laporan kewirausahaan kreativitas.docx
Post on 16-Jan-2016
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
I.Tujuan pratikum
-Meningkatkan kreativitas dan membebaskan diri dari belenggu
II. Landasan Teori
A. Hakikat Pendidikan
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan
perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan Negara. Kemajuan suatu
kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan tersebut mengenali, menghargai , dan
memanfaatkan sumber daya manusia dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan
yang diberikan kepada anggota masyarakatnya; kepada peserta didik.
Tujuan pendidikan pada umumnya ialah menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak
didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat
mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan
kebutuhan masyarakat. Setiap orang ,mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda
dan karena itu membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula. Pendidikan bertanggung
jawab untuk memandu (yaitu mengidentifikasi dan membina) serta memupuk (yaitu
mengembangkan dan meningkatkan) bakat tersebut, termasuk dari mereka yang berbakat
istimewa atau memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (the gift dan talented).
Renzulli (Munandar, 2004: 6) mengungkapkan bahwa ‘Dulu orang biasanya mengartikan
“anak berbakat” sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan (IQ) yang tinggi. namun
sekarang makin disadari bahwa yang menentukan keberbakatan bukan hanya intelegensi
(kecerdasan) melainkan juga kreativitas dan motivasi untuk berprestasi’.
Kreativitas atau daya cipta memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan
tekhnologi, serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya.
B. Pengertian Kreativitas
“Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berfikir tentang
sesuatu dengan suatu cara yang baru dan tidak biasa (unusual) dan menghasilkan
penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan” (Semiawan, 1999: 89)
Selain dari apa yang telah disebutkan diatas, maka untuk memahami pengertian kreativitas,
maka Rhodes (Munandar, 1977) mengemukakan bahwa ada beberapa tinjauan yang harus
dikaji. Adapun definisi kreativitas itu dapat dikaji melalui the Four P’s of Creativity (Person,
Product, Process, and Press).
Kreativitas sebagai pribadi (person), kreativitas itu mencerminkan keunikan individu dalam
pikiran-pikiran dan ungkapan-ungkapan. Halini dipertegas oleh Paul Swartz (1963) bahwa
kreativitas merupakan ekspresi tertinggi individualitas manusia.
Kretivitas sebagai produk (product), suatu karya dapat dikatakan kreatif, jika karya itu
merupakan suatu ciptaan yang baru atau orisinil dan bermakna bagi individu dan / atau
lingkungan. Lebih jauh diungkapkan oleh Jhon A. Glover (1980) bahwa ada tempat
pemberangkatan yang terbaik, yaitu kriteria yang dianggap cukup representatif oleh sebagian
besar para ahli psikologi dalam mendefinisikan kreativitas. Kriteria yang dimaksudkan adalah
sipat kebaruan (novelty) dan kegunaan (utility).
Kreativitas sebagai proses (process) yaitu bersibuk diri secara kreatif yang menunjukan
kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas dalam berfikir. Para ahli yang merumuskan definisi
kreativitas berdasarkan proses, yaitu Spearman (1930) dan Torrance (1974). Spearman
(Munandar, 1977) berpendapat bahwa berfikir kreatif pada dasarnya merupakan proses
melihat atau menciptakan hubungan antara proses sadar dan dibawah sadar. Sementara E.
Paul Torrance (Semiawan, 1999: 90) mendefinisikannya sebagai berikut:
‘Creativity, as a process of becoming sensitive to problems, deficiencies, gaps in knowladge,
nissing elements, disharmonies, and so on; identifying the dificulty; searching for solutions,
making guesses, or formulating hypothesis about the dificiences; testing and retesting these
hypothesis and posibly modifying and retesting; and finally communicating the result’.
Kreativitas sebagai press, menurut bahasa MacKinnon (Roslnaksky, 1970) The creative
situation, yaitu kondisi dari dalam atau luar, lebih konkritnya situasi kehidupan atau
lingkungan sosial, kultural, dan kerja yang memberikan kemudahan dan mendorong
penampilan fikiran dan tindakan kreatif.
Akhirnya secara komprehensif kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan berfikir,
bersikap, dan bertindak tentang sesuatu dengan cara yang baru dan tidak biasa (unusual) guna
memecahkan berbagai persoalan, sehingga dapat menghasilkan penyelesaian yang orisinal
dan bermanfaat.
C. Teori Kreativitas
1. Teori Psikoanalisis
2. Menganggap bahwa proses ketidaksadaran melandasi kreativitas. Kreativitas merupakan
manifestasi dari kondisi psikopatologis.
3. Teori Assosiasionistik
4. Memandang kreativitas sebagai hasil dari proses asosiasi dan kombinasi antara elemen-
elemen yang telah ada, sehingga menghasilkan sesuatu yang baru.
5. Teori Gestalt
Memandang kreativitas sebagai manifestasi dari proses tilikan individu terhadap
lingkungannya secara holistik.
1. 4. Teori Eksistensial
2. Mengemukakan bahwa kreativitas merupakan proses untuk melahirkan sesuatu yang baru
melalui perjumpaan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam.
Menurut May (1980), dengan teori eksistensial ini, setiap perilaku kreatif selalu didahului
oleh ‘perjumpaan’ yang intens dan penuh kesadaran antara manusia dengan dunia
sekitarnya.
3. Teori Interpersonal
4. Menafsirkan kreativitas dalam konteks lingkungan sosial. Dengan menempatkan pencipta
(kreator) sebagai inovator dan orang di sekeliling sebagai pihak yang mengakui hasil
kreativitas. Teori ini menekankan pentingnya nilai dan makna dari suatu karya kreatif.
Karena nilai mengimplikasikan adanya pengakuan sosial.
5. Teori Trait
6. Memberikan tempat khusus kepada usaha untuk mengidentifikasi ciri-ciri atau
karakteristik-karakteristik utama kreativitas.
D. Peningkatan Kreativitas dalam Sistem Pendidikan
Betapa pentingnya pengembangan kreativitas dalam sistem pendidikan ditekankan oleh para
wakil rakyat melalui Ketetapan MPR-RI No.11/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara sebagai berikut:
“Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang yang
memerluka jenis-jenis keahlian dan keterampilan serta dapat sekaligus meningkatkan
produktivitas, kreativitas, mutu, dan efisiensi kerja” (Departemen Penerangan, 1983:60).
Perilaku kreatif adalah hasil dari pemikiran kreatif. Oleh karena itu, hendaknya sisitem
pendidikan dapat merangsang pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif-produktif, di samping
pemikiran logis dan penalaran.
VI. Kesimpulan dan Saran
6.1 Kesimpulan
Seperti yang kita ketahui, anak-anak yang kreatif biasanya selalu ingin tahu, memiliki
minat yang luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan remaja
kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani
mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan) dari pada anak-anak pada umumnya. Siswa
berbakat kreatif biasanya mempunyai rasa humor yang tinggi, dapat melihat masalah dari
berbagai sudut tinjau, dan memiliki kemampuan untuk bermain dengan ide, konsep, atau
kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan.
Mengenai perkembangan kreativitasnya, Arasteh (Hurlock, 1982) mencoba untuk
mengidentifikasi sejumlah usia keritis bagi perkembangan kreativitas pada usia mereka.
Pertama, pada usia 5–6 tahun ketika anak-anak siap memasuki sekolah, mereka belajar
bahwa meraka harus menerima otoritas dan konformis dengan aturan dan tata tertib yang
dibuat orang dewasa ( orangtua dan guru). Kedua, Usia 8 sampai 10 tahun ketika keinginan
anak untuk diterima sebagai anggota gang mencapai puncaknya.
Beberapa peran sekaligus implikasi yang dapat diterapkan guru demi meningkatkan
perkembangan kreativitas anak didik diantaranya disimpulkan oleh Barbed an Renzulli
sebagai berikut (1975) :
1. Pertama-tama guru perlu memahami diri sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya
dipengaruhi oleh apa yang dilakukan guru, tapi juga bagaimana guru melakukannya.
2. Di samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang
keberbakatan.
3. Setelah anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan
belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.
4. Guru anak berbakat lebih banyak memberikan tantangan daripada tekanan.
5. Guru anak berbakat tidak hanya memperhatikan produk atau hasil belajar siswa, tetapi
lebih-lebih proses belajar.
6. Guru anak berbakat lebih baik memberikan umpan-balik daripada penilaian.
7. Guru anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif strategi belajar.
8. Guru hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa
percaya diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani mengambil resiko dalam
menentukan pendapat dan keputusan.
9. Jelaslah bahwa peran guru sangat penting, tidak hanya dalam mempengaruhi belajar
siswa selama di sekolah, tetapi juga dalam mempengaruhi masa depan anak.
6.2 Saran
Berdasarkan kenyataan dilapangan, kita harus meningkat ka kreatifitas. Karena
ktreatifitas sangat diperlukan untuk menambah daya jual seseorang. Setiap dalam diri
seseorang memiliki kretifitas, dan kita perlu menggalinya agar kretivitas yg dimiliki lebih
berkembang.
III. Langkah Kerja
1. Memfokuskan fikiran kita seolah olah menjadi astronot dan terbang ke planet lain
2. Membayangkan dan merekam semua yang dijumpai d planet tersebut
3. Melukiskan hal yang kita lihat atau rekam contohnya hewan yang ada di planet tersebut
4. Maka kita akan mengamati bagian – bagia dari hewan tersebut
VI. Alat dan Bahan
1. Alat tulis
DAFTAR PUSTAKA
Munandar, Utami. (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Munandar, Utami. (2004). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta:
PT. Asdi Mahasatya.
Semiawan, Conny R. (1999). Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Guru Sekolah
Dasar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
V. Hasil dan Pembahasan
5.1 Hasil
5.2 Pembahasan
A. Ciri-ciri Kepribadian Kreatif
Biasanya anak yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, dan menyukai
kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan remaja kreatif biasanya cukup mandiri dan
memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan
perhitungan) dari pada anak-anak pada umumnya. Artinya dalam melakukan sesuatu yang
bagi mereka amat berarti, penting dasn disukai , mereka tidak terlalu menghiraukan kritik
atau ejekan dari orang lain. Merekapun tidak takut untuk membuat kesalahan dan
mengemukakan pendapat mereka walaupun mungkin tidak disetujui oleh orang lain. Orang
yang inovatif berani untuk berbeda, menonjol, membuat kejutan, atau menyimpang dari
tradisi. Rasa percaya diri,keuletan dan ketekunan membuat mereka tidakcepat putus asa
dalam mencapai tujuan mereka.
Thomas edison (Munandar, 2004: 35) mengatakan bahwa ‘Dalam melakukan percobaan ia
mengalami kegagalan lebih dari 200 kali, sebelum ia berhasil dengan penemuan bola lampu
yang bermakna bagi seluruh umat manusia; ia mengungkapkan bahwa ”genius is 1%
inpiration and 99% perpiration”.’
Treffinger (Munandar, 2004: 35) mengatakan bahwa pribadi yan'g kreatif biasanya lebih
teroganisasi dalam tindakan. Rencana inovatif serta produk orisinal mereka telah dipikirkan
dengan matang lebih dahulu, dengan mempertimbangkan maslah yang mungkin timbul dan
implikasinya.
Tingkat energi, spontanitas, dan kepetualangan yang luar sering biasa sering tampak pada
orang kreatif; demikian pula keinginan yang besar untuk mencoba aktivitas yang baru dan
mengasyikan, misalnya untuk menghipnotis, terjun payung, atau menjajagi kota atau tempat
baru
Siswa berbakat kreatif biasanya mempunyai rasa humor yang tinggi, dapat melihat masalah
dari berbagai sudut tinjau, dan memiliki kemampuan untuk bermain dengan ide, konsep, atau
kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan.
Ciri yang lebih serius pada orang berbakat ialah ciri seperti idealisme, kecenderungan untuk
melakukan refleksi, merenungkan peran dan tujuan hidup, serta makna atau arti dari
keberadaan mereka. Anak berbakat lebih cepat menunjukan perhatian pada masalah orang
dewasa, seperti politik, ekonomi, polusi, kriminalitas, dan masalah lain yang dapat yang
mereka amati di dalam masyarakat.
Ciri kreatif lainnya ialah kecenderungan untuk lebih tertarik pada hal-hal yang rumit dan
misterius. Misalnya kecendrungan untuk percaya pada yang paranormal. Mereka lebih sering
memiliki pengalaman indra ke enam atau kejadian mistis.
Minat seni dan keindahan juga lebih kuat dari rata-rata. Walaupun tidak semua orang
berbakat kreatif menjadi seniman, tetapi mereka memiliki minat yang cukup besar terhadap
seni, satra, musik, dan teater.
Sedemikian jauh, tampak seolah pribadi yang kreatif itu ideal. Namun, ada juga karekteristik
dari siswa kreatif yang mandiri, percaya diri, ingin tahu, penuh semangat, cerdik, tetapi tidak
penurut, hal ini dapat memusingkan kepala guru. Anak kreatif bisa juga bersifat tidak
koperatif, egosentris, terlalu asertif, kurang sopan, acuh tak acuh terhadap aturan, keras
kepala, emosional, menarik diri, dan menolak dominasi atau otoritas guru. Ciri-ciri tersebut
membutuhkan pengertian dan kesadaran, dalam beberapa kasus membutuhkan koreksi dan
pengarahan.
“Penelitian pertama di indonesia tentang ciri-ciri kepribadian yang kreatif dilakukan pada
tahun 1977 dengan membandingkan pendapat tiga kelompok, yaitu pendapat psikolog, guru,
dan orang tua. Alat penelitian yang digunakan ialah adaptasi dari Torrance, yaitu ideal pupil
checklist yang terdiri atas 60 ciri yang melalui studi empiris. Dari penelitian ini ditemukan
perbedaan kelompok orang yang sangat kreatif dari kelompok orang yang kurang kreatif”
(Munandar, 2004: 36).
Ciri-ciri perilaku yang ditemukan pada orang-orang yang memberikan sumbangan kreatif
yang menonjol terhadap masyarakat digambarkan sebagai berikut: berani dalam
pendirian/keyakinan, melit (ingin tahu), mandiri dalam berpikir dan mempertimbangkan,
bersibuk diri terus menerus dengan kerjanya, intuitif, ulet, tidak bersedia menerima pendapat
dari otoritas begitu saja. Kenyataan menunjukan, bahwa guru dan orang tua lebih
menginginkan perilaku sopan, rajin dan patuh dari anak, ciri-ciri yang tidak berkaitan dengan
kreativitas.
Bagaimana pandangan di indonesia tentang ciri-ciri pribadi yang kreatif dan ciri-ciri yang
diinginkan pendidik pada anak? Peringkat dari 10 ciri-ciri pribadi kreatif yang diperoleh dari
kelompok pakar psikologi (30 orang) adalah sebagai berikut:
1. Imajinatif
2. Mempunyai prakarsa
3. Mempunyai minat luas
4. Mandiri dalam berfikir
5. Melit
6. Senang berpetualang
7. Penuh energi
8. Percaya diri
9. Bersedia mengambil risiko
10. Berani dalam pendirian dan keyakinan.
11. Bandingkan ciri-ciri tersebut dengan peringkat ciri siswa yang paling diinginkan oleh
guru sekolah dasar dan sekolah menengah (102 orang):
12. Penuh energi
13. Mempunyai prakarsa
14. Percaya diri
15. Sopan
16. Rajin
17. Melaksanakan pekerjaan pada waktunya
18. Sehat
19. Berani dalam berpendapat
20. Mempunyai ingatan baik
21. Ulet
Dari daftar ciri-ciri ini tidak tampak banyak kesamaan antara ciri-ciri pribadi yang kreatif
menurut pakar psikologi dengan ciri-ciri yang diinginkan oleh guru pada siswa.
B. Perkembangan Kreativitas
Hurlock (Semiawan, 1999: 96) menegaskan bahwa ‘Hasil sejumlah studi kreativitas
menunjukkan bahwa perkembangan kreativitas mengikuti suatu pola yang dapat diramalkan.
Ada sejumlah variasi di dalam pola ini. Demikian juga ada beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap variasi-variasi tersebut, diantaranya: jenis kelamin, status sosio-ekonomi, posisi
urutan kelahiran, ukuran besar anggota keluarga, lingkungan kota versus desa, dan
intelegensi’.
Pertama, anak-anak lelaki menunjukkan kreativitas yang lebih tinggi daripada anak
perempuan, terutama di masa-masa perkembangan. Di sebagian masyarakat, anak lelaki
mendapat perlakuan yang berbeda dari anak perempuan. Anak lelaki mendapat kesempatan
yang lebih banyak daripada anak perempuan untuk hidup mandiri, lebih mendapat
kesempatan untuk menghadapi resiko, mendapatkan kesempatan dari orang tua dan guru
untuk berinisiatif dan menampilkan keasliannya.
Kedua, anak-anak yang berlatar belakang sosio-ekonomis lebih tinggi cenderung lebih kreatif
daripada anak-anak yang berlatar belakang rendah. Kelompok pertama diduga mendapatkan
perlakuan orangtua yang lebih demokratis, sementara kelompok keduanya lebih banyak
mendapat perlakuan otoriter. Kontrol orangtua yang demokratis dapat memelihara
kemampuan kreatif dengan memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada anak untuk
mengekspresikan individualitasnya dan mengejar minat dan aktivitas menurut pilihannya
sendiri. Yang lebih penting lagi anak-anak yang berlatar belakang ekonomi tinggi mendapat
kesempatan yang lebih banyak utnuk mengakses pengetahuan dan pengalaman yang
diperluakan untuk mengembangkan kreativitas, misalnya ke tempat-tempat rekreasi, tempat-
tempat penting, dan pusat-pusat informasi yang dapat mendorong anak-anak untuk
berimajinasi serta berpikir dan bertindak secara kreatif.
Ketiga, bahwa anak posisi kelahiran berbeda menunjukkan tingkat kreativitas yang berbeda.
Pernyataan ini memiliki implikasi bahwa lingkungan memiliki kedudukan yang lebih penting
dari pada keturunan. Anak tengah dan anak bungsu memungkinkan lebih kreatif daripada
anak sulung. Anak sulung cenderung mendapat tekanan yang lebih besar untuk memenuhi
harapan orang tua daripada anak berikutnya. Sehingga mereka lebih dikehendaki sebagai
konformis daripada pencetus ide.
Keempat, anak-anak dari keluarga kecil cenderung lebih kreatif daripada anak-anak dari
keluarga besar. Hal ini disebabkan oleh pengasuhan dalam keluarga besar menuntut sikap
yang lebih otoriter guna bisa mengendalikan anak yang banyak itu. Perlakuan yang otoriter
cenderung menghambat perkembangan kreativitas. Sebaliknya anak dari keluarga kecil
cenderung mendapat lebih banyak perlakuan yang demokratis. Sikap tersebut memungkinkan
bisa mendukung terciptanya suasana dan sikap yang favorable untuk pengembangan
kreativitas.
Kelima, anak-anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif daripada anak-anak dari
lingkungan desa, karena yang pertama lebih banyak mendapatkan lingkungan yang lebih
memberikan stimulasi dalam pengembangan kreativitas. Di kota-kota lebih banyak tempat-
tempat, objek-objek, benda-beda, dan tantangan-tantangan yang mengundang setiap untuk
mengembangkan kemampuan kreatif. Setimulan-setimulan ini mendaorong dan mendukung
peningkatan kreativitas anak-anak kota, pada kenyataanya mereka akhirnya memiliki
kreativitas yang lebih tinggi dari pada anak desa.
Terakhir, untuk anak yang seusia, anak-anak yang cerdas menunjukan kemampuan kreatif
yang lebih dari pada anak-anak yang kurang cerdas. Yang pertama cenderung memiliki ide-
ide yang lebih baru ingin mengatasi situasi konflik sosial dan mampu merumuskan lebih
banyak alternatif pemecahan terhadap konflik-konflik itu, juga beralasan bahwa anak-anak
yang cerdas pada akhirnya pantas dipilih sebagai pemimpin daripada anak-anak seusianya.
Selain dari pada beberapa faktor yang kontributif bagi variabilitas kreativitas itu dapat
nampak pada usia dini pada anak itu sibuk dalam kegiatan permainan. Secara berangsur-
angsur kreativitas anak dapat dilihat dalam aspek kehidupan, misalnya dalam kegiatan
sekolah, kegiatan rekreasi, dan aktifitas kerjanya.
Karya-karya kreatif yang produktif umumnya mencapai puncak usia 40, dan setelah itu
cendrung mengalami stagnan dan secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Lehman
menegaskan bahwa pencapaian prestasi kreativitas yang dicapai pada usia lebih awal sangat
besar dipengaryhi oleh faktor lingkungan, sebaliknya tidak ada bukti yang cukup untuk
meyakinkan bahwa penurunan kreativitas itu akibat dari keterbatasan keturunan.
Bertitik tolak dari apa yang telah tersebutkan diatas, kiranya faktor eksternal memiliki
sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan dan penurunan kreativitas individu. Spock
(hurlock, 1982) menekkankan betapa pentingnya sikap orang tua pada usia bagi
pengembangan kreativitas anak. Demikian juga halnya sikap guru baik ditaman kanak-kanak
dan SD mempunyai nilai penting bagi perkembangan dan penurunan pontensi kreativitas
anak didik.
Arasteh (Semiawan, 1999: 99) mencoba untuk mengidentifikasi sejumlah usia keritis bagi
perkembangan kreativitas pada usia anak-anak. Pertama, pada usia 5–6 tahun ketika anak-
anak siap memasuki sekolah, maka belajar bahwa meraka harus menerima otoritas dan
konformis dengan aturan dan tata tertib yang dibuat orang dewasa ( orangtua dan guru).
Semakin kaku dalam menetapkan otoritas, maka semakin besar kemungkinan dapat
menggangu perkembangan kreativitas. Pada usia ini seyogyanya orangtua dan guru mampu
memperlakukan peraturan yang ada dengan disertai berbagai penjelasan yang dapat
memberikan pemahan pada anak, sehingga anak dalam mengikuti aturan tidak merasa
tertekan. Demikian juga aturan yang ada hendaknya dirumuskan dan dipraktekan secar
fleksibel, tidak kaku. Tentu saja penerapan aturanya masih tetap memegang prinsip, sehingga
tujuan peraturan atau tatatertib dibuat dapat dicapai dengan baik.
Kedua, Usia 8 sampai 10 tahun ketika keinginan anak untuk diterima sebagai anggota gang
mencapai puncaknya. Sebagian besar anak-anak pada usia ini merasa bahwa untuk dapat
diterima di dalam geng, mereka harus konformis sedekat mungkin dengan pola-pola prilaku
yang telah disepakati dengan gang-nya dan siapa saja yang berani menyimpang, mereka akan
ditolak kehadirannya di dalam gank. Dalam suasana yang demikian anak-anak usia ini
dikondisikan untuk terbiasakan berpikir dan bertindak secara konformis, mereka cendrung
tidak berani mengambil resiko untuk berbeda pendapat. Sekiranya dikembangkan kegiatan-
kegiatan di sekolah yang menuntut pikiran, sikap, dan tindakan yang divergen, maka mereka
tidak selalu meresponya dengan bersikap positif, karena mereka belum dan tidak terbiasa
mengambil resiko dalam menghadapi perbedaan. Ditambah lagi, konformi dari pada sikap
divergen.
1. Belajar bagaimana harus menyadari bahwa belajar (learn) lebih penting daripada
menguasai bahan pengetahuan semata-mata. Anak yang tahu bagaimana harus belajar
untuk seumur hidupnya akan dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari.
2. Macam kegiatan belajar yang lebih berorientasi kepada proses daripada terhadap produk
semata-mata dapat dilihat dari contoh-contoh berikut ini.
Pemecahan masalah dengan lebih menekankan pada proses memperoleh jawaban daripada
jawabannya sendiri.
1. Membuat klasifikasi (penggolongan).
2. Membandingkan dan mempertentangkan.
3. Membuat pertimbangan sesuai dengan criteria tertentu.
4. Menggunakan sumber-sumber (kamus, ensiklopedi, perpustakaan).
5. Melakukan proyek penelitian.
6. Melakukan diskusi.
7. Membuat perencanaan kegiatan.
8. Mengevaluasi pengalaman.
3. Guru anak berbakat lebih baik memberikan umpan-balik daripada penilaian.
4. Agar menjadi orang dewasa yang mandiri dan percaya pada diri sendiri, anak harus
belajar bagaimana menilai pengalaman dan prestasi belajarnya. Anak yang berbakat
cukup mampu melakukan penilaian diri sejak mereka masuk sekolah. Guru perlu
memberi umpan-balik dan model prilaku, namun seyogyanya anaklah yang menilai diri
sendiri.
5. Anak harus belajar menilai pekerjaannya sendiri, tidak dalam angka tetapi dalam kaitan
dengan kebutuhan dan tujuannya. Penilaian oleh diri sendiri ini disebut evaluasi intrinsik
sedangkan penilaian dari luar (oleh orang lain) disebut evaluasi ekstrinsik. Ini tidak
berarti bahwa guru tidak boleh menilai kemajuan dan prestasi anak. Hal ini perlu agar
guru dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan anak sebagai dasar untuk membantu
meningkatkan prestasinya. Guru dapat memberikan umpan-balik dengan membuat
catatan yang menyatakan dimana letak kesalahan anak dan bagaimana ia sendiri dapat
memperbaikinya. Jika nilai dalam bentuk angka harus diberikan, maka sebaiknya
dilengkapi dengan catatan penjelasan.
6. Guru anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif strategi belajar.
7. Termasuk salah satu hal penting yang perlu diketahui anak ialah bahwa ada lebih dari satu
cara untuk mencapai sasaran atau tujuan, ada macam-macam kemungkinan jawaban
terhadap satu masalah, ada beberapa cara untuk mengelompokkan objek, dan ada
beberapa sudut pandang dalam diskusi. Sering guru menekankan bahwa suatu tujuan atau
jawaban hanya dapat dicapai dengan satu cara, bahwa hanya satu jawaban yang benar
terhadap suatu masalah.
8. Hendaknya anak diperbolehkan menjajaki beberapa cara atau jalan untuk mencapai
tujuan. Kreativitas akan berkembang dalam suasana yang memberika kebebasan untuk
menyelidiki. Jika anak tidak dengan sendirinya melihat macam-macam jalan yang dapat
ditempuh, hendaknya guru mengarahkan sehingga ia dapat melihat adanya macam-
macam alternative strategi belajar.
9. Guru hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa
percaya diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani mengambil resiko dalam
menentukan pendapat dan keputusan. Hendaknya setiap anak merasa aman untuk
mencoba cara-cara baru dan menjajaki gagasan-gagasan baru di dalam kelas. Banyak
anak yang kreatif terlambat dalam ungkapan diri karena takut mendapat kritik, takut
gagal, takut membuat kesalahan, takut tidak disenangi guru, atau takut tidak memenuhi
harapan orang tua.
10. Dengan menciptakan suasana di dalam kelas dimana setiap anak merasa dirinya diterima
dan dihargai, serta guru menunjukkan bahwa ia percaya akan kemampuan anak, maka
akan terpupuk rasa harga diri anak.
11. Bagaimana guru dapat menciptakan suasana seperti ini?
12. Beberapa saran yang dapat diberikan:
1. Guru menghargai kreativitas anak.
2. Guru bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.
3. Guru mengakui dan menghargai adanya perbedaan individual.
4. Guru bersikap menerima dan menunjang anak.
5. Guru menyediakan pengalaman belajar yang berdiferensiasi.
6. Guru cukup memberikan struktur dalam mengajar sehingga anak tidak merasa ragu-
ragu tetapi di lain pihak cukup luwes sehingga tidak menghambat pemikiran, sikap,
dan perilaku kreatif anak.
7. Setiap anak ikut mengambil bagian dalam merencanakan pekerjaan sendiri dan
pekerjaan kelompok.
8. Guru tidak bersikap sebagai tokoh yang “maha mengetahui” tetapi menyadari
keterbatasannya sendiri.
13. Jelaslah bahwa peran guru sangat penting, tidak hanya dalam mempengaruhi belajar
siswa selama di sekolah, tetapi juga dalam mempengaruhi masa depan anak.
D. Kendala Dalam Pengembangan Kreativitas Anak
Kreativitas merupakan faktor penentu keberbakatan di samping tingkat kecerdasan di
atas rata-rata. ‘Namun, Amabile mengatakan bahwa lingkungan yang menghambat dapat
merusak motivasi anak, betapa kuat pun, dan dengan demikian mematikan kreativitas’
(Munandar, 2004: 223)
Masalahnya ialah bahwa dalam upaya membantu anak merealisasikan potensinya, sering kita
menggunakan cara paksaan agar mereka belajar. Penggunaan paksaan atau kekerasan tidak
saja berarti bahwa kita mengancam dengan hukuman atau memaksakan aturan-aturan, tetapi
juga bila kita memberikan hadiah atau pujian secara berlebih. Amabile mengemukakan empat
cara yang mematikan kreativitas, yaitu:
1. Evaluasi
Rogers (Munandar, 2004: 223) menekankan salah satu syarat untuk memupuk kreativitas
konstruktif ialah bahwa pendidik tidak memberikan evaluasi, atau paling tidak menunda
pemberian evaluasi sewaktu anak sedang asyik berkreasi. Bahkan menduga akan dievaluasi
pun dapat mengurangi kreativitas anak. Selain itu kritik atau penilaian sepositif apapun
meskipun berupa pujian dapat membuat anak kurang kreatif, jika pujian itu memusatkan
perhatian pada harapan akan dinilai.
2. Hadiah
Kebanyakan orang percaya bahwa memberi hadiah akan memperbaiki atau meningkatkan
perilaku tersebut. Ternyata tidak demikian. Pemberian hadiah dapat merusak motivasi
intrinsik dan mematikan kreativitas.
3. Persaingan (Kompetisi)
Kompetisi lebih kompleks daripada pemberian evaluasi atau hadiah secara tersendiri,
karena kompetisi meliputi keduanya. Biasanya persaingan terjadi apabila siswa merasa
bahwa pekerjaannya akan dinilai terhadap pekerjaan siswa lain da bahwa yang terbaik akan
menerima hadiah. Hal ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sayangnya dapat
mematikan kreativitas.
4. Lingkungan yang Membatasi
Albert Einstein yakin bahwa belajar dan kreativitas tidak dapat ditingkatkan dengan
paksaan. Sebagai anak ia mempunyai pengalaman mengikuti sekolah yang sangat
menekankan pada disiplin dan hafalan semata-mata. Ia selalu diberitahu apa yang harus
dipelajari, bagaimana mempelajarinya, dan pada ujian harus dapat mengulanginya dengan
tepat, pengalaman yang baginya amat menyakitkan dan menghilangkan minatnya terhadap
ilmu, meskipun hanya utnuk sementara. Padahal, sewaktu baru berumur lima tahun ia amat
tertarik untuk belajar ketika ayahnya menunjukkan kompas kepadanya. Contoh ini
menunjukkan bahwa jika berpikir dan belajar dipaksakan dalam lingkungan yang amat
membatasi, minat dan motivasi intrinsik dapat dirusak.
1. Kendala dari Sosialisasi
Apa yang harus dilakukan pendidik? Cara-cara baku yang begitu lama diandalkan
dalam mendidik dan mengajar anak melalui evaluasi, hadiah, kompetisi dan membatasi
pilihan, dalam kenyataan dapat merusak kreativitas. Jika hal itu ditiadakan, bagaimana kita
dapat berhasil dalam menyosialisasikan anak menjadi orang yang dalam tingkah lakunya
sopan, bertanggung jawab dan taat hukum?
Jawabannya ialah bahwa seorang pendidik harus bertindak secara seimbang. Anak
memerlukan pengendalian sehingga mereka merasa aman dalam lingkungan yang stabil dan
andal, tetapi tidak sedemikian jauh bahwa mereka merasa seakan-akan apapun yang mereka
lakukan adalah karena diharuskan. ‘Amabile mengemukakan bahwa pendidik perlu mentukan
batas-batas terhadap perilaku anak didiknya tetapi sedemikian bahwa mereka dapat
mempertahankan motivasi intrinsik mereka’ (Munandar, 2004: 225).
Namun yang membuat perbedaan bukanlah semata-mata apakah anak diberi pembatasan atau
tidak, tetapi bagaimana pembatasan ini diberikan. Jika anak merasa diawasi, maka motivasi
dan kreativitas akan terhambat. Tetapi jika pembatasan diberikan sedemikian, anak merasa
mereka sendiri ingin berperilaku sebagaimana diharapkan, maka tidak perlu ada dampak
penghambat terhadap motivasi dan kreativitas. Dampak penghambat kreativitas berupa
pemberian penilaian dan hadiah agaknya bergantung dari bagaimana hal itu diberikan.
2. Kendala dari Rumah
Tidak jarang karena keinginan orangtua membantu anak berprestasi sebaik mungkin,
meraka mendorong anak dalam bidang-bidang yang tidak diminati anak. Akibatnya ialah,
meskipun anak berprestasi cukup baik menurut ukuran standar, mencapai nilai tinggi,
mendapat penghargaan, tetapi mereka tidak menyukai kegiatan tersebut sehingga tidak
menghasilkan sesuatu yang betul-betul kreatif.
Menurut Amabile (Munandar, 2004: 227) ‘lingkungan keluarga dapat pula menghambat
kreativitas anak dengan tidak menggunakan secara tepat empat “pembunuh kreativitas” yaitu
evaluasi, hadiah, kompetisi, dan pilihan atau lingkungan yang terbatas’.
3. Kendala dari Sekolah
a) Sikap Guru
Dalam suatu studi, tingkat motivasi intrinsik siswa renda, jika guru terlalu banyak
mengontrol, dan lebih tinggi jika guru memberikan lebih banyak otonomi.
Beberapa studi menunjukkan Pygmalion Effect, yaitu bahwa tanpa disadari seseorang
berperilaku sebagaimana ia percaya orang lain mengharapkan ia berperilaku. Guru-guru
sekolah dasar diberitahu bahwa anak-anak tertentu di dalam kelas akan menunjukkan
“kemajuan yang luar biasa” dalam kinerja intelektual selama tahun pelajaran. Dalam
kenyataan, nama siswa-siswa tersebut dipilih secara acak oleh peneliti. Yang mengejutkan
ialah bahwa pada akhir tahun siswa-siswi tersebut betul-betul memperlihatkan kemajuan
intelektual. Kemudian, peneliti menemukan bahwa kemajuan juga terjadi jika guru
mengharapkan siswa meningkat dalam kreativitas.
Menurut Chaplin, harapan guru secara sadar atau tidak sadar dikomunikasikan kepada siswa,
dan konsep diri serta harapan diri siswa dibentuk oleh umpan balik dari guru. Pygmalion
Effect ini juga disebut self-fulfilling prophesy, yaitu penemuan bahwa tanpa disadari orang
berperilaku sebagaimana mereka percaya orang lain mengharapkan mereka berperilaku
(Munandar, 2004: 228).
b) Belajar dengan Hafalan Mekanis
Pada dasawarsa 1960-an pendukung gerakan “kelas terbuka” (open classroom)
menekankan bahwa metodependidikan tradisional, termasuk menghafal secara mekanis
menghambat kreativitas. Bahkan ada yang berpendapat bahwa terlalu banyak pengetahuan
merusak kreativitas. Namun, sekarang pendukung dari gerakan “back to basics” menyatakan
bahwa pendidikan tidak ada gunanya jika tidak berdasarkan pembelajaran bahan pengetahuan
dasar.
Agaknya kedua pandangan tersebut mempunyai segi benarnya. Tidak mungkin bahwa
seseorang mempunyai terlalu banyak pengetahuan untuk dapat menjadi kreatif. Peningkatan
dalam bidang pengetahuan tertentu akan meningkatkan kesempatan untuk menemukan
kombinasi gagasan baru. Namun, mungkin saja bahwa kreativitas menjadi lumpuh jika
pengetahuan dihimpun dengan cara yang keliru.
Salah satu cara yang salah untuk menghimpun pengetahuan adalah dengan belajar secara
mekanis, mengahafal fakta tanpa pemahaman bagaimana hubungan antara fakta tersebut.
Pengetahuan seperti itu dapat berguna untuk memperoleh nilai tinggi pada tes pilihan ganda,
tetapi akan kurang berguna untuk menghasilkan karya kreatif.
c) Kegagalan
Semua siswa pasti pernah mengalami kegagalan dalam pendidikan meraka, tetapi
frekuensi kegagalan dan cara bagaimana hal itu ditafsirkan mempunyai dampak nyata
terhadap motivasi intrinsik dan kreativitas.
Kegagalan tidak dapat dihindari seluruhnya, dan juga tidak perlu dihindari, karena kita dapat
belajar dari kesalahan dan kegagalan. Bedanya ialah dalam cara guru membantu siswa
memahami dan menafsirkan kegagalan.
d) Tekanan akan Konformitas
Bukan guru saja yang dapat mematikan krativitas di sekolah. Anak-anak dapat saling
menghambat kreativitas mereka dengan menekankan konformitas. Dampak dari tekanan
teman sebaya nyata jika kita melihat gaya berpakaian ana, dan hiburan atau kegiatan waktu
luang yang disukai. Pada umur sekitar sembilan tahun tekanan akan konformitas oleh teman
sebaya dapat menghambat kreativitas anak. Penemuan bahwa kreativitas cenderung menurun
pada tingkat kelas empat agaknya berkaitan langsung dengan teman sebaya (Torrance,
dikutip Amabile, 1989). Padahal justru potensi kreatif itu dalam perwujudannya
mencerminkan keunikan seseorang. Seyogianya setiap anak diberi kebebasan untuk “menjadi
dirinya”.
e) “Sistem” Sekolah
Lebih sering orang-orang yang sangat kreatif mempunyai kesulitan di sekolah karena
menurut guru “mereka terlalu kreatif’. Bagi anak yang memiliki minat-minat khusus dan
tingkat kreativitas yang tinggi, sekolah bisa sangat membosankan. Salah satu ciri anak
berbakat kreatif ialah merasa bosan dengan tugas-tugas rutin.
Dalam tulisannya, Boredom, High Ability and Achievement Joan Freeman (1993)
memberikan saran-saran bagaimana mengatasi rasa bosan anak berbakat di sekolah. Dari
penelitiannya ia memperoleh hasil, bahwa kebosanan dapat timbul karena cara-cara belajar
yang tidak tepat. Cara terbaik untuk menghindari menurunnya minat dan timbulnya
kebosanan ialah dengan meningkatkan motivasi intrinsik. Bagi siswa berbakat pembelajaran
harus menantang, dengan memberikan kepada mereka bahan pelajaran yang lebih majemuk
dan merangsang. Mempertimbangkan minat khusus anak dan gaya belajarnya merupakan
fleksibel dalam mengajar penting untuk meningkatkan kompetensi anak.
LAPORAN PRATIKUM KEWIRAUSAHAAN
PENGEMBANGAN KREATIVITAS
Nama : .Anis kurnia nurnaim (F1C014007 )
Aisten : Putri Zilfi
Dosen Pembimbing : Ir. Entang Iinoriah, MS
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU
2015
top related