlorine yang masih terkandung akan dihilangkan dan menghasilkan sebuah articial
ore seperti tembaga dan timbal yang kemurniannya mencapai 35 % atau lebih.
Pada proses firing ini akan menghasilkan clinker (intermediate stage pada industri semen) yang
kemudian dikirim ke clinker tank.
5. Product Pulverizing Process
Gypsum ditambahkan bersama clinker dan campuran tersebut akan dihancurkan (pulverizing)
pada finish millsyang kemudian akan menghasilkan produk ekosemen.
3.4. Kendala
Salah satu kendala utama pengembangan ekosemen adalah proses produksinya yang relatif
mahal apabila dibandingkan dengan produksi semen konvensional. Hal ini disebabkan oleh
proses pemisahan klor pada produksi ekosemen yang memakan banyak biaya. Keberadaan klor
sendiri diakibatkan karena adanya plastik vinil yang ikut tercampur pada sampah organik. Pada
pembuatan abu insenarasi, plastik vinil akan ikut terurai menjadi klor. Klor akan menurunkan
kekuatan konkrit ekosemen apabila tidak dipisahkan. Hal tersebut membuat pemisahan plastik
dari sampah organik secara seksama menjadi kunci utama pada produksi ekosemen.
3.5. Kualitas Ekosemen
Hingga saat ini ada dua macam tipe ekosemen (berdasarkan penambahan alkali dan
kandungan chlorine) yaitu tipe biasa dan Tipe Rapid Hardening. Ekosemen tipe biasa
mempunyai kualitas sama baiknya dengan semen portland biasa. Tipe ekosemen ini digunakan
sebagai ready mixed concrete. Sedangkan ekosemen tipe Fast Hardening memiliki kekuatan
concrete dan pengerasan (hardening) yang lebih cepat dibanding semen portland tipe high-early
strenght .Ekosemen tipe ini digunakan pada architectural block, exterior wall material, roof
material, wave dissipating concrete block, dll. Ekosemen ini telah melewati proses Japanese
Indusrial Standard (JIS).
Perbandingan Ekosemen dengan semen portland
Gambar 2. Perbandingan kekuatan ekosemen dibandikan dengan semen Portland
3.6. Manfaat Ekosemen
Dengan adanya pengubahan sampah menjadi semen, menambah alternatif pengolahan
sampah yang lebih bernilai ekonomis, dan biaya pengolahan sampah di Jepang menjadi lebih
murah. Bila sebelumnya 40,000 yen/ton (pengolahan sampah konvensional) menjadi 39,000
yen/ton (pengolahan sampah hingga menjadi semen). Selain itu, teknologi ekosemen sangatlah
ramah akan lingkungan. Pada pembuatan ekosemen, sebagian CaO diperoleh dari abu insenerasi
sehingga mengurangi penggunaan batu kapur (CaCO3), yang selama ini sumber polusi gas CO2.
Tak salah, jika kemudian teknologi ekosemen mendapat penghargaan dari menteri lingkungan
Jepang atas peranannya mencegah pemanasan global.
3.7. Peluang di Indonesia
Indonesia belum bisa lepas dari masalah sampah. Mulai dari penolakan warga masyarakat
sekitar TPA akibat kepulan asap dan bau yang ditimbulan pengolahan sampah saat ini hingga
kejadian yang tidak pernah dilupakan, tragedi leuwih gajah yang merenggut 24 nyawa tak
bersalah. Sudah banyak upaya yang dilakukan, termasuk dengan mengubahnya menjadi sumber
energi (metan) namun akibat kurangnya prospek dari segi ekonomi, akhirnya perkembangannya
masih jalan ditempat. Dengan berhasilnya Jepang, mengolah sampah menjadi semen, tentu
menjadi peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia. Di Jakarta saja sampah yang
dihasilkan oleh warganya mencapai 6000 ton lebih/hari. Selain itu secara prinsip, pembuatan
ekosemen hampir sama dengan pembuatan semen biasa, sehingga jika bisa dilakukan kerja sama
dengan pihak industri semen, maka akan jadi kerjasama yang menguntungkan baik pihak
pemerintah maupun pihak industri. Dari pihak pemerintah penanganan sampah bisa teratasi dan
dari pihak industri mampu mengurangi penggunaan limestone (26 %).
Namun yang terpenting adalah kemauan pemerintah, khususnya pemerintah kota/daerah,
untuk mengelola sampah dengan baik dan memulai untuk mencoba memisahkan sampah antara
sampah organik, anorganik, botol dan kaleng menjadi kebudayaan bangsa Indonesia secara luas.
Sehingga peluang pemanfaatan sampah menjadi semen atau produk yang lain bisa oleh pihak
industri bisa lebih ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
http://elalone.wordpress.com/2010/02/19/hal-hal-penting-dalam-hal-teknik-kimia-dan-kimia-
murni/
Yanti, Agus Wira. 2012. Menghitung Kebutuhan Sekam Padi untuk Memprodeuksi 1.1 Juta Ton
Per Tahun Klinker di PT. Lafarge Semen Indonesia. Aceh Utara. Unimal
top related