luka bakar.pdf

Post on 11-Jan-2016

293 Views

Category:

Documents

148 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

Luka Bakar:

Masalah dan Tatalaksana

Yefta Moenadjat

2005

Pengantar

Sebagaimana layaknya sebuah ilmu pengetahuan, semakin dipelajari, semakin banyak pula kesulitan dihadapi berkenaan dengan masalah dan tatalaksana luka bakar khususnya luka bakar fase akut. Demikian banyak pengetahuan tambahan yang merupakan hal mendasar dalam aspek biomolekular diketahui, semakin sulit membedakan permasalahan di fase akut, fase subakut dan permasalahan lanjut karena saling berkaitan dan merupakan kelanjutan dari permasalahan-permasalahan di fase akut.

Sehubungan dengan hal tersebut, editor dan penulis berusaha mengupayakan suatu

bentuk update pada buku Luka Bakar: Pengetahuan Klinis Praktis yang telah terbit tiga edisi sebelumnya dan dirasakan mulai tertinggal oleh pesatnya perkembangan ilmu. Buku ini dilengkapi dengan pengetahuan-pengetahuan mendasar yang disebutkan sebelumnya agar pembaca dapat mengerti dengan jelas setiap permasalahan yang timbul pada luka bakar. Dengan harapan, penatalaksanaan luka bakar yang sangat kasuistik ini dapat lebih terarah dan bersifat rasional dengan sendirinya menunjukan perbaikan kualitas pelaynan ditandai dengan penurunan mortalitas luka bakar. Proses updating ini memakan waktu cukup lama karena banyak melakukan konfirmasi mengenai last evidence yang berkaitan dengan critical appraisal dari suatu hasil penelitian yang dapat diaplikasikan, khususnya di iklim negara ini.

Karenanya, selanjutnya buku ini mungkin bukan merupakan kumpulan pengetahuan

praktis lagi, namun lebih merupakan uraian mendasar dan detil mengenai masalah dan tatalaksana luka bakar; lebih tepat diberi judul Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana.

Seyogyanya buku ini direncanakan terbit di tahun 2005 yang lalu, namun setelah melalui

proses layouting di penerbit, penulis merasa perlu menambahkan beberapa topic yang dirasakan perlu.

Kepada mereka yang menunjukan dedikasinya pada luka bakar, mungkin buku ini akan

banyak membantu sejawat dalam menjalankan tugas sehari-hari dalam pelayanan. Dan, pada kesempatan ini, perkenankan kami mengingatkan pentingnya Tim Terpadu multidisipliner, karena permasalahan luka bakar yang demikian kompleks memerlukan penanganan terpadu dan tidak mungkin ditangani secara terpisah menurut bidang keilmuan. Tak lupa, kami sampaikan Terima kasih yang tak terhingga pada semua pihak yang banyak membantu dan memberi asupan pada penyusunan buku ini.

Semoga bermanfaat Jakarta, Maret 2006

Yefta Moenadjat

i

Dedikasi untuk ayahanda Prof dr R. Moenadjat Wiratmadja, FICS alm. istri kami Ernani Rosanti, anak-anak kami Alifa Dimanti dan Yadita Wira Pasra,

dan mereka yang menggeluti Luka Bakar dalam profesinya

ii

Daftar Kontributor

Yefta Moenadjat, dr, SpBP DR. David Sontani Perdanakusuma, dr, SpBP

Benny Philippi, dr, SpBKBD Samuel Oetoro, dr, SpGK

Fiastuty Witjaksono, dr, SpGK Inge Permadhi, dr, SpGK

iii

Ucapan Terima Kasih

Terima Kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada para guru, senior dan rekan-rekan sejawat yang mendorong dan banyak membantu kami dalam mengelola luka bakar:

Soerarso Hardjowasito, drSpBTKV (Departemen Bedah FKUI/RSCM Jakarta, sebelumnya: Kolegium Ilmu Bedah Indonesia) Prof DR dr Aryono Djuned Pusponegoro, dr, SpBKBD (Departemen Bedah FKUI/RSCM Jakarta , Kolegium Ilmu Bedah Indonesia, Komite Trauma IKABI, Asosiasi Luka Bakar Indonesia, ALBI) Prof DR Daldyono, dr, SpPDKGEH (Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta, Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition, Inaspen; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition) DR. Iqbal Mustafa, dr, SpAnKIC (alm), (Intensive Care Unit RS Harapan Kita Jakarta; Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici; Indonesian Shock Society, ISS; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition; Asosiasi Luka Bakar Indonesia, ALBI) Oloan , dr, SpAnKIC (Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSCM Jakarta, Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici) Bambang Wahjuprajitno, dr, SpAnKIC (Laboratorium Anestesi dan Reanimasi FKUnAir/RS Sutomo Surabaya; Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici; Indonesian Shock Society, ISS; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition; Asosiasi Luka Bakar Indonesia, ALBI) Sunatrio, dr, SpAnKIC (Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSCM Jakarta; Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition, Inaspen; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition; Total Nutritional Therapy Course, TNT Course) Margareta Sutjahjo, dr, SpAnKIC (Laboratorium Anestesi dan Reanimasi FKUnAir/RS Sutomo Surabaya; Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition) Tantani Soegiman, dr, SpAnKIC (Departemen Anestesi dan Reanimasi FKUI/RSCM Jakarta Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition; Indonesian Shock Society, ISS) Prof DR Amin Subandrio, dr, SpMK (Departemen Mikrobiologi FKUI/RSCM Jakarta; Indonesian Shock Society, ISS) Widjaja Lukito, dr, PhD. SpGK (Departemen Gizi Klinik FKUI; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition) Warko Karnadihardja, dr, SpBKBD-T, FinaCS (Bagian Ilmu Bedah FKUnPad/RS Hasan Sadikin Bandung; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition; Surgical Critical Car;, Komite Trauma IKABI) Ike Sri Redjeki, dr, SpAn, KIC (Bagian Anestesiologi FKUnPad/RS Hasan Sadikin Bandung; Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Perdici; Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition, Inaspen; Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, Total Nutritional Therapy Course, TNT Course) Professor Steven E. Wolf. MD (Department of Surgery, University of Texas Health Science Center, San Antonio, USA; American Burn Association, ABA) Bp Ir Arifin Panigoro Ketua Harian Asosiasi Luka Bakar Indonesia (ALBI).

iv

Daftar Isi

Halaman Pengantar ii Dedikasi ii Daftar Kontributor iii Ucapan Terima Kasih iv Daftar Isi v Bab I Pendahuluan 1 Bab II Prognosis dan Sistim Skoring Luka Bakar 11 Bab III Permasalahan Luka Bakar Fase Akut 25 1. Patofisiologi Luka Bakar Fase Akut 27 2. Perubahan Metabolisme pada Luka Bakar Fase Akut 53 3. SIRS dan MODS pada Luka Bakar 65 4. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada Luka Bakar 97 5. Ulkus stres dan Perdarahan Saluran Cerna pada Luka Bakar 105 6. Abdominal Compartment Syndrome pada Lauka Bakar 109 Bab IV Resusitasi Luka Bakar 113 1. Resusitasi Jalan Nafas pada Luka Bakar 114

2. Resusitasi Cairan pada Luka Bakar a. Dasar-dasar penenetuan jenis dan jumlah cairan resusitasi b. Pola Resusitasi Luka Bakar c. Penggunaan obat-obatan d. Pemantauan sirkulasi

120 120 131 137 146

3. Resusitasi Saluran Cerna pada Luka Bakar 169 Bab V Tatalaksana Nutrisi pada Luka Bakar 173

Bab VI Infeksi dan Pemberian Antibiotik pada Luka Bakar Fase Akut 183

Bab VII Luka dan Penatalaksanaannya 190 1. Penatalaksanaan Luka I: Fase Awal 200 2. Penatalaksanaan Luka II: Penutupan Luka 206 3. Perawatan luka 227 Bab VIII Permasalahan Lanjut: Rekonstruksi Luka Bakar 230

v

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

1

Bab I

Pendahuluan

Yefta Moenadjat

uka bakar adalah suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas dan suhu tinggi (seperti api, air panas, bahan kimia, listrik

dan radiasi) atau suhu yang sangat rendah. Dengan kerusakan jaringan yang terjadi, demikian banyak dan kompleks permasalahan yang timbul sehingga luka bakar merupakan suatu bentuk seberat-berat cedera dengan morbiditas dan mortalitas tinggi; memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut; berkesinambungan.

Pada mulanya memang luka bakar merupakan topik yang dipelajari dan dikelola oleh bedah plastik, sebab patofisiologi kerusakan jaringan yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka; merupakan materi dan topik pembahasan dalam ilmu bedah plastik dan termasuk dalam kurikulum pendidikan, proses penyembuhan luka juga merupakan kompetensi yang harus dimiliki dan merupakan kelebihan bidang ilmu ini. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu, khususnya bidang traumatologi dan pengetahuan mengenai dampak cedera pada tubuh (di tingkat seluler) dengan kompleksitas permasalahan di fase akut, luka bakar (fase akut) disadari merupakan suatu bentuk kasus seberat-beratnya cedera yang memerlukan penanganan multidisipliner dan atau interdisipliner secara terpadu.

Ket: A = Airway, B Breathing, C = Circulation. SIRS: Systemic Inflammatory Response Syndrome, MODS: Multi-system Organ Dysfunction Syndrome

Gambar 1. Skema yang menjelaskan koronologi luka bakar dengan permasalahan di setiap fase

Penanganan luka bakar fase akut lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri

dari beberapa bidang spesialis di lingkungan bedah (spesialis bedah, bedah plastik, bedah toraks, bedah anak), anestesi dan perawatan intensif, penyakit dalam khususnya hematologi, gastero-enterologi dan ginjal-hipertensi, gizi klinik, rehabilitasi medik, psikiatri dan psikologi karena berkaitan dengan permasalahan perawatan kasus (pasien) kritis (critically illness). Sementara, permasalahan yang timbul kemudian yang berhubungan dengan penyembuhan luka serta permasalahan rekonstruksi tetap merupakan property bedah plastik.1

1 Tidak ada batasan yang jelas dan tegas mengenai pembagian area luka bakar fase akut yang memerlukan

perawatan kasus (pasien) kritis dalam hal permasalahan luka yang memicu SIRS dan MODS dengan penutupan luka yang mengupayakan parut minimal (problema lanjut) yang merupakan property bedah plastik. Oleh karenanya semua disiplin ilmu bergabung dalam suatu tim multidisipliner.

L

waktu

Fase Akut Fase SubAkut Fase Lanjut

Deteriorasi ABC

SIRS & MODS Parut: Hipertrofik Keloid

Kontraktur

0-48 (72) jam s/d 21 (32) hari s/d 8-12 bulan

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

2

Permasalahan pada luka bakar Permasalahan pada luka bakar demikian kompleks. Untuk dapat menjelaskannya, maka

permasalahan yang dihadapi dipilah menurut fase atau tahapan perjalanan penyakitnya. Dalam perjalanan penyakitnya dibedakan 3 fase pada luka bakar, yaitu:

1. Fase awal, fase akut, fase syok.

Pada fase ini permasalahan utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas (misalnya, cedera inhalasi), gangguan mekanisme bernafas oleh karena adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi (keseimbangan cairan-elektrolit, syok hipovolemia dan syok seluler). Gangguan yang terjadi menimbulkan dampak yang bersifat sistemik, menyangkut keseimbangan cairan-elektrolit, metabolisme protein-karbohidrat-lemak, keseimbangan asam basa dan gangguan sistem lainnya. Pada fase akut ini, permasalahan di seputar luka bakar merupakan kondisi yang umum dijumpai pada suatu crtically illness.

2. Fase setelah syok berakhir, pasca syok atau fase sub akut.

Masalah yang umum dijumpai pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). Ketiganya merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama (cedera inhalasi, syok) dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (epitel) yang berperan sebagai inisiator (faktor pencetus). Pada fase subakut ini permasalahan di seputar luka bakar merupakan kondisi yang umum dijumpai pada kasus-kasus critically illness.

Dalam aspek manajemen, fase pertama dan kedua tidak dapat dipisahkan karena menyangkut permasalahan yang sama, dimana permasalahan di fase kedua khususnya SIRS dan MODS merupakan kelanjutan dari permasalahan di fase pertama; menurut aspek manajemen dimaksud kedua fase ini masuk ke dalam kategori Acute Burn Injury. 3. Fase lanjut.

Fase ini berlangsung sejak penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan. Tidak ada batasan yang jelas kapan fase ini dimulai, karena mungkin saja bermula selama fase subakut. Masalah yang dihadapi adalah penutupan luka (proses epitelisasi) dan penyulit dari luka bakar; berupa parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama; yang menjadi karakteristik luka bakar (misal, kerapuhan tendon ekstensor pada jari-jari tangan yang menyebabkan suatu kondisi klinis yang disebut bouttoniérre deformity dan atau kontraktur lainnya). Klasifikasi luka bakar

Luka bakar dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab dan kedalaman kerusakan jaringan; yang perlu dicantumkan dalam diagnosis, yaitu:

a. Berdasarkan penyebab Berdasarkan penyebabnya, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis, antara lain2: o Luka bakar karena api o Luka bakar karena minyak panas o Luka bakar karena air panas o Luka bakar karena bahan kimia (yang bersifat asam kuat atau basa kuat) o Luka bakar karena listrik dan petir 2 Berdasarkan urutan berat-ringan luka bakar dikaitkan dengan penyebab, luka bakar listrik dan kimiawi

menempati urutan pertama, diikuti api, radiasi, minyak panas, lalu air panas (koloid, air panas murni).

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

3

o Luka bakar karena radiasi o Cedera akibat suhu sangat rendah (frost bite).

Gambar 2. Potongan kulit normal. Dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org

b. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan Berdasarkan kedalaman luka, luka bakar dibedakan menurut derajat kerusakan, luka bakar dibedakan menjadi: Luka bakar derajat I Kerusakan terbatas pada bagian permukaan (superfisial) epidermis Kulit kering, hiperemik memberikan efloresensi berupa eritema Tidak dijumpai bula Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari Contoh luka bakar derajat I adalah luka bakar akibat sengatan matahari (sun-burn)

Gambar 3. Luka Bakar derajat satu. Dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org Luka bakar derajat II (Superficial burn) Kerusakan meliputi seluruh ketebalan epidermis dan sebagian dari lapisan dermis;

respons yang timbul berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi (bila terdapat kehilangan epidermis, luka terlihat ‘basah’).

Dijumpai bula, yang merupakan karakteristik dari luka bakar derajat dua dangkal. Bula merupakan suatu bentuk epidermolisis (epidermis terlepas dari dasarnya) disertai proses

Epidermis

Dermis

Jaringan subkutan

Epidermis mengalami kerusakan, sementara dermis tetap utuh

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

4

eksudasi, dimana cairan ini berkumpul di ruang yang terbentuk akibat proses epidermolisis.

Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi di atas permukaan kulit normal (karena adanya edema)

Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Dibedakan menjadi 2 (dua): derajat dua dangkal dan derajat dua dalam.

a. Derajat II dangkal (Superficial partial thickness burn) Kerusakan mengenai sebagian (bagian superfisial) dari dermis Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih

utuh. Penyembuhan terjadi secara spontan umumnya dalam waktu 10-14 hari, hal ini

dimungkinkan karena lamina basalis masih utuh, ditunjang dengan keutuhan apendises kulit.

Gambar 4. Kiri Luka bakar derajat dua dangkal ditandai adanya bula dan kanan derajat dua dalam, tanpa bula. Foto: koleksi pribadi

b. Derajat II dalam (Deep partial-thickness burn)

Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea

sebagian masih utuh. Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa.

Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari tiga minggu atau lebih lama.

Gambar 5. Kiri: Luka bakar derajat dua dangkal mengenai epidermis dan sebagian (superfisial) dermis ditandai dengan adanya bula. Kanan: derajat dua dalam tanpa bula, kadang meragukan dengan luka bakar derajat tiga. Dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org

2o bula

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

5

Luka bakar derajat III (Full thickness burn) Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam3. Apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami

kerusakan. Tidak dijumpai bula Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Kering, letaknya lebih rendah

dibandingkan kulit sekitar akibat koagulasi (denaturasi) protein pada lapis epidermis dan dermis (dikenal dengan sebutan eskar).

Secara teoritis tidak dijumpai rasa nyeri, bahkan hilang sensasi karena ujung-ujung serabut saraf sensorik mengalami kerusakan / kematian.

Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan baik dari dasar luka, tepi luka, maupun apendises kulit.

Gambar 6. Luka bakar derajat tiga, melibatkan / mengenai seluruh dermis bahkan lapisan lebih dalam. Karakteristik luka bakar derajat tiga ditandai adanya eskar tebal dan jaringan nekrosis (kanan). Dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org. Foto: koleksi pribadi.

Kedalaman dan kerusakan jaringan ini ditentukan oleh peran beberapa faktor, antara lain: 1. Penyebab (api, air panas, ledakan, bahan kimia, listrik). 2. Lama kontak antara tubuh dengan sumber panas. Penyebab

Kerusakan jaringan disebabkan api lebih berat dibandingkan air panas; kerusakan jaringan akibat kontak dengan bahan bersifat koloid (misal bubur panas, aspal) lebih berat dibandingkan air panas.

Luka bakar akibat listrik memiliki kekhususan. Kerusakan jaringan tubuh disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: a) Aliran listrik (arus bolak-balik, Alternating Current/AC) merupakan energi dalam jumlah

besar yang menimbulkan panas. Berasal dari sumber listrik, melalui bagian tubuh yang kontak dengan sumber listrik (disebut ’luka masuk’) dialirkan melalui bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah (yaitu cairan, darah/pembuluh darah) dan serabut saraf; melalui bagian tubuh yang kontak dengan bumi (ground). Luka di bagian tubuh yang kontak dengan bumi disebut ’luka keluar’. Aliran listrik dalam tubuh menyebabkan kerusakan akibat panas yang ditimbulkan oleh resistensi jaringan. Kerusakannya dapat

3 Ada yang membagi kerusakan menjadi derajat empat, berdasarkan kerusakan yang lebih dalam: bahkan

mencapai lapisan otot dan tulang

3o

Eskar

Eskar dengan lapis epidermis nekrosis

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

6

bersifat ekstensif lokal (kerusakan endotel) maupun sistemik (otak/ensefalopati, jantung/ fibrilasi ventrikel, otot/rabdomiolisis, gagal ginjal dsb.). Kerusakan jaringan bersifat lambat tapi pasti, dan tidak dapat diperkirakan luasnya secara pasti. Hal ini disebabkan kerusakan sistim pembuluh darah (kerusakan endotel disertai trombosis yang berlanjut dengan terjadinya oklusi kapiler) disepanjang bagian tubuh yang dialiri listrik; semakin hari perfusi ke distal semakin berkurang.

Gambar 7. Luka bakar listrik disebabkan arus langsung (kiri) maupun ledakan (kanan)

b) Loncatan energi yang ditimbulkan oleh udara, yang berubah menjadi api (sumber panas). Ledakan. Selain menimbulkan luka bakar, ledakan juga menyebabkan kerusakan organ dalaman akibat daya ledak (eksplosif). Bahan kimia, terutama asam menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses penyembuhan.

Lama kontak

Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi. Pembagian zona kerusakan jaringan

Akibat kontak dengan sumber termis, jaringan mengalami kerusakan yang dibedakan atas 3 (tiga) area kerusakan menurut Jackson:

1. zona koagulasi, zona nekrosis

daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi, atau denaturasi protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak; karenanya disebut juga sebagai zona nekrosis.

2. zona statis daerah yang langsung berada di luar / di sekitar zona koagulasi. Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit, diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan respons inflamasi lokal. Akibatnya terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena), dan proses ini berlangsung selama 12-24jam pasca cedera; mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

7

3. zona hiperemi daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi seluler. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan; atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama (degradasi luka).

Gambar 8. Diagram zona luka bakar pada luka bakar derajat dua. Gambar atas dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org; gambar bawah dikutip dari Song C. Total EarlyBurn Management. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

8

Perhitungan luas luka bakar Perhitungan luas luka bakar pada dewasa menggunakan rumus sembilan (Rule of Nines) dari

Wallace, sedangkan pada anak-anak menggunakan tabel dari Lund dan Browder.

Gambar 9. Diagram Rule of Nines dari Wallace untuk dewasa didasari atas perhitungan kelipatan 9, dimana 1% luas permukaan tubuh adalah luas telapak tangan penderita (catatan: bukan tangan pemeriksa).

Tabel 1. Rule of Nines(dewasa) dan tabel Lund & Browder (anak)

Rule of Nines Tabel Lund & Browder Usia (tahun) % % % Area % Area 0-1 1-4 4-9 10-15 Dewasa 20 30 Total Kepala 19 17 13 10 7 Kepala dan

leher 9 Leher 2 2 2 2 2 Trunkus anterior 18 Trunkus

anterior 13 17 13 13 13 Trunkus posterior 18 Trunkus

posterior 13 13 13 13 13 Bokong kanan 21/2 21/2 21/2 21/2 21/2 Bokong kiri 21/2 21/2 21/2 21/2 21/2 Genitalia 1 Genitalia 1 1 1 1 1

Lengan kanan 9 Lengan atas kanan 4 4 4 4 4

Lengan kiri 9 Lengan atas kiri 4 4 4 4 4

Lengan bawah kanan 3 3 3 3 3

Lengan bawah kiri 3 3 3 3 3

Tangan kanan 21/2 21/2 21/2 21/2 21/2 Tangan kiri 21/2 21/2 21/2 21/2 21/2 Tungkai atas kanan 9 Paha kanan 51/2 61/2 81/2 81/2 91/2

Tungkai atas kiri 9 Paha kiri 51/2 61/2 81/2 81/2 91/2 Kaki kanan 9 Tungkai kanan 5 5 51/2 6 7 Kaki kiri 9 Tungkai kiri 5 5 51/2 6 7 Kaki kanan 31/2 31/2 31/2 31/2 31/2 Kaki kiri 31/2 31/2 31/2 31/2 31/2

Total 100 Total

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

9

Kategori penderita

Berdasarkan berat / ringan luka bakar, dikenal beberapa kategori luka bakar4. Kategori terakhir diambil menurut ketentuan American Burn Association 2002, menjunjukan beberapa perubahan dibandingkan dengan kriteria kategori sebelumnya terutama dalam hal luas yang dikaitkan dengan kompleksitas permasalahan dan tingginya mortalitas sebagaimana diuraikan pada bab-bab berikutnya. Bahan Bacaan 1. Artz CP, Moncrief JA, Pruitt BA. Burns, a team approach. Philadelphia: WB Saunders & Co, 1979. 2. Asia Connection Vol.1 Issue 2, 1996, Critical care of burns patients, p:9 3. Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM. Grabb & Smith's plastic surgery. Philadelphia: Lipincott Raven, 1997;

p61. 4. Boswick JAJ, Jr. The art & science of burn care. Rockville-Maryland: Royal Turnbridge wells: Aspen

Publication, 1987; p145. 5. Dimick AR. Burn and cold injury. In: Hardy’s textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1983;

p.177. 6. Hinds CJ, Watson D. Intensive care: a concise textbook 2nd ed. London: WB Saunders, 1996 7. Jackson D, Mac G. The William Gissane lecture, 1982. 8. McCarthy JG. Plastic surgery vol. I. Philadelphia: WB Saunders Co, 1990; 787. 9. Muller HJ, Herndon DN. The challenge of burns. Lancet, 1994; 343: 216-220. 10. The burn wound: its character, closure and complications. J Burns 1983; 10:1-8. 11. Herndorn, DN. Total Burn Care, 2nd ed. London: Saunders, 2002; p.49. 12. American Burn Association. Advanced Burn Life Support Course, Provider’s manual. 2001. 13. Hettiaratchy S, Dziewulski P. ABC of burns: Pathophysiology and types of burns. Clinical review. BMJ 328

2004 available in website: http://www.bmj.com 14. Milner SM, Smith SE. Orders in Burn Care, 2nd ed. Spriegfield, IL. Jan 2005. American Burn Association.

Available in website: http://www.ameriburn.org/member 15. Recommendations for Intensive Care Unit Admission and Discharge Criteria. The Task Force on Guidelines.

Society of Critical Care Medicine. Critical Care Medicine 1998;16(8):807-8.

4 Kategori penderita ini ditujukan untuk kepentingan prognosis, yang berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

10

16. Burn Center Admission Criteria. 20th Annual Business Meeting of the American Burn Association, Seattle, 1988.

17. Guidelines for ICU Admission, Discharge, and Triage. Society of Critical Care Medicine. Critical Care Medicine 1999; 27(3):633-638.

18. Heimbach D, Mann R, Engrav L. Evaluation of the Burn Wound. Management Decisions. Total Burn Care 1996;81-86.

19. Esses SI, Peters WJ: Electrical Burns: Pathophysiology and Complications. Cand J Surg 1981; 24:11-14. 20. Robson MC, Smith DJ. Care of the thermally injured victim. In: Jurkiewicz MJ, Krizek TJ, Mathes SJ, Ariyan

S, editors. Plastic Surgery: Principles and practice. St Louis: CV Mosby Company 1990. 21. Christensen JA, Sherman RT, Balis GA, Waumett JD: Delayed Neurologic Injury Secondary to High Voltage

Currents with Recovery. J Trauma 1980;20:166-168. 22. Arnoldo BD, Purdue GF, Kowalske K, Helm PA, Burris A, Hunt JL. Electrical Injuries: a 20-year review. J Burn

Care Rehabil. 2004;25(6):479-84. 23. Song C. Total EarlyBurn Management. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore):

Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

11

Bab II

Prognosis dan Sistim Skoring Luka Bakar

Yefta Moenadjat

rognosis pada kasus luka bakar ditentukan oleh beberapa faktor, dan menyangkut mortalitas dan morbiditas atau burn illness severity and prediction of outcome; yang mana

bersifat kompleks. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis diantaranya 1. Jenis luka bakar,

kedalaman, lokasi, trauma penyerta; 2. Respons pasien terhadap trauma dan terapi dan 3. Terapi (penatalaksanaan). Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, seorang ahli bedah dapat memperkirakan berat ringan bahkan memprediksi prognosis. Berbagai penelitian dan upaya dilakukan untuk memperoleh nilai prediktif atau indikator yang dapat digunakan sebagai instrumen memperkirakan derajat keparahan maupun angka mortalitasnya.

Dengan suatu instrumen tertentu, seorang ahli bedah dapat memprediksi menurut perhitungan statistik, derajat keparahan serta kemungkinan hidup seorang penderita. Instrumen dimaksud adalah sistim skoring. Sistim skoring diterapkan dengan tujuan memperoleh suatu nilai atau indeks yang dapat memberikan gambaran atau dengan kata lain, memiliki nilai prediktif terhadap baik morbiditas maupun mortalitas penderita. Efektivitas sistim skoring terbukti memiliki nilai prediktif dan bermanfaat memberi gambaran pada kasus trauma, termasuk penatalaksanaannya.

Sistim ini selain dipakai untuk menunjukan prognosis dan kemungkinan hidup (probability

survival); juga menggambarkan tingkat keberhasilan maupun respons penderita terhadap terapi, serta kendala yang dihadapi. Lebih lanjut, ditinjau dari sudut pandang pelayanan kesehatan, instrumen ini dapat digunakan sebagai suatu parameter audit mutu pelayanan.

Namun sayangnya pada kasus luka bakar (sebagai suatu bentuk kasus trauma), sistim skoring trauma lain yang ada tidak dapat diterapkan, karena sebagai suatu kasus seberat-beratnya trauma, luka bakar memiliki banyak spesifikasi dengan kompleksitas masalah yang ada. Para ahli mengupayakan penelitian untuk menerapkan sistim skoring pada kasus luka bakar ini. Meskipun banyak faktor yang berpengaruh pada prognosis dan indikator-indikator terhadap derajat keparahan telah diketahui sebagaimana dijelaskan (faktor pasien, faktor trauma dan faktor penatalaksanaan), respons individu baik terhadap trauma maupun terapi merupakan faktor yang harus diperhitungkan. Hal ini menjelaskan mengapa seseorang dengan mortality probability (MP) 1.0 bukan berarti kehilangan kemungkinan hidupnya. Faktor-faktor yang berperan

Beberapa faktor yang berperan dikelompokkan dalam 3 (tiga) aspek; yaitu faktor penderita,

faktor trauma dan faktor penatalaksanaan.

P

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

12

Kondisi umum penderita Faktor usia

Prognosis luka bakar umumnya jelek pada usia yang sangat muda dan usia lanjut (Barnes 1957, Roi dkk 1981). Pada usia yang sangat muda (terutama bayi) beberapa hal mendasar menjadi perhatian, antara lain sistim regulasi tubuh yang belum berkembang sempurna; komposisi cairan intravaskuler dibandingkan cairan ekstravaskuler, interstisium dan intraseluler yang berbeda dengan komposisi pada manusia dewasa, sangat rentan terhadap suatu bentuk trauma.

Sistim imunologik yang belum berkembang sempurna merupakan salah satu faktor yang patut diperhitungkan, karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresi.

Pada usia lanjut, proses degeneratif pada sistem, organ dan sel merupakan salah satu faktor yang mengurangi akseptabilitas (toleransi), daya kompensasi dan daya tahan tubuh terhadap trauma (Knaus 1981).

Faktor pasien Kondisi umum Usia, gizi, gender

Faktor premorbid

Kelainan kardiovaskuler Kelainan neurologik Kelainan paru Kelainan metabolisme Kelainan ginjal Kelainan psikiatrik Kehamilan

Faktor trauma

Luka bakar Trauma penyerta

Jenis, luas & kedalaman

Faktor penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan pra rumah sakit (Prehospital treatment ) 2. Penatalaksanaan di rumah sakit (Inhospital treatment)

Fase awal ( fase akut, fase syok ) Fase selanjutnya

Faktor gizi

Faktor yang merupakan modal seseorang dalam konteks daya tahan terhadap suatu bentuk trauma. Pada orang normal, luka bakar menimbulkan suatu bentuk stres metabolisme yang berat. Energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari (biasa), untuk menjalankan fungsi organ dan sistem ditambah untuk keperluan proses penyembuhan; hilang bersama proses penguapan (evaporative heat loss). Deteriorisasi pengaturan terjadi, sehingga merupakan beban yang berat sehingga cadangan energi tubuh (lean body mass) saja tidak mencukupi kebutuhan. Dapat dibayangkan bilamana proses ini terjadi pada seorang dalam status kurang gizi. Faktor gender

Meskipun wanita dianggap sebagai kaum lemah, namun pada kenyataannya daya tahan tubuh seorang wanita umumnya lebih tinggi dibanding kaum pria. Secara statistik diperoleh data bahwa angka kesakitan pada wanita memang lebih tinggi dibanding pria, namun angka kematian pria jauh diatas kaum wanita. Faktor hormonal diduga berperan pada mekanisme maupun proses regulasi sistemik.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

13

Kehamilan Bukan hanya masalah hormonal pada wanita, tetapi kehamilan merupakan faktor yang

memperberat kondisi luka bakar demikian pula sebaliknya. Luka bakar yang terjadi pada wanita hamil memiliki angka mortalitas 70-80% (Marthens 1982). Faktor premorbid

Beberapa faktor berperan pada morbiditas dan mortalitas kasus luka bakar. Kelainan kardiovaskuler

Luka bakar merupakan trauma berat yang menyebabkan beban pada sistim kardiovaskuler. Jantung sebagai pompa mengalami beban yang sangat berat, baik pada fase awal (fase akut, fase syok) maupun setelah fase akut berlalu. Kondisi hipovolemi intravaskuler dan penimbunan cairan di jaringan ekstravaskuler memacu jantung bekerja ekstra melakukan kompensasi pre dan after load. Mekanisme kompensasi tentu memiliki limitasi, disaat daya kompensasi jantung tidak lagi mampu menahan beban tersebut, kegagalan fungsi timbul dan biasanya berakhir dengan kematian. Penelitian-penelitian terakhir mengidentifikasi adanya suatu mediator Myocardial Depressant Factor (MDF) yang dilepas pada reaksi inflamasi sistemik sebagai respons tubuh terhadap trauma berat; merupakan wacana baru yang menjelaskan terjadinya disfungsi.

Bagaimana proses tersebut dapat ditolerir bila seseorang dengan kelainan jantung (seperti dekompensasi kordis, infark miokard, penyakit jantung sklerotik atau penyakit jantung hipertensif, dsb) mengalami taruma berat seperti luka bakar; dengan sendirinya prognosisnya sangat buruk.

Proses degeneratif pada pembuluh darah (seperti aterosklerosis) menyebabkan gangguan yang terjadi pada proses luka bakar bertambah berat, dan mungkin bersifat ireversibel. Kelainan neurologik

Otak merupakan organ yang sangat sensitif, memerlukan oksigenasi mutlak; dalam 4 menit saja terjadi kondisi hipoksik akan berakhir dengan kerusakan sel-sel glia. Kerusakan otak akibat luka bakar yang sejak dulu dikenal dengan istilah burn encephalopathy merupakan salah satu faktor yang menyebabkan prognosis luka bakar menjadi sangat buruk. Seseorang dengan kelainan neurologik dan gangguan sirkulasi otak (stroke) yang mengalami trauma luka bakar prognosisnya menjadi sangat buruk. Kelainan paru

Proses pertukaran gas (oxygen exchange) dan difusi alveoli merupakan kunci perfusi dan oksigenasi jaringan; gangguan sirkulasi dan perfusi pada kasus luka bakar tidak menunjang proses yang pertukaran ini. Beberapa keadaan yang sering dijumpai pada kasus luka bakar antara lain adalah ARDS dan edema paru. ARDS timbul sebagai reaksi yang merupakan bagian dan mendahului SIRS; acapkali dijumpai pada kasus luka bakar yang disertai cedera inhalasi. Kondisi ini merupakan penyulit pada kasus luka bakar dan memiliki prognosis buruk. Edema paru merupakan penyulit dari terapi cairan yang masif. Edema interstisium dan intraseluler pada parenkim paru memiliki angka mortalitas yang tinggi.

Pada penderita yang memiliki kelainan paru karena sebab apapun, prognosis menjadi semakin buruk dan angka mortalitas meningkat berlipat ganda.

Kelainan metabolisme

Gangguan metabolisme timbul sebagai respons pada trauma berat termasuk luka bakar. Gangguan metabolisme ini melibatkan seluruh sitem dan organ yang berperan pada metabolisme; hipofisis, tiroid, pankreas, kelenjar suprarenal dsb. Kondisi hipometabolisme

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

14

terjadi pada fase awal (fase akut, fase syok) yang segera diikuti kondisi hipermetabolik pada fase selanjutnya. Kondisi tubuh yang mengalami gangguan perfusi dan oksigenasi memicu pelepasan hormon-hormon stres yang memengaruhi kerja dan fungsi organ sistemik.

Pada penderita dengan kelainan metabolisme seperti tiroid (penyakit Von Grave), diabetes melitus, diabetes insipidus atau lainnya, prognosis menjadi semakin buruk.

Kelainan ginjal

Ginjal sebagai salah satu organ perifer mengalami beban paling berat pada kondisi trauma seperti luka bakar. Gangguan sikulasi merupakan faktor penyebab utama kegagalan fungsi ginjal (pre renal). Dengan adanya kerusakan jaringan (khususnya otot-otot) yang ditandai adanya asam laktat dan myoglobin dalam sirkulasi, menyebabkan kerusakan tubulus ginjal yang bersifat permanen. Dengan timbulnya kerusakan ginjal, prognosis menjadi buruk.

Dapat dibayangkan bila kondisi ini terjadi pada seorang yang sebelumnya mengalami kerusakan atau kelainan ginjal, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.

Kelainan psikiatrik

Gangguan psikiatrik sebelum trauma memberikan beberapa tanda, antara lain kurang atau mungkin tidak kooperatif. Efek depresif obat-obatan psikofarmaka maupun psikotropika sering mengaburkan gejala dan tanda klinis; dengan menurunkan kinerja organ / sistem. Faktor trauma

Jenis, luas dan kedalaman luka merupakan faktor-faktor yang memiliki nilai prognostik. Sebelum tahun 1949, orientasi berat-ringannya luka bakar hanya terpaku pada luas luka. Pada tahun-tahun selanjutnya disadari bahwa jenis dan kedalaman luka bakar memiliki peran yang sama. Jenis luka bakar

Berat-ringan luka bakar berhubungan dengan jenis penyebab luka bakar; di tempat pertama adalah luka bakar disebabkan oleh listrik dan petir; kedua, oleh karena zat kimia (baik asam maupun basa); ketiga, oleh karena api, dan keempat oleh karena minyak panas, terakhir oleh air panas. Kerusakan yang disebabkan oleh cedera listrik dan kimia demikian hebat dan memiliki kekhususan. Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api dan ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah; dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Kerusakan bersifat progresif dari waktu ke waktu. Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun ground. Bahan kimia menyebabkan destruksi jaringan karena reaksi kimiawi yang timbul. Destruksi jaringan demikian hebat terutama disebabkan oleh asam atau basa kuat. Luka bakar disebabkan bahan kimia sering kali disertai gangguan metabolisme dan berlanjut dengan chemical pneumonitis.

Pada luka bakar oleh sebab listrik dan kimia, sering dijumpai kondisi hemoglobinuria atau lebih tepat dikatakan mioglobinuria; dimana mioglobin ini merupakan cerminan derajat kerusakan jaringan.

Jenis lain yang menimbulkan masalah barkaitan dengan tingginya angka mortalitas adalah ledakan (blast injury), selain paparan terhadap cedera termis, ledakan menyebabkan cedera alat dalaman yang memperberat keadaan. Luas luka bakar

Semakin luas permukaan tubuh tercederai, semakin berat kondisi trauma dan semakin buruk prognosisnya.

Kedalaman luka bakar

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

15

Bukan hanya luas permukaan saja yang berperan pada berat ringannya luka bakar, tetapi juga kedalaman luka. Semakin dalam jaringan yang rusak, semakin berat kondisi luka bakar dan semakin jelek prognosisnya. Disisi lain, proses penyembuhan berjalan lebih lama, dengan proses yang jauh lebih rumit, sehingga menimbulkan derajat kecacatan yang tinggi pula.

Lokasi Beberapa bagian tubuh terpapar pada kondisi yang berkaitan dengan berat-ringan luka bakar. Daerah muka dan leher dengan edema yang prominen mungkin disertai cedera inhalasi yang tidak manifes; edema laring acapkali dijumpai pada kasus ini. Perineum dan daerah anus memiliki sukseptibilitas terkontaminasi kuman patogen seperti p. aurogenosa dan e. colli. Daerah sendi dan tangan memiliki aspek lain pada proses penyembuhan; berhubungan dengan fungsi organ strukturil yang menimbulkan morbiditas yang tinggi.

Trauma penyerta Ledakan atau blast injury menyebabkan kerusakan alat dalaman; di rongga toraks menyebabkan kontusi paru yang berkembang menjadi ARDS, atau cedera hepar maupun alat dalaman lain di rongga peritoneum.

Respons Individu terhadap trauma Setiap individu memiliki respons berbeda terhadap suatu penyakit, termasuk trauma. Daya tahan tubuh, status imunologik dan gizi sangat nyata berperan dalam respons yang timbul (Marshal & Dimmick 1983).

Respons individu terhadap penatalaksanaan / terapi Hal yang sama dengan respons individu terhadap trauma, pengobatan memberikan respons yang berbeda pada tiap individu.

Faktor penatalaksanaan Pada dekade tahun 1970-an, prognosis luka bakar didominasi oleh sepsis, namun pada

dekade tahun 1980-an cedera inhalasi menempati urutan pertama yang memiliki nilai prognostik. Pada pengamatan dan analisis lebih lanjut, syok ternyata menjadi faktor yang nyata berperan dalam menentukan prognosis; menenmpati urutan kedua setelah cedera inhalasi.

Hal tersebut disadari sejak traumatologi berkembang, dan prioritas penatalaksanaan kasus trauma (ABC traumatologi) diterapkan. Penatalaksanaan pada fase awal / akut / syok Cedera Inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki korelasi dengan angka

mortalitas. Kematian akibat cedera inhalasi terjadi dalam waktu singkat, dalam 8 sampai dengan 24jam pertama pasca cedera. Pemasangan pipa endotrakea dan atau krikotirotomi merupakan suatu tindakan mandatorik pada kasus dengan kecurigaan adanya cedera inhalasi. Sementara penatalaksanaan lanjutan setelah tindakan penyelamatan tersebut (terapi inhalasi, pembebasan saluran nafas dari produk sekret mukosa, pengaturan posisi penderita dan fisioterapi se awal mungkin); masing-masing turut berperan pada keberhasilan terapi awal. Penderita yang bertahan hidup setelah ancaman cedera inhalasi dalam waktu 8-24jam pertama ini, masih dihadapkan pada komplikasi saluran pernafasan yang biasanya terjadi dalam 3-5 hari pasca trauma. Komplikasi dari cedera inhalasi, dikenal sebagai kondisi ARDS, yang juga memiliki prognosis sangat buruk.

Gangguan breathing mechanism. Eskar melingkar menghalangi daya ekspansi rongga toraks dan menurunkan compliance paru, karenanya pada kesempatan survei primer, eskar melingkar di rongga torak harus ditatalaksanai (eskarotomi). Cedera lain yang mungkin terjadi bersamaan, seperti penumotoraks dsb. harus ditatalaksanai pada kesempatan pertama, karena memiliki angka mortalitas tinggi.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

16

Pada luka bakar terjadi suatu kondisi yang didominasi oleh gangguan sirkulasi, hal mana menyebabkan kondisi hipoksia jaringan. Perfusi seluler terganggu dan metabolisme aerob berganti menjadi proses anaerob. Diketahui pula dari penelitian terakhir bahwa asam laktat sebagai produk proses metabolisme anaerob bersifat toksik terhadap jaringan. Demikian pula bahaya cedera reperfusi (ischaemia-reperfusion) yang menjadi salah satu penyebab berkembangnya SIRS.

Proses oksigenasi merupakan hal yang sangat penting, dimana peran pertukaran oksigen di paru, tranportasi oksigen oleh darah dan efektivitas perfusi pada jaringan yang demikian sembabnya dapat berlangsung, sehingga hal-hal ini memiliki nilai prognostik. Dalam hal dijumpai perfusi oksigenasi yang tidak baik, gangguan kesadaran dengan manifestasi kegelisahan, disorientasi sampai penurunan kesadaran menunjukan hipoksia otak yang memerlukan penatalaksanaan resusitasi secepatnya.

Syok menyebabkan konstriksi perifer, yang tidak hanya dimonitor dari produksi urin tetapi juga daerah splanikus. Iskemia di daerah mesenterium menyebabkan disrupsi mukosa usus dan gangguan peristaltik usus. ileus yang sebelumnya diduga merupakan cerminan kondisi stres sebagaimana suatu ulkus stres, memberikan gambaran derajat insufiensi perfusi usus. Penatalaksanaan ileus yang dahulu ditempuh dengan memuasakan penderita merupakan suatu kesalahan yang dilakukan. Karena memuasakan penderita dalam keadaan ini justru menyebabkan terjadinya atrofi mukosa.

Syok hipovolemi merupakan suatu proses yang terjadi pada luka bakar sedang sampai berat. Kondisi ini terjadi bila minimal 25% jumlah cairan intravaskuler hilang. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, dalam upaya mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, karena syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian. Syok ditatalaksanai dengan pemberian cairan kristaloid tiga kali jumlah cairan yang hilang. Dalam kondisi syok resusitasi cairan berbeda dengan penatalaksanaan resusitasi pada kasus tanpa syok yang mengacu kepada regimen terapi cairan yang ada (Baxter, Parkland).

Bila kondisi syok tidak diatasi dalam waktu cepat, kerusakan sel maupun organ berlanjut, yang akhirnya berkembang menjadi disfungsi dan kegagalan menjalankan fungsinya; kondisi yang berakhir dengan kematian.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalaksanaan syok yang menggunakan metode resusitasi cairan konvensional (menggunakan regimen terapi cairan yang ada) dengan penatalaksanaan syok dalam waktu singkat; menunjukan perbaikan prognosis; derajat kerusakan jaringan diperkecil (diketahui melalui pemantauan kadar asam laktat); hipotermia dipersingkat; dan koagulopati konsumtif diperkecil kemungkinannya; ketiganya diketahui memiliki nilai prognostik terhadap angka mortalitas.

Penatalaksanaan pada fase setelah fase akut (fase kedua)

Kehilangan/kerusakan kulit/jaringan karena cedera termis menimbulkan masalah yang dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) golongan, dan masing-masing saling berhubungan : Memicu stres metabolisme

Kulit sebagai organ yang memiliki fungsi mencegah penguapan; dengan sendirinya kerusakan kulit menyebabkan penguapan berlangsung tanpa kendali; dan penguapan yang terjadi tidak hanya sekedar cairan namun juga melibatkan protein dan energi (evaporative heat loss). Kondidi pertama yang terjadi adalah hipotermi, yang disusul dengan menurunnya kadar protein total, khususnya albumin. Imbalans protein timbul sebagai akibat; namun segera disusul oleh imbalans karbohidrat dan lemak disamping imbalans cairan yang memang sudah terjadi sebelumnya. Gangguan keempat sistem homeostasis yang terjadi memicu pelepasan katekolamin dan hormon stres lain, sehingga terjadi deteriorisasi sistim pengaturan; dalam kondisi gangguan sirkulasi yang belum

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

17

mencapai level normal (dalam 3-4 hari pasca cedera), kondisi stres yang timbul merupakan faktor yang memiliki nilai prognostik. Dengan kehilangan kulit yang berperan sebagai barier terhadap infeksi, invasi kuman menyebabkan sepsis luka yang memperberat keadaan. Kedua hal tersebut diatas dapat menjadi faktor yang berperan dalam memicu timbulnya SIRS, MODS dan sepsis.

Memicu SIRS, MODS dan Sepsis Jaringan yang rusak melepas kompleks lipid-protein yang dulu dikenal sebagai burn-toxin; memiliki kekuatan ribuan kali dibandingkan endotoksin. Zat ini Toksin ini mennyebabkan inhibsi proses fosforilasi oksidtif yang mengganggu fungsi sel (Kremer 1978, 1979) dan memicu pelepasan sitokin dan mediator kimia lain yang berperan pada proses inflamasi (interleukin, tomboksan, Tumor Necrotizing Factors, prostaglandin, termasuk radikal bebas). Reaksi yang mulanya bersifat lokal berkembang menjadi suatu bentuk reaksi sistemik, meliputi beberapa tahapan (kaskade) yang rumit; dan berkaitan dengan status gizi dan sistim imunitas penderita. Pada SIRS yang berkembang tidak dapat dihentikan melalui suatu intervensi; sindrom disfungsi organ multipel adalah rangkaian akhir dari perjalanan penyakit yang berakhir dengan kematian. Bila sudah terjadi kegagalan organ (jantung, paru, ginjal), angka kematian berkisar 70%, sedangkan mencakup beberapa organ angka kematian berkisar 98%. Bila terbukti repons ini disebabkan oleh adanya septikemia, maka proses tersebut disebut sebagai sepsis. Teori lain yang menjelaskan berkembangnya sepsis adalah terjadinya translokasi bakteri melalui mukosa usus yang mengalami disrupsi. Bakteri komensal berubah oportunistik menjadi patogen karena adanya defek pada mukosa usus diperberat oleh tatalaksana yang tidak rasional; termasuk memuasakan penderita, pemberian antibiotik dan antasid. Teori ini menjelaskan toksin yang dilepas oleh bakteri-bakteri tersebut; memicu pelepasan mediator inflamasi sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya.

Perawatan luka

Tindakan dèbridement dan pencucian luka dikerjakan setelah sirkulasi stabil, umumnya setelah hari kedua atau ketiga. Tujuan dèbridement dan pencucian luka adalah untuk memutus rantai perkembangan SIRS, MODS dan sepsis; sebagaimana dijelaskan pada alinea sebelumnya. Setelah tujuan ini tercapai, langkah berikutnya baru dipikirkan proses penutupan luka dalam rangkaian proses penyembuhan. Beberapa catatan pada perawatan luka perlu mendapatkan perhatian, antara lain:

Jenis perawatan luka tertutup atau terbuka Perlu diperhatikan dengan memperhitungkan kebutuhan total koloid, kristaloid dan elektrolit yang telah dijelaskan sebelumnya.

Aplikasi antiseptikum dan antibiotik Eksisi dini yang bertujuan memutus rantai SIRS, sepsis dan MODS harus ditatalaksanai dengan baik; melibatkan kebutuhan fasilitas yang memadai, termasuk sumber daya manusia, teknik dan materi. Metode ini merupakan cara efektif membuang jaringan nekrosis. Resiko dari tindakan ini adalah perdarahan, namun dengan pemberian komponen darah lengkap untuk tujuan replacement therapy dilaporkan justru memperbaiki sistim imunitas (dilusi toksin yang beredar dalam sirkulasi). Skin graft awal merupakan suatu tindakan mempersingkat proses penyembuhan. Dalam konteks awal dimaksudkan segera setelah eksisi dini dilakukan; sebagai upaya mencegah proses evaporative loss berkepanjangan. Berbagai kendala dijumpai, seperti keterbatasan donor dan perdarahan yang berlangsung menyebabkan metode tindakan ini sulit dilaksanakan.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

18

Sistim Skoring Ada berbagai sistim skoring yang yang digunakan untuk tujuan memperoleh gambaran

mengenai derajat keparahan dan prediksi atau prognosis kasus trauma, antara lain: Trauma Index Abbreviated Injury Scale (AIS, American Medical Association 1971, Baker dkk 1974) Trauma Score Glassgow Coma Scale Injury severity Score (Bull 1978) Revised Trauma Score APACHE (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation, Knaus dkk 1981 ) APACHE II (Rhee dkk 1987 ) TRISS (Trauma Score and Injury Severity Score, 1981)

Sistim-sistim tersebut dengan kelebihan dan kekurangan serta sudut pandangnya masing-masing diupayakan untuk menggambarkan derajat keparahan penderita, baik morbiditas maupun mortalitas dengan kemungkinan hidupnya; yang diterapkan pada kasus-kasus trauma termasuk luka bakar.

Bila dikaji lebih lanjut, luka bakar yang merupakan suatu jenis seberat-beratnya trauma, memiliki kekhususan dalam penerapan sistim skoring yang disebutkan di atas. Beberapa sistim skoring yang dicoba untuk diterapkan pada kasus luka bakar seperti AIS, tidak mencerminkan berat ringannya luka bakar karena hanya mempersoalkan presentasi luas luka bakar (faktor eksternal), dan artinya suatu sentrum pelayanan yang menerapkan sistim ini mundur ke jaman sebelum Bull dan Squire (sebelum tahun 1949) mengemukakan faktor-faktor yang berperan pada morbiditas dan mortalitas. Berbagai kekhususan yang dimaksud, artinya harus memperhitungkan faktor-faktor dijelaskan pada pendahuluan; berbagai penelitian dan sistim skoring diupayakan untuk memperoleh gambaran keparahan dan kemungkinan hidup penderita dengan luka bakar.

Namun dalam literatur, dari faktor-faktor yang memiliki nilai prognostik sebagaimana dijelaskan pada pendahuluan, hanya beberapa yang digunakan sebagai variabel dalam perhitungan probabilitas. Hal ini sejalan dengan perkembangan pengetahuan maupun teknologi, ditunjang oleh penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli. Variabel-variabel lain yang tidak digunakan berkisar pada variabel-variabel yang terdiri dari beberapa kemungkinan, tidak representatif (melalui penelitian-penelitian sebelumnya terbukti tidak bermakna secara statistik) atau karena dianggap tidak mencerminkan keadaan sebenarnya, atau bahkan merupakan suatu variabel yang sulit diperhitungkan secara statistik. Variabel yang dianggap representatif adalah: Usia (Barnes 1957), Bull & Squire 1949, Roi 1981, Knauss 1981 Masalah gizi dibahas dalam pembicaraan mengenai permasalahan yang ada pada kasus

luka bakar dan diterapkan dalam penelitian-penelitian, namun tidak diperhitungkan dalam sistim skoring.

Kelainan paru premorbid dibahas oleh Zwacki 1979 dalam penelitiannya yang memperhitungkan peran variabel-variabel lain, seperti usia, presentasi luas, kedalaman, kadar oksigen arterial dan edema saluran pernafasan. Tetapi hasil penelitian ini tidak menyinggung kepentingan menggunakan sistim skoring, atau memasukkan variabel yang dianggapnya penting ke dalam sistim.

Kehamilan (Mathews 1982) Pengaruh faktor trauma dibicarakan secara luas oleh berbagai peneliti, dimana hampir

semua peneliti membahas mengenai peran presentasi luas luka bakar

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

19

Pengaruh luas luka bakar (sebelum 1949, AIS 1974) Derajat kerusakan jaringan (Barret dan Settle 1987) Kedalaman luka yang jelas berperan dalam menentukan derajat keparahan, sulit

diperhitungkan ke dalam sistim skoring. Barret 1991 mencoba memberi skor pada variabel ini: Burn Score, BS o Pada kerusakan / kehilangan jaringan parsial adalah 1 o Pada kerusakan / kehilangan jaringan total (full thickness loss) adalah 2. o Nilai skor ini tidak memiliki makna dalam perhitungan mortality probability.

Tabel 2. Bull’s Mortality Probability Grid yang menggunakan variabel usia dan presentasi luas luka bakar.

Usia (tahun) Luas (%) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75-79 80+ 93+ 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

87-92 .9 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 83-87 .9 .9 .9 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 78-82 .8 .8 .8 .8 .9 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 73-77 .7 .7 .8 .8 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 68-72 .6 .6 .7 .7 .7 .8 .8 .8 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 63-67 .5 .5 .6 .6 .6 .7 .7 .8 .8 .9 .9 1 1 1 1 1 1 58-62 .4 .4 .4 .5 .5 .6 .6 .7 .7 .8 .9 .9 1 1 1 1 1 53-57 .3 .3 .3 .4 .4 .5 .5 .5 .7 .7 .8 .9 1 1 1 1 1 48-52 .2 .3 .3 .3 .3 .3 .4 .5 .6 .6 .7 .8 .9 1 1 1 1 43-47 .2 .2 .2 .2 .2 .3 .3 .4 .4 .5 .6 .7 .8 1 1 1 1 38-42 .1 .1 .1 .1 .2 .2 .2 .3 .3 .4 .5 .6 .8 .9 1 1 1 33-37 .1 .1 .1 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .3 .4 .5 .7 .8 .9 1 1 28-32 0 0 0 0 .1 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .6 .7 .9 1 1 23-27 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .6 .7 .9 1 18-22 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .1 .2 .3 .4 .6 .8 .9 13-17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .5 .6 .7 8-12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .5 .5 3-7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .2 .3 .4 0-2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .2 .2

Peneliti lain yang membahas peran kedalaman luka bakar adalah Bull dalam Bull’s Burn

Score 1949-1971, Burn Injury Severity Score 1978 dan Shakespeare dkk 1980 Cedera inhalasi, Syok dan Septikemi dibahas dan diperhitungkan dalam sistim skoring,

antara lain - Mortality Probability Chart, ( Bull, 1971-1975) - Moores dkk 1975 menyempurnakan BMP-Grid agar lebih akurat dengan

menambahkan faktor seks dan adanya ‘pyo-prone’. Pyo-prone adalah konsep yang diajukan oleh Moores, istilah untuk menjelaskan luka bakar yang terdapat di daerah antara umbilikus dengan paha bagian medial, lebih menekankan sukseptibilitas sepsis akibat luka di daerah perineum.

Clarks 1986 menekankan kepentingan cedera inhalasi dan membubuhkan skor 0-7 untuk beberapa kriteria; dimana skor 2 menunjukan adanya cedera inhalasi, sedangkan skor >2 menunjukan prognosis buruk 1 Riwayat terperangkap dalam ruangan tertutup 2 Produksi sputum mengandung karbon 3 Luka bakar di daerah oro-fasial 4 Penurunan tingkat kesadaran 5 Gejala distres pernafasan 6 Tanda distres pernafasan 7 Suara parau atau hilang

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

20

Tabel 3. Bull’s Mortality Probability Grid yang menggunakan variabel usia dan presentasi luas luka bakar dengan memperhitungkan ada dan tidaknya cedera inhalasi.

A. Tanpa cedera inhalasi

Usia (tahun) Luas (%) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75-79 80+ 93+ .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

87-92 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 83-87 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 78-82 .5 .6 .6 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 73-77 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 68-72 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 63-67 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 58-62 .1 .1 .2 .3 .4 .4 .5 .6 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 53-57 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 48-52 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 43-47 0 0 1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .7 .8 .9 .9 .9 38-42 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 .9 33-37 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 28-32 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 23-27 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 18-22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .3 .4 .5 13-17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 8-12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 3-7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 0-2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 .1 .1 .1

B. Dengan cedera inhalasi

Usia (tahun) Luas (%) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75-79 80+ 93+ 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

87-92 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 83-87 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 78-82 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 73-77 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 68-72 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 63-67 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 58-62 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 53-57 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 48-52 .6 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 43-47 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 38-42 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 1 33-37 .3 .4 .5 .6 .7 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 1 1 28-32 .2 .3 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 .9 .9 .9 1 1 1 1 1 23-27 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 1 18-22 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 1 1 1 13-17 0 .1 .1 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .6 .7 .8 .9 .9 .9 1 1 8-12 0 0 .1 .1 .1 .2 .3 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 .9 3-7 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9 .9 0-2 0 0 0 0 .1 .1 .1 .2 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .8 .9

Nomograph of Mortality Risk (Roi et all, 1981) Acute Physiology & Chronic Health Evaluation (APACHE) dan APACHE II (1985) Fluid Retention Index (Carlson 1987) Sepsis Index ( Ritzman 1973, Daniel dkk 1974,Cooper and Ward, 1979, Ogle 1981, Carvajal 1981, Elebute and Stoner 1983, Stevens 1983, Moody 1985 ) Fungsi ginjal yang terganggu pada luka bakar (Raab 1972, Boyd 1976 dan Schentag 1978, Shakespeare 1981, Yu dkk 1983) dengan parameter proteinuria yang mencerminkan fungsi tubulus. Alpha-1 microglobulin (α1m) memenuhi kriteria digunakan sebagai parameter, sementara protein total dan albumin tidak mencerminkan permeabilitas glomerulus. Natrium, kalium dan kreatinin serta Blood urea nitrogen merupakan indikator lain dari fungsi ginjal yang perlu diperhitungkan. Fungsi hati yang dicerminkan oleh serum bilirubin, alkalin fosfatase dan aspartat transaminase. Parameter fungsi tubulus menggunakan α1m kemudian digunakan dalam sistim skoring oleh Barret 1991.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

21

Reaksi imunosupresi pada luka bakar dibahas oleh Nineman 1981, Dominioni dkk 1983, Stratta dkk 1986 Penatalaksanaan di negara-negara maju, sebagaimana penatalaksanaan trauma pada umumnya sudah demikian baiknya, sehingga syok terutama delayed atau syok ireversibel jarang dijumpai dan tidak lagi merupakan pokok bahasan di dalam literatur. Efek terapi topikal diteliti oleh Peterson dkk 1985, khususnya mengenai pengaruh silver sulfadiazine, mafenide, silver nitrat dan cerium nitrit; namun tidak membahas sistim skoring.

Efek pembalutan lebih banyak dibahas oleh peneliti-peneliti yang berhubungan dengan proses metabolisme dan gizi; juga tidak membahas sistim skoring.

Variabel yang sejak tahun 1991 digunakan (dalam sistim skoring yang digunakan oleh Barret) antara lain:

Usia Presentasi luas luka Cedera inhalasi Protein total serum Alpha 1 microglobulin ( 1m ) Denyut nadi Suhu tertinggi

Burn Illness Score

Dihitung berdasarkan ekuasi faktor-faktor yang menjadi variabel dengan suatu konstanta dalam tabel. BIS yang diperoleh kemudian diperhitungkan dalam analisis probit berdasarkan rumus analisis probit sebagaimana dapat dilihat di bawah ini:

misal : Perhitungan pada hari ke 3-4

usia penderita dikalikan 0.08 = ………… presentasi luka dikalikan 0.10 = ………… cedera inhalasi dikalikan 1.84 =………… Jumlah skor ( s ) = …………

Catatan : bila tidak dijumpai cedera inhalasi, maka jumlah keseluruhan skor dikurangi 1.84

Tabel 4. Konstanta ( e ) untuk menghitung Mortality Probability

Waktu (hari)

Usia (tahun)

Luas LB (%)

Cedera Inhalasi

(+/-)

Total Protein serum

1m Denyut nadi Suhu (oC) Konstanta

0 0.13 0.16 2.78 0.099 0.000 0.00 0.64 29.4 1 0.29 0.35 6.24 1.150 0.000 0.07 0.74 120.9 2 0.12 0.15 2.71 0.021 0.005 0.05 0.32 29.1

3-4 0.08 0.10 1.84 0.156 0.007 0.03 0.72 30.3 5-6 0.20 0.23 4.40 0.337 0.030 0.02 0.11 1.8 7-8 0.31 0.35 6.79 0.076 0.024 0.10 0.04 2.0

9-12 0.28 0.33 6.28 0.183 0.019 0.10 0.02 2.0 13-15 0.27 0.33 5.90 0.263 0.033 0.10 0.01 2.0 16-19 0.03 0.05 0.73 0.095 0.014 0.04 0.03 3.5 20-22 0.03 0.05 0.68 0.115 0.002 0.04 0.10 3.5 23-26 0.02 0.05 0.57 0.000 0.020 0.00 0.05 3.4 27-29 0.06 0.09 1.43 0.005 0.004 0.06 0.05 13.7

e = konstanta s = Burn Illness Score yang diperoleh dari perhitungan

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

22

30-32 0.09 0.11 2.00 0.006 0.006 0.06 0.08 13.7

a

b c

Gambar 10. a. Normograf dari Roi menggambarkan perbedaan kurva antara kasus luka bakar dengan dan tanpa cedera inhalasi. b Modifikasi normograf dikaitkan dengan posisi prone (perineal burn) dan mortality risk. c Perhitungan skoring untuk mortality probability. Gambar-gambar dikutip dan disadur dari Principles and practice of burns management. New York: Churchill Livingstone, 1996; 29-42.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

23

Dengan demikian diperoleh hasil perhitungan yang merupakan Mortality Probability. Nilai skor ini dihitung setiap hari selama 32 (tiga puluh dua) hari sejak terjadinya trauma. Diambil nilai 32 ini dengan alasan setelah 32 hari kematian sangat jarang dan tidak lagi merupakan suatu hal yang perlu diamati secara statistik. Semakin besar nilai MP, semakin buruk prognosisnya dan Bull menetapkan nilai Vital Point adalah 1.0. Namun lebih lanjut Bull menambahkan bahwa bila seseorang penderita dengan MP 1.0 bukan berarti kehilangan kemungkinan untuk hidup; karena luka bakar sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk respons penderita terhadap trauma dan penatalaksanaan.

Alternatif lain, penilaian dapat dilakukan secara mudah dengan melakukan evaluasi melalui nomograf sebagaimana terlihat pada gambar 10.

Penulis menerapkan rumus analisis probit dan menghitung probabilitas dengan aplikasi program Microsoft Excell untuk mempermudah, dan didapatkan 2 (dua) perhitungan yaitu dengan dan tanpa memasukan variabel protein serum ( 1m) karena pemeriksaan 1m tidak mudah dilakukan. Pada tampilan layar komputer, mesin kalkulator dapat dijalankan oleh setiap petugas dan diperoleh nilai probabilitas dimaksud:

Gambar 11. Suatu program komputer (Microsoft Excel 2003) berbasis Windows Xp yang merupakan kalkulator perhitungan probit kasus luka bakar. Program ini memudahkan para klinikus (user) dalam melakukan perhitungan probit untuk menentukan prognosis.

Bahan Bacaan 1. Settle JAD. Principles and practice of burns management. New York: Churchill Livingstone, 1996; 29-42. 2. Martyn JAJ. Acute management of the burned patient. Philadelphia: WB Saunders Company, 1990; 12-65. 3. Artz CP, Moncrief JA, Pruitt Jr. BA. Burns, a team approach. Philadelphia: WB Saunders Company, 1979; 21-

22. 4. Philips-Duphar Nederland BV. Brandwonden, klinische aspekten huisarts eerste hulp en preventie, Philips-

Duphar Nederland BV, 1979; 19. 5. Lindblom L et.all. Role of nitric oxide in the control of burn perfusion. Burns Journal of International Society for

Burn Injuries, Vol 26 Number 1, Febr 2000; 19. 6. Holm C et al. Haemodynamic and oxygen transport rensponses in survivors and non survivor following

thermal injury, Burns Journal of International Society for Burn Injuries, Vol 26 Number 1, Febr. 2000; 25 7. Baron BJ et.all. Efffects of traditional versus delayed resuscitation on serum lactate and base deficit. Burns

Journal of International Society for Burn Injuries, Vol 43 Number 1, 1999; 39. 8. Tejero-Trujeque R. How effective is the ABSI in predicting patient mortality? Journal of Wound Care

2000;9:475-478.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

24

9. Germann G, Barthold U, Lefering R, Raff T, Hartmann B. The impact of risk factors and pre-existing conditions on the mortality of burn patients and the precision of predictive admission-scoring systems. Burns 1997;23:(3)195-203.

10. Munster A. Burn Care for the House Officer. Williams & Wilkins 1980. 11. American Burn Association. National Burn Repository 2002 Report. 12. Covington D, Wainwright D, Parks D. Prognostic Indicators in the Elderly Patient with Burns. Journal of Burn

Care and Rehabilitation 1996;17:(3) 222-230. 13. Roi L, Flora J, Davis T, Wolfe R. Two New Burn Severity Indices. The Journal Of Trauma 1983;23:(12)1023-

1029. 14. Ryan C, Schoenfeld D, Thorpe D, Sheridan W, Cassem E, Tompkins R. Objective Estimates of the

Probability of Death from Burn Injuries. New England Journal of Medicine 1998; 338(6):362-6. 15. Akhtar MA, Mulawkar PM, Kulkarni HR. Burns in pregnancy: Effect in maternal and fetal outcomes. Burns

1994;20:351-355. 16. Polko LE. McMahon MJ. Burns in pregnancy. [Review] [28 refs] Obstetrical & Gynecological Survey

1998;53(1):50-6. 17. Baue AE. The complexities of sepsis and organ dysfunction. In: Baue AE, Berlot G, Gullo A (editors). Sepsis

and organ dysfunction: Epidemiology and scoring systems, pathophysiology and therapy. Milano: Springer Verlag; 2000. p.23-31.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

25

Bab III

Permasalahan Luka Bakar fase akut

Yefta Moenadjat

ebagaimana disebutkan pada bab pendahuluan, luka bakar dengan kompleksitas permasalahan memerlukan perhatian secara khusus, oleh karena itu luka bakar fase akut

(dan permasalahan yang timbul di fase ini) dibahas dalam bab tersendiri. Sedangkan problema yang berkaitan dengan luka dibahas dalam manajemen luka di fase lanjut yang juga memerlukan perhatian khusus, akan dibahas pada bab berikutnya secara tersendiri pula.

Topik pembahasan pada luka bakar fase akut (acute burn injury) ini berkisar di seputar permasalahan yang berkaitan dengan cedera pada saluran nafas (gangguan airway, A) yang seringkali disebut ’cedera inhalasi’, gangguan mekanisme bernafas (gangguan breathing mechanism, B) dan permasalahan sistem pernafasan lanjut, serta gangguan sirkulasi (circulation, C) sesuai dengan pendekatan traumatologi.

Pada bab ini dibahas masing-masing permasalahan yang berkaitan dengan gangguan ABC sebagaimana dicantumkan pada paragraf sebelumnya; menjadi dasar tatalaksana resusitasi luka bakar fase akut yang diuraikan pada bab 3. Topik pembahasan dalam patofisiologi luka bakar fase akut diuraikan sebagai berikut: 1. Gangguan saluran pernafasan:

Adanya cedera inhalasi yang merupakan dampak cedera termis pada lapisan mukosa saluran nafas berupa: a. Obstruksi saluran nafas bagian atas (di atas glottis) b. Reaksi inflamatorik mukosa saluran mulai dari di bawah glottis sampai dengan alveoli

dan parenkim paru. Keduanya dapat disebabkan oleh kontak langsung jaringan dengan sumber termis, maupun kontak dengan sisa pembakaran yang tidak sempurna (toxic fumes). Inti permasalahan dari topik dalam pokok bahasan ini adalah cedera (kerusakan) mukosa saluran nafas yang dapat menimbulkan distres pernafasan akut.

2. Gangguan mekanisme bernafas: Adanya gangguan proses ekspansi rongga toraks karena kerusakan jaringan setelah kontak dengan sumber termis. Gangguan gerakan ekspansi rongga toraks ini menyebabkan penurunan compliance paru yang berlanjut dengan distres pernafasan.

3. Gangguan sirkulasi: a. Dampak cedera termis pada sirkulasi mikro dan makro b. Dampak cedera termis pada jaringan dan organ sistemik Intinya adalah gangguan perfusi-oksigenasi jaringan yang terjadi karena hipovolemia yang terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi mengikuti suatu cedera termis. Di satu sisi kerusakan jaringan lokal yang cukup luas menimbulkan gangguan sirkulasi sistemik yang berlanjut dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS), di sisi lain adanya gangguan sirkulasi sistemik menyebabkan timbulnya degradasi luka (kerusakan jaringan lokal) sehingga timbul permasalahan lanjut: 1) SIRS dan MODS; 2) hambatan proses penyembuhan luka (delayed atau prolonged bahkan non-healing).

S

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

26

Gambar 12. Gangguan ABC akan menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan dimulai dari gangguan asupan oksigen (A ), proses difusi-perfusi (B) dan transportasi oksigen ke jaringan. Ketiganya menyebabkan gangguan perfusi jaringan yang mengakibatkan metabolisme seluler tidak dapat berlangsung baik. Pola tekanan oksigen sebagaimana digambarkan di atas akan berubah. Dikutip dan disadur dari Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005

Pengetahuan mengenai patofisiologi luka bakar fase akut sangat penting, menjadi dasar

tatalaksana luka bakar fase akut yang mengacu pada suatu dasar rasional dan bersifat strategis dan agresif dalam upaya menekan angka mortalitas akibat luka bakar. Perubahan strategi tatalaksana luka bakar ini yang disebutkan sebagai paradigma baru dalam manajemen luka bakar.

Berikut diuraikan satu persatu topik bahasan dalam sub bab mengenai patofisiologi luka bakar fase akut (gangguan ABC traumatologi), gangguan metabolisme pada luka bakar fase akut, serta SIRS dan MODS pada luka bakar dengan pembahasan khusus mengenai Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).

Dalam uraian topik bahasan patofisiologi luka bakar fase akut (yaitu gangguan ABC) ini terkait beberapa masalah, antara lain:

- Gangguan metabolisme - Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ

Dysfunction Syndrome (MODS) - Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) - dan perdarahan saluran cerna yang dahulu dikenal sebagai ulkus stres.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

27

Bab III

1. Patofisiologi Luka Bakar fase akut

Yefta Moenadjat

atofisiologi luka bakar fase akut dikaitkan dengan beberapa topik pembicaraan, antara lain cedera jalan nafas atau lebih sering disebut menggunakan istilah cedera inhalasi,

gangguan mekanisme bernafas dan gangguan sirkulasi atau syok. 3.1.1. Cedera Inhalasi

Cedera inhalasi adalah terminologi yang digunakan untuk menjelaskan perubahan (kerusakan) mukosa saluran nafas akibat adanya paparan terhadap iritan yang menimbulkan manifestasi klinik distres pernafasan. Reaksi yang timbul akibat paparan terhadap iritan berupa suatu bentuk inflamasi akut dengan edema dan hipersekresi mukosa saluran nafas. Iritan dimaksud dalam hal ini jarang (di bawah 3%) berupa suatu kontak langsung dengan sumber termis, hal ini disebabkan karena adanya refleks fisiologik yang merupakan mekanisme pertahanan pada orang normal dengan upaya menahan nafas. Dan bila hal ini terjadi, biasanya patologi yang dijumpai berada di atas glottis, umumnya terjadi akut (dalam 24 jam pertama pasca cedera) dan bersifat fatal bila tidak ditatalaksanai secara baik. Yang kedua, disebabkan oleh efek kimiawi dari iritan. Iritan dimaksud biasanya berupa produk toksik dari sisa pembakaran yang tidak sempurna (toxic fumes) misalnya karbon-mono-oksida atau zat kimia lainnya. Oleh karenanya, paparan ini dimungkinkan terjadi pada kecelakaan yang disebabkan (asap) api atau zat kimia dimana penderita terperangkap di ruang tertutup, atau korban dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sering terjadi di gedung-gedung dengan alas karpet (rugs) yang memenuhi / menutupi lantai dan mudah terbakar.

Pada pemeriksaan fisik umumnya dijumpai luka bakar di daerah muka dengan bulu hidung terbakar, dijumpai karbon atau sisa pembakaran di sekitar mulut, lidah dan tenggorok.

Gambar 13. Patologi mukosa saluran nafas bagian atas. a) Edema laring, b) Deposit karbon pada korda vokalis, c) Sloughing mucosa. Dikutip dari Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders; 2001.

Pada pemeriksaan laringoskopik dan atau bronkoskopik, tampak patologi mukosa berupa eritem, edematus dan kadang disertai ulserasi serta hipersekresi. Edema mukosa masif di saluran nafas bagian atas (di sekitar glotis) menyebabkan obstruksi lumen akut disertai distres pernafasan, biasanya disebabkan cedera termis, dapat terjadi dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam pasca cedera; kondisi ini memiliki korelasi dengan tingginya angka kematian luka bakar pada fase akut.

P

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

28

Cedera di bawah glotis didominasi oleh proses inflamasi akut pada mukosa yang berlanjut dengan disrupsi dan maserasi epitel (sloughing mucosa). Epitel-epitel ini bercampur dengan sekret membentuk gumpalan sekret (kental, liat) oleh karena banyak mengandung fibrin-fibrin dan epitel maseratif, menyebabkan obstruksi lumen (mucus plug); menimbulkan distres pernafasan yang seringkali berakhir dengan kematian.5 Biasanya kejadian ini disebabkan oleh karena paparan terhadap dengan toxic fumes yang dijelaskan sebelumnya.

Gambar 14. Perubahan inflamatorik pada mukosa menyebabkan penyempitan (obstruksi) lumen pada cedera inhalasi. Obstruksi lumen tidak selalu diikuti atau menyebabkan bronkospasme (spasme otot polos bronkus sebagaimana dijumpai pada asma bronkial) kecuali pada luka bakar listrik dan kimia.

Gambar 15. Kolaps pulmonar dengan cast pada pemeriksaan post-mortem (kiri). Tengah: cast terdiri dari sekret kental bercampur dengan sloughing mucosa dan fibrin membentuk mucus plug penyebab obstruksi jalan nafas (kanan). Dikutip dari Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders; 2001.

Perubahan inflamatorik (lanjut) mukosa bagian bawah akibat kontak dengan sumber (termis maupun kimiawi) biasanya terjadi lebih lambat (dalam 4-5 sampai dengan 5-7 hari pasca cedera). Proses inflamatorik mukosa saluran nafas ini juga dikaitkan dengan peran sitokin dan radikal bebas. Pelepasan mediator-mediator inflamasi ini dipicu oleh sel-sel epitel mukosa yang mengalami proses inflamasi akut dan epitel yang mengalami nekrosis (baik pada saluran nafas, mukosa saluran cerna dan luka maupun jaringan lain yang mengalami hipoksia karena gangguan sirkulasi-perfusi).

Sebukan sel-sel radang akut khususnya neutrofil dan leukosit polimorph-nuclear (PMN) dimobilisir ke lokasi ini sebagai respons tubuh (proses penyembuhan yang bersifat positif). Namun, dengan terjadinya patologi mukosa yang demikian hebat, respons inflamasi berubah sifat, eksageratif dan sel-sel neutrofil serta leukosit PMN yang beredar di sirkulasi sistemik menimbulkan perubahan inflamatorik pada susunan pembuluh darah kapiler peri-alveolar dan parenkim paru maupun jaringan/organ tubuh lainnya (efek negatif dan destruktif dari respons 5 Bila hal ini diwaspadai, pasien dapat diselamatkan dari suatu kondisi distress pernafasan hanya dengan

melakukan pembersihan (penghisapan) berkala dan atau lavase bronko-alveolar.

obstruksi lumen

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

29

inflamasi). Akibat adanya edema interstisium di sekitar alveoli dan adanya penumpukan fibrin, pada mukosa alveoli terbentuk suatu membran tebal menyerupai hialin yang mengakibatkan gangguan difusi oksigen (oxygen exchange) dan gangguan perfusi oksigen (VQ mismatch). Kondisi ini dikenal dengan sebutan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS); umumnya timbul pada empat-lima hari pasca cedera termis, memiliki prognosis sangat buruk (lihat bab 3.4 mengenai ARDS, halaman 87). Kondisi ini dimasukkan ke dalam kelompok permasalahan sistim pernafasan lanjut dari gangguan saluran nafas dan gangguan mekanisme bernafas pada fase akut.

Gambar 16. Patologi bronkus post-mortem pada cedera inhalasi. Perhatikan adanya sloughing mucosa dengan proses hemoragik. Dikutip dari Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders; 2001.

Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (>10 liter per menit) merupakan suatu bentuk pemicu

timbulnya stres oksidatif yang menyebabkan cedera parenkim paru sehingga berlangsung proses fibroproliferatif (hepatisasi parenkim paru) yang memperburuk prognosis. Aktivitas mediator Beberapa mediator pro inflamasi terlibat pada proses ini, antara lain eikosanoid yang diaktivasi oleh oksidan dan leukotrien. Neutrofil protease diproduksi oleh sel-sel yang rusak menyebabkan terjadinya sloughing mucosa. Neuropeptida (diproduksi di submukosa) sebagaimana neutrofil berperan pada proses ini; neuropeptida diketahui berperan sebagai suatu bronkokonstriktor poten mengikuti suatu cedera, menyebabkan peningkatan aliran darah dan perubahan permeabilitas kapiler. Endopeptidase yang diproduksi mukosa berperan dalam menetralisir agen-agen ini; jumlahnya menurun bahkan hilang akibat kerusakan mukosa sebagaimana dijumpai pada cedera inhalasi, dengan konsekuensi meningkatnya aktivitas respons neuropeptida yaitu peningkatan Bronchoconstriction Substance P dan Neurokanin Activity (NKA) lainnya. Mekanisme ini bersifat persistem dan kadang permanen meningkatkan iritabilitas saluran nafas dan proses bronkospasme (SP) dan gangguan permeabilitas kapiler (NKA). Mediator sekunder yang terlibat: Oksidan yang berasal dari asap, sel-sel yang mengalami inflamasi atau akibat reaksi zat

toksik dengan sel. Protease yang dilepas dari proses inflamasi di saat aktivitas antiprotease menurun Sitokin (TNF, IL1) yang dilepas dari sel-sel cedera Meningkatnya neuropeptida yang menghasilkan bronkokonstriksi, bronkorea dan

perubahan permeabilitas kapiler di sepanjang saluran nafas.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

30

Penurunan endopeptidase alami (Neutral Endo Peptidase, NEP) sebagai akibat kerusakan mukosa.

SP Bronchoconstriction Substance P, NKA Neurokanin Activity.

Gambar 17. Pada keadaan normal, Neutral endopeptidase (NEP), diproduksi oleh epitel utuh, dengan cepat mencegah potensi bronkokonstriktor (SP) dan vasokonstriktor (NKA) yang dihasilkan di submukosa.

Gambar 18. Pada cedera inhalasi epitel yang rusak mengelupas (sloughs) menyebabkan kehilangan NEP. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kadar Bronchoconstriction Substance P dan Neurokanin. Dikutip dan disadur dari Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005

Peran cedera pada membran kapiler di alveoli belum jelas, Pada saat ini dijumpai peningkatan tendensi terjadinya edema paru (lung water). Namun, proses retrograde filling alveoli pada edema saluran nafas tidak sama dengan kebocoran kapiler alveolar. Konsep ini dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa edema alveolar di tubuh manusia tidak umum terjadi pada fase awal sampai dengan 36 jam pertama pasca cedera; pada fase resusitasi khususnya pada luka bakar dengan infus cairan masif. Hal ini lebih dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk second insult yang terjadi dalam 2 sampai 3 hari pasca cedera dan menyebabkan inflamasi paru yang diikuti kebocoran kapiler. Clearance dari kelebihan cairan parenkim menurun karena terjadi cedera (kerusakan) sistim limfatik di jaringan interstisium. Karenanya, paru menjadi lebih rentan terhadap akumulasi cairan. Sedangkan atelektasis yang timbul pada cedera berat dapat dijelaskan terjadi karena adanya kerusakan surfaktan.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

31

Efek sistemik Pada luka bakar khususnya pada luka bakar yang disebabkan kimia dengan cedera

inhalasi, potensi timbulnya disfungsi paru sangat besar. Angka mortalitas dengan cedera inhalasi sendiri berkisar antara 5 sampai 8%; sementara angka mortalitas pada luka bakar dengan cedera kimia meningkat 5 kali lipat.

Dengan adanya cedera inhalasi, kebutuhan cairan dan oksigen meningkat. Kebutuhan ini diperlukan untuk memperbaiki perfusi ke jaringan (luka); justru pada saat yang bersamaan dijumpai gangguan permeabilitas kapiler serta cedera vaskuler akibat dilepaskannya oksidan (dalam hal ini diyakini peroksidasi lipid bertanggung jawab atas kerusakan organ). Gangguan mekanisme bernafas

Gambar 19. Gerakan ekspansi rongga toraks pada proses respirasi normal (A) dan limitasi gerakan ekspansi akibat adanya eskar tebal melingkar (ditandai dengan warna hitam tebal, B) digambarkan dengan analogi rongga dada terjerat tambang (C)

Adanya eskar melingkar di permukaan rongga toraks (khususnya dinding dada)

menyebabkan gangguan ekspansi rongga toraks pada proses respirasi (terutama inspirasi); hal ini menyebabkan penurunan compliance paru. Dengan keterbatasan proses ekspansi dinding dada ini, volume inspirasi berkurang sehingga menyebabkan gangguan proses oxygen exchange (penurunan PaO2) secara tidak langsung. Proses yang sama terjadi bila terdapat

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

32

cedera pada rangka tulang rongga toraks, misalnya fraktur tulang–tulang iga yang disebabkan oleh cedera multipel (khususnya flail chest); hal ini sering terjadi pada kasus luka bakar sebagai suatu koinsidensi. Keduanya menyebabkan distres pernafasan yang diikuti oleh peningkatan angka mortalitas pada fase akut. Gangguan sirkulasi

Dalam pembahasan gangguan sirkulasi, ada beberapa dasar yang mutlak dipahami, yaitu: a)

Fisiologi sirkulasi, b) Pembentukan edema dan c) Gangguan sirkulasi yang timbul.

a) Fisiologi sirkulasi Pada keadaan normal, keseimbangan cairan dan sirkulasi dipengaruhi oleh tekanan

hidrostatik dan osmotik cairan intravaskuler dan jaringan interstisium; peran tekanan onkotik ini mengikuti Hukum Starling.

Gambar 20. Pada keadaan normal, tekanan onkotik dipertahankan oleh tekanan hidrostatik (HP) dan tekanan osmotik (OP) cairan intravaskuler dan cairan interstisium. Tekanan hidrostatik di arteriol jauh lebih tinggi dibandingkan venula, sehingga terjadi aliran (flow). Perbedaan tekanan hidrostatik di intravaskuler dengan interstisium sangat berbeda sehingga cairan memiliki tendensi untuk keluar ruang intravaskuler; peristiwa ini diimbangi oleh tekanan osmotik yang memiliki tendensi menarik cairan dari interstisium ke ruang intravaskuler. Hal ini dimungkinkan karena terselenggaranya integritas endotel (Hukum Starling). Permeabilitas kapiler terhadap air dan larutan (kecuali protein), tekanan hidrostatik memungkinkan proses ultrafiltrasi cairan pada ujung arteri dan pengalihan cairan ke ujung venosa. Efek ini sensitif terhadap adanya perubahan tekanan di jaringan, tekanan arterial, tekanan venosa, konsentrasi protein serum dan jaringan interstisium serta integritas kapiler. Di sini, perubahan konsentrasi NaCl hanya sedikit memberikan efek. Pada percobaan in vivo, proses ini berlangsung melintasi bed kapiler secara dua arah; pada diagram di atas terlihat aliran air sebagai resultan dari perbedaan kedua tekanan. Dikutip dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001.

Pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke jaringan interstisium (ekstrapasasi)

merupakan hal yang normal; hal ini dikaitkan dengan permeabilitas kapiler. Cairan yang keluar akan dialirkan melalui pembuluh limfe dimana ekstrapasasi cairan dan daya serap pembuluh limfe berada dalam keadaan seimbang. Edema timbul bila keseimbangan ini terganggu, misalnya pada perubahan permeabilitas kapiler oleh sebab apapun.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

33

Karena pemahaman mengenai Hukum Starling yang menjelaskan tekanan onkotik ini demikian pentingnya dikaitkan dengan edema yang timbul pada luka bakar, maka sedikit diuraikan aplikasi Hukum Starling. Beberapa hubungan penting antara komponen ekstraseluler.

Cairan akan kembali melalui mesotel yang melapisi rongga peritoneum, pleura, rongga perikardial dan melalui membran sinovia yang membatasi kapsul sendi. Karena keseimbangan harus dipertahankan, maka flow rate menjadi suatu hal yang sangat berarti; sebagai contoh misalnya, dalam satu hari sekitar 7 (tujuh) liter cairan peritoneal diproduksi dan diresorpsi; sedangkan volume aktual cairan peritoneal ini setiap saatnya hanya mencapai kurang dari 35 mL. Cairan juga dapat mengalami perpindahan antara darah dengan cairan serebrospinal, humor vitreus dan perilimfe dan endolimfe; dalam jumlah yang sangat kecil. Sebagian cairan ekstraseluler, seperti cairan yang dikandung di dalam tulang, beberapa jaringan ikat padat dan beberapa kompartemen minor ekstraseluler relatif terisolasi. Perpindahan di antara kompartemen-kompartemen ini relatif sangat lambat dibandingkan perpindahan plasma dan cairan interstisium lainnya.

Gambar 21. Hukum Starling diterapkan pada kapiler di jaringan otak yang memiliki hubungan antar sel sangat rapat (blood brain barrier). Membran kapiler merupakan membran permeabel terhadap air, tetapi tidak terhadap kebanyakan larutan. Tekanan osmotik efektif akibatnya menjadi sangat tinggi (mendekati 280 mOsm/kg H2O X 19.3 mmHg). Tekanan hidrostatik dengan mudah diimbangi dengan tekanan osmotik. Perubahan pada tekanan darah, tekanan di jaringan atau konsentrasi protein hanya memberi efek sedikit saja, tetapi perubahan pada konsentrasi NaCl atau larutan non-difus lainnya akan mengakibatkan perubahan bermakna. Dikutip dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

34

Gambar 22. Hukum Starling diterapkan pada kapiler paru. Tekanan hidrostatik yang rendah diimbangi dengan konsentrasi protein pada cairan intersisial. Ada sedikit penurunan tekanan di sepanjang kapiler dan karena tekanan yang rendah ini, maka aliran di kapiler pulmonar menjadi lambat. Aliran limfatik membawa sejumlah air dan protein yang telah difiltrasi. Proses ini serupa dengan yang terlihat pada gambar 20 dan 21. Dikutip dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001.

Dengan pengertian ini, kiranya pemahaman mengenai peran tekanan onkotik dalam menjelaskan patofisiologi edema pada luka bakar dan penatalaksanaannya akan lebih mudah.

b) Pembentukan edema Pembahasan mengenai pembentukan edema ini masih merupakan topik yang

diperdebatkan sampai pertengahan tahun 2005 ini. Beberapa hal mendasar dalam patogenesis edema merupakan bahan yang tetap menarik untuk dibahas dan diperdebatkan; ini menjelaskan bahwa patogenesis edema sangat penting dan menjadi dasar penatalaksanaan selanjutnya.

Cedera termis menyebabkan proses inflamasi akut yang menimbulkan perubahan (peningkatan) permeabilitas kapiler. Terjadi perubahan bentuk sel-sel endotel (epitel tunika intima), dimana sel-sel tersebut membulat (edematus) diikuti dengan membesarnya jarak interseluler. Karena terjadi perubahan keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik di ruang intravaskuler, berlangsung ekstrapasasi cairan intravaskuler, plasma (protein), elektrolit dan leukosit ke ruang interstisium (edema). Di jaringan interstisium terjadi penimbunan cairan, menyebabkan keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik disana terganggu. Penimbunan cairan di jaringan interstisium (edema) ini menyebabkan hipovolemia, gangguan aliran (flow) dan perfusi (serta oksigenasi) dan metabolisme seluler (syok jaringan/seluler).

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

35

Gambar 23. Patofisiologi edema akibat perubahan permeabilitas kapiler yang dimulai dengan adanya pelepasan mediator pro-inflamasi menyusul suatu cedera termis.

Perubahan patologik yang menjelaskan terbentuknya edema pada luka bakar

Peningkatan permeabilitas kapiler karena kerusakan endotel, diikuti oleh: - Penurunan tekanan onkotik protein plasma - Keluarnya cairan (dan protein) dari ruang intravaskuler ke jaringan interstisium

yang bermakna dan terjadi segera menyebabkan peningkatan tekanan onkotik jaringan interstisium

Rasio pembentukan edema yang sangat cepat dalam 1 jam pertama, menyebabkan penurunan tekanan interstisium yang diakibatkan pelepasan partikel yang merupakan suatu zat osmotik aktif dan menyebabkan ‘penghisapan’ karena efek vakum

Gangguan integritas jaringan interstisium dengan kerusakan struktur kolagen dan asam hialuronat yang menyebabkan peningkatan compliance jaringan interstisium terhadap pembentukan edema

Gangguan keseimbangan ‘produksi cairan (ekstrapasasi)” dengan kapasitas daya serap pembuluh limfe

Gambar 24. Pemeriksaan mikroskopik elektron menunjukan gap pada endotel normal (A) dan gap yang membesar pada gangguan permeabilitas kapiler (B) menyebabkan kebocoran kapiler. Dikutip dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

36

Gambar 25. Perubahan permeabilitas kapiler menyebabkan pergeseran cairan (ekstrapasasi) berlebihan. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Gambar 26. Struktur kolagen mengalami kerusakan sehingga efek hidraulik berubah, menyebabkan resistensi jaringan interstisium menurun. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

37

Gambar 27. Perubahan permeabilitas pada cedera termis. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Gambar 28. Pada keadaan normal, ekstrapasasi cairan dari ruang intravaskuler berlangsung diikuti ‘penyerapan’ oleh pembuluh limfe. Pada kondisi tekanan meningkat ekstrapasasi ini semakin meningkat pula, dan pada gangguan permeabilitas kapiler ekstrapasasi tidak menyebabkan akumulasi cairan (edema) karena kapasitas daya serap pembuluh limfe tidak sanggup mengimbangi. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Hal ini dapat dijelaskan karena adanya perubahan ekuasi dari Hukum Starling (Starling’s

forces). Dengan penurunan tekanan onkotik (dipertahankan oleh tekanan hidrostatik dan osmotik cairan) di ruang intravaskuler, cairan berpindah ke ruang interstisium. Cairan di kompartemen interstisium yang pada keadaan normal dialirkan melalui pembuluh limfe melebihi kapasitas daya tampung sehingga terjadi akumulasi (edema). Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, penimbunan cairan masih di jaringan interstisium menyebabkan kondisi hipovolemia karena banyaknya cairan intravaskuler yang berpindah ke jaringan interstisium. Volume cairan intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

38

transportasi oksigen (perfusi) ke jaringan. Kondisi ini dikenal dengan terminologi syok dan menjelaskan definisi yang dianut saat ini.

Gambar 29. Pada kerusakan endotel dimana terjadi perubahan morfologi endotel (membulat) disertai pembesaan jarak interseluler, maka tekanan hidrostatik jauh berbeda dengan tekanan osmotik (Net HP >>> Net OP, digambarkan dengan tanda panah lebih kecil) dengan sendirinya pengeluaran cairan dari ruang intravaskuler ke jaringan interstisium. Cairan yang berada di jaringan interstisium melebihi kapasitas pembuluh limfe sehingga menimbulkan akumulasi cairan (edema interstisium).

Gambar 30. Terbentuknya edema pada luka bakar dalam. Edema mencapai nilai maksimum dalam 18jam pasca cedera termis, resopsi dimulai dalam 24jam, sementara kl 25% akan tetap ada sampai satu minggu; berbeda dengan luka bakar dangkal. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Lebih lanjut, Kramer, Lund dan Herndorn menjelaskan edema ini timbul sebagai akibat dari:

Peningkatan koefisien filtrasi kapiler K1 Peningkatan tekanan intrakapiler Pc Penurunan tekanan hidrostatik jaringan interstisium Pif Penurunan refleksi osmotik σ Penurunan tekanan osmotik kolod plasma πp Penurunan tekanan osmotik koloid jaringan interstisium πif

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

39

Gambar 31. Pembentukan edema pada partial-thickness burn. Edema diukur menggunakan photon scanning. Edema maksimal terjadi di antara 12 sampai 18 jam pasca cedera, 94% timbul dalam 6 jam pertama. Resopsi dimulai dalam 24 jam dan menurun setelah 4 hari berlangsung hingga hari 8-10. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Gambar 32. Proses edema pada resusitasi cairan. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

40

Gambar 33. Compliance jaringan terhadap protein dan volume cairan interstisium. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Pengukuran edema

Ada beberapa cara mengukur progresivitas edema, dikaitkan dengan kebutuhan cairan resusitasi, regimen resusitasi itu sendiri, dan prognosis. 1) Pengukuran klinis. Melakukan pengukuran dengan parameter kebutuhan cairan dan perubahan berat badan. 2) Pemeriksaan histopatologi melalui biopsi jaringan. 3) Pengukuran cairan jaringan melalui pengukuran wet to dry. 4) Radioisotope distribution. 5) Photon Scanning dan 6) Plethysmography Pengukuran klinis

Pengukuran kebutuhan cairan dan penambahan ukuran (lingkar lengan, lingkar perut dan perubahan berat badan) diamati secara ketat. Setiap penambahan dari ukuran sebelum cedera merupakan gambaran kasar dari penambahan cairan yang disebabkan oleh edema; hal ini dianggap tidak tepat dengan tingkat kepercayaan yang diragukan.

Pemeriksaan histopatologi

Biopsi jaringan dilakukan secara serial memperhatikan perubahan karakteristik jaringan. Pemeriksaan ini sangat penting, namun untuk kepentingan klinik tidak dapat diandalkan.

Teknik isotop. Kuantifikasi perubahan permeabilitas diketahui melalui pemeriksaan makromolekul radioaktif seperti I131 Albumin. Kebocoran zat radioaktif ini ke jaringan interstisium menunjukan derajat kebocoran kapiler.

Photon scanning

Demling dkk melakukan teknik noninvasif menggunakan dichromatic absorptiometry khususnya untuk menghitung edema di ekstremitas. Teknik ini menentukan massa komponen jaringan dengan pengukuran transmisi photon dan merupakan suatu metode yang dapat diterima dalam menentukan kadar mineral tulang untuk evaluasi status skeletal. Teknik ini

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

41

memberikan gambaran transmisi liniar di sepanjang tungkai dengan I125 dan Am241 dual-photon source dan scintillation detector. Penyebaran atenuasi radiasi tergantung energi yang terdapat pada photon dan karakteristik jaringan. Perbedaan karakteristik jaringan (misalnya mineral tulang, lipid protein dan cairan) memungkinkan penentuan fraksi dan massa komponen-komponen ini di ekstremitas. Cairan dan protein secara esensial dapat dibedakan sebagai komponen bebas lipid. Karena merupakan metode non-invasiv, maka pemeriksaan ini dapat dikerjakan berulang dalam melakukan studi klinik tentang keseimbangan cairan dan evakluasi edema. Namun, karena nilai yang diperoleh menggunakan metode ini merupakan nilai relatif, maka untuk itu diperlukan data dasar sebagai pembanding.

Gambar 34. Penggunaan photon-scanning untuk mengukur penyebab dan derajat edema. Teknik ini biasa digunakan untuk mengukur kecepatan dan peningkatan jumlah cairan di jaringan pada cedera termis di tungkai. Pengukuran absorpsi dikromatik (Dichromatic absorptionmetry, DA) berhubungan denganperubahan lingkar tungkai yang disebabkan akumulasi cairan (edema). Bagaimanapun, pemeriksaan ini lebih sentitif dibandingkan pengukuran perubahan lingkar tungkai itu sendiri. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

Plethysmography

Plethysmography adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengukur perubahan volume tubuh atau bagian dari tubuh (misalnya tungkai). Beberapa peneliti menggunakan volume plethysmography untuk mengukur edema akibat luka bakar di ekstremitas. Meskipun pemeriksaan ini sensitif untuk mengukur volume tidal, namun perubahan volume darah tidak dapat dibedakan dengan suatu edema.

Pengukuran filtrasi limfatik.

Lymph flow rate dan lymph protein content digunakan untuk melakukan evaluasi rate filtrasi cairan mikrovaskuler dan karakteristik permeabilitas protein. Lymph flow rate mencerminkan derajat flux atau transpor cairan melintasi membran kapiler pada setiap kesempatan, karena muara saluran limfe terletak sangat dekat dengan jaringan interstisium kapiler.

Banyak peneliti menggunakan metode ini, yang bertujuan mempelajari edema pada luka bakar (gambar 34). Konsentrasi molekul besar seperti protein dan berbagai konsentrasi dekstran di cairan limfe juga digunakan untuk menentukan karakteristik permeabilitas mikrosirkulasi, yang datang dari jaringan untuk dialirkan ke pembuluh limfe. Karena cairan limfe berasal dari jaringan interstisium, berbagai zat vasoaktif yang dilepas akibat luka bakar

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

42

dapat dideteksi dalam konsentrasi tinggi di cairan limfe; oleh karena itu kemungkinan etiologik dalam kaitan dengan timbulnya edema dapat dipelajari.

Aliran limfatik memiliki validitas untuk menjadi parameter penilaian edema baik pada partial-thickness maupun pada jaringan non-cedera yaitu daerah dimana pembuluh limfe tidak mengalami kerusakan. Oklusi kapiler dan atau mikrovaskuler pada luka bakar derajat yang lebih dalam mengalami penurunan perfusi. Oleh karenanya, cairan yang masuk ke jaringan interstisium (sangat) minim. Selain itu, terjadi pula kerusakan jaringan limfatik yang akan menyebabkan penurunan efektivitas jaringan limfatik itu sendiri.

Pengukuran lymph flow rate pada luka bakar dalam hal ini tentunya akan menyebabkan kesalahan dalam memperhitungkan (estimasi) derajat luka bakar dan pembentukan edema sesungguhnya (aktual), meskipun tetap akan terjadi peningkatan aliran limfatik di atas kapasitas normal. Bagaimanapun, kandungan makromolekul mencerminkan karakteristik permeabilitas dari mikrovaskuler yang tetap utuh.

Gambar 35. Pengukuran limfe untuk monitor edema. Cairan limfe memiliki komposisi cairan interstisium yang berkumpul dari jaringan. Kecepatan (rate) aliran limfatik dari jaringan lunak –dalam hal ini pada kasus luka bakar– memiliki hubungan langsung dengan jumlah cairan melintasi membran kapiler menuju ruang interstisium selama proses terbentuknya edema. Kecepatan filtrasi limfatik (dari jaringan lunak) pada kasus luka bakar memiliki korelasi langsung dengan jumlah cairan yang melintasi membran kapiler ke jaringan interstisium selama proses edema. Cairan ini kaya akan protein; dibuktikan dengan tinginya (relatif) kandungan albumin dan globulin dibandingkan kadar protein plasma. Peningkatan kontinu pada aliran limfatik melebihi 36 jam menunjukan peningkatan permeabilitas kapiler terutama terhadap protein yang berlangsung selama beberapa hari. Dikutip dan disadur dari Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-227

c) Gangguan sirkulasi

Karena demikian banyaknya cairan intravaskuler keluar (ke jaringan interstisium menimbulkan edema) maka terjadi suatu kondisi hipovolemia. Gangguan sirkulasi yang terjadi selanjutnya merupakan gangguan hemostasis yang terdiri dari rangkaian kejadian kompleks bukan saja diakibatkan kondisi hipovolemia saja, tetapi juga akibat hipoperfusi yang menyebabkan gangguan perfusi dan oksigenasi seluler (syok).

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

43

Untuk memperoleh gambaran lebih mendetil mengenai gangguan sirkulasi (syok) dikaitkan dengan patologi hipovilemia dan hipoperfusi, sepintas diuraikan kembali secara ringkas sebagai suatu review mengenai kompartemen-kompartemen di dalam tubuh dengan penekanan pada kompartemen intravaskuler; yang berkaitan dengan patofisiologi syok hipovolemia dan resusitasi cairan.

Kompartemen Volume 1

Kompartemen intraseluler 60%

2 Kompartemen ekstraseluler 40%

Kompartemen ekstraseluler terdiri dari: Cairan interstisium Sirkulasi (intravaskuler) Plasma Limfe Trans-selule

30% 10% 7.5% 2.2% 0.3%

Jumlah cairan tubuh total (Total Body Water) adalah 60% dari berat badan. Sehingga pada seorang dewasa dengan berat badan 60kg, jumlah cairan tubuh adalah 0.6 X 60kg atau sama dengan 36 liter. Jumlah ini terdiri dari: Cairan intraselluler (Intracellular fluid, ICF) yang jumlahnya 0.4 X berat badan atau 24

liter Cairan ekstraseluler (extracellular fluid, ECF) yang jumlahnya 0.2 X berat badan atau 12

liter Cairan ekstraseluler ini terdiri dari:

Cairan interstisium yang jumlahnya ¾ jumlah ECF atau 9 liter Plasma yang jumlahnya ¼ jumlah ECF atau 3 liter

Catatan:

Mempertahankan cairan ekstraseluler merupakan hal yang kritis dalam mempertahankan tekanan darah.

Osmolaritas cairan ekstraseluler sangat penting dalam mempertahankan regulasi cairan ekstraselluler jangka panjang. (osmolaritas cairan esktraseluler dipertahankan oleh kesembangan NaCl, dimana intake normal 10.5 g/dL dan output normal 10 g/dL dalam urin)

cairan ekstraseluler dan intraseluler berada dalam keseimbangan (ekilibrium): air (bukan suatu solut) berpindah bila terjadi perubahan osmotik hanya otak yang mampu membangkitkan partikel aktif yang memiliki osmolaritas

(glutamin, taurin, inositol) Osmolaritas cairan ekstraseluler menentukan volume intraseluler.

Jumlah cairan tubuh ini bervariasi tergantung massa lemak tubuh:

Pada neonatus : 70% Laki-laki dewasa : 60% Wanita dewasa : 50% Manula : 80%

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

44

Pada luka bakar, terjadi perpindahan cairan intravaskuler ke ruang interstisium, di satu sisi (ruang intravaskuler) terjadi kondisi hipovolemia, di sisi lain (ruang interstisium) terjadi akumulasi cairan (edema) sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Gambar 36. Diagram patologi keseimbangan cairan intra-ekstravaskuler. A Kondisi normal, kotak di sisi dalam menggambarkan ruang intravaskuler, kotak di sisi luar menggambarkan ruang ekstravaskuler. B. Proses hemoragik menyebabkan syok hipovolemia (cairan intravaskuler keluar melalui luka ke luar tubuh). C. Gangguan premeabilitas kapiler (garis putus-putus pada kotak di sisi dalam menyebabkan cairan intravaskuler keluar ke ruang ekstravaskuler; ditambah proses penguapan melalui permukaan tubuh yang mengalami kehilangan epitel (garis putus-putus di kotak sisi luar).

Respons tubuh

Dengan adanya gangguan homeostasis yang bersifat sistemik ini, tubuh memberikan respons untuk mempertahankan keseimbangan melalui mekanisme kompensasi yang sangat kompleks. Sirkulasi sentral diutamakan karena organ-organ sentral khususnya otak sangat sensitif dan memiliki toleransi yang sangat rendah terhadap kondisi hipoksia.

Aktivitas jantung dan sistim pernafasan meningkat untuk memenuhi kebutuhan perfusi organ-organ vital di tingkat sentral (otak, jantung dan paru).

dengan aanya hipovolemia, perfusi ke sirkulasi perifer menurun (hipoperfusi) karena sebagian besar cairan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi sentral.

Manifestasi klinik yang dijumpai pada saat ini terdiri dari gejala akibat kegagalan sirkulasi, hipoperfusi perifer dan gejala kompensasi. 1. Gejala dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi digambarkan oleh adanya gangguan sirkulasi

otak berupa disorientasi, gelisah, penurunan kesadaran dan penurunan suhu core 2. Gejala dan tanda-tanda akibat penurunan sirkkulasi perifer dapat diamati dengan adanya

penurunan suhu permukaan, penurunan produksi urin, gangguan sistim pencernaan dan gangguan fungsi hati

3. Gejala dan tanda-tanda kompensasi yang dapat diamati adalah peningkatan aktivitas pernafasan (pernafasan cepat dan dangkal) dan peningkatan aktivitas jantung (takikardi). Untuk mempermudah pengertian dari suatu mekanisme kerja yang sangat kompleks ini,

penulis mencoba memberi gambaran yang mudah dengan suatu diagram yang terdiri dari sebuah bejana berhubungan; di satu sisi menggambarkan sirkulasi sentral sementara di sisi lain menggambarkan sirkulasi perifer. Diagram tersebut dapat dilihat pada halaman berikut ini.

A B C

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

45

Gambar 37. Sirkulasi sentral dan perifer digambarkan sebagai sebuah bejana berhubungan. Di saat terjadi kondisi hipovolemia, sirkulasi perifer berperan sebagai kontributor untuk mempertahankan sirkulasi sentral dimana terdapat organ-organ penting seperti otak, paru dan jantung yang memiliki waktu iskemik singkat dan sangat sensitif terhadap hipoksia. Sirkulasi splangnikus (yang menyerap >25% sirkulasi sistemik) berperan lebih besar dibandingkan sirkulasi renal (yang ‘hanya’ menyerap 20% sirkulasi sistemik). Perannya sangat bermakna, diikuti dengan hipoperfusi splangnikus dengan segala konsekuensinya, dahulu diduga sebagai suatu kondisi vasokonstriksi. Selain sirkulasi splangnikus dan renal, sirkulasi ke sistim muskularis dan integumen berperan pada mekanisme kompensasi dengan konsekuensi akibat hipoperfusi.

Sel-sel otak (glia) tergolong pada jenis sel yang secara mutlak memerlukan oksigen

(obligat); bila dalam waktu 4 (empat) menit saja sel-sel ini dihadapkan pada kondisi hipoksia atau hipoksemia akan terjadi perubahan degeneratif sel berbagai derajat (edema sel-sel glia sampai dengan atrofi seluler). Berdasarkan fakta ini maka sirkulasi otak memperoleh prioritas untuk dipertahankan pada kondisi hipovolemik.

Jantung sebagai alat pemompa melakukan kompensasi dengan meningkatkan aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen. Mekanisme kompensasi pertama adalah meningkatkan frekuensi (heart rate) akibat penurunan pre-load dan after-load. Mekanisme kompensasi ini akan terus berlangsung sampai kebutuhan sirkulasi (perfusi) terpenuhi.

Paru yang merupakan organ sistim pernafasan yang menyelenggarakan pertukaran karbondioksida dengan oksigen mengadakan kompensasi dengan peningkatan frekuensi pernafasan. Dengan mekanisme kompensasi ini, timbul hiperventilasi yang memiliki dampak terhadap metabolisme seluler.

Hipoperfusi sirkulasi perifer6 merupakan suatu kondisi yang menjadi fokus pengamatan

dalam beberapa tahun terakhir, dikaitkan dengan patofisiologi perkembangan SIRS, MODS dan sepsis (lihat bab 3.3. mengenai SIRS dan MODS). Hipoperfusi splangnikus menyebabkan gangguan perfusi ke saluran cerna dan hepar.

6 Sebelumnya istilah yang dianut untuk kondisi ini adalah vasokonstriksi perifer. Namun, saat ini kondisi tersebut diyakini bukan merupakan suatu vasokonstriksi melainkan hipoperfusi (penurunan aliran) yang ditandai oleh pembuluh yang kolaps.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

46

Gambar 38. Skema sirkulasi splangnikus. Dikutip dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001.

Dalam keadaan normal, lebih dari 25% cardiac output didistribusi ke sirkulasi splangnikus;

peningkatan aktivitas sistim pencernaan diikuti oleh peningkatan sirkulasi ke daerah bersangkutan, terbukti setelah makan, seseorang akan mengalami rasa kantuk (otak mengalami kekurangan oksigen, kadar karbondioksida meningkat) karena sirkulasi splangnikus meningkat sampai dengan 30-40%.

Gambar 39. Anatomi saluran cerna. Dikutip dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001.

Dengan adanya gangguan pada sirkulasi ini, terjadi perubahan degeneratif terutama pada

sel-sel hepar dan saluran cerna bagian atas (gaster, duodenum) yang bersifat akut, beserta konsekuensinya. Hepar mengalami gangguan sehingga proses metabolisme, proses sintesis dan proses detoksikasi hepar dengan sendirinya terganggu. Adanya gangguan di hepar dapat dilihat pada perubahan nilai-nilai laboratorik fungsi hepar, antara lain peningkatan kadar

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

47

transaminase serum (SGOT dan SGPT), peningkatan kadar enzim fosfatase alkali, gamma globulin transferase ( GT) dan perubahan kadar bilirubin. Peningkatan kadar glukosa darah, selain mencerminkan gangguan fungsi hepar juga menggambarkan stres metabolisme di fase awal; sebelum kadar kortisol dan katekolamin menunjukan peningkatan. Pada fase akut ini terjadi kondisi hipometabolisme (lihat bab 3.2 mengenai perubahan metabolisme dan nutrisi pada luka bakar).

Penurunan di sirkulasi splangnikus terutama memengaruhi gaster, duodenum, usus halus dan usus besar. Gangguan perfusi menyebabkan iskemia mukosa saluran cerna yang mengakibatkan gangguan integritas (disrupsi) mukosa. Gangguan integritas mukosa terdiri dari berbagai tingkat; mulanya berupa suatu erosi mukosa yang pada keadaan lebih lanjut terjadi atrofi.

Gambar 40. Trauma menyebabkan hipoperfusi splangnikus yang berakhir dengan MODS. Dikutip dan disadur dari Baue AE, Faist E, Fry ED. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy. New York Springer, 2000.

Gambar 41. Hipoperfusi splangnikus menyebabkan perdarahan saluran cerna. Syok dan sindroma kompartemen intra abdominal menyebabkan terjadinya hipoperfusi splangnikus yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu lingkaran setan.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

48

Demikian pentingnya perfusi ke splangnikus,berbagai cara diupayakan untuk melakukan pemantauan sirkulasi ke daerah splangnikus, salah satu diantaranya menggunakan kalkulator perfusi dengan memperhitungkan aliran darah di saluran cerna dan hepatik dengan konduktan vaskuler dan tekanan darah di arteri saluran cerna, portal dan atrium kanan.

Gambar 42. Pemantau perfusi ke sirkulasi splangnikus.

Erosi biasanya terletak di permukaan (superfisial), namun proses ini juga bisa mengenai lamina muskularis mukosa bahkan sampai ke tunika adventisia usus. Manifestasi klinik yang dijumpai akibat gangguan integritas mukosa7 ini adalah gejala intoleransi terhadap beberapa nutrien, malabsorpsi, diare (enterokolitis) dan perdarahan saluran cerna (sebelumnya dikenal dengan sebutan ulkus stres, Curling’s ulcer, lihat bab III.5 mengenai ulkus stres), gangguan motilitas saluran cerna (ileus), dan translokasi bakteri yang menjadi penyebab sepsis (lihat bab III. 3 mengenai SIRS dan MODS). Iskemia mukosa saluran cerna juga menyebabkan penurunan imunitas dikaitkan dengan penurunan fungsi Gastrointestinal Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang turut berperan pada timbulnya sepsis; peran glutamine dan arginine sangat nyata dan berkaitan dengan produksi Nitric Oxide sebagai modulator sepsis disamping menurunnya daya tahan tubh terhadap infeksi.

Iskemia pada saluran cerna (selain zona nekrosis pada luka bakar), merupakan stimulan dilepaskannya sitokin dan radikal bebas serta faktor depresan miokardium (Myocardial Depressant Factor, MDF) yang memperburuk kerja jantung.

7 Gangguan integritas mukosa saluran cerna menyebabkan berkembangnya suatu rangkaian kegagalan organ sistemik (MODS), sehingga gangguan saluran cerna disebut-sebut: Gut is motor of MODS.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

49

Gambar 43. Kerusakan endotel dan mukosa saluran cerna menyebabkan dilepaskannya mediator pro inflamasi. Neutrophil recruitment yang demikian meningkat menyebabkan pelepasan MDF yang menimbulkan Iskemia dan infark miokardium; bahkan pada penderita dewasa muda.

Penurunan sirkulasi renal menyebabkan iskemia ginjal. Manifestasi awal yang tampak

akibat kondisi iskemia ini adalah penurunan ekskresi urin mulai dari oliguri sampai anuria. Hipoksia parenkim ginjal merupakan stimulasi dilepaskannya renin dan angiotensin oleh sel-sel juxta-glomerulus renalis yang merangsang hormon antidiuretik (ADH) dan kelenjar anak ginjal (suprarenal) memproduksi hormon kortisol dan glukagon. Rangkaian selanjutnya adalah rangsangan pada hipofisis posterior untuk melepaskan hormon adenokortikotropik (ACTH) yang mana merupakan stimulan bagi sistim saraf parasimpatik dan ortosimpatik dalam teori berkembangnya stres metabolisme.

Gambar 44. Penurunan aliran darah ke nefron menyebabkan iskemia tubulus sehingga dilepaskan angiotensin. Di sisi lain, penurunan sirkulasi juga disebabkan kerusakan pembuluh di nefron; sebagaimana halnya kerusakan endotel yang diikuti adhesi leukosit dan trombosis.

Penurunan sirkulasi ke otot menyebabkan pemecahan glikoprotein pada massa otot, yang

menjadi sumber enersi. Rantai katabolisme ini berakhir dengan siklus urea yang menghasilkan produk akhir yaitu nitric oxide, NO. NO berperan sebagai suatu vasodilator; diproduksi dengan sangat cepat dalam jumlah sangat besar mencerminkan derajat kerusakan jaringan khususnya otot. Peningkatan kadar NO yang sangat bermakna dapat dideteksi pada kondisi sepsis dan beberapa tahun terakhir NO disebut-sebut sebagai suatu modulator sepsis. Topik penelitian mengenai peran NO ini tidak kalah pentingnya dengan topik iskemia splangnikus; sehingga sebagian para klinikus memperdebatkan fenomena hipoperfusi perifer; parameter yang lebih spesifik: otot atau saluran cerna?

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

50

Algoritmi perubahan fisiologik yang menjadi karakteristik sindrom luka bakar

Kinerja organ-organ sistemik dalam melakukan upaya kompensasi merupakan suatu rangkaian kompleks namun memiliki keterbatasan, oleh karena adanya gangguan perfusi ke organ yang bersangkutan. Kerja tambahan organ pada suatu saat mencapai tingkat maksimal, sedangkan kebutuhan enersi tidak terpenuhi, akhirnya timbul suatu keadaan dekompensatif, disfungsi dan kegagalan organ menjalankan fungsinya. Diyakini bahwa hal ini sangat tergantung pada waktu iskemik masing-masing organ (misalnya: sel otak hanya dapat mentolerir kondisi hipoksia tidak lebih dari 4 menit, sementara mukosa dapat mentolerir maksimal 4 jam, sel parenkim ginjal 8 jam, sedangkan sel otot polos 2 jam dan otot lurik 10 jam).

Di tingkat seluler, gangguan perfusi menyebabkan perubahan integritas sel yang mengakibatkan gangguan metabolisme intraseluler. Pada tahap awal terjadi proses metabolisme anaerob; menyebabkan peningkatan produksi dan penimbunan asam laktat (gangguan metabolisme glukosa), trigliserida (gangguan metabolisme lemak) dan peningkatan ammonia (gangguan metabolisme protein) yang menimbulkan asidosis. Dengan gangguan sirkulasi dan perfusi yang ada, sulit untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel; iskemia jaringan akan berakhir dengan nekrosis (lihat bab III.2, gangguan metabolisme pada luka bakar).

Gambar 45. Cedera merupakan 1st insult yang memicu perkembangan SIRS dan berlanjut dengan MODS. SIRS berakhir (atau disusul oleh CARS) merupakan 2nd insult yang diikuti oleh MODS sekunder, demikian seterusnya. Lingkaran setan ini harus diputus. Dikutip dan disadur dari Baue AE, Faist E, Fry ED. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy. New York Springer, 2000.

Kegagalan fungsi organ-organ (Multi-system Organ Failure, MOF) yang diuraikan diatas

tidak terjadi begitu saja dan tidak terlepas dari peran mediator-mediator inflamasi seperti, sitokin, ekosanoid (prostaglandin, tromboksan, radikal bebas dsb) yang dilepas ke dalam sirkulasi menyusul suatu cedera jaringan. Reaksi dari mediator-mediator inflamasi ini dikenal dengan sebutan SIRS; yang merupakan suatu fenomena yang rumit, terjadi dalam beberapa fase (lihat bab 3.3 mengenai SIRS dan MODS). Kondisi klinis yang terlihat adalah suatu keadaan yang disebut MODS; akan berakhir dengan MOF yang sebelumnya diduga / dikenal sebagai suatu kondisi yang disebut ‘sepsis’. Dengan terjadinya kegagalan fungsi organ-organ penting, proses berakhir dengan kematian.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

51

Bahan Bacaan 1. Boswick JAJ, Jr. The art & science of burn care. Rockville-Maryland: Royal Tunbridge wells Aspen

Publication: 1987;p.145. 2. Dimick AR. Burn and cold injury. In: Hardy’s textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1983;

p.177. 3. Leung PC. Burns: treatment & research. Singapore: World scientific, 1991. 4. Settle JAD. Principles & practice of burns management. New York: Churchill Livingstone, 1996; p.137. 5. Pruitt BA. Complications of thermal injury. Clin Plast Surg 1974;1:667-91. 6. Sen S. Gamelli RL. Burn and Inhalation Injury in Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM. Textbook

of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005 p: 691-697. 7. Thom SR, Keim LW. Carbon monoxide poisoning: a review. Clin Toxicol 1989;27:141-56. 8. Clark WR, Bonaventura M, Weyers W. Smoke inhalation and airway management at a regional burn unit:

1974-1983. J Burn Care Rehabil 1989; 10:52-62. 9. Dhaliwal KD, Sood A. Ammonia inhalational lung injury during illicit methamphetamine production. J Burns &

Surg Wound Care [serial online] 2003;2(1):15. Available from: URL: http://www.journalofburns.com 10. Tredget EE, Shankowsky HA, Taerum TV, et al. The role of inhalation injury in burn trauma: a Canadian

experience. Ann. Surg. 212:720,1990. 11. Smith DL, Cairns BA, Ramadan F, et al. Effect of inhalation injury, burn size, and age on mortality: a study of

1447 consecutive burn patients. J. Trauma 37:655,1994. 12. Sherwood ER, Toliver-Kinksy T, Lin C, Varma T, Herndorn DN. Smoke inhalation injury causes suppression

of systemic immune responses. S59. 13. Kramer GC, TjØstolv Lund, Herndorn, DN. Pathophysiology of burn shock and burn edema. In: Herndorn,

DN. Total burn care, 2nd ed. London: Saunders, 2002. 14. Demling RH. The Burn Edema Process: Current Concepts. J of Burn Care & Rehabilitation 2005 26:3 207-

227. 15. Sabiston, D(ed.). The Biological Basis of Modern Surgical Practice. Philadelphia: W.B. Saunders, Co. 1991. 16. Astiz ME. Pathophysiology and classification of shock states. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek

PM. Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005 p:897-904. 17. Bates DO, Hillman NJ, Williams B, Neal CR, Pocock TM. Regulation of microvascular permeability by

vascular endothelial growth factors. J. Anat. (2002) 200, pp581–597 18. Kvetan V. The effect of pressors and inotopes on regulation of cytokine release in shock. J Crit.Care and

Shock 1998; 1:26-39. 19. Takala J. Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states, J Crit.Care and Shock 1998 1:40-45. 20. Holm C. Haemodynamic and oxygen transport responses in survivors and non survivors following thermal

injury. Burns J Int Society Burn Inj. Vol 26 Number 1, Febr. 2000; p.25. 21. Axelsson M, Altimiras J, Claireaux G. Post-prandial blood flow to the gastrointestinal tract is not compromised

during hypoxia in the sea bass Dicentrarchus labrax. J of Experim Biol 205, 2891–2896 (2002); 2891-6. 22. Muller et al. The challenge of burns. Lancet 1: 22 94, vol 343, Issue 8891;p216 23. Baue AE, Faist E, Fry ED. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy. New York

Springer, 2000. 24. Sherwood ER, Traber DL. Systemic Inflammatory Response Syndrome. In: Herndorn, DN, Total burn care,

2nd ed. London: Saunders, 2002’ p.262. 25. Maass DL, White J, Sanders B, Horton JW. Cardiac Myocyte Accumulation of Calcium in Burn Injury: Cause

or Effect of Myocardial Contractile Dysfunction. Journal of Burn Care & Rehabilitation 2005 26(3); p.252-259 26. Bartlett RH, Fong SW, Marrujo G, Hardeman T, Anderson W. Coagulation and platelet changes after thermal

injury in man. Burns 1981; 7:370-7. 27. Wallner SF, Warren GH. The haemopoietic response to burning: an autopsy study. Burns 1986;12:22-77. 28. Wolach B, Coates TD, Hulgi TE, et al. Plasma lactoferrin reflects granulocyte activation via complement in

burn patients. J Lab Clin Med 1984;103:284-93. 29. Lennquist S, Lindell B, Nordstrom H, Sjoberg HE. Hypophosphatemia in severe burns. Acta Chir Scard

1979;145:1-6. 30. Szyfelbein SK, Drop LJ, Martyn JA. Persistent ionized hypocalcemia in patients during resuscitation and

recovery periods of body burn. Crit Care Med 1981;9:454-458. 31. Iqbal SJ. Giles M. Ledger S. Nanji N. Howl T. Need for albumin adjustments of urgent total serum calcium.

Lancet 1988;2(8626-8627):1477-8. 32. Nordstrom H, Lennquist S, Lindell B, Sjoberg HE. Hypophosphatemia in severe burns. Acta Chir Scand

1977;143:395-9. 33. Salem M, Munoz R, Chernow B. Hypomagnesemia in critical illness: A common and clinically important

problem. Crit Care Clin 1991; 7:225.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

52

34. Song C. Total Early Burn Management – Clinical Pathway. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

35. Wong Chin Ho. Classification of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

36. Wolfe SE. Metabolic Changes in Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

37. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

38. Chai TK. Wolfe SE. Chemical & Electrical Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

53

Bab III

2. Perubahan Metabolisme pada Luka Bakar fase akut

Samuel Oetoro

Fiastuty Witjaksono Inge Permadhi

Yefta Moenadjat

asus luka bakar merupakan suatu keadaan ditandai adanya stres metabolisme yang melibatkan respon neuro-endokrin dan keadaan ini disebut juga hipermetabolisme.

Reaksi pertama terhadap luka bakar dikenal sebagai fase ebb atau fase awal / fase akut / fase syok yang berlangsung singkat, ditandai dengan terjadinya penurunan tekanan darah, curah jantung, suhu tubuh dan penurunan konsumsi oksigen, disertai kehilangan cairan dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya hipovolemia, hipoperfusi dan asidosis laktat. Fase ini tidak dapat ditentukan secara pasti, dapat berlangsung dalam beberapa menit sampai dengan 48-72 jam pasca cedera. Reaksi selanjutnya disebut fase flow yang berlangsung selama beberapa minggu atau lebih lama. Pada fase flow terjadi kondisi sebaliknya, yaitu hipermetabolisme dan hiperkatabolisme. Pada fase hipermetabolisme terjadi peningkatan pemakaian energi yang disertai kehilangan panas melalui proses penguapan (evaporative heat loss), peningkatan aktivitas syaraf simpatik (β adrenergik, sebagai respons neuro–endokrin), peningkatan aktivitas seluler dan pelepasan peptida parakrin; ternyata terjadinya proses ini sangat bermakna pada luka bakar bila dibandingkan dengan cedera lainnya.

Gambar 46. Fase ebb dan fase flow pada luka bakar dengan karakteristik masing-masing fase terhadap proses metabolisme (Cuthbertson, 1941). Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructor’s Workbook. Abbott. 2003

Peningkatan evaporative heat loss dan stimulasi β adrenergik ini disebabkan oleh beberapa hal: 1. Jaringan yang mengalami kerusakan (dan / atau kehilangan) tidak efektif berperan sebagai

sarana protektif. 2. Peningkatan aliran darah ke lokal cedera sehingga panas dari sentral dilepas di daerah

tersebut, dan melalui proses evaporasi terjadi kehilangan cairan dan panas yang menyebabkan penurunan suhu tubuh (energi panas yang digunakan untuk proses evaporasi kurang lebih 578 kcal/l air). Dengan peningkatan aliran darah ke daerah lokal cedera, terjadi peningkatan curah jantung secara disproporsional; hal ini memacu kerja

K

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

54

jantung. Disisi lain peningkatan suhu pada daerah luka akibat bertambahnya aliran ke daerah lokal cedera ini secara teoritis akan mempercepat proses penyembuhan (dari sudut pandang ini, respons febris akan menguntungkan host), namun pada kenyataannya, kehilangan panas (energi) justru diakselerasi oleh adanya febris.

3. Pengaruh mediator pro-inflamasi (Tumor Necrotizing Factor dan interleukin: TNF dan IL1, IL6)

Kondisi evaporative heat loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan terjadinya kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karenanya perlu memperhitungkan Insensible Water Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya. Perhitungan IWL pada penderita luka bakar menggunakan persamaan:

IWL = (25 + % LB) X TBSA X 24 jam

% LB : persentasi luas luka bakar TBSA : Total Body Surface Area

Stimulasi β adrenergik menyebabkan dilepasnya hormon stres (katekolamin, kortisol,

glukagon), dan adanya resistensi insulin akan menyebabkan peningkatan laju metabolisme disertai perubahan metabolisme berupa glikolisis, glikogenolisis, proteolisis, lipolisis dan glukoneogenesis; disamping retensi natrium serta reabsorbsi air.

Gambar 47. Respons stres pada cedera. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructor’s Workbook. Abbott. 2003

Perubahan metabolisme pada penderita luka bakar tidak hanya terjadi karena adanya

perubahan hormon stres saja, tetapi juga disebabkan oleh mediator sel radang seperti sitokin, ekosanoid (prostaglandin, tromboksan, leukotrien) dan radikal bebas yang dilepaskan kedalam sirkulasi menyusul terjadinya suatu cedera jaringan. Reaksi dari mediator-mediator ini dikenal sebagai SIRS. Pelepasan sitokin seperti: interleukin1 (IL1), interleukin2 (IL2), interleukin 6 (IL6) dan Tumor Necrotizing Factor (TNF ) akan menyebabkan hiperkatabolisme menjadi lebih berat dan berlangsung lebih lama, keadaan tersebut akan memperburuk perjalanan penyakit penderita luka bakar.

Cedera jaringan lokal Susunan Saraf Pusat Respons Endokrin

Respons Sistemik

Inflamasi Sitokin Radikal bebas Produk Neutrofil Prostanoids

Aktivasi jalur Neuro-endokrin-Pituitary-Adrenal

Katekolamin Glukagon Kortisol HGH Testosteron

Konsumsi oksigen Metabolic rate Temperatur Katabolisme protein Lean body mass

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

55

Perubahan metabolisme pada starvasi dan trauma Perubahan metabolisme pada starvasi merupakan suatu proses yang berjalan

perlahan melalui fase adaptasi. Kebutuhan energi diupayakan melalui proses glukoneogenesis yang berasal dari jalur karbohidrat dan lipid. Bila kondisi ini tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan, kebutuhan dipenuhi dengan proteolisis yang mengandalkan cadangan protein tubuh (lean body mass). Pada trauma, proteolisis menempati urutan pertama dengan segala konsekuensinya. Pada saat tersebut, hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang memanfaatkan glukosa sebagai sumber energinya.

Gejala klinik yang timbul pada status katabolik ekstensif ini adalah kelelahan, emasiasi,

kelemahan, gangguan fungsi organ vital dan balans energi negatif. Untuk menghadapi kondisi stres, diperlukan kebutuhan energi yang lebih besar, bahkan pada penderita dengan luas luka bakar lebih dari 40% luas permukaan tubuh akan terjadi peningkatan kebutuhan energi sampai 2 kali lebih besar dibandingkan keadaan normal; 80-85% kalori yang dibutuhkan tersebut bersumber dari cadangan lemak dan pemecahan protein tubuh, oleh karenanya terjadi degradasi massa tubuh (lean body mass) yang menyebabkan penurunan berat badan. Pada penderita luas luka bakar lebih dari 40% akan terjadi penurunan BB mencapai lebih kurang 20%, pada penurunan BB 10-40% akan dijumpai kondisi yang dapat disamakan dengan malnutrisi, sedangkan bila penurunan BB mencapai 40-50% akan menggambarkan kondisi keseimbangan nitrogen negatif dengan kehilangan massa protein lebih kurang 25-30%, bila kondisi ini terjadi akan berakibat fatal.

Gambar 48. Peningkatan Basal Metabolic Rate (BMR) pada kasus luka bakar. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructor’s Workbook. Abbott. 2003

Titik kritis dari gangguan metabolisme ini adalah luka bakar dengan luas 40% permukaan tubuh. Tidak dijumpai perbedaan bermakna pada luka bakar dengan luas lebih dari 40% dengan gangguan metabolisme

yang terjadi pada luka bakar dengan luas 40% (Wolf, 2001)

Gangguan Metabolisme Karbohidrat

Pada kondisi trauma berat, khususnya luka bakar terjadi keadaan hiperglikemi yang disebut juga Burn pseudo diabetes, hal ini disebabkan oleh peningkatan proses glikogenolisis

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

56

dan glukoneogenesis, proses tersebut dipicu oleh pelepasan hormon stres, mediator inflamasi (sitokin, ekosanoid) dan resistensi insulin. Proses glukoneogenesis sendiri sebenarnya merupakan upaya kompensasi tubuh untuk menyediakan sumber enersi bagi kelangsungan hidup penderita, dimana glukosa yang terbentuk sangat dibutuhkan sebagai bahan bakar utama bagi jaringan luka, hemopoetik dan otak.

Gambar 49. Sel tubuh manusia. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Gambar 50. Gangguan metabolisme glukosa. Tanda panah menunjukan proses piruvat masuk ke dalam mitokondria, proses ini dihambat oleh TNF IL1 dan IL6, sehingga berlangsung metabolisme an-aerob (siklus Cori) dengan akibat peningkatan produksi laktat. Hal ini mencerminkan inefisiensi utilisasi glukosa oleh sel. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructor’s Workbook. Abbott. 2003

Gambar 51. Mediator pro-inflamasi memicu pelepasan counter regulatory hormone yang menyebabkan resistensi insulin yang menyebabkan inefisiensi metabolisme glukosa. Dikutip dan disadur dari Popp, MB, Brennan, MF. Metabolic response to trauma and infection. In: Fischer JE, ed. Surgical nutrition, 1st ed. Boston: Little, Brown and Company, 1983; 479-507

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

57

Pada daerah luka terjadi peningkatan aliran darah setempat dan uptake glukosa tanpa disertai peningkatan konsumsi oksigen, hal ini akan menyebabkan terjadinya metabolisme glukosa dalam suasana anaerob, yang akan menghasilkan asam laktat. Asam laktat yang terbentuk ini bersama-sama dengan asam amino alanin, glutamin yang merupakan hasil dari proteolisis protein otot, dan gliserol serta asam lemak dari hasil lipolisis jaringan adiposa akan dikembalikan ke hati untuk mengalami proses glukoneogenesis.

Gambar 52. Proses pelepasan insulin dalam keadaan normal. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Gambar 53. Pelepasan insulin diikuti oleh aktivasi reseptor insulin di intra dan ekstraseluler. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

58

Gambar 54. Insulin-signaling pada metabolisme glikogen. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Gambar 55. Regulasi insulin-mediated pada metabolisme glikogen. Proses ini dihambat oleh sitokin yang menyebabkan inefisiensi insulin. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

59

Gambar 56. Skema resistensi insulin yang terjadi pada cedera. Dikutip dan disadur dari Williamson, J. Physiologic stress: trauma, sepsis, burn and surgery. In: Mahan, LK, Arlin, MT, ed Krause's food, nutrition & diet therapy, 8th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 1992

Gambar 57. Transpor badan keton dari hepar dan mekanisme penggunaan serta oksidasi dalam jaringan ekstrahepatik. Dikutip dari Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW: Biokimia Harper. Ed 24. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997 p238.

Gangguan Metabolisme Lemak

Pelepasan hormon stres (katekolamin, kartisol, glukagon) dan rendahnya kadar insulin yang terjadi pada luka bakar akan menyebabkan terjadinya lipolisis dan mobilisasi cadangan lemak tubuh sebagai upaya penyediaan enersi. Mobilisasi asam lemak bebas yang terjadi lebih besar dibanding oksidasi asam lemak sebagai sumber enersi, akibatnya kadar asam lemak bebas di plasma akan meningkat. Pada luka bakar berat, lebih dari 70% asam lemak bebas akan mengalami esterfikasi di hati menjadi trigliserida yang akan dilepaskan ke plasma sebagai Very Low Density Lipoprotein (VLDL).Selanjutnya VLDL di plasma akan dikirim dan disimpan di jaringan adiposa, tetapi pada penderita luka bakar transport VLDL dari hati menurun karena kegagalan sintesis β lipoprotein, hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi lemak di hati. Akumulasi lemak di hati ini berhubungan dengan beratnya luka bakar, dan dikatakan tidak berhubungan dengan pengaruh pemberian nutrisi.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

60

Gambar 58. Gangguan metabolisme fatty acids Tanda panah menunjukan proses fatty acids masuk ke mitokondria dihambat oleh TNF IL1 dan IL6 (blokade carnitine) sehinggafatty acids tidak dapat digunakan untuk menghasilkan energi (ATP) dan terjadi peningkatan produksi triglycerides. Peningkatan Trigliserida bersifat toksik bagi sel-sel tubuh terutama sel-sel otak. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructor’s Workbook. Abbott. 2003

Gangguan Metabolisme Protein

Pelepasan hormon stres dan mediator sel radang (IL1, TNF, IL2, dan IL6) menyebabkan

terjadinya perubahan metabolisme protein pada penderita luka bakar, yang ditandai oleh terjadinya proteolisis protein otot dan peningkatan ekskresi nitrogen melalui urin, sehingga menyebabkan terjadinya imbang nitrogen negatif.

Gambar 59. Degradasi protein berbagai sumber cadangan tubuh. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructor’s Workbook. Abbott. 2003

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

61

Gambar 60. Gangguan metabolisme protein ditandai oleh adanya imbang nitrogen negatif dijumpai pada beberapa kondisi, yang paling berat adalah luka bakar. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructor’s Workbook. Abbott. 2003

Deplesi protein digambarkan oleh penurunan kadar Albumin dalam darah, karena peran Albumin mencerminkan kadar protein dalam tubuh (80%). Pemeriksaan kadar Albumin menjadi penting karenanya; namun

perlu diingat bahwa pemeriksaan kadar Albumin saja tidak mencerminkan kondisi protein sepenuhnya. Pemeriksaan kadar protein

total dan rasio Albumin-Globulin dapat memberikan informasi kasar mengenai metabolisme dan sinthesis protein.

Gambar 61. Deplesi protein (khususnya Albumin) pada cedera termis. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructor’s Workbook. Abbott. 2003

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

62

Gambar 62. Gangguan metabolisme pada luka bakar dikaitkan dengan metabolic rate, kadar glukosa, insulin, glukagon, katekolamin, balans nitrogen dan berat badan penderita. Dikutip dan disadur dari Metabolic Changes in Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005

Gambar 63. Gangguan metabolisme protein-asam amino terjadi penguraian protein diikuti peningkatan produksi ammonia. R adalah rantai karbon. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructor’s Workbook. Abbott. 2003

Gambar 64. Struktur membran sel yang terdiri dari komponen protein dan fosfolipid. Proteolisis menyebabkan kerusakan membran protein sel, dengan demikian fungsi sel terganggu.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

63

Gambar 65. Metabolisme arginine melalui siklus urea dengan produk akhir urea dan Nitric oxide. Dikutip dan disadur dari Dikutip dari Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW: Biokimia Harper. Ed 24. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1997

Peningkatan proteolisis protein otot bertujuan untuk membentuk protein fase akut

(misalnya C-Reactive Protein, CRP), penyembuhan luka, peningkatan aktivitas imunologi, proses glukoneogenesis dan mengganti hilangnya protein melalui eksudat luka. Pada degradasi protein otot akan dilepaskan alanin dan glutamin. Alanin adalah prekursor utama untuk glukoneogenesis, sedangkan glutamin merupakan bahan bakar untuk epitel usus, sel imunitas dan pembentukan amonia di ginjal. Akibat perubahan metabolisme protein tersebut, akan menyebabkan status protein penderita luka bakar menurun drastis, sehingga dibutuhkan asupan protein yang adekuat sebagai pengganti protein yang hilang. Di sisi lain, pemecahan protein berlebihan akan diikuti peningkatan produksi ammonia (urea) dan Nitric oxide.

Gambar 66. Proteolisis menjadi karakteristik gangguan metabolisme protein pada luka bakar. Dikutip dan disadur dari Total Nutritional Therapy. The instructor’s Workbook. Abbott. 2003

Bahan Bacaan 1. Sabiston, D(ed.). The Biological Basis of Modern Surgical Practice. Philadelphia: W.B. Saunders, Co. 1991. 2. Astiz ME. Pathophysiology and classification of shock states. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek

PM. Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005 p:897-904. 3. Bates DO, Hillman NJ, Williams B, Neal CR, Pocock TM. Regulation of microvascular permeability by

vascular endothelial growth factors. J. Anat. (2002) 200, pp581–597 4. Arturson G. Mechanism of injury. In: Settle JAD, ed. Principles and practice of burns management.1st ed. New

York: Churchill Livingstone, 1996; 61-82. 5. Williamson, J. Physiologic stress: trauma, sepsis, burn and surgery. In: Mahan, LK, Arlin, MT, ed Krause's food,

nutrition & diet therapy, 8th ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 1992; 491-506,

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

64

6. Wilmore, DW. Metabolic changes ater thermal injury. In: Boswick JA. ed. The art and science of burn care. Rockville, Maryland: An Aspen Publication, 1987; 137-151.

7. Pereira CT, Murphy KD, Herndorn DN. Altering Metabolism. J of Burn Care and Rehabilitation 25(3): 194-199 8. Metabolic Abnormalities in the Burn Patient. Burn Module. Available in websites: http://www.burnsurgery.org

access July 2005. 9. Hart, Wolf SE. Metabolik changes in burn. Annals of surgery 2001. 10. Kinney JM. Metabolic and nutritional support in critically ill patients: feeding the whole body or individual

organs? Curr Opin Clin Nutr Metab Care. 2001 Mar;4(2):127-30. 11. Abbot Laboratories. Metabolic Response to Starvation, Infection and Trauma. Total Nutritional Therapy Course.

Program Mannual Book.Abbot Laboratories. 1997 p99-116 12. Burn Modules: Metabolic abnormalities in Burn Patients. Available in websites: http://www.burnsurgery.org 13. Brodsky IG. Hormone, cytokine, and nutrient interactions. In: Shils ME, Olson JA, Shike M, Ross, AC, ed. Modern

nutrition in health and disease 9th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1999; 699-724. 14. Laitung G. Metabolic responses and requirement. In: Settle JAD, ed. Principle and practice of burn management,

1st ed. New York: Churchill Livingstone, 1996; 137-62. 15. Popp, MB, Brennan, MF. Metabolic response to trauma and infection. In: Fischer JE, ed. Surgical nutrition, 1st ed.

Boston: Little, Brown and Company, 1983; 479-507. 16. Hill, GL. Disorders of nutrition and metabolism in clinical surgery. UK: Churchill Livingstone, 1992. 17. Burn Modules: Nutritional Support of Burn Patients. Available in websites: http://www.burnsurgery.org 18. Barton, RG. Nutrition support in critical illness. NCP. 9, 1995; 91-103. 19. Jeejeebhoy, NK. Nutrition in critical illness. In: Ayris MS, Grenvik A, Holbrook RP, Shoemakar, CW, ed. Textbook

of critical Care, 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Company, 1995; 1106-1114. 20. Wachtel, TL. Nutritional support of the burn patient. In: Boswick JA, ed. The art and science of burn care.

Rockville, Maryland: An Aspen Publication, 1987; 203-220. 21. Wolfe SE. Metabolic Changes in Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society

(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005. 22. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society

(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

65

Bab III

3. SIRS dan MODS pada Luka Bakar

Yefta Moenadjat

alam perjalanan penyakitnya luka bakar dipengaruhi oleh peran beberapa faktor yang menentukan berat ringan penyakit dan sekaligus prognosisnya; faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang berperan

disebutkan antara lain adalah keadaan umum pasien, usia, status gizi dan kondisi-kondisi premorbid lainnya, termasuk kehamilan, penyakit atau kelainan yang ada seperti penyakit jantung, kelainan ginjal, kelainan vaskuler dan kelainan metabolik lainnya. Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah jenis trauma dan penatalaksanaannya. Jenis trauma merupakan faktor yang sangat berperan memengaruhi perjalanan penyakit dan prognosis; adanya cedera inhalasi, syok, luas dan dalamnya luka bakar serta cedera penyerta lainnya. Sedangkan penatalaksanaan, antara lain pertolongan pertama yang diberikan, tindakan resusitasi dan penatalaksanaan lanjut; termasuk tatalaksana perawatan luka.

Gambar 67. Diagram konsep SIRS dan Sepsis menurut Bone (1980). Dikutip dan disadur dari Baue AE. The complexities of sepsis and organ dysfunction. In: Baue AE, Berlot G, Gullo A (editors). Sepsis and organ dysfunction: Epidemiology and scoring systems, pathophysiology and therapy. Milano: Springer Verlag; 2000

Pada teori perkembangan Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-

system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dijelaskan bahwa peran beberapa faktor tersebut di atas sangat erat, khususnya pada kasus trauma berat seperti luka bakar. Insiden SIRS dan MODS pada kasus luka bakar belum pernah dilaporkan dalam terbitan maupun literatur, sementara angka kematian kasus luka bakar masih tetap tinggi. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada kasus-kasus luka bakar di Unit Pelayanan Khusus Luka Bakar (UPK-LB) RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1999-2000, dijumpai gambaran klinik dari SIRS dan MODS pada hampir 90% kasus kematian, hanya 2% dijumpai tanda sepsis, sisanya tidak dapat dijelaskan penyebab kematiannya. SIRS adalah suatu bentuk respons klinik yang bersifat sistemik dan eksageratif terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun non infeksi seperti trauma, luka bakar,

D

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

66

reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll8. SIRS dan MODS ini tidak pernah dijumpai pada penderita sehat, namun pada kasus-kasus trauma berat, debil, exhaustion seperti juga pada proses keganasan. Bila terbukti secara obyektif SIRS ini disebabkan oleh infeksi disebut Sepsis.

Respons ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi yang mulanya bersifat fisiologik (konstruktif) dalam proses penyembuhan luka (efek positif); oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respons ini berubah secara berlebihan (eksageratif) yang menyebabkan kerusakan dan disfungsi organ-organ sistemik (efek negatif, destruktif) dan berakhir dengan kegagalan organ terkena dalam menjalankan fungsinya. (MODS sampai Multi-system Organ Failure, MOF).

Ada lima hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,

inflammation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury; kelimanya dapat dijumpai pada luka bakar sehingga tak heran bila SIRS dan MODS merupakan suatu yang lazim dijumpai pada luka bakar.

Peran Endotel, Leukosit dan Trombosit pada SIRS

Untuk menjelaskan SIRS, perlu diketahui peran endotel, leukosit dan trombosit sebagai awal proses inflamasi sistemik ini. Pada respons sistemik, ketiga komponen tersebut berperan aktif dan saling mengadakan interaksi. Interaksi yang timbul mulanya mungkin hanya melibatkan dua komponen saja, namun bila respons inflamasi berkembang menjadi reaksi sistemik maka ketiganya terlibat aktif dalam proses.

Gambar 68. Diagram korelasi peran endotel-trombosit-leukosit pada respons inflamasi menurut Spiess. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Endotel

Endotel dalam keadaan normal berperan: a) sebagai pelapis pembuluh darah dan b) dalam sistem imunologi yang diperlukan untuk mekanisme pertahanan tubuh. Dalam fungsinya sebagai pelapis pembuluh darah, endotel berperan dalam mempertahankan permeabilitas kapiler dan memfasilitasi berlangsungnya pertukaran zat baik secara aktif maupun pasiv. Untuk tujuan itu endotel mengeluarkan zat-zat yang berperan lokal dalam memengaruhi baik endotel itu sendiri (autocrine) maupun sel lain yang letaknya berdekatan atau jauh (paracrine) Sekresi

8 Sebelumnya, SIRS dikenal dengan terminologi sepsis; saat ini terminologi sepsis digunakan untuk menerangkan SIRS yang jelas disebabkan oleh infeksi.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

67

endotel tersebut didahului oleh adanya suatu rangsang. Beberapa kondisi abnormal (misalnya aliran yang tinggi maupun rendah, iskemia atau hipoksia sebagaimana dijumpai pada syok, infeksi dan sepsis) akan menyebabkan perangsangan endotel mengeluarkan zat dimaksud. Sekret yang berupa zat aktif yang dikeluarkan memiliki fungsí yang saling bertentangan, yaitu konstriksi dan dilatasi pembuluh darah; serta mencegah terjadinya pembekuan intravaskuler.

Gambar 69. Reaksi endotel pada pada cedera. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing]

Gambar 70. Aktivasi endotel diikuti pelepasan mediator-mediator pro inflamasi. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing]

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

68

Gambar 71. Sel endotel pada manusia diaktivasi oleh sinyal eksternal; merangsang thrombin melalui sel reseptor protease-alfa heptahelik (PARs) dan menyebabkan dilepaskannya P-selectin sehingga menyebabkan berlangsungnya sintesis Platelete Activating Factor (PAF) secara cepat dan menggunakan zat ini untuk signaling neutrofil yang diperlukan untuk proses adhesi dan respons trombotik. Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Gambar 72. Makrofag dan sel-sel ekstravaskuler lainnya melepaskan sitokin. Sitokin dikenali oleh reseptor pada endotel dan menginduksi timbul serta aktivasi respon multipel. Produk bacterial seperti Lipopolosakarida (LPS) dan berbagai endotoksin lainnya terikat pada gugus reseptor menyerupai Toll yang diekspresikan oleh endotel juga memicu proses aktivasi. Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Gambar 73. Interleukin (IL1 ) disintesis dan dilepas oleh endotel yang telah distimulasi sebelumnya oleh aktivasi trombosit, menghasilkan suatu adhesi neutrofil yang bersifat endothel-dependent. Gambar ini menunjukan mekanisme sel-sel darah di ruang intravaskuler menginisiasi dan menyebabkan amplifikasi aktivasi endotel. Peptida Epithelial Neutrophil-Activating (ENA), Oncostatin (OSM) dan PMN berperanan dalam proses ini. Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

69

Gambar 74. Aktivasi endotel dan berbagai langkah pengendalian interaksi target dan fungsi endotel pada proses inflamasi. Paradigma berbagai langkah ini menjelaskan setiap kejadian pada proses adhesi neutrofil (PMN), aktivasi lokal, transmigrasi di daerah vanula sesuai aliran sirkulasi. Setiap langkah bersifat iritis bagi adhesi PMN dan emigrasi pada kondisi dimana terjadi gangguan sirkulasi. Aktivasi endotel merupakan awal dari rangkaian langkah selanjutnya. Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Gambar 75. Rangkaian kompleks timbulnya proses inflamasi. Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

70

Leukosit Leukosit yang terdiri dari limfosit, neutrofil, eosinofil dan basofil berperan dalam

immunologi. Neutrofil ikut ke dalam aliran pembuluh darah, sedangkan mast cell tetap berada di jaringan.

Gambar 76. Proses fagositosis. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Anatomi dan Fungsi Leukosit

Leukosit termasuk dalam golongan sistem proteksi tubuh, oleh karenanya leukosit merupakan suatu unit mobile yang ikut dengan aliran darah. Leukosit-leukosit ini akan diarahkan ke 1) area yang memberi sinyal inflamasi sehingga akan membantu mengatasi proses inflamasi atau 2) menuju antigen penyebab inflamasi secara cepat dan kuat.

Sebagian besar limfosit berada di sistim getah bening dan hanya sebagian kecil yang berada di aliran darah. Leukosit menangani atau mengatasi antigen yang masuk ke dalam tubuh dengan cara melakukan fagositosis dan mencernanya, sedangkan limfosit dan sel plasma yang berada di sitim reticulo-endothelial (berhubungan dengan sistim imun) akan mengeluarkan cairan yang berfungsi imunologik. Dalam neutrofil basofil, eosinofil terdapat butir-butir (granules), yang mengandung zat digesti. Bila terdapat bakteri akan berlangsung proses fagositosis, diikuti proses pencernaan bakteri. Granul-granul tersebut tidak dapat diperbarui karena sel-sel leukosit tidak memiliki lisosom yang membentuk atau memproduksi protein. Pembentukan Sitokin

Bila antigen masuk ke dalam tubuh, antigen tersebut akan diproses oleh Antigen Processing Cell (APC) dan dikeluarkan epitope di tepi makrofag. Epitope dikeluarkan pada tepi APC sebagai Cass II Major Histocomptability Complex (MHC).9

Epitope dengan MHC dikenali oleh Limfosit T-helper (TH), selanjutnya diaktivasi oleh immunugen-epitope dan IL1. Sel TH mengeluarkan IL2 yang bertujuan 1) merangsang sel itu sendiri untuk memperbanyak diri dan 2) merangsang sel limfosit TH untuk mengenali immunogen 3) mengaktifkan sel T Cytotoxic (TC) yang akan mencari Class II MHC dan membunuhnya dan atau 4) mengaktifkan Memory TH Cell dan 5) mengaktifkan sel B untuk mengeluarkan immunoglobulin yang akan menangkap antigen 6) mengeluarkan sitokin B cell growth factor (BCGF) dan B cell differentiation factor (BCDF), dimana BCGF berperanan

9 Class II ditujukan untuk antigen asing atau yang berasal dari luar tubuh. Umumnya sel jaringan tubuh merupakan Class I MHC, hanya sebagian kecil merupakan Class II.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

71

penting untuk merangsang sel-sel limfosit memperbanyak diri sedangkan BCDF berperanan menjadikan sel B yang spesifik.

Gambar 77. Rangkaian aktivasi imun kompleks menyebabkan pelepasan radikal bebas yang memicu pelepasan mediator pro-inflamasi.

Adhesi leukosit

Adhesi leukosit diperlukan dalam mekanisme pertahanan tubuh. Sebelum keluar pembuluh darah (menyerang sumber infeksi) leukosit terlebih dahulu harus melekat dengan endotel; hal ini dimungkinkan karena dikeluarkannya beberapa zat yang diperlukan agar leukosit dapat keluar dari pembuluh darah. Endotel melepaskan secretin (diperlukan untuk adhesi leukosit) dan integrin (diperlukan leukosit keluar dari pembuluh darah). Limfosit dalam hal ini turut berperan dalam berlangsungnya proses adhesi dan keluarnya leukosit melalui pelepasan interleukin (melalui peran interleukin yang dilepaskan, terutama IL6 dan IL8). Zat-zat ini dikeluarkan karena adanya rangsangan (misalnya infeksi) yang tidak terjadi pada keadaan normal; dapat bersifat lokal atau difus (misalnya pada syok, hipoksia-iskemia yang berkepanjangan, sepsis). Bila seluruh endotel terangsang, proses adhesi bersifat difus dan mengakibatkan edema jaringan yang berlanjut dengan disfungsi bahkan kegagalan organ. Kegagalan organ ini sangat tergantung dimana leukosit berkumpul.

Gambar 78. Adhesi leukosit pada endotel. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

72

Gambar 79. Bagan proses adhesi leukosit pada endotel. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Adhesi leukosit dilawan oleh Nitric oxide (NO), prostacycline dan adenosine yang

diproduksi oleh endotel pada keadaan normal. Trombosit

Trombosit berbentuk bulat atau lonjong, berasal dari megakaryosit dan dibentuk di sumsum tulang. Kadarnya dalam darah berkisar antara 150-300 ribu sel/mm3. Di dalam trombosit terdapat: 1. Actyn dan myosin yang terdapat pada otot skelet serta thrombostenin yang memungkinkan

trombosit berkontraksi. 2. Endoplasmic reticulum dan aparatus Golgi yang membentuk enzim-enzim. 3. Mitokondria yang membentuk ATP dan ADP 4. Enzim yang membuat prostaglandin yang diperlukan untuk perubahan endotel dan sel

jaringan lain 5. Membuat fibrin stabilizing factor 6. Membuat growth factor yang menyebabkan perubahan dan pertumbuhan endotel dan sel-

sel media fibroblas

Lapisan luar trombosit juga mengandung glikoprotein yang berfungsi mencegah perlekatan trombosit dengan endotel normal; terdiri dari lipoprotein dan mengandung thrombocyt factor-3 yang berperan dalam proses pembekuan darah.

Trombosit bertanggung jawab atas proses pembekuan darah. Bila terjadi perdarahan, proses pertama yang terjadi adalah pembentukan sumbatan pembuluh. Trombosit diaktifkan bila terjadi kontak dengan endotel yang rusak atau leukosit yang aktif. Sekali aktif, maka trombosit akan melekat satu sama lain membentuk ADP, tromboksan dan zat lainnya. Saat terjadi kontak, akan dibentuk pseudopodia yang mempercepat interaksi dalam sel. Dalam jumlah kecil akan diproduksi eikosanoid, aktivasi kolagen dan pelepasan faktor Von Williebrand dan mempercepat ekspresi tissue factor endotel dan monosit. Hal ini terjadi pada saat pecahnya alpha dan granule (berisi serotonin, epinefrin, fibrinogen, ADP dan tromboksan) Hemostasis Inflamasi

Sebagaimana dijelaskan, pada keadaan normal, endotel, trombosit dan leukosit tidak saling mengeluarkan zat yang mengakibatkan perlekatan dan atau menimbulkan bekuan yang akan menyebabkan kerusakan. Sebaliknya pada keadaan normal ketiganya mengeluarkan zat-zat yang menyebabkan ketiga jenis sel tersebut saling menjauhi.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

73

Namun pada keadaan abnormal satu atau ketiganya saling mengeluarkan zat yang akan menyebabkan adhesi antara endotel dengan trombosit atau leukosit, diikuti kerusakan sel-sel tersebut. Sel-sel mengalami lisis dan mengeluarkan zat yang mempengaruhi baik endotel, trombosit maupun leukosit secara tersendiri atau bersamaan (mungkin trombosit sendiri, mungkin leukosit sendiri atau bersamaan).

Gambar 80. Bagan proses pembekuan. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Dengan adanya kerusakan sel-sel ini (trombosit, leukosit), akan terjadi adhesi dengan

endotel yang menyebabkan pembekuan intravaskuler. Endotel yang sebenarnya tidak memiliki faktor ekstrensik (tissue factor) akan mengeluarkan faktor-faktor tersebut sehingga memungkinkan terjadinya pembekuan intravaskuler ini.10 Saat trombin terbentuk, maka trombin akan mempengaruhi zat-zat lain yang berada di plasma dan atau sel lain (lihat proses pada gambar 80). Bila ini terjadi secara berlebihan, karena proses yang bersifat difus maka akan terjadi fibrinolisis.11 10 Masalah yang timbul akibat proses ini berkaitan dengan aktivasi endotel. Bila terjadi aktivasi endotel, maka banyak faktor lain bekerja pada endotel (yang rusak). Sehingga proses sebagaimana diuraikan akan berlangsung. Beberapa kemungkinan dalam hal ini antara lain dikemukakan adalah upaya mencegah terbentuknya faktor VII atau faktor IX, atau mencegah transkripsi gen sehingga tidak terbentuk tissue factor di intrasel. 11 Untuk mencegah fibrinolisis dapat dipikirkan pemberian AT-III dan anti protease (aprotinin atau trasylol). Seperti diketahui trombin sebagai penyebab terpakainya faktor koagulasi, trombositpenia, dan selanjutnya akan menyebabkan keadaan systemic fibrinolytic. Oleh karena AT-III dapat mengikat trombin bila ditemui peningkatan trombin pada keadaan fibrinolisis. Untuk tujuan ini juga dipikirkan pemberian asam transenamat dan aprotinin.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

74

Gangguan proses koagulasi Proses koagulasi berlangsung bila sel darah berada di jaringan (di luar pembuluh darah), oleh karenanya dalam kondisi demikian endotel akan mengeluarkan zat yang berfungsi mencegah proses pembekuan. Endotel merupakan satu-satunya sel tubuh yang tidak menyebabkan pembekuan dan mengeluarkan tissue factor. Selain memiliki efek anti adhesi, Nitric oxide (NO), prostacycline dan adenosine yang diproduksi oleh endotel juga memiliki efek mencegah terjadinya pembekuan, agregasi trombosit dan berperan

dalam vasodilatasi. Endotel juga mengeluarkan heparan yang memiliki efek serupa dengan heparin yang berikatan dengan thrombin dan mencegah terjadinya perubahan fibrinogen menjadi fibrin.

Bila terbentuk bekuan di dalam pembuluh darah, maka pada saat yang bersamaan berlangsung proses perangsangan yang diikuti pembentukan tissue plasminogen activator (berperan sebagai suatu katalisator perubahan plasminogen menjadi plasmin yang akan diikuti lisis bekuan). Selanjutnya, thrombomodulin-thrombine-C reactive Protein akan merusak faktor VIIIa dan Va.

Perubahan yang terjadi dapat disebabkan karena: 1) menurunnya fungsi faktor-faktor pembekuan, 2) defek trombosit dan 3) disregulasi sistim fibrinolisis yang kompleks.

Gambar 81. Bagan terjadinya fibrinolisis. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Bila terjadi proses hipoksia-iskemia maka endotel memiliki kemampuan untuk memanggil

leukosit dan melokalisir kerusakan untuk kemudian memperbaikinya. Makin luas jaringan iskemik maka semakin banyak leukosit terkumpul. Demikian pula halnya bila terdapat proses infeksi atau pelepasan cytokine.

Pada keadaan hipoksia dan iskemia ini ada beberapa kemungkinan terjadi: 1) Mobilisasi neutrofil. Proses inflamasi tidak akan berlangsung demikian beratnya; karena

mobilisasi neutrofil tidak jelas diikuti adhesi ke endotel. Saat sirkulasi kembali membaik atau dengan kata lain hipoksia diperbaiki, gangguan fungsi endotel dan neutrofil menjadi lebih nyata dan lebih berat; bahkan terjadi suatu keadaan no reflow meskipun arteriol tidak tertutup. Bila ini terjadi di otot jantung maka akan terjadi gangguan kontraksi jantung, sebaliknya terjadi gangguan sirkulasi yang disebabkan adanya gangguan kontraksi jantung. Demikian pula pada organ lain, akan terlihat gangguan fungsi organ yang bersangkutan.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

75

2) Bila mana cytokines masuk ke sirkulasi seluruh tubuh, terjadi reaksi inflamasi difus yang berat di seluruh tubuh.

Kerusakan endotel tidak hanya terjadi karena proses hipoksia-hipoksemia saja, tetapi juga oleh cytokine, C5a-C9a complex dan lipo-polisacaharide yang berasal dari endotoxin bakteri. Selain itu, purin dan hasil metabolik asam arakhidonat (menghasilkan radikal bebas) akan menyebabkan kerusakan endotel. Saat SIRS timbul, hampir seluruh zat-zat primer akan meningkat secara tidak terkendali (misal: serine protease dan lain-lainnya).

Gambar 82. Aktivasi komplemen. Bagan bilamana terjadi inflamasi yang terjadi di seluruh tubuh. Dikutip dan disadur dari Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

76

Gambar 83. Proses dari suatu rangkaian kompleks yang melibatkan komponen endotel, leukosit dan trombosit menyebabkan aktivasi komplemen berakhir dengan koagulasi yang mengganggu sirkulasi. Koagulasi ini merupakan kondisi patologik yang menyebabkan dilepaskannya radikal bebas dan menyebabkan cedera reperfusi yang berlanjut menjadi suatu kondisi iskemia-reperfusi dan berakhir dengan gagal organ multiple. Kraiss LW, Martinez ML, Prescott SM, Zimmerman GA. Endothelial function. in Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM. Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders, 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

77

Iskemia dan cedera reperfusi Iskemia jaringan yang terjadi selama periode syok memberi dampak negatif pada perjalanan penyakit dan memicu perkembangan SIRS dan MODS. Adanya iskemia jaringan menyebabkan peningkatan metabolisme xantin yang melepaskan superoksida (reactive oxygen species) seperti O2-, OH, H2O2 dan mengikat Fe++ yang menyebabkan kerusakan jaringan.

Gambar 84. Metabolisme xantin menghasilkan superoksida yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan yang terjadi akibat aktivasi metabolisme xantin ini merupakan stimulator dilepaskannya sitokin dan mediator-mediator pro-inflamasi lebih banyak lagi ke sirkulasi dan memicu berkembangnya SIRS dan MODS sebagai insult kedua. (Lihat kembali halaman 50, gambar 45). Perjalanan SIRS

Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone dalam beberapa tahap. Tahap I

Respons inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator pro-inflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respons inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel retikuloendotelial (efek positif sitokin lebih besar dari efek negatifnya). Sitokin adalah pembawa pesan fisiologis dari respons inflamasi. Molekul-molekul utamanya meliputi Tumour Necrotizing Factor (TNF ), interleukin (IL1, IL6), interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan masih banyak lagi peptida-peptida baru. Efektor seluler respons inflamasi (sel-sel yang menghasilkan sitokin dan mediator-mediator inflamasi lain) adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag dan sel-sel endotel. Sel-sel endotel melepaskan molekul-molekul adhesi dan reseptor-reseptor untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti prostaglandin, leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal bebas,

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

78

oksida nitrit (nitric oxide), dan protease (cathepsin, elastase). Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek pembatasan (walling off) jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah inflamasi terisolasi.

Gambar 85. Grafik peningkatan kadar sitokin dalam darah setelah suatu cedera. Tahap II

Sejumlah sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru meningkatkan respons lokal. Terjadi pengerahan makrofag, trombosit dan stimulasi produksi faktor pertumbuhan (Growth Factor, GF). Selanjutnya dimulailah respons fase akut yang terkontrol secara simultan melalui penurunan kadar mediator pro-inflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis reseptor IL1 dan mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF (Transforming Growth Factor, TGF). Dengan demikian mediator-mediator tersebut menjaga respons inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.

Tahap III

Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS); terjadi reaksi sistemik yang masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam berbagai organ dan mengakibatkan kerusakan. Respons destruktif regional dan sistemik (terjadi peningkatan vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskuler, akselerasi trombosis mikrovaskuler, aktivitas sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tidak dapat dikendalikan, terjadi syok septik, gangguan koagulasi yang dikenal dengan istilah Consumption coagulopathy; dahulu diduga sebagai Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ARDS, MODS dan kematian.

Konsep selanjutnya yang dikemukakan Bone dapat memperkaya pengetahuan tentang SIRS. SIRS yang bersifat pro-inflamatif mempunyai respons berlawanan yaitu Compensatory Anti-Inflammatory Response Syndrome (CARS) yang bersifat anti inflamatif. Pada pasien yang bertahan hidup, mekanisme anti-inflamasi mungkin dapat mengatasi inflamasi. Tetapi reaksi

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

79

kompensasi mungkin terlalu besar dan tidak mencapai suatu keseimbangan, hingga pasien mengalami imunosupresi dan anergi.

Gambar 86. Diagram reaksi inflamasi menyusul suatu bentuk trauma, dikaitkan dengan respons imun. Reaksi inflamasi (‘fighting’, melawan substansi asing seperti infeksi, dsb) diikuti proses penyembuhan. Namun pada beberapa keadaan, reaksi inflamasi berlangsung secara berlebihan; menimbulkan SIRS yang menyebabkan kerusakan organ sistemik. Sebagai kompensasi, tubuh melepas mediator-mediator anti inflamasi yang juga (ikut) mengalami eksagerasi dalam mengimbangi SIRS. Pada saat ini timbul imunosupresi sebagai suatu konsekuensi logik.

Dalam kondisi ini pasien sangat rentan terhadap infeksi. Beberapa pasien mungkin mengalami ketidaksesuaian imunologik (immunologic dissonance), terombang-ambing diantara periode inflamasi berat dan imunosupresi. Contohnya adalah pada pasien yang mengalami infeksi sekunder setelah periode imunosupresi singkat; yang menyebabkan timbulnya respons pro-inflamasi kedua, kemudian kembali timbul reaksi anti-inflamasi dan seterusnya, dan seterusnya. Kondisi ini oleh Bone disebut sebagai Mixed Antagonistic Response Syndrome (MARS).

Bone memberi istilah pada konsekuensi spektrum klinis tersebut di atas sebagai CHAOS. CHAOS ini merupakan kepanjangan dari Cardiovascular shock (SIRS dominan), Homeostasis (SIRS dan CARS berimbang), Apoptosis atau kematian sel (SIRS dominan), Organ dysfunction (SIRS dominan) dan Supresi sistem imun (CARS dominan) yang merupakan kondisi katastrofik.

Dalam tahun-tahun terakhir ini disadari bahwa kejadian di klinik tidak selalu sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh Bone. Banyak kasus tidak melalui tahapan SIRS sebagaimana diuraikan di atas namun langsung mengalami CARS dan jatuh ke dalam kondisi imunosupresi yang diikuti oleh sepsis. Masalah klinik lain yang dijumpai, tidak dapat diketahui dengan pasti apakah seorang berada pada kondisi SIRS atau CARS. Hal ini penting karena keduanya memiliki konsekuensi berbeda; penatalaksanaannya justru berlawanan khususnya dalam hal penanganan imunosupresi sehingga akan diikuti oleh peningkatan mortalitas.

SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian-penelitian yang dilaporkan di literatur, SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

80

Gambar 87. Proses perjalanan SIRS dan CARS.

SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan ‘perjalanan akhir’ dari SIRS. Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Terminologi MODS ini menggantikan MOF yang digunakan sebelumnya; pada penggunaan terminologi ini dijumpai penekanan adanya proses yang bersifat dinamik dari suatu gangguan fungsi mulai dari derajat ringan sampai berat dan tidak berfungsi, tidak sekedar hanya menjelaskan kegagalan sebagai suatu hasil akhir. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum keadaan yang berawal dari SIRS. MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinik SIRS. Kejadian MODS pada pasien trauma mulai dari >11% hingga >30% dan menjadi penyebab kematian bervariasi, dari > 50% hingga 100%. Pada pasien luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS.

Patogenesis SIRS, MODS dan Sepsis pada Luka Bakar Ada beberapa teori yang menjelaskan timbulnya SIRS dan MODS pada luka bakar; terjadi secara simultan dan saling memperkuat sesamanya.

Teori pertama menjelaskan penyebab dimulai dari kerusakan epitel (endotel) pada gangguan sirkulasi yang timbul setelah suatu cedera termis. Kerusakan endotel melibatkan komponen sel darah lainnya seperti leukosit dan trombosit dan memicu timbulnya respons inflamasi sitemik yang diikuti gangguan koagulasi dan kegagalan organ (lihat kembali patofisiologi luka bakar akut, halaman 50).

Teori kedua, menjelaskan peran gangguan sirkulasi yang sangat nyata dikaitkan dengan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus. Dengan berkurangnya sirkulasi di daerah tersebut, perfusi ke jaringan usus (gaster, duodenum yang diperdarahi oleh vasa mesenterika) dan hepar terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna dan hipoksis-iskemia sel-sel hepatosit. Meski dengan penatalaksanaan cairan yang adekuat pada kondisi syok, dibuktikan pada percobaan hewan, bahwa gangguan perfusi splangnikus tetap terjadi dan tak dapat dihindari.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

81

- Disrupsi mukosa menyebabkan perangsangan dilepaskannya neutrofil dan radikal bebas khususnya NO yang memicu proses inflamasi sistemik. Semakin banyak mukosa mengalami disrupsi, semakin banyak mediator-mediator pro inflamasi dilepas ke sirkulasi. Respons inflamasi bersifat eksageratif dan neutrofil serta radikal bebas yang dilepas ke sirkulasi menyebar ke seluruh sirkulasi sistemik menimbulkan destruksi organ. Organ yang pertama kali mengalami gangguan umumnya adalah paru. Dengan

perubahan inflamatif membran dan kapiler peri-alveolar. Perubahan ini diikuti gangguan proses difusi-perfusi oksigen dan pertukaran gas menimbulkan distres pernafasan, dikenal dengan sebutan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS, baca lebih lanjut mengenai ARDS pada bab 3.4).

Gangguan sirkulasi splangnikus juga menyebabkan gangguan perfusi ke hepar dan menyebabkan gangguan fungsi hepar khususnya fungsi metabolisme, berakhir dengan disfungsi hepatik.

Karena kerusakan organ lainnya bermula dari kerusakan usus (hipoperfusi splangnikus), maka dikenal istilah: Gut is motor of MODS.

Gambar 88. Tekanan perfusi ke splangnikus pada berbagai kondisi: atas pada kondisi normal, tengah pada peningkatan aktivitas saluran cerna dan bawah pada hipoperfusi. Dikutip dan disadur dari Holm C et al. Haemodynamic and oxygen transport rensponses in survivors and non survivors following thermal injury. Burns journal of international society for burn injuries. Vol 26 Number 1, Febr. 2000. p : 25

Teori ketiga menjelaskan gangguan sirkulasi splangnikus yang berlanjut dengan disrupsi mukosa yang terjadi menyebabkan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang / hilang, dan mempermudah terjadinya translokasi bakteri penyebab septikemia (sepsis). Bakteri yang mengalami translokasi umumnya merupakan flora normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan beberapa jenis antibiotika tertentu).

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

82

Gambar 89. Lingkaran setan SIRS dan MODS. Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak oleh toksin yang berasal dari kuman (endotoksin maupun enterotoksin). Sebagaimana disadari, kerusakan mukosa usus (saluran cerna) melnyebabkan gangguan metabolisme glutamin yang berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh. Dikutip dan disadur dari Dellinger RP, Cartlet JM, et al. (2004). Surviving Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe Sepsis and Shock. Critical Care Medicine, 32(3), 858-873

Fokus utama pada syok saat ini adalah hipoperfusi splangnikus yang berlanjut dengan disrupsi mukosa saluran cerna. Dengan disrupsi mukosa ini, dipicu

pelepasan mediator-mediator pro inflamasi yang menyebabkan kerusakan berbagai organ. Karenanya dikenal istilah Gut is motor of Multi-syatem Organ Dysfunction

Syndrome (MODS)

Gambar 90. Kaskade SIRS.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

83

Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang memicu timbulnya SIRS dan MODS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena gangguan sistim autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik (ensefalopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemia ginjal (khususnya tubulus) berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir dengan gagal ginjal (acute renal failure, ARF).

Gangguan sirkulasi perifer menyebabkan iskemia otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini diketahui merupakan radikal bebas yang menimbulkan cedera reperfusi (reperfusion injury) dan berperan sebagai modulator sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sistim integumen menyebabkan terutama gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi barrier kulit.

Gambar 91. Patofisiologi sepsis, kondisi ini terjadi pula pada kasus non-infeksi, dimana jaringan nekrosis melepas lipoprotein complex yang merupakan beragam kompleks protein dengan lipo-polisakarida (LPS). Dikutip dan disadur dari Dellinger RP, Cartlet JM, et al. (2004). Surviving Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe Sepsis and Shock. Critical Care Medicine, 32(3), 858-873

Teori lain menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC, sebelumnya dikenal dengan

istilah burn toxin) yang berasal dari jaringan nekrosis akibat cedera termis. LPC memiliki toksisitas dengan kekuatan ribuan kali jauh di atas endotoksin dalam merangsang pelepasan mediator pro-inflamasi; dan pelepasan LPC ini tidak ada hubungannya dengan infeksi. Respons yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respons sistemik. Nekrosis disebabkan oleh dua kemungkinan: 1) Dampak langsung akibat kontak dengan sumber cedera dan 2) gangguan perfusi pada syok.

Teori berikutnya menjelaskan kekacauan sistim metabolisme; hipometabolik pada fase akut

(fase ebb) yang berlanjut dengan kondisi hipermetabolisme (hiperkatabolik) pada fase selanjutnya (fase flow), yang ‘menguras’ seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

84

mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi menjadi semakin ‘ganas’; mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas sebagai respons terhadap suatu cedera tidak hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada (konstruktif); tapi juga menimbulkan kerusakan pada jaringan / organ sistemik (destruktif). Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.

Pada SIRS (dahulu disebut “sepsis”) dan MODS, kondisi sirkulasi terganggu demikian hebatnya ditandai dengan adanya vasodilatasi yang bersifat menyeluruh (difus, general vasodilatation sebagaimana terlihat pada syok septi. Lihat lebih lanjut mengenai penjelasan syok septik); dicerminkan dengan adanya gangguan homeostasis sebagaimana digambarkan oleh Bone sebagai CHAOS.

Gambar 92. Vasodilatasi pada sepsis menyebabkan penurunan tekanan perfusi ke organ yang berakhir dengan MODS. Dikutip dan disadur dari Dellinger RP, Cartlet JM, et al. (2004). Surviving Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe Sepsis and Shock. Critical Care Medicine, 32(3), 858-873

SIRS, Sepsis, Sepsis berat & Syok septik

Ada beberapa terminologi yang perlu diketahui dalam perjalanan SIRS. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, SIRS adalah suatu bentuk respons inflamasi yang bersifat eksageratif terhadap stimulus-stimulus (trauma, infeksi, luka bakar, pankreatitis). Bila SIRS disebabkan oleh infeksi, maka SIRS dikenal dengan sebutan sepsis. Sepsis ini dapat disebabkan oleh berbagai agen seperti virus, parasit, jamur dan bakteri maupun metabolit-metabolitnya.

Bila sepsis disertai MODS, kondisi tersebut dikenal dengan sebutan sepsis berat. Sedangkan septik syok didefinisikan sebagai suatu keaadaan sepsis yang timbul setelah suatu resusitasi cairan yang adekuat. Kondisi syok septik ini demikian rumitnya, merupakan kondisi yang berkembang dari suatu SIRS yang tidak tertatalaksanai dengan baik dan memiliki angka mortalitas yang tinggi.

1. Karena adanya vasodilatasi, tekanan perfusi ke organ demikian rendah.

2. Sebagian perfusi kapiler berlangsung normal 3. Sebagian lainnya mengalami gangguan perfusi sangat buruk dan

mengalami 4. kebocoran kapiler, 5. karenanya jaringan menjadi edematus yang akan menyebabkan

kompresi pada jaringan normal dengan akibat gangguan pertukaran oksigen

6. Karena adanya stasis venosa dan aktivasi sistim koagulasi, pembuluh kecil mengalami obstruksi dan aliran darah terhenti

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

85

Syok septik dan patologinya

Ada tiga masalah utama pada syok septik, yaitu vasodilatasi, maldistribusi aliran darah dan depresi miokardium.

Vasodilatasi

Pada syok septik, sitokin proinflamasi dan metabolit lainnya (prostaglansin_ menyebabkan peningkatan oksida nitrit yang berasal dari endotel (endothelial-derived nitric oxide), suatu mediator utama yang berperan pada vasodilatasi dan hyiotensi. Nitric oxide ini menyebabkan perubahan mekanisme transport melalui membran sel dan faktor intraseluler, yang menyebabkan penurunan kalsium intraseluler serta vasodilatasi dengan segala konsekuensinya termasuk resistensi terhadap zat vasopresor. Ada dua mekanisme yang berperan dalam hal terjadinya resistensi terhadap zat vasopresor, yaitu 1) aktivasi jalur adenosine triphosphate–sensitive potassium (KATP) karena adanya penurunan kadar ATP (pada hipoksia) dan penurunan konsentrasi ion hidrogen dan laktat intraselluler, 2) aktivasi nitric oxide synthase dalam bentuk inducible, yang akan menyebabkan meningkatnya kadar oksida nitrit dan penurunan kadar vasopressin di dalam sirkulasi (vasopressin adalah suatu bentuk vasokonstriktor).

Aktivasi jalur KATP mengakibatkan terjadinya hiperpolarisasi pada membran plasma, yang akan menyebabkan hambatan depolarisasi dan influks kalsium ke dalam sel, sehingga terjadi hambatan pada proses vasokonstriksi. Mekanisme yang menjelaskan mengapa oksida nitrit menimbulkan resistensi terhadap zat vasopresor nampaknya karena adanya aktivasi jalur natrium yang berlanjut dengan hiperpolarisasi. Dengan progresivitas syok septik, kadar vasopressin di sirkulasi menurun oleh sebab yang belum diketahui dengan jelas, mengakibatkan kegagalan dalam memberikan respons terhadap mekanisme vasokonstriktor.

Maldistribusi Aliran darah

Meskipun pada syok septik umumnya selalu dijumpai vasodilatasi (dengan manifestasi penurunan resistensi vascular yang bersifat sistemik), namun tidak seluruh pembuluh darah mengalami dilatasi. Beberapa pembuluh arteriol justru mengalami vasokonstriksi, sehingga terjadi suatu kondisi dimana terjadi maldistribusi aliran darah.Vasokonstriksi dan maldistribusi yang diakibatkannya itu menjadi penyebab dilepaskannya mediator-mediator proinflamasi (misalnya tumor necrosis factor) dan endothelin (suatu zat yang dilepaskan oleh endotel, menyebabkan vasokonstriksi). Perfusi yang inadekuat juga terjadi karena adanya oklusi vaskuler.

Leukosit polymorphonuclear melekat pada endotel secara abnormal karena adanya endotoksin dan mediator-mediator proinflamasi. Leukosit-leukosit ini dan eritrosit melekat dan membentuk plug di mikrosirkulasi karena menurunnya deformabilitas sel. Pada pasien syok septik, sel-sel endotel mengalami stimulasi oleh mediator-mediator proinflamasi (tumor necrosis factor dan interleukin-1 [IL-1]) dan endotoksin, selanjutnya menyebabkan aktivasi kaskade koagulasi membentuk sumbatan mikrovaskuler dan maldistribusi aliran darah sehingga terjadi hipoksia jaringan.

Downregulation faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi juga berlangsung, dan salah satu faktor yang menjadi focus perhatian adalah activated protein C. Kurang lebih 85% pasien-pasien dengan syok septik, kadar protein C menurun, dan beratnya defisiensi activated protein C ini menggambarkan poor clinical outcomes. Diketahui, activated protein C endogen memiliki efek anti-inflamatif, antitrombotik, dan profibrinolitik sebagaimana dapat dilihat pada gambar 93. Efek anti-inflamatif dari activated protein C termasuk inhibisi pelepasan inflammatory mediators (IL-1, IL-6, dan tumor necrosis factor- ) oleh monosit, inhibisi monosit dan neutrofil yang mengalami rolling pada endotel cedera, dan membatasi adhesi neutrofil endotelium.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

86

Selanjutnya, melalui efek inhibitif pada pembentukan thrombin (dijelaskan kemudian), activated protein C membatasi proses inisiasi respons inflamasi. Thrombin merangsang pelapasan IL-8 dan sintesis platelet-activating factor. IL-8 dan platelet-activating factor menyebabkan aktivasi, recruitment, dan ikatan neutrofil dan monosit,yang menyebabkan berlangsungnya respons proinflamasi pada pasien dengan sepsis.

Gambar 93. Mekanisme kerja activated protein C. Kaskade ini menyebabkan status prothrombotic, proinflammatory, dan antifibrinolitik pada sepsis melalui berbagai jalur danActivated protein C banyak terlibat dalam kaskade ini. Efek anti-inflamatif diitunjukan dengan kemampuan activated protein C menghambat produksi inflammatory cytokines oleh monosit dan membatasi adhesi serta rolling neutrofil dan monosit. Protein ini juga menyebabkan inaktivasi berbagai komponen pada kaskade koagulasi, yaitu faktor Va dan VIIIa, yang berperan pada pembentukan thrombin dan pembentukan bekuan fibrin. Dengan menurunnya produksi thrombin dan aktivasi plasminogen activator inhibitor (PAI-1), activated protein C memicu sitem fibrinolitik sehingga disolusi bekuan terjadi lebih cepat.

Sistim koagulasi yang pertama dipengaruhi oleh sepsis adalah tissue factor pathway

(extrinsic pathway). Pada keadaan normal, tissue factor diekspresikan saat endotel mengalami kerusakan. Pada sepsis, thrombin dan IL-6 merangsang sel endotel dan makrofag melakukan upregulate proses ekspresi tissue factor. Tanpa memperhatikan mekanisme yang mlakukan inisiasi kaskade koagulasi, tissue factor mengaktivasi faktor VII. Tahap ini dikendalikan oleh suatu enzim yaitu enzyme tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Faktor VIIa bersama dengan faktor VIIIa (dari kaskade koagulasi intrinsik) menyebabkan aktivasi faktor X. Faktor Xa bersama faktor Va, phospholipids, dan kalsium membentuk suatu kompleks yang menyebabkan konversi prothrombin menjadi thrombin. Thrombin kemudian mengeluarkan molekul-molekul fibrinogen membentuk fibrin, sehingga terbentuk bekuan (fibrin clot). Protein C diaktivasi saat thrombin berinteraksi dengan sel endotel, yang memiliki protein-bound thrombomodulin (suatu enzim pembekuan yang mengaktivasi thrombin). Activated protein C kemudian berperan sebagai feedback loop membatasi pembentukan thrombin dengan cara melakukan inaktivasi faktor Va dan VIIIa.

Pada sepsis, thrombomodulin dilepaskan dari endotel sehingga terjadi aktivasi protein C menurun. Dengan demikian terjadi penurunan aktivitas TFPI karena protease yang dilepaskan oleh neutrofil, menurunkan mekanisme inhibisi feedback dari proses aktivasi faktor VII. Kombinasi adanya peningkatan aktivasi tissue factor pathway dan berkurangnya efek TFPI serta activated protein C menyebabkan kondisi yang disebut procoagulant state. Efek

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

87

fibrinolitik dari activated protein C dimediasi melalui tissue plasminogen activator, yaitu suatu enzim yang berperan menrubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin menyebabkan penguraian bekuan dengan mengadakan degradasi fibrin dan fibrinogen. Tissue plasminogen activator dihambat oleh enzim plasminogen activator inhibitor-1. Activated protein C membatasi aktivitas plasminogen activator inhibitor-1, sehingga meningkatkan fibrinolisis dan mempromosi degradasi mikrothrombi. Activated protein C juga memiliki efek profibrinolitik secara tidak langsung dengan menghambat pelepasan thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor. Dalam keadaan normal, thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor memproteksi bekuan dengan melakukan restriksi ikatan tissue plasminogen activator dan mencegah aktivasi plasminogen lebih lanjut. Oleh karenanya pada sepsis, rendahnya kadar activated protein C akan menyebabkan berkurangnya aktiviats fibrinolitik ini.

Dengan adanya perubahan sistim koagulasi ini mortalitas dan morbiditas pada sepsis berat menjadi tinggi. Pada suatu penelitian Recombinant Human Activated Protein C Worldwide Evaluation in Severe Sepsis (PROWESS) menggunakan pemberian recombinant activated protein C dan drotrecogin alfa (activated) pada pasien dengan sepsis berat, tdibandingkan dengan pemberian placebo, treatment dengan drotrecogin alfa (activated) 24 µg/kg per jam selama 96 jam, memberikan gambaran menyerupai efek activated protein C of endogen (anti-inflamatif, anti-thrombotik, dan profibrinolitik), menunjukan penurunan risiko kematian relatif sebesar 16% disamping peningkatan risiko perdarahan serius 1.5%. Disamping itu, dibandingkan pasien yang menerima placebo, pasien yang menerima drotrecogin alfa (activated) disfungsi kardiovaskuler jarang timbul, resolusi kardiovaskuler dan disfungsi pulmonar yang lebih cepat, dan onset disfungsi hematologik lebih lambat. Dengan sendirinya, berkurangnya organ dysfunction menurunkan angka mortalitas secara keseluruhan pada kasus-kasus yang mendapatkan medikasi.

Respons humoral pada sepsis menimbulkan perubahan permeabilitas vaskuler. Mediator-mediator proinflamasi (misalnya bradikinin) dan sitokin (misalnya, tumor necrosis factor) bersasma-sama leukosit teraktivasi akan meningkatkan permeabiltas vaskuler yang mengakibatkan kebocoran cairan intravaskuler ke ruang interstisium. Kebocoran ini juga menyebabkan penurunan darah yang beredar di sirkulasi dan mempengaruhi difusi oksigen ke jaringan. Depresi miokardium

Dengan resusitasi cairan si adekuat, pasien syok septik akan menunjukan kondisi hiperdinamik yang ditandai oleh peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vaskuler (dengan atau tanpa penurunan mean arterial pressure [MAP]). Dibandingkan dengan pasien-pasien trauma yang diresusitasi, pasien dengan syok septik menunjukan depresi miokardium disamping kondisi hiperdinamik yang kerap menunjukan manifestasi berkurangnya fraksi ejeksi, dilatasi ventrikular dan pendataran kurva Frank-Starling setelah resusitasi cairan.

Depresi miokardium yang nyata terjadi hanya pada beberapa pasien, ditandai adanya dilatasi biventrikular yang bersifat reversibel penurunan ejection fraction, perubahan myocardial compliance, dan penurunan respons kontraktil terhadap resusitasi cairan dan katekolamin. Meski terjadi kerusakan sel-sel miokardium (sebagaimana ditunjukkan oleh adanya peningkatan kadar troponin), penyebab utama terjadinya depresi miokardium bukanlah suatu bentuk gangguan perfusi koroner atau iskemia global, namun karena dilepaskannya myocardial depressant factors MDF). Zat-zat ini adalah tumor necrosis factor- dan IL-1ß, yang dilepaskan sebagai bagian dari kaskade inflamatorik dan timbul dalam bentuk depresi miokardium melalui generasi patologik oksida nitrit dan cyclic guanosine monophosphate bersamaan dengan berubahnya sinyal transduksi oleh ß-adrenergic receptors. Perubahan sinyal transduksi ß-adrenergic receptors ini terjadi karena turunnya kadar protein pada mebran

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

88

sel yang diperlukan oleh ß-adrenergic untuk mengikat dan melakukan transduksi sinyal dan karenanya terjadi kelemahan aktivitas cyclic adenosine monophosphate.

Perubahan kardiovaskuler akut (dilatasi, penurunan ejection fraction, dsb) berlangsung sampai dengan atau lebih dari 4 hari, untuk kemudian pada para survivors, kembali ke normal sampai 7 -10 hari. Ada suatu hal yang janggal terjadi, para survivors dibandingkan dengan para nonsurvivors di awalnya mengalami kemungkinan myocardial depression lebih besar, namun disamping itu, secara paradoksikal memiliki perbaikan fungsi ventrikular lebih awal. Diagnosis SIRS, sepsis dan MODS

Pada luka bakar, SIRS perlu diidentifikasi secara khusus untuk membedakannya dengan kondisi hipermetabolisme yang segera timbul setelah fase ebb dilalui. Baik pada SIRS maupun kondisi hipermetabolik terjadi peningkatan konsumsi oksigen yang secara klinik ditandai gejala yang sama: demam, takikardia, takipnu dan leukositosis. Secara eksplisit dinyatakan, pada kondisi hipermetabolik tidak terjadi gangguan oksigenasi jaringan yang biasanya dibuktikan dengan tidak adanya asidosis laktat atau hipotensi. Kondisi septik dapat berupa suatu keadaan hiperdinamik atau hipodinamik. Keadaan hiperdinamik ditandai dengan demam, takikardia, kulit hangat dan kering, perubahan mental, hiperglikemia, leukositosis dan asidosis metabolik. Keadaan hipodinamik ditandai baik oleh demam atau hipotermia, kulit dingin, takikardia, hipotensi, perubahan mental dan oliguria. Data penyerta meliputi leukositosis atau lekopenia, hipoglikemia, asidosis metabolik, trombosis dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) yang lebih tepat menggunakan istilah Consumption coagulopathy. 1. SIRS.

Heggers (1986) mengajukan kriteria diagnosis sepsis luka bakar ditegakkan bila dijumpai > 5 gejala dari beberapa gejala di bawah ini 1. Takipnu (>40 kali / menit pada dewasa) 2. Ileus berkepanjangan 3. Hiper- atau hipotermia (>38.5oC atau <36.5oC) 4. Perubahan status mental 5. Trombositopenia (<50.000 sel/mm3); 6. Leukositosis (>15.0 sel/mm3) atau -penia (<3.5 sel/mm3) 7. Asidosis atau hiperglikemia yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya

Saat ini, kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of Chest Physicians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 (dua) atau lebih manifestasi berikut selama beberapa hari berturut-turut:

- hipertermia (suhu >38 C) atau hipotermia (suhu <36 C) - takikardi (frekuensi nadi >90 kali per menit) - takipnu (frekuensi nafas >20 kali per menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO2

<32 mmHg) - leukositosis (jumlah leukosit >12000 sel per mm3), lekopeni (<4000 sel per mm3) atau

dijumpai >10% neutrofil dalam bentuk imatur (band). Kriteria ini sampai saat ini masih diperdebatkan, sementara sebagian kinikus mensyaratkan 4 (empat) manifestasi. Alasan yang dikemukakan, bahwa bila mensyaratkan hanya 2 (dua) manifestasi, maka hampir semua kasus dianggap suatu SIRS. Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakterimia), maka SIRS disebut sebagai sepsis.

Kriteria klinik bersifat sangat subyektif dan tidak jelas karena banyak faktor yang dapat menimbulkan gejala dan tanda serupa. Beberapa peneliti mencoba mencari beberapa penanda SIRS (dan atau sepsis), sebagaimana diuraikan berikut.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

89

Kriteria lain diajukan oleh Housinger dkk. (1993): 1. Hipertermia (>38.5oC) atau hipotermia (<36oC) 2. Leukositosis atau leukopenia 3. Trombosit <100.000/mm3: selanjutnya disebut-sebut sebagai penanda sepsis 4. Kebutuhan cairan yang meningkat sangat drastis 5. Kebutuhan oksigen yang meningkat drastis 6. Peningkatan C-Reactive Protein (CRP) >5ng/ml. Sachse dkk (1999) menganggap CRP

sebagai penanda sepsis; karena peningkatan CRP terjadi 2.3 hari lebih awal dari perubahan hitung trombosit maupun manifestasi klinik lainnya

7. Procalcitonin (PCT), suatu bentuk inaktif dari hormon kalsitonin (propeptida asam amino), juga merupakan penanda sepsis dengan sensitivitas 42%, spesifisitas 67% dan efisiensi 57%; meskipun banyak peneliti lain tidak sependapat untuk mencantumkan PCT sebagai penanda sepsis

Sedangkan Kaplan (2002) berpegangan pada dua nilai, yaitu nilai CRP yang meningkat

>50mg/dL pada sepsis (nilai normal >17mg/dL) dan adanya penurunan resistensi insulin.

2. Sepsis. Diagnosis klinik sepsis ditegakkan bila dijumpai gejala klinis disertai adanya sumber

sepsis. Ada beberapa tanda utama (cardinal signs of sepsis) yang mewakili gambaran klinis infeksi akibat mikroba gram-negatif dan gram-positif. Informasi penyebab sepsis ini luka diperoleh dengan cara: 1) melakukan biopsi pada luka untuk pemeriksaan mikrobiologi dengan jumlah mikroba >105 organisme/g jaringan, 2) pemeriksaan histologik yang menunjukan adanya invasi terhadap jaringan. Sementara wound swab dianggap kurang memadai (tidak representatif) untuk menjelaskan adanya infeksi, karena beberapa kemungkinan antara lain: a. Bakteri hanya membentuk koloni yang potensial menimbulkan infeksi, namun b. Belum terbukti adanya invasi bakterial ke jaringan; sementara definisi infeksi adalah masuknya (invasi) bakteri ke jaringan.

Schwarz membagi kondisi patologik ini dalam dua stadium: Stadium I – Kolonisasi jaringan non-vital

a. Kolonisasi superfisial, oleh mikroorganisme yang terdapat di permukaan luka bakar b. Penetrasi mikrobial, oleh mikroorganisme yang dijumpai di eskar c. Proliferasi sub-eskar, multiplikasi mikroorganisme di jaringan sub-eskar

Stadium II - Invasi ke jaringan vital

a. Mikro-invasi, fokus-fokus mikroskopik mikroorganisme di jaringan non-cedera yang letaknya berada langsung di bawah luka bakar

b. Invasi menyeluruh (generalisata), penetrasi mikroorganisme bersifat multifokal dan difus ke jaringan subkutan dan jaringan vital lainnya

c. Invasi mikrovaskuler, mikroorganisme berada di pembuluh-pembuluh darah kecil dan limfe di daerah non-cedera

Menurut Heggers, diagnosis dan identifikasi penyebab sepsis luka bakar harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu: 1) Biopsi luka untuk mikroba: >105 organisme/g jaringan dan / atau pemeriksaan histologik

menunjukan invasi ke jaringan 2) Kultur darah positif 3) Infeksi saluran kemih: mikroba >105 organisme/ml urin 4) Infeksi paru: mikroba dan leukosit pada sputum.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

90

Tabel 5. Kriteria diagnostik sepsis

Variabel umum Demam (suhu core>38oC) Hipotermia (suhu core<36oC) Freakuensi jantung >90/menit Takipnu Perubahan status mental Edema yang sangat bermakna atau balans cairan positif (>20mL/kgBB dalam 24jam) Hiperglikemia (glukosa plasma >120g/dL) tanpa riwayat diabetes Variabel inflamasi Leukositosis (leukosit >12.000/µL) Leukopenia (Leukosit <4.000/µL) Hitung leukosit normal dengan >10% bentuk imatur Variabel hemodinamik Hipotensi arterial (TD Sistolik <90mmHg. MAP <70mmHg atau TD sistolik turun >40mmHg pada

pasien dewasa) SVO2 >70% Cardiac index >3.5L/menit/m2 Variabel organ dysfunction Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 <300) Oliguria akut (<0.5 ml/kgBB/jam) Peningkatan kreatinin >0.5mg/dL Abnormalitas koagulasi (INR >1.5 atau aPTT >60detik) Ileus Trombositopenia (<100.000/µL) Hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total >4g/dL) Variabel perfusi jaringan Hiperlaktatemia (>1mmol/L) Penurunan capillary refill atau bercak kemerahan (mottling)

Keterangan: aPTT: activated thromboplastin time. FiO2 fraksi oksigen pada proses inspirasi. INR international normalized ratio. TD Tekanan darah. SVO2 saturasi oksigen venosa. Dikutip dari Levy dkk. 3. MODS.

Gambar 94. Spektrum perjalanan SIRS menjelaskan Multi-system Organ Failure (MOF) yang

merupakan akhir perjalanan suatu spektrum

SIRS MODS CARS MARS MOF

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

91

Gambar 95. Beberapa parameter SIRS dan MODS berlaku untuk sepsis belum dapat digunakan sebagai penanda (marker) klinis yang sensitiv. Dikutip dan disadur dari Balik RA. Crit Care Clin 2000;16:337-52.

Bagaimana MODS ditegakkan secara klinik, belum didapati kesepakatan kriteria. Ini dapat

dimengerti, mengingat bila melakukan pengukuran terhadap beratnya penyakit, hanya akan diperoleh gambaran sesaat dari proses dinamik yang berjalan sebagai suatu rangkaian kontinu. Sementara bila menggunakan parameter-parameter yang dipakai di klinik saat ini, mengacu pada suatu kondisi terminal (ireversibel) yang tidak lain adalah suatu bentuk kegagalan (organ failure). Penatalaksanaan

Berdasarkan wawasan SIRS dan MODS, paradigma penatalaksanaan luka bakar berubah menjadi suatu rangkaian tindakan yang bersifat lebih agresif; bertujuan mencegah perkembangan SIRS (dan / atau sepsis) serta MODS.

Cedera inhalasi dan syok pada luka bakar berperan sebagai faktor utama pada timbul dan berkembangnya SIRS dan MODS; sehingga harus ditatalaksanai dengan baik. Perubahan paradigma syok beberapa tahun terakhir membawa wawasan baru pada penatalaksanaannya, dikaitkan khususnya dengan resusitasi cairan yang memperhatikan waktu iskemik organ (khususnya hipoperfusi splangnikus).

Dengan pengetahuan dan berangkat dari ”gut is motor of MODS” memuasakan pasien hanya menambah beban berupa atrofi mukosa yang mempermudah timbulnya SIRS dan MODS, oleh karenanya diupayakan pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 24 jam pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa usus (to feed the gut), pemberian NE akan mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut / syok / fase ebb dan mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase flow (to feed the body). Pemberian antasida dan antibiotika spektrum luas yang bersifat poten juga tidak rasional pada kondisi ini, karena merubah pola / habitat kuman yang justru menimbulkan gangguan balans flora usus. Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis harus segera dibuang: nekrotomi dan débridement. Tindakan bedah ini dilakukan seawal mungkin (eksisi dini). Patokan ’seawal’ mungkin adalah 1) bilamana kondisi hemodinamik telah stabil 2) kriteria dini adalah hari ketiga-keempat pasca cedera pada luka bakar sedang, (atau hari

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

92

ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat). Pemilihan waktu dini ini didasari beberapa alasan: 1) mencegah perkembangan SIRS dan MODS dengan cara membuang jaringan nekrosis pemicu dilepaskannya mediator-mediator pro-inflamasi 2) mendahului proses angiogenesis sebagai bagian dari proses penyembuhan (sebab bila eksisi dikerjakan setelah proses ini berkembang, akan menyebabkan perdarahan yang cukup banyak) dan 3) mencegah berkembangnya infeksi. Bila memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang memengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan memperberat stres metabolisme.

Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin dianggap tidak

bermanfaat, terutama bila proses sudah berjalan. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat, namun harus diingat saat pemberian (dikaitkan dengan efek pro-inflamasi dan anti-inflamasi) serta efek sampingnya (peningkatan resistensi perifer, khususnya efek retensi cairan).

Pemberian zat yang meningkatkan imunologik akhir-akhir ini menjadi suatu topik yang ramai dibicarakan. Zat immuno-modulator seperti omega3 sebelumnya diketahui memiliki aktivitas anti-thromboxane yang efektif. Pada penelitian lebih lanjut diketahui bahwa pemberian akan ‘menjinakkan’ leukotriene (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara memengaruhi lypoxygenase pathway pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotriene yang lebih benigna. Pemberian omega6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam arakhidonat, sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih benigna menggantikan tromboksan (Thromboxane A2) yang bersifat maligna. Namun, disisi lain pemberian immuno-modulator kemudian menjadi pro dan kon dengan semakin diketahuinya efek positif maupun negatif dari pemberian farmakonutrien yang memengaruhi sistim imun ini; bahkan pemberian pada kondisi sepsis akan diikuti dengan meningkatnya mortalitas. Hal ini dikaitkan dengan timbulnya CARS tanpa didahului oleh SIRS sebagaimana diuraikan sebelumnya. Bahan Bacaan 1. World Health Organization. Department of injuries and violence prevention. The injury chart book: A graphical

overview of the global burden injuries. Burn mortality rate, available in website: http://www.whqlibdoc.who.int/publications/924156220X.pdf.

2. Moenadjat Y. Profil luka bakar RSUPN CM. Jakarta. Unpublished. 2004. 3. Noor S. Pelayanan luka bakar di RSUD dr Sutomo. Presentasi pada pertemuan Asosiasi Luka Bakar

Indonesia (ALBI) 2003. Komunikasi pribadi. 4. Critical care of burns patients. Asia Connection, 1996Vol. 1 Issue 2; p.9. 5. Major advances in burns care announced at Asia Pasific conference. Asia Connection; 1996.Vol. 1 Issue 2;

p.4. 6. The University of Washington approach to burns managements. Asia Connection; 1996. Vol. 1 Issue 2; p.5. 7. Artz CP, Moncrief JA, Pruitt BA. Burns, a team approach, WB Saunders & Co, Philadelphia: 1979; p.21-22. 8. Boswick JAJ Jr. The Art & Science of Burn Care. Rockville: An Aspen Publication;1987 : p.145. 9. Jeo WS, Moenadjat Y. Factors affecting severe burn mortality rate: a five years evaluation in Cipto

Mangunkusumo hospital burn unit. Indones J Surg 2000. 10. Moenadjat Y. Prognosis dan sistim skor pada luka bakar. Indones J Surg 2001 11. American College of Surgeons. Guidelines for the Operation of Burn Units. Reprinted from Resources for

Optimal Care of the Injured Patient, Chapter 14: Committee on Trauma, 1999. Available in website: http://www.ameriburn.org/guidelinesops.pdf

12. American Burn Association. Advanced Burn Life Support Provider’s manual. 2001. 13. Moenadjat Y. Luka bakar: klinis praktis. edisi revisi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. p.4, 23-28.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

93

14. Alexander RH, Proctor HJ. Advanced trauma life support. Student manual. American College of Surgeon Committee on Trauma. 1993

15. Fry DE. Microcirculatory arrest theory of SIRS and MODS. In: Baue, AE, Faist, E, Fry, DE. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy. New York: Springer, 2000. p.92-100.

16. Editorial: Definitions for sepsis and organ failure. Crit Care Med 1992; 20 (6): 724-726. 17. Baue AE. The complexities of sepsis and organ dysfunction. In: Baue AE, Berlot G, Gullo A (editors). Sepsis

and organ dysfunction: Epidemiology and scoring systems, pathophysiology and therapy. Milano: Springer Verlag; 2000. p.23-31.

18. Moldawer LL, Minter RM, Rectenwald III JE. Emerging evidence of a more complex role for proinflammatory and antiinflammatory cytokines in the sepsis response. In: Baue, AE, Faist, E, Fry, DE. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention and therapy. Springer, 2000; p: 150.

19. Spiess DB: Introduction. J Cardiovasc Pharm27 (Suppl.1):v-vii 1996 Lippincott-Raven Publisher, Publishing] 20. VerrierED and Boyle EM: Endothelial Cell Injury in Cardivascular Surgey: An Overview. Ann Thorac Surg

1997;64:S2-8 21. Ganong WF: In Basic and Clinical Endocrinology; Neuroendocrinolgy. Prentice-Hall International Inc. 22. Guyton AC, Textbook of Medical Physiology 390-399. Saunders Coy 8th Ed. Philadelphia 1995. 23. Goodman JW: Immune Response in Stites DP and Terr AI: Basic and Clinical Immunology. 34-44.7th Edit.

Prentice-Hall International Inc 1991. 24. Rahmat KB. Respon Inflamasi Sistemik. Kuliah Staf. Departemen Ilmu Bedah FKUI. Jakarta: 2005.

Unpublished. 25. Kraiss LW, Martinez ML, Prescott SM, Zimmerman GA. Endothelial function. in Fink MP, Abraham E, Vincent

JL, Kochanek PM. Textbook of Critical care 5th ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders. 2005 p: 145-154. 26. Motterlini R, Kerger H, Green CJ, Winslow RM, Intaglietta M. Depression of endothelial and smooth muscle

cell oxygen consumption by endotoxin. Am. J. Physiol. 275 (Heart Circ. Physiol. 44):H776–H782, 1998. 27. Neumeister MW, Song YH, Mowlavi A, Wilhelmi BJ, Chambers C. Gene Expression Profile following

Ischemia Reperfusion Injury of the Rat Skeletal Muscle. J Burns & Surg Wound Care [serial online] 2004;3(1):8. Available from URL: http://www.journalofburnsandwounds.com.

28. Wallner SF, Warren GH. The haemopoietic response to burning: an autopsy study. Burns 1986;12:22-77. 29. Wolach B, Coates TD, Hulgi TE, et al. Plasma lactoferrin reflects granulocyte activation via complement in

burn patients. J Lab Clin Med 1984;103:284-93. 30. Peterson V, Hansbrough J, Buerk C, et al. Regulation of granulopoiesis following severe thermal injury. J

Trauma 1983;23:19-24. 31. Bartlett RH, Fong SW, Marrujo G, Hardeman T, Anderson W. Coagulation and platelet changes after thermal

injury in man. Burns 1981;7:370-7. 32. Eurenius K, Mortensen PF, Meserol PM, Curreri PW. Platelet and megakaryocyte kinetics following thermal

injury. J Lab Clin Med 1971;79:147-257. 33. Housinger TA, Brinkerhoff C, Warden GD. The relationship between platelet count, sepsis, and survival in

pediatric burn patients. Arc Surg 1993;128:65-7. 34. Holm C et al. Haemodynamic and oxygen transport rensponses in survivors and non survivors following

thermal injury. Burns journal of international society for burn injuries. Vol 26 Number 1, Febr. 2000. p : 25 35. Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders; 2001; p:47-68. 36. Demling RH. Burn modules. Available in website: http://www.burnsurgery.org, 2001. 37. Nelson RD, Hasslen SR, Ahrenholz DH, et al. Mechanisms of loss of human neutrophil chemotaxis following

thermal injury. J Burn Care Rehabil. 8:496,1987. 38. Mileski W, Borgstrom D, Lightfoot E, et al. Inhibition of leukocyte-endothelial adherence following thermal

injury. J. Surg. Res. 52:334,1992. 39. DeMeules JE, Pigula FA, Mueller M, et al. Tumor necrosis factor and cardiac function. J. Trauma

32:686,1992. 40. Burke AS, Cox RA, Barrow RE, Traber D, Hawkins, HK. Ovine lung apoptosis after thermal burn and smoke

inhalation. Proceeding book of American Burn Association 34th annual meeting. S119. 41. Cohen J, Brun-Buisson C, Torres A, Jorgensen J. (2004). Diagnosis of Infection in Sepsis: An Evidence

Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 466-494. 42. Dellinger RP, Cartlet JM, et al. (2004). Surviving Sepsis Campaign Guidelines for Management of Severe

Sepsis and Shock. Critical Care Medicine, 32(3), 858-873. 43. Ely EW, Kleinpell RM, Goyette RE (2003). Advances in the Understanding of Clinical Manifestations and

Therapy of Severe Sepsis: An Update for Critical Care Nurses. American Journal of Critical Care, 12, 120-133.

44. Fourrier F. (2004). Recombinant Human Activated Protein C in the Treatment of Severe Sepsis: An Evidence-Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 534-541.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

94

45. Friedman G, Silva E, Vincent JL. (1998). Has the Mortality of Septic Shock Changed with Time? Critical Care Medicine, 2078-2086.

46. Keh D, Sprung, C. (2004). Th use of Corticoid Steroid Therapy in Patients with Sepsis and Septic Shock: An Evidence-Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 527-533.

47. Klienpell RM (2003). The Role of the Critical Care Nurse in the Assessment and Management of the Patient of Severe Sepsis. Critical Care Nurse Clinician, 15(1), 27-34.

48. Levy M, Provonost P, Dellinger P, et al. (2004). Sepsis Change Bundles: Converting Guidelines Into Meaningful Change in Behavior and Clinical Outcomes. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 595-597.

49. Lundberg JS, Perl TM, Wiblin T, et al. (1998). Septic Shock: An Analysis of Outcomes for Patients with Onset on Hospital Wards Versus Intensive Care Units. Critical Care Medicine, 13, 818-829.

50. Marshall, J., Maier, R., Himenez, M., & Dellinger, P. (2004). Source Control in the Management of Severe Sepsis and Septic Shock. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 513-526.

51. Rhodes A, Bennett D. (2004). Early Goal-Directed Therapy: An Evidence Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 448-450.

52. Rivers E, Nyguen B, Havstad S, Resseler J, Muzzin A., Knoblich B., Peterson E., Tomlanovich M. (2001). Early Goal Directed Therapy in the Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock. New England Journal of Medicine, 345(19), 1368-1377.

53. Roman-Marchant O, Orellana-Jimenez CEA., DeBacker D, Melot C, Vincent JL (2004). Septic Shock of Early or Late Onset: Does It Matter? Chest 126, 173-178.

54. Sevransky, J. E., Levy, M.M., Marini, J.J. (2004). Mechanical Ventilation in Sepsis-Induced Acute Lung Injury/Acute Respiratory Distress Syndrome: An Evidence Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 548-553.

55. Vincent JL, Gerlach H. (2004). Fluid Resuscitation in Severe Sepsis and Septic Shock: An Evidence-Based review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 451-454.

56. Zimmerman J. (2004). The use of Blood Products in Sepsis: An Evidence-Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 542-547.

57. Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N engl j med 2003 348;2 www.nejm.org

58. Molitoris BA. Intravital Multi-photon Microscopy to Visualize Renal Endothelial Cell Injury and Dysfunction . The Lilly Foundation to Indiana University School of Medicine.

59. Sherwood ER, Toliver-Kinksy T, Lin C, Varma T, Herndorn DN. Smoke inhalation injury causes suppression of systemic immune responses. S59.

60. Penulis: Judul. In: Herndorn DN (editor). Total burn care. 2nd ed. London: Saunders; 2002.p.120-169. 61. Takala J. Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states. Crit. Care and Shock (1998) 1: 40-45. 62. Lindblom L, et al. Role of nitric oxyde in the control of burn perfusion. Burns journal of international society for

burn injuries. Vol 26 Number 1, Febr 2000. p. 19-23 63. Yowler CJ, Frantianne RB. Current status of burn resuscitation. In: Luce EA (guest ed). Clinics in plastic

surgery, an international quarterly. Philadelphia: WB Saunder and Co., 2000; 27(1):p-10. 64. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference: Definitions

for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992; 20 (6): 864-874.

65. Deitch EA, Rutan R, Waymack JP, et al. Trauma, shock, and gut translocation. New Horizon. 4:289,1996. 66. Baue AE. Gut: importance of bacterial translocation, permeability and other factors. In: Baue AE, Faist E, Fry

DE. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy. New York: Springer, 2000. p.86-91. 67. Moenadjat Y, Benny P. Penatalaksanaan stress ulcer di unit pelayanan khusus luka bakar (UPKLB) RSUPN

dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Disampaikan pada pertemuan ilmiah tahunan Perhimpunan spesialis bedah Indonesia (Ikabi). Yogyakarta, 2001.

68. Bakker, JJ. Complication of severe burns, oral presentation in burns symposium and workshop, Jakarta, 1997.

69. Moncada S, Higgs A. The L-arginine-nitric oxide pathway. NEJM:339:2002-2012 70. Zhang, JG, Galin4anes, M. Role of the L-arginine/nitric oxide pathway in ischemic/re-oxygenation injury of the

human myocard. Available in websites: http://www.cs.portlandpress.com/099/0497/0990497.pdf 71. Salyapongse AN, Billiar TR. Nitric oxide as a modulator of sepsis. In: Baue, AE, Faist, E, Fry, DE. Multiple

organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy. New York: Springer, 2000. p.170-187. 72. Warden GD, Jr, Mason AD, Pruitt BA, Jr. Evaluation of leukocyte chemotaxis in vitro in thermally injured

patients. J. Clin. Invest. 54:1001,1974. 73. Bone RC, Balk R, Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of

development of multiple organ failure. Chest 1992; 101: 320-326. 74. Catotto R, Cooper AB,. Esmond JR, Gomez M, Fish JF. Early clinical experience with high-frequency

oscillatory ventilation for ARDS in adult burn patients. J Burn Care Rehabil 2002; 22,5325-333

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

95

75. Working group on metabolism and nutrition. Workshop on ARDS, Jakarta 2002. 76. Respiratory Care: Educational symposia. Available in manual book of 36th Annual meeting of American Burn

Association. Vancouver: 2004. 77. Oetoro S, Permadhi I, Witjaksono F. Perubahan metabolisme pada luka bakar. Dalam: Moenadjat, Y. Luka

Bakar. Pengetahuan klinik praktis, edisi revisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. halaman 40-43 78. Pasulka PS, and Wachtel TL. Nutritional considerations for the burned patient. Surg. Clin. North Am.

67:109,1987 79. Metabolism in starvation and trauma. TNT course providers manual. Abbot Laboratories International. 2001. 80. Moenadjat Y. Sindroma respons inflamasi sistemik (SRIS), sindroma disfungsi organ multipel (MODS) dan

sepsis pada kasus luka bakar. Disampaikan pada Pertemuan ilmiah tahunan (PIT) IV Perhimpunan dokter spesialis bedah plastik Indonesia (Perapi). Bandung 1999; Dalam: Moenadjat Y. Luka Bakar: Pengetahuan klinis praktis, edisi revisi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. p.4, 23-28.

81. Moenadjat Y. Burn Infection. Disampaikan pada Kursus penyegar dan penambah ilmu kedokteran (KPPIK) FKUI. Februari 2004.

82. Moenadjat Y. The irrational use of antibiotics in burn: an obsession that could be fatal. Indonesian J Plast recon surg. 3;2004

83. Monaffo WW, Bessey PQ. Wound care. In: Herndorn DN (editor). Total burn care. 2nd ed. London: Saunders; 2002. p.109-119.

84. Arturson G. Pathophysiology of the burn wound and pharmacological treatment: Burns 1996; 21 (4): 255-274. 85. Luterman A, Dacso CC, Curreri PW. Infections in burn patients. Am J Med 1986;81:45-52. 86. Hinshaw LB, Lee PA, Pryor RW, Pathogenesis and therapy of the multi-system organ failure. In Pollock AV.

Immunology in surgical practice. London: Edward Arnold, 1991; 350. 87. Heggers JP, Hal Hawkins, Edgar P, Villareal C, Herndorn DN. Treatment of infection in burns. In: Herndorn

DN (editor). Total burn care. 2nd ed. London: Saunders; 2002.p.120-169. 88. Heggers JP, Robson MC. Infection control in burn patients. Clin Plas Surg 1986; 13:39-47 89. Schwarz K, Dulchavsky S. Burn Wound Infections. Available in website:

http://www.emedicine.com/med/burnwoundinfection.html 90. Ali J, Adam RU, Gana TJ, Bedaysie H, Williams JI. Effect of the prehospital trauma life support program

(PHTLS) on prehospital trauma care. J Trauma 1997; 42(5):786-90 91. Martin JAJ. Acute Management of the Burned Patient, WB Saunders & Co., Philadelphia-London-Toronto,

1990, p:138. 92. Saffle JR, Stephen E. Morris, Linda Edelman. Early tracheostomy does not improve outcome in burn patients.

J Burn Care Rehabil 2002; 23:431-438 93. Marik PE (editor). Handbook of evidence based critical care. New York: Springer; 2001. 94. Dellinger RP. Lung. In: Baue, AE, Faist, E, Fry, DE. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention and

therapy. Springer, 2000; p: 353-364. 95. McManus WF, Pruitt BA Jr. Thermal Injuries. In: Feliciano DV, Moore EE, Mattox KL, editors. Trauma. 3rd ed.

Connecticut: Appleton & Lange, 1996; 937-50 96. Endpoints of Resuscitations. Symposium in 36th Annual meeting of American Burn Association. Vancouver,

2004. 97. Cartotto RC, Innes MBA, Musgrave Melinda A, Gomez MB, Cooper A. How well does the Parkland formula

estimate actual fluid resuscitation volumes? J. Burn care and rehabilitation volume 23 No 4, July/August 2002, 258-269

98. Baxter CR. Fluid volume and electrocyte changes in the early postburn period. Clin. Plast. Surg. 1:693,1974. 99. Editorial: Monitoring the L-arginine-nitric oxide pathway in septic shock: choosing the proper point of attack. J

Crit. Care medicine 2001. 27: 2019-21 100. Waxman. Monitoring in Shock: Stomach or Muscle, J: Crit.Care Med. Vol 27 No 9, Sep.99, p: 2028 101. Baron BJ, et al. Efffects of traditional versus delayed resuscitation on serum lactate and base deficit, Burns

Journal of International Society for Burn Injuries, Vol 43 Number 1, 1999. p : 39 102. Huang PP, Stucky FS, Dimick AR, et al. Hypertonic sodium resuscitation is associated with renal failure and

death. Ann. Surg. 221:543,1995. 103. Kvetan V. The effect of Pressors and Inotopes on Regulation of Cytokine Release in Shock, Crit.Care and

Shock (1998) 1:26-39 104. Oetoro S. Pengaruh pemberian nutrisi enteral dini terhadap stres metabolisme penderita luka bakar di ULB

RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 1999-2000. Tesis magister sains ilmu gizi klinik.Jakarta: FKUI. 2001. 105. Lozano DD, J. Noordenbos RN, P Muller PAS. Fuchs RD, JF. Hansbrough. Metabolic requirements in

patients with inhalation injuries. S112. Cedera inhalasi meningkatkan BEE 140%. 106. Asia Connection Vol.1 Issue 2, 1996, Clinical Focus: Key role played by nutrition in wound healing. p:10. 107. Laitung G. Metabolic responses and requirements. in: Principles and practice of burn management. p:137 108. Mjaaland M. Nutritional support of surgical patients. IPRAS meeting, Bali, 1995

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

96

109. Moenadjat Y, Metabolic changes and nutrition in burn. Oral presentation in Expert meeting, Singapore. 1999. 110. Matarese LE, Gottschlich MM. Contemporary nutrition support practice, a clinical guide. Philadelphia : WB

Saunders Company, 1998 : 590. 111. Rombeau JL, Cadwell MD. Enteral & tube feeding. Clin.Nutr. Vol.1. Philadelphia: WB Saunders Co, 1984 :

412. 112. Tienboon P, Chuntrasakul C. Nutrition and metabolic support in clinical practice. National library of Thailand

cataloging in publication data. 1998 : 115. 113. Sunatrio S. Sistim energi ganda pada nutrisi parenteral. Presentasi pada temu ilmiah IKABI Jaya, Jakarta.

1999. 114. Moenadjat Y. Immune compromise in the critically illness. Disampaikan pada symposium perioperatif I. 2003 115. Moenadjat Y. Pro and Con of Arginine. Disampaikan pada symposium Nutri Indonesia 2004. Jakarta. 116. Rombeau JL. Total Nutrition Therapy Course. An integrated approach to patient care. Program manual.

Pensylvania: 2000 117. Sauer EW. Surgical treatment of burn wounds. Oral presentation in burn symposium and workshop. Jakarta,

1997. 118. Kao CC, Garner WL. Acute Burns. J Plast and Reconst Surg 2000;105:2482-2493 119. Ahrens T, Vollman K. (2003). Severe Sepsis Management. Are We Doing Enough? Critical Care Nurse,

(Suppl. 11), 455-465. 120. Balk RA (1998). Outcome of Septic Shock: Location, Location, Location. ritical Care Medicine, 26, 1020-

1024. 121. Beale RJ, Hollengberg SM, Vincent JL, Parrillo JE (2004). Vasopressor and Inotropic Support in Septic

Shock: An Evidence-based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 455-465. 122. Bouchud PY, Bonten M, Marchetti O, Calandra T. (2004). Antimicrobial Therapy for Patients with Severe

Sepsis and Septic Shock: An Evidence Based Review. Critical Care Medicine, 32(Suppl. 11), 495-512. 123. Wolfe SE. Metabolic Changes in Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society

(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005. 124. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society

(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005. 125. Wallner SF, Warren GH. The haemopoietic response to burning: an autopsy study. Burns 1986;12:22-77. 126. Wolach B, Coates TD, Hulgi TE, et al. Plasma lactoferrin reflects granulocyte activation via complement in

burn patients. J Lab Clin Med 1984;103:284-93. 127. Peterson V, Hansbrough J, Buerk C, et al. Regulation of granulopoiesis following severe thermal injury. J

Trauma 1983;23:19-24. 128. Bartlett RH, Fong SW, Marrujo G, Hardeman T, Anderson W. Coagulation and platelet changes after thermal

injury in man. Burns 1981;7:370-7. 129. Eurenius K, Mortensen PF, Meserol PM, Curreri PW. Platelet and megakaryocyte kinetics following thermal

injury. J Lab Clin Med 1971;79:147-257. 130. Housinger TA, Brinkerhoff C, Warden GD. The relationship between platelet count, sepsis, and survival in

pediatric burn patients. Arc Surg 1993;128:65-7. 131. Pruitt BA. Complications of thermal injury. Clin Plast Surg 1974;1:667-91. 132. Lennquist S, Lindell B, Nordstrom H, Sjoberg HE. Hypophosphatemia in severe burns. Acta Chir Scard

1979;145:1-6. 133. Szyfelbein SK, Drop LJ, Martyn JA. Persistent ionized hypocalcemia in patients during resuscitation and

recovery periods of body burn. Crit Care Med 1981;9:454-458. 134. Iqbal SJ. Giles M. Ledger S. Nanji N. Howl T. Need for albumin adjustments of urgent total serum calcium.

Lancet 1988;2(8626-8627):1477-8. 135. Nordstrom H, Lennquist S, Lindell B, Sjoberg HE. Hypophosphatemia in severe burns. Acta Chir Scand

1977;143:395-9. 136. Herndon DN (ed.). Total Burn Care. London: WB Saunders Co.1996, pp.260,262. 137. Salem M, Munoz R, Chernow B. Hypomagnesemia in critical illness: A common and clinically important

problem. Crit Care Clin 1991; 7:225.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

97

Bab III

4. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada Luka Bakar

Yefta Moenadjat

cute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan suatu kondisi klinik berupa edema pulmonar yang sampai saat ini sulit dijelaskan definisinya. Ada beberapa

terminologi yang menjelaskan kondisi klinik ini, namun sebelumnya harus dipahami bahwa kondisi ini berhubungan dengan sepsis dan atau trauma; bukan merupakan suatu cardiogenic pulmonary edema.

ARDS sebelumnya merupakan singkatan dari Adult Respiratory Distress Syndrome (Patty & Asbaugh, 1971). Terminologi ini digunakan untuk membedakannya dengan bentuk kongenital atau lebih dikenal dengan sebutan Neonatal Respiratory Distress Syndrome (Hyaline Membrane Disease). Pada perkembangan selanjutnya, terminologi yang digunakan adalah Shock Lung Syndrome atau “Da Nang lung” (Straub, 1974), karena kondisi ini banyak dijumpai pada korban cedera selama perang Vietnam. Terminologi terakhir yang dipakai sejak diselenggarakan pertemuan konsensus mengenai ARDS (American-Europe Consensus Committee, 1992) menyepakati kepanjangan ARDS yaitu Acute Respiratory Distress Syndrome; meskipun sebagian ahli tetap menganut terminologi Acute Lung Injury (ALI) atau Acute Lung Damage (ALD) untuk entitas kondisi klinik ini.

Patofisiologi ARDS

Bertambahnya pengetahuan mengenai patofisiologi ARDS memberi dampak penurunan angka kematian, hal ini terlihat pada peningkatan angka ketahanan hidup (survival rate) dari tahun ke tahun. Pada tahun 1967-1969 sebesar 18-38%, 1980-1989 sebesar 41-52% dan pada tahun 1990-2000 sebesar 41-60%; paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir angka ketahanan hidup penderita ARDS telah mengalami peningkatan sebanyak 20%.

Faktor yang memengaruhi angka mortalitas

Beberapa faktor berperan sebagai faktor predisposisi dan pencetus dalam memengaruhi insidens serta angka kematian pada ARDS, antara lain: Usia Faktor resiko: sepsis 64%, trauma 42% Komplikasi: sepsis 86%, 38% tanpa sepsis Respons terhadap Positive End-Expiratory Pressure (PEEP): rasio PaO2/FiO2 >150mmHg

berkisar 23% (angka keseluruhan adalah 43%) Lain-lain: disfungsi hepar, disfungsi ventrikel kanan, keganasan, alkoholis, penggunaan

ventilator

Hasil akhir dari suatu ARDS Sekuel pulmonar

o Pada kebanyakan kasus (tidak disebutkan secara pasti) fungsi paru kembali normal o Gejala residual yang mungkin timbul:

Restriksi paru ringan sampai sedang

A

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

98

Hipertensi pulmonar Keterbatasan / hambatan saluran nafas akibat hiperaktivitas bronkial

o Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) berat Sekuel non pulmonar

o Keterbatasan aktivitas sehari-hari, yang sebetulnya merupakan dampak dari sekuele pulmonar

Pertemuan konsensus selanjutnya diselenggarakan pada tahun 1998, membahas

beberapa permasalahan dalam penegakkan diagnosis dan hal-hal lain yang membedakan ARDS dengan ALI, disekitar permasalahan: 1. Akut dan atau kronik 2. Derajat kerusakan paru, ditentukan oleh Lung Injury Score (LIS) 3. Kerusakan paru yang disebabkan sepsis

Gambar 96. Patogenesis ARDS pada trauma. Dikutip dan disadur dari Bone RC, Balk R, Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of development of multiple organ failure. Chest 1992

Misalnya, ALI memiliki onset akut dengan masalah oksigenasi (rasio PaO2/FiO2) <300mmHg dan gambaran infiltrat bilateral pada pemeriksaan radiologik toraks; sedang ARDS juga memiliki onset akut dengan oksigenasi (rasio PaO2/FiO2) <200mmHg dan gambaran infiltrat bilateral pada pemeriksaan radiologik toraks. Dengan demikian tidak dijumpai perbedaan antara ALI dan ARDS selain masalah oksigenasi (rasio PaO2/FiO2) yang tidak bermakna. Para ahli tetap berusaha mencari perbedaan diantara keduanya, akhirnya dicoba melakukan pengukuran Pulmonary Artery Wedge Pressure (PAWP) dimana pada ARDS dijumpai nilai kurang dari 18mmHg dengan syarat pengukuran ini dilakukan saat tidak dijumpai adanya tanda klinik hipertensi atrium kiri (kembali pada definisi non-cardiogenic pulmonary edema).

Namun bila dikaji lebih lanjut, banyak dijumpai kelemahan dalam mendefinisikan atau membedakan ARDS dengan ALI yang mengacu pada parameter-parameter tersebut di atas. Misalnya, batasan ‘onset akut’ harus dipertegas, karena ARDS dapat dijumpai pada hari kelima (90%) maupun pada hari ke tujuh (100%). Dari parameter derajat kerusakan paru yang ditentukan oleh LIS, tidak dijumpai perbedaan bermakna dari nilai-nilai oksigenasi (rasio

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

99

PaO2/FiO2). Gambaran infiltrat bilateral pada pemeriksaan radiologi toraks dinilai tidak spesifik. Disamping itu nilai PAWP dinilai kurang sensitif.

Pemeriksaan yang diperlukan dan dianggap akurat mungkin adalah suatu penanda. Dari sekian banyak parameter klinik, ada suatu penanda yaitu nilai konsentrasi protein yang dikandung cairan transudat pada lavase sekret bronko-alveolar. Konsentrasi protein pada Bronchial-Alveolar Lavage (BAL) >0.75mg, menandakan bahwa edema yang timbul disebabkan oleh ARDS. Penyebab ARDS

Penyebab ARDS sangat beragam, diantaranya dijelaskan adanya cedera langsung

maupun cedera tidak langsung pada pulmonary dan jaringan nekrosis lainnya sebagaimana dijumpai pada cedera berat termasuk luka bakar. Cedera pulmonar langsung yang sering dijumpai antara lain pneumonia dan aspirasi; jarang disebabkan oleh kontusio paru, emboli lemak dan cedera inhalasi. Cedera pulmonar tidak langsung yang sering dijumpai antara lain sepsis dan cedera multipel. Luka bakar dan jaringan nekrosis lainnya memicu pelepasan mediator-mediator pro inflamasi seperti sitokin, radikal bebas dan sebagainya yang akan merusak sel termasuk alveoli.

Gambar 97. Anatomi unit respirasi mulai dari percabangan brokus utama sampai alveoli. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

100

Gambar 98. Histopatologi ARDS. Neutrofil dan leukosit PMN yang beredar di sirkulasi pada proses inflamasi akut menyebabkan produksi mediator pro-inflamasi, eikosanoid dan radikal bebas di alveoli. Terjadi proses inflamasi akut disertai meningkatnya permeabilitas kapiler perialveolar disertai edema dengan meningkatnya jumlah makrofag di ruang alveoli. Fibrin-fibrin membentuk membran hialin di mukosa alveolus mengganggu proses difusi dan perfusi (pertukaran gas).

Gambar 99. Patofisiologi ARDS pada kasus trauma. Dikutip dan disadur dari Bone RC, Balk R, Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of development of multiple organ failure. Chest 1992

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

101

Klinis

Beberapa pertanda klinik dijumpai pada ARDS, berkaitan dengan faktor predisposisi dan pencetus. Di lain pihak, pada kondisi-kondisi tersebut di bawah yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, sangat mungkin telah dijumpai ARDS.

Syok yang tidak responsif terhadap resusitasi Periode laten berlangsung antara 12-48 jam Insidious tachypnea Stiff lung, PAWP , Tidal volume , takikardia Hipoksemia refrakter Mutlak membutuhkan ventilasi mekanik Kematian

Radiologis

Foto toraks menunjukan gambaran infiltrat bilateral yang berbeda dengan gambaran radiologik pada pneumonia. Histopatologis

Histopatologis, dijumpai 3 (tiga) fase, sebagaimana dijumpai pada pneumonia, yaitu:

Fase eksudasi Berlangsung sejak 0 sampai 5 hari Fase inflamatorik Berlangsung setelah 5 hari sampai dengan 10 hari Fase fibro-proliferatif Berlangsung setelah 10 hari sampai dengan penyembuhan

atau kematian

Gambar 100. Perubahan patologik membran basalis alveolus pada ARDS. Kerusakan surfaktan disertai pembentukan membran hialin yang menghalangi proses perfusi difusi; terjadi karena proses inflamasi sistemik dengan fokus primer di luar paru. Dikutip dan disadur dari Bone RC, Balk R, Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of development of multiple organ failure. Chest 1992

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

102

Gambar 101. Gambaran radiologik pada ARDS (kiri) memberikan informasi infiltrat bilateral, berbeda dengan gambaran pneumonia dengan honey-comb appearance (kanan, tanda panah).

Gambar 102. Gambaran patologi ARDS post-mortem; ketiganya menunjukan konsolidasi parenkim. Dikutip dari Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders; 2001

Gambar 103. Gambaran histopatologi ARDS. A dan B pada fase eksudatif, C pada fase inflamatorik dan D pada fase fibroproliferatif. Dikutip dari Neuman P. Lung dysfunction in early phase of sepsis. In Baue, AE, Berlot, G, Gullo, A. Sepsis and organ dysfunction. The challenges continuous. Milano: Springer Verlag, 2000

A B

C D

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

103

Penatalaksanaan Yang menjadi pola pikir pada penatalaksanaan ARDS maupun SIRS dan MODS saat ini

adalah pencegahan, penatalaksanaan resusitasi (jalan nafas dan cairan-sirkulasi) adekuat dan perawatan intensif pada kasus trauma berat seperti luka bakar. Ini dikerjakan dengan melakukan beberapa rangkaian tindakan agresif seperti resusitasi saluran cerna dan manajemen luka. Ventilator mekanik yang berperan sebagai alat bantu pernafasan, tidak banyak menolong dan tidak memperbaiki angka kematian.

Pemberian zat-zat anti inflamasi dilaporkan tidak banyak memperbaiki keadaan, meskipun dasar kelainan ini adalah proses inflamasi. Penatalaksanaan kini diarahkan dengan mengupayakan melalui pemberian Nutrisi Enteral; memberikan zat-zat yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat seperti omega3 dan omega6. Diketahui bahwa pemberian kedua zat ini akan ‘menjinakkan’ leukotriene (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara memengaruhi lypoxygenase pathway pada metabolisme asam arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotriene yang lebih benigna. Pemberian omega6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam arakidonat, sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih benigna menggantikan tromboksan (Thromboxane A2) yang bersifat maligna.

Antioksidan seperti Vitamin C, vitamin E, Selenium (Se) dan sebagainya mutlak diperlukan karena adanya deplesi antioksidan akibat peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) yang terjadi karena stres oksidatif pada trauma (lihat gambar 99 pada halaman 100).

Gambar 104. Diagram metabolisme asam arakidonat yang terdiri dari dua jalur, yaitu jalur cyclo-oxygenase dan lypoxygenase. Melalui jalur pertama dihasilkan Prostaglandin (terutama PGE2) yang memiliki efek vasodilatasi sistemik dan relaksasi bronkus; Tromboksan (terutama TXA2) yang memiliki efek bronkokonstriksi, vasokonstriksi pulmonar dan agregasi trombosit; dan Leukotrien (terutama LTB4) yang memiliki efek kemotaksis dan agregasi leukosit dan edema pulmonar. Pemberian omega3 dan omega6 akan memengaruhi metabolisme di masing-masing jalur, sehingga PGE2 dan TXA2 serta LTB4 akan diproduksi dalam bentuk lain yang lebih benigna. Metabolisme asam arakidaonat tetap berlangsung, namun ARDS, SIRS dan MODS tidak terjadi. Dikutip dan disadur dari Hinshaw LB, Lee PA, Pryor RW. Pathogenesis and therapy of the multi-system organ failure. In Pollock AV. Immunonolgy in surgical practice. London-Melbourne-Auckland: Edward Arnold, 1991

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

104

Bahan Bacaan 1. Murakami K, Enkhbaatar P, Shimoda K, Chandra A, Herndorn DN. Role of nitric oxide synthase (NOS)-1 and

2 in acute lung injury in sepsis with smoke inhalation in sheep. Available in: Proceeding book of the American Burn Association 34th annual meeting, April 24-27, 2002.S50

2. Sherwood ER, Toliver-Kinksy T, Lin C, Varma T, Herndorn DN. Smoke inhalation injury causes suppression of systemic immune responses. Available in: Proceeding book of the American Burn Association 34th annual meeting, April 24-27, 2002.S59.

3. Burke AS, Cox RA, Barrow RE, Traber D, Hawkins HK. Ovine lung apoptosis after thermal burn and smoke inhalation. Available in: Proceeding book of the American Burn Association 34th annual meeting, April 24-27, 2002.S119.

4. Saffle JR, Morris SE, Edelman L. Early tracheostomy does not improve outcome in burn patients. J Burn Care Rehabil 2002; 23:431-438

5. Lozano DD, Noordenbos J, Muller PA, Fuchs S. Hansborough J. Metabolic requirements in patients with inhalation injuries. Available in: Proceeding book of the American Burn Association 34th annual meeting, April 24-27, 2002.S112.

6. Catotto R, Cooper AB, Esmond JR, Gomez M, Fish JS. Early clinical experience with high-frequency oscillatory ventilation for ARDS in adult burn patients. J Burn Care Rehabil 2002; 22,5325-333

7. Hinshaw LB, Lee PA, Pryor RW. Pathogenesis and therapy of the multi-system organ failure. In Pollock AV. Immunonolgy in surgical practice. London-Melbourne-Auckland: Edward Arnold, 1991; 350.

8. Baue AE. The complexity of sepsis and organ dysfunction. In Baue, AE, Berlot, G, Gullo, A. Sepsis and organ dysfunction. Epidemiology and scoring systems, pathophysiology and therapy. Milano: Springer Verlag, 2000; 23.

9. Neuman P. Lung dysfunction in early phase of sepsis. In Baue, AE, Berlot, G, Gullo, A. Sepsis and organ dysfunction. The challenges continuous. Milano: Springer Verlag, 2000; 23.

10. Bone RC, Balk R, Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of development of multiple organ failure. Chest 1992; 101: 320-326.

11. Working group on metabolism and clinical nutrition. Workshop on ARDS, Jakarta 2002. 12. Respiratory Care: Educational symposia. Available in manual book of 36th Annual meeting of American Burn

Association. Vancouver: 2004. 13. Burn Modules: Pulmonary problems in Burn Patients. Available in websites: http://www.burnsurgery.org 14. Tredget EE, Shankowsky HA, Taerum TV, et al. The role of inhalation injury in burn trauma: a Canadian

experience. Ann. Surg. 212:720,1990. 15. Smith DL, Cairns BA, Ramadan F, et al. Effect of inhalation injury, burn size, and age on mortality: a study of

1447 consecutive burn patients. J. Trauma 37:655,1994. 16. Holm C et al. Haemodynamic and oxygen transport rensponses in survivors and non survivors following

thermal injury. Burns journal of international society for burn injuries. Vol 26 Number 1, Febr. 2000. p : 25 17. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society

(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

105

Bab III

5. Ulkus stres & perdarahan saluran cerna pada luka bakar

Yefta Moenadjat Benny Phillippy

lkus stres (stress ulcer) merupakan penyulit yang dapat diamati terjadi pada kasus luka bakar berat sebagaimana dijumpai pada kasus trauma berat lainnya, sepsis, pasca

operasi besar, kasus-kasus kritis dalam perawatan intensif dan kasus strok. Dalam literatur disebutkan bahwa enam puluh lima persen kasus luka bakar dengan luas lebih dari 35% mengalami erosi mukosa usus dan 74% kasus berkembang menjadi ulkus stres. Dengan adanya penyulit ini, angka mortalitas kasus luka bakar menjadi semakin besar sehingga ulkus stres ini merupakan salah satu indikator prognosis pada kasus luka bakar1. Di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta insidens ulkus stres ini sejak tahun 1980 tercatat kurang lebih 20%, terjadi pada kasus luka bakar derajat II-III >40%; umumnya pada hari ke 3-5 pasca cedera termis; sejak tahun 1995 insidensnya menurun (kl. 1-1.6%) dan hampir tidak pernah dijumpai sejak tahun 1997.

Tampaknya, menurut konsep SIRS dan MODS, teori kejadian atau berkembangnya ulkus stres ini kurang tepat, dengan konsekuensi tatalaksana yang berbeda. Beberapa hal yang menarik untuk diamati dan dibahas dalam penatalaksanaan ulkus stres ini; khususnya yang berkenaan dengan pemberian medikamentosa, memuasakan pasien, dan pemberian Nutrisi Enteral. Ulkus stres & hipoperfusi splangnikus

Ulkus stres ini dikenal dengan sebutan lain yaitu Curling ulcer. Kondisi ini dibahas secara

khusus dalam patologi gastrointestinal pasca cedera termal dan merupakan manifestasi dari kegagalan foregut akibat syok

Sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya, enam puluh lima persen kasus luka bakar dengan luas lebih dari 35% mengalami erosi mukosa usus dan 74% kasus berkembang menjadi ulkus stres1. Dalam literatur lain disebutkan insidens yang diperoleh melalui survai pemeriksaan post mortem adalah 25%, sedangkan secara klinik 10%6. Insidens ulkus stres pada anak-anak di bawah usia lima tahun adalah 43%2, wanita relatif lebih sering dibandingkan kaum pria ( 53:47).

Ulkus stres ini biasanya terjadi dalam sembilan puluh enam jam (rerata 3-5 hari) pasca cedera termis. Waktu terpendek yang dilaporkan adalah lima jam pasca cedera6; sementara literatur lain menyebutkan terjadinya ulkus stres ini tidak dapat ditentukan secara spesifik pada hari keberapa.

Lokasi anatomik tersering adalah gaster (daerah fundus, korpus) dan dinding posterior duodenum. Secara histopatologik, 81% ulkus stres letaknya superfisial dan merupakan bentuk erosi mukosa, 20-25% mencapai lapisan muskularis mukosa, 11% menembus lapisan muskularis bagian dalam, dan 7% menembus lapisan transmural gaster. Pada daerah duodenum 6% mencapai lapisan mukosa, 12% mencapai lapisan muskularis mukosa dan 35% mencapai lapisan muskularis bagian dalam dan 29% mencapai lapisan muskularis bagian luar. Pada kedua lokasi tersebut, insidens perforasi 12%; dengan rasio yang sama antara gaster dan duodenum. 75% ulkus memiliki diameter kurang dari. 0.5cm; 78% kasus bersifat soliter

U

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

106

sedangkan 25% bersifat multipel. Tidak adanya respons inflamasi seperti edema dan indurasi membedakannya dengan ulkus peptikum yang bersifat kronik.

Gambar 105. Gambaran histopatologi disrupsi mukosa saluran cerna pada gangguan perfusi: A menunjukkan gangguan integritas mukosa (pembesaran 25X). B menunjukkan proses Iskemia disertai pecahnya kapiler submukosa disertai perdarahan (pembesaran 100X) dan C pada pembesaran 40X. Pada gambar D ditunjukkan erupsi vili yang mengarah pada atrofi. Dikutip dan disadur dari Takala J. Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states. J Crit.Care and Shock (1998) 1:40-45

Gambar 106. A. Menunjukan disrupsi mukosa pada pem-besaran 100X dan B pembesaran 25X, ditandai adanya perubahan degeneratif vili dan perdarahan pada kelenjar (tanda panah). Dikutip dan disadur dari Takala J. Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states. J Crit.Care and Shock (1998) 1:40-45

Menurut teori sebelumnya, diduga kuat ulkus stres disebabkan karena pengaruh stres

yang terjadi pada luka bakar, sebagaimana juga terjadi pada kasus trauma berat lainnya. Luka bakar dan trauma lainnya berperan sebagai stresor mengakibatkan gangguan yang dijelaskan sebagai suatu kondisi dimana terjadi dominasi faktor agresi dan melemahnya faktor defensi. Teorinya mengenai keseimbangan faktor agresi dan defensi diterapkan pada beberapa jenis ulkus, baik ulkus yang disebabkan karena stres psikis maupun stres fisik akibat trauma ulkus stres yang timbul pada pasien kritis dalam perawatan intensif dan pasca operasi besar sejalan dengan penjelasan mengenai etiologi timbulnya ulkus stres oleh Fitts. Dominasi faktor agresi digambarkan oleh peningkatan kadar asam lambung, gastrin, pepsin, refluks cairan empedu; termasuk efek nikotin alkohol serta obat-obatan aspirin dan steroid, dijelaskan sebagai efek rangsangan sistim saraf parasimpatis yang lazim dijumpai menyusul suatu kondisi trauma.

A B

A B

C D

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

107

Melemahnya faktor defensi digambarkan oleh gangguan pada epitel beserta proses regenerasinya; penurunan kadar prostaglandin dan bikarbonat di mukosa lambung, gangguan produksi dan fungsi musin dan surfaktan (fosfolipid), serta gangguan mikrosirkulasi. Peningkatan kadar kortisol tanpa perubahan nilai kadar ACTH hipofisis anterior diduga merupakan efek rangsangan ortosimpatis (sementara bila disertai peningkatan kadar ACTH disebabkan gangguan pada hipofisis anterior); menyebabkan penurunan kadar prostaglandin mukosa. Gangguan mikrosikulasi dijelaskan sebagai akibat dari efek katekolamin dan glukagon yang meningkat pada kondisi stres.

Curling menjelaskan kondisi tipikal untuk ulkus stres yang disebabkan oleh luka bakar, yaitu sebagaimana dijelaskan Fitts dkk. 1. Cedera mukosa gastrik akibat syok (Curling, Czaja, Freisen dan Menguy), hipoproteinemi

dan cedera pipa nasogastrik (Carasquilla) 2. Sekresi gastrik normal (O’neill, McClelland, Lucas, Moody dan Zinner) 3. Efek proteksi mukosubstan menurun. (O’neill, Chernov, McClelland dan Lucas) 4. Penurunan efek barier mukosa gastrik (Gordon, Moody, Czaja, Alhany) Sementara Harjodisastro7 menjelaskan kondisi yang tipikal untuk suatu Curling ulcer: 1. Keasaman lambung normal dijumpai pada kasus luka bakar 20%, sedangkan

peningkatan kadar asam lambung dijumpai pada kasus luka bakar dengan luas 20% ). 2. Kadar gastrin normal, 3. Peningkatan kadar kortisol dalam darah 4. Dijumpai iskemia mukosa yang diperoleh dari pemeriksaan endoskopi dengan konfirmasi

pemeriksaan histopatologi.

Dalam literatur lain6 dijelaskan bahwa erosi mukosa yang terjadi memiliki korelasi dengan cedera inhalasi dan presentasi luas luka bakar. Pada kasus-kasus dengan riwayat cedera inhalasi, Pada kasus luka bakar 50%, erosi mukosa ini berhubungan dengan stres pada luka bakar itu sendiri; sedangkan bila dijumpai pada kasus luka bakar 20% biasanya berhubungan dengan sepsis. Lebih lanjut dinyatakan bahwa peningkatan keasaman lambung dan gastrin tidak memiliki korelasi dengan erosi yang timbul.

Kvetan dan Takala menjelaskan iskemia mukosa usus terjadi akibat hipoperfusi

splangnikus (gangguan homeostasis) pada fase syok berperan sebagai penyebab ulkus stres. Teori ini bersifat lebih rasional dan implikatif, menunjang teori Harjodisastro akan temuannya mengenai iskemia mukosa serta memiliki relevansi dengan peran katekolamin dan glukagon pada kondisi stress. Teori ini juga menjelaskan perubahan fungsi barier mukosa yang mempermudah terjadinya translokasi bakteri. Berbagai penelitian klinik dilakukan menunjang teori ini, dan pemeriksaan histopatologik pada otopsi menunjukkan kebenaran teori ini.

Ulkus stres ini memberikan gejala perdarahan gastrointestinal masif dan memiliki angka mortalitas tinggi. Bila kesadaran penderita dalam keadaan baik, gejala awal yang dijumpai adalah dispepsi dengan derajat berbeda dari ringan sampai berat, disusul dengan hematemesis dan hematoskezia. Pada penderita dengan gangguan kesadaran, ulkus stres dicurigai timbul pada berbagai kondisi berat.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat cedera, disertai adanya tanda klinik

hematemesis, cairan hitam pada pipa nasogastrik. Pada pemeriksaan endoskopi dijumpai keseluruhan mukosa pucat, erosi mukosa akut tanpa indurasi disekitarnya; dijumpai ptekhia eritematus dan makula disertai fokus hemoragik pada mukosa. Pada pemeriksaan histopatologik dijumpai gambaran erosi mukosa yang khas ditandai oleh edema mukosa akut,

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

108

kongesti mikrovaskuler dengan mikrokotrombi fibrin, dengan shunt submukosa atau adanya vasokonstriksi lokal; disertai fokus-fokus hemoragik.

Penatalaksanaan

Penanganan perdarahan saluran cerna akibat iskemia mukosa atau ulkus stres dimulai dari kecurigaan timbulnya kondisi klinik ini pada kasus-kasus luka bakar berat; dibedakan atas penatalaksanaan awal yang bersifat pencegahan dan penatalaksanaan disaat timbul manifestasi klinik. Dalam kesempatan ini dibatasi hanya pada penatalaksanaan awal; sedangkan penatalaksanaan disaat timbul manifestasi klinik mengikuti protokol penatalaksanaan hematemesis melena yang berlaku.

Penatalaksanaan awal dikaitkan dengan penatalaksanaan fase akut (fase syok) terrmasuk penatalaksanaan resusitasi saluran cerna pada luka bakar fase akut sebagaimana diuraikan pada bab 4.3. Bahan Bacaan 1. Settle JAD. Principles and practice of burns management. New York Edinburgh London Madrid Melbourne

San Fransisco Tokyo: Churchill Livingstone, 1996. 2. Artz CP, Moncrief JA, Pruittt BA. Burns, a team approach. Philadelphia London Toronto: WB Saunders

Company, 1979. 3. Martyn JAJ. Acute management of the burned patient. Philadelphia London Toronto Montreal Sydney

Tokyo: WB Saunders Company, 1990. 4. Bakker JJ. Complications of severe burns, disampaikan pada acara Burn Symposium and Workshop, FKUI

Jakarta, 1997. 5. Baue AE, Faist E, Fry DE. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention, and therapy, New York

Berlin Heidelberg Barcelona Budapest Hongkong London Milan Paris Santa Clara Singapore Tokyo: Springer, 2000.

6. Boswick JA, Jr. The Art and science of burn care. Royal Tunbridgewells, Maryland, Ashton Publisher, 1987.

7. Harjodisastro D. Tukak stres, Simposium Tukak Peptik, Jakarta, 1993. 8. Harjodisastro D., Tukak stres pada penderita strok, desertasi gelar Doktor pada Program Pascasarjana

FKUI, Jakarta, 1995 9. Rombeau JL, Caldwell M.D. Enteral and tube feeding, clinical nutrition, Vol.1, Philadelphia London Toronto

Mexico City Rio de Janiero Sydney Tokyo: WB Saunders Company, 1984 10. Tienboon P, Chuntrasakul, C, Siltham, S, Yamwong, P, Chockvivatanavavit, S. Nutrition and metabolic

support in clinical practice. Bangkok: National Library of Thailand Cataloging in Publication Data, 1998. 11. Moenadjat Y. Luka bakar, pengetahuan klinik praktik, Farmedia, Jakarta, 2000. 12. Moenadjat Y, Prasetyono TOH, Wifanto J. Faktor yang berperan pada prognosis kasus luka bakar, FKUI,

Jakarta, 2000 13. Guntoro, Moenadjat Y. Insidens sindrom respons inflamasi sistemik dan sindrom disfungsi organ multipel

di UPK LB RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, FKUI, Jakarta, 2000 14. Prasetyono TOH. Peran pemberian nutrisi enteral dini pada perkembangan sindrom respons peradangan

sistemik dan sindrom disfungsi organ multipel pada kasus luka bakar, FKUI, Jakarta, 2000 15. Oetoro S. Peran pemberian nutrisi enteral dini terhadap stres metabolisme penderita luka bakar, tesis

pada Program Magister Ilmu Gizi Klinik, FKUI, Jakarta: 2000 16. Moenadjat Y. Faktor prognosis dan sistim skoring pada luka bakar. Ropanasuri J I bedah Indon:2000 17. Kvetan V. The effect of pressors and inotopes on regulation of cytokine release in shock, Crit.Care and

Shock (1998) 1:26-39 18. Takala J. Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states. J Crit.Care and Shock (1998) 1:40-45. 19. Holm C, et.all. Haemodynamic and oxygen transport responses in survivors and non survivors following

thermal injury, Burns Journal of International Society for Burn Injuries, vol. 26 Number 1, Febr. 2000 : 25

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

109

BAB III

6. Abdominal Compartment Syndrome pada Luka Bakar

Yefta Moenadjat

bdominal compartment syndrome (ACS) atau peningkatan tekanan intra-abdominal umumnya merupakan penyulit pasca major abdominal surgery maupun trauma

abdomen. Beberapa studi menunjukan adanya peningkatan tekanan intra-abdominal pada kasus-kasus tersebut diikuti penurunan fungsi jantung, penurunan compliance paru dan perfusi ke renal.

Gambar 107. Hipoperfusi splangnikus menyebabkan perdarahan saluran cerna yang berlanjut menjadi sindroma kompartemen abdominal (ACS). Syok dan sindroma kompartemen intra abdominal menyebabkan terjadinya hipoperfusi splangnikus yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu lingkaran setan (lihat kembali gambar 41 halaman 47).

Bukan saja permasalahan yang disebutkan di atas timbul pada ACS; permasalahan lain seperti hipoperfusi splangnikus dan perdarahan saluran cerna yang menjadi motor MODS dan meningkatkan mortalitas, peningkatan tekanan intrakranium dan bersifat fatal.

Pada luka bakar, bagaimanapun tidak ada suatu kondisi patologi primer di intra-abdominal,

sehingga adanya ACS pada luka bakar sampai saat ini jarang terdeteksi. Ada beberapa studi yang mengamati ACS pada luka bakar berat, melibatkan 40 kasus.

Studi pertama, Greenhalgh & Warden menunjukan insiden abdominal hypertension yang tidak berkembang menjadi ACS sebesar 37% pada luka bakar berat. Studi oleh Ivy dkk menunjukan 7 dari 10 kasus luka bakar berat menunjukan abdominal hypertension; namun hanya dua yang berkembang dan menunjukan gejala dan tanda ACS. Studi lain memberikan informasi bahwa ACS mungkin dijumpai pada kasus-kasus luka bakar berat >70% luas permukaan tubuh.

Studi lain menunjukan 18 kasus mengalami hipertensi abdominal dan tidak menunjukan insiden maupun survivability dari populasi luka bakar. Studi ini juga menunjukan bahwa dengan jumlah kasus yang terlalu minim ini, hanya sejumlah kecil pasien memerlukan tindakan

A

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

110

dekompresi; namun memiliki prognosis yang buruk; karenanya timbul perdebatan yang mempertanyakan apakah laparotomi dekompresif merupakan tindakan terbaik pada kasus luka bakar dengan ACS. Suatu studi melibatkan hanya empat kasus yang mengalami ACS, hanya dua yang dapat bertahan hidup; namun studi ini tidak menunjukan indikasi mortalitas 50% pada hasil studinya.

Pada studi-studi ini, pemeriksaan adanya peningkatan tekanan intra-abdominal dilakukan dengan penerapan metode Kron, yaitu mengukur tekanan buli, dikatakan adanya ACS ditunjukan dengan tekanan >30mmHg, meskipun kecurigaan adanya ACS timbul pada pasien-pasien dengan syok bila tekanan intravesika menunjukan nilai >25mmHg.

Gambar 108. Cara melakukan pengukuran tekanan buli menurut metode Kron. Pasien dalam posisi supinasi. Masukan 50mL cairan ke dalam buli lalu kateter di klem distal dari aspiration port. Pengukuran dilakukan saat akhir ekspirasi. Bila tekanan >30mmHg menandakan adanya peningkatan tekanan intra-abdominal.

Metode lain yang dilakukan untuk mendeteksi adanya peningkatan tekanan intra-

abdominal adalah menggunakan parameter klinik yaitu adanya ketegangan pada dinding abdomen, dikombinasi dengan tingginya peak inspiratory pressures (PIP) yang mengurangi kemampuan mem-ventilasi pasien atau adanya oliguria yang terjadi setelah resusitasi cairan agresif.

Keterangan: ● Pasien dengan ACS, ○ pasien tanpa ACS. Gambar 109. Diagram yang menggambarkan hasil yang diperoleh melalui pemeriksaan peak inspiratory pressures (PIP) sebanding dengan hasil yang diperoleh melalui pemeriksaan tekanan intra-buli (intra-bladder pressures, IBP). Pada diagram di atas tampak distribusi pasien dengan ACS dan pasien tanpa ACS menempati area yang sama pada pengukuran menggunakan peak inspiratory pressure (PIP) dan intra-bladder pressure (IBP) setelah resusitasi cairan dalam 24 jam pertama.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

111

Ada beberapa kemungkinan penyebab yang dikemukakan pada pembahasan dan diskusi dari studi-studi yang dilakukan maupun di literatur, antara lain berkembangnya excessive third spacing pada periode resusitasi, diduga sangat kuat berhubungan dengan respons inflamasi inisial pasca cedera.

Timbulnya ACS yang dikaitkan dengan resusitasi cairan agresif menjadi suatu topik yang menarik. Di satu sisi, cardiac output terganggu pada fase awal selama dijumpai hipovolemia. Namun, dengan pemberian cairan kristaloid masif dalam 24 jam pertama, akumulasi cairan (akibat overhidrasi) dapat terjadi di paru (pulmonary edema) dan asites yang menjadi pemicu timbulnya ACS. Berkaitan dengan pemberian cairan resusitasi masif ini, beberapa peneliti mendapatkan bahwa pemberian cairan melebihi 200mL/kg/12jam (peneliti lain mendapatkan jumlah berbeda, yaitu 300mL/kg/24jam) terpapar pada risiko timbulnya ACS. Risiko ini dihadapkan pada kasus-kasus luka bakar luas (>30% TBSA); bukan saja luas, namun juga kedalaman luka dan adanya cedera inhalasi (yaitu, kasus-kasus yang memerlukan cairan resusitasi lebih banyak).

Keterangan: ■ pasien dengan ACS, □ pasien tanpa ACS

Gambar 110. Grafik yang memberikan informasi distribusi pasien yang mengalami ACS dan tidak mengalami ACS setelah resusitasi cairan dalam 24 jam pertama.

Penyebab lain yang dikemukakan dikaitkan dengan repons inflamasi sekunder yang di picu

oleh bakteremia dan sepsis; tergolong kelompok dengan onset lambat namun memiliki tingkat survival rate yang lebih tinggi dibandingkan kelompok pertama (kelompok yang memperoleh resusitasi masif). Belum dapat dijelaskan mengapa terdapat perbedaan dalam survival rate ini.

Tatalaksana

Pemantauan menjadi sangat penting dalam penatalaksanaan timbulnya ACS, khususnya

dikaitkan dengan resusitasi cairan pada kasus luka bakar luas >50%. Ada keunikan masalah pada luka bakar, antara lain: 1) sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak ada patologi primer di intra-abdomen, 2) tidak ada sayatan laparotomi sebelumnya dan 3) banyak memperdebatkan bahwa pada kasus luka bakar dengan kehilangan barrier protektif dihadapkan pada suatu tindakan yang meningkatkan morbiditas.

Tindakan preventif yang dilakukan berkaitan dengan timbulnya ACS dan mengupayakan tindakan dekompresi seawal mungkin adalah dengan melakukan dekompresi nasogastrik,

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

112

sedasi, dan pharmacologic paralysis pada kasus-kasus yang memerlukan cairan resusitasi dalam jumlah besar.

Diperlukan strategi dalam resusitasi cairan, dengan mengurangi pemberian cairan kristaloid dan menggantikannya dengan koloid (lihat resusitasi cairan).

Bahan Bacaan 1. Hobson KG, Young KM, Ciraulo A, Palmer TL, Greenhalgh DG. release of Abdominal Compartment

Syndrome Improves Survival in Patients with Burn Injury. J Trauma, Injury, Infection and Critical Care vol 53 no 6, 1129-34

2. Watson RA, Howdieshll TR. Abdominal Compartment Syndrome. Southern Med J vol 91 no.4, 328-32 3. Steven L.Lee et al, The Journal of Trauma, Injury, Infection and Critical Care, Vol 52, No.52, June 2002 4. Oda J, Yamashita K, Inoue T, Harunari N, Ode Y, et al. Resucitation fluid volume and abdominal

compartment syndrome in patients with major burns. Burns 32 (2006) 151-4.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

113

BAB IV

Resusitasi Luka Bakar

Yefta Moenadjat

esusitasi luka bakar fase akut merupakan suatu standar (gold standard) dalam pertolongan kasus luka bakar12. Resusitasi menjadi mutlak atau mandatorik karena

menyangkut hidup-matinya korban (merupakan rangkaian tindakan yang dilakukan pada kondisi life-threatening).

Resusitasi ini dilakukan berdasarkan prioritas sebagaimana diuraikan dalam Advanced Trauma Life Support (ATLS), Advanced Burn Life Support (ABLS) atau lainnya. Kesemuanya menekankan prioritas ABC (Airway Breathing and Circulation) dalam pertolongan kondisi gawat darurat ini.

Pada bab ini diuraikan secara berurutan, perihal resusitasi jalan nafas (airway), mekanisme bernafas (breathing mechanism) dan gangguan sirkulasi (circulation) pada kasus luka bakar dengan karakteristik permasalahannya. Fase Akut

12 Mengacu pada evidence based medicine (diuraikan pada bab pertama) gold standard adalah suatu keharusan. Resusitasi merupakan hal yang mutlak dikerjakan, sedangkan bentuk prosedurnya tergantung pada beberapa masalah yang dijumpai.

R

RESUSITASI

LUKA BAKAR

Gangguan ABC

1 RESUSITASI JALAN NAFAS

2 RESUSITASI MEKANISME BERNAFAS

3 RESUSITASI CAIRAN

ESKAROTOMI MOIST DRESSING

4 RESUSITASI SALURAN CERNA

5 MANAJEMEN LUKA

P R I O R I T A S

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

114

Bab IV

1. Resusitasi Jalan Nafas pada Luka Bakar

Yefta Moenadjat

esusitasi jalan nafas merupakan prioritas pertama pada kasus luka bakar dengan cedera inhalasi baik dengan atau tanpa gejala distres pernafasan. Tindakan resusitasi dilakukan

dengan melakukan serangkaian prosedur, antara lain: 1. Intubasi dan atau krikotiroidotomi 2. Penghisapan lendir (sekret) secara berkala 3. Terapi inhalasi: nebulizer dan atau lavase bronko-alveolar 4. Proses rehabilitasi 5. Penggunaan ventilator

Intubasi dan krikotiroidotomi

Intubasi (pemasangan pipa endotrakea) dan atau krikotiroidotomi emergensi dikerjakan

pada kesempatan pertama pada kasus yang dicurigai atau dijumpai tanda-tanda klinik cedera inhalasi dan kasus luka bakar luas (luka bakar kritis). Prosedur intubasi dilakukan sebelum dijumpai tanda-tanda klinik obstruksi jalan nafas yang menyebabkan distres pernafasan, sedangkan pada kasus dengan distres pernafasan dikerjakan krikotiroidotomi emergensi.

Banyak perbedaan pendapat mengenai resusitasi jalan nafas ini: 1) pemilihan sarana (intubasi atau krikotiroidotomi) 2) mengenai timing yang tepat dan 3) konversi intubasi ke krikotiroidotomi; dikaitkan dengan beberapa keadaan, yaitu ada-tidaknya gejala distres pernafasan dan luka bakar luas (luka bakar kritis). Perbedaan pemilihan dan alasan penerapan intubasi dan atau krikotiroidotomi yang menimbulkan perdebatan ini diuraikan sebagai berikut.

Intubasi dianggap lebih mudah dikerjakan, bersifat non-invasif. Penilaian patologi mukosa di daerah orofaring dapat dikerjakan saat melakukan prosedur intubasi menggunakan laringoskop. Ada suatu catatan yang perlu digarisbawahi pada prosedur intubasi emergensi, membedakannya dengan prosedur intubasi pada kasus elektif. Pada kasus emergensi dimana jelas dijumpai patologi mukosa orofaring, prosedur intubasi hanya dapat dilakukan satu kali saja (tidak dapat diulang sampai 2-3 kali sebagaimana prosedur elektif) karena trauma laringoskopik dan insersi pipa itu sendiri akan menimbulkan edema di daerah orofaring; menyebabkan patologi mukosa akibat cedera inhalasi bertambah berat. Dalam kondisi demikian (kegagalan intubasi), prosedur krikotiroidotomi menjadi pilihan. Beberapa kekurangan atau kelemahan dijumpai pada penggunaan pipa endotrakea, antara lain: 1) peningkatan dead space yang tidak dijumpai pada penggunaan kanula trakeostomi, 2) penghisapan lendir (sekret) tidak membersihkan lendir (sekret) yang terletak diantara pipa dengan bronkus, 3) terapi inhalasi (nebulizer) yang bertujuan mencairkan lendir (sekret) tidak mencapai ruang diantara pipa dengan bronkus, demikian pula prosedur lavase bronko-alveolar tidak dapat menjamah daerah ini. Baik pipa endotrakea maupun kanula trakeostomi terpapar pada kemungkinan obstruksi oleh mucus plug sehingga memerlukan pembersihan (pencucian) secara reguler. Permasalahan timbul pada intubasi, pada kasus luka bakar dengan cedera mukosa saluran nafas (cedera inhalasi) tidak dibenarkan melakukan prosedur re-intubasi. Kesemuanya mengarahkan para intensivis untuk melakukan konversi intubasi menjadi krikotiroidotomi dan atau trakeostomi bila diperlukan penggunaan pipa berkepanjangan.

R

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

115

Gambar 111. Luka bakar akut dengan kecurigaan cedera inhalasi. Pemasangan pipa endotrakea merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa menunggu adanya distres pernafasan. Baik intubasi dan atau krikotiroidotomi merupakan sarana pembebasan jalan nafas dari sekret yang diproduksi, memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial dikerjakan. Namun pada kondisi obstruksi, krikotiroidotomi merupakan indikasi dan pilihan pertama.

Gambar 112. Krikotiroidotomi berbeda dengan trakeostomi. Yang pertama disebutkan dikerjakan di antara kartilago krikoid dan tiroid (gambar bawah); lebih ke kranial dibandingkan trakeostomi klasik. Dikutip dan disadur dari Thompson PB, Herndon DN, Traber DL, Abston S. Effect on mortality of inhalation injury. J Trauma, 26 (2): 163-5, 1986

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

116

Penghisapan lendir berkala Penghisapan lendir dilakukan secara reguler (berkala); bertujuan membebaskan jalan

nafas agar aliran udara (oksigen) berlangsung dengan baik. Prosedur ini diperlukan karena umumnya refleks batuk pasien pada kondisi kritis menurun, sementara adanya lendir ini dapat menyebabkan obstruksi karena bercampur dengan mukosa yang mengelupas (sloughing mucosa). Prosedur ini hanya dapat dikerjakan pada kasus dengan intubasi dan atau krikotiroidotomi, oleh karenanya prosedur intubasi dan atau krikotiroidotomi merupakan indikasi.

Gambar 113. Perbedaan antara intubasi dengan krikotiroi-dotomi menyangkut beberapa hal: 1) Dead space pada intubasi jauh lebih besar dibandingkan krikotiroidotomi 2) Tidal volume pada intubasi menjadi lebih kecil 3) Efektivitas

a) Humidifikasi b) Penghisapan sekret c) Lavase bronko-alveolar lebih sulit dikerjakan pada intubasi d) Komplikasi atelektasis lebih besar terjadi pada intubasi

4) Pasien tidak dapat berbicara dengan intubasi; erosi pita suara 5) Morbiditas vs mortalitas

Terapi inhalasi

Terapi inhalasi bertujuan melakukan upaya meredam proses inflamasi mukosa jalan nafas yang meradang dan mencairkan lendir (sekret) dengan menghembuskan uap air (nebulizer) dan atau lavase bronko-alveolar. Prosedur ini hanya dapat dikerjakan pada kasus dengan intubasi dan atau krikotiroidotomi, oleh karenanya kembali ditegaskan prosedur intubasi dan atau krikotiroidotomi merupakan indikasi pada luka bakar dengan cedera inhalasi.

Terapi inhalasi dikerjakan secara berkala menggunakan uap air (kadang di klinik digunakan larutan fisiologik NaCl 0.9% atau Ringer’s Lactate) ditambahkan bronkodilator. Rasional pemberian bronkodilator menjadi suatu perdebatan, karena bronkospasme tidak dijumpai pada semua kasus, namun hanya pada luka bakar listrik dan kimiawi. Namun, dengan adanya kerusakan mukosa yang menyebabkan hilangnya neutral endopeptidase (NEP), maka bronkokonstriksi dimungkinkan terjadi (lihat aktivitas mediator pada patofisiologi cedera jalan nafas, halaman 26).

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

117

Ada pemikiran untuk menambahkan beberapa zat yang bertujuan simtomatik. Gejala hipersekresi diatasi dengan pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses inflamasi akut menggunakan steroid (misal dexamethasone, Pulmicort ) yang kontroversial. Keduanya dibubuhkan ke dalam larutan NaCl 0.9% atau RL yang digunakan baik untuk terapi inhalasi maupun lavase bronko-alveolar.

Sebenarnya tidak ada batasan berapa kali atau berapa lama terapi ini dikerjakan dalam 24 jam. Prinsipnya sesering mungkin dan selama mungkin dalam upaya menjadikan sekret mencair (sehingga mudah dihisap) dan meredam proses inflamasi akut. Rehabilitasi pernafasan

Proses rehabilitasi sistim pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat dikerjakan sejak fase akut antara lain: 1) Pengaturan posisi (positioning), 2) melatih refleks batuk dan 3) melatih otot-otot pernafasan. Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasiv, kemudian dilakukan secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien sudah kooperatif. Sebelumnya dianggap posisi tegak atau setengah duduk merupakan posisi terbaik untuk rehabilitasi sistim pernafasan, namun belakangan disebutkan posisi pronasi diikuti perbaikan problema pernafasan secara bermakna. Melatih refleks batuk dimulai dengan melakukan vibrasi dan atau menepuk-nepuk dada serta punggung pasien (clapping) secara periodik. Latihan otot-otot pernafasan dilakukan dengan melatih otot-otot interkostalis, pektoralis dan dinding abdomen. Penggunaan ventilator

Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan distres pernafasan secara bermakna memperbaiki fungsi sistim pernafasan dengan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) dan volume control. Hal yang perlu diingat bahwa penggunaan pressure control bukan merupakan pilihan yang tepat pada kasus ARDS.

Indikasi fisiologik penggunaan ventilator dikaitkan dengan indikasi perawatan intensiv:

1. Apical pulse <40 atau >150 kali per menit (>130 kali per menit pada usia >60tahun) 2. Mean Aretrial Pressure (MAP) <60mmHg setelah resusitasi cairan adekuat (>1500ml)

atau kebutuhan pemberian zat vasoaktif untuk mempertahankan MAP>60mmHg 3. Tekanan Darah Diastolik >110mmHg dengan

Edema paru Ensefalopati Iskemia miokardial Aneurisma aorta Eklampsia atau preeklampsia (diastolik >100mmHg) Perdarahan subarakhnoid

4. Frekuensi pernafasan >35 kali permenit atau adanya respiratory distress 5. PaO2 <55mmHg dengan FiO2 >0.4 (akut) 6. Kalium serum >6.5mEq/L (akut) 7. pHa <7.2 atau > 7.6 (pada ketoasidosis diabetikum <7.0) 8. Glukosa serum >800mg/dl 9. Kalsium serum >15mg/dl 10. Temperatur (core) <32oC

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

118

Bahan Bacaan 1. Beeley JM, Clark RJ. Respiratory problems in fire victims. In: Settle JAD (editor). Principles and practice of

burns management. New York: Churchill Livingstone; 1996. p.117-36. 2. Baret JP, Herndon DN. Color atlas of burn care. London: WB Saunders; 2001; p:47-68. 3. Demling RH. Burn modules: Pulmonary problems. Available in website: http://www.burnsurgery.org, 2004. 4. Tredget EE, Shankowsky HA, Taerum TV, et al. The role of inhalation injury in burn trauma: a Canadian

experience. Ann. Surg. 212:720,1990. 5. Smith D. L, Cairns BA, Ramadan F, et al. Effect of inhalation injury, burn size, and age on mortality: a study

of 1447 consecutive burn patients. J. Trauma 37:655,1994. 6. Sherwood ER, Toliver-Kinksy T, Lin C, Varma T, Herndorn DN. Smoke inhalation injury causes suppression

of systemic immune responses. S59. 7. Bone RC, Balk R, Slotman G, et al: Adult Respiratory Distress Syndrome, Sequence and importance of

development of multiple organ failure. Chest 1992; 101: 320-326. 8. Catotto R, Cooper AB, Esmond JR, Gomez M, Fish JS. Early clinical experience with high-frequency

oscillatory ventilation for ARDS in adult burn patients. J Burn Care Rehabil 2002; 22,5325-333 9. Working group on metabolism and nutrition. Workshop on ARDS, Jakarta 2002. 10. Respiratory Care: Educational symposia. Available in manual book of 36th Annual meeting of American Burn

Association. Vancouver: 2004. 11. Saffle JR, Stephen E. Morris, Linda Edelman. Early tracheostomy does not improve outcome in burn patients.

J Burn Care Rehabil 2002; 23:431-438 12. Neuman P. Lung dysfunction in early phase of sepsis. In: Baue AE, Berlot G, Gullo A (editors). Sepsis and

organ dysfunction: The challenges continuous. Milano: Springer Verlag; 2000. p.17-33. 13. Tomashefsky JF. Acute respiratory distress syndrome: Pulmonary pathology of acute respiratory distress

syndrome. Clin chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website: http://www.home.mdconsult.com/das/article/body/1/jorg

14. Steinberg KP, Hudson LD. Acute respiratory distress syndrome: Acute lung injury and acute respiratory distress syndrome, the clinical syndrome. Clin chest med 2000; vol 21 no.3. Available in website: http://www.home.mdconsult.com/das/article/body/1/jorg

15. Adianto S, Moenadjat Y. Trakeostomi pada luka bakar dengan cedera inhalasi, studi retrospektif di Unit Luka Bakar RS dr Cipto Mangunkusumo. Unpublished; 2001.

16. Mokhtar, Moenadjat Y. Trakeostomi pada luka bakar dengan cedera inhalasi: sebagai tindakan pencegahan ARDS. Unpublished; 2002.

17. Herndon DN, Langer F, Thompson P, Linares HA, Stein M, Traber DL. Pulmonary injury in burned patients. Surg Clin North Am 1987; 67:31-46.

18. Mathay MA, Geyser T, Matalon S. Oxydant-mediated lung injury in the adult respiratory distress syndrome. J: Crit.Care Med. Vol 27 No 9, Sep.99, p:2028

19. Burke AS, Cox RA, Barrow RE, Traber D, Hawkins HK. Ovine lung apoptosis after thermal burn and smoke inhalation. Proceeding book of American Burn Association 34th annual meeting. S119.

20. Thompson PB, Herndon DN, Traber DL, Abston S. Effect on mortality of inhalation injury. J Trauma, 26 (2): 163-5, 1986

21. Stone HH, Martin JD Jr. Pulmonary injury assosiated with thermal burns. Surg Gynecol Obstet 1969; 129:1242-46.

22. McCal JEl, Cahill TJ. Respiratory Care of the Burn Patient. J Burn Care Rehabil 2005 26(3); p.200-206 23. A Collective Task Force Facilitated by the American College of Chest Physicians; the American Association

for Respiratory Care; and the American College of Critical Care Medicine. Evidence-Based Guidelines for Weaning and Discontinuing Ventilatory Support. Chest 120(6), 2001 Supplement. 375S-395S.

24. Memorial Medical Center Respiratory Care Protocols. Respiratory Care Services, Springfield, IL, 2005. 25. American Burn Association. Practice Guidelines for Burn Care. Inhalation Injury: Initial Management. Journal

of Burn Care and Rehab 2001. 23S-26S. 26. Pierce LNB. Guide to Mechanical Ventilation and Intensive Respiratory Care, First Edition. Philadelphia:

Saunders 1995. 27. Marino PL. The ICU Book. 2nd Ed. Lippencott Williams & Wilkins 1998. 28. Stetson JB. Introductory essay in prolonged tracheal intubation. Int Anesthesiol Clin 1970; 8:774-775. 29. Benedixen HH, et al. Respiratory care. St. Louis: CV Mosby Co. 1965. 30. Marino PL. The ICU Book 2nd Ed. Lippencott Williams & Wilkins 1998. 31. Caruso DM, al-Kasspooles MF, Matthews M, Weiland D, Schiller WR. Rationale for early percutaneous

dilational tracheostomy in patients with burn injuries. J Burn Care Rehab 1997;18(5):424-8. 32. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society

(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

119

33. Leng CH. Airway Management & Fluid Resuscitation. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

34. Woon Y. Invasive Monitoring in Major Burn Injury Patients. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

35. Ong S. Ventilation of Major Burn Injury Patients. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

36. Kan A. Anesthesia in Major Burn Injury Patients. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

120

Bab IV

2. Resusitasi Cairan pada Luka Bakar

Yefta Moenadjat

ujuan dari tindakan resusitasi cairan adalah mengupayakan sirkulasi yang dapat menjamin kelangsungan perfusi, sehingga oksigenasi jaringan terpelihara. Dengan

demikian metabolisme seluler dapat kembali terselenggara dan cedera jaringan seperti ARDS, ARF dan sebagainya dapat dihindari, SIRS & MODS tidak akan terjadi; pasien terhindar dari kematian dan mengalami penyembuhan.

Secara umum, masalah yang sering timbul berkenaan dengan resusitasi cairan ini berhubungan dengan beberapa faktor, khususnya dalam hal penentuan:

- Jenis cairan dan jumlah kebutuhan cairan - Pola pemberian (pola resusitasi luka bakar) - Penggunaan obat-obatan

Ketiga permasalahan ini masih tetap diperdebatkan sampai saat ini dan merupakan topik yang selalu menarik dibicarakan di kalangan para klinikus maupun para peneliti. Dan sampai saat ini belum dijumpai pola resusitasi terbaik; masing-masing memiliki kekurangan dan tak lepas dari masalah lain yang mungkin timbul sebagai penyulit. dalam hal demikian, maka dirasakan pentingnya melakukan pemantauan (monitoring) keberhasilan terapi, yaitu perfusi dan oksigenasi sel. a. Dasar-dasar penentuan jenis dan jumlah cairan resusitasi 1. Pemilihan jenis cairan

Kaidah umum dalam pemilihan jenis cairan untuk terapi / resusitasi sangat tergantung dari

kondisi klinik, status hidrasi dan konsentrasi serta kondisi / abnormalitas metabolik yang ada. Ada dua jenis cairan yang umum digunakan dalam prosedur resusitasi, yaitu kristaloid dan koloid yang sampai saat ini masih dijumpai kontroversi. Kontroversi ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan mengenai patofisiologi gangguan sirkulasi yang diakitkan dengan gangguan permeabilitas dan edema, serta peran tekanan onkotik cairan.

Ada beberapa faktor yang diperhatikan dalam menentukan pemilihan cairan, yaitu: 1) Efek hemodinamik 2) Distribusi cairan dikaitkan dengan adanya gangguan permeabilitas kapiler 3) Oxygen carrier 4) pH buffering 5) Efek hemostasis 6) Modulasi respons inflamasi 7) Faktor keamanan 8) Metode eliminasi 9) Praktis dan efisien

T

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

121

Jenis cairan terbaik untuk resusitasi cairan pada berbagai kondisi klinik masih merupakan topik yang tetap didebatkan dan terus diteliti; memang dalam beberapa tahun terakhir diperoleh informasi yang menggembirakan, khususnya mengenai efek koloid. Selain itu, beberapa pertimbangan dalam memilih jenis cairan sangat dipengaruhi kompleksitas permasalahan pada luka bakar, sehingga sebagian orang berpendapat kristaloid adalah jenis cairan paling aman untuk tujuan resusitasi (awal); pada beberapa kondisi klinik tertentu (lanjut). Sebagian lain berpendapat bahwa cairan koloid bermanfaat pada entitas klinik lain, yang berlainan dengan kondisi sebelumnya. Hal ini dikaitkan dengan karakteristik masing-masing cairan, baik kristaloid maupun koloid memiliki manfaat (kelebihan, keuntungan) dan risiko (kekurangan, kerugian) pada kondisi-kondisi klinik tertentu yang bersifat sangat kasuistik; sulit untuk diambil keputusan untuk diterapkan secara umum sebagai protokol. 1a. Beberapa jenis cairan lain yang digunakan dalam resusitasi Plasma

Sebagian klinikus berpendapat bahwa mendekati 24jam pasca trauma tubuh telah dapat menanggulangi kebocoran, oleh karenanya cairan apapun yang diberikan akan tetap berada di rongga intravaskuler. Dalam waktu 24-36 jam pasca trauma, plasma expander dapat diberikan. Namun, sebelum 24jam, pemberian koloid dianggap berbahaya karena masih dijumpai kebocoran kapiler. Pemberian plasma ini bertujuan mengatasi defisit cairan intravaskuler dengan menarik cairan dari ruang interstisium (edema). Pemberiannya didasari kebutuhan seperti dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Kebutuhan plasma pada kasus luka bakar

% Luas Luka bakar

Kebutuhan Plasma ( ml ) Pada berat badan 70kg

20-40 0-500 40-60 500-1700 60-80 1000-3000 >80 1500-3500

Baxter CR, Pathophysiology and treatment of burns and cold injury, in Hardy JD ed : Rhoads Textbook of Surgery, 5th ed. Philadelphia, JB Lippincott, 1977)

Larutan hipertonik

Di literatur disebutkan modalitas resusitasi ini memberikan hasil baik; larutan hipertonik yang digunakan untuk resusitasi adalah natrium klorida 3%, 6% dan 7.5% (hypertonic saline). Penulis sampai saat ini tidak mempunyai pengalaman menggunakan larutan hipertonik ini untuk resusitasi; namun modalitas ini dimanfaatkan sebagai upaya menarik cairan ke ruang intravaskuler segera setelah permeabilitas kapiler kembali, untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan penggunaan RL dalam resusitasi.

Salah satu masalah yang timbul pada penggunaan larutan ini adalah demyelinisasi pontin;

namun di Bahan Bacaan dijelaskan lebih lanjut bahwa kejadian tersebut terjadi pada penggunaan larutan 6% yang diberikan dalam waktu singkat (tetesan cepat). Pada pengalaman di klinik, penulis menggunakan larutan ini (baik 3% maupun 6%) dengan memberikan secara perlahan dalam waktu 24jam di hari kedua, diikuti peningkatan nilai CVP. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam resusitasi menggunakan larutan hipertonik ini adalah cara kerjanya; larutan hipertonik menyebabkan penarikan cairan intraseluler, sehigga.timbul dehidrasi seluler.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

122

Proses penarikan cairan berlangsung lambat, (metode pemberiannya disebut slow rescucitation) sehingga tampaknya tidak tepat diberikan pada pasien-pasien dengan syok yang memerlukan resusitasi agresif. Mannitol

Mannitol 20% digunakan sebagai modalitas dalam terapi, sebagai sarana untuk menarik cairan dari ruang interstisium pada penggunaan RL untuk resusitasi; hal ini disebabkan karena mannitol merupakan suatu bentuk diuretic osmosis (lihat lebih lanjut mengenai diuretikum). Pemberiannya dibagi merata dalam 24 jam, sebagaimana diterapkan pada larutan hipertonik. Pemberian mannitol menjadi alternatif dari larutan hipertonik, bila dijumpai kadar natrium dalam darah berada pada batas nilai normal. Lebih lanjut di literatur disebutkan, bahwa pemberian mannitol 20% memperbaiki perfusi ke tubulus ginjal. Berdasarkan fakta ini, pemberiannya dimungkinkan untuk dapat diberikan dalam 24 jam pertama; dengan syarat volume intravaskuler tercukupi.

Darah

Transfusi darah pada tatalaksana resusitasi luka bakar didasari pada upaya memperbaiki dan mempertahankan perfusi. Pemberiannya tidak dilakukan secara tersendiri, tetapi merupakan bagian dari resusitasi sebagaimana pemberian larutan hipertonik dan koloid.

Penjelasan rasional dari tindakan ini adalah karena hemoglobin dalam Packed Red Cell (PRC) merupakan oxygen-carrier yang baik (baik kristaloid maupun koloid tidak berperan sebagai oxygen-carrier). Pendapat seperti ini sudah lama dianut, terutama oleh Evans dan Brooke yang memberikan darah pada 8 jam pertama resusitasi, bersama NaCl; akhir-akhir ini banyak digunakan pada kasus-kasus luka bakar luas yang memerlukan resusitasi masif. Dengan perbaikan perfusi, insiden MODS khususnya ARDS dapat ditekan.

Mekanisme perbaikan oksigenasi jaringan ternyata juga terletak pada kapasitas sel darah merah yang berperan sebagai buffer pertama pada sistim keseimbangan asam-basa (sebelum mekanisme kompensasi paru dan ginjal berlangsung). Pemberian PRC memperbaiki permeabilitas kapiler karena efek koloidalnya menjadi suatu rutinitas pada prosedur resusitasi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemberian darah: 1) Pemberiannya dilakukan berdasarkan parameter O2 content, bukan kadar hemoglobin.

Kadar hemoglobin sangat bervariasi dipengaruhi oleh status hidrasi dan lokasi pengambilan sampel. a) Status hidrasi. Pada hemokonsentrasi yang dijumpai pada kondisi hipovolemia, kadar

hemoglobin tinggi, namun dijumpai inefisiensi fungsi oxygen-carrier. b) Lokasi pengambilan sampel. Hemokonsentrasi dapat dijumpai pada pengambilan

sampel dari pembuluh perifer, sementara sirkulasi sistemik mengalami dilusi; hal ini disebabkan adanya hipoperfusi perifer.

2) PRC memiliki efek onkotik. Bila diberikan dalam bentuk utuh (whole blood) akan menjadi hiper-onkotik. Pemberian larutan hiper-onkotik justru akan menyebabkan reaksi-sebaliknya dari tujuan pemberian; pada gangguan permeabilitas terjadi akumulasi cairan di ruang interstisium, juga di peri-alveolar (lihat efek pemberian koloid).

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

123

Gambar 114. Sistim bufer. Sistim bufer fosfat bekerja terutama pada cairan intraseluler, sementara sistim bufer asam karbonat-bikarbonat bekerja pada cairan ekstraseluler. Sistim bufer protein bekerja pada kedua jenis cairan, yaitu cairan intraseluler dan ekstraseluler. Pada ketiga sistim bufer ini terjadi interaksi secara ekstensif. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Pada suatu suvai luka bakar, diperoleh data mean hemoglobin transfusion treshold yang

umumnya digunakan dalam pemberian darah adalah 8.12 + 1.7g/dl; diterapkan untuk pada kasus-kasus cedera inhalasi (34%), kehilangan darah (22%), anemia (20%), hipoksia (13%) dan adanya penyakit/kelainan jantung (12%). Sedangkan pemberian yang dilakukan dibawah kadar Hb 8.12 + 1.7g/dl dikaitkan dengan luasnya luka bakar, riwayat penyakit / kelainan jantung, ARDS dan faktor usia.

Blood substitute Fluorinated hydrocarbons

merupakan generasi pertama, memiliki karakteristik oxygen-binding O2 content darah normal adalah 20vol%; sedangkan untuk generasi pertama ini adalah

5vol% Flubron

generasi baru, FH. memiliki efek 02 content rendah. pasien membutuhkan FIO2 tinggi.

Hemoglobin solutions

dalam bentuk whole blood, hemoglobin bersifat hiperonkotik hemoglobin mengalami tendensi mengalami disosiasi ke dalam bentuk dimer 2-alpha

unit atau 2-beta unit yang cepat diekskresi ke urin dengan menggabungkan ke dua bentuk dimer ini akan meningkatkan waktu paruh

1b. Kristaloid vs. Koloid

Jenis cairan terbaik untuk resusitasi cairan pada berbagai kondisi klinik masih merupakan topik yang tetap didebatkan karena tidak didukung oleh penelitian yang adekuat dan terkendali dengan baik. Beberapa pertimbangan dalam memilih jenis cairan sangat dipengaruhi kompleksitas permasalahan, sehingga sebagian orang berpendapat kristaloid adalah jenis cairan terbaik untuk tujuan resusitasi; pada beberapa kondisi klinik tertentu. Sebagian lain berpendapat bahwa cairan koloid bermanfaat pada kondisi klinik tertentu, yang berlainan

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

124

dengan kondisi sebelumnya. Artinya, baik cairan kristaloid maupun koloid memiliki manfaat dan risiko pada kondisi-kondisi klinik tertentu dan bersifat kasuistik; sulit untuk diambil keputusan untuk diterapkan secara umum.

Cairan kristaloid

Kristaloid merupakan cairan isotonik yang relatif aman dan efektif digunakan untuk tujuan resusitasi kasus hipovolemia, karena cairan ini memiliki osmolaritas sesuai dengan cairan tubuh dan tidak memengaruhi efek osmotik cairan. Cairan ini cenderung meninggalkan kompartemen intravaskuler (mengisi kompartemen interstisium). Berdasarkan hal tersebut, maka partisi cairan dan kadar elektrolitnya serupa dengan cairan tubuh: 75% cairan ektravaskuler dan 25% cairan intravaskuler. Sehingga secara prinsipil, cairan kristaloid digunakan untuk melakukan resusitasi cairan pada kompartemen ekstravaskuler.

Nacl 0.9% adalah satu-satunya jenis cairan isotonik yang dapat diberikan bersama-sama dengan darah. Prosedur resusitasi menggunakan cairan ini menyebabkan kondisi hipernatremia dan asidosis metabolik hiperkloremik. Ringer’s Lactate (RL) merupakan cairan isotonik yang lebih bersifat fisiologik karena mengandung komposisi elektrolit. Laktat yang dikandungnya bersifat basa, sehingga tidak akan menyebabkan asidosis; dikonversi secara cepat ke bentuk bikarbonat di hepar (kecuali pada kasus-kasus dengan disfungsi hepatik).

Pada resusitasi cairan menggunakan cairan kristaloid, sebagaimana sifatnya, hanya 20-25% dari jumlah cairan akan tetap bertahan di kompartemen intravaskuler, sedangkan seluruh cairan koloid (100%) yang diberikan melalui infus akan tetap berada di kompartemen intravaskuler.

Cairan Kristaloid

Teraman, bukan terbaik Bukan suatu pengembang plasma Tidak mempengaruhi gradien osmotik Bukan suatu sarana transpor oksigen Pemberian 3 kali jumlah defisit cairan Pemberian masif diikuti edema jaringan masif

Cairan koloid

Cairan koloid adalah larutan dengan berat molekul tinggi, sehingga memengaruhi efek osmotiknya. Karena sifat semi-permeabilitas kapiler, maka koloid cenderung untuk tetap berada di dalam kompartemen intravaskuler; oleh karenanya hanya sejumlah kecil koloid diperlukan dalam pemeliharaan volume cairan di kompartemen intravaskuler. Sehingga, secara prinsipil cairan koloid ditujukan untuk melakukan resusitasi cairan pada kompartemen intravaskuler.

Berdasarkan teori, cairan koloid tidak akan meningkatkan tekanan pada jaringan interstisium (kompartemen ekstravaskuler dan ekstraseluler); namun pada kenyataannya dapat dibuktikan pada penelitian-penelitian bahwa albumin (protein plasma) mengalami kebocoran keluar ke kompartemen ekstravaskuler dan menyebabkan peningkatan jumlah cairan interstisium secara bermakna. Memang, lebih lanjut dibuktikan bahwa pemberian cairan koloid akan memberi manfaat lebih besar karena memiliki efek memelihara tekanan onkotik plasma, dibandingkan efek negatifnya karena meningkatkan tekanan onkotik jaringan interstisium (akibat kebocoran kapiler).

Beberapa jenis koloid yang digunakan di Amerika Serikat antara lain Albumin, Hydroxy-

ethyl starch (HES ; Hetastarch , Hespan , Hemaccel ) dan Dekstran. Di Eropa, derivat

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

125

Gelatin (Gelafusin ) sering digunakan. Molekul koloid cukup besar, umumnya tidak dapat melintas membran kapiler sehingga sebagian besar koloid akan tetap dipertahankan di ruang intravaskuler; kecuali dijumpai perubahan permeabilitas kapiler.

Pada kondisi cedera berat seperti luka bakar dan sepsis dimana terjadi perubahan permeabilitas kapiler, koloid (yang diberikan) secara bebas akan melintasi membran kapiler dan berpindah ke ruang interstisium sebagaimana larutan kristaloid, sehingga pemberiannya bukan hanya tidak efektif memperbaiki volume intravaskuler namun ia juga menyebabkan bertambahnya edema interstisium karena terjadi perubahan reverse oncotic gradient akibat akumulasi larutan ini di jaringan.

Gradien tekanan onkotik

Bila molekul larutan koloid berada di ruang interstisium, akan terjadi reverse oncotic pressure gradient yang menyebabkan (dan memperberat) edema jaringan. Hampir tak dijumpai suatu gradien konsentrasi yang dapat menarik kembali cairan interstisium ke ruang intravaskuler. Dengan demikian, cairan tersebut harus mengandalkan aliran sistim limfatik. Meskipun banyak jaringan, khususnya jaringan paru memiliki kapasitas menampung aliran limfatik, namun tidak demikian halnya dengan jaringan lainnya termasuk massa otot. Pembuangan cairan koloid berlangsung lebih lama dibandingkan kristaloid, sehingga edema persisten yang menghambat aliran darah seringkali terjadi. Hal ini merupakan problema yang kerap terjadi terutama pada luka bakar (luas).

Albumin

Merupakan suatu protein natural Berat molekul 6.9 x 104 larutan 5% bersifat iso-onkotik; larutan 10% dan 25% bersifat hiper-onkotik Waktu paruh (t½) di dalam plasma = 1.6 jam, t½ di dalam tubuh = 20 hari Berperan (80-90%) dalam mempertahankan tekanan onkotik secara alamiah 10% meninggalkan ruang intravaskuler dalam 2jam, 95% dalam 2hari, kecuali bila

dijumpai kebocoran kapiler Mengembangkan volume s/d 5x volume asal dalam waktu 30 menit Efeknya bertahan dalam 24-48 jam Efek samping: volume overload, demam (pirogenik), gangguan hemostasis

Pemberian Albumin pada gangguan sirkulasi (syok) akan meningkatkan kadar Albumin darah yang bertahan dalam waktu 2-5 hari. Kondisi ini akan terus dijumpai selama sintesis protein belum kembali normal.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Johnson dkk, pasien-pasien yang diberikan albumin

150 g/hari selama 3-5 hari memerlukan tambahan whole blood dan fresh frozen plasma untuk mengatasi gangguan proses pembekuan yang terjadi. Dibandingkan dengan pasien-pasien yang memperoleh resusitasi menggunakan larutan kristaloid, pasien-pasien yang mendapatkan albumin mengalami penurunan kadar fibrinogen secara signifikan dan pemanjangan masa prothrombin yang tidak dapat dijelaskan sebagai akibat proses dilusi; sedangkan pemanjangan masa tromboplastin dan penurunan trombosit yang juga terjadi pada pasien-pasien yang mendapatkan albumin jelas disebabkan oleh proses dilusi. Peneliti lain tidak dihadapkan pada kenyataan ini dalam penelitian in vitro.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

126

Secara umum, albumin dapat memengaruhi hemostasis karena efek dilusi yang disebabkan karena proses pengembangan volume; hal ini tidak dijumpai pada pemberian larutan kristaloid. Hydroxy-ethyl Starch (HES)

Merupakan suatu bentuk hydroxy-substituted amilopectin sintetik, yang merupakan cabang polimer glukosa berasal dari jagung

Berat molekul bervariasi antara 10-4 s/d 10-5 Berbentuk larutan 6% (isotonik) dan 10% (hiperosmotik) dalam larutan garam fisiologik Ekskresi di urin (partikel kecil), dimetabolisme oleh amilase darah kemudian diekskresi

ke empedu dan feses (molekul ukuran sedang), atau difagositosis oleh RES (molekul ukuran besar)

Meningkatkan kadar amilase kelenjar liur Waktu paruh (t½) di dalam plasma 5 hari 90% di eliminasi dalam waktu 40 hari Tidak bersifat toksik Efek samping: koagulopati (coated platelets, meningkatnya fibrinolisis, penurunan

kadar faktor VIII) namun umumnya tidak menyebabkan masalah di klinik Limit dosis 20 ml/kg/d. namun, pemberian 15 liter dilaporkan tidak memberikan

manifestasi gangguan koagulasi.

Gambar 115. Perubahan persentasi aktivitas factor VIII:C dalam plasma selama dan setelah pemberian HES 200kd atau albumin. Selama dan setelah pemberian HES, kadar factor VIII:C menurun secara signifikan,

dibanding dengan nilai dasar. Selama dan setelah pemberian HES, kadar factor VIII:C menurun secara signifikan, dibanding dengan nilainya selama dan setelah pemberian albumin (p<0.0059). Kaplotis S, et al. Effect of

Hydroxy-ethyl starch on the activity of blood coagulation and fibrinolysis in healthy volunteers: comparison with albumin. Crit Care Med. 1994;22(4):606-612.

Tabel 7. Karakteristik larutan Hydroxy-ethyl starch

Diluen Larutam garam fisiologik

Hetastarch, Hespan®

Ringer’s Lactate Hextend® (Molekul besar) Mean berat molekul Besar 450-480kd Intermediate 200kd Kecil 70kd Derajat substitusi Besar 0.62-0.7 Kecil 0.45-0.58 Rasio C2/C6 Besar >8 : 1 Kecil <8 : 1

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

127

Efek HES diamati pada 2 kelompok: pertama, pada kelompok pasien sehat dengan leukoparesis yang menjadi donor white blood cells. Pasien-pasien ini biasanya mendapat sejumlah kecil (kl. 500 mL) HES. Pada satu studi, 10 donor yang menerima HES selama leukoparesis mengalami pemanjangan masa prothrombin dan tromboplastin secara signifikan (mean 0.6 dan 2.5 detik). Kadar fibrinogen, faktor VIII:C, dan faktor V juga mengalami penurunan namun dalam batas-batas nilai normal. Pada studi lain tidak dilaporkan adanya gangguan fungsi trombosit. Kelompok kedua, pasien-pasien trauma dan bedah yang menerima HES dalam dosis besar. Pada pasien-pasien ini, terjadi pemanjangan partial thromboplastin time dan penurunan faktor VIII:C sampai dengan 50% pada pemberian 1 L HES.

Dengan efek yang terjadi berupa perubahan faktor VIII:C pada pemberian HES, maka disebutkan HES menyebabkan perubahan fibrin clott formation dan fibrinogenolisis. Karakteristik ini dijelaskan berhubungan dengan berlangsungnya inkorporasi molekul-molekul HES ke dalam bekuan dengan dampak prevensi terjadinya formasi bekuan yang solid. Pentastarch

Berat molekul 250-350,000 kdalton, analog dengan HES, kurang mengandung gugus OH

Bentuk larutan 10% dalam 500 cc larutan normal saline 90% sudah di eliminasi dalam 24 jam setelah pemberian Merupakan pengembang plasma yang lebih baik dibandingkan albumin dan HES Di approved oleh FDA untuk plasmapheresis Banyak digunakan di Eropa Efek antikoagulasi sama dengan HES

Dekstran

Polisakarida yang diproduksi oleh Luconostoc mesenteroides Dekstran 40 memiliki berat molekul 40,000 (efek pada koagulasi lebih besar

dibandingkan Dekstran 70) Dekstran 70 memiliki berat molekul 70,000 Dalam bentuk larutan 10% di dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5% Ekskresi melalui urin, feses dan sistem retikulo-endotel (tergantung ukuran molekul) Efek samping: syok anafilaksis, koagulopati, gagal ginjal Lmit dosis 20 ml/kg/hari Digunakan untuk pengembang plasma Digunakan sebagai anti-aggregasi pada pasien-pasien yang menjalani prosedur

pembedahan vaskuler dan mikrovaskuler Gangguan pembekuan yang ditimbulkan oleh Dekstran dapat dijelaskan karena

terganggunya interaksi trombosit dan efek antifibrinolitik. Interaksi trombosit-vaskuler ini diyakini terjadi karena efek Dekstran yang memengaruhi faktor VIII. Dekstran juga ber-inkorporasi ke polimerisasi bekuan fibrin sehingga merubah struktur bekuan dan memicu fibrinogenolisis; seperti halnya HES.

Dekstran 40 umumnya digunakan pada prosedur pembedahan vaskuler dalam mencegah trombosis namun secara primer jarang digunakan sebagai pengembang plasma, baik secara tersendiri maupun digabung dengan larutan hipertonik. Koloid dan hemostasis

Pasien-pasien yang menjalani prosedur pembedahan mayor dan mengalami kehilangan darah secara signifikan, seringkali dihadapkan pada masalah gangguan koagulasi. Namun,

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

128

kenyataannya tidak semua gangguan koagulasi yang terjadi pada pasien-pasien yang menjalani pembedahan ini memerlukan darah. Kejadian ini dikaitkan dengan pemberian larutan koloid, dan gangguan ini umumnya terjadi karena efek dilusi pada kasus-kasus yang memperoleh resusitasi dengan volume cairan masiv.

Banyak topik di bidang anestesia dan bedah yang membahas kontroversi penggunaan koloid dan kristaloid untuk resusitasi cairan intra-operatif. Sejumlah penelitian pada hewan maupun manusia dilakukan untuk membuktikan mana yang lebih superior. Ternyata pada kebanyakan kasus yang masuk dalam penelitian tersebut, diperoleh informasi bahwa pemilihan cairan tampaknya lebih didasari opini pribadi dan bersifat dogmatis dibandingkan sesuatu yang memiliki dasar ilmiah.

Suatu publikasi meta-analisis (Valanovich; Surgery, 1988 yang terfokus pada mortalitas, terdiri dari 8 penelitian pada manusia) mengamati pasien-pasien yang diresusitasi menggunakan cairan kristaloid dan/atau koloid. Penelitian tersebut menunjukan penurunan (secara keseluruhan) mortality rate sebanyak 5.7% pada kasus-kasus yang diresusitasi menggunakan larutan kristaloid dibandingkan larutan koloid. Subgroup-analysis menunjukan bahwa pada kasus-kasus trauma/sepsis terjadi penurunan mortality rate 12.3% pada kelompok resusitasi menggunakan kristaloid. Di sisi lain, pada kelompok pasien yang menjalani pembedahan elektif dengan larutan kristaloid justru terjadi peningkatan mortality rate 7.8%. Penjelasan yang dapat dikemukakan adalah: pada kasus-kasus trauma/sepsis dijumpai gangguan permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran larutan koloid keluar sistim vaskulatur sehingga koloid tidak efektif berperan sebagai pengembang plasma di ruang intravaskuler, sebaliknya menyebabkan lambatnya proses resolusi edema jaringan interstisium. Sedangkan pada kasus-kasus yang menjalani prosedur pembedahan elektif, kebocoran akibat gangguan permeabilitas hanya terjadi di surgical site; dengan demikian koloid akan lebih efektif berperan sebagai pengembang plasma di ruang intravaskuler.

Penelitian tersebut tidak mempermasalahkan kontroversi, namun menunjukan situasi yang lebih tepat untuk penggunaan / pemberian suatu jenis cairan. Sebagai konklusi, koloid tidak dianjurkan sebagai substansi cairan resusitasi yang berdiri sendiri; protokol resusitasi yang ada umumnya menerapkan pemberian inisial dengan larutan kristaloid, dilanjutkan pemberian koloid bila memerlukan resusitasi kristaloid dalam jumlah besar.

Umumnya, larutan kristaloid yang dibutuhakan / diberikan adalah 2-3 kali lipat dari jumlah

koloid iso-onkotik untuk memperoleh efek hemodinamik yang sama. Bila digunakan larutan koloid yang lebih pekat (misalnya albumin 25%), maka rasio tersebut tentunya tidak berlaku lagi.

Evaluasi komprehensif terapi penggunaan koloid dibahas dalam suatu workshop on the

assessment of plasma volume expander, tahun 1991. Pada pertemuan tersebut dilakukan evaluasi terhadap seluruh penelitian yang menggunakan albumin, Dekstran, dan HES; dalam konteks keefektifan, biaya, indikasi, dan komplikasi. Hanya sedikit evidence yang diperoleh baik dalam kategori jangka pendek maupun jangka panjang menunjukan keuntungan penggunaan koloid tambahan pada kasus-kasus dengan kehilangan darah masif, luka bakar, cardiopulmonary bypass, edema pulmoner, trauma, dan nutrition. Tidak ada evidence yang menunjukan bahwa bila kadar albumin lebih rendah dari 3.0 g/dL dapat membahayakan, bahkan pada kadar lebih rendah dari 2.0 g/dL sekalipun tidak menunjukan masalah. Edema pulmoner. Menjadi suatu topik yang menarik; pemberian albumin pada kasus-kasus hipoalbuminemia, dengan meningkatkan perfusi ke arteri pulmonalis justru terjadi komplikasi yang dicegah – yaitu edema interstisium dan alveolar flooding.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

129

Fungsi renal. Peningkatan tekanan onkotik sedikit di atas normal memperbaiki fungsi renal secara signifikan, khususnya ekskresi garam dan air. Tidak ada kondisi congenital hyperalbuminemia, dimana tubuh bereaksi terhadap peningkatan albumin sesaat dengan segera menghentikan produksi dan akselerasi proses katabolisme. Efek renal yang terjadi sebaliknya yaitu ekses albumin yang umumnya berada dalam kondisi rendah. Namun, dengan pengecualian, pada saat suplementasi albumin 900g berlangsung selama beberapa hari, tidak timbul efek toksik dari pemberian albumin; yaitu efek antikoagulan, anti-platelet dan fibrinolitk dari koloid yang diuraikan sebelumnya. Efek anti-inflamasi.

Larutan hipertonik dan koloid memiliki efek anti-inflamasi terhadap endotel sehingga dapat diharapkan mencegah SIRS.

Pada suatu penelitian menunjukan bahwa pemberian larutan hipertonik dengan atau tanpa Dekstran sebelum resusitasi dengan kristaloid menunjukan reduksi perlekatan neutrofil dengan endotel. Namun, pada penelitian lain pemberian setelah resusitasi kristaloid justru menunjukan respons inflamasi: aktivasi respons inflamasi neutrofil-endotelial dengan degranulasi neutrofil, pelepasan elastase dan radikal bebas serta menyebabkan supresi sel T. Hal ini menunjukan bahwa pemberian larutan hipertonik pada saat (timing) berbeda akan menyebabkan hasil resusitasi yang berbeda pula. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dalam suatu review larutan hipertonik ini tidak dianjurkan sebagai suatu bentuk resusitasi secara tersendiri, namun lebih merupakan suatu bentuk terapi; dimulai segera setelah suatu insult, sebelum resusitasi cairan menggunakan kristaloid.

Hydroxy-ethyl starch (HES) dengan berat molekul besar sebelumnya diduga memperbaiki permeabilitas kapiler dengan cara ’menutup’ (seal off) celah interseluler pada lapisan endotel sehingga menghentikan kebocoran cairan, elektrolit dan protein. Penelitian-penelitian terakhir menunjukan bahwa HES memiliki efek anti-inflamasi, menurunkan kadar Lipid Protein Complex yang dihasilkan endotel (disruptif); morfologi endotel mengalami perbaikan dengan sendirinya diikuti oleh perbaikan permeabilitas kapiler.

Larutan koloid

meningkatkan volume intravaskuler 5kali lipat kristaloid memengaruhi hemostasis (faktor pembekuan) efek anti-inflamasi: menurunkan kadar LPC yang diinduksi oleh

endotel disruptif memperbaiki permeabilitas kapiler

Ada beberapa prinsip utama yang dapat dijadikan pegangan dalam prosedur pemilihan

cairan (ditunjang oleh dua buah meta-analisis): 1. Koloid akan berbahaya bila diberikan secara tersendiri untuk prosedur resusitasi kasus

trauma, selama masih dijumpai peningkatan permeabilitas kapiler 2. Pemberian albumin tidak ditujukan sebagai suatu bentuk plasma expander pada

resusitasi kasus-kasus critically illness; karena secara statistik terbukti secara bermakna meningkatkan mortalitas. ARDS dan edema paru yang diduga berkaitan dengan kondisi hipoalbuminemia dan dihindari, justru timbul setelah resusitasi dengan albumin.

Sebagaimana dijelaskan, pemilihan cairan resusitasi sangat tergantung pada kondisi klinik

dan status volume pada setiap kompartemen. Memang, pada kebanyakan kasus dimana terjadi kehilangan cairan intravaskuler, dijumpai kehilangan pada kedua jenis cairan yaitu

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

130

koloid (plasma) dan kristaloid (interstisium); maka pada kasus ini kedua jenis cairan harus digunakan untuk tujuan resusitasi. Bila hanya koloid yang diberikan, maka akan terjadi dehidrasi intraseluler berat; sedangkan bila hanya kristaloid yang diberikan, maka akan terjadi hal sebaliknya yaitu edema jaringan yang masif.

Berdasarkan kondisi (defisit) volume cairan pada kedua kompartemen (intra-vaskuler dan

ekstra-vaskuler) dengan berbagai kondisi klinik sebagaimana digambarkan pada diagram berikut, dapat ditentukan jenis cairan yang diperlukan untuk resusitasi (lihat kembali kompartemen cairan tubuh halaman 42): 1. Pada diare dan gastroenteritis 2. Pada proses hemoragik 3. Pada SIRS (sepsis, trauma, pankreatitis, pasca bedah) 4. Pada Luka bakar

Pada diare, resusitasi harus dilakukan dengan cairan mengandung Nacl 0.45% yang mengandung kalium dan bikarbonat. Hal yang harus diingat adalah, tidak ada cairan tubuh yang bersifat lebih hipertonik dibandingkan plasma, karena itu pada kasus yang disertai dehidrasi (penurunan volume intravaskuler) dengan atau tanpa hiponatremia harus diberikan cairan mengandung larutan saline atau RL sampai volume kembali normal; sehingga tonisitas selanjutnya dapat dikoreksi. Glukosa 5% bukan merupakan suatu plasma expander dan jangan pernah digunakan untuk tujuan melakukan koreksi volume.

Gambar 116. Efek berbagai penyakit / kondisi pada volume cairan di masing-masing kompartemen. KIV = kompartemen intravaskuler, KIT = kompartemen interstisium, KIS = kompartemen intraseluler. Dikutip dan disadur dari Marik PE (editor). Handbook of evidence based critical care. New York: Springer; 2001

Pada proses hemoragik, terjadi perpindahan volume cairan interstisium ke ruang

intravaskuler yang bertujuan melakukan restorasi volume intravaskuler (oleh karena itu terjadi penurunan nilai hematokrit; biasanya berlangsung sampai dengan 72 jam pasca trauma atau lebih). Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan volume cairan intra- dan ekstravaskuler. Prosedur resusitasi dilakukan dengan pemberian kristaloid dilanjutkan dengan pemberian darah (koloid). Bila hanya diberikan darah saja (tanpa kristaloid), diikuti peningkatan angka mortalitas secara bermakna yang ditunjukkan oleh penelitian pada hewan.

Pada SIRS (sepsis, trauma, pankreatitis dan pasca bedah), akibat adanya kebocoran kapiler dan hilangnya cairan pada rongga ketiga terjadi penurunan volume efektif cairan kompartemen intravaskuler disertai edema (peningkatan volume di kompartemen interstisium). Karena kurang dari 20% cairan kristaloid (yang diberikan melalui infus) dipertahankan di kompartemen intravaskuler, maka pemberian cairan kristaloid harus dibatasi (karena akan meningkatkan volume di kompartemen interstisium, dengan konsekuensi edema bertambah). Cairan koloid yang berperan sebagai pengembang plasma seperti Hydroxyethyl Starch (HES) dan Pentastarch (Gelofusin®) dilaporkan bermanfaat pada kondisi-kondisi SIRS ini.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

131

Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan di kompartemen intravaskuler secara masif dan bermakna; sehingga resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid dan koloid.

2. Penentuan jumlah cairan.

Tiga sampai dengan empat kali jumlah defisit intravaskuler dibutuhkan untuk melakukan prosedur resusitasi dengan cairan kristaloid. Dengan jumlah ini, partisi diperoleh dalam waktu 30 menit setelah pemberian cairan, dan dalam 2 jam, tidak lebih dari 20% cairan berada di ruang intravaskuler (disebabkan adanya gangguan permeabilitas kapiler). Bila dibandingkan dengan koloid, pemberian kristaloid hanya sedikit meningkatkan cardiac output dan memperbaiki transportasi oksigen. Sedangkan pemberian cairan dalam jumlah besar akan menimbulkan edema jaringan masif.

Indikasi pemberian Koloid timbul bila dibutuhkan cairan kristaloid masif (mencapai 100% jumlah volume cairan tubuh). Artinya, untuk mencegah dan menghindari dampak negatif resusiatsi massif kristaloid. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1/5 jumlah kebutuhan cairan kristaloid; diberikan pada saat permeabilitas kapiler kembali (>24jam pasca cedera) dengan pengecualian Hidroxyethyl Starch (HES) yang dapat diberikan lebih awal.

Karena berat molekul dan sifatnya, maka hanya sedikit jumlah koloid diperlukan pada prosedur resusitasi (untuk mempertahankan volume intravaskuler); namun secara pasti tidak pernah disebutkan jumlah kebutuhan koloid untuk prosedur resusitasi. Patokan yang diketahui, bahwa pemberian koloid akan meningkatkan volume intravaskuler kl 5 kali jumlah pemberian kristaloid; karenanya koloid disebut sebagai pengembang plasma (plasma expander).

b. Pola resusitasi cairan pada kasus luka bakar

Penatalaksanaan resusitasi cairan dilakukan berdasarkan manifestasi klinik dari suatu trauma. Metode dan kebutuhan cairan akan berbeda pada setiap kondisi; pada kondisi syok tentunya berbeda dengan kondisi dimana tidak dijumpai syok.

Secara umum ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mencapai keberhasilan resusitasi, yaitu: Mengetahui permasalahan yang terjadi pada pasien: syok, cedera inhalasi, dsb disertai

informasi tentang waktu iskemik Penentuan derajat dan luas luka bakar Berat badan pasien Jumlah cairan, jenis cairan, metode pemberian cairan dan pemantauan Informasi mengenai fungsi organ-organ penting (ginjal, paru, jantung, hepar dan saluran

cerna) Penggunaan obat-obatan yang rasional

Prioritas pertama tetap tertuju pada resusitasi jalan nafas dan mekanisme bernafas.

Khusus untuk resusitasi cairan, pentingnya penilaian awal termasuk menentukan kedalaman dan luas luka bakar, melakukan pengukuran berat badan harus dilakukan dengan baik dan benar. Jangan mengandalkan perkiraan-perkiraan yang akurasinya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Menentukan jenis cairan dan melakukan perhitungan jumlah cairan yang diberikan; jangan terpaku pada pedoman tanpa melakukan pemantauan, karena akan membawa bencana yang merugikan pasien; berupa morbiditas bahkan mortalitas. Informasi mengenai

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

132

fungsi organ sangat penting karena secara tidak langsung menggambarkan berat-ringan gangguan sirkulasi.

Metode resusitasi dan regimen terapi cairan yang dikenal selama ini merupakan cara atau usaha untuk memperoleh gambaran mengenai jumlah kebutuhan cairan dengan hitungan yang tegas; namun bukan suatu patokan yang memiliki nilai mutlak karena pemberian cairan sebenarnya berdasarkan kebutuhan sirkulasi yang dinamik dari waktu ke waktu dan harus dipantau melalui parameter-parameter tertentu. Dikenal dua regimen yang banyak dianut beberapa tahun terakhir, yaitu regimen (formula) Evans-Brooke dan regimen (formula) Baxter/Parkland. b1. Formula Evans-Brooke

Evans dan Brooke menggunakan larutan fisiologik, koloid dan glukosa dalam resusitasi. Ketiga jenis cairan ini diberikan dalam waktu dua puluh empat jam pertama. Dasar pemikirannya adalah, bahwa pada luka bakar dijumpai inefektivitas hemoglobin dalam menyelenggarakan proses oksigenasi. Disamping itu terjadi kehilangan energi yang memengaruhi proses penyembuhan. Untuk itu diperlukan darah yang efektif dan asupan energi dalam bentuk glukosa. Jumlah cairan diberikan dengan memperhitungkan luas permukaan luka bakar dan berat badan pasien (dalam kilogram). Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan dalam delapan jam pertama, sisanya diberikan dalam enam belas jam sisa. Jumlah cairan yang dibutuhkan pada hari pertama adalah sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.

Tabel 8. Pemberian cairan menurut Evans dan Brooke:

Formula Evans Formula Brooke 1ml/kgBB/%LB koloid (darah) 0.5ml/kgBB/%LB koloid (darah) 1ml/kgBB / %LB larutan saline (elektrolit)

1.5ml/kgBB/%LB larutan saline (elektrolit)

2000ml glukosa 2000ml glukosa Pemantauan :

Diuresis (>50ml/jam) Pemantauan :

Diuresis (30-50ml/jam) Pada hari kedua, diberikan separuh jumlah kebutuhan koloid (darah) dan larutan saline ditambah 2000ml glukosa; pemberian secara merata dalam 24 jam. b2. Formula Baxter / Parkland

Parkland berpendapat, bahwa syok yang terjadi pada kasus luka bakar adalah jenis hipovolemia, yang hanya membutuhkan penggantian cairan (yaitu kristaloid). Menurut Baxter dan Parkland, pada kondisi syok hipovolemia yang dibutuhkan adalah mengganti cairan; dalam hal ini cairan yang diperlukan adalah larutan fisiologik (mengandung elektrolit). Oleh karenanya mereka yang sepaham dengan kelompok Parkland dan Baxter hanya mengandalkan larutan kristaloid (Ringer’s Lactate, RL) untuk resusitasi. Dan ternyata pemberian cairan RL ini sudah mencukupi, bahkan mengurangi kebutuhan transfusi.

Penurunan efektivitas hemoglobin yang terjadi disebabkan perlekatan eritrosit, trombosit, leukosit dan komponen sel lainnya pada dinding pembuluh darah (endotel). Sementara dijumpai gangguan permeabilitas kapiler dan terjadi kebocoran plasma, pemberian koloid ini sudah barang tentu tidak akan efektif bahkan menyebabkan menyebabkan perpindahan cairan intravaskuler ke jaringan interstisium; menyebabkan akumulasi cairan yang akan sangat sulit ditarik kembali ke rongga intravaskuler. Hal tersebut akan menambah beban jaringan dan ‘menyuburkan’ reaksi inflamasi di jaringan; serta menambah beban organ seperti jantung, paru dan ginjal.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

133

Berdasarkan alasan tersebut, Parkland hanya memberikan larutan Ringer’s Lactate (RL) yang diperkaya dengan elektrolit. Sedangkan koloid / plasma, bila diperlukan, diberikan setelah sirkulasi mengalami pemulihan (>24-36jam), berperan sebagai terapi.

Hari pertama, separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan dalam delapan jam pertama, sisanya diberikan dalam enam belas jam kemudian. Jumlah cairan yang diperlukan pada hari pertama adalah sesuai dengan perhitungan Baxter (3-4 ml/kgBB), sehingga kebutuhan cairan resusitasi menurut Parkland adalah:

3-4ml / kgBB / %LB Ringer’s lactate

dengan pemantauan jumlah diuresis antara 0,5-1ml/kgBBjam. Pada hari kedua, jumlah cairan diberikan secara merata dalam dua puluh empat jam. Kebutuhan maintenance dipenuhi dengan pemberian dekstrose 5% 2000mL dibagi merata dalam 24jam, atau sesuai kebutuhan.

Gambar 117. Resusitasi metode Baxter / Parkland. Separuh jumlah kebutuhan cairan diberikan selama 8 jam pertama, sisanya diberikan selama 16 jam berikutnya.

b3. Resusitasi cairan pada syok

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada kondisi syok resusitasi cairan tidak berpedoman pada regimen resusitasi cairan berdasarkan formula yang ada. Syok merupakan suatu kondisi klinik dimana terjadi gangguan sirkulasi, yang menyebabkan gangguan perfusi dan oksigenasi sel / jaringan. Jumlah cairan yang hilang pada kondisi syok diperkirakan lebih dari 25% volume cairan tubuh; bila seorang dengan berat badan 70kg jumlah cairan tubuhnya adalah 4.200mL mengalami kehilangan 25% volume tersebut (kurang lebih 1.050mL), maka timbul manifestasi syok.

Pada seorang dengan berat badan 70kg, volume cairan tubuh total adalah 42 liter (60% dari berat badan13, lihat kembali halaman 43); dari sejumlah cairan tersebut (42 L), volume intravaskuler(sirkulasi) adalah 10% atau 4.2 L. Syok timbul bila seorang dengan berat badan 70kg ini kehilangan 25% cairan atau sama dengan 1.050 mL. Resusitasi cairan dilakukan dengan menggantikan sejumlah cairan yang hilang ini, tujuannya mengisi kekurangan (defisit) intravaskuler. Menurut kaidah pemberian cairan kristaloid, dibutuhkan 3 kali jumlah cairan yang hilang (yaitu 3 X 1.050 mL atau sama dengan 3.150 mL).

Gangguan perfusi ini menyebabkan sel atau jaringan mengalami hipoksia dan mungkin berakhir dengan nekrosis; bila hipoksia ini dibiarkan melebihi batas waktu maksimal ketahanan sel / jaringan (ischemic time). Waktu ini berbeda untuk setiap sel / jaringan. Diketahui bahwa sel-sel glia hanya dapat bertahan dalam kondisi hipoksika selama 4 (empat) menit; selanjutnya akan terjadi degenerasi seluler yang berakhir dengan nekrosis sel. Ginjal dapat bertahan 13 Jumlah cairan pada Neonatus 70%, laki-laki dewasa 60%, wanita dewasa 50%, manula 80%

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

134

selama 8 (delapan) jam dalam kondisi hipoksik; melebihi waktu tersebut akan terjadi degenerasi seluler yang berakibat ATN dan berlanjut menjadi ARF. Mukosa saluran cerna dan hepar memiliki waktu iskemik 4 jam. Masing-masing jaringan tubuh memiliki spesifikasi tertentu dalam hal ischaemic time ini.

Gambar 118. Kurva fisiologik dari kebutuhan cairan dibandingkan formula Parkland, menegaskan bahwa formula tersebut hanya merupakan suatu guideline untuk terapi cairan selama syok luka bakar. Dikutip dan disadur dari Rhodes A, Grounds RM, Bennett ED. Hemodynamic Monitoring in Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM. Text book of Critical care 5th ed

Dengan demikian penatalaksanaan syok yang berorientasi pada paradigma ini

memerlukan tindakan resusitasi lebih agresiv: pemberian cairan dalam waktu singkat, memperkecil kemungkinan kerusakan jaringan sehubungan dengan ischemic time yang dijelaskan di atas.

Sampai saat ini diyakini jenis cairan yang dapat digunakan untuk melakukan resusitasi dengan baik adalah kristaloid (RL). Pemberiannya dilakukan dalam waktu cepat, menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui vascular access (vena seksi dan sebagainya).

Gambar 119. Resusitasi pada syok menggunakan cairan kristaloid. Tiga kali defisit cairan yang menyebabkan syok diberikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Sisa jumlah cairan yang diperhitungkan menurut metode Baxter / Parkland dan diberikan berdasarkan kebutuhan sampai dengan 24 jam. Untuk rumatan ditambahkan dekstrose yang jumlahnya disesuaikan dengan produksi urin

Oleh karena iskemia mukosa saluran cerna dapat terjadi dalam waktu 4 jam, dan didasari ”gut is a motor of MODS”, maka resusitasi cairan pada syok mengacu pada waktu ini, kiranya volume replacement tercapai dalam waktu (kurang dari) 4jam. Hal ini bersifat prinsipil, karena bilamana resusitasi syok menerapkan regimen Parkland14 (8 jam pertama dan 16 jam sisa), maka waktu iskemik mukosa saluran cerna tidak akan teratasi.

14 Parkland dan Baxter adalah ahli bedah yang mengkhususkan diri di bidang nefrologi; bekerja di klinik hemodialisis di Burn Center yang banyak mengamati dan menangani Acute Renal Failure (ARF) pasca luka

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

135

Regimen Parkland atau resusitasi syok? Pemilihan regimen terapi (resusitasi) cairan sangat tergantung pada jenis kasus (bersifat

kasuistik), tidak dapat diterapkan secara kaku; regimen hanya patokan pemberian cairan yang diperlukan. Umumnya, regimen resusitasi Parkland dapat diterapkan pada kasus-kasus dimana tidak terdapat keterlambatan penanganan. Yang dimaksud dengan keterlambatan adalah kasus yang tidak mendapatkan resusitasi adekuat dalam waktu 4 (empat) jam; waktu iskemik mukosa saluran cerna. Resusitasi adekuat juga mengandung pengertian adequate volume replacement. Sayangnya di Indonesia yang belum established khususnya dalam hal pelayanan gawat darurat medik (medical emergency services), hampir tidak pernah dijumpai keterlambatan dimaksud. Banyak kejadian, dimana seorang penderita ditolong tidak secara tepat, resusitasi adekuat tidak diberikan sebagaimana mestinya. Hal ini mungkin disebabkan beberapa hal: 1) ignorensia (tenaga medik), khususnya mengenai permasalahan yang terjadi di fase akut, 2) pemberian cairan dikerjakan, namun tidak atau bukan merupakan regimen resusitasi, 3) referal dan transportasi pasien, seringkali dijumpai pasien dalam keadaan tidak stabil dikirim / dirujuk, sementara pada kesempatan melakukan rujukan (transportasi pasien), pemberian cairan dihentikan; atau merujuk pasien dengan kondisi hemodinamik tidak atau belum stabil. Dalam hal seperti kejadian di atas, resusitasi syok menjadi pilihan yang terbaik dalam mencegah timbulnya problema lebih lanjut. Jumlah cairan yang diberikan

Regimen pemberian cairan yang ada hanya merupakan pedoman bagi dokter untuk mengetahui perkiraan jumlah cairan yang harus diberikan, akan tetapi tidak mutlak harus demikian. Regimen ini dibuat hanya untuk membantu mengetahui perkiraan jumlah yang diperlukan untuk resusitasi. Patokan pemberian cairan yang terbaik sebenarnya adalah kondisi klinik, yang menunjukan perbaikan sebagai reaksi terapi yang diberikan; dan ini bersifat sangat dinamik dari waktu ke waktu.

Baxter memberikan pedomannya untuk menggunakan RL, tanpa risiko kelebihan cairan (overload) atau terjadinya imbalans elektrolit; 3-4ml/kg berat badan. Namun ternyata dengan dosis ini, pada anak-anak dan orang tua kelebihan cairan tetap terjadi, sehingga Artz menganjurkan pemberian sejumlah 2ml/kg berat badan untuk anak-anak dan 3ml/kg berat badan untuk orang tua.

Namun, saat ini diyakini bahwa kebutuhan cairan meningkat pada anak-anak (karenanya diambil nilai 4ml/kgBB/luas luka bakar), pada keadaan dimana terdapat cedera inhalasi (karena adanya proses inflamasi eksudatif mukosa saluran nafas dan parenkim paru yang menyebabkan kehilangan cairan semakin bertambah). Ternyata, selama ini dengan patokan pemberian ini, seringkali dijumpai kondisi dimana pemberian cairan resusitasi sangat kurang karena tidak menyertakan kebutuhan cairan maintenance.

Untuk mengatasi syok, jumlah cairan yang diberikan adalah tiga kali jumlah cairan yang diperkirakan hilang. Maka, pada seorang dengan berat badan 70kg (volume cairan tubuh 4.200 ml) dengan syok (defisit 1.050ml), jumlah cairan yang dibutuhkan untuk resusitasi adalah 3.150 ml; diberikan dalam waktu kurang dari 4 (empat) jam atau waktu iskemik mukosa saluran cerna (terbaik dalam 1-2 jam). Selanjutnya, setelah syok teratasi, maka pemberian cairan mengacu pada kebutuhan cairan dari waktu ke waktu. Disamping itu, cairan yang dibutuhkan untuk maintenance tetap diberikan berbarengan dengan prosedur resusitasi.

Permasalahan klinik yang kerap dihadapi dalam pemberian cairan dikaitkan dengan pemberian cairan khususnya kristaloid dalam jumlah masiv pada luka bakar luas, yang diikuti bakar; jelas fokus utama dalam metode resusitasi yang mereka ajukan berkisar di seputar penyelamatan sel-sel tubulus dari hipoksia (waktu iskemik sel-sel tubulus ginjal adalah 8 jam) dalam upaya menghindari ARF.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

136

oleh peningkatan edema jaringan; semakin banyak cairan (kristaloid) diberikan, semakin berat/luas edema yang timbul. Tidak ada batasan jelas mengenai jumlah cairan dianggap masiv; namun pada umumnya masalah sebagaimana disampaikan di atas diamati menimbulkan sindroma klinik bila pemberian cairan melebihi volume komposisi cairan tubuh. Misalnya, seorang dengan berat badan 70kg (dengan volume cairan tubuh 4.200 mL akan dihadapkan pada permasalahan bila menerima cairan melebihi volume tersebut.

Untuk mengantisipasi dan menghindari timbulnya permasalahan tersebut, diperlukan suatu strategi penatalaksanaan resusitasi cairan menggunakan modalitas lain. Modalitas lain dimaksud adalah menggunakan cairan koloid. Sebagaimana dikertahui, pemberian koloid (pengembang plasma atau pengembang volume) akan mengurangi jumlah cairan kristaloid yang dibutuhkan untuk resusitasi. Satu liter cairan kristaloid digantikan oleh 200ml cairan koloid (satu per lima kebutuhan jumlah kristaloid); hal ini akan diikuti oleh berkurangnya potensi timbulnya edema masiv akibat pemberian cairan kristaloid (lihat indikasi pemberian koloid, halaman 123).

Di satu sisi, tampaknya pemberian koloid memberikan keuntungan, namun di sisi lain harus diingat bahaya pemberian koloid selama periode akut dimana masih dijumpai gangguan permeabilitas kapiler; demikian pula halnya dengan efek dilusi dan gangguan hemostasis. Atas dasar hal tersebut, dari beberapa jenis koloid yang relatif aman dan efektif untuk tujuan sebagaimana dimaksud, maka Hidroxy-etil starch 6% (HES®) atau Pentastarch (Gelofusin®) merupakan pilihan yang diyakini terbaik saat ini (lihat halaman 123). Dengan demikian, pola resusitasi cairan mengalami modifikasi.

Gambar 120. Pola resusitasi cairan pada syok. Kebutuhan cairan kristaloid dalam jumlah besar digantikan koloid (HES) untuk memperkecil potensi timbulnya edema jaringan masiv. Glukosa 5% dosis rumatan diberikan untuk mencukupi kebutuhan energi saat dijumpai kondisi hipometabolisme; namun harus diantisipasi kemungkinan timbulnya hiperglikemia pada syok. Sel darah merah (PRC) diberikan untuk mempertahankan fungsi bufer protein berjalan dalam batas fisiologik. b4. Tren resusitasi terkini

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak ada regimen resusitasi terbaik. Resusitasi menggunakan kristaloid yang sebelumnya dianggap paling aman, ternyata banyak menimbulkan masalah dengan edema masif yang timbul pada pemberian kristaloid dalam jumlah besar. Koloid yang sampai saat ini tetap kontroversial, ternyata mulai disadari banyak memberikan keuntungan karena tidak dihadapkan pada edema masif akibat pemberian cairan dalam jumlah besar. Bukan saja pengetahuan mengenai fisik dan fisiologi koloid (berat molekul), lebih jauh karakteristik koloid khususnya dalam hal volume replacement dan efek antiinflamatif khususnya endotel yang terfokus pada pencegahan perkembangan SIRS dan MODS, maka perhatian banyak klinikus dan penelitian memiliki tren menerapkan pola resusitasi menggunakan koloid yang diikuti pemberian kristaloid. Tren ini sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru, sebab Evans & Brooke sudah menerapkan penggunaan koloid (dalam hal ini sel darah merah) pada awal resusitasi.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

137

Alasan yang dikemukakan untuk rasional penerapan metode ini sudah jelas, karena kristaloid tidak dapat mempertahankan volume intravaskuler dan ia lebih berperan untuk mengisi kompartemen interstisium; sedangkan koloid tetap bertahan di ruang intravaskkuler dan berperan sebagai suatu volume expander (lihat kembali kompartemen tubuh halaman 43 dan efek koloid halaman 123). c. Penggunaan obat-obatan c1. Penggunaan obat-obatan untuk tujuan perbaikan sirkulasi: vasopressor

Tabel 9. Berbagai jenis simpatomimetik

Dopamin Dobutamin Isoproterenol Norepinefrin Reseptor 1 adrenergik 1 > 2= > 1 >> 2 Efek vaskuler Dosis rendah

menimbulkan konstriksi selain pembuluh renal dan serebral, se-hingga memper-tahankan perfusi ke organ-organ tersebut

Tidak ada peru-bahan pada re-sistensi karena memiliki afinitas rendah terhadap 2 dan 2

Vasodilatasi in-tensiv ( 2) mean arterial pressure Tidak terikat de-ngan 1

1: vasokonstriksi intensiv mean art-erial pressure Efek vasodilatasi tidak tercapai kare-na rangsangan 2

Efek kardial Efek 1: kontrak-tilitas tekanan sistolik tidak sekuat isopro-terenol

Merupakan obat pilihan untuk merangsang jantung, karena terbaik dalam memelihara efi-siensi jantung. Perubahan minor pada fre-kuensi jantung

Merangsang jantung lebih kuat dibandingkan epinefrin karena efek langsung & respons terha-dap penurunan mean arterial pressure

Vasokonstriksi kuat menyebabkan refleks parasimpatik menurunkan frekuensi jantung. Refleks bradikardia ini meutupi kele-mahan efek rang-sangan 1

Efek pulmoner -

-

Untuk kegunaan klinis digunakan dalam mence-gah ronkospas-me

Tidak memiliki efek 2, sehingga tidak digunakan sebagai bronkodilator

Efek metabolik -

-

Glikogenolisis dan glukoneo-genesis , hi-perglikemia, hi-perlipidemia, pe-lepasan insulin

Menyebabkan pe-lepasan insulin (lemah), 2 dan lipolisis ( 1)

Efek lainnya Di ginjal me aliran darah, GFR dan eks-kresi natrium

Tonus dan mot-ilitas usus Menghambat pelepasan sel mast

-

Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

Berbagai jenis simpatomimetik kerap digunakan dalam resusitasi untuk memperbaiki

sirkulasi seperti Dopamin, Isoproterenol dan Norepinefrin dibahas berikut ini.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

138

Dopamin Dopamin adalah suatu preparat vasodilator yang bekerja dengan cara merangsang

reseptor dopamin yang seringkali digunakan pada resusitasi luka bakar. Penggunaannya didasari efek farmakologik yang bekerja secara selektif pada reseptor dopamin adrenergik dan .

Dopamin merupakan precursor Norepinefrin, bekerja sebagai neurotransmitter terutama di medula adrenal, mengaktivasi reseptor dan . Pada dosis rendah merangsang reseptor menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan cardiac output, pada dosis tinggi merangsang reseptor menyebabkan vasokonstriksi.

Pada manusia, pemberian dopamin perinfus dengan dosis 1μg/kgBB/menit merangsang reseptor dopamin1 dan dopamin2, dengan efek vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke ginjal, splangnikus dan serebral. Dengan dosis yang lebih tinggi, terjadi stimulasi reseptor adrenergik beta yang menyebabkan rangsangan efek inotoropik dan kronotropik dengan dampak meningkatnya cardiac output. Dengan dosis 10μg/kgBB/menit, terjadi rangsangan pada reseptor adrenergik 1 dan 2 yang meningkatkan resistensi vaskuler.

Gambar 121. Struktur zat-zat adrenergik: Norepinefrin, Epinefrin, Isoproterenol dan Dopamin. Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

Pemberian dopamin dalam hal ini lebih merupakan suatu bentuk profilaksis, mengupayakan dilatasi pembuluh perifer untuk memperbaiki sirkulasi. Dengan meningkatnya cardiac output, terjadi peningkatan aliran ke sirkulasi renal dengan peningkatan ekskresi urin

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

139

dan penurunan kadar hormon antidiuretik. Respons yang timbul dari pemberian dopamin dosis rendah sangat dipengaruhi oleh defisit volume darah / cairan akibat gangguan sirkulasi, karena dengan gangguan sirkulasi yang ada, dilepaskannya renin, vasopresin dan aldosteron. Dopamin digunakan bila cairan saja gagal meningkatkan tekanan vena sentral. Vasokonstriksi periferal menyebabkan shunts darah ke jantung dan paru. Penggunaan dopamin bertujuan memperbaiki perfusi jaringan yang memburuk.

Gambar 122. Pengendalian pelepasan ADH dan aktivitas seluler terhadap Anti Diuretik Hormon (ADH). ADH bekerja di tubulus proksimal ginjal dengan cara menghambat reabsopsi natrium, sehingga terjadi peningkatan osmolalitas cairan dan menghambat proses diuresis (merangsang konservasi air di ginjal, menurunkan produksi urin dan memekatkan konsentrasi urin, serta merangsang sensasi haus dan meningkatkan pemasukan air); sehingga tercapai restorasi konsentrasi osmotik plasma. Deplesi volume dan hipotensi juga merupakan stimuli poten terhadap sekresi ADH. Pengendalian hemodinamik dimediasi oleh regangan baroreseptor yang terletak di sinus karotikus dan arkus aorta. Impuls-impuls pada reseptor ini disampaikan ke susunan saraf pusat melalui nervus vagus dan glossofaringeus, refleks yang timbul adalah sensasi haus. Disamping itu, hipovolemia juga menyebabkan stimuli pelepasan sistim renin-angiotensin, sehingga diproduksi angiotensin II yang menginduksi pemasukan air.

Efek lain dari Dopamin yang dapat dimanfaatkan pada gangguan hemodinamik ini adalah natriuresis yang akan mengurangi potensi hipernatremia; namun sebaliknya perlu diperhatikan pada kasus-kasus dengan kadar natrium normal, hiponatremia mungkin dapat terjadi setelah pemberian Dopamin.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

140

Gambar 123. Hubungan volume darah sirkulasi dan lingkar umpan balik kadar kalium dengan sekresi aldosteron. Integrasi dari sinyal-sinyal di setiap lingkar menentukan sekresi aldosteron. Sekresi aldosteron timbul sebagai respon dari penurunan kadar natrium dan peningkatan ekskresi kalium akan diikuti oleh aktifasi sistim renin-angiotensin. Pelepasan renin terjadi sebagai respon dari penurunan volume plasma dan atau tekanan darah di nefron ginjal (sel-sel juxtaglomerulus ginjal), penurunan filtrasi konsentrasi osmotik di tubulus serta berkurangnya konsentrasi natrium dan peningkatan kalium di sirkulasi renalis. Aldosteron juga meningkatkan sensitivitas reseptor garam di lidah. Efek ini menyebabkan seseorang akan mengatur konsumsi garam di dalam diet. Pada keadaan normal, kadar aldosteron plasma tidak melebihi 210-220 pmol/L (SI Unit) atau kurang dari 8ng/dL (satuan konvensional), kadar dalam urin berkisar antara 14-53 nmol/d kon 5-19μg/dL per 24 jam.

Gambar 124. Efek pemberian Norepinefrin dan Epinefrin pada frekuensi nadi, tekanan darah dan resistensi perifer. Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

141

Gambar 125. Pemberian inotropik (zat vasoaktif) seperti Dopamin dsb setelah suatu adequate volume replacement diikuti penurunan insiden MODS. Dikutip dan disadur dari Kvetan V. The effect of pressors and inotopes on regulation of cytokine release in shock, Crit.Care and Shock (1998) 1:26-39

Aplikasi klinik

Dopamin dosis rendah digunakan untuk mengatasi syok. Pada dosis renal, terjadi dilatasi

pembuluh renal dan splangnikus; pembuluh lain mengalami vasokonstriksi. Pada dosis tinggi dan pemberian Norepinefrin, seluruh pembuluh mengalami konstriksi (termasuk renal & serebral). Dalam hal ini, Dopamin bersifat lebih poten dibandingkan Norepinefrin. Dobutamin dan isoproterenol memperbaiki kontraktilitas jantung. Namun kondisi hipovolemia merupakan kontraindikasi untuk pemberian obat-obat ini; karena memiliki efek vasokonstriksi dan vasodilatasi yang berbeda (antagonis 1, di sisi lain memengaruhi ).

Gambar 126. Efek pemberian Isoproterenol pada frekuensi nadi, tekanan darah dan resistensi perifer. Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

142

Gambar 127. Pemberian Dopamin diikuti oleh perbaikan sirkulasi ke splangnikus dengan penurunan CO2 gap dan meningkatkan angka ketahanan hidup. Dikutip dan disadur dari Kvetan V. The effect of pressors and inotopes on regulation of cytokine release in shock, Crit.Care and Shock (1998) 1:26-39

Gambar 128. Efek dopamin pada jantung dan ginjal. Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992 Dopamin vs. Dobutamin

Beberapa tahun terakhir, dilaporkan bahwa penggunaan Dobutamin untuk tujuan dilatasi pembuluh perifer lebih baik dibandingkan Dopamin. Beberapa keunggulan Dobutamin dibandingkan Dopamin disebutkan antara lain tidak memiliki efek inotropik sekuat Dopamin, sehingga dapat diberikan tanpa memerlukan pemantauan ketat di ICU sebagaimana penggunaan Dopamin. Norepinefrin

Norepinefrin (Levophed ), dibandingkan Dopamin dosis tinggi, efek konstriksinya lebih efektif. c2. Penggunaan obat-obatan untuk tujuan perbaikan sirkulasi: diuretikum

Pemberian diuretikum jenis apapun akan menyebabkan reduksi edema dan penurunan tekanan darah, dengan cara meningkatkan produksi urin. Semua jenis diuretikum meningkatkan ekskresi air dan natrium, sedangkan garam lainnya sangat tergantung pada mekanisme kerjanya.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

143

Ada beberapa jenis diuretikum: 1) Golongan thiazide 2) Diuretikum kuat (loop diuretics) 3) Diuretikum hemat kalium (potassium-sparing diuretics) 4) Diuretikum osmosis (osmotic diuretics) Golongan Thiazide Mekanisme kerja: menghambat reabsorpsi natrium dan klorida di tubulus distal; kehilangan

garam-garam naatrium, klorida dan kalium menyebabkan peningkatan produksi urin. Kehilangan natrium (saja) akan menyebabkan penurunan GFR.

Efek samping: hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemia, hiperurisemia, hiperkalsemia, oliguria, kelemahan, penurunan sirkulasi plasenta, distres saluran cerna.

Farmakokinetik: dengan pemberian per oral, diabsorbsi cepat, eliminasi dalam bentuk primer.

Interaksi obat: meningkatkan toksisitas digitalis atau litium; hipokalemia dengan kortikosteroid dan ACTH, hipotensi ortostatik dengan alkohol / barbiturat atau narkotik; penurunan efek vasopresor.

Indikasi: ideal sebagai terapi awal hipertensi, edema kronik dan hiperkalsiuria idiopatik Indikasi kontra: kehamilan, anuria

Gambar 129. Tempat kerja berbagai diuretikum. Dikutip dan disadur dari Martini, FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice Hall; 2001

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

144

Diuretikum kuat (loop diuretics): Furosemid Mekanisme kerja: menghambat reabsopsi klorida di pars asendens ansa Henle;

kehilangan kalium di urin dalam konsentrasi tinggi Efek samping: hiponatremia, hipokalemia, dehidrasi, hipotensi, hiperglikemia,

hiperurisemia, ototoksik, hipomagnesemia, alkalosis hipokloremik, hipovolemia Farmakokinetik: pemberian per oral atau intra vena, 95% diikat oleh protein (albumin),

eliminasi dalam bentuk utuh di urin Interaksi obat: meningkatnya toksisitas dari ototoksik dan nefrotoksik bila diberikan

bersama litium; efek diuretik dihambat oleh probenesid dan indometasin; memperkuat efek antihipertensif

Indikasi: pilihan pertama pada kasus-kasus dengan GFR rendah dan hipertensi emergensi. Juga pada edema (termasuk edema paru) untuk memobilisasi sejumlah besar volume cairan. Kadang digunakan untuk mengatasi kadar kalium serum yang tinggi.

Indikasi kontra: anuria, deplesi elektrolit. Diuretikum hemat kalium: Spironolakton Mekanisme kerja: antagonis aldosteron (aldosteron menyebabkan retensi natrium, lihat

gambar 127 halaman 141), meningkatkan ekskresi natrium dan mengurangi ekskresi kalium di tubulus konvulsi

Efek samping: hiperkalemia, deplesi air dan natrium, intoleransi glukosa akibat imbalans endokrin (juga berkembangnya akne, ginekomastia dan hirsutisme)

Farmakokinetik: pemberian per oral, ekskresi di urin dalam bentuk tidak mengalami perubahan. Waktu paruh 6jam, dapat digunakan pada kasus-kasus dengan insufisiensi hepatik.

Interaksi obat: menyebabkan hiperkkalemia berat bila diberikan suplemen kalium dan pemberian diuretik dari satu golongan.

Indikasi: digunakan bersama Thiazide untuk mengatasi gagal jantung kongestif, sirosis hati dan sindrom nefrotik. dapat mengoreksi alkalosis metabolik

Indikasi kontra: tidak ada Diuretik osmosis: Mannitol Mekanisme kerja: menghambat reabsorpsi air dan natrium melalui proses osmosis; diawali

dengan meningkatnya volume plasma dan tekanan darah Efek samping: sefalgia, nausea, vomitus, menggigil, polidipsi, letargi, chest-pain Farmakokinetik: intra vena Interaksi obat: tidak ada Indikasi: gagal ginjal akut, glaukoma sudut tertutup, edema serebri, eliminasi beberapa

jenis obat tertentu Indikasi kontra: dekompensasi jantung, hipertensi, edema paru yang disebabkan

peningkatan tekanan darah secara transien

Satu hal yang perlu digarisbawahi pada penggunaan diuretikum; indikasi pemberian diuretikum yang rasional jenis apapun timbul bila volume intravaskuler cukup (mean arterial pressure >60mmHg) dan cenderung meningkat tanpa disertai produksi urin. Mean arterial pressure yang turun pada saat syok akan kembali normal pada saat volume intravaskuler cukup (setelah pemberian sejumlah cairan) dan permeabilitas kapiler kembali normal yang diikuti oleh kembalinya cairan interstisium ke ruang intravaskuler. Secara klinis dapat diamati secara kasar dengan memperhatikan tekanan vena sentral yang meningkat (normal >6-12 cmH2O).

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

145

c3. Penggunaan obat-obat lainnya: anti inflamasi

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian obat-obatan pada kasus luka bakar dengan gangguan sirkulasi; sebagaimana pemberian obat-obatan pada umumnya yaitu 1) hal-hal yang berkaitan dengan masalah farmakokinetik (absorbsi, distribusi-metabolisme dan eksresi, 2) jalur pemberian (oral, intravena). a) Pemberian obat-obatan secara oral khususnya memperhatikan adanya gangguan mukosa

saluran cerna dikaitkan dengan hipoperfusi splangnikus, metabolisme zat-zat tertentu (adanya penurunan kadar protein khususnya albumin, hormonal, enzim-koenzim dikaitkan dengan gangguan sel-sel hepar) dan gangguan ekskresi (gangguan sirkulasi ginjal).

b) Reaksi obat-obatan terhadap endotel, leukosit dan trombosit (dikaitkan dengan adanya perubahan ketiga sel ini pada respons inflamasi sistemik) dengan segala dampaknya.

c) Pemberian steroid merupakan kontroversi yang tak kunjung berakhir. Beberapa hal yang dijadikan pertimbangan menghindari steroid pada masa resusitasi adalah efek retensi cairan dan natrium serta inhibisi ADH yang memperberat edema; sementara khasiat antiinflamasi yang demikian kuat menyebabkan supresi sistim imun yang justru mempermudah berkembangnya sepsis.

d) Pemberian zat-zat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) demikian marak karena khasiat anti-inflamasi yang ditawarkan dan adanya laporan-laporan yang menyatakan keamanan pemberiannya. Namun, sejauh ini tidak banyak dilaporkan dampak negatif pemberian NSAID yang mempengaruhi metabolisme leukosit dan trombosit secara negatif (baca lebih lanjut mengenai peran endotel, leukosit dan trombosit pada respons inflamasi); sehingga justru mempermudah berkembangnya sepsis.

Gambar 130. Transportasi dan distribusi obat-obatan juga harus mempertimbangkan gangguan keseimbangan asam-basa yang terjadi pada gangguan sirkulasi dengan dampak gangguan metabolisme, terutama dalam hal transportasi aktif menembus membran sel. Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

146

Gambar 131. Pemberian obat-obatan harus mempertimbangkan solubilitas obat (solubilitas air dan atau lipid), dikaitkan dengan gangguan metabolisme yang terjadi (air dan metabolisme lipid, metabolisme anaerob akibat hipoksia-iskemia jaringan pada syok) . Dikutip dan disadur dari Dikutip dan disadur dari Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

d. Pemantauan sirkulasi

Mengenali gejala dan tanda-tanda awal dari syok, septik syok adalah penting dalam

mengupayakan hasil terapi. Diagnostik dari karakteristik septik syok dapat dilihat pada tabel 5 halaman 90. Monitoring yang tepat oleh karenanya mutlak diperlukan dengan perhatian khusus ditujukan pada deteksi perubahan perfusi dan oksigenasi jaringan. Sarana mendasar yang diperlukan dalam pemantauan harus mencakup pulse oximetry, electrocardiography, monitoring tekanan darah yang bersifat and invasif. Central venous pressure atau kateterisasi arteri pulmonar diikuti pengukuran venous oxygen saturation (mixed [S O2] atau central venous [ScvO2]), akan bermanfaat dalam melakukan evaluasi status kardiovaskuler bila pasien menunjukan refrakter terhadap resusitasi volume inisial, atau bila indikator-indikator oksigenasi diperlukan sebagai sarana pemantauan end point of resuscitation. d1. Pemantauan hemodinamik secara umum Secara praktis, patokan klinik yang dipakai untuk melakukan pemantauan antara lain: Perbaikan kesadaran (perfusi ke serebral) Frekuensi pernafasan

Merupakan tanda klinik yang menggambarkan fungsi paru secara langsung serta gambaran sirkulasi secara tidak langsung. Pada kondisi syok, terjadi peningkatan frekuensi pernafasan yang menggambarkan kondisi hipoksia jaringan. Paru mengadakan

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

147

kompensasi dengan meningkatkan ventilasi. Namun sebaliknya, pada kondisi edema paru sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan atau penarikan cairan ekstravaskuler ke intravaskuler tanpa disertai penurunan fungsi ginjal juga akan menyebabkan peningkatan frekuensi pernafasan. Oleh karenanya akurasi pertanda klinik ini sangat rendah karena juga dipengaruhi faktor lain misalnya rangsang nyeri, pemberian obat-obatan yang memberikan efek depresi pernafasan dsb.

Diuresis (produksi urin per jam) Menggambarkan baik atau tidaknya sirkulasi perifer, yang sekaligus memberi gambaran cukup / tidaknya cairan yang diberikan. Patokan klinik untuk diuresis pada sirkulasi yang memberi respons baik pada resusitasi adalah sebagai berikut:

Tabel 10. Pemantauan diuresis pada resusitasi:

Jumlah urin Keterangan Syok 0.5 – 1 ml/kgBB/jam Perfusi inadekuat Hari pertama-kedua 1 - 2 ml/kgBB/jam Sirkulasi stabil Hari ketiga-keempat 3 - 4 ml/kgBB/jam Fase diuresis

Kadar hemoglobin dan hematokrit (hemokonsentrasi-hemodilusi).

Hipovolemia memberikan gambaran hemokonsentrasi pada pemeriksaan darah perifer. Pemberian cairan yang adekuat menyebabkan perbaikan kadar hemoglobin dan rasionya terhadap hematokrit.

Central Venous Pressure (CVP, tekanan vena sentralis) Merupakan perangkat pemantau yang kurang akurat dalam memberi informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi sistemik. Penurunan CVP terjadi pada kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan dengan kebocoran akibat gangguan permeabilitas kapiler. Di saat permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang berlebihan atau penarikan cairan yang berlebihan akibat pemberian koloid / plasma akan menyebabkan hipervolemia yang ditandai dengan adanya peningkatan CVP.

Gambar 132. Pengukuran tekanan vena sentralis. Dikutip dan disadur dari Rhodes A, Grounds RM, Bennett ED. Hemodynamic Monitoring in Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM. Text book of Critical care 5th ed

Pulmonary Artery Wedge Pressure (PAWP)

Merupakan parameter yang paling akurat dalam menggambarkan informasi volume cairan intravaskuler; berhubungan langsung dengan tekanan pada arteri pulmonal. Nilai normal <18mmHg.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

148

Gambar 133. Schwan-Ganz Catheter digunakan untuk pengukuran Pulmonary Artery Wedge Pressure (PAWP). Dikutip dari spesifikasi produk

Gambar 134. Rangkaian dari salah satu cara pemantauan PAWP.

Gambar 135. Ujung kateter di arteri pulmonal dikenali dengan adanya perubahan tekanan diastolik. Tekanan sistolik arteri pulmonal umumnya ekivalen dengan tekanan sistolik ventrikuel kanan. Oleh karenanya, pada keadaan normal tekanan sistolik arteri pulmonal berkisar antara 15-30mmHg, sedangkan tekanan diastolik arteri pulmonal berkisar antara 5-15mmHg. Mean Pulmonary Artery Pressure (MPAP) berkisar antara 10-20mmHg.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

149

Gambar 136. Interpretasi gelombang arterial. Di saat tekanan turun, katup aorta tertutup menandakan onset diastolik. Katup aorta menghasilkan gelombang dengan karakteristik tertentu yang dikenal sebagai dicrotic notch (lihat gambar di atas). Nilai terendah pada gelombang arterial ini adalah tekanan diastolik. Tekanan diastolik normal berkisar antara 60-90mmHg.

Gambar 137. Komponen gelombang CVP. CVP dibentuk oleh perubahan tekanan yang terjadi di atrium kanan selama sistol dan diastol atrium kanan. Gelombang CVP terdiri dari berbagai komponen: Gelombang A, gelombang C, gelombang V, X descent dan Y descent (lihat gambar di atas). Gelombang ini dibangkitkan selama sistol atrium dan tingginya menunjukan berapa tekanan yang terjadi di atrium saat darah dipompakan ke ventrikel.

Gambar 138. Korelasi EKG dengan gelombang arteri pulmonal. Gelombang arteri pulmonal memiliki korelasi dengan perubahan aktivitas listrik di ventrikel kanan dan berhubungan dengan perubahan tekanan di arteri pulmonal.

Gambar 139.Pada resirasi spontan, inspirasi merupakan penurunan tekanan, ekspirasi merupakan peningkatan tekanan. End expiration terjadi sebelum inspiratory drop gelombang: inilah saat yang perlu dicatat.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

150

Gambar 140. Pengukuran PAWP. PAWP harus selalu lebih rendah dari MPAP. Bila PAWP lebih tinggi dari MPAP, kemungkinan besar disebabkan terjadi kesalahan analisis ujung kateter, atau ujung tidak berada di zona paru. Bila kateter tidak berada di zona III, maka PAWP akan menggambarkan tekanan alveolar dan atau tekanan jalan nafas secara akurat. Selain itu, tekanan diastolik arteri pulmonar (Pulmonary Artery Diastolic, PAD) harus lebih tinggi dari PAWP. Hal ini disebabkan tekanan tinggi di arteri pulmoar yang dibutuhkan untuk memompakan darah ke atrium. Gambar 130 s/d 136 dikutip dan disadur dari Hollenberg SM, Ahrens TS, Annane D, Astiz ME, Chalfin DB, Dasta JF, et al. Practice parameters for hemodynamic support of sepsis in adult patients: 2004 update. Crit Care Med 2004 Vol. 32, No. 9

d2. Pemantauan perfusi jaringan Tabel 11. Indikator oksigenasi jaringan

Indeks / parameter Nilai Oxygen delivery (DO2) Normal 1000mL/menit

Indexed terhadap cardiac index (DO2I) 500mL/(menit – m2) Oxygen consumption (VO2) Normal 250mL/menit

Indexed terhadap cardiac index (VO2I) 125mL/(menit – m2) Oxygen Extraction ratio (OER) Normal 0.25

Catatan: bila DO2 turun, VO2 dipertahankan oleh ekstraksi oksigen

Caridac index - OER ratio Normal 12 (dengan cardiac index 3 dan OER 0.25) Plot pada grafik untuk melakukan evaluasi fungsi kardiovaskuler Rasio <10 menunjukan inadekuasi respons kardiovaskuler yang diperlukan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen Catatan: pada sypk septik, rasio <10 menunjukan inadekuasi resusitasi cairan dan atau depresi miokardium

Mixed venous oxygen saturation (SvO2) Normal 65-75% Nilai <50% menunjukan defsit oksigen berat

Central venous oxygen saturation (ScvO2) Normal 70% Keterangan: ScvO2 > saturasi oksigen arterial > SvO2

Kadar laktat Normal <2mmol/L Monitoring tren; kegagalan penurunan kadar laktat menunjukan prognosis buruk Singkirkan faktor-faktor yang meningkatkan kadar laktat (epinefrin, pencucian luka)

PCO2 mukosa gaster (PiCO2) Normal PiCO2- PaCO2 gap 2-10mmHg Gap >20mmHg diikuti peningkatan komplikasi dan mortalitas Goal: pertahankan gap <25mmHg untuk menghindari metabolisme anaerob

Tekanan parsial CO2 sublingual (PslCO2) Normal PslCO2- PaCO2 gap <10mmHg Gradien >25mmHg menunjukan onset metaolisme anaerob

Untuk mendeteksi hipoksia jaringan diperlukan pemantauan beberapa indikator spesifik

(misalnya kadar laktat serum, S O2 atau ScvO2, PCO2 gastric intramucosal [PiCO2]; karena pada banyak kasus, tekanan darah, frekuensi jantung dan produksi urin yang menjadi patokan

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

151

stabilitas hemodinamik selama ini (konvensional, tradisional) seringkali menunjukan nilai normal selama berlangsungnya hipoksia.

Penggunaan standard end points (misal, MAP > 60 mm Hg) sekalipun tidak cukup dalam memberikan informasi mengenai adekuasi perfusi. Sebagai gambaran, penelitian yang dilakukan oleh LeDoux dkk, pada pasien-pasien septik syok yang mendapatkan terapi vasopresor untuk mempertahankan MAP 60mmHg atau lebih disamping resusitasi cairan untuk memperoleh tekanan oklusi arteri pulmonar (PaOP) 12mmHg atau lebih. Pada pasien-pasien ini, dengan pemberian norepinefrin diperoleh peningkatan MAP dari 65mmHg menjadi 85mmHg; namun, meski norepinefrin memperbaiki cardiac index, tidak diikuti oleh perbaikan indikator perfusi jaringan (kadar laktat lebih dari 2mmol/L, PiCO2). Karenanya, indikator stabilitas hemodinamik standar bukan merupakan indikator (sensitif) yang memberikan informasi oksigenasi jaringan.

Dalam kondisi demikian, petunjuk global (misalnya DO2 dan oxygen consumption [ o2], kadar laktat serum, dan S O2 atau ScvO) dan regional (gastric tonometry, sublingual capnometry) menunjukan nilai yang lebih representatif. Oksigenasi global

Beberapa indikator global untuk mendeteksi hipoksia jaringan yang digunakan pada

pasien-pasien kritis antara lain adalah kalkulasi pengukuran DO2 dan o2, S O2, dan kadar laktat serum memberikan gambaran status oksigenasi secara menyeluruh. Oxygen Delivery dan Oxygen Consumption

Oxygen delivery (disingkat DO2) adalah jumlah oksigen yang didistribusikan ke jaringan setiap menit dan dijelaskan menurut ekuasi sebagai berikut:

DO2 = CaO2 x CO x 10 Keterangan: CaO2 adalah arterial oxygen content (jumlah oksigen yang dibawa oleh 100 mL darah arterial) dan CO merupakan kepanjangan dari cardiac output. CaO2 dihitung dengan mengalikan saturasi oksigen darah arterial (SaO2) dengan konsentrasi hemoglobin (Hgb) dan konstanta (1.36) yang menerangkan kapabilitas 1 gram hemoglobin mengangkut oksigen.

CaO2 = SaO2 x Hgb x 1.36

Sebagai contoh, CaO2 = (0.99 x 15 g/dL x 1.36) = 20 g/dL. Dalam menghitung DO2, CaO2 dikalikan dengan cardiac output dan 10. Nilai normal DO2 umumnya mendekati 1000 mL/menit. Namun, bila cardiac index (yang diperhitungkan sebagai cardiac output dalam satuan liter per menit dan dibagi luas permukaan tubuh dalam meter kuadrat) digunakan, maka nilai normal DO2 (DO2I) mendekati 500 mL/ (menit/m2).

Penilaian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi DO2 memberikan informasi yang sangat penting dalam terapi untuk optimalisasi oksigenasi jaringan. Sebagai contoh, bila DO2 menurun, maka tentunya assessment pertama yang dilakukan adalah melakukan penilaian (evaluasi) terhadap 3 faktor utama yang mempengaruhinya, yaitu cardiac output, SaO2, dan konsentrasi hemoglobin.

Namun, nilai DO2 normal tidak dapat dijadikan patokan bahwa ketiga faktor yang mempengaruhinya tersebut berada dalam batas normal. Misalnya pada kondisi dimana terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin atau SaO2, nilai DO2 akan sama (normal) bila terjadi peningkatan cardiac output. Pada pasien-pasien yang menderita penyakit jantung, peningkatan

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

152

cardiac output merupakan suatu hal yang tidak mungkin terjadi, oleh karenanya penurunan nilai DO2 akan terjadi bila dilakukan intervensi memperbaiki SaO2 dan atau kadar hemoglobin. Dengan demikian, penilaian pada faktor-faktor yang mempengaruhi DO2 secara terspisah akan menimbulkan kekeliruan penilaian status DO2 pasien.

o2, yang mencerminkan reaksi oksidatif di dalam tubuh, dapat dihitung menggunakan rumus estimasi Fick equation, yang merupakan hasil perkalian cardiac output dengan perbedaan arteriovenous oxygen content (saturasi oksigen arteri-saturasi oksigen vena). Rumus ekuasi Fick:

Pengukuran (langsung) o2 secara bedside juga dapat melalui pemeriksaan indirect calorimetry menggunakan suatu metabolic cart. Namun, pengukuran melalui cara ini tidak mudah dan kondisi pasien harus relatif stabil.

Terlepas dari beberapa limitasi yang ada, pengukuran DO2 dan o2 banyak digunakan sebagai pegangan dalam upaya memperbaiki status hemodinamik dan upaya menciptakan kondisi normal atau bahkan DO2 di atas normal (supranormal). Rasional dari DO2 supranormal didasari fakta bahwa debet oksigen secara teoritis terjadi saat dijumpai ketidakseimbangan antara suplai dan konsumsi oksigen. Maksud dari penerapan DO2 normal atau supranormal (cardiac index >4.5 L · min–1 · m–2, DO2I >600 mL/ (min · m2), o2 >170 mL/(menit · m2) adalah untuk mengatasi debet oksigen. Studi-studi awal yang dilakukan, menunjukan bahwa

"supranormalisasi" DO2 memperbaiki survival pada pasien-pasien kasus bedah yang tergolong high-risk. Namun pada studi-studi yang dilakukan selanjutnya (berupa controlled clinical trials) tidak menunjukan keuntungan, bahkan supranormalisasi akan mengakibatkan efek sebaliknya pada beberapa pasien. Interpretasi terkini mengenai hasil studi awal menunjukan bahwa ada hubungan antara upaya pencapaian kondisi supranormal dengan refleksi timbulnya reaksi fisiologik yang sebaliknya, dibandingkan efek peningkatan DO2 yang memberikan keuntungan.

Bukti-bukti lain terkini menunjukan, meskipun upaya meningkatkan DO2 normal adalah penting, namun timing dari proses initiasi dari terapi ini menjadi suatu faktor yang bersifat kritis..Pada studi yang dilakukan pada 263 pasien yang menderita sepsis berat atau septik syok sat masuk IGD, dilakukan sampling acak terhadap 133 pasien yang memperoleh pelayanan standar (resusitasi volume, transfusi darah, dan pemberian zat-zat vasoaktif yang berorientasi pada nilai CVP antara 8–12 mm Hg, MAP 65 mm Hg, dan produksi urin 0.5 mL/kg per jam). Sisanya (130 pasien) memperoleh perlakuan yang bersifat suatu early goal-directed therapy selama 6 jam, yaitu memperoleh kombinasi dari pelayanan standar ditambah resusitasi agresif dalam mengupayakan ScvO2 melebihi 70% sebagai suatu indikator oksigenasi jaringan yang adekuat. Morbiditas (selama pelayanan di rumah sakit) mencapai 30.5% pada pasien-pasien yangmemperoleh perlakuan early goal-directed therapy dan 46.5% pada kelompok yang memperoleh terapi standar; dijumpai penurunan mortalitas absolut sebesar 16% pada pasien-pasien yang memperoleh goal-directed therapy. Hasil yang diperoleh sangat berbeda dengan hasil penelitian lain yang tidak menunjukan perubahan atau bahkan justru menunjukan peningkatan mortalitas dan morbiditas saat strategi optimisasi ini diterapkan pada pasien–pasien yang sudah menunjukan organ dysfunction.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

153

Oxygen Extraction Ratio (OER) Dibandingkan evaluasi yang bersifat sederhana seperti DO2 and o2, oxygen extraction

ratio (OER) dapat digunakan sebagai suatu indikator yang lebih sensitif untuk mengetahui adekuasi keseimbangan antara DO2 dan kebutuhan oksigen. OER ini dihitung berdasarkan ekuasi berikut, dimana C O2 menunjukan mixed venous oxygen content:

Ekuasi ini sangat bermanfaat karena nilai-nilai SaO2 dan S O2 dapat langsung dihitung (bedside). Nilai normal OER adalah 0.25 (artinya, 25% oksigen di distribusi dan dikonsumsi). Pada keadaan normal, saat nilai DO2 bervariasi, nilai o2 tetap stabil oleh karena adanya variasi dari oxygen extraction, artinya, o2 bersifat independen terhadap DO2. Namun, bila nilai DO2 turun di bawah critical level, maka nilai o2 berubah menjadi dependen terhadap jumlah oksigen yang didistribusi. Meskipun oxygen extraction meningkat dalam upaya mempertahankan oksigenasi jaringan adekuat, nilai tertingginya sudah tercapai dan tak ada lagi oksigen diekstraksikan; berlangsunglah metabolisme anaerob. Tidak ada nilai absolut dari critical level, namun pada pasien yang menjalani pembiusan critical point terjadi pada kadar DO2I 330 mL/(menit · m2) (atau 8 mL/menit per kilogram). Lebih lanjut diketahui bahwa, pada 9 pasien dengan septik syok dan 8 pasien tanpa septik syok, perbedaan critical level DO2I (3.8 vs 4.5 mL/menit per kilogram) tidak bermakna, meskipun nilai absolut jelas lebih rendah daripada yang diamati pada pasien yang menjalani pembiusan. Diketahui pula, OER antara 0.60 sampai dengan 0.75 umumnya dianggap sebagai critical point suatu onset berlangsungnya metabolisme anaerob.

OER dapat bersifat sebagai suatu faktor prognostik. Pada studiyang dilakukan terhadap

critically ill surgical patients, OER menunjukan peningkatan pada pasien-pasien yang memiliki LOS (length of stay) panjang di ICU. OER pasien-pasien yang dirawat lebih dari 5 hari adalah 0.36 dan 0.31pada pasien-pasien yang dirawat kurang dari 5 hari. Hasil yang sama dilaporkan pada pasien-pasien dengan sepsis berat dan atau pasien septik syok. Dalam hal ini, ditunjukkan bahwa peningkatan OER merupakan refleksi dari kompensasi terhadap penurunan DO2. Rasio Cardiac Index terhadap OER

Evaluasi OER relatif terhadap cardiac index memberikan informasi tambahan dalam menentukan apakah cardiac index pasien cukup dalam memenuhi kebutuhan tubuh akan oksigen. Bila respons jantung dalam memenuhi kebutuhan oksigen kurang, maka tubuh memberikan reaksi dengan melakukan ekstraksi oksigen lebih banyak (yaitu, meningkatkan OER yang akan diikuti dengan penurunan SvO2). Hubungan antara cardiac index dan OER dapat dilihati jelas pada penderita anemis. Rasio normal cardiac index–OER adalah 12 (dengan cardiac index 3.0 dan OER 0.25); nilai 10 menunjukan nilai terendah normal (misal, cardiac index 2.5 dan OER normal 0.25). Pada keadaan normal, peningkatan o2 akan diikuti oleh peningkatan cardiac output, OER, atau keduanya. Namun, bila fungsi jantung tidak baik, cardiac output tidak meningkat, respons yang timbul pada kondisi dimana kebutuhan oksigen meningkat adalah peningkatan ekstraksi

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

154

oksigen dan karenanya respons ini akan menurunkan rasio cardiac index–OER. Misalnya, cardiac index 2.0 dan OER 0.30, maka rasio cardiac index–OER adalah 6.7. Sedangkan pada pasien sepsis dengan cardiac index yang meningkat dan OER rendah atau normal, rasio nya akan meningkat. Misalnya, cardiac index 4.5 dan OER 0.22, maka rasio adalah 20.

Yalavatti dkk melakukan studi pada 60 pasien dengan sepsis, masing-masing dengan dan tanpa kelainan jantung; dari studi ini diperoleh suatu algoritmi interpretasi rasio cardiac index–OER sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut..

Gambar 141. Algoritmi menunjukan penerapan rasio cardiac index-oxygen extraction ratio (CI/O2ER). Rasio 10-12 (cardiac index = 2.5–3.0 dan O2ER = 0.25) menunjukan fungsi kompensasi jantung aekuat. Bila cardiac index bersifat inadekuat, maka respons dalam mengupayakan peningkatan konsumsi oksigen dapat dicapai melalui peningkatan oxygen extraction, yang menyebabkan penurunan rasio (misal, pada cardiac index = 2.0 dan O2ER= 0.30, maka rasio adalah = 6.6). Rasio kurang dari 10 merupakan petunjuk kompensasi jantung inadekuat. Kadar laktat

Pada suasana aerob, oksidasi 1 molekul glukosa melalui siklus Kreb (TCA, tricarboxylic acid cycle) menghasilkan 38 molekul ATP (gambar 138). Molekul perantara dalam proses ini adalah piruvat, yang ditransportasi ke dalam mitochondria dan diubah menjadi acetyl coenzyme A (substansi yang ikut berperan di dalam siklus Kreb). Oksigen berperan pada tahap akhir. Pada suasana anaerob, proses oksidatif terhambat karena tidak adanya oksigen dan siklus Kreb terhambat / terhenti. Akibatnya, piruvat yang tidak dapat masuk ke dalam mitochondria, diubah menjadi laktat. dengan demikian, laktat merupakan produk akhir metabolisme anaerob, dan peningkatan laktat serum (>2 mmol/L) dianggap merupakan indikator hipoksia jaringan.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

155

Gambar 142. Produksi laktat. Pada suasana aerob, glukosa dimetabolisme menjadi piruvat. Selanjutnya piruvat diubah menjadi acetyl coenzyme A (Acetyl-CoA) oleh piruvat dehidrogenase (PDH). Acetyl-CoA memasuki tricarboxylic acid (TCA) cycle dan mengalami proses foforilasi oksidatif. Oksigen memegang peran kunci pada tahap akhir. Pada suasana anaerob, piruvat tidak dapat masuk ke dalam TCA cycle dan diubah menjadi laktat oleh laktat dehidrogenase (LDH). Pemecahan piruvat menghasilkan terbentuknya 2 molekul adenosine triphosphate (ATP). Molekul ATP kemudian diuraikan menjadi adenosine diphosphate (ADP) dan fosfor (P), menyebabkan pelepasan ion hidrogen (H+). Ion hidrogen kemudian berikatan dengan laktat membentuk asam laktat.

Peningkatan kadar laktat di atas>4 mmol/Lterutama pada kasus yang tidak memberikan respons perbaikan setelah terapi, merupakan faktor prognostic adanya organ failure dan prognosis buruk pada septik syok. Namun, perlu dicatat, bahwa penerapan hal ini tidak mudah pada pasien dengan septik syok yang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, vascular bed (misalnya, saluran cerna) mengalami hipoksia tanpa diikuti peningkatan kadar serum laktat; oleh karenanya, kadar serum lakat tidak menjamin bahwa tidak terjadi hipoksia jaringan regional. Lebih lanjut, pada pasien dengan syok septik, peningkatan kadar serum laktat dapat diamati disaat oxygen delivery adekuat, atau sebaliknya, di saat oxygen delivery meningkat, kadar serum laktat tidak turun. Salah satu faktor yang bertanggungjawab terjadinya hal ini adalah epinefrin-endogen atau eksogen yang meningkatkan kadar asalm laktat pada jaringan yang memperoleh oksigenasi baik. Berdasarkan hal ini, penggunaan laktat sebagai indikator tidak direkomendasikan secara tesendiri, namun mengiktui tren dan menyingkirkan kemungkinan penyebab lain yang berperan dalam menyebabkan peningkatan kadar laktat serum. Gastric tonometry dan sublingual capnography juga menunjukan keterlambatan antara onset hipoksia jaringan dan peningkatan kadar laktat serum laktat; demikian pula sebaliknya, keterlambatan resolusi hipoksia dan penurunan kadar laktat. Dengan kata lain, kadar asam laktat dapat normal meskipun hipoksia masih terjadi. Mixed Venous Oxygen Saturation

S O2 mencerminkan effluent venous dari seluruh vascular beds. S O2, yang diperoleh dari darah yang di aspirasi dari arteri pulmonar dapat diukur langsung menggunakan CO-oximetry, dihitung menurut rumus berikut:

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

156

Pada kondisi normal, dimana nilai o2 stabil dan kadar hemoglobin normal, S O2 dapat digunakan sebagai suatu indikator dari cardiac output. Namun harus disadari bahwa S O2 dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penurunan atau peningkatan o2 dan DO2. Dengan demikian, dalam memberikan interpretasi, harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai-nilait o2 (Tabel berikut) yang mempengaruhi asupan dan kebutuhan oksigen.

Meningkat Menurun Demam Nyeri Ansietas/agitasi Shivering Perawatan luka (mandi, positioning) Sepsis/syok septik

Hipotermia Analgesia Sedasi Anestesia

Nilai S O2 rendah mencerminkan penurunan DO2 dan atau peningkatan o2 di tingkat jaringan. Ketiga faktor utama yang mempengaruhi DO2 (cardiac output, kadar hemoglobin, dan SaO2) harus dinilai terlebih dahulu. Selain itu, faktor-faktor klinis yang menyebabkan peningkatan o2 juga harus dipertimbangkan.

Pada syok septik, adalah suatu tantangan dalam memberikan interpretasi suatu nilai S O2 yang tinggi (>70%), yang menunjukan peningkatan DO2 pada kondisi hiperdinamik atau justru sebaliknya memberikan informasi ketidakmampuan jaringan melakukan ekstraksi oksigen (cytopathic hypoxia). Selain itu, nilai S O2 normal tidak menyingkirkan adanya hipoksia jaringan regional, terutama pada vascular beds yang memperoleh kontribusi terbatas dari S O2 total (misalnya, traktus gastrointestinal dan otak). Dalam kondisi demikian, diperlukan pemanfaatan indikator oksigenasi jaringan yang lebih sensitif (seperti, kadar laktat, PiCO2, atau sublingual capnography). Central Venous Oxygen Saturation

Central Venous Oxygen Saturation (ScvO2) digunakan sebagai alternatif dari S O2, yang diukur dengan suatu kateter oksimetrik yang terletak di vena cava superior. Tergantung kondisi klinik, nilai ScvO2 umumnya sama dengan S O2. Pada umumnya, nilai ScvO2 merupakan overestimasi (1-3%) nilai S O2, namun variabilitas individual sangat luas sampai dengan 23% dapat terjadi; sehingga nilai ini tidak dapat saling menggantikan. Secara klinis, ScvO2 dapat digunakan dalam mentrasir perubahan yang terjadi, nilai ScvO2 rendah (<60%), yang juga menunjukan nilai S O2 (bahkan mungkin lebih rendah),dapat digunakan sebagai indikator adanya kelemahan DO2. Saat ini, ScvO2 digunakan sebagai marker hipoksia jaringan yang belum jelas disamping normalisasi tanda-tanda vital. Pada studi yang dilakukan oleh Rady dkk, 50% pasien-pasien kritis tanpa sepsis yang diresusitasi dan menunjukan vital signs normal (MAP 70–110 mm Hg) berlanjut dengan meningkatnya kadar laktat (>2 mmol/L) dan penurunan nilai ScvO2 (<65%). Saat ini, ScvO2 lebih dari 70% dibandingkan parameter yang biasa digunakan (frekuensi jantung, MAP, produksi urin) digunakan sebagai goal for resuscitation pada pasien-pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pasien yang menerima early goal-directed therapy menunjukan penurunan mortalitas yang bermakna dibandingkan dengan mereka yang memperoleh pelayanan standar. Para peneliti pada studi ini menganjurkan penggunaan ScvO2

karena pemasangan kateter vena sentral (standard atau oximetric) dapat dikerjakan lebih awal pada resusitasi sementara pemasangan kateter arteri pulmonaruntuk pemantauan S O2

dilakukan belakangan.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

157

Oksigenasi Regional

Meskipun oksigenasi global memberikan informasi yang bermanfaat tentang status oksigenasi tubuh secara keseluruhan, namun indiaktor-indiaktor ini dapat menunjukan nilai normal pada pasien-pasien yang mengalami hipoperfusi dan hipoksia pada vascular bed yang terisolir.

Traktus gastrointestinal adalah satu dari vascular beds yang paling sensitif terhadap hipoperfusi. Karena penurunan perfusi splangnikus menunjukan gejala dan tanda-tanda syok (seperti hipotensi dan peningkatan kadar laktat) maka saluran cerna (usus) disebut-sebut sebagai "canary of the body” (burung kenari dari tubuh manusia) Gastric Tonometry

Gastric tonometry mulanya didesain untuk mengukur pH intramukosa (pHi). Ternyata, pHi menunjukan bahwa ia merupakan prediktor yang lebih baik dari suatu kondisi organ

dysfunction dan mortalitas dibandingkan oxygen-derived variables (DO2 dan o2). Nilai pHi lebih besar dari 7.35 (kisaran normal 7.35–7.45) merupakan nilai prediktif dari survival, terutama bila digabungkan dengan kadar laktat serum. Disamping itu, penggunaan pHi sebagai parameter (goal for therapy) memperbaiki hasil (outcomes) pada pasien-pasien dengan sepsis berat tanpa kerusakan end-organ. Namun, pada studi-studi yang dilakukan akhir-akhir ini, dimana pHi digunakan sebagai parameter menentukan target (end point) dari prosedur resusitasi, ditunjukkan bahwa tidak ada perbaikan pada setiap kelompok pasien. dalam studi tersebut, pasien-pasien ICU mendapatkan resusitasi standar (kristaloid/koloid untuk meningkatkan PAOP mencapai 15 mm Hg disertai peberian zat vasoaktif dan terapi insulin, transfusi darah, dan ventilasi mekanik) untuk mencapai target: MAP >70 mm Hg, tekanan darah sistolik >90 mm Hg, produksi urin>0.5 mL/kg per menit, konsentrasi hemoglobin >8 g/dL, SaO2 >94%, dan koreksi dari uncompensated respiratory acidosis. Bila nilai pHi tetap <7.35 dalam satu jam setelah target ini tercapai, atau setelah melalui terapi maksimal untuk mencapai target, pasien-pasien di dalam kelompok intervensi mendapatkan larutan koloid tambahan dan drip dobutamine (5–10 µg/kg per menit) yang disesuaikan untuk mencapai pHi >7.35. Pasien di kelompok kontrol diperlakukan menurut target tertentu tanpa intervensi tambahan untuk mencapai target pHi. Hasil studi menunjukan bahwa kedua kelompok tidak menunjukan perbedaan bermakna dalam hal LOS di ICU, insiden organ dysfunction; atau mortalitas di ICU, di rumah sakit dan atau dalam periode 30-hari.

Gambar 143. Gastric tonometry untuk mengetahui adanya hipoperfusi splangnikus; dengan memasukkan pipa nasogastrik dengan balon semipermeabel terhadap CO2. Balon ini dihubungkan dengan adapter yang dapat mengukur produksi CO2 dan mengetahui pH intramukosa. Dikutip dan disadur dari Maki DG, Rolandelli RH, Shronts EP, Warden GD. Enteral nutrition for the septic patient: Timing of feeding and selection of formula. J Crit Care Nutr. 2003; 5(1):4-12

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

158

Gambar 144. Perangkat gastric tonometry. Dikutip dan disadur dari Omura K, Hiran, K, Kanehira E, Kaito K, Tamura M, Nishida S, Kawakami K, Watanabe Y. Small Amount of Low-Residue Diet with Parenteral Nutrition can Prevent Decreases in Intestinal Mucosal Integrity, MD Consult-Journal Article, http://home.mdconsult.com/

Gastric Tonometry merupakan metode pemeriksaan yang memiliki sensitivitas dan

spesifisitas tinggi untuk menggambarkan adanya asidosis mukosa saluran cerna akibat hipoperfusi splangnikus. Sebuah balon semipermiabel terhadap karbondioksida yang diletakkan di ujung pipa nasogastrik memberikan informasi yang ditangkap oleh sebuah sensor. Kadar karbondioksida yang ada di dalam balon merefleksikan keasaman (pH) intramukosa, dapat diketahui melalui perhitungan:

Tabel 12. Interpretasi hasil pemeriksaan tonometri

PgCO2 P(g-a)CO2 P(g-Et)CO2

>60mmHg 8.0kPa

>20mmHg 2.5kPa

>25mmHg 3.5kPa

Perhatian: Pertimbangkan intervensi terapetik untuk koreksi nilai-nilai yang meningkat

50-60mmHg

6.5-8.0kPa

10-20mmHg 1.5-2.5kPa

15-25mmHg 2.0-3.5kPa

Pemantauan: Perbaikan atau perburukan

<50mmHg 6.5kPa

<10mmHg 1.5kPa

<15mmHg 2.0kPa Teruskan pemantauan perfusi gastrik

Dikutip dan disadur dari Omura K, Hiran, K, Kanehira E, Kaito K, Tamura M, Nishida S, Kawakami K, Watanabe Y. Small Amount of Low-Residue Diet with Parenteral Nutrition can Prevent Decreases in Intestinal Mucosal Integrity, MD Consult-Journal Article, http://home.mdconsult.com/

Saat ini direkomendasikan penggunaan pengukuran perbedaan antara PiCO2 dan PaCO2,

yang dikenal dengan sebutan PiCO2-PaCO2 gap. PiCO2 diperoleh dari pengambilan sampel udara dari balon yang berada di ujung gastric tube. Namun, sayangnya tidak ada standar normal dari nilai PiCO2-PaCO2 gap ini; yang direkomendasikan memiliki kisaran antara 2-10 mmHg (dimana, PiCO2 = 50 mmHg dan PaCO2 = 40 mmHg). Meski nilai PiCO2-PaCO2 gap

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

159

>25-35 mmHg menunjukan onset dari metabolisme anaerob, nilai 40 mmHg tidak merupakan indikator sensitif maupun specifik adanya hipoperfusi splangnikus. Kepentingan klinik dari penilaian ini adalah, bahwa peningkatan gap >20 mmHg selalu diikuti dengan meningkatnya komplikasi dan mortalitas, dan pada pasien-pasien trauma, nilai gap>18 mmHg merupakan prediktif adanya multiorgan dysfunction syndrome dan kematian.

Nilai yang direkomendasikan untuk mempertahankan gap <25 mmHg untuk mencegah / menghindari metabolisme anaerob, meskipun belum ada penelitian klinis yang menunjukan manfaat pengukuran ini dalam menentukan end point dari resusitasi.

Meskipun gastric tonometry memberikan informasi klinik yang potensial dan bermanfaat,

prosedur pengukurannya cukup rumit sehingga penggunaannya khususnya bedside sangat terbatas.

Keterbatasan gastric tonometry adalah, bahwa pHi perlu dihitung, suatu langkah yang memerlukan asumsi bahwa kadar bikarbonat di mukosa gaster adalah ekivalen dengan kadar di dalam darah arteri; dan asumsi ini tidak selalu benar. Keterbatasan ini dan sulitnya proses mendapatkan nilai pH gaster menyebabkan metode ini tidak digunakan secara luas.

Sistim semi-invasif ini memerlukan waktu 90 menit untuk ekilibrasi, dan untuk pengukuran yang akurat, lambung harus dalam keadaan kosong minimal 1 jam sebelum pengukuran, atau dilakukan aspirasi isi lambung saat pengukuran akan dilakukan. Pada beberapa penelitian diperoleh informasi bahwa PiCO2 menjadi stabil dalam 24-48 jam setelah pemberian Nutrisi Enteral, dan bila nilai ini tercapai, pemberian NE tidak perlu dihentikan. Karena keterbatasan-keterbatasan ini, maka pemanfaatan mukosa lain di sepanjang traktus gastrointestinal (esofagus dan mukosa sublingual) dipertimbangkan untuk proses monitoring. Sublingual Capnometry

Metode yang memanfaatkan teknologi terkini saat ini sudah dapat diperoleh, untuk melakukan pengukuran tekanan parsial karbondioksida sublingual (PslCO2) yang digunakan sebagai surrogate marker perfusi gastrointestinal.

Gambar 145. Probe sublingual capnography. CapnoProbe system (Nell-cor, Pleasanton, Calif) memanfaatkan teknologi fiber-optic untuk mengukur tekanan parsial karbondioksida di daerah sublingual (PslCO2). CO2 mengalami difusi melintasi membran semipermeabel yang terdapat pada sensor menuju larutan warna fluorescent. Zat warna ini memancarkan cahaya yang sebanding dengan jumlah CO2 yang ada. Jumlah warna yang dipancarkan dikonversi ke dalam nilai numerik. Dikutip dari spesifikasi produk.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

160

PslCO2 diukur secara intermiten menggunakan sublingual device (gambar 141) yang terdiri dari sensor disposable dilapisi oleh sebuah membran permeabel terhadap CO2. Sensor mengandung zat warna fluoresensi yang mengeluarkan cahaya yang sebanding dengan jumlah CO2 yang terbentuk. Teknologi fiberoptic digunakan untuk mendeteksi perubahan fluoresensi, dan signal cahaya ini dikonversi ke dalam nilai numerik. Sebuah probe diletakkan di bawah lidah yang kontak dengan mukosa sublingual, dan pengukuran dilakukan dalama waktu 2-4 menit.

Pada hewan percobaan dengan syok hemoragik dan syok septik, PslCO2 menunjukan nilai

yang sebanding dengan hasil yang diperoleh dengan pemeriksaan gastric tonometry. Perubahan PslCO2 mengikuti perubahan aliran darah di traktus gastrointestinal. Pada kasus dengan syok hemoragik dan syok septik, PslCO2 meningkat lebih cepat dibandingkan kadar laktat serum, dan bertahan selama 1-6 jam. Setelah pemberian transfusi pada hewan percobaan ini, PslCO2 kembali ke nilai basal dengan cepat; berbeda dengan kadar laktat serum yang belum terjadi dalam waktu 1 jam. Dalam studi yang dilakukan dalam memperkenalkan teknologi ini, PslCO2 >70 mmHg merupakan prediktif 100% pada syok sirkulasi, sedangkan PslCO2 <70 mmHg merupakan nilai prediktif dari survival.

Meskipun PslCO2 absolut memiliki implikasi prognostik, interpretasi PslCO2 tetap sulit karena adanya hubungan langsung antara PaCO2 dan PslCO2. Misalnya, bila pasien mengalami hiperventilasi (menurunnya PaCO2) maka PslCO2 juga akan mengalami penurunan. Sebaliknya, bila PaCO2 meningkat, maka PslCO2 juga mengalami peningkatan, secara paralel; dengan demikian, gap diantara PslCO2 dan PaCO2 tidak akan berubah (gambar 142).

Gambar 146. Perubahan PaCO2, tekanan CO2 gastric intramucosa (PtCO2), dan perbedaan tekanan CO2 gastric-arterial (PgapCO2) yang diinduksi dengan melakukan perubahan ventilasi alveolar. Peningkatan tidal volume secara progresif (HYPER = hyperventilation). Dengan penurunan PaCO2 secara bermakna dan PtCO2, gap (PgapCO2) tetap tidak berubah. Pada penurunan tidal volume (hypoV = hypoventilation), PaCO2 dan PtCO2 meningkat secara paralel. Dikutip dan disadur dari Bernardin G, Lucas P, Hyvernat H, Deloffre P, Mattei M. Influence of alveolar ventilation changes on calculated gastric intramucosal pH and gastric-arterial PCO2 difference. Intensive Care Med. 1999;25:269–273.

Gradien PslCO2-PaCO2 bermanfaat sebagai indikator hipoperfusi. Saat suplai oksigen ke jaringan berkurang, PCO2 jaringan meningkat sedikit dibandingkan PaCO2. Namun, bila perfusi

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

161

turun sampai / di bawah critical level, terjadi peningkatan PCO2 jaringan yang jelas, hal ini mencerminkan pembentukan CO2 dari bikarbonat saat bikarbonat melakukan proses bufer ion hidrogen yang diproduksi pada metabolisme anaerob. Peningkatan PCO2 jaringan relatif terhadap PaCO2 dapat dideteksi dengan adanya peningkatan gradien PslCO2-PaCO2 (gambar 143).

Gambar 147. Perubahan PaCO2, tekanan parsial CO2 esofagus (PeCO2), dan esophageal-arterial gap pada 7 ekor tikus yang dilakukan pembiusan dan bernafas spontan mengalami hipotensi ringan sampai berat akibat proses hemoragik dan diikuti transfusi darah (P < .05 dengan nilai basal sebagai kontrol). Dikutip dari: Totapally B, Fakioglu H, Torbati D, Wolsdorf J. Esophageal capnometry during hemorrhagic shock and after resuscitation in rats. Crit Care. 2003;7:79–84

Gradien PslCO2-PaCO2 normal <10 mmHg (yaitu pada, PslCO2 = 50 mmHg dan PaCO2 = 40 mmHg). Pada studi pasien-pasien critically ill (mayoritas disertai sepsis berat), gradien PslCO2-PaCO2 secara signifikan berbeda diantara survivors (mean 9.2 mmHg, SD 5.0 mmHg) dan nonsurvivors (mean 17.8 mmHg, SD 11.5 mmHg). Hasil serupa ditunjukan oleh pasien-pasien dengan syok sirkulasi (yang memerlukan vasopresor untuk mempertahankan MAP >60 mmHg, produksi urin <0.5 mL/kg per jam, dan peningkatan kadar laktat). Meskipun gradien PslCO2-PaCO2 tidak berbeda diantara survivors dan nonsurvivors pada saat masuk rumah sakit, setelah 24 jam kemudian terlihat perbedaan, dimana kelompok survivors memiliki gradien yang secara bermakna lebih rendah (mean 14 mmHg, SD 3 mmHg) dibandingkan nonsurvivors (mean 29 mmHg, SD 4 mmHg). Near-infrared spectroscopy

Near-infrared spectroscopy (NIRS) adalah suatu jenis pemeriksaan continuous non-invasif yang menerapkan prinsip transmisi cahaya dan absorpsi untuk menentukan saturasi oksigen jaringan. NIRS melakukan pengukuran oxygenated dan deoxygenated Hb dimana status redoks sitokrom aa3 sebagai nilai rata-rata darah arterial, venosa dan kapiler yang mengikuti hokum Lambert-Beer. Sitokrom aa3, suatu sitokrom terminal pada rantai pernafasan berperan pada hampir 90% proses cellular oxygen consumption melalui fosforilasi oksidatif. Karena status redoks sitokrom aa3 terutama ditentukan oleh oksigen, maka penurunan oksigen akan menyebabkan penurunan oxygen delivery di tingkat seluler dan mengakibatkan berkurangnya proses fosforilasi oksidatif diikuti penurunan oksidasi sitokrom aa3. Oleh karena itu, pemantauan status redoks sitokrom aa3 dapat dijadikan indikator adanya kelemahan pada

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

162

proses metabolisme oksidatif di tingkat seluler dan adanya tissue dysoxia. Meskipun NIRS dapat diterapkan pada hampir seluruh jaringan, pada umumnya metode ini digunakan untuk melakukan pemantauan pada jaringan otak dan otot setelah hipoksia pada berbagai jenis cedera.

Keterbatasan dari NIRS pada penerapan klinik adalah ketidakmampuannya untuk memeberikan ukuran kuantitatif, yang mana hal tersebut diakibatkan adanya kontaminasi dari sinar oleh proses scatter dan absorpsi. Tissue oxygen tension

Pemantauan tekanan oksigen jaringan pada beberapa kondisi klinik nampaknya menjadi nyata dengan dikembangkannya bentuk miniatur dari implantable Clark electrodes. Suatu sensor oksigen polarographic memungkinkan dilakukannya pengukuran tekanan parsial oksigen jaringan (ptiO2), organ, dan cairan tubuh secara langsung dan continuous. Nilai ptiO2 berhubungan dengan tersedianya oksigen di tingkat seluler dan memberikan informasi suplai oksigen sekaligus beserta utilisasinya pada specific tissue beds.

Tissue oxygen tension ini telah menunjukan keberhasilannya pada berbagai kasus di intensive care misalnya pada prosedur neuro-surgical. Studi yang dilakukan untuk menentukan critical threshold ptiO2 setelah suatu traumatic brain injury menunjukan bahwa kadar oksigenasi absolut di regio substansi alba memberikan suatu reliable predictor dari neurological outcome. Organ seperti otak memang tidak selalu mudah diakses, oleh karenanya tidak cocok untuk dijadikan suatu sarana pemantauan klinik yang sifatnya rutin. Dalam hal ini, pemantauan tekanan parsial pada otot dapat dijadikan suatu reliable indicator awal terhadap adanya stagnasi aliran darah dan adanya tissue dysoxia. Hal ini dapat diterapkan karena memberikan respons pada beberapa kasus seperti syok hemoragik, resusitasi, termasuk untuk pemantauan traktus gastrointestinal. Keterbatasan dari penggunaan polarographic oxygen probes ini antara lain adalah dependensi dari aliran pada elektroda pada temperatur jaringan, kesalahan pada interpretasi ptiO2 sering terjadi pada jaringan yang mengalami cedera dan edema pada pemasangan elektroda (iatrogenik) atau intravascular misplacement dari oxygen sensors. Bahan Bacaan 1. Arturson G. Pathophysiology of the burn wound and pharmacological treatment. Burns 1996; 21 (4): 255-274. 2. American College of Chest Physicians / Society of Critical Care Medicine Consensus Conference: Definitions

for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992; 20 (6): 864-874.

3. Bone RC, Balk R, Slotman G, et al. Adult respiratory distress syndrome, sequence and importance of development of multiple organ failure. Chest 1992; 101: 320-326.

4. Dimick, AR. Burn and cold injury. In: Hardy’s textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1983; 177.

5. Editorial: Definitions for sepsis and organ failure. Crit Care Med 1992; 20 (6): 724-726. 6. Hinds CJ, Watson D. Intensive care, a concise textbook. 2nded.London: WB Saunders, 1996. 7. Moran H, Munster AM. Alterations of host defense mechanism in burned patients. Surg Clin. North Am 1987;

67 (1): 47-54. 8. Muller HJ, Herndon DN. The challenge of burns. Lancet 1994; 343: 216-220. 9. Moenadjat, Y. Resusitasi cairan pada luka bakar. Presentasi pada simposium alternatif baru dalam resusitasi

cairan. Jakarta: Unpublished, 1999. 10. The burn wound: its character, closure and complications. Burns 1983; 10:1-8. 11. Sunatrio S. Larutan ringer asetat dalam praktek klinis. Presentasi pada simposium alternatif baru dalam

resusitasi cairan. Jakarta: Unpublished, 1999. 12. Kvetan V. The effect of pressors and inotopes on regulation of cytokine release in shock, Crit.Care and Shock

(1998) 1:26-39 13. Takala J. Splanchnic blood flow in shock and inflammatory states, Crit.Care and Shock (1998) 1:40-45. 14. Cartotto RC, Innes M BA, Musgrave, Melinda A, Gomez M, Cooper AB. How well does the Parkland formula

estimate actual fluid resuscitation volumes? J. Burn care Rehabil volume 23 No 4, July/August 2002, 258-269

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

163

15. Jeng JC. Controversies in Resuscitation. in Soper NJ. Problems in General Surgery: Burns. 2003, 20(1): p37-46

16. Rhodes A, Grounds RM, Bennett ED. Hemodynamic Monitoring in Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM. Text book of Critical care 5th ed. p735-740

17. Harvey RA, Champe PC, Mycek MJ. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology 2nd ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. 1992

18. The Association of Anaethetists of Great Britain and Ireland. Blood Transfusion and the Anaesthetist: Red Cell Transfusion. Sept 2001

19. Bhat S, Humphries YM, Gulati S, Rylah B, Olson WE, Twomey J, Parks J, Mozingo DW. The Problems of Burn Resuscitation Formulae:A Need for a Simplified Guideline. Journal of Burns and Wounds [serial online] 2004;3(1)7 Available from: URL:http://www.journalofburnsandwounds.com]

20. Society of Critical Care Medicine. Guidelines for Granting Privileges for the Performance of Procedures in Critically Ill Patients. Crit Care Med 1993 Feb; 19(2):275-278

21. Rosenberg DI, Moss MM, The American College of Critical Care Medicine of the Society of Critical Care Medicine. Guidelines and levels of care for pediatric intensive care units. Crit Care Med 2004 Vol. 32, No. 10.

22. Hollenberg SM, Ahrens TS, Annane D, Astiz ME, Chalfin DB, Dasta JF, et al. Practice parameters for hemodynamic support of sepsis in adult patients: 2004 update. Crit Care Med 2004 Vol. 32, No. 9.

23. American College of Critical Care Medicine of the Society of Critical Care Medicine Guidelines for ICU Admission, Discharge, and Triage. Crit Care Med 1999 Mar; 27(3):633-638.

24. Jaimovich DG, The Committee on Hospital Care and Section on Critical Care. Admission and discharge guidelines for the pediatric patient requiring intermediate care. Crit Care Med 2004 Vol. 32, No. 5

25. Wolfe SE. Pathophysiology of Burn Injury. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

26. Leng CH. Airway Management & Fluid Resuscitation. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

27. Woon Y. Invasive Monitoring in Major Burn Injury Patients. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

28. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit Care Med. 2001;29:1303–1310.[Medline]

29. Angus DC, Wax RS. Epidemiology of sepsis: an update. Crit Care Med. 2001;29(7 suppl): S109–S116.[Medline]

30. Task Force of the American College of Critical Care Medicine, Society of Critical Care Medicine. Practice parameters for hemodynamic support of sepsis in adult patients in sepsis. Crit Care Med. 1999;27:639–660.[Medline]

31. The International Sepsis Forum. Guidelines for the management of severe sepsis and septic shock. Intensive Care Med. 2001;27 (suppl 1):S1–S134.[Medline]

32. Sessler CN, Shepherd W. New concepts in sepsis. Curr Opin Crit Care. 2002;8:465–472.[Medline] 33. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic

shock. N Engl J Med. 2001;345:1368–1377.[Abstract/Free Full Text] 34. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign Management Guidelines Committee.

Surviving Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2004;32:858–873.[Medline]

35. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine. Chest. 1992;101:1644–1655.[Abstract]

36. Parrillo JE, Parker MM, Natanson C, et al. Septic shock in humans: advances in the understanding of pathogenesis, cardiovascular dysfunction, and therapy. Ann Intern Med. 1990;113:227–242.[Medline]

37. Hinshaw LB. Sepsis/septic shock: participation of the microcirculation: an abbreviated review. Crit Care Med. 1996;24:1072–1078.[Medline]

38. Siegemund M, Racovitza I, Ince C. The rationale for vasodilator therapy in sepsis. In: Vincent JL, ed. Intensive Care Medicine: Annual Update 2002. New York, NY: Springer; 2002:221–231.

39. Fink MP. Cytopathic hypoxia: mitochondrial dysfunction as mechanism contributing to organ dysfunction in sepsis. Crit Care Clin. 2001;17:219–237.[Medline]

40. Landry DW, Oliver JA. The pathogenesis of vasodilatory shock. N Engl J Med. 2001;345:588–595.[Free Full Text]

41. Holmes CL, Patel BM, Russell JA, Walley KR. Physiology of vasopressin relevant to management of septic shock. Chest. 2001;120:989–1002.[Abstract/Free Full Text]

42. De Backer D, Creteur J, Preiser JC, Dubois MJ, Vincent JL. Microvascular blood flow is altered in patients with sepsis. Am J Respir Crit Care Med. 2002;166:98–104.[Abstract/Free Full Text]

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

164

43. Levi M, de Jonge E, van der Poll T. Pathogenesis and treatment of disseminated intravascular coagulation. Adv Sepsis. 2003;3.

44. Levi R. Sepsis and the coagulation system. Adv Sepsis. 2000;1:16–22. 45. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, et al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein C for

severe sepsis. N Engl J Med. 2001;344:699–709.[Abstract/Free Full Text] 46. Yan SB, Helterbrand JD, Hartman DL, Wright TJ, Bernard GR. Low levels of protein C are associated with

poor outcome in severe sepsis. Chest. 2001;120:915–922.[Abstract/Free Full Text] 47. Yan SB, Dhainaut JF. Activated protein C versus protein C in severe sepsis. Crit Care Med. 2001;29(7

suppl):S69–S74.[Medline] 48. Ely EW, Kleinpell RM, Goyette RE. Advances in the understanding of clinical manifestations and therapy of

severe sepsis: an update for critical care nurses. Am J Crit Care. 2003; 12:120–133.[Abstract/Free Full Text] 49. Dettenmeier P, Swindell B, Stroud M, Arkins N, Howard A. Role of activated protein C in the pathophysiology

of severe sepsis. Am J Crit Care. 2003;12:518–524.[Abstract/Free Full Text] 50. Ward N. Anti-inflammatory mediators. In: Sepsis: Pathophysiologic Insights and Current Management.

Proceedings of the 2002 SCCM/ESICM Summer Conference. Society for Critical Care Medicine; 2002:31–38. 51. Opal SM. Immune dysregulation and coagulation. In: Sepsis: Pathophysiologic Insights and Current

Management. Proceedings of the 2002 SCCM/ESICM Summer Conference. Society of Critical Care Medicine; 2002:17–23.

52. Vincent JL, Angus DC, Artigas A, et al. Effects of drotrecogin alfa (activated) on organ dysfunction in the PROWESS trial. Crit Care Med. 2003;31:834–840.[Medline]

53. Matthay MA. Severe sepsis: a new treatment with both anticoagulant and anti-inflammatory properties. N Engl J Med. 2001;344:759–762.[Free Full Text]

54. Bernard GR. Drotrecogin alfa (activated) (recombinant human activated protein C) for the treatment of severe sepsis. Crit Care Med. 2003;31(1 suppl):S85–S93.[Medline]

55. Ely EW, Laterre PF, Angus DC, et al. Drotrecogin alfa (activated) administration across clinically important subgroups of patients with severe sepsis. Crit Care Med. 2003;31:12–19.[Medline]

56. Ely EW, Bernard GR, Vincent JL. Activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med. 2002;347:1035–1036.[Free Full Text]

57. Bernard G, Artigas A, Dellinger P, et al. Clinical expert round table discussion (session 3) at the Margaux Conference on Critical Illness: the role of activated protein C in severe sepsis. Crit Care Med. 2001;29(7 suppl):S75–S77.[Medline]

58. Kleinpell R. Advances in treating patients with severe sepsis: role of drotrecogin alfa (activated). Crit Care Nurse. June 2003; 23:16–29.[Free Full Text]

59. Kleinpell RM. The role of the critical care nurse in the assessment and management of the patient with severe sepsis. Crit Care Nurs Clin North Am. 2003;15:27–34.[Medline]

60. Sielenkamper A, Kvietys P, Sibbald WJ. Microvascular alterations in sepsis. In: Vincent JL, Carlet J, Opal SM, eds. The Sepsis Text. New York, NY: Kluwer Academic Publishers; 2002.

61. Krishnagopalan S, Kumar A, Parrillo JE. Myocardial dysfunction in the patient with sepsis. Curr Opin Crit Care. 2002;8:376–388.[Medline]

62. Munt B, Jue J, Gin K, Fenwick J, Tweeddale M. Diastolic filling in human severe sepsis: an echocardiographic study. Crit Care Med. 1998;26:1829–1833.[Medline]

63. Court O, Kumar A, Parrillo JE. Clinical review: myocardial depression in sepsis and septic shock. Crit Care. 2002;6:500–508.[Medline]

64. Kumar A, Krieger A, Symeoneides S, Parrillo JE. Myocardial dysfunction in septic shock, II: role of cytokines and nitric oxide. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2001;15:485–511.[Medline]

65. Kumar A, Haery C, Parrillo JE. Myocardial dysfunction in septic shock, I: clinical manifestation of cardiovascular dysfunction. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2001;15:364–376.[Medline]

66. Turner A, Tsamitros M, Bellomo R. Myocardial cell injury in septic shock. Crit Care Med. 1999;27:1775–1780.[Medline]

67. Guedes M, Salgado D, Verdeal J, Resende P, Homena W, Camarozano C. Myocardial cell injury in septic shock [abstract]. Crit Care Med. 2003;30:A115.

68. Maskin B, Pistillo N, Pereiro M, Artana C, Vinzio M. Correlation between troponin I and tumor necrosis factor- concentration in septic shock [abstract]. Crit Care Med. 2003;30:A113.

69. Matsuda N, Hattori Y, Akaishi Y, Suzuki Y, Kemmotsu O, Gando S. Impairment of cardiac ß-adrenoreceptor cellular signalling by decreased expression of Gs in septic rabbits. Anesthesiology. 2000;93:1465–1473.[Medline]

70. Silverman H, Penaranda R, Orens J, Lee N. Impaired ß-adrenergic receptor stimulation of cyclic adenosine monophosphate in human septic shock: association with myocardial hyporesponsiveness to catecholamines. Crit Care Med. 1993;21:31–39.[Medline]

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

165

71. Metrangolo L, Fiorillo M, Friedman G, et al. Early hemodynamic course of septic shock. Crit Care Med. 1995;23:1971–1975.[Medline]

72. Vincent JL, Gris P, Coffernils M, et al. Myocardial depression characterizes the fatal course of septic shock. Surgery. 1992;111:660–667.[Medline]

73. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med. 1992;20:864–874.[Medline]

74. Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med. 2003;31:1250–1256.[Medline]

75. Pulmonary Artery Catheter Consensus Conference: consensus statement. New Horiz. 1997;5:175–194.[Medline]

76. Rady MY, Rivers EP, Nowak RM. Resuscitation of the critically ill in the ED: responses of blood pressure, heart rate, shock index, central venous oxygen saturation, and laktat. Am J Emerg Med. 1996;14:218–225.[Medline]

77. Ander DS, Jaggi M, Rivers E, et al. Undetected cardiogenic shock in patients with congestive heart failure presenting to the emergency department. Am J Cardiol. 1998;82:888–891.[Medline]

78. Wo CC, Shoemaker WC, Appel PL, Bishop MH, Kram HB, Hardin E. Unreliability of blood pressure and heart rate to evaluate cardiac output in emergency resuscitation and critical illness. Crit Care Med. 1993;21:218–223.[Medline]

79. LeDoux D, Astiz ME, Carpati CM, Rackow EC. Effects of perfusion pressure on tissue perfusion in septic shock. Crit Care Med. 2000;28:2729–2732.[Medline]

80. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB, Bishop M, Abraham E. Hemodynamic and oxygen transport monitoring to titrate therapy in septic shock. New Horiz. 1993;1:145–159.[Medline]

81. Hayes MA, Timmins AC, Yau EH, Palazzo M, Hinds CJ, Watson D. Elevation of systemic oxygen delivery in the treatment of critically ill patients. N Engl J Med. 1994;330:1717–1722.[Abstract/Free Full Text]

82. Boyd O, Grounds RM, Bennett ED. A randomized clinical trial of the effect of deliberate perioperative increase of oxygen delivery on mortality in high-risk surgical patients. JAMA. 1993;270:2699–2707.[Abstract]

83. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB. Hemodynamic and oxygen transport responses in survivors and nonsurvivors of high-risk surgery. Crit Care Med. 1993;21:977–990.[Medline]

84. Gattinoni L, Brazzi L, Pelosi P, et al. A trial of goal-oriented hemodynamic therapy in critically ill patients. SvO2 Collaborative Group. N Engl J Med. 1995;333:1025–1032.[Abstract/Free Full Text]

85. Yu M, Levy MM, Smith P, Takiguchi SA, Miyasaki A, Myers SA. Effect of maximizing oxygen delivery on morbidity and mortality rates in critically ill patients: a prospective, randomized, controlled study. Crit Care Med. 1993;21:830–838.[Medline]

86. Ronco JJ, Fenwick JC, Tweeddale MG, et al. Identification of the critical oxygen delivery for anaerobic metabolism in critically ill septic and nonseptic humans. JAMA. 1993;270:1724–1730.[Abstract]

87. Boyd O, Hayes M. The oxygen trail: the goal. Br Med Bull. 1999;55:125–139.[Abstract] 88. Friedman G, De Backer D, Shahla M, Vincent JL. Oxygen supply dependency can characterize septic shock.

Intensive Care Med. 1998;24:118–123.[Medline] 89. Shibutani K, Komatsu T, Kubal K, Sanchala V, Kumar V, Bizzarri D. Critical level of oxygen delivery in

anesthetized man. Crit Care Med. 1983;11:640–643.[Medline] 90. Singarajah C, Carlson R. A review of the role of blood laktat measurements in the ICU. J Intensive Care Med.

1998;13:218–228. 91. Walley KR. Hypoxic hypoxia. In: Sibbald WJ, Messmer K, Fink MP, eds. Tissue Oxygenation in Acute

Medicine. New York, NY: Springer; 1998:81–97. 92. Polonen P, Hippelainen M, Takala R, Ruokonen E, Takala J. Relationship between intra- and postoperative

oxygen transport and prolonged intensive care after cardiac surgery: a prospective study. Acta Anaesthesiol Scand. 1997;41:810–817.[Medline]

93. Shoemaker WC, Wo CC, Yu S, Farjam F, Thangathurai D. Invasive and noninvasive haemodynamic monitoring of acutely ill sepsis and septic shock patients in the emergency department. Eur J Emerg Med. 2000; 7:169–175.[Medline]

94. Vincent JL. Determination of oxygen delivery and consumption versus cardiac index and oxygen extraction ratio. Crit Care Clin. 1996;12:995–1006.[Medline]

95. Silance PG, Simon C, Vincent JL. The relation between cardiac index and oxygen extraction in acutely ill patients. Chest. 1994;105:1190–1197.[Abstract]

96. Yalavatti GS, DeBacker D, Vincent JL. Assessment of cardiac index in anemic patients. Chest. 2000;118:782–787.[Abstract/Free Full Text]

97. Bakker J, Gris P, Coffernils M, Kahn RJ, Vincent JL. Serial blood laktat levels can predict the development of multiple organ failure following septic shock. Am J Surg. 1996;171:221–226.[Medline]

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

166

98. Friedman G, Berlot G, Kahn RJ, Vincent JL. Combined measurements of blood laktat concentrations and gastric intramucosal pH in patients with severe sepsis. Crit Care Med. 1995;23:1184–1193.[Medline]

99. Martin C, Viviand X, Leone M, Thirion X. Effect of norepinephrine on the outcome of septic shock. Crit Care Med. 2000;28: 2758–2765.[Medline]

100. Gutierrez G, Wulf ME. Lactic acidosis in sepsis: a commentary. Intensive Care Med. 1996;22:6–16.[Medline] 101. Venkatesh B, Morgan T. Tissue laktat concentrations in critical illness. In: Vincent JL, ed. Intensive Care

Medicine. New York, NY: Springer; 2002:587–599. 102. Vincent JL. The available clinical tools: oxygen-derived variables, laktat and pHi. In: Tissue Oxygenation in

Acute Medicine. New York, NY: Springer; 2002:193–203. 103. James JH, Luchette FA, McCarter FD, Fischer JE. Laktat is an unreliable indicator of tissue hypoxia in injury

or sepsis. Lancet. 1999;354:505–508.[Medline] 104. Luchette FA, Jenkins WA, Friend LA, Su C, Fischer JE, James JH. Hypoxia is not the sole cause of laktat

production during shock. J Trauma. 2002;52:415–419.[Medline] 105. Marik PE. Sublingual capnography: a clinical validation study. Chest. 2001;120:923–927.[Abstract/Free

Full Text] 106. Edwards JD, Mayall RM. Importance of the sampling site for measurement of mixed venous oxygen

saturation in shock. Crit Care Med. 1998;26:1356–1360.[Medline] 107. Rivers EP, Ander DS, Powell D. Central venous oxygen saturation monitoring in the critically ill patient. Curr

Opin Crit Care. 2001;7:204–211.[Medline] 108. Reilly PM, Wilkins KB, Fuh KC, Haglund U, Bulkley GB. The mesenteric hemodynamic response to

circulatory shock: an overview. Shock. 2001;15:329–343.[Medline] 109. Ince C, Sinaasappel M. Microcirculatory oxygenation and shunting in sepsis and shock. Crit Care Med.

1999;27:1369–1377.[Medline] 110. Dantzker DR. The gastrointestinal tract: the canary of the body? JAMA. 1993;270: 1247–1248.[Medline] 111. Ruffolo DC, Headley JM. Regional carbon dioxide monitoring: a different look at tissue perfusion. AACN Clin

Issues. 2003;14: 168–175.[Medline] 112. Marik PE. Gastric intramucosal pH: a better predictor of multiorgan dysfunction syndrome and death than

oxygen-derived variables in patients with sepsis. Chest. 1993;104:225–229.[Abstract] 113. Poeze M, Takala J, Greve JW, Ramsay G. Pre-operative tonometry is predictive for mortality and morbidity in

high-risk surgical patients. Intensive Care Med. 2000;26: 1272–1281.[Medline] 114. Gutierrez G, Palizas F, Doglio G, et al. Gastric intramucosal pH as a therapeutic index of tissue oxygenation

in critically ill patients. Lancet. 1992;339:195–199.[Medline] 115. Gomersall CD, Joynt GM, Freebairn RC, Hung V, Buckley TA, Oh TE. Resuscitation of critically ill patients

based on the results of gastric tonometry: a prospective, randomized, controlled trial. Crit Care Med. 2000;28:607–614.[Medline]

116. Sato Y, Weil MH, Tang W. Tissue hypercarbic acidosis as a marker of acute circulatory failure (shock). Chest. 1998;114:263–274.[Abstract/Free Full Text]

117. Uhlig T, Pestel G, Reinhart K. Gastric mucosal tonometry in daily ICU practice. In: Vincent JL, ed. Intensive Care Medicine: Annual Update 2002. New York, NY: Springer; 2002:632–637.

118. Kellum JA, Rico P, Garuba AK, Pinsky MR. Accuracy of mucosal pH and mucosal-arterial carbon dioxide tension for detecting mesenteric hypoperfusion in acute canine endotoxemia. Crit Care Med. 2000;28:462–466.[Medline]

119. Levy B, Gawalkiewicz P, Vallet B, Briancon S, Nace L, Bollaert PE. Gastric capnometry with air-automated tonometry predicts outcome in critically ill patients. Crit Care Med. 2003;31:474–480.[Medline]

120. Miller PR, Kincaid EH, Meredith JW, Chang MC. Threshold values of intramucosal pH and mucosal-arterial CO2 gap during shock resuscitation. J Trauma. 1998;45:868–872.[Medline]

121. Vallet B, Tavernier B, Lund N. Assessment of tissue oxygenation in the critically-ill. Eur J Anaesthesiol. 2000;17:221–229.[Medline]

122. Marik P, Lorenzana A. Effect of tube feedings on the measurement of gastric intra-mucosal pH. Crit Care Med. 1996;24:1498–1500.[Medline]

123. Levy B, Perrigault PF, Gawalkiewicz P, et al. Gastric versus duodenal feeding and gastric tonometric measurements. Crit Care Med. 1998;26:1991–1994.[Medline]

124. Marshall A, West S. Gastric tonometry and enteral nutrition: a possible conflict in critical care nursing practice. Am J Crit Care. 2003;12:349–356.[Abstract/Free Full Text]

125. Povoas HP, Weil MH, Tang W, Moran B, Kamohara T, Bisera J. Comparisons between sublingual and gastric tonometry during hemorrhagic shock. Chest. 2000;118: 1127–1132.[Abstract/Free Full Text]

126. Povoas HP, Weil MH, Tang W, Sun S, Kamohara T, Bisera J. Decreases in mesenteric blood flow associated with increases in sublingual PCO2 during hemorrhagic shock. Shock. 2001;15:398–402.[Medline]

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

167

127. Jin X, Weil MH, Sun S, Tang W, Bisera J, Mason EJ. Decreases in organ blood flows associated with increases in sublingual PCO2 during hemorrhagic shock. J Appl Physiol. 1998;85:2360–2364.[Abstract/Free Full Text]

128. Rackow EC, O’Neil P, Astiz ME, Carpati CM. Sublingual capnometry and indexes of tissue perfusion in patients with circulatory failure. Chest. 2001;120:1633–1638.[Abstract/Free Full Text]

129. Weil MH, Nakagawa Y, Tang W, et al. Sublingual capnometry: a new noninvasive measurement for diagnosis and quantitation of severity of circulatory shock. Crit Care Med. 1999;27:1225–1229.[Medline]

130. Pernat A, Weil MH, Tang W, et al. Effects of hyper- and hypoventilation on gastric and sublingual PCO2. J Appl Physiol. 1999;87: 933–937.[Abstract/Free Full Text]

131. Bernardin G, Lucas P, Hyvernat H, Deloffre P, Mattei M. Influence of alveolar ventilation changes on calculated gastric intramucosal pH and gastric-arterial PCO2 difference. Intensive Care Med. 1999;25:269–273.[Medline]

132. Johnson BA, Weil MH. Redefining ischemia due to circulatory failure as dual defects of oxygen deficits and of carbon dioxide excesses. Crit Care Med. 1991;19:1432–1438.[Medline]

133. Schlichtig R, Mehta N, Gayowski TJ. Tissue-arterial PCO2 difference is a better marker of ischemia than intramural pH (pHi) or arterial pH-pHi difference. J Crit Care. 1996;11:51–56.[Medline]

134. Totapally B, Fakioglu H, Torbati D, Wolsdorf J. Esophageal capnometry during hemorrhagic shock and after resuscitation in rats. Crit Care. 2003;7:79–84.[Medline]

135. Nakagawa Y, Weil MH, Tang W, et al. Sublingual capnometry for diagnosis and quantitation of circulatory shock. Am J Respir Crit Care Med. 1998;157:1838–1843.[Medline]

136. Vincent JL. Hemodynamic support in septic shock. Intensive Care Med. 2001;27(suppl 1): S80–S92.[Medline] 137. Grocott M, Hamilton M. Resuscitation fluids. Vox Sang. 2002;82:1–8.[Medline] 138. Kellum JA. Saline-induced hyperchloremic metabolic acidosis. Crit Care Med. 2002;30:259–261.[Medline] 139. Kellum JA. Fluid resuscitation and hyper-chloremic acidosis in experimental sepsis: improved short-term

survival and acid-base balance with Hextend compared with saline. Crit Care Med. 2002;30:300–305.[Medline]

140. Ernest D, Belzberg AS, Dodek PM. Distribution of normal saline and 5% albumin infusions in septic patients. Crit Care Med. 1999;27:46–50.[Medline]

141. Martin G, Bennett-Guerrero E, Wakeling H, et al. A prospective, randomized comparison of thromboelastographic coagulation profile in patients receiving laktatd Ringer’s solution, 6% hetastarch in a balanced-saline vehicle, or 6% hetastarch in saline during major surgery. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2002;16:441–446.[Medline]

142. Boldt J, Haisch G, Suttner S, Kumle B, Schellhaass A. Effects of a new modified, balanced hydroxyethyl starch preparation (Hextend) on measures of coagulation. Br J Anaesth. 2002;89:722–728.[Abstract/Free Full Text]

143. Wilkes MM, Navickis RJ. Patient survival after human albumin administration: a meta-analysis of randomized, controlled trials. Ann Intern Med. 2001;135:149–164.[Abstract/Free Full Text]

144. Schierhout G, Roberts I. Fluid resuscitation with colloid or crystalloid solutions in critically ill patients: a systematic review of randomised trials. BMJ. 1998;316:961–964.[Abstract/Free Full Text]

145. Choi PT, Yip G, Quinonez LG, Cook DJ. Crystalloids vs colloids in fluid resuscitation: a systematic review. Crit Care Med. 1999;27:200–210.[Medline]

146. Wilkes M, Navickia R. Does albumin infusion affect survival? Review of meta-analytic findings. In: Vincent JL, ed. Intensive Care Medicine. New York, NY: Springer; 2002:454–464.

147. Webb AR. The appropriate role of colloids in managing fluid imbalance: a critical review of recent meta-analytic findings. Crit Care. 2000;4(suppl 2):S26–S32.[Medline]

148. Pearl RG, Pohlman A. Understanding and managing anemia in critically ill patients. Crit Care Nurse. December 2002;22 (suppl):1–14.

149. Fernandes CJ Jr, Akamine N, De Marco FV, de Souza JA, Lagudis S, Knobel E. Red blood cell transfusion does not increase oxygen consumption in critically ill septic patients. Crit Care. 2001;5:363–367.

150. Spahn D. The optimal and critical hemoglobin in health and acute illness. In: Sibbald WJ, Messmer K, Fink M, eds. Tissue Oxygenation in Acute Medicine. New York, NY: Springer; 2002:263–275.

151. Hill SR, Carless PA, Henry DA, et al. Transfusion thresholds and other strategies for guiding allogeneic red blood cell transfusion. Cochrane Database Syst Rev. 2002:CD002042.

152. Hebert PC. Anemia and red cell transfusion in critical care. Transfusion Requirements in Critical Care Investigators and the Canadian Critical Care Trials Group. Minerva Anestesiol. 1999;65:293–304.[Medline]

153. Hebert PC, Yetisir E, Martin C, et al. Is a low transfusion threshold safe in critically ill patients with cardiovascular diseases? Crit Care Med. 2001;29:227–234.[Medline]

154. De Backer D, Vincent JL. Norepinephrine administration in septic shock: how much is enough? Crit Care Med. 2002;30:1398–1399.[Medline]

155. Marik PE. Low-dose dopamine: a systematic review. Intensive Care Med. 2002;28:877–883.[Medline]

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

168

156. Kellum J, Decker J. Use of dopamine in acute renal failure: a meta-analysis. Crit Care Med. 2001;29:1526–1531.[Medline]

157. De Backer D, Creteur J, Silva E, Vincent JL. Effects of dopamine, norepinephrine, and epinephrine on the splanchnic circulation in septic shock: which is best? Crit Care Med. 2003;31:1659–1667.[Medline]

158. Silva E, DeBacker D, Creteur J, Vincent JL. Effects of vasoactive drugs on gastric intramucosal pH. Crit Care Med. 1998;26:1749–1758.[Medline]

159. Jakob SM, Ruokonen E, Takala J. Effects of dopamine on systemic and regional blood flow and metabolism in septic and cardiac surgery patients. Shock. 2002;18:8–13.[Medline]

160. Vincent JL. Correcting the deficit: fluids, pressors and RBCs in resuscitation. In: Sepsis: Pathophysiologic Insights and Current Management: Proceedings of the 2002 SCCM/ESICM Summer Conference. Society of Critical Care Medicine; 2002:103–111.

161. Reinelt H, Radermacher P, Kiefer P, et al. Impact of exogenous ß-adrenergic receptor stimulation on hepatosplanchnic oxygen kinetics and metabolic activity in septic shock. Crit Care Med. 1999;27:325–331.[Medline]

162. Meier-Hellmann A, Bredle DL, Specht M, Spies C, Hannemann L, Reinhart K. The effects of low-dose dopamine on splanchnic blood flow and oxygen uptake in patients with septic shock. Intensive Care Med. 1997;23:31–37.[Medline]

163. Marik PE, Mohedin M. The contrasting effects of dopamine and norepinephrine on systemic and splanchnic oxygen utilization in hyperdynamic sepsis. JAMA. 1994;272:1354–1357.[Abstract]

164. Levy B, Bollaert PE, Lucchelli JP, Sadoune LO, Nace L, Larcan A. Dobutamine improves the adequacy of gastric mucosal perfusion in epinephrine-treated septic shock. Crit Care Med. 1997;25:1649–1654.[Medline]

165. Meier-Hellmann A, Reinhart K, Bredle DL, Specht M, Spies CD, Hannemann L. Epinephrine impairs splanchnic perfusion in septic shock. Crit Care Med. 1997;25:399–404.[Medline]

166. Duranteau J, Sitbon P, Teboul JL, et al. Effects of epinephrine, norepinephrine, or the combination of norepinephrine and dobutamine on gastric mucosa in septic shock. Crit Care Med. 1999;27:893–900.[Medline]

167. Landgarten MJ, Kumar A, Parrillo JE. Cardiovascular dysfunction in sepsis and septic shock. Curr Treat Options Cardiovasc Med. 2000;2:451–459.[Medline]

168. Flancbaum L, Dick M, Dasta J, Sinha R, Choban P. A dose-response study of phenylephrine in critically ill, septic surgical patients. Eur J Clin Pharmacol. 1997;51:461–465.[Medline]

169. Tsuneyoshi I, Yamada H, Kakihana Y, Nakamura M, Nakano Y, Boyle WA III. Hemodynamic and metabolic effects of low-dose vasopressin infusions in vasodilatory septic shock. Crit Care Med. 2001;29:487–493.[Medline]

170. Russell JA. Vasopressin in septic shock: clinical equipoise mandates a time for restraint. Crit Care Med. 2003;31:2707–2709.[Medline]

171. Klinzing S, Simon M, Reinhart K, Bredle DL, Meier-Hellmann A. High-dose vasopressin is not superior to norepinephrine in septic shock. Crit Care Med. 2003;31:2646–2650.[Medline]

172. Parker MM. Myocardial dysfunction in sepsis: injury or depression? Crit Care Med. 1999;27:2035–2036.[Medline]

173. Kontani M, Izumiya Y, Shimizu M, et al. Acute reversible myocardial depression associated with sepsis. Intern Med. 2003;42:60–65.[Medline]

174. Martin C, Viviand X, Arnaud S, Vialet R, Rougnon T. Effects of norepinephrine plus dobutamine or norepinephrine alone on left ventricular performance of septic shock patients. Crit Care Med. 1999;27:1708–1713.[Medline]

175. Kollef MH. Inadequate antimicrobial treatment: an important determinant of outcome for hospitalized patients. Clin Infect Dis. 2000;31(suppl 4):S131–S138.[Medline]

176. Kollef MH, Sherman G, Ward S, Fraser VJ. Inadequate antimicrobial treatment of infections: a risk factor for hospital mortality among critically ill patients. Chest. 1999;115:462–474.[Abstract/Free Full Text]

177. Riegert-Johnson DL, Volcheck GW. The incidence of anaphylaxis following intra-venous phytonadione (vitamin K1): a 5-year retrospective review. Ann Allergy Asthma Immunol. 2002;89:400–406.[Medline]

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

169

Bab IV

3. Resusitasi Saluran Cerna pada Luka Bakar

Samuel Oetoro

Yefta Moenadjat

engan wawasan SIRS dan MODS, hipoperfusi splangnikus menjadi fokus utama pada beberapa tahun terakhir karena mukosa saluran cerna mengalami disrupsi sebagai akibat

langsung dari penurunan sirkulasi (syok). Gangguan integrasi mukosa saluran cerna menyebabkan disfungsi berbagai organ dan karenanya disrupsi mukosa memperoleh atribut motor penggerak MODS.

Inti dari disrupsi mukosa ini adalah proses iskemia jaringan yang terjadi karena berkurangnya perfusi pada syok. Sebagaimana diketahui, sirkulasi splangnikus merupakan kontributor utama untuk sirkulasi sistemik khususnya sirkulasi sentral pada syok hipovolemia; di sisi lain organ dan jaringan yang merupakan teritori peredaran sirkulasi splangnikus mengalami hipoperfusi dan mengalami hipoksia; timbul berbagai manifestasi klinik dari yang paling ringan: 1) gangguan proses digesti atau dikenal dengan sindrom malabsorpsi, intoleransi dan diare, 2) enterokolitis 3) translokasi bakteri dan 4) perdarahan saluran cerna yang sebelumnya dikenal dengan sebutan ulkus stres atau Curling’s ulcer. Bukan hanya mukosa, namun lamina muskularis ikut mengalami hipoksia dan memberikan gejala paralisis atau lebih dikenal dengan istilah ileus.

Ternyata, beberapa tahun terakhir, bersamaan dengan berkembangnya teori SIRS dan

MODS diketahui bahwa beberapa tindakan yang selama ini dilakukan justru memperberat gangguan integritas bahkan vitalitas mukosa saluran cerna, antara lain memuasakan pasien. - Beberapa penelitian dilakukan membuktikan bahwa dengan memuasakan pasien, atrofi

mukosa justru terjadi; sementara pada pasien-pasien yang tidak dipuasakan, vitalitas mukosa saluran cerna dapat dipertahankan. Hal ini disebabkan stimulasi oleh bolus yang berada di dalam lumen merangsang sirkulasi kapiler submukosa.

- Pemberian antasida maupun antagonis reseptor H2 yang bertujuan mencegah ulkus stres akan menyebabkan suasana alkali di dalam lumen saluran cerna. Diketahui bahwa suasana asam justru menguntungkan dalam konteks pertahanan terhadap bakteri yang masuk. Asam lambung bertindak sebagai bakterisid kuat yang akan kehilangan daya bakterisidnya bila diberikan antasida maupun antagonis reseptor H2. Dengan hilangnya daya bakterisid, pertumbuhan bakteri pathogen dan keseimbangan flora normal saluran cerna akan terganggu; adanya gangguan integritas mukosa merupakan port d’entrée bakteri pathogen maupun bakteri komensal yang terganggu keseimbangannya kemudian berubah menjadi oportunistik; fenomena ini dikenal dengan istilah translokasi bakteri. Disisi lain, melalui beberapa penelitian dibuktikan bahwa hiperasiditas lambung yang diduga berperan sebagai penyebab ulkus stres tidak pernah ada atau terjadi. Teori lama menyebabkan adanya stres pada trauma akan meningkatkan kadar katekolamin dan hormon stres lainnya yang akan menyebabkan stimulasi pada hipofisis yang selanjutnya akan menstimulir sel-sel parietal memproduksi asam lambung lebih dari biasanya (hiperasiditas). Teori terakhir menyebutkan bahwa penurunan sirkulasi ke splangnikus menyebabkan gangguan perfusi ke saluran cerna, sehingga sel-sel parietal tidak mampu memproduksi asam lambung dalam jumlah yang normal. Tampaknya teori yang terakhir

D

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

170

lebih dapat diterima dan dapat menjelaskan mengapa tidak pernah dijumpai hiperasiditas lambung.

- Pemberian antibiotika poten berspektrum luas akan membunuh bakteri termasuk flora normal saluran cerna. Semakin banyak bakteri dibunuh, semakin banyak toksin dilepas dari dinding sel bakteri. Toksin yang dilepas masuk ke dalam sirkulasi menyebabkan kondisi toksemia (sepsis). Perubahan flora normal saluran cerna terjadi, bakteri mengalami translokasi masuk ke sirkulasi melalui port d’entree (disrupsi mukosa) menyebabkan bakteremia (sepsis). Pemberian antibiotika yang bertujuan membunuh bakteri anaerob berperan pula dalam hal menyebabkan berlangsungnya translokasi bakteri. Bakteri anaerob berperan sebagai barrier usus menjaga invasi bakteri patogen menembus mukosa saluran cerna untuk masuk ke sirkulasi. Dengan semakin banyak bakteri anaerob dibunuh, semakin besar peluang translokasi bakteri terjadi. Sepsis dimungkinkan pula terjadi akibat penurunan fungsi Gastrointestinal Associated Lymphoid Tissue (GALT) akibat hipoperfusi.

Manifestasi dari hipoperfusi splangnikus dapat diketahui melalui pemantauan klinik yang

sangat mudah dikerjakan, yaitu pemeriksaan kualitas dan kuantitas cairan lambung (Gastric Residual Volume, GRV) melalui pipa nasogastrik (NG-Tube).

Gambar 148. Pada pelaksanaan resusitasi, pemasangan pipa nasogastrik merupakan indikasi untuk melakukan penilaian fungsi saluran cerna: dengan mengamati kualitas dan kuantitas aspirat. Selanjutnya, pipa nasogastrik ini digunakan sebagai sarana pemberian Nutrisi Enteral yang berperan mencegah terjadinya atrofi mukosa saluran cerna. Foto: koleksi pribadi.

Masukkan 50mL cairan dextrose 5% melalui pipa nasogastrik, lalu pipa disumbat (klem,

atau sarana lainnya). Setelah satu jam, lakukan aspirasi cairan lambung15. Perhatikan kualitas dan kuantitas cairan aspirat. Cairan merah kehitaman atau bahkan bewarna hitam seperti kopi menandakan adanya perdarahan saluran cerna, atau iskemia mukosa. Kuantitas cairan aspirat menggambarkan pasase saluran cerna:

1. GRV <150 mL per jam menggambarkan pasase saluran cerna baik atau ada gangguan ringan

2. GRV >200 - <400 mL menggambarkan adanya gangguan pasase moderat 3. GRV >400 mL menggambarkan gangguan pasase saluran cerna yang cukup berat

dan dicurigai adanya ileus 15 Sebagian ada yang berpendapat: tidak melakukan aspirasi karena pada saat melakukan aspirasi akan menghisap mukosa sehingga ujung pipa tersumbat dan menimbulkan cedera iatrogenik. Kelompok ini menganjurkan untuk membiarkan cairan lambung keluar secara pasif mengandalkan gaya gravitasi.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

171

Penatalaksanaan Dengan adanya hipoperfusi splangnikus yang menyebabkan atribut gut is a motor of

MODS; dengan sendirinya manajemen resusitasi mencakup treatment terhadap saluran cerna yang berorientasi pada pencegahan terjadinya disrupsi mukosa dan atau memperkecil kemungkinan timbul-berkembangnya MODS sebagai konsekuensi dari gangguan integritas mukosa saluran cerna.

Beberapa tahun terakhir, manajemen saluran cerna menjadi bagian penting dalam rangkaian resusitasi luka bakar fase akut ini. Mengacu pada patofisiologi gangguan sirkulasi diikuti oleh berkurangnya perfusi ke saluran cerna, diyakini bahwa manajemen saluran cerna ini merupakan suatu bagian integral dari rangkaian resusitasi.

Manajemen resusitasi saluran cerna diuraikan sebagai berikut: 1) To feed the gut, 2) mempertahankan lingkungan dalam kondisi se-fisiologik mungkin dengan menghindari beberapa hal yang selama ini dilakukan, belakang hari diketahui ternyata merupakan tindakan yang tidak memiliki evidence based-medicine bahkan irasional merupakan bagian dari do no harm). To feed the gut

Iskemia mukosa berlanjut menjadi nekrosis dan atrofi bila pasien dipuasakan. Resusitasi saluran cerna terdiri dari serangkaian tindakan yang berupaya mencegah berlanjutnya disrupsi mukosa dengan merangsang sirkulasi submukosa dengan pemberian Nutrisi Enteral melalui pipa nasogastrik (bertujuan to feed the gut). Pemberian nutrisi yang bertujuan sebagai sarana to feed the gut ini diberikan dengan kalori rendah dan jumlah kecil, dalam bentuk cairan. Pemberiannya dilakukan melalui feeding pump atau secara tetesan perlahan mengandalkan gaya gravitasi. Komposisi seimbang: Yang dimaksud dengan komposisi seimbang adalah pemberian nutrisi dengan komposisi karbohidrat protein dan lemak yang tidak terlalu tinggi, mencegah terjadinya overfeeding, mengandalkan energi terutama dari karbohidrat.

Karbohidrat 50-60% Protein 10-15% atau 1-1.5g Lipid 25-30% atau sisanya

Bahan Bacaan 1. Moldawer LL, Minter RM, Rectenwald III JE. Emerging evidence of a more complex role for proinflammatory

and antiinflammatory cytokines in the sepsis response. In: Baue, AE, Faist, E, Fry, DE. Multiple organ failure, pathophysiology, prevention and therapy. Springer, 2000; p: 150.

2. Moore FA. The effective use of enteral and parenteral nutrition. J Crit Care Nutr. 2003; 5(1):17-22. 3. Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition. Consensus on Enteral Nutrition. 2004 4. Omura K, Hiran, K, Kanehira E, Kaito K, Tamura M, Nishida S, Kawakami K, Watanabe Y. Small Amount of

Low-Residue Diet with Parenteral Nutrition can Prevent Decreases in Intestinal Mucosal Integrity, MD Consult-Journal Article, http://home.mdconsult.com/

5. Oetoro S, Permadhi I, Witjaksono F. Perubahan metabolisme pada luka bakar. Dalam: Moenadjat, Y. Luka Bakar. Pengetahuan klinik praktis, edisi revisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. halaman

6. Oetoro S. Pengaruh pemberian nutrisi enteral dini terhadap stres metabolisme penderita luka bakar di ULB RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 1999-2000. Tesis magister sains ilmu gizi klinik.Jakarta: FKUI. 2001.

7. Van den Berghe G, Wouters P, Weekers F, Verwaest C, Bruyninckx F, Schetz M, Vlasselaers D, Ferdinande P, Lauwers P, and Bouillon R. Intensive insulin therapy in the critically ill patients. N Engl J Med 345: 1359-1367, 2001[Abstract/Free Full Text]

8. Van Den Berghe G, Wouters PJ, Bouillon R, Weekers F, Verwaest C, Schetz M, Vlasselaers D, Ferdinande P, Lauwers P. Outcome benefit of intensive insulin therapy in the critically ill: Insulin dose versus glycemic control. Crit Care Med. 2003 Feb;31:359-66

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

172

9. Myers, SR, McGuinness OP, Neal DW, and Cherrington AD. Intra-portal glucose delivery alters the relationship between net hepatic glucose uptake and the insulin concentration. J Clin Invest 87: 930-939, 1991[ISI][Medline].

10. Heyland DK. Nutrition Support in Critically Ill Patient. In Evidence-based Critical Care Medicine, MD Consult-Journal Article, http://home.mdconsult.com/

11. Maki DG, Rolandelli RH, Shronts EP, Warden GD. Enteral nutrition for the septic patient: Timing of feeding and selection of formula. J Crit Care Nutr. 2003; 5(1):4-12.

12. Moenadjat Y. Pro & con Arginine. Makalah, disampaikan pada Simposium Nutri Indonesia 2004. 13. Wahyuprajitno B. The strategy management of sepsis-SIRS in intensive care. Proceeding book: Pertemuan

Ilmiah Tahunan (PIT) I Perhimpunan Patobiologi Indonesia. Scientific approach on the management of sepsis-SIRS. Surabaya, 2003.

14. Heyland DK, Novak F, Drover JW, Jain M, Su X, Suchner U. Should immunonutrition become routine in critically ill patients? A systematic review of the evidence. JAMA. 2001 Aug 22-29; 286(8): 944-53. Available in website: http://www.ccforum.com/pubmed/11509059

15. Heyland DK, Novak F. Immunonutrition in the critically ill patient: More harm than good?. JPEN (2001) 25(2).S51-6.

16. Heyland DK. Immunonutrition in the critically ill patient: Putting the cart before the horse? Invited review. Nutr in clin practice 17:267-272; October 2002.

17. McCowen KC, Bastrian BR. Immunonutrition in critical illness. Editorial. Nutr in clin practice 17:265-266; October 2002.

18. Bertolini G, Iapichino G, Radrizzani D, Facchini R, Simini B, Bruzzuno P, et al. Early enteral immunonutrition in patients with severe sepsis. Resuls of an interim analysis of a RCT. Intensive Care Med (2003) 29:834-840. [ISI][Medline]

19. 3rd Asia Pacific consensus in critical care medicine. Nutritional support in critically ill patients. Bali; 2000. 20. Moenadjat Y. Burn: Recent Diagnosis, Evaluation & Treatment. Makalah, disampaikan pada acara Health

and Wellnes: 24 hrs Primary care 2004. 21. Corish CA. Symposium on ‘Nutrition and surgical practice’ Pre-operative nutritional assessment. Proceedings

of the Nutrition Society (1999), 58, 821–829 22. Burn Modules: Metabolic abnormalities in Burn Patients. Available in websites: http://www.burnsurgery.org 23. Burn Modules: Nutritional Support of Burn Patients. Available in websites: http://www.burnsurgery.org 24. Garcia-de-Lorenzo A. Ortiz-Leyba C. Planas M. Montejo JC. Nunez R. Ordonez FJ. Aragon C. Jimenez FJ.

Parenteral administration of different amounts of branch-chain amino acids in septic patients: clinical and metabolic aspects. Critical Care Medicine 1997;25(3):418-24.

25. Church JM, Hill GL: Assessing the efficacy of intravenous nutrition in general surgical patients: Dynamic nutritional assessment with plasma proteins. JPEN 1987; 11:135-139

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

173

Bab V

Tatalaksana Nutrisi pada Luka Bakar

Samuel Oetoro Fiastuty Witjaksono

Inge Permadhi

enderita luka bakar, membutuhkan perhitungan kebutuhan kalori yang berbeda dengan orang normal. Hal ini disebabkan karena umumnya penderita luka bakar mengalami

keadaan hipermetabolik. Beberapa kondisi di bawah ini berpengaruh dan dapat memperberat kondisi hipermetabolik yang sudah ada.

1. Status gizi penderita, massa bebas lemak, umur, jenis kelamin dan luas permukaan tubuh

2. Riwayat penyakit sebelumnya seperti diabetes melitus, penyakit hati berat, penyakit ginjal dan lain-lain.

3. Luas dan derajat luka bakar 4. Suhu dan kelembaban ruangan (memengaruhi kehilangan panas melalui evaporasi) 5. Aktivitas fisik dan fisioterapi 6. Penggantian balutan 7. Nyeri dan kecemasan 8. Penggunaan obat-obatan tertentu dan pembedahan Dalam menentukan kebutuhan kalori basal pasien, yang paling ideal adalah dengan

mengukur kebutuhan kalori secara langsung menggunakan indirect calorimetry, karena alat ini telah memperhitungang beberapa faktor seperti berat badan, jenis kelamin, luas luka bakar, luas permukaan tubuh, adanya infeksi dll. Untuk menghitung kebutuhan kalori total maka harus ditambahkan faktor stres sebesar 20-30%. Penggunaan Indirect calorimety juga berguna untuk menilai Respiratory Qoutient (RQ) yaitu efektifitas utilisasi zat gizi yang diberikan, sehingga dapat menghindarkan pemberian kalori yang terlalu sedikit atau terlalu banyak. Sebagai contoh bila RQ>1, berarti jumlah kalori yang diberikan perlu dikurangi atau dengan menurunkan rasio karbohidrat / lipid, sedangkan bila RQ<0,8 menggambarkan pasien mengalami defisit energi dan perlu peningkatan asupan kalori.

Sayangnya, jarang rumah sakit yang dilengkapi oleh alat ini, oleh karena itu terdapat kurang lebih 25 ekuasi matematika untuk memprediksi kebutuhan kalori penderita. Salah satu yang direkomendasikan adalah perhitungan kebutuhan kalori basal dengan formula Harris Benedict yang melibatkan faktor berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan umur (U). Sedangkan untuk kebutuhan kalori total perlu dilakukan modifikasi formula dengan menambahkan faktor aktivitas fisik (AF) dan faktor stres (FS).

Pria : 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) – (6,8 x U) x AF x FS Wanita : 665 + (9,6 x BB) + (1,8 x TB) – (4,7 x U) x AF x FS

Perhitungan kebutuhan kalori pada penderita luka bakar perlu mendapatkan perhatian

khusus, karena asupan kalori akan berakibat penyembuhan luka yang lama, juga meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Di sisi lain, kelebihan asupan kalori (overfeeding) dapat menyebabkan hiperglikemia, perlemakan hati atau hiperkapnia akibat peningkatan produksi CO2.

P

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

174

Namun, belakangan hari diketahui, penerapan rumus ini untuk memperhitungkan kebutuhan nutrisi seringkali disertai kelebihan. Ada suatu rumus yang praktis digunakan dan tidak terpapar pada kemungkinan overfeeding yaitu Rule of Thumb; kebutuhan kalori adalah 23-30cal/kgBB. Jalur Pemberian Nutrisi

Penatalaksanaan nutrisi penderita luka bakar dapat dilakukan dengan berbagai metoda yaitu: pemberian nutrisi melalui oral, enteral dan parenteral.

Bila tidak didapatkan gangguan gastrointestinal seperti retensi lambung, ileus, mual atau muntah, maka dapat segera dipersiapkan pemberian nutrisi baik melalui oral atau enteral. Hubungan langsung antara makanan dengan lumen usus akan meningkatkan aliran darah, merangsang sistem syaraf otonom, pengeluaran hormon dan enzim traktus gastrointestinal, yang akan menjaga keutuhan mukosa dan fungsi traktus gastrointestinal serta mencegah translokasi bakteri.

1. Pemberian makanan per oral.

Pemberian melalui oral dapat diberikan bila penderita kooperatif dan dapat menghabiskan porsi makanannya. Bila pasien kesulitan menghabiskannya maka seyogyanya segera dipasang pipa nasogastrik untuk pemberian Nutrisi Enteral agar dapat menjamin asupan makanannya sesuai program / rencana. Pada beberapa kondisi, selain pipa nasogastrik, gastrostomi atau jejunostomi akan sangat membantu program feeding the gut dalam upaya mempertahankan integritas mukosa saluran cerna.

Gambar 149. Pemanfaatan pipa nasogastrik (NG-Tube) untuk pemberian nutrisi enteral. Beberapa catatan pada penggunaan NGT yang perlu disadari adalah meningkatnya bahaya terjadinya apirasi, oleh karenanya pengaturan posisi pasien menjadi sangat penting (setengah duduk). Dikutip dan disadur dari Moore FA. The effective use of enteral and parenteral nutrition. J Crit Care Nutr. 2003; 5(1):17-22

2. Pemberian Nutrisi Enteral

Pengertian Nutrisi Enteral hádala pemberian nutrisi menggunakan pipa ke saluran cerna (tube feeding) sehingga langsung dapat dicerna atau melalui proses digesti sebelumnya. Pemberian Nutrisi Enteral dapat dilakukan melalui gastrostomi, jejunostomi atau ileostomi

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

175

2a. Gastrostomi: 2a1. Gastrostomi terbuka / konvensional.

Gambar 150. Gastrostomi terbuka. Dikutip dan disadur dari Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1–vii12

Gambar 151. Pipa pemberian nutrisi (feeding tube, Flocare ). Dikutip dari Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1–vii12

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

176

2a2. Gastrostomi perkutan.

Gambar 152. Gambar skematis sonde gastrostomi perkutan. Keterangan: A. Pipa silikon, B. Balon silikon, C. Plat fiksasi, D. Valve untuk mengembangkan balon, E. Valve untuk pemberian nutrisi. Kanan: Skema percutaneus endoscopic gastostomy tube (PEG tube). Dikutip dan disadur dari Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1–vii12

Gambar 153. Pemasangan pipa gastrostomi perkutan, dibantu prosedur endoskopik. Dikutip dari Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1–vii12

Gambar 154. Stoma dari pipa PEG. Dikutip dari Van Way III CW. Is Pendulum Swinging too far toward enteral nutrition? Available in websites: http://www.mvi-us.com/pdf/story1.pdf

3. Jejunostomi. Pemberian nutrisi melalui gastrostomi dan jejunostomi diterapkan pada kasus-kasus

luka bakar disertai cedera inhalasi, cedera pada rongga mulut dan faring; sedangkan khusus jejunostomi di kerjakan pada kasus dengan komplikasi perdarahan di saluran cerna pada gaster dan duodenum.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

177

Gambar 155. Jejunostomi. Dikutip dan disadur dari Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1–vii12

Prinsip yang dianut saat ini hádala pemberian nutrisi melalui enteral diutamakan karena bersifat lebih fisiologik dan mengacu pada disfungsi daluran cerna yang merperan sebagai motor MODS. ‘When the gut Works, use it’ dan atau ‘use it or lost it’ menjadi pertimbangan karenanya. 4. Nutrisi Parenteral

Pemberian Nutrisi Parenteral hanya dilakukan bila fungsi gastrointestinal tidak memungkinkan lagi untuk pemberian nutrisi melalui enteral. Dalam pemberian Nutrisi Parenteral, perlu diperhatikan kelengkapan komposisi zat gizi dan osmolaritas cairan yang akan diberikan. Mengingat risiko yang tidak sedikit pada pemberian Nutrisi Parenteral, maka bila fungsi gastrointestinal sudah memungkinkan, secepatnya nutrisi diubah ke dalam bentuk Nutrisi Enteral atau oral.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

178

Nutrisi Dini Nutrisi Dini adalah pemberian nutrisi baik oral, enteral maupun parenteral, sesegera

mungkin pasca terjadinya luka bakar. Konsensus mengenai terminologi dini disepakati < 24jam pasca cedera. Namur, penelitian untuk menentukan waktu dimulainya pemberian nutrisi dini pada penderita luka bakar, masih sangat bervariasi, dimulai sejak 4 jam pasca trauma sampai dengan 48 jam pasca trauma. Pengalaman di UPKLuka Bakar RSUPNCM, menunjukkan bahwa pemberian 8 jam pasca trauma menunjukkan hasil yang baik. Dari beberapa penelitan dapat dibuktikan bahwa makin cepat nutrisi diberikan, semakin terlihat keuntungan klinik.

Komposisi Mikronutrien Karbohidrat

Konsekuensi pasca luka bakar berat adalah keadaan hiperglikemia. Kadar gula darah yang tinggi pada fase ebb merupakan akibat menurunnya fungsi insulin terhadap peningkatan kadar gula darah. Intoleransi glukosa ini akan tetap bertahan pada fase flow yang sekarang terutama disebabkan terjadinya resistensi insulin di jaringan dan peningkatan glukoneogenesis.

Dua mekanisme peningkan kadar gula darah pasaca luka bakar adalah sebagai berikut: 1) Pasca trauma terjadi peningkatan rasio glukagon/insulin yang akan mengaktifkan glukoneogenesis. 2) Asam amino alanin dan asam amino lain akan diarahkan untuk menasuki jalur glukogenik sehingga terjadi kegagalan sintesis protein. Deplesi yang progresif dari protein tubuh akan merangsang terjadinya peningkatan kadar gula darah.

Area yang terkena luka bakar membutuhkan sejumlah besar glukosa, hal tersebut ditunjukkan oleh adanya peningkatan sirkulasi di sekitar area tersebut dan terjadi peningkatan metabolisme glukosa.

Pada pasien hipermetabolik berat, pemberian nutrisi berupa asam amino dan karbohidrat ternyata akan menurunkan ekskresi nitrogen, sedangkan pemberian lemak dalam jumlah yang setara, tidak berhasil membuktikan hasil yang sama. Pemberian karbohidrat akan menstimulasi anabolik hormon insulin dan dianjurkan dalam usaha melindungi protein otot dan glikogen hati.

Walaupun karbohidrat merupakan sumber energi utama, namun pemberian karbohidrat yang terlalu tinggi berhubungan dengan hiperglikemia, hiperosmolalitas, diuresis osmotik yang dapat menyebabkan dehidrasi dan hipovolemia, meningkatkan lipogenesis, perlemakan hati, dan retensi karbondioksida.

Pada pasien luka bakar berat sangat diperlukan monitoring terhadap hiperglikemia dan glikosuria. Anjuran pemberian insulin kadang dibutuhkan untuk meningkatkan glukosa serum dan memaksimalkan utilisasi glukosa. Anjuran pemberian karbohidrat adalah 60–65% kalori total atau tidak melebihi 5 mg/kgBB/menit. Protein

Pasca luka bakar, metabolisme protein akan berubah dengan cepat, di mana pada fase akut, asam amino akan dijadikan sumber energi. Asam amino alanin dan glutamin akan dibebaskan dari strukturnya untuk dimetabolisme dalam siklus glukoneogenesis di hati. Jumlah protein tubuh dipengaruhi oleh luasnya luka bakar, penglepasan nitrogen melalui eksudat luka dan urine, kemampuan hati untuk membentuk protein dan adekuatnya terapi nutrisi. Asam amino merupakan substrat yang diperlukan untuk penyembuhan luka, sehingga bila output protein lebih besar daripada intake, maka akan terjadi sindroma malnutrisi protein.

Dalam usaha untuk meningkatkan sintesis protein viseral, menjaga balanca nitrogen positif dan meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh, maka pada luka bakar berat dianjurkan pemberian protein sebesar 23%-25% dari kalori total dengan perbandingan kalori:nitrogen adalah 80:1 atau 2,5–4 g protein/kgBB. Perlu juga diperhatikan jenis protein yang diberikan, sebaiknya adalah protein biologi tinggi. Pemberian protein dalam jumlah banyak membutuhkan

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

179

monitoring ketat seperti status cairan, kadar ureum dan kreatinin serum, karena beban larutan yang berat bagi ginjal.

Gambar 156. Algoritmi jalur pemberian nutrisi. Keterangan: Formula Nutrisi Enteral dan Parenteral disesuaikan dengan fungsi organ misal: jantung, hepatik, ginjal, dsb). Beberapa ketentuan: 1) Untuk menghindari atau pada pasien-pasien dengan resiko tinggi terjadi aspirasi, penempatan pipa distal dari pilorus lebih baik; 2) formula elemental rendah/tinggi lemak, bebas laktosa, kaya akan serat dan modul khusus harus disesuaikan dengan toleransi fungsi GI; 3) Diet polimerik, formula lengkap dan diet purifikasi lebih baik. Dikutip dan disadur dari American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Guidelines for the use of Parenteral and Enteral Nutrition in Adults and Pediatric Patients. JPEN 1993; 17:1SA-52SA.

Asam amino glutamin dan arginin merupakan conditionally amino-acid, yaitu asam amino

yang tergolong non-esensial, namun pada keadaan trauma seperti luka bakar, hiperkatabolik

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

180

atau stres berat, maka akan terjadi deplesi dari kedua asam amino tersebut, sehingga dibutuhkan suplementasi. Suplementasi ini sesuai dengan menfaatnya diharapkan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas, walaupun untuk hasil yang optimal masih dimerlukan penelitian klinik lebih lanjut.

Arginin merupakan prekursor poliamin untuk sintesis kolagen dalam penyembuhan luka dan juga akan merangsang pengeluaran hormon anabolik seperti insulin, glukagon, hormon pertumbuhan dll. Peranan arginin terhadap sistem imunitas tubuh terutama diperantarai oleh pembentukan nitric oxide. Suplementasi arginin 2% dari total kalori terhadap binatang percobaan dengan luka bakar, ternyata meningkatkan survival secara signifikan.

Glutamin diyakini merupakan sumber energi bagi sel yang mengalami replikasi cepat seperti enterosit dan limfosit. Pada luka bakar berat, fungsi GALT (gastrointestinal associated lymphoid tissue) yang menunjang sistem imunitas tubuh akan berubah dan fungsinya menurun. Suplementasi glutamin dapat membantu perbaikan mukosa usus sekaligus meningkatkan fungsi sel-sel imunitas sehingga dapat memperbaiki integritas dan fungsi barier imunitas. Lemak

Pemberian lipid berkontribusi untuk meminimalkan katabolisme protein endogen dengan jalan memenuhi kebutuhan energi. Lipid akan meningkatkan kalori tanpa menambah osmolalitas, dan hal ini jelas menguntungkan, terutama bila dibutuhkan peningkatan energi dalam jumlah yang tinggi. Lipid diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan asam lemak esensial dan yang juga diketahui merupakan karier vitamin larut lemak dengan perkiraan kebutuhan 15–25 g lipid/ hari untuk pemenuhan kebutuhan vitamin tersebut.

Telah diketahui bahwa pemberian lemak yang terlalu banyak memiliki banyak komplikasi seperti terjadinya akumulasi lemak di darah, gangguan pembekuan, menekan sistem imunitas tubuh dll. Lemak tidak merangsang pengeluaran hormon insulin dan tidak melindungi protein tubuh terhadap degradasi, sehingga perlu dipertimbangkan untuk pemberiannya yang tinggi. Dianjurkan pemberian lipid pasca trauma adalah sebesar 5%-15% dari total kalori.

Asam lemak omega6 dan omega3 tergolong dalam asam lemak rantai panjang tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acids, PUFA). PUFA merupakan penyusun struktur membran sel dan penghasil eikosanoid yang berperan pada diferensiasi dan fungsi dari sel-sel imunitas tubuh.

Asam linoleat atau omega6 asam lemak, banyak terdapat dalam bahan makanan di alam, merupakan prekursor asam arakidonat yang akan membentuk eikosanoid prostaglandin seri 1 dan 2 (PGE1 dan PGE2), tromboksan, prostasiklin dan leukotrien seri 4. Eikosanoid turunan arakidonat ini dapat menyebabkan inflamasi, imunosupresi dan meningkatkan degradasi protein otot. Sesuai dengan hal ini makan diet tinggi asam linoleat merupakan kontraindikasi untuk pasien sakit berat

Asam lemak omega3 khususnya asam eikosapentanoat (EPA) dapat diperoleh dari minyak ikan, merupakan prekursor dari eikosanoid prostaglandin seri-3 dan leukotrien seri-5. Keduanya memiliki efek anti-inflamasi dan meningkatkan sistem imunitas tubuh, demikian pula PGE3 berpotensi sebagai vasodilator. Omega3 akan berkompetitif dan menyebabkan inhibisi pembentukan PGE1 dan PGE2 dari asam linoleat, sehingga omega3 ini sangat dianjurkan pada pasien luka bakar.

Penelitian menunjukkan dalam usaha untuk meningkatkan sistem imunitas tubuh maka, pemberian asam lemak omega6 dan omega3 dalam perbandingan yang ideal (2-3: 1) akan mengurangi kondisi imunosupresi pasca luka bakar.

Di sisi lain perlu disadari bahwa rantai panjang dari minyak ikan yang mengandung asam lemak tak jenuh ganda, sangat peka terhadap auto-oksidasi, sehingga berpotensi

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

181

menyebabkan kerusakan sel akibat terbentuknya radikal bebas. Untuk mengatasi hal ini, perlu kiranya dipertimbangkan pemberian antioksidan. Suplementasi Mikronutrien

Mikronutrien diperlukan sebagai koenzim dan kofaktor untuk reaksi fisiologis dalam sel, metabolisme makronutrien dan energi. Dengan meningkatnya kebutuhan energi dan protein, kehilangan melalui luka, perubahan metabolisme, absorpsi, ekskresi dan utilisasi maka kebutuhan mikronutrien ini jelas perlu ditingkatkan.

Vitamin berpotensi untuk sintesis protein, penyembuhan luka, meningkatkan fungsi imunitas dan antioksidan. Pada penderita luka bakar dengan kondisi hipermetabolisme, maka kebutuhan vitamin ini meningkat beberapa kali di atas angka kecukupan gizi (AKG).

Mineral juga memainkan peranan penting dalam penyembuhan luka, fungsi imunitas, antioksidan dll. Seng diperlukan dalam metabolisme protein. Selenium– dependent glutation peroksidase melindungi sel dari kerusakan akibat hidrogen peroksidase. Pada penderita luka bakar, kebutuhan mineral meningkat beberapa kali di atas angka kecukupan gizi (AKG). Monitor dan Evaluasi

Selama dalam proses perawatan, diperlukan monitoring asupan nutrisi, perhitungan kebutuhan kalori sesuai kondisi penderita, bentuk dan cara pemberian nutrisi, pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk menilai perbaikan dan efektivitas terapi termasuk terapi nutrisi.

Gambar 157. Pada pasien-pasien yang bertahan hidup, emasiasi adalah hal yang umum dijumpai dan dapat berlangsung sampai 2-3 bulan pasca cedera. Foto: koleksi pribadi

Bahan Bacaan 1. Abadia D, De-Souza and Greene LJ. Pharmacological nutrition after burn injuries. J Nutr. 128, 1998; 797. 2. Barbul A, Sisto DA, Wasserkrug HL, Efron, G. Arginine stimulates lymphocyte immune response in healthy

human beings. J Surgery. 90(2), 1981; 244. 3. Bines J, Titchen T, Humphrey M, Jessen D. Paediatric nutrition support. Melbourne: Royal Chilrden’s

Hospital, 1997; 17 4. Heyland DK, Noval F, Drawer JW, Jain M, Su X, Suchner U. Should immunonutrition become routine in

critically ill patients? A systemic review of the evidence. Jama, 286 (8), 2001; 944 5. Jensen GL, Miller RH, Talabiska DG, Fish J, Gianferant, L. A double – blind, prospective, rancomized study

of glutamine – enriched compare with standard peptide – based feeding in criticallu ill patients. Am J Clin Nutr, 64, 1996; 615.

6. Matarese LE, Gottschlich MM. Contemporary nutrition support practice, a clinical guide. Phyladelphia: WB Saunders Company, 1998; 590.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

182

7. Pastores SM, Kvetan V, Katz DP. Immunomodulatory effects and therapeutic potential of glutamine in the critically ill patient. J Nutr, 10(5), 1994; 385.

8. Reynolds JV, Daly JM, Zhang S, Evantash E, Shou J, Siga, R, Ziegler MM. Immunomodulator mechanisms of arginine. J Surgery, 104(2), 1988; 142.

9. Rombeau JL, Cadwell MD. Enteral and tube feeding. Clinical nutrition. vol.1. Philadelphia-London-Toronto: WB, Saunders Co, 1984; 412.

10. Saffle, JR, Wiebke G, Jennings, K, Morris, SE, Barton, RG. Randomized trial of immune – enhanching enteral nutrition in burn patients. J Trauma Injuri Infection and Critical Care, 42, (5), 1997; 793.

11. Simopoulos AP, Leaf A, Salem N. Workshop on the esstiality of recommended dietary intakes for omega6 and omega3 fatty acids. Asia Pacific J Clin Nutr, 8 (4), 1999, ; 300–301.

12. Tramel, H,, Kienle, B, Weilemann, LS, Stehle, P, Furst, P. Glutamine dipeptide – supplemented parenteral nutrition maintains intestinal function in the critically ill. J Gastroenterology, 107, 1994; 1595.

13. Trocki O, Heyd TJ, Waymack JP, Alexander JWA. Effects of fish oil postburn metabolism and immunity, J Parenteral and Enteral Nutr, 11(6), 1987; 521.

14. Wolf SE. Mannipulation of the hormonal response to trauma. in Soper NJ. Problems in General Surgery: Burns. 2003, 20(1): p61-69

15. Vincent JL. From nutritional support to pharmacologic nutrition in the ICU. Berlin Heidelberg: Spring Verlag, 2000; 348.

16. Stroud M, Duncan H, Nightingale J. Guidelines for enteral feeding in adult hospital patients Gut 2003;52(Suppl VII):vii1–vii12

17. Peck MD. Nutritional Monitoring and Management. in Soper NJ. Problems in General Surgery: Burns. 2003, 20(1): p55-60

18. Van Way III CW. Is Pendulum Swinging too far toward enteral nutrition? Available in websites: http://www.mvi-us.com/pdf/story1.pdf

19. Oral burn contractures in children present major reconstructive problem. Feeding is provided via the already present jejunostomy or gastrostomy tube. www.annalsplasticsurgery.com/pt/ re/annps/fulltext.00000637-200311000-00008.htm –

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

183

Bab VI

Infeksi dan Pemberian Antibiotik pada Luka Bakar Fase Akut

Yefta Moenadjat

ekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman mikroorganisme patogen dari lingkungan adalah kulit. Dengan kehilangan atau kerusakan kulit yang memiliki fungsi

barrier ini akan terjadi invasi bakterial dan mempermudah timbulnya infeksi. Kondisi ini juga dimungkinkan terjadi, bahkan mungkin berkembang menjadi suatu bentuk sepsis karena adanya penurunan daya tahan tubuh (imunosupresi) yang terjadi pada luka bakar.

Jaringan pada zona koagulasi mengalami lisis dan jaringan nekrosis ini pada suhu tubuh merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan kuman. Hal ini ditunjang oleh tidak adanya sirkulasi ke jaringan tersebut; dimana sirkulasi ini penting dalam proses penyembuhan karena berfungsi membawa produk darah yang merupakan bagian dari mekanisme pertahanan humoral dalam proses penyembuhan.

Luka bakar derajat tiga secara tipikal ditandai dengan adanya trombosis vaskuler ekstensif tanpa adanya reaksi inflamasi seluler. Berbeda dengan luka bakar derajat dua; trombosis vaskuler tidak begitu nyata dan disertai reaksi inflamasi seluler yang aktif; sehingga bila terinfeksi akan terjadi reaksi perivaskuler yang progresif menyebabkan terjadinya trombosis. Kondisi ini dikenal sebagai konversi luka bakar derajat dua ke luka bakar derajat tiga yang disebabkan proses infeksi. Oleh karena itu sangat penting mencegah proliferasi kuman pada luka bakar derajat dua.

Mikroorganisme yang bersifat komensal, hidup di folikel rambut kelenjar keringat, akan membentuk koloni-koloni pada luka bakar dangkal, konsentrasinya dapat mencapai 104 sampai 108 per gram jaringan pada hari kelima. Jenis organisme yang berkoloni sangat beragam dan tergantung penatalaksanaan awal pada luka. Streptokokus atau Stafilokokus merupakan jenis mikroorganisme yang sering dijumpai pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan awal dengan antibiotik topikal. Sedangkan di lingkungan perawatan rumah sakit, koloni yang tersering dijumpai adalah mikroorganisme gram negatif.

Dengan berkembangnya koloni kuman ini akan timbul sepsis luka, dimana pada kondisi tersebut dijumpai koloni kuman 105 atau lebih per gram jaringan. Dan bila ini terjadi, invasi kuman ke jaringan sekitar akan terjadi secara progresif yang berkembang menjadi reaksi sistemik menimbulkan gejala sepsis. Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya sistim imunitas pada luka bakar. Kultur pemeriksaan darah jarang memberikan hasil positif, kecuali bila dijumpai infeksi sekunder yang jelas seperti pneumonia, infeksi saluran kemih atau tromboflebitis. Penatalaksanaan

Tindakan yang dilakukan mengatasi infeksi terdiri dari beberapa rangkaian: 1. Tindakan aseptik 2. Pencucian (dilusi) dan perawatan luka 3. Tindakan nekrotomi dan débridement 4. Pemberian antibiotik topikal dan sistemik Tindakan aseptik dimaksudkan perlakuan pada tindakan dan perawatan luka dilakukan

secara aseptik, khususnya mencegah kontaminasi dan infeksi nosokomial, dengan

M

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

184

menerapkan perawatan di ruangan khusus, penggunaan alat-alat termasuk linen dan baju khusus.

Pencucian luka dilakukan menggunakan cairan antiseptik yang tidak bersifat iritatif. Prinsip dilution is the best solution for pollution diterapkan disini, dan pada kenyataannya bahwa insidens infeksi dapat ditekan dengan metode ini. Tindakan ini diterapkan sejak awal (saat pasien masuk), dan dapat dilakukan pengulangan, atau setelah melakukan nekrotomi dan atau débridement.

Tindakan nekrotomi dan débridement dilakukan bertujuan membuang jaringan nekrosis maupun debris yang menghalangi proses penyembuhan luka dan potensial terjadi / berkembangnya infeksi; sehingga merupakan tindakan pemutus rantai respons inflamasi sistemik dan maupun sepsis. Tindakan ini dilakukan seawal mungkin, dan dapat dilakukan tindakan ulangan sesuai kebutuhan.

Pemberian antibiotik topikal dan sistemik merupakan topik yang memiliki kekhususan. Dijumpai perbedaan sudut pandang bahkan kontrovesi termasuk mengenai kebutuhannya (indikasi), timing, jenis, metode pemberiannya. Indikasi

Pemberian antibiotik dibedakan atas tujuannya, yaitu profilaksis dan terapetik; dan berdasarkan pemberiannya, yaitu topikal maupun sistemik.

Antibiotik profilaksis Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mencegah berkembangnya infeksi pada saat

melakukan tindakan pembedahan digolongkan sebagai tindakan profilaksis. Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas pola kuman yang paling sering menimbulkan infeksi pada kurun waktu tertentu; pola ini diperoleh dari panitia pengendali infeksi (nosokomial) rumah sakit dari sampel yang diambil secara periodik. Untuk tujuan ini, antibiotik diberikan secara intravena sebanyak satu kali pemberian 30 menit sebelum melakukan tindakan; dan bila diperlukan dapat dilanjutkan selama 24 jam pertama pasca tindakan. Pertimbangan pemberian antibiotika ini harus didasari pemikiran dan alasan yang rasional. Pemberian yang tidak rasional akan menimbulkan masalah; bukan hanya masalah resistensi tetapi juga permasalahan yang sangat pelik sebagaimana dijelaskan berikut. Dengan memberikan antibiotika poten (golongan sefalosporin generasi keempat misalnya) untuk tujuan profilaksis, akan membunuh hampir semua jenis kuman (termasuk bakteri komensal yang menjadi flora normal di usus, misalnya). Hal ini menyebabkan perubahan pola keseimbangan flora normal; di saluran cerna misalnya, dengan adanya perubahan flora usus maka bakteri non patogen yang biasanya merupakan bakteri komensal di usus akan berubah menjadi patogen (oportunistik). Dengan adanya disrupsi mukosa saluran cerna yang terjadi pada kondisi syok, justru terjadi translokasi bakteri yang menjadi cikal-bakal timbulnya sepsis. Demikian pula halnya pemberian antibiotik yang ditujukan membunuh kuman anaerob, akan menyebabkan perubahan keseimbangan dan menimbulkan masalah yang sama sebagaimana diuraikan. Alasan lain yang juga harus dipertimbangkan dalam pemberian antibiotik ini adalah: semakin poten dan semakin tinggi dosis yang digunakan, semakin banyak kuman dibunuh; semakin tinggi kuman yang dibunuh semakin tinggi toksin diproduksi dari membran / dinding kuman yang mengalami lisis. Pemberian antibiotika tertentu juga dipertimbangkan berdasarkan toksisitas terhadap jaringan tertentu (misalnya gentamisin bersifat nefrotoksik, beberapa jenis sefalosporin generasi ketiga bersifat hepatotoksik, dsb). Di saat yang bersamaan, pada kondisi syok yang berlanjut menjadi SIRS justru dijumpai kondisi-kondisi dimana terdapat disfungsi organ; pemberian antibiotik tertentu justru memperberat disfungsi yang ada.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

185

Pendek kata, pemberian antibiotik yang tidak rasional justru menyebabkan bakterimia (sepsis) dan atau SIRS serta MODS; dan meningkatkan angka mortalitas. Antibiotik terapetik

Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi yang terjadi setelah dilakukan pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas hasil kultur kuman penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap kuman penyebab tersebut. Pemberiannya diberikan sesuai dosis lazim yang terdapat pada farmakope maupun petunjuk dari produsen. Antibiotik topikal

Pemberian antibiotik yang ditujukan mencegah dan mengatasi infeksi yang terjadi pada luka. Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas pola kuman dan hasil kultur kuman yang menyebabkan infeksi serta memiliki sensitivitas. Di saat epitelisasi spontan telah terjadi, sukseptibilitas terhadap infeksi telah berakhir, sehingga pemberian antibiotika tidak diperlukan lagi.

Gambar 158. Kiri: Metode klisis dikerjakan dengan mendistribusikan cairan mengandung antibiotik ke dasar luka atau di bawah eskar menggunakak jarum spinal ukuran 22G. Gambar kanan:.sebelum melakukan pencucian luka (dilusi), dilakukan eskarotomi sehingga dasar luka (sub-eskar) terpapar. Kedua tindakan ini dapat dilakukan di ruangan tanpa narkose (esker jaringan nonvital) dan efektif dalam mencegah berkembangnya kuman.

Peningkatan jumlah koloni pada luka pada penggunaan antibiotik topikal merupakan pertanda kegagalan. Untuk hal ini, dapat dilakukan dua alternatif :

1. Klisis. Salah satu cara efektif yang dianjurkan adalah dengan melakukan pemberian antibiotik ke dalam luka. Sejumlah 25ml larutan salin 0.5N mengandung antibiotik yang sesuai didistribusikan ke dasar luka maupun sub eskar, menggunakan jarum 22G pada interval jarak beberapa sentimeter (biasanya berkisar antara 3-5cm). Metode ini cukup efektif untuk melakukan dilusi dan menekan berkembangnya kuman (gambar 154, kanan).

2. Alternatif lain yang dapat dikerjakan adalah melakukan eskarotomi melalui beberapa sayatan sejajar berjarak 3-5cm. Dasar luka (terbuka) dilakukan pencucian menggunakan larutan antibiotik (gambar 154, kiri)

3. Penggantian jenis antibiotik Bentuk antibiotik topikal yang terbaik adalah yang paling sesuai dengan kondisi lokal

(daerah luka). Luka terbuka yang bersifat inflamatif dengan produksi eksudat memerlukan perawatan luka ‘basah’ (lembab), tentunya bila memang antibiotik diperlukan maka diberikan dalam bentuk cair. Kasa lembab yang dibasahi larutan antibiotik ini selain menyerap eksudat, berfungsi sebagai kompres yang mendinginkan luka sebagai upaya mengatasi permasalahan yang ditimbulkan proses inflamasi akut. Di saat luka mulai kering, antibiotik dalam bentuk krim

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

186

lebih bermanfaat dibandingkan salep dan atau bentuk ointment karena mengandung air dan bersifat hidroskopik.

Ada beberapa jenis antibiotik yang sering digunakan untuk tujuan topikal. 1. Silver nitrate 0.5% 2. Mafenide acetate 10% (Sulfamylon®) 3. Silver sulfadiazine 1% 4. Gentamisin sulfat

Preparat silver untuk terapi luka bakar

Penggunaan preparat silver untuk terapi luka bakar dalam satu dekade terakhir sangat luas. Banyak hal yang perlu diketahui mengenai preparat tersebut sebelum seseorang menggunakan preparat ini. Preparat silver memiliki efek antimikroba dengan cara memblokir sistim respirasi / energi sel mikroba saat kontak dengan preparat silver dan kandungan (konsentrasi) ion Ag+ dan radikal silver yang diproduksi. Preparat ini tidak bersifat toksik pada sel tubuh manusia dan tidak pernah dilaporkan terjadi resistensi. Efek preparat silver terhadap luka dijelaskan menurut pemeriksaan histopatologik sebagai suatu zat yang mengurangi proses inflamasi permukaan luka; mengurangi efek negatif dari metalloproteinase (MMP). MMP mengikat Zn untuk aktivitasnya, sementara Zn diperlukan untuk proses penyembuhan jaringan; dengan diproduksinya MMP proses penyembuhan jaringan mengalami gangguan. Preparat silver mengalami oksidasi dan terikat pada rantai sulfur, tidak seperti Zn dan Cu yg terikat pada oksigen; dengan adanya ikatan sulfur, maka aktivitas MMP meningkat. Preparat silver akan meningkatkan kadar kalsium di permukaan luka, sehingga memungkinkan terjadinya proses re- epitelisasi. Metalloproteinase

MMP ini adalah kelompuk enzim kolagenase yang menyebabkan destruksi jaringan; berlawanan dengan efek Growth Factor (GF) yang berperan pada sintesis jaringan. Aktivitasnya sangat tergantung pada tersedianya Zn bebas. Mekanisme peningkatan MMP akan terjadi akibat ekspresi genetik melalui mekanisme yang belum jelas (dugaan kuat sementara disebabkan karena TNF khususnya IL1). MMP ini diproduksi oleh neutrofil, makrofag dan fibroblas; distimulasi oleh produksi anti-oksidan yang dilepas sebagaimana dijumpai pada luka bakar dan luka kronik lainnya; termasuk hepatitis.

Tabel 13. Berbagai jenis MMP dengan karakterikstiknya.

Jenis MMP Karakteristik - Collagenase (MMP1, MMP8) Menguraikan kolagen, elastin dan matriks - Gelatinase (MMP2, MMP9) Harus seimbang dengan inhibitor alami dan GF - Elastase (MMP13) Dapat menyebabkan degradasi GF

Aktivitasnya sangat tergantung Zn Membutuhkan ikatan sulfhidril

Bentuk preparat silver yang ada Koloidal

Silver protein Silver salts Silver compounds Silver releasing system

Bentuk koloidal digunakan sebelum tahun 1960-an, berupa preparat silver murni (3-5ppm) dalam bentuk suspensi, bersifat tidak stabil terutama bila terpapar pada cahaya. Bersifat bakterisid, memiliki efek mengurangi proses inflamasi.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

187

Bentuk silver protein. Bentuk sebelumnya dengan penambahan protein sebagai upaya untuk meningkatkan stabilitas; namun efek bakterisidnya menjadi lemah. Bentuk silver salts (misalnya AgNo3, AgCl, AgSO4) memberikan stabilitas yang lebih baik dibandingkan bentuk protein; namun tetap tidak stabil bila terpapar pada cahaya. Bentuk ini juga memungkinkan timbulnya resisten dan bersifat toksik terhadap luka (sel) sehingga menghambat proses penyembuhan. Silver Sulfadiazine (SSD) mulai digunakan pada tahun 1970; merupakan kompleks propylene-glycol, stearyl alcohol dan isopropyl myrislate. Zat ini bekerja pada dinding bakteri sehingga dapat terjadi resistensi. Toksisitas Toksisitas silver sulfadiazine disebabkan oleh preparat silver maupun toksisitas dari komponennya. Efek yang ditimbulkannya bersifat lokal maupun sistemik. Efek toksik sistemik berupa argyria dan perubahan warna kulit yang mengganggu penampilan. Krim SSD dilaporkan dapat menginduksi timbulnya asidosis metabolik dan menekan proses kemotaksis sel-sel granulosit. Secara umum efek toksik SSD adalah sebagaimana diuraikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 14. Efek toksik SSD

SSD AgNo3 0.5% Supresi sumsum tulang Leukopenia

Toksisitas Propylene glycol

Kerusakan / penghancuran oksidan

Hipochloremia Reaksi hipersensitivitas

Efek lokal yang ditimbulkan oleh SSD adalah terhambatnya proses penyembuhan luka

Tabel 15. Efek toksik SSD dan AgNO3

SSD AgNo3 0.5% Lisis eskar terjadi cepat Toksik terhadap fibroblast

Sehingga pembentukan matriks kolagen lebih lambat dibandingkan proses angiogenesis

Proses penyembuhan lambat Pro inflamasi Eksudat

Proses penyembuhan lambat

Menghambat proses epitelisasi

Toksik terhadap fibroblast Sehingga pembentukan matriks kolagen lebih lambat dibandingkan proses angiogenesis

Proses penyembuhan lambat

Menghambat proses epitelisasi Gentamisin sulfat

Sebelumnya disebutkan SSD merupakan satu-satunya jenis antibiotik yang dapat menembus eskar; namun beberapa tahun terahir disebutkan pula keunggulan gentamisin dalam hal ini. Gentamisin masih memiliki keampuhan terhadap beberapa jenis bakteri; namun dengan penggunaan ini juga banyak dijumpai resistensi. Zat ini juga bersifat nefrotoksik, sehingga penggunaannya sangat terbatas, terutama bila dijumpai disfungsi renal. Antibiotik lain

Cerium nitrate belum digunakan secara luas di klinik, dilaporkan sebagai suatu jenis topikal yang memiliki efek mengurangi absorpsi toksin dari area lokal (luka) dan memperbaiki kondisi imunosupresi melalui perbaikan sistim imunitas seluler.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

188

Penggunaan silver nitrate soaks dilaporkan mengurangi evaporative loss, dan tidak memiliki pengaruh terhadap proses kemotaksis sel-sel granulosit.

Akhir tahun 1980-an ditemukan jenis antibiotik baru Mafeinid asetat yang memiliki keunggulan dibandingkan SSD. Peran Albumins pada pemberian antibiotika

Dalam pemberian antibiotika, beberapa hal lain perlu dipertimbangkan dalam mengupayakan efektivitas dikaitkan dengan adanya gangguan sirkulasi dan metabolisme. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah, transportasi beberapa zat, obat termasuk antibiotika sangat tergantung pada protein, khususnya albumin.

Albumin plasma memegang peran utama pada terbentuknya ikatan antara obat dan protein dan dapat berperan sebagai cadangan (reservoir) obat (zat); sebagai contoh bila konsentrasi obat (zat) bebas menurun karena eliminasi oleh proses metabolisme dan ekskresi, maka obat (zat) yang berikatan dengan protein mengalami disosiasi dan di lepas ke sirkulasi. Hal ini bertujuan mempertahankan konsentrasi obat (zat) tertentu sebagai suatu fraksi konstan obat (zat) dalam plasma.

Konsekuensi klinik yang dihadapi adalah penyesuaian dosis obat (zat, termasuk antibiotika) dengan kadar albumin yang perlu diperhitungkan pada kondisi dimana terjadi gangguan sirkulasi dan masa resusitasi dimana terdapat gangguan keseimbangan cairan.

Bahan Bacaan 1. Artz CP, Moncrief JA, Pruitt BA. Burns, a team approach. Philadelphia: WB Saunders & Co, 1979. 2. Asia Connection Vol.1 Issue 2. Major advances in burns care announced at Asia Pasific Conference, 1996; 4. 3. Asia Connection Vol.1 Issue 2. The University of Washington approach to burns managements, 1996; 5 4. Asia Connection Vol.1 Issue 2. Burn research: current and future directions, 1996; 9. 5. Asia Connection Vol.1 Issue 2. Critical care of burns patients, 1996; 9 6. Aston SJ, Beasley RW. Thorne CHM. Grabb & Smith's plastic surgery. Philadelphia: Lipincott Raven, 1997;

161. 7. Lahunduitan I, Moenadjat Y. Rasionalitas penggunaan antibiotik di unit luka bakar RSUPN dr Cipto

Mangunkusumo. Jakarta: Bagian Ilmu Bedah FKUI RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo. Unpublished, 1999. 8. Laitung G. Metabolic responses and requirements. In: Principles and practice of burn management, 1995;137 9. Leung PC. Burns: treatment & research. Singapore-New Jersey-Hongkong: World scientific, 1991. 10. Martin JAJ. Acute management of the burned patient. Philadelphia-London-Toronto: WB Saunders & Co,

1990; 138. 11. Matarese LE, Gottschlich MM. Contemporary nutrition support practice, a clinical guide. Philadelphia: WB

Saunders Company, 1998; 590. 12. Settle JAD. Principles & practice of burns management. New York: Churchill Livingstone, 1996; 137. 13. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Lippincott’s Illustrated Review Pharmacology 2nd ed. Philadelphia:

Lippincott Williams and Wilkins. 1992; p 11-12 14. Mandell D, Bennett J, Dolin R. Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious

Diseases. 4th edition. New York: Churchill Livingstone 1995. 15. Garner JS, Hospital Infection Control Practices Advisory Committee. Guideline for Isolation Precautions in

Hospitals. Infection Control and Hospital Epidemiol 1996;17(1):53-80. 16. Antimicrobial agent susceptibilities. From the Departments of Laboratory Medicine and Pharmacy, Memorial

Medical Center. February 2000 Springfield, Illinois. 17. Memorial Medical Center Infection Control Department, Springfield, IL. January, 2005. 18. Teplitz C. The pathology of burn and fundamentals of burn wound sepsis. In: Artz CP, Moncrief JA, Pruitt BA

Jr. Eds. Burns: A Team Approach. Philadelphia: WB Saunders Co. 1979. 19. Teplitz C, Davis D, Mason AD, Moncrief JA. Pseudomonas burn wound sepsis. I. Pathogenesis of

experimental pseudomonas burn wound sepsis. J Surg Res 1964;4:200-16. 20. Robson MC and Heggers JP. Surgical infection. II. -hemolytic streptococcus. J Surg Res 1969; 9:289. 21. Robson MC, Krizek TS. Predicting skin graft survival. J Trauma. 1973;13(3):213-17. 22. Heggers JP, Robson MC eds. Quantitative Bacteriology: Its Role in the Armamentarium of the Surgeon. 1st

ed. Boca Raton, FL: CRC Press, Inc. 1991.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

189

23. Mangram AJ, et al, "Guideline for prevention of surgical site infection, 1999," Infection Control and Hospital Epidemiology 20 (April1999) 247-278. Monafo WW, West MA. Current treatment recommendations for topical burn therapy. Drugs 1990;40: 364-73.

24. Frame JD, Kangesu L, Malik WM. Changing flora in burn and trauma units: experience in the United Kingdom. J Burn Care Rehabil 1992; 13:281-6.

25. Heggers JP, McCauley RL, Herndon DN. Antimicrobial therapy in burn patients: Part II. Surgical Rounds 1992;699-708.

26. Smith DJ, Thompson PD. Changing flora in burn and trauma units: Historical perspective-experience in the United States. J Burn Care Rehabil 1992;13:276-80.

27. Kaye ET. Topical antibacterial agents: role in prophylaxis and treatment of bacterial infections. Curr Clin Top Infect Dis 2000;20:43-62.

28. White MG, Asch MJ. Acid base effects of topical mafenide acetate in the burned patient. Arch Surg 1984;119:183-8.

29. Honari S. Topical therapies and antimicrobials in the management of burn wounds. Crit Care Nurs Clin North Am 2004; 16(1):1-11.

30. Yin HQ. Langford R. Burrell RE. Comparative evaluation of the antimicrobial activity of ACTICOAT antimicrobial barrier dressing. Journal of Burn Care & Rehabilitation1999;20(3):195-200.

31. Hock TB. Antimicrobial Policies for Major Burn Injury PAtient. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

190

Bab VII

Luka dan Penatalaksanaannya

Yefta Moenadjat David S. Perdanakusuma

anyak permasalahan yang harus dibahas mengenai luka, berkenaan dengan perjalanan penyakit yang berperan dalam berkembangnya penyulit seperti SIRS, MODS dan sepsis

yang berhubungan dengan mortalitas; maupun proses penyembuhan yang berhubungan dengan penyulit di kemudian hari, yaitu parut hiperttrofik dan kontraktur. Penatalaksanaan luka sejak fase awal memegang peran penting dalam upaya menghindari timbulnya permasalahan tersebut, sehingga penulis merasa perlu membahas luka dan penatalaksanaannya dalam suatu bab tersendiri

Karena permasalahannya cukup kompleks, pembahasan masalah dibedakan menjadi permasalahan awal dan permasalahan lanjut. Permasalahan awal

Banyak dijumpai perbedaan antara luka bakar dibandingkan dengan luka yang terjadi oleh penyebab lain. Luka bakar menjadi permasalahan karena adanya kehilangan dan atau kerusakan epitel maupun jaringan yang menjadi struktur dibawahnya; masalahnya menjadi demikian serius saat luka mencakup sebagian besar luas permukaan tubuh.

Sirkulasi menjadi sangat penting pada proses penyembuhan luka dmikian pula sebaliknya, luka sangat menentukan stabilitas hemodinamik.

Gambar 159. Dengan sirkulasi dan perfusi baik yang diperoleh melalui resusitasi adekuat, zona statis dipreservasi dan proses penyembuhan dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, sebaliknya dengan resusitasi inadekuat zona statis mengalami nekrosis. Kondisi ini dikenal dengan sebutan degradasi luka. Dikutip dan disadur dari

Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, kehilangan dan atau kerusakan kulit

(epitel) menyebabkan gangguan proses metabolisme. Dengan hilangnya kulit (epitel) ini,

B

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

191

proses penguapan terjadi secara berlebihan; dan tidak hanya cairan yang mengalami penguapan melainkan juga protein (evaporative heat loss).

Epitel (terdiri dari komponen lipid dan protein) yang mengalami koagulasi kemudian lisis. Kompleks lipid-protein yang terbentuk dilepas ke jaringan menyebabkan stimulasi neutrofil dan berakibat dilepaskannya mediator pro-inflamasi. Lipid Protein Complex, LPC ini (sebelumnya dikenal dengan sebutan burn-toxin) memiliki toksisitas ribuan kali lebih kuat dibandingkan endotoxin; dengan demikian neutrofil yang didistribusi ke jaringan pertahanan semakin banyak pula diperlukan untuk menghasilkan makrofag. Ternyata neutrofil yang dilepas ke sirkulasi tidak hanya bereaksi terhadap LPC; dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan faktor pencetus yang diuraikan sebelumnya (lihat bab 3.3 mengenai SIRS, MODS dan sepsis) mengalami eksagregasi menimbulkan reaksi berlebihan dan menyebabkan cedera organ. Organ pertama dan paling sering terkena cedera dalam hal ini adalah alveoli yang kemudian berkembang menjadi ARDS (lihat bab 3.4 mengenai ARDS) dan berakhir fatal. Dengan adanya kerusakan epitel (kulit) yang luas, maka fungsi kulit dalam pembentukan sel-sel yang berperan dalam sistim imunitas (limfosit B) menurun drastis. Diperberat dengan adanya kehilangan protein dan hiperkatabolisme yang bersifat konsumtif, fungsi imun semakin berkurang. Lebih lanjut, pendistribusian mediator-mediator anti inflamasi yang timbul sebagai reaksi kompensasi terhadap mediator-mediator pro-inflamasi akan menyebabkan kondisi imunosupresi yang memperberat kondisi sebelumnya.

Permasalahan selanjutnya

Bila penderita bertahan hidup, permasalahan yang dihadapi adalah proses penyembuhan. Proses inflamasi yang berkepanjanagn menyebabkan kerapuhan jaringan yang menimbulkan diskonfigurasi struktur jaringan yang berakhir dengan deformitas bentuk dan gangguan fungsi.

Cedera termis menimbulkan kerusakan pada struktur sel dan jaringan antar sel menyebabkan lepasnya epidermis dari jaringan dibawahnya (epidermolisis). Lepasnya epidermis ini disertai proses transudasi yang kemudian mengalami akumulasi dan terperangkap dalam ruang yang terbentuk antara epidermis dan jaringan dibawahnya membentuk bula. Bila bula ini dipecahkan, maka akan terlihat luka dengan permukaan kemerahan yang kurang lebih rata dengan permukaan di sekitar dan eksudatif. Karena sebagian apendises kulit masih utuh, maka penyembuhan (re-epitelisasi) spontan terjadi dalam waktu relatif singkat (10-14 hari).

Gambar 160. Luka bakar derajat dua dangkal melibatkan kerusakan epitel dan sebagian lapisan dermis bagian atas. Dikutip dan disadur dari Dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

192

Luka Bakar derajat dua dangkal

Gambar 161. Luka bakar derajat dua dalam melibatkan kerusakan epitel dan sebagian besar lapisan dermis (sebagian lapisan dermis masih utuh, berbeda dengan derajat tiga yang melibatkan seluruh lapisan dermis). Dikutip dan disadur dari Dikutip dari Burn Module: WoundManagement http://www.burnsurgery.org

Gambar 162. Berbagai penampilan luka bakar derajat dua dangkal. Foto: koleksi pribadi

Gambar 163. Penampilan luka yang merupakan gabungan / campuran derajat dua dangkal (kemerahan) dan dalam (lebih putih, disebabkan adanya eskar). Foto: koleksi pribadi

Luka bakar derajat dua dalam

Kerusakan melibatkan lapisan yang lebih dalam, mengenai hampir seluruh bagian dermis; tidak dijumpai bula (ini yang membedakan dengan derajat dua dangkal). Sebagian besar

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

193

apendises kulit masih utuh sehingga proses re-epitelisasi spontan masih dimungkinkan terjadi; dalam waktu jauh lebih lama dibandingkan derajat dua dangkal. Luka bakar derajat tiga

Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam. Apendises kulit mengalami kerusakan. Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, kering dan permukaannya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar; akibat koagulasi protein pada lapis epidermis dan dermis (dikenal dengan sebutan eskar). Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan baik dari dasar luka, tepi luka, maupun apendises kulit.

Gambar 164. Luka bakar derajat tiga dengan eskar (kiri) dan nekrosis jaringan (kanan). Foto: koleksi pribadi

Gambar 165. Penampilan eskar kering (kiri) dan pseudoeschar (kanan). Foto: koleksi pribadi Faktor yang berpengaruh

Banyak fator yang berpengaruh pada proses penyembuhan luka bakar; baik pengaruh positif maupun negatif sehingga luka akan mengalami penyembuhan, delayed healing atau bahkan non-healing. Faktor internal seperti usia, kondisi premorbid dan adanya gangguan proses metabolisme khususnya protein jelas menyebabkan terhambatnya proses penyembuhan. Faktor eksternal lebih ditekankan pada perlakuan terhadap luka; dengan penatalaksanaan yang tepat akan menyebabkan proses penyembuhan berjalan sebagaimana mestinya. Sebaliknya dengan penatalaksanaan yang tidak tepat, akan terjadi konversi luka bakar derajat dua dangkal menjadi dua dalam, dua dalam menjadi derajat tiga, atau bahkan kematian jaringan.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

194

a. Penilaian Luka

Penilaian (kedalaman) luka sangat penting untuk penatalaksanaan selanjutnya. Beberapa cara penilaian diantaranya yang terpenting adalah:

1. Penilaian klinis Pengamatan klinis Pin-prick test

2. Prosedur pembedahan (invasiv): Eksisi tangensial Punch biopsy

3. Laser Doppler Imaging (LDI)

Pengamatan klinis Setiap derajat luka bakar memiliki karakteristik tersendiri sebagaimana diuraikan

sebelumnya (lihat kembali halaman 189-190). Ada beberapa penanda yang bersifat patognomonik, antara lain:

Adanya bula merupakan pertanda bahwa jaringan dibawahnya vital, disertai adanya gangguan vaskulerisasi (vascular compromised)

Eskar merupakan jaringan non-vital, menjadi ciri dari Luka Bakar derajat dua dalam dan atau derajat tiga

Pin-prick Test

Gambar 166. Pin-Prick Test. Dikutip dan disadur dari Dimick AR. Burn and cold injury. In: Hardy’s textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1983

Pemeriksaan ini didasari pada vitalitas jaringan; jaringan yang vital akan berdarah saat ditusuk dengan jarum. Pemeriksaan ini tidak sensitiv dan tidak spesifik sehingga tidak lagi digunakan. Eskarotomi dan eskarektomi

Kesimpulan pengamatan klinis dibuktikan pada kesempatan melakukan eskarotomi (untuk tujuan life atau limb saving) dan atau eskarektomi (untuk nekrotomi dan débridement). Topik ini dibahas berikut.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

195

Gambar 167. Luka bakar pada tangan karena api. Pengamatan klinis menunjukkan gabungan derajat 2 (pada sisi dorsal) dan 3 (pada falanges). Eksarotomi yang ditujukan memperbaiki perfusi ke distal membuktikan luka pada sisi dorsal adalah derajat 3 (meliputi seluruh ketebalan dermis). Foto: koleksi pribadi Eksisi tangensial

Penilaian kedalaman luka dikerjakan dengan cara melakukan sayatan berlapis (eksisi

tangensial) pada eskar (daerah non-vital), sampai dijumpai permukaan yang berdarah (daerah vital). Pisau bedah diletakkan pada kedalaman yang sama dengan pengambilan donor skin graft (kl. 0.02 inci), termasuk sudut, tekanan pisau; serta traksi jaringan; dengan demikian, selain menilai kedalaman luka prosedur ini dikerjakan untuk tujuan penilaian vitalitas jaringan dan evaluasi degradasi luka.

Gambar 168. Prosedur eksisi tangensial (kiri) dikerjakan sebagaimana mengambil donor STSG (split thickness skin graft) menggunakan dermatom (kanan). Gambar bawah menunjukan handy dermatome (Pisau Humby). Dikutip dari Janzekovic Z. The burn wound from the surgical point of view. J Trauma 1975

Prosedur ini dikerjakan dalam waktu beberapa saat setelah cedera; mengacu pada beberapa pertimbangan: 1) sesegera mungkin memperoleh penilaian kedalaman luka yang diperlukan untuk menentukan tatalaksana selanjutnya, dan 2) membuang jaringan nekrosis dan atau eskar sesegera mungkin sebelum jaringan nekrosis ini menginduksi proses inflamasi

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

196

sistemik (SIRS) dan kekacauan metabolisme lebih lanjut. Oleh karenanya, prosedur eksisi tangensial sebaiknya dikerjakan dalam waktu 3-4 hari pasca cedera (pada kasus-kasus ringan-sedang) dan sebelum 14 hari pada kasus-kasus luka bakar berat.

Mengacu pada kriteria waktu, prosedur ini dikenal dengan sebutan eksisi dini; namun belakangan, pada perkembangan berikutnya diterapkan kriteria waktu lebih awal yaitu dalam 24 jam pasca trauma. Disadari bahwa prosedur ini memiliki resiko, oleh karenanya seyogyanya mengacu pada beberapa kriteria, sebagaimana diuraikan di atas.

Kriteria Penatalaksanaan eksisi dini (demikian pula halnya dengan skin grafting) ditentukan oleh

beberapa faktor: 1. Kondisi fisik cukup memungkinkan untuk menjalani operasi besar, hemodinamik stabil 2. Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah16

Penatalaksanaan

Tindakan ini merupakan bagian dari intervensi bedah, sehingga semua kebutuhan fasilitas yang menyangkut kegiatan pembedahan diperlukan. Beberapa pertimbangan dalam melaksanakan tindakan ini antara lain: Timing operasi

Pada luka bakar derajat dua dangkal, dapat dikerjakan sebelum 72 jam pasca cedera. Pada luka bakar lebih dalam, baru dapat dikerjakan pada hari ke 5-7 pasca cedera.

Prosedur ini akan (atau dapat) dikerjakan beberapa kali dalam waktu dekat Terakhir: penutup (skin graft, cultured atau synthetic epthelial layer, pembalut) Teknik

Kerjasama ahli bedah dengan anestesi sangat erat: 1. Sehubungan dengan lokasi luka yang memerlukan perubahan posisi saat operasi,

penempatan iv line dan alat monitor seringkali harus dipindah ke tempat lainnya. 2. Tindakan operatif seringkali disertai kehilangan darah cukup banyak, yang perlu di

antisipasi. 3. Dengan permukaan telanjang dalam jumlah luas, hipotermia dapat terjadi dengan sangat

cepat. Komplikasi Perdarahan: untuk butir ini, eksisi tangensial (dini) dikerjakan maksimal seluas 15-20%

permukaan tubuh. Perdarahan akan menyebabkan gangguan hemodinamik yang dapat mengantarakan pada kondisi sirkulasi yang (kembali) memburuk.

Infeksi Salah satu cara untuk mencegah perdarahan, bila melakukan eksisi pada lengan atau tungkai, dapat digunakan torniket dan melakukan elevasi ekstremitas bersangkutan. Sedangkan komplikasi infeksi dibahas dalam penggunaan antibiotik pada bab 6.

Punch biopsy

Pemeriksaan histopatologi merupakan suatu jenis pemeriksaan dengan tingkat keakuratan

paling baik dalam menentukan kedalaman luka. Pemeriksaan ini dapat dikerjakan di beberapa tempat untuk beberapa kali (dimungkinkan karena ukuran diameter puncher maksimal 2-8mm). 16 Masalah dengan pembekuan dijumpai pada 1) sepsis atau 2) penggunaan resusitasi cairan menggunakan koloid, dan 3) obat-obatan opioid (NSAID) seperti ketorolac dan sejenisnya untuk tujuan analgesia.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

197

Catatan yang perlu diingat, sebaiknya tidak mengambil sampel berupa jaringan nekrosis, karena diskonfigurasi jaringan yang sudah terjadi akan mengaburkan hasil pemeriksaan. Sebagai bahan pengawet dan atau fiksasi jaringan dianjurkan formalin, bukan alkohol.

Gambar 169. Punch biopsy. Selain mengetahui kedalaman luka, pemeriksaan ini bertujuan memperoleh informasi dari karakteristik jaringan (proses inflamasi) dan menentukan adanya invasi bakterial (sepsis jaringan). Dikutip dan disadur dari Janzekovic Z. The burn wound from the surgical point of view. J Trauma 1975 Aplikasi Laser Doppler Imaging (LDI) Aplikasi kemajuan iptekdok dirasakan sangat bermanfaat dalam melakukan evaluasi kedalaman luka, salah satunya menggunakan Laser Doppler Imaging (LDI) yang merupakan pemeriksaan non-invasif, sayangnya perangkat ini cukup mahal dan sensitivitasnya masih meragukan.

Gambar 170. Laser Doppler Imaging buatan Moor (USA) dengan desktop stand (kiri) dan scanner (kanan). Dikutip dan disadur dari spesifikasi produk.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

198

Gambar 171. Sebagaimana namanya, alat ini memanfaatkan sinar laser yang dipantulkan melalui fibre optic yang ditangkap oleh sebuah sensor cahaya. Kedalaman jaringan dalam hal ini sangat menentukan warna yang ditangkap oleh sensor cahaya sehingga teknik ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan penilaian kedalaman luka. Sensor dihubungkan dengan sebuah prosesor dan gambaran berbagai derajat kedalaman luka dapat dilihat di layar komputer. Dikutip dan disadur dari spesifikasi produk.

Gambar 172. Penampilan klinis luka bakar derajat dua dangkal, dua dalam dan derajat tiga (kiri) dan peta luka (wound mapping) tercantum dalam status pasien di rekam medik (kanan). Dikutip dan disadur dari spesifikasi produk.

Gambar 173. Tampilan hasil scanning dari LDI pada layar monitor komputer. Warna merah menunjukan derajat dua dangkal, kuning-hijau dua dalam (semakin hijau semakin dalam) dan biru derajat tiga (full thickness burn). Disini terlihat kelemahan alat canggih ini membedakan derajat tiga (pada paha kiri) dengan kulit normal (juga memberikan warna biru). Oleh karenanya, untuk menghindari kesalahan, pada layar monitor komputer ditampilkan foto klinis pasien bersangkutan (kanan). Dikutip dan disadur dari spesifikasi produk.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

199

b. Penatalaksanaan luka

Penatalaksanaan luka berorientasikan pada masalah yang ada dari waktu ke waktu. 1. Pada kesempatan melakukan resusitasi yang menjadi prioritas, beberapa tindakan

penatalaksanaan luka antara lain: a. Penatalaksanaan luka dikaitkan dengan rangkaian life and limb saving yang

bertujuan memperbaiki perfusi ke jaringan b. Penatalaksanaan luka yang terfokus pada kerusakan lokal sebagaimana

dijelaskan pada butir-butir berikutnya 2. Pada fase awal, penatalaksanaan luka mengacu pada upaya mencegah terjadinya

degradasi luka, meredam proses inflamasi akut dengan mengupayakan suasana yang kondusif untuk proses penyembuhan.

3. Fase selanjutnya adalah melakukan intervensi pada luka dalam upaya mencegah timbulnya hipermetabolisme, mencegah atau memutus kaskade SIRS, MODS dan sepsis.

4. Berjalan seiring dengan acuan sebelumnya, penatalaksanaan luka berorientasikan mencegah timbulnya parut hipertrofik dan kontraktur. Hal ini menjadi acuan namun berdasarkan prioritas.

Karenanya, pada bab ini diuraikan rangkaian tatalaksana sesuai dengan tujuan penatalaksanaan luka sebagaimana dijelaskan pada butir-butir di atas.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

200

Bab VII

1. Penatalaksanaan Luka I: Fase awal

Yefta Moenadjat David S. Perdanakusuma

ada kesempatan melakukan resusitasi yang menjadi prioritas beberapa tindakan penatalaksanaan luka dikaitkan dengan rangkaian life and limb saving yang bertujuan

memperbaiki perfusi ke jaringan. Eskarotomi dan fasiotomi

Eskarotomi merupakan suatu prosedur life and limb saving, sebagai salah satu prosedur yang merupakan rangkaian tatalaksana resusitasi. Pada sebuah literatur: Controversies in Resuscitation (Jeng JC, 2003) dijelaskan, bahwa salah satu kegagalan resusitasi disebabkan karena adanya eskar yang terabaikan (tidak ditatalaksanai sebagaimana mestinya, eskarotomi)

Gambar 174. Eskarotomi yang ditujukan untuk life saving dan limb-saving. A Eskarotomi dinding dada untuk memperbaiki breathing mechanism. B Eskarotomi lengan dan C eskarotomi pada tungkai. Sayatan memanjang melepaskan jeratan eskar melingkar efektif memperbaiki sirkulasi ke distal; perhatikan darah hitam yang berada di bawah eskar. D Eskarotomi pada tubuh, lengan dan tungkai. Foto: koleksi pribadi

P

C D

A B

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

201

Gambar 175. Disamping eskarotomi, kadang diperlukan fasiotomi; dikerjakan khususnya pada luka bakar listrik atau luka bakar melingkar pada tungkai dengan sindroma kompartemen. Foto: koleksi pribadi

Eskarotomi ini dapat dikerjakan dengan mudah tanpa harus melakukan prosedur anestesi,

menembus eskar sampai dicapai jaringan sehat (berdarah) sebagaimana dapat dilihat pada gambar-gambar berikut. Beberapa jenis eskarotomi dikerjakan antara lain:

1. Eskarotomi dada sebagai suatu tindakan melepaskan eskar melingkar dinding dada 2. Eskarotomi pada ekstremitas (baik lengan maupun tungkai) untuk memperbaiki perfusi

ke distal.

Eskarotomi dan fasiotomi merupakan bagian dari rangkaian tindakan life dan limb saving, dikerjakan saat resusitasi dan memegang peran kunci keberhasilan dalam resusitasi

Eskarektomi: nekrotomi dan débridement

Gambar 176. Eskar mengering. Foto: koleksi pribadi

Eskarektomi dikerjakan dengan prosedur eksisi tangensial sebagaimana diuraikan sebelumnya atau dengan teknik lainnya. Prinsipnya membuang jaringan nekrosis (nekrotomi) dan meninggalkan jaringan vital sebanyak mungkin; bukan membuang jaringan sebanyak-banyaknya. Beberapa metode untuk melakukan eskarektomi diuraikan berikut ini.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

202

1. Eksisi tangensial (lihat prosedur eksisi tangensial pada halaman 193)

Eksisi dini

Eksisi dini adalah untuk tindakan pembuangan jaringan nekrosis (nekrotomi) dan debris (débridement) yang dikerjakan dalam waktu kurang dari 7 hari pertama pasca cedera termis. Kriteria dini ini belum dapat didefinisikan secara tepat, karena pada awalnya pengertian dini adalah kurang dari 2 minggu; (sebagian menyebutkan termin waktu kurang dari 10 hari); kemudian pada perkembangannya diterapkan lebih awal yaitu dalam 24 jam pasca trauma.

Dasar pemikiran dilakukannya tindakan dini ini ada beberapa hal, diantaranya : 1. Mengupayakan proses penyembuhan luka berjalan sesuai dengan waktu. Jaringan

nekrosis, debris dan eskar di buang, sehingga proses inflamasi tidak mengalami proses berkepanjangan dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan eskar demikian lama mengalami separasi dari jaringan dibawahnya, dilaporkan antara lain disebabkan aplikasi antibiotik topikal, khususnya silver sulvadiazine. Dengan semakin panjang waktu terlepasnya eskar, semakin lama waktu yang diperlukan untuk proses penyembuhan. Sementara, menunggu eskar lepas akan memakan waktu lama, disamping nyeri yang timbul saat pergantian balutan. Selain itu, masa perawatan di rumah sakit dengan sendirinya akan memakan waktu lama. Karenanya dipikirkan untuk melakukan intervensi lebih awal, dengan melakukan eksisi dini.

2. Mengacu pada teori bermula dan berkembangnya respons inflamasi sistemik, SIRS. Jaringan nekrosis melepaskan burn toxin (Lipid Protein Complex, LPC), yang menginduksi pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi. Salah satu upaya memutus mata rantai proses ini adalah melakukan eliminasi fokus, yaitu nekrotomi dan débridement sedini mungkin.

3. Semakin lama tindakan eksisi dilakukan, hiperemi akibat vasodilatasi di sekitar luka sudah dimulai demikian pula proses angiogenesis; hal mana akan mengakibatkan banyak darah keluar saat tindakan operasi.

4. Pertimbangan kolonisasi dan infeksi. Menurut Janzekovic, bila ditunggu lebih dari lima hari, kolonisasi mikro-organisme patogen akan menghambat pemulihan graft, disamping eskar yang mulai melembut; sehingga tindakan eksisi akan semakin sulit.

Dengan melakukan eksisi (nekrotomi dan débridement) dini ini, jelas terjadi penurunan mortalitas dan morbiditas. Mortalitas dikaitkan dengan angka kejadian SIRS, sementara morbiditas dimaksudkan dengan kecenderungan terjadinya parut hipertrofik dan kontraktur;

2. Hydropressure. Pemanfaatan teknologi canggih menggunakan tenaga air (hydropressure). Air disemprotkan dengan kekuatan tertentu, pada saat yang sama eskar yang hancur (oleh karena pengaruh tekanan tinggi) dihisap. Keuntungan yang diperoleh dengan mpemanfaatan alat ini selain bersih, dapat digunakan pada daerah lekukan-lekukan di pelbagai bagian tubuh (misalnya muka) dan trauma minimal terhadap jaringan.

3. Enzymatic débridement

Débridement dilakukan dengan memanfaatkan enzim kolagenase. Jaringan nekrosis melekat pada dasar luka karena masih dijumpai serat kolagen alami (yang bertahan hidup). Serat kolagen ini hanya dapat dihancurkan oleh enzim proteolitik. Efek sinergis dari kolagenase dengan protease memungkinkan berlangsungnya dekomposisi komponen luka

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

203

yang mengalami nekrosis; dengan demikian penggunaannya akan mempercepat pelepasan jaringan nekrosis dan dengan sendirinya diperoleh hasil luka yang bersih. Enzim ini dapat menimbulkan efek negatif seperti hipersensitivitas dan menyebabkan rasa terbakar (burning sensation), nyeri maupun iritasi. Enzim ini juga berinteraksi dengan berbagai jenis antiseptikum, detergent, dan sabun yang kerap digunakan pada pembersihan luka; dengan dampak terhambatnya efek kolagenase. Beberapa jenis antibiotika seperti tetrasiklin, gentamycin, erythrocin dan sulfosalicylate juga menghambat efek kolagenase sehingga penggunaannya tidak boleh digabung.

Di dalam jurnal dilaporkan prosedur débridement menggunakan lintah (leech dan maggot). Ezim hyaluronidase yang dikeluarkan oleh lintah ini menghancurkan jaringan (struktur kolagen) yang merupakan bahan makanan lintah. Hirudin yang terkandung di dalam enzim ini juga berperan sebagai suatu antikoagulan.

Gambar 177. Débridement dan eskarektomi menggunakan Hydropressure (Versajet ). A Perangkat elektronik dengan cairan yang digunakan untuk melakukan eskarektomi dan B. Prosedur eskarektomi pada muka. Pada saat air bertekanan disemprotkan, air tersebut (beserta eskar yang hancur) dihisap melalui handpiece. C. Prosedur pada tangan dan D. Prosedur pada bagian tubuh lainnya (dada). Dikutip dari spesifikasi produk

Gambar 178. Luka dengan lintah (leech, kiri) dan belatung (maggot, kanan) untuk tujuan enzymatic débridement. Dikutip dari Types of Wound Debridement. Available in website: http://www.medicaledu.com/debridhp.htm-18k

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

204

Prioritas débridement: Prioritas débridement pertama adalah suatu tindakan bedah (surgical débridement);

sedangkan prosedur non-surgical menempati prioritas berikutnya.

Bahan Bacaan

1. Jeng JC. Controversies in Resuscitation. in Soper NJ. Problems in General Surgery: Burns. 2003, 20(1): p37-

46 2. Bakker JJ. Complication of severe burns. Oral presentation in Burn symposium and workshop. Jakarta:

Unpublished, 1997. 3. Dimick AR. Burn and cold injury. In: Hardy’s textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1983;

177. 4. Janzekovic Z. A new concept in the early excision and immediate grafting of burns. J Trauma 1970:10 1103-

8. 5. Janzekovic Z. The burn wound from the surgical point of view. J Trauma 1975:15 42-61 6. Klasen HJ. Early care of the burn patient. Oral presentation in Burn symposium and workshop. Jakarta:

Unpublished, 1997. 7. Sauer EW. Surgical treatment of burn wounds. Oral presentation in Burn symposium and workshop. Jakarta:

Unpublished, 1997. 8. Settle JAD. Principles and practice of burn management. NewYork: Churchill Livingstone, 1996; 275. 9. Wood FM. Early burn excision. Oral presentation at the Indonesian Surgeons Association Congress. Bali:

Unpublished, 1996. 10. Gray T, Pine RW, Harner TJ et.al. Early surgical excision versus conventional therapy in patients with 30-

40% burns. Am J Surg 1982; 144:76-80 11. Herndon DN, Barrow RE, Rutan, RL, et.al. Comparison of conservative versus early excision. Ann Surg 1989;

209:547553 12. Still Jr, Joseph M, Edward J. Decreasing length of hospital stay by early excision and grafting of burns.

Southern Medical Journal, Jun 96 Vol 89 Issue6, p578 13. Muangman P, Sullivan SR, Honari RN, Engrav L, Heinbach DM, Gibran NS. Optimal timing for early excision

in major burn injury, proceeding book of the American Burn Association 34th annual meeting, April 24-27, 2002.

14. Wachtel TL, Leopold GR, Frank HA, Frank DH. B-mode ultrasonic echo determination of depth of thermal injury. Burns Incl Therml Inj 1986;12:432-7.

15. O’Reilly TJ, Spence RJ, Taylor RM, Scheulen JJ. Laser Doppler flowmetry evaluation of burn wound depth. J Burn Care Rehabil 1988; 9:57-62.

16. Grossman A, Zuckerman A. Intravenous fluorescen photography in burns. J Burn Care Rehabil 1984;5:65. 17. Cole R, Jones S, Shakespeare P. Thermographic assessment of hand burns. Burns 1990;16: 60-3. 18. Milner SM, Bhat S, Gulati S, Gherardini G, Smith E, Bick RJ. Observations on the microcirculation of the

human burn wound using orthogonal polarization spectral imaging. Burns 2005;31(3):316-9. 19. McCauley RL, Heggers JP, Robson MC. Frostbite. Methods to minimize tissue loss. Postgrad Med

1990;88(8):67-8,73-7. 20. Smith and Nephew. Wound bed preparation. Available in website: http://www.worldwidewounds.com/2002/

april/Vowden/Wound-Bed-Preparation.html-41k-27Jul 2005 21. Krieger, Yuval MD; Rosenberg, Lior MD; Lapid, Oren MD; Glesinger, Ronen MD; Bogdanov-Berezovsky, Alex

MD, PhD; Silberstein, Eldad MD; Sagi, Amiram MD; Judkins, Keith hB[script phi]. Escharotomy Using an Enzymatic Debridement Agent for Treating Experimental Burn-Induced Compartment Syndrome in an Animal Model. Journal of Trauma-Injury Infection & Critical Care. 58(6):1259-1264, June 2005.

22. Webster ME, Altieri PL, Conklin DA, Berman S, Lowenthal JP, Gochenour RB. Enzymatic Debridement of 3rd degree burns on Guinea-Pigs by clostridium hystolyticum proteinases. J Bacteriol. 1962 March; 83(3): 602–608.

23. Types of Wound Debridement. Available in website: http://www.medicaledu.com/debridhp.htm-18k 24. Song C. Total EarlyBurn Management. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore):

Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005. 25. Song C. Total Early Wound Excision and Skin Cover. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society

(Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005. 26. Siang OY. Meta-Analysis of Early Excision of Burns. Patients. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing

Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

205

27. Banwell P. Modern Wound Care. Proceeding book. 3rd Meeting of the Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells and Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Aug 2005.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

206

Bab VII

2. Penatalaksanaan Luka II: Penutupan luka

Yefta Moenadjat David S. Perdanakusuma

asalah yang menjadi perhatian setelah prosedur eskarektomi adalah penutupan luka (proses epitelisasi). Pertanyaan yang perlu dijawab: “apakah luka akan mengalami

penyembuhan (yaitu penutupan luka, proses re-epitelisasi) dalam waktu 10hari?” (10 hari adalah tempo yang dikaitkan dengan insidens parut hipertrofik dan kontraktur). Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan kemampuan melakukan penilaian luka. Luka dengan kondisi apa yang dapat mengalami penyembuhan dalam waktu tersebut.

Luka bakar derajat dua superfisial biasanya mengalami penyembuhan spontan, dimana proses re-epitelisasi spontan dimungkinkan berlangsung. Seperti diketahui, proses re-epitelisasi ini tidak hanya berlangsung dari stratum germinativum di lamina basalis, namun juga dari apendises kulit. Pada luka derajat dua dangkal, penyembuhan dalam waktu 10-14 hari dimungkinkan; namun dibutuhkan waktu lebih lama pada kasus luka bakar derajat dua dalam.

Luka bakar derajat tiga dimana terjadi kerusakan jaringan ekstensif, termasuk dalam hal ini kulit dan organ-organ apindises kulit, yang menyebabkan proses re-epitelisasi hampir tidak mungkin terjadi.

Pada luka yang menutup (mengalami epitelisasi spontan) dalam waktu kurang dari 10 (sepuluh) hari, insidens parut hipertrofik dan kontraktur adalah sebesar 4%.

Sedangkan pada luka yang menutup (mengalami epitelisasi spontan) lebih dari 3 minggu, insidens parut hipertrofik dan kontraktur meningkat hampir 20 kali lipat (75-80%). Karenanya, pola tatalaksana luka mengacu pada prosedur penutupan dengan melakukan intervensi (skin grafting atau metode lainnya) bila diperkirakan luka akan

mengalami penutupan (epitelisasi spontan) lebih dari 3 minggu.

Berbagai jenis penutup luka antara lain: 1. Skin graft (auto-graft). Prosedur skin grafting menjadi prioritas pertama dalam

pemilihan sarana penutup luka, karena diyakini ”sebaik-baik penutup luka adalah kulit”. Pemilihan metode lainnya menjadi prioritas bila dijumpai ketrbatasan donor skin graft.

2. Allo graft dan xeno-graft 3. Biological dressing 4. Penutup sintetik

M

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

207

Skin grafting

Skin grafting adalah salah satu metode penutupan luka sederhana, yang merupakan salah

satu modalitas utama dalam ilmu bedah plastik. Pada kasus luka bakar di fase awal, skin grafting dikerjakan menggunakan Split Thickness Skin Graft (STSG). Metode ini diterapkan pada luka bakar; berdasarkan tujuan:

Menghentikan evaporative heat loss berlebihan yang menyebabkan gangguan metabolisme. Dalam mengatasi raw surface yang terjadi, diupayakan suatu penutup luka biologik terbaik bagi tubuh.

Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai waktu. Berkenaan dengan STSG yang relatif lebih mudah take dibandingkan Full Thickness Skin Graft (FTSG).

Kehilangan kulit yang luas pada luka bakar menyebabkan hilangnya barier kulit yang

berperan pada pengaturan penguapan dan mencegah infeksi mikroorganisme dari luar; menyebabkan penguapan berlebihan disertai kehilangan energi (panas, protein, dsb. lihat bab 3.2 perubahan metabolisme). Skin graft yang dilekatkan merupakan penutup luka terbaik. Sehingga dengan penutupan ini penguapan berlebihan dapat dihentikan. Proses epitelisasi (penutupan luka) merupakan bagian dari proses penyembuhan luka (fase kedua, fase fibroplasi). Dengan tertutupnya luka, proses berlanjut ke fase berikutnya, sehingga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dengan sendirinya menjadi lebih pendek. Hal ini tentunya akan menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut akibat proses peradangan yang berkepanjangan.

Penatalaksanaan

Beberapa hal menjadi perhatian dalam penatalaksanan prosedur skin grafting ini, antara lain : Penentuan timing operasi

1. Persiapan operasi, baik donor maupun resipien 2. Penentuan prioritas daerah yang memerlukan penutupan, sehubungan dengan

keterbatasan donor 3. Beberapa alternatif untuk mengatasi masalah keterbatasan donor. 4. Prosedur operasi 5. Perawatan pasca prosedur skin grafting

Timing operasi

Penentuan timing ini sangat penting, berkaitan dengan tujuan penutupan luka itu sendiri (lihat bab1, pendahuluan). Dengan melakukan eksisi dini dan melakukan prosedur skin grafting ini sesegera mungkin, keberhasilan prosedur akan tercapai, dengan sendirinya tujuan awal penatalaksanaanpun akan tercapai (lihat eksisi tangensial, eksisi dini pada penatalaksanaan luka I). Hal kedua yang menjadi catatan pada penentuan timing ini adalah pengertian yang berkenaan dengan prosedur melekatkan STSG. Pengertian ‘sesegera mungkin’ dapat dilakukan untuk ‘pengambilan donor’ STSG, namun STSG ‘dilekatkan’ selang beberapa waktu kemudian (delayed, penundaan), khususnya untuk luka bakar derajat tiga (lihat eksisi dini pada luka bakar).

Persiapan operasi

Persiapan donor, berlaku ketentuan sebagai mana prosedur skin grafting pada umumnya (termasuk menentukan lokasi donor, dsb.) Hal yang perlu dicatat disini adalah mengupayakan pengambilan donor STSG setipis mungkin. Persiapan resipien. Dalam hal ini perlu dicatat beberapa hal, antara lain :

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

208

Perlekatan donor dengan resipien akan semakin baik bila prosedur skin grafting ini dilakukan pada waktu yang optimal. Pengertian waktu yang optimal adalah dimana kondisi jaringan sudah cukup reaktif dan siap menerima donor. Dalam hal ini tidak menunggu jaringan granulasi; bahkan jaringan granulasi yang berlebihan akan sangat merugikan, karena terutama memengaruhi take dan kemungkinan terjadinya parut hipertrofik bahkan kontraktur. Sebagaimana diketahui, raw surface dengan jaringan granulasi berlebihan akan memproduksi eksudat yang berlebihan yang akan memengaruhi take STSG.

Proses eksudasi dimaksud juga sangat dipengaruhi oleh penggunaan jenis antiseptik tertentu, misalnya iodine povidon. Oleh karenanya, penggunaan pembalut steril dan penerapan dilusi beberapa hari sebelum prosedur akan memberikan hasil lebih baik.

Pada masa lampau, penentuan prioritas daerah yang memerlukan penutupan,

sehubungan dengan fungsi (dan estetik) dan keterbatasan donor, penutupan luka diprioritaskan pada bebrapa daerah tertentu yang dapat dilihat pada gambar berikut. Namun, menurut konsep yang kini dianut (mengacu pada SIRS dan MODS), seluruh jaringan nekrosis harus dibuang sebanyak mungkin (bila memungkinkan: eksisi total) dan penutupan luka di saat dijumpai keterbatasan donor merujuk pada pemanfaatan artificial-skin.

Gambar 179. Prioritas daerah tubuh yang memerlukan penutupan: muka dan kepala, tangan, siku, ketiak, lutut, kaki; mengacu pada rekonstruksi dan rehabilitasi yang berorientasi pada pengembalian fungsi. Dikutip dari Grabb and Smith’s Plastic Surgery 1st ed.1971

Prosedur operasi

Dengan keterbatasan donor maupun sarana, pengambilan donor tidak harus selalu menggunakan dermatom (pisau Humbyatau electric dermatome).

Prosedur eksisi seringkali diikuti penyulit seperti perdarahan. Dengan perdarahan dan berkumpulnya hematom, perlekatan STSG juga akan terganggu. Oleh karenanya pengendalian perdarahan sangat mutlak.

Beberapa alternatif dalam upaya hemostatik: Prinsip pertama dan utama: sebaik-baik sarana hemostasis pada jaringan luka adalah

kulit (misal: graft). Dengan melekatkan graft pada luka, berlangsung proses hemostatik efektif yang bersifat alami.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

209

Penggunaan kauter, biasanya tidak efektif karena bersifat difus, selang beberapa waktu selama dan pasca bedah akan terjadi perdarahan ulang (rembesan)

Aplikasi vasokonstriktor pada kasa lembab yang diletakkan sementara pengambilan donor (untuk hal ini harus dipertimbangkan dengan baik, karena bahaya toksisitas vasokonstriktor yang masuk ke dalam pembuluh darah yang terbuka); penulis tidak menganjurkan prosedur ini.

Penggunaan tie over dan / atau balut tekan yang efektif Semakin luas luka bakar, semakin harus diusahakan take 100%. Sehingga untuk ini, ada beberapa petunjuk keberhasilan untuk tindakan skin grafting ini antara lain: 1. Donor setipis mungkin 2. Bed (luka, resipien) cukup responsif, tak perlu menunggu jaringan granulasi (apalagi

jaringan granulasi yang tumbuh berlebuhan membentuk granuloma) 3. Pastikan kontak antara graft dan bed yang baik dan cukup lama, sampai jalinan hubungan

kehidupan terbentuk permanen. Cegah gerakan atau pergeseran, baik dengan pembalut elastik, tie over atau bahkan dibiarkan terbuka. 1) Drenase yang baik, 2) Gunakan kasa adsorben

Perawatan pasca prosedur skin grafting

Penilaian hasil prosedur skin grafting sangat ditentukan oleh langkah-langkah yang dilakukan pada prosedur itu sendiri (penentuan timing operasi, hemostasis, donor tipis, balut tekan, kasa adsorben, dsb). Bila proses eksudasi tidak berlebihan, biasanya penilaian hasil, sekaligus penggantian balutan dapat dikerjakan dalam waktu 5-7 hari pasca bedah. Sebaliknya, dengan eksudasi berlebihan; terlihat sebagai balutan yang ‘jenuh’, dalam 24-48 jam pertama pasca bedah dapat dilakukan pergantian balutan; selanjutnya disesuaikan kebutuhan.

Perawatan luka menerapkan prinsip-prinsip umum perawatan luka. Pemilihan alternatif metode dalam hal keterbatasan donor.

Luka bakar luas dihadapkan pada masalah keterbatasan donor STSG. Sehingga diperlukan beberapa alternatif untuk mengatasi hal ini, antara lain :

a Penggunaan metode stamp postage, dengan jarak antar setiap potongan STSG yang diperkirakan akan dapat mengalami proses epitelisasi spontan, umumnya diyakini berjarak < 1cm.

Gambar 180. Metode stamp postage (kanan) dibandingkan skingrafingt biasa. Diterapkan secara sederhana dengan meletakkan skin graft berjarak maksimal 1 cm; jarak yang diperkirakan dapat mengalami proses epitelisasi spontan pasca prosedur grafting. Foto: koleksi pribadi

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

210

b Penggunaan metode mesh grafting, merupakan penerapan sistim jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, (1:1 sampai 1:6) yang memungkinkan pemanfaatan kulit secara maksimal karena proses ekspansi.

Gambar 181. A. Mesh graft. STSG diekspansi (1:3 sampai dengan 1:6) menggunakan sebuah mesher (gambar B). Pada gambar C menunjukan mesh graft segera setelah dilekatkan dan gambar D menunjukan proses epitelisasi setelah 6 (enam) minggu. Foto: koleksi pribadi

c Penggunaan Cultured Epithelial Autograft-cells (CEA) dan artificial skin lainnya yang diuraikan secara detil pada halaman berikut.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

211

Cultured Epithelial Autograft cells (CEA) dan kulit sintetik lainnya

Cultured Epithelial Autograft-cells (CEA) merupakan kulit ‘artifisial’ yang dikultur

(dikembangkan) in-vitro dari donor sel-sel basal epidermis; ditujukan untuk menutup luka dan merangsang proses penyembuhan. Pada penelitian yang dilakukan sekitar tahun 1970-an CEA dapat tumbuh pada media yang baik untuk skin grafting; pertama kali diuji coba secara klinik pada tahun 1983. Pengembangan CEA ini didasari upaya-upaya untuk mengatasi kehilangan jaringan (kulit) terutama akibat luka bakar luas. Pada kondisi keterbatasan donor dan metode ekspansi jaringan, metode pengembangan CEA ini bermula.

Stem Cell dan Tissue Engineering

CEA merupakan langkah awal dari era tissue engineering yang dimulai sejak awal tahun 1980-an. Inti dari pengembangan jaringan ini adalah kepada sesuatu yang sangat mendasar yaitu stem cell. Stem cell

Stem cell adalah suatu jenis sel yang tidak memiliki struktur tertentu, membentuk berbagai sel dan jaringan tubuh; dibedahkan menjadi jenis embrional dan tipe dewasa. Pada tipe embrional, sel ini diperoleh pada blastocyst, membentuk ektoderm, endoderm dan mesoderm yang berkembang menjadi berbagai bentuk sel dan jaringan. Atas dasar kesamaan asal, berbagai jenis sel memiliki kesamaan dalam hal struktur dan fungsi, misalnya sumsum tulang dengan epidermis; oleh karenanya pada apilaksi klinik, pembentukan epidermis dimungkinkan dibentuk dari sumsum tulang. Tipe dewasa demikian pula halnya, tergantung tingkat diferensiasi sel: pluripoten, multipoten, progenitor dan sel itu sendiri. Pembentukan sel-sel baru dimungkinkan mengganti sel yang rusak atau mengalami perubahan oleh karena suatu penyakit tertentu (misalnya menggantikan sel-sel jantung yang iinfark, atau mengupayakan regenerasi sel-sel keganasan).

Selanjutnya, berbagai penelitian dilakukan, sebagaimana halnya dengan cloning membentuk sel-sel, jaringan, bahkan ujud suatu mahluk tertentu. Proses pembentukan jaringan artifisial melalui proses ini disebut tissue engineering.

Dalam bab penutup luka ini, pembahasan mengenai tissue engineering ini dibatasi hanya pada pembuatan kulit (epidermis dan dermis) artifisial.

CEA dikembangkan melalui tahapan-tahapan yang secara ringkas diuraikan sebagai

berikut; dimulai dari biopsi dilanjutkan isolasi dan kultur selektif terhadap keratinosit. Metode Rheinwald dan Green untuk preparasi CEA dilakukan dalam tiga tahap: a) Preparasi sel-sel penunjang. Pada lempeng berukuran 75cm2 yang dilapisi media

mengandung 10% serum kulit sapi, sel-sel miofibroblas 3T3 yang berasal dari tikus dapat tumbuh dengan densitas 2.5X104/cm2. Sebelum proses inokulasi keratinosit, dilakukan prosedur radiasi (sebagai sarana sterilisasi).

b) Persiapan keratinosit. Dilakukan biopsi keratinosit, kemudian trypsin-EDTA dibubuhkan ke dalam kultur keratinosit pada media mengandung 10% serum kulit janin sapi; dengan densitas 1-2X106/cm2 sel per lempeng.

Preparasi graft yang terdiri dari 4-6 lapis sel. Lembar CEA diangkat dari lempeng media

menggunakan enzim protease netral, untuk kemudian siap dilekatkan pada area resipien.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

212

Dengan dikembangkannya CEA ini diperoleh beberapa keuntungan, khususnya menurunkan kebutuhan dan morbiditas donor. Namun untuk pengembangannya diperlukan biaya dan teknologi yang sangat mahal.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan bidang kedokteran, dihasilkan beberapa jenis CEA; yang mengandung komponen epidermis dan komponen dermis (composite graft). Pengembangan juga mencakup ke arah penggunaan komponen allograft, baik dari kadaver maupun dari hewan. a) Pengembangan bahan yang ekivalen dengan kulit hidup. b) Kombinasi keratinosit autolog dengan komponen dermis manusia, baik yang hidup

maupun mati. c) Kombinasi keratinosit autolog dengan matriks makromolekular. Fisiologi klinik

CEA ini menggantikan epidermis, dan hanya epidermis. Graft keratinocyte demikian tipis, fragile dan tidak memiliki komponen dermal yang diduga berperanan penting pada proses penyembuhan.

Aplikasi CEA menghasilkan pertumbuhan lapis epidermis permanen. Dalam waktu 6 hari, secara klinik tampak sebagai suatu lapisan tipis halus, mengkilat. Secara histologik, pembentukan dermo-epidermal junction terjadi dalam waktu 3-4 minggu, sedangkan rete pegs terbentuk dalam waktu 6-12 bulan. Melanosit dapat tumbuh pada CEA ini, namun tidak berfungsi selama periode waktu yang cukup lama. Sementara regenerasi densitas kulit normal membutuhkan waktu 4-5 tahun. Aplikasi klinik

CEA ini diindikasikan pada luka sedalam dermis (deep-partial thickness) yang membutuhkan skin grafting. Pada luka bakar, diindikasikan pada luka bakar luas; yang diperkirakan tidak dapat mengalami re-epite;isasi (spontan) dalam waktu 10 hari (lihat eksisi dini dan skin grafting ).

Pada kesempatan pertama melakukan pencucian luka (kondisi hemodinamik belum stabil) atau pada prosedur eksisi tangensial (kondisi hemodinamik stabil), diambil sampel epitel untuk dikembangkan (kultur). Epitel seluas 1 cm2 dikembangkan menjadi satu lempeng (cawan datar berdiameter 10cm) dan siap dilekatkan ke area resipien setelah 3 (tiga) minggu. Masalah yang dijumpai pada penggunaan CEA di klinis antara lain: 1. Kesulitan melepaskan CEA dari lempeng media (tipis, rapuh), meskipun menggunakan

enzim protease netral. 2. Penggunaan media yang sekaligus berfungsi sebagai sarana transportasi, yaitu membran

poliuretran yang bersifat hidrofilik (Hydroderm®, Wilshire medical, Inc. Dallas, Tx) 3. Lapisan ini lebih mudah take dibandingkan STSG. Namun, oleh karena hanya terdiri dari 4-

6 lapis sel, dan komponen dermis (rete pegs) baru mulai terbentuk dalam waktu 4-6 minggu, CEA ini tidak tahan terhadap gaya gesek maupun tekan; sehingga mudah lepas. Untuk mengatasi masalah ini diupayakan penggunaan lem fibrin dan atau pemanfaatan komponen dermis artifisial (misal, AlloDerm dan Integra ). Mudahnya CEA terlepas dari lapisan dibawahnya juga diduga oleh karena adanya perubahan sifat dari asam hialuronat pada lapisan epidermis. Asam hialuronat berperan memengaruhi sel dalam hal motilitas, adhesi dan pelepasan sel; mengalami kerusakan akibat radiasi. Oleh karenanya dipikirkan untuk tidak melakukan radiasi pada preparasi media (tahap I) dan menambahkan Fibronektin (zat anti fibrinolitik) dan Growth hormone.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

213

Berdasarkan masalah-masalah yang dijumpai pada penerapan klinis, penggunaan CEA akan lebih optimal bila digabung dengan penggunaan mesh grafting dan atau komponen dermis (baik auto-allo maupun sintetis).

Skin substitute

Penemuan dan pengembangan artificial skin substitute baik yang berupa allograft maupun sintetik membawa era baru dalam manajemen luka yang dihadapkan pada permasalahan terbatasnya donor. Di China, banyak digunakan skin substitute yang bersifat temporer maupun permanen berasal dari kadaver (allograft) maupun kulit babi (xeno-graft); epithelial layer dan full thickness component. Tidak diperoleh banyak literatur yang menjelaskan organic skin substitute ini.

Beberapa artificial synthetic skin substitute dikembangkan dan memberi manfaat, antara lain Epicel (Dr.Green, Cambridge, Massachusetts) adalah salah satu contoh hasil pengembangan CEA yang merupakan komponen epidermis yang berasal dari kulit pasien (autograft). AlloDerm (Dr. Charles Baxter, LifeCell Corp., The Woodlands, Texas) adalah contoh pengembangan CEA yang mengandung komponen dermis allograft yang berasal dari kadaver; dan komponen dermis ini telah menjalani proses pengurangan sel-sel yang potensial dalam reaksi imun. Sedangkan Integra (Marion Laboratories, Kansas City, Missouri) merupakan hasil penggabungan komponen dermis bovin dengan lembar silikon tipis menyerupai epidermis. Pemanfaatan artificial skin substitute ini tidak mudah dan digabung bersama mesh graft atau Epicel dsb. Skin tissue engineering: produk komersial

Berbagai produk skin tissue engineering dapat dibagi menjadi tiga kategori tergantung tujuan utamanya. Perbedaan diantara ketiganya adalah lapisan kulit. 1. Cultured epidermal grafts

Merupakan skin substitutes yang terdiri dari (hanya) epidermis. Graft epidermal ini berasal dari sel-sel kulit pasien sendiri sehingga tidak mengalami penolakan. Dimulai dengan pengambilan sedikit kulit pasien (2X3cm) untuk kemudian dikembangkan menjadi lapisan kulit (epidermis) yang diperlukan (mencapai 100% luas permukaan tubuh). Prosenya membutuhkan waktu 16 hari. Untuk menghasilkan suatu epidermal graft, sel-sel yang diperoleh melalui biopsi kulit sehat di-isolasi dan ditempatkan pada sebuah cawan, kebutuhan nutrisi dipenuhi sehingga memungkinkannya tumbuh menjadi selembar jaringan berukuran 10X12 cm. Bila proses kultur jaringan selesai, epidermal graft diletakkan pada sehelai surgical dressing material dan dikirim ke sentrum pelayanan untuk prosedur transplantasi. Daya tahan hidup sel ini berkisar 24 jam, sehingga memungkinkan pengiriman. Laboratorium jaringan saat ini tercatat di Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang, dan Singapore. Karena termasuk dalam kategori yang merupakan prosedur medik, produknya tidak memerlukan FDA approval. Produk

Nama produk : Epicel®, Genzyme Biosurgery, Cambridge, MA. Pertama digunakan : 1987, oleh BioSurface Technology BioSurface Technology was acquired by Genzyme Tissue Repair 1994. Indikasi : Epicel digunakan pada kasus-kasus luka bakar derajat tiga dengan luas

sekurang-kurangnya 50%.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

214

Gambar 182. EpicelTM Dikutip dari spesifikasi produk 2. Dermal replacements

Penyembuhan luka bermula dari sel itu sendiri (stem cells kulit terletak di lapisan dermis,

kolagen dan fibroblas). Dengan demikian, untuk memperoleh kemampuan penyembuhan kulit, lapisan dermis ini memerlukan restorasi. Lebih lanjut, dengan adanya lapis dermis ini, pengembalian fungsi epidermis dapat diupayakan melalui pemanfaatan artificial temporary replacements (misalnya films) yang selanjutnya digantikan oleh STSG yang dapat tumbuh dengan mudah.

Berdasarkan hal ini, maka para ahli dan pengembang terfokus pada pengembangan dermal replacement ini. Aplikasinya, dermal replacement dikombinasi dengan epidermal synthetic layer.Untuk tindakan rekonstruksi, lapis epidermis dibuang dan digantikan dengan thin skin graft. Produk

Nama produk : Alloderm®, Life cell, Branchburg, NJ. Pertama kali digunakan : 1994 (FDA approval not needed). Indikasi : Luka bakar dalam, atau luka lain dengan kedalaman full thickness,

atau penggantian jaringan lunak. Donor Alloderm berasal dari jaringan manusia yang diproses17 saat melakukan pembuangan sel-sel epidermal dan dermal dalam preservasi matriks dermal. Karenanya Alloderm tidak memiliki lapisan epidermis. Proses pembuatannya terdiri dari 3 tahap: Tahap 1: Pembuangan epidermis.

Seluruh lapis epidermis dibuang termasuk bagian yang melekat dengan dermis, sementara membran basal tetap dipertahankan.

Tahap 2: Solubilisasi sel. Sel-sel dermis dibuang menggunakan detergen molekul rendah yang tidak menyebabkan denaturasi sementara matriksnya dipertahankan stabilisasinya dengan menghambat efek metalloproteinase. Kegagalan pembuangan seluruh sel ditandai dengan kerusakan / kematian jaringan yang akan menimbulkan proses penolakan jaringan.

17 Telah melalui screening terhadap infeksi termasuk HIV

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

215

Tahap 3: Preservasi kering. Jaringan dikeringkan secara khusus (freeze-dried) dalam upaya preservasi integritas biologis dermal matrix, eliminasi pembentukan kristal es yang biasa menyertai proses freeze-drying standar. keseluruhan proses diselenggarakan dibawah supervise US Tissue Banks, American Association of Tissue Banks (AATB) dan FDA; tidak memerlukan FDA approval.

Nama produk : Integra Dermal Regeneration Template®, Integra Life Science

Corporation, Plainsboro, N.J. Pertama kali digunakan : Luka bakar: 1996 and Kontraktur luka bakar: 2002.

Indikasi : Luka bakar dalam, rekonstruksi parut kontraktur.

Gambar 183. Teknik aplikasi Integra pada kasus luka bakar seluas 40% disertai cedera inhalasi. A. Meshed Integra diletakkan di atas fasia setelah prosedur eksisi di lengan (LB 3o) B. Penutupan Integra menggunakan silastic dan 2 minggu kemudian dilakukan pembuangan lapis silastic digantikan dengan thin epithelial grafts. C.1 minggu setelah prosedur grafting dengan take >90%. D.Follow-up setelah 4-tahun. Dikutip dari spesifikasi produk

Integra® Dermal Regeneration Template merupakan suatu sistim regenerasi kulit dua-

lapis” lapis pertama bagian luar (epidermal) dibuat dari suatu silastic membrane tipis dan lapis dalam (dermal) merupakan kompleks yang terbentuk dari cross-linked fibers matrix kolagen tendon bovin dan hiu. Materi yang bersifat porous ini berperan sebagai scaffold untuk berlangsungnya proses regenerasi sel-sel dermal, yang memungkinkan proses pertumbuhan (-kembali) lapis dermal fungsional. Sekali lapis dermal mengalami regenerasi, lapis silastic dipermukaan dibuang dan digantikan oleh epidermal skin graft. Template Integra dapat digunakan pada kasus-kasus luka bakar yang tergolong life-threatening sementara donor untuk skin graft tidak diperoleh atau tidak / belum memungkinkan karena kondisi pasien. Integra juga dapat dimanfaatkan untuk rekonstruksi jaringan parut yang disebabkan luka bakar. Sejak Juni 1999, Integra secara eksklusif dipasarkan dan didistribusikan ke seluruh dunia oleh Johnson & Johnson Medical.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

216

Nama produk : Dermagraft®, Smith and Nephew Wound Management, La Jolla, CA. Pertama digunakan

: Ulkus: 2001. Dystrophic Epidermolysis Bullosa (DEB): 2003. The FDA approved Dermagraft untuk digunakan pada manusia dengan DEB.

Indikasi : Ulkus diabetikum pada tungkai. Ulkus yang tidak melibatkan tendon, otot , kapsul sendi atau tulang. Luka-luka pada kasus DEB.

Gambar 184. Dermagraft Dikutip dari spesifikasi produk Dermagraft dikembangkan oleh Advanced Tissue Sciences, La Jolla, CA. bekerjasama

dengan Smith & Nephew. Advanced Tissue Sciences kemudian menjual sahamnya dalam bentuk Dermagraft® kepada Smith & Nephew di bulan November 2002 karena bangkrut. Dermagraft diproses melalui cryopreserved human fibroblast-derived dermal substitute yang terbentuk dari fibroblas, extracellular matrix, dan suatu bioabsorbable scaffold. Dermagraft tidak memiliki lapis luar dan diproduksi melalui 3 tahapan: Tahap 1: Sel-sel Human fibroblast dii-ekspan dan ditaburkan (seeded) pada suatu bioabsorbable polyglactin scaffold. Sel-sel tersebut telah melalui pemeriksaan terhadap bakteria, virus, fungi, dan mycoplasma. Tahap 2: Sel-sel yang dilekatkan pada scaffold digandakan untuk mengisi ruang di scaffold. Tahap 3: Sel-sel mengalami divisi dan tumbuh menghasilkan human growth factors, cytokines, extracellular matrix protein dan GAGs. Produk akhirnya adalah suatu bentuk human dermal substitute tiga dimensi melalui proses cryopreservasi mengandung sel-sel yang memiliki aktivitas metabolisme.

Bila Dermagraft diaplikasikan, luka ditutup dengan suatu non-adherent dressing. Setelah 3-

4 minggu, scaffold larut dan lapis epithel alami tumbuh. Produk sebelumnya yaitu Dermagraft TC, telah disetujui untuk dipasarkan untuk suatu penutup luka partial-thickness burns (1997). Dermagraft TC ini terbentuk dari silicone polymer epidermal layer di bagian atas dan dermal layer yang diuraikan di atas. Telah digunakan untuk penutupan luka temporer pasca eksisi luka bakar, lapis luar dibuang dan digantikan STSG. 3. Composite grafts

Nama produk : Apligraf®, Organogenesis, Canton, MA FDA approval : Ulkus venosa: 1998, ulkus diabetikum:1998 Indikasi : Pengobatan ulkus dengan kedalaman partial thickness dan full thickness; termasuk

ulkus diabetikum pada tungkai yang mengenai dermis namun tidak pada tendon, otot, kapsul sendi atau tulang.

Apligraf merupakan suatu living skin substitute dua-lapis yang diproduksi dari human neonatal foreskin tissue. Lapis dermis terdiri dari fibroblas bovine Type I collagen lattice

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

217

sementara lapis epidermis dibentuk dari keratinosit yang memiliki sifat well-differentiated stratum corneum.

Gambar 185. Apligraf Dikutip dari spesifikasi produk

Safety precautions: Foreskin donor’s mother itelah menjalani pemeriksaan terhadap virus, termasuk

antibodinya (HIV-1), (HIV-2), (HTLV-1), hepatitis C virus (HCV), hepatitis B surface antigen (HbsAg), dan syphilis. Bank fibroblas dan keratinosit juga telah menjalani pemeriksaan terhadap berbagai virus manusia maupun hewan, retrovirus, bakteria, fungi, yeast, mycoplasma, karyology, isoenzymes, dan tumorigenicity. Manufacturing process:

Fibroblas ditempatkan pada suatu membran semipermeabel terhadap bovine type I collagen. Setelah masa inkubasi 6 hari, dimana fibroblas membentuk matriks protein dan saling melekat dengan filament-filamen kolagen, keratin ditebarkan pada matriks dan menunggu 4-5 hari untuk mencapai masa inkubasinya (10 hari). Setelah 10 hari keratinosit terpapar pada suatu air-liquid-interface, masih dibutuhkan 11 hari untuk memungkinkan produk ini dipakai, dan bertahan selama 5 hari dalam kemasan. Apligraf dikemas dalam suatu cawan sirkular berukuran diameter 75mm dan ketebalan 0.75mm dalam medium agar. Produk final

Apligraf tidak mengandung sel-sel Langerhans, melanocytes, macrophages, lymphocytes, pembuluh darah atau folikel rambut. Apligraf tidak mengandung matriks protein, cytokines dan growth factors yang terdapat di kulit manusia seperti: TGF-a, TGF-b1, TGF-b2, IL-1,-6, -8, -11, interferon-a,b, IGF-1 dan PDGF. Produk final ini telah menjalani pemeriksaan-pemeriksaan terhadap morfologi, viabilitas, epidermal coverage, sterilitas, mycoplasma, dan physical container integrity.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

218

PRODUCT INDICATIONS FOR USE CLINICAL CONSIDERATIONS

Cultured Epidermal Grafts

Epicel For treatment of deep dermal or full-thickness wounds where sufficient donor sites are unavailable.

- Cultured keratinocytes can be grown in 3 weeks - Graft take varies from poor to fair - Process is expensive - Grafts extremely fragile and may remain so for

months after grafting

Dermal Replacements

AlloDerm For treatment of full-thickness burns and use in plastic and oral surgery

- Immunologically inert - Allows for immediate wound closure with thin

epidermal autografting during same procedure - Postoperative dressing may remain in place for 14

days or longer

Integra For treatment of life-threatening full-thickness or deep partial-thickness thermal injury where sufficient autograft is not available at the time of excision or not desirable due to the physiologic condition of the patient

- Provides immediate postexcisional physiologic wound closure

- Allows the use of a thin epidermal autograft of 0.005 inch

- Must remain in place for 21 days before epidermal autografting; must be protected against shearing forces and mechanical dislodgment

- Contraindicated in patients with a known hypersensitivity to bovine collagen or chondroitin materials

- Contraindicated in the presence of infection

Dermagraft For treatment of foot ulcers in diabetic patients (Canada and United Kingdom); clinical trials ongoing in the United States for treatment of diabetic foot ulcers

- Applied weekly for up to 8 weeks to promote healing - Does not require additional autografting

Composite Grafts

Apligraf For use in conjunction with standard compression for treatment of noninfected partial- and full-thickness skin ulcers due to venous insufficiency of greater than 1 month's duration that have not adequately responded to conventional ulcer therapy; for use with conventional diabetic foot ulcer care in the management of diabetic foot ulcers of greater than 3 weeks' duration

- Does not require additional autografting - Contradicted for use on clinically infected wounds, in

patients with a known allergy to bovine collagen, and in patients with a known hypersensitivity to the contents of the agarose shipping medium

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

219

Pembalut dan penutup luka lain

Berbagai penutup luka dapat digunakan pada kasus luka bakar; masing-masing memiliki khasiat khusus, untuk tujuan khusus pula. Umumnya, terdiri dari pembalut yang memiliki daya absorben untuk luka-luka yang eksudatif dan kurang eksudatif. Selain faktor eksudat, beberapa khasiat lain kerap ditambahkan, misalnya antibiotika atau zat-zat lain yang diperlukan untuk stimulasi proses penyembuhan (penutupan) luka. Dari struktur dan materinya, dibedakan pembalut yang merupakan bahan organik dan sintetik.

Berbagai sarana penutup luka sintetik dikembangkan berkenaan dengan permasalahan yang dijumpai: 1. Kesulitan (khususnya berkaitan dengan tingginya biaya 2. Kesulitan memperoleh (khususnya berkaitan dengan tingginya biaya) organic maupun

synthetic skin substitute.

Biological dressing

Sebagaimana namanya, penutup biologis merupakan alternatif penutup luka terbaik setelah kulit, namun tentu tidak sebaik kulit karena masih mungkin timbul atau terjadi mekanisme penolakan. Penutup biologis yang umum digunakan adalah plasenta; berperan sebagai: 1) penutup luka dan 2) merangsang pertumbuhan epitel karena mengandung growth factor.

Plasenta dilekatkan pada raw surface setelah pencucian luka dan diupayakan kelembabannya terjaga dalam 24 jam sehari. Dalam beberapa hari plasenta mongering dan perlu diganti.

Beberapa tahun terakhir diupayakan suatu kemasan plasenta siap pakai yang telah melalui prosedur sterilisasi menggunakan radiasi dan telah dipasarkan di Indonesia oleh Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) dalam berbagai ukuran; memudahkan para klinisi untuk menerapkan metode ini. Tidak banyak literatur yang mendukung penelitian tentang pemanfaatan plasenta ini. Namun, dengan adanya kandungan Growth Factor, plasenta digunakan sebagai suatu sarana penutup yang merangsang peruses penyembuhan. Kasa: pembalut konvensional

Kasa (gauze) telah lama digunakan sebagai sarana penutup luka dan termasuk metode konvensional. Kasa dimaksud memiliki kapileritas dan bersifat hidrofilik (adsorben); ditujukan untuk menyerap eksudat.

Penggantian balutan menjadi suatu fokus perhatian dikaitkan dengan beberapa hal, antara lain: 1) Serat-serat kasa (kasa dengan kualitas kurang baik) tertinggal di luka dan merupakan benda asing yang menyebabkan iritasi dan memicu proses inflamasi, 2) perlekatan kasa dengan luka menyebabkan kesulitan saat pergantian; selain bersifat traumatis terhadap luka juga menyebabkan nyeri saat pergantian.

Untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut, digunakan tulle (grass) yang dibubuhi vaselin (petroleum product) dan sebagai upaya mengatasi problem infeksi, antimikroba kerap ditambahkan. Permasalahan lain muncul dengan penggunaan tulle ini, antara lain: 1) resistensi antimikroba (lihat pemberian antibiotika pada luka bakar), 2) suatu hal yang tanpa disadari bertentangan dengan prinsip-prinsip proses penyembuhan luka alami. Prinsip dimaksud adalah sebagaimana dibahas berikut. Prinsip penatalaksanaan luka untuk mengupayakan penyembuhan adalah menciptakan suasana kondusif; sebagaimana luka basah diperlakukan dengan cara atau metode basah (lembab), luka kering diperlakukan dengan cara (metode)

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

220

perawatan kering pula. Perawatan luka basah (eksudatif) menggunakan zat-zat dengan vehikulum berbasis air (water base) seperti liquid, solution atau krim. Sedangkan perawatan luka kering menggunakan zat-zat dengan vehikulum berbasis minyak (petroleum product) seperti salep, ointment dan lainnya. Berbagai produk tulle yang beredar di pasar sampai saat ini hampir kesemuanya menggunakan vehikulum berbasis petroleum product; vaselin dsb dan hal ini tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang disebutkan sebelumnya. Disayangkan pula, bahwa penggunaan tulle ini dianggap sebagai suatu standar perawatan luka. Bahwa sebagai suatu sarana mencegah perlekatan kasa dengan luka, penggunaan tulle ini merupakan solusi yang baik; namun penggunaan petroleum product merupakan penerapan yang keliru.

Gambar 186. Berbagai bentuk dan ukuran hydrophyllic gauze (atas) dan tulle (bawah) Saat ini diyakini bahwa perawatan kelembaban luka (moist dressing) merupakan suatu

metode yang terbaik untuk proses penyembuhan (catatan: lembab, bukan basah). Dengan kelembaban ini, proses inflamasi diredam, proses fibroplasias dan apitelisasi menjadi lebih baik. Untuk mengupayakan kelembaban luka, kasa dibasahi kemudian diperas. Saat kasa mongering, kasa dilembabkan kembali dengan cara menggantinya atau menetesi air secukupnya.

Kelembaban juga dapat diupayakan dengan aplikasi krim pelembab (moisturizer) sesering mungkin. Beberapa jenis krim pelembab banyak diperoleh di pasar dapat digunakan untuk tujuan tersebut.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

221

Gambar 187. Berbagai krim pelembab di pasar. Berbentuk krim murni, maupun dibubuhkan zat-zat hemostasis dan antiseptikum (Feracrylum). Dikutip dari spesifikasi produk

Synthetic dressing dan penutup luka lainnya 1. Penyerap eksudat

Banyak produk pembalut yang memiliki khasiat sebagai adsorben. Yang paling sederhana adalah kasa hidrofil. Produk khusus diperuntukkan bagi luka bersifat eksudatif dan kurang eksudatif.

Gambar 188. Aquacel Dikutip dari spesifikasi produk

Madu sampai saat ini masih banyak digunakan untuk perawatan luka; review dari beberapa RCT menunjukan bahwa madu baik untuk proses penyembuhan luka. Selain menyediakan energi yang diperlukan, madu memiliki khasiat menyerap eksudat.

Gambar 189. Madu masih digunakan untuk perawatan luka dan menunjukan presentasi perbaikan di atas rata-rata (kontrol) secara bermakna. Dikutip dan disadur dari Namias N. Honey in management of infections. Surgical infections. Available in website: http://www.medscape.com

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

222

2. Mengatasi bau tidak sedap Produk ini memiliki khasiat selain menyerap eksudat, juga menetralisir bau kurang sedap

dari luka, misalnya Lyofoam .

Gambar 190. Lyofoam Dikutip dari spesifikasi produk

3. Mengandung zat autolytic Beberapa produk dipasar diperoleh merupakan kombinasi dari pembalut adsorben,

dibubuhkan enzim autolitik (kolagenase, protease, dsb) untuk tujuan melepaskan jaringan nekrosis dari luka (lihat enzymatic debridement)

4. Mengandung zat antiseptik dan atau antibiotika

Beberapa produk dipasar diperoleh merupakan kombinasi dari pembalut adsorben, dibubuhkan zat antiseptik maupun antibiotika untuk mengatasi problema infeksi. Acticoat adalah pengembangan suatu jenis synthetic dressing merupakan pembalut yang berperan sebagai pembawa silver (antimikroba). Dengan sistim nanocrystall-silver dilepas secara kontinu. Aplikasi pembalut ini mengacu pada moist dressing, perlu dibasahi setiap waktu. Balutan diganti dalam waktu 3-5 hari. Catatan mengenai pemanfaatan nanocrystall-silver ini justru menghindari efek negatif dari sulfadiazine, yaitu terbentuknya metalloproteinase yang menyebabkan terhambatnya penyembuhan luka.

Gambar 191. Acticoat dengan nano-crystalline-silver. Dikutip dari spesifikasi produk

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

223

Gambar 192. Acticoat dan khasiat yang ditawarkannya mengungguli Silver Sulfadiazine. Banyak keuntungan diperoleh dengan pembalut ini sehingga disebut-sebut sebagai smart dressing, sayang harganya cukup mahal. Dikutip dan disadur dari spesifikasi produk

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

224

Gambar 193. Vacum Assisted Closure (VAC ) dari KCI. Dikutip dari spesifikasi produk 5. Menggunakan metode vakum

Dalam tahun-tahun terakhir diyakini bahwa kondisi hampa udara pada luka merupakan sarana penyerap eksudat sehingga tercipta suasana kondusif bagi penyembuhan luka. Pembalutan menggunakan metode hampa udara ini ditawarkan oleh KCI dengan merk dagang Vacum Assisted Closure (VAC) . Dengan VAC, luka dipertahankan kelembabannya (termasuk caian interstisium); materi asing dan zat-zat infektif ditiadakan sehingga tercipta suasana luka yang uniform, jaringan granulai dipromosi, sehingga berlangsungnya proses epitelisasi dipermudah. Bahan Bacaan 1. Wright JB, Kan Lam, Buret AG, Olson ME. Burrell RE. Early healing events in a porcine model of

contaminated wounds: effects of nanocrystalline silver on matrix metalloproteinases, cell apoptosis, and healing Wound Repair and Regeneration 2002: 10(1); p.141-151.

2. Graham JS, Chilcott RP, Rice P, Milner SM, Hurst CG and Maliner BI. Wound Healing of Cutaneous Sulfur Mustard Injuries: Strategies for the Development of Improved Therapies. Journal of Burns and Wounds [serial line] 2004:4(1)1. Available from url://www.journalofburnsandwounds.com

3. Demling RH, The Role of Anabolic Hormones for Wound Healing in Catabolic States. Journal of Burns and Wounds [serial online] 2005;3(1):11. Available from: URL: http://www.journalofburnsandwounds.com

4. Danielson, JR and Walter, RJ, Case Studies: Salicylic Acid (Avosil®) and Hydrogel (Avogel®) may be Useful in Limiting Scar Formation. Journal of Burns and Wounds [serial online] 2005:4(6):119. Available from: URL: http://www.journalofburnsandwounds.com

5. Poindexter BJ, Immunofluorescence, Deconvolution Microscopy and Image Reconstruction of Human Defensins in Normal and Burned Skin. Journal of Burns and Wounds [serial online] 2005:4(7):128.Available from: URL: http://www.journalofburnsandwounds.com]

6. Riley KN and Herman IM, Collagenase Promotes the Cellular Responses to Injury and Wound Healing in vivo. [serial online] 2005:4(8):141. Available from: URL: http://www.journalofburnsandwounds.com

7. Heimbach D, Mann R, Engrav L. Evaluation of the Burn Wound. Management Decisions. Total Burn Care 1996;81-86.

8. Janzekovic Z. A new concept in the early excision and immediate grafting of burns. J Trauma 1970:10 1103-8 9. Janzekovic Z. The burn wound from the surgical point of view. J Trauma 1975:15 42-61 10. Herndon DN, Barrow RE, Rutan RL, et all : Comparison of conservative versus early excision. Ann Surg

1989; 209:547553 11. Still Jr. Joseph M, Edward J. Decreasing length of hospital stay by early excision and grafting of burns.

Southern Medical Journal, Jun 96 Vol 89 Issue6, p578 12. Wood F. Early burn excision. Oral presentation at the Indonesian surgeon association congress. Bali,

Indonesia, July 1996. 13. Wolfe RR, Desai MH, Herndon DN. Metabolic response to excision therapy, The art and science of burn care,

Ch.19, p:145 14. Perdanakusuma DS, Sudjatmiko G. Immediate atau delayed skin grafting? Bagian ilmu bedah FKUI / RSUPN

Dr Cipto Mangunkusumo, Jakata, 1995. 15. Tamba RP, Moenadjat Y. Skin grafting pada kasus trauma: evaluasi selama lima tahun. Bagian Ilmu Bedah

FKUI / RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakata, 1998 Skin grafting 1 Aston SJ, Beasley RW, Thorne CHM. Grabb & Smith's plastic surgery. Philadelphia: Lipincott Raven, 1997;

161. 2 Cohen M, Goldwyn, RM. Mastery of surgery, mastery of plastic and reconstructive surgery, vol.I. Boston:

Little Brown and Company, 1994; 403. 3 Converse, JM, McCarthy, JG, Littler, JW. Reconstructive plastic surgery, 2nded. vol. I. Philadelphia: WB

Saunders Company, 1977; 483. 4 Dimick AR. Burn and cold injury. In: Hardy’s textbook of surgery. Philadelphia: JB Lippincott company, 1983;

177 5 Janzekovic Z. A new concept in the early excision and immediate grafting of burns, J Trauma 1970:10 1103-

8 6 Janzekovic Z. The burn wound from the surgical point of view, J Trauma 1975:15 42-61

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

225

7 Klasen HJ. Early care of the burn patient. Oral presentation in Burn symposium and workshop. Jakarta: Unpublished, 1995.

8 MacGill KA. Overview of burn reconstruction. Oral Presentation in Pediatric Plastic Surgery. Melbourne: Royal Children’s Hospital, Unpublished, 1977.

9 Perdanakusuma DS, Sudjatmiko G. Immediate atau delayed skin grafting?, Jakarta: Bagian Ilmu Bedah FKUI / RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Unpublished, 1995.

10 Sauer EW. Surgical treatment of burn wounds. Oral presentation in Burn symposium and workshop. Jakarta: Unpublished, 1995.

11 Settle JAD. Principles and practice of burn management. NewYork: Churchill Livingstone, 1996; 275. 12 Tamba RP, Moenadjat Y. Skin grafting pada kasus trauma, evaluasi selama lima tahun. Jakata: Bagian Ilmu

Bedah FKUI / RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Unpublished, 1998. 13 Holmes JH, Honari S, Gibran NS. Excision and Grafting of the Large Burn Wound. in Soper NJ. Problems in

General Surgery: Burns. 2003, 20(1): p47-54 CEA 1. Aston SJ, Beasley, RW, Thorne CHM. Grabb & Smith's plastic surgery. Philadelphia: Lipincott Raven, 1997;

161. 2. Cohen M, Goldwyn, RM. Mastery of surgery, mastery of plastic and reconstructive surgery, vol.I. Boston:

Little Brown and Company, 1994; 403. 3. Fei X, Seah CS, Lee ST. Human keratinocytes for burn patients – a preliminary report, J Trauma, July 1991,

vol 20 No.4. 4. Lee ST. Cultured epithelial autograft and skin equivalent. Oral presentation in Pediatric Plastic Surgery.

Melbourne Royal Children’s Hospital, Unpublished, 1977. 5. MacGill KA. Overview of burn reconstruction. Oral presentation in Pediatric Plastic Surgery. Melbourne: Royal

Children’s Hospital, Unpublished, 1977 6. Wood FM. Early burn excision. Oral presentation at the Indonesian Surgeons Association Congress. Bali:

Unpublished, 1996. 7. Settle JAD. Principles and practise of burn management. NewYork: Churchill Livingstone, 1996; 345. 8. Wolf SE. Cultured Cells and Their Utility in Massive Burn. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing

Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

Skin Substitute dan tissue engineering 1. Skin substitutes. Available in website http://www.burnsurgery.org 2. Synthetic skins. Available in website http://www.ameriburn.org 3. Drossou A, Fallabela A, Kirsner RS. Antiseptics on wound: an area of controversy. Wounds 4. Enoch S, Harding K. Wound Bed Preparation: The Science behind the Removal of Barriers to Healing.

Wounds 15(7):213-229, 2003. © 2003 Health Management Publications, Inc. 5. Demling RH, DeSanti L. Closure of Partial-Thickness Facial Burns With a Bioactive Skin Substitute in the

Major Burn Population Decreases the Cost of Care and Improves Outcome. Wounds 14(6):230-234, 2002. © 2002 Health Management Publications, Inc.

6. Barrandon Y. Multipotent Cells and the Reconstructyion of the Skin. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

7. Lane EB. How Keratin Filaments Contribute to Stress Resistance. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

8. Phan TT. Isolation, Cultivation, Characterization and Utilization of Umbilical Cord Membrane-derived Epithelial and Mesenchymal Stem/Progenitor Cells; A Noval Source of Stem Cells for Regenerative Medicine, Cell-based Therapy and Tissue Engineering. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

9. Raghunath M. Matrix Enhancement: Novel Strategies to increase Extracellular Matrix Content of Engineered Tissue. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

Dressing 1. Burrell RE, Heggers JP, Davis GP. Efficacy of Silver-coated dressing as Bacterial barriers in a rodent burn

sepsis model. Wounds: 1999, 11(4);64-71.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

226

2. Wright JB, Kan Lam, Buret AG, Orlon ME, Burrell RE. Early healing events in a porcine model of contaminated wounds: effects of nanocrystalline silver on matrix metalloproteinases, cell apoptosis, and healing. Wound Rep Reg 2002;10:141–151

3. Kirsner RS, Orsted H, Wright JB. The role of Silver in wound healing: Matrix metalloproteinases in normal and impaired wound healing, the potential role of nanocrystalline silver . Wounds 2003: 13(3) May/June Suppl. C

4. Wright JB, Kan Lam, Buret AG, Orlon ME, Burrell RE. Is Antimicrobial Efficacy Sufficient? A Question Concerning the Benefits of New Dressings. Wounds 2003;15(5):133–142

5. Dow G. Et al. Infection in chronic wounds; controversies in diagnosis and treatment. Ostomy / Wound Management 1999;45(8):23-40.

6. Sibbald RG. Et al. Preparing the Wound Bed - Debridement, Bacterial Balance, and Moisture Balance. Ostomy/Wound Management 2000;46(11):14-35.

7. Staiano-Coico L. Et al. Wound Fluids: A Reflection of the State of Healing. Ostomy / Wound Management 2000;46(Suppl 1A);85S-93S

8. Exeter NH. Study Shows Acticoat Dressings’ Anti-fungal Effectiveness. Am J of Infection Control Aus-Sep 2001

9. Greenhalgh DG. Frontiers in wound healing. in Soper NJ. Problems in General Surgery: Burns. 2003, 20(1): p70-79

10. Argenta, LC, Morykwas, MJ. Vacuum assisted closure: A new method for wound control and treatment: Clinical experience. Annals of Plastic Surgery, 1997; 38(6): 563-77.

11. Joseph, E., et al. A prospective randomized trial of vacuum assisted closure versus standard therapy of wound.

12. KCI Medical Asia PTE.Ltd. VAC Therapy Workshop. 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

13. Monaro S. Nanocrystalline Silver in Wound Care. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

14. Perdanakusuma D. A New Strategy in Scar Management. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

227

Bab VII

3. Perawatan Luka

Yefta Moenadjat David S. Perdanakusuma

erawatan luka bukan suatu hal yang mudah, sangat tergantung pada kondisi klinik luka. Beberapa kasus memerlukan perawatan luka tertutup, sebagian memerlukan perawatan

terbuka, tidak dapat ditentukan secara pasti metode mana yang terbaik. Perawatan luka tebuka menyebabkan proses penguapan (evaporative heat loss) berlebihan, luka sangat mudah terkontaminasi; karenanya memerlukan ruang isolasi dengan pengaturan suhu ruangan (berkisar 27-30oC, kelembaban minimal). Sebaliknya, dengan perawatan luka tertutup proses penguapan memang dapat dicegah sampai dengan kl 30%; tetapi penggantian balutan dihadapkan pada permasalahan lain seperti nyeri, potensi timbul infeksi (yang tidak langsung terlihat) dan sebagainya. Penggantian balutan harus disesuaikan dengan kebutuhan (kondisi luka); saat balutan dipenuhi eksudat (karena efek kapiler kasa/balutan) sehingga mencapai titik jenih, maka itulah saat penggantian balutan. Selain bersifat adsorben, kasa harus cukup tebal (bulky) sesuai tujuan pembalutan itu sendiri (lihat pembalut dan penutup luka).

Pengaturan posisi perlu diperhatikan selama proses perawatan, dikaitkan dengan penatalaksanaan prosedur penggantian, penekanan bagian tubuh tertentu, dan tujuan rehabilitasi.

Gambar 194. Perawatan luka pada tangan seringkali dihadapkan pada beberapa permasalahan, antara lain kesulitan prosedur penggantian balutan dan hasil akhir proses penyembuhan (kontraktur, dsb). Pemanfaatan fiksatur eksternal melingkarsebagaimana pada gambar di atas sering digunakan pada perawatan luka di tangan. Foto: koleksi pribadi

P

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

228

Gambar 195. Perawaatan luka tidak terlepas dari masalah rehabilitasi. Penerapan perawatan mengunakan fiksasi eksternal dan pengaturan posisi bagian tubuh tertentu sangat diperlukan untuk proses penyembuhan dan restorasi fungsi. Foto: koleksi pribadi

Pencucian luka merupakan suatu hal yang mutlak dikerjakan, dikaitkan dengan proses

dilusi dalam upaya minimalisasi kemungkinan infeksi, pembersihan luka dari produk-produk jaringan mati, dsb. Pencucian ini dilakukan setiap kali melakukan penggantian balutan, tidak ada batasan berapa kali dalam sehari atau berapa hari sekali namun tergantung kebutuhan klinis. Selain alasan proses dilusi, kebersihan luka mutlak dijaga untuk memperoleh lingkungan luka sehat yang diperlukan untuk berlangsungnya proses penyembuhan.

Dalam hal perawatan luka khususnya luka eksudatif, penggunaan bidai terbuat dari gips kerap kali dihadapkan pada masalah terutama infeksi karena bahan mudah terkontaminasi dan sulit dibersihkan (sekali pakai harus dibuang). Perawatan luka menjadi lebih rumit karenanya, disamping aroma yang tidak menyenangkan karena bahan gips menyerap eksudat, darah dsb. Untuk itu, penggunaan bidai terbuat dari bahan plastik sintetik atau alumunium menjadi lebih efisien karenanya. Bidai dapat dicuci dan digunakan kembali setelah pencucian luka.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

229

Gambar 196. Pemanfaatan bidai terbuat dari bahan sintetis menunjukan efisiensi dibandingkan bidai terbuat dari gips. Pencucian mudah dilakukan dan memperkecil potensi infeksi, dapat dibentuk kembali sesuai kebutuhan. Foto: koleksi pribadi Bahan Bacaan

1. Demling RH. Burn Modules: Wound Management. Available in website: http://www.bursurgery.org 2. Richard R, Johnson M. Rehabilitation of the Burned Patient. in Soper NJ. Problems in General Surgery:

Burns. 2003, 20(1): p88-96 3. Wolf SE. Modern Management of Burn Injuries. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society

(Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005 4. Banwell K. Modern Wound Care. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore):

Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

230

Bab IX

Permasalahan Lanjut: Rekonstruksi Luka Bakar

Yefta Moenadjat

David S. Perdanakusuma

asalah parut akibat luka bakar merupakan tantangan yang memerlukan perhatian khusus. Umumnya parut luka bakar dihadapkan pada permasalahan berkenaan dengan

gangguan fungsi dan penampilan; parut hipertrofik (menimbul) atau bahkan hipotrofik (cekung), keloid dan kontraktur.

Kesemua jenis permasalahan parut yang dihadapi ini terjadi karena proses penyembuhan luka yang lebih rumit dan lebih lama dibandingkan proses penyembuhan luka karena sebab lain; menjadi karakteristik luka bakar. Proses penutupan luka (epitelisasi) yang berlangsung lebih dari 3 (tiga) minggu memiliki potensi sangat besar (75-80%) terjadinya permasalahan sebagaimana disebutkan. Dapat dimengerti mengapa permasalahan parut merupakan hal yang lazim pada kasus luka bakar.

Parut hipertrofik dan Keloid

Pada proses penyembuhan, penimbunan kolagen yang cukup banyak menyebabkan parut

menimbul (atau hipertrofik) bahkan mungkin penimbunan ini demikian hebatnya melebihi batas / ukuran luka asal dikenal sebagai keloid. Entitas keduanya secara klinis hampir sama, namun keloid hampir selalu tumbuh berlebihan disertai nyeri yang tidak dijumpai pada parut hipertrofik.

Pada kedua jenis parut ini distribusi kolagen pada fase fibroplasia tidak seimbang dengan resopsi pada fase maturasi, pada parut hipertrofik umumnya tidak sehebat keloid. Beberapa teori menjelaskan etiologi parut hipertrofik dan keloid, tidak ada satu teoripun yang dapat menerangkan dengan tegas. Teori-teori tersebut antara lain menjelaskan hubungan sebab akibat antara: jenis-jenis luka dikaitkan dengan proses penyembuhan, intervensi pada luka termasuk penggunaan modalitas terapi, dan intervensi pada proses maturasi dengan timbulnya masalah parut ini.

Luka yang mengalami proses penyembuhan lebih lama terpapar pada kemungkinan timbulnya parut hipertrofik dan keloid. Proses inflamasi yang berjalan demikian hebat dan memakan waktu lama untuk proses penyembuhan sebagaimana luka bakar dalam sangat mungkin berakhir dengan keloid. Demikian pula halnya luka yang terinfeksi dan melibatkan respons jaringan berupa proses inflamasi.. Proses inflamasi diperberat akibat kontak dengan beberapa zat yang bersifat iritatif seperti berbagai jenis antiseptik (povison iodin, klorheksidin, Silver Sulfadiazine, dsb). Berbagai jenis materi asing yang tertinggal di jaringan, demikian pula dengan penggunaan materi jahit (benang) berukuran besar dan menimbulkan reaksi jaringan (benang kromik, benang sutera, dan beberapa jenis benang diserap lainnya) memicu proses inflamasi yang kerap berakhir dengan timbulnya keloid.

Proses inflamasi hebat dan fase maturasi terhambat, merupakan karakteristik yang sangat potensial terhadap timbulnya keloid. Berdasarkan hal tersebut, luka bakar (dalam) merupakan suatu jenis kasus yang memiliki potensi besar terhadap timbulnya keloid.

Proses inflamasi menyebabkan peningkatan kadarTGF (khususnya tipe R1 dan R2) dan Smad3 yang meningkatkan proliferasi fibroblast berlebihan (sintesis kolagen) pada

M

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

231

patogenesis keloid. Vitamin C yang selama berpuluh tahun diyakini sebagai suatu zat mikroelemental mutlak diperlukan untuk berlangsungnya proses penyembuhan luka, ternyata berperan besar dalam peristiwa timbulnya keloid. Suasana luka dengan suasana asam (pH rendah) juga berperan besar pada patogenesis keloid.

Peran zat pigmen (melanin) ditunjang fakta bahwa prevalensi keloid sangat besar pada ras berkulit hitam (negroid) sementara hampir tidak pernah dijumpai pada ras berkulit putih (kaukasus).

Penatalaksanaan

Karena tidak banyak diketahui penyebabnya, maka penatalaksanaan parut ini tidak ada

yang tuntas, dan karenanya inti penatalaksanaan adalah pencegahan. Prinsip penatalaksanaan keloid diuraikan sebagai berikut:

1. Penekanan (pressure) 2. Medikamentosa 3. Radiasi 4. Operatif Penekanan adalah modalitas pertama dan utama diyakini sampai saat ini, meskipun dalam

satu dua tahun terakhir ada yang meragukan efektivitasnya. Penekanan ini dilakukan secara kontinu dalam 2-3 minggu pertama dan dilanjutkan dengan penekanan di malam hari sampai terjadi maturasi (kl berlangsung 6-8 bulan). Beberapa metode penekanan dapat diterapkan, antara lain:

- Penggunaan plaster fiksasi, misalnya dengan Micropore buatan 3M - Perban elastik, untuk daerah-daerah yang berbentuk sirkumferensial misalnya lengan

dan tungkai. - Penggunaan garment khusus - Silicones sheet, misalnya Cica Care® buatan Smith and Nephew, USA

Gambar 197. Penggunaan garment untuk tangan dan Silicones sheet sebagai upaya mencegah timbulnya keloid. Foto: koleksi pribadi

Penggunaan medikamentosa menempati urutan berikutnya. Beberapa jenis obat-obatan

dapat digunakan untuk mencegah, menghambat dan mengobati keloid antara lain steroid, ekstrak beberapa zat alami. Triamsinolon asetonid.

Triamsinolon asetonid adalah suatu jenis steoid yang kerap digunakan untuk tujuan terapi keloid. Triamsinolon asetonid ini merupakan steroid yang bekerja intraseluler, memengaruhi metabolisme tropokolagen secara negatif (lihat gambar 199). Triamsinolon asetonid tersedia dalam bentuk topikal (krim dan ointment) serta bentuk injeksi. Preparat topikal digunakan

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

232

setiap hari selama beberapa bulan (umumnya 2-3 bulan), sedangkan preparat injeksi digunakan antara 2-4 minggu sekali. Teknik penyuntikan Triamsinolon asetonid:

Gambar 198. Teknik penyuntikan Triamsinolon asetonid. Gunakan semprit kecil dengan bevel jarum menghadap ke permukaan. Mulai dengan jaringan paling permukaan. Dikutip dari Wiratmadja M. Teknik penyuntikan keloid. KPPIK FKUI 1969.

Triamsinolon asetonid disuntikkan ke jaringan parut (keras) menggunakan semprit kecil

dengan bevel jarum menghadap ke permukaan. Gunakan semprit dengan jarum menyatu, hindari penggunaan luer type syringe karena mudah terlepas (tekanan tinggi saat penyuntikan).

Gambar 199. Fase maturasi dengan sintesis kolagen intrasel yang dipengaruhi oleh steroid. Dikutip dari Moenadjat Y. Proses penyembuhan luka; 1994. Unpublished.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

233

Bentuk injeksi tidak dianjurkan pada anak-anak, ada beberapa pertimbangan mengenai hal ini. Penyuntikan intralesi membutuhkan ketenangan dan koordinasi dengan pasiennya, sehingga tidak dimungkinkan melakukan penyuntikan pada anak-anak yang tidak atau kurang kooperatif kecuali dalam pembiusan umum (narkose). Selain itu, pemberian steroid perinjeksi perlu diperhitungkan dampak efek sistemiknya. Ekstrak Cantella Asiatica

Ekstrak Cantella Asiatica (Madecassol ) dan allium cepa (Mederma ) dikembangkan untuk memperhalus parut, tidak ditunjang oleh data ilmiah mengenai efektivitas penggunaannya pada keloid. Penekan pigmen.

Dalam penelitian-penelitian terakhir, dijealskan peran pigmen warna kulit (melanin) dalam terbentuknya keloid. Berdasarkan teori tersebut, penggunaan zat-zat penekan pigmen seperti hydroquinon 1-4% digunakan untuk mencegah timbulnya keloid. 5 Fluoro-Uracyl

5 Fluoro-Uracyl dengan khasiat anti-kanker menekan angiogenesia dan proliferasi fibroblast yang berperan dalam patogenesis keloid dilaporkan memberikan hasil baik. Demikian pula halnya dengan upaya mempertahankan suasana luka yang bersifat lebih basa.

Radiasi

Radiasi diberikan secara serial dengan dosis 6000rad, selama 5 (lima) hari berturut-turut. Ada beberapa hal perlu diperhatikan pada pemanfaatan metode ini, antara lain efek terhadap pertumbuhan baik jaringan lunak maupun tulang sehingga metode ini tidak diterapkan pada anak-anak dalam usia pertumbuhan. Hal lain menyangkut dampak radiasi pada kehamilan dsb patut diperhatikan. Operasi

Operasi kadang efektif untuk parut hipertrofik tetapi pada keloid penerapan metode ini tidak menjamin timbulnya rekurensi.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

234

Gambar 200. Eksisi keloid dilanjutkan dengan prosedur penutupan (Full Thickness Skin Graft) dirangkaikan dengan prosedur penekanan kontinu, penggunaan bidai, pemberian triamsinolon asetonid dan hydroquinone. Foto: koleksi pribadi. Mutimodalitas terapi

Pencegahan diyakini merupakan suatu cara efektif. Namun bila parut ini sudah timbul, beberapa metode diterapkan secara simultan untuk mencapai hasil optimal. Kadang diperlukan prosedur pembedahan dilanjutkan penekanan kontinu, penggunaan medikamentosa (baik bentuk topikal maupun injeksi). Baik parut hipertrofik dan atau keloid sebaiknya menunggu proses maturasi; prosedur operasi tidak dikerjakan segera atau pada kesempatan pertama. Namun bila keloid demikian besar atau kerasnya, modalitas lain memang diragukan efektivitasnya. Kontraktur

Kontraksi (tepi) luka merupakan suatu hal yang diperlukan pada proses fibroplasia, sebagai upaya tubuh memperkecil luas permukaan sehingga penutupan luka (epitelisasi) dimungkinkan berlangsung. Namun bila proses fibroplasia berlangsung lama dan menghadapi permasalahan yang demikian rumit, proses kontraksi ini akan berlangsung lebih progresiv dan berlangsung lebih lama pula (meskipun pada fase maturasi), menyebabkan kontraktur.

Tergantung kedalaman luka, proses kontraktur akan melibatkan struktur di bawah kulit seperti fasia, tendon dan ligamentum bahkan sendi-sendi.

Gambar 201. Berbagai kontraktur di tangan, ketiak dan kaki yang sangat umum dijumpai. Kondisi ini sebetulnya dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik sampai fase maturasi. Foto: koleksi pribadi.

Kontraktur pada tubuh atau bagian tubuh tertentu jelas menimbulkan masalah sehari-hari

yang berkaitan dengan gangguan fungsi dan penampilan; sehingga menimbulkan permasalahan psiko-sosial. Permasalahan ini tidak jarang berakhir dengan gangguan kejiwaan bagi penderitanya, bukan hanya keterbatasan dalam melakukan kegiatan sehari-hari, namun dikaitkan dengan penampilan yang memberi kesan menyeramkan. Penatalaksanaan

Mengatasi permasalahan kontraktur bukan hal yang mudah, oleh karenanya perlu ditekankan pentingnya pencegahan dan pengendalian hingga dicapai maturasi parut. Upaya pencegahan dikerjakan sejak awal (luka, raw surface) yang dilakukan perawatan konservatif maupun prosedur operatif. Perawatan ini dilakukan sampai dengan fase maturasi (kl berlangsung 6-8 bulan atau lebih). Baik menggunakan perban elastis maupun bidai atau keduanya, mulanya (kl selama 2-3 bulan pertama) dilakukan secara kontinu, selebihnya dapat

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

235

dilakukan hanya pada malam hari. Penerapan multimodalitas terapi juga berlaku untuk kontraktur.

Gambar 202. Kecacadan akibat luka bakar dalam pada muka dan kepala menyebabkan gangguan fungsi bagian tubuh tertentu (kelopak mata, rongga mulut, dan leher ) serta gangguan penampilan yang memberikan kesan menyeramkan. Foto: koleksi pribadi.

Bila kontraktur sudah terjadi, prosedur operatif menjadi pilihan. Prosedur ini dikerjakan

seawal mungkin, tidak menunggu maturasi jaringan karena kontraktur akan menyebabkan gangguan fungsi. bahkan pertumbuhan Gangguan fungsi yang berkelanjutan akan menimbulkan perubahan anatomi bahkan struktur anatomi seperti tendo, tulang dan lainnya yang menyebabkan kecacadan permanen. Berbagai metode dapat diterapkan dalam penatalaksanaan kontraktur ini, antara lain:

1. Pembebeasan kontraktur sederhana (linier) dikerjakan dengan teknik Z-plasty atau W-plasty.

2. Pembebeasan kontraktur yang lebih kompleks atau luas. Jaringan kontraktur harus dibebaskan seluruhnya, raw surface yang timbul akibat pembebasan ini ditutup dengan modalitas yang ada seperti skin graft (baik split thickness maupun full thickness) dan flap (baik secara konvensional misalnya flap lokal-random, aksial-island, atau muskulokutan; maupun aplikasi bedah mikro)

Kadang diperlukan strategi untuk mengatasi kontraktur ini. Karena tingkat kesulitan yang tinggi misalnya kontraktur fleksi pada lutut yang melibatkan kontraktur sendi dalam waktu cukup lama dan melibatkan pemendekan struktur jaringan lunak (tendo, ligamentum poplitea); prosedur operatif dapat didahului oleh suatu peregangan bertahap. Pada kesempatan pertama dilakukan pelepasan kontraktur dengan melakukan sayatan kulit. Setelah kontraktur dibebaskan, dilakukan peregangan sendi secara bertahap menggunakan traksi selama beberapa waktu (kadang diperlukan waktu sampai 3 minggu); untuk kemudian baru dilakukan pembebasan dan penutupan memanfaatkan modalitas yang ada.

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

236

Pada setiap kesempatan melakukan pelepasan kontraktur, latihan sendi dikerjakan selama prosedur pembiusan.

Gambar 203. Z dan atau W plasty untuk melepas kontraktur, dilanjutkan dengan penjahitan (penutupan primer). Foto: koleksi pribadi.

Gambar 204. Penilaian kedalaman luka dalam menentukan alternatif penutup. Dikutip dan disadur dari Grabb and Smith Plastic Surgery 1st ed. 1971

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

237

Gambar 205. Kontraktur aksila dilepaskan dan ditutup dengan flap, flap diutamakan untuk rekonstruksi kubah yang dapat diandalkan untuk menutupi struktur penting dibawahnya dan mencegah kontraktur lebih lanjut. Foto: koleksi pribadi.

Pada kasus sulit, rekonstruksi baik dalam pengembalian fungsi maupun penampilan sulit diperoleh dalam satu-dua tahapan. Dalam hal ini, setiap peningkatan taraf perbaikan yang dicapai oleh suatu prosedur rekonstruksi harus dianggap sebagai suatu keberhasilan.

Gambar 206. Beberapa kasus sulit yang memerlukan demikian banyak tahapan rekonstruksi. Foto: koleksi pribadi.

Gambar 207. Kontraktur leher. Pelepasan kontraktur dilanjutkan rekonstruksi memanfaatkan flap dari skapular dengan pedikel di daerah servikal (A) dan setelah flap ditempatkan (B). Beberapa saat kemudian, parut hipertrofik

Moenadjat

Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana

238

dan keloid pada dagu-pipi dibuang dan ditutup memanfaatkan full thickness skin graft. Penggunaan kasa tie over dan bidai menjadi mutlak. Foto: koleksi pribadi.

Pasca pelepasan kontraktur, fiksasi, penekanan dalam upaya pencegahan terjadinya kontraktur kembali mutlak dikerjakan; demikian pula halnya dengan rehabilitasi fungsi.

Gambar 208. Proses rehabilitatif mutlak diperlukan setelah suatu prosedur rekonstruksi. Foto: koleksi pribadi.

Bahan Bacaan 1. Cohen M, Goldwyn RM. Mastery of surgery: Mastery of plastic and reconstructive surgery, vol. I. Boston:

Little Brown and Company, 1994. 2. Converse JM, McCarthy JG, Littler JW. Reconstructive plastic surgery, 2nd ed. vol. I. Philadelphia: WB

Saunders company, 1977. 3. Watson J, McComack RM. Operative Surgery. Fundamental International Techniques: Plastic Surgery.

London: Butterworths; 1979. 4. Clinics in Plastic Surgery. An International Quarterly 17(14), 1990. 5. Sabapathy K. JNK Signaling During Development and Tissue Regeneration. Proceeding book: 3rd Meeting of

Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

6. Phan TT. Smad3 Signaling Plays important Role in Keloid Pathogenesis via Epithelial-masenchymal Intersection. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

7. Hung H. Paracrine Interaction Between Keloid Keratinocyte (KK) and Keloid Fibroblast (KF) is Required for Vascular Endothelial Growth Factor (VGEF) Secretion. Proceeding book: 3rd Meeting of Wound Healing Society (Singapore): Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore, Aug 2005

8. Richard R, Johnson M. Rehabilitation of the Burned Patient. in Soper NJ. Problems in General Surgery: Burns. 2003, 20(1): p88-96

DAFTAR RIWAYAT HIDUP Identitas

Nama : Yefta Moenadjat Jenis kelamin : Laki-laki Tempat/tanggal lahir

: Jakarta, 9 Juni 1958

Kebangsaan : Indonesia A g a m a : I s l a m Status perkawinan

: Menikah

Istri : Ernani Rosanti

Anak : 1. Alifa Dimanti

2. Yadita Wira Pasra Riwayat Pendidikan a. Pendidikan formal :

1965-1971 SD Yayasan Perguruan Cikini, Jakarta 1972-1974 SMP Negri I Jakarta 1975-1977 SMA Negri IV Jakarta 1978-1979 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta 1979-1987 Fakultas Kedokteran Univ. YARSI, Jakarta 1993-1997 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

b. Pendidikan non formal :

1990 Kursus Metode Kontrasepsi Efektif, Departemen Kesehatan R.I. / BKKBN Bandar Lampung

1990 1990

Kursus Metode Kontrasepsi Mantap Pria Vasektomi, BKKBN Palembang Kursus Jabatan Struktural di Departemen Kesehatan, Bandar Lampung

1991 Kursus Sistem Rujukan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I., Bandar Lampung

1991 Kursus Tehnik Fungsional Kepala Puskesmas Departemen Kesehatan R.I., Bandar Lampung

1991 Kursus Kepemimpinan Tahun 2000 / ( Kesehatan Bagi Semua di Tahun 2000 ), Departemen Kesehatan R.I., Bandar Lampung

1992 Kursus Eliminasi Tetanus Neonatorum, Departemen Kesehatan R.I., Bandar Lampung

1993 Kursus Sistem Manajemen Rumah Sakit di RSCM, Departemen Kesehatan R.I. Jakarta

1993 Kursus Metode Riset dan Penelitian Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I. Jakarta

1994 Kursus Mikrofotografi & Mikroskop Elektron, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

1994 Kursus Post Graduate pada Ilmu Bedah Spinal, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

1995 Kursus Program Video Dokumentasi Medik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

1995 Kursus Advanced Trauma Life Support , RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

1996 Kursus Dasar Bedah Mikro, Department of Experimental Surgery Singapore General Hospital Pendalaman Penatalaksanaan Luka Bakar, Department of Plastic and Reconstructive Surgery, Singapore General Hospital

1996 Kursus Bedah Tangan, Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta

1997 Kursus Bedah Plastik Pediatrik, Royal Children Hospital, Melborne, Australia 1997 Pendalaman Ilmu Bedah Kraniomaksilofasial: 6bulan di Royal Children Hospital,

Melbourne, Australia dan 1 bulan di Royal Adelaide Hospital, Adelaide, Australia 2003 Basic Surgical Skill. Kolegium Ilmu Bedah. Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia

(IKABI). 2003 TOT. Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM Jakarta 2005 Total Nutritional Therapy (TNT) Course. CME FK Universitas Padjajaran

Bandung-PT Abbott Indonesia. Jakarta 2005 TOT (Course for Instructor) TNT Course CME FK Universitas Padjajaran

Bandung-PT Abbott Indonesia. Jakarta 2005 Kursus Unilock Internal Fixation dan Endoscopic for Mandibular Reconstruction.

Chang Gung Memorial Hospital, Taiwan. Kongres / Simposium: 1. Simposium Penatalaksanaan Kasus Gawat Darurat, Bandar Lampung, 1990, peserta 2. Simposium Pendekatan Multidisipliner Pengobatan Antibiotika Secara Rasional, Bandar

Lampung, 1990, peserta 3. Simposium Hipertensi, Bandar Lampung, 1991, peserta 4. Simposium Penatalaksanaan Trauma Vaskular, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta, 1993, peserta 5. Simposium Penyakit Infeksi dan Peran Antibiotika, Masalah dan Solusi, 1993, peserta 6. Pertemuan Ilmiah Tahunan IKABI IX, Semarang, 1994, peserta 7. Kongres Nasional IV PERAPI, Semarang, 1994, peserta, pembicara 8. Pertemuan Ilmiah Tahunan IKABI X, Denpasar, 1995, peserta 9. 10th Bienniel Congress Asian Surgical Association, Denpasar, 1995, peserta 10. Muktamar IKABDI IV, Palembang, 1995, pembicara 11. 3rd Asian Congress on Oral Maxillofacial Surgery, Kuching, Sarawak, Malaysia, 1996,

peserta 12. Muktamar IKABI XII, Surabaya, 1996, pembicara 13. Pertemuan Ilmiah Tahunan PERAPI, Jakarta, 1997, pembicara 14. Burn symposium, Jakarta 1997, pembicara 15. Pertemuan Ilmiah Tahunan IKABI, Bandung, 1997, pembicara 16. Peran Nutrisi / Zat Gizi pada Penatalaksanaan Luka Bakar, Simposium Gizi, kerjasama

Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI ), dengan RS. MMC, Jakarta, 1999, pembicara 17. Pertemuan Ilmiah Tahunan PERAPI III, Surabaya, 1999, pembicara 18. Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak ( KONIKA III ), Jakarta, 1999, pembicara 19. Muktamar IKABI ( MABI ) XIII, Jakarta, 1999, pembicara 20. Kongres dan Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Perapi, Bandung, 2000, pembicara 21. 4th Scientific Congress, University Surgeons of Asia, Singapore, June 2000, peserta 22. Pelatihan Sirkumsisi, PLD FKUI, Jakarta, Juli 2000, pembicara 23. Basic Surgial Skill, Royal College of Surgeons in collaboration with Indonesian College of

Surgeons, Jakarta, Agustus 2000 , instruktur 24. Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Keperawatan, Ikatan Perawat Bedah FKUI/RSUPN dr

Cipto Mangunkusumo Jakarta bekerjasama dengan Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia (PERAPI), Jakarta, Agustus 2000, pembicara

25. Teaching the Teacher, Kursus untuk Staf Pengajar Bagian Ilmu Bedah FKUI/SRUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 2000, peserta

26. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT ) IKABI, Surabaya, 2000, pembicara 27. Kemitraan Bedah Plastik dengan Penyelenggara Jasa Kecantikan, Simposium Bedah Plastik

Untuk Awam, Jakarta, 2000, pembicara, panitia 28. Clinical Nutrition Update, Bagian Ilmu Gizi Klinik FKUI, Jakarta, Mei 2001, pembicara 29. Kursus Bedah Minor, FKUI, 11-12 Agustus 2001, pembicara 30. Temu Ilmiah Akbar FKUI, Workshop on Liposuction, Jakarta, April 2002 31. Temu Ilmiah Akbar FKUI, Course on Basic Surgical Skill, Jakarta, April 2002, panitia,

pembicara

32. Burn Update, Bagian Ilmu Bedah FK Universitas Sam Ratulangie, Manado, Mei 2002, pembicara

33. Simposium Penanggulangan Nyeri, IKABI Jaya, Jakarta, 18 Mei 2002, panitia 34. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IKABI ke XIII, Denpasar, Bali, Juli 2002, pembicara,

panitia 35. Recent Advances in Critical Care & Management of Trauma Cases, RSPAD Gatot Subroto,

20-21 Juli 2002, pembicara 36. The 2nd International Workshop on Surgical Techniques in Cleft Lip & Palate, Taipei,

Taiwan, 4-6 Juli 2002, peserta 37. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) VI dan Konferensi kerja PERAPI, Kuta-Bali, 7 Oktober

2002, pembicara, panitia 38. 8th OSAPS meeting, Kuta-Bali 8-11 Oktober 2002, panitia 39. Working group on metabolism and clinical nutrition, panitia, pembicara 40. Pertemuan Ilmiah Tahunan I Perhimpunan Ahli Patobiologi, Surabaya, Januari 2003,

peserta 41. 4th Jakarta Antimicrobial Update, Jakarta, April 2003, pembicara 42. Nutri Indonesia 2003, pembicara 43. Indonesian Surgical Technology Expo, Jakarta, Mei 2003, pembicara, panitia 44. Muktamar PERAPI,Jakarta, Juli 2003, pembicara, panitia 45. Workshop on Liposuction, Jakarta, Juli 2003, panitia 46. Workshop on Botox Injection, Jakarta, Juli 2003, peserta 47. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XIV IKABI, Jakarta, Juli 2003, panitia 48. Simposium Keperawatan Ikatan Perawat Emergensi Indonesia, Jakarta, Juli 2003,

pembicara 49. 2nd Recent Advances in Critical Care & Management of Trauma Cases, RSPAD Gatot

Subroto, 18-20 Juli 2003, pembicara 50. 13th International Congress of the International Confederation for Plastic Reconstructive

and Aesthetic Surgery Society (IPRAS) 2003 meeting, Sydney Australia, 10-15 Aug 2003, peserta.

51. Symposium on Perioperative Nutrition, Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, Jakarta, 27 Sep 2003, panitia, pembicara.

52. 13th ASEAN Congress of Anesthesiologists: Education for the future of anesthesiology, Surabaya, 14-19 Oktober 2003, moderator.

53. Semiloka Luka Bakar: Penyusunan Standar Pelayanan dan Protokol Luka Bakar. Jakarta: DepKes RI. 2003.

54. Basic Surgical Skill Course. Royal College of England in coordination with Indonesian College of Surgeon. FKUI-RSCM. 26-31 Januari 2004.

55. 36th American Burn Association Annual meeting. Vancouver Canada, 22-26 Maret 2004, member, peserta.

56. Advanced Burn Life Support (ABLS). Provider’s course: peserta.Vancouver, 22 Maret 2004 57. Respiratory care Education Symposium. Pada penyelenggaraan 36th American Burn

Association Annual meeting. Vancouver Canada, 22-26 Maret 2004, peserta 58. Difficult cases symposium. 36th American Burn Association Annual meeting. Vancouver

Canada, 22-26 Maret 2004, peserta 59. Hypertonics or Colloids in Burn Resuscitation, symposium. 36th American Burn Association

Annual meeting. Vancouver Canada, 22-26 Maret 2004, peserta. 60. Konsensus Nutrisi Enteral. Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition. Grand

Angkasa Medan, 11 September 2004. Pembicara 61. Konsensus Nutrisi Enteral. Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition. Hotel

Borobudur Jakarta, 25 September 2004. Pembicara 62. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Bedah Umum Indonesia (PABI). Surabaya,

8-11 Desember 2004. Pembicara 63. Seminar Luka Bakar. Lab/KSMF Bedah Plastik RSUD dr Sutomo/Universitas Airlangga,

Surabaya. 12 Desember 2004. Pembicara. 64. Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran (KPPIK) FKUI-2005: Kursus Gangguan

Keseimbangan Asam-Basa 18 Februari 2005. Pembicara, moderator.

65. Total Nutritional Therapy (TNT) Course III. Continuing Medical Education Faculty of Medicine Universitas Padjajaran Hasan Sadikin General Hospital. Jakarta: 15-16 April 2005, Peserta.

66. Total Nutritional Therapy (TNT) Training of The Trainer (TOT). Continuing Medical Education Faculty of Medicine Universitas Padjajaran Hasan Sadikin General Hospital. Jakarta: 17 April 2005, Peserta.

67. PIT IKABI XV, Jakarta 13-16 Juli 2005, Panitia. 68. Kongres Nasional Perhimpunan Dokter ICU Indonesia (Perdici). Semarang, 22-25 Juli 2005.

Peserta. 69. Total Nutritional Therapy (TNT) Course IV. Continuing Medical Education (CME) Faculty of

Medicine Universitas Padjajaran Hasan Sadikin General Hospital bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (IKABI). Jakarta 13-14 Juli 2005, Instruktur.

70. Inhouse Training. Perawat IGD RSCM. 3 Agustus 2005. Luka Bakar: Penatalaksanaan Resusitasi. Pembicara.

71. Inhouse Training. Perawat IGD RSCM. 3 Agustus 2005. Luka Bakar: Penatalaksanaan Luka. Pembicara.

72. 3rd Meeting og the Wound Healing Society (Singapore). Stem Cells & Tissue Engineering in Wound Healing & Burn Injuries. Singapore 5-7 Agustus 2005. Peserta

73. Kursus Perawat Gawat Darurat. RSCM 8 Agustus 2005. Penatalaksanaan Resusitasi Luka Bakar. Pembicara.

74. AO Craniomaxillofacial (CMF) Asia Meeting. Taiwan 26 Agustus 2005. Faculty Member. 75. AO ASIF CMF Seminar Taiwan: Advances in Craniomaxillofacial Trauma and Surgery With

Endoscopic Workshop Focus on Mandibular Reconstruction and Minimal Invasive Surgery. Aug. 27 – 28, 2005, Chang Gang Memorial Hospital, Linko. Taiwan. Peserta.

76. Lokakarya Luka Bakar. Yayasan Perdhaki, Jakarta, 9-10 September 2005. Panitia, pembicara.

77. Pengembangan Profesi Bedah Berkelanjutan ke-4, Makassar 8-10 Desember 2005, Pembicara.

78. The 3rd Perioperative Nutrition symposium. The Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, Jakarta 21 Januari 2006, Panitia, Pembicara.

79. AO Craniomaxillofacial Principles Course, Ryadh 27 Februari-3Maret 2006, International Faculty.

Riwayat Pekerjaan : 1989 Jabatan Fungsional Dokter di RSU Kalianda, Lampung Selatan 1990 Kepala Puskesmas Banyumas, Kecamatan Sukohardjo, Lampung Selatan 1993 Asisten Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sampai

dengan 1995 1995 Asisten Ilmu Bedah Plastik FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sampai dengan 1997 1998 Staf Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Staf Unit Luka Bakar RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sejak Maret 1998 Anggota Tim Nosokomial RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sejak Mei 1998

1999 Anggota Tim Koordinator Penelitian pada Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta Tim Audit pada Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta Staf Unit Pelayanan Khusus Luka Bakar RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

2000 Anggota Tim Perencana / Pelaksana perencanaan Pembangunan Central Medical Unit (CMU) RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta Koordinator Penelitian pada sub Bagian Bedah Plastik FKUI / RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sampai dengan 2003 Wakil koordinator Penelitian pada Bagian ilmu Bedah FKUI / RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, sampai dengan Juli 2004.

Wakil Kepala Unit Pelayanan Khusus Luka Bakar (UPK LB) RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

2003 Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Plastik FKUI RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, sejak Mei 2003, mengundurkan diri Februari 2004.

2004 Kepala UPK Luka Bakar RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta Organisasi : 1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat. 2. Anggota Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI), cabang Jakarta 3. Wakil Ketua CME Kepengurusan IKABI Jaya, Periode 2000-2003 4. Anggota Perhimpunan Spesialis Bedah Plastik Indonesia (PERAPI) 5. Anggota Tim CME (Continuing Medical Education) Perhimpunan Spesialis Bedah Plastik

Indonesia (PERAPI), Periode 1997-2000 6. Anggota Kolegium Ilmu Bedah Plastik Indonesia Periode 1997-2003 (diangkat), sejak

2001 7. Ketua Tim CME (Continuing Medical Education) Perhimpunan Spesialis Bedah Plastik

Indonesia (PERAPI), Periode 2000-2003 8. Majelis Pendidikan Berkelanjutan Pengurus IKABI Pusat, sejak Agustus 2002 9. Wakil Ketua Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, sejak Agustus 2002 10. Anggota steering committee pada consensuses in enteral nutrition, sejak April 2003 11. Ketua Tim CME (Continuing Medical Education) Perhimpunan Spesialis Bedah Plastik

Indonesia (PERAPI), Periode 2003-2006 12. Sekretaris Kolegium Ilmu Bedah Plastik Indonesia, sejak Juli 2003 13. Anggota American Burn Association (ABA) sejak 2004 14. Indonesian Representative untuk AO-Craniomaxillofacial (CMF) East Asia. sejak 2004 15. Anggota International Society for Burn Injuries (ISBI) sejak 2004 16. Pengurus Indonesian Shock Society sejak 2005 17. Ketua Komite Medik Asosiasi Luka Bakar Indonesia (ALBI) 18. Ketua Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, sejak Juli 2004 19. Anggota Tim Majelis Pendidikan Berkelanjutan Pengurus Pusat IKABI, sejak Juli 2004. 20. Anggota Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition (INASPEN), sejak

April 2005 21. Ketua Indonesian Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, 2005-2007 22. Anggota Kelompok Ilmiah Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia (IKABI). Bencana Masal

dan Luka Bakar. Sejak 2005 23. Anggota Komite Trauma IKABI, 2005 24. Pengurus Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition (INASPEN) Periode

2005-2008 (Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan) 25. Pengurus Indonesian Shock Society Periode 2005-2008. Pengembangan Organisasi. 26. Sekretaris Working Gourp on Metabolism and Clinical Nutrition FKUI/RSCM. Sejak 2005. 27. Faculty Member AO-Craniomaxillofacial (CMF) East Asia. sejak 2005 28. International Faculty Member AO-CMF, sejak 2006 Tulisan / Publikasi : 1. Penatalaksanaan Perforasi tifoid di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Evaluasi 1990-

1995 2. Lipektomi abdominal, Tinjauan kepustakaan dan laporan 1 kasus, 1995 3. Penyembuhan luka, Tinjauan kepustakaan, 1996 4. Peran Eikosanoids, Sitokin, Radikal bebas dan Faktor pertumbuhan pada Proses

penyembuhan luka, Tinjauan kepustakaan, 1996 5. Hematom dan Radikal bebas, Tinjauan kepustakaan, 1996 6. Rekonstruksi Hidung dengan Flap lokal, Tinjauan kepustakaan, 1996 7. Penggunaan Komputer dalam Ilmu Bedah Plastik, Editorial, dalam PROKOLEGA, Majalah

Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1996

8. Rekonstruksi Mandibula, Evaluasi Penatalaksanaan 1995-1997, Tulisan akhir pada Program Pendidikan Dokter Spesialis ( PPDS ) ilmu bedah plastik, FKUI, Jakarta, 1997

9. Penatalaksanaan Anomali Kraniofasial, Kuliah Staf, disampaikan dihadapan seluruh staf Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Juni 1998, disampaikan dihadapan seluruh staf UPF Bedah FK Universitas Sam Ratulangie / RSUP Malalayang, Manado, Juli 1999

10. Penatalaksanaan Anomali Kraniofasial, Protokol di Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1998

11. Penatalaksanaan Hipertelorism, Protokol di Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1998

12. Standard of Procedure (SOP) Ilmu Bedah Plastik, Pelayanan Kesehatan Masyarakat RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1999

13. Anomali kraniofasial, Bahan Pengantar Kuliah Mahasiswa dalam bidang Ilmu Bedah, FKUI /RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1999

14. Kelainan Telinga, Bahan Pengantar Kuliah Mahasiswa dalam bidang Ilmu Bedah, FKUI /RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1999

15. Luka Bakar, Bahan Pengantar Kuliah Mahasiswa dalam bidang Ilmu Bedah, FKUI /RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, 1999

16. Peran Nutrisi / Zat Gizi pada Penatalaksanaan Luka Bakar, disampaikan pada Simposium Gizi, kerjasama Asosiasi Dietisien Indonesia ( AsDI ), dengan RS. MMC, Jakarta, April 1999.

17. Penatalaksanaan Problema Cacat Kepala pada Sindroma Apert dan Crouzon, Laporan Pendahuluan, dimuat dalam ROPANASURI, Majalah Ilmu Bedah Vol XXVI No.1-2, Januari-Juni 1998; disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan PERAPI ke-III, Surabaya, Juni 1999 dan Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) ke-III, Jakarta, Juli 1999; disampaikan pada penyelenggaraan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IKABI, Yogyakarta, 4-7 Juli 2001

18. Masalah pada Penatalaksanaan Hipertelorism, disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan PERAPI ke-II, Surabaya, Juni 1999

19. Resusitasi pada Luka Bakar, disampaikan pada Pendidikan Ilmu Kedokteran Berkelanjutan Perhimpunan Kedokteran Gawat Darurat ( PKGDI ), Jakarta, Agustus 1999.

20. Metabolic and Nutritional Management of Burn, Bahan presentasi pada Clinical Expert meeting, Singapura, September 1999.

21. Sumbing Bibir dan Langitan Bilateral, Hipotesis penyebab, Protokol Penatalaksanaan dan Permasalahannya, Bahan Makalah untuk Simposium sehari mengenai Sumbing Bibir dan Langitan Bilateral, Jakarta, Oktober 1999.

22. Problema Penatalaksanaan Cacat Kepala pada Sindroma Apert dan Crouzon, Evaluasi beberapa kasus, dibacakan pada Kongres dan Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Perapi, Bandung, 2000; disampaikan pada Simposium Kongenital Anomali PIT Yogyakarta, Juli 2001

23. Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SRIS), Sindrom Disfungsi Organ Multipel (SDOM) dan Sepsis pada kasus Luka Bakar, dibacakan pada Kongres dan Pertemuan Ilmiah Tahunan IV Perapi, Bandung, 2000, Bahan untuk Journal Perhimpunan Spesialis Bedah Indonesia IKABI (ROPANASURI); disampaikan pada Clinical Nutrition Update, Bagian Ilmu Gizi Klinik FKUI, Jakarta, Mei 2001

24. Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SRIS), Sindrom Disfungsi Organ Multipel (SDOM), Sepsis dan pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) pada kasus Luka Bakar, bersama Thedeus OHP, Samuel Oetoro, Fistuti Witjaksono, FKUI, Jakarta 2000.

25. Luka Bakar, Pengetahuan Klinis Praktis, Jakarta, Farmedia, 2000 26. Bahan Ilmu Bedah Kapita Selekta Kedokteran,Edisi ketiga, Media aesculapius, FKUI, 2000 27. Faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas pada kasus luka bakar berat : evaluasi selama

lima tahun di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dibacakan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan IKABI, Surabaya, 2000.

28. Prinsip dasar pengelolaan luka bakar, disampaikan pada Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Keperawatan, Ikatan Perawat Bedah FKUI/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta

bekerjasama dengan Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia (PERAPI), Jakarta, Agustus 2000

29. Bedah Plastik: hal-hal yang perlu diketahui oleh masyarakat awam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001

30. Luka Bakar, Pengetahuan Klinis Praktis, Edisi Revisi,. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001 31. Penatalaksanaan stress ulcer di UPK Luka Bakar RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta,

disampaikan pada Simposium Trauma PIT IKABI Yogyakarta, Juli 2001 32. Sumbing Bibir dan Langitan, Bahan Workshop Palatoplasti pada PIT V PERAPI, Yogyakarta,

Juli 2001 33. Prognosis dan Sistim Skoring pada kasus Luka Bakar, disampaikan pada PIT V PERAPI

Yogyakarta, Juli 2001; dimuat dalam Journal Perhimpunan spesialis Bedah Indonesia IKABI (ROPANASURI), 2001

34. Dasar penatalaksanaan Kasus Luka Bakar, Kuliah staf, disampaikan dihadapan Staf Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Mei, 2001

35. The strategy in management of facial trauma, Indonesian Journal of Plastic Surgery, vol 1 No 1, October 2002

36. Experiences in managing 11 male-to-female and 3 female-to-male transsexual cases, Indonesian Journal of Plastic Surgery, vol 1 No 1, October 2002

37. Luka Bakar, Pengetahuan Klinis Praktis, Edisi Revisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003

38. Bagaimana memiliki tubuh ideal. Jakarta: Gramedia, 2003 39. The irrational use of antibiotics in burn: an obsession that could be fatal. Indonesian

Journal of Plastic Surgery, vol 1 No 2, March 2003 40. Penggunaan antibiotik irasional pada kasus luka bakar: suatu fenomena. Disampaikan pada

4th Antimicrobial update. Jakarta 2003. dan Kuliah Staf Bagian Ilmu Bedah FKUI RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Maret 2003

41. Burn: the new paradigm of wound management. Presented and available in proceeding book of IAPS meeting, July 2003

42. Burn: the exhaustion and the role of nutritional support. Presented and available in proceeding book of IAPS meeting, July 2003

43. Immune compromise in critically illness. Makalah, disampaikan pada Symposium on Perioperative Nutrition, Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition, Jakarta, 27 Sep 2003

44. Pro & Con of Arginine. Makalah, disampaikan pada acara Nutri Indonesia 2004. Jakarta 15 Februari 2004.

45. Burn Infection. Makalah, disampaikan pada KPPIK FKUI 2004. Jakarta. Maret 2004. 46. Kontraktur Luka Bakar. Makalah, disampaikan pada kuliah pleno acara PIT PABI I.

Bandung. Maret 2004. 47. Luka Bakar Berat: Tatalaksana pra Rumah Sakit. Makalah, disampaikan pada Pekan

Kegawat-daruratan Tim Bantuan Medis FKUI. April 2004. 48. Diagnosis dan evaluasi pasien luka bakar berat: konsep terkini. Makalah, disampaikan pada

acara Healthcare and wellness in 24 hours. Jakarta, April 2004 49. Diagnosis dan evaluasi pasien luka bakar berat: konsep terkini. Artikel pada Media

Aeskulapius. Jakarta: FKUI 2004. 50. Masalah infeksi pada luka bakar: Pemilihan antimikroba yang tepat. Makalah, disampaikan

pada acara Jakarta Antimikrobial update 2004. Jakarta, Mei 2004. 51. SIRS dan MODS. Makalah, disampaikan pada National Burn Symposium, Medan, Mei 2004. 52. Resusitasi Luka Bakar: Pro dan Con. Makalah, disampaikan pada 1st National Scientific

Meeting on Surgical Critical Care, Bandung, Agustus 2004 53. Manajemen Luka Bakar Fase Akut: Tatalaksana Resusitasi. Kuliah Staf Bagian Ilmu Bedah

FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Disampaikan dihadapan forum Bagian Bedah FKUI, 12 November 2004.

54. Resusitasi Cairan dan Terapi Nutrisi pada Luka Bakar. Makalah, disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Bedah Umum Indonesia (PABI), Surabaya 8-11 Desember 2004.

55. Systemic Inflammatory Response Syndrome. Makalah, disampaikan pada Seminar Luka Bakar: Lab/KSMF Bedah Plastik RSUD dr Sutomo/Universitas Airlangga, Surabaya. 12 Desember 2004.

56. Mekanisme kompensasi tubuh terhadap gangguan keseimbangan asam-basa. Makalah, disampaikan pada Kursus Gangguan Keseimbangan Asam-Basa KPPIK-FKUI Jakarta, 18 Februari 2005.

57. The gut: a central focus on Acute Severe Burn Injury. Available in proceeding book of The 1st Indonesian Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition and the 3rd Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition Congress and Scientific meeting. Jakarta 15-17 April 2005.

58. Surgical Nutrition: today and tomorrow. Available in proceeding book of The 1st Indonesian Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition and the 3rd Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition Congress and Scientific meeting. Jakarta 15-17 April 2005.

59. The consensuses on Enteral Nutrition. The Symposium on Enteral Nutrition. Available in proceeding book of The 1st Indonesian Working Group on Metabolism and Clinical Nutrition and the 3rd Indonesian Association of Parenteral and Enteral Nutrition Congress and Scientific meeting. Jakarta 15-17 April 2005.

60. Luka Bakar: Dasar-dasar dan Tatalaksana Resusitasi pada Fase Akut. Jakarta: Asosiasi Luka Bakar Indonesia. 2005

61. Petunjuk Praktis Tatalaksana Kasus Luka Bakar. Jakarta: Asosiasi Luka Bakar Indonesia. 2005

62. Organisasi Manajemen Luka Bakar. Jakarta: Asosiasi Luka Bakar Indonesia. 2005 63. Luka Bakar: Dasar dan Tatalaksana. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2005 64. Permasalahan dan Resusitasi Luka Bakar. Makalah, disampaikan pada Lokakarya Luka

Bakar. Yayasan Perdhaki, Jakarta, 9-10 September 2005. 65. The AO Implants and Instrumentation. AO Craniomaxillofacial Principles Course, Ryadh 27

Februari-3Maret 2006. 66. Occlusion and the maxillary-mandibular fixation. AO Craniomaxillofacial Principles Course,

Ryadh 27 Februari-3Maret 2006. 67. Fixation in Complex Midface fracture: the treatment sequences. AO Craniomaxillofacial

Principles Course, Ryadh 27 Februari-3Maret 2006. 68. Maxillofacial injuries in growing skeleton. AO Craniomaxillofacial Principles Course, Ryadh

27 Februari-3Maret 2006. 69. Abdominal Compartment Syndrome in Burn Patients. Trauma, Emergency and Critical

Update. 2006 70. The Cytokines and Mediator System. Trauma, Emergency and Critical Update. 2006 71. Early Enteral Nutrition in Critically Ill Patients: How early? Controversion in Critically Illness.

The Sepsis Champaign, Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia - Perdici. 2006 Karya Lainnya 1. Penyusunan, pembuatan dan peluncuran Situs Web Perhimpunan Bedah Plastik Indonesia

PERAPI (http://www.perapi.com), 2000 dan renovasinya (http://www.perapisurgeon.com) selanjutnya bertindak sebagai webmaster dalam situs web dimaksud.

2. Redaksi dan Editor Warta PERAPI, Buletin Perhimpunan Ahli Bedah Plastik Indonesia, PERAPI.

3. Redaksi dan Editor Berita IKABI Jaya, Buletin Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia Cabang Jakarta, IKABI Jaya.

4. Anggota Editor Indonesian Journal of Plastic Surgery. 5. Penyusunan Buku Panduan Program Studi Ilmu Bedah Plastik 2001, bersama dr Bisono,

KPS Program Studi Ilmu Bedah Plastik FKUI. 6. Revisi Buku Panduan Program Studi Ilmu Bedah Plastik 2003, bersama staf lainnya. 7. Penyusunan SOP dan Buku Panduan Pelayanan Terpadu Sumbing Bibir dan langit-langit

FKUI/RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, 2003 8. Penyusunan Buku Consensuses on Enteral Nutrition, Working Group on Metabolism and

Clinical Nutrition, 2003.

9. Penyusunan Standarisasi Pelayanan Luka Bakar, bersama Bidang Pelayanan Medik Spesialis, Departemen Kesehatan RI, 2003

10. Pembentukan Asosiasi Luka Bakar Indonesia. Bersama Menteri Kesehatan RI dan Perapi mulai dari Persiapan awal sampai deklarasi pembentukan, 30 April 2004.

11. Penyusunan Buku Organisasi Manajemen Luka Bakar, Resusitasi: Dasar-dasar Manajemen Luka Bakar fase akut dan Petunjuk Praktis Penatalaksanaan Luka Bakar (Asosiasi Luka Bakar Indonesia, Jakarta: 2005)

Penelitian 1. The safety and efficacy of ferracrylum as compared to silver sulfadiazine in the

management of second degree burn, RSCM, 2005. 2. The safety and efficacy of calcium alginate tulle and calcium alginate with placenta tulle as

compared to standard tulle used in the management of second degree burn, RSCM, 2006 3. Profil Gangguan Metabolisme pada Luka Bakar di UPK Luka Bakar RSCM. Pengamatan

retrospektif pada kasus-kasus di RSCM selama 5tahun. Last Updated: 3/17/06

top related