legalitas sumpah advokat untuk beracara di …lib.unnes.ac.id/6657/1/8322.pdf · legalitas sumpah...
Post on 09-May-2018
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LEGALITAS SUMPAH ADVOKAT UNTUK BERACARA DI PENGADILAN MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT PASCA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 101/PPU-VII/2009
Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Universitas Negeri Semarang
oleh
Heigo Pebrianto
3450407073
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul “Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara di Pengadilan
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009” yang disusun oleh Heigo
Pebrianto telah disetujui pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian
skripsi, pada :
Hari :
Tanggal :
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
ALI MASYHAR, S.H., M.H ANIS WIDYAWATI, S.H.,M.H NIP. 19751118 200312 1 002 NIP. 19790602 200801 2 021
Mengetahui
Pembantu Dekan Bidang Akademik
Drs. SUHADI, S.H, M.Si NIP. 19671116 199309 1 001
ii
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara di Pengadilan
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009” ini telah dipertahankan di
hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang pada :
Hari :
Tanggal :
Ketua Sekretaris
Drs. SARTONO SAHLAN, M.H Drs. SUHADI, S.H., M,SI NIP : 19530825 198203 1 003 NIP : 19671116 199309 1 001
Penguji Utama
Drs. Herry Subondo, M. Hum NIP : 19530406 198003 1 003
Penguji/Pembimbing I Penguji/Pembimbing II
ALI MASYHAR, S.H., M.H ANIS WIDYAWATI, S.H.,M.H NIP. 19751118 200312 1 002 NIP. 19790602 200801 2 021
iii
PERNYATAAN
Penulis menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini adalah benar-benar
hasil karya penulis sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain baik
sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam
skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 25 Agustus 2011
Pembuat pernyataan
Heigo Pebrianto NIM : 3450407073
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Keberhasilan Orang Tua Dalam Mendidik Anak Bukan Dilihat Dari
Kekayaan Yang Dimiliki Anaknya, Namun Dilihat Dari Bagaimana Anak
Tersebut Menjaga Kehormatan Orang Tuanya Dikala Mereka Masih Hidup
Dan Menjaga Nama Baiknya Dikala Mereka Telah Tiada (Penulis)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada :
1. Almarhum Papa (Sukadi), meskipun Allah hanya
memberikan waktu 17 tahun kebersamaan, 17 tahun itu
pula waktu terindah yang Engkau berikan kepada ku
untuk merasakan cinta seorang ayah. semoga kita dapat
berkumpul kembali di Surga Allah Swt
2. Almarhumah Ibu (Romenah) sampai kapanpun penulis
tak akan menganggap ibu telah tiada
3. Kakak-kakakku tercinta
* Herry Efendi, S. H
* Herny Atikayani, S. H
* Anwar Hendra Ardiansyah, S. H
4. Almamaterku Universitas Negeri Semarang
v
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara
Di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009” ini tepat pada
waktunya.
Mengingat keterbatasan kemampuan serta pengalaman penulis, juga
keterbatasan sarana dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mengalami
kesulitan-kesulitan, namun berkat bantuan serta bimbingan dari semua pihak,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari
kebijaksanaan, sumbangsih, dukungan, serta bantuan dari berbagai pihak, maka
ijinkanlah pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Allah SWT, pencipta dan penguasa alam semesta beserta mahlukNya.
2. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmojo, M.Si, Rektor Universitas Negeri Semarang.
3. Drs. Sartono Sahlan, M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang.
4. Dr. Indah Sri Utari, S.H., M.Hum, Ketua Bagian Pidana Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang.
vi
5. Ali Masyhar, S.H., M.H, Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
petunjuk dan bimbingan hingga skripsi ini selesai.
6. Anis Widyawati, S.H., M.H, Dosen Pembimbing II yang dengan sabar
memberikan petunjuk dan bimbingan hingga skripsi ini selesai.
7. Seluruh Dosen, Staf Pengajar dan Tata Usaha di Fakultas Hukum Universitas
Negeri Semarang.
8. Kepala Pengadilan Negeri Cirebon, Kepala Pengadilan Tinggi Bandung,
Ketua DPC Peradi Cirebon, dan Ketua DPC KAI Cirebon beserta para stafnya
yang telah memberikan data dan informasi kepada penulis.
9. Rekan-rekan Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
angkatan 2007 yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
banyak membantu serta dorongan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Rekan-rekan kos “Jogo Bonito” yang telah banyak membantu serta dorongan
untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis mengharapkan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya
Semarang, 25 Agustus 2011
Penulis,
Heigo Pebrianto
3450407073
vii
ABSTRAK
Pebrianto Heigo. 2011, Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2011. Skripsi. Prodi Ilmu Hukum. Universitas Negeri Semarang, Ali Masyhar, S.H., M.H. Anis Widyawati, S.H.,M.H. 119 Halaman.
Kata Kunci : Sumpah, Advokat, Legalitas
Dalam Undang-Undang Advokat yang menjadi permasalah dalam penelitian ini terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1). Dalam Pasal 28 ayat (1) diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat. Namun kenyataannya terdapat banyak Organisasi Advokat. Kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) diamanatkan untuk dilakukan sumpah terhadap advokat sebelum beracara di pengadilan. Namun dalam perkembangannya Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 052/KMA/V/2009 memerintahkan agar Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk sementara waktu tidak mengambil sumpah advokat baru sebelum terbentuknya wadah tunggal advokat. Terkait berbagai permasalahan sumpah advokat tersebut, telah dilakukan upaya uji materiil terhadap Undang-Undang Advokat yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 101/PPU-VII/2009 ternyata bertentangan dengan SEMA Nomor 052/KMA/V/2009. Hal ini tentunya akan menciptakan dualisme pandangan di Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri apakah mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi atau Surat Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan sikap tentang advokat yang legal untuk dapat beracara di pengadilan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai : bagaimana sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?, dan bagaimana sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?. Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui dan menganalisis sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, serta Mengetahui sejauh mana sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukkan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling, dengan jenis sampling yaitu purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Serta menggunakan teknik trianggulasi dalam validitas dan keabsahan data.
Adapun Hasil penelitian adalah sebagai berikut : (1) Pada Pengadilan Tinggi menunjukan bahwa Pengadilan Tinggi belum menjalankan sepenuhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 dan lebih memilih
viii
untuk menjalankan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009. Pengadilan Tinggi beralasan bahwa sebagai lembaga yang secara organisatoris berada di bawah Mahkamah Agung, maka Pengadilan Tinggi harus tunduk pada Mahkamah Agung bukan pada lembaga lain termasuk pada Mahkamah Konstitusi dan putusan yang dihasilkannya. (2) Sedangkan pada Pengadilan Negeri menunjukkan bahwa sumpah advokat harus sesuai dengan Undang-Undang Advokat, dimana menyatakan seorang advokat yang tidak disumpah Pengadilan Tinggi adalah advokat yang tidak sah, sehingga secara hukum advokat yang tidak disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi tidak berhak beracara dalam persidangan di pengadilan. Namun dalam prakteknya advokat yang belum disumpah dalam di Pengadilan Tinggi diperbolehkan menjadi kuasa hukum, tetapi sifatnya mendampingi advokat lain yang sudah sah yang telah disumpah oleh Pengadilan Tinggi.
Dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Tinggi tidak menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, Pengadilan Tinggi lebih memilih untuk menjalankan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009. Sedangkan Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukkan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 adalah tidak sah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Advokat. Dari simpulan tersebut dapat diberikan saran bahwa agar advokat memiliki legalitas seperti yang dikehendaki Undang-Undang Advokat, maka Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 seharusnya dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi dengan mengadakan sidang terbuka untuk melakukan penyumpahan terhadap para advokat tanpa memandang organisasinya, dan Sikap Pengadilan Negeri dalam menanggapi kasus sumpah advokat tersebut sebaiknya menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 karena mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi lebih berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tentunya hal ini dilakukan sambil menunggu organisasi advokat menyelesaikan permasalahan intern mereka dengan baik.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... ii
PENGESAHAN ............................................................................................. iii
PERNYATAAN ............................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
PRAKATA .................................................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Identifikasi Masalah ............................................................... 9
1.3 Pembatasan Masalah .............................................................. 9
1.4 Rumusan Masalah .................................................................. 10
x
1.5 Tujuan Penelitian .................................................................... 10
1.6 Manfaat Penelitian .................................................................. 10
1.7 Sistematika Skripsi ................................................................. 12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.6 Pengertian dan Organisasi Advokat ........................................ 14
2.3 Sumpah Advokat ..................................................................... 16
2.3 Kewenangan dan Fungsi Lembaga Kehakiman ...................... 18
2.3.1 Kewenangan dan Fungsi
Mahkamah Agung. ......................................................... 20
2.3.2 Kewenangan dan Makna Putusan
Mahkamah Konstitusi .................................................... 21
2.3.3 Kewenangan Hakim ....................................................... 23
2.4 Administrasi Peradilan Pidana ................................................ 25
2.5 Kerangka Berpikir………… ................................................... 26
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Dasar Penelitian ....................................................................... 27
3.2 Metode Pendekatan ................................................................. 28
3.3 Lokasi Penelitian ..................................................................... 29
xi
3.4 Fokus Penelitian ...................................................................... 29
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian............................................... 30
3.3.2 Populasi……………………………………………… .. 30
3.5.2 Sampel Penelitian……………………………………. .. 30
3.6 Sumber Data Penelitian ........................................................... 31
3.6.1 Sumber data primer…………………………………….. 31
3.6.2 Sumber data sekunder…………………………………. 32
3.7 Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 33
3.7.1 Wawancara…………………………………….. ........... 33
3.7.2 Dokumen ........................................................................ 34
3.1 Validitas dan Keabsahan Data ................................................. 34
3.9 Metode Analisis Data .............................................................. 37
3.10 Prosedur penelitian .................................................................. 40
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Sikap Pengadilan Tinggi Terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 ...................................... 42
4.1.1 Tugas dan Fungsi Mahkamah Agung ............................. 46
4.1.2 Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi ........................ 53
xii
4.1.3 Tugas dan Fungsi Pengadian Tinggi ............................... 70
4.1.3.1 Sikap Para Advokat Terhadap Putusan
MK Nomor 101/PPU-VII/2009 ........................ 81
4.1.3.2 Pendapat Pengadilan Tinggi Jogjakarta
Sebagai Data Pembanding ................................ 88
4.2 Sikap Pengadilan Negeri Terhadap Advokat Yang
Tidak Menunjukan Berita Acara Sumpah
Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PPU-VII/2009 ....................................................... 92
4.2.1 Pendapat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Sebagai Data Pembanding .............................................. 101
BAB 5 PENUTUP
5.2 Simpulan .................................................................................. 114
5.2 Saran ........................................................................................ 115
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 117
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR BAGAN
1. Bagan 1 Peran dan Fungsi Lembaga Kehakiman .................................... 20
2. Bagan 2 Kerangka Berpikir...................................................................... 26
3. Bagan 3 Skema Trianggulasi ................................................................... 36
4. Bagan 4 Gambaran Kekuasaan Kehakiman ............................................. 45
5. Bagan 5 Cara Hakim Mengetahui Sumpah Advokat ............................... 99
6. Bagan 6 Tanggapan Hakim Terhadap Putusan MK................................. 101
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Keputusan Pembimbing Skripsi ..................................................... 120
2. Formulir Pembimbingan Penulisan Skripsi ............................................. 122
3. SEMA Nomor 052/KMA/V/2009 perihal sikap Mahkamah
Agung Terhadap Organisasi Advokat ...................................................... 126
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 .................... 128
5. Pedoman wawancara di Pengadilan Negeri ............................................. 167
6. Pedoman wawancara di Pengadilan Tinggi ............................................. 169
7. Pedoman wawancara di DPC PERADI Cirebon ..................................... 171
8. Pedoman wawancara di DPC KAI Cirebon ............................................. 173
9. Artikel Koran dari Radar Cirebon tertanggal 12 Mei 2010 ..................... 175
10. Penetapan Pengadilan Negeri Cirebon
Nomor 32/Pid.B/2010/PN.CN ................................................................ 177
11. Penetapan Pengadilan Negeri Cirebon
Nomor 31/Pid.B/2010/PN.CN ................................................................. 183
12. Surat ijin Penelitian dari Fakultas untuk
Pengadilan Negeri Cirebon ...................................................................... 188
13. Surat Jawaban Ijin Penelitian dari Pihak
xv
Pengadilan Negeri Cirebon ...................................................................... 189
14. Surat ijin Penelitian dari Fakultas untuk
Pengadilan Tinggi Bandung ..................................................................... 190
15. Surat Jawaban Ijin Penelitian dari Pihak
Pengadilan Tinggi Bandung ..................................................................... 191
16. Surat ijin Penelitian dari Fakultas untuk DPC PERADI Cirebon ............ 192
17. Surat Jawaban Ijin Penelitian dari Pihak DPC PERADI Cirebon ........... 193
18. Surat ijin Penelitian dari Fakultas untuk DPC KAI Cirebon ................... 195
19. Surat Jawaban Ijin Penelitian dari Pihak DPC KAI Cirebon ................... 196
xvi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Advokat dalam penggunaan Bahasa Indonesia sehari-hari lebih sering
disebut sebagai Pengacara atau Konsultan Hukum. Namun, setelah disahkannya
Undang-Undang Advokat istilah yang dipergunakan hanya advokat, tidak lagi
mengenal istilah Pengacara, Konsultan Hukum ataupun istilah lainnya. Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat merupakan undang-undang
pertama yang lahir sejak Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 yang
khusus mengatur tentang keberadaan advokat sebagai suatu organisasi hukum
yang bebas dan mandiri dalam menegakkan hukum. Oleh karena itu keberadaan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dirasakan sangat
diperlukan demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum, karena
dalam Undang-Undang Advokat tersebut kedudukan advokat disejajarkan dengan
penegak hukum lainnya yaitu : polisi, jaksa dan hakim atau yang disebut dengan
(catur wangsa).
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mencabut
dan menyatakan tidak berlaku lagi beberapa peraturan lama produk Jaman
Kolonial Belanda yang mengatur tentang keberadaan Advokat yaitu : Reglement
op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Staatblad
1847 Nomor 23 jo. Staatblad 1848 Nomor 57) Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala
perubahan dan penambahannya, Bepalingen betreffende het kostuum der
1
2
Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders
(Staatblad 1848 Nomor 8), Bevoegdheid departemen thoofd in burgelijke zaken
van land (Staatblad 1910 Nomor 446 jo. Staatblad 1922 Nomor 523) dan
Vertegenwoordiging van de land inrechten (K.B.S 1922 Nomor 522).
Dalam perspektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat di
Indonesia tidak bisa lepas dari keterkaitannya dengan perubahan sosial. Para
advokat Indonesia terseret dalam arus perubahan tersebut. Pada masa pra
kemerdekaan dan tahun-tahun berikutnya setelah Indonesia merdeka, secara
individu banyak advokat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, terutama
perjuangan politik dan diplomasi. Kala itu kaum intelektual dan pemimpin politik
Indonesia memang terbatas pada mereka yang berasal dari kalangan advokat,
dokter, insinyur dan pamong peraja. Mereka terdidik dalam lingkungan liberal
dan etika berpikir Eropa Barat termasuk Belanda. Karena kedudukan yang cukup
terhormat itu, maka perannya cukup signifikan dalam menentukan sikap politik
para pemimpin Indonesia pada masanya, seperti ikut merumuskan dasar-dasar
konstitusi Indonesaia.
Lahirnya Undang-Undang Advokat, merupakan hasil perjuangan yang
panjang sejak dulu, selama ini advokat selalu menjadi “anak bawang” dalam
sistem hukum dan sistem peradilan. Hampir seluruh peraturan perundang-
undangan yang dibuat tentang peradilan tidak mengakui secara tegas fungsi
advokat di dalamnya. Bahkan sebagian produk perundang-undangan tersebut
justru mendatangkan intervensi eksternal atas advokat oleh pemerintah dan
birokrasi peradilan. Penghargaan terhadap fungsi advokat dalam undang-undang
3
mengenai peradilan biasanya baru datang bersamaan dengan diperkenalkannya
prinsip-prinsip peradilan yang baik, seperti ketika dibentuknya Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Namun karena diatur secara
simbolis, maka permasalahan tentang fungsi advokat tidak secara nyata
diselesaikan, sebagaimana tidak nyatanya penyelesaian masalah-masalah yang
menghambat terciptanya prinsip-prinsip peradilan yang baik. Oleh sebab itulah
upaya mempertegas pengakuan negara terhadap fungsi advokat dalam sistem
peradilan harus sejalan dengan upaya mengakomodasikan sebesar-besarnya
kepentingan publik dalam pelaksanaan peradilan. Namun harapan untuk
membentuk komunitas profesi advokat yang kuat dan mampu meletakkan fungsi
profesi dalam kerangka sistem peradilan tidak pernah terwujud di Indonesia.
Hingga akhirnya mereka mulai mencari bantuan pihak luar untuk ikut
menyelesaikan persoalannya, dalam hal ini pilihan jatuh pada negara.
Berawal dari Kongres PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) tahun
1969, perjuangan advokat untuk mengupayakan undang-undang profesinya
terangkat kembali ke permukaan pada Kongres Peradin tahun 1973. Rancangan
Undang-Undang Pokok Advokat yang dibicarakan dalam Kongres tersebut
merupakan hasil rumusan dari Peradin-Peradin di Jawa Tengah, dengan
membandingkan undang-undang sejenis yang ada di negara-negara lain seperti
India, Jepang, RRC, dan Muangthai, termasuk juga Belanda. Namun upaya ini
terhenti sejalan dengan melemahnya Peradin di tahun-tahun berikutnya. Apalagi
saat itu tidak sedikit pimpinan dan anggota Peradin yang menolak usulan tersebut.
4
Mereka percaya bahwa keberadaan Undang-Undang Advokat akan semakin
membahayakan kemandirian advokat sendiri.
Perjuangan selanjutnya untuk mengupayakan terbentuknya Undang-Undang
Advokat adalah setelah terbentuknya IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia) pada
tahun 1985, upaya mengusung Rancangan Undang-Undang Advokat kembali
dilakukan. Namun kala itu political will pemerintah tidak cukup memadai untuk
membawa gagasan tersebut secara resmi dalam proses legislasi. Rancangan
Undang-Undang Advokat bahkan sempat beberapa kali berubah, baik nama
maupun konsep pengaturannya. Hingga akhirnya pada Tahun 2000, pemerintah
Republik Indonesia menyerukan perlunya diajukan Rancangan Undang-Undang
tentang Profesi Advokat ke DPR-RI, dengan harapan agar seluruh advokat yang
berpraktek di Pengadilan disyaratkan untuk memiliki izin praktek, dan mentaati
ketentuan kode etik profesi yang seragam.
Dalam rangka melaksanakan klausul tersebut, pemerintah akhirnya
membentuk tim perumus Rancangan Undang-Undang tentang Profesi Advokat
yang dipimpin oleh HAS Natabaya (mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum
Nasional) sebagai ketua dan Adnan Buyung Nasution sebagai wakil ketua, dengan
merangkul perwakilan dari beberapa organisasi advokat yang ada, seperti : Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan
Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia
(AKHI). Tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya pada bulan September
2000, dengan mengajukan Rancangan Undang-Undang yang dibuat kepada
pimpinan DPR RI melalui surat Nomor. R.19/PU/9/2000. Kemudian Rancangan
5
Undang-Undang tersebut disahkan menjadi undang-undang pada tahun 2003
dalam bentuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Namun setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat, ternyata dianggap oleh sebagian besar advokat sebagai produk
hukum yang malah menambah masalah (kriminogen). Sebenarnya sampai saat ini
belum pernah dicapai kesepakatan bulat dan tuntas di antara para advokat
mengenai perlu tidaknya profesi diatur dalam undang-undang tersendiri, sehingga
selalu terdapat dua pandangan yang saling berseberangan.
Pandangan pertama, sebagian pandangan mayoritas di kalangan advokat,
menyatakan bahwa Undang-Undang Advokat mutlak diperlukan untuk
menyetarakan status antara profesi advokat dengan unsur-unsur peradilan lainnya
(seperti polisi, jaksa, dan hakim). Tanpa status yang setara, advokat akan terus
menjadi "anak bawang" dalam proses peradilan, dan selalu dipandang sama
swastanya dengan klien yang diwakili. Akibatnya, advokat tidak dapat
menjalankan perannya secara optimal karena rentan terhadap tindak diskriminasi,
intervensi, dan represi baik dari polisi, jaksa, maupun hakim.
Pandangan kedua, menyatakan bahwa Undang-Undang Profesi Advokat
memang diperlukan untuk menyetarakan status antara profesi advokat dengan
unsur-unsur peradilan lainnya (polisi, jaksa, dan hakim). Namun isi yang
terkandung didalamnya terdapat banyak kerancuan yang justru dapat membuat
posisi advokat menjadi organisasi profesi yang diakui secara undang-undang
namun tidak diakui sepenuhnya dalam praktek di pengadilan.
6
Salah satu isi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
yang dapat menjadi permasalah besar adalah melalui Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28
ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Pasal 28
ayat (1) diamanatkan untuk membentuk wadah tunggal organisasi advokat, yang
kemudian lahir PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), namun dalam
perkembangannya di internal organisasi advokat itu sendiri malah terjadi
perpecahan, sehingga muncul lagi organisasi advokat lain yaitu KAI (Konggres
Advokat Indonesia) dan (AAI) Asosiasi Advokat Indonesia.
Kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan : “sebelum menjalankan
profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
hukumnya”. Namun dalam perkembangannya Mahkamah Agung Republik
Indonesia melalui Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009
Tanggal 01 Mei 2009 memerintahkan agar semua Ketua Pengadilan Tinggi di
seluruh Indonesia untuk sementara waktu tidak mengambil sumpah advokat baru
yang dimintakan penyumpahannya, sebelum terbentuknya wadah tunggal advokat
seperti yang diamanatkan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat.
Terkait berbagai permasalahan tersebut, telah dilakukan upaya uji materiil
terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang diajukan
ke Mahkamah Konstitusi atas usulan dari beberapa advokat senior. Uji meteriil
tersebul ditujukan khususnya pada Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1). Namun
putusan dari Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
7
101/PPU-VII/2009 ternyata cenderung mengambang dan tidak tegas dalam
memutuskan mencabut atau tidak dari pasal yang dilakukan uji Materiil tersebut.
Hal ini tentunya akan menciptakan dualisme pandangan di Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri apakah mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi
atau Surat Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan sikap tentang advokat
yang legal untuk dapat beracara di pengadilan. Bahkan mungkin akan terjadi
perbedaan pandangan di setiap Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dimana
seorang advokat dinyatakan legal di Pengadilan Negeri A namun dinyatakan tidak
legal oleh Pengadilan Negeri B.
Salah satu contoh dari permasalahan tersebut adalah yang terjadi di
Pengadilan Negeri Kota Cirebon dimana pada sidang perkara pidana
No.32/Pid.B/2010/PN.CN Jaksa Penuntut Umum menanyakan perihal berita acara
penyumpahan advokat dari Pengadilan Tinggi terhadap tim advokat tersebut
sebagaiman yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat. Namun tim advokat tersebut tidak dapat menunjukan berita
acara penyumpahan advokat terhadap dirinya (Radar Cirebon, 12 Mei 2010).
Advokat tersebut beralasan bahwa keharusan seorang advokat untuk disumpah
oleh Pengadilan Tinggi sebelum dapat beracara di pengadilan berdasarkan Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 telah dicabut/dibatalkan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 karena
dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Alasan tersebut tidak dapat diterima
oleh Jaksa Penuntut Umum karena menurutnya Putusan Mahkamah Konstitusi
8
Nomor 101/PPU-VII/2009 tersebut tidaklah mencabut atau membatalkan isi dari
pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Maka majelis hakim pada persidangan tersebut dengan mengacu pada
pertimbangan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 mengeluarkan penetapan
No.32/Pid.B/2010/PN.CN yang berisikan bahwa : “Tim Advokat/Penasehat
hukum yang mendampingi para terdakwa tidak mempunyai kewenangan untuk
mendampingi para terdakwa dalam perkara pidana No. 32/Pid.B/2010/PN.CN”.
Kasus di atas merupakan satu dari banyak kasus yang mungkin akan terjadi,
hal ini dapat dilihat dari semakin maraknya Uji Materiil Undang-Undang Advokat
ke Mahkamah Konstitusi yang belakangan ini terjadi. Menurut Ketua Mahkama
Konstitusi saat itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, dapat disimpulkan bahwa
Undang-Undang Advokat bermasalah, baik itu dari segi isi maupun proses
pembentukannya (hukumonline.com, 1 Desember 2006).
Dengan melihat permasalahan yang terjadi dan menurut penjelasan Putusan
Mahkamah Konstitusi di atas penulis tertarik untuk membuat skripsi dengan
mengambil judul : ”LEGALITAS SUMPAH ADVOKAT UNTUK BERACARA
DI PENGADILAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN
2003 TENTANG ADVOKAT PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 101/PPU-VII/2009”.
9
1.2 Identifikasi masalah
Melihat dari latar belakang permasalahan yang ada, maka penulis
mengklasifikasikan masalah yang mungkin muncul, yakni :
1) Sumpah advokat bisa menjadi masalah di pengadilan.
2) Saling klaim sebagai organisasi advokat yang sah menurut undang-undang.
3) Sikap yang berbeda-beda dari masing-masing Pengadilan Tinggi yang ada di
Indonesia dalam menanggapi permasalahan sumpah advokat.
4) Sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PPU-VII/2009.
5) Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita
acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-
VII/2009.
6) Sah tidaknya berpraktek di sidang pengadilan tanpa adanya sumpah.
7) Akibat hukum dari batalnya sumpah.
1.3 Pembatasan Masalah
Agar dalam melakukan penelitian tidak menyimpang dari judul yang dibuat,
maka penulis perlu melakukan pembatasan masalah untuk mempermudah
permasalahan dan mempersempit ruang lingkup, yang dalam hal ini adalah :
1) Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita
acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-
VII/2009
10
2) Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukan berita
acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-
VII/2009.
1.4 Rumusan Masalah
1) Bagaimana sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PPU-VII/2009?
2) Bagaimana sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat
menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PPU-VII/2009?
1.5 Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan yang hendak dincapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) Mengetahui dan menganalisis sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.
2) Mengetahui sejauh mana sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak
dapat menunjukkan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PPU-VII/2009.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan yang bermanfaat
bagi pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya. Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 merupakan putusan yang menarik untuk
dikaji, karena isi dari putusan tersebut cenderung mengambang dan dapat
11
menimbulkan banyak tafsir dalam mengartikannya terutama dikalangan aparat
penegak hukum yang berkepentingan di dalam pengadilan pada umumnya dan
dikalangan organisasi-organisasi advokat pada khususnya. Sehingga
dikhawatirkan dapat mengganggu prinsip penegakan hukum yang baik di
Indonesia.
1.6.1 Manfaat Teoritis
1) Diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu hukum
dan khususnya Hukum Acara Pidana.
2) Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran
untuk dijadikan arah penelitian yang lebih lanjut pada masa yang akan
datang.
3) Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan agar
dalam pembuatan keputusan tidaklah mengambang dan menimbulkan
tafsir yang beragam.
1.6.2 Manfaat Praktis
1) Bagi Mahasiswa
Memberikan suatu gambaran mengenai suatau permasalahan yang timbul
dalam tata cara beracara di pengadilan sehingga dapat memotifasi
mahasiswa agar daat labih jauh lagi mendalami ilmu hukum tidak
terbatas hanya pada hukum formil dan Materiil saja tetapi dari
permasalahan hukum yang kompleks yang mungkin dapat timbul dalam
penerepan hukum itu sendiri
12
2) Bagi Pengajar
Penelitian ini dapat memberikan suatu gambaran bahwa permasalahan
hukum dapat timbul tidak hanya dari materi hukum pidana yang
senantiasa diajarkan pada mahasiswa tapi dapat timbul dari aspek Hukum
Tata Negara maupun Hukum Administrasi Negara. Sehingga dalam
pembelajarannya perlu menggunakan pendekatan yang lebih kompleks
agar dapat menghasilkan lulusan-lulusan ilmu hukum yang berkualitas.
1.7 Sistematika Skripsi
Penulisan skripsi ini disusun dengan sistemtika pembahasan sebagai berikut :
1.7.1 Bagian awal skripsi yang memuat:
Halaman judul, pengesahan, sari, motto dan persembahan, prakata, daftar isi
dan daftar lampiran.
1.7.2 Bagian pokok skripsi yang memuat:
BAB 1 PENDAHULUAN, Bab ini menguraikan tentang : latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penelitian.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, Bab ini berisi tentang : pengertian
advokat, sumpah advokat, kewenangan dan fungsi lembaga
kehakiman, administasi peradilan pidana, dan kerangka berfikir
dari penelitian.
13
BAB 3 METODE PENELITIAN, bab ini menguraikan tentang: dasar
penelitian, metode pendekatan, lokasi penelitian, fokus penelitian,
populasi dan sampel penelitian, sumber data penelitian, teknik
pengumpulan data, validasi dan keabsahan data, metode analisis
data, dan prosedur penelitian.
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, bab ini
menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan mengenai :
a. Sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009,
b. Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak
dapat menunjukkan berita acara sumpah setelah Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009; dan
BAB 5 PENUTUP, bab ini menguraikan tentang simpulan dan saran.
1.7.3 Bagian akhir skripsi yang memuat : daftar pustaka dan lampiran.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
2.1 Pengertian dan Organisasi Advokat Sebelum menjelaskan tentang legalitas sumpah advokat untuk beracara di
pengadilan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, terlebih dahulu
akan diuraikan tentang pengertian advokat.
Advokat berasal dari kata “advocaat”, dalam bahasa latin yaitu “advocatus”
yang berarti pembela ahli hukum dalam perkara baik di dalam atau di luar
pengadilan. Advokat merupakan salah satu organ hukum yang sangat penting
kedudukannya dalam beracara di sidang pengadilan baik pada perkara Pidana,
Perdata maupun Tata Usaha Negara. Hal ini menjadi sangat penting karena dalam
penegakan supremasi hukum di Indonesia Undang-Undang Advokat memberikan
kedudukan advokat tersebut setara penegak hukum lainnya yaitu : polisi, jaksa
dan hakim atau yang disebut dengan catur wangsa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian advokat adalah
ahli hukum yang berwenang bertindak sebagai penasihat atau pembela perkara di
pengadilan. Selain itu dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : “advokat merupakan seseorang
yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang
untuk memberi bantuan hukum”. Kemudian dalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, disebutkan bahwa: “advokat
14
15
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang- undang
ini.”
Terhadap permasalahan sumpah advokat yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini, kemudian dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Advokat yang menyatakan : “sebelum menjalankan profesinya, Advokat
wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di
sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
Isi Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat tersebut merupakan syarat
yang diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat dan harus dimiliki oleh seorang
advokat sebelum dinyatakan legal untuk beracara di pengadilan dengan tanpa
melihat dari organisasi advokat mana advokat itu berasal.
Sumpah atau janji pihak-pihak yang terlibat dalam persidangan juga diatur
dalam Pasal 76 ayat (1) dan (2) KUHAP
1) dalam hal berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai tata caranya.
2) apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal menurut hukum.
Berdasarkan isi dari Pasal 76 ayat (1) dan (2) KUHAP sangat jelas dikatakan
bahwa para pihak yang terlibat dalam persidangan diaruskan diambil sumpahnya
baik berdasarkan KUHAP maupun berdasarkan undang-undang lain (Undang-
Undang Advokat) yang mengatur secara khusus mengatur, jika tidak terpenuhi
maka sumpah tersebut batal demi hukum.
16
Dalam Kamus Hukum karangan Marwan dan Jimmy dikatakan bawa
Organisasi Advokat adalah “organisasi profesi pengacara atau advokat yang
didirikan berdasarkan undang-undang”. Dalam Undang-Undang Advokat
dinyatakan bahwa hanya ada satu organisasi advokat dalam suatu yurisdiksi.
Organisasi lain tetap mungkin ada, tetapi hanya satu yang diakui negara dan para
advokat wajib bergabung di dalamnya. Namun pada kenyataannya, sampai
dengan saat ini belum juga terbentuk wadah tunggal advokat seperti yang
diinginkan di dalam Undang-Undang Advokat.
Permasalahan yang mengakibatkan Organisasi Advokat sulit bersatu
menurut Daniel S Lev adalah :
“Profesi advokat tidak lagi merupakan perkumpulan yang dekat, melainkan lebih memuat kelompok-kelompok yang berbeda bedasarkan asal, pengalaman, dan orientasi professional. Jika pada masa lampau perbedaan utama hanya antara advokat professional dan pokrol bambu, maka saat ini terlalu banyak garis perbedaan yang memisahkan advokat yang satu dari yang lain” (Daniel, 2001 : 51)
2.2 Sumpah Advokat
Sumpah advokat yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini
merupakan syarat yang diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat dan harus
dimiliki oleh seorang advokat sebelum dinyatakan legal untuk beracara di
pengadilan dengan tanpa melihat dari organisasi advokat mana advokat itu
bersasal.
Selain itu, dalam Pasal 4 ayat (1) yang merupakan inti permasalahan dari
penelitian ini, dikatakan pula bahwa dalam menjalankan profesinya, seorang
advokat harus memegang teguh sumpah advokatnya dalam rangka menegakkan
17
hukum Rambe, 2001 : 33). Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Advokat
telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan
tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat
adalah dari sumpah advokat yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dimana sumpah tersebut dilakukan
sebelum menjalankan profesinya, yaitu:
“demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
1) bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
2) bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga
3) bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan
4) bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara klien yang sedang atau akan saya tangani
5) bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat
6) bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat.
Sumpah advokat tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan
menjalani profesi sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat.
Menurut Jimly Asshiddiqie (2005 : 9)
“Seandainya setiap advokat tidak hanya mengucapkannya sebagai formalitas, tetapi meresapi, meneguhi, dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat lebih baik.
18
Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan keadilan”.
2.3 Kewenangan dan Fungsi Lembaga Kehakiman Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka
salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal
24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 amandemen ke-4, disebutkan bahwa :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”.
Namun dalam penelitian ini hanya kewenangan Mahkamah Agung dan
kewenangan Mahkamah Konstitusi serta sedikit penjelasan mengenai kewenangan
Hakim yang akan dijelaskan.
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah adalah dua lembaga yang terpisah.
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam (Mahkamamah Konstitusi dan Pengujian
19
Undang-Undang), karena pada hakikatnya keduanya memang berbeda.
Mahkamah Agung lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice),
sedangkan Mahkamah Konstitusi lebuh berkenaan dengan lembaga pengadilan
hukum (court of law). Memang tidak dapat dibedakan sepenuhnya sebagai “court
of justice” versus “court of law”.
Pada awalnya rumusan yang diusulkan adalah seluruh kegiatan “judicial
review” diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga mahkamah agung
dapat berkonsentarsi menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat
mewujudkan rasa adil bagi setiap warga Negara (Huda, 2009 : 2003). Namun
UUD 1945 memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan dibawah
undang-undang kepada Mahkamah Agung. Di lain pihak, Mahkamah Konstitusi
juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan membuktikan unsure tanggung
jawab pidana presiden dan/atau wakil presiden yang menurut DPR telah
melakukan pelangaran hukum terhadap UUD. Dengan kata lain Mahkamah
Agung tetap diberikan kewenangan sebagai court of law disamping fungsinya
sebagai court of justice. Sementara itu Mahkamah Konstitusi tetap diberi tugas
yangberkenaan sebagai court of justice disamping fungsi utamanaya sebagai court
of law (Huda, 2009 : 202-203).
Pembagian tugas di bidang pegujian peraturan (judicial review) atas
peraturan perundang-undangan antara Mahkmah Agung dan Mahkamah
Konstitusi menurut Jimly Asshiddiqie dalam (Mahkamamah Konstitusi dan
Pengujian Undang-Undang) sama sekali tidak ideal karena dapat menimbulkan
perbedan atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkmah Agung dan
20
Mahkamah Konstitusi ke depan, yang mana hrus dipikirkan kemungkinan
mengintegrasikan seluruh system pengujian peraturan dibawah kewenangan
Mahkamah Konstitusi.
Peran dan fungsi dari masing-masing lembaga kehakiman berdasarkan UUD
1945 amandemen ke-4 tergambar dalam bagan berikut ini :
Bagan 1 Peran dan fungsi Lembaga Kehakiman
2.3.1 Kewenangan dan Fungsi Mahkamah Agung
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman : “Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945,”
Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi negara dari badan
peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana
21
dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman :
“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Kewenangan dari Mahkamah Agung sebagai mana disebutkan dalam
Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman adalah :
1) mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain.
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
3) kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
2.3.2 Kewenangan dan Makna Putusan Mahkamah Konstitusi
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi : “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Landasan Konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 24C
UUD 45, yang menyebutkan :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untukmenguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partaipolitik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
22
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan
Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Hal ini sesuai
dengan kewenangan dari Mahkamah Konstitsi yang tertuang dalam Pasal 10
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi :
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
3) memutus pembubaran partai politik 4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum 5) Memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan
Presiden/Wakil Presiden melanggar hukum, berupa : mengkhianati negara, korupsi, suap, t indakpidana berat lainnya, atau perbuatan tercela lainnya.
Dalam memutuskan perkara Pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan
sebagimana yang terdapat dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi :
1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
23
4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Salah satu asas yang dimiliki Mahkamah Konstitusi terdapat asas
“erga omnes” yaitu bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat
setiap orang. Sehingga setiap orang harus patuh terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi.
2.3.3 Kewenangan Hakim
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memuat pengertian
hakim adalah : “orang yang mengadili perkara di pengadilan atau
mahkamah”. Kewenangan hakim diatur dalam Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam penelitian ini kewenangan hakim dalam memutus suatu
perkara menjadi sangat penting kedudukannya, mengingat dari adanya dua
keputusan dari dua lembaga kehakiman Negara yang salaing bertentangan
satu sama lain. Keputusan pertama datang dari Mahkamah Konstitusi
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009,
keputusan kedua datang dari Mahkamah Agung dengan SEMA Nomor
052/KMA/V/2009.
24
Kedua keputusan tersebut memutus mengenai obyek yang sama yaitu
masalah sumpah advokat. Hal ini tentunya akan membuat hakim bimbang
baik pada hakim Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi dengan
mengikuti pada keputusan siapa yang harus diikuti.
Dalam mengambil sebuah keputusan seorang hakim haruslah mandiri,
dalam arti tidak dibolehkan ada interfensi dari pihak mana pun. Hal ini
berdasarkan atas Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :
1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan Hakim adalah pandangan obyektif dari posisi yang
obyektif. Menurut Kamus Hukum karangan Marwan dan Jimmy, objectief
diartikan sebagai “berpendirian jujur berpandangan yang benar,
berpandangan sesuai keadaan yang sebenarnya”. Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), objektivitas diartikan sebagai “sikap jujur
tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dalam
mengambil keputusan atau tindakan. Dengan demikian ukuran untuk
menentukan apakah seorang Hakim telah melaksanakan tugasnya secara
objektif adalah apabila ia bersikap jujur, tidak dipengaruhi pendapat dan
pertimbangan pribadi atau golongan, berpandangan dan bertindak benar
(sesuai hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku) sesuai
25
dengan keadaan yang sebenarnya dalam mengambil keputusan atau
tindakan dalam setiap pemeriksaan.
2.4 Administrasi Peradilan Pidana
Administrasi pengadilan diantaranya meliputi pengawasan terhadap
anggaran, penunjukan hakim dalam suatu perkara, menciptakan jadwal
persidangan dan mengawasi pekerjaan yang bersifat non-perkara.
Dalam administrasi peradilan diatur mengenai kegiatan yang dilakukan oleh pengadilan untuk menciptakan efisiensi, akurasi dan konsistensi dalam sistim peradilan. Suatu struktur administrasi pengadilan dilakukan dalam rangka menunjang kerja hakim dan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan (Adisoeryo, 2002 : 80) Administrasi peradilan digunakan untuk menegakkan prinsip kekuasaan
kehakimian yang merdeka, maka atas dasar amanat TAP MPR RI No.
X/MPR/1998 yang mengamanatkan Pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi
yudikatif dari eksekutif dengan mengalihkan organisasi, administrasi dan finansial
badan-badan peradilan yang semula berada di bawah departemen-departemen
menjadi berada di bawah Mahkamah Agung, maka diundangkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1
No.1 Juli 2004).
Cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu satuan sistem
yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Selain itu
cabang kekasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juda dapat
26
dipahami mempunyai dua pintu, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi (Asshiddiqie, 2004 : 82-83)
2.5 Kerangka Berpikir
Dalam penulisan skripsi, kerangka berfikir penting untuk menjelaskan
penelitian dalam mencapai tujuan atas sebuah penelitian yang dilakukannya.
Dengan kerangka berfikir diharapkan para pembaca dapat lebih memahami isi dan
makna dari penulisan skripsi ini.
Bagan 2 Kerangka berpikir
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Dasar Penelitian
Metode adalah salah satu cara yang dipergunakan untuk mendapatkan data
dan menguji kebenaran yang valid. Pada penelitian hukum ini peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif.
Metode kualitatif adalah metode yang dipergunakan sebagai prosedur dalam
melakukan penelitian yang dapat menghasilkan data-data yang valid dan
deskriptif, yang di dalamnya dapat secara lisan ataupun tulisan dari para pelaku
yang peneliti amati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu yang
diterangkan secara utuh. Maka dalam hal ini tidak mengisolasi individu atau
organisasi kedalam variable atau hipotesis akan tetapi perlu melihatnya sebagai
satu kesatuan yang utuh (Moleong, 2007: 4).
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan strategi penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Bodgan dan Taylor adalah “prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun
lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati” (Moleong 2007 : 4). Sedangkan
menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental tergantung pada pengamatan
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang
tersebut dalam bahasannya dan peristilahannya” (Moleong, 2007 : 4).
27
28
Strategi penelitian kualitatif digunakan karena beberapa alasan,yaitu :
1) Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apa bila berhadapan
dengan kenyataan yang ada,
2) Kedua,metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan peneliti
dengan pemberi informasi,
3) Ketiga,metode ini lebih peka dan lebih dapat menyasuaikan diri dengan
banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi (Moleong, 2007 : 9-10)
3.2 Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis sosiologis (juridical sociological). Metode pendekatan yuridis sosiologis
adalah suatu penelitian yang menitik beratkan perilaku individu atau masyarakat
dalam kaitannya dalam hukum (Marzuki, 2007 : 87). Hal ini dikarenakan
permasalahan yang akan diteliti adalah didasarkan pada Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PPU-VII/2009, yang berkaitan dengan pandangan hakim dalam menetapkan
legalitas dari advokat untuk beracara di pengadilan. Kemudian akan ditarik
kesimpulan yang bersifat umum. Segi sosiologisnya adalah sikap hakim terkait
sumpah advokat dalam memutuskan kelegalan advokat untuk beracara di
pengadilan. Metode pendekatan dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan
cara pengamatan, wawancara, dan penelaahan dokumen.
29
3.3 Lokasi Penelitian
Penetapan lokasi penelitian sangat penting dalam rangka mempertanggung
jawabkan data yang diperoleh. Dengan demikian maka lokasi penelitian perlu
ditetapkan terlebih dahulu. Lokasi Penelitian atau tempat dimana penelitian ini
dilakukan adalah mengacu dimana permasalahan obyek itu berasal yaitu di
Pengadilan Negeri Cirebon. Namun demikian lokasi lain seperti: Pengadilan
Tinggi Bandung, DPC PERADI Cirebon serta DPC KAI Cirebon juga digunakan.
3.4 Fokus Penelitian
Fokus pada dasarnya adalah masalah yang bersumber dari pengalaman
peneliti atau melalui pengetahuan yang diperolehnya melalui kepustakaan ilmiah
ataupun kepustakaan lainnya (Moleong, 2007 : 97). Penetapan fokus ini sangat
penting sekali, karena dengan adanya fokus maka seorang peneliti dapat
membatasi studi. Selain itu dengan penetapan fokus yang jelas dan mantap, maka
peneliti dapat membuat keputusan yang tepat dalam mencari data.
Fokus dalam penelitian kualitatif sebenarnya adalah masalah itu sendiri.
Yang menjadi fokus dari penelitian ini dibatasi pada Penetapan Pengadilan yang
mempertanyakan kelegalan dari tim advokat yang belum diambil sumpahnya oleh
Pengadilan Tinggi domisili hukumnya untuk mendampingi dan beracara di
Pengadilan Negeri Cirebon.
30
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian
3.5.1 Populasi
Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh
gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti (Soemitro,
1988 : 44). Populasi dalam penelitian ini adalah hakim di Pengadilan Negeri
Cirebon, hakim di Pengadilan Tinggi Bandung, serta advokat dari KAI dan
PERADI
3.5.2 Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2008: 81). Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalahadalah teknik random sampling, yaitu suatu
teknik pengambilan sampel secara sembarangan atau tanpa pilih atau secara
rambang, tetapi dimana setiap objek atau individu atau gejala yang
memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi
sampel (Soemitro, 1988: 47). Jenis sampel yang dipakai adalah purposive
sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
(Sugiyono, 2008: 85).
Keterbatasan waktu dan biaya, maka tidak dapat mengambil sampel
yang besar jumlahnya dan jauh letaknya sehingga untuk memenuhi sampel
tertentu yang diinginkan, maka subyek yang diambil sebagai sampel harus
benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri
yang terdapat pada populasi. Dalam penelitian ini sampel hakim yang
digunakan sebagai sampel penelitian adalah Majelis Hakim yang
31
mengelurakan Penetapan Pengadilan Nomor 31/Pid.B/2010/PN.CN dan
32/Pid.B/2010/PN.CN
3.6 Sumber Data Penelitian Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah “kata-kata dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”
(Moleong, 2007 : 157). Sumber data menyatakan berasal dari mana data
penelitian dapat diperoleh. Di dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber
data:
3.6.1 Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan data pokok yang di perlukan dalam
penelitian yang berasal dari responden dan informan dan merupakan sumber
data utama, yang diperoleh peneliti dari:
3.6.1.1 Responden
Responden merupakan sumber data yang berupa orang,
dalam penelitian ini yang dijadikan responden adalah hakim dan
advokat. Hakim yang dimaksud disini adalah hakim Pengadilan
Negeri Cirebon yang menangani perkara yang disidangkan dalam
kasus ini, sedangkan advokat yang dimaksud disini adalah advokat
yang terlibat dalam kasus ini atau advokat lain yang tidak terlibat
terlibat dalam kasus initetapi mengetahui permasalahan yang terjadi
dalam proses persidangan tersebut. Dari beberapa responden tersebut
diharapkan terungkap kata-kataatau tindakan yang dari orang yang
diamati atau diwawancarai dapat dijadikan sebagai sumber data utama
32
3.6.1.2 Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong,
2006:132). Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah Ketua
Pengadilan Negeri Negeri Cirebon dan Panitera Pengganti Pengadilan
Negeri Cirebon yang menangani kasus tersebut.
3.6.2 Sumber Data Skunder
Data sekunder adalah data yang menunjang data primer dan
merupakan pelengkap bagi data primer. Sumber data sekunder yang
digunakan :
Sumber data sekunder atau data tertulis yang digunakan dalam penelitian ini
dapat berupa:
1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
6) SEMA Nomor 052/KMA/V/2009 tentang Sikap Mahkamah Agung RI
Terhadap Organisasi Advokat
7) SEMA Nomor 113/KMA/IX/2009
8) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009
9) Penetapan Pengadilan Nomor 32/Pid.B/2010/PN.CN
33
10) Artikel berita yang berasal dari koran Radar Cirebon tertanggal 12 Mei
2010.
11) Dokumen dan hasil-hasil penelitian yang ada kaitannya dengan legalitas
advokat.
3.7 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data penelitiannya. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data
yang dilakukan adalah :
3.7.1 Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memeberikan
jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2006:186).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat pengumpulan data
dengan berupa pedoman wawancara yaitu instrumen yang berbentuk
pertanyaan- pertanyaan yang ditujukan Jaksa Penuntut Umum, Majelis
Hakum serta Tim Pengacara yang langsung terlibat dalam persidangan
kasus tersebut.
Untuk memperoleh informasi yang sedekat-dekatnya dan seobjektif-
objektifnya, peneliti dalam melakukan wawancara harus saling bekerjasama,
saling menghargai, saling mempercayai, saling memberi serta saling
menerima.
34
3.7.2 Dokumen
Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang
dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan “contentanalysis”
(Soekanto, 1986: 21). Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa tujuan
utama dari dokumen sebagai sarana pengumpulan data peneliti dengan
pengumpulan data pengecekan berkas-berkas yang ada di Pengadilan Negeri
Cirebon, mengenai berita acara persidangan.data yang didapatkan tersebut
dapat pula untuk memperkuat apa yang terdapat di lapangan pada saat
wawancara.
3.8 Validitas dan Keabsahan Data
Moleong memandang bahwa data merupakan konsep paling penting bagi
penelitian kualitatif yang di perbaharui dari konsep kesatuan validitasi dan
kendala atau reabilitas versi positifisme dan disesuaikan dengan tuntutan
pengetahuan, kriteria dan paradigma sendiri (Moleong, 2007: 171).
Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik untuk memeriksa keabsahan
data.Teknik pemeriksaan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
tehnik trianggulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding dalam data itu. Dengan kata lain digunakan juga pendapat
JPU selain dari pendapat hakim dan advokat. Dalam pemeriksaannya dibedakan
empat macam bentuk pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber,
metode, penyidik dan teori (Moleong, 2007: 178).
35
Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton, 1987 : 331 dalam Moleong, 2006 :
330-331). Hal dicapai dengan jalan:
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara;
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang
dikatakannya secara pribadi;
c. Membandingkan apa yang orang katakan tentang situasi penelitian saat ini
dengan apa yang orang katakan di lain waktu;
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat
dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah
atau tinggi, orang berada, dan orang pemerintahan; dan
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan
(Moleong, 2007 :331).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan trianggulasi dengan sumber derajat
dicapai dengan jalan:
a. Membandingkan data di lapangan dengan hasil wawancara;
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang
dikatakannya secara pribadi; dan
c. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Triangulasi tergambar dalam gambar sebagai berikut:
36
Bagan 3 Skema trianggulasi
Keterangan :
1. Masalah yang sama dicek silang melalui sumber/informan yang
berbeda, misalnya antara hakim dengan advokat.
2. Masalahnya yang sama dicek silang melalui teknik yang berbeda,
misalnya wawancara dengan observasi.
3. Sumber yang sama dicek silang melalui teknik waktu yang berbeda,
misalnya pada hari minggu pertama dan minggu kedua.
4. Sumber yang sama dicek silang melalui teknik yang berbeda, misalnya
wawancara dengan observasi.
Dalam penelitian ini, nara sumber yang dipilih adalah berasal dari
Pengadilan Negeri Cirebon. Penelitian terfokus pada pertimbangan majelis hakim
dalam memutuskan penetapan Pengadilan Nomor 31/Pid.B/2010/PN.CN dan
Sumber yang sama
Waktu yang berbeda
Teknik yang berbeda
Masalah yang sama
Sumber yang sama
Teknik yang berbeda
37
32/Pid.B/2010/PN.CN yang ada setelah adanya usulan dari JPU mengenai sumpah
advokat. Penelitian juga dilakukan terhadap organisasi advokat yang terlibat
dalam perkara tersebut.
3.9 Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke
dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar (Moleong, 2007: 103).
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang di pelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2007: 248).
Secara etimologis “hipotesis” berarti dugaan sementara atau jawaban
sementara (Alex, 2004: 152).
Proses analisis data sebenarnya merupakan pekerjaan untuk menemukan tema-tema dan merumuskan hipotesis-hipotesis, meskipun sebenarnya tidak ada formula yang pasi dapat digunakan untuk merumuskan hipotesis. Hanya saja pada analisis data, tema, dan hipotesis lebih diperkaya dan diperdalam dengan cara menggabungkannya dengan sumber-sumber data yang ada (Ashshofa, 2004 : 66).
Analisis data penelitian menggunakan data kualitatif model interaktif yang
berlangsung terus-menerus dan berkelanjutan (Miles dan Huberman dalam
Bungin, 2007: 144), analisis model interaktif melalui berbagai alur kegiatan
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
38
1) Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah mencari dan mengumpulkan data yang
diperlukan yang dilakukan terhadap berbagai jenis dan bentuk apa yang ada di
lapangan kemudian data tersebut dicatat (Moleong, 2002: 106). Pengumpulan
data ini dilakukan berkaitan dengan data penelitian yang ada di lapangan yaitu
peneliti melakukan wawancara kepada majelis hakim yang bertugas dalam
perkara tersebut. Adapun langkah-langkahnya yaitu: mengurus surat ijin
penelitian, mendapat surat jawaban dari pihak pengadilan, melakukan
penelitian, penelitian dilapangan, mendapatkan dokumen dan hasil wawancara.
2) Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilihan pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul
dan menggolongkan, menyatukan dan membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulannya
dapat ditarik dan diverifikasi (Milles, 1992: 15).
Reduksi data yang peneliti lakukan antara lain dengan menajamkan hasil
penelitian mengenai legalitas sumpah advokat di Pengadilan Negeri Cirebon
berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dengan
cara mengarahkan hasil penelitian sesuai dengan permasalahn peneliti dan
membuang data yang tidak perlu. Pada tahap ini penulis memilih data yang
paling tepat yang disederhanakan dan diklasifikasikan atau dasar tema,
memadukan data yang tersebar, menelusuri tema untuk data tambahan, dan
membuat simpulan menjadi uraian singkat.
39
3) Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Milles,
1992: 17).Penyajian data ini membantu peneliti untuk melihat gambaran
keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari hasil penelitian. Data yang
diperoleh dari obyek penelitian baik dari data primer maupun sekunder akan
disusun secara sistematis dan disajikan dalam bentuk laporan penelitian secara
kualitatif yaitu berdasarkan konsep teori, peraturan perundang-undangan
tentang legalitas advokat dalam persidangan di Pengadilan Negeri Cirebon.
4) Menarik Kesimpulan (verifikasi)
Kesimpulan adalah suatu tinjauan ulang pada catatan lapangan atau
kesimpulan dapat ditinjau sebagaimana yang muncul dari data yang harus diuji
kebenarannya, kekokohan, dan kecocokannya yaitu mencapai validitasnya
(Milles, 1992: 19).Pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
menarik simpulan sebagai suatu yang berkaitan pada saat sebelum, selama, dan
sesudah pengumpulan data berlangsung.Dalam hal ini peneliti mengoreksi
kembali hasil penelitian dengan catatan yang terdapat di lapangan selama
penelitian.Setelah data tersebut sesuai, maka dapat ditarik simpulan dari setiap
item yang ada. Tahapan analisis data kualitatif diatas melibatkan beberapa
komponen data interaktif yang merupakan suatu proses siklus dalam
melakukan analisis data.
40
3.10 Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini membagi empat tahap yaitu: tahap sebelum ke
lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data, dan penulisan laporan. Pada tahap
sebelum ke lapangan, peneliti mempersiapkan segala macam yang diperlukan
sebelum peneliti terjun ke dalam kegiatan penelitian yaitu:
1) Menyusun rancangan penelitian.
2) Mempertimbangkan Secara konseptual teknis serta praktis terhadap tempat
yang akan digunakan dalam penelitian.
3) Membuat surat ijin penelitian.
4) Menentukan responden yang akan membeantu peneliti.
5) Mempersiapkan perlengkapan penelitian.
6) Dalam penelitian, peneliti harus bertindak sesuai etika yang berkaitan Dengan
tata cara peneletian yaitu di Pengadilan Negeri Cirebon
Adapun pelaksanaannya yaitu:
1) Mengambil data-data, yaitu berupa berkas penetapan persidangan dimana
kasus itu terjadi, serta melihat data-data mengenai pertimbangan hukum apa
saja yang digunakan majelis hakim dalam mengelurakan Penetapan Pengadilan
Nomor 31/Pid.B/2010/PN.CN dan 32/Pid.B/2010/PN.CN
2) Melakukan wawancara dengan informan di Pengadilan Negeri Cirebon
3) Melakukan wawancara dengan informan di DPC Peradi Cirebon
4) Melakukan wawancara dengan informan di DPC KAI Cirebon
5) Melakukan wawancara dengan informan di Pengadilan Tinggi Bandung
41
6) Setelah semua data yang ada di lapangan terkumpul, maka peneliti mereduksi,
menyajikan data serta menarik kesimpulan.
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009
Sebelum menjelaskan tentang sikap Pengadilan Tinggi terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, terlebih dahulu akan dijelaskan
mengenai peran dari masing-masing lembaga peradilan di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila serta demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Amandemen ke-4 UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan
ketatanegaraan di Indonesia. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa
kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh : “Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata
usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Selain itu terdapat pula Peradilan Syariah Islam yang berkedudukan di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang merupakan pengadilan khusus
dalam Lingkungan Peradilan Agama (sepanjang kewenangannya menyangkut
42
43
kewenangan peradilan agama) dan Lingkungan Peradilan Umum (sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum).
Di samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
amandemen ke-4 UUD 1945 juga memperkenalkan suatu lembaga baru yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial
(KY). Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim
Pada dasarnya amandemen ke-4 UUD 1945 telah membawa perubahan
mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, membuat perlunya
dilakukan perubahan secara komprehensif mengenai Undang-Undang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan
penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan
kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam
hukum dan dalam mencari keadilan.
Konsekuensi dari adanya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman adalah
pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah
kendali Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan badan-badan peradilan
berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen
Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, namun saat ini seluruh badan peradilan
berada di bawah kendali Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Berikut
adalah peralihan badan peradilan ke Mahkamah Agung :
44
1) Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tata Usaha Negara, terhitung sejak
tanggal 31 Maret 2004 dialihkan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia ke Mahkamah Agung
2) Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah
Provinsi, dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, terhitung sejak
tanggal 30 Juni 2004 dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
3) Organisasi, administrasi, dan finansial pada Pengadilan Militer, Pengadilan
Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, terhitung sejak tanggal 1
September 2004 dialihkan dari TNI ke Mahkamah Agung. Akibat perlaihan ini,
seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup
peradilan militer akan beralih menjadi personel organik Mahkamah Agung,
meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh
Mabes TNI.
Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset,
keuangan, arsip/dokumen dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah
Agung. Maka jika digambarkan, perubahan yang terjadi setelah adanya
amandemen ke-4 UUD 1945 dan lahirnya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman adalah sebagai berikut :
45
BAGAN 4
Gambaran Kekuasaan Kehakiman
Keterangan :
MA : Mahkamah Agung
MK : Mahkamah Konstitusi
KY : Komisi Yudisial
PER. UMUM : Peradilan Umum
PER. AGAMA : Peradilan Agama
PER. TUN : Peradilan Tata Usaha Negara
PER. MILITER : Peradilan Militer
PN : Pengadilan Negeri
PA : Pengadilan Agama
PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara
PTTUN PTA PT
PTUN P. MILITER PA
PT. MILITER
P. UTAMA MILITER
KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
MA
KY
MK
PER. UMUM PER. AGAMA PER. MILITER PER. TUN
PN
46
P. MILITER : Pengadilan Militer
PT : Pengadilan Tinggi
PTA : Pengadilan Tinggi Agama
PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
PT. MILITER : Pengadilan Tinggi Militer
P. UTAMA MILITER : Pengadilan Utama Militer
Berdasarkan obyek penelitian yang dilakukan yaitu menyangkut mengenai
”Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara di Pengadilan menurut Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009”, dari uraian-uraian yang telah dijelaskan
pada bab-bab sebelumnya dimana mengenai proses sumpah advokat itu sendiri
melibatkan kewenangan dari dua lembaga penyelanggara kekuasaan kehakiman di
Indonesia yakni Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, maka pada sub bab
sikap pengadilan Tinggi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PPU-VII/2009 ini, akan coba dijelaskan mengenai Tugas pokok dan Fungsi
dari Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi selaku pihak yang mengeluarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, serta Pengadilan
Tinggi yang merupakan salah satu dari badan pelaksana kekuasaan peradilan
dibawah Mahkamah Agung.
4.1.1 Tugas pokok dan Fungsi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang juga merupakan salah satu pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan
bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung
47
membawahi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara.
Empat lingkungan peradilan tersebut sebenarnya terdiri dari
lingkungan Peradilan Khusus dan lingkungan Peradilan Umum.
Perbedaaanya terletak pada perkara-perkara dan golongan rakyat tertentu
yang terlibat didalamnya. Peradilan Khusus menangani perkara-perkara
golongan rakyat tertentu (Peradilan Agama dan Peradilan Militer).
Sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya
baik perkara pidana maupun perkara perdata (Peradilan Umum dan
Peradilan Tata Usaha Negara)
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Tugas pokok Mahkamah
Agung adalah :
1) Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang.
2) Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi.
3) Memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam hal
memberikan grasi dan rehabilitasi.
Selain tugas pokok Mahkamah Agung yang telah dijelaskan diatas,
terdapat pula fungsi lain dari Mahkamah Agung yaitu :
48
1) Fungsi Peradilan
Sebagai pengadilan negara tertinggi, Mahkamah Agung merupakan
pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam
penerapan hukum melalui putusan kasasi
(1) Peninjauan Kembali (PK) menjaga agar semua hukum dan
undang-undang diseluruh wilayah negara Republik Indonesia
diterapkan secara adil, tepat dan benar.
(2) Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah
Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat
pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan
mengadili.
a) Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28,
29,30,33 dan 34 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor
14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung)
b) Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal
asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia
berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78
Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985
jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung).
49
(3) Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil,
yaitu wewenang menguji atau menilai secara materiil peraturan
perundangan dibawah undang-undang tentang hal apakah suatu
peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan
peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31A Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung).
2) Fungsi Pengawasan
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan
tujuan agar peradilan yang dilakukan pengadilan-pengadilan
diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan
berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutuskan perkara Mahkamah Agung juga
melakukan pengawasan :
a) terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim
dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas
yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan
Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi
50
peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa
mengurangi kebebasan Hakim
b) Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang
menyangkut peradilan
3) Fungsi Mengatur
(1) Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-
Undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk
mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan
bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 79 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung).
(2) Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri
bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang
sudah diatur undang-undang.
4) Fungsi Nasehat
Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi
Negara lain (Pasal 37 Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor
14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung). Dalam amandemen ke-1 UUD 1945 Pasal 14
ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk
51
memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara
selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan
pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
5) Fungsi Administratif
Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) secara
organisatoris, administratif dan finansial dialihkan dibawah
kekuasaan Mahkamah Agung (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman).
6) Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung
jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan
Selain penjelasan tugas dan fungsi Mahkamah Agung di atas,
Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman mempunyai empat lembaga peradilan yang
bernaung dibawahnya, yaitu:
1) Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah
Agung bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang.
Lingkungan Peradilan Agama meliputi:
(1) Pengadilan Tinggi Agama
(2) Pengadilan Agama
52
2) Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah salah satu lingkungan
peradilan dibawah Mahkamah Agung yang berfungsi melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa
Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara meliputi:
(1) Pengadilan Tata Usaha Negara
(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
3) Peradilan Militer
Peradilan Militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah
Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-
kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer. Peradilan Militer
meliputi:
(1) Pengadilan Militer
(2) Pengadilan Militer Tinggi
(3) Pengadilan Militer Utama
4) Perdilan Umum
Peradilan Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah
Agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan pada umumnya.
Peradilan umum meliputi:
(1) Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota,
dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota
53
(2) Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibu kota provinsi, dengan
daerah hukum meliputi wilayah provinsi
Peradilan Umum inilah yang menjadi permasalahan utama dalam
penelitian ini baik pada tingkat Pengadilan Negeri maupun Pengadilan
Tinggi. Karena di Peradilan Umum inilah seorang advokat akan sangat
diperlukan, advokat dapat berperan sebagai Equity of Armest (kesamaan
kedudukan antara tersangka, jaksa, polisi dan hakim). Maka di Peradilan
Umum-lah banyak terjadi permasalahan mengenai sumpah advokat
sebagai mana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PPU-VII/2009. Meskipun tidak menutup kemungkinan
permasalahan sumpah advokat juga dapat terjadi pada ranah peradilan
lainnya.
4.1.2 Tugas Pokok dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah Lembaga Tinggi Negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung dan bebas dari
pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan
diadopsinya ide (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang
dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan
54
Pasal 7B UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
Nopember 2001. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah
satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul
di abad ke-20.
Setelah disahkannya amandemen ke-3 UUD 1945 maka dalam rangka
menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan
Mahkamah Agung menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk
sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945
hasil amandemen ke-4. DPR dan Pemerintah kemudian membuat
Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah
melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara
bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu
(Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor
4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 ditunjuk hakim konstitusi
untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan
para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
Lembaran perjalanan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah pelimpahan
perkara dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15
Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut
ketentuan UUD 1945.
55
UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti
menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan
keadilan”. Hal ini dikarenakan UUD 1945 adalah hukum dasar yang
melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini
Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban
konstitusional menjaga atau atau menjamin terselenggaranya
konstitusionalitas hukum.
Fungsi dan peran utama Mahkamah Konstitusi adalah adalah menjaga
konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya
yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan
Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka
menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi
dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945
menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan
supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang
sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah
menjadi negara demokrasi.
Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak
akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga
hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal
konstitusionalitasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang
bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati
56
adalah judicial review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan
terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan
dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus
mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui
kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan
fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar
dari koridor konstitusi.
Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah
dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Sedangkan secara
umum kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu :
1) Menguji Undang-Undang Terhadap UUD 1945.
2) Memutus Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara Yang Kewenangannya
Diberikan Oleh UUD 1945.
3) Memutus Pembubaran Partai Politik.
4) Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilu.
5) Memberi keputusan atas pendapat pendapat dpr mengenai dugaan pelanggaran
oleh presiden dan/atau wakil presiden.
6) memutus sengketa antarlembaga Negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang bersifat final dan
mengikat (final and binding). Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya, tidak ada
peluang menempuh upaya hukum berikutnya pasca putusan itu sebagaimana
putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan
57
Kembali (PK). Selain itu juga ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi
memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan
Mahkamah Konstitusi. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan “erga
omnes”. Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan
ketentuan yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi harus patuh dan tunduk
terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam perkara pengujian undang-undang misalnya, yang diuji adalah
norma undang-undang yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun
dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon
yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili
kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi.
Kedudukan pembentuk undang-undang, DPR dan Presiden, bukan sebagai
tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang
dilakukan. Pembentuk undang-undang hanya sebagai pihak terkait yang
memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan
undang-undang yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan
yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan pemohon atau Mahkamah
Konstitusi saja, tetapi juga menurut pembentuk undang-undang, sehingga
diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan
konstitusi. Oleh karena itu, yang terikat dan harus melaksanakan Putusan
Mahkamah Konstitusi tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk
58
undang-undang, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang
diputus oleh Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 merupakan
hasil uji materiil dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat. Dimana fungsi pokok dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 untuk memberikan perlindungan terhadap para advokat di Indonesia
agar bebas dan mandiri serta bertanggung jawab dalam menjalankan
profesinya sesuai dengan kode etik maupun peraturan perundang-undangan
Dilihat dari fungsinya tersebut, maka dengan segala kekurangan dan
kelemahan dari Undang-Undang Advokat yang ada sekarang ini yang juga
merupakan undang-undang yang pertama mengatur secara menyeluruh
tentang advokat Indonesia sejak Indonesia merdeka.
Materi pokok pertama yang diatur dalam Undang-Undang Advokat
adalah tentang pengakuan bahwa advokat adalah penegak hukum yang
bebas dan mandiri serta dijamin oleh hukum dan perundang-undangan
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat
Kedua adalah untuk menjaga kemandiriannya, maka advokat
mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi
advokat (self governing body), tanpa campur tangan atau control dan
kekuasaan pemerintah. Hal ini tercermin dari ketentuan bahwa organisasi
advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan
mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan
59
maksud dan tujuan meningkatkan kualitas profesi advokat (Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Advokat). Ketentuan mengenai organisasi advokat itu pun
ditetapkan oleh para advokat sendiri dalam Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-
Undang Advokat.
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, seorang
advokat dapat melakukan pendampingan terhadap kliennya didepan
pengadilan seperti yang terdapat dalam KUHAP. Dengan hanya
menyerahkan bukti berupa kartu anggota advokat dari organisasi manapun
advokat tersebut bernaung, maka advokat tersebut tidak dapat dihalangi
untuk dapat beracara di pengadilan mendampingi kliennya.
Setelah adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, khususnya dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1). Pada
Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa: “sebelum menjalankan profesinya,
advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-
sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
hukumnya”. Sedangkan pada Pasal 28 ayat (1) menyatakan bahwa :
“Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang
bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi
Advokat”. maka mulailah timbul permasalahan mengenai sumpah adokat.
Pertikaian di kalangan advokat saat ini sepenuhnya berasal dari
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang dianggap
60
oleh sebagian kalangan sebagai produk hukum yang malah menambah
masalah (kriminogen) (Jurnal Konstitusi, volume 7, nomor 6, Desember
2010).
Saat ini organisasi advokat yang ada tidak hanya Perhimpunan
Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI),
namun masih banyak organisasi lain. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan
apa yang tertuang dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat.
Selain permasalahan mengenai wadah tunggal advokat, permasalahan
sumpah advokat sebagaimana yang ada dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Advokat. Para advokat dari organisasi advokat manapun akan
ditanyakan tentang "telah atau belum" disumpah di depan Pengadilan
Tinggi dengan pembuktian berupa Berita Acara Penyumpahan Pelantikan
Advokat dari Pengadilan Tinggi domisili hukumnya. Jika tidak dapat
menunjukannya maka majelis hakim akan menolak advokat tersebut untuk
beracara atau berpraktik baik sebagai Penasihat Hukum maupun sebagai
Kuasa Hukum di depan persidangan peradilan.
Sebenarnya selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-
VII/2009, terdapat tiga Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyangkut
permasalahan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat. Ketiga putusan terebut adalah :
1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-VIII/2010
61
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-VIII/2010.
Namun pada intinya ketiga putusan terbaru tersebut bersifat Ne bis in
idem dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.
Meskipun sebenarnya terdapat kondisi-kondisi baru yang sebenarnya krusial
yang patut dipertimbangkan Mahkamah Agung demi kepeningan penegakan
dan kepastian hukum yang melibatkan para advokat.
Pemohon uji materiil Undang-Undang Advokat terdiri dari tiga
kelompok. Pertama, pemohon uji materiil dengan Perkara Nomor 66/PUU-
VIII/2010, Pemohon mendalilkan, hak konstitusionalnya terganggu oleh
adanya ketentuan pasal 28 ayat (1) yaitu keharusan satu-satunya wadah
Organisasi Advokat. Pasal 30 ayat (2) kewajiban setiap advokat menjadi
anggota Organisasi Advokat dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat yang
member limit waktu paling lambat dua tahun sejak berlakunya UU Advokat
harus dibentuk. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan tersebut
bertentangan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Sedangkan pemohon kedua, dengan Perkara Nomor 71/PUU-
VIII/2010. Pasal yang dimohonkan adalah pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat
(4), dan Pasal 30 ayat (2). Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan tersebut
bertentangan dengan hak tiap-tiap warga negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak. Pemohon juga mendalilkan bahwa hak pemohon
yang bernaung pada Kongres Advokat Indonesia (KAI) tidak terlindungi
karena putusan Mahkamah Nomor 101/PUU-VII/2009, tanggal 30
62
Desember 2009 tidak ditaati oleh Ketua Pengadilan Tinggi seluruh
Indonesia yang menyebabkan kandidat Andvokat KAI tidak disumpah.
Pemohon ketiga, dengan Perkara Nomor 79/PUU-VIII/2010 diajukan
Advokat KAI. Permohonan uji materiil ini berkaitan dengan Pasal 28 ayat
(1) khusunya mengenai frase “satu-satunya” yang menurut pemohon
bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan
uji materiil dengan Perkara Nomor 66/PUU-VIII/2010 yang mendalilkan
Pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat (4), bertentangan dengan semboyan
Bhinneka Tunggal Ika dan hak atas perkejaan dan penghidupan yang layak,
di tolak oleh mahkamah. ”Permohonan pemohon sepanjang mengenai
pengujian Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) UU tentang Advokat tak
dapat diterima”.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat, Pasal 28 ayat (1)
dan Pasal 32 ayat (4) telah dimohonkan pengujian sebelumnya, dan telah
diputus dalam Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006, tanggal 30 November
2006. ”Sepanjang mengenai pasal-pasal yang telah diuji mutatis mutandis
dengan batu uji yang sama menjadi pertimbangan pula dalam putusan a
quo.” Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para pemohon ditolak
untuk seluruhnya.
Menurut Mahkamah Konstitusi, pada hakikatnya alasan pemohon
dalam Pasal 28 ayat (1) sama dengan alasan permohonan dalam perkara
Nomor 014/PUU-IV/2006. Sehingga Mahkamah berpendapat bahwa
63
permohonan pemohon dinyatakan ne bis in idem sedangkan alasan lainnya
tidak terbukti. Ne bis in idem adalah asas hukum yang menyatakan bahwa
perkara yang sama telah diputus dan berkekuatan hukum tetap tidak dapat
diperkarakan kembali.
Khusus mengenai Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Advokat,
Mahkamah Konstitusi berpendapat, pasal ini juga telah pernah dimohonkan
pengujian dalam putusan yang sama. Dimana salah satu pertimbangan
hukumnya Mahkamah Konstitusi menyatakan, pasal 32 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah
selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan
telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan
satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tak relevan lagi dipersoalkan
konstitusionalitasnya.
Terhadap perkara Nomor 71/PUU-VIII/2010, yang mengujikan Pasal
28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang
Advokat yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa selain Pasal 28 UUD 1945, juga telah digunakan dan
diputus Mahkamah dalam putusan Nomor 014/PUU-IV/2006 dan Nomor
66/PUUVIII/2010.
Alasan pemohon yang mendalilkan tak disumpahnya kandidat
Advokat KAI oleh Pengadilan Tinggi sehingga mengakibatkan tak
diperkenankannya mengikuti acara di pengadilan, Mahkamah
64
Konstitusimenilai, hal itu tak berkaitan dengan konstitusionalitas norma
yang dimohonkan pengujian. ”Ini masalah penerapan Pasal 4 ayat (1) UU
Advokat yang telah dipertimbangkan dan diputus dalam putusan Mahkamah
No.101/PUU-VII/2009, tanggal 30 Desember 2009”.
Sedangkan perkara Nomor 79/PUU-VII/2010 soal konstitusionalitas
frasa “satu-satunya” yang menurut para pemohon bertentangan dengan
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitudi berpendapat, wadah
tunggal Organisasi Advokat pada intinya sama sekali tak menghalangi
setiap orang untuk mengembangkan diri memenuhi kebutuhan dasarnya.
Frasa ’satu-satunya’ juga tidak menyebabkan perlakuan yang bersifat
diskriminatif, tidak menghalangi setiap orang untuk mengembangkan diri
memenuhi kebutuhan dasarnya dan lain-lain.
Mahkamah Konstitusi juga mengatakan, frase ‘satu-satunya’ juga
tidak menghalang-halangi setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin,
juga tidak menyebabkan perlakuan yang diskrimintif. ”Menjadi Advokat
yang secara sadar dipilih para pemohon adalah pilihan menurut hati nurani,
sehingga secara sadar pula harus terikat dengan ketentuan yang bertalian
dengan profesi pilihan tersebut yaitu menjadi anggota dari satu-satunya
Organisasi Advokat.”
Pada dasarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan
bahwa sumpah advokat tidak boleh dihalangi oleh pengadian tinggi.
Mahkamah Konstitusi berpendapat dalam putusan 101/PUU-VII/2009
bertanggal 30 Desember 2009 bahwa keharusan bagi Advokat mengambil
65
sumpah sebelum menjalankan profesinya merupakan kelaziman dalam
organisasi dan suatu jabatan/pekerjaan profesi yang tidak ada kaitannya
dengan masalah konstitusionalitas suatu norma hukum yang dimohonkan
pengujian, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa ketentuan
pengambilan sumpah bagi Advokat harus di sidang terbuka Pengadilan
Tinggi di wilayah hukumnya merupakan pelanjutan dari ketentuan yang
berlaku sebelum lahirnya Undang-Undang Advokat yang memang
pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah yang dalam hal ini dilakukan
oleh Menteri Kehakiman/Menteri Hukum dan HAM. Setelah lahirnya
Undang-Undang Advokat yang menentukan bahwa pengangkatan Advokat
dilakukan oleh Organisasi Advokat (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Advokat), bukan lagi oleh Pemerintah, memang seolah-olah pengambilan
sumpah yang harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di
wilayah domisili hukumnya tidak lagi ada rasionalitasnya. Akan tetapi,
mengingat bahwa profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai
penegak hukum (Pasal 5 Undang-Undang Advokat) dan dalam rangka
melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat,
maka ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Advokat tersebut juga konstitusional.
Menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan yang mewajibkan para
Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat, tidak
66
boleh menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau
menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD 1945. Lagi pula Pasal 3
ayat (2) Undang-Undang Advokat secara expressis verbis telah menyatakan
bahwa Advokat yang telah diangkat berdasarkan syarat-syarat yang
ditentukan oleh Undang-Undang Advokat dapat menjalankan praktiknya
sesuai dengan bidang-bidang yang dipilih.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
keharusan bagi advokat untuk mengambil sumpah sebelum menjalankan
profesinya tidak ada kaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma,
demikian juga mengenai keharusan bahwa pengambilan sumpah itu harus
dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
hukumnya, sepanjang ketentuan dimaksud tidak menegasi hak warga negara
para calon Advokat untuk bekerja yang dijamin oleh UUD 1945. Terjadinya
hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi
Advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum yang
terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat, melainkan
disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya Surat
Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah
para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu.
Mahkamah Konstitusi menilai, penyelenggaran sidang terbuka
Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum
menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Advokat merupakan kewajiban atributif yang
67
diperintahkan oleh undang-undang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak
menyelenggarakannya. Namun demikian, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan
satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi-
organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu PERADI dan
KAI, harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana
dimaksud Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat.
Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Advokat adalah konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” harus dimaknai sebagai
kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang untuk dilaksanakan
oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua organisasi
Advokat yang secara de facto ada dan sama-sama mengklaim sebagai
organisasi Advokat yang sah menurut Undang-Undang Advokat.
Untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan
satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal
28 ayat (1) Undang-Undang Advokat, bagi Mahkamah Konstitusi, maka
kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah terhadap para calon
Advokat tanpa memperhatikan Organisasi Advokat yang saat ini secara de
facto ada yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu selama 2 (dua)
tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-
satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para Advokat yang
diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang secara de facto saat
68
ini ada. Mahkamah Konstitusi kemudian menyatakan, setelah jangka waktu
dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU
Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi
Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu saja tidak bermaksud
memenangkan eksistensi KAI yang berseberangan dengan PERADI,
melainkan hanya bermaksud menunjukkan secara de facto terdapat dua
organisasi advokat yang sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat
yang sah menurut Undang-Undang Advokat dan itu tidak terkait langsung
dengan adanya norma penyumpahan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat
sebagaimana amar putusan yang menyatakan, “Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan
Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan
Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para
Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan
keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada,
dalam jangka waktu dua tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”
Dari penjelasan mengenai Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
diatas, dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
adalah dua lembaga yang terpisah. Pada hakikatnya keduanya memang berbeda,
69
Mahkamah Agung lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice),
sedangkan Mahkamah Konstitusi lebuh berkenaan dengan lembaga pengadilan
hukum (court of law). Memang tidak dapat dibedakan sepenuhnya sebagai “court
of justice” dan “court of law” (Asshiddiqie : 2005 : 9)
Pada awalnya rumusan yang diusulkan adalah seluruh kegiatan “judicial
review” diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga mahkamah agung
dapat berkonsentarsi menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat
mewujudkan rasa adil bagi setiap warga Negara (Huda : 2009 : 203). Namun
UUD 1945 memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan dibawah
undang-undang kepada Mahkamah Agung. Di lain pihak, Mahkamah Konstitusi
juga diberi tugas dan kewajiban memutus dan membuktikan unsur tanggung
jawab pidana presiden dan/atau wakil presiden yang menurut DPR telah
melakukan pelangaran hukum terhadap undang-undang. Dengan kata lain
Mahkamah Agung tetap diberikan kewenangan sebagai court of law disamping
fungsinya sebagai court of justice. Sementara itu Mahkamah Konstitusi tetap
diberi tugas yangberkenaan sebagai court of justice disamping fungsi utamanaya
sebagai court of law (Huda, 2009 : 202-203).
Pembagian tugas di bidang pegujian peraturan (judicial review) atas
peraturan perundang-undangan antara Mahkmah Agung dan Mahkamah
Konstitusi adalah sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan perbedan
atau putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi ke depan, yang mana harus dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan
70
seluruh sistem pengujian peraturan dibawah kewenangan Mahkamah Konstitusi
(Asshiddiqie, 2005 : 9).
4.1.3 Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi merupakan sebuah lembaga peradilan di
lingkungan Peradilan Umum di bawah kendali Mahkamah Agung yang
berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding
terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Pengadilan
Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai
sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah
hukumnya. Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan undang-
undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi.
Pengadilan Tinggi selaku salah satu kekuasaan kehakiman di
lingkungan peradilan umum mempunyai tugas dan kewenangan
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilam Umum, yang menyatakan :
1) Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan
perkara perdata di Tingkat Banding.
2) Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di Tingkat
Pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan
Negeri di daerah hukumnya.
71
Dari hasil penjelasan mengenai wewenang dari masing-masing
lembaga peradilan di Indonesia yang telah dijabarkan di atas, sekiranya
dapat memberikan gambaran mengenai peran dan wewenang dari masing-
masing pihak yang terlibat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PPU-VII/2009 yaitu : Mahkamah Konstitusi selaku pihak yang
mengeluarkan putusan tersebut, Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi serta
Pengadilan Negeri selaku pihak yang secara langsung berhadapan dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang telah
dimintakan uji materiil sehingga dikeluarkannya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009
pihak yang paling terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PPU-VII/2009 adalah Pengadilan Tinggi. Karena materi utama yang
diajukan pengujian dalam uji materiil adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang berbunyi “Sebelum
menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di
wilayah domisili hukumnya”.
Berdasarkan hasil (wawancara dengan H. Sjam Amansyah, S.H,. M.H
selaku Hakim di Pengadilan Tinggi Bandung yang dilakukan pada tanggal
04 Juni 2011), menurut beliau bahwa Pengadilan Tinggi Bandung merasa
tidak perlu terikat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini
dikarena mereka merasa bukan sebagai pihak yang terlibat dalam perkara
72
tersebut. Pengadilan Tinggi Bandung merasa hanya perlu tunduk pada
Mahkamah Agung.
Adanya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010
yang salah satu isinya adalah “para Ketua Pengadilan Tinggi untuk
mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat, dengan
ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus
Peradi”. Maka Pengadilan Tinggi Jawa Barat hanya akan menyumpah para
calon advokat yang diusulkan oleh pengurus Peradi seperti apa yang ada
dalam Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010 bukan
seperti isi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009.
Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa adanya
organisasi advokat selain Peradi yaitu KAI. Terkait dengan para calon
advokat KAI yang mengalami permasalahan karena tidak terpenuhinya
persyaratan sebagai advokat seperti yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yaitu tidak disumpahnya para calon
advokat KAI oleh Pengadilan Tinggi seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Terkait berbagai permasalahan sumpah advokat tersebut, telah
dilakukan upaya uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, hal ini pula
yang mendasari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-
VII/2009. Pokok permohonan yang diajukan oleh para pemohon adalah
sebagai berikut:
73
1) Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian (constitutional
review) ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat, yang berbunyi, “sebelum menjalankan profesinya,
Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah
domisili hukumnya”, terhadapUndang-Undang Dasar 1945.
2) Bahwa menurut para Pemohon, Surat Keputusan Pengangkatan Advokat
oleh organisasi advokat yang telah dilantik dan diangkat menjadi
advokat, tidak serta merta dapat berpraktik atau beracara di pengadilan,
karena harus diambil sumpahnya terlebih dahulu oleh Ketua Pengadilan
Tinggi di wilayah hukum masing-masing, hal ini dianggap dapat
menimbulkan kerancuan/kontradiksi dengan asas pendelegasian tugas,
hak dan wewenang pendidikan, pengangkatan dan pelantikan advokat
yang seutuhnya diberikan kepada organisasi advokat.
3) Bahwa atas hal-hal tersebut di atas (pada poin 2), menurut para Pemohon
ketentuan a quo telah menutup pintu hukum dan kecil kemungkinannya
bagi para Kandidat Advokat (termasuk para Pemohon) untuk
diangkat/disumpah sebagai advokat atau dengan perkataan lain nasibnya
menjadi terkatung-katung dan tidak jelas, terlebih-lebih dengan terbitnya
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
052/KMA/V/2009 bertangal 1 Mei 2009, yang intinya memerintahkan
kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia untuk menunda
pengambilan sumpah bagi para kandidat advokat, hal tersebut menurut
74
para Pemohon dianggap telah mencampuri terlampau jauh kewenangan
organisasi advokat.
4) Singkatnya ketentuan a quo di atas, dianggap telah mencederai
kemandirian dan hak-hak konstitusional para kandidat advokat,
khususnya para Pemohon, selain itu menurut para Pemohon ketentuan a
quo telah menimbulkan kerugian baik secara moril, materiil, tenaga dan
pikiran, karenanya ketentuan a quo baik langsung ataupun tidak langsung
dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Dasar
1945.
Atas permohonan para pemohon tersebut, dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009, Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi memutuskan sebagai berikut:
1) Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”.
2) Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-
75
Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”.
3) Menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.
Berdasarkan hasil beberapa wawancara penelitian yang dilakukan
pada masing-masing advokat yang berasal dari PERADI dan KAI serta dari
hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan literatur yang
penulis baca dapat ditafsirkan isi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PUU-VII/2009 adalah sebagai berikut :
1) Bahwa permohonan dikabulkan sebagian dalam konteks kepentingan
pemohon untuk dapat diambil sumpah oleh Pengadilan Tinggi tanpa
mengaitkan keanggotaan advokat, bukan kepentingan pemohon untuk
dapat bersidang atau beracara di pengadilan
2) Bahwa Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945, namun hanya diperintahkan untuk dilaksanakan sesuai yang
diperintahkan oleh undang-undang. Ini berarti para calon advokat dari
organisasi manapun dapat dilakukan sumpah di siding terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah hukum calon advokat.
3) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 tahun harus sudah terbentuk
organisasi advokat, apabila belum terbentu organisasi advokat maka
76
perselisihan tentang organisasi advokat yang sah diselesaikan melalui
Peradilan Umum.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, seharusnya
Pengadilan Tinggi melakukan penyumpahan para calon advokat dari
organisasi manapun. Namun demikian, berdasarkan hasil penelitian di
Pengadilan Tinggi Bandung yang dilakukan pada tanggal 04 Juni 2011,
Pengadilan Tinggi merasa bukan sebagai pihak dalam perkara tersebut dan
bukan sebagai pihak yang dituju oleh Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, sehingga tidak perlu melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut. Hal ini didasarkan alasan bahwa sebagai lembaga yang secara
organisatoris berada di bawah Mahkamah Agung, maka Pengadilan Tinggi
Bandung harus tunduk pada Mahkamah Agung bukan pada lembaga lain
termasuk pada Mahkamah Konstitusidan putusan yang dihasilkannya.
Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-
VII/2009. Mahkmah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 052/KMA/V/2009 tertanggal 1 Mei 2009 yang berisikan
sebagai berikut :
1) Urusan Perselisihan antara organisasi Advokat adalah urusan internal mereka. Pengadilan tidak dalam posisi untuk mengakui atau tidak mengakui suatu organisasi. Perselisihan mereka harus diselesaikan sendiri oleh profesi advokat atau apabila mengalami jalan buntu maka dapat diselesaikan melalui jalur hukum.
2) Di dalam Undang-Undang Advokat (Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2003) disebutkan bahwa organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai ketentuan Undang-Undang ini. Hal ini berarti bahwa hanya boleh ada satu organisasi
77
advokat, terlepas dari bagaimana cara terbentuknya organisasi tersebut yang tidak diatur didalam Undang-Undang yang bersangkutan. Didalam kenyataan sekarang ini, ada tiga organisasi yang menyatakan diri sebagai satu-satunya organisasi advokat yang sah, yang menurut Mahkamah Agung harus diselesaikan menurut tata cara yang disebut butir satu diatas. Selama penyelesaian masalah tersebut belum ada, Mahkamah Agung meminta kepada Para Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung terhadap adanya perselisihan tersebut yang berarti Ketua Pengadilan Tinggi tidak mengambil sumpah advokat baru sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003, karena akan melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.
3) Walaupun demikian, advokat yang telah diambil sumpahnya sesuai dengan pasal 4 tersebut diatas, tidak bisa dihalangi untuk beracara di Pengadilan, terlepas dari organisasi manapun ia berasal. Apabila ada advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan Pasal 4 tersebut (bukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi), maka sumpahnya dianggap tidak sah, sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan.
4) Para Ketua Pengadilan Tinggi diminta untuk mendorong Para Advokat tersebut untuk bersatu, karena tidak bersatunya mereka akan menyulitkan dirinya sendiri dan juga pengadilan.
Atas dasar Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009
tersebut, maka penyumpahan para calon advokat dari organisasi manapun
dihentikan. Hingga penelitian ini dilakukan, meskipun telah ada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 sampai dengan sekarang,
Pengadilan Tinggi Bandung belum melakukan pelantikan dan penyumpahan
terhadap advokat PERADI maupun advokat KAI.
Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009
tersebut, advokat KAI dalam (wawancara penelitian yang dilakukan tanggal
02 Juli 2011), memberikan tanggapan bahwa Mahkamah Agung dan
78
lembaga peradilan di bawahnya seharusnya tunduk dan patuh pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 dan Pengadilan Tinggi
melaksanakan amanat yang disampaikan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Mereka juga menghendaki agar
organisasi advokat bersatu, karena permasalahan organisasi advokat
menjadikan advokat-advokat di bawahnya menjadi bingung dan
menyebabkan timbulnya ketidaknyamanan dalam menjalankan profesi
keadvokatannya.
Namun akan menjadi permasalahan baru jika Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 tersebut dilaksanakan Pengadilan
Tinggi sehingga Para advokat KAI disumpah dalam sidang terbuka
Pengadilan Tinggi. Karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PUU-VII/2009 tersebut memerintahkan agar Pengadilan Tinggi
melantik dan menyumpah advokat tanpa melihat dari organisasi advokat
yang secara de facto ada. Padahal saat ini ada banyak organisasi advokat
secara de facto. Apabila semua organisasi advokat yang secara de facto ada
mengajukan permohonan pelantikan dan penyumpahan advokat anggotanya
kepada Pengadilan Tinggi, apakah tidak menimbulkan kekacauan dan justru
menimbulkan penyimpangan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat yaitu bahwa advokat yang dilantik dan disumpah
adalah advokat yang diajukan oleh organisasi advokat yang tunggal seperti
yang dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat itu sendiri.
79
Advokat KAI mengatakan bahwa tidak disumpahnya advokat oleh
Pengadilan Tinggi memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan profesi
keadvokatan dengan alasan sebagai berikut :
1) Advokat yang belum memenuhi persyaratan bersumpah dalam sidang terbuka
Pengadilan Tinggi tidak diizinkan oleh hakim untuk menjadi kuasa hukum
dalam persidangan di pengadilan.Advokat tersebut diperbolehkan beracara
atau menjadi kuasa hukum dalam persidangan apabila bergabung dengan
advokat lain yang sudah memenuhi persyaratan bersumpah dalam sidang
terbuka Pengadilan Tinggi.
2) Ada ketakutan dalam diri advokat yang belum memenuhi persyaratan
bersumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi akan ditolak dalam
setiap persidangan di pengadilan.
3) Pengaruh yang paling besar adalah masih banyak hakim majelis yang
mempersoalkan masalah penyumpahan advokat dalam sidang terbuka
pengadilan tinggi. Setiap kali sidang, hakim majelis menanyakan SK
Pengadilan Tinggi mengenai penyumpahan, apabila tidak bisa
menunjukkan SK tersebut, ada hakim yang masih membolehkan advokat
tersebut bersidang, ada pula advokat KAI tidak diperbolehkan sidang
sebagai kuasa hukum dari kliennya.
4) Pengaruh lain adalah klien menjadi kurang menghargai terhadap advokat
KAI karena pemberitaan di media tentang pelantikan tanpa
penyumpahan oleh Pengadilan Tinggi. Pada saat sidang pengadilan
80
advokat KAI ditolak oleh hakim, hal ini kemudian ditanyakan oleh klien
dan klien tersebut menjadi kurang menghargai advokat KAI.
5) Pada saat pendampingan klien di Polsek, Polres, dan Polda, sikap para
aparat juga tidak menghargai advokat KAI.
Sedangkan tanggapan dari advokat PERADI dalam (wawancara
penelitian wawancara penelitian yang dilakukan tanggal 05 Juli 2011), tidak
dilakukannya sumpah oleh advokat dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi
di wilayah domisili hukumnya, maka advokat yang bersangkutan bukan
merupakan advokat yang sah karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Karena bukan
advokat yang sah, maka advokat yang bersangkutan tidak berhak menjadi
kuasa hukum dalam persidangan di pengadilan.
Dalam wawancara tersebut juga nampak jelas bahwa organisasi
advokat PERADI selalu menyatakan diri sebagai organisasi advokat yang
sah. Advokat PERADI secara terang-terangan mengklaim sebagai satu-
satunya organisasi advokat yang sah berdasarkan berdasarkan Undang-
Undang Advokat dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1) Aspek legalitas pendirian PERADI adalah sebagai berikut: (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (2) Deklarasi Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia yang
dilakukan olehdelapan organisasi Advokat pada tanggal 21 Desember 2004
(3) Akta Pernyataan Pendirian Advokat Indonesia Nomor 30 dibuat dihadapan Notaris Buntario Tigris Darmawang, SE, SH, MH Notaris tanggal 08 September 2005.
2) Pengukuhan dan atau Penegasan terhadap eksistensi PERADI:
81
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-VIII/2011 tanggal 27 Juni 2011
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 071/PUU-VIII/2011 tanggal 27 Juni 2011
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 079/PUU-VIII/2011 tanggal 27 Juni 2011
(4) Putusan Mahkamah KonstitusiRI No. 014/PUU-IV/2006 tanggal 30 Nopember 2006
(5) Surat Sekretaris Mahkamah Agung Nomor : 07/SEK/01/1/2007 tanggal 11 Januari 2007 perihal Sosialisasi KTPA baru
(6) Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor MA/KUMDIL/01/III/K/2007 tanggal 29 Maret 2007 tentang Petunjuk Pengambilan Sumpah Advokat.
(7) Sambutan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang wadah tunggal Advokat yakni PERADI, tanggal 24 Juni 2010.
(8) Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 tentang Penyumpahan Advokat yang ditujukan Kepada Para Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia.
(9) Surat Menteri Hukum Dan Ham Nomor M.HH.AH.03.03-40 tanggal 28 Nopember 2008.
(10) Surat telegram KABARESKRIM Mabes POLRI tanggal 07 Juli 2008.
4.1.3.1 Sikap Para Advokat Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PPU-VII/2009
Dalam penelitian, para advokat PERADI memberikan tanggapan yang
berbeda-beda mengenai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-
VII/2009 sebagai berikut Dalam (Jurnal Konstitusi, volume 7, nomor 6,
Desember 2010) :
1) Apabila tidak memenuhi syarat tidak disumpah Pengadilan Tinggi di
wilayah domisili hukumnya maka bertentangan dengan UUD 1945.
Tetapi jika sudah disumpah Pengadilan Tinggi maka tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Dengan penafsiran tersebut, maka Pengadilan
82
Tinggi harus menjalankan perintah Mahkamah Konstitusi untuk
menyumpah advokat dan tidak memandang dari organisasi manapun
sebelum ada wadah tunggal.
2) Putusan Mahkamah Konstitusi membingungkan, karena putusan
tersebut memerintahkan Pengadilan Tinggi untuk menyumpah para
advokat sebelum praktek di pengadilan tidak memandang dari
organisasi advokat manapun. Padahal Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat mengatur bahwa untuk menjadi advokat
harus mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat dan mengikuti
Ujian yang diselenggarakan oleh organisasi advokat yang tunggal.
Setelah itu disumpah oleh Pengadilan Tinggi, untuk bisa disumpah
maka harus diajukan oleh organisasi advokat yang tunggal.
3) Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut multi tafsir dan bertentangan
dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu yang mengakui
satu-satunya organisasi advokat yang tunggal yaitu PERADI.
4) Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan implementasi hierarkhi
perundang-undangan. Namun secara substansial justru menimbulkan
permasalahan baru, karena Mahkamah Konstitusi tidak
mempertimbangkan adanya perintah Undang-Undang Advokat, yang
mana sudah terbentuk wadah tunggal organisasi advokat.
5) Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut semakin menimbulkan
ketidakpastian.
83
6) Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tetap tidak
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam dunia keadvokatan.
Kekisruhan dalam pelantikan yang dilaksanakan di Pengadilan Tinggi
semakin sering terjadi.
7) Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009
tersebut, menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak tegas
menyatakan organisasi advokat mana yang sah sehingga menimbulkan
ketidak pastian.
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 diatas, maka berdasarkan hasil
(wawancara yang dilakukan terhadap Advokat yang berasal dari KAI
maupun PERADI yang dilakukan pada tanggal 01-Juni 2011) dan juga dari
literaur yang penulis dapat, dapat disimpulkan bahwa sikap dan pendapat
dari para advokat itu sendiri adalah sebagai berikut :
1) Apabila diteliti dan dipelajari secara saksama, bahwa yang menjadi
obyek pengujian dalam perkara a quo (bukan karena secara langsung)
adalah bukan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat bertentangan
dengan UUD 1945, melainkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Advokat tidak dapat dilaksanakan karena adanya SEMA Nomor
052/KMA/V/2009 tanggal 1 Mei 2009 yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Tinggi se-Indonesia. Dengan kata lain, bahwa sebenarnya
yang diajukan oleh Pemohon hanyalah merupakan persoalan
implementasi ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat,
84
bukan masalah konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Advokat. Karena itu sesungguhnya persoalan ini bukan wewenang
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutusnya.
2) Amar Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bertentangan dengan
Pendapat Mahkamah Konstitusi sendiri, dimana pada bahagian
Pendapat Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Advokat “konstitusional”, tetapi pada bagian amar
putusan Mahkamah Konstitusi “menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Advokat bertentangan dengan UUD 45 ”. Karena dalam
Pendapat Mahkamah Konstitusi dinyatakan ketentuan yang tercantum
dalam Pasal 4 ayat (1) UUA konstitusional, maka berdasarkan
ketentuan Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, seharusnya amar putusan Mahkamah
Konstitusi “menyatakan permohonan ditolak”.
3) Dalam Pendapat Mahkamah Konstitusi dinyatakan ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UUA konstitusional, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, seharusnya amar putusan
Mahkamah Konstitusi “menyatakan permohonan ditolak”.
4) Amar Putusan Mahkamah Konstitusi sangat kabur dan tidak pasti
karena menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat tidak
konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), sehingga
akibat hukumnya menjadi tidak final tetapi sangat tergantung kepada
85
cara Mahkamah Agung memaknai ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-
Undang Advokat (digantungkan kepada subyektifitas Mahkamah
Agung). Dengan kata lain, bisa jadi pada suatu waktu Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena
Mahkamah Agung bersedia melakukan penyumpahan Advokat, tetapi
bisa jadi pula pada lain waktu Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Advokat bertentangan dengan UUD 1945 karena Mahkamah Agung
tidak bersedia melakukan penyumpahan Advokat karena adanya
perselisihan organisasi advokat atau ada yang mempermasalahan
keabsahan Organisasi Advokat.
5) Amar Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “ Menyatakan
apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat
sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat
belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang Organisasi Advokat
yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum ” :
(1) Bertentangan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang
Advokat itu sendiri yang menyatakan “ Dalam waktu paling lambat
2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi
Advokat telah terbentuk ”, berarti 2 tahun setelah Undang-Undang
Advokat disahkan yaitu 5 April 2005; Wewenang Mahkamah
Konstitusi hanya menyatakan apakah suatu undang-undang (materi
muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang lain)
bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah
86
Konstitusi tidak berwenang dan tidak boleh mengesampingkan suatu
ketentuan/Pasal undang-undang yang tidak diajukan permohonan
pengujiannya, dengan kata lain Mahkamah Konstitusi dalam perkara
ini tidak berwenang mengenyampingkan ketentuan Pasal 32 ayat (4)
Undang-Undang Advokat yang secara jelas telah menentukan batas
waktu harus sudah terbentuknya Organisasi Advokat (5 April 2005)
(2) Bertentangan dengan Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi
dalam perkara Nomor 014-PUU-IV/2006 tanggal 30-12-2006 yang
menyatakan antara lain :
a) Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Advokat
yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak
hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak
hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan
menunjukkan bahwa karena kedudukannya itu diperlukan suatu
organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-
Undang Advokat. Karena Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang
Advokat menyebutkan, “Organisasi Advokat merupakan satu-
satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang
dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang- Undang ini dengan
maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi
Advokat”, maka organisasi PERADI sebagai satu-satunya
wadah profesi Advokat.
87
b) Bahwa Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Advokat
sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan
dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah
terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang
merupakan satu-satunya wadah profesi advokat, sehingga tidak
relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.
6) Bahwa amar putusan Mahkamah Konstitusi “Menyatakan apabila
setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana
dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka
perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui
Peradilan Umum” tidak pernah dimohonkan oleh pemohon (ultra
petita) dan tidak termasuk ke dalam wewenang Mahkamah Konstitusi
untuk memeriksa dan memutusnya, serta berlebihan (over bodig)
karena persoalan itu memang sesungguhnya sudah jelas bukan
wewenang Mahkamah Konstitusi tetapi wewenang Peradilan Umum.
7) Pendapat Mahkamah Konstitusi pada halaman 35 putusannya yang
menyatakan :
“...…Namun demikian Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi-organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat”
88
Putusan tersebut merupakan putusan yang sama sekali tidak didukung
alat bukti sah. Atas dasar alat bukti apa Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa saat ini secara de facto ada 2 organisasi, yaitu
PERADI dan KAI. Bukankah berdasarkan alat bukti yang diajukan oleh
Pemohon maupun pihak terkait di muka persidangan, tidak ada satupun
alat bukti yang dapat dijadikan dasar untuk menyatakan saat ini secara
de facto ada 2 organisasi advokat. Malahan berdasarkan alat bukti yang
diajukan Pemohon berupa SEMA Nomor 065/KMA/V/2009 (Bukti P-
3) dijelaskan ada tiga organisasi advokat, hal mana kemudian
berdasarkan SEMA Nomor 065/KMA/V/2009 perihal : Permohonan
Klarifikasi Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor
052/KMA/V/2009 tanggal 01 Mei 2009, pada butir 1 huruf c, secara
jelas dan tegas dinyatakan “ Fakta menunjukan ada 3 (tiga) organisasi
(PERADI, KAI, PERADIN).
4.1.3.2 Pendapat Pengadilan Tinggi Jogjakarta Sebagai Data
Pembanding
Sebagai data pembanding mengenai pendapat dari Pengadlan Tinggi
atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 perlu
kiranya di dituliskan pandangan dari Pengadilan Tinggi lain selain dari
Pengadilan Tinggi Bandung sebagai obyek penelitian dari penelitian ini.
Data pendapat dari Pengadilan Tinggi Jogjakarta ini didapat dari artikel
yang berasal dari Jurnal Konstitusi, volume 7, nomor 6, Desember 2010
89
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya Pengadilan
Tinggi melakukan penyumpahan para calon advokat dari organisasi
manapun. Namun demikian, berdasarkan Jurnal Konstitusi, volume 7,
nomor 6, Desember 2010, Pengadilan Tinggi Yogyakarta merasa bukan
sebagai pihak dalam perkara tersebut dan bukan sebagai pihak yang dituju
oleh Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sehingga tidak perlu
melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Meskipun setelah
adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Pengadilan Tinggi
Yogyakarta tetap tidak merasa berwenang untuk melakukan penyumpahan
para advokat. Hal ini didasarkan alasan bahwa sebagai lembaga yang
secara organisatoris berada di bawah Mahkamah Agung, maka Pengadilan
Tinggi Yogyakarta harus tunduk pada Mahkamah Agung bukan pada
lembaga lain termasuk pada Mahkamah Konstitusi dan putusan yang
dihasilkannya.
Mahkmah Agung mengirimkan beberapa surat edaran kepada
Pengadilan Tinggi di Indonesia. Tanggal 1 Mei 2009 Mahkamah Agung
mengirimkan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009.
Dengan adanya Surat Ketua Mahkamah Agung tersebut maka ada upaya
dari organisasi advokat PERADI dan KAI untuk menyelesaikan konflik
organisasi yang difasilitasi oleh Mahkamah Agung, yang menghasilkan
kesepakatan yang intinya bahwa organisasi advokat yang disepakati dan
merupakan satu-satunya wadah profesi advokat adalah PERADI.
Meskipun dalam pekembangannya kesepakatan tersebut keabsahannya
90
diingkari oleh KAI, karena ada banyak tekanan dalam kesepakatan
tersebut dan Mahkamah Agung cenderung memihak kepada salah satu
organisasi advokat. Atas dasar kesepakatan itulah Mahkamah Agung
mengeluarkan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010
yang ditujukan kepada Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia yang isinya
adalah sebagai berikut :
1) Mahkamah Agung mencabut kembali surat Ketua Mahkamah Agung
tertanggal 1 Mei 2009 Nomor 052/KMA/V/2009.
2) Para Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para calon
advokat yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul
penyumpahan tersebut harus diajukan oleh Pengurus PERADI, sesuai
dengan jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010.
Atas dasar Surat Ketua Mahkamah Agung tersebut, Pengadilan Tinggi
hanya melakukan penyumpahan calon advokat yang diajukan oleh
pengurus PERADI saja, sedangkan penyumpahan para advokat yang
diajukan oleh organisasi advokat lain termasuk KAI tidak boleh dilakukan
oleh Pengadilan Tinggi. Hingga saat ini pun setelah adanya Putusan
Mahkamah konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 para advokat KAI tidak
disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi Yogyakarta, tetapi akan
melantik dan menyumpah kembali para advokat dari PERADI.
Pada tanggal 6 Oktober 2010, di Pengadilan Tinggi Yogyakarta
dilakukan audiensi antara Pengurus DPD KAI Yogyakarta didampingi
91
oleh para advokat KAI dengan Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Hasil
dari audiensi itu ada beberapa hal yaitu :
1) Kepala Pengadilan Tinggi Yogyakarta akan memerintahkan kepada
hakim-hakim Pengadilan Negeri di Yogyakarta agar tidak
mempermasalahkan advokat KAI yang menjadi kuasa hukum dalam
persidangan di pengadilan.
2) Pengadilan Tinggi akan membawa masalah tersebut ke rakernas
Mahkamah Agung di Balikpapan Oktober 2010.
3) Pengadilan Tinggi tidak akan melakukan pelantikan dan penyumpahan
advokat selama PERADI dan KAI belum bersatu.
Meskipun ada beberapa hal yang dihasilkan dari audiensi tersebut di
atas, namun tujuan utama agar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PUU-VIII/2009 itu dilaksanakan belum terwujud. Berdasarkan
audiensi tersebut, Pengadilan Tinggi Yogyakarta tetap tidak melakukan
pelantikan dan penyumpahan advokat KAI, sehingga bisa dikatakan bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 itu belum
dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Dengan demikian. Para
advokat KAI dalam menjalankan profesinya tetap masih seperti semula
yaitu bisa beracara dipengadilan tetapi nempel atau menjadi kuasa
bersama-sama dengan advokat lain yang telah memenuhi syarat dilantik
dan disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Sehingga advokat KAI hingga saat
ini belum bisa menjalankan profesinya secara mandiri tanpa menempel
advokat lain yang sudah dilantik dan disumpah di Pengadilan Tinggi,
92
meskipun sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-
VII/2009.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
Pengadilan Tinggi belum menjalankan sepenuhnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PUU-VII/2009 dan lebih memilih untuk menjalankan Surat Ketua
Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009.
Pengadilan Tinggi beralasan bahwa sebagai lembaga yang secara
organisatoris berada di bawah Mahkamah Agung, maka Pengadilan Tinggi harus
tunduk pada Mahkamah Agung bukan pada lembaga lain termasuk pada
Mahkamah Konstitusidan putusan yang dihasilkannya, meskipun harus melangar
asas “erga omnes” yaitu bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat
setiap orang. Sehingga setiap orang harus patuh terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi, termasuk Pengadilan Tinggi yang berkompeten dalam permasalahan
advokat ini.
4.2 Sikap Pengadilan Negeri Terhadap Advokat Yang Tidak
Dapat Menunjukkan Berita Acara Sumpah Setelah Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009
Pengadilan Negeri merupakan sebuah lembaga peradilan di
lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota
kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri
berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan baik
93
perkara pidana dan maupun perkara perdata bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya. Daerah hukum Pengadilan Negeri meliputi wilayah Kota atau
Kabupaten.
Hakim pada Pengadilan Negeri sebenarnya bukan pihak yang terkait
langsung dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009.
Namun Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat berpengaruh atau
berimplikasi terhadap pelaksanaan profesi advokat terutama waktu menjadi kuasa
hukum dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009 tersebut
dipandang oleh Ahmad Rifai, S.H, M.H selaku hakim di Pengadilan Negeri
Cirebon dalam (wawancara penelitian yang dilakukan pada Tanggal 01 Juni
2011), menyatakan bahwa isi dari putusan tersebut masih mengambang dan
tidaklah mencabut atau membatalkan isi dari pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003.
Sikap hakim yang mempersoalkan advokat yang belum disumpah Pengadilan
Tinggi, dalam prakteknya adalah berbeda antara hakim satu dengan hakim yang lainnya.
Ada hakim yang menanyakan bukti dokumen penyumpahan pada saat persidangan, ada
pula yang tidak menanyakan sumpah tersebut.
Dalam penelitian ini kewenangan hakim dalam memutus di pengadilan
apakah seorang advokat berhak mendampingi atau tidak kliennya menjadi sangat
penting kedudukannya, mengingat dari adanya dua keputusan dari dua lembaga
tinggi pelaksana kekuasaan kehakiman negara yang saling bertentangan satu sama
lain. Keputusan pertama datang dari Mahkamah Konstitusi dengan Putusan
94
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009, keputusan kedua datang dari
Mahkamah Agung dengan SK.MARI Nomor 052/KMA/V/2009.
Kedua keputusan tersebut memutus mengenai obyek yang sama yaitu
masalah sumpah advokat yang diawali dengan adanya Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003. Hal ini tentunya akan membuat hakim bimbang khususnya pada
hakim Pengadilan Negeri dengan mengikuti pada keputusan siapa yang harus
diikuti.
Dalam mengambil sebuah keputusan seorang hakim haruslah mandiri,
dalam arti tidak dibolehkan ada interfensi dari pihak mana pun. Hal ini
berdasarkan atas Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman :
3) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
4) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pandangan Hakim adalah pandangan obyektif dari posisi yang obyektif
(Trapman dalam Suryono Sutarto : 2004: 33). Menurut Kamus Hukum karangan
Sudarsono, objectief diartikan sebagai “berpendirian jujur berpandangan yang
benar, berpandangan sesuai keadaan yang sebenarnya”. Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), objektivitas diartikan sebagai “sikap jujur tidak
dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dalam mengambil
keputusan atau tindakan. Dengan demikian ukuran untuk menentukan apakah
seorang Hakim telah melaksanakan tugasnya secara objektif adalah apabila ia
bersikap jujur, tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau
95
golongan, berpandangan dan bertindak benar (sesuai hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku) sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
dalam mengambil keputusan atau tindakan dalam setiap pemeriksaan.
Dari hasil (wawancara penelitian yang dilakukan dengan H. Irdalinda, SH, MH
selaku hakim di Pengadilan Negeri Cirebon yang dilakukan pada Tanggal 01 Juni
2011). Beliau menyatakan bahwa apabila hakim menanyakan bukti dokumen
penyumpahan, sedangkan advokat yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan dokumen
penyumpahan tersebut, maka advokat tersebut tidak diizinkan oleh hakim untuk beracara
dalam persidangan mendampingi kliennya. Hal ini pun berlaku apabila advokat tersebut
tidak beracara sendiri atau bersama-sama dengan advokat lain yang juga tidak
mempunyai dokumen penyumpahan. Namun apabila advokat yang tidak mempunyai
dokumen penyumpahan tersebut bergabung dengan advokat lain yang sudah mempunyai
dokumen penyumpahan maka advokat tersebut diizinkan untuk beracara menjadi kuasa
hukum di persidangan.
Dalam salah satu pertanyaan wawancara yang penulis ajukan dalam (wawancara
penelitian yang dilakukan pada tanggal 01 Juni 2011) terhadap H. Irdalinda, SH, MH
selaku hakim di Pengadilan Negeri Cirebon, apakah ada instruksi khusus dari
Pengadilan Tinggi yang mana dalam hal ini adalah Pengadilan Tinggi Bandung
mengenai sumpah advokat tersebut sehingga dalam persidangan Pengadilan
Negeri Cirebon berani untuk mengeluarkan Pengadilan Negeri Cirebon Nomor
31/Pid.B/2010/PN.CN dan 32/Pid.B/2010/PN.CN? beliau menjawab bahwa tidak ada
instruksi khusus mengenai permasalahan tersebut, instruksi tersebut justru datang
langsung dari Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor : 113/KMA/IX/2009.
96
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 113/KMA/IX/2009 berisikan pengaturan
tentang pemeriksaan sumpah advokat di pengadilan, yang pada intinya menyatakan
bahwa : “Hakim tidak perlu menanyakan dokumen penyumpahan pada saat
persidangan, hakim hanya bersifat menunggu, apabila ada keberatan/eksepsi dari pihak
lawan maka hakim baru dapat mempermasalahkan sumpah advokat tersebut”.
Contoh pengadilan negeri yang mempermasalahkan sumpah advokat adalah
Pengadilan Negeri Cirebon. Awalnya dalam praktek persidangan di wilayah hukum
Kota Cirebon, sebagian besar hakim tidak mempermasalahkan advokat sudah bersumpah
di Pengadilan Tinggi atau belum, hakim mempermasalahkan apabila ada keberatan atau
eksepsi dari pihak lawan sebagai mana yang tertuang dalam SEMA Nomor
113/KMA/IX/2009. Dalam persidangan tersebut Jaksa Penuntut Umum menanyakan
perihal tentang dokumen berita acara penyumpahan advokat dari pengedilan
Tinggi mengenai pengambilan sumpah jabatan advokat terhadap tim advokat
tersebut, namun tim advokat tersebut tidak dapat menunjukkan berita acara
penyumpahan advokat terhadap dirinya tersebut (Radar Cirebon, 12 Mei 2010).
Advokat tersebut beralasan bahwa keharusan seorang advokat untuk disumpah
oleh Pengadilan Tinggi sebelum dapat beracara di pengadilan berdasarkan pasal 4
ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 telah dicabut/dibatalkan
berdasarkan putusan Mahkamah KonstitusiNomor 101/PPU-VII/2009 karena
dianggap bertentanan dengan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dengan adanya keberatan dari Jaksa Penuntut Umum tersebut, akhirnya
dikeluarkanlah Penetapan Pengadilan Negeri Cirebon Nomor 31/Pid.B/2010/PN.CN dan
32/Pid.B/2010/PN.CN dimana inti dari penetapan tersebut adalah menyatakan Tim
97
Penasehat Hukum dari para terdakwa tidak mempunyai kewenangan untuk mendampingi
para terdakwa di pengadilan dalam perkara Nomor 31/Pid.B/2010/PN.CN dan
32/Pid.B/2010/PN.CN. dalam mengelurakan penetapan tersebut, majelis hakim dalam
persidangan tersebut menggunakan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1) Isi pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003: “sebelum menjalankan profesinya advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
2) Tim advokat tidak dapat menunjukan berita acara penyumpahan advokat mengenai pengambilan sumpah jabatan advokat terhadap dirinya seperti yang dimintakan oleh Penuntut Umum.
3) Surat Ketua Mahkamah Agung R.I Nomor : 052/KMA/V/2009 perihal sikap Mahkamah agung Terhadap Organisasi Advokat yang menyatakan bahwa : “walaupun demikian, advokat yang telah diambil sumpahnya sesuai dengan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tidak bisa dihalangi untuk beracara di pengadilan terlepas dari organisasi mana ia berasal. Apabia ada advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan pasal 4 tersebut (bukan oleh ketua Pengadilan Tinggi),maka terhadap sumpahnya tersebut dianggap tidak sah sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk beracara di pengadilan”.
Setelah dikeluarkannya penetapan tersebut, dalam setiap persidangan di Pengadilan
Negeri Cirebon hakim dapat menanyakan secara aktif perihal sumpah advokat kepada
semua advokat yang berkepentingan mendampingi kliennya di Pengadilan Cirebon
dengan tanpa menunggu adanya keberatan dari Jaksa Penuntut Umum. Menurut Ketua
Pengadilan Negeri Cirebon H. Irdalinda, SH, MH selaku hakim di Pengadilan Negeri
Cirebon dalam wawancara penelitian yang dilakukan pada Tanggal 01 Juni 2011
pukul 13.00 WIB menyatakan bahwa : “Penetapan tersebut dapat dianggap sebagai
yurisprudensi pengadilan sehingga dapat mengesampingkan SEMA Nomor :
113/KMA/IX/2009”.
Meskipun ada perbedaan pendapat dan sikap hakim terhadap advokat yang belum
disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi sebelum dan sesudah adanya Putusan
98
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009, namun sebenarnya tidak ada
perbedaan dalam praktek di pengadilan karena :
1) Pendapat hakim yang menyatakan bahwa advokat yang belum disumpah tidak berhak
beracara di pengadilan, dimaksudkan sepanjang advokat tersebut beracara sendiri di
pengadilan tanpa didampingi oleh advokat lain yang sudah sah dan disumpah.
2) Pendapat hakim yang menyatakan bahwa advokat yang belum disumpah berhak
beracara di pengadilan, dimaksudkan sepanjang advokat tersebut beracara bersama-
sama dengan advokat lain yang sah dan sudah disumpah. Dengan perkataan lain
advokat yang belum disumpah dapat beracara di pengadilan tetapi bergabung dengan
advokat lain yang sah dan sudah disumpah.
3) Sikap hakim yang tidak mengizinkan advokat yang belum disumpah menjadi kuasa di
persidangan, apabila advokat tersebut tidak didampingi oleh advokat lain yang sah dan
sudah disumpah.
4) Sikap hakim yang mengizinkan advokat yang belum disumpah menjadi kuasa di
persidangan, apabila advokat tersebut didampingi oleh advokat lain yang sah dan
sudah disumpah.
Dalam pemeriksaan perkara di pengadilan Negeri Cirebon, cara hakim
mengetahui apakah advokat yang menjadi kuasa hukum klien sudah disumpah dalam
sidang terbuka Pengadilan Tinggi juga berbeda-beda. Dalam praktek ada beberapa cara
yang dilakukan oleh para hakim untuk mengetahui advokat sudah disumpah atau belum
yaitu :
99
NO CARA HAKIM MENGETAHUI
1 Menanyakan langsung ke advokat
2 Keberatan dari lawan advokat
3 Melihat berita acara pelantikan
4 Tidak mempermasalahkan pelantikan
5 Kombinasi 1 dan 3
6 Kombinasi 1 dan 2
BAGAN 5 Cara Hakim Mengetahui Sumpah Advokat
Cara yang pertama adalah menanyakan langung kepada advokat. Cara ini adalah
cara yang lazim dilakukan oleh hakim sebelum pemeriksaan perkara dimulai, cara ini
masih banyak dilakukan hakim baik sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PUU-VII/2009 maupun sesudah putusan. Cara kedua adalah keberatan dari lawan
advokat, cara ini yang paling banyak dilakukan oleh hakim baik sebelum maupun sesudah
ada putusan Mahkamah Konstitusi. Cara ketiga adalah dengan melihat berita acara
pelantikan dari Pengadilan Tinggi, cara keempat adalah dengan tidak mempermasalahkan
pelantikan dari Pengadilan Tinggi, cara kelima adalah dengan mengkombinasikan
menanyakan langsung ke advokatnya dengan melihan berita acara pelantikannya dan
yang terakhir adalah kombinasi antara menanyakan langsung ke advokatnya dan
keberatan dari pihak lawan.
Berdasarkan cara hakim untuk mengetahui advokat telah diambil sumpahnya atau
belum diatas, ternyata di Pengadilan Negeri Cirebon cara pertama atau dengan
menanyakan langsung pada advokat yang bersangkutanlah yang paling banyak digunakan
pada saat ini setelah adanya Penetapan Pengadilan Negeri Cirebon Nomor
31/Pid.B/2010/PN.CN dan 32/Pid.B/2010/PN.CN.
100
Namun berdasarkan Jurnal Konstitusi, volume 7, nomor 6, Desember 2010, hakim
yang tidak mempermasalahkan advokat yang belum disumpah Pengadilan Tinggi juga
cukup tinggi. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, hal ini dikarenakan advokat yang
bersangkutan berpraktik atau menjadi kuasa hukum bersama-sama dengan advokat lain
yang sudah disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Hakim tidak banyak yang mempersoalkan
apabila advokat yang belum disumpah Pengadilan Tinggi berpaktik menjadi kuasa hukum
bersama dengan advokat lain yang sudah disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Selain itu,
ada beberapa hakim yang menerapkan cara secara kombinasi untuk mengetahui apakah
advokat yang beracara di pengadilan sudah disumpah Pengadilan Tinggi atau belum.
Tanggapan atau penafsiran hakim terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PUU-VII/2009 sebagaimana yang ada dalam tabel penelitian yang terdapat dalam
Jurnal Konstitusi, volume 7, nomor 6, Desember 2010 yang dilakukan dengan
mengadakan survei terhadap 30 hakim adalah sebagai berikut :
101
No. Tanggapan/penafsiran hakim Jumlah
1 Harus dilaksanakan pelantikan dan penyumpahan oleh
Pengadilan Tinggi dan advokat tergabung dalam satu wadah 3
2 Putusan tidak jelas, tidak tegas, dan multi tafsir 6
3
Dalam jangka waktu 2 tahun harus dilakukan pelantikan dan
penyumpahan oleh Pengadilan Tinggi tanpa melihat
organisasinya
1
4 Advokat yang belum disumpah bisa praktek jika tidak ada
keberatan dari pihak lawan 1
5 Organisasi PERADI dan KAI diakui dalam jangka waktu 2
tahun 7
6 Putusan Mahkamah Konstitusitidak mengikat hakim 4
7 Tidak tahu isi putusan Mahkamah Konstitusi 1
8 Tidak menjawab 7
J u m l a h
30
Sumber : Jurnal Konstitusi, volume 7, nomor 6, Desember 2010
BAGAN 6 Tanggapan Hakim Terhadap Putusan MK
4.2.1 Pendapat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Sebagai Data Pembanding
Sebagai data pembanding mengenai pendapat dari Pengadlan Negeri
atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009, perlu
kiranya di dituliskan pandangan dari Pengadilan Negeri lain selain dari
Pengadilan Negeri Cirebon sebagai obyek penelitian dari penelitian ini.
Data pendapat dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini didapat dari artikel
yang berasal dari Varia Advokat - Volume 10 tanggal Agustus 2009.
102
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat, bahwa sikap Mahkamah
Agung dalam menerbitkan surat Mahkamah Agung Nomor
052/KMA/V/2009 adalah sudah tepat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun
secara tegas mendesak agar satu wadah tunggal organisasi advokat dapat
menciptakan suatu perdamaian. Dengan adanya wadah tunggal advokat itu
tersebut dimaksudkan untuk memudahkan segala sesuatunya karena
dampaknya ke pengadilan. Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat mengambil sikap kalau memang sudah disumpah oleh Ketua
Pengadilan Tinggi dapat diterima beracara di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dan tidak akan mempersulit. Legal standingnya adalah sesuai Surat
Mahkamah Agung Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 yaitu harus
ada berita acara sumpah advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi maka di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat apabila tidak dipermasalahkan maka
Pengadilan tutup mata dan tidak mau tahu.
Hal yang terpenting adalah sudah ada ID Pengenal Advokat maka
diperbolehkan untuk beracara karena menjadi tanggung jawab organisasi
Advokat masing-masing. Selain itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
mau ikut campur mengenai berita acara sumpah. Tapi sekali lagi akan
muncul apabila ada pihak yang mempermasalahkan di persidangan. Apabila
itu terjadi, solusinya pengadilan akan menengahi dengan menanyakan berita
acara sumpah.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bersikap netral dan tidak akan terlibat
terhadap organisasi advokat yang mengeluarkan suatu pengenal (I.D.),
103
asalkan sudah disumpah Ketua Pengadilan Tinggi. Masalahnya sekarang ini
pengadilan tidak bias kontrol, kalau dulu bisa dikontrol. Sekarang kalau
suatu organisasi mengeluarkan suatu ID, apakah itu disumpah atau tidak,
pengadilan dan hakim tidak bisa mengetahuinya. Karena dalam hal ini
pengadilan hanya melihat kartu pengenal advokat.
Akan menjadi permasalahan ketika nanti Advokat tersebut tidak mau
menunjukkan bukti dirinya disumpah ketua Pengadilan tinggi, akan
bertambah rumit lagi nanti jika lawan dari advokat yang dalam hal ini
adalah Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga minta supaya ditunjukkan juga
sumpahnya. Ini akan menjadi suatu permasalahan dan akan memunculkan
bahkan membuat suatu proses persidangan diluar hukum acara, dan perlu
waktu lagi untuk membuktikan benar atau tidak sudah disumpah oleh Ketua
Pengadilan Tinggi.
Protes-protes diatas ini akan merepotkan pengadilan, akhirnya perkara
akan lebih panjang akibat muncul reaksi dari advokat. Dengan demikian
seharusnya Pengadilan Jakarta Pusat tidak perlu berdebat sampai kesana
karena pertengkaran akan berdampak pada proses persidangan itu sendiri
dan belum tentu persoalannya terselesaikan.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan mengambil solusi dengan cara
menengahinya dengan melihat praktek kasus per kasus. Kalau muncul
kasus, maka pengadilan akan tegas mengambil sikap dengan suatu
pembuktian, apabila Terbukti Advokat yang diambil sumpahnya
menyimpang dari Pasal 4 maka harus dianggap tidak sah. Jika terbukti maka
104
harus dikeluarkan tidak boleh mendampingi klien di dalam pengadilan dan
merupakan kewenangan dari pengadilan untuk meminta berita acara
sumpah.
Masalah selanjutnya akan terjadi kalau Advokat bersikukuh tidak mau
menunjukkan berita acara advokat maka pengadilan akan berpedoman pada
Surat Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 karena sifatnya itu
mengikat sehingga kalau advokat tidak bisa menunjukkan berita acara
sumpahnya maka akan dikeluarkan dari persidangan, pengadilan harus tegas
demi mencegah kerugian para pencari keadilan.
Terkait berita acara sumpah advokat oleh MUI, Sekjen advokat dan
rohaniawan Islam serta yang disumpah oleh Pengadilan Tinggi secara tegas
yang diakui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah berita acara sumpah
oleh Ketua Pengadilan Tinggi dan selainnya tidak akan berlaku di
Pengadilan. Dan pihak Pengadilan sendiri tidak ada maksud semata-mata
menjalankan aturan.
Mengenai pendapat Pasal 4 Undang-Undang Advokat tidak wajib,
artinya boleh disumpah selain ketua Pengadilan Tinggi. Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat memandang bahwa Surat Mahkamah Agung tersebut berlaku
mengikat kepada Pengadilan sehingga Pengadilan juga berpedoman
demikian. Selain itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak akan lagi
berdebat mengenai permasalahan ini, artinya kita sudah memutus demikian
maka perdebatan sudah selesai di Mahkamah Agung dengan adanya Surat
Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009. Jika masih ingin
105
memperdebatkannya silahkan saja, tetapi dengan munculnya Surat
Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 ini sudah selesai dan
merupakan pedoman. Silahkan setuju atau tidak setuju tetapi proses
persidangan harus tetap berjalan dan tidak boleh merugikan pencari keadilan
karena Surat Mahkamah Agung itu sifatnya imperatif.
Selama ini yang sering beracara di persidangan adalah advokat dari
KAI, Peradi, Peradin. selama ”tidak dieksepsi” maka tidak akan
dipermasahkan selama dari advokat itu sendiri tidak ada permasalahan
diantara mereka, bagi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu internal mereka
para advokat. Sekali lagi menjadi masalah jika salah satu mereka dieksepsi
barulah Surat Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 diterapkan.
Mengenai Surat Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengakui belum mengambil sikap apapun,
karena masih membaca situasi untuk mengambil sikap. Lebih khusus para
hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat belum banyak tahu mengenai
surat Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 tersebut dan belum ada
kesamaan diantara para hakim masing-masing masih membaca,
mempelajari Surat Mahkamah Agung itu. Oleh karena itu nanti ketua akan
memanggil semua hakim untuk memperdebatkan surat tersebut. Namun
Surat Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 tetap digunakan sebagai
Pedoman di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk diterapkan, tapi
kasusnya sendiri belum ada. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat belum
berani menerapkan surat mahkamah Agung tersebut secara tegas apalagi
106
untuk menginstruksikan kepada jajaran hakim di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat agar Majelis Hakim diwajibkan untuk menanyakan berita acara
sumpah advokat di persidangan. Tetapi kalau memang itu dipermasalahkan
oleh para pihak maka surat Mahkamah Agung tersebut baru dimunculkan
sebagai pedoman. Artinya disini hakim tidak mencampuri atau tidak
berkepentingan (pasif).
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempersilahkan para Pihak yang
aktif. Jadi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan para hakimnya tidak akan
bersifat aktif, Surat Mahkamah Agung tersebut baru akan diterapkan jika
terjadi suatu permasalahan. Kalau tidak ada permasalahan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat akan diam. Karena bisa dituduh memihak, mencampuri
dan bersikap apriori terhadap ijin advokat tertentu.
Oleh karena itu selama tidak dipermasalahkan maka semua ijin
Advokat itu tersebut dianggap benar karena dari Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tidak bisa mengeluarkan advokat dari persidangan tanpa suatu
perdebatan hukum, Pengadilan tidak bisa mengusir tanpa dasar hukum yang
jelas jika ada yang mempermasalahkan membuat keberatan tertulis lalu
diminta agar untuk ditanggapi, berikutnya baru putusan menyatakan sah
tidaknya dan memutus advokat itu boleh beracara atau tidak sehingga
putusan pengadilan ada pertimbangan hukum yang jelas .
Inilah cara pengadilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjelaskan
Surat Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009, hal diatas merupakan
”sikap proaktif” pengadilan sesuai undang-undang sehingga produk
107
pengadilan merupakan penetapan dan bisa dikasasi tidak dengan main usir
saja , itu merupakan sikap arogan dan hakim dapat digugat secara pribadi,
tapi kalau hakimnya mengeluarkan penetapan itu produk hukum dan yang
dilawan adalah produk hukum bukan hakimnya secara pribadi jadi kita
harus hati-hati sehingga yang benar harusnya dengan produk hukum yaitu
penetapan.
Jika hakim mengeluarkan penetapan tanpa ada keberatan dahulu akan
menimbulkan perdebatan yang lebih panjang dan apabila ini terjadi di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat maka akan diterapkan di Pengadilan lain
karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan barometer berarti disini
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bersikap ”bermain aman”. Dan memang
harus demikian Pengadilan dimanapun konservatif, harus berdasarkan
hukum dan undang-undang dan pengadilan harus fair tanpa kepentingan
apapun, sertadiberikan kesempatan yang sama, baru kemudian diputuskan
bahwa boleh beracara atau tidak. Jadi yang dilawan produk hukum bukan
pribadi hakim yang mengusirnya.
Lalu apabila hakim digugat gara-gara menerapkan Surat Mahkamah
Agung tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengatakan bahwa majelis
hakim tidak bisa digugat karena tidak punya kepentingan apapun dalam
menjalankan tugas apapun bahkan dipanggil polisi pun tidak boleh apalagi
digugat. Itu adalah sikap dalam menjalankan penegakan hukum dan hakim
mengambil sikap tanpa dilandasi kepentingan untuk membela siapapun
Kalaupun itu digugat itupun dalam menjalankan pedoman dari Mahkamah
108
Agung, maka hakimnya harus berani, Kalau hakimnya digugat menjadi
tidak menguntungkan, menjadi lucu. Sehingga Pengadilan harapkan ini
tidak terjadi dan bersikap dewasa tidak hanya mengungkapkan egonya
hanya untuk mencobacoba menggugat seperti itu. Karena pengadilan tidak
punya kepentingan sifatnya obyektif dan tidak dalam kapasitas memihak
karena menjalankan undang-undang. Jadi itu tidak mendewasakan publik
sehingga akhirnya penegakan hukum menjadi kacau tidak karuan.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melihat mengenai organisasi advokat
Peradi, KAI dan Peradin sah atau tidak sah bukan kapasitas Mahkamah
Agung tapi di Depkum HAM dan Depdagri. Begitu juga sikap Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dan bukan kapasitasnya Pengadilan kecuali ada satu
gugatan sehingga hakim mengambil sikap ditolak atau dikabulkan Artinya
belum ada suatu kasus sengketa yang diputus Pengadilan menyangkut
organisasi advokat mengenai keabsahannya Sugeng melihat kedepan bahwa
sekarang ini diinstruksikan tidak ada penyumpahan, jadi itu baik dari
organisasi advokat KAI, dari Peradin, dan dari Peradi sendiri tidak akan ada
penyumpahan, lalu apakah iniakan berkelanjutan terus. Menurut Sugeng ini
tentunya harus disadari organisasi advokat supaya segera tercapai suatu
wadah tunggal. Karena kasihan calon-calon advokat apabilaini terus
berkepanjangan makasugeng menyarankan lebih bagus secepatnyalah
mereka (PERADI,KAI, PERADIN) berembuk untuk perkembangan dan
kewibawaan organisasi advokat supaya lebih berwibawa. Perlu dicontoh
109
organisasi seperti notaris sudah mempunyai wadah tunggal yaitu INI. Juga
seperti hakim yang ada wadah tunggalnya yaitu IKAHI.
Advokat disarankan untuk berkumpuldan bermusyawarah, sedangkan
untuk menerbitkan kartu ijin silahkan diatur bersama dan tidak perlu
melibatkan organisasi institusi lain sehingga ditarik-tarik dan digugat dan
Pengadilan pun menyayangi karena advokat merupakan pilar penegak
hukum, kalau pincang akan mempengaruhi penegakan hukum dan keadilan.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, ternyata menurut pendapat hakim, baik
menurut pendapat pribadi mereka maupun menurut struktur kerja yang dianut oleh
Pengadilan Negeri selaku pihak yang berada langsung dibawah kendali
Mahkamah Agung maka merekapun lebih memilih untuk menjalankan apa yang
diinstruksikan oleh Mahkamah Agung dari pada Mahkamah Konstitusi yang tidak
ada hubungan kerja sama sekali baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa
menurut para hakim di Pengadilan Negeri Cirebon sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah : seorang advokat yang tidak
disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi adalah advokat yang tidak sah,
sehingga secara hukum advokat yang tidak disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan
Tinggi tersebut tidak berhak beracara atau menjadi kuasa hukum dalam persidangan di
pengadilan.
Namun dalam prakteknya meskipun telah dikatakan bahwa seorang advokat yang
tidak disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi adalah advokat yang tidak sah,
oleh hakim advokat yang belum disumpah dalam sidang terbuka pengadilan tinggi
110
diperbolehkan menjadi kuasa hukum tetapi sifatnya mendampingi advokat lain yang
sudah sah yang telah disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Hal ini didasarkan pada alasan
kemanusiaan yaitu tidak baik menghalang-halangi orang yang mencari nafkah. Sikap
hakim tersebut tidak ada perbedaan antara sebelum ada Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PUU-VIII/2009 dan setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PUU-VII/2009. Sebagian besar hakim mengatakan tidak ada Surat Edaran
Mahkamah Agung yang merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PUU-VII/2009. Sehingga hakim bersikap terhadap advokat KAI yang belum
disumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi sama seperti sebelum ada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Legalitas Sumpah
Advokat Untuk Beracara di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PPU-VII/2009 di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengadilan Tinggi tidak terpengruh atas adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PUU-VII/2009. Hal ini disebabkan karena Pengadilan Tinggi
merasa bukan sebagai pihak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
sehingga tidak merasa terikat terhadap putusan tersebut. Pengadilan Tinggi
hanya perlu merasa tunduk terhadap lembaga di atasnya yang dalam hal ini
adalah Mahkmah Agung.
2. Sikap Pengadilan Negeri terhadap advokat yang tidak dapat menunjukkan
berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-
VII/2009 adalah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat. Seorang advokat yang tidak disumpah dalam
sidang terbuka Pengadilan Tinggi adalah advokat yang tidak sah, sehingga
secara hukum advokat yang tidak disumpah tidak berhak bercara di pengadilan
atau menjadi kuasa hukum dalam persidangan di pengadilan. Namun dalam
prakteknya, advokat yang belum disumpah dalam sidang terbuka pengadilan
111
112
tinggi diperbolehkan menjadi kuasa hukum tetapi harus didampingi oleh
advokat lain yang sudah sah yang telah disumpah oleh Pengadilan Tinggi. Hal
ini didasarkan pada alasan kemanusiaan untuk tidak menghalang-halangi orang
yang beracara setelah memperoleh ijin praktek. Sikap hakim tersebut tidak ada
perbedaan antara sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PUU-VIII/2009 dan setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PUU-VII/2009.
5.2 Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Legalitas
Sumpah Advokat Untuk Beracara di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
101/PPU-VII/2009, maka penulis perlu memberikansaran sebagai berikut
1. Agar advokat memiliki legalitas, memenuhi persyaratan sebagai advokat yang
sah seperti yang dikehendaki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, maka Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009
seharusnya dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi dengan mengadakan sidang
terbuka untuk melakukan penyumpahan terhadap para advokat tanpa
memandang organisasinya. Apalagi mengingat asas “ergaomnes” yaitu bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat setiap orang.
2. Sikap Pengadilan Negeri dalam menanggapi kasus sumpah advokat tersebut
sebaiknya menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-
VII/2009 karena mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi lebih berwenang
113
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini juga dimaksudkan agar
tidak terjadi permasalahan baru di persidangan. Tentunya hal ini dilakukan
sambil menunggu organisasi advokat menyelesaikan permasalahan intern
mereka dengan baik, sehingga organisasi advokat mampu melaksanakan
amanat dari Undang-Undang Advokat dan memiliki kepastian hukum bagi
semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum. Apabila kekacauan terus
terjadi dimungkinkan dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Advokat, dan
masalah izin praktek advokat dikembalikan kewenangannya kepada Pengadilan
Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku-Buku
Arikunto, Suharsini. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Asshiddiqie, Jimly, 2005. Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, cetakan
pertama. Jakarta : Konstitusi Press.
-----------------------. 2004. Format kelembagaan Negara dan pergeseran kekuasan
dalam UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press
-----------------------. 2004. Mahkamah Konstitusi dan Pengujian Undang-Undang,
Makalah kuliah umum program doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia. Jogjakarta : FH UII Press
C. Anwar. 2008. Teori dan Hukum Konstitusi. Malang : In-TRANS Publishing
Departemen Pendidikan Nasional dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1988.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat pembinaan dan
pengembangan bahasa indonesia
Huda, Ni’matun. 2009. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta :
Rajawali Pers
Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Juli 2004
Mahkamah Konstitusi. 2010. Jurnal Konstitusi, volume 7, nomor 6, Desember.
Jakarta: Konstitusi Press
Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana
Marwan dan Jimmy. 2009. Kamus Hukum. Surabaya : Reality Publisher
114
115
Miles Mattew B, Huberman A Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:
Daya Widya.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya
Rambe, Ropaun. 2001. Teknik Praktek advokat. Jakarta : PT Garmedia
widiasarana Indonesia
Daniel, S.Lev. 2001. Advokat Indonesia Mencari LegitimasiI. Jakarta : Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Samardi, Sukris. 2007. Advokat Litigasi dan Nonlitigasi Pengadilan. Jogjakarta :
Pusaka Prisma
Sutarto, Suryono. 2005. Hukum Acara Pidana Jilid II dan II. Semarang :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Jakarta : Ghalia Indonesia.
Varia Advokat , Volume 10, Agustus 2009
Daftar Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta. Yayasan Bima
Soesilo R. 1988. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-komentar
lengkap pasal demi pasal. Bogor. Politeia
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
116
Mahkamah Agung
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen
Keempat
Daftar Web
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInterna
lLengkap&id=3429 (Accessed : Minggu, 17 April 2011, 13:04:39
Wib)
http://www.mahkamahagung.go.id/ (Accessed : Minggu, 17 April 2011,
13:30:39 Wib)
http://www.hukumonline.com (Accessed : Minggu 13 Maret 2011, 13:30:18
Wib)
117
LAMPIRAN
118
119
120
121
122
123
PANDUAN WAWANCARA PENGADILAN NEGERI CIREBON
JUDUL SKRIPSI : Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di
Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009
Dibuatoleh : HeigoPebrianto / 3450407073
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
I. IDENTITAS INFORMAN
Nama : Ahmad Rifai, S.H, M.H.
Usia : 51 Tahun
Jabatan : Hakim PengadilanNegeri Cirebon
Alamat : Jl. Ciremai Raya No.225, Kec. Harjamukti, Perumnas
Cirebon
II. PERTANYAAN
1) Berapa lamakah bapak menjabat sebagai hakim di Pengadilan Negeri
Cirebon?
2) Pada saat menangani persidang anapakah bapak mengeluarkan penetapan atas
ketidak sahan tim advokat dari terdakwa?
3) Atas usulan dari siapakah kemudian muncul permasalahan sumpaha dvokat
dalam persidangan tersebut?
4) Bagaimana sikap Pengadilan Negeri Cirebon terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?
5) Bagaimana sikap Pengadilan Negeri Cirebon terhadap advokat yang tidak
dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PPU-VII/2009?
124
6) Bagaimana tanggapan bapak terkait dengan keluarnya SEMA Nomor
052/KMA/V/2009? Dimana pada intinya melarang Pengadilan Tinggi agar
tidak melakukan penyumpahan advokat sampai terbentuk wadah tunggal
advokat seperti yang diamanatkan Undang-Undang Advokat.
7) Sebagai seorang hakim, bagaimana bapak menanggapi permasalahan
semacam ini dimana ada dua putusan dari dua lembaga tinggi peradilan
Indonesia (MA dan MK) yang kemudian putusannya tersebut saling
bertentangan. Lebih mengikuti manakah anda sebagai seorang hakim? (MA
atau MK), tolong berikan alasannya!
8) Menurut bapak bagaimana pentingnya sumpaha dvokat di depan pengadilan
terhadap pembelaan terdakwa?
9) Sepengetahuan bapak apakah selain di PN Cirebon pernah terjadi hal seperti
ini? Dimana jaksa mengajukan nota keberatan atas keabsahan dari advokat di
pengadilan?
10) Setelah mengeluarkan penetapan atas ketidaksahan dari tim advokat untuk
beracara di pengadilan apakah untuk selanjutnya dalam setiap sidang yang
bapak pimpin selalu menanyakan sumpah advokat?
11) Dengan cara apakah bapak menanyakan sekaligus membuktikan seorang
advokat sudah memiliki berita acara penyumpahan?
12) Menurut bapak apakah ada indikasi jika kasus ini tetap berlarut-larut maka
akan dapat menular ke daerah-daerah lain?
13) Jika kasus ini menular ke daerah-daerah lain, menurut bapak apakah bias
mengganggu proses penegakan hukum di indonesia?
14) Bagaimana tanggapan bapak atas saling klaim sebagai organisasi advokat
yang sah menurut undang-undang?
125
PANDUAN WAWANCARA PENGADILAN TINGGI BANDUNG
JUDUL SKRIPSI : Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009
Dibuat oleh : Heigo Pebrianto / 3450407073
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
I. IDENTITAS INFORMAN
Nama : H. Sjam Amansyah, S. H., M. H
Usia : 502 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Jabatan : Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Bandung
Alamat : -
II. PERTANYAAN
1) Berapa lamakah bapak/ibu menjabat sebagai hakim di Pengadilan Tinggi
Jawa Barat?
2) Bagaimana sikap Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?
3) Bagaimana sikap Pengadilan Tinggi Jawa Barat terhadap advokat yang tidak
dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PPU-VII/2009?
4) Bagaimana tanggapan bapak/ibu terkait dengan keluarnya Surat Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor 052/KMA/V/2009?
5) Sebagai hakim di Pengadilan Tinggi bapak/ibu akan lebih mengikuti Putusan
MA atau Putusan MK dalam menilai kasus ini?
126
6) Menurut bapak/ibu bagaimana pentingnya sumpah advokat di depan
pengadilan terhadap pembelaan terdakwa?
7) Bagaimana akibat hukum yang terjadi apabila advokat tidak dapat
menunjukan berita acara sumpah?
8) Menurut bapak/ibu apakah ada indikasi jika kasus ini tetap berlarut-larut
maka akan dapat menular ke daerah-daerah lain?
9) Jika kasus ini menular ke daerah-daerah lain, menurut bapak/ibu apakah bisa
mengganggu proses penegakan hukum di indonesia?
10) Apakah dalam menangani kasus di pengadilan bapak/ibu selalu menanyakan
berita acara sumpah terlebih dahulu sebelumya?
11) Dengan cara apakah bapak/ibu mengecek apakah seorang advokat telah
memiliki berit acara penyumpahan advokat?
12) Bagaimana tanggapan bapak/ibu atas saling klaim sebagai organisasi advokat
yang sah menurut undang-undang?
13) Bagaimana pula tanggapan bapak/ibu atas sikap yang berbeda-beda dari
masing-masing Pengadilan Tinggi yang ada di Indonesia dalam menanggapi
permasalahan sumpah advokat?
127
PANDUAN WAWANCARA DPC PERADI CIREBON
JUDUL SKRIPSI : Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di
Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009
Dibuatoleh : HeigoPebrianto / 3450407073
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
I. IDENTITAS INFORMAN
Nama : Yunasril Yuzar, S.H
Usia : 40 Tahun
Jabatan : Ketua DPC PERADI Cirebon
Alamat : Jl. Lawang Gada No.112, Kec. Kanoman, Kota Cirebon
II. PERTANYAAN
1) Berapa lamakah bapak menjabat sebagai Ketua DPC PERADI Cirebon?
2) Sudah Berapa lamakah bapak menjadi advokat?
3) Bagaimana sikap bapak selaku advokat terhadap advokat yang tidak
dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?
4) Bagaimana tanggapan bapak terkait dengan keluarnya SEMA Nomor
052/KMA/V/2009?
5) Sebagai seorang advokat, bagaimana bapak menanggapi permasalahan
semacam ini dimana ada dua putusan dari dua lembaga tinggi
128
Kehakiman Indonesia (MA dan MK) yang kemudian putusannya tersebut
saling bertentangan satu samanya?
6) Menurut bapak bagaimana pentingnya sumpah advokat di depan
pengadilan terhadap pembelaan terdakwa?
7) Menurut bapak apakah ada indikasi jika kasus sumpah advokat ini tetap
berlarut-larut maka akan dapat menular ke daerah-daerah lain?
8) Jika kasus ini menular ke daerah-daerah lain, menurut bapak apakah bias
mengganggu proses penegakan hukum di indonesia?
9) Bagaimana tanggapan bapak atas saling klaim sebagai organisasi advokat
yang sah menurut undang-undang?
10) Bagaimana tanggapan anda mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PPU-VII/2009 yang tidak dilakukan oleh PT?
11) Kerugian apa yang anda rasakan dari tidak dilaksanakannya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?
129
PANDUAN WAWANCARA DPC KAI CIREBON
JUDUL SKRIPSI : Legalitas Sumpah Advokat Untuk Beracara Di
Pengadilan Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009
Dibuatoleh : HeigoPebrianto / 3450407073
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
I. IDENTITAS INFORMAN
Nama : Winata, S.H
Usia : 40Tahun
Jabatan : Ketua DPC PERADI Cirebon
Alamat : Jl. Pangeran Drajat No.365, Kota Cirebon
II. PERTANYAAN
1) Berapa lamakah bapak menjabat sebagai Ketua DPC PERADI Cirebon?
2) Sudah Berapa lamakah bapak menjadi advokat?
3) Bagaimana sikap bapak selaku advokat terhadap advokat yang tidak
dapat menunjukan berita acara sumpah setelah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?
4) Bagaimana tanggapan bapak terkait dengan keluarnya SEMA Nomor
052/KMA/V/2009?
5) Sebagai seorang advokat, bagaimana bapak menanggapi permasalahan
semacam ini dimana ada dua putusan dari dua lembaga tinggi
130
Kehakiman Indonesia (MA dan MK) yang kemudian putusannya tersebut
saling bertentangan satu samanya?
6) Menurut bapak bagaimana pentingnya sumpah advokat di depan
pengadilan terhadap pembelaan terdakwa?
7) Menurut bapak apakah ada indikasi jika kasus sumpah advokat ini tetap
berlarut-larut maka akan dapat menular ke daerah-daerah lain?
8) Jika kasus ini menular ke daerah-daerah lain, menurut bapak apakah bias
mengganggu proses penegakan hukum di indonesia?
9) Bagaimana tanggapan bapak atas saling klaim sebagai organisasi advokat
yang sah menurut undang-undang?
10) Bagaimana tanggapan anda mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 101/PPU-VII/2009 yang tidak dilakukan oleh PT?
11) Kerugian apa yang anda rasakan dari tidak dilaksanakannya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PPU-VII/2009?
top related