laporan penelitian program studi hubungan … · melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain,...
Post on 09-Nov-2020
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
LAPORAN PENELITIAN
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
TAHUN 2014
STRATEGI KETAHANAN BUDAYA DESA BALI AGA
DALAM MENGHADAPI ARUS GLOBALISASI
(STUDI KASUS: DESA TENGANAN, KARANGASEM)
TIM PENELITI
1. SUKMA SUSHANTI, S.S., M.A.
2. PUTU RATIH KUMALA DEWI, S.H., M.HUB.INT.
Dibiayai dana DIPA dengan Nomor Perjanjian
1125B/UN14.47.II/DT/KONTRAK/2014
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2014
2
HALAMAN PENGESAHAN ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 1. Judul Penelitian : Strategi Ketahanan Budaya Desa Bali Aga Dalam
Menghadapi Globalisasi (Studi Kasus: Desa Tenganan,
Karangasem) ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 2. Ketua Peneliti
a. Nama lengkap dengan gelar : Sukma Sushanti, S.S,. M.A b. Pangkat/Gol/NIP : Asisten Ahli/IIIb/ 197910182009122001 c. Jabatan Fungsional/Struktural : Sekretaris Program Studi Hubungan Internasional d. Pengalaman penelitian : (terlampir dalam CV) e. Program Studi : Hubungan Internasional f. Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik g. Alamat Rumah/HP : Jalan Damai, Ling.Banjar Bumi Kerta, Perumahan Bali Gendhis Residence No. 8, Dalung Permai, Badung Bali (+62) 817 356 445 i. E-mail : ssushanti@fisip.unud.ac.id
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 3. Jumlah Tim Peneliti : 2 orang ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 4. Pembimbing a. Nama lengkap dengan gelar : Dr. Piers Andreas Noak, S.H., M.Si.
b. Pangkat/Gol/NIP : Pembina/ IV a/196302171988031001 c. Jabatan Fungsional / Struktural : Pembantu Dekan III FISIP Unud d. Pengalaman penelitian : (terlampir dalam CV) e. Program Studi / Jurusan : Ilmu Politik f. Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 5. Lokasi Penelitian : Desa Tenganan, Kabupaten Karangasem ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 7. Jangka waktu penelitian : 4 bulan ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 8. Biaya Penelitian : Lima Juta Rupiah
Denpasar, 4 Juli 2014 Mengetahui Ketua Peneliti Ketua Program Studi (D.A. Wiwik Dharmiasih, S.IP., M.A.) (Sukma Sushanti, S.S,. M.A.) NIP. 198209302009122002 NIP. 197910182009122001
Mengetahui Dekan Fisip Unud
(Dr. Drs. I Gst. Pt. Bagus Suka Arjawa, M. Si.)) NIP. 196407081992031003
3
A. Judul Penelitian
Strategi Ketahanan Budaya Desa Bali Aga Dalam Menghadapi Arus Globalisasi (Studi Kasus:
Desa Tenganan, Karangasem)
B. Bidang Ilmu
Hubungan Internasional
I. Pendahuluan
Gaung globalisasi, yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat
masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya
pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh
adalah kebudayaan. Bagi bangsa Indonesia aspek kebudayaan merupakan salah satu kekuatan
bangsa yang memiliki kekayaan nilai yang beragam, termasuk keseniannya. Kesenian rakyat,
salah satu bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh globalisasi.
Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat, hal ini tentunya
dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan
berita namun hal ini justru menjadi bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling
krusial atau penting dalam globalisasi. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses yang ditandai
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, komunikasi dan transportasi
internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa.
Proses saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat.
Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok-
kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami
proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting
dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan
keadaan yang senantiasa berubah. Perubahan yang terjadi saat ini berlangsung begitu cepat.
Hanya dalam jangka waktu satu generasi banyak negara-negara berkembang telah berusaha
melaksanakan perubahan kebudayaan, padahal di negara-negara maju perubahan demikian
4
berlangsung selama beberapa generasi. Pada hakekatnya bangsa Indonesia, juga bangsa-bangsa
lain, berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar.
Provinsi bali merupakan salah satu provinsi yang cukup terkenal di Indonesia karena
merupakan salah satu aset devisa negara Indonesia yang cukup tinggi di bidang pariwisatanya.
Penduduk Bali terdiri dari dua, yaitu penduduk asli Bali atau disebut juga Bali Aga dan penduduk
bali keturunan Majapahit. Penduduk Bali Aga adalah kelompok masyarakat yang hidup di daerah
pegunungan (pedalaman) Pulau Bali. Penduduk Bali Aga sering juga disebut dengan “ Wong Bali
Mula “ yaitu orang – orang Bali asli (Bali Mula), yang mendiami Pulau Bali ini mandahului
penduduk Bali Pedataran.
Orang – orang yang termasuk kedalam kelompok Bali Aga merupakan kelompok orang
yang telah memiliki kebudayaan yang cukup bernilai dilihat dari aspek kebudayaan. Definisi ini
dekat dengan perilaku masyarakat Tenganan Manggis, Karangasem, yang juga merupakan salah
satu desa wisata di Bali. Penduduk Bali Aga di desa Tenganan masih mempertahankan pola
hidup sebagaimana budaya masyarakat bali kuno. Kemudian, bagaimana bangunan, pekarangan,
dan bagaimana pengaturan letak bangunan adat (pura) dibuat dengan mengikuti aturan adat
istiadat kawasan tersebut yang secara turun-temurun berupaya untuk dipertahankan oleh mereka.
Namun seiring dengan perkembangan arus globalisasi, kita menyadari bahwa bagaimana
masyarakat Bali pada umumnya sangat mudah tergerus arus moderenitas, yang mana membawa
dampak perubahan bagi setiap aspek yang di lingkungan masyarakat. Tingginya dinamika
pariwisata di Bali disertai dengan tingginya dinamika kebudayaan Bali, yang disatu sisi membuka
peluang secara berkelanjutan bagi dialog kebudayaan, memperbesar kesempatan kerja dan
ekonomi. Di sisi lain ancaman komersialisasi, materialisme dan pragmatisme yang cenderung
mendangkalkan dimensi nurani kehidupan manusia justru semakin menguat. Reaksi masyarakat
adat di Bali terhadap transformasi kebudayaan Bali akibat globalisasi sangat beragam, ada yang
berhasil dan mampu mengembangkan adaptasi konstruktif namun ada pula yang berada dalam
posisi “cultural lag” dan justru menjadi terpinggirkan.
Timbul pertanyaan, apakah ditengah menariknya gaya hidup modern yang ditawarkan
oleh globalisasi saat ini, masyarakat Desa Tenganan masih mampu bertahan dan bersaing
ditengah pendiriannya mempertahankan Budaya Bali Kuno, terlebih lagi Desa Tenganan
merupakan salah satu desa wisata. Apakah masyarakat Tenganan benar-benar tidak tergerus
moderenitas arus globalisasi? Konsep Strategi Ketahanan sebagai satu modal mempertahankan
5
nilai-nilai kebangsaan dan nilai jual terhadap kedatangan wisatawan ke daerah ini. Konsep-
konsep ini yang dirasa dapat menjawab, strategi-strategi apa saja yang dilakukan untuk tetap
dapat bersaing ditengah era globalisasi ini.
II. Rumusan Masalah
Bagaimana cara desa adat Tenganan dalam mempertahankan budaya bali kuno dan
menghadapi arus globalisasi ?
III. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui strategi ketahanan budaya yang digunakan masyarakat desa Tenganan
dalam menghadapi arus globalisasi
2. Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan strategi ketahanan budaya masyarakat desa
Tenganan.
Sedangkan manfaat bagi penelitian ini adalah:
1. Memberikan sumbangan teoritis mengenai kajian strategi ketahanan budaya melalui desa
adat.
2. Memberi sumbangan pikiran tentang potensi jangka panjang strategi ketahanan budaya dalam
memelihara kelestarian budaya tradisional
3. Memberikan pandangan tentang pentingnya ketahanan budaya melalui lembaga desa adat
bagi terbinanya identitas/jati diri masyarakat desa adat.
IV. Telaah Pustaka
Tidak dapat dielakan bahwa arus globalisasi sekarang ini telah memasuki sudut-sudut dan
pelosok-pelosok desa di seluruh dunia. Hampir semua produk yang berbau global dapat dinikmati
oleh masyarakat. Informasi dan komunikasi yang disertai pesatnya kemajuan teknologi telah
mamasuki seluruh wilayah di berbagai pelosok dunia. Masyarakat diseluruh dunia ikut
6
berpartisipasi menyesuaikan dengan arus budaya yang dibawa oleh globalisasi. Dan bukan
sebaliknya.
Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam suatu tatanan global
(Abdullah,1995: 1). Globalisasi terbangun oleh interaksi sosial yang melibatkan nilai-nilai
sosiokultural individu atau kelompok yang melintasi batas komunikasinya untuk berhubungan
dengan entitas lain (Rahmawati, 2010: 110). Termasuk korelasi antar bidang yang dilewati
globalisasi.
Salah satu yang berhubungan dengan fenomena seni tradisional, tentu saja adalah
globalisasi budaya. Globalisasi budaya terjadi karena adanya ekspansi arus budaya di berbagai
pelosok dunia. Dalam arus globalisasi budaya, khususnya pemahaman tentang kondisi budaya
kita sebagai budaya postkolonial seharusnya mendorong kita untuk melihat ke belakang dan
menemukan bahwa seni budaya kita adalah hasil proses pergulatan dalam kerangka proses
panjang globalisasi yang tidak perlu dihentikan dan dibekukan sebagai seni warisan, justru
dilanjutkan dalam interaksi terbuka dengan unsur-unsur budaya global dan budaya lokal marjinal
di belahan bumi lain (Dharma, 2011: 3).
Interaksi antar budaya di suatu wilayah menjadi lebih intensif dengan terbukanya arus
globalisasi, yang memudahkan manusia berkomunikasi satu sama lain. Namun, peningkatan
kualitas dan kuantitas interaksi sosial yang ditemukan dalam globalisasipun sangat dipengaruhi
oleh temuan-temuan penting di bidang teknologi terutama teknologi komunikasi (Rahmawati,
2010: 111). Peningkatan kualitas dan kuantitas interaksi sosial yang ditemukan dalam globalisasi
lebih banyak disebabkan oleh kendaraan globalisasi yang selalu menyertainya, yaitu ilmu
pengetahuan dan teknologi modern sebagai kondisi dan pendorongnya, dan sekaligus melahirkan
tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi umat manusia di masa mendatang (Anwar, 1991:
14).
Era globalisasi yang dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi
(technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara
miskin (financescape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape)
(Appadurai 1993:296) tidak dapat dihindari oleh kebudayaan di Indonesia, termasuk kebudayaan
Bali. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan atau kehilangan
orientasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat.
7
Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global
menjadi semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan
sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai
budaya global, terutama dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang semakin
mempercepat proses perubahan tersebut. Proses globalisasi juga telah merambah wilayah
kehidupan agama yang serba sakral menjadi sekuler. Nilai-nilai yang mengalami perubahan
menimbulkan krisis identitas di banyak kalangan masyarakat.
Masyarakat dan kebudayaan Bali tidak luput dari perubahan di era gloBalisasi ini. Seperti
dikatakan oleh Adrian Vickers (2002) bahwa orang Bali kini tengah mengalami suatu paradok
yakni cenderung mengadopsi kebudayaan modern yang mendunia (kosmopolitan), namun di sisi
lain juga sedang mengalami proses parokialisme atau kepicikan yang timbul karena fokus beralih
pada lokalitas, khususnya kepada desa adat.
Begitu pula dengan watak orang Bali telah berubah secara signifikan dalam dekade
terakhir ini. Orang Bali tidak lagi diidentifikasi sebagai orang yang lugu, sabar, ramah, dan jujur
sebagaimana pernah digambarkan oleh Baterson. Demikian pula orang Bali telah dipersepsikan
oleh outsider sebagai orang yang temperamental, egoistik, sensitif, dan cenderung menjadi
human ekonomikus. Perubahan karakter orang Bali disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah perubahan fisik yakni alih fungsi lahan yang
setiap tahunnya berkisar sekitar 1000 ha. Budaya agraris yang semula menjadi landaskan
kehidupan budaya dan masyarakat Bali kini berubah menjadi budaya yang berorientasi kepada
jasa dalam kaitannya dengan industri pariwisata. Faktor eksternal bersumber dari kegiatan
industri pariwisata telah menyebabkan terdinya materialisme, individualisme, komersialisme,
komodifikasi, dan gejala profanisasi dalam kebudayaan Bali.
Meskipun terjadi banyak homogenisasi, perlu diingat bahwa di dalam globalisasi terbuka
banyak tantangan sekaligus peluang. Dalam era globalisasi banyak muncul kreativitas beserta
hasilnya yang berlipat ganda.Hal ini didasarkan banyaknya aktor globalisasi yang memiliki
banyak pengetahuan (stock of knowledge) yang dipergunakan untuk memproduksi dan
mereproduksi tindakan aktor tersebut (Rahmawati, 2010: 112). Di sisi lain juga terjadi paradoks
bahwa ekspansi budaya global justru menyebabkan meningkatnya kesadaran terhadap budaya
lokal dan regional (Nashir 1999: 176).
8
Hal ini juga dikemukakan oleh J. Nisbit dan Patricia Auberdin yang melihat bahwa
manusia dan kebudayaan Bali mengalami perkembangan fenomena global paradoks yang
bermanifest secara simultan melalui terjadinya pola-pola kehidupan masyarakat yang
merefleksikan gerak globalisasi dan Balinisasi (Geriya: 2000). Gerak global diindikasikan oleh
makin meluas dan berkembangnya jaringan relasi yang terbuka secara internasional, sedangkan
gerakan Balinisasi diindikasikan oleh pencarian jati diri manusia Bali yang tiada henti disertai
dengan proses evolusi ekologi sosial dan kebudayaan.
Peluang dan tantangan ini juga dihadapi oleh Desa adat Tenganan. Keunikan yang
dimiliki oleh desa yang dikenal sebagai sebagai desa Bali Aga atau Bali Kuno ini membuat
banyak penulis yang melakukan penelitian terhadap desa ini, tidak hanya penulis lokal tetapi juga
penulis asing.
Kajian yang sangat mendalam tentang masyarakat Bali Aga ditulis oleh Thomas A.
Reuter dalam buku berjudul Custodians of the Sacred Mountains, Budaya dan Masyarakat di
Pegunungan Bali. Wilayah yang menjadi setting penelitiannya adalah masyarakat dan budaya
Bali Aga, khususnya menyangkut sosio kultural masyarakat serta ritual-ritual penting di Pura
Puncak Penulisan Kintamani.
Dalam penelusurannya tentang budaya dan masyarakat Bali pegunungan tersebut
ditemukan bahwa mereka dipandang sebagai masyarakat yang masih tertinggal dibandingkan
dengan masyarakat Bali yang bertempat tinggal di dataran. Mereka dipandang sebagai
masyarakat yang kurang baik dalam menjalankan ajaran Hindu, kasar, kurang pandai berbahasa
Bali halus, serta berbagai stigma yang kurang baik lainnya. Representasi tentang orang Bali Aga
ini mungkin dihasilkan secara bersama-sama oleh ilmuwan Barat dan tuan rumah mereka orang
Bali, yaitu nara sumber utama mereka di istana-istana dan rumah tangga di Bali bagian selatan.
(Reuter, 2005, 434).
Kenyataan yang ditemukan oleh Reuter setelah penelitian panjangnya adalah bahwa
orang-orang Bali Aga ternyata memiliki kekentalan budaya dalam usaha mereka
mempertahankan eksistensinya melalui proses resistensi, adaptasi, dan revitalisasi terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat persentuhan dengan para pendatang yang
belakangan memasuki Bali melalui sistem benua (Reuter, 2005, 36-37). Dibahas pula tentang
bentuk-bentuk resistensi masyarakat Bali Aga terhadap intervensi yang terlalu jauh dari Badan
Pelaksana Pembina Lembaga Adat serta Parisada Hindu Dharma terhadap tata pelaksanaan ritual
9
yang tidak menggunakan pedanda; serta sistem kepemimpinan ulu apad mereka yang dipandang
tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Bentuk-bentuk resistensi yang mereka lakukan adalah
dengan jalan membangkitkan kewajiban keagamaan regional sebagai pembenaran untuk
mempertahankan dewan-dewan desa itu (Reuter,2005: 425).
Kajian Reuter terhadap budaya dan masyarakat Bali Aga memang harus diakui sangat
konprehensif, namun demikian jelas penelitian ini belum memotret keseluruhan dari budaya dan
masyarakat Bali Aga di Bali. Penelitian Reuter cenderung berpandangan bahwa orang-orang Bali
Aga mampu bertahan dengan segala bentuk tradisi keagamannya. Penelitian ini tidak
memberikan informasi tentang strategi masyarakatnya baik secara individual maupun melalui
oganisasi masyarakatnya dalam menghadapi arus globalisasi budaya.
V. Kerangka Pemikiran
5.1 Globalisasi
Perkembangan di bidang teknologi informasi, komunikasi dan transportasi merupakan
faktor pendorong globalisasi, lebih khusus lagi pada globalisasi budaya. Inovasi di bidang
tersebut selain menjadi tenaga pendorong globalisasi melalui penciptaan globalisasi budaya
(cultural globalisation) juga menghasilkan produk-produk yang kemudian menyebabkan
terjadinya pergeseran kebutuhan masyarakat secara global.
Globalisasi adalah sebuah gejala dimana hubungan politik, ekonomi, sosial dan budaya
yang intensif dengan tidak lagi mengenal batas daerah maupun negara. Artikel Mark Rupert dan
M. S. Solomon (2006) mendefinisikan globalisasi sebagai proses pendewasaan gradual
kapitalisme. Globalisasi semula adalah kapitalisme yang semakin meningkat intensitasnya dan
kemudian memuncak membentuk imperialisme.
Thomas Friedman (2000) menyatakan bahwa globalisasi kontemporer menjadi semakin
jauh, cepat, dalam, dan semakin murah, yang menonjolkan 3 hal yaitu meningkatnya kepadatan
jaringan, kecepatan institusi, dan partisipasi transnasional. Globalisasi beserta seluruh
perangkapnya telah meniadakan banyak hal dari dalam diri manusia serta menjangkiti banyak
negara sehingga batas setiap negara menjadi kabur karena persamaan atau homogenisasi telah
terjadi di mana-mana (Held, 2000).
10
Definisi globalisasi dimulai dari globalisme yaitu hubungan serta ketergantungan
masyarakat antarbenua yang salah satunya dapat melalui aliran kapital dan barang, informasi dan
ide, arus manusia serta pengaruh lingkungan. Globalisme sosial dan kultural menyertakan
gerakan ide, informasi, pandangan, serta manusia. Fase penting dari globalisme sosial meliputi
tindakan meniru hal-hal yang dilakukan oleh sebuah masyarakat maupun institusi oleh
masyarakat maupun institusi lainnya. Pada level yang lebih mendalam, globalisme sosial
mempengaruhi kesadaran individu dan tingkat laku mereka melalui budaya, politik maupun
identitas sosial. Globalisme sosial dan kultural berinteraksi dengan aktivitas ekonomi, politik,
keamanan dalam menyampaikan informasi serta menggali ide yang mengalir jauh melintasi batas
politik dan geografis.
Sehingga batas – batas lokal (teritorial) dalam kehidupan ekonomi dan kebudayaan global
yang cenderung hanya menghargai segala sesuatu yang bersifat asal baru (novel) dan asal dapat
terjangkau atau terbeli (affordable). Di satu sisi globalisasi budaya meningkatkan saling
keterhubungan sosial masyarakat dunia, namun dapat melemahkan keunikan cara hidup nasional,
budaya lokal dan nilai-nilai non-kapitalis, serta mendorong konvergensi komunikasi dan gaya
hidup masyarakat di seluruh dunia mengikuti tren kebarat-baratan. Proses globalisasi budaya
menggabungkan masyarakat dunia dengan konsumerisme dari model barat sebagai proses
dominan dari globalisasi budaya dengan menargetkan kelompok sosial yang berbeda melalui
etnis, jenis kelamin, kelas, ras, dan lain-lain
Sebagai contohnya terjadi tren McDonalisasi dimana budaya Barat, melalui tren makanan
cepat saji menembus ranah kehidupan masyarakat perkotaan dan pedesaan dan menjadikannya
sebagai gaya hidup (Ritzer: 2010). Tren ini tidak hanya menimbulkan perubahan budaya dan
gaya hidup masyarakat, namun hal ini dapat menimbulkan goncangan ekonomi dengan
membiarkan kapitalisme barat menguasai pasar lokal. Jika demikian berlanjut terus-menerus,
maka sistem ekonomi, kebudayaan dan sosial masyarakat lokal mengalami ancaman.
5.2 Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata „budi‟ yang merupakan akal atau unsur rohani dalam
kebudayaan dan „daya‟ berarti perbuatan, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akar
dan ikhtiar manusia. Unsur-unsur kebudayaan menurut J.J. Hoenigman (1963) dibedakan menjadi
11
3 yaitu gagasan/wujud ideal, aktivitas/tindakan serta artefak/karya. Wujud ideal kebudayaan
berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai, norma yang sifatnya abstrak
(Koentjaraningrat,1986:18). Sedangkan aktivitas/tindakan adalah wujud kebudayaan sebagai
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu yang wujudnya disebut sebagai sistem
sosial. Yang terakhir adalah artefak/karya adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari
perbuatan, karya masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba serta dilihat.
Kebudayaan tidak akan pernah ada tanpa sistem yang mendukung kebudayaan tersebut,
yang disebut unsur kebudayaan. Unsur kebudayaan terdiri dari: sistem religi, sistem organisasi
masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan,
bahasa dan kesenian (Koentjaraningrat,1986: 21). Kesemua hal ini ditunjang oleh sikap yang
dimiliki oleh pelaku kebudayaan yang tergabung dalam suatu organisasi sosial.
Organisasi adat masih memegang prinsip-prinsip kebudayaan tradisional yang
dikembangkan melalui serangkaian interaksi baik itu dalam hal keagamaan, kemasyarakatan,
bahasa, mata pencaharian maupun kesenian. Dari organisasi kemasyarakatan ini pembinaan
terhadap ketahanan budaya dapat dilaksanakan secara aktif dan berkesinambungan dengan tujuan
memelihara nilai-nilai penting dari kebudayaan masyarakat adat.
5.3 Strategi Ketahanan Budaya
Strategi adalah sebuah proses adaptasi yang konstan terhadap kondisi dan keadaan yang
selalu berubah dimana berbagai ambiguitas, ketidakpastian serta kesempatan selalu berusaha
saling mendominasi. Carl Von Clausewitz yang merupakan Bapak strategi modern menyatakan
bahwa dalam suatu kondisi „prinsip, aturan, atau bahkan sistem‟ dari strategi cepat berubah
dipengaruhi oleh berbagai hal kompleks. Tujuan politik dalam strategi adalah memainkan
perannya dalam tindakan diplomatis terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Kultur
suatu wilayah dapat membentuk pola tindakan para pembuat kebijakan serta masyarakatnya.
(Murray dan Grimsley, 1994).
Pembuatan strategi dilakukan melalui proses yang melibatkan pengaruh politik pada
kelompok masyarakat internal serta adanya keistimewaan/keunikan tindakan individu yang
disertai dengan adanya tantangan serta ancaman dari luar. Strategi dapat menggunakan berbagai
macam cara salah satunya melalui proses bertahan (defensif) dan menyerang (ofensif).
12
Bennet (1976) mengemukakan bahwa proses adaptasi manusia sebagai pendukung
kebudayaan bersifat dinamis dalam mengembangkan perilaku adaptif serta strategi adaptasi.
Perilaku adaptasi adalah perilaku penyesuaian, serta strategi adaptasi merupakan tindakan yang
dipilih manusia dalam proses pengambilan keputusan serta keberhasilannya sudah dapat
diprediksi. Asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang
senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam
sekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya.
Menurut Parson, setiap unsur kebudayaan mengalami proses perubahan, terlebih lagi
dalam era globalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung cepat, sehingga diperlukan
adaptasi budaya. Parson mengajukan teori tentang 4 sistem tindakan untuk menjaga eksistensi
yaitu adaptation (adaptasi), goal attainment (pencapaian tujuan), integration (integrasi) dan
latency (latensi atau pemeliharaan pola). Adaptasi dalam hubungan ini diartikan bahwa sebuah
sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat.
Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan serta kebutuhan. Adaptasi erat
kaitannya dengan pola sosiokultural sebab bentuk-bentuk sosiokultural baru muncul sebagai
bentuk adaptasi. Berdasarkan uraian diatas upaya sistematis yang dilakukan oleh manusia untuk
menyesuaikan sistem budaya dengan budaya yang datang dalam rangka mempertahankan
eksistensi budaya yang dapat terjadi baik karena tekanan dari luar maupun keinginan mereka
untuk melakukan perubahan.
Ketahanan budaya diartikan sebagai kondisi dinamik yang berisi keuletan dan
ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan menghadapi dan
mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik yang datang dari dalam
maupun luar. Budaya tradisional memerlukan strategi ketahanan untuk tetap eksis di tengah
berbagai pengaruh globalisasi. Ketahanan budaya pada prinsipnya adalah kekokohan dan
keseimbangan sistemik (makro) serta ketangguhan komponen-komponen budaya (mikro) dalam
menghadapi keberadaan yang makin terbuka secara nasional maupun global, dinamik serta
berbagai ancaman internal dan eksternal.(Geriya: 2000)
Teori ketahanan yang diungkapkan oleh Winston Davis bertumpu pada pandangan
tradisional yaitu bagaimana masyarakat tradisional menyiapkan barikade budaya (cultural
baricade) yang melindungi dirinya dari kemungkinan gangguan yang ditimbulkan dari
perkembangan nilai-nilai progresif yang diintroduksi melalui kapitalisme (Davis dalam Suarsono
13
dan SO, 1990). Apa yang sesuangguhnya dikhawatirkan dari masyarakat tradisional adalah
kerusuhan sosial dan kekejian moral akibat tidak adanya batas tata niaga perdagangan dan
kapitalisme itu sendiri. Secara visual melalui teori barikade budaya, Davis menggambarkan
masyarakat tradisional dalam tiga lingkaran yang terkonsentris.
Lingkaran terdalam (c) yang merupakan representasi masyarakat dan nilai terkait dengan
kebutuhan kebutuhan berprestasi dan universalitas.
Lingkaran luar (a) merupakan representasi ekonomi dan nilai-nilai yang terkait dengan status
dan hubungan kekuasaan.
Lingkaran tengah (b) menggambarkan wujud barikade yang ditimbulkan dari masyarakat
tradisional untuk menghalangi perkembangan ekonomi: agama, nilai gaib, moral dan tradisi
masyarakat.
Davis merumuskan konsepsinya tentang lingkaran tengah (b) sebagai pranata bertahan
yang diperlukan untuk mengawasi perkembangan ekonomi. Teori yang dikembangkan Davis,
bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya ketika pembangunan mampu menyerang benteng
masyarakat, tetapi juga ketika pembatas tersebut menua dan melemah dan akhirnya mulai sedikit
demi sedikit tumbang, kehilangan semangat dan pegangan serta kemudian menyerah. Teori Davis
menawarkan suatu pendekatan untuk menguji hubungan anatara budaya tradisional yang dijiwai
oleh agama dalam menghadapi kekuatan ekonomi.
Sedangkan tesis dari teori Michael R. Dove menyebutkan keterkaitan budaya tradisional
dengan modernisasi, yaitu budaya tradisional yang terkait dengan perubahan ekonomi, sosial dan
politik dari masyarakat pada tempat budaya tradisional itu tumbuh. Budaya tradisional selalu
mengalami perubahan yang dinamis; budaya tradisional tidak selalu sebagai faktor penghambat
pembangunan dan dalam batas-batas tertentu, budaya tradisional ini dapat berperan positif untuk
mendorong laju modernisasi karena memiliki potensi dalam pemberdayaan. Tesis pokok Dove
merinci tentang 3 hal diantaranya, yaitu: sistem kepercayaan tradisional (religi) memiliki bobot
yang cukup dan mengandung sistem ilmu pengetahuan tentang dunia yang valid, disamping itu
bentuk-bentuk usaha ekonomi tradisional memberikan manfaat fungsional bagi masyarakat
pendukungnya dan dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas, serta budaya tradisional
memiliki peran yang positif serta budaya tradisional yang memiliki ciri yang dinamis dan
mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kekuatan dan tantangan eksternal maupun
internal (Dove dalam Suarsono dan SO, 1990). Berdasarkan teori ketahanan ini, maka ketahanan
14
mental yang terkait sikap manusia terhadap kebudayaannya menjadi poin penting yang dikaitkan
dengan barikade budaya itu sendiri. Semakin positif sikap para pendukung kebudayaan maka
semakin tinggi ketahanan kebudayaan yang bersangkutan.
Sementara itu menurut Triguna (1986; Faruk, 2005:14) perubahan yang terjadi pada
masyarakat paling tidak melibatkan dua faktor yaitu internal dan eksternal. Konsep faktor internal
dimaksudkan sebagai hakikat bahwa masyarakat pada intinya tidak statis dan itu didukung oleh
lingkungan sosial budayanya. Sedangkan konsep eksternal yang dimaksud yakni perubahan itu
direncanakan dalam seperangkat rencana pembangunan. Dimensi lain dari perubahan dalam
masyarakat bisa juga dilihat dari dimensi vertikal maupun horizontal. Dalam hal pertama,
menurut Triguna yang mengutip R.Redfield, Swellengrebel dan Mc.Kean menjelaskan bahwa
dinamika masyarakat dan kebudayaan Bali berkembang menurut tingkat-tingkat (1) tradisi kecil;
(2) tradisi besar, dan; (3) tradisi modern. Sementara dalam hal yang kedua, dinamika masyarakat
dan kebudayaan Bali telah memperluas tingkat-tingkat integrasinya melalui integrasi komunitas,
integrasi regional serta integrasi nasional dan atau internasional.
Unsur-unsur tersebut di atas akan menimbulkan perubahan dalam masyarakat. Secara
ideal perubahan tersebut diharapkan bukan menjadi sesuatu yang asing dalam masyarakat,
sehingga dalam gejala tersebut unsur-unsur tradisional dan unsur-unsur yang datang sesudahnya
dapat saling melengkapi. Namun dalam realitas tidak tertutup kemungkinan terjadinya resistensi
terhadap hal yang datang belakangan, akibat ketidak seimbangan antara perubahan struktural dan
kultural.
Berdasarkan teori dan tulisan-tulisan diatas, dapat dipetakan bahwa globalisasi dapat
berpengaruh pada penguatan unsur-unsur kebudayaan masyarakat melalui ketahanan mental dari
sikap manusia terhadap budayanya. Ketahanan mental pelaku kebudayaan menghadapi pengaruh
globalisasi dilakukan melalui strategi bertahan (tindakan defensif) dan adaptasi (tindakan
progresif). Strategi tersebut juga harus diimbangi dengan keseimbangan masyarakat dalam
pengelolaan segala unsur kebudayaan sehingga berdampak pada penguatan jati diri masyarakat
lokal bahkan membuat budaya tradisional semakin tumbuh, mekar dan fleksibel dalam berbagai
tantangan dan ancaman global sebagai refleksi wujud kebudayaan yang hidup secara
berkelanjutan.
15
5.4 Desa Adat
Dengan diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979, di Bali dikenal adanya dua pengertian
desa. Pertama, 'desa' dalam pengertian hukum nasional, sesuai dengan batasan yang tersirat dan
tersurat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Desa dalam
pengertian ini melaksanakan berbagai kegiatan administrasi pemerintahan atau kedinasan
sehingga dikenal dengan istilah 'Desa Dinas' atau 'Desa Administratif'. Desa dalam pengertian
yang kedua, yaitu desa adat atau Desa Pakraman, mengacu kepada kelompok tradisional dengan
dasar ikatan adat istiadat dan terikat oleh adanya tiga pura utama (Kahyangan Tiga). Dasar
pembentukan desa adat dan desa dinas memiliki persyaratan yang berbeda, sehingga wilayah dan
jumlah penduduk pendukung sebuah desa dinas tidak selalu kongruen dengan desa adat.
Eksistensi Desa adat di Bali diakui oleh pasal 18 UUD 1945 dan dikukuhkan oleh
Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 6 Tahun 1986, yang mengatur tentang kedudukan, fungsi dan
peranan Desa adat sebagai kesatuan masyarakat Hukum Adat di Propinsi Daerah Bali.
Kelembagaan Desa adat bersifat permanen dilandasi oleh Tri Hita Karana.
Pengertian Desa adat mencakup dua hal, yaitu : (1) Desa adatnya sendiri sebagai suatu
wadah, dan (2) adat istiadatnya sebagai isi dari wadah tersebut. Desa adat merupakan suatu
lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat umat
Hindu di Bali. Desa adat dilandasi oleh Tri Hita Karana, yaitu : (1) Parahyangan (mewujudkan
hubungan manusia dengan pencipta-Nya yaitu Hyang Widhi Wasa), (2) Pelemahan (mewujudkan
hubungan manusia dengan alam lingkungan tempat tinggalnya), dan (3) Pawongan (mewujudkan
hubungan antara sesama manusia, sebagai makhluk ciptaan-Nya) (Dharmayuda, 2001).
Konsep desa adat ini digunakan dalam penelitian ini u tuk mengkaji sejauh mana peranan
dari lembaga sosial adat di Tenganan dalam mempertahankan budaya bali kuno dan menghadapi
arus globalisasi.
VI. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Dalam penelitian, peneliti dihadapkan dengan berbagai macam metode penelitian.
Metodologi penelitian diperlukan guna mengarahkan dan menuntun pelaksanaan penelitian agar
hasil yang dicapai sama dengan realitas. Pemilihan metode yang tepat dan sesuai dengan jenis
16
dan sifat penelitian yang dilakukan guna mendapatkan hasil yang tepat pula. Ada beberapa
metode yang sering dipergunakan dalam Ilmu Hubungan Internasional antara lain metode
kualitatif, metode kuantitatif, serta metode komparatif. Dalam tulisan ini metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian kualitatif untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam mengenai masalah yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini, akan dianalisa mengenai strategi ketahanan budaya desa Tenganan
di Kabupaten Karangasem sebagai salah satu desa Bali Aga dalam mempertahankan nilai-nilai
kebudayaan tradisional yang mereka miliki namun tetap dapat terus berkembang secara luwes
mengikuti arus globalisasi. Maka metode yang digunakan adalah metode deskriptif dan analitis
untuk menjabarkan strategi ketahanan dan adaptasi yang dilakukan masyarakat desa Tenganan
melalui organisasi desa adat. Data untuk penelitian ini dicari melalui sumber-sumber tertulis
maupun lisan. Sumber tertulis yang digunakan berasal dari dokumen, majalah, surat kabar, dan
jurnal, sedangkan sumber lisan didapatkan dari hasil wawancara terhadap tokoh-tokoh desa adat
serta masyarakat dari desa Tenganan.
2. Lokasi penelitian
Penelitian ini akan mengambil lokasi di Desa Tenganan di Kabupaten Karangasem. Objek
pengamatan yang menjadi fokus kajian dalam riset ini adalah Strategi Ketahanan Budaya Desa
Tenganan sebagai Desa Bali Aga Dalam Menghadapi Arus Globalisasi.
3. Cara Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lengkap dan komprehensif, pengumpulan data untuk maka
riset studi kasus ini dilakukan dengan beberapa cara yaitu : wawancara mendalam (depth
interview), dan studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tema penelitian yaitu seputar
kegiatan di lapangan. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci (key informan) yang
dianggap mengerti dan memahami berbagai isu dan masalah yang menjadi fokus perhatian dari
penelitian ini, baik dari kalangan tokoh masyarakat, perwakilan lembaga desa adat, serta warga
desa Tenganan.
17
4. Analisis data
Data-data yang telah dikumpulkan baik data primer maupun sekunder yang diperoleh dari
hasil wawancara, studi dokumen, kemudian disusun secara sistematis sesuai dengan kategori atau
tema-tema tertentu setelah dilakukan reduksi padanya. Hasil reduksi tersebut kemudian didisplay
sesuai dengan kategori atau tema tertentu agar mudah difahami, sehingga akhirnya dapat diambil
pemahaman-pemahaman darinya sebagai bahan untuk membuat kesimpulan.
18
VII. Pembahasan
Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran
agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan ( rwa bhineda ), yang sering
ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ).
Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam
menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa
komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina,
dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa
maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak
dipengaruhi oleh budaya India. Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa
batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali
bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan
tidak kehilangan jati diri. Kebudayaan Bali memiliki kebudayaan yang khas karena belum
terpengaruhi oleh budaya lain.
Namun seiring dengan derasnya arus globalisasi dan semakin berkembangnya kegiatan
ekonomi masyarakat Bali, terutama dari sektor pariwisata kemungkinan akan menimbulkan
sistem budaya yang tersirat dan berangsur–angsur akan mengalami pergeseran atau perubahan.
Menurut Setyadi (2007), transisi yang terjadi adalah transisi masyarakat dan kebudayaan agraris
menuju kebudayaan industri (pariwisata) dan transisi masyarakat yang makin terbuka dengan
kebudayaan global. Dua bentuk transisi tersebut lebih dominan terjadi di desa-desa yang telah
dijadikan sebagai daerah tujuan wisata. Salah satunya adalah Desa Adat Tenganan yang
merupakan daerah tujaun wisata budaya di Kabupaten Karangasem. Perkembangan pariwisata di
Desa Adat Tenganan cukup pesat.
Namun di tengah pesatnya perkembangan pariwisata dan derasanya arus globalisasi Desa
Adat Tenganan mengalami masalah tersendiri yakni struktur desa yang terancam berubah akibat
kepentingan bisnis, dan generasi muda desa yang semakin melupakan kearifan dan budayanya
sendiri seiring derasnya arus informasi yang masuk ke desa. Sisi ketradisionalan sebagai desa tua
di Bali kian terpinggirkan dengan kehidupan modern penduduknya.
19
7.1 Profil Desa Adat Tenganan
Desa Adat Tenganan adalah desa yang terletak cukup terpencil dan terletak di Kabupaten
Karangasem. Untuk mencapai desa ini melalui jalan darat dan berjarak sekitar 60km dari pusat
kota Denpasar Bali. Luas wilayah desa Tenganan 917,5 H yang terdiri dari 8% pemukiman 22%
saawah dan sisinya berupa tegalan. Desa tenganan mempunyai luas area sekitar 1.500 hektar. Di
desa Tenganan data penduduk terdapat 225 KK (kepala keluarga) yang ini berjumlah 707 jiwa,
terdiri dari 347 jiwa laki–laki dan 360 jiwa perempuan. Keseluruhan jumlah penduduk tersebut
tergabung ke dalam dan bertempat tinggal di Banjar Kauh, Banjar Tengah, dan Banjar Kangin.
Desa Adat Tenganan sebuah desa dari masa Bali Kuno atau Bali Aga, yaitu sistem sosial
budaya dari masa sebelum masa Majapahit yang dikenal dengan Bali Arya adalah sebuah desa
yang berlokasi di suatu lembah yang memanjang dari Selatan sampai Utara di antara Bukit
Kangin dan Bukit Kauh di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.
Masyarakat Desa Adat Tenganan merupakan masyarakat Bali asli (Bali Aga) yang tidak
mendapatkan pengaruh dari kebudayaan Hindu Majapahit (Hindu Jawa) seperti masyarakat Bali
pada umumnya (Bali Apanaga). Keberadaan Desa Adat Tenganan telah ada sejak abad ke-11
yang didasarkan pada penemuan “Prasasti Ujung” yang di dalamnya terdapat istilah „Tenganan‟.
Kehidupan masyarakat Desa Adat Tenganan sangat tertutup yang merupakan cerminan
kewaspadaan terhadap musuh.
Masyarakat Desa Tenganan menganut kepercyaan bahwa Dewa Indra adalah dewa dari
para dewa. Kepercayaan ini tampak dari struktur desa yang berbentuk Jaga Satru yang berarti
waspada terhadap musuh, yang dikelilingi benteng dengan empat pintu di empat arah utama mata
angin. Permukiman Desa tersusun linear dalam tiga banjar, yang membujur dari arah utara ke
selatan, yaitu Banjar Kauh, Tengah, dan Pande (Sadra, 2008). Menurut aturan yang ada di desa
Tenganan, setiap warga yang diperbolehkan dan berhak tinggal disana adalah orang yang
menikah dengan sesama warga di desa tersebut, yang kemudian akan diberikan hak atas
kepemilikan tanah di desa. Penduduk Desa Tenganan secara keseluruhan diberi fasilitas tanah
oleh dinas setempat atau pemerintah desa, kecuali penduduk desa yang menikah dengan selain
desa Tenganan, pasangan tersebut dan keturunannya tersebut tidak diakui oleh pemerintah desa
setempat. Bisa jadi pasangan dan keturunannya tersebut diizinkan untuk tinggal atau menetap di
desa tersebut namun untuk statusnya secara adat ataupun sipil tidak diakui pemerintah desa
setempat, dan bertempat tinggal dibagian lain dari desa. Pembagian tanah dalam masyarakat Desa
20
Tenganan bersifat horisontal artinya tidak ada pembedaan antara seseorang yang mempunyai
kedudukan atau kekuasaan dalam masyarakat maupun orang yang mempunyai tingkat
perekonomian yang tinggi.
Bentuk pura yang terdapat pada tiap rumah berbeda – beda sesuai dengan tingkat
kepentingan mereka dalam beribadah dan tentu saja tingkat perekonomian mereka, warga
masyarakat yang mempunyai ekonomi tinggi cenderung mempunyai pura atau tempat
peribadatan didalam rumah yang cenderung kompleks dan dari segi arsitektur lebih bagus bila
dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai perekononian sedang mereka cenderung
membangun tempat peribadahan yang sederhana di dalam rumah mereka. Keduanya baik pura
yang relatif besar maupun kecil mempunyai fungsi yang sama yaitu sebagai tempat atau sarana
beribadah mereka sehari – hari.
Desa Tenganan, merupakan salah satu dari sejumlah desa masyarakat Bali Aga yang ada
di Pulau Bali. Pola kehidupan masyarakatnya mencerminkan kebudayaan dan adat istiadat desa
Bali Aga ( pra Hindu ) yang berbeda dari desa-desa lain di Bali. Karenanya Desa Tenganan
dikembangkan sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata budaya. Sebagai obyek wisata
budaya, Desa Tenganan memiliki banyak keunikan dan kekhasan yang menarik untuk dilihat dan
dipahami.
7.2 Kebudayaan dan Pengaruh Globalisasi Terhadap Perubahan Kegiatan Adat Masyarakat Bali
Aga
Dalam perkembangannya desa Tenganan menjadi kawasan strategis pariwisata budaya di
Kabupaten Karangasem dimana hal ini tercantum dalam RTRW Kabupaten Karangasem.
Keluarnya kebijakan tersebut karena melihat potensi pasar wisata yang cukup besar, dan Desa
Adat Tenganan Pegringsingan menjadi daerah tujuan wisata favorit kedua setelah Pura Besakih.
Sebagai desa wisata, kebudayaan merupakan hal yang ditonjolkan dan menjadi daya tarik
tersediri di desa Tenganan ini. Penduduk Tenganan menjaga kebudayaan mereka agar tetap
hidup. Tradisi dan adat istiadat tersebut terdiri atas; tata ruang desa, arsitektur bangunan dan
ruang keluarga, pelaksanaan upacara keagamaan seperti mekare-kare, tenunan tradisional kain
geringsing dan tradisi penulisan naskah diatas daun palem atau pembuatan prasi.Namun di lain
21
sisi, penduduk desa mulai membuka diri terhadap dunia luar. Ini membawa beberapa perubahan
dalam berbagai sektor.
Dalam melihat bagaimana kebudayaan masyarakat bali aga di desa Tenganan dan
perubahan yang terjadiu mengacu pada 7 unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat yakni:
a) Sistem Mata Pencaharian
Masyarakat di desa Tenganan ini mayoritas sebagai petani, tapi mereka hanya sebagai
tuan tanah atau pemilik tanah dan yang mengerjakan atau yang mengurusi sawah mereka orang
lain dan biasanya orang itu berasal dari luar desa Tenganan. Sistem budaya yang kuat dimana
penduduk tidak boleh bekerja keluar desa menyebabkan mata pencaharian penduduk otomatis
hanya sebagai petani.
Kini,mayoritas penduduk desa bekerja sebagai pengrajin. Komoditi yang ditawarkan
antara lain kain gringsing, kerajinan ata, painting egg, dan lukisan daun lontar. Secara ekonomi,
pendapatan dari sektor pariwisata memang lebih menjanjikan dibanding pertanian. Selain sebagai
pengrajin, ada juga penduduk yang bermata pencaharian sebagai PNS dan karyawan swasta. Nilai
jual yang tinggi dari setiap kerajinan yang dihasilkan masyarakat Tenganan telah menjadi daya
tarik tersendiri untuk dapat meningkatkan taraf hidup.
b) Sistem Kepercayaan
Masyarakat desa Tenganan beragama Hindhu Darma yang mana dewa yang di anut
adalah sekte Indra. Dimana di desa Tenganan yang menaganut sekte indra ( ibu pertiwi) maka
untuk proses pemakamannya dengan cara dikubur dengan posisi badan tertelungkup dan
telanjang, ini dalam ajaran sekte indra mengambarkan bahwa bayi lahir, mati dan akan kembali
ke bumi pertiwi. masyarakat Tenganan melakukan ritual keagamaan setiap hari untuk menjaga
kemurnian rohani serta keseimbangan sosial desa. Adapun kegiatan yang paling terkenal dan
menjadi pusat perhatian dalam bulan kelima adalah perang pandana mekare-kare (perisai).
Hingga saat ini system kepercayaan ini masih dipegang teguh oleh masyarakat desa adat
Tenganan.
c) Bahasa
Di desa Tenganan bahasa yang mereka gunakan untuk percakapan sehari-hari adalah
menggunakan bahasa jawa bali. Bahasa tersebut dibawa dari jawa ke bali pada masa kerajaan
Majapahit. Seiring arus globalisasi dan berbagai pengaruh dari luar yang masuk melalui sektor
22
pariwisata, perkembangan bahasa juga menyesuaikan. Masyarakat desa adat Tenganan tidak
hanya
d) Kesenian
Salah Satu kesenian yang terkenal dari Desa adat Tenganan adalah makare-kare. Mekare-
kare ini merupakan kesenian perang yang bersenjatakan pandan berduri dan tameng rotan sebagai
bagian dari ritual di siang hari, kesenian tersebut adalah sebagai penghormatan terhadap dewa
yang menjadi kepercayaan di desa Tenganan dan kesenian tentang perang pandan mengambarkan
tentang peperangan dewa mereka. Acara ini merupakan rangkaian dari ritual dan menyanyikan
kidung, penampilan tarian sakral Rejang dan Keris. Rangkaian prosesi diakhiri tari Rejang dan
ritual di subak Daha.
Selain perang pandan, kesenian yang terdapat di desa Tenganan ada upacara “ metrune”
upacara ini di lakukan untuk menandakan bahwa perempuan sudah dianggap dewasa tidak hanya
secara fisik tetapi juga sifatnya. Dan setelah melakukan upacara ini perempuan tadi boleh
melakukan perkawinan.
e) Organisasi Sosial
1. Sistem Kekerabatan
Di masayarakat Tenganan di terdapat jenis-jenis dalam proses kekerabatan, terutama
dalam perkawinan. Adapun jenis – jenis perkawinan yakni:
- Kawin pinang, perkawinan ini dilakukan dengan orang tua yang meminang untuk anaknya
yang akan menikah
- Blegadang, perkawinan ini adalah perkawinan yang di lakukan atas paksaan dari orang tua.
- Nganten yaitu perkawinan karena suka sama suka antara laki-laki dengan perempuan.
Adat setempat melarang masyarakat luar untuk menikah dengan masyarakat Tenganan.
Hingga tahun 1925, pernikahan di Tenganan hanya boleh dilangsungkan dengan sesama
masyarakat Tenganan. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan zaman, lelaki Tenganan sudah
diperbolehkan untuk menikah dengan wanita dari desa lain dengan kasta yang lebih tinggi
tanpa harus kehilangan hak untuk tetap tinggal di Tenganan.
2. Sistem Pemerintahan
Tenganan di pimpin oleh seorang kepala desa dan terdapat tiga struktur pemerintahan:
- Kerama Desa
23
Terdiri dari 28 pasang suami istri, masyarakat Tenganan yang dapat masuk ke dalam
organisasi ini adalah pemuda atau pemudi yang menikah dengan sesama warga Tenganan.
- Bumi Desa
- Kerama Bumi
Yang masuk dalam organisasi ini adalah seluruh masyarakat termasuk yang mengalami cacat
fisik. Jabatan Kerama Desa, waktunya dapat dikatakan tidak menentu, dan syarat seseorang
lengser dari Kerama Bumi apabila meninggal, poligami atau salah satu anaknya menikah,
keanggotaan kerama desa tidak diperbolehkan ada keanggotaan rangkap dalam satu keluarga.
Sehingga apabila salah seorang anaknya menikah dan berkeluarga, sedangkan bapak ibunya
merupakan anggota Kerama Desa, maka jabatannya akan lengser.
f) Sistem Pengetahuan
Tenganan terdapat Balai panjang atau dalam bahasa jawa di sebut pesantren, itu berfungsi
untuk tempat belajar para anak-anak di Tenganan tentang ilmu agama, dan para murid dibina
pemuka agama yang disebut sebagai “mekel” ,yaitu keturunan Mangku ( orang yang ahli agama).
Seiring dengan perkembangan zaman, yang tadinya di masyarakat Tenganan hanya
mengenal pendidikan di Balai Panjang, di sana sekarang sudah mengenal Pedidikan formal ,
untuk sekarang ini banyak anak-anak yang sudah menimba ilmu di perguruan-perguruan tinggi
baik di bali sendiri maupun di luar Bali.
g) Sistem Teknologi
1) Perumahan
Pola permukiman desa Tenganan Pegeringsingan, Karangsasem. Dengan awangan
(Ruang Bersama Tradisi Bali Aga), rumah tinggal warga desa tersusun linier dari Utara-Selatan
dengan pintu pekarangan/jelanan awang menghadap Barat atau Timur. Untuk memasukinya,
mesti melewati awangan yaitu rangkaian halaman depan masing-masing pekarangan rumah
tinggal. Awangan ini berundak-undak dengan lapisan batu kali ciri kebudayaan megalitik makin
ke Utara makin tinggi. Batas awangan yang satu dengan awangan lainnya yang saling berhadapan
adalah selokan air yang disebut boatan. Sedangkan sebagai batas halaman belakang masing-
masing pekarangan rumah tinggal juga berupa selokan air selebar 1m - 1,5m yang disebut teba
pisan. Jumlah awangan sebagai jalan membujur dari Utara ke Selatan adalah 3 buah yaitu
awangan kauh (Barat) yang paling lebar dan berfungsi sebagai awangan utama didirikan paling
24
banyak fasilitas umum (bangunan adat dan bangunan suci), awangan tengah,dan awangan kangin
(Timur).
Desa Tenganan pada masa lalu lebih mengutamakan pada kepentingan spiritual dan
kebersamaan, hal tersebut tercermin pada rumah tinggal masyarakat. Sekarang ini sudah mulai
bergeser kearah kepentingan komersial dan pribadi. Dahulu dalam perkarangan masih terdiri
beberapa unit bangunan dengan tata letak mengikuti tata nilai Tri Mandala, tetapi pada aktivitas
sehari-hari terlihat adanya pengaburan fungsi dari bangunan tersebut. Sekarang ini, pada sebagian
perkarangan terjadi perluasan dengan tujuan sebagai tempat menjual barang-barang kerajinan dan
dimensi sakralnya sudah mulai hilang.
2) Pembuatan Kain Tenun Gerising
Tenganan dikenal dengan kain tradisionalnya, Kamben Gringsing, yang memiliki arti
“kain menyala” dan “melawan penyakit”. Satu set yang terdiri dari empat kain gringsing bisa
memakan waktu delapan tahun untuk proses pembuatannya dan setiap potongnya dapat berharga
Rp.32 juta. Beberapa jenis kain gringsing bahkan tidak untuk dijual.
7.3 Strategi Ketahanan Masyarakat Desa Adat Tenganan Dalam Menghadapi Budaya Global
Masyarakat dan kebudayaan Bali tidak luput dari perubahan di era globalisasi ini. Seperti
dikatakan oleh Adrian Vickers (2002) bahwa orang Bali kini tengah mengalami suatu paradok
yakni cenderung mengadopsi kebudayaan modern yang mendunia (kosmopolitan), namun di sisi
lain juga sedang mengalami proses parokialisme atau kepicikan yang timbul karena fokus beralih
pada lokalitas, khususnya kepada desa adat. Dengan kata lain bahwa orang Bali dalam
mengadopsi budaya modern tampaknya masih tetap berpegang kepada ikatan-ikatan tradisi dan
sistem nilai yang dimilikinya. Fenomena paradok ini juga dikemukakan oleh Naisbitt dan
Aburdene (1990:107) yang disebutnya sebagai sikap penolakan (countertrend) terhadap pengaruh
kebudayaan global (budaya asing) sehingga timbul hasrat untuk menegaskan keunikan kultur dan
bahasa sendiri.
Desa Tenganan sebagai desa wisata tentu tidak lupt dari pengaruh-pengaruh globalisasi.
Walaupun sarana dan prasarana seperti listrik dll masuk ke Desa Tenganan ini, tetapi rumah dan
adat tetap dipertahankan seperti aslinya yang tetap eksotik. Desa Tenganan tetap saja berdiri
kokoh tidak peduli dengan perubahan jaman dengan tetap bertahan dengan tiga balai desanya
25
yang kusam dan rumah adat yang berderet yang sama persis satu dengan lainnya. Dan tidak
hanya itu didesa ini keturunan juga dipertahankan dengan perkawinan antar sesama warga desa.
Oleh karena itu Desa Tenganan tetap tradisional dan eksotik, walaupun Masyarakat Tenganan
menerima masukan dari dunia luar tetapi tetap saja tidak akan cepat berubah, karena peraturan
desa adat /awig-awig mempunyai peranan yang sangat penting terhadap masyarakat Desa
Tenganan.
Pengembangan desa wisata di Desa Tenganan tidak terlepas dari keterlibatan masayarakat
sekitar Desa Tenganan Pegringsingan (Desa Pakraman). Desa Pakraman adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun. Desa adat atau desa pakraman di
Bali merupakan salah satu dari berbagai kesatuan hukum masyarakat adat yang ada di Indonesia.
Sebagai desa yang masih tradisional dan selalu menjunjung tinggi awig–awig desa,
kehidupan masyarakat Desa Adat Tenganan selalu mengedepankan prinsip persatuan, kesatuan
dan kebersamaan. Pada dasarnya setiap aspek kehidupan di desa selalu berdasarkan adat. Tatanan
tersebut senantiasa terjaga dengan adanya sistem pemerintahan adat. Sebagai suatu desa
pakraman, sistem pemerintahan adat di Desa Adat Tenganan sangat demokratis.
Peranan masyarakat Desa Pakraman Tenganan dalam melestarikan dan mempertahankan
budaya dan adat istiadat sebagai potensi wisata sangat memegang peranan penting, hal ini karena
seiring dengan perkembangan zaman Desa Tenganan masih tetap memegang teguh budaya dan
adat-istiadat yang ada tanpa adanya pengaruh dari luar. Hal ini karena adanya aturan adat yang
ada di Desa Tenganan yang disebut dengan Awig-awig. Awig-awig Desa Tenganan bertujuan
untuk mempertahankan keutuhan dan keajegan desa adat (Prasetiyo, 2009:6).
Kearifan lokal berupa awig-awig tersebut merupakan warisan leluhur masyarakat
setempat pada abad ke-11. Sampai saat ini awig-awig tersebut masih tetap eksis dalam kehidupan
masyarakat Tenganan. Hal ini ditandai dengan masih kuatnya ikatan awig-awig tersebut terhadap
masyarakat Desa Pakraman Tenganan. Setiap bentuk pelanggaran terhadap awigawig tersebut
akan berbuah sanksi yang diberikan oleh pihak desa pakraman kepada pihak yang melanggar.
Awig-awig desa Tenganan yang disusun pada abad ke-11 dan menjadi pedoman hidup
masyarakat setempat sempat musnah dalam musibah kebakaran pada tahun 1841. Awig-awig
desa adat Tenganan yang ada saat ini dan disucikan di bale agung merupakan hasil penulisan
kembali awig-awig sebagaimana yang disebutkan di atas. Penulisan kitab awig-awig tersebut
26
dilatarbelakangi karena masyarakat merasa kehilangan kitab yang berisikan pedoman yang
mengatur tatanan kehidupan bagi masyarakat setempat yang telah diwariskan leluhur mereka
sejak abad ke-11. Keadaan ini menjadikan mereka merasa berkepentingan untuk menulis kembali
awig-awig yang telah menjadi pedoman tersebut agar tidak dilupakan oleh masyarakat. Di
samping itu, dengan menulis kembali awig-awig tersebut sebagai sebuah pedoman yang
mengatur tatanan kehidupan masyarakat setempat, maka dapat memantapkan penerapan aturan-
aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Tenganan, termasuk juga memantapkan
penerapan aturan-aturan mengenai pengelolaan hutan di kawasan desa tersebut. Hal ini dapat
dipahami karena kitab awig-awig tersebut dapat memberikan legitimasi terhadap penerapan
aturan dalam kehidupan masyarakat di Desa Pakraman Tenganan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sztompka (2010) bahwa tradisi memberikan
legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada, di masa
semuanya ini memerlukan pembenaran agar dapat mengikat anggotanya. Penulisan kembali kitab
awig-awig tersebut dapat pula dipahami sebagai upaya penyebaran atau pewarisan tradisi berupa
aturan-aturan (awig-awig) yang berlaku kepada masyarakat serta generasi selanjutnya.
Pendokumentasian atau pemulisan kembali awig-awig tersebut sebagai upaya pelestarian kearifan
lokal masyarakat Tenganan akan jauh lebih tidak terbatas cakupan penerimanya maupun jangka
waktunya ketimbang hanya melalui lisan.
Dan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Desa Pakraman Tenganan memiliki
peranan yang penting dalam mempertahankan kebudayaan desa Tenganan sebagai desa bali aga.
Berbagai bidang kehidupan diatur dalam awig-seperti pada bidang pengelolaan kekayaan
alamnya, seperti larangan menjual tanah keluar desa, larangan melakukan simpan pinjam dari
bank, maupun pada aspek acara pernikahan sampai proses ketentuan pembagian harta warisan.
Uniknya lagi sehubungan dengan tanaman „terlarang‟ di kawasan Desa Tenganan, setiap Kepala
Keluarga yang memiliki tanaman tersebut diharuskan membayar pajak karena buah tersebut
dapat dijual ke pasar.
Selain itu desa Pakraman Tenganan juga selalu menjaga dan melestarikan budayanya
sebagai daya tarik utama yang mampu menarik banyak wisatawan untuk datang ke sana. Budaya
Desa Tenganan seperti, adat-istiadatnya, upacara-upacara agama, kerajinan tangan khas Desa
Tenganan, bangunan-bangunan yang masih tradisional serta yang paling banyak menarik para
wisatawan baik itu dalam maupun luar adalah atraksi Mageret Pandan (Makare-karean).
27
Budaya inilah yang masih dijaga dan dilestarikan sampai saat ini oleh Desa Pakraman
Tenganan. Selain itu Desa Pakraman juga dilarang untuk merusak lingkungan dan harus menjaga
lingkungan agar tetap asri, peraturan untuk menjaga lingkungan sekitar Desa Tenganan terdapat
pada awig-awig Desa Tenganan. Sehingga Desa Pakraman Tenganan berpegang teguh pada
awig-awig yang di dalam awig-awig juga mengatur tentang menjaga lingkungan dan aturan-
aturan lainnya yang harus dipatuhi oleh Desa Pakraman Tenganan. Hal inilah yang menyebabkan
budaya dan alam di Desa Tenganan masih terjaga sampai sekarang.
Desa Pakraman Tenganan juga menyediakan berbagai fasilitas pendukung pariwisata bagi
wisatawan yang berkunjung ke sana, selain itu Desa Pakraman juga menyediakan peluang usaha
bagi masyarakat lokal untuk mendukung pengembangan desa wisata di Desa Tenganan
pegringsingan dengan memberi kebebasan bagi masyarakat lokal untuk ikut terlibat sebagai
pelaku usaha wisata, namun dengan menuruti sistem peraturan yang telah dibuat agar tidak
terjadi konflik antara sesama pelaku usaha wisata.
Demikian pentingnya peranan dari masyarakat Desa Tenganan dalam menjaga dan
melestarikan budaya dan adat-istiadat dengan mematuhi awig-awig tersebut, karena didalam awi-
awig terdapat semua tata tertib dan kebiasaan masyarakat Desa Pakraman Tenganan dalam
menjaga keajegan dan keutuhan Desa sebagai modal untuk menjadi desa wisata yang menarik
para wisatawan dan membuat lebih berkembang lagi.
28
VIII. Penutup
8.1 Kesimpulan
Globalisasi membuat dunia semakin tidak lagi mengenal batas daerah maupun negara
(borderless). Pengaruh-pengaruh luar semakin mudah untuk masuk dan membawa perubahan
dalam berbagai aspek kehidupan dan di berbagai daerah. Masyarakat dan kebudayaan Bali tidak
luput dari perubahan di era globalisasi ini. Ini semakin dipercepat dengan dorongan arus
pariwisata.
Desa Adat Tenganan yang terkenal sebagai desa bali aga (bali kuno) yang kemudian
berkembang menjadi desa wisata juga tidak luput dari pengaruh globalisasi. Beberapa aspek
kebudayaan berubah sesuai pengaruh-pengaruh dari luar. Namun beberapa aspek kebudayaan
lainnya masih dipegang teguh oleh masyarakat adat setempat.
Untuk mempertahankan keaslian kebudayaan bali aga ini tidak terlepas dari peranan desa
pakraman setempat. Desa pakraman Tenganan dengan teguh melaksanakan awig-awig desa.
Awig-awig desa Tenganan ini menjadi peraturan hidup masyarakat setempat yang mengatur
tatanan kehidupan bagi masyarakat setempat yang telah diwariskan leluhur mereka sejak abad ke-
11. Awig-awig tersebut dapat memberikan legitimasi terhadap penerapan aturan dalam berbagai
kehidupan masyarakat di Desa Pakraman Tenganan. Berbagai bidang kehidupan diatur dalam
awig-seperti pada bidang pengelolaan kekayaan alamnya, seperti larangan menjual tanah keluar
desa, larangan melakukan simpan pinjam dari bank, maupun pada aspek acara pernikahan sampai
proses ketentuan pembagian harta warisan. Selain itu awig-awig juga mengatur tentang aspek
lingkungan yang patut dijaga keasriannya.
Penerapan awig-awig oleh desa pakraman Tenganan ini adalah sebagai usaha pelestarian
kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat Tenganan. Terlebih lagi desa Tenganan saat ini yang
berkembang menjadi desa wisata tidak luput dari berbagai pengaruh luar yang dapat
mempengaruhi kearifan lokalnya sebagai desa bali aga. Ini juga dilakukan demi menjaga dan
melestarikan budayanya, karena kebudayaan bali aga merupakan daya tarik utama yang mampu
menarik wisatawan untuk datang ke sana. Budaya Desa Tenganan seperti, adat-istiadatnya,
upacara-upacara agama, kerajinan tangan khas Desa Tenganan, bangunan-bangunan yang masih
tradisional serta kesenian tradisional seperti kesenian Makare-kare banyak menarik para
29
wisatawan. Budaya inilah yang masih dijaga dan dilestarikan sampai saat ini oleh Desa Pakraman
Tenganan.
Dan dari hasil penelitian menunjukkan peranan desa pakraman Tenganan dalam
menerapkan awig-awig ini merupakan bagian dari strategi ketahanan budaya di era globalisasi.
bahwa Desa Pakraman Tenganan memiliki peranan yang penting dalam mempertahankan
kebudayaan desa Tenganan sebagai desa bali aga. Pembinaan awig-awig melalui desa pakraman
Tenganan dalam menjaga kebudayaan Bali Kuno di era globalisasi ini memiliki peranan yang
sangat penting, karena Desa Pakraman Tenganan memiliki pengetahuan dan kemampuan lokal
dalam mengembangkan unsur-unsur yang ada di desa seperti, budaya dan alam, sehingga
kebudayaan di Desa Tenganan tetap ajeg dan terus berkembang sampai sekarang.
Demikian pentingnya peranan dari masyarakat Desa Tenganan dalam menjaga dan
melestarikan budaya dan adat-istiadat dengan mematuhi awig-awig tersebut, karena didalam
awig-awig terdapat semua tata tertib dan kebiasaan masyarakat Desa Pakraman Tenganan dalam
menjaga keajegan dan keutuhan Desa sebagai modal untuk menjadi desa wisata yang menarik
para wisatawan dan membuat lebih berkembang lagi.
8.2 Saran
Peranan pemerintah serta pemberdayaan lembaga pendidikan, dan pendidikan formal maupun
non formal perlu ditingkatkan untuk menggali dan mengembangkan potensi dan nilai-nilai
kearifan lokal dalam kebudayaan. Melalui pendidikan diharapkan pemahaman generasi muda dan
masyarakat secara keseluruhan terhadap kearifan budaya lokal akan semakin meningkat yang
pada gilirannya menimbulkan kesadaran untuk menjaga keajegannya. Dengan upaya ini diyakini
kearifan lokal mampu bertahan dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.
30
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 1995. “Privatisasi Agama: Globalisasi atau Melemahnya Referensi Budaya
Lokal?” Makalah Disampaikan dalam Seminar Sehari tentang Kharisma Warisan Budaya
Islam di Indonesia “Islam dan Kebudayaan Jawa: Akulturasi, Perubahandan
Perkembangan”. Balai Kajian Jarahnitra dan Depdikbud DIY.
Anwar, Chairil. 1991. “Globalisasi: Tinjauan Sisi Iptek”. Prospektif, No. 1 Vol 3.
Appadurai, A. 1993.Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy. Dalam
Featherstone, M. (ed). 1993. Global Culture, Nationalism, Globalization and Modernity.
Pp: 295-310. London: SAGE Publication.
Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik (Dari Comte Hingga Parsons). Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset.
Bennet, John. W. The Ecological Transition, Cultural Antropology and Human Adaptation. New
York: Pergamon Press.
Dharma, I. Krishna. 2011. “Seni Tradisi dan Globalisasi: Menyikapi Ekspansi dan Pendalaman
(Deepening) Sistem Dunia dengan Kemantaban Identitas dan Keterbukaan.” Makalah
Disampaikan pada Workshop dan Festival Seni Tradisi: Pelestarian dan Revitalisasi
Musik dan Lagu Rakyat Menuju Ketahanan Budaya di Gedung mandala Bhakti
Wanitatama Yogyakarta, 19-20 Oktober.
Dharmayuda, I.M.S., 2001. Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali. Denpasar:
Upada Sastra.
Devine, Fiona. 1995. Qualitative Metode dalam David Marsh & Gerry Stoker (eds), Teory and
Method in Political Science. London: MacMillan.
Friedman, Thomas. 2000 The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization. New
York: A. A. Knopf.
Geriya, I Wayan. 2000. Kebudayaan Bali memasuki Abad XXI. Denpasar: Perusahaan Daerah
Provinsi Bali.
Held, David. 2000. Regulating Globalization? The Reinvention of Politics. International
Sociology. Vol. 15, No. 2, pp. 394-408
Hoenigman, John J. 1963. Understanding Culture. New York: Harper and Row.
31
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka. Cipta.
Monika, Eviandaru dan Indrawati. 2003. Perempuan Post-Kolonial dan Identitas Komoditi
Global. Yogyakarta: Kanisius.
Murray, Williamson dan Mark Grimsey. 1994. Introduction on Strategy, dalam Williamson
Murray, MacGregor Knox dan Alvin Bernstein, ed., The Making of Strategy: Ruler,
States and War. Cambridge: Cambridge University Press.
Nashir, Haedar. 1999. Agama & Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rahmawati, Ayu Diasti (et. al.). 2010. “Globalisasi Budaya dan Bahasa Indonesia Sebagai
Indentitas Bangsa”. Multiversa, Journal of International Studies, Vol 1 No1.
Reuter, Thomas and Alexander Horstmann. 2005. Faith in the Future : Understanding The
Revitalization of Religions and Cultural Traditions in Asia.
Ritzer, George 2010. Teori Sosiologi Modern Edisi ke 6. Jakarta : Kencana Premedia Grup.
Rupert, Mark dan M. S. Solomon. 2006. “A Brief History of Globalization”, dalam Globalization
and International Political Economy, Oxford: Rowman & Littlefield, pp. 25-53
Setyadi,Y.B. 2007. Pariwisata Dan Perubahan Nilai-Nilai Sosial Budaya BerdasarkanLingkungan
Tradisi Pada Masyarakat Bali . Jurnal Penelitian Humaniora. (8): 2.
Stiglitz, Joseph E.. 2006. Making Globalization Work. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Suarsono dan Alvin Y. SO. 1990. Perubahan Sosial dan Pembangunan Indonesia. P3SS Jakarta.
Turow, Josseph. 1997. Breaking Up America: Advertiser and the New Media World. Chicago:
University of Chicago Press.
Vickers, A. 2002. Kosmopolitanisme dan Kontradiksi Orang Bali. Kompas 19 Agustus 2002.
32
LAMPIRAN-LAMPIRAN
33
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PEMBIMBING PENELITIAN
(CURRICULUM VITAE)
Keterangan Pribadi
Nama Lengkap : Dr. Piers Andreas Noak, S.H., M.Si.
Tempat Tanggal Lahir: Kupang, 17 Februari 1963
Jenis Kelamin : L
NIP/ Karpeg : 196302171988031001/ E 415104
Pangkat/ Gol. : Pembina/ IV a
Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
PS/ Fakultas : Administrasi Negara/ Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Alamat : Jalan Gurita I/ 8X, Sesetan, Denpasar, Bali
Telepon/ E-mail : (+62) 361 721801/ andreas.noak@yahoo.com
Riwayat Pendidikan
2009 S3 Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur
1993 S2 Ketahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
1987 S1 Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara
Timur
Riwayat Pekerjaan 2010-Sekarang Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana,
Bali
2001-Sekarang Dosen MKU pada Universitas Udayana, Bali
2001-2003 Dosen Luar Biasa pada Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali
1994-2001 Dosen Luar Biasa pada Akademi Keperawatan, Kesehatan Lingkungan
dan Farmasi Kupang, Nusa Tenggara Timur
1994-2001 Dosen Luar Biasa pada UNKRIS Kupang, Nusa Tenggara Timur
1994-2001 Dosen Luar Biasa pada STIM Kupang, Nusa Tenggara Timur
1994-2001 Dosen MKU pada Undana Kupang, Nusa Tenggara Timur
1989-Sekarang Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Undana Kupang, Nusa Tenggara
Timur
Kegiatan Ilmiah
34
1. Penelitian
2008 Disertasi S3, “Penggunaan Instrumen Identitas
Etnik dan Agama oleh Elite Birokrasi dan Elite Politik dalam Persaingan
Meraih Kekuasaan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Universitas
Airlangga, Surabaya
1998 Penelitian Mandiri Undana Kupang, “Peranan Camat dalam Pelaksanaan
Asas Tugas Pembantuan di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten
Kupang”, Nusa Tenggara Timur
1997 Efektivitas Peranan Resimen Mahasiswa terhadap Partisipasi Pembelaan
Negara dan Prestasi Lulusan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Penelitian
Kelompok Undana Kupang
1995 Penelitian Kelompok Undana Kupang, “Penggunaan Hak-Hak DPRD
dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara
Timur
1994 Thesis Magister, “Rekruitmen Elite Politik dan Elite Birokrasi di
Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
2. Pendidikan
2007-Sekarang Tutor pada Universitas Terbuka, Denpasar, Bali
2001-Sekarang Mengajar Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan pada UPT MKU
Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur dan Universitas
Udayana, Denpasar, Bali
2001-2002 Mengajar Mata Kuliah Hukum Laut pada Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Denpasar, Bali
2001-2002 Mengajar Mata Kuliah Hukum Internasional pada Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, Bali
1994-2001 Mengajar Mata Kuliah Hukum Laut pada Fakultas Hukum Universitas
Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur
1994-2001 Mengajar Mata Kuliah Hukum Internasional pada Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur
1994-2001 Mengajar Mata Kuliah Politik Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur
1994-2001 Mengajar Mata Kuliah Perbandingan Hukum Tata Negara pada Fakultas
Hukum Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur
35
3. Pengabdian Kepada Masyarakat
1999 Panitia Pengawas Pemilu Tingkat Propinsi Nusa Tenggara Timur pada 13
Kabupaten dan Kota Madya Nusa Tenggara Timur
1998 Memberi Ceramah Kesadaran Hukum pada Generasi Muda Karang
Taruna di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara
Timur
1996 Penyuluhan Hukum Pemerintahan Desa di Desa-desa Kecamatan Kupang
Selatan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur
1996 Penyuluhan Hukum Pemerintahan Desa di Desa-desa Kecamatan Timur
Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur
1995 Penyuluhan Hukum Pemerintahan Desa di Desa-desa Kecamatan Kupang
Barat Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur
1995 Penyuluhan Hukum Pemerintahan Desa di Desa-desa Kecamatan Kupang
Tengah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.
Denpasar, 4 Juli 2014
Dr. Piers Andreas Noak, S.H., M.Si.
NIP. 196302171988031001
36
DAFTAR RIWAYAT HIDUP KETUA PENELITI
(CURRICULUM VITAE)
Keterangan Pribadi
Nama Lengkap : Sukma Sushanti, S.S., M.Si
Tempat Tanggal Lahir: Cirebon, 18 Oktober 1979
Jenis Kelamin : P
NIP/ Karpeg : 197910182009122001
Pangkat/ Gol. : Penata Muda Tk. I/ III b
Jabatan Fungsional : -
PS/ Fakultas : Hubungan Internasional/ Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Alamat : Jalan Damai, Ling.Banjar Bumi Kerta, Perumahan Bali Gendhis
Residence No. 8, Dalung Permai, Badung Bali
Telepon/ E-mail : (+62) 817 356 445/ ssushanti@fisip.unud.ac.id
Riwayat Pendidikan
2007 S2 Hubungan Internasional, Sekolah Pasca Sarjana,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2004 S1 Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Bali
Riwayat Pekerjaan 2010-Sekarang Dosen pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Udayana, Bali
2010-2012 Sekretaris Eksekutif, Dewan Pengelola Warisan Budaya
Bali, Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, Bali
2006-2007 Tutor S2 Hubungan Internasional, Sekolah Pasca Sarjana,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Kegiatan Ilmiah
1. Penelitian
2011 Penelitian Bersama Cultural Landscape of Bali Province: The Subak
System as a Manifestation of The Tri Hita Karana Philosophy, Denpasar,
Bali
2006-2007 Penelitian tesis, “Karakteristik Gender Dalam Agen Birokrasi Politik Luar
Negeri Amerika Serikat: USAID dan MDA,” Sekolah Pasca Sarjana,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2. Pendidikan
2012-2013 Mengemban Mata Kuliah Teori Politik Luar Negeri,
Teori dan Metodologi Hubungan Internasional, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, Ekonomi Internasional, Pengantar Hukum Internasional,
37
Pariwasata Dalam Hubungan Internasional, Regionalisme dan Keamanan,
pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Udayana, Bali
2011-2012 Mengemban Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional,
Geopolitik, Diplomasi, Organisasi dan Administrasi Internasional, pada
Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Udayana, Bali
Publikasi
Juli 2012 “Pertemuan Timur dan Barat: Pasang Surut Negosiasi Turki dengan Uni
Eropa”, Proceeding Paper for Convention of European Studies in
Indonesia 2012, Institute of International Studies, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
Juni 2010 “Konsep Global Governance pada Mekanisme Perdagangan
Internasional: Fair Trade”, Jurnal Widyasosiopolitika Vol. 2, No. 1,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana, Denpasar
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.
Denpasar, 4 Juli 2014
Sukma Sushanti, S.S,. M.A.
NIP. 197910182009122001
38
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ANGGOTA
(CURRICULUM VITAE)
Keterangan Pribadi
Nama Lengkap : Putu Ratih Kumala Dewi, S.H., M. Hub. Int.
Tempat Tanggal Lahir: Denpasar, 28 Februari 1988
Jenis Kelamin : P
NIP/ Karpeg : -
Pangkat/ Gol. : -
Jabatan Fungsional : -
PS/ Fakultas : Hubungan Internasional/ Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Alamat : Jalan PB Sudirman Denpasar, Bali
Telepon/ E-mail : (+62) 83114124311 / (+62) 81805561448 / tih_ratihkumaladw@yahoo.com
Riwayat Pendidikan
2005 - 2009 S1 Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Udayana
2010-2012 S2 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga
Pengalaman Kerja
2013-sekarang Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Udayana
Seminar dan Training
2008 Peserta dalam seminar “ Sosialisasi ASEAN Socio-Cultural Community
(ASCC) Bluprint”, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Departemen
Luar Negeri, bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Bali dan
Universitas Udayana.
2009 Peserta dalam workshop “Training of Good Governance”, Center for Law
and Good Governance Studies Faculty of Law University of Indonesia.
2009 Peserta dalam workshop “Training of Human Rights”, Center for Law and
Good Governance Studies Faculty of Law University of Indonesia.
2011 Peserta dalam seminar nasional Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan
dan Demokrasi dengan tema “ Penguatan Eksistensi dan Indepedensi
Lembaga Penyiaran Publik melalui Revisi Undang-Undang Penyiaran”,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga.
2013 Peserta dalam workshop “Promoting Government Accountability by
Improving Coverage of Reports and Issues in the Press”, JPIP dan USAID
2013 Peserta dalam workshop “Seputar Indonesia Goes to Campus”, RCTI
39
2013 Peserta dalam seminar nasional “Tantangan dan Hambatan Birokrasi
dalam Penyaluran Bantuan Sosial”, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Udayana.
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.
Denpasar, 4 Juli 2014
Putu Ratih Kumala Dewi S.H.,M.Hub.Int.
40
SURAT PERNYATAAN PERSONALIA PENELITIAN / PENGABDIAN
1. Nama Lengkap : Sukma Sushanti, S.S,. M.A.
NIP : 197910182009122001
PS/Fakultas : Prodi Hubungan Internasional/ FISIP UNUD
Status dalam Penelitian / Pengabdian*) : Ketua
2. Nama Lengkap : Putu Ratih Kumala Dewi, S.H., M.Hub.Int.
NIP : -
PS/Fakultas : Prodi Hubungan Internasional/ FISIP UNUD
Status dalam Penelitian / Pengabdian*) : Anggota
Menyatakan bahwa kami secara bersama-sama telah menyusun proposal penelitian / pengabdian
yang berjudul “Strategi Ketahanan Budaya Desa Bali Aga Dalam Menghadapi Arus Globalisasi
(Studi Kasus: Desa Tenganan, Karangasem)”dengan jumlah usulan dana sebesar Rp.5.000.000.
Apabila proposal ini disetujui maka kami secara bersama-sama akan bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan penelitian ini sampai tuntas sesuai dengan persyaratan yang dituangkan dalam Surat
Perjanjian Pelaksanaan Penelitian/Pengabdian.
Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dan ditandatangani bersama sehingga dapat digunakan
sebagaimana mestinya.
Denpasar, 4 Juli 2014
(Sukma Sushanti, S.S,. M.A.) (Putu Ratih Kumala Dewi, S.H., M.Hub. Int.)
NIP. 197910182009122001
top related