latihan 4 word
Post on 28-Dec-2015
89 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Proposal penelitian
PROFILAKSIS CEFTRIAXONE 1 GRAM INTRAVENA
1 HARI VERSUS 3 HARI PADA PASIEN TURP
OLEH
Dr. Alfa Taurus Nst
PEMBIMBING
Dr. H. Alivaria
Dr. Epsilon
Bagian Ilmu Penyakit
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RS DR M Djamil Padang
2012
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Transurethral Resection of The Prostate (TURP) merupakan tindakan
operasi endoskopi yang merupakan standar baku untuk tatalaksana Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) bagi yang memerlukan tindakan pembedahan. Di
Amerika Serikat TURP merupakan prosedur operasi kedua terbanyak dilakukan
yang menelan biaya yang diperkirakan sekitar 2 miliar dolar dari jumlah 300.000
penderita BPH yang dilakukan prosedur pembedahan setiap tahunnya(1,2,3). Di
rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, sub bagian urologi setiap tahunnya
ditemukan antara 200-300 penderita baru BPH setiap tahunnya(4,5). Sedangkan di
RSUP DR. M.Djamil Padang jumlah kunjungan poliklinik selama 6 tahun
(Januari 2006 – September 2011) sebanyak 3780 kasus BPH dan yang dilakukan
TURP sebanyak 562 kasus(6,7).
Antbiotik profilaksis adalah pemberian antibiotik untuk mencegah
terjadinya infeksi pasca tindakan operasi. Prinsip penggunaan antibiotik
profilaksis ialah tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis, tepat rute,
tepat saat pemberian, tepat lama pemberian, serta waspada kemungkinan efek
samping obat. Akan tetapi penggunaan antibiotik yang irasional telah diamati
sejak lama. Laporan dari suatu rumah sakit di Amerika pada tahun 1977
mengungkapkan bahwa 34% dari seluruh penderita yang dirawat mendapat terapi
antibiotik. Dari jumlah ini 64% tidak mempunyai indikasi atau tidak diberikan
dengan dosis yang tepat. Suatu survei yang dilakukan di RS Dr Cipto
Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa 76,8% penggunaan antibiotik untuk
profilaksis bedah adalah tidak rasional dalam hal indikasi atau lama pemberian.
Survei serupa juga pernah dilakukan di RSUP Dr Kariadi pada tahun 2002 oleh
tim AMRINStudy. Hasil penilaian kualitas penggunaan antibiotik antara lain 19-
76% tidak ada indikasi, 9-45% tidak tepat (dosis, jenis, dan lama pemberian) dan
1-8% tidak ada indikasi profilaksis. Di bagian Bedah tingkat penggunaan
antibiotik yang rasional kurang dari 20%(8,9).
Berdasarkan kategori luka, TURP merupakan operasi dengan jenis bersih-
terkontaminasi, sehingga kemungkinan adanya infeksi setelah TURP sekitar 2,1-
9,5% (10) . Penelitian Nielsen dkk (1981) mendapatkan bakteriuria pada 11-45%
pasien sesudah dilakukan TURP. Oleh sebab itu antibiotik profilaksis perlu
digunakan sebelum tindakan TURP. Beberapa penelitian merekomendasikan
untuk melakukan pemberian antibiotik profilaksis dengan antibiotik golongan
sefalosporin generasi III, demikian juga dalam tindakan TURP di RS D M Djamil
Padang, sebagian besar menggunakan sefalosporin sebagai antibiotik profilaksis
dan diberikan selama 3 hari , dan dilanjutkan dengan antibiotik oral rata-rata
untuk 3 hari pengobatan (data dari bagian urologi RS DR. M Djamil ,
unpublished). Berdasarkan lama pemberian antbiotik profilaksis ada yang
memberikan dosis tunggal ½ jam sebelum tindakan atau saat induksi anestesi dan
bisa dilanjutkan maksimal 72 jam pasca tindakan atau sampai kateter dilepaskan
(11). Berdasarkan hal ini kami akan meneliti bagaimanakah perbedaan efektifitas
pemberian ceftriaxone sebagai profilaksis pasca TURP 1 hari versus 3 hari.
1.2. Rumusan Masalah.
Bagaimanakah perbandingan efektifitas pemberian ceftriaxone 1 gr intravena
sebagai antibiotik profilaksis 1 hari dengan 3 hari pada pasien BPH setelah TURP.
1.3. Tujuan penelitian.
Untuk mengetahui perbedaan efektifitas pemberian ceftriaxone 1 gr sebagai
antibiotik profilaksis 1 hari dengan 3 hari pada pasien BPH setelah TURP
1.4. Manfaat Penelitian:
Sebagai data ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan untuk penelitian
selanjutnya dan dapat dipakai sebagai standar terapi untuk penatalaksanaan pasien
TURP dengan BPH.
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Transurethral Resection of Prostate (TURP).
Tindakan TURP merupakan tindakan operasi endoskopi standar baku
untuk tatalaksana BPH yang memerlukan tindakan bedah. Di Amerika Serikat
TURP merupakan prosedur operasi kedua terbanyak dilakukan yang menelan
biaya diperkirakan sekitar 2 miliar dolar dari jumlah 300.000 penderita BPH yang
dilakukan prosedur pembedahan setiap tahunnya(1,12).
TURP seperti yang kita kenal sekarang ini dikembangkan di Amerika
Serikat pada 1920-an dan 1930-an. Walaupun adanya farmakoterapi dan pilihan
minimal invasive lainnya, TURP tetap merupakan modalitas utama yang sangat
terkenal di seluruh dunia dan sudah menjadi standar baku bedah untuk
pengobatan BPH dengan retensi. Teknik minimal invasif lain seperti Microwave
Transurethral Hipertermia (TUMT), Transurethral Needle Ablation (TUNA),
Water Induced Thermotherapy (WIT), dan terapi laser interstisial memperbanyak
pilihan untuk pengobatan BPH(2).
2.1.1 Diagnostik BPH dan Indikasi TURP
Setiap pasien yang direncanakan TURP harus sudah diagnosa dengan
BPH. Gejala utama adalah gangguan saluran kemih bagian bawah (lower Urinary
Tract Symptom / LUTS). Salah satu panduan yang tepat untuk mendiagnostik
obstruksiyang disebabkan oleh BPH adalah International Prostate Symptom Score
( IPSS Score.) Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing
memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35. Skor 0-7: bergejala ringan,
8-19: bergejala sedang, 20-35: bergejala berat. Selain 7 pertanyaan diatas masih
ada satu pertanyaan tunggal yaitu kualitas hidup (quality of life atau QoL). yang
juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban, Skore ini saja tidak bisa mendiagnosa
BPH karna keluhan yang sama bisa ditimbulkan oleh kondisi yang berbeda(4,13).
Pemeriksaan fisik harus mencakup palpasi dari perut bagian bawah untuk
menilai distensi kandung kemih dan colok dubur ( Digital Rectal Examination/
DRE) untuk pemeriksaan prostat yang harus dinilai adalah konsistensi, simetri,
permukaan dan perkiraan ukuran prostat. Retensi kandung kemih yang
disebabkan oleh prostat sangat besar (> 75 g) umumnya lebih baik diobati dengan
prostatektomi terbuka (suprapubik atau retropubik) (4,13).
Urinalisis untuk mendeteksi adanya infeksi saluran kemih, hematuria
yang mungkin menunjukkan adanya batu saluran kemih atau neoplasia. Pasien
dengan hematuria tetapi tidak ada infeksi saluran kemih atas harus diperiksa
imaging (pyelogram intravena, CT-scan atau USG ginjal), sitologi urin(4,13).
2.2 Infeksi Luka Operasi
Infeksi Luka Operasi (ILO) adalah infeksi yang terjadi pada daerah
pembedahan yang terjadinya berkaitan degan pembedahan atau setelah tindakan
pembedahan. Manifestasi ILO yang superfisial dapat diketahui dalam waktu 1
bulan, sedangkan ILO profunda , organ atau rongga dapat terjadi dalam waktu 1
tahun setelah pembedahan(14).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ILO ialah 1) organisme
penyebab infeksi ( kuman), 2) lingkungan terjadinya infeksi ( respon lokal), dan
3) mekanisme pertahanan tubuh(14,15).
Bakteri
Tanpa adanya bakteri maka tidak mungkin terjadi infeksi, dan hal tersebut
tergantung pada jumlah dan virulensi bakteri. Bakteri yang sangat patogen pada
lapangan operasi ialah coccus Gram positif (misal Staphylococcus aureus dan
Streptococci). Bakteri endogen lebih penting daripada bakteri eksogen, dan
bakteri endogen yang paling banyak ialah dari traktus digestivus. Sumber dari
bakteri eksogen ialah tim operasi (ahli bedah, asisten, perawat, anestesis) dan
kamar operasi meliputi udara, linen, dan peralatan. Makin lama waktu rawat inap
preoperatif maka kuman endogen dan flora komensal dari penderita diganti oleh
flora rumah sakit yang resisten terhadap antibiotik dan hal ini memudahkan
terjadinya ILO.
Respon lokal
Tehnik operasi yang bagus dapat memperkecil kemungkinan terjadinya
ILO. Benda asing harus dihindari karena kondisi tersebut mudah merubah bakteri
inokulum untuk menimbulkan infeksi. Operasi yang berlangsung lama lebih
rentan untuk terjadinya ILO. Perfusi yang tidak adekwat mengakibatkan PaO2
menurun dengan akibat kuman dalam jumlah sedikit mampu untuk menimbulkan
infeksi. Penderita usia tua terjadi perubahan struktur histologis dan penurunan
fisiologis dari jaringan, hal tersebut juga mempermudah terjadinya ILO.
Mekanisme pertahanan tubuh.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh
ialah penyakit bedah, penyakit penyerta, serta tindakan pembedahan itu sendiri.
Diabetes dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ILO. Peran ahli bedah
untuk menurunkan mekanisme pertahanan tubuh ialah melakukan operasi dengan
prosedur yang benar dengan perdarahan minimal, cegah terjadinya syok,
pertahankan volume darah, normotermia, jaga perfusi dan oksigenasi jaringan.
Usia tua, pemberian transfusi, penggunaan obat steroid atau imunosupresan
termasuk kemoterapi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ILO. Dalam
kondisi seperti tersebut perlu pemberian antibiotik profilaksis pada saat
pembedahan.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System (NNIS) dari
Centers of for Disease Control and Prevention (CDC), resiko ILO pada setiap
orang tergantung dari 3 faktor, yaitu(16):
1. Kondisi dari pasien yang berdasarkan dari klassifikasi The American
Association of Anesthesiologist (ASA).
2. Klasifikasi dari jenis luka pasien.
3. Durasi lama operasi.
2.3 ISK Paska TURP
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan merupakan reaksi inflamasi dari
urotelium terhadap masuknya mikroorganisme kedalam saluran kemih. ISK sering
terjadi setelah operasi TURP dan merupakan komlikasi ILO. TURP merupakan
operasi dengan jenis bersih-terkontaminasi. ISK bisa terjadi karena instrumentasi
pada saluran kemih atau pemasangan kateter(13,17). ISK ditandai dengan adanya
bakteriuria dan piuria (>10 WBC)(18,19,20).
Sekitar 85% penyebab ISK adalah Escherichia coli. Bila didapatkan
bakteri pada lapangan pandang besar pada pemeriksaan sedimen urine secara
mikroskopik maka diagnosis ISK sudah bisa ditegakkan dan terapi empiris bisa
dimulai (11).
Suatu penelitian mendapatkan bakteriuria pada 11-45% pasien sesudah
dilakukan TURP dimana sebelum TURP tidak ada bakteriuria. Wong dkk
mendapatkan komplikasi ISK setelah TURP sekitar 16%(21). Horninger dkk,
mendapatkan angka kejadian komplikasi ISK setelah TURP sekitar 2,4% dari
1.211 pasien yang dilakukan TURP di Austria dan diberikan antibiotik profilaksis
sampai kateter di lepas(22). Penelitian Alhasan dkk di rumah sakit pendidikan
Aminu Kano di Nigeria, mendapatkan angka ISK setelah TURP sekitar 17,5%
dimana insiden ISK meningkat bila kateter tetap terpasang lebih dari 4 hari. Oleh
sebab itu antibiotik profilaksis perlu digunakan sebelum TURP(23,24,25,26,27,28).
2.4 Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis
Antibiotika berasal dari bahasa latin yang terdiri dari anti = lawan, bios =
hidup. Adalah zat-zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi dan bakteri
tanah, yang dapat menghambat pertumbuhan atau membasmi mikroba jenis lain,
sedang toksisitasnya terhadap manusia relatif kecil.
Antibiotik pertama kali ditemukan oleh sarjana Inggris dr. Alexander
Fleming (Penisilin) pada tahun 1928. Tetapi penemuan ini baru dikembangkan
dan digunakan dalam terapi di tahun 1941 oleh dr. Florey. Adapun prinsip
pemakaian antibiotik profilaksis adalah(14):
1. Tepat Indikasi
Antibiotik profilaksis diberikan pada pembedahan dengan klasifkasi bersih
kontaminasi (lihat tabel 1), yang mempunyai kemungkinan terjadi ILO sebesar
2,1-9,5%. Dengan pemberian antibiotik profilaksis maka angka kejadian ILO
dapat diturunkan menjadi 1,3% (10).
Antibiotik profilaksis juga diberikan pada pembedahan kriteria bersih yang
memasang bahan prostesis. Juga diberikan pada operasi bersih yang jika sampai
terjadi infeksi akan menimbulkan dampak yang serius seperti operasi bedah
syaraf, bedah jantung, dan mata. Antibiotik profilaksis tidak tepat digunakan pada
operasi kontaminasi atau kotor karena telah terjadi kolonisasi kuman dalam
jumlah besar atau sudah ada infeksi yang secara klinis belum bermanifestasi.
Tabel 1. Klasifikasi Luka Operasi
Bersih (Klas I) Non trauma
Tidak ada inflamasi
Traktus respiratorius, digestivus, urogenital, tanpa menembus
Tidak ada kesulitan dalam operasi
Bersih kontaminasi
(Klas II)
Traktus respiratorius, digestivus, menembus tanpa sillage yang signifikan
Apendiktomi, Orofaring, Vagina
Urogenital,pemakian instrument tetapi tidak ada infeksi urin
Bilier, menembus tetapi tidak ada infeksi bilier
Kesulitan ringan dalam operasi
Kontaminasi (Klas III)
Kesulitan besar dlam operasi
Spillage yang banyak dari gastrointestinal
Luka trauma, baru
Menembus urogenital atau bilier, dengan adanya infeksi urine atau bile
Kotor dan infeksi Inflamasi bakterial akut tanpa nanah
(Klas IV) Transeksi daerah bersih untuk drainase nanah
Luka trauma dengan jaringan mati, benda asing, kontaminasi fekal, delayed treatment
2. Tepat Obat
Antibiotik yang digunakan untuk untuk tujuan profilaksis berbeda dengan
obat yang digunakan untuk tujuan terapi. Dengan memperhatikan spektrum,
antibiotik ditujukan pada kuman yang potensial menimbulkan ILO, dan antibiotik
tersebut dapat melakukan penetrasi ke jaringan yang dilakukan pembedahan
dengan konsentrasi yang cukup. Walaupun disatu bidang pembedahan kadang
didapatkan banyak macam kuman normoflora, namun tidak semuanya potensial
menimbulkan infeksi dan jumlah koloninya tidak banyak.
Dalam pemilihan antibiotik harap diperhatikan faktor alergi, efektivitas,
toksisitas, serta kemudahan cara pemberiannya. Bioavaibilitas (persentase dari
obat mencapai sirkulasi sistemik) mencapai 100% setelah pemberian intravena
tapi bila diberikan secara oral maka bioavaobilitasnya bermacam-macam karena
dipengaruhi absorbsi, intestinal transit time dan metabolisme hepar(acut care
surgery). Pada umumnya untuk berbagai macam pembedahan masih digunakan
sefalosporin.
3. Tepat dosis
Untuk tujuan profilaksis diperlukan antibiotika dosis tinggi, agar didalam
sirkulasi dan didalam jaringan tubuh dicapai kadar diatas MIC (minimal inhibitory
concentration) antibiotik terhadap kuman yang potensial menimbulkan infeksi.
Untuk itu kadang diperlukan loading-dose yang takarannya 2-4 kali dosis normal.
Dosis yang kurang adekwat, tidak hanya tidak mampu menghambat pertumbuhan
kuman tetapi justru merangsang terjadinya resistensi kuman.
4. Tepat rute
Agar antibiotik dapat segera didistribusikan ke jaringan maka
pemberiannya sebaiknya dilakukan secara intravena.
5. Tepat waktu pemberian
Pemberian antibiotik profilaksis dilakukan pada 30 menit (intravena) atau
1 jam (intramuskuler) sebelum insisi dengan maksud agar pada saat insisi maka
kadar antibiotik didalam jaringan sudah mecapai puncaknya. Pemberian antibiotik
profilaksis lebih baik dilakukan di dalam kamar operasi, pada waktu anestesi
melakukan induksi, untuk itu dapat minta tolong anaestesis untuk
memberikannya. Antibiotik tersebut harus mencapai kadar puncak didalam
jaringan sebelum terjadinya inokulasi kuman kedalam jaringan di lapangan
operasi. Antibiotik tidak bermanfaat untuk mencegah terjadinya ILO jika
diberikan sebelum 2 jam atau sesudah 3 jam dilakukan insisi.
6. Tepat lama pemberian
Pada operasi yang lama > 3 jam atau perdarahan selama operasi > 1500 ml
akan terjadi penurunan dosis antibiotik didalam jaringan, oleh karena itu pada
kondisi tersebut dapat diberikan dosis tambahan. Jika operasi sangat memanjang
maka pemberian dosis tambahan dapat diberikan. Pada umumnya pemberian
antibiotik profilaksis tambahan sebanyak 1 dosis setiap 8 jam diberikan hanya
selama 1 hari saja, karena pemberian lebih dari 1 hari tidak memberikan manfaat
lebih.
Efek samping penggunaan antibiotik profilaksis
Penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak tepat dapat memicu
terjadinya resistensi kuman. Hal ini karena pemilihan penderita yang tidak tepat,
pemberiannya terlalu lama, atau digunakannya obat generasi terbaru.
Komplikasi yang jarang tetapi serius ialah terjadinya enterokolitis
pseudomembran akibat pemberian klindamisin, sefalosporin, dan ampisilin. Diare
dan panas badan dapat terjadi setelah pemberian satu dosis antibiotik profilaksis
Sefalosporin
Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga.
Sefalosporin ditemukan dan digunakan untuk pertama kali di Sardinia tahun 1948
oleh Giuseppe Brotzu. Sefalosporin pertama kali diisolasi dari pembiakan
Cephalosporium acremonium. Sefalosporin termasuk antibiotik golongan β-
laktam. Nukleus sefalosporin, 7-aminocephalosporanic acid (7-ACA) yang
dihasilkan dari cephalosporin C dan ternyata strukturnya mirip dengan nukleous
penicillin 6-aminopenicillanic acid. Modifikasi rantai 7-ACA menghasilkan suatu
antibiotik yang berguna. Hadirnya sefalosporin generasi ke-tiga adalah suatu
langkah maju di dalam terapi infeksi bakteri, namun demikian penggunaannya
harus tepat. Jenis ini mempunyai spektrum antibakteri yang kuat terhadap
Eschericia coli, Klebsiela, Enterococci dan bakteri anaerob seperti Bacteroides
(smith). Yang dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah Cefotaxime,
Ceftriaxone dan Ceftizoxine karena memiliki indikasi klinis dan spektrum
antibiotika yang sama. Dari ketiga Sefalosporin tersebut di atas, tampaknya
Ceftriaxone merupakan pilihan terbaik mengingat beberapa keuntungan sebagai
berikut : (14)
1. Penetrasi jaringan 24 jam dan konsentrasi bilier cukup tinggi.
2. Proteksi 24 jam dengan dosis 1 gram sekali pemberian /hari.
3. “ Dual Excretion” yaitu pada renal dan hepar, menambah keamanan.
4. Aktifitas bakterisidal cukup luas.
5. Keuntungan farmakoekonomik dari segi biaya keseluruhan dan beban kerja
staf rumah sakit.
6. Efek samping yang rendah.
7. Dosis 1 kali sehari terbukti efektif secara klinis.
Mekanisme Kerja
Sefalosporin bersifat bakterisidal dan mempunyai mekanisme kerja seperti
antibiotik beta laktam lain seperti penisilin. Sefalosporin menghambat sintesis
peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Lapisan peptidoglikan penting untuk
mempertahankan integritas struktur sel. Tahap akhir pembentukan transpeptida
difasilitasi oleh transpeptidase yang dikenal dengan Penicillin Binding Proteins
(PBPs). PBPs terikat dengan D-Ala-D-Ala berada di ujung mukopeptida
(peptidoglycan precursors) untuk berikatan dengan peptidoglikan. Antibiotik beta
laktam mirip dengan reseptor ini dan melakukan kompetitif inhibitor terhadap
ikatan PBP dan peptidoglikan.
Indikasi
Sefalosporin diindikasikan sebagai profilaksis atau pengobatan pada
infeksi bakteri yang sensitif. Generasi I sefalosporin terutama ditujukan untuk
bakteri Gram positif dan generasi III lebih ke arah bakteri Gram negatif. Setiap
generasi yang lebih baru mempunyai spektrum yang lebih kuat ke arah Gram
negatif dibanding generasi sebelumnya dan sebaliknya berkurang aktivitasnya
terhadap Gram positif.
Efek Samping
Efek samping yang umumnya terjadi pada pemakaian sefalosporin adalah
diare, mual, ruam kulit, gangguan elektrolit, dan nyeri atau inflamasi pada tempat
penyuntikan.
Kontraindikasi
Kontraindikasi adalah gangguan fungsi ginjal, alergi terhadap sefalosporin
dan reaksi hipersensitif tipe I terhadap penisilin.
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN
3.1. Kerangka Konseptual
Pasien BPH yang dilakukan TURP
ISK
Faktor yang mempengaruhi:
1. Lingkungan
lamanya waktu preop di RS
teknik septic-aseptik
kamar operasi//lama operasi
2. Pasien
Umur
Nutrisi dan berat badan
Penyakit
Obat-obatan
Antibiotik profilaksis
3.2. Hipotesa penelitian.
Ho : Tidak terdapat perbedaan ISK pasca TURP antara pemberian antibiotik
profilaksis ceftriaxone 1 gr sehari dengan 3 hari
Ha : Terdapat perbedaan ISK pasca TURP antara pemberian antibiotik
profilaksis ceftriaxoe 1 gr sehari dengan 3 hari
3.3 Defenisi Operasional
Ceftriaxone
adalah ceftriaxone vial yang diencerkan dengan 10 ml aquadest dan diberikan
secara intravena dan sebelum pemberian dilakukan skin test.
Leukosit Urine
adalah pemeriksaan sedimen urine dan bila hasilnya > 10/LBP maka
dinyatakan infeksi
Suhu Tubuh
adalah suhu yang diukur di aksilla dan demam bila > 37,5 oC
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian.
Penelitian ini merupakan uji klinis untuk mengetahui efektivitas
ceftriaxone intravena sebagai antibioik profilaksis 1 hari dengan yang diberikan 3
hari pada penderita yang dilakukan TURP di bangsal bedah RS Dr.M.Djamil
Padang.
4.2 Subyek Penelitian.
Subyek pada penelitian ini adalah penderita BPH yang dilakukan TURP
dan mendapat perawatan di bangsal bedah RS Dr.M.Djamil Padang yang
memenuhi kriteria inklusi.
4.2.1 Kriteria Inklusi dan eksklusi
1. Kriteria Inklusi
a. Penderita umur > 50 tahun
b. Didiagnosa BPH
c. Pasien yang dilakukan TURP di kamar operasi.
d. Bersedia ikut dalam penelitian
2. Kriteria Eksklusi
a. Pasien menderita infeksi saluran kemih sebelumnya
b. Riwayat alergi ceftriaxon.
c. Dalam terapi immunosupresan
d. Demam, suhu aksilla >37,5°C
e. Leukosit darah > 10.000/ul
f. Leukosit urin > 10/LPB
g. Bakteri urin (+)
h. Dapat terapi antibiotik dalam 72 jam terakhir
4.3 Lama penelitian dan lokasi penelitian.
Penelitian dilaksanakan di RS Dr.M.Djamil Padang, bertempat di ruang operasi,
bangsal rawatan bedah, dan Laboratorium Mikrobiologi.
4.4 Tehnik pengambilan sample
Pada penelitian ini menggunakan 20 sampel pasien BPH dengan menggunakan
rumus:
n1 = n2 = 2PQ (Zα + Zβ)2/d2
2(0,15)(0,85)(1,64+0,84)2 / (0,2)2
= 20,61
n : besar sampel
P : proporsi penyakit sebesar 15%
Q : 1-P
Zα : tingkat kemaknaan, α : 0,1 = 1,64 (ditetapkan)
Zβ : power 0,842 (ditetapkan)
d : 1-β, tingkat ketepatan absolut ditetapkan = 0,2
4.5 MacamVariabel
Variabel bebas : ceftriaxon 1 gr iv.
Variabel tergantung : suhu tubuh, leukosit urin, leukosit darah, kultur urin
4.6 Pengolahan dan Analisis Data
Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi dua kelompok. Sehari
sebelum dilakukan TURP tiap pasien diperiksa dan dicatat suhu aksilla,
pemeriksaan leukosit darah, leukosit urin. Kelompok I diberikan antibiotik
profilaksis ceftriaxone 1 gr intravena ½ jam sebelum TURP. Kelompok II
diberikan antibiotik profilaksis ceftriaxone 1 gr intravena dan sampai hari ke-3
diberikan ceftriaxone 1 gr per hari.
4.7 Cara Penelitian
4.7.1 Alat-alat
Instrumen TURP
4.7.2 Bahan
Antibiotik yang digunakan adalah ceftriaxone injeksi
4.7.3 Teknik dan Prosedur Penelitian
Persiapan Sebelum Pengambilan Bahan Pemeriksaan
Tindakan sebelum pengambilan bahan pemeriksaan adalah menjelaskan terlebih
dahulu pada penderita yang memenuhi kriteria tentang keikutsertaannya dalam
penelitian. Apabila pasien setuju diikutsertakan dalam penelitian, maka dilakukan
informed consent kemudian dicatat identitasnya.
4.7.4 Dosis dan Cara Pemberian Terapi awal Antibiotik
Pemberian secara intravena dengan dosis 1 g IV 30 menit sebelum operasi dan
dilakukan skin test terlebih dahulu. Kelompok I diberikan antibiotik profilaksis
ceftriaxon 1 gr intravena ½ jam sebelum TURP. Kelompok II diberikan antibiotik
profilaksis ceftriaxon 1 gr intravena dan sampai hari ke-3.
4.7.5 Cara Kerja
Pasien yang memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam penelitian ini selanjutnya
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pemberian secara intravena dengan dosis 1 g IV 30 menit sebelum operasi,
setelah dilakukan skin test terlebih dahulu
2. Teknik TURP dijelaskan sebagai berikut:
Pasien dalam narkose umum atau regional
Pasien posisi lithotomy
Desinfeksi lapangan operasi, tutup dengan linen steril.
Masukkan sistoskopi dengan lensa 30°,nilai buli-buli.
Setelah itu masukkan endoskop. Lakukan reseksi dengan dengan cutting loop
Gunakan irigan aqua
Lakukan hemostasis dan reseksi secara bersamaan.
Setelah selesai, pasang folley kateter tiga cabang 22/24 Fr, traksi dan irigasi
dengan NaCl 0,9%
Prostat diperiksa PA
3. Perawatan paska tindakan:
Hari pertama kateter ditraksi dan irigasi dengan NaCl 0,9%
Hari kedua irigasi tetap dan traksi dilepas
Hari ketiga irigasi dihentikan, dan urine dilakukan pemeriksaan leukosit dan
koloni. keesokan harinya traksi dilepas dan setelah BAK keluar boleh pulang
4.8 Pengolahan data dan uji statistik
Data di olah secara manual dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
Untuk mengetahui perbedaan kajadian ISK antara kelompok 1 dan 2 dilakukan uji
chi square dengan program SPSS dengan p<0,05 ditetapkan sebagai batas
kemaknaan.
4.9 Alur Penelitian
rekomendasi kelayakan etik penelitian
pasien BPH yang telah memenuhi kriteria dilakukan random
sampling
pemberian profilaksis ceftriaxone 1 gr iv sehari
dilanjutkan dengan levofloxaci 500 mg/hari
pre TURP pemeriksaan leukosit darah, urinalisa
TURP di kamar bedah
pasca TURP hari ke-3: pemerksaan urinalisa
hasil
analisa data dan statistik
pemberian profilaksis ceftriaxone 1 gr iv selama
3 hari
pre TURP pemeriksaan leukosit darah, urinalisa
TURP di kamar bedah
pasca TURP hari ke-3: pemerksaan urinalisa
Daftar Pustaka
1. Ramey R.J, Halpern. E.J, Leonard G, Gomella .L.G. Prostate Biopsy
Techniques and Outcomes. dalam Wein A.J, Kavoussu L.R, Novick N.C,
Partin .A.W, Peters C.A (Editor). Sounders. Campbell-walsh Urology 9th ed.
Elsevier. Philadelphia.2007.
2. Kevin T.M. Management of Benign Prostatic Hypertrophy. Northwestern
University Feinberg School of Medicine, Chicago.
3. Foster H, Jacobs M. Transurethral Resection of the Prostate. Dalam: McVary
K (ed). Management of benign Prostatic Hypertrophy. Humana Press. New
Jersey, 2004.
4. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-Kelainan Jinak, Diagnosis dan Penanganan.
Jakarta: Asian medica,15, 1999.
5. Rahardjo D. Prostat Hipertrofi. Dalam: Reksoprodjo (ed). Kumpulan Kuliah
Ilmu Bedah. Binarupa Aksara. Jakarta, 1995.
6. Data Rekam Medik RSUP DR. M. Djamil Padang tahun 2006-2011
(unpublished).
7. Data Sub Bagian Urologi RSUP DR. M. Djamil Padang tahun 2006-2011
(unpublished).
8. Willianti N. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Infeksi Saluran
Kemih pada bangsal Penyakit Dalam di RSUP DR. Kariadi Semarang. FK
Undip, Semarang, 2009.
9. Dertarani V. Evaluasi Penggunaan Antibiotik berdasarkan Krriteria Gyssens
di Bagian Ilmu Bedah RSUP DR. Kariadi Periode Agustus-Desember 2008.
FK Undip, Semarang, 2009.
10. Beilman GJ, Dun DL. Surgical Infections. Dalam: Brunicardi FC, ed.
Schwartz’s Principles of Surgery 9th edition. Mc Graw hill. New York. 2010.
11. Nguyen HT. Bacterial Infections of the Genitourinary Tract. Dalam: Tanagho
EA, McAninch JW (eds). Smith’s General Urology 16th edition. Mc Graw
Hill. Boston. 2004.
12. Reich O, Gratzke C, Bachman A, Seitz M. Morbidity, Mortality and Early
Outcome of Transurethral Resection of the Prostate: A Prospective
Multicenter Evaluation of 10,654 Patients. J Urol vol 180, 246-249, Juli 2008.
13. Purnomo B. Dasar-Dasar Urologi. Sagung Seto. Jakarta, 2000.
14. Reksoprawiro S. Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pembedahan.
Departemen/SMF Ilmu Bedah FK Unair/RS Dr. Soetomo, Surabaya.
15. Kasatpibal N, Norgaard M, Sorensen H. Risk of Surgical Site infection and
Eficacy of Antibiotic Prophylaxis: A Cohort Study of Appendectomy Patients
in Thailand. BMC Infeksious Diseases, 6:111, 2006.
16. Dun D.L. Diagnosis and Treatment of Infection. Dalam: Norton J.A, Bollinger
RR, Chang AE, dkk (editor). Surgery: Basic Science and Clinical Evidence.
Springer. New York. 2001.
17. Hall J.C. surgical Infections. Dalam: Tjandra J, Clunie G, Kaye A (eds).
Textbook of Surgery 3rd edition. Blackwell Pub. Massachussets, 2006.
18. Gomella L.G. The 5-minute Urology Consult. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia. 2000
19. Neal DE. Prostate and Seminal Vesicles. Dalam: Russel R.C.G, Williams N,
Bulstrode C (eds). Bailey & Love’s Short Practice of Surgery 23rd edition. CV
Mann. London.
20. Lineham W.M. Sistem Urogenital. Dalam: Sabiston D.C(ed). Buku Ajar
Bedah (Essensials of Surgery). EGC. Jakarta. 1994.
21. Wong M, Lim Y, Foo K. Transurethral Resection of the Prostate for Benign
Prostatic Hyperplasia – a local Review. Singapore Med J vol 35, 357-359,
1994.
22. Horninger W, Unterlechner H, Strasser H, Bartsch G. Transurethral
Prostatectomy: Mortality and Morbidity. The Prostate vol 28, 195-200, 1996.
23. Greenwell T, Mindy A. Complication of Urological Surgery. Dalam: Hakim
N, Papalois V (eds). Surgical Complication Diagnosis and Treatment. Imperial
College Press. London, 2007.
24. Qiang W, Jianchen, Macdonald R, Manoja. Antibiotic Prophylaxis For
Transurethral Prostatic Resection in Men with Preoperative Urine Containing
Less than 100.000 Bacteria per ml: A Systematic review. J Urol vol.173,
1175-1181, April 2005.
25. Berry A, Barrat A. Prophylactic Antibiotic Use in Transurethral Prostatic
Resection: A Meta Analysis. J Urol. Vol. 167, 571-577, Februari 2002.
26. De Torres WR, Corson CC. Antibiotic Prophylaxis in Urologic Surgery.
Current Opinion in Urology 5: 48-54, 1995.
27. Wolf JS, Bennet CJ, Dmochowski, dkk. Best Practice Policy Statement on
Urologic Surgery Antimicrobial Prophylaxis. J Urol vol. 179, 1379-1390,
2008.
28. Alhasan SU, Aji SA, Mohammed AZ, Malami S. Transurethral Resection of
The Prostate in Northerh Nigeria, Problems and Prospect. BMC Urology vol
8, 18, 2008.
top related